PEMERINTAH KABUPATEN SELAYAR DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROJECT MANAGEMENT UNIT CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM (COREMAP) TAHAP II KABUPATEN SELAYAR
LAPORAN AKHIR
PEMANTAUAN KONDISI SOSIAL EKONOMI
CV. NATURE BESTARI Jl. TAMBASA 1 NO. 1 PERDOS UNHAS TAMALANREA MAKASSAR
TAHUN 2006
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan bagian wilayah daerah yang memiliki sumberdaya alam yang sangat potensial dan prospektif untuk menjadi akselerator pembangunan perekonomian daerah jika dikelola dengan optimum sesuai potensinya. Sebagai wilayah yang sangat strategis, wilayah pesisir merupakan suatu zona peruntukan berbagai aktivitas manusia baik sosial, kultur, ekonomi, industri maupun pemanfaatan sumberdaya alam secara langsung. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan saat ini mendapat perhatian dengan skala prioritas yang tinggi, serta menjadi bagian dari orientasi kebijakan perencanaan pembangunan nasional.
Pembangunan
sektor kelautan dan perikanan yang telah digulirkan selama ini masih sangat jauh dari yang diharapkan, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; kondisi daerah pesisir yang sangat kompleks dalam hal aktifitas pemanfaatan, masih kurangnya data dasar yang detil tentang kondisi daerah pesisir, dan karakteristik wilayah pesisir yang sangat khas dan sangat dinamis. Kabupaten Selayar sebagai satu-satunya kabupaten yang terpisah dari daratan Sulawesi Selatan dan sebagian besar wilayahnya adalah lautan, memiliki potensi sumberdaya laut yang cukup besar. Secara kualitatif hal ini dapat dilihat dari banyaknya nelayan pendatang (andon) yang merupakan pesaing nelayan lokal melakukan aktifitas penangkapan di perairan Kabupaten Selayar. Aktifitas penangkapan ikan yang dilakukan baik oleh nelayan lokal maupun nelayan pendatang sering menimbulkan konflik sosial dimana para andon umumnya memiliki peralatan penangkapan yang lebih modern,
disamping
menggunakan
hal
metode
tersebut efektif
penangkapan
tapi
tidak
ikan
ramah
yang
dilakukan
lingkungan
seperti
penggunaan bom, potasium (destruktive fishing) yang dapat merusak ekosistem terumbu karang yang terdapat di wilayah ini.
Kabupaten Selayar sebagai salah satu lokasi program Coral Reef Management Project (Coremap) telah memasuki tahap II (tahun 2004 – 2009). Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Selayar memiliki 10 kecamatan dan 72 desa/kelurahan. Sebagai Kabupaten Maritim, di daerah ini terdapat sekitar 123 pulau, 20 pulau diantaranya berpenduduk dan 103 pulau tidak berpenduduk. Dari 20 pulau yang berpenduduk terdapat 45 desa nelayan dan 42 desa diantaranya merupakan lokasi program Coremap Fase II ini. Pengelolaan sumberdaya alam di pulau-pulau kecil harus dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab yang sesuai dengan daya
dukung
dan
daya
tampungnya
dengan
tetap
mengutamakan
kesejahteraan masyarakat setempat, kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungannya. Sistem pengelolaan terumbu karang yang saat ini sedang dilaksanakan di berbagai tempat di Indonesia adalah Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) yaitu salah satu komponen strategis yang diterapkan oleh COREMAP dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang secara terpadu yang perumusan dan perencanaannya dilaksanakan dengan pendekatan dari bawah berdasarkan aspirasi masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat. Sistem perencanaan terpadu tersebut adalah perencanaan, penataan, pemanfaatan dan pengawasan terumbu karang yang mengacu pada prinsip hukum yang berlaku dan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan termasuk masyarakat lokal. Keterlibatan masyarakat lokal ini sangat penting mengingat Indonesia terdiri atas ribuan pulau yang besar maupun kecil yang membutuhkan
pengawasan
keamanan
sehingga
diperlukan petugas keamanan dalam jumlah besar.
dengan
kondisi
ini
Pada kenyataannya
petugas yang ada sangat terbatas dan dengan peralatan juga sangat minim. Sehingga dengan menganut sistem PBM kondisi tersebut dapat diatasi. Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat memiliki tujuan untuk memberi penyadaran agar masyarakat pesisir dan kepulauan dapat secara mandiri merumuskan dan melaksanakan pengelolaan bersama secara efektif dalam melakukan upaya rehabilitasi dan menjaga kelestarian terumbu karang dan ekosistem terkait.
Program Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi di Lokasi Program Coremap II Kabupaten Selayar diharapkan dapat menggali data dan informasi kondisi sosial, ekonomi, budaya dan sumberdaya (sumberdaya laut dan pesisir), sehingga setelahnya kegiatan ini diharap dapat menjadi bahan bagi pemerintah kabupaten dan stakeholders secara umum untuk lebih mengenali kondisi terkini yang terdapat di Kabupaten Selayar.
1.2. Tujuan Tujuan kegiatan Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi adalah Melakukan kegiatan survei untuk memperoleh informasi mengenai kondisi sosial, ekonomi, budaya, serta memetakan permasalahan/konflik yang dihadapi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan di lokasi program COREMAP Kabupaten Selayar.
1.3. Sasaran Sasaran kegiatan Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi ini adalah: Kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi Coremap II Selayar Potensi sumberdaya alam potensial di lokasi Coremap
1.4. Keluaran (Out-Put) Keluaran atau hasil yang diharapkan dari kegiatan Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi ini adalah diperolehnya data dan informasi mengenai : 1.
Data Umum yang mencakup kondisi geografi dan pemerintahan
2.
Data Potensi Sumberdaya Manusia dan Sosial Ekonomi Budaya yang
mencakup
kondisi
demografi,
kesehatan,
pendidikan,
pendapatan dan kesejahteraan sosial 3.
Data
Kondisi
sumberdaya
alam,
sumberdaya
buatan
dan
lingkungan hidup, yang mencakup hasil pertanian, perikanan dan peternakan
4.
Data infrastruktur perekonomian desa, seperti jalan, transportasi, listrik, perumahan/pemukiman, dan pariwisata
5.
Data kondisi perdagangan, usaha kecil, menengah dan koperasi.
1.5. Dampak (Outcome) Dampak dari hasil kegiatan ini adalah : Dapat dijadikan acuan bagi penyusunan rencana pengelolaan terumbu karang dan pengembangan sosial ekonomi masyarakat lokasi program. Tersedianya arahan hasil kajian ilmiah yang berkaitan dengan usaha pelestarian kawasan konservasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di kabupaten Selayar Data tersebut dapat dijadikan pedoman dalam pengembangan kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir pengembangan sarana dan prasarana di wilayah program serta pengembangan mata pencarian alternatif .
1.6. Lingkup Kegiatan Ruang Lingkup kegiatan ini adalah 1. Perencanaan kegiatan dan seminar awal (rencana kerja, metodologi dan analisa data) 2. Pengumpulan data sekunder atau informasi lainnya 3. Survey lapangan dan pengumpulan data 4. Pengolahan dan analisis data 5. Pembuatan laporan dan ekspose hasil kegaiatan
1.7. Sistematika Pelaporan Penyajian laporan Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi di Kabupaten Selayar ini berdasarkan TOR yang dikeluarkan oleh Kabupaten Selayar, dengan sistematika sebagai berikut :
PMU Coremap II
Bab 1. Pendahuluan Akan membahas mengenai latar belakang, tujuan, sasaran, dampak, perencanaan, lingkup kegiatan, dan sistematika laporan. Bab 2. Tinjauan Pustaka Membahas mengenai konsep pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, kondisi sosial masyarakat secara umum, potensi sumberdaya perikanan dan kelautan, permasalahan pengelolaan terumbu karang dan pengelolaan berbasis masyarakat. Bab 3. Metodelogi Pelaksanaan Membahas tentang waktu dan daerah penelitian pemantauan kondisi sosial ekonomi di desa program Coremap II Kabupaten Selayar, parameterparameter survey, metode survey dan diagram alur survey. Bab 4. Karakteristik, Potensi dan Kondisi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kabupaten Selayar Membahas mengenai kondisi geografi, pemerintahan dan iklim secara umum di Kabupaten Selayar, kondisi demografi, aksesbilitas penduduk, infrastruktur publik masyarakat yang terdiri atas sarana sosial, ekonomi dan kesejahteraan, serta mengambarkan potensi kelautan non perikanan seperti wisata, industri perikanan, padang lamun dan terumbu karang serta potensi organisme darat dan laut. Bab 5. Profil Desa Lokasi Studi Membahas tentang profil desa di lokasi studi yang mencakup gambaran umum desa, demografi, infrastruktur, intensitas dan pengelolaan sumberdaya terumbu karang, serta kondisi dan potensi sumbedaya alam, buatan dan jasa lingkungan pesisir Bab 6. Kondisi dan Potensi Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya dan Jaringan Pemasaran Membahas tentang potensi perikanan tangkap dari aspek sumberdaya perikanan, sarana dan prasarana perikanan tangkap, lokasi penangkapan, musim dan penggunaan waktu, dan pengaruh nelayan dari luar. Potensi perikanan budidaya dibahas meliputi potensi dan kondisi budidaya ditinjau dari aspek budidaya air payau, ikan kerapu, lobster, pembenihan udang dan
ikan serta budidaya rumput laut. Sedangkan jaringan pemaran akan membahas jaringan pemasaran, model pemasaran, dan luas jaringan pemasaran. Bab 7. Perspektif dan Karakteristik Stakeholders Membahas tentang persepsi masyarakat tentang sumberdaya terumbu karang, isu pengelolaan dan pendekatan penyelesaian masalah, intensitas dan kondisi sumberdaya terumbu karang dan analisis stakeholder.
Bab 8. Kondisi Lingkungan Strategis dan Rencana Pengembangan Bab ini akan merumusan kondisi lingkungan strategis yang dimilki melalui
pendekatan
SWOT
dan
Kebijakana
Pengelolaan,
Strategi
pengembangan melalui pendekatan SWOT dan Kebijakan Pengelolaan, Program Indikatif Pengembangan dan Rencana Aksi berupa program pemberdayaan. Bab 9. Penutup Berisikan kesimpulan dan rekomendasi hasil pemantauan kondisi sosial ekonomi di Kabupaten Selayar. Bab 10. Daftar Pustaka Berisikan daftar buku dan literatur yang digunakan selama proses pengerjaan laporan akhir ini.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Sumberdaya alam laut Indonesia merupakan aset bangsa yang strategis untuk
dikembangkan
dengan
basis
kegiatan
ekonomi
pada
pemanfaatan
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan jasa-jasa lingkungan (environmental services). Dari 7,7 juta km2 total area Indonesia, hanya 1,9 juta km2 saja berupa daratan; sedangkan sisanya 5,8 juta km2 (atau ¾ dari total area) adalah wilayah laut teritorial.
Ditambah dengan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta km2, dan dengan menyadari bahwa areal ini terletak di wilayah tropis yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati; maka sesungguhnya potensi sumberdaya alam laut Indonesia sangat besar. Meski demikian, saat ini telah terlihat kecenderungan peningkatan intensitas eksploitasi yang mulai mengancam kelestarian sumberdaya tersebut. Oleh karena itu, upaya reorientasi pola penyusunan kebijakan sumberdaya laut dan perikanan merupakan hal yang krusial dan selanjutnya membutuhkan perhatian yang serius. Pembangunan sumberdaya kelautan pada saat ini menjadi andalan bagi bangsa Indonesia untuk melakukan pemulihan ekonomi akibat krisis multi-dimensi yang masih terus mendera kehidupan berkebangsaan kita. Pada saat ini, basis perekonomian Indonesia masih dalam tahap factors-driven economi, yaitu kegiatan ekonomi
yang
didasarkan
pada
pemanfaatan
sumberdaya
alam.
Padahal
ketersediaan sumberdaya alam, khususnya yang berada di daratan semakin menipis, sehingga satu-satunya alternatif yang tersedia untuk memelihara keberlangsungan pembangunan, sebelum beralih ketahap innovation-driven economy, adalah pemanfaatan sumberdaya di pesisir dan lautan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia mengalami tantangan berat untuk dapat mengelola pulau-pulaunya terutama pulau-pulau kecilnya, secara efektif dan efisien sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Pembangunan yang adil dan merata dengan melibatkan
masyarakat secara aktif diperlukan dalam proses pembangunan, terutama bagi masyarakat pulau-pulau kecil yang bermukim di daerah terpencil atau jauh dari
pusat kota. Kondisi kehidupan masyarakat di pulau-pulau kecil secara ekonomis, umumnya, bergantung kepada alam, yaitu sebagai nelayan dengan alat tangkap yang sangat sederhana serta kondisi fasilitas sosial yang sangat jauh dari memadai sehingga terkesan sebagai masyarakat tertinggal. Karang
memiliki
nilai-nilai,
terukur
dan
tidak
terukur,
yang
harus
dipertimbangkan oleh mereka yang menggantungkan sumber hidupnya pada karang (Wells dan Hanna dalam White et al., 1994). Dengan demikian, dituntut kehati-hatian dan ketepatan pendekatan manajemen dan metode yang dapat menjamin
dipertahankannya
keuntungan
manusia
tanpa
menghancurkan
sumberdaya dan tanpa melepaskan peluang bagi kesejahteraan ekonomi, sosial, budaya dan spiritual. Karang juga mengandung moral dan nilai budaya, karena merupakan suatu sumber perbendaharaan dan inspirasi pribadi. Di kebanyakan daerah tropis, karang merupakan komponen-komponen dan sistem sosial yang kompleks dan penting serta menjadi sumber yang unik untuk identifikasi dan ekspresi budaya (White et al., 1994).
Sumber: PSTK, 2002
Gambar 1. Jenis Terumbu Karang di Kabupaten Selayar Mata pencaharian utama, yang digeluti sebagian besar penduduk kawasan sejak dahulu, ialah sektor perikanan dengan jenis usaha sebagai pengusaha hasilhasil laut, pedagang ikan, penjual bahan-bahan kebutuhan pokok dan pengusaha pelayaran, yang dari waktu ke waktu semakin bertambah jumlahnya dan dapat mengembangkan usahanya.
2.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Kondisi umum masyarakat pesisir dapat tergambar dari keadaan lingkungan berupa kebersihan lingkungan. Tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya sanitasi lingkungan sangat dipengaruhi oleh adat istiadat berupa pola dan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi
budaya mereka. Kegiatan sanitasi
Lingkungan banyak dipengaruhi dengan berbagai faktor yakni: 1. Tingkat pendidikan masyarakat pesisir 2. Sarana dan prasarana pendukung kegiatan sanitasi lingkungan. 3. Pengembangan pengelolaan kesehatan lingkungan secara terpadu belum memiliki format yang baku sehingga belum dapat di implementasikan. 4. Keterbatasan aksesibilitas dari daratan utama. 5. Transformasi kebiasaan–kebiasaan kesehatan lingklungan yang baik belum maksimal Penduduk pantai melengkapi konsumsi ikannya dengan alga dan hewan laut lainnya, seperti: gurita, remis besar, kepah, keong , udang, kepiting, lobster, uburubur, anemon, bulu babi dan teripang laut, yang semuanya secara ekologis bergantung pada karang. Penduduk kawasan Taka Bonerate terdiri/berasal dari dua etnis utama, yaitu Bajo dan Bugis. Orang Selayar yang jumlahnya lebih sedikit, pada umumnya mengaku sebagai orang Makassar; sedangkan pendatang dari pulau-pulau sekitar, seperti: Bonerate, Jampea dan Kayuadi, mengaku sebagai orang Bonerate atau sebagai orang Selayar. Sebetulnya orang Bajo, menurut keterangan informan dari kawasan, merupakan penduduk mayoritas pertama, dan kemudian Bugis. Bertemunya kedua etnis mayoritas tersebut menjadi potensi bagi proses dinamika usaha/kegiatan eksploitasi sumberdaya laut kawasan, sebab orang Bajo telah menguasai pengetahuan lokal dan tradisi eksploitasi wilayah karang, sementara orang Bugis memiliki etos usaha/dagang yang kuat. Sebaliknya, bertemunya dua etnis tersebut dapat juga menimbulkan gejala pertentangan/konflik, terselubung ataupun terbuka, karena adanya perbedaan-perbedaan tingkat kebutuhan dan prioritas pemenuhan kebutuhan. Salah satu contoh kasus, ialah konflik di antara kelompok masyarakat
dari kampung Bajo yang menolak kehadiran pagae (purse seiner) dari luar yang bermitra dengan orang Bugis dari kalangan ponggawa (pengusaha) hasil laut di Desa Rajuni. Data
PSTK
UH,
2002
menyatakan
bahwa
di
Kawasan
Kepulauan
takaboenrate dan sekitarnya terdapat sebanyak 163 orang Bajo (43,58%), 202 orang Bugis (54,04%), dan selebihnya adalah dari etnis Selayar/Makassar dan Maumere (NTT) dari pulau Flores. Dalam pranata kepemilikan secara perorangan, setiap individu (atau rumah tangga) mempunyai hak-hak pribadi terhadap pemanfaatan sumberdaya. Dalam pranata kepemilikan negara, pengelolaan sumberdaya di bawah wewenang sektor publik yang mengatur peluang-peluang dan pemanfaatan sumberdaya. Pranata sasi yang berlaku, di banyak lokasi penangkapan ikan di Maluku (Zerner, dalam
White et al., 1994) merupakan suatu model pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya dengan kepemilikan secara komunal. Sistem kepemilikan secara umum dapat dijelaskan dengan spesifikasi 4 kategori variabel utama: sumber, preferensi, teknologi dan institusi. Sumberdaya mengacu pada tanah, tenaga kerja dan kapital yang siap digunakan dalam produksi ekonomi.
Preferensi mengacu pada tujuan-tujuan para pelaku/pengguna
sumberdaya. Teknologi yang mencakup informasi bagaimana mengkombinasikan input-input untuk menghasilkan output, dan untuk memahami operasi ekonomi penting untuk menggambarkan struktur institusi
masyarakat dan struktur
ekonomi (Feeny, 1994). Di Indonesia, lokasi-lokasi penangkapan ikan (fishing grounds), umumnya, tidak ditandai dengan bentuk hak-hak kepemilikan yang tegas; sebaliknya suatu lokasi perikanan biasanya mempunyai dua atau lebih bentuk kepemilikan yang tumpang tindih. Bentuk kepemilikan yang tumpang tindih ini, misalnya didapatkan di perairan Pulau-Pulau Kecil dengan taka-taka (reefs) sebagian besar berstatus terbuka untuk semua; namun di sana-sini terdapat lokasi bagang dan rumpon yang dimiliki secara pribadi oleh nelayan setempat maupun pendatang. PSTK UH 2003, menyatakan gejala kependudukan yang menghambat peningkatan kemajuan masyarakat kawasan Taka Bonerate ialah rendahnya tingkat
pendidikan formal, bahkan sebagian besar warga masyarakat tidak pernah mengecap pendidikan tingkat SD. Ini menunjukkan minimnya pengetahuan dan keterampilan penduduk. Hasil survei menunjukkan bahwa 47,59% tidak tamat SD (TTSD), 21,65 % tamat SD, tamat SLTP 0,53% dan tamat SLTA 0,26%. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kategori masyarakat yang tidak tamat SD tertinggi di setiap desa. Tingkat pendapatan di kawasan takabonerate Tahun 2002 (Lopi Unhas, 2002) menunjukkan 64,5 % penduduk berpendapatan sekitar Rp. 200.000 – Rp. 400.000 per bulan dengan tingkat pengeluaran sekitar Rp. 200.000 – Rp. 250.000 per bulan. Hal ini mengambarkan penghasilan nelayan tergolong rendah. Hal ini terkait dengan produktifitas usaha penangkapan yang dipengaruhi oleh teknologi, tenaga kerja dan ketersediaan sumberdaya ikan. Masih tradisionalnya alat penangkapan ikan menyebabkan nelayan lokasi kalah bersaing dengan andon yang umumnya menggunakan peralatan yang lebih modern. Disamping itu, nelayan pendatang (andon) memiliki tenaga keja yang lebih banyak, sehingga semakin bertambah nelayan luar yang beroperasi dilokasi penangkapan nelayan lokal menyebabkan ketersediaan sumberdaya ikan semakin berkurang. Sedangkan pendapatan di masyarakat petani ikan tahun 2002 di peroleh data sekitar Rp. 8.000.000 – 11.000.000 per tahun.
2.3. Permasalahan Pengelolaan Terumbu Karang Fenomena alam dan kegiatan manusia mempengaruhi kondisi terumbu karang, baik pada skala global maupun lokal. Perubahan lingkungan skala besar, seperti variasi temperatur, sedimentasi akibat kerusakan hutan dan polusi perairan karena pembuangan agrokimiawi, menurunkan kualitas terumbu karang dan merupakan faktor perusak yang sangat serius. perusakan karang, secara lokal, diasosiasikan dengan metode-metode penangkapan ikan destruktif, ekploitasi karang yang berlebihan, polusi perairan pantai, sebagai akibat penambatan perahu, jangkar dan injakan (White et al., 1994; Pollnac, 1998).
Kerusakan terumbu karang mempunyai dampak sangat luas terhadap kerusakan ekosistem laut dan pantai lainnya, merosotnya jumlah populasi dan jenis biota, erosi pantai, dan menurunnya kesejahteraan sosial, ekonomi, budaya, makna seni dan spiritual penduduk pantai atau pulau sebagai pengguna sumber daya karang. Kompleksnya permasalahan pada ekosistem terumbu karang, menyebabkan pengelolaannya harus didasarkan pada pemahaman mendalam dan evaluasi pemanfaatannya bagi manusia harus dipertimbangkan dengan arif terhadap faktor-faktor ekologi yang menentukan hidup dan matinya terumbu karang (White et al.,1994). Feeny (1994) menyatakan bahwa aspek hak-hak kepemilikan (Property rights) merupakan salah satu elemen kunci dalam mendeskripsikan suatu situasi menyangkut sumber-sumber milik secara umum (Common property resource). Ada 4 (empat) kategori hak kepemilikan mendasar terhadap sumber-sumber yang dimiliki secara umum: (1) status sumber yang terbuka untuk semua – open access, (2) komunal, (3) milik pribadi – private, dan (4) milik negara – state. Status sumber yang “open access” ditandai dengan suatu kebebasan penuh bagi siapa saja yang mau memanfaatkannya. Sifat “open access” dapat menjadi penyebab utama degradasi
sumberdaya dimana-mana. Hak kepemilikan secara komunal akan
membatasi orang-orang diluar kelompok dalam mengeksploitasi/memanfaatkan sumberdaya; sebaliknya kelompok-kelompok atau individu dari suatu masyarakat mempunyai hak ekslusif terhadap pemanfaatan sumberdaya tertentu.
2.4. Pengelolaan Berbasis Masyarakat Pengelolaan sumberdaya
pesisir dan lautan memiliki karakteristik spesifik
yang sarat dengan nuansa ekologis dan teknologi. Aspek ekologis merupakan salah satu dimensi utama pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan disebabkan karena pola pengelolaan tersebut sangat mempengaruhi keberlanjutan ketersediaan sumberdaya alam, khususnya yang bersifat dapat pulih (renewable resources). Dimensi teknologi tidak dapat dinafikan karena pengelolaan dan pemanfaatan pesisir dan lautan berbasis pada pemanfaatan teknologi yang pada umumnya relatif tinggi. Hal ini menyebabkan akses masyarakat, khususnya
kelompok nelayan miskin dan komunitas marginal lokal, terhadap pemanfaatan sumberdaya iini menjadi sangat terbatas. Diberlakukannya UU nomor 22 tahun 1999 yang memberikan otonomi pengelolaan sumberdaya kepada pemerintah daerah adalah angin segar bagi upaya demokratisasi dan pemerataan kemakmuran nasional. Momentum otonomi ini merupakan peluang bagi daerah Kabupaten Selayar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat lokal secara langsung melalui pemanfataan sumberdaya pesisir dan lautan secara proporsional dan terkendali tanpa mengabaikan aspek keberlanjutan serta hakikat keterkaitan dengan berbagai kepentingan antar wilayah. Status kontemporer sumberdaya manusia, lingkungan (sumberdaya alam dan ekosistem), dan pola formulasi kebijakan pembangunan di Kabupaten Selayar menjadi tantangan tersendiri bagi semua pihak untuk mewujudkan mekanisme pemanfaatan dan konservasi sumberdaya yang menyejahterakan masyarakat tanpa melupakan pemihakan pada kelestarian lingkungan. Tantangan
utama
kini
bagi
Pemerintah
Kabupaten
Selayar
selaku
penanggungjawab pengelolaan sumberdaya alam di kawasan ini adalah bagaimana memanfaatkan kekayaan alam yang ada sebaik-baiknya untuk kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hingga saat ini, berbagai pendekatan telah dilakukan melalui beberapa program seperti Coral Reef Rehabilitation and Management Project dan lainnya, namun tetap dirasakan masih belum mampu mengatasi masalah kerusakan terumbu karang secara signifikan akibat lemahnya penegakan hukum, khususnya di laut atau daerah terpencil lainnya seperti pulau-pulau kecil. Disamping akibat destructive fishing tersebut, juga telah terjadi gejala kelebihan tangkap (over fishing) di banyak wilayah ekosistem terumbu karang. Kelebihan tangkap ini pada umumnya terjadi pada daerah fringing reef, karang tepi, di sekitar pulau-pulau kecil dimana penduduknya yang pada umumnya nelayan telah melakukan penangkapan melebihi jumlah yang dapat memberi kesempatan bagi populasi ikan maupun biota laut lainnya untuk bisa berkembang secara berkelanjutan (Optimum Sustainable Yield). Kombinasi destructive fishing dan over fishing akan mengarah pada degradasi habitat yang berkepanjangan dan yang pada akhirnya bukan hanya akan
berdampak pada penurunan kualitas lingkungan secara umum, tapi juga pada hilangnya sumber-sumber mata pencaharian masyarakat nelayan. Gejala ini telah sangat dirasakan sendiri oleh masyarakat pesisir dengan penurunan secara drastis hasil tangkapan yang diperoleh dari sekitar kawasan terumbu karang dibandingkan dengan pada masa lampau.
BAB III. METODE PELAKSANAAN 3.1. Daerah Penelitian Lokasi kegiatan Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi Program Coremap II Kabupaten Selayar dilakukan di 17 (tujuh belas) Desa di Lokasi Program Coremap II Kabupaten Selayar. Metode yang digunakan dalam menentukan responden dengan Purposive Non Random Sampling. Metode ini dilakukan dengan sistem pemilihan responden berdasarkan keterwakilan dari komunitas dalam masyarakat dan faktor kesengajaan yang ditemukan selama dilapangan. Tabel 3.1. Lokasi Survey Pemantauan Kondisi Sosial Ekonomi di Kabupaten Selayar No
Nama Desa
Kecamatan
Keterangan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Desa Tambolongan Desa Polassi Desa Maharaiyya Desa Bontolebang Desa Kalaotoa Desa Pulo Madu Desa Masungke Desa Kembangragi Desa Tanamalala Desa Bontomaling
Pulau Tambolongan Pulau Polassi Pulau Selayar Pulau Pasi Pulau Kalaotoa Pulau Madu Pulau Jampea Pulau Jampea Pulau Bembe Pulau Jampea
11.
Desa Bontobulaeng
12.
Desa Bontobaru
13. 14. 15. 16. 17.
Desa Komba-Komba Desa Lambego Desa Nyiur Indah Desa Batang Desa Kayuadi
Bontosikuyu Bontosikuyu Bontomatene Bontoharu Pasilambena Pasilambena Pasimasunggu Pasimasunggu Pasimasunggu Pasimasunggu Timur Pasimasunggu Timur Pasimasunggu Timur Pasimarannu Pasimarannu Takabonerate Takabonerate Takabonerate
Pulau Jampea Pulau Jampea Pulau Lambego Pulau Lambego Pulau Kayuadi Pulau Kayuadi Pulau Kayuadi
Peta Desa Survey Terlampir.
3.2. Waktu Penelitian Kegiatan ini berlangsung selama 3 bulan, yaitu pada Bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2006.
3.3. Parameter Parameter-perameter yang digunakan dalam penilaian kondisi sosial, ekonomi dan budaya meyarakat seusai dengan Bunce at al. (2000) adalah: Tabel 3.2. Parameter Kondisi Sosial Ekonomi No 1
Parameter Sosek Stakeholder Characteristics
2.
Stakeholder Perception
3.
Organisation resource governance
4. 5.
6. 7.
SubParameter Inhibitants and households Residency status Ethnicity, caste and religious background Age & gender Education Social status Household economic status Community levelihoods Stakeholder livelihood Reef conditions Threats to the reef Reef Management Stakeholders Culture and beliefs
& Government Administrative structure Political context Non governmental organisation Use & properti rights Management efforts Traditional Local knowledge of resources Knowledge Folk taxonomy Variation in knowledge Reef use Reef related activities patterns Reef stakeholders Techniques for reef related activities Use rights Location of reef related activities and stakeholders Timing and seasoning Gender Issues Practical gender issues Strategical gender issues Educational and religious facilities Community services and Medical services Facilities Communication facilities Transportation Other facilities
8.
Market Attributes for Extractive Uses
9.
Market Attributes for Non-Extractive Uses
Supply Demand Market price Market structure Market inrastructure and operation Demand for tourism activities Vulnerability of tourism market Caracteristics of tourism stakehoders Supply of aquaculture Characteristic of aquaculture stakeholders Aquaculture market structure
3.4. Koleksi Data Beberapa metode yang digunakan dalam pengumpulan data sosial, ekonomi masyarakat Kabupaten Selayar dan Kepulauannya adalah : 1.
Pendekatan Kualitatif Untuk melihat aspek kualitatif suatu kajian dengan pertanyaan “apa”, “siapa”, ”bagaimana”, ”kenapa”. Dalam studi ini pendekatan kualitatif yang digunakan antara lain dengan mendokumentasi dan mengidentifikasi “apa/dimana stake”, “siapa/daimana stakeholders”, “bagaimana
karakteristik
perilaku
penggunaan
sumberdaya
laut
(stakeholding)”, “bagaimana pengetahuan, pandangan, kepercayaan dan moral
pemanfaatan
pengambilan
stake”,
keputusan
“bagaimana
dilakukan”
dan
pemilihan-pemilihan “mengapa
dan
dilakukan”.
(Koentjaraningrat and Selo Sumardjan dalam Koentjaraningrat, 1980). 2.
Pencatatan/perekaman suara Dengan bantuan sebuah tape recorder direkam dicatat cerita rakyat tentang sejarah keberadaan benda-benda kuno yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya dimasa lampau.
3.
Pengamatan
Merupakan metoda utama dalam membuktikan ada tidaknya objekobjek material, fisik alam, biota, benda-benda buatan manusia/peralatan, perilaku dan situasi yang berlangsung, dan lain-lain (Bachtiar dalam Koentjaraningrat, dibandingkan
1980
dan
dengan
perkembangan/sejarah
Spradley,
1980).
data
sekunder
pemanfaatan
SDL
Hasil untuk
(stake)
pengamatan mengetahui
sejarah
pelaku/
stakeholders. 4.
Participatory Rural Appraisal (PRA) PRA (Anonim, 1994) dan Mikkelsen (1999) adalah suatu pendekatan dengan melibatkan masyarakat (stakeholders) untuk mengutarakan pendapat, gagasan, keinginan dalam menanggulangi suatu masalah. Pedekatan PRA mendorong masyarakat berfikir sistematis mengenai terumbu
karang,
persoalan
pengelolaan
yang
mereka
ketahui,
penggunaan dan permasalahannya, serta kemungkinan pemecahannya. Dengan PRA tim peneliti terbantu dalam memahami persoalan dari sudut pandang stakeholders, memahami presepsi masyarkat dalam penentuan lokasi-lokasi perikanan utama, lokasi karang dan sumberdaya lainnya. 5.
Dokumentasi/Visual Decomentation Mengambil gambar dilokasi dengan menggunakan kamera. Data tersebut meliputi data visual (keadaan pantai) dan data yang dapat dimasuki pada analisa kuantitatif/kualitatif. Dapat digunakan khusus data lingkungan, sarana/prasarana dan lainnya.
Perencanaan dan Persiapan
Pengumpula
Data Sekunder: - Desk Study - Pemerintah - BPS - Kantor Kecamatan / Desa
Data Primer: - Penduduk Lokal - PRA
Analisis
Pembahasa
Kesimpulan
Rekomendasi
Gambar 2. Diagram Alur Penelitian
BAB IV. KARAKTERISTIK DAN KONDISI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KABUPATEN SELAYAR 4.1. Kondisi Geografi, Pemeritahan dan Iklim Keadaan geografis dan batas administrasi wilayah Kabupaten Selayar berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba di sebelah Utara, Laut Flores di Timur, Laut Flores serta Selat Makassar di sebelah Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur di Selatan. Luas Wilayah tercatat 903,35 km2 yang terbagi menjadi 10 kecamatan dan
semuanya memiliki wilayah pesisir, Yaitu
Kecamatan Pasimarannu, Pasilambena, Pasimasunggu, Pasimasunggu Timur, Takabonerate, Bontosikuyu, Bontoharu, Benteng, Bontomanai dan Kecamatan Bontomatene, dengan masing-masing 5 kecamatan kepulauan dan 5 kecamatan daratan. Tabel 4.1. Kedaan Geografis dan Batas Administrasi Wilayah Kabupaten Selayar Keadaan Geografis Kabupaten Selayar Secara Geografis Terletak Antara: 50 42’ – 70 35’
:
Lintang Selatan
1200 15’ – 1220 30’
:
Bujur Timur
Kabupaten Bulukumba
:
Sebelah Utara
Laut Flores
:
Sebelah Timur
Laut Flores dan Selat Makassar
:
Sebelah Barat
Propinsi Nusa Tenggara Timur
:
Sebelah Selatan
Kabupaten Selayar Dibatasi:
Luas Wilayah Kabupaten Selayar sekitar 903,35 Km2 Secara Administrasi Pemerintahan terbagi atas: 10 Kecamatan dan 66 Desa serta 7 kelurahan Sumber: Selayar dalam Angka, 2005
Gambar 3 . Peta Administrasi.
Kecamatan Bontosikuyu merupakan wilayah kecamatan terluas, yakni 183,26km2, kemudian Kecamatan Bontomatene dengan luas 173,06 km2, dan kecamatan dengan wilayah yang terkecil adalah kecamatan Benteng yang merupakan ibukota kabupaten Selayar dengan luas 4.05 km2. Tabel 4.2. Luas Wilayah Menurut Kelas Ketinggian dari Permukaan Laut dan Kecamatan di Kabupaten Selayar. No
Ketinggian dari Permukaan Laut (m dpl) 0-25 26-100 101-500 >500
Luas (km2)
Kecamatan
1
Pasimarannu
137,48
64,64
35,65
37,19
-
2
Pasilambena
80,30
17,57
25,5
37,23
-
3
Pasimasunggu
82,23
25,25
33,62
23,29
0,07
4
Taka Bonerate
16,36
11,55
4,52
0,29
-
5
44,41
19,82
11,71
12,88
-
6
Pasimasunggu Timur Bontosikuyu
154,96
34,64
46,76
70,95
2,61
7
Bontoharu
101,15
22,17
41,41
37,48
0,09
8
Benteng
5,55
3,48
2,07
-
-
9
Bontomanai
122,83
19,06
41,13
60,84
1,78
10
Bontomatene
158,06
28,03
59,99
70,06
-
Sumber: Selayar dalam Angka, 2004/2005
Topografi daratan umumnya berada pada ketinggian 0 – 500 m dari permukaan laut. pulau
besar
Karakteristik pulau berbeda-beda, umumnya berupa pulau-
berbukit
dan
memilki
vegetasi
daratan
yang
beragam,
karakteristik dasar lautnya memiliki rataan terumbu (reef flat) relatif sempit dan kemiringan lereng dasar (reef slope) yang langsung curam dekat garis pantai. Pulau-pulau besar ini terbentuk pada periode tersier, kala Miosen Tengah berupa batuan gunung api tua, tanahnya termasuk kedalam satu jenis, yakni regosol (entisol). Tanah ini terbentuk dari aluvium berupa endapan pasir pecahan terumbu karang dan batu pasir gamping. Tekstur tanah umumnya pasir sampai pasir berlempung.
Sedangkan pulau-pulau kecil umumnya merupakan tipe karang atol, yang merupakan terbesar ketiga didunia (sekitar 220.000 Ha). Karakteristik pulaupulau ini umumnya berpasir putih serta didominasi oleh vegetasi kelapa, sehingga tepi pantai langsung berhubungan dengan pesisir laut. Berdasarkan pencatatan Stasiun Metereologi Benteng rata-rata jumlah hujan sekitar 8 hari dengan jumlah curah hujan 122, dari stasiun meteorologi Bontomatene sekitar 7 hari dengan jumlah curah hujan 114, dan sekitar 5 hari dengan jumlah curah hujan 71 berdasarkan stasiun meteorologi Bontosikuyu. Tabel 4.3. Bulan
Jumlah Hari / Curah Hujan di Kabupaten Selayar Tahun 2004.
Benteng Hari Curah Januari 6 78 Februari 12 281 Maret 8 82 April 8 73 Mei 9 196 Juni 5 80 Juli 3 33 Agusutus September Oktober Nopember 8 97 Desember 9 180 Rata-Rata 8 122 Sumber: Selayar dalam Angka, 2005.
Bontomatene Hari Curah 6 151 6 97 3 44 11 172 7 119 4 82 4 26 10 215 9 118 7 114
Bontosikuyu Hari Curah 6 51 9 210 3 32 6 63 9 141 5 67 5 42 7 81 8 164 5 71
Kabupaten Selayar, pada umumnya beriklim basah tropik khatulistiwa. Daerah ini memiliki 4 bulan basah (curah hujan > 200 mm) secara berturutturut dan 5 bulan kering (curah hujan < 100 mm), serta dipengaruhi oleh musim angin barat, musin angin timur, dan musim pancaroba (peralihan). Pada musim timur, angin bertiup dari timur dan relatif tidak kencang. Musim timur ini umumnya pada bulan Agustus sampai Nopember. Pada musim barat yang terjadi pada bulan Januari – April di tandai dengan hembusan angin kencang, bertiup dari barat dan barat laut yang biasanya disertai dengan hujan lebat yang berkepanjangan, kondisi perairan sedikit tenang hanya dalam bulan April. Sedang musim peralihan yang terjadi pada bulan Desember dan Mei – Juli, angin rata-rata relatif tenang. Peralihan ke musim timur (Mei – Juli) ditandai dengan adanya angin kencang terus
menerus dari arah timur terutama pada bulan Juni – Juli, menyebabkan permukaan laut
seluruhnya menjadi putih akibat dari buih ombak
(Laboratorium Oseanografi Fisika Unhas, 2002).
4.2. Kondisi Demografi Jumlah penduduk Kabupaten Selayar di Tahun 2005 dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 4.4. Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan Di Kabupaten Selayar Tahun 2005 No.
Kecamatan
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
1.
Pasimarannu
4.014
4.437
8.451
2.
Pasilambena
3.330
3.387
6.717
3.
Pasimasunggu
3.115
3.460
6.575
4.
Takabonerate
5.277
5.634
10.911
5.
Pasimasunggu Timur
2.912
3.307
6.219
6.
Bontosikuyu
6.756
7.035
13.791
7.
Bontoharu
5.603
5.843
11.446
8.
Benteng
8.447
9.270
17.717
9.
Bontomamai
7.523
8.053
15.576
10.
Bontomatene Jumlah/Total
8.042
9.153
17.195
59.579
114.598
55.019 Sumber : Selayar dalam Kependudukan, 2005
Penduduk Kabupaten Selayar tahun 2005 berjumlah sekitar 114.598 jiwa yang terdiri dari penduduk Laki-laki sebanyak 55.019 jiwa dan penduduk Perempuan sebanyak 59.579 jiwa. Dengan demikian angka Sex Rationya tercatat sebesar 92 yang berarti bahwa diantara 100 orang penduduk Perempuan terdapat sekitar 92 orang penduduk Laki-laki. Angka tersebut memberikan
indikator
pesatnya
kegiatan
dipersiapkan dimasa yang akan datang.
pembangunan
yang
perlu
Penduduk di Kabupaten selayar umumnya didominasi oleh 5 etnis, yaitu Selayar/Makassar, Bajo, Bugis, Bonerate dan Buton. Pada setiap kecamatan memperlihatkan penyebaran etnis yang tidak merata. Seperti pada Kecamatan Takabonerate dan Kecamatan Pasimasunggu umumnya di dominasi oleh orang selayar, kecuali di pulau-pulau dalam kawasan Taka Bonerate di dominasi oleh masyarakat dari etnis suku Bajo dan Bugis, dan di Kecamatan Pasilambena di dominasi oleh masyarakat dari suku Buton dan Bugis. Berdasarkan tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Selayar di tahun 2004, tergolong pada tingkat sejahtera III (indikator kesejateraan BKKBN). Lampiran 2.
4.3. Aksesbility Kabupaten Selayar adalah salah satu kabupaten dari 24 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dengan waktu tempuh dari ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar adalah 5 jam
melalui transportasi darat
(Makassar-Bulukumba) yang dilanjutkan dengan transportasi laut Pelabuhan
melalui
Fery Bira (Bulukumba) - Pamatata (Selayar) 3,5 jam atau
Pelabuhan Leppe’e (Bulukumba) - Benteng (Selayar) 1,5 jam. Selain itu saat ini telah tersedia transportasi melalui udara yaitu dari Bandara Udara Hasanuddin Makassar ke bandara Aroeppala Selayar selama 45 menit. Jarak ibukota kecamatan ke ibukota kabupaten dapat dilihat pada Tabel 4.5., berikut ini. Tabel 4.5. Jarak dari Ibukota Kecamatan ke Ibukota Kabupaten Selayar No
Kecamatan
Ibukota Kab.
Ibukota Kec.
Jarak ( )
1
Pasimarannu
Benteng
Bonerate
87 Mil
2
Pasilambena
Benteng
Kalotoa
120 Mil
3
Pasimasunggu
Benteng
Benteng Jampea
53 Mil
4
Taka Bonerate
Benteng
Batang
47 mil
5
Pasimasunggu Timur
Benteng
Ujung Jampea
60 Mil
6
Bontosikuyu
Benteng
Pariangan
18 Km
7
Bontoharu
Benteng
Bontobangun
3 Km
8
Benteng
Benteng
Benteng
0 Km
9
Bontomanai
Benteng
Polebungin
18 Km
10
Bontomatene
Benteng
Batangmata
27 Km
Sumber: Selayar dalam Angka, 2004/2005
Aksesbility antar ibukota kabupaten dengan pulau-pulau disekitarnya dijangkau
dengan
menggunakan
kapal
reguler
yang
telah
tersedia.
Berdasarkan informasi dilapangan ditemukan bahwa lama tempuh dari ibukota (benteng) dengan pulau-pulau kecil disekitar yaitu: Tabel 4.6. Waktu Tempuh Kapal Reguler dari Benteng Ke Pulau. Tempat Asal
Lama Tempuh (jam) 4
Tujuan
Frekuensi (kali / Minggu)
Benteng
Pulau Kayuadi
2
Benteng
Benteng Jampea
8 – 10
2–3
Benteng
Ujung Jampea
8 - 10
1 –2
Benteng
Pulau Bonerate
12
1 –2
Benteng
Pulau Kalaotoa
20
1
Sumber: Survey, 2006.
Selain kapal reguler, juga terdapat kapal perintis yang berangkat dari Makassar/Bulukumba ke Nusa Tenggara Timur atau sebaliknya, melakukan transit di Pulau Jampea, Bonerate dan Kalatoa. Jadwal transit kapal tersebut sekitar 2 kali dalam sebulan
4.4. Infrastruktur Publik A. Sarana Sosial Pembangunan bidang pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pembangunan
Sumberdaya
Manusia
suatu
negara
akan
menentukan karakter dari pembangunan ekonomi dan sosial, karena
merupakan pelaku utama dari keseluruhan kegiatan pembangunan nasional. Tabel 4.7. Jumlah Sekolah Menurut Kecamatan di Kabupaten Selayar Tahun 2004 . No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kecamatan Pasimarannu Pasilambena Pasimasunggu Taka Bonerate Pasimasunggu Timur Bontosikuyu Bontoharu Benteng Bontomanai Bontomatene Jumlah
SD 10 10 10 13 9 20 14 8 22 22 138
SMP 1 2 1 2 1 3 3 3 2 5 23
SMA 1 1 1 1 2 1 7
Sumber; Selayar dalam Angka, 2004/2005
Kerberhasilan pembangunan di bidang kesehatan dapat dilihat dari dua aspek yaitu sarana kesehatan dan sumberdaya manusia. Rumah sakit di Kabupaten Selayar sebanyak 1 buah sedangkan puskesmas dan posyandu dapat dilihat pada Tabel 4.8. Sedangkan sumberdaya manusia kesehatan Kabupaten Selayar di Tahun 2004 terdiri atas Dokter Umum sebanyak 8 orang, Dokter Gigi sebanyak 1 orang, Apoteker sebanyak 1 orang dibantu Asisten Apoteker sebanyak 2 orang, Bidan sebanyak 24 orang, Sarjana Kesehatan Masyarakar sebanyak 10 orang, Sarjana non Kesehatan 1 orang dan Laborant sebanyak 5 orang. Tabel 4.8. Puskesmas dan Posyandu per Kecamatan di Kabupaten Selayar Tahun 2004. No 1 2 3 4 5 6 7
Kecamatan Pasimarannu Pasilambena Pasimasunggu Taka Bonerate Pasimasunggu Timur Bontosikuyu Bontoharu
1 1 1 1
Puskesmas Pembantu 1 4 2 5 2
2 1
8 5
Puskesmas
Posyandu 14 17 19 16 38 29
8 9 10
Benteng Bontomanai Bontomatene Jumlah
2 1 10
7 9 43
43 26 202
Sumber: Selayar dalam Angka, 2004/2005
Dibidang peribadatan, Kabupaten Selayar memiliki masjid sebanyak 300 buah dan mushallah sebanyak 32 buah. Tempat peribadatan non muslim sebanyak 1 buah yaitu berupa gereja. Tabel 4.9. Jumlah Tempat Peribadatan Menurut Agama di Kabupaten Selayar Tahun 2004. No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pasimarannu Pasilambena Pasimasunggu Taka Bonerate Pasimasunggu Timur Bontosikuyu Bontoharu Benteng Bontomanai Bontomatene Jumlah
Masjid 13 13 13 15 12 39 33 18 68 76 300
Sumber: Selayar dalam Angka, 2004/2005
Mushallah Gereja 5 2 2 1 4 2 7 4 5 32
1 1
Gambar 4. Sarana dan Prasarana di Kabupaten Selayar
Sumber air bersih untuk daerah daratan selayar umumya tidak mengalami kendala karena disuplai dari PDAM Kabupaten Selayar dan sumur-sumur swadaya masyarakat. Sedangkan untuk wilayah kepulauan hanya beberapa pulau yang memiliki sumber air tawar. Pulau Kayuadi, Jampea, Kalaotoa, Bonerate, Pulo Madu, dan Pulau Kalao memiliki sumber air tanah yang cukup dan hampir di setiap rumah penduduk. Namun dimusim kemarau panjang, beberapa sumur mengalami intrusi air laut, terutama yang dekat dengan pesisir pantai. Pada kondisi seperti ini umumnya mereka membeli air dari pulau lain, sepeti masyarakat pulau Pulau Rajuni, Latondu, Tarupa, dan Pulau Jinato mengambil air di Pulau Kayuadi. Sedangkan masyarakat pulau Pasitallu mengambil air di Pulau Bonerate. Penduduk Karumba mengambil air di Pulau Kalaotoa. B. Sarana Ekonomi Kondisi perekonomian Kabupaten selayar bertumpu pada beberapa sektor
diantaranya
perikanan,
peternakan,
tanaman
pangan
dan
perindustrian. Secara umum tingkat perekonomian tergolong lambat dibandingkan dengan kabupaten lain dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, dimana salah satu penyebabnya masih kurangnya akses transportasi yang menghubungkan dengan daerah lain, sehingga arus perekonomian ikut terhambat. Namun selain itu, sumberdaya alam yang dimiliki Kabupaten Selayar belum dikembangkan secara intensif dan belum beragam.
Tabel 4.10. Jumlah Koperasi Menurut Jenisnya di Kabupaten Selayar Tahun 2004. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Koperasi Koperasi Unit Desa Koperasi Pegawai Negeri Koperasi Tani Koperasi Serba Usaha Koperasi Simpan Pinjam Kopontren Koperasi Polri/TNI Koperasi Simpan Pinjam Cabang Koperasi Lainnya
Banyaknya Koperasi Primer Pusat 13 17 1
Jumlah 13 18
11 13 3
-
11 13 3
3 2 3
-
3 2 3
11
-
11
Sumber: Selayar dalam Angka, 2004/2005.
Sarana ekonomi baik berupa pasar, koperasi, toko barang kelontong dan sembako umumnya sudah mudah ditemui sampai pada tingkat kecamatan. Namun untuk koperasi, beberapa koperasi memerpelihatkan kondisi yang memperihatinkan karena belum dikelola secara profesional serta dukungan sumberdaya manusia yang belum memadai. Sarana berupa pasar hampir dijumpai pada setiap desa. Pada ibukota kecamatan memperlihatkan kondisi pasar yang sudah baik dengan bangunan permanen dan tersedia tempat bagi penjual untuk melakukan aktifitas jual beli. Pada beberapa pulau yang tidak memiliki pasar tetap, biasanya terdapat pasar insedentil, yakni sejumlah pedagang dari luar membawa sejumlah hasil pertanian, pakaian dan sebagainya. Pasar ini umumnya terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Takabonerate. C. Sarana Kesejahteraan Sarana jalan di Kabupaten Selayar umumnya telah didapat dilalui dengan menggunakan sarana kendaraan baik roda dua maupun lebih. Wilayah daratan Kabupaten Selayar, sarana jalan yang beraspal telah menjangkau sampai ke tingkat desa-desa. Sedangkan di wilayah kepulauan Kabupaten Selayar, sarana jalan yang memadai umumnya hanya terdapat di ibukota kecamatan.
Sarana telekomunikasi untuk wilayah daratan telah terlayani baik telepon seluler, PTSN, dan radio. Jaringan televisi umumnya menggunakan Parabola dan jaringan televisi kabel. Sedangkan untuk wilayah kepulauan juga telah menjangkau warung telekomunikasi seperti yang terdapat di ibukota kecamatan pasimasunggu, sedangkan jaringan televisi masih terbatas. Fasilitas penerangan telah menjangkau hampir seluruh wilayah daratan yang disuplai oleh PLN. Wilayah kepulauan Kabupaten Selayar juga telah merasakan fasilitas penerangan baik yang disupali oleh pihak PLN maupun oleh Koperasi PLN dan Swadaya masyarakat dengan menggunakan generator. Besaran tarif listrik berbeda-beda tiap desa, umumnya berkisar antara Rp. 10.000 – Rp. 20.000 per mata lampu. Harga tersebut masih tergolong mahal oleh sebagian masyarakat nelayan, sehingga untuk penerangan tidak sedikit masyarakat nelayan masih mengandalkan lampu minyak. Tabel 4.11. Jumlah Pelanggan PLN di Kabupaten Selayar Tahun 2004. No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pasimarannu Pasilambena Pasimasunggu Taka Bonerate Pasimasunggu Timur Bontosikuyu Bontoharu Benteng Bontomanai Bontomatene Jumlah
Sumber: Selayar dalam Angka, 2004/2005.
Pelanggan 368 815 752 3.629 1.324 2.562 9.450
4.5. Potensi Kelautan Non Perikanan A. Wisata Bahari Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomis penting yang sangat menjanjikan untuk memicu pertumbuhan ekonomi kabupaten Selayar dimasa yang akan datang. Potensi obyek wisata Kabupaten Selayar hampir terdapat di semua kecamatan sehingga pariwisata akan memegang peranan penting dalam upaya mempercepat pembangunan daerah dan meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli daerah selain akan menjadi solusi dalam mengatasi masalah tenaga kerja. Kabupaten
Selayar
memiliki
panjang
Pantai
lebih
dari
panjang
daratannya, bahkan tidak berlebihan jika Kabupaten yang dijuluki nama Kabupaten Maritim ini memiliki batas wilayah administratif adalah laut. Sebagai Kabupaten Maritim, potensi wisata Bahari Kabupaten Selayar, terutama Terumbu Karang dan Pantai pasir putih berjejer sepanjang garis pantai dan sebanyak pulau yang ada. Artinya potensi wisata Bahari Kabupaten Selayar dapat dikatakan sebagai jalur wisata kedua di Indoensia setelah Bali. Makanya potensi wisata Selayar itu biasa disebut dengan jalur segitiga emas (Bali dengan keindahan pantainya, NTB dengan Komodo dan Danau tiga warnaya dan Selayar dengan terumbu karangnya). Potensi wisata di Kabupaten Selayar cukup banyak. Salah satuny Taman nasional Takabonerate yang juga merupakan objek wisata bahari. Jumlah wisatawan yang mengunjungi Taman Laut Taka Bonerate ini mencapai 5.071 orang. Untuk itu diperlukan pola dan paradigma pembangunan sektor ini yang berdasarkan
kepada
konsep
pembangunan
berkelanjutan.
Pengelolaan
sumberdaya alam yang memiliki potensi wisata yang sangat besar diharapkan tidak memberikan dampak kerusakan lingkungan yang pada akhirnya merugikan daerah sendiri.
Tabel 4.12. Daftar Hotel, Lokasi dan Jarak Akomodasi dari/ke Kabupaten Selayar
No
Nama Hotel
Jarak Akomodasi dari/ke (km) Terminal Pel. Laut Bus Pamatata Benteng 50 0
Lokasi
1
Selayar Beach
Benteng
2
Berlian
Benteng
50
0
3
Matalalang
53
5
4
Wisma
Poros Bandara Aroeppala Tana Benteng
50
0
Doang 5
Bonetappalang
Appatana
103
53
6
Wisma PKK
Benteng
50
0
7
Al Mahzan
Benteng
50
0
8
Baloiya Cottage
Baloiya
55
3
Sumber: Selayar dalam Angka, 2004/2005.
Berdasarkan lokasinya, potensi wisata bahari Kabupaten Selayar dapat dibagi menjadi dua, yaitu potensi Kawasan Takabonerate dan Sekitarnya serta potensi di luar kawasan Takabonerate. a. Kawasan Taman Nasional Takabonerate dan Sekitarnya Kawasan Takabonerate telah ditetapkan sebagai Taman Nasional, mempunyai potensi yang cukup besar untuk dkembangkan sebagai obyek wisata alam (ecoturism) khususnya wisata bahari. Potensi wisata dapat diidentifikasi
dari
keadaan
alam
yang
sangat
mendukung
untuk
dikembangkan, yaitu terdapat karang laut seluas 220.000 Ha, kondisi topografi dengan pulau-pulau yang mempunyai terumbu karang dengan jumlah besar dan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumber potensi wisata di dalam kawasan Takabonerate selain terumbu karang, juga keanekaragaman jenis ikan, baik ikan hias maupun ikan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan konsumsi. Adapun flora berupa rumput laut dan padang lamun dengan keragaman dan keindahan
yang sangat menarik membentuk panorama yang sangat memikat untuk dinikmati. Potensi alam lainnya adalah pantai dengan pasir putih yang tersebar di pulau-pulau kawasan Takabonerate dengan hamparan yang sangat luas. Potensi lain yang tak kalah menariknya adalah pulau dengan potensi sumberdaya alam berupa granit yang kualitasnya sangat baik. Pulau-pulau yang berpenghuni, memiliki daya tarik tersendiri berupa kehidupan masyarakatnya sebagai nelayan, bahkan di
pulau Bonerate dapat
disaksikan kegiatan penduduk yang membuat kapal-kapal kayu berbagai jenis ukuran disepanjang pantai. Tabel 4.13. Potensi Pariwisata Alam di Taman Nasional Taka Bonerate. No 1.
Keadaan Luas Wilayah
2.
Lokasi
3.
Karakteristik Kawasan
Keterangan 530. 765 Ha
Laut Flores, meliputi 21 buah pulau termasuk 2 kelompok Kepulauan Macan dan Kepulauan Pasitallu Karang Atol seluas 220.000 Ha, merupakan karang atol terbesar ketiga di dunia Hutan 8 pos yang terletak di Pulau Latondu Besar, Rajuni Kecil, Rajuni Besar, Tarupa, Jinato, Tinabo, Pasitallu Tengah dan Pulau Pasitallu Timur 4 buah yang terletak pada Pulau Rajuni, Tinabo, Tarupa, dan Pulau Latondu Seluar 100 m2 yang terdapat di Pulau Tinabo Katamar 1 buah terdapat di Pulau Tinabo
4.
Pos Polisi (Jaga Wana)
5.
Dermaga
6.
Wisma Tamu
7.
9.
Perahu (boat) Kapal Cepat (speed 1 buah terdapat di Pulau Tinabo boat) Kano (canoe) 4 buah terdapat di Pulau Tinabo
10.
Lampu Suar
8.
4 buah di kawasan Takabonerate
Sumber: Selayar dalam Angka, 2004/2005
b. Potensi Wisata Bahari di Luar Kawasan Taman Nasional Takabonerate Di luar kawasan Taman Nasonal Takabonerate, di Selayar masih terdapat banyak sekali potensi wisata bahari yang tak kalah menariknya yang dapat dikembangkan menjadi suatu rangkaian kegiatan perjalanan wisata . Berdasarkan
tingkat
pengelolaannya,
potensi
wisata
bahari
Kabupaten selayar dapat dibagi menjajdi dua yaitu potensi yang sudah terkelola dan yang belum terkelola. Potensi yang sudah terkelola dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.14. Obyek Wisata Kabupaten Selayar yang Terkelola LOKASI Kec. Pasimarannu Desa Bonerate Desa batu Bingkung Desa Lambego Desa KombaKomba Kec. Pasimasunggu Desa Tanamalala Kec. Takabonerate Zona Inti Desa Kayuadi Desa Garaupa Desa Karumpa Pulau Batu Kec. Bontosikuyu Desa Laiyolo Baru Desa Appatana Kec. Bontoharu Desa Bontoborusu
Kec. Bontomanai
NAMA OBYEK WISATA
JARAK DARI KOTA BENTENG (km)
Pasir putih Pasir putih Pasir putih Pasir putih
151 152 125 120
Pulau Tanamalala
112
Taman Nasional Takabonerate Pantai Appa
90
Pantai Madu
Pulau
Pantai Karumpa P. Pasilambena
79 200 200 200 76
Pulau batu Pulau Batu Etang Pantai Ngapaloka Pantai Appatana
40 38 52
Pantai Dongkalan Pantai Jeneiya Pantai Liang Tamusu
10 10 10
Desa Parak Desa Bontolempangan Kec. Bontomatene Desa Bongaya Sumber: Bapedalda, 2005.
Pantai Appabatu P. Karang Indah
4 17
Pantai Talloya
30
Potensi tersebut didukung oleh kondisi geografis Kabupaten Selayar yang terdiri dari Pulau-pulau yang memiliki keanekaragaman pantai dan keunikan, seperti pantai pasir putih dan keindahan alam lepas pantai. Lokasi wisata tersebut diantaranya pantai Talloya di Desa Bungaya, Pantai Ngapolohe di Desa Bonea Makmur, Pantai Babaera di Desa Bontomarannu, Pantai Liang Tarrusu dan Pantai Jeneiya di Desa Bontobarusu, Pantai Bolaiya di Desa Patilereng, Pantai Patumbukang dan Apatana di Desa Loak, dan masih banyak lagi. Pengembangan
kegiatan
wisata
disepanjang
pantai
dilakukan
dengan memperhatikan karakteristik geomorfologi, dinamika perairan, kondisi ekosistem dan pemanfaatan lokasi oleh masyarakat pesisir. Jenis wisata yang ada di Kabupaten Selayar secara keseluruhan baik yang dikelola maupun yang belum dikelola seperti wisata alam/pantai, wisata olahraga dan wisata budaya (Yayasan Konservasi Laut, 2001). Tabel 4.15. Potensi Kawasan Wisata Kabupaten Selayar.
1.
Pantai Bone Lambere
2.
Pantai Appa dan Timba
Letak Administratif (Desa/Kecamatan) Nyiur Indah / Takabonerate Kayuadi / Takabonerate
3.
Pulau Kauna
Kayuadi / Takabonerate
Pantai
4.
Pulau Belang - Belang
Tarupa / Takabonerate
Pantai
5.
Pulau Tarupa Besar
Tarupa / Takabonerate
Pantai
6.
Pulau Latondu Besar
Latondu / Takabonerate
Pantai
7.
Pulau Rajuni Besar
Rajuni / Takabonerate
Pantai
8.
Pulau Rajuni Kecil
Rajuni / Takabonerate
Pantai
9.
Pulau Tinabo Besar
Rajuni / Takabonerate
Pantai
10.
Pulau Tinabo Kecil
Rajuni / Takabonerate
Pantai
11.
Pulau Jinato
Jinato / Takabonerate
Pantai
12.
Pulau Lantigiang
Jinato / Takabonerate
Pantai
No
Nama Pulau
Jenis Wisata Pantai Pantai
13.
Pulau Panjang
Bontobulaeng Pasimasunggu
/
Pantai
14.
Pulau Jailamu
Pantai
15.
Pulau Harapan
16.
Pulau Kalola
17.
Pantai Lambego
18.
Pantai Tanjung Lambego
19.
Pulau Teterang
20.
Pulau Bonerate
Tanamalala / Pasimasunggu Tanamalala / Pasimasunggu Tanamalala / Pasimasunggu Lambego / Pasimasunggu Lambego / Pasimasunggu Lambego / Pasimasunggu Bonerate / Pasimarannu
21.
Pantai Batu Bingkung
/
Pantai
22.
Pantai Tadu
/
Pantai
23.
Pulau Madu
Batu Bingkung Pasimarannu Lembang Matene Pasilambena Pulo Madu
/
Pantai
Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai
Pasilambena 24.
Pulau Karumpa Lompo
Karumpa / Pasilambena
Pantai
25.
Pulau Karumba Caddi
Karumpa / Pasilambena
Pantai
26.
Perairan Pulau Kayuadi
Kayuadi / Takabonerate
Olahraga Air
27.
Perairan Pulau Kauna
Kayuadi / Takabonerate
Olahraga Air
28.
Perairan
Tarupa / Takabonerate
Olahraga Air
P.
Belang-
Belang 29.
Perairan taka Gantarang
Tarupa / Takabonerate
Olahraga Air
30.
Perairan Taka Lamungan
Tarupa / Takabonerate
Olahraga Air
31.
Perairan P. Tarupa Besar
Tarupa / Takabonerate
Olahraga Air
32.
Perairan
Latondu / Takabonerate
Olahraga Air
P.
Latondu
Besar 33.
Perairan Taka Latondu
Latondu / Takabonerate
Olahraga Air
34.
Perairan P. Rajuni Besar
Rajuni / Takabonerate
Olahraga Air
35.
Perairan P. Rajuni Kecil
Rajuni / Takabonerate
Olahraga Air
36.
Perairan P. Tinabo Besar
Rajuni / Takabonerate
Olahraga Air
37.
Perairan P. Tinabo Kecil
Rajuni / Takabonerate
Olahraga Air
38.
Perairan Taka Rajuni
Rajuni / Takabonerate
Olahraga Air
39.
Perairan Taka Tumbor
Jinato / Takabonerate
Olahraga Air
40.
Perairan Taka Bubbe
Jinato / Takabonerate
Olahraga Air
41.
Perairan Taka Teros
Jinato / Takabonerate
Olahraga Air
42.
Perairan Taka Gama
Jinato / Takabonerate
Olahraga Air
43.
Perairan Taka Kumai
Jinato / Takabonerate
Olahraga Air
44.
Perairan Taka Bongko
Jinato / Takabonerate
Olahraga Air
45.
Perairan Taka Balanda
Tambuna
/
Olahraga Air
/
Olahraga Air
/
Olahraga Air
/
Olahraga Air
/
Olahraga Air
/
Olahraga Air
/
Olahraga Air
/
Olahraga Air
Takabonerate 46.
Perairan Pulau Tambuna
Tambuna Takabonerate
47.
Perairan Pulau Pasitallu
Tambuna Takabonerate
48.
Perairan Pulau Panjang
49.
Perairan Pulau Jailamu
50.
Perairan Pulau Harapan
51.
Perairan Pulau Katela
52.
Perairan
Pulau
Tanamalala 53.
54.
Perairan Pulau Jampea
Perairan Pulau Kalao
Bontobulaeng Pasimasunggu Tanamalala Pasimasunggu Tanamalala Pasimasunggu Tanamalala Pasimasunggu Tanamalala Pasimasunggu Masungke, Bontobulaeng, Lembang Maminasa Pasimasunggu Lambego
Olahraga Air Baji, / /
Olahraga Air
Pasimarannu 55.
Perairan Pulau Bonerate
Bonerate / Pasimarannu
Olahraga Air
56.
Perairan Pulau Teterang
Majapahit
Olahraga Air
/
Pasimarannu 57.
Perairan Pulau Kalotoa
Garaupa / Paslambena
Olahraga Air
58.
Perairan Pulau Mado
Olahraga Air
59.
Perairan
P.Karumba
Pulau Mado / Pasilambena Karumpa / Pasilambena
Olahraga Air
P.Karumba
Karumpa / Pasilambena
Olahraga Air
Lompo 60.
Perairan Caddi
61.
Perairan Taka Lambena
Karumpa / Pasilambena
Olahraga Air
62.
Rajuni / Takabonerate
Budaya
Rajuni / Takabonerate
Budaya
64.
Seremoni Hari Raya Besar Islam Makam KH Muh. Saud dan KH Abd. Muin Dg Sikki Bola –Bola
Tarupa / Takabonerate
Budaya
65.
Buhung Batu Eja
Nyiur Indah Takabonerate
63.
/
Budaya
66.
Buhung Tutuma
67.
Makam Opa Tanjung
68.
Tanjung Bakkarang
69.
Tari Kandobalang
70.
Goa Batu Sobbolo
71. 72.
Kuburan Batu Purba Rumah Adat
73.
Pembuatan
Manusia
Perahu
Nyiur Indah / Takabonerate Kayuadi / Takabonerate
Budaya
Kembang Ragi / Pasimasunggu Kembang Ragi / Pasimasunggu Labuang Pamajang / Pasimasunggu Maminasa / Pasimasunggu Bonerate / Pasimarannu
Budaya
Bonerate / Pasimarannu
Budaya
Majapahit
/
Budaya
Bonea, Majapahit / Pasimarannu Lembang Matene / Pasilambena Lembang Matene / Pasilambena Garaupa / Pasilambena
Budaya
Budaya
Budaya Budaya Budaya Budaya
Phinisi 74.
Gua Majapahit
Pasimarannu 75. 76.
Tari Pangaru dan Tari Batanda Gua-Gua Tua
77.
Makam Kuno
78.
Kota
Budaya Budaya Budaya
Sumber: Yayasan Konservasi Laut, 2001
Keindahan alam berupa pantai pasir putih di pulau-pulau menunjang untuk kegiatan wisata pantai, seperti berjemur, berenang, ski, mancing serta suasana lokal dan budaya tradisional. Untuk pengembangan yang berskala internasional diperlukan sosialisasi dan pembuatan zonasi pemanfaatan wisata pantai sehingga aktifitas pariwisata tidak menimbulkan konflik antar sektor seperti dengan perikanan, pertanian, pertambangan serta dengan aktifitas tradisional masyarakat. Jika dilihat dari sisi potensi dan keindahan obyek wisata Kabupaten Selayar, maka semua obyek wisata yang ada sangat potensial untuk dikembangkan, tetapi jika ditinjau dari sisi aksesibilitas dan saranaprasarana pendukung lainnya, maka ada beberapa obyek wisata yang kurang potensial, atau minimal membutruhkan investasi yang sangat besar untuk pengembangannya. Untuk itu memang diperlukan konsep kesatuan pandangan
yang
komprehensif
dalam
dalam
melihat
prospek
pengembangan jalur wisata Nasional secara umum, dan jalur wisata Kabupaten Selayar khususnya.
B. Industri Perikanan Potensi pengembangan industri perikanan dan hasil laut di Kabupaten Selayar sangat besar jika dilihat dari potensi sumberdaya alam dan ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan oleh industri. Jika disesuaiakn dengan jenis komoditas sumberdaya alam yang ada, maka beberapa jenis industri yang memiliki potensi untuk dikembangkan antara lain; industri pengalengan ikan, industri ekspor hasil laut (ikan segar dan ikan kering/hasil olahan), industri pabrik es, Coldstorage, dan lain sebagainya. Keterbatasan
investasi
dan
sumberdaya
manusia
tampaknya
menjadi faktor penghambat laju pertumbuhan industri perikanan dan hasil laut di Kabupaten Selayar. Kabupaten Selayar sebagai Kabupaten Maritim tentu saja memerlukan industri yang relevan dikembangkan yaitu industri perikanan kelautan atau industri kemaritiman. Dari data yang diperoleh, industri kemaritiman yang ada di Kabupaten Selayar saat ini adalah industri pengeringan hasil laut dan industri Galangan Kapal Rakyat. Kedua industri ini jika dilihat dari sisi kebutuhan masyarakat mungkin dapat dikatakan bagus, tetapi jika dilihat dari sisi potensi pengembangan dan potensi wilayah yang ada, maka industri ini masih berskala rumah tangga (kecil). Potensi ini seharusnya lebih dikembangkan menjadi skala industri besar mengingat potensi wilayah khususnya, potensi perikanan tangkap, budidaya dan wisata.
Berdasarkan hal tersebut industri yang sangat
urgent untuk dikembangkan adalah pabrik es di setiap Tempat Pendaratan Ikan atau mungkin di setiap pulau, industri pakan ikan, dan industri jasa pariwisata.
Tabel 4.16. Jumlah Perusahaan Industri di Kabupaten Selayar Tahun 2004. No
Kecamatan
Jenis Industri 1
1 2 3 4 5
2
3
4
5
6
7
8
Pasimarannu 155 11 23 79 Pasilambena 111 4 51 Pasimasunggu 207 21 93 5 4 5 Taka Bonerate 258 10 19 5 Pasimasunggu 242 16 86 3 5 8 Timur 6 Bontosikuyu 938 10 21 3 1 2 7 Bontoharu 207 5 69 43 4 8 Benteng 324 15 88 13 24 44 3 38 9 Bontomanai 954 49 51 14 5 6 10 Bontomatene 712 34 71 1 25 2 Sumber: Selayar dalam Angka, 2004/2005 Keterangan: 1. Industri Makanan, Minuman dan Tembakau 2. Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Permadani dan Kulit 3. Industri Kayu dan Arang-Barang dari Kayu Termasuk Perabot Rumah Tangga 4. Industri Kertas dan Barang-Barang dari Kertas Percetakan dan Penerbitan 5. Industri Kimia dan Barang dari Bahan Kimia, Minyak Bumi, Batu Bara, Karet dan Plastik 6. Industri Barng Galian Bukan Logam, Kecuali Minyak Bumi dan Batu Bara 7. Industri Logam Dasar 8. Industri Barang-Barang dari Logam, Mesin dan Peralatannya.
Gambar 5. Industri dan Pariwisata
C. Padang Lamun, Mangrove, dan Terumbu Karang Komunitas lamun merupakan tempat hidup bermacam-macam organisme, seperti ikan udang (Mantis), Echinodermata seperti bintang laut (Lingkia sp) dan bulu babi (Diadema sp) serta mollusca lainnya. Selain itu juga sebagai tempat berlindungnya organisme tertentu dari predator, bagi manusia sebagai tempat mencari organisme bentik yang bernilai ekonomis tinggi. Bapedalda, 2005, Menunjukkan bahwa luasan lamun di pantai timur Pulau Selayar
tidak terlalu banyak karena kondisi pantai yang curam
berbatu dengan patahan. Beberapa jenis lamun yang dapat dijumpai adalah jenis Thallasia sp, Cymodecae sp dan Hallophila sp. Pada bagian pantai barat Selayar dengan substrat yang lebih beragam dan pantai landai dan substrat pasir yang sedikit kurang masif memungkinkan lamun tumbuh dengan baik. Jenis lamun yang tumbuh pada kedalaman 0-1 m adalah Cymodecea sp, Syrongodum sp dan Halodule sp dan Hallophyla sp, sedangkan pada kedalaman 1-3 m di dominasi oleh Enhalus sp. Bapedalda, 2005, menunjukkan bahwa sebagian besar curam dengan batuan terjal menyebabkan hutan mangrove yang dapat tumbuh di pulau selayar dan pulau lainnya relatif terbatas dan hanya dibeberapa tempat saja, dimana dijumpai wilayah yang agak landai. Hasil analisis dan dari data sekunder dijumpai luasan mangrove sebesar 16,53 ha. Di pantai timur Pulau Selayar dengan kondisi daerah pantai yang agak landai jenis mangrove yang diidentifikasi yang mampu beradapatasi dengan kondisi yang ekstrim walaupun dalam jumlah relatif sedikit dan membentuk koloni sendiri adalah jenis Avicenia spp. Untuk pantai barat, dengan topografi yang landai, dengan substrat berpasir dan berlumpur tumbuhan mangrove relatif banyak, yakni dari jenis Rhizoppra spp dan Avicennia spp. Di pulau Jampea, mangrove di jumpai pada daerah sebelah selatan dan barat, dimana pesisir pantainya landai dengan substrat berpasir, arus lautnya cenderung tidak langsung masuk dan agak terlindung. Jenis yang dijumpai adalah Rhizopora spp dan Avicennia spp. Pada Pulau Kalao,
Tumbuhan mangrove, dijumpai pada sisi selatan dan utara pulau, yang tumbuh tidak merata di pesisir pantai berbatu dengan substrat berpasir. Jenis yang dapat diidentifikasi adalah Rhizopora spp dan Avicennia spp. Demikian halnya pada pulau Kalaotoa, dijumpai hanya pada daerah yang tidak berhadapan langsung dengan laut flores. Di Pulau Bonerate, mangrove dijumpai di sisi utara, selatan dan timur, dengan jenis yang diidentifikasi berupa Rhizopora spp dan Avicennia spp. Sedangkan di Pulau Madu, sebaran ekosistem mangrove yang ada lebih didominasi oleh Avicennia sp, yang mampu beradaptasi dengan dengan substrat yang agak berpasir, sedikit limpur dan salinitas yang berfluktuasi. Rhizopora sp dijumpai di daerah yang lebih ke darat. Sebaran tumbuh pada sisi selatan yang agak terlindung dari arus laut banda dan flores. Kabupaten Selayar yang terdiri dari sejumlah pulau besar dan kecil, serta sebagai gugusan pulau-pulau karang dan dikenal sebagai pulau atol yang terbesar.
Berdasarkan hasil analisis citra luasan terumbu karang
(Bapedalda, 2005) yang dapat diidentifikasi mencapai 33.313,86 ha, sebagian lagi tidak teridentifikasi diduga karena kedalaman dan sebagian lagi tertutup oleh awan. Topografi pantai Timur di dominasi berupa pantai curam berbatu, dengan gua-gua batu yang terbentuk oleh oleh abrasi pantai dan dasar berupa patahan yang ditutupi karang hidup, spoge dan organisme lain, tumbuh subur dan tidak dapat terjangkau oleh aktivitas pengeboman, sedangkan beberapa tempat yang landai yang didominasi substrat berpasir diantaranya daerah Tanjung Appatana. Untuk pantai barat pulau selayar topografi dominan berupa pantai yang landai dengan rataan terumbu (reef flat) dan reef slope yang ditumbuhi oleh terumbu karang.
Tutupan karang lebih didominasi oleh
bentuk koloni karang Non Acropora dalam bentuk karang bulat (massif) kemudian karang menjalar dan bercabang yang hidup pada daerah reef slope dengan kedalaman 5-6 m, serta beberapa karang mati yang telah mengalami pemutihan (bleaching) nampak telah ditumbuhi oleh jenis alga
(turf alga) yang menjadi perintis terjadinya suksesi ekologi pada daerah terumbu karang. Di Beberapa pulau – pulau kecil, memiliki topografi pantai yang memanjang ke arah laut dengan rataan terumbu karang cukup luas, sebagian besar didominasi oleh substrat pasir (sand) dan karang keras (hard coral) yang mengelilingi pulau ini. Kondisi sebelah selatan pulau ini, didominasi oleh substrat berpasir, sponge, hard coral, organisme pelagik seperti teripang laut (Holuthuridae) dan bintang laut (Protreaster Nodosus), dengan pecahan-pecahan karang (Rubble) dan pecahan sisa cangkang Gastropoda yang terdapat di sela karang. Terumbu karang pada sisi barat, didominasi oleh substrat pasir dan pecahan karang (rubble) dan batubatuan (Rock). Pada bekas-bekas batuan ditumbuhi oleh turf alga.
Gambar 6. Ekosistem Perairan Kabupaten Selayar.
D. Organisme Darat dan Udara Potensi sumberdaya alam non perikanan di Kabupaten Selayar tergolong beragam dan memiliki nilai genetik yang hanya di miliki oleh daerah ini. Dengan potensi tersebut diharapkan dengan promosi dan sosialisai, sumberdaya tersebut dapat dikembangkan menjadi sektor wisata yang dapat diandalkan begitu pula sebagai riset alam untuk pengembagan dunia pendidikan. Tabel 4.17. Jumlah Perusahaan Industri di Kabupaten Selayar Tahun 2004. No
Jenis
Jumlah
Jenis Dominan Nectaridae, Ploceidea, Pachycephalidae, Alcedinidae, Meropidae, Falcoridae, Orididae, Columbidae, Zosteropidae Scolopocidae, Ardeodae, Charadiidae Fregatidae, Accipitridae, Sternidae, Procellaridae, Hydrobatidae
1
Burung darat
10
2
Burung Pantai
11
3
Burung Laut
8
4
Flora Darat Baringtonia Formation Pescaprae Formation
Sumber: Selayar dalam Angka, 2004/2005.
Cocos Nicifera Ipomoea pescaprae, Ipomoea tuba, Canavalia martima, Spinifet littoreaus dan Asterocea
BAB IX. PENUTUP 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, analisa data dan pembahasan, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa daerah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Selayar berpotensi untuk dikembangkan karena memilki potensi terdapatnya usaha skala rumah tangga yang berorientasi ekspor seperti ikan kerapu, kopra dan potensi wisata budaya, jumlah tenaga kerja (nelayan dan petani), potensi perikanan tangkap masih cukup besar, jenis produk perikanan yang beragam, potensi industri rakyat (pembuatan perahu), sarana dan prasarana publik yang mendukung dan memadai dan besarnya potensi sumberdaya alam, buatan dan jasa lingkungan. Selain itu, terdapat beberapa hambatan yang perlu diantisipasi agar upaya pengembangan daerah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat memberikan hasil yang optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, yakni rendahnya modal usaha, tingkat pendidikan masih rendah, kesadaran lingkungan, kesehatan dan hukum masih rendah, rendahnya kualitas proses belajar mengajar dan relevansi kurikulum lokal, kurangnya penegakan hukum dan penggunaan destruktive fishing gear, terbatasnya ketersediaan informasi dan teknologi pengembangan usaha perikanan, tingginya biaya produksi terutama BBM, tingginya ketergantungan kepada ponggawa sehingga harga dan tata niaga masih dikendalikan oleh mereka akibat tidak berfungsinya lembaga perekonomian terutama koperasi, masih tinginya angka kemiskinan dan rendahnya fasilitas dan pelayanan kesehatan untuk masyarakat terutama di pulau-pulau kecil.
9.2. Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat direkomendasikan strategi kebijakan dalam pengembangan daerah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Selayar, yaitu: 1.
Peningkatan produksi perikanan baik perikanan tangkap maupun budidaya yang dapat mendukung usaha perluasan lapangan kerja.
2.
Pengembangan obyek wisata bahari (ecotourism) baik wisata pantai, sport, adveture dan culture.
3.
Peningkatan dan bantuan modal usaha dilanjutkan dengan pembinaan teknois dan manajerial terutama produk berorientasi eksport.
4.
Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia (SDM) untuk mendukung upaya pemanfaatan sumberdaya alam secara profesional, ramah lingkungan dan suistinable.
5.
Peningkatan pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan.
6.
Pengembangan usaha budidaya air payau dan laut secara ramah lingkungan disertai dengan diversifikasi organisme budidaya seperti budidaya tambak Ikan Kerapu, kakap dan Sunu serta pengembangan budidaya teripang dan lobster.
7.
Peningkatan sosialisasi kepastian dan penegakan hukum disertai dengan implementasi peraturan/kebijakan pengelolaan sumberdaya alam/laut.
8.
Peningkatan kepastian dan iklim usaha untuk menarik minat investor.
BAB V. PROFIL DESA LOKASI STUDI Profil pesisir dan pulau-pulau kecil Kabupaten Selayar dalam laporan ini ditinjau dari aspek gambaran umum desa, demografi, infrastrukur, situasi umum masyarakat, keadaan sosial ekonomi, intensitas dan kondisi sumberdaya alam, buatan dan jasa.
5.1. Desa Tombolongan 5.1.1. Gambaran Umum Desa Tambolongan Secara administratif, Desa Tambolongan termasuk dalam Kecamatan Bontosikuyu. Desa Tambolongan memiliki luas sekitar 7,35 Km2 panjang pantai sekitar 14.500
dengan
meter. Desa Tambolongan memiliki 2 pulau
yaitu Pulau Tambolongan (berpenduduk) dan Pulau Nambolaki (tidak berpenduduk). Potensi daerah pesisir dari desa ini berupa perikanan tangkap, budidaya tambak dan laut, sedangkan ikan karang dan pelagis merupakan jenis biota perikanan yang hampir ditemukan di sepanjang pesisir desa. Karakteristik fisik lahan pesisir di desa ini berupa pantai berpasir putih dan berbatu. Aksesbility penduduk ke ibukota kabupaten tergolong lancar dengan tersedianya kapal reguler sebanyak 2 buah dengan rute Tambolongan ke Benteng. Secara umum, pulau ini juga merupakan pulau dengan daratan berbatu dan memiliki rataan terumbu karang yang cukup luas dengan pantai berpasir dengan bentuk relatif landai dan substrat berpasir. Pada bagian barat pulau didominasi oleh subsrat berpasir dengan simbiosis organisme bintang laut (Lingkia levigata), teripang laut dengan koloni-koloni karang non Acropora Massive (CM), tumbuh dengan tidak merata dan membentuk kelompok-kelompok yang terpisah-pisah oleh substrat berpasir. Kondisi karang pada bagian sisi sebelah timur, berupa rataan pasir diselingi oleh karang massive (CM), karang menjalar (CE) dan spons tumbuh terpisah, yang tumbuh pada kedalaman 3 m dengan dengan penutupan oleh substrat pasir
didominasi oleh pecahan karang (Rubble). Jenis ikan yang dominan Ikan Sunu, Kerapu, Kakap dan Baronang. Kelembagaan Formal dan Informal di desa ini terdiri atas pemerintahan desa, LKMD, Remaja Masjid, dan kelompok swadaya masyarakat. Keberadaan Ponggawa-Sawi juga terdapat di desa ini. Umumnya keberadaan sistem ini dipengaruhi oleh faktor hubungan kekeluargaan. Kegiatan sosial kemasyarakatan dan pesta tahunan di Desa Tambolongan ini berupa acara keagamaan dan acara kemasyarakatan berupa peringatan kemerdekaan Republik Indonesia.
Gambar 7. Kondisi P. Tambolongan dan Kantor Kepala Desa 5.1.2. Demografi Struktur populasi dan mata pencaharian di Desa Tambolongan di dominasi oleh nelayan (90%). Etnis di pulau ini merupakan suku makassar dan seluruh masyarakat di Desa Tambolongan beragama Islam. Jumlah penduduk sekitar 1.111 orang dan jumlah rumah tangga sebanyak 297 KK.
Dengan
demikian secara rata-rata kepadatan penduduk (per Km2 ) sebanyak 136 orang dengan anggota tiap rumah tangga sekitar 4 orang/KK. Jumlah laki-laki sekitar 551 orang dan perempuan 560 orang. Gejala kependudukan lainnya yang menghambat peningkatan kemajuan masyarakat di Desa Tambolongan ialah rendahnya tingkat pendidikan formal, walaupun sebagian besar warga masyarakat pernah mengecap pendidikan tingkat SD. Ini menunjukkan minimnya pengetahuan dan keterampilan penduduk.
Gejala
rendahnya
tingkat
pendidikan
formal
dan
non-formal
menyebabkan pengelolaan kegiatan ekonomi, khususnya sektor perikanan, semata hanya didasarkan pada pengetahuan dan keterampilan kerja yang diwariskan dari generasi tua ke generasi yang lebih muda dan melalui pengalaman bersosialisasi dengan nelayan atau pengusaha-pengusaha pendatang dari luar. Berdasarkan Tabel 5.1, menunjukkan bahwa umumnya masyarakat di desa ini hanya berpendidikan hingga tamat SD ( 70 %). Pekerjaan pokok sebagai nelayan (90%). Selain itu pekerjaan sampingan, umumnya mereka bertani seperti menanam jagung dan ubi kayu. Selain untuk dijual, juga untuk kebutuhan sendiri. Penghasilan responden umumnya berkisar antara Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 perbulan. Umumnya nelayan Di desa ini merupakan nelayan pancing dan bubu dengan menggunakan perahu sederhana (sampan).
Gambar 8.
Sarana dan Prasarana Penangkapan di P. Tambolongan.
Tabel 5.1. No 1.
2.
Kondisi Responden di Desa Tambolongan
Jenis Data Usia Responden
Jumlah
%
- 15 – 24 Tahun
-
-
- 25 – 34 Tahun
9
45
- 35 – 44 Tahun
9
45
- 45 – 54 Tahun
2
10
-
-
- Tamat SD
14
70
- SMP
1
5
- SMA
5
25
- Sarjana
-
-
- Nelayan
18
90
- Pengumpul
2
10
- Tani
8
39
- Tukang Kayu
3
14
- Budidaya
1
4
Rumput Laut
- Ternak
1
4
Kambing
- Jasa Transportasi
2
9
- Pembuat Perahu
-
-
- Tidak Ada
6
29
- < Rp. 200.000
4
20
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
6
30
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
8
40
- > Rp. 1.000.000
2
10
- < Rp. 200.000
4
20
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
8
40
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
6
30
- > Rp. 1.000.000
2
10
Pendidikan - Tidak Tamat SD
3.
4.
5.
6.
Keterangan
Pekerjaan Utama
Sampingan
Penghasilan Perbulan
Pengeluaran
Sumber: Survey, 2006
Jagung, Ubi
5.1.3. Infrasturktur Infrastruktur di Desa Tambolongan yang tersedia seperti sarana kesehatan, peribadatan, perhubungan, penerangan. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 5.2. Kondisi Infrastruktur di Desa Tambolongan No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
Jumlah 6
Kondisi Baik
2.
Sarana Pendidikan - Sekolah Dasar
2
Baik
Pemerintah
- SMP
1
Baik
Pemerintah
3.
Sarana Kesehatan
1
Baik
Pemerintah
Puskesmas
4.
Sarana Perdagangan
9
Baik
Milik
5.
-
-
-
6.
Sarana Permodalan Koperasi Dermaga
Toko Kelontong -
-
-
-
-
7.
Sarana Jalan
-
Rusak
Pemerintah
Pavin Blok
8.
Sarana Penerangan
Genarator Diesel
Swadaya
3Jammenyala
9.
Sarana Perumahan
Rumah Panggung
10.
Sarana Komunikasi
Telepon, Televisi, dan Radio
11.
Sarana Sanitasi - Air Bersih - WC - Tempat Sampah
/
Status Swadaya
Ket Masjid
Hak Milik
Sumur
Baik
Ada
Baik
Pantai
-
12.
Sarana Penginapan
-
-
13.
Industri Pengolahan Ikan
-
-
Sumber: Survey, 2006.
Infrastruktur publik yang terdapat di Desa Tombolongan umumnya dapat dipergunakan oleh warga masyarakat. Sarana infrastruktur yang dibutuhkan oleh warga saat ini berupa sarana penerangan perlu peningkatan berupa lama waktu menyala, perluasan sarana jalan dan penyediaan air bersih. Sedangkan sarana komunikasi di desa ini tergolong lancar dengan masuknya jaringan telepon satelit dan televisi dengan menggunakan jaringan parabola.
Untuk
kegiatan
pengelolaan
terumbu
karang,
warga
masyarakat
membutuhkan pos pengamat untuk menjaga perairan dari aktifitas destruktive fishing yang dilakukan oleh warga luar pulau. Sarana sanitasi di Desa Tambolongan masih perlu mendapatkan perhatian terutama dalam hal pembuangan sampah, dimana di desa ini belum memiliki tempat pembuangan sampah. Ketersediaan air bersih di desa ini masih tergolong baik karena secara keseluruh hampir tiap warga tidak mengalami kesulitan dalam penyediaan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari karena kaberadaan sumur warga mudah dijangkau dan hampir tiap warga memiliki sumur. 5.1.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Eksploitasi sumberdaya terumbu karang di Desa Tambolongan masih dalam tingkat intensitas sedang. Penggunaan destructive fishing gear tergolong masih kurang karena adanya kesadaran masyarakat tentang pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang perlu dijaga agar ketersediaan sumberdaya ikan di wilayah perairan desa ini dapat terjaga. Dengan adanya kesadaran tersebut, sekarang telah terbentuk kelompok masyarakat peduli terumbu karang dan reef watcher yang merupakan program dari COREMAP II PMU Selayar telah terbentuk pula.
Tabel 5.3.
No
Tingkat Intensitas Tambolongan
Penyebab Utama
Kerusakan
Terumbu
Karang
di
Desa
Tingkat Intensitas Kerusakan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Bahan peledak/bom
2
Racun kimia/cyanida
-
3
Sedimentasi
-
-
4
Iklim global
-
-
5
Tsunami/gempa bumi
-
-
6
Jangkar perahu/kapal
-
-
7
Tangkap lebih/Over-fishing
-
-
8
Limbah Industri
-
-
9
Penambangan Karang batu
-
-
10
Bintang laut berduri/COT
-
-
11
Pengambilan Karang untuk Aquarium
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini masih belum optimal baik untuk Fishing Groud karena masih minimnya sarana yang dimiliki oleh nelayan, begitu pula untuk wisata bahari yang masih kurang. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.4. Peran kelembagaan baik informal maupun formal sangat mendukung keberhasilan pengelolaan terumbu karang. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.5.
Tabel 5.4. Pemanfaatan Daerah Ekosistem Terumbu Karang dan Sekitarnya.
No
Jenis Pemanfaatan
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
1
Daerah penangkapan ikan
2
Wisata Bahari
-
-
3
Daerah penampungan karang
-
-
4
Daerah Budidaya ikan/Rumput laut
-
-
5
Tidak di manfaatkan/di konservasi
6
Di konservasi
-
-
Sumber: Survey, 2006
Tabel 5.5. Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. No
Jenis Pemanfaatan
Intensitas Pengelolaan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Lembaga adat
2
Lembaga agama
3
Lembaga Usaha/Perusahaan swasta
-
4
Lembaga koperasi Desa
-
5
Kelompok masyarakat (POKMAS)
6
Pemerintah Desa
-
7
Kelompok nelayan
-
8
Lembaga swadaya masyarakat
-
-
-
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Berdasarkan tabel tersebut diatas menunjukkan peran kelembagaan baik adat, agama, Pokmas, maupun LSM memiliki peran yang dapat digunakan dalam pengelolaan terumbu karang bersama dengan masyarakat.
5.1.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir Keberadaan sumberdaya alam, buatan maupun jasa lingkungan wilayah pesisir di desa, dapat digunakan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Tabel 5.6. Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Tambolongan No
Sumberdaya
Kondisi Ada Tidak Ada -
1
Terumbu Karang
2
Mangrove
-
3
Tambak
-
4
Sawah
-
-
5
Diving
-
-
6
Wisata Lainnya
-
-
Sumber: Survey, 2006
Melihat potensi yang dimiliki di Desa Tambolongan ini, diperlukan pendampingan ke masyarakat untuk mengoptimalkan potensi desa yang dimilikinya. Mangrove dan terumbu karang dapat digunakan sebagai media wisata bahari (ecotourism) maupun untuk media budidaya perikanan.
5.2. Desa Polassi 5.2.1. Gambaran Umum Desa Polassi Desa Polassi juga termasuk dalam Kecamatan Bontosikuyu. Desa ini hanya memiliki 1 pulau yang memiliki luas sekitar 2,53 Km2 dengan panjang pantai sekitar 12.250 meter. Potensi daerah pesisir dari desa ini berupa perikanan tangkap, budidaya tambak dan laut, sedangkan ikan karang dan pelagis merupakan jenis biota perikanan yang hampir ditemukan di sepanjang pesisir desa. Karakteristik fisik lahan pesisir di desa ini berupa pantai berpasir putih dan berbatu.
Gambar 9. Kondisi Pulau Polassi. Pulau Polassi terletak di sebelah selatan pulau Selayar, yang memanjang dari selatan ke utara. Bentuk daratan berbukit batu dengan ketinggian sekitar 50 m dari permukaan laut merupakan salah satu pulau yang memiliki rataan terumbu karang (reef flat) yang cukup luas. Topografi dasar perairan pulau Polassi sebagian besar didominasi oleh karang keras (hard coral), pasir (sand) dan pecahan karang (Rubble). Pada daerah pantai Timur pulau, di dominasi
oleh tutupan karang
Acropora bercabang (ACB), karang non Acropora Massive (CM), An Acropora, khususnya dari spesies Milliopora sp dan pasir (sand). Di sisi barat pulau ini kondisi terumbu karang didominasi oleh oleh pecahan karang akibat aktivitas pemboman oleh masyarakat, substrat pasir (sand) dan sedikit karang non Acropora Massive yang telah ditumbuhi oleh beberapa jenis alga. Aksesbility penduduk ke ibukota kabupaten tergolong lancar dengan tersedianya kapal reguler sebanyak 2 buah dengan rute Polassi ke Benteng. Kelembagaan Formal dan Informal di desa ini terdiri atas pemerintahan desa, LKMD, Remaja Masjid, dan kelompok swadaya masyarakat. Keberadaan Ponggawa-Sawi juga terdapat di desa ini. Umumnya keberadaan sistem ini dipengaruhi oleh faktor hubungan kekeluargaan. Kegiatan sosial kemasyarakatan dan pesta tahunan di Desa Tambolongan ini berupa acara keagamaan berupa Isra Mi’Raj dan Maulid, sedangkan acara kemasyarakatan berupa peringatan kemerdekaan Republik Indonesia.
5.2.2. Demografi Struktur populasi dan mata pencaharian di Desa Polassi di dominasi oleh nelayan ( 47%), Petani (40%), Pedagang (10 %) dan PNS/ABRI (1%). Etnis di pulau ini merupakan suku makassar dan seluruh masyarakat di Desa Polassi beragama Islam. Jumlah penduduk sekitar 1.230 orang dengan jumlah rumah tangga sebanyak 283 KK.
Dengan demikian secara rata-rata kepadatan
penduduk (per Km2 ) sebanyak 465 orang dengan anggota tiap rumah tangga sekitar 4 orang/KK. Jumlah laki-laki sekitar 587 orang dan perempuan 643 orang. Gejala kependudukan lainnya yang menghambat peningkatan kemajuan masyarakat di Desa Tambolongan ialah rendahnya tingkat pendidikan formal, walaupun sebagian besar warga masyarakat pernah mengecap pendidikan tingkat SD. Ini menunjukkan minimnya pengetahuan dan keterampilan penduduk. Sekitar 14,5 % warga di Desa Polasi tergolong buta huruf. Meskipun kebanyakan dari mereka tidak bersekolah dan tidak tamat sekolah, tetapi umumnya dari mereka ada yang mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai tamat SMA, bahkan sampai ke perguruan tinggi di Makassar. Tabel 5.7. No 1.
2.
Kondisi Responden di Desa Polassi
Jenis Data Usia Responden
Jumlah
%
- 15 – 24 Tahun
1
8
- 25 – 34 Tahun
2
16
- 35 – 44 Tahun
5
42
- 45 – 54 Tahun
4
33
- Tidak Tamat SD
1
8
- SD
5
42
- SMP
2
16
- SMA
4
33
9
75
Pendidikan
- Sarjana 3.
Pekerjaan Utama - Nelayan
Keterangan
4.
5.
6.
- Pengumpul
2
16
- Pedagang
1
8
- Tani
5
38
- Jaga Wana
1
7
- Pembuat Perahu
1
7
- Nelayan
3
23
- Tidak Ada
3
23
Sampingan
Penghasilan Perbulan - < Rp. 200.000
-
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
3
25
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
5
42
- > Rp. 1.000.000
4
33
- < Rp. 200.000
2
16
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
2
16
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
5
42
- > Rp. 1.000.000
3
25
Pengeluaran
Sumber: Survey, 2006.
Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa umumnya mereka hanya berpendidikan hingga tamat SD (42%). Pekerjaan pokok sebagai nelayan (75%). Selain itu pekerjaan sampingan, umumnya mereka bertani (38 %) seperti menanam jagung dan ubi kayu. Selain untuk dijual, juga untuk kebutuhan sendiri. Penghasilan responden umumnya di desa ini tergolong besar untuk ukuran masyarakat pulau karena mencapai sekitar Rp. 1.000.000 perbulan. Tabel diatas juga menunjukkan tingkat konsumsi atau pengeluaran warga
tergolong
besar,
sekitar
25
%
responden
membelanjakan
penghasilannya diatas Rp. 1.000.000,- yang dipergunakanuntuk kebutuhan sehari-hari dan modal usaha. Secara umumnya masyarakat di desa ini tergolong makmur, hal ini terlihat dari perumahan yang ada umumnya telah permanen dengan perabotan yang lengkap. Umumnya nelayan Di desa ini merupakan nelayan pancing dan bubu dengan menggunakan perahu sederhana (sampan).
5.2.3. Infrasturktur Infrastruktur di Desa Polassi yang tersedia seperti sarana kesehatan, peribadatan, perhubungan, penerangan. Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 26. Infrastruktur yang terdapat di Desa Polassi umumnya masih dapat dipergunakan oleh warga masyarakat. Sarana infrastruktur yang dibutuhkan oleh warga saat ini berupa sarana penerangan juga perlu peningkatan berupa lama waktu menyala, perbaikan kondisi jalan dan penyediaan air bersih. Sedangkan sarana komunikasi di desa ini tergolong lancar dengan masuknya jaringan telepon satelit dan televisi dengan menggunakan jaringan parabola. Sarana sanitasi di Desa Tambolongan masih perlu mendapatkan perhatian terutama dalam hal pembuangan sampah, dimana di desa ini belum memiliki tempat pembuangan sampah. Ketersediaan air bersih di desa ini masih tergolong baik karena secara keseluruh hampir tiap warga tidak mengalami kesulitan dalam penyediaan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari karena kaberadaan sumur warga mudah dijangkau dan hampir tiap warga memiliki sumur. Tabel 5.8. Kondisi Infrastruktur di Desa Polassi No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
Jumlah 2
Kondisi Baik
2.
Sarana Pendidikan
Status Swadaya
- Sekolah Dasar
1
Baik
Pemerintah
3.
Sarana Kesehatan
1
Baik
4.
Sarana Perdagangan
12
Baik
5.
-
-
6.
Sarana Permodalan / Koperasi Dermaga
Pemerintah Puskesmas Pembantu Toko Milik Kelontong -
1
Baik
Pemerintah Kayu
7.
Sarana Jalan
-
Rusak
Pemerintah Tanah
8.
Sarana Penerangan
Genarator Diesel
9.
Sarana Perumahan
Rumah Panggung dan Rumah Batu
Swadaya
Ket Masjid
3 Jam menyala
10.
Sarana Komunikasi
11.
Sarana Sanitasi
Telepon, Televisi, dan Radio
- Air Bersih - WC - Tempat Sampah
Hak Milik
Sumur
Baik
Ada
Baik
Pantai
-
12.
Sarana Penginapan
-
-
13.
Industri Ikan
-
-
Pengolahan
Sumber: Survey, 2006.
5.2.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Eksploitasi sumberdaya terumbu karang di Desa Polassi masih dalam tingkat intensitas sedang. Penggunaan destructive fishing gear di desa tergolong tinggi. Namun setelah adanya program COREMAP, aktifitas ini telah berkurang dan aktifitas warga menjadi pengelola dan perehabilitasi terumbu karang agar ketersediaan sumberdaya ikan di wilayah perairan desa ini dapat terjaga. Dengan adanya kesadaran tersebut, sekarang telah terbentuk kelompok masyarakat peduli terumbu karang dan reef watcher yang merupakan program dari COREMAP II PMU Selayar telah terbentuk pula. Tabel 5.9. Tingkat Intensitas Kerusakan Terumbu Karang di Desa Polassi
No
Penyebab Utama
Tingkat Intensitas Kerusakan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Bahan peledak/bom
2
Racun kimia/cyanida
-
-
3
Sedimentasi
-
-
4
Iklim global
-
-
5
Tsunami/gempa bumi
-
-
6
Jangkar perahu/kapal
-
-
7
Tangkap lebih/Over-fishing
-
-
8
Limbah Industri
-
-
-
9
Penambangan Karang batu
-
10
Bintang laut berduri/COT
-
11
Pengambilan Karang untuk
-
-
Aquarium Sumber: Survey, 2006
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini masih belum optimal baik untuk daerah penangkapan ikan karena masih minimnya sarana yang dimiliki oleh nelayan, begitu pula untuk wisata bahari yang masih kurang. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.10. Peran kelembagaan baik informal maupun formal sangat mendukung keberhasilan pengelolaan terumbu karang. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.11. Tabel 5.10. Pemanfaatan Daerah Ekosistem Terumbu Karang dan Sekitarnya.
No
Jenis Pemanfaatan
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
1
Daerah penangkapan ikan
2
Wisata Bahari
-
-
3
Daerah penambangan karang
-
-
4
Daerah Budidaya ikan/Rumput laut
-
5
Tidak di manfaatkan/di konservasi
6
Di konservasi
Sumber: Survey, 2006
-
-
-
Tabel 5.11. Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. No
Jenis Pemanfaatan
Intensitas Pengelolaan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Lembaga adat
2
Lembaga agama
3
Lembaga Usaha/Perusahaan swasta
-
-
4
Lembaga koperasi Desa
-
-
5
Kelompok masyarakat (POKMAS)
6
Pemerintah Desa
-
-
7
Kelompok nelayan
-
-
8
Lembaga swadaya masyarakat
-
-
-
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Berdasarkan tabel tersebut diatas menunjukkan peran kelembagaan baik adat, agama, Pokmas, maupun LSM memiliki peran yang dapat digunakan dalam pengelolaan terumbu karang bersama dengan masyarakat. 5.2.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir Melihat potensi yang dimiliki di Desa Polassi ini, diperlukan dioptimalkan potensi yang dimilikinya. Potensi lain masih kurang terdapat di desa ini. Terumbu karang dapat digunakan sebagai media wisata bahari (ecotourism) maupun untuk media budidaya perikanan.
Tabel 5.12. Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Polassi No
Sumberdaya
Ada
Kondisi Tidak Ada -
1
Terumbu Karang
2
Mangrove
-
-
3
Tambak
-
-
4
Sawah
-
-
5
Diving
-
-
6
Wisata Lainnya
-
-
Sumber: Survey, 2006
5.3. Desa Maharaiya 5.3.1. Gambaran Umum Desa Maharaiya Secara administratif, Desa Maharaiya termasuk dalam Kecamatan Bontomatene. Desa Maharaiya memiliki luas sekitar 8,97 Km2 dengan panjang pantai sekitar 2.650
meter. Kondisi pantai di desa ini berupa pasir putih
dengan tipe karang yang dominan acropora dan soft coral. Aksesbility penduduk ke ibukota kabupaten tergolong lancar dengan tersedianya akses jalan kabupaten menuju ibukota kabupaten. Transportasi darat baik angkutan roda empat dan roda dua telah menjangkau seluruh wilayah desa. Kegiatan sosial kemasyarakatan dan pesta tahunan di Desa Maharayya ini berupa acara keagamaan dan peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Gambar 10. Situasi Perumahan di Desa Maharayya.
5.3.2. Demografi Jumlah penduduk sekitar 637 orang dengan perincian laki-laki sebanyak 309 orang dan 328 orang perempuan. Sedangkan jumlah rumah tangga sebanyak 157 KK.
Dengan demikian secara rata-rata kepadatan penduduk
2
(per Km ) sebanyak 68,12 orang dengan anggota tiap rumah tangga sekitar 4 orang/KK. Etnis yang ada di desa ini mayoritas bersuku makassar sebanyak 632 orang (99 %), ternate 2 (0,5%) orang dan jawa sebanyak 3 orang (0,5%). Di desa ini, keseluruhan penduduknya beragama Islam. pekerjaan penduduk di desa Maharayya ini di dominasi oleh petani sebanyak 63 orang, pedagang 30 orang, PNS/ABRI sebanyak 25 orang, nelayan 13 orang dan pekerjaan lainnya seperti tukang kayu dan sopir (Data Potensi Desa Maharayya, 2006). Hal ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan dimana menunjukkan pekerjaan responden di desa Maharayya adalah Nelayan (65 %), Pedagang (20%) dan Pengumpul (10%). Tingkat pendapatan di Desa ini tergolong besar yaitu di kisaran Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 per bulan dengan tingkat pengeluaran sekitar Rp. 200.000 – Rp. 500.000. Hal ini didukung adanya sumber pendapatan dari pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh nelayan. Jenis pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh masyarakat di desa ini umumnya bertani seperti jagung, ubi dan jambu mente yang banyak terdapat disekitar perumahan mereka. Selain itu pekerjaan seperti tukang kayu menjadi pekerjaan yang banyak dilakukan bila tidak melakukan aktifitas melaut. Tabel 5.13. Kondisi Responden di Desa Maharaiya No 1.
2.
Jenis Data Usia Responden
Jumlah
%
- 15 – 24 Tahun
2
10
- 25 – 34 Tahun
6
30
- 35 – 44 Tahun
7
35
- 45 – 54 Tahun
5
25
- Tidak Tamat SD
1
5
- Tamat SD
12
60
Pendidikan
Keterangan
3.
4.
5.
6.
- SMP
5
25
- SMA
2
10
- Nelayan
13
65
- Pengumpul
2
10
- Pedagang
4
20
- PNS
1
5
- Tani
9
45
- Tukang Kayu
3
15
- Ternak
1
5
- Jasa Transportasi
1
5
- Tidak Ada
6
30
- < Rp. 200.000
3
15
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
7
35
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
6
30
- > Rp. 1.000.000
4
20
- < Rp. 200.000
4
20
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
8
40
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
6
30
- > Rp. 1.000.000
2
10
Pekerjaan Utama
Sampingan Jagung, Mente
Ubi,
Kambing
Penghasilan Perbulan
Pengeluaran
Sumber: Survey, 2006
Tingkat umur responden di Desa Maharayya umumya merupakan tenaga kerja produktif. Responden mayoritas berusia 35 – 44 tahun (35 %). Tingkat pendidikan responden di desa ini, umumnya telah merasakan dunia pendidikan walaupun tingkatannya masih rendah. Mayoritas responden (60%) telah menamatkan pendidikan sekolah dasar. Alat tangkap nelayan yang banyak terdapat di desa ini adalah Bila dan bubu yang merupakan alat tangkap turun temurun. Penggunaan alat tangkap ini diatur secara adat. Selain alat tangkap tersebut, nelayan di desa ini umumnya merupakan pemancing dengan menggunakan sampan sebagai media transport. Lokasi penangkapan umumnya tidak melebihi 4 mil laut karena keterbatasan akses dari kapl tersebut.
Gambar 11. Sarana dan Prasarana Penangkapan 5.3.3. Infrasturktur Infrastruktur di Desa Maharayya umumnya telah dinikmati oleh warga masyarakat.
Tersedianya
seperti
sarana
kesehatan,
peribadatan,
perhubungan, dan penerangan. Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.14. ini. Sarana ibadah di desa ini sudah cukup baik dan memadai dengan terdapatnya masjid sebanyak 5 buah, sehingga aktifitas beribadat masyarakat tidak mengalami kendala. Untuk sarana pendidikan, di Desa Maharayya hanya memiliki 1 buah Taman Kanak-Kanak. Sedangkan untuk ketingkat lebih tinggi seperti, SD sampai dengan SMA, dilakukan di ibukota kecamatan. Namun hal tersebut tidak menjadi kendala karena aksesbility tergolong lanjar dan mudah dijangkau. Tabel 5.14. Kondisi Infrastruktur di Desa Maharayya No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
Jumlah 5
Kondisi Baik
Sarana Pendidikan
1
Baik
Status Swadaya dan Bantuan Pemerintah Pemerintah
2. 3.
Sarana Kesehatan
1
Baik
Pemerintah
Ket Masjid
Taman Kanak Posyand u
4.
Sarana
30
Baik
Milik
1
Baik
Colaboratif
Perdagangan 5.
Sarana Permodalan / Koperasi Listarik
Toko Kelonton g PLN
6.
Dermaga
-
-
7.
Sarana Jalan
-
Baik
8.
Sarana Penerangan
Baik
9.
Sarana Perumahan
Rumah Panggung
10.
Sarana Komunikasi
Telepon, Televisi, Radio dan Wartel
Hak Milik
11.
Sarana Sanitasi Sumur, Air Bersih
Baik
- Air Bersih - WC - Tempat Sampah
Ada
-
-
Pemerintah
Aspal
Pemerintah
PLN
Sedang
Pantai
-
-
-
12.
Industri Pengolahan Ikan Sumber: Survey, 2006.
Proyek PPK
Sarana perekonomian juga di desa ini tergolong maju dengan banyak terdapat toko baik toko klontong maupun sembako yang dilakukan oleh masyarakat sebagai pekerjaan alternatif untuk menambah pendapatan keluarga. Pekerjaan ini umumnya dilakukan oleh ibu rumah tangga. Sarana kesehatan di desa ini hanya terdapat posyandu. Sedangkan untuk berobat dilakukan ke puskesmas yang terdapat di ibukota kecamatan. Sarana sanitasi pembuangan sampah belum terdapat di desa ini, sehingga sampah umumnya dibakar atau dibiang kepantai. Penyediaan sarana air bersih di desa ini tidak mengalami kendala karena banyak terdapat sumur yang dimiliki oleh warga dan adanya proyek penyediaan air bersih yang dilakukan oleh LSM dan pemerintah. Sarana komunikasi dan perhubungan juga tidak mengalami kendala karena baik akses darat mudah terjangkau, begitu pula akses komunikasi juga telah merata di desa ini. Penggunaan telepon baik selular maupun PSTN serta Wartel juga terdapat di desa ini. 5.3.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Intensitas kerusakan terumbu karang di desa ini akibat destruktive fishing masih tergolong rendah. Kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh aktifitas kapal nelayan tradisional yang menempatkan jangkar di daerah yang memiliki terumbu karang. Kerusakan terumbu karang
ini juga disebabkan oleh faktor alam berupa proses sedimentasi yang terjadi di desa ini baik oleh aliran sungai maupun proses abrasi pantai yang terjadi karena tidak terdapatnya penghalang ombak di pinggir pantai. Tabel 5.15. Tingkat Intensitas Kerusakan Terumbu Karang di Desa Maharaiya
No
Penyebab Utama
Tingkat Intensitas Kerusakan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Bahan peledak/bom
2
Racun kimia/cyanida
-
3
Sedimentasi
-
4
Iklim global
-
-
5
Tsunami/gempa bumi
-
-
6
Jangkar perahu/kapal
-
-
7
Tangkap lebih/Over-fishing
-
-
8
Limbah Industri
-
-
9
Penambangan Karang batu
-
-
10
Bintang laut berduri/COT
-
-
11
Pengambilan Karang untuk Aquarium
-
-
-
-
Sumber: Survey, 2006.
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini tergolong besar untuk dijadikan sebagai fishing ground dimana didaerah ini terdapat jenis ikan karang yang memilki nilai ekonomis yang cukup tinggi seperti Ikan Katamba, Sunu, Kerapu, Baronang, Lemuru dan Lobster. Sedangkan untuk wisata bahari yang masih kurang dikelola dengan baik. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 5.16. Pemanfaatan Daerah Ekosistem Terumbu Karang dan Sekitarnya.
No 1
Jenis Pemanfaatan Daerah penangkapan ikan
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
2
Wisata Bahari
-
-
3
Daerah penambangan karang
-
-
4
Daerah Budidaya ikan/Rumput laut
-
-
5
Tidak di manfaatkan/di konservasi
6
Di konservasi
-
-
Sumber: Survey, 2006
Peran kelembagaan baik informal maupun formal sangat mendukung keberhasilan pengelolaan terumbu karang. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 5.17. Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Pemanfaatan Lembaga adat Lembaga agama Lembaga Usaha/Perusahaan swasta Lembaga koperasi Desa Kelompok masyarakat (POKMAS) Pemerintah Desa Kelompok nelayan Lembaga swadaya masyarakat
Intensitas Pengelolaan Sedan Rendah Tinggi g -
Sumber: Survey, 2006
Berdasarkan tabel tersebut diatas menunjukkan peran kelompok nelayan dan LSM memiliki potensi penggerak untuk berperan dalam pengelolaan terumbu karang.
Gambar 12. Aktifitas Masyarakat Desa Maharayya.
5.3.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir Keberadaan sumberdaya alam, buatan maupun jasa lingkungan wilayah pesisir di desa, dapat digunakan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Di desa ini sumberdaya terumbu karang terdapat di sepanjang pesisir pantai, namun untuk pemanfaatan masih belum dilakukan baik untuk kegiatan
budidaya,
wisata
maupun
untuk
daerah
konservasi
belum
dikembangkan. Tabel 5.18. Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Maharayya No
Sumberdaya
Kondisi Ada Tidak Ada -
1
Terumbu Karang
2
Mangrove
-
-
3
Tambak
-
-
4
Sawah
-
-
5
Diving
-
-
6
Wisata Lainnya
-
-
Sumber: Survey, 2006
Melihat potensi yang dimiliki di Desa Maharaiya ini, diperlukan pendampingan ke masyarakat untuk mengoptimalkan potensi desa yang dimilikinya. Terumbu karang dapat digunakan sebagai media wisata bahari (ecotourism) maupun untuk media budidaya perikanan.
5.4. Desa Bontolebang 5.4.1. Gambaran Umum Desa Bontolebang Desa Bontolebang memilki luas sekitar 1,21 Km2 dengan panjang garis pantai 9.500 meter dengan karakteristik berpsir putih yang didominasi oleh karang jenis acropora. Secara administratif, Desa Bontolebang termasuk dalam Kecamatan Bontoharu. Desa ini tedapat di Pulau Pasi (gusung) Potensi daerah pesisir dari desa ini berupa perikanan tangkap sedangkan ikan karang
dan pelagis merupakan jenis biota perikanan yang hampir ditemukan di sepanjang pesisir desa. Karakteristik fisik lahan pesisir di desa ini berupa pantai berpasir putih. Aksesbility penduduk ke ibukota kabupaten tergolong lancar dengan tersedianya akses transportasi laut menuju ibukota kabupaten dengan jarak sekitar 3 Km dan tergolong mudah diperoleh disepanjang pesisir Pulau Pasi ini.
Gambar 13. Kondisi Desa Bontolebang 5.4.2. Demografi Berdasarkan data potensi desa tahun 2006, di peroleh data jumlah penduduk sebanyak 790 orang dengan perincian laki-laki sebanyak 419 orang dan 371 orang perempuan. Sedangkan jumlah rumah tangga sebanyak 180 KK. Etnis yang ada di Desa Bontolebang ini keseluruhannya bersuku Makassar. Sedangkan kepercayaan masyarakat sekitar 788 orang beragama Islam dan hanya 2 orang yang memilki aliran kepercayaan. Berdasarkan data potensi desa Tahun 2006, menunjukkan bahwa masyarakat yang tidak bersekolah sebanyak 91 orang (11,5%), tidak tamat Sekolah Dasar sebanyak 232 orang (29%), tamat SD 250 orang(31,5%), tamat SMP sebanyak 27 orang (3%) dan SMA sebanyak 20 orang (2%). Hal ini menunjukkan bahawa tingkat pendidikan di desa ini masih tergolong sangat rendah. Hal ini berimbas pada penyediaan sumberdaya manusia yang tergolong lambat sehingga untuk tingkat kemajuan desa juga tergolong lambat. Data tersebut juga terlihat pada responden yang ditemui, juga
menunjukkan tingkat pendidikan yang masih rendah. Hal tersebut terlihat pada hasil survey yang telah dilakukan (Tabel 5.19). Tingkat umur responden di Desa Bontolebang merupakan usia produktif dimana 60 % berusia
35 – 44 tahun. Pekerjaan pokok responden adalah
nelayan (70%) yang merupakan pekerjaan yang dilakukan secara turun temurun. Tingkat kesejahteraan penduduk di desa ini tergolong sederhana, hal ini terlihat pada kondisi rumah panggung yang sederhana dengan perabot rumah yang seadanya. Tingkat penghasilan nelayan di desa ini sekitar Rp. 200.000 – Rp. 500.000 per bulan. Penghasilan ini mereka anggap cukup disebabkan pengeluaran secara umum perbulan sekitar dibawah Rp 200.000.
Tabel 5.19. Kondisi Responden di Desa Bontolebang No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jenis Data
Jumlah
%
- 15 – 24 Tahun
-
-
- 25 – 34 Tahun
4
40
- 35 – 44 Tahun
6
60
- 45 – 54 Tahun
-
-
- Tidak Sekolah/Tidak Tamat SD
1
10
- Tamat SD
3
30
- SMP
4
40
- SMA
2
20
- Sarjana
-
-
- Nelayan
7
70
- Pengumpul
1
10
- Petani
1
10
- PNS
1
10
- Tani
6
60
- Tukang Kayu
3
30
- Tidak Ada
1
10
- < Rp. 200.000
1
10
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
5
50
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
3
30
- > Rp. 1.000.000
1
10
- < Rp. 200.000
5
50
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
4
40
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
1
10
- > Rp. 1.000.000
-
-
Usia Responden
Pendidikan
Pekerjaan Utama
Sampingan
Penghasilan Perbulan
Pengeluaran
Sumber: Survey, 2006.
Keterangan
5.4.3. Infrasturktur Infrastruktur di Desa Bontolebang umumhya telah dinikmati oleh warga masyarakat.
Tersedianya
perhubungan,
seperti
sarana
kesehatan,
peribadatan,
dan penerangan. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel
berikut ini. Tabel 5.20. Kondisi Infrastruktur di Desa Bontolebang No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
Jumlah 3
Kondisi Baik
2.
Sarana Pendidikan
1
Baik
Status Ket Swadaya Masjid dan Bantuan Pemerintah Pemerintah Sekolah Dasar
3.
Sarana Kesehatan
1
Baik
Pemerintah Pustu
4.
Sarana Perdagangan
-
-
5.
Sarana Permodalan / Koperasi Listarik
1
Baik
6.
Dermaga
2
Baik
7.
Sarana Jalan
-
Baik
8.
Jembatan
1
Baik
8.
Sarana Penerangan
Baik
9.
Sarana Perumahan
Rumah Panggung
10.
Sarana Komunikasi
Telepon, Televisi, Radio dan Wartel
11.
Sarana Sanitasi - Air Bersih - WC - Tempat Sampah
-
-
Kelompok SimpanPinjam Perempuan Pemerintah -
Perda
Pemerintah Pavin Blok/Aspal Pemerintah Kayu/Beton Bantuan 6 – 11 Jam Pemerintah Menyala Hak Milik
Sumur
Baik
Swadaya
Ada
Baik
Swadaya
Pantai
-
Sumber: Survey, 2006.
Masjid di desa ini terdapat 3 buah yang merupakan swadaya masyarakat dan bantuan pemerintah daerah setempat. Letak sarana ibadah berupa masjid terletak
di
tengah
perkampungan
sehingga
akses
masyarakat
untuk
mengjakaunya cukup mudah. Sarana ibadah di desa ini juga berfungsi sebagai
sarana sosial bagi masyarakat untuk diadakan acara tingkat desa dan pertemuan untuk membahas persoalan desa. Untuk sarana pendidikan, di Desa Bontolebang hanya memiliki 1 buah Sekolah Dasar. Sedangkan untuk ketingkat lebih tinggi seperti SMP dan SMA, dilakukan di ibukota kabupaten, Benteng. Namun hal tersebut tidak menjadi kendala karena aksesbility tergolong lanjar, murah dan mudah dijangkau. Sarana kesehatan di desa ini hanya terdapat puskesmas pembantu. Sarana sanitasi pembuangan sampah belum terdapat di desa ini, sehingga sampah umumnya dibakar atau dibuang kepantai. Penyediaan sarana air bersih di desa ini tidak mengalami kendala karena banyak terdapat sumur yang dimiliki oleh warga. Sarana komunikasi dan perhubungan juga tidak mengalami kendala karena baik akses darat mudah terjangkau, begitu pula akses komunikasi juga telah merata di desa ini. Penggunaan telepon baik selular maupun PSTN serta Wartel juga terdapat di desa ini. Televisi dengan jaringan satelit juga telah menjakau di desa ini. Begitu siaran radio baik gelombang pendek (FM) maupun gelombang panjang (AM) telah dinikmati oleh masyarakat desa. 5.4.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Intensitas kerusakan terumbu karang di desa ini akibat destruktive fishing masih tergolong rendah. Hal ini tingkat pengawasan dan pengelolaan terumbu karang di desa ini telah dilakukan baik secara kelompok masyarakat maupuin oleh aparat penegak hukum. Kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh jangkar kapal karena saerah ini merupakan jalur trasportasi laut menuju benteng sebagai ibukota kabupaten. Eksploitasi terumbu karang untuk kepentingan bisnis seperti Marine Aquarium Trade telah dilakukan baik oleh masyarakat lokal maupun pendatang.
Tabel 5.21. Tingkat Intensitas Bontolebang
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kerusakan
Penyebab Utama Bahan peledak/bom Racun kimia/cyanida Sedimentasi Iklim global Tsunami/gempa bumi Jangkar perahu/kapal Tangkap lebih/Over-fishing Limbah Industri Penambangan Karang batu Bintang laut berduri/COT Pengambilan Karang untuk Aquarium
Terumbu
Karang
di
Desa
Tingkat Intensitas Kerusakan Sedan Tinggi Rendah g -
Sumber: Survey, 2006
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini tergolong besar untuk dijadikan sebagai fishing ground dimana didaerah ini terdapat jenis ikan karang yang memilki nilai ekonomis yang cukup tinggi seperti Ikan Sunu dan Ikan Kerapu. Sedangkan untuk wisata bahari yang masih kurang dikelola dengan baik. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.22. Peran kelembagaan baik informal maupun formal sangat mendukung keberhasilan pengelolaan terumbu karang. Hal ini dapat dilihat pada tabel Tabel 5.23. Tabel 5.22. Pemanfaatan Daerah Ekosistem Terumbu Karang dan Sekitarnya.
No 1 2 3 4 5 6
Jenis Pemanfaatan Daerah penangkapan ikan Wisata Bahari Daerah penambangan karang Daerah Budidaya ikan/Rumput laut Tidak di manfaatkan/di konservasi Di konservasi
Sumber: Survey, 2006.
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
Tabel 5.23. Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. No
Jenis Pemanfaatan
Intensitas Pengelolaan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Lembaga adat
2
Lembaga agama
3
Lembaga Usaha/Perusahaan swasta
4
Lembaga koperasi Desa
5
Kelompok masyarakat (POKMAS)
6
Pemerintah Desa
-
7
Kelompok nelayan
-
8
Lembaga swadaya masyarakat
-
-
-
-
-
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Lembaga adat, LSM, Pokmas dan Perusahaan memilki peran untuk dilibatkan dalam pengelolaan terumbu karang. Seperti perusahaan, dengan menerapkan standar mutu lingkungan diharapkan eksploitasi terumbu karang dapat berwawasan lingkungan. Begitu pula dengan lembaga adat, Pokmas dan LSM diharapkan proses pendampingan terus digalakkan. 5.4.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir Terumbu karang dan Mangrove sangat potensial untuk dikembangkan karena dengan keberadaan sumberdaya alam pesisir di desa, dapat digunakan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai pendapatan alternatif. Di desa ini, sumberdaya terumbu karang dan mangrove terdapat di sepanjang pesisir pantai, namun untuk pemanfaatan masih belum dilakukan baik untuk kegiatan budidaya, wisata maupun untuk daerah konservasi belum dikembangkan.
Tabel 5.24. Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Bontolebang No
Sumberdaya
Ada
1
Terumbu Karang
2
Mangrove
3
Tambak
-
4
Sawah
-
5
Diving
-
6
Wisata Lainnya
-
Kondisi Tidak Ada -
Sumber: Survey, 2006
5.5. Desa Kembang Ragi 5.5.1. Gambaran Umum Desa Kembang Ragi Desa Kembang Ragi memilki luas sekitar 5,07 Km2 dengan panjang garis pantai 8.550 meter dengan karakteristik berpasir putih yang didominasi oleh karang jenis acropora. Secara administratif, Desa Kembang Ragi termasuk dalam Kecamatan Pasimasunggu dan terdapat di Pulau Jampea. Desa ini memiliki pulau kecil yang tidak berpenghuni yakni Pulau Tangga dengan luas sekitar 48 Ha. Aksesbility penduduk antar pulau dan ke ibukota kabupaten tergolong lancar dengan tersedianya jalur perhubungan laut dengan menggunakan trasportasi reguler dengan menggunkan jolloro. Jalur perhubungan antar pulau seperti ke Pulau Kayuadi dan sekitarnya dan ke benteng hampir dilakukan setiap minggu dengan frekuensi 2 – 3 kali. Kondisi jalan di desa ini masih tanah berbatu. Namun kondisinya tertata baik dan dipelihara oleh masyarakat. Begitu pula dermaga yang terdapat di desa ini tergolong baik dengan konstruksi beton merupakan hasil swadaya masyarakat di bantu oleh pemerintah daerah.
5.5.2. Demografi Berdasarkan data potensi Desa Kembang Ragi Tahun 2006, di peroleh data jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 578 KK, dengan jumlah penduduk sebanyak 2.115 orang dimana 1.009 orang laki-laki dan sebanyak 1.106 orang perempuan. Tabel 5.25. Kondisi Responden di Desa Kembang Ragi No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jenis Data
Jumlah
%
Usia Responden - 15 – 24 Tahun
-
- 25 – 34 Tahun
2
33
- 35 – 44 Tahun
3
50
- 45 – 54 Tahun
1
16
Pendidikan - Tidak Sekolah/Tidak Tamat SD
-
- Tamat SD
3
50
- SMP
2
33
- SMA
1
16
- Nelayan
5
83
- Pengumpul
1
16
- Tani
3
50
- Tukang Kayu
2
33
- Tidak Ada
1
16
Pekerjaan Utama
Sampingan
Penghasilan Perbulan - < Rp. 200.000
-
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
4
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
-
- > Rp. 1.000.000
2
33
- < Rp. 200.000
4
66
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
-
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
1
16
- > Rp. 1.000.000
1
16
66
Pengeluaran
Sumber: Survey, 2006
Keterangan
Berdasarkan data responden (Tabel 5.25.), dapat digambarkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Kembang Ragi umumnya tidak Tamat SD. Jenis mata pencaharian utama adalah nelayan dengan pekerjaan sampingan sebagai petani, dimana tingat pendepatannya berkisar antara Rp. 200.000 – Rp. 400.000 per bulan dengan tingkat pengeluaran sekitar dibawah Rp. 200.000 per bulan. Secara mayoritas (100%) penduduk di Desa Kembang Ragi beragama Islam. Sedangkan etnis yang ada di Desa Kembang Ragi ini mayoritas penduduknya bersuku makassar (80%). Etnis lainnya bersuku bugis (5%), bajo (5%), dan jawa (10%). Berdasarkan data potensi desa tersebut, juga menunjukkan mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani (70%), nelayan (25%), Pedagang (2%) dan PNS/ABRI (3%). Alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat Desa Kembang Ragi ini berupa Pancing, Pukat dan Keramba. Sedangkan kapal digunakan sampan dan jolloro.
Gambar 14. Suasana Pantai Desa kembang ragi 5.5.3. Infrasturktur Infrastruktur di Desa Kembang Ragi umumhya telah dinikmati oleh warga masyarakat. Tersedianya seperti sarana kesehatan, peribadatan, perhubungan, berikut ini.
dan penerangan. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel
Tabel 5.26. Kondisi Infrastruktur di Desa Kembang Ragi No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
Jumlah 2
Kondisi Baik
2.
Sarana Pendidikan
1
Baik
Pemerintah Sekolah Dasar
3.
Sarana Kesehatan - Posyandu
4
Baik
Swadaya
-
1
Baik
Pemerintah Swadaya
Pasar Desa
-
-
Puskesmas
Status Swadaya
Ket Masjid
Pembantu 4.
Sarana Perdagangan
1
Baik
5.
-
-
6.
Sarana Permodalan / Koperasi Listarik Dermaga
1
Baik
7.
Sarana Jalan
-
Baik
8.
Sarana Penerangan
Perbaikan
PLN
9.
Sarana Perumahan
Baik
10.
Sarana Komunikasi
Rumah Panggung dan Batu Permanen Telepon, Televisi, Radio dan Wartel
11.
Sarana Sanitasi - Air Bersih - WC - Tempat Sampah
Beton Swadya dan Bantuan Pemerintah Tanah/Batu Swadaya Jam 18.00 – 24.00 menyala
Hak Milik
Sumur
Baik
Swadaya
Ada
Baik
Swadaya
Pantai
-
12.
Sarana Penginapan
-
-
13.
Industri Ikan
-
-
Pengolahan
Sumber: Survey, 2006.
2 buah masjid di desa ini merupkan salah satu simbol masyarakat yang agamais dimana 100 % masyarakat menganut agama Islam. Masjid sebagi sarana ibadah, warga juga menjadikan sebagai tempat pertemuan baik untuk pertemuan formal maupun informal Untuk sarana pendidikan, di Desa Kembang Ragi hanya memiliki 1 buah Sekolah Dasar. Sedangkan untuk ketingkat lebih tinggi seperti SMP dan SMA,
dilakukan di ibukota kecamatan. Namun hal tersebut tidak menjadi kendala karena aksesbility tergolong lancar dan mudah dijangkau. Sarana kesehatan di desa ini hanya terdapat puskesmas pembantu dan posyandu. Sarana sanitasi pembuangan sampah belum terdapat di desa ini, sehingga sampah umumnya dibakar atau dibuang ke pantai. Penyediaan sarana air bersih di desa ini tidak mengalami kendala karena banyak terdapat sumur yang dimiliki oleh warga. Sarana komunikasi dan perhubungan juga tidak mengalami kendala karena akses darat mudah terjangkau, begitu pula akses komunikasi juga telah tersedia di desa ini (wartel). Salah satu operator (telkomsel) berencana membuat jaringan di desa ini. Televisi dengan jaringan satelit juga telah menjakau di desa ini. Sarana perhubungan radio (ORARI) terdapat di desa ini. Begitu pula siaran radio (gelombang panjang /AM) telah dinikmati oleh masyarakat desa. 5.5.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Intensitas kerusakan terumbu karang di desa ini umunya aktifitas bongkar muat kapal yang cukup intensif dilakukan, dimana desa ini tergolong tinggi dalam hal mobilitas kapal, sehingga jangkar kapal yang dibuang umumnya terdapat lokasi terumbu karang. Sedangkan faktor destruktive fishing masih tergolong rendah. Hal ini tingkat pengawasan dan pengelolaan terumbu karang di desa ini telah dilakukan baik secara kelompok masyarakat maupun oleh aparat penegak hukum.
Tabel 5.27. Tingkat Intensitas Kerusakan Terumbu Karang di Desa Kembang Ragi
No
Penyebab Utama
Tingkat Intensitas Kerusakan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Bahan peledak/bom
2
Racun kimia/cyanida
-
3
Sedimentasi
-
-
4
Iklim global
-
-
5
Tsunami/gempa bumi
-
6
Jangkar perahu/kapal
7
Tangkap lebih/Over-fishing
-
-
8
Limbah Industri
-
-
9
Penambangan Karang batu
-
-
10
Bintang laut berduri/COT
-
-
11
Pengambilan Karang untuk
-
-
-
-
-
-
-
Aquarium Sumber: Survey, 2006.
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini tergolong besar untuk dijadikan sebagai fishing ground dimana didaerah ini terdapat jenis ikan karang yang memilki nilai ekonomis yang cukup tinggi seperti Ikan Sunu dan Ikan Kerapu. Sedangkan untuk wisata bahari yang masih kurang dikelola dengan baik. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 5.28. Pemanfaatan Daerah Ekosistem Terumbu Karang dan Sekitarnya.
No
Jenis Pemanfaatan
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
1
Daerah penangkapan ikan
2
Wisata Bahari
-
-
3
Daerah penambangan karang
-
-
4
Daerah Budidaya ikan/Rumput laut
-
-
5
Tidak di manfaatkan/di konservasi
-
6
Di konservasi
-
-
Sumber: Survey, 2006
Peran kelembagaan baik informal maupun formal sangat mendukung keberhasilan pengelolaan terumbu karang. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 5.29. Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. No
Jenis Pemanfaatan
Intensitas Pengelolaan Sedan Rendah Tinggi g -
1
Lembaga adat
2
Lembaga agama
3
Lembaga Usaha/Perusahaan swasta
-
4
Lembaga koperasi Desa
-
5
Kelompok masyarakat (POKMAS)
-
6
Pemerintah Desa
-
7
Kelompok nelayan
-
-
8
Lembaga swadaya masyarakat
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Sebagai desa yang memilki kedekatan spiritual, peran tokoh agama untuk mencegah penrusakan lingkungan khususnya terumbu karang sangat diperlukan, karena masyarakat nelayan masih memandang tokoh/pendakatan agama dapat merubah pola pikir mereka. 5.5.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir Terumbu karang dan Mangrove sangat potensial untuk dikembangkan karena dengan keberadaan sumberdaya alam pesisir di desa, dimana dapat digunakan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai pendapatan alternatif. Di desa ini sumberdaya terumbu karang dan mangrove terdapat di sepanjang pesisir pantai, namun untuk pemanfaatan masih belum
dilakukan baik untuk kegiatan budidaya, wisata maupun untuk daerah konservasi belum dikembangkan. Begitu pula potensi tambak dan sawah begitu besar di desa ini yang dapat digunkan untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Tabel 5.30. Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Kembang Ragi No
Sumberdaya
Ada
Kondisi Tidak Ada -
1
Terumbu Karang
2
Mangrove
-
3
Tambak
-
4
Sawah
-
5
Diving
-
6
Wisata Lainnya
-
Sumber: Survey, 2006
5.6. Desa Massungke 5.6.1. Gambaran Umum Desa Massungke Desa Massungke memilki luas sekitar 5,09 Km2 dengan panjang garis pantai 7.600 meter dengan karakteristik berpasir putih yang memiliki tipe terumbu karang penghalang. Secara administratif, Desa Massungke termasuk dalam Kecamatan Pasimasunggu dan terdapat di Pulau Jampea. Aksesbility penduduk antar pulau dan ke ibukota kabupaten tergolong lancar dengan tersedianya jalur perhubungan laut dengan menggunakan trasportasi reguler yaitu jolloro. Jalur perhubungan antar desa dalam pulau ini juga terjangkau dengan adanya transportasi darat berupa motor roda dua. Kondisi jalan di desa ini masih tanah berbatu. Namun kondisinya tertata baik dan dipelihara oleh masyarakat. Begitu pula dermaga yang terdapat di desa ini tergolong baik dengan konstruksi kayu yang merupakan hasil swadaya masyarakat.
5.6.2. Demografi Berdasarkan data potensi Desa Massungke Tahun 2006, di peroleh data jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 201 KK, dengan jumlah penduduk sebanyak 778 jiwa dimana 352 jiwa laki-laki dan sebanyak 426 jiwa perempuan. Secara mayoritas (100%) penduduk di Desa Massungke beragama Islam. Sedangkan etnis yang ada di Desa Massungke ini mayoritas penduduknya bersuku makassar (80%). Etnis lainnya bersuku bugis (5%), bajo (5%), dan jawa (10%). Berdasarkan Tabel 5.31. menunjukkan mayoritas penduduk di Desa Masungke mayoritas telah menamatkan pendidikan tingkat dasar (50%). Pekerjaan utama di desa ini adalah petani dan nelayan. Jenis pekerjaan utama di desa ini tergantung dari musim yang ada. Bila musim timur umumnya mereka sebagai nelayan dan sebaliknya bila musim barat umumnya mereka berpekerjaan sebagai petani. Pertanian yang utama di daerah selain padi, berupa wijen, jambu mente, ubi dan coklat. Penghasilan secara umum di Desa Massungke ini tergolong cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok. Secara kisaran pendapatan masyarakat desa sekitar Rp. 200.000 – Rp. 1.000.000 perbulan dengan tingkat pengeluaran sekitar Rp. 200.000 – Rp. 500.000 per bulan. Penggunaan kapal jolloro dan sampan di Desa Masungke ini merupakan media penangkapan utama dengan alat tangkap berupa pancing dan pukat.
Tabel 5.31. Kondisi Responden di Desa Massungke No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jenis Data
Jumlah
%
Usia Responden - 15 – 24 Tahun
-
- 25 – 34 Tahun
-
- 35 – 44 Tahun
2
25
- 45 – 54 Tahun
6
75
- Tidak Sekolah/Tidak Tamat SD
2
25
- Tamat SD
4
50
- SMP
2
25
- SMA
-
- Sarjana
-
Pendidikan
Pekerjaan Utama - Nelayan
3
- Pengumpul
-
- Petani
5
- PNS
-
37 63
Sampingan - Tani
5
63
- Tukang Kayu
1
12
- Tidak Ada
2
25
Penghasilan Perbulan - < Rp. 200.000
-
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
4
50
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
4
50
- > Rp. 1.000.000
-
Pengeluaran - < Rp. 200.000
2
25
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
6
75
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
-
- > Rp. 1.000.000
-
Sumber: Survey, 2006
5.6.3. Infrasturktur
Keterangan
Untuk sarana pendidikan, di Desa Massungke hanya memiliki 1 buah Sekolah Dasar. Sedangkan untuk ketingkat lebih tinggi seperti SMP dan SMA, dilakukan di ibukota kecamatan. Namun hal tersebut tidak menjadi kendala karena aksesbility tergolong lancar dan mudah dijangkau. Tabel 5.32. Kondisi Infrastruktur di Desa Massungke No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
Jumlah 2
Kondisi Baik
2.
Sarana Pendidikan
1
Baik
Pemerintah Sekolah Dasar
3.
Sarana Kesehatan - Posyandu
3
Baik
Swadaya
-
1
Baik
Pemerintah Milik
Kios
-
-
Puskesmas
Status Swadaya
Ket Masjid
Pembantu 4.
Sarana Perdagangan
4
Baik
5.
-
-
6.
Sarana Permodalan / Koperasi Listarik Dermaga
1
Baik
Swadaya
Kayu
7.
Sarana Jalan
-
Baik
Swadaya
Tanah/Batu
8.
Sarana Penerangan
Perbaikan
PLN
Jam 18.00 – 24.00 menyala
9.
Sarana Perumahan
Rumah Panggung
Baik
10.
Sarana Komunikasi
Telepon, Televisi, Radio
Hak Milik
11.
Sarana Sanitasi - Air Bersih - WC - Tempat Sampah
Sumur
Baik
Swadaya
Ada
Baik
Swadaya
Pantai
-
12.
Sarana Penginapan
-
-
13.
Industri Ikan
-
-
Pengolahan
Sumber: Survey, 2006.
Sarana kesehatan di desa ini hanya posyandu dan Pusekesmas Pembantu. Sarana sanitasi pembuangan sampah belum terdapat di desa ini, sehingga sampah umumnya dibakar atau dibuang ke pantai. Penyediaan sarana air bersih di desa ini tidak mengalami kendala karena banyak terdapat sumur yang dimiliki oleh warga.
Sarana komunikasi dan perhubungan juga tidak mengalami kendala karena baik akses darat mudah terjangkau, begitu pula akses komunikasi juga telah tersedia di desa ini (wartel). Televisi dengan jaringan satelit juga telah menjakau di desa ini. Sarana perhubungan radio (ORARI) terdapat Di desai ini. Begitu pula siaran radio (gelombang panjang /AM) telah dinikmati oleh masyarakat desa.
Gambar 15. Situasi Desa Massungke 5.6.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Intensitas kerusakan terumbu karang di desa ini tergolong sedang. Faktor penyebab utama terumbu karang masih kurang terdapat di desa ini. Tabel 5.33. Tingkat Intensitas Kerusakan Terumbu Karang di Desa Massungke
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penyebab Utama Bahan peledak/bom Racun kimia/cyanida Sedimentasi Iklim global Tsunami/gempa bumi Jangkar perahu/kapal Tangkap lebih/Over-fishing Limbah Industri Penambangan Karang batu Bintang laut berduri/COT Pengambilan Karang untuk Aquarium
Sumber: Survey, 2006.
Tingkat Intensitas Kerusakan Sedan Tinggi Rendah g -
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini tergolong besar untuk dijadikan sebagai fishing ground dimana didaerah ini terdapat jenis ikan karang yang memilki nilai ekonomis yang cukup tinggi seperti Ikan Sunu dan Ikan Kerapu. Sedangkan untuk wisata bahari mulai dikembangkan di desa ini dimana memilki pantai yang bersih dan pemandangan alam yang cukup menarik. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 5.34. Pemanfaatan Daerah Ekosistem Terumbu Karang dan Sekitarnya.
No
Jenis Pemanfaatan
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
1
Daerah penangkapan ikan
2
Wisata Bahari
-
3
Daerah penambangan karang
-
-
4
Daerah Budidaya ikan/Rumput laut
-
-
5
Tidak di manfaatkan/di konservasi
-
6
Di konservasi
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Peran kelembagaan baik informal maupun formal sangat mendukung keberhasilan pengelolaan terumbu karang. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 5.35. Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Pemanfaatan Lembaga adat Lembaga agama Lembaga Usaha/Perusahaan swasta Lembaga koperasi Desa Kelompok masyarakat (POKMAS) Pemerintah Desa Kelompok nelayan Lembaga swadaya masyarakat
Sumber: Survey, 2006.
Intensitas Pengelolaan Sedan Tinggi Rendah g -
5.6.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir Terumbu karang dan Mangrove sangat potensial untuk dikembangkan karena dengan keberadaan sumberdaya alam pesisir di desa, dimana dapat digunakan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai pendapatan alternatif. Di desa ini sumberdaya terumbu karang dan mangrove terdapat di sepanjang pesisir pantai, namun untuk pemanfaatan masih belum dilakukan baik untuk kegiatan budidaya, wisata maupun untuk daerah konservasi belum dikembangkan. Begitu pula potensi tambak dan sawah begitu besar di desa ini yang dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Tabel 5.36. Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Massungke No
Sumberdaya
Ada
Kondisi Tidak Ada -
1
Terumbu Karang
2
Mangrove
-
3
Tambak
-
4
Sawah
-
5
Diving
6
Wisata Lainnya
-
Sumber: Survey, 2006
5.7. Desa Tanamalala 5.7.1. Gambaran Umum Desa Tanamalala Secara administratif, Desa Tanamalala termasuk dalam Kecamatan Pasimasunggu Barat. Desa Tanamalala memiliki luas sekitar 12,05 Km2 dengan panjang pantai sekitar 41.650 meter. Secara umum desa ini terdapat di Pulau Bembe. Desa Tanamalala memiliki 9 pulau yaitu Pulau Tanamalala, berpenduduk dengan luas 980,5 Ha, Pulau Karang Sane-Sane Besar 1 dan Pulau Karang Sane-Sane Besar 2 merupakan pulau yang tidak berpenghuni, Pulau Jaelamu yang tidak berpenghuni dengan luas 23 Ha, Pulau Bembe
dengan luas 187 Ha serta berpenghuni, Pulau Senopang (berpenghuni), Pulau Guru (berpenghuni), Pulau Sambiu (tidak berpenghuni), Pulau Sarimpa (tidak berpenghuni), Pulau Saranga (tidak berpenghuni) dengan luas 3,4 Ha dan Pulau Katela (tidak berpenghuni) dengan luas pulau sekitar 19 Ha. Potensi daerah pesisir dan pulau-pulau kecil dari desa ini berupa perikanan tangkap, budidaya tambak dan laut, sedangkan ikan karang, cumi-cumi, cakalang dan ikan pelagis merupakan jenis biota perikanan pesisir dan laut desa. Karakteristik fisik lahan pesisir di desa ini berupa pantai berpasir putih dan pasir gelap, berbatu mangrove dan terdapat beberapa teluk.. Aksesbility penduduk ke ibukota kabupaten dan antar pulau di sekitar desa dan Pulau Jampea tergolong lancar dengan tersedianya kapal reguler berupa kapal motor. Aksesblity ini di dukung pula dengan keberadaan dermaga yang terdapat di desa ini yang masih tergolong baik dengan konstruksi kayu. Kelembagaan Formal dan Informal di desa ini terdiri atas pemerintahan desa,
LKMD,
Remaja
Masjid,
dan
kelompok
swadaya
masyarakat.
Kelembangaandari COREMAP mulai terbentuk mulai dari keberadaan reef watcher, fasilitator, motivator dan Seto mulai berjalan. 5.7.2. Demografi Struktur populasi dan mata pencaharian di Desa Tanamalala di dominasi oleh petani (70%) dan nelayan (20 %). Hal ini didukung oleh kondisi geografis desa ini tergolong subur untuk bercocok tanam. Etnis di pulau ini merupakan suku bugis (70 %), suku makassar/selayar (20 %) dan buton (10 %). Keseluruhan masyarakat di Desa Tanamalala beragama Islam. Jumlah penduduk di desa ini sekitar 521 orang (laki-laki 352 orang dan perempuan 353 orang) dengan perincian: Dusun Tanjung Lasore sebanyak 205 orang (laki-laki 147 orang, perempuan 130 orang), Dusun Tanjung Bone sebanyak 142 orang (laki-laki 88 orang, perempuan 106 0rang), Dusun Jaelamu sebanyak 132 orang (laki-laki 76 orang, perempuan 84 orang) dan Dusun Tanjung Koran sebanyak 58 orang (laki-laki 41 orang, perempuan 39 orang). Jumlah kepala kelurga (KK)
di desa ini sekitar 160 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 71 orang per km2 dengan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 4 orang. Tabel 5.37. No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kondisi Responden di Desa Tanamalala
Jenis Data Usia Responden
Jumlah
%
- 15 – 24 Tahun
-
- 25 – 34 Tahun
3
37,5
- 35 – 44 Tahun
3
37,5
- 45 – 54 Tahun
2
25
Pendidikan - Tidak Tamat SD
-
- Tamat SD
7
- SMA
-
- Sarjana
1
12
- Nelayan
7
88
- Pengumpul
1
12
- Tani
5
63
- Tukang Kayu
1
12
- Tidak Ada
2
25
- < Rp. 200.000
1
12
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
7
88
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
-
- > Rp. 1.000.000
-
88
Pekerjaan Utama
Sampingan
Penghasilan Perbulan
Pengeluaran - < Rp. 200.000
7
88
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
1
12
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
-
Sumber: Survey, 2006
Keterangan
Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa umunya mereka hanya berpendidikan hingga tamat SD (88%). Pekerjaan pokok sebagai nelayan (88%). Selain itu pekerjaan sampingan, umumnya mereka bertani seperti menanam jagung dan ubi kayu. Selain untuk dijual, juga untuk kebutuhan sendiri. Penghasilan responden umumnya berkisar antara Rp. 200.000 – Rp. 500.000 perbulan, dengan biaya hidup dibawah Rp. 200.000 per bulan.
Gambar 16. Kondisi Desa Tanamalala 5.7.3. Infrasturktur Infrastruktur yang terdapat di Desa Tanamalala umumnya telah dirasakan manfaatnya walaupun secara kuantitas dan kualitas masih tergolong sederhana, namun apresiasi masyarakat dengan keberadaan infrastruktur tersebut tergolong besar. Penerangan yang terdapat di desa ini telah 3 bulan mengalami pemadaman karena terdapat kerusakan di pembangkit listrik tenaga diesel (PLN) yang sementara dalam proses perbaikan. Sehingga sementara ini penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh masyarakat baik secara sendiri maupun secara berkelompok membeli/menyewa generator listrik dengan membayar sebanyak Rp. 20.000 per mata lampu. Sarana jalan desa tergolong baik dengan, kondisi jalan desa terbuat dari pavin blok yang merupakan bantuan pemerintah. Sedangkan sarana komunikasi di desa ini terdapat televisi satelit dengan menggunakan jaringan parabola. Infrastruktur
di
Desa
Tanamalala
yang
tersedia
seperti
sarana
kesehatan, peribadatan, perhubungan, penerangan. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 5.38. Kondisi Infrastruktur di Desa Tanamalala No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
Jumlah 1
Kondisi Baik
Status Swadaya
2.
Sarana Pendidikan 1
Baik
Pemerintah
- Sekolah Dasar
1
Baik
Pemerintah
3.
Sarana Kesehatan
1
Baik
Posyandu
4.
Sarana Perdagangan
2
Baik
Kompensasi BBM Milik
5.
-
-
-
-
6.
Sarana Permodalan / Koperasi Dermaga
1
Baik
Swadaya
Kayu
7.
Sarana Jalan
-
Baik
Pemerintah
Pavin Blok
8.
Sarana Penerangan
Genarator Diesel
9.
Sarana Perumahan
Rumah
-
Taman
Kanak-
Ket Masjid
Kanak
Kios
Milik/Swadaya 18.00 22.00 menyala
–
Panggung 10.
Sarana Komunikasi
11.
Sarana Sanitasi - Air Bersih - WC - Tempat Sampah
Televisi
Hak Milik
Sumur
Baik
Ada
Baik
Pantai
1 buah
-
Sumber: Survey, 2006.
Sarana sanitasi di Desa Tanamalala masih perlu mendapatkan perhatian terutama dalam hal pembuangan sampah, dimana di desa ini belum memiliki tempat pembuangan sampah. 5.7.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Eksploitasi sumberdaya terumbu karang di Desa Tanamalala masih dalam tingkat intensitas sedang. Penggunaan destructive fishing gear tergolong masih kurang karena adanya kesadaran masyarakat tentang pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang perlu dijaga agar ketersediaan sumberdaya ikan di wilayah perairan desa ini dapat terjaga.
Tabel 5.39. Tingkat Intensitas Kerusakan Terumbu Karang di Desa Tanamalala
No
Penyebab Utama
Tingkat Intensitas Kerusakan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Bahan peledak/bom
2
Racun kimia/cyanida
-
-
3
Sedimentasi
-
-
4
Iklim global
-
-
5
Tsunami/gempa bumi
-
-
6
Jangkar perahu/kapal
-
-
7
Tangkap lebih/Over-fishing
-
-
8
Limbah Industri
-
-
9
Penambangan Karang batu
-
-
10
Bintang laut berduri/COT
-
-
11
Pengambilan Karang untuk
-
-
Aquarium Sumber: Survey, 2006
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini masih tergolong tinggi dimana daerah baik pesisir maupun lautan merupakan daerah fishing ground baik oleh penduduk desa, pulau jampea maupun dari luar pulau. Tabel 5.40. Pemanfaatan Daerah Ekosistem Terumbu Karang dan Sekitarnya.
No
Jenis Pemanfaatan
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
1
Daerah penangkapan ikan
2
Wisata Bahari
-
-
3
Daerah penampungan karang
-
-
4
Daerah Budidaya ikan/Rumput laut
-
-
5
Tidak di manfaatkan/di konservasi
6
Di konservasi
Sumber: Survey, 2006
-
-
-
Peran kelembagaan baik informal maupun formal sangat mendukung keberhasilan pengelolaan terumbu karang. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.41. Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. No
Jenis Pemanfaatan
Intensitas Pengelolaan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Lembaga adat
2
Lembaga agama
-
3
Lembaga Usaha/Perusahaan swasta
-
-
4
Lembaga koperasi Desa
-
-
5
Kelompok masyarakat (POKMAS)
6
Pemerintah Desa
-
-
7
Kelompok nelayan
-
-
8
Lembaga swadaya masyarakat
-
-
-
-
-
Sumber: Survey, 2006.
Berdasarkan tabel tersebut diatas menunjukkan peran kelembagaan baik kelompok masyarakat dan LSM memiliki pemgaruh dalam pengelolan terumbu karang. Hal ini merupakan apresiasi masyarakat yang menggangap mereka masih memilki kepedulian dan rasa simpati dalam memperjuangkan keleatrian sumberdaya alam. 5.7.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir Melihat potensi yang dimiliki di Desa Tanamalala ini, diperlukan pendampingan ke masyarakat untuk mengoptimalkan potensi desa yang dimilikinya. Terumbu karang dapat digunakan sebagai media wisata bahari (ecotourism) yang dapat dijadikan Mata Pencaharian Alternatif (MPA) bagi masyarakat.
Tabel 5.42. Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Tanamalala No
Sumberdaya
Ada
1
Terumbu Karang
2
Mangrove
-
3
Tambak
-
4
Sawah
-
5
Diving
6
Wisata Lainnya
Kondisi Tidak Ada -
-
Sumber: Survey, 2006
5.8. Desa Bontobaru 5.8.1. Gambaran Umum Desa Bontobaru Secara administratif, Desa Bontobaru termasuk dalam Kecamatan Pasimasunggu Timur. Desa Bontobaru memiliki luas sekitar 14,69 Km2 dengan panjang pantai sekitar 8.750
meter. Secara umum desa ini juga
terdapat di Pulau Jampea. Desa Bontobaru memiliki 2 pulau yaitu Pulau Panjang dan Pulau Batu. Pulau tersebut tidak memiliki penghuni dengan luas sekitar 19 Ha. Potensi daerah pesisir dan pulau-pulau kecil dari desa ini berupa perikanan tangkap, budidaya tambak dan laut, sedangkan ikan karang, cumi-cumi, cakalang dan ikan pelagis merupakan jenis biota perikanan pesisir dan laut desa. Karakteristik fisik lahan pesisir di desa ini berupa pantai berpasir putih dan pasir gelap, berbatu, dan memiliki mangrove. Aksesbility penduduk ke ibukota kabupaten tergolong lancar dengan tersedianya kapal reguler berupa kapal motor dengan frekuensi 1 kali per minggu. sedangkan antar pulau di sekitar Pulau Jampea dilakukan tergantung masyarakat yang hendak menyebarang pulau. Aksesblity ini di dukung pula dengan keberadaan dermaga yang terdapat di desa ini yang masih tergolong baik dengan konstruksi kayu. Sedangkan akses jalan desa masih berupa tanah dan jalan pengerasan dengan kondisi yang sudah rusak. Kelembagaan Formal dan Informal di desa ini terdiri atas pemerintahan desa,
LKMD,
Remaja
Masjid,
dan
kelompok
swadaya
masyarakat.
Kelembangaan dari COREMAP mulai terbentuk mulai dari keberadaan reef watcher, fasilitator, motivator dan Seto mulai berjalan.
Gambar 17. Situasi Masyarakat Desa 5.8.2. Demografi Struktur populasi dan mata pencaharian di Desa Bontobaru di dominasi oleh petani (40%), nelayan (30 %), Pedagang (15 %) dan PNS/ABRI (10%). Petani merupakan mata pencaharian utama di desa ini, karena terdapatnya sawah yang memiliki sistem pengairan yang cukup baik. Juga aktifitas budidaya ikan juga terdapat di desa ini baik budidaya air payau (tambak) dengan komoditas udang dan Ikan Bandeng, juga dilakukan dengan sistem budidaya keramba jaring apung. Etnis di pulau ini mayoritas bersuku makasasar/selayar dan bugis. Keseluruhan masyarakat di Desa Bontobaru beragama Islam. Jumlah penduduk di desa ini sekitar 1.104 orang dengan perincian laki-laki sebanyak 983 orang dan perempuan sekitar 121 orang. Jumlah kepala keluarga (KK) di desa ini sekitar 415 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 87 orang per KM2 denga rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 4 orang.
Tabel 5.43. Kondisi Responden di Desa Bontobaru No 1.
Jenis Data Usia Responden
Jumlah
%
- 25 – 34 Tahun
4
66
- 35 – 44 Tahun
2
33
- Tidak Tamat SD
1
16
- Tamat SD
5
83
- SMP
-
- SMA
-
Keterangan
- 15 – 24 Tahun
- 45 – 54 Tahun 2.
3.
4.
5.
6.
Pendidikan
Pekerjaan Utama - Nelayan
4
66
- Ponggawa
2
33
- Tani
4
66
- Tukang Kayu
-
- Tidak Ada
2
33
- < Rp. 200.000
4
66
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
-
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
-
- > Rp. 1.000.000
2
33
- < Rp. 200.000
4
66
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
-
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
2
- > Rp. 1.000.000
-
Sampingan
Penghasilan Perbulan
Pengeluaran
33
Sumber: Survey, 2006.
Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa umumnya masyarakat Desa Bontobaru telah merasakan dunia pendidikan walaupun tingkat pendidikan masih rendah yakni tamat SD (83 %). Pekerjaan pokok sebagai nelayan (66%). Selain itu pekerjaan sampingan, umumnya mereka bertani seperti menanam jagung dan ubi kayu. Selain untuk dijual, juga untuk
kebutuhan sendiri. Penghasilan responden umumnya masih rendah yang menggambarkan
kondisi
umum
desa
ini
masih
miskin.
Pendapatan
masyarakat di desa ini sekitar dibawah Rp. 200.000 per bulan. Namun sekitar 33 % responden juga memiliki pendapatan diatas Rp. 1.000.000 per bulan dengan tingkat pengeluaran di bawah Rp. 200.000 per bulan. 5.8.3. Infrasturktur Desa Bontobaru memilik jalan yang nasih berupa tanah dan pengerasan yang dilakukan secara swadaya. Namun keberadaan kendaraan beroda dua telah terdapat di desa ini. Sarana dermaga juga tergolong baik dengan konstruksi kayu. Penerangan yang terdapat di desa ini berfungsi baik dengan pengelolaan yang dilakukan oleh pihak swasta dengan sistem pembayaran tergantung dari jumlah pemakian listrik yang dihitung berdasarkan jumlah titik lampu dengan harga Rp. 10.000 per 1 buah titik lampu. Penerangan hanya dilakukan selama 4 jam yaitu dari pukul 18.00 – 22.00. namun ada juga beberapa warga yang memilki kemampuan financial mampu membeli generator listrik untuk kebutuhan rumah tangga mereka sendiri. Sedangkan sarana komunikasi di desa ini terdapat televisi satelit sebanyak 14 buah, radio sebanyak 49 buah dan juga desa ini telah dijangkau oleh saluran telepon satelit. Sedangkan untuk surat menyurat dilakukan melalui kantor desa. Sarana sanitasi di Desa Bontobaru tergolong baik dengan hampir tiap rumah memilki sumber air, WC dan tempat pembuangan sampah. Ini menunjukkan
tingkat
kesehatan
di
Desa
Bontobaru
tergolong
tinggi
dibandingkan dengan desa pesisir yang lain. Infrastruktur di Desa Bontobaru yang tersedia seperti sarana kesehatan, peribadatan, perhubungan, penerangan. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 5.44. Kondisi Infrastruktur di Desa Bontobaru No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
Jumlah 4+1
Kondisi Baik
2.
Sarana Pendidikan 3
Baik
Pemerintah
-Posyandu
1
Baik
Swadaya
-Puskesmas
1
Baik
Pemerintah Milik
Kios
-
-
- Sekolah Dasar 3.
Status Swadaya
Ket Masjid+ Musahallah
Sarana Kesehatan
Pembantu 4.
Sarana Perdagangan
6
Baik
5.
-
-
6.
Sarana Permodalan / Koperasi Dermaga
1
Baik
Swadaya
Kayu
7.
Sarana Jalan
-
Rusak
Swadaya
8.
Sarana Penerangan
Genarator Diesel
Swasta
Tanah dan Pengerasan 18.00 – 22.00 menyala
9.
Sarana Perumahan
Rumah Televisi
Hak Milik
1 buah
Sumur
Baik
- WC
Ada
Baik
- Tempat Sampah
Ada
Baik
Panggung 10.
Sarana Komunikasi
11.
Sarana Sanitasi - Air Bersih
12.
Sarana Penginapan
-
-
13.
Industri Ikan
-
-
Pengolahan
Sumber: Survey, 2006.
5.8.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Eksploitasi sumberdaya terumbu karang di Desa Bontobaru masih dalam tingkat intensitas sedang. Penggunaan destructive fishing gear tergolong masih kurang karena adanya kesadaran masyarakat tentang pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang perlu dijaga agar ketersediaan sumberdaya ikan di wilayah perairan desa ini dapat terjaga. Hal ini juga dikarenakan karena aktifitas penangkapan tidak dilakukan secara eksploitatif karena mayoritas pencaharian masyarakat adalah bertani. Hanya pengaruh jangkar kapal yang menyebabkan kerusakan terumbu karang. Tabel 5.45. Tingkat Intensitas Kerusakan Terumbu Karang di Desa Bontobaru
No
Penyebab Utama
Tingkat Intensitas Kerusakan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Bahan peledak/bom
2
Racun kimia/cyanida
-
-
3
Sedimentasi
-
-
4
Iklim global
-
-
5
Tsunami/gempa bumi
-
-
6
Jangkar perahu/kapal
-
-
7
Tangkap lebih/Over-fishing
-
-
8
Limbah Industri
-
9
Penambangan Karang batu
-
-
10
Bintang laut berduri/COT
-
-
11
Pengambilan Karang untuk
-
-
-
Aquarium Sumber: Survey, 2006
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini masih tergolong sedang dimana kawasan ini merupakan daerah fishing ground baik oleh penduduk desa dan merupakan lahan budidaya laut. Namun tingkat
intensitas masih rendah karena masyarakat lebih banyak beraktifitas di daratan, sedangkan di alut umumnya merupakan pekerjaan sampingan. Tabel 5.46. Pemanfaatan Daerah Ekosistem Terumbu Karang dan Sekitarnya.
No
Jenis Pemanfaatan
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
1
Daerah penangkapan ikan
2
Wisata Bahari
-
-
3
Daerah penampungan karang
-
-
4
Daerah Budidaya ikan/Rumput laut
-
5
Tidak di manfaatkan/di konservasi
6
Di konservasi
-
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Peran kelembagaan baik informal maupun formal sangat mendukung keberhasilan pengelolaan terumbu karang. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.47. Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. No
Jenis Pemanfaatan
Intensitas Pengelolaan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Lembaga adat
2
Lembaga agama
3
Lembaga Usaha/Perusahaan swasta
-
-
4
Lembaga koperasi Desa
-
-
5
Kelompok masyarakat (POKMAS)
-
-
6
Pemerintah Desa
-
-
7
Kelompok nelayan
-
-
8
Lembaga swadaya masyarakat
-
-
Sumber: Survey, 2006
-
-
Berdasarkan tabel tersebut diatas menunjukkan peran kelembagaan adat dan agama memiliki pengaruh nyata dalam mendukung program pengelolaan terumbu karang. Umumnya masyarakat masih menghormati tokoh-tokoh adat karena mereka menggangap mereka sebagai pemberi petuah dan penolak bala dalam mejalani hidup. 5.8.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir Potensi sumberdaya alam, buatan dan jasa di Desa Bontobaru tergolong besar dan dengan pengelolaan yang terencana, efisien dan berkelanjutan yang dapat menggangkat taraf kesejahteraan masyarakat desa. Potensi tambak di desa ini sektitar 150 Ha dengan jumlah petakan sekitar 600 petak. Sistem budidaya yang dikelola masih tradisoinal dengan masa tanam 1 kali pertahun. Begitu pula potensi wisata baik wisata pantai, pulau, budaya maupun diving dapat dilakukan secara optmal, sehingga kegiatan pendampingan sangat mendesak untuk dilakukan. Tabel 5.48. Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Bontobaru No
Sumberdaya
Ada
Kondisi Tidak Ada -
1
Terumbu Karang
2
Mangrove
3
Tambak
-
4
Sawah
-
5
Diving
-
6
Wisata Lainnya
-
-
Sumber: Survey, 2006
5.9. Desa Bontobulaeng 5.9.1. Gambaran Umum Desa Bontobulaeng Secara administratif, Desa Bontobulaeng termasuk dalam Kecamatan Pasimasunggu Timur. Desa Bontobulaeng memiliki luas sekitar 11,45 Km2
dengan panjang pantai sekitar 10.650 meter. Secara umum desa ini juga terdapat di Pulau Jampea. Potensi daerah pesisir dan lautan dari segi jenis ikan berupa ikan Sunu, Kerapu, Kalohong, Cumi-Cumi, Katamba dan Ikan Teri. Karakteristik fisik lahan pesisir di desa ini berupa pantai berpasir putih dan batu. Aksesbility penduduk ke ibukota kabupaten tergolong lancar dengan tersedianya kapal reguler sebanyak 5 buah berupa kapal motor dengan frekuensi 3 kali per minggu. Jadwal pemberangkatan umumnya merupakan hasil negosiasi antar pemilik kapal dengan syahbandar di Kota Benteng. Aksesblity ini di dukung pula dengan keberadaan dermaga yang terdapat di desa ini yang masih tergolong baik dengan konstruksi kayu. Sedangkan akses jalan desa masih berupa tanah dan beberapa terdapat jalan beton yang merupakan swadaya masyarakat. Kelembagaan Formal dan Informal di desa ini terdiri atas pemerintahan desa,
LKMD,
Remaja
Masjid,
dan
kelompok
swadaya
masyarakat.
Kelembangaandari COREMAP mulai terbentuk mulai dari keberadaan reef watcher, fasilitator, motivator dan Seto mulai berjalan. Kegiatan budaya dan olahraga yang terdapat Di desa ini berupa pesta panen, peringatan kemerdekaan RI dan sepokbola antar desa. 5.9.2. Demografi Struktur
populasi
dan
mata
pencaharian
di
Desa
Bontobulaeng
didominasi oleh petani, petambak, nelayan, pedagang (15 %) dan PNS/ABRI. Petani dan Petambak merupakan mata pencaharian utama di desa ini, karena terdapatnya sawah yang memiliki sistem pengairan yang cukup baik. Aktifitas budidaya ikan juga terdapat Di desa ini baik budidaya air payau (tambak) dengan organisme udang dan Ikan bandung, juga dilakukan dengan sistem budidaya keramba jaring apung. Sedangkan nelayan di desa ini umumnya merupakan nelayan bagang, pancing dan pukat. 2 alat tangkap terakhir merupakan alat tangkap mayoritas di desa ini. Etnis di pulau ini mayoritas bersuku makasasar/selayar dan bugis. Keseluruhan masyarakat di Desa Bontobulaeng beragama Islam. Jumlah
penduduk di desa ini sekitar 2.475 orang dengan jumlah kepala keluarga (KK) sekitar 555 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 250 orang per KM2 denga rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 4 orang. Tabel 5.49. Kondisi Responden di Desa Bontobulaeng No 1.
Jenis Data Usia Responden
Jumlah
%
- 25 – 34 Tahun
2
33
- 35 – 44 Tahun
4
66
- 45 – 54 Tahun
-
- 15 – 24 Tahun
2.
3.
4.
5.
6.
Pendidikan - Tidak Tamat SD
1
16
- Tamat SD
5
83
- SMP
-
- SMA
-
- Sarjana
-
Pekerjaan Utama - Nelayan
3
50
- Petani
3
50
- Tani
1
16
- Tukang Kayu
1
16
- Budidaya
1
16
- Ternak
1
16
- Jasa Transportasi
1
16
- Pembuat Perahu
1
16
- Tidak Ada
-
Sampingan
Penghasilan Perbulan - < Rp. 200.000
-
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
5
83
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
1
16
- > Rp. 1.000.000
-
Pengeluaran - < Rp. 200.000
6
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
-
100
Keterangan
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 - > Rp. 1.000.000 Sumber: Survey, 2006
-
Seperti halnya dengan desa sekitar yang tergabung dalam Pulau Jampea penduduk yang memilki mata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Secara persentase
pekerjaan
tersebut
merupakan
pekerjaan
utama.
Hanya
aktifitasnya tergantung pada musim yang berlaku. Untuk musim timur umumnya mereka sebagai nelayan sedangkan pada musim barat umumnya masyarakat sebagai petani. Pendidikan masyarakat umumnya tamat SD ( 83 %). Penghasilan masyarakat juga tergolong cukup dengan adanya pekerjaan sampingan baik sebagai petani bila melaut, tukang kayu,budidaya ikan/rumput laut, peternak, jasa transportasi maupun sebagai pembuat perahu. Sedangkan pengeluarannya umumnya masih kecil dengan asumsi kebutuhan pokok sehari-hari masih dapat disuplai dari hasil pekerjaan sampingan. Secara umum pengeluaran masyarakat dibawah Rp. 200.000 perbulan. 5.9.3. Infrasturktur Infrastruktur di Desa Bontobulaeng tergolong maju dan lengkap. Ini merupakan salah satu penggambaran bahwa tingkat kesejahtraan di desa ini tergolong sejahtera. Desa Bontobulaeng memiliki jalan berupa tanah dan beton yang dilakukan secara swadaya dan bantuan pemerintah daerah. Sarana dermaga juga tergolong baik dengan konstruksi kayu. Penerangan yang terdapat Di desa ini berfungsi baik dengan pengelolaan yang dilakukan oleh pihak swasta dengan sistem pembayaran tergantung dari jumlah pemakian listrik yang dohitung berdasarkan jumlah titik lampu dengan harga Rp. 10.000 per 1 buah titik lampu. Penerangan hanya dilakukan selama 4 jam yaitu dari pukul 08.00 – 22.00. namun ada juga beberapa warga yang memilki kemampuan financial mampu membeli generator listrik untuk kebutuhan rumah tangga mereka sendiri. Sedangkan sarana komunikasi di desa ini berupa televisi satelit dan radio hampir ditemui di setiap rumah penduduk. Sedangkan untuk surat menyurat dilakukan melalui kantor camat. Begitu pula dengan telepon sudah terdapat di desa ini dengan menggunakan telepon satelit.
Tabel 5.50. Kondisi Infrastruktur di Desa Bontobulaeng No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
Jumlah 4
Kondisi Baik
2.
Sarana Pendidikan - Sekolah Dasar
3
Baik
Pemerintah
- SMP/MTS
2
Baik
Pemerintah
- SMA
1
Baik
Pemerintah
-Posyandu
4
Baik
Swadaya
-Puskesmas
1
Baik
Pemerintah
4.
Sarana Perdagangan
1
Baik
Swadaya
Pasar
5.
-
-
-
-
6.
Sarana Permodalan / Koperasi Dermaga
1
Baik
Swadaya
Kayu
7.
Sarana Jalan
Baik
8.
Sarana Penerangan
Genarator Diesel
Swadaya dan Tanah dan Pemerintah Beton 18.00 – Swasta 22.00 menyala
9.
Sarana Perumahan
Rumah
3.
Status Swadaya
Ket Masjid
Sarana Kesehatan
Panggung 10.
Sarana Komunikasi
Televisi
Hak Milik
11.
Sarana Sanitasi Sumur
Baik
- WC
Ada
Baik
- Tempat Sampah
Ada
Baik
- Air Bersih
12.
Sarana Penginapan
-
-
13.
Industri Ikan
-
-
Pengolahan
Sumber: Survey, 2006.
Sarana pendidikan di desa ini tergolong maju dengan adanya sekolah mulai dari tingkat SD sampai dengan SMA. Peserta didik bukan hanya berasal dari desa ini namun juga berasal dari luar desa. Begitu pula dengan sarana perdagangan, Di desa ini terdapat pasar desa yang telah dibangun secara permanen.
Sarana sanitasi di Desa Bontobulaeng tergolong baik dengan hampir tiap rumah memilki sumber air, WC dan tempat pembuangan sampah. Ini menunjukkan tingkat kesehatan di Desa Bontobulaeng juga tergolong tinggi dibandingkan dengan desa pesisir yang lain. 5.9.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Eksploitasi sumberdaya terumbu karang di Desa Bontobulaeng masih dalam tingkat intensitas sedang. Penggunaan destructive fishing gear tergolong masih kurang karena adanya kesadaran masyarakat tentang pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang perlu dijaga agar ketersediaan sumberdaya ikan di wilayah perairan desa ini dapat terjaga. Hal ini juga dikarenakan karena aktifitas penangkapan tidak dilakukan secara eksploitatif karena mayoritas pencaharian masyarakat bertani dan bertambak. Menurut pengakuan masyarakat hasil yang diperoleh masih lebih baik dari hasil bertani dan bertambak dibandingkan dengan tangkapan. Tabel 5.51. Tingkat Intensitas Bontobulaeng
No
Penyebab Utama
Kerusakan
Terumbu
Karang
Tingkat Intensitas Kerusakan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Bahan peledak/bom
2
Racun kimia/cyanida
-
-
3
Sedimentasi
-
-
4
Iklim global
-
-
5
Tsunami/gempa bumi
-
-
6
Jangkar perahu/kapal
-
-
7
Tangkap lebih/Over-fishing
-
-
8
Limbah Industri
-
9
Penambangan Karang batu
-
-
10
Bintang laut berduri/COT
-
-
11
Pengambilan Karang untuk
-
Aquarium Sumber: Survey, 2006
-
-
di
Desa
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini masih tergolong sedang dimana daerah baik pesisir maupun lautan merupakan daerah fishing ground baik oleh penduduk desa dan merupakan lahan budidaya laut. Namun tingkat intensitas tinggi dilakukan dari aspek budidaya. Tabel 5.52. Pemanfaatan Daerah Ekosistem Terumbu Karang dan Sekitarnya.
No
Jenis Pemanfaatan
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
1
Daerah penangkapan ikan
2
Wisata Bahari
-
3
Daerah penampungan karang
-
4
Daerah Budidaya ikan/Rumput laut
-
-
5
Tidak di manfaatkan/di konservasi
-
-
6
Di konservasi
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Peran kelembagaan baik informal maupun formal sangat di desa ini umumnya memiliki pengaruh nyata bagi pengelolaan terumbu karang. Tabel 5.53. Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. No
Jenis Pemanfaatan
Intensitas Pengelolaan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Lembaga adat
2
Lembaga agama
3
Lembaga Usaha/Perusahaan swasta
-
-
4
Lembaga koperasi Desa
-
-
5
Kelompok masyarakat (POKMAS)
-
-
6
Pemerintah Desa
-
-
7
Kelompok nelayan
-
-
8
Lembaga swadaya masyarakat
-
-
Sumber: Survey, 2006
-
-
Berdasarkan
tabel
tersebut
diatas
menunjukkan
peran
diseluruh
komponen dapat dijadikan penggerak dan motivasi untuk menggalakkan program pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang. Dengan prinsif kebersamaan diharapkan program COREMAP ini dapat berjalan mulus di desa ini. 5.9.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir Potensi sumberdaya alam, buatan dan jasa di Desa Bontobulaeng tergolong besar dan dengan pengelolaan yang terencana, efisien dan berkellanjutan dapat menggangkat taraf kesejahteraan masyarakat desa. Potensi tambak di desa ini sektitar 200 Ha dengan jumlah petakan sekitar 800 petak. Sistem budidaya yang dikelola masih tradisional dengan masa tanam 1 kali pertahun. Hasil yang diperoleh secara rata-rata sekitar 400 kuital untuk ikan Bandeng dan 1 Kuintal produksi udang. Begitu pula potensi wisata baik wisata, pantai, pulau, budaya maupun diving dapat dilakukan secara optmal, sehingga kegiatan pendampingan sangat mendesak untuk dilakukan. Tabel 5.54. Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Bontobulaeng No
Sumberdaya
Ada
Kondisi Tidak Ada -
1
Terumbu Karang
2
Mangrove
3
Tambak
-
4
Sawah
-
5
Diving
-
6
Wisata Lainnya
-
-
Sumber: Survey, 2006
Aspek budidaya yang diperlukan pembinaan di desa ini berupa penanganan penyakit udang terutama penyakit white spot yang mewabah di hampir petakan tambak. Juga diperlukan pembinaan baku mutu dan standar
pengelolaan yang ramah lingkungan sesuai dengan carryng capacity sangat dibutuhkan oleh petani ikan di desa ini.
5.10. Desa Bontomalling 5.10.1. Gambaran Umum Desa Bontomalling Secara administratif, Desa Bontomalling termasuk dalam Kecamatan Pasimasunggu Timur. Desa Bontomalling memiliki luas sekitar 14,01 Km2 dengan panjang pantai sekitar 9.000 meter. Secara umum desa ini juga terdapat di Pulau Jampea. Potensi daerah pesisir dan lautan dari segi jenis ikan berupa ikan Sunu, Kerapu, Cumi-Cumi, Katamba dan Ikan Teri. Karakteristik fisik lahan pesisir di desa ini berupa pantai berpasir putih. Aksesbility penduduk ke ibukota kabupaten belum memiliki trayek kapal reguler. Umumnya masyarakat menggunakan kapal jolloro sebagai alternatif transportasi baik ke Ibukota Kabupaten, Kecamatan, antar desa dan antar pulau. Sarana jalan di desa ini masih berupa jalan batu yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat desa. Namun kondisi jalan desa saat ini dalam keadaan rusak.
Gambar 18. Pantai Desa Bontomalling dan Suasana Desa
5.10.2. Demografi Berdasarkan data potensi desa diperoleh data jumlah penduduk di Desa Bontomalling ini sekitar 1.311 orang dengan perincian laki-laki sebanyak 631 orang dan perempuan sekitar 674 orang. Di desa ini terdiri atas 4 dusun yaitu Dusun Erelompo dengan jumlah penduduk 359 (laki-laki 174 orang dan perempuan 180 orang), Dusun Bimpa sebanyak 228 orang (laki-laki 118 orang dan perempuan 120 orang), Dusun Porong dengan penduduk sebanyak 444 orang (laki-laki 205 orang dan 238 orang perempuan) dan Dusun Pammoang dengan jumlah penduduk sebanyak 280 orang (laki-laki sebanyak 144 orang dan perempuan sebanyak 135 orang). Jumlah kepala keluarga (KK) sekitar 258 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 173 orang per KM2 dengan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 3 orang. Etnis di pulau ini mayoritas bersuku makasasar/selayar dan bugis. Keseluruhan masyarakat di Desa Bontomalling beragama Islam. Gambaran Desa Bontomalling berdasarkan Tabel berikut dapat dituliskan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Bontomalling secara umum tamat SD, dengan pekerjaan pokok sebagai nelayan dimana berfungsi sebagai pekerjaan utama maupun sebagai pekerjaan sampingan, dimana tingkat pendapatan rata-rata perbulan diatas Rp. 1.000.000 dan tingkat pengeluaran dibawah Rp. 500.000 per bulan. Alat tangkap yang utama di desa ini berupa Pancing, Sero, dan jala Lempar. Sedangkan sampan sebagai kapal utama dalam melakukan aktifitas penangkapan.
Tabel 5.55. Kondisi Responden di Desa Bontomalling No 1.
Jenis Data
Jumlah
%
- 25 – 34 Tahun
2
25
- 35 – 44 Tahun
3
37,5
- 45 – 54 Tahun
3
37,5
Usia Responden - 15 – 24 Tahun
2.
3.
4.
5.
6.
Pendidikan - Tidak Tamat SD
-
- Tamat SD
7
87,5
- SMP
1
12,5
- SMA
-
- Sarjana
-
Pekerjaan Utama - Nelayan
4
50
- Pengumpul
2
25
- Pedagang
2
25
- Tani
4
50
- Tukang Kayu
1
12,5
- Ternak
1
12,5
- Tidak Ada
2
25
Sampingan
Penghasilan Perbulan - < Rp. 200.000
-
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
3
37,5
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
1
12,5
- > Rp. 1.000.000
4
50
- < Rp. 200.000
3
37,5
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
2
25
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
3
37,5
Pengeluaran
- > Rp. 1.000.000 Sumber: Survey, 2006
Keterangan
5.10.3. Infrasturktur Infrastruktur di Desa Bontomalling masih sederhana dengan tingkat kualitas dan kuantitas yang masih sedikit. Namun hal ini tidak mempengaruhi pola kerja dan hidup menjadi santai namun menjadi semangat untuk lebih dapat berkarya dan menghasilkan penghasilan yang lebih. Sarana
publik
memperihatinkan
di
Desa
dimana
Bontomalling
keadaannya
rusak
seperti
jalan,
walaupun
kondisinya
masih
dapat
dipergunakan. Sarana dermaga di desa ini tidak ada sehingga aktifitas bongkar muat dilakukan disepanjang pesisir pantai. Sarana penerangan dilakukan secara swadaya yang dikelola oleh kelompo masayarakt dengan membayar sesuai dengan jatah listrik yang terdapat dirumahnya. Sistem pembagian biaya operasional dilakukan secara musyawarah dengan membagi porsi pembiayan sesuai dengan kemampuan pendapatan. Penerangan hanya dilakukan selama 4 jam yaitu dari pukul 18.00 – 22.00, kecuali bila ada acara/kegiatan, penerangan dilanjutkan sampai kegiatan tersebut selesai. Sedangkan sarana komunikasi di desa ini berupa televisi satelit hanya terdapat 3 buah yang dimiliki oleh kepala desa dan tokoh masyarakat. Sarana sanitasi di Desa Bontomalling tergolong baik dengan hampir tiap rumah memilki sumber air dan WC. Hanya di desa ini belum memiliki tempat pembuangan sampah.
Gambar 19. Sarana Perdagangan di Desa Bontomalling Tabel 5.56. Kondisi Infrastruktur di Desa Bontomalling
No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
Jumlah 1
Kondisi Baik
2.
Sarana Pendidikan - Sekolah Dasar
1
Baik
Pemerintah
- SMP
1
Baik
Pemerintah
-Posyandu
1
Baik
Swadaya
4.
Sarana Perdagangan
8
Baik
Swadaya
Kios
5.
-
-
-
-
6.
Sarana Permodalan / Koperasi Dermaga
-
-
-
-
7.
Sarana Jalan
Rusak
Swadaya
Batu
8.
Sarana Penerangan
Genarator Diesel
Swadaya
18.00 22.00 menyala
9.
Sarana Perumahan
Rumah Televisi
Hak Milik
3 buah
Sumur
Baik
Ada
Baik
3.
Status Swadaya
Ket Masjid
Sarana Kesehatan
–
Panggung 10.
Sarana Komunikasi
11.
Sarana Sanitasi - Air Bersih - WC - Tempat Sampah
-
-
12.
Sarana Penginapan
-
-
13.
Industri Ikan
-
-
Pengolahan
Sumber: Survey, 2006.
5.10.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Eksploitasi sumberdaya terumbu karang di Desa Bontomalling masih dalam tingkat intensitas rendah. Penggunaan jangkar kapal di kawasan terumbu karang masih menjadi penyebab rusaknya struktur terumbu karang. Hal ini lain juga faktor aktivitas penangkapan serta organisme predator karang yang menyebabkan tingkat kerusakan terumbu karang di desa ini.
Tabel 5.57. Tingkat Intensitas Bontomalling
No
Kerusakan
Penyebab Utama
Terumbu
Karang
di
Desa
Tingkat Intensitas Kerusakan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Bahan peledak/bom
2
Racun kimia/cyanida
-
-
3
Sedimentasi
-
-
4
Iklim global
-
-
5
Tsunami/gempa bumi
-
-
6
Jangkar perahu/kapal
-
-
7
Tangkap lebih/Over-fishing
-
-
8
Limbah Industri
-
9
Penambangan Karang batu
-
-
10
Bintang laut berduri/COT
-
-
11
Pengambilan Karang untuk
-
-
-
Aquarium Sumber: Survey, 2006
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini masih tergolong sedang dimana daerah baik pesisir maupun lautan merupakan daerah fishing ground baik oleh penduduk desa dan merupakan lahan budidaya laut. Namun tingkat intensitas sedang dilakukan dari aspek budidaya. Tabel 5.58. Pemanfaatan Daerah Ekosistem Terumbu Karang dan Sekitarnya.
No
Jenis Pemanfaatan
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
1
Daerah penangkapan ikan
2
Wisata Bahari
-
3
Daerah penampungan karang
-
4
Daerah Budidaya ikan/Rumput laut
-
-
5
Tidak di manfaatkan/di konservasi
6
Di konservasi
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Peran kelembagaan baik informal maupun formal sangat di desa ini umumnya memiliki pengaruh nyata bagi pengelolaan terumbu karang. Tabel 5.59. Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. No
Jenis Pemanfaatan
Intensitas Pengelolaan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Lembaga adat
2
Lembaga agama
-
3
Lembaga Usaha/Perusahaan swasta
-
-
4
Lembaga koperasi Desa
-
-
5
Kelompok masyarakat (POKMAS)
-
-
6
Pemerintah Desa
-
-
7
Kelompok nelayan
8
Lembaga swadaya masyarakat
-
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Berdasarkan tabel tersebut diatas menunjukkan peran aparat pemerintah desa dan kelompok dapat dijadikan penggerak dalam hal pengelolaan terumbu karang kemudian dilakukan pendampingan oleh LSM. 5.10.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir Potensi sumberdaya alam dan buatan di Desa Bontomalling memang tergolong kecil, namun dengan penerapan teknik budidaya dan pengelolaan terumbu karang baik untuk budidaya karang maupun untuk ecotourism dapat mengangkat pendapatan masyarat desa.
Tabel 5.60. Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Bontomalling No
Sumberdaya
Ada
Kondisi Tidak Ada -
1
Terumbu Karang
2
Mangrove
3
Tambak
-
4
Sawah
-
5
Diving
-
6
Wisata Lainnya
-
-
Sumber: Survey, 2006
5.11. Desa Komba-Komba 5.11.1. Gambaran Umum Desa Komba-Komba Desa Komba-Komba secara administratif termasuk dalam Kecamatan Pasimarannu. Desa Komba-Komba terletak di ujung timur dari Pulau Bonerate. Desa ini memiliki luas sekitar 1,84 Km2 dengan panjang pantai sekitar 27.500 meter. Potensi daerah pesisir dan lautan dari segi jenis ikan berupa ikan Sunu, Kerapu dan Kaloholong. Karakteristik fisik lahan pesisir di desa ini berupa pantai berpasir putih dan landai. Aksesbility penduduk ke ibukota kabupaten umumnya jarang dilakukan. Alat transportasi yang umum digunakan berupa kapal jolloro dengan frekuensi 1 bulan sekali. Kondisi jalan di desa ini tergolong baik dan tertata dengan rapi. Sedangkan dermaga di desa ini terbuat dari kayu kasambi yang tahan terhadap situasi basah dan kering yang merupakan swadaya dari masyarakat desa. 5.11.2. Demografi Berdasarkan data potensi desa diperoleh data jumlah penduduk di Desa Komba-Komba ini sekitar 558 orang dengan perincian laki-laki sebanyak 270
orang dan perempuan sekitar 288 orang. Jumlah kepala keluarga (KK) sekitar 97 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 17 orang per KM2 dengan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 4 orang. Umumnya masyarakat di desa komba-komba ini merupakan pendatang. Mayoritas penduduk bersuku makassar/selayar, kemudian suku bajo dan jawa. Keseluruhan masyarakat di Desa Komba-Komba beragama Islam. Struktur populasi dan mata pencaharian di Desa Komba-Komba di dominasi oleh petani (70 %) baik petani pertanian maupu petani ikan, nelayan (20%), Pedagang (5 %) dan PNS/ABRI (5%). Tabel 5.61. Kondisi Responden di Desa Komba-Komba No 1.
2.
3.
4.
5.
Jenis Data Usia Responden
Jumlah
%
- 15 – 24 Tahun
-
- 25 – 34 Tahun
1
16
- 35 – 44 Tahun
2
33
- 45 – 54 Tahun
3
50
- Tidak Tamat SD
1
16
- Tamat SD
4
66
- SMP
1
16
- SMA
-
- Sarjana
-
Pendidikan
Pekerjaan Utama - Nelayan
6
- Pengumpul
-
100
Sampingan - Tani
4
66
- Tukang Kayu
1
16
- Budidaya
1
16
- < Rp. 200.000
2
33
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
3
50
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
1
16
Penghasilan Perbulan
Keterangan
- > Rp. 1.000.000 6.
Pengeluaran - < Rp. 200.000
6
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
-
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
-
- > Rp. 1.000.000
-
100
Sumber: Survey, 2006
Gambaran Desa Komba-Komba berdasarkan data diatas adalah tingkat pendidikan masyarakat umumnya tamat Sekolah Dasar, dengan mayoritas pekerjaan utama dan sampingan sebagai nelayan pencing dan pukat dengan jolloro dan sampan sebagai kapal utama. Pendapatan umum masyarakat desa ini berkisar di antara Rp. 200.000 – 500.000 per bulan dan beberapa warga juga mampu mendapatkan penghasilan diatas Rp. 1.000.000 per bulan dengan tingkat pengeluaran yang rendah yakni dibawah Rp. 200.000 per bulan. 5.11.3. Infrasturktur Infrastruktur di Desa Komba-Komba masih sederhana dengan tingkat kualitas dan kuantitas yang masih sedikit. Namun hal ini tidak menurungkan motivasi penduduk untuk berkarya dan berusaha. Sarana publik di Desa Komba-Komba seperti jalan dan dermaga tergolong tertata dengan baik walaupun terbuat dari potensi lokal yang ada. Namun dengan perawatan yang baik kondisinya masih terjaga dan baik. Sarana masjid di desa ini juga merupakan hasil swadaya dari masyarakat desa. Sarana penerangan di desa ini merupakan bantuan dari proyek PPK dengan jam menyala pada pukul 18.00 – 23.00. Namun operasional sekarang ditanggung secara bersama-sama oleh masyarakat desa. Sedangkan sarana komunikasi di desa ini berupa televisi satelit terdapat hampir ditiap rumah penduduk. Sarana sanitasi di Desa Komba-Komba tergolong buruk dengan masih kurangnya WC dan tidak adanya tempat sampah desa. Pesta adat di desa ini berupa Pesta Panen, namun frekuensinya makin menurun dilakukan oleh masyaralat akibat aktifitas keseharian semakin padat.
Tabel 5.62. Kondisi Infrastruktur di Desa Komba-Komba No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
2.
Sarana Pendidikan - Sekolah Dasar
3.
Jumlah 2
Kondisi Baik
Status Swadaya
1
Baik
Pemerintah
1
Baik
Swadaya
Ket Masjid
Sarana Kesehatan -Puskesmas Pembantu
4.
Sarana Perdagangan
5
Baik
Swadaya
Kios
5.
1
Tidak Jalan Baik
Kelompok
PPK
6.
Sarana Permodalan / Koperasi Dermaga
Swadaya
-
7.
Sarana Jalan
Baik
Swadaya
Tanah
8.
Sarana Penerangan
Genarator Diesel
Bantuan PPK
18.00 23.00 menyala
9.
Sarana Perumahan
Rumah Televisi
Hak Milik
Mayoritas
Sumur
Baik
1
–
Panggung 10.
Sarana Komunikasi
11.
Sarana Sanitasi - Air Bersih - WC
-
-
- Tempat Sampah
-
-
12.
Sarana Penginapan
-
-
13.
Industri Ikan
-
-
Pengolahan
Sumber: Survey, 2006.
Mata pencaharian utama masyarakat desa berupa petani kayu jati dan jambu mente. Sedangkan sampingan umumnya menjadi tukang kayu atau pembuat perahu. Aktifitas nelayan desamayoritas nelayan penacing dan pukat. Kebutuhan masyarakat desa yang diperlukan saat ini berupa pelatihan teknis dan bantuan sarana penangkapan. 5.11.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang
Eksploitasi sumberdaya terumbu karang di Desa Komba-Komba masih dalam tingkat intensitas rendah. Penggunaan jangkar kapal di kawasan terumbu karang masih menjadi penyebab rusaknya struktur terumbu karang. Hal ini lain juga faktor aktivitas penangkapan serta organisme predator karang yang menyebabkan tingkat kerusakan terumbu karang di desa ini. Juga aktifitas nelayan pendatang masih terdapat penggunaan bom disekitar perairan desa Komba-Komba. Tabel 5.63. Tingkat Intensitas Kerusakan Terumbu Karang di Desa KombaKomba
No
Penyebab Utama
Tingkat Intensitas Kerusakan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Bahan peledak/bom
2
Racun kimia/cyanida
-
-
3
Sedimentasi
-
-
4
Iklim global
-
-
5
Tsunami/gempa bumi
-
-
6
Jangkar perahu/kapal
-
-
7
Tangkap lebih/Over-fishing
-
-
8
Limbah Industri
-
9
Penambangan Karang batu
-
-
10
Bintang laut berduri/COT
-
-
11
Pengambilan Karang untuk
-
-
-
Aquarium Sumber: Survey, 2006
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini masih tergolong sedang dimana daerah baik pesisir maupun lautan merupakan daerah fishing ground baik oleh penduduk desa dan merupakan lahan budidaya laut. Tingkat intensitas tinggi dilakukan dari aspek budidaya, terutama budidaya rumput laut.
Tabel 5.64. Pemanfaatan Daerah Ekosistem Terumbu Karang dan Sekitarnya.
No
Jenis Pemanfaatan
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
1
Daerah penangkapan ikan
2
Wisata Bahari
-
3
Daerah penampungan karang
-
4
Daerah Budidaya ikan/Rumput laut
5
Tidak di manfaatkan/di konservasi
-
6
Di konservasi
-
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Peran kelembagaan baik informal maupun formal di desa ini belum berperan secara signifikan dalam mengubah persepsif masyarakat dalam hal pengelolaan terumbu karang. Tabel 5.65. Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. No
Jenis Pemanfaatan
Intensitas Pengelolaan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Lembaga adat
2
Lembaga agama
-
3
Lembaga Usaha/Perusahaan swasta
-
-
4
Lembaga koperasi Desa
-
-
5
Kelompok masyarakat (POKMAS)
-
-
6
Pemerintah Desa
-
-
7
Kelompok nelayan
-
-
8
Lembaga swadaya masyarakat
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
5.11.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir
Potensi sumberdaya alam dan buatan di Desa Komba-Komba memang tergolong kecil, namun dengan penerapan teknik budidaya dan pengelolaan terumbu karang baik untuk budidaya karang maupun untuk ecotourism dapat mengangkat pendapatan masyarakat desa. Tabel 5.66. Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Komba-Komba No
Sumberdaya
Ada
Kondisi Tidak Ada -
1
Terumbu Karang
2
Mangrove
3
Tambak
-
4
Sawah
-
5
Diving
-
6
Wisata Lainnya
-
-
Sumber: Survey, 2006.
Desa ini memiliki potensi wisata karena memiliki keindahan alam dan budaya. Potensi wisata pantai, diving dan budaya sangat dipotensial dikembangkan karena didukung oleh kemauan masyarakat dan sifat terbuka menerima orang oleh masyarakat. Di desa ini juga terdapat wisata goa yang merupakan tempat istirahat masyarakat pertama di pulau Bonerate ini.
5.12. Desa Lambego 5.12.1. Gambaran Umum Desa Lambego Desa
Lambego
secara
administratif
termasuk
dalam
Kecamatan
Pasimarannu. Desa Lambego merupakan satu pulau dengan luas 20,18 Km2 dengan panjang pantai sekitar 38.200 meter. Potensi daerah pesisir dan lautan dapat dimanfaatkan sebagai lahan budidaya rumput laut dan budidaya KJA. Dari segi jenis ikan, potensi desa ini berupa ikan Sunu, Kerapu, Baronang dan ikan pelagis lainnya. Karakteristik fisik lahan pesisir di desa/pulau ini berupa pantai cliff, berpasir putih dan berbatu koral.
Aksesbility penduduk ke ibukota kabupaten tergolong lancar dengan adanya kapal reguler dengan rute Pulau Lambego -Benteng serta desa/pulau ini merupakan salah satu tempat transit rute Bulukumba – Flores. Sedangkan akses antar pulau menggunakan jasa kapal tradisional jolloro yang terdapat di di dermaga dan siap berangkat sesuai dengan kebutuhan. Sarana jalan desa berupa pavin blok dan berpasir. Di desa ini pula terdapat sarana transportasi roda dua yang dimiliki oleh warga.
Gambar 20. Pulau Lambego 5.12.2. Demografi Berdasarkan data potensi desa diperoleh data jumlah penduduk di Desa Lambego ini sekitar 764 orang dengan perincian laki-laki sebanyak 391 orang dan perempuan sekitar 373 orang. Jumlah kepala keluarga (KK) sekitar 198 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 12 orang per KM2 dengan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 4 orang. Mayoritas penduduk bersuku makassar/selayar dan bugis. Keseluruhan masyarakat di Desa Lambego beragama Islam. Struktur populasi dan mata pencaharian di Desa Lambego di dominasi oleh petani dengan jenis tanaman wijen, jambu mente, kelapa (kopra) dan kacang hijau. Sedangkan aktifitas nelayan, pedagang dan PNS/ABRI. Tingkat kesejahteraan masyarakat deas ini tergolong maju dan sejahtera. Hal ini terlihat dari kondisi perumahan dan interior serta perabotan rumah tangga umumnya tersedia lengkap.
Tabel 5.67. Kondisi Responden di Desa Lambego No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jenis Data Usia Responden
Jumlah
- 15 – 24 Tahun
-
- 25 – 34 Tahun
4
- 35 – 44 Tahun
-
- 45 – 54 Tahun
2
Pendidikan - Tidak Tamat SD
6
- Tamat SD
-
- SMP
-
- SMA
-
- Sarjana
-
Pekerjaan Utama - Nelayan
3
- Petani
3
Sampingan - Tani
3
- Tukang Kayu
1
- Budidaya
1
- Ternak
1
Penghasilan Perbulan - < Rp. 200.000
2
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
4
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
-
- > Rp. 1.000.000
-
Pengeluaran - < Rp. 200.000
6
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
-
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
-
- > Rp. 1.000.000
-
Sumber: Survey, 2006
%
Keterangan
Desa Lambego juga merupakan desa pertanian dan perikanan dimana penduduknya merupakan petani maupun nelayan. Tingkat pendidikan di desa ini masih tergolong rendah dimana seata umum masyarakatnya tidak pernah bersekolah dan tidak tamat Sekolah Dasar. Hal ini berdampak pada tingkat pengetahuan dan pendapatan yang rendah pula, dimana pendapatan secara umum hanya bersiosar Rp. 200.000 per bulan. Hal ini pula berdampak pada proses aktifitas penangkapan yang merupakan menggunakan alat sederhana seperti pancing dan sampan. 5.12.3. Infrasturktur Infrastruktur di Desa Lambego masih sederhana dengan tingkat kualitas dan kuantitas yang masih sedikit. Namun hal ini tidak menurungkan motivasi penduduk untuk berkarya dan berusaha. Sarana publik di Desa Lambego seperti jalan dan dermaga tergolong baik dengan konstruksi pavin blok dan kayu. Fasilitas ini merupakan swadaya dari masyarakat desa/pulau. Sarana masjid di desa ini juga merupakan hasil swadaya dari masyarakat desa. Sarana penerangan di desa ini merupakan hasil swadaya secara berkelompok. Sedangkan sarana komunikasi di desa ini berupa televisi satelit terdapat di beberapa rumah penduduk. Sarana sanitasi di Desa Lambego tergolong baik dengan terdapatnya MCK umum sebanyak 2 buah. Namun tempat pembuangan sampah belum dimiliki. Sarana pabrik es di desa ini ada sebanyak 1 unit sehingga proses aktifitas pasca penangkapan tidak mengalami kendala dengan adanya suplai pendingin sehingga hasil tangkapan tetap terjaga kesegarannya.
Tabel 5.68. Kondisi Infrastruktur di Desa Lambego No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
Jumlah 1
Kondisi Baik
Status Swadaya
Ket Masjid
2.
Sarana Pendidikan - Sekolah Dasar
1
Baik
Pemerintah
1
Baik
Pemerintah
- Posyandu
2
Baik
Swadaya
4.
Sarana Perdagangan
2
Baik
Swadaya
Kios
5.
-
-
-
-
6.
Sarana Permodalan / Koperasi Dermaga
1
Baik
Swadaya
Kayu
7.
Sarana Jalan
Baik
Swadaya
Pavin Blok
8.
Sarana Penerangan
Genarator Diesel
Swadaya
18.00–22.00 menyala
9.
Sarana Perumahan
Rumah Televisi
Hak Milik
Mayoritas
Sumur
Baik
Ada
Baik
3.
Sarana Kesehatan -Puskesmas Pembantu
Panggung 10.
Sarana Komunikasi
11.
Sarana Sanitasi - Air Bersih - WC - Tempat Sampah
-
-
12.
Sarana Penginapan
-
-
13.
Industri Ikan
-
-
Pengolahan
Sumber: Survey, 2006.
5.12.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Eksploitasi sumberdaya terumbu karang di Desa Lambego masih dalam tingkat intensitas rendah. Penggunaan jangkar kapal di kawasan terumbu karang masih menjadi penyebab rusaknya struktur terumbu karang. Hal ini lain juga faktor aktivitas penangkapan serta organisme predator karang yang menyebabkan tingkat kerusakan terumbu karang di desa ini.
Tabel 5.69. Tingkat Intensitas Kerusakan Terumbu Karang di Desa Lambego
No
Penyebab Utama
Tingkat Intensitas Kerusakan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Bahan peledak/bom
2
Racun kimia/cyanida
-
-
3
Sedimentasi
-
-
4
Iklim global
-
-
5
Tsunami/gempa bumi
-
-
6
Jangkar perahu/kapal
-
-
7
Tangkap lebih/Over-fishing
-
-
8
Limbah Industri
-
9
Penambangan Karang batu
-
10
Bintang laut berduri/COT
-
-
11
Pengambilan Karang untuk
-
-
-
Aquarium Sumber: Survey, 2006
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini masih tergolong sedang dimana daerah baik pesisir maupun lautan merupakan daerah fishing ground baik oleh penduduk desa dan merupakan lahan budidaya laut. Tingkat intensitas tinggi dilakukan dari aspek budidaya, terutama budidaya rumput laut. Tabel 5.70. Pemanfaatan Daerah Ekosistem Terumbu Karang dan Sekitarnya.
No
Jenis Pemanfaatan
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
1
Daerah penangkapan ikan
2
Wisata Bahari
-
-
3
Daerah penampungan karang
-
-
4
Daerah Budidaya ikan/Rumput laut
-
-
5
Tidak di manfaatkan/di konservasi
-
6
Di konservasi
-
-
Sumber: Survey, 2006
Peran kelembagaan baik informal maupun formal di desa ini belum berperan secara signifikan dalam mengubah persepsif masyarakat dalam hal pengelolaan terumbu karang. Tabel 5.71. Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. No
Jenis Pemanfaatan
Intensitas Pengelolaan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Lembaga adat
2
Lembaga agama
-
3
Lembaga Usaha/Perusahaan swasta
-
-
4
Lembaga koperasi Desa
-
-
5
Kelompok masyarakat (POKMAS)
-
-
6
Pemerintah Desa
-
-
7
Kelompok nelayan
-
8
Lembaga swadaya masyarakat
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Peran lembaga adat, agama serta aparat desa dapat mendorong terciptanya suasana kondusif dalam pengelolaan terumbu karang di Pulau Lambego ini.
5.12.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir Potensi
sumberdaya
alam
berupa
kawasan
wisata
sangat
baik
dikembangkan di daerah ini. Selain wisata pantai juga di desa ini terdapat danau yang dapat diolah menjadi lahan wisata alam.
Gambar 21. Situasi Desa Lambego Tabel 5.72. Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Lambego No
Sumberdaya
Ada
Kondisi Tidak Ada -
1
Terumbu Karang
2
Mangrove
-
3
Tambak
-
4
Sawah
-
5
Diving
-
6
Wisata Lainnya
-
Sumber: Survey, 2006.
Desa ini memiliki potensi wisata karena memiliki keindahan alam dan budaya. Potensi wisata pantai, diving dan budaya sangat dipotensial dikembangkan karena didukung oleh kemauan masyarakat dan sifat terbuka menerima orang luar oleh masyarakat.
5.13. Desa Nyiur Indah 5.13.1. Gambaran Umum Desa Nyiur Indah Desa Nyiur Indah secara administratif termasuk dalam Kecamatan Taka Bonerate. Desa Nyiur Indah terletak di Pulau Kayuadi. Desa ini memiliki luas sekitar 6,7 Km2 dengan panjang pantai sekitar 8.500 meter. Potensi dari segi jenis ikan, desa ini memilki spesies ikanyang spesifik yaitu Ikan Kakatua. Selain itu juga terdapat ikan ekonomis penting lainnya berupa berupa ikan Sunu, Kerapu, Baronang dan ikan pelagis lainnya. Karakteristik fisik lahan pesisir di desa/pulau ini berupa berpasir putih dan memilki kawasan terumbu karang. Aksesbility penduduk ke ibukota kabupaten tergolong lancar dengan adanya kapal reguler dengan rute Desa Nyiur Indah - Benteng serta antar desa dalam pulau telah tersambung dengan adanya akses jalan baik berupa pavin blok maupun dalam bentuk pengerasan. Sedangkan akses antar pulau menggunakan jasa kapal tradisional jolloro yang terdapat di di dermaga dan siap berangkat sesuai dengan kebutuhan. Di desa ini pula terdapat sarana transportasi roda dua yang dimiliki oleh warga. Acara pesta panen juga dilakukan di desa ini. Kegiatan ini dilakukan setelah panen padi yang dilakukan secara bersama dengan warga desa.
Gambar 22. Desa Nyiur Indah di Pulau Kayuadi
5.13.2. Demografi BPS, 2005, menunjukkan jumlah penduduk di Desa Nyiur Indah ini sekitar 1.186 orang dengan jumlah kepala keluarga (KK) sekitar 297 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 191 orang per KM2 dengan rata-rata anggota rumah
tangga
sebanyak
4
orang.
Mayoritas
penduduk
bersuku
makassar/selayar dan suku bajo. Keseluruhan masyarakat di Desa Nyiur Indah beragama Islam. Berdasarkan hasil analisa data (Tabel 5.73), tingkat pendidikan masih rendah yakni tidak tamat SD (50%) dan tamat Sekolah dasar (50%). Jenis mata pencaharian masyarakat desa sebagai nelayan dengan pola ponggawa-sawi. Selain itu petani merupakan alternatif
mata pencaharian utama. Tingkat
pendapatan masyarakat dikisaran Rp. 200.000 – 500.000 dan beberapa masyarakat di atas Rp. 1.000.000 per bulan dengan pengeluaran hanya Rp. 200.000 per bulan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan yaitu pukat dan kompresor sebagai penyelam teripang dan ikan hias. Tabel 5.73. No 1.
2.
3.
Kondisi Responden di Desa Nyiur Indah
Jenis Data Usia Responden
Jumlah
%
- 15 – 24 Tahun
-
-
- 25 – 34 Tahun
-
-
- 35 – 44 Tahun
4
50
- 45 – 54 Tahun
4
50
- Tidak Tamat SD
4
50
- Tamat SD
4
50
- SMP
-
-
- SMA
-
-
- Sarjana
-
-
4
50
Pendidikan
Pekerjaan Utama - Nelayan
Keterangan
- Pengumpul 4.
5.
4
50
- Tani
4
50
- Tukang Kayu
2
25
- Budidaya
2
25
- Ternak
-
-
- Jasa Transportasi
-
-
- Pembuat Perahu
-
-
- Tidak Ada
-
-
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
4
50
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
-
-
- > Rp. 1.000.000
4
50
- < Rp. 200.000
4
50
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
4
50
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
-
- > Rp. 1.000.000
-
Sampingan
Penghasilan Perbulan - < Rp. 200.000
6.
Pengeluaran
Sumber: Survey, 2006
5.13.3. Infrasturktur Infrastruktur di Desa Nyiur Indah masih sederhana dengan tingkat kualitas dan kuantitas yang masih sedikit. Namun hal ini tidak menurungkan motivasi penduduk untuk berkarya dan berusaha. Tabel 5.74. Kondisi Infrastruktur di Desa Nyiur Indah No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
Jumlah 2
Kondisi Baik
2.
Sarana Pendidikan 2
Baik
Pemerintah
- Posyandu
1
Baik
Swadaya
Sarana Perdagangan
4
Baik
Swadaya
- Sekolah Dasar 3. 4.
Status Swadaya
Ket Masjid
Sarana Kesehatan Kios
6.
Sarana Permodalan / Koperasi Dermaga
7.
Sarana Jalan
8.
Sarana Penerangan
Genarator Diesel
9.
Sarana Perumahan
Rumah
5.
1
Baik
Koperasi
Listrik
1
Baik
Swadaya
Beton
Baik
Swadaya
Pavin Blok
Koperasi
18.00–22.00 menyala
Hak Milik
Mayoritas
Panggung 10.
Sarana Komunikasi
11.
Sarana Sanitasi - Air Bersih - WC
Televisi dan radio Sumur
Baik
Ada
Baik
- Tempat Sampah
-
-
12.
Sarana Penginapan
-
-
13.
Industri Ikan
-
-
Pengolahan
Sumber: Survey, 2006.
Sarana publik di Desa Nyiur Indah seperti jalan dan dermaga tergolong baik dengan konstruksi pavin blok dan kayu. Fasilitas ini merupakan swadaya dari masyarakat dan bantuan dari pemerintah. Sarana masjid di desa ini juga merupakan hasil swadaya dari masyarakat desa. Sarana penerangan di desa ini disuplai dari Koperasi Listrik. Sedangkan sarana komunikasi di desa ini berupa televisi satelit dan radio terdapat di beberapa rumah penduduk. Sarana sanitasi di Desa Nyiur Indah tergolong baik dengan terdapatnya WC di hampir tiap rumah penduduk. Namun tempat pembuangan sampah belum dimiliki. 5.13.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Eksploitasi sumberdaya terumbu karang di Desa Nyiur Indah masih dalam tingkat intensitas sedang. Penggunaan destruktive fishing gear dan jangkar kapal di kawasan terumbu karang masih menjadi penyebab rusaknya struktur terumbu karang. Aktifitas tersebut selain dilakukan oleh beberapa warga juga dilakukan oleh beberapa nelayan pendatang. Tabel 5.75. Tingkat Intensitas Kerusakan Terumbu Karang di Desa Nyiur Indah
No
Penyebab Utama
Tingkat Intensitas Kerusakan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Bahan peledak/bom
2
Racun kimia/cyanida
-
-
3
Sedimentasi
-
-
4
Iklim global
-
-
5
Tsunami/gempa bumi
-
6
Jangkar perahu/kapal
-
-
7
Tangkap lebih/Over-fishing
-
-
8
Limbah Industri
-
9
Penambangan Karang batu
-
10
Bintang laut berduri/COT
-
11
Pengambilan Karang untuk
-
-
-
Aquarium Sumber: Survey, 2006
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini masih tergolong tinggi dimana daerah baik pesisir maupun lautan merupakan daerah fishing ground baik oleh penduduk desa. Potensi wisata juga telah dikelola dengan baik dengan masuknya kawasan ini dalam Kawasan Nasional Takabonerate. Hukum adat juga berlaku di Desa Nyiur Indah ini dengan membakar kapal atau dikeluarkan dari pulau bila ditemukan warga/nelayan melakukan aktifitas menangkap ikan secara merusak (destruktive fishing). Tabel 5.76. Pemanfaatan Daerah Ekosistem Terumbu Karang dan Sekitarnya.
No
Jenis Pemanfaatan
1
Daerah penangkapan ikan
2
Wisata Bahari
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
-
3
Daerah penampungan karang
-
-
4
Daerah Budidaya ikan/Rumput laut
-
-
5
Tidak di manfaatkan/di konservasi
-
-
6
Di konservasi
-
-
Sumber: Survey, 2006
Peran aparat pemerintah, kelompok masyarakat dan tokoh adat dan kelembagaan, di mata masyarakat memilki peluang memotivasi mereka dan mengatur peraturan tentang aktifitas pengelolaan dan eksploitasi terumbu karang. Dimata masyarakat bahwa kebijakan yang dikeluarkan dan dikerjakan oleh ketiga komponen tersebut akan berpengaruh positif dimata masyarakat desa.
Tabel 5.77. Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. No
Intensitas Pengelolaan Sedan Tinggi Rendah g -
Jenis Pemanfaatan
1
Lembaga adat
2
Lembaga agama
-
3
Lembaga Usaha/Perusahaan swasta
-
-
4
Lembaga koperasi Desa
-
-
5
Kelompok masyarakat (POKMAS)
-
-
6
Pemerintah Desa
-
-
7
Kelompok nelayan
-
8
Lembaga swadaya masyarakat
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Peran lembaga adat, agama serta aparat desa dapat mendorong terciptanya suasana kondusif dalam pengelolaan terumbu karang di Pulau Nyiur Indah ini. 5.13.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir Potensi
sumberdaya
alam
berupa
kawasan
wisata
sangat
baik
dikembangkan di daerah ini. Selain wisata pantai juga di desa ini terdapat danau yang dapat diolah menjadi lahan wisata alam. Tabel 5.78. Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Nyiur Indah No
Sumberdaya
Ada
Kondisi Tidak Ada -
1
Terumbu Karang
2
Mangrove
-
3
Tambak
-
4
Sawah
-
5
Diving
-
6
Wisata Lainnya
-
Sumber: Survey, 2006.
Desa ini memiliki potensi wisata karena memiliki keindahan alam dan budaya. Potensi wisata pantai, diving dan budaya sangat dipotensial dikembangkan karena didukung oleh kemauan masyarakat dan sifat terbuka menerima orang luar oleh masyarakat.
5.14. Desa Batang 5.14.1. Gambaran Umum Desa Batang Desa Batang secara administratif termasuk dalam Kecamatan Taka Bonerate. Desa Batang terletak di Pulau Kayuadi. Desa ini memiliki luas sekitar 3,8 Km2 dengan panjang pantai sekitar 5.300 meter. Karakteristik fisik lahan pesisir di desa/pulau ini berupa berpasir putih dan memilki kawasan terumbu karang. Aksesbility penduduk ke ibukota kabupaten tergolong lancar dengan adanya kapal reguler dengan rute Desa Batang - Benteng dengan frekuensi 2 kali per minggu serta antar desa dalam pulau telah tersambung dengan adanya akses jalan baik berupa pavin blok maupun dalam bentuk pengerasan. Sedangkan akses antar pulau menggunakan jasa kapal tradisional jolloro yang terdapat di di dermaga dan siap berangkat sesuai dengan kebutuhan. Di desa ini pula terdapat sarana transportasi roda dua yang dimiliki oleh warga. Acara pesta panen juga dilakukan di desa ini. Kegiatan ini dilakukan setelah panen padi yang dilakukan secara bersama dengan warga desa. 5.14.2. Demografi Jumlah penduduk di Desa Batang ini sekitar 1.749 orang dengan perincian laki-laki sebanyak 734 jiwa dan perempuan sebanyak 1.015 jiwa. Jumlah kepala keluarga (KK) sekitar 490 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 453 orang per km2 dengan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 4 orang. Penduduk di desa ini tergolong padat. Berdasarkan Data Potensi Desa tahun 2006, mayoritas penduduk bersuku makassar/selayar dan suku bajo. Keseluruhan masyarakat di Desa Batang
beragama Islam. Struktur populasi dan mata pencaharian di Desa Batang di dominasi oleh nelayan (40 %), petani (20 %), pedagang (25%), PNS/ABRI (10%) dan jasa lainnya sekitar (5 %). Tabel 5.79. Kondisi Responden di Desa Batang No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jenis Data Usia Responden
Jumlah
%
- 15 – 24 Tahun
-
-
- 25 – 34 Tahun
4
66
- 35 – 44 Tahun
-
-
- 45 – 54 Tahun
2
33
- Tidak Tamat SD
4
66
- Tamat SD
2
33
- SMP
-
-
- SMA
-
-
- Sarjana
-
-
- Nelayan
6
100
- Pengumpul
-
-
- Tani
6
100
- Tidak Ada
-
-
- < Rp. 200.000
4
66
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
-
-
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
-
-
- > Rp. 1.000.000
2
33
- < Rp. 200.000
6
100
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
-
-
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
-
-
- > Rp. 1.000.000
-
-
Pendidikan
Pekerjaan Utama
Sampingan
Penghasilan Perbulan
Pengeluaran
Keterangan
Tingkat pendidikan umumnya tidak tamat SD. Sedangkan penghasilan secara rata-rata Rp. 200.000. 5.14.3. Infrasturktur Infrastruktur di Desa Batang masih sederhana dengan tingkat kualitas dan kuantitas yang masih sedikit. Namun hal ini tidak menurungkan motivasi penduduk untuk berkarya dan berusaha. Tabel 5.80. Kondisi Infrastruktur di Desa Batang No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
2.
Sarana Pendidikan
3.
4.
5.
Jumlah 2
Kondisi Baik
Status Swadaya
- Sekolah Dasar
2
Baik
Pemerintah
- SMP
1
Baik
Pemerintah
- SMA
1
Baik
Pemerintah
- Posyandu
4
Baik
Pemerintah
- Puskesmas
1
Baik
Pemerintah
- Pasar Desa
1
Baik
Pemerintah
- Toko
8
Baik
Milik
- Kios
10
Baik
Milik
-
-
1
Sarana Kesehatan
Sarana Perdagangan
6.
Sarana Permodalan Koperasi Dermaga
7.
Sarana Jalan
8.
Sarana Penerangan
Genarator Diesel
9.
Sarana Perumahan
Rumah Panggung
10.
Sarana Komunikasi
Televisi Satelit dan radio
11.
Sarana Sanitasi
/
- Air Bersih
12. 13.
Ket Masjid
-
-
Rusak
Swadaya
Kayu
Baik
Swadaya
Pavin Blok dan tanah 18.00–23.00 menyala
Swadaya
Hak Milik
Sumur
Baik
- WC
Ada
Baik
- Tempat Sampah
Ada
Baik
Sarana Penginapan Industri Pengolahan Ikan
Sumber: Survey, 2006.
-
-
Mayoritas
Sarana publik di Desa Batang tergolong baik dan tersedia untuk kebutuhan sehari-hari untuk masyarakat. Sarana jalan desa masih berupa pengerasan, tanah dan beberapa daerah sudah terpavin blok. Desa ini memilki pelabuhan walapun mash dalam skala kecil, pelabuhan ini mampu mendorong kegiatan perekonomian di desa ini dan desa tetangga dalam kawasan Pulau Kayuadi ini. Hanya kondisi dermaga masih diperlukan renovasi. Dengan keberadaan pasar desa disamping adanya toko dan kios-kios yang dikelola secara skala rumah tangga, proses tata niaga perekonomian desa dapat berjalan lancar. Begitu pula sarana pendidikan dasar samapi menengah atas, di desa ini tergolong lengkap dengan adaya SD, SMP dan SMA. Sarana kesehatan berupa posyandu dan puskesmas di desa ini mampu meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. Dengan adanya dan dekatnya sarana kesehatan dan tenaga kesehatan proses sosialisasi kesehatan lingkungan dan pribadi, Di desa ini tergolong baik dengan melihat MCK dan WC yang dimiliki warga telah tersedia di rumah masing-masing begitu pula dengan pembuangan sampah yang telah dikelola secara wadaya oleh masyarakat. Ketersediaan air bersih berupa sumur tidak mengalami kendala di desa ini. 5.14.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Eksploitasi sumberdaya terumbu karang di Desa Batang masih dalam tingkat intensitas sedang. Penggunaan destruktive fishing gear dan jangkar kapal di kawasan terumbu karang masih menjadi penyebab rusaknya struktur terumbu karang. Aktifitas tersebut selain dilakukan oleh beberapa warga juga dilakukan oleh beberapa nelayan pendatang.
Tabel 5.81. Tingkat Intensitas Kerusakan Terumbu Karang di Desa Batang
No
Penyebab Utama
Tingkat Intensitas Kerusakan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Bahan peledak/bom
2
Racun kimia/cyanida
-
-
3
Sedimentasi
-
-
4
Iklim global
-
-
5
Tsunami/gempa bumi
-
6
Jangkar perahu/kapal
-
-
7
Tangkap lebih/Over-fishing
-
-
8
Limbah Industri
-
9
Penambangan Karang batu
-
10
Bintang laut berduri/COT
-
11
Pengambilan Karang untuk
-
-
-
Aquarium Sumber: Survey, 2006
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini masih tergolong tinggi dimana daerah baik pesisir maupun lautan merupakan daerah fishing ground baik oleh penduduk desa. Potensi wisata juga telah dikelola dengan baik dengan masuknya kawasan ini dalam Kawasan Nasional Takabonerate. Kegiatan budidaya di desa ini juga terdapat Keramba Jaring Apung yang dikelola oleh investor dari makassar dan masyarakat lokal yang digunakan sebagai pembesaran ikan dan penampungan ikan sementara.
Tabel 5.82. Pemanfaatan Daerah Ekosistem Terumbu Karang dan Sekitarnya.
No
Jenis Pemanfaatan
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
1
Daerah penangkapan ikan
2
Wisata Bahari
3
Daerah penampungan karang
-
-
4
Daerah Budidaya ikan/Rumput laut
-
-
5
Tidak di manfaatkan/di konservasi
-
6
Di konservasi
-
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Peran aparat pemerintah, kelompok masyarakat dan tokoh adat dan kelembagaan, di mata masyarakat memilki peluang memotivasi mereka dan mengatur peraturan tentang aktifitas pengelolaan dan eksploitasi terumbu karang. Dimata masyarakat bahwa kebijakan yang dikeluarkan dan dikerjakan oleh ketiga komponen tersebut akan berpengaruh positif dimata masyarakat desa. Tabel 5.83. Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. No
Jenis Pemanfaatan
Intensitas Pengelolaan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Lembaga adat
2
Lembaga agama
-
3
Lembaga Usaha/Perusahaan swasta
-
-
4
Lembaga koperasi Desa
-
-
5
Kelompok masyarakat (POKMAS)
-
-
6
Pemerintah Desa
-
-
7
Kelompok nelayan
-
8
Lembaga swadaya masyarakat
-
Sumber: Survey, 2006
-
-
Peran lembaga adat, agama serta aparat desa dapat mendorong terciptanya suasana kondusif dalam pengelolaan terumbu karang di Pulau Batang ini. 5.14.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir Potensi
sumberdaya
alam
berupa
kawasan
wisata
sangat
baik
dikembangkan di daerah ini. Selain wisata pantai juga di desa ini terdapat danau yang dapat diolah menjadi lahan wisata alam. Tabel 5.84. Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Batang No
Sumberdaya
Ada
Kondisi Tidak Ada -
1
Terumbu Karang
2
Mangrove
-
3
Tambak
-
4
Sawah
-
5
Diving
-
6
Wisata Lainnya
-
Sumber: Survey, 2006.
Desa ini memiliki potensi wisata karena memiliki keindahan alam dan budaya. Potensi wisata pantai, diving dan budaya sangat dipotensial dikembangkan karena didukung oleh kemauan masyarakat dan sifat terbuka menerima orang luar oleh masyarakat.
5.15. Desa Kayuadi 5.15.1. Gambaran Umum Desa Kayuadi Desa Kayuadi secara administratif termasuk dalam Kecamatan Taka Bonerate dan berada di Pulau Kayuadi sendiri. Desa ini memiliki luas sekitar 6,07 Km2 dengan panjang pantai sekitar 8.600 meter. Potensi dari segi jenis ikan
ekonomis
penting
berupa
berupa
Ikan
Butana,
Kerapu
Macan,
Kaloholong, Sotong dan Teripang. Karakteristik fisik lahan pesisir di
desa/pulau ini berupa berpasir putih dan memilki kawasan terumbu karang. Desa ini memiliki pulau kecil yang tidak berpenghuni dengan luas sekitar 0,75 Ha dengan nama Pulau Kauna. Aksesbility penduduk ke ibukota kabupaten tergolong lancar dengan adanya kapal reguler dengan rute Pulau/Desa Kayuadi - Benteng serta antar desa dalam pulau telah tersambung dengan adanya akses jalan baik berupa pavin blok maupun dalam bentuk pengerasan. Sedangkan akses antar pulau menggunakan jasa kapal tradisional jolloro yang terdapat di di dermaga dan siap berangkat sesuai dengan kebutuhan. Di desa ini pula terdapat sarana transportasi roda dua yang dimiliki oleh warga. 5.15.2. Demografi Desa Kayuadi memiliki jumlah penduduk ini sekitar 2.160 orang dengan perincian laki-laki sebanyak 1.043 dan perempuan sekitar 1.117. Jumlah kepala keluarga (KK) sekitar 703 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 712 orang per KM2 dengan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 4 orang. Mayoritas penduduk bersuku makassar/selayar dan suku bajo. Keseluruhan masyarakat di Desa Kayuadi beragama Islam. Berdasarkan Data Potensi Desa, struktur populasi dan mata pencaharian di Desa Kayuadi di dominasi oleh nelayan (43 %), petani (41 %), pedagang (13%) dan PNS/ABRI (4%). Sedangkan menurut tingkat pendidikan masyarakat desa Kayuadi tergolong tinggi dengan komposisi tamat SD sekitar 518 orang, tamat SMP 105 orang, tamat SMA sebanyak orang dan Diploma (D3) sebanyak 9 orang.
T abel 5.85. Kondisi Responden di Desa Kayuadi No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jenis Data Usia Responden
Jumlah
%
- 15 – 24 Tahun
-
-
- 25 – 34 Tahun
3
50
- 35 – 44 Tahun
3
50
- 45 – 54 Tahun
-
-
- Tidak Tamat SD
1
16
- Tamat SD
4
66
- SMP
1
16
- SMA
-
- Sarjana
-
Keterangan
Pendidikan
Pekerjaan Utama - Nelayan
4
66
- Pengumpul
2
33
- Tani
2
33
- Tukang Kayu
2
33
- Budidaya
2
33
- Tidak Ada
-
-
- < Rp. 200.000
-
-
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
4
66
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
2
33
- > Rp. 1.000.000
-
-
- < Rp. 200.000
3
50
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
3
50
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
-
- > Rp. 1.000.000
-
Sampingan
Penghasilan Perbulan
Pengeluaran
Sumber: Survey, 2006.
Berdasarkan data diatas bahwa tingkat pendidikan responden di Desa Kayuadi adalah tamat SD dengan pekerjaan utama sebagai nelayan pancing dan menggunakan kapal sampan dan jolloro. Pekerjaan sampingan adalah pembudidaya ikan, petani dan tukang kayu. Pendapatan masyarakat sekitar
Rp. 500.000 – 1.000.000 per bulan dengan pengeluaran sekitar Rp. 200.000 – 500.000 per bulan. 5.15.3. Infrasturktur Infrastruktur di Desa Kayuadi baik sarana ekonomi, kesejateraan dan budaya tergolong baik dan tersedia untuk kepentingan masyarakat. Tabel 5.86. Kondisi Infrastruktur di Desa Kayuadi No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
Jumlah 3
Kondisi Baik
2.
Sarana Pendidikan 2
Baik
Pemerintah
- Posyandu
4
Baik
- Puskesmas
1
Baik
Swadaya dan Pemerintah Pemerintah
4.
Sarana Perdagangan
5
Baik
Swadaya
Kios
5.
1
Baik
Koperasi
Listrik
6.
Sarana Permodalan / Koperasi Dermaga
1
Baik
Pemerintah
Kayu
7.
Sarana Jalan
Swadaya
8.
Sarana Penerangan
Genarator Diesel
Pavin Blok dan Tanah 18.00–24.00 menyala
9.
Sarana Perumahan
Rumah
- Sekolah Dasar 3.
Status Ket Swadaya dan Masjid Bantuan Pemerintah
Sarana Kesehatan
Rusak
PLN
Panggung 10.
Sarana Komunikasi
11.
Sarana Sanitasi - Air Bersih - WC
Televisi dan Radio
Hak Milik
Sumur
Baik
Ada
Baik
- Tempat Sampah
-
-
12.
Sarana Penginapan
-
-
13.
Industri Ikan
-
-
Pengolahan
Sumber: Survey, 2006.
Mayoritas
Sarana jalan di Desa Kayuadi yang terbuat dari pavin blok dan tanah pengerasan dalam kondisi rusak. Sarana jalan ini merupakan swadaya dari masyarakat dan bantuan dari pemerintah. Penerangan desa di suplai oleh PLN dengan lama menyala sekitar 6 jam, dari 18.00 – 24.00. Sarana sanitasi di Desa Kayuadi tergolong baik dengan terdapatnya WC di hampir tiap rumah penduduk. Namun tempat pembuangan sampah belum dimiliki. 5.15.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Eksploitasi sumberdaya terumbu karang di Desa Kayuadi masih dalam tingkat intensitas sedang. Penggunaan destruktive fishing gear (bom dan cyanida) dan jangkar kapal di kawasan terumbu karang masih menjadi penyebab rusaknya struktur terumbu karang. Aktifitas tersebut selain dilakukan oleh beberapa warga setempat dan nelayan pendatang. Tabel 5.87. Tingkat Intensitas Kerusakan Terumbu Karang di Desa Kayuadi
No
Penyebab Utama
Tingkat Intensitas Kerusakan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Bahan peledak/bom
2
Racun kimia/cyanida
3
Sedimentasi
-
-
4
Iklim global
-
-
5
Tsunami/gempa bumi
-
6
Jangkar perahu/kapal
7
Tangkap lebih/Over-fishing
-
-
8
Limbah Industri
-
-
9
Penambangan Karang batu
-
-
10
Bintang laut berduri/COT
-
11
Pengambilan Karang untuk
-
Aquarium
-
-
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini masih tergolong tinggi dimana daerah baik pesisir maupun lautan merupakan daerah fishing ground baik oleh penduduk desa. Potensi wisata juga telah dikelola dengan baik dengan masuknya kawasan ini dalam Kawasan Nasional Takabonerate. Hukum adat juga berlaku di Desa Kayuadi ini dengan membakar kapal atau dikeluarkan dari pulau bila ditemukan warga/nelayan melakukan aktifitas menangkap ikan secara merusak (destruktive fishing). Tabel 5.88. Pemanfaatan Daerah Ekosistem Terumbu Karang dan Sekitarnya.
No
Jenis Pemanfaatan
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
1
Daerah penangkapan ikan
2
Wisata Bahari
3
Daerah penampungan karang
-
-
4
Daerah Budidaya ikan/Rumput laut
-
-
5
Tidak di manfaatkan/di konservasi
-
-
6
Di konservasi
-
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Peran aparat pemerintah, kelompok masyarakat dan tokoh adat dan kelembagaan, di mata masyarakat memilki peluang memotivasi mereka dan mengatur peraturan tentang aktifitas pengelolaan dan eksploitasi terumbu karang. Dimata masyarakat bahwa kebijakan yang dikeluarkan dan dikerjakan oleh ketiga komponen tersebut akan berpengaruh positif dimata masyarakat desa.
Tabel 5.89. Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. No
Intensitas Pengelolaan Sedan Tinggi Rendah g -
Jenis Pemanfaatan
1
Lembaga adat
2
Lembaga agama
-
3
Lembaga Usaha/Perusahaan swasta
-
-
4
Lembaga koperasi Desa
-
-
5
Kelompok masyarakat (POKMAS)
-
-
6
Pemerintah Desa
-
-
7
Kelompok nelayan
8
Lembaga swadaya masyarakat
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Peran lembaga adat, pokmas, LSM serta aparat desa dapat mendorong terciptanya suasana kondusif dalam pengelolaan terumbu karang di Pulau Kayuadi ini. 5.15.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir Potensi
sumberdaya
alam
berupa
kawasan
wisata
sangat
baik
dikembangkan di daerah ini. Tabel 5.90. Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Kayuadi No
Sumberdaya
Ada
1
Terumbu Karang
2
Mangrove
-
3
Tambak
-
4
Sawah
-
5
Diving
6
Wisata Lainnya
Sumber: Survey, 2006.
Kondisi Tidak Ada -
-
Desa ini memiliki potensi wisata karena memiliki keindahan alam dan budaya. Potensi wisata pantai, diving dan budaya sangat dipotensial dikembangkan karena didukung oleh kemauan masyarakat dan sifat terbuka menerima orang luar oleh masyarakat.
5.16. Desa Pulo Madu 5.16.1. Gambaran Umum Desa Pulo Madu Desa Pulo Madu secara administratif termasuk dalam Kecamatan Pasilambena dan berada di Pulau Madu sendiri. Desa ini memiliki luas sekitar 7 Km2 dengan panjang pantai sekitar 20.750 meter. Potensi dari segi jenis ikan ekonomis penting berupa Ikan Tuna Ekor Kuning (Madidihang), Ikan Katamba, Ikan Layang, Kerapu, dan Teripang. Selain hal tersebut potensi Keramba Jaring Apung berpotensial untuk dikembangkan di perairan daerah ini. Karakteristik fisik lahan pesisir di desa/pulau ini berupa pantai small cliff, koral, batu, mangrove dan memiliki kawasan terumbu karang. Aksesbility penduduk ke ibukota kabupaten tergolong lancar dengan adanya kapal reguler dengan rute Desa/Pulau Madu – Benteng. Sedangkan akses antar pulau menggunakan jasa kapal tradisional jolloro yang terdapat di di dermaga dan siap berangkat sesuai dengan kebutuhan. 5.16.2. Demografi Desa Pulo Madu memiliki jumlah penduduk ini sekitar 1.241 orang. Jumlah kepala keluarga (KK) sekitar 312 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 162 orang per km2 dengan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 4 orang.
Mayoritas
penduduk
bersuku
buton
dan
makassar/selayar.
Keseluruhan masyarakat di Desa Pulo Madu beragama Islam. Struktur populasi dan mata pencaharian di Desa Pulo Madu di dominasi oleh petani (40 %), nelayan (30 %), pedagang (20%), PNS/ABRI (5%) dan jasa lainnya (5%). Umumnya aktifitas nelayan menggunakan sarana tanpa kapal motor. Aktifitas masyarakat pada musim barat (Desember – Mei) dilakukan aktifitas bertani dan pada musim timur (Juni – November) melakukan aktifitas
melaut. Alat yang digunakan umumnya alat sederhana berupa bubu, pancing dan
lanra.
Kepercayaan
sebelum
melaut
dilakukan
oleh
masyarakat
melakukan doa selamatan untuk lokasi penangkapan yang memerlukan waktu lama dan lokasi yang jauh. Penjulan hasil penangkapan umumnya salurkan ke daerah Makassar, Buton dan Maumere. Tabel 5.91. Kondisi Responden di Desa Pulomadu No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jenis Data
Jumlah
%
- 15 – 24 Tahun
-
-
- 25 – 34 Tahun
3
50
- 35 – 44 Tahun
3
50
- 45 – 54 Tahun
-
-
- Tidak Tamat SD
1
16
- Tamat SD
4
66
- SMP
1
16
- SMA
-
- Sarjana
-
Usia Responden
Pendidikan
Pekerjaan Utama - Nelayan
4
66
- Pengumpul
2
33
- Tani
2
33
- Tukang Kayu
2
33
- Budidaya
2
33
- < Rp. 200.000
-
-
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
4
66
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
2
33
- > Rp. 1.000.000
-
-
- < Rp. 200.000
3
50
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
3
50
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
-
- > Rp. 1.000.000
-
Sampingan
Penghasilan Perbulan
Pengeluaran
Keterangan
Sumber: Survey, 2006.
Berdasarkan data diatas bahwa tingkat pendidikan responden di Desa Pulau madu adalah tamat SD dengan pekerjaan utama sebagai nelayan pancing dan menggunakan kapal sampan dan jolloro. Pekerjaan sampingan adalah pembudidaya ikan, petani dan tukang kayu. Pendapatan masyarakat sekitar Rp. 500.000 – 1.000.000 per bulan dengan pengeluaran sekitar Rp. 200.000 – 500.000 per bulan. 5.16.3. Infrasturktur Infrastruktur di Desa Pulo Madu tergolong sederhana namun secara apresiasi oleh masyarakat, sarana tersebut sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Tabel 5.92. Kondisi Infrastruktur di Desa Pulo Madu No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
2.
Sarana Pendidikan - Sekolah Dasar
3.
Jumlah 3
Kondisi Baik
Status Ket Swadaya dan Masjid Bantuan Pemerintah
1
Baik
Pemerintah
1
Baik
Pemerintah Swadaya
Sarana Kesehatan -Puskesmas Pembantu Pasar
4.
Sarana Perdagangan
1
Baik
5.
-
-
6.
Sarana Permodalan / Koperasi Dermaga
1
Baik
Pemerintah
Kayu
7.
Sarana Jalan
Baik
Swadaya
Tanah
8.
Sarana Penerangan
Genarator Diesel
Swasta
18.00–24.00 menyala
9.
Sarana Perumahan
Rumah Hak Milik
Mayoritas
-
Panggung 10.
Sarana Komunikasi
11.
Sarana Sanitasi - Air Bersih
Televisi dan Radio Sumur
Baik
- WC
Ada
Baik
- Tempat Sampah
-
-
12.
Sarana Penginapan
-
-
13.
Industri Ikan
-
-
Pengolahan
Sumber: Survey, 2006.
Sarana jalan di Desa Pulo Madu yang terbuat dari pavin blok dan tanah pengerasan.
Sarana jalan ini merupakan swadaya dari masyarakat dan
bantuan dari pemerintah. Penerangan desa di suplai oleh PLN dengan lama menyala sekitar 6 jam, dari 18.00 – 24.00. Sarana penerangan di desa ini dilakukan oleh pihak swasta (skala kecil) dengan membebankanbiaya produksi sebesar Rp. 7.000 per mata lampu per bulan. Sarana sanitasi di Desa Pulo Madu tergolong baik dengan terdapatnya WC di hampir tiap rumah penduduk. Namun tempat pembuangan sampah belum dimiliki.
Gambar 23. Situasi Pulau Mado 5.16.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Eksploitasi sumberdaya terumbu karang di Desa Pulo Madu masih dalam tingkat intensitas sedang. Penggunaan destruktive fishing gear (bom dan cyanida) dan jangkar kapal di kawasan terumbu karang masih menjadi penyebab rusaknya struktur terumbu karang. Aktifitas tersebut selain dilakukan oleh beberapa warga setempat dan nelayan pendatang. Tabel 5.93. Tingkat Intensitas Kerusakan Terumbu Karang di Desa Pulo Madu
No
Penyebab Utama
Tingkat Intensitas Kerusakan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Bahan peledak/bom
2
Racun kimia/cyanida
3
Sedimentasi
-
-
4
Iklim global
-
-
5
Tsunami/gempa bumi
-
6
Jangkar perahu/kapal
7
Tangkap lebih/Over-fishing
-
-
8
Limbah Industri
-
-
9
Penambangan Karang batu
-
-
10
Bintang laut berduri/COT
-
11
Pengambilan Karang untuk
-
-
-
-
-
-
Aquarium Sumber: Survey, 2006
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini masih tergolong tinggi dimana daerah baik pesisir maupun lautan merupakan daerah fishing ground baik oleh penduduk desa. Potensi wisata juga telah dikelola dengan baik dengan masuknya kawasan ini dalam Kawasan Nasional Takabonerate. Tabel 5.94. Pemanfaatan Daerah Ekosistem Terumbu Karang dan Sekitarnya.
No
Jenis Pemanfaatan
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
1
Daerah penangkapan ikan
2
Wisata Bahari
3
Daerah penampungan karang
-
-
4
Daerah Budidaya ikan/Rumput laut
-
-
5
Tidak di manfaatkan/di konservasi
-
-
-
-
6
Di konservasi
-
-
Sumber: Survey, 2006
Hukum adat juga berlaku di Desa Pulo Madu ini dengan membakar kapal atau dikeluarkan dari pulau bila ditemukan warga/nelayan melakukan aktifitas menangkap ikan secara merusak (destruktive fishing). Peran aparat pemerintah, kelompok masyarakat dan tokoh adat dan kelembagaan, di mata masyarakat memilki peluang memotivasi mereka dan mengatur peraturan tentang aktifitas pengelolaan dan eksploitasi terumbu karang. Di mata masyarakat bahwa kebijakan yang dikeluarkan dan dikerjakan oleh ketiga komponen tersebut akan berpengaruh positif di mata masyarakat desa. Tabel 5.95. Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. No
Jenis Pemanfaatan
Intensitas Pengelolaan Sedan Tinggi Rendah g -
1
Lembaga adat
2
Lembaga agama
3
Lembaga Usaha/Perusahaan swasta
-
-
4
Lembaga koperasi Desa
-
-
5
Kelompok masyarakat (POKMAS)
-
-
6
Pemerintah Desa
-
-
7
Kelompok nelayan
8
Lembaga swadaya masyarakat
-
-
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Peran lembaga adat, agama, pokmas, LSM serta aparat desa dapat mendorong terciptanya suasana kondusif dalam pengelolaan terumbu karang di Pulau Pulo Madu ini. 5.16.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir
Potensi
sumberdaya
alam
berupa
kawasan
wisata
sangat
baik
dikembangkan di daerah ini. Tabel 5.96. Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Pulo Madu No
Kondisi Ada Tidak Ada -
Sumberdaya
1
Terumbu Karang
2
Mangrove
-
3
Tambak
-
4
Sawah
-
5
Diving
6
Wisata Lainnya
-
Sumber: Survey, 2006.
Desa ini memiliki potensi wisata karena memiliki keindahan alam dan budaya. Potensi wisata pantai, diving dan budaya sangat dipotensial dikembangkan karena didukung oleh kemauan masyarakat dan sifat terbuka menerima orang luar oleh masyarakat.
5.17. Desa Kalaotoa 5.17.1. Gambaran Umum Desa Kalaotoa Desa
Kalaotoa
secara
administratif
termasuk
dalam
Kecamatan
Pasilambena dan berada di Pulau Kalaotoa sendiri. Desa ini memiliki luas sekitar 16,19 Km2 dengan panjang pantai sekitar 6.750 meter. Potensi dari segi jenis ikan ekonomis penting berupa Ikan Tuna Ekor Kuning (Madidihang), Triger, Cepa, Ikan Kwang, Ikan Katamba, Ikan Layang, Kerapu, dan Teripang. Selain hal tersebut potensi Keramba Jaring Apung berpotensial untuk dikembangkan di perairan daerah ini. Karakteristik fisik lahan pesisir di desa/pulau ini berupa pantai small cliff, koral, batu, mangrove dan memiliki kawasan terumbu karang.
Selain potensi pesisir dan laut, desa ini memilki lahan kelapa untuk industri kopra yang cukup besar. Produksi kopra dari desa ini sekitar 1.000 ton per tahun. Selain potensi perkebunan tersebut, potensi lain seperti pisang, tembakau, coklat dan jambu mente terdapat di desa ini. Aksesbility penduduk ke ibukota kabupaten tergolong lancar dengan adanya kapal reguler dengan rute Desa/Pulau Kalaotoa – Benteng. Sedangkan akses antar pulau menggunakan jasa kapal tradisional jolloro yang terdapat di di dermaga dan siap berangkat sesuai dengan kebutuhan. Desa ini juga merupakan daerah transit jalur Bira/Makassar menuju Flores/Maumere. 5.17.2. Demografi Desa Kalaotoa memiliki jumlah penduduk ini sekitar 1.138 orang dengan perincian 547 laki-laki dan perempuan 591 orang. Jumlah kepala keluarga (KK) sekitar 258 KK dengan kepadatan penduduk sekitar 45 orang per KM2 dengan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 3 orang. Mayoritas penduduk bersuku buton dan makassar/selayar. Keseluruhan masyarakat di Desa Kalaotoa beragama Islam. Aktifitas masyarakat pada musim barat (Desember – Mei) dilakukan aktifitas bertani dan pada musim timur (Juni – November) melakukan aktifitas melaut. Alat yang digunakan umumnya alat sederhana berupa bubu, pancing dan
lanra.
Kepercayaan
sebelum
melaut
dilakukan
oleh
masyarakat
melakukan doa selamatan untuk lokasi penangkapan yang memerlukan waktu lama dan lokasi yang jauh. Penjulan hasil penangkapan umumnya salurkan ke daerah Makassar, Buton dan Maumere.
Gambar 24. Situasi Pulau Kaotoa
Tabel 5.97. Kondisi Responden di Desa Kalaotoa No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jenis Data Usia Responden
Jumlah
%
- 15 – 24 Tahun
1
16
- 25 – 34 Tahun
2
33
- 35 – 44 Tahun
2
33
- 45 – 54 Tahun
1
16
- Tidak Tamat SD
1
16
- Tamat SD
4
66
- SMP
2
33
- SMA
-
- Sarjana
-
Pendidikan
Pekerjaan Utama - Nelayan
5
83
- Pengumpul
1
16
- Tani
2
33
- Tukang Kayu
1
16
- Budidaya
2
33
- Ternak
-
-
- Jasa Transportasi
1
16
- Pembuat Perahu
-
-
- Tidak Ada
-
-
- < Rp. 200.000
1
16
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
2
33
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
2
33
- > Rp. 1.000.000
1
16
- < Rp. 200.000
4
66
- Rp. 200.000 – Rp. 500.000
1
16
- Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000
1
16
Sampingan
Penghasilan Perbulan
Pengeluaran
Keterangan
- > Rp. 1.000.000
-
-
Sumber: Survey, 2006
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di Desa Kalaotoa ini secara umum sedang dimana pada tingkat sekolah menengah beberapa warga masyarakat telah mencapainya. Begitu pula pada tingkat pendapatan masyarakat penghasilan per bulan umumnya telah tinggi dengan tingkat pengeluaran yang cukup rendah. Hal ini didukung oleh pekerjaan warga selain sebagai nelayan juga merupakan petani kelapa (kopra) dan coklat yang memiliki nilai jual yang cukup tinggi. 5.17.3. Infrasturktur Infrastruktur di Desa Kalaotoa tergolong sederhana namun secara apresiasi oleh masyarakat, sarana tersebut sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Tabel 5.97. Kondisi Infrastruktur di Desa Kalaotoa No 1.
Infrastruktur Sarana Ibadah
2.
Sarana Pendidikan - Sekolah Dasar
Jumlah 3
Kondisi Baik
Status Ket Swadaya dan Masjid Bantuan Pemerintah
2
Baik
Pemerintah Swadaya
3.
Sarana Kesehatan
4.
Sarana Perdagangan
1
Baik
5.
-
-
6.
Sarana Permodalan / Koperasi Dermaga
1
Baik
Pemerintah
Kayu
7.
Sarana Jalan
Baik
Swadaya
Tanah
8.
Sarana Penerangan
Genarator Diesel
Swasta
18.00–24.00 menyala
9.
Sarana Perumahan
Rumah Hak Milik
Mayoritas
Pasar
-
Panggung 10.
Sarana Komunikasi
11.
Sarana Sanitasi - Air Bersih
Televisi dan Radio Sumur
Baik
- WC
Ada
- Tempat Sampah
-
Baik -
Sumber: Survey, 2006.
Sarana jalan di Desa Kalaotoa terbuat dari tanah pengerasan.
Sarana
jalan ini merupakan swadaya dari masyarakat dan bantuan dari pemerintah. Penerangan desa di suplai oleh PLN dengan lama menyala sekitar 6 jam, dari 18.00 – 24.00. Sarana penerangan di desa ini dilakukan oleh pihak swasta (skala kecil) dengan membebankanbiaya produksi sebesar Rp. 7.000 per mata lampu per bulan. Sarana sanitasi di Desa Kalaotoa tergolong baik dengan terdapatnya WC di hampir tiap rumah penduduk. Namun tempat pembuangan sampah belum dimiliki. 5.17.4. Intensitas dan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Eksploitasi sumberdaya terumbu karang di Desa Kalaotoa masih dalam tingkat intensitas sedang. Penggunaan destruktive fishing gear (bom dan cyanida) dan jangkar kapal di kawasan terumbu karang masih menjadi penyebab rusaknya struktur terumbu karang. Aktifitas tersebut selain dilakukan oleh beberapa warga setempat dan nelayan pendatang. Selain itu akibat aktifitas pengolahan industri kopra yang menghasilkan limbah padat dan cair menyebabkan pengaruh negatif bagi kulaitas perairan. Tabel 5.99. Tingkat Intensitas Kerusakan Terumbu Karang di Desa Kalaotoa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penyebab Utama Bahan peledak/bom Racun kimia/cyanida Sedimentasi Iklim global Tsunami/gempa bumi Jangkar perahu/kapal Tangkap lebih/Over-fishing Limbah Industri Penambangan Karang batu Bintang laut berduri/COT Pengambilan Karang untuk Aquarium
Tingkat Intensitas Kerusakan Tinggi Sedang Rendah -
Sumber: Survey, 2006
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di wilayah ini masih tergolong tinggi dimana daerah baik pesisir maupun lautan merupakan daerah fishing ground baik oleh penduduk desa. Potensi wisata juga telah dikelola dengan baik dengan masuknya kawasan ini dalam Kawasan Nasional Takabonerate. Hukum adat juga berlaku di Desa Kalaotoa ini dengan membakar kapal atau dikeluarkan dari pulau bila ditemukan warga/nelayan melakukan aktifitas menangkap ikan secara merusak (destruktive fishing). Tabel 5.100.
No
Pemanfaatan Sekitarnya.
Daerah
Jenis Pemanfaatan
Ekosistem
Terumbu
Karang
dan
Luas Daerah Pemanfaatan Sedan Renda Tinggi g h -
1
Daerah penangkapan ikan
2
Wisata Bahari
3
Daerah penampungan karang
-
-
4
Daerah Budidaya ikan/Rumput laut
-
-
5
Tidak di manfaatkan/di konservasi
-
-
6
Di konservasi
-
-
-
-
Sumber: Survey, 2006
Peran aparat pemerintah, kelompok masyarakat dan tokoh adat dan kelembagaan, di mata masyarakat memilki peluang memotivasi mereka dan mengatur peraturan tentang aktifitas pengelolaan dan eksploitasi terumbu karang. Dimata masyarakat bahwa kebijakan yang dikeluarkan dan dikerjakan oleh ketiga komponen tersebut akan berpengaruh positif dimata masyarakat desa.
Tabel 5.101.
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Peran kelembagaan masyarakat terhadap pengelolaan Terumbu Karang. Jenis Pemanfaatan
Lembaga adat Lembaga agama Lembaga Usaha/Perusahaan swasta Lembaga koperasi Desa Kelompok masyarakat (POKMAS) Pemerintah Desa Kelompok nelayan Lembaga swadaya masyarakat
Intensitas Pengelolaan Sedan Tinggi Rendah g -
Sumber: Survey, 2006
Peran lembaga adat, agama, pokmas, LSM serta aparat desa dapat mendorong terciptanya suasana kondusif dalam pengelolaan terumbu karang di Pulau Kalaotoa ini. 5.17.5. Kondisi dan Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir Potensi
sumberdaya
alam
berupa
kawasan
wisata
sangat
baik
dikembangkan di daerah ini. Tabel 5.102.
No 1 2 3 4 5 6
Kondisi Potensi Sumbedaya Alam, Buatan dan Jasa Lingkungan Pesisir di Desa Kalaotoa Sumberdaya
Terumbu Karang Mangrove Tambak Sawah Diving Wisata Lainnya
Kondisi Ada Tidak Ada -
Sumber: Survey, 2006.
Desa ini memiliki potensi wisata karena memiliki keindahan alam dan budaya. Potensi wisata pantai, diving dan budaya sangat dipotensial dikembangkan karena didukung oleh kemauan masyarakat dan sifat terbuka menerima orang luar oleh masyarakat.
BAB VI. KONDISI DAN POTENSI PERIKANAN TANGKAP, PERIKANAN BUDIDAYA, SERTA JARINGAN PEMASARAN 6.1. Potensi Perikanan Tangkap A. Sumberdaya Perikanan Potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Selayar secara terperinci belum diperoleh, karena terkait dengan kurangnya ketersediaan data. Untuk melakukan pendugaan stok dengan cara perhitungan Maksimum Suistinable Yield (MSY) dibutuhkan data time series yang mencakup data produksi per bulan
selama
beberapa
tahun.
Oleh
karena
itu
penentuan
potensi
sumberdayanya di dekati dari potensi lestari sumberdaya perikanan Laut Flores dan Teluk Bone serta Selat Makassar dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Dinas Perikanan Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 1991, menunjukkan luas perairan Laut Flores dan Teluk Bone sekitar 340.000 Km2, dengan potensi lestari ikan pelagis sekitar 84.390 ton per tahun dan ikan demersal kurang lebih 72.160 ton per tahun. Penelitian dari Laboratorium Oseanografi Fisika Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin tahun 2002, menghasilkan perhitungan area batasan laut dangkal untuk perikanan demersal dan area laut dalam untuk perikanan pelagik, masing-masing untuk perikanan pelagis dan perikanan demersal adalah 333.000 Km2, dan 7.000 Km2. Apabila penyebaran ikan pelagis dianggap merata dengan kepadatan sekitar 0,25 ton/Km2, dan perikanan demersal sekitar 10,3 ton/km2, maka dapat diestimasi potensi sumberdaya perikanan Ikan Pelagis sekitar 6.330 ton/tahun dan Ikan Demersal sekitar 11.309 ton/tahun. Jenis dan produksi sumberdaya hayati laut hasil inventarisasi di wilayah ini ditemukan sekitar 37 jenis ikan yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 6.1. Jenis dan Produksi Ikan Kabupaten Selayar Tahun 2004. No 1 2
Jenis Ikan Peperek Biji Nangka
Harga (Rp.Kg)
Volume (ton)
7.000 6.500
553,8 24.2
3 Merak 8.500 4 Kerapu 10.000 5 Lencam 5.500 6 Kakap 8.500 7 Ekor Kuning 6.500 8 Cucut 5.500 9 Pari 5.500 10 Bawal Hitam 11 Bawal Putih 12 Alu-Alu 13 Layang 7.000 14 Selar 7.500 15 Kuwe 9.500 16 Ikan Terbang 6.000 17 Belanak 6.000 18 Julung-Julung 5.500 19 Teri 8.500 20 Tembang 6.500 21 Lemuru 6.000 22 Kembung 9.000 23 Tenggiri Papan 11.500 24 Tenggiri 12.500 25 Tuna 13.500 26 Cakalang 10.000 27 Tongkol 10.500 28 Ikan lainnya 7.000 29 Rajungan 16.000 30 Kepiting 10.000 31 Udang Barong 32 Udang Putih 10.500 33 Udang lainnya 10.500 34 Cumi-Cumi 15.500 35 Teripang 20.500 36 Rumput Laut 3.500 37 Cendro 6.500 Jumlah Sumber: Dinas Perikanan Kabupaten Selayar, 2006.
458.3 357 430.7 57.7 67.3 480.9 443.9 292.3 35.1 149.2 396 233.3 393.8 1.246.6 1.046.6 725.7 733.5 29.3 816.5 39.9 29.5 107.5 1.534 15.8 43 12.9 264.8 487.8 512.1 605.4 18.9 12.643.5
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa jenis ikan yang paling banyak ditangkap oleh masyarakat di kabupaten Selayar adalah jenis ikan Tembang, Teri, Tenggiri, Kembung, Lemuru, Peperek dan ikan lainnya. Data produksi perikanan tangkap Kwartal I 2006 terlampir (lampiran 3). Potensi perikananan tangkap ternyata menyimpan potensi konflik yang sangat besar mengingat sumberdayanya memiliki mobilitas yang tinggi (milik bersama). Selain itu, kegiatan perikanan tangkap saat ini dihadapkan pada berbagai masalah diantaranya adalah terjadinya ketimpangan aktifitas. Pada zona 1-4 mil terjadi penumpukan armada dan alat tangkap, sementara pada zona 4-12 mil dan zona ZEE
masih sangat minim eksploitasi sumberdaya
yang dipicu oleh terbatasnya SDM dan kurangnya akses ke fasilitas modal dan teknologi. Secara umum kondisi perikanan tangkap di Kebupaten Selayar dan Kepulauannya, khususnya pada zona 1-4 mil telah mengalami penurunan produksi dan telah terjadi kerusakan lingkungan yang cukup tinggi akibat kegiatan destructive fishing dan overfishing.
Hal ini disebabkan karena
meningkatnya permintaan ikan-ikan karang, udang, kepiting, lobster dan teripang yang memicu terjadinya modifikasi alat tangkap yang pada prinsipnya di larang digunakan pada zona 1-4 mil dan penggunaan alat tangkap yang sangat efektif tetapi tidak selektif. Kegiatan perikanan tangkap juga telah diwarnai dengan pengusiran dan perusakan alat tangkap nelayan pelintas oleh nelayan/masyarakat lokal. Hal ini terjadi akibat semakin terbatasnya sumberdaya ikan yang ada pada zona 14 mil dan kurang meratanya fasilitas dan SDM yang dimiliki oleh setiap daerah. Sebagai contoh, hasil penelitian Yayasan Scent (2005) menyatakan bahwa nelayan yang ada di kabupaten Sinjai dan Bulukumba memiliki armada dan SDM yang lebih baik dibanding Kabupaten Selayar, sementara potensi ikan di Kabupaten Selayar masih cukup besar.
Ketimpangan ini menyebabkan
eksploitasi di wilayah Kabupaten Selayar oleh nelayan luar (andon) seperti dari Kabupaten Sinjai dan Bulukumba yang memicu konflik antar nelayan .
B. Sarana dan Prasana Perikanan Tangkap b.1. Sarana Kapal Sarana dan prasarana perikanan tangkap yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah semua jenis alat yang dipakai oleh nelayan untuk menangkap ikan. Maka secara garis besar sarana dan prasarana disini dapat dibagi dua; yaitu perahu dan alat tangkap. Secara lengkap deskripsi jumlah sarana dan prasarana perikanan tangkap tersebut disajikan dalam tabel berikut ini. Tabel 6.2. Kondisi Perikanan Tangkap di Kabupaten Selayar Tahun 2004/2005.
N o
Kecamatan
Jumla h RTP
Tanpa Perahu
Perahu Tanpa Motor Jukun Perahu g papan 50 41
Perahu Motor In Board 50
Out Board 123
1
Benteng
193
4
2
Bontoharu
680
52
127
64
60
233
3
Bontosikuyu
592
53
125
57
48
230
4
Bontomanai
274
30
80
34
35
179
5
Bontomatene
368
113
78
44
30
143
6
Pasilambena
321
97
70
110
70
248
7
Taka Bonerate
1.162
27
100
95
79
232
8
Pasimarannu
776
262
85
100
75
245
9
Pasimasunggu
332
111
75
91
75
223
92
75
229
10
Pasimasunggu 174 43 90 Timur Sumber: Dinas Perikanan Kabupaten Selayar, 2006.
b.2. Sarana Pendaratan Kapal Potensi perikanan tangkap Kabupaten Selayar juga dilengkapi dengan keberadaan Tempat pendaratan ikan, sehingga keberadaan tempat ini membantu proses pemasaran hasil perikanan tangkap yang dihasilkan oleh nelayan. Secara umum hampir seluruh kecamatan memiliki daerah pendaratan ikan kecuali Kecamatan Pasimasungu Timur yang merupakan kecamatan baru. Tabel 6.3. Daerah Pendaratan Ikan di Kabupaten Selayar Tahun 2004. No
Kecamatan
Pantai
1
Pasimarannu
1
2
Pasilambena
1
3
Pasimasunggu
1
4
Taka Bonerate
4
5
Pasimasunggu Timur
-
6
Bontosikuyu
3
7
Bontoharu
1
8
Benteng
3
9
Bontomanai
1
10
Bontomatene
1
Jumlah
16
Sumber: Selayar dalam Angka, 2004/2005
b.3. Sarana Alat Tangkap Alat tangkap yang yang digunakan oleh nelayan umumnya menggunakan pancing dan jaring. Alat ini tergolong murah dan praktis dipergunakan oleh seluruh anggota keluarga. Alat ini juga efektif dan efisien dipergunakan oleh nelayan karena mudah dijangkau dan murah. Alat tangkap ini umumnya digunakan untuk menangkap ikan-karang seperti Ikan Sunu, Kerapu dan Katamba. Tabel 6.4. menunjukkan alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan di Kabupaten Selayar di tahun 2005. Tabel 6.4.
Jumlah Alat Tangkap Menurut Jenis di di Kabupaten Selayar Tahun 2004/2005. Jenis Alat Tangkap
No
Kecamatan
Jaring Angkat
Jaring Insang
Pancing
Perangkap
BT
BP
T
D
H
PT
PT0
S
P
M
1
Benteng
3
5
25
15
12
58
-
-
-
-
2
Bontoharu
10
95
150
350
225
375
45
20
35
34
3
Bontosikuyu
5
5
75
75
215
191
17
3
12
-
4
Bontomanai
3
3
75
45
35
108
-
6
-
-
5
Bontomatene
-
-
25
115
45
89
-
69
-
-
6
Pasilambena
-
-
19
67
25
38
5
-
-
-
7
Taka Bonerate
-
15
215
105
20
325
35
-
10
-
8
Pasimarannu
-
10
55
5
45
225
-
-
-
-
9
Pasimasungg
-
75
85
175
55
215
25
17
29
1
-
5
75
25
15
200
15
-
-
-
u 10
Pasimasungg u Timur
Jumlah
21
213
799
977
692
1.824
142
115
86
35
Sumber: Dinas Perikanan Kabupaten Selayar, 2006. Keterangan: BT= Bagang Tancap BP = Bagang Perahu T = Tetap D = Dasar H = Hanyut PT = Panjing Tetap PTO = Panjing Tonda S = Sero P = Payang M = Muroami
Tabel tersebut sesuai dengan hasil survei lapangan yang dilakukan di pesisir dan pulau-pulau yang ditemukan alat tangkap seperti: pancing, jaring/pukat, bubu, kompressor dan alat penusuk (ladung, panah, tombak). Selain alat-alat tangkap tradisional ini, sebagian nelayan juga menggunakan bahan peledak (bom) sebagai alat Bantu penangkapan ikan dan lobster hidup. Nelayan mulai menggunakan bius dari bahan kimia beracun (potassium sianida). Kedua sarana tangkap ilegal tersebut dilarang karena terbukti merusak terumbu karang dan mempercepat berkurangnya sumberdaya hayati laut, namun masih banyak orang menggunakannya secara sembunyi-sembunyi. Menurut keterangan dari setiap desa nelayan dalam kawasan, kasus-kasus penggunaan kedua sarana tangkap ilegal tersebut masih terjadi dimana-mana. C. Lokasi Penangkapan Secara umum lokasi penangkapan di wilayah Kabupaten Selayar dapat di lihat pada gambar 25. (bapedalda, 2005). Umumnya nelayan hanya menangkap di sekitar 4 mil dari psisir pantai atau disekitar taka yang ada di sekitaran pulau. Untuk penyelaman teripang dan ikan hias umumnya dilakukan di dalam kawasan taka bonerate dan perairan laut Flores.
Gambar 25 lokasi penangkapan
D. Musim dan Penggunaan Waktu Kabupaten Selayar yang secara geografis berbentuk kepulauan yang dikelilingi oleh lautan dimana posisinya berada di tengah-tengah Laut Flores, Teluk Bone dan Selat Makassar, sehingga seluruh aktifitas penangkapan ikan bagi nelayan sangat dipengaruhi oleh kondisi musim, yaitu Musim Timur, Musim Barat dan Musim Peralihan/Pancaroba. Musim Timur berlangsung pada bulan Agustus – Nopember, Musim Barat pada bulan Januari – April dan Musim Peralihan/Pancaroba terbagi atas peralihan dari musim timur ke musim barat pada bulan Desember dan peralihan musim barat ke musim timur pada bulan Mei – Juli. Pada umumnya, nelayan beraktifitas antara jam 03.00 – 05.00 (pagi) dan 18.00 – 22.00. sedangkan lama penangkapan sekitar 1 – 3 jam untuk nelayan pancing/gill net, dan 3 – 4 hari untuk penyelam teripang. Waktu tempuh ke lokasi fishing ground sekitar 2 – 4 jam. E. Nelayan dari Luar (Andon) Perairan
di
Kabupaten
Selayar
merupakan
salah
satu
daerah
penangkapan yang potensial karena merupakan pertemuan arus dari barat ke timur atau sebaliknya dan merupakan perairan segi tiga selat Makassar, teluk Bone dan Laut Flores. Selain itu, di perairan ini banyak tersebar taka/terumbu yang memiliki ikan karang yang beranekaragam serta menjadi jalur migrasi Ikan Tuna dari Samudera Hindia menuju Laut Banda sehingga menjadi lokasi penangkapan nelayan dari luar Kabupaten Selayar (andon). Berdasarkan hasil survey, pemanfaatan perairan Selayar lebih banyak dilakukan oleh nelayan dari luar disbanding dengan nelayan asli. Hal ini lebih banyak disebabkan karena faktor permodalan dan keahlian yang lebih banyak dimiliki oleh nelayan dari luar. Keberadaan andon di perairan Kabupaten Selayar dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6.5. Nelayan Pendatang yang Beroperasi di Perairan Selayar. No
Daerah Asal
1
Sinjai: - Pulau Sembilan - Lappa - Sinjai Timur
2
- Teripang - Kerang-Kerangan - Ikan Sunu, Kerapu, Katamba,Cakalang Tongkol, Layang, Ekor Kuning
-
Cakalang Layang Simbula Banyara
- Cakalang - Layang - Simbula
4
Pangkep: -
5
- Pulau Badi’ - P. Karanrang - P. Sarappo - P. Balang - P. Sapuka Makassar: - Pulau Barrang Lompo - P. Barrang Caddi
- Sunu - Katamba - Kerapu
Alat Selam Bom, Bius Bagang Pancing Gae
- Taka Gantarang - Taka Lamungan & Tinanja - Taka Pulau BelangBelang - Taka Latondu Besar & Latondu Kecil - Taka Rajuni, Lasalimu, Tumbor dan Pasilambena - Wilayah Desa Jinato dan Tambuna Pasitallu - Pulau Jampea dan Jailamu - Sebelah Barat Kawasan Taka Bonerate - Selatan P. Tanamalala
- Gae
- Taka Rajuni dan Tumbor - Wilayah Desa Jinato dan Pasitallu - Sebelah Barat Kawasan Taka Bonerate
- Gae Rumpon
- Taka Rajuni dan Tumbor - Wilayah Desa Jinato dan Pasitallu - Sebelah Barat Kawasan Taka Bonerate
Sunu Cakalang/Tongkol Katamba Kerapu
- Pancing Kedo – Kedo - Bius - Kulambi - Lanra
- Sebagian Besar takataka dalam Kawasan Taka Bonerate - Pulau Panjang dan Jailamu
- Pancing - Bius
- Sebagian Besar takataka dalam Kawasan Taka Bonerate - Pulau Panjang dan Jailamu
- Pancing Kedo – Kedo - Bius - Kulambi - Lanra
- Sebagian Besar takataka dalam Kawasan Taka Bonerate - Pulau Panjang dan Jailamu
Takalar: - Galesong
7
-
Lokasi Penangkapan
Bulukumba: - Kajang
6
Alat Tangkap
Bone: - Lagoppo
3
Jenis Tangkapan
Bantaeng:
-
Sunu Cakalang/Tongkol Katamba Kerapu
- Bantaeng
9
12
13
- Pancing Kedo – Kedo - Bius - Kulambi - Lanra
- Sebagian Besar takataka dalam Kawasan Taka Bonerate - Pulau Panjang dan Jailamu
-
Sunu Cakalang/Tongkol Katamba Kerapu
- Pancing Kedo – Kedo - Bius - Kulambi - Lanra
- Sebagian Besar takataka dalam Kawasan Taka Bonerate - Pulau Panjang dan Jailamu
- Bubu Tindis - Jaring
- Sebagian Besar takataka dalam Kawasan Taka Bonerate - Wilayah Taka Desa Tarupa - Taka Desa Latondu - Taka Desa Pasitallu - Taka Desa Jinato - Pulau Jampea - Taka Pasilambena
Buton: - Tomea
11
Sunu Cakalang/Tongkol Katamba Kerapu
Jeneponto: - Jeneponto - Biringkassi
10
-
Nusa Tenggara Timur : - Maumere - Buring
Nusa Barat:
- Sunu - Katamba - Kerapu
-
Sunu Cakalang/Tongkol Katamba Kerapu Layang Simbula Banyara Cumi – Cumi
- Pancing Panah - Bom - Lampara / Pukat Cumi – Cumi
- Taka – Taka dalam Wilayah Desa Tambuna - Lokasi Karang dalam Wilayah Desa Tambuna
-
Sunu Cakalang/Tongkol Katamba Kerapu Cumi - Cumi
- Bagang
- Selatan Tanamalala - Pulau Pasitallu
- Bius - Tombak
-
Tenggara Pulau
Bali: - Ikan Hias - Penyu
Sumber: PSTK dan Lab. Oseanografi Unhas, 2002
Taka Tumbor Taka Rajuni Taka Tumai Taka Balalong Taka Bungin Kamase
6.2. Potensi Perikanan Budidaya Potensi budidaya perikanan, baik budidaya perikanan laut maupun budidaya perikanan darat diklasifikasikan berdasarkan jenis komoditas yang dibudidayakan.
Kabupaten
Selayar
yang
memiliki
garis
pantai
yang
mengelilingi wilayah administratif Kabupaten ini sangat potensial untuk pengembangan budidaya perikanan, baik budidaya perikanan darat maupun budidaya perikanan laut. Kegiatan Budidaya di di daerah ini terdiri dari Kegiatan Budidaya Laut dan Kegiatan Budidaya Air Payau (Tambak).
Kegiatan Budidaya Laut
umumnya belum dikembangkan secara maksimal, ini tergambar dari produksi yang masih sangat jauh dibandingkan dengan luas areal yang tersedia, Sehingga produksi hasil laut sangat didominasi oleh hasil tangkapan. Beberapa komoditi yang potensil untuk dibudidayakan di laut adalah Ikan Kerapu, Baronang, Teripang dan Rumput Laut Jenis Euchema cottonii. Salah satu kendala utama sehingga kegiatan budidaya laut belum optimal adalah Lemahnya SDM dan kelembagaan serta belum konsistennya penerapan tata ruang di masing-masing daerah. Potensi budidaya perikanan baik laut maupun darat dapat dibagi berdasarkan jenis komoditas yang dibudidayakan. Perbedaan jenis komoditas budidaya perikanan tersebut menyebabkan perbedaan kebutuhan lokasi, jenis tanah, suhu, salinitas dan berbagai kondisi lingkungan lainnya yang mendukung.
Tabel 6.7. Data Potensi Perikanan Budidaya Kabupaten Selayar Tahun 2006. No
Data Dasar
Komoditas Tambak Rumput Laut 1.067 471
1
Jumlah Pembudidaya (jiwa)
2
Luas Usaha (ha)
857,8
379,5
3
Jumlah Produksi (ton)
640,4
500,05
Sumber: Dinas Perikanan Kabupaten Selayar, 2006.
Berdasarkan data tersebut diatas, potensi perikanan budidaya masih tergolong besar dan belum di optimalkan sehingga proses pemberdayaan masyarakat ketersediaan
masih
perlu
sumberdaya
ditingkatkan. manusia
Dengan
besarnya
pembudidaya
lahan
diharapkan
dan tahun
mendatang produksi di bidang budidaya perikanan makin meningkat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka potensi budidaya perikanan Kabupaten Selayar dibagi menjadi: a. Budidaya Air Payau Berdasarkan potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Selayar, pada tabel berikut menunjukkan luas tambak per kecamatan di daerah ini. Tabel 6.8. Luas Tambak Setiap Kecamatan di Kabupaten Selayar Tahun 2002 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kecamatan Pasimarannu Pasilambena Pasimasunggu Takabonerate Bontosikuyu Bontoharu Benteng Bontomanai Bontomatene Total
Luas Tambak (Ha) 10 13 245 296 402 3 969
Sumber: Yayasan Scent, 2005
Udang windu (penaeous monodon) dan ikan bandeng (Chanoschanos) merupakan jenis komoditas yang banyak dihasilkan dari budidaya air payau. Kabupaten selayar sebagai Kabupaten maritim memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan jenis budidaya ini, mengingat
semua kecamatan memiliki pantai dan pesisir. Lokasi pengembangan buddaya pantai/air payau di perairan Kabupaten Selayar dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 6.9. Lokasi Pengembangan Budidaya Air Payau di Kabupaten Selayar NO
NAMA PULAU
LOKASI
1
Selayar
2
Jampea
Pantai Barat, sebagian pantai Appatana Pantai sebelah barat dan selatan
3
Kalao
Sebagian pantai sebelah barat dan Selatan
4
Bonerate
Pantai barat dan selatan
5
Kalaotoa
Pantai utara dan selatan
timur
dan
Sumber: Yayasan Scent, 2005
b. Budidaya Ikan Kerapu Ikan kerapu merupakan salah satu komoditas perikanan andalan yang
dimiliki
Kabupaten
Selayar.
Pengembangan
budidaya
sangat
potensial karena didukung oleh ketersediaan sumber bibit yang melimpah serta lokasi yang sesuai. Sistem budidaya yang dapat dikembangkan adalah sistem keramba jaring apung. Untuk pengembangan sistem keramba jaring apung, bibit dapat diperoleh dari hasil tangkapan alami di daerah terumbu karang yang tersebar di taka-taka. Ukuran benih Kerapu yang digunakan sekitar 0,2 kg per ekor.. Skala usaha yang dapat dilakukan yaitu satu buah rakit berukuran 9 x 9 m yang dipasangi jaring apung ukuran 3 x 3 m sebanyak 4 buah. Lokasi pengembangan budidaya ikan kerapu di perairan Kabupaten Selayar dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 6.10. Lokasi Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu NO
NAMA PULAU
LOKASI
1
Selayar
Perairan Appatana
2
Polassi
Perairan sebelah timur
3
Tambolongan
Perairan sebelah utara dan selatan
4
Kayuadi
Perairan sebelah utara dan timur
5
Jampea
Perairan sebelah utara dan selatan
6
Kalao
Perairan sebelah timur dan barat
7
Bonerate
Perairan sebelah utara dan timur
8
Kalaotoa
Perairan sebelah utara, timur dan selatan
9
Madu
Perairan sebelah timur
10
Karompoang
Peraiaran sebelah utara dan barat
11
Rajuni Kecil
12
Tarupa Kecil
Perairan sebelah timur, tenggara, barat dan barat laut Perairan sebelah timur dan barat
13
Jinato
Perairan sebelah barat
14
Latondu Besar
15
Pasitallu Tengah
Perairan sebelah utara, timur laut dan selatan Perairan bagian timur dan barat
Sumber: yayasan Mattirotasi, 2001
c. Budidaya Lobster Selain ikan kerapu, lobster merupakan salah satu spesies yang potensial dikembangkan. Hal ini didukung oleh tersedianya sumber bibit yang melimpah serta lokasi yang sesuai. Sumber benih lobster didapatkan dari alam dengan cara menyelam, atau juga dapat dilakukan penangkapan dengan alat tangkap benih atau menangkap langsung pada saat surut. Sistem budidaya yang dikembangkan adalah sistem keramba jaring apung. Skala usaha yang banyak dilakukan yaitu satu buah rakit berukuran 9 x 9 m yang dipasang jaring apung ukuran 3 x 3 m sebanyak 4 buah. Lokasi pengembangan budidaya udang lobster di perairan Kabupaten Selayar dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 6.11. Lokasi Pengembangan Budidaya Udang Lobster di kabupaten Selayar. No
NAMA PULAU
LOKASI
1
Selayar
Perairan Appatana
2
Polassi
Perairan sebelah timur
3
Tambolongan
Perairan sebelah utara dan selatan
4
Kayuadi
Poerairan sebelah utara dan timur
5
Jampea
Perairan sebelah utara dan selatan
6
Kalao
Perairan sebelah timur dan barat
7
Bonerate
Perairan sebelah utara dan timur
8
Kalaotoa
Perairan sebelah utara, timur dan selatan
9
Madu
Perairan sebelah timur
10
Karompoang
Peraiaran sebelah utara dan barat
11
Rajuni Kecil
12
Tarupa Kecil
Perairan sebelah timur, tenggara, barat dan barat laut Perairan sebelah timur dan barat
13
Jinato
Perairan sebelah barat
14
Latondu Besar
Perairan sebelah utara, timur laut dan selatan
15
Pasitallu Tengah
Perairan bagian timur dan barat
Sumber: Bapedalda, 2005
d. Pembenihan Udang dan Ikan Pengembangan kawasan budidaya perikanan, baik perikanan laut maupun perikanan darat sangat ditentukan oleh ketersediaan bibit atau benih
yang
unggul.
Keberhasilan
dan
kemampuan
suatu
wilayah
pengembangan budidaya perairan dalam menyediakan benih sesuai dengan kebutuhan budidaya memberikan jaminan dan kepastian usaha yang memberikan harapan dan menjanjikan. Untuk itu penggunaan teknologi pembenihan dan pemilihan lokasi yang tepat mutlak diperlukan, sehingga produksi benih dapat diusahakan dalam skala besar. Di kabupaten Selayar terdapat beberapa lokasi pengembangan pembenihan udang dan ikan yang secara lengkap disajikan dalam tabel berikut: Tabel 6.12. Lokasi Pengembangan Kabupaten Selayar No
NAMA PULAU
Pembenihan
Udang
LOKASI
1
Selayar
Pantai Barat dan Selatan
2
Jampea Polassi
Pantai sebelah barat
dan
Ikan
di
3
Bonerate
Pantai barat
4
Kayuadi
Pantai Utara
Sumber: Yayasan Scent, 2005
e. Budidaya Rumput Laut Rumput laut Euchema Spinosum dan Euchema cottonii telah dibudidayakan oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Selayar. Metode yang digunakan adalah metode tebar dasar dengan jalan menanam bibit rumput laut pada dasar perairan berbatu, dan metode rakit apung yaitu dengan cara mengikatkan bibit rumput laut pada tali yang dibentangkan pada rakit. Lokasi pengembangan budidaya rumput laut di perairan Kabupaten Selayar dapat dilhat pada tabel berikut:
Tabel 6.13. Lokasi Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Selayar No
NAMA PULAU
LOKASI
1
Selayar
Perairan pantai Appatana
2
Polassi
Perairan sebelah utara dan selatan
3
Tambolongan
Perairan sebelah timur dan barat
4
Kayuadi
Perairan sebelah utara dan selatan
5
Jampea
Perairan sebelah utara dan selatan
6
Kalao
Perairan sebelah utara dan abarat
7
Bonerate
Perairan sebelah uara, timur dan selatan
8
Kalaotoa
Perairan sebelah timur dan selata
9
Madu
Perairan sebelah selatan dan barat
10
Karompoang
Perairan sebelah utara dan barat
11
Rajuni Kecil
Perairan sebelah timur, barat dan barat laut
12
Tarupa Kecil
Perairan bagian timur, barat dan barat laut
13
Jinato
Perairan sebelah barat
14
Latondu Besar
Perairan sebelah utara dan selatan
15
Pasitallu Timur
Perairan bagian selatan
16
Pasitallu Barat
Perairan bagian timur
Sumber: Yayasan Scent, 2005
6.3. Jaringan Pemasaran a. Lembaga Pemasaran Besarnya perolehan pendapatan, salah satunya ditunjang oleh kondisi pemasaran yang ada.
Dimana lembaga dan saluran pemasaran membantu
mempercepat proses peningkatan nilai guna komoditi perikanan. Karenanya keberadaan lembaga dan jalur-jalur pemasaran hasil perikanan senantiasa perlu untuk dikembangkan dan di cermati, karena keberadaan lembaga dan jalur-jalur pemasaran turut berperan dalam menciptakan harga.
Bagi pelaku kegiatan
usaha perikanan, termasuk masyarakat nelayan, lembaga pemasaran serta sistim pemasarannya. Sistim yang sudah lama dianut pada masyarakat nelayan Sulawesi Selatan dalam memasarkan hasil perikanannya adalah sistim keterikatan Ponggawa - Sawi. Sistim ini dalam operasionalnya dikenal dengan Pola kemitraan, dimana Ponggawa
(pedagang pengumpul) memberikan
modal kerja berupa perahu, alat tangkap bahkan kebutuhan hidup sehari-hari kepada sawi (nelayan). b. Model Jaringan Pemasaran Pemasaran hasil produksi perikanan dan nelayan tidak hanya mencakup perdagangan lokal, namun jalur distribusi pemasaran menembus pasar regional dan internasional. Pemasaran hasil kegiatan nelayan tersebut dilakukan oleh suatu sistem pemasaran tradisional yang terbentuk dalam organisasi nelayan, yang pada umumnya dipegang langusng oleh pedagang pengumpul. Secara umum (PSTK, 2002), model pemasaran ikan di Kabupaten Selayar ini terbagi atas 3 model yang tergantung dari jenis komoditasnya, yaitu -
Jaringan pemasaran produk ikan hidup
-
Jaringan pemasaran produk ikan segar
-
Jaringan pemasaran produk ikan kering
Nelayan (produsen
Pedagang Pengumpul Kecil
Pedagang Pengumpul (Ponggawa)
Pedaganga Pengumpul B Pedagang Besar
Eksportir
Gambar 26. Jaringan Pemasaran Ikan Hidup
Agen
Importir (kapal H k )
Nelayan (Produse
Pedagang Pengumpul Laut
Pedagang Pengecer
TPI Benteng/Sinjai/ Bulukumba/Makassa
Pedagang Antar Daerah (Juragan / Ponggawa)
Pedagang Pengumpul D t/L k l Pedagang Antar Pulau NTT, Bau Bau, Gorontalo
Pedagang Besar (Makassar)
Agen
Eksporti r Bali /
Konsumen (Rumah Makan, Restoran dan Hotel)
Gambar 27. Jaringan Pemasaran Ikan Segar Nelayan
Pedagang Pengumpul
Pedagang Pengumpul
Benteng Bantaeng Bulukumb
Pedagang Antar Daerah
NTT Pedagang Besar Makassar
Sinjai Pedagang Pengecer
Flores
Kendari Maumere
Konsumen
Gambar 28. Jaringan Pemasaran Produk Ikan Olahan (ikan kering) c. Luas Jaringan Pemasaran
Produksi perikanan baik hasil tangkapan maupun budidaya mempunyai jaringan pemasaran, meliputi: Pemasaran ikan hidup, untuk eksport ke kawasan asia (Hongkong, Cina dan Jepang). Pemsaran ikan segar, meliputi hampir sebagian besar di Sulawesi Selatan seperti Kabupaten Selayar sendiri, Sinjai, Bulukumba, Bantaeng dan Makassar. Sedang untuk daerah luar meliputi Bali, Flores, dan Buton. Pemasaran ikan kering, meliputi Kabupaten Selayar, Bulukumba, Sinjai, dan Makassar. Sedangkan antar propinsi meliputi daerah Maumere, NTT dan khusus ikan kering Pari (dendeng Pari) pasarannya menuju Kendari dan Buton/Bau-Bau. Jaringan untuk produk hasil budidaya seperti udang dan rumput laut umumnya langsung dibawa ke Makassar. Sedangkan Ikan Bandeng umumnya dikonsumsi sendiri baik untuk dijual maupundiolah kembali.
BAB VII. PERSPEKTIF DAN KARAKTERISTIK STAKEHOLDERS 7.1. Persepsi Masyarakat Tentang Sumberdaya Karang Terumbu Karang adalah salah satu ekosistem yang sangat terancam kelangsungan hidupnya saat ini. Terumbu karang memiliki keanekaragaman hayati yang setara dengan hutan tropis dan menyimpan potensi pemanfaatan yang bernilai ekonomis tinggi. Meski sangat bermanfaat untuk umat manusia, akan tetapi ancaman utama terhadap kelangsungan terumbu karang justru berasal dari tekanan-tekanan
Anthropogenic,
meliputi
pencemaran
di
darat,
ekploitasi
berlebihan hingga kepada metode penangkapan ikan yang merusak lingkungan. Selain itu, salah satu hal yang mengancam kelestarian terumbu karang adalah konflik kepentingan atas potensi pemanfaatan sumberdaya ini. Dalam pengelolaan sumberdaya laut, konflik antar nelayan memperebutkan wilayah penangkapan ikan mulai muncul ke permukaan sebagai salah satu bentuk ekses dari penerapan otonomi daerah yang kurang matang. Meski dilain pihak juga disadari bahwa mempertahankan pola sentralistik dalam mengelola wilayah laut adalah pola usang yang sudah tidak dapat lagi menjawab tantangan perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dalam suatu tatanan yang demokratis. Justru sebagai akibat dari pengelolaan laut secara sentralistik di masa lalu, kita kini dihadapkan pada setidaknya dua fakta ironis, yakni: kemiskinan komunitas pesisir di tengah kekayaan sumberdaya laut, dan kerusakan lingkungan yang semakin berat di tengah masyarakat yang memiliki kearifan ekologis tradisional. Pada dasarnya, suatu komunitas dapat “mempertahankan” kelangsungan hidup komunitasnya berdasarkan kemampuannya untuk survive dan menjaga keserasian dengan lingkungannya. Demikian pula halnya dengan masyarakat penghuni pesisir dan pulau-pulau kecil Kabupaten Selayar yang akrab dengan pola kehidupan berbasis pemanfaatan sumberdaya dari laut. Meski telah banyak digerus oleh pengaruh kebudayaan modern dan pola kehidupan urban, masyarakat di sekitar kawasan ini senantiasa berusaha menjaga sistem pengetahuan
tradisional dan kearifan ekologis yang diwariskan secara turun temurun sejak dari leluhur mereka. Struktur sistem pengetahuan tradisional dan kearifan ekologis yang terekam dan melekat pada masyarakat Kepulauan merupakan kristalisasi pengalaman leluhur dalam berinteraksi dengan dinamika alam melintasi waktu yang cukup panjang. Struktur persepsi masyarakat tersebut, kurang lebih dapat diterangkan sebagai berikut : a. Kondisi terumbu karang semakin memprihatinkan. Masyarakat umumnya memahami bahwa kondisi fisik terumbu karang di daerah mereka bermukim atau yang sering mereka kunjungi telah rusak, dan kerusakan tersebut dari hari ke hari semakin parah. b. Ikan-ikan semakin berkurang. Akibatnya, kegiatan penangkapan ikan membutuhkan alat yang semakin kompleks dan waktu penangkapan semakin panjang. Masyarakat memahami bahwa sejumlah perubahan lingkungan mengakibatkan hilangnya sejumlah ikan. Meski mereka tidak dapat menerangkan dengan pasti penyebab tersebut, namun masyarakat tahu bahwa perubahan kondisi lingkungan dan biologis berdampak terhadap biaya penangkapan (higher cost for fishing). c. Hasil penghidupan sebagai nelayan penangkap ikan kini tidak begitu menjanjikan kesejahteraan. Secara intuitif, kaum nelayan merasakan adanya perbedaan tingkat kesejahteraan yang ditandai dengan semakin sulitnya mendapatkan biaya hidup sehari-hari. d. Ancaman terhadap kelestarian lingkungan masa kini berbeda dengan kondisi dulu. Kehidupan beberapa dekade sebelumnya lebih banyak disandarkan pada kemurahan alam, dan bencana alam adalah faktor utama yang merubah struktur penghidupan mereka. Kini, faktor alam banyak diambil alih oleh berbagai faktor eksternal yang bersifat anthropogenic, termasuk tindak pencemaran perairan atau pemboman ikan. e. Masyarakat Kabupaten Selayar membutuhkan bantuan dan kerjasama dengan pihak luar baik untuk menjaga kelestarian sumberdaya hayati terumbu karang, maupun dalam usaha mereka untuk meningkatkan kesejahteraan.
f. Pemerintah adalah stakeholder yang paling bertanggung jawab untuk memperbaiki keadaan berikut : ancaman terhadap kelestarian lingkungan dan terumbu karang, dan kondisi perekonomian nelayan yang semakin sulit. Masyarakat mencontohkan bahwa salah satu kunci untuk menuntaskan persoalan pemboman/pembiusan ikan adalah dengan menegakkan hukum secara konsisten, namun intuisi masyarakat kecil mengatakan bahwa pemerintah (dalam hal ini sejumlah aparatnya) belum dapat melakukan hal tersebut karena masih adanya pilih-kasih diantara pelanggar hukum dan kecenderungan hukum masih dapat terbeli. g. Masyarakat menyadari bahwa pengetahuan mereka perlu ditingkatkan agar mampu mengelola lingkungan dan terumbu karang beserta lingkungannya dengan baik dan menyejahterakan. Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa masyarakat penghuni kawasan Kabupaten Selayar umumnya adalah nelayan pemanfaat sumberdaya hayati laut yang menjadikan Benteng sebagai tujuan utama dalam memasarkan hasil usahanya. Hal ini terutama disebabkan oleh sebagai ibukota kabupaten merupakan sentra pemerintahan dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat, yang juga telah dilengkapi dengan sarana cold-storage dan pabrik es.
7.2. Isu Pengelolaan dan Pendekatan Penyelesaian Masalah Wawancara di lapangan, survei deskriptif kondisi masyarakat, analisis kritis beserta diskusi hasil yang berlangsung selama kajian sosial-ekonomi ini diadakan, telah mengidentifikasi dan menginventarisasi sejumlah masalah dalam bidang kelautan yang muncul berkaitan dengan aktifitas masyarakat dalam memanfaatkan dan/atau mengeksploitasi terumbu karang. Adapun sejumlah isu primer yang teridentifikasi dari kegiatan pemantauan kondisi sosial ekonomi ini secara garis besar adalah: 1. Perusakan terumbu karang akibat metoda penangkapan ikan secara destruktif masih terus berlangsung. 2. Sejumlah kawasan dan species tertentu dalam areal Perairan Kabupaten Selayar dan sekitarnya sudah mengalami overfishing. Beberapa daerah
penangkapan yang subur hingga beberapa tahun yang lalu kini sudah tidak didatangi lagi oleh nelayan karena sudah sangat sulit mendapatkan hasil tangkapan yang cukup untuk menutupi biaya operasi penangkapan. 3. Timbulnya persoalan sosial akibat dari metoda pemanfaatan sumberdaya yang eksploitatif dan hanya memikirkan keuntungan jangka pendek. Contoh tentang hal ini dapat terlihat jelas di dalam Kawasan Taka Bonerate dimana banyak penduduknya menjadi penyelam teripang. Akibat rendahnya pengetahuan masyarakat tentang metoda penyelaman yang benar (termasuk pemahaman tentang hyperbarik dan penyakit penyelaman) ditambah dengan sikap masa bodoh punggawa (pemilik modal) yang hanya ingin mengeruk keuntungan dengan cara cepat, banyak penyelam teripang yang kemudian mendapat cacat fisik (tuli, lumpuh, dan gangguan syaraf lainnya) dari kegiatan penyelaman teripang tersebut. Implikasi sosial lebih lanjut adalah sejumlah bagian masyarakat menjadi tidak produktif, bahkan di salah satu lorong dalam komunitas 4. Lemahnya pemahaman sebagian masyarakat tentang fungsi-fungsi ekologis terumbu karang yang berakibat pada rendahnya kesadaran masyarakat untuk mempertahankan kelestarian dan mencegah kerusakannya. Pemahaman dan kesadaran tentang potensi ancaman dari hancurnya terumbu karang, akan dapat meningkatkan partsipasi aktif masyarakat menjaga lingkungannya dan mencegah kegiatan-kegiatan yang berakibat buruk pada terumbu karang. 5. Tingginya permintaan pasar internasional terhadap ikan-ikan karang, sehingga minat untuk berburu ikan karang tetap tinggi meski dengan ancaman hukuman sekalipun. Persoalannya disini adalah Risk Ratio antara ancaman hukuman yang
seringkali
mudah
dihindari/berkelit
versus
tawaran
harga
yang
menggiurkan dan kesempatan yang besar untuk melakukan hal tersebut. 6. Pada dasarnya, kerusakan terumbu karang berkaitan erat dengan kondisi kemiskinan masyarakat pantai, utamanya nelayan yang berstatus sawi, dan kurangnya penghidupan alternatif selain mengekploitasi sumberdaya di sekitar terumbu karang. Perlu dilakukan upaya-upaya terobosan untuk menghasilkan sejumlah aktiftas yang dapat diharapkan menjadi Mata Pencaharian Alternatif.
7. Peran punggawa sebagai penguasa modal masih sangat dominan, sehingga melemahkan posisi tawar nelayan. Model-model pengelolaan modal ini berakibat langsung terhadap intensitas eksploitasi sumberdaya, akses nelayan kepada pasar, dan kemampuan nelayan melakukan mobilitas sosial. 8. Tidak adanya koordinasi dan pola komunikasi yang baik antar stakeholders. Kondisi ini sangat rentan bagi timbulnya konflik kepentingan menyangkut pemanfaatan sumberdaya yang akhirnya dapat berakibat sebagai “Tragedy of the Commons”. 9. Lemahnya penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang merusak terumbu karang dan inkonsistensi pada pihak pemerintah dalam upaya menegakkan hukum ini. Meskipun tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengatasi hal tersebut, namun masyarakat kemudian menjadi apatis dan selanjutnya cenderung melampiaskan kekecewaan mereka dalam bentuk ikut memperparah kerusakan lingkungan. 10. Lemahnya
kapasitas
kelembagaan
lokal
yang
ada
untuk
menangani
pelanggaran dan menerapkan usaha-usaha konservasi. Untuk itu dibutuhkan upaya untuk penguatan institusi dan pengembangan kapasitas kelembagaan pada tingkat lokal.
Pengelolaan sumberdaya laut adalah sebuah konsep baru yang mengalami perkembangan pesat dalam dekade terakhir. Hal ini berkembang sejalan dengan meluasnya pemahaman bahwa sesungguhnya sumberdaya yang ada di laut sekalipun bukanlah sejenis kekayaan alam yang tidak terbatas. Implikasi sosial dan ekonomi (social and economic costs) yang dapat timbul karena kesalahan dalam pemanfaatan sumberdaya menjadi alasan dominan mengapa sumberdaya kelautan harus dikelola dengan baik. Untuk menangani hal tersebut, perlu diupayakan pendekatan secara komprehensif dengan melibatkan segenap stakeholders. Pendekatan ini meliputi aspek politik, ekonomi dan sosial budaya.
Dari aspek politik, diperlukan upaya untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat kecil di lingkungan pesisir. Pemerintah Kabupaten/Propinsi perlu menunjukkan political-will yang jelas
untuk
kelanjutan
masyarakat.
Pihak
upaya
pengentasan
Pemerintah
Daerah
kemiskinan selanjutnya
dan
pemberdayaan
perlu
memperjelas
komitmennya dalam membela posisi masyarakat kecil beserta kelestarian lingkungannya, ketimbang larut dalam debat desentralisasi yang hanya mengutamakan pola pembagian kekuasaan.
Pendekatan ekonomi dibutuhkan untuk meningkatkan akses masyarakat luas terhadap aset produksi dan pasar. Pemerintah daerah perlu memfasilitasi kebutuhan modal skala mikro yang menjadi tuntutan kebutuhan nelayan kecil dan masyarakat penghuni kawasan kepulauan.
Dalam hal sosial budaya, dibutuhkan reinterpretasi dan revitalisasi budaya bahari sebagai ciri dasar masyarakat maritim dengan kearifan lokal yang mendukung. Perguruan tinggi dan LSM hendaknya mengawal proses ini sehingga bisa diwujudkan suatu ruang gerak sosial dengan dinamika budaya lokal yang menunjang ekspresi kearifan ekologis dan sistem kebijaksanaan tradisional.
Implementasi pendekatan komprehensif seperti yang diterangkan diatas membutuhkan pendekatan interdisipliner dalam menjalankan program peletakan dasar pengelolaan sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan. Dalam kancah internasional, pendekatan seperti ini menemukan polanya seperti yang dirumuskan dalam teori-teori pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development, lihat antara lain Our Common Future oleh WCED). Khusus untuk pembangunan wilayah pesisir dan kepulauan, Bab 17 Agenda 21 Global secara eksplisit menyatakan bahwa pembangunan wilayah pesisir dan kepulauan membutuhkan pendekatan terpadu dan interdisipliner, antara lain direalisasikan dalam bentuk Integrated Coastal Zone Management (ICZM) atau di Indonesia kini dikenal dengan Perencanaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (PWPT).
7.3. Intensitas dan Kondisi Sumberdaya Terumbu Karang 7.3.1. Sistem Pengetahuan Tradisional
Sistem pengetahuan tradisional masyarakat nelayan di daerah dapat dikategorikan dalam tiga kategori yaitu sistem pengetahuan mengenai ruang/tempat berupa pengetahuan tentang pulau, lokasi-lokasi penangkapan, dan kategorisasi ruang; sistem pengetahuan nelayan mengenai laut dan isinya dan; sistem pengetahuan pelayaran. * Pengetahuan Berkenaan Dengan Ruang/Tempat Masyarakat nelayan perairan di wilayah ini umumnya mengakui bahwa laut memiliki kandungan sumberdaya hayati dan non hayati yang beragam, laut dipandang sebagai sumber segala aktivitas pencaharian hidup. Masyarakat nelayan memiliki sistem pengkategorian ruang/tempat di laut seperti karang, taka dan gosong. Karang bagi nelayan dipahami sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan, tempat bertelur dan tempat berlindung bagi ikan, layaknya “rumah” bagi manusia. Wilayah di mana terdapat gugusan karang dinamakan “taka”. Konsep “taka” merupakan salah satu unsur inti dalam sistem kategorisasi pengetahuan nelayan tentang lingkungan lautnya.
Nelayan mengenali semua taka yang
berada di sekitar kawasan tempat tinggal mereka. Taka-taka tersebut memiliki nama-nama tersendiri. Selain taka yang berada dalam kawasan peraiarn kabupaten Selayar, mereka juga mengenal dengan baik lokasi-lokasi taka yang berada di luar kawasan mereka seperti taka yang ada di Sulawesi Tenggara, Maluku, Irian, Nusa Tenggara Timur bahkan taka yang berada di Australia. Pengetahuan tersebut diperoleh nelayan dari pengalaman melaut mereka dan dari cerita-cerita serta pengetahuan yang mereka peroleh secara turun temurun dari generasi terdahulu. * Pengetahuan Berkenaan Dengan Laut dan Isinya Hal yang dinilai aneh adalah bahwa pengetahuan nelayan mengenai fungsi karang bagi ikan, seperti yang telah diungkapkan di atas, tidak sepadan dengan pengetahuan mereka mengenai jenis-jenis karang. Hanya sedikit sekali yang mengetahui jenis-jenis karang, kendatipun mereka mengenal dengan baik letak dan nama lokasi karang di perairan Pulau-pulau yang ada di Kabupaten Selayar
dan bahkan daerah lain diluar kawasan tersebut. Pada karang tersebut hidup berbagai jenis biota yang berasosiasi dengannya, seperti berbagai jenis ikan dan biota non ikan (teripang, kima, lola). Dalam pandangan nelayan, terdapat berbagai jenis ikan karang yang dinilai memiliki nilai ekonomi yang tinggi seperti sunu, kerapu, napoleon, kerapu, katamba, lencam dan lobster. Jenis ikan-ikan permukaan juga merupakan komoditi hasil laut yang diusahakan oleh nelayan dalam kawasan kepulauan Selayar, terutama nelayan pancing tangan dan nelayan bagang. Jenis ikan permukaan yang diusahakan tersebut antara lain ikan Teri, banjara, jajala dan Pepetek. Menurut pengetahuan nelayan setempat, jenis-jenis ikan tersebut hidup dalam kelompok-kelompok besar pada lokasi-lokasi perairan dalam. Berbeda dengan ikan-ikan karang yang oleh nelayan setempat diyakini tidak bermigrasi, ikan-ikan permukaan memiliki mobilitas yang tinggi. Dalam proses migrasi tersebut, ikan-ikan permukaan menjelajahi wilayah-wilayah perairan lain, dan tidak hanya berputar di sekitar Teluk Bone. Musim penangkapan ikan-ikan permukaan di kawasan ini terjadi pada musim Barat dimana pada waktu yang sama nelayan-nelayan dari luar masuk ke kawasan melakukan penangkapan. Adapun ikan karang, diyakini oleh nelayan tidak disebabkan oleh siklus migrasi biota tersebut, melainkan disebabkan oleh pergerakan ikan-ikan tersebut dari daerah dangkal (taka) ke daerah yang lebih dalam. Perpindahan tersebut dipengaruhi oleh siklus hidup biota tersebut, dimana masyarakat nelayan percaya bahwa pada bulan Oktober hingga bulan April merupakan saat dimana ikan-ikan karang, utamanya kerapu dan sunu, mulai bertelur di sekitar karang, dan saat itulah dilakukan penangkapan. * Pengetahuan Berkenaan Dengan Pelayaran Perangkat pengetahuan nelayan Pulau-pulau berkenaan dengan pelayaran difungsikan sebagai suatu cara memperoleh keselamatan dalam pelayaran. Pengetahuan
pelayaran
ini
umumnya
dipengaruhi
oleh
agama
atau
kepercayaan yang dianut penduduk setempat, yang digunakan berdasarkan pengalaman empirik yang mereka hadapi selama melakukan pelayaran.
Dapat dikatakan 99 % penduduk terutama di Pulau-pulau Selayar merupakan masyarakat yang menganut agama Islam. Namun dalam hal pelayaran, nampaknya kepercayaan tradisional peninggalan nenek moyang mereka
masih
mewarnai
kehidupan
nelayan.
Demikian
pula
dengan
kepercayaan bahwa setiap lokasi karang memiliki penunggu halus, sehingga bila
akan
membuang
sauh,
terlebih
dahulu
mereka
memberi
salam.
Kepercayaan lainnya adalah bahwa rejeki berupa hasil tangkapan yang melimpah hanya dapat diperoleh jika mereka berangkat pada waktu yang tepat, yaitu ketika air laut pasang. Kepercayaan yang bersumber dari agama Islam yang ditemukan di Pulau-Pulau kecil Kabupaten Selayar adalah kepercayaan bahwa pada hari Jumat, bila seseorang berniat berangkat mencari ikan maka sebaiknya dilakukan setelah sholat Jumat dilaksanakan. Kebiasaan ini juga banyak ditemukan di daerah lain di Sulawesi Selatan, dimana pada hari Jumat, waktu pagi digunakan nelayan untuk memperbaiki dan membersihkan kapal mereka, adapun aktivitas penangkapan dilakukan setelah Sholat Jumat dilaksanakan. Penduduk nelayan di kawasan pesisir dan pulau-pulau di Kabupaten Selayar menyebut setiap lokasi/area terumbu karang dengan “taka” (reef). Sedangkan mengenai terumbu karang berupa tumbuhan atau batu ternyata mereka miskin istilah, buktinya dari sekian orang hanya diperoleh 10 buah nama karang, yaitu:
Garas/Karang Bunga/Karang Tinggi, Kulapi,
Batu
Kikirang, Batu Bota, Batu Mimisa, Kantapa, Sebogoga dan Patikala. Berdasarkan data PSTK Unhas, 2002, menunjukkan bahwa meskipun nelayan di kawasan pulau-pulau Selayar miskin nama-nama jenis/spesis terumbu karang, namun mereka mengetahui cukup banyak fungsi dari biota laut tersebut.
Diketahui adanya 3 kategori fungsi karang, yaitu: fungsi ekologi,
fungsi pelindung pantai/pulau, dan fungsi sosial ekonomi masyarakat. Untuk fungsi ekologinya dapat digambarkan, dari keterangan informan, sebagai berikut:
Pada garas, sebagai tempat tinggal ikan-ikan kecil secara berkerumun, bermain
Kantapa, sebagai tempat bersembunyi udang dan ikan-ikan
Patikala, berfungsi sebagai rumah dan tempat bermain ikan-ikan hias
Pada batu kikirang, ikan-ikan makan lumut
Pada batu bota, ikan-ikan sering berkerumun. Biota laut yang bernilai ekonomi tinggi dapat dikategorikan atas: ikan, udang/
lobster, cumi-cumi, penyu, kerang-kerangan, dan teripang. Setiap jenis sumberdaya biota bernilai ekonomi yang diketahui oleh nelayan terlihat pada daftar di bawah ini. Daftar tersebut hanya menyebutkan beberapa dari beberapa jenis biota bernilai ekonomi yang pernah ada, dan sebagian masih sering ditangkap nelayan sampai sekarang. 7.3.2. Pandangan Tentang Hak Atas Laut Masyarakat nelayan memandang laut sebagai milik semua, dengan kata lain laut dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang ingin mencari penghidupan. Hasil survei yang dilakukan pada masyarakat di pulau ini diperoleh pendapat 98 % yang mengatakan bahwa laut dan segala isinya merupakan milik bersama. Pandangan ini merupakan suatu bentuk umum yang dianut oleh semua nelayan di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, mekanisme kontrol terhadap wilayah perairan dapat dilakukan oleh semua orang yang berkepentingan dengan laut. Dalam bentuk perilaku, implikasi perilaku dari pandangan ini dapat dilihat dari kesediaan mereka menerima nelayan pendatang dari luar seperti dari Takalar, Pulau Barrang Lompo dan pulau-pulau lainnya yang terletak di Selat Makassar, untuk menangkap ikan di kawasan, terutama pada kawasan Taka Bonerate. Saat ini terdapat kecenderungan bahwa pandangan “laut milik semua” mulai berubah akibat adanya berbagai peraturan pemerintah seperti peraturan pelarangan
melakukan
pengrusakan
daerah
karang
dalam
proses
penangkapan, pelarangan penggunaan bahan-bahan destruktif dan undangundang Otonomi Daerah. Hal ini terlihat pada survei yang dilakukan, menunjukkan diperoleh jawaban 85 % yang mengatakan setuju terhadap pelarangan pengoperasian alat yang merusak sumbedaya laut, sedangkan yang tidak setuju tentang hal tersebut hanya 10 %.
Setiap penduduk pulau
mempunyai hak dan kewajiban untuk mengelola wilayah laut tersebut supaya tetap terhindar dari usaha pengrusakan.
Hal lain yaitu adanya berbagai
kejadian pengusiran nelayan yang berasal dari luar dengan alasan bahwa daerah tersebut merupakan milik masyarakat Selayar. Meskipun alasan yang dikemukakan
nelayan
setempat
atas
kejadian
tersebut
adalah
alasan
persaingan jumlah hasil tangkapan, namun kejadian tersebut menyiratkan adanya mekanisme mempertahankan wilayah penangkapan mereka. Sedangkan
penguasaan
wilayah
laut
berdasarkan
aturan
formal
didasarkan pada peraturan pemerintah yang mengatur penggunaan atau pemanfaatan sumberdaya alam laut. Aturan-aturan tersebut berupa pelarangan penggunaan beberapa alat tangkap destruktif seperti bom, potas, dan bubu, serta perizinan untuk melakukan penangkapan di dalam suatu kawasan. Peraturan formal dapat dikeluarkan oleh pemerintah setempat dengan mengacu pada Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang lebih tinggi. Sangat disayangkan oleh nelayan bahwa banyaknya pihak yang memiliki hak untuk mengeluarkan peraturan, menyebabkan banyaknya peraturan yang tumpang tindih. Demikian pula dengan pengawasan terhadap wilayah laut dan sanksi yang diberikan oleh aparat keamanan laut sangat lemah. Bahkan disinyalir oleh nelayan bahwa ada “permainan yang terjadi antara nelayan dan pihak keamanan”, menyebabkan terjadinya kasus seperti yang terjadi pada awal tahun ”kasus Tambolongan”. Hasil survei yang dilakukan di di daerah pesisir Kabupaten Selayar baik daratan maupun di kepulauannnya sudah banyak nelayan yang mengetahui tentang aturan pelarangan penggunaan alat tangkap destruktif tersebut. Umumnya nelayan mengatakan mengetahui adanya peraturan pemerintah yang melarang penggunaan bom dalam penangkapan ikan. Dalam kasus-kasus semacam ini, penegakan aturan formal terlihat sangat lemah, bahkan lebih terkesan bahwa peraturan tersebut hanya berlaku bagi nelayan yang tidak menggunakan alat serupa.
7.3.3. Pengetahuan Tentang Jenis-jenis Biota Laut Bernilai Ekonomi Tinggi
Jenis-jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi menurut nelayan antara lain untuk jenis ikan seperti sunu, langkoe, kerapu, katamba, dan ekor kuning. Jenis ikan yang mahal adalah ikan kerapu khususnya kerapu tikus. Sedangkan untuk jenis non ikan yang bernilai ekonomis tinggi antara lain cumi-cumi, kerang-kerangan, udang/lobster, penyu dan teripang. Jenis biota non ikan ini, terutama teripang, telah dieksploitasi oleh masyarakat nelayan sejak lama. 7.3.4. Pandangan Konservasi
Tentang
Kelangkaan
Sumberdaya
dan
Prinsip-
prinsip
Umunya responden menganggap bahwa telah terjadi penurunan jumlah populasi biota bernilai ekonomi dalam semua jenis dalam perairan sekitar pulau-pulau. Hasil survei yang dilakukan terhadap nelayan tentang kondisi hasil tangkapan di perairan di Kabupaten Selayar didapatkan sekitar 70% yang mengatakan hasil tangkapan menurun, 5 % mengatakan meningkat, 15% mengatakan tetap dan yang tidak tahu sebanyak 10%. Jenis ikan terutama ikan karang yang mengalami panurunan seperti sunu dan kerapu. Sedangkan dari jenis biota non ikan yang mengalami panurunan seperti teripang, dan udang/lobster. Sampai sekarang ini biota-biota tersebut mulai jarang ditemukan di kawasan Pulau-pulau. Hasil wawancara terhadap nelayan teripang pada survei ini dilakukan mengatakan bahwa untuk menangkap satu ekor teripang saja pada saat ini sudah sangat sulit mendapatkannya, apalagi untuk mendapatkan lebih dari itu. Penurunan populasi ikan karang dalam berbagai jenis, baru terjadi selama kurang lebih 5 tahun terakhir, yaitu sejak permintaan dan harga ikan-ikan karang hidup meningkat. Namun secara umum penurunan ini terutama disebabkan oleh penggunaan destruktive fishing gear oleh sebagian nelayan yang tidak bertanggung jawab. Hasil survei yang dilakukan di wilayah ini tentang penyebab kelangkaan sumberdaya tersebut adalah penyebabnya adalah bom dan bius, Akibat penggunaan racun, bukan hanya membunuh ikanikan kecil dari semua jenis, tetapi juga merusak/mematikan terumbu karang. Kerusakan terumbu karang yang sebagian besar diakibatkan oleh penggunaan
bahan peledak dan potas telah mengenai terumbu karang di hampir semua takataka di wilayah perairan ini. Kesadaran masyarakat nelayan terhadap prinsip-prinsip konservasi dan pengelolaan
sumberdaya
laut,
nampaknya
masih
sangat
sulit
untuk
dilaksanakan, karena pada kenyataannya motivasi ekonomi nelayan bahkan lebih dari sekedar memperbandingkan dan menyeimbangkan tangkapan atau pendapatan sekarang dengan yang lalu. Dalam keadaan tangkapan ikan kurang, nelayan mempunyai prinsip bahwa apapun yang ditemukan di laut yang diperkirakan mempunyai nilai ekonomi, semuanya dipungut dan dimasukkan ke dalam perahunya.
7.4. Analisis Stakeholder 7.4.1. Stakeholder Internal Organisasi ponggawa sawi merupakan salah satu stakeholder internal di wilayah pesisir, disamping kelompok nelayan lainnya seperti nelayan bagang, nelayan pancing, penyelam teripang dan pengguna alat tangkap destruktif (Bom dan bahan beracun), pedagang, ponggawa laut dan darat dan tokoh masyarakat seperti Kepala Kelurahan, Imam Desa dan penduduk kelurahan. Stakeholder yang merusak terumbu karang di wilayah perairan laut Kabupaten Selayar adalah nelayan penangkap ikan yang menggunakan alat tangkap destruktif, dan masyarakat yang mengambil terumbu karang sebagai bahan bangunan dan tanggul penahan ombak. Di wilayah kepulauan takabonerate terdapat karamba jaring apung yang menampung biota laut terutama ikan kerapu/sunu. Untuk mendapatkan jenis ikan ini dalam jumlah yang banyak tidak cukup dengan hanya menggunakan alat pancing sehingga untuk mendapatkan lebih banyak harus menggunakan bahan kimia (potas) untuk membius ikan tersebut, kegiatan ini kebanyakan dilakukan para penyelam. Dampak dari penggunaan bahan kimia ini adalah merusak terumbu karang dalam waktu cukup lama bila dibandingkan dengan kerusakan yang terjadi akibat pengunaan bom atau akibat jangkar yang diturunkan pada saat kapal berlabuh.
Sedangkan stakeholder yang menjaga kelestarian terumbu karang secara langsung belum terlihat dengan jelas, namun secara tidak langsung masih ada tokoh masyarakat yang berada di pulau ini yang selalu mengingatkan para stakeholder agar selalu menjaga kelestarian terumbu karang untuk generasi mendatang. 7.4.1.1. Organisasi dan Potensi Konflik Organisasi nelayan yang secara khusus bergerak dalam pengelolaan sumberdaya laut yang dapat ditemukan di Pulau-Pulau berupa organisasi tradisional ponggawa-sawi. Organisasi lain yang pernah ada berupa organisasi koperasi yang kemudian hilang dengan sendirinya akibat tidak dapat bersaing dengan organisasi tradisional yang sudah mendarah daging di kalangan masyarakat nelayan. Organisasi ponggawa-sawi adalah organisasi kerja nelayan yang terdapat di semua masyarakat nelayan. Ikatan di antara kedua unsur pembentuknya yaitu ponggawa dan sawi seringkali diartikan oleh sebagai suatu bentuk eksploitasi yang menjadi penyebab miskinnya sebagian besar kaum nelayan. Namun organisasi bentukan pemerintah atau lembaga non-pemerintah yang telah pernah ada belum mampu menggantikan ikatan yang terbentuk diantara keduanya. Ada dua bentuk variasi peran dari organisasi nelayan ini yaitu bila nelayan bekerja sendiri, maka hanya terdapat seorang ponggawa saja, namun jika nelayan bekerja dalam bentuk kelompok, maka dikenal apa yang disebut “ponggawa darat” yang seringkali disebut “ponggawa bonto” dan “ponggawa laut”. Dengan adanya dua variasi status dalam organisasi yang sama tersebut, maka juga berimplikasi pada munculnya peran-peran yang dimainkan pelakunya berdasarkan status yang disandangnya. Konsep “ponggawa” pada nelayan individual, setara dengan pemilik usaha berskala kecil pada organisasi kerja modern, sedangkan konsep “ponggawa darat” bila disetarakan dengan status yang ada pada usaha modern, maka status tersebut setara dengan pemilik usaha atau direktur, sedangkan “ponggawa laut” pada nelayan berkelompok setara dengan “manajer”.
Sawi merupakan istilah umum yang digunakan untuk menyebut nelayan yang bekerja dalam bentuk kelompok, walaupun sebenarnya semua nelayan yang secara fisik terlibat secara langsung dalam kegiatan penangkapan adalah sawi, meskipun ia bekerja seorang diri seperti nelayan pemancing. Pola Patron-Client pada masyarakat nelayan seperti ponggawa-sawi haruslah dilihat sebagai bentuk perusahaan perikanan berskala kecil. Berdasarkan status yang disandangnya, ponggawa laut dan ponggawa darat menjalankan perannya sebagai penanggung jawab dari keberlanjutan usaha yang dimilikinya. Kewajiban yang dimiliki seorang ponggawa darat berkenaan dengan keberlanjutan usahanya adalah: 1.
Mengelola dan mengusahakan tersedianya modal secara terus menerus;
2.
Mengusahakan penjualan hasil tangkapan nelayan dengan yang dapat menguntungkan kedua pihak (pada nelayan individu);
3.
Memberikan informasi kepada nelayan tentang harga jual dan komoditi yang memiliki tingkat harga yang tinggi;
4.
Membiayai kerusakan alat produksi;
5.
Memberikan perlindungan secara sosial dan ekonomi kepada tenaga kerja yang dimilikinya. Adapun ponggawa laut memiliki kewajiban mengorganisasikan modal, alat
produksi
dan tenaga kerja dalam setiap operasi penangkapan. Selain itu
ponggawa laut juga berkewajiban menjaga alat-alat produksi agar tetap dalam kondisi yang baik. Peran lainnya adalah: 1.
Memimpin operasi penangkapan;
2.
Menjual hasil tangkapan dan membagikan keuntungan tersebut kepada para sawinya;
3.
Merekrut anggota/sawi;
4.
Menanggung resiko kerusakan alat produksi dan kerugian modal;
5.
Menjaga keselamatan sawi dan alat produksi selama proses produksi berlangsung. Sawi berkewajiban melakukan aktivitas penangkapan ikan yang kemudian
diserahkan kepada pihak ponggawa/ponggawa darat/ponggawa laut untuk menjualnya. Meskipun dari tingkat pendapatan,mereka jauh lebih rendah
dibandingkan penghasilan ponggawa dan resiko yang harus mereka tanggung, namun seorang sawi tidak dapat lepas sama sekali dari ponggawa. Ikatan tersebut tidak hanya merupakan ikatan kerja, namun juga merupakan ikatan kekeluargaan berdasarkan kepercayaan, meskipun mungkin di antara kedua pihak tidak terdapat pertalian darah. 7.4.2. Faktor Eksternal Dinamika perkembangan dari kehidupan nelayan di pesisir dan pulaupulau di Kabupaten Selayar jga dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal. 7.4.2.1.
Kebijakan pemerintah bagi pengelolaan Sumberdaya perairan
Kebijaksanaan
pemerintah
baik
aturan
maupun
undang-undang
pemanfaatan terumbu karang mulai dari pemerintah pusat, propinsi maupun kabupaten seperti mengenai pemanfaatan wilayah pesisir tertuang dalam undang-undang No 9 tahun 1985 tentang perikanan, undang-undang No 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya hayati dan undang-undang no 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dan undang-undang pariwisata no 9 tahun 1990.
Akan tetapi yang menjadi masalah adalah masih lemahnya
pelaksanaan peraturan dan undang-undang yang telah ada. Undang-undang perikanan merupakan salah satu perangkat hukum yang bertujuan mengatasi beberapa masalah dalam hal pencemaran dan kerusakan serta eksistensi sumberdaya perikanan.
Di dalam undang-undang tersebut
disebutkan bahwa sumberdaya perikanan adalah modal dasar pembangunan untuk mengupayakan peningkatan kesejateraan dan kemakmuran rakyat. Pada pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang atau badan hukum dilarang melakukan
kegiatan
menggunakan
penangkapan
bahan-bahan
dan
dan
atau
pembudidayaan
alat
yang
dapat
ikan
dengan
membahayakan
kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya. Pasal 7 ayat 1 selanjutnya menyatakan bahwa setiap orang atau badan hukum dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan dan /atau lingkungannya. Sanksi hukum akibat
pelanggaran undang-undang diatas adalah penjara selama-lamanya 10 tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.100.000.000,- . Pada tingkat propinsi Sulawesi Selatan kebijakan perikanan dijabarkan dalam Repelita, bahwa usaha penangkapan ikan dengan menggunakan alat-alat modern tidak boleh mendesak lapangan kerja nelayan tradisional, serta hal-hal yang menimbulkan pengaruh negatif terhadap sumberdaya alam diperkecil. Salah satu peraturan daerah Sulawesi Selatan yang bertujuan melestarikan sumberdaya perikanan utamanya karang adalah Perda No. 7 tahun 1987. Pada Perda tersebut menyatakan bahwa setiap orang atau badan hukum dilarang mengusahakan atau merusak terumbu karang dan dilarang mengambil organisme yang hidup dan melekat pada terumbu karang. Sangksi pidana terhadap pelanggaran ini adalah penjara 3 bulan atau denda uang sebanyakbanyaknya Rp 50.000.000,-. Sedangkan pada tingkat Kabupaten berdasarkan Perda no 30 tahun 2005 Kabupaten Selayar tentang pelarangan penggunaan destructive fishing belum tersosialisasi dengan baik. Berbagai peraturan dan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah umumnya bertujuan bagi kesejahteraan masyarakat dan tingkat kelangsungan hidup masyarakat pulau itu
sebagai pengguna. Aturan-aturan
tersebut dibuat supaya ada keteraturan pemanfaatan demi kelestarian sumberdaya itu sendiri. Manfaat ini nantinya dinikmati juga oleh masyarakat. Seperti pelarangan penggunaan bom dan bius. Jika dilihat penggunaan bom memudahkan masyarakat untuk menangkap ikan akan tetapi disisi lain juga mengancam kelestarian lingkungan sebagai habitat tempat hidup ikan sekaligus mengancam jiwa dari nelayan itu sendiri. Sekarang timbul pertanyaan bagi masyarakat apakah kita akan mendapatkan keuntungan sesaat dan mengancam kelestarian serta jiwa kita atau kita dapat mencukupi kebutuhan kita dan juga tetap menjaga laut sebagai tempat hidup kita. 7.4.2.2.
Pasar Permintaan Produk Hasil Perikanan
Setiap kegiatan produksi baik kegiatan penangkapan, pengolahan, dan lainnya maka biasanya yang menjadi kendala adalah pasar dari produk yang
dihasilkan tersebut. Jenis pasar produk hasil perikanan berupa jalur distribusi, segmentasi pasar maupun daya serap pasar secara langsung mempengaruhi aktifitas penangkapan bagi masyarakat nelayan di wilayah ini, semakin tinggi daya serap pasar dan kemudahan untuk mengaksesnya maka semakin bergairah masyarakat untuk melakukan penangkapan. Bagi masyarakat nelayan,
umumnya dipengaruhi oleh kegiatan dari
pedagang lokal, pedagang antar pulau, kegiatan eksportir, serta aktifitas pelelangan (TPI) di benteng.
Dinamika kegiatan pemasaran hasil perikanan.
Mudahnya masyarakat nelayan dalam mengakses pasar (walau dalam batas tertentu) seperti hubungan dengan Ponggawa darat di Benteng dan eksportir ikan di Makassar juga turut mempengaruhi.
Umumnya masyarakat nelayan
dapat menjual langsung hasil tangkapannya ke ponggawa di Pulau sendiri atau ke TPI dan eksportir ikan di Makassar. Hal ini semakin mendorong masyarakat untuk lebih giat untuk melakukan penangkapan. Situasi permintaan hasil perikanan yang tinggi mendorong nelayan melakukan penangkapan secara berlebihan terlebih lagi untuk jenis ikan yang mempunyai harga jual tinggi. Hal ini terlihat dari daerah penangkapan (fishing ground) yang semakin jauh dari pulau.
Penangkapan ikan karang cenderung
menggunakan bom dan bius. Hal ini dilakukan karena lebih efektif. Dengan metode pembiusan misalnya, ikan hanya akan mengalami pingsan dan tidak mengalami luka pada tubuhnya, jadi memiliki penampakan yang lebih baik sehingga akan mempunyai harga jual yang lebih tinggi. 7.4.2.3.
Teknologi Penangkapan dan Akses Permodalan
Tingkat teknologi pemanfaatan sumberdaya perairan yang berkembang di masyarakat utamanya teknologi penangkapan yang diadopsi dan berkembang di masyarakat nelayan Pulau, sangat mempengaruhi tingkat kemampuan pemanfaatan oleh masyarakat. Selain tingkat kemampuan teknologi, maka kemampuan masyarakat untuk mengakses permodalan juga merupakan salah satu faktor eksternal yang juga turut mempengaruhi kegiatan penangkapan karena hal ini berkaitan dengan pembiayaan usaha penangkapan.
Akses
permodalan pada masyarakat pulau ini biasanya hanya terbatas dalam bentuk
kerja sama ikatan informal ponggawa-sawi, dimana biasanya ponggawa pulau memberikan bantuan permodalan kepada nelayan, dan ponggawa pulau juga memperolah bantuan dari ponggawa besar di Makassar. 7.4.2.4. Kesesakan dan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya. Armada penangkapan ikan yang di operasikan di sekitar perairan Pulaupulau Selayar bukan saja dilakukan oleh nelayan lokal tetapi juga nelayan dari daerah lain. Hal ini terjadi karena suburnya sumberdaya perairan di Kabupaten Selayar yang ini mendorong nelayan di pulau lain untuk menangkap di sekitar Pulau-Pulau Kebupaten Selayar terutama pada kawasan Taka Bonerate. Hal ini telah menimbulkan kesesakan bila tidak dilakukan pengaturan yang baik dan dapat mengakibatkan konflik diantara nelayan. Kesesakan yang timbul karena adanya penggunaan bersama akan sumberdaya menimbulkan konflik diantara nelayan bila tidak ada pengaturan yang jelas. Akan tetapi dalam hal ini pengertian masyarakat bahwa perairan merupakan milik umum dan dapat diakses siapa saja cukup baik sehingga dapat menimbulkan pemahaman dan saling pengertian diantara nelayan yang beroperasi pada suatu wilayah penangkapan walaupun berasal dari daerah yang berbeda-beda. Banyaknya kegiatan penangkapan di sekitar Pulau-pulau Kabupaten Selayar khususnya akan membawa dampak pada ketersediaan sumberdaya perairan yang semakin menipis yang ditandai dengan semakin jauh daerah tangkapan (fishing ground) dari para nelayan lokal. Walaupun kesesakan timbul dalam pemanfaatan bersama sumberdaya perairan di Pesisir dan Kabupaten Selayar, tetapi umumnya masyarakat tetap setuju (70%) pada pengelolaan dengan akses terbuka atau nelayan dari pulau lain dapat menangkap di sekitar perairan Selayar. 7.4.2.4.
Lembaga Ekonomi dan lembaga Eksternal lain
Sarana Tempat pendaratan Ikan
(TPI ) merupakan wadah
yang
mempertemukan nelayan sebagai produsen dan pembeli sebagai konsumen baik untuk industri, restoran, pedagang keliling maupun untuk konsumsi rumah tangga.
Sedangkan LSM adalah lembaga swadaya masyarakat juga berperan
dalam pengaruhnya pada aktifitas penangkapan.
LSM dapat mempunyai
kepentingan dan kepedulian masalah lingkungan dan peningkatan standar hidup masyarakat. Tempat Pendaratan Ikan (TPI) mempunyai pengaruh yakni memberikan akses pemasaran terhadap hasil tangkapan masyarakat, sedangkan kegiatan LSM memberikan pengaruh pada penyadaran lingkungan dan peningkatan darajat hidup masyarakat. 7.4.2.5.
Pengamanan Perairan dan Penegakkan Hukum
Kegiatan
eksploitasi
seperti
penangkapan
mengalami
peningkatan
terutama bagi komoditas unggulan seperti teripang dan ikan-ikan karang, hal ini didorong oleh tingginya permintaan pasar baik lokal, antar pulau, terlebih lagi untuk ekspor.
Hal ini mendorong masyarakat untuk menggunakan berbagai
macam cara termasuk cara-cara yang merusak dalam upaya meningkatkan hasil tangkapan. Penggunaan bom dan obat bius merupakan salah satu alternatif yang digunakan oleh masyarakat untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak dan dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini menimbulkan dampak negatif terhadap
kelestarian
lingkungan
utamanya
terumbu
karang,
sekaligus
mengancam kesinambungan usaha penangkapan oleh masyarakat pulau itu sendiri,
yang
paling
merasakan
akibatnya
adalah
masyarakat
nelayan
tradisional yang mempunyai keterbatasan alat dan hanya mampu menangkap di sekitar
perairan
Pulau-pulau
Selayar
saja
dibandingkan
nelayan
yang
mempunyai alat tangkap yang lebih moderen dan mempunyai permodalan kuat sehingga mampu untuk menangkap di luar Pulau-pulau Selayar. Kegiatan yang mengancam kelestarian akan
terus terjadi apabila tidak
dilakukan tindakan pengamanan oleh pihak berwajib. Kegiatan pengamanan akan berjalan efektif apabila disertai dengan tingkat kesadaran lingkungan dari masyarakat terutama masyarakat nelayan. Salah satu alasan masih adanya praktek penggunaan bom dan bius adalah susahnya pemberantasan oleh pihak keamanan
karena
luasnya
daerah
perairan.
Jadi
dibutuhkan
pengamanan perairan yang melibatkan masyarakat (swakarsa).
metode
7.4.2.6.
Permasalahan Struktural
Selain dari adanya berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi aktifitas pemanfaatan sumberdaya oleh nelayan terdapat berbagai macam permasalahan struktural
yang terjadi dalam masyarakat nelayan di Kabupaten Selayar.
Berbagai permasalahan struktural diantaranya adalah : Adanya berbagai macam kepentingan dari berbagai macam stakeholder yang berbenturan dengan kondisi dan realitas masyarakat seperti adanya kegiatan pelestarian dengan kegiatan pemanfaatan yang merusak seperti pengunaan bom dan obat bius. Keadaan yang kontradiktif ini harus dicari solusinya berupa penyadaran akan lingkungan alternatif kegiatan penangkapan lain yang tidak merusak. Adanya berbagai program pemberdayaan masyarakat yang berbenturan dengan rendahnya tingkat kemampuan masyarakat untuk mengadopsi, yang disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah. Perbedaan
yang
menyolok
antara
masyarakat
yang
mempunyai
kemampuan modal yang lebih besar karena bantuan modal yang diperoleh dari ponggawa tidak merata. Tingkat kesadaran dan pemahaman hukum yang berbeda-beda sehingga menimbulkan perbedaan antara masyarakat yang menerapkan praktekpraktek penangkapan yang tidak ramah terhadap lingkungan. Adanya sebagian masyarakat yang menggunakan bom dan bius sementara ada juga yang tidak menggunakan, hal ini berdampak pada perbedaan hasil tangkapan sehingga dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang dapat memicu konflik internal di antara masyarakat. Kesadaran akan kesehatan lingkungan bagi masyarakat nelayan masih relatif rendah
7.4.2.7.
Pola dan Perilaku DestructifveFishing di Kabupaten Selayar Pola dan perilaku penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan
(destructive fishing), dari hasil survey lapangan berlangsung.
ditemukan masih terus
Meski Peraturan Pemerintah melalui Surat Edaran dari Bupati
Selayar telah melarang nelayan membawa kompresor setiap kali operasi penangkapan ikan jika kompresor tersebut tidak digunakan untuk melakukan penangkapan ikan yang dapat merusak ekosistem terumbu karang. Kegiatan penangkapan ikan yang sifatnya merusak ekosistem terumbu karang tersebut yang ditemukan di beberapa desa di kepulauan Kabupaten Selayar berupa aktifitas penangkapan yang menggunakan, bom (blasting fishing), bius (cyanida), dan bubu.
Jenis alat tangkap lainnya yang dapat
merusak terumbu karang adalah muroami.
Tetapi alat tangkap ini hanya
dijumpai digunakan oleh Suku Bajo di Desa Appatana, Kecamatan Bontosikuyu. Alat ini tidak ditemukan di gunakan di pulau-pulau Kabupaten Selayar. Adapun desa-desa yang masih dijumpai aktifitas penangkapan ikan yang menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan dapat dilihat pada Tabel 7.1. di bawah ini. Tabel 7.1. Destructve fishing yang masih dijumpai di desa Kabupaten Selayar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
D e s a Kayuadi Nyiur Indah Bontobaru Kembangragi Komba-komba Lambego Bonerate Majapahit Karumpa Pulo Madu Lembang Matesse Kalaotoa Garoupa
Jenis Perilaku Destructif Fishing Bom Bius Bubu √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Sumber: Survey, 2006
7.4.2.7.1.
Aktifitas Pemboman Ikan
Penangkapan ikan menggunakan bahan peledak dilakukan dimana terdapat banyak gerombolan ikan. Namun dampak dari penggunaan bom tersebut tidak hanya menyebabkan ikan target yang mati, tetapi areal terumbu karang yang ada di bawahnya juga mengalami kerusakan fisik, karena umumnya ikan yang dibom ini adalah ikan-ikan yang hidup di sekitar terumbu karang. Semakin banyak jumlah bom yang digunakan dan semakin dekat dengan terumbu karang, maka semakin besar pula dampak kerusakan yang ditimbulkan terhadap terumbu karang. Aktifitas penangkapan ikan menggunakan bom oleh nelayan ini sebenarnya tidak banyak jumlahnya. Hanya berkisar 5 -10 persen dari total jumlah nelayan yang ada di desa yang melakukan pemboman tersebut. Sumber di Desa Karumpa mengungkapkan, hampir semua nelayan yang ada di desa tersebut pernah melakukan penangkapan yang merusak. Cara tangkap tersebut, menurut responden, mungkin tidak bisa ditinggalkan masyarakat nelayan di desa itu sepenuhnya, karena perilaku penangkapan menggunakan bom ini sudah menjadi kegemaran yang dilakukan sejak dari kecil. Aktifitas melakukan pemboman ikan, seperti yang diungkapkan responden di Pulau Kayuadi, dimulai sejak tahun 70-an.
Kemampuan
merakit bom tersebut mereka adopsi dari para gerombolan DI/TII yang pernah bersembunyi di Pulau tersebut.
Sementara
nelayan di Karumpa
mengakui kalau cara membuat bom tersebut mereka pelajari dari Suku Bajo yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Sementara di Desa Majapahit, Bonerate, dan Lembang Matesse, menurut responden setempat, aktifitas pemboman ikan yang terjadi di desanya dilakukan oleh nelayan dari luar. Bukan penduduk desa setempat. Ketiga desa tersebut penduduknya memang didominasi oleh pedagang, petani dan berkebun, namun kondisi terumbu karang di sekitar desa tersebut banyak mengalami kerusakan. Sumber lain di Desa Bonerete menyebutkan, kerusakan terumbu karang di wilayahnya disebabkan oleh gempa yang menimbulkan tsunami di Flores pada tahun 1992.
7.4.2.7.2.
Aktifitas Pembiusan Ikan
Kegiatan penangkapan ikan menggunakan bius (cyanida) ini biasanya dilakukan oleh nelayan untuk menangkap ikan-ikan yang bernilai ekonomis tinggi yang hidup di sekitar terumbu karang, seperti: ikan kerapu, sunu, napoleon, lobster, dan semacamnya.
Namun aktifitas penangkapan yang
menggunakan sianida tersebut tidak hanya menyebabkan ikan target terkulai lemas, tetapi juga menyebabkan karang di sekitar ikan target yang dibius tersebut mengalami stres, bahkan sampai mematikan sel-sel karang jika konsentrasi yang digunakan sampai pada dosis yang mematikan karang. Kematian karang akibat bius ini dapat ditandai dengan perubahan warna terumbu yang memutih. Sama dengan aktifitas pemboman ikan, jumlah nelayan yang melakukan pembiusan juga tidak banyak jumlah dari total jumlah nelayan yang ditemukan melakukan aktifitas tersebut di suatu desa.
Jumlahnya
hanya sekitar 5 persen dari total jumlah nelayan yang ada di suatu desa. Dari penuturan responden juga menyebutkan, aktifitas pembiusan tersebut juga sangat tergantung pada permintaan eksportir dan pengumpul. Kalau permintaan banyak dan harga ikan tinggi maka aktifitas pembiusan tersebut banyak dilakukan oleh nelayan. Dibanding dengan pemboman ikan, aktifitas penangkapan ikan dengan bius sudah banyak menuai protes dari sesama nelayan di dalam suatu desa. aktifitas
Misalnya, responden di Desa Kembangragi mengungkapkan,
pembiusan
yang
dilakukan
segelintir
nelayan
di
desanya
menyebabkan usaha budidaya rumput laut di desa tersebut tidak berhasi karena mengalami keputihan yang kemudian diikuti dengan kematian. Areal yang sebelumnya cocok ditanami rumput laut sekarang ini sudah tidak bisa lagi. Hal yang sama juga diungkapkan responden di Desa Komba-komba dan Kalotoa. 7.4.2.7.3.
Penangkapan Ikan dengan Bubu
Aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan bubu sebenarnya tidak merusak terumbu karang seandainya bubu tersebut hanya diletakkan begitu saja di dasar perairan. Tetapi karena pada saat pemasangan bubu di dasar perairan biasanya menggunakan batu karang untuk menindih bubu tersebut agar tidak hanyaut dan kelihatan seolah-olah juga merupakan bagian dari terumbu, sehingga aktifitas menangkap ikan dengan alat ini juga dikategorikan merusak ekosistem terumbu karang, apalagi jika jumlah bubu yang dipasang jumlahnya banyak diareal yang luas. Aktifitas penangkapan menggunakan bubu ini biasanya dijumpai di desa dimana terdapat pengumpul ikan hidup yang ditandai dengan adanya keramba jaring apung, seperti di Desa Bontobaru, Karumpa, dan Lambego. Bubu tersebut biasanya mereka pasang dengan jarak 7 – 10 meter dengan jumlah bubu yang mereka pasang sekitar 10 buah. Bubu ini dipasang sekitar empat hari kemudian ditengok kembali, dan diambil jika ada ikan yang tertangkap. Hasil survei yang dilakukan juga menjumpai adanya dua jenis bubu yang digunakan oleh masyarakat di kepulauan Selayar.
Umumnya bubu
yang digunakan adalah yang terbuat dari anyaman bambu. Bubu jenis ini biasa dipasang di daerah terumbu karang. Cara pemasangan bubu yang terbuat dari bambu inilah yang biasa merusak karena menggunakan terumbu karang untuk menindis bubu tersebut, sehingga secara sepintas bubu-bubu tersebut seolah-olah juga merupakan terumbu karang.
Gambar 29. Jenis bubu yang dijumpai di Pulau Karumpa Jenis bubu lainnya yang ditemukan di Pulau Karumpa adalah bubu yang anyamannya dari jaring dan rangkanya terbuat dari besi. Bubu seperti ini biasanya dipasang di dasar perairan yang berpasir. Jenis bubu ini tidak merusak terumbu karang karena tidak menggunakan terumbu karang pada saat pemasangannya, tetapi hanya langsung ditancapkan di dasar perairan yang berpasir kemudian dibungkus dengan jaring. Responden di Desa Karumpa juga menyebutkan, bubu yang terbuat dari besi dan jaring ini digunakan untuk menampung ikan hasil tangkapan, termasuk yang dibius juga biasanya dimasukkan ke dalam bubu ini sambil menunggu pengumpul datang mengambil ikannya.
7.5. Persepsi Masyarakat terhadap Coremap, Sistem Ponggawa-Sawi dan LSM Pandangan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Selayar ini beragam, seperti tentang program Coremap II ini. Di pesisir Pulau Selayar hampir seluruh masyarakat mengetahui kegiatan dan tujuan dari program Coremap ini. Hal ini dibantu oleh peran Seto, Fasilitator dan Motivator desa yang terus aktif mensosialisasikan program dan tujuan dari program ini. Sistem ponggawa – sawi juga merupakan model atau sistem yang masih dibutuhkan oleh masyarakat, karena mereka menganggap bahwa sistem ini merupakan sistem kekeluargaan yang sudah turun temurun dilaksanakan. Selain itu sistem ini merupakan model yang mereka anggap sangat fleksibel dalam proses permodalan karena tidak membutuhkan persyaratan administrasi yang kaku seperti permodalan perbankan. Hanya mereka mengharapkan sistem ini lebih bersifat manusiawi dimana pembagian hasil sesuai dengan proporsi hasil kerja, seperti biaya produksi dan harga pasca panen sesuai dengan harga pasaran dan tidak hanya ditentukan secara sepihak oleh ponggawa. Tentang Lembaga Swadaya Masyarakat, mereka masih membutuhkan perannya
karena
mereka
menganggap
bahwa
LSM
merupakan
lembaga
pendamping secara teknis dan manajerial serta advokatif sehingga masyarakat menganggap mereka mampu mendampingi dan menjaga secara hukum didalam beraktifitas penangkapan.
BAB VIII. KONDISI LINGKUNGAN STRATEGIS DAN RENCANA PENGEMBANGAN 8.1. Kondisi Lingkungan Strategis Kegiatan analisis data primer dan sekunder yang dilakukan dan telah dijelaskan selanjutnya diselaraskan atau dicocokkan dengan visi pemangku kepentingan (stakeholders) yang ada di Kabupaten Selayar. Berdasarkan hal tersebut dapat dirumuskan potensi/kekuatan (strenght), masalah/kelemahan (weakness), peluang (opportuniy) dan ancaman (treath). Strength dalam mengembangkan wilayah pesisir dan kepulauan adalah: 1.
Potensi perikanan tangkap yang cukup tinggi, seperti jenis Ikan Teri, Cakalang, Baronang, Kerapu, Terbang dan ikan lainnya.
2.
Jumlah nelayan dan petambak yang besar dan berpotensi menjadi tenaga kerja perikanan.
3.
Infrastruktur dasar cukup tersedia seperti aksesbilitas baik jalan maupun transportasi, dermaga, listrik, pendidikan, kesehatan dan komunikasi.
4.
Terdapat usaha pengolahan skala rumah tangga yang menghasilkan produk ekspor, misalnya usaha pengupasan rajungan dan teripang.
5.
Jenis produk perikanan yang beraneka ragam, baik tangkapan maupun budidaya seperti udang, bandeng, rumput laut, teripang dan lainnya.
6.
Potensi pengembangan industri rakyat seperti pembuatan perahu tradisional.
7.
Besarnya potensi sumnberdaya alam, sumberdaya buatan dan jasa lingkungan seperti ecotourism, wisata bahari, wisata akademik dan wisata budaya. Jenis potensi terumbu Karang, pantai, pasir putih lokasi Taka Bonerate, dan pulau-pulau lainnya mudah terjangkau
8.
Banyak pemilik modal lokal yang berpotensi untuk dibina
9.
Kondisi sosial kemasyarakat sangat terbuka dan kondisi budaya sedang.
Weakness dalam mengembangkan wilayah pesisir dan kepulauan adalah:
1. Kondisi ekonomi masyarakat pesisir dan kepulauan di Kabupaten Selayar secara rata-rata 10 % sejahtera, 25 % sedang, dan sekitar 65 % tergolong miskin 2. Peningkatan
biaya
produksi
perikanan
baik
penangkapan
maupun
budidaya akibat naiknya BBM yang berdampak pada beberapa nelayan tidak dapat beroperasi dan berkurangya pasokan listrik desa terutama pada Koperasi listarik swadaya masyarakat. 3. Resiko pada usaha perikanan baik tangkap maupun budidaya masih tergolong cukup tinggi. 4. Tingginya biaya produksi dan pasca panen karena sifat produk perikanan yang cepat rusak. 5. Rendahnya modal usaha dan pendapatan sebagian besar masyarakat nelayan, terutama sawi dan buruh tambak. 6. Tingkat pendidikan, kesadaran terhadap pengelolaan lingkungan dan hukum masyarakat nelayan masih rendah, yang terlihat pada hasil survei dimana pemanfaatan terumbu karang dan sumberdaya perikanan masih menggunakan
sistem yang tidak ramah lingkungan dan cenderung
eksploitatif. 7. Rendahnya fasilitas dan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat pesisir. 8. Tingginya ketergantungan kepada pemilik modal (ponggawa) sehingga tingkat harga di nelayan sangat rendah. 9. Rendahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran peraturan dan penggunaan destructive fishing gear. 10. Terbatasnya ketersediaan informasi dan teknologi pengembangan usaha perikanan. 11. Rendahnya kualitas proses pengolahan pasca panen, terutama teripang dan rumput laut. 12. Kurangnya sarana dan prasarana pendukung kegiatan produksi perikanan sepeti pabrik es dan cold storage. 13. Rusaknya Carrying Capacity yang menyebabkan menurunnya produksi perikanan terutama pada kegiatan budidaya perikanan.
14. Rendahnya sanitasi lingkungan dan kesehatan. 15. Terbatasnya ketersediaan air bersih. 16. Abrasi dan pencemaran daerah pantai oleh limbah domestik. 17. Konversi lahan secara tidak terkendali seperti dari Mangrove menjadi lahan budidaya tambak. 18. Peningkatan kebutuhan lahan perumahan yang menyebabkan penataan ruang semakin buruk dan sempit, menurunnya daya dukung lingkungan bagi kesehatan serta reklamasi pantai yang dilakukan oleh masyarakat tanpa mempertimbangkan kondisi ekosistem pantai. 19. Tidak berfungsinya lembaga ekonomi masyarakat, terutama Koperasi dalam mendukung usaha kecil dan menengah. 20. Tingginya angka kecelakaan kerja terutama pada nelayan penyelam. Oppurtunity dalam mengembangkan wilayah pesisir dan kepulauan adalah: 1. Harga produk perikanan untuk skala ekspor cukup tinggi sehingga sangat menguntungkan dilakukan oleh para nelayan. 2. Tingginya permintaan pasar bagi produk perikanan baik untuk permintaan lokal, regional maupun nasional serta trend untuk perdagangan ekspor semakin meningkat. 3. Investasi di sektor usaha perikanan cukup tinggi baik di bidang penangkapan, budidaya maupun untuk jasa lingkungan/wisata. 4. Kepedulian akan pentingnya suistinable development semakin meningkat. 5. Kebijakan pemerintah terhadap pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil, terutama pada bidang pemberdayaan masyarakat pesisir dan konservasi lingkungan semakin meningkat. 6. Tingginya nilai gizi yang diperoleh dari produk perikanan. Treath dalam mengembangkan wilayah pesisir dan kepulauan adalah: 1. Degradasi lingkungan, ekosistem dam sumberdaya alam di wilayah pesisir semakin besar. 2. Peningkatan
standarisasi produk perikanan yang memiliki sertifikasi
ecolabeling oleh para konsumen.
3. Peningkatan produk perikanan yang bebas dari antibiotik dan destructive fishing gear, terutama produk ekspor. 4. Meningkatnya produksi perikanan oleh negara produsen lain. Selain dari analisis SWOT diatas juga diuraikan permasalahan pokok yang terjadi dan dialami oleh stakeholder di bidang kebijakan pengelolaan perikanan, seperti yang terlihat di bawah ini.
Tabel 8.1. No 1
Bidang Perikanan Tangkap
Permasalahan utama di Bidang Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap, Budidaya, Wisata dan Industri Perikanan.
-
-
2
Perikanan Budidaya
-
3.
Wisata
-
4.
5.
Industri Perikanan
-
Konservasi -
Permalahan Utama Tidak ada perda yang mengatur secara tegas mengenai; Nelayan Pendatang, Alat Tangkap dan daerah Penangkapan atau tidak ada Perda yang menjadi Payung untuk perikanan tangkap Pemasaran tidak mendukung hasil tangkapan nelayan Selayar, justru dijual keluar dari kabupaten Selayar Kurangnya investor untuk permodalan perikanan tangkap Semakin banyak nelayan pendatang yang menagkap ikan di perairan Selayar dan hasilnya dibawa keluar SDM kurang terampil dalam menangkap ikan Nelayan Selayar banyak dibiayai oleh orang luar Hasil tangkapan dibeli ditengah laut atau ditengah jalan sehingga tidak samapai di Selayar Tidak ada areal percontohan Budidaya laut untuk ikan ekonomis penting Masalah permodalan, yaitu sasaran yang tidak jelas, tidak cukup usaha, nepotisme Kurang terampilnya SDM serta sarana dan prasarana budidaya yang minim Swasta belum terlibat dalam membantru pemerintah membangun sarana dan prasarana Budaya masyarakat yang tidak mendukung karena faktor kebiasaan pengunjung yang tidak sesuai dengan budaya lokal Promosi Wisata sangat kurang Potensi wisata wisata belum dikelola dengan baik Kontradiksi kebijakan pemerintah Pusat, Provinsi dan Pemkab Adanya lokasi yang dikuasai oleh orang luar (Oheng dari Jerman) dan tertutup orang lokal termasuk nelayan Selayar. Bahan Baku yang Kurang SDM tidak terampil Keinginan masyarakat untuk mendapatkan hasil langsung secara cepat Sarana dan prasarana yang kurang Cold Storage tidak berfungsi karena rusak Tidak ada tenaga pendamping Masih banyak Ilegal Fishing dari masyarakat Selayar dan dari luar, seperti bom, bius, dan pukat harimau Kurangnya penegakan hukum bagi yang melanggar zona penangkapan Kesadaran masyarakat masih rendah untuk menjaga lingkungan Aksesibilitas yang relatif susah
8.2. Strategi Pengembangan Berdasarkan hasil analisis kondisi lingkungan strategis wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka dapat dirumuskan sebagai berikut: Strategi S - O Strategi S – O adalah strategi pengembangan yang menggunakan potensi dan kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang ada. Strategi ini terdiri atas: 1.
Peningkatan produksi perikanan baik penangkapan maupun budidaya, untuk memenuhi permintaan pasar, terutama pasar ekspor dengan mendukung konsep sertifikasi dan standar pengelolaan yang berawasan lingkungan serta untuk mendukung upaya perluasan lapangan kerja.
2.
Pengembangan obyek wisata bahari, ecotorism, wisata pendidikan dan wisata budaya dengan melibatkan seluruh komponen di masyarakat.
Strategi W - O Strategi W – O adalah strategi pengembangan yang mengupayakan mengatasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang. Strategi ini terdiri atas: 1.
Pengembangan bantuan teknis, manajemen dan modal usaha untuk mendukung upaya peningkatan nilai produk perikanan.
2.
Peningkatan kualitas dan kuantitas Sumberdaya Manusia (SDM) pesisir untuk
mendukung
upaya
pemanfaatan
sumberdaya
alam
secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. 3.
Peningkatan taraf kesehatan masyarakat dan lingkungan.
4.
Pengelolaan, rehabilitasi dan konservasi sumberdaya alam baik pesisir, pulau-pulau kecil maupun lautan.
Strategi S - T Strategi S – T adalah strategi pengembangan yang menggunakan kekuatan untuk menghadapi ancaman. Strategi ini terdiri atas:
1.
Pemanfaatan potensi perikanan dan sumberdaya pesisir dengan ramah lingkungan.
2.
Diversifikasi usaha dan komoditas perikanan.
Strategi W - T Strategi W – T adalah strategi pengembangan yang mengupayakan meminimalkan dampak dari ancaman. Strategi ini terdiri atas: 1.
Penerapan standarisasi produksi perikanan yang ramah lingkungan, seperti standar HACCP.
2.
Sosialisasi
penegakan
hukum
dan
implementasi
peraturan
serta
kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. 3.
Peningkatan efisiensi produksi untuk menghasilkan produk yang mampu bersaing dengan produk negara lain.
4.
Peningkatan iklim usaha yang sehat, aman dan menarik bagi investor.
Sedangkan strategi untuk memecahkan persoalan kebijakan pengelolaan perikanan adalah:
Tabel 8.2 . Pengelolaan Kebijakan di Bidang Perikanan Tangkap, Budidaya, Wisata dan Industri Perikanan. No 1.
Bidang Perikanan Tangkap
Pengelolaan dan Pengembangan -
2.
Perikanan Budidaya
-
3.
Wisata Bahari
-
5.
Konservasi
-
Modernisasi penangkapan Penambahan sarana dan prasarana, serta permodalan Adanya perda yang mengatur secara tegas mengenai penangkapan ikan di Selayar Ketegasan hukum bagi yang melanggar Hukum adat lebih efektif untuk menyelesaikan pelanggaran oleh masyarakat Penertiban potongan-potongan liar di Selayar Ada pembagian PAD karena ikan yang ditangkap di Selayar atau nelayan Selayar dijual ke daerah lain Pembangunan sarana dan prasarana. Pengembangan budidaya ikan karang Intensifikasi tambak dan teknologi tepat guna Luas tambak kurang lebih 600 Ha (sudah cukup) Tidak ada pengusaha ikan, yang ada adalah pedagang ikan Perumusan kemitraan Pemkab, Swasta , masyarakat dan antara daerah lain Selayar harus ada KAPET, Perikanan kelautan berpusat di Selayar Penguatan kelembagaan Nelayan Memperhatikan Kecamatan kepulauan. Ada zona lokasi untuk kegiatan wisata yang sesuai dengan budaya masyarakat Dukungan dan kesadaran masyarakat untuk pengembangan wisata Wisata yang dikembangkan sesuai dengan budaya masyarakat Selayar Pengaturan kapal pesiar dari Bira yang masuk ke Selayar Pengembangan 33 lokasi dan 50 kapal untuk Wisata Selayar Sudah ada Master Plan pengambangan Wisata Kabupaten Selayar. Penyadaran Masyarakat Mata Penharian Alternatif untuk nelayan Peraturan dan koordinasi antar instansi
8.3. Program Indikatif Pengembangan Berdasarkan rumusan keempat strategi dan pengelolaan kebijakan tersebut diatas, maka dapat dirumuskan 12 program indikatif yang dapat dilakukan dalam mengembangkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu: 1.
Pengembangan perikanan tangkap
2.
Pengembangan perikanan budidaya laut dan tambak
3.
Pengembangan ecotourism di wilayah terumbu karang dan mangrove
4.
Pengembangan wisata pantai/pulau
5.
Pengembangan KUB/Koperasi
6.
Peningkatan kualitas SDM pesisir
7.
Peningkatan kualiras pendidikan di wilayah pesisir dan pulau, terutama Pendidikan Wajib 14 tahun (tingkat dasar – menengah).
8.
Peningkatan sanitasi lingkungan dan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
9.
Analisis potensi lestari (MSY)
10. Peningkatan keamanan pangan. 11. Peningkatan kesadaran hukum dan pengelolaan lingkungan. 12. Peningkatan iklim usaha yang kondusif.
8.4. Rencana Aksi Berdasarkan ke 12 program indikatif pengembangan tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa rencana aksi berupa kegiatan yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama nelayan, petani ikan, pendapatan asli daerah sdan iklim usaha yang kondusif bagi seluruh stakeholer di Kabupaten Selayar, yaitu: 1.
Penangkapan sumberdaya ikan (ikan karang, teripang, dan lainnya) secara ramah lingkungan dan berkelanjutan.
2.
Pembuatan Menara Pengawas terumbu Karang di Pulau
yang rawan
destruktive fishing. 3.
Pengembangan wisata pulau, pantai, diving, budaya dan mangrove.
4.
Pengembangan usaha kelompok, seperti koperasi nelayan, petani ikan dan pengolahan hasil laut.
5.
Pengembangan koperasi listrik di semua pulau-pulau kecil yang belum terjangkau pasokan listrik pemerintah.
6.
Pelatihan teknis, dan manajemen penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
7.
Pelatihan teknis, dan manajemen budidaya tambak dan laut yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
8.
Pendidikan dan latihan teknis/manajemen pengolahan hasil perikanan di semua wilayah pulau dan pesisir.
9.
Pendidikan
dan
latihan
teknis/manajemen
pengelolaan
kawasan
ekowisata dan wisata pantai/pulau. 10. Pendidikan dan latihan teknis konservasi sumber air tawar dan sumberdaya alam seperti terumbu karang dan mangrove. 11. Pengembangan sarana dan prasarana pendidikan yang menjangkau semua anak usia sekolah di daerah pulau. 12. Peningkatan kualitas pendidikan di daerah pulau dan pesisir. 13. Penerapan kurikulum berbasis sumberdaya lokal. 14. Penataan rumah penduduk disemua pulau dan desa pesisir. 15. Perbaikan drainase permukiman di semua pulau dan desa pesisir. 16. Pembuatan MCK umum di semua pulau dan desa pesisir. 17. Penambahan
dan
pemberdayaan
tenaga
kesehatan
serta
sarana
pelayanan kesehatan, terutama di wilayah pulau. 18. Sosialisasi tentang pola hidup sehat. 19. Analisis potensi lestasi terumbu karang, mangrove dan sumberdaya ikan lainnya di semua pulau dan desa pesisir. 20. Pemberian modal usaha dan manajemen di semua pulau dan desa pesisir. 21. Pengembangan usaha budidaya udang, bandeng, kakap, dan rumput laut baik di tambak maupun dengan model keramba jaring apung. 22. Larangan penggunaan bahan beracun dan berbahaya (B3) dan produk kimia lainnya dalam budidaya perikanan di semua pulau dan desa pesisir.
23. Larangan penggunaan bahan beracun dan berbahaya (B3) dan produk kimia lainnya dalam perikanan tangkap di semua pulau dan desa pesisir. 24. Sosialisasi peraturan dan produk hukum serta penegakan di semua pulau dan desa pesisir. 25. Penggunaan sarana produksi yang tersedia secara lokal, murah dan berkualitas di semua pulau dan desa pesisir. 26. Pembuatan perda zonasi, investasi, rehabilitasi dan destruktif fishing. 27. Peningkatan kepastian hukum dan jaminan keamanan. Berbagai kekuatan, kelemahan, peluang dan kendala, dapat menjadi pola dasar pengembangan proses pengelolaan sumberdaya alam dengan pola kemitraan
seluruh
stakeholder,
yaitu
dengan
cara
mempertemukan
tiap
stakeholders yang terlibat.. Hal ini dimaksudkan agar minimisasi tumpang tindih tujuan dan simpul kendala pengembangan pengelolaan sumberdaya dapat dicapai. Dengan kata lain, proses negosiasi diantara stakeholders diharapkan tercipta sehingga
peluang
diminimalkan.
besaran
sengketa
sumberdaya
Pulau
Selayar
dapat
BAB XI. DAFTAR PUSTAKA Anonym, 1994. Participatory Rural Appraisal, Berbuat Bersama Berperan Setara. Studio Driya Media untuk Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara. Bapedalda, 2006. Potensi Sumberdaya Kelautan dan Pesisir Propinsi Sulawesi Selatan. Data Potensi dan Peta. Makassar. BPS, 2005. Selayar dalam Angka 2004/2005. Hand Book. Selayar. BPS, 2006. Selayar dalam Kependudukan 2005. Soft Copy. Selayar. Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu, 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Selayar, 2006. Potensi Perikanan Tangkap dan Budidaya Kabupaten Selayar 2006. Data Statistik Perikanan. Selayar. Feeny, D., 1994. Frameworks for Understanding Resource Management on the Commons. In: Community Management and Common Property of Coastal Fisheries in Asia and the Pacific: Concepts, Methods and Experiences (Pomeroy ed.). Manila-Philippines: International Center for Living Aquatic Resources Management. Hexa Mulia, CV, 2005. Survey Sosial Ekonomi. Laporan Akhir. Kerjasama dengan PMU Coremap II Kabupaten Selayar. Benteng - Selayar Indar N Yusran, 2005. Pengelolaan Terumbu Karang. Makalah. “Workshop Penyusunan Konsep Pengelolaan Terumbu Karang Terpadu, Hotel Delta, 29 – 29 Oktober 2005. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan – Program Coremap II. Makassar. Indar N Yusran, 2006. Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat. Makalah. “Pelatihan Staf dan Monitoring dan Evaluasi Pengelola Coremap II”. 14 – 15 Agustus 2006. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan – Program Coremap II. Grand Palace Hotel, Makassar. Koentjaraningrat, 1980. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. PT. Gramedia. Jakarta. Laboratorium Oseanografi Fisika Ilmu Kelautan Unhas, 2002. Studi Inventarisasi Potensi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kecamatan Kepulauan Kabupaten Selayar. Laporan Akhir. Kerjasama Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Selayar. Ujung pandang
Mikkelsen, B., 1999. Metode Penelitian Partisipatori dan Upaya-upaya Pemberdayaan Sebuah Buku Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan (Penerjemah Matheos Nalle). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Mitra Pesisir, CV, 2005. Analisa Potensi Sumberdaya Desa dengan Metode RRA. Laporan Akhir. Kerjasama dengan PMU Coremap II Kabupaten Selayar. Selayar. Patitinggi Farida, 2005, Sistem Hukum dan Kelembagaan dalam Pengelolaan Terumbu Karang Terpadu. Makalah. “Workshop Penyusunan Konsep Pengelolaan Terumbu Karang Terpadu, Hotel Delta, 29 – 29 Oktober 2005. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan – Program Coremap II. Makassar. Pollnac, R., 1998. Indicators for Assessing Human Factors. In: Rapid Assessment of Management Parameters for Coral Reefs. Coustal Resouces Center. USA. University of Rhode Island. Pusat Studi Terumbu Karang Unhas, 2000. Studi Optimasi Zonasi Taka Bonerate. Draft Laporan Akhir. Kerjasama LIPI-Coremap. Ujung Pandang. Pusat Studi Terumbu Karang Unhas, 2001. Studi Sosial Ekonomi Kepulauan Spermonde dan Kepulauan Sembilan Sinjai. Kerjasama dengan Coremap Tahap I. Book 1dan 2. Ujung Pandang. Pusat Studi Terumbu Karang Unhas, 2003, Studi Jaringan Pemasaran Taman Nasional Taka Bonerate. Laporan Akhir . PSTK Unhas. Sulawesi Selatan. Indonesia. Pusat Penelitian Terumbu Karang Unhas, 2004. Pengembangan Daerah Perlindungan Laut di Pulau-Pulau Kota Makassar. Laporan Akhir. Kerjasama Departemen Kelautan den Perikanan Republik Indonesia. Spradley, J. P., 1980. Participant Observation. Holt, Reinhart and Winston, New York. 195 pp. Yayasan Mattirotasi, 2001. Studi Tentang Teknologi Budidaya Laut di Kawasan Taka Bonerate Kabupaten Selayar. Kerjasama LIPI-Coremap. Laporan Akhir. Makassar. Yayasan Konservasi Laut, 2001. Rencana Tata Ruang Kawasan Pesisir Kabupaten Selayar. Kerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Selayar. Laporan Akhir. Benteng - Selayar. Yayasan Scent, 2005. Pola dan Mekanisme Pengelolaan Kemitraan Teluk Bone. Laporan Akhir. Kerjasama Bapedalda Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar.
White, A.T., 1994. Collaborative and Community – Based Management of Coral Reefs: Lessons from Experience. United States of America: Kumarian Press, Inc.
Lampiran 4. Dokumentasi Kegiatan
Gambar 30. Survey PRA
Gambar 31. Situasi Masyarakat Pesisir dan Pulau
Gambar 32. Sarana Transportasi Masyarakat Pesisir dan Pulau