DARI REDAKSI
P
SUSUNAN REDAKSI BULETIN BSMR Penasehat: Gayatri Rawit Angreni Pelindung: Gandung Troy Sulistyantoro Penanggung Jawab/ Pemimpin Redaksi: Rahardjo S. Unggul Redaktur Pelaksana: Julianda Dewan Redaksi: Naif Ali Dahbul Sirkulasi: Dian Kusumowardani, Dewi Diah Handayani, Restu Rahayu Dewi, Taufan Iskandar Muda, Mailina, Saeful, Jellysi, Wulan, Agung, Bowo, Hans, Halimah Alamat Redaksi Gandaria Office 8 Lantai 2 Unit D Jl. Sultan Iskandar Muda Kebayoran Lama Jakarta Selatan 12240 Telepon: (021) 2903 6680 Faksimili: (021) 2903 6681 Email:
[email protected] Website: www.bsmr.org Redaksi menerima kiriman naskah tulisan, saran pendapat dan foto. Redaksi berhak mengedit naskah tulisan tanpa mengubah maknannya.
embaca yang budiman, beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan dengan jatuhnya pesawat komersil Sukhoi Super Jet 100 di Gunung Salak, Bogor. Bagaimana peristiwa itu terjadi, berapa jumlah korban, bagaimana mengevakuasi korbannya, menjadi headline di beberapa media. Tak terkecuali juga berita bagaimana para ahli waris bisa mendapatkan santunan dari pemerintah melalui PT Asuransi Jasa Raharja. Sementara bagi korban yang pada saat kecelakaan sedang bekerja, ahli waris juga mendapat santunan kecelakaan kerja dari Jamsostek. Dunia asuransi sudah sangat identik dengan manajemen risiko. Maklum, asuransi adalah salah satu teknik di dalam manajemen risiko. Perusahaan asuransi adalah perusahaan yang menerima pengalihan risiko dari tertanggung. Sehingga aktifitas keseharian perusahaan adalah mengelola risiko pihak lain. Melaksanakan manajemen risiko memang penting bagi perusahaan asuransi. Ketika sebuah risiko terjadi kepada nasabah baik itu risiko kehilangan, sakit, maupun kematian, maka perusahaan asuransi harus membayarkan klaim atau santunan kepada nasabah. Dengan jenis bisnis seperti ini, maka penting bagi perusahaan asuransi melaksanakan manajemen risiko. Namun, apakah kita tahu pangertian dari risiko dan juga asuransi? Dan apa kaitan diantara keduanya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Buletin BSMR edisi ini menyajikan tulisan Sajian Utama tentang Risk Management Industri Asuransi. Tujuan penerapan manajemen risiko di industri asuransi pada dasarnya tidak berbeda dengan industri lainnya yakni agar dapat meminimalisir dan mengelola risiko yang berdampak negatif pada tujuan, visi, dan misi perusahaan. Dalam teori dasar manajemen risiko, tahapan-tahapannya adalah menentukan konteks (ruang lingkup dan tujuan), identifikasi risiko, analisa risiko, dan mengontrol risiko. Karena risiko bersifat dinamis, maka harus selalu dilakukan revieu dan monitoring. Pembaca, selain sajian utama manajemen risiko bisnis asuransi, kami juga menyajikan artikel lain yang tak kalah menarik seperti Rubrik lifestyle yang menampilkan olahraga kategori berisiko, freediving. Juga ada wawancara dan kolom tentang manajemen risiko, serta berita-berita seputar kegiatan BSMR. Kami berharap sajian ini bermanfaat bagi Anda. Selamat membaca.
OKTOBER 2012
1
DAFTAR ISI 1
Dari Redaksi
INTERVIEW
SAJIAN UTAMA
20 Ferry N. IdroesPakar Manajemen Risiko dan Wakil Dekan Fakultas Universitas Al Azhar “Risiko Manusia Harus Ditekan” 3
Mengelola Risiko Perusahaan Asuransi 6 Risiko yang Menghadang Perusahaan Asuransi 8 Killer Risk di Bisnis Asuransi 12 Menakar Risiko Bancassurance LIFESTYE
SWARA 23 Hidayatullah (Branch Mgr Bank Kalbar Cab. Ketapang) “Sulit sih Tidak, Tapi Tetap Harus Teliti” 24 Sherly Maria dan kawan-kawan (Front Office PT Bank Bumi Artha) “Pengalaman Pertama Bikin Was-Was Semuanya” 25 Halimin Hifni (Kep. Bid. Audit Bank Kalbar, Pontianak “Pakaian Peserta Harusnya Sopan” SEPUTAR SERTIFIKASI 26 OJK Menjawab Tantangan Globalisasi
14 Freedive: Serunya Menjadi Deni Si Manusia Ikan KOLOM 18 Bernard Sumbayak Founder & Chairman VibizConsulting “Bail Out, Efektifitas dan Resikonya”
2
OKTOBER 2012
SAJIAN UTAMA
Mengelola Risiko Perusahaan Asuransi Asuransi tidak bisa dilepaskan dari manajemen risiko. Salah dalam mengelola risiko pihak lain, dapat “mematikan” perusahaan asuransi itu sendiri. Oleh Agustaman
M
asih segar di ingatan kita tentang jatuhnya pesawat komersil Sukhoi Super Jet 100 di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Bagaimana peristiwa itu terjadi, berapa jumlah korban, bagaimana mengevakuasi korbannya, menjadi headline di beberapa media. Tak terkecuali juga berita bagaimana para ahli waris bisa mendapatkan santunan dari pemerintah melalui PT Asuransi Jasa Raharja. Sementara bagi korban yang pada saat kecelakaan sedang bekerja, ahli waris juga mendapat santunan kecelakaan kerja dari Jamsostek. Pesawat yang dioperasikan pun memiliki jaminan asuransi. Setidaknya asuransi terhadap badan pesawat (aircraft hull insurance), perlengkapan/suku cadang pesawat (spares insurance), asuransi pilot/kru pesawat (personal accident & loss of licence insurance), dan tanggung jawab hukum/tanggung gugat (liability insurance). Dalam asuransi tanggung gugat, perusahaan asuransi akan memberikan jaminan kepada pihak ketiga yang dirugikan akibat operasional pesawat. Ganti rugi pihak ketiga diberikan kepada penumpang dan selain penumpang.
Kecelakaan pesawat terbang.
Indonesia memiliki regulasi yang mengatur tanggung jawab dan besarnya santunan akibat kecelakaan alat angkut. Mulai dari alat angkut berupa pesawat, kapal, mobil/motor, hingga kereta api. Sekaligus di dalamnya memuat kewajiban asuransi (compulsory insurance) dan sanksi bila tidak menaati aturan. Begitulah gambaran sedikit soal asuransi. Dunia asuransi sudah sangat identik dengan manajemen risiko. Maklum, asuransi adalah salah satu teknik di dalam manajemen risiko. Perusahaan asuransi adalah perusahaan yang menerima pengalihan risiko dari tertanggung. Sehingga aktifitas keseharian perusahaan adalah mengelola risiko pihak lain. Namun, apakah kita tahu pangertian
OKTOBER 2012
3
SAJIAN UTAMA dari risiko dan juga asuransi? Dan apa kaitan di antara keduanya? Menurut Santi L.G dari Vibizmanagement Consulting, risiko di dalam asuransi adalah ketidakpastian akan terjadinya suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian ekonomis. Contoh dari berbagai macam risiko, seperti risiko kebakaran, kecelakaan moda transportasi, risiko terkena banjir di musim hujan, risiko gempa bumi dan sebagainya, dapat menyebabkan kita menanggung kerugian jika risiko-risiko tersebut tidak dapat kita antisipasi dari awal. “Nah, risiko itu dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk atau kerugian yang tidak diinginkan, atau tidak terduga. Atau dengan kata lain, akan menunjukkan adanya ketidakpastian,” tulis Santi dalam situs vibizmanagement.com. Asuransi adalah salah satu bentuk pengendalian risiko yang dilakukan dengan cara mengalihkan/transfer risiko dari satu pihak kepada pihak lain dalam hal ini adalah perusahaan asuransi. Namun, apakah perusahaan asuransi sendiri menerapkan manajemen risiko? Hingga saat ini nampaknya hanya segelintir perusahaan asuransi yang secara formal mempunyai pedoman, kebijakan, atau prosedur manajemen risiko. Apakah dapat diartikan tidak ada penerapan manajemen risiko di dunia asuransi? “Secara substansi, perusahaan asuransi telah melakukan prinsip-prinsip manajemen risiko, namun belum komprehensif,” kata Munarwan Kasam, seorang kolomnis dan pengamat asuransi. Menurutnya, beberapa perusahaan asuransi yang berusaha menerapkan manajemen risiko, saat ini sedang mencari
4
OKTOBER 2012
bentuk. Belum ada panduan pasti sehingga penerapan manajemen risiko masih meraba-raba, tidak seperti di perbankan. Jika Bank Indonesia (BI) menetapkan delapan jenis risiko di industri perbankan, namun baik pemerintah maupun asosiasi asuransi, belum menentukan jenis-jenis risiko di industri asuransi. Seperti di industri lain, perusahaan asuransi sebenarnya juga menghadapi risiko operasional, risiko politik, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko spekulatif dan lain-lain. Menurut Hotbonar Sinaga, mantan Dirut PT Jamsostek, setidaknya ada lima risiko yang dihadapi industri asuransi. Yakni risiko salah kelola (salah memilih eksekutif yang menjalankan roda perusahaan); risiko di bidang organisasi dan SDM; risiko di bidang teknik; risiko pemasaran; dan risiko finansial (lihat tulisan lain di Sajian Utama ini) Penerapan Manajemen Risiko Melaksanakan manajemen risiko memang penting bagi perusahaan asuransi. Ketika sebuah risiko terjadi kepada nasabah, baik itu risiko kehilangan, sakit, maupun kematian, maka perusahaan asuransi harus membayarkan klaim atau santunan kepada nasabah. Dengan jenis bisnis seperti ini, maka penting bagi perusahaan asuransi melaksanakan manajemen risiko. Apa yang dilakukan oleh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dalam melaksanakan manajemen risiko, mungkin bisa menjadi contoh. Asuransi BUMN ini merupakan salah satu perusahaan asuransi yang telah menerapkan manajemen risiko dan good corporate governance (GCG). Sejak 2008, Jiwasraya mulai mempersiapkan
restrukturisasi keseluruhan sistem manajemen risiko dan GCG. Tidak tanggung-tanggung, miliaran rupiah rela digelontorkan untuk memperkokoh sistem tersebut, baik software dan hardware, hingga pemenuhan sumber daya manusia dan jasa konsultan. Menurut Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo, prinsip manajemen risiko dilakukan di semua lini hulu dan hilir bisnis perusahaan dan mengalir mulai dari pusat hingga ke tingkat kantor regional dan cabang. Suatu pengambilan keputusan, tidak akan dapat diambil jika tidak atas kajian di unit kerja terkait secara metode four eyes. Suatu pengambilan keputusan investasi misalnya, akan dilakukan jika sudah melalui analisa secara menyeluruh oleh kepala bagian, kepala divisi, hingga direksi. Bahkan, perseroan membentuk sebuah komite investasi agar setiap keputusan investasi yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan. Begitu pun dalam proses underwriting dan penerimaan risiko. Justru prinsip manajemen risiko harus lebih prudent dalam hal ini. Dan “Know Your Customer” menjadi salah satu prinsip manajemen risiko yang tidak boleh ditinggalkan. Semua keputusan dilakukan dengan sistem four eyes. Selain agar dapat dipertanggungjawabkan, itu juga untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan. “Selama 2 tahun kami
lakukan pemetaan, membuat job desk, menetapkan standart operating procedur, membuat satuan pengawasan internal, hingga akhirnya tercipta sistem manajemen kinerja,” katanya. Dengan penerapan manajemen risiko dan good corporate governance, pihaknya dapat melakukan efisiensi dan efektivitas. Contohnya, sebuah proses yang awalnya perlu dilakukan dalam 10 langkah, sekarang menjadi enam langkah. Waktu yang diperlukan nasabah untuk mendapatkan informasi menjadi tidak terlalu panjang, proses suatu tender lebih cepat, bahkan produktivitas pun menjadi lebih baik. “Tujuannya agar tercipta transparansi mulai dari proses hingga hasil,” ujar Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim. Hasilnya, mulai 2009 perseroan dapat melakukan lompatan-lompatan bisnis. Pada 2008 ketika perseroan baru mulai membangun sistem manajemen risiko dan good corporate governance, premi yang dihimpun masih di bawah Rp2 triliun. Bahkan, dari sisi laba, sejak pertama kali berdiri pada 153 tahun lalu, perusahaan belum pernah membukukan laba hingga ratusan miliar. “Paling-paling hanya berkisar di Rp18 miliar, Rp20-an miliar, Rp30-an miliar,” katanya. Namun sejak penerapan manajemen risiko dan good corporate governance, premi tumbuh rata-rata 30% setiap tahun. Laba melonjak drastis Hary Prasetyo hingga menembus angka Rp100 miliar untuk pertama kali. “Memang tidak mudah
OKTOBER 2012
5
SAJIAN UTAMA merubah pola kerja yang sudah terbentuk sejak lama. Akan tetapi ini adalah sebuah proses untuk menuju lebih baik,” papar Hendrisman. Tidak sia-sia rombakan yang dilakukan para pucuk pimpinan asuransi dengan aset sekitar Rp8 triliun ini. Hasilnya, di semester pertama tahun 2012 perseroan sudah berhasil mendapatkan sejumlah penghargaan antara lain sebagai Company of the Year dari World Finance London selama 3 tahun berturut-turut; sebagai Best
Insurance Indonesia Company dari Global Banking and Finance Review, London; dan yang terbaru sebagai Perusahaan dengan Risk Management Terbaik dari Majalah Business Review. Hendrisman pun mendapatkan penghargaan sebagai 10 Tokoh Asuransi. Tujuan penerapan manajemen risiko di industri asuransi pada dasarnya tidak berbeda dengan industri lainnya yakni agar dapat meminimalisir dan mengelola risiko yang berdampak negatif pada
Risiko yang Menghadang Perusahaan Asuransi
S
ebagai institusi yang menerima pemindahan risiko, perusahaan asuransi harus menerapkan manajemen risiko secara lebih berhati-hati, komprehensif dan mempertimbangkan berbagai faktor untuk meminimalisir ketidakpastian. Berbagai jenis risiko yang menghadang perusahaan asuransi seperti juga perusahaan di sektor lain. Risiko yang dihadapi mencakup risiko bisnis yang cenderung spekulatif, risiko murni yang terkait kekayaan perusahaan termasuk SDM, dan risiko tanggung jawab hukum. Risiko spekulatif dapat diklasifikasikan sebagai Hotbonar Sinaga berikut : Pertama, risiko salah kelola yaitu salah memilih eksekutif yang menjalankan roda perusahaan, seperti tidak memiliki kompetensi maupun tidak punya integritas yang justru mengakibatkan kerugian perusahaan. Risiko ini bisa ditekan melalui penunjukkan jasa head hunter untuk merekrut direksi perusahaan. Kedua, risiko di bidang organisasi dan SDM, yaitu dalam hal penyusunan struktur organisasi, analisa jabatan, uraian tugas, dan tanggung jawab serta recruitment, training maupun pengembangan SDM perusahaan. Salah satu cara untuk meminimalkan risiko ini adalah dengan melakukan tes ilmu pengetahuan lalu melakukan assessment calon pegawai oleh konsultan psikologi maupun bagi pegawai yang akan dimutasi/dipromosi. Sesuai dengan ketentuan perundangan biaya untuk pelatihan SDM asuransi minimal 5 % dari total biaya pegawai. Ketiga, risiko di bidang teknik seperti menciptakan produk asuransi yang justru merugikan atau struktur biaya produk tertentu yang menjadikan premi tidak bersaing dan gagal memperoleh dukungan reasuransi ataupun salah memilih perusahaan reasuransi. Ketentuan yang mengharuskan perusahaan asuransi melaporkan dan menjelaskan produk baru kepada regulator akan meminimalisir risiko ini dengan adanya second opinion yang obyektif maupun rechecking atas premi yang ditawarkan apakah mahal, murah atau memadai.
6
OKTOBER 2012
tujuan, visi, dan misi perusahaan. Dalam teori dasar manajemen risiko, tahapantahapannya adalah menentukan konteks (ruang lingkup dan tujuan), identifikasi risiko, analisa risiko, dan mengontrol risiko. Karena risiko bersifat dinamis, maka harus selalu dilakukan revieu dan monitoring. Untuk menerapkannya, maka diperlukan pedoman manajemen risiko yang bisa berisi kebijakan dan prosedur manajemen risiko. Selain itu harus ada pelaksananya sehingga diperlukan struktur
organisasi manajemen risiko dan siapa saja yang terlibat di dalam penerapannya. Untuk tiap jenis perusahaan bisa berbeda-beda bentuknya, baik kebijakan, prosedur, struktur organisasi, maupun orang-orang yang terlibat. Dalam hal struktur misalnya, untuk perusahaan besar mungkin memerlukan satu unit khusus untuk menangani menajemen risiko. Namun bagi perusahaan lain, fungsi-fungsi manajemen risiko bisa ‘ditempelkan’ pada unit-unit dalam perusahaan. #
Termasuk dalam risiko ini adalah dalam melakukan seleksi risiko ( underwriting ) Selain melakukan seleksi teknis/fisik, perusahaan asuransi harus menerapkan seleksi risiko finansial. Seleksi ini dapat mencegah terjadinya.kejahatan asuransi atau insurance fraud seperti kerugian yang disengaja ( intentional loss ). Misalnya pembakaran obyek pertanggungan, kapal dan muatan ditenggelamkan. Penerapan prinsip mengenal nasabah dapat mengurangi terjadinya risiko jenis ini. Keempat, risiko pemasaran termasuk kekeliruan dalam menetapkan program pemasaran yang mencakup penetapan premi termasuk syarat pembayaran, pemilihan saluran distribusi serta program promosi. Risiko besar yang akan dihadapi perusahaan asuransi di tanah air adalah dampak globalisasi yang akan mengesahkan masuknya pemain asuransi asing tanpa harus mendirikan perusahaan di Indonesia. Kelima, last but not least, risiko finansial khususnya yang terkait dengan solvabilitas. Risiko ini diperhitungkan dalam penetapan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum yang terkait dengan perhitungan risk based capital ( RBC ). Untuk risiko atas kekayaan maupun SDM perusahaan, seperti lazimnya perusahaan tertanggung, harus dibuat
program asuransinya. Lazimnya, dikerjasamakan dengan asuransi lain. Untuk SDM sudah tentu harus disusun suatu program kesejahteraan karyawan yang mencakup dana pension, tunjangan hari tua, asuransi jiwa, asuransi kecelakaan diri, asuransi kesehatan dll. plus jaminan sosial tenaga kerja. Risiko tanggung jawab hukum merupakan risiko umum/universal yang dihadapi semua perusahaan terhadap kemungkinan tuntutan dari berbagai pihak termasuk nasabah, lembaga konsumen asuransi, reasuransi maupun tuntutan dari pemegang saham. Dalam bidang sosial dan ekonomi serta politik, risiko paling besar adalah yang terkait dengan ketentuan perundangan. Termasuk dalam kategori ini adalah risiko ketidak sanggupan memenuhi batas minimal solvabilitas harus mencapai angka diatas 120 % . Di samping revisi Keputusan Menteri Keuangan No. 481 / 1993 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi, khususnya mengenai usia piutang maksimum 30 hari yang akan dikategorikan sebagai admitted assets serta perhitungan cadangan untuk asuransi jiwa yang juga harus diterapkan pada existing product.# (sumber: dikutip dari tulisan Hotbonar Sinaga dalam sebuah seminar asuransi)
OKTOBER 2012
7
SAJIAN UTAMA
Killer Risk di Bisnis Asuransi Perusahaan asuransi tidak mungkin terlepas risiko karena bisnis asuransi merupakan bisnis risk transfer/risk sharing. Ini membuat perusahaan asuransi senantiasa berperang menanggung risiko pihak lain (risk transfer) atau sebagai pengelola risiko yang ditanggung bersama (risk sharing).
S
alah dalam mengelola risiko pihak lain, dapat membunuh perusahaan asuransi itu sendiri. Sayangnya, manajemen risiko di industri asuransi tak serapi di industri perbankan. Dalam artian, enterprise risk management (ERM) yang mengelola risiko perusahaan secara komprehensif, belum terwadahi secara terstruktur dalam pedoman, kebijakan, dan prosedur manajemen risiko. Perusahaan asuransi BUMN memang telah memulai penerapan ERM dan memiliki unit manajemen risiko beberapa tahun lalu. Namun belum semua perusahaan asuransi memilikinya. Meski begitu, tak berarti bahwa penerapan manajemen risiko di industri asuransi kedodoran. Dalam perusahaan asuransi, ada dua sumber risiko yang dikelola. Pertama adalah risiko dari perusahaan asuransi itu sendiri. Kedua adalah risiko pihak lain yang ditanggung. Dalam hal mengelola risiko pihak lain, industri asuransi – boleh dibilang – adalah ahlinya. Seperti di industri lain, perusahaan asuransi juga menghadapi risiko operasional, risiko politik, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko hukum, dan lain-
8
OKTOBER 2012
lain. Pengelolaannya lebih efektif melalui praktek-praktek ERM. Manajemen risiko klaim katastropik/bencana, risiko reputasi, dan risiko kepatuhan menjadi bagian yang harus difokuskan. Salah kelola, berpotensi menjadi ‘Killer Risks’. ‘Killer risks’ adalah risiko-risiko yang berpotensi sangat merusak keseluruhan organisasi (Kaye, 1995). Mega Klaim Bencana Bencana, baik natural disaster maupun man-made disaster, awalnya memang tidak dapat diasuransikan karena tergolong fundamental risks. Namun dalam perkembangan asuransi, berbagai macam bencana seperti gempa bumi, letusan gunung, tsunami, badai, banjir, dan lainnya dapat diasuransikan. Dalam sekali hentakan bencana, bisa terjadi mega klaim. Badai Katrina yang mengoyak AS, Teluk Meksiko, dan sekitarnya pada Agustus 2005, klaim asuransi dunia mencapai 74,69 miliar dollar AS. Juga gempa dan tsunami Jepang pada 11 Maret 2011, klaim asuransi sekitar 35 miliar dollar AS (Sigma, 2011). Sekali klaim besar, apalagi bertubitubi, dapat membuat perusahaan asuransi
Besarnya klaim asuransi akibat Gempa dan tsunami Jepang pada 11 Maret 2011, berpotensi jadi killer risk.
gulung tikar. Bayangkan saja, akibat gempa bumi 7,9 skala richter di San Fransisco, AS pada 18 April 1906, klaim asuransi 235 juta dollar AS di masa itu. Besarnya klaim ini senilai sekitar 100 kali premi asuransi kebakaran di San Fransisco. Klaim bencana tersebut menghanguskan laba industri asuransi di AS selama 47 tahun. Dalam hal risiko bencana alam, industri asuransi di Indonesia belum mencatat mega klaim. Meskipun sering terjadi bencana di Indonesia, namun belum masuk dalam 40 top bencana dengan klaim terbesar di dunia versi perusahaan reasuransi Swiss Re. Tsunami di Aceh akhir 2004 memang masuk dalam peringkat keempat dalam hal korban jiwa terbesar sejak tahun 1970, namun kerugian asuransi tidak terlalu besar. Bila bencana itu terjadi di negara maju, bisa memicu mega klaim. Hal ini terjadi karena di Aceh tidak banyak aset dan jiwa yang diasuransikan.
Manajemen risiko melalui spreading of risks dalam skema reasuransi dan koasuransi, menyelamatkan industri asuransi dari kebangkrutan akibat klaim bencana. Meskipun modal dan asetnya terbatas, perusahaan asuransi dapat menanggung risiko nilai pertanggungan yang besarnya beratus kali lipat dari aset perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi/reasuransi menahan risiko dalam porsi tertentu sesuai dengan hasil seleksi risiko (underwriting), kemampuan masing-masing perusahaan, dan menurut regulasi. Berdasarkan regulasi Bapepam-LK, maksimum retensi sendiri perusahaan asuransi untuk setiap risiko adalah 10% dari ekuitas. Mitigasi mega klaim juga dapat dilakukan melalui seleksi risiko secara hati-hati (prudent underwriting), kontrol akumulasi risiko, dan pemilihan perusahaan reasuransi terpercaya. Underwriter (penyeleksi risiko) menjadi tumpuan perusahaan asuransi. Kemampuan perusahaan asuransi dalam mengelola risiko dapat dilihat dari
OKTOBER 2012
9
SAJIAN UTAMA underwriter-nya. Finalnya, dapat dilihat dari hasil underwriting. Semakin besar hasilnya, kualitas pengelolaan risikonya tergolong bagus. Dalam hal pemilihan perusahaan reasuransi, Bapepam-LK mensyaratkan minimal rating BBB. Ini untuk menghindari adanya reasuransi bodong, khususnya dari luar negeri. Tidak jelas perusahaannya, sehingga perusahaan asuransi sulit mendapatkan recovery reasuransi. Skema reasuransi inilah yang membuat perusahaan asuransi mampu menanggung risiko yang sangat besar, hingga Rp triliunan. Sampai berkali lipat aset yang dimiliki perusahaan asuransi. Risiko Reputasi Bisnis asuransi menjual barang tak berwujud, berupa janji mengganti kerugian di masa yang akan datang. Industri asuransi sangat tergantung dari kepercayaan. Sehingga perusahaan asuransi selalu memposisikan sebagai perusahaan yang dapat dipercaya. Ketakutan dari konsumen adalah klaim tidak dibayar atau sulit mengurus klaim. Perusahaan dengan reputasi baik akan memiliki keunggulan di hadapan nasabah. Perusahaan asuransi sangat kuatir jika reputasinya hancur. Dalam riset Economist Intelligent Unit tahun 2005, eksekutif perusahaan dunia menyatakan bahwa reputasi menjadi prioritas puncak dibandingkan risiko lainnya. Yang dibutuhkan adalah membangun reputasi, bukan sekedar membentuk citra. Reputasi berkembang lebih lambat daripada membentuk citra (Rochette, 2007). Kepercayaan nasabah dibentuk oleh reputasi.
10
OKTOBER 2012
Salah satu yang digunakan sebagai alat jualan oleh perusahaan asuransi adalah pengakuan atau penghargaan, baik itu dari institusi maupun dari konsumen. Sarana publikasi melalui berbagai cara seperti di media massa, annual report, situs internet, media komunikasi perusahaan, atau memajang penghargaan di ruang tamu/ lobby kantor.
Bila bencana Tsunami di Aceh akhir 2004 itu terjadi di negara maju, bisa memicu mega klaim.
Reputasi buruk, mudah membuat konsumen menjauh. Apalagi industri asuransi di Indonesia masuk dalam pasar persaingan sempurna (HerfindahlHirschman Index asuransi umum tahun 2010 sebesar 0,04549). Konsumen sangat elastis terhadap kualitas pelayanan. Mitigasi yang dapat dilakukan adalah memberikan pelayanan terbaik. Standar pelayanan minimal tidak dapat diandalkan di tengah persaingan ketat. Harus cepat tanggap terhadap keluhan dan menyempurnakan pelayanan. Yang paling mudah merontokkan reputasi perusahaan asuransi umumnya disebabkan kekecewaan nasabah saat mengurus klaim. Dua hal berkaitan klaim, klaim ditolak atau pengurusan yang ribet.
Perusahaan asuransi harus jujur. Bila berdasarkan polis, klaim harus dibayar, maka harus dibayar. Waktu pembayaran klaim sesuai dengan ketentuan di dalam polis atau maksimal 30 hari sejak kesepakatan klaim. Tidak boleh menundanunda pembayaran klaim, misalnya dengan menambah-nambah persyaratan dokumen klaim. Kekecewaan nasabah, apalagi bila
sudah ada di media massa, dapat menjadi bumerang bagi perusahaan asuransi. Hak jawab perusahaan asuransi di media massa, tak serta merta menghapuskan rekaman buruk bagi (calon) nasabah. Ketidaktahuan nasabah tentang isi polis juga menjadi pemicu perselisihan. Mitigasi dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan isi polis secara gamblang saat nasabah akan berasuransi. Bahasa hukum perjanjian, istilah khas asuransi, pilihan hukum yang dipakai, atau bahkan bahasa polis yang masih menggunakan bahasa Inggris, adalah beberapa pemicu ketidakpahaman nasabah. Penjelasan syarat dan kondisi polis dapat dilakukan
langsung ke nasabah atau melalui pialang sebagai wakil nasabah. Kepatuhan Modal Ketentuan modal asuransi memang mengalami tarik ulur. Niat regulator untuk menaikkan modal, awalnya dituangkan dalam PP 63/1999 yang mengatur penyelenggaraan usaha perasuransian. Perusahaan asuransi baru harus memiliki modal disetor minimum Rp100 miliar. Revisinya dilakukan dalam PP 39/2008 tanggal 19 Mei 2008. Perusahaan asuransi harus memiliki modal disetor minimum sebesar Rp100 miliar. Akibat protes dan demo oleh sebagian pelaku industri asuransi, aturan itu dirubah pada tanggal 31 Desember 2008. Melalui PP 81/2008, modal sendiri (bukan modal disetor) harus dipenuhi secara bertahap. Akhir tahun 2012, modal sendiri perusahaan asuransi minimum sebesar Rp70 miliar dan menjadi Rp100 miliar di akhir tahun 2014. Meskipun pemerintah memberikan sinyal penundaan (lagi) pemenuhan hingga Maret 2013, namun penambahan modal tidak bisa ditawar lagi. Jika terus menunda, pemerintah dianggap plin plan. Pilihannya hanya melakukan eksekusi terhadap perusahaan yang tidak mampu memenuhi modal minimum. Bagi perusahaan asuransi, pemenuhan modal ini mutlak. Sadar akan hal tersebut, beberapa perusahaan yang modalnya masih kurang, kini giat mencari tambahan. Bila tak berhasil, masih ada jalan keluar lainnya, merger atau akuisisi. # (Munawar Kasan, Majalah Stabilitas Perbankan, Edisi 72, tahun 2012)
OKTOBER 2012
11
SAJIAN UTAMA
Menakar Risiko Bancassurance Bancassurance yang merupakan produk kerjasama antara bank dan perusahaan asuransi tidak bebas risiko. Dalam mengelola risiko produk ini beberapa aspek yang perlu jadi perhatian adalah pemilihan mitra, penyusunan perjanjian kerja sama, penggunaan data nasabah, dan penerapan prinsip perlindungan nasabah.
P
emasaran produk asuransi kerugian melalui jasa perbankan (Bancassurance) saat ini semakin berkembang, dari sebelumnya yang masih didominasi oleh asuransi jiwa. Berkembangnya pemasaran produk asuransi kerugian melalui perbankan ini, karena pola kerja yang lebih jelas seperti tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No. 12/35/DPNP tentang Bank dan Produk Bancassurance. Dalam surat edaran ini, pelaku industri asuransi memiliki pemahaman penerapan manajemen risiko pada bank, yang melakukan kerja sama pemasaran dengan perusahaan asuransi. Pakar Ekonomi dari Biro Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, Eddy Manindo Harahap mengungkapkan bisnis Bancassurance hadir bukan tanpa risiko. “Maka kedua belah pihak (bank dan perusahaan Asuransi) harus memahami bersama terhadap risiko-risiko dalam beberapa aspek utama Bancassurance,” terang Eddy dalam persentasi pada acara seminar tentang Konsep, Implementasi & Penerapan Manajemen Resiko pada Bisnis Bancassurance di Jakarta beberapa waktu lalu. Risiko yang harus diperhatikan dalam
12
OKTOBER 2012
beberapa aspek utama Bancassurance, kata Eddy, adalah penetapan perusahaan asuransi yang menjadi mitra bank, penyusunan perjanjian kerja sama, penggunaan data nasabah dan penerapan prinsip perlindungan nasabah. “Untuk penetapan kerja sama antara perusahaan asuransi dan bank memenuhi syarat-syarat seperti, memiliki surat pesetujuan dari Menkeu, memenuhi ketentuan yang berlaku, memantau, menganalisa dan mengevaluasi secara berkala kesepakatan bersama antara pihak bank dan perusahaan asuransi,” paparnya. Lebih lanjut Eddy menje laskan, dalam penyu sunan kerja sama, harus Muliaman P. Hadad
diperhatikan kejelasan hak dan kewajiban termasuk tanggung jawab masing-masing pihak. Kondisi berakhirnya perjanjian kerja sama termasuk menjaga kerahasiaan data yang bersifat rahasia. “Apakah itu data perusahaan maupun data nasabah masingmasing perusahaan,” tambahnya. Terkait penggunaan data nasabah, lanjutnya lagi, harus mengacu pada UU Perbankan tentang rahasia Bank. Dan harus difahami bersama secara jelas perihal ketentuan mengenai transparansi produk dan penggunaan data pribadi nasabah. Dalam penjualan produk asuransi melalui bank, kepada nasabah, pihak bank harus menjelaskan secara lisan dan tertulis perihal produk asuransi yang ditawarkan. Transparan mengenai biaya-biaya yang harus dibayar oleh nasabah. “Nasabah harus tahu, uang dia yang dibayarkan untuk premi berapa, dan komisi untuk bank berapa. Harus dijelaskan ke nasabah itu,” tegasnya. Nilai Tambah Sementara itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman P. Hadad menilai kerja sama bancassurance memberi keuntungan nilai tambah bagi pemangku kepentingan terkait dalam asuransi. “Pada beberapa tahun terakhir kami melihat kebutuhan masyarakat akan produk asuransi semakin tinggi. Dengan kondisi tersebut, potensi pertumbuhan industri perasuransian semakin besar sehingga perusahaan asuransi dituntut meningkatkan pemasaran produknya,” kata Muliaman. Dengan adanya kerja sama antara perbankan dan perusahaan asuransi untuk memasarkan produk asuransi, kedua pihak bisa bersama-sama mengambil
keuntungan yang positif. Kerja sama bancassurance bagi bank bisa mendukung peningkatan pendapatan “fee based inco me” yang stabil dan berkelanjutan melalui solusi produk yang beragam dan inovatif. Selain itu nilai tambah bagi bank lainnya adalah memberikan pilihan portofolio produk sesuai keperluan nasabah dan memaksimalkan hubungan serta loyalitas nasabah yang pada akhirnya dapat meningkatkan nilai bagi pemilik bank yang bersangkutan. “Sedangkan untuk perusahaan asuransi, kegunaan bancassurance tentu diharapkan memberikan akses yang lebih luas kepada nasabah bank atau masyarakat lain dalam mengembangkan pangsa pasar asuransi dan meningkatkan skala ekonomi dan bisnisnya,” jelas Muliaman yang terpilih menjadi Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun selain manfaat, Muliaman menjelaskan aktivitas juga berikan risiko baik resiko hukum, reputasi dan finansial. Menurut dia, untuk mengelola bancassurance yang stabil dan berke lanjutan serta beroperasi secara sehat, bank dan perusahaan asuransi harus memahami konsep bancassurance berdasarkan ketentuan BI. BI dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) juga melakukan pengawasan kepada bank dan perusahaan asuransi agar mereka berada pada operasional yang sehat. “Dari sisi perbankan, BI sangat berkepentingan memastikan kesiapan bank dalam lakukan bancassurance termasuk penerapan manajemen resiko oleh bank terhadap berbagai macam aktivitas terkait,” pungkas Muliaman. #
OKTOBER 2012
13
LIFESTYLE
Freedive Serunya Menjadi
Deni Si Manusia Ikan Kegiatan olahraga menyelam tanpa menggunakan alat bantu pernapasan, atau istilah kerennya freedive, mulai menarik minat banyak orang. Padahal olah raga ini tergolong berisiko tinggi, hingga nyawa pun bisa saja melayang. Namun, dengan mematuhi aturan yang benar plus tekhnik tepat, freedive akan jadi salah cara yang paling menyenangkan dalam menikmati keindahan alam bawah laut.
A
nda tahu Deni sang Manusia Ikan? Ia adalah tokoh utama dalam komik ‘Fishboy: Denizen of the Deep’ karya Scott Goodall dan John Stokes yang diterbikan antara tahun 1968 hingga 1975. Deni digambarkan sebagai seorang anak lakilaki yang terdampar di sebuah pulau dan kemudian belajar untuk bernapas di bawah
14
OKTOBER 2012
air, hingga kemudian memiliki kemampuan berenang dan menyelam layaknya seekor ikan. Nah, kini Anda pun bisa meniru Deni, menyelam tanpa menggunakan alat bantu pernafasan. Caranya, dengan mengikuti olah raga yang disebut freedive. Yang lebih menyenangkan lagi, tidak seperti Deni yang menyelam seorang diri, Anda
bisa melakukannya bersama-sama, karena sudah ada komunitas untuk aktivitas yang terbilang lumayan berisiko ini. Salah satunya adalah Komunitas Let’s Freedive yang berada di Jakarta. “Freediving itu unik, tapi sayang sejauh ini hanya dibilang sebagai hobi kalau di Indonesia. Padahal di luar negeri, freediving sudah menjadi olahraga. Bahkan di sana bisa dikompetisikan,” papar Agus Hong, salah seorang anggota Komunitas Let’s Freedive. Tidak hanya Agus dan kawankawannya, setiap kita pasti pun akan
menilai freediving sebagai sesuatu yang unik. “Dengan freediving kita bisa menikmati laut tanpa merasa canggung. Karena perbedaannya dengan menyelam biasa, freediving itu menyelam tanpa alat bantu pernafasan seperti scuba. Jadi menyelam terasa lebih bebas dan leluasa,” tambah Agus setengah berpromosi. Akan tetapi, keunikan itu ternyata tak membuat freediving mendapat perhatian yang baik. Masih banyak diver (penyelam) yang tidak percaya dengan freediver karena mereka tidak pernah lihat langsung. “Namun, ketika melihat langsung, mereka berbalik takjub,” jelas Agus. Melihat Indonesia sebagai negara bahari, tentunya terasa lebih membanggakan bila mengetahui ada penyelam bebas hebat berasal dari negeri sendiri. “Mudah-mudahan freediving dapat diakui sebagai olah raga di Indonesia,” harap Agus dan kawan-kawan. Di Indonesia, katanya, belum pernah ada kompetisi freediving seperti yang dilakukan Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina. “Kami berharap tahun 2013, ada peserta dari Indonesia yang bisa ikut,” ucap Agus. Bagi Komunitas Let’s Freedive, bukan hanya karena sekedar mengikuti kompetisi, manfaat yang besar juga menjadi alasan pentingnya freediving. Pasalnya, dalam prakteknya freediving merupakan salah satu bentuk meditasi yang mengarahkan seseorang ke perubahan yang positif. Kesadaran tentang diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, terlatih melalui kegiatan ini, bagi mereka yang mempraktekkannya dengan benar. Menurut Agus, komunitas Let’s
OKTOBER 2012
15
LIFESTYLE Freedive melakukan kegiatan freediving dengan mengikuti literatur AIDA (Association Internationale pour le Development de l’Apnee/International Association for Development of Apnea). AIDA adalah organisasi yang membawahi seluruh diver (penyelam) dunia. Dengan mengikuti aturan dari AIDA, Let’s Freedive yakin berbagai jenis kegiatan freediving mereka akan berjalan
dengan benar, efektif, efisien dan mampu meminimalisir risiko. “Jadi, kegiatan lebih teratur dan terstruktur,” jelas Agus. Dalam setiap melakukan freediving, Let’s Freedive selalu memberikan peringatan bagi setiap anggota dan para diver, untuk tidak melakukan freediving sendirian. “Jangan pernah melakukan freediving sendirian, karena ini taruhannya nyawa,” tegas Agus dan komunitasnya. “But if you want to freedive alone, you must know your limit,” sambungnya mengutip buku petunjuk cara freediving yang benar. Tidak hanya mengajarkan cara
16
OKTOBER 2012
freediving yang tepat, Let’s Freedive juga mengingatkan pentingnya menjaga kelestarian bawah laut pada setiap anggotanya. Komunitas ini juga mencoba mengenalkan tempat-tempat menyelam yang indah di seluruh Indonesia. “Indonesia itu tempat yang paling bagus untuk freediving. Jadi, mengapa harus bersusah-payah mencari lokasi menyelam ke luar negeri?” kata Agus yang didapuk menjadi seksi dokumentasi di Komunitas Let’s Freedive. Bukan Sekedar Just for Fun Mampu menyelam bebas (freedive) dengan mengetahui kemampuan diri sendiri, merupakan sebuah kesenangan sendiri bagi komunitas ini. Agus Hong sendiri mengaku, tidak semua anggota Let’s Freedive yang masuk dalam komunitasnya karena alasan serius ingin melakuan freediving. Beberapa masuk karena ingin senang-senang saja. “Tapi kami tak mempermasalahkan soal itu. Toh, walau awalnya just for fun, kalau mereka benar-benar suka, banyak juga yang akhirnya serius ingin freediving,” jelas Agus sembari mengatakan ada 50 orang yang aktif melakukan freediving di komunitas ini. Let’s Freedive sendiri tak mau muluk-muluk dalam pengembangan komunitasnya. Mereka terfokus pada misi dan visi untuk pengembangan teknik dan penyelamatan dalam melakukan freediving di Indonesia umumnya, dan Jakarta khususnya.Komunitas ini melakukan kegiatan rutin latihan penyelaman setiap Sabtu di kolam Renang Gelora Bung Karno, Jakarta. Selain itu, Let’s Freedive juga memiliki kegiatan non rutin lain.
Tips & Trik Untuk Freediver Pemula ÂÂ ÂÂ ÂÂ ÂÂ ÂÂ ÂÂ ÂÂ
Yang terpenting, “Jangan pernah freediving sendiri” Jangan pernah melakukan freediving ketika Anda sedang pilek dan sinus. Bagi pemula, jangan panik, usahakan diri tetap santai, dengan modal nekat dan niat. Hindari minum minumn beralkohol dan soda. Tidak boleh takut kedalaman. Bagi penderita asma, agar lebih dijaga dan sadar kemampuan diri sendiri. Cara bernafas untuk freediving yang benar yaitu hirup nafas dan memasukkan seluruhnya langsung ke perut. Setelah itu tahan nafas, jangan sampai ada yang keluar. Ketika ini, nikmati penahanan nafas, sampai terasa konstraksi (keinginan otak yang memerintah tubuh untuk men-supply oksigen). Nantinya nafas itu akan naik sendiri perlahan-lahan dari paru-paru ke luar dengan sendirinya.
Awal tahun 2012 lalu misalnya, mereka melakukan eksibisi perkenalan freediving. Kegiatan itu dilakukan terbatas, yakni hanya untuk 10 orang peserta saja, dengan maksud agar pengajaran tentang freediving terjalin lebih fokus. Dengan begitu peserta dapat menerima pengajaran lebih cepat dan tepat. Di luar itu, sebulan sekali mereka melakukan penyelaman bebas ke laut, sekaligus latihan kedalaman di laut, seperti di Pulau Pramuka, Tidung dan beberapa kawasan Kepulauan Seribu di pantai Utara Jakarta. Ada pula anggotanya yang melakukan ke Bali, Sulawesi Utara, Papua dan sebagainya. Semuanya untuk mengasah kemampuan menyelam, sekaligus menikmati keindahan bawah laut yang ada di perairan Nusantara.
Dengan harapan bisa membantu setiap anggotanya yang ingin mendapatkan AIDA, komunitas ini berusaha menjalani kegiatannya dengan lebih serius. Tak hanya itu, Let’s Freedive telah memiliki mentor yang sudah bersertifikat AIDA dan mampu memberikan bimbingan khusus untuk anggota yang memilih freediving bukan hanya sekedar kesenangan semata. “Mengenai masalah pembiayaan kegiatan, kami pakai sistim sharing cost. Jadi semua pembiayaan dibagi rata ke semua peserta yang ikut kegiatan. Untuk lebih memperkecil biaya, kami terkadang pakai sistim kemping, seperti temanteman yang suka naik gunung, bawa tenda sendiri, bawa peralatan tidur dan makan sendiri. Ini lebih irit ketimbang menginap di bungalow tepi pantai ,” tuntas Agus.#
OKTOBER 2012
17
KOLOM
Bernard Sumbayak
Founder & Chairman VibizConsulting
Bail Out, Efektifitas dan Resikonya
T
oo Big to Fail adalah istilah yang sangat tepat pada krisis Eropa dan Amerika Serikat pada saat ini. Kerugian yang terjadi pada JP Morgan Chase sebesar 2 miliar dollar AS telah membuat denyut jantung para otoritas moneter dan pengamat ekonomi berdetak keras, membayangkan dampak yang bisa terjadi bila bank seperti JP Morgan Chase ini ambruk. Serta merta timbul juga pertanyaan, apakah kerugian tersebut masih floating atau sudah realized, yang berarti masih bisa berkembang lebih besar sesuai dengan volatilitas pasar atau memang sudah di cut losses. Perdebatan juga timbul bahwa kerugian itu bukan karena hedging activities, seperti yang disebutkan oleh CEO-nya Jamie Dimon, melainkan murni spekulasi karena tidak ada posisi berlawanan sebagaimana seharusnya dalam hedging. Hal ini semakin membuat kengerian para pengamat perbankan. Dengan nilai kerugian sebesar 2 miliar dollar AS untuk sebuah bank dengan total aset sebesar 2,2 triliun dollar AS trilyun memang tidak besar, tetapi yang menakutkan adalah pertanyaan, bahwa apakah kerugian 2 miliar dollar AS tersebut hanya ujung dari sebuah gunung es yang sedang roboh. Kalau dilihat dari Asset-nya JP Morgan Chase ini skalanya 40 x Bank Mandiri, atau 46 x Bank BRI, atau 56 x Bank BCA. Maka bila bank sebesar ini jatuh tentu saja akan menyisakan begitu banyak permasalahan. Bila kita bandingkan jumlah nasabah Bank Mandiri sekitar 11,5 juta,
18
OKTOBER 2012
Bank BRI 33 juta dan BCA 10 juta, maka bisa dibayangkan berapa jumlah customer yang mengalami kerugian bila sebuah sebuah bank raksasa seperti JP Morgan bangkrut. Ketika mengalami suasana mencekam pada saat likuidasi 16 bank pada tahun 1997, maka pemerintah mengeluarkan dana likuidasi untuk menjamin para deposan. Hal ini mengingat besarnya risiko tabungan masyarakat di dalamnya yang akan ikut tercebur dengan ambruknya bank, termasuk di dalamnya dana pensiun yang dikelola oleh bank tersebut. Ekses likuiditas dunia usaha yang sedang diparkir di perbankan, bila semua ini ikut terkubur bersama dengan robohnya bank, tentunya akan menjadi permasalahan yang pelik bagi begitu banyak masyarakat luas dan dunia usaha. Untuk menghindari masalah yang sangat rumit dengan banyak-nya deposan yang ikut terseret dalam permasalahan perbankan, maka cara yang paling efektif untuk melakukan mediasi permasalahan adalah pemerintah mengambil alih hutang bank pada masyarakat dan melakukan penjaminan pembayaran kepada masyarakat, sehingga kegalauan nasib masyarakat deposan bisa diredakan oleh pemerintah, sehingga pemilik bank tersebut tinggal hitung-hitungan berapa dana talangan pemerintah yang harus dibayar. Hal ini secara sederhana bisa dianggap sebagai bail out. Defisit Anggaran dan Bail Out Permasalahan yang timbul lebih
jauh lagi adalah bagaimana pemerintah melakukan bail out kalau dia sendiri juga dirundung permasalahan, seperti yang sedang terjadi pada krisis Eropa. Kalkulasi kekuatan untuk melakukan bail out secara sederhana kita formulasikan sebagai berikut: Hutang Pemerintah + Hutang Sistem Perbankan >=< Penerimaan Pemerintah Permasalahan yang ada sekarang adalah angka hutang pemerintah ditambah hutang pada sistem perbankan besarannya telah lebih dari 5x lipat penerimaan pemerintah, sebagai berikut: Irlandia 43x, Jepang 37x, Amerika Serikat 16x, Inggris 14x, Spanyol 11x, Portugal 10x, Belanda 10x, Perancis 10x, Jerman 9x, Yunani 8.5x, Australia 8.4x, dan Italia 7.5x. Hal ini masih lebih buruk lagi bila disertai dengan permasalahan defisit anggaran. Sebagai contoh, Amerika Serikat dengan defisit anggaran mencapai 8.7% dari GDP. Permasalahan ini masih agak tertolong bila kondisi neraca pembayaran (current account) masih positif, seperti yang terjadi di Jerman, yang berarti masih ada aliran dana dari luar masuk ke negara Jerman, karena perdagangan Jerman seperti BMW, Mercedes masih positif sehingga neraca pembayaran positif. Namun sangatlah lebih terpukul bila neraca pembayaran (current account) juga defisit, seperti yang terjadi di Italia. Kondisi akan semakin buruk karena dana permodalan justru mengalir ke luar dari negara Italia ini, sehingga perekonomian Negara tersebut pun ikut terpuruk. Sekalipun belum banyak dibahas seperti halnya negara-negara Eropa, sekarang ini negara yang sangat berbahaya kondisi-nya adalah Jepang, di mana nilai tukar yen makin menguat, mengakibatkan melambatnya permintaan ekspor Jepang ke Eropa makin menjadi-jadi. Dengan tingkat bunga yang nyaris 0% dan utang pemerintah tertinggi di dunia, yang menjadi 230% dari GDP, mengakibatkan ruang untuk ekspansi moneter sangat sempit. Mungkin satu-satunya kekuatan
yang masih dimiliki oleh Jepang adalah daya tahan masyarakat dan etos kerja yang tinggi. Neraca pembayaran (current account) sekalipun masih positif, namun trennya terus menurun menuju ke negatif. Efek Domino Global Dengan kondisi seperti ini, maka timbul sebuah deretan efek domino global yang sangat berbahaya, seperti sebuah bangunan bertingkat yang sedang rubuh. Melemahnya kondisi ekonomi global ini tentunya menyurutkan permintaan karena daya beli yang berkurang, akibatnya banyak industri juga melemah karena permintaan yang menurun dan hal ini mempengaruhi kinerja finansialnya termasuk juga kemampuan membayar hutang, sehingga ujung-ujungnya kembali pada meningkatnya bad debt sector perbankan yang bila terus terakumulasi maka sektor perbankan tidak mampu menahan dan hal ini memerlukan upaya bail out dari pemerintah. Untuk menghentikan bekerjanya efek domino ini beberapa negara telah berupaya membenahi perekonomiannya dengan berbagai cara agar ekonominya tidak melambat. Sementara itu kondisi Indonesia dengan neraca perdagangan catur wulan pertama Jan-April 2012 nonmigas Indonesia masih positif 3,3 miliar dollar AS. Dan pertumbuhan ekspor kita year-on-year masih positif 4.1%. Di mana beberapa produk andalan masih menunjukkan pertumbuhan ekspor yang menjanjikan, maka kita masih optimis untuk bertumbuh, namun pertumbuhan ini ada di tengah kondisi ekonomi global yang melemah, mau tidak mau akan berpengaruh juga bagi Indonesia, sehingga tetap perlu waspada. Ingat kondisi perbankan dunia sekarang adalah Too Big To Fail dan Too Big To Bail. Jadi perbankan di Indonesia dan pelaku usaha haruslah waspada menghadapi cuaca ekstrim yang sedang terjadi pada ekonomi global. # (sumber: www. vibizconsulting.com)
OKTOBER 2012
19
INTERVIEW
Ferry N. Idroes
Pakar Manajemen Risiko dan Wakil Dekan Fakultas Universitas Al Azhar
Risiko Manusia Harus Ditekan Kejahatan dalam industri perbankan tak pelak selalu dipicu oleh sistem yang tidak berjalan. Meski demikian, faktor manusia dianggap penentu dominan munculnya risiko di perbankan. Oleh karena itu Ferry N. Idroes, Wakil Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Al Azhar Indonesia, mengatakan faktor ini harus diredam dengan pengawasan yang ketat dari atasan. Selain itu, menurut trainer bagi calon peserta Uji Kompetensi dan penulis buku “Manajemen Risiko Perbankan” ini faktor komunikasi yang tidak jalan antara BI dan audit internal bank juga berperan. Berikut petikan wawancaranya:
B
agaimana manajemen risiko berperan meminimalisasi risiko? Kalau ada manajemen risiko maka ada tindakan pencegahan. Pencegahan adalah bagaimana bank itu sendiri menurunkan frekuensi risiko. Pada sisi lain ada peran dari pengawas, yaiyu Bank Indonesia. Dan laporan-laporan yang dibuat bank, baik itu yang dibuat untuk BI atau pihak-pihak yang terkait. Pihak terkait iu masyarakat pada umumnya atau otoritas bursa, yaitu Bapepam. Saat ini bagaimana kondisinya? Saat ini, pengetahuan pelaku kejahatan selangkah lebih maju daripada pengawasnya. Seolah-olah kondisi ini sudah menjadi kondisi umum. Kejahatan itu selangkah lebih maju dari pengawas. Karena bagaimanapun pengawas itu selalu belajar dari kasus. Karena yang ada di benak pelaku kejahatan itu sangat mungkin belum ada di benak pengawas.
20
OKTOBER 2012
Biasanya pengawas itu berfikirnya positif. Apa masalah utama perbankan terkait risiko? Permasalahan utama dari risiko operasional ada empat hal: risiko manusia, risiko proses, risiko sistem dan risiko faktor eksternal. Kalau risiko eksternal, risiko yang tidak bisa kita hindari. Misalnya, terjadinya gempa bumi, banjir atau bencana alam lainnya. Sifat-sifat yang disebabkan bukan oleh bank secara langsung. Itu jarang terjadi, tapi dampaknya bisa sangat luar biasa terhadap bank. Namun ada tiga hal yang disebabkan dari bank itu sendiri, yaitu manusia, proses dan sistem. Biar bagaimanapun perkembangan perbankan saat ini lebih kompleks dibandingkan dua puluh tahun yang lalu, yang belum serba online. Kondisi ini juga menimbulkan risiko luar biasa. Namun yang paling mendasar adalah permasalahan manusia.
Mengapa faktor manusia? Permasalahan itu tidak lepas dari perkembangan bank itu sendiri. Bank sekarang bukan hanya pada bisnis intermediasi. Namun sekarang bank juga berkembang pada bisnis lain. Dalam bisnis itu, ada ukuran-ukurannya. Urusannya sudah kepada laba, pengembangan usaha dan sebagainya. Akhirnya, dibuatlah ukuran-ukuran kinerja tertentu. Ukuran kinerja itu terus menjadi ukuran, baik dari pusat, cabang sampai individu. Pada tingkat individu itulah yang menjadi reward atau punishment. Jadi kalau seorang marketing berhasil dalam mendapatkan nasabah atau meningkatkan bisnis bank, mulai timbul kepercayaan dan adanya perlakuan khusus terhadap dia. Pada saat itulah, cikal bakal terjadinya fraud. Di antara ketiga risiko yang tadi disebut, risiko mana yang sering menjadi penyebab terjadinya fraud? Tergantung. Kalau internal, adalah manusia. Pada awalnya seseorang masuk bank itu baik. Apabila situasinya memungkinkan untuk berbuat jahat, orang yang awalnya baik, bisa jadi pertama kali dia khilaf. Sekali khilaf, tapi tidak ada tindak lanjutnya, bisa jadi akan berubah menjadi suatu intensi untuk melakukan perbuatan jahat berikutnya. Pada saat melakukan, biasanya selalu tertutupi dengan kinerja atau prestasi dari karyawan itu. Perhatikan
dalam banyak kasus, selalu kejahatan itu dilakukan oleh karyawan kunci atau karyawan yang berkinerja baik. Motifnya apa? Motifnya kesempatan. Jika fraud itu selalu ketahuan setelah kejadian, apakah sistem dan proses itu tidak bisa mencegah? Bisa. Kata kuncinya adalah segregetion of duty. Jadi, setiap pekerjaan itu harus ada yang mengawasi. Dalam arti harus ada kontrol terhadap setiap individu. Kontrol itu bisa dilakukan secara melekat, bisa juga dengan sistem pekerjaan. Bahwa dalam pencatatan, ada satu orang yang melakukan transaksi, dan ada satu orang yang mencatat. Dan itu tidak boleh orang yang sama. Bagaimana dengan yang sekarang berlaku? Dengan alasan efesiensi, jumlah karyawan menjadi diperkecil. Sebenarnya tidak ada masalah, asal pengawasan dari pimpinannya menjadi lebih diperketat. Yang terjadi sekarang adalah, jumlah karyawannya dikurangi, tapi pada sisi lain pengawasannya tidak lebih baik dan tidak lebih ketat. Kemudian, tour of duty, jangan biarkan seorang karyawan, sehebat apapun, mempunyai prestasi secemerlang apapun, ditempatkan pada tempat yang sama, untuk waktu yang lama.
OKTOBER 2012
21
INTERVIEW Waktu yang lama memang relatif. Tapi idealnya maksimal dua tahun. Ada hal lain yang bisa dilakukan pengawas untuk mengantisipasi terjadinya fraud? Secara umum, sistem di internal bank itu sudah cukup. Bank mempunyai pimpinan juga internal control, yang harus bekerja secara efektif. Biasanya bagian internal control takut dengan kepala cabang. Kalau ada penyimpangan, internal control tidak berani menegurnya. Secara struktural, internal control memang bawahan kantor pusat, tapi tugasnya di cabang. Kemudian timbul rasa sungkan dan sebagainya. BI sudah mengelurakan peraturan menganai fung si kepatuhan. Apakah dika renakan kondisi perbankan sudah mengkhawatirkan? BI sudah melakukan banyak hal, terutama dalam tindakan pencegahan risiko. Misalnya kepatuhan dalam regulasi Basel. Bahkan dalam beberapa hal BI jauh lebih baik dari Basel. Permasalahannya, dalam pengawasan saja. Apa dikarenakan terbatasnya jumlah pengawasan? Tidak selalu. Jangan kita selalu berbicara tentang jumlah. Sebaiknya kita berbicara soal efektifitas. Sebenarnya, BI punya dua perangkat, on side supervision, BI dapat datang langsung kepada bank, atau outside supervision, berdasarkan laporanlaporan. Kedua perangkat itu fungsikan saja dengan baik. Dalam basel dikatakan, BI dapat berkomunikasi langsung dengan audit internal bank, dan harus dilakukan. Bisa dikatakan, audit internal itu mata
22
OKTOBER 2012
dan tangannya BI di bank. Masalahnya, BI melakukan itu tidak? Menurut Anda? Jangan-jangan hal itu tidak dilakukan. Ini bukan hasil penelitian. Jika fraud terjadi, bagaimanapun juga itu adalah kesalahan bank. Bukan tanggung jawab BI. Tapi BI memang ada tanggung jawab. BI untuk mengawasi bank secara keseluruhan. Namun terhadap internal risiko, bank harus bertanggung jawab. Dengan adanya direktur kepatuhan pada tiap bank, apakah tidak cukup? Cukup. Masalahnya, direktur kepatuhan bekerja atau tidak? Itu yang saya katakan BI sudah melakukan banyak hal. Bagaimana dengan peningkatan integritas bankir? Sebenarnya kan sudah ada tugas dan wewenang. Pada saat memberikan tugas, ada wewenang yang diberikan. Sebenarnya hal itu melekat pada hasil dari manajemen risiko. Kalau semua tugas jelas, dalam pe laksanaannya dilakukan pengawasan. Kalau ada pelanggaran, atasan yang menghukum berdasarkan laporan dari internal audit. Masalahnya, semua itu tidak berjalan. Mengapa bisa tidak berjalan? Salah satunya adalah rely on key person. Biasanya karyawan yang berprestasi itu banyak mendapatkan privelage. Jika karyawan tersebut melakukan kesalahan, dan dilaporkan ke atasan, biasanya ada atasan yang mempunyai dua sikap: atasan tidak percaya atau tutup mata. Bisa jadi laporan itu dibuat, tapi diabaikan oleh atasan. #
SWARA
Berbeda Pengalaman Tapi Sama Berdebarnya
Setiap bankir, pengurus, dan pejabat bank yang bekerja pada seluruh bank umum di Indonesia, wajib sertifikasi Manajemen Risiko. Semenjak 2005 silam hingga saat ini, sudah ribuan orang mengikuti Uji Kompetensi yang diselenggarakan Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR). Dengan latar belakang jabatan dan bank yang berbeda, para peserta Uji Kompetensi dari berbagai daerah datang dengan satu tujuan: ikut ujian dan lulus. Bagaimana pengalaman dan kesan para peserta Uji Kompetensi ini, berikut penuturan mereka yang ditemui Buletin BSMR dalam beberapa kesempatan Uji Kompetensi di Jakarta
Hidayatullah
Branch Manager Bank Kalbar Cabang Ketapang
“Sulit sih Tidak, Tapi Tetap Harus Teliti”
S
aya bersama sembilan teman dari Bank Kalbar datang untuk mengikuti Uji Kompetensi dengan level yang berbeda. Empat orang ikut ujian di level IV, enam lainnya ikut ujian di level III. Saya sendiri ikut ujian di level III. Karena sudah ikut di level sebelumnya, juga sudah ikut training sebelum mengikuti uji kompetensi di Jakarta, saya pribadi
merasa biasa-biasa saja. Soal-soalnya tidak terlalu sulit, bahkan hampir mirip-mirip. Meski begitu, rasa deg-degan tetap ada, karena jeda dengan level sebelumnya relatif lama. Kekhawatiran saya beberapa menit sebelum mulai ujian adalah apakah saya bisa mengerjakan soal-soalnya atau malah lupa dengan pelajaran yang saya terima dari pelatihan di kantor. Alhamdulillah, semua soal bisa saya kerjakan. Saya optimis bisa lulus dalam Uji Kompetensi kali ini. Persiapan? Saya pribadi tidak banyak persiapan untuk mengikuti Uji Kompetensi kali ini. Maklumlah, dua minggu sebelumnya baru diberi tahu kalau harus mengikuti Uji Kompetensi kali ini. Beruntung, saya dan teman-teman yang mau ikut ujian, diberi pelatihan dulu di kantor oleh vendor, PT Orbit. Uji kompetensi ini, menurut saya penting. Selain berpengaruh ke jabatan kita sebagai orang yang bekerja di bank, juga terhadap pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari. Pekerjaan sehari-hari kami sebagai karyawan bank kan selalu penuh dengan risiko. Entah risiko kaitannya dengan kredit, entah risiko operasional ataupun risiko fraud. Nah, bila itu terjadi, bagaimana kami mengelolanya? Uji kompetensi ini tes bagaimana kami
OKTOBER 2012
23
SWARA bisa menyelesaikan masalah tersebut, bagaimana mengelola manajemen risikonya. Berkaitan dengan penyelenggaraan Uji Kompetensi ini, penyelenggara (BSMR) sudah cukup baik melakukannya. Tempat ujian dan panitia ujiannya cukup OK.
Sherly Maria dan kawan-kawan
Front Office PT Bank Bumi Artha
“Pengalaman Pertama Bikin Was-Was Semuanya”
K
ami datang ke Jakarta dan mengikuti Uji Kompetensi dengan satu bendera PT Bank Bumi Artha meski kami ada di cabang berbeda. Kali ini yang ikut uji kompetensi manajemen
24
OKTOBER 2012
risiko adalah cabang Bandung, Semarang dan Denpasar. Semuanya mengikuti uji kompetensi untuk level I. Jadi, inilah pengalaman pertama kami mengikuti Uji Kompetensi Manajemen Risiko. Tak heran, sebagian besar dari kami pastilah merasa berdebar-debar, takut, was-was tidak bisa mengerjakan soalsoalnya. Padahal, sebelum ke Jakarta, kami sudah ikut training lho! Tetapi, mungkin karena rasa ketakutan tadi, beberapa teman merasa tiba-tiba hapalan ujiannya yang ada di kepala, hilang semua. Meski kami yang ikut ujian kali ini kebanyakan ditempatkan di front office, ada juga yang di marketing, tetapi penguasaan manajemen risiko tetap wajib hukumnya. Karena institusi perbankan selalu tidak lepas dari masalah risiko. Ujian ini menjadi semacam tes bagi kami bagaimana kami menyelesaikan risiko tersebut.
Kami semua berharap, bisa lolos mengikuti uji kompetensi ini. Soal pelaksanaan uji kompetensi, bagi kami semuanya sudah baik. Cuma, karena karena sebagian besar dari kami bukan orang Jakarta, lokasi ujian ini kayaknya jauh dari pusat kota. Sebagian dari kami sebelumnya membayangkan lokasi ujiannya di kawasan Sudirman, di sana khan banyak tempat-tempat kongkow. Jadi, setelah ujian, kami bisa langsung ke tempat tersebut. Tapi itu cuma bayangan kami saja lho, entah kalau ke depannya BSMR memindah lokasi ujian di sana.
Halimin Hifni
Kepala Bidang Audit Bank Kalbar, Pontianak
“Pakaian Peserta Harusnya Sopan”
I
ni bukan pertama kali saya ikut Uji Kompetensi yang diadakan oleh BSMR. Sebelumnya saya sudah ikut ujian level I dan II. Tapi teman-teman dari Bank Kalbar lain yang bersamaan ujiannya, ada 10 orang, empat ikut level III dan enam ikut level IV. Persiapan saya hanya tiga hari. Setelah ikut pelatihan oleh PT Orbit, saya ke Jakarta. Tapi, yang namanya ujian, tetap saja membuat hati berdebardebar. Pertama, karena di level III terlalu banyak teorinya, saya awalnya takut lupa menghapalnya ketika saat mengerjakan soal. Kedua, saya was-was bila tidak lulus. Namun ketika menghadapi soal-soal sebenarnya, saya justru merasa lancarlancar saja mengerjakannya. Makanya,
saya optimis bisa lulus untuk ujian kali ini, sama seperti level yang pernah saya ikuti sebelumnya. Di level ini memang banyak teorinya, namun begitu karena teori tersebut dikembangkan dari pengalaman yang terjadi di perbankan, tentunya ilmu tersebut sangat bermanfaat untuk diterapkan dalam praktek sehari-hari di dunia perbankan. Sebagai orang yang bekerja di institusi yang penuh risiko, kita harus paham bagaimana me-manage risiko tersebut. Secara pelaksanaan, Uji Kompetensi oleh BSMR sudah cukup baik. Hanya saja, saat melihat ada peserta asing yang memakai celana pendek dan bersendal saja, saya kok jadi risih sendiri. Menurut saya, sebaiknya pakaian peserta ujian ini yang sopan. Bukankah kita kesehariannya bekerja di institusi terhormat, melayani masyarakat, mengapa kita tidak bisa menerapkan hal itu di sini, meski hanya untuk mengikuti ujian? #
OKTOBER 2012
25
SEKITAR SERTIFIKASI
OJK Menjawab Tantangan Global Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR) menggelar The 6th Jakarta Risk Management Convention (JRMC) dengan topik “Otoritas Jasa Keuangan: Suatu Harapan dan Tantangan Pengawasan Keuangan ke Depan.”
O
toritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki beberapa tantangan yang harus dihadapi, baik dari kondisi macro prudential maupun micro prudential. Kondisi macro prudential yang menjadi isu krusial saat ini adalah mengenai krisis keuangan Eropa. Krisis keuangan yang sedang dialami oleh banyak negara di Eropa memang sangat mengkhawatirkan terhadap industri keuangan di Indonesia. Di tengah-tengah ketidakpastian perekonomian global seperti itulah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan dapat menjaga stabilitas dalam melakukan fungsi pengawasan lembaga keuangan. Sebagai lembaga pengawas industri keuangan yang baru, OJK juga harus dapat membangun institusi serta kapasitas yang memadai agar mampu melakukan tugas dan fungsinya secara maksimal. Sejumlah tantangan ini harus bisa segera diselesaikan dalam masa transisi kewenangan Bank Indonesia dan Bapepam-LK ke OJK menimbang masa transisi yang begitu pendek.
26
OKTOBER 2012
“Tantangan utama OJK saat in adalah membangun institusi. Namun institusi itu bukan hanya scara fisik saja, tapi disertai dengan seluruh kapasitasnya dan tetap menjaga stabilitas keuangan,” ujar Muliaman D. Hadad, yang baru saja terpilih sebagai Kepala Dewan Komisioner OJK, dalam seminar The 6th Jakarta Management Convention (JRMC) dengan topik “Otoritas Jasa Keuangan: Suatu Harapan dan Tantangan Pengawasan Lembaga Keuangan ke Depan” di Kempinski Hotel, Jakarta, 11 Oktober 2012 lalu. Menurut Deputi Gubernur BI ini, pihaknya fokus membangun lembaga OJK sejak masa transisi. “Bagaimana masa transisi ini akan berjalan baik karena mempengaruhi sistem keuangan, kepercayaan masyarakat, dan sektor keuangan,” ujarnya. Ada empat program inisiatif untuk membangun kredibilitas OJK sejak masa
transisi. Pertama, penetapan program konsolidasi organisasi yang terencana untuk menjamin efektivitas pelaksanaan tugas OJK. Di program ini, tujuh aspek akan disoroti yakni kepemimpinan, strategi dan perencanaan, struktur organisasi, sistem, prosedur dan proses kerja, sumber daya manusia, kompetisi inti, dan visi. “Bagaimana agar visi dipahami bersama sehingga organisasi menuju ke arah yang sama,” ujarnya. Kedua, OJK mengawasi aspek teknis pengaturan, pengawasan, dan pemeriksaan di sektor keuangan menuju pengawasan yang terintegrasi. Menurut dia, integrasi penting karena pengawasan integrasi akan menutupi lubang-lubang pengawasan sektoral yang hanya fokus pada masing-masing bagian. Program ketiga, penyusunan mekanisme komunikasi dan koordinasi, khususnya dengan Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, pemerintah, dan DPR, sebagai pemangku kepentingan utama. Muliaman menjelaskan koordinasi dengan instansi lain diperlukan karena terdapat persinggungan pelaksanaan tugas dengan instansi terkait. “Ini untuk menjamin stabilitas sistem keuangan atau SSK tetap terjaga,” ujarnya. Program inisiatif terakhir yakni perluasan akses masyarakat terhadap pelayanan sektor jasa keuangan. Perluasan akses ini perlu didukung oleh penguatan struktur dan arsitektur untuk menciptakan sistem keuangan yang efektif dan efisien. Selain Muliaman, seminar yang digelar oleh Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR) ini juga menghadirkan pembicara lain, seperti Nelson Tampubolon (Komisioner Eksekutif Perbankan OJK), Nurhaida (Komisioner Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK), Kusumaningtuti S. Soetiono (Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK),Dr. Harry Azhar Azis (Wakil Ketua Komisi XI DPR RI), Muhammadian Rostian (Director
of Compliance and Legal, ANZ Indonesia Bank), Wiwie Kurnia (Ketua, Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia), Sudaryatmo (Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen/YLKI), Djoni Rolindrawan (Ketua Asosiasi Dana Pensiun Indonesia) dan Lily Widjaja (Koordinator Komite Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia/APEI). Sementara itu, menurut Nurhaida tantangan domestik OJK adalah penyelarasan kebijakan antar Bappepam LK dan Bank Indonesia. Penguatan basis pemodal domestik dan meningkatkan jumlah emiten.” Ini menjadi pekerjaan rumah OJK,” kata Ketua Bapepam-LK ini. Selain itu, pertumbuhan industri pasar modal tidak diikuti dengan peningkatan jumlah investor domestik sehingga pertumbuhan tersebut belum dinikmati sebagian besar masyarakat. Pengembangan sarana dan infrastruktur pasar modal yang minim dan proses penegakan hukum yang belum memberikan kewenangan pada regulator. “Pasar modal yang dinamis dan kompleks membutuhkan kewenangan yang memungkinkan regulator melakukan aksi dengan kekuatan hukum dan tanpa kendala birokrasi agar pelanggaran hilang,” ujarnya. Tantangan global, tamba Nurhaida adalah kesiapan pasar modal yang belum optimal menghadapi Asean Economic Community 2015 dan aspek cross border transaction membutuhkan pembenahan pasar modal agar pasar domestik tidak hanya dieksploitasi asing. “Rezim devisa bebas membuat pasar modal rentan money laundering. Untuk itu diperlukan kerjasama dan koordinasi seluruh instansi terkait baik dalam maupun luar negeri,” katanya. Sedangkan Nelson menekankan pentingnya masa transisi OJK sebagai penentuan sukses tidaknya OJK. Menurut Nelson, masa transisi akan menjadi periode yang sangat krusial bagi keberadaan
OKTOBER 2012
27
SEKITAR SERTIFIKASI OJK karena sebagai institusi yang menggabungkan fungsi Bank Indonesia (BI) dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), OJK akan banyak mengambil pegawai dari kedua lembaga tersebut yang selama ini di bawah institusi berbeda yakni BI dan Kementerian Keuangan. “Masa transisi sangat genting dan penting. OJK ada kemungkinan gagal di masa transisi. Menurut saya, lima tahun pertama itu krusial. Kalau ini terjadi, cost bagi Indonesia terlalu besar. Jangan sampai terjadi, harus kita cegah,” papar mantan Direktur Direktorat Internasional BI serta mantan Direktur Penelitian dan Regulasi Perbankan BI tersebut. Adapun Ross Jones berbagi pengalaman tentang OJK-nya Australia, Australian Prudential Regulation Authority (APRA). Katanya, Australia juga melakukan pemisahan fungs pengawasan perbankan sejak 1 Juli 1998. Negara ini memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentralnya, The Reserve bank of Australia (RBA), dengan APRA. “Tugas APRA tidak hanya mengawasi industri perbankan, tapi juga seluruh deposit taking company, termasuk asuransi, superannution fund, credit unions, building society dan friendly society. Sementara RBA tetap bertanggung jawab sebagai pengedali moneter termasuk sistem pembayaran Australia bersama,” papar Ross Jones Bank Sentral, The Reserve Bank of Australia, dinilai yang paling berhasil menjalankan tugasnya mengawal kesehatan dan daya tahan industri keuangan negaranya termasuk perbankannya, rahasia keberhasilannya karena Dewan Komisioner APRA mengedepankan tanggung jawab moral di atas segala-galanya. Menurut Gandung Troy Sulistyantoro, Ketua Harian BSMR, pihaknya merasa perlu untuk menyelenggarakan seminar ini guna
28
OKTOBER 2012
membahas lebih jauh mengenai lembaga baru yang akan menjadi lembaga super body di sektor keuangan Indonesia ini. Diharapkan seminar ini dapat menjadi sarana berbagi informasi dari petinggi OJK mengenai langkah ke depan dan juga berbagi pengalaman dari lembaga sejenis yang sudah eksis selama ini di Australia. Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan dapat menjawab tantangan globalisasi. Hal ini tertuang dalam Undangundang tentang OJK yang mencantumkan berbagai langkah penanggulangan krisis global, khususnya sektor keuangan. OJK, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan bekerja sama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan dalam pencegahan sistem penanganan krisis. Nantinya juga OJK diharapkan akan mengoreksi secara positif kekurangan dari sistem keuangan yang terdahulu, dapat memperkuat dan memperkokoh perekonomian tanah air dengan sistem keuangan guna menghindari munculnya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan dewasa ini, serta dapat mengoptimalkan perlindungan konsumen jasa keuangan dan menjaga stabilitas melalui pengawasan yang terintegrasi. Seminar The 6th JRMC ini juga merupakan sarana program pemeliharaan bagi pemegang sertifikat manajemen risiko BSMR untuk memperpanjang masa berlaku sertifikat yang dimiliki.#