Kantor Bahasa Provinsi NTT
Edisi I, Agustus 2013
Pemilihan Duta Bahasa Provinsi NTT Tahun 2013 Beri Daku Sumba Oleh A.G. Hadzarmawit Netti
Melacak Jejak Puisi dalam Sastra NTT Oleh Yohanes Sehandi
Sastra NTT Menuju Sumber Estetika Resepsi Oleh Imelda Oliva Wisang
•Adat dan Tradisi •Kritik Sastra •Puisi •Cerpen •Info Kegiatan •Tokoh •Sejarah
LOTI BASASTRA Majalah Bahasa dan Sastra Nusa Tenggara Timur
3 Pengantar redaksi Kritik sastra 4 Yohanes Sehandi 10 A. G. Hadzarmawit Netti
Edisi Perdana Agustus 2013 ISSN
13 Imelda Oliva Wisang Puisi 18 Mario F. Lawi 20 Hiro Nitsae 21 Mezra E. Pellondou 23 Wilda CIJ 24 Arianto Adnan Berkanis Cerpen
Penanggung Jawab M.Luthfi Baihaqi,S.S.,M.A. Pemimpin Redaksi Mezra E Pelondou Penyunting Marsellus Robot Desain Grafis & Tata Letak Irwan Sekretariat Erwin, Septi, Christina Alamat Redaksi Kantor Bahasa Provinsi NTT Jl. Raya Eltari No. 17, Kupang-NTT Telepon/Faksimile : 0380-821191, Pos-el :
[email protected]
Edisi I/ Agustus 2013
26 Mezra E. Pellondou 35 Jefta H. Atapeni 41 Mario F. Lawi 45 Donis Dalli 49 Djo Izmail Info Kegiatan 53 UKBI di Kabupaten Belu 54 Kelas Menulis Kreatif Anak Perbatasan 55 Kelas Menulis Kreatif Anak Kepulauan 56 Pemilihan Duta Bahasa Provinsi NTT Tahun 2013 Tokoh 58 G. Poyk Sejarah 60 Sejarah Kota Kupang
Pengantar Redaksi Puji dan Syukur kita ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Esa atas terbitnya majalah Loti Basastra yang terbit perdana di tahun 2013 ini. Majalah ini direncanakan terbit dua kali setahun dengan berbagai tulisan puisi, cerpen, kritik sastra, artikel, info kegiatan Kantor Bahasa Provinsi NTT dan lain sebagainya. Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang telah menyumbangkan tulisan dan hasil karyanya di dalam majalah ini semoga para penulis semakin maju dalam karyanya. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian hingga penerbitan majalah Loti Basastra bisa terlaksana, semoga Tuhan memberkati kita sekalian.
Kupang, 30 Juli 2013
M. Luthfi Baihaqi, S.S., M.A.
Edisi I/ Agustus 2013
Kritik Sastra
Melacak Jejak Puisi dalam Sastra NTT Oleh Yohanes Sehandi
Melacak Jejak Puisi dalam Sastra NTT Oleh Yohanes Sehandi Dosen Universitas Flores, Ende,
T
Penulis Buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT
entu kita menyadari bahwa tidak gampang melacak jejak puisi dalam sastra NTT, apalagi pelacakan itu dilakukan sejak awal mula kelahiran sastra NTT sampai dengan saat ini. Di samping karena rentang jangka waktunya yang panjang, juga karena terbatasnya informasi, data, dan fakta yang tersedia sebagai modal dasar. Namun, kita harus segera sadar bahwa kalau tidak dilakukan sekarang, terus sampai kapan kita menelantarkan persoalan mendasar ini, sementara pertumbuhan dan perkembangan sastra NTT terus meningkat dari tahun ke tahun. Saya coba mengambil tantangan ini dengan melacak jejak puisi dalam sastra NTT walau penuh keterbatasan. Saya menyadari bahwa hasil pelacakan ini tidak memuaskan banyak pihak, diwarnai kelemahan yang tak terhindarkan. Inilah resiko sebuah upaya perintisan. Jejak puisi dalam sastra NTT ini dilacak sejak awal mula orang NTT menulis puisi sampai dengan perkembangannya saat ini. Semoga hasil pelacakan awal ini dapat membentuk semacam jalan setapak sejarah puisi dalam sastra NTT yang bisa dilanjutkan atau dikembangkan oleh siapa saja pada masa yang akan datang. Edisi I/ Agustus 2013
Sastra dan Sastrawan NTT Sastra NTT yang dimaksudkan di sini adalah sastra Indonesia warna daerah (lokal) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan menggunakan media bahasa Indonesia. Atau sastra yang dihasilkan orang-orang NTT dengan menggunakan media bahasa Indonesia. Sastrawan NTT adalah pengarang karya sastra kelahiran NTT atau keturunan orang NTT yang mengarang dengan menggunakan bahasa Indonesia (lihat Yohanes Sehandi dalam Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT, 2012, halaman 12 dan 15). Sedangkan penyair adalah sastrawan yang mengarang syair atau sajak atau puisi. Tentang pengertian sastrawan sendiri saya mengambilnya dari rumusan Kamus Besar Bahasa Indonesia (terbitan Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2001, halaman 1002) yang menunjukkan arti “sastrawan” sebagai (1) ahli sastra, (2) pujangga, pengarang prosa dan puisi, dan (3) orang pandai-pandai, cerdik cendekia. Jadi, sastrawan termasuk juga pemerhati, pengamat, dan kritikus sastra, dengan syarat mempunyai keahlian di bidang sastra atau susastra. Dalam upaya pelacakan ini ada beberapa pertanyaan sebagai penuntun. Pertama, sejak kapan orang NTT menulis puisi dan dipublikasikan
Melacak Jejak Puisi dalam Sastra NTT Oleh Yohanes Sehandi
di media massa mana? Kedua, siapa saja orang NTT yang menulis puisi pada masa awal kelahiran sastra NTT? Ketiga, siapa-siapa sastrawan NTT (penyair NTT) yang bergelut di bidang penciptaan puisi sejak awal mula sampai dengan saat ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, saya coba menelusuri jejak puisi dalam sastra NTT lewat berbagai media massa cetak yang terjangkau, antara lain sebagai berikut. Petama, puisi-puisi para penyair NTT yang dimuat Majalah Dian (terbitan Ende, Flores, NTT) selama 9 tahun, yakni dari edisi 24 Oktober 1974 s.d. edisi 10 Desember 1983. Majalah Dian adalah majalah pertama yang terbit di NTT. Kedua, puisi-puisi para penyair NTT yang dimuat harian Pos Kupang (terbitan Kupang, NTT) selama 5 tahun terakhir, yakni dari edisi awal Januari 2008 s.d. edisi akhir Juni 2013. Pelacakan jejak puisi NTT sebelum Oktober 1974 tidak bisa dilakukan karena tidak ada data dan informasi yang tersedia. Pelacakan jejak puisi NTT dari tahun 1984 sampai 2007 (selama 23 tahun) juga tidak bisa dilakukan karena alasan yang sama. Ketiga, puisi-puisi para penyair NTT yang diterbitkan dalam bentuk buku selama 39 tahun terakhir ini, yakni dari tahun 1974 sampai Juni 2013. Lewat Majalah Dian (1974-1983) Pelacakan jejak puisi karya para penyair NTT lewat Majalah Dian dilakukan mulai tahun kedua penerbitan majalah tersebut, yakni edisi 24 Oktober 1974 s.d. edisi 10 Desember 1983, selama 9 tahun. Majalah Dian sendiri terbit tahun pertama pada Oktober 1973. Majalah Dian adalah majalah satu-satunya yang terbit di Provinsi NTT pada waktu itu, milik Serikat Sabda Allah, sebuah Serikat Religius dan Misionaris Katolik yang secara internasional dikenal dengan nama Societas Verbi Divini, disingkat SVD. Selama 9 tahun itu, lebih dari 200 judul puisi karya dari 50-an penyair NTT yang berhasil diorbitkan Majalah Dian. Data ini saya peroleh
Kritik Sastra
dari Pastor John Dami Mukese, mantan Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Majalah Dian yang menghimpun puisi-puisi Majalah Dian tersebut dalam bentuk bundelan berjudul Parade Puisi Nusa Tenggara Timur 1974-1983. Setelah saya membaca puisi-puisi itu, ada puisi yang sangat bagus kualitasnya sehingga dikelompokkan sebagai karya sastra, ada yang setengah bagus, ada pula yang tidak bagus. Dari 50-an nama penyair itu, ada nama yang berasal dari luar NTT sehingga namanya tidak dimasukkan di sini. Kita perlu menyebut dan menaruh hormat kepada para penyair awal ini karena mereka telah berkarya dengan potensi dan kemampuan terbaik yang mereka miliki pada waktu itu, dan kini baru kita sadari bahwa mereka telah memberikan warna tesendiri dalam perjalanan sejarah sastra NTT. Adapun nama-nama penyair NTT yang diorbitkan Majalah Dian, antara lain (1) M.E. Carvallo (puisinya terbit pada edisi 1974); (2) Hendrik Berybe (pada edisi 1975, 1976); (3) Frans W. Hebi (1977, 1978); (4) Dami N. Toda (1977); (5) Yosef Pati Wenge (1978); (6) Mikhael B. Beding (1978, 1979, 1980, 1981); (7) Nico Ladjadjawa (1978, 1980); (8) Edu Mikhael Dosi (1978, 1979, 1980); (9) Yohanes Don Bosco Blikololong (1978, 1980, 1981, 1982); (10) Willis C. Naoe (1978, 1979); (11) David Siwa Balla (1978); (12) John Dami Mukese (1979, 1980, 1981, 1982); (13) Marthen ML. Duan (1979); (14) Valens Sili Tupen (1979); (15) Bernard Tukan (1978, 1980); (16) Kleden Suban Simon (1979, 1981, 1982); (17) Kornelis Hugo Parera (1980); (18) Osy Bataona (1980, 1981, 198); (19) Paulus Lete Boro (1981, 1982, 1983); dan (20) Umbu Landu Paranggi (1982). Kalau diperhatikan, nama-nama penyair ini didominasi nama-nama Lamaholot (Flores Timur dan Lembata), diikuti nama-nama Sumba, kemudian satu dua nama (dari) Timor, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Ende, dan Sikka. Dari 20 nama tersebut, ada beberapa Edisi I/ Agustus 2013
Kritik Sastra
Melacak Jejak Puisi dalam Sastra NTT Oleh Yohanes Sehandi
nama yang tampil ke permukaan bahka melejit di tingkat nasional, antara lain Dami N. Toda, Hendrik Berybe, Mikhael B. Beding, John Dami Mukese, Yohanes Don Bosco Blikololong, Paulus Lete Boro, dan Umbu Landu Paranggi. Dari generasi Majalah Dian sebagai generasi awal penulisan puisi dalam sastra NTT, penyair pertama yang menerbitkan buku antologi puisi adalah Dami N. Toda (bersama 3 penyair Indonesia yang lain) dengan judul antologi adalah Penyair Muda di Depan Forum (Dewan Kesenian Jakarta, 1976). Penyair kedua yang menerbitkan buku kumpulan puisi adalah John Dami Mukese yang berjudul Doa-Doa Semesta (Penerbit Nusa Indah, Ende, cetakan ke-1, 1983, cetakan ke-2, 1989). Nama John Dami Mukese melejit di tingkat nasional pada 1980-an tatkala puisi panjangnya berjudul “Doa-Doa Semesta” (20 bait) dimuat empat halaman dalam Majalah Horison (Nomor 2, Tahun 1983, halaman 86-89). Lewat Harian Pos Kupang (2008-2013) Pelacakan jejak puisi karya para penyair NTT lewat harian Pos Kupang (terbitan Kupang, NTT) dilakukan sejak tahun 2008, 2009, 2010, 2011, 2012 sampai dengan Juni 2013. Jadi, pelacakan selama 5,5 tahun terakhir, yakni dari edisi Januari 2008 s.d. Juni 2013. Lebih dari 400 judul puisi karya 150-an penyair NTT yang telah diorbitkan Pos Kupang. Kalau diperhatikan, namanama 150-an penyair ini tidak lagi didominasi oleh suku-suku tertentu, tetapi menyebar merata di hampir semua kabupaten yang ada di NTT, sebagian besar usia mahasiswa. Setelah saya membaca puisi-puisi itu, ada puisi yang kualitasnya bagus, ada yang setengah bagus, ada yang tidak. Dari 150-an nama penyair NTT ini, ada sebagian nama berasal dari luar NTT sehingga namanya tidak dimasukkan di sini. Kita perlu menyebut dan manaruh hormat kepada mereka karena telah berkarya sastra sehingga memberi warna tersendiri dalam perjalanan Edisi I/ Agustus 2013
sejarah sastra NTT. Adapun nama-nama penyair NTT yang diorbitkan Pos Kupang selama 5,5 tahun terakhir ini, antara lain (1) Magdalena Ina Tuto; (2) Gobin DD; (3) Gerard Bibang; (4) Pion Ratulolly; (5) Dody Kudji Lede; (6) Vinsen Making; (7) Inosensius Nahak Berek; (8) Esisabeth A. Sulastri; (9) Florensius Marsudi; (10) Ferdy Mello; (11) Viktorius P. Feka; (12) Mario F. Lawi; (13) Dion Tunti; (14) Soleman Febe Maria; (15) Trasianus Golo; (16) Cosmas Kopong Beda; (17) Holang Odorikus; (18) August Kani; (19) Januario Gonzaga; (20) Jimmy Meko Hayong; (21) Selamat Frans; (22) Valens Daki Soo; (23) Willem B. Berybe; (24) Rosalia Dolu; (25) Lambert Lalung Namang; (26) Ishack Sonlay; (27) Ninu Ecko; (28) Arie Putra; (29) Chintia Devi Yurensi; (30) Sisilia Semilia Seran; (31) Tinus Tamo Ama; (32) Bara Pattyradja; (33) Abdul M. Djou; (34) Amanche Franck; (35) Charlemen Djahadael; (36) Cyrilus B. Engo; (37) Felisianus Sanga; (38) Gusty Fahik; (39) Hengky Ola Sura; (40) Ivan Nestorman; (41) Jefta Atapeni; (42) Kristo Ngasi; (43) Siprianus Koda Hokeng; (44) Sipri Senda; (45) Sr. Wilda Wisang, CI; (46) Umbu Spiderno; (47) Ve Nahak; (48) Yohanes F.H. Maget; (49) Yohanes Manhitu; (50) Yoseph Lagadoni Herin. Lewat Penerbitan Buku (1974-2013) Pelacakan terakhir lewat penerbitan buku-buku puisi karya para penyair NTT selama 38,5 tahun terakhir, yakni sejak 1974 s.d. Juni 2013. Penerbitan buku kumpulan puisi merupakan kemajuan yang cukup berarti dalam sejarah sastra NTT. Mulai semaraknya penerbitan buku sastra NTT ini terhitung sejak tahun 2011. Adapun buku-buku kumpulan puisi karya para penyair NTT selama 38,5 tahun terakhir, antara lain adalah (1) Penyair Muda di Depan Forum (Dami N. Toda, dan kawankawan, 1974); (2) Doa-Doa Semesta (John Dami Mukese, Nusa Indah, Ende, cetakan ke-1, 1983,
Melacak Jejak Puisi dalam Sastra NTT Oleh Yohanes Sehandi
cetakan ke-2, 1989); (3) Puisi-Puisi Jelata (John Dami Mukese, Nusa Indah, Ende, 1991); (4) DoaDoa Rumah Kita (John Dami Mukese, 1996); (5) Kupanggil Namamu Madonna (John Dami Mukese, Obor, Jakarta, 2004); (6) Puisi Anggur (John Dami Mukese, 2004); (7) Ziara Anggur (Willy A. Hangguman bersama Mudji Sutrisno, Indonesia Tera, Magelang, 2004); (8) Buru Abadi (Dami N. Toda, Indonesia Tera, Magelang, 2005); (9) Bermula dari Rahim Cinta (Bara Pattyradja, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2005); (10) Protes Cinta Republik Iblis (Bara Pattyradja, 2006); (11) Bunga Pasir (Usman D. Ganggang, 2006); (12) Matahari untuk Nusa Bunga (Wilda, CIJ, 2006); (13) Serumpun Madah di Pintu Janji (Wilda, CIJ, 2007); (14) Suara Sang Penyair di Gang Alamanda (Yoss Gerard Lema, Gita Kasih, Kupang, 2008); (15) Rembulan dalam Jaring Laba-Laba (Jefta H. Atapeni, 2008); (16) Riwayat Negeri Debu (Jefta H. Atapeni, Kiara Creative Publishing, Bandung, 2011); (17) Pukeng Moe Lamalera (Bruno Dasion, Lamalera, Yogyakarta, 2011); (18) Yesus dan Tiga Paus Lamalera (Ivan Nestorman, Lamalera, Yogyakarta, 2011); (19) Cerah Hati (Christian Dicky Senda, Indie Book Corner, 2011); (20) Ketika Cinta Terbantai Sepi (Usman D. Ganggang, 2011); (21) Antologi Puisi Lonceng Sekolah (Arnoldus Ola Aman, 2011); (22) Poetae Verba (Mario F. Lawi, Bajawa Press, Yogyakarta, 2011); (23) Nyanyian Pesisir (Marsel Robot, 2012); (24) Virgin, di Manakah Perawanmu? (Santisima Gama, Karmelindo, Malang, 2012); (25) Fatamorgana Langit Sabana (Sipri Senda, Lima Bintang, Kupang, 2012); (26) Kalau Tidak Bobo Digigit Sepi (Bara Pattyradja, 2012); (27) Kartini (Fanny J. Poyk, 2012); (28) Negeri Sembilan Matahari (Fanny J. Poyk, 2013); (29) Pesona Indonesiaku (Antologi Puisi Anak SD Kota Ende, Nusa Indah, Ende, 2013); dan (30) Mengalirlah Sunyi (Wilda, CIJ, Nusa Indah, Ende, 2013).
Kritik Sastra
Penyair Perintis Sastra NTT Siapa nama sastrawan NTT yang layak disebut sebagai penyair perintis sastra NTT? Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya coba meniru cara kerja pengamat dan kritikus sastra Indonesia dalam menentukan penyair perintis dalam sastra Indonesia. Dalam sastra Indonesia, nama Muhammad Yamin (1903-1962) diterima sebagai penyair perintis dalam sastra Indonesia. Alasannya, setelah dilacak, Muhammad Yaminlah penyair pertama yang menulis puisi. Puisi pertamanya berjudul “Tanah Air” yang dimuat dalam majalah Jong Sumatra (edisi Juli 1920). Puisi ini sudah berbeda dengan puisi lama, seperti syair, pantun, dan gurindam. Muhammad Yamin pulalah sastrawan Indonesia pertama yang menerbitkan buku kumpulan puisi, dengan judul Tanah Air (terbit tahun 1922), yang merupakan pengembangan puisi awalnya “Tanah Air” (lihat Maman S. Mahayana dalam Pengarang Tidak Mati: Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia, 2012, halaman 196-218). Berdasarkan hasil pelacakan saya sebagaimana telah dikemukakan di atas, sastrawan NTT pertama yang menulis puisi dalam bahasa Indonesia adalah Dami N. Toda. Beliau pulalah sastrawan NTT pertama yang menerbitkan buku kumpulan puisi. Dami N. Toda lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, lahir di Cewang, Todo-Pongkor, Manggarai pada 29 September 1942, meninggal dunia di Hamburg, Jerman, pada 10 November 2006. Dami N. Toda menulis puisi pertama pada tahun 1969 berjudul “Sesando Negeri Savana” dimuat dalam Majalah Sastra (Nomor 7, Tahun VII, 1969). Kalau kita sepakat, maka tahun 1969 adalah tahun kelahiran puisi dalam sastra NTT. Puisi Dami N. Toda yang kedua ditulis tahun 1973 berjudul “Epitaph Buat Daisia Kecil” dimuat dalam Majalah Horison (Nomor 12, Tahun VIII, 1973). Selanjutnya, kumpula puisi Dami N. Toda pertama terbit tahun 1976 Edisi I/ Agustus 2013
Kritik Sastra
Melacak Jejak Puisi dalam Sastra NTT Oleh Yohanes Sehandi
dalam bentuk antologi bersama penyair Indonesia yang lain berjudul Penyair Muda di Depan Forum (diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta, 1976). Puisi-puisinya yang lain terdapat dalam antologi puisi Tonggak: Antologi Puisi Indoesia Modern III (Gramedia, Jakarta, 1987) editor Linus Suryadi AG. Tahun 2005 terbit buku kumpulan puisi pribadinya berjudul Buru Abadi (Indonesia Tera, Magelang, 2005). Dengan demikian, kiranya dapat disepakati bahwa “penyair perintis” dalam sastra NTT adalah Dami N. Toda. Dalam perjalanan karier kepengarangannya, Dami N. Toda memang jauh lebih banyak menulis telaah dan kritik sastra (sebagai kritikus sastra) dibandingkan dengan menulis puisi. Pada bagian akhir artikel ini, kita perlu memikirkan bersama sejumlah agenda pelacakan puisi para penyair NTT yang perlu dilakukan oleh siapa saja. Pertama, pelacakan puisi-puisi yang diterbitkan Majalah Fox (terbitan STFK Ledalero, Maumere, Flores) yang termasuk majalah awal yang terbit di NTT (izin penerbitan oleh Jawatan Penerangan NTT pada 19 Mei 1970, izin pencetakan pada 9 Oktober 1974). Kedua, pelacakan puisi-puisi para penyair NTT yang pernah dimuat di berbagai surat kabar dan majalah tingkat nasional, misalnya di harian Kompas, Suara Karya, Sinar Harapa, Suara Pembaruan, Majalah Hidup, Horison, Kalam, Basis, dan lainlain. Sedikit catatan, puisi “Surat untuk Tuhan” karya Pastor Leo Kleden yang dimuat harian harian Kompas, pernah terpilih menjadi puisi terbaik Indonesia pilihan Kompas pada tahun 2008. *
Edisi I/ Agustus 2013
Yohanes Sehandi Lahir pada 12 Juli 1960 di Dalong, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, NTT. Pendidikan formal diselesaikan di SDK Dalong (1973), SMPK Rekas (1976), SPP/SPMA Boawae (1980) ketiganya di Flores, Sarjana (S1) bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP Negeri Semarang (kini Universitas Negeri Semarang, 1985), dan Magister (S2) bidang Sosiologi di UMM Malang (2003). Sejak Oktober 2010 sampai sekarang dosen di Universitas Flores (Uniflor), Ende, mengasuh mata kuliah Teori Sastra, Menulis Artikel, Bahasa Indonesia, dan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD). Sejak Februari 2012 menjadi Kepala Lembaga Publikasi Uniflor, dan sejak Maret 2012 menjadi Ketua Dewan Penyunting Majalah Ilmiah Indikator terbitan Uniflor. Telah menerbitkan beberapa judul buku, yakni (1) Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012); (2) Bahasa Indonesia dalam Penulisan di Perguruan Tinggi (Widya Sari Press, Salatiga, 2013); (3) Pengantar Ilmu Sosial & Budaya Dasar bersama kawan-kawan (Widya Sari Press, Salatiga, 2013); dan (4) Bahasa Indonesia sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (Gita Kasih, Kupang, 2010). *
Kritik Sastra
Agenda Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur AGUSTUS 19-20 UKBI di Kab. Ngada 21-23 UKBI di Kab. Nagekeo 29-31 Festival Musikalisasi Puisi dan Temu Sastrawan SEPTEMBER 19-23 Inventarisasi Sastra Lisan di Kab. Sumba Barat 2-6 Penyuluhan Bahasa Indonesia di Kab. Rote Ndao 9-11 UKBI di Kab. Flores Timur 2-6 Inventarisasi Sastra Lisan di Kab. Sumba Tengah 13-14 UKBI di Kab. Kupang 17-18 Pelatihan Karya Tulis untuk Guru SMP 19-20 Pelatihan Karya Tulis untuk Guru SMA
OKTOBER 2-3 Penyuluhan Bahasa Indonesia untuk Media NOVEMBER 12-13 Seminar Revitalisasi Bahasa Daerah
Edisi I/ Agustus 2013
Kritik Sastra
Beri Daku Sumba Oleh A. G. Hadzarmawit Netti
BERI DAKU SUMBA Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti
J
UDUL tulisan ini saya angkat dari judul puisi karya penyair Taufiq Ismail, “Beri Daku Sumba”, yang terdapat dalam buku ketiga Kumpulan Puisi Taufiq Ismail berjudul Sajak Ladang Jagung (halaman 67). Puisi tersebut akan saya kutip di bawah ini secara mendatar untuk dikaji. Untuk itu, larik-larik puisi saya pisahkan dengan tanda garis miring tunggal (/), dan pemisahan bait yang satu dengan bait yang lain saya tandai dengan tanda garis miring ganda (//).
BERI DAKU SUMBA “Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu/Aneh, aku jadi ingat pada Umbu// Rinduku pada Sumba adalah rindu padangpadang terbuka/ Di mana matahari membusur api di atas sana/ Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka/ Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga// Tanah rumput, topi rumput dan 10 Edisi I/ Agustus 2013
jerami bekas rumput/ Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala/ Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut/ Dan angin zat asam panas mulai dikipas dari sana// Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari/ Beri daku sepucuk gitar, bossa-nova dan tiga ekor kuda/ Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari/ Beri daku tanah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba// Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda/ Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh/ Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua/ Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh// Rinduku pada Sumba adalah rindu padangpadang terbuka/ Di mana matahari membusur api, cuaca kering dan ternak melenguh/ Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda/ Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.” Berkenaan dengan puisi ini, pada Malam Budaya RMOL (Rakyat Merdeka Online) yang mengambil tema “Beri Daku Sumba”, bertempat di Hotel Sari Pan Pasifik Jakarta pada Rabu, 20 Maret 2013, jam 19 WiB yang lalu, Taufiq Ismail menyingkapkan rahasia penciptaan di balik
Beri Daku Sumba Oleh A. G. Hadzarmawit Netti
puisinya itu pada saat pembacaan puisi. Puisi yang melukiskan tentang keunikan dan indahnya wilayah Sumba itu ternyata digubah sang penyair pada tahun 1970, tanpa pernah berkunjung ke Sumba sebelumnya. Taufiq Ismail menggubahnya berdasarkan cerita teman dan visualisasi pemandangan Uzbekistan yang dikunjunginya. Berawal pada tahun 1968, dari perkenalan dan pergaulan dengan Umbu Landu Paranggi, Taufiq berkali-kali mendengar cerita tentang Sumba: baik tentang manusia dan kebudayaannya, maupun tentang alam dan lingkungan hidupnya. Taufiq pun menjadi sangat tertarik pada Sumba dan ingin sekali berkunjung ke sana. Namun sayang, keinginannya itu tidak kunjung terwujud. Taufiq justru mengunjungi Uzbekistan. Sesudah itu, kira-kira 20 tahun kemudian barulah Taufik berkunjung ke Sumba. Di Uzbekistan, Taufiq menemukan dan mengalami gambaran keunikan dan keindahan alam di sana, sebagaimana dilukiskan pada larik intro bagian pertama: “Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu”. Inilah situasi konkret yang aktual, yang dialami penyair di Uzbekistan. Situasi konkret inilah yang merangsang imajinasi dan fantasi penyair akan Sumba—baik tentang manusia dan kebudayaannya, maupun tentang alam dan lingkungan hidupnya—yang telah didengarnya berkali-kali dari cerita Umbu Landu Paranggi sejak tahun 1968. Dan ini, penyair ungkapkan dalam larik intro bagian kedua yang berbunyi: “Aneh, aku jadi ingat pada Umbu.” Dari latar belakang pengalaman di Uzbekistan, serta imajinasi dan fantasi tentang Sumba yang berangkat dari kenyataan di Uzbekistan itulah, Taufik Ismail lebih lanjut berkata: “Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka”. Ada persamaan situasi konkret antara Uzbekistan dan Sumba, yaitu sama-sama memiliki
Kritik Sastra
padang terbuka. Namun serentak ada perbedaan yang tajam: di Uzbekistan ada padang terbuka dan berdebu, sedangkan di Sumba ada padangpadang terbuka dengan panorama matahari membusur api di atasnya; serta langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua. Di Uzbekistan ada padang terbuka dan berdebu, sedangkan di Sumba ada padang-padang terbuka di mana terlihat peternak perjaka menggembalakan kerbau dan sapi; bekerja bermandi peluh, menguras tenaga tanpa hitung harga. Di Uzbekistan ada padang terbuka dan berdebu, sedangkan di Sumba ada padang-padang terbuka yang tanahnya ditumbuhi rumput; rumput yang dapat dikerjakan menjadi topi; rumput yang dapat dijadikan jerami. Di Uzbekistan ada padang terbuka dan berdebu, sedangkan di Sumba ada padang-padang terbuka, tempat ribuan ekor kuda berlarian turun menggemuruh dari bukit-bukit yang jauh; dan sementara itu di bagian lain terlihat gembala yang sesekali mengumandangkan teriakan, di selingi ringkik kuda dan bunyi giring-giring (kleneng genta) yang terkalung pada leher kuda. Ketika menatap padang terbuka dan berdebu di Uzbekistan seraya berimajinasi dan berfantasi tentang Sumba berdasarkan cerita Umbu (Landu Paranggi), penyair Taufiq Ismail (dalam angannya) memosisikan dirinya seolah sedang berdiri di salah satu pesisir di pulau Sumba untuk melihat dan menikmati daya pukau matahari yang ‘kan terbit dari laut (ufuk timur), sambil merasakan hembusan angin zat asam panas yang mulai dikipas dari sana. Pelukisan alam ini sudah tentu berdasarkan pada cerita Umbu, sebab pada saat puisi ini digubah Taufiq Ismail belum berkunjung ke Sumba. Begitu pula dengan pelukisan pada larik bait ketiga tentang daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari; gitar untuk bersenandung; tarian tradisional Edisi I/ Agustus 2013 11
Kritik Sastra
Beri Daku Sumba Oleh A. G. Hadzarmawit Netti
masyarakat Sumba yang mirip gaya tarian rakyat Brasil (bossa-nova) dan tiga ekor kuda; cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari; tanah tanpa pagar yang luas tak terkata, merupakan ekspresi kerinduan penyair untuk menikmati dan mengalami secara langsung keunikan-keunikan yang hanya terdapat di Sumba sebagaimana didengarnya dari Umbu. Itulah situasi konkret yang aktual tetapi kontras antara Uzbekistan dan Sumba dalam imajinasi dan fantasi penyair Taufiq Ismail. Dan itulah pula yang membangkitkan ingatan dan kenangannya pada Umbu sekaligus menggugah kerinduannya pada Sumba. Sarana-sarana kepuitisan dalam puisi “Beri Daku Sumba” terutama majas perulangan yang bersifat paralelisme, citraan-citraan, dan unsur-unsur bunyi terkesan sangat cocok dengan sifat kerinduan yang abstrak. Dengan unsur-unsur tersebut, pelukisan situasi dan suasana dalam puisi “Beri Daku Sumba” terasa hidup, bergerak dan terbayang jelas dalam imajinasi pembaca. Frasa “Rinduku pada Sumba adalah rindu…” diulang lima kali dalam puisi tersebut, masing-masing diikuti dengan frasa/barisbaris perluasan makna. Demikian pula dengan perkataan “beri daku…”, diulangi empat kali di awal larik-larik bait ketiga. Semuanya bukan sekadar suatu muslihat permainan kata-kata untuk fungsi ornamental, melainkan untuk mengaksentuasi dan mengintensifkan pernyataan. Selain itu, citraan-citraan yang merangsang/menggugah perhatian imajinatif dalam puisi “Beri Daku Sumba” antara lain, citra visual: “rindu padang-padang terbuka” ; “matahari membusur api di atas sana”, “langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua”; “bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh”; tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas 12 Edisi I/ Agustus 2013
rumput”; “matahari ‘kan terbit dari laut”; serta citra pendengaran “kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala”; “turun menggemuruh…” Tanpa citra visual dan citra pendengaran tersebut frasa “rinduku pada Sumba” yang diulangi lima kali dalam puisi tersebut akan terasa tidak konkret dalam bayangan imajinatif. Selain itu, perpaduan unsur-unsur bunyi vocal e – i, a – u, i – u, a – u, a – i, e – a yang dominan dalam larik-larik puisi “Beri Daku Sumba” menyarankan rasa dan nuansa kekhusukan, keterasingan, keterpencilan, kerinduan, dan suasana perasaan bahagia. Demikianlah kerinduan penyair Taufiq Ismail pada Sumba ketika berada di Uzbekistan. Kerinduan yang tak terpisahkan dari ingatan dan kenangan yang melekat pada Umbu (Landu Paranggi). ***
Sastra NTT Menuju Sumber Estetika Resepsi Oleh Imelda Oliva Wisang
Kritik Sastra
SASTRA NTT MENUJU SUMBER ESTETIKA RESEPSI (Sebuah catatan dari kegiatan Bedah dan Diskusi Novel Mahasiswa PBSI FKIP Uniflor)
T
Imelda Oliva Wisang
[email protected]
ahun 2012 dapat dicatat sebagai momen kebangkitan sastra NTT yang konon NTT sudah memiliki sejumlah karya sastra dan pengarangnya bahkan sudah berada di barisan sastra dunia dan nasional serta sejumlah karya yang terus hidup dan bertumbuh di barisan lokal. Namun, sepanjang kurun waktu ini sastra NTT terkesan hidup, tumbuh dan berkreasi ‘sendiri-sendiri,’ mungkin saja hanya dinikmati pengarang yang adalah sebagai pembaca pertama dari karyanya dan hampir tak ada bunyi di komunitas pendidikan, komunitas seni dan sebagainya terhadap karya-karya luar biasa dari para pengarang ternama seperti Gerson Poyk yang dikenal sebagai perintis sastra NTT dengan karya-karya yang sudah mendunia. Hadirnya buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT yang diterbitkan oleh Penerbit Universitas Sanata Dharma (Sehandi, 2012) menjadi jalan bagi masyarakat NTT untuk menyadari sungguh bahwa salah satu kebanggaan dan kekayaan NTT adalah sastra serta para pengarang dan sejumlah karya yang dihasilkan. Buku ini sudah dibedah dan didiskusikan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Uniflor pada 30 Juni 2012 dan
mendapat apresiasi serta sorotan tajam berupa kritik, saran, sejumlah masukkan untuk perbaikan, revisi lanjutan. Upaya ini pun masih sangat terbatas, membutuhkan gebrakan bersama terlebih lingkungan yang sangat memungkinkan adalah dunia pendidikan. Bagaimana para pemangku pendidikan NTT dapat mengangkat kehidupan sastra NTT menjadi muatan kurikulum lokal sehingga kekayaan ini menjadi milik dan kekuatan bagi masyarakat NTT sebagai resepsi terhadap sastra sebagai karya estetik. Sekolah sebagai lingkungan ilmiah menjadi pelopor upaya menuju sebuah resepsi sastra yang mampu memberikan kontribusi berupa penanaman dan pewarisan nilai-nilai bagi generasi muda NTT. Karena sejumlah karya yang dihasilkan putra NTT bercita rasa sastra yang tinggi dengan mutu yang tangguh ini berbicara sangat tegas tentang tanah, warga, adat istiadat, budaya NTT yang sangat kaya akan makna dan memiliki nilai-nilai yang berguna bagi ketahanan hidup di tengah dunia dengan kemajuan yang semakin mengglobal ini. Kenyataan yang patut dicatat ketika mahasiswa PBSI FKIP Uniflor mengadakan bedah dan diskusi (novel, puisi) sejak 2011 dan secara Edisi I/ Agustus 2013 13
Kritik Sastra
Sastra NTT Menuju Sumber Estetika Resepsi Oleh Imelda Oliva Wisang
khusus pada 2012-2013 mengangkat karya-karya putra NTT seperti novel Enu Molas dari lembah Lingko, Sang Sutradara dan Wartawati Burung, karya Gerson Poyk; Musim Gugur, Mimpi Jelata karya John Dami Mukese, Surat-Surat dari Dili karya Matildis Banda; Gadis dari Lembah Mutis karya Mezra Pelondou, Perempuan itu bermata Saga karya Agust Dapa Loka dan sejumlah karya pengarang NTT. Terobosan yang dilakukan selain melibatkan masyarakat (mitra dengan Fakultas Sastra) tetapi lebih diutamakan adalah sekolahsekolah menengah (SMP, SMA) di wilayah kota Ende bahkan sampai Nagekeo bersama para guru bahasa dan sastra Indonesia di sekolah-sekolah tersebut. Sejumlah catatan mengungkapkan bahwa karya-karya putra NTT ini menjadi materi yang sangat bernilai bagi pembentukan karakter anak bangsa, bagi lahirnya manusia berwawasan global dengan tetap memegang teguh pada keluhuran pandangan lokal sebagai dimana warisan hidup saling menghargai tetap dijunjung. Potret kehidupan masyarakat NTT digambarkan dalam karya-karya yang ada sehingga karya-karya tersebut baaik puisi maupun novel dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan, sumber refleksi, sumber informasi, sumber pengembangan wawasan untuk memahami berbagai segi kehidupan ini. Catatn ini dipertegas oleh pendapat Sastrawan Putu Wijaya demikian, “Orang cenderung merasa sastra cuma menjadi semacam hiburan saja dan melupakan sastra sebagai ilmu pengetahuan. Padahal, di dalam sastra terdapat segala macam ekspresi. Sastra juga merangkum banyak aspek mulai dari agama, sejarah, antropologi, bahkan fisika.” Karya sastra dan kekayaan intelektual Sehandi (2012) dalam Mengenal Sastra 14 Edisi I/ Agustus 2013
dan Sastrawan NTT telah memperkenalkan kepada dunia tentang kekuatan NTT dari sisi intelektual yakni karya sastra yang tidak dapat dibaca hanya sebagai karya imajinatif semata. Karya satsra merupakan perkawinan antara yang realita dan yang rekaan menggunakan sarana utama yakni bahasa dan tentu saja aras bahasa sastra. Bahasa sastra pada hakikatnya bersifat sugestif (penyaranan), asosiatif (pertalian), dan imajis (pembayangan) yang menggerakkan kita untuk mengapresiasi, menafsir, nenganalisis, mengkaji melalui berbagai pendekatan dan teori yang ada. Sastra sebagai karya seni dengan sifatnya yang multitafsir membantu kita menemukan keagungan nilai-nilai, kekuatan makna dan keindahan yang terkandung didalamnya yang berguna bagi kehidupan. Wahyuningtyas & Santoso (2011:50) mengatakan karya seni hidup dalam penafsiran, sedangkan penafsiran itu sendiri mengimplikasikan perbedaan-perbedaan. Kehidupan masyarakat pada dasarnya lebih banyak ditopang oleh perbebedaan-perbedaan bukan persamaan. Ambiguitas yang dapat dipertanggungjawablan secara keilmuan adalah nilai yang indah dalam seni. Karya satra yang dihasilkan sastrawan NTT menjadi karya yang luar biasa yang menjadi kekayaan intelektual melalui pengkajian, analisis yang mendalam. Sebagai kekayaan intelelektual, maka karya sastra NTT dapat dibedah, didiskusikan, dikaji, diteliti seperti yang dilakukan mahasiwa PBSI FKIP Uniflor. Kegiatan yang dilaksanakan ini memperkaya wawasan, memperluas pandangan, mempertajam pemahaman, dan memperhalus budi. Karya sastra sebagai kekayaan intelektual ini menggunakan media bahasa. Menurut Wahyuningtyas & Santosa (2011:43-44), hakikat
Sastra NTT Menuju Sumber Estetika Resepsi Oleh Imelda Oliva Wisang
bahasa sebagai medium menyebabkan hadirnya berbagai mediasi sehingga melahirkan berbagai aspek estetis. Pertama, karya satra memiliki banyak genre seperti, puisi, cerpen, novel, drama yang bersifat dinamis yang melahirkan genre baru misalnya dari novel sejarah dapat melahirkan novel sejarah intelektual. Kedua, karya satra khususnya fiksi terdiri atas cerita yang dapat digunakan untuk menciptakan cerita lain secara tak terbatas, tergantung dari kemampuan pengarang dan pembaca untuk menafsirkannya. Ketiga, medium karya sastra adalah bahasa. Karya satra para pengarang NTT merupakan kekayaan intelektual yang telah masuk dalam ranah diskusi ilmiah dengan menyadari bahwa karya sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah kehidupan baik dalam dunia pendidikan dan pengajaran, maupun ekonomi, sosial, budaya, agama, politik, pembangunan dan sebagainya yang dapat mengembangkan wawasan berpikir, memberikan pencerahan, kekuatan serta ketahanan terhadap berbagai pengaruh baik yang datangnya dari diri maupun dari luar atau lingkungan. Di sini terjadi pewarisan nilai-nilai kehidupan yang ada dalam karya satra. Kandungan nilai yang terdapat dalam karya sastra mengisyaratkan betapa luhurnya dan mulianya martabat manusia. Sastra NTT sebagai sumber estetika resepsi Optimisme terhadap kehidupan sastra NTT dan sejumlah karya satra yang dihasilkan pengarang NTT menjadi sumber estetika resepsi, sebuah resepsi yang menjadi cikal bakal lahirnya karya berikutnya. Penelitian, kajian dan analisis sastra merupakan pekerjaan lanjutan dari apa yang sudah ada dalam buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT dimana karya sastra sebagai karya seni dianggap sebagai sesuatu yang menampilkan kualitas estetis yang paling beragam sekaligusjuga
Kritik Sastra
paling tinggi. Melalui sastra manusia menemukan pengalaman-pengalaman kemanusiaan, imajinasi-imajinasi untuk memenuhi kebutuhan hidup rohani, bathiniah karena kebutuhan hidup badani dipenuhi dengan makanan, pakaian dan sebagainya. Karena itu manusia sesungguhnya tidak dapat terlepas dari sastra, merasa perlu berinteraksi dengan sastra, butuh sastra meskipun memang kenyataan sering dihalangi oleh berbagai kendala atau persoalan lainya misalnya soal ekonomis, sosial, politik, berbagai kepentingan, minimnya apresiasi dan sebagainya. Kenyataan ini dapat terlihat betapa senangnya masyarakat memperagakan gawi, danding, jai, dan sebagainya karena selain menghargai tradisi budaya tetapi justru dalam acara ini nilai sastra bertumbuh dan meresap dalam kehidupan setiap orang yang ikut terlibat. Inilah pemahaman terhadap sastra sebagai sumber estetika resepsi. Untuk mencapai pemahaman sastra sebagai sumber estetika resepsi satu-satunya cara adalah melalui dunia pendidikan. Amir (1990: 1032) berpendapat bahwa pendidikan sastra yang ideal yang memungkinan sastra memiliki jati diri yang dapat menggugat kemapanan bersastra yakni pendidikan sastra yang harus memiliki ciri atau kualifikasi holistik-integralistik yakni, pendidikan sastra yang menyeluruh, lengkap dan terpadu oleh karena sastra pada hakekatnya berbicara tentang manusia dan hidup manusia yang amat kompleks yang aspek-aspek atau elemen-lemen kehidupannya tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Karena itu diperlukan kegiatan dalam pembelajaran yakni penulisan kreatif, apresiasi sastra, kritik sastra, resepsi sastra, kegiatan menelusuri sejarah perkembangan sastra, teori sastra, estetika sastra, dan lain-lain. Metode, proses pembelajaran yang berlangsung sangat menentukan tercapainya kegiatan ini. KegiatanEdisi I/ Agustus 2013 15
Kritik Sastra
Sastra NTT Menuju Sumber Estetika Resepsi Oleh Imelda Oliva Wisang
kegiatan ini pada dasarnya sebagai upaya untuk mengangkat sastra sebagai sumber estetika resepsi. Selain itu pendidikan sastra yang idealistik-humanistik, menyangkut harkat dan martabat manusia, nilai-nilai luhur kemanusiaan, hak-hak asasi manusia. Kemudian pendidikan sastra yang berorientasi kepada kebenaran yakni kebenaran tertinggi yang datang dari Tuhan, berorientasi kepada pendidikan yang kulturalnasionalistik yakni berbasis pada kepentingan budaya bangsa Indonesia dan untuk kepentingan Indonesia, pendidikan sastra yang berorientasi kepada keindahan, berorientasi kepada sastra yang modern-futuristik maksudnya dijalankan secara modern sesuai perkembangan dan bisa mempertahankan hidup manusia untuk masa yang akan datang, berorientasi kepada kontekstualrealistik, pragmatik-goal oriented (kemanfaatan dan pencapaian tujuan), berorientasi kepada sastra yang sistemik-organisatoris, sastra yang problem-solving, sastra yang kreatif-inovatif, terbuka dan adaptif terhadap perubahan, sastra yang memiliki semangat eksperimental, semangat kemandirian, semangat cinta kemanusiaan, cinta kepada ilmu, bahasa, sastra, seni dan budaya, bersemangat cinta kepada alam. Sastra NTT sedang menuju ke arah ini. Upaya memperkenalkan dengan melacak sastrawan dan karya satra sudah dilakukan dan memang bukanlah hal yang mudah. Pelacakan ini masih terus dilanjutkan, perlu direvisi, perlu penguatan dan pematangan secara intelektual, ilmiah dengan pendekatan dan teori pelacakan yang sesuai menuju kebangkitan sastra NTT, kebangkitan dalam konteks membuat sejarah sastra NTT. Salah satunya melalui resepsi sastra dimana resepsi sastra ini merupakan sebuah analisis dan penelitian sastra yang melahirkan kehidupan sastra selanjutnya seperti yang 16 Edisi I/ Agustus 2013
dikatakan Jauss :1983 dalam Wahyuningtyas & Santosa (2011 : 55) bahwa sejarah sastra harus disusun melalui tanggapan pembaca.
Daftar Pustaka Amir, H.1990. Pendidikan Sastra Lanjut. Malang. IKIP Malang. Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra Teori Dan Terapan. Padang. Angkasa Raya. Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sehandi, Yohanes. 2012. Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT. Yogyakarta : Univ. Sanata Dharma. Sumber lain : Kumpulan Materi Bedah dan Diskusi Sastra 20102013. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.FKIP.Uniflor
Kritik Sastra
Imelda Oliva Wisang Nama : Sr. Wilda, CIJ (Imelda Oliva Wisang) Lahir
: 3 – 9 – 1967 di Rende, Manggarai Timur
Menekuni dunia tulis menulis dengan menghasilkan buku : 1. 3 Kumpulan puisi : 1) Matahari Untuk Nusa Bunga : Kumpulan Puisi Anak, diberi pengantar oleh Pater John Dami Mukese,SVD. Diterbitkan oleh penerbit Dioma Malang tahun 2005. 2) Serumpun Madah Di Pintu Janji diterbitkan oleh penerbit Karmelindo Malang tahun 2007. 3) Mengalirlah Sunyi. Pengantar Pater Leo Kleden, SVD diterbitkan oleh penerbit Nusa Indah Ende tahun 2013. 2. 3 seri cerita anak diterbitkan penerbit Dioma Malang tahun 2005 : 1) Berkorban, Siapa Takut, 2) Serigala Yang Malang 3) Si Kembar 3. 2 seri cerita anak diterbitkan penerbit Fidei Press Jakarta tahun 2008 : 1) 100 Detik Di Celah Maut, dan 2) Misteri Selendang Biru. 2 buku ini ditulis bersama Alexander Yopi Susanto dengan ide dan naskah cerita dari sr. wilda,cij. 4. Seri Hidup Rohani dengan judul Tuhan Aku Mau Sembuh diterbitkan Penerbit Nusa Indah Ende tahun 2012. Penulis juga aktif menulis puisi, cerpen, feature, opini, artikel, esei sastra di koran, majalah pendidikan dan sastra, dan jurnal ilmiah. Iseng menulis puisi untuk life pada Oase Kompas. Penulis sekarang berprofesi sebagai staf pengajar pada Program Studi PBSI FKIP UNIFLOR ENDE, NTT.
Edisi I/ Agustus 2013 17
Mario F Lawi
Dua Fragmen Hujan yang Tak Selesai /1/ “Kami telah menemukan Hujan!” Maka mendekatlah orang-orang buta dari segala penjuru kota, berharap selaput tipis selubung mereka ditanggalkan. Mereka menengadah ke langit, mengangkat tangan ke atas, menjadikan bentuk tubuh mereka serupa cawan dengan tangan yang dilengkungkan ke awan. Senyum yang kerontang dihantam gersang tetap berharap semua yang tak sempat datang segera menjelang. Cawan yang terisi mestilah digunakan untuk bersulang. /2/ “Hujan yang mahakuasa, suburkanlah cahaya pada ladang-ladang kami yang suram.” Di timur, ada sebuah negeri dengan kabut yang muram. Hujan alpa menyambung hidup anak-anak cahaya yang kian limbung. Hidup mungkin seumpama pelayaran, dengan badai yang datang bergantian dan pelabuhan yang tak pernah ditentukan. “Kapal kami telah karam!” Seru suara-suara yang kemudian bagaikan menghilang di kejauhan. (Naimata, 2012)
18 Edisi I/ Agustus 2013
Mario F Lawi
Kelaga Rai /1/ “Siapa yang mengambil pinang?!” seru nenek dari balik benang yang belum selesai ia tenun. Benang menyimpan senyum, hanya akan ia pamerkan ketika bunga selesai disusun. Nenek mengingat, dulu ia paling cantik di dusun. Pengagumnya begitu banyak, pendeta hingga penyamun. Mata pisau kakek dirajah dengan nama nenek, kerap ia gunakan untuk melihat pelepah sahaja yang matang. “Hari tua akan sangat panjang, Sayang.” Di pelupuknya tergantung batang mayang. Dikeratnya perlahan kenangan gamang. Sesekali getir melintas dingin di celah kanopi bayang-bayang. /2/ Masih juga ia gemar melintasi pekarangan. Angin cuma menumbuhkan tali tak lebih dari seutas untuk mengikat kaki lontar yang gemar jalan-jalan. Kakek menerawang sambil menikmati detik-detik terakhir ketika dada tembakau mengejang dalam lintingan pucuk lontar keringnya yang tipis. /3/ “Meliuklah ke utara! Di sana ada sebuah danau.” Subuh lekas. Membelitkan cemas. “Lalu tunjukkan yang bersembunyi di balik matamu!” Dengung bergantian menaksir arah mataair dengan kayu bercabang meski riwayat timba tak pernah berhasil mencapai kedalaman. Kakek mendongakkan kepala, menatap pucuk-pucuk daun yang silih berganti tersenyum ke arah matanya. Di tengah tatapan, ia tanggalkan ubannya satu demi satu. “Ini untukmu. Ini untukmu. Ini juga untukmu.” /4/ Hidup terlihat secantik nenek. Kakek masih sangat tampan. (Naimata, 2012)
Edisi I/ Agustus 2013 19
Hiro Nitsae
Negeri Dibincangi Waktu Katanya negeri ini punya seribu impian, yang melongo dari setiap jiplakan yang sempat dilewatinya. Wah…Kedengarannya ada asa yang makin terlahap dari setiap pandangan mata. Tak ingin terlewatkan setetespun embun yang digagahinya. Benar juga, kata dia yang bercokol dalam gandengan dua dunia Yang menaiki pelaminan secara serempak Lantas mengatakan pada dunia: “aku telah menikahinya dengan untaian kata cinta Yang tersemat manis pada jari kemunafikannya” Jari yang meringkus sebuah waktu Cuman pada segelontoran kata menjadi kalimat Ia naikki pelaminan itu dengan begitu anggunnya Waktunya telah datang dengan tepatnya Nelangsa mulai berkiblat tuk pertama kalinya pada dahi penuh kerut Saat melihat waktu berjalan meninggalkan puluhan pasang mata Pada takhta dengan wajah penuh kebingungan Pada wajah kosong yang mereka namai kursi Pada wajah sepasang kaki yang mereka namai sebagai penopang tubuh arogan
20 Edisi I/ Agustus 2013
Sementara tubuh fisik barusan melongokan dirinya berceloteh dengan bahasa ringan “Maaf aku terlambat”. Tak ada nada kesal. Bahkan bahasa susulan yang dibuat Terlempar begitu manis dengan senyuman Maaf aku terlambat, disamakan dengan hanya selempar senyuman yang terbuang dengan begitu santainya. Hahaha…kasihan juga melihat potret ini semakin menjadi kebiasaan. Potret yang sudah dimulai dalam kurikulum sekolah. Potret yang telah dimulai dari dalam curriculum vitae setiap orang yang menamai diri: manusia. Hahahha…ternyata manusia tak lebih dari sebuah permainan waktu Balikkan saja keadaannya. Waktu adalah manusia. Dan manusia adalah waktu. Siapa sangka. Perubahan akan terjadi dengan pesat. Saat manusia menjadi waktu.
Mezra E. Pellondou
Keajaiban Katemak Kau tak akan mampu menyuap sabana, lontar dan karang untuk mengungkapkan rahasia semesta mengapa jagung katemak yang kau makan di bawah langit Timor selalu membuatmu mampu merangkak dalam hidup dan kerja? :setiap hari Kau tak akan mampu menyuap matahari untuk memberi jawaban mengapa panasnya mampu mematangkan bijibiji katemak untuk dicocokkan dengan nyala tungkumu ? sehingga terus menyala juga hidupmu? :setiap detik Tidak perlu kau sesali mengapa katemak selalu membuatmu rindu pulang menyadap lontar yang terus kau yakini sebagai hidupmu? katemak mampu merampok angin-angin sabana dari gunung dan bukit kerontang maka meletuslah panas tanahmu, merekahlah hidupmu selanjutnya agar kau mampu dan terus membuka ladangladang katemakmu yang membuat retak tanahmu menjadi terus berharga? :setiap saat
Tidak pelu kau gelisah ketika ranting-ranting kering katemak jatuh di tanahmu karena ranting-ranting rapuh itu jadi karang yang mampu menghardik longsor dan tsunami dan menjadikannya rumah yang aman untukmu berlindung :sepanjang hidupmu
Sekarang aku hendak bertanya Masih perlukah kau menyuap sabana, lontar, karang dan matahari untuk mengungkapkan rahasia katemak? padahal telah kau kantongi rahasia itu berabadabad bahwa selamanya...: sabana, lontar, karang, katemak dan matahari adalah ikatan yang begitu kuat melukis denyut nadi Timor, denyut nadimu sendiri Menuju Fatumetan, Bellu Maret 2013
Edisi I/ Agustus 2013 21
Mezra E. Pellondou
Elegi Seorang Bocah semalam seorang bocah harus merendam rindunya pada sekolah dan menjemurnya pada terik matahari sabana esok harinya sebab pagi ini ia kembali memeluk hidup yang sesungguhnya yang terlanjur setia melahap kemiskinan rindunya pada sekolah hanya bisa dicurinya dari mimpinya dan kesuntukkan kerja di tengah hiruk pikuk rengekan bocah-bocah sebaya tetangganya berebutan mainan dalam hutan mall yang mengubur kotanya
(Kupang, Oktober 2012)
22 Edisi I/ Agustus 2013
Wilda, CIJ
JELATA RAKYATKU hari ini lahir amanat untuk jelata rakyatku yang melata merana betapa penderitaan segera dilimpahkan untuk jelata rakyatku yang meratap nestapa kelam betapa keadilan yang tumpah ruah dari perbendaharaan yang lazim menjadi lumrah dalam bualan meski tampil serba yakin gagaskan janji tuntaskan yang rusak bereskan yang tercecer rakyatku betapa janji ini bisa jadi keberuntungan tanpa peluh betapa di tengah murahnya janji betapa jelata rakyatku sangsi betapa amanat ini terlampau luhur untuk diutangjanjikan segampang kampanye betapa penderitaan terlalu sulit ditepis dari gentong-gentong nasib jelata rakyatku yang selalu dikirim dijanji betapa amanat hari ini lahir untuk jelata rakyatku yang siap menderita
Edisi I/ Agustus 2013 23
Arianto Adnan Berkanis
Memburu Angin 1.//
Meleleh ingus dan air mata
Sudah letih memburu angin
Genangi tubuh yang sedang
Yang menggelai ilalang
Menggendong manis kaleng kaleng bekas
Basah hujan baru pergi
“ma, aku tak mau ditinggal sendiri,
Sorak riuh walet makan walang sangit
hidup ini terasa berat untuk aku sekecil ini
“anakku, bangunlah sudah sepagi ini”
Bu, bangun ya..?
2.//
5.//
Bertelanjang aku dalam kamar
Kicauan burung pipit telah pergi
Habis dikejar hujan
Cit..cit...jangkrik menemaniku
Sepulang berladang
Dengar suara sorak-sorai para malaikat
“nak, kita kehabisan beras”
Menggendong bawa pulang ibu
3.//
Kakak baru saja datang dari malaysia
Pontang panting aku berlari
Tanya kakak: Bapak? Ke mana? Ibu? Di mana?
Sekarung barang bekas
“kak, ayah dan ibu dijemput pulang nirwana
Buat beras makan sehari
Mereka rindu kakak.
Anak seusia ini sudah pekerja keras
Katanya, aku sama kakak hanya memburu angin”.
Berjalan aku di samping jas-jas apik “pak, sepeser buat makan hari ini” 4.// Uang tak cukup buat makan Sedang ibu sakit demam 24 Edisi I/ Agustus 2013
Penfui, 08 Juni 2013
Arianto Adnan Berkanis
Benenain Telagaku Besar ragamu banyak pasir melimpah air bila burung dara sudah bernyanyi itu tandanya akan turun hujan unu, sebentar lagi sungai kita akan meluap
Para petani sedia siap
untuk membajak ladang
kampung kita penuh pisang
pepaya, tomat, cabe
ranum lalu busuk
bila tak ada yang memetik
burung. kalong. kera. bajing. luwak.
habis melahap
manisnya buah pisang
teriak anak negeri kita
kue pisang... kue pisang... kue pisang... tiga seribu.
Penfui, 13 Juni 2013 Edisi I/ Agustus 2013 25
Moko
Mezra E Pellondou Pea menekan luapan perasaannya yang melebur, meskipun Bius selalu membabat hatinya dan merobek hal terbaik dari impianya agar rumah tangga mereka terus berkedip hingga maut yang bisa memisahkan. Pea tetap menganggap Bius laki-laki terbaik. Suami tercinta. Namun, bukan untuk hari ini. Entah mengapa, Pea merasakan semuanya telah berakhir sebelum mukung1 mendamaikan mereka. Dua bulan lalu Pea dan Bius tiba di Baranusa, saat upacara vat wobol2 akan dimulai. Vat sebutan untuk jagung, makanan khas sekaligus kesukaan Bius. Sedangkan wobol penyebutan untuk upacara syukuran bagi ‘makanan baru’, hasil panen masyarakat. Ya, vat wobol merupakan penghargaan tertinggi bagi Labatala3 sebagai ungkapan syukur sebelum petani memakan hasil panen ladang dan sawah mereka. Jika vat wobol belum dilakukan maka tak seorang pun yang boleh makan hasil panennya. Pea dan Bius warga masyarakat Alor, pulau paling Timur pada gugusan Nusa Tenggara Timur, berbatasan dengan Maluku bagian Tenggara. Alor meliputi juga beberapa pulau kecil seperti Pantar, Baranusa, Pulau Kambing, Buaya, dan pulau Tereweng. Di kampung Baranusa, tempat kelahiran Pea dan Bius, mata pencaharian penduduk umumnya bertani dan berladang dengan sistem tebang bakar. Sebagian kecil penduduk pantai umumnya bekerja sebagai nelayan tradisional. Semua kerja petani dan nelayan harus melalui upacara adat. Mulai dari kebiasaan menebang, membakar sampai menyiapkan benih dan menanam hingga memanen hasil. 26 Edisi I/ Agustus 2013
Hari itu, semua warga masyarakat telah mendatangi tempat upacara vat wobol. Masingmasing membawa hasil kebun dan sawah mereka. Mereka juga membawa makanan hasil olahan mereka masing-masing untuk disantap bersama seusai upacara. Di tangan mereka terlihat batangbatang labu bergantungan. Setibanya di tempat upacara, mereka duduk melingkar dan batangbatang labu tersebut dipakai sebagai alas duduk selama upacara. Suasana begitu khusuk, saat semuanya menunduk menekuri tanah. Kameng Lei4 atau raja mesba yang bertugas memimpin upacara berjalan tegap dan sigap. Ia mengambil posisi di tengah lingkaran masyarakat yang menyemut. Terdapat lima puluh suku di wilayah Alor ini dan terlihat mereka semua mengikuti vat wobol. Namun demikian, suasana terasa sangat senyap. Lengang. Satu desahan nafas pun tak terdengar. “Oh...Adi Allah: War Allah Talla Ey Mira’5 serasa sangat magis ketika doa tersebut diucapkan Kameng Lei. Kameng Lei menengadah, mengucapkan doanya sekali lagi, dan kedua tangannya mengamburkan padi ke udara. Saat itulah ia menunduk dan berdoa untuk kesekian kalinya.
“ Vun palaci sey”6
Kali ini Kameng Lei menghamburkan padi ke tanah. Dengan demikian semua orang pun boleh bersantap. Menyantap semua makanan yang mereka bawa dari rumah masing-masing.
segalanya yang diucapkan suaminya. Ia akan diceraikan suaminya tanpa sebiji padi pun di bawa olehnya. “Katakan bahwa semua yang diceritakan warga kampung itu benar” Pea menunduk, tidak berani menatap mata suaminya. Bius menjatuhkan bogem
Tiba-tiba “Kamu tidak boleh makan. Kamu telah melanggar adat” Pea tersentak.
mentah sekali lagi pada pelipis kiri isterinya.
Agak lama, Pea terdiam memandang wajah suaminya yang keras dan bringas.
“Jangan coba berbohong” sebuah tinju mendarat pada pipi yang sebelahnya lagi.
“Ayo, kita harus segera menyelesaikan perkara ini” Bius menarik Pea dengan kasar. Tertatih-tatih Pea mengikuti langkah suaminya bersamaan dengan itu sang suami tidak melepaskan tangannya dari tubuh Pea. Perempuan itu terus ditariknya. Mereka pun berhasil keluar dari kerumunan yang menyemut itu.
Lamat-lamat Pea mengangguk. Wajahnya lemas dan matanya berkunang-kunang. Pea pun tumbang dengan wajah mencium debu jalanan.
“Maafkan saya tapi saya tidak... “Lebih baik kamu mati sekarang dari pada kamu menghina Labatala” Bius menghempaskan tubuh isterinya dengan keras pada hamparan tanah kosong tak jauh dari tempat upacara. “Saya tidak bermaksud... “Kamu bukan orang asing. Kamu perempuan asli Alor. Jangan katakan kamu tidak paham dengan vat wobol” Bius makin bringas. Kali ini tubuh isterinya diinjak. Perempuan yang baru dinikahi Bius belum genap empat bulan ini meraung. “Jangan mengeluarkan suaramu jika tak ingin kehilangan segalanya” Perempuan itu menahan sesak nafasnya. Pea sangat paham dengan maksud segala-
Dalam keadaaanya yang sekarat, Bius meninggalkannya tergolek begitu saja. Tergopohgopoh lelaki itu kembali menuju tempat upacara vat wobol berlangsung. Sepertinya ia telah kehilangan banyak waktu untuk mengejar kelanjutan dari upacara yang telah memasuki tahapan makan bersama. Dari kejauhan soraksorai dan keramaian perayaan terekam pasti di telinganya, jauh dari suara isterinya yang meraung dan sekarang sedang sekarat bersama debu jalanan. “Bagaimana?
Isterimu
sudah
kau
hajar?” Bius mengangguk pasti. Anggukan itu seakan sebuah harga diri yang tadinya terlepas telah dilekatkan kembali. Kali ini rekatannya lebih kuat dan pasti. Bius tersenyum, samar. Aneh. Walau begitu Bius tiba-tiba merasa bersalah. Tidak biasanya, Bius pun mulai mengungkapkan resah hatinya. Hal yang sebelumnya sulit dilakukan oleh Bius. Edisi I/ Agustus 2013 27
“Damyan...kadang saya kasihan sekali pada Pea setiap kali saya selesai menghajarnya” “Ah, itu cuma perasaanmu saja. Isteri seperti itu memang layak dihukum. Bukankah penghinaan terhadap adat sama halnya dengan mempermainkan kelaki-lakianmu?” “Iya, tapi... “Untuk harga diri laki-laki.. harga diri seorang suami, tidak ada yang namanya tapitapian. Kamu harus... “Maksud saya, bukan hanya kali ini saya menghajarnya, Damyan” “Saya tahu Bius, tidak perlu kamu menceritakannya. Semua orang kampung tahu soal itu” “Soal apa?apa maksudmu?” “Ha..ha..rupanya kamu yang kurang peduli dengan lingkungan, Bius’’ “He..he..kamu jangan asal bicara. Kamu tahu apa soal rumah tanggaku?” “Hm..isterimu itu tidak bisa masak, mencuci, menenun, mengurus keluarga dan... “Iya, tapi aku menikahinya saat dia masih anak ingusan. Kata teman-temanku di kota, umur seperti itu masih dalam taraf belajar. Ya, belajar berumah tangga ” “Tujuh belas tahun itu anak ingusan?” Damyan mencibir. “Wo..kamu salah. Saat aku menikahinya, dua bulan kemudian barulah dia tujuh belas tahun”
28 Edisi I/ Agustus 2013
“Apa bedanya dengan satu menit atau satu detik kemudian?” Damyan tertawa menatap Bius sebelum melanjutkan lagi jawabannya. “Kalau soal belajar berumah tangga, itu hanya istilah orang kota saja. Suatu hal yang primitif dibuat modern, bahkan diseminarkan di kota-kota. Kamu lihat sendiri,memukul isteri saja jadi berdebatan dan diangkat dalam topik-topik seminar orang kota. Mereka orang-orang aneh..” “Tapi kadang saya berpikir adakalanya orang-orang kota itu benar, Damyan. Dan ada saatnya kita justru terlalu menghakimi diri kita sendiri, termasuk keluarga kita atas nama adat, atau kadang hanya sebuah harga diri laki-laki” “Hanya sebuah harga diri? Hanya, katamu?” Damyan mengulang-mengulang ucapnnya itu dengan menekankan pada kata ‘hanya’. Tiba-tiba Bius seakan menjadi gerah. Damyan menarik tangan sahabatnya itu, dan mereka menyudut untuk sebuah pembicaraan yang lebih serius lagi. “Sudahlah. Jangan kau pikirkan. Sebaiknya kau ingat saja awal pernikahanmu bersamanya Bukankah itu menjadi alasan terbaik bahwa kamu tidak harus merasa bersalah?” Damyan terus memanas-manasi. Bius terus tidak menyadari keterpurukannya. Bius tersenyum. Entah mengapa,setiap berbicara tentang pernikahan hati Bius selalu berdesir. Desiran kemarahan, bukan kebahagiaan. Setiap menit desiran itu berubah menjadi sebuah gejolak dan gejolak itu kini membuncah tak terbendung dalam dirimya. Buncahan itu selalu dimuntahkan Bius dalam berbagai bentuk kemarahan.
“Iya, kamu benar” kata Bius. Daun pohon kenari berjatuhan silih berganti. Ranting-ranting terlihat meranggas di kejauhan. Angin sepoi membawa setiap orang menikmati tidur siang yang nyaman. Namun dari balik tulang daun lontar yang merobek langit di kejauhan, Bius melihat sosok seorang gadis cantik mengenakan sarung dan selendang, berkerudung kepala, ikat pinggang logam berwarna kekuningan dan sebuah mahkota muti berwarna merah, putih dan hitam bertahtahkan kerang laut semakin mempercantik gadis tinggi semampai tersebut. Sang gadis memegang tempat sirih pinang dan menatap manis padanya. Ia mendapati dirinya bersarung dan berselimut, sebuah pedang berhiaskan bulu ayam, topi putih yang juga berhiaskan bulu ayam yang dililiti muti merah, putih dan hitam. “Ya, itu dulu. Empat bulan yang lalu saat Pea dan aku menikah” Bius menepiskan angan-angannya. “Tapi empat bulan waktu yang singkat. Seharusnya kalian sedang berbulan madu” hati kecil Bius berbicara. “Tidak! Tak ada bulan apalagi madu. Sejak pernikahan dulu, bulan di langit enggan muncul dan kehidupan berjalan tidak semanis madu” Bius mengelak. Bius berlari meninggalkan kemeriahan vat wobol Bius meninggalkan Damyan dengan sejuta pertanyaan di kepala sahabatnya itu. Kakinya terus membawa tubuh laki-laki itu entah ke mana. Hingga hari sore, Bius baru menyadari ia telah berada jauh dari kampungnya. Bahkan dua hari Bius telah menghabiskan waktu untuk sebuah
pelarian diri yang dia sendiri tidak tahu mengapa ia melakukannya.Tidak biasanya seorang lakilaki Alor pergi meninggalkan rumahnya. Kalau saja orang-orang tahu, kalau saja Pea melaporkan hilangnya Bius maka sudah bisa dipastikan, rasa malu Bius akan berlipat ganda dan harga dirinya sebagai kepala keluarga dan laki-laki akan tercabik-cabik. “Hari ini aku harus pulang. Atau tepatnya hari ini aku harus membuat keputusan atas dua hal dalam pernikahnku. Aku akan melangkah maju atau aku akan melangkah mundur. Mengapa aku harus lari dari kenyataan ini?” Bius menatap mulut kambing, sebuah teluk yang menjorok jauh ke dalam. Oh, lebih tepatnya sebuah selat dengan pusaran arus yang deras. “Mengapa aku harus berada di sini sekarang?”Apakah aku harus melintasi selat ini dan keluar dari kota Kalabahi? Selanjutnya aku akan menuju Kupang, dan dari Kupang aku akan bebas menentukan ke mana langkahku akan bertualang?”Haruskah kuputuskan saat ini juga?” Bius tercenung. Gempuran ombak tidak mampu membuang bayang-bayangnya pada Pea perempuan yang sesungguhnya teramat dicintainya. Namun bayangan pernikahan yang terus menghakiminya membuatnya menjadi sekeras batu. Masih segar dalam ingatannya ketika kelurga Pea tidak menyetujui hubungan mereka yang berlandaskan cinta itu, hanya karena suatu sebab yakni keluarga Bius terkesan tidak mampu memberikan mas kawin berupa moko7 terbaik yang layak untuk Pea. Memang benar kondisi ini teramat berat bagi orangtua Bius yang semula kaya- raya, namun mengalami kebangkrutan. Hal ini bermula dari adik bungsu Bius, satu-satunya yang telah
Edisi I/ Agustus 2013 29
bekerja sebagai polisi di Monokwari menjadi pecandu narkoba. Semua harta benda mereka termasuk ratusan moko milik keluarga Bius harus dijual untuk menyembuhkan adiknya itu. Masyarakat tidak peduli dengan peristiwa tersebut. Begitu pula dengan keluarga Pea. Memilki Moko jauh lebih tinggi nilainya dari pada memiliki uang. Fungsi sosial moko yang merupakan belis atau mas kawin utama bagi perempuan di Alor membuat pemilik moko memiliki status sosial yang sangat tinggi di tanah penghasil kenari tersebut. Bagi masyarakat, juga bagi kelaurga Pea, orangtua Bius memiliki koleksi moko yang lengkap mulai dari moko zaman prasejarah, dengan motif ragam hias berbentuk relief binatang bersudut delapan diselingi dengan pita lengkung atau garis putus yang mengelilingi bidang permukaan moko, atau yang berpola hias berbentuk manusia dan burung sampai pada moko zaman Hindu dengan pola Indonesia klasik, hingga moko zaman Belanda dan Inggris, bahkan moko kreasi baru yang teramat modern di mana ragam hias pada bidang atasnya berupa empat relief katak yang terletak di empat sudut permukaan. Begitu pula dengan bentuk dan modelnya, moko atau terkenal di Indonesia dengan sebutan nekara ini mulai dari tipe pejeng seperti nekara Gianyar, Bali atau yang berbentuk dasar lonjong seperti gendang besar atau seperti tong dengan bahu pada bagian atasnya. Semuanya itu dimiliki keluarga Bius sebelum mereka jatuh bangkrut seperti sekarang. Keluarga Pea menginginkan belis pada anak gadis satu-satunya itu harus berupa moko zaman pra sejarah. Dan hanya ada satu-satunya moko jenis tersebut pada koleksi orangtua Bius. Dan rencananya moko itu segera dijual juga 30 Edisi I/ Agustus 2013
untuk membawa adik bungsu Bius menuju tempat rehabilitasi pecandu narkoba. Dan setelah itu, sang adik boleh pulang berkumpul bersama keluarga. Impian untuk sang adik direhabilitasi, lenyap tak berbekas. Bahkan sang adik raib dari Monokwari entah di mana dia berada sekarang. Semuanya itu karena pernikahan Bius dan Pea. Moko itu berpindah ke keluarga Pea dan upacara pernikahan sepasang manusia yang saling mencintai itu pun berlangsung gempita. Kekelaman dan kemarahan selalu menggerogoti rumah tangga mereka jika Pea melakukan sedikit kekeliruan atau hal-hal yang kurang menyenangkan suaminya, apalagi jika hal tersebut bersentuhan langsung dengan adat. Bahkan setiap saat Bius pun dengan mudah memukul dan menyakiti isterinya.Setiap saat itu pula orangorang kampung akan membela Bius dengan mengatakan “Kamu benar Bius, janganlah merasa bersalah karena sesungguhnya kamu tidak sedang memukul isterimu, namun kamu sedang memukul moko” Ya, itulah bahasa orang-orang kampung yang masih memegang teguh adat istiadat pernikahan. Siapa pun akan bisa dengan mudah mendengar ucapan seperti itu di Alor jika seorang suami melakukan kekerasan pada isterinya. Bahasa itu pun telah menjadi bahasa Bius. Telah mengalir bersama darah laki-laki yang sesungguhnya sangat mencintai Pea. Sebenarnya Bius ingin sekali mendengar sebuah ucapan yang lain. Ya, sebuah pembelaan terhadap Pea. Namun tidak seorang pun membela Pea. Sebaliknya, justru
setiap orang akan menyanjung Bius. Memuji kehebatannya mempertahankan adat, mengangkat dan mempertahankan harga diri laki-laki. Dan anehnya setiap kali menghadapi orang-orang kampung, jauh di lubuk hatinya Bius menangis. Hatinya senantiasa memprotes, namun selalu saja ada alasan untuk menghakimi Pea. Seperti saat upacara vot wobol itu. Sebenarnya Bius tahu kalau Pea dengan diamdiam telah menumbuk padi hasil panen pertama mereka untuk dijadikan beras. Beras tersebut telah dimasak untuk kebutuhan maka n sehari hari mereka karena sebiji beras pun tak ada pada keluarga tersebut. Padahal upacara vot Wobol belum berlangsung. Padahal jika menunggu upacara tersebut, mereka pasti kelaparan selama berminggu-minggu. Dan Bius tidak hanya tahu tindakan Pea itu namun ia juga telah menikmati masakan Pea tersebut. Namun persoalan menjadi tidak sesederhana yang dipikirkan orang ketika masyarakat kampung pun tahu yang telah dilakukan Pea. Demi taruhan harga diri dan demi adat, Bius menjadi marah ketika orang-orang kampung menyudutkannya. “Tidak! Aku harus pulang ke rumah. Aku harus menemui isteriku, perempuan yang sesungguhnya sangat kucintai” Bius telah memutuskan dengan tepat. Seapanjang perjalanan pulang, Bius berkali-kali mengatur nafasnya dan mencoba memikirkan kata-kata apa yang tepat untuk diucapkan pada isterinya agar dirinya bisa dimaafkan. “Pea, aku harus membawamu pergi dari Alor, agar aku bisa terlepas dari ikatan yang menyiksa ini” tiba-tiba Bius merasakan sekali bahwa ia harus meralat ucapannya karena itu adalah keputusan yang salah dan sangat tidak mungkin.
“Pea, maafkan suamimu ini karena...” Bius tercenung, otaknya sulit menerima katakata yang menurutnya terlalu lembut. Bahkan mungkin saja isterinya akan menganggapnya sedang berpura-pura. “Pea... Ah, nanti saja. Tiba-tiba Bius berpikir soal tanggapan orang-orang terhadap keputusannya. Nanti mereka akan memngatakan aku laki –laki banci, suami takut isteri atau.. Eh, Bius telah sampai di rumahnya. Rumah sepi. Begitu sepinya sehingga hembusan angin yang paling lembut pun bisa terdengar kupingnya. “Di mana Pea?” batinnya. Dicari ke dapur Pea tak ada. Melewati dapur, Bius menuju kamar mandi, perempuan itu tidak terlihat. Bius berlari ke arah belakang rumah, pada sebuah pohon kemiri dekat sumur, tempat Pea biasanya mencuci pakain,lagi-lagi tidak ditemukan. Bius pun mnerjang seluruh isi kampung, Pea seperti nyaris ditelan bumi. “Jangan-jangan Pea telah masuk Instalasi Gawat Darurat akibat pukulan terakhirku membabi buta padanya sebelum aku menghilang?” Bius menerka-nerka.. Hari sudah malam, Bius mandi dan hendak mencari isterinya. Dibukanya kamar tidur mereka, ditariknya beberapa kemeja yang terlihat disetrika sangat rapi oleh isterinya. Dalam hati ia memuji kemajuan Pea menyetrika pakaian. Lakilaki sekeras baja itu, lumer hatinya. “Kasihan isteriku. Dia selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan keyakinan bahwa aku pasti kembali. Padahal selalu saja aku pergi meninggalkannya beberapa hari jika aku
Edisi I/ Agustus 2013 31
selesai menghajarnya” Bius bermonolog. Kemeja disampirkan di sisi ranjang, dan Pius mulai memakai celana panjangnya terlebih dahulu, berikut memasukan ikat pinggang. Dan saat tangan Bius mengambil kemeja dari sisi ranjang untuk dipakaikan, matanya menangkap sesuatu yang aneh di atas ranjang. Hati Bius berdebar kencang. Perlahan dan pasti Bius merapat duduk di tepi ranjang, matanya membelalak ke tengah ranjang. “Astaga, ini tidak mungkin. Ini tidak mungkin” suara Bius meninggi. Diamatinya sekali lagi, benar yang dilihatnya sebuah pakain adat pernikahan milik Pea, dipakaikan pada sebuah Moko dan diletakan di atas ranjang, tempatnya tidur bersama isterinya. Pea telah pergi. Pea telah mengembalikan Moko, mas kawin yang diberikan Bius di hari pernikahan mereka. Moko yang merupakan biang masalah sepanjang pernikahan mereka. Hal yang sangat tidak mungkin dilakukan seorang perempuan Alor, justru bisa dilakukan oleh Pea yang mungkin selama ini di mata masyarakat Pea adalah perempuan yang sangat rapuh, pasrah dan bodoh. Saat memandang moko itu, Bius teringat akan perkataan orang-orang “Jangan pernah bersalah jika kamu memukul isterimu, karena anggaplah kamu sedang memukul moko” Kali ini air mata Bius benar-benar jatuh. Ia baru merasakan bagaimana rasanya kehilangan bagi seorang laki-laki
Kupang, Maret 2010
32 Edisi I/ Agustus 2013
Catatan: 1. Mukung: tua keputusan
adat
pengambil
2. Vat Wobol : upacara dan doa sebelum memanen hasil tanam sebagai bentuk ucapan syukur petani di Alor. Sebelum upacara ini dilakukan, adat tidak mengijinkan seorang pun memakan hasil panen. 3. Labatala: yang dipuja 4. Kemeng Ley: raja mesba; yang berhak otonom mengatur doa dan upacara pada mesbah persembahan 5. Oh...Adi Allah: war Allah Talla Ey Mira: doa yang dipersembahkan pada Labatala yang diucapkan Kameng Ley pada upacara Vot Wobol sebagai ungkapan syukur atas hasil panen. 6. Vun Palaci Sey: suatu ungkapan atau instruksi bahwa semua orang sudah boleh/diizinkan menyantap hasil panen karena sudah diupacarai. 7. Moko: benda yang sangat berharga berbentuk nekara yang biasanya dipakai sebagai mas kawin untuk meningkatkan status dan derajat seseorang. Nilainya lebih dari tinggi dari uang.
Tentang Penulis Mezra E. Pellondou, lahir di Kupang Nusa Tenggara Timur, 21 Oktober 1969. Guru yang penulis, penulis yang guru.. begitulah yang sering diungkapkan pembaca tentang Mezra. Mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia pada SMA Negeri 1 Kupang serta pada sore harinya mengajar sebagai dosen tidak tetap pada Universitas PGRI NTT. Di dunia tulis menulis Mezra memperoleh sejumlah penghargaan karya sastra, karya jurnalistik, dan karya tulis diantaranya: Pemenang Pertama Peraih Penghargaan Sastra untuk Pendidik (2012) dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayan Nasional RI atas konsistensi berkarya pada bidang sastra. Penghargaan dari Pusat Bahasa Depiknas RI atas karya Naskah Drama berjudul Sasando Keseratus (2011) sebagai naskah terbaik empat se- Indonesia dalam sayembara nasional penulisan naskah drama 2011. Penghargaan sebagai penulis naskah terbaik atas karya drama berjudul Laposin, pada lomba Krida NTT 2011 diselenggerakan Deppen (Infokom) NTT. Penghargaan karya sastra dari Depdiknas RI bagian peningkatkan perpustakaan sekolah atas karya cerpen Manusia-Manusia Jendela (2006) sebagai cerpen terbaik pertama se- Indonesia 2006 dalam sayembara nasional penulisan cerpen 2006. Cerpen Manusia- Manusia Jendela bersama 22 naskah terbaik lainnya dibukukan dan diterbitkan oleh Depdiknas RI untuk didistribusikan pada sepuluh ribu perpustakaan terbaik se- Indonesia. Penghargaan karya tulis sastra terbaik dari Depdiknas RI bagian peningkatan perpustakaan sekolah, atas karya ulasan berjudul Naturalisme Anafora dan Epifora, Suatu Pencaharian Peta Tuhan (Ulasan atas seratus puisi Taifiq Ismail: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2005), sebagai 17 karya terbaik dalam Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) 2005 kategori reguler tingkat nasional. Penghargaan dari pusat perbukuan (dari 2006-2011) atas partisipasi aktif dalam sayembara penulisan buku pengayaan. Novelet Pulang (2000) dan Klise Hitam Putih (2002) Pemenang penghargaan karya novelet yang diselenggarakan oleh majala Femina Jakarta. Karya jurnalistik dari gubernur Bali berkaitan dengan penulisan Pesta Kesenian Bali (1995). Cerpen Maria (1994) meraih juara pertama sayembara menulis cerpen oleh majalah Bahana Yogyakarta bekerja sama dengan Universitas Dr Soetomo. Karya-karya yang sudah terbit: 1) Karya puisi: terhimpun dalam Antologi Wanita Penulis Indonesia (2010), Nyanyian Pulau-Pulau, Antologi Puisi Guru (2006); Aku Telah Menjadi Beo, Bahasa Langit , Edisi I/ Agustus 2013 33
Janji, Menghitung Setia, Sebuah, Ziarah Pukuafu, Jangan Atas Nama Cinta. Karya Cerpen: Dua Puluh Tiga Naskah Cerpen Terbaik 2006; Prayawang diterbitkan Jurnal Cerpen Indonesia 09 (2009). Ata Djama’mah masuk dalam buku Jalan Menikung Ke Bukit Timah, Antologi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia 2009. Maramba masuk dalam kumpulan cerpen Indonesia bertema lokalitas 2011, Perayaan Kematian Liu Siu. Selain itu berbagai cerpen lepas diterbitkan dan dipublikasikan oleh berbagai media yakni Jurnal Cerpen Indonesi Yogyakarta, HU Pos Kupang, Harian Nusa Tenggara Denpasar, majalah Bahana Yogyakarta, Majalah Femina Jakarta. Karya Novel: Surga retak (2006), Loge (2007), Nama Saya Tawwe Kabotta (2008 ), Perempuan Dari Lembah Mutis (2012). Sejak 2009 Menggagas Kelas Menulis Inspirasi Mezra, dan menghasilkan dua karya kumpulan cerita pendek siswa SDK Tunas Gloria, 13 Karya dari Tangantangan Kecil (2012), kumpulan cerita pendek siswa SMA Negeri 1 Kupang Kabut di Lelenbala dan Teriakan dari Tanah Hawu Mehara (2012) Mezra juga membimbing beberapa kelas penulisan kreatif, dan menjadi penanggungjawab beberapa bengkel teater yakni Teater Akar, Amsal Putih, dan Teater Engkel Universitas PGRI. Dua karya film telah dihasilkan Mezra yakni Manusia Cuma Debu (2009), dan Mimpi Natan yang telah diluncurkan pada 11 Januari 2012. Menjadi konsultan dan editor Jurnal Beta, terbitan Yayasan anak Friendly NTT. Setiap hari Minggu Mezra masih meluangkan waktu menyiar di Cave Rohani 97,6 Fm dan dipercayakan mengasuh sebuah acara bertitel Insipirasi dan Motivasi. Juara satu Lomba Guru berprestasi Kota Kupang (2011), Juara satu Lomba Guru Berprestasi Nusa Tenggara Timur (2011), finalis Guru Berprestasi Indonesia Tingkat Nasional (2011). Bagi Mezra, dari semua hal terbaik dalam hidupnya adalah menjadi ibu dari dua orang anak lelaki dan seorang puteri cantik, karena kenikmatan yang paling berharga adalah nikmatnya melahirkan tiga orang anak dan menyaksikan mereka bertumbuh setiap harinya. Ketiga anaknya adalah Mujizat Messakh (12 tahun). Amzal Xavier Messakh (8 tahun) . Kyrieleison Putri Mezra (2 tahun).
34 Edisi I/ Agustus 2013
Lelaki Tua dan Perahunya Jefta H. Atapeni
Laut di pantai Termanu siang itu tenang dan sepi. Berto memakai topi ti’i langga dan membawa segulung tali, ia bersama Fori gadis cantik berambut panjang berjalan melewati padang sawah tadahan menuju pantai. Langkah kaki mereka sedikit mengagetkan kawanan domba dan sapi yang sedang memakan rumput musim semi kala itu. “Perahu ini saya buat sebagai tanda cinta saya untuk kamu.” Ucap Berto saat ia dan Fori tiba di pantai dekat batu Termanu. “Sekarang kita tidak gunakan perahu ayah untuk memancing dan kau tidak perlu takut dan sibuk keluarkan air laut dalam perahu.” Fori tersenyum melihat perahu baru itu. Memang di waktu-waktu kemarin ia dan Berto gunakan perahu tua milik ayah Berto yang bocor. Kadang Fori takut saat mereka memancing di tengah laut. Bila mereka mendapatkan ikan yang cukup banyak pasti air laut masuk ke dalam perahu melalui samping badan perahu yang bocor dan ia pasti sibuk mengeluarkan air laut. Meski begitu ia tidak pernah menolak bila Berto mengajaknya menemani Berto untuk memancing di laut. Berto sangat memahami perasaan Fori saat mereka memancing dengan perahu tua milik ayahnya, sehingga ia membuktikan ketulusan dan kesungguhan cintanya kepada Fori. Sebuah perahu baru yang tidak akan membuat Foti cemas dan takut lagi saat mereka di tengah laut. Berto menarik moncong perahunya ke laut lalu ia menuntun Fori ke dalam perahu dan mereka mendayung perahu ke laut yang dalam untuk memancing.
Tiga tahun yang lalu saat mereka baru menginjak usia enam belas tahun, di pantai dekat batu Termanu itu Berto mengungkapkan cintanya kepada Fori. Di tempat itulah mereka sama-sama berjanji untuk saling setia sampai mati dan cinta mereka harus tetap kuat dan kokoh berdiri seperti batu Termanu yang kokoh berdiri menjulang tinggi laksana piramid di Mesir. “Besok saya akan pergi ke kota Kupang untuk kuliah di sana.” Ucap Fori saat mereka turun dari perahu sore itu. “Benarkah?” “Ya. Saya mau kuliah ambil keguruan di Kupang.” “Berapa lama kau di sana?” “Empat tahun.” Robi seperti tak bertenaga lagi setalah mendengar ucapan kekasihnya. Dengan terpaksa ia menarik perahunya ke pantai. Ia membiarkan ikan-ikan hasil tangkapan mereka hari itu di dalam perahu lalu ia duduk di pantai. “Saya tak mau pulang.” “Lalu bagaimana dengan ikan-ikan ini?” “Biarkan saja.” Fori tahu hati Berto sangat sedih saat ia tahu besok Fori akan pergi ke Kupang. Hati
Edisi I/ Agustus 2013 35
berto berat untuk merelakan Fori pergi ke kota Kupang. “Saya juga tidak pulang kalau kau masih di sini.” “Terserah kau.” Jawab Berto seraya terpaku dalam sedih menatap matahari yang mulai tenggelam ke laut. Dalam hatinya ia berpikir, seandainya ayahnya guru seperti ayah Fori pasti besok ia juga pergi bersama Fori ke kota Kupang dan mereka kuliah sama-sama. Namun ia sadari, hal itu tidak mungkin baginya. Ayahnya seorang nelayan musiman dan pengiris tuak yang sering sakit-sakitan dan badanya lemah karena ia menderita penyakit asma. Berto dan Fori hidup bertetangga sejak mereka kelas satu SD saat Fori dan ibunya mengikuti ayahnya pindah tugas sebagai guru SD dari Bebalain ke Termanu. Sejak itulah Berto dan Fori bersahabat hingga mereka remaja, namun persahabatan itu berubah menjadi cinta setelah mereka berusia enam belas tahun saat mereka di bangku SMA kelas satu. Mereka saling setia dan saling percaya saat itu. Hingga Fori pergi ke kota Kupang untuk kuliah, Berto tidak pernah menerima kabar dari Fori. Bila Berto bertanya kepada ayah dan ibu Fori, mereka hanya menjawabnya, Fori baik-baik saja di Kupang. Ia sangat sibuk dengan kuliahnya. Empat tahun lebih Berto setia menunggu Fori di Termanu meski tak ada kabar dari Fori untuknya. Ia sabar menunggu Fori sambil bekerja mengiris tuak dan memasaknya menjadi gula air untuk dijualnya. Bila cuaca dan gelombang membaik ia pergi melaut dengan perahu kesayangannya. Saat ia ke melaut ia tidak mesara tidak sepi, bahkan ia merasa ia sangat dekat dengan Fori. Ia merasa Fori seperti nyata di hadapannya saat ia berada dalam perahunya dan memancing ikan di tengah laut. Pada suatu sore Berto pulang dari melaut
36 Edisi I/ Agustus 2013
ia mulai curiga ada sesuatu yang disembunyikan Fori bersama ayah dan ibunya. Berto mendengar dari ibunya, siang itu ayah dan ibu Fori telah berangkat ke Kupang karena ada urusan penting mengenai Fori. “Bukankah dua bulan yang lalu mereka pergi ke Kupang mengikuti wisuda Fori? Sekarang mereka pergi untuk apa? Ada apa lagi dengan Fori?” Pikirnya. Batin Berto menjadi kacau. Ada suara yang mendesaknya untuk segera ke kota Kupang meski ia belum pernah ke sana. Saat itu juga diam-diam ia bulatkan niatnya pergi ke Kupang besok pagi. Pagi-pagi benar Berto telah tiba di pantai. Ia naikan tas dan bekalnya ke dalam perahunya lalu ia memeriksa layar perahu dan tiangnya. Setelah ia pastikan semua aman ia segera menolak perhu itu ke laut lalu ia masuk ke perahunya dan segera mendayung menuju arah Kupang. “Saya harus pergi jauh sebelum ayah dan ibu datang menahan saya,” gumamnya. Perahu itu menjauh dan lenyap dari pandangan pantai saat sinar matahari pagi melenyapkan embun-embun dan beberapa orang penambang pasir baru tiba di pantai itu. Berto sehari penuh perjalanannya mengarungi laut. Meski di selat Puku’afu ia harus bertahan melawan angin kencang dan gelombang cukup besar hingga layar perahunya koyak namun sore itu ia tiba di dermaga kecil di teluk kota Kupang. Ia kagum melihat keramaian dan gedung-gedung pertokoan yang berdiri di tepi pantai dan dermaga itu. Ia labuhkan perahunya di antara perahu-perahu motor di dermaga itu lalu ia mengambil tasnya dan berjalan menuju keramaian. Berto menatap di sekelilingnya sangat berbeda dengan kampungnya. Bangunan-bangunan dan lampu-lampu mulai diterangi lampu listrik. “Pantas Fori datang di sini dia tidak mau pulang meski dia tahu saya setia menunggu di Termanu,” gumamnya. Ia berjalan di tepi dermaga hingga ia berhenti pada satu toko, ruangnya terbuka dan
terang-benderang oleh cahaya lampu hias dan di dalamnya terdapat banyak orang. Nampak akan dimulai pesta pernikahan. Berto dapat melihat dengan jelas orang-orang yang hadir dalam pesta itu sebagian orang Tionghoa dan orang pribumi. Ia terperanga menatap tulisan di latar pengantin itu: Mohon Doa Restu. Fori dan Tom. Hati Berto tiba-tiba gelisah dan ia bertanya-tanya dalam hatinya, apa benar itu Fori kekasih saya? Ah, tidak mungkin. Pasti itu Fori yang lain. Berto terkejut dan memalingkan perhatiannya saat seorang inu dan dan bapak berwajah Tionghoa datang menghapirinya. “Kau juga diundang?” Tanya ibu itu sambil melihat penampilan Berto. “Tidak. Saya baru tiba di sini. Saya cari kekasih saya namanya Fori.” Namun ibu dan bapak itu tidak peduli jawaban Berto dan mereka segera masuk ke dalam ruang pesta. Lalu datang lagi seorang bapak dan ibu berwajah pribumi rapi dengan busana pesta mereka. “Beruntung sekali pak Tias. Meski dia guru SD orang pribumi di Termanu tapi anaknya Fori bisa menikah dengan Tomi orang Tionghoa. Fori sangat beruntung, dia baru dua bulan lalu wisuda dan sekarang menikah dengan orang kaya. Fori pasti akan ikuti jejak suaminya seperti orang Tionghoa pada umumnya.” “Ibu jangan cepat menduga seperti itu. Itu urusan rumah tangga orang.” Ucap suaminya lalu ia memegang tangan istrinya dan mereka masuk ke dalam ruang pesta. Batin Berto terpukul dan sangat sedih mendengar ucapan kedua orang itu. Ia menatap ke dalam ruang pesta untuk lebih memastikannya dan ternyata benar. Dalam pandangan yang jauh dibalik make up dan gaun pengantin itu ia bisa melihat dan mengenal Fori duduk di sana di samping suaminya. Begitu pula ayah dan ibu Fori. Berto merasa ia tidak bertenaga lagi melihat
kenyataan itu. Hatinya sangat hancur dan ia merasa sangat terhina di depan Fori dan kedua orang tuanya. Ia duduk berdiam diri di dekat pintu itu namun datang seorang lelaki menyuruh Berto pergi. Dengan sangat sedih hati Berto berjalan munuju perahunya dan ia baringkan tubuhnya dalam perahunya, dan ia menangisi kenyataan itu. Di situlah ia berjanji pada dirinya ia akan kembali ke Termanu bila hati dan pikirannya benar-benar hilang dari bayang wajah Fori dan kenangan-kenangan yang pernah mereka rajut bersama di Termanu. Ia akan kembali ke Termanu bila batu Termanu itu telah roboh, sebab cintanya kepada Fori sekuat dan sekokoh batu Termanu dan di pantai dekat batu Termanu itulah ia mengungkapkan isi hatinya kepada Fori. Berharihari Berto masih di dermaga itu, perahunya ia jadikan rumah dan tempat tidurnya. Seminggu kemudian ia menemukan Fori dan suaminya di dermaga. Mereka hendak pergi berlibur seharian di Pulu Kera yang jaraknya tujuh mil dari teluk kota Kupang, sebelum mereka berangkat ke Jakarta dan tinggal di sana. Di dermaga itu Berto dan Fori saling menatap namun Fori berpura-pura tidak mengenal Berto. Hati Berto semakin sedih dan ia sulit melupakan Fori. Berhari-hari ia menemani perahunya di dermaga itu. Bila datang musim hujan ia masuk ke dalam tenda perahu motor yang berlabu di sana, namun bila itu tak ada ia tidur di emperan pertokan atau terminal dekat dermaga itu. Untuk bertahan hidup ia bekerja sebagai nelayan. Ia bekerja di sebuah perahu motor yang setiap malam menangkap ikan. Sering ia mendapat olokkan dan cacian dari teman-temannya karena ia tidak mau menggunakan perahunya untuk pergi menangkap ikan bersama perahu motor itu. Ia tidak ingin perahunya hancur terhanyut gelombang laut karena perahunya sebagai bukti tanda cinta, kesetiaan dan kisahnya yang hidup
Edisi I/ Agustus 2013 37
kepada Fori. Perahu itu telah menjadi bagian dalam hati dan jiwanya sehingga ia selalu menjaga dan merawatnya seperti dirinya. Seumur hidupnya ia ingin bersama perahunya di dermaga kecil itu, namun karena desakkan perahu-perahu motor dan kapal-kapal kecil semakin banyak di dermaga, ia membawa perahunya ke pantai yang aman, tak jauh dari dermaga itu.
*** Di pantai ketapang teluk kota Kupang itulah aku pertama kali menemui dan berkenalan dengannya tujuh tahun lalu saat aku menjajakan koran kepada berpasang-pasang kekasih yang duduk di sana sambil menyaksikan sunset. Setiap orang yang pernah dan sering datang di pantai itu pasti selalu melihat pemandangan yang sama dari lelaki tua itu. Ia selalu duduk diam di dalam perahu tuanya dan menatap ke laut tanpa bosan hingga ia terbawa dalam lelap dan ia terbaring dalam perahunya. Bagi orang yang baru pertama kali datang di pantai itu pasti mereka mengira lelaki tua itu seorang gila. Rambutnya dibiarkan gondrong terurai dan separuhnya telah memutih. Kumis dan jenggotnya lebat dan sedikit memutih. Ia memakai sebuah celana pendek dan baju kemeja yang kusam. Pada bagian belakang bajunya telah robek dan beberapa kancing di dadanya telah lepas. Pakean itulah yang selalu ia pakai dan menjalani hari-harinya di sana. “Selamat sore pak Berto.” Ia segera menatap ke arahku. Ia tersenyum ragu padaku seperti ia berusaha mengingat kembali bayangan-bayang masa lalu tentang aku. “Frans?” Ucapnya dengan suara serak. “Benar, pak. Saya Frans penjual koran
38 Edisi I/ Agustus 2013
itu.” “Dua tahun baru kau ke sini lagi. Sudah wisuda?” “Ya, sudah wisuda dua tahun lalu.” “Kau sudah berubah.” “Sedikit berubah,” jawabku tersenyum. “Tapi tetap masih di lahan yang sama.” “Maksudmu?” “Saya wartawan di koran yang dulu saya jual.” “Jadi sekarang kau wartawan?” Ia tersenyum bangga seolah ia tak percaya padaku. “Kau sudah menikah?” “Punya pacar saja susah.” Jawabku tersenyum. “Perempuan jaman sekarang banyak tingkahnya. Mereka gampang tergoda dan pindah ke lain hati. Mereka tidak melihat hati lelaki tapi di luarnya saja. Mereka tidak seperti bunga teratai yang hidup di atas air tapi tidak tenggelam. Tapi perempuan seperti itulah yang membuat hati lelaki menjadi keras dan tegar lebih dari batu karang meski bayang wajahnya seperti ombak yang datang terhempas di batu itu.” “Jadi kau secara diam-diam mengakui karena itulah saya tetap di pantai ini?” “Maaf pak, saya tidak punya maksud begitu.” Ia tidak menjawab aku, bahkan ia enggan menatap dan tak peduli padaku. Ia terdiam menatap laut dan pikirannya seperti jauh dari tempat kami. Ia seperti menemukan banyak pertanyaan hidup di sana dan mencari jawabannya. Ia seperti mengharapkan satu pembebasan yang utuh dan luas seperti laut meski laut terkadang kejam dan menakutkan. Mungkin ia pahami, riak-riak ombak dan gelombang besar yang datang silih berganti menerpa karang dan pasir di pantai sebagai wujud kehidupan dengan berbagai masalah yang datang silih berganti menerpa manusia seperti dirinya. Aku tak tahu apakah ia sekeras karang yang mampu
bertahan dan seperti pantai yang tenang, terbuka dan tabah menerima setiap ombak yang datang menghempas dan menerima buih-buihnya sebagai cerita yang harus diserap sebagai pengalaman dan bekal hari esok meski ia telah tua. Justru saat aku bersamanya, aku pahami laut adalah simbol kehidupan yang luas dan bebas diinterpretasi oleh siapa saja untuk menemukan maknanya sebagai bekal dan kekuatan untuk tetap bertahan dan terus melangkah maju menjalani kehidupan yang tidak seimbang. Saat itulah aku temukan pemahaman dari pak Berto tentang ketidaksamaan antarsesama manusia dalam menjalani kehidupan di bawah kolong langit ini. “Frans. Hidup ini ibarat lautan dan manusia-manusia adalah perahu-perahu dan kapal-kapal yang ukuran dan kemampuannya berbeda. Tapi tidak menjadi satu kepastian bahwa hanya kapal-kapal besar yang kuat yang mampu bertahan dan maju menghadapi gelombanggelombang besar dan arusnya yang deras hingga mencapai tujuan.” “Tergantung juga nahkodanya.” Jawabku terpukau pada pemahamannya. “Ya.” Jawabnya lalu ia menceritakan padaku tentang Fori, gadis cantik dari Termanu yang pertama kali ia cintai dan yang membuat ia tetap bertahan hidup selama empat puluh lima tahun di pantai teluk kota Kupang. Sebulan yang lalu Fori bersama suami dan empat orang cucunya datang menikmati sunset di pantai itu. Mereka dengan santai dan bahagia bercengkerama di perahunya dan terpaksa ia harus keluar dari perahunya dan berdiam diri dekat mereka. Fori yang kini telah tua itu tak lagi mengenalnya. Ia benar-benar jauh dari ingatan dan dunia Fori. “Perempuan itu seperti laut yang lembut dan tenang bila dipandang dari kejauhan tapi terkadang ia menghanyut-kan saat kita berada di dekat apalagi di dalamnya. Apakah kesetiaan saya
selama ini sia-sia? Apakah saya salah?” “Saya kira pak Berto lebih tahu.” Ia tersenyum mendengar jawabanku lalu ia terdiam cukup lama dan aku pun seperti dibawanya ke dalam pikiran dan perasaannya. Mata kami terpaku pada dua orang gadis cantik yang duduk di atas batu karang di depan kami sambil menatap senja yang telah memerah di atas laut. Mereka membiarkan hempasan ombak di karang terbawa angin laksana gerimis jatuh di tubuh mereka. “Saya harus pergi. Saatnya panen ikan hampir tiba.” Ucapnya lalu ia bangun dari perahunya dan berjalan ke laut saat sebuah perahu motor menghampiri pantai dan enam orang lelaki dalam perahu itu sedang menunggunya. “Tiga hari lagi kau harus datang bertemu saya di sini di jam seperti ini! Saya tunggu kau!” Teriaknya dari atas perahu motor sebelum perahu membawa mereka bertolak ke arah pulau Kera. Tiga hari kemudian aku datang di pantai itu tidak seperti hari-hari biasanya. Orang-orang telah penuh sesak di sana dan mereka sedang melihat sebuah kejadian yang baru terjadi. Aku menerobos kerumunan itu dan menemukan pak Berto telah terbaring tak bernyawa di dalam perahunya. Mulutnya masih mengeluarkan buih dan di sampingnya ada dua botol minuman keras merek luar negeri yang telah habis ia minum.
Kupang - Kalabahi, 2012/2013
Edisi I/ Agustus 2013 39
Tentang Penulis Jefta Hermanus Atapeni adalah anak ketiga dari pasangan Daniel Atapeni dan Eyodia Atapeni. Ia dilahirkan di Soka, Rote pada 11 Januari 1984. Tiga tahun kemudian ia sekeluarga hijrah ke Petleng, Kalabahi. Tahun 1991 ia menempuh pendidikan SD di SD Impres Petleng. Tahun 1996 ia sekolah di SMP Negeri 2 Kalabahi. Tahun 1999 ia sekolah di SMA St. Yoseph Kalabahi. Saat lulus SMA tahun 2002, ia yang menyukai ilmu sosial politik dan sejarah ini haru s mengikuti pilihan dan kehendak ayahnya untuk menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia sehingga ia melanjutkan studi S1 di Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Semester satu dan dua adalah masa yang sulit baginya untuk beradaptasi, namun sedikit ketertarikannya pada sanggar di kampusnya membuat ia menemukan dunia baru, yaitu sastra yang membuat ia betah. Kecintaan dan kegairahannya bergelut dan berpetualang dalam dunia sastra membuat ia sempat melepas skripsinya selama lima semester sehingga ia termasuk salah satu mahasiswa yang terancam drop out (DO) di kampusnya. Baru pada semester akhir ia selesaikan skripsinya dan wisuda pada September 2009. Semasa kuliah ia pernah aktif di sanggar Tulang-tulang Berserakan (sebuah sanggar di kampusnya) dan sanggar Rumah Poetika Kupang. Tahun 2004 – 2007 puisi-puisinya sering dipublikasi di Surat Kabar Harian Pos Kupang. Tahun 2005 ia sebagai ketua redaksi dalam pengelolaan majalah dan buletin (seputar bahasa dan sastra) di kampusnya. Tahun 2007 ia mengikuti Program Penulisan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara: Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei) Puisi di Samarinda. Tahun 2008 ia mengikuti kegiatan sastrawan Mitra Praja Utama (MPU) III di Bandung. Ia juga sering diundang mengikuti kegiatan sastrawan seperti Temu Sastrawan Indonesia (TSI), dan Fokus Sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Puisipuisinya termuat dalam antologi puisi lintas propinsi Wajah Deportan (Pusat Bahasa Jakarta, 2009), antologi puisi TSI III Tanjungpinang Kepulauan Riau Percakapan Lingua Franca (2010). Selain puisi, cerpennya juga termuat dalam buku kumpulan cerpen sastrawan MPU III Bandung Sebelum Meledak (2008). Bukunya yang telah terbit, yaitu: antologi puisi Rembulan dalam Jaring Laba-laba (Postmo Pustaka Kupang, 2008), Riwayat Negeri Debu (Kiara Creative Publishing Bandung, 2011), dan buku kumpulan cerpennya Percakapan dengan Laut (Asas UPI Bandung, 2013). Namanya juga disebut dalam buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT karya Yohanes Sehandi (Universitas Sanata Darma Yogyakarta, 2012).
40 Edisi I/ Agustus 2013
Malaikat Lautan Cerpen Mario F Lawi
Aku ingin jadi malaikat. Setiap berjumpa dengan teman-temanku, aku selalu mengungkapkan hal yang sama. Sebelumnya, segala sesuatu tentang malaikat tak semenarik sekarang. Tapi, gambaran tentang malaikat yang kami dapat dari orang-orang membuat rasa ingin tahu kami semakin besar. Semua berawal dari kecelakaan di tengah laut. Orang-orang yang bisa berenang, dapat menunda kematian mereka. Paling tidak, mereka tak perlu merasakan dinginnya kematian di dasar lautan. Bukan dari orang-orang seperti itu gambaran tentang malaikat kami peroleh. Mereka dapat mencapai pesisir tanpa bantuan kami. Adalah mereka yang tak bisa berenang, yang memperkenalkan kami pada cerita-cerita tentang malaikat. Orang-orang yang menukik perlahan ke bawah seperti ikan kecil yang terkena bom para nelayan. Sesekali menggerakkan tangan seakan itu adalah sepasang sayap yang mampu mengepakkan mereka kembali ke atas. Memaksa kami untuk bertindak sebelum mereka benarbenar menemui kematian. Dari merekalah, ceritacerita itu mengalir. Meski tak semua, tapi sebagian besar dari antara mereka senang bercerita ketika ditempatkan di atas tubuh kami. Umumnya, hanya satu tujuan cerita-cerita itu; berterima kasih. Di akhir cerita mereka menyisipkan rasa terima kasih. Juga kata itu; malaikat. Kami memahami semua yang mereka katakan, namun kami tak tahu apakah mereka akan mengerti apa yang kami bahasakan. “Terima kasih, malaikat penyelamat. Terima kasih malaikat penolong...” Anehnya, nama kami
disebutkan lebih sedikit daripada kata ‘malaikat’ itu. Dan orang-orang itu kami hempaskan di pesisir sebelum orang-orang lain menemukan mereka dan menolong mereka. Setiap kali berkumpul dengan temanteman, cerita itu mengemuka lebih cepat dari cerita lainnya. Apalagi, bila ada satu dari antara kami yang usai menolong orang. Hingga suatu kali, gambaran tentang malaikat yang bersayap dan bercahaya kudapatkan dari seorang bocah perempuan yang kuselamatkan dari musibah kapal tenggelam. “Lumba-lumba baik, ya? Terima kasih ya, mau menolong aku. Lumba-lumba seperti malaikat. Sayang tak punya sayap yang bersinar. Coba kalau punya sayap, lumba-lumba pasti bisa juga terbang. Seperti burung, juga seperti malaikat.” Mendengar cerita tentang makhluk itu, sesekali aku ingin menjelma dirinya. Sekadar merasakan nikmatnya menjadi makhluk yang selalu disamakan dengan pembawa kebaikan. Berdiri di atas udara dengan sayap-sayap yang direntangkan. Memandang takzim ke arah sunyi lautan dan gempita daratan. Hingga aku bertemu pria itu, pengubah segala cara pandangku tentang makhluk itu. *** Tak ada salahnya menjadi seekor ikan, meski terkadang aku ingin memiliki sayap-sayap itu. Aku pun sadar, semua makhluk diciptakan secara istimewa, bahkan terumbu-terumbu itu, yang hanya bisa diam ketika ikan-ikan kecil berenang
Edisi I/ Agustus 2013 41
menyusup ke celah-celahnya. Karena itu juga, orang-orang dapat mengukir hidup mereka di daratan tanpa harus terganggu dengan apa yang terjadi di bawah sini. Sementara di sini, aku hanya bisa berenang menyusuri lautan. Menunggu panggilan alam dari permukaan untuk menolong orang-orang yang celaka. Matahari telah lama terlelap, memberikan kesempatan pada malam untuk menunjukkan kuasa. Belum ada yang berubah pada diriku. Aku masih seekor makhluk perenang. Tak seperti biasa, malam ini, aku berenang sendirian tanpa teman-temanku. Meski di sini selalu ramai, aku merasakan kesepian tanpa teman-temanku. Sesuatu, tiba-tiba, bergolak dalam perutku. Sepertinya aku butuh makanan penutup. Aku tak perlu menundanya karena lautan ini punya segalanya. Bersantai seusai menyantap makanan penutup, rasanya tak ada yang lebih baik dari ini. Tapi, aku masih ingin berkeliling sebentar. Mengukir pengalaman dari dasar lautan. Menghitung lebih banyak terumbu yang bisa aku lintasi. Mungkin saja, akan kudapati sesuatu yang lebih menarik dari hidangan penutup, semenarik cerita tentang para malaikat. “Hei, apa yang sedang kaulakukan di tempat ini?” Terdengar suara dari permukaan. Aku pun berenang mendekat, meski tetap menjaga jarak. Suara itu datang dari kapal patroli — demikian orang-orang itu biasa menyebutnya— yang berkeliling menjaga perairan di sekitar pulau itu dari hal-hal asing. Ya, pulau itu selalu dalam penjagaan. Menurut penyu yang biasa bertelur di pesisir pulau, ada sebuah penjara di tengah pulau kecil itu. Mungkin karena menemukan beberapa 42 Edisi I/ Agustus 2013
itulah, aku orang yang
pernah terlihat
berenang berusaha menembus lautan dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka, namun lebih dahulu meninggal sebelum sempat kami tolong. Dan isu yang beredar di antara kami, pulau itu adalah sebuah penjara bagi para penjahat besar di negeri ini. “Maaf, Pak. Saya hanya mau mencari ikan tapi sudah dua hari saya terombang-ambing di lautan hingga terdampar di sini.” Pria yang ditanya itu akhirnya bicara. Berdiri di atas sebuah perahu cadik, tubuhnya legam dan berisi. Tubuhnya bersinar ditimpa lampu sorot dari kapal patroli. “Ah, tidak! Kau pasti anak buah atau matamata dari salah satu tawanan di dalam sana. Tidak mungkin seorang nelayan berani mendekati pulau ini. Ayo, ikut kami! Kau akan menerima ganjaran karena berani memasuki wilayah ini.” Dua orang pria berseragam menyeretnya dari atas perahu. Ia meronta hingga perahu cadiknya makin kuat terombang-ambing, tapi sebuah pukulan di pelipisnya membuatnya diam. Pria legam itu mungkin benar. Saat seperti ini, gelombang permukaan sedang bergelora. Angin pun semakin memperparah keadaan permukaan. Tapi para nelayan seharusnya menghentikan kegiatan mereka. Tapi pria itu pasti punya alasan. Dan aku masih tetap merapat di sisi kapal patroli. Kuikuti kapal itu, sebab naluriku berkata bahwa sesuatu akan terjadi. Tapi sebelumnya aku harus menghirup udara baru. Karena itu kuputar haluan ekorku agar sedikit menjauhi kapal. Kukerahkan siripku lebih cepat. Aku pun muncul ke permukaan. Melompat ke atas, melekukkan tubuhku seperti kail. Lalu menukik lagi. Mengembuskan udara jenuh di dalam tubuhku. Mengambil udara kehidupan dari permukaan dan membawanya ke kedalaman lautan. Udara yang cukup bagiku sebelum proses berikutnya.
“Lihat, ada lumba-lumba!” Seorang dari pria berseragam itu memperhatikan aku. “Biarkan saja, ini lautannya,” yang lain menimpali. Kembali, kuikuti kapal itu. Mereka akan menambatkan kapal itu di dermaga, searah dengan tempat matahari pertama kali muncul dan mengusir sisa kabut di pulau itu. Samar-samar kulihat, pria itu masih terus dihantam. Meski tak diikat, tapi ia tak bisa berkutik. Darah mengucur dari wajahnya. Rasanya ia tak sanggup bertahan. Tapi perkiraanku salah, ia masih kuat. Ia pun memberikan perlawanan dengan sisa-sisa kekuatan. Dalam beberapa hentakan, ia berhasil terlepas dari pegangan para pria berseragam dan meluncur ke lautan serupa benda yang kehilangan gerak. “Tembak dia!” Pria-pria berseragam semakin geram. Kemudian, terdengarlah berondongan peluru mencabik sepi lautan. Mencari tempat di tubuh pria itu. Peluru-peluru itu agaknya meleset dari sasaran. Tapi sebutir berhasil mendapat tempat di kaki kirinya. Menghilangkan gerak. Membubungkan darah ke atas. Memerahkan air di sekitar tempat itu. “Berhasil! Sebentar lagi, ia akan menjadi santapan ikan di lautan ini. Hal itu pantas didapatkan seorang pembangkang seperti dia.” Mereka begitu senang setelah berhasil melukainya. Tanpa memastikan apakah ia benarbenar meninggal, mereka putar haluan, menuju arah matahari terbit. Membawa sukacita seolah telah berhasil membunuh seorang penjahat besar negeri ini. Pria malang itu meluncur ke bawah seperti membawa banyak beban bersamanya. Ia terlihat akan mati. Tapi dengan sisa-sisa kekuatan, ia menggerakkan kaki kanannya agar menjaganya
tetap melayang. Aku tahu, hal itu berat jika dilakukan dengan satu kaki, apalagi oleh orang yang kehilangan banyak cairan seperti dia. Maka kusongsong dia. Aku menukik ke bawah, berusaha lebih rendah darinya. Kupapah tubuhnya dengan punggungku. Ia pasrah, meski sebentar lagi akan kehilangan napas. Mempererat cengkeraman pada tubuhku, ia lalu menunggangi punggungku. Mempercayakan seluruh hidupnya pada makhluk seperti aku. Menginginkan kepalanya berada di atas permukaan air, aku menanjak ke atas. Berusaha menyambung sisa-sisa kehidupan yang hampir putus dalam dirinya. Aku berhasil menempatkan kepalanya di atas permukaan sebelum riwayatnya benar-benar tamat. Ia berhasil menghirup udara lagi, meski darah masih terus mengucur dari kakinya. Beberapa mil dari sini, ada sebuah pulau berpenghuni. Aku akan membawanya ke pulau itu. Mulutnya bergerak, seperti mengucapkan terima kasih padaku. Lalu, seperti kebanyakan orang yang kutolong, ia mulai bercerita. Tentang keluarganya. Tentang kemarahan isterinya akibat tak ada lagi yang bisa dimakan di rumahnya. Hal itulah yang memaksanya menantang badai dan gelombang di lautan. Membuatnya terombangambing dan hampir dipenjarakan. Aku terharu mendengarnya. Ingin rasanya aku menimpali. Tapi kuurungkan niatku. Ia tak akan memahami bahasaku. Kuputuskan untuk membiarkannya terus berbicara. Ia bercerita lagi. Kali ini tentang anakanaknya yang masih kecil. Tiga orang puteri. Ia sangat menyayangi mereka. Baginya, merekalah alasannya untuk bertahan hidup, sesempit apa pun kesempatan yang diperolehnya. Ia terus bercerita, hingga suaranya semakin Edisi I/ Agustus 2013 43
lemah. Aku tak juga mengerti mengapa darah masih saja terus mengalir dari lubang yang ditinggalkan peluru di kakinya. Naluriku berkata, sebentar lagi ia akan kehilangan kesadaran. Tapi suara lemahnya masih terdengar, “Terima kasih, lumba-lumba. Terima kasih telah membawaku terbang dengan sirip-siripmu. Jika ada malaikat yang diutus untuk menjaga lautan, aku lebih senang bila mereka berwujud seperti kau dan memiliki sayap seperti sirip-siripmu. Terima kasih...” Aku agak terkejut. Kebanyakan orang menginginkanku menjadi malaikat. Tapi pria ini menginginkan malaikat seperti aku. ‘Jika ada malaikat yang diutus untuk menjaga lautan, aku lebih senang bila mereka berwujud seperti kau dan memiliki sayap seperti sirip-siripmu,’ terus terngiang di kepalaku. Sesudah mengucapkan kalimat itu, ia diam. Tak sanggup berbicara lagi. Menyisakan kalimat tak terselesaikan. Tapi pendarahan di kakinya mulai berhenti. Matanya mengatup, tapi masih kurasakan aliran darah yang mengalir di sekujur tubuhnya. Ah, lautan semakin dangkal, pesisir sudah dekat. Matahari pun sebentar lagi akan condong dari ufuk timur. Setelah kutolong dia hingga tiba di pesisir pantai itu, aku tak yakin, masihkah aku ingin menjadi malaikat.***
Oepoi, Medio 2009 Untuk Pemilik Aquarium di salah satu sudut kamar dan teman-teman CHORALS XII SMASSTRA 21 serta Komunitas Sastra Seminari Oepoi yang pernah bersama-sama menimba inspirasi dari kotak mungil itu (yang kadang kesepian karena ditinggal mati ikan-ikannya).
44 Edisi I/ Agustus 2013
Tentang Penulis Mario F Lawi dilahirkan di Kupang, NTT, 18 Februari 1991. Mulai menulis puisi sejak duduk di bangku SMP. Alumus Seminari Menengah St. Rafael Oepoi-Kupang, tempat ia bersama beberapa orang temannya mendirikan Komunitas Sastra St. Rafael. Kini sedang menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Ilmu Komunikasi Konsentrasi Komunikasi Antarbudaya Universitas Nusa Cendana. Menulis puisi, esai, resensi buku, cerpen, serta feature, yang dipublikasikan di sejumlah media harian seperti Kompas, Sinar Harapan, Bali Post, Sumut Pos, Pos Kupang, Victory News, Timor Express, Flores Pos, Jurnal Sastra Filokalia, Jurnal Sastra Santarang, Jurnal Pon Minimalis, Buletin Fontes, Majalah Candela, serta terhimpun dalam sejumlah antologi seperti Indonesia dalam Titik 13 (2013), Sauk Seloko (2012), Tuah Tara No Ate (2011), dan lain-lain. Ikutserta dalam sejumlah lomba penulisan dan memenangi beberapa di antaranya: Juara II Sayembara Cerpen Saka Bhayangkara 2009, Juara I Lomba Menulis Puisi Nasional yang diselenggarakan Komunitas Menulis Rumah Sungai Lombok Timur, NTB 2012. Diundang maupun menghadiri sejumlah festival sastra dari tingkat lokal dan nasional seperti: Temu Sastrawan Indonesia IV Ternate (2011), Temu Sastra Indonesia di Kupang (2012), Temu Penyair Lintas Daerah Indonesia di Pemalang dan Pekalongan (2013), hingga sejumlah even sastra internasional yang dihelat di tanah air seperti Pertemuan Penyair Nusantara VI Jambi (2012), Ubud Writers and Readers Festival 2013 di Bali, dan Makassar International Writers Festival 2013 di Makassar. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Buku-bukunya yang telah terbit: Poetae Verba (kumpulan puisi, 2011), Malaikat Hujan (kumpulan cerpen, 2012), Memoria (kumpulan puisi, 2013). HP: +6285237471720 Twitter: @mario_lawi Facebook: Mario F Lawi Email:
[email protected] Blog: mariolawi.wordpress.com Alamat: Jl. Perumahan Jati Mas, RT 09 RW 03, Kelurahan Naimata, Kota Kupang, NTT 85361
Ajal Sang Politikus Cerpen Donis Dalli Pagi ini kudengar lagi namaku ia sebut di dalam doanya. Padahal semalam namaku juga disebutnya dalam doanya. Doa seorang ibu bagi anak semata wayangnya. Doa yang tulus setulus ia telah melahirkanku ke dunia fana ini, dari rahim yang begitu suci untuk diriku yang penuh akan dosa. Tapi mengapa doa ibu selalu diselingi air mata. Begitu banyakkah dosa yang telah kuperbuat ibu sehingga kepiluan senantiasa menghiasi doamu? Begitu durhakanyakah diriku yang senantiasa yang mempertanyakan keberadaan ayah? Ibu, ampuni aku, sebelum diberikan-Nya pengampunan bagiku atas doamu. Namaku Abcdef. Hanya itu. Nama yang merupakan jadi olokan teman-teman sepermainanku. Tak pernah aku mencoba bertanya pada ibu dari mana asal nama itu. Sebab semakin banyak aku bertanya semakin banyak kedurhakaanku pada ibu. Semakin banyak air mata yang mengalir dari pipinya yang kian waktu sermakin keriput termakan usia. Begitu banyak pertanyan yang kian banyak berkecamuk di kepalaku. Tentang tangisan ibu, tentang ayah, tentang nama, tentang aku. Kata ibu ayah sudah meniggal saat aku dalam kandungan, tapi aku tak bertanya saat ibu mengatakan itu. Sebab aku takut akan air mata yang akan menetes lagi. Semakin durhaka aku jadinya. Bisik-bisik tetangga sering menambah gelombang tanya di kepalaku. Kata mereka aku anak haram, kata mereka ibu istri simpanan seseorang lelaki. Mungkinkah seseorang itu ayahku? Mungkinkah aku anak haram? mungkinkah ibu istri simpanan seseorang yang adalah ayahku? Ah... durhaka lagi aku jadinya.
Mentari pagi menusuk masuk lewat sela-sela dinding rumah kami. Rumah yang tak layak disebut rumah, rumah yang sesungguhnya dusun. Mentari pagi senantiasa memberikan sedikit kehangatan bagi aku dan ibu yang selalu menjalani hari-hari kami yang dingin tanpa ayah. Ayah... sosok yang tak pernah kutahu seperti apa rupanya. Sosok yang tak pernah kurasakan kasihnya seperti yang kulihat pada teman-teman sebayaku saat ayah mereka bermain bersama mereka. Saat ayah mereka mengajarkan bagaimana menjadi seorang laki-laki tangguh. Saat ayah mereka mengajarkan bagaimana memperlakukan seorang wanita. Dan mengajarkan bagaimana menjadi seorang pemimpin. Semua itu hanya mimpi yang tak seharusnya dimimpikan olehku. *** Hari ini sekolahku mendapat kunjungan dari seorang pejabat yang akan memberikan dana bantuan untuk membenahi infastruktur sekolah kami. Pejabat yang mengenakan jas coklat tua dengan dasi yang hampir mencekik lehernya itu diterima kepala sekolah di ruangannya. Kepala sekolah yang biasanya berwajah ganas bak macan pada kami murid-murid bahkan pada para staf guru terlihat begitu tunduk pada pejabat itu. Wajah pejabat itu menampakan sikap dingin seorang pejabat. Bak seorang pelayan, kepala sekolah berkepala gundul berkumis tebal itu mempersilakan tamu agungnya duduk di atas sofa yang begitu nyaman. Jika aku punya uang yang banyak akan kubelikan ibu sofa seperti itu. Karena kursi kayu yang biasa ibu duduk sambil menjahit sudah reot termakan rayap. Sedangkan dua orang pria berbadan memakai kacamata hitam Edisi I/ Agustus 2013 45
diperintahkan pejabat berperut tambun itu untuk menutup pintu. “Paling-paling urusan politik. Maklum, kan sekarang sudah dekat Pemilukada di kota ini,” dengus seorang ibu menampakan wajah tak suka. “Saya sependapat dengan ibu. Menyiasati dengan memberikan bantuan agar kepala sekolah berterimah kasih. Dan dengan sedikit politik juga, kepala sekolah akan merayu orang tua para murid untuk memilih pejabat itu sebagai pemimpin kota mendatang, sebagai bentuk apresiasi karena pejabat itu telah membantu memberikan bantuan bagi kelancaran belajar mengajar anak-anak mereka,” tambah seorang ibu guru yang umurnya lebih tua. “Tetapi pasti ada bantuan juga bagi kita para guru. Mungkin saja ada kenaikan gaji bagi kita,” bela seorang guru. “Pak, belajar dari masa lalulah. Pak lihat apa yang kita dapat sekarang? Semuanya hanya janji pelipur lara untuk mendapatkan jabatan yang tinggi. Dan setelah itu mereka akan memperkayakan diri sendiri lalu kita dibiarkan berkoar-koar menagih janji tanpa hasil yang jelas,” jawab seorang guru yang berpikir realistis. Sedangkan orang yang dijawab hanya terdiam tidak mampu membalas. Beberapa saat kemudian pintu ruangan kepala sekolah terbuka. Kepala sekolah dengan sikap hormat mempersilakan tamunya itu untuk keluar terlebih dahulu. Disusul dirinya beserta kedua pengawal sang pejabat. Raut kemenangan tampak jelas di wajah kepala sekolah seperti ekspresi wajah ibu saat mendapat bantuan beras dari seorang janda yang prihatin dengan keadaanku dan ibu. Atau mungkin karena merasa senasib sepenanggungan karena sama-sama berstatus janda. Tetapi menurutku ekspresi wajah ibu lebih tulus dibandingkan dengan ekspresi
46 Edisi I/ Agustus 2013
wajah pemimpin di sekolahku ini. Karena ibu membumbuinya dengan air mata haru. Kepala sekolah melangkah bersama sang pejabat ke arah mobil dinas mewah yang diparkir di samping mobil Kijang keluaran tempo dulu milik kepala sekolah. Seorang pengawal pejabat itu membukakan pintu bagi sang pejabat sedangkan seorangnya lagi menyetir mobil. Sebelum masuk ke dalam mobil dinas nan mewah itu sang pejabat menyalami kepala sekolah. Tangan mereka saling berjabat erat sama seperti yang kulihat di televisi milik tetangga. Presiden Indonesia menyalami tangan Presiden Amerika Serikat saat berkunjung ke Indonesia. “Saya tungguh kabar terbaru dari Bapak. Saya harap kerja sama ini dapat terlaksana dengan baik untuk kepentingan kita bersama,” kata pejabat itu seraya melepaskan jabat tangannya. “Saya juga berharap demikian Pak, dan secepatnya akan saya kabari,” jawab sang kepala sekolah. Mungkin benar apa yang tadi dibicarakan guru-guruku. Bahwa ternyata di balik semua ini terselubung sebuah investasi politik. Sepulangnya pejabat perut tambun itu kegiatan belajar mengajar dilanjutkan. Sesampainya di rumah, aku bagai disambar petir di siang bolong. Sebuah mobil mewah berplat merah terparkir di depan rumahku. Tampak pula dua orang berbadan kekar memakai kacamata hitam legam yang kujumpai di sekolah tadi. ‘Mungkinkah pejabat itu begitu gencar mencari pendukung hingga memaksakan diri masuk ke dalam gubuk reot kami,’ tanyaku dalam hati. Dengan terbirit-birit aku berlari ke dalam rumah. Kupikir dua pengawal itu akan mencegatku. Mereka tetap sigap di tempat mereka
berdiri. Di dalam rumah kusaksikan pemandangan yang amat-amat asing bagiku. Kulihat ibu sedang menangis, sedangkan pejabat tambun itu duduk di atas kursi kayu yang biasanya ibu duduki saat menjahit. Herannya kursi itu begitu kuat hingga bisa menahan berat tubuh pejabat itu. Satu lagi yang membuatku bertanya-tanya, nyamankah dia duduk pada kursi reot itu. ‘Ayah’ kudengar sebuah suara melanglang buana dalam otakku. “Mengapa ibu menangis?” tanyaku. Namun tak ada jawaban hanya air mata yang terus mengalir. “Akulah ayahmu, Nak. Dan kau anakku,” suara itu keluar dari mulut tamu kami ini. Kurasakan kekakuan menjalar dalam tubuhku. Darahku seakan berhenti mengalir. Pori-pori kulit pun seakan tak sanggup menyerap keringat yang spontan bercucuran. Lututku terkulai lemas saat kutikamkan pada lantai beralas tikar. Tidak percaya. Tentu saja aku tidak percaya. Ayahku sudah meninggal dan aku mempercaya itu. Jangan paksa aku mempercayai bisikan-bisikan tetangga yang pernah kudengar. Ibu memelukku erat tapi matanya tidak berani menatapku. Sang pejabat itu berdiri dan berusaha meraih tanganku, tapi tidak kesampaian karena kukatupkan erat-erat jariku dan kuayunkan. Kutepis keras tangannya yang berusaha meraih tangankku. “Pergiiiiiiiiiiiiiii...” teriakku tak peduli dia seorang pejabat atau bahkan jika dia ayahku. Sebab sekalipun begitu toh aku tak membutuhkannya. Mimpi-mimpiku untuk bertemu ayah tak kuhiraukan lagi. Padahal kini ayah yang sesungguhnya berdiri di hadapanku dengan wajah tanpa dosa. Wajah dingin seorang pejabat. Kuharap aku tak menjadi seperti Malin Kundang. “Baiklah, Anakku. Aku akan pergi tapi aku
harap kau akan datang mencariku dan mengakui aku ayahmu,” katanya sambil berjalan mundur dan keluar dari dalam rumah. Satu menit kemudian kudengar suara deru mesin mobil perlahan menghilang meninggalkan kesunyian rumah kami. “Maafkan ibumu, Anakku. Rahasia besar itu akhir kau ketahui juga. Maafkan ibu yang selalu menutupi keberadaan ayahmu dengan mengatakan ia telah meninggal,” jelas ibu dengan terisak-isak. “Dulu ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga di rumahnya. Waktu itu dia masih seorang pegawai negeri biasa bukan seperti yang kau lihat sekarang. Dia sudah beristri tapi tak memiliki anak dari istrinya itu. Dia begitu perhatian pada ibu dan berencana menjadikanku istri keduanya tapi itu ditentang istrinya. Dari hubungan kami yang diam-diam bertumbuhlah kamu dalam rahim ibu. Keadaan ibu akhirnya diketahui oleh istrinya. Lalu ia mengusir ibu dari rumah itu. Ayahmu diamdiam mencarikan rumah ini untuk kita tinggal kelak kamu lahir dan dia berjanji akan kembali membawa kita ke rumahnya jika dia telah bercerai dengan istrinya. Tapi begitu lama ternyata waktu untuk dirinya datang kepada kita sehingga selama itu pula ibu terpaksa membohongimu, Nak.” Kurasakan air mata ibu mengalir membasahi dadaku. Lalu pandangan mataku jadi sayup-sayup dan gelap sama sekali. Begitu lama aku tertidur atau mungkin pingsan hingga sepiring nasi jagung untuk makan malamku telah dingin saat kumakan. Kulihat pada jam tua yang masih menempel erat di dinding ternyata sudah jam sembilan malam. Kuberanjak dari pembaringanku. Kulihat ibu tertidur di ranjangnya. Bekas-bekas tangisan tampak jelas pada kelopak matanya. Tiga bulan berlalu sejak kejadian itu.
Edisi I/ Agustus 2013 47
Pekatnya malam membawaku menelusuri jalanjalan yang tak kuketahui ke mana arahnya. Bahkan dalam ingatanku aku tidak pernah melewati jalan ini sebelumnya. Langkah kakiku yang gontai membawaku ke sebuah rumah yang berbanding terbalik dengan keadaan rumahku. Rumah ini mewah berlantai dua. Di halaman terdapat sebuah taman dan kolam ikan. Aku masuk ke dalam rumah bagai rumah itu milikku sendiri. Tak ada siapa-siapa menghalangiku dan aku berharap tidak bertemu dengan dua pengawal berbadan kekar seperti pengawal pejabat atau ‘ayahku’ itu. Entah sadar atau tidak aku terus melangkah menyusuri seisi rumah itu. Sesampainya di lantai atas, aku masuk ke dalam sebuah kamar berukuran besar. Kubuka pintunya perlahan-lahan. Seorang laki-laki sedang tertidur pulas di atas sebuah ranjang empuk mewah khas hotel bintang lima. Sangat kontras dengan aku dan ibu yang tidur di atas sebuah ranjang tua beralaskan kasur lapuk yang penuh dengan jahitan di sana sini. Wajahnya tidak asing bagiku. Kuharap tidurnya benar-benar pulas. Untuk beberapa saat kemudian aku tidak sadar apa yang terjadi setelahnya. Semuanya terjadi begitu cepat. Satu jam kemudian aku temukan diriku terbaring terkulai lemah di atas tempat tidurku hingga cicitan burung pipit dan hangat mentari pagi sadarkanku esok harinya. Kudengar suara gaduh dari seberang jalan. Aku bangun dan kubasuh mukaku dengar air segar lalu pergi melihat apa yang sedang para tetanggaku itu bicarakan. Rupanya mereka sedang meributkan sebuah isi berita yang termuat dalam surat kabar pagi ini. “Diberitakan Pemilukada terancam ditunda karena seorang calon walikota yang maju dalam pemilukada kali ini ditemukan tewas dengan usus terburai dari perutnya. Di tempat kejadian ditemukan sebilah pisau dapur berlumur darah. Diduga pisau itulah yang digunakan pelaku untuk 48 Edisi I/ Agustus 2013
membunuh korban. Menurut pengakuan dua pengawal korban, tidak ada keanehan di rumah korban tadi malam. Tetapi mereka juga tidak bisa memastikan dengan jelas karena saat itu mereka berdua sedang pesta mabuk-mabukan di ruangan belakang.” Begitulah isi berita yang menjadi perbincangan para tetanggaku itu. Menurut mereka Pilkada dibatalkan atau dilangsungkan sekalipun sama saja. Siapa pun yang terpilih menjadi pemimpin tidak akan berpengaruh bagi mereka yang hidupnya dalam kemelaratan. Bagi mereka yang terjerat dalam kemiskinan. Bagi mereka yang kian hari rambutnya rontok karena memikirkan dampak kenaikan BBM yang sedang pemerintah rencanakan. Dari arah rumahku aku mendengar suara ibu memanggil. “Di mana pisau dapur kau simpan, Nak? Ibu perlu untuk memotong sayur untuk makan siang kita.” Aku hanya tersenyum dan menjawab, “Aku lupa, Ibu.”
RAMUAN TERAKHIR Oleh: Djho Izmail
Pagi masih berkabung dengan kesendiriannya. Menantikan matahari pagi yang kan menjenguk mereka dengan sinar keperkasaannya. Ayam jantan berkokok seolah meruntuhkan setiap menara mimpi yang sedang asyik dibangun oleh masing-masing isi kepala warga kampung. Suara mereka bertalu-talu saling bersahutan. Dari balik bukit Wozo Sasa anjing mulai melolong. Sisa dari beberapa ekor anjing yang terserang virus rabies tersebut, terdengar sayupsayup. Ivon bocah Sekolah Dasar berumur sebelas tahun itu mulai bergumam. Panas badannya belum turun sejak dua hari yang lalu. Kadang setiap sore ia harus menggigil padahal di sekitarnya udara panas. Sudah dua hari ini ia tidak ke sekolah. Teman-teman sepermainannya di kampung maupun di sekolah mulai bertanya-tanya keadaanya. Bagaimana bisa bocah yang terlihat paling riang di antara teman-temannya itu menderita sakit, padahal dalam beberapa hari ini, ia paling cerewet di kelas. Ia memang terkenal siswi yang cerdas dan cerewet diantara teman sekelasnya yang lain. Mereka telah berjanji akhir pekan ini untuk ke Tiwu Ipu, sekedar berekreasi dan latihan berenang. Apa jadinya kalau Ivon yang menggagas kegiatan ini jatuh sakit. Teman-temannya belum berani menjenguknya. Bukannya mereka tidak mau tetapi mereka menganggap Ivon cuma kurang enak badan, lagi pula sepengetahuan mereka, yang harus dijenguk hanyalah jika orang tersebut masuk
Rumah sakit atau Rawat Inap di Puskesmas. Kirakira begitulah pemahaman bocah-bocah kampung tersebut. Pada pagi itu Ivon mulai batuk. Mamanya yang tidur di samping cuma bisa memeluknya sambil memijat punggung anak perempuannya. Ia belum bisa diantar ke dokter karena ketiadaan biaya pengobatan dan juga akses transportasi ke kota juga cukup sulit. Selangka komodo yang hampir punah. Kendaraan di kampung itu hanya datang dua hari sekali. Itupun kalau dipesan oleh beberapa orang untuk mengangkut hasil perkebunan mereka ke kota. Yang paling berandil sehingga tidak ke dokter adalah biaya. Jangankan ke dokter, uang transportasi saja belum ada. Warga kampung itu memang tidak bisa berbuat banyak kalau sakit. “Indonesia Sehat 2025” ternyata cuma slogan. Puskesmas pembantu yang ada di desa itu saja menjadi tempat melahirnya sekaligus tempat pembuangan hajat bagi kambing-kambing warga desa yang tidak diikat. Apalagi kalau kita berbicara mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat yang sungguh tak dimengerti oleh warga kampung. Mereka cuma mengerti tentang beras miskin (Raskin) yang tiap enam bulan mereka terima dengan harga per kilogramnya dua ribu lima ratus rupiah. Harga yang cukup mahal bagi warga desa. Harga itu masih murah dibandingkan dengan harga beras di pasar, kata bapak Kepala Desa setiap kali hendak membagikan beras. Ivon batuk lagi. Mamanya semakin teriris hatinya. Ia tidak bisa berbuat banyak
Edisi I/ Agustus 2013 49
untuk kesembuhan anaknya. Diambilnya balsem di bawah bantal tidurnya, lalu menggosokannya di punggung dan di dada anaknya sambil memijatnya pelan. Ayah mereka sudah empat hari ini tidak pulang. Ia masuk keluar hutan untuk mencari kayu gaharu yang harum itu, yang konon katanya berharga mahal. “ sabarlah nak, nanti setelah bapakmu datang baru kita ke Puskesmas” mamanya berjanji sambil menitikan air mata. Ivon cuma menggangguk di tengah-tengah suara batuknya. Karena tidak bisa tahan lagi dengan sakitnya ia mulai menangis tersedu-sedu. Mulut mungilnya mulai mengumpat hidup yang harus menghadirkan derita pada dirinya. Ia sungguh tidak kuat lagi menghadapi sakitnya. Pelajaran sekolahnya yang ketinggalan beberapa hari ini, juga tentang kesepakatan dengan temannya untuk berakhir pekan di sungai yang bernama Tiwu Ipu itu pasti tak terlaksana dan berantakan. Adiknya Icha juga mulai ikut-ikutan sejak subuh tadi. Ia batuk seperti orang yang tersedak makanan di kerongkongan. Batuknya kali ini lain. Tidak seperti yang dialami kakaknya Ivon. Batuknya Icha, siswi kelas tiga SD itu adalah batuk berdahak, disertai tarikan ingus dalam rongga hidung yang panjang. Sudah tiga kali mamanya menegur agar kalau dahaknya segera ia tumpahkan keluar begitu ia selesai batuk, tapi tak ia hiraukan. Yah.. begitulah anak-anak kadang harus dengan kekerasan atau bukti nyata supaya mereka bisa percaya. Anak manja itu selalu merengek begitu selesai batuk. Ia merasa batukya diberikan oleh mamanya sehingga ia merengek agar segera berakhir, seperti meminta ikan goreng untuk makan siang yang baru selesai digoreng mama. Kakaknya Ivon juga mulai marah50 Edisi I/ Agustus 2013
marah walaupun dalam keadaan sakit, mendengar rengekan adiknya yang kelewat manja. Ia merasa tersaingi dan juga porsi perhatian dari mama mereka lebih banyak tercurah pada adik bungsunya itu. Beberapa kali ia mulai menampakan suara kurang puas. Desis dari mulutnya itu. Adiknya masa bodoh dengan perasaan kurang senang dari kakaknya. Ia malah merengek menjadi-jadi. Mamanya bingung harus berbuat apa lagi meladeni kedua putrinya yang menangis. Ia cuma pasrah dengan keadaan. Sesekali tangannya meraba kening anak bungsunya. Dalam hati ia cuma berharap pada yang kuasa agar penderitaan ini segera berlalu. Matahari mulai tersenyum simpul. Ia dengan berat hati bangun, meninggalkan kedua anaknya yang tergolek lemas di tempat tidur. Biar bagaimanapun ia harus menyiapkan mereka sarapan pagi.
*****
Nua Gore masih remang. Matahari belum melumat halaman ladang yang dulunya bekas perkampungan itu. Ayam sudah berkokok bersahut-sahutan. Seorang lelaki kurus berusia setengah abad segera membasuh muka dan pergi. Jalan tikus yang biasa dilalui menuju kebunnya sudah ditumbuhi rumput alang-alang setinggi lutut. Tetes-tetes embun yang belum menguap pada pagi jatuh, membasahi ujung sarung. Membasuh telapak kakinya yang tak beralas. Tunas ilalang dengan gemas menusuk telapak kakinya yang tak berkasut. Ia masih dengan geramnya menginjak jalanan berbatu. Sedikit rasa dingin menusuk kulitnya, tapi tak kuhiraukan semuanya itu.
Langkah dan langkah yang ia tapaki dengan pelan namun pasti. Tak terasa, ia sudah berada di kebunnya. Pada sebuah pohon besar ia mulai duduk. Mengambil sebuah tempat yang dibuat dari batok kelapa. Dikulitinya pohon itu dengan gesit. Sedikit siulan untuk menghilangkan kesendirian dan rasa jenuh di awal pagi ini. Kata bapaknya dulu waktu dia masih kecil, kulit dan getah pohon ini sangat berkasiat untuk menyembuhkan segala penyakit. “Sudah sejak nenek moyang kita ramuan ini diminum untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Selain untuk obat, akar atau kulit pohon ini juga sering dimasukkan ke dalam arak atau moke. Berfungsi sebagai penambah rasa pada minuman keras tersebut. Bahkan kalau ada yang sakit perut atau sakit kepala dan penyakit malaria, minum ramuan dari pohon ini dan sembuh” begitulah kirakira kata-kata bapaknya yang masih terekam di memorinya sampai sekarang. Lelaki kurus berusia setengah abad itu bergegas kembali ke rumahnya setelah akar, getah dan kulit dari pohon itu ia rasa cukup dan telah sesak pada dua tempurung kelapa yang ia bawa. Langkahnya panjang-panjang agar cepat sampai di rumah. Ia tak tega melihat anaknya menderita sakit begini. Apalagi sudah lima hari. Ini juga sebagai bentuk penyesalan atas kurang bertanggungjawabnya sebagai bapak keluarga yang lama meninggalkan keluarga. Ini juga sebenarnya bukan kesalahannya. Ia tidak tahu kejadiaannya akan begini. Lagi pula ia meninggalkan istri dan anaknya bukan untuk sekedar kepuasaan dirinya. Ia meninggalkan mereka untuk mencari rezeki lewat potonganpotongan kayu gaharu yang cukup menggiurkan harganya tersebut.
Sesampai di rumah ia menyuruh istrinya memasak air hingga mendidih. Sambil menunggu air mendidih, ia mulai membersihkan kulit dan akar kayu itu. Bekas tanah ia hilangkan. Dibilasnya dengan air hingga bersih lalu ia pun menjemur untuk mengeringkan airnya. Tak lama istrinya berteriak dari dapur memberitahukan bahwa air telah mendidih. Air panas itu ia masukan dalam sebuah cerek yang di dalamnya telah ada akar dan kulit dari kayu tersebut. Inilah cara yang juga diajarkan oleh mendiang bapaknya dulu. Butuh beberapa jam untuk menggunakan ramuan tersebut, selain menunggu airnya dingin juga menunggu agar kasiat dari akar dan kulit pohon itu terlarut ke dalam air. Sementara panas anaknya yang bernama Ivon belum turun. Ia masih menggigil seperti orang yang berada di tengah es. Mereka tidak mengerti sakit apa yang sebenarnya diderita anaknya. Mereka hanyalah warga kampung yang bersahaja dengan keadaan hidup yang serba berkekurangan apabila dibandingkan dengan masyarakat kota. Sementara Icha masih terus saja batuk. Beberapa saat menunggu, tak terasa, matahari telah condong ke barat. Semburat jingga di langit mulai nampak memudar. Pertanda malam akan segera datang menjenguk makhluk bumi yang telah ia tinggalkan kurang lebih duabelas jam yang lalu. Lelaki itu membangunkan kedua anaknya. Dibopongnya mereka ke dapur yang juga sekaligus sebagai kamar makan. Ramuan telah ia tuangkan dalam kedua gelas plastik. Disodorkan satu-satu untuk kedua anaknya masing-masing. “ ini, minumlah biar cepat sembuh” Ia berpromosi agar anaknya lekas minum. Kedua anaknya enggan meminum ramuan dari gelas yang sudah mereka pegang tersebut. Edisi I/ Agustus 2013 51
Bapaknya sedikit memaksa, tapi mereka tetap saja enggan meminumnya. Bapaknya kemudian mengambil sebuah gelas, lalu menuangkannya dari cerek. Diminumnya ramuan itu. Setelah segelas penuh ludes, ia mengangguk mengisyaratkan anaknya segera minum. Keduanya minum dengan tiga kali tarikan napas. Ludes. Tinggal dua tiga tetes di dalam gelas. Tak berapa lama setelah meneguk, Ivon dan Icha langsung kejang-kejang. Bapak mereka berusaha untuk membantu keduanya yang secara tiba-tiba kejang. Baru beberapa detik ia menyentuh pundak anaknya, ia juga mengalami hal yang sama. Kejang-kejang. Ketiganya dalam kondisi mengenaskan. Dari mulut mereka keluar busa dan darah. Melihat anak dan suaminya nampak aneh dan janggal, perempuan itu mulai berteriak pada tetangga-tetangganya. Tetanggapun berdatangan melihat ada apa gerangan. Mereka terpanah dengan pemandangan yang baru saja mereka lihat. Mengenaskan. Nyawa ketiga orang tersebut tak tertolongkan lagi. Mereka mati seketika.
Naikolan, Maret 2012
Tentang Penulis Djho Izmail lahir di Ende-NTT pada tanggal 15 Maret 1988. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora NTT. Ikut mengelolah Jurnal Sastra Santarang yang diterbitkan Komunitasnya.
52 Edisi I/ Agustus 2013
Info Kegiatan UKBI
Kegiatan Tes UKBI di Kabupaten Belu
Tes UKBI dilakukan ada tiga seksi. Seksi pertama mendengarkan, seksi kedua merespons kaidah, dan seksi ketiga membaca. Tiga seksi yang dilakukan pada tes UKBI diberikan batasan waktu untuk mengerjakan setiap soal. Media pengujian yang dilakukan Kantor Bahasa tes UKBI berbasis kertas. Peserta yang mengikuti tes UKBI akan diberikan sertifikat. Sertifikat yang diberikan Kantor Bahasa berlaku selama satu tahun dan dicantumkan skor pemeringkatan peserta yang mengikuti tes.
Kegiatan tes Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia bagi guruguru Bahasa Indonesia dilaksanakan di Atambua, Hotel Nusantara Dua pada tanggal 18-19 Juni 2013
Edisi I/ Agustus 2013 53
Info Kegiatan
UKBI adalah Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia. Salah satu kegiatan yang dilakukan Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah melakukan tes Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia bagi guru-guru Bahasa Indonesia. Kegiatan tes Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia bagi guru-guru Bahasa Indonesia dilaksanakan di Atambua, Hotel Nusantara Dua pada tanggal 18-19 Juni 2013. Peserta Tes UKBI dihadiri oleh guruguru Bahasa Indonesia pada tanggal 19 Juni 2013 sebanyak empat puluh dua guru dan pada tanggal 18 Juni 2013 dihadiri sebanyak tiga puluh satu guru. Tujuan diselenggarakannya tes UKBI adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat kemahiran Berbahasa Indonesia yang dimiliki oleh guru-guru Bahasa Indonesia yang ada di Kabupaten Belu, Atambua.
Info Kegiatan Kelas Menulis Kreatif
Info Kegiatan
Kelas Menulis Kreatif Anak Perbatasan
Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur di pertengahan bulan Juni tepatnya pada tanggal 18—19 Juni 2013 mengadakan kegiatan Kelas Menulis Kreatif Anak Perbatasan di perbatasan Republik Indonesia dengan Timor Leste, tepatnya di Desa Mota’Ain, Kabupaten Belu. Kegiatan ini berupa pelatihan yang mengajari anakanak untuk menulis dan memotivasi anak-anak untuk mengapresiasikan pengalaman kehidupan sehari-hari ke dalam sebuah tulisan kemudian menonton film karya Mezra E. Pellondou “Nama Saya Dominggas” yang bercerita tentang kehidupan keluarga dimana sang anak berpisah dengan sang ayah karena status kewarganegaraan. Hasil karya anak-anak perbatasan tersebut akan dibukukan dan menjadi sebuah antologi serta akan diluncurkan pada Temu Sastrawan se-NTT pada bulan Agustus 2013.
54 Edisi I/ Agustus 2013
Info Kegiatan Kelas Menulis Kreatif Anak Kepulauan Anak-anak yang hidup di kepulauan khususnya di Pulau Rote Ndao memiliki kekhasan budaya dan kehidupan yang begitu menarik untuk ditelusuri. Di Pantai Nembrala, Desa Dela (sebutan masyarakat setempat) Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur melakukan Kegiatan Kelas Menulis Kreatif Anak Kepulauan pada tanggal 28—29 Juni 2013. Di hari kedatangan tim kelas menulis mendapat sambutan begitu hangat yang dilakukan oleh kepala sekolah SMA Negeri 1 Rote Barat, Oniesimus Ndun, S.Pd.
Di hari kedua kelas menulis diadakan di pinggiran Pantai Nemberala dengan siswa yang sama dengan narasumber Mezra E. Pellondou, S.Pd., M.Hum. dan Tjut Zakiyah narasumber dari Surabaya.
Edisi I/ Agustus 2013 55
Info Kegiatan
Kegiatan di hari pertama kelas menulis dilakukan di SMA Negeri 1 Rote Barat yang merupakan sekolah yang berada di pesisir Pantai Nemberala. Kelas menulis ini diikuti oleh 30 orang siswa/i dan 5 orang guru pendamping.
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Pemilihan Duta Bahasa Provinsi NTT Tahun 2013 Kantor Bahasa Provinsi NTT untuk kedua kalinya menyelenggarakan Pemilihan Duta Bahasa Provinsi NTT tahun 2013, pada tanggal 12 Juli 2013 yang lalu, Pemilihan Duta Bahasa tersebut di laksanakan pada pukul 08.00—17.00 Wita di aula utama Hotell Swissbell-inn Kristal Kupang, yang secara resmi di buka oleh Kepala Dinas PPO Provinsi NTT yang dalam hal ini mewakili Gubernur NTT. Dalam sambutannya Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT, bapak M. Luthfi Baihaqi, S.S., M.A. menjelaskan pihaknya sudah mengupayakan agar semakin banyak mahasiswa dan pelajar yang mengikuti pemilihan Duta Bahasa Provinsi NTT 2013, namun animo masyarakat masih minim. Ia berharap ke depan semakin banyak mahasiswa dan pelajar yang mengikuti ajang pemilihan Duta Bahasa sehingga bisa ikut serta dalam misi
56 Edisi I/ Agustus 2013
mensosialisasikan bahasa Indonesia yang saat ini mulai tergerus kemajuan zaman dan penggunaan bahasa asing. Ia juga memastikan bahwa para pemenang dan peserta Duta Bahasa Provinsi NTT akan diikutsertakan dalam berbagai kegiatan Kantor Bahasa di NTT. Ia berharap Duta Bahasa Provinsi NTT tahun 2013 mampu mempersiapkan diri dengan baik untuk bisa bersaing di tingkat nasional dan membawa nama Provinsi NTT gemilang di tingkat nasional. Ketua Panitia Pemilihan Duta Bahasa Provinsi NTT 2013, Christina Weking, S.S. tujuan diadakannya kegiatan ini adalah mencari pemuda pemudi yang mampu berbahasa Indonesia, bahasa asing maupun berbahasa daerah yang baik dan benar sebagai mitra kantor Bahasa Prov. NTT untuk mempengaruhi lingkungan sekitar mereka khususnya generasi muda NTT untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik d a n benar
Info Kegiatan di setiap aspek kehidupan mereka dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa. Christine juga menjelaskan bahwa pendaftaran Pemilihan Duta Bahasa telah di buka sejak bulan Juni tepatnya pada tanggal 3 dan tercatat selama masa pendaftaran 34 pemuda/i dari berbagai universitas negeri maupun swasta di Kupang, yang berusia 18--25 tahun telah mendaftarkan diri untuk melaju ke tahap penyeleksian.
Setelah tahapan tes tulis dan tes UKBI selesai, masing-masing peserta mengumpulkan makalah kepada panitia dan siap mempresentasikannya pada acara final. Dari hasil seleksi tersebut terpilih 10 besar terbaik (5 laki-laki dan 5 perempuan). Sepuluh finalis ini berhak mempresentasikan makalah dan mendapatkan pertanyaan dari tiga juri utama yang terdiri atas Dr. Theresia Kumanireng yang menilai tentang aspek Kebahasaan dan Kesastraan, Ibu Ina Djara, S.Sos dari TVRI stasiun Kupang yang menilai tentang aspek Penampilan dan Penguasaan panggung, dan Bpk. Jonny Rohi, dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prov. NTT yang menilai aspek tentang pengetahuan umum Kebudayaan NTT. Para penonton dan undangan yang hadir juga mendapatkan kesempatan untuk memberikan pertanyaan, saran maupun kritik kepada para peserta. Sebagai pemenang I Pemilihan Duta Bahasa Provinsi NTT adalah Sdr. Thomas Soni Bill T dari FKIP Bahasa Inggris Undana dan Sdri. Maria Beverly Rambu Y. K. seorang Jurnalis. Sebagai pemenang II adalah Sdr. Steffan Djami dan Ruth Naomi Pellondou, dan Pemenang III adalah Sdr. Laurensius Irjan Buu dan Sdri. Winda Virginia Tupu. Para pemenang ini mendapatkan tropi dan hadiah hiburan, sedang Pemenang I Duta Bahasa Provinsi NTT, Billy dan Verly akan mewakili NTT mengikuti Pemilihan Duta Bahasa Nasional Oktober mendatang. Ketua tim juri, Doktor Tress Kumanireng mengatakan bahasa merupakan alat komunikasi yang telah ada sejak manusia ada. Manusia perlu memanfaatkan bahasa sebaik mungkin untuk mencapai tujuan komunikasi yang diinginkan. Ia mengatakan Duta Bahasa Provinsi NTT 2013 akan mewakili Provinsi NTT di tingkat nasional. Namun, semua peserta berkewajiban yang sama untuk mensosialisasikan penggunanaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai bahasa persatuan. Tidak hanya itu, setiap peserta pun menjadi duta bahasa di setiap lingkungan kerja dan sekolah bagi generasi muda dan masyarakat NTT pada umumnya.(ctw)
Edisi I/ Agustus 2013 57
Info Kegiatan
Christine mengatakan, setiap peserta yang mendaftar wajib menyerahkan biodata diri dan makalah terkait persoalan bahasa dan sastra di Provinsi NTT. 34 peserta juga mengikuti tahapan seleksi berupa tes tertulis danTes Uji Kemahiran Bahasa Indonesia (UKBI) danTes wawancara/presentasi makalah. “Tes tulis tentang pengetahuan umum terkait kebudayaan NTT. UKBI sama seperti TOEFL untuk bahasa Inggris,” ujarnya.
L
Gerson Poyk
ahir pada 16 Juni 1931 di Namodale, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT). Menamatkan SD di Ruteng (Kab. Manggarai), OVO di Kalabahi (Kab. Alor), Sekolah Guru Bawah (SBG) di Soe (Kab.TTS), dan Sekolah Guru Atas (SGA) Kristen di Surabaya (1995). Gerson Poyk menjadi guru SMP Negeri dan SGA Negeri di Ternate, Maluku Utara (1956), Kemudian tahun 1956-1963 menjadi guru di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tahun 1963 Gerson berhenti dari guru dan menjadi wartawan Sinar Harapan. Pada 1969 berhenti menjadi dari wartawan dan menjadi penulis lepas (free lancer) dan penulis tetap (kolomnis) di berbagai media cetak di Indonesia. Tahun 1970-1971 sebagai sastrawan pertama dari Indonesia yang mengikuti International Writing Program yang diselenggarakan The University of Iowa, Amerika Serikat. Akhir 1982 menghadiri Seminar Sastra di India. Karangan-karangan Gerson tersebar di berbagai surat kabar dan majalah di Indonesia, baik yang serius maupun hiburan, seperti MimbarIndonesia, Cerita Sastra, Horison, Bali Post, Sinar Harapan, Jawa Post, Suara Pembaharuan, Kompas, Selecta, Violeta, Vista, Femina, Sarinah, Kartini, Mutiara, dan lain-lain. Karya sastra awalnya berupa cerpen sangat menggugah pembaca berjudul “Mutiara di Tengah Sawah” (Majalah Sastra, Nomor 6, Tahun I, 1961) mendapat hadiah dari Majalah Sastra sebagai cerpen terbaik majalah itu pada tahun 1961. Karya-karya Gerson Poyk sebagaian besar telah dibukukan, antara lain: (1) Hari-hari Pertama (1968); (2) Matias Akankari (1972); (3) Sang Guru (novel, 1972); (4) Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Aleksander Rajagukguk (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1974); (5) Nostalgia Nusa Tenggara (cerpen, Nusa Indah, Ende, Foto: gerson-poyk.blogspot.com 1975); (6) Jerat (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1978); (7) Cumbuan Sabana (novel, Nusa Indah, Ende, 1979); (8) Petualangan Dino (novel anak-anak, Nusa Indah, Ende); (9) Giring-Giring (1982); (10) Di Bawah Matahari Bali (1982); (11) Seutas Benang Cinta (1982); (12) Requem untuk Seorang Perempuan (1983); (13) La Tirka Tar (1983); (14) Mutiara di Tengah Sawah (cerpen, 1985); (15) Anak Karang (1985) dan karya yang lain. Memenangkan hadiah Adinegoro (1985, 1986) dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), hadiah sastra ASEAN untuk novelnya Sang Guru (1972), hadiah Sea Write Award (1989) dan hadiah Lifetime Achievment Award dari harian Kompas. Menerima Anugrah Kebudayaan tahun 2011 dari Presiden SBY karena jasa-jasanya di bidang sastra dan budaya.(chr) 58 Edisi I/ Agustus 2013
Foto: matheosmessakh.blogspot.com Edisi I/ Agustus 2013 59
Sejarah
Sejarah Kota Kupang
Nama Kota Kupang Sesungguhnya berasal dari nama seorang raja yaitu, Naikopan atau Laikopan yang memerintah Kota Kupang sebelum datangnya bangsa Portugis di Nusa Tenggara Timur. Pada abad ke- XIII di daerah Nusa Tenggara Timur pada umumnya dan Pulau Timor pada khususnya telah ramai di kunjungi pedagang-pedagang dari wilayah Indonesia Barat dengan maksud berdagang kayu cendana. Pada tahun 1436 Pulau Timor mempunyai 12 Kota Bandar namun tidak disebutkan namanya,
salah satunya di daerah pantai sekitar teluk Kupang. Daerah ini merupakan kekuasaan Raja Helong dan yang menjadi raja pada saat itu adalah Raja Koen Lai Bissi. Pada Abad ke -16 datang dua kekuasaan asing di Nusa Tenggara Timur dengan pusat kegiatannya di Pulau Solor dan di Pulau tersebut dibangun benteng pertahanan yang dikenal dengan nama Benteng Lohayong. Dari Pulau Solor bangsa Portugis mulai memperluas kekuasaannya ke seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 1613 VOC yang berkedudukan di Batavia (Jakarta) mulai berdagang dengan mengirim tiga kapal yang dipimpin oleh Apolonius Scotte menuju Pulau Timor dan kapal tersebut berlabuh di Teluk Kupang dan diterima oleh Raja Helong, 60 Edisi I/ Agustus 2013
yang sekaligus menawarkan sebidang tanah untuk keperluan markas VOC. VOC belum mempunyai kedudukan tetap di Pulau Timor. Pada tanggal 29 Desember 1645 seorang Padri Portugis Antonio de sao Jasinto tiba di Kupang dan beliau mendapat tawaran yang sama dari Raja Helong dan tawaran tersebut disambut baik oleh Antonio de Sao Jasinto dengan mendirikan sebuah benteng kecil di tempat tersebut namun benteng itu ditinggalkan karena terjadi perselisihan diantara mereka. VOC semakin menyadari pentingnya wilayah Nusa Tenggara Timur bagi kepentingan perdagangannya sehingga pada tahun 1625-1663 VOC melakukan perlawanan ke daerah kedudukan Portugis di Pulau Solor,dan dengan bantuan orang-orang muslim di Pulau Solor Benteng Ford
Hendricus berhasil direbut dan jatuh ke tangan VOC, dan pada tahun itu juga terjadi gempa bumi di Pulau Solor sehingga benteng tersebut roboh. Pada tahun 1653 VOC melakukan pendaftaran di Kupang dan berhasil merebut
Sejarah bekas benteng Ford Hendrikus Concordia yang terletak di muara sungai teluk Kupang tepatnya di Kelurahan Fatufeto (sekarang) di bawah pimpinan Kapten Johan Berger.Kedudukan VOC di Kupang pada waktu itu dipmpin langsung oleh Openhafd J. Van Der Heiden. Selama VOC menguasai Kupang dari tahun 1653 hingga tahun 1810 telah menempatkan 30 orang Openhafd di Kupang dan yang terakhir adalah
pengamanan kota, maka pada tahun 23 April 1886, Residen Creeve menetapkan batas-batas kota yang diterbitkan pada Staatblad Nomor 171 tahun 1886. Oleh karena itu, tanggal 23 April 1886 ditetapkan sebagai tanggal lahir Kota Kupang. Setelah Indonesia merdeka, melalui Surat Keputusan Gubernemen tanggal 6 Februari 1946, Kota Kupang diserahkan kepada Swapraja Kupang, yang kemudian dialihkan lagi statusnya
Stoapkert yang berkuasa dari tahun 1808 hingga tahun 1810. Di masa inilah nama Lai Kopan oleh Belanda disebut Koepan, dan dalam bahasa sehari-hari berkembang menjadi Kupang. Untuk pengamanan Kota Kupang, Belanda membentuk daerah penyangga di daerah sekitar Teluk Kupang dengan mendatangkan penduduk dari pulau Rote, Sabu dan Solor. Untuk meningkatkan
pada tanggal 21 Oktober 1946 dengan bentuk Timor Elland Federatie atau Dewan Raja-Raja Timor dengan ketua H. A. A. Koroh, yang juga adalah Raja Amarasi. Berdasarkan Surat Keputusan Swapraja Kupang Nomor 3 tahun 1946 tanggal 31 Mei 1946 dibentuk Raad Sementara Kupang dengan 30 anggota. Selanjutnya pada tahun 1949, Kota Kupang Edisi I/ Agustus 2013 61
Sejarah memperoleh status Haminte dengan wali kota pertamanya Th. J. Messakh. Pada tahun 1955 ketika menjelang Pemilu, dengan Surat Keputusan Mendagri Nomor PUD.5/16/46 tertanggal 22 Oktober 1955, Kota Kupang disamakan statusnya dengan wilayah kecamatan. Pada tahun 1958 dengan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958, Provinsi Sunda Kecil dihapus dan dibentuk 3 daerah Swantara, yaitu Daerah Swantara Tk I Bali, Daerah Swantara Tk I Nusa Tenggara Barat dan Daerah Swantara Tk I Nusa Tengara Timur. Kemudian Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II (Kabupaten) yang antara lain Kabupaten Kupang. Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 17 Tahun 1969 tanggal 12 Mei 1969 dibentuk wilayah kecamatan yakni Kecamatan Kota Kupang. Kecamatan Kota Kupang mengalami perkembangan pesat dari tahu ke tahun. Kemudian pada tahun 1978 Kecamatan Kota Kupang ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1978, yang peresmiannya dilakukan pada tanggal 18 September 1978. Pada waktu itu Drs. Mesakh Amalo dilantik menjadi Walikota Administratif yang pertama dan kemudian diganti oleh Letkol Inf. Semuel Kristian Lerik pada tanggal 26 Mei 1986 sampai dengan perubahan status menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang. Perkembangan Kota Administratif Kupang sangat pesat selama 18 tahun, baik di bidang fisik maupun non fisik. 62 Edisi I/ Agustus 2013
Usulan rakyat dan Pemerintah Kota Admnistratif Kupang untuk merubah status menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang disetujui oleh DPR RI dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang menjadi Undang-Undang pada tanggal 20 Maret 1996 dan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia dan tertuang pada Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632 Tahun 1996. Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang diresmikan oleh Mendagri Mohammad Yogi S. M. pada tanggal 25 April 1996.
Kemudian dengan diberlakukannya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999, maka Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang berubah menjadi Kota Kupang.(yc) Catatan : Gambar-gambar di atas sumber dari internet
Kantor Bahasa Provinsi NTT Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan