Kantor Bahasa Provinsi NTT
Edisi II, Desember 2013
•Kritik Sastra•Puisi•Cerpen•Liputan Budaya•Info Kegiatan•Info Penelitian•Resensi•Tokoh•Sisi Lain
SD Paralel Maharang Wajah polos dengan seragam seadanya, dan bertelanjang kaki tidak membedakan mereka dengan anak-anak di kota dalam hal semangat belajar
• Temu I Sastrawan NTT • Kongres Bahasa Indonesia X • Seminar Revitalisasi Bahasa dan Sastra Daerah NTT • Borobudur Writers & Culture Festival 2013
Pengantar Redaksi LOTI BASASTRA Majalah Bahasa dan Sastra Nusa Tenggara Timur Edisi II Desember 2013 ISSN
Penanggung Jawab M.Luthfi Baihaqi Pemimpin Redaksi Mezra E. Pellondou Penyunting Robert Fahik Desain Grafis & Tata Letak Irwan Sekretariat Erwin, Septi, Christina Alamat Redaksi Kantor Bahasa Provinsi NTT Jl. Raya Eltari No. 17, Kupang-NTT Telepon/Faksimile : 0380-821191, Pos-el :
[email protected]
Puji dan Syukur kita ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Esa atas terbitnya majalah Loti Basastra edisi II bulan Desember di tahun 2013 ini, setelah sebelumnya telah terbit edisi perdana bulan Agustus lalu. Pada edisi II ini, redaksi menambahkan dua rubrik baru, yaitu liputan budaya yang berisikan liputan tentang budaya dan adat istiadat yang ada di Kabupaten-kabupaten yang ada di Provinsi NTT dan rubrik Sisi Lain yang menyingkap tentang sisi lain dari kehidupan dan pendidikan yang ada di daerah-daerah yang tidak atau belum diketahui oleh pemerintah dan masyarakat umum.
2 Pengantar redaksi Artikel 4 Yohanes Sehandi 14 Maryanto 17 Inyo Fernandes Puisi 25 Gerardus Bibang 26 Giovanni A.L. Arum 27 Buang Sine 28 Saddam HP
66 Borobudur Writers dan Culture Festival 2013 68 Seminar Revitalisasi Bahasa dan Sastra Daerah 71 Rumusan Seminar Revitalisasi Bahasa dan Sastra Daerah 73 UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia) 76 GCBI (Gerakan CInta Bahasa Indonesia) 78 Festival Musikalisasi Puisi Tingkat Nasional 79 Bedah Novel “Likurai Sang Mempelai”
30 Yoss Lema
80 Seleksi Duta Bahasa Tingkat Nasional
Cerpen
81 Penyusunan Kamus Bahasa Retta
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang telah menyumbangkan tulisan dan hasil karyanya di dalam majalah ini semoga para penulis semakin maju dalam karyanya.
31 Diana Timoria
82 Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pamong Bahasa
Akhir kata, redaksi mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian hingga penerbitan majalah Loti Basastra bisa terlaksana, semoga majalah ini turut memajukan kecerdasan bangsa. Saran dan kritikan bisa disampaikan ke pos-el kami. Kupang, 15 Desember 2013 Salam Redaksi
2
Daftar Isi
34 Christian Dicky Senda 38 Robertus Fahik
83 Penerimaan dan Seleksi CPNS Kantor Bahasa NTT Tahun 2013
42 Fransiska Eka
Info Penelitian
Liputan Budaya
84 BIPA
45 Prailiu
Resensi Novel
Info Kegiatan
86 Likurai untuk Sang Mempelai
48 Temu I Sastrawan NTT
Tokoh
50 Rumusan Temu I Sastrawan NTT
88 Theresia Y. Kumanireng
51 Peningkatan Mutu Penulisan Karya Ilmiah dan Mutu Pembelajaran Bahasa Indonesia
Sisi Lain
53 Kongres Bahasa Indonesia X
94 Agenda 2014
90 SD Paralel Maharang
62 Rumusan Kongres Bahasa Indonesia X
3
Kritik Sastra
Perjalanan Sastra NTT dari Masa ke Masa, Yohanes Sehandi
Perjalanan Sastra NTT dari Masa ke Masa Yohanes Sehandi Dosen Universitas Flores, Ende,
U
saha menelusuri sejarah perjalanan sastra NTT dari masa ke masa merupakan suatu kebutuhan pada saat ini, namun tidak gampang menguraikannya. Kendala utama yang dihadapi adalah ketiadaan buku atau tulisan sebagai referensi, dari siapapun dan dari manapun. Satusatunya referensi yang saya pakai yang kemudian saya kembangkan adalah buku saya sendiri, Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012). Buku ini sendiri adalah kumpulan artikel opini sastra yang telah dipublikasikan oleh sejumlah media cetak di NTT yang sempat menjadi bahan diskusi bahkan polemik berbulan-bulan sejak akhir tahun 2011 sampai pertengahan 2012. Artikel-artikel opini sastra dalam buku inipun murni hasil pelacakan saya pribadi terhadap sastra dan sastrawan NTT. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, saya coba membahas materi yang sulit ini dengan urutannya sebagai berikut. Diawali dengan perumusan pengertian sastra dan sastrawan NTT, dilanjutkan dengan penelusuran kapan sastra NTT lahir, siapa perintis sastra NTT, dan bagaimana periodisasi sastra NTT. Kemudian saya bentangkan semua karya para sastrawan NTT dari masa ke masa sejak awal mula kelahirannya, yang meliputi novel, cerita pendek, dan puisi.
Bagian terakhir adalah tawaran sejumlah langkah strategis memperkenalkan sastra dan sastawan NTT ke tingkat nasional dan internasional. Upaya ini dilakukan agar kiranya sastra NTT dapat berperan sebagai diplomasi budaya NTT di tingkat nasional bahkan internasional dalam hubungannya dengan penguatan peran bahasa Indonesia di tingkat internasional sesuai dengan Rekomendasi Kongres Bahasa Indonesia X di Jakarta pada 28-31 Oktober 2013.
Pengertian Sastra dan Sastrawan NTT Sastra NTT yang dimaksudkan di sini, sebagaimana sering saya utarakan dalam berbagai tulisan di media cetak di NTT, adalah sastra Indonesia warna daerah (lokal) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana pengungkapannya. Atau sastra Indonesia yang dihasilkan orang-orang NTT dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana pengungkapannya. Dalam buku Masyarakat dan Sastra Indonesia (Nur Cahaya, Yogyakarta, 1982, hlm. 49-52) dan Pengantar Novel Indonesia (Karya Unipress, Jakarta, 1983, hlm. 199-223), kritikus sastra Indonesia Jakob Sumardjo menggunakan terminologi “sastra warna daerah” atau “sastra warna lokal” untuk menyebut semua karya sastra Indonesia yang bercorak kedaerahan, sebagaimana
Perjalanan Sastra NTT dari Masa ke Masa, Yohanes Sehandi
halnya dengan sastra NTT dan sastra-sastra corak kedaerahan lain di Indonesia. Menurut Jakob Sumardjo, karya-karya sastra warna kedaerahan (lokal) itu adalah sastra Indonesia, dan para pengarang karya sastra warna kedaerahan (lokal) itu adalah sastrawan Indonesia. Dalam kerangka berpikir Jakob Sumardjo itu, sastra NTT adalah bagian dari sastra Indonesia atau sebagai “warga” sastra Indonesia, dan sastrawan NTT adalah juga sastrawan Indonesia. Selanjutnya tentang sastrawan NTT. Sastrawan NTT adalah pengarang karya sastra kelahiran NTT atau keturunan orang NTT yang menulis karya sastra dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana pengungkapannya. Tentang arti atau makna kata “sastrawan” di sini saya mengambilnya dari rumusan standar Kamus Besar Bahasa Indonesia (terbitan Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Edisi III, cet. ke-1, 2001, hlm. 1002) yang menunjukkan arti “sastrawan” sebagai (1) ahli sastra, (2) pujangga, pengarang prosa dan puisi, dan (3) orang pandai-pandai, cerdik cendekia. Jadi, pengertian “sastrawan” menurut kamus ini, termasuk juga pemerhati, pengamat, dan kritikus sastra, dengan syarat mempunyai “keahlian” di bidang sastra atau susastra. Bedasarkan rumusan kamus baku ini, maka pengamat dan kritikus sastra seperti Ignas Kleden, A.G. Hadzarmawit Netti, Dami N. Toda, Frans Mido, dan Yoseph Yapi Taum yang adalah orang NTT atau kelahiran NTT, masuk dalam jajaran sastrawan NTT.
Kapankah Sastra NTT Lahir? Ini pertanyaan menarik. Jawaban atas pertanyaan ini bisa saja beragam sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang. Jangankan sastra NTT, pertanyaan, kapankah sastra Indonesia lahir saja, jawabannya sampai kini juga masih beragam (bdk. Ajib Rosidi dalam buku Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir?, Gunung Agung,
Kritik Sastra
Jakarta, 1964). Namun bagaimanapun, pertanyaan ini “harus dijawab” untuk mendapat kepastian sejarah dalam perjalanan sastra NTT, minimal sebagai “jalan setapak” untuk mendapatkan kepastian sejarah. Menurut hemat saya, sastra NTT itu lahir pada saat orang NTT pertama kali menulis dan mempublikasikan karya sastranya kepada masyarakat umum. Data dan informasi tentang siapa orang NTT yang pertama kali menulis dan mempublikasikan karya sastra kepada masyarakat umum hanya bisa dilacak dalam media massa nasional, yang terbit di Jawa (di luar NTT), karena di NTT sendiri tidak ada data dan informasi tentang itu karena memang pada masa awal itu tidak ada media massa cetak di NTT. Siapakah orang NTT pertama yang menulis dan mempublikasikan karya sastranya kepada masyarakat umum? Setelah melalui proses penelusuran yang panjang dan agak rumit terhadap sejumlah data dan informasi yang ada, saya akhirnya menemukan orang NTT pertama yang menulis dan mempublikasikan karya sastranya kepada masyarakat umum. Dia adalah Bapak Gerson Poyk. Nama-nama orang NTT yang lain baru muncul kemudian setelah Gerson Poyk merintisnya. Dalam sejumlah biografi (riwayat hidup) Gerson Poyk yang tertera pada bukubuku karyanya termasuk dalam buku Keliling Indonesia dari Era Bung Karno Sampai SBY (Libri, Jakarta, 2010) dan dalam On The Record Transkrip Film dan Biodata Tokoh-Tokoh Sastra Indonesia (Volume 4), terungkap bahwa Gerson Poyk mulai menulis karya sastra sejak menjadi guru SMP dan SGA di Ternate dan di Bima. Disebutkan sejumlah media cetak yang memuat karya sastranya, yakni Mimbar Indonesia, Sastra, dan Tjerita. Dari tiga jenis media cetak itu, saya menemukan data otentik karya Gerson Poyk ada pada majalah Sastra (1961), sedangkan pada Mimbar Indonesia dan Tjerita tidak ditemukan
4
5
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Kritik Sastra
Perjalanan Sastra NTT dari Masa ke Masa, Yohanes Sehandi
data otentiknya berupa judul karya sastra, jenis karya sastra, dan nomor edisi bulan dan tahun penerbitan karya sastra tersebut. Data otentik karya sastra Gerson Poyk yang saya miliki sebagai karya sastra awal beliau adalah cerita pendek. Cerita pendek pertama Gerson yang saya temukan berjudul “Mutiara di Tengah Sawah” dimuat dalam majalah Sastra (edisi bulan Juni, Nomor 6, Tahun 1961) dan mendapat hadiah dari majalah Sastra sebagai cerpen terbaik pada tahun 1961 itu. Majalah Sastra adalah majalah bulanan yang khusus menerbitkan karya-karya sastra, terbit pertama kali tahun 1961, dipimpin H.B. Jassin dan M. Balfas. Cerpen berjudul “Mutiara di Tengah Sawah” ini setelah 23 tahun kemudian (1984) ditambah dengan sejumlah cerpen Gerson Poyk yang lain, dibukukan dalam satu buku kumpulan cerpen dengan judul Mutiara di Tengah Sawah (1984). Pada waktu Temu 1 Sastrawan NTT yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa NTT pada 30-31 Agustus 2013 di Aula Taman Budaya NTT, Kupang, Gerson Poyk dan saya tampil bersama-sama membawakan materi pada hari kedua pada 31 Agustus 2013, di hadapan sekitar 40-an sastrawan NTT yang hadir. Sastrawan NTT Mezra E. Pellondou yang bertindak sebagai moderator pada saat itu, bertanya kepada Bapak Gerson Poyk: “Opa Gerson, apa judul karya sastra Opa yang ditulis pertama kali dan diterbitkan media massa?” Atas pertanyaan itu, Gerson Poyk menjawab bahwa karya sastra pertamanya berupa cerita pendek, judulnya “Mutiara di Tengah Sawah.” Pada waktu Gerson Poyk menyatakan hal itu, saya sungguh merasa bahagia, karena hasil temuan saya tidak keliru. Dengan demikian, pertanyaan, kapankah sastra NTT lahir, jawabannya adalah pada tahun 1961, pada saat orang pertama dari NTT, yakni Gerson Poyk menulis dan mempublikasikan karya sastranya yang pertama lewat majalah Sastra edisi bulan Juni, Nomor 6, Tahun 1961.
Tidak ada orang NTT lain yang menulis karya sastra sebelum tahun itu, selain Gerson Poyk. Jadi, menurut saya, sastra NTT lahir pada bulan Juni tahun 1961. Dengan demikian, pada tahun 2013 sekarang ini, sastra NTT sudah berusia 52 tahun. Sastra NTT lahir setelah 3 tahun Provinsi NTT lahir, pada 22 Desember 1958. Dalam usia sastra NTT yang ke-52 tahun pada tahun 2013 ini, sastrawan-sastrawan NTT telah mempersembahkan 109 judul buku sastra untuk masyarakat NTT, masyarakat Indonesia, dan masyarakat dunia. Adapun perinciannya, 48 judul buku novel, 27 judul buku kumpulan cerpen, dan 34 judul buku kumpulan puisi. Sastrawan NTT yang paling poduktif dan berkarya sastra selama 52 tahun terus-menerus sampai dengan tahun 2013 ini adalah Gerson Poyk, sang perintis sastra NTT. Yang sedikit mengikuti jejak Geson Poyk dari segi produktivitas adalah Maria Matildis Banda, John Dami Mukese, dan Mezra E. Pellondou. Dilihat dari segi produktivitas (sebagai produk budaya intelektual) masyarakat NTT yang beragam dan multikultural dengan jumlah penduduk lebih dari 4 juta orang pada tahun 2013 ini, dalam rentang jangka waktu selama 52 tahun, 109 judul buku sastra yang dihasilkan para sastrawan NTT ini, menurut saya “belum berarti apa-apa” bagi masyarakat banyak. Apalagi, sebagian buku sastra NTT ini pada saat ini sulit ditemukan di pasaran buku, karena tidak dicetak ulang oleh penerbit maupun pengarangnya. Saya sendiri masih penasaran untuk mendapatkan semua buku sastra itu. Pada saat ini saya baru memiliki 60-an judul dari 109 judul buku sastra itu, yang saya kumpulkan sejak tahun 1981 sampai dengan saat ini (32 tahun).
Siapakah Perintis Sastra NTT? Perintis sastra NTT yang dimaksudkan di sini adalah orang NTT pertama yang menulis (mengarang) dan mempublikasikan karya sastra kepada masyarakat umum. Sebagaimana telah
Perjalanan Sastra NTT dari Masa ke Masa, Yohanes Sehandi
dikemukakan di atas, orang NTT pertama yang menulis dan mempublikasikan karya sastra adalah Bapak Gerson Poyk. Gerson Poyk menulis cerita pendek pertama berjudul “Mutiara di Tengah Sawah” dimuat dalam majalah Sastra (edisi bulan Juni, Nomor 6, Tahun 1961). Gerson Poyk lahir pada 16 Juni 1931 di Namodale, Kabupaten Rote Ndao. Tahun 2013 ini Gerson Poyk genap berusia 82 tahun (lihat Yohanes Sehandi, “Gerson Poyk 82 Tahun,” dalam harian Victory News, Sabtu, 15 Juni 2013). Selama 52 tahun terus-menerus, sejak tahun 1961 sampai dengan 2013 ini, Gerson Poyk tetap dan terus berkarya sastra, mengangkat citra Provinsi NTT dalam panggung sastra Indonesia modern. Banyak pembaca karya sastra Indonesia modern dengan sangat mudah menghubungkan karyakarya sastra Gerson Poyk dengan Provinsi NTT. Menurut saya, Gerson Poyk patut diberi penghargaan dengan gelar kehormatan yang pantas dan layak, yakni sebagai “Perintis Sastra NTT” atau “Tokoh Legendaris Sastra NTT.” Cerpen Gerson Poyk yang kedua berjudul “Oleng-Kemoleng” dimuat dalam majalah sastra Horison tahun 1968 dan mendapat pujian dari Redaksi majalah sastra Horison pada tahun 1968 terhadap cerpen tersebut. Pada tahun 1975, Gerson Poyk menggebrak dengan menerbitkan tiga buku kumpulan cerita pendek, yakni (1) Nostalgia Nusa Tenggara (1975, 1977); (2) Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Aleksander Rajaguguk (1975, 1977); dan (3) Matias Akankari (1975). Ketiga buku sastra ini diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores, penerbit yang sangat berjasa dalam perjalanan karier sastrawan Gerson Poyk selanjutnya. Pada tahun 1964 Gerson Poyk menerbitkan pertama kali karya sastra genre novel, yakni novel Hari-Hari Pertama (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1964, 1968). Beliau pulalah orang NTT pertama yang menulis karya sastra jenis novel. Novel Gerson yang kedua berjudul
Kritik Sastra
Sang Guru terbit tahun 1971. Novel yang ketiga berjudul Cumbuan Sabana terbit tahun 1979 oleh Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores. Berdasarkan hasil penelusuran saya, sampai dengan saat ini (2013), Gerson Poyk telah menerbitkan buku novel dan buku kumpulan cerpen sebanyak 27 judul, namun menurut informasi dari sejumlah teman, angka 27 judul itu baru sekitar 2/3 karya Gerson Poyk, masih sekitar 1/3 karya Gerson yang belum ditemukan dan perlu terus ditelusuri. Pada waktu ditanyakan, beliau sendiri tidak ingat lagi jumlah karya sastra yang telah diterbitkannya. Masih satu lagi pertanyaan, siapakah orang NTT pertama yang menuliskan karya sastra jenis puisi? Dalam penelusuran saya, orang NTT pertama yang menulis puisi dan mempublikasikannya untuk masyarakat umum adalah Bapak Dami N. Toda. Dami N. Toda menulis dan mempublikasikan karya puisi pertama pada 1969. Data yang saya miliki, judul puisi pertama Dami adalah “Sesando Negeri Savana” dimuat dalam majalah Sastra (edisi bulan Juli, Nomor 7, Tahun 1969). Puisi Dami yang kedua dipublikasikan pada tahun 1973 berjudul “Epitaph Buat Daisia Kecil” dimuat dalam majalah sastra Horison (edisi Desember, Nomor 12, Tahun VIII, 1973). Dan puisi Dami yang ketiga pada 1977 berjudul “Pidato Kuburan Seorang Pembunuh (Tragedi Pendendam Tua di Adonara)” dimuat Majalah Dian (Nomor 1, Tahun V, 24 Oktober 1977), yang pada bagian akhir puisi tertulis, Mei 1967 (artinya puisi ini diciptakan tahun 1967). Dilihat dari segi tahun penciptaannya, puisi yang dimuat Majalah Dian (terbitan Ende, Flores, milik Serikat Sabda Allah, SVD) ini adalah puisi pertama Dami, namun dilihat dari segi tahun publikasinya, puisi yang dimuat majalah Sastra (1969) adalah puisi pertama Dami N. Toda. Selanjutnya, kumpulan puisi Dami N. Toda pertama terbit tahun 1976 dalam bentuk antologi bersama penyair Indonesia yang lain berjudul Penyair Muda di Depan Forum
6
7
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Kritik Sastra
Perjalanan Sastra NTT dari Masa ke Masa, Yohanes Sehandi
(diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta, 1976). Puisi-puisinya yang lain terdapat dalam antologi Tonggak: Antologi Puisi Indoesia Modern III (1987) editor Linus Suryadi AG. Pada tahun 2005 terbit buku kumpulan puisi pribadinya berjudul Buru Abadi (Indonesia Tera, Magelang, 2005). Dalam perjalanan kariernya, Dami N. Toda lebih menonjol sebagai penulis telaah dan kritik sastra daripada sebagai penyair, sehingga dikenal luas sebagai kritikus sastra Indonesia modern, yang menerbitkan sejumlah buku telaah dan kritik sastra yang berbobot, antara lain (1) Novel Baru Iwan Simatupang (1980); (2) Sajak-Sajak Goenawan Mohamad (1976); dan (3) HambaHamba Kebudayaan (1984) (lihat Yohanes Sehandi, “Dami N. Toda sebagai Kritikus Sastra,” dalam Pos Kupang, 23 Juni 2010). Berdasarkan temuan di atas, maka petanyaan, siapakah perintis sastra NTT, jawabannya adalah Gerson Poyk. Gerson Poyk adalah perintis sastra NTT sekaligus tokoh legendaris sastra NTT. Gerson Poyk merintis penulisan karya sastra jenis cerita pendek (sejak 1961) dan penulisan novel (sejak 1964) dalam sastra NTT. Sedangkan Dami N. Toda adalah perintis penulisan karya puisi dalam sastra NTT (sejak 1969).
Periodisasi Sederhana Sastra NTT Agar dengan mudah melihat sejarah pertumbuhan dan perkembangan sastra NTT dari masa ke masa sejak awal kelahirannya tahun 1961, maka dirasa perlu dibuatkan tahapan-tahapan. Tahapan-tahapan ini dapat dikatakan semacam periodisasi sederhana sejarah sastra NTT. Bisa saja terjadi perbedaan pendapat dalam membuat periodisasi sederhana sastra NTT ini. Hal itu wajar, karena memang banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuat periodisasi sastra. Salah satu cara dan sudut pandang dalam membuat periodisasi sastra dan mengelompokkan
sastrawan-sastrawan ke dalam periodisasi (masa) itu adalah berdasarkan usia atau umur sastrawan. Sudut pandang ini yang saya pakai. Usia atau umur sastrawan dapat dilihat dari tanggal dan tahun kelahiran sastrawan tersebut. Dalam menyusun periodisasi sastra NTT, saya berpangkal tolak pada tanggal dan tahun kelahiran sastrawan Gerson Poyk, sang perintis sastra NTT, yakni tahun 1931. Gerson Poyk lahir pada 16 Juni 1931. Memilih tahun 1931 sebagai pangkal tolak periodisasi sejarah sastra NTT ini terkandung maksud sebagai bentuk rasa hormat dan penghargaan kita kepada Gerson Poyk yang berjasa besar dalam mengangkat citra NTT dalam panggung sastra Indonesia modern. Dalam melakukan pengelompokan terhadap para sastrawan, tinggal diurutkan namanama sastrawan NTT itu berdasarkan usia atau umur sastrawan. Dimulai dari yang berusia tua sekali (sangat senior), yang sudah tua (senior), sampai dengan yang masih muda (yunior). Dalam pengelompokan sastrawan atau periodisasi sastra secara sederhana ini, saya memilih istilah “lapis,” yakni Sastrawan NTT Lapis Pertama (lahir tahun 1931-1950), Sastrawan NTT Lapis Kedua (lahir tahun 1951-1970), Sastrawan NTT Lapis Ketiga (lahir tahun 1971-1990), Sastrawan NTT Lapis Keempat (lahir tahun 1991-2010), dan seterusnya. Rentang jangka waktu antara lapis (generasi) yang satu dengan lapis yang lain 19 tahun. Berdasarkan usia (tanggal dan tahun kelahiran) setiap sastrawan NTT dengan gampang masuk (dimasukkan) dalam lapis keberapa. Kiranya pengelompokan sastrawan berdasarkan usia ini lebih netral dibandingkan dengan cara dan sudut pandang yang lain. Cara pengelompokan sastrawan NTT ini dapat dengan mudah diteruskan oleh siapa saja untuk puluhan tahun bahkan
Perjalanan Sastra NTT dari Masa ke Masa, Yohanes Sehandi
ratusan tahun ke depan. Sastrawan NTT Lapis Petama adalah generasi sastrawan NTT yang lahir pada tahun 1931-1950 (rentang waktu 19 tahun). Sastrawan NTT Lapis Pertama ini dimulai dari nama Gerson Poyk. Berdasarkan data tanggal dan tahun kelahiran sastrawan-sastrawan NTT yang lahir tahun 1931-1950, ada 8 orang. Ke-8 orang sastrawan NTT inilah yang masuk dalam kelompok Sastrawan NTT Lapis Pertama. Mereka adalah (1) Gerson Poyk (lahir pada 16 Juni 1931 di Namodale, Rote Ndao); (2) Frans Mido (lahir pada 7 November 1936 di Wolosambi, Nagekeo); (3) A.G. Hadzarmawit Netti (lahir pada 9 Oktober 1941 di Soe, Timor Tengah Selatan); (4) Dami N. Toda (almarhum, lahir pada 29 September 1942 di Pongkor, Manggarai, meninggal dunia di Hamburg, Jerman pada 10 November 2006); (5) Umbu Landu Paranggi (lahir pada 10 Agustus 1943 di Sumba Barat); (6) Julius R. Sijaranamual (almarhum, lahir pada 21 September 1944 di Waikabubak, Sumba Barat, meninggal dunia Mei 2005); (7) Ignas Kleden (lahir pada 19 Mei 1948 di Larantuka, Flores Timur); dan (8) John Dami Mukese (lahir pada 24 Maret 1950 di Menggol, Manggarai Timur). Sastrawan NTT Lapis Kedua adalah sastrawan NTT yang lahir pada tahun 19511970 (rentang waktu 19 tahun). Berdasarkan data tanggal dan tahun kelahiran sastrawansastrawan NTT yang lahir tahun 1951-1970, ada 9 orang yang masuk dalam kelompok Sastrawan NTT Lapis Kedua ini. Mereka adalah (1) Usman D. Ganggang (lahir pada 15 Februari 1957 di Bambor, Manggarai Barat); (2) Agust Dapa Loka (lahir pada 8 Agustus 1959 di Waimangura, Sumba Barat Daya); (3) Willy A. Hangguman (lahir pada 7 November 1959 di Ruteng, Manggarai); (4) Maria Matildis Banda (lahir pada 29 Januari 1960 di Bajawa, Ngada); (5) Yoss Gerard Lema
Kritik Sastra
(lahir pada 24 September 1960 di Larantuka, Flores Timur); (6) Marsel Robot (lahir pada 1 Juni 1961 di Taga, Manggarai Timur); (7) Vincentcius Jeskial Boekan (lahir pada 4 Desember 1961 di Baa, Rote Ndao); (8) Yoseph Yapi Taum (lahir pada 16 Desember 1964 di Ataili, Lembata); dan (9) Mezra E. Pellondou (lahir pada 21 Oktober 1969 di Kupang). Sastrawan NTT Lapis Ketiga adalah sastrawan NTT yang lahir pada tahun 1971-1990 (rentang waktu 19 tahun). Berdasarkan data tanggal dan tahun kelahiran sastrawan-sastrawan NTT yang lahir tahun 1971-1990, untuk sementara ada 5 orang yang masuk dalam kelompok Sastrawan NTT Lapis Ketiga ini (masih berdasarkan data buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT). Mereka adalah (1) Gusty Masan Raya (lahir pada 24 Mei 1980 di Lewat, Adonara, Flores Timur); (2) Bara Pattyradja (lahir pada 12 April 1983 di Lamahala, Adonara, Flores Timur); (3) Christian Dicky Senda (lahir pada 22 Desember 1986 di Molo Utara, Timor Tengah Selatan); (4) Pion Ratulolly (lahir pada 31 Desember 1986 di Lamahala, Adonara, Flores Timur); (5) Januario Gonzaga (lahir pada 21 Januari 1988 di Dili). Masih ada deretan nama sastrawan NTT berusia muda yang masuk kelompok Sastrawan NTT Lapis Ketiga ini. Selanjutnya, sejumlah nama sastrawan NTT yang masih dilacak atau ditelusuri data biografi dan data karya-karya sastra yang dihasilkannya, yang tentu bakal dimasukkan ke dalam salah satu kelompok (lapis) sastrawan NTT di atas (yang akan segera dimasukkan pada cetakan ke-2 buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT). Sejumlah nama sastrawan NTT yang ditelusuri itu, antara lain Jefta H. Atapeni, Mario F. Lawi, Inyo Soro, Robert Fahik, Sr. Wilda
8
9
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Kritik Sastra
Perjalanan Sastra NTT dari Masa ke Masa, Yohanes Sehandi
Wisang, CIJ, Amanche Franck, Fanny J. Poyk, Bernard Tukan, Bruno Dasion, Sipri Senda, Petrus Y. Wassa, Ivan Nestorman, Gusty Fahik, Ruben Paineon, Buang Sine, Abdul M. Djou, Djho Izmail, Giovani A.L. Arum, Aster Bili Bora, Charlemen Djahadael, Cyrilus B. Engo, Even Edomeko, Felisianus Sanga, Frans Piter Kembo, Frans Selamat, Wendly Jebatu, Nong Djese, Berto Tukan, Frans W. Hebi, Gerard Bibang, Hengky Ola Sura, Hironimus Nitsae, Ishack Sonlay, Jimmy Meko Hayong, Jose Wassa, Kristo Ngasi, Leo Kleden, Michael B. Beding, M.M. Bali Larasati, Otto J. Gaut, Paul Budi Kleden, Paulus Lette Boro, Siprianus Koda Hokeng, Steph Tupeng Witin, Umbu Spiderno, Ve Nahak, Vinsen Making, Willem B. Berybe, Paul Latera, Yohanes F.H. Maget, Yohanes Manhitu, Yohanes Don Bosco Blikololong, Y.T.P. Daman, Yoseph Lagadoni Herin, Jefrin Haryanto, Nur Maimunah, Armin Bell, Sandra Oliva Frans, Anaci Tnunay, Diana Timoria, Dody Kudji Lede, Sadam HP, Ragil Supriyatno Samid, Felixianus Ali, Fransiska Eka, dan Hans Hayon.
Novel Sastra NTT Sampai November 2013 (1964-2013) Hasil penelusuran saya terhadap novelnovel dalam sastra NTT sejak pertama kali terbit tahun 1964 sampai dengan Agustus 2013 sebanyak 45 judul buku novel. Ke-45 judul buku novel itu adalah (1) Hari-Hari Pertama (Gerson Poyk, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1964, 1968); (2) Sang Guru (Gerson Poyk, Pustaka Jaya, Jakarta, 1971, 1973); (3) Tuhan Jatuh Hati (Julius Sijaranamual, 1971); (4) Menaklukkan Benua Baru (Julius Sijaranamual, 1971); (5) Anak-Anak Laut (Julius Sijaranamual, 1971); (6) Teo Si Cilik (Julius Sijaranamual, Nusa Indah, Ende, 1975); (7) Saat untuk Menaruh Dendam dan Saat untuk Menabur Cinta (Julius Sijaranamual, 1978); (8) Cumbuan
Sabana (Gerson Poyk, Nusa Indah, Ende, 1979); (9) Petualangan Dino (Gerson Poyk, Nusa Indah, Ende, 1979); (10) Giring-Giring (Gerson Poyk, 1982); (11) Seharusnya Aku Mengerti (Maria Matildis Banda, 1989); (12) Pada Taman Bahagia (Maria Matildis Banda, Grasindo, Jakarta, 1997); (13) Tabitha (Maria Matildis Banda, 1997); (14) Liontin Sakura Patah (Maria Matildis Banda, Grasindo, Jakarta, 1998); (15) Bugenvil di Tengah Karang (Maria Matildis Banda, Grasindo, Jakarta, 1998); (16) Pulang (Mezra E. Pellondou, 2000); (17) Rabies (Maria Matildis Banda, Care Internasional, Kupang, 2001); (18) Klise Hitam Putih (Mezra E. Pellondou, 2002); (19) SuratSurat dari Dili (Maria Matildis Banda, Nusa Indah, Ende, 2005); (20) Enu Molas di Lembah Lingko (Gerson Poyk, Yayasan Trimedia, Jakarta, 2005, (21) Petra Southern Meteor (Yoss Gerard Lema, Gita Kasih, Kupang, 2006); (22) Surga Retak (Mezra E. Pellondou, Kairos, Kupang, 2007); (23) Loge (Mezra E. Pellondou, Frame Publishing, Yogyakarta, 2008); (24) Nama Saya Tawwe Kabota (Mezra E. Pellondou, Frame Publishing, Yogyakarta, 2008); (25) Zico & Nina (Yoss Gerard Lema, Gita Kasih, Kupang, 2008); (26) Cleo Kemarilah (Fanny J. Poyk, 2009); (27) Pelangi di Langit Bali (Fanny J. Poyk, 2009); (28) Sang Sutradara dan Wartawati Burung (Gerson Poyk, Kakilangit Kencana, Jakarta, 2009); (29) Tarian Ombak (Gerson Poyk, Kakilangit Kencana, Jakarta, 2009); (30) Meredam Dendam (Gerson Poyk, Kakilangit Kencana, Jakarta, 2009); (31) Seruling Tulang (Gerson Poyk, Kakilangit Kencana, Jakarta, 2009); (32) Atma, Putih Cinta Lamahala Kupang (Pion Ratulloly, Perum PNRI, Kupang, 2010); (33) Perempuan Itu Bermata Saga (Agust Dapa Loka, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2011); (34) Badut Malaka (Robert Fahik, Cipta Media, Yogyakarta, 2011); (35) Belis Imamat (Inyo Soro, 2011); (36) Cinta Terakhir (V. Jeskial Boekan, Nuraniku, Kupang, 2011); (37) Membadai Pukuafu (V. Jeskial Boekan, Nuraniku,
Perjalanan Sastra NTT dari Masa ke Masa, Yohanes Sehandi
Kupang, 2011); (38) Loe Betawi Aku Manggarai (V. Jeskial Boekan, Nuraniku, Kupang, 2011); (39) Perempuan dari Lembah Mutis (Mezra E. Pellondou, Frame Publishing, Yogyakarta, 2012); (40) Dua Malam Bersama Lucifer (Buang Sine, Andi, Yogyakarta, 2012); (41) Rumah Lipatan (Kopong Bunga Lamaruran, 2012); (42) Nyoman Sulastri (Gerson Poyk, Libri, Jakarta, 2012); (43) Seribu Malam Sunyi (Gerson Poyk, Libri, Jakarta, 2012); dan (44) Luka Batin yang Tersisa (Fanny J. Poyk, 2013): (45) Petualangan Bersama Malaikat Jibrail (Buang Sine, Andi, Yogyakarta, 2013); (46) Aku? (Yos Mau, Medium, Bandung, 2013); (47) Likurai untuk Sang Mempelai (Robert Fahik, Cipta Media, Yogyakarta, 2013); (48) Mata Likku (Christo Ngasi, 2013).
Cerpen Sastra NTT Sampai November 2013 (1975-2013) Hasil penelusuran saya terhadap cerpencerpen dalam sastra NTT sejak pertama kali terbit tahun 1975 sampai dengan Agustus 2013 sebanyak 26 judul buku kumpulan cerpen. Ke26 judul buku kumpulan cerpen itu adalah (1) Nostalgia Nusa Tenggara (Gerson Poyk, Nusa Indah, Ende, 1975, 1977); (2) Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Aleksander Rajaguguk (Gerson Poyk, Nusa Indah, Ende, 1975, 1977); (3) Matias Akankari (Gerson Poyk, 1975); (4) Jerat (Gerson Poyk, Nusa Indah, Ende, 1978); (5) Requem untuk Seorang Perempuan (Gerson Poyk, 1981, 1983); (6) Seutas Benang Cinta (Gerson Poyk, 1982); (7) Di Bawah Matahari Bali (Gerson Poyk, Sinar Harapan, Jakarta, 1982); (8) La Tirka Tar (Gerson Poyk, 1983); (9) Mutiara di Tengah Sawah (Gerson Poyk, 1984); (10) Anak Karang (Gerson Poyk, 1985); (11) Puber Kedua di Sebuah Teluk (Gerson Poyk, 1985); (12) Doa Perkabungan (Gerson Poyk, 1987); (13) Impian Nyoman Sulastri dan Hanibal (Gerson Poyk, 1988); (14) Poti Wolo (Gerson Poyk, Grafiti, Jakarta, 1988);
Kritik Sastra
(15) Tapak-Tapak Tak Bermakna (Gusty Masan Raya, dkk, Ledalero, Maumere, 2006); (16) Kain Batik Ibu (Fanny J. Poyk, 2010); (17) Wanita Sepotong Kepala (Januario Gonzaga, dkk, Lima Bintang, Kupang, 2011); (18) Suamiku Dirampok Orang (Fanny J. Poyk, Teras Budaya, Jakarta, 2011); (19) Istri-Istri Orang Seberang (Fanny J. Poyk, 2011); (20) Sabtu Kelabu (Erlyn Lasar, Mosalaki Librica, Jakarta, 2011); (21) Kabut di Lelembala & Teriakan dari Tanah Hawu Mehara (Siswa/i SMA Negeri 1 Kupang, Carangbook, Yogyakarta, 2012); (22) Katuas Gaspar (Sipri Senda, Indie Book Corner, Yogyakarta, 2012); (23) Malaikat Hujan (Mario F. Lawi, 2012); (24) Wasiat Kemuhar (Pion Ratulolly, 2012); (25) Dilarang Jadi Pastor (Petrus Y. Wasa, Bajawa Press, Yogyakarta, 2013); (26) Percakapan dengan Laut (Jefta H. Atapeni, Asas, Bandung, 2013); (27) Di Persimpangan Jalan: Romantika Kehidupan Seminaris (Siswa SMA Seminari Kisol, Fidei Press, Jakarta, 2013). Puisi Sastra NTT Sampai November 2013 (1976-2013) Adapun jumlah buku kumpulan puisi dalam sastra NTT sejak terbit pertama tahun 1976 sampai dengan Agustus 2013 sebanyak 33 judul. Ke-33 judul buku kumpulan puisi itu adalah (1) Penyair Muda di Depan Forum (Dami N. Toda, dkk, Dewan Kesenian Jakarta, 1976); (2) DoaDoa Semesta (John Dami Mukese, Nusa Indah, Ende, 1983, 1989); (3) Puisi-Puisi Jelata (John Dami Mukese, Nusa Indah, Ende, 1991); (4) DoaDoa Rumah Kita (John Dami Mukese, 1996); (5) Kupanggil Namamu Madonna (John Dami Mukese, Obor, Jakarta, 2004); (6) Puisi Anggur (John Dami Mukese, 2004); (7) Ziara Anggur (Willy A. Hangguman bersama Mudji Sutrisno, Indonesia Tera, Magelang, 2004); (8) Buru Abadi (Dami N. Toda, Indonesia Tera, Magelang, 2005); (9) Bermula dari Rahim Cinta (Bara Pattyradja, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2005); (10) Protes
10
11
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Kritik Sastra
Perjalanan Sastra NTT dari Masa ke Masa, Yohanes Sehandi
Perjalanan Sastra NTT dari Masa ke Masa, Yohanes Sehandi
Cinta Republik Iblis (Bara Pattyradja, 2006); (11) Bunga Pasir (Usman D. Ganggang, 2006); (12) Matahari untuk Nusa Bunga (Wilda, CIJ, Dioma, Malan, 2005); (13) Serumpun Madah di Pintu Janji (Wilda, CIJ, Karmelindo, Malang, 2007); (14) Suara Sang Penyair di Gang Alamanda (Yoss Gerard Lema, Gita Kasih, Kupang, 2008); (15) Rembulan dalam Jaring Laba-Laba (Jefta H. Atapeni, Postmo Pustaka, Kupang, 2008); (16) Berakar dan Semakin Berbuah (Bernad Tukan, 2010), (17) Riwayat Negeri Debu (Jefta H. Atapeni, Kiara Creative Publishing, Bandung, 2011); (18) Pukeng Moe Lamalera (puisi dua bahasa, Bruno Dasion, Lamalera, Yogyakarta, 2011); (19) Yesus dan Tiga Paus Lamalera (Ivan Nestorman, Lamalera, Yogyakarta, 2011); (20) Cerah Hati (Christian Dicky Senda, Indie Book Corner, Yogyakarta, 2011); (21) Ketika Cinta Terbantai Sepi (Usman D. Ganggang, 2011); (22) Antologi Puisi Lonceng Sekolah (Arnoldus Ola Aman, 2011); (23) Poetae Verba (Mario F. Lawi, Bajawa Press, Yogyakarta, 2011); (24) Nyanyian Pesisir (Marsel Robot, 2012); (25) Virgin, di Manakah Perawanmu? (Santisima Gama, Karmelindo, Malang, 2012); (26) Fatamorgana Langit Sabana (Sipri Senda, Lima Bintang, Kupang, 2012); (27) Kalau Tidak Bobo Digigit Sepi (Bara Pattyradja, 2012); (28) Kartini (Fanny J. Poyk, 2012); (29) Negeri Sembilan Matahari (Fanny J. Poyk, 2013); (30) Pesona Indonesiaku (Antologi Puisi Anak SD Kota Ende, Nusa Indah, Ende, 2013); (31) Mengalirlah Sunyi (Wilda, CIJ, Nusa Indah, Ende, 2013); (32) Samudra Cinta Ikan Paus (Bara Pattyradja, 2013); (33) Kekasih Sunyiku (Mezra E. Pellondou, Irana, Kupang, 2013); (34) Karnaval Air Mata Tiga Musim (Januario Gonzaga, dkk, Yogyakarta, Ladang Pustaka, 2013).
Langkah NTT
Memperkenalkan
Sastra
Pada bagian akhir artikel ini saya menawarkan sejumlah langkah strategis memperkenalkan sastra dan sastrawan NTT ke tingkat nasional bahkan tingkat internasional. Upaya ini dilakukan agar sastra NTT dapat berperan sebagai diplomasi budaya NTT di tingkat nasional bahkan internasional dalam hubungannya dengan penguatan peran bahasa Indonesia di tingkat internasional sesuai dengan Rekomendasi Kongres Bahasa Indonesia X di Jakarta pada 2831 Oktober 2013. Sejumlah langkah strategis itu antara lain sebagai berikut. Pertama, upayakan untuk menerbitkan karya-karya sastra NTT pada penerbit-penerbit besar anggota Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) yang memiliki ISBN yang resmi dan mempunyai jaringan distribusi dan pemasaran buku yang tersebar luas, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dengan demikian, buku-buku sastra NTT ikut tersebar luas lewat jaringan pemasaran penerbit buku yang luas. Kedua, upayakan membangun kerja sama dengan berbagai toko buku dan distributor buku, baik yang ada di daerah maupun yang ada di berbagai kota di Indonesia. Dengan demikian, daya jangkau penyebaran dan pemasaran bukubuku sastra NTT semakin luas dan gampang diperoleh masyarakat luas di mana saja. Ketiga, upayakan untuk menerjemahkan karya-karya sastra NTT ke dalam berbagai bahasa asing atau menerbitkan karya-karya sastra NTT dalam dua bahasa atau lebih, misalnya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris atau bahasa Jerman. Karya-karya sastra Gerson Poyk pada saat ini banyak dikenal di dunia internasional karena sejumlah karyanya sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Keempat, orang-orang NTT, baik yang tinggal di NTT maupun di luar NTT, perlu merasa
Kritik Sastra
bangga mempromosikan karya-karya sastra anak daerah Provinsi NTT sebagai langkah diplomasi budaya NTT di tingkat nasional dan internasional. Banggalah dengan sastra dan sastrawan NTT karena dalam sastra NTT terekam jejak budaya intelektual masyarakat NTT. *
Tentang Penulis Yohanes Sehandi lahir pada 12 Juli 1960 di Dalong, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, NTT. Pendidikan formal diselesaikan di SDK Dalong (1973), SMPK Rekas (1976), SPP/SPMA Boawae (1980) ketiganya di Flores, Sarjana (S1) bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP Negeri Semarang (kini Universitas Negeri Semarang, 1985), dan Magister (S2) bidang Sosiologi di UMM Malang (2003). Sejak Oktober 2010 sampai sekarang dosen di Universitas Flores (Uniflor), Ende, mengasuh mata kuliah Teori Sastra, Menulis Artikel, Retorika, Bahasa Indonesia, dan Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD). Sejak Februari 2012 menjadi Kepala Lembaga Publikasi Uniflor, dan sejak Maret 2012 menjadi Ketua Dewan Penyunting Majalah Ilmiah Indikator terbitan Uniflor. Telah menerbitkan beberapa judul buku, yakni (1) Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2012); (2) Bahasa Indonesia dalam Penulisan di Perguruan Tinggi (Widya Sari Press, Salatiga, 2013); (3) Pengantar Ilmu Sosial & Budaya Dasar bersama kawan-kawan (Widya Sari Press, Salatiga, 2013); dan (4) Bahasa Indonesia sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (Gita Kasih, Kupang, 2010). Blog: www.yohanessehandi.blogspot.com, HP: 081339004021
12
13
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Kritik Sastra
Kurikulum 2013: Gaduh atau Heboh Sastra?, Maryanto
KURIKULUM 2013: GADUH ATAU HEBOH SASTRA? Maryanto
Pemerhati politik bahasa
Buruk muka; cermin dibelah.
P
epatah itu agaknya tepat menggambarkan kegaduhan pendidikan baru-baru ini dari kalangan guru yang marah hendak merobek-robek karya sastra pada lampiran buku ajar Kurikulum 2013. Sastra Indonesia sudah dibuat gaduh di Sekolah Menengah Pertama (SMP), bukan heboh penuh dengan pembelaan. Eksistensi sastra Indonesia pernah dibela oleh H.B. Jassin di luar jalur pendidikan sekolah. Ketika itu,
dengan risiko dipenjara, Jassin berjuang melawan upaya pemberedelan cerita pendek (cerpen) ”Langit Makin Mendung” yang diterbitkan oleh majalah Sastra (edisi Agustus 1968) digugat di pengadilan dengan dakwaan penodaan agama. Di dalam persidangan, dalil pembelaan Jassin ialah bahwa sastra merupakan sebuah wilayah imajinasi yang--dengan dalih keagamaan sekali pun--tidak bisa dihakimi keberadaannya. Meski demikian, ia tetap divonis bersalah selaku redaktur majalah atas penerbitan cerpen karya Ki Panji Kusmin yang kontroversial itu. Pembelaan Jassin terhadap sastra Indonesia itu diabadikan dalam buku Heboh Sastra 1968. Bukan karena dituduh menodai agama, melainkan karena diduga bakal menodai budi pekerti anak, cerpen ”Gerhana” karya Muhammad Ali dibuang dari lampiran buku Kurikulum 2013 (SMP Kelas VII) yang berjudul Bahasa Indonesia: Wahana Pengetahuan. Anehnya, penolakan kehadiran karya sastra ini dilakukan oleh guru yang mesti mengapresiasi dan membela keberadaan sastra di sekolah. Pendekatan sains Protes dari kalangan guru memperlihatkan ketidaksanggupan pelaksana pendidikan
Kurikulum 2013: Gaduh atau Heboh Sastra?, Maryanto
memasukkan sastra ke dalam pelajaran bahasa. Padahal, integrasi bahasa dan sastra Indonesia membentuk ruang imajinasi yang diperlukan anak untuk berlatih menerapkan perilaku ilmiah. Pendekatan sains, yang menjadi doktrin Kurikulum 2013, sulit diamalkan guru dan anak sekolah tanpa cukup ruang imajinasi. Ruang imajinasi itu sekarang terbuang percuma setelah karya sastra Muhammad Ali dibiarkan dirobek-robek atau diberedel. Dengan mendekonstruksi dan merekonstruksi cerpen Muhammad Ali tersebut, seharusnya, anak dapat dilatih untuk menciptakan teks sesuai dengan harapan Kurikulum 2013 untuk SMP Kelas VII. Proses penciptaan teks telah diarahkan dalam pembelajaran bahasa secara saintifik. Pelajaran bahasa Indonesia sebagai teks—termasuk di dalamnya unsur kesastraan—membuka ruang pengamatan melalui tahap pembangunan konteks dan pemodelan teks untuk memperoleh data. Tanpa adanya data, tidaklah mungkin sebuah teks dapat dikonstruksi. Dalam contoh pelajaran SMP itu, pada tahapan lebih lanjut, anak (baik secara kelompok maupun mandiri) memerlukan datadata verbal yang menggunakan penghubung sebab dan akibat untuk membangun teks eksplanasi. Guru yang siap melaksanakan pembelajaran teks dalam pendekatan sains akan menggiring anak untuk bertanya-tanya. Misalnya: menurut cerita ”Gerhana”, apa akibat tuturan saskastis yang dilontarkan kepada Sali? Mengapa istri Sali--pada akhir cerita itu—mengaku sebagai pelaku yang menebang pohon pepaya kesanyangan suaminya? Dengan diajak berpikir kritis, anak tidak mudah bosan. Guru perlu membuat anak terpukau dan merugi kalau meninggalkan pelajaran bahasa Indonesia. “Pohon celaka itulah gara-gara semua ini. Beginilah jadinya. Akulah yang menebangnya semalam, karena anak-anak sering memanjatnya ....” Itulah tuturan istri Sali sebagai penutup cerita untuk menyatakan penyebab atau alasan mendasar mengapa pohon pepayanya ditebang. Bagi istri Sali, pekerjaan sang suami menanam pohon pepaya itu sama halnya dengan perbuatan
Kritik Sastra
menebar benih jiwa korup, maling, atau rampok ketika banyak anak memanjatnya tanpa izin. Penebangan pohon pepaya tersebut bisa jadi simbol pencegahan korupsi bagi anak. Apabila cerpen garapan Muhammad Ali diamati secara cermat—melalui pendekatan sains--hingga ujung cerita, anak-anak SMP dapat terdidik menjadi cerdas dan berakhlak mulia, sekurang-kurangnya dalam konteks mengamalkan ajaran meminta izin dan berbuat jujur. Untuk mendidik anak agar menjadi jujur; antikorupsi, perlu ditunjukkan perbuatan bohong, culas, atau tindakan lain yang tidak boleh ditiru. Demikian pula, agar anak berbudi bahasa santun, tuturan bahasa yang tidak santun pun perlu diketahui akibat-akibat buruknya. Pencarian pengetahuan sebab dan akibat dari fenomena sosial dalam cerita tokoh protagonis Sali tersebut merupakan kegiatan belajar berpikir kritis dan logis. Pendekatan sains tidak bisa diterapkan di ruang hampa tanpa imajinasi. Kurikulum pembaruan Untuk menjaga eksistensi sastra di sekolah, tak usahlah para guru (disuruh) merobek-robek lembaran lampiran pada buku ajar siswa SMP itu. Pemberedelan sastra—yang menurut Taufiq Ismail (dalam komunikasi pribadi, awal 2013) sudah berlangsung di dunia pendidikan sekolah sejak tahun 1950-an—perlu dihentikan sekarang. Kurikulum terbaru ini, tak seperti kurikulum sebelumnya, menghadirkan sastra terintegrasi dengan bahasa. Kompetensi berbahasa Indonesia, terutama aspek sikap spiritual dan sosial, dibangun melalui sastra dengan paradigma pembelajaran teks. Pembaruan kebijakan pendidikan bahasa dalam Kurikulum 2013 bisa menjawab kecaman Taufiq Ismail dengan menyelenggarakan pembelajaran bahasa Indonesia yang tidak lagi dominan sebagai pelajaran tata bahasa tanpa konsep pengajaran tata sastra atau paramasastra. Dalam kasus buku SMP itu, cerpen “Gerhana” dengan sengaja dimasukkan semata-mata untuk memperkaya proses pembelajaran. Tentu, jauh dari niat penulis
14
15
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Kritik Sastra
Kurikulum 2013: Gaduh atau Heboh Sastra?, Maryanto
buku untuk menodai budi pekerti anak. “Bangsat! Kurang ajar! Bajingan! Sambar geledek lu! Kiramu aku pokrol bambumukah? Ini adalah tempat paling sopan di muka bumi. Dan sekali-kali bukan tempat untuk mengadukan hal yang bukan-bukan. [...]” Itu hanyalah cuplikan dari serangkaian peristiwa berbahasa (teks) untuk menceritakan tokoh protagonis Sali yang gagal memperkarakan pohon pepaya kesayangannya. Jika guru siap mengajarkan bahasa sebagai teks sesuai dengan tujuan sosialnya, cerita tragedi komedi itu sesungguhnya tidak hanya akan menghibur, tetapi juga mendidik. Memang, terasa sangat kasar dan getir setiap bentuk bahasa yang sarkastis. Ketika mengenai Sali dan—mungkin—siapa pun, sarkasme seperti itu bakal melukai dan menyakitkan. Muhammad Ali bercerita bahwa Sali akhirnya jatuh sakit dan meninggal dunia. Kasus kematian Sali sangat menantang untuk dijelaskan secara logis melalui rekonstruksi cerita itu menjadi pelajaran teks eksplanasi. Dalam pembaruan pendidikan ini bahasa Indonesia diajarkan utuh sebagai teks; tidak dalam kepingan bahasa seperti butiran kosakata yang lepas konteks. Demi pembaruan pendidikan, Goenawan Mohamad telah ikut serta mempromosikan implementasi Kurikulum 2013 dengan bersedia tampil sebagai bintang iklan pada layar televisi. Kesediaan sastrawan Indonesia itu tentu bermakna membela sastra agar eksis di dunia pendidikan sekolah. Sayangnya, selama ini belum ada pakem penggunaan sastra sekolah untuk jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Belum semua guru siap menjalankan Kurikulum 2013 untuk menerapkan pendekatan sains dan teks dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Penyalahgunaan sastra bisa saja terjadi karena ketidaksiapan guru. Karena itu, sastra tidak heboh dipelajari anak di sekolah. Ruang pelajaran bahasa itu justru gaduh menolak kehadiran sastra. Ih ... berisik, deh! ---
Kekerabatan Bahasa-Bahasa Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (“Cognate Languages Relationship in Nusa Tenggara Province, Inyo Yos Fernandez”)
Kritik Sastra
KEKERABATAN BAHASA-BAHASA DAERAH DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR (“COGNATE LANGUAGES RELATIONSHIP IN NUSA TENGGARA PROVINCE”) Inyo Yos Fernandez*
ABSTRACT The writing of this paper is aimed at understanding the number and status of cognate languages in East Nusa Tenggara that should be conducted using the right theory and methodology. The knowledge of cognate languages in NTT Province should be done by implementing quantitative and qualitative approaches so that the satisfactory results can be achieved in the process of to have the better knowledge and understanding in the future. Despite the fact that there may be some weaknesses in the use of the quantitative approach to determine family language using lexicostatistics technique. The result may provide a clear and reliable description of the NTT family of languages. Key words : cognate language , quantitative approach, qualitative approach, Nusa Tenggara Timur family of languages PENGANTAR Dalam pemahaman di kalangan para linguis Austronesia tentang bahasa-bahasa di Indonesia, sejumlah besar bahasa di Nusa Tenggara Timur, demikian pula bahasa-bahasa di Maluku pada umumnya (kecuali Maluku Utara), termasuk dalam anggota subkelompok bahasa Austronesia Tengah). Kelompok ini dikenal juga sebagai Melayu-Polinesia Tengah atau Central Melayu_ Polinesia (CMP). Selain itu, tentu tidak dapat diingkari bahwa di NTT terdapat pula sejumlah bahasa-bahasa yang tidak termasuk anggota subkelompok AN Tengah ini. Ada beberapa nama yang diberikan bagi kelompok bahasa-bahasa yang Non AN itu, seperti Filum Papua Barat (Stokhof, 1978), Filum Trans Nugini (Greeberg, 2005; Wurm, 1975). Yang lebih umum dikenal di antaranya adalah bahasa yang disebut sebagai kelompok Timor-Alor (Greenberg), sementara bahasa-bahasa yang termasuk Kelompok AmbonTimor dan Bima-Sumba merupakan kelompok
Austronesia Tengah (Jonker, 1914, lihat juga peta Esser (1938) dan Peta bahasa Wurm dan Shiro Hatori 1983). Pemahaman kekerabatan bahasa yang lebih luas tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan parsial kita tentang kelompok bahasa sekerabat di Provinsi NTT. Selain subkelompok bahasa yang secara umum dinamakan Melayu Polinesia Tengah, sesuai dengan pengelompokan bahasabahasa AN di kawasan Nusantara, masih terdapat juga subkelompok bahasa Austronesia Barat yang identic dengan kelompok West Malayo-Polinesia (WMP) atau Melayu_Polinesia Barat. Demikian pula, terdapat kelompok Austronesia Timur atau East Malayo-Polynesia (EMP) yang dikenal juga sebagai Melayu Polinesia Timur (Blust, 1977).3. Kelompok bahasa Melayu-Polinesia Tengah merupakan bahasa-bahasa kerabat yang berada di kawasan transisi karena terletak di daerah peralihan antara kelompok AN Barat dan AN Timur. Bahasabahasa di daerah ini merupakan bahasa-bahasa
16
17
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Kritik Sastra
Kekerabatan Bahasa-Bahasa Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (“Cognate Languages Relationship in Nusa Tenggara Province, Inyo Yos Fernandez”)
Kekerabatan Bahasa-Bahasa Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (“Cognate Languages Relationship in Nusa Tenggara Province, Inyo Yos Fernandez”)
Kritik Sastra
kerabat yang memiliki karakteristik khusus, karena kemiripannya baik dengan kelompok AN Barat maupun Timur. Garis silsilah kekerabatan subrumpun bahasa MP sebagai salah satu cabang rumpun bahasa AN sebagai mana diutarakan di atas dapat digambarkan sebagai berikut. Dalam diagram pohon silsilah kekerabatan bahasa serumpun tersebut tampak relasi kekerabatan bahasa antarsubrumpun MP dengan subrumpun Formosa, ketika terjadi pisahan pada
dari subkelompok Ambon-Timor. Subkelompok bahasa Ambon-Timor itu merupakan bagian yang masih menyatu dan tidak terpisahkan dari istilah subkelompok Bima-Sumba dalam kelompok bahasa-bahasa AN di kawasan transisi itu. Para linguis Belanda seperti Riedel (1985), Cowan (1963, 1973) telah mengidentifikasi ciriciri bahasa Non-AN di wilayah Maluku Utara. Demikian pula, Jong (1935) telah menjelaskan hal yang sama tentang bahasa Oirata di pulau Kisar,
yang dialami secara eksklusif pada bahasabahasa anggota subkelompok MPT karena ciriciri serupa itu tidak dialami oleh bahasa-bahasa subkelompok MPB. Salah satu kemungkinan, terdapat dugaan bahwa kemunculannya berasal dari hasil proses hibridanisasi akibat kontak yang terjadi dengan bahasa-bahasa Non-Austronesia dan kemudian secara paralel menyebar pada bahasa-bahasa anggota MPT lain. Hal itu dapat diamati pula pada tataran fonologi dan leksikon.7
(Dyen, 1982) dijelaskan tentang subkelompok Flores yang secara internal memiliki relasi historis yang lebih erat di antara bahasa-bahasa di wilayah itu (Fernandez,1988). Seperti juga halnya relasi kekerabatan bahasa subkelompok Bali-Sasak-Sumbawa yang dikaji lebih mendalam oleh Mbete (1992) ketiga bahasa kerabat di NTB itu mempunyai relasi historis yang erat setelah peringkat kekerabatan bahasa-bahasa di Flores. Dalam keragaman etnis yang tercermin melalui
tingkat bahasa awal (Protobahasa AN).4 Selanjutnya, cabang MP dipisahkan atas dwipilah MPB, dan MPTeTi. Pada gilirannya masing-masing dipilah lagi atas cabang dwipilah MPTe dan MPTi. Subkelompok bahasa-bahasa MPTe selanjutnya terpisah atas cabang subkelompok bahasa di NTT dan Maluku, sedangkan cabang bahasa-bahasa MPTi menurunkan cabang dwipilah bahasa-bahasa di Halmahera Selatan dan Papua Barat. Adapun di sisi lain cabang subkelompok MPTi menurunkan bahasa-bahasa yang termasuk anggota subkelompok Oceania diturunkan (Blust, 1977).5 Apabila ditinjau hasil pemetaan bahasa di Indonesia yang pertama kali dipublikasi oleh Esser (1938), yang diterbitkan Salzner (1960) tampak jelas hasil kompilasi yang berasal dari pemikiran Jonker. Pandangan Jonker itu tampaknya menjadi sumber inspirasi utama bagi pemetaan bahasabahasa di wilayah ini ketika Wurm dan Hattori (1981-1983) menerbitkan peta bahasa terbaru pun informasi yang masih sama dari pandangan Jonker masih dapat diretas.6 Pemberian label kelompok bahasa-bahasa Timor-Alor yang diusulkan Greenberg (1971, 2005) bagi sekelompok bahasa yang termasuk kelompok Filum Papua Barat di NTT dan Timor Leste patut mendapat perhatian khusus karena istilah kelompok bahasa-bahasa itu perlu dibedakan
Maluku Barat Daya, dengan menggambarkan sekelumit perbedaan ciri-cirinya dengan bahasa-bahasa subkelompok bahasa MPT yang tersebar di kawasan transisi. Stresseman (1927) mengklasifikasi bahasa-bahasa yang disebutnya sebagai sukelompok Ambon. Capell (1951), Berthe (1969), Stokhof (1975), dan juga Steinhauer (1989) mengungkapkan hal yang serupa khususnya cenderung tentang bahasabahasa yang termasuk anggota kelompok TimorAlor. Apabila pengelompokan bahasa-bahasa kerabat dalam subkelompok MPT ditinjau secara sekilas, dapat diamati bahwa ciri-ciri khusus bahasa-bahasa di daerah tertentu, seperti yang dapat dijumpai di antara beberapa bahasa di Flores dan Timor, memiliki sejumlah kemiripan sintaksis tertentu dengan bahasa-bahasa NonAN yang tersebar di wilayah itu. Hal tersebut dimungkinkan karena kontak bahasa yang telah lama berlangsung antar-bahasa Non-AN dan bahasa-bahasa AN di kawasan itu. Kemiripan fitur-fitur linguistik serupa itu, jika dibandingkan dengan yang terdapat pada bahasa-bahasa anggota subkelompok MPB, bukan merupakan fenomena kebahasaan yang bercirikan karakteristik AN yang diduga bersifat paralel, sehingga cenderung dapat dipandang seolah-olah sebagai fitur-fitur yang ditandai sebagai ciri-ciri inovasi sintaksis bersama
Sejumlah kemiripan fitur gramatikal yang cukup menonjol pada tataran sintaksis seperti diuraikan dalam karya Fernandez (2000). Hal itu bukan mustahil, niscaya dapat dipandang sebagai hasil saling pengaruh yang terjadi akibat kontak bahasa yang telah lama berlangsung antarbahasa NonAN dengan bahasa-bahasa AN, khusunya dengan bahasa-bahasa anggota MPT. Patut dicatat pula bahwa adakalanya keanggotaan bahasa-bahasa itu diduga sebagai salah satu bahasa yang telah diidentifikasikan sebagai bahasa Non-AN, ternyata termasuk anggota subkelompok bahasa MPT. Karya Capell pada awal tahun 1950-an tentang bahasa-bahasa di Flores, atau karya Walker (1980) tentang bahasa Sawu dapat merupakan contoh kekeliruan serupa itu, yang mungkin saja dapat terjadi. Demikian pula, sebaliknya, bahasa Kemak, di perbatasan dengan Timor Leste, semula dalam karya Alan (1967), sebagai anggota subkelompok bahasa AN di Timor, setelah dicermati, ternyata bahasa itu termasuk anggota kelompok bahasa Non-AN. Penelitian Dyen (1965) terhadap sekitar 245 bahasa sekerabat rumpun AN, secara kuantitatif, menjelaskan bahwa untaian Maluku (istilah bagi Mollucan linkage) anggotanya meliputi bahasa-bahasa di Maluku dan NTT. Hal itu tampak juga dikutib pula Uhlenbeck (1971). Dalam tinjauan kembali terhadap karyanya tsb.
bahasanya di daerah itu tersimpan aset budaya yang kaya. Implikasi dari kajian kekerabatan bahasa yang dikaji Dyen secara kuantitatif itu, peluang bagi kajian secara kualitatif terhadap bahasa-bahasa berkerabat di NTT, mulai mendapat perhatian yang semakin baik dalam mengkaji keeratan kekerabatan bahasa di wilayah MPT, khususnya dalam mengkaji kekerabatan bahasa di NTT sebagai bagian parsial dari pengelompokan bahasa-bahasa berkerabat yang ada di dalam subkelompok MPT, Dalam rangka mengkaji kekerabatan bahasa di NTT, patut dicatat jumlah bahasa dan dialek-dialeknya, baik yang berkerabat erat maupun bahasa-bahasa lain yang berada di luar suatu subkelompok bahasa. Tentu saja hal itu perlu dilakukan perhitungan yang tingkat kecermatan harus tinggi termasuk menyangkut jumlah bahasa dan status bahasa-bahasa (termasuk bahasa kelompok pemukim imigran seperti komunitas etnik Bajau) yang tersebar di banyak tempat di daerah NTT. Untuk mempeoleh hasil yang benar-benar sesuai dengan kenyataannya, inventarisasi bahasa yang menyangkut jumlah dan statusnya perlu ditangani serius dan dengan pertanggungjawaban yang lebih baik. Penelitian bahasa berkerabat dan pembagian dialek-dialeknya perlu dilakukan secara sistematis dan mempertimbangkan
18
19
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Kritik Sastra
Kekerabatan Bahasa-Bahasa Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (“Cognate Languages Relationship in Nusa Tenggara Province, Inyo Yos Fernandez”)
Kekerabatan Bahasa-Bahasa Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (“Cognate Languages Relationship in Nusa Tenggara Province, Inyo Yos Fernandez”)
Kritik Sastra
penggunaan metode dan teori yang tepat8, sesuai dan memadai. Perlu diperhatikan agar dalam rangka kajian kekerabatan bahasa, yang sedang digalakkan Badan Bahasa melalui Pusat Bahasa dewasa ini termasuk setelah penetapan jumlah bahasa dan dialek-dialek bahasa kerabat dilakukan, diharapkan kajian kekerabatan bahasa dapat mengatasi masalah sebagaimana diharapkan agar penetapan jumlah bahasa misalnya tidak semata berdasarkan pengakuan penutur semata,
Alasannya, oleh karena tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi di lapangan. Sebagai satu contoh, seperti hasil yang dicapai ketika inventarisasi bahasa-bahasa di kabupaten Flores Timur dilakukan, Bahasa-bahasa berkerabat yang seharusnya diperkirakan berjumlah 6 bahasa saja, di daerah itu dicatat telah mencapai 11 bahasa (tidak termasuk bahasa Melayu Larantuka dan bahasa Bajo di beberapa lokasi enklave di daerah itu). Terjadi penggelembungan angka (jumlah)
Persoalan lain yang tidak jarang juga dijumpai ketika kegiatan penetapan jumlah dan status bahasa dan dialek-dialek dilakukan, baik di Indonesia pada umumnya maupun di NTT pada khususnya, adalah adanya silang pendapat di antara para linguis karena penggunaan metodologi yang berbeda atau tidak seragam sehingga tidak terhindarkan perbedaan hasil, baik yang berupa jumlah bahasa maupun dialek-dialeknya dalam klasifikasi atau kelompok bahasa. Hal demikian
tanpa alasan yang kuat statusnya terdahulu hanya sebagai dialek-dialek dari bahasa Lamaholot saja yang dalam survei itu dipandang sebagai bahasa mandiri. Dalam penetapan serupa itu tampaknya kewibawaan penutur berdasarkan pengakuannya lebih berhasil memberi justifikasi tentang status bahasanya, tanpa pemahaman tentang perbedaan antara bahasa dan dialek. Penilaian serupa itu kurang tepat karena berdampak pada pengaburan jumlah dan status bahasa atau dialek yang
seperti yang pernah terjadi, baik oleh kalangan linguis asing maupun pribumi.
bahasa di kabupaten Flores Timur dan Lembata. Hal itu dimungkinkan karena penetapan jumlah bahasa yang hanya didasarkan pada pengakuan penutur bahasa setempat saja sehingga bukan mustahil pandangan itu tidak dapat diterima. Demikian pula, penggunaan teori dan metode dalam pengumpulan dan analisis data perlu dipertimbangkan sebagai faktor penting bagi penetapan inventarissi yang berhasil.9 Dibandingkan dengan hasil survei yang dilakukan Grimes dkk. tersebut, karya Lauder dkk. (2000) telah lebih jelas menggunakan metode kuantitatif yang cenderung menerapkan teknik dialektometri. Walaupun demikian, belum dilakukan hasil analisis data yang dijaring melalui 30 titik pengamatan seperti tampak pada publikasi Monografi 200 kosa kata dasar Swadesh bahasa sekerabat di Kabupaten Flores Timur. Dalam publikasi itu telah dinyatakan terdapat dua belas bahasa di Flores Timur, hanya sayangnya penetapannya baru sebatas berdasarkan pengakuan penutur belaka. Pernyataan tentang jumlah itu pun sebenarnya masih jauh dari kenyataanya karena ternyata jauh melampaui jumlah yang sebenarnya, meskipun dalam jumlah itu belum terbilang dialek bahasa Melayu setempat (Steinhauer, 1985, Kumanireng, 1982). Demikian pula, variasi bahasa Bajau yang terpencar di berbagai enklave di daerah itu.
terjadi ketika penetapan jumlah dan status bahasa dilakukan di Kabupaten Alor. Menurut catatan Grimes dkk. (1997), terdapat 17 bahasa di Kabupaten Alor, tetapi Lauder mencatat terdapat 18 bahasa di daerah itu. Seperti dijelaskan Lauder (2000), adanya perbedaan itu hanya karena diantaranya ada sebuah desa yang memiliki dua bahasa yang berbeda, sedangkan Grimes mencatat bahwa di desa yang sama itu hanya terdapat satu bahasa saja. Sekalipun data telah dihimpun dari 30 titik pengamatan dan dipublikasikan dalam Monografi Kosakata Dasar Swadesh di Kabupaten Alor, data itu belum sempat dianalisis. Seandainya data itu dapat dianalisis dengan teknik leksikostatistik atau dialektometri, penetapan jumlah dan status bahasa dan dialek di daerah itu, masih juga terdapat kendala yang tak terhindarkan karena penggunaan instrumen penelitian dalam penjaringan data. Selain itu, kendala lainnya berupa perbedaan pendapat di antara penutur yang menyatakan pengakuan tentang jumlah bahasa dan dialek yang dipakai di suatu wilayah. Penetapan jumlah bahasa di Flores Timur dan Lembata yang dilakukan Grimmes dkk. (1997) dengan mengandaikan pengakuan penutur tentang nama bahasa atau dialek bahasa setempat tidak hanya berdampak pada penetapan Adonara, Lewoingu, Lamalera, dan Mingar di Flores Timur sebagai bahasa sendiri, tetapi terutama juga karena
ditetapkan dalam inventarisasi.
2. KEADAAN YANG MEMPRIHATINKAN DALAM KAJIAN KEKERABATAN BAHASA-BAHASA DI NTT Sesuai dengan informasi yang diperoleh dari hasil survei tim peneliti SIL (Summer Institute of Linguistics atau yang disingkat dengan SIL (1996) yang dimuat pula dalam majalah “Ethnology Language of the World”, edisi ke15 (Grimes, 2000), inventarisasi bahasa-bahasa di NTT dewasa ini, diketahui bahwa terdapat 61 bahasa yang tersebar di wilayah provinsi ini dan dapat dirinci menjadi (1) bahasa-bahasa di Flores dan Lembata sebanyak 28 bahasa, (2) bahasabahasa di Kabupaten Alor berjumlah 17 bahasa, (3) bahasa-bahasa di Sumba (termasuk bahasa Sawu) berjumlah 9 bahasa, dan (4) bahasa-bahasa di Timor berjumlah 7 bahasa (tidak termasuk bahasa-bahasa yang terdapat di Timor Leste). Cara-cara yang digunakan oleh peneliti SIL, Grimms dkk. (1997), tersebut dalam penetapan jumlah dan status bahasa-bahasa serta dialek-dialek di NTT seperti yang diungkapkan itu secara keseluruhan cukup memprihatinkan sehingga dapat menyebabkan hasil inventarisasi yang dilakukan patut diragukan dan beresiko tidak dapat dipercaya. Mengapa terjadi demikian?
SIMPULAN Dari hasil kajian yang berkaitan dengan kegiatan inventarisasi bahasa-bahasa di NTT, seperti yang telah diketahui melalui kajian dari para peneliti terdahulu, dapat dijelaskan bahwa masih terdapat kesimpangsiuran pendapat di kalangan para peneliti. Inventarisasi bahasa, untuk mengetahui jumlah dan status bahasa serta dialek bahasa-bahasa di NTT yang lebih memuaskan, masih menghadapi banyak kendala dan perlu dilakukan dengan pemanfaatan teori dan metodologi yang tepat dan benar. Pendapat para sarjana yang masih simpang siur mengenai masalah inventarisasi bahasa yang terkait dengan jumlah, status, dan dialek-dialeknya terjadi khususnya karena penggunaan metode yang belum seragam. Apabila hanya mengandalkan pada pengakuan para penutur bahasa saja, jumlah bahasa maupun status bahasa belum dapat ditetapkan melalui cara yang lebih baik sehingga masih kurang meyakinkan hasilnya. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang dapat mencapai hasil yang baik. Cara yang masih memperlihatkan kelemahan yang cukup meragukan dalam hasil yang kurang sesuai dengan kenyataan perlu dihindari. Perlu digunakan teori dan metode yang
20
21
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Kritik Sastra
Kekerabatan Bahasa-Bahasa Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (“Cognate Languages Relationship in Nusa Tenggara Province, Inyo Yos Fernandez”)
Kekerabatan Bahasa-Bahasa Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (“Cognate Languages Relationship in Nusa Tenggara Province, Inyo Yos Fernandez”)
lebih sesuai bukan hanya berdasarkan pengakuan penutur belaka sehingga hasil kajian yang dapat dicapai dapat diterima dan diakui. Hasil kajian yang lebih mendalam terhadap bahasa-bahasa kerabat di NTT perlu menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif sehingga dapat dicapai hasil yang lebih memuaskan pada masa yang akan datang dalam melakukan inventarisasi bahasabahasa kerabat di NTT yang lebih memuaskan. Meskipun penggunaan metode kuantitatif
bahasa di Indonesia yang disarankannya sebagai alternatif menyusul saanggrahannya terhadap karya pengelompokan Brandes yang dimuat di dalam majalah Ilmu Pengetahuan Kerajaan Belanda yang terbit tahun 1914. 4. Bahasa-bahasa di NTT yang termasuk anggota subkelompok Ambon-Timor termasuk bahasa Tetum, Bunak, Kemak, Dawan, Helong, Roti, dan Sabu. Selain itu, bahasa-bahasa di Flores Timur termasuk di antaranya bahasa Lamaholot, Melayu
Pulau Lembata belum menjadi sebuah kabupaten tersendiri. Terdapat 4 bahasa, yaitu Lamaholot, Melayu Larantuka, Kedang, dan Sika Krowe. Mengenai situasi kebahasaan, jumlah bahasa dan status bahasa-bahasa di Flores Timur, pendapat Keraf (1978) perlu dicatat. Kalkulasi persentase leksikostatistik digunakannya dalam penetapan peringkat kekerabatan bahasa-bahasa di Flores Timur dan khususnya dialek-dialek bahasa Lamaholot. Hasil temuannya masih dapat
dalam penetapan jumlah bahasa kerabat baik dengan teknik leksikostatistik maupun dengan teknik dialektometri, tidak terlepas dari banyak kelemahannya, hasil yang dicapai untuk mencapai gambaran garis besar tentang silsilah kekerabatan bahasa-bahasa di NTT, masih lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan jika tidak hanya mengandalkan pengakuan penutur bahasa setempat belaka, melainkan melalui kajian penelitian yang lebih bermutu dan dapat diandalkan. CATATAN BELAKANG 1. Menurut Blust, klasifikasi atau pengelompokan bahasa-bahasa MP berdasarkan metode kualitatif dengan evidensi inovasi bersama mengenai salah satu kategori sintaksis yaitu perbandingan kata ganti orang (personal pronoun). 2. Selain evidensi di bidang sintaksis, ditemukan oleh Blust evidensi pengelompokan berdasarkan sejumlah inovasi fonologis bersama secara eksklusif yang mengukuhkan pula evidensi sintaksis itu. 3. Karya Jonker (1918) yang orisinal itu, masih daoat ditelusuri melalui hasil karyanya mengenai bahasa-bahasa kawasan NTT dan sekitarnya yang dimuat di dalam buku Ensiclopedie van Nederlandsch Indie jilid 2. Penjelasan yang disampaikan Jonker khususnya mengenai subkelompok bahasa AN di kawasan itu merupakan tindak lanjut pengelompokan bahasa-
Larantuka, Kedang, dan Sika Muhang. Bahasabahasa anggota subkelompok Bima-Sumba terdiri dari bahasa Bima dan ke 7 bahasa di Sumba. Selain itu, bahasa Manggarai, Rembong, Ngadha, Lio, dan Palue. 5. Secara leksikal kata ‘jagung’ dalam bahasa Lamaholot wata’ berkorespondensi dengan batar pada bahasa non Austronesia di Pantar, dan Oirata (di Kisar). Demikian juga, seperangkat fonem hambat implosif/ú, ï, ì, tidak hanya ditemukan pada bahasa Sahu, di Halmahera Utara (yang termasuk kelompok non AN) tetapi ditemukan juga pada bahasa Sawu (Walker, 1980) di NTT, seperti juga terdapat pada bahasa-bahasa Ngadha, Lio, dan Palu’e di Flores Tengah (Fernandez, 1988), bahasa Bima di NTB (Syamsyuddin, 1995) dan bahasa Sumba (Budasi, 2007) 6. Sebagai contoh, penggunaan teori leksikografi untuk mengkaji kekerabatan bahasa-bahasa di Kalimantan Selatan (Lauder, dkk., 2002), dan di Sulawesi Tengah (Lauder, dkk., 2000) merupakan kekeliruan dalam penggunaan teori yang terpadu dengan metode yang tepat sehingga hasilnya diragukan. 7. Dalam kajian Keraf (1977) yang dimuat dalam majalah DIAN, telah ditetapkan klasifikasi bahasa dan dialek bahasa-bahasa di Kabupaten Flores Timur. Keraf pada prinsipnya berpendapat bahwa di Kabupaten Flores Timur (ketika itu
diterima karena menggunakan metode yang jelas dan melalui penelitian yang mendalam. Dengan demikian, hasil yang dicapai lebih dapat diterima jika dibandingkan dengan hasil yang dicapai berdasarkan penetapan yang dilakukan atas dasar pengakuan penutur bahasa semata. DAFTAR PUSTAKA Berthe, Louis. 1969. La langue Fataluku. Asie du Sud-est et Monde Insulindien. Paris, 4(3), hal. iii- iv. Blust, R.A. 1974. The Linguistic Value of Wallace Line” BKI. 138, hal. 231-250. ________ . 1977. “The Proto Austronesian Pronoun and Austronesian Subgrouping Hypothesis. A Preliminary Report. Working Paper in Linguistics 9(2), hal. 1-15. ________ .1978. “The Proto Austronesian Palatals. Memoir 43: Wellington. The Polynesian Society. Budasi, I Gede. 2007. “Proto Bahasa Sumba”. Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Caperll, A. 1969. “The Prehistory of Indonesia”. Oceanic Linguistics. 12, hal. 37-47. Collins, James T. 1983. “The Historical
Kritik Sastra
Relationships of the Languages of Central Maluku, Indonesia”. PL. D. 47. Cowan, H.K.J 1963 Le Buna de Timor. Une langue “ouest Papoue”. BTLV, 119 (4), hal. 387-400. --------- 1973. Note sur la Langue Oirata. Asie du sud-est et monde insulindien. Paris,4(3):iii-iv Dyen, Isodore. 1965. A Lexicostatistical Classification of The Autronesian Languages. Baltimore. Memoir 19. Supplement to the IJAL. 1982. “The Present Status of Some Austronesian Subgrouping Hypothesis”. In Amran Halim, Louis Codrington and Wurm eds. Papers from the TICAL vol. 2:32-33. PL.75. Esser, S.J. 1938. Atlas van Tropisch Nederland. Batavia. Centrum Fernandez, Inyo Yos 1988. “Protobahasa Flores”. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. ---------. 1996. Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores. Ende: Nusa Indah. ---------. 2000. “On the Search of Relationship between languages of Austronesia and Non Austronesian in East Indonesia”. Dalam Sudaryanto dan Aleks Horo Rambadeta (eds.) Languages and Cultures Relationship in Non Austronesian Area. Yogyakarta: Pusat Studi Asia Pasifik UGM. ---------- 2007. “Penelusuran Pustaka tentang Kajian Pengelompokan BahasaBahasa di Propinsi Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur”. Laporan Penelitian untuk Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa. Depdiknas. Jakarta.
22
23
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Kritik Sastra
Kekerabatan Bahasa-Bahasa Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (“Cognate Languages Relationship in Nusa Tenggara Province, Inyo Yos Fernandez”)
Greenberg, Joseph. 1971. “Timor-Alor subgrouping” In Thomas Sebeok (ed.) Current Trends in Linguistics. Grimes, Barbara F. 2000. “Numbers of Austronesian Languages” in Ethnology Language of The World”, edisi ke-15 Jonker. H.C.G. 1914. “Kan Men de talen van den Indischen Archipel eenewestelijke en eene oostelijeke Afdelingen onderscheiden”. Amsterdam: Verslagen en Mededelingen der Koninklijke Akademi van Wetenschappen 12, hal. 253-63 ____________ . 1918. “Manggaraisch”. Ensiclopedie van Nederlandsch Indie. Mouton: The Hague Keraf, Gregorius. 1977. “Status bahasa-bahasa di Flores Timur”. Dian (4) 7:18, 8, hal. 14-15 Mbete, Aron Meko 1992. “Proto Bahasa BaliSasak-Sumbawa”. Disertasi. Jakarta. Universitas Indonesia Riedel, Von J.G.F. 1885. Galela und Tobeloresen. Utrecht: Hollandischen Residenten. Salzner, Richard. 1960. Sprachenatlas des Indopazifischen Raumes. Wiesbaden: Otto Harossowitz
UNPAD Uhlenbeck, E. M. 1971. “Indonesia and Malaysia”. In Thomas Sebeok (ed.) Current Trends in Linguistics. Voorhoeve. C.L. 1983. The Non Austronesian languages in the North Mollucas. Dalam E.K.M Masinambow (ed.) Halmahera dan Raja Ampat sebagai Kesatuan Majemuk (Studi-studi terhadap suatu Daerah Transisi. Jakarta: Lembaga Ekonomi dan masyarakat Nasional. LIPI . Wurm, S.A. dan Shiro Hattori 1983. “Maps of Insular South-East Asia. II” PL.C.67. Canberra. The Australian Academy of Humanities.
Gerardus N. Bibang
LANGIT SERISE
setelah sebuah tikungan ke arah kiri terlihatlah langit biru Serise *) darahnya tersisir dengan kekaguman “serise, sayangku,” ujar lelaki itu dihentikannya sepeda motor butut di depan onggokan batu hitam mangan, yang kemudian diketahuinya itu adalah lingko *) Rengge Komba, lingko, yang dulu melahirkan tanaman rambut yang merimbun kini, semuanya terhampar gosong kelam, seperti bangunan mati menatap bulan yang jatuh ke atas ubun-ubun dia duduk tepekur. luluh. air matanya mengguyur pipi dan dagu
Serise = kampung terpencing di Manggarai Lingko = areal tanah pertanian dan perkebunan dari warga masyarakat dlm satu kampung
Steinhauer, Hein 1989 Bahasa Blagar. Jakarta: Balai Pustaka. Stokhof, Wim 1978. Fonemik Bahasa Woisika. Jakarta: Balai Pustaka. Stresemann, E. 1927. Die Lautererscheinungen in den Ambonischen Sprachen. Beiheft. 10 Reimer: Berlin Syamsuddin. A.R. 2002, Pengelompokan Bahasa Bima-Sumba. Disertasi. Bandung:
24
25
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Giovanni A.L Arum
Bulan Retak
1 Kepada bulan yang menggores retak di kepala Kuletakan segala doa dan luka yang menganga Malam adalah lelehan tinta yang tumpah tak sengaja Sedang gemintang muncul bagai jentik-jentik larva Ketika itu engkau melipat tubuh dengan gemetar Sambil merawat doa sunyi dari reremahan halilintar 2 Cinta hanyalah ibarat penggaris lentur Yang mengukur jarak pelipis dan ubun-ubun Di lingkaran Yahwe memendar cahaya adisuci Malkut yang menjaga ruah sabda bagai kirin api
Buang Sine
Kikir
adakah kepalaku tertunduk dan nurani mencair saat bersua Lazarus di pintu Kapela?
Buang Sine
Aku Si Kaya yang Bodoh
tidak!! Ku bungkam mulut dompetku agar tak berteriak dia!
(sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lubang jarum daripada seorang kaya masuk kedalam kerajaan surga. Luk 18:25)
Di hitungan kemudian retak meluas s’bagai cincin Di sana kureciki pecahan keringat ibumu yang dingin 3 Malam adalah puisi yang tak lengkap ...
aku si kaya.. tak berdaya tatap mata Penggembara ketika tawarkan madu gantikan tuba
Duapuluhempat Mei Purwokerto
Istana putih bertukar emas tak sudi aku biar pengembara jalan sendiri
26
27
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Saddam HP
Builaran
Seperti menenggak seteguk kebahagiaan dari cawan kepedihan kami rayakan pesta ini dengan tarian dan nyanyian agar waktu-waktu yang luput dari torehan pena segenggam tawa yang tak sempat kami tabung sekeping kenangan yang tak sempat kami pungut dapat abadi dalam penjara rumah hati dan kami selalu bangga pernah dilahirkan disana meski tak ada kurban selain sekerat puisi yang dipersembahkan. 500 tahun dalam penjara seperti hari kemarin ketika bendera masih berdiri tegak kaukibar dan tongkat takhta kaugenggam di atas rahim yang menumbuhkan tunas-tunas dan sebuah kisah tentang tanah air yang berlimpah kekeringan kelaparan serta jalan setapak yang menghantar kami pulang sebab dimanapun tunas-tunas itu tumbuh akhirnya harus kembali pada pelukanmu. Jam pasir kembali mengucurkan masa depan yang harus kaulalui karena kenangan yang telah habis kaurayakan juga telah menabur benih kegembiraan di ladang gersang hati kami dan semoga susu dan madu juga Tuhan sisakan bagimu meski hanya dicucukkan pada pangkal lidah sehingga bila kami harus kembali dalam penjara masih ada kebebasan ketika kami berjalan. (Builaran, 11-11-2011)
Saddam HP
Suara Hati Amin. Amin. Sesungguhnya kata-kataku hanyalah Bisikan yang menelisik berisik angin dan desau Yang risau entah pada daun mana kelak aku Tersangkut. Mengetuk. Dan pintumu merekah. Sebagai suara, meskipun pelan, aku selalu berharap Agar di tingkaptingkap tingkahmu kauingat kerap Bahwa ada yang salah kala tutur meluncur dari bibir Bersihadap dengan laku liar yang keluar jalur. Aku ingin didengar karena aku bisa menjelma cahaya Dan cercah sinar yang berbinarbinar dalam bahaya Bagi sayup mata jalangmu demi redup niat jalanmu Gelap yang melindap meresap di pelupukmu. Kukatakan padamu, mulutku emas. Telingamu besi. Dengan neraca apa kautakar kadar karat kata-kataku? Kau lebih percaya bujuk rayu di pekak besi yang mendayu-dayu Sementara emas menjentik abadi dari lelatu dijilat mulut sepi. Hanya dua jengkal dari tempatku diang pada lidah api Menuju bebal telingamu ngiang di serapah maki. Tapi, yang dekat denganmu adalah juga bayangan Paling pekat untuk dapat kaulihat, bukan? Tak akan pernah sanggup aku kau dengar Karena hanya pada tenang hatimu nadar bernazar Pada bunyi sunyi aku sembunyi dan membilang Semoga kau tak hilang, agar kau cepat pulang. Aku bisikan, tapi paling sering bernyanyi. Akulah desau Tapi yang paling nyaring berbunyi. Kini kupinta padamu Bukalah pintumu agar di sana aku dapat merapal Sambil membimbingmu ke tempat sumber suara berasal. (Lasiana, 2013)
28
29
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Luka
Yoss G. Lema
Untuk M. C. Yureka. W .I
Rumah Bencana
Diana Timoria
ini tanah kita bumi kita rumah kita rumah bencana disini bencana hilir mudik banjir benenain tahun ke tahun gempa, mengguncang, mencabik bumi alor tsunami 12 desember, kain kabung pulau flores puting beliung, longsor, kemarau panjang merajam sabu rote belalang kumbara mengunyah padang savana bernama sumba 2013 ..... letusan rokatenda menubruk nurani kemanusiaan kita Ooooooh Tuhan dimana-mana darah dan air mata si sakit butuh darah.....korban bencana butuh darah nyawa bergelimpangan di setiap kepungan bencana adakah nurani kita tersentuh?? Ooooh Tuhan ku ini tanah ku ini rumah ku rumah bencana flobamora amin (Kupang, 14 Pebruari 2013)
Kau, entahlah. Aku merasa kau begitu memprihatinkan. Sangat amat. Kau seperti hidup sebatang kara. Kini tidak pilihan yang harus kau pilih kecuali menerima akibat pilihanmu dulu. Kau hanya perlu menjalani apa yang tersisa dari hal yang kau sebut harapan dan cinta. Yang dulu begitu kau agungkan. Kebanggaan tiada tara kau pertontonkan dalam senyum ceriamu saat namamu yang bersanding dengan namanya menduduki tempat termanis di lidah kami. Para perempuan yang haus gosip. Para sahabatmu yang ingin melihat kau bahagia. Tapi mengapa harus kau yang terluka? Itu tidak adil, benarkan? Kau seperti sajak tanpa judul, bahkan sajak itu belum usai. Tak bernama dan tak berakhir. Tapi ada isinya. Seonggok kebohongan yang baru kau sadari sekarang. Sajakmu ganjil. Terlalu indah untuk sebuah kisah, kata-katamu aduhai, seolah tak pernah ada cacat dalam kata. Semuanya sempurna. Tapi sayang, kau lupa sesuatu. Kau lupa ada yang namnya kebohongan. Sebuah kata yang kini kau caci maki dalam hati dan pikiranmu. Yang kini membuat kau seperti orang bodoh yang lupa bagaimana merasakan keindahan itu sendiri. Pusimu hambar. Padahal sudah kau ramu dengann segala rasa yang kau miliki. Hingga saat kau kecap hanya terasa cinta yang manis dan gurih. Lalu ketika senja menua, kau merasa ada yang kurang. Ketika ingin melengkapi bumbu cintamu, tiba-tiba saja kau merasa aneh dengan
menu cintamu. Ada yang salah, seperti tak sesuai moment. Kau sedang menulis puisimu ketika sang tokoh utama sajakmu menyakitimu. Kau begitu terpukul. Terhempas terlalu jauh dan hancur berkeping-keping. Terbanting keras di jalanan dan melata penuh penuh belas kasihan. Hingga kau kehilangan kata. Kau merasa sedang menuliskan sebentuk kebohongan besar. Dan kini dengan segala kemampuan yang kau miliki kau sedang menikmati sajakmu sendiri bersama rima dan intonasi menyedihkan. Dalam keheningan malam kau membaca puisi karanganmu. Kau nikmati kata-katamu sendiri yang sarat kebohongan, yang kau tulis dengan rasa paling jujur yag pernah kau miliki. Betapa menyedihkan rupamu yang bermandikan air mata. Dalam kegelapan tergelap sekalipun aku masih bisa merasakan kesedihan yang kau sembunyikan. Getar-getar suaramu terdengar jelas, membawa kesedihan yang kau rasakan. Bahkan dalam sepi malam sekalipun, tangismu tetap riuh. **************** Hei, kini kau seperti lembaran kertas yang terbang entah kemana. Hujan akan membasahi kisahmu di lembaran itu, yang lalu akan hancur dan sajakmu jadi tak berbentuk. Mentari akan membakarnya, menjadikannya puing-puing
30
31
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
gosong yang tak lagi terbaca. Hanya hitam yang ada. Seperti pekat malam ini. Tak ada bintang di langit kita. Sempatkah kau menengadah? Lalu, tak inginkah kau mendarat? Di tanah? Di pepohonan? Di taman? Takutkah kau tak ada tempat untukmu? Atau masihkah kebohongan itu menyingkirkan keyakinan yang dulu pernah ada? “Kak, aku harus bagaimana?” begitu tanyamu ditengah gelap meraja bumi, semoga hatimu tidak di rajai gelap. “Kau benci mereka?” “Tidak, entahlah, yang kusesalkan kenapa baru sekarang? Saat aku yang maju, bukankah dulu cewek itu sudah pernah mundur saat menolak untuk menerima cintanya? Mengapa saat aku belajar untuk melangkah dia malah menuntunku ke jalan buntu? Seharusnya dia tahu tujuanku, ataukah dia yang buta? Aku menjauhi cinta lain yang datang padaku hanya untuk menuju padanya.” “Bisakah kau tersenyum di depan mereka?” “Tersenyum? Mereka? Entahlah, kuusahakan untuk tersenyum. Tapi, bukankah memang seharusnya begitu? Ataukah aku punya pilihan lain? Keadaan membuatku tak bisa berbuat apa-apa” Getar-getar suaramu terlalu jelas kudengar. Kupegang pundakmu, aku tak tahu kenapa aku melakukan itu. Kau memang tak terisak, tapi sempat kutangkap sebening aliran dari matamu yang cepat-cepat kau usap. Aku ingin bilang agar kau menangis jika ingin, tapi sejauh ini aku sadar, kau gadis yang cukup kuat dan
mungkin aku bukan tempat yang tepat untuk itu. Tak apa, setidaknya saat kita masih betah bersama gelap ini, kuharap ada yang bisa kulakukan untukmu meski sekedar menjawab pertanyaanmu dengan jawaban yang mungkin benar mungkin juga salah. Ah aku pun tak tahu. “Kau memang harus seperti itu, tapi bukan karena kau tak punya pilihan. Hei, apa kau tahu betapa berharganya senyummu di saat seperti ini? Tidak ada yang salah dengan keadaan.” “Tidak ada yang salah? Kak, semua sedang salah saat ini. Dan mungkin kesalahan terbesar ada pada diri saya. Di kampus aku sekelas dengan cowok itu, di asrama kita ini aku sekamar dengan ceweknya. Kak, bagaimana caraku menuju ke dua tempat itu dengan hati yang damai? Aku tak bisa menghindar, kampus adalah tempat yang pasti kudatangi, tujuan kehidupanku di sini, asrama adalah tempat yang lebih dari sekedar untuk pulang, tempat untuk hidup, lalu bagaimana caraku melalui hari-hari. Aku seperti prajurit yang baru sadar kalau aku lupa membawa senjata saat perang sudah di depan mata.” Kau betul. Posisimu terlalu memberatkan langkahmu. Dia yang memberimu harapan adalah teman sekelasmu. Dan dia yang sekamar denganmu adalah yang telah menghancurkan harapanmu tanpa kau sadari. Tanpa sebuah petunjuk, tiba-tiba saja kau sampai pada sebuah jalan buntu. Berada di kedua tempat itu adalah hal yang sudah pasti buatmu. Seperti dengan penuh kesadaran kau menuju tempat untuk melukai hatimu. Tidak ada tawaran lain. Aku tak bisa menyuruhmu menghentikan kuliah, atau jangan memasuki kamar itu, karena itu adalah hal paling bodoh yang terpikirkan. “Hadapi kenyaataan itu.”
“Jika itu satu-satunya cara yang kakak pikirkan maka satu-satunya kelemahanku adalah aku tak punya kekuatan untuk itu. Aku punya banyak senyum kak, tapi tak bisa kuberikan pada semua hal. Berat kak, berat.” “Terkadang tidak ada salahnya kita pura-pura kuat.” “Membuat seolah-olah semuanya baikbaik saja? Tidakkah itu munafik.” “Tidak, itu adalah cara kau menjadi kuat.” “Tapi...” “Berpura-pulah kau menjadi kuat dan tegar Ina, hingga kau lupa bahwa kau sedang purapura. Lanjutkan hidupmu, waktu tidak berhenti hanya karena kau terluka. Waktu akan mengajarkan bagaimana kau mengobati lukamu. Terkadang air mata yang melambangkan kerapuhan bisa menjadi awal kekuatan. Menangislah jika kau ingin menangis, menangislah sampai kau membenci air matamu, hingga kau sadar betapa sakralnya air matamu untuk sebuah luka.” Kau terdiam. Aku juga. Kau terisak. Aku masih diam. Membiarkan kau menikmati air mata yang sarat penyesalan. Aku berusaha mencari kalimat penghiburan yang tepat dalam kamus gelap namun tak ada apapun yang terbaca. Ingin rasanya kukoyak saja langit malam ini agar bisa kutemukan sebuah bintang yang bisa merangimu. Sebut saja itu hadiah dariku untukmu. Namun tak bisa. Maka aku hanya bisa diam. Bagimu mungkin pengorbanan yang sudah kau lakukakn selama ini adalah syair terbodoh yang pernah kau tuliskan dalam lembaran kisahmu. Senja-senja menjadi penghias
kata. Hujan menjadi moment paling suci untuk mengenangnya. Kau menjadikan setiap waktu adalah senyum. Dan kini, kau terisak bersama perih yang kau rasakan. Lalu saat terdiam itulah, mataku lalu menangkap sebuah tatapan, ada keteduhan di sana. Sebuah kerinduan cinta yang lain. Bersinar di balik kegelapan. Menawarkan perlindungan ternyaman yang terpercaya, dahulu, kini dan selamanya. Penantian panjang yang tidak pernah melelahkan. Bukti cinta yang paling nyata meski kadang terabaikan. Guru terbaik untuk tetap mencintai meski terluka berulang kali. Pengajaran sempurna tentang cinta yang utuh. Senyum hangat yang mendamaikan. Tangan yang tak pernah lelah terulur sejak 24 tahun berdirinya asrama kita. Kehangatan yang begitu merangkul dari dalam gua itu terpancar begitu jelas. Seperti mendengar sebuah lagu yang dikirim dari surga. Ibu yang di antara segala ibu. Perempuan yang penuh cinta. Wanita berhati suci. Kau masih juga terisak ketika sudah kusadari ada tempat untukmu pergi, bukan untuk berlari bersama lukamu, tapi untuk mendapatkan apa yang kau butuhkan. Kekuatan untuk melewati semua ini. “Hei Ina, maukah kau berdoa? Lihat, Bunda Maria seperti memanggil kita.” Kau mengangkat wajahmu dan mendapati senyum yang yang sama seperti yang kulihat. Keteduhan yang bisa mendamaikanmu, tenang yang menghangatkan. Kau lalu menatapku, tersenyum dan mengangguk. Adik, bukankah selalu ada tempat untuk kita pergi?
32
33
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Tersesat dalam Angan Semesta Christian Dicky Senda Dalam hutan yang rapat, bunyi hu angin berkelindan dengan pekatnya malam. Bulan telah mati beberapa hari yang lalu. Sesungguhnya tempat itu terlalu ramai dalam kebisuan. Tak kasat memang. Tiga mobil melaju dengan kencang memecah kesunyian hutan. Secara tiba-tiba sebongkah tanah pecah. Sebatang tangan terpancak dengan rosario berkarat di genggaman. Jam setengah sembilan malam. Di dalam hutan, dua belas kilometer dari kota yang mesti berselimut kabut. Sosok itu terbangun. Memuntahkan tanah dan bau anyir. Ia sesungguhnya lelaki berusia seperempat abad, telanjang tanpa lidah dan kemaluan. Rosario berkarat masih digenggam erat. Ia melangkah gontai lalu terjatuh dan pingsan. Tetapi kini ia melayang. Dan tersesat dalam angan-angan semesta yang telah lama menimbunnya dalam ketidakpastian. *** Wisma Embun Mollo nyaris lenyap ditelan kabut. Wisma itu paling besar di kota kecil ini. Dibangun lima tahun setelah kemerdekaan Indonesia oleh Sea A Ging, seorang abener (semacam teknisi bangunan) cina totok yang sangat berpengaruh di Kapan. Ia membangun kantor polisi dan istana raja. Kediamannya di Kampung Cina adalah rumah batu paling mentereng di seantero Mollo pada masanya.
Sedangkan keluarga Naatonis adalah pensiunan tentara KNIL yang baru saja pulang dari Semarang dipercayai oleh raja menjadi pengelola wisma. Beberapa tamu penting dari Jawa, Kupang atau SoE kerap meeting, melaksanakan pesta atau sekedar menginap di wisma yang menawarkan ketenangan alam pegunungan. Juga pelayanan prima yang ditawarkan keluarga Naatonis kepada setiap tamu. Teristimewa mama Naatonis, sosok luar biasa dibalik kesuksesan wisma Embun Mollo. Istri Naatonis ini berdarah Jawa murni dan handal dalam memasak. Ia punya seabrek resep masakan Eropa ataupun cina peranakan. Putri tunggal mereka, Norlintje, sudah belasan tahun menjadi begitu dingin dan tertutup bagi banyak orang. Nor, begitu ia disapa setia mengabdi pada kedua orangtuanya dan demi Daniel putra semata wayangnya. Nor menyimpan sedihnya sendiri, tetapi waktu punya asalan untuk menunjukkan kerapuhannya. Sesungguhnya ia terlalu menghabiskan energi dan memikul sendiri stigma yang dialamatkan padanya, janda muda dari seorang PKI! Suaminya menghilang secara misterius dalam peristiwa ‘bersih-bersih’ di zaman Orba setahun setelah peristiwa Lubang Buaya. Ia menciptakan kerapuhan yang tak wajar pada cerminannya. Nor mewarisi kecantikan yang sederhana paduan Timor dan Jawa. Dan hal itu terlukis satir dengan peristiwa kehilangan suami di usia dua tahun pernikahan. Ia memasak dan mengurus wisma sehebat mamanya sembari mengunci mulutnya rapat. Ia menghempas semua
dendamnya pada dapur nan luas yang kerap beraroma gurih aneka tumisan dan wewangian roti bakar. Ia adalah kertas koyak yang sesekali dijamah disembuhkan oleh resep kuliner yang tertera padanya. Yang ia tulis sendiri bersama catatan harian lainnya. Nasib Norlintje telah mewariskan kegalauan terselubung yang berkelindan di antara rasa sakit dan harum makan malam di atas meja prasmanan tamu. Diantara diam mematikan dan pesta yang tak pernah absen pada akhir pekan. “Nor, bawakan kue lemonade ke teras depan. Pak Nas meminta makanan penutup yang spesial.” “Tapi, Ma...” “Ah, sudah pergi sana. Ojo lali esem yo nduk...”
1
“Ma, beta malu!” “Malu apanya? Ada yang nanyain kamu lho...” Nor mengangkat nampak berisi kue dengan sigap dan agak kesal melewati koridor wisma yang panjang. Di teras depan sana, sang jenderal dan isterinya sedang mengobrol didampingi papa raja dan beberapa tamu dari Kupang. “Sini saya bantu gadis manis..” Hampir saja Nor menumpahkan isi nampan saking kaget. Seseorang menyelinap dari balik pintu ruang tengah, menyodorkan tangan sembari menawarkan senyum terbaiknya. “Oh, maaf nona manis. Saya Adam.
Asisten pribadi pak Nas.” Matanya menyala seperti bintang, dengan sedikit unsur tak bernama yang tiba-tiba merasuk. “Ah, terima kasih. Permisi...” Ah, apakah ia hantu? Nor berlalu meninggalkan pemuda ganteng berbadan tegap yang termengap-mengap menyaksikan dirinya pergi.
*** Di wisma Embun Mollo, kabut adalah penjaga setia bagi setiap penghuninya. Sebab ia memberi sejuta alasan jelas bagi rasa damai bagi siapapun yang singgah. Ia juga bergantung musim yang lewat. Kapan ia membekukan suasana dan kapan ia hanya menyegarkan sekalian memberi gairah bagi tetamu saat menyeruput kopi Mollo atau menyantap apapun yang disuguhkan tuan rumah. Di Wisma Embun Mollo, para tamu datang dan pergi begitu saja. Meninggalkan kesan yang sudah dianggap terlalu umum bagi keluarga Naatonis. Tapi rupanya berbeda dengan tamu kali ini. Pak Nas dan rombongannya. Jenderal besar yang kedatangannya tak diketahui warga kota kecil ini. Memang disengaja. Konon katanya, ia mampir hanya karena penasaran dengan apel amntasa dan kopi Mollo yang digilai para Meneer Belanda. Di ruang tamu wisma, dua jam sebelum kepulangan rombongan Jenderal ke Kupang. Suasana begitu hening. Tak ada kesibukan apapun di dapur. Energi besar rupanya sedang tersedot di
34
35
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
ruang bercat oranye itu. “Adam ini asisten kebanggan saya. Masih perjaka. Keturunan Ambon – Jawa...” Jenderal itu membuka pembicaraan dengan suara berat dan ramah. Ia nampak menghargai keluarga kecil di depannya. “Pagi-pagi benar ketika saya memintanya untuk berkemas, ia membisikan niat luhurnya ke telinga saya. Saya tertawa lebar. Saya bilang, ya sudah kalau memang kamu yakin sama pilihanmu. Silahkan.” Nor merunduk malu diapit ibu dan bapaknya. Di depannya, Adam dengan wajah sumringah terus mencuri-curi senyum malu dari perempuan yang kian merundukkan kepalanya. Tiba-tiba perut pemuda itu disikut sang Jenderal, “Hei, kamu senyum-senyum saja. Yakin ini mempersunting Norlin-tje?” “Siap, yakin, pak!” “Kami sudah mendengar tentang masa lalu dik Nor. Adam juga. Da, tentang masa lalu itu tak ada masalah lagi bagi kami, dengan melihat ketulusan keluarga pak Naatonis menjamu kami dua hari ini.”
sebaik-baiknya. “Kue lemonade buatan Nor enak. Selembut dan semanis dirinya,” puji Adam yang sontak menuai derai tawa seisi ruangan. Nor yang pandai menyimpan ceritanya sendiri selama ini, entah mengapa akhirnya dengan cepat luluh pada lamaran Adam. Mungkin juga kerapuhan yang dicerminkannya telah menarik simpati pemuda hitam manis yang usianya sepuluh tahun lebih muda darinya. Tepat pukul 3 sore, prosesi adat pun dilakukan. Pesta dansa dadakan pun dilakukan hingga pukul delapan malam. Rombongan yang menumpang tiga mobil Fiat meninggalkan Wisma Embun Mollo, membawa serta Norlintje dan putra semata wayangnya Daniel menuju Kupang lalu bertolak ke Jakarta esok paginya. Pak Naatonis dan istrinya menangis. Wisma ini bakal menjadi lebih sepi lagi tanpa hadirnya Nor dan Daniel. Dalam angan Naatonis ada jawaban atas doanya selama ini. Kata-kata sinis ‘janda PKI’ yang hidup belasan tahun itu sudah akan usai. Belum seutuhnya usai. Sebab masih ada yang tersesat dalam angan semesta. Di hutan Netmetan yang hitam.
Jenderal itu berbicara dengan tegas dan menekan suaranya pada kata-kata ‘masa lalu itu’. *** Terlalu cepat embun pagi ini dihisap cahaya matahari. Juga keputusan keluarga Naatonis melepaskan Nor untuk dibawa Adam ke Jakarta. Sungguh cinta yang kilat. Kepada keluarga yang berkumpul, Adam menyatakan ketertarikannya pada kesederhanaan Nor. Rupanya dalam waktu sempit itu Adam telah menggunakan
Pasir Panjang, 2013 Keterangan: jangan lupa senyum
1
Tentang Penulis Lahir Kapan, ibu kota kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, 22 Desember 1986 dengan nama Christianto Senda. Gemar menulis buku harian sejak duduk di bangku SMP. Ketertarikan pada dunia sastra diawali ketika kelas 2 SMP ia diminta guru Bahasa Indonesia untuk menulis puisi yang akan dimuat di majalah dinding sekolah. Ketertarikan terhadap sastra berlanjut ketika duduk di bangku SMA Syuradikara di kota pembuangan Soekarno, di Ende-Flores. Mulai termotivasi untuk menulis cerpen setelah membaca Saman karya Ayu Utami yang dipinjamkan bapak asramanya waktu itu (seorang misionaris SVD). Lantas mulai tergerak untuk menulis puisi dan cerpen dengan nama pena Christian Dicky Senda, sambil menyelesaikan studi psikologi di kota Jogjakarta. Beberapa karyanya sudah dimuat di surat kabar lokal seperti Pos Kupang, Victory News, Jurnal Sastra Santarang (terbitan Komunitas Dusun Flobamora Kupang) dan di blog pribadinya. Tahun 2011 terbit buku puisinya, Cerah Hati (IBC Jogjakarta), cerpen Namaku Mahatma Covalima masuk dalam antologi cerpen Blogger NTT berjudul Keriting (segera terbit), cerpen Kandar versus Kandars, Pekuburan BB Malam Itu dan puisi Kisah dari Assyur, masuk dalam buku antologi cerita alumni-alumni SMAK Syuradikara Ende, 5900 Langkah (IBC Jogjakarta, 2012). Buku kumpulan cerpen pertamanya Kanuku Leon, segera diterbitkan. Aktif bergiat di Komunitas Blogger NTT, Forum Soe Peduli dan Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Tahun 2010, mendirikan forum MudaersNTT Menulis, sebuah forum di dunia maya yang beranggotakan anak-anak muda NTT yang mempunyai minat menulis. Salah satu aktivitas MudaersNTT adalah menulis cerpen dan novel secara estafet di milis. Aktivitas lainnya dalam bidang sastra adalah dengan mendirikan kelompok jurnalisme pelajar di sekolah tempatnya bekerja. Kegiatan kelompok tersebut adalah mengenalkan dan mengajak para siswa SMP untuk aktif menciptakan karya jurnalistik, sastra, fotografi dan film lewat media majalah dinding, majalah elektronik dan blog. Tercatat sebagai satu dari enam penulis Indonesia Timur yang diundang ke even sastra internasional Makassar International Writers Festival di Makassar, Juni 2013. Saat ini lajang yang memiliki hobi nonton film dan memasak ini menetap di Kupang dan bekerja sebagai guru Bimbingan dan Konseling di SMPK St. Theresia Kupang. Bisa berkomunikasi lebih lanjut lewat HP 081338037075/ 085228315722, e-mail:
[email protected], Twitter @ dickysenda dan Blog http://www.naked-timor.blogspot.com.
36
37
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Surat untuk Joanita R. Fahik YOGYAKARTA menjadi kota yang harum. Begitu anggun seperti mempelai keraton yang diarak pada hari pernikahannya. Sebaliknya Kupang menjadi kota yang tak begitu harum lagi. Bahkan begitu memperihatinkan seperti wewangian cendana yang makin jauh dari hidung anak-anak Nusa Cendana, Timor. Mengapa Yogyakarta? Mengapa Kupang? Kau tahu (dan semoga pernah merenungkannya), ibu kota propinsi kebanggaanmu ini beberapa waktu lalu telah dionobatkan sebagai kota terkorup di tanah air dan bekas ibu kota negara tempat belajarmu itu menjadi kota terbersih. Sedih!! Pilu!! Tragis!! Tapi itulah kenyataan yang sudah menjadi pemberitaan di berbagai media, menguak kemunafikan tanah ini seperti daging busuk yang tak bisa menghindar dari penciuman. Joanita terkasih… Lihatlah! Keharuman nusa cendana perlahan direnggut tangan-tangan jahil putra-putri kebanggaannya sendiri. Kalau di zaman penjajahan, kekayaan alam kita diperas habis-habisnya oleh bangsa penjajah, kini anak-anak yang terlahir dari perut bumi tanah ini sendirilah yang melahapnya dengan penuh kerakusan bahkan akirnya martabat kita sebagai bangsa berbudayapun ikut tereunggut. Budaya apakah ini? Korupsi? Tidak!! Hakekat budaya ialah menghormati dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Atau adakah di antara saudara-saudarimu yang lahir dari keturunan tak berbudaya? Hari itu, hari ketika pemberitaan media menjadi sajian panas dan membakar, aku menangis. Bayangkanlah, seorang ayah menangisi
putrinya yang di seberang batas mata. Cukup mengharukan, bukan? Aku terlalu mengingatmu. Aku hanya membayangkan di mana kebanggaanmu sebagai putri Timor di negeri yang padat dengan insan intelektual dari berbagai penjuru mata angin itu. Aku terlalu mengingat derita yang harus kau tanggung akibat ulah beberapa sesepumu di sini. Aku terlalu mengingatmu hingga hampir tak bisa menyadari lagi bahwa air mata yang berlebihan dapat menghalangi pandangan. Kesedihan tak boleh melenyapkan harapan. Joanita terkasih… Aku sungguh tak tahu-menahu tentang sistem birokrasi kita yang sedemikian ketat atau longgarnya hingga para penjahat kantor dengan bebas berkeliaran tanpa beban bahwa rakyatlah yang lebih membutuhkan apa yang mereka curi. Jika sistem birokrasi kita sedemikian ketat, barangkali tak akan ada koruptor. Sebaliknya jika longgar, tak heran akan muncul lebih banyak lagi barisan koruptor di tanah tercinta ini. Tapi ada baiknya jika sistem yang ketat tak memutlakkan ketatnya sistem itu hingga terjadi bahwa orangorang yang terangkum dalam sistem itu sendirilah yang membuat kesepakatan untuk mengambil yang bukan menjadi haknya tanpa memberi ruang
bagi masuknya cahaya pencerahan. Ketat tak berarti harus menutup diri, menutup pintu, jendela, lorong serapat-rapatnya. Karena tak jarang pula kejahatan terjadi dalam ketertutupan. Ini gurauku semata. Sekali lagi, aku sungguh tak tahu- mehanu tentang sistem birokrasi, hukum perputaran roda pemerintahan atau segala macam unsur apapun yang bertalian di dalamnya. Tapi ketika “Kupang Terkorup, Yogyakarta Terbersih” sampai di telingaku, aku masih sempat berbisik, “Mungkin ini saatnya membuka mata. Tak perlu malu-malu mengakui kekurangan dan tak perlu malu-malu pula belajar dari orang lain. Karena memang demikianlah adanya, tak ada kesempurnaan di dunia yang fana ini. Namun berbahagialah mereka yang terus mau bermenung dan berbenah.” Joanita terkasih… Adakah nuranimu pun turut tergugah sepertiku? Juga seperti sebagian besar orang di tanah lahirmu ini. Aku yakin, mereka pun turut merasakan penghinaan dna penderitaan ini. Tapi aku pernah mengatakan kepada beberapa orang, kejujuran itu bukan penghinaan. Ia bahkan sebuah pengakuan yang seharusnya membangkitkan, menciptakan gairah baru yang pada akhirnya mengangkat martabat kita sebagai manusia berbudaya yang punya kelebihan di antara ciptaan-ciptaan Tuhan yang lainnya. Kelebihan itu tak lain ialah anugerah akal budi dan kesadaran yang dengannya kita senantiasa terpanggil untuk berbenah diri menuju hari esok yang lebih cerah. Aku berbahagia jika kesadaran ini mulai perlahan lahir dalam diri kandidat pemimpin kecil ini, putri kebanggaanku. Bahkan lebih baik lagi jika kesadaran ini menjadi milik semua orang, generasi pembaharu, generasi pemberani, generasi sejati. Maka katakanlah kepada saudarasaudarimu, “Sejak saat ini kita sudah punya pekerjaan rumah yang tidak mudah. Kebanggaan
kita seakan perlahan mulai redup oleh beberapa pendahulu. Kesalahan, kekeliruan, dosa mereka adalah warisan yang terpahat di punggung jubah kita. Semua orang membacanya. Adakah buta mata hatimu atau tulikah telinga nuranimu hingga tak mau peduli sama sekali? Kita turut bertanggung jawab atas redupnya reputasi tanah ini. Kita mesti kembalikan kebanggaan yang telah redup itu. Tunjukkan bahwa kita orang-orang berbudaya.” Namun jika ada yang mengelakmu, seperti segelintir orang di sini, “Ah, itu hanya kabar angin. Itu lelucon. Itu rekayasa semata yang hanya mau menjatuhkan reputasi tanah kita. Tak ada barisan koruptor di sini. Semua orang di sini bersahabat. Lihatlah, rakyat kita perlahan makmur, bukan? Hak mereka tak pernah dirampas oleh siapapun.”,- katakan kepada mereka, “Jangan lupa bahwa pembelaan diri tak jauh dari kebohongan dan penilaian orang lain atas diri kita adalah sebuah anugerah. Bahwa Yang Maha Tahu sedang bertindak atas diri kita, Ia sedang melaksanakan misi cinya-Nya, merangkul dan menyelamatkan kita. Namun jika ini terlampau jauh dari pandangan dan kalian menganggap pikiranku hanya melayang-layang, cukuplah ingat bahwa sejak kecil kita diingatkan bahwa pisau bisa melukai, api bisa membakar dan air bisa menghanyutkan. Bukankah sangat penting sebuah pendampingan dan tak jarang peringatan dalam proses pendewasaan? Kita pun sedang berada dalam proses agung itu.” Joanita terkasih… Belajarlah yang serius tentang berbagai ilmu. Tapi tolonglah sedikit belajar juga tentang rahasia keagungan Yogyakarta. Apa yang mengangkat martabatnya? Lalu katakan kepada orang-orangmu di sini tentang rahasia itu. Bukan tidak mungkin, itu adalah salah satu jalan terbaik untuk mengembalikan kebanggaan dan martabat kita yang redup. Aku menantangmu sebagai
38
39
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
generasi pembaharu. Buktikan bahwa kalian adalah generasi baru. Cukuplah malapetaka yang menimpa tanah ini. Jangan lagi menambah barisan koruptor di tanah suci ini. Bukankah kita punya agama? Dan agama manakah yang mengajarkan spiritualitas korupsi? Adakah engkau seorang pemimpin masa depan? Pemimpin sejati? Ingatlah selalu bahwa pemimpin sesungguhnya pelayan. Pemimpin yang bukan pelayan tak lebih dari kepala perampok dan perompak yang hanya menyerukan pekik kekerasan dan pemerasan bukan untuk kepentingan banyak orang tetapi hanya uintuk kepentingannya dan sebagian kecil untuk orangorang yang mencium kakinya. Keterlaluan!! Sungguh keterlaluan jika seorang pemimpin yang punya kekayaan intelektual harus disamakan dengan para penjahat yang hanya punya kekayaan nafsu dan keserakahan tanpa kemanusiaan. Adakah engkau pemimpin masa depan? Pemimpin sejati? Cukupilah dirimu dengan apa yang menjadi hakmu dan berikan kepada masyarakat apa yang menjadi hak mereka. Bukanlah semuanya sudah diatur secara mulia dalam sebuah undang-undang? Lalu kenapa kemuliaan itu harus kau nodai dengan kerakusan? Joanita terkasih… Adakah kata-kataku ini terlampau keras dan tak bersahabat? Atau sudah berada di luar jalur kebenaran? Jika engkau merasa demikian, kuburlah gairahmu untuk menjadi seorang pemimpin masa depan. Sebab kau hanya akan menambah barisan koruptor di tanah tercinta ini. Sekarang bangunlah dari dudukmu. Sudahi pembacaan surat usang ini. Tapi bukan dengan katakutan atau malah kebencian terhadapku. Jika kau membacanya pada malam hari, pandanglah ke luar. Ada bintang-bintang cantik mengundangmu tersenyum bersama
bulan. Itulah rahasia kebangkitan; selalu punya harapan dalam kemalangan sekalipun. Jika kau membacanya di pagi hari, pandanglah matahari pagi yang terbit itu. Bukankah begitu agung? Ia mengundangmu untuk turut menerangi dunia dengan cahaya kebijaksanaan. Jika kau membacanya pada siang hari, ingatlah bahwa sengatan mentari mengajakmu untuk menghangatkan dan membakar dunia dengan spiritualitas cinta. Dan jika kau membacanya pada sore hari, jangan biarkan kesadaranmu turut terbenam dalam kegelapan. Joanita terkasih… Sampaikan salamku untuk sanak kerabatmu di kota agung itu. Sesungguhnya tidak sedikit pemimpin kita yang pernah belajar di kota itu. Tapi sayang, barangkali mereka baru hanya belajar tentang ilmu dan bukan rahasia keagungan kota itu. Kini, tugas kalian untuk meraihnya. *) cerpen ini pernah diterbitkan dalam Pos Kupang dengan judul ”Dua Kota”. Cerpen ini juga masuk dalam 10 besar Lomba Menulis Cerita Remaja (CERMA) tahun 2010 yang diselenggarakan Mingguan Minggu Pagi Yogyakarta. Cerpen ini masuk dalam nominasi (10 besar) cerita pedek majalah Minggu Pagi Yogyakarta tahun 2010.
Tentang Penulis R. Fahik, lahir di Betun (Malaka), Timor - NTT, 5 Juni 1985. Lulusan S1 Fakultas Filsafat Agama Unika Widya Mandira Kupang, tahun 2009 dengan skripsi berjudul “Agama : Ekspresi Dimensi Kedalaman Manusia Perspektif Kahlil Gibran”. Penulis juga lulusan S2 Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta tahun 2012 dengan judul tesis ”Strategi Coping Siswa Seminari”. Debut kepenulisannya dimulai sejak di bangku SMU dengan menulis berita, artikel, puisi, cerpen, dan cerber pada majalah BERKAT. Tahun 2003 meraih juara pertama dalam sayembara karya ilmiah remaja populer antar SMU se-kabupaten Belu dan TTU-NTT. Tahun 2004 mulai menulis naskah drama pada radio Komsos Keuskupan Atambua. Tahun 2005 mulai menulis feature, puisi dan cerpen di surat kabar harian Pos Kupang NTT. Tulisannya berupa puisi, cerpen dan artikel-pun mulai muncul di majalah rohani Carmelo, Buletin Logos, Veritas, dan Maranatha. Sejak tahun yang sama puisi dan cerpennya mulai dibacakan di radio Tirilolok-Verbum Kupang. Tahun 2006 bersama beberapa rekan mendirikan sanggar kreasi tulis menulis di kampusnya (menjadi ketua). Cepennya ”Surat Untuk Joanita” masuk dalam Cerma Unggulan Minggu Pagi (MP) Yogyakarta (2010). Pernah bergabung dalam komunitas sastra “Rumah Poetica” Kupang (2008), menjadi redaktur dan wartawan pada tabloid Fortuna NTT (2008-2009). Tahun 2013 (Agustus) diundang untuk menghadiri Temu I Sastrawan NTT di Taman Budaya Kupang. Puisinya berjudul Malaka, dan beberapa puisi lainnya masuk dalam buku Senja di Kota Kupang (Antologi puisi sastrawan NTT) yang diterbitkan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTT (2013). Cerpennya Lilin Paskah Untuk Juan dan Ketiga Temannya, juga masuk dalam buku Kematian Sasando (Antologi cerpen sastrawan NTT) yang juga diterbitkan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTT (2013). November 2013, penulis mendapat kepercayaan dari Kantor Bahasa NTT untuk mewakili NTT dalam kegiatan ”Pemberdayaan Masyarakat (Pamong Bahasa)” di Bogor, yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan. Novel pertamanya Badut Malaka terbit di Yogyakarta tahun 2011 (Cipta Media). Novel Likurai Untuk Sang Mempelai yang terbit tahun 2013 ini adalah novel kedua R. Fahik yang juga terbit di Yogyakarta (Cipta Media). Kini ia tetap menulis sambil melewatkan hari-harinya di kampus bersama mahasiswa yang ia banggakan. Kontak email:
[email protected]. Telpon: 085253368008. Blog: http:// robertusfahik.blogspot.com.
40
41
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Tentang Nasi yang Tidak Basi
berpikir dalam benaknya masing-masing, mencari asal muasal kemarau yang tak kenal ampun.
dicincang dan tulang belulangnya terbiar bersama darah yang menggenang.
Fransiska Eka
Dosa!
Warga puas. Penyebab kutuk telah ditebas.
Rupa-rupa kesialan biasanya dicetuskan oleh dosa – demikianlah isi logika purba. Alih-alih mencari jalan keluar, seluruh warga kampung dibawah pimpinan tuan tanah yang dalam bahasa ibu mereka diberi pangkat Mosalaki, sibuk bermusyawarah menentukan siapa yang bersalah.
Beberapa pekan lewat - hujan tak kunjung datang. Terbiuslah para warga dalam litani sesal ;
Dia tak mau lagi makan nasi. Bukan karena nasi bisa basi. Jagung bisa basi. Ubi bisa basi. Tapi, karena memakan nasi serupa memakan tubuh seorang manusia lain. Ih, jijik. Selama tujuh hari terakhir, setiap jam makan tiba, entahkah itu malam, siang atau pagi paling buta, ia selalu siaga menatap mulut yang mengunyah nasi seolah makanan itu adalah makanan paling nikmat sedunia. Apa yang menjadikannya nikmat? Rasa atau kebiasaan? Sekali waktu ditanyakannya pertanyaan itu kepada ibunya – perempuan yang selalu lantang mengaku kalau dirinya banyak berpikir. Dari urusan presiden yang menerima penghargaan di Amerika sampai kampanye hitam ala calon pemimpin yang kalah, tak luput dia komentari. “Ya karena rasa... Kau ini punya otak, tapi, pakai tidak?” Dia punya otak dan justru itulah mula masalahnya. Pikirannya berlari-lari sendiri menembusi ruang imajinasi. Kalau cuma sekedar melewati ruang dan waktu, barangkali ia tak jadi seperti ini ; tak mau makan nasi. “Kita kan bukan kanibal!” geramnya sengit ketika dipaksa makan nasi. “Heh, omong saja kau mau makan roti. Sok bule kau. Pakai bawa istilah yang saya tidak mengerti. Makan roti. Habis roti, masih ada jagung. Habis jagung masih ada ubi. Kalau semuanya habis, silahkan kau cari tempat lain untuk mati. Jangan di rumah sini. dua puluh, kepala dua, bertingkah macam anak kecil. ”
*** Konon, disebuah desa bernama Monikuru dalam wilayah suku Lio, hidup dua bersaudara bernama Bobi dan Nombi. Keduanya yatim piatu pun tunawisma. Tak diceritakan, memang, bagaimana asal muasal keduanya menjadi tak berayah dan tak beribu. Sebagaimana biasa, selalu ada ketidakjelasan yang jarang dipertanyakan dalam sebuah mitos. Demi menyambung hidup, Bobi dan Nombi menjadi pengemis. Berjalan kesana kemari dengan wajah penuh harap akan belas kasih. Bisa jadi Bobi, sang lelaki, memakai ragi compangcamping. Sementara Nombi, sang perempuan, memakai lawo lusuh. Apakah mereka bahagia? Jangan kau tanya. Mitos tak berkata terang jelas soal apakah mereka bahagia. Kau yang menilai sendiri, apakah tokoh-tokoh dalam mitos ini bahagia atau berduka. Jangan lupa, ukuran bahagia tak punya standar baku seperti jurnal ilmiah,bukan? Maka, gunakanlah rasa. Ketika melihat kedua yatim piatu itu, hati seorang janda bernama Ndoi jatuh iba. Diangkatlah keduanya menjadi anak, dan, diberi kasih sayangnya yang penuh sebagai seorang ibu selama bertahun-tahun hingga keduanya menjadi perjaka dan dara. Tibalah sebuah musim kemarau yang panjang di kampung ketika Bobi dan Nombi melewati masa pubertas. Kemarau yang panjang melahirkan ancaman bencana kelaparan bagi warga. Tak tahan dengan ancaman kelaparan, warga mulai
Nama Bobi dan Nombi menyeruak ke permukaan, sebab, dosa paling berat yang sanggup membuat kemarau tak kunjung terusir adalah persetubuhan saudara sedarah. Tak ada kandidat yang lebih tepat selain yatim piatu yang terbiasa hidup liar. Peran keibuan Ndoi, si janda, diabaikan begitu saja oleh sebuah tatanan bernama masyarakat. Bisa kau bayangkan, si Janda Ndoi, menangis memohon iba demi anak-anak yang dikasihinya. Boleh kau bayangkan pula penolakan manusia-manusia yang terkejar oleh ancaman kelaparan dan butuh keselamatan dengan cara memutus mata rantai penyebab kutukan kemarau ; dosa persetubuhan sedarah. Kesepakatan diambil. Bobi dan Nombi mesti ditangkap dan dihabisi. Namun, entah mengapa, kedua bersaudara itu tiba-tiba menghilang seperti ditelan rahim bumi pertiwi. Warga terpaksa menahan hasrat untuk memperoleh selamat, hingga beberapa hari kemudian keduanya ditemukan di lereng gunung Keli Nida. Tanpa menunggu abaaba, serempak keduanya dikejar seperti babi hutan. Bukan hanya oleh tubuh dan ruh sesama, namun juga marah yang mewujud parang dan panah. Tak kuasa melawan senjata tajam, keduanya menyerah dengan bersimbah darah. Tanpa menimbang rasa, segera, keduanya dipaksa mendaki ke puncak gunung Keli Nida, lalu dihabisi. Tubuh keduanya
Duhai, ternyata darah yang tertumpah adalah darah orang benar. Celakalah kita! Apakah kita perlu mengetuk pada liang rahim ibu Bumi agar darah keduanya tidak ditanggungkan atas anak dan cucu kita? Celakalah kita jika tubuh keduanya bangkit dan menuntut balas! Dengan tergesa-gesa, dipimpin Mosalaki, mereka daki puncak gunung tempat dua bersaudara itu dibunuh. Tiada bekas tubuh dan darah disana. Yang didapati adalah tanaman asing serupa ilalang. Yang menjadi pembeda adalah tanaman tersebut berbulir lebat, kuning dan matang. Demi melepas penasaran, warga sepakat memetik bulir – bulir tersebut untuk dibawa ke kampung. Setelah dikupas oleh dua warga bernama Ndale dan Sera, segera tampak bahwa isi dari bulir tersebut adalah biji-bijian berwarna merah dan putih. Merah sebagai jelmaan darah Bobi dan Nombi. Putih untuk sebagai jelmaan daging Bobi dan Nombi. Warga berunding lagi. Mestikah mereka coba memakan biji-bijian merah putih, darah dan daging yang secara cuma-cuma ditawarkan? Bukankah, bisa jadi, biji-bijian itu adalah perangkap balas dendam dari Bobi dan Nombi? Selalu ada jutaan kebisa-jadian, dan balas dendam adalah kemungkinan yang tak boleh diabaikan. Sebab, darah yang tertumpah adalah darah tanpa salah. Sepakat dirumuskan. Agar tak menimbulkan kerugian, dititahkan oleh Mosalaki, bahwa yang mesti mencoba panganan baru adalah seorang
42
43
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Liputan Budaya janda bersama Pare. Alasannya sederhana, tak akan ada yang menuntut kematiannya kalau bijibijian yang dia santap ternyata adalah racun. Perhatikan, betapa janda adalah kaum tertolak – hidup tanpa keluarga, dan mati secara tak adil pun tak jadi masalah. Ah! Pare menyanggupi dengan syarat yang mesti dipenuhi warga. Ia tak mau kematiannya tidak meninggalkan kesan bagi dirinya sendiri. Maka, dimintanya biji-bijian itu disajikan dalam jumlah sebanyak mungkin. Kalau mati, paling tidak ia mati dalam keadaan kenyang! Permintaan disanggupi. Segera, segenggam demi segenggam Pare mencicipi jenis panganan baru. Warga yang menyaksikan, bersama Mosalaki, larut dalam suasana menunggu kejut. Matikah Pare, atau, hidupkah dia? Dua genggam. Tiga genggam. Empat genggam. Pare tak berwajah lesu bagai orang yang akan segera menjumpai maut. Rautnya malah menunjukkan senang. Ia puas sebab kenyang! Tak puas dengan si janda Pare yang ternyata selamat, Mosalaki memberikan titah agar seorang janda lainnya bernama Wole menyantap biji-bijian yang sama. Adegan yang sama berulang. Wole makan dengan raut senang, dan berhenti setelah kenyang. Warga kampung dan mosalaki akhirnya turut mencoba panganan baru. Jadilah, biji-bijian itu ditahbiskan menjadi makanan utama warga kampung pada hari-hari berikutnya, hingga diwariskan kepada anak cucu, masyarakat Lio di hari ini. *** “Ih, saya rasa menjijikkan sekali kalau kita makan nasi.” Dia mencibir ketika melihat nasi putih
terhidang di meja makan bersama tumisan daun pepaya yang pahitnya selangit! Setiap melihat tumisan daun pepaya, ia selalu teringat frasa ‘sayuran pahit’ pada upacara Paskah orang Yahudi, meski di meja makannya tak ada anak domba jantan yang disembelih. Jenis sayur boleh berbeda, tapi rasa pahit selalu sama di lidah. Selada liar dan daun pepaya, pahitnya bisa disejajarkan bukan ?
PRAILIU Prailiu, sebuah kampung adat yang terletak di sebelah timur kota Waingapu Sumba Timur adalah satu dari sekian banyak kampung adat yang ada di pulau sumba, namun salah satu keistimewaan dari kampung adat Prailiu adalah lokasinya yang berada di dalam kota, sehingga mudah dijangkau, bahkan posisinya pun tak jauh dari bandar udara Umbu Mehang Kunda Waingapu Kabupaten Sumba Timur.
“Kenapa kau ini? Mau makan roti supaya sok bule lagi?” Ketus sekali ibunya berucap. “Roti juga dari gandum! Makan roti sama dengan makan nasi. Apa beda kita dan bule ? ” “Jadi masalah kau apa? Diet?” Sesungguhnya ibunya tak berniat melotot, namun keinginannya menyelidik selalu berjodoh dengan pupil mata yang ingin meloncat keluar dari kelopak. “Jadi begini... Kalau kita makan nasi, sama seperti kita makan daging dan darah Bobi dan Nombi... kita ini kan bukan kanibal!” “Hahaha...” Ibunya tertawa keras sekali. Perempuan yang selalu lantang mengaku kalau dirinya banyak berpikir itu mengakhiri tawanya dengan bisikan mesra ; “Ah, mengapa imajinasimu selalu bertunangan dengan ketidakmasuk-akalan, anakku?” (*)
Penulis berdomisili di Ende. Saat ini bekerja di Universitas Flores sebagai staf pada Lembaga Publikasi Universitas Flores. Beberapa kali menulis cerita pendek untuk dimuat di harian Pos Kupang dengan nama pena Jingga Clarita dan jurnal Santarang.
Foto Bersama di Rumah Adat Sumba (Kepala Kantor Bahasa NTT, Ibu Tamu Rambu Margaretha, Sarah E. Hobgen, dan Umbu Ndjurumanna)
Seperti kampung adat pada umumnya, Kampung adat Prailiu masih mempertahankan kekhasan budayanya, dan semuanya itu tampak dalam bangunan rumah yang masih mempertahankan bentuknya yang tradisional, serta bentuk kuburan yang masih kuat dengan unsur megalitiknya. Salah satu hal yang juga menarik adalah sebagian besar masyarakat Kampung adat Prailiu pada umumnya bisa membuat tenun ikat, bahkan dalam proses pembuatannya tenun ikat tidak mengenal batasan usia maupun jenis kelamin, dan hal itu tampak dalam pembagian tugas yang merata, seperti kaum lelaki bertugas mencari bahan-bahan tenun dan pewarna yang diambil dari alam, dan kaum wanita yang menenunnya. Namun untuk kalangan wanita menenun adalah sesuatu yang wajib.
44
45
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Liputan Budaya Seperti kehidupan raja-raja di sumba pada umumnya, di Kampung adat Prailiu pun masih mengenal tingkatan atau strata dalam kehidupan sosialnya, namun di era yang modern ini strata yang ada tidak dijadikan sebagai pembeda dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan masyarakatpun berkembang seiring dengan pola pikir mereka yang sudah mengutamakan pendidikan sebagai prioritas utama dalam kehidupan sosial mereka. Kesadaran akan pendidikan yang sudah ditanamkan Raja Prailiu Alm. Tamu Umbu Ndjaka terbukti dari kedelapan anaknya yang semuanya menyelesaikan bangku pendidikan sampai pada tingkat sarjana. Bahkan kesadaran akan pentingnya pendidikan tidak hanya berhenti pada keturunan raja, tapi juga ditularkan kepada masyarakat yang ada pada kampung adat Prailiu. Ibu Tamu Rambu Margaretha yang merupakan isteri dari Raja Prailiu Alm. Tamu Umbu Ndjaka,
Liputan Budaya bersama putranya Umbu Ndjurumanna dan menantunya Sarah E. Hobgen mengakui bahwa kesadaran akan pendidikan yang diwariskan Alm. Tamu Umbu Ndjaka sangat berpengaruh positif bagi kehidupan di Kampung adat Prailiu, hal ini terbukti saat putra-putri daerah tersebut yang kembali ke kampung adat Prailiu untuk membangun kampung adat itu menjadi lebih baik seusai mereka mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Pemikiran-pemikiran yang membawa perubahan pun muncul dari mereka yang telah menyelesaikan pendidikannya di luar, misalkan dari seorang putra kampung adat Prailiu yang kini seorang arsitek telah memberikan inovasi terbaru dalam proses penggalian, pemotongan, dan pengakutan batu kubur yang dahulunya dilakukan secara manual sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama, namun sekarang sudah bisa dilakukan dengan teknik yang lebih modern tanpa harus menghabiskan waktu yang lama.
Dalam bidang pariwisata budaya pun muncul pemikiran yang cemerlang, seperti pemikiran dari Umbu Ndjurumanna dan isterinya Sarah E. Hobgen yang merupakan penggagas untuk membangun penginapan di dalam perkampungan adat untuk menarik wisatawan datang dan menginap, tapi dengan konsep homestay, di mana para wisatawan yang menginap tidak dikasih batasan dengan rumah raja dan kehidupannya, tapi sebaliknya bisa menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Prailiu. Selain itu, hasil tenun ikat masyarakat Prailiu lebih diutamakan untuk dijual di dalam kampung adat itu sendiri saat wisatawan berkunjung. Semua pemikiran ini muncul sematamata agar saat para wisatawan yang berkunjung di kampung adat Prailiu itu pulang, mereka tidak sekadar membawa pulang tenun ikat sumba atau foto-foto dan cerita tentang sumba, tetapi lebih dari itu mereka membawa pulang semua pengalaman dan ingatannya tentang sumba dan budayanya. Kampung adat yang terdiri dari 70 kepala keluarga ini merupakan sebuah kampung adat dengan pola pikir modern, tapi yang tetap mempertahankan adat dan budayanya yang merupakan kekayaan dan warisan berharga bagi generasi mereka. Melalui kesadaran akan pentingnya pendidikan, mereka berhasil membuktikan bahwa pendidikan pada hakikatnya tidak bertentangan dengan adat dan budaya, tapi sebaliknya dengan pendidikan, kampung adat Prailiu berhasil bertahan di tengah arus kehidupan modern, dengan tetap mempertahankan jati dirinya sebagai sebuah kampung adat. (iwa).
Foto bersama keluarga raja Prailiu
Proses tenun ikat yang dilakukan kaum wanita (Rambu) di Prailiu)
Hasil tenun ikat yang siap dijual Foto Bersama Umbu Ndjurumanna, ibu Tamu Rambu Margaretha, dan Sarah E. Hobgen di kuburan Raja
46
47
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan 2013 di Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Timur. Acara ini diikuti oleh 100 orang peserta baik dari sastrawan, wartawan, penulis, kritikus sastra dan pecinta sastra. Acara perdana ini mendatangkan sastrawan besar NTT yaitu Gerson Poyk dan sastrawan nasional Ahmadun Jose Herfanda sebagai narasumber. Hadir pula narasumber yang lain, seperti Frans Sharong perwakilan wartawan Kompas di NTT, Yohanes Sehandi penulis buku “Sastrawan NTT dari masa ke masa”, Amanche Franck sastrawan muda yang menciptakan karya-karya unik yang digemari masyarakat saat ini, Imelda Olivia Wisang dosen Dosen Universitas Flores, Alfred Dama (Redaktur Budaya Pos Kupang). Moderator dalam acara ini, yaitu sastrawan Mezra E. Pellondou, Mario F.Lawi, Tony Kleden (AFB TV) dan Usman D. Ganggang sastrawan dari NTB yang hadir ke acara ini.(es).
Foto Bersama Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT, Sekretaris Dinas PPO Provinsi NTT, Permerhati Sastra NTT, Narasumber Temu I Sastrawan NTT dan Para Sastrawan NTT Pembukaan Temu I Sastrawan NTT (dari kiri ke kanan) Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT (M. Lutfhi Baihaqi, S.S., M.A.), Sastrawan Senior (Gerson Poyk), dan Sekretaris Dinas PPO Provinsi NTT (Johanis Mau, S.Sos., M.M.)
Perkembangan sastra di NTT belakangan ini mulai semarak lagi dengan munculnya karya-karya sastra, baik di media massa lokal maupun berupa buku terbitan seperti antologi puisi dan novel. Namun perkembangan itu belum diapresiasi dengan baik oleh generasi muda. Hanya segelintir generasi muda yang tertarik mengapresiasi karya sastra dan bergeliat dengan dunia sastra. Padahal, membaca karya sastra sama artinya dengan memahami kehidupan. Di dalam karya sastra sering tercermin aneka ragam kehidupan, baik menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, manusia dengan dirinya sendiri, dan manusia dengan lingkungannya. Sementara itu, Provinsi NTT yang tumbuh tanpa tradisi tulis ini telah melahirkan juga sastrawan-sastrawan besar seperti Gerson Poyk, Umbu Landu Paranggi, kritikus besar
seperti Ignas Kleden dan Dami N. Toda. Generasi berikutnya bermunculan seperti Maria Matildis Banda, Mezra E. Pelondou, dan lain-lain. Sayangnya perkembangan sastra yang muncul semarak belakangan ini hanya terdengar di tingkat daerah. Di tingkat nasional sangat sedikit yang mengenal sastrawan dari NTT. Banyak faktor yang menyebabkan sastrawan dari NTT kurang terkenal, salah satunya adalah kurangnya publikasi yang menasional. Selain itu, isu tentang sastra NTT yang muncul adalah kurangnya peran pemerintah daerah dalam mendorong apresiasi terhadap karya sastra. Isu yang lain adalah kurangnya kritik sastra terhadap karya sastra NTT, local genius sastra NTT dan minat generasi muda akan karya sastra. Bertolak dari hal-hal di atas Kantor Bahasa Provinsi NTT mengadakan Temu I Sastrawan NTT tahun 2013 pada tanggal 30—31 Agustus
Foto Bersama Para Sastrawan NTT dan Panitia Temu I Sastrawan NTT
Pembacaan rekomendasi Temu I Sastrawan NTT oleh Tim Perumus dan disaksikan oleh seluruh peserta Temu I Sastrawan NTT Tim Perumus: 1. M. Luthfi Baihaqi, S.S., M.A. 2. Gerson Poyk 3. Amanche Franck 4. Mezra E. Pellondou, S.Pd., M.Hum. 5. Drs. Yohanes Sehandi, M.Si. 6. A.G. Hadzarmawit Netti
48
49
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan
TEMU I SASTRAWAN NTT
Info Kegiatan
Putusan: 1. Sastrawan NTT perlu memperoleh perlindungan hak cipta, kebebasan berekspresi, dan penghargaan yang baik dari masyarakat. 2. Kritik sastra NTT perlu disebarkan sehingga masyarakat dapat mengetahui kelemahan dan kekuatan karya sastra NTT 3. Karya sastra NTT yang bermutu diupayakan bisa dimasukkan dalam kurikulum di dunia pendidikan. 4. Apresiasi sastra masyarakat luas perlu diberdayakan, antara lain melalui pengembangan komunitas sastra. 5. Untuk peningkatan apresiasi masyarakat terhadap sastra NTT, penerbitan karya sastra perlu digalakkan. 6. Pemasyarakatan sastra tidak hanya dilakukan dalam masyarakat Indonesia, tetapi juga masyarakat dunia. Oleh karena itu penerjemahan karya sastra NTT ke dalam bahasa internasional perlu digalakkan. 7. Pemasyarakatan sastra NTT di tingkat nasional dan internasional dapat dilaksanakan dengan mendorong keikutsertaan dan penampilan sastrawan, kritikus, tokoh sastra NTT dalam pertemuan-pertemuan nasional dan internasional. 8. Pelaksanaan temu II sastrawan NTT Tahun 2015 direncanakan dilaksanakan di Kota Ende.
Peningkatan Mutu Penulisan Karya Ilmiah dan Mutu Pembelajaran Bahasa Indonesia
Info Kegiatan
Info Kegiatan
RUMUSAN HASIL TEMU I SASTRAWAN NTT Diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTT di Taman Budaya Provinsi NTT, Kupang Tanggal 30—31 Agustus 2013
Info Kegiatan
Pembukaan kegiatan peningkatan mutu penulisan karya ilmiah bagi guru
Rekomendasi 1. Pemerintah Provinsi NTT dan pemerintah Kabupaten diharapkan ikut bersama-sama mengembangkan sastra NTT dengan memberi ruang para sastrawan untuk berekspresi, berkarya melaui penerbitan-penerbitan. 2. Pemerintah Provinsi NTT dan pemerintah kabupaten diharapkan ikut mendorong keiikutsertaan dan penampilan sastrawan, kritikus, tokoh sastra NTT dalam pertemuan-pertemuan nasional dan internasional. Kupang, 30—31 Agustus 2013 TIM PERUMUS TEMU I SASTRAWAN NTT 1. Drs. Yohanes Sehandi, M.Si. 2. Mezra E. Pellondou, S.Pd., M.Hum. 3. Gerson Poyk 4. A.G. Hadzarmawit Netti 5. Usman D. Ganggang 6. M. Luthfi Baihaqi, S.S., M.A. 7. Amanche Franck
Para peserta kegiatan peningkatan mutu penulisan karya ilmiah bagi guru
Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan kegiatan peningkatan mutu penulisan karya ilmiah bagi guru bahasa Indonesia. Kegiatan ini berlangsung di hotel Romyta Kupang, tanggal 12—13 September 2013. Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Dinas PPO kota Kupang, Drs. Jerhans Ledoh. Tampil sebagai narasumber adalah Dra. Yeyen Maryani, M.Hum., Dr. Fairul Djubaidi, Drs. Maryanto, M.Hum. Pada kesempatan itu disampaikan juga sosialisasi kurikulum 2013 (pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks). Kegiatan ini dihadiri oleh 120 guru dari jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang ada di kota Kupang.
50
51
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan Sebagai kelanjutan dari kegiatan ini, Kantor Bahasa Provinsi NTT, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan kegiatan peningkatan mutu pembelajaran bahasa Indonesia bagi guru SMP/ SMA. Kegiatan ini dilaksanakan di aula Dinas PPO Kabupaten Kupang, tanggal 14 dan 16 September 2013. Kegiatan ini menghadirkan narasumber M. Luthfi Baihaqi, S.S., M.A., Dr. Fairul Djubaidi, dan Drs. Maryanto, M.Hum. Pada kegiatan ini disampaikan juga sosialisasi kurikulum 2013 (pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks), dan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) bagi guru-guru yang hadir.
Info Kegiatan Kongres Bahasa Indonesia X Penguatan Bahasa Indonesia di dunia Internasional Catatan Mezra E. Pellondou, S.Pd., M.Hum.
Info Kegiatan
Kongres Bahasa Indonesia X (KBI X) yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 28-31 Oktober 2013 bertema Penguatan Bahasa Indonesia di dunia Internasional. Tema besar itu dijabarkan ke dalam beberapa pokok bahasan yang mencakupi bahasa, sastra, media massa serta pembelajaran bahasa Indonesia di Indonesia maupun di kelas-kelas Bahasa Indonesia di sekolah luar negeri bahkan pembelajaran bahasa Indonesia pada orang asing. Topik dalam pokok
bahasan-pokok bahasan mengangkat masalah kontekstual dengan upaya penguatan Bahasa Indonesia di dunia Internasional, baik dalam konteks pendidikan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun dalam konteks, ekonomi, budaya dan pariwisata yang memang telah dilakukan bangsa Indonesia selama ini. Semua pokok bahasan berfokus pada topik penguatan Bahasa Indonesia di dunia Internasional dan hal nyata yang didiskusikan adalah diplomasi kebahasaan sebagai upaya penguatan jati diri dan pemartabatan bangsa menuju seabad bahasa Indonesia.
Para Narasumber pada kegiatan peningkatan mutu pembelajaran bahasa Indonesia bagi guru SMP dan SMA di Kabupaten Kupang
Acara pembukaan peningkat mutu pembelajaran bahasa Indonesia bagi guru SMP dan SMA di Kabupaten Kupang Pembukaan Kongres Bahasa Indonesia X oleh Menteri Pendidikan Muh.Nuh di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Indonesia
52
53
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Sembilan dari 135 Makalah Menelaah Bahasa Indonesia dengan Perspektif Negatif
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Banyak pelajaran penting dan menarik dapat kita petik dari KBI X ini, dan karena sebagian besar yang hadir adalah guru dan dosen bahasa Indonesia maka tulisan saya ini tidak berniat melakukan resume terhadap 135 makalah yang didiskusikan pada KBI X tersebut, namun saya lebih mengupas materi-materi yang berkaitan dengan diplomasi bahasa Indonesia lewat budaya, sastra dan pembelajaran bahasa Indonesia. Pelajaran penting yang didapat adalah Sudah Siapkah Guru Bahasa Indonesia Menghadapi Penguatan Bahasa Indonesia di dunia Internasional? Para undangan dan peserta Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Indonesia
Dalam KBI X ini dihadiri oleh 1.668 peserta dan disajikan sekitar 135 judul makalah yang merupakan makalah dari peserta undangan atas permintaan panitia KBI X berdasarkan pertimbangan ketokohan, kepakaran, keahlian, pengalaman, serta kemampuan membahas topik yang ditetapkan. Terdapat pula makalah swakarsa, atas inisiatif peminat, serta makalah peserta dari mancanegara. Makalah-makalah tersebut disajikan dalam sidang pleno tunggal maupun sidang kelompok serta diskusi panel. Peserta KBI X diperkirakan berjumlah seribu lebih orang terdiri atas peserta undangan dan peserta biasa yang berasal dari berbgai kalangan seperti guru, dosen, tokoh masyrakat, mahasiswa, komunitas sastra, budayawan, peminat bahasa dan sastra, wakil organisasi profesi dari dalam maupun luar negeri.
Hal menarik yang perlu dicermati bahwa berkaitan dengan tema Penguatan Bahasa Indonesia di dunia Internasional, hasil telaahan Aminudin Aziz Guru Besar Linguistik Universits Pendidikan Nasioanl terhadap 135 makalah dalam KBI X, terdapat 9 makalah melihat penguatan bahasa Indonesia di dunia Internasional dari perspektif negatif. Sedangkan sisanya melihatnya dari pandangan positif saja, “Bagi saya, melihat Bahasa Indonesia dengan perspektif yang positif saja adalah salah karena sesungguhnya kondisi bahasa Indonesia, termasuk didalamnya pemakai bahasa Indonesia telah sangat memprihatinkan. Jika ingin mengembalikan martabat bahasa Indonesia sebagai upaya penguatan bahasa Indonesia di dunia Internasional maka kita perlu melihat keprihatinan-keprihatinan yang telah ada untuk segera membenahinya menjadi lebih baik” kata guru besar Aziz yang juga pernah menjabat sebagai kepala Pusat Bahasa tersebut.
Potensi Kepunahan Sangat Kuat, Upaya Pemertahanan Sangat Berat Hasil telaah Aminudin Aziz terhadap makalah-makalah KBI X yang memandang Bahasa Indonesia dari perspektif negatif menyimpulkan bahwa potensi kepunahan terhadap Bahasa Indonesia bisa saja akan terjadi jika setiap orang Indonesia, baik yang berada di Indonesia maupun di negeri asing tidak lagi memakai bahasa Indonesia dengan baik. Penggunaan bahasa Indonesia di negara Indonesia saja, telah cukup memprihatinkan dibandingkan bahasa asing, merupakan sinyal bahwa upaya pemertahanan sangat berat bagi bahasa Indonesia. Dengan demikian salah satu jalan keluar adalah setiap orang Indonesia diharapkan menjadikan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya alat fungsional yang berdampak komunikatif total serta menimbulkan wibawa dan gengsi bagi penggunanya.
Aminudin Aziz yang menyampaikan makalahnya pada pleno kelompok tiga dengan memfokuskan pembahasan pada upaya pemartabatan Bahasa Indonesia, mendasarkan pembahasannya pada teori Smolicz dan Secombe terkait bahasa sebagai Nilai Budaya Inti. Guru besar ini melihat bahwa sepanjang kita belum mampu menjadikan bahasa Indonesia sebagai akar budaya inti dalam hidup kita, jangan harapkan penguatan bahasa Indonesia di dunia Internasional dapat terwujud. Aminudin menganggap selama ini politik bahasa ternyata tidak berhasil menyadarkan rakyat Indonesia untuk secara sadar menggunakan bahasa Indonesianya dengan baik sebagai alat komunikasi satu-satunya. Politik bahasa tidak juga berhasil memartabatkan bahasa Indonesia sehingga jalan satu-satunya adalah mengupayakan bahasa Indonesia sebagai budaya inti, termasuk memanfaatkan bahasa-bahasa daerah yang masih mempertahankan bahasa sebagai budaya inti agar menjadi peluang menumbuhkan dan mengembangkn bahasa Indonesia. Menurut Aminudin, terdapat kurang lebih 700 bahasa daerah di Indonesia yang memiliki nilai emosional tinggi terhadap budayanya. Masyarakat penutur 700 bahasa ini memiliki nilai budaya inti yang sangat kuat. Salah satu jalan keluar memartabatkan bahasa Indonesia adalah memanfaatkan bahasa-bahasa yang memiliki nilai budaya inti yang kuat, untuk memartabatkan pula bahasa Indonesia. Bagaimana pun bahasa-bahasa seperti itu tidak boleh dipandang sebagi ancaman terhadp bahasa Indonesia, namun justru sebagai peluang pemartabatan bahasa Indonesia. Jika berbagai upaya pemertahanan telah dilakukan dan kurang berhasil, harus disadari bahwa jika potensi kepunahan sebuah bahasa sangat kuat maka memang upaya pemertahanan juga sangat berat. Sehari sebelumnya, dalam pleno tunggal Prof. Makhsun mengungkapkan bahwa enam
54
55
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Perlu diketahui bahwa Kongres Bahasa Indonesia (KBI) pertama dilakukan di Solo pada tahun 1938. KBI II di Medan 1958. KBI III di Jakarta tahun 1978 dan sejak itulah KBI diselenggarakan secara tetap di Jakarta setiap lima tahun sekali.
puluh lima tahun yang lalu, tepatnya pada kongres pertama bahasa Indonesia, hal lain yang menarik adalah pengukuhan kembali bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa, bukan hanya sekadar sarana komunikasi. Kongres pertama itu juga telah memandatkan bahwa negara Indonesia tidak dilandasi oleh ras dan agama, dengan ditolaknya tujuh kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya yang terdapat dalam mukadima UUD Dasar RI.
Prof. Mahksun sedang berbicara di Kongres Bahasa Indonesia X
Menurut Prof. Mahksun, terdapat tiga elemen fondasi pembangunan sebuah negara, dua di antaranya adalah elemen Ras dan agama. Ada begitu banyak negara di dunia dibangun atas dasar suku/ras, misalnya negara aparteit Afrika selatan, dan juga atas dasar agama misalnya Republik Islam Iran, dan sebagainya. Menurut Prof. Makhsun yang juga kepala Badan Bahasa RI ini, negara Indonesia tidak dibangun atas dasar suku/ ras apalagi agama. Dua elemen tersebut sangat rapuh sebagai pengikat negara Indonesia, dan sampai kapan pun tidak akan bisa membangun Indonesia atas dua elemen tersebut. Jika dibangun atas dasar suku bangsa maka terdapat 594 suku
Info Kegiatan bangsa di Indonesia, sehingga suku bangsa yang mana yang menjadi landasan pembangunan bangsa kita? Sekalipun masa orde baru banyak sekali bahasa Jawa masuk dalam bahasa Indonesia namun sebenarnya membuktikan bahwa satu etnis tertentu tidak dapat menjadi pengikat persatuan Indonesia. Bahasa Melayu dipilih sebagai dasar bahasa Indonesia, karena bahasa Melayu digunakan hampir di seluruh Nusantara, mulai dari Jawa (Melayu Jawa), juga Melayu Loloan di Bali, Melayu Ampenan di NTB, Melayu Larantuka di NTT dan masih banyak lagi bahasa Melayu sebagai bahasa yang hidup di seluruh nusantara. Bangsa Indonesia juga tidak dibangun di atas dasar agama, terbukti dengan ditolak secara tegas oleh masyarakat Indonesia terhadap salah satu butir dalam mukadima yang mengatakan bahwa dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya. Dihapus dan tidak dipakai oleh negara tujuh kalimat tersebut, semua itu sebagai bukti yang sangat kuat bahwa agama bukanlah pembentuk dasar negara republik Indonesia. Sehingga berbagai gerakan keagamaan apa pun untuk membentuk negara Indonesia akan mendapatkan tantangan karena bangsa Indonesia membangun nasionalisme di atas kebahasaan. “Jangan heran gangguan-gangguan kebahasaan akan dialami oleh bangsa Indonesia” kata Makhsun. Bahasa Indonesia memang bukan bahasa Melayu, tetapi bahasa Indonesia
dilahirkan oleh bahasa Melayu. Bahasa Indonesia yang didasarkan pada bahasa Melayu tersebut atau bahasa yang ”ber-ibu” pada bahasa Melayu tersebut merupakan jati diri bangsa Indonesia, menjadi bahasa negara dan bahasa nasional. Terdapat semangat nasionalisme di dalam bahasa Indonesia. Fase-fase pertumbuhan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, substansinya sama tetapi variannya berbeda dengan Brunei, Malaysia, juga Philipina dan Singapura misalnya. Bahasa Indonesia adalah bahasa dengan penutur terbesar keempat di dunia, hal ini dikaitkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang telah mencapai 240 juta lebih. Selain itu Bahasa Indonesia dipelajari pula di 45 negara di dunia sehingga semua itu dapat menjadi motivasi terbesar bagi bangasa Indonesia agar bahasa Indonesia dipelajari lagi oleh lebih banyak negara. Di dunia pendidikan, salah satu upaya pemertahanan bahasa Indonesia, dilakukan oleh pengajar-pengajar bahasa Indonesia di luar negeri. Terdapat dua jenis pengajar dengan beberapa sasaran. Pertama adalah pengajar bahasa Indonesia yang berkebangsaan Indonesia dengan sasaran sekolah Indonesia di luar negeri, seperti yang dilakukan oleh Drs. Alpansya, M.Pd., Guru bahasa Indonesia di Kuala Lumpur. Alpansyah tidak sendiri karena masih banyak lagi guru-guru Bahasa Indonesia orang Indonesia yang berada di Australia, Jepang, Swedia, China, Singapura, Malaysia, Jerman dsbnya. Kedua, adalah pengajar bahasa Indonesia yang berkebangsaan asing, dengan sasaran orang asing di negeri asing, serta orang Indonesia di negeri asing, seperti yang dilakukan Prof. Dr. Bernd Nothofer di Jerman serta guru-guru besar asing lainnya di negara Eropa, Inggris dsbnya.
Drs. Alpansyah, M.Pd., pada kesempatan berbicara di KBI X mengemukakan suka dukanya mengajar bahasa Indonesia di sekolah Indonesia di Kuala Lumpur. Siswanya berjumlah 400 orang dengan latar belakang orangtua berbagai profesi mulai dari homestaff, lokal staff, ekspatriat atau orang Indonesia yang bekerja di negeri asing, tapi gaji mereka di atas 10 ribu ringgit, kaum profesional dengan standar gaji 5-10 ribu ringgit serta student atau pelajar, yakni orang Indonesia yang kuliah ke S3 dan membawa anak sehingga anaknya harus belajar Bahasa Indonesia, karena sekolah di sekolah Indonesia. Silabus menggunakan silbus yang standar namun disesuaikan dan dikembangkan sesui kebutuhan anak anak Indonesia di Kuala Lumpur. Tantangan terberat bagi Alpansyah adalah sehebat apapun seorang guru mengajar bahasa Indonesia, memperkaya dan mengingatkan terus menerus tentang nasionalisme, namun saat anak-anak melangkah keluar ruang kelas atau sekolahnya, mereka harus berhadapan dengan lingkungan yang tidak mengharuskannya berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Prof. Dr. Bernd Nothofer sebagai salah satu pembicara asing dalam KBI X mengatakan institusi yang menawarkan kursus Bahasa Indonesia jauh lebih banyak daripada negara Eropa lain. Selain itu, fokus pengajaran dan penelitian bahasa Indonesia agak berbeda di Jerman sehingga bisa dibagi menurut program studi/jurusannya. Ada tujuh kelompok program yang perlu dibedakan, dan semuanya mengandung kursus bahasa Indonesia dengan paling sedikit seorang penutur asli sebagai lektor. Tiga universitas di Jerman menawarkan BA dan MA Bahasa dan Kebudayaan Asia Tenggara, dua di antaranya menitikberatkan studi sastra Indonesia. Di Hamburg fokusnya pada sastra lama, sedangkan di Frankfurt pada media dan retorika. Di Frankfurt juga ada pengajaran
56
57
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Menurut perhitungan Prof. Dr. Bernd Nothofer terdapat lebih dari 20 institusi akademis pembelajaran bahasa Indonesia di Eropa. Sebagian besar (13 institusi) di antaranya terletak di Jerman. Sisanya terdapat di Inggris (SOAS), Belanda (Leiden), Perancis (Pe Havre, La Rochelle, Paris), Itali (Napoli), Rusia (St. Petersburg, Moskwa) dan Polandia (Warsawa) . Prof. Dr. Bernd Nothofer, yang juga pengajar dan peneliti Bahasa Indonesia di Jerman, pada kesempatan KBI X tersebut juga mempertanyakan pada masyarakat Indonesia yang cenderung tidak memakai bahasa Indonesia dengan baik pada situasi-situasi resmi. Bahkan Bernd mengungkapkan keluhan mahasiswa binaannya yang mengatakan “yang diajarkan di kampus ternyata tidak sesuai dengan kenyataan di Indonesia” tegas Berng mengulang apa yang diungkapkan mahasiswanya. Menurut Bernd, orang Indonesia cenderung tidak berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dan tidak memfungsikan bahasa Indonesia semestinya. “Orang Indonesia lebih cenderung tidak berbahasa Indonesia, tetapi berbahasa yang tidak benar, mencampur-campurkan bahasa yang sesungguhnya bukan bahasa Indonesia”
Terkait KK 2013, Bahasa Indonesia Memimpin Di depan Wakil menteri bidang pendidikan mengkhawatirkan Bahasa Indonesia tidak lagi menjadi tuan rumah di negeri sendiri karena bahasa asing begitu hiruk pikuknya dalam dunia pendidikan. Bersyukurlah pada MK yang telah membubarkan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang cenderung menjadikan bahasa asing sebagai bahasa pengantar. Bahkan kekhawatiran terhadap bahasa Indonesia yang telah ditelikung sekian lama oleh bahasa asing di dunia pendidikan kita, maka kurikulum 2013 menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa penghela ilmu pengetahuan. Bahasa Indonesia sebagai martabat bangsa, serta bahasa Indonesia sebagai tumpuannya nasionalisme bangsa benarbenar memimpin di depan pada pelaksanaan kurikulum 2013. Dengan demikian Kongres Bahasa Indonesia X merupakan momen terbaik untuk memperkuat bahasa Indonesia dalam pembelajaran di sekolah. Menurut wakil menteri, bahasa Indonesia lebih konsisten dibandingkan bahasa asing manapun, sehingga bahasa Indonesia sangat mudah dipelajari dan digunakan. Di tengah maraknya sosialisasi Kurikulum 2013 serta KBI X, hasil analisis lulusan Ujian Nasional memperlihatkan nilai rata-rata Bahasa Indonesia untuk jurusan IPA 68, lebih rendah dari Bahasa Inggris yang mencapai 71. “Ada masalah di sini, bahasa asing kok lebih bagus?” kata wakil menteri. Capaian kompetensi bahasa Indonesia terbaik juga diraih oleh provinsi Bali dan Yogyakarta, sedangkan yang terburuk diraih oleh Maluku Utara. Sementara persoalan mendasar di bidang kesusastraan adalah kesulitannya para siswa menjawab berbagi soal berkaitan dengan larik puisi, rima serta sentuhansentuhan seni dan estetika lainya. Lemahnya
wilayah estetika dalam mencapaian ketuntasan siswa pada Ujian Nasional perlu diperhatikan oleh para guru agar lebih maksimal lagi dalam proses pembelajaran. Menurut wamen, pemerintah akan berupaya memperkuat para guru bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan memperkuat kompetensi akademik, memperkuat penghargaan-penghargaan pada guru, serta memperkuat karier-karier yang hendak dicapai guru. Wamen juga menyatakan setuju jika diadakannya Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) bagi aparatur negara, serta siapa saja yang melamar pekerjaan atau mengikuti tes CPNS. Tidak perlu dipersoalkan jumlah soalnya, yang penting soal-soal tersebut mampu mengukur kemahiran berbahasanya. Bahkan perlu adanya perda lengkap dengan sanksinya bagi aparatur negara yang tidak berbahasa Indonesia dengan baik. Tjipto Sumadi selaku ketua UIK pusat yang pada kesempatan pleno tunggal menyoroti Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 mengatakan telah dicanangkan bahwa Bahasa Indonesia merupakan penghela dalam proses pembelajaran semua mata pelajaran di sekolah, apa pun mata pelajarannya dan bagaimana pun metode pembelajarannya bahasa Indonesia harus menjadi penghela dalam melakukan transformasi pengetahuan dan nilai kepada peserta didik. Pembelajaran bahasa Indonesia pada semua jenjang haruslah memberikan porsi yang lebih besar pada upaya mengembangkan potensi linguistik peserta didik agar mereka mampu dan berani mengaktualisasikan dirinya dalam berbahasa. Menjadikan bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan bukan hanya kewajiban guru bahasa Indonesia saja, melainkan harus menjadi kewajiban semua guru yang melakukan transformasi pengetahuan,
keterampilan dan nilai kepada peserta didik. Tjipto Sumadi dalam paparannya merekomendasi pada KBI X dua hal penting, yakni pertama sebaiknya pembelajaran Bahasa Indonesia pada semua jenjang pendidikan diarahkan pada membuat tulisan atau karangan yang menceritakan lingkungan terdekat dari peserta didik. Dari sini diharapkan peserta didik memiliki kebiasaan untuk menginterpretasikan dunia di sekitarnya. Kedua perlu pelatihan intensif kepada semua guru yang tidak mengajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia, sehingga gagasan bahasa Indonesia menjadi penghela Ilmu pengetahuan pada kurikulum 2013 dapat terwujud. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Moch, Nuh dalam paparannya mempertanyakan pada peserta kongres yang rata-rata guru dan dosen serta pengajar dan peneliti “sanggupkah bapak/ ibu sekalian menjadikan bahasa Indonesia mampu berkiprah di dunia internasional?” setelah hadirin mengatakan kesanggupannya, menteri menegaskan bahwa penguatan bahasa Indonesia di dunia Internasional bukan berarti bangsa Indonesia ingin menjajah dunia, justru sebaliknya bangsa Indonesia menginginkan dunia sebagai tempat yang sangat luas untuk memberikan kontribusi positif buat kemajuan bangsa Indonesia. Bagi Moch, Nuh, antara bahasa, bangsa dan negara tidak bisa dipisahkan sehingga kita harus berterimakasih pada para penggagas sumpah pemuda yang menumbuhkan nasionalisme di atas dasar kebahasaan. Sudah saatnya kami berpikir, jangan paksakan kami belajar bahasa negara lain, sedangkan negara lain tidak mau belajar bahasa Indonesia” tegas menteri. Orang asing belajar bahasa Indonesia, karena mereka memiliki kepentingn misalnya ingin berbisnis, bisa masuk masuk ke pelosokpelosok Indonesia tanpa terkendala bahasa, dan bisa mencegah konflik atau kesalahpahaman
58
59
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan
sejarah bahasa Indonesia (etimologi Indonesia), dan pengajaran struktur bahasa daerah. Kedua universitas ini unggul dalam pembelajaran bahasa, budaya, dan sastra Indonesia. Hamburg merupakan universitas pertama di Jerman yang membentuk jurusan yang titik beratnya bahasa Indonesia, bahasa daerah di Indonesia dan Bahasa Austronesia lainnya.
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan, sudah saatnya diperjuangkan dan diupayakan dengan sebaiknya-baiknya oleh pemerintah, misalnya badan bahasa serta lembaga atau institusi terkait. Bangsa Arab mengalami kemajuan karena menjadikan bahasa negaranya sebagai bahasa Iptek negaranya. Negara-negara Eropa Latin menerjemahkan semua Iptek dalam bahasa Latin. Begitu pula bangsa Jepang menerjemahkan semua kebutuhan Iptek negaranya ke dalam bahasa Jepang. Sudah saatnya bahasa Indonesia ditempatkan sebagai bahasa Iptek. Di dunia pendidikan sekolah, semua guru berperan penting menumbuhkan martabat bahasa Indonesia, dan lebih khusus lagi guru bahasa Indonesia hendaknya menjadi teladan bagi sesama guru, juga bagi siswa serta lingkungan masyarakat dalam hal berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Banyak sekali istilah bahasa asing yang digunakan oleh pengajar padahal sesungguhnya telah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Staf ahli kementerian luar negeri, Wiwiek Setyawati Firman saat berbicara di KBI X menggantikan menteri lur negeri, mengatakan berbagai upaya telah dilakukan pihak kementerian terkait diplomasi kebahasaan sebagai upaya penguatan jati diri dan pemertaban bangsa semisal diadakannya program BSBI dan Inchan (Indonesia Chanel) yang merupkan program diplomasi untuk seni dan budaya Indonesia sebagai
upaya membangun nasionalisme dan penguatan bahasa Indonesia di dunia intenasional. Memang diplomasi seni dan budaya, belum mengakomodir semua hal termasuk di dalamnya sastra karena diplomasi tersebut masih cenderung pada pentaspentas seni dan budaya. Memperjuangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional bukanlah hal yang mudah namun bukan pula hal yang tidak mungkin. Mungkin perlu memperjuangkn bahasa Indonesia masuk dalam bahasa Asean dulu, seperti yang sedang dilakukan negara Malysia. Pada dasarnya setiap orang Indonesia setuju jika bahasa Indonesia dapat dipakai dalam berbagai diplomasi luar negeri, namun mengingat bahasa yang dikenal oleh PBB untuk saat ini adalah enam bahasa yakni Inggris, Perancis, Rusia, China, Arab dan Spanyol maka penggunaan Bahasa Indonesia dalam diplomasi di luar negeri, jika dilakukan sekarang ini menurut Wiwiek untuk sementara harus disediakan penerjemah yang biayanya sangat mahal. Wakil pembicara dari generasi muda, Achmad Zulfikar, dengan optimis mendiskusikan makalahnya dengan judul Bahasa Indonesia sebagai Embrio Bahasa Asean. Bagi Zulfikar yang masih duduk di bangku kuliah Ilmu hubungan Internasional Universitas Muhamadyah Yogyakarta ini, terdapat sembilan pintu diplomasi kebudayaan yang bisa dilakukan untuk memperjuangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Asean sebagai peluang serta tantangan menuju masyarakat asean 2015 nanti. Saat yang tepat, usia bahasa Indonesia telah mencapai seabad. Menurut Zulfikar, mulai saat ini peran kementerian luar negeri harus ditingkatkan jika ingin memperjuangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Asean di tahun 2015 nanti. Ketua PGRI pusat Dr. Sulistyo, M.Pd., saat tampil berbicara pada KBI X memfokuskan pembahasan pada guru bahasa Indonesia sebagai
Pemicu dan Pemacu Kemahiran Berbahasa Sesama Guru. Kesadaran seperti itu menurut, Sulistyo menuntut beberapa tindakan. Pertama, guru bahasa Indonesia secara terus menerus tanpa lelah melakukan penggalian bakat berbahasa pada dirinya sendiri. Kedua, mampu membuka diri menjadi manusia pembelajar bahasa dan sastra Indonesia seumur hidup, tidak mengenal putus asa dan rasa masgul. Ketiga, mampu melakukan interaksi berbahasa yang baik dan benar dan menciptakan atmosfer berbahasa yang progresif dalam ruang publik yang luas. Keempat, dengan berbahasa yang baik guru mampu mengembangkan daya cipta, menulis karya ilmiah, artikel, bahan ajar, buku pelajaran, karya sastra, pembicara di forum- forum diskusi, dan masih banyak kegiatan kreatif lainnya.
Peserta Kongres Bahasa Indonesia X dari Kalangan Guru dan Akademisi
Menyadari betapa bahasa dan sastra Indonesia memiliki peran sentral dalm perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahkan dalam interaksi sosial tertentu, maka peluang ini hendaknya menggugah etos guru untuk menjadi pemicu dan pemacu berbahasa secara dinamis termasuk segera mengembalikan peran bahasa Indonesia sebagai bahasa perjuangan yang memberi pencerahan pada bangsa dan negara, dibandingkan kepalsuan-kepalsuan citra, dari kekotoran diskursus sosial (politik) yang kian kehilangan kepercayaan rakyat. Kemurnian aspirasi guru bahasa dan sastra Indonesia dalam mengekspresikan daya cipta, diharapkan mampu menjadi katarsis yang membebaskan kita dari tirani bahasa yang menyimpan dusta sosial dan kekuasaan. Kesadaran bahwa bahasa bergerak terus sepanjang waktu, dinamis, mengalami perubahan, pergeseran, dan perkembangan makna, memberikan tanggungjawab pada guru bahasa dan sastra Indonesia untuk terus mengembankan tugas dalam daya cipta, ekspresi budaya, dan interaksi sosial. Hal yang mendesak untuk diperankan oleh guru bahasa dan sastra Indonesia adalah melakukan dekontruksi sekaligus rekonstruksi berbahasa untuk kepentingan daya cipta, ekpresi budaya, dan interaksi sosial. (mp)
60
61
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan
yang terjadi saat terjalin komunikasi dengan penduduk kita. Dengan demikian, sabagai orang Indonesia kita berkewajiban berbahasa Indonesia dengan baik, dan menjadikan bahasa Indonesia bermartabat bagi dirinya sebagai pemakai, juga bagi orang lain yang tertarik dan hendak belajar bahasa Indonesia.
Info Kegiatan
Info Kegiatan Rekomendasi Kongres Bahasa Indonesia X Setelah mendengar dan memperhatikan
10. Kualitas dan kuantitas kerja sama dengan berbagai pihak luar negeri untuk menginternasionalkan bahasa Indonesia perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan, baik di tingkat komunitas ASEAN maupun dunia internasional, dengan dukungan sumber daya yang maksimal.
(1) sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
11. Pemerintah perlu melakukan “diplomasi total” untuk menginternasionalkan bahasa Indonesia
(2) laporan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
12. Presiden/wakil presiden dan pejabat negara perlu melaksanakan secara konsekuen Undang-Undang
(3) paparan 6 makalah pleno tunggal, 16 makalah sidang pleno panel, 104 makalah sidang kelompok yang tergabung dalam 8 topik diskusi panel, dan (4) diskusi yang berkembang selama persidangan, KBI X merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1. Pemerintah perlu memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia melalui penerjemahan dan penerbitan, baik nasional maupun internasional, untuk mengejawantahkan konsep-konsep ipteks berbahasa Indonesia guna menyebarkan ilmu pengetahuan dan teknologi ke seluruh lapisan masyarakat. 2. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa perlu berperan lebih aktif melakukan penelitian, diskusi, penataran, penyegaran, simulasi, dan pendampingan dalam implementasi Kurikulum 2013 untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. 3. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) perlu bekerja sama dalam upaya meningkatkan mutu pemakaian bahasa dalam buku materi pelajaran. 4. Pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi hasil-hasil pembakuan bahasa Indonesia untuk kepentingan pembelajaran bahasa Indonesia dalam rangka memperkukuh jati diri dan membangkitkan semangat kebangsaan. 5. Pembelajaran bahasa Indonesia perlu dioptimalkan sebagai media pendidikan karakter untuk menaikkan martabat dan harkat bangsa. 6. Pemerintah perlu memfasilitasi studi kewilayahan yang berhubungan dengan sejarah, persebaran, dan pengelompokan bahasa dan sastra untuk memperkukuh NKRI. 7. Pemerintah perlu menerapkan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) untuk menyeleksi dan mempromosikan pegawai, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, guna memperkuat jati diri dan kedaulatan NKRI, serta memberlakukan UKBI sebagai “paspor bahasa” bagi tenaga kerja asing di Indonesia. 8. Pemerintah perlu menyiapkan formasi dan menempatkan tenaga fungsional penyunting dan penerjemah bahasa di lembaga pemerintahan dan swasta. 9. Untuk mempromosikan jati diri dan kedaulatan NKRI dalam rangka misi perdamaian dunia, Pemerintah perlu memperkuat fungsi Pusat Layanan Bahasa (National Language Center) yang berada di bawah tanggung jawab Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara Lainnya. 13. Perlu ada sanksi tegas bagi pihak yang melanggar Pasal 36 dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 sehubungan dengan kewajiban menggunakan bahasa Indonesia untuk nama dan media informasi yang merupakan pelayanan umum. 14. Pemerintah perlu menggiatkan sosialisasi kebijakan penggunaan bahasa dan pemanfaatan sastra untuk mendukung berbagai bentuk industri kreatif. 15. Pemerintah perlu lebih meningkatkan kerja sama dengan komunitas-komunitas sastra dalam membuat model pengembangan industri kreatif berbasis tradisi lisan, program penulisan kreatif, dan penerbitan buku sastra yang dapat diapresiasi siswa dan peminat sastra lainnya. 16. Pemerintah perlu mengoptimalkan penggunaan teknologi informatika dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. 17. Pelindungan bahasa-bahasa daerah dari ancaman kepunahan perlu dipayungi dengan produk hukum di tingkat pemerintah daerah secara menyeluruh. 18. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa perlu meningkatkan perencanaan dan penetapan korpus bahasa daerah untuk kepentingan pemerkayaaan dan peningkatan daya ungkap bahasa Indonesia sebagai bahasa penjaga kemajemukan Indonesia dan pilar penting NKRI. 19. Pemerintah perlu memperkuat peran bahasa daerah pada jalur pendidikan formal melalui penyediaan kurikulum yang berorientasi pada kondisi dan kebutuhan faktual daerah dan pada jalur pendidikan nonformal/informal melalui pembelajaran bahasa berbasis komunitas. 20. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa perlu meningkatkan pengawasan penggunaan bahasa untuk menciptakan tertib berbahasa secara proporsional. 21. Pemerintah perlu mengimplementasikan kebijakan yang mendukung eksistensi karya sastra, termasuk produksi dan reproduksinya, yang menyentuh identitas budaya dan kelokalannya untuk mengukuhkan jati diri bangsa Indonesia. 22. Penggalian karya sastra harus terus digalakkan dengan dukungan dana dan kemauan politik pemerintah agar karya sastra bisa dinikmati sesuai dengan harapan masyarakat pendukungnya dan masyarakat dunia pada umumnya. 23. Pemerintah perlu memberikan apresiasi dalam bentuk penghargaan kepada sastrawan untuk meningkatkan dan menjamin keberlangsungan daya kreativitas sastrawan sehingga sastra dan sastrawan
62
63
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Indonesia dapat sejajar dengan sastra dan sastrawan dunia. 24. Lembaga-lembaga pemerintah terkait perlu bekerja sama mengadakan lomba-lomba atau festival
Anggota:
kesastraan, khususnya sastra tradisional, untuk memperkenalkan sastra Indonesia di luar negeri
1. Prof. Dr. Kisyani-Laksono, M.Hum.
yang dilakukan secara rutin dan terjadwal, selain mendukung festival-festival kesastraan tingkat
2. Prof. Dr. Cece Sobarna
internasional yang sudah ada.
3. Prof. Dr. Silvana Sinar
25. Peran media massa sebagai sarana pemartabatan bahasa dan sastra Indonesia di kancah internasional
4. Dr. Dendy Sugono
26. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu mengingatkan dan memberikan teguran agar lembaga
5. Dr. Priyono
penyiaran menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
6. Dr. Christ Fautngil
27. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerima usulan dari masyarakat untuk menyampaikan teguran
7. Dr. Fairul Zabadi
kepada lembaga penyiaran yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. 28. Diperlukan kerja sama yang sinergis dari semua pihak, seperti pejabat negara, aparat pemerintahan dari pusat sampai daerah, media massa, Dewan Pers, dan Badan Pengembangan dan Pembinaan
8. Dr. Ganjar Harimansyah 9. Drs. Suharsono, M.Hum.
Bahasa, demi terwujudnya bahasa media massa yang logis dan santun.
10. Drs. Mustakim, M.Hum.
29. Literasi pada anak, khususnya sastra anak, perlu ditingkatkan agar nilai-nilai karakter yang terdapat
11. Bambang Widiatmoko, S.Sos., M.Si.
dalam sastra anak dipahami oleh anak.
12. Drs. Maryanto, M.Hum.
30. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa harus memperkuat unit yang bertanggung jawab terhadap sertifikasi pengajar dan penyelenggara BIPA. 31. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa berkoordinasi dengan para pakar pengajaran BIPA dan praktisi pengajar BIPA mengembangkan kurikulum, bahan ajar, dan silabus yang standar, termasuk bagi Komunitas ASEAN. 32. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa memfasilitasi pertemuan rutin dengan SEAMEO
13. Siti Gomo Attas, M.Hum. 14. Dra. Rosida Tiurma Manurung, M.Hum. Narasumber: 1. Prof. Dr. Mahsun, M.S.
Qitep Language, SEAMOLEC, BPKLN Kemendikbud, dan perguruan tinggi untuk menyinergikan
2. Dr. Sugiyono
penyelenggaraan pengajaran BIPA.
3. Drs. M. Muhadjir, M.A.
33. Pemerintah Indonesia harus mendukung secara moral dan material pendirian pusat studi/kajian
4. Dra. Yeyen Maryani, M.Hum.
bahasa Indonesia di luar negeri.
Info Kegiatan
Info Kegiatan
perlu dioptimalkan.
Jakarta, 31 Oktober 2013
Tim Perumus Kongres Bahasa Indonesia X Perumus: Ketua : Prof. Dr. Gufron Ali Ibrahim, M.S. Sekretaris: Dra. Liliana Muliastuti, M.Pd.
64
65
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Jefta Atapeni (kanan pinggir), Bara Pattyradja (kedua dari kanan), direktur BWCF ibu Yoke Dermawan (ketiga dari kanan) dan Ragil S. Samid (pinggir kiri) pose bersama usai kegiatan seminar BWCF di Hotel Manohara, Borobudur, 20 Oktober 2013.
Borobudur, Magelang. Sebanyak tiga orang sastrawan NTT, yaitu Jefta H. Atapeni, Ragil S. Samid, dan Bara Pattyradja dipilih Kantor Bahasa Provinsi NTT mewakili NTT untuk mengikuti kegiatan Borobudur Writers & Culture Festival 2013 di Borobudur, Magejalang (Jawa Tengah). Kegiatan yang bertema Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara, Kolonialisme dan Poskolonialisme ini berlangsung selama 4 hari mulai dari tanggal 17–20 Oktober. Kegiatan pembukaan Borobudur Writers & Culture Festival (BWCF) ini dilakukan pada tanggal 17 Oktober pukul 13.00 WIB di Hotel Royal Ambarrukmo, Yogyakarta, lalu dilanjutkan dengan kegiatan inti, yaitu seminar di Hotel Manohara, Borobudur, Magelang dan Hotel Hyatt Regency, Yogyakarta dari tanggal 18 – 20 Oktober 2013. Kegiatan BWCF yang kedua ini dihadiri oleh 250 para penulis yang terdiri dari budayawan, arkeolog, sejarawan, antropolog, sastrawan, dan juga aktivis. Pembukaan acara seminar BWCF hari pertama 18 Oktober 2013 pagi dimulai di pendopo samping Hotel Manohara Borubudur yang dimeriahkan dengan tarian Komunitas Penari Lima Gunung (para penari yang berada di sekitar lima gunung yang mengelilingi candi Borobudur). Pembicara utama yang tampil dalam kegiatan BWCF ini, yaitu novelis Remy Sylado berbicara tentang Kebaharian Pada Sebuah Legenda, sejarawan Singapura Tan Ta Sen, budayawan Jaya Suprana, aktivis budaya Halim HD. Ada juga pembicara seperti Bambang Budi Utomo berbicara tentang Awal Perjalanan Sejarah Menuju Negara Kepulauan; Bondan Konumoyoso berbicara tentang Persaingan, Dominasi dan Keruntuhan: VOC dan Perdagangan Maritim Nusantara Abad 17–18; Singgih Tri Sulistiyono berbicara tentang Rempah-Rempah dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI–XVII; Muhammad R. Alimudin berbicara tentang Kebaharian Mandar dan Beberapa Ekspedisi Pelayaran Internasional Perahu Mandar; Edwar Poelinggomang berbicara tentang Kedudukan Makassar Dalam Perkembangan
66
67
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Sastrawan NTT Ikut Borobudur Writers & Culture Festival 2013
Perdagangan Rempah-Rempah di Maluku; Gusti Asnan berbicara tentang Dunia Maritim Sumatra di Awal dan Akhir Era Kolonial: Kesaksian Dua Penulis Travelogues; M. Riza Damanik berbicara tentang Kolonialisme Baru di Laut: Pergumulan, Perebutan, dan Pengkaplingan; Surya Helmi tentang Temuan Arkeologi Bawah Air di Indonesia dan Permasalahannya; Nick Burnigham berbicara tentang The Borobudur Ship Nusantara Memperluas Hingga Afrika dan Kesenian Tinggi; A. Dahana berbicara tentang Tujuh Pelayaran Cheng Ho sebagai Diplomasi Kebudayaan 1405–1433; Nila Riut bebicara tentang Kisah Sungai dan Perahu dalam Kehidupan Suku Dayak di Masa Lalu; Isran Noor berbicara tentang Soekarno, Deklarasi Juanda dan Ocean-Policy; dan Bona Beding mantan penombak ikan paus berbicara tentang Tradisi Berburuh Ikan Paus di Lamalera. Selain seminar, kegiatan BWCF 2013 ini juga dilakukan malam pementasan para 6 penyair yang puisi-puisinya termuat dalam antologi puisi “Puisi Terakhir Dari Laut” terbitan Borobudur Writers & Culture Festival 2013. Malam pementasan ini juga dimeriahkan oleh Lamalera Band (anakanak NTT dari Jakarta) dan Nyawa Band Yogya. Inti dari kegiatan BWCF 2013 ini untuk mengingatkan kembali seluruh masyarakat Indonesia tentang sejarah kejayaan bangsa Indonesia (Nusantara) pada masa lampau yang sangat dikenal dunia sebagai bangsa penghasil rempah-rempah—saat itu rempah-rempah masuk dalam peta ekonomi globa sejak 600 tahun SM—dan dikenal sebagai bangsa maritim sangat hebat yang memiliki kekayaan bahari dan memainkan peran maritim, ekonomi perdagangan maupun peran politik yang sangat hebat (4800 tahun yang lalu orang-orang nusantara atau nenek moyang Indonesia telah berlayar ke Afrika, jauh sebelum bangsa Eropa menemukan Afrika dan India). Kegiatan ini dilakukan untuk menyadarkan masyarakat Indonesia untuk mencintai sejarah kejayaan bangsa Indonesia sebagai bangsa kaya rempahrempah, bahari dan bangsa yang memiliki kekuatan maritim, navigasi yang sangat besar jauh sebelum masa kolonial dan poskolonial di bumi Nusantara. Untuk itu, pemimpin bangsa Indonesia di saat ini melihat kembali potensi kekayaan bangsa yang sangat besar ini untuk membangun kembali bangsa Indonesia seperti di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang menjadikan daratan dan lautan secara seimbang menjadi sumber kejayaan dan kekuatan. Bukan seperti saat ini, kita terpola dengan permainan kolonial yang sengaja mengalihkan padangan kita pada daratan (agraris) saja untuk membuat kita melupakan lautan yang sebenarnya menjadi satu kekuatan besar bangsa Indonesia, baik dalam hal ekonomi global maupun pertahanan dan keamanan. Ironisnya, saat ini kita tidak mengurus daratan (agraris) secara baik, apalagi lautan. Direktur BWCF, Yoke Dermawan dalam pembicaraannya di akhir acara BWCF tanggal 20 Oktober 2013 pukul 19.00 WIB di Hotel Seraton, Yogyakarta, mengatakan bahwa melalui kegiatan Borobudur Writers & Culture Festival 2013 ini, semua diskusi berkaitan dengan Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara, Kolonialisme dan Poskolonialisme ini akan disampaikan kepada pemerintah dan semoga pemerintah bisa melakukan terobosan-terobosan baru yang penting untuk kemajuan bangsa Indonesia ke depan. Di akhir acara BWCF ini, PT TWC dan Mudji Sutrisno memberikan penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan kepada keluarga A.B. Lapin (almarhum) pada tanggal 20 Oktober 2013 sekitar pukul 19.30 WIB di Hotel Seraton, Yogyakarta. Award ini diberikan kepada A.B. Lapin yang sangat berjasa melakukan pengembangan dan mengkaji sejarah serta peradaban bahari nusantara. (Jefta H. Atapeni)
Info Kegiatan
Info Kegiatan organisasi kemasyarakat dan organisasi keagamaan, wartawan media massa, dan juga unsur-unsur lain yang berkompeten. Total peserta yang hadir pada kegiatan tersebut sebanyak 96 orang.
Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki keberagaman bahasa yang sangat banyak. Ada 49 bahasa daerah yang masih dituturkan di wilayah provinsi NTT. Namun keberagaman bahasa yang dituturkan di wilayah NTT tidak terpelihara dengan baik dan semakin banyak generasi muda yang menggunakan bahasa gaul atau bahasa Melayu Kupang sehingga menekan pemakaian bahasa-bahasa daerah di wilayah Provinsi NTT. Fenomena ini semakin melemahkan kedudukan bahasa-bahasa daerah yang merupakan kekayaan paling berharga bagi kebudayaan NTT. Untuk menjaga bahasa-bahasa daerah di NTT yang terancam punah tersebut, maka pada hari Kamis, tanggal 21 November 2013, Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengadakan Seminar Nasional dengan mengangkat tema “Revitalisasi Bahasa dan Sastra Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur”.
Seminar dibuka oleh Dr. Sugiyono (sedang berbicara) mewakili kepala Badan Bahasa, M.Luthfi Baihaqi (Kepala Kantor Bahasa NTT), dan Drs. Yusuf Mallo (Kepala UPTD Bahasa)
Narasumber: Drs. Yusuf Mallo (Kepala UPTD Bahasa), dan Dr. Sugiyono (mewakili kepala Badan Bahasa) Moderator: Drs. Amir Mahmud, M.Hum (kepala Balai Bahasa Surabaya)
Peserta Seminar Revitalisasi Bahasa dan Sastra Daerah NTT di Ballroom Hotel Swiss-Bellinn Kristal Kupang
Seminar ini dimaksudkan untuk mendiskusikan dan merumuskan berbagai persoalan menyangkut bahasa dan sastra daerah di NTT sebagai salah satu upaya pelindungan bahasa dan sastra daerah dalam rangka pengembangan karakter bangsa. Kegiatan ini berlangsung dari pukul 08.00— 16.00 wita, di Ballroom Hotel Swiss-Bellinn Kristal Kupang, menghadirkan peserta-peserta dari berbagai kalangan, antara lain dari kalangan Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kepala Dinas, Pemangku Kepentingan Bahasa dan Sastra Daerah di NTT, Dosen/Akademisi dari perguruan tinggi negeri/swasta di NTT, para sastrawan dan budayawan, pemerhati bahasa, peneliti bahasa dan sastra, mahasiswa,
Narasumber: Prof. Dr. Simon Sabon Ola (Undana), Katubi (LIPI-Jakarta), dan Dr. Inyo Yos Fernandes (UGM Yogyakarta. Moderator: Roy Tei Seran (Duta Bahasa 2011)
Seminar ini dibuka secara resmi oleh Kepala Pusat Pengembangan dan Pembinaan, Dr. Sugiyono, mewakili Kepala Badan Bahasa, yang juga membawakan materi tentang Kebijakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dalam Pelindungan Bahasa dan Sastra Daerah di Indonesia, pemakalah-pemakalah atau narasumber lain yang hadir, juga sangat berkompeten diantaranya dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta: Dr. Inyo Yos Fernandez dengan materi “ Kondisi Bahasa-Bahasa Daerah di NTT Menuju ke Arah Pembakuan Bahasa Daerah”, Pak Katubi dari LIPI-Jakarta membawa materi tentang Kondisi Bahasa-bahasa Terancam Punah di NTT menuju ke Arah Pelindungan Bahasa Daerah. Dari Universitas Undana, Prof. Dr. Simon Sabon Ola, membawakan materi tentang Pengembangan Karakter Melalui Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Sastra Daerah di Provinsi NTT, sedangkan perwakilan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, UPTD Bahasa, Drs. Yusuf Mallo membawakan materi tentang Strategi Pemerintah Provinsi dalam Pelindungan Bahasa dan Sastra Daerah di Provinsi NTT. Pada akhir seminar, Bapak Luthfi Baihaqi, S.S., M.A., selaku Kepala Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggra Timur membacakan 10 rumusan hasil seminar. Selanjutnya hasil rumusan tersebut digunakan oleh Kantor Bahasa NTT sebagai bahan kebijakan dan strategi yang tepat untuk melestarikan, mengembangkan, membina, melindungi dan memperdayakan bahasa dan sastra daerah Provinsi NTT. (ctw).
68
69
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Seminar Revitalisasi Bahasa dan Sastra Daerah NTT
Info Kegiatan
Info Kegiatan RUMUSAN HASIL SEMINAR REVITALISASI BAHASA DAN SASTRA DAERAH DI PROVINSI NTT Diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTT Di Hotel Swiss Bellin Cristal Kupang Tanggal 21 November 2013
Kepala Kantor Bahasa NTT, M. Luthfi Baihaqi mengalungkan selendang penghargaan untuk para narasumber dan perwakilan peserta Seminar Revitalisasi Bahasa dan Sastra Daerah NTT tahun 2013
Foto bersama Narasumber dan tokoh pendidikan yang hadir pada Seminar Revitalisasi Bahasa dan Sastra Daerah NTT tahun 2013
Pemerintah pusat melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mendelegasikan kepada Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk meningkatkan perhatian yang berkaitan dengan Kebijakan dan kewenangan daerah dalam pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa dan sastra Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2. Bahasa dan sastra Provinsi Nusa Tenggara Timur hendaknya dikaji secara mendalam dalam rangka kodifikasi, pembakuan, dan dokumentasi untuk tujuan pengadaan bahan pengembangan, pembinaan, pelindungan bahasa dan sastra Provinsi Nusa Tenggara Timur. 3. Bahasa-bahasa daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur wajib diajarkan di sekolah. 4. Pemerintah provinsi/kabupaten/kota hendaknya melaksanakan program pengkajian dan pengajaran bahasa dan sastra Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan menyediakan dana dan tenaga kependidikan bahasa dan sastra daerah di NTT 5. Sejumlah perguruan tinggi di Provinsi Nusa Tengara Timur yang memiliki program bahasa dan sastra disarankan membuka peluang dan memfasilitasi para mahasiswanya untuk mengambil spesialisasi bahasa dan sastra di wilayah NTT dalam rangka a. pengadaan tenaga peneliti bahasa dan sastra daerah NTT, dan b. pengadaan guru bahasa dan sastra daerah NTT. 6. Pemerintah provinsi/kabupaten/kota pada momen-momen tertentu memberlakukan penggunaan bahasa daerah a. di lingkungan keluarga, b. di lingkungan pergaulan kedaerahan, c. pada acara resmi di lingkungan pemerintah atau lembaga pendidikan, dan d. upacara adat. 7. Pemerintah daerah dan Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur memfasilitasi pengembangan, pelindungan bahasa dan sastra Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam bentuk a. pengadaan buku ajar bahasa daerah, b. kamus bahasa daerah, c. tata bahasa daerah, d. ejaan bahasa daerah, e. penerbitan majalah atau buleti berbahasa daerah, dan f. siaran di media dengan berbahasa daerah. 9. Untuk meningkatkan semangat penggunaan bahasa daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur segera dilaksanakan kongres bahasa-bahasa daerah di NTT yang didukung oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah NTT.
70
71
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan
1.
Info Kegiatan
Info Kegiatan UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia) UKBI merupakan instrumen pengujian kemahiran berbahasa Indonesia seperti layaknya TOEFL dalam bahasa Inggris. Pada tahun 2013 Kantor Bahasa telah melakukan tes UKBI bagi guru-guru bahasa Indonesia, guru non bahasa Indonesia, media massa, dan mahasiswa. Kegiatan tes UKBI telah dilaksanakan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTT di antaranya di Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Alor, Rote Ndao, Flores Timur, Nagekeo, dan Bajawa.
Kupang, 21 November 2013
Tes UKBI dilaksanakan bagi guruguru Se-Kabupaten Ngada di Bajawa pada tanggal 20 Agustus 2013. Jumlah peserta yang hadir sebayak 117 guru Bahasa Indonesia.
TIM PERUMUS SEMINAR REVIATLISASI BAHASA DAN SASTRA DAERAH DI PROVINSI NTT 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Prof. Simon Sabon Ola (Universitas Nusa Cendana) M. Luthfi Baihaqi, M.A (Kantor Bahasa Provinsi NTT) Drs. Yusuf Malo (UPTD Bahasa Provinsi NTT) Ibu Detak (Tokoh Masyarakat Asal Rote) A. G. Hadzarmawit Netti (Budayawan) Mezra E. Pellondou, S.Pd., M.Hum. (Sastrawan NTT) Mutiara Malehere (Media Massa)
Tes UKBI dilaksanakan di Mbay, Kabupaten Nagekeo tanggal 22 Agustus 2013 bagi guru bahasa Indonesia Se-Kabupaten Nagekeo. Jumlah guru yang hadir sebanyak 94 peserta.
Tes UKBI dilaksanakan di Kantor Dinas PPO, Kabupaten Kupang tanggal 17 September 2013. Jumlah peserta yang hadir sebanyak 32 guru-guru SMP dan SMA.
72
73
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan
10. Pemerintah provinsi/kabupaten/kota hendaknya mendorong dan memfasilitasi lahirnya peraturan daerah (perda) tentang bahasa dan sastra daerah. 11. Masyarakat NTT membentuk tim kerja kebahasaan dan kesastraan di bawah koordinasi Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur. 12. Masyarakat membentuk paguyupan bahasa dan sastra untuk mendukung pengembangan, pembinaan dan pelindungan bahasa dan satra daerah di NTT.
Info Kegiatan
Info Kegiatan Hasil UKBI Guru-Guru di 6 Kabupaten dan Media Massa di Kota Kupang Tahun 2013 Tes UKBI dilaksanakan di Hotel Fortuna
II
Larantuka
pada
tanggal
24
September 2013 bagi guru-guru tingkat SD, SMP, dan SMA Se-Kabupaten Flores Timur
Info Kegiatan
Info Kegiatan
dan dihadiri 71 guru bahasa Indonesia.
Kantor Bahasa melakukan tes UKBI di Hotel Ricky, Rote Ndao pada tanggal 2 Oktober 2013. Jumlah guru bahasa Indonesia yang hadir berjumlah 44 guru.
Tes UKBI dilaksanakan di Hotel Pelangi, kota Kupang tanggal 9 Oktober 2013. Peserta yang mengikuti tes UKBI sebanyak 32 orang yang terdiri dari wartawan yang ada di kota Kupang dan mahasiswa Muhammadiyah.
Tes UKBI dilaksanakan di Hotel Nusa Kenari, Alor tanggal 24 Oktober 2013. Jumlah peserta yang hadir sebanyak 91 guru bahasa Indonesia.
Tes UKBI dibagi menjadi tiga seksi. Seksi pertama mendengarkan, seksi kedua merespon kaidah, dan seksi ketiga membaca. Setiap seksi ditentukan oleh waktu. Media pengujian dilakukan oleh Kantor Bahasa berbasis kertas. Peserta yang mengikuti tes UKBI akan mendapatkan sertifikat yang berlaku selama satu tahun dan akan dicantumkan skor pemeringkatan. (sm)
74
75
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Kantor Bahasa Provinsi NTT, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan Gerakan Cinta Bahasa Indonesia (GCBI) tahun 2014. Kegiatan ini dilaksanakan dengan cara mengampanyekan kembali penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar pada media luar ruang (papan nama, papan petunjuk, kain rentang, dan lain sebagainya). Kegiatan ini didukung oleh para pejabat, tokoh masyarakat atau figur-figur yang menjadi panutan masyarakat, media massa cetak dan elektronik, para akademisi, para pengusaha dan lain-lain. Kegiatan ini diharapkan dapat memartabatkan bahasa Indonesia di semua sisi kehidupan masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebagai media kampanye Gerakan Cinta Bahasa Indonesia (GCBI), Kantor Bahasa Provinsi NTT melaksanakan pembagian kaus, stiker, pin, dan buku-buku kepada Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi NTT, tokoh-tokoh masyarakat, para akademisi, para pengusaha, pimpinan media massa cetak dan elektronik di kota Kupang, komunitas sastra, mahasiswa dan pelajar, pusat pelayanan masyarakat, pusat perbelanjaan, pedagang kaki lima, serta tukang ojek pada tanggal 6—14 Desember 2013. (yc)
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Gerakan Cinta Bahasa Indonesia (GCBI)
76
77
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Festival Musikalisasi Puisi Tingkat Nasional 2013
Komunitas Teater SMAK Sint Carolus yang mewakili Provinsi NTT mengikuti festival musikalisasi puisi tingkat Nasional di Solo, Desember 2013
Komunitas Teater SMAK Sint Carolus Kupang pada 17-19 Desember 2013 turut mengambil bagian dalam Festival Musikalisasi Puisi Tingkat Nasional yang digelar Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Solo, Jawa Tengah. Kegiatan ini dalam rangka meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sastra, khususnya puisi, dan juga menjadi salah satu sarana pengembangan kreativitas remaja, serta ajang pertukaran budaya melalui puisi dan musik. Festival ini dilaksanakan di Hotel Kusuma Sahid, Solo. Dalam ajang tingkat nasional tersebut, lima anggota teater SMAK Sint Carolus menduduki posisi 10 besar setelah bersaing melawan 18 sekolah dari 18 provinsi. Prestasi ini cukup membanggakan, karena NTT di luar dugaan masuk dalam jajaran 10 besar, meski selanjutnya gagal masuk tiga besar. Meski demikian, anak-anak asuhan John Tubani ini sudah menunjukkan bahwa perkembangan dunia sastra dan drama atau seni pertunjukan di NTT
tidak kalah dengan provinsi lain. Juara festival ini adalah delegasi dari Sumatera Utara, DKI Jakarta dan Bali. Di babak penyisihan, SMAK Sint Carolus berhasil mencuri perhatian juri lewat puisi ‘Kepada Tanah Air’ karya Budiman S. Hartoyo. Bukan hanya para juri, anak SMAK Sint Carolus yang bernaung di bawah Teater Price pun mencuri perhatian surat kabar lokal Joglo Semar dan muncul di halaman panggung, bahkan pada malam penutupan, Jhon Tubani didaulat bersama Sosiawan Leak, Cok Sawitri, Azep Zam-Zam Noer (para juri) untuk berparade puisi. “Ini merupakan kesempatan yang langka bisa sepanggung dengan orang-orang yang sudah ternama dalam dunia sastra dan drama.” Jhon menjelaskan, “Komunitas Teater SMAK Sint Carolus Kupang kini beranggota 35 orang. Pada umumnya mereka yang aktif memiliki minat yang besar dalam dunia sastra, jadi mereka gabung karena memang punya bakat. Dan, melatih mereka juga tidak sulit,” jelasnya. (jt)
Kantor Bahasa NTT Apresiasi Sastrawan NTT
Suasana bedah novel Likurai untuk Sang Mempelai di Graha Pena, sabtu, 12 Desember 2013
Robertus fahik, penulis novel Likurai untuk Sang Mempelai saat berbicara pada acara bedah novel miliknya di Graha Pena
Novel Likurai Untuk Sang Mempelai merupakan karya ke 109 yang dihasilkan sastrawan NTT, masuk dalam 48 novel karya sastrawan NTT, masuk dalam 6 novel yang berlatar Timor, dan novel kedua yang mengangkat latar daerah Malaka. Kantor Bahasa dalam hal ini sangat mengapresiasi penulis, karena ini menambah deretan karya sastra yang dihasilkan putra daerah dan ada nuansa lokalnya.
NTT. Mewakili Komunitas Rumah Segitiga yang dirintisnya bersama Ans Taolin dan Roy Tei Seran, Fahik mengungkapkan kegembiraan dan rasa terima kasih yang mendalam kepada semua pihak yang mendukung bedah novel di Graha Pena Timor Express.
Demikian disampaikan Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT, Muhammad Luthfi Baihaqi, S.S., M.A., ketika membuka Bedah Novel Likurai Untuk Sang Mempelai karya sastrawan NTT asal Malaka, Robert Fahik, Sabtu (21/12/13) di Graaha Pena Timor Express Kupang. Muhammad Luthfi juga memberi apreasi kepada Timor Express sebagai media masa yang mendukung bedah novel ini. “Kami juga memberi apresiasi kepada Timor Express sebagai media masa yang memfasilitasi acara ini. Hal ini menunjukkan komitmen dan kepedulian media masa dalam memunculkan penulis-penulis baru,” kata Muhammad Luthfi. Sementara itu dalam catatannya, penulis novel Likurai Untuk Sang Mempelai, Robert Fahik menekankan soal kekayaan budaya yang dimiliki
Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama Harian Timor Express, Kantor Bahasa Provinsi NTT, dan Komunitas Rumah Segitiga Rumah ini, dan dibuka secara resmi oleh Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT, Muhammad Luthfi Baihaqi, S.S., M.A. Tampil sebagai moderator, Pemimpin Redaksi (pemred) Timor Express, Simon Petrus Nilli, dan empat pembedah yakni Yohanes Sehandi, Mezra E. Pellondou, S.Pd., M.Hum., Romo Amanche Franck Oe Ninu, Pr., dan Ir. Stefanus Nahak (tokoh Malaka). Hadir pula tokoh NTT dan pemerhati sastra yakni A.G. Hadzarmawit Netti, Pius Rengka, dan Lasarus Jehamat, serta para mahasiswa, insan pers, dan anggota komuintas sastra di kota Kupang dan sekitarnya. Dalam bedah novel yang dikemas bentuk diskusi tersebut, para pembedah dan narasumber tidak hanya memberikan pujian pada keberhasilan penulis dan karyanya, namun juga berupa kritik yang membangun. Dan semua kritik tersebut diterima Robert dengan lapang dada, “Ya saya memang akan terus belajar.” (iwa)
78
79
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan
SMAK Sint Carolus Tampil di Solo
Dari Bedah Novel Likurai Untuk Sang Mempelai Karya R. Fahik
Info Kegiatan
Info Kegiatan Dokumentasi Bahasa Retta ke dalam Bentuk Kamus Lautan indah terbentang di antara gugusan pulaupulau kecil Alor dan pemandangan yang memberi memori tak terlupakan adalah kesan yang ditinggalkan dari desa Pura Selatan. Desa kecil di kaki gunung Maru, kecamatan Pulau Pura ini telah menjadi potret dari degradasi kesadaran generasi bangsa ini terhadap bahasa daerah mereka. Bahasa daerah yang sudah tidak lagi mendapat tempat di kalangan generasi muda Indonesia.
Foto Bersama Duta Bahasa Perwakilan 26 Provinsi pada Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.
Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk kedua kalinya mengirim duta bahasa untuk berlomba di tingkat nasional. Dan sebagai pemenang I Pemilihan Duta Bahasa Provinsi NTT, Sdr. Thomas Soni Bill Tanelab dan Sdri. Maria Beverly Rambu Y. K. dikirim untuk mewakili Provinsi Nusa Tenggara Timur pada seleksi duta bahasa tingkat nasional. Kegiatan ini berlangsung di Wisma Cakrawala, jalan Daksinapati 4, dimulai dari tanggal 26—31 Oktober 2013. Pada kegiatan ini, pasangan duta bahasa perwakilan Provinsi Nusa Tenggara Timur bersaing bersama 25 Provinsi lainnya dalam tes Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI), uji kemampuan berbahasa asing dan berbahasa daerah. Selain itu, para duta bahasa perwakilan 25 Provinsi ini juga diberi kesempatan untuk hadir sebagai perserta Kongres Bahasa Indonesia
X di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, bahkan mereka diberi kesempatan untuk tampil pada malam puncak Kongres Bahasa X. Kegiatan yang berlangsung selama 6 hari itu adalah seleksi tahap I, yang nantinya akan dilanjutkan ke seleksi tahap II pada tahun 2014. (iwa)
Duta Bahasa perwakilan26 Provinsi saat tampil di malam puncak Kongres Bahasa X di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.
Desa Pura Selatan dihuni oleh kurang lebih 800 penduduk yang mayoritasnya bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan, sudah menjadi penutur turun temurun dari bahasa daerah setempat yakni bahasa Retta. Bahasa ini juga dituturkan oleh sejumlah penduduk di desa Ternate Selatan, dikarenakan migrasi dari Pulau Pura. Bahasa Retta menjadi perhatian dikarenakan jumlah penutur yang semakin berkurang. Hasil penelitian kami meyebutkan bahwa dari jumlah penduduk yang ada, tidak semua fasih berbahasa Retta. Kondisi ini menjadi alasan yang membawa kami menapaki setapak-setapak kecil di desa Pura Selatan kecamatan Pulau Pura, kabupaten Alor provinsi Nusa Tenggara Timur untuk mendokumentasikan bahasa Retta dalam bentuk kamus. Proses dokumentasi bahasa dilakukan dalam 2 tahapan, yakni pengumpulan data dan klarifikasi. Tahapan pengumpulan data dilakukan secara manual dari beberapa penduduk setempat yang dipilih berdasarkan kriteria-kriteria khusus. Kami menghabiskan 3 hari mencari informan dan membekali mereka dengan petunjuk kerja. Hasil yang dikumpulkan adalah kata dasar dan beberapa contoh kalimat serta terjemahannya. Antusias yang besar dan keinginan untuk menyelamatkan bahasa mereka memotivasi para
informan untuk terus mengumpulkan data walau memakan waktu berbulan-bulan. Data awal yang sudah dikumpulkan kemudian dikirimkan untuk selanjutnya dilakukan pengentrian ke dalam peranti kamus.
Proses penyusunan bahasa Retta di rumah salah satu warga desa Pura Selatan
Proses pengumpulan data bahkan masih menjadi tugas tambahan saat tim kembali ke Pulau Kenari untuk melakukan klarifikasi atas informasi yang sudah kami kamuskan. Proses klarifikasi dilakukan 2 kali selama bulan Oktober dan Desember hingga data kamus yang telah dibuat benar-benar akurat. Sisanya adalah analisis morfologi serta panduan membaca kamus yang menjadi sentuhan akhir pembuatan kamus bahasa Retta. Proses dokumentasi bahasa daerah merupakan hal penting untuk dilakukan. Dengan adanya kamus, kita tidak perlu mencemaskan punahnya sebuah bahasa tertentu. Semoga kamus bahasa Retta dapat menjadi inspirasi bagi siapapun yang menginginkan agar bahasa daerah mereka tetap lestari. (bt)
80
81
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan
SELEKSI DUTA BAHASA TINGKAT NASIONAL
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Masyarakat di daerah 3T (daerah terpencil, tertinggal, dan terluar) masih ada yang belum memahami dan menguasai bahasa Indonesia. Bahkan, ada pula yang sama sekali tidak dapat berbahasa Indonesia. Oleh karena itu, Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa terus melakukan kegiatan pemasyarakatan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik di pusat maupun di daerah.
sebagai pamong bahasa, setelah tahun sebelumnya NTT diwakili sastrawan Mezra E. Pallondou. Tampil sebagai narasumber, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Prof. Dr. Mahsun, M.S., Kepala Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan, Dra. Yeyen Maryani, M.Hum., Kepala Bidang Pemasyarakatan, Drs. Mustakim, M.Hum., Kepala Subbidang Penyuluhan, Drs. Suladi, M.Pd., Peneliti Badan Bahasa, Drs. Sriyanto, M.M., M.Pd., Peneliti Badan Bahasa, Drs. S.S.T. Wisnu Sasangka, M.Pd., Peneliti Badan Bahasa, Drs. Abdul Gaffar Ruskhan, M.Hum., dan Dosen Universitas Negeri Jakarta, Prof. Dr. Achmad H.P.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sangat membutuhkan partisipasi pamong bahasa untuk membantu memasyarakatkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di daerah 3T tersebut. Pamong Diharapkan bahasa memang k e g i a t a n merupakan ujung Pemberdayaan tombak Badan Masyarakat Melalui Pengembangan Pamong Bahasa ini dan Pembinaan Foto bersama peserta pamong bahasa 2013 memenuhi beberapa Bahasa dalam upaya memasyarakatkan bahasa harapan seperti terbentuknya pamong bahasa Indonesia bagi masyarakat di daerah pelosok, yang andal dalam menyuluhkan bahasa Indonesia; terutama daerah 3T, di seluruh Indonesia. terbentuknya sikap positif pamong bahasa dalam Tahun 2013, Kegiatan Pemberdayaan mencintai bahasa Indonesia; termotivasinya Masyarakat (Pamong Bahasa) ini dilaksanakan pamong bahasa dalam membantu dan selama 3 hari, yaitu pada tanggal 11 – 13 mempersiapkan diri dalam upaya meningkatkan November 2013 di Hotel salak, Jalan Ir. Juanda sikap positif masyarakat daerah tertinggal No. 8, Paledang, Bogor, Jawa Barat. Peserta terhadap bahasa Indonesia; termotivasinya kegiatan Pemberdayaan Masyarakat (Pamong pamong bahasa dalam upaya meningkatkan Bahasa) ini berjumlah 25 orang, yaitu 10 keterampilan berbahasa Indonesia masyarakat di orang tenaga teknis dari Pusat Pembinaan dan daerah tertinggal; dan terbentuknya komunitas Pemasyarakatan dan 15 orang dari 15 provinsi. pamong bahasa. (rf) Dalam kegiatan ini, Kantor Bahasa NTT mengirim sastrawan muda NTT, Roberrt Fahik
SELEKSI CPNS KANTOR BAHASA PROVINSI NTT TAHUN 2013 Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2013 ini mendapatkan jatah 7 orang tenaga Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), dengan formasi yang ditetapkan adalah 2 orang untuk Sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia, 1 orang untuk Sarjana Bahasa dan Sastra Inggris, 1 Orang untuk Sarjana Komputer, 1 orang untuk Sarjana Ekonomi Akuntansi, 1 orang untuk Sarjana Hukum, dan 1 orang untuk Sarjana Ilmu Komunikasi. Calon Pegawai Negeri Sipil ini telah melalui 3 tahap seleksi, yaitu seleksi administrasi, Tes Kompetensi Dasar (TKD) yang telah dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 3 November 2013, dan diikuti oleh 186 peserta, dan Tes Kompetensi Bidang (TKB) yang telah dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 22 Desember 2013 diikuti oleh 63 peserta. Adapun hasil seleksi ini akan diumumkan melalui laman Kemdikbud. (ctw)
Foto bersama panitia CPNS Kantor Bahasa Provinsi NTT
Suasana Tes Kompetensi Dasar (TKD)
Suasana Tes Kompetensi Bidang (TKB)
Panitia membakar soal tes CPNS setelah ujian dilaksanakan
82
83
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Info Kegiatan
Info Kegiatan
Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pamong Bahasa
Inf Penelitian
POTENSI PENYELENGGARAAN PROGRAM BIPA BAGI WISATAWAN ASING DI ROTE-NDAO DAN MANGGARAI BARAT
Penelitian ini merupakan penelitian survei yang bermaksud mengidentifikasi potensi penyelenggaraan program BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) di Kabupaten Rote-Ndao dan Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam penelitian ini, dideskripsikan tanggapan atau sikap para wisatawan asing di kedua tempat tersebut terhadap rencana penyelenggaraan program BIPA. Selain itu, penelitian survei ini juga menjaring informasi mengenai kesiapan sarana prasarana dan pengajar apabila diselenggarakan program BIPA di kedua tempat tersebut. Tujuan utama penelitian survei ini adalah merumuskan rekomendasi berdasarkan informasi yang didapatkan dari para informan mengenai tindak lanjut penyelenggaraan program BIPA di kedua tempat tersebut. Daerah penelitian yang dipilih secara khusus, adalah Desa Nemberala (Kecamatan Rote Barat, Kabupaten RoteNdao) dan Kelurahan Labuan Bajo (Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat). Kedua tempat tersebut dipilih karena dianggap sebagai tempat wisata utama di kedua kabupaten tersebut. Sumber data adalah para informan yang terdiri atas wisawatan asing dan warga lokal. Wisatawan asing menyediakan data berupa tanggapan atas penyelenggaraan program BIPA, sedangkan warga lokal menyediakan data mengenai kesiapan sarana, prasarana, dan pengajar terkait penyelenggaraan program tersebut. Penelitian survei ini menggunakan metode wawancara terstruktur dan tak terstruktur. Metode wawancara
terstruktur digunakan untuk menjaring data dari para wisatawan asing. Metode tersebut menggunakan instrumen berupa kuesioner. Untuk mendapatkan informasi dari warga lokal, peneliti menggunakan wawancara tak terstruktur dengan memanfaatkan alat rekam sebagai instrumen penelitian. Ada tiga rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Rumusan masalah pertama, mengenai sikap bahasa dan analisis potensi (ketertarikan individu). Dari aspek sikap bahasa, 100% informan asing di Nemberala dan Labuan Bajo menyatakan berminat untuk menggunakan bahasa Indonesia selama tinggal di Indonesia. Selanjutnya sikap bahasa yang positif juga ditunjukkan dari ketertarikan mereka untuk belajar bahasa Indonesia. 100% informan asing di Nemberala dan Labuan Bajo menyatakan berminat untuk belajar bahasa Indonesia. Sementara itu 100% informan asing di Nemberala dan 83% informan di Labuan Bajo menyatakan bahwa belajar bahasa Indonesia penting bagi mereka. Analisis potensi secara umum menunjukkan bahwa para informan lebih tertarik belajar bahasa Indonesia di Indonesia (daerah penelitian) dibandingkan di negara asalnya: 88% informan di Nemberala menyatakan demikian dan 67% informan asing di Labuan Bajo menyatakan demikian. Sementara itu, 88% informan asing di Nemberala dan 100% di Labuan Bajo menyatakan akan mengikuti program BIPA jika diselenggarakan di daerah penelitian walaupun itu bergantung pada kesempatan mereka untuk
Inf Penelitian
kembali lagi ke Indonesia.
budaya lokal.
Rumusan masalah kedua, tentang kesiapan sarana dan prasarana penyelenggaraan program BIPA di daerah penelitian. Berdasar hasil wawancara dengan para informan lokal, secara umum para informan lokal mengatakan bahwa Nemberala dan Labuan Bajo siap untuk menjadi tempat penyelenggaraan program BIPA. Para informan mengatakan, tempat yang paling siap untuk dijadikan lokasi penyelenggaraan adalah sekolah dan kantor lembaga swadaya masyarakat (yayasan sosial). Mengenai pengajar, para informan yang berprofesi sebagai guru mengatakan bahwa para guru bahasa (Indonesia maupun Inggris) dapat disiapkan untuk menjadi pengajar BIPA. Namun, mereka perlu dilatih terlebih dahulu.
Berdasarkan simpulan, ada tiga langkah yang perlu dilakukan sebelum menyelenggarakan program BIPA di daerah penelitian. Tiga langkah tersebut adalah berikut.
Rumusan masalah ketiga, tentang analisis kebutuhan dan manfaat pembelajaran budaya. Tidak ada informan baik yang berada di Nemberala maupun Labuan Bajo yang memilih durasi 3 bulan untuk penyelenggaraan program BIPA. Para informan tersebut memilih durasi 2 minggu, 1 bulan, dan lebih dari 3 bulan. Dengan demikian, model penyelenggaraan program BIPA dari segi durasi dapat dibagi menjadi tiga jenis: program singkat (2 minggu), program menengah (1 bulan), program jangka panjang (lebih dari 3 bulan). Terkait materi pembelajaran, 100% informan di Labuan Bajo dan 88% informan di Nemberala menyatakan bahwa bahwa materi yang mereka anggap paling penting adalah materi percakapan sehari-hari atau komunikasi dasar seperti, transaksi jual beli, pemesanan, dan petunjuk arah. Dari aspek materi budaya, 100% informan di Nemberala dan Labuan Bajo mengatakan bahwa mempelajari budaya masyarakat lokal adalah penting. Oleh sebab itu, materi pembelajaran sebaiknya juga berisi muatan
1.
Perlu diselenggarakan pelatihan untuk calon pengajar BIPA
2.
Perlu merintis kerja sama dengan sekolah atau lembaga swadaya masyarakat setempat untuk persiapan tempat penyelenggaraan.
3.
Perlu penyusunan bahan ajar pendukung yang berisi muatan lokal dan hal-hal yang menjadi ciri khas wisata.
Namun, langkah pertama (penyelenggaraan pelatihan untuk calon pengajar BIPA) dipandang sebagai langkah paling penting untuk segera dilakukan karena tiga alasan berikut. Pertama, penyiapan calon pengajar BIPA akan membutuhkan waktu yang relatif lama. Oleh sebab itu, kegiatan tersebut harus dilakukan terlebih dahulu. Kedua, selama penyelenggaraan pelatihan perintisan kerja sama dengan sekolah atau lembaga swadaya masyarakat setempat dapat sekaligus dilakukan sehingga tidak memerlukan biaya yang lebih besar. Ketiga, apabila calon pengajar BIPA telah siap mengajar, mereka tentu juga harus memiliki kemampuan untuk membuat bahan ajar pendukung yang bermuatan budaya lokal secara mandiri karena, sebagai masyarakat setempat mereka tentu memiliki pengetahuan tentang budaya lokalnya.
84
85
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Resensi Membangun Dialog Kebudayaan
(Catatan Atas Novel “Likurai Untuk Sang Mempelai” karya R. Fahik) Oleh: Gusty Fahik* Sastra tidak semata-mata hasil khayalan atau imajinasi liar seorang penulis. Sastra bisa diberi arti sebagai permenungan yang mendalam dan pemaknaan yang serius atas setiap pengalaman dan harapan dalam kehidupan. Sebuah karya sastra dapat seketika merangkum masa lalu, masa kini dan masa depan, pun menjangkau ruang-ruang yang luput dari perhatian kebanyakan orang. Membaca sebuah karya sastra berarti membiarkan diri menjelajah, melintasi sekat ruang dan waktu, memungut ceceran makna yang bertebaran sepanjang lintasan sejarah kehidupan. Likurai Untuk Sang Mempelai, sebuah novel kultural buah pena Robertus Fahik sebagai kelanjutan dari novel Badut Malaka, dapat dianggap sebagai sebuah album sejarah yang tidak sepenuhnya berisi kisah fiktif hasil imajinasi kreatif, tetapi memuat potongan-potongan fakta yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, terlebih momen pemekaran Malaka, sebagai sebuah kabupaten baru yang terpisah dari kabupaten Belu, awal 2013 ini. Gerson Poyk, memberi catatan untuk novel ini dengan label faction (fact and fiction), campuran antara fakta jurnalistik dan karya fiktif. Fakta-fakta jurnalistik tidak hanya dijadikan hiasan dalam novel, tetapi direnungi dan diberi makna secara cukup mendalam oleh sang penulis. Fakta dan fiksi berjalin berkelindan dengan begitu padu dalam novel ini seolah membahasakan keindahan liukan para penari likurai. Likurai, tarian khas dan kebanggaan orang Belu dan Malaka menjadi ikon utama dalam karya ini. Likurai (Haliku: mengawasi, menjaga, melindungi, Rai: tanah, negeri) ditampilkan sebagai simbol kultural orang Malaka, dan dimaknai sebagai sebuah sekolah kehidupan. Di tengah terpaan arus globalisasi dan gejala memudarnya berbagai kekayaan budaya lokal, likurai diangkat kembali oleh penulis dan dijadikan landasan pijak untuk menyambut kelahiran dan harapan kehidupan baru yang ditawarkan oleh mekarnya Malaka sebagai sebuah daerah otonomi baru. Kehadiran Malaka diumpamakan dengan kedatangan seorang mempelai yang memberi suka cita dan kebahagiaan, karena itu rasanya pantas bila disambut dengan liukan dan keindahan tarian Likurai. Gambaran ini seolah ingin menunjukkan bahwa Malaka sebagai sebuah daerah otonomi yang mekar di tengah pengaruh globalisasi, perlu disambut dan dibekali pengenalan akan kekayaan budaya yang dikandungnya. Malaka memiliki kekayaan kulturalnya sendiri yang bila dimaknai secara benar dan dihayati dengan bijak maka akan menjadi salah satu perlengkapan utama Malaka untuk maju dan bersaing dengan daerah-daerah lain di bumi Indonesia ini.
Resensi Apakah kondisi terkini menunjukkan bahwa orang Malaka masih memiliki kebanggaan akan Likurai, Bidu, Aikanoik, Hanimak, Kananuk, dan aneka kekayaan budaya lainnya? Atau apakah generasi muda Malaka, selain mengenakan berbagai produk busana modern, masih bisa menenun sehelai tais mane atau tais feto, atau memasak akarbilan dan menghidangkannya dengan penuh kebanggaan? Mungkin inilah kegelisahan yang dirasakan penulis dan mendorongnya melahirkan novel ini. Sebab arus globalisasi dan tren mutakhir kapitalisme tingkat lanjut memiliki kecenderungan untuk mencabut orang dari akar kulturalnya, membuat orang merasa malu dengan apa yang menjadi miliknya dan tanpa pertimbangan apapun larut dalam budaya konsumsi berbagai hal yang ditawarkan dari luar. Orang dipaksa untuk mengonsumsi berbagai macama produk yang ditawarkan, tanpa harus tahu apakah ia membutuhkannya atau tidak. Bahkan banyak nilai kehidupan dikorbankan demi kepuasan sesaat yang tidak jarang justru menyesatkan. Sebagai karya sastra novel ini memiliki kandungan nilai yang tidak dibatasi oleh lokalitas yang sengaja ditonjolkan, melainkan berdimensi universal. Kekayaan kultural (dan religius), tidak saja dimiliki oleh kabupaten Malaka yang menjadi setting novel ini, melainkan dimiliki juga oleh daerah-daerah lain di luar Malaka dan NTT. Kecintaan pada budaya sendiri, tidaklah dimaksudkan untuk menutup diri dan menolak semua pengaruh yang masuk dari luar. Kecintaan dan kebanggaan akan kekayaan kultural perlu dimiliki oleh setiap orang, sebelum ia keluar dan mengalami perjumpaan dengan budaya lain. Dialog kebudayaan hanya mungkin berlangsung seimbang dan fair bila setiap orang tidak lagi malu mengakui kekayaan budayanya dan bersedia membagikannya kepada orang lain, tanpa tendensi untuk menguasai dan mendominasi. Orang menjadi mudah terpengaruh dan terperangkap dalam arus negatif zaman ketika ia tidak lagi sadar akan potensi yang dimiliki dan tidak pernah menghayatinya. Penghargaan, persamaan derajat, kesetaraan dan keterbukaan tidak saja terkandung dalam kekayaan budaya Malaka, tetapi juga dalam kebudayaan lain. Novel ini dengan kekhasan lokalitasnya seolah mengingatkan para pembaca untuk kembali menyadari kekayaan budayanya masing-masing sebagai sebuah sekolah kehidupan. Kearifan dan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam kebudayaan lokal perlu kembali dihidupi sebagai perangkat untuk menyaring berbagai hal yang masuk dari luar. Adalah tidak mungkin untuk menutup diri secara total terhadap setiap pengaruh luar, tetapi adalah mungkin untuk melakukan penyaringan (filtrasi), dan adaptasi kreatif terhadap nilai-nilai lain yang berasal dari luar. Likurai Untuk Sang Mempelai, novel kultural yang lahir di penghujung tahun 2013, adalah sebuah afirmasi terhadap nilaI-nilai kultural, sekaligus sebuah awasan sebelum melangkah masuk ke tahun 2014. Setiap saat terjadi perjumpaan antar-budaya dan di dalamnya bisa saja terjadi gesekan dan benturan. Robertus Fahik membagikan sebuah harapan bahwa gesekan dalam perjumpaan dengan kebudayaan lain tidaklah menjadi suatu masalah besar bila orang bersedia untuk saling berbagi sebagai saudara dalam suatu keluarga dan sekolah; kehidupan. Upaya penulis novel ini menjadi pula sebuah afirmasi dari apa yang pernah dikatakan William J. Durant (1885-1981) bahwa sebuah peradaban belum benar-benar dijajah, sebelum hancur dari dalam.
*Anggota Liga Mahasiswa Pascasarjana (LMP) NTT-Yogyakarta
86
87
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Dr. Theresia Kumanireng Theresia Y. Kumanireng lahir pada tanggal 15 Juni 1941 di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Ia menamatkan SR tahun 1953 di Lamahala (Adonara), SMPK YAPENTOM di Maumere (Kabupaten Sikka) tahun 1956, SMAK Syuradikara TAHUN 1959 di Ende (Kabupaten Ende). Theresia Kumanireng menjadi guru SMP Reinha Rosari di Larantuka (1959-1960), kemudian belajar Bahasa dan Sastra Inggris pada IKIP Sanata Dharma (sekarang Universitas Katolik Sanata Dharma), tahun 1960, dan lulus sebagai sarjana wanita pertama di Flores dan di Nusa Tenggara Timur, tahun 1965. Tanggal 1 Mei 1966 diangkat menjadi dosen pada jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, IKIP Malang cabang Kupang di Ende, sambil menjadi guru Bahasa Inggris di SMAK Syuradikara, SMA dan SGA St. Ursula dan SMAK Muktiyasa di Ende. Ia juga menduduki berbagai jabatan. Tahun 1968, menjadi Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FKIP) di Ende, lalu menjadi Dekan Fakultas Keguruan (FK) tahun 1969—1975 Sejak tahun 1975 hingga tahun 1979 ia menjadi Ketua Jurusan bahasa dan Sastra Inggris sejalan dengan perubahan Sistem Pendidikan di perguruan Tinggi, tahun 1979 menjadi Koordinator Program Studi (Diploma II dan III). Tahun 1982-1985, ia juga menjadi Dekan Fakultas Keguruan pada Universitas Flores Di Ende. Tahun 1886 ia ke Kupang karena Undana cabang Ende ditutup.
88
Tahun 2009 hingga 2013, Theresia menjadi Rektor pada Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka, di Larantuka, Flores Timur. Sejak 1995 hingga kini ia menjadi Penyuluh Nasional Bahasa Indonesia. (yc).
Sejak tahun 1987 hingga 1991, ia menjadi Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni pada FKIP Undana di Kupang, lalu tahun 1991 hingga tahun 1994 menjadi ketua Jurusan. Pada tahun 1988 Theresia Mengikuti progam ELICOS (English Language Intensive Course for Overseas) pada Curtin University of Tecnologi di Perth, Australia Barat. Lalu pada tahun 1990 Ia belajar pada Program Studi Linguistik, Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Jakarta, dan meraih Doktor Linguistik pada Tahun 1993, sebagai doktor pertama pada FKIP Undana. Sejak tahun 1993 hingga 1996, Theresia memimpin Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur, sambil menjadi Direktur Program Intensive Indonesian (BIPA) untuk mahasiswa asing. Suatu proyek kerja sama Universitas Nusa Cendana dan Northern Territory University, Darwin. (sekarang Universitas Charles Darwin).tahun 1991-1997. Sejak tahun 1997 hingga 2009, Theresia menjadi Koordinator Pemasyarakatan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Penertiban Penggunaan Bahasa asing, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang menjadi Cikal bakal pendirian Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur. Theresia juga menjadi pembicara dalam berbagai pertemuan kebahasaan tingkat nasional dan Internasional baik dalam maupun luar negeri.
Ibu Theresia Y. Kumanireng ketika menjadi juri pada Pemilihan Duta Bahasa NTT tahun 2013
89
88
89
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
sisi lain
SD Paralel Maharang
sisi lain
Terletak di Dusun Wangga, Desa Padiratana Kecamatan Umbu Ratunggay
90
91
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
sisi lain
sisi lain
SD Paralel Maharang
jalan yang terjal, bahkan harus berhadapan dengan banjir saat musim hujan tiba. Sungai Maharang pun terdapat buaya yang terkadang naik ke darat, dan itu sangat berbahaya untuk anak-anak Dusun Wangga yang setiap hari harus melewati sungai Maharang menuju ke SD Loku Lalang tempat mereka belajar. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya warga Dusun Wangga bersama pihak SD
Loku Lalang membangun sebuah sekolah paralel yang berada tepat di atas lereng Dusun Wangga, yang diberi nama SD Maharang.
P
ulau sumba yang terkenal dengan padang sabananya yang indah, ternyata menyimpan sisi lain dalam potret pendidikannya. Di pintu masuk perbatasan Sumba Timur dan Sumba Tengah, tepatnya di Desa Padiratana Kecamatan Umbu Ratunggay, Dusun Wangga terdapat sebuah bangunan sekolah yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu, beratap alang-alang, dan berlantai tanah.
SD yang bernama Maharang ini didirikan pada tanggal 1 Juli 2013, atas inisiatif masyarakat dusun Wangga. Salah satu penggagasnya adalah seorang tokoh masyarakat yang bernama Umbu Amah. Umbu Amah dan masyarakat Dusun Wangga merasa prihatin dan cemas dengan anakanak Dusun Wangga yang setiap harinya harus menempuh jarak kurang lebih 5 Kilo Meter menuju SD Loku Lalang, melewati sungai Maharang,
Karena berbagai kerterbatasan, sehingga sekolah yang hanya memiliki satu ruangan kelas ini hanya mampu menampung anak-anak Dusun Wangga yang duduk di kelas 1 dan II. Dengan kata lain, mereka harus rela digabungkan dalam satu kelas, sedangkan kakak-kakak mereka yang duduk di kelas III-VI masih tetap bersekolah di SD Inpres Loku Lalang yang jaraknya sangat jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Sebagai sekolah paralel yang baru berusia 5 bulan ini, SD Maharang memiliki banyak kekurangan, seperti fasilitas belajar yang hanya terdapat sebuah papan tulis, meja dan kursi yang
terbatas, dan tidak adanya buku-buku pelajaran yang menunjang, bahkan untuk buku pegangan guru pun tidak ada. Sebagian besar dari mereka pun pergi ke sekolah tanpa menggunakan alas kaki, namun kekurangan-kekurangan tersebut tidak memudarkan semangat belajar dari anakanak SD Maharang. Wajah polos dengan seragam seadanya, dan bertelanjang kaki tidak membedakan mereka dengan anak-anak di kota dalam hal semangat belajar, bahkan ketangguhan dan semangat mereka begitu kuat tercermin dalam suasana belajar yang begitu aktif, seakan mereka belajar tanpa ada kekurangan. Jiwa Nasionalisme yang kuat pun tercermin dari kebanggaan mereka menyanyikan lagu-lagu kebangsaan saat jam sekolah berakhir. Sebagai generasi penerus bangsa, 40 orang anak didik dan 2 orang guru honor, yaitu bapak Umbu Ngadu Oli dan ibu Nen Dae Ngana hanya memiliki sebuah harapan kecil untuk mimpimimpi mereka yang besar, yaitu mereka berharap dapat belajar dengan lebih baik dan layak seperti sekolah-sekolah yang lain. (iwa)
92
93
Edisi II/ Desember 2013
Edisi II/ Desember 2013
Agenda Kegiatan Kantor Bahasa NTT 2014 Penyusunan Bahan Data Kebahasaan dan Kesastraan di 11 Kabupaten Kab. Rote 3—6 Februari Kab. Alor Kab. Flores Timur Kab. Ngada Kab. Ende Kab. Maumere 10—13 Februari Kab. Nagekeo Kab. Sumba Barat Kab. Sumba Tengah Kab. Sumba Timur Kab. Sumba Barat Daya 17—20 Februari Pelatihan Karya Tulis bagi Guru Inti Bahasa Indonesia Kota Kupang 24—26 Februari Bengkel Sastra di 3 sekolah Binaan, SD, SMP, SMA (Februari—Maret) Pementasan Sastra 26--27 April Kelas Menulis Kreatif Kelas Menulis Kreatif Anak Perbatasan Kab. Malaka Kelas Menulis Kreatif Anak Kepulauan Kab. Alor Kelas Menulis Kreatif Anak Kepulauan Kab. Lembata
3—6 Maret 10—13 Maret 17—20 Maret
Pelatihan Karya Tulis Lanjutan di 10 Kabupaten (Maret—Mei) Kota Kupang Kab. Kupang Flores Timur Ngada Alor TTU TTS Belu Rote Ende Pendokumentasian Sastra Lisan (Bajawa, Ruteng, Alor, Manggarai Barat) 21—25 April Pelatihan Tenaga Pengajar BIPA di Kantong-Kantong Wisata (Rote, Labuan Bajo) Kota Kupang 12--14 Mei
Pemilihan Duta Bahasa
23 Mei
Penelitian Penggunaan Bahasa Daerah Dawan di Instansi Pemerintah Kab. TTS Juni Penelitian Evaluasi Penerapan Kurikulum 2013 pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kota Kupang Juni Uji Kompetensi dan Pelatihan Guru Bahasa Indonesia Berbasis Kompetensi UKBI Kab. Sumba Tengah 5--7 Agustus UKBI Kab. Sumba Timur 11--13 Agustus UKBI Kab. Sabu 3--5 September UKBI Kab. Manggarai 16--18 September Penyuluhan Bahasa Indonesia bagi Guru Bahasa Indonesia Kab. Alor 19—22 Agustus Bulan Bahasa (Lomba-Lomba)
Oktober
Penerbitan LISAN Lisan 1 Lisan 2 Lisan 3 Lisan 4
Maret Mei Agustus Oktober
Penerbitan Majalah Loti Basastra Edisi III Edisi IV
Juni November
Penerbitan Jurnal Ilmiah Volume 1, Nomor 1 Volume 1, Nomor 2
Juni November
Kantor Bahasa Provinsi NTT Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan