I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara penghasil rempah utama di dunia. Rempah
yang dihasilkan di Indonesia diantaranya adalah lada, pala, kayu manis, vanili, dan cengkeh. Rempah-rempah dapat digunakan dalam bentuk segar atau kering untuk perasa, aroma, dan untuk pewarna pada berbagai industri. Rempah-rempah merupakan salah satu
komoditas penting
yang
berpengaruh dalam perdagangan dunia sejak ratusan tahun yang lalu. Begitu pentingnya produk rempah-rempah sehingga nilainya dianggap setara dengan logam mulia1. Berdasarkan kajian BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional), pasar rempah dunia untuk Uni Eropa rata-rata mengalami peningkatan sembilan persen setiap tahun. Tabel 1. Nilai Ekspor Sepuluh Komoditas Rempah Unggulan Indonesia HS CODE 0904112000
2
SITC
DIGIT
CODE
09
07511000
HS DESC Black
pepper,
NET WEIGHT
FOB VALUE
(KG)
(US $ )
123. 898.998
36.369.424
55.951.988
10.666.852
neither crushe 0904111000
09
07511000
whitepepper, neither crushe
0908100020 0908200000
0906110000
09
07525000
Nutriag, shelled
33.526.123
7.155.633
09
07525000
Mace
24.635.347
2.755.503
09
07522000
Cinnamon
20.228.734
19.606.694
13.535.197
13.670.558
(Cinnamomum zey) 0906200000
09
07523000
Cinnamon
and
cinnamon tree 0908300000
09
07525000
Cardamoms
9.162.274
4.486.583
0908100010
09
07525000
Nutmeg, in shell
7.671.472
1.628.674
0907000020
09
07524000
Cloves, cloves and
8.393.145
3.905.698
4.639.315
1.696.532
stems 0910999000
09
07525000
Other spices
Sumber: Data Ekspor Impor BPS, 2010 (diolah)
1
http://binaukm.com/ [diakses tanggal 19 Desember 2011]
Berdasarkan data ekspor impor tahun 2010 (Januari sampai Oktober) dari Badan Pusat Statistik, nilai ekspor produk rempah-rempah secara keseluruhan mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Nilai ekspor untuk sektor rempah-rempah sampai dengan Oktober 2010 adalah sebesar US$ 333,263,352. Nilai ini mengalami kenaikan jika dibandingkan tahun 2009 yang berada pada angka US$ 257,213,249. Sebagai komoditas ekspor, produk rempah Indonesia mempunyai daya saing yang tinggi karena memiliki keunggulan mutu dibandingkan dengan negara pesaing. Selain itu industri yang menggunakan rempah sebagai bahan bakunya mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 15 juta jiwa baik sebagai petani, karyawan industri, maupun sebagai pedagang (AD/ART Dewan Rempah Indonesia, 2007). Meningkatnya nilai ekspor dan peran rempahrempah tersebut menunjukkan bahwa sektor ini merupakan komoditas perkebunan yang mempunyai prospek dikembangkan sebagai penghasil devisa negara. Kayu manis merupakan salah satu dari sepuluh produk ekspor rempah yang potensial. Menurut FAOSTAT (2011), total ekspor kayu manis Indonesia pada tahun 2005 adalah sebesar 37.192 ton, dan meningkat pada tahun 2009 sebesar 38.361 ton. Meskipun total ekspor Indonesia mengalami peningkatan, namun China merupakan negara dengan jumlah ekspor terbesar yaitu sebesar 41.778 ton pada tahun 2009. Prospek pasar dan potensi pengembangan kayu manis cukup menjanjikan karena penggunaannya mengalami perkembangan yang sangat pesat seiring dengan tumbuhnya industri makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku rempah, serta penggunaannya untuk bahan baku industri terutama rokok, obat, kosmetik, dan industri spa. Kayu manis tersebar hampir di seluruh wilayah di Indonesia yaitu di Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Kalimantan. Di Pulau Sumatera tersebar di sepanjang pegunungan Bukit Barisan, mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu sampai ke Lampung. Di Pulau Kalimantan penghasil kulit manis yang terkenal terdapat di Kalimantan Selatan, Kabupaten Barabai dan Kabupaten Kandangan, di sepanjang punggung Pegunungan Meratus. Sementara di Jawa, penghasil
kayu manis yang terkenal antara lain Kabupaten Magelang,
Temanggung, dan Wonosobo. Namun, sentra produksi kayu manis Indonesia
2
terdapat di Kabupaten Kerinci, Jambi karena merupakan pemasok 80 persen dari total ekspor kayu manis Indonesia 2. Kerinci dikenal sebagai penghasil kayu manis (kulit manis) kualitas terbaik di Indonesia, bahkan juga di dunia. Kayu manis menjadi sangat disukai oleh konsumen luar negeri adalah karena kayu manis di Kerinci sudah memiliki “Organic Sertificated Cassia”, kualitas volatil oil dan aroma yang sangat spesifik. Demikian terkenalnya Kabupaten Kerinci sebagai penghasil kayu manis, sampaisampai nama "Kerinci" pun menjadi standar produk kayu manis di pasar dunia. Total luas lahan tanaman kayu manis di Kabupaten Kerinci cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 dan 2006 luas lahan berturut-turut yaitu 44.705 Ha dan 42.293 Ha, namun pada tahun 2007 menurun secara drastis yaitu 31.697 Ha. Pada tahun 2008 luas lahan mulai meningkat dan turun lagi pada tahun 2009. Namun pada tahun 2010 dan 2011 jumlah lahan mulai meningkat kembali. Fluktuasi jumlah luas tanam ini disebabkan karena para petani mengkonversi lahannya dengan tanaman lain seperti tanaman hortikultura, palawija, dan tanaman perkebunan lainnya.
LUAS TANAM (Ha) 50000 45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
44705
42293
40944 37268
40972
36754
31697
LUAS TANAM (Ha)
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 1. Perkembangan Luas Tanam Kayu Manis di Kabupaten Kerinci Sumber: Data BPS Kabupaten Kerinci, 2012 (diolah)
2
Diperindag Kabupaten Kerinci, 2009
3
Produksi kayu manis di Kabupaten Kerinci berfluktuasi setiap tahunnya. Penurunan yang signifikan terlihat pada tahun 2007 yaitu dengan total produksi sebesar 53.645,5 Ton. Penurunan tersebut terus berlanjut sampai pada tahun 2009. Namun sejak tahun 2010 produksi sudah mulai stabil. Turunnya produksi kayu manis turut dipengaruhi oleh berkurangnya luas lahan. Selain itu, dipengaruhi juga oleh kurangnya motivasi petani untuk menanam kayu manis disebabkan harga yang tidak sesuai dengan harapan petani.
Produksi (Ton) 70000 61575
60000
53645,5 65422 51502
50000
53515
53546
46787
40000 30000 20000 Produksi (Ton)
10000
0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 2. Perkembangan Produksi Kayu Manis di Kabupaten Kerinci Sumber: Data BPS Kabupaten Kerinci, 2012 ( diolah)
Secara umum peran kayu manis dalam perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci adalah sangat penting. Kayu manis berkontribusi terhadap nilai tambah bruto sebesar 6,35 persen dan kontribusi terhadap pembentukan ekspor daerah sebesar 21,23 persen. Jika peran kayu manis dibandingkan dengan peran komoditas lainnya seperti padi dan teh dalam pembentukan output, nilai tambah bruto, dan ekspor terlihat bahwa kayu manis memiliki peran penting dan dominan dalam pembentukan ekspor daerah. Secara makro kayu manis merupakan salah faktor penting yang dapat berperan terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Kerinci (Askar Jaya, 2009). Selain menjadi penyumbang devisa, usahatani kayu
4
manis juga menjadi mata pencaharian 13.000 keluarga petani (Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kerinci, 2011)
Persentase NTB Padi 11,96
12,43
Teh Kayu manis
4,59
3,5 6,35
Gambar 3.
Industri makanan dan minuman Perdagangan
Kontribusi Komoditas Kayu Manis, Padi, Teh, Sektor Industri Makanan dan Minuman, serta Perdagangan Terhadap Output, Nilai Tambah Bruto (NTB ) dan Ekspor Wilayah di Kabupaten Kerinci Tahun 2007
Sumber : Jurnal “Dampak Pengembangan Komoditas Kayu Manis Rakyat Terhadap Perekonomian Wilayah”, 2009
Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa meskipun kayu manis memiliki peranan yang cukup besar terhadap nilai tambah bruto Kabupaten Kerinci, namun tidak serta merta diikuti oleh peningkatan produksi. Harga merupakan motivasi utama bagi petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitas usahataninya. Oleh karena itu, hendaklah harga yang berlaku menguntungkan semua pelaku pemasaran terutama petani sebagai produsen. Hal ini tentu saja dapat tercapai dengan sistem pemasaran yang efisien, sehingga produk bisa sampai pada tangan konsumen dengan tepat waktu dengan biaya seminimalnya. Oleh karena itu, perlu dianalisis rantai pemasaran kayu manis Kabupaten Kerinci untuk menentukan sistem pemasaran yang paling efisien untuk meningkatkan pendapatan petani kayu manis.
5
1.2.
Perumusan Masalah Kayu manis sebagai komoditas primadona dari Kerinci mulai terlupakan
karena sekarang masyarakat sudah mulai enggan untuk menanam kayu manis. Salah satu penyebabnya adalah harga yang dinilai tidak sesuai dengan biaya usahatani kayu manis. Pada tahun 1960-1990 harga kayu manis tergolong tinggi sehingga keuntungan dari usahatani kayu manis lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan bisa digunakan untuk menyekolahkan anak ataupun untuk berangkat haji. Sementara pada tahun 1990-2007 harga kayu manis turun dengan drastis, harganya hanya berkisar Rp 2.000,00/kg-Rp 2.500,00/ kg. Hal ini mengakibatkan banyak petani yang tidak memanen kayu manis atau bahkan banyak yang mendiversifikasi lahan mereka dengan tanaman semusim untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, penjualan di tingkat pedagang pengumpul dan eksportir tetap tinggi, bahkan mencapai lima kali lipat 3 Rendahnya harga di tingkat petani ini disebabkan karena rendahnya mutu produk yang dihasilkan. Rendahnya mutu tidak disebabkan karena rendahnya kandungan minyak dan aromanya, namun disebabkan oleh kesalahan dalam memproses di tingkat petani dan pedagang. Rendahnya mutu disebabkan oleh tingginya kadar air, banyaknya campuran benda asing. Di tingkat petani, penurunan mutu produk disebabkan karena pascapanen yang masih sangat sederhana, pemanenan sebelum waktunya, peralatan panen yang tidak steril (korosi), serta cara pengeringan yang kurang baik. Rendahnya mutu ini mengakibatkan rendahnya tingkat harga kayu manis. Adanya kebijakan dari pemerintah daerah untuk menaikkan harga kayu manis sejak tahun 2010 harga dinilai cukup stabil. Namun, kebanyakan petani masih menganggap harga ini belum layak, jika dibandingkan dengan nilai kebutuhan pokok lainnya. Rantai pemasaran kayu manis ditingkat lokal dan internasional yang terlalu panjang dinilai tidak efisien sehingga mengakibatkan tidak adanya transparansi harga (informasi pasar tidak sempurna). Harga pada umumnya ditentukan oleh pedagang, sehingga petani hanya bertindak sebagai pihak penerima harga. Hal ini mengakibatkan petani menjadi pihak yang memiliki
3
Laporan Pengkajian Pemasaran Kayu Manis di Kerinci, 2008
6
posisi tawar yang lemah dan peran pedagang lebih menonjol sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan petani. Pada umumnya petani menjual kayu manis kepada para pedagang, baik itu pedagang pengumpul maupun pedagang besar. Petani menjual kayu manis dalam bentuk kulit baik dalam keadaan basah maupun kering, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa petani hanya mampu menjual kayu manis dalam bentuk produk primer, belum melakukan pengolahan. Terbatasnya kemampuan petani dalam pengembangan produk olahan kayu manis mengakibatkan petani hanya mendapatkan keuntungan yang kecil dari hasil penjualan. Pengolahan lebih banyak dilakukan oleh para eksportir untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri seperti permintaan dari Amerika, Jepang, Jerman, Belanda, Belgia, Venezuella, Hungaria, Mexiko, Yunani, Kanada, dan Singapura Pada tahun 2005 komposisi ekspor sebagian besar dalam bentuk kayu manis (95 persen) dan sisanya berupa bubuk kayu manis (Towaha dan Indriati, 2008). Oleh karena itu, eksportir merupakan pihak yang menerima share yang terbesar dari pemasaran kayu manis ke luar negeri. Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah yang dikemukakan adalah 1. Bagaimana pola saluran tataniaga kayu manis, fungsi tataniaga, serta lembaga yang terlibat dalam tataniaga kayu manis di Kabupaten Kerinci? 2. Bagaimana struktur, perilaku, dan keragaan pasar dalam tataniaga kayu manis di Kabupaten Kerinci ? 3. Bagaimana efisiensi operasional dan efisiensi harga pada sistem tataniaga kayu manis di Kabupaten Kerinci?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penulisan proposal ini yaitu: 1. Mengidentifikasi saluran dan lembaga-lembaga tataniaga kayu manis di Kabupaten Kerinci 2. Menganalisis fungsi-fungsi tataniaga kayu manis di Kabupaten Kerinci 3. Mengidentifikasi dan menganalisis struktur, perilaku dan keragaan pasar dari sistem tataniaga kayu manis di Kabupaten Kerinci.
7
4. Menganalisis margin tataniaga dan farmer’s share dari lembaga-lembaga tataniaga kayu manis di Kabupaten Kerinci. 5. Menganalisis efisiensi dari sistem tataniaga kayu manis di Kabupaten Kerinci.
1.4. Kegunaan Penelitian 1. Bagi pelaku pasar, sebagai bahan masukan mengenai pengembangan tataniaga kayu manis, terutama bagi petani dan lembaga pemasaran kayu manis di Kabupaten Kerinci 2. Bagi pemerintah dan instansi terkait, diharapkan hasil penelitian kayu manis di Kabupaten Kerinci dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan dan perkembangan komoditas kayu manis dari mulai produksi hingga pemasaran. 3. Bahan masukan bagi penelitian berikutnya, khususnya yang berkaitan dengan pemasaran.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah mengenai tataniaga kayu manis di
Kerinci yang meliputi identifikasi saluran dan lembaga tataniaga yang terkait serta fungsi masing-masing lembaga tersebut. Selain itu, juga dianalisis struktur, perilaku, dan keragaan pasar serta keuntungan tiap lembaga tataniaga. Penelitian ini ditekankan pada analisis rantai pemasaran yang paling efektif bagi semua pelaku pemasaran terutama petani sehingga dapat menjawab permasalahan dan tujuan penelitian yang ada. Penelitian ini dibatasi hanya pada analisis saluran pemasaran kayu manis sampai kepada eksportir maupun pengolahan. Sementara efektififitas pemasaran dari eksportir ke pasar luar negeri dan perbandingan efektifitas eksportir kayu manis di berbagai daerah bukanlah menjadi bahasan dalam penelitian ini.
8