KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang Kabupaten Bintan
Oleh: Laila Nagib Mujiyani Zainal Fatoni
CRITC – LIPI 2007 LIPI
KATA PENGANTAR
COREMAP fase II yang telah dimulai sejak tahun 2004 dan direncanakan akan dilaksanakan sampai dengan tahun 2009 bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara berkesinambungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari berbagai aspek, diantaranya dari aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan akan tercapai peningkatan tutupan karang sebesar 2 persen per tahun, sedangkan dari aspek sosial ekonomi diharapkan terjadi peningkatan pendapatan per-kapita penduduk sebesar 2 persen per tahun. Selain peningkatan pendapatan per-kapita, juga diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan sekitar 10.000 penduduk di lokasi program. Keberhasilan Coremap salah satunya dipengaruhi oleh kesesuaian desain program dengan permasalahan yang ada. Oleh karena itu sangat penting pada masa persiapan melakukan perencanaan program yang didukung oleh data dasar aspek sosial-ekonomi berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya terumbu karang. Selain dipergunakan sebagai masukan-masukan dalam merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu karang ini juga penting untuk melakukan evaluasi keberhasilan program. Untuk mendapatkan data dasar tersebut perlu dilakukan baseline studi sosial ekonomi yang bertujuan untuk mengumpulkan data tentang kondisi sosial-ekonomi, budaya masyarakat di lokasi COREMAP sebelum program berjalan. Hasil baseline studi sosial-ekonomi ini merupakan titik awal (T0) yang menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum program/intervensi COREMAP dilakukan. Buku laporan ini merupakan hasil dari baseline studi sosial-ekonomi yang dilaksanakan di lokasi-lokasi COREMAP di Indonesia Bagian Barat (lokasi Asian Development Bank/ADB). Baseline studi sosialiii
ekonomi dilakukan oleh CRITC - COREMAP bekerjasama dengan tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI (PPK-LIPI) dan beberapa peneliti sosial dari kedeputian IPSK - LIPI. Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku laporan melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti dalam melakukan studi ini. Kepada para informan: masyarakat nelayan, ketua dan pengurus LPSTK dan Pokmas, pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat di lokasi penelitian yaitu Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, kami ucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Kami juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur pengelola COREMAP di tingkat kabupaten: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Unit pelaksana COREMAP di Kabupaten Bintan, CRITC di Kabupaten Bintan dan berbagai pihak yang ada di daerah yang telah membantu memberikan data dan informasi. Pada akhirnya, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, meskipun tim peneliti telah berusaha sebaik mungkin dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan laporan ini. Jakarta, Desember 2007 Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI
Prof. DR. Ono Kurnaen Sumadhiharga, MSc
iv
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................. iii DAFTAR ISI ................................................................................
v
DAFTAR TABEL ........................................................................ vii DAFTAR DIAGRAM..................................................................
ix
DAFTAR BAGAN ......................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN........................................................ 1.1. Latar Belakang ................................................... 1.2. Tujuan ................................................................. 1.3. Sasaran ................................................................ 1.4. Metodologi ..........................................................
1 1 5 6 6
BAB II
PROFIL KAWASAN GUNUNG KIJANG .............. 2.1. Kondisi Geografis................................................ 2.2. Kondisi Sumber Daya Alam................................ 2.3. Sarana dan Prasarana ..........................................
11 11 15 22
BAB III PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT ............ 3.1. Pengetahuan, Sikap dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Penyelamatan Terumbu Karang .......... 3.2. Pemanfaatan Sumber Daya Laut ......................... 3.3. Wilayah Pengelolaan. .......................................... 3.4. Teknologi Penangkapan ...................................... 3.5. Permasalahan Dalam Pengelolaan SDL ..............
29
BAB IV
POTRET PENDUDUK DI KAWASAN GUNUNG KIJANG ................................................................................ 4.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk........................ 4.2. Pendidikan dan Ketrampilan ............................... 4.3. Pekerjaan ............................................................. 4.4. Kesejahteraan Penduduk .....................................
29 43 52 54 57 65 65 67 70 74
v
BAB V
PENDAPATAN ........................................................... 5.1. Pendapatan Rumah Tangga dan Per Kapita......... 5.2. Pendapatan Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan............................................. 5.3. Pendapatan Rumah Tangga dan Kegiatan Kenelayanan ....................................................... 5.4. Sintesa Pendapatan .............................................
85 88 93 97 102
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .................. 111 6.1. Kesimpulan ......................................................... 111 6.2. Rekomendasi ....................................................... 122 DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 125
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Kerusakan Karang Menurut Wilayah dan Kategorisasi Kerusakan...........................................
2
Tabel 3.1. Pengetahuan Responden Tentang Alat Tangkap yang Merusak Terumbu Karang (dalam persen).....
35
Tabel 3.2. Pengetahuan dan Keterlibatan Responden Pada Program SDL dan COREMAP ...............................
42
Tabel 4.1. Distribusi ART (usia 7 tahun ke atas) Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin, Kec. Gunung Kijang, 2007 (Persentase) .
67
Tabel 4.2. Distribusi ART menurut Kegiatan Utama serta Jenis Kelamin, Kawasan Gunung Kijang, 2007 (Persentase) .........................................................
71
Tabel 4.3. Distribusi ART menurut Lapangan, Jenis, dan Status Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin di Kawasan Gunung Kijang, 2007 (Persentase)..........
72
Tabel 4.4. Distribusi ART menurut Lapangan, Jenis, dan Status Pekerjaan Tambahan serta Jenis Kelamin, Kawasan Gunung Kijang, 2007 (Persentase)..........
73
Tabel 4.5. Kepemilikan Aset Produksi (Sarana Tangkap) di Kawasan Gunung Kijang, 2007 ..............................
75
Tabel 4.6. Kepemilikan Aset Produksi (Alat Tangkap) di Kawasan Gunung Kijang, 2007 (N=100)................
76
Tabel 4.7. Kepemilikan Aset Non-Produksi di Kawasan Gunung Kijang, 2007..............................................
77
Tabel 4.8. Kesulitan Keuangan Rumah Tangga dalam Setahun Terakhir di Kawasan Gunung Kijang, 2007.........................................................................
81 vii
Tabel 4.9. Cara Mengatasi Kesulitan Keuangan di Kawasan Gunung Kijang, 2007 .............................................
83
Tabel 5.1. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Menurut Lokasi Penelitian, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007 (Rupiah) ...............
90
Tabel 5.2. Distribusi Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan Dan Lokasi Penelitian Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, 2007 (Persen).
91
Tabel 5.3. Statistik Pendapatan RT Menurut Lapangan Pekerjaan KRT di Lokasi Penelitian, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, 2007 ..............
94
Tabel 5.4. Distribusi RT Menurut Kelompok Pendapatan dan Lapangan Pekerjaan KRT, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, 2007 ...........................
96
Tabel 5.5. Pendapatan Rumah Tangga (dari Kegiatan Kenelayanan), Menurut Musim, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, 2007 (N= 72) .
99
Tabel 5.6. Pendapatan Rumah Tangga (dari Kegiatan Kenelayanan), Menurut Musim, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, 2007 (N= 72) . 100 Tabel 5.7. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim, Kec. Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, 2007 (N = 72) .............. 102
viii
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 3.1. Diagram 3.2. Diagram 3.3. Diagram 3.4. Diagram 4.1. Diagram 5.1.
Pengetahuan responden tentang ‘Terumbu karang sebagai mahluk hidup’..........................
30
Pengetahuan Responden Tentang Jenis Mahluk Hidup dari Terumbu Karang ...............
31
Pengetahuan tentang kegunaan terumbu karang ...............................................................
32
Pendapat responden tentang kondisi terumbu karang ..............................................................
33
Piramida Penduduk di Kawasan Gunung Kijang, 2007 .....................................................
67
Struktur PDRB Kabupaten Bintan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005, Atas Dasar Harga Berlaku...................................................
87
ix
x
DAFTAR BAGAN Bagan 3.1.
Rantai Pemasaran Ketam .....................................
47
Bagan 3.2.
Rantai Pemasaran Ikan Sotong ............................
48
Bagan 3.3.
Rantai Pemasaran Ikan Mati pada Musim Sulit Ikan (Musim Angin Utara) ..................................
50
Pemasaran Ikan Mati pada Musim Banyak Ikan dan Musim Pancaroba..........................................
51
Bagan 3.4.
xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Bintan seperti wilayah lain di Provinsi Kepulauan Riau (KEPRI), merupakan wilayah kepulauan yang kaya akan sumber daya laut, termasuk kekayaan terumbu karang yang juga melimpah. Di wilayah ini terumbu karang tersebar di beberapa gugusan pulau, sehingga merupakan aset pembangunan yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah ini. Tingginya nilai ekosistem terumbu karang (baik secara ekonomis dan ekologis) dapat dilihat dari pemanfaatan terumbu karang sebagai sumber penghasilan masyarakat dan tambahan devisa untuk daerah. Ekosistem terumbu karang menghasilkan ikan-ikan karang yang bernilai ekonomi tinggi, seperti ikan Napoleon, Kerapu dan Sunu. Beberapa jenis ikan karang merupakan komoditi ekspor yang mempunyai jaringan pemasaran luas dan nilai jual yang relative tinggi. Di samping itu, terumbu karang juga merupakan bahan dasar pembuatan obat-obatan dan kosmetika. Gugusan terumbu karang yang sehat dengan berbagai keindahan biota laut di bawah laut juga sangat potensial sebagai objek wisata bahari, yang juga merupakan sumber pendapatan penduduk di sekitarnya. Sedangkan nilai ekologis terumbu karang dapat dilihat dari fungsinya sebagai ‘rumah’ ikan, tempat tumbuh dan berkembang biaknya ikan-ikan karang. Terumbu karang juga berfungsi melindungi pantai dan pulau-pulau kecil dari badai dan ombak besar, sehingga mampu mencegah dan memperlambat terjadinya degradasi pantai. Eksplorasi sumber daya laut (SDL) pada umumnya, di satu sisi memberikan sumbangan devisa bagi negara, terutama dengan kecenderungan semakin meningkatnya permintaan berbagai jenis ikan karang hidup dari negara-negara konsumen. Di sisi lain eksplorasi yang berlebihan dapat berdampak terhadap kerusakan ekologi, 1
terutama apabila pengelolaan SDL menggunakan sarana tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti bom, potas dan pukat harimau (trawl). Kerusakan sumber daya kelautan di Indonesia, khususnya di area kantong-kantong pertumbuhan ekonomi dan padat penduduk telah semakin menjadi-jadi dalam 10 tahun terakhir. Beberapa fakta diantaranya adalah semakin menipisnya hutan mangrove, bertambahnya jumlah perairan yang mengalami over fishing dan meningkatnya destructive fishing seperti penggunaan bom ikan dan sianida. Hasil studi dari Suharsono (2005) menyimpulkan bahwa hanya sekitar 5,4 persen terumbu karang di wilayah barat Indonesia dikategorikan dalam kondisi sangat bagus dan sekitar 40,76 persen telah rusak dengan intensitas tingkat kerusakan yang berbeda antar wilayah (Coremap- LIPI, 2005). Kondisi kerusakan karang secara nasional dan per wilayah selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Kerusakan Karang Menurut Wilayah dan Kategorisasi Kerusakan Wilayah Indonesia Barat Tengah Timur Indonesia
Lokasi Stasiun 278 213 195 686
Sangat baik 5,40 6,10 6,15 5,83
Sumber : Suharsono, 2005 (www.coremap.or.id) Catatan : Sangat baik = 75 – 100% Cukup Baik = 50 – 74,9% Kurang
Baik
Cukup
Kurang
24,10 31,92 21,03 25,66
34,17 45,07 30,77 36,59
36,33 16,30 42,05 31,92
= 25 – 49,9% = 0 -- 24,9%
Kerusakan SDL, khususnya terumbu karang disebabkan oleh banyak faktor yang dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu faktor alami dan ulah manusia (antropogenik). Kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam antara lain terjadinya bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, badai dan ombak yang besar, perubahan iklim dan berbagai jenis penyakit. Sedangkan kerusakan yang berkaitan dengan perilaku manusia, umumnya dipicu oleh berbagai factor seperti 2
kemiskinan, keserakahan manusia dan kurangnya sosialisasi tentang pentingnya pelestarian terumbu karang ( Zaelany dalam Nagib dkk., 2006). Akibatnya banyak kegiatan ekplorasi SDL yang tidak ramah lingkungan, seperti penangkapan biota laut secara terus menerus dan dalam jumlah yang berlebihan (overfishing), penggunaan racun dan bahan peledak serta pengambilan karang dan pasir. Beberapa factor yang juga menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang adalah pembangunan di daerah pesisir yang tak terkendali, penebangan hutan dan tanaman di sepanjang bantalan sungai (Widayatun dan Mujiani, 2005). Hasil penelitian P2O-LIPI terakhir (tahun 2007) tentang baseline ekologi di Kepulauan Riau, bahwa kondisi kesehatan karang untuk wilayah Kecamatan Gunung Kijang (berdasarkan kategori Sukarno 1999), tergolong baik dan cukup. Pengamatan yang dilakukan pada 4 stasiun di perairan Timur Pulau Bintan, menunjukkan bahwa untuk 2 stasiun (KRIL 74 dan KRIL 77) dalam kondisi baik dengan tutupan karang hidup masing-masing 56,27 dan 72,10 persen. Sedangkan pada kedua stasiun lainnya (KRIL 81 dan KRIL 85) dalam kategori cukup dengan tutupan karang hidup 49,20 dan 30,17 persen. Hasil pengamatan sebelumnya oleh LIPI dan CRITC- COREMAP Kabupaten Bintan (2006) menunjukkan kondisi karang dalam kategori sedang. Sebagian besar kerusakan akibat praktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungann seperti pengeboman dan pemakaian jaring dasar, yang dibuktikan dengan banyaknya patahan karang di dekat daerah Teluk Dalam, Desa Malang Rapat. Program COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) merupakan program nasional sebagai upaya pemerintah bekerja sama dengan pihak pemberi dana untuk memperbaiki sumber daya kelautan, khususnya terumbu karang. Tujuan COREMAP pada Tahap II lebih ditekankan pada terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan, agar sumber daya ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola, sehingga nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya di lokasi binaan COREMAP. Untuk mencapai tujuan ini, maka COREMAP menjadikan Pengelolaan Berbasis 3
Masyarakat (PBM) sebagai fokus utama kegiatan dan program. Kegiatan PBM dilaksanakan di tingkat grassroot dengan melibatkan pemerintah daerah, serta keterlibatan langsung nelayan dan masyarakat pesisir. Agar kegiatan PBM dapat berjalan baik, maka perlu didukung oleh komponen lain, yaitu: peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat akan pentingnya pengelolaan terumbu karang (PA), pengawasan dan penegakan hukum (MCS) dan pusat riset, informasi dan training (CRITCS). Untuk wilayah Kabupaten Bintan, lokasi program COREMAP I (tahun 2004) adalah Kecamatan Bintan Timur (sebelumnya termasuk Kabupaten Kepulauan Riau) yang mencakup Desa Mapur dan 4 desa di Kecamatan Tembelan.. Sejak tahun 2005 melalui program COREMAP II, Pemerintah Kabupaten Bintan memperluas daerah binaan yaitu Kecamatan Gunung Kijang yang mencakup Kelurahan Kawal (termasuk daerah pemekaran Desa Gunung Kijang), Desa Teluk Bakau dan Desa Malang Rapat. Sejak pemekaran tahun 2006, Kecamatan Bintan Timur termasuk dalam wilayah Kabupaten Bintan. Studi data dasar social ekonomi (T0) berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang telah dilakukan oleh LIPI pada tahun 2005 di Desa Mapur sebagai wilayah binaan COREMAP I. Sejalan dengan dilaksanakannya program COREMAP II pada tahun 2007, dilakukan juga studi lanjutan di Desa Mapur yang difokuskan pada kajian Benefit Monitoring Evaluation (BME) atau T1. Pada tahun 2007, juga dilakukan studi dasar social ekonomi (T0) di dua lokasi binaan COREMAP yaitu Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang di Kecamatan Gunung Kijang. Studi dasar social ekonomi.ini masih diperlukan untuk mengetahui potensi daerah dan permasalahan yang dihadapi masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang. Studi ini diperlukan sebagai masukan bagi pemerintah daerah dan stakeholder terkait dalam merancang program COREMAP selanjutnya, serta untuk bahan evaluasi keberhasilan program pada tahun-tahun berikutnya. Dengan demikian studi dasar social ekonomi (T0) menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum program / intervensi COREMAP 4
dilakukan, sementara kajian BME (T1) dilakukan, untuk evaluasi setelah dilakukan intervensi program COREMAP di wilayah tersebut. 1.2. Tujuan Secara umum kajian ini bertujuan untuk menyajikan data dasar mengenai kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang, di daerah binaan Coremap di Kabupaten Bintan. Secara khusus tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut: •
Memberikan gambaran umum tentang lokasi COREMAP yang meliputi kondisi geografi, sarana dan prasarana, potensi sumber daya alam khususnya sumber daya laut dan pola pemanfaatannya.
•
Menggambarkan kondisi sumber daya manusia yang dilihat dari pendidikan dan kegiatan ekonominya, khususnya kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang.
•
Memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang diindikasikan antara lain dari pemilikan asset rumah tangga (produksi dan non-produksi), dan kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan.
•
Mendeskripsikan tingkat pendapatan masyarakat, khususnya pendapatan dari kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang
•
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat.
1.3. Sasaran •
Tersedianya data dasar tentang aspek sosial-ekonomi terumbu karang yang dapat dipakai oleh para perencana, pengelola dan
5
pelaksana untuk merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP. •
Tersedianya data pendapatan dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya pada awal program (TO) yang dapat dipakai untuk memantau dampak COREMAP terhadap kesejahteraan penduduk.
1.4. Metodologi Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan beberapa pendekatan studi yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan pengumpulan data primer melalui survei lapangan maupun pemanfaatan data sekunder. Sedangkan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data primer melalui beberapa cara seperti wawancara mendalam, grup diskusi terfokus (FGD) serta pengamatan aspek terkait di lapangan. Seleksi area studi Lokasi kajian merupakan daerah binaan COREMAP, dengan menekankan pada daerah pesisir dan kepulauan yang relative tertinggal dan miskin. Kondisi alam dan kehidupan social ekonomi masyarakat relative homogen, dalam arti mayoritas penduduk mempunyai tingkat ketergantungan tinggi pada pengelolaan sumber daya laut, terutama berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang di wilayahnya. Untuk keperluan survei, dipilih dua lokasi sebagai area sample, dengan memperhatikan keragaman kondisi wilayah. Sebagai upaya efisiensi (waktu, tenaga dan dana), studi ini mengambil sample satu kecamatan yaitu Kecamatan Gunung Kijang dengan dua desa binaan sebagai lokasi kajian yaitu Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang. Pertimbangan lain, meskipun letak kedua desa relatif berjauhan, kedua daerah ini masih dapat dicapai dari Kota Tanjung Pinang, baik karena factor jarak maupun akses transportasi. Di
6
samping pertimbangan tersebut, pilihan kedua daerah binaan juga disarankan oleh pemerintah kabupaten (DKP) dan COREMAP untuk dikaji, karena merupakan sasaran program COREMAP tahun 2007. Kedua desa terpilih mempunyai ketergantungan tinggi pada SDL, kondisi social ekonomi yang relative tertinggal, sebagai desa binaan Coremap dan tersedia akses untuk mencapai lokasi. Meskipun survei memusatkan perhatian pada kedua desa sample, tetapi informasi dan data terkait di tingkat kecamatan dan kabupaten juga mendapat perhatian untuk keperluan analisa yang lebih luas. . Pengumpulan Data Seleksi responden (Rumah Tangga) Data primer dikumpulkan dengan menggunakan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Data kuantitatif diperoleh melalui survei dengan menggunakan teknik interview semi struktural dengan bantuan instrumen kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya. Untuk kedua lokasi sampel dipilih 100 rumah tangga untuk diwawancarai. Pemilihan 100 rumah tangga pada masing-masing lokasi kajian (2 desa) dilakukan dengan kombinasi purpossive dan random sampling, dengan memperhatikan proporsi penduduk pada masing-masing lokasi studi. Data maupun informasi yang dikumpulkan melalui survei meliputi: profil rumah tangga (jumlah anggota rumah tangga, jenis kelamin, umur, pendidikan, status kerja) dan pendapatan rumah tangga dengan memperhatikan perubahan musim dan lapangan kerja yang tersedia. Wawancara dengan menggunakan kuesioner berstruktur, dibantu oleh 10 pewawancara yang berasal dari kedua lokasi studi (masyarakat setempat). Data primer juga dikumpulkan melalui wawancara mendalam (indepth interview), observasi dan FGD (focus group discussion), yang dilakukan oleh tim peneliti dari PPK-LIPI. Wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa informan/stakeholder seperti aparat dari instansi terkait (DKP), Bappeda kabupaten, Pimpinan/staf COREMAP di kabupaten dan lokasi, tokoh formal di tingkat 7
kecamatan dan desa, tokoh informal masyarakat, pimpinan /staf kantor kecamatan dan desa/kelurahan, nelayan serta pedagang/ pengumpul ikan. Instrumen penelitian untuk wawancara mendalam dan FGD berupa matrik panduan wawancara, yang telah disiapkan sebelumnya dan mengalami perkembangan sesuai dengan kondisi lapangan. Panduan wawancara terdiri dari daftar data dan informasi yang penting untuk dikumpulkan berkaitan dengan topik studi. Untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang isu terkait dengan topik studi, peneliti menggunakan teknik probing dan snow balling dalam menggali informasi yang dibutuhkan. Selain data primer, dilakukan pengumpulan data sekunder yang berasal dari BPS dan beberapa instansi terkait dengan studi ini antar lain: Susenas (Survai Sosial Ekonomi Nasional) 2003/2004, Supas (Survei Penduduk Antar Sensus) 2005, Kabupaten Dalam Angka, Kecamatan Dalam Angka dan berbagai dokumen terkait yang tersedia baik di lokasi penelitian maupun lainnya. Problem utama yang ditemui di lapangan, sehubungan dengan pengumpulan data, baik di tingkat kecamatan maupun desa/kelurahan adalah sangat minimnya data statistik terkini yang berkaitan dengan aspek yang dikaji. Analisa data sekunder ini terutama untuk menggambarkan secara makro karakteristik sosio demografi penduduk dan juga menilai tingkat kesejahteraan penduduk baik di tingkat kabupaten maupun tingkat kecamatan. Data atau informasi yang akan dianalisa adalah : profil penduduk (jumlah dan komposisi penduduk, distribusi penduduk, tingkat pendidikan, aktivitas dan status kerja penduduk), pendapatan rumah tangga, pendapatan per kapita, aset rumah tangga dan kondisi perumahan, serta jumlah orang miskin. Permasalahan di lapangan Penghasilan rumah tangga nelayan merupakan sentral isu dari penelitian ini. Pekerjaan sebagai nelayan seperti halnya sektor pertanian pada umumnya, mempunyai penghasilan yang tidak 8
menentu, tergantung musim dan intensitas pengelolaannya. Hal ini seringkali menyulitkan para peneliti dalam memperoleh data yang akurat, baik karena sifat pekerjaannya yang non-formal, maupun minimnya pengertian tentang konsep perhitungan penghasilan untuk komoditi yang non komersial, atau bersifat subsisten yaitu hanya untuk dikonsumsi sendiri/keluarga. Perbedaan persepsi dalam perhitungan penghasilan akan berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh, sehingga menyulitkan pembuat kebijakan dalam menyusun agenda maupun berbagai program untuk komunitas nelayan tersebut. Dalam penelitian ini, pendapatan rumah tangga merupakan kumpulan dari penghasilan semua anggota rumah tangga yang terlibat dalam kegiatan kenelayanan maupun non-nelayan. Secara sederhana pendapatan yang diperoleh rumah tangga dihitung dari perkalian antara jumlah produksi yang dihasilkan rumah tangga dan harga jual rata-rata hasil produksi tersebut, kemudian dikurangi biaya yang dikeluarkan selama proses produksi. Permasalahan timbul karena pendapatan dari nelayan atau petani lain, tidak sama waktu/musimnya sehingga untuk memperoleh data tentang pendapatan sebulan/setahun, perlu ketelitian dalam menghitung hasil produksi selama musim tertentu, dan mengalikan dengan frekuensi panen dalam setahun. Demikian pula persepsi tentang pendapatan bagi nelayan biasanya menganggap pendapatan adalah hasil produksi yang dipasarkan, sedangkan bagi masyarakat subsisten, atau jumlah yang dikonsumsi sendiri tidak dianggap sebagai pendapatn, sehingga perhitungan pendapatan cenderung under reporting. Untuk mendapatkan perkiraan pendapatan rumah tangga yang lebih akurat, perlu ada persamaan persepsi diantara peneliti dan pengumpul data di lapangan dalam hal konsep dan cara perhitungan pendapatan terutama untuk sektor informal yang waktu dan penghasilannya tidak menentu.
9
10
BAB II PROFIL KAWASAN GUNUNG KIJANG
Bagian ini merupakan gambaran umum tentang kondisi daerah penelitian dan sekitarnya di Kecamatan Gunung KIjang. Deskripsi lokasi penelitian dijelaskan melalui tiga aspek, yaitu: kondisi geografis, keadaan sumber daya alam, dan ketersediaan sarana dan prasarana sosial-ekonomi. Aspek pertama tentang kondisi geografis yang meliputi lokasi wilayah penelitian, topografi, aksesibilitas, dan iklim/muslim di wilayah tersebut serta pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat. Aspek kedua tentang potensi sumber daya alam dan sumber daya laut yang dimiliki daerah, termasuk upaya pemanfaatan dan pengelolaannya. Bagian terakhir tulisan ini mendeskripsikan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, ekonomi, transportasi dan komunikasi, serta kelembagaan sosial ekonomi yang terkait dengan pengelolaan sumber daya laut. Pembahasan ketiga aspek di atas meliputi gambaran umum tentang kondisi di Kecamatan Gunung Kijang dan tingkat desa yang menjadi lokasi survai, yaitu Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang.
2.1. Kondisi Geografis Kecamatan Gunung Kijang merupakan salah satu dari 6 kecamatan yang ada di Kabupaten Bintan1. Wilayah Kecamatan ini mencakup 1
Wilayah Kabupaten Bintan mencakup Kecamatan Bintan Utara, Bintan Timur, Teluk Bintan, Gunung Kijang, Teluk Sebong, dan Tambelan. Sebagian besar kecamatan ini memiliki wilayah daratan di Pulau Bintan yang menjadi pusat pemerintahan kabupaten dan provinsi, kecuali wilayah Kecamatan Tambelan yang letaknya terpisah dari daratan Pulau Bintan. Kabupaten Bintan memiliki luas wilayah mencapai 88.038,5 km2, tetapi luas wilayah daratannya hanya sebesar 1.946,1 km2 (2,2 persen) saja. Sebagai daerah kepulauan, Kabupaten Bintan memiliki lebih dari 200 pulau yang tersebar di antara 2000’ Lintang Utara – 1020’ Lintang Selatan dan 1040 – 1080 Bujur Timur, namun hanya 49 pulau diantaranya
11
area daratan dan perairan dengan luas keseluruhan mencapai 4.929,7 km². Meskipun luas wilayah daratan hanya mencapai 503,1 km², namun wilayah daratan Kecamatan Gunung Kijang merupakan wilayah daratan terluas dibandingkan 5 kecamatan lain yang ada di Kabupaten Bintan. Kecamatan ini memiliki sekitar 15 buah pulau, akan tetapi pulau yang dihuni oleh penduduk hanya berada di daratan bagian timur laut Pulau Bintan. Sedangkan beberapa pulau yang menjadi bagian dari wilayah kecamatan ini antara lain Pulau Nikoi, Pulau Beralas Bakau, dan Pulau Beralas Pasir. Pulau Bintan
5 3 4
1 2
Keterangan: 1. 2. 3. 4. 5.
Kota Tanjung Pinang Kijang (pusat Kec. Bintan Timur) Kawal (pusat Kec. Gunung Kijang Desa Gunung Kijang Desa Malang Rapat
Gambar 2.1. Peta Kawasan Gunung Kijang
yang berpenghuni. Pulau-pulau yang relatif besar antara lain adalah Pulau Bintan, Mapur, dan Tambelan.
12
Kecamatan Gunung Kijang meliputi 3 desa dan 1 kelurahan, yaitu Desa Gunung Kijang, Teluk Bakau, Malang Rapat dan Kelurahan Kawal. Secara administratif wilayah Kecamatan Gunung Kijang berbatasan dengan wilayah Kecamatan Teluk Sebong di sebelah utara, Kecamatan Teluk Bintan di sebelah barat, Kecamatan Bintan Timur di selatan, dan Laut Cina Selatan di sebelah timur. Pusat aktivitas ekonomi untuk kawasn ini terletak di Kelurahan Kawal yang berjarak sekitar 20 km dari ibukota kabupaten. Hampir seluruh wilayah desa di kecamatan ini dapat diakses dengan jalan darat beraspal yang menghubungkan wilayah ini dengan ibukota kabupaten. Sementara itu beberapa wilayah yang terletak relatif jauh dari jalan raya sulit diakses, terutama dipengaruhi oleh faktor kondisi jalan dan sarana transportasi umum yang masih terbatas. Kedua desa yang menjadi lokasi survai dalam penelitian ini memiliki karakteristik wilayah yang cukup berbeda. Lokasi Desa Gunung Kijang berada di wilayah paling ujung bagian selatan Kecamatan Gunung Kijang. Secara administratif wilayah desa ini berbatasan dengan wilayah Kelurahan Kawal di sebelah utara, Desa Toapaya (barat), Desa Kelong dan Kelurahan Sei Lekop (selatan), dan Laut Cina Selatan (timur). Desa Gunung Kijang terdiri dari 10 rukun tetangga (RT) atau kampung, diantaranya adalah Kampung Masiran, Tanjung Tangkap, Galang Batang Ulu, Galang Batang Ilir, dan Melayu. Desa Malang Rapat berada di wilayah paling ujung sebelah utara Kecamatan Gunung Kijang. Wilayah desa ini berbatasan langsung dengan wilayah Desa Berakit di sebelah utara, Desa Teluk Bakau (selatan), Desa Toapaya (barat) dan Laut Cina Selatan (timur). Desa ini memiliki satu dusun yang meliputi 3 rukun warga (RW) dan 6 rukun tetangga (RT), diantaranya adalah wilayah Kampe dan Teluk Dalam yang menjadi lokasi survei. Dilihat dari topografinya, kondisi alam Kecamatan Gunung Kijang cukup bervariasi. Daerah di sepanjang pantai timur Pulau Bintan memanjang dari selatan ke utara, mulai dari wilayah pesisir Desa Gunung Kijang, Kelurahan Kawal, Desa Teluk Dalam, sampai ke 13
wilayah pesisir Desa Malang Rapat. Kondisi topografi di daerah pesisir ini umumnya merupakan dataran yang landai dengan ketinggian wilayah hanya sekitar 5 sampai 10 meter di atas permukaan laut. Kondisi topografi pesisir di bagian timur Kecamatan Gunung Kijang ini berbeda dengan kondisi di daerah pedalaman. Daerah pedalaman wilayah kecamatan ini (termasuk di Desa Malang Rapat), umumnya merupakan kawasan perkebunan dan pertanian. Selain perkebunan karet dan kelapa sawit, di beberapa lokasi juga terdapat areal pertanian, terutama untuk komoditi sayur-sayuran. Sementara itu topografi daerah berbukit-bukit dapat dijumpai di beberapa wilayah, terutama di kawasan hutan lindung yang terletak di Desa Gunung Kijang. Daerah di sekitar kawasan hutan lindung ini menjadi area penambangan bahan galian yang memang menjadi salah satu potensi yang dimiliki daerah ini, seperti bahan galian pasir, batu granit dan bauksit. Sebagaimana wilayah-wilayah lain yang ada di Pulau Bintan, Kecamatan Gunung Kijang beriklim tropis dengan temperatur ratarata antara 23,9 dan 31,8 derajat celcius dengan kelembaban udara sekitar 85 persen (BPS Kabupaten Bintan, 2006). Masyarakat di kecamatan ini mengenal dua musim, yaitu musim penghujan dan kemarau. Musim hujan di wilayah ini berlangsung lebih lama, ditandai dengan curah hujan yang hampir terjadi sepanjang tahun. Hal ini memberikan keuntungan bagi penyediaan air untuk keperluan sehari-hari masyarakat di wilayah ini. Sedangkan musim kemarau umumnya berlangsung pada bulan Juli dan Agustus. Kedaan cuaca di wilayah Kecamatan Gunung Kijang dipengaruhi oleh angin utara, timur, barat, dan selatan. Musim angin utara umumnya berlangsung antara bulan November dan Maret. Musim ini ditandai dengan angin yang sangat kencang dan gelombang laut yang besar, terutama pada bulan Desember dan Januari. Pada bulan ini angin dan gelombang yang cukup besar dapat merusak perahu nelayan serta bagian-bagian rumah yang ada di sepanjang pesisir pantai. Nelayan pada musim ini juga sulit untuk pergi melaut 14
dikarenakan perahu dan alat tangkap mereka tidak mampu melawan kuatnya angin dan gelombang. Pada musim ini nelayan umumnya hanya melaut di sekitar pesisir pantai. Sedangkan bagi mereka yang memiliki perahu dan alat tangkap yang lebih memadai, musim ini mendatangkan keuntungan sendiri karena bersamaan waktunya dengan musim ikan tenggiri yang harganya relatif mahal. Pada musim ini nelayan juga dapat melaut pada waktu angin kelihatan teduh pada jarak sampai dengan 4 mil dari garis pantai. Musim angin timur umumnya berlangsung antara bulan Maret dan Mei, sedangkan musim angin barat berlangsung antara bulan Juni dan Agustus/September. Keadaan cuaca pada kedua musim ini cukup teduh karena angin bertiup tidak terlalu kencang. Hal ini memungkinkan nelayan untuk pergi melaut setiap hari dengan jangkauan wilayah yang lebih luas dan menggunakan berbagai jenis alat tangkap. Sedangkan musim angin selatan berlangsung antara bulan September dan November yang ditandai dengan kondisi air laut yang lebih keruh. Masa ini merupakan masa peralihan dari musim teduh ke musim gelombang kuat, yang biasa dikenal dengan musim pancaroba.
2.2. Kondisi Sumber Daya Alam Sebagai daerah kepulauan dengan wilayah perairan yang jauh lebih luas, daerah-daerah di Kabupaten Bintan memiliki sumber daya perairan yang berpotensi untuk terus dikembangkan. Selain itu wilayah daratan Pulau Bintan ternyata juga memiliki berbagai potensi sumber daya alam yang potensial mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat di wilayah tersebut, apabila dikelola dengan baik dan berkesinambungan. Pada bagian ini uraian tentang kondisi sumber daya alam yang meliputi potensi sumber daya alam di darat dan potensi sumber daya alam di laut, baik di tingkat Kecamatan Gunung Kijang maupun di tingkat Desa (Malang Rapat dan Gunung Kijang).
15
Sumber Daya Alam (Darat) Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Kecamatan Gunung Kijang memiliki wilayah terluas dibandingkan kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Bintan. Kecamatan ini juga memiliki kawasan hutan lindung seluas 760 Km2 yang terletak di Desa Gunung Kijang. Sebagaimanana telah disebutkan sebelumnya, daerah sekitar kawasan hutan lindung di Desa Gunung Kijang ini memiliki potensi di sektor pertambangan. Sampai saat ini terdapat beberapa perusahaan penambangan bahan galian yang masih beroperasi, antara lain usaha penambangan pasir dan batu granit. Usaha lain yang terdapat di desa ini antara lain industri pembuatan batu bata merah, industri pemecah batu dan industri pembuatan bahan bangunan (beton). Industriindustri tersebut telah beroperasi di wilayah ini sejak beberapa puluh tahun terakhir, dengan menempati lahan yang kebanyakan milik penduduk setempat yang telah dijual ke pengusaha. Kegiatan penambangan pasir dan bahan galian lainnya telah lama beroperasi di daerah ini, selain untuk memenuhi kebutuhan lokal, juga untuk keperluan ekspor ke negara tetangga2. Pengerukan pasir di daerah ini umumnya kurang diimbangi dengan upaya pelestarian lingkungan dan reklamasi di area penambangan tersebut. Di beberapa wilayah desa di wilayah ini dengan mudah dapat dilihat lahan yang terbuka lebar dan dalam, bekas-bekas area penambangan pasir yang ditinggalkan oleh pengelola, setelah selesai beroperasi. Area yang sebelumnya merupakan daerah hutan atau tegalan yang ditumbuhi semak belukar, kini berubah menjadi daerah kering dan tandus, atau menjadi daerah dengan genangan air seperti ’danau-danau’ kecil. Hal 2
Industri penambangan pasir telah beroperasi di daerah ini puluhan tahun terakhir dan semakin meningkat aktivitasnya sampai adanya peraturan nasional yang melarang ekspor pasir darat yang berlaku awal tahun 2007 ini. Kebijakan ini memerlukan pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya, karena ditengarai kegiatan ekspor pasir ini tetap dapat berlangsung secara ilegal. Pengangkutan pasir ekspor biasanya dilakukan dengan menggunakan tongkang melalui pelabuhanpelabuhan darat kecil (jeti) dengan luas minimal satu hektar yang umumnya dimiliki setiap perusahaan yang beroperasi (www.kompas.com/kompascetak/0703/17/Fokus/3393394).
16
ini berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan di wilayah tersebut, karena untuk memfungsikan kembali lahan tersebut terkendala dengan status tanah yang telah berganti pemilik dan kebanyakan tidak tinggal di wilayah tersebut.
Gambar 2.2. Salah satu areal bekas penambangan pasir di Desa Gunung Kijang
Selain memiliki potensi di sektor pertambangan bahan galian, di pesisir Desa Gunung Kijang memiliki potensi sektor perkebunan kelapa. Namun demikian usaha pengembangan sektor ini mengalami kemunduran, karena selain areal lahan perkebunannya semakin sempit, juga karena tanaman kelapa yang dimiliki penduduk semakin tua dan tidak terawat, sehingga tidak produktif lagi. Kondisi serupa juga dapat dijumpai di Desa Malang Rapat yang memiliki tanaman kelapa di sepanjang pesisir. Usaha perkebunan kelapa di wilayah ini masih potensial untuk dikembangkan, sehingga diharapkan dapat mendukung kegiatan perekonomian penduduk di wilayah tersebut. Selama ini pemanfaatan lahan pertanian di desa ini masih terbatas pada usaha perkebunan kelapa, terutama untuk daerahdaerah landai di sepanjang pesisir pantai. Namun sebagai usaha turun menurun, perkebunan kelapa kurang terawat, dan tidak diimbangi dengan proses peremajaan pohon yang berkesinambungan, sehingga menjadi kurang produktif. Selain itu, perkembangan usaha ini juga 17
menghadapi kendala karena semakin terbatasnya lahan yang dimiliki oleh penduduk 3 , sehingga mengurangi potensi sumber penghasilan masyarakat dari sektor tersebut. Potensi lainnya di wilayah pedalaman Desa Malang Rapat adalah pengembangan lahan pertanian untuk tanaman pangan dan buahbuahan. Akhir-akhir ini sebagian penduduk (terutama pendatang dari Jawa) telah mulai mengembangkan usaha tanaman ini, meskipun masih terbatas luas dan jenis tanamannya (CRITCS COREMAP Kabupaten Bintan, 2006). Hasil pertanian ini selain dapat memenuhi kebutuhan pangan di lokasi yang selama ini tergantung pasokan dari luar, juga dapat menambah pendapatan penduduk.
Gambar 2.3. Areal Perkebunan Kelapa di Pesisir Desa Malang Rapat
3
Fenomena semakin terbatasnya lahan yang dimiliki penduduk di lokasi penelitian telah berlangsung sejak lama. Banyak penduduk yang sebelumnya memiliki tanah yang luas, tetapi telah menjual tanah-tanah mereka kepada pihak lain, dan hanya menyisakan sebagian kecil tanah-tanah tersebut untuk tempat tinggal mereka. Banyak tanah-tanah kosong di sepanjang pesisir Desa Malang Rapat yang sebelumnya dimiliki oleh penduduk setempat, kini telah dijual kepada pihak lain. Hal yang sama terjadi di Desa Gunung Kijang, lahan yang dulu milik penduduk kini dijual dan dimanfaatkan untuk usaha perkebunan, pertambangan, atau pengembangan sektor pariwisata.
18
Pariwisata merupakan sektor yang sangat potensial untuk dikembangkan di Kecamatan Gunung Kijang, khususnya wisata pantai di sepanjang Pantai Trikora di Desa Malang Rapat. Hal ini didukung dengan lokasi kawasan Pantai Trikora4 yang hanya berjarak sekitar 45 kilometer dari Kota Tanjung Pinang dengan waktu tempuh 1 sampai 1,5 jam. Keberadaan wisata pantai ini juga telah meningkatkan dinamika ekonomi di wilayah ini dengan telah beroperasinya berbagai resort di sepanjang jalan ke arah pantai tersebut, maraknya pedagang kaki lima di sepanjang pantai, terutama waktu sore hari. Di beberapa wilayah lain, seperti di Desa Gunung Kijang, juga mulai muncul beberapa cottage atau pondok wisata yang semakin banyak dikunjungi wisatawan mancanegara terutama dari negara tetangga. Beberapa resort tersebut umumnya dimiliki oleh pengusaha asing (antara lain dari Singapore) dengan membeli lahan milik masyarakat. Sedangkan peran lainnya dari masyarakat setempat masih sangat terbatas dalam pengembangan kegiatan pariwisata di wilayah ini. Beberapa orang terlibat sebagai tenaga bangunan atau penjaga resort/cottage tersebut. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah setempat, agar pengembangan wisata pantai berbasis masyarakat, sehingga dapat menjadi alternatif sumber mata pencaharian bagi penduduk di sekitarnya. Selama ini keberadaan berbagai penginapan dan resort mampu menarik wisatawan asing untuk berkunjung, namun belum banyak memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya.
4
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemerintah Kabupaten Bintan juga telah mengidentifikasi potensi kawasan Pantai Trikora untuk dikembangkan sebagai daerah pariwisata. Kawasan pantai ini diharapkan dapat berkembang seperti kawasan Lagoi di Kecamatan Teluk Sebong. Daerah seluas 23.000 hektar ini telah berkembang menjadi daerah tujuan pariwisata internasional dan telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan sarana yang memadai. Berbeda dengan pengembangan kawasan Lagoi yang ditujukan bagi turis asing (jarang atau hampir tidak ada turis lokal yang berkunjung ke kawasan ini), pengembangan kawasan Pantai Trikora nantinya diharapkan dapat juga dimanfaatkan untuk turis domestik.
19
Potensi Sumber Daya Laut Sumber daya wilayah perairan Kecamatan Gunung Kijang cukup beragam, antara lain berupa hutan mangrove, terumbu karang dan berbagai hasil perikanan tangkap. Pada saat penelitian dilakukan hutan mangrove di Kecamatan Gunung Kijang yang masih relatif lebat hanya ditemukan di daerah pantai Kampung Masiran di Desa Gunung Kijang. Menurut penuturan salah seorang informan, luas hutan mangrove terus mengalami penurunan, yaitu terutama ketika industri arang masih beroperasi di wilayah tersebut. Banyak penduduk yang menebang batang-batang mangrove di wilayah tersebut untuk memenuhi keperluan industri tersebut.
Gambar 2.4. Mangrove di Daerah Pesisir Desa Gunung Kijang
Sumber daya perairan yang penting lainnya adalah terumbu karang, . yang terdapat di sepanjang pantai di wilayah kecamatan. Kondisi terumbu karang pada saat ini telah mengalami kerusakan, akibat berbagai faktor, alam maupun ulah manusia. Menurut survai tentang kondisi terumbu karang yang dilakukan oleh Critc Coremap Kabupaten Bintan pada tahun 2006 lalu, rata-rata tutupan karang hidup di 11 titik yang diamati, termasuk dalam kategori sedang yaitu 32,05 persen. Sedangkan rata-rata karang mati mencapai 30,91 persen. Kondisi karang yang rusak atau mati diyakini disebabkan oleh 20
ulah manusia, antara lain akibat penggunaan bom dan jaring dasar untuk menangkap ikan yang dilakukan oleh nelayan. Hal ini antara lain dibuktikan dengan adanya patahan karang yang banyak dijumpai antara lain di daerah Teluk Dalam, Desa Malang Rapat (CRITCS COREMAP Kabupaten Bintan, 2006). Sumber daya laut lainnya yang berpotensi untuk dikembangkan adalah sektor perikanan tangkap. Saat ini, perikanan tangkap yang dilakukan penduduk masih bersifat tradisional, sehingga hasil penangkapan relatif sedikit. Hasil penangkapan ikan penduduk desa setempat, berbeda jauh dengan hasil nelayan dari luar wilayah yang menggunakan alat-alat yang lebih canggih. Penurunan hasil tangkapan yang dirasakan oleh para nelayan juga disebabkan jumlah nelayan yang semakin meningkat di perairan kecamatan ini, terutama nelayan dari luar wilayah tersebut. Saat ini perairan desa tidak hanya merupakan wilayah tangkap penduduk setempat, akan tetapi juga merupakan wilayah tangkap penduduk desa-desa lainnya. Meskipun sektor perikanan tangkap masih potensial untuk terus dikembangkan, tetapi kuantitas ikan tangkap di lokasi penelitian menurut beberapa informan telah mengalami penurunan produksi. Penurunan ini disebabkan antara lain oleh cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan di waktu sebelumnya, seperti penggunaan bom dan racun. Kini cara-cara penangkapan ikan dengan penggunaan bom dan racun sudah mulai berkurang, Menurut penuturan beberapa nelayan, pada umumnya pengguna bom dan racun dilakukan oleh nelayan dari pulau lain. Sumber daya laut (SDL) yang menjadi unggulan penduduk desa masih terbatas pada hasil tangkapan ikan hidup dan mati., antara lain ikan kerapu, tenggiri, pari, sagai (putih) udang, cumi/sotong dan ketam/kepiting. Usaha budi daya sektor perikanan belum banyak dikembangkan di daerah penelitian, meskipun cukup potensial untuk budi daya kepiting bakau. Di beberapa kampung wilayah Desa Gunung Kijang, beberapa nelayan telah melakukannyaa secara tradisional, tetapi belum ada nelayan setempat yang mengembangkan usaha ini. 21
2.3. Sarana dan Prasarana Kemajuan pembangunan suatu daerah dapat dilihat antara lain melalui ketersediaan berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan dan dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat di daerah tersebut. Bagian ini merupakan deskripsi tentang berbagai sarana dan prasarana sosial ekonomi yang terdapat di Kecamatan Gunung Kijang, khususnya di lokasi penelitian. Sarana Pendidikan dan Kesehatan Sarana pendidikan di Kecamatan Gunung Kijang relatif terbatas, yaitu sekolah dasar (SD) sebanyak 14 buah, yang umumnya terletak di sepanjang jalan utama yang melewati desa-desa di kecamatan ini. Sarana pendidikan menengah (SMP) berjumlah 3 buah, terdiri dari 2 sekolah umum dan 1 sekolah agama (MTs) dan sekolah menengah tingkat atas (SMA) hanya satu buah. Kendala utama untuk memanfaatkan sarana tersebut adalah terbatasnya akses terutama bagi penduduk yang tinggal relatif jauh dari jalan utama yang menghubungkan desa-desa di Kecamatan Gunung Kijang dengan ibukota kabupaten. Sebagai contoh, di Desa Gunung Kijang hanya terdapat sebuah SD negeri yang lokasinya agak jauh dari beberapa RT/kampung yang letaknya berjauhan. Dengan kondisi geografis dan jalan yang kurang memadai, serta tidak memiliki transportasi umum, perbedaan akses yang dimiliki warga untuk memanfaatkan sarana pendidikan tersebut, menjadi hambatan untuk pencapaian Wajar 9 tahun. Masyarakat di desa ini umumnya tinggal mengelompok dengan jarak antar kampung yang relatif berjauhan, dan kurang didukung sarana jalan yang memadai, karena sebagian jalan desa masih berupa jalan tanah yang belum diaspal. Kondisi jalan semakin memprihatinkan karena banyaknya beban berat kendaraan proyek milik perusahaan pertambangan yang banyak beroperasi di wilayah ini.
22
Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, biasanya penduduk pergi ke Kawal atau tempat lain yang jarak dan waktu tempuhnya lebih lama. Penduduk yang tinggal di sekitar jalan raya, akses ke kota lebih mudah karena dapat menumpang kendaraan perusahaan yang beroperasi setiap hari. Kondisi yang berbeda dialami masyarakat di Desa Malang Rapat, khususnya Dusun Kampe yang lokasinya di pnggir jalan berasapal, anak-anak sekolah mendapat kemudahan karena dapat memanfaatkan bus sekolah yang disediakan secara gratis oleh Pemerintah Daerah. Keberadaan sarana angkutan ini cukup membantu, terutama bagi mereka yang harus pergi ke tempat lain untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP dan SMA. Sarana kesehatan yang tersedia di kecamatan ini adalah sebuah puskesmas dengan seorang tenaga dokter umum dan beberapa tenaga paramedis. Selain puskesmas, pelayanan kesehatan di tingkat desa juga didukung dengan keberadaan puskesmas pembantu (pustu) dan pos pelayanan terpadu (posyandu). Selain sarana kesehatan tersebut, penduduk juga masih dapat mengakses sarana kesehatan lain seperti rumah sakit, klinik dan tempat praktek dokter yang tersedia di pusat kabupaten, dan di Tanjung Pinang.
Gambar 2.5. Posyandu di Desa Gunung Kijang, juga untuk Kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
23
Sarana Ekonomi Salah satu sarana ekonomi yang penting bagi masyarakat adalah keberadaan pasar. Aktifitas ekonomi masyarakat Kecamatan Gunung Kijang masih terpusat di Kota Kawal. Selain pasar, di kelurahan ini juga terdapat beberapa pusat pertokoan yang menyediakan berbagai barang kebutuhan sehari-hari masyarakat. Bagi penduduk di Desa Gunung Kijang, mereka juga memiliki alternatif untuk pergi ke Kijang (ibukota Kecamatan Bintan Timur) yang jaraknya relatif hampir sama dengan ke Kawal. Dalam kurun waktu tertentu, masyarakat yang relatif mampu biasanya juga pergi ke Tanjung Pinang untuk berbelanja barang-barang yang tidak tersedia di Kawal maupun Kijang. Di Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang, sarana untuk melakukan kegiatan ekonomi masih sangat terbatas. Di lokasi kajian, belum tersedia pasar untuk transaksi jual beli. Sarana ekonomi masih terbatas pada keberadaan beberapa warung sederhana atau pedagang keliling yang kadang-kadang datang ke desa. Demikian pula sarana untuk kegiatan jual beli hasil kegiatan kenelayanan, seperti tempat pelelangan ikan (TPI), sampai saat ini belum tersedia di Kecamatan Gunung Kijang. Sarana penunjang kegiatan kenelayanan yang tersedia berupa dermaga-dermaga kecil yang dipergunakan untuk menambatkan perahu nelayan dan mendaratkan ikan. Di Kelurahan Kawal terdapat sebuah dermaga yang relatif besar, sedangkan di Desa Malang Rapat terdapat 3 buah dermaga kecil. Hasil tangkapan ikan selanjutnya ditampung di tempat pedagang pengumpul (Taoke) atau langsung diangkut ke Kawal atau tempat lain (Kijang atau Tanjung Pinang) untuk dipasarkan. Nelayan di Desa Malang Rapat pada umumnya terutama yang tinggal dekat dengan jalan raya memperoleh kemudahan dalam pemasaran hasil produksi, karena keberadaan jalan darat yang cukup memadai di sepanjang pantai Desa Malang Rapat, Teluk Bakau, dan Kawal. Untuk mobilitas antara daerah atau memasarkan hasil produksi, masyarakat dapat menggunakan kendaraan sendiri atau menumpang kendaraan lain yang banyak berlalu lalang di jalan tersebut. 24
Sedangkan penduduk di Desa Gunung Kijang lebih terbatas akses transportasinya, sehingga harus menggunakan kendaraan sendiri untuk mengangkut hasil tangkapan mereka ke penampung atau lokasi pemasaran. Sarana lain yang mendukung kegiatan kenelayanan di Kecamatan Gunung Kijang adalah tersdedianya stasiun pengisian bahan bakar milik Pertamina, antara lain di dekat kantor Desa Malang Rapat. Fasilitas ini selain banyak membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan bahan bakar alat transportasi darat, juga sangat membantu para nelayan memenuhi kebutuhan bakan bakar untuk perahu motornya. Sarana Transportasi dan Komunikasi Wilayah daratan Kecamatan Gunung Kijang merupakan bagian dari Pulau Bintan, yang sekaligus juga menjadi bagian dari ibukota kabuputen, mempunyai akses ke Kota Tanjung Pinang dan Provinsi Kepulauan Riau. Berkaitan dengan sarana transportasi darat, fasilitas jalan beraspal di Pulau Bintan umumnya telah menjangkau sebagian besar kecamatan dan desa di wilayah ini, termasuk dengan wilayah Kecamatan Gunung Kijang. Hal ini juga didukung dengan keberadaan berbagai angkutan umum maupun kendaraan sewa yang relatif memadai dan biaya yang cukup terjangkau. Namun demikian angkutan umum dari Tanjung Pinang ke Kecamatan Gunung Kijang hanya beroperasi pada jam-jam tertentu, dan hanya melayani rute sampai ke Kota Kawal yang menjadi pusat aktivitas di kecamatan tersebut. Transportasi dari Kawal ke desa-desa di sekitarnya seperti Malang Rapat dan Teluk Bakau, harus menyewa kendaraan bermotor atau memakai jasa ojek.
25
Gambar 2.6. Kondisi Jalan di Desa Malang Rapat (kiri) dan Desa Gunung Kijang (kanan)
Kondisi yang lebih sulit apabila harus melanjutkan perjalanan kampung-kampung di Desa Gunung Kijang. Selain kondisi jalan yang belum memadai (masih banyak jalan tanah), lokasi kampung juga berjauhan, penduduk banyak mengelompok di dalam kebun yang lokasinya agak ke dalam dari jalan beraspal. Hal ini berpengaruh terhadap langkanya fasilitas angkutan umum yang melalui rute ke desa ini, meskipun secara geografis letak wilayah desa ini lebih dekat ke arah Tanjung Pinang, dibandingkan desa-desa lainnya di Kecamatan Gunung Kijang. Masyarakat umumnya menggunakan kendaraan motor sendiri atau menumpang kendaraan lain untuk mobilitas ke luar wilayah desa ini. Sumber informasi yang banyak digunakan masyarakat Kecamatan Gunung Kijang adalah televisi dan radio lokal, meskipun untuk jangka waktu yang relatif terbatas, tergantung fasilitas PLN ke wilayah tersebut. Fasilitas listrik PLN belum dinikmati oleh semua penduduk desa, karena baru menjangkau wilayah-wilayah tertentu di kecamatan ini. Demikian pula di Desa Malang Rapat, jangkauan fasiltas listrik terbatas di sepanjang jalan utama dan pusat Desa Malang Rapat, belum sampai ke kampung yang relatif jauh dari pusat seperti Dusun Kampe yang berbatasan dengan desa di wilayah kecamatan lain. Demikian juga untuk sebagian besar kampung yang 26
ada di Desa Gunung Kijang, belum memperoleh fasilitas listrik PLN. Salah satu sebab belum meratanya fasilitas listrik di Kecamatan Gunung Kijang, karena wilayah desa yang cukup luas dengan jarak antar kampung yang relatif jauh. Meskipun banyak usulan pengadaan listrik PLN oleh kampung/desa, tetapi sampai sekarang masih banyak wilayah yang belum terpenuhi. Bagi daerah yang belum memperoleh fasilitas listrik PLN, masyarakat harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk memenuhi kebutuhan listrik sendiri, misal bagi yang relatif mampu dengan menggunakan mesin genset untuk keperluan penerangan dan aktivitas lainnya. Untuk menghemat biaya, biasanya penggunaan mesin genset dibatasi waktunya pada sore dan malam hari (pukul 17.00-22.00). Sedangkan bagi masyarakat yang kurang beruntung, cukup menggunakan pelita yang biayanya relatif murah. Keterbatasan fasilitas penerangan yang dialami di beberapa wilayah seperti Kampung Masiran dan Kampung Galang Batang Ilir (Desa Gunung Kijang) dan Kampung Kampe (Desa Malang Rapat), berpengaruh terhadap aktivitas warga, seperti kebutuhan penerangan untuk keluarga dan kegiatan belajar anak sekolah, akses hiburan dari televisi dan radio. Dengan mesin genset, waktunya terbatas dan biayanya relatif mahal. Media informasi berupa surat kabar hanya dapat diakses terutama di pusat kabupaten dan kecamatan. Di tingkat desa, masyarakat umumnya belum terbiasa mengakses kedua sumber informasi. Demikian pula sarana telepon kabel juga belum menjangkau seluruh wilayah. Dengan kemajuan teknologi, sebagian masyarakat desa berusaha memiliki sarana telepon genggam (mobile phone) untuk memenuhi kebutuhan komunikasi dengan pihak lain. Wilayah daratan Kecamatan Gunung Kijang mempunyai akses jalan menuju pusat kabupaten dan Tanjung Pinang, melalui sarana transportasi perairan yang sangat terbatas. Penduduk setempat pada umumnya menggunakan kapal nelayan untuk mobilitas ke pulaupulau kecil di sekitar wilayah kecamatan ini. Sedangkan untuk bepergian ke daerah-daerah lain di luar kabupaten, seperti Kota Batam, masyarakat dapat memanfaatkan akses jalan darat ke Tanjung 27
Pinang, kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan fasilitas kapal ferry. Kelembagaan Sosial-Ekonomi dan pengelolaan SDL Kelembagaan sosial di daerah penelitian belum banyak berkembang, kecuali kelembagaan sosial yang berkaitan dengan struktur administrasi pemerintahan desa. Di tingkat desa, terdapat kelembagaan sosial seperti Badan Perencana Desa (BPD) yang belum berfungsi secara optimal, dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang operasionalnya sampai ke tingkat desa. Di Desa Gunung Kijang program ini antara lain berupa pinjaman dana bergulir kepada kelompok nelayan dan kelompok wanita tani. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut dapat mengajukan pinjaman kepada pimpinan desa, untuk selanjutnya dilakukan verifikasi terhadap kelayakan usaha yang dilakukan oleh masing-masing kelompok. Kelembagaan sosial yang bersifat informal mempunyai kegiatan antara lain arisan simpan pinjam yang di kelola beberapa nelayan di Kampung Masiran dan Kampung Galang Batang Ilir, Desa Gunung Kijang. Kegiatan arisan antara nelayan-nelayan di kedua kampung ini dilakukan secara bergantian tempatnya, di Kampung Masiran dan di Kampung Galang Batang Ilir. Kegiatan arisan selama ini cukup membantu para nelayan, terutama bagi nelayan yang mengalami kesulitan keuangan atau membutuhkan bantuan modal.
28
BAB III PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT . Pengelolaan sumber daya laut merupakan hal yang penting dalam program penyelamatan terumbu karang. Melalui pengelolaan yang optimal, dengan memperhatikan keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi, keberlanjutan sumber daya laut yang merupakan sumber penghidupan masyarakat akan terjaga. Bab ini akan menguraikan aspek yang terkait dengan pengelolaan sumber daya laut yaitu pengetahuan, sikap dan kepedulian masyarakat terhadap terumbu karang. Selanjutnya tentang pemanfaatan sumber daya laut termasuk produksi, pemasaran dan pengelolaan pascapanen, wilayah pengelolaan, teknologi yang digunakan dan terakhir tentang permasalahan dalam pengelolaan SDL baik internal maupun eksternal. 3.1. Pengetahuan, Sikap dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Penyelamatan Terumbu Karang Pengetahuan tentang terumbu karang Pengetahuan merupakan dasar untuk melakukan tindakan yang benar. Dalam konteks pelestarian terumbu karang, pengetahuan tentang terumbu karang sangat diperlukan bagi stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan tersebut. Stakeholders utama yang terlibat adalah nelayan dan masyarakat yang tinggal disekitarnya, karena mereka ini yang selalu berinteraksi dengan laut. Dengan pengetahuan yang memadai diharapkan nelayan dan masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam menjaga terumbu karang dari tindakan yang merusak sehingga dapat berkelanjutan untuk digunakan bagi generasi selanjutnya.
29
Pengetahuan responden berkaitan dengan terumbu karang bervariasi (Diagram 3.1). Sebagian besar responden pada penelitian ini (83 persen) mengetahui bahwa ’terumbu karang merupakan mahluk hidup’, Kondisi ini cukup menggembirakan karena pengetahuan ini dapat menjadi dasar dalam tindakan untuk tetap memelihara terumbu karang, dan mempertahankan supaya tetap hidup, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan di wilayah tersebut. Diagram 3.1. Pengetahuan Responden tentang ‘Terumbu Karang sebagai Mahluk Hidup’
12% 5%
83%
Ya
Tidak
Tidak tahu
Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007
Pengetahuan selanjutnya berkaitan dengan terumbu karang termasuk dalam jenis tumbuh-tumbuhan atau hewan. Untuk pertanyaan ini, sebagian besar responden tidak mengetahui bahwa terumbu karang termasuk jenis hewan. Sebagian besar (70 persen) responden menyatakan jawaban yang salah yaitu ‘terumbu karang termasuk dalam kategori tumbuh tumbuhan’. Sedangkan untuk jawaban ‘merupakan jenis hewan’ hanya sekitar 5 persen, selebihnya 30
berpendapat termasuk dalam kedua jenis (hewan dan tumbuhtumbuhan) dan tidak tahu. Ketidaktahuan ini perlu mendapatkan perhatian karena akan berpengaruh terhadap cara pemeliharaannya. Oleh karena sebagian besar responden mengatakan terumbu karang sebagai tumbuh-tumbuhan, kemungkinan masyarakat akan memperlakukan terumbu karang sebagai tumbuh-tumbuhan yang tentunya berbeda perlakuannya apabila mereka mengetahui terumbu karang termasuk jenis makhluk hewan. Diagram 3.2. Pengetahuan Responden tentang Jenis Mahluk Hidup dari Terumbu Karang
Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007
Pengetahuan yang penting adalah tentang kegunaan terumbu karang. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa sebagian besar responden (97 persen) mengetahui kegunaan terumbu karang yaitu sebagai tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan. Demikian pula pengetahuan responden tentang kegunaan terumbu karang lainnya seperti melindungi keragaman ikan/biota laut (keanekaragaman hayati) dan melindungi pantai dari ombak dan badai juga tinggi masing–masing mempunyai persentase 96 dan 86. Pengetahuan 31
responden tentang kegunaan terumbu karang ini diperoleh dari hasil interaksi keseharian nelayan dengan laut terutama dengan terumbu karang. Menurut para nelayan, di wilayah yang terumbu karangnya masih bagus, ditemukan berbagai macam biota laut dalam jumlah yang banyak. Sedangkan pengetahuan tentang kegunaan terumbu karang yang sifatnya ekonomis seperti sebagai sumber bahan baku untuk obat, fondasi rumah dan lainnya serta sumber pendapatan masyarakat dan tempat wisata hanya diketahui oleh sebagian masyrakat masingmasing 63, 68 dan 53 persen. Meskipun daerah ini merupakan daerah wisata yang berbasis kelautan, masyarakat kurang mengetahui bahwa terumbu karang berguna untuk sasaran tempat wisata. Kondisi ini kemungkinan karena masyarakat kurang dilibatkan dalam kegiatan wisata tersebut, sehingga pengetahuan masyarakat terbatas. Diagram 3.3. Pengetahuan tentang Kegunaan Terumbu Karang
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Tempat ikan Melindungi Melindungi Sumber Sumber hidup/btelur keragaman pantai dr bahan baku pendpatan omb masy
Tempat wisata
Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007
32
Pendapat tentang kondisi terumbu karang sangat beragam. Persentase tertinggi terlihat pada responden yang berpendapat terumbu karang dalam kondisi rusak dan kurang baik, masing-masing 31 dan 26 persen. Meskipun demikian, responden yang berpendapat terumbu karang dalam kondisi baik masih cukup tinggi (sekitar 25 persen) Selebihnya berpendapat ’tidak tahu’ dan ’terumbu karang dalam kondisi sangat rusak’. Pandangan responden yang beragam terhadap kondisi terumbu karang kemungkinan akan berdampak terhadap pengelolaan selanjutnya. Diagram 3.4. Pendapat responden tentang kondisi terumbu karang 35 30 25 20 15 10 5 0 Baik
Kurang baik
Rus ak
Sangat rusak
Tidak tahu
Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007
Meskipun pendapat responden tentang kondisi terumbu karang beragam, tetapi sikap responden terhadap perbaikan terumbu karang sangat positif. Sebagian besar responden (90 persen) mengungkapkan bahwa kondisi terumbu karang perlu diperbaiki. Responden yang mengatakan kondisi terumbu karang tidak perlu diperbaiki sangat terbatas yaitu hanya 3 persen, sedangkan 7 persen lainnya tidak tahu.
33
Pernyataan responden ini akan menjadi modal yang potensial untuk mendorong program penyelamatan terumbu karang. Pertanyaan selanjutnya berkaitan dengan pengetahuan dan sikap terhadap alat tangkap yang merusak. Pengetahuan tentang alat tangkap yang merusak terumbu karang sangat penting diketahui, terutama oleh nelayan yang pekerjaan sehari-harinya sebagai penangkap ikan. Dengan bekal pengetahuan tentang alat tangkap yang merusak, diharapkan akan berpengaruh terhadap pengurangan penggunaan alat tersebut. Pengetahuan tentang alat tangkap yang merusak sangat beragam. Sebagian besar responden mengungkapkan bahwa bom, sianida/racun/tuba dan trawl/pukat harimau/pukat ular dan lampara dasar merupakan alat tangkap yang merusak. Bom sebagai alat tangkap yang merusak, diungkapkan oleh semua responden, sedangkan sianida/racun dan trawl sebagai alat tangkap yang merusak diungkapkan oleh masing-masing 89 dan 87 persen responden. Relatif tingginya pengetahuan responden tentang alat tangkap yang merusak terumbu karang, disebabkan pengalaman yang diperoleh sebagai nelayan baik dengan melihat maupun mendengar cerita dari orang lain. Informan yang pernah melihat penggunaan bom menceritakan bahwa setelah bom dilemparkan dan meledak, ikanikan mati dan terumbu karang pecah berantakan. Beberapa tahun yang lalu bom marak digunakan di wilayah ini, dan kebanyakan dilakukan oleh nelayan dari luar. Namun dalam dua tahun terakhir penggunaan bom sebagai penangkap ikan sudah menurun secara drastis. Penggunaan alat tangkap lainnya (selain ketiga alat tersebut) sebagai perusak karang, hanya diungkap oleh sebagian kecil responden (Tabel 3.1). Kemungkinan karena alat-alat tersebut banyak digunakan masyarakat di wilayah ini sebagai penangkap ikan. Sebagian besar responden mengungkapkan bahwa bagan tancap merupakan alat tangkap yang tidak merusak terumbu karang. Alat tangkap ini banyak digunakan oleh nelayan di lokasi penelitian terutama di Teluk Pucung Desa Malang Rapat. Menurut penuturan informan, bagan tancap 34
tidak hanya dimiliki oleh nelayan di desa ini tetapi juga oleh nelayan luar wilayah ini. Demikian pula bubu sebagai alat penangkap ikan yang merusak terumbu karang hanya dikemukakan oleh 5 persen responden, meskipun penggunaaan alat tersebut dilekatkan pada karang. Ketidaktahuan masyarakat bahwa sebagian alat-alat tersebut juga merusak terumbu karang perlu mendapat perhatian, paling tidak masyarakat diberi pengetahuan untuk mengurangi risiko alat tersebut terhadap kerusakan karang. Tabel 3.1. Pengetahuan Responden tentang Alat Tangkap yang Merusak Terumbu Karang (dalam persen) Jenis alat tangkap Bom Bagan tancap Bagan apung Sianida/racun/tuba Bubu/perangkap ikan Trawl/pukat harimau/pukat ular/lampara dasar Jarring apung Pancing Tombak/panah Lainnya: jarring ketam Lainnya jaring ikan N
Pendapat alat tangkap merusak Ya Tidak 100 0 2 98 3 97 89 11 5 95 87 13 4 3 7 7 7
96 97 93 93 93 100
Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2007
Pendapat responden tentang kondisi terumbu karang yang perlu perbaikan, juga didukung oleh kebanyakan responden yang tidak setuju pada pengambilan karang hidup yaitu sekitar 83 persen, Responden yang berpendapat setuju terhadap pengambilan karang hidup hanya sekitar 5 persen. Demikian pula untuk pengambilan 35
karang mati, persentase tertinggi (sekitar 48 persen) tidak setuju dengan pengambilan karang mati, dan yang menyetujui sekitar seperempat dari jumlah responden, selebihnya tidak mempunyai pendapat. Relatif tingginya responden yang setuju terhadap pengambilan karang mati karena nelayan umumnya beranggapan pengambilan karang mati tidak berpengaruh terhadap kerusakan biota laut. Dari hasil pengamatan di lapangan terlihat bahwa beberapa rumah menggunakan karang mati sebagai bahan untuk pondasi rumah. Pengetahuan dan sikap terhadap kebijakan pengelolaan terumbu karang Pengetahuan stakeholder terkait pengelolaan terumbu karang dapat dilihat dari pendapat mereka tentang kebijakan pemerintah terhadap pelestarian terumbu karang, termasuk nelayan dan masyarakat di sekitarnya. Sejauh mana masyarakat mengetahui peraturan dan bagaimana sikap mereka terhadap aturan yang berlaku. Tampaknya peraturan tentang larangan pengambilan terumbu karang belum tersebar luas pada masyarakat di wilayah penelitian. Hasil survai menunjukkan bahwa lebih dari separuh (51 persen) responden menyatakan tidak mengetahui adanya peraturan pengambilan terumbu karang hidup. Data hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa sekitar 12 persen dari jumlah responden yang mengetahui larangan tersebut bersikap tidak setuju terhadap larangan tersebut. Meskipun demikian sekitar 65 persen dari responden yang mengetahui peraturan tersebut juga mengetahui sanksi dari larangan pengambilan karang. Berdasarkan data tersebut, dikhawatirkan pelestarian terumbu karang akan terganggu, karena masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui peraturan dan sanksi bila peraturan dilanggar. Meskipun masih banyak responden yang tidak mengetahui tentang peraturan larangan pengambilan terumbu karang dan sanksinya, namun tindakan responden cenderung positif, karena mereka berpendapat untuk memelihara terumbu karang dapat dilakukan dengan jalan tidak mengambil terumbu karang. Dalam setahun 36
terakhir, responden yang melakukan pengambilan terumbu karang hidup relatif sedikit (hanya satu responden) dan penggunaannya untuk keperluan sendiri. Sedangkan responden yang masih mengambil terumbu karang mati sekitar 3 persen (3 orang) yang digunakan untuk keperluan sendiri dan untuk dijual. Kondisi ini merupakan sikap positif masyarkat untuk membantu pelestarian terumbu karang di wilayah tersebut. Penggunaan bom Bom merupakan salah satu alat tangkap ikan yang potensial merusak terumbu karang. Peraturan terhadap larangan penggunaan jenis bahan peledak yang dapat merusak ekositem satwa dan tumbuh-tumbuhan karang di laut beserta sanksinya terdapat dalam UU RI No. 7 Tahun 1999. Peraturan tentang larangan ini telah diketahui secara luas oleh masyarakat di daerah penelitian. Hal tersebut ditunjukkan oleh data dari hasil survai yang mengungkapkan bahwa sebagian besar atau lebih dari tiga seperempat jumlah responden telah mengetahui adanya peraturan tersebut. Dari mereka yang mengetahui ini sekitar 85 persen menyetujui adanya peraturan, selebihnya tidak menyetujui (12 persen) dan tidak tahu sebesar 3 persen. Relatif tingginya masyarakat yang menyetujui larangan penggunaan bom, diharapkan akan membantu terpeliharanya kekayaan sumber daya laut dari ancaman penggunaan bom. Meskipun sebagian besar responden mengetahui peraturan larangan penggunaan bom, tetapi hanya sekitar 67 persen diantaranya yang mengetahui adanya sanksi atas pelanggaran peraturan tersebut. Dilihat dari penggunaan bom di wilayah penelitian, dalam setahun terakhir masih terdapat sekitar 16 persen responden yang mengetahui adanya penggunaan bom oleh orang lain, tetapi hanya seorang responden yang masih melakukannya untuk menangkap ikan. Jumlah ini relatif tinggi bila dibandingkan dengan temuan di wilayah Desa Mapur Kecamatan Bintan Timur (Widayatun dan Mujiyani, 2006). Masih berlangsungnya penggunaan bom untuk menangkap ikan akan mengganggu upaya pelestartian terumbu karang di wilayah tersebut. 37
Penggunaan sianida Penggunaan sianida/racun/tuba dalam penangkapan ikan berdampak terhadap kerusakan terumbu karang, sehingga terdapat peraturan yang melarang penggunaan alat tangkap ini. Pengetahuan tentang pelarangan penggunaan sianida sebagai alat penangkapan ikan cukup meluas di kalangan masyarakat di wilayah penelitian. Hasil survai menunjukkan sekitar 63 persen responden mengetahui peraturan tersebut, dan sekitar 81 persen diantaranya bersikap setuju terhadap peraturan tersebut. Sedangkan responden yang mengetahui adanya sanksi apabila terjadi pelanggaran hanya sekitar 62 persen. Hasil survai juga mengungkapkan bahwa sekitar 8 persen responden mengetahui adanya penggunaan sianida untuk menangkap ikan oleh orang lain, namun hanya sekitar 2 persen penggunaan sianida oleh responden. Penggunaan trawl Trawl merupakan alat penangkap ikan berupa jaring besar, dengan armada penangkap ikan yang relatif besar pula. Dalam operasionalnya trawl dapat menjaring semua ikan yang kecil maupun besar dan merusak terumbu karang, sehingga trawl merupakan alat penangkap ikan yang berbahaya bagi pelestarian terumbu karang. Kebijakan pemerintah untuk melarang penggunaan trawl telah dikeluarkan melalui KEPPRES No. 80 tahun 1982. Pengetahuan responden tentang larangan penggunaan trawl relatif tinggi, karena lebih dari separuh jumlah responden (61 persen) telah mengetahui larangan tersebut, dan hanya sekitar 10 persen yang tidak menyetujui adanya larangan tersebut. Adapun yang mengetahui adanya sanksi atas pelanggaran larangan tersebut masih terbatas, yaitu kurang dari separuh (46 persen) dari jumlah responden yang mengetahui larangan tersebut. Meskipun terdapat larangan penggunaan trawl, namun masih terdapat nelayan yang menggunakannya meskipun relatif kecil. Dalam setahun 38
terakhir, sekitar 3 persen responden menyatakan mengetahui orang lain menggunakan trawl dan sejenisnya, namun tidak ada seorangpun dari responden yang terlibat dalam penggunaan trawl. Peraturan adat Beberapa peraturan adat tentang pengelolaan sumber daya laut telah dimiliki oleh beberapa suku terutama di Indonesia bagian timur seperti peraturan adat sasizen di Papua dan sasi di beberapa wilayah Maluku. Beberapa wilayah yang tidak mempunyai peraturan adat, mempunyai peraturan desa yang merupakan kesepakatan bersama antar kelompok masyarakat dalam pengelolaan sumber daya laut seperti yang dibuat masyarakat di Desa Mapur, Kabupaten Bintan (Widayatun dan Mujiyani, 2006). Di lokasi penelitian ini tidak ditemukan peraturan adat maupun kesepakatan bersama secara tertulis yang terkait dengan pengelolaan sumber daya laut di wilayahnya. Hal ini tidak berarti masyarakat tidak memiliki aturan dalam pengelolaan SDL. Berdasarkan wawancara terbuka dengan beberapa informan terungkap bahwa kesepakatan antar kelompok nelayan secara tidak resmi (tidak tertulis) pernah dibuat dan telah dipraktikkan oleh penduduk di wilayah penelitian. Kesepakatan tidak resmi tersebut berupa semacam ‘zonasi’ pembagian wilayah tangkap diantara kelompok nelayan. Nelayan pesisir mempunyai wilayah tangkap dari garis pantai sampai 4 mil ke arah laut, wilayah tangkap nelayan jaring dan kelong 4 sampai 12 mil ke arah laut, sedangkan nelayan pancing dan rumpon sekitar 12 mil sampai perairan internasional. Kesepakatan tidak tertulis tersebut mulai pudar sekitar 6 tahun terakhir ini, karena adanya pihak-pihak yang melakukan pelanggaran kesepakatan dengan penggunaan lahan perairan yang berlebihan oleh kelompok nelayan tertentu. Hal itu tercermin dari semakin padatnya lokasi wilayah Desa Malang Rapat dengan peralatan tangkap rompong dan kelong, tanpa memperhatikan batas wilayah yang disepakati sebelumnya untuk kedua alat tangkap tersebut. Berdasarkan wawancara mendalam terungkap bahwa saat ini penempatan rompong melebihi kesepakatan zonasi yaitu pada batas 39
12 mil dari garis pantai, menjadi lebih luas yaitu sampai melampaui batas 10 mil dari garis pantai. Hal ini menyebabkan kelompok nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring sering terganggu karena perebutan ‘zonasi‘ tersebut. Jaring yang digunakan nelayan sering mengalami kerusakan akibat menjerat rompong, sehingga kelompok nelayan ini banyak mengalami kerugian alat produksi maupun hasil tangkapannya. Tampaknya permasalahan zonasi tersebut belum menjadi dorongan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap perlindungan pengelolaan wilayah tangkap. Hal tersebut terungkap dari hasil survai yang menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden yang menjawab ‘tidak perlu’ untuk membuat peraturan tersebut, sedangkan yang menjawab perlu hanya 24 persen, sisanya (sekitar 22 persen) tidak menawab. Tidak adanya peraturan adat dan memudarnya kesepakatan bersama antar masyarakat dalam pengelolaan SDL, berpotensi menimbulkan konflik antar kelompok nelayan, sehingga pelaksanaan program pelestarian terumbu karang akan terganggu. Berdasarkan wawancara terbuka dengan beberapa informan yang resah terhadap batas wilayah tangkap yang makin tidak beraturan, timbul pemikiran untuk membuat zonasi yang bersifat formal, artinya membuat kesepakatan lama menjadi peraturan tertulis dan mendapat pengesahan dari pemerintah desa. Inti kesepakatan zonasi baru tersebut diharapkan dapat tetap mengakomodir zonasi yang telah dipraktikkan nelayan selama ini yaitu: nelayan pesisir menggunakan batas zona 4 mil dari garis pantai, nelayan jaring menggunakan batas 4-12 mil dari garis pantai, sedangkan nelayan kelong dan rompong menggunakan batas 12 mil atau lebih. Wilayah tangkap nelayan di daerah penelitian bervariasi tergantung pada jenis ikan yang ditangkap dan peralatan yang digunakan. Untuk masyarakat Galang Batang yang mempunyai alat tangkap relatif sederhana dan hanya mempunyai target penangkapan ketam dan ikan karang, wilayah tangkap mereka relatif dekat di sekitar pesisir sampai ke arah perairan 4 mil. Sementara nelayan di Desa Malang Rapat
40
yang relatif lebih maju peralatan tangkapnya, mempunyai jangkauan wilayah tangkap yang lebih luas sampai ke perairan internasional. Pengetahuan dan sikap terhadap COREMAP COREMAP merupakan salah satu program yang bertujuan untuk mengelola terumbu karang agar dapat berkelanjutan. Terumbu karang tidak hanya dinikmati oleh generasi masa kini tetapi juga bisa dinikmati oleh generasi pada masa mendatang baik untuk keperluan sendiri maupun untuk kegiatan ekonomi. Pengetahuan tentang COREMAP mencakup pengetahuan yang berkaitan dengan adanya upaya untuk pelestarian terumbu karang, tujuan dan program COREMAP serta keterlibatannya (Tabel 3.2). Berkaitan dengan program penyelamatan sumber daya laut (SDL), Tabel 3.2 juga menunjukkan bahwa kebanyakan responden tidak mengetahuinya, hanya sebagian kecil (sekitar 6 persen) yang menyatakan mengetahui adanya program tersebut. Mayoritas responden menunjukkan ketidaktahuannya tentang program penyelamatan SDL, yaitu hampir separuh responden (49 persen) menyatakan tidak tahu, sementara sekitar 45 persen mengatakan tidak pernah ada program tersebut. Kondisi yang hampir sama juga terlihat pada minimnya pengetahuan responden terhadap penyelamatan terumbu karang dan program COREMAP pada khususnya. Meskipun program COREMAP telah disosialisasikan selama satu tahun terakhir, tetapi sebagian besar responden (78 persen) tidak pernah mendengar istilah ‘COREMAP’ Demikian pula responden yang menyatakan ‘pernah mendengar’ COREMAP, sekitar 14 persennya tidak mengetahui tujuan program tersebut. Sekitar 82 persen dari 22 responden yang mengetahui tentang tujuan COREMAP, menyatakan tujuan COREMAP untuk ‘melindungi terumbu karang’, sedangkan untuk tujuan ‘meningkatkan pendapatan masyarakat’ hanya dinyatakan oleh seorang responden. Melihat kondisi terumbu karang di kawasan ini yang sebagian dalam kondisi rusak atau tidak baik, maka kemungkinan besar disebabkan 41
masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang upaya penyelamatan terumbu karang khususnya serta penyelamatan SDL pada umumnya. Tabel 3.2. Pengetahuan dan Keterlibatan Responden dalam Program Pengelolaan SDL dan COREMAP Pengetahuan/Sikap 1. Program penyelamatan SDL • Tidak tahu • Tidak pernah • Pernah Jumlah N 2. Pernah mendengar istilah COREMAP • Pernah • Tidak pernah Jumlah N 3. Tujuan COREMAP • Tidak tahu • Melindungi terumbu karang • Meningkatkan pendapatan Jumlah N 4. Pelaksanaan COREMAP • Ya • Tidak • Tidak tahu Jumlah (N) 5. Keinginan terlibat dalam program COREMAP • Ya • Tidak Jumlah (N)
Persentase 49 45 6 100 22 78 100
14 82 4 22 23 68 9 22
55 45 22
Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2007
42
Meskipun dalam setahun terakhir program COREMAP sudah mulai dilaksanakan di kawasan ini, tampaknya belum banyak masyarakat yang mengetahuinya. Hal ini terungkap dalam survai, yaitu hanya sekitar 23 persen responden (5 orang) yang pernah mendengar pelaksanaan program COREMAP di wilayahnya, dan hanya 2 dari 5 responden yang terlibat dalam pelaksanaan COREMAP. Meskipun demikian lebih dari separuh responden yang mengetahui pelaksanaan COREMAP (55 persen) menyatakan ingin terlibat dalam kegiatan COREMAP. Kemungkinan mereka mengetahui pelaksanaan program COREMAP di tempat lain yang dianggap menguntungkan masyarakat. Temuan ini mengisyaratkan belum optimalnya sosialisasi pelaksanaan program COREMAP di wilayah ini, baik karena relatif masih baru maupun masih terbatasnya jangkauan program, sehingga hanya diketahui oleh masyarakat di sekitarnya. 3.2. Pemanfaatan Sumber Daya Laut Kekayaan sumber daya laut di lokasi penelitian telah dimanfaatkan oleh berbagai pihak terutama oleh nelayan baik untuk konsumsi maupun untuk dipasarkan. Analisis pemanfaatan sumber daya laut meliputi hasil produksi, pemasaran dan kegiatan yang dilakukan pascapanen. Uraian tentang produksi, selain menjelaskan tentang jenis hasil tangkapan juga faktor yang berpengaruh terhadap jumlah dan jenis produksi. Produksi Jenis hasil tangkapan nelayan bervariasi yaitu ketam, sotong, ikan tongkol, ikan tenggiri dan beberapa jenis ikan karang. Ketam dapat ditemukan sepanjang tahun, tetapi jenis ketam berbeda antar musim. Pada waktu musim utara jenis ketam yang banyak ditemukan adalah ketam (hitam), sedangkan pada musim pancaroba adalah jenis rajungan. Ketam banyak ditemukan ketika air dalam keadaan pasang. Musim sotong biasanya banyak ditemukan pada bulan gelap musim 43
angin Timur yang jatuh pada bulan April sampai Juni. Ikan teri banyak ditemui pada bulan Mei dan Juni (Musim angin timur) sedangkan pada musim angin utara yang jatuh antara bulan november sampai dengan bulan Maret ikan teri sulit didapatkan. Ikan hasil tangkapan nelayan adalah ikan tenggiri, tongkol, ikan pari. Wilayah tangkap ikan ini relatif jauh lebih dari dua belas mil bahkan sampai perairan Pulau Mapur. Ikan karang tidak banyak dihasilkan oleh nelayan di wilayah ini, dan biasanya di tangkap oleh nelayan pesisir dengan alat jaring. Hasil tangkapan nelayan di lokasi penelitian pada umumnya merupakan ikan mati. Terlihat adanya spesifikasi hasil tangkapan. Nelayan pesisir yang mempunyai wilayah tangkap di sekitar pantai pada umumnya hanya menangkap ketam dan ikan karang. Menurut informan ikan karang hasil tangkapan nelayan pesisir hasilnya kurang memadai, umumnya ukurannya kecil. Nelayan kelong pada umumnya memfokuskan pada hasil tangkapan ikan teri sedangkan nelayan pancing hasil tangkapan berupa ikan laut dalam seperti tenggiri, tongkol, selar, selikur serta sotong/cumi tergantung musim. Ketam dan ikan karang pada umumnya ditangkap oleh nelayan pesisir. Wilayah tangkap mereka hanya sekiatar pesisir sampai paling jauh 4 mil dari garis pantai. Hal tersebut karena alat yang digunakan masih sederhana yaitu perahu tanpa mesin atau dengan mesin kekuatan kecil 5 PK. Nelayan pesisir pada umumnya adalah suku Melayu. Selain sebagai nelayan mereka juga mempunyai pekerjaan bertani. Produksi ketam Produksi ketam dari nelayan pesisir yang menggunakan alat sederhana yaitu sampan tanpa motor sangat terbatas. Nelayan ini ratarata hanya menghasilkan ketam dalam sehari sekitar 2 kilo yang dijual dengan harga RP 12.000 sampai Rp 15.000. Nelayan ini hampir tidak mengeluarkan ongkos produksi karena umpan untuk menangkap ketam merupakan hasil tangkapan sendiri. Nelayan pesisir seperti ini 44
banyak di jumpai di Desa Gunung Kijang seperti Masiran maupun di Desa Malang Rapat. Bagi nelayan pesisir yang telah mempunyai perahu yang dilengkapi dengan perahu motor serta mempunyai alat tangkap bubu ketam, hasil tangkapan relatif banyak. Produksi ikan teri Ikan teri dihasilkan oleh nelayan yang mempunyai alat tangkap kelong baik kelong tancap maupun apung. Nelayan penangkap ikan teri banyak dilakukan oleh nelayan di Desa Teluk Pucung. Hampir 40 persen nelayan melakukan usaha penangkapan teri. Penangkapan teri hanya dilakukan sekitar 6 bulan dalam setahun. Pada waktu musim utara kegiatan usaha ini berhenti karena angin terlalu kencang. Hasil produksi satu kelong bervariasi tergantung pada ukuran kelong tersebut. Rata-rata nelayan kelong ini mendapatkan teri sekitar 15-20 kg (teri kering) setiap harinya. Di Desa Teluk Pucung usaha kelong di lakukan oleh sekitar 24 nelayan. Produksi dalam satu hari dapat mencapai 420 kg teri kering. Produksi sotong/cumi Sotong/cumi merupakan salah satu hasil tangkapan utama penduduk daerah penelitian. Pada saat penelitian dilakukan merupakan musim sotong/cumi sehingga produksi sotong relatif besar. Dalam satu kali melaut nelayan dapat menangkap 10-15 kg sotong, selain hasil tangkapan ikan lainnya. Hasil tangkapan sotong nelayan di desa ini lebih rendah dari tangkapan nelayan di Desa Mapur (Mujiyani dan Nagib, 2007). Hal tersebut karena wilayah tangkap terbatas dan nelayan yang melakukan penangkapan di wilayah tersebut semakin banyak. Berikut ini adalah contoh kasus hasil pengumpulan ikan oleh seorang pengumpul di Dusun Kampe.
45
Contoh kasus pengumpul ikan di Dusun Kampe, Malang Rapat A. Sotong rata-rata 50 kg/hari Menjual ke Kawal rata-rata 22 kali/bulan. Jumlah produksi sebulan 50 X 22 = 1.100 kg B. Ketam rata-rata 50 kg/hari Menjual ke Kawal 26 kali/bulan Jumlah Produksi sebulan 50 x 26 = 1.300 kg C. Ikan mati campuran (ikan pari, ikan jelah) rata-rata 17 kg/hari Menjual ke Tanjung Pinang sekitar 22 kali/bulan Jumlah produksi sebulan 17x 22 = 374 kg Sumber: Wawancara terbuka, PPK-LIPI, 2007. Pemasaran hasil Pemasaran hasil tangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan di wilayah Kecamatan Gunung Kijang agak berbeda dengan nelayan di daerah lain seperti di Desa Mapur Kecamatan Bintan Timur (Widayatun dan Mujiyani, 2006). Terdapat perbedaan antara pemasaran ikan mati dan ketam. Ketam pada umumnya hanya dipasarkan di dalam negeri saja (Bagan 3.1) tetapi untuk ikan mati pemasarannya sampai ke luar negeri (ekspor). Selain itu di wilayah penelitian pemasaran ikan mati antara musim banyak ikan dan sulit ikan terdapat perbedaan. Hal tersebut disebakan karena akses pemasaran hasil tangkapan lebih terbuka. Pada musim sulit ikan harga ikan akan naik relatif tinggi, para pengumpul tidak berani membeli ikan yang ditawarkan oleh nelayan dengan harga tinggi. Pemasaran ketam tidak di pengaruhi oleh perbedaan musim, karena ketam dapat ditangkap sepanjang tahun.
46
Pemasaran ketam Hasil tangkapan ketam oleh nelayan dijual ke pengumpul yang ada di desa. Oleh pengumpul ketam (telah direbus atau belum direbus) dijual ke tauke atau pengusaha di Ibukota Kecamatan Kijang atau di Desa Kawal. Oleh pengusaha di kawal atau di Kijang dilakukan proses pengolahan antara lain kerang direbus kemudian disortir untuk memisahkan antara kerang besar dan kecil, dibuka kulitnya kemudian daging kerang di kemas dengan plastik. Pemasaran kemasan kerang sampai ke Jawa terutama Jawa Timur. Bagan 3.1. Rantai Pemasaran Ketam Hasil tangkapan nelayan
Pengumpul di desa (basah maupun kering)
Pengusaha di Kawal (proses pengolahan)
Pasar domestik (Jawa)
47
Pemasaran Sotong Pemasaran sotong hampir sama dengan pemasaran ketam, perbedaannya sotong dijual ke pengusaha di Tanjung Pinang tanpa pengolahan terlebih dahulu. Rantai pemasaran terlihat pada bagan 3.2. Bagan tersebut menunjukkan bahwa terdapat empat tingkat dalam rantai pemasaran. Sotong hasil tangkapan ikan dijual ke pengumpul di desa, oleh pengumpul di jual kepada pengusaha yang ada di Tanjung Pinang dalam keadaan basah atau kering. Pengusaha di Tanjung Pinang akan memasarkan Sotong, baik ke pasar domestik di Tanjung Pinang ataupun di ekspor. Bagan 3.2. Pemasaran ikan Sotong
Hasil tangkapan nelayan
Pengumpul di desa
Pengusaha di Tanjung Pinang
Ekspor dan pasar domestik Sumber: Wawancara terbuka dengan informan pengumpul
48
Penentuan harga sotong tidak berbeda dengan ketam. Penjualan dari nelayan ke pengumpul ditentukan oleh pengumpul berdasarkan harga yang telah ditetapkan oleh pengusaha di Tanjung Pinang. Terdapat variasi harga diantara para pengumpul Sotong. Di Desa Kampe pengumpul membeli dengan ukuran campuran (besar dan kecil jadi satu) dengan harga Rp 13.000. Sedangkan pengusaha Tanjung Pinang membeli dari pengumpul seharga Rp 14.500. Ongkos mobil untuk membawa Sotong ditanggung oleh pengusaha setiap satu kilogram Rp 750. Di Desa Malang Rapat harga Sotong di tingkat pengumpul hanya RP 10.000. Pengusaha membeli sotong dari pengumpul Rp 12.000/kg. Khusus untuk sotong kering pengusaha membeli dengan harga Rp 75.000 – 80.000. Pemasaran ikan mati Pemasaran ikan (umumnya dalam keadaan mati) bervariasi tergantung pada musim. Pada musim utara para pengumpul di desa tidak melakukan pembelian ikan. Hal tersebut karena harga ikan mahal dan jumlah tangkapan tidak banyak. Pengumpul akan rugi jika melakukan pembelian. Rantai pemasaran ikan pada musim angin utara terlihat pada bagan 3.3. Para nelayan biasanya menjual ikan pada pedagang eceran atau dijual sendiri langsung kepada konsumen. Pedagang eceran menjual hasil tangkapan nelayan ke konsumen baik konsumen rumah tangga maupun rumah makan. Sedangkan hasil tangkapan nelayan yang dijual ke pengusaha di Tanjung Pinang diekspor atau dipasarkan untuk kebutuhan domestik. Pada musim angin utara, nelayan bisa bebas menjual hasil tangkapan. Menurut penuturan informan harga ikan pada musim ini bisa dua kali lipat harga pada waktu musim banyak ikan. Harga ikan lebih ditentukan oleh para nelayan.
49
Bagan 3.3. Rantai Pemasaran Ikan Mati pada Musim Sulit Ikan (Musim Angin Utara)
Pengusaha Tanjung Pinang
Ekspor
Nelayan
Konsumen (RT atau RM)
Pedagang eceran
Rumah tangga
Pemasaran ikan pada waktu musim banyak ikan dan pancaroba dapat dilihat pada Bagan 3.4. Penjualan hasil tangkapan nelayan bervariasi, terdapat nelayan yang menjual hasil tangkapan ke pengumpul, ke pedagang eceran maupun langsung ke pengusaha yang ada di Tanjung Pinang. Namun demikian pada umumnya nelayan menjual hasil tangkapan ke pengumpul di desa. Nelayan yang menjual hasil tangkapan langsung ke pengusaha Tanjung Pinang dapat langsung pergi sendiri tetapi ada juga yang hanya dititipkan kepada nelayan lain yang akan pergi ke Tanjung Pinang dengan membayar ongkos angkutan. Selain itu terdapat nelayan yang menjual hasil tangkapan ke pedagang eceran. Pada musim banyak ikan dan pancaroba harga ikan dari nelayan ke pengumpul ditentukan oleh pengumpul berdasarkan harga yang ditetapkan oleh pengusaha. Harga ikan campuran seperti ikan layar, ikan selikur oleh pengumpul di desa dihargai Rp 6.000/kg. Harga ikan tersebut oleh pengusaha di Tanjung Pinang dihargai Rp 7.500/kg. Berbeda dengan pada waktu banyak ikan, penentuan harga pada musim angin utara/sulit ikan ditentukan oleh nelayan. Nelayan menentukan harga berdasarkan ongkos produksi yang dikeluarkan dan kesulitan dalam mencari ikan. Harga ikan pada musim sulit ikan bisa mencapai dua kali lipat hanya pada waktu musim banyak ikan. 50
Bagan 3.4. Pemasaran Ikan Mati pada Musim Banyak Ikan dan Musim Pancaroba
Nelayan
Pedagang eceran
Pengumpul di desa Penampung Tanjung Pinang Penampung Tanjung Pinang
Konsumen (RT dan RM) Ekspor
Pasar lokal (restoran dan pasar)
Pengolahan pascapanen Pengolahan pascapanen tidak banyak dilakukan oleh nelayan meskipun pada musim banyak ikan. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai hal antara lain jumlah dan jenis tangkapan yang terbatas dan tidak bervariasi, pemasaran hasil tangkapan relatif mudah karena dapat langsung dijual kepada pedagang pengumpul. Lagi pula hasil pengolahan ikan tidak memberikan keuntungan yang memadai. Nelayan pesisir dan juga nelayan pancing pada umumnya mempunyai hasil tangkapan yang terbatas (ketam dan ikan karang), sehingga tidak 51
pernah melakukan pengolahan ikan. Hasil tangkapan lebih menguntungkan apabila langsung dijual kepada pengumpul tanpa harus melakukan pengolahan yang membutuhkan tenaga dan biaya. Kegiatan pascapanen yang dilakukan nelayan hanya memberi es batu, agar ikan dapat tahan lama. Hasil tangkapan yang diperoleh secara langsung dipasarkan, karena lebih menguntungkan. Demikian pula nelayan yang menangkap ikan teri, meskipun hasil tangkapan relatif banyak, tetapi sebagian besar tidak melakukan pengolahan ikan teri seperti direbus dan dikeringkan, karena pegolahan teri cukup rumit dan menyita waktu. Pengolahan hasil tangkapan pascapanen dilakukan oleh sebagian pengumpul di desa. Pada musim sotong, pengumpul di desa relatif banyak menerima pasokan sotong dari anak buahnya. Sebagian sotong tersebut dikeringkan. Pengolahan ini dilakukan karena usaha ini cukup menguntungkan. Pada musim sotong harga sotong hasil tangkapan mengalami penurunan, sedangkan harga cumi kering relatif mahal dan pemasaran mudah dilakukan serta tahan lama. Kebijakan terkait penangkapan ikan Peraturan pemerintah setempat melarang penangkapan ikan yang menggunakan peralatan yang tidak ramah lingkungan seperti bom, potas dan jaring dasar. Dalam mengamankan larangan tersebut, sanksi yang dilakukan masyarakat lokal (tidak tertulis) adalah membakar kapal nelayan yang melakukan penangkapan dengan menggunakan alat tidak ramah lingkungan terutama bom. 3.3. Wilayah Pengelolaan Wilayah pengelolaan merupakan area yang digunakan oleh nelayan sebagai wilayah tangkap. Wilayah tangkap nelayan di daerah penelitian pada umumnya masih di sekitar desa meliputi sepanjang garis pantai sampai laut lepas. Namun demikian terdapat sebagian nelayan yang mempunyai area tangkap yang lebih luas menjangkau 52
luar batas desa sampai perairan dekat Desa Mapur, Kecamatan Bintan Timur. Seperti disebutkan di muka, nelayan di lokasi penelitian telah mempraktikkan adanya zonasi pembagian wilayah tangkap. Pembagian zonasi didasarkan pada alat tangkap yang digunakan nelayan. Nelayan pesisir yang umumnya merupakan Suku Melayu, mempunyai wilayah tangkap yang relatif dekat dari garis pantai sampai 4 mil kearah laut. Alat tangkap yang digunakan masih sederhana berupa sampan dayung atau sampan dengan motor tempel 5 PK. Dengan kondisi tersebut wilayah tangkap nelayan ini sangat terbatas. Nelayan pesisir pada umumnya hanya mencari ketam dengan menggunakan alat penangkap bubu ketam dan jaring. Nelayan tengah mempunyai wilayah penangkapan sekitar 4-12 mil dari garis pantai. Pada umumnya nelayan ini menggunakan alat tangkap bagan apung dan bagan/kelong. Masing-masing bagan apung dioperasikan minimal oleh 2 orang. Target tangkapan ikan terutama ikan bilis. Pemilik bagan pada umumnya adalah pendatang yaitu orang Bugis dan China. Sebagian pemilik bagan mempekerjakan nelayan setempat sebagai buruh. Wilayah tangkap dengan jarak 12 mil sampai ke wilayah perairan internasional merupakan wilayah tangkap nelayan dengan menggunakan alat pancing dan rompong. Rompong pada umumnya dipasang pada jarak 12 mil dari garis pantai, dekat dengan perairan internasional. Untuk mencapai wilayah tangkap yang relatif jauh, biasanya nelayan menggunakan perahu/pompong yang dilengkapi dengan mesin motor berkekuatan 20 – 25 PK, sehingga mereka mampu menjangkau wilayah yang relatif jauh. Berdasarkan wawancara terbuka dengan informan di wilayah tangkap tersebut, dalam lima tahun terakhir telah mengalami pergeseran. Perubahan tersebut kebanyakan dilakukan oleh nelayan pendatang baru/luar yang tidak mengikuti kesepakatan yang tidak tertulis. Dalam lima tahun terakhir di Kampung Galang Batang, wilayah penangkapan nelayan bergeser semakin jauh dari pantai. Pergeseran
53
tersebut dipengaruhi oleh kondisi perairan yang semakin menurun, seperti yang diungkapkan seorang nelayan: ‘Sekitar lima tahun yang lalu area penangkapan dekat, kondisi perairan masih baik hasil yang didapatkan banyak. Sekarang penangkapan bergerak semakin ke tengah karena lokasi dekat pantai sudah sulit untuk mendapatkan hasil tangkapan, mungkin karena adanya pencemaran dan nelayan semakin banyak’. Pergeseran wilayah tangkap juga dipengaruhi oleh berkembangnya teknologi sarana penangkapan, yaitu kini sebagian besar nelayan pesisir telah memiliki perahu motor sehingga dapat menjangkau wilayah yang lebih jauh. 3.4. Teknologi Penangkapan Teknologi yang digunakan oleh para nelayan untuk penangkapan sangat bervariasi. Uraian pada bagian ini hanya memfokuskan pada teknologi yang utama yang digunakan nelayan wilayah ini antara lain bubu, jaring, bagan/kelong tancap dan apung serta pancing dan rumpon. Bubu ketam Bubu ketam merupakan alat utama yang digunakan oleh nelayan pesisir di lokasi penelitian, untuk desa Mapur, kecamatan Bintan Timur alat penangkap ketam ini disebut dengan Bento (Widayatun dan Mujiyani, 2006). Alat penangkap ketam ini merupakan alat perangkap yang terbuat dari kawat yang dapat membuka dan menutup secara otomatis. Sebelum digunakan, terlebih dahulu dimasukkan umpan ke dalam alat perangkap ini. Kemudian alat ini dibawa dengan sampan untuk diletakkan di laut, antara bubu yang satu dengan yang lain di diberi tali dengan jarak tertentu. Lokasi pemasangan alat di sekitar pesisir. 54
Bubu ketam mulai marak digunakan di desa sejak tahun 2001. Menurut informan teknologi pembuatan bubu ketam berasal dari nelayan Thailand Semula bagian pinggir bubu ketam hanya dari kawat yang lebih besar tetapi oleh nelayan setempat dimodifikasi dengan diberi selang plastik kecil supaya awet tidak lekas berkarat. Bubu ketam sebelum diberi selang plastik hanya bertahan antara 3-6 bulan tetapi dengan ditambah selang plastik dapat bertahan lebih 6 bulan. Jaring Jaring merupakan alat tangkap ikan yang terbuat dari benang nylon. Jaring di gunakan oleh nelayan pesisir dan nelayan tengah. Terdapat perbedaan ukuran jaring yang digunakan oleh dua kelompok nelayan tersebut. Jaring yang digunakan nelayan pesisir mempunyai ukuran kecil sekitar 10 m dan dioperasikan secara manual, sedangkan jaring yang digunakan oleh nelayan tengah mempunyai ukuran besar. Alat tangkap ini penggunaannya mengalami peningkatan tajam pada enam tahun terakahir ini. Kelong/Bagan Kelong/bagan merupakan alat tangkap yang banyak digunakan di wilayah Desa Malang Rapat. Kebanyakan kelong yang digunakan merupakan bagan apung, yaitu alat tangkap yang tidak menetap. Alat ini berupa perahu/pompong yang mempunyai jarring yang dipasang. dengan menambatkan di sisi kiri dan kanan perahu. Pompong yang digunakan mempunyai dua mesin, yaitu satu mesin digunakan untuk menggerakkan perahu dan mesin lainnya untuk mengoperasikan jaring. Ketika beroperasi jaring dibuka, kemudian setelah beberapa jam jaring ditutup. Alat ini digunakan untuk menangkap berbagai jenis ikan, tetapi untuk wilayah Desa Malang Rapat difokuskan untuk menangkap ikan teri.
55
Pancing dan rumpon Pancing merupakan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan terutama untuk menangkap ikan laut dalam seperti tenggiri, selar, dan lainnya. Mata pancing yang digunakan berbagai ukuran tergantung target penangkapan ikan. Nelayan pancing menggunakan armada dengan kekuatan lebih besar, pada umumnya 20 – 24 PK atau lebih. Hal ini disebabkan wilayah tangkap nelayan pancing relatif jauh dengan pesisir bahkan sampai wilayah perairan internasional. Rumpon merupakan alat tangkap yang berfungsi seperti terumbu karang (terumbu karang buatan). Bahan dasar membuat rumpon adalah bambu, tali dan alat pemberat seperti batu atau drum bekas minyak dan daun-daun seperti pelepah daun kelapa. Bahan baku tersebut setelah dirakit dimasukkan kedalam laut. Bahan pemberat diikatkan di bagian bawah rakitan supaya rumpon posisinya tetap, tidak hilang. Lokasi rumpon berada lebih sekitar 12 mil dari garis pantai sampai ke laut lepas, tempat ini menjadi lokasi nelayan pancing. Menurut penuturan penduduk pemasangan rumpon mulai masuk berbaur dengan lokasi kelong. Kepemilikan rumpon di desa Malang Rapat tidak hanya milik nelayan di Malang Rapat tetapi sebagian besar milik nelayan luar desa. Terdapat perbedaan antar kelompok masyarakat berkaitan dengan penggunaan teknologi penangkapan. Nelayan pesisir pada umumnya nelayan Melayu menggunakan alat tangkap sederhana biasanya berupa bubu ketam dan jaring ukuran kecil. Armada yang digunakan berupa sampan tanpa motor, sebagian menggunakan perahu motor dengan kekuatan 5 PK. Pemilik kelong pada umumnya adalah China dan orang Bugis, yang sebagian menggunakan nelayan lokal untuk mengoperasikannya. Sedangkan nelayan pancing dan rumpon dilakukan oleh nelayan dari berbagai suku, sedangkan penduduk lokal pada umumnya menjadi anak buah dari para pengusaha (buruh nelayan).
56
3.5. Permasalahan dalam Pengelolaan SDL Permasalahan dalam pengelolaan SDL yang berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang sangat kompleks, karena melibatkan beberapa faktor baik faktor internal (langsung dan tidak langsung) maupun eksternal antara lain permintaan pasar, belum optimalnya fungsi pengawasan dan konflik stakeholders yang terlibat dalam penelolaan SDL. Uraian dalam bagian ini akan difokuskan pada permasalahan tersebut. Terumbu karang di daerah penelitian terhampar sepanjang garis pantai sampai perairan sekitar 12 mil. Kondisi terumbu karang seperti telah diungkapkan sebelumnya, saat ini telah mengalami banyak kerusakan. Faktor internal Faktor internal yang berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal yang langsung dapat merusak terumbu karang dan faktor yang tidak secara langsung merusak terumbu karang. Faktor yang langsung merusak terumbu karang seperti penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Sedangkan faktor yang tidak langsung seperti pengetahuan, sikap dan kepedulian masyarakat dalam mengelola terumbu karang. Kerusakan terumbu karang di wilayah ini terutama disebabkan oleh penggunaan alat-alat yang merusak seperti penggunaan bom, potassium dan trawl. Penggunaan bom Penggunaan bom untuk menangkap ikan marak digunakan mulai akhir tahun 1980-an, yaitu sebelum nelayan Desa Mapur juga menggunakan pada awal tahun 1990-an. Penggunaan bom dengan intensitas tinggi berakhir sampai dengan awal tahun 2000. Pada tahun-tahun tersebut penduduk dapat mendengar secara jelas suara bom yang digunakan untuk menangkap ikan. Penggunaan bom di 57
daerah penelitian dilakukan terutama oleh nelayan dari luar maupun nelayan pendatang yang tinggal di wilayah ini. Penggunaan bom mempunyai dampak yang besar terhadap menurunnya kekayaan sumber daya laut di wilayah ini. Menurut penuturan informan penggunaan bom menyebabkan kerusakan terumbu karang dan matinya ikan-ikan kecil maupun besar. Penggunaan bom juga berpengaruh terhadap hasil tangkap nelayan, terutama nelayan tradisional yang wilayah tangkapnya terbatas. Intensitas penggunaan bom semakin menurun dalam lima tahun terakhir ini. Meskipun demikian sesekali masih terdengar bunyi bom untuk menangkap ikan, bahkan di lokasi penelitian. Biasanya penggunaan bom dilakukan oleh nelayan ketika suasana sepi dan tidak banyak nelayan berada di lokasi tersebut. Penurunan intensitas penggunaan bom dipengaruhi oleh kemarahan masyarakat, karena penggunaan bom berpengaruh terhadap hasil tangkapan mereka. Pengalaman sebelumnya, masyarakat akan mengejar pelaku pengeboman, dan apabila tertangkap, kapal beserta alat-alat yang digunakan akan dibakar. Penggunaan racun Penggunaan racun dari akar-akar tanaman, sudah lama dipraktikkan oleh nelayan secara turun temurun untuk menangkap ikan. Semula pemakaian racun dari akar-akar tersebut dilakukan secara terbatas, sehingga tidak terlalu membahayakan. Kemudian penggunaan racun secara besar-besaran dengan sianida dilakukan di wilayah ini hampir berbarengan dengan penggunaan bom. Penggunaan racun sianida dampaknya tidak kalah dengan penggunaan bom, karena menyebabkan ikan-ikan menjadi mati/pingsan (termasuk ikan kecil dan besar). Perbedaannya adalah penggunaan racun sianida tidak membuat batu karang pecah tetapi berdampak pada matinya terumbu karang. Penggunaan racun berupa sianida biasanya dilakukan oleh armada kapal yang relatif besar, dengan perlengkapan relatif modern seperti 58
kompresor. Penggunaan racun dilakukan dengan jalan disemprotkan oleh nelayan yang menyelam dengan alat kompresor. Penggunaan racun sianida biasanya dilakukan oleh pengusaha ikan yang mempunyai anak buah untuk mengoperasikan. Penggunaan trawl Penggunaan trawl oleh nelayan untuk menangkap ikan telah dilakukan sejak tahun 1980-an, bersamaan dengan penggunaan bom. Penggunaan trawl biasanya dilakukan oleh nelayan dari luar wilayah maupun nelayan pendatang yang tinggal di sekitar daerah penelitian. Kerusakan biota laut yang terjadi karena penggunaan trawl disebabkan jaring ini dapat mengangkat semua jenis biota laut baik kecil maupun besar. Kondisi ini berpengaruh terhadap perkembangan biota laut yang ada di perairan ini. Seperti bom, trawl juga merusak terumbu karang, karena ukuran jaring yang besar dan dalam sering menyangkut dan menabrak terumbu karang hingga rusak. Kini intensitas penggunaan trawl di perairan wilayah ini sudah berkurang. Penggunaan bubu Penggunaan bubu ketam mulai marak tahun 2001 dan terus mengalami peningkatan sampai penelitian dilakukan. Penggunaan bubu mempunyai pengaruh terhadap terumbu karang, karena sebagian nelayan bubu dalam pengoperasiannya mengkaitkan bubu pada karang. Peningkatan pemakaian bubu ketam dipengaruhi oleh peningkatan permintaan akan ketam. Hasil wawancara terbuka dengan seorang nelayan mengungkapkan bahwa penggunaan bubu ketam di wilayah tersebut meningkat 3-4 kali lipat dibandingkan dengan kondisi 4 tahun sebelumnya. Seorang nelayan yang selama 4 tahun sebelumnya hanya mengoperasikan 20 buah bubu, kini meningkat menjadi sekitar 70 bubu. Dalam lima tahun terakhir bermunculan beberapa usaha pengolahan ketam, sehingga membutuhkan pasokan ketam yang lebih banyak.
59
Pengaruh faktor internal Faktor internal yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap kerusakan karang adalah pengetahaun, sikap dan kepedulian masyarakat serta penggunaan alat tangkap oleh nelayan di wilayah tersebut. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pengetahuan masyarakat terhadap terumbu karang relatif baik. Sebagian besar responden dalam kajian ini, sudah mengetahui kegunaan terumbu karang antara lain sebagai tempat berpijahnya ikan dan melindungi pantai dari abrasi. Selain itu terumbu karang juga mempunyai nilai ekonomis karena dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan dan merupakan bahan baku untuk obat. Selain itu, pengetahuan responden terhadap larangan dan sanksi merusak terumbu karang cukup baik. Dengan berbekal pengetahuan yang memadai, diharapkan para nelayan tidak melakukan kegiatan yang merusak terumbu karang karena hal tersebut akan merugikan dirinya sendiri . Faktor eksternal Permintaan pasar Permintaan pasar yang tinggi dan harga yang kurang menguntungkan terhadap SDL merupakan salah satu sebab terjadinya eksploitasi sumberdaya laut. Permintaan akan hasil laut di lokasi penelitian cukup tinggi, karena hasil tangkapan nelayan di wilayah ini tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan ikan di daerah sendiri tetapi digunakan untuk memenuhi kebutuhan wilayah lain di dalam negeri seperti Jawa Timur bahkan hasil tangkapan juga menjadi komoditi ekspor terutama ke Singapura. Permintaan yang tinggi ditandai dengan diterimanya berapapun jumlah pasokan ikan dari pengumpul di desa ke pengusaha di Tanjung Pinang. Menurut penuturan pengumpul, pengusaha tidak pernah menolak pasokan ikan hasil tangkapan ikan yang disetorkan. Bahkan pengusaha berusaha untuk menerima pasokan yang lebih 60
besar lagi, dengan memberikan tambahan modal kepada pengumpul. Kondisi ini, merupakan salah satu pendorong bagi pengumpul dan nelayan untuk meningkatkan hasil tangkapan. Pengawasan yang belum optimal Meskipun sudah terdapat larangan penggunaan alat-alat yang merusak sumber daya laut, tetapi implementasi di lapangan belum dilakukan secara optimal. Pengawasan tentang penggunakan alat-alat yang melanggar peraturan masih kurang intensif. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain belum adanya armada pengawasan yang memdai dan terbatasnya biaya operasional yang digunakan untuk pengawasan. Meskipun demikian masyarakat di wilayah ini juga berusaha membantu aparat untuk melakukan pengawasan terhadap penggunaan alat tangkap yang merusak. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan secara sukarela sehingga belum terkoordinasi dengan baik. Apabila masyarakat mengetahui penggunaan alat yang merusak oleh nelayan, dilakukan upaya mencegah dengan cara memperingatkan, dan dilakukan tindakan apabila pelaku tidak menghentikan kegiatan merusak tersebut, antara lain dengan pembakaran kapal yang melakukan pelanggaran. Pengawasan ini dilakukan masyarakat nelayan karena terkait dengan kepentingan nelayan, yaitu terganggunya hasil tangkapan nelayan umumnya. Konflik stakeholders Potensi konflik di daerah penelitian berkaitan dengan pekerjaan kenelayanan sangat beragam yang dapat dibedakan menjadi konflik antar nelayan, konflik antara nelayan dan pengumpul ikan (tauke), dan antara nelayan dengan pengusaha diluar kenelayanan seperti nelayan dengan pengusaha pariwisata dan nelayan dengan pengusaha tambang (bouksit). Konflik stakeholders yang terjadi antar nelayan berkaitan dengan penggunaan alat tangkap dan wilayah tangkap. Penggunaan alat 61
tangkap yang tidak ramah lingkungan yang dilakukan oleh sebagian nelayan meresahkan nelayan lain yang tidak menggunakan alat tangkap tersebut karena hasil tangkapannya menjadi berkurang. Nelayan yang menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan akan diperingatkan untuk tidak lagi menggunakannya. Namun demikian bagi pengguna bom sudah tidak lagi terdapat kompromi. Jika diketahui terdapat nelayan yang menggunakan bom, mereka akan dikejar dan peralatannya akan dibakar. Pada umumnya pengguna bom adalah masyarakat laur desa. Konflik antar nelayan juga dipicu oleh wilayah tangkap yang luasnya relatif tetap, sementara jumlah nelayan terus mengalami peningkatan. Pembagian wilayah tangkap yang pada mulanya berjalan baik, lima tahun terakhir mengalami kerancuan. Wilayah tangkap nelayan pancing dan rompong meluas masuk ke arah dalam (pantai) mengganggu wilayah tangkap nelayan jarring. Demikian pula wilayah tangkap nelayan pesisir sebagian masuk ke arah laut yang mengganggu wilayah tangkap nelayan lainnya. Hal ini mendorong dikeluarkannya peraturan desa untuk ‘melegalkan’ kesepakatan mengenai wilayah tangkap yang tidak tertulis. Namun demikian peraturan ini belum tersosialisasi secara luas pada nelayan maupun penduduk desa. Konflik di antara stakeholders pengelola SDL pernah terjadi yaitu antara buruh nelayan dan tauke (pengumpul). Penyebab konflik yang utama adalah penentuan harga yang terlalu rendah (di bawah harga pasar) terhadap hasil tangkapan nelayan. Beberapa nelayan memisahkan diri dari tauke, bahkan seorang nelayan kemudian menjadi tauke. Hal ini berdampak positif karena pengumpul tidak didominasi oleh satu orang, namun hubungan antar pengumpul yang tidak harmonis, menyebabkan terjadi persaingan yang kurang sehat antar para pengumpul yang kebetulan berbeda etnis. Konflik antar pengumpul ikan di tingkat desa dipicu oleh perbedaan penentuan harga oleh sebagian pengumpul yang terlalu menekan nelayan dengan ketentuan harga yang rendah untuk hasil tangkapannya. Ketidakpuasan sebagian nelayan menyebabkan 62
terjadinya perpindahan nelayan ke pengumpul lain yang memberi harga tangkapan lebih tinggi. Biasanya pengumpul yang bermodal kuat akan lebih bertahan dibandingkan pengumpul lainnya, sehingga dapat memenangkan persaingan antar pengumpul, meskipun dengan tetap melakukan penekanan harga untuk hasil tangkapan nelayan. Terdapat konflik antara pengusaha pariwisata dengan nelayan. Pada umumnya kawasan tepi pantai di Desa Malang Rapat telah menjadi milik pengusaha pariwisata, dan kebanyakan para nelayan kini bertempat tinggal agak jauh dari pantai yaitu ke dalam daratan. Banyak kawasan pantai yang masih kosong karena belum dibangun oleh para penngusaha, sehingga belum menimbulkan masalah dengan para nelayan yang tetap beroperasi di sekitar pantai. Kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik, apabila nelayan kelak tidak mempunyai akses untuk menambatkan perahunya, sehingga perlu mendapatkan perhatian pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan ke depan. Konflik nelayan dengan pengusaha bouksit terjadi di salah satu desa daerah penelitian. Kondisi tersebut dipicu oleh kebocoran penampungan limbah penambangan bouksit yang mengalir ke laut dan ke lahan milik warga. Limbah tersebut mengakibatkan pencemaran air laut yang menjadi keruh dan berwarna cokelat. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan berdampak pada berkurangnya SDL yang merugikan nelayan dan ekosistem. Selain itu, pencemaran yang terjadi di daratan telah menyebabkan pohon-pohon milik penduduk menjadi kering dan mati. Kondisi ini jika tidak mendapatkan tanggapan serius akan terjadi berulang kali yang akan sangat merugikan baik penduduk maupun lingkungan. Potensi konflik terjadi antara nelayan dengan pengusaha ketam, yang disebabkan oleh antara lain pembuangan limbah ke sungai di dekat muara. Limbah kulit ketam tersebut yang semakin banyak, akan berpengaruh terhadap pendangkalan muara sungai yang akan berimbas ke wilayah laut. Selain itu, pendangkalan muara sungai akan berdampak pada jalur transportasi air yang banyak digunakan oleh nelayan. 63
64
BAB IV POTRET PENDUDUK KAWASAN GUNUNG KIJANG Data dan informasi mengenai kondisi dan dinamika penduduk di lokasi penelitian sangat penting untuk menjadi dasar dari intervensi program, sehingga sesuai dengan kondisi masyarakat yang menjadi sasaran program. Uraian dalam bab ini meliputi jumlah dan komposisi penduduk, kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan penduduk. Kualitas penduduk dilihat dari pendidikan keterampilan, dan pekerjaan. Sedangkan kesejahteraan penduduk meliputi aset rumah tangga baik aset produksi maupun non-produksi, sanitasi dan kondisi lingkungan. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, meliputi hasil survai, wawancara mendalam, maupun observasi yang dilakukan di daerah penelitian. 4.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk Berdasarkan data makro yang tersedia, jumlah penduduk di Kecamatan Gunung Kijang pada tahun 2005 mencapai 15.638 jiwa, yaitu 8.158 laki-laki dan 7.480 perempuan (BPS Kabupaten Bintan, 2006). Dengan demikian rasio jenis kelamin sebesar 109, menunjukkan pada setiap 100 orang perempuan terdapat 109 orang laki-laki. Dengan luas wilayah mencapai 461 km2 yang meliputi 4 desa/kelurahan, berarti tingkat kepadatan penduduk di kecamatan ini hanya sekitar 31 jiwa per km2 (rata-rata tingkat kepadatan kabupaten 61 jiwa per km2). Dengan jumlah rumah tangga sekitar 4528, maka rata-rata jumlah anggota dalam setiap rumah tangga adalah sekitar 3 atau 4 orang. Data sekunder tentang jumlah dan komposisi penduduk per desa tidak tersedia secara lengkap. Berdasarkan data makro yang tersedia, diantara keempat desa/kelurahan jumlah penduduk terbesar terdapat di Kelurahan Kawal yang mencapai sekitar 4.772 jiwa (1.118 rumah 65
tangga), terdiri dari 2.526 laki-laki dan 2246 perempuan. Sedangkan jumlah penduduk di Desa Teluk Bakau sekitar 1.303 jiwa (386 rumah tangga), dan Desa Malang Rapat sekitar 1.603 jiwa (449 rumah tangga) (CRITC Kabupaten Bintan, 2006). Hasil survai terhadap 100 rumah tangga, menunjukkan jumlah penduduk adalah 385 jiwa, terdiri dari 204 laki-laki dan 181 perempuan atau rasio jenis kelamin 113. Hal ini berarti untuk setiap 100 orang perempuan terdapat 113 laki-laki. Berdasarkan komposisi umur, struktur umur penduduk di daerah penelitian mendekati kategori usia muda (Diagram 4.1). Proporsi penduduk pada kelompok usia produktif mencapai 64 persen, sedangkan proporsi penduduk lainnya berada pada kelompok usia muda (0-14 tahun) yaitu 34 persen. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk usia produktif lebih besar, yaitu hampir mencapai dua kali lipat jumlah penduduk usia non-produktif. Dengan komposisi penduduk tersebut maka beban ketergantungan di lokasi kajian sebesar 56 persen, artinya setiap 100 orang produktif (usia kerja) menanggung 56 orang usia non-produktif, atau 2 orang produktif menanggung 1 atau 2 orang usia non-produktif. Piramida penduduk (Diagram 4.1) yang menggambarkan struktur umur penduduk juga menunjukkan bahwa proporsi penduduk pada kelompok usia 15-24 tahun relatif kecil dibandingkan proporsi penduduk pada kelompok usia produktif lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor migrasi keluar penduduk pada kelompok usia muda, untuk mencari alternatif pekerjaan di luar wilayah desa. Demikian pula proporsi penduduk perempuan pada usia 15-19 tahun relatif kecil (sekitar separuh dari jumlah laki-laki pada kelompok umur yang sama). Terbatasnya alternatif pekerjaan bagi perempuan di desa merupakan salah satu faktor yang mendorong perempuan untuk ke kota baik untuk sekolah ataupun bekerja.
66
Diagram 4.1. Piramida Penduduk di Kawasan Gunung Kijang, 2007 65 + 60-64 55-59
Laki-laki
Perempuan
50-54 45-49 40'44 35-39 30-34 25-29 20-24 15-19 10-14 5-9 0-4
30
20
10
0
10
20
30
Sumber: Data Primer, Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007
4.2. Pendidikan dan Ketrampilan Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, data hasil survei terhadap 100 rumah tangga menunjukkan kualitas penduduk masih relatif rendah. Tabel 4.1 menunjukkan lebih dari separuh anggota rumah tangga yang berusia 7 tahun ke atas (yaitu . dari 319), belum atau tidak menyelesaikan pendidikan setingkat SD (Sekolah Dasar). Bahkan sekitar 11 persen anggota rumah tangga yang belum atau tidak pernah mengenyam pendidikan formal (Tabel 4.1.). Persentase penduduk dengan pendidikan SD tamat ke atas 1 sekitar 37 persen, sementara penduduk yang tamat SLTP ke atas sekitar 18 persen. 1
Menurut Siswanto (1987) untuk melihat tingkat kemajuan pembangunan bidang pendidikan, dapat digolongkan menjadi tingkat pendidikan rendah, sedang dan tinggi. Jika persentase penduduk yang tamat SD ke atas kurang dari 30 persen, maka dikelompokkan dalam tingkat pendidikan rendah, antara 30 dan 60 persen (sedang), lebih dari 60 persen (tinggi) (PPK-LIPI, 2006).
67
Relatif masih banyaknya anak usia sekolah yang tidak sekolah atau melanjutkan sekolah menunjukkan program nasional wajib belajar sembilan tahun, belum menunjukkan hasil yang optimal, sehingga perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah setempat. Tabel 4.1. Distribusi ART (usia 7 tahun ke atas) Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin, Kec. Gunung Kijang, 2007 (Persentase) Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
Laki-laki (N=169)
Perempuan (N=150)
Laki-laki + Perempuan (N=319) 11,0 42,3
Belum/tidak sekolah 11,2 10,7 Belum/tidak tamat 41,4 43,3 SD SD tamat 27,2 29,3 28,2 SLTP tamat 14,8 11,3 13,2 SLTA tamat 5,3 5,3 5,3 Total 100 100 100 Sumber: Data Primer, Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007
Rendahnya tingkat pendidikan penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain terbatasnya sarana pendidikan yang ada di wilayah tersebut. Hal ini dapat dilihat dari data pendidikan tertinggi yang ditamatkan ART di kedua desa penelitian yang menunjukkan kecenderungan berbeda. Persentase penduduk usia 7 tahun ke atas yang belum/tidak sekolah dan belum/tidak tamat SD di Desa Gunung Kijang menunjukkan angka yang lebih tinggi (55,6 persen) dibandingkan di Desa Malang Rapat (52,0 persen). Sebaliknya persentase penduduk yang telah menamatkan pendidikan SLTP ke atas di Desa Gunung Kijang lebih rendah (10,2 persen) dibandingkan Desa Malang Rapat yang mencapai 23,2 persen.
68
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, di Desa Gunung Kijang hanya terdapat 1 buah SD, padahal di desa ini terdapat beberapa kampung yang terletak berjauhan dan kondisi jalan berupa jalan tanah yang kurang memadai. Bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi harus pergi ke daerah lain, seperti di Kawal dan Kijang yang merupakan ibukota Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Timur. Sebaliknya, penduduk wilayah Desa Malang Rapat relatif lebih mudah mengakses sarana pendidikan karena dilewati jalan utama kabupaten. Apalagi saat ini pemerintah daerah juga menyediakan bus sekolah gratis untuk mengangkut murid sekolah di sepanjang jalan utama tersebut. Ketrampilan penduduk di kedua lokasi kajian di Kecamatan Gunung Kijang pada umumnya berkaitan dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan penduduk, sehingga cukup beragam. Sebagian nelayan mempunyai ketrampilan membuat alat tangkap ikan untuk melengkapi peralatan penangkapan ikan yang dimiliki. Alat tangkap yang biasa dibuat sendiri oleh nelayan antara lain bubu ketam, jaring dan rompong. Sedangkan keterampilan yang dimilliki oleh sebagian besar perempuan adalah kerajinan dari lidi seperti sapu lidi, tempat buah dan piring. Ketrampilan ibu-ibu ini terkait dengan tersedianya banyak bahan baku yaitu pelepah pohon kelapa di sepanjang pesisir pantai di wilayah ini. Hampir di semua desa di Kecamatan Gunung Kijang, dapat ditemukan kerajinan membuat sapu lidi, sedangkan kerajinan lainnya dari bahan yang sama, hanya dikembangkan di Desa Malang Rapat (Kampe), pada umumnya merupakan kegiatan samping ibu-ibu di desa tersebut. Kesibukan membuat barang kerajinan dari lidi ini, telah memberikan tambahan penghasilan keluarga, sekitar Rp 20.000 setiap minggu. Pemasaran kerajinan sapu lidi, selain untuk memenuhi kebutuhan local yaitu dijual di pasar atau warung-warung, juga telah dipasarkan melalui beberapa supermarket di kota Tanjung Pinang (antara lain hasil kerajinan dari Dusun Kampe). Pembuatan kerajinan lidi biasanya berdasarkan pesanan, dan pembuatan di Dusun Kampe di koordinir oleh PKK desa. Biasanya hasil kerajinan ini diambil oleh pemesan dari kota seminggu sekali. 69
4.3. Pekerjaan Pekerjaan didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa, sesuai dengan pengakuan responden. Adapun uraian tentang pekerjaan meliputi pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan yang dikategorikan menurut jenis, lapangan dan status pekerjaan. Selain deskripsi tentang pekerjaan responden, gambaran tentang kegiatan utama yang dilakukan responden dijelaskan di bagian awal tulisan ini. Hasil survai terhadap rumah tangga terpilih mengungkapkan pekerjaan utama ART (berusia 10 tahun ke atas) selama enam bulan terakhir (Tabel 4.2). Data dari tabel tersebut menunjukkan bahwa sekitar 57,5 persen dari 294 ART yang berusia 10 tahun ke atas, mempunyai kegiatan utama ’bekerja’. Sedangkan 36,4 persen ART memiliki kegiatan utama ’sekolah’ atau ’mengurus rumah tangga’. Hanya sekitar 6 persen ART yang berstatus menganggur, baik aktif mencari kerja, atau tidak aktif. Berdasarkan data yang lebih rinci menurut lokasi kajian, persentase ART yang berstatus masih sekolah di Desa Gunung Kijang lebih rendah dibandingkan di Desa Malang Rapat, masing-masing sekitar 9 dan 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa banyak ART di Desa Gunung Kijang yang lebih memilih untuk masuk pasar kerja (mencari kerja) dibandingkan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Di Desa Gunung Kijang, tampaknya faktor aksesibilitas untuk menjangkau sarana pendidikan cukup berpengaruh terhadap kondisi rendahnya pencapaian pendidikan di wilayah ini. Hasil survai juga menunjukkan bahwa persentase ART yang bekerja di Desa Gunung Kijang mencapai sekitar 62 persen, lebih tinggi dibandingkan angka di Desa Malang Rapat (sekitar 55 persen).
70
Tabel 4.2. Distribusi ART menurut Kegiatan Utama serta Jenis Kelamin, Kawasan Gunung Kijang, 2007 (Persentase)
Kegiatan Utama
Laki-laki (N=153)
Perempuan (N=141
Laki-laki + Perempuan (N=294) 57,5 4,8
Bekerja 82,4 30,5 Menganggur/ 2,0 7,8 Tidak mencari kerja Mencari kerja 1,3 1,4 1,4 Sekolah 14,4 17,7 16,0 Mengurus rumah tangga 0,0 42,6 20,4 Total 100 100 100 Sumber: Data Primer, Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007
Pekerjaan Utama Secara keseluruhan hasil survai tentang pekerjaan utama ART dari 100 rumah tangga terpilih di kedua lokasi kajian menunjukkan adanya pola yang sama dengan pekerjaan utama penduduk di kedua desa sampel, Desa Gunung Kijang dan Desa Malang Rapat. Tabel 4.3 menunjukkan bahwa lebih dari separuh (sekitar 52 persen) ART yang berstatus bekerja., mempunyai lapangan pekerjaan di sektor perikanan tangkap. Selebihnya bekerja bekerja di sektor jasa (14,2 persen) dan industri pengolahan (13,6 persen), dan sebagian kecil ART terlibat dalam pekerjaan di sektor pertanian tanaman keras, perdagangan, angkutan, dan lainnya.
71
Tabel 4.3. Distribusi ART menurut Lapangan, Jenis, dan Status Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin di Kawasan Gunung Kijang, 2007 (Persentase)
Pekerjaan Utama
Laki-laki (N=126)
Perempuan (N=43)
Laki-laki + Perempuan (N=169)
A. Lapangan Pekerjaan Perikanan tangkap 69,0 2,3 52,1 Pertanian tanaman keras 8,7 7,0 8,3 Industri pengolahan 2,4 46,5 13,6 Perdagangan 2,4 18,6 6,5 Angkutan 2,4 0,0 1,8 Jasa 10,3 25,6 14,2 Lainnya 4,8 0,0 3,6 Total 100 100 100 B. Jenis Pekerjaan Nelayan 69,0 2,3 52,1 Petani tanaman keras 8,7 7,0 8,3 Tenaga produksi 7,1 46,5 17,2 Tenaga penjualan 1,6 18,6 5,9 Tenaga kasar 1,6 0,0 1,2 Tenaga usaha jasa 11,9 25,6 15,4 Total 100 100 100 C. Status Pekerjaan Berusaha sendiri 67,5 27,9 57,4 Buruh/karyawan 25,4 25,6 25,4 Pekerja keluarga 1,6 14,0 4,7 Berusaha dengan 5,6 32,6 12,4 Orang lain/bagi hasil Total 100 100 100 Sumber: Data Primer, Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007
Pekerjaan Tambahan Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa selain pekerjaan utama, beberapa responden juga memiliki pekerjaan tambahan lainnya untuk menambah penghasilan rumah tangga. Di samping pekerjaan utama 72
yang dilakukan ART, sekitar 22 persen dari 169 ART yang berstatus bekerja, juga memiliki pekerjaan tambahan. Dilihat dari lapangan pekerjaan, sekitar 32 persen (12 orang) memiliki pekerjaan tambahan di sektor pertanian tanaman keras, selebihnya bekerja di sektor jasa, industri pengolahan, perdagangan, dan perikanan tangkap. Sedangkan ART yang memiliki pekerjaan sampingan budi daya ikan, hanya seorang (2,7 persen) yaitu di Desa Gunung Kijang (Tabel 4.4.). Tabel 4.4. Persentase ART menurut Lapangan, Jenis, dan Status Pekerjaan Tambahan serta Jenis Kelamin, Kawasan Gunung Kijang, Tahun 2007
Pekerjaan Tambahan
Laki-laki (N=31)
Perempuan (N=6)
Laki-laki + Perempuan (N=37)
A. Lapangan Pekerjaan Perikanan tangkap 16,1 0,0 13,5 Perikanan budidaya 3,2 0,0 2,7 Pertanian tanaman keras 38,7 0,0 32,4 Industri pengolahan 16,1 16,7 16,2 Perdagangan 9,7 16,7 16,2 Jasa 16,1 66,7 24,3 Total 100 100 100 B. Jenis Pekerjaan Nelayan 19,4 0,0 16,2 Petani tanaman keras 38,7 0,0 32,4 Tenaga produksi 6,5 16,7 8,1 Tenaga penjualan 9,7 16,7 10,8 Tenaga kasar 9,7 16,7 10,8 Tenaga usaha jasa 16,1 50,0 21,6 Total 100 100 100 C. Status Pekerjaan Berusaha sendiri 74,2 16,7 64,9 Buruh/karyawan 25,8 66,7 32,4 Berusaha dengan 0,0 16,7 2,7 Orang lain/bagi hasil Total 100 100 100 Sumber: Data Primer, Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007
73
Dilihat dari jenis pekerjaannya, sekitar 32 persen (2 responden) bekerja sebagai petani tanaman keras, sebagai tenaga usaha jasa sekitar 22 persen (8 orang) dan selebihnya mempunyai jenis pekerjaan yang beragam yaitu sebagai nelayan, tenaga penjualan, tenaga kasar, dan tenaga produksi. Dilihat dari status pekerjaannya, sebagian besar responden (sekitar 65 persen) berusaha secara mandiri. Responden yang berstatus sebagai buruh atau karyawan sekitar 32 persen, sedangkan respoden yang berusaha dengan orang lain atau bagi hasil hanya seorang (sekitar 3 persen). 4.4. Kesejahteraan Penduduk Bagian ini merupakan uraian tentang kondisi kesejahteraan penduduk di daerah penelitian dilihat dari aspek kepemililikan terhadap aset rumah tangga (aset produksi dan non-produksi) serta kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan. Sebagai penutup bagian ini akan adalah deskripsi tentang strategi rumah tangga dalam pengelolaan keuangan. Pemilikan Aset Produksi Kepemilikan aset produksi responden nelayan meliputi kepemilikan terhadap sarana tangkap dan alat tangkap. Sarana tangkap berupa perahu motor merupakan aset rumah tangga yang sangat berharga bagi nelayan. Semakin canggih perahu motor yang dimiliki, maka semakin besar pula jangkauan penangkapan dan hasil tangkapan yang didapatkan. Data pada Tabel 4.5. menunjukkan bahwa dari 71 rumah tangga yang memiliki sarana perahu motor, hampir separuhnya (35 rumah tangga) hanya memiliki perahu tanpa motor (sampan). Ukuran perahu tersebut bervariasi antara 1,5 kaki sampai dengan 17 kaki, dengan kondisi yang beragam dari yang sudah usang sampai kondisi masih baik. Nelayan yang hanya memiliki perahu tanpa motor umumnya menangkap ikan pada jarak yang relatif dekat dengan pulau. Jangkauan penangkapan ikan yang tidak terlalu luas menyebabkan hasil tangkapan juga relatif terbatas. Selain digunakan 74
untuk penangkapan ikan, perahu tanpa motor juga digunakan untuk menangkap ikan sotong (nyomek) pada bulan-bulan tertentu. Lokasi penangkapan ikan sotong biasanya tidak jauh dari pulau sehingga masih terjangkau dengan penggunaan sampan. Tabel 4.5. Kepemilikan Aset Produksi (Sarana Tangkap) di Kawasan Gunung Kijang, Tahun 2007 Jenis Sarana Tangkap Perahu motor dalam
Jumlah yang dimiliki RT
Persentase
1 2 4 1 1 2
24,0 2,0 1,0 Perahu motor tempel 9,0 Perahu tanpa motor 33,0 2,0 Tidak punya perahu 29,0 Jumlah 100 N 100 Sumber: Data Primer, Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2007
Tabel 4.5. juga memperlihatkan bahwa jumlah rumah tangga yang memiliki perahu motor dalam dan perahu motor tempel masingmasing berjumlah 27 dan 9 rumah tangga. Sebagian besar hanya memiliki sebuah perahu motor, tetapi bervariasi dilihat dari ukuran body dan kekuatan mesinnya. Body perahu motor dalam yang dimiliki nelayan, paling banyak berukuran 28 dan 30 kaki, sedangkan mesin perahu motor dalam terbanyak berkekuatan 20 dan 24 PK. Sementara nelayan dengan perahu motor tempel hanya memiliki mesin berkekuatan 5 dan 5,5 PK, serta ukuran body perahu yang berkisar antara 1,8 dan 19 kaki. Aset produksi berupa alat tangkap yang dimiliki oleh responden nelayan umumnya masih bersifat sederhana antara lain berupa bubu, jaring dan pancing rawai (Tabel 4.6.). Bubu lebih banyak dimiliki oleh nelayan di Desa Gunung Kijang (21 rumah tangga), sedangkan jaring dan pancing rawai lebih banyak dimiliki oleh rumah tangga 75
nelayan di Desa Malang Rapat, masing-masing sebanyak 27 dan 24 rumah tangga. Sebagian kecil nelayan di Desa Malang Rapat (5 rumah tangga) memiliki alat tangkap berupa keramba atau bagan, dan hanya ada 1 rumah tangga di Desa Gunung Kijang yang memiliki tambak. Salah satu kendala yang dihadapi banyak nelayan di lokasi kajian adalah sarana dan alat tangkap yang dimiliki masih relatif sederhana, dibandingkan alat tangkap yang dimiliki sebagian nelayan dari luar di wilayah tangkap yang sama. Sebagian nelayan dari luar wilayah tersebut memiliki sarana dan alat tangkap yang jauh lebih memadai, antara lain perahu kelong yang juga banyak dimiliki nelayan dan tauke di Kelurahan Kawal. Menurut penuturan salah seorang nelayan di Desa Malang Rapat, biaya pembuatan 1 kelong bisa mencapai lebih dari 20 juta rupiah. Hampir tidak ada nelayan-nelayan di desa ini yang memiliki kelong. Kelong-kelong yang ada umumnya merupakan milik pengusaha atau tauke yang memiliki kemampuan modal cukup besar. Tabel 4.6. Kepemilikan Aset Produksi (Alat Tangkap) di Kawasan Gunung Kijang, 2007 (N=100) Jenis Alat Tangkap Frekuensi Persentase Keramba 1 1,0 Bagan 4 4,0 Bubu 33 33,0 Jaring 30 30,0 Pancing rawai 31 31,0 Tambak 1 1,0 Sumber: Data Primer, Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2007
Selain kepemilikan aset produksi berupa sarana dan alat tangkap di atas, kepemilikan lahan dapat menjadi salah satu sumber penghasilan masyarakat untuk terus dikembangkan. Akan tetapi masyarakat di kedua desa umumnya sudah tidak memiliki lagi lahan pangan/perkebunan yang relatif luas. Sebagaimana telah disebutkan 76
sebelumnya, banyak masyarakat yang telah menjual sebagian besar lahan mereka kepada pengusaha dari luar wilayah kedua desa tersebut. Hasil survai menunjukkan sebagian besar rumah tangga (77 persen) tidak lagi memiliki lahan yang dapat digunakan untuk kegiatan produksi (pangan/perkebunan). Hanya 15 rumah tangga yang mengaku memiliki lahan seluas setengah sampai satu hektar. Sebagian kecil rumah tangga masih memiliki lahan dengan luas bervariasi. Pemanfaatan lahan yang dimiliki masyarakat tersebut umumnya juga belum dilakukan secara optimal, bahkan tidak jarang diantara lahan tersebut yang dibiarkan tidak terawat. Pemilikan Aset Non-Produksi Kepemilikan aset rumah tangga non-produksi meliputi rumah, alatalat elektronik dan kendaraan bermotor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 89 persen rumah tangga sampel mempunyai rumah sendiri (Tabel 4.7.). Sebagian diantaranya bahkan memiliki pekarangan yang cukup luas di sekitar rumah. Responden yang belum memiliki rumah sendiri pada umumnya pendatang yang masih tinggal dengan orang tua atau menyewa rumah. Tabel 4.7. Kepemilikan Aset Non-Produksi di Kawasan Gunung Kijang, 2007 Persentase (N=100) Rumah (termasuk pekarangan) 89,0 Televisi 65,0 VCD player 47,0 Parabola 1,0 Perhiasan 46,0 Kendaraan bermotor 65,0 Telepon seluler (HP) 39,0 Diesel 9,0 Genset 4,0 Komputer 1,0 Sumber: Data Primer, Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2007 Jenis Aset Rumah Tangga
77
Pemilikan asset non-produksi lain adalah alat elektronik. Cukup banyak rumah tangga responden di kedua lokasi kajian (Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang) yang memiliki alat elektronik seperti televisi, VCD player dan telepon seluler/HP). Hampir dua dari tiga rumah tangga memiliki televisi, meskipun alat elektronik tersebut umumnya hanya bisa dioperasikan secara terbatas waktunya (biasanya sore sampai malam hari sesuai dengan operasinya mesin pembangkit listrik). Selain televisi, sekitar 47 persen rumah tangga juga memiliki VCD player, .dan sekitar 39 peren rumah tangga yang memiliki sarana komunikasi berupa telepon seluler (HP). Seiring kemajuan teknologi komunikasi, dalam beberapa tahun terakhir semakin banyak rumah tangga yang memiliki telpon selular, termasuk di kedua desa kajian. Keberadaan sarana komunikasi tersebut cukup bermanfaat bagi masyarakat, mengingat sampai saat ini kedua desa tersebut belum dijangkau fasilitas telepon kabel. Sarana transportasi berupa kendaraan bermotor juga menjadi kebutuhan penting masyarakat di lokasi penelitian, karena sampai sekarang belum tersedia transportasi umum yang memadai. Sebagian besar rumah tangga (65 persen) telah memiliki sepeda motor. Belum memadainya angkutan umum yang menjangkau kedua desa menjadi alasan utama masyarakat berusaha untuk memiliki sarana tranportasi tersebut. Hal ini juga didukung dengan kemudahan sistem kredit maupun berbagai bentuk pinjaman lainnya yang dapat dimanfaatkan masyarakat. Keberadaan sepeda motor tidak hanya digunakan untuk keperluan sehari-hari (mengantar anak ke sekolah, pergi ke pasar), tetapi juga menjadi sarana pengangkutan dan pemasaran hasil tangkapan ikan atau hasil produksi masyarakat lainnya. Keberadaan mesin diesel dan genset sebenarnya juga menjadi kebutuhan penting bagi masyarakat di kedua desa. Hal ini mengingat sebagian besar wilayah di kedua lokasi penelitian ini belum dijangkau fasilitas listrik PLN. Hasil survai menunjukkan bahwa rumah tangga yang mengaku memiliki mesin diesel dan genset sendiri relatif masih sedikit, yakni masing-masing mencapai 9 dan 4 persen. Masih mahalnya harga kedua mesin tersebut, termasuk biaya operasional sehari-hari untuk menyalakan listrik, menjadi salah satu kendala bagi 78
masyarakat. Beberapa rumah tangga menyiasati hal tersebut dengan berusaha memikul beban pengeluaran secara bersama-sama (patungan). Satu mesin diesel/genset dapat dimiliki bersama sehingga penggunaannya untuk keperluan penerangan beberapa rumah tangga yang berdekatan. Untuk keperluan pembelian bahan bakar, ditanggung bersama oleh rumah tangga pengguna secara patungan. Pada umumnya rumah tangga yang menggunakan genset secara patungan, merupakan rumah tangga yang mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk kebutuhan penerangan tersebut. Sedangkan bagi rumha tangga dengan kondisi ekonominya kurang beruntung, pada umumnya masih menggunakan pelita/suluh/obor untuk kebutuhan penerangan rumah tangga sehari-hari. Kondisi Perumahan dan Lingkungan Lokasi perumahan penduduk Desa Malang Rapat maupun Gunung Kijang pada umumnya berada di daratan. Dari pengamatan di lokasi kajian hampir tidak terdapat rumah yang lokasinya di atas perairan. Salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut adalah banyak lahan di wilayah pantai yang bukan lagi milik penduduk, karena telah berpindah tangan dan kini dikuasai oleh para pengusaha. Pada tahun 1980-an lahan sepanjang pantai Desa Malang Rapat yang semula milik penduduk lokal telah dijual ke pengusaha pendatang, sebagian menjadi kawasan wisata berupa resort, sebagian lainnya masih belum dimanfaatkan. Bahan yang digunakan untuk bangunan rumah penduduk di lokasi penelitian cukup bervariasi. Pada umumnya bangunan rumah di pinggir jalan raya terutama di Desa Malang Rapat berdiding batu dan/atau kombinasi batu dan papan. Sedangkan di daerah pedalaman pada umumnya bangunan rumah berdinding papan. Kondisi yang hampir sama juga dapat dilihat di Desa Gunung Kijang terutama di Dusun Masiran kebanyakan lantai dan dinding rumah terbuat dari kayu dan berbentuk rumah panggung, karena umumnya bangunan rumah berada di atas rawa-rawa. Sedangkan sebagian besar rumah di
79
Dusun Galang Batang terbuat dari kayu tetapi tidak berbentuk panggung. Sumber air bersih penduduk di desa-desa di Kecamatan Gunung Kijang pada umumnya diambil dari sumur. Untuk keperluan air minum penduduk biasanya mengambil dari sumur yang letaknya di dalam desa, relatif jauh dengan pantai. Kualitas air sumur di dalam desa lebih baik tidak payau. Sedangkan untuk keperluan MCK penduduk mengambil air dari sumur disekitar rumah, sebagian lainnya masih menggunakan air sungai (sebagian penduduk di Desa Malang Rapat). Menurut keterangan penduduk setempat, kualitas air di wilayah Kecamatan Gunung Kijang tidak baik sehingga merusakkan gigi. Sebagian besar penduduk Kecamatan ini telah menggunakan gigi palsu. Strategi rumah tangga dalam pengelolaan keuangan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa strategi yang dilakukan rumah tangga untuk pengelolaan keuangannya., agar dapat mencukupi kebutuhan secara berkesinambungan. Strategi yang dilakukan tersebut antara lain adalah dengan jalan menabung. Tabungan yang dimiliki dalam suatu rumah tangga diharapkan dapat digunakan jika terjadi kesulitan keuangan. Selain itu juga terdapat strategi lain bagaimana rumah tangga di lokasi kajian mengatasi kesulitan keuangannya. Kebiasaan menabung tampaknya masih belum banyak dilakukan penduduk di Kawasan Gunung Kijang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 100 rumah tangga terpilih, hanya 33 persen saja yang mengaku mempunyai tabungan. Dari mereka yang memiliki tabungan, diperoleh informasi bahwa sebagian besar (97 persen) tabungan tersebut adalah dalam bentuk uang, sedangkan sisanya dalam bentuk perhiasan. Masih sedikitnya responden yang memiliki kebiasaan menabung ini terutama disebabkan oleh jumlah penghasilan yang masih minim. Jumlah penghasilan tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 80
Belum adanya kebiasaan menabung di kalangan penduduk mengakibatkan mereka rentan mengalami kesulitan keuangan, terutama pada waktu-waktu tertentu, seperti musim gelombang kuat. Dari hasil survai didapatkan bahwa hampir seluruh rumah tangga (96 persen) menyatakan pernah mengalami kesulitan keuangan dalam satu tahun terakhir. Bentuk kesulitan keuangan yang pernah dialami rumah tangga cukup bervariasi (Tabel 4.8). Tabel 4.8. Kesulitan Keuangan Rumah Tangga dalam Setahun Terakhir di Kawasan Gunung Kijang, 2007 Bentuk kesulitan
Persentase
Tidak pernah kesulitan 4,0 Penyediaan sarana produksi 35,0 Biaya produksi 4,0 Bahan makanan 39,0 Biaya pendidikan 4,0 Biaya kesehatan 14,0 Jumlah 100 N 100 Sumber: Data Primer, Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007
Kesulitan utama adalah berkaitan dengan penyediaan bahan makanan sehari-hari (39 persen). Kesulitan ini biasanya tidak terjadi sepanjang tahun, tetapi hanya pada musim-musim tertentu. Puncak musim angin utara pada bulan Desember dan Januari umumnya menjadi saat-saat sulit bagi kehidupan masyarakat terutama nelayan. Pada bulan-bulan tersebut angin bertiup sangat kencang dan gelombang sangat kuat sehingga nelayan dengan armada dan alat tangkap sederhana tidak bisa pergi melaut. Hal ini berpengaruh terhadap terganggunya aktivitas melaut nelayan tradisional tersebut. Penghasilan yang tidak 81
menentu dan terbatasnya lapangan pekerjaan di sektor lain membuat sebagian masyarakat mengalami kesulitan keuangan, bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesulitan keuangan berkaitan dengan kegiatan produksi terutama berupa kesulitan penyediaan sarana produksi (35 persen) dan biaya produksi (3 persen). Kesulitan untuk penyediaan sarana produksi pada umumya dirasakan oleh para nelayan, yaitu untuk biaya pembelian sarana tangkap (seperti perahu dan mesin/motor perahu) dan alat tangkap (seperti bubu, jaring, dan pancing) serta perbaikan sarana/alat tersebut apabila terjadi kerusakan. Sedangkan rumah tangga yang mengalami kesulitan biaya produksi umumnya berkaitan dengan pembelian bahan bakar yang digunakan untuk keperluan melaut sehari-hari. Berkaitan dengan kebutuhan terhadap biaya kesehatan dan pendidikan, dari hasil survai didapatkan informasi bahwa rumah tangga yang mengaku mengalami kesulitan untuk kedua kebutuhan tersebut masing-masing hanya 14 dan 4 persen. Hal ini mungkin karena permasalahan tersebut tidak dirasakan dampaknya secara langsung terhadap aktivitas ekonomi rumah tangga sehari-hari. Beberapa cara yang dilakukan responden/rumah tangga untuk mengatasi berbagai kesulitan keuangan dapat dilihat pada Tabel 4.9. Dari 96 rumah tangga yang mengaku pernah mengalami kesulitan keuangan, sebanyak 56 rumah tangga diantaranya (58,3 persen) mengatasi permasalahan tersebut dengan cara meminjam ke tauke. Sebagian rumah tangga lainnya (25 persen) lebih memilih untuk meminjam ke warung/tetangga/saudara, terutama bagi mereka yang bukan nelayan.
82
Tabel 4.9. Responden Menurut Cara Mengatasi Kesulitan Keuangan di Kawasan Gunung Kijang, 2007 Upaya
Frekuensi
Persen
Pinjam ke punggawa/bos/tauke 56 58,3 Pinjam ke warung/tetangga/saudara 25 26,0 Minta bantuan keluarga/saudara/ 8 8,3 tetangga secara cuma-Cuma Menjual simpanan 2 2,1 Menggadaikan barang 1 1,0 Pinjam ke koperasi/bank 1 1,0 Jumlah 96 100,0 Sumber: Data Primer, Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2005
Dalam menghadapi kesulitan keuangan yang relative besar, biasanya mereka ke tauke yang biasa menampung hasil tangkapan ikannya untuk berhutang. Peran tauke sebagai tempat untuk mencari bantuan jika terjadi kesulitan keuangan cukup besar. Pada umumnya nelayan merasa lebih mendapat kemudahan untuk meminjam uang kepada tauke dibandingkan kepada pihak lainnya, baik dalam prosedur pinjaman maupun cara pembayaran. Hal ini juga menjadi salah satu cara tauke mengikat nelayan, agar tetap tergantung kepada tauke. Dengan tetap berhutang kepada tauke, nelayan akan selalu menjual ikan hasil tangkapannya kepada tauke tersebut. Cara pembayaran pinjaman umumnya juga diangsur setiap kali nelayan menjual ikan ke tauke. Bentuk ikatan antara tauke dan nelayan telah berlangsung sejak lama, di mana nelayan-nelayan tersebut berada pada posisi tawar yang realtif lemah.
83
Lampiran Distribusi Responden Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Kawasan Gunung Kijang, 2007 (Persentase) Kelompok Umur 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40'44 45-49 50-54 55-59 60-64 65 +
Laki-laki + Perempuan 12.3 12.7 12.5 12.7 9.4 11.2 8.8 12.7 10.6 7.4 4.4 6.0 4.9 9.4 7.0 11.3 12.2 11.7 9.3 12.2 10.6 10.8 5.0 8.1 5.4 8.8 7.0 4.9 3.3 4.2 1.5 2.8 2.1 3.9 3.3 3.6 4.9 2.8 3.9 2.0 1.1 1.6 100 100 100 N 204 181 385 Sumber: Data Primer, Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2007
84
Laki-laki
Perempuan
BAB V PENDAPATAN Pendapatan seseorang atau rumah tangga merupakan hasil usaha/upah yang diperoleh seseorang/rumah tangga dari kegiatan ekonomi yang dilakukannya. Dengan memperoleh pendapatan, seseorang merasa berharga karena dapat membiayai kehidupan atau mensejahterakan keluarganya. Dengan kata lain pendapatan merupakan salah satu aspek penting dalam menggambarkan tingkat kesejahteraan seseorang/keluarga. Bagian ini akan memfokuskan pada analisa pendapatan rumah tangga di lokasi kajian (termasuk rata-rata dan pendapatan per kapita), pendapatan rumah tangga menurut lapangan pekerjaan serta pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayanan. Sebagai pengantar bagian ini, dikaji juga pendapatan penduduk dan pendapatan per kapita di tingkat makro (Kabupaten Bintan), dengan menggunakan data PDRB per sektor, khususnya untuk sektor pertanian/perikanan. Sedangkan di tingkat lokasi penelitian, digunakan pendapatan rumah tangga dari hasil survei yang dilakukan di kedua lokasi kajian yaitu di Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang di Kecamatan Gunung Kijang. Pendapatan suatu daerah yang merupakan akumulasi pendapatan dari berbagai sektor, biasanya dicerminkan oleh besarnya angka Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dihitung berdasarkan waktu tertentu (satu tahun). Data PDRB tahunan di suatu wilayah juga dapat mencerminkan laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah, baik secara keseluruhan maupun sektoral. PDRB biasa didefinisikan sebagai: keseluruhan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu dalam waktu setahun. Sedangkan PDRB per kapita dan pendapatan per kapita ”mencerminkan besarnya nilai tambah yang dihasilkan oleh faktor-faktor peroduksi yang ada di Kabupaten Bintan setelah dibagi jumlah penduduk yang berada di wilayah tersebut” (BPS dan Bappeda Kabupaten. Bintan, 2006: 252). Berdasarkan data PDRB 85
tahun 2005 atas dasar harga konstan 2000, secara umum laju pertumbuhan ekonomi ekonomi Kabupaten Bintan cenderung mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya (2004), yaitu dari 4,96 persen (tahun 2004) menjadi 4,52 pada tahun 2005. Selama periode 2004-2005, nilai PDRB menunjukkan peningkatan meskipun relatif kecil (sekitar 5%), baik atas dasar harga yang berlaku maupun harga konstan. Peningkatan ini merupakan kontribusi dari semua sektor ekonomi, terutama sektor perdagangan (sekitar 6%), sektor bangunan (sekitar 6%) sektor pertambangan (sekitar 4,5%) dan sektor pertanian (sekitar 4%). (BPS dan Bappeda Kabupaten Bintan, 2006: 255). Dilihat dari struktur PDRB, sektor industri pengolahan merupakan sektor yang berperan penting dalam perekonomian di Kabupaten Bintan, dibandingkan sektor-sektor lainnya. Pada tahun 2005 sumbangan sektor industri pengolahan terhadap PDRB baik atas dasar harga yang berlaku dan harga konstan 2000, mencapai lebih dari 60%, sementara sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB hanya sekitar 3% (atas dasar harga yang berlaku dan harga konstan 2000). Namun demikian dilihat dari sisi penyediaan lapangan usaha, berdasarkan data Susenas tahun 2005, sektor pertanian masih tetap berperan penting dalam penyediaan lapangan pekerjaan, karena sekitar 32 persen penduduk (15 tahun ke atas) yang bekerja terlibat di sektor pertanian, sementara hanya sekitar 25 persen yang bekerja di sektor industri pengolahan (BPS dan Bappeda Kab. Bintan, 2006: 45). Hal ini menunjukkan bahwa struktur perekonomian di Kabupaten Bintan bersifat dual ekonomy, yaitu peran sektoral dalam pertumbuhan ekonomi tidak serta merta menjamin penyediaan lapangan pekerjaan yang sebanding di sektor tersebut. (lihat Diagram 5.1).
86
Diagram 5.1: Struktur PDRB Kabupaten Bintan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005, Atas Dasar Harga Berlaku
pertanian pertambangan 10
3 12 3
04
63
14
industri pengolahan listrik,gas, air bersih bangunan perdag, hotel &resto transportasi & kom keuangan jasa
Sumber: Kabupaten Bintan Dalam Angka 2005/2006, BPS Kab. Bintan, 2005:254
Tampaknya perbaikan nilai PDRB hampir pada semua sektor ini belum tercermin dalam pertumbuhan ekonomi yang cenderung mengalami penurunan meskipun relatif kecil. Goncangan inflasi yang cukup berat sejak tahun 1997, diikuti kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok lainnya, tampaknya telah menyulitkan pemulihan ekonomi baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Hal ini tercermin dari tingkat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bintan yang mengalami peningkatan relatif kecil selama 2002- 2005, yaitu dari 4,16 menjadi 4,52 persen ( BPS Kab. Bintan, 2006: 257) Kondisi perekonomian makro ini juga berdampak terhadap peningkatan PDRB regional per kapita (atas dasar harga berlaku) maupun PDRB per kapita. Pendapatan regional per kapita atas dasar harga berlaku selama 2004-2005, mengalami peningkatan sekitar 5,3%. Demikian pula PDRB per kapita (menurut harga yang berlaku) mengalami peningkatan dari sekitar Rp 15.044.752 (2004) menjadi Rp15.852.089 (2005) atau sekitar 5%. Peningkatan PDRB per kapita 87
yang relatif kecil tersebut cenderung dipengaruhi faktor inflasi yang tidak dapat diabaikan selama ini. Meskipun sektor pertanian dalam arti luas mencakup berbagai sub sektor seperti pertanian pangan, hutan, perkebunan dan perikanan, peran sumber daya laut terutama perikanan laut dalam perkembangan ekonomi wilayah ini cukup penting. Kondisi ini disebabkan karena sebagai daerah kepulauan, sebagian besar wilayah Kabupaten Bintan (98 persen) terdiri dari lautan, dengan potensi utama wilayah ini adalah sumber daya laut (SDL). Data tentang sumbangan masingmasing sub sektor pertanian pada tahun 2005 menunjukkan kecenderungan meningkatnya jumlah produksi ikan tangkap, jumlah rumah tangga penangkap ikan dan meluasnya budi daya perikanan. Meskipun demikian nilai produksi ikan cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Data yang tersedia menunjukkan produkjsi perikanan pada tahun 2005 meningkat sekitar 25 persen, sementara nilai produksi perikanan mengalami penurunan sekitar 11 persen dibandingkan tahun sebelumnya (BPS dan Bappeda Kab. Bintan, 2006: 104). Relatif kecilnya sumbangan sektor pertanian secara makro, kemungkinan juga sebagai akibat potensi besar SDL belum dikelola secara maksimal di wilayah ini, atau belum tersedianya data yang akurat tentang perikanan di wilayah ini. 5.1. Pendapatan Rumah Tangga dan Per Kapita Pendapatan rumah tangga meliputi pendapatan semua anggota rumah tangga (10 tahun ke atas) dari rumah tangga terpilih (responden) yang pada seminggu lalu berstatus bekerja, baik dari pekerjaan utama maupun pekerjaan tambahan. Sumber pendapatan rumah tangga dikelompokkan ke dalam : 1. Pendapatan yang berasal dari sektor perikanan laut yang dibedakan menurut musim; 2. pendapatan dari sektor budidaya; dan 3. Pendapatan dari sektor lainnya (di luar perikanan dan budidaya). Pendapatan rumah tangga merupakan pendapatan bersih per bulan, yang diperhitungkan setelah pendapatn kotor dikurangi biaya produksinya. Survei dilakukan untuk 100 rumah tangga, masing-masing 60 rumah tangga untuk Desa Malang 88
Rapat dan selebihnya (40 rumah tangga) untuk Desa Gunung Kijang. Namun dalam analisa pendapatan kedua desa digabung untuk menghindarkan jumlah sel yang terlalu kecil. Kedua desa tersebut merupakan desa pantai, dimana mayoritas penduduk terlibat kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan kenelayanan. Namun demikian banyak penduduk kedua desa juga melakukan kegiatan ekonomi lainnya, baik sebagai pekerjaan utama maupun tambahan di luar perikanan laut. Hal ini dipengaruhi antara lain oleh fluktuasi musim dalam perikanan laut, potensi SDL, peralatan tangkap yang digunakan, kesempatan kerja yang tersedia serta kebutuhan untuk mencukupi ekonomi keluarga. Untuk memperoleh gambaran tentang pendapatan rumah tangga di lokasi penelitian, beberapa tabulasi hasil survei dapat memberikan gambaran tentang distribusi pendapatan semua rumah tangga terpilih menurut kelompok pendapatan dan lapangan pekerjaan, serta distribusi pendapatan yang berasal dari kegiatan kenelayanan terkait dengan perbedaan musim. Untuk memberi gambaran umum tentang pendapatan rumah tangga dan perbandingan antara kedua lokasi kajian Tabel 5.1. menyajikan statistik pendapatan rumah tangga,yang meliputi pendapatan per kapita, rata-rata, median, minimum dan maksimum. Berdasarkan hasil analisa hasil survei di kedua lokasi, pendapatan rumah tangga di Desa Gunung Kijang sedikit lebih tinggi dari pendapatan rumah tangga di Desa Malang Rapat, baik dilihat dari pendapatan per kapita, rata-rata maupun median. Perbedaan pendapatan minimum dan maksimum di Desa Malang Rapat yang cukup mencolok (hampir dua kali lipat) dibandingkan Desa Gunung Kijang, menunjukkan pendapatan rumah tangga di Desa Gunung Kijang cenderung lebih merata dibandingkan Desa Malang Rapat. Hal ini juga tercermin dari sebaran pendapatan responden (angka median), yang sedikit lebih tinggi (Rp811.617) di Desa Gunung Kijang dibandingkan di Desa Malang Rapat (Rp779.325).
89
Tabel 5.1. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Menurut Lokasi Penelitian, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007 (Rupiah) Pendapatan rumah tangga (per bulan) Per kapita Rata-rata Rumah Tangga Median Minimum pendapatan RT Maksimum pendapatan RT Jumlah (N)
Desa Malang Rapat 207.420 779.325
Desa Gunung Kijang 255.195 811.617
Total
226.530 792.242
534.167 161.667
696.875 117.250
561.000 117.250 4.433.333
4.433.333 60
2.168.083 40
100
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, Indonesia, 2007
Namun apabila dilihat lebih rinci untuk masing-masing desa, terdapat perbedaan distribusi pendapatan rumah tangga yang mencolok pada kedua desa kajian. Secara keseluruhan proporsi tertinggi (42%) adalah rumah tangga dengan kelompok pendapatan bersih kurang dari Rp500.000 per bulan dan hanya 1 rumah tangga yang berpendapatan di atas Rp3 juta yaitu di Desa Malang Rapat (Tabel 5.2). Di Desa Malang Rapat, sekitar 47 persen merupakan kelompok berpenghasilan rendah (kurang dari Rp500.000 per bulan), sementara untuk kelompok pendapatan yang sama di Desa Gunung Kijang proporsinya lebih rendah (35%). Bahkan mayoritas rumah tangga di Desa Malang Rapat (80%) berpendapatan kurang dari sejuta rupiah per bulan, sementara di Desa Gunung Kijang proporsinya jauh lebih rendah (65%). Kondisi yang kontras terdapat pada kelompok pendapatan yang relatif tinggi, yaitu sekitar 7% rumah tangga di Desa Malang Rapat mempunyai pendapatan dua juta rupiah atau lebih, sementara hanya satu rumah tangga di Desa Gunung Kijang dengan 90
pendapatan yang sama. Hal ini semakin menguatkan temuan, bahwa ketimpangan pendapatan rumah tangga lebih mencolok di Malang Rapat daripada di Gunung Kijang. Secara makro kondisi ekonomi di Desa Malang Rapat tampak lebih maju dan lebih dinamis dibandingkan Desa Gunung Kijang, baik dilihat dari kepadatan penduduk maupun variasi mata pencaharian penduduknya. Tabel 5.2. Distribusi Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan Dan Lokasi Penelitian Kecamatan Gunung Kijang, 2007 (Persen) N O
Kelompok Pendapatan RT (per bulan- Rp)
Desa Malang Rapat
Desa Gn. Kijang
Total
1 2 3 4 5 6 7
< 500.000 46,7 35,0 42 500.000 999.000 33,3 30,0 32 1.000.000 - 1.499.000 8,3 25,0 15 1.500.000 - 1.999.000 5,0 7,5 6 2.000.000 - 2.499.000 1,7 2,5 2 2.500.000 - 2.999.000 3,3 2 3.000.000/ lebih 1,7 1 Jumlah: persen (N) 100.0 (60) 100.0 (40) 100.0 (100) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, 2007
Salah satu penyebab ketimpangan pendapatan rumah tangga di kedua lokasi kajian ini adalah perbedaan kondisi alam kedua wilayah serta lebih bervariasinya lapangan usaha di Desa Malang Rapat. Lokasi Desa Gunung Kijang lebih terpencil, dan pemukiman penduduk juga lebih menyebar dibandingkan penduduk Malang Rapat. Pemukiman penduduk relatif jauh dari jalan aspal (sekitar 3 km), dan jarak dari kantor desa sekitar 5 km. Pada umumnya penduduk di Gunung Kijang terlibat pada kegiatan kenelayanan tradisional, nelayan pesisir maupun sedang dengan hasil utama ketam (sepanjang tahun). Sedangkan ikan karang serta jenis ikan lainnya relatif sedikit sehingga cenderung hanya untuk keperluan konsumsi atau dijual di pasar lokal. Sedangkan andalan penangkapan ikan untuk dipasarkan secara luas adalah ketam, karena sejak ada perusahaan pengolahan di Kawal 91
(tahun 2002), pemasaran ketam meningkat, dan menjadi sumber utama penghasilan nelayan di Desa Gunung Kijang, bahkan desa-desa di sekitarnya. Di Desa Gunung Kijang hanya terdapat 1-2 orang pengumpul ketam yang langsung memasok hasilnya pada perusahaan pengolah ketam di Kawal. Sementara potensi sumber daya laut di Desa Malang Rapat lebih bervariasi terutama ketam, ikan karang dan sotong, dan beberapa jenis ikan (terutama ikan teri) yang mempunyai nilai ekonomi relatif tinggi di pasaran. Di lokasi ini jumlah pengumpul juga relatif banyak (sekitar 10 orang), yang merangkap sebagai taoke dari para nelayan tradisional. Hal ini menunjukkan hasil produksi ikan lebih banyak dan lebih bervariasi, namun ketimpangan pendapatan juga relatif tinggi terutama antara pemilik modal dengan kelompok lainnya yang lebih mengandalkan tenaga kerja. Pengembangan ekonomi di daerah ini juga lebih baik, karena lokasi Desa Malang Rapat juga merupakan obyek wisata karena dekat dengan daerah pariwisata laut (resort) yang terkenal (Pantai Trikora), dan banyak dikunjungi wisatawan, sehingga mempunyai jaringan pasar yang lebih luas dibandingkan Desa Gunung Kijang. Meningkatnya nilai ekonomi lahan di sepanjang pantai, menyebabkan banyak penduduk pantai di Desa Malang Rapat yang menjual lahannya kepada para investor, untuk pengembangan pariwisata, sementara tempat tinggal mereka pindah ke dekat perkebunan sawit, meskipun tetap mempertahankan kegiatan nelayan.. Keadaan yang hampir sama juga terjadi di Desa Gunung Kijang, karena hampir semua lahan penduduk di pinggir jalan beraspal sudah beralih menjadi milik pengusaha penggali pasir atau penambang lainnya. Sebaliknya penduduk di pesisir yang lebih mengandalkan kegiatan nelayan sebagai sumber utama penghasilan rumah tangganya, relatif jarang yang bersedia melepaskan tanahnya pada investor penggali pasir yang banyak masuk ke daerahnya. Beberapa penduduk juga terlibat sebagai buruh baik di perusahaan tambang (Bouxit) maupun di sebuah resort milik investor dari Singapura, yang mengelola pantai untuk kegiatan pariwisata yang mulai tumbuh di wilayah ini.
92
Ketimpangan pendapatan rumah tangga di Desa Malang Rapat juga dipengaruhi oleh perbedaan strata ekonomi antar kelompok penduduk, terutama dalam kegiatan kenelayanan, yaitu antara para pemilik modal dan nelayan tradisional yang mengandalkan tenaga. Di satu sisi kegiatan kenelayanan di Desa Malang Rapat dikuasai oleh para taoke, sebagai pemilik modal yang memiliki armada dan peralatan tangkap yang lengkap, sehingga dapat melaut dengan jangkauan jluas pada semua musim. Di sisi lain banyak nelayan pesisir yang hanya mempunyai armada dan peralatan tangkap sederhana, sehingga penghasilan mereka sangat terbatas, tergantung pada musim, jenis dan jumlah ikan yang diperolehnya. Ketergantungan nelayan dengan para taoke baik untuk modal maupun pemasaran ikan, menyebabkan harga penjualan hasil tangkapan cenderung banyak merugikan nelayan. Banyak bagan dan kapal bermotor yang besar dimiliki oleh para taoke sekaligus para pengumpul ikan. Hasil kajian terhadap 100 responden hanya 4 nelayan yang mempunyai bagan, semua di Desa Malang Rapat. Karena keterbatasan data sekunder di kedua lokasi kajian, perbedaan kondisi ekonomi secara umum di kedua wilayah hanya mengandalkan pada hasil survei rumah tangga di masing-masing lokasi, terutama yang berkaitan dengan pendapatan rumah tangga. 5.2. Pendapatan Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan Kondisi alam dan tersedianya lapangan kerja di kedua lokasi penelitian berpengaruh terhadap besarnya pendapatan rumah tangga. Sebagai daerah pantai yang potensial menghasilkan sumber daya laut, sumber penghasilan utama masyarakat di kedua lokasi berasal dari kegiatan perikanan tangkap (73 %), dengan rata-rata pendapatan bersih rumah tangga per bulan mencapai hampir Rp792.242 dengan penghasilan terendah dan tertinggi berasal dari kegiatan kenelayanan. Penghasilan minimum dari usaha perikanan tangkap sekitar Rp 117 ribu dan penghasilan maksimum Rp4,4 juta per bulan. Sumber pendapatan utama kedua adalah rumah tangga dengan lapangan pekerjaan pertanian tanaman keras (10 rumah tangga), jasa (7 rumah 93
tangga) dan selebihnya bervariasi yaitu industri pengolahan, perdagangan, angkutan dan lain-lain (10 rumah tangga) (Tabel 5.3). Tabel 5.3. Statistik Pendapatan RT Menurut Lapangan Pekerjaan KRT di Lokasi Penelitian, Kecamatan Gunung Kijang, 2007 No
1 2 3 4 5 6 7
Lpangan Pekrjaan (KRT) Perikanan tangkap Pertanian Tn.keras Industri pengolahan Perdagangan Angkutan Jasa Lainnya Jumlah
Pendapatan Rumah Tangga (Rp) Rata-rata Minimum Maksimum
N
783.957
117.250
4.433.333
72
588.283
316.667
1.479.167
10
499.167
161.667
736.667
2
1.221.583 300.000 1.121.548 970.625 792.242
396.667 300.000 500.000 800.000 117.250
2.168.083 300.000 2.700.000 1.270.000 4.433.333
3 2 7 4 100
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, Indonesia. 2007
Rata-rata pendapatan yang bersumber dari kegiatan pertanian (tanaman keras) sekitar Rp588.283 dengan minimum pendapatan sekitar Rp 317.000 dan maksimum pendapatan sekitar Rp1,5 juta. Usaha jasa yang melibatkan 7 rumah tangga responden mempunyai rata-rata penghasilan yang cukup tinggi yaitu sekitar Rp1, 1 juta dengan minimum pendapatan sekitar Rp500.000 dan maksimum pendapatan terbesar kedua setelah perikanan tangkap yaitu Rp2,7 juta. Lapangan pekerjaan lainnya cukup bervariasi yang cukup menonjol adalah rumah tangga dengan sumber pendapatan dari kegiatan perdagangan. Meskipun hanya melibatkan 2 rumah tangga,
94
namun mempunyai rata-rata pendapatan tertinggi yaitu sekitar Rp 1,6 juta dengan penghasilan minimum Rp1,1 juta dan maksimum sekitar Rp2,2 juta (Tabel 5.3). Berdasarkan data yang lebih rinci tentang pendapatan rata-rata rumah tangga responden, mayoritas rumah tangga (74%) mempunyai pendapatan kurang dari Rp1 juta. Proporsi tertinggi rumah tangga (42%) bahkan termasuk kelompok berpendapatan sangat rendah (kurang dari Rp500.000 per bulan). Proporsi terbesar untuk rumah tangga nelayan (perikanan tangkap) yaitu sekitar 45 % termasuk dalam kelompok berpendapatan terendah (miskin). Sebaliknya rumah tangga nelayan dengan penghasilan Rp2 juta atau lebih relatif kecil, yaitu sekitar 4,2 %, sedangkan tidak seorangpun dari petani tanaman keras yang mempunyai penghasilan tersebut. Mayoritas responden dengan sumber pendapatan utama dari pertanian tanaman keras (60%), mempunyai pendapatan di bawah Rp500.000 dan selebihnya diantara kelompok pendapatan Rp500.000- 1,5 juta (Tabel 5.4). Kelompok responden dengan penghasilan relatif lebih baik terdapat pada rumah tangga dengan sumber pendapatan utama jasa yaitu mayoritas (sekitar 71%) berada pada kelompok pendapatan antara Rp500.000 – kurang dari 1 juta rupiah. Selebihnya meskipun hanya 2 rumah tangga berpenghasilan di atas Rp1,5 juta, bahkan seorang responden mempunyai penghasilan di atas Rp2,5 juta. Untuk kelompok responden lainnya, hanya satu rumah tangga dengan penghasilan di atas Rp2 juta, selebihnya (6 responden) dalam kelompok pendapatan antara Rp500.000- 1,5 juta.
95
Tabel 5.4. Distribusi RT Menurut Kelompok Pendapatan dan Lapangan Pekerjaan KRT, Kecamatan Gunung Kijang, 2007 Pendapatan Tangga (Rp)
Rumah
Lapangan Pekerjaan (persen) Perikanan Tangkap
< 500.000 500.000 - 999.000
44,4 27,8
Pertanian Tanaman Keras 60 30
1.000.000 - 1.499.000 1.500.000 - 1.999.000 2.000.000 - 2.499.000 2.500.000 - 2.999.000 3.000.000/ lebih Total (%/N)
16,7 6,9 1,4 1,4 1,4 100 (72)
10 100 (10)
Jasa
Lain-lain
Total
71,4
36,4 36,4
42 32
14,3 14,3 100 (7)
18,2 9,1 100 (10)
15 6 2 2 1 100 (100)
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, Indonesia. 2007
Relatif rendahnya penghasilan mayoritas petani tanaman keras (terutama kelapa), karena umumnya merupakan usaha turun temurun, yang dikelola secara tradisional, dan lebih banyak merupakan usaha tambahan di samping pendapatan dari usaha lainnya. Masalah lainnya adalah kesulitan dalam menghitung pendapatan hasil kelapa yang masa panennya bertahap, termasuk yang untuk konsumsi rumah tangga. Seringkali dalam perhitungan pendapatan, responden tidak memperhitungkan hasil yang dikonsumsi sendiri, sehingga laporan pendapatan cenderung di bawah hasil sebenarnya (under reporting). Pendapatan dari hasil pertanian sangat tergantung dari luas lahan yang ditanami, jenis yang ditanam dan harga pasar pada waktu panen. Biasanya pendapatan petani dari hasil pertanian, cenderung dihitung dari hasil pertanian yang dipasarkan atau dijual. Jumlah responden yang memperoleh pendapatan dari lapangan pekerjaan utama di luar sektor pertanian (terutama nelayan tangkap) relatif sedikit (17 %), yaitu usaha jasa (antara lain ojek), industri pengolahan (sebagai buruh), perdagangan (tenaga penjualan) dan tenaga kasar lainnya. Namun demikian pekerjaan di luar perikanan tangkap pada umumnya menjadi pekerjaan sampingan bagi nelayan 96
dan keluarganya, terutama di musim ombak kuat. Hampir tidak terdapat industri pengolahan yang menonjol di kedua lokasi kajian, dan beberapa pekerja/buruh bekerja di perusahaan pengolahan di luar lokasi kajian, yang relatif dekat dengan lokasi pemukiman penduduk. Bahkan berdasarkan Kabupaten Bintan Dalam Angka tahun 2006, di Kecamatan Gunung Kijang hanya terdapat dua buah industri pengolahan skala menengah, tapi umumnya berada di luar lokasi kajian. Salah satu perusahaan pengolahan ketam terlama dan terbesar terdapat di Kelurahan Kawal. Pada saat penelitian sudah banyak perusahaan pengolahan ketam di Kawal, tetapi umumnya merupakan usaha kecil atau usaha rumah tangga. Di Desa Malang Rapat hanya terdapat usaha pengolahan kerupuk ikan yang dikelola oleh kelompok ibu-ibu Dasawisma dan beberapa usaha rumah tangga pengasinan sotong, terutama pada musim sotong. Sedangkan di Desa Gunung Kijang belum ada usaha pengolahan SDL, kebanyakan hasil produksi ketam dipasok ke perusahaan pengolahan yang berada di Kawal. Namun demikian terdapat beberapa PT di Desa Gunung Kijang terutama terkait dengan pertambangan (antara lain bouxit), yang juga melibatkan beberapa penduduk sebagai buruh atau tenaga kasar. Demikian pula terdapat usaha rumah tangga membuat sapu lidi dari daun kelapa yang dilakukan oleh banyak ibu rumah tangga sebagai kegiatan sampingan di rumah. Pendapatan rata-rata per bulan dari usaha sapu lidi mencapai sekitar Rp100.000, dan dipasarkan melalui pengumpul yang secara rutin datang ke desa. Demikian pula terdapat beberapa PT di Desa Gunung Kijang, yang terkait dengan pertambangan, yang juga melibatkan beberapa penduduk sebagai buruh atau tenaga kasar. Beberapa penduduk juga terlibat dalam pekerjaan di pertambangan yang ada di Desa Gunung Kijang (Bouxit), sebagai buruh atau tenaga kasar. 5.3. Pendapatan Rumah Tangga dan Kegiatan Kenelayanan Hasil yang diperoleh dari kegiatan kenelayanan pada umumnya berfluktuasi sepanjang tahun, karena beberapa faktor antara lain 97
perubahan musim, jenis ikan dan alat tangkap serta pengalaman masing-masing nelayan. Perubahan musim terutama berkaitan dengan kuat lemahnya ombak di laut, angin laut dan bulan purnama yang dapat mepengaruhi aktivitas sehari-hari nelayan di laut. Berkaitan dengan kegiatan nelayan di laut, terdapat tiga musim utama yang berbeda yaitu musim gelombang kuat, musim gelombang tenang dan musim pancaroba (musim kemarau). Di lokasi kajian, musim gelombang tenang, dikenal juga sebagai musim angin timur dan barat atau musim teduh, biasanya berlangsung sekitar 3 bulan, yaitu antara bulan Agustus sampai dengan Oktober. Pada musim ini, air laut jernih, angin dan ombak tenang dan banyak ikan, sehingga nelayan dapat melaut setiap hari, dengan jangkauan yang lebih luas. Pada musim ikan ini, semua alat tangkap (terutama pancing dan bubu) dimaksimalkan penggunaannya untuk menangkap berbagai jenis ikan, baik ikan karang seperti kerapu (terutama di Malang Rapat) dan ikan lainnya seperti ikan selar, cumi, sotong dan kepiting (CRITC Kab. Bintan, 2006). Kondisi sebaliknya adalah musim gelombang kuat atau musim angin utara, yang berlangsung sekitar 4-5 bulan, yaitu sejak bulan November sampai Maret, dan mencapai puncaknya pada Desember- Januari (2 bulan). Pada musim ini, angin bertiup kencang, ombak besar, dan air keruh dan lebih banyak hujan. Musim ini merupakan waktu sulit bagi nelayan untuk melaut, karena perahu dan alat tangkap yang dimiliki umumnya tidak mampu melawan kuatnya angin dan besarnya gelombang. Diantara kedua musim tersebut terdapat musim pancaroba atau musim selatan yang berlangsung sekitar 4 bulan, yaitu bulan April-Juli. Pada musim ini ombak mulai tenang, meskipun masih diselingi ombak yang agak kuat, musim kemarau, sehingga nelayan mulai berani turun ke laut, meskipun tidak setiap hari tergantung keadaan gelombang dan cuaca. Perubahan kondisi alam ini mempengaruhi aktivitas nelayan ke laut. Pada musim gelombang tenang memungkinkan nelayan untuk pergi ke laut setiap hari, kecuali sekitar bulan purnama, sehingga dapat memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak. Sebaliknya pada musim gelombang kuat, aktivitas nelayan ke laut turun drastis, karena hasil tangkapan yang diperoleh dianggap tidak sebanding dengan 98
biaya yang dikeluarkan. Perbedaan jenis ikan di setiap musim juga berpengaruh, sehingga meskipun jumlah ikan yang diperoleh relatif sedikit, penghasilan akan besar apabila mempunyai nilai ekonomi tinggi. Perbedaan penghasilan nelayan dalam tiap musim dapat dilihat pada Tabel 4.5. Pada semua musim, mayoritas nelayan di lokasi kajian mempunyai penghasilan yang relatif rendah (di bawah Rp1 juta per bulan), dan proporsi terendah adalah nelayan pada musim gelombang tenang (sekitar 68%), sedangkan pada gelombang kuat sekitar 94%. Perbedaan musim hanya berpengaruh terhadap besaran proporsi kelompok penghasilan terendah dan tertinggi, namun kurang berpengaruh terhadap kesejahteraan nelayan pada umumnya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi nelayan di lokasi kajian yang pada umumnya merupakan nelayan tradisional, dengan sarana dan alat tangkap yang sederhana, sehingga berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan. Tabel 5.5. Pendapatan Rumah Tangga (dari Kegiatan Kenelayanan), Menurut Musim, Kecamatan Gunung Kijang, 2007 (N= 72) NO
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kategori Pendapatan RT (Rp) (Kegiatan Kenelayanan) < 500.000 500.000 - 999.000 1.000.000 - 1.499.000 1.500.000 - 1.999.000 2.000.000 - 2.499.000 2.500.000 - 2.999.000 3.000.000 - 3.499.999 3.500.000/lebih Total (%/N)
Sumber:
Musim (Persen) Gelombang Pancaroba Tenang 31,9 38,9 36,1 37,5 12,5 9,7 5,6 5,6 5,6 2,8 5,6 1,4 1,4 1,4 1,4 2,8 100 100
Gelombang Kuat 81,9 12,5 1,4 1,4 1,4 1,4 100
Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, Indonesia 2007
99
Keterbatasan sarana tangkap (umumnya tidak memiliki perahu bermotor) berpengaruh terhadap kemampuan nelayan dalam menangkap ikan, karena umumnya mereka melaut di sekitar atau tidak terlalu jauh dari pantai. Dibandingkan dengan musim-musim lainnya, proporsi nelayan dengan penghasilan terendah ini (di bawah Rp 500.000) sangat mencolok pada musim gelombang kuat (sekitar 82%), dan turun dengan drastis pada musim-musim lainnya yaitu masing-masing sekitar 39% (musim pancaroba) dan sekitar 32% (musim gelombang tenang). Bahkan dilihat lebih rinci, proporsi nelayan dengan penghasilan di bawah Rp100.000, lebih mencolok pada musim gelombang kuat, dibandingkan kedua musim lainnya, yaitu sekitar 33%. Sedangkan pada musim pancaroba hanya sekitar 4 persen, sementara tidak seorangpun nelayan pada musim gelombang tenang (Tabel 5.6). Tabel 5.6. Pendapatan Rumah Tangga (dari Kegiatan Kenelayanan), Menurut Musim, Kecamatan Gunung Kijang, 2007 (N= 72) N O
Kategori Pendapatan RT (Rp)
Musim (Persen) Pancaroba Gel. Kuat
Gel. Tenang 1. < 100.000 4,2 2. 100.000 - 199.000 2,8 1,4 3. 200.000 - 299.000 5,6 8,3 4. 300.000 - 399.000 6,9 8,3 5. 400.000 - 499.000 16,7 16,7 6. 500.000/lebih 68,1 61,1 Total (%/N) 100 100 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Karang, Indonesia 2007
100
33,3 16,7 18,1 6,9 6,9 18 100 Terumbu
Demikian pula kelompok nelayan dengan penghasilan lebih baik terutama kelompok penghasilan 1-3 juta rupiah, proporsi tertinggi terdapat pada musim gelombang tenang (sekitar 29%), sementara pada kedua musim lainnya menurun drastis, terutama pada musim gelombang kuat (sekitar 4%). Pada musim gelombang kuat umumnya nelayan (terutama yang tidak memiliki perahu motor) tidak banyak melaut, dan memanfaatkan waktu untuk memperbaiki sarana tangkapnya. Sebagian nelayan yang memiliki sarana tangkap lain seperti bubu, jaring atau pancing beralih melakukan aktivitas nelayan lainnya yaitu menangkap ketam, yang potensinya cukup besar di sepanjang musim (terutama di Desa Gunung Kijang). Sebagian nelayan lainnya melakukan kegiatan non nelayan (berdagang, jasa atau buruh), budi daya keramba atau merantau ke luar daerah bahkan sampai ke Malaysia. Kelompok nelayan dengan penghasilan di atas Rp3 juta relatif sedikit pada semua musim, hanya terdapat 2 orang pada musim gelombang tenang (sekitar 3%), 3 nelayan pada musim pancaroba (4%) dan seorang pada musim gelombang kuat (1%) Pada musim pancaroba, angin dan gelombang laut mulai melemah, sehingga nelayan mulai berani melaut kembali meskipun belum penuh. Hal ini juga tercermin pada Tabel 5.5, yang menunjukkan kondisi ekonomi nelayan pada musim ini berada diantara kedua musim lainnya. Perbedaan pendapatan rumah tangga nelayan karena pengaruh musim semakin jelas dan konsisten apabila dilihat dari statistik pendapatan nelayan (Tabel 5.7). Rata-rata pendapatan nelayan tertinggi diperoleh pada musim gelombang tenang (sekitar Rp950 ribu dan Rp283 ribu) dan terkecil pada musim gelombang kuat yaitu sekitar 369 ribu Sedangkan rata-rata pendapatan rumah tangga pada musim pancaroba berada diantara kedua musim (sekitar Rp832 ribu).
101
Tabel 5.7. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim, Kec. Gunung Kijang, 2007 (N = 72) Pendapatan RT (Per Bulan)
Musim (Rp) Pancaroba
Gelombang Gelombang Tenang Kuat Rata-rata 950.222 831.819 369.292 Median 640.000 548.750 196.000 Minimum 150.000 9.000 Maksimum 4.000.000 4.800.000 7.500.000 Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, Indonesia, 2007
Kondisi ekonomi nelayan yang relatif lebih baik di musim gelombang tenang ini, juga tercermin pada angka median pendapatan yang jauh lebih tinggi pada musim gelombang lemah (lebih dari tiga kali lipat) dari median pendapatan nelayan di musim gelombang kuat. Bahkan pada musim ikan ini, penghasilan minimum per bulan dapat mencapai sekitar Rp150.000, sementara pada musim lainnya sangat minim (kurang dari Rp10.000) Kondisi ini dapat dimaknai bahwa kebanyakan nelayan juga merasakan kondisi ekonomi yang lebih baik pada musim gelombang tenang dibandingkan pada musim gelombang kuat. Hal ini juga menguatkan temuan bahwa kebanyakan responden masih sangat menggantungkan hidup dari hasil penangkapan ikan di laut. Lapangan pekerjaan di luar penangkapan ikan, umumnya dianggap sebagai usaha tambahan atau alternatif pekerjaan pada waktu aktivitas ke laut berkurang. 5.4. Sintesa Pendapatan Pendapatan dan sarana/alat tangkap Bagi penduduk di wilayah pantai atau pesisir, sarana dan alat tangkap yang dimiliki nelayan merupakan salah satu faktor yang sangat 102
berperan dalam menentukan hasil tangkapan atau pendapatan nelayan. Perahu bermotor merupakan sarana transportasi yang sangat penting untuk operasi penangkapan ikan di laut, terutama ke wilayah tangkap yang relatif jauh dari pantai. Hasil tangkapan ikan akan semakin banyak, seiring dengan jenis dan besarnya body perahu serta besarnya motor yang digunakan dalam perahu tersebut. Demikian pula besarnya daya tampung ikan juga akan berpengaruh terhadap efisiensi biayanya. Faktor lainnya adalah bervariasinya alat tangkap yang dimiliki nelayan, baik jumlah maupun jenisnya. Semakin lengkap pemilikan alat tangkap, semakin leluasa nelayan dalam menangkap berbagai ragam ikan, karena nelayan menjadi tidak terlalu tergantung oleh perubahan musim. Namun demikian semakin canggih sarana dan peralatan tangkap, semakin mahal pula harganya, sehingga tidak semua nelayan mampu memilikinya. Berdasarkan data survei di kedua lokasi penelitian, sebagian besar nelayan tidak memiliki perahu motor, dan hanya sekitar 38 persen (dari 72 nelayan) yang memiliki perahu motor, dan hampir semua dimiliki oleh nelayan Malang Rapat. Sedangkan 9 nelayan yang memiliki motor tempel, hampir semua (8 buah) dimiliki oleh nelayan di Desa Gunung Kijang.. Kondisi nelayan dengan keterbatasan prasarana tangkap tersebut, sulit untuk dapat meningkatkan hasil tangkapannya, meskipun di musim banyak ikan. Demikian pula keterbatasan nelayan dalam pemilikan alat tangkap baik jenis maupun jumlahnya seperti bagan (hanya 4 nelayan), bubu (33%), jaring (30%) dan pancing rawai (31%), akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan yang diperoleh. Jenis peralatan tangkap yang dibutuhkan nelayan tergantung pada jenis ikan yang tersedia pada musim tertentu. Ikan teri yang merupakan hasil utama perikanan tangkap di Desa Malang Rapat membutuhkan bagan dan jaring sebagai alat tangkap, semakin besar ukuran jaring dan perahu, makin banyak daya tangkap dan tampungnya. Sebagian besar bagan dan perahu bermotor (ukuran besar) di Desa Malang Rapat umumnya dimiliki oleh para taoke yang mempunyai modal, sedangkan nelayan hanya memiliki armada dan alat tangkap yang terbatas (jenis maupun jumlahnya), sehingga berpengaruh terhadap hasil tangkapannya. 103
Peralatan tangkap seperti bubu, jaring (berbagai mata ukuran), dan pancing dibutuhkan untuk menangkap kepiting, ikan karang dan jenis ikan lainnya. Makin besar ukuran jaring dan makin banyak ragam mata jaringnya makin banyak jenis ikan yang dapat ditangkap dan makin besar daya tangkapnya. Bubu untuk menangkap kepiting dianggap efektif karena tidak perlu dijaga dan daya tangkapnya cukup banyak, seiring dengan jumlah bubu yang dipasang. Untuk memiliki berbagai peralatan tangkap ini, nelayan membutuhkan modal, terutama berbagai peralatan yang relatif mahal. Untuk memenuhi kebutuhan alat produksi ini, para nelayan biasanya hutang pada para taoke/pengumpul ikan di lokasi, sehingga para nelayan terikat dan tergantung dengan para taoke, terutama untuk pemasaran hasilnya. Akibatnya pendapatan nelayan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut di atas, karena terikat dengan ketentuan para taoke yang sering kali merugikan nelayan. Kondisi ini berpengaruh terhadap hasil produksi SDL, meskipun potensi SDL di lokasi kajian cukup besar. Hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan kecenderungan penurunan secara kuantitas. Penurunan ini disebabkan antara lain cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan, terutama oleh nelayan dari luar daerah, seperti penggunaan bom dan racun. Sampai tahun 1990, penggunaan alat tangkap yang merusak terumbu karang dan biota laut ini masih marak digunakan nelayan. Namun sejak tahun 2000 an, nelayan setempat sudah tidak menggunakan cara-cara yang merusak, namun belum sepenuhnya hilang karena banyaknya nelayan dari luar yang datang ke daerah kajian terutama Desa Malang Rapat. Menurut hasil kajian CRITC dan COREMAPLIPI (tahun 2006), penurunan hasil tangkapan juga disebabkan oleh penangkapan yang berlebihan, atau illegal fishing dan meningkatnya jumlah nelayan baik dari penduduk setempat maupun pendatang dari luar Pulau Bintan dan Luar Negeri. Penangkapan illegal yang banyak dilakukan nelayan dari luar daerah dan telah berlangsung lama, sangat berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang di wilayah ini, sehingga produksi ikan karang semakin merosot. Padahal berdasarkan data makro tentang pencapaian produksi perikanan tangkap di 104
Kabupaten Bintan, tingkat pemanfaatan produksi perikanan tangkap pada tahunn2005 baru mencapai sekitar 14 persen. Kondisi ini menunjukkan pengembangan bidang perikanan di wilayah ini (termasuk Kecamatan Gunung Kijang) masih sangat memungkinkan (DKP Kab. Bintan, 2006:21). Perubahan musim Perbedaan musim biasanya juga disertai dengan perbedaan jenis ikan yang tersedia dan dapat ditangkap, sehingga idealnya nelayan dapat meningkatkan pendapatannya dengan menambah pemilikan alat tangkap dengan berbagai ukuran. Semakin banyak variasi alat tangkap yang dimiliki nelayan, semakin meningkat aktivitas nelayan di laut dan makin besar pendapatan yang diperoleh. Misalnya pada musim gelombang kuat, kebanyakan nelayan tidak dapat melaut, karena ombak besar, kecuali beberapa nelayan yang pemilikan armada dan motornya memungkinkan untuk menembus ombak, biasanya dimiliki para taoke. Dalam kajian ini, tidak ada seorangpun taoke yang menjadi sampel kajian, baik untuk survei maupun wawancara mendalam. Pada umumnya mereka tertutup, cenderung curiga dengan kegiatan penelitian, bahkan menolak untuk diwawancarai. Pada musim ombak kuat, sebetulnya banyak ditemukan ikan tenggiri dengan radius yang yang relatif dekat (sekitar 4 mil), namun memerlukan alat tangkap tertentu (jaring atau pancing). Nelayan yang memiliki alat tangkap untuk jenis ikan tenggiri, dapat memperoleh keuntungan karena harganya relatif mahal di pasaran. Hal ini potensial untuk meningkatkan pendapatan nelayan, terutama di musim gelombang kuat. Potensi ketam yang cukup besar di daerah ini, memungkinkan nelayan menambah penghasilan baik dimusim gelombang tenang maupun kuat, sehingga nelayan dapat memperoleh penghasilan sepanjang tahun dari penangkapan ketam, baik sebagai penghasilan utama (pada waktu gelombang kuat) maupun usaha sampingan di musim gelombang tenang (di samping ikan lainnya seperti teri dan ikan karang). Namun penghasilan nelayan dari penangkapan ketam, 105
tergantung pada jumlah bubu yang dimiliki nelayan. Sementara untuk memilikinya membutuhkan modal yang cukup besar. Hanya sepertiga nelayan yang memiliki bubu,umumnya di Desa Gunung Kijang. Sekitar separuh nelayan dari 33 nelayan yang memiliki bubu, hanya memiliki bubu kurang dari 50 unit. Semakin meningkat jumlah bubu yang dimiliki nelayan, memungkinkan para nelayan menambah pendapatan dari hasil tangkapan tersebut. Relatif lebih tingginya pendapatan rata-rata nelayan di Gunung Kijang karena umumnya merupakan penangkap ketam sepanjang tahun, yang tidak tergantung pada para taoke. Untuk meningkatkan sarana penangkapan ikan nelayan membutuhkan modal, sedangkan pendapatan nelayan pada umumnya hanya cukup untuk menutup kebutuhan makan sehari-hari. Hal ini tercermin dari kondisi kesejahteraan rumah tangga dalam setahun terakhir, yang hampir semua rumah tangga (95 %) pernah merasakan kesulitan keuangan, terutama untuk sarana produksi dan makan sehari-hari. Perbedaan yang menonjol dari kedua lokasi kajian, adalah lebih dari separuh nelayan di Desa Malang Rapat kesulitan terutama dalam hal penyediaan sarana produksi, sementara lebih dari separuh responden di Desa Gunung Kijang kesulitan keuangan yang sering dialami terutama untuk keperluan makan sehari-hari. Masalah lain yang menjadi kendala dalam peningkatan kesejahteraan rumah tangga nelayan adalah ketergantungan nelayan pada para taoke/ penggawa/ bos atau pengumpul, sehingga menjadi andalan utama dalam mengatasi kesulitan keuangan rumah tangga nelayan. Hampir tidak ada nelayan yang memanfaatkan lembaga keuangan lain seperti koperasi, bank untuk membantu mengatasi kesulitannya. Nelayan juga sulit mempertahankan harga hasil tangkapan karena resiko yang ditanggungnya akibat keterbatasan modal dan sarana dan prasarana pendukung seperti TPI, pelabuhan perikanan, pabrik es, cool storage. Kondisi ini menyebabkan nelayan tidak punya pilihan selain menggantungkan nasibnya pada para pemilik modal/taoke, yang siap mengambil keuntungan dari keterbatasan kondisi nelayan. Akibatnya harga ikan tangkapan di tingkat nelayan lebih ditentukan oleh pengumpul atau taoke, sehingga keuntungan yang diperoleh 106
nelayan relatif kecil. Faktor ini cukup berpengaruh terhadap relatif rendahnya penghasilan nelayan di Desa Malang Rapat yang umumnya nelayan tradisional dengan segala keterbatasannya. Kebijakan dan peningkatan pendapatan Berdasarkan uraian dalam Rencana Stratejik Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Bintan 2006-2010, banyak rencana DKP yang akan dilakukan untuk meningkatkan kehidupan nelayan. Visi DKP yaitu “terwujudnya perikanan dan kelautan yang tangguh sebagai sector unggulan tahun 2010”, menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam pengelolaan SD, sebagai sector unggulan. Dengan visi tersebut pemerintah daerah bermaksud “meningkatkan kesejahteraan nelayan dan meningkatkan pendapatan asli daerah” Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, DKP Kabupaten Bintan menetapkan beberapa misi diantaranya “pemberdayaan petani nelayan, pelaku usaha dan kelompok masyarakat melalui peningkatan produksi, akses pasar dan promosi” (Pemkab. Bintan, DKP, 2006: 4243). Adapun tiga dari banyak sasaran yang ingin dicapai dari pembangunan dan pengembangan perikanan dan kelautan adalah: 1) Meningkatnya persentase peningkatan pendapatan nelayan dan pembudidaya ikan sebesar 12 % per tahun. 2) Peningkatan motorisasi armada penangkapan rata-rata 9,3% per tahun. 3) terbentuknya kawasan konservasi laut daerah sebesar 100% (Pemkab. Bintan, DKP, 2006: 53-54). Dalam rangka mempercepat upaya mensejahterakan petani nelayan maka pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan difokuskan pada pemberdayaan sector produktif antara lain : pemberdayaan kelompok produktif petani nelayan melalui pengembangan usaha perdesaan. Program semacam ini juga akan menjadi bagian dari kegiatan COREMAP dalam rangka menyediakan alternative pekerjaan bagi keluarga nelayan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan pada khususnya dan penduduk di sekitar pada umumnya. Dalam realisasinya banyak hambatan yang dirasakan nelayan untuk memperoleh bantuan dari program pemerintah. Selain prosedur 107
birokrasi yang dianggap rumit, realisasi bantuan yang diterima seringkali tidak sesuai dengan jatah yang seharusnya diterima. Hal ini pernah dirasakan kelompok nelayan di Desa Malang Rapat yang untuk mendapatkan kredit bantuan harus membuat proposal ke UKM. Per kelompok yang terdiri 30 orang nelayan, dapat mengusulkan kredit untuk perlengkapan nelayan (boat, jaring dan mesin) seharga 400 juta (1 boat per 2 orang). Hasil usulan hanya memperoleh Rp90.juta per kelompok atau Rp 3 juta per orang, jauh dari jatah yang seharusnya diterima. Pengembalian hutang juga dirasakan rumit oleh kebanyakan nelayan, karena setelah 6 bulan, nelayan harus mengembalikan hutang dengan jalan mencicil 30% dari penghasilan bersih kelompok nelayan sebagai cicilan bulanan ke bank. Kesulitan yang dirasakan dalam memanfaatkan bantuan pemerintah, menyebabkan pada umumnya nelayan di Desa Malang Rapat lebih menggantungkan hidup pada para taoke baik dalam permodalan maupun pemasaran. Hampir semua nelayan mempunyai hutang ke Taoke. Mereka beranggapan dengan Tauke prosedur hutang dan persyaratan mudah, waktu pengembalian hutang relatif bebas, nelayan hanya berkewajiban untuk menjual hasil tangkapan ke taoke masingmasing. Kebijakan lainnya adalah dukungan pemerintah daerah terhadap kegiatan Coremap untuk membantu menjaga pelestarian terumbu karang di wilayahnya, diantaranya melalui peran aktif Bappeda (sampai tahun 2006) dan dilanjutkan oleh DKP dalam setiap kegiatan Coremap. Kecamatan Gunung Kijang merupakan salah 1 dari 2 kecamatan yang menjadi daerah binaan Coremap di wilayah Kabupaten Bintan, dan kedua lokasi penelitian adalah 2 diantara 4 desa binaan Coremap di Kawasan Gunung Kijang. Dengan mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang secara terpadu (RPTK terpadu), diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk turut serta melindungi, memperbaiki, memanfaatkan dan mengendalikan sumber daya terumbu karang secara optimal dan berkelanjutan. Namun demikian kegiatan COREMAP di Kecamatan Gunung Kijang baru pada tahap sosialisasi pelestarian terumbu karang yang sudah 108
dimulai sejak tahun 2005. Sedangkan pelaksanaan program COREMAP yang direncanakan sejak tahun 2006 baru akan direalisasikan tahun 2007, antara lain di Desa Malang Rapat. Sosialisasi akan dilanjutkan di daerah lain dengan bantuan para fasilitator lapangan dari LSM, sekaligus dengan berbagai program yang dapat lebih memberdayakan ekonomi masyarakat daerah binaan. Berdasarkan wawancara mendalam dengan para informan di wilayah kajian, praktek pengeboman dan pembiusan ikan di wilayahnya mulai berkurang, sejak program COREMAP disosialisasikan diwilayah kajian. Hampir semua informan menyatakan penggunaan bom-bom untuk menangkap ikan karang, dilakukan oleh nelayan dari luar yang merugikan nelayan setempat. Upaya untuk memperbaiki terumbu karang dipertegas dengan batasan untuk nelayan luar yang akan beroperasi di wilayah tangkap mereka dengan mentaati peraturanperaturan dan kesepakatan yang dibuat. Hal ini berdampak positif, dengan berkurangnya praktek ilegal yang dilakukan oleh nelayan dari luar, sehingga menguntungkan nelayan lokal. Meskipun kegiatan COREMAP di wilayah binaan masih sebatas sosialisasi program, namun banyak informan nelayan yang menanggapi positif kegiatan COREMAP melalui sosialisasi, pembentukan zone perlindungan ikan dan pemasangan poster di wilayahnya. Beberapa informan nelayan juga berharap program COREMAP berlanjut dengan bantuan-bantuan untuk peningkatan ekonomi seperti yang disosialisasikan sebelumnya. Seperti dikemukakan sebelumnya beberapa program COREMAP tertunda pelaksanaannya, sebagai dampak peralihan pengelola COREMAP di tingkat kabupaten, sehingga hampir tidak ada program COREMAP yang terlaksana pada tahun 2006. Dengan peralihan pengelolaan COREMAP dari Bappeda ke DKP, diharapkan program COREMAP dapat disesuaikan dengan program pemerintah, sehingga semakin efektif dalam pelaksanaannya.
109
110
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan Kondisi geografis •
Kecamatan Gunung Kijang merupakan salah satu dari 6 kecamatan yang ada di Kabupaten Bintan. Meskipun luas wilayah daratan Kecamatan Gunung Kijang hanya sekitar 10 persen dari keseluruhan wilayah kecamatan (503,1 km²), namun merupakan wilayah daratan terluas dibandingkan 5 kecamatan lainnya. Desa yang menjadi lokasi penelitian adalah dua desa diantara 4 Desa/kelurahan di Kecamatan Gunung Kijang yaitu Desa Gunung Kijang dan Desa Malang Rapat
•
Dilihat dari topografinya, kondisi alam Kecamatan Gunung Kijang cukup bervariasi. Kondisi topografi di daerah pesisir ini umumnya merupakan dataran yang landai dengan ketinggian wilayah hanya sekitar 5 sampai 10 meter di atas permukaan laut. Kondisi topografi pesisir di bagian timur Kecamatan Gunung Kijang ini berbeda dengan kondisi di daerah pedalaman. Daerah pedalaman antara lain Desa Malang Rapat pada umumnya merupakan kawasan perkebunan dan pertanian. Sementara topografi daerah berbukit-bukit dapat dijumpai di beberapa wilayah, terutama di kawasan hutan lindung yang terletak di Desa Gunung Kijang. Daerah di sekitar kawasan hutan lindung ini merupakan area penambangan bahan galian, menjadi salah satu potensi yang dimiliki daerah ini, seperti bahan galian pasir, batu granit dan bauksit.
•
Tersedianya jalan berasapal melalui kedua desa, memudahkan transportasi dan komunikasi ke kota, sehingga memudahkan pemasaran ikan nelayan ke kota atau pusat penampung ikan. 111
Dengan akses tersebut nelayan tidak terikat pada pedagang pengumpul tertentu untuk menjual hasil tangkapannya. Apabila nelayan tidak terlalu terikat hutang pada pedagang pengumpul, sebetulnya kondisi menguntungkan, karena nelayan dapat menjual hasil tangkapan dengan harga jual tertinggi yang ditawarkan pedagang. Namun demikian fasilitas transportasi umum masih terbatas, terutama ke Desa Gunung Kijang, sehingga kebanyakan masyarakat mengandalkan transport dari kendaraan milik pribadi Kualitas sumber daya manusia •
Kualitas sumber daya manusia terutama dari segi kependudukan, pendidikan/ ketrampilan serta kegiatan ekonomi penduduk. Jumlah penduduk Kecamatan Gunung Kijang pada tahun 2005 sekitar 15.638 jiwa, dengan sex rasio sebesar 109 dan tingkat kepadatan penduduk sekitar 31 jiwa per km2., atau jauh lebih rendah dari tingkat kepadatan rata-rata kabupaten yaitu 61 jiwa per km2.
•
Struktur penduduk dari 100 rumah tangga sampel di lokasi kajian, cenderung berusia muda (0-14 tahun) dan berusia produktif (15-64 tahun) yaitu sekitar 34 dan 64 persen. Dengan demikian beban ketergantungan di wilayah kajian sebesar 56 persen, yaitu setiap 100 orang produktif (usia kerja) menanggung 56 orang usia non-produktif, atau dengan perbandingan 2 penduduk produktif menanggung seorang yang non-produktif.
•
Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan penduduk, kualitas penduduk Kecamatan Gunung Kijang relatif rendah, karena lebih dari separuh anggota rumah tangga (ART) yang berusia 7 tahun ke atas (yaitu dari 319 ART), belum atau tidak menyelesaikan pendidikan setingkat SD (Sekolah Dasar). Bahkan sekitar 11 persen ART belum/tidak pernah mengenyam
112
pendidikan formal. Persentase penduduk yang tamat SLTP ke atas hanya mencapai sekitar 18 persen. •
Berdasarkan data yang lebih rinci menurut lokasi kajian, persentase ART berusia 10 tahun ke atas yang masih berstatus sekolah di Desa Gunung Kijang lebih rendah (sekitar 9 persen) dibandingkan di Desa Malang Rapat (sekitar 20 persen). Dengan demikian program wajib belajar sembilan tahun belum sepenuhnya berhasil di kawasan ini, sehingga perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah daerah setempat. Salah satu faktor utama yang menyebabkan perbedaan pencapaian pendidikan antar lokasi penelitian adalah ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan .
•
Ketrampilan yang dimiliki penduduk relatif beragam, umumnya ketrampilan yang terkait dengan kegiatan ekonomi masyarakat. Ketrampilan yang dimiliki keluarga nelayan umumya berkaitan dengan pembuatan alat tangkap ikan, seperti bubu ketam, jaring, dan rompong. Sebagian besar perempuan trampil membuat barang-barang dari bahan lidi seperti sapu lidi, tempat buah dan piring. Hal ini berkaitan dengan tersedianya bahan baku pelepah pohon kelapa di kawasan pantai, sehingga melalui ketrampilan tersebut, ibu-ibu dapat menambah penghasilan keluarga.
•
Rendahnya pencapaian pendidikan penduduk di Desa Gunung Kijang, mempunyai implikasi terhadap partisipasi kerja penduduk, yaitu banyak ART di Desa Gunung Kijang yang lebih memilih kegiatan mencari kerja daripada sekolah, sehingga persentase ART yang bekerja di Desa Gunung Kijang lebih tinggi dibandingkan di Desa Malang Rapat (sekitar 62 dan 55 persen).
•
Lebih dari separuh penduduk yang bekerja (sekitar 52 persen) terlibat di sektor perikanan tangkap atau bekerja sebagai nelayan. Selebihnya sekitar 14 persen ART bekerja di sektor jasa, dan sekitar 14 persen di industri pengolahan. Hanya
113
sebagian kecil ART yang mempunyai pekerjaan utama di sektor pertanian, perdagangan, angkutan, dan lainnya. Namun demikian sekitar 22 persen dari 169 ART, memiliki pekerjaan tambahan, diantaranya sekitar 32 persen di sektor pertanian (petani tanaman keras). Dilihat status pekerjaannya, mayoritas ART yang bekerja (sekitar 65 persen) berusaha secara mandiri, dan sekitar 32 persen sebagai buruh atau karyawan. •
Sektor perikanan merupakan lapangan pekerjaan utama bagi penduduk di kedua lokasi kajian, sehingga pemilikan perahu motor merupakan sarana atau aset yang sangat berharga bagi rumah tangga nelayan. Semakin besar perahu dan motornya semakin besar pula jangkauan penangkapan dan hasil tangkapannya. Di kedua lokasi kajian, mayoritas rumah tangga (71 persen) memiliki armada perahu, namun hanya sekitar separuhnya (36 persen) yang memiliki perahu motor, baik motor dalam maupun tempel. Selebihnya yaitu sekitar 33 persen hanya memiliki sampan, dan sekitar 29 persen rumah tangga tidak memiliki sarana tangkap. Nelayan yang hanya memiliki perahu tanpa motor umumnya hanya beroperasi di sekitar pulau, dengan jarak relatif dekat, sehingga memiliki jangkauan penangkapan ikan yang terbatas, dengan hasil tangkapan yang juga relatif terbatas.
•
Selain sarana, alat tangkap yang dimiliki rumah tangga nelayan juga menentukan perolehan ikan tangkap. Pada umumnya nelayan pesisir memiliki alat tangkap yang bersifat sederhana antara lain bubu, jaring dan pancing rawai. Bubu lebih banyak dimiliki oleh nelayan di Desa Gunung Kijang, sementara jaring dan pancing rawai lebih banyak dimiliki oleh nelayan di Desa Malang Rapat. Sedangkan alat tangkap seperti keramba atau bagan hanya dimiliki oleh sedikit nelayan (5 rumah tangga) di Desa Malang Rapat, dan pemilik tambak hanya 1 rumah tangga (di Desa Gunung Kijang).
•
Terdapat perbedaan pemilikan armada dan alat tangkap antara nelayan pesisir yang masih menggunakan alat tangkap
114
tradisonal dengan nelayan yang bermodal relatif besar dengan alat tangkap yang relatif modern. Armada dan alat tangkap yang agak canggih mempunyai jangkauan luas dan mempunyai kemampuan menangkap berbagai jenis ikan dalam jumlah relatif besar, sehingga mempunyai hasil tangkap yang relatif banyak, seperti kelong di Desa Malang Rapat. Hampir tidak ada nelayan pesisir yang memiliki kelong (harga per unit sekitar Rp20 juta), dan beberapa kelong yang terdapat di Desa Malang Rapat dimiliki oleh para tauke yang bermodal cukup besar, dan biasanya sebagai buruh (ABK) adalah nelayan setempat. Persaingan armada dan alat tangkap ini, menyebabkan ketimpangan kesejahteraan antara nelayan pesisir (yang umumnya lokal) dengan para taoke (pendatang). Para taoke umumnya merangkap sebagai pengumpul ikan tangkap, sehingga mempunyai posisi yang kuat sebagai penentu harga penjualan. •
Sarana produksi lain yang potensial memberikan tambahan penghasilan bagi rumah tangga adalah pemilikan lahan pertanian. Berdasarkan data pemilikan lahan, sebagian besar rumah tangga responden (77 persen) tidak memiliki lahan untuk kegiatan produksi (pangan/perkebunan), karena umumnya sudah dijual kepada pengusaha, untuk pertambangan maupun pariwisata (resort). Hanya tinggal 15 rumah tangga sampel yang mengaku memiliki lahan yang relatif luas (setengah - satu hektar). Pemanfaatan lahan juga belum dilakukan secara optimal, bahkan sebagian dibiarkan menganggur dan tidak terawat.
Kesejahteraan rumah tangga •
Meskipun pada umumnya rumah tangga responden kurang memiliki sarana produksi, tetapi pemilikan asset non–produksi pada kebanyakan rumah tangga, relatif lebih kentara. Hal ini menunjukkan banyak rumah tangga yang relative mampu 115
memenuhi kebutuhan sekundernya. Dalam hal pemilikan rumah tinggal, mayoritas rumah tangga memiliki rumah sendiri (89 persen). Rumah tangga yang tidak memiliki rumah sendiri umumnya adalah pendatang yang menyewa rumah atau tinggal bersama dengan keluarganya. Kondisi rumah juga bervariasi jenis lantai dan dindingnya. Pada umumnya bangunan rumah di desa berdinding kayu atau papan, bahkan di salah satu lokasi yang berawa, lantainya juga dari papan dan rumah berbentuk panggung. Bangunan yang berdinding batu atau kombinasi batu dan papan, terbatas pada bangunan rumah yang berlokasi di pinggir jalan raya, terutama di Desa Malang Rapat. Sedangkan di Desa Gunung Kijang hampir tidak terdapat bangunan rumah tinggal di pinggir jalan raya, karena umumnya sudah berganti pemilik yaitu dijual kepada pengusaha pendatang. •
Semakin maraknya penawaran barang-barang seperti kendaraan bermotor dan barang elektronik mempermudah masyarakat untuk memiliki barang secara kredit. Sekitar 3 dari 4 rumah tangga memiliki TV dan juga kendaraan bermotor, bahkan hampir separuh rumah tangga memiliki barang elektronik lain seperti VCD player dan juga barang perhiasan dari emas. Alat komunikasi seperti telpon seluler (HP) semakin popular dan dimiliki oleh sekitar 40 persen rumah tangga, sehingga memudahkan masyarakat berkomunikasi dengan pihak lain di dalam maupun di luar desa, baik untuk hubungan biasa maupun hubungan bisnis.
•
Belum memadainya angkutan umum yang menjangkau kedua desa menjadi alasan utama kebanyakan rumah tangga berusaha untuk memiliki sarana tranportasi sendiri. Upaya ini juga didukung dengan kemudahan sistem kredit yang ditawarkan dari berbagai pihak. Pemanfaatan sepeda motor selain untuk mobilitas sehari-hari ART (ke sekolah, ke pasar), juga menjadi sarana pengangkutan dan pemasaran hasil tangkapan ikan atau hasil produksi masyarakat lainnya.
116
•
Sumber air bersih penduduk berasal dari sumur di desa, yang relatif jauh dari pantai, sedangkan untuk keperluan MCK, penduduk mengambil air dari sumur di sekitar rumah. Kualitas air sumur di dalam desa lebih baik, karena tidak payau. Sebagian penduduk lainnya (terutama di Desa Malang Rapat) masih menggunakan air sungai. Menurut keterangan penduduk setempat, kualitas air di wilayah Kecamatan Gunung Kijang kurang baik karena cenderung merusak gigi, sehingga banyak penduduk yang memakai gigi palsu.
•
Hampir semua rumah tangga sampel pernah mengalami kesulitan keuangan dalam setahun terakhir, terutama kesulitan memenuhi kebutuhan pangan dan sarana produksi. Untuk mengatasi kesulitan, biasanya rumah tangga mempunyai strategi agar dapat mengelola penghasilan yang tidak menentu untuk mencukupi kebutuhan secara berkesinambungan. Salah satu strategi yang ditempuh adalah dengan cara menabung baik berupa uang maupun perhiasan. Kebiasaan yang baik ini belum banyak dilakukan rumah tangga, karena hanya sekitar sepertiga rumah tangga yang mengaku memiliki tabungan umumnya dalam bentuk uang. Strategi lain yang banyak dilakukan oleh rumah tangga dalam mengatasi kesulitan adalah dengan pinjam uang terutama kepada tauke (sekitar 58 persen) atau pinjam ke pihak lain seperti warung/tetangga/saudara (.sekitar 34 persen).
Pendapatan rumah tangga •
Pendapatan merupakan salah satu aspek penting dalam menggambarkan tingkat kesejahteraan seseorang/keluarga. Sebagai daerah kepulauan, sebagian besar wilayah Kabupaten Bintan (98 persen) terdiri dari lautan, dengan potensi utama wilayah ini adalah sumber daya laut (SDL). Data tentang sumbangan masing-masing sub sektor pertanian pada tahun 2005 menunjukkan kecenderungan meningkatnya jumlah produksi ikan tangkap, jumlah rumah tangga penangkap ikan 117
dan meluasnya budi daya perikanan. Meskipun demikian nilai produksi ikan cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. •
Kedua lokasi kajian merupakan desa pantai atau pesisir, sehingga mayoritas penduduk terlibat kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan kenelayanan. Namun demikian penduduk juga banyak yang melakukan kegiatan ekonomi lainnya, baik sebagai pekerjaan utama maupun tambahan di luar perikanan laut, untuk menambah pengahsilan rumah tangga. Hal ini dipengaruhi antara lain oleh fluktuasi musim dalam perikanan laut, potensi SDL, peralatan tangkap yang digunakan, kesempatan kerja yang tersedia serta kebutuhan untuk mencukupi ekonomi keluarga. Pada musim gelombang kuat pada umumnya nelayan tidak pergi melaut, dan melakukan pekerjaan sampingan di luar kegiatan kenelayanan.
•
Sebagai daerah pantai yang potensial menghasilkan sumber daya laut, sumber penghasilan utama penduduk di kedua lokasi berasal dari kegiatan perikanan tangkap (73 %), dengan ratarata pendapatan bersih per bulan sekitar Rp792.000. Penghasilan minimum dari usaha perikanan tangkap sekitar Rp 117 ribu dan penghasilan maksimum Rp4,4 juta per bulan.
•
Berdasarkan data yang lebih rinci tentang pendapatan rata-rata rumah tangga responden, mayoritas rumah tangga (74%) mempunyai pendapatan kurang dari Rp1 juta. Proporsi tertinggi rumah tangga (42%) bahkan termasuk kelompok berpendapatan sangat rendah (kurang dari Rp500.000 per bulan). Proporsi terbesar untuk rumah tangga nelayan (perikanan tangkap) yaitu sekitar 45 % termasuk dalam kelompok berpendapatan terendah (miskin). Sebaliknya rumah tangga nelayan dengan penghasilan Rp2 juta atau lebih relatif kecil, yaitu sekitar 4 persen.
•
Pendapatan yang diperoleh dari kegiatan kenelayanan pada umumnya berfluktuasi sepanjang tahun, karena beberapa faktor antara lain perubahan musim, jenis ikan dan alat tangkap serta
118
pengalaman masing-masing nelayan. Perubahan musim terutama berkaitan dengan kuat lemahnya ombak di laut, angin laut dan bulan purnama yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari nelayan di laut. Terdapat tiga musim utama yang berbeda yaitu musim gelombang kuat (musim angin barat) yang berlangsung sekitar 5 bulan, musim gelombang tenang (musim angin timur) sekitar 3 bulan dan musim pancaroba (musim kemarau) sekitar 4 bulan. •
Hasil survey di kedua lokasi kajian menunjukkan bahwa pada semua musim, mayoritas nelayan mempunyai penghasilan yang relatif rendah (rata-rata di bawah Rp1 juta per bulan). Terdapat perbedaan penghasilan karena perubahan musim yaitu pada musim gelombang tenang proporsi nelayan dengan penghasilan tersebut jauh lebih rendah (sekitar 68%), dibandingkan dengan proporsi nelayan pada gelombang kuat (sekitar 94%). Meskipun perbedaan musim berpengaruh terhadap besaran proporsi kelompok penghasilan terendah dan tertinggi, namun kurang berpengaruh terhadap kesejahteraan nelayan pada umumnya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi nelayan umumnya di lokasi kajian yang merupakan nelayan tradisional, dengan sarana dan alat tangkap yang sederhana, sehingga berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan.
•
Perbedaan pendapatan rumah tangga nelayan karena pengaruh musim semakin jelas dan konsisten apabila dilihat dari statistik pendapatan nelayan, yaitu rata-rata pendapatan nelayan tertinggi diperoleh pada musim gelombang tenang, yaitu sekitar Rp950.000 dan pendapatan terkecil pada musim gelombang kuat yaitu sekitar Rp369.000 ribu. Sedangkan rata-rata pendapatan rumah tangga pada musim pancaroba berada diantara kedua musim (sekitar Rp832 ribu). Kondisi ini menunjukkan bahwa kebanyakan nelayan masih menggantungkan kegiatan kenelayanan sebagai sumber penghasilan utama dan kehidupan ekonomi nelayan cenderung lebih baik di musim gelombang tenang daripada musim lainnya.
119
Faktor-faktor yang berpengaruh •
Perubahan musim. Perubahan kondisi alam ini mempengaruhi aktivitas nelayan ke laut. Pada musim gelombang tenang memungkinkan nelayan untuk pergi ke laut setiap hari, kecuali sekitar bulan purnama, sehingga dapat memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak. Sebaliknya pada musim gelombang kuat, aktivitas nelayan ke laut turun drastis, karena hasil tangkapan yang diperoleh dianggap tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Perbedaan jenis ikan di setiap musim juga berpengaruh, sehingga meskipun jumlah ikan yang diperoleh relatif sedikit, penghasilan akan besar apabila mempunyai nilai ekonomi tinggi.
•
Sarana/armada tangkap. Bagi penduduk di wilayah pantai atau pesisir, sarana dan alat tangkap yang dimiliki nelayan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam menentukan hasil tangkapan atau pendapatan nelayan. Perahu bermotor merupakan sarana transportasi yang sangat penting untuk operasi penangkapan ikan di laut, terutama ke wilayah tangkap yang relatif jauh dari pantai. Hasil tangkapan ikan akan semakin banyak, seiring dengan jenis dan besarnya body perahu serta besarnya motor yang digunakan dalam perahu tersebut. Demikian pula besarnya daya tampung ikan juga akan berpengaruh terhadap efisiensi biayanya.
•
Bervariasinya alat tangkap, baik jumlah maupun jenisnya. Semakin lengkap pemilikan alat tangkap, semakin leluasa nelayan dalam menangkap berbagai ragam ikan, karena nelayan menjadi tidak terlalu tergantung oleh perubahan musim. Namun demikian semakin canggih sarana dan peralatan tangkap, semakin mahal pula harganya, sehingga tidak semua nelayan mampu memilikinya. Jenis peralatan tangkap yang dibutuhkan nelayan tergantung pada jenis ikan yang tersedia pada musim tertentu. Sebagian besar bagan dan perahu bermotor (ukuran besar) di Desa Malang Rapat umumnya
120
dimiliki oleh para taoke yang mempunyai modal, sedangkan nelayan hanya memiliki armada dan alat tangkap yang terbatas (jenis maupun jumlahnya), sehingga berpengaruh terhadap hasil tangkapannya. •
Cara penangkapan. Hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan kecenderungan penurunan secara kuantitas, antara lain karena cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bom dan racun. Sampai tahun 1990, penggunaan alat tangkap yang merusak terumbu karang dan biota laut ini masih marak digunakan nelayan. Namun sejak tahun 2000 an, nelayan setempat sudah tidak menggunakan cara-cara yang merusak, namun belum sepenuhnya hilang karena banyaknya nelayan dari luar yang datang ke daerah kajian terutama ke Desa Malang Rapat. Penurunan hasil tangkapan juga disebabkan oleh penangkapan ikan yang berlebihan, atau illegal fishing serta meningkatnya jumlah nelayan baik dari penduduk setempat maupun pendatang dari luar. Penangkapan illegal yang banyak dilakukan nelayan dari luar daerah dan telah berlangsung lama, sangat berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang di wilayah ini, sehingga produksi ikan karang semakin merosot.
•
Kebijakan dan implementasi program. Banyak kebijakan dan program DKP yang bertujuan untuk mempercepat upaya mensejahterakan kehidupan nelayan, antara lain dengan pemberdayaan kelompok produktif petani nelayan melalui pengembangan usaha perdesaan. Program semacam ini juga akan menjadi bagian dari kegiatan COREMAP dalam rangka menyediakan alternative pekerjaan bagi keluarga nelayan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Dalam realisasinya banyak hambatan yang dirasakan nelayan untuk memperoleh bantuan dari program pemerintah. Selain prosedur birokrasi yang dianggap rumit, realisasi bantuan yang diterima seringkali tidak sesuai dengan rencana. Kesulitan dalam memanfaatkan bantuan pemerintah, menyebabkan pada 121
mumnya nelayan lebih menggantungkan bantuan dari para taoke, baik dalam permodalan maupun pemasaran. Kelebihan yang dirasakan nelayan adalah prosedur hutang dan persyaratan mudah, waktu pengembalian hutang relatif bebas, dan nelayan hanya berkewajiban untuk menjual hasil tangkapan ke taoke. Ketergantungan pada para taoke seringkali harus dibayar mahal, karena posisi tawar nelayan lemah dibandingkan para taoke. •
Kebijakan pengembangan sector pariwisata berpotensi mengurangi akses kegiatan nelayan di sepanjang pantai. Semakin meningkatnya kegiatan pariwisata di sepanjang pantai terutama di Desa Malang Rapat, menyebabkan banyak daerah pantai yang sudah dikuasai oleh para pengusaha. Hal ini berarti semakin sempitnya akses nelayan untuk melakukan kegiatan kenelayanannya, terutama apabila kawasan pantai telah dibangun resort atau bangunan lain. Kebijakan pengaturan pengembangan sektoral yang tidak sinkron satu sama lain akan berdampak merugikan pihak-pihak yang lemah.
6.2. Rekomendasi •
Ketergantungan masyarakat pada sumber penghasilan dari kegiatan kenelayanan relatif tinggi, sehingga potensial untuk penangkapan yang berlebihan atau penggunaan alat tangkap atau bahan yang kurang ramah lingkungan. Perlu penciptaan alternatif kesempatan kerja di luar kegiatan nelayan yang dapat menambah penghasilan rumah tangga nelayan, sehingga mengurangi potensi kerusakan terumbu karang.
•
Banyak lahan milik masyarakat yang sudah berpindah tangan ke pengusaha, dan menjadi terlantar setelah dimanfatkan (seperti bekas galian pasir di Desa Gunung Kijang). Kondisi ini selain merusak lingkungan, juga mengurangi kesempatan masyarakat menambah penghasilan melalui sektor pertanian. Perlu kebijakan pemda untuk mengurangi animo penjualan
122
lahan dengan mengganti kebijakan lain (sewa atau kontrak), sehingga dapat difungsikan kembali setelah pengelolaan selesai. •
Perlu mengurangi ketergantungan nelayan pada para taoke, dengan jalan melaksanakan program pemberdayaan nelayan sesuai dengan sasaran. Perlu keseriusan Pemda (DKP) dalam pelaksanaan program dan melaksanakan pengawasan dalam implementasi program, sehingga dapat mencapai sasaran program sesuai dengan perencanaan yaitu meningkatkan kesejahteraan nelayan terutama nelayan tradisional.
•
Sosialisasi program COREMAP masih banyak menghadapi hambatan, terutama hambatan struktural dan kesiapan SDM di kalangan birokrasi, LSM maupun masyarakat. Sosialisasi COREMAP cenderung bersifat perseorangan belum terkoordinir dengan Pemda di tingkat desa dan kecamatan. Koordinasi antara pengelola COREMAP (DKP) dengan instansi terkait perlu ditingkatkan, sehingga benturan kepentingan antar instansi dapat dicegah, dan orientasi proyek untuk kegiatan COREMAP dapat diminimalisir.
•
Terbatasnya transportasi umum berpengaruh terhadap kelancaran pemasaran hasil dan menyulitkan anak sekolah dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi (terutama di Desa Gunung Kijang). Pemda perlu meningkatkan fasilitas transportasi umum untuk meningkatkan dinamika ekonomi di wilayahnya. Demikian pula fasilitas bus gratis juga sangat diperlukan untuk daerah lain, terutama Desa Gunung Kijang yang masih rendah pencapaian pendidikannya. Meningkatnya pencapaian pendidikan di daerah perdesaan akan memudahkan berbagai sosialisasi ke masyarakat, termasuk COREMAP. Kebijakan transportasi umum juga dapat mengurangi ketergantungan masyarakat pada operasional kendaraan pribadi untuk tansportasi umum.
•
Pengembangan sektor pariwisata harus sinkron dengan pengembangan sektor lainnya, terutama terkait dengan
123
kepentingan masyarakat luas. Dalam hal pengembangan sektor pariwisata yang terkait dengan akses kegiatan kenelayanan, diperlukan peraturan yang jelas dari pemda setempat, agar tidak ada pihak yang dirugikan. Perlindungan terhadap kepentingan masyarakat nelayan, akan berpengaruh terhadap upaya pelestarian terumbu karang di kawasan tersebut. Sebagai penutup, perlu menjadi perhatian semua pihak terkait dengan pelestarian terumbu karang, agar penekanan kebijakan pembangunan tidak hanya dalam perencanaan tetapi juga implementasi program. Untuk mencapai sasaran pembangunan yaitu kesejahteraan masyarakat diperlukan kebijakan yang compehensif untuk mendukungnya. Kelemahan utama birokrasi adalah lemahnya koordinasi antar sektor dan pengawasan dalam pelaksanaan, sehingga semakin ’jauh panggang dari api’.
124
KEPUSTAKAAN
BPS dan Bappeda Kabupaten Bintan, 2006. Bintan Dalam Angka Tahun 2005/2006. Tanjung Pinang, BPS dan Bappeda Kab. Bintan. CRITC- COREMAP Kabupaten Bintan , 2006. Survei Kondisi Umum Terumbu Karang di Kecamatan Gunung Kijang. Tanjung Pinang, CRITC –COREMAP Kab. Bintan. Kabupaten Bintan, Dinas Kelautan dan Perikanan, 2006 Kompas, 2007 ”Ketika Termakan Godaan Dollar”, www.kompas.com/kompas-cetak/0703/17/fokus/3393394. Nagib, laila, D. Asiati, A. Wahyono dan A. Zaelani, 2007 Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia:Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton. Jakarta, COREMAP-LIPI. Dan PPK-LIPI. Pusat Penelitian Kependudukan -LIPI, 2006 Profil Kependudukan di Wilayah Perbatasan. Jakarta, PPKLIPI Pusat Penelitian Oceonografi-LIPI, 2007 Baseline Ekologi Kepulauan Riau (hasil penelitian) Pemkab Bintan – DKP, 2006. Rencana Stratejik Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bintan Tahun 2006-2010. Tj. Pinang, Pemkab Bintan DKP. Suharsono, 2005 ‘Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia’, Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Ilmu Biologi Laut. Jakarta, LIPI. 125
Widayatun dan Mujiani, 2005 Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia:Desa Mapur Kecamatan Bintan Timur, Provinsi Kepulauan Riau. Jakarta, COREMAP-LIPI. dan PPK-LIPI.
126