1
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Tujuan umum pembangunan peternakan, sebagaimana tertulis dalam Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Peternakan Tahun 2010-2014, adalah meningkatkan penyediaan pangan hewani dan kesejahteraan peternak melalui kebijakan dan program pembangunan peternakan yang berdaya saing dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal. Secara khusus tujuan pembangunan peternakan adalah (1) Meningkatkan jaminan ketersediaan benih dan bibit ternak yang berkualitas, (2) Meningkatkan populasi dan produktivitas ternak ruminansia, (3) Meningkatkan populasi dan produktivitas ternak non-ruminansia, (4) Meningkatkan dan mempertahankan status kesehatan hewan, (5) Meningkatkan jaminan keamanan produk hewan dan (6) Meningkatkan pelayanan prima kepada masyarakat. Sedangkan kegiatan prioritas Direktorat Jenderal Peternakan adalah Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014, melalui kegiatan pokok: (1) Peningkatan kuantitas dan kualitas benih dan bibit dengan mengoptimalkan sumberdaya lokal, (2) Peningkatan produksi ternak ruminansia dan nonruminansia dengan pendayagunaan sumberdaya lokal, (4) Pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan menular strategis dan penyakit zoonosis, (5) Penjaminan pangan asal hewan yang aman dan halal serta pemenuhan persyaratan produk hewan nonpangan dan (6) Peningkatan koordinasi dan dukungan manajemen di bidang peternakan (Ditjennak 2009a: 28-51). PSDS Tahun 2014. Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 merupakan salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik. Saat ini kebutuhan daging sapi terus meningkat. Produksi daging sapi lokal selama kurun waktu 2005 sampai dengan 2009 mengalami fluktuasi. Dari tahun 2005 hingga tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 19,2%, lalu terjadi penurunan pada tahun 2007 menjadi 18,8% dan selanjutnya mengalami peningkatan lagi sampai dengan tahun 2009 dengan rata-rata peningkatan 9,1% per tahun. Kekurangan kebutuhan untuk konsumsi dipenuhi dari impor ternak bakalan (feeder cattle) dan daging sapi. Selama kurun waktu tahun 2005 sampai dengan 2008 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 10,6% per tahun dan pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 5%
2
dibanding tahun 2008. Sementara itu, pertumbuhan populasi sapi potong dari tahun 2005 hingga 2009 mengalami kenaikan. Pada tahun 2005 populasi sapi sebanyak 10,5 juta ekor dan pada thaun 2006 menjadi 10,9 juta ekor, atau meningkat 2,8%. Kenaikan populasi meningkat tajam pada tahun 2007 dan 2008 yakni masing-masing 5,5% dan 6,9%. Kenaikan sapi ini kemudian melambat pada tahun 2009 yaitu menjadi 2,4%. (Ditjennak 2010:12). Isu strategis yang menjadi permasalahan sekaligus
tantangan menuju
swasembada daging sapi ini adalah masih rendahnya produktivitas sapi lokal, yang ditunjukkan dengan (1) tingginya tingkat kematian sapi di beberapa wilayah, yaitu untuk pedet antara 20 sampai 40% dan sapi induk 10 hingga 20 persen, (2) sapi betina produktif yang dipotong mencapai 150-200 ribu ekor per tahun (3) banyak sapi-sapi muda yang dipotong sebelum mencapai berat optimalnya, sehingga sapi hanya memproduksi daging sekitar 60-80% dari potensi maksimalnya, (4) produktivitas sapi yang masih sangat beragam, antara lain sapi persilangan hasil inseminasi buatan (IB) yang dipelihara dengan cara seadanya dan (5) langkanya sapi jantan di daerah sumber bibit dengan pola pemeliharaan ekstensif (digembalakan) karena semua sapi jantan dijual atau dipotong. PSDS 2014 ini diimplementasikan melalui lima kegiatan pokok, yaitu (a) Penyediaan sapi bakalan/daging sapi lokal, (b) Peningkatan produktivitas dan reproduktivitas sapi lokal, (c) Pencegahan pemotongan sapi betina produktif, (d) Penyediaan sapi bibit, (e) Pengaturan stock daging sapi dalam negeri. Secara lebih rinci, lima kegiatan pokok tersebut dijabarkan menjadi 13 kegiatan operasional
yang
meliputi:
(1)
Pengembangan
usaha
pembiakan
dan
penggemukan sapi lokal, (2) Pengembangan pupuk organik dan biogas, (3) Pengembangan integrasi ternak-tanaman, (4) Pemberdayaan dan peningkatan kualitas rumah potong hewan, (5) Optimalisasi kegiatan IB dan intesivikasi kawin alam, (6) Penyediaan dan pengembangan pakan dan air, (7) Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan, (8) Penyelamatan sapi betina produktif, (9) Penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha perbibitan, (10) Pengembangan usaha perbibitan sapi potong melalui village breeding center (VBC), (11) Penyediaan bibit sapi melalui subsidi bunga (program kredit usaha pembibitan sapi/KUPS), (12) Pengaturan stock sapi bakalan dan daging, (13) Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi dan daging serta operasional kegiatan pusat/provinsi/kabupaten/kota.
3
Beberapa kegiatan operasional PSDS 2014 dalam mendukung kegiatan pokok sebagaimana tersebut di atas, antara lain melalui (1) penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha perbibitan, (2) pengembangan usaha pembibitan sapi potong melalui VBC dan (3) kegiatan optimalisasi IB. Khusus kegiatan optimalisasi IB, ini dilakukan mengingat (1) potensi populasi ternak sapi induk yang ada, (2)
teknologi IB yang sudah dikuasai dan sudah banyak
diadopsi oleh peternak, (3) jumlah SDM (inseminator, pemeriksa kebuntingan dan asisten teknik reproduksi) yang tersedia
dan (4) dukungan infrastruktur
(produksi semen, peralatan, kelembagaan IB dan peternak). Hal ini juga sejalan dengan visi Direktorat Jenderal Peternakan 2009-2014, yaitu menjadi direktorat jenderal peternakan yang profesional dalam mewujudkan peternakan yang berdaya saing dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal untuk mewujudkan penyediaan dan keamanan pangan hewani serta meningkatkan kesejahteraan peternak. Teknologi IB diperkenalkan di Indonesia pada tahun lima-puluhan. Kemudian mulai dilakukan ujicoba dan disosialisasikan ke daerah-daerah pada tahun 1969, namun kebijakan penerapan IB oleh Pemerintah c.q Direktorat Jenderal Peternakan baru dimulai tahun 1976 bersamaan dengan diresmikannya Sentra Inseminasi Buatan Lembang. Kebijakan penerapan IB saat itu ditujukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas sapi perah dan sapi potong. Untuk sapi perah ditempuh melalui grading-up dengan mendatangkan pejantan unggul (proven bull) dari luar negeri. Sedangkan untuk sapi potong, melalui grading-up ternak asli seperti sapi Bali dan Ongole dan melalui persilangan dengan sapi potong dari luar negeri (BIB Lembang 2001:1). Inseminasi Buatan sebagai teknologi reproduksi dalam penerapannya tidak dapat dipisahkan dengan sistem perkawinan yang merupakan salah satu instrumen dalam mengimplementasikan kebijakan di bidang perbibitan. Menurut Gordon (2004:49-50), bahwa IB sebagai teknologi reproduksi, tidak diragukan lagi adalah cara yang paling penting yang diterapkan pada sapi selama abad 20, karena IB secara relatif, lebih murah dan mudah untuk diterapkan. Menurut Skjervold (1982:13-14), selama dua dekade terakhir IB telah menjadi cara perkawinan yang paling penting, dan lebih jauh IB telah memberikan dimensi baru pada kegiatan pembibitan ternak sapi. Inseminasi Buatan, secara umum bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu genetik ternak hasil IB, (2) mempercepat penyebaran gen-gen unggul pada sapi
4
keturunannya dan (3) meningkatkan efisiensi penggunaan pejantan unggul (Foote 1981:13-39 dan Gordon 2004:51). Implikasi dari penerapan IB ini adalah meningkatnya produksi dan produktivitas ternak turunannya, sekaligus dapat meningkatkan populasi. Setelah hampir empat dekade sejak IB diperkenalkan, fenomena respons masyarakat terhadap teknologi IB ini bervariasi. Fenomena tersebut secara umum dapat dikategorikan menjadi empat macam: (1) menjadi IB minded, (2) menerima, (3) masih mencoba-coba dan (4) menolak. Dari aspek penyuluhan, teknologi IB telah menggantikan cara perkawinan sapi yang selama ini dilakukan secara turun-temurun, yaitu kawin secara alami. Aspek lain, pemeliharaan sapi potong dan cara perkawinan telah menjadi bagian dari sistem sosial dan budaya masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, proses perubahan perilaku peternak sapi potong dalam merespons IB sebagai suatu inovasi teknologi reproduksi bukanlah hal yang sederhana. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor dan prosesnya membutuhkan waktu. Beberapa faktor yang mempengaruhi respons peternak dengan diperkenalkannya suatu inovasi, secara umum dipengaruhi oleh masalah teknis, sosial, ekonomi dan budaya. Menurut Lionberger dan Gwin (1982:5) hal tersebut sebagian dipengaruhi oleh (1) faktor individu, (2) sebagian oleh situasi di mana dia berada, dan (3) sifat dari gagasan inovasi tersebut. Lebih jauh dikatakan, bahwa respons terhadap suatu inovasi sangat berbeda antara orang-perorang dan masyarakat yang satu dengan yang lain, serta peubah-peubahnya juga berbeda. Hal ini mengindikasikan diperlukannya pendekatan yang berbeda dalam memberikan penyuluhan IB kepada masyarakat. Terhadap perkawinan silang ataupun pemurnian yang menggunakan IB di Indonesia, Hardjosubroto et al., (1997:250) mengingatkan agar memperhatikan aspek sosial dan budaya. Artinya, persoalan kebijakan bibit tidak semata-mata masalah teknis dan/atau ekonomi saja, tetapi juga menyangkut masalah sosial dan budaya. Sebagai contoh, persilangan antara sapi Madura dengan pejantan Santa Gertrudis di Socah Madura, telah menghasilkan sapi Madrali yang lebih produktif. Tetapi sapi Madrali akhirnya ditolak oleh penduduk karena sapi Madrali tidak dapat digunakan untuk karapan. Contoh lain misalnya hasil persilangan antara sapi PO dengan sapi Hereford di Sawangan Jawa Tengah, yang walaupun dari segi produksi cukup baik, tetapi telah mengecewakan penduduk karena sapi hasil silangan ini tidak berpunuk sehingga tidak dapat digunakan untuk membajak.
5
Dari aspek kebijakan perbibitan, Pane (1993:2) sangat menyayangkan bahwa hingga saat ini tidak ada data yang lengkap, baik itu hasil pemurnian sapi Ongole di Sumba maupun hasil persilangan antara sapi Ongole (murni) dengan sapi Jawa menjadi sapi PO (Peranakan Ongole). Bahkan sapi PO, walaupun sudah menjadi suatu jenis tersendiri –kini banyak disilangkan dengan sapi Simental dan Limousine- tapi performansnya belum diketahui. Demikian pula dengan komposisi darahnya. Seharusnya, sebelum suatu usaha peningkatan mutu sapi tersebut dimulai, sudah diketahui terlebih dahulu mutu dan komposisi darah tetuanya (Pane 1993: 23). Belum lagi sapi perah Grati, bagaimana komposisi darahnya? Hal ini mengakibatkan tujuan perbaikan mutu genetik sapisapi di Indonesia menjadi tidak jelas. Pengorganisasian IB ini melibatkan banyak institusi, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Dari aspek kebijakan, masalah perbibitan masih merupakan kewenangan Pusat (Pemerintah). Penyediaan peralatan dan bahan, khususnya container dan N 2 cair oleh perusahaan swasta. Sedangkan pelaksana di lapangan dilakukan oleh inseminator. Terdapat dua status inseminator, yaitu (1) sebagai aparat pemerintah (Inseminator plat merah) dan (2) yang dilakukan oleh masyarakat sendiri (inseminator swadaya/mandiri), khususnya untuk daerah-daerah yang sudah maju dan peternaknya sudah IB-minded. Setelah sekitar empatpuluhan tahun IB ini diperkenalkan dan diterapkan pada
peternakan
sapi
potong,
maka
perlu
dilakukan
penelitian
yang
komprehensif dan mendalam, apakah hasilnya ini sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dalam penetapan kebijakan perbibitan; atau, adakah implikasi-implikasi lain yang mengharuskan pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan perbibitan tersebut.
Masalah Penelitian Proses adopsi dan difusi inovasi IB bukanlah hal yang sederhana. Hal ini dipengaruhi banyak faktor, yaitu (1) peternaknya sendiri, (2) lingkungan di mana peternak berada dan (3) persepsi peternak terhadap IB dari aspek teknis, sosialbudaya, ekonomi dan kebijakan pemerintah di bidang perbibitan. Oleh karena itu, IB sebagai suatu inovasi, akan membawa implikasi baik secara teknis, sosialekonomi maupun budaya suatu sistem sosial (masyarakat). Menurut van den Ban dan Hawkins (1999:140), dalam kebanyakan penelitian tentang difusi inovasi, sedikit sekali perhatian diberikan terhadap perubahan yang besar dalam struktur sosial atau cara hidup masyarakat. Perubahan kelembagaan dan
6
masyarakat jarang diteliti, padahal perubahan sosial yang demikian sangat penting, khususnya di kalangan masyarakat pedesaan. Inseminasi
Buatan
adalah
salah
satu
teknologi
reproduksi
yang
diperkenalkan sejak empat dekade yang lalu. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan persepsi peternak terhadap IB, ada yang setuju dengan penerapan IB, ada yang ragu-ragu, bahkan ada yang menolak. Secara teknis,
IB sebagai salah satu teknik perkawinan sekaligus sebagai
instrumen implementasi kebijakan perbibitan pada sapi, telah (1) mempercepat penyebaran gen-gen sapi unggul, baik yang berasal dari sapi pejantan asli dan lokal, maupun yang berasal dari sapi-sapi impor, khususnya jenis Simental, Limousin dan Brahman, (2) menggantikan sistem kawin alami yang selama ini digunakan oleh masyarakat. Hal ini berarti telah mengubah (a) status kepemilikan sapi jantan, khususnya pejantan “unggul” sebagai pemacek, (b) peran peternak pemilik pemacek dalam masyarakat dan (c) hubungan (interaksi) sosial antara peternak pemilik pemacek dan masyarakat pengguna pemacek tersebut. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sapi turunan hasil perkawinan silang antara sapi impor dan sapi asli atau lokal, mempunyai harga jual yang lebih tinggi dibanding dengan harga sapi turunan hasil perkawinan antar sapi asli ataupun sapi lokal (pemurnian). Hal ini disebabkan turunan hasil persilangan mempunyai berat lahir, pertambahan berat badan harian dan berat hidup yang lebih tinggi. Oleh karena itu, perkembangan jumlah akseptor IB, khususnya untuk persilangan, pada tiga dekade awal sangat pesat. Sedangkan pada separuh dekade terakhir menunjukkan tanda-tanda kejenuhan, bahkan penurunan. Berdasarkan fakta-fakta di atas, dari sisi tujuan pemerintah untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak sapi potong, dan meningkatkan pendapatan peternak sapi potong, telah menunjukkan keberhasilan. Namun, dari sisi perbibitan sapi potong, jika keinginan peternak untuk menyilangkan sapi asli atau lokal dengan sapi impor tidak direncanakan dengan baik, dikendalikan, tidak dicatat secara rapih dan lengkap, maka arah kebijakan perbibitan sapi potong akan menjadi kabur. Sapi asli dan lokal sebagai kekayaan sumberdaya genetik ternak Indonesia akan punah karena tidak dilakukan konservasi, seperti kasus sapi Jawa. Sementara,
hasil persilangan dengan sapi impor tidak
teridentifikasi dengan jelas, baik silsilah maupun komposisi darah tetuanya. Dari aspek sosial-budaya, beberapa
kasus juga menunjukkan bahwa walaupun
7
terjadi peningkatan produktivitas sapi turunan hasil persilangan, tetapi secara sosial-budaya tidak dapat diterima oleh masyarakat, seperti hasil persilangan antara sapi Madura dan Santa gertrudis, tidak dapat untuk karapan. Begitupun persilangan antara sapi
PO dan sapi Hereford walaupun dari segi produksi
cukup baik, tetapi telah mengecewakan penduduk karena turunannya tidak berpunuk sehingga tidak dapat digunakan untuk menarik bajak, dan lain-lain. Fenomena ini perlu diteliti lebih beragam dan lebih dalam untuk memperoleh realitas sebenarnya dari implikasi penerapan IB di masyarakat. Sebagai suatu inovasi teknologi, sejauh ini penelitian IB lebih banyak dilakukan terhadap aspek teknisnya, sedikit sekali penelitian IB dikaitkan dengan masalah ekonomi dan sosial-budaya, lebihjauh dikaitkan dengan masalah perilaku dan perubahan sosial. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang menyeluruh dan mendalam terhadap implikasi penerapan IB dalam masyarakat, terutama dikaitkan dengan karakteristik peternak sapi potong dan persepsi mereka
terhadap IB baik dari aspek teknis, sosial-budaya, ekonomi dan
kebijakan pemerintah. Masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah karakteristik internal dan eksternal serta karakteristik usaha peternak sapi potong peserta IB?
2.
Bagaimanakah persepsi peternak sapi potong terhadap IB dari aspek teknis, sosial-budaya, ekonomis dan kebijakan di bidang IB?
3.
Bagaimanakah pola keterkaitan karakteristik internal dan eksternal peternak sapi potong, karakteristik usaha dan persepsi peternak tentang IB terhadap tingkat penerapan dan kecepatan adopsi inovasi IB?
Tujuan Penelitian Penelitian implikasi kebijakan perbibitan sapi terhadap adopsi inovasi IB pada peternak sapi potong ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tingkat dan kecepatan adopsi inovasi IB. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk: 1.
Mengidentifikasi penerapan IB berdasarkan karakteristik internal dan eksternal serta karakteristik usaha peternak sapi potong.
2.
Mengidentifikasi persepsi peternak sapi potong terhadap aspek teknis, sosial-budaya, ekonomis dan kebijakan di bidang IB.
3.
Membangun model yang dapat menjelaskan pola keterkaitaan faktor-faktor yang terkait dengan penerapan IB pada peternak sapi potong.
8
4.
Merancang strategi kebijakan IB dilihat dari karakteristik internal dan eksternal, karakteristik usaha, persepsi peternak tentang IB, tingkat penerapan dan kecepatan adopsi inovasi IB pada peternak sapi potong. Kegunaan Penelitian dan Novelty Melalui pemahaman karakteristik internal dan eksternal, karakteristik usaha
dan persepsi peternak sapi potong terhadap tingkat penerapan dan kecepatan adopsi inovasi IB sebagai instrumen implementasi kebijakan perbibitan di sentra sapi potong, maka dapat diperoleh novelty berupa informasi
dasar sebagai
bahan masukan penyusunan modul/kurikulum penyuluhan di bidang perbibitan sapi potong yang berbasis spesifikasi lokasi dan sebagai dasar penyusunan standar pelayanan IB yang berorientasi kepada kebutuhan dan harapan peternak sapi potong sebagai pengguna. Kegunaan ataupun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan sumbangan pemikiran yang dapat menambah khasanah keilmuan penyuluhan pembangunan pertanian dengan menyediakan data dan informasi tentang keterkaitan karakteristik internal dan eksternal peternak, karakteristik usaha, persepsi dan tingkat penerapan IB serta kecepatan adopsi inovasi IB peternak sapi potong. 2. Diperolehnya informasi kebutuhan dan harapan peternak sapi potong sebagai sasaran penyuluhan dan pelanggan pelayanan IB. 3. Memberikan
masukan
kepada
Pemerintah
c.q.
Direktorat
Jenderal
Peternakan dalam penyusunan kebijakan di bidang perbibitan sapi potong yang dilakukan melalui penerapan IB.