KAJIAN AGRO-EKONOMI KOMODITAS REMPAH DI MALUKU (LAPORAN STUDI KASUS PALA DAN CENGKEH) Oleh: I. Marzuki
JUNI 2012 Laporan ini adalah hasil dari kerjasama dengan Mercy Corps di bawah Program Spice Up the Deal – Mercy Corps Indonesia, Maluku.
2
RINGKASAN EKSEKUTIF Maluku merupakan pusat komoditas rempah pala dan cengkeh berkualitas tinggi. Pala Banda (Myristica fragrans) dan cengkeh Tuni (Zizygium aromaticum) adalah produk perkebunan petani yang memiliki pasar domestik dan internasional yang jelas. Kedua komoditas inilah yang menjadi tumpuan ekonomi ribuan keluarga petani di Maluku yang bekerja pada subsektor perkebunan rakyat. Untuk menjaga kualitas dari hasil produksi pala mereka, penggunaan bibit klonal dari grafting (bibit sambung) sangat dianjurkan, karena bibit grafting lebih cepat berbuah (sekitar 3 tahun) dan juga ini memberikan jaminan kepastian jenis kelamin pohon pala. Selain itu, usaha perbenihan bibit pala grafting secara teknis dapat dilakukan petani dan dapat menumbuhkan wirausaha baru di bidang perbenihan/pembibitan di pedesaan. Hal serupa diperlukan pada cengkeh tetapi kebutuhannya lebih pada perbenihan konvensional. Untuk mengangkat harkat komoditas rempah pala dan cengkeh Maluku, maka selain mutu perbenihan juga diperlukan sertifikasi tentang perlindungan indikasi geografis (IG). Sertifikasi IG memberikan jaminan bahwa praktek-praktek agronomi yang baik dalam budidaya tanaman dan pascapanen diterapkan dengan baik (good agronomical practices) oleh petani, dan juga IG ini memberikan jaminan kualitas kepada konsumen (pembeli). Manfaat utama IG yaitu petani menerima harga premium (harga lebih tinggi) dari konsumen. Oleh karena itu, sertifikasi IG bagi pala Banda dan cengkeh Tuni menjadi penting. Selain daripada itu, sertifikasi organik bagi produk pala maupun cengkeh merupakan komponen penting lainnya. Dengan sertifikasi organik, diestimasikan petani dapat memperoleh kenaikan harga pala dan cengkeh masing-masing 17% dan 19%. Dalam perdagangan lokal saat ini, petani pala dan cengkeh di Maluku mendapatkan harga yang tergolong layak. Dari struktur biaya produksi dan pascapanen, petani hampir tidak mengeluarkan biaya input dan teknologi seperti pupuk dan pestisida. Juga, dalam tahap pascapanen petani semata mengandalkan alam, misalnya untuk pengeringan hasil panen mereka hanya menggunakan panas matahari. Begitu pula penyimpanan hasil panen di gudang, petani samasekali tidak menggunakan fungisida untuk mengendalikan hama gudang yang merusak. Pada tahun 2012, petani pala mendapatkan harga pembelian dari pedagang pengumpul antara Rp 110.000 sampai Rp 120.000 per kg pala kering (kualitas/kategori AB). Dalam transaksi ini, pedagang pengumpul (kolektor lokal) dan pedagang besar masing-masing mendapatkan margin keuntungan 8% dan 37%. Untuk cengkeh, petani mendapatkan harga yang layak yaitu antara Rp 52.000 hingga Rp 85.000 per kg kering , tetapi harga ini bervariasi menurut lokasi daerah, dan dalam Tata niaga ini pedagang pengumpul dan pedagang besar masing-masing memperoleh margin keuntungan 23,5% dan 19,4%. Dalam usahatani komoditas rempah, keuntungan yang diperoleh cukup besar. Untuk setiap ha pala keuntungan per tahun yang dapat diperoleh petani adalah Rp 43.000.000 dengan B/C ratio 5,5; sedangkan untuk cengkeh, Rp 14.100.000 dengan B/C ratio 2,0. Dalam Tata niaga pala dan cengkeh di Maluku, pelaku yang terlibat meliputi: produsen, pedagang pengumpul, pengolah, pedagang besar, dan eksportir. Tata niaga pala dan cengkeh di Maluku cukup sederhana dan hampir tidak ada spekulan yang terlibat. Mengenai produk-produk olahan dari pala dan cengkeh, seperti minyak atsiri masih saat ini masih dalam tahap awal pertumbuhan. Produk ini belum berkembang baik dari sisi kapasitas produksi maupun tata niaga dan pemasarannya. Untuk menjamin keberlanjutan produksi dan stabilitas harga, kehadiran organisasi yang dapat menaungi petani rempah di Maluku menjadi penting. Organisasi petani rempah ini diharapkan mampu menjembatani antara petani dan pembeli/pedaganga di tingkat lokal dan nasional sehingga petani mendapatkan harga yang pantas (premium) dan pasar yang stabil. Dengan organisasi ini petani dapat memiliki bargaining position dalam perdagangan rempah pada tingkat domestik dan internasional.
PENDAHULUAN Latar belakang Dalam sejarah, Maluku dikenal sebagai pusat rempah pala dan cengkeh yang berkualitas, maka tidak mengherankan jika bangsa Eropa datang ke Maluku dan menguasai perdagangan komoditas ini selama ratusan tahun. Hingga sekarang kualitas pala dan cengkeh dari kepulauan Maluku masih dipandang yang terbaik di pasar perdagangan rempah internasional. Dalam perkembangannya, komoditas pala terus berkembang baik dari luas areal maupun produktivitas. Di Indonesia dikenal beberapa jenis pala yang dibudidayakan petani, diantaranya adalah Myristica frangrans (pala Banda), Myristica succedanea (pala Ternate), dan Myristica argentea (pala Papua). Dari sisi kualitas rempah dan minyak atsiri, pala Banda lebih unggul dari jenis lainnya, terutama dari kandungan komponen atsiri miristisin. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa permintaan pasar terhadap minyak atsiri pala dan cengkeh kian meningkat. Seperti halnya pala, komoditas rempah cengkeh di Indonesia juga terus berkembang, yang mana cengkeh asal Maluku sangat diminati oleh perdagangan rempah nasional. Hal ini karena kekhasan aroma eugenol cengkeh Maluku. Di Maluku sendiri terdapat sedikitnya tiga jenis cengkeh dengan kualitas berbeda, yang secara berurutan dari yang berkulitas tinggi ke rendah adalah cengkeh Tuni, cengkeh Raja, dan cengkeh Hutan. Cengkeh Tuni, Sizygium aromaticum, tergolong tipe cengkeh Zanzibar yang sudah beradaptasi baik pada lingkungan agroekologi kepulauan Maluku. Dari sisi ekonomi, kedua komoditas rempah ini menjadi tumpuan utama petani di pedesaan Maluku. Dari hasil panen kering, petani dapat memperoleh harga Rp 90.000 sampai Rp 150.000 per kg dari pala, dan Rp 40.000 sampai Rp 95.000 dari cengkeh. Dengan harga yang kian membaik, petani termotivasi memelihara kebunnya dan bahkan memperluas pertanamannya dengan menanam bibit-bibit tanaman baru. Pada pala, penanaman bibit baru masih terkendala mengenai tanaman jantan yang secara alamiah terjadi 50% dari total bibit yang ditanam. Akibatnya, hanya setengah dari populasi pohon pala yang dapat menghasilkan buah. Untuk mengatasi kendala ini, bibit pala klonal yang berkelamin betina (yang menghasilkan buah) harus dikembangkan. Dengan teknik perbanyakan bibit grafting dapat dihasilkan bibit pala betina yang menghasilkan buah. Namun demikian, keberadaan pohon-pohon jantan masih tetap dibutuhkan dalam sistem budidaya tanaman sebagai sumber serbuk sari untuk pembentukan buah. Dari sisi ekonomi, teknologi grafting sangat penting karena tanaman yang dihasilkan nantinya lebih cepat berbuah (sekitar 3 tahun), dan bibit grafting jika dijual harganya lebih tinggi daripada bibit konvensional (bibit dari biji). Selain itu, proporsi pohon betina terhadap jantan dalam kebun dapat diatur sesuai kebutuhan. Misalnya pada perkebunan pala rakyat, dalam 1 ha idealnya terdapat 150 pohon dan 15 pohon di antaranya adalah jantan dan 135 pohon betina. Teknologi grafting ini tentu saja sangat membantu petani dalam usahanya meningkatkan produktivitas tanaman pala mereka. Untuk pengembangan pertanaman cengkeh di lain sisi petani masih tetap menggunakan bibit generatif yaitu bibit dari biji. Seperti diketahui bahwa pada cengkeh tidak ada permasalahan jantanbetina. Semua tanaman cengkeh yang ditanam dari bibit generatif dapat berproduksi tanpa ada peluang munculnya pohon-pohon jantan. Tujuan Kajian Kajian bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan komprehensif tentang pala dan cengkeh Maluku dari aspek pengembangan sistem pembibitan/budidaya, aspek perdagangan & harga, dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin eksistensi dan keberlanjutan komoditas ini dalam mendukung secara ekonomi kehidupan petani di Maluku.
RUANG LINGKUP Kajian ini membahas tentang komoditas rempah pala dan cengkeh dari aspek: (1) Sistem pembibitan pala klonal cara grafting, dan sistem pembibitan cengkeh cara konvensional; (2) Kajian keutamaan sertifikasi Indikasi Geografis (IG) dan sertifikadi organik; dan (3) Studi harga dan pasar komoditas rempah pala dan cengkeh, termasuk analisis value chain. JADWAL KEGIATAN Kajian dimulai pada awal Mei sampai minggu pertama Juni 2012. sebagai berikut: Bulan Mei
Minggu 1 2 3 4
Juni
1 2 3
Jadwal dan kegiatan adalah
Kegiatan - Penandatanganan kontrak dengan Mercy Corps - Kunjungan lapangan untuk data/informasi primer - Kunjungan lapangan untuk data/informasi primer - Wawancara dengan key informan - Wawancara dengan key informan - Pengumpulan data sekunder - Kompilasi dan analisis data/informasi - Penyusunan draft laporan - Penyusunan laporan akhir. METODOLOGI
Untuk kajian yang terkait dengan sistem pembibitan pala, data/ informasi dihimpun dari sumbersumber primer dan sekunder melalui pendekatan kunjungan lapangan ke Balai Penelitian Tanaman Industri (Balittri) di Parung Kuda, Sukabumi, Jawa Barat. Kunjungan lapangan juga dilakukan di tempat-tempat pembibitan pala milik petani di Wakal, Leihitu dan di Pulau Banda, keduanya terletak di Maluku Tengah. Kunjungan lapangan juga dilakukan ke petani cengkeh di Waesama, Buru Selatan, dan balai penelitian pembibitan pala & cengkeh di Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) di Passo, Ambon. Dalam kerangka kunjungan lapangan dilakukan wawancara dan in-depth interview. Terkait mengenai sertifikasi indikasi geografis (IG), kunjungan dan indepth interview dilakukan terhadap anggota tim ahli/penilai IG di Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian di Jakarta, dan dengan pihak Ditjen HKI Kementerian Hukum dan HAM di Tangerang, Banten yang berwenang memberikan rekomendasi sertifikasi IG. Juga dilakukan survei tentang harga komoditas rempah pala dan cengkeh di Kota Ambon dan Namrole, Buru Selatan. Buru Selatan termasuk salah satu pusat cengkeh bermutu di Maluku yang dikenal sebagai cengkeh Tuni. Jenis ini dalam proses pengusulan untuk mendapatkan pengakuan sebagai varietas unggul dan sertifikasi IG. Terhadap kajian yang terkait dengan harga/perdagangan rempah, data/informasi dihimpun melalui survei kuesioner terhadap pedagang besar dan pedagang pengumpul pala dan cengkeh. Survei harga pada tingkat pedagang pengumpul dilakukan di beberapa pedagang besar rempah di Kota Ambon; dan pedagang pengumpul cengkeh di Namrole, Buru Selatan. Informasi pasar mengenai harga/pasar komoditas pala juga secara tidak langsung dikumpulkan dari sumber-sumber di Pulau Gorom, Seram Bagian Timur. Data yang terhimpun selanjutnya diskrining, dikompilasi dan kemudian dianalisis.
HASIL KAJIAN Sistem Pembibitan Dalam meproduksi bibit untuk penanaman, dikenal dua sistem pembibitan yang umum digunakan pada tanaman rempah pala dan cengkeh: (1) Sistem pembibitan generatif dengan biji dan (2) Sistem pembibitan klonal dengan grafting. Sistem pembibitan generatif pada pala menimbulkan masalah bagi petani karena menghasilkan sekitar 50-60% bibit yang berkembang menjadi pohon-pohon jantan nantinya tidak menghasilkan buah. Meskipun pohon jantan diperlukan dalam pertanaman pala, tetapi idealnya jumlahnya tidak lebih dari 10% dari total populasi tanaman. Oleh karena itu, sesuai wawancara dengan petani serta hasil kunjungan dan in-depth interview dengan pihak Balittri, maka pilihan yang tepat adalah mengembangkan bibit pala klonal melalui teknik grafting. Grafting adalah teknologi pembibitan yang menghasilkan bibit grafting yang diperoleh dengan cara menyambungkan batang bawah (rootstock) dengan tunas pucuk atau entres yang kompatibel. Batang bawah yang baik adalah yang berasal dari bibit pala yang berumur 3-12 bulan, sehat, tahan hama/penyakit, dan memiliki perakaran yang sehat dan kuat. Sedangkan entres yang dikehendaki adalah yang berasal dari cabang pohon pala betina atau dari pohon monosius (berumah satu) dengan ukuran dan syarat sesuai SOP perkebunan (terlampir). Pengalaman awal dari petani di Ruta, Maluku Tengah diketahui bahwa sambungan grafting dapat dilakukan dengan menggunakan rootstock dari bibit berumur 3 bulan dengan tingkat keberhasilan mencapai lebih dari 80%. Pala grafting petani di Ruta ini masih sedang dalam pengembangan dan hasilnya (bibit grafting siap tanam) dapat diketahui sekitar Agustus 2012. Umur bibit batang-bawah yang digunakan petani di Ruta hampir sama dengan yang digunakan di India dengan tingkat keberhasilan 74-80%. Kita berharap petani di Maluku dan di Indonesia mampu menghasilkan bibit pala grafting yang baik dan berkualitas serta tahan terhadap hama & penyakit. Sementara itu, bibit pala grafting yang dikembangkan oleh Balittri hasilnya cukup menggembirakan meskipun tingkat keberhasilannya tidak lebih dari 43%. Sebagai catatan bahwa bibit grafting yang dihasilkan oleh Balittri menggunakan rootstock dari bibit pala berumur 7 bulan dan entres yang dipakai diberi perlakuan hormon IBA dan IAA pada konsentrasi 500 ppm sebelum penyambungan. Keberhasilan dalam memproduksi bibit grafting sangat ditentukan oleh tingkat kesesuaian atau kompatibilitas antara rootstock dan entres serta pertautan sambungan. Sambungan yang tidak tertaut dengan sempurna mengurangi keberhasilan grafting. Gambar di bawah ini memperlihatkan pertautan pada sambungan antara rootstock dan entres.
Pertautan sempurna pada sambungan grafting
Pertautan tidak sempurna pada sambungan grafting
Gambar 1. Tampilan mikroskopis pertautan sambungan grafting pada batang pala
Sementara itu, penerapan teknologi bibit klonal atau bibit grafting pada cengkeh saat ini belum diperlukan sebab: (1) tidak ada persoalan tentang jantan-betina; (2) bibit cengkeh konvensioal masih lebih mudah dihasilkan/diproduksi daripada bibit grafting; dan (3) harga bibit konvensional lebih murah dan mudah diperoleh. Sisi penting lainnya mengenai bibit pala grafting adalah bahwa ini membuka peluang usaha bagi petani di desa di bidang pembibitan/produksi bibit pala grafting. Oleh sebab itu, keterampilan teknis memproduksi bibit grafting perlu diajarkan khususnya kepada petani penangkar. Petani penangkar adalah petani yang memiliki sumberdaya (misalnya: tanaman atau bibit, lahan, tenaga teknisi, dan peralatan/perlengkapan kebun). Untuk menjadi penangkar benih, petani perlu memiliki sertifikat TRUP (Tanda Registrasi Usaha Perbenihan) yang dapat diperoleh dari Dinas Pertanian setempat. Bibit pala dan cengkeh yang dihasilkan oleh petani penangkar bila akan disalurkan ke petani maka harus mempersiapkannya dengan mengacu pada standar mutu bibit yang ditetapkan oleh Ditjen Perkebunan melalui BBP2TP. Untuk mendukung kehidupan ekonomi petani pala dan cengkeh di Maluku, maka pengetahuan dan keterampilan teknis tentang produksi bibit (generatif dan klonal) perlu diberikan. Untuk memulainya, dapat dengan pelatihan yang diberikan ke petani di lapangan. Dalam hal ini juga diperlukan program pendampingan selama 1-2 tahun agar implementasi dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diberikan benar-benar dapat diwujudkan secara nyata serta dapat memberikan manfaat bagi petani. Sertifikasi Indikasi Geografis Sertifikasi Perlindungan Indikasi Geografis (IG) diperlukan bagi suatu wilayah yang menghasilkan produk atau komoditas unggul untuk memastikan produsen (petani dan pelaku usaha) memproduksi sesuai standar yang ditetapkan, dan juga sertifikat ini sebagai jaminan bagi konsumen atas kualitas premium produk yang ditawarkan oleh petani. Dengan sertifikat IG produk-produk pertanian yang dihasilkan atau diproduksi oleh petani di wilayah IG mendapatkan harga premium (harga yang lebih tinggi).
Gambar 2. Kawasan Kepulauan Banda yang dimohonkan sertifikasi IG untuk pala Banda. Untuk memperoleh sertifikat IG, petani yang terhimpun dalam organisasi Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) terlebih dahulu mengajukan permohonan sertifikasi kepada Dirjen HKI (Hak Kekayaan Intelektual) pada Kementerian Hukum dan HAM di Tangerang. Permohonan ini selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh suatu tim asesmen yang ditunjuk oleh Ditjen HKI. Sertifikat IG dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan setelah mendapat pertimbangan/persetujuan dari Ditjen HKI. Untuk permohonan IG pala dan cengkeh dari Maluku masing-masing dibutuhkan satu sertifikat IG.
Kawasan IG Cengkeh Tuni
Gambar 3. Wilayah Buru Selatan yang dimohonkan sertifikasi IG untuk cengkeh Tuni. Prosedur sertifikasi IG mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2007 dengan tahapan sebagai berikut: I. Pengajuan Permohonan Asosiasi, produsen atau organisasi yang mewakili produk IG dimaksudkan dapat mengajukan permohonan dengan menyertakan: Formulir Surat Permohonan yang sudah diisi oleh pemohon atau kuasanya. Bukti pembayaran biaya pendaftaran. Buku Persyaratan yang berisi: a) nama IG yang dimohonkan pendaftarannya; b) nama barang yang dilindungi oleh IG; c) uraian karakteristik dan kualitas barang IG yang diusulkan dengan barang lain yang memiliki kategori sama, dan menjelaskan tentang hubungannya dengan daerah tempat barang tersebut dihasilkan; d) uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia yang merupakan satu kesatuan dalam memberikan pengaruh terhadap kualitas atau karakteristik dari barang IG dihasilkan; e) uraian tentang batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakupi oleh IG; f) uraian mengenai sejarah dan tradisi yang berhubungan dengan pemakaian IG untuk menandai barang yang dihasilkan di daerah tersebut, termasuk pengakuan dari masyarakat mengenai IG tersebut; g) uraian yang menjelaskan tentang proses produksi, pengolahan, dan pembuatan yang digunakan sehingga memungkinkan setiap produsen di daerah tersebut untuk memproduksi, mengolah, atau membuat barang terkait; h) uraian mengenai metode yang digunakan untuk menguji kualitas barang yang dihasilkan; dan i) label yang digunakan pada barang dan memuat IG. II. Pemeriksaan Administratif Pemeriksaan tentang kelengkapan persyaratan dan lampiran dari permohonan IG yang diajukan. Jika terdapat kekurangan atas dokumen permohonan, pemohon dapat memperbaiki atau
melengkapinya dalam jangka waktu tiga bulan. Apabila tidak dapat melengkapi dalam kurun waktu tiga bulan, maka permohoan ditolak. III. Pemeriksaan Substansi Tim Ahli yang ditunjuk oleh Ditjen HKI memeriksa dan memastikan kebenaran dokumen permohonan, dan jika dokumen dinyatakan memenuhi syarat maka Tim membuat Laporan Pemeriksaan yang disampaikan kepada Ditjen HKI. Dalam hal permohonan ditolak, pemohon dapat mengajukan tanggapan terhadap penolakan tersebut. Pemeriksaan substansi dilaksanakan paling lama dua tahun. IV. Pengumuman Dalam jangka waktu paling lama sepuluh hari sejak tanggal disetujuinya IG yang dimohonkan, Ditjen HKI mengumumkan keputusan dalam Berita Resmi IG selama tiga bulan. Pengumuman antara lain memuat tentang: nomor permohonan, nama lengkap dan alamat pemohon, tanggal penerimaan, IG dimaksud, dan abstrak dari Buku Persyaratan. V. Keberatan Pendaftaran. Setiap orang yang memperhatikan Berita Resmi IG dapat mengajukan keberatan terhadap persetujuan Pendaftaran IG yang tercantum pada Berita Resmi Indikasi Geografis. Keberatan diajukan dengan cara membuat keberatan disertai dengan alasan-alasannya dan pihak pendaftar atau pemohon IG dapat mengajukan sanggahan atas keberatan tersebut. VI. Pendaftaran Terhadap permohonan IG yang disetujui dan tidak ada keberatan, Ditjen HKI mengeluarkan sertifikat Pendaftaran Indikasi Geografis. VII. Pengawasan Pemakaian IG
kemudian
Tim Ahli IG melakukan pengawasan terhadap pemakaian IG di wilayah Republik Indonesia untuk memastikan apakah pelaksanaan IG tetap sesuai dengan yang tercantum dalam buku persyaratan. Urgensi Sistem Organik Sistem organik mengacu pada sistem bertani dengan input produksi (saprodi) menggunakan bahanbahan organik (misalanya pupuk organik dan pestisida nabati) dan menghindari pemakaian bahanbahan kimia anorganik yang menimbulkan residu berbahaya bagi lingkungan. Sistem ini menekankan pada pentingnya pertanian yang berkelanjutan yang dapat menjaga kelestarian produksi dan keamanan lingkungan. Sistem ini juga bertujuan meminimalkan risiko yang berdampak negatif bagi agroekosistem. Sejak dahulu kala petani pala dan cengkeh di Maluku sesungguhnya telah menerapkan sistem pertanian organik yang ditunjukkan oleh tidak adanya penggunaan pupuk kimia maupun pestisida anorganik. Pemeliharaan kesuburan tanah lebih pada penggunaan abu sisa-sisa pembakaran daundaun kering. Untuk pengendalian hama/penyakit pada tanaman pala dan cengkeh, petani menggunakan sistem pengasapan kebun yaitu dengan memproduksi asap dari pembakaran sisa-sisa daun pala/cengkeh. Asap pembakaran ini secara kimia menghasilkan aroma yang tidak disenangi oleh hama/penyakit sehingga mencegah kehadirannya. Praktek sistem organik ini secara langsung berpengaruh terhadap kualitas hasil pala dan cengkeh petani. Keuntungan dari sistem ini adalah: (a) tidak ada residu kimia yang masuk ke dalam hasil panen; (b) memberikan jaminan keamanan produk (kesehatan) bagi konsumen; dan (c) harga dapat tinggi.
Untuk mendapatkan pengakuan organik atas produk pala/cengkeh yang dihasilkan maka diperlukan sertifikasi. Sertifikasi organik dapat diperoleh dengan cara mengajukan permohonan sertifikasi kepada Lembaga Sertifikasi Organik baik nasional maupun internasional. Di Indonesia, sertifikasi dan pelabelan organik ditangani oleh Otoritas Kompeten Pangan Organik (OKPO) pada Kementerian Pertanian di Jakarta. Untuk sertifikasi organik internasional dapat diajukan ke Institute for Marketecology (IMO) kantor perwakilan Indonesia di Ciomas, Bogor. Lembaga internasional lainnya seperti Rainforest Alliance juga dapat memberikan sertifikasi serupa. Manfaat dari sertifikasi organik bagi petani pala/cengkeh adalah adanya adanya pengakuan konsumen atas kualitas produk petani yang lebih baik, dan harga yang diterima petani lebih tinggi daripada produk sejenis yang dihasilkan dengan cara konvensional. Tanda organik pada produk ditunjukkan oleh logo yang menempel pada produk organik yang dihasilkan. Berikut adalah contoh-contoh logo dan sertifikat organik yang dikeluarkan.
Contoh Logo Organik Contoh Sertifikat Organik Gambar 4. Logo dan sertifikat organik pada produk pertanian. Studi Pasar dan Harga Komoditas rempah pada kajian ini meliputu komoditas pala dan cengkeh. Luas areal dan produksi pala dan cengkeh di Maluku menurut data Kementerian Pertanian periode 2005 sampai 2009 adalah sebagai berikut: Pala Indikator Luas Areal Produksi Produktivitas Cengkeh
Satuan Ha Ton Kg/Ha
2005 9.918 1.123 265,9
2006 9,669 1,099 234,8
2007 0 0 0
2008 9.669 1.125 0
2009 12.198 1.762 283,7
Indikator Luas Areal Produksi Produktivitas
Satuan Ha Ton Kg/Ha
2005 35.667 7.294 303.68
2006 35.175 7.192 304.35
2007 35.740 10.588 422.47
2008 36.042 10.631 423.19
2009 36.810 11.185 439.23
Produktivitas pala di Maluku masih tergolong rendah. Ini disebabkan karena sistem budidaya yang diterapkan oleh petani adalah zero input artinya tidak ada input pupuk dan perawatan yang minimal. Meskipun demikian, praktek budidaya tanaman seperti ini memiliki keuntungan sebab menerapkan sistem pertanian organik seutuhnya (fully organic system). Hal serupa dialami pada budidaya cengkeh, yang mana praktek-praktek agronomi zero input atau minimum input terus dipertahankan oleh petani. Keuntungan dari sistem ini adalah bahwa biaya produksi sangat rendah tetapi kualitas
produk cengkeh yang dihasilkan tinggi. Pilihan yang tepat untuk menjaga kualitas hasil pada pala dan cengkeh adalah penerapan sistem LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture). Sistem ini sangat mengutamakan penggunaan input organik seperti pupuk organik dan pestisida organik. Input organik ini digunakan jika diperlukan. Analisis Rantai Nilai Analisis rantai nilai (value chain) mencakup identifikasi dan pemetaan hubungan saling keterkaitan antara empat komponen, yaitu: (1) aktivitas yang dilakukan dalam tata niaga produk yang dikembangkan, (2) nilai input, waktu pengolahan, output dan nilai tambah, (3) hubungan spasial dari aktivitas, dan (4) struktur pelaku ekonomi, seperti suplier, produsen, pedagang, dan eksportir. Produk value chain pada komodotas pala meliputi biji pala kering sebagai rempah, produk olahan seperti jus, sirop, manisan, dan minyak pala. Dan value chain cengkeh meliputi cengkeh kering dan minyak cengkeh. Pelaku dalam tata niaga pala dan cengkeh mencakup: (1) Produsen, yaitu: petani pala/cengkeh dan pemilik lahan/kebun; (2) Pengumpul, terdiri atas: petani pengumpul dan pedagang di desa (kolektor lokal; (3) Pengolah, meliputi: petani/usaha penyulingan, kelompok pengolah produk pala; (4) Pedagang besar, yang mengumpul dan menjual produk dalam volume besar; (5) Eksportir, yang menjual produk ke importir ke luar negeri. Sebagian kecil petani berperan sebagai pedagang pengumpul yang beroperasi secara terbatas di desa lokasi produksi pala dan cengkeh. Petani/pedagang pengumpul ini ada yang memiliki lahan yang sempit, tetapi umumnya tidak memiliki lahan atau kebun. Pedagang besar yang sebagian besar bermukim di Kota Ambon mengumpulkan hasil pala dan cengkeh langsung dari petani-petani di sekitar Pulau Ambon dan dari pedagang pengumpul dari luar Pulau Ambon. Untuk produk rempah, terdapat ekportir pala yaitu PT Ollop di Hila yang mengirim sekitar 40 ton pala kering setiap tahun ke Belanda melalui Surabaya, dan PT. Haite Siralow di Tulehu yang mengekspor pala dan cengkeh dengan volume yang lebih kecil ke Belanda dan Italia melalui pelabuhan ekspor di Jakarta. Volume pala atau cengkeh yang dikumpulkan oleh para pedagang besar di Ambon di luar PT Ollop mencapai 50-60 ton per tahun. Pengiriman ke luar aAmbon dilakukan melalui pelabuhan laut dengan frekuensi 5-6 kali per tahun. Pala dan cengkeh Maluku yang terkumpul di Surabaya dan Jakarta selanjutnya diekspor ke Eropa, Amerika, Singapura, dan negara tujuan ekspor lainnya. Untuk produk minyak pala dan minyak cengkeh yang volumenya masih sangat terbatas dan juga industri pengolahannya belum berkembang, penjualannya terbatas ke pedagang pengumpula di Jawa Barat. Pedagang pengumpul minyak atsiri di Jawa Barat selanjutnya menjual ke pedagang besar di Jakarta. Sementara itu, produk olahan pala (jus, sirup, manisan, dsb) pasar penjualannya masih terbatas di sekitar Ambon, Banda Neira, dan beberapa daerah di Maluku. Produk olahan ini belum masuk ke pasar regional dan internasional. Dalam tata niaga produk pala dan cengkeh, koperasi petani belum berperan secara signifikan. Meskipun demikian beberapa koperasi petani yang terdapat di Allang dan Hila, Maluku Tengah sudah terlibat secara terbatas dalam pembelian dan penjualan. Penjualan pala oleh koperasi diarahkan ke PT Ollop di Hila. Pada musim-musim tertentu petani di daerah-daerah pusat produksi cengkeh seperti di Buru Selatan menjual hasil panen cengkeh (termasuk kopra) langsung ke pedagang pengumpul di Surabaya melalui kapal yang singgah di wilayah pesisir daerah mereka. Praktek tata niaga demikian ini sangat
bergantung pada kondisi cuaca laut, yang mengendalikan jadwal kedatangan dan keberangkatan kapal dagang tersebut. Secara skema value chain rempah pala dan cengkeh digambarkan pada Gambar 4. Pasar perdagangan pala dan cengkeh Pada tahun 2012 harga per kg biji pala kering kelas AB dan fuli kering yang diterima petani di Maluku Tengah berkisar Rp 110.000 - Rp 120.000. Dari transaksi ini pedagang pengumpul yang beroperasi di lokasi-lokasi produksi mendapatkan keuntungan rata-rata Rp 9.833 per kg atau margin sebanyak 8%. Untuk produk fuli kering, petani di Banda Neira dan Hila mendapatkan harga beli masing-masing Rp 150.000 dan Rp 175.000 per kg. Untuk produk cengkeh Tuni, petani menerima harga pembelian cukup bervariasi yaitu antara Rp 52.000 hingga Rp 85.000 per kg. Dari transaksi ini pedagang pengumpul mengambil keuntungan rata-rata Rp 21.625 per kg atau margin 23,2%; dan oleh pedagang besar di Ambon memperoleh keuntungan Rp 22.000 per kg atau margin 19,4%. Harga pala di tingkat importir di Belanda tidak diketahui dengan pasti, tetapi berdasarkan informasi dari PT Ollop dapat diprediksi bahwa harga pembelian pala oleh importir adalah tidak kurang dari US$ 23.000 per ton (Rp 213.000 per kg). Dari sisi permintaan, kebutuhan ekspor pala dari Belanda saja sekitar 160 ton per tahun. Kebutuhan ini dapat dipenuhi oleh PT Ollop bersama PT Haite serta pedagang besar di Ambon. PT Ollop sendiri mampu memsuplai kebutuhan ekspor sebanyak 40 ton per tahun, dan PT Haite 13 ton per pengiriman. Beberapa produk turunan dari rempah yaitu minyak pala dan minyak cengkeh yang ssat masih dalam tahap awal pertumbuhan namun ada kecenderungan semakin berkembang. Volume minyak pala/cengkeh yang diproduksi oleh petani masih sangat terbatas dengan standar kualitas yang belum baku. Beberapa petani penyuling telah memproduksi minyak pala/cengkeh dalam skala kecil/terbatas dan usaha ini belum berkembang. Penyebab lambannya perkembangan usaha/industri penyulingan minyak atsiri di Maluku karena faktor margin yang rendah, penguasaan teknologi distilasi yang terbatas, jaminan pasar produk yang kurang jelas, dukungan pemda yang kurang, dan faktor sosial budaya setempat (misalnya: Sasi).
Perdagangan Ekspor:
Perdagangan Lokal:
Eksportir (di Surabaya, Jakarta)
Importir Rempah
Pedagang Ekspor (PT Ollop, PT Haite)
Pedagang Besar (di Kota Ambon)
Pedagang/Pasar Lokal
Pengolahan: Rempah: Pala & Cengkeh
Pengumpulan:
Minyak Atsiri
Pedagang Pengumpul (Kolektor Tingkat Kecamatan)
Pedagang Pengumpul (Kolektor Tingkat Desa)
Petani Pengumpul
Produksi:
Input:
Industri Olahan Produk Pala (untuk Pangan) Pengumpul
Hanya daging buah pala
Petani Pala/Cengkeh
Pemilik Lahan/Kebun
Pembibitan
Ket: PT Ollop menjual pala langsung ke importir di Belanda melalui pelabuhan ekspor di Surbaya; PT Haite ekspor melalui Jakarta. Gambar 5. Value Chain Komoditas Rempah Pala dan Cengkeh di Maluku.
Tabel 2. Estimasi perolehan margin oleh pedagang pengumpul rempah, tahun 2012 Produk Biji kering pala Banda kelas super (kelas AB) Biji kering pala Banda kelas super (kelas AB) Biji kering pala Banda kelas super (kelas AB) Biji kering pala Banda kering kelas BWP Biji kering pala Banda kering kelas BWP Fuli kering pala Banda Fuli kering pala Banda Biji kering pala Papua Fuli kering pala Papua Cengkeh kering jenis Tuni Cengkeh kering jenis Tuni Cengkeh kering jenis Tuni Cengkeh kering jenis Tuni Cengkeh kering jenis Raja/jenis Hutan Cengkeh kering jenis Raja/jenis Hutan
Lokasi Banda Neira Hila, Leihitu Mamala, Leihitu Banda Neira Hila, Leihitu Banda Neira Hila, Leihitu Gorom, SBT Gorom, SBT Tulehu, Maluku Tengah Mamala, Leihitu Namrole, Buru Selatan Ambalau, Buru Selatan Tulehu, Maluku Tengah Mamala, Leihitu
Harga Beli di Petani (Rp) 120.000 110.000 110.500 90.000 95.000 150.000 175.000 70.000 80.000 80.000 85.000 52.000 64.000 40.000 42.000
Harga Jual ke Pedagang (Rp) 130.000 120.000 120.000 110.000 110.000 175.000 200.000 80.000 90.000 85.000 95.000 92.500 95.000 60.000 60.000
Keuntungan (Rp/kg) 10.000 10.000 9.500 20.000 15.000 25.000 25.000 10.000 10.000 5.000 10.000 40.500 31.000 20.000 18.000
Margin (%) 7,7 8,3 7,9 18,2 13,6 14,3 12,5 12,5 11,1 5,9 10,5 43,8 32,6 33,3 30,0
Sementara itu, produk pala kering di tingkat pedagang besar di Ambon dibeli dengan harga antara Rp 110.000 sampai Rp 130.000. Pada tingkat harga ini, pedagang rempah di Ambon memperoleh keuntungan sebesar Rp 20.400 per kg atau margin sebesar 14,4%. Sememntara itu, ekportir PT Ollop, yang memberikan harga pembelian pala lebih tinggi kepada petani mendapatkan margin keuntungan hampir 37%.
Tabel 3. Estimasi perolehan margin oleh pedagang besar & ekportir rempah di Ambon tahun 2012 Produk
Perusahaan /Lokasi
Biji kering pala Banda kelas super (kelas AB) Biji kering pala Banda kelas super (kelas AB) Biji kering pala Banda kelas super (kelas AB) Biji kering pala Banda kelas super (kelas AB) Biji kering pala Banda kelas super (kelas AB) Biji kering pala Banda kelas super (kelas AB) Fuli kering pala Banda Cengkeh Tuni kering Cengkeh Tuni kering Cengkeh Tuni kering Cengkeh Tuni kering Cengkeh Tuni kering Cengkeh Tuni kering
UD Firman Jaya/Ambon UD Bandar Mas/Ambon UD Sahabat/Ambon Kembang Baru/Ambon Jaya Mas/Ambon PT Ollop (eksportir)/ Hila PT Ollop (eksportir)/ Hila UD Firman Jaya/ Ambon UD Bandar Mas/ Ambon UD Sahabat/ Ambon UD Jaya Yanti/ Ambon Kembang Baru/ Ambon Jaya Mas/ Ambon
Harga Beli di Petani/Pengumpul (Rp/kg) 120.000 120.000 110.000 130.000 130.000 135.000 200.000 85.000 95.000 92.500 90.000 95.000 92.500
Harga Jual ke Surabaya atau Importir (Rp/kg) 142.000 145.000 135.000 145.000 145.000 213.000 300.000 110.000 115.000 113.000 112.000 117.000 115.000
Keuntungan Rp/kg)
Margin (%)
22.000 25.000 25.000 15.000 15.000 78.000 100.000 25.000 20.000 20.500 22.000 22.000 22.500
15,5 17,2 18,5 10,3 10,3 36,6 33,3 22,7 17,4 18,1 19,6 18,8 19,6
Analisis Usahatani Rempah Pada sistem usahatani konvensional, biaya produksi pala dan cengkeh untuk setiap 1 ha diestimasikan masing-masing Rp 11.250.000 dan Rp 16.150.000 dengan keuntungan per tahun sebanyak Rp 37.425.000 (pala) dan Rp 14.275.000 (cengkeh). Hasil dan keuntungan ini baru diperoleh setelah tanaman berumur sekitar 5 tahun dengan asumsi bahwa dalam 1 ha lahan terdapat 150 sampai 160 pohon produktif. Secara ekonomi berusahatani pala dan cengkeh menguntungkan petani (B/C ratio pala: 4,5; B/C cengkeh: 1,7). Jika petani menerapkan sistem organik serta hasil panen/produk yang dihasilkan memiliki sertifikasi organik, maka diestimasikan harga pala dan cengkeh yang diterima oleh petani lebih tinggi dari biasanya dengan B/C ratio berturut-turut 5,5 dan 2,0. Dengan sistem (produk) organik yang mendapatkan pengakuan dari konsumen, petani berpotensi memperoleh tambahan keuntungan sebesar 17% dan 19% masing-masing untuk pala dan cengkeh. Keuntungan ini diperoleh setelah tahun kedua masa produksi untuk pala dan tahun ketiga untuk cengkeh. Tabel 4. Estimasi biaya produksi dan keuntungan dari usahatani pala dan cengkeh. Komponen Usahatani Biaya Tetap: Sewa lahan (Rp/thn) Peralatan kebun Biaya Saprodi: Bibit Pupuk/Pupuk Organik Pestisida Biaya Operasional Usahatani: Pemupukan Pengendalian hama/penyakit Pembersihan kebun Panen & Pascapanen Total Biaya (Rp/thn) Hasil Produksi (kg/tahun) Harga jual (Rp/kg) Pendapatan (Rp/thn) Keuntungan (Rp/thn) B/C Ratio Dengan Sistem Organik: Total Biaya (Rp/thn) Hasil Produksi (kg/tahun) Harga jual (Rp/kg) Pendapatan (Rp/thn) Keuntungan (Rp/thn) B/C Ratio
Pala
Cengkeh
2.500.000 750.000
2.500.000 750.000
1.500.000 750.000 250.000
1.200.000 750.000 250.000
1.250.000 1.500.000 2.000.000 750.000 11.250.000
1.250.000 1.500.000 2.000.000 5.950.000 16.150.000
400 120.000 48.000.000 37.425.000 4,5
350 80.000 28.000.000 11.850.000 1,7
9.500.000 350 150.000 52.500.000 43.000.000 5,5
14.400.000 300 95.000 28.500.000 14.100.000 2,0
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan 1. Pengembangan bibit klonal dengan cara grafting pada sistem budidaya/perbenihan pala secara praktis dapat diterapkan oleh petani, dan secara ekonomi lebih menguntungkan. Teknologi ini perlu ditransfer ke petani dan petani penangkar benih yang nantinya berguna dalam memproduksi bibit bermutu, dan untuk mengatasi persoalan sex ratio pada pertanaman pala mereka. Sementara itu, untuk cengkeh sistem pembibitan konvensional masih sesuai. 2. Pala Banda dan cengkeh Tuni yang sudah didaftarkan di Kementerian Pertanian sebagai komoditas rempah unggulan dari Maluku perlu dilindungi eksistensi dan keberlanjutannya melalui sertifikasi Perlindungan Indikasi Geografis (IG) dan Sertifikasi Organik. Sertifikat IG pala Banda dan cengkeh Tuni merupakan jaminan atas harga premium dan kepastian pasar bagi produsen (petani dan eksportir) dan jaminan kualitas produk bagi konsumen (importir). 3. Harga pala dan cengkeh yang diterima oleh petani di Maluku masih tergolong wajar (fair price) dan tidak dipengaruhi oleh spekulan pasar. 4. Rantai tata niaga/perdagangan pala dan cengkeh di Maluku cukup sederhana dengan dua sampai tiga tingkat ke pedagang besar/eksportir yang terlibat. Rekomendasi a) Petani dan penangkar benih pala di Maluku penting sekali mendapatkan pengetahuan dan keterampilan mengenai teknologi bibit klonal atau bibit grafting. Untuk itu dibutuhkan program pelatihan dan pendampingan; b) Petani pala dan cengkeh di Maluku perlu segera membentuk kelembagaan MPIG agar praktekpraktek baik (good agronomical practices) dalam pengelolaan kebun dan penanganan hasil panen dapat diterapkan; c) Agar bisa mendapatkan harga premium atas produk pala/cengkeh di pasar internasional, petani harus menjaga standar mutu sesuai persyaratan IG. Oleh karena itu, perlu program sosialisasi mengenai IG kepada petani dan stakeholders di daerah; d) Produk pala dan cengkeh perlu mendapatkan sertifikasi IG dan sertifikasi organik; e) Untuk mempertahankan kekhasan produk dan kualitas hasil rempah Maluku, sistem budidaya zero input atau minimum input dan praktek budidaya organik perlu dipertahankan; f) Untuk meningkatkan produktivitas pala dan cengkeh namun kualitas dan kekhasan rempah tetap terjaga maka sistem LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture) dapat dianjurkan untuk diterapkan. g) Dalam tata niaga pala & cengkeh pada level nasional dan internasional, petani di Maluku perlu mendapatkan bargaining power yang kuat, maka diperlukan suatu organisasi yang keberadaannya kuat secara ke dalam dan ke luar. Oleh karena itu, perlu dibentuk organisasi dimaksud. h) Untuk mendapatkan harga beli pala yang lebih stabil, kerjasama dengan eksportir rempah seperti PT Ollop dianjurkan. REFERENSI BACAAN 1. Anonim. 2012. Persaingan pemasaran cengkeh. http://sejarah.kompasiana.com/2012/04/27/kenapa-dulu-eropa-terobsesi-rempah-rempah/ 2. Anonim. 2012. Basis Data Statistik Pertanian, Kementan RI: http://aplikasi.deptan.go.id/bdsp/index.asp
3. Agriculture and Food Council of Alberta. 2004. Value chain guidebook – a process for value chain development, Value Chain Initiative, Alberta, Canada. 4. Heryana N, Supridi H. 2011. Pengaruh IBA dan NAA terhadap keberhasilan grafting tanaman pala. Buletin RISTRI 2 (3): 279-284. 5. Friedman D.D. 1990. Price Theory: An Intermediate Text, South-Western Publishing Co. 6. McCormick and Schmitz. 2001. Manual for value chain research on homeworkers in the garment industry, Institute for Development Studies, University of Sussex, UK (available from www.globalvaluechains.org). LAMPIRAN 1. Dokumentasi kegiatan lapangan
Bibit pala grafting umur 3 tahun (Balittri, Sukabumi)
Usaha pembibitan pala grafting di Desa Ruta, Maluku Tengah
Bibit pala konvensional umur 1 tahun (Desa Wakal, Maluku Tengah)
Usaha Pembibitan pala konvensional di Wakal
2. Tata niaga pala & cengkeh oleh pedagang
Sortasi pala untuk ekspor di Banda Neira, Maluku Tengah
Pengepakan pala dalam karung di Banda Neira, Maluku Tengah
Standar kualitas bibit pala sesuai RSNI Pala No Jenis Pemeriksaan Persyaratan 1 Mutu genetis/asal benih Berasal dari kebun induk varietas pala yang sudah dilepas 2 Mutu fisik bibit: a. Umur (bulan) 8 - 18 b. Tinggi (cm) 40 – 60 c. Diameter batang (cm) >0,5 d. Jumlah daun (lembar) >5 e. Warna daun Hijau sampai hijau tua 3 Kesehatan Bebas dari hama dan penyakit utama Polibag: a. Ukuran (l x t x ketebalan) Minimal 15 x 20 x 0,6 mm b. Warna Hitam Standar kualitas bibit cengkeh sesuai SOP Cengkeh No Jenis Pemeriksaan Persyaratan 1 Mutu Genetis BPT atau pohon induk yang telah memenuhi Asal benih syarat sebagai sumber biji Biji anjuran cengkeh dari Balittri : Zanzibar, Sikotok, Siputih, Ambon, AFO 2 Mutu Fisik f. Umur bibit siap tanam 1 – 2 th g. Tinggi bibit 60-90 cm h. Panjang akar vertikal 42-45 cm i. Panjang akar horisontal 12-27 cm j. Percabangan banyak dan kekar k. Warna daun hijau tua 3 Kesehatan Bebas dari hama dan penyakit Polibag l. Ukuran 25 x 40 cm x 0,15 mm m. Warna Hitam
Standar mutu perdagangan minyak pala dan cengkeh untuk ekspor Standar mutu minyak pala sesusi SNI 06-2388-1991 B.J. 15/15 : 0,854 - 0,925 Putaran optic (nD 20) : +10° - +30° Indeks bias pada 20° C (nD 20 ) : 1,474 - 1,497 Sisa penguapan (dari 3 ml contoh) : maksimum 60 mg Minyak Pelikan : negatif Kelarutan dalam Etanol 90% : 1 : 1 jernih seterusnya jernih 3. Isi Buku Persyaratan pengusulan sertifikasi IG: 1. Pemohon IG (Masyarakat IG) disertai struktur kepengurusan, akta/surat pengesahannya, nama pengurus serta bentuk/format kartu anggota) 2. Nama IG yang dimohonkan 3. Jenis produk IG yang dihasilkan 4. Sejarah keberadaan produk IG dan nilai pasarnya 5. Budaya masyarakat yang mempengaruhi pemeliharaan tanaman, pengolahan dan pemasaran produk IG 6. Deskripsi tanaman dan varietas yang menghasil produk IG 7. Uraian tentang karakteristik wilayah dan batasan wilayah penghasil produk IG 8. Peta wilayah penghasil produk IG 9. Analisis tanah daerah penghasil produk IG 10. Data Hari Hujan dan Curah Hujan bulanan di lokasi penanaman selama 5 tahun 11. Uraian kualitas/kekhasan produk IG: a. Fisik (bentuk, ukuran, warna, tekstur, dll) b. Laboratoris (kadar gula, karbohidrat, lemak, serat dll) c. Organoleptik (rasa, bau dll (bila ada)) 11. Syarat kualitas produk yang dapat menggunakan tanda IG 12. Sistem pengujian kualitas produk internal Masyarakat IG (ada Tim Internal yang dibentuk dan diberi pelatihan dan alat untuk malakukan uji kualitas secara mandiri ) 13. Sistem pengujian kualitas produk eksternal Masyarakat IG (menggunakan laboratorium dan tenaga penguji dari Laboratorium tertentu). 14. Menginventarisir, menyusun, menuliskan dan melatih petani anggota Masyarakat IG mengenai: a) Standar sumber bibit, b) Tata cara dan syarat pembibitan, c) Tata cara dan syarat penanaman, d) Tata cara dan syarat pemeliharaan tanaman, e) Tata cara dan syarat pemetikan hasil, f) Tata cara dan syarat pengangkutan dan penyimpanan hasil, g) Tata cara dan syarat pengolahan produk IG, h) Tata cara dan syarat sortasi kualitas IG, i) Tata cara dan syarat sortasi ukuran produk IG, j) Tata cara dan syarat dan ukuran pengepakan produk IG, k) Tata cara dan syarat penyimpanan produk IG, l) Tata cara dan syarat pelabelan produk IG, m) Kode keterunutan yang akan digunakan pada produk IG,
15. 16.
17. 18. 19. 20. 21. 22.
n) Tata cara dan syarat pemberian kode keterunutan produk IG, o) Tata cara dan syarat pemasaran produk IG Bagan pengolahan produk IG sampai ke pelabelan, pengkodean dan pemasaran Sistem kontrol tata cara, syarat dan kualitas produk IG secara internal dalam Masyarakat IG (ada Tim Pengawas Internal yang dibentuk untuk mengawasi kebenaran pelaksanaan tata cara dan syarat) Sistem kontrol tata cara, syarat dan kualitas produk IG secara eksternal oleh Pembina dan Masyarakat Umum Daftar Kelompok Tani Masyarakat IG disertai nama Kelompok, Nama Ketua, desa dan kecamatan wilayah kerja, luas areal Kelompok, perkiraan produksi per tahun. Daftar Pengolah Produk IG dengan menyebutkan nama Pengolah, Nama Ketua/Pemilik unit Pengolahan, desa dan kecamatan lokasi unit pengolahan, kapasitas olah per tahun Daftar Pemasar Produk IG dengan menyebutkan nama Pemasar, lokasi gudang, wilayah pemasaran dan kapasitas pemasaran/tahun. Lambang dan label IG yang diusulkan Surat Bupati kepada Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM yang menyatakan dukungan terhadap kegiatan Masyarakat IG ....... untuk mengusulkan agar produk ……………………… yang merupakan produk khas wilayah ………………………………… mendapatkan sertifikat Indikasi Geografis (proses untuk mendapatkannya dibantu oleh Dinas Perkebunan/Pertanian setempat)
DAFTAR LEMBAGA SERTIFIKASI ORGANIK 1. Lembaga Sertifikasi Organik Sucofindo Graha Sucofindo Lt. 6 Jl. Raya Pasar Minggu Kav. 34 Jakarta 12780; Telp. (021) 7986875 Produk Segar yang disertifikasi: Tanaman dan Produk Tanaman (pangan, hortikultura, palawija dan perkebunan; Ternak dan produk Ternak :susu, telur, daging dan madu) Contact person: Syaeful 2. Lembaga Sertifikasi Organik MAL Jl. Raya Bogor No. 19 Km. 33.5 Cimanggis, Depok Telp. (021) 874020 Produk Segar yang disertifikasi : pangan, hortikultura, palawija dan perkebunan; Ternak dan Produk Hasil Ternak : daging, susu, telur dan madu; Pakan Ternak Contact person: Syarip Lambaga 3. Lembaga Sertifikasi Organik INOFICE Jl. Tentara Pelajar No. 1 Bogor Telp. (0251)382641 Produk Segar yang disertifikasi: Tanaman; Produk Segar Ternak Contact person: Ahmad Hidayat 4. Lembaga Sertifikasi Organik Sumatera Barat Jl. Raden Saleh No. 4 A Padang; Telp. (0751) 26017 Produk Segar yang disertifikasi: pangan, hortikultura Contact person: Yelfi 5. Lembaga Sertifikasi Organik LeSOS PO BOX 03 Trawas, Mojokerto 61375; Telp.(0321) 618754 Produk Segar yang disertifikasi: Tanaman dan produk Tanaman Contact person: Suroso 6. Rainforest Alliance Jl. Kapten Cok Agung Tresna, Griya Alamanda Blok No. 17, Lingkungan Jayagiri, Denpasar Timur, Bali, Indonesia 80234
Telpon: (62-362) 256689; Fax (62-361) 256634 Contact person: Peter Sprang Daftar informan kunci yang dihubungi Pemerintah & peneliti Bapak Mus Tuanaya, Kepala Bidang Perkebunan, Dinas Pertanian Maluku, Ambon (HP: 081343017017) Bapak Ali Wael, Kepala Dinas Pertanin Buru Selatan, Namrole (HP: 081343411747) Bapak Zaky, Direktorat HKI KemenHUM& HAM (urusan sertifikasi IG), Jakarta (HP: 0878815253240) Bapap Rialdi, Pejabat Ditjenbun Kementerian Pertanian, Jakarta (HP: 085243148487) Bapak Muh. Aziz, Pejabat Ditjenbun Kementerian Pertanian, Jakarta (HP: 081218153315) Bapak Agus Hermawan, Kepala Balittro, Bogor (HP: 0811116151) Bapak Achmad Sarjana, Kepala BBP2TP, Ambon (HP: 081388239479) Bapak Nana Haryana, Peneliti Balittri, Sukabumi (HP: 081280237001) Bapak Hadad, Peneliti Balittri, Sukabumi (HP: 081310291692) Bapak Surip Mawardi, Peneliti Medan (HP: 08123473256) Pedagang/pelaku usaha pala & cengkeh: Bapak Chair Abdul, direktur PT Ollop, Hila, Maluku Tengah (HP: 082115277747) Bapak Tatu, staf PT Ollop, Hila, Maluku Tengah (HP: 085243814522) Bapak A. Purwanto, direktur PT Banda Permai, Ambon (HP: 081343158190) Bapak Edi Kotiawan, usahawan Jaya Mas, Ambon (Tlp: 0911-342355; 0911-356353) Bapak Viktor Gunawan, usahawan Kembang Baru, Ambon (Tlp: 0911-315671) Ibu Ery, usahawan Jaya Yanti, Ambon (HP: 085243131583) Bapak Adnan, usahawan Sahabat, Ambon (HP: 0811474744) Bapak La Saida, usahawan Banda Mas, Ambon (HP: 081247317159) Bapak Udin, usahawan Firman Jaya, Ambon (HP: 085243103744) Bapak Yasim Sialana, ketua KUD Tomasiwa, Morella, Maluku Tengah (HP: 081247122783) NGO Bapak Suhirman, Dewan Rempah Indonesia, Jakarta (HP: 08138644056) Ibu Sofiati Mukadi, Dewan Rempah Indonesia, Jakarta (HP: 08188499942) Bapak Meika S. Rusli, ketua Dewan Atsiri Indonesia, Jakarta (HP: 08121103255) Bapak Yogi, Micra, Jakarta (HP: 087873373130) Petani pala Bapak Pongky van Denbrook, Banda Neira, Maluku Tengah (HP: 085243670512) Bapak Mewar, Wakal, Maluku Tengah Bapak Widodo, Kebun Cengkeh, Ambon Petani cengkeh Ibu Devi Siswanto, Namrole, Buru Selatan (HP: 081234029876) Bapak Thaib Solissa,Namrole, Buru Selatan (HP: 082198772999) Sertifikasi Organik Rainforest Alliance, Mr. Peter Sparang (HP: 0818352626) IMO, Bapak J. Indro Surono, Ciomas, Bogor (HP: 08129975306) OKPO, Ibu Sri Purwanti, Kementerian Pertanian, Jakarta (HP: 08567503620)