Pengantar Redaksi Penanggungjawab Moehammad Aman Wirakartakusumah Pemimpin Redaksi Edy Tri Baskoro Redaksi Eksekutif Richardus Eko Indrajit Djemari Mardapi Teuku Ramli Zakaria Weinata Sairin Redaksi Pelaksana Bambang Suryadi Penyunting/Editor Mungin Eddy Wibowo Zaki Baridwan Djaali Furqon Johannes Gunawan Jamaris Jamna Kaharuddin Arafah Desain Grafis & Fotografer Djuandi Ibar Warsita
P
embaca yang budiman. Ujian Nasional atau UN untuk SMA, MA, SMK, SMALB, SMP, MTs, SMPLB, SD dan MI telah selesai dilaksanakan. Pelaksanaan UN ini kami sajikan dalam bentuk gambar (Lensa BSNP). Mulai tanggal 9-12 Juli 2012 BSNP menyelenggarakan Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan atau UNPK untuk Program Paket C. Sedangkan UNPK Program Paket A dan Paket B dilaksanakan tanggal 1618 Juli 2012. Informasi lengkap tentang UNPK disajikan dalam berita BSNP. Pada edisi ketiga ini kami juga menyajikan tiga artikel utama yaitu Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI (bagian kelima), “Empat Pilar” Menyatukan Kemajemukan Indonesia, dan Upaya mengatasi Gangguan Psikologis Siswa Dalam Pelaksanaan Ujian Nasional. Selamat membaca.
Daftar Isi 3-6 7-10
Gedung D Lantai 2, Mandikdasmen Jl. RS. Fatmawati, Cipete Jakarta Selatan Telp. (021) 7668590 Fax. (021) 7668591 Email:
[email protected] Website: http://www.bsnp-indonesia.org
Upaya Mengatasi Gangguan Psikologis Siswa dalam Pelaksanaan Ujian Nasional
11-12
“Empat Pilar”, Menyatukan Kemajemukan Indonesia
13-17
Berita BSNP: - UNPK Tetap Diadakan Dua Kali Setahun - Uji Coba Instrumen Pemantauan Standar - DPRD Kabupaten Sinjai Mengadukan Masalah SKHUN SD ke BSNP - IKAPI Berkomitmen Hasilkan Buku Teks Pelajaran Bermutu - Kunjungan Tamu dari Casio Jepang
18-20
Lensa BSNP
Sekretaris Redaksi Ning Karningsih Alamat: BADAN STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI (Bagian V)
Keterangan Gambar Cover Anggota BSNP, tim ahli, dan reviewer instrumen pemantauan standar sarana dan prasarana pendidikan dasar dan menengah berpose bersama setelah menelaah draf instrumen pemantauan di BSNP (atas). Dari kiri ke kanan, M. Aman Wirakartakusumah Ketua BSNP, Hari Setiadi Kepala Puspendik, R. Eko Indrajit Sekretaris BSNP,dan Jamaris Jamna Anggota BSNP dalam acara sosialisasi pelaksanaan UNPK tahun 2012 di Jakarta (bawah).
Vol. VII/No. 3/September 2012
PARADIGMA PENDIDIKAN NASIONAL ABAD XXI (Bagian V) Tim BSNP
3.9. Globalisasi dan Pendidikan Pada mulanya globalisasi disulut oleh niat negara-negara industri maju untuk mengkonsentrasikan upaya pada “Research & Development” untuk menghasilkan produk-produk yang memiliki nilai tambah tinggi dengan muatan ilmu pengetahuan mutakhir sehingga dengan demikian mereka mendapatkan peluang untuk memenangkan pasar beserta keunggulan kompetitifnya. Kemudian mereka alihkan teknologi industri yang kokoh yang telah mereka kembangkan dengan infrastrukturnya yang padat investasi itu ke negara-negara ‘berkembang’ melalui apa yang disebut “transfer/alih teknologi”. Maka globalisasi dalam konteks ini memperoleh makna: kompetisi ekonomi berbasis ilmu pengetahuan, yang berimplikasi pada apa yang disebut “ekonomi pengetahuan”, yaitu ekonomi yang dasarnya dan atau produknya adalah pengetahuan. Hal ini pada umumnya melibatkan kegiatan penelitian yang dilakukan di perguruan-perguruan tinggi ataupun lembaga-lembaga penelitian
3.10. Budaya dan Karakter Bangsa: Tantangan Nasional Tak dapat disangkal bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki modal fisik (physical capital) awal yang kaya. Dengan luas laut terluas (5,8 juta km2) dan jumlah pulau terbanyak (17.508) di dunia, Indonesia
memiliki potensi sumber daya alam luar biasa. Bayangkan, Indonesia adalah tempat hidup bagi 37% spesies dunia, 30% hutan bakau du nia, dan 18% terumbu karang dunia. Hutan tropis Indonesia merupakan hutan terbesar ketiga setelah Brazil dan Republik Demokrasi Congo. Belum lagi hasil tambang, baik berupa minyak dan gas bumi maupun sumber-sumber mineral lainnya. Produksi minyak Indonesia pernah mencapai rata-rata 1685 ribu barrel/ hari pada 1977 (Hertzmark, 2007). Namun, kekayaan ini semakin hari sema kin terbuang akibat penghancuran sistematis. Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan sesaat yang bersifat sek toral, fragmentatif, dan tak mengindahkan keberlanjutan menjadi penyebab kehancuran yang sudah mulai kita rasakan. Kerusakan sumber kekayaan alam terus terjadi akibat eksploitasi alam terencana yang dilakukan ne gara ataupun akibat pembiaran perusakan alam yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dan kecil yang tengah mengejar keun tungan jangka pendek tanpa mempedulikan dampak lingkungan jangka panjang. Dengan demikian, yang harus kita laku kan adalah perubahan sistemik menyelu ruh, yang mampu menerobos kebuntuan yang terjadi saat ini. Perubahan ini bukan se kadar berubahan tambal sulam seperti mi salnya sekadar menambah anggaran atau Produksi produksi minyak Indonesia yang menjadi andalan pun kini hanya mencapai 1126 ribu barrel/ hari (2004). Angka ini sudah berada di bawah konsumsi BBM Indonesia yang jumlahnya sebesar 1150 ribu barrel/hari. Sementara itu, hutan kita yang pada 1985 diperkirakan mencapai luas 120 juta hektar, pada 2001 diperkirakan tinggal 96 juta hektar saja, dan inipun luasnya diperkirakan terus mengalami penciutan hingga 1,7 juta hektar per hari (Lihat Bank Dunia, 2001). Kekayaan alam yang harusnya menjadi modal awal untuk membiayai pengembangan kualitas sumber daya manusia (human capital), ternyata banyak yang tersia-siakan. Anugerah kekayaan alam ternyata tidak berdampak besar pada peningkatan mutu manusia Indonesia sebagai terlihat pada the Indonesian Human Development Index tahun 2009 yang masih terus menempatkan kualitas manusia Indonesia pada urutan rendah yakni urutan nomor 111, lebih rendah dari Palestina (urutan ke 110), sebuah negeri yang masih harus berjuang karena pendudukan Israel, dan juga jauh ketinggalan dari negara tetangga, seperti Malaysia (urutan ke-66) dan Thailand (urutan ke-87).
Vol. VII/No. 3/September 2012
mengganti kurikulum yang kini berlaku atau sekadar meningkatkan kapasitas pelaksana pendidikan orang per orang, tetapi lebih jauh dari itu, yakni peningkatan modal sosial bangsa yang ditandai dengan tumbuhnya jejaring pelaksana pendidikan yang salingbekerjasama memanfaatkan segala potensi yang tersedia untuk meningkatkan kualitas pendidikan rakyat banyak. Sejak awal kemerdekaan, para pendiri negeri ini sebenarnya telah memiliki komit men kuat dalam meningkatkan kualitas pen didikan bangsa. Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia adalah untuk “memajukan kesejahteraan umum, [dan] mencerdaskan kehidupan bangsa.” Bahkan dalam perkembangannya, amanat UUD 1945 dalam Perubahan ke IV (10 Agustus 2002) dirinci menjadi: “Se tiap warganegara wajib mengikuti pendi dikan dasar dan pemerintah wajib membia yainya” (pasal 31 ayat 2), dan “negara mem prioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk me menuhi kebutuhan penyelenggaraan pen didikan nasional” (pasal 31 ayat 4). Dalam UU 20/2003, pemerintah merumuskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “mengembangkan kemampuan dan mem bentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkem bangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung-jawab.” Tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam konsep-konsep abstrak tinggi ha rus dijabarkan ke dalam konsep yang lebih membumi sehingga dapat dirumuskan cara pencapaiannya secara terukur. Cara-cara mencapai tujuan pendidikan itu juga harus dirumuskan dan dijabarkan secara rinci ke dalam kurikulum beserta metodologi yang digunakan sehingga keterkaitan antara tujuan dan cara pencapaiannya tergambar jelas. Untuk mendukung proses pencapaian tujuan agar dapat berjalan efektif, berbagai perangkat pendukung diperlukan, baik be rupa infrastruktur fisik (seperti gedung perkuliahan, perpustakaan, laboratorium dan lain-lain), juga infrastruktur sosial (se perti organisasi pelajar/mahasiswa, organi sasi seni-budaya, kelompok studi, olahra ga dan lain-lain). Semua komponen yang
terkait dalam proses pendidikan ini harus terintegrasi dalam satu kesatuan sistem manajemen pendidikan holistik yang sta tus legalitasnya jelas, tertuang dalam per undangan-undangan maupun regulasi tek nis untuk pelaksanaannya. Pembagian kewe nangan antarkomponen dalam sistem yang tergambar secara jelas. Analisa sistemik tentang proses pendidikan ini sangat diperlukan untuk memudahkan pembuatan keputusan mengenai dari mana dan bagaimana perbaikan-perbaikan dan pe ningkatan kualitas pendidikan dapat dila kukan. Bila saat ini masih dirasakan adanya kesenjangan tajam antara tujuan ideal pen didikan yang dicita-citakan dengan hasil yang dicapai, maka diperlukan panduan evaluasi tentang bagaimana proses pendidikan yang selama ini berlangsung, dan sekaligus me nentukan perbaikan-perbaikan yang bagai mana diperlukan untuk merespons tantangan di masa mendatang. Uraian berikut akan paparan secara garis besar dari beberapa komponen inti dalam sistem pendidikan yang perlu mendapat perhatian. a. Pendidikan dalam Mengembangkan Kete rampilan dan Ilmu Pengetahuan Untuk dapat mencapai fungsi penyalur dan pengembang ilmu pengetahuan yang efektif, guru/dosen harus menjalankan fung si yang sentral. Guru/dosen tidak hanya berfungsi sebagai sumber ilmu yang setiap saat menjadi acuan murid, tetapi ia juga harus berperan sebagai perangsang dalam pengembangan minat peserta didik dalam mencari ilmu pengetahuan secara mandiri. Ilmu pengetahuan didapat selain dari hasil interaksi dengan guru/dosen, melainkan juga dari hasil penjelajahan peserta didik sendiri (personal discovery) dengan membaca buku, melakukan penelitian, mengikuti diskusi ke ilmuan, atau pun perenungan/refleksi. Kepia waian guru/dosen dalam menumbuhkan minat peserta didik untuk menggali ilmu secara mandiri ini sangat penting dibanding transfer ilmu yang diperoleh murid dari guru/dosen secara langsung. Karena itu, bentuk-bentuk pendidikan partisipatif dengan menerapkan metode belajar aktif (active learning) dan belajar bersama (cooperative learning) sangat diperlukan. Agar proses ini berjalan efektif, tentu kelengkapan infrastrutuktur harus disedia kan, baik berupa fasilitas fisik yang me madai seperti gedung sekolah/kampus, per pustakaan, laboratorium, alat-alat peraga dan lain-lain, maupun kelengkapan organisasi lembaga pendidikan.
Vol. VII/No. 3/September 2012
b. Pendidikan sebagai Penyalur dan Pengem bang Karakter Luhur Pendidikan tidaklah semata-mata berfungsi sebagai alat penyalur ilmu pengetahuan, namun juga sebagai pendorong berkembangnya nilainilai luhur yang menjadi dasar berkembangnya watak yang baik. Watak yang baik itu antara lain berupa sikap jujur, adil, demokratis, disiplin, dan toleran. Watak adalah keunggulan moral yang berperan sebagai penggerak utama seseorang di saat ia akan melakukan tindakan. Watak merupakan kekuatan moral yang dapat berfungsi sebagai daya yang menentukan pilihan bentuk-bentuk tindakan. Bertindak dengan watak berarti melangkah atas dasar nilai-nilai yang baik, luhur, patut, dan berdayaguna. Watak bukanlah sesuatu yang begitu saja ada dan tumbuh dalam diri seseorang, melainkan sesuatu yang dapat dipelajari dan dibangun seseorang dalam menjalani kehidupan. Dalam konteks inilah, guru/dosen me miliki peran sentral dalam keikut-sertaannya membentuk watak peserta didik. Karena itu, guru/dosen dituntut tidak saja mumpuni dalam pengetahuan dan pandai dalam menjalankan tugas menyalurkan ilmu, tetapi juga menjadi acuan dan teladan bagi anak didik. Inte gritas guru/dosen jelas memiliki kedudukan penting karena pesan moral yang baik hanya akan memiliki kredibilitas tinggi manakala dibawakan oleh penyalur yang baik pula. Namun, pengembangan watak luhur dalam perilaku sehari-hari hanya bisa dilaksanakan bila dalam lingkungan tempat anak dibesarkan terbangun norma-norma pengendali perilaku (baik tertulis ataupun tidak tertulis) yang difahami secara jelas dan baik serta ditegakkan secara konsisten. Karena pembangunan wa tak warga negara memiliki posisi sangat penting dalam pembangunan bangsa, perlu adanya fokus perhatian terhadap jenis-jenis watak tertentu yang harus dikembangkan sehingga menjadi bagian integral dari perilaku masyarakat. Di banyak negara lain telah lama dikembangkan beberapa pilihan watak luhur yang dianggap strategis bagi pembangunan bangsanya. Bagaimana dengan Indonesia? Para pendiri negeri ini sejak awal telah menyadari betapa pentingnya pembangunan watak, namun hingga hari ini belum ada konsensus kuat tentang jenis-jenis watak luhur mana yang harus diajarkan dan diterapkan secara sistematis. Budi pekerti atau akhlaq mulia memang telah diajarkan sejak taman kanak-kanak, namun sifatnya masih sporadis dan kurang intensif (belum terfokus dan ketat) sehingga hasilnya dirasakan belum maksimal. Bila kita sepakat, fokus perhatian pengem
bangan watak bangsa Indonesia terletak pada enam watak itu, yakni tiga berdimensi personal (jujur, akal sehat, dan pemberani), dan tiga lainnya berdimensi sosial (adil, tanggungjawab, dan toleran).2 Bila keenam watak ini benar-benar dikembangkan secara nasional, tak mustahil akan terjadi peningkatan kualitas manusia Indonesia dalam kurun waktu satu generasi saja. Penekanan jenis-jenis watak yang hendak kita kembangkan di suatu lingkungan tertentu dapat dipilih sesuai dengan ke butuhan. Di lingkungan perguruan tinggi misalnya terdapat kebutuhan mendesak untuk mengembangkan watak “kejujuran akademis” (academic honesty). Watak ini harus dikembangkan agar mahasiswa dan dosen memiliki kesadaran tinggi dan me miliki komitmen kuat untuk menjunjung tinggi kejujuran akademis sehingga tak mudah terjerumus pada praktek-praktek ketidak-jujuran seperti antara lain pla giatisme (plagiarism) dalam berkarya. Ini penting karena dengan berkembangnya teknologi digital dan semakin terbukanya akses informasi, berbagai kemudahan untuk mengunduh (download) data, mengirim file, dan melakukan duplikasi text dengan cara “copy/cut and paste” di setiap komputer, pragiarisme semakin mudah dilakukan. Watak lain yang juga perlu dikembangkan di lingkungan perguruan tinggi adalah watak untuk ‘’produktif” dan “kreatif/inovatif”’ dalam berpikir dan berkarya. Bila watak ini secara khusus dikembangkan, niscaya perguruan tinggi akan menjadi lahan subur bagi tumbuhnya pemikiran-pemikiran pro duktif, kreatif/inovatif, dengan didasarkan pada sifat kejujuran yang kuat. Agar watak semacam ini dapat kuat terbangun, pihak kampus harus merancang infrastruktur yang memadai, baik berupa kurikulum pengajaran yang secara tegas mendukung tujuan ini, Tentu saja, selain sikap-sikap yang disebutkan ini sebagai watak luhur yang perlu dikembangkan, masih banyak lagi sikap luhur yang dapat digali sebagai bagian dari kearifan lokal (local wisdom) bangsa Indonesia. Sebagai contoh, sikap ramah pada orang lain dan kesediaan bergotong-royong adalah sikap yang sering disebut sebagai watak bangsa Indonesia yang harus dipertahankan. Lebih jauh, Ratna Megawangi (2004), yang belakangan ini giat menyelenggarakan pendidikan karakter di berbagai wilayah di Indonesia melalui Indonesia Heritage Foundation menyebut sembilan sikap luhur yang harus ditanamkan sejak dini pada anak-anak Indonesia. Sikap itu adalah:1) cinta Tuhan dan kebenaran, 2) tanggung-jawab, kedisiplinan dan kemandirian, 3) amanah, 4) hormat dan santun, 5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama, 6) percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, 8) baik dan rendah hati, dan 9) toleransi dan cinta damai.
Vol. VII/No. 3/September 2012
merumuskan aturan-aturan tegas bagi pelang gar kejujuran, membangun pakta-integritas untuk menjaganya, serta merancang database untuk pemantauan (monitoring) untuk menumbuhkan suasana interaksi akademis yang sehat dan berintegritas. Apapun pilihan yang ditentukan, yang paling penting dilakukan adalah menca nangkan pelaksanaan strategi pendidikan yang tepat agar watak luhur itu dapat ber kembang dan terinternalisasi efektif dalam diri setiap peserta didik. Selain sekolah/ kampus, lingkungan keluarga menjadi tempat penting bagi pembangunan watak luhur ini. Peran orangtua di rumah tetap memiliki posisi paling sentral. Tak dapat dipungkiri bahwa lembaga keluarga adalah lembaga pendidikan terpenting di banding lainnya. Karena itu, pembangunan watak secara nasional mus tahil dapat dilakukan tanpa upaya serius mendorong keluarga untuk ikut menjalankan misi character building ini. Namun, kehidupan modern telah semakin menggeser peran keluarga. Jam belajar dan interaksi sosial anak di lingkungan sekolah/ kampus sering lebih panjang dibanding interaksi dalam keluarga. Akibatnya, peran sekolah/kampus dalam ikut membangun watak peserta didik pada tempat dan wak tu tertentu menjadi lebih penting. Karena itu, sebagaimana dikatakan Thomas Lickona (1993): „School must help children understand core values, adopt or commit to them, and then act upon them in their own lives“. Artinya, dalam pendidikan karakter, sekolah/kampus harus mendorong peserta didik untuk mampu memahami nilai-nilai moral yang baik (moral knowing), mampu merasakan nilai-nilai luhur itu hingga ke lubuk hati yang paling dalam (moral feeling), dan akhirnya memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan apa yang diketahui dan dirasakannya itu ke dalam tindakan nyata (moral action) (Ratna Megawangi, 2004: 111). Apa yang harus diperhatikan agar hal ini dapat terimplementasi? Shea (2003) menyebut empat aspek yang harus dilakukan dalam pembentukan watak, yakni: 1. Perhatian pada sisi emosi peserta didik seperti menghargai diri sendiri (selfrespect), kemampuan ber-empathy, dapat menahan diri (self-control), rendah hati dan lain-lain. 2. Meningkatkan life-skills seperti kemam puan mendengarkan orang lain dan ke mampuan berkomunikasi.
3. Menumbuhkan kemauan (will), seperti menguatkan niat dan menghimpun tenaga untuk melaksanakan prinsip-prinsip luhur dalam kehidupan nyata. 4. Pembiasaan (habit), yakni pengembang an sikap untuk merespon berbagai si tuasi dengan baik secara konsisten dan berkelanjutan. Beragam cara kreatif dapat dicoba untuk dilakukan dalam pendidikan karakter. Na mun yang perlu diingat, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pengembangan ka rakter luhur hanya akan tumbuh sehat, bila ada dukungan kuat dari komunitas tempat seseorang hidup sehari-hari. Komunitas yang sehat adalah komunitas yang di dalamnya terjadi interaksi yang sejajar, yakni masingmasing anggota memiliki kesamaan derajat, ada kesamaan tingkat keterlibatan, dan ada sikap keterbukaan. Langkah membangun interaksi sehat ini memerlukan pemahaman dan latihan terus-menerus. Manakala komu nitas semacam ini terbangun, maka setiap anggota di dalamnya memiliki jalinan hu bungan erat yang diikat oleh nilai-nilai moral yang disepakati bersama. Sikap luhur seperti kejujuran, keadilan, tanggung-jawab, rasional, berani dan toleran sebagaimana disebutkan, bi la telah menjadi bagian dari norma komunitas, akan berkembang kuat. Setiap anggota da lam komunitas itu secara demokratis akan menjaganya dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan. Pola-pola interaksi sehat merupakan em brio tumbuhnya sebuah komunitas responsif. Amitai Etzioni (1996) menggunakan termi nologi “komunitas responsif” untuk menandai sebuah komunitas yang bersifat non-represif, yaitu sebuah komunitas yang di dalamnya, di satu sisi, tidak ada upaya-upaya pemaksaan penerapan nilai karena tidak ada lagi ke kuatan sentripetal komunitas (centripetal forces of community) yang memberangus hak-hak individu, namun di sisi lain, tiaptiap individu tidak juga menganut kebebasan yang mengabaikan tanggung jawab kolektif (sebagaimana terjadi dalam iklim komunitas libertarian free for all). Nilai-nilai moral ber sama tumbuh atas kesadaran, bukan pak saan. Etzioni (1996: 92) menulis, “the term ‘responsive’ implies that the society is not merely setting and fostering norms for its members, but is also responding to the expressions of their values, viewpoints and communications in refashioning its culture and structure.” l (bersambung)
Vol. VII/No. 3/September 2012
Upaya Mengatasi Gangguan Psikologis Siswa Dalam Pelaksanaan Ujian Nasional
Teuku Ramli Zakaria (Anggota BSNP)
A. Latar Belakang Permasalahan
ada bulan April tahun 2006 Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) melaksanakan Ujian Nasional pertama, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan. Ketika pengumuman hasil ujian, karena adanya ketentuan lulus-tidak lulus, timbul krontroversi di tengah-tengah masyarakat. Sebelumnya, ketika berlaku sistem Ujian Sekolah sepenuhnya, yang dikenal dengan sebutan Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) dan ketika berlaku sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), semua sekolah cenderung meluluskan siswanya 100%. Hal ini sesungguhnya sangat berbahaya bagi dunia pendidikan kita, karena lembaga pendidikan cenderung memberikan pendidikan semu kepada peserta didik. Lembaga pendidikan cenderung membagi-bagikan ijazah saja kepada peserta didik, tidak membekali mereka dengan kompetensi yang mencukupi, sesuai dengan jenjang dan/ atau jenis pendidikan yang ditempuh. Akibat lebih lanjut, kinerja dunia pendidikan kita tidak terukur lagi, karena tidak ada suatu standar yang jelas, yang dapat digunakan sebagai tolok ukur secara nasional. Berbeda dengan era sebelumnya, saat berlakunya Ujian Negara, kita memiliki standar yang sama, sebagai tolok ukur kinerja dunia pendidikan yang berlaku untuk seluruh wilayah tanah air. Di tengah-tengah suasana kontroversi tersebut, 58 orang warga masyarakat mengajukan Surat Gugatan bertangal 27 Juli 2006 melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang terdaftar dengan register perkara No. 228/PDT.G/2006/ PN.JKT.PST, yang kemudian diperbaiki dengan surat bertanggal 4 September 2006. Perkara ini diputuskan oleh pengadilan pada hari Kamis, tanggal 3 Mei 2007, dengan Hakim Ketua: Andriani Nurdin, SH., MH., dan Hakim Anggota; Makkasau, SH., M.HUM., dan Heru
P
Pramono, SH., M.HUM. Salah satu amar keputusan pengadilan tersebut adalah mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasional. Upaya ini telah dilakukan, dan akan terus diperbaiki secara berkelanjutan.
B. Berbagai Upaya untuk Menga tasi Gangguan Psikologis dan Mental Siswa Dalam rangka membangun sistem pendidikan nasional, kita perlu mem bangun sebuah sistem ujian yang mapan, yang dapat mendorong upaya peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Sudah lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka, kita belum memiliki sebuah sistem ujian yang terbangun dengan baik. Sistem ujian kita berubahubah. Sejak Indonesia merdeka, telah pernah berlaku 4 macam sistem ujian akhir untuk penentuan kelulusan: Ujian Negara; Ujian Sekolah (Evaluasi Belajar Tahap Akhir sering disingkat EBTA) sepenuhnya; Evaluasi Belajar Ta hap Akhir Nasuional (EBTANAS); dan Ujian Nasional, yang masih berlaku saat ini. Berdasarkan hasil kajian ter hadap 4 macam sistem ujian akhir tersebut, Ujian Nasional adalah lebih baik untuk menunjang peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan. Na
Vol. VII/No. 3/September 2012
mun demikian disadari bahwa dalam pelaksanaannya saat ini masih terdapat kelemahan-kelemahan yang perlu di sempurnakan. Salah satu kelemahan itu adalah berkaitan dengan dampak psikologis dan mental bagi peserta didik. Hal ini juga merupakan tuntutan amar putusan pengadilan yang harus dipenuhi. Untuk mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta didik, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah me lakukan upaya-upaya sebagai berikut. 1. Sosialisasi Sosialisasi dipandang merupakan salah satu langkah penting, terutama untuk pemerataan informasi. Sosialisasi inipun dilakukan dalam beberapa ben tuk. Pertama, sosialisasi pada semua ibukota provinsi, dengan melibatkan: Dinas Pendidikan Provinsi; seluruh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota; Kantor Wilayah Kementrian Agama Provinsi; dan seluruh Kantor Departemen Aga ma Kabupaten/Kota; Anggota DPRD Provinsi; Wakil dari Perguruan Ting gi; dan wartawan. Sosialisasi ini dila kukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan bersama-sama dengan Ba dan Penelitian dan Pengembangan, Ke metrian Pendidikan dan Kebudayaan. Lebih lanjut diharapkan, Dinas Pen didikan Kabupaten/Kota dan Kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota dapat melakukan sosialisasi langsung ke seluruh sekolah dan madrasah yang ada dalam lingkungannya. Selain dari itu, sosialisasi dalam bentuk ini juga dilakukan oleh direktorat-direktorat terkait tehadap sekolah/madarah dalam lingkungan binaannya. Kedua, sosialisasi melalui Media Cen ter yang ada di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Media Center ber peran dalam menyebarluaskan infor masi tentang pendidikan, termasuk Ujian Nasional melalui media cetak dan media elektronik. Ketiga, informasi tentang Ujian Nasional juga dapat diakses melalui: www.kemdiknas.go.id; www.bsnp-indonesia.org; dan www. puspendik.com. 2. Menyebarluaskan Kisi-kisi Soal Kisi-kisi Ujian Nasional memuat kompetensi dan indikator sebagai ke mampuan spesifik yang akan diujikan. Misalnya, dalam Bahasa Indonesia “sis wa dapat menemukan tema dalam se
buah paragraf”. Bila peserta didik me mahami makna tema, diberi contoh, dan diberikan beberapa latihan mencari tema dalam paragraf oleh guru, niscaya peserta didik akan dapat mengerjakan butir soal tersebut dengan baik. Seluruh butir soal yang ada dalam naskah soal ujian mengacu pada indikator yang ada dalam kisi-kisi. Kisi-kisi ini dapat diakses oleh siapapun, tidak bersifat rahasia. Pada masa berlaku sistem Ujian Ne gara sampai dengan awal tahun 1970an dan pada masa berlaku EBTANAS pa da era 1980an, kisi-kisi soal tidak dise barluaskan secara terbuka seperti saat ini. Dengan demikian, Ujian Negara dan EBTANAS seharusnya lebih me negangkan bagi peserta didik diban dingkan dengan Ujian Nasional saat ini. Bila kita perhatikan dengan seksama, ada 2 faktor utama yang menimbulkan ketegangan dan memberi beban psi kologis di sekolah, baik pada guru mau pun pada peserta didik sbb. - Pertama, ketika berlaku Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA/ujian sekolah sepenuhnya) telah ber kembang budaya lulus 100%. Dampak psikologisnya, saat ini masyarakat juga mengharapkan siswa lulus 100%. Ketidaklulusan dari ujian dipandang sebagai hal yang tidak wajar. - Kedua, pengaruh faktor politis. Ka rena pendidikan merupakan bidang yang diotonomikan, hasil Ujian Nasional dijadikan indikator kinerja pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah cenderung menekan guru dan sekolah untuk memperoleh hasil Ujian Nasinoal yang baik. Kisi-kisi Ujian Nasional dapat di akses oleh semua guru dan peserta didik. Selain telah disosialisasikan dan disebarluaskan ke seluruh Provinsi dan Kabupaten/Kota, melalui Dinas Pendidikan dan Instansi Vertikal Ke meterian Agama, juga dapat diakses melalui www.kemdiknas.go.id; www. bsnp-indonesia.org; dan www. puspendik.com. 3. Mengintegrasikan nilai sekolah dalam penentuan kelulusan UN Pada Ujian Nasional Tahun Pela jaran 2010/2011 dan Tahun Pelajaran 2011/2012 telah dilakukan satu per baikan yang sangat mendasar, yaitu diintegrasikannya Nilai Sekolah (NS)
Vol. VII/No. 3/September 2012
dengan Nilai Ujian Nasinal untuk pe nentuan kulusan dalam Ujian Nasional. Formula Nilai Sekolah sbb.: NS = 0,6 x NUS + 0,4 x NR. Keterangan : NS = Nilai Sekolah; NUS = Nilai Ujian Sekolah NR = Nilai Rata-rata Rapor Dalam hal ini, Nilai Rata-rata Rapor, mewakili nilai dalam proses pembelajaran yang diperoleh peserta didik dari guru masing-masing mata pelajaran. Adapun Nilai Ujian Sekolah/Madrasah adalah nilai yang diperoleh peserta didik dalam ujian akhir pada masing-masing mata pelajaran, yang diselenggarakan oleh sekolah/madrasah. Kelulusan dalam UN ditentukan berdasarkan Nilai Akhir (NA), dengan ketentuan: rata-rata NA ≥ 5,5, dan NA untuk setiap mata pelajaran ≥ 4,0. Ada pun formulanya: NA = 0,6 x NUN + 04 x NS. Keterangan: NA = Nilai Akhir; NUN = Nilai Ujian Nasional; NS = Nilai Sekolah Adapun untuk penentuan kelulusan dari satuan pendidikan (sekolah/madra sah), sesuai dengan kriteria yang tersurat dalam Pasal 72 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai berikut. a. menyelesaikan program; b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok ma ta pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pela jaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; c. lulus ujian sekolah/madrasah; d. lulus Ujian Nasional. 4. Menetapkan batas lulus yang rendah Batas lulus Ujian Nasional yang dite tapkan adalah rendah, seperti telah di jelaskan dalam butir 3 di atas: Rata-rata NA ≥ 5,5; dan NA untuk masing-masing mata pelajaran ≥ 4,0. Batas kelulusan ini lebih rendah dari batas kelulusan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) di era tahun 1980an dan Ujian Negara yang pernah berlaku sejak
Indonesia merdeka sampai dengan awal tahun 1970an. Kriteria kelulusan EBTANAS dan Ujian Negara ≥ 6,0 untuk masing-masing mata pelajaran. Dengan perbaikan-perbaikan terse but, gangguan psikologis dan mental peserta didik secara sistemasis dapat teratasi. Hal ini antara lain dapat diamati dari suasana di sekolah yang semakin baik dan kondusif. Hasil Ujian Nasional, dilihat dari persentase kelulusan juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Seperti telah dijelaskan di atas, dalam penetuan kelulusan Ujian Na sional tahun pelajaran 2010/2011 dan tahun pelajaran 2011/2012 telah diintegrasikan nilai sekolah, termasuk nilai proses yang dicapai peserta di dik, seperti tercantum dalam rapot. Dengan diintegrasikannya nilai sekolah, dalam Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2010/2011 dan Tahun Pelajaran 2011/2012 yang lalu dapat dicapai pesentase kelulusan yang tinggi dan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, walaupun tanpa Ujian Nasional Ulangan. Tahun-tahun sebelum ada Ujian Nasio nal Ulangan, namun berdasarkan ha sil kajian, Ujian Nasional Ulangan ini memiliki satu kelemahan mendasar, yakni menjadi ajang cuci gudang dan merugikan bagi para siswa yang lulus dalam Ujian Nasional Utama. Banyak siswa yang lulus dalam ujian kedua mencapai nilai yang lebih tinnggi dari para siswa yang lebih baik dari mereka, yang lulus dalam Ujian Nasional Utama. Dalam suatu proses seleksi ke jenjang pendidikan perikutnya, misalnya dari SMP/MTs masuk ke SMA/MA, siswa yang lulus dalam Ujian Nasional Utama tersisih oleh pesaing yang lulus dalam Ujian Nasional Ulangan. Oleh karena itu, banyak pula masukan yang diterima dari lapangan, yang mengharapkan supaya Ujian Nasional Ulangan ditiadakan.
C. Penutup Dalam proses pendidikan selalu ada ujian. Berdasarkan berbagai literatur dan pengamalan berbagai Negara, secara garis besar ada 2 macam ujian, yakni: ujian internal (yang diselenggarakan oleh lembaga penyelenggara pendidikan sendiri) dan ujian eksternal (yang di selenggarakan oleh lembaga luar). Ujian Nasional merupakan ujian eks ternal bila dilihat dari perspektif seko
Vol. VII/No. 3/September 2012
kah madrasah penyelenggara, yang tujuannya adalah untuk menilai pen capaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL) secara nasional. SKL adalah kom petensi minimal (bukan kompetensi maksimal) yang harus dikuasai oleh peserta didik untuk lulus dari suatu jenjang dan/atau jenis pendidikan. Kom petensi maksimal pada masing-masing mata pelajaran dikembangkan dan diuji oleh masing-masing sekolah/madrasah sesuai dengan kekhasan dan kebutuhan peserta didik pada masing-masing sekolah/madrasah. Pengujian penguasan komptensi mi nimal yang harus dikuasai oleh peserta didik pada mata pelajaran kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu sangat penting dilakukan, karena 2 alas an utama sebagai berikut. Pertama, su paya lembaga pendidikan dapat me nyelenggarakan pendidikan yang ber tanggung jawab, tidak memberikan pendidikan semu kepada masyarakat dengan cara hanya membagi-bagi ija zah, tidak membekali peserta didik dengan kompetensi yang mencukupi, sesuai dengan jenjang/jenis pendidikan yang ditempuh. Kedua, kita perlu meningkatkan mutu pendidikan secara sistematis dan terarah, dalam rangka meningkatkan mutu sember manusia daya bangsa ini, untuk mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di eraglobal saat ini. Berdasarkan hasil kajian tentang sistem ujian yang pernah berlaku se jak Indonesia merdeka, sistem Ujian Nasional, seperti juga Ujian Negara yang pernah berlaku sejak Indonesia merdeka, adalah lebih baik dibandingkan dengan sistem Ujian Sekolah (EBTA), yang diberlakukan sepenuhnya pada era tahun 1970an dan EBTANAS yang berlangsung pada era tahun 1980an. Justru awal lahirnya gagasan Ujian Nasional adalah untuk memperbaiki kelemahan mendasar pada sistem Ujian Sekolah (EBTA) dan EBTANAS. Pada sistem Ujian Sekolah dan EBTANAS,
10
semua sekolah/madrasah cenderung meluluskan siswanya 100%, walaupun mereka belum memiliki kompetensi minimal yang seharusnya mereka mi liki, sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikannya. Kelemahan lain yang sangat menyolok ketika berlaku sistem Ujian Sekolah (EBTA) dan EBTANAS adalah nilai rapot dan nilai dalam Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) pada sekolah/madrasah yang kurang baik pada umumnya lebih tinggi dibadingkan dengan sekolah/madrasah yang baik dan bermutu. Dengan demikian, nilai rapot dan nilai STTB dapat menyesatkan bila digunakan sebagai tolok ukur dalam proses seleksi dan penempatan oleh pengguna lulusan. Namun demikian, kita menyadari sepenuhnya, bahwa penyelenggaraan Ujian Nasional perlu terus diperbaiki secara berkelanjutan dan terarah, dalam rangka membangun sebuah sistem ujian yang mapan dan dapat menopang pembangunan serta upaya pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan pula.
DAFTAR PUSTAKA Djemari Mardapi. 2004. Studi Dampak Ujian Nasional. Yogyakarta: Pro gram Pascasarjana UNY. Furqon. 2005. Ujian Nasional dan Alter natif Solusi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Ki Supriyoko, 2005. Studi Aspirasi Masya rakat Tentang Pelaksanaan Ujian Nasional. Yogyakarta: Lembaga Studi Pembangunan Indonesia. Pemerintah RI. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. _______________, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. l
Vol. VII/No. 3/September 2012
“Empat Pilar”, Menyatukan Kemajemukan Indonesia Oleh Weinata Sairin Spesifik
B
erbicara tentang nilai yang unik dan spesifik, yang menjadi ciri khas dari kedirian Indonesia tak bisa tidak ha rus disebut adalah kemajemukannya, plu ralitasnya. Kemajemukan multi dimensional yang meliputi suku, etnik, budaya, dan agama adalah sesuatu yang tidak terbantahkan, ji ka kita berbicara tentang Indonesia. Kema jemukan seperti ini sebagai rahmat dan anugerah Allah adalah kekayaan, aset yang amat berharga, yang harus dikelola dalam tanggung jawab dan ketaatan kepada Allah. Kemajemukan sebagai suatu realitas empiric yang tak terbantahkan, harus di sadari, dihargai, dan diberi ruang sehingga ke semua unsur memiliki keterjalinan satu sama lain yang pada gilirannya dapat memberi kontribusi bagi penguatan sebuah Indonesia yang solid di masa depan. Di sadari, artinya bahwa kemajemukan itu benar-benar direfleksikan oleh setiap war ga bangsa pada aras apa pun, dalam ber interaksi, dalam membuat kebijakan, dan dalam proses pengambilan keputusan. Di hargai, artinya diapresiasi, tidak dilecehkan, tidak didiskriminasi, ada hak dan kewa jiban yang sama. Diberi ruang, artinya mendapat tempat, didengar aspirasinya, dan diperhitungkan keberadaanya. Kon flik-konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kita dalam beberapa tahun terakhir ini, dalam batas-batas tertentu, harus diakui oleh karena kemajemukan dan pluralitas bukan saja tidak disadari, tetapi terlebih karena tidak dihargai dan tidak diberi ruang. Kondisi-kondisi seperti itu dimanfaatkan secara politis, diboncengi faktor-faktor ekonomis sehingga konflik terus membara dan hampir tak pernah berakhir. Kita patut berbangga pada the founding fathers, yang benar-benar menyadari realitas kemajemukan sebagai bagian integral dari kedirian Indonesia. Adanya kesadaran tentang Penulis adalah teolog, menulis tesis S2 Tentang Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, anggota BSNP
realitas kemajemukan itu lah yang pada akhirnya membulatkan sikap me reka untuk menetapkan Pancasila sebagai da sar Negara Republik Indonesia.
Pluralisme Keagamaan
Di Indonesia hidup dan berkembang agama-agama: Islam, Kristen, Ka tolik, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan berba gai agama lainnya. Sebenarnya realitas kemajemukan agama bagi masyarakat Indoneisia bukanlah hal yang baru. Dalam keseharian mereka, warga masyarakat bergaul dan bekerja sama dengan umat dari berbagai latar belakang agama, tanpa mesti menghadapi persoalan yang signifikan. Dalam dokumen perundangan, acapkali muncul nama-nama agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha sehingga seolah mengesankan hanya kelima agama itu yang diakui secara resmi oleh pemerintah. Kesalahan tafsir ini agaknya diinspirasi oleh Penetapan Presiden RI nomor I/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama tanggal 27 Januari 1965. Pada Penjelasan Pasal I Penpres tersebut disebutkan bahwa “agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia: Islam,Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu (Conficius). Itu tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zarazutrian, Sinto, dan Taoisme dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2, dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau perundangan lain”. Penyebutan tentang nama-nama aga ma tersebut tidak harus difahami dalam konteks legitimasi, tapi suatu pernyataan/ informatoris tentang agama-agama yang di peluk oleh penduduk Indonesia. Oleh karena itu, pandangan seolah-olah hanya ada 5 agama yang resmi diakui oleh pemerintah, tidak benar, apalagi pemerintah tidak dalam kapasitas mengakui keabsahan eksistensi sesuatu agama.
Vol. VII/No. 3/September 2012
11
Di lingkungan kekristenan, pluralitas agama telah cukup lama disadari, sebab itu para teolog mendorong pengembangan sikap dan wawasan inklusif agar umat/warga gereja mampu mem beri apresiasi terhadap pluralisme agama. Wawasan inklusif adalah suatu pola pikir nondiskriminatif, yang memberikan kerangka di mana semua golongan dapat hidup bersama, bekerja bersama untuk membangun masa depan bersama yang lebih baik, dengan tetap berpijak pada visi teologis yang diyakini setiap orang. Dengan demikian, pemikiran inklusif adalah pemikiran yang mengakomodasi, memberi tempat, menghargai kelompok lain, dan sebab itu jauh dari sikap yang menafikan kelompok lain atau sikap membenarkan pandangan sendiri secara fanatic, sambil berupaya menghabisi kelompok lain. Dalam berhadapan dengan pluralitas aga ma, pola pikir inklusif ini telah lama dikem bangkan para teolog. Raimundo Pannikar mi salnya menyatakan bahwa dalam konteks dunia sekarang ini orang dapat menemukan nilai-nilai yang positif dan benar bahkan me nyangkut tatanan yang paling tinggi, di luar tradisi agamanya sendiri. Pannikar yang amat meberi tekanan pada makna dialog me nyatakan bahwa melalui dialog pengalamanpengalaman pertikular mengenai kebenaran dapat diperluas dan diperdalam sehingga me nyingkap pengalaman-pengalaman baru me ngenai kebenaran. Dalam dialog, hubungan an taragama bukanlah hubungan asimilasi atau substitusi melainkan hubungan yang saling menyuburkan. Alan Race menunjuk pada be berapa ayat dalam Alkitab yang memberi da sar sikap inklusif antara lain: Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan ke pada-Nya (Kis. 10:35). Sementara itu Dr. D.C. Mulder mendorong gereja-gereja untuk belajar dari orang lain, karena Tuhan Allah bukan ti dak menyatakan diri kepada semua bangsa (Kis: 14:7); Tuhan bergumul dengan semua manusia, maka semua bangsa mencari Tuhan (Kis. 17:27). Pengembangan sikap inklusif sama sekali tidak berarti dan tidak boleh memperlemah iman dan atau mengingkari nilai ekslusif dan spesifik yang ada dalam setiap agama, tetapi justru harus memperteguh keyakinan dan iman seseorang terhadap agama yang dianutnya. Pengembangan sikap inklusif di kalangan umat Kristen dilakukan secara terarah, terancam, berkesinambungan, dan mencakup seluruh lapisan umat. Dalam konteks ini problem dan kendala yang dihadapi adalah keragaman denominasi, keragaman latar belakang pendidikan, persepsi teologis yang tidak sama, pola pembinaan warga gereja yang belum
12
merata. Faktor-faktor eksternal acapkali juga tidak mendukung pengembangan pola pikir inklusif, antara lain kerukunan antarumat beragama yang belum matang di berbagai daerah, pemberitaan/penayangan di media cetak/elektronik yang isinya secara tidak langsung cenderung mendiskreditkan sesuatu agama, publikasi serta khotbah-khotbah yang dalam keterbatasan persepsi dapat menyulut sentimen antarumat beragama. Problematika ini perlu diatasi dengan terus-menerus mem berikan pemahaman tentang wawasan inklusif di kalangan pimpinan gereja dan warga gereja dari berbagai latar belakang profesi/pendidikan termasuk program pengadaan publikasi, ceramah, dan pendidikan keagamaan bagi warga gereja. Selain itu, iklim yang kondusif di masyarakat perlu terus-menerus diupayakan, dengan secara sungguh-sungguh menjadikan Pancasila sebagai referensi dan basis utama dalam membangun rumah besar Indonesia. Agama-agama di Indonesia memiliki dasar teologis masing-masing sebagai rujukan utama dalam mengembangkan pluralitas. Pengembangan sikap tersebut pada gilirannya memberikan kontribusi signifikan dalam memelihara soliditas NKRI.
Empat Pilar
Upaya untuk memperteguh NKRI terus dilakukan dari waktu ke waktu oleh berbagai pihak karena menyadari betapa pentingnya sebuah Indonesia yang utuh, satu, solid dalam kemajemukannya. Adalah Taufik Kiemas - Ketua MPR yang sejak tahun 2010 mengintroduksi gagasan “Empat Pilar” untuk menjadi dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Empat Pilar itu adalah: Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika. Menurut Taufik Kiemas, Empat Pilar ini akan mampu men jawab persoalan-persoalan multidimensi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ditengah peraturan global. Empat Pilar dengan demikian harus men jadi roh dan nafas dalam hidup kita membangsa dan menegara. Empat Pilar tidak boleh jatuh menjadi mitos, jargon, slogan tetapi mesti diinternalisasi melalui bidang pendidikan, hukum, politik serta bidang-bidang lainnya sehingga spirit Empat Pilar itu benar-benar menjadi benang merah dalam kehidupan se tiap warga bangsa. Dengan cara itu kita berharap akan tetap eksis di pentas sejarah sebuah Indonesia majemuk yang teguh, solid, berkeadaban, menghargai HAM, yang memiliki kontribusi bagi dunia internasional. l
Vol. VII/No. 3/September 2012
Berita BSNP*
UNPK TETAP DIADAKAN DUA KALI SETAHUN
U
jian Nasional Pendidikan Kesetaraan atau UNPK tahun 2012 tahap pertama dilaksanakan tanggal 9-12 Juli 2012 untuk program Paket C dan tanggal 16-18 Juli 2012 untuk program Paket A/Ula dan Paket B/Wustha. Sedangkan UNPK tahap kedua dilaksanakan pada tanggal 8-11 Oktober 2012 untuk Paket C dan tanggal 15-17 Oktober 2012 untuk Paket A/Ula dan paket B/Wustha. Penyelenggaraan UNPK ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 35 Tahun 2012 dan Peraturan Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor 0018/P/BSNP/VI/2012 ten tang Prosedur Operasi Standar Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan. Untuk menyiapkan pelaksanaan UNPK, BSNP bersama Badan Penelitian dan Pengem
fungsi dan tugas masing-masing penyelenggara Pusat, Penyelenggara Provinsi, Penyelenggara Kabupaten/Kota, dan satuan pendidikan dalam pelaksanaaan UNPK. Hal ini dimaksudkan supaya masing-masing penyelenggara lebih fokus dan tidak saling melepaskan tanggung jawab dalam pelaksanaan UNPK. Akurasi pendataan peserta UNPK perlu diperhatikan karena hal ini memiliki implikasi penganggaran dan administrasi. Selain itu, juga perlu diantisipasi jika terjadi emergency di lapangan, seperti soal kurang, LJUN rusak atau kurang dan lainnya. Oleh sebab itu diperlukan koordinasi yang lebih baik untuk hal-hal yang memerlukan penanganan segera. Secara umum tidak banyak perubahan pelaksanaan UNPK tahun 2012 dibanding
bangan Kementerian Pendidikan dan Kebuda yaan, mengadakan rapat koordinasi pada tanggal 15-16 Juni 2012 di Jakarta. Rapat terse but dihadiri oleh ketua penyelenggara dan bendahara UNPK tingkat provinsi, kepala kan tor Kementerian Agama, anggota BSNP dan Puspendik. M. Aman Wirakartakusumah Ketua BSNP, dalam sambutannya mengatakan bahwa tujuan rapat koordinasi adalah untuk menya makan persepsi dan langkah dalam pelak sanaan UNPK. “Tujuan rapat koordinasi ini adalah untuk menyamakan persepsi dan langkah semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan UNPK tahun 2012. Dengan demikian diharapkan pelaksanaan UNPK tahun ini akan semakin baik dibanding tahun sebelumnya”, ucap Aman. Melalui rapat koordinasi ini juga, tambah Aman, perlu dirumuskan secara jelas peran,
dengan tahun 2011. Salah satu perubahan adalah prosedur pendaftaran bagi peserta UNPK di luar negeri. Sesuai dengan POS UNPK, penyelenggara Program Paket A, Paket B, dan Paket C, mendaftarkan peserta UNPK ke Atase Pendidikan atau Konsulat Jenderal pada Kantor Perwakilan RI setempat. Jika tidak ada Atase Pendidikan atau Konsulat Jenderal, maka pendaftaran dilakukan langsung ke Penyelenggara Pusat dalam hal ini Puspendik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta.
Kartono (berdiri, memegang mikropon) Ketua Penyelenggara UNPK Provinsi Jawa Tengah menyampaikan pertanyaan kepada Ketua BSNP terkait dengan waktu pelaksanaan UNPK 2012.
Jadwal Ujian
Sesuai dengan POS UNPK, ujian dilak sanakan tanggal 9-12 Juli 2012 untuk program paket C dan tanggal 16-18 Juli 2012 untuk program paket A/Ula dan paket B/Wustha. Namun, untuk provinsi tertentu, karena sebab dan alasan yang valid, ujian program paket C
Vol. VII/No. 3/September 2012
13
* Bambang Suryadi
Berita BSNP dilaksanakan bersamaan dengan waktu ujian program paket A/Ula dan paket B/Wustha. “Ada tiga provinsi yang waktu pelaksanaan ujian program paket C disamakan dengan program paket A/Ula dan paket B/Wustha,yaitu provinsi Papua, Sulawesi Tenggara, dan DKI”, ucap Candra dalam rapat pleno BSNP (26/6/2012). Adapun jadwal pelaksanaan UNPK secara lengkap adalah sebagai berikut. Program
Paket C IPS
Paket C IPA
Paket C Kejuruan
Paket B/ Wustha
Paket A/ Ula
Hari
Tanggal Periode I Periode II
Senin
9 Juli 2012
8 Oktober 2012
Selasa
10 Juli 2012
9 Oktober 2012
Rabu
11 Juli 2012
10 Okober 2012
Kamis
12 Juli 2012
11 Okober 2012
Senin
9 Juli 2012
8 Oktober 2012
Selasa
10 Juli 2012
9 Oktober 2012
Rabu
11 Juli 2012
10 Okober 2012
Kamis
12 Juli 2012
11 Okober 2012
Senin
9 Juli 2012
8 Oktober 2012
Selasa
10 Juli 2012
9 Oktober 2012
Senin
16 Juli 2012
15 Oktober 2012
Selasa
17 Juli 2012
16 Oktober 2012
Rabu
18 Juli 2012
Senin
Mata Ujian
– – – – – – – – – – – – – – – – – – – –
15.00 17.30 15.00 17.30 15.00 17.30 15.00 15.00 17.30 15.00 17.30 15.00 17.30 15.00 15.00 17.30 15.00 17.30 15.00 17.30
Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia Sosiologi Geografi Bahasa Inggris Ekonomi Matematika Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia Biologi Kimia Bahasa Inggris Fisika Matematika Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia Bahasa Inggris Matematika Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia
17 Oktober 2012
13.00 15.30 13.00 15.30
– – – –
15.00 17.30 15.00 17.30
Ilmu Pengetahuan Sosial Matematika Bahasa Inggris Ilmu Pengetahuan Alam
16 Juli 2012
15 Oktober 2012
13.00 – 15.00 15.30 – 17.30
Selasa
17 Juli 2012
16 Oktober 2012
Rabu
18 Juli 2012
13.00 – 15.00 15.30 – 17.30 17 Oktober 2012 13.00 – 15.00
Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia Ilmu Pengetahuan Sosial Ilmu Pengetahuan Alam Matematika
Wirakartakusumah seraya menambahkan BSNP akan mengirim surat edaran ke Kepala Dinas Pendidikan Provinsi mengenai per ubahan tanggal pengumuman ini. l
UJI COBA INSTRUMEN PEMANTAUAN STANDAR Buku Teks Pelajaran
okus kegiatan BSNP tahun 2012 adalah pemantauan implementasi/pelaksanaan Standar Nasional Pendidikan pada jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Ada delapan standar yang dipantau, yaitu standar penilaian, proses, biaya, sarana dan
14
Jam 13.00 15.30 13.00 15.30 13.00 15.30 13.00 13.00 15.30 13.00 15.30 13.00 15.30 13.00 13.00 15.30 13.00 15.30 13.00 15.30
Waktu pelaksanaan UNPK di luar negeri ditentukan oleh penyelenggara UNPK se tempat dan ditetapkan oleh Penyelenggara Pusat.
F
Sementara itu, hasil rapat koordinasi antara BSNP, Balitbang, Dirjen DIKTI, dan Dirjen Pendidikan Dasar pada tanggal 22 Juni 2012 menetapkan pengumuman hasil UNPK yang semula ditetapkan tanggal 4 Agustus 2012 dimajukan ke tanggal 28 Agustus 2012. ”Pengajuan tanggal pengumuman ini untuk memberi kesempatan kepada lulusan program Paket C untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi”, ucap M. Aman
prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, pengelolaan, buku teks pelajaran, dan pen didikan nonformal. Sampai akhir Juni 2012, tim ahli dari masing-masing standar telah melakukan uji coba instrumen pemantauan. Kegiatan uji coba dilaksanakan di delapan
Vol. VII/No. 3/September 2012
Berita BSNP provinsi untuk setiap standar dan di setiap provinsi melibatkan 40 responden yang berasal dari berbagai unsur, diantaranya dinas pendidikan provinsi, kantor kementeritan aga ma, dinas pendidikan kabupaten/kota, kepala sekolah, dan guru. Edy Tri Baskoro, anggota BSNP dan koor dinator kegiatan pemantauan standar sarana dan prasarana mengatakan tujuan uji coba ini adalah untuk mendapatkan masukan dan saran dari responden terhadap instrumen pemantauan dari aspek konten/isi, keterbacaan dan kejelasan bahasa, waktu yang diperlukan untuk mengisi
dengan tanya jawab/dialog. Berdasarkan masukan dan saran dari responden uji coba,tim ahli akan menyempurnakan instrument tersebut pada tahapan kegiatan berikutnya. Farid Anfasa Moeloek, anggota BSNP yang melakukan uji coba instrumen di Banten menyampaikan bahwa secara umum acara berjalan lancar, kondusif, kehadiran peserta tinggi, dan partisipasi dari dinas bagus. Sementara Bambang Suryadi yang juga mengikuti acara tersebut mengatakan bahwa berdasarkan masukan dari responden, dapat diketahui bahwa instrumen untuk dinas pen
instrumen, dan format instrumen. Lebih lanjut Edy Tri Baskoro menambah kan karena ada delapan tim standar yang turun ke lapangan untuk melakukan uji coba, maka perlu dilakukan sinkronisasi, harmonisasi, dan koordinasi, tidak hanya antar tim standar tetapi juga dengan pihak dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota yang menjadi tempat pelaksanaan kegiatan. Proses selama di lapangan, anggota BSNP atau tim ahli menjelaskan tentang Standar Nasional Pendidikan, kegiatan pemantauan standar, dan instrument, kemudian dilanjutkan
didikan dan kemenag, meskipun dari segi jumlah halaman dan pertanyaan lebih sedikit dibandingkan dengan instrumen untuk kepala sekolah, ternyata mereka lebih sulit mengisi. Hal ini disebabkan: (a) responden tidak membawa data yang diperlukan seperti yang tertulis di dalam surat pengantar BSNP, dan (b) respoden tidak berani menerka atau menebak data faktual, seperti tahun, jumlah dana/anggaran dll. Mayoritas responden mengaku menerima surat undangan terlambat dan tugas dari pim pinan (atasan) juga mendadak sehingga tidak sempat membawa data-data pendukung. l
Responden uji coba instrumen pemantauan standar sarana dan prasarana mengisi instrumen di kantor Dinas Pendidikan Provinsi Banten
DPRD KABUPATEN SINJAI Mengadukan masalah SKHUN SD ke BSNP
S
ebanyak sebelas orang anggota DPRD dan seorang dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan berdialog dengan anggota BSNP di Jakarta (29/5/2012) untuk mencari solusi tentang masalah Surat Keterangah Hasil Ujian Nasional (SKHUN) SD tahun 2009/2010 yang belum didistribusikan kepada peserta didik. Menurut ketua rombongan, masalah ini sudah lama disampaikan ke Dinas Pendidikan
Provinsi. Namun belum ada jalan keluar yang diharapkan. Oleh sebab itu anggota dewan berinisiatif untuk berdialog dengan BSNP mengingat murid-murid yang sekarang duduk di bangku SMP akan mengikuti ujian sekolah. Pihak sekolah tidak memperbolehkan murid-murid mengikuti ujian sekolah jika tidak ada SKHUN. Mengingat ini bukan kesalahan murid, maka kita berharap jangan sampai merugikan peserta didik.
Vol. VII/No. 3/September 2012
15
Berita BSNP Menanggapi masalah tersebut, Ketua BSNP M. Aman Wirakartakusumah menga takan sebenarnya bukan wewenang BSNP untuk mengurusi SKHUN. BSNP hanya menyelenggarakan ujian nasional, sedangkan
Setelah melalui dialog dan perbincangan yang cukup lama, akhirnya disepakati bahwa peserta didik yang sekarang duduk di bangku SMP dan akan mengikuti ulangan sekolah, perlu diberikan hak mereka untuk mengikuti
Anggota DPRD Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan saat berdialog dengan BSNP tentang masalah SKHUN SD.
SKHUN menjadi wewenang Balitbang dan Dinas Pendikan Provinsi. Namun demikian, tambah Aman, karena permasalahan sudah disampaikan ke BSNP maka harus dicari jalan keluar yang terbaik. Pada prinsipnya, jangan sampai peserta didik dirugikan karena kesalahan yang dilakukan pihak lain.
I
IKAPI BERKOMITKEN HASILKAN BUKU TEKS PELAJARAN BERMUTU
katan Penerbit Indonesia (IKAPI) membe rikan komitmen dan siap mendukung kebi jakan pemerintah untuk mengadakan buku teks pelajaran yang bermutu bagi murid-mu rid sekolah di seluruh Indonesia. Komitmen inin dilatarbelakangi oleh keprihatinan IKAPI terhadap fakta banyaknya buku-buku teks pelajaran yang beredar di sekolah dan toko buku yang belum lolos dari standar mutu. Komitmen tersebut disampaikan oleh Lucya Andam Dewi Ketua IKAPI dalam acara dialog dengan anggota BSNP di Jakarta (5/6/2012). Turut hadir dalam acara ini ada lah jajaran pengurus IKAPI, diantaranya Hus ni Syawie,Nova Rasdiana, dan Bambang Trimansyah. “Melalui forum dialog ini, IKAPI mem berikan komitmen penuh terhadap kebi jakan pemerintah untuk menyediakan buku teks pelajaran yang bermutu. Sebab IKAPI memiliki impian buku teks pelajaran yang digunakan di sekolah adalah buku teks pela jaran yang berkualitas”, ucap Lucya seraya menambahkan melalui forum ini, IKAPI juga memerlukan informasi tentang Buku Sekolah
16
ulangan sekolah. Sehubungan dengan hal ini, Balitbang atau Direktorat Pembinaan SMP Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan mengirim surat ke Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten Sinjai. Pada waktu yang bersamaan, masalah SKHUN juga akan diselesaikan. l
Elektronik (BSE), proses penilaian buku, dan perkembangan buku teks pelajaran. IKAPI juga menyadari adanya buku-buku teks pelajaran yang beredar di sekolah atau masyarakat, ada yang masih belum memenuhi standar mutu buku teks pelajaran sebagaimana yang ditetapkan BSNP. Jumlah penerbit yang begitu banyak menjadi kendala tersendiri bagi IKAPI untuk mengatasi masalah ini. “Jumlah penerbit di Indonesia sangat banyak, ada yang masuk anggota IKAPI dan ada yang tidak, sehingga kami (IKAPI) kesu litan untuk mengambil tindakan terhadap pelanggaran kode etik penerbitan seperti ini”, ungkap Lucya. IKAPI, menurut Lucya, juga menya yangkan pembajakan buku yang terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu IKAPI memiliki tim penanggulangan pembajakan buku. Ang gota IKAPI tidak menerbitkan buku dengan melanggar hak cipta. Weinata Sairin anggota BSNP sekaligus koordinator tim buku teks pelajaran juga me nyayangkan adanya buku teks pelajaran yang memberikan pesan-pesan yang tidak mendidik.
Vol. VII/No. 3/September 2012
Berita BSNP
Pengurus IKAPI, Bambang Trimansyah (kiri), Lucya Andam Dewi(kedua dari kiri), dan Nova Rasdiana (tengah) berpose bersama anggota BSNP setelah berdialog seputar buku teks pelajaran
Sebagai contoh adalah buku cerita tentang Bang Maman yang beredar di Jakarta atau buku yang berbicara tentang ideologi komunis yang beredar di Sukabumi. Weinata berharap IKAPI dapat memberikan kontribusi langsung dalam menangani masalah-masalah seperti ini. Menurut Farid Afansa Moeloek buku sangat penting dalam proses pendidikan. Oleh sebab itu diharapkan ada undang-undang tentang perbukuan nasional.“Saya berharap IKAPI dapat memberikan kontribusi dalam penerbitan undang-undang ini. IKAPI juga diharapkan dapat berpastisipasi dalam menyeleksi buku teks pelajaran untuk menghasilkan buku yang bermutu”, ungkap Moeloek sambil meng usulkan perlu dibentuk komite buku nasional yang bertugas menghasilkan buku pelajaran
yang bermutu. Menurut EdyTri Baskoro semangat BSNP dan IKAPI sama, yaitu mengadakan buku-buku yang berkualitas. “Alat yang paling baik untuk mengontrol kualitas buku adalah memberikan kekuatan kepada sekolah untuk memilih buku yang berkualitas. Sekolah tidak boleh tergoda dengan buku yang tidak berkualitas karena harganya murah”, ungkap Edy sambil menambahkan semestinya yang memilih buku di sekolah adalah Dewan Guru. Sementara Djemari Mardapi mengusul kan IKAPI diharapkan dapat memberikan daf tar buku-buku sastra (novel) untuk dinilai dan direkomendasikan ke sekolah. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemam puan bahasa Indonesia peserta didik. l
Vol. VII/No. 3/September 2012
17
Lensa BSNP
Dari kiri ke kanan, Khairil Anwar Notodiputro Kepala Balitbang, Suyanto Dirjen Pendidikan Dasar, dan Syawal Gultom Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam acara rapat koordinasi persiapan penyelenggaraan Ujian Nasional di BSNP.
Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, Prof Khalidi berbaju biru Melaporkan pelaksanaan Ujian Nasional di Sulawesi Selatan di ruang sidang BSNP.
Peserta Ujian Nasional SMP memanfaatkan waktu untuk belajar bersama sesaat sebelum memasuki ruang ujian. Mereka berkomitmen untuk mengikuti ujian dengan penuh kejujuran
Sekolah turut memberikan motivasi dan semangat kepada peserta Ujian Nasional dengan memasang spanduk di dalam lingkungan sekolah.
18
Vol. VII/No. 3/September 2012
Lensa BSNP
Peserta Ujian Nasional SD berbaris dengan tertib sebelum memasuki ruang ujian,dipimpin oleh ketua kelas. Disiplin, tertib, dan taat peraturan merupakan kunci kesuksesan.
Peserta Ujian Nasional SD mendengarkan tata tertib ujian yang dibacakan oleh pengawas ruang sebelum ujian dimulai.
Anak-anak SD Inpres Wuroba membawa papan tulis dan kursi setelah mengikuti ujian nasional sekolah dasar di SD Inpres Walelagama, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Selasa (8/5/12). Kursi dan papan tulis tersebut untuk menambah inventaris sekolah mereka. Selama pelaksanaan ujian nasional, peserta dari lima sekolah dasar digabung di satu tempat untuk memudahkan pengawasan. (Sumber: Kompas, Rabu, 9 Mei 2012).
Sebanyak 51 siswa kelas VI SD Negeri Pakis 3 Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, Jawa Timur, melaksanakan ujian nasional di pelataran rumah warga dan pelataran sekolah karena gedung sekolah mereka rusak diterjang angin puting beliung. (Sumber: Kompas, Rabu, 9 Mei 2012).
Vol. VII/No. 3/September 2012
19
Lensa BSNP
Peserta Ujian Nasional di MTs Yayasan Kesejahteraan Tuna Netra Islam (YAKETUNIS) Jogjakarta mengerjakan soal UN. Peserta UN mengeluhkan tidak adanya soal UN yang dicetak dengan huruf Braille, sehingga soal dibacakan oleh guru.
Febri Hendri dari ICW (tengah) berdialog dengan anggota BSNP tentang dugaan terjadinya kecurangan Ujian Nasional SMP di Tangerang
Peserta review instrumen pemantauan standar sarana dan prasarana menelaah dan mengkaji draf instrumen pemantauan di BSNP sebelum dilakukan uji coba di delapan wilayah atau provinsi
Ketua BSNP M. Aman Wirakartakusumah (tengah) dan anggota BSNP berpose bersama dalam rangka Ulang tahun ke-68 Farid Anfasa Moeloek (ketiga dari kanan) di kantor BSNP.