1
I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Air merupakan sumberdaya alam penting bagi kehidupan manusia yang berfungsi sebagai konsumsi air bersih, keperluan kebersihan dan kesehatan, maupun kegiatan perekonomian seperti industri, pertanian, dan pariwisata. Khusus di bidang pertanian, air merupakan salah satu sumber penggerak agraria, menduduki posisi strategis dalam sejarah perkembangan pertanian, khususnya pertanian sawah yang menjadi basis utama ketahanan pangan nasional. Pemanfaatan air untuk kegiatan pertanian melalui penataan sistem pengairan sudah dilakukan sejak kegiatan pertanian masih bersifat tradisional. Fase awal, sistem pengairan pertanian sangat sederhana dengan mengalirkan air secara bebas (free intake) dan sumber air yang terdapat disekitar lahan. Penguasa tidak membebani rakyat dengan kewajiban terkait air, tetapi lebih kepada kewajiban memberi upeti hasil panen atas lahan yang dikelola. Pengairan kemudian berkembang sampai sistem yang rumit dan kompleks dengan memanfaatkan bendungan irigasi permanen, waduk, dan pompa. Sekitar pertengahan abad 19, pemerintah kolonial Belanda sudah menginisiasi pembangunan sistem irigasi skala besar sehingga banyak sawah tadah hujan dikonversi menjadi sawah beririgasi (Pasandaran, 2006). Pada fase ini mulai timbul kewajiban petani membayar sewa bendungan kepada pemerintah kolonial. Penataan air untuk keperluan usahatani selalu mengandung konsep kolektifitas karena prinsipnya memanfaatkan sumberdaya secara bersama (common resources). Oleh karena itu, perkembangan pengairan memunculkan beragam lembaga pengairan baik bersifat lokal hingga lembaga pengairan modern yang diinisiasi pemerintah atau LSM. Pemerintah selalu berkepentingan mengatur pemanfaatan air agar bisa lebih efisien dan dapat diakses oleh semua orang, termasuk untuk tujuan konsumsi air bersih dan keperluan lainnya. UUD 1945 pasal 33 menyatakan kewenangan mengelola sumberdaya air sebagai hak dan tanggungjawab negara untuk digunakan sebesar-sebesarnya bagi kesejahteraan rakyat. Kelimpahan air dengan sumber dari hutan yang subur, sungai dan anak sungai yang jumlahnya banyak, merupakan faktor lingkungan yang diadaptasi dalam mengkonstruksi budaya pertanian sawah sebagai budaya khas petani Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali. Hal ini telah membuat para penguasa optimis mengadopsi modernisasi pertanian melalui program revolusi hijau, mengadopsi teknologi yang membutuhkan pengairan secara intensif. Persyaratan pengairan yang cukup dan tersedia sesuai kebutuhan tanaman, bukan persoalan bagi keberlangsungan program seperti Bimas yang akhirnya menghantar Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Besarnya peran sumberdaya air dalam penyediaan pangan mengukir sejarah pengairan pertanian di Indonesia sekaligus menunjukkan dinamika aktor yang dominan dalam penguasaan sumberdaya air. Pada era raja-raja, peran petani sangat besar. Sumberdaya lahan dan air diakui sebagai milik raja sehingga penguasa berkepentingan terhadap upeti dari hasil usaha petani. Pendudukan kolonial yang membangun sarana irigasi permanen, mengharuskan petani membayar sewa sarana yang ada, sekalipun pembangunan ini sebenarnya
2
memiliki kepentingan perdagangan negara kolonial sendiri. Peran aktor kolonial sangat dominan. Masyarakat yang bekerja keras untuk mencapai produksi optimal, namun tetap miskin karena hasil produksi sebagian besar diserahkan pada penguasa. Setelah negara kesatuan republik Indonesia berdiri, sejak awal Indonesia merdeka hingga paruh waktu era Orde Baru, negara mengambil alih peran sebagai aktor dominan. Hampir semua sumberdaya alam termasuk kelembagaannya dikooptasi negara secara ketat melalui kebijakan non-dialogis dan bersifat topdown (Dharmawan, 2005). Strategi modernisasi padat teknologi dan pendampingan yang kuat dari negara berhasil meningkatkan produksi hingga mencapai swasembada pangan. Pertumbuhan produksi dinilai sebagai keberhasilan negara dalam melaksanakan pembangunan dengan bukti pertumbuhan ekonomi yang setara dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya, paruh akhir era Orde Baru hingga awal era reformasi, negara mengendurkan perannya seiring dengan peran pasar yang semakin menguat. Sumberdaya alam yang bersifat open accsess merangkak diatur dan dikomersialisasikan. Upaya penanganan pengairan dengan pembangunan bendungan dan waduk menggoreskan sejarah pertarungan kepentingan yang panjang dan dinamis, seperti kasus Kedung Ombo, Gajah Mungkur, dll. Pertumbuhan penduduk, perkembangan sektor wisata dan beragam industri, meningkatkan permintaan terhadap sumberdaya air. Meski belum diatur dalam undang-undang yang formal, air mulai merangkak menjadi komoditas ekonomi yang dieksploitasi besar-besaran, diolah, dan dimanfaatkan untuk mengisi kebutuhan pasar. Kritik terhadap kedua fase diatas memunculkan dinamika baru dalam politik ekonomi sumberdaya air. Secara formal negara semakin menarik diri dan membuka ruang partisipasi lebih besar bagi masyarakat untuk merencanakan, mengelola, dan mengontrol pemanfaatan sumberdaya air. UU No.7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, diperkuat dengan UU No. 22/1999 dan UU No 32/2004 tentang otonomi daerah, menegaskan kuatnya kemauan politik untuk mengurangi dominasi negara diwujudkan sebagai bentuk pengakuan terhadap eksistensi daerah, lembaga tradisional, maupun masyarakat adat. Meski demikian UU No.7 tahun 2004 khususnya pasal 7 memuat tentang Hak Guna Usaha Air yang membuka celah adanya hak investor untuk mengelola dan mengusahakan air. Peluang ini direspon cepat oleh para investor untuk menanamkan investasi di sektor air. Wacana konsumsi air minum dalam kemasan (AMDK) dan air minum isi ulang (AMIU) merupakan manifestasi pengetahuan yang mengawali perkembangan industri air yang marak sehingga mengancam kebutuhan air untuk pertanian. Setelah sekian lama berada pada rejim otoriterian, kebijakan pengalihan tanggungjawab dan wewenang dari negara kepada daerah atau masyarakat (devolusi) menimbulkan beragam reaksi yang menunjukkan pencapaian demokratisasi yang belum efektif (Adiwibowo at all, 2010). Perubahan dominasi aktor yang mewarnai perjalanan pembangunan pertanian dan pengelolaan sumberdaya air di Indonesia, berlangsung pada saat beragam sumberdaya alam seperti hutan, tambang, lahan, perikanan, bahkan air, telah dieksploitasi besar-besaran. Kuantitas maupun kualitas lingkungan sudah sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Realitasnya, otonomi daerah belum berhasil sepenuhnya mendudukkan aktor grassroots sebagai perencana,
3
pelaksana, dan pengontrol jalannya pembangunan pertanian. Proses demokratisasi yang belum efektif ini diindikasikan oleh kekuatan politik rakyat yang seringkali hanya diakui dalam proses pemilihan pemimpin dan wakil rakyat, selanjutnya menjalankan wewenang dan kekuasaannya dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada sebesar-besarnya untuk tujuan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Pencapaian tujuan di atas menghadapkan grassroots pada kekuatan pasar yang didukung oleh aktor negara. Akibatnya menimbulkan beragam corak konflik. Pada beberapa kasus, secara material masyarakat yang hidup dekat dengan sumberdaya alam hanya bisa menonton kekayaan alamnya dieksploitasi dan dibawa menjauh dengan meninggalkan dampak lingkungan yang membahayakan dalam jangka panjang. Resiko warisan kapitalis ini menjadi tanggungan beberapa generasi ke depan yang sulit diperkirakan masa pemulihannya. Kasus illegal logging dihampir seluruh wilayah hutan subur Indonesia, kasus tambang batu bara di Kalimantan, hingga tambang emas di Papua, menunjukkan bagaimana kekayaan sumberdaya alam Indonesia dibawa dan dimanfaatkan oleh orang luar dengan meninggalkan resiko lingkungan yang parah bagi masyarakat setempat. Pemanfaatan sumberdaya alam dalam aliansi aktor negara dan swasta menciptakan kesenjangan, yang menjebak kelompok grassroots dalam kemiskinan karena terpaksa mengais rejeki dengan beragam cara (sistem usahatani, penangkapan ikan, tambang batu/pasir/emas/timah dalam skala kecil-kecilan). Kondisi seperti ini justeru dituduh oleh negara maupun dunia internasional sebagai “liar” dan penyebab kerusakan lingkungan (Suradisastra at all, 2009). Sistem Pengairan Subak di Bali Bali merupakan salah satu kantong beras nasional yang dikenal memiliki kelembagaan pengairan tradisional subak. Fungsi utama subak adalah mengelola air irigasi untuk memproduksi pangan tanpa mengabaikan ekosistem air itu sendiri. Sifat subak sangat adaptif, terbuka dengan introduksi baru, dan sangat adil dalam mengatur air bagi kepentingan anggotanya. Subak dikenal dengan alat keirigasian yang nampak sederhana tapi merupakan salah satu organisasi petani pemakai air paling canggih di seluruh dunia (Disparbud (2011). Kepentingan pemenuhan pangan secara lokal maupun nasional menempatkan posisi subak pada realitas kelembagaan yang sangat penting. Kekaguman pada kelembagaan ini terletak pada kelentingannya menghadapi intervensi negara. Program pembangunan pertanian yang dirancang oleh pusat dilaksanakan oleh petani Bali dengan melakukan modifikasi sehingga kelembagaan subak dengan prinsip-prinsip yang dianut tetap berjalan sebagaimana mestinya. Meski demikian, subak memiliki kelemahan untuk bertahan dalam menghadapi perubahan-perubahan eksternal (Windia, 2010). Laju pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik yang pesat membutuhkan bahan yang diambil dari alam sehingga kegiatan seperti penambangan pasir dan batu, penebangan hutan, alih fungsi lahan, pengolahan lahan sumber resapan air, hingga pemanfaatan sumber-sumber air untuk kepentingan di luar pertanian menyebabkan kerusakan lingkungan yang berdampak pada ketersediaan air. Pertambahan penduduk, pembangunan sarana prasarana, kegiatan ekonomi, merupakan faktor yang secara massif meminggirkan kelembagaan subak. Ini menandaskan bahwa subak yang sangat otonom, dalam perkembangannya sangat
4
dipengaruhi oleh situasi eksternal terkait perkembangan politik, ekonomi, dan lingkungan. Penelitian ini bermaksud melakukan kajian terhadap subak dengan mentautkan ekonomi politik dan ekologi. Di negara dunia ketiga, krisis ekologi akibat eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, sebagian besar berpangkal pada ketidaksetaraan relasi kekuasaan dan selalu ditemukan kelompok atau aktor yang termarjinalkan (Bryant and Bailey, 1997; Forsyth, 2003). Masalah lingkungan tidak bisa diisolasi dari konteks ekonomi dan politik kelahiran masalah tersebut, baik dari sisi waktu, tempat, maupun proses politik yang berkembang. Masalah lingkungan senantiasa bersumber dari tindakan, kondisi, dan kepentingan pihak tertentu serta berimplikasi politik terhadap ketidaksetaraan (inequalities) dan proses-proses politik (Bryant and Bailey 1997). Ancaman Krisis Air Ancaman kualitas dan ketersediaan air adalah ancaman besar bagi sektor pertanian, sekaligus ancaman bagi ketahanan pangan. Sumaryanto (2007) menyebutkan bahwa dibutuhkan sejumlah 1900-5000 liter air untuk masa tumbuh dalam memproduksi tiap kilogram padi dan 1000-1800 liter air untuk tiap kilogram jagung. Ketersediaan air sebagai syarat keharusan dalam proses produksi pertanian memiliki interrelasi yang sensitif dengan permasalahan lingkungan pada lingkup global, regional, dan lokal sehingga memberi ruang yang luas bagi konflik seputar perebutan sumberdaya air. Dari sisi penawaran, laju pengurangan ketersediaan air diperkirakan terjadi lebih cepat dari laju pengurangan luas lahan. Selama pertengahan abad ini lahan pertanian perkapita di dunia diperkirakan berkurang sepertiga, sedangkan pengurangan ketersediaan air untuk pertanian terjadi lebih besar (Pasandaran, 2005). Pengurangan ini lebih disebabkan degradasi lingkungan dan kecepatan pembangunan non pertanian yang berakibat pada penurunan serapan air dalam tanah, pembuangan banyak air tanpa pemanfaatan yang optimal, dan peningkatan daya dukung akibat peningkatan pemakaian air oleh industri dan kebutuhan lain daripada akibat penurunan curah hujan. Konsekuensinya, di masa depan ancaman akibat krisis ketersediaan pasokan air lebih serius daripada ancaman oleh laju konversi lahan dan konflik yang ditimbulkan berpotensi besar mengancam integrasi sosial dan kemanusiaan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam bukan sekedar kesalahan dalam menejemen, melainkan pertarungan antar aktor yang memiliki kepentingan terhadap sumberdaya. Semakin langka suatu sumberdaya, semakin tinggi nilai ekonomisnya, dan semakin kuat perebutan yang terjadi antar pihak yang berkepentingan. Disini persoalan lingkungan dan sumberdaya tidak lagi persoalan-persoalan ekonomi semata, tetapi telah masuk dalam ranah politik. Perspektif ini memaknai bahwa, keputusan-keputusan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam sarat dengan keputusan-keputusan politik. Hasil penelitian Escobar (1998) dan Bryant (1998), ada lima hal yang menjadi karakteristik pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, khususnya di negara berkembang yakni: 1) Konstruksi sosial tentang problem krisis lingkungan yang didalamnya memuat proses pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tidak pernah terlepas dari kontrol aktor yang berkuasa; 2)
5
Manfaat yang diperoleh dari akses terhadap sumberdaya alam terdistribusi tidak merata, sebagian besar dinikmati oleh aktor yang berkuasa; 3) Resiko lingkungan sebagai dampak pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam juga tidak merata, penanggung resiko terbesar adalah aktor grassroots; 4) Ketidakseimbangan perolehan manfaat dan biaya resiko disebabkan oleh ketimpangan dalam pengetahuan dan kekuasaan atau relasi kekuasaan yang tidak setara; 5) Superioritas aktor yang berkuasa (negara maju atas negara berkembang, kapitalisme atas ekonomi lokal, barat atas timur) memarginalisasi aktor yang kurang berkuasa. Niat pemerintah pusat menyerahkan kelola sumberdaya alam pada daerah melalui legalitas UU No. 22/1999 atau UU No 32/2004 terkait pemerintah daerah yang diberi hak secara otonom tidak lantas menyelesaikan masalah lingkungan karena pemerintah kabupaten/kota juga terdorong untuk mendayagunakan atau tepatnya “mengeksploitasi Common Pool Resources (CPR) sebanyak mungkin” untuk memenuhi sumber keuangan daerah. Hal ini potensial memicu konflik vertikal (masyarakat lokal – customary area owner melawan pemerintah kabupaten) maupun horizontal antar petani. Terkait dengan krisis sumberdaya air bagi pertanian, setidaknya terdapat tiga persoalan yang berpeluang terjadi ke depan yaitu (1). Peningkatan permintaan air, baik air bersih untuk konsumsi maupun air untuk industri yang dipastikan lebih cepat dibanding dari permintaan sektor pertanian; (2) Pergeseran permintaan terhadap komoditi pertanian menyebabkan pergeseran permintaan terhadap air di dalam sektor pertanian; dan (3) Pergeseran permintaan terhadap lahan mempengaruhi permintaan terhadap air, terutama dengan arus alih fungsi lahan sawah ke non sawah atau non pertanian yang deras. Secara ekonomi, kelangkaan sumberdaya air terjadi karena peningkatan persaingan dalam pemanfaatan air, dan peningkatan nilai ekonomi air, melemahkan akses petani terhadap air yang akhirnya rawan memunculkan konflik. Kesadaran bahaya resiko krisis air memunculkan paradigma baru tentang air di seluruh dunia yang dikenal dengan konsep Integrated Water Resources Management (IWRM) plan and water efficiency strategy. Sasaran utamanya adalah memperkuat ketahanan pangan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, melindungi ekosistem, mengatasi tantangan aktual seperti kekeringan, kebanjiran, perebutan air dan masalah sanitasi serta secara tidak langsung mengurangi kemiskinan. Meski tidak persis sama, definisi kerja IWRM di Indonesia, termasuk rancangan sistem pengelolaan CPR berbasis sistem sosio-ekonomi-ekologi telah ditawarkan Dharmawan untuk kasus DAS Citanduy. Konsep pengelolaan air secara terpadu : terpadu dalam ruang (wilayah geografi dari lokal, daerah, regional/wilayah, antar daerah, nasional maupun internasional); terpadu tujuan (antar sektor pertanian, industri, wisata, air bersih, pembangkit tenaga listrik dll); dan terpadu kelembagaan dan waktu (lembaga dari tingkatan internasional hingga komunitas pemakai air, pada waktu kini atau untuk jangka panjang). Kelangkaan air juga dipicu oleh ketidakadilan dalam akses sumberdaya alam dan lingkungan (Homer-Dixon 1994). Menurut Pasandaran (2005), pengaturan air memerlukan perubahan mendasar dalam tatanan pemerintah baik dalam lingkup politik, sosial ekonomi, dan administrasi. Kelangkaan air bukan sekedar masalah teknis, melainkan perlu dilihat dalam kerangka terjadinya ketidakadilan akses sebagai konsekuensi interaksi pelaku yang beroperasi dalam
6
konteks hubungan kekuasaan yang tidak setara (Bryant dan Bailey, 1997). Sumberdaya yang ditujukan untuk kemakmuran rakyat telah mengubah posisi rakyat hingga tidak memiliki kedaulatan atas air, sebuah kooptasi yang hanya bisa dilakukan oleh aktor yang memiliki pengetahuan dan kuasa. Konsekuensinya adalah konflik persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya air di tingkat lokal, antar wilayah administrasi, dan antar negara. Rumusan Masalah Subak merupakan lembaga pengairan tradisional hasil konstruksi sosial masyarakat yang diadaptasi dari kondisi lingkungan dan budaya masyarakat Bali. Subak dibangun dalam kondisi masyarakat agraris, dimana kedudukan air dan lahan menjadi kunci utama keberlangsungannya. Landasan kerja subak bahwa kedudukan air sebagai anugrah sang pencipta dan menjadi hak setiap anggota masyarakat. pengelolaan dan pendistribusiannya diatur dengan menjunjung tinggi unsur keadilan. Sumber-sumber air dipelihara sehingga mencukupi kebutuhan petani baik saat musim hujan maupun kemarau. Landasan pemikiran di atas menjadi papan pijak lembaga subak untuk mengatur diri agar kepentingan setiap anggotanya dapat dipenuhi. Prinsip keadilan, kebersamaan, dan keterjaminan hak setiap anggota dijunjung bersama sebagai aturan yang dilandasi unsur-unsur religius. Keterlekatan sosial budaya dan agama ini dinilai menjadi kunci keberhasilan subak bertahan dalam lingkungan strategisnya. Karakteristik sosio-tekno-religius subak merupakan gambaran ikatan kebersamaan, etos kerja, dan ideologi yang mengedepankan keharmonisan hubungan dalam pencapaian kebahagiaan. Undang-undang tentang otonomi daerah memberi peluang memposisikan lembaga ini semakin berdaya dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya air untuk kepentingan pertanian agar dapat mencukupi kebutuhan pangan daerah. Belakangan ini, bentuk, fungsi, dan kerekatan internal subak mengalami ancaman. Orientasi pembangunan daerah Bali yang memprioritaskan pariwisata massal dengan mengedepankan kapital, mendesak prinsip-prinsip dasar subak. Air dan lahan untuk kegiatan pertanian yang menjadi dasar awal terbentuknya kelembagaan subak semakin langka ketersediaannya. Subak kini harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan lain yang sama-sama berkepentingan terhadap air dan lahan. Seyogianya, dari sudut pandang politik, secara konstitusi otoritas pengaturan pemanfaatan sumberdaya air dilakukan oleh negara. UUD 1945 pasal 33 yang menyebutkan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara adil dan merata”. Makna “dikuasai oleh negara” tidak berarti “dimiliki oleh negara” sehingga kekuasaan negara harus diletakkan dalam koridor keadilan karena pemiliknya adalah seluruh rakyat Indonesia (Tjondronegoro, 2006). Realitanya, penguasaan pengetahuan dan teknologi menyebabkan pengelolaan sumberdaya air sebagian besar dilakukan oleh segelintir pengusaha dengan dalih pembangunan dan modernisasi. Kondisi ini tidak hanya upaya perolehan keuntungan yang besar oleh pengusaha tetapi menyebabkan kerusakan lingkungan yang memicu kelangkaan air dan menyengsarakan rakyat.
7
Kasus eksploitasi sumberdaya air besar-besaran oleh PDAM di Tabanan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan perhotelan dan pariwisata di kota Denpasar misalnya, telah menyebabkan pertanian di Tabanan kekurangan air dan menimbulkan konflik antara petani Subak Agung Yeh Ho dengan PDAM Tabanan. Berpijak pada tiga unsur THK (parhyangan- pawongan-palemahan), keseimbangan hubungan ketiga unsur pokok tersebut diatur dalam awig-awig dan pararem, sebagai aturan yang disepakati dan wajib dipatuhi oleh semua anggota. Reaksi atas kebijakan dan tindakan aktor negara maupun swasta yang dinilai mengabaikan eksistensi subak dan masyarakat pengguna air menimbulkan konflik. Konflik adalah wujud kesenjangan antara pengetahuan lokal yang mengedepankan kebersamaan dan keberlanjutan berhadapan dengan pengetahuan luar yang mengedepankan modernisasi dan industrialisasi dengan membuka investasi dan menekankan pentingnya peningkatan PAD. Eksploitasi air oleh perusahaan PDAM legal secara hukum karena berlangsung atas ijin negara. Melalui wacana privatisasi, pengembangan pariwisata melalui wacana budaya dan konsumsi minuman sehat, masyarakat dihegemoni untuk memandang “proses eksploitasi air” sebagai bagian dari upaya menjaga lingkungan serta memajukan dan meningkatkan kemakmuran rakyat. Praktek salah urus pengelolaan sumberdaya air ini bermuara dari berbagai kebijakan, diantaranya UU No. 7 Tahun 2004 yang membuka kesempatan bagi daerah melakukan privatisasi sektor penyediaan air minum dan penguasaan sumber-sumber air oleh badan usaha dan individu. Agenda ini meruntuhkan kedaulatan rakyat atas air dan mewajibkan rakyat membayar full cost recovery dalam memperoleh air untuk keuntungan swasta. Sekalipun angin otonomi daerah sudah dihembuskan, UU No.23 tahun 1997 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup masih memberikan kuasa yang besar bagi pemerintah pusat untuk mengelola, memanfaatkan, dan mengendalikan lingkungan. Rakyat tidak berkuasa dalam melakukan kontrol terhadap lingkungan dan sumberdaya air yang ada disekitarnya, dalam banyak kasus menggiatkan pengusaha memanfaatkan berbagai peluang untuk melakukan kegiatan ekonomi produktif karena mampu memberi keuntungan ekonomi yang besar. Bryant dan Bailey ( 1997) mengemukakan bahwa akses dan pengawasan air seharusnya dilihat sebagai putusan politik. Pernyataan ini bermakna bahwa, selalu ada alasan yang mendasari disusunnya sebuah keputusan, dengan cara-cara apa keputusan itu dilaksanakan, dimana saja itu tepat dilaksanakan, siapa saja pihakpihak atau aktor-aktor yang mendukung sekaligus mendapat keuntungan dari dilaksanakannya keputusan tersebut serta alasan-alasan rasional yang dipakai untuk menunjukkan pentingnya keputusan itu dilaksanakan. Akhirnya, hal yang tidak pernah dibahas dalam perbincangan tersebut adalah apakah ada pihak yang dikorbankan sebagai bayaran atas keuntungan yang diperoleh pihak tertentu dan apa dampaknya bagi ketersediaan pangan dan keberlanjutan lingkungan. Inilah yang menarik dan akan ditelaah serta dianalisa dalam penelitian ini.
8
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tiga pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini: 1. Bagaimana rejim pengelolaan sumberdaya air ala subak dan perkembangannya hingga saat ini? 2. Bagaimana persaingan sumberdaya air yang terjadi baik di tingkat kebijakan sebagai wujud pertarungan kuasa pengetahuan, maupun persaingan di tingkat praktikal sebagai wujud pertarungan akses antar aktor yang berkepentingan terhadap sumberdaya air? 3. Bagaimana dampak pertarungan pengakses sumberdaya air terhadap kelembagaan pengairan tradisional subak, baik sebagai kelembagaan produksi pendukung ketersediaan pangan maupun kelembagaan sosial budaya religius, pilar pembangunan pariwisata Bali?
Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah menganalisa akses sumberdaya air oleh petani subak dan aktor-aktor lain yang berkepentingan, serta konflik dan dampak yang ditimbulkan. Tujuan penelitian yang lebih rinci dirumuskan sebagai berikut : 1. Menganalisis sistem pengelolaan sumberdaya air oleh subak berdasarkan konstruksi sejarah dan perkembangannya melintasi beragam era politik ekonomi dan kekuasaan yang berlangsung. 2. Mengidentifikasi para aktor yang berkepentingan dalam pengaturan, pemanfaatan, dan pengendalian sumberdaya air serta menganalisis proses pertarungan kuasa pengetahuan maupun konflik praktikal yang terjadi antar aktor di sepanjang DAS Yeh Ho. 3. Mempelajari dampak persaingan akses sumberdaya air terhadap kelembagaan pengairan tradisional subak sebagai kelembagaan produksi yang berkontribusi besar mendukung ketahanan pangan sekaligus lembaga sosial budaya pendukung pariwisata. Kegunaan Penelitian Secara umum, hasil studi ini diharapkan akan memberikan kontribusi kepada pengembangan pengetahuan “politik ekonomi sumberdaya air dan peluruhan kelembagaan subak serta dampaknya terhadap pangan”. Aspek sosiologis menyoroti lebih jauh tentang proses pertarungan gagasan dalam kuasa pengetahuan yang bermain pada aras immaterial dan proses pertarungan kemampuan akses dan kontrol sumberdaya air dalam aras material yang menyebabkan munculnya konflik dan meluruhnya kelembagaan tradisional. Hasil ini juga diharapkan bisa membantu proses perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya air secara cermat dan partisipatif dengan informasi pembedahan masalah pemanfaatan sumberdaya air yang lebih komprehensip. Selanjutnya studi diharapkan melengkapi data dan informasi tentang politik ekonomi air yang secara sistematis telah menyebabkan peluruhan kelembagaan subak, sendi ketersediaan pangan dan pariwisata di Bali.