Terbit Sejak 1993
P
ara pembaca yang budiman, di tengah berlangsungnya CONSAL 2012 di Bali, Media Pustakawan hadir menyajikan bacaan ilmiah dan populer hasil karya anak bangsa. Semoga peristiwa bersejarah kepustakawanan, yaitu CONSAL 2012, akan memberikan dorongan dan inspirasi pada perkembangan Bidang Kepustakawanan di Indonesia. Pada edisi kali ini, kami turunkan berbagai artikel yang berkaitan tentang profesi kepustakawanan dan pengelolaan perpustakaan, yaitu limaartikel yang menarik untuk dibaca. Artikel pertama tentang kepustakawan Indonesia, yang cukup menarik isinya, yang ditulis oleh seorang pustakawan utama Perpustakaan
05
Nasional RI, yaitu Supriyanto yang berjudul Karakteristik Pustakawan Profesional di Tengah Isu Sertifikasi. Tulisan ini menarik untuk dibaca ditengah banyaknya keterbatasanketerbatasan yang dialami para pustakawan, tuntutan profesional harus segera diwujudkan dan dikukuhkan oleh sertifikasi jabatan pustakawan seperti jabatan-jabatan fungsional yang lain, yang sudah terlebih dahulu disertifikasi. Tulisan yang lain yang juga cukup menarik, ditulis oleh Purwono, seorang pustakawan utama dari UGM, yang berjudul Kepustakawanan: kemarin dan esok adalah hari ini. Artikel ini membahas mengenai perkembangan kepustakawanan
Karakteristik Pustakawan Profesional Di Tengah Isu Sertifikasi Oleh : Supriyanto
12
Sinergi Perpustakaan Umum Dengan Perpustakaan Sekolah : Sebuah Wacana Mewujudkan Siswa Melek Informasi Oleh : Dian Wulandari
16
Manajemen Pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar Di Kecamatan Semarang Barat Oleh : Edy Pranoto
di Indonesia dari waktu ke waktu. Selain kedua artikel tersebut, kami sajikan 3 artikel yang membahas tentang pengelolaan perpustakaan, yaitu Sinergi Perpustakaan Umum Dengan Perpustakaan Sekolah: sebuah wacana mewujudkan siswa melek informasioleh: Dian Wulandari; Manajemen Pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar Di Kecamatan Semarang Barat oleh Edy Pranoto; Penentuan Skala Prioritas Preservasi Upaya Perlindungan Nilai Informasi Koleksi di Perpustakaan Nasional RI oleh Indah Purwani. Kami berharap semoga artikelartikel yang disajikan pada edisi ini, dapat meningkatkan wawasan pem baca sekalian. Selamat membaca.
26
Penentuan Skala Prioritas Preservasi Upaya Perlindungan Nilai Informasi Koleksi Di Perpustakaan Nasional Ri Oleh : Indah Purwani
30
Kepustakawanan : Kemarin Dan Esok Adalah Hari Ini Oleh : Purwono
BULETIN MEDIA PUSTAKAWAN Penasehat Kepala Perpustakaan Nasional RI, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Penanggungjawab Kepala Pusat Pengembangan Pustakawan, Redaktur Dra.Opong Sumiati, M.Si, Penyunting Dra.Opong Sumiati, M.Si, Dra.Lily Suarni, MM, Catur Wijiadi, S.Sos., Harjo, S.Sos., Novi Herawati, S.Sos., Redaktur Pelaksana Rohadi, S.Sos., Sri Sumiarsi, S.Sos., Sadarta, S.Sos. Akhmad Priangga, S.Sos., Desain Grafis Rudianto, S.Kom., Suhendar Agus Prabowo, S.Kom., Sekretariat Ferico Hardiyanto, Ismawati, Dede Sumarti, Sutarti, Istilah Daerah, Etika Wahyuni, Triningsih, Suripto, Alamat Redaksi Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional RI, Jl. Medan Merdeka Selatan No.11, Jakarta Pusat, Tlp. (021) 3812136,3448813,375718, Ext. 218,220 Fax. : 345611, Email :
[email protected],
[email protected], ISSN : 1412-8519
KONTEN NASKAH DILUAR TANGGUNG JAWAB REDAKSI
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
3
editorial Perpustakaan Umum & Literasi Informasi Masyarakat
S
alah satu jenis perpustakaan yang dikenal luas dan yang memiliki sejarah tertua yaitu perpustakaan umum. Dalam Wikipedia didefinisikan bahwa perpustakaan umum adalah perpustakaan yang dapat diakses oleh masyarakat dengan sumber dana dari masyarakat dan dikelola oleh pegawai pemerintah. (A public library is a library that is accessible by the public and is generally funded from public sources (such as tax money) and operated by civil servants). Lebih lanjut definisi perpustakaan umum yang menekankan layanan tanpa dipungut biaya tersebut dapat dilihat pada kamus Library and Information Science yang disusun oleh Joan M. Reitz, yaitu A library or library system that provide unrestricted access to library resources and services free of charge to all the residents of a given community, district, or geographic region, supported wholly or in part by public funds. Apabila melihat segmen pemustaka perpustakaan umum yang sangat variatif, maka mau tidak mau perpustakaan umum itu harus membina dan mengembangkan koleksinya sesuai dengan jenis kebutuhan informasi masyarakat sekitarnya, yang mana pemustaka potensial perpustakaan umum itu mulai dari anak-anak, orang dewasa hingga lansia. Sehingga, koleksi perpustakaan umum harus dapat merefleksikan adanya keragaman (diversity) masyarakat di sekitarnya. Terkait dengan definisi di atas, maka terdapat beberapa karakteristik yang melekat pada suatu perpustakaan umum, yaitu: 1. Adanya dukungan dana yang berasal dari pajak masyarakat (supported by taxes) 2. Dikelola oleh suatu dewan dengan alas an kepentingan masyarakat (to serve the public interest) 3. Terbuka untuk semua komunitas yang dapat mengakses koleksi (can access the collection) 4. Tidak ada pemaksaan terhadap pemustakanya untuk memanfaatkan layanan yang disediakannya (no one is ever forced to use the services provided) 5. Memberikan layanan tanpa dipungut biaya (services without charge) Berdasarkan karakteristik di atas, perpustakaan umum harus mengutamakan pemenuhan kebutuhan
4
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
informasi dan dapat menunjang serta mempercepat pembangunan dan kemajuan masyarakat penyandang dana, baik dari segi fisik maupun mentalnya. Adanya fungsi tersebut menjadikan perpustakaan jenis ini berbeda dengan perpustakaan sekolah, perguruan tinggi dan perpustakaan khusus. Sehingga apapun kegiatan dan layanan yang disajikannya harus mengacu pada kebutuhan masyarakat yang dilayani. Di era globalisasi dan informasi seperti dewasa ini, keberadaan perpustakaan umum di berbagai Negara memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan dan literasi masyarakatnya. Sehingga selain memiliki mandat untuk menjalankan fungsi penyedia informasi yang dibutuhkan masyarakat pemustakanya, salah satu pusat pendidikan sepanjang hayat serta sebagai pusat rekreasi, perpustakaan umumpun bertanggung jawab untuk mendorong masyarakat dapat melek informasi dan bahkan melek teknologi. Dengan demikian, perpustakaan umum dituntut untuk memberikan layanan beragam yang menarik minat masyarakat sekitarnya agar berkenan datang dan mendayagunakan koleksi serta menikmati jasa perpustakaan lainnya. Keberadaan perpustakaan apaupun jenisnya, termasuk perpustataaan umum, selain merupakan tempat nyaman yang sunyi untuk belajar mandiri bagi pelajar maupun para professional yang berkerja di area sekitarny. Akan tetapi pendayagunaan perpustakaan umum oleh masyarakat dapat mendorong bermunculan berbagai perkumpulan atau club pencinta buku yang mengapresiasi berbagai literatur sesuai bidang subyek yang diminatinya. Sehingga kreativitas dan aktivitas masyarakat dapat terarah dengan positif melalui adanya jasa perpustakaan umum. Bersumber pada dana masyarakat biaya pengelolaannya, maka perpustakaan umum menawarkan layanan gratis (free services) tidak hanya pada peminjaman koleksi semata dan dimanfaatkan oleh orang dewasa saja, akan tetapi juga menyediakan jadwal jam bercerita kepada anak, yakni mulai dari taman kanak-kanak (preschool story times) dan sekolah dasar. Kegiatan ini dapat mendorong terciptanya pembudayaan literasi sejak dini (early literacy). Sehingga belakangan ini perpustakaan umum tidak hanya diisi oleh koleksi tercetak
saja akan tetapi berbagai bahan perpustakaan elektronik dan multimedia telah dimiliki secara lengkap. Hal ini menambah daya tarik bagai pemustaka untuk menggunakannya, termasuk anak-anak yang memang tertarik akan literatur bergambar atau dalam kemasan multimedia. Adanya tugas tersebut, maka perpustakaan perlu didukung oleh keragaman format dan isi koleksi, yaitu mulai dari tercetak hingga bahan elektronik, dengan tidak hanya melulu literatur ilmiah akan tetapi dilengkapi dengan buku fiksi serta cerita atau legenda rakyat. Menggarisbawahi tentang peran perpustakaan umum dalam hal mendorong literasi informasi (Information literacy (IL)) yang sering dipertukarkan pengertiannya dengan keterampilan informasi (information skills), yang berdasarkan kamus Ilmu Perpustakaan dan informasi dijelaskan sebagai suatu keterampilan dalam menemukan informasi yang dibutuhkannya, termasuk memahami bagaimana perpustakaan dikelola, familiar dengan barbagai sumber informasi yang disediakan perpustakaan dalam berbagai format dan alat pencarian terotomasi. Selain itu, juga konsep IL mencakup keterampilan yang diperlukan untuk dapat mengevaluasi isi informasi secara kritis dan menggunakannya secara efektif, bahkan termasuk juga memahami infrastruktur teknologi yang digunakan dalam penyebaran informasi tesebut. Sedangkan yang terakhir adalah yang bersangkutan dalam penggunaan informasi tersebut harus memperhatikan konteks sosial, politik dan budaya dan impaknya. Berdasarkan rangkaian kerampilan yang tercakup dalam literasi informasi di atas, maka pustakawan dalam hal ini sebagai ujung tombak dan pendidik literasi informasi harus dapat melakukan pendidikan literasi informasi ini secara menyeluruh mulai dari tahapan awal hingga bimbingan bagaimana menggunakan informasi tersebut secara positif dan berguna untuk bangsa dan negara. Memang, untuk mewujudkan fungsi tersebut merupakan tugas berat, sehingga perpustakaa numum harus bergandeng tangan dan bekerjasama dengan pihak lain, termasuk perpustakaan-perpustakaan sekolah yang ada disekitarnya.
Oleh : Supriyanto
Karakteristik Pustakawan Profesional 1 Di Tengah Isu Sertifikasi ABSTRAK “Pustakawan sejak hadir dengan Keputusan MENPAN No. 18 Tahun 1988 sampai hari ini belumlah populer, masih kalah populer sama artis ataupun profesi-profesi lain. Sesungguhnya peraturan perundang-undangan tentang perpustakaan dan pustakawan sudah cukup memadai. Sudah sepantasnya pustakawan itu sendirilah yang harus membangun karakter dan pencitraan profesinya. Perlu dibangun adanya keserasian dan keselarasan antara pangkat, jabatan, usia, masa kerja, diklat dan kompetensinya. Artinya pustakawan akan populer tatkala mampu berperan secara rasional dan proporsional mendukung tugas pokok dan fungsinya dari lembaga yang menaunginya dimana saja pustakawan bekerja. Bukti pengakuan tertulis atas kompetensi kerja yang dikuasainya adalah sertifikasi, sehingga pustakawan layak memperoleh rekognisi baik dari segi karier maupun penghasilan yang memadai, dan itu bukan isu atau mimpi tapi realita guna menciptakan perpustakaan yang humanis”.
1
Makalah pernah disampaikan pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Himpunan Mahasiswa Perpustakaan Dan Informasi Indonesia (HMPII) ”Membangun Karakter Pustakawan, Menciptakan Perpustakaan Yang Humanis”. Diselenggarakan oleh BEM-Jur. Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Gedung Convention Hall UIN Sunan Kalijaga, Yogayakrta, 24 Maret 2012.
Pendahuluan Nampaknya sampai hari ini perpustakaan beserta tenaganya (pustakawan) belumlah populer, masih kalah populer dengan profesi yang lain seperti artis, dokter, guru, polisi, tentara dan lain sebagainya, dengan kata lain masih dilihat dengan sebelah mata. Di sisi lain kalau saja sekolah “yang punya” guru, perguruan tinggi “yang punya” dosen, rumah sakit “yang punya” dokter, barak “yang punya” tentara. Sudahkah perpustakaan “yang punya” pustakawan?. Bahkan masih banyak dijumpai perpustakaan tidak memiliki pustakawan, ibarat kata kantor tentara tidak punya tentara tetapi yang ada “hansip”. Sehingga, kalaupun sudah ada pustakawannya masih sebagai warga Negara kelas dua. Karakteristik pustakawan profesional tidak datang serta merta dan tiba-tiba, tetapi harus dibangun dan diperjuangkan terutama oleh Pustakawan itu sendiri, artinya pustakawan akan diakui tatkala mampu melaksanakan tugasnya secara rasional dan proporsional mendukung tugas pokok dan fungsinya dimana saja mereka bekerja, sehingga mampu menciptakan perpustakaan yang humanis. Seorang dokter misalnya tidak akan berani menjamin bahwa pasiennya akan sembuh/sehat, tetapi seorang dokter berani berjanji bahwa ia akan melaksanakan perawatan dengan sebaik-baiknya dan ia sadar tidak akan berbuat merugikan padanya. Sesungguhnya profesionalisme tersebut tidak hanya berlaku bagi dokter, namun demikian juga berlaku secara universal bagi professional lain termasuk pustakawan. Seorang professional bekerja atas dasar etika professional, “primum no nocere” yaitu bekerja atas aturan pertanggung-jawaban kepada publik, bekerja atas dasar tidak akan berbuat sesuatu yang diketahuinya akan merugikan kliennya. Dalam idealisme dunia kedokteran primum non nocere artinya ”firstly do no harm” atau jangan merugikan (Tempo, Edisi 13-19 Februari 2012).
(Pustakawan Utama Perpustakaan Nasional RI Jakarta; Ketua Umum PP-IPI Jakarta) Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
5
Bahkan sekarang pustakawan professional dituntut mengutamakan quality service (layanan bermutu), sesuai dengan keperluan pemustaka disertai dengan keikhlasan, kejujuran, dan pengabdian dalam melayani masyarakat pemakai (pemustaka) serta mempunyai tanggung jawab kepada publik. Sekarang tinggal persoalan bagaimana peran pustakawan dikondisikan dan dirasionalkan baik oleh regulasi maupun karakteristik pustakawan itu sendiri. Hadirnya UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, belum lagi peraturan perundangundangan terkait lainnya (seperti UU No. 4 Tahun 19980, UU No. 20 Tahun 2003, UU No. 14 Tahun 2008, UU No. 25 Tahun 2009, PP No. 38 Tahun 2007, PerMendiknas No. 25 Tahun 2008, dll) nampak sebagai wujud kepedulian terhadap pustakawan. Dengan mencermati beberapa kaidah peraturan perundang-undangan tersebut, antara lain Keputusan Presiden RI No. 87 Tahun 1999 tentang Rumpun jabatan fungsional PNS, perlunya dibangun Kompetensi Pustakawan, Etika profesi Pustakawan, sehingga meningkatkan citra pustakawan, dan pada akhirnya menjadikan wujud karakteristik pustakawan profesional. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 132/KEP/M. PAN/12/2002 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan Dan Angka kreditnya, salah satu pertimbangan utamanya adalah Keputusan Presiden RI No. 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Ssipil, sehingga dipandang perlu meninjau
6
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
kembali Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 33/MENPAN/1998 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan Dan Angka Kreditnya, sebagai hasil penyempurnaan Keputusan MENPAN No. 18 Tahun 1988. Dalam Pasal 5 ayat (1) Jabatan fungsional keahlian adalah jabatan fungsional yang pelaksanaan tugasnya: a. Mensyaratkan kualifikasi professional dengan pendidikan serendah-rendahnya berijazah Sarjana (S1); b. Meliputi kegiatan yang berkaitan dengan penelitian dan pengembangan, peningkatan dan penerapan konsep dan teori serta metoda operasional dan penerapan disiplin ilmu pengetahuan yang mendasari pelaksanaan tugas dan fungsi jabatan fungsional yang bersangkutan; c. Terikat pada etika profesi tertentu yang ditetapkan oleh ikatan profesinya. Ayat (2) Berdasarkan penilaian terhadap bobot jabatan fungsional maka jabatan fungsional keahlian dibagi dalam 4 (empat) jenjang jabatan yaitu : a. Jenjang Utama, yaitu jenjang jabatan fungsional keahlian yang tugas dan fungsi utamanya bersifat strategis nasional yang mensyaratkan kualifikasi professional tingkat tertinggi dengan kepangkatan mulai dari Pembina Utama Madya, golongan ruang IV/d sampai dengan Pembina Utama, golongan ruang IV/e. b. Jenjang Madya, yaitu jenjang jabatan fungsional keahlian yang tugas dan fungsi utamanya bersifat strategis sektoral yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat tinggi dengan kepangkatan
mulai dari Pembina, golongan ruang IV/a sampai dengan Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c. c. Jenjang Muda, yaitu jenjang jabatan fungsional keahlian yang tugas dan fungsi utamanya bersifat taktis operasional yang mensyaratkan kualifikasi professional tingkat lanjutan dengan kepangkatan mulai dari Penata, golongan ruang III/c sampai dengan Penata Tingkat I, golongan ruang III/d. d. Jenjang Pertama, yaitu jenjang jabatan fungsional keahlian yang tugas dan fungsi utamanya bersifat operasional yang mensyaratkan kualifikasi professional tingkat dasar dengan kepangkatan mulai dari Penata Muda, golongan ruang III/a sampai dengan Penata Muda Tingkat I, golongan ruang III/b. Untuk jabatan fungsional ketrampilan pada prinsipnyua sama dalam pelaksanaan tugasnya, yaitu mensyaratkan kualifikasi teknisi professional dan/atau penunjang professional, meliputi kegiatan teknis operasional, dan terikat pada etika profesi. Dalam Pasal 8 ayat (1) Kepada PNS yang diangkat dalam jabatan fungsional keahlian atau jabatan fungsional ketrampilan diberikan tunjangan jabatan fungsional. Ayat (2) Besarnya tunjangan jabatan fungsional untuk masingmasing jenjang jabatan fungsional keahlian (artinya ada kesetaraan dengan struktural) adalah : a. Jenjang Utama, setinggitingginya sama dengan tunjangan jabatan struktural eselon Ia; b. Jenjang Madya, setinggitingginya sama dengan tunjangan jabatan struktural
eselon IIa; c. Jenjang Muda, setinggitingginya sama dengan tunjangan jabatan struktural eselon IIIa; d. Jenjang Pertama, setinggitingginysa sama dengan tunjangan jabatan struktural eselon IVa. Nampaknya pemerintah belum konsekwen dengan alasan karena keterbatasan anggaran belum mampu memberikan tunjangan jabatan fungsional yang semestinya sehingga dirasakan masih sangat terlalu kecil (tidak sebanding dengan jabatan struktural). Disisi lain masing-masing institusi diluar renumerasi bervariasi memberikan kebijakan tunjangan apresiasi fungsional termasuk pustakawan, demikian juga pemerintah daerah memberikan tunjangan daerah yang besarannya bervariasi sesuai dengan kemampuan daerah, adalah merupakan wujud kompensasi. Kompetensi Pustakawan Perpustakaan dikehendaki sebagai “Institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka”. Berarti sudah saatnya disadari bahwa pengelolanya, atau kita sebut pustakawannya juga harus profesional. Sebagai lembaga profesional dan mandiri layak dikelola atau diurus pegawai yang profesional dan kompeten, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, yaitu ”Pustakawan adalah : Seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau
pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan”. Artinya bukan pegawai yang malas, pegawai buangan, akan tetapi pegawai yang mampu mengelola dan mengembangkan perpustakaan dengan kompetensinya. Kompetensi menurut SKKNI DepNakertrans, 2012 “adalah suatu kemampuan menguasai dan menerapkan pengetahuan, ketrampilan/ keahlian dan sikap kerja tertentu di tempat kerja sesuai dengan kinerja yang dipersyaratkan”. Kompetensi sangat erat kaitannya dengan kewenangan, orang yang kompeten ialah orang yang memiliki kemampuan dan sekaligus juga kewenangan. Untuk itu diperlukan komitmen dan kompetensi pustakawan sebagai penyelenggara perpustakaan yang dapat memenuhi harapan masyarakat pemustakanya. Perpustakaan sudah diakui sebagai urusan wajib (menurut PP No. 38 Tahun 2007), tatkala pustakawan mampu membangun dan mengembangkan perpustakaan dapat tumbuh dimana-mana, membangun masyarakat yang cerdas, masyarakat pembelajar (learning society), artinya perpustakaan berperan ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu sudah sepatutnya pustakawan diberikan kesempatan untuk meniti karier/jabatan sampai pada jenjang tertinggi Pustakawan Utama (diangkat oleh Presiden) atau pangkat Pembina Utama (Golongan ruang IV/e), bahkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 147 Tahun 2000 diberikan kesempatan perpanjangan Batas Usia Pensiun (BUP) sampai
dengan 60 Tahun bagi Pustakawan Madya, Pustakawan Muda dan Asisten Pustakawan Madya (sekarang Pustakawan Penyelia). Dan diperpanjang sampai dengan usia 65 Tahun bagi Pustakawan Utama. Sudah selayaknya perlu dibangun karakter dan citra pustakawan terasa lebih baik tatkala seorang pustakawan mampu melaksanakan tugasnya secara rasional dan proporsional terhadap dukungan tugas pokok dan fungsinya. Berarti bagaimana seorang pustakawan mampu melaksanakan tugasnya secara professional, dengan kata lain kompeten dalam tugasnya. Disisi lain lembaga kerja perpustakaan tempat dimana pustakawan juga harus mengapresiasi keberadaan pustakawan profesi. Merujuk implementasi Keputusan Presiden No. 87 Tahun 1999 tersebut diatas, sejatinya harus ada keserasian dan keselarasan antara pangkat, jabatan, usia, masa kerja, diklat dan kompetensinya, dengan kata lain setiap kernaikan pangkat harus diikuti kompetensinya.Pustakawan adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana penyelenggara tugas utama kepustakwanan pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi dan informasi. Artinya kalau saja pustakawan mau “memiliki” perpustakaan berawal dari karakter pustakawan itu sendiri. Sejalan dengan itu mengutip pendapat Blasius Sudarsono pada Media Pustakawaan Vo. 18 No. 3 & 4 Tahun 2011 “Pustakawan dan perpustakaan dalam menghadapi tantangan di era global”: Apakah secara sadar perpustakaan dan pustakawan selalu berusaha untuk meningkatkan kemampauannya? Pada dasarnya Perpustakaan adalah Pustakawannya. “Jadi semua yang menyangkut
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
7
kehidupan sebuah Perpustakaan sangat tergantung pada Pustakawannya. Terutama jika pustakawan sudah dianggap atau diterima sebagai Profesional, merekalah yang harus menentukan hidup matinya Perpustakaan”. Secara sederhana Pustakawan seharusnya melakukan peran utama, dan tidak hanya sekedar melakukannya dengan benar namun terlebih melakukan yang benar dalam menjawab setiap perubahan kejadian. Isu Sertifikasi Profesi Sesungguhnya bukan isu, bukan mimpi tetapi realita harapharap cemas sampai hari ini peraturan pelaksanaan tindak lanjut UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, belum muncul dalam wujud Peraturan Pemerintah khususnya mengenai pelaksanaan “isu sertifikasi”. Namun demikian berikut beberapa pemikiran yang dipertimbangkan untuk tindak lanjut sertifikasi pustakawan dengan sumber yang diperoleh dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Sertifikasi pustakawan sebagai perwujudan bukti kompetensi pustakawan dinyatakan dalam bentuk sertifikasi profesi. Didalam pelaksanaan uji kompetensi dalam kerangka sertifikasi harus ada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), dan asosiasi profesi (IPI bisa ambil peran besar tentunya) dengan memperoleh lisensi untuk menguji kompetensi pustakawannya. Pelaksanaan Uji Kompetensi, sebagai berikut : 1) Uji kompetensi dalam rangka sertifikasi kompetensi kerja dilakukan oleh LSP yang telah memiliki lisensi dari BNSP. 2) Dalam hal LSP untuk bidang profesi tertentu belum terbentuk, uji kompetensi dan
8
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
sertifikasi kompetensi dilakukan oleh BNSP dengan membentuk panitia teknis. 3) Pelaksanaan sertifikasi kompetensi dimaksud pada ayat (1) dan (2), harus memenuhi ketentuan mengenai materi uji, metode pengujian, tempat uji, penilaian dan assessor uji kompetensi. Lisensi lembaga sertifikasi profesi, sebagai pengakuan formal dan pemberian lisensi lembagalembaga sertifikasi profesi melalui proses akreditasi oleh BNSP yang menyatakan bahwa LSP telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan sertifikasi profesi. Sertfikat kompetensi adalah bukti pengakuan tertulis atas penguasaan kompetensi kerja pada jenis profesi. Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi kerja baik yang bersifat nasional, khusus maupun internasional. Manfaat sertifikasi bukan sekedar sebagai tanda kompetensi pustakawan semata, tetapi diharapkan sebagai wujud bahwa pustakawan berhak memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum baik berupa tunjangan yang melekat pada gaji dan penghasilan lain. Dengan kata lain kejelasan dalam brosur BNSP, “dengan adanya sertifikat kompetensi diharapkan tenaga kerja yang kompeten akan mendapatkan rekognisi yang memadai (baik segi karier maupun penghasilan)”. Dengan memiliki sertifikat kompetensi maka seseorang akan mendapatkan bukti pengakuan tertulis atas kompetensi kerja yang dikuasaninya.
Acuan Sertifikasi Kompetensi Kerja, yaitu sebagai berikut : 1) Sertifikasi kompetensi kerja nasional dapat dilakukan untuk unit kompetensi dan kualifikasi profesi yang mengacu kerpada standar kompetensi kerja yang berlaku, bisa berupa SKKNI yang ditetapkan oleh Menakertrans, atau standar internasional atau standar khusus yang telah diverifikasi. 2) Sertifikasi kompetensi kerja dilaksanakan melalui uji kompetensi (asesmen). Dengan kata lain pada saatnya nanti harus disiapkan assesor-assesor yang siap menguji kompetensi pustakawan. Adalah Badan Nasional Sertifikat Profesi (BNSP) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2004 atas amanat UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, merupakan badan yang berwenang atas sertifikasi kompetensi. Dalam melaksanakan tugasnya BNSP dapat mendelegasikan tugasnya kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) dengan sistem lisensi. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan sertifikasi maka LSP memiliki peran sebagai berikut : a. Melaksanakan uji kompetensi sesuai dengan lingkupnya. b. Memajukan dan memlihara kompetensi pemegang sertifikat. c. Memelihara dan memegang standar kompetensi. d. Menyusun Materi Uji Kompetensi. e. Menetapkan skema sertifikasi sesuai dengan lingkupnya. f. Mengendalikan pelaksanaan uji kompetensi sesuai dengan skema sertifikasi yang telah ditetapkan.
LPP P
LKP
PEMUSTAKA
OPP
g. Menjaga validitas sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan kewenangan LSP adalah, sebagai berikut : a. Menetapkan biaya uji kompetensi. b. Menerbitkan sertifikat kompetensi. c. Mencabut/ membatalkan sertifikat kompetensi. d. Menetapkan dan menverifikasi TUK. e. Memberikan sanksi kepada asesor kompetensi dan TUK yang menyelenggarakan aturan. f. Mengkaji ulang dan mengusulkan standar kompetensi kerja. Untuk kelangsungan organisasi LSP berlisensi wajib membuat laporan berkala kepada BNSP setiap 6 bulan tentang pelaksanaan sertifikasi dan program. BNSP akan melalukan surveillance (pengawasan) paling sedikit dalam 1 (satu) tahun. Selain itu BNSP juga akan melaksanakan sertifikasi kepada LSP baik secara periodik maupun insidental. BNSP berwenang menjatuhkan sanksi kepada LSP berlisensi yang gagal memenuhi ketentuan yang berlaku. Bentuk sanksi diawali berupa peringatan, pemberhentian sementara kegiatan LSP atau pencabutan Lisensi. Mengingat luasnya wilayah kerja sertifikasi, maka LSP terlisensi dapat membentuk LSP Cabang di daerah dengan mengikuti kaidah-
Keterangan : P : Pustakawan, LPP: Lembaga Pendidikan Pustakawan, OPP : Organisasi Profesi Pustakawan, LKP: Lembaga Kerja Pustakawan (Perpustakaan)
kaidah sebagaimna ditetapkan dalam Pedoman BNSP 207 tentang Persyaratan Umum LSP Cabang. (Artinya DIMUNGKINKAN PD IPI Daerah sebagai LSP Cabang, bisa berbuat sesuatu, tetapi bagaimana kesiapannya?). Organisasi Profesi Pustakawan Lengkap sudah pustakawan juga memiliki asosiasi profesi sejak lama, lahir 6 Juli 1973 yaitu Ikatan Pustakawan Indodnesia (IPI) sebagai kelengkapan dan ciri jabatan profesi. Artinya pustakawan secara lengkap memiliki kelembagaan yang mendukung untuk tumbuh dan berkembang, seperti memiliki instansi pembina (Perpustakaan Nasional RI), memiliki tunjangan jabatan fungsional, dan asosiasi (organisasi) profesi. Sekarang tinggal persoalan bagaimana peran organisasi profesi diintensifkan khususnya dalam kerangka mendukung akreditasi perpustakaan dan sertifikasi pustakawan saat ini. Mengingat sekarang ini pasar kerja nasional dan internasional menuntut tersedianya tenaga kerja yang kompeten dibidangnya (kepustakawanan), artinya dikehendaki tenaga kerjanya memiliki sertifikat kompetensi yang kredibel. Sertifikat kompetensi tentunya yang diterbitkan oleh lembaga yang memiliki otoritas. Organisasi profesi dalam UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan khususnya Bab VIII diatur tentang Tenaga Perpustakaan, Pendidikan
Dan Organisasi Profesi. Ini menggambarkan bahwa antara tenaga perpustakaan sebagai seseorang yang memiliki kompetensi harus didukung melalui Pendidikan, dan bersama-sama memajukan dan mengembangkan ilmu-ilmu kepustakawanan melalui organisasi profesi. Perlu dibangun jalur komunikasi antara Pustakawan dengan LPP (Lembaga Pendidikan Pustakawan); OPP (Organisasi profesi Pustakawan); dan LKP (Lembaga Kerja Pustakawan). Nampak posisi Pustakawan (P) dalam jalur komunikasi strategis (B. Sudarsono, 2012), sebagai berikut : Lebih lanjut dalam kerangka memajukan profesi pustakawan, sebagaimana dikehendaki UU Perpustakaan Pasal 34 tentang Organisasi Profesi : (1) Pustakawan membentuk organisasi profesi. (2) Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk memajukan dan memberi perlindungan profesi kepada pustakawan. (NB.: Dalam penjelasan atas UU : Yang dimaksud dengan memajukan profesi meliputi peningkatan kompetensi, karier dan wawasan kepustakawanan. (3) Setiap pustakawan menjadi anggota organisasi profesi. (4) Pembinaan dan pengembangan organisasi profesi pustakawan difasilitasi oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Organisasi profesi (dalam hal ini IPI), mempunyai kesempatan untuk ikut serta memajukan dan melindungi profesi anggotanya dengan cara-cara peningkatan kompetensi, karier dan wawasan kepustakawanan dengan berbagai kegiatan dan aktivitasnya. Menarik untuk dicermati keberadaan
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
9
organisasi profesi, khususnya Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) dalam AD/ART IPI khususnya Bab III Pasal 8 IPI bertujuan : a. Meningkatkan profesionalisme pustakawan Indonesia; b. Mengembangkan ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi; c. Mengabdikan dan mengamalkan tenaga dan keahlian pustakawan untuk bangsa dan negara RI. Agar supaya tujuan tersebut dapat dilaksanakan dengan semestinya, sudah selayaknya ada pranata atau norma yang harus dipedomani sebagai pegangan kerja atau sebagai standar operasional prosedur (SOP) yaitu kode etik pustakawan. Dalam Mukadimah Kode etik Pustakawan Indonesia, dikatakan “Perpustakaan sebagai suatu pranata diciptakan dan diadakan untuk kepentingan masyarakat. Mereka yang berprofesi sebagai pustakawan diharapkan memahami tugas untuk memenuhi standar etika dalam hubungan dengan perpustakaan sebagai suatu lembaga, pengguna, rekan pustakawan, antar profesi dan masyarakat pada umumnya. Kode etik ini sebagai panduan perilaku dan kinerja semua anggota Ikatan Pustakawan Indonesia dalam melaksanakan tugasnya di bidang kepustakawanan. Setiap anggota Ikatan Pustakawan Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan kode etik ini dalam standar yang setinggi-tingginya untuk kepentingan pengguna, profesi, perpustakaan, organisasi profesi, dan masyarakat”. Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Kode etik pustakawan Indonesia merupakan :
10
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
1. Aturan tertulis yang harus dipedomani oleh setiap Pustakawan dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pustakawan; 2. Etika profesi pustakawan yang menjadi landasan moral yang dijunjung tinggi, diamalkan, dan diamankan oleh setiap pustakawan; 3. Ketentuan yang mengatur pustakawan dalam melaksanakan tugas kepada diri sendiri, sesama pustakawan, pengguna, masyarakat dan Negara. Sesungguhnya dalam Bab III Sikap Dasar Pustakawan diatur bagaimana pustakawan harus berbuat dengan sesiapa saja, khususnya Pasal 4 “Hubungan Dengan Pengguna” dan Pasal 5 “Hubungan Antar Pustakawan”, sbb: (1) Pustakawan berusaha mencapai keunggulan dalam profesinya dengan cara memelihara dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan; (2) Pustakawan bekerjasama dengan pustakawan lain dalam upaya mengembangkan kompetensi professional pustakawan, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok; (3) Pustakawan memelihara dan memupuk hubungan kerjasama yang baik antara sesama rekan; (4) Pustakawan memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap Korps Pustakawan secara wajar; (5) Pustakawan menjaga nama baik dan martabat rekan, baik didalam maupun diluar kedinasan. Pasal 6 “Hubungan Dengan Perpustakaan”, Pasal 7 “Hubungan Pustakawan Dengan Organisasi
Profesi”, dan seterusnya Pasal 8 “Hubungan Pustakawan Dengan Masyarakat”. Sila baca “Kode Etik Pustakawan Indonesia” yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari AD/ ART Serta Kode Etik IPI. Penutup/ Saran Kondisi tenaga perpustakaan atau pustakawan khususnya dengan segala keterbatasan baik kuantitatif dan kualitatif, belum lagi distribusi penyebarannya yang tidak merata antara satu daerah dengan daerah yang lain, perlu dipertimbangan formasi dan alokasi pustakawan dan juga sekolah/ pendidikan perpustakaan. Arah pengembangan pustakawan, ditujukan agar mampu berperan serta melaksanakan dukungan secara rasional dan propor sional (kompeten) terhadap tugas pokok dan fungsinya sebagai wujud karakter pustakawan yang dikehendaki. Perlu dibangun karakter pustakawan Indonesia melalui dukungan secara terus menerus berdasarkan kinerja yang lebih terarah dan terukur, dapat mengembangkan dan meniti kariernya sesuai dengan prestasi kerja yang dihasilkan, sehingga layak disertifikasi sebagai bukti kompeten dan kredibelitas atas profesi yang dikuasainya. Sudah waktunya pustakawan dikondisikan dan dirasionalkan dalam mekanisme kerja yang lebih terarah, dimana pustakawan adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana penyelenggara tugas utama kepustakawanan, sehingga mampu mewujudkan perpustakaan yang humanis. Pada akhirnya karier pustakawan dapat terselenggara dengan baik tatkala adanya keserasian dan keselarasan antara pangkat, jabatan, usia, masa kerja, diklat, dan kompetensi.
daftarpustaka FORM BIODATA NARASUMBER 1. Nama : 2. NIP : 3. Tempat / Tgl lahir : 4. Agama : 5. Pangkat/Golongan : 6. Jabatan Sekarang :
SUPRIYANTO 130 680 313 / 195306201978031001 Purworejo, 20 Juni 1953 Islam Pembina Utama (IV/E) 1. Pustakawan Utama - Perpustakaan Nasional RI 2. Ketua Umum PP - Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI)
7. Pendidikan : - Umum 1. S1 Ekonomi 2. Diploma Perpustakaan 3. S2 Publik Administrasi - Struktural
1. 2. 3. 4.
- Fungsional / Teknis
1. Perencanaan Dikbud 2. Perencanaan Kebudayaan 3. Konservasi/ Perawatan Bahan Pustaka, Minat Baca, dll. 4. Kepustakawanan, dll
SPADYA SPAMEN SPATI LEMHANNAS RI KSA XIV
8. Pengalaman Kerja / Pengalaman Jabatan : 1. Kepala Subbagian Ur. Dalam, Perpustakaan Nasional Depdikbud 2. Kepala Subbagian Keuangan 3. Kepala Seksi Konservasi 4. Kepala Bidang Penerbitan dan Perawatan BP., PerpusNas RI 5. Kepala Perpustakaan Daerah Jawa Tengah (19911998) 6. Sekretaris Perpustakaan Nasional RI (1998-2001) 7. Sekretaris Utama Perpustakaan Nasional RI (20012007) 8. Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Nasional RI (10-01-2007 s/d 3 April 2011). 9. Pustakawan Utama, Perpustakaan Nasional RI (4 April 2011–Skr.)
Lain-lain
10. Ketua KORPRI Perpustakaan Nasional RI (1998-2003; 2003 – 29 Maret 2011) 2 Periode 11. Sekretaris Tim Penilai Jabatan Fungsional Pustakawan (JFP) Pusat (1998-2006) 12. Ketua PD-IPI DKI Jakarta (2001-2004; 2004-2007) 2 Periode 13. Ketua Baperjakat Perpusnas (2001-2006) 14. Ketua Tim Penyusun RUU Perpustakaan (2002 s/d 10-1-2007) 15. Ketua Tim Penilai JFP Pusat (2006 - April 2011) 16. Ketua Umum PP-IPI (22 Oktober 2009 – sekarang). Jakarta, 24 Maret 2012 Drs. Supriyanto, M.Si.
Blasius Sudarsono, 2011. Pustakawan dan Perpustakaan Dalam Menghadapi Tantangan Di Era Global, Dalam Media Pustakawan Vol. 18 No. 3 & 4. Jakarta : Perpustakaan Nasional RI. Brosur BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) : 1). Sertifikat Kompetensi, Bukti Kompetensi SDM. 2). Pelaksana Uji Kompetensi. 3). Tempat Uji Kompetensi. 4) Lembaga Sertifikasi Profesi Cabang (LSP) Cabang. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 132/KEP/M. PAN/12/2002 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan Dan Angka Kreditnya. Keputusan Presiden RI No. 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional PNS. Keputusan Presiden RI No. 147 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 64 Tahun 1992 tentang Perpanjangan Batas Usia Pensiun Bagi Pegawai Negeri Sipil Yang Menduduki Jabatan Pustakawan. Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional No. 82/ KEP/BSN/2009 Tgl. 7 September 2009 tentang Penetapan 4 (Empat) Standar Nasional Indonesia. (Tentang Perpustakaan Sekolah, Perpustakaan Perguruan Tinggi, Perpustakaan Umum Kabupaten/ Kota, Perpustakaan Khusus/ Instansi). Lubis, S.K. 2006. Etika Profesi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. Saondi, O. dan Suherman, A. 2010. Etika Profesi Keguruan. Bandung : Refika Aditama. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan pemerintahan, antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/ kota. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) No. ... Tahun 2010 tentang Standar Nasional Perpustakaan. RPP Standar draft 6 Edit Balitbang Tanggal 6 Januari 2010. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Layanan Publik.
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
11
Oleh : Dian Wulandari
Sinergi Perpustakaan Umum Dengan Perpustakaan Sekolah : Sebuah Wacana Mewujudkan Siswa Melek Informasi Pengantar Kondisi Perpustakaan sekolah di Indonesia, terutama di sekolah dasar yang masih cukup memprihatinkan, memerlukan perhatian dari semua pihak, terutama pemerintah. Perpustakaan umum yang berada di bawah kendali pemerintah daerah dapat melakukan berbagai usaha agar siswa sekolah tetap dapat mengenal perpustakaan, memperoleh fasilitas layanan perpustakaan, dan pada akhirnya terbiasa menggunakan perpustakaan sebagai sarana belajar seumur hidup. Tulisan ini memaparkan bentukbentuk sinergi yang dapat dilakukan oleh perpustakaan umum dalam memperkenalkan perpustakaan sejak dini kepada siswa sekolah, terutama di tingkat pendidikan dasar (SD-SMP). Mengapa sinergi yang dipilih sebagai judul, karena sinergi memiliki arti ”kegiatan atau operasi gabungan” (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kata tersebut lebih tepat dibandingkan dengan kerjasama.
Kondisi Perpustakaan Sekolah Di Indonesia Masyarakat kita masih terbiasa dengan penilaian terhadap fisik sekolah untuk mengatakan baiktidaknya sebuah sekolah. Memang tidak salah juga. Salah satu indikator keberhasilan juga bisa dilihat dari besarnya bangunan dan penampilan fisiknya. Tapi yang tidak kalah penting dan fundamental, menurut penulis adalah tersedianya fasilitas dan sarana pendukung proses belajar mengajar itu sendiri, dan salah satunya adalah perpustakaan. Keberadaan sebuah perpustakaan di sekolah adalah mutlak, karena tanggung jawab untuk membangkitkan minat baca tidak saja menjadi tanggung jawab orang tua. Namun dalam kenyataannya, masih banyak sekolah, dalam hal ini Kepala Sekolah tidak melihat aspek penting keberadaan perpustakaan dalam sekolahnya. Perpustakaan sekolah bagi kebanyakan orang hanyalah sebuah ruangan sempit di ujung koridor sekolah yang penuh debu dan tidak menarik sama sekali. Ditambah dengan petugasnya yang galak dan koleksi bukunya yang sangat minim
(Pustakawan Universitas Kristen Petra, Surabaya.)
12
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
karena kebanyakan hanyalah berisi buku-buku pelajaran yang sudah dimiliki para murid. Para guru juga menggunakan perpustakaan hanya sekadar untuk meminjam surat kabar dan menitipkan anak selama ia mengajar. Hal terparah adalah sosok kepala sekolah yang tidak pernah terlihat sekali juga menginjakkan kaki di ruang perpustakaan. Koleksinya hanyalah buku-buku yang tidak disusun secara ‘apik’, hanya ditumpuk-tumpuk di dalam kardus. Situasi tersebut memang lebih menggambarkan perpustakaanperpustakaan untuk sekolah-sekolah negeri, tidak demikian dengan sekolah-sekolah swasta favorit (Prisgunarto, 2006). Menurut Fuad Hasan (2001), (1) dari 200.000 Sekolah Dasar hanya sekitar 1 (satu) persen yang memiliki perpustakaan standar, (2) dari sekitar 70.000 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) baru 34% yang memiliki perpustakaan standar, (3) dari sekitar 14.000 Sekolah Menengah Umum hanya sekitar 54% yang memiliki perpustakaan standar (dikutip dalam Saputro, 2004). Bukankah hal tersebut sangat memprihatinkan?
Tanggung Jawab Perpustakaan Umum Dengan kondisi yang cukup memprihatinkan seperti di atas, dapat dikatakan bahwa anak-anak Indonesia di usia dini banyak yang tidak mengenal Perpustakaan, bahkan mungkin juga kurang memperoleh bahan bacaan yang mendidik. Dengan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang masih cukup banyak berada di garis kemiskinan, pemenuhan komsumsi bahan bacaan menjadi prioritas nomor kesekian. Di samping faktor ekonomi, faktor kebiasaan masyarakat Indoensia yang lebih terbiasa dengan budaya lisan daripada budaya tulisan juga memperparah kondisi ini. Pengenalan perpustakaan sejak dini, tidak saja menjadi tanggung jawab orangtua, tapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini perpustakaan umum. Penanaman akan pentingnya perpustakaan sebagai sarana belajar seumur hidup (life long learning) perlu ditekankan sejak usia sekolah, karena pada masamasa inilah kepribadian seseorang akan dibentuk. Anak harus dibiasakan untuk menggunakan buku dan sumber informasi lainnya sebagai jawaban dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 43 tahun 2007 pada Pasal 4 yang menyebutkan “Perpustakaan bertujuan memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca, serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut di atas sejalan dengan tujuan dari perpustakaan umum yaitu untuk memberikan kesempatan bagi msyarakat umum untuk membaca bahan pustaka yang dapat membantu meningkatkan mereka ke arah kehidupan lebih baik.
Perpustakaan umum menyediakan sumber informasi yang cepat, murah dan tepat mengenai topik-topik yang sedang hangat dalam masyarakat maupun topik yang berguna bagi mereka. Selain itu perpustakaan umum membantu warga mengembangkan kemampuan yang dimiliki sehingga yang bersangkutan dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Tujuan lain, perpustakaan umum juga berfungsi sebagai agen kultural, artinya perpustakaan umum pusat utama kehidupan utama budaya masyarakat sekitarnya dan menumbuhkan apresiasi budaya masyarakat (Sulistyo-Basuki, 1994). Sangat tidak salah jika tanggung jawab untuk membina dan meningkatkan minat baca siswa juga menjadi tanggung jawab perpustakaan umum dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan amanat UndangUndang Dasar RI tahun 1945. Komitmen Sekolah Pelaksanaan wacana ini memerlukan komitmen dari kepala sekolah untuk memiliki pustakawan atau staf lain (bisa guru atau tenaga administratif ) yang memiliki kepedulian tinggi terhadap perpustakaan. Karena program yang dikerjakan secara bersinergi dengan perpustakaan umum tidak akan berjalan dengan baik, tanpa ada semangat yang tinggi dari pihak sekolah dalam hal ini petugas perpustakaan yang ditunjuk. Bentuk-Bentuk Sinergi Pelaksanaan wacana ini memerlukan komitmen dari Kepala Sekolah untuk memiliki pustakawan atau staf lain (bisa guru atau tenaga administratif ) yang memiliki kepedulian tinggi terhadap perpustakaan. Karena program yang dikerjakan secara bersinergi dengan perpustakaan umum tidak akan berjalan dengan
baik, tanpa ada semangat yang tinggi dari pihak sekolah dalam hal ini petugas perpustakaan yang ditunjuk. Demikian juga dengan Perpustakaan umum, harus memiliki komitmen untuk menyiapkan generasi yang gemar membaca dengan menyiapkan anggaran khusus untuk melakukan sinergi ini. Beberapa bentuk sinergi yang dapat dilakukan oleh Perpustakaan umum dengan Perpustakaan sekolah adalah: Pembinaan staf Perpustakaan Sekolah Pada pasal 33 UU Nomor 43 Tahun 2007, disebutkan bahwa (ayat 1) Pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan tenaga perpustakaan merupakan tanggung jawab penyelenggara perpustakaan. (Ayat 2) Pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan formal dan/atau nonformal.(Ayat 3) Pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui kerja sama Perpustakaan Nasional, perpustakaan umum provinsi, dan/atau perpustakaan umum kabupaten/ kota dengan organisasi profesi, atau dengan lembaga pendidikan dan pelatihan. Di dalam menjalankan fungsinya tersebut, perpustakaan umum dapat secara aktif melakukan pembinaan SDM perpustakaan sekolah. Saat ini jarang sekali dijumpai pada sekolah negeri atau sekolah swasta yang tidak/kurang favorit memiliki seorang pustakawan untuk mengelola perpustakaan sekolah. Memang kondisi ini tidak sepenuhnya menjadi kesalahan Kepala Sekolah, karena saat ini masih minim sekali lulusan jurusan ilmu perpustakaan yang bersedia menjadi pustakawan sekolah, baik itu di negeri maupun swasta. Kecuali di
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
13
sekolah-sekolah swasta favorit atau sekolah internasional. Pada sekolah negeri biasanya pustakawan hanya sebagai tenaga honorer, bahkan digaji di bawah standard UMR (upah minimum regional), hal inilah yang menjadi salah satu penyebab lulusan sekolah perpustakaan enggan untuk bekerja di perpustakaan sekolah negeri. Integrasi Kegiatan Literasi Informasi dalam Kurikulum Sekolah Pengenalan akan bahan bacaan dan perpustakaan perlu dilakukan sejak dini, baik di tingkat keluarga maupun pendidikan dasar. Pada sekolah-sekolah yang sudah maju dan modern, seperti pada beberapa sekolah di Jakarta, pustakawan adalah seorang ”teacher librarian”
14
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
yang terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Bahkan ”teacher librarian” memiliki jam mengajar dengan waktu tertentu sebagai sarana. Untuk mengajarkan ketrampilan literasi informasi kepada siswa. Mereka bahkan telah menerapkan metode literasi informasi (melek informasi) kepada siswa seperti ”Big Six” atau ”Empowering Eight” yang telah diterapkan di beberapa sekolah internasional di Jakarta. Guna menghidupkan kembali fungsi perpustakaan sebagai ruang publik bertemunya banyak orang dan sarana mempublikasian inilah yang seharusnya difokuskan pada program perpustakaan dalam lingkup nasional. Melek perpustakaan, demikianlah istilah yang sesuai untuk digunakan. Melek
perpustakaan ini bukanlah sesuatu yang mudah, tapi cukup sulit dan memerlukan waktu yang lama. Penggalakan program ini sangat cocok bila di mulai di perpustakaanperpustakaan sekolah. Perpustakaan seharusnya bisa diperkenalkan sejak kecil, ketika seseorang masih di Taman Kanak-Kanak atau Sekolah Dasar. Bukan berarti program melek dan kenal perpustakaan hanya diperuntukkan pada anak-anak tetapi juga pada remaja dan orang dewasa yang intinya adalah kita semua (Prisgunarto, 2006). Berpijak pada istilah ’tak kenal maka tak sayang’ demikian juga dengan keberadaan perpustakaan di masyarakat. Ini berarti pengenalan perpustakaan seharusnya lebih menyentuh pada gemar hidup berperpustakaan dimulai dengan
penciptaan perpustakaan pribadi, dalam hubungannya dengan manajemen dan pengelolaan koleksi literatur pribadi. Mengapa hal yang sepertinya sepele ini patut dipermasalahkan? Sebab dari banyak kasus terbukti gagalnya mahasiswa tingkat akhir sebagian besar lantaran tidak akrabnya mereka dengan perpustakaan, sehingga mereka kesulitan dalam penyusunan skripsi, tesis dan karya tulis, karena frustasi pada penelusuran literatur dimaksud (Prisgunarto, 2006). Melalui sinergi ini, perpustakaan umum dapat bekerjasama dengan sekolah untuk mengintegrasikan kegiatan literasi informasi dalam kurikulum sekolah. Misalnya setiap sebulan sekali pustakawan umum memberikan materi-materi literasi informasi, seperti: 1. Mengapa perlu membaca? 2. Teladan dari tokoh-tokoh yang suka membaca 3. Bagaimana memperoleh bahan bacaan? 4. Perpustakaan sebagai sumber informasi 5. Cara mencari informasi di perpustakaan 6. Membaca cepat, dll. Materi dapat disesuaikan dengan usia siswa, dengan menggunakan alat peraga maupun media presentasi yang efektif diterima oleh usia siswa. Pada awal penyelenggaraan program ini, pustakawan perpustakaan umum yang berperan secara langsung sebagai penyelenggara harus dapat menggandeng staf perpustakaan sekolah, sehingga nantinya jika sudah siap dan terlatih, staf perpustakaan sekolah yang akan menjadi fasilitator. Koleksi Perpustakaan Umum Sebagai Sumber Jawaban TugasTugas Sekolah Sebelum memasuki semester baru, biasanya pihak sekolah
menyusun kurikulum sekolah. Pada kegiatan ini, pihak perpustakaan umum dapat dilibatkan sehingga pada mata pelajaran tertentu, guruguru dapat membawa muridnya untuk mengerjakan tugas dengan materi perpustakaan. Pada mata pelajaran tertentu, guru-guru dapat membawa muridnya ke perpustakaan umum untuk mengerjakan tugas dengan materi koleksi perpustakaan. Selain membawa murid langsung ke Perpustakaan, guru juga dapat memberikan tugas-tugas yang jawabannya dapat diperoleh di Perpustakaan umum. Kegiatan Bersama Pada EventEvent Tertentu Pengenalan Perpustakaan kepada anak-anak hendaknya dilakukan bukan hanya dengan kegiatan yang bersifat formal tapi bisa juga yang bersifat hiburan, misalnya dengan mengadakan lomba-lomba pada event-event tertentu. Perpustakaan umum dapat bekerjasama dengan sekolah menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti pemutaran film, story telling bagi siswa sekolah, mengadakan lomba membaca, lomba meringkas buku, lomba membuat puisi, lomba story telling cerita rakyat, dan lain sebagainya. Kegiatan dapat dilakukan pada event-event tertentu misalnya Hari Anak Nasional, Hari Kunjung Perpustakaan, Hari Literasi Informasi, Hari Buku, dll. Kegiatan juga dapat dilakukan di Perpustakaan umum atau di sekolah sesuai kesepakatan bersama. Melalui kegiatan edukasi yang menghibur ini bermanfaat untuk mengubah pola pikir sejak usia dini tentang pentingnya membaca bagi kehidupan mereka saat ini dan kelak. Kesimpulan dan Saran Kondisi perpustakaan yang masih di bawah standar tidak
harus menjadi kendala bagi siswa untuk mengenal perpustakaan dan menjadikannya sebagai sarana belajar. Sekolah dapat berkolaborasi dengan perpustakaan umum agar pengenalan perpustakaan, penanaman pentingnya membaca dan belajar seumur hidup dapat dilakukan sejak usia dini. Bentuk-bentuk sinergi yang dipaparkan di atas dapat dilakukan oleh Perpustakaan umum di daerah, baik di tingkat kecamatan maupun tingkat ibukota/kabupaten, asalkan ada komitmen yang kuat dari para pengambil kebijakan baik di perpustakaan umum maupun pengambil kebijakan di sekolah, dalam hal ini kepala sekolah. Semangat mencerdaskan generasi muda harus dimiliki kuat untuk dapat mewujudkan sinergi tersebut. Akhir kata, ”Libraries do not succed; students do” (Smalley, 2004). Bukanlah Perpustakaan yang berhasil, melainkan siswa. Hendaknya kalimat tersebut yang mengilhami para pimpinan Perpustakaan umum, Kepala Sekolah dan pustakawan sekolah untuk mengembangkan perpustakaan sekolah, bukan untuk keberhasilan pustakawan atau perpustakaan, melainkan untuk keberhasilan siswa.
daftarpustaka Kamus besar bahasa Indonesia. 2001. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Prisgunarto, I. 2006. Melek perpustakaan. Diakses 2 September 2009. http://www.rumahdunia.net/ wmprint.php?ArtID=615 Saputro, R. F. 2004. Membangun Perpustakaan “Model Puskesmas”. Kompas Online. 17 Juli 2007. http:// www.kompas.com/kompascetak/0409/14/Didaktika/1262609. htm Sulistyo-Basuki. 1994. Periodisasi perpustakaan Indonesia, Bandung : Rosdakarya,
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
15
Oleh : Edy Pranoto
Manajemen Pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar Di Kecamatan Semarang Barat Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menemukan: (a) perencanaan (planning), (b) pengorganisasian (organizing), (c) penggerakan (actuating), dan (d) pengawasan (controlling) pada manajemen pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat. Lokasi penelitian ini adalah Kecamatan semarang Barat, yang meliputi: Kelurahan Bongsari, Kelurahan Bojong Salaman, Kelurahan Kembangarum, Kelurahan Gisik Drono, dan Kelurahan Krobokan. Data dikumpulkan dengan teknik dokumentasi, observasi, dan wawancara disertai dengan record. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif melalui reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan selama penelitian berlangsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut fungsi manajemen: 1) Perencanaan (planning) belum dapat direalisasikan sepenuhnya; 2) Pengorganisasian (organizing) belum dapat direalisasikan sepenuhnya. Hanya Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Krobokan yang menyatakan bahwa pengorganisasian perpustakaan dapat berjalan dengan
lancar dikarenakan pengelola tetapnya sudah ada; 3) Penggerakan (actuating) belum dapat direalisasikan sepenuhnya. Meskipun demikian, dua kelurahan dapat menjalankan aktivitas perpustakaan. Hanya satu kelurahan yang menyatakan bahwa penggerakan perpustakaan dapat berjalan dengan lancar dikarenakan pengelola tetapnya sudah ada; 4) Pengawasan (controlling) belum dapat direalisasikan sepenuhnya. Hanya Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Krobokan yang menyatakan bahwa pengawasan perpustakaan dapat berjalan dengan lancar dan terprogram setiap tiga bulan sekali melalui pertemuan pihak kelurahan, pengelola Rumah Pintar dan pengelola Perpustakaan Rumah Pintar, serta tutor. Berdasarkan temuan penelitian di atas diharapkan: 1) Masing-masing Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat tetap mengupayakan dapat beraktivitas karena sebenarnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat setempat; 2) Sebenarnya semua perpustakaan rumah pintar di Kecamatan Semarang Barat siap menjalankan aktivitasnya, namun kendalanya kesulitan
(Pustakawan Madya di Perpustakaan Universitas Negeri Semarang (UNNES))
16
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
mencari tenaga pengelola yang tetap dan paham tentang pengelolaan perpustakaan, penambahan koleksi, dan penghimpunan dana. Karena itu penting sekali bagi berbagai pihak dan lembaga lain untuk memperhatikan dan membantu kelancaran pelaksanaaan kegiatan Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat; 3) Bagi Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Bongsari, Bojong Salaman, Kembangarum, dan Gisik Drono yang kesulitan dalam hal petugas tetap, pembinaan koleksi, dan dana perlu belajar dari Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Krobokan yang sudah mempunyai petugas tetap, memperoleh bantuan koleksi maupun dana dari SIKIB, Perpustakaan Nasional RI dan Rotary Club; 4) Perlu dipahami dan disadari bersama oleh masyarakat, pemerintah baik tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat kota tentang tujuan diselenggarakannya Rumah Pintar di Kota Semarang termasuk perpustakaan yang berada di dalamnya. Kata kunci: Manajemen Perpustakaan Rumah Pintar, Kecamatan Semarang Barat
Pendahuluan Latar Belakang Pentingnya perpustakaan dalam kerangka mencerdaskan kehidupan bangsa tentunya berlaku pada macam perpustakaan apapun termasuk Perpustakaan Rumah Pintar yang menyediakan berbagai sumber informasi yang berupa koleksi bahan pustaka seperti: buku, fiksi, majalah, surat kabar, dan koleksi AV yang bila dikelola dengan baik dan benar-benar dimanfaatkan dapat memperluas cakrawala pengetahuan masyarakat di lingkungannya. Oleh karena itu Perpustakaan Rumah Pintar dapat disebut pula sebagai jantung masyarakat setempat yang berfungsi sebagai unsur penunjang pelaksanaan peningkatan kualitas SDM di wilayah sekitarnya. Perpustakaan Rumah Pintar merupakan bagian integral dari Rumah Pintar. Karena itu, pembicaraan mengenai Perpustakaan Rumah Pintar tidak lepas dari pembicaraan mengenai Rumah Pintar itu sendiri. Upaya-upaya pemerintah untuk menyelenggarakan layanan kepada masyarakat berupa Motor Pintar, Mobil Pintar, kemudian Perpustakaan Rumah Pintar yang berada di dalam Rumah Pintar merupakan sebuah terobosan untuk menunjang “Gemar Membaca” yang dicanangkan Presiden RI pada tahun 2005, dengan harapan dari terwujudnya reading society menjadi learning society sehingga masyarakat menjadi maju. Rumah Pintar pada dasarnya merupakan tempat melakukan berbagai kegiatan dan menumbuhkan kreativitas masyarakat baik anak-anak maupun orang tua, yang terjadwal, termonitor, mandiri, dan terpadu. Di Semarang, sebelumnya telah dicanangkan Gerakan Gemar Membaca (GGM) oleh Walikota Semarang pada tanggal 2 Mei 2006 bertepatan dengan hari jadi
Kota Semarang ke 459, yang salah satu pelaksanaannya diwujudkan dalam wadah yang lebih melibatkan partisipasi seluruh lapisan komponen masyarakat, yakni Rumah Pintar. Sebagai tindak lanjutnya, di Kota Semarang telah berdiri 129 Rumah Pintar yang berada di 15 kecamatan, meskipun dari jumlah tersebut yang aktif baru 51,16% -nya saja (66 Rumah Pintar). Sebagai langkah awal, maka Rumah Pintar di Kota Semarang kemudian diresmikan oleh Walikota Semarang pada tanggal 5 Juli 2006. Diselenggarakannya Rumah Pintar di Kota Semarang tersebut bertujuan untuk: (1) Menumbuhkan Budaya Baca; (2) Meningkatkan kualitas SDM Kota Semarang; (3) Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur; (4) Mengembangkan IPTEK; (5) Menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk peduli akan kebutuhan membaca bagi masyarakat sekitarnya; (6) Memfasilitasi keterpaduan program pembangunan daerah; (7) Meningkatkan rasa cinta kebangsaan terutama Kota Semarang; dan (8) Mendukung pembangunan manusia seutuhnya (Solidaritas IKIB). Perpustakaan Rumah Pintar sebagai bagian integral dari Rumah Pintar merupakan perwujudan dari upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa selaras dengan tujuan Rumah Pintar di mana perpustakaan tersebut berada di dalamnya. Perhatian Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Rumah Pintar di Kota Semarang begitu besar, hal ini ditandai oleh kunjungannya yang difokuskan di Rumah Pintar Kelurahan Krobokan yang bernama “Sasana Wiyata”, pada tanggal 10 Agustus 2007. Kecamatan Semarang Barat yang wilayahnya terdapat banyak industri sedang dan industri besar, industri kecil dan industri rumah tangga seperti kerupuk, saus, eskrim, dan lain-lain, yang tentunya memerlukan
SDM yang berkualitas agar dapat ikut memanfaatkan industri yang ada sebagai tenaga kerja bahkan menjadi pencipta lapangan kerja baru terutama industri rumah tangga (home industry) sehingga dapat menopang kebutuhan hidup keluarganya. Keberadaan Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat dalam 5 (lima) Rumah Pintar, yakni di Kelurahan Bongsari, Kelurahan Bojong Salaman, Kelurahan Kembang Arum, Kelurahan Gisik Drono, dan Kelurahan Krobokan diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas SDM masyarakat sekitarnya selaras dengan harapan diselenggarakannya Rumah Pintar itu sendiri. Perpustakaan Rumah Pintar yang merupakan bagian integral dari Rumah Pintar seharusnya dibina secara sungguh-sungguh sehingga berkembang dengan baik sesuai dengan tujuannya. Jadi, bukan setelah diresmikan kemudian selesai, tidak beraktivitas sehingga apa yang semula diharapkan dari keberadaan Perpustakaan Rumah Pintar di dalamnya sekadar harapan belaka. Untuk pembinaan itu sudah barang tentu diperlukan suatu pengelolaan atau manajemen yang baik. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menemukan: 1) perencanaan (planning), 2) pengorganisasian (organization); 3) penggerakan (actuating), dan pengawasan (controlling) dalam manajemen pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat. Temuan penelitian tentang penerapan fungsi-fungsi pokok manajemen di atas dapat dijadikan dasar untuk meningkatkan manajemen pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat yang selama ini sudah diterapkan,
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
17
sehingga menjadi Perpustakaan yang berdayaguna bagi masyarakat sekitarnya.
KAJIAN PUSTAKA Hakikat Manajemen Kata “manajemen” mempunyai beberapa arti tergantung pada konteksnya. Dalam bahasa Inggris management berasal dari kata kerja to manage yang dalam bahasa Indonesia dapat berarti mengurus, mengatur, mengemudikan, mengendalikan, mengelola, menjalankan melaksanakan dan memimpin (John M. Echols dan Hasan Shadily, 2000:372). Sedangkan Johnson, sebagaimana dikutip oleh Pidarta (2004:3) mengemukakan bahwa manajemen adalah proses mengintegrasikan sumber-sumber yang tidak berhubungan menjadi sistem total untuk menyelesaikan suatu tujuan. Silalahi (1996:3) mengartikan “manajemen sebagai kegiatan mendayagunakan sumber-sumber (manusia dan non-manusia) dan tugas-tugas melalui kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengaturan, staf pemimpin dan pengontrolan sehingga individu/ kelompok yang bekerja bersama dapat bekerja efektif untuk mencapai tujuan organisasi”. Kemudian Terry (2003:15), fungsi-fungsi manajemen terdiri atas: perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating), dan pengawasan (controlling). Bila dicermati fungsi-fungsi dasar manajemen yang dipaparkan di atas menandakan bahwa setiap manusia memiliki ilmu dan seni tersendiri dalam menggerakkan orang, terutama dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sungguhpun terdapat perbedaan, namun fungsi dasar manajemen tersebut mempunyai
18
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
pemikiran yang tidak jauh berbeda, dalam situasi dan kondisi tertentu di dalam organisasinya. Dengan demikian, manajemen merupakan suatu usaha mencapai tujuan tertentu dengan mendayagunakan segala sumber daya baik manusia maupun non-manusia dalam suatu organisasi. Segala sumber daya yang sernula tidak berhuhungan satu dengan yang lainnya lalu diintegrasikan, dihimpun menjadi sistem menyeluruh, secara sistematis, terkoordinasi, kooperatif, dengan maksud agar tujuan organisasi dapat tercapai, melalui pembagian kerja, tugas dan tanggungjawab yang seimbang. Dalam hal ini, manajemen yang digunakan adalah manajemen yang mempunyai empat fungsi dasar, yakni perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating), dan pengawasan (controlling). Dari fungsi dasar manajemen tersebut, kemudian dilakukan tindak lanjut setelah diketahui bahwa tujuan yang telah ditetapkan ”tercapai” atau ”belum tercapai”. Fungsi Perencanaan (Planning) Stoner (1995:11) menyebutkan, bahwa perencanaan sebagai suatu proses penentuan tujuan dan tindakan yang sesuai guna mencapai tujuan. Terry (1977:173) menyebutkan, perencanaan adalah menyeleksi dan menghubungkan fakta-fakta, membuat dan menggunakan asumsi-asumsi yang berkaitan dengan penggambaran dan penyusunan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Roger A. Kauffman berpendapat bahwa yang dimaksud perencanaan adalah proses penentuan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai dan menetapkan jalan dan sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan seefisien dan seefektif mungkin. Untuk itu perencanaan membutuhkan data
dan informasi agar keputusan yang diambil tidak lepas kaitannya dengan masalah yang dihadapi pada masa sekarang (Fattah, 2000:49). Menurut Syamsuddin (1996:4), Perencanaan ini merupakan fungsi manajemen yang mepersiapkan seperangkat rencana bagi pembuatan keputusan di masa yang akan datang. Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perencanaan dalam fungsi manajemen ini adalah suatu proses untuk menentukan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai dan menetapkan jalan dan sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan seefisien dan seefektif mungkin. Sedangkan, perencanaan merupakan fungsi awal manajemen. Perencanaan adalah proses yang sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan datang. Disebut sistematis karena perencanaan itu dilaksanakan dengan menggunakan prinsipprinsip tertentu. Prinsip tersebut mencakup proses pengambilan keputusan, penggunaan pengetahuan dan teknik secara ilmiah, serta tindakan atau kegiatan yang terorganisasi, dan pemilihan alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif tindakan guna mencapai tujuan. Fungsi Pengorganisasian (Organizing) Pengorganisasian adalah langkah yang ditempuh setelah tujuan dan rencana-rencana organisasi ditetapkan, yaitu dengan merencanakan dan mengembangkan organisasi agar dapat melaksanakan berbagai program yang telah direncanakan secara sukses. Terry (1977: 264), menyebutkan bahwa pengorganisaian adalah pembentukan hubungan perilaku efektif antar orang sehingga mereka dapat bekerja bersama-sama secara efisien dan mencapai kepuasan
pribadi dalam mengadakan tugastugas di bawah kondisi lingkungan yang diberikan guna mencapai tujuan. Ernest Dale, (dalam Fattah, 2000: 71-72) berpendapat bahwa pengorganisasian merupakan proses yang berlangkah jamak, yang terdiri atas: (1) pemerincian pekerjaan, (2) pembagian kerja, ((3) penyatuan pekerjaan, (4) koordinasi pekerjaan, dan (5) monitoring dilanjutkan reorganisasi. Pendapat-pendapat di atas memberikan pengertian bahwa pengorganisasian adalah suatu proses pembentukan hubungan perilaku efektif antara orang-orang dalam bekerja bersama-sama dengan menggunakan suatu cara yang terstruktur guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan pengorgani sasian ini diperlukan adanya koordinasi yang baik. Koordinasi merupakan proses mempersatukan kontribusi berbagai orang, bahan dan sumber lainnya ke arah tercapainya maksud-maksud yang telah ditetapkan. Koordinasi memegang peranan penting dalam pelaksanaan pekerjaan bila dilakukan secara kelompok. Peran pimpinan menjadi sentral dalam menggerakkan setiap orang ataupun unit tertentu sehingga koordinasi di antara mereka berlangsung secara baik. Fungsi Penggerakan (Actuating) Menurut Terry (2003:17), penggerakan ini disebut juga “gerakan aksi” mencakup kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer untuk mengawali dan melanjutkan kegiatan yang ditetapkan oleh unsur perencanaan dan pengorganisasian agar tujuan-tujuan dapat tercapai. Menurut Stoner (1995:12), penggerakan (actuating) adalah “proses mengarahkan (directing) dan mempengaruhi (influencing) kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan tugas anggota
kelompok atau organisasi secara keseluruhan”. Fungsi penggerakan ini sebagai tindakan mengarahkan pekerjaan yang perlu dilaksanakan di dalam sebuah organisasi. Karena itu, menggerakkan harus dikaitkan dengan fungsi-fungsi manajemen lainnya, misalnya perencanaan, organisasi dan pengawasan agar tujuan organisasi tercapai. Pemimpin yang profesional dalam lingkungan pendidikan harus mempunyai seperangkat kompetensi atau keterampilan manajerial. Ndraha (1989: 47) menjelaskan bahwa keterampilan merupakan kemampuan dalam melaksanakan tugas. Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan merupakan kemampuan dalam melaksanakan tugas berdasarkan kompetensi pekerjaan yang hasilnya dapat diamati. Dengan demikian, keterampilan manajerial adalah kemampuan seseorang dalam mengelola sumber daya organisasi berdasarkan kompetensi yang ditetapkan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan. Menurut Robert Katz yang dikutip oleh Winardi (1990: 14) terdapat tiga macam keterampilan manajerial yang diperlukan oleh seorang manajer dalam mengelola sumber daya organisasi yaitu (a) keterampilan konseptual (conceptual skill), (b) keterampilan hubungan manusia dan (Human skill), dan (c) keterampilan teknikal (technical skill). Fungsi Pengawasan (Controlling) Oleh Terry, controlling (pengendalian/pengawasan) didefinisikan sebagai berikut: “Controlling is determining what is being accomlished, that is, evaluating the perfomance and if necessary, applying corrective measures so that the perfomance takes place according to plans”. Stoner (1995:
12) mendefinisikan pengawasan (controlling) sebagai proses memastikan (ensuring) bahwa kegiatan-kegiatan aktual yang dilakukan sesuai dengan kegiatankegiatan yang telah direncanakan. Pengawasan merupakan fungsi manajemen yang mengukur tingkat efektifitas kerja personal dan tingkat efisiensi penggunaan metode serta alat-alat tertentu dalam usaha mencapai tujuan. Tolok ukur pengawasan biasanya adalah program kerja ataupun norma-norma tersebut yang ditetapkan bersama. Empat fungsi manajemen yang disampaikan secara teoritis di atas, menunjukkan bahwa betapa pentingnya peran manajemen dalam mewujudkan tujuan organisasi. Berkenaan dengan manajemen pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar yang dikaji dalam studi ini, kemampuan pimpinan Perpustakaan Rumah Pintar (atau Pimpinan Rumah Pintar) dalam menerapkan fungsi dasar manajemen di dalam organisasinya, juga menentukan tingkat keberhasilan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Perpustakaan Rumah Pintar Perpustakaan Rumah Pintar merupakan bagian integral dari Rumah Pintar. Karena itu, pembahasan Perpustakaan Rumah Pintar tidak terlepas dari pembahasan mengenai Rumah Pintar itu sendiri. Dari berbagai macam perpustakaan yang ada di Indonesia, Perpustakaan Rumah Pintar dapat dimasukkan kedalam kelompok Perpustakaan Umum, di mana penggunanya terdiri atas masyarakat umum yang berada di wilayah perpustakaan tersebut, baik anak-anak, orang dewasa maupun orang tua dari segala lapisan sosial ekonominya. Rumah Pintar pada intinya merupakan perwujudan dari upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana dicantumkan dalam Pembukaan
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
19
Undang-undang 1945. Dengan demikian Perpustakaan Rumah Pintar sebagai bagian integral dari Rumah Pintar pun merupakan perwujudan dari upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa selaras dengan tujuan Rumah Pintar di mana perpustakaan tersebut berada di dalamnya. Diselenggarakannya Rumah Pintar di Kota Semarang tersebut bertujuan untuk: (1) Menumbuhkan Budaya Baca; (2) Meningkatkan kualitas SDM Kota Semarang; (3) Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur; (4) Mengembangkan IPTEK; (5) Menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk peduli akan kebutuhan membaca bagi masyarakat sekitarnya; (6) Memfasilitasi keterpaduan program pembangunan daerah; (7) Meningkatkan rasa cinta kebangsaan terutama Kota Semarang; dan (8) Mendukung pembangunan manusia seutuhnya (Solidaritas IKIB).
MANAJEMEN PEMBINAAN PERPUSTAKAAN RUMAH PINTAR Pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar harus melalui pengelolan atau manajemen sedemikian rupa dengan mengerahkan segenap sumber dayanya. Pinpinan perpustakaan Rumah Pintar harus berupaya mengkoordinasikan kegiatankegiatan ke arah pencapaian tujuan-tujuan sistem organisasi perpustakaan agar menjadi perupustakaan yang maju sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Perencanaan (Planning) Perpustakaan Rumah Pintar Dalam perencanaan Perpustakaan Rumah Pintar ini perlu dipahami dulu bahwa dalam suatu perpustakaan mengandung unsur-unsur: (1) merupakan suatu unit kerja; (2) tempat mengumpulkan, menyimpan
20
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
dan memelihara koleksi bahan pustaka; (3) koleksi bahan pustaka itu dikelola dan diatur secara sistematik dengan cara tertentu; (4) untuk digunakan secara terus-menerus oleh penggunanya; dan (5) sebagai sumber informasi (Nurhadi, 1983: 4). Dengan merujuk dari pengertian unsur-unsur perpustakaan tersebut, maka hal yang perlu direncanakan untuk Perpustakaan Rumah Pintar adalah: (1) struktur organisasi yang mantap baik makro (Rumah Pintar) maupun mikro (Perpustakaan Rumah Pintar), di mana di dalamnya mengandung pembagian tugas sekaligus wewenangnya; (2) sarana dan prasarananya (tempat, perlengkapan koleksi, pedoman untuk mengolah koleksi, dan sebagainya); (3) koleksi yang diolah sebagai sumber informasi; (4) petugas tetap yang mempunyai keterampilan mengelola perpustakaan; dan (5) dana yang diperlukan untuk operasionalnya. Struktur Organisasi makro akan menentukan status perpustakaan dalam Rumah Pintar, sedangkan Struktur Organisasi Mikro menentukan pembagian tugas dan wewenang dari personil yang akan melaksanakannya. Struktur organisasi yang mantap memungkinkan bagi perpustakaan untuk melakukan aktivitas secara terorganisir, terarah, dan dinamis untuk mencapai tujuan perpustakaan yang telah ditetapkan.
Pintar baik makro maupun mikro (bila telah disusun terlebih dulu), telah dicantumkan tugas dan wewenang dari personil yang ada dalam struktur organisasi perpustakaan tersebut. Dengan demikian, siapa dan apa yang harus dilakukan dalam pengelolaan Perpustakaan Rumah Pintar ini dapat melakukan tugas sesuai dengan kewenangannya.
Pengorganisasian (Organization) Perpustakaan Rumah Pintar Pengorganisasian adalah suatu proses pembentukan hubungan perilaku efektif antara orang-orang dalam bekerja bersama-sama dengan menggunakan suatu cara yang terstruktur guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Apabila segala sesuatunya telah direncanakan, maka perlu dilakukan pengorganisasiannya. Dalam struktur organisasi Perpustakaan Rumah
Pengawasan (Controlling) Perpustakaan Rumah Pintar Pengawasann meliputi pemeriksaan apakah segala sesuatunya telah berjalan sesuai dengan rencana, instruksi-instruksi, dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Hal ini dimaksudkan agar dapat ditemukan kelemahankelemahan dan kesalahan-kesalahan, kemudian dibetulkan dan dicegah agar tidak terulang. Dari hasil pengawasan
Penggerakan (Actuating) Perpustakaan Rumah Pintar Fungsi penggerakan sebagai tindakan mengarahkan pekerjaan yang perlu dilaksanakan di dalam sebuah organisasi. Karena itu, menggerakkan dalam pembinaan perpustakaan rumah pintar harus dikaitkan dengan fungsi-fungsi manajemen lainnya, misalnya perencanaan, organisasi dan pengawasan agar tujuan organisasi tercapai. Setelah program kegiatan ditetapkan dan dilakukan pengorganisasian terhadap segala sesuatu yang berkaitan dalam kegiatan tersebut, langkah berikutnya adalah dilakukan pengarahan, pemberian motivasi, yang pada intinya menggerakkan semua personil atau sumber daya yang diberi tugas dan wewenang (baik pengelola maupun petugas perpustakaan rumah pintar) agar dapat melaksanakan tugas sebaikbaiknya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
yang maknanya tidak berbeda dengan evaluasi ini kemudian dapat dilakukan tindak lanjut, menentukan kebijakan-kebijakan berikutnya, mencegah terulangnya sesuatu tindakan yang salah atau menyimpang, dan seterusnya.
METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif kualitatif, karena peneliti bermaksud menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1984: 63). Dalam hal ini, peneliti akan mengungkapkan secara jelas fenomena yang menjadi pokok permasalahan dan akan mengekspresikan berbagai aspek yang terkait sebagai upaya pengkajian terhadap manajemen pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Rumah Pintar Kecamatan Semarang Barat, yang terdiri atas 5 (lima) perpustakaan, yakni: Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Bongsari, Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Bojong Salaman, Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Kembang Arum, Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Gisik Drono, dan Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Krobokan. Data, Sumber Data, dan Instrumen Penelitian Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data mengenai manajemen pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat.
Data tersebut dikelompokkan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer berupa pelaksanaan manajemen pembinaan perpustakaan yang diterapkan di Perpustakaan Rumah Pintar dan kegiatan yang relefan. Sedangkan data sekundernya adalah data yang diperkirakan berkaitan dengan data primer, yakni berupa dokumen struktur organisasi, ketenagaan, sarana dan prasarana, dan dana. Sumber data penelitian ini terdiri atas pimpinan Rumah Pintar, Pimpinan Perpustakaan Rumah Pintar, dan pengelola sebagai sumber kunci, dan berupa dokumen yang laras dengan fokus penelitian, seperti data tentang kondisi Perpustakan Rumah Pintar dan Perpustakaan Rumah Pintar itu sendiri, data tentang koleksi perpustakaan, dan ketenagaan. Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai instrumen kunci yang harus senantiasa hadir dan menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi di lokasi penelitian untuk memahami dan mencatat segala fenomena yang ada di Perpustakan Rumah Pintar berkaitan dengan manajemen pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar. Teknik Pengumpulan Data Jenis data penelitian ini meliputi data primer yang berupa data yang diperoleh dari lapangan, dan data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum terutama yang berkaitan erat dengan manajemen pembinaan Rumah Pintar Sesuai dengan jenis data tersebut, teknik pengumpulan datanya adalah: (1) pengumpulan data primer, dilakukan melalui observasi dan wawancara, dan (2) pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka. Keabsahan Data Keabsahan data penelitian ini dilakukan dengan trianggulasi (trianggulation), pengecekan sejawat
(peer debriefing), dan referensi yang memadai (referential adequacy). Peneliti melacak kebenaran informasi yang disampaikan oleh Lurah selaku Penanggung Jawab Rumah Pintar, kemudian mengkonfirmasikan dengan informasi yang disampaikan pengelola Rumah Pintar dan pengelola Perpustakaan Rumah pintar. Peneliti juga mengekspos hasil temuan (data) dengan bentuk diskusi dengan teman sejawat, dan para ahli di bidang perpustakaan. Dengan demikian, data yang terkumpul dapat mendekati kebenaran. Di samping itu, peneliti menggunakan berbagai bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, meliputi bahasan-bahasan dan dokumendokumen yang berkaitan dengan manajemen, perpustakaan, Rumah Pintar, dan Perpustakaan Rumah Pintar. Teknik Analisis Data Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif yakni data tentan manajemen pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar yang diperoleh, disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif untuk mencari kejelasan masalah yang dibahas/ diteliti. Analisis kualitatif yang dimaksud memiliki pola bergerak melalui beberapa tahapan, yakni reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan selama waktu penelitian yang mengacu pada pokok permasalahan mengenai manajemen pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar. Dari analisis ini diharapkan dapat diperoleh suatu deskripsi secara menyeluruh dan terpadu sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti. Proses analisis data tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
21
Penyajian data
Pengumpulan data
Reduksi data
Kesimpulan/ Penarikan
Alur Analisis Data Model Interaktif
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Paparan-paparan penelitian dari Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Bongsari, Kelurahan Bojong Salaman, Kelurahan Kembangarum, Kelurahan Gisik Drono, dan Kelurahan Krobokan di atas, dapat disampaikan bahwa dalam manajemen pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan semarang Barat: • Fungsi perencanaan (planning) dapat direalisasikan meskipun belum sepenuhnya. Hal ini ditandai oleh adanya rencana, baik dari pihak kelurahan sebagai pelindung atau penasihat maupun dari pihak pengelola perpustakaan, namun tidak diantisipasi kemungkinan terjadi kekosongan pengelolanya. • Fungsi pengorganisasian (organizing) belum dapat direalisasikan sepenuhnya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesulitan empat kelurahan (Kelurahan Bongsari, Kelurahan Bojong Salaman, Kelurahan Kembangarum, dan Kelurahan Gisik Drono) untuk menerapkan struktur organisasinya dikarenakan pengelolanya adalah pengelola Rumah Pintar itu sendiri. Hanya satu kelurahan (Kelurahan Krobokan) yang menyatakan bahwa pengorganisasian perpustakaan dapat berjalan
22
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
dengan lancar dikarenakan pengelola tetapnya sudah ada. • Fungsi Penggerakan (actuating) belum dapat direalisasikan sepenuhnya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesulitan empat kelurahan (Kelurahan Bongsari, Kelurahan Bojong Salaman, Kelurahan Kembangarum, dan Kelurahan Gisik Drono) untuk menggerakkan aktivitas perpustakaan dikarenakan pengelolanya adalah pengelola Rumah Pintar itu sendiri. Meskipun demikian, dua kelurahan (Kelurahan Bojong Salaman dan Kelurahan Gisik Drono) dapat menjalankan aktivitas perpustakaan. Hanya satu kelurahan (Kelurahan Krobokan) yang menyatakan bahwa penggerakan perpustakaan dapat berjalan dengan lancar dikarenakan pengelola tetapnya sudah ada. • Fungsi pengawasan (controlling) belum dapat direalisasikan sepenuhnya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesulitan empat kelurahan untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas perpustakaan dikarenakan pengelolanya adalah pengelola Rumah Pintar itu sendiri. Hanya satu kelurahan (Kelurahan Krobokan) yang menyatakan bahwa pengawasan perpustakaan dapat berjalan dengan lancar
dan terprogram setiap tiga bulan sekali melalui pertemuan pihak kelurahan, pengelola Rumah Pintar dan pengelola Perpustakaan Rumah Pintar serta tutor. • Sebenarnya semua perpustakaan rumah pintar di Kecamatan Semarang Barat siap menjalankan aktivitasnya. Hal ini ditunjukkan adanya sarana dan prasarana yang dimilikinya meskipun jenis dan kuantitasnya berbeda. Kendala umumnya adalah kesulitan mencari tenaga pengelola yang tetap dan paham tentang pengelolaan perpustakaan, penambahan koleksi, dan penghimpunan dana. Hanya satu kelurahan (Kelurahan Krobokan) yang hanya memerlukan tambahan tenaga pengelolanya, karena dalam hal penambahan koleksi dan dana mendapat bantuan dari SIKIB (Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu), Perpustakan Nasional RI, dan Rotary Club sehingga tidak menjadi masalah. Pembahasan Merujuk pada realita di lapangan sebagai hasil penelitian di atas, dapat dipilah menjadi tiga kategori perpustakaan rumah pintar di Kecamatan Semarang Barat. Kategori pertama adalah perpustakaan yang sulit menerapkan fungsi-fungsi manajemen dan praktis tidak beraktivitas karena ketiadaan pengelola tetap, sedikitnya koleksi, dan sulitnya penghimpunan dananya. Hal ini terjadi pada Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Bongsari dan Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Kembangarum. Kategori kedua adalah perpustakaan yang sulit menerapkan fungsi-fungsi manajemen karena ketiadaan pengelola tetap, sedikitnya koleksi, dan sulitnya penghimpunan dananya, namun dapat beraktivitas. Hal ini terjadi pada Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Bojong Salaman dan Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Gisik Drono. Kategori ketiga adalah perpustakaan
yang dapat menerapkan fungsifungsi manajemen secara lancar karena sudah ada pengelola tetap, koleksi yang cukup memadai, dan mudah menghimpun dananya. Hal ini terjadi pada Perpustakan Rumah Pintar Kelurahan Krobokan yang mendapatkan bantuan dari SIKIB (Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu), Perpustakaan Nasional RI dan Rotary Club. Ditilik dari sisi manajemen, pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat ini masih lemah dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen seperti disebut Terry (2003:15) sebagai: perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating), dan pengawasan (controlling). Dari sisi perencanaan (planning), belum ada antisipasi terhadap kemungkinan terjadi kekosongan petugas atau kemudian bagaimana pemberian honornya meskipun sekadar sebagai uang lelah saja. Petugas Perpustakaan Rumah Pintar bisa saja sukarelawan karena mencari petugas tetap yang mempunyai keterampilan perpustakaan di dalam masyarakat memang sulit. Namun harus dipantau sampai kapan mereka dapat melakukan pengabdiannya itu sehingga apabila karena sesuatu hal mereka tidak dapat mengabdikan dirinya lagi, sudah disiapkan penggantinya. Stoner (1995:11), menyebutkan bahwa perencanaan sebagai suatu proses penentuan tujuan dan tindakan yang sesuai guna mencapai tujuan. Tidak diantisipasinya kekosongan pengelola tetap menunjukkan bahwa perencanaan dalam manajemen pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat belum dapat direalisasikan dengan baik. Dari sisi pengorganisasian (organizing), meskipun sudah ada struktur organisasi makro, namun belum disusun struktur organisasi
mikronya. Struktur Organisasi makro menentukan status perpustakaan dalam Rumah Pintar, sedangkan Struktur Organisasi Mikro menentukan pembagian tugas dan wewenang dari personil yang akan melaksanakannya. Struktur organisasi yang mantap memungkinkan bagi perpustakaan untuk melakukan aktivitas secara terorganisir, terarah, dan dinamis untuk mencapai tujuan perpustakaan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, siapa dan apa yang harus dilakukan dalam pengelolaan Perpustakaan Rumah Pintar ini dapat melakukan tugas sesuai dengan kewenangannya. Terry (1977:264), menyebutkan bahwa pengorganisaian adalah pembentukan hubungan perilaku efektif antar orang sehingga mereka dapat bekerja bersama-sama secara efisien dan mencapai kepuasan pribadi dalam mengadakan tugas-tugas di bawah kondisi lingkungan yang diberikan guna mencapai tujuan. Stoner (1995:11), berpendapat bahwa pengorganisasian merupakan proses mengajak atau mengikutsertakan dua orang atau lebih dalam bekerja bersama-sama dalam suatu cara yang terstruktur guna mencapai suatu tujuan yang spesifik atau menyusun tujuan-tujuan. Handoko (2001:24) menyebutkan kegiatan-kegiatan dalam pengorganisasian, yaitu: (1) penentuan sumber daya-sumber daya dan kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi; (2) perancangan dan pengembangan suatu organisasi yang akan dapat melaksanakan tugas untuk halhal tersebut ke arah tujuan; (3) penugasan tanggung jawab tertentu; dan (4) pendelegasian wewenang yang diperlukan kepada individuindividu untuk melaksanakan tugasnya. Fungsi ini menciptakan struktur formal di mana pekerjaan ditetapkan, dibagi, kemudian dikoordinasikan.
Ditilik dari berbagai pengertian pengorganisasian tersebut, realita ketiadaan pengelola tetap empat Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat, menunjukkan bahwa pengorganisasian dalam manajemen pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat dapat direalisasikan. Dari sisi penggerakan (actuating) belum dapat direalisasikan sepenuhnya karena tenaga pengelola tetap dari bagian terbesar Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat hanya seorang, yakni pengelola perpustakaan rumah pintar itu sendiri. Sebenarnya, fungsi penggerakan sebagai tindakan mengarahkan pekerjaan yang perlu dilaksanakan di dalam sebuah organisasi. Karena itu, menggerakkan dalam pembinaan perpustakaan rumah pintar harus dikaitkan dengan fungsi-fungsi manajemen lainnya, misalnya perencanaan, organisasi dan pengawasan agar tujuan organisasi tercapai. Menurut Terry (2003:17), bahwa penggerakan ini disebut juga “gerakan aksi” mencakup kegiatan yang dilakukan oleh seorang pimpinan untuk mengawali dan melanjutkan kegiatan yang ditetapkan oleh unsur perencanaan dan pengorganisasian agar tujuan-tujuan dapat tercapai. Stoner (1995:12), menyebutkan bahwa penggerakan (actuating) adalah “proses mengarahkan (directing) dan mempengaruhi (influencing) kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan tugas anggota kelompok atau organisasi secara keseluruhan”. Setelah program kegiatan ditetapkan dan dilakukan pengorganisasian terhadap segala sesuatu yang berkaitan dalam kegiatan tersebut, langkah berikutnya adalah dilakukan pengarahan, pemberian motivasi, yang pada intinya menggerakkan semua personil atau sumber daya yang diberi tugas dan
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
23
wewenang (baik pemimpin maupun pengelola perpustakaan rumah pintar) agar dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Realita ketiadaan pengelola tetap empat Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat, menunjukkan bahwa penggerakan dalam manajemen pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar di Keca matan Semarang Barat belum dapat direalisasikan sebagaimana mestinya. Dari sisi pengawasan (controlling) belum dapat direalisasikan sepenuhnya karena tenaga pengelola tetap dari bagian terbesar Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat hanya seorang, yakni pengelola perpustakaan rumah pintar itu sendiri, di samping itu, tidak semua perpustakaan tersebut menjalankan aktivitasnya. Seperti yang disebut Stoner (1995:12) bahwa pengawasan (controlling) sebagai proses memastikan (ensuring) bahwa kegiatan-kegiatan aktual yang dilakukan sesuai dengan kegiatankegiatan yang telah direncanakan. Pengawasan merupakan fungsi manajemen yang mengukur tingkat efektifitas kerja personal dan tingkat efisiensi penggunaan metode serta alat-alat tertentu dalam usaha mencapai tujuan. Tolok ukur pengawasan biasanya adalah program kerja ataupun norma-norma tersebut yang ditetapkan bersama. Ditilik dari pengertian pengawasan tersebut, realita ketiadaan pengelola tetap empat Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat, dan tidak semuanya menjalankan aktivitasnya menunjukkan bahwa pengawasan dalam manajemen pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat belum dapat direalisasikan sebagaimana mestinya. Tentu perlu dirujuk kembali,
24
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
bahwa diselenggarakannya Rumah Pintar di Kota Semarang tersebut bertujuan untuk: (1) Menumbuhkan Budaya Baca; (2) Meningkatkan kualitas SDM Kota Semarang; (3) Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur; (4) Mengembangkan IPTEK; (5) Menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk peduli akan kebutuhan membaca bagi masyarakat sekityarnya; (6) Memfasilitasi keterpaduan program pembangunan daerah; (7) Meningkatkan rasa cinta kebangsaan terutama Kota Semarang; dan (8) Mendukung pembangunan manusia seutuhnya (Solidaritas IKIB). Jadi jelaslah bahwa Rumah Pintar pada intinya merupakan perwujudan dari upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana dicantumkan dalam Pembukaan Undang-undang 1945. Dengan demikian Perpustakaan Rumah Pintar sebagai bagian integral dari Rumah Pintar pun merupakan perwujudan dari upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa selaras dengan tujuan Rumah Pintar di mana perpustakaan tersebut bernaung di dalamnya. Perpustakaan Rumah Pintar ini perlu diupayakan keberlangsungan aktivitasnya.
PENUTUP Kesimpulan Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam manajemen pembinaan Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan semarang Barat yang meliputi Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Bongsari, Kelurahan Bojong Salaman, Kelurahan Kembangarum, Kelurahan Gisik Drono, dan Kelurahan Krobokan: Pertama, fungsi perencanaan (planning) dapat direalisasikan meskipun belum sepenuhnya. Hal ini ditandai oleh adanya rencana, baik dari pihak kelurahan sebagai
pelindung atau penasihat maupun dari pihak pengelola perpustakaan, namun tidak diantisipasi kemungkinan terjadi kekosongan pengelolanya. Kedua, fungsi pengorganisasian (organizing) belum dapat direalisasikan sepenuhnya. Hanya satu kelurahan (Kelurahan Krobokan) yang menyatakan bahwa pengorganisasian perpustakaan dapat berjalan dengan lancar dikarenakan pengelola tetapnya sudah ada. Ketiga, fungsi Penggerakan (actuating) belum dapat direalisasikan sepenuhnya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesulitan empat kelurahan (Kelurahan Bongsari, Kelurahan Bojong Salaman, Kelurahan Kembangarum, dan Kelurahan Gisik Drono) untuk menggerakkan aktivitas perpustakaan dikarenakan pengelolanya adalah pengelola Rumah Pintar itu sendiri. Meskipun demikian, dua kelurahan (Kelurahan Bojong Salaman dan Kelurahan Gisik Drono) dapat menjalankan aktivitas perpustakaan. Hanya satu kelurahan (Kelurahan Krobokan) yang menyatakan bahwa penggerakan perpustakaan dapat berjalan dengan lancar dikarenakan pengelola tetapnya sudah ada. Keempat, fungsi pengawasan (controlling) belum dapat direalisasikan sepenuhnya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesulitan empat kelurahan untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas perpustakaan dikarenakan pengelolanya adalah pengelola Rumah Pintar itu sendiri. Hanya satu kelurahan (Kelurahan Krobokan) yang menyatakan bahwa pengawasan perpustakaan dapat berjalan dengan lancar dan terprogram setiap tiga bulan sekali melalui pertemuan pihak kelurahan, pengelola Rumah Pintar dan pengelola Perpustakaan Rumah Pintar, serta tutor.
daftarpustaka Saran Berdasarkan kesimpulan di atas diharapkan: Pertama, masing-masing Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat tetap berupaya untuk beraktivitas karena sebenarnya keberadaan perpustakaan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Kedua, perpustakaan rumah pintar di Kecamatan Semarang Barat siap menjalankan aktivitasnya, namun kendalanya kesulitan mencari tenaga pengelola yang tetap dan paham tentang pengelolaan perpustakaan, penambahan koleksi, dan penghimpunan dana. Karena itu penting sekali bagi berbagai pihak atau lembaga lain untuk memperhatikan dan membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan Perpustakaan Rumah Pintar di Kecamatan Semarang Barat. Ketiga, bagi Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Bongsari, Bojong Salaman, Kembangarum, dan Gisik Drono yang kesulitan dalam hal petugas tetap, penambahan atau pembinaan koleksi, dan dana perlu belajar dan berkonsultasi dengan Perpustakaan Rumah Pintar Kelurahan Krobokan yang sudah punya petugas tetap, memperoleh bantuan koleksi maupun dana dari SIKIB, Perpustakaan Nasional RI dan Rotary Club. Keempat, perlu dipahami dan disadari bersama oleh masyarakat, pemerintah baik tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat kota, bahwa diselenggarakannya Rumah Pintar di Kota Semarang termasuk perpustakaan yang berada di dalamnya bertujuan: (1) Menumbuhkan Budaya Baca; (2) Meningkatkan kualitas SDM Kota Semarang; (3) Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur; (4) Mengembangkan IPTEK; (5) Menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk peduli akan kebutuhan membaca bagi masyarakat sekitaarnya; (6) Memfasilitasi keterpaduan program pembangunan daerah; (7) Meningkatkan rasa cinta kebangsaan terutama Kota Semarang; dan (8) Mendukung pembangunan manusia seutuhnya. Perpustakaan Rumah Pintar sebagai bagian integral dari Rumah Pintar merupakan perwujud an dari upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa selaras dengan tujuan Rumah Pintar di mana perpustakaan tersebut bernaung di dalamnya. Perpustakaan Rumah Pintar ini perlu diupayakan keberlangsungan aktivitasnya.
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Daft, R. L. 2002. Manajemen, Ed. Ke 5. Jakarta: Erlangga. Danandjaja, A.A. 1991. “Motivasi: Teori dan Praktek dalam Hubungannya dengan Kepemimpinan”. Bank dan Manajemen, No. 8, Januari/Februari: 61-63. Depdiknas. 2003. Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI. Echols, J. M. dan Shadily, H. 2005. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia Fattah, N. 2000. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya. Handoko, M. 1992. Motivasi daya Penggerak Tingkahlaku. Yogyakarta: Kanisius. Handoko, T. H. 2001. Manajemen. Edisi kedua. Yogyakarta:BPFE. Hinggis, J. M. 1982. Human Relations. New York: McMillan. Kasmianto. 1997. Manajemen: Teori dan Aplikasinya.. Jakarta: Bumi Aksara. Kontz, H. et al. 1984. Management, 8th ed. New York: McGraw-Hill. Moleong, L. J. 1998. Metodologi Penelitian Klualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ndraha, T. 1989. Kybernologi: Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan. Jakarta: Rineka Cipta. Pidarta, M. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Semarang 2005-2010. Media Semarang, Ed. 07: 28-33. Nawawi, H. 1984, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Nurhadi, M. A. 1983. Sejarah Perpustakaan dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Andi. Siagian, S. P. 1992. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Rineka Cipta. Silalahi, U. 1996. Pemecahan Praktis Azas-Azas Manajemen. Bandung: Mandar Maju. Sutarno N. S. 2003. Perpustakaan dan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Solidaritas IKIB. T.th. Rumah Pintar: Tunas Bangsa Pelita Bangsa. Leaflet. Stoner, J. A. F. 1995. Manajemen. Jakarta: Erlangga. Sutiono. 1983. Manajemen: Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta. Syamsudin. 1996. Manajemen: Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya. Terry, G. R. 1977. Prinsip-prinsip Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan Bidang Kependidikan. Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri: 1-53. Winardi. 1990. Asas-asas Manajemen. Bandung: Mandar Maju.
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
25
Oleh : Indah Purwani,S.Sos
Penentuan Skala Prioritas Preservasi Upaya Perlindungan Nilai Informasi Koleksi Di Perpustakaan Nasional Ri Abstraks Artikel ini berbicara masalah penerapan preservasi yang ada di Perpustakaan Nasional RI yang mengkaji masalah kebijakan preservasi yang telah ditentukan oleh pengambil kebjakan dilingkungan Perpustakaan Nasional RI . Dari koleksi yang sebagian besar terbuat dari bahan kertas dengan kualitas yang bervariasi karena faktor alamiah pasti akan mengalami kerusakan , perlu adanya kegiatan preservasi agar nilai informasi koleksi tidak mengalami kersakan.Kebijakan koleksi hendaknya mencakup koleksi current yang berindikasi pada pengembangan koleksi dimasa yang akan datang, untuk itu perlu adanya pedoman penentuan skala prioritas preservasi, di Perpustkaan Nasioanal belum maksimal karena dalam menentukan skala prioritas hanya didasari atas kebijakan para pustakawan karena tidak ada kebijakan secara tertulis dalam penentuan skala prioritas preservasi. Kata Kunci: Perpustakaan Koleksi - Preservasi - Kebijakan dalam penentuan skala prioritas - Pedoman penentuan skala prioritas preservasi.
Pendahuluan Masalah terkait dengan upaya perlindungan nilai informasi koleksi telah menjadi salah satu pemikiran utama di berbagai perpustakaan, khususnya di Perpustakaan Nasional negara manapun. Hal ini dapat dicermati pada buku Conservation and Preservation at the National Library of Indonesia: A report by the International Review Team for conservation and preservation, yang menguraikan bahwa: “National Library of Indonesia” from its establishment in 1778, there are collections more 1.881.456 titles in addition to it book, periodical, microfilm and manuscript collections over 10.000 codices which uniquely important for the nation past history, literature, religion, law , costume , etc. are recorded, these made from paper with variations quality.The gradual transition the collections have become rare, and destroyed, that reason is too many kinds of collections still not being preserved yet. The problem of National Library, there isn’t written policy of priority scale on preservation which can be used as guideline to decide to preserve. Deterioration of paper is considered more serious than binding or board problems. If the paper goes, the book is
(Staf pada subbid . Teknis Penjilidan Bahan PustakaPusat Preservasi Bahan Pustaka)
26
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
gone. The conclusion of priority scale is based on the library staff minded without calculate about impact was he decided. The implementation of preservation has not optimal yet, because paper deterioration takes much time, skill and money. This becomes impact and problem in the presenting library service. (Perpustakaan Nasional, 1989) Koleksi Perpustakaan yang sebagian besar adalah buku dan terbuat dari bahan kertas dengankualitasyang bervariasi, karena faktor alamiah pasti akanmengalami kerusakan.Kertas sebagai bahan perpustakaan, secara umum adalah merupakan suatu bahan yang berbentuk lembaran tipis dari serat tumbuhan atau sintetis yang dipakai untuk menulis, melukis, serta menyebarkan berbagai informasi dan pengetahuan. Kualitas kertas tergantung dari kualitas bahan dasar tumbuh-tumbuhan yang digunakan pada saat proses pembuatan kertas tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan koleksi tersebut disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan usaha-usaha pelestarian guna menjaga agar kondisi bahan perpustakaan dan nilai informasi yang terkandung didalamnya
tidak mengalami kerusakan, sekaligus akan menunjang fungsi pelayanan jasa dan informasi perpustakaan. Konsep informasi itu sendiri mempunyai definisi yang beragam karena berbagai aspek ciri dan manfaat yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan pengertian informasi sesungguhnya bisa berupa data atau fakta yang sudah diolah dan disusun sedemikian rupa sehingga informasi tersebut mempunyai nilai. Dikatakan mempunyai nilai apabila seseorang dapat memanfaatkan untuk menambah ilmu pengetahuan, dan ajang perannya sebagai kancah studi, kancah penelitian dan ajang konsultasi berbagai disiplin ilmu, sebagaimana informasi yang terdapat dalam suatu dokumen seperti buku, citra,photo atau rekaman suara mempunyai nilai informasi. Kebijakan Koleksi Perpustakaan Bahan perpustakaan yang menjadi koleksi perpustakaan, merupakan sumber informasi bagi masyarakat pembacanya.Salah satu fungsi perpustakaan adalah menyebarkan informasi yang terkandung didalamnya, oleh sebab itu dengan semakin berkembangnya informasi sebagai suatu komoditi, tentunya perpustakaan sebagai penyimpan nformasi harus memperhatikan masalah keamanan dan keselamatan informasi yang terkandung didalam koleksi bahan perpustakaannya.Pada umumnya sumber-sumber informasi yang dicari dan digunakan adalah sumbersumber informasi yang mudah dan terjangkau oleh pengguna, sehingga dengan demikian penggunaan informasi itu akan menjadi maksimal bila dapat memenuhi atau sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Dalam menentukan kebijakan koleksi, definisi hendaknya mencakup koleksi current yang berindikasi pada pengembangan koleksi dimasa yang
akan datang. Kebijakan koleksi bila dihubungkan dengan presevasi sangat erat kaitannya dan ini dijelaskan oleh Bonita Bryan dalam Collection policies and preservations sebagai berikut:”Every library collection is established for one more definite purpose. Collection development and management program organizes and direct the process of acquiring materials, integrating them into coherent collection, managing their growth and waitence, and deselecting them when appropriate in cost-and user-beneficial way” ( 1989:1) Menangani preservasi dalam skala yang besar tidak mungkin bisa sukses dan bisa dikembangkan tanpa adanya pernyataan tujuan yang jelas. Kebijakan koleksi yang ada akan membantu dalam menentukan prioritas preservasi, yang mengarah pada kepentingan koleksi. Biasanya penentuan skala prioritas dikaitkan pada masalah “sense of urgensi” dan kepentingan yang mendasari program serta sasaran guna mencapai tujuan lembaga institusi yang ada.Perpustakaan Nasional RI dalam menentukan kebijakan skala prioritas preservasi tidak mempunyai satuketentuan atau peraturan yang baku dalam bentuk pernyataan tertulis tentang masalah skala prioritas, tetapi sejauh ini Perpustakaan Nasional RI mengadopsi apa yang telah menjadi standar yang ditetapkanoleh International Federation Library Association ( IFLA), Principle for the Preservation and Consevation of Library Materials. Adapun faktor kunci program preservasi yang efektif meliputi kanduganinformasi, kandungan alamiahnya, lingkungan yang mempengaruhi (fisik &politik), serta kemampuan sumber daya disamping adanya komitmen yang kuatatas program preservasi dari para pengambil kebijakan (manajer) beserta staf yang menanganinya.
Penentuan Skala Prioritas Preservasi Bahan Perpustakaan Berbicara masalah kegiatan preservasi bukan hanya terhadap bahan perpustakaan kuno tetapi juga bahan perpustakaan yang dihasilkan pada masa sekarang. Masalah kepentingan preservasi ini ditegaskan oleh David. W.G Clement bahwasanya:”Preservation of the cultural history of country and of the intellectual content of collection of the national and other major libraries has been increasingly recognized as importance. Greater prominence is being given to preservation issues both byindividual countries, by the Council of Directors of National Libraries International Federation of Library Association who have now include it as a new programme”(Clement,1985:1). Biasanya penentuan skala prioritas dikaitkan dengan masalah “sense of urgensi”dan kepentingan yang mendasari program serta sasaran guna mencapai tujuan lembaga institusi yang ada.Faktorfaktor yang mempengaruhi dalam penentuan skala prioritas dalam preservasi menurut Sherelyn Ogden dalam Consideration for prioritizing terbagi dalam kelompok: a. Faktor Penggunaan Jumlah dan jenis penggunaan koleksi yang diterima dan digunakan secara signifikan, ataupun bahan pustaka yang dipamerkan secara permanen mempunyai kebutuhan perawatan dan penyimpanan yang berbeda dari yang lain. Bahan perpustakaan yang digunakan secara berkala guna tujuan penelitian harus dibedakan dengan bahan perpustakaan yang digunakan secara signifikan dan berpotensial pada kerusakan, sangat beresiko tinggi serta butuh perhatian yang sangat
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
27
urgensi.Bahan Perpustakaan yang sering dipakai atau dipinjam akan menyebabkan jilidan menjadi kendur,volume keusangan bertambah dan lembaranlembaran menjadi kusut. Buku atau Bahan Perpustakaan menjadi semakin tinggi tingkat kerusakannya, apabila berada pada tangan pengguna yang tidak mengerti bagaimana memperlakukan bahan perpustakaan dengan baik.Guna menghindari bahan perpustakaan yang sering digunakan menjadi cepat rusak, cara pencegahannya adalah dengan dibuatkan copy atau microfilm sebagai gantinya, dengan demikian pengguna cukup membawa copynya saja kecuali bila ada alasan yang benar-benar penting, bahan perpustakaan yang asli dikeluarkan dari penyimpanan untuk digunakan.
pada kerusakan, teknik shelving yang harus diperhatikan adalah, bahwa buku sebaiknya dalam posisi tegak berdiri tanpa membedakan apakah buku punya ukuran tinggi maupun lebar. Shelving yang dilakukan secara hati-hati secara tidak langsung akan membawa kearah kerapihan bagi penggunaan dikemudian hari, seperti yang dijelaskan dalam “Basic Preservation Procedures” (1981: 18) bahwa: “People natural tendency is to lea thing as found them,or more so. If book arehaphazardly sprawled on shelved, users are likes to be pretty casual about handling them. But if they’re up right and neat rows, user will tend that way, and may even straight ten up a toppled row if it is conscious exception to overall neatness” (Harvey, 1993: 188).
b. Faktor Penyimpanan Penyimpanan koleksi juga penting karena bahan pustaka yang disimpan dibawah perlakuan yang minim atau dalam penyimpanan yang berbahaya serta rentan terhadap pencurian, vandalisme, bisa dikategorikan dalam koleksi yang beresiko tinggi. Bahan pustaka yang disimpan pada tempat yang panas dan kering akan menjadi rapuh, sedangkan jika disimpan pada tempat yang lembab, kertas cenderung menjadi kuning kecoklatan dan ditumbuhi jamur. Penyimpanan bahan pustaka seharusnya dilindungi dari berbagai faktor kerusakan secara eksternal seperti jauh dari kotoran air,makanan,minuman,terkena panas secara langsung maupun penekanan fisik.
c. Faktor Nilai Estetika Bahan Pustaka Dalam menentukan skala prioritas, faktor lain yang perlu jadi bahan pertimbangan adalah nilai dari bahan pustaka yang menjadi koleksi perpustakaan. Koleksi langka dan koleksi khusus membutuhkan penanganan tindakan pencegahan yang lebih ketat, karena koleksi- koleksi tersebut sangatjarang (langka); sulit dalam penggantian, atau punya nilai kultur yang signifikan, ada nilai sejarahnya maupun karena punya bentuk yang khas(lain dari pada yang lain). Dalam sebuah perpustakaan,yang dikategorikan sebagai koleksi langka apabila usianya mencapai minimal 50 tahun ( Hartoyo dalam Sumarsih, 1999:8).
Pelaksanaan shelving bahan pustakaagar tidak membawa efek
28
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
Pelaksanaan penentuan skala prioritas ini merupakan
hal yang sangat penting karena akan membantu institusi dalam penetatapan kriteria terhadap dampak dan kemungkinanan secara bersama-sama bagi tiaptiap kegiatan. Pamela Darling menjelaskan sebagai berikut: “Those that will result in dramatic improvement in the present condition of materials, substantial decrease in the rate of deterearetion,subtantial increase in efficiency of current preservation activies, or considerable saving of time, energy or money” (Darling,1991). Oleh karena itu pelaksanaan kebijakan pelestarian diperoleh melalui proses perencanaan yang bisa dimulai dari penelusuran, survey kondisi bahan pustaka dan penentuan cara pelestarian yang akan dilakukan. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam perhitungan penentuan skala prioritas, diantaranya beberapa koleksi yang digunakan dalam frequensi tinggi, mempunyai harga nilai prioritas untuk penyimpanan dan perawatan dari koleksi yang lain. Koleksi yang secara gradual akan memburuk dan yang mengalami kerusakan lebih cepat dari yang lain, membawa efek pula dalam penentuan prioritas atau pentransferan informasi. Tetapi bila ditinjau dari segi informasinya, tidak semua informasi itu butuh pemeliharaan secara tidak terbatas waktunya, sehingga dengan didasari oleh prinsip-prinsip diatas, kebijakan dalam penentuan skala prioritas, yang penting adalah mencari pemecahan pemikiran yang sesuai dengan strategi manajemen lembaga perpustakaan. Alih Bentuk Informasi Dua hal penting dalam kegiatan preservasi adalah melestarikan bentuk fisik dokumen dengan cara mengurangitingkatkeasaman ,pembuatan laminasi,enkapsulasi atau restorasi dan sebagainya,
sedangkan pelestarian nilai informasi bisa dilaksanakan dengan cara alih bentuk informasi, misalnya dalam bentuk mikro dan video disk atau direkam dalam Compact Disc (CD). Bentuk mikro dapat berupa gulungan microfilm, mikrofis, aperture card ultrafis dan mikropaque.Kelebihan dari bentuk mikro ini diantaranya: menghemat ruangan,keamanan lebih terjamin, mudah diproduksi jika ada master negatifnya dan tidak menyimpang dari bentuk aslinya. Disamping itu dengan bantuan alat baca (scanner) serta teknologi komputer, pemakaian dan penyimpanannya menjadi lebih mudah.Koleksi perpustakaan yang seharusnya dialihkan ke dalam bentuk mikro adalah jenis koleksi surat kabar atau majalah, karena pada umumnya kualitas kertasnya bermutu rendah dan cepat rusak, tetapi informasinya kadang diperlukan sebagai bahan rujukan yang dicari-cari. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakanParry (dalam Feather: 77) yang menyebutkan bahwa “The preservation of news paper present two related physical problem: there are huge number of them,and they are generally printed on very poor paper”. Beberapa alasan pertimbangan alih bentuk informasi yaitu, 1) Bahan perpustakan sudah rusak, sehingga tak perlu disimpan lagi. 2). Bahan perpustakaan masih baru, tetapi nilai fisiknya tidak penting, sehingga demi penghematan ruangan dan pemeliharaan perlu dialihkan ke bentuk media lain, 3). Bahan perpustakaan sangat penting walau dipinjamkan aslinya akan mudahrusak (Martoatmojo: 180). Penutup Kegiatan pelaksanaan preservasi di Perpustakaan
Nasional RI diupayakan dapat menuju pada terlaksana secara maksimal sesuai dengan pedoman preservasi secara ideal karena perlu dan tidaknya bahan perpustakaan masuk dalam kategori prioritas masih hanya berdasarkan kasat mata para pustakawan semata dengan tanpa mempertimbangkan ketentuan yang ada. Dalam kasus ini perlu diperhatikan kompleksitas konsep preservasi bahan pustaka, dimana terdapat banyak aspekdan keterkaitan antara aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dan langkah-langkah yang biasa diambil diantaranya: kebijakan Preservasi Nasional perlu segera direalisasikan dalam bentuk peraturan secara tertulis dengan mengacu pada Undang-Undang No.4 Tahun 1990, dimana didalamnya mampu mengakomodasikan semua kepentingan bagi koleksi sesuai dengan kondisi yang ada. Dengan adanya kebijakan preservasi akan memungkinkan Perpustakaan Nasional RI biasamelaksanakan kegiatan preservasi dalam kaitan penentuan skala prioritas secara seragam dan sama berdasarkan pada pedoman yang akan menjadi bahan acuan para staf dan pejabat penentu kebijakan dilingkungan masing-masing. Didasarkan padai penjelasan mengenai lembaga pelaksana preservasi yang direkomendasikan oleh IRT, dapat disimpulkan bahwa lembaga Perpustakaan Nasional RI harus mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas preservasi bahan perpustakaan sebagaimana yang dibahas dalam konsep preservasi.Landasan Hukum yang digunakan dalam pelaksanaan preservasi adalah Undang-undang No.4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan karya Cetak dan Karya Rekam yang pada intinya mewajibkan semua penerbit yang berada diwilayah Republik
Indonesia wajib menyerahkan 2 (dua) eksemplar cetakan dari setiap judul karya cetak yang dihasilkan, kepada Perpustakaan Nasional RI. Tujuan diterbitkannya undang-undang ini adalah untuk menghimpun,melestarikan dan mewujudkan koleksi karya cetak dan karya rekam secara nasional.
daftarpustaka Child, M.1999.”Collection policies and preservation”Techinical leaflet, planning and priorotizing .Sec.1 leaflet 5, http;www.ned cc.org/t leaft 5 htm Clement, D.W.G. 1985.Preservation of library collection.Paris: UNESCO. Dureau.J.M. dan Clements D.W.G.1990.Dasar-dasar pelestarian dan pengawetanbahan pustaka. Jakarta:Perpustakaan Nasional RI. Feather, J.1988.Preservation and management of librarycollections. London: The Library Association Harvey, R.1993. Preservation in libraries: a reader. London: Bouker. Perpustakaan Nasional RI.1994. Peraturan Pemerintah No.70 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya cetak dan Karya rekam .Jakarta, Perpustakaan Nasional RI. Martoatmojo, K.1997.Pelestarian bahan pustaka. Jakarta:Yayasan Multi Wijaya. Ogden,S.1999 ”Consideration for prioritizing ”Technical leaflet,Planning and Prioritizing, sec.1 leaflet 4 http;www.nedcc.org/ org/t leafl 4 htm Perpustakaan Nasional RI. 1989. Conservation and preservation at the National Library of Indonesia: A report by the International Review Team for conservation and preservation.Jakarta: Perpustakaan Nasioanl RI Sumarsih, E.1999.Kontribusi Buku Langka Dalam rangka Pemenuhan Kebutuhan Informaasi Pengguna (Skripsi) Perpustakaan Nasional RI. 1989. Conservation and preservation at the National Library of Indonesia: A report by the International Review Team for conservation and preservation.
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
29
Oleh : Purwono
Kepustakawanan : Kemarin Dan Esok Adalah Hari Ini Pendahuluan Dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Menpan Nomor 18 Tahun 1988 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Pustakawan (yang hingga saat ini telah beberapakali disempurnakan), menandakan bahwa pemerintah telah mengakui jika pekerjaan seorang pustakawan sebagai Jabatan Fungsional. Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah perguruan tinggi di Indonesia yang pertama kali menerapkan peraturan jabatan fungsional pustakawan. Saya adalah ”Pustakawan Glundung Pringis” karena ketika saya diangkat pertama kali sebagai Pejabat Fungsional Pustakawan melalui inpassing bukan pengangkatan pertama berdasar kualifikasi yang disyaratkan, karena sebagaimana diketahui bersama, syarat untuk pengangkatan Jabatan Fungsional Pustakawan harus memiliki pendidikan minimal D2/D3 di bidang Perpustakaan. Akan tetap, waktu itu saua belum dapat memenuhinya, sehingga dengan cara inpassing saya dapat bergabung dalam jabatan fungsional pustakawan. Hal ini merupakan salah satu cara yang menguntungkan saya. UGM mensyaratkan inpassing untuk pegawai perpustakaan yang semula berstatus pegawai administratif menjadi Pejabatan Fungsional Pustakawan minimal harus berijazah SLTA, Sudah bekerja
2 (dua) tahun berturut-turut di perpustakaan, berpangkat Pengatur Muda Tk. I, Golongan/Ruang II/b dan telah mengikuti pendikan/ kursus bidang perpustakaan minimal 6 bulan. Beruntung sekali saya pada saat itu dapat memenuhi syarat tersebut, karena dis amping syarat administratif saya telah mengikuti Kursus Pendidikan Teknisi Pepustakaan Perguruan Tinggi (PTPU) yang diselenggarakan UGM atas rekumendasi DIKTI. Saya diangkat sebagai pejabatan fungsional pustakawan berdasar SK. Mendikbud No. 95/C/1990, dengan posisi: Jabatan Fungsional Pustakawan: Pustakawan Pratama. TMT: 31 Januari 1988. Sejak itulah saya meniti karir di bidang kepustakawanan melalui dua zaman yaitu Era Kepustakawanan Konvensional yang serba manual atau hastawi dan Era Kepustakawanan dengan penerapan Teknologi Informasi yang padat teknologi. Selama meniti karir sebagai pustakawan saya merangkak dari Pangkat/Golongan II/b sampai pada Pangkat dan Jabatan Tetinggi dalam sistem kepegawaian PNS atas dorongan dan fasilitas yang diberikan oleh pihak manajemen dan atas dukungan lingkungan yang kondusif. Untuk itu Alhmadulillah saya bersyukur kepada Allah SWT
(Pustakawan Utama Universitas Gajah Mada (UGM))
30
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
yang telah melimpahkan RakhmatNya kepada saya. Selain itu, ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan kepada saya sehingga saya dapat mencapai puncak karir saya. Barang kali tidak salah ketika saya mengucapkan pidato pengukuhan saya sebagai Pustakawan Utama dengan judul: Hubungan Timbal Balik antara Institusi, Pembelajaran Sepanjang Hayat dengan Pengembangan Karier Pustakawan, di Yogyakarta, 6 September 2007. Apabila selama meniti karir di bidang kepustakawanan, saya melalui dua zaman maka di dalam proses pembelajaran sepanjang hayat saya telah melalui tiga zaman yaitu: Era Kampus UGM Wijilan dan Pagelaran Kraton Yogyakarta tahun 1967 – 1968, Era Kampus UGM Karang Malang tahun 1969-1970, dan Era Kampus UGM Bulaksumur 1970 – Di dalam meniti karir di UGM saya berpegang pada ”Ngelmu Beja”. Ngelmu beja itu adalah ngelmu atau ilmu untuk ”hanggayuh kamulyan” bukan sekedar ” kemul-liyan”. Prinsipnya adalah: 1. Membersihkan hati; yaitu dengan cara membiasakan berfikir positif, sekalipun menghadapi situasi yang buruk dan tidak menyenangkan, tetapi
2.
3.
4.
5.
selalu berusaha mengurai sisi baiknya. Sebaliknya waspadai diri kita sendiri. Kita harus selalu mengevaluasi diri karena setiap orang akan cenderung merasa sudah melakukan banyak amal kebaikan, bahkan sudah merasa telah beriman. Berusaha setiap saat agar hidup kita bermanfaat bagi sesama. Dalam terminologi ajaran Jawa disebut donodriyah; atau sodaqoh. Belajar tulus dan ikhlas sepanjang masa. Hal ini agar mampu mewujudkan keikhlasan yang sempurna. Ukuran kesempurnaan ikhlas itu dapat diumpamakan “keikhlasan” kita sewaktu (maaf!) buang air besar. Kita enggan menoleh, bahkan selekasnya dilupakan dan disiram air agar tidak berbau dan membekas. Menghilangkan sikap ke-akuan (nar/api/iblis); menghindari watak mencari benarnya sendiri, mencari menangnya sendiri, dan mencari butuhnya sendiri. Sebaliknya, jaga kesucian badan dan batin dari polusi hawa nafsu negatif agar sinar kesucian (nur) menjadi semakin terang dalam kehidupan. Perbanyak bersyukur, sebab tiada alasan sedikitpun untuk menganggap Allah SWT belum memberikan anugrah kepada kita. Coba hitung saja anugrahNya dalam setiap detik, berpuluhpuluh anugrah selalu mengalir pada siapapun orangnya; sekali lagi dalam setiap detiknya. Maka bersyukur yang paling ideal adalah mewujudkannya dalam perbuatan.
Rekan-rekan seperjuangan, apabila kelima tahap di atas dapat dilaksanakan menjadi kebiasaan sehari-hari, niscaya hidup kita akan menemukan kamulyan sejati. Baik dunia maupun akhirat. Bahkan
kita dapat meraih anugrah Tuhan berupa “ngelmu beja” atau “ilmu” keberuntungan. Tidak dapat dicelakai orang, selalu menemukan keberuntungan, selalu hidup kecukupan, dan tenteram. Bahkan semakin banyak kita memberi, semakin banyak pula kita menerima. Itu semua adalah pitur luhur dari nenek moyang kita yang dipetik dari berbagai literatur dan bukan gagasan saya semata. Bagaimana Saya Meniti Karir Di Bidang Kepustakawanan? Budaya yang berlaku dalam suatu bangsa yang mencakup paradigma, sikap, dan pola tindakan yang merupakan cerminan nilai budaya bangsa tersebut. Budaya terus berkembang seiring dengan bergulirnya waktu, namun nilai budaya yang telah ada tidak akan hilang sama sekali pada masa selanjutnya. Nilai budaya itu akan menjadi unsur pembentuk, unsur yang mewarnai, mendasari, bahkan dapat mendominasi nilai-nilai budaya sesudahnya. Saya berasal dari lingkungan budaya Jawa tentu saja pengaruh nilai-nilai luhur budya Jawa akan tertanam dalam sanubari saya dan akan berpengaruh pada perilaku atau tindak tanduk kehidupan keseharian saya. Di antara nilai-nilai luhur itu adalah pitutur luhur dari nenek moyang kita: ”Lila lamun kelangan nora gegetun trimah yen ketaman saserik sameng dumadi tri legawa nalangsa srahing bathara”. Bait ini dipetik dari Serat Wedatama, adalah karya sastra Mangkunegoro IV dengan terjemahan bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut. Ikhlas, jika kehilangan tiada ’kan menyesal// menerima dengan lapang jika mendapatkan//kebencian dari sesama//legawa, dan menyerahkan segalanya kepada Yang Kuasa. Pesan yang ditulis Mangkunegoro IV pada masa kejayaan 1853-
1881 itu sebenarnya ditujukan kepada keturunannya yang ingin meneruskan cita-citanya menjadi ksatria utama. Menurut Beliau, ksatria pilihan harus menjalankan darma baktinya dan siap menerima risiko apa pun, serta pantang menghindar dari tanggung jawab. Saya bukan trah Mangkunegaran, tetapi apa salahnya kalau Ibu/Bapak sebagai kawula Surakartahadiningrat berharap anak keturunanya juga mewarisi cita-cita luhur yang diwariskan Mangkunegoro IV. ”Mulat Sariro angrasa wani, rumangsa melu andarbeni. wajib melu angrungkebi ” yang juga disebut ”Tri Darma” adalah karya KGPAA MANGKUNEGORO I, nama ketika masih kecil RM SAID, juga digelari PANGERAN SAMBERNYOWO. Beliau memerangi wadyabala Walandi dan oleh pamerintah Indonesia diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Ada lagi sesanti beliau yang masyhur yaitu ”Tiji Ti Beh”. Artinya ”Mukti siji mukti Kabeh, Mati siji mati Kabeh” barang kali hal itu ada hubungannya dengan Tri Darma tersebut. Artinya bahwa Manusia di lingkungan kehidupan bermasyarakat memiliki hak tetapi harus juga melaksanakan kewajibannya. Zaman kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan dimulainya proses peralihan keyakinan dari Hindu-Buddha ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah ‘Imam’ dan agama ageming aji-lah yang turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja, di samping peran aktif para ulama masa itu. Para penyebar Islam –para wali dan guru-guru tarekat- memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik dapat sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka. Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
31
warna tasawuf (Islam sufi), berkembang juga karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra. Petikan serat Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku Negara IV: ”Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase klawan kas, tegese kas nyatosani. Setya budya pangekese dur angkara” (Pupuh Pucung, bait I) Artinya: Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan. (Mengadeg, 1975). Di sini ngelmu lebih dekat dengan ajaran tasawuf, yaitu ilmu hakikat atau ilmu batin, karena dijalani dengan mujahadah laku spiritual
32
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
yang berat (Simuh, 1999). Dalam masyarakat Jawa, laku spiritual yang sering dilakukan adalah dengan tapa, yang hampir selalu dibarengi dengan pasa. Masih pada serat Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku Negara IV: ” Bonggan kang tan merlokena, / Mungguh ugering ngaurip, / Uripe lan tri prakara, / Wirya, harta tri winasis, / Kalamun kongsi sepi, / Saka wilangan tetelu, / Telas tilasing janma, / Aji godhong jati aking, / Temah papa papariman ngulandara.”(Salah sendiri yang tidak peduli, / terhadap landasan hidup, / Hidup berlandaskan tiga hal, / Kekuasaan, kekayaan dan kepandaian, / Bila tidak memiliki, / satu di antara ketiganya, / tiada arti lagi sebagai manusia, / Masih berharga daun jati kering, / Akhirnya menjadi peminta-minta dan gelandangan). Tiga hal yg diungkapkan disini, wirya, harta dan winasis,
penjabarannya begini: Orang yang punya kuasa/kekuasaan (Wirya), tentu akan mudah untuk mencari harta (arta) dan kepandaian (wasis). Atau orang yg mempunyai kekayaan (Arta), tentu juga tidak akan kesulitan untuk mendapatkan kekuasaan dan kepandaian, demikian juga orang yg hanya memiliki kepandaian (winasis) tentu juga tidak akan kesulitan untuk mendapatkan kekuasaan dan harta. Oleh karenanya, Mangkunegara IV mengatakan, jika kita tidak punya salah satupun dari 3 hal di atas, kita sudah tidak ada lagi gunanya, bahkan masih lebih berguna daun jati kering (Jaman dulu daun jati kering masih berharga, diantaranya dipakai utk membungkus segala macam atau klaras (daun pisang kering) masih berguna untuk pembungkus gula merah (Jawa) agar tidak cepat ninis / lumer). Dari berbagai pitur luhur itulah barang kali yang menjiwai
saya untuk melangkah menjalani hidup ini sebagai mana mestinya. Disamping itu saya beragama Islam tentu saja berusaha sedapat mungkin menjalankan syariat Islam sebagimana akidah Islamiyah. Ketika saya pada usia sekolah (SMP-SMA) sekitar tahun enampuluhan, saya dipercaya oleh Mbah Diro (Sudiro) dan Mbah Sol (Solichin) beliau keduanya putra Demang Manjungan, Ketandan, Klaten, mengelola taman bacaan komunitas yang beliau bina saat itu. Keduanya guru/guru kepala pada berbagai perguruan Muhammadiyah di Yogyakarta. Karena kesibukannya hanya sebulan sekali bergantian pulang ke Manjungan untuk melakukan pembinaan mental/ sepritual dan memotivasi pemudapemuda yang ada di desa kami. Pengelolaan taman bacaan sepenuhnya diserahkan kepada saya, namun karena minat baca tinggi diberangi ”rasa handarbeki” maka koleksi buku bacaan yang ada semakin lama semakin susut karena dibawa pulang dan tidak kembali, akhirnya tamat. Pada tingkat sekolah selanjutnya di SMA saya belajar baca tulis di samping mengikuti mata pelajaran sesuai kurikulum yang berlaku, saya mengambil ekstrakulikuler ”Jurnalistik” di bawah bimbingan Bambang Subendho Adhiputro yang sekaligus wali kelas. Di bawah bimbingan beliau, saya ”ditekan” untuk mau membaca dan menulis, ini merupakan awal dari aktivitas kepustakawanan.”Witing bisa jalaran dipeksa, witing ngerti jalaran taberi”. Mulai saat itu saya menyisihkan uang saku untuk membeli buku apa saja untuk koleksi, sebagai bahan bacaan yang merupakan modal untuk mengembangkan minat baca dan tulis. Tahun 1967 dengan niat bulat saya melanjutkan studi tingkat tinggi di UGM Fakultas Sastra dan
Kebudayaan. Dengan doa dan nilai-nilai luhur yang ditanamkan oleh Ibu dan Bapak saya, pulang – balik Klaten - Yogyakarta dengan mengayuh sepeda untuk ngangsu kawruh, ngupaya banyu pikulan warih. Di Fak Sasdaya (Fakultas Satra dan Kebudayaan) saya mengambil jurusan Sejarah untuk pertama kali mendapat wejangan dari Prof. Dr. A. Satono Kartodirjo, guru besar sejarah priyayi Solo tepatnya Wuryantoro, Wonogiri: ”Menjadi mahasiswa harus mesu brata (belajar sungguhsungguh), kalau zaman dahulu orang berguru harus tinggal dipadepokan dan atau bertapa/nenepi di gua, gunung atau tempat yang sepi dan wingit, kungkum (merendam diri) di sungai tempur atau sendang, maka saat ini bertapanya mahasiswa di PERPUSTAKAAN”. ”Tunggal guru tunggal wejangan naging yen kalah gentur tapane kalah kapinterane, kasudibyane lan kasektene”. Kita memang melihat kenyataan, kurikulum, substansi pembelajaran yang diajarkan sama, gurunya sama tujuan instruksional umum maupun khusus sama, tetapi pada kenyataan hasil akhir kompetensi yang didapatkan atau dimiliki oleh peserta didik ternya berbeda karena masingmasing ”kalah gentur tapane”. Perpustakaan museum Radya Pustaka Surakarta, Tepas Kapujanggan Kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman, Perpustakaan Museum Sanabudaya Yogyakarta, Koleksi Romo Zutmulder yang kemudian menjadi Koleksi khusus Artati di IKIP Sanata Dharma, merupakan tempat pertapaan awal. Dilanjutkan nenepi di Perpustakaan Negara yang kemudian menjadi Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DIY Jl. Malioboro, di sini banyak berkenalan dengan pustakawan-pustakawan senior Bp. St. Kotska Soegeng, Ibu Sumarni, Bpk Sudibyo dan pustakawan lain. Awalnya saya ke perpustakaan
tersebut bertujuan untuk mencari referensi, buku teks maupun dokumen-dokumen historis sesuai tugas saya untuk menyelesaikan tugas kemahasiswaan di jurusan sejarah. Kemudian saya tertarik dan banyak belajar pada mereka untuk memahami dunia kepustakawanan. Di lingkungan UGM saya belajar banyak di Perpustakaan Pusat Sekip Unit V atau Gedung Panca Dharma. Di gedung ini juga disimpan koleksi khasus Yayasan Hatta yang semula berada di Perpusda DIY. (Nasib koleksi Yayasan Hatta ini terluntalunta sampai saat ini?). Di sini saya banyak belajar dan menulis karena banyak literatur yang harus dibaca. Saat itu belum ada fasilitas foto kopi, harga buku sangat mahal bagi saya, literatur yang harus dibaca dalam jumlah yang banyak untuk masing-masing mata kuliah dan diwajibkan membuat sumary atau review untuk dipresentasikan, maka terpaksa harus dibaca dan ditulis di perpustakaan. Jumlah koleksi teks terbatas, buku referensi mupun tandon (on reserve) tidak boleh dipinjam (check out) hanya boleh dibaca ditempat. Namun ada hikmah dibalik itu semua. Saya terpaksa rajin keperpustakaan itulah arti ”mesu brata” sebagaimana kata Prof. Sartono. ”Witing bisa jalaran kepeksa”. Sebagaimana di Perpusda DIY saya berkenalan dengan Bpk R. Soedjatmiko kepala Perpustakaan UGM waktu itu. Bapak yang satu ini betul-betul ”jatmiko” sesuai betul antara nama dan tindak tanduk, sikap, peri laku, tutur kata yang serba mengenakkan, penuh wibawa, seorang bapak yang pantas untuk diteladani bahkan sampai saat saya betul-bentul menjadi pustakawan di UGM.. Saya banyak berguru kepada beliau disamping pustakawan senior lain Bpk. Jusbar Anurzal SH, Bpk Sumanggyo, Bpk. Tamzis, Bpk Surono (koleksi Yayasan Hatta) dsb. untuk ngangsu kawruh (berguru)
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
33
kepustakawanan. Tahun 1970 saya lulus Sarjana Muda. Setaun kemudian dengan Surat Keputusan Rektor UGM No. UGM/20/Hr/I/C/71 – diangkat sebagai Asisten Muda tidak tetap pada Fak. Sastra UGM, Gol. II/b. Setiap tahun diperpanjang sampai dengan tahun 1973. Disamping mengajar saya diperbantukan di Perpustakaan Fak. Sastra UGM menjadi asisten Ibu Dra. Sri Ratnaningsih Hadian, MA. Di sini saya banyak berguru pada Ibu Retno(panggilan akrabnya) dan dipaksa membaca banyak literatur kepustakawanan dengan demikian proses belajar mengajar berjalan lancar. Disamping menyiapkan bahan ajar untuk ”Mata kuliah Pengantar Ilmu Perpustakaan” di Fak. Sastra sekaligus sebagai bekal praktek kerja di Perpustakaan Fak.Sastra. Selama menjadi asisten saya ditugasi mengikuti pelatihan teknisi kepustakawanan: Pendidikan Teknisi Perpustakaan Universitas (PTPU) Angkatan IV yang diselanggarakan UGM atas rekomendasi DIKTI selama 6 bulan. Sing Sapa Temen Bakal Tinemu Ketika UGM membuka kesempatan rekrutmen pegawai perpustakaan, saya mencoba mengikuti tes CPNS, Alhamdulillah bisa diterima. Dengan SK Menteri Depdikbud, No. 11939/C92/74 - Sebagai CPNS Pengatur Muda Tk. I. Gol. II/b. TMT: 1 Maret 1974 ditempatkan di Fak Farmasi UGM. Berita ini sangat menggembirakan bagi saya sebagai ”Calon Pegawai Nampa Sakanane”, maka dengan serta merta saya sampaikan kepada kedua Ibu/Bapak. Tentu saja beliau sangat bersyukur dengan sesantinya: ”Yen dadi punggawane praja (pegawai) sing, temen, manteb, , gelem nglakoni, ojo gumunan lan ojo kagetan” Ternyata setelah ditelusuri dalam literatur, sesanti itu adalah Konsep
34
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
Manajemen Mangkunegoro III (Buku Pangetan Khol Tahunan Sri Mangkunegara III): 1. Temen Temen berarti bersungguh sunguh dan jujur alias tidak berpura - pura, serius dan selalu waspada serta tidak menganggap remeh pihak lain. Dalam pengawasan atau tidak seseorang itu akan menjalankan tugas dan kewajiban yang dipercayakannya dengan seksama dan penuh tanggung jawab. 2. Manteb Berarti memiliki jiwa setia dan teguh. Seorang yang mantep tidak mengabaikan apapun yang sudah menjadi kesanggupannya. Ia akan selalu berusaha menunaikan janjinya tanpa gerutu dan sesal. Semua dilakukan dengan setia, teguh, tanpa menanggalkan kewaspadaan, tidak membanding-bandingkan, tidak iri hati terhadap perolehan orang lain. Seorang yang mantep tak mudah menyerah, bosan atau putus asa dalam perjuangan meraih cita-citanya. 3. Gelem Berarti mau, bersedia. Seorang yang bersikap gelem tidak merasa segan maupun takut untuk menunaikan tugas-tugasnya, bahkan yang berat dan berbahaya sekalipun. Ia tidak pernah ragu dalam menunaikan tugasnya, tidak pernah menggerutu, penuh harap dapat menunaikan semua pekerjaannya dengan baik. Ia teguh dalam tekadnya. 4. Nglakoni Kesediaan nglakoni merupakan konsekuensi dari gelem. Segala tindakan orang yang nglakoni disesuaikannya dengan situasi dan kondisi setempat (empan papan). Ia tekun, sabar, dan tak berhenti menyesuaikan dirinya
dengan kebutuhan tugasnya, pandai membedakan mana yang perlu dan yang tak perlu. Ia tidak gemar mencampuradukkan segala sesuatu. Seorang yang nglakoni dapat menerima sukaduka kehidupan, menghindari pamrih (kepentingan pribadi). Hatinya selalu bersih, rela, dan tidak suam-suam kuku (hangathangat tahi ayam). Semua tugas yang dibebankan kepadanya dilaksanakannya dengan bersungguh-sungguh agar dapat diselesaikannya dengan baik. Orang yang nglakoni tidak mudah merasa sengsara dalam menjalani kehidupannya. 5. Aja Kagetan Berarti “Jangan mudah terperanjat!” Nasihat ini mengandaikan pengetahuan bahwa segala sesuatu tidak terlepas dari perilaku dan perbuatan kita sendiri. Keinsyafan bahwa hidup di dunia ini dikuasai oleh peradilan gaib yang abadi, menjadikan kita sabar dalam menghadapi gejolak kehidupan. 6. Aja Gumunan Berarti “Jangan mudah heran/ takjub!” Kebahagiaan dan nasib baik seseorang adalah anugerah Allah, sesuai dengan kesungguhan hati penerimanya. Seorang yang tidak mudah heran/ takjub menyadari bahwa ia adalah makhluk ciptaan Allah Mahapengasih. Permohonan kepada-Nya selalu disertai kesungguhan hati, kejujuran, dan usaha yang tak kenal menyerah. Keberhasilan dan keberuntungan disyukurinya sebagai anugerah Allah sehingga tak pernah menjadikannya iri terhadap sesamanya. Berdasar ”Ngelmu Beja” saya menghadap Dekan Fak Farmasi dan ditemui oleh beliau Bpk. Drs. Soerais Soediromargoso, Aptk
(Dekan) dan Drs. Moejono, Aptk (Sekretaris) kedua beliau menerima dengan baik sebagai pegawai perpustakaan serta memberi peluang untuk menyelesaikan kuliah saya. Pada hal waktu itu ada peraturan di UGM yang tidak mengijinkan tenaga kependidikan melanjutkan (merangkap) belajar pada jam kerja, tetapi atas kebijakan beliau saya diijinkan dengan catatan tugas pokok diselesaikan dan diatur dengan teman sekerja. Tahun 1978 saya menyelesaikan studi dan wisuda S1. Dengan bekal ijazah S1 saya mengajukan usul penyesuaian pangkat dan dikabulkan sehingga saya loncat kepangkatan saya dari Pengatur Muda Tk. I. Gol. II/b ke Penata Muda Gol. III/a. Setahun kemudian ada mutasi kepegawaian. Saya mutasi ke Perpustakaan Pusat UGM dibawah pimpinan Ibu Dra. Sawittri-Soeharto, MA. dan dengan SK. Rektor UGM No. UGM/14/P/ III/C/80 – diangkat sebagai Kasubag Pengolahan bahan pustaka Perpustakaan UGM. Pada saat itu
terjadi kebimbangan antara tetap sebagai Pustakawan atau menjadi Dosen jurusan sejarah Universitas Udayana Bali atau menjadi peneliti di Lembaga Pedesaan membantu Prof. Dr. A. Sartono Kartodirdjo. Ibu Sawittri dengan tegas menyatakan bahwa staf perpustakaan tidak boleh melangkahkan kakinya satu berada di perpustakaan satunya dilembaga lain. Dengan kemampuan memotivasi dan atas pengaruh wibawa Ibu Sawittri akhirnya saya beketetapan menjadi pustakawan. Perjalanan berikutnya terjadi pergantian kepemimpinan dari Ibu Sawittri-Soeharto, kepada Bapak Soedjatmiko kemudian Ibu Dra. Murianti, MLS. Pada masa kepemimpinan Ibu Mur sebuatan akrabnya, saya mendapat kesempatan melanjutkan studi S1 Gelar ganda dan S2 Ilmu Perpusatakaan di UI Jakarta. Baik ketika S1 maupun S2 sesungguhnya saya sekedar memenuhi kuota. Pada waktu itu ada program UKKP (Unit Kegiatan Khusus Perpustakaan) dari
Dikti yang salah satu programnya adalah pendidikan dan pelatihan tingkat lanjut bagi staf perpustakaan. Jumlah PTN ada 45 perguruan tingi, tetapi setiap kali angkatan tidak semua PTN tersebut memiliki kandidat untuk menjadi peserta. Guna memenuhi kuota maka kekurangan selalu ditawarkan ke UGM jadilah saya besama temanteman lain (Ibu Tritiana Candra Dewi, Parsih dan Sri Rumani berempat ikut S1 Khusus) kemudian pada program S2 bersama Ibu Tristiana Candra Dewi. Sepulang dari mengikuti program pendidikan tingkat lanjut (S2), tepatnya 12 Juli 1999 ditugaskan ke Fak. Teknik UGM. Status kepegawaian Pustakawan UGM DPK Fak. Teknik sebagai Pj Perpustakaan. Ketika saya menghadap pimpinan Fak. Teknik ditemui Bapak Haryana M.Arc (Dekan) dan Ir. Syukri Syahit (Wd II/ Bidang Administrasi, Keuangan dan Kepegawaian). Kedua beliau menyatakan bahwa, Saudara Purwono sebagai Pejabat Fungsional
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
35
silahkan mengembangkan kariernya dibidang Kepustakawanan. FT UGM tidak menjanjikan fasilitas apapun kecuali memberikan kebebasan atau keleluasaan untuk untuk melakukan kegiatan kepustakawanan baik Unsur Utama maupun Unsur Penunjang. Pembinaan karir berjalan lancar. Pada usia menjelang 59 th tepatnya permulaan tahun 2006 saya sadari tahun berikutnya saya harus purna tugas atau pensiun, maka saya siapkan berkas permohonan untuk memenuhi syarat pensiun. Pada saat itu saya menduduki Pangkat/ Golongan IV/c dengan jabatan Fungsional Pustakawan Madya yang harus pensiun pada usia 60 tahun. Berkas usulan pensiun setelah dikoreksi dan memenuhi syarat dikirim oleh Pak Jumali ke Kantor Direktorat SDM UGM, namun atas pertimbangan Bapak Haryadi, SH., MM ”ditolak” untuk di pending. ”Pak Pur jangan pensiun sebelum Pustakawan Utama” begitu kata beliau. Klimpunganlah saya karena bagaimana saya harus mengumpulkan angka kredit untuk PAK dengan jumlah sesuai persyaratan Angka Kredit Kenaikan pangkat/ Jabatan Pustakawan Utama dalam waktu singkat. Ketika dalam situasi kritis dimana saya harus berpacu dengan waktu, maka saya berkonsultasi Pak Lasa, sang begawan, guru dan sahabat saya. ”Ngono bae kok repot, satriyo kok ora wani nggetih, apa niate mesti bisa” begitu kata Pak Lasa ditambah dengan khotbahnya ....... Ingat pada tokoh pewayangan Satriya Penenggak Pandhawa: Permadi, Harjuno, Parto, Pandhu Putra, Danarjaya, jagone para dewa agul-agule perang Barata Yudha, Lelananging Jagad ..... satria bagus ruruh ririh rereh klemak klemek ngindak telek ora pendeng ternyata banyak simpanannya. ”Golekana simpenanmu! ”. Klepat (saya pergi tanpa pamit)!
36
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
Maka saya bongkar dokumen berkaitan dengan pengembangan profesi ternyata saya punya simpanan berupa kertas kerja seminar, naskah lepas yang didokumentasikan, artikel jurnal/majalah, buku, modul UT, kumpulan karangan (bunga rampai), karya terjemahan dan saduran setelah dihitung dapat memenuhi angka kredit. Karena,dalam waktu dekat harus mengumpulkan angka kredit kumulatif sebesar 850 untuk memenuhi syarat kenaikan jabatan fungsional Pustakawan Utama. Yang pertama kali saya hubungi Pak The Liang Gie yang menerbitkan buku saya (kebetulan masih ada stock): College Reading and Study Skills, by Kathleen T. McWorther. (Terjemahan 2005), How to Study by Thomas F. Staton. (Terjemahan 2005), Reading Skills by William D. Baker. (Terjemahan 2005), Best Methods of Study by Samuel Smith (Terjemahan 2005), Segi-segi penulisan Biografi, Manfaat Buku Referensi, Segi-segi Penulisan Timbangan Buku. Saya ingat sahabat saya mas Budiyono – BPAD, saya pernah terlibat dalam transliterasi dari huruf/tulisan Jawa ke huruf/tulisan Latin dari naskah kuna. Mas Budi dengan sigapnya menyanggupi, “Siap Pak, sekalian saya mintakan surat penugasan dan pengesyahan dari Bpk Suwardi Kepala BPAD” dikirimlah 10 judul naskah sudah terjilid rapi: Menak Lakat Jilid I (Alih aksara/ transliterasi huruf Jawa ke huruf Latin), Menak Kalakodrat Jilid I (Alih aksara/transliterasi huruf Jawa ke huruf Latin) Menak Kustub Jilid I dan II (Alih aksara/transliterasi huruf Jawa ke huruf Latin), Menak Purwokondho Jilid II (Alih aksara/transliterasi huruf Jawa ke huruf Latin), Babat Giyanti, Jl.IX (Alih huruf /transliterasi tulisan Jawa ke tulisan Latin) Menak Sorongan Jilid I (Alih huruf/ transliterasi Jawa ke tulisan Latin.) Menak Cina Jilid III (Alih huruf/ transliterasi Jawa ke tulisan Latin).
Menak Jamintoran jilid I (Alih huruf/ transliterasi Jawa ke tulisan Latin). Buku modul UT yang saya tulis atas kebaikan Mbak Suharmini (Minuk) dikirimkan: Perpustakaan dan Kepustakawanan Indonesia Jakarta: Universitas Terbuka, 2006. Buku-buku koleksi pribadi sebagai arsip tanda bukti penerbitan: Pedoman Pengelolaan Perpustakaan Madrasah . Yogyakarta: FKBA, 2001 (Penyumbang naskah), Dasar-Dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi; Yogyakarta: Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2003. (Penyumbang naskah), Ditambah dengan sejumlah Karya tulis Pengembangan Profesi berupa: artikel jurnal/majalah, kertas kerja seminar, tulisan-tulisan lepas yang didokumentasikan dari Unsur Pokok dan Penunjang maka lengkaplah sudah untuk pemberkasan syarat kenaikan Pangkat dan Jabatan. Jalan masih panjang, guna mengejar waktu berkas kenaikan pangkat dan jabatan, setelah mendapat surat rekomendasi dari Rektor UGM saya bawa sendiri ke Jakarta menuju Diknas Senayan satu berkas untuk syarat administratif, dan Perpusnas Merdeka Selatan kemudian Salemba satu berkas untuk percepatan sidang Tim Penilai Jabatan Fungsional Pusat untuk PAK. Surat Keputusan PAK terbit, atas kebijakan Perpusnas semua dibuat asli untuk dikirim ke Diknas, BKN, Sekneg, Rektor UGM dan yang bersangkutan. Untung tak dapat diraih dan malang tak dapat dihindari ternyata PAK asli yang saya kirim sendiri hilang di BKN dan diganti sampai tiga kali, terpaksa saya harus bolak balik Yogyakarta Jakarta karena BKN menghendaki PAK Asli. Alhamdulillah akhirnya Surat Keputusan Presiden RI No.74/M Tahun 2007 - Jabatan Fungsional: Pustakawan Utama, TMT 1 Desember 2006 terbit, maka
lengkaplah sudah pangkat dan jabatan yang menjamin usia pensiun 65 Th. Kebahagiaan kami rasakan sekeluarga ketika pada 6 September 2007 mengucapkan Pidato Pengukuhan Pustakawan Utama dengan judul Hubungan Timbal Balik antara Institusi, Pembelajaran Sepanjang Hayat dengan Pengembangan Karier Pustakawan. Dilantik oleh Bapak Dady Rachmananta MLIS disaksikan oleh Rektor yang dalam hal ini diwakili Sekretaris Utama DR Supra Wimbarti dihadiri segenap anak istri/ keluarga besar, handai taulan, teman pustakawan se Jawa di Ruang Sidang Perpustakaan UGM. . Pengukuhan kedua Pustakawan Utama (Lasa Hs dan Purwono) baru pertama kali dilakukan di perguruan tinggi di Indonesia karena jabatan fungsional mereka dinilai telah setara dengan jabatan guru besar, guru utama, peneliti utama, dokter utama maupun widyaiswara utama. Namun di balik penyamaan ini, yang masih perlu diperjuangkan adalah tunjangan jabatan pustakawan yang belum bisa disetarakan dengan jabatan fungsional lainnya. Termasuk sertifikasi pustakawan. Penutup Sebagai penutup perkenankanlah saya menyampaikan testimoni: “Pustakawan, langkahkan kaki kananmu kedepan dengan pijakan Teknologi Informasi yang berdampak luas terhadap perubahan paradigma kepustakawanan. Sementara itu kaki kirimu bertumpu dengan kokoh diatas pijakan terbitan tercetak (dokumen literer), sebab selama masih ada penulis dan penerbit yang menghasilkan dokumen cetak (literer) dan masih ada orang yang mau membaca maka dokumen cetak (buku, jurnal dsb) tidak akan lenyap”. Daur hidup dokumen elektronik/ digital relative pendek karena sangat
tergantung pada perubahan soft ware dan hard ware, sementara dokumen cetak (literer) dapat bertahan sampai ribuan tahun. Namun demikian baik dokumen elektronik/digital maupun cetak (literer) juga tergantung bagaimana pustakawan melakukan konservasi dan preservasi dalam upaya pelestarian dokumen tersebut.” Perpustakaan wajib membina koleksi baik kualitas maupun kuantitas dalam bentuk cetak maupun elektronik (digital) sebagai upaya mengurangi kesenjangan digital, termasuk merawat keberakasaraan (literasi) pada era digital secara tekstual dan kontektual. Kepustakawanan memiliki nilai abadi dan tujuan akhir yang abadi pula, oleh karena itu Visi perpustakaan dan pustakawan seyogyanya berada pada konteks perubahan zaman. Kepustakawanan terus-menerus berkembang seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi. Fenomena semacam ini mau tidak mau menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi perpustakaan maupun pustakawannya untuk melakukan transformasi di lingkungannya. Pustakawan dalam menjalankan praktek kepustakawanan harus berkemampuan menguasai teknologi informasi yang sedang menjadi trend dunia (global). Maka perlu strategi pengembangan guna menjawab tantangan perubahan keadaan lingkungan guna meningkatkan pemenuhan kebutuhan informasi bagi pengguna yang semakin meningkat dan beragam. Akhirnya terpulang kepada pustakawan bagaimana mereka berkemampuan menghadapi tantangan perubahan. Bagaimana manajemen berkemampuan mengakomodasi perubahanperubahan kompetensi profesi pustakawan sebagai pembawa perubahan. Maka perlu strategi pengembangan guna menjawab tantang perubahan kedaan
lingkungan. Karena yang abadi di dunia ini adalah perubahan itu sendiri. Old librarians never die, they just fade away, ia tetap berperan penuh selama hayat masih di kandung badan. Yang pension hanya surat keputusannya. Yogyakarta, 1 Mei 2012
daftarpustaka Indonesia, Undang-Undang dan Peraturan. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 43 Tentang Perpustakaan. Mustofa, B. dan Saleh, A. “Komersialisasi Layanan Perpustakaan: Tinjauan Dan Prospek”, Hasil Kongres VI dan Seminar IPI. Padang, 18-21 November 1992: 301-309 Probojekti, U. 2010 ” Library 2.0 : Konsep Pengembangan Perpustakaan” http://sambungjaring.blogspot. com/2008/03/library-20-konseppengembangan.html. Poedjohadi. 1992. Relevansi Standar Perpustakaan, Pengukuran dan Evaluasi Perpustakaan. Jakarta: MSW. Purnomowati, S. 1992. “Pengalaman di bidang jasa penyebaran informasi ilmiah PDII-LIPI”, Temu Wicara tentang Pengenglaman Praktik di Bidang Perpustakaan, Dokumentasi dan Informasi PDII-LIPI. Jakarta, 12 Oktober 1992. Purwono. 2001. ”Ekonomi Informasi Dalam Menunjang Pelayanan Perpustakaan”. Bulettin IPI-DIY, 12(4) Juli 2001: 137-151. -----------, 2007. Hubungan timbal balik antara institusi, pembelajaran sepanjang hayat dengan pengembangan karier pustakawan. Pidato Pengukuhan Pustakwan Utama UGM tgl. 6 September 2007. Yogyakarta: UGM. Rowley, J. 1999. ”Price and the marketing environment for electronic information”, Journal of Librarianship and Information Science. 29 (2) June 1999: 95-101. Sudarsono, B. 2006. Antologi Kepustakawanan Indonesia. Jakarta: PP IPI bekerjasama dengan Sagung Seto. Tjitropranoto, P. 1987. “Masalah Akses Informasi”, Baca, 12(1) 1987: 56-65.
Vol. 19 No. 2 Tahun 2012
37
Media Pustakawan dibaca oleh para pustakawan, Pengelola Perpustakaan, dan Pakar Bidang Perpustakaan.
Wahana Efektif bagi Pemasang Iklan Media Pustakawan diterbitkan oleh Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional sejak tahun 1993. Kehadirannya selalu dinantikan, karena media ini menyajikan warna lain di kalangan pustakawan. Kemasannya yang khusus namun tetap elegan, membuat Media Pustakawan selalu tampil beda. Kini, Ketika Media Pustakawan membuka kesempatan bagi Anda, untuk beriklan di media komunikasi antar pustakawan ini, apalagi yang ditunggu? Tangkaplah peluang emas itu. Pastikan bahwa di Media Pustakawan, iklan Anda tepat sasaran, efektif, dan efisien!
Distribusi di seluruh Perpustakaan di Indonesia
Rate Iklan Media Pustakawan Halaman
Ukuran
Harga
1 hal full colour 1/2 hal full colour 1 hal hitam putih 1/2 hal hitam putih
21 x 10.5 21 x 10.5
Rp. 2.000.000,Rp. 1.500.000,Rp. 1.000.000,Rp. 500.000,-
29,7 cm x 14,85 cm 27,5 cm x 14,85 cm
PERSYARATAN TEKNIS Materi iklan : Separasi warna, Optical disc, CD, Print out , Final Artwork. Deadline Penyerahan Materi Iklan : 10 hari sebelum terbit. Iklan akan dipasang setelah ada bukti pembayaran yang sah. Pembayaran tunai maupun transfer melalui rekening: Bagi Peminat mohon mengirimkan biaya dan draf iklan kepada: Sdri. Sri Sumiarsi Perpustakaan Nasional RI Jl. Medan Merdeka Selatan No. 11, Jakarta Tlp. (021) 345611 Ext. 220218 Fax: (021) 345611 E-mail:
[email protected]
Kirimkan artikel Anda dengan ketentuan: naskah diketik pada kertas kuarto dengan jarak dua spasi maksimal 6 (enam) halaman, lengkapi dengan abstrak, daftar pustaka dan foto Anda. Pastikan bahwa tulisan adalah karya Anda. Artikel dan foto dapat juga Anda kirim melalui email
[email protected] Redaksi berhak mengedit setiap tulisan yang masuk. Seluruh tanggung jawab akibat dari tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Artikel yang dimuat disediakan honorarium sekedarnya, sedangkan artikel yang tidak dipublikasikan akan dikembalikan apabila disertai perangko.