38 Pengembangan Inovasi Pertanian 3(1), 2009: 38-51
Nyak Ilham dan I.W. Rusastra
DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN: KONSEP, KINERJA DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN1) Nyak Ilham dan I Wayan Rusastra Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan Ahmad Yani No. 70, Bogor 16161 Telp. (0251) 8333964 Faks. (0251) 8314496, e-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN Peningkatan daya saing komoditas pertanian sebagai salah satu agenda penting dalam lima tahun ke depan dinilai kontekstual dan memiliki justifikasi yang kuat, karena alasan sebagai berikut: (1) dominasi peran sektor pertanian dalam struktur kesempatan kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan pengentasan kemiskinan; (2) potensi sumber daya alam dan pengembangan teknologi dalam peningkatan produktivitas dan efisiensi usahatani; (3) tantangan globalisasi ekonomi yang menuntut kemampuan daya saing di pasar domestik dan ekspor; dan (4) komitmen pemerintah dalam pembangunan pertanian dengan sasaran pertumbuhan berkualitas (growth and equity) secara nasional. Dalam konteks peningkatan daya saing komoditas pertanian dibutuhkan pemahaman konsep dan alat ukur yang dapat di sepakati bersama untuk mengukur kinerja daya saing, serta langkah-langkah kebijakan dalam mendukung peningkatan kinerja daya saing di lapangan. Daya saing dipahami sebagai konsep yang statis.
1)
Naskah analisis kebijakan dalam merespons isu kebijakan aktual daya saing komoditas pertanian, Januari 2010.
Oleh karena itu, dibutuhkan dinamika kinerjanya agar dapat diantisipasi kecenderungannya serta dirumuskan kebijakan antisipatif peningkatannya dengan efektif. Diperlukan pula kebijakan pendukung yang bersifat multidimensi, mencakup kebijakan pada tingkat usaha tani, agroindustri/agribisnis, perdagangan internasional, dan kebijakan makro ekonomi yang lebih luas. Tujuan dari analisis kebijakan ini adalah: (1) membahas konsep pendekatan dan pengukuran daya saing; (2) menganalisis dinamika kinerja daya saing lima komoditas strategis, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi; dan (3) merumuskan langkah kebijakan strategis dalam mendukung peningkatan daya saing komoditas pertanian.
KONSEP DAN PENGUKURAN DAYA SAING Konsep daya saing adalah konsep ekonomi yang berpijak pada konsep keunggulan komparatif (comparative advantage). Sementara itu, konsep keunggulan kompetitif adalah konsep politik bisnis yang digunakan sebagai dasar dalam analisis strategis peningkatan kinerja perusahaan. Konsep keunggulan komparatif adalah
39
Daya saing komoditas pertanian: konsep ...
konsep kelayakan ekonomi, yang merupakan ukuran daya saing potensial dalam kondisi perekonomian tidak mengalami distorsi. Sementara itu, keunggulan kompetitif merefleksikan kelayakan finansial dalam kondisi ekonomi aktual (Simatupang 1991; Daryanto 2009) Keunggulan kompetitif suatu bangsa bergantung pada kapasitas dan kemampuan industri untuk melakukan inovasi. Daya saing merefleksikan kemampuan negara mendorong peningkatan nilai tambah perusahaan secara berkelanjutan melalui pengembangan inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Dengan demikian akan terjadi pergeseran daya saing ke perspektif daya saing bangsa melalui peran pemerintah dalam pengembangan iptek (Porter 1998). Konsep Porter ini dikenal sebagai diamond of competitive advantage, dengan empat dimensi pokok, yaitu: (1) factor conditions, yaitu kemampuan negara dalam pengembangan infrastruktur dan kapasitas/keterampilan tenaga kerja, sebagai syarat penting untuk mampu berkompetisi; (2) demand conditions, yaitu potensi permintaan pasar domestik yang besar untuk produk-produk dan jasa-jasa industri; (3) relating and supporting industries, yaitu eksistensi industri pemasok/pendukung domestik da-
lam menopang kemampuan daya saing di tingkat global; dan (4) firm strategy, structure and rivalry, yaitu kemampuan negara dalam menciptakan, mengorganisasi, dan mengelola perusahaan-perusahaan agar memiliki daya saing domestik dan global yang tinggi. Dalam periode 1990-1995, pengukuran daya saing sektor industri/agribisnis/ komoditas mengacu pada alat analisis parsial, seperti Relative Trade Advantage (RTA), Revealed Competitive Advantage (RCA), dan Agribusiness Executive Survey (AES) (Daryanto 2009). Analisis deskriptif kelembagaan agribisnis dapat menggunakan Agribusiness Confidence Index (ACI). Monke dan Pearson (1995) memperkenalkan Policy Analisis Matrix (PAM) yang dinilai mampu mensinergikan pengukuran keunggulan komparatif (analisis ekonomi) dan keunggulan kompetitif (analisis finansial) dalam suatu matrik seperti tertera dalam Tabel 1. Selain digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas, PAM juga dapat melihat sejauh mana dampak kebijakan harga input, kebijakan harga output, atau kombinasi keduanya yang dilakukan pemerintah terhadap produsen. Kriteria yang digunakan dijelaskan sebagai berikut.
Tabel 1. Komponen penyusun policy analysis matrix.
Komponen
Harga privat Harga sosial Divergensi
Penerimaan
A E I=A-E
Sumber: Monke dan Pearson (1995).
Biaya faktor produksi Tradable
Non-tradable
B F J=B-F
C G K=C-G
Keuntungan
D H L=D-H
40
1. Dampak kebijakan pemerintah a. Nominal Protection Coefficient on Tradeable Input (NPCI) = B/F NPCI merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika NPCI < 1, yang berarti ada kebijakan input tradeable. b. Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) = A/E NPCO merupakan tingkat proteksi pemerintah terhadap output domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap output jika NPCO > 1. Makin besar NPCO berarti makin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas yang diproduksi (output). c. Effective Protection Coefficient (EPC) = (A - B)/(E - F) EPC merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap tradeable output and input. Kebijakan bersifat protektif jika nilai EPC > 1. Makin besar nilai EPC berarti makin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas domestik. 2. Tingkat efisiensi/daya saing a. Private Cost Ratio (PCR) = C/(A B) PCR merupakan indikator profitabilitas private yang menampilkan kemampuan sistem untuk membayar biaya domestik dan tetap kompetitif secara finansial. Sistem bersifat kompetitif jika PCR < 1. Makin kecil nilai PCR berarti makin kompetitif. b. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) = G/(E - F)
Nyak Ilham dan I.W. Rusastra
DRCR merupakan indikator keunggulan komparatif yang menampilkan biaya sumber daya domestik yang dikeluarkan untuk memperoleh/menghemat satu unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan komparatif jika DRCR < 1. Makin kecil nilai DRCR berarti makin efisien secara ekonomi atau memiliki daya saing/keunggulan komparatif yang makin besar.
DINAMIKA DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN STRATEGIS Padi/Beras Keragaan dinamika daya saing dan struktur insentif komoditas padi/beras disajikan pada Tabel 2. Pada tahap awal (1986), komoditas padi/beras memiliki koefisien DRCR yang relatif rendah (0,31-0,45), yang selanjutnya meningkat menjadi 0,78 (1998) dan akhirnya menjadi sekitar 0,90 pada tahun 2001. Peningkatan nilai DRCR ini menunjukkan penurunan keunggulan komparatif secara sistematis dan signifikan dalam periode 15 tahun terakhir (19862001), sehingga menjadi sangat tidak stabil dan sensitif terhadap penurunan produktivitas dan harga di pasar dunia. Keunggulan kompetitif padi/beras juga mengalami penurunan, yang ditunjukkan oleh peningkatan nilai PCR dari 0,55 menjadi sekitar 0,80 dalam periode 1998-2001, sehingga mempersulit posisi pengembangan padi/ beras di dalam negeri. Pada perkembangan terakhir (2001), dengan diberlakukan liberalisasi harga dan distribusi sarana produksi (pupuk dan pestisida), tampak petani harus membayar saprodi lebih
41
Daya saing komoditas pertanian: konsep ...
Tabel 2. Dinamika daya saing dan struktur insentif komoditas padi/beras di Indonesia, 1986-2001. Lokasi
Daya saing
Struktur insentif
Sumber
Jawa Timur, 1986 Sumatera, 1986 Jawa (sawah irigasi)
DRCR = 0,45 DRCR = 0,31 PCR = 0,55 DRCR = 0,78
Kasryno (1986) Kasryno (1986) Hutagaol et.al (1998)
Jawa (5 kabupaten), 2001 Luar Jawa (Agam dan Sidrap), 2001
PCR = 0,77-0,86 DRCR = 0,90-0,98 PCR = 0,71-0,72 DRCR = 0,83-0,96
NPCO = 1,17 NPCI = 0,70 EPC = 1,30 NPCO = 1,17-1,25 NPCI = 1,15-1,18 NPCO = 1,19-1,33 NPCI = 1,17-1,18 EPC = 1,19-1,35
mahal dari harga sosialnya. Pada periode 1986-2001, penurunan daya saing padi/ beras ini direspons oleh pemerintah dengan memberikan proteksi output, sehingga secara total komoditas ini tetap mendapat perlindungan dari pemerintah, yang ditunjukkan oleh nilai EPC yang lebih besar dari 1,0. Beberapa langkah kebijakan yang dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan daya saing usahatani padi adalah: (1) perbaikan efisiensi usaha tani padi melalui penerapan teknologi spesifik lokasi, rasionalisasi penggunaan sarana produksi, perbaikan kelembagaan pasar input dan output serta manajemen usahatani; (2) penetapan tarif impor secara rasional dan dinamis serta perbaikan efisiensi pemasaran beras melalui perbaikan infrastruktur, struktur pemasaran, kelembagaan petani, serta program pengadaan dan stabilisasi harga gabah/beras; (3) dalam jangka menengah ke depan, produktivitas dan efisiensi ekonomi perberasan dapat ditingkatkan melalui perbaikan rendemen gabah ke beras, serta reorientasi pengolahan dan pemasaran beras organik dan beras berkualitas tinggi yang permintaan domestik dan ekspor cenderung meningkat; dan (4)
Rachman et.al (2004)
pada tataran makro, kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan adalah peningkatan kapasitas produksi padi dan perbaikan infrastruktur pertanian dan pedesaan.
Komoditas Jagung Di negara maju yang merupakan daerah beriklim subtropis, hasil jagung rata-rata mencapai 8 t/ha, sedangkan di negara berkembang yang didominasi daerah beriklim tropis, hasil jagung rata-rata hanya 3 t/ha (Nugraha et al. 2002). Kesenjangan hasil tersebut disebabkan faktor iklim dan teknik budi daya. Menurut Heisey dan Edmeades (1999) dalam Nugraha et al. (2002), iklim tropis tidak kondusif bagi tanaman jagung untuk berproduksi tinggi karena faktor puncak radiasi, lama penyinaran, dan suhu. Faktor iklim ini merupakan kekayaan yang tidak dapat dimiliki. Oleh karena itu, langkah peningkatan produksi dapat dilakukan melalui teknik budi daya dan industri benih yang adaptif dengan iklim tropis. Di Indonesia, jagung dapat tumbuh di berbagai agroekosistem, terutama di lahan
42
Nyak Ilham dan I.W. Rusastra
kering/tegalan, sawah tadah hujan, dan sawah beririgasi (Subandi dan Manwan 1990). Hasil jagung hibrida dapat mencapai 7 t/ha, namun hasil rata-rata jagung nasional baru mencapai 3 t/ha. Penyebab hasil yang rendah tersebut adalah kekeringan, tergenang, kesuburaan tanah rendah, pH tanah alkalin atau masam, serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT), serta keterbatasan benih bermutu dan penanganan pascapanen (Nugraha et al. 2002). Hasil analisis yang dilakukan beberapa peneliti menunjukkan bahwa nilai DRCR dan PCR komoditas jagung bervariasi menurut lokasi, agroekosistem, dan musim. Selama satu dekade, nilai DRCR jagung berkisar antara 0,21-0,99 (DRCR < 1,00) dan nilai PCR 0,48- 0,85 (PCR < 1,00). Ini berarti usaha tani jagung di Indonesia memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif (Tabel 3). Nilai NPCO berkisar antara 0,36-1,10, NPCI 0,26-1,38, dan EPC 0,37-1,12. Angkaangka tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan harga yang dilakukan pemerintah cenderung tidak memberikan insentif bagi produsen untuk berproduksi, atau pemerintah sudah mulai melepas perlindungan produsen jagung domestik. Dengan kondisi yang demikian, ternyata usaha tani jagung domestik sudah memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Ini berarti jagung yang dihasilkan di Indonesia sudah cukup baik dan siap bersaing di pasar internasional. Sebagai contoh, jagung dari Gorontalo ada yang diekspor ke Malaysia dan Filipina (Departemen Perdagangan 2006).
Tabel 3. Dinamika daya saing dan struktur insentif komoditas jagung di Indonesia, 1996-2008. Lokasi
Daya saing
Struktur insentif
Sumber
Jawa, 1996
DRCR = 0,71-0,99
NPCO = 0,89-1,10 NPCI = 0,90-0,96 EPC = 0,88-1,12
Kariyasa dan Adnyana (1998)
Sulawesi Selatan, 1996
DRCR = 0,71-0,77
NPCO = 0,98-0,99 NPCI = 0,99 EPC = 0,98-0,99
Bengkulu, 1996
DRCR = 0,58
NPCO = 0,86 NPCI = 1,17E EPC = 0,83
Sadikin (1999)
Sumbawa-NTB, 1999
DRCR = 0,21
NPCO = 0,36
Sadikin et al. (1998)
PCR = 0,65
NPCI = 0,26 EPC = 0,37
Primer/Sumatera Utara, dan Jawa Timur
DRCR = 0,58-0,82
-
Simatupang (2003)
Primer/Klaten, Kediri, Sidrap, 2001
DRCR = 0,30-0,65 PCR = 0,52-0,85
NPCO = 0,69-0,91 NPCI = 1,09-1,38 EPC = 0,56-0,77
Rusastra et al. (2004)
Primer/Tulang Bawang Lampung, 2008
DRCR = 0,49 PCR = 0,48;
-
Sitohang et al. (2009)
Daya saing komoditas pertanian: konsep ...
Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah produktivitas yang tinggi belum merata di semua sentra produksi, susut panen dan pascapanen masih tinggi, serta kandungan alfatoksin tinggi. Upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan daya saing adalah meningkatkan akses petani terhadap benih jagung hibrida serta memperbaiki sarana pemipilan dan pengeringan jagung.
Komoditas Kedelai Sama halnya dengan jagung, kedelai bukan merupakan tanaman asli Indonesia (Adie dan Krisnawati 2007). Tanaman kedelai berasal dari Manchuria yang merupakan daerah subtropik (Sumarno dan Manshuri 2007). Namun, tanaman ini memiliki daya adaptasi yang sangat luas, dari daerah subtropik hingga tropik, sehingga cukup sesuai dibudidayakan di Indonesia, walaupun bukan merupakan wilayah yang ideal. Produktivitas kedelai di Indonesia sebanding dengan negara tropik seperti India dan Thailand, yaitu 1,2-1,3 t/ha pada periode 2000-2006. Angka tersebut di bawah produktivitas kedelai di negara subtropik, namun sudah jauh meningkat dibandingkan periode 1950-1960 yang hanya 0,60,7 t/ha (Sudaryono et al. 2007). Ini berarti masih ada potensi dan Indonesia mampu meningkatkan produktivitas kedelai. Dari aspek usaha, secara finansial baik absolut maupun R/C, usaha tani kedelai menguntungan dengan R/C 1,37. Namun nilai R/C tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan jagung (R/C 1,57), kacang tanah (R/C 1,79), dan kacang hijau (R/C 2,10) (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2004). Hasil kedelai juga masih terdistorsi dengan kebijakan proteksi yang dilakukan pemerintah (Sudaryanto dan Swastika 2007).
43
Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa pada daerah tertentu, usaha tani kedelai memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, namun pada beberapa daerah lain tidak. Indikasi tersebut dapat dilihat dari DRCR dan PCR dengan nilai <1 atau >1. Ini berati ada potensi untuk meningkatkan daya saing kedelai domestik, khususnya untuk substitusi impor. Nilai NPCO, NPCI, dan EPC usaha tani kedelai di Indonesia bervariasi antara <1 sampai >1. Ini berarti dukungan pemerintah terhadap produsen kedelai disesuaikan dengan waktu dan lokasi. Hasil penelitian Hutagaol et al. (1998) di Jawa memperoleh nilai NPCO 1,52, NPCI 0,85, dan EPC 1,68 (Tabel 4). Ini berarti pemerintah melindungi produsen kedelai dalam negeri yang menyebabkan konsumen kedelai dalam negeri membayar 52% lebih mahal dari harga paritas impor. Dengan kata lain, konsumen kedelai dalam negeri menyubsidi produsen kedelai dalam negeri. Dari sisi input, pemerintah juga masih melindungi produsen kedelai di dalam negeri. Kebijakan pemerintah menyebabkan produsen kedelai membayar harga input lebih rendah (15%) dari yang seharusnya mereka bayar. Secara total, dampak kebijakan harga input dan output yang ditetapkan pemerintah terhadap usaha tani kedelai memberikan insentif bagi produsen kedelai 68% lebih besar dari yang seharusnya mereka terima. Selanjutnya, Siregar dan Sumaryanto (2003) mendapatkan nilai NPCO 0,95, NPCI 1,12, dan EPC 0,92. Kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah tidak mendukung produsen untuk berproduksi. Pada tahun berikutnya (Rusastra et al. 2004), dampak kebijakan harga terhadap produsen kedelai bervariasi sesuai daerah. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa upaya perlindungan pemerintah melalui
44
Nyak Ilham dan I.W. Rusastra
Tabel 4. Dinamika daya saing dan struktur insentif komoditas kedelai di Indonesia, 1993-2001. Lokasi
Daya saing
Struktur insentif
Sumber
Primer/DIY, Jawa Timur, 1993 Primer/Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, 1993
DRCR = 1,62-1,85
-
Rusastra (1996)
Jawa
DRCR = 0,99 PCR = 0,55
NPCO = 1,52 NPCI = 0,85 EPC = 1,68
Hutagaol et al. (1998)
Primer/DAS Brantas, Jawa Timur, 2000
DRC = 0,97 PCR = 1,01
NPCO = 0,95 NPCI = 1,12 EPC = 0,92
Siregar dan Sumaryanto (2003)
Primer/Klaten, Ngawi, 2001
DRCR = 0,75-1,15 PCR = 0,94-1,05
NPCO = 0,82-1,21 NPCI = 1,00-1,15 EPC = 0,75-1,15
Rusastra et al. (2004)
DRCR = 0,88-1,01
kebijakan harga berubah sesuai kondisi. Pada kondisi perdagangan dunia yang makin global, upaya perlindungan produsen melalui kebijakan lebih bersifat temporer. Upaya yang berkesinambungan dapat dilakukan dengan kebijakan yang mengarah pada peningkatan efisiensi dan produktivitas melalui penerapan teknologi. Saat ini, 50% dari kebutuhan kedelai nasional (2 juta ton) dipenuhi dari impor. Selain produksi belum mencukupi kebutuhan, mutu kedelai juga belum baik. Sebagai produk kacang-kacangan yang paling banyak dikonsumsi dalam berbagai bentuk olahan, dibutuhkan bahan baku yang berkualitas baik (Widowati 2007). Preferensi konsumen yang makin mementingkan mutu meningkatkan permintaan kedelai impor yang memiliki mutu lebih baik. Dari aspek budi daya, peningkatan daya saing dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi budi daya sesuai dengan agroekologi spesifik dengan memperhatikan kesesuaian varietas unggul yang digunakan, penggunaan pupuk dengan takaran
optimal, kecukupan penyediaan air, dan pengendalian OPT. Dari aspek pascapanen perlu penerapan penggunaan peralatan pascapanen multiguna untuk menekan susut panen dan meningkatkan kualitas produk. Di samping itu, perlu dukungan unit-unit penyimpanan kedelai untuk menghindari penurunan mutu dan menjaga distribusi kedelai sepanjang tahun.
Komoditas Gula/Tebu Perkembangan hasil analisis daya saing usaha tani tebu dan industri gula selama periode 1985-2001 disajikan pada Tabel 5. Kecuali usaha tani tebu pola TRI keprasan I di lahan tegalan di Lampung tahun 1998, usaha tani tebu/industri gula tidak memiliki keunggulan komparatif, yang ditunjukkan oleh nilai DRCR > 1. Usaha tani tebu secara finansial memiliki keunggulan kompetitif (PCR < 1) karena didukung oleh sistem insentif, khususnya proteksi harga output yang cenderung menguntungkan petani
45
Daya saing komoditas pertanian: konsep ...
produsen. Selama periode 1985-1996, usaha tani tebu mendapatkan proteksi yang cukup besar dari pemerintah, namun tetap tidak mampu meningkatkan daya saing komoditas ini. Secara ekonomis, pemanfaatan sumber daya yang langka di dalam negeri (dalam hal ini lahan) seyogianya diprioritaskan untuk komoditas yang memiliki keunggulan komparatif paling tinggi, karena pemanfaatannya paling efisien. Hasil analisis pada titik waktu yang sama (sebagai basis komparasi) menunjukkan bahwa urutan derajat keunggulan komparatif empat komoditas pangan tersebut dari yang tertinggi adalah padi, jagung, kedelai,
dan tebu (Rusastra et al. 2002). Hal ini ditunjukkan oleh nilai DRCR untuk padi dengan kisaran 0,31-0,45, jagung 0,47-0,70, kedelai 0,56-0,90, dan tebu/gula >1,0. Untuk menghemat satu satuan devisa (US $1), usaha tani padi membutuhkan korbanan biaya/sumber daya domestik paling rendah (US$0,31-0,45), sedangkan gula paling tinggi (>US$1). Hasil analisis Hutagaol et al. (1998) menunjukkan hierarki keunggulan komparatif yang sama untuk keempat komoditas tersebut, dengan nilai DRCR untuk padi 0,78, jagung 0,80, kedelai 0,99, dan gula 1,30. Dilihat dari indikator efisiensi ekonomi dan dengan mempertimbangkan indikator lainnya, seperti parti-
Tabel 5. Dinamika daya saing dan struktur insentif komoditas tebu/gula di Indonesia, 1985-2001. Lokasi
Daya saing
Struktur insentif
Sumber
Jawa, 1985
DRCR = 4,80
-
Rosegrant et al. (1987)
Luar Jawa, 1985
DRCR = 5,76
-
Rosegrant et al. (1987)
Jawa 1996 Tebu tanam Tebu kepras
DRCR = 0,92-1,00 DRCR = 0,96-1,05
-
Rusastra et al. (1999)
Jawa (TRI keprasan I, lahan sawah)
PCR = 0,58 DRCR = 0,89
NPCO = 1,12 NPCI = 0,91 EPC = 1,16
Hutagaol et al. (1998)
Lampung (TRI keprasan I, tegalan)
PCR = 0,67 DRCR = 0,80
NPCO = 1,07 NPCI = 0,93 EPC = 1,10
Industri gula tebu
PCR = 1,21 DRCR = 1,30
NPCO = 1,21 NPCI = 1,11 EPC = 1,41
PCR = 0,83 DRCR = 1,47
NPCO = 1,58 NPCI = 1,11 EPC = 1,68
Ngawi
PCR = 0,87 DRCR = 1,59
NPCO = 1,59 NPCI = 1,12 EPC = 1,72
Klaten
PCR = 0,82 DRCR = 1,41
NPCO = 1,57 NPCI = 1,10 EPC = 1,65
Jawa 2001 Kediri
Saptana et al. (2004)
46
Nyak Ilham dan I.W. Rusastra
sipasi petani dalam pengusahaan, potensi pengembangan teknologi, potensi pasar dunia, dan pertimbangan sosial politis kepentingan konsumen, pemanfaatan sumber daya lahan dinilai rasional dengan urutan prioritas padi, jagung, kedelai, dan terakhir tebu. Dalam upaya peningkatan daya saing industri gula nasional, beberapa kebijakan strategis dapat dipertimbangkan, meliputi: (1) perbaikan produktivitas dan efisiensi usaha tani tebu melalui pengembangan varietas unggul dan teknologi spesifik lokasi/agroekosistem; (2) pengembangan insentif budi daya dan pengaturan impor gula untuk meningkatkan daya saing dan kesejahteraan petani; (3) revitalisasi industri gula nasional di Jawa (perbaikan TCD/total milling/cane day, kapasitas industri, dan adopsi teknologi pengolahan) untuk memperbaiki rendemen gula; (4) pemantapan kelembagaan kemitraan/ kerja sama petani dengan industri gula nasional untuk memperbaiki efisiensi produksi, khususnya rendemen, dan kesejahteraan petani tebu; dan (5) perbaikan marta gula dan pemanfaatan produk sampingan industri gula sebagai bagian terpadu dari industri gula nasional.
Daging Sapi Berdasarkan sumber daya yang tersedia, Indonesia memiliki keunggulan komparatif memproduksi daging sapi. Sapi lokal seperti sapi Bali, sapi Madura, sapi Aceh, sapi SO/PO, dan sapi Hisar (turunan Bos sondaicus dan Bos indicus) berpotensi mendukung keunggulan komparatif. Bangsa sapi lokal tersebut mampu hidup dan berkembang biak pada kondisi iklim panas. Hasil silangan antara sapi lokal dan sapi impor (B. taurus), seperti sapi simental,
limousin, angus, fries holland, dan carolise juga dapat tumbuh dan berkembang baik di Indonesia dengan pertambahan bobot harian yang tinggi. Selain sumber daya ternak, Indonesia juga memiliki potensi pakan yang cukup besar, seperti padang penggembalaan, lahan perkebunan, kebun rumput unggul, serta limbah pertanian dan pengolahan hasil pertanian. Indonesia juga memiliki wilayah dengan topografi datar hingga tinggi yang sesuai untuk sapi dari daerah subtropis atau persilangannya. Bukti keunggulan komparatif di masa lalu antara lain adalah Indonesia merupakan negara pengekspor. Hasil penelitian Adnyana et al. (1996) menunjukkan beberapa daerah di Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk memproduksi daging sapi, baik di sentra produksi maupun konsumsi (Tabel 6). Nilai NPCO dan EPC yang lebih besar dari satu mengindikasikan bahwa pemerintah masih melindungi produsen daging sapi dalam negeri. Produsen masih memiliki insentif untuk berproduksi walaupun harus membayar harga input yang cenderung lebih besar dari yang seharusnya mereka bayar (NPCI >1). Permintaan daging sapi domestik yang makin tinggi, sementara produksi belum mampu memenuhi kebutuhan, menyebabkan sekitar 30% daging sapi harus diimpor. Impor daging sapi terus meningkat, dari awalnya hanya untuk memenuhi permintaan hotel dan restoran berbintang, kemudian masuk ke pasar tradisional di Jabodetabek. Bahkan kini daging sapi impor sudah masuk pasar tradisional di Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu, Sumatera Utara, dan Aceh. Dampak produk ternak dan daging sapi impor sudah terasa hingga ke sentra produksi utama di NTT, NTB, dan Sulawesi.
47
Daya saing komoditas pertanian: konsep ...
Tabel 6. Dinamika daya saing dan struktur insentif komoditas daging sapi di indonesia, 1995. Daya saing (DRCR) Data/lokasi
Struktur insentif
Daerah produksi 1)
Daerah konsumsi2)
Daerah produksi 1)
Daerah konsumsi2)
Lampung Tengah Pola PIR Kredit
0,55
0,66
NPCO = 1,59 NPCI = 0,87 EPC = 4,26
1,56 0,87 4,41
Pola PIR Swadana
0,92
0,94
NPCO = 1,60 NPCI = 1,46 EPC = 1,60
1,57 1,34 1,58
Magetan, Jawa Timur
0,94
0,98
NPCO = 1,49 NPCI = 1,04 EPC = 1,49
1,54 1,01 1,56
Lombok Barat, NTB
0,88
0,96
NPCO = 1,24 NPCI = 1,22 EPC = 1,24
1,56 1,08 1,56
Sumbawa, NTB
0,81
0,98
NPCO = 1,23 NPCI = 1,00 EPC = 1,24
1,56 1,00 1,75
Daerah produksi ibukota provinsi, 2) Daerah konsumsi Jakarta. Sumber: Adnyana et al. (1996). 1)
Secara finansial, usaha sapi potong di Indonesia menguntungkan dan layak dikembangkan (Tabel 7). Namun, fenomena di atas menunjukkan bahwa keberadaan produk impor bukan lagi melengkapi segmen yang ada, tetapi sudah mendesak eksistensi produk domestik. Ini mengindikasikan keunggulan kompetitif Indonesia dalam memproduksi daging makin menurun. Simatupang dan Hadi (2004) menyatakan, perdagangan global produk peternakan masih terdistorsi beberapa kebijakan yang dilakukan banyak negara, terutama negara maju, sehingga menjadi ancaman bagi produk peternakan Indonesia yang harus mendapat perlindungan pemerintah. Karena itu, kebijakan pengembangan agribisnis peternakan yang di-
pandang tepat untuk meningkatkan produksi dan daya saing adalah proteksi dan promosi. Akselerasi peningkatan produksi dapat dilakukan melalui pengembangan usaha sapi potong skala menengah dengan dukungan industrialisasi pakan, peningkatan akses modal, dan aplikasi teknologi bibit (intensifikasi kawin alam, inseminasi buatan, tranfer embrio, dan beranak kembar) untuk meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas. Diperlukan pula pengendalian impor yang terintegrasi dengan program peningkatan produksi domestik (Ilham et al. 2009). Upaya tersebut tentunya dilakukan tanpa meniadakan usaha skala kecil sesuai dengan kapasitasnya.
48
Nyak Ilham dan I.W. Rusastra
Tabel 7. Analisis finansial usaha sapi potong di berbagai daerah di Indonesia, 1996, 2006 dan 2009. Daerah, tahun penelitian
R/C rasio
Komponen biaya terbesar
Lampung Tengah, 1995 Magetan Magetan Lombok Barat Sumbawa
1,08-1,11 1,06 1,02 1,23 1,60
-
Adnyana et al. (1996)
Agam dan Pariaman, 2006 Lampung Tengah Grobogan dan Boyolali Tuban dan Bangkalan Lombok Barat Kupang dan TTS Maros dan Gowa
1,05; 1,03 1,09 1,19-1,30 1,09; 1,35 1,04 1,12;1,38;1,65 1,09; 1,06
Sapi bakalan 74%, pakan 19%, tenaga kerja10%
Departemen Perdagangan (2006)
Sapi bibit/bakalan 42-91% (72-84%), pakan 0-45% (15-27%), tenaga kerja 2-17% (5-8%)
Ilham et al. (2009)
Bandung dan Bandung Barat, 2009 1,20; 1,28 Tasikmalaya 1,39 Boyolali 1,22 Kota Blitar 1,26; 1,34 Tuban 1,36 Pamekasan 1,15; 1,27 Kupang 1,38 Seluma-Bengkulu 1,71; 1,59 Kota Bengkulu 2,10
KESIMPULAN 1. Krisis harga pangan global akan terus berlanjut sebagai konsekuensi dari krisis pangan, energi, dan finansial. Di samping itu, dalam jangka panjang ke depan, peningkatan harga pangan disebabkan oleh degradasi sumber daya alam, perubahan iklim global, dan peningkatan jumlah penduduk. Indonesia sebagai negara besar, dengan kapasitas produksi dan potensi pasar domestik yang besar, harus berusaha keras memenuhi kebutuhan pangan melalui peningkatan produksi di dalam negeri.
Sumber
2. Lima komoditas strategis (beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi) memiliki kinerja dan potensi untuk ditingkatkan keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Perlu terus diupayakan model pengembangan melalui inovasi teknologi dan kelembagaan untuk meningkatkan daya saing (produktivitas dan efisiensi). Pemerintah diharapkan terus memberikan dukungan dalam perbaikan kapasitas produksi (infrastruktur dan teknologi) serta sistem insentif yang rasional serta proporsional dalam perspektif perlindungan dan peningkatan produksi domestik.
Daya saing komoditas pertanian: konsep ...
3. Mengacu pada kebijakan pangan yang diterapkan oleh sejumlah negara, Indonesia perlu melakukan perlindungan secara proporsional terhadap komoditas substitusi impor seperti beras, jagung, dan kedelai. Beberapa kebijakan yang dapat dipertimbangkan meliputi: (a) fasilitasi instrumen kebijakan harga dan nonharga secara integratif dan komprehensif untuk mencegah penurunan daya saing; (b) stabilisasi harga domestik melalui pengadaan dalam negeri dan penetapan tarif bea masuk secara rasional dan berimbang antarkomoditas; (c) kebijakan harga yang dikomplemen dengan kebijakan peningkatan produktivitas melalui penciptaan dan introduksi varietas dengan potensi hasil tinggi; dan (d) perbaikan efisiensi usaha tani, antara lain melalui rasionalisasi penggunaan input, perbaikan kondisi lahan, dan penerapan program hemat biaya seperti PHT dan pangan organik. 4. Kebijakan pasar input melalui pencanangan liberalisasi harga dan distribusi saprodi (pupuk dan pestisida) berdampak pada harga yang dibayar petani yang lebih tinggi dari harga sosialnya. Beberapa kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan adalah: (a) penciptaan pasar input yang kompetitif melalui kontrol impor yang lebih longgar sehingga petani memperoleh kualitas dan harga saprodi yang kompetitif; (b) program dan kontrol terhadap sertifikasi sarana produksi utama sehingga petani memperoleh input dengan kualitas, efektivitas, dan harga yang terjamin; (c) fasilitasi pengembangan program PHT dan pangan organik untuk menghemat penggunaan pupuk kimia dan pestisida; dan (d) peningkatan efi-
49
siensi produksi industri pupuk dan obat-obatan di dalam negeri. 5. Komoditas gula tidak memiliki daya saing sehingga diperlukan kebijakan khusus. Beberapa kebijakan yang terkait dengan pengembangan industri gula yang perlu dipertimbangkan adalah: (a) dalam konteks pengembangan komoditas lain dengan daya saing yang lebih baik, di samping pertimbangan kuota alokasi lahan, perlu perbaikan produktivitas dan efisiensi industri gula secara menyeluruh; (b) dalam konteks global, liberalisasi industri gula perlu dilakukan secara gradual dan terencana sehingga tidak berpengaruh terhadap struktur produksi dan kenaikan harga gula dunia; (c) liberalisasi secara gradual untuk memberikan kesempatan bagi industri gula di negara berkembang memperbaiki produktivitas dan efisiensi, dan di negara maju terdapat waktu untuk memperluas areal pengembangan; dan (d) mengingat kecenderungan struktur produksi, ketersediaan stok, harga gula dunia, dan depresiasi nilai rupiah, hendaknya dikuatkan komitmen untuk meningkatkan produksi gula nasional dengan efisiensi dan daya saing yang lebih baik. 6. Komoditas ternak dan daging sapi domestik memiliki keunggulan komparatif. Namun, desakan komoditas impor menyebabkan keunggulan kompetitif komoditas ini rendah. Untuk meningkatkan daya saing, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan konsisten karena siklus produksi ternak relatif lama. Teknologi pakan dan bibit perlu disebarluaskan dengan percontohan langsung. Efisiensi usaha perlu diperbaiki dengan meningkatkan skala usaha dan didukung dengan akses modal.
50
Nyak Ilham dan I.W. Rusastra
DAFTAR PUSTAKA Adie, M.M. dan A. Krisnawati. 2007. Biologi Tanaman Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Adnyana, M.O., M. Gunawan, N. Ilham, K.D. Saktyanu, K. Kariyasa, I. Sadikin, A.M. Djulin, K.M. Noekman, dan A.M. Hurun. 1996. Prospek dan Kendala Agribisnis Peternakan dalam Era Perdagangan Bebas. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Daryanto, A. 2009. Posisi Daya Saing Pertanian Indonesia dan Upaya Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Departemen Perdagangan. 2006. Kajian Sistem Distribusi Produk Pertanian: Studi kasus daging dan jagung. Kerja sama Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan dengan PT Oxalis Subur, Bogor. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2004. Profil Kedelai (Glycine max). Buku I. Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta. Hutagaol, P., Erwidodo, I W.R. Susila, dan R. Suprihatini. 1998. Evaluasi Keunggulan Komparatif Produk Pangan dalam rangka Pemantapan Kemandirian Pangan. LP-IPB, Bogor dan Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, Jakarta. Kasryno, F. 1986. Supply of Rice and Demand for Fertilizer for Rice Farming in Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, 5 (2): 27- 42. Kariyasa, K. dan M. O. Adnyana. 1998. Analisis Keunggulan Komparatif
Jagung dan Mekanisme Pasar terhadap Agribisnis Jagung di Indonesia. Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia Lain, Ujung Pandang. p. 200-216. Ilham, N., Y. Yusdja, A.R. Nurmanaf, B. Winarso, dan Supadi. 2009. Perumusan Model Pengembangan Skala Usaha dan Kelembagaan Usaha Sapi Potong. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Monke, E.A and S.R. Pearson, 1995. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornel University Press, Ithaca, London. Nugraha, U.S., S. Subandi, A. Hasanuddin, dan Subandi. 2002. Perkembangan teknologi budi daya dan industri benih jagung. hlm. 37-72. Dalam F. Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M. Fagi (Penyunting). Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Porter, M.E. (1998). The Competitive Advantage of Nations. MacMillan, London. Rachman, B., P. Simatupang, dan T. Sudaryanto 2004. Efisiensi dan daya saing sistem usahatani padi. Dalam P.S. Handewi, E. Basuno, B. Sayaka, dan W.K. Sejati (Penyunting). Prosiding Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Rosegrant, M.W., F. Kasryno, LA. Gonzales, C.A. Rasahan, and Y. Saefudin. 1987. Price and Investment Policies in the Indonesian Food Crops Sector.
Daya saing komoditas pertanian: konsep ...
IFPRI, Washington, D.C. and CASER, Bogor. Rusastra, I W. 1996. Keunggulan Komparatif, Struktur Proteksi, dan Perdagangan Internasional Kedelai Indonesia. Dalam Beddu Amang, M.H. Sawit, dan Anas Rachman (Penyunting) Ekonomi Kedelai Indonesia. IPB Press. Bogor. p 355-417. Rusastra, I W., B. Rachman, dan S. Friyatno. 2004. Analisis daya saing dan struktur proteksi komoditas palawija. Dalam P.S. Handewi, E. Basuno, B. Sayaka, dan W.K. Sejati (Penyunting). Prosiding Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Rusastra, I W., A. Supanto, dan A.A.W. Amsari. 1999. Keunggulan komparatif, sruktur proteksi dan perdagangan internasional gula. Dalam Ekonomi Gula di Indonesia. Bulog, Jakarta. Rusastra, I W., H. Malian, P.U. Hadi, M. Ariani, S. Mardianto. 2002. Kajian Fasilitasi Proteksi dalam Persetujuan di Bidang Pertanian, Organisasi Perdagangan Dunia (AoA-WTO). Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Sadikin, I., A. Djauhari, dan B. Hutabarat. 1998. Dampak Deregulasi Perdagangan terhadap Pengembangan Agribisnis Jagung di Nusa Tenggara Barat. Dalam Achmad Suryana et al. (Penyunting). Prosiding Dinamika Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. p. 184-207. Sadikin, I. 1999. Analisis Daya Saing Jagung dan Dampaknya terhadap Pe-
51
ngembangan Agribisnis Jagung di Bengkulu. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional “Sektor Pertanian Memasuki Abad 21: Prospek dan Tantangan” tanggal 9 November 1999. Universitas Nasional, Jakarta. p: 1-30. Saptana, S. Friyatno, dan T. Purwantini. 2004. Efisiensi dan daya saing usahatani tebu dan tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dalam P.S. Handewi, E. Basuno, B. Sayaka, dan W.K. Sejati (Penyunting). Prosiding Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Simatupang, P. 1991. The conception of domestic resource cost and net economic benefit for comparative advantage analysis. Agribusiness Division Working Paper No. 2191. CASER, Bogor. Simatupang, P. 2003. Daya saing dan efisiensi usahatani jagung hibrida di Indonesia. hlm. 165-178. Dalam F. Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M. Fagi (Penyunting). Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Simatupang, P. dan P.U. Hadi. 2004. Daya saing usaha peternakan menuju 2020. Warta Zoa 14(2): 45-57. Siregar, M. dan Sumaryanto. 2003. Analisis daya saing usahatani kedelai di DAS Brantas. Forum Penelitian Agroekonomi 21(1): 50-71. Sitohang, L., A. Imron, dan T. Endaryanto. 2009. Analisis Permintaan Benih dan Daya Saing Jagung Hibrida di Kabupaten Tulang Bawang. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Subandi dan I. Manwan. 1990. Penelitian dan Teknologi Peningkatan Produksi Jagung di Indonesia. Laporan Khusus
52
Pus/04/90. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Sudaryanto, T. dan D.K.S. Swastika. 2007. Ekonomi kedelai di Indonesia. Dalam Kedelai: Teknik produksi dan pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Sudaryono, A. Taufiq, dan A. Wijanarko. 2007. Peluang peningkatan produksi kedelai di Indonesia. Dalam Kedelai: Teknik produksi dan pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Nyak Ilham dan I.W. Rusastra
Sumarno dan A.G. Manshuri. 2007. Persyaratan tumbuh dan wilayah produksi kedelai di Indonesia. Dalam Kedelai: Teknik produksi dan pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Widowati, S. 2007. Teknologi pengolahan kedelai. Dalam Kedelai: Teknik produksi dan pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.