I 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Subsektor hortikultura berperan penting dalam mendukung perekonomian
nasional. Hal ini dapat dilihat melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura memberikan gambaran seberapa jauh kontribusi yang diberikan subsektor hortikultura terhadap pendapatan nasional. Komoditas yang termasuk dalam subsektor hortikultura meliputi buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan biofarmaka. Kontribusi komoditas tersebut dalam Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun 2006-2010 Nilai PDB (Milyar Rp.) Komoditas 2006 2007 2008 2009 Buah-Buahan 35.447,59 42.362,48 47.059,78 48.436,70 Sayuran 24.694,25 25.587,03 28.205,27 30.505,71 Tanaman Hias 4.734,27 4.740,92 5.084,78 5.494,24 Biofarmaka 3.762,41 4.104,87 3.852,67 3.896,90 Hortikultura 68.638,53 76.795,30 84.202,50 88.333,56
2010 45.481,89 31.244,16 6.173,97 3.665,44 86.565,49
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian (2011)
Pada tahun 2006 hingga tahun 2009 nilai Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura mengalami peningkatan. Namun pada tahun 2010 nilai tersebut mengalami penurunan sebesar Rp 1.768,07 milyar atau sekitar dua persen jika dibandingkan pada tahun 2009. Pada tahun 2010 komoditas buah-buahan memberikan sumbangan terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura sebesar Rp 45.481,89 milyar atau sekitar 52,54 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura. Meskipun demikian, nilai tersebut menurun sebesar Rp 2.954,81 milyar (6,1 persen) jika dibandingkan tahun 2009. Komoditas selanjutnya yang memberikan sumbangan
terbesar dalam Produk
Domestik Bruto (PDB) hortikultura tahun 2010 yaitu sayuran (Rp 31.244,16 milyar atau sekitar 36,09 pesen). Kontibusi sayuran dalam Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2009.
Peningkatan tersebut sebesar Rp 738,45 milyar (2,42 persen). Sayuran terdiri dari berbagai macam jenis dan masing-masing jenis sayuran memberikan kontribusi yang berbeda-beda nilainya dalam Produk Domestik Bruto (PDB) sayuran nasional. Beberapa komoditas sayuran yang 1
memberikan kontribusi terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) sayuran nasional yaitu cabai besar, bawang merah, cabai rawit, tomat, kentang, kubis, dan bawang daun, sedangkan jenis sayuran yang memberikan sumbangan yang relatif kecil dalam Produk Domestik Bruto (PDB) sayuran nasional digolongkan ke dalam komoditas sayuran lainnya. Berikut disajikan data Produk Domestik Bruto (PDB) beberapa komoditas sayuran terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) sayuran nasional tahun 2009-2010 pada Tabel 2. Tabel 2. PDB Beberapa Komoditas Sayuran Terhadap Total PDB Sayuran Nasional Tahun 2009-2010 No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Komoditas
Cabai besar Bawang merah Cabai rawit Tomat Kentang Kubis Bawang daun Sayuran lainnya Total Sayuran
2009 Nilai PDB Persentase (Milyar Rp.) (%)
6.431,57 4.144,85 3.718,45 2.489,57 2.282,38 2.030,19 1.335,61 6.822,67 30.505,71
21,08 13,59 12,19 8,16 7,48 6,66 4,38 26,47 100,00
2010 Nilai PDB Persentase (Milyar Rp.) (%)
6.698,94 4.588,39 3.662,94 2.333,85 2.247,39 2.108,52 1.274,96 8.329,17 31.244,16
21,44 14,69 11,72 7,47 7,19 6,75 4,08 26,66 100,00
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian (2011)
Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) beberapa komoditas sayuran (cabai besar, bawang merah, dan kubis) meningkat pada tahun 2010. Kubis berada di posisi terbesar ketiga sebagai komoditas yang mengalami peningkatan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 78,33 milyar (0,09 persen) setelah bawang merah (Rp 443,54 ; 1,1 persen) dan cabai besar (Rp 267,37; 0,36 persen). Peningkatan nilai tersebut salah satunya dipengaruhi oleh peningkatan produksi kubis pada tahun 2010. Hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada tahun 2006 hingga tahun 2010 produksi kubis merupakan jumlah yang tertinggi dibandingkan jenis sayuran lainnya dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 2,22 persen. Pertumbuhan tersebut relatif stabil setiap tahun. Hal ini dilihat dari produksi per tahun yang selalu meningkat secara bertahap. Kubis (Brassica oleraceae) salah satu dari delapan belas jenis sayuran komersial yang mendapat prioritas dalam pengembangannya dan mempunyai nilai ekonomi dan sosial cukup tinggi karena dijadikan salah satu andalan sumber
2
pendapatan petani1. Selain itu, kubis memiliki banyak kegunaan terutama dalam memenuhi konsumsi rumah tangga dan mengandung berbagai vitamin dan mineral. Kubis banyak ditanam di dataran tinggi, relatif cepat dipanen yaitu pada usia tiga hingga empat bulan, dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dan dapat ditanam sepanjang tahun. Hal ini yang menjadi salah satu alasan petani memilih untuk menanam kubis. Varietas kubis sangat beragam dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Hampir sebagian besar daerah di Indonesia memproduksi kubis, mulai dari Aceh hingga Papua. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan Lampiran 2 ditunjukkan bahwa Provinsi Sumatera Selatan turut memproduksi kubis. Pada tahun 2009 produksi kubis di Provinsi Sumatera Selatan menempati urutan ke-13 dari 29 Provinsi penghasil kubis di Indonesia. Selain itu, pada tahun 2010 Provinsi Sumatera Selatan termasuk ke dalam lima besar dari Provinsi-Provinsi yang mengalami peningkatan produksi kubis (Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Selatan). Meskipun di tahun tersebut terjadi penurunan luas panen kubis sebesar 65 hektar, dari sebelumnya 554 hektar pada tahun 2009 menjadi 489 hektar pada tahun 2010. Namun produksi kubis pada tahun 2010 di Provinsi Sumatera Selatan meningkat sebesar 43 ton (0,49 persen) yang berimplikasi pada peningkatan produktivitas sebesar 2,18 ton per hektar. Kota Pagar Alam adalah sentra produksi sayuran dan penghasil kubis nomor satu di Provinsi Sumatera Selatan. Kondisi tersebut didukung oleh keadaan alam Kota Pagar Alam yang didominasi dataran tinggi sehingga cocok untuk budidaya kubis. Data luas panen, produksi, dan produktivitas kubis menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan tahun 2009- 2010 dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 diketahui bahwa di tahun 2009 dan tahun 2010 Kota Pagar Alam merupakan wilayah yang memiliki luas panen dan produksi kubis terbesar di Provinsi Sumatera Selatan. Penurunan luas panen yang terjadi pada tahun 2010 tidak berpengaruh terhadap produksi kubis yang dihasilkan. Meskipun pada tahun 2010 terjadi penurunan luas lahan sebesar 19 hektar yaitu dari semula 325 hektar 1
Tingkatkan Bobot Kubis dengan Pupuk Organik. http://pupuknpkorganiklengkap.blogspot.com/2009/11/tingkatkan-bobot-kubis-dengan pupuk_18.html. Diakses pada tanggal 22 januari 2012.
3
di tahun 2009 menjadi 306 hektar di tahun 2010, produksi kubis justru mengalami peningkatan sebesar 120 ton yaitu dari 5.971 ton di tahun 2009 menjadi 6.091 ton di tahun 2010. Tabel 3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kubis Menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan Tahun 2009-2010 Kabupaten/ Kota OKU Selatan Muara Enim Lahat Pagar Alam Jumlah
Luas Panen (Ha) 134 31 64 325 554
2009 Produksi (Ton) 900 850 997 5.971 8.717
Produktivitas (Ton/Ha) 6,71 27,41 15,57 18,37 15,73
Luas Panen (Ha) 66 41 76 306 489
2010 Produksi (Ton)
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi (2011), diolah
435 818 1.309 6.091 8.652
Produktivitas (Ton/Ha) 6,59 19,95 17,22 19,90 17,69
Sumatera Selatan
Kubis adalah satu dari empat jenis sayuran unggulan Kota Pagar Alam. Petani sayuran di Kota Pagar Alam lebih banyak membudidayakan kubis dibandingkan jenis sayuran unggulan lainnya seperti kentang, cabai, dan tomat. Total produksi kubis setiap tahun selalu menjadi yang paling tinggi dan terus mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga tahun 2010. Hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 1. Ton 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
Kubis Tomat Cabai Kentang
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Gambar 1. Total Produksi Sayuran Unggulan Kota Pagar Alam Tahun 2006-2010 Sumber: Provinsi Sumatera Selatan Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan (20072011), diolah
4
Wilayah di Kota Pagar Alam yang memiliki luas panen dan volume produksi kubis terbesar berada di Kecamatan Dempo Utara. Pada Tahun 2010 menurut data Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam, luas panen dan produksi kubis di Kecamatan Dempo Utara yaitu 155 hektar dan produksi 73,30 persen dari total produksi kubis di Kota Pagar Alam. Kemudian diikuti Kecamatan Pagar Alam Selatan ( 83 hektar; 20,64 persen ), Pagar Alam Utara (43 hektar; 4,10 persen), Dempo Selatan (16 hektar; 1,49 persen), dan Dempo Tengah (9 hektar; 0,47 persen). Keadaan tanah yang subur dan letaknya yang berada di dataran tinggi (705m-1200m diatas permukaan laut) sangat mendukung dalam pengembangan kubis di wilayah Kecamatan Dempo Utara. Sentra produksi kubis di Kecamatan Dempo Utara berada di Kelurahan Agung Lawangan. Sebagian besar lahan di Kelurahan tersebut ditanami kubis karena kesesuaian iklim dan jenis tanahnya yang subur. Kubis yang dihasilkan di daerah ini dijual ke pasar lokal yaitu pasar terminal Kota Pagar Alam dan pasar luar kota seperti Kota Muara Enim dan Kabupaten Lahat. Volume penjualan kubis ke luar kota umumnya lebih besar dibandingkan ke pasar lokal. 1.2.
Perumusan Masalah Tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan melibatkan beberapa
lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), pedagang pengecer (lokal) dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal). Keterlibatan lembaga-lembaga tataniaga tersebut dipengaruhi oleh jarak antara produsen dan konsumen (konsumen akhir luar kota) yang cukup jauh sehingga umumnya membentuk saluran tataniaga yang panjang. Lembaga-lembaga tataniaga dalam menyalurkan kubis ke tangan konsumen
akhir
sebelumnya
melakukan
fungsi-fungsi
tataniaga
untuk
meningkatkan nilai tambah. Fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan memiliki hubungan positif dengan biaya yang dikeluarkan. Semakin banyak fungsi yang dijalankan maka biaya yang dikeluarkan juga semakin besar dan sebalikya semakin sedikit fungsi yang dijalankan biaya tataniaga akan semakin kecil. Lembaga-lembaga tataniaga juga menginginkan keuntungan atas fungsi-fungsi 5
yang telah dijalankan tersebut. Besaran biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang didapat oleh masing-masing lembaga tataniaga mencerminkan besaran margin yang terbentuk. Umumnya saluran tataniaga yang panjang akan membentuk total margin yang nilainya relatif besar. Margin yang terbentuk juga dapat dilihat melalui perbedaan harga yang diterima petani dan harga yang dibayarkan konsumen akhir. Harga rata-rata kubis yang diterima petani kubis di Kota Pagar Alam termasuk Kelurahan Agung Lawangan dan yang dibayarkan konsumen akhir lokal (Kota Pagar Alam) cenderung fluktuatif setiap bulannya. Harga rata-rata kubis yang
diterima
petani dan konsumen akhir di Kota Pagar Alam Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 4. Pada tahun 2010 harga rata-rata tertinggi yang diterima petani kubis yaitu Rp 1.700,00 per kilogram dan harga terendah yaitu Rp 250,00 per kilogram, sedangkan harga rata-rata tertinggi yang dibayarkan konsumen akhir yaitu Rp 5.000,00 per kilogram dan harga terendah Rp 1.250,00 per kilogram. Harga tertinggi kubis pada bulan Januari hingga Maret 2012 yaitu Rp 3.000,00 per kilogram dan harga terendah Rp 500,00 per kilogram. Dampak fluktuasi harga tersebut berpengaruh pada pendapatan petani kubis karena petani tidak bisa memprediksi harga kubis yang akan mereka terima setelah panen. Selisih harga rata-rata kubis yang diterima petani dan yang dibayarkan konsumen akhir di Kota Pagar Alam cukup besar, mencapai Rp 4500,00. Nilai inilah
yang
disebut
menggambarkan
margin
bahwa
tataniaga.
lembaga-lembaga
Margin
tataniaga
tataniaga
yang
memperoleh
tinggi bagian
pendapatan yang lebih besar dibandingkan petani sehingga tataniaga diindikasikan tidak efisien jika dilihat dari indikator margin tataniaga. Margin tataniaga dan bagian yang diterima petani atas harga yang dibayarkan konsumen akhir (farmer’s share) memiliki hubungan negatif. Semakin tinggi nilai margin tataniaga maka nilai farmer’s share akan semakin rendah dan sebaliknya semakin rendah nilai margin tataniaga, nilai farmer’s share akan semakin tinggi. Pada Tabel 4 juga digambarkan bahwa pada saat margin tinggi (Rp 4500,00) nilai farmer’s share akan rendah (10,00 persen) dan sebaliknya pada saat nilai margin tataniaga rendah ( Rp 800,00), nilai farmer’s sharenya menjadi tinggi (68,00 persen). Nilai farmer’s share yang rendah yaitu 10,00 persen
6
menunjukkan bahwa petani menerima 10,00 persen atas harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Nilai farmer’s share yang rendah juga mengindikasikan bahwa tataniaga tidak efisien jika dilihat dari indikator farmer’s share. Tabel 4. Harga Rata-rata Kubis yang Diterima Petani dan Konsumen Akhir di Kota Pagar Alam Tahun 2010, Margin Tataniaga, dan Farmer’s Share Harga RataHarga RataMargin Farmer’s rata yang rata yang Tataniaga Share No. Bulan Diterima Diterima (Rp/Kg) (%) Petani Konsumen (Rp/Kg) Akhir (Rp/Kg) 1. Januari 1.700,00 2.500,00 800,00 68,00 2. Februari 600,00 3.500,00 2.900,00 17,14 3. Maret 700,00 3.750,00 3.050,00 18,67 4. April 500,00 5.000,00 4.500,00 10,00 5. Mei 700,00 3.000,00 2.300,00 23,33 6. Juni 600,00 4.500,00 3.900,00 13,33 7. Juli 600,00 3.000,00 2.400,00 20,00 8. Agustus 900,00 2.500,00 1.600,00 36,00 9. September 700,00 2.250,00 1.550,00 31,11 10. Oktober 250,00 1.250,00 1.000,00 20,00 11. November 300,00 1.250,00 950,00 24,00 12. Desember 1.000,00 2.000,00 1.000,00 50,00 Rata-rata Tahun 2010 712,50 2.875,00 2.162,50 27,63 Sumber: Sub Terminal Agribisnis dan Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam (2011), diolah
Permasalahan yang juga dihadapi petani kubis yaitu dalam posisi tawarmenawar sering tidak seimbang dimana petani dikalahkan dengan kepentingan lembaga tataniaga lain seperti pedagang yang lebih dahulu mengetahui harga (posisi tawar petani rendah). Petani sebagai produsen merupakan pihak yang menerima harga (price taker) sehingga tidak memiliki pengaruh dalam penentuan harga. Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: 1.
Bagaimana saluran tataniaga dan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga, serta struktur pasar dan perilaku pasar yang terjadi dalam tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam?
2.
Apakah tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam sudah efisien? 7
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini, antara lain: 1.
Menganalisis saluran tataniaga dan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga, serta struktur pasar dan perilaku pasar yang terjadi dalam tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam.
2.
Menganalisis
efisiensi
setiap saluran
tataniaga
kubis di
Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. 1.4.
Manfaat Penelitian 1.
Sebagai informasi bagi petani kubis dan lembaga tataniaga lainnya untuk dapat meningkatkan pendapatan melalui rekomendasi yang diberikan.
2.
Sebagai informasi bagi pemerintah setempat dalam menetapkan kebijakan mengenai tataniaga kubis di Kota Pagar Alam.
3.
Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya khususnya yang terkait dengan tataniaga kubis.
4.
Sebagai praktik bagi penulis dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari selama masa perkuliahan untuk menambah pengalaman dan pengetahuan baru yang diperoleh di lapang.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo
Utara, Kota Pagar Alam. Komoditi yang diteliti yaitu sayuran jenis kubis. Penelitian melibatkan responden petani yang berasal dari dua desa yaitu Desa Kerinjing dan Desa Gunung Agung Paoh. Analisis kajian dibatasi untuk melihat efisiensi tataniaga secara operasional (teknis) dengan menggunakan pendekatan lembaga, fungsi-fungsi, struktur pasar, perilaku pasar, margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Harga yang digunakan dalam penelitian merupakan harga rata-rata yang diterima petani dan lembaga-lembaga tataniaga lainnya selama bulan Januari hingga Maret 2012. 8