KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II KABUPATEN RAJA AMPAT
HASIL BME
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II KABUPATEN RAJA AMPAT
HASIL BME
WIDAYATUN AUGUSTINA SITUMORANG I. GP ANTARIKSA
COREMAP-LIPI PUSAT PENELITIAN KEPENDUDUKAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (PPK-LIPI), 2008
LIPI
COREMAP-LIPI
RINGKASAN
K
abupaten Raja Ampat merupakan salah satu kabupaten dari tujuh kabupaten lokasi COREMAP yang ada di Indonesia bagian Timur yang mendapat bantuan pendanaan dari Bank Dunia. COREMAP bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara berkesinambungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari berbagai aspek, diantaranya dari aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan akan tercapai peningkatan tutupan karang paling tidak 2 persen per tahun, sedangkan tujuan dari aspek sosial ekonomi diharapkan terjadi peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya sebesar 10 persen pada akhir program.
Dimasukkannya Kabupaten Raja Ampat sebagai salah satu lokasi COREMAP berkaitan dengan kekayaan sumber daya hayati laut yang berada di wilayah ini. Kepulauan Raja Ampat terletak di dekat jantung ‘segitiga karang’ (“coral triangle”), yang memiliki keragaman karang yang tertinggi di dunia. Kekayaan keragaman hayati laut di Kepulauan Raja Ampat diindikasikan dari ditemukanya berbagai jenis spesies ikan karang, moluska dan hewan karang. Hamparan karang di kepulauan di wilayah ini menyokong fauna karang terkaya di dunia. Di samping itu di wilayah ini terdapat hamparan padang lamun, hutan mangrove, dan pantai tebing berbatu yang indah. Pelaksanaan COREMAP di Kabupaten Raja Ampat yang telah dimulai dari tahun 2006 difokuskan pada dua kawasan, yaitu kawasan Waigeo Selatan dan Waigeo Barat. Secara administratif pelaksanaan COREMAP mencakup empat distrik dan 21 kampung. Ke empat distrik tersebut adalah: Distrik Waigeo Selatan, Distrik Mansfar, KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
iii
Distrik Waigeo Barat dan Distrik Selat Sagawin. Sedangkan rincian jumlah kampung per distrik adalah: Distrik Waigeo Selatan 4 kampung, Distrik Mansfar 7 kampung, Distrik waigeo Barat 5 kampung dan Distrik Selat Sagawin 2 kampung. Untuk memantau sampai seberapa jauh program telah dilaksanakan dan bagaimana dampaknya terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat, khususnya tingkat pendapatan dilakukan kajian BME (Benefit Monitoring Evalution) sosial-ekonomi yang dilakukan pada tengah dan akhir program. Survei BME sosial-ekonomi dilakukan untuk mengumpulkan data berkaitan dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat, terutama pendapatan masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Data dan informasi tentang pendapatan masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi dari hasil BME kemudian dibandingkan dengan data pendapatan yang telah dikumpulkan pada baseline studi sosial-ekonomi. Dampak COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat dapat dipantau dari hasil perbandingan antara data pendapatan masyarakat hasil baseline (T0) yang dilakukan pada awal program dan data pendapatan dari BME yang dilakukan pada tengah dan akhir program (T1). Selama kurang lebih 2,5 tahun COREMAP berjalan di Kabupaten Raja Ampat berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan. Fokus kegiatan pada tahun 2006 adalah sosialisasi tentang pentingnya pelestarian terumbu karang kepada para stakeholders baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat lokasi/kawasan. Bersamaan dengan diadakannya sosialisasi berbagai kegiatan di tingkat lokasi dilakukan, diantaranya adalah pembentukan LPSTK dan penyusunan RPTK. Pada tahun 2007 kegiatan lebih difokuskan pada penguatan kelembagaan, pelatihan dan pendampingan, pelaksanaan UEP dan kegiatan pengawasan. Sedangkan kegiatan tahun 2008 masih melanjutkan pelaksanaan UEP dan kegiatan perlindungan serta pengawasan. Beberapa temuan dari hasil kajian BME ini dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama temuan terkait dengan permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam melakukan pengelolaan program di tingkat kabupaten dan di tingkat lokasi. Temuan yang kedua adalah iv
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
gambaran perubahan pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah dilaksanakan COREMAP di tiga kampung lokasi studi. Pengelolaan COREMAP di tingkat Kabupaten •
Terbatasnya sarana transportasi dan kondisi alam yang kurang bersahabat, terutama pada musim ombak besar menjadi kendala bagi mobilitas, komunikasi dan koordinasi antara SETO (Senior Extension and Training Officer), CF (Community Facilitator) dan pengelola serta konsultan di tingkat kabupaten. Mobilisasi dan komunikasi yang terkendala ini mempengaruhi kelancaran pelaksanaan beberapa kegiatan yang dilakukan oleh SETO, CF, pengelola di tingkat kabupaten dan konsultan.
•
Kapasitas CF yang ditugaskan di masing – masing kampung lokasi COREMAP sangat bervariasi. Terdapat sebagian CF yang kinerjanya masih belum optimal dalam melakukan pendampingan di masyarakat. Pemahaman tentang tujuan dan pendekatan COREMAP pada sebagian CF masih minim. Padahal mereka ditugaskan untuk mendampingi masyarakat dan melakukan fasilitasi agar semua kegiatan COREMAP di lapangan dapat berjalan baik.
Pengelolaan di tingkat lokasi •
Lembaga pengelola COREMAP di tingkat lokasi adalah LPSTK. Lembaga ini mempunyai peran memberikan dukungan operasional terhadap semua kegiatan COREMAP di lokasi. Kajian ini menemukan bahwa kapasitas sebagian pengurus LPSTK belum memadai. Pemahaman mereka tentang konsep, tujuan dan pendekatan yang dipakai oleh COREMAP dalam upaya menjaga kelestarian terumbu karang masih terbatas. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap kinerja LPSTK yang pada akhirnya akan mempengaruhi keberhasilan beberapa kegiatan yang dilaksanakan.
•
Di setiap lokasi COREMAP terdapat dua motivator desa yang bertugas membantu CF dan SETO melaksanakan kegiatan KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
v
COREMAP mulai dari pembentukan kelembagaan sampai dengan melaksanakan sosialisasi dan identifikasi kegiatan Pokmas. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum kinerja para motivator belum optimal. Hal ini tercermin dari minimnya pemahaman mereka tentang konsep dan tujuan COREMAP serta pendekatan yang digunakan. Rendahnya pemahaman motivator tentang konsep, tujuan dan pendekatan COREMAP ini menjadi kendala dalam memberikan fasilitasi kepada masyarakat tentang pentingnya penyelamatan terumbu karang. Program dan kegiatan di lokasi •
Secara umum kegiatan sosialisasi tentang penyelamatan terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat cukup berhasil yang terlihat dari menurunnya beberapa kegiatan illegal seperti penggunaan bom dan potas untuk menangkap ikan.
•
Keberadaan pondok informasi di beberapa lokasi belum termanfaatkan secara optimal untuk media dan sumber informasi bagi penyebarluasan kegiatan COREMAP. Materi terkait dengan informasi mengenai program dan kegiatan COREMAP seperti brosure, leaflet dan buku-buku yang ada di pondok sangat minim. Pondok informasi yang cukup lengkap materinya hanya dapat ditemui di Kampung Meos Manggara.
•
Secara umum kegiatan UEP belum berhasil meningkatkan pendapatan rumah tangga. Kurang berhasilnya berbagai usaha yang dilakukan oleh Pokmas ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor adalah kurangnya bimbingan oleh pengelola COREMAP. Monitoring terhadap kegiatan usaha Pokmas ini belum dilakukan, sehingga tidak ada kontrol (pengawasan) dan bimbingan terhadap para anggota Pokmas.
•
Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat secara umum masih berjalan meskipun belum mendapat fasilitas yang memadai. Minimnya sarana dan prasarana (armada patroli dan perlengkapannya) menjadi kendala bagi masyarakat untuk melakukan patroli secara efektif. Armada yang dipakai oleh
vi
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
nelayan setempat tidak sebandung dengan armada yang dipakai oleh para nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan sekitar Waigeo Selatan dan Waigeo Barat. Gambaran perubahan pendapatan masyarakat •
Secara umum dalam kurun waktu 2006–2008 terjadi peningkatan pendapatan penduduk di ketiga kampung lokasi COREMAP di Kabupaten Raja Ampat. Berdasarkan baseline studi tahun 2006 pendapatan rata-rata rumah tangga yang berasal dari semua sumber penghasilan sebesar Rp 1.011.900. Dua tahun kemudian hasil BME menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga ini naik menjadi Rp 1.630.300. Sejalan dengan kenaikan pendapatan rumah tangga, pendapatan per-kapita yang merupakan total dari seluruh penduduk yang bekerja dibagi dengan jumlah penduduk di tiga lokasi penelitian juga menunjukkan kenaikan sebesar (Rp 155.032) selama dua tahun. Pada tahun 2006 pendapatan per - kapita penduduk di lokasi COREMAP sebesar Rp 278.422 naik menjadi Rp433.454 pada tahun 2008. Besar pendapatan per-kapita ini lebih besar dari nilai garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS.
•
Pendapatan rumah tangga nelayan juga menunjukkan kenaikan dari Rp 954.4000 pada tahun 2006 menjadi Rp 1.341.900 atau naik sebesar Rp 387.500. Jika di lihat per distrik, peningkatan pendapatan dari kegiatan kenelayanan di Distrik Waigeo Barat lebih rendah jika dibandingkan dengan Distrik Waigeo Selatan. Dalam jangka waktu dua tahun, pendapatan dari kegiatan kenelayanan di Distrik Waigeo Barat naik sebesar Rp 334.400, sementara di Waigeo Selatan naik sekitar Rp 429.400.
•
Kenaikan pendapatan rumah tangga tersebut berkaitan dengan berbagai faktor. Faktor tersebut diantaranya adalah: adanya program pemberdayaan masyarakat (COREMAP dan Dana Otonomi khusus), semakin bervariasinya lapangan pekerjaan yang dapat menghasilkan tambahan pendapatan, kemudahan pemasaran hasil laut, permintaan hasil laut yang tinggi dan naiknya jumlah tangkapan nelayan. KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
vii
viii
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
KATA PENGANTAR
P
elaksanaan COREMAP fase II bertujuan untuk menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang, agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Program ini telah berjalan kurang lebih tiga tahun atau sampai pada pertengahan program. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya peningkatan tutupan karang sebesar 2 persen per tahun merupakan indikator keberhasilan dari aspek bio-fisik. Indikator keberhasilan dari aspek sosial ekonomi adalah jumlah pendapatan yang didapat dari, dan jumlah orang yang menerima pendapatan dari berbagai kegiatan berkelanjutan yang berbasis terumbu karang meningkat sebesar 10 persen pada akhir program. Selain itu, diharapkan sedikitnya 70 persen masyarakat pesisir, terutama nelayan (penerima manfaat) merasakan dampak positif program terhadap kesejahteraan dan status ekonominya. Untuk melihat keberhasilan tersebut perlu dilakukan penelitian benefit monitoring evaluation (BME) baik ekologi maupun sosialekonomi. Penelitian BME ekologi dilakukan setiap tahun untuk memonitor kesehatan karang, sedangkan BME sosial-ekonomi dilakukan pada tengah dan akhir program. BME sosial-ekonomi bertujuan untuk mengkaji pelaksanaan COREMAP di daerah dan mengumpulkan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya tingkat pendapatan untuk memantau dampak program COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Hasil BME sosil-ekonomi ini selain dapat dipakai untuk memantau perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya peningkatan pendapatan penduduk di lokasi COREMAP, juga dapat dipergunakan untuk melakukan evaluasi pengelolaan dan pelaksanaan program, baik di tingkat nasional, kabupaten maupun di tingkat lokasi. Dengan adanya evaluasi dan masukan-masukan bagi pengelola dan pelaksana program, diharapkan dalam sisa waktu yang ada KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
ix
sampai akhir program fase II, keberhasilan COREMAP dari indikator bio-fisik dan sosial-ekonomi dapat tercapai. Buku laporan ini merupakan hasil dari BME sosial-ekonomi yang dilakukan pada tahun 2008 di lokasi-lokasi Coremap di Indonesia Bagian Timur (lokasi World Bank). BME sosial-ekonomi ini dilakukan oleh CRITC-LIPI bekerjasama dengan tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI (PPK-LIPI) dan beberapa peneliti sosial dari kedeputian IPSK - LIPI. Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku laporan melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti melakukan studi ini. Kepada para informan: masyarakat nelayan, ketua dan pengurus LPSTK dan POKMAS, pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat di Kampung Friwen, Yenbeser, Mutus dan Meos Manggara kami ucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Kami juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur pengelola COREMAP di tingkat kabupaten: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Unit pelaksana COREMAP di Kabupaten Raja Ampat, CRITC Kabupaten Raja Ampat dan berbagai pihak yang ada di daerah yang telah membantu memberikan data dan informasi. Pada akhirnya, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna meskipun tim peneliti telah berusaha sebaik mungkin dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan laporan ini. Jakarta, Desember 2008 Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI
Prof. DR. Ono Kurnaen Sumadhiharga, MSc x
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
xi
DAFTAR ISI RINGKASAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR DIAGRAM DAFTAR GAMBAR
iii ix xi xiii xv xix
BAB I
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan 1.3. Metodologi 1.3.1. Lokasi Penelitian 1.3.2. Pengumpulan data 1.3.3. Analisa data 1.4. Organisasi penulisan
1 1 4 5 5 7 11 11
BAB II
PROFIL LOKASI PENELITIAN 2.1. Kondisi Geografi 2.2. Potensi Sumber Daya Alam dan Pengelolaan 2.2.1. Keadaan Sumber Daya Darat 2.2.2. Keadaan Sumber Daya Laut 2.2.3. Wilayah Pengelolaan 2.2.4. Teknologi Penangkapan 2.2.5. Program dan Kegiatan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut 2.2.6. Sarana dan Prasarana Sosial Ekonomi 2.3. Kependudukan
13 13 18 18 19 22 24
BAB III COREMAP DAN IMPLEMENTASINYA 3.1. Pelaksanaan COREMAP: Permasalahan dan Kendala 3.1.1. Tingkat Kabupaten KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
25 27 32 55 56 56 xi
3.1.2.
Pelaksanaan dan Permasalahan COREMAP di tingkat lokasi 3.2. Pengetahuan dan Partisipasi Masyarkat Terhadap Kegiatan/Program COREMAP 3.2.1. Pemahaman Tentang COREMAP 3.2.2. Keterlibatan Masyarakat Dalam Program dan Kegiatan COREMAP 3.2.3. Persepsi Masyarakat Tentang Manfaat COREMAP 3.2.4. Sumber Informasi Tentang COREMAP BAB IV PENDAPATAN MASYARAKAT: Perubahan dan Faktor Berpengaruh 4.1. Perubahan Kondisi Perekonomian di tingkat kabupaten 4.2. Perubahan Pendapatan Rumah Tangga 4.2.1. Perubahan pendapatan dari semua sumber pendapatan 4.2.2. Perubahan Pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan 4.3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan pendapatan 4.3.1. Struktural Faktor 4.3.2. Internal Faktor BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan 5.1.2. Permasalahan dan kendala dalam pengelolaan COREMAP 5.1.2. Perubahan pendapatan masyarakat dan faktor yang berpengaruh 5.2. Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
xii
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
62 74 75 80 86 91
93 94 95 96 104 115 115 118 123 124 125 129 132 137
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1.
Lokasi COREMAP Kabupaten Raja Ampat
Tabel 2.1.
Kalender Musim Di Kawasan Waigeo Selatan dan Barat
15
Jumlah Penduduk, Luas Wilayah berdasarkan distrik di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2004 dan 2006
33
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Distrik Di Kabupaten Raja Ampat Tahun 2004 dan 2006
35
Proporsi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Di Ketiga Lokasi Penelitian, Tahun 2006 dan 2008
36
Proporsi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur di Lokasi Penelitian Menurut Kampung, Tahun 2006 dan 2008
37
Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Menurut Distrik di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2004 dan 2006
40
Distribusi penduduk berumur 6 tahun keatas berdasarkan pendidikan tertinggi dan kelompok umur di lokasi penelitian, Tahun 2006 dan 2008
42
Penduduk Berumur 10 Tahun ke atas Menurut Kegiatan Ekonomi dan Jenis Kelamin tahun 2006 dan 2008
45
Distribusi penduduk yang bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2006 dan 2008
46
Tabel 2.2.
Tabel 2.3.
Tabel 2.4.
Tabel 2.5.
Tabel 2.6.
Tabel 2.7.
Tabel 2.8.
Tabel 2.9.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
5
xiii
Tabel 2.10. Distribusi penduduk yang bekerja menurut Lapangan Pekerjaan tambahan Tahun 2006 dan 2008
48
Tabel 2.11. Rumah Tangga Berdasarkan Pemilikan Alat Produksi Perikanan, Kampung FriwenYenbeser dan Mutus, 2006
50
Tabel 4.1.
Tabel 4.2. Tabel 4.3.
Tabel 4.4.
Tabel 4.5.
Tabel 4.6.
xiv
Statistik Pendapatan Penduduk di Tiga Kampung Lokasi COREMAP, Kabupaten Raja Ampat Tahun 2006 dan 2008 (Rupiah)
98
Gambaran harga beberapa kebutuhan pokok di Waigeo Selatan dan Waigeo Barat
100
Gambaran Pendapatan Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga, Di Tiga Kampung Lokasi COREMAP, Kabupaten Raja Ampat, 2006
101
Distribusi Rumah Tangga Nelayan Menurut Jumlah Pendapatan di Tiga Kampung Lokasi COREMAP Kabupaten Raja Ampat, 2006 dan 2008
105
Statistik Pendapatan Rumah Tangga Nelayan di Tiga Kampung Lokasi COREMAP, Kabupaten Raja Ampat, 2006 dan 2008 (Rupiah)
107
Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim, di Tiga Kampung Lokasi COREMAP Kabupaten Raja Ampat, 2006 dan 2008 (Rupiah)
113
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 3.1.
Diagram 3.2.
Diagram 3.3.
Diagram 3.4.
Diagram 3.5.
Diagram 3.6.
Diagram 3.7.
Pengetahuan Responden tentang COREMAP di Lokasi COREMAP Yen Beser, Friwen dan Mutus, Kabupaten Raja Ampat, 2008
76
Pengetahun Responden Tentang Berbagai Kegiatan COREMAP di Kampung Yenbeser, Friwen dan Mutus, Kabupaten Raja Ampat, tahun 2008
78
Pengetahuan Responden Tentang Pokmas dan Keterlibatannya Dalam Kegiatan Pokmas di Kampung Yenbeser, Friwen dan Mutus, Kabupaten Raja Ampat, 2008
81
Pengetahuan dan Keterlibatan Responden Dalam Berbagai Kegiatan Ekonomi COREMAP di Kampung Lokasi COREMAP Kabupaten Raja Ampat, 2008
84
Pengetahuan dan Keterlibatan Responden Dalam Kegiatan UEP di Kampung Friwen, Yenbeser dan Mutus, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2008
85
Persepsi masyarakat tentang manfaat berbagai kegiatan Ekonomi COREMAP di Kampung Friwen, Yenbeser dan Mutus, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2008
87
Persepsi masyarakat terhadap berbagai Ekonmomi CORENAP di Kampung Friwen, Yenbeser dan Mutus, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2008
88
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
xv
Diagram 3.8.
Diagram 3.9.
Diagram 4.1. Diagram 4.2.
Diagram 4.3.
Diagram 4.4.
Diagram 4.5. Diagram 4.6.
Diagram 4.7.
xvi
Distribusi Responden Menurut Pendapat Tentang Keadaan Ekonomi Rumah Tangga Sebelum dan Sesudah COREMAP dilaksanakan di Kampung Friwen, Yenbeser dan Mutus, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2008
89
Distribusi Responden Menurut Sumber Informasi Tentang COREMAP di Kampung Yenbeser, Friwen dan Mutus, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2008
91
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Raja Ampat Tahun 2003 – 2006
95
Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Besar Pendapatan, Di Tiga Kampung Lokasi COREMAP, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2006 dan 2008 (Persen)
97
Perubahan Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga dan Per-kapita Tahun 2006 – 2008, Kabupaten Raja Ampat
99
Gambaran Pendapatan Rumah Menurut Lapangan Pekerjaan Rumah Tangga
Tangga Kepala 102
Distribusi Rumah Tangga Nelayan Menurut Kelompok Pendapatan Tahun 2006 – 2008
106
Perubahan Pendapatan Rumah Tangga Nelayan Tahun 2006 – 2008 di beberapa lokasi COREMAP, Kabupaten Raja Ampat
108
Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Nelayan, Menurut Musim, Tahun 2006 (Persentase)
111
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Diagram 4.8.
Diagram 4.9.
Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Nelayan, Menurut Musim, Tahun 2008 (Persentase)
112
Perubahan Pendapatan Rumah Tangga Nelayan Tahun 2006 -2008 Menurut Musim (Rupiah)
114
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
xvii
xviii
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Billboard di Kampung Arborek
63
Gambar 3.2. Pondok Informasi
64
Gambar 3.3. Pondok Informasi Meosmanggara
65
Gambar 3.4. Pembuat Anyaman Topi
70
Gambar 3.5. Penerangan jalan dan pagar
72
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
K
abupaten Raja Ampat merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong yang dibentuk berdasarkan UU No. 26 Tahun 2002. Wilayah kabupaten ini secara geografis berada pada koordinat 2o25’LU-4o25’LS & 130o-132o55’BT dengan luas lebih dari empat juta hektar yang meliputi areal darat dan laut. Kabupaten yang wilayahnya merupakan kepulauan - terkenal sebagai Kepulauan Raja Ampat - ini memiliki lebih dari 600 pulau dengan empat pulau besar yaitu Batanta, Salawati, Waigeo, dan Misool. Kepulauan Raja Ampat terletak di dekat jantung ‘segitiga karang’ (“coral triangle”), sebuah kawasan yang mencakup bagian Utara Australia, Phlippina, Indonesia dan Papua Nugini yang memiliki keragaman karang yang tertinggi di dunia. Kekayaan keragaman hayati laut di Kepulauan Raja Ampat diindikasikan dari ditemukanya lebih dari 1.074 spesies ikan karang, 699 jenis moluska (hewan lunak) dan 537 jenis hewan karang (TNC dan WWF: 2002). Tidak hanya jenis-jenis ikan, Kepulauan Raja Ampat juga kaya akan keanekaragaman terumbu karang, hamparan padang lamun, hutan mangrove, dan pantai tebing berbatu yang indah. Hamparan karang di kepulauan Raja Ampat menyokong fauna karang terkaya di dunia, tercatat 565 spesies karang seleractinian (Veron, 2002). Selain memiliki keragaman hayati karang tertinggi di dunia, bagian permukaan laut kawasan ini juga memiliki pemandangan yang sangat indah, diantaranya tonjolan-tonjolan puncak batu kapur yang unik membentuk pulau-pulau kecil yang kelihatan sangat indah, terutama apabila dilihat dari udara. Di kawasan ini juga banyak dijumpai
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
1
celukan pantai yang dikelilingi oleh pasir dan pohon palem serta tepian ekosistem yang sangat unik. Hamparan terumbu karang di wilayah perairan Kepulauan Raja Ampat secara umum relatif baik dan sehat kondisinya. Di beberapa lokasi masih dijumpai tutupan karang yang mencapai 70 persen, namun secara umum di semua lokasi penutupan karang tergolong moderate, sebesar 33 persen (TNC dan WWF, 2002). Studi yang dilakukan oleh LIPI (2001) di Kepulauan Ayau dan Waigeo Barat (kepulauan Batang Pele) menemukan presentase tutupan karang di beberapa lokasi sekitar 40-50 persen. Akan tetapi masih dijumpai juga di beberapa lokasi yang penutupan karangnya mencapai 70 persen. Kondisi karang yang masih relatif baik juga ditunjukkan oleh studi yang dilakukan COREMAP-AMSAT, 2005 di beberapa lokasi di distrik Waigeo Selatan. Di beberapa wilayah perairan, seperti di sekitar Arborek, Yenbuba dan Yenbekwan penutupan karang masih cukup baik sekitar 70 persen. Hasil survei LIPI yang dilakukan tahun 2006 di beberapa titik di sekitar perairan Waigeo Selatan menunjukkan rata-rata tutupan karang sebesar 20.9 persen. Namur kondisi masing satsiun pengamatan cukup bervariasi. Di beberapa lokasi dijumpai tutupan karang yang masih mencapai 30 sampai 35 persen. Namur di beberapa tempat lainnya tutupan karang hanya mencapai 7.8 persen. Meskipun secara umum kondisi terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat masih relatif baik dan belum dimanfaatkan secara optimal, tetapi di beberapa wilayah telah mengalami degradasi dengan tingkat kerusakan yang bervariasi. Kerusakan karang di perairan Kabupaten Raja Ampat umumnya disebabkan karena penggunaan bom dalam menangkap ikan. Kerusakan yang cukup parah akibat penggunaan bom terjadi pada terumbu karang hampir di semua lokasi survei kecuali di perairan Pulau Gemin dan Yensawai. Penggunaan bom untuk mencari ikan, hingga saat ini masih terus berlangsung. Nelayan-nelayan yang menggunakan bom umumnya berasal dari luar Kabupaten Raja Ampat dan biasanya pengguna bom berasal dari Sorong. Kerusakan terumbu karang akibat penggunaan racun juga terjadi. Di beberapa lokasi dijumpai karang yang mengalami 2
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
bleaching (pemutihan) akibat penggunaan Potasium Sianida (TNC dan WWF, 2002; Atlas Potensi Sumber Daya Laut Kabupaten Raja Ampat Tahun 2006). Dalam upaya menanggapi masalah kerusakan terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat, wilayah ini dijadikan salah satu lokasi COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) yang mendapat bantuan dana dari Bank Dunia. Tujuan COREMAP pada fase II lebih ditekankan pada terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Indikator tercapainya tujuan COREMAP dapat dilihat dari aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan akan tercapai peningkatan tutupan karang paling tidak 5 persen per tahun sampai tercapai level yang sama dengan daerah yang telah dikelola dengan baik atau ‘pristine area’ (daerah terumbu karang yang masih asli/belum dimanfaatkan). Indikator untuk keberhasilan COREMAP dari aspek sosial-ekonomi adalah: (1) pendapatan yang diterima dari, dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya naik sebesar 10 persen pada akhir program (tahun 2009); dan (2) paling sedikit 70 persen dari masyarakat nelayan (beneficiary) di kabupaten program merasakan dampak positif COREMAP terhadap tingkat kejahteraan dan status sosial ekonominya (World Bank, Project Appraisal Document, 2004 Appendix 3, p. 39). Lokasi COREMAP fase II di Kabupaten Raja Ampat pada awalnya difokuskan di dua distrik yaitu Distrik Waigeo Selatan dan Waigeo Barat. Lokasi COREMAP di Waigeo Selatan meliputi 11 kampung dan di Kecamatan Waigeo Barat terdiri dari 6 kampung. Pada tahun 2007 Distrik Waigeo Selatan dimekarkan menjadi dua, yaitu Distrik Mansfar dan Waigeo Selatan. Sementara itu Distrik Waigeo Barat juga dimekarkan menjadi dua, yaitu Distrik Waigeo Barat dan Distrik Selat Sagawi. Jumlah keseluruhan desa yang menjadi lokasi COREMAP adalah 21 kampung.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
3
Implementasi COREMAP di Kabupaten ini telah mulai dilaksanakan dari tahun 2005/6. Selama kurang lebih tiga tahun berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat lokasi (kampung). Berbagai program dan kegiatan tersebut, utamanya untuk mengurangi kegiatan pemanfaatan sumber daya laut yang berakibat pada kerusakan terumbu karang dan sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk memantau seberapa jauh program dan kegiatan yang dilaksanakan COREMAP berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga dapat mengurangi kerusakan terumbu karang diperlukan kajian Benefit Monitoring Evaluation (BME) sosial ekonomi dan BME ekologi. BME sosial – ekonomi dilakukan pada pertengahan dan akhir program dan BME ekologi untuk memantau kesehatan karang dilaksanakan setiap tahun.
1.2. TUJUAN Tujuan umum dari kajian ini adalah untuk mengetahui tentang pelaksanaan COREMAP di daerah dan mengumpulkan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya tingkat pendapatan. Tingkat pendapatan digunakan untuk memantau dampak program COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Tujuan khusus dari kajian ini adalah : 1. Untuk mengindentifikasi permasalahan dan kendala dalam pelaksanaan COREMAP di tingkat kabupaten dan di tingkat lokasi, yaitu kampung – kampung dimana COREMAP diimplementasikan. 2. Untuk mengkaji pemahaman masyarakat tentang COREMAP di daerah kajian. 3. Untuk menggambarkan ada tidaknya perubahan tingkat pendapatan masyarakat, khususnya pendapatan yang didapat dari kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang.
4
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
1.3. METODOLOGI 1.3.1. Lokasi Penelitian Lokasi COREMAP fase II di Kabupaten Raja Ampat pada awalnya difokuskan di dua distrik yaitu Distrik Waigeo Selatan dan Distrik Waigeo Barat yang meliputi 17 kampung. Setelah terjadi pemekaran distrik pada tahun 2007, lokasi COREMAP terdapat di empat distrik, yaitu Distrik Waigeo Selatan, Distrik Mansfar, Distrik Waigeo Barat dan Distrik Selat Sagamin. Daftar kampung yang menjadi lokasi COREMAP dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 1.1. Lokasi COREMAP Kabupaten Raja Ampat No
Kecamatan/ Desa Distrik Waigeo Selatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Saonek Friwen Yenbeser Sarpokren Distrik Mansfar Kapisawar Sawingrai Arborek Yenbuba Yenbekwan Purkupa dan Dusun Sawandarek YenWaupnur Distrik Waigeo Barat Meos Manggara Mutus Bianci Manyaifun Selpele Waislip Saukabu Pam Distrik Selat Sagawin Arifi Yensawai
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Raja Ampat, 2008. KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
5
BME sosial – ekonomi utamanya bertujuan untuk memantau adanya perubahan kesejahteraan masyarakat yang diindikasikan dari peningkatan pendapatan masyarakat yang didapat dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang. Gambaran tentang perubahan tingkat pendapatan tersebut diperoleh dari perbandingan antara kondisi tingkat pendapatan masyarakat pada awal program (hasil baseline studi yang telah dilakukan pada tahun 2006) dan tingkat pendapatan masyarakat dari hasil BME sosial – ekonomi yang dilakukan pada tahun 2008. Oleh karena itu, sampel survei BME disesuaikan dengan sampel baseline studi yang telah dilakukan pada tahun 2008. Mengingat banyaknya lokasi COREMAP di Kabupaten Raja Ampat, pada saat melakukan baseline studi (2006) dipilih tiga kampung sebagai sampel lokasi kajian. Pemilihan kampung sebagai sampel penelitian dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan beberapa faktor, diantaranya: kondisi dan potensi terumbu karang yang ada di masing-masing lokasi, ketergantungan masyarakat terhadap terumbu karang dan sumber daya laut serta keterwakilan kondisi social - ekonomi masyarakat. Ketiga kampung lokasi kajian tersebut adalah: Friwen dan Yenbeser di Distrik Waigeo Selatan dan Kampung Mutus di Distrik Waigeo Barat. BME sosial- ekonomi yang dilakukan pada tahun 2008 mengambil sampel kampung yang sama dengan baseline studi. Meskipun BME sosial – ekonomi difokuskan di tiga kampung, pengumpulan data kualitatif melalui wawancara terbuka, kelompok diskusi terfokus dan observasi tidak hanya dilakukan di tiga kampung tersebut. Untuk melihat kondisi sosial-ekonomi masyarakat di lokasi COREMAP II secara umum dan pelaksanaan COREMAP di tingkat lokasi, dilakukan juga pengumpulan data kualitatif di lokasi lainnya seperti di Kampung Meosmanggara.
6
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
1.3.2. Pengumpulan data 1. Data primer Studi ini menggunakan dua pendekatan dalam mengumpulkan data yaitu kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan melakukan survei/sensus. Data kualitatif dikumpulkan dengan metode wawancara terbuka, diskusi kelompok terfokus (FGD) dan pengamatan lapangan (observasi). •
Data kuantitatif
Jumlah rumah tangga di Mutus, Yenbeser dan Friwen relatif kecil (sekitar 181 rumah tangga). Oleh karena itu dalam pengumpulan data kuantitatif pada baseline studi tahun 2006 dilakukan sensus terhadap seluruh rumah tangga yang ada di ke tiga kampung tersebut. Sampai selesai pelaksanaan sensus, jumlah rumah tangga yang berhasil disensus sebesar 172. Terdapat sekitar 19 rumah tangga yang tidak berada ditempat pada saat sensus dilakukan karena bepergian ke luar kampung dengan berbagai keperluan. Di Kampung Friwen tidak dapat diwawancarai enam rumah tangga, di Kampung Yenbeser 10 rumah tangga dan dan di Kampung Mutus tiga rumah tangga. Pada tahun 2008 sensus untuk mengumpulkan data kuantitatif BME berhasil mewawancarai sekitar sekitar 183 rumah tangga. Sebanyak 13 rumah tangga tidak dapat diwawancarai karena tidak berada di tempat pada saat sensus dilakukan (11 rumah tangga) dan karena terlalu tua dan tidak ada anggota rumah tangganya (dua rumah tangga). Data yang dikumpulkan melalui kuesioner meliputi data yang berkaitan dengan karakteristik demografi anggota rumah tangga dan keadaan ekonomi rumah tangga. Data mengenai karakteristik demografi anggota rumah tangga antara lain jumlah, umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan anggota rumah tangga. Sementara data tentang kondisi ekonomi rumah tangga meliputi data pendapatan, tabungan dan data mengenai kepemilikan aset rumah tangga seperti alat produksi perikanan dan perumahan.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
7
Khusus mengenai data berkaitan dengan pendapatan nelayan yang pada umumnya sangat tergantung pada keadaan iklim, sebaiknya pengambilan data dilakukan pada saat musim angin tenang (musim panen), pada saat musim angin kencang (musim paceklik) dan musim pancaroba. Mempertimbangkan kendala waktu dan biaya, maka pengambilan data dilakukan pada salah satu musim saja. Dengan demikian survei yang dilakukan menggambarkan kondisi kehidupan sosial-ekonomi penduduk pada saat dilaksanakannya survei. Hal ini sesuai dengan sifat survei yang memberikan gambaran secara ‘spot’. Dalam usaha mendapatkan gambaran mengenai pendapatan dan produksi menurut menurut musim, penelitian ini menggunakan teknik ‘restropeksi’, yaitu dengan menanyakan berbagai informasi tersebut menurut musim: musim gelombang lemah, musim pancaroba dan musim gelombang kuat. Dengan menggunakan teknik ini, maka didapatkan data dan informasi mengenai pendapatan dan produksi ikan secara tidak langsung menurut musim. Dalam pengumpulan data kuantitatif, peneliti dibantu oleh beberapa orang pewawancara yang direkrut dari penduduk lokal. Di Kampung Friwen direkrut tiga orang pewawancara, di Kampung Yenbeser tujuh orang dan di Kampung Mutus sebanyak sembilan orang. Perekrutan pewawancara dilakukan dengan bantuan tokoh masyarakat setempat dan fasilitator yang ada di lokasi penelitian. Sebagian besar pewawancara adalah nelayan, selebihnya adalah motivator desa yang dilatih untuk keberlangsungan kegiatan COREMAP di kampung mereka. Sebelum pelaksanaan survei, dilakukan pelatihan untuk para pewawancara. Pelatihan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada pewawancara tentang maksud dan tujuan pengambilan data, tata cara berkunjung ke responden dan cara-cara menanyakan dan mengisi kuesioner. Pemeriksaaan hasil wawancara dilakukan oleh tim peneliti dengan cara diskusi dan menanyakan langsung kepada pewawancara berkaitan dengan kelengkapan isi kuesioner, konsistensi jawaban dan kejelasan tulisan. Pada saat dilakukan pemeriksaan kuesioner, juga 8
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
dilakukan diskusi tentang permasalahan- permasalahan sosialekonomi masyarakat yang muncul berkaitan dengan topik penelitian. •
Data kualitatif
Data kualitatif yang dikumpulkan dalam kajian BME sosial – ekonomi diantaranya adalah berbagai informasi berkaitan dengan pengelolaan dan kegiatan COREMAP di tingkat kabupaten dan lokasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pendapatan masyarakat dikaitkan dengan indikator keberhasilan COREMAP. Pengelolaan dan kegiatan COREMAP yang ada di tingkat kabupaten meliputi pengelolaan dan kegiatan yang dilakukan oleh masingmasing komponen, yaitu penyadaran masyarakat (public awareness), pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) dan pengawasan (MCS/monitoring controlling and surveilence). Sementara itu informasi berkaitan dengan pengelolaan dan kegiatan COREMAP di tingkat lokasi diantaranya adalah pembentukan dan kinerja LPSTK, POKMAS, dan PokWasMas, kegiatan UEP (usaha ekonomi produktif) dan kegiatan masing-masing Pokmas. Selain itu di tingkat lokasi juga digali informasi berkaitan dengan kinerja SETO (senior training officer), CF (Co Fasilitator) dan Motivator yang ada di masing-masing kampung lokasi COREMAP. Pengumpulan data kualitatif dilakukan sendiri oleh peneliti dengan melakukan wawancara terbuka dan diskusi kelompok terfokus (FGD). Wawancara terbuka dilakukan terhadap berbagai informan kunci yang ada di tingkat kabupaten dan di lokasi. Di tingkat kabupaten informan yang di wawancarai diantaranya adalah pengelola COREMAP di tingkat kabupaten yaitu Pemegang Komitmen, penanggung jawab dan konsultan masing-masing komponen (PA, PBM dan MCS) dan SETO serta CF. Informan di tingkat lokasi diantaranya adalah: SETO, CF, motivator, nelayan baik pria maupun wanita, pedagang pengumpul, pemuka masyarakat seperti perangkat desa, guru, dan tokoh masyarakat lainnya.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
9
Instrumen penelitian Dengan menggunakan metode penelitian tersebut di atas, kajian ini dibekali dengan 2 paket instrumen, yaitu daftar pertanyaan/ kuesioner dan pedoman wawancara. Daftar pertanyaan terdiri dari daftar pertanyaa untuk rumah tangga dan individu. - Daftar pertanyaan Daftar pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Daftar Pertanyaan Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial Ekonomi. Dalam penelitian ini menggunakan dua jenis daftar pertanyaan, yaitu Daftar Pertanyaan Rumah Tangga dan Daftar Pertanyaan Individu/ Perorangan. Dalam Daftar Pertanyaan Rumah Tangga terdiri 6 bagian, yaitu : (1). Pengenalan Tempat; (2) Keterangan Rumah Tangga; (3). Keterangan Pencacahan; (4). Keterangan Anggota Rumah Tangga; (5). Ekonomi Rumah Tangga; dan (6). Pemilikan Aset Rumah Tangga. Sementara Daftar Pertanyaan Individu terdiri dari dua bagian, yaitu : (1). Pengetahuan dan Partisipasi Responden dalam COREMAP; dan (2). Manfaat COREMAP untuk Kehidupan Ekonomi. - Pedoman wawancara terbuka Dalam penelitian ini wawancara terbuka dilakukan dengan para stakeholders dalam pengelolaan dan kegiatan COREMAP di tingkat kabupaten dan lokasi. Selain itu wawancara terbuka juga dilakukan terhadap stakeholders dalam kegiatan kenelayanan. Dalam wawancara terbuka, pedoman diperlukan agar wawancara lebih terarah, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam kajian. Pedoman in berupa daftar dari poin-poin penting yang diteliti. Poinpoin tersebut oleh para peneliti dikembangkan dan dilakukan cek dan recek di lapangan. Peneliti berhenti melakukannya apabila telah mendapatkan pemahaman yang komprehensif, mendalam dan solid dari informan-informan kunci dan narasumber yang mewakili stakeholders dalam masyarakat nelayan.
10
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
2. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait, seperti Kantor Statistik Kabupaten, Data Monografi Desa, Dinas Perikanan dan Kelautan dan data dari berbagai sumber lainnya.
1.3.3. Analisa data Data yang diperoleh melalui kuesioner dianalisa secara kuantitatif dengan menggunakan tabulasi silang untuk melihat hubungan antara variabel-variabel yang diteliti. Deskripsi data kuantitatif ini didukung dan dikombinasikan dengan pengolahan field note dari hasil wawancara terbuka dan kelompok diskusi terfokus dan observasi lapangan serta bahan pustaka lain. Selain itu, dilakukan juga analisa situasi dengan pendekatan kontekstual untuk menerangkan kejadian di lapangan. Analisa ini penting untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi sumber daya laut, khususnya terumbu dan pemanfaatannya serta dampaknya terhadap peningkatan pendapatan penduduk.
1.4. ORGANISASI PENULISAN Laporan ini diawali dengan pendahuluan yang isinya mencakup justifikasi permasalahan mengapa melakukan penelitian, tujuan dan bagaimana penelitian ini dilakukan. Selanjutnya untuk memperoleh gambaran daerah penelitian dipaparkan pada BAB II tentang keadaan geografis, potensi sumberdaya baik alam dan sumberdaya manusia atau kependudukan. Adapun program COREMAP dan implementasinya dijelaskan pada BAB III. Uraian pada bab ini mencakup program dan kegiatan yang telah dilaksanakan selama COREMAP berjalan kurang lebih dua tahun. Selain itu dalam bab ini juga akan dibahas tentang pengelolaan COREMAP dan kendala yang dihadapi pada tataran kabupaten dan pada tingkat desa. Pada Bab IV diuraikan tentang pendapatan masyarakat dan perubahannya untuk melihat indikator keberhasilan COREMAP dari aspek sosialekonomi. Uraian tentang perubahan pendapatan didasarkan atas hasil baseline sosial ekonomi yang dilakukan pada tahun 2005 KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
11
dibandingkan dengan hasil BME sosial-ekonomi yang dilaksanakan tahun 2007. Dalam bab ini juga dikemukakan tentang faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi pendapatan. Laporan ini ditutup dengan kesimpulan dan rekomendasi yang diangkat berdasarkan isu-isu dan temuan pokok dalam kajian.
12
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
BAB II PROFIL LOKASI PENELITIAN
2.1. KONDISI GEOGRAFI
K
abupaten Raja Ampat yang terbentuk berdasarkan UU No. 26 Tahun 2002, merupakan pemekaran dari Kabupaten Sorong dengan pusat pemerintahan berada di Waisai, Distrik Waigeo Selatan yang terletak sekitar 36 mil dari Kota Sorong. Kabupaten ini terbagi menjadi 13 distrik yaitu: Distrik Kepulauan Ayau, Waigeo Utara, Waigeo Selatan, Waigeo Barat, Waigeo Timur, Salawati Utara, Mios Mansar, Misool Timur, Misool Utara, Misool Selatan, Kofiau, Selat Sagawin dan Teluk Mayalibit. Letak Kabupaten Kabupaten Raja Ampat berada di ujung paling barat dari wilayah Provinsi Papua Barat. Secara geografis Kabupaten Raja Ampat berada pada koordinat 2025’LU-40 25’LS &1300 &13201320 55’BT. Wilayah perairan Kabupaten Raja Ampat terletak di antara dua samudra yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Oleh karena itu kondisi fisik dan kimia seperti massa air, arus, pasang surut dan kesuburan perairan sangat dipengaruhi oleh kedua samudra ini. Selain itu kondisi perairan juga dipengaruhi oleh musim, karena perubahan musim barat ke timur atau sebaliknya akan menyebabkan perubahan kondisi fisik seperti perubahan suhu, salinitas dan gelombang dari perairan tersebut. Secara umum suhu permukaan perairan Raja Ampat relatif hangat yaitu antara 28,50C- 31,80C dengan rata-rata 29,80C dan dengan variasi tahunan yang cukup kecil. Sebagai wilayah kepulauan, Kabupaten Raja Ampat memiliki sekitar 610 pulau kecil dan besar, terumbu karang, dengan panjang garis pantai sekitar 753 km dan luas wilayah 4,6 juta ha. Kepulauan Raja Ampat dikenal memiliki kekayaan dan keunikan spesies yang tinggi dengan ditemukannya 1104 jenis ikan, 699 jenis moluska (hewan lunak) dan 537 jenis hewan karang. Selain biota laut, Kabupaten Raja KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
13
Ampat juga kaya akan keanekaragaman terumbu karang, hamparan padang lamun, hutan magrove dan pantai tebing yang berbatu indah. Dilihat dari karakteristiknya, pantai di Kabupaten Raja Ampat terdiri dari pantai berpasir, pantai bertebing, pantai berlumpur dan pantai kerikil pasiran. Pantai berpasir ditemukan di kampung-kampung antara lain Saonek, Waisai, Urbinasopen, Kapadiri, Selpele, Mutus dan Arborek di Pulau Waigeo serta Waigama, Atkari, Tomolol dan Lilinta di Pulau Misool. Pantai bertebing sebagian besar ditemukan di Pulau Waigeo dan sekitarnya memanjang dari teluk Kabui, Teluk Mayalibit, daerah antara Urbinasopen hingga Selpele. Juga dominan mengelilingi P. Batanta, P. Batangpele, P. Kawe, P. Gag, P. Mansuar, P. Misool bagian selatan. Pantai berlumpur antara lain ditemukan di Kalitoko di Teluk Mayalibit, Kabare di Pulau Waigeo, dan pantai antara Waigama hingga Atkari di Pulau Misool. Di pantai seperti ini yang dominan adalah proses pengendapan dan hutan mangrove. Sedangkan pantai kerikil ditemukan di Yensawai, Arefi, dan Wailebet di Pulau Batanta, dan Kalyam di Pulau Salawati. Secara umum di wilayah Kabupaten Raja Ampat dikenal beberapa musim, antara lain musim selatan, musim utara, musim barat dan musim timur. Namun yang paling mempengaruhi kegiatan masyarakat di kawasan Waigeo Selatan dan Waigeo Barat yang menjadi lokasi COREMAP adalah musim selatan yang dikenal juga dikenal sebagai musim gelombang kuat dan musim barat atau musim gelombang tenang. Tabel 2.1 memperlihatkan pembagian musim dalam satu tahun yang dikenal oleh masyarakat nelayan di Kawasan Waigeo Selatan dan Waigeo Barat. Dari hasil wawancara terbuka dengan beberapa nelayan di kedua kawasan ini, diperoleh informasi bahwa nelayan mempunyai pemahaman yang beragam mengenai pembagian musim tersebut. Namun secara umum dapat dikatakan musim gelombang kuat terjadi antara pertengahan Juni sampai pertengahan Oktober. Pada musim ini terjadi gelombang laut yang sangat tinggi, sebagian besar nelayan, khususnya mereka yang mempunyai armada tangkap terbatas tidak dapat melaut. Oleh karena itu hasil tangkapan nelayan pada musim ini sangat sedikit. Sedangkan musim gelombang tenang atau musim barat dimulai sekitar 14
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
pertengahan November sampai pertengahan Maret. Berhubung kondisi laut yang relatif tenang, maka hasil tangkapan nelayan pada musim ini juga jauh lebih banyak dibanding dengan hasil tangkap pada musim lain. Selain kedua musim tersebut, masyarakat nelayan di Kawasan Waigeo Selatan dan Waigeo Barat juga mengenal musim pancaroba, yaitu masa peralihan antara musim selatan dan musim barat. Pada musim ini menurut beberapa nelayan yang diwawancarai, kondisi laut tidak dapat dipastikan, adakalanya tenang namun tibatiba dapat berubah menjadi bergolak. Hal ini tentu saja juga akan mempengaruhi hasil perolehan nelayan. Tabel 2.1. Kalender Musim Di Kawasan Waigeo Selatan dan Barat Bulan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Musim Gelombang Kuat Pancaroba Gelombang Lemah Sumber: Wawancara dengan kelompok nelayan, informan kunci
Selain mempengaruhi hasil tangkap nelayan, kondisi musim juga sangat mempengaruhi aksesibilitas penduduk dari dan ke luar wilayah Kabupaten Raja Ampat maupun antar pulau di wilayah kabupaten ini. Dalam kondisi yang relatif tenang, dari Waisai, pusat pemerintahan Kabupaten Raja Ampat ke Sorong dapat ditempuh sekitar dua jam perjalanan dengan menggunakan speedboat berkekuatan mesin sekitar 120 PK atau sekitar lima sampai dengan tujuh jam bila menggunakan kapal perintis. Namun dalam kondisi gelombang besar, hanya kapal besar yang dapat menyebrang. Kondisi serupa juga terjadi dalam hubungan antar pulau-pulau di wilayah kabupaten ini. Sebagai contoh, dalam kondisi gelombang tenang, jarak Saonek, ibukota Distrik Waigeo Selatan dengan Kampung Mutus di Waigeo
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
15
Barat dapat ditempuh dalam waktu 2,5 - 3 jam dengan menggunakan perahu bermesin 40 PK atau sekitar 6 jam dengan menggunakan katingting (perahu semang) bermesin 5-6,5 PK. Namun pada waktu musim gelombang kuat hampir tidak ada masyarakat yang mau menempuh perjalanan tersebut. Kondisi yang dipaparkan di atas adalah keadaan tahun 2006. Dalam waktu hanya setahun kemudian, paling tidak transportasi SorongWaisai menjadi jauh lebih lancar. Dalam seminggu tersedia tiga kali trip angkutan reguler yang melayani masyarakat umum dari Sorong ke Waisai maupun sebaliknya. Dalam sekali angkut moda angkutan ini bisa memuat penumpang sekitar tiga puluh orang. Ketersediaan moda angkutan laut bertambah lagi dengan dioperasikannya kapal milik Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat yang secara khusus melayani para pegawai Pemda pada hari Jumat dari Waisai dan kembali dari Sorong pada Minggu sore. Pada waktu penelitian COREMAP ini dilakukan untuk pertama kali tahun 2006, Pulau Saonek masih merupakan pusat perekonomian masyarakat di Kawasan Waigeo Selatan dan sebagian wilayah Waigeo Barat, namun kunjungan kedua pada awal tahun 2008, posisi Saonek sepenuhnya sudah diambil alih oleh Waisai sebagai pusat perekonomian masyarakat Raja Ampat. Waigeo Timur Kondisi wilayah Kampung Friwen, Yenbeser dan Kampung Mutus yang menjadi lokasi utama penelitian ini tidak jauh berbeda dengan kondisi kampung lain di kawasan Waigeo Selatan dan Waigeo Barat. Kampung Friwen terletak di satu pulau dengan luas sekitar 18,54 ha. Secara administratif, Kampung Friwen berbatasan dengan Kampung Saporkren di sebelah utara, Kampung Yenwaupnor di sebelah selatan, Kampung Yenbeser di sebelah barat, dan Pulau/Kampung Saonek di sebelah timur. Kampung ini bisa ditempuh sekitar 15 menit dari Kampung Saonek dengan menggunakan perahu bermesin 40 PK atau sekitar 45 menit dengan menggunakan katingting. Jarak ini juga biasa ditempuh penduduk setempat dengan menggunakan perahu dayung yang membutuhkan waktu sekitar 75 menit. Sedangkan Waisai, Ibukota Kabupaten Raja Ampat dapat ditempuh sekitar 1 jam dengan
16
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
menggunakan perahu bermesin 40 PK dan sekitar 1 ½ jam dengan menggunakan katingting. Di antara sebelas kampung yang termasuk dalam Distrik Waigeo Selatan, Kampung Friwen merupakan salah satu kampung yang didiami oleh suku asli Kepulauan Raja Ampat, yaitu suku Maya, yang berpusat di kawasan Teluk Kabui. Penduduk Kampung Friwen umumnya adalah keturunan marga Wawiyai. Menurut seorang tokoh masyarakat di kampung ini, hampir semua keluarga yang tinggal di kampung ini masih mempunyai ikatan kekerabatan. Kampung Yenbeser terletak di pesisir timur Pulau Gam. Dilihat dari topografinya sebagian wilayah kampung ini merupakan daerah yang berbukit dan bergunung. Secara administratif kampung ini berbatasan dengan Kampung Wawiyai di sebelah utara, Kampung Friwen di sebelah selatan, Kampung Saporkren di sebelah timur dan Kampung Yenwaupnor di sebelah barat. Kampung Yenbeser dapat ditempuh sekitar 30 menit dari Saonek, Ibu Kota Distrik Waigeo Selatan dengan menggunakan perahu bermesin 40 PK atau sekitar 1 jam dengan katingting. Dilihat dari sejarahnya, Kampung Yenbeser merupakan salah satu kampung yang tertua dari semua kampung yang didiami oleh suku Biak Raja Ampat di pesisir timur pulau gam. Menurut kepercayaan penduduk setempat, kata Yenbeser berasal dari dua suku kata, yaitu yen yang berarti pasir dan beser yang adalah nama salah satu suku biak. Dengan demikian Yenbesar diartikan sebagai tempat/pasir pertama didiami oleh suku Beser. Suku ini kemudian berpencar ke kampung kampung lainnya diwilayah Waigeo Selatan dan Waigeo Barat seperti Arborek dan Mutus. Marga dari masyarakat Kampung Yenbeser, antara lain: Dimara, Mambrasar, Wawiyai, Burdam, Kolomsusu, Mambraku, Rumbiak, Mayor, Mayor Amber, Wabiser, dan Mahuse. Kampung Mutus terletak di satu pulau tersendiri dengan luas wilayah sekitar 18 ha dan secara administratif termasuk wilayah Waigeo Barat. Menurut seorang tokoh masyarakat di Kampung Mutus, kampung ini pertama kali di tempati oleh marga Mayor yang berasal KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
17
dari Biak sekitar tahun 1952. Kampung Mutus dapat ditempuh sekitar tiga jam dari Kota Sorong dengan menggunakan speedboat bermesin 120 PK dan/ atau sekitar lima-enam jam dengan menggunakan perahu bermesin 40 PK. Dibanding dengan dua kampung lain yang menjadi lokasi penelitian ini, aksesibilitas dari dan ke Kampung Mutus lebih terbatas. Hal ini karena wilayah ini tidak dilalui oleh jalur kapal regular seperti kapal perintis. Sedangkan untuk mengunjungi Saonek, yang dilalui kapal perintis setiap dua minggu sekali, dibutuhkan waktu sekitar 6 jam dengan menggunakan perahu yang umumnya digunakan penduduk setempat yaitu katingting. Itupun hanya dapat ditempuh pada waktu musim gelombang yang relatif tenang. Menurut penduduk setempat, pada waktu musim gelombang besar, kampung ini relatif terisolir.
2.2. POTENSI SUMBER DAYA ALAM DAN PENGELOLAAN 2.2.1. Keadaan Sumber Daya Darat Selain sumber daya laut, Kabupaten Raja Ampat juga memiliki potensi sumber daya darat khususnya sektor pertanian yang cukup menjanjikan. Bahkan dibeberapa distrik seperti Kofiau, Samate, Waigeo Utara dikenal sebagai wilayah yang sebagian besar penduduknya bergantung pada hasil pertanian. Namun pengolahan lahan pertanian di wilayah ini masih dilakukan dengan cara tradisional, meskipun petani dibeberapa wilayah sudah mengenal pupuk dan pestisida. Rendahnya pengetahuan penduduk di bidang pertanian menyebabkan hampir tidak ada penduduk yang dapat mengolah lahannya secara modern, termasuk mereka yang menempatkan bertani sebagai mata pencaharian utama. Beberapa tahun belakangan ini, pemerintah Kabupaten Raja Ampat berusaha meningkatkan potensi sumber daya darat diwilayah ini dengan memperkenalkan berbagai macam jenis tanaman dan meningkatkan kegiatan penyuluhan. Hal ini dilakukan selain untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber daya laut, juga untuk meningkatkan penghasilan masyarakat khususnya pada musim gelombang kuat.
18
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Hasil sumber daya darat yang utama di ketiga lokasi penelitian adalah kelapa yang kemudian diolah menjadi kopra atau minyak goreng. Meskipun pertanian mereka dilakukan hampir tanpa perawatan, penduduk di kampung Friwen bisa memproduksi kopra sebanyak 100-150 kg seminggu. Kopra-kopra tersebut biasanya dijual ke pedagang pengumpul di Kampung Saonek dan Yenbeser yang kemudian menjualnya ke perusahaan minyak goreng (P.T. Bimoli) di Bitung, Sulawesi Utara. Selain tanaman berkebunan, penduduk di Kampung Yenbeser juga mengembangkan tanaman pangan seperti kasbi (ubi kayu), betatas (ubi jalar), keladi, pisang, cabai dan sayur-sayuran. Hasil pertanian ini selain digunakan untuk konsumsi sendiri juga dijual di pasar yang terdapat di Saonek dan di Waisai. Meskipun hanya untuk dikonsumsi sendiri, beberapa penduduk di Kampung Friwen dan Kampung Mutus juga menanam tanaman pangan tersebut. Kegiatan pertanian di ketiga lokasi penelitian biasanya dikerjakan oleh wanita dan anak-anak.
2.2.2. Keadaan Sumber Daya Laut Sebagai wilayah kepulauan, Kabupaten Raja Ampat sangat kaya akan Sumber Daya Laut (SDL) seperti ekosistem terumbu karang, ikan dan biota laut lainnya, lamun dan manggrove. Kepulauan Raja Ampat memiliki terumbu karang yang sangat indah dan sangat kaya akan berbagai jenis ikan dan moluska. Berdasarkan hasil penelitian tercatat 537 jenis karang keras (CI, TNC-WWF), 9 diantaranya adalah jenis baru dan 13 jenis endemik. Jumlah ini merupakan 75 % karang dunia. Berdasarkan indeks kondisi karang, 60 % kondisi karang di Kepulauan Raja Ampat dalam kondisi baik dan sangat baik. Ekosistem terumbu karang di Kepulauan Raja Ampat terbentang di paparan dangkal di hampir semua pulau-pulau, namun yang terbesar terdapat di distrik Waigeo Barat, Waigeo Selatan, Ayau, Samate dan Misool Timur Selatan. Tipe terumbu karang yang terdapat di Kepulauan Raja Ampat umumnya berupa karang tepi (fringe reef), dengan kemiringan yang cukup curam. Selain itu terdapat juga tipe terumbu karang cincin (atol) dan terumbu penghalang (barrier reef).
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
19
Selain kaya akan terumbu karang, di Kabupaten Raja Ampat juga dikenal sebagai kawasan yang memiliki jenis ikan karang tertinggi di dunia. Menurut pendataan TNC-WWF, di wilayah ini tercatat sekitar 899 jenis ikan karang sehingga Raja Ampat diketahui mempunyai 1104 jenis ikan yang terdiri dari 91 famili. Diperkirakan jenis ikan di kawasan Raja Ampat dapat mencapai 1346 jenis. Selain itu dikawasan ini juga ditemukan 699 jenis hewan lunak (jenis moluska) yang terdiri atas 530 siput-siputan (gatropoda), 159 kerang-kerangan (bivalva), 2 Scaphoda, 5 cumi-cumian (cephalopoda), dan 3 Chiton. Lamun atau seagrass adalah tumbuhan berbunga yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut, khususnya di wilayah perairan yang jernih dan dangkal (berkisar antara 2-12 meter) serta memiliki sirkulasi yang baik. Padang lamun tersebar hampir di seluruh kepulauan Raja Ampat, khususnya di sekitar Waigeo, Kofiau, Batanta, Ayau dan Gam. Padang lamun yang terdapat di wilayah ini umumnya homogen dan berdasarkan ciri-ciri umum lokasi, tutupan dan tipe substratnya dapat digolongkan sebagai padang lamun yang berasosiasi dengan terumbu karang. Kepadatan lamun relatif tinggi dapat ditemukan di Pulau Waigeo khususnya sekitar Pulau Boni dengan tutupan rata-rata 65 %. Secara umum, kondisi ekosistem padang lamun di Distrik Waigeo Barat dan Selatan prosentase tutupannya tergolong baik (dengan tutupan sekitar 5075%) dan sangat baik (dengan tutupan lebih dari 75%). Kondisi padang lamun yang masih baik akan sangat mendukung bagi kehidupan berbagai biota dengan membentuk rantai makanan yang kompleks. Hutan mangrove merupakan komunitas tumbuhan pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut yang berlumpur. Luas hutan magrove di Kabupaten Raja Ampat sekitar 27.180 ha dengan kondisi yang masih baik. Hal ini dapat dilihat dengan ditemukannya 25 jenis mangrove dan 27 jenis tumbuhan yang berasosiasi dengan mangrove. Sedangkan kerapatan pohon mangrove di Raja Ampat dapat mencapai 2350 batang/ha. Hutan magrove yang cukup luas antara lain terdapat 20
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
di pantai Waigeo Barat, Waigeo Selatan, Teluk Mayalibit pantai Batanta, pantai timur Salawati, pantai utara dan pantai timur Pulau Misool. Pulau Salawati merupakan pulau yang memiliki sebaran magrove terbesar, kemudian diikuti oleh Pulau Waigeo, Misool dan Batanta. Di balik kekayaan dan keindahan alamnya, di beberapa wilayah di Kabupaten Raja Ampat telah mengalami abrasi, erosi dan sedimentasi. Abrasi dapat terlihat di pulau-pulau kecil antara lain di sekitar P. Arborek, P. Ayau yang terhantam gelombang terutama ketika musim angin dari arah barat dan dari arah selatan. Sedangkan gelombang yang menghantam sekitar kampung Waigama di P. Misool, searah arus laut dari timur menyusur ke barat, telah mengurangi daratan. Erosi juga telah mengerus tanah disekitar pantai oleh aliran permukaan. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya penebangan pohon yang banyak dilakukan untuk pembukaan lahan pertanian dan pemukiman. Sementara sedimen di muara-muara sungai telah membentuk delta dan beting-beting pasir ke arah lautan. Hal ini dapat dilihat pada muara-muara sungai antara lain di Kampung Kalitoko, Warsamdin, Kabare di Pulau Waigeo, Sungai Wartandip, Yensai di Pulau Batanta, dan Sungai Kasim, Sungai Gamta dan Sungai Biga di Pulau Misool. Sebagaimana halnya di wilayah lain di Kabupaten Raja Ampat, kondisi sumber daya laut di Kampung Friwen, Kampung Yenbeser dan Kampung Mutus juga relatif masih bagus. Berbagai jenis ikan baik ikan permukaan seperti tenggiri, gutila dan cakalang maupun ikan karang seperti kerapu, ikan kakap, bubara dan lobster banyak dimanfaatkan oleh penduduk di ketiga kampung ini. Selain ikan, berbagai jenis biota laut lain seperti tripang dan kerang-kerangan juga banyak dimanfaatkan penduduk. Kondisi terumbu karang yang mengelilingi Pulau Friwen, khususnya yang berada di sebelah barat dan sebelah selatan umumnya masih dalam kondisi bagus. Namun keberadaan terumbu karang di Kampung Yenbeser dan Mutus sudah mengalami penurunan kualitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan AMSAT/COREMAP tutupan karang hidup di Kampung Yenbeser dan Kampung Mutus hanya KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
21
sekitar 30 %. Kerusakan karang ini utamanya diakibatkan oleh banyaknya penangkapan ikan dengan cara tidak ramah lingkungan seperti penggunaan potassium dan bom yang menurut nelayan setempat sering dilakukan oleh nelayan pendatang. Kondisi ekosistem hutam mangrove yang berada di sebelah timur Pulau Friwen masih cukup bagus. Sementara hutan mangrove yang terdapat di wilayah Kampung Yenbeser belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Hal ini antara lain disebabkan karena masyarakat cenderung memanfaatkan kayu-kayu yang tumbuh di hutan di daratan daripada hutan mangrove. Oleh karena itu tidak mengherankan bila kondisi mangrove di wilayah ini masih dalam kondisi bagus. Selain itu menurut penuturan seorang narasumber di kampung ini kesadaran masyarakat untuk memelihara hutan mangrove di wilayah mereka semakin tinggi. Hal ini seiring dengan masuknya program COREMAP yang telah meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang fungsi hutan bakau sebagai daerah fishing ground, feeding ground dan nursery ground udang, teripang dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomis tinggi. Padang Lamun khususnya jenis Enhalus acroides dan Thallasia himpericci juga banyak ditemukan di perairan di lokasi penelitian khusunya di Pulau Friwen dan Yenbeser. Menurut penelitian AMSAT/ COREMAP tahun 2005, tutupan padang lamun di Kampung Yenbeser masih relatif tinggi yaitu sekitar 70 %.
2.2.3. Wilayah Pengelolaan Penggunaan moda transportasi yang lebih banyak mengandalkan perahu dayung atau perahu yang dilengkapi mesin katinting 5-6,5 PK, menjadikan daerah operasi penangkapan nelayan Raja Ampat umumnya terbatas di sekitar pantai atau daerah teluk yang dekat dengan permukiman mereka. Nelayan yang bermukim di Pulau Saonek, Waigeo Selatan misalnya, akan melakukan penangkapan di seputar wilayah permukiman yang ada di wilayah itu, seperti Saonek Kecil, Teluk Kabui, Pulau Friwen dan Pulau Kri . Dengan kata lain, nelayan yang menggunakan perahu dayung membutuhkan waktu
22
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
sekitar dua sampai tiga jam atau satu jam dengan motor katinting untuk sampai ke fishing ground yang dikehendaki. Berbeda dengan nelayan lokal, nelayan dari luar Raja Ampat (Sorong) yang mengoperasikan perahu motor berukuran 10 GT ke atas dapat dengan leluasa melakukan penangkapan di seluruh perairan Raja Ampat. Biasanya perahu-perahu ini beroperasi dengan alat tangkap huhate (pole and line), purse seine dan jaring insang (gill net). Dilihat dari lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penangkapan, nelayan tradisonal Raja Ampat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu nelayan “pulang hari”, artinya pergi melaut pagi hari untuk kemudian pulang pada siang dan/atau sore hari atau bisa juga berangkat sore hari dan pulang pada malam hari. Nelayan ”pulang hari” beroperasi sampai dengan delapan jam termasuk waktu tempuh dari rumah sampai dengan fishing ground PP. Kemudian ada sekelompok nelayan yang melakukan penangkapan selama tiga sampai dengan lima hari secara terus menerus tanpa pulang. Nelayan yang beragama Islam senantiasa menghindari untuk melakukan aktifitas penangkapan pada hari Jumat, sedangkan pemeluk agama kristen tidak melaut pada hari Minggu. Kedua hari tersebut secara khusus mereka gunakan untuk beribadah. Seperti telah diungkapkan di atas, karena keterbatasan teknologi menjadikan nelayan Raja Ampat memiliki daya jelajah yang terbatas. Nelayan Friwen, Yenbeser amaupun Mutus lebih sering beroperasi di sekitar permukiman mereka. Hanya pada saat laut tenang mereka melakukan penangkapan agak jauh dari tempat tinggalnya, itupun biasanya dilakukan di dalam teluk yang relatif dalam, sehingga terhindar dari terpaan ombak dan badai. Nelayan Friwen dan Yenbeser dan bahkan kampung-kampung yang lain, seperti Kampung Kapisawar dan Sawingrai memiliki fishing ground yang sama. Kesamaan wilayah tangkap tersebut disebabkan kampung-kampung itu bertetangga. Antara Kampung Friwen dengan Kampung Yenbeser dibatasi oleh selat sempit sekitar satu kilometer. Apabila cuaca dianggap baik, maka sebagian besar nelayan di Distrik Waigeo Selatan melakukan penangkapan di Teluk Gam/Gaman atau KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
23
mereka lebih akrab dengan sebutan hol. Umumnya mereka melakukan penangkapan selama tiga sampai lima hari. Berbeda dengan nelayan Mutus yang berada di Distrik Waigeo Barat, wilayahnya relatif lebih terbuka dari wilayah Waigeo Selatan. Keadaan itu menjadikan nelayan Mutus lebih rawan terhadap terjangan ombak dan hempasan badai. Selain melakukan penangkapan di seputar Pulau Mutus, mereka juga melakukan penangkapan di seputar pulau-pulau kecil yang ada di sekitar Pulau Mutus, seperti Pulau Bianci, Meosmanggara dan Selpele. Nelayan Mutus dapat digolongkan sebagai nelayan “pulang hari”, karena sebagian nelayan hanya melakukan penangkapan sekitar enam sampai delapan jam saja.
2.2.4. Teknologi Penangkapan Nelayan Friwen dan Yenbeser menangkap ikan jenis permukaan maupun ikan dasar/karang. Oleh karena itu untuk menangkap ikan permukaan digunakan pancing tonda; pancing yang dioperasikan dengan cara menarik. Sasaran pancing ini adalah tenggiri, bobara/kuwe, tongkol dan cakalang, sedangkan ikan dasar, seperti ikan kakatua, kakap merah, kerapu dan gutila yang juga merupakan sasaran tangkap utama nelayan Mutus ditangkap dengan pancing dasar. Masih ada sebagian kecil dari nelayan di Yenbeser dan Mutus menggunakan alat tangkap yang merusak, yakni potasium. Informasi yang penulis peroleh menyebutkan bahwa di Yenbeser masih ada dua orang yang masih aktif menggunakan alat tangkap potasium, sedangkan di Mutus tinggal satu orang (padahal pada masa lalu, 90 % nelayan Mutus menggunakan potasium untuk menangkap ikan kerapu dan napoleon). Kesadaran untuk tidak menggunakan lagi potasium, baik di Yenbeser maupun Mutus karena para pemotas merasakan sendiri semakin berkurangnya tangkapan mereka untuk ikan kerapu dan Napoleon karena rusaknya terumbu karang. Di samping itu sosialisasi intensif mengenai penyelamatan terumbu karang yang dilakukan oleh pihak 24
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
DKP dan pendamping COREMAP memberikan dorongan yang kuat untuk menghentikan kegiatan pemotasan. Bahkan juru kampanye untuk menghentikan penggunaan potas di Yenbeser dan Mutus dilakukan oleh perintis pemotasan di kedua kampung tersebut. Kondisi terbaru yang diperoleh langsung dari masyarakat menyebutkan bahwa mereka telah memposisikan diri sebagai kelompok masyarakat yang anti terhadap penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan laut.
2.2.5. Program dan Kegiatan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut Kabupaten Raja Ampat secara resmi menjadi daerah otonom yang lepas dari Kabupaten Sorong sejak 12 April 2003. Sekitar 89 persen dari total wilayah Raja Ampat, yakni 45000 kilometer persegi adalah laut dan 80 persen dari 5000 kilometer persegi wilayah daratan merupakan kawasan hutan lindung. Keadaan ini merupakan peluang yang bagus bagi pemerintah untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat, terutama untuk membangun infrastruktur di darat maupun di laut pada komunitas yang tinggal di pulau-pulau terpencil. Dalam Visi dan Misi Kabupaten Raja Ampat untuk mewujudkan kabupaten bahari, maka kebijakan pembangunan difokuskan pada tiga bidang, yaitu: (1) bidang ekonomi; (2) bidang sarana dan prasarana; dan (3) bidang sosial budaya. Ketiga bidang tersebut secara langsung maupun tidak langsung diarahkan untuk pengembangan wilayah yang berbasiskan ekologi (ecosystem based management: EBM). Bidang ekonomi dititikberatkan pada sektor perikanan, pariwisata, pertanian tanaman pangan, industri dan perdagangan. Sektor perikanan menjadi demikian pentingnya untuk pembangunan wilayah ini, karena harus diakui sebagian besar penduduknya menggantungkan diri dari sumber daya laut. Meskipun perairan Raja Ampat kaya dengan sumber daya, namun masyarakat tidak bisa menikmati kekayaan alam tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya. Apa yang mereka hasilkan dari sumber daya laut terlalu murah dibandingkan dengan harga barang-barang konsumsi yang
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
25
mereka butuhkan. Di Pulau Mutus misalnya, ikan segar hanya dihargai Rp 3.000,00/kg, sedangkan harga bensin campur Rp 9.000,00/liter dan beras Rp 7.000,00/kg, rokok Gudang Garam isi 12 batang Rp 9.000,00/bungkus. Dari kenyataan itu berarti seorang nelayan paling sedikit menangkap ikan 2,3 kg untuk bisa membeli sekilo beras atau harus menangkap ikan sebanyak 3 kg untuk membeli seliter bensin campur atau sebungkus rokok. Ketimpangan harga tersebut terjadi karena letak pusat pasar (Sorong) relatif jauh dari permukiman nelayan, sehingga membutuhkan biaya transporatasi yang relatif mahal. Kondisi yang sudah sulit itu diperparah lagi karena pasar lokal (penampung hasil laut) memiliki kapasitas pembelian yang sangat terbatas. Masyarakat nelayan Raja Ampat relatif terbantu pendapatannya sejak ikan kerapu, napoleon dan lobster memiliki nilai ekonomi tinggi. Untuk ketiga komoditas itu, penampung atau lebih dikenal dengan sebutan “penadah” sanggup membeli dalam jumlah yang tidak terbatas. Apalagi keberadaan penampung ada hampir di semua pulau di Raja Ampat, sehingga masyarakat nelayan tidak menemui kesulitan untuk menjual hasil tangkapannya. Dengan kondisi semacam itu, maka pengembangan masyarakat nelayan haruslah berupa kegiatan-kegiatan yang dapat mengurangi kesulitan-kesulitan yang dialami oleh para nelayan, terutama nelayan yang tinggal di pulau-pulau terpencil. Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat telah menyusun berbagai kegiatan untuk sektor perikanan yang tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan produksi sumber daya laut dan kesejahteraan nelayan. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud adalah: a. b. c. d. e.
26
Membangun infrastruktur dasar perikanan; Pengembangan modal usaha ekonomi produktif bagi nelayan; pengembangan peralatan tangkap; membentuk kelembagaan lokal nelayan; meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (aparatur pemerintah maupun nelayan) untuk mengikuti pelatihan dan/atau pendidikan; KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
f. menyediakan bibit rumput laut; g. penyediaan pasar; h. pengembangan usaha ekonomi produktif kepada individu dan kelompok-kelompok nelayan. Salah satu program unggulan di sektor perikanan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Raja Ampat adalah COREMAP. Tujuan COREMAP adalah menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Program ini telah dilaksanakan sejak tahun 2006 dengan lokasi kegiatan di 21 kampung yang terletak di empat distrik, yaitu Distrik Waigeo Selatan, Distrik Mansfar, Distrik Waigeo Barat dan Distrik Selat Sagawin. Ulasan tentang COREMAP secara rinci disajikan pada BAB III.
2.2.6. Sarana dan Prasarana Sosial Ekonomi Keberadaan sarana dan prasarana di suatu lokasi penting untuk diketahui karena variabel ini sering digunakan untuk mengukur kemajuan suatu daerah. Secara umum sarana dan prasarana di kampung lokasi COREMAP yang disediakan oleh pemerintah masih belum memadai. Namun demikian telah terjadi perkembangan kondisi sarana dan prasarana sosial – ekonomi yang ada di daerah ini selama selang waktu dua tahun (2006-2008). -
Sarana Pendidikan
Sarana pendidikan yang ada di ketiga kampung lokasi penelitian (Friwen, Yenbeser dan Mutus) masih sangat terbatas. Di Friwen Sekolah Dasar baru mulai ada sejak tahun 2003, masih merupakan SD Persiapan. Pada tahun 2006 Gedung SD masih setengah permanen dan bersifat darurat. Pembangunan gedung SD ini awalnya merupakan swadaya dan partisipasi masyarakat yang diinisiasi oleh kepala kampung. Gedung SD bantuan pemerintah yang lebih permanen sedang dibangun. Pada tahun 2008 kondisi bangunan KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
27
gedung SD yang baru sudah selesai pembangunannya dan sudah dipakai untuk kegiatan belajar dan mengajar. Keterbatasan jumlah guru dan murid berpengaruh pada suasana belajar dan mengajar. Guru hanya ada satu orang yang mengajar secara bergantian. Jika guru mempunyai kepentingan untuk pergi ke luar desa, maka sekolah diliburkan. Untuk menghemat waktu dan tenaga beberapa kelas dijadikan satu. Sebagai contoh suasana belajar dan mengajar di SD Friwen, siwa kelas 1,2 4 dan 6 dijadikan menjadi satu kelas. Guru akan mendatangi masing- masing murid secara bergantian untuk mengajarkan materi yang sesuai untuk tingkatan kelasnya. Sarana pendidikan di Kampung Yenbeser relatif lebih baik dari daripada di Kampung Friwen. Bangunan gedung SD permanen, meskipun telah terdapat beberapa tembok dan atap yang sudah mulai rusak. Jumlah guru sesuai dengan jumlah kelas, yaitu enam guru. Sarana pendidikan tingkat SLTP tidak tersedia di Kampung Friwen dan Yenbeser. Setelah lulus SD anak-anak melanjutkan sekolah ke Saonek. Mereka tinggal di tempat sanak keluarga atau tinggal di asrama. Setiap akhir minggu mereka pulang ke kampung untuk bertemu dengan keluarga dan mengikuti ibadah di Gereja. Untuk pulang ke kampung mereka menumpang penduduk yang kebetulan pergi ke Saonek. Sarana angkutan yang dipakai umumnya perahu dayung atau katinting. Dibandingkan dengan sarana pendidikan di Friwen dan Yenbeser, sarana pendidikan di Kampung Mutus lebih baik. Di kampung ini terdapat satu SD dan satu SMP. Murid-murid SD selain anak-anak dari Kampung Mutus, juga anak-anak dari Bianci yang kampungnya tidak ada SD. Sarana pendidikan tingkat SLTP yang ada di Kampung Mutus untuk menampung anak-anak lulusan SD dari Desa Bianci dan Meos Manggara. Mereka tinggal di pondok-pondok atau rumah yang dibangun oleh orang tuanya di pinggir-pinggir pantai. -
Sarana Kesehatan
Sarana kesehatan di Kampung Friwen dan Yenbeser masih minim dan selama kurang waktu dua tahun . Di kedua desa ini ada bangunan 28
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Polindes, tetapi tidak ada tenaga kesehatan yang bertugas di desa. Bangunan Polindes di Kampung Friwen relatif lebih baik (permanen), sebaliknya Polindes di Kampung Yenbeser bangunan semi permanen dan kondisinya telah rusak. Untuk mengatasi kekosongan petugas kesehatan, pihak Puskesmas melatih isteri kepala kampung mengenal berbagai obat-obatan dasar, termasuk pil anti malaria dan pil KB. Pihak Puskesmas mendistribusikan jenis obat-obatan dasar tersebut kepada isteri-isteri kepala kampung tersebut ntuk disimpan di rumahnya. Jika sewaktu-waktu ada penduduk yang sakit dapat meminta obat ke isteri kepala desa tersebut. Jika mau berobat ke perawat, bidan atau dokter penduduk Kampung Yenbeser dan Friwen harus pergi ke Puskesmas Saonek yang berjarak sekitar 20 menit perjalanan dengan perahu tempel 40 PK atau sekitar 45 menit dengan katinting. Berbeda dengan Kampung Yenbeser dan Friwen, prasarana dan sarana kesehatan di Kampung Mutus lebih lengkap. Di Kampung ini ada Polindes dan mantri serta perawat yang bertugas. Bangunan Polindes juga relatif baik, merupakan bangunan permanen. -
Sarana Ekonomi
Sarana ekonomi di ketiga kampung lokasi penelitian sangat terbatas. Di setiap kampung hanya ada kios kebutuhan sembako dan BBM. Pada tahun 2006, di Kampung Yenbeser hanya ada satu kios dan di Kampung Mutus terdapat dua kios. Kios-kios tersebut umumnya menyediakan sembako dan BBM serta sekaligus juga menampung hasil tangkap nelayan. Sementara itu di Kampung Friwen belum ada kios, untuk memenuhi kebutuhan sembako, para penduduk membeli dari kios yang ada di Kampung Friwen. Jarak kampung Friwen dan Yenbeser relatif dekat, kira-kira 10 menit dengan perahu dayung. Pada saat BME sosial – ekonomi ini dilakukan (tahun 2008) telah terjadi beberapa perkembangan beberapa sarana ekonomi yang ada. Perkembangan tersebut terjadi terutama di Distri Waigeo Selatan (Kampung Friwen dan Yenbeser). Di Kampung Friwen telah ada satu kios yang mulai beroperasi tahun akhir tahun 2007. Kios ini mendapat KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
29
bantuan modal dari dana bergulir COREMAP. Sementara itu di Kampung Yenbeser, selain kios lama, telah bertambah satu kios lagi yang juga menjual BBM dan menampung hasil tangkap nelayan. Pada tahun 2006, sarana pasar terdekat terdapat di Kampung Saonek. Namun penduduk kampung jarang belanja ke pasar, jika ke pasar mereka lebih banyak menjual ikan atau sayuran. Bahan sembako dibeli dari beberapa kios yang ada di Saonek. Pada tahun 2008 seiring dengan pembangunan Waisai sebagai ibukota kabupaten, perkembangan sarana ekonomi di daerah ini berkembang pesat. Sarana ekonomi yang dibangun diantaranya adalah, pasar permanen yang menyediakan kebutuhan sehari-hari dan juga menampung hasil tangkapan nelayan. Selain pasar, pertokoan yang dibangun sendiri oleh para pedagang juga bermunculan di daerah ini. Masyarakat Kampung Friwen dan Yenbeser sudah tidak lagi berbelanja dan menjual hasil tangkapan ke Saonek, tetapi sudah beralih ke pasar di Waisai yang barang kebutuhan sehari-harinya cukup lengkap. Sarana ekonomi yang relatif penting untuk pulau-pulau kecil yang dapat mendukung kelancaran kegiatan ekonomi penduduk adalah dermaga. Pada tahun 2006 di kampung Friwen belum ada dermaga, sedangkan di kampung Yenbeser dan Mutus, masing-masing ada satu dermaga. Dua tahun kemudian (Tahun 2008), di Kampung Friwen telah dibangun dermaga permanen dari dana otonomi khusus Provinsia Papua Barat. Dermaga baru tersebut mempunyai panjang kurang lebih 75 meter dengan lebar sekitar dua meter. Dengan adanya dermaga tersebut sangat membantu masyarakat dalam melakukan aktifitas (mobilitas dengan menggunakan perahu maupun kegiatan menangkap ikan), karena dalam kondisi pantai yang surut speed boat dan perahu nelayan tetap bisa mendarat. Dermaga di Kampung Friwen yang semula dari bahan kayu kondisinya sudah mulai rusak. Namun demikian dengan adanya dana otonomi khusus, pada tahun 2008 dibangun dermaga baru yang letaknya tidak jauh dari dermaga yang lama. Pada saat kajian ini dilakukan, pembangunan dermaga belum selesai. Berbeda dengan Kampung Friwen, dermaga di Kampung Mutus yang semula terbuat dari kayu dibongkar dan dibangun dermaga baru yang dibuat dari beton. Pembangunan 30
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
dermaga dari beton tersebut telah selesai dan sudah digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan pendaratan perahu. Selama rentang waktu dua tahun 2006-2008 tidak ada perkembangan sarana transportasi yang berarti di kedua Distrik yang menjadi kajian. Secara umum masyarakat di Friwen dan Yenbeser di Distrik Waigeo Selatan menggunakan perahu dengan mesin tempel merk Johnson atau Yamaha atau katinting yang menggunakan semang, dan perahu dayung sebagai alat tranportasi utama jika ingin bepergian ke luar atau ke kampung tetangga. Demikian pula halnya jika melaut dan hendak memasarkan hasil tangkapannya ke Saonek (Ibukota Distrik) atau ke Waisai (Ibukota Kabupaten), mereka menggunakan alat transportasi yang sama. Waktu tempuh dari kampung ke Saonek sekitar 20 – 30 menit dengan perahu mesin tempel dan 1 jam dengan katinting atau sekitar 1.5 jam sampai 2 jam dengan perahu dayung. Masyarakat menggunakan Kapal Perintis atau menggunakan Speed boat (tiga mesin tempel a 40 PK) jika berpergian ke Sorong. Sarana transportasi di Desa Mutus, tidak berbeda dengan sarana transportasi di Kampung Friwen dan Yenbeser. Penduduk menggunakan katinting dan perahu dayung untuk bepergian antar kampung. Keterbatasan sarana transportasi lebih dirasakan oleh masyaraka Desa Mutus jika akan bepergian ke Sorong untuk memasarkan hasil atau belanja kebutuhan sehari-hari. Sampai saat tahun 2008 belum ada sarana tranportasi (kapal) yang rutenya melewati Kampung Mutus dan sekitarnya. Terdapat satu kapal barang jurusan Sorong Halmahera yang berlabuh di Pulau Fam. Sebagian masyarakat menggunakan jasa kapal barang ini untuk belanja atau keperluan lainnya ke Sorong, walaupun tidak efisien karena harus pergi dulu ke Pulau Fam. Waktu tempuh dari Mutus ke Pulau Fam sekitar 1- 2 jam dengan perahu motor. Karena kurang praktis, maka pada umumnya masyarakat menggunakan motor tempel, milik penduduk setempat untuk pergi ke Sorong. Dalam musim angin tenang sarana transportasi motor tempel ini cukup aman untuk digunakan sampai ke Sorong. Namun tidak demikian halnya pada musim angin selatan, rata-rata masyarakat tidak bisa pergi ke Sorong dengan hanya menggunakan perahu motor tempel. KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
31
-
Sarana fisik lainnya
Sarana sosial-ekonomi lainnya yang ada di masing-masing kampung di antaranya adalah, gereja, bangunan balai desa/kantor desa, sumur, MCK dan sarana penerangan. Di masing-masing kampung terdapat satu gereja dan balai desa. Pada tahun 2006, kondisi sarana air bersih di masing-masing desa bervariasi. Untuk keperluan air bersih di hampir di tiap rumah terdapat sumur, sedangkan sarana MCK umumnya WC gantung di pinggir pantai. Sarana penerangan yang dipakai penduduk di masing-masing kampung pada umumnya adalah lampu pelita, meskipun di tiap desa terdapat genset yang berbahan bakar minyak dan ada juga yang menggunakan tenaga matahari. Beberapa genset yang ada tersebut ada yang telah rusak, sehingga tidak bisa digunakan. Umumnya satu genset dipakai untuk penerangan beberapa rumah dan lampu menyala mulai pukul enam sore sampai jam 10-11 malam. Pada tahun 2008 terdapat beberapa perkembangan pada beberapa sarana sosial tersebut. Di Kampung Friwen, telah dibangun satu sumur dan sarana MCK permanen yang letaknya di tengah-tengah pemukiman warga. Selain itu di kampung ini juga telah dibangun balai desa permanen di dekat dermaga kampung. Pembangunan sarana MCK dan balai desa ini mendapat bantuan dari dana otonomi khusus. Pemanfaatan dana otonomi khusus selain untuk MCK dan balai desa juga dipakai untuk pengadaan genset dan tiang-tiang penerangan jalan. Perkembangan sarana sosial juga terlihat di Kampung Yenbeser. Di kampung ini juga sedang dibangun balai desa dan perbaikan sarana MCK dari dana otonomi khusus.
2.3. KEPENDUDUKAN Kondisi kependudukan dalam bagian ini dilihat dari empat indikator yaitu jumlah dan komposisi penduduk, kondisi pendidikan dan keterampilan, kondisi pekerjaan dan kondisi kesejahteraan penduduk di Kabupaten Radja Ampat dan di wilayah penelitian. Kondisi pekerjaan dilihat dari pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan, sedangkan kondisi kesejahteraan dilihat dari pemilikan dan
32
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
penguasaan aset produksi dan non produksi serta kondisi pemukiman dan sanitasi lingkungan. Informasi mengenai kondisi kependudukan di tingkat kabupaten diperoleh berdasarkan data sekunder dan hasil wawancara dengan narasumber, sedangkan informasi mengenai kondisi kependudukan di tiga lokasi penelitian diperoleh dari hasil sensus rumah tangga dan wawancara dengan narasumber. •
Jumlah dan Komposisi Penduduk
Sebagaimana umumnya kondisi kependudukan di Provinsi Papua, jumlah penduduk di Kabupaten Raja Ampat relatif kecil dibanding dengan wilayah lain di Indonesia bagian barat. Berdasarkan data statistik Kabupaten Raja Ampat tahun 2006, penduduk di wilayah ini berjumlah 32.055 jiwa yang terdiri dari 16.864 jiwa laki-laki dan 15.191 jiwa perempuan. Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan data pada tahun 2004 dimana jumlah penduduk di kabupaten ini sebanyak 30.374 jiwa yang terdiri dari 15.961 laki-laki dan 14.419 perempuan. Dengan luas wilayah daratan yang mencakup 6.085 km2 maka kepadatan penduduk di Kabupaten Raja Ampat termasuk rendah yaitu sekitar 5 jiwa/ km2. Tabel 2.1 menggambarkan jumlah penduduk pada tahun 2004 dan 2006 dan Luas wilayah di masing-masing distrik di Kabupaten Raja Ampat. Tabel 2.2. Jumlah Penduduk, Luas Wilayah berdasarkan distrik di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2004 dan 2006 Jumlah Penduduk Luas (Km2) Distrik Tahun 2004 Tahun 2006 Waigeo Selatan 3.678 4.168 447 Teluk Mayalibit 1.341 1.511 207 Waigeo Timur 1.268 1.236 122 Waigeo Utara 2.710 2.781 167 Kep. Ayau 2.046 1.996 257 Waigeo Barat 2.793 3.335 1.976 Kofiau 1.982 2.170 640 Samate 7.021 6.800 751 Misool 3.169 3.412 623 Misool Timur Selatan 4.366 4.646 895 Jumlah 30.374 32.055 6.085 Sumber: Kabupaten Raja Ampat Dalam Angka Tahun 2004 dan survei PRA Tahun 2006. KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
33
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu 2004-2006 hampir semua distrik di wilayah, kecuali Waigeo Timur, Kepulaun Ayau dan Samate, mengalami pertambahan penduduk. Pertambahan yang paling pesat terdapat di Wilayah Waigeo Selatan dan Waigeo Barat. Tingginya pertambahan penduduk di Waigeo Selatan utamanya disebabkan mulai berkembangnya Kota Waisae yang merupakan ibukota Kabupaten Raja Ampat. Sebagai ibukota kabupaten, Kota Waisae merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus pusat perekonomian di wilayah ini. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau wilayah ini, termasuk desa-desa di sekitarnya menjadi daerah tujuan pendatang, baik mereka yang bekerja di pemerintahan maupun di sektor swasta dan perdagangan. Hal ini juga dapat dilihat dari pesatnya pembangunan kompleks perumahan di wilayah ini. Selain itu ada juga kecenderungan, dengan semakin berkembangnya Kota Waisae, mereka yang tadinya bermukim di Kota Sorong, kembali ke kampung halamamannya untuk menghabiskan masa tuanya dengan membangun rumah peristirahatan yang sewaktu-waktu bisa disewakan. Hal ini terutama di temui di Desa Friwen dan Yenbesar yang letaknya tidak jauh dari Kota Waisae. Sementara pertambahan penduduk di Waigeo Barat antara lain dipengaruhi oleh perkembangan industri di wilayah ini. Tabel 2.2 juga memperlihatkan bahwa selama kurun waktu 20042006, meskipun jumlah penduduk di Distrik Samate mengalami penurunan, dari 7.021 jiwa menjadi 6.800 jiwa, jumlah penduduk di wilayah ini tetap yang paling besar dibanding dengan wilayah lainnya di Kabupaten Raja Ampat. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya beberapa perusahaan pertambangan di wilayah ini yang menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit. Sementara wilayah yang paling sedikit jumlah penduduknya masih tetap di wilayah Distrik Waigeo Timur. Hal ini dapat dipahami mengingat wilayah distrik ini juga merupakan wilayah terkecil dibanding dengan wilayah lain. Komposisi penduduk di suatu wilayah dapat dilihat dari rasio jenis kelamin dan struktur umur. Tabel 2.3 memperlihatkan komposisi penduduk di Kabupaten Raja Ampat berdasarkan jenis kelamin. Secara keseluruhan komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin 34
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
antara tahun 2004 dan 2006 tidak berbeda. Jumlah penduduk laki-laki tetap lebih banyak di banding dengan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari rasio penduduk laki-laki terhadap perempuan yang tidak berubah yaitu 111 pada tahun 2004 dan 2006. Atau dengan kata lain ada 111 laki-laki disetiap 100 penduduk perempuan. Kondisi ini ditemui di semua wilayah di kabupaten ini. Hal ini mungkin berkaitan dengan budaya setempat yang umumnya menganut sistem kekerabatan patrilineal, dimana perempuan yang telah menikah cenderung pindah ke daerah asal suami. Tabel 2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Distrik Di Kabupaten Raja Ampat Tahun 2004 dan 2006 Distrik Waigeo Selatan Teluk Mayalibit Waigeo Timur Waigeo Utara Kep. Ayau Waigeo Barat Kofiau Samate Misool Misool Timur Selatan Jumlah
Jumlah Penduduk Tahun 2004 LakiPerempuLaki an 1.922 1.756 701 644 656 612 1.402 1.308 1.059 987 1.460 1.334 1.034 949 3.755 3.266 1.695 1.474
Total 3.678 1.341 1.268 2.710 2.046 2.793 1.982 7.021 3.169
Jumlah Penduduk Tahun 2006 LakiPerempuTotal Laki an 2.204 1.994 4.168 811 700 1.511 654 582 1.236 1.440 1.341 2.781 1.030 966 1.996 1.795 1.540 3.335 1.171 999 2.170 3.578 3.222 6.800 1.794 1.618 3.412
2.277
2.089
4.366
2.387
2.259
4.646
15.961
14.419
30.374
16.864
15.191
32.055
Sumber: Kabupaten Raja Ampat Dalam Angka Tahun 2004 dan survei PRA Tahun 2006.
Kondisi kependudukan di wilayah penelitian juga tidak jauh berbeda dengan kondisi di wilayah kabupaten. Dalam kurun waktu hampir dua tahun (2006-2008) dapat dilihat ada pertambahan penduduk yang cukup signifikan. Bila pada tahun 2006 jumlah penduduk di ketiga desa penelitian berjumlah 748 jiwa yang terdiri dari 392 laki-laki dan 354 perempuan, maka pada tahun 2008 jumlah tersebut meningkat menjadi 830 jiwa dengan 442 laki-laki dan 388 perempuan. Dari angka-angka tersebut dapat dilihat bahwa komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin di wilayah penelitian dengan kabupaten KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
35
mempunyai pola yang sama, dimana laki-laki lebih banyak dari perempuan. Tabel 2.4 juga menunjukkan bahwa antara tahun 2006 dan 2008 komposisi penduduk berdasarkan struktur umur tidak mengalami perubahan pola yang mencolok. Penduduk di wilayah penelitian masih didominasi oleh penduduk usia muda, dimana lebih dari dua pertiga dari keseluruhan jumlah penduduk berusia 24 tahun ke bawah. Pola ini ditemui pada penduduk laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu pembangunan wilayah sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan kelompok penduduk usia muda ini. Tabel 2.4. Proporsi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Di Ketiga Lokasi Penelitian, Tahun 2006 dan 2008 Kelompok Umur 0-4 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun 15-19 tahun 20-24 tahun 25-29 tahun 30-34 tahun 35-39 tahun 40-44 tahun 45-49 tahun 50 tahun lebih TOTAL
Jenis Kelamin Laki-laki (%) Perempuan (%) 2006 2008 2006 2008 N=392 N=442 N=354 N=388 19 20 15 18 15 16 14 17 14 11 14 12 7 8 11 9 7 6 11 10 8 7 9 7 7 8 5 6 9 5 8 8 4 5 3 3 4 3 3 3 6 9 7 7 100 100 100 100
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, , 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
36
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Komposisi penduduk berdasarkan struktur umur antar kampung di Waigeo Selatan dan Kampung Mutus pada tahun 2006 dengan tahun 2008 juga tidak jauh berbeda. Tabel 2.5. menunjukkan bahwa proporsi penduduk yang terbesar adalah pada kelompok usia 0-14 tahun. Melihat struktur umur penduduk di tingkat kabupaten maupun lokasi penelitian, maka dapat dikatakan bahwa proporsi penduduk terbesar di Kabupaten Raja Ampat, khususnya di lokasi penelitian adalah anak-anak usia wajib belajar. Oleh karena itu pelayanan pendidikan khususnya pendidikan dasar sangat dibutuhkan di wilayah ini. Tabel 2.5. Proporsi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur di Lokasi Penelitian Menurut Kampung, Tahun 2006 dan 2008 Kelompok Umur 0-4 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun 15-19 tahun 20-24 tahun 25-29 tahun 30-34 tahun 35-39 tahun 40-44 tahun 45-49 tahun 50 tahun lebih TOTAL
Kampung Friwen+Yenbeser (%) Mutus (%) 2006 2008 2006 2008 N=353 N=428 N=263 N=402 15 18 17 21 15 20 12 12 14 12 12 11 7 5 11 12 8 8 8 8 8 7 10 7 7 6 7 8 9 7 10 6 5 5 3 4 5 4 3 3 7 8 6 7 100 100 100 100
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, , 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
37
Bila dilihat lebih seksama, pertambahan penduduk usia anak-anak (09 tahun) tampaknya lebih besar dibanding dengan penduduk usia dewasa. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh komposisi penduduk yang berusia muda dimana sebagian besar penduduknya merupakan pasangan produktif yang masih memiliki anak berusia dini. Selain itu keterbatasan sarana pendidikan juga turut mempengaruhi komposisi penduduk dikedua wilayah ini. Menurunnya proporsi penduduk usia 10-19 tahun di desa Friwen dan Yenbeser antara lain disebabkan karena mereka yang ingin melanjutkan sekolah ke tingkat SLTP dan SLTA harus meninggalkan desa. Hal yang berbeda ditemui di Desa Mutus yang telah tersedia SLTP. Dibanding dengan kondisi tahun 2006, proporsi penduduk usia SLTP (10-19 tahun) di Desa Mutus pada tahun 2008 cenderung meningkat. Besarnya proporsi penduduk usia sekolah dasar di wilayah ini merupakan hal yang positif bila dikaitkan dengan pelestarian terumbu karang. Hal ini utamanya karena pendidikan tentang pentingnya melestarikan lingkungan sekitar, khususnya sumber daya laut sudah menjadi bagian dari kurikulum muatan lokal tingkat sekolah dasar di wilayah ini. Dengan demikian kesadaran untuk menjaga sumber daya laut diharapkan akan meningkat dikalangan anak-anak yang kemudian dapat mempengaruhi orang tua mereka. •
Pendidikan dan Ketrampilan
Dilihat dari pendidikan terakhir yang ditamatkan, dalam kurun waktu 2004-2006 tingkat pendidikan penduduk di Kabupaten Radja Ampat mengalami peningkatan. Pada tahun 2006, jumlah penduduk yang berpendidikan SLTA ke atas di hampir semua wilayah bertambah cukup signifikan. Tabel 2.6 menggambarkan kondisi pendidikan penduduk di Kabupaten Raja Ampat berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan pada tahun 2004 dan 2006. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa seperti yang diperkirakan, pendidikan penduduk di Distrik Waigeo Selatan secara keseluruhan lebih tinggi dibanding dengan wilayah lain. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh para pegawai pemerintah yang banyak bermukim di Kota Waisae yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Raja Ampat.
38
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Tabel 2.6 juga menunjukkan bahwa lebih dari separuh penduduk di Kabupaten Raja berpendidikan tamat SD atau Tidak/Belum sekolah. Hal ini mungkin berkaitan dengan struktur penduduk di wilayah ini, dimana jumlah penduduk kelompok usia muda (0-14) tahun sangat besar. Oleh karena itu sebagian besar diantara penduduk usia muda tersebut kemungkinan masih menjalani pendidikan di sekolah dasar. Selain itu sarana dan prasarana pendidikan, khususnya tingkat SLTP di wilayah ini masih relatif terbatas. Sarana pendidikan yang tersedia di sebagian besar kampung-kampung di kabupaten ini baru sampai tingkat sekolah dasar. Sarana pendidikan tingkat SLTP hanya terdapat di ibukota distrik atau beberapa desa tertentu. Mengingat keterbatasan sarana transportasi antar kampung di wilayah ini, tidak sedikit orang tua yang harus merelakan anaknya untuk tinggal di rumah kerabat atau ‘asrama’ di kampung yang mempunyai SLTP. Kondisi ini tentu saja sangat mempengaruhi motiviasi masyarakat, baik orang tua maupun anak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
39
Tabel 2.6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Menurut Distrik di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2004 dan 2006 Pendidikan tertinggi yang ditamatkan Distrik
Belum/tdk sekolah 2004 2006 701 110 751 198 840
SD
SLTP 2004 2006 249 47 66 29 65 183 208 96 39 203 73 240 459 265 274 280
SLTA 2004 2006 626 25 51 69 74 149 113 94 64 160 85 61 356 242 194 118
Kep. Ayau Waigeo Barat
-
Kofiau Samate Misool Misool Timur Selatan
1282 265 413
1579 1071
451 1116 843
2006 974 224 310 543 358 1.217 793 1.449 797
493
1180
1050
1.230
166
375
123
KABUPATEN
4.369
8376
4.511
7.895
1.310
2.007
820
Waigeo Selatan Teluk Mayalibit Waigeo Timur Waigeo Utara
966
952 961 470 513
2004 231 263 489 68 -
14 29 -
2006 293 11 0 15 0 24 16 51 13
316
10
27
2.100
88
450
Sumber: Monografi Kabupaten Raja Ampat Tahun 2004 dan PRA 2006 Catatan: Data pendidikan tahun 2004 di Waigeo Selatan dan Waigeo Barat belum tersedia
40
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
PT 2004 9 13 5 8 -
Peningkatan kondisi pendidikan juga ditemui di ketiga lokasi penelitian. Tabel 2.7 menunjukkan proporsi penduduk berusia 6 tahun keatas berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan pada tahun 2006 dan 2008. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa proporsi penduduk yang berpendidikan SLTA ke atas mengalami peningkatan. Menarik untuk dilihat bila pada tahun 2006 tidak ada penduduk berusia 10-19 tahun yang belum/tidak sekolah, namun pada tahun 2008, dari 17 orang yang belum/tidak sekolah, 30 persen (5 orang) diantaranya adalah mereka yang berusia 10-19 tahun. Hal lain yang juga menarik untuk dikaji adalah menurunnya proporsi penduduk usia 10-19 tahun yang tamat SD dan SLTP. Hal ini kemungkinan besar karena penduduk yang telah tamat SD pada usia tersebut terpaksa meninggalkan desanya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak berbeda dengan kondisi pada tahun 2006, sarana pendidikan tingkat SLTP di Desa Yenbeser maupun Friwen belum tersedia. Untuk melanjutkan pendidikan di tingkat SLTP penduduk di Kampung Friwen dan Yenbeser harus pergi ke Desa Saonek atau Kota Waisae. Sarana pendidikan di Kampung Mutus sedikit lebih baik dibanding dengan kedua kampung lainnya. Di kampung ini sudah tersedia sekolah SD dan SMP. Namun untuk melanjut ke tingkat SLTA penduduk di ketiga wilayah penelitian harus pergi ke Kota Waisae atau Kota Sorong.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
41
Tabel 2.7. Distribusi penduduk berumur 6 tahun keatas berdasarkan pendidikan tertinggi dan kelompok umur di lokasi penelitian, Tahun 2006 dan 2008 Pendidikan tertinggi yang ditamatkan
Kelompok Umur 5-9 tahun 10-14 tahun 15-19 tahun 20-24 tahun 25-29 tahun 30-34 tahun 35-39 tahun 40-44 tahun 45-49 tahun 50 tahun lebih TOTAL
Belum/tdk sekolah (%) 2006 2008 N=12 N=17 8 24 0 12 0 18 17 0 0 12 8 0 17 6 8 0 8 0 33 29 100
100
Belum/tidak tamat SD (%) 2006 2008 N=199 N=234 28 32 41 35 8 8 6 4 4 3 2 0 4 4 2 3 3 3 5 7 100
100
SD Tamat (%)
SLTP Tamat (%)
2006 N=232 0 9 16 12 16 10 11 6 7 14
2008 N=234 0 6 15 12 13 16 7 8 6 18
2006 N=80 0 4 23 24 14 10 14 5 3 4
2008 N=77 1 0 18 31 12 9 12 7 5 5
100
100
100
100
SLTA Tamat + (%) 2006 2008 N=49 N=53 0 0 0 0 0 0 14 7 19 21 16 21 31 32 12 9 4 4 4 5 100
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, , 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
42
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
100
Pada umumnya penduduk di wilayah Kabupaten Radja Ampat, khususnya wanita atau ibu-ibu mempunyai ketrampilan yang didapatkan secara turun-temurun. Keterampilan tersebut antara lain adalah menganyam senat (semacam tikar) yang bahannya dapat diperoleh dari tumbuhan yang hidup di sekitar desa/ ladang mereka. Selain membuat senat, keterampilan lain yang juga cukup banyak diminati adalah mengayam topi. Hasil keterampilan tersebut umumnya dijual kepada para turis yang sering singgah ke wilayah mereka, atau dijual di Kota Waisae atau Kota Sorong. Selain membuat anyaman yang telah dipelajari secara turun-temurun, ketrampilan lain yang cukup menonjol di ketiga wilayah penelitian adalah ketrampilan membuat kue. Keterampilan ini diperoleh dari berbagai pelatihan baik yang diselenggarakan oleh Coremap maupun Dinas Sosial setempat. Ketika penelitian berlangsung, tidak sedikit ibu-ibu yang mempunyai pekerjaan tambahan membuat kue yang umumnya dijual di sekitar desa. •
Kondisi Pekerjaan
Dilihat dari pola pekerjaan penduduk di Kabupaten Raja Ampat dan ketiga desa penelitian pada tahun 2006 dan 2008, dapat dikatakan tidak ditemui perubahan yang signifikan. Sebagaimana umumnya masyarakat yang tinggal di wilayah kepulauan, penduduk di Kabupaten Raja Ampat bergantung pada sumberdaya-sumberdaya yang berasal dari perairan pesisir. Hampir 90 persen penduduk Kabupaten Raja Ampat menggantungkan hidupnya dari sumber daya laut. Meskipun demikian, umumnya penduduk di wilayah ini mempunyai mata pencaharian ganda, yaitu sebagai nelayan dan petani/pekebun. Pola dan intensitas eksploitasi sumberdaya alam termasuk sumber daya laut dipengaruhi oleh musim dan juga oleh kondisi geografis (TNC, 2002, Atlas Sumber Daya Pesisir Kabupaten Raja Ampat, 2006). Kegiatan di laut dilakukan pada musim angin tenang yang umumnya terjadi pada musim angin barat dan timur, sedangkan kegiatan di kebun pada umumnya terjadi pada saat angin kencang (musim selatan).
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
43
Hal yang memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap matapencaharian penduduk di Kabupaten Radja Ampat dalam kurun waktu 2006 dan 2008 adalah perkembangan Kota Waisae yang merupakan pusat perekonomian dan pemerintahan. Pesatnya pembangunan di wilayah ini telah meningkatkan kegiatan perekonomian masyarakat disekitarnya baik nelayan, perdagangan maupun buruh bangunan. Berbeda dengan kondisi pada tahun 2006, dimana Kota Waisae masih belum banyak dihuni, pada tahun 2008 Kota Waisae sudah berubah menjadi kota yang relatif ramai dan menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup variatif. Kegiatan ekonomi penduduk di Tiga Desa Penelitian pada tahun 2006 dan 2008 pada dasarnya juga tidak mengalami perubahan yang signifikan. Tabel 2.8 menunjukkan bahwa meskipun jumlah penduduk bertambah, namun porporsi penduduk berusia 10 tahun keatas yang bekerja pada tahun 2006 tidak berbeda dengan tahun 2008. Hal ini ditemui baik dikalangan penduduk laki-laki maupun perempuan. Seperti pada umumnya masyarakat Indonesia yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama, proporsi lakilaki yang bekeja di ketiga desa penelitian cukup tinggi, sebesar 66 persen. Sementara partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi masih relatif rendah yaitu hanya sekitar 26 persen. Hal yang menarik untuk dikaji adalah meningkatnya proporsi penduduk perempuan yang mengaku kegiatannya hanya mengurus rumah tangga. Pada tahun 2006 hanya 36 persen yang mengaku sebagai pengurus rumah tangga, sementara pada tahun 2008 angka tersebut meningkat menjadi 43 persen. Hal lain yang juga cukup memprihatinkan adalah menurunnya proporsi penduduk perempuan yang bersekolah pada tahun 2008 dibanding dengan kondisi pada tahun 2006. Bila diperhatikan dari kedua pola tersebut, ada kemungkinan sebagian dari perempuan yang pada tahun 2006 berstatus sekolah, pada tahun 2008 berubah status menjadi mengurus rumah tangga setelah menikah.
44
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Tabel 2.8. Penduduk Berumur 10 Tahun ke atas Menurut Kegiatan Ekonomi dan Jenis Kelamin tahun 2006 dan 2008 Kegiatan Ekonomi
Laki-laki 2006 2008 N= N= 269 276 66 66 3 1 5 4 26 28 -
Perempuan 2006 2008 N=241 N=246
Laki+Perempuan 2006 2008 N=510 N=830
Bekerja 26 26 43 47 Mencari kerja 1 2 2 1 Menganggur 8 4 6 4 Sekolah 29 22 38 25 Mengurus 36 43 19 22 rumah tangga TOTAL 100 100 100 100 100 100 Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
Pekerjaan Utama dan Tambahan Pekerjaan utama adalah pekerjaan yang menurut pengakuan responden paling banyak menyita waktu, sedangkan pekerjaan tambahan adalah pekerjaan yang dilakukan oleh responden di luar pekerjaan utama. Tabel 2.9 menunjukkan lapangan pekerjaan utama penduduk yang bekerja di ketiga desa penelitian. Sebagaimana umumnya penduduk di wilayah kepulauan, lebih dari separuh (54 persen) penduduk di ketiga wilayah penelitian mempunyai pekerjaan utama dibidang perikanan, khususnya perikanan tangkap. Secara umum kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan oleh penduduk di tiga desa penelitian masih dapat dikategorikan sebagai nelayan tradisional. Hal ini dapat dilihat dari alat yang digunakan untuk penangkapan ikan yang masih sederhana dan terbatas variasinya. Alat tangkap utama yang digunakan oleh mayoritas nelayan di tiga desa adalah pancing, sementara armada
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
45
tangkap yang digunakan adalah perahu dayung dengan ukuran body sekitar 5 meter dan Ketinting 1 . Bila dilihat lebih jauh, proporsi penduduk yang mempunyai mata pencaharian utama sebagai nelayan pada tahun 2008 lebih kecil dibanding dengan tahun 2006. Hal ini mungkin disebabkan semakin banyaknya lapangan pekerjaan yang tersedia diluar perikanan tangkap, khususnya bagi penduduk di Desa Yenbeser dan Friwen yang letaknya berdekatan dengan Kota Waisae. Sebaliknya proporsi penduduk yang mempunyai lapangan pekerjaan di bidang jasa atau pemerintahan pada tahun 2008 meningkat dua kali lipat (20 persen) dibanding dengan tahun 2006 (10 persen). Hal ini antara lain dipengaruhi adanya penambahan guru, baik tingkat SD maupun SMP. Selain itu beberapa penduduk yang bekerja di bidang pemeritahan di Kota Waisae memilih untuk tinggal di kampung mereka termasuk di Desa Friwen dan Yenbeser. Tabel 2.9. Distribusi penduduk yang bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2006 dan 2008 Lapangan Pekerjaan Utama Perikanan tangkap Pertanian Jasa/Pemerintahan Pengolahan/Industri rumah tangga Perdagangan Transportasi Lainnya TOTAL
Tahun 2006 N= 240 Persen (%) 65 17 10 4 3 1 0 100
Tahun 2008 N=242 Persen (%) 54 18 20 4 2 1 1 100
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, , 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008. 1
Ketinting adalah perahu dengan ukuran body sekitar 5 meter yang dilengkapi dengan motor 5 PK yang diletakkan di dalam perahu.
46
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Selain perikanan tangkap, lapangan pekerjaan di bidang pertanian juga masih banyak dilakukan oleh penduduk di wilayah penelitian. Sebagian besar penduduk di ketiga wilayah penelitian mempunyai lahan pertanian. Penduduk di Desa Friwen dan Mutus umumnya mempunyai lahan perkebunan di luar pulau, sedangkan lahan perkebunan penduduk di Desa Yenbeser berada di dalam pulau dimana mereka bermukim. Lahan perkebunan penduduk diketiga desa umumnya ditanami oleh kasbi, betatas, cabe dan sayur-sayuran. Pada umumnya bekerja sebagai petani menjadi pekerjaan utama ibu-ibu, sedangkan bagi para laki-laki bertani menjadi pekerjaan tambahan. Keterlibatan perempan di kebun mulai dari pengolahan tanah, penanaman dan panen hingga pemasarannya. Jika pada musim gelombang tenang, di mana para suami melaut, pekerjaan mengolah tanah, memelihara tanaman, memanen dan memasarkan menjadi tanggung jawab sepenuhnya para perempuan. Biasanya panen sayuran dilakukan antara satu sampai dua minggu. Sedangkan kasbi setiap tiga bulan sekali melakukan panen. Akan tetapi penjulan bisa dilakukan setiap dua minggu, karena tanaman kasbi di panen secara bergiliran. Selain berkebun pekerjaan lain yang juga banyak dikerjakan kaum perempuan, khususnya di Desa Friwen adalah mengolah kopra dan membuat minyak kelapa. Bahan baku kopra (kelapa) tidak dibeli, tetapi mengambil dari pohon-pohon kelapa jatuh yang ada di desa. Semua penduduk desa diperbolehkan mengambil kelapa yang jatuh secara cuma-cuma (tidak dibeli). Untuk mengumpulkan kelapa umumnya ibu-ibu menyuruh anak-anak dan menukar kelapa yang telah dikumpulkan tersebut dengan gula-gula atau kue. Hasil membuat minyak sayur dari kelapa biasanya untuk keperluan sendiri dan sebagian dijual kepada tetangga yang membutuhkan. Ketersediaan lahan pertanian diketiga desa penelitian menjadikan penduduk di wilayah ini tidak tergantung pada sumber daya laut sepanjang tahun. Dari wawancara dengan beberapa penduduk diperoleh informasi bahwa pada saat musim gelombang besar (sekitar bulan Juli-Oktober) mereka lebih banyak mengolah kebun daripada pergi melaut. Menurut mereka pada musim-musim tersebut, kalaupun KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
47
pergi melaut terbatas pada mencari ikan untuk dijadikan lauk. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau hampir sepertiga (30 persen/72 orang) dari mereka yang bekerja (242 orang) mengatakan mempunyai pekerjaan tambahan. Sebagian besar dari mereka adalah laki-laki. Tabel 2.10 menunjukkan distribusi penduduk yang mempunyai pekerjaan tambahan menurut lapangan pekerjaan. Tabel 2.10. Distribusi penduduk yang bekerja menurut Lapangan Pekerjaan tambahan Tahun 2006 dan 2008 Lapangan Pekerjaan Utama Perikanan tangkap Pertanian Jasa/Pemerintahan Pengolahan/Industri rumah tangga Perdagangan Transportasi Bangunan Lainnya TOTAL
Tahun 2006 N= 50 Persen (%) 10 62 3 8 6 0 0 0 100
Tahun 2008 N=72 Persen (%) 29 38 3 11 0 2 3 1 100
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, , 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
Hal yang juga mengalami perubahan adalah distribusi penduduk yang bekerja diberbagai lapangan pekerjaan. Kalau pada tahun 2006 hampir dua pertiga (62 persen) penduduk yang mempunyai pekerjaan tambahan bekerja di sektor pertanian, maka pada tahun 2008 distribusi lapangan pekerjaan tambahan penduduk lebih menyebar. Proporsi penduduk yang mempunyai lapangan pekerjaan tambahan di sektor perikanan dan industri rumah tangga tampak lebih meningkat. Mereka yang mengaku mempunyai pekerjaan tambahan di bidang perikanan tangkap umumnya adalah para pegawai seperti guru atau perangkat desa yang mencari tambahan pendapatan menjadi nelayan. 48
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Sedangkan industri rumah tangga umumnya dilakukan oleh kaum perempuan dengan membuat anyaman baik senat dan topi dan membuat kue yang dipasarkan disekitar desa. Dilihat dari distribusi penduduk berdasarkan lapangan pekerjaan utama maupun lapangan pekerjaan tambahan di ketiga desa penelitian dapat dikatakan bahwa ketergantungan penduduk terhadap sumber daya laut semakin berkurang dibanding dengan kondisi pada tahun 2006. Hal ini merupakan perubahan yang positif karena dengan demikian eksploitasi penduduk terhadap sumber daya laut dapat ditekan. •
Kesejahteraan
Kondisi kesejahteraan penduduk di ketiga desa penelitian dikaji dari dua indikator yaitu kepemilikan barang berharga dalam suatu rumah tangga dan kondisi pemukiman dan sanitasi lingkungan. Kepemilikan asset rumah tangga dibedakan kedalam dua bagian, yaitu asset produksi yaitu barang berharga yang digunakan sebagai alat untuk bekerja dan asset rumah tangga yaitu barang lain yang dimiliki rumah tangga yang tidak digunakan untuk bekerja. Dalam kajian ini, berhubung sebagian besar penduduk bekerja pada sektor perikanan tangkap, maka asset produksi yang dikaji difokuskan pada asset perikanan tangkap. Pemilikan dan Penguasaan Asset Produksi Dilihat dari kepemilikan perahu bermotor (katingting) dapat dikatakan bahwa selama dua tahun terakhir ada peningkatan kesejahteraan penduduk di ketiga desa penelitian. Tabel 2.11 menunjukkan bahwa jumlah maupun proporsi keluarga yang memiliki perahu bermotor baik di Desa Friwen dan Yenbeser maupun Desa Mutus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Sebagai konsekuen, proporsi rumah tangga yang hanya memiliki perahu tanpa motor atau perahu dayung semakin kecil. Pada tahun 2008 lebih dari dua pertiga (70 persen) rumah tangga di Desa Friwen dan Yenbeser telah memiliki perahu bermotor, sedangkan di Desa Mutus proporsi rumah tangga yang memiliki perahu bermotor lebih tinggi (87 KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
49
persen). Sementara rumah tangga yang hanya memiliki perahu dayung hanya 20 persen di Desa Friwen dan Yenbeser serta 14 persen di desa Mutus pada tahun yang sama. Namun peningkatan kepemilikan perahu bermotor tidak semata-mata disebabkan karena peningkatan pendapatan. Di Friwen misalnya, diperoleh informasi bahwa semua rumah tangga di desa ini telah memiliki perahu bermotor. Hal ini dimungkinkan karena adanya bantuan dari pemerintah setempat melalui dana otonomi khusus (Otsus) tahun anggaran 2008. Bantuan yang sama juga diperoleh kedua desa penelitian lainnya, namun karena jumlah rumah tangga di kedua desa tersebut jauh lebih besar dibanding dengan Desa Friwen, maka tidak semua rumah tangga memperoleh bantuan. Pemberian bantuan ini pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan pendapatan nelayan, namun berdasarkan informasi dari beberapa narasumber, belum semua bantuan perahu bermotor tersebut dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Mahalnya harga bahan bakar untuk keperluan memancing menjadi salah satu kendala sebagian nelayan untuk tidak menggunakan perahu bermotor ketika melaut. Tabel 2.11. Rumah Tangga Berdasarkan Pemilikan Alat Produksi Perikanan, Kampung Friwen-Yenbeser dan Mutus, 2006 Alat produksi perikanan Perahu bermotor/ katingting
Friwen+ Yenbeser 2006 2008 N=79 N=97 49 (62%) 68 (70%)
Mutus 2006 2008 N=55 N=83 37 (67%) 72 (87%)
Perahu tanpa motor 44 (57%) 19 (20%) 39 (71) 12 (14%) Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, , 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
Tidak berbeda dengan kondisi dua tahun yang lalu, umumnya perahu tanpa motor yang dimiliki masyarakat di ketiga desa penelitian berdimensi sekitar tiga sampai dengan empat meter panjang dan setengah meter lebar. Sedangkan perahu bermotor yang dimiliki
50
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
umumnya adalah perahu katinting dengan mesin berkapasitas 5,5 PK, dan panjang badan perahu sekitar lima sampai dengan enam meter. Selain katinting ada juga perahu bermotor dengan motor tempel berkapasitas 15 PK dan ukuran panjang perahu sembilan meter, namun perahu jenis ini hanya dimiliki oleh satu atau dua rumah tangga di setiap desa dan berfungsi sebagai alat transportasi. Sebagaimana umumnya masyarakat nelayan, fungsi utama perahu di ketiga lokasi penelitian adalah untuk menangkap ikan, namun berhubung umumnya penduduk mempunyai kebun yang terletak di luar pulau, maka perahu juga digunakan untuk untuk pergi ke kebun. Selain itu, perahu juga digunakan sebagai alat transportasi untuk pergi ke Saonek atau Waisai baik untuk menjual hasil produksi maupun untuk keperluaan lainnya. Alat tangkap utama di Friwen, Yenbeser dan Mutus relatif homogen yaitu pancing. Dari informasi yang diperoleh, semua rumah tangga nelayan di ketiga lokasi ini memiliki alat tangkap pancing. Alat tangkap lain adalah tombak/kalawai yang digunakan untuk mengambil teripang atau sebagai alat bantu untuk menjinakkan ikan dalam ukuran besar yang ditangkap dengan pancing. Alat pancing yang digunakan disesuaikan dengan jenis ikan yang ditangkap. Nelayan di Friwen dan Yenbeser misalnya, menggunakan dua jenis pancing yang berbeda, yaitu pancing dasar dan pancing tonda. Pancing dasar digunakan untuk menangkap ikan kerapu, kakatua, kakap dan gutila, sedangkan pancing tonda digunakan untuk menangkap ikan permukaan, seperti bobara/kuwe, tenggiri, tongkol dan cakalang. Nelayan Mutus lebih banyak menggunakan pancing dasar dibandingkan dengan pancing tonda. Hal itu dilakukan karena menurut pengalaman mereka, sumber daya ikan karang di perairan sekitar Mutus jauh lebih banyak daripada jenis ikan permukaan. Dilihat dari kepemilikan alat produksi perikanan tangkap masyarakat di ketiga lokasi penelitian, dapat dikatakan bahwa nelayan di wilayah ini masih relatif tradisional dan ramah lingkungan. Bila hal ini tetap dipertahankan, dengan alat produksi yang sederhana tersebut dapat dipastikan bahwa perairan diwilayah mereka tidak akan mengalami over fishing (penangkapan yang berlebihan). Selain itu kesadaran KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
51
masyarakat beberapa tahun terakhir ini akan pentingnya melestarikan terumbu karang dengan tidak menggunakan alat tangkap yang merusak seperti potas dan bom tampaknya sudah mulai membuahkan hasil. Beberapa jenis ikan tertentu seperti napoleon yang lima tahun terakhir sudah tidak dapat ditemui diperairan disekitar mereka sudah mulai muncul. Berbeda dengan perikanan tangkap, usaha perikanan budi daya di lokasi penelitian tampaknya belum berkembang. Pemerintah Kabupaten Raja Ampat pada empat tahun belakangan ini sedang berusaha untuk meningkatkan usaha budidaya sumber daya laut, terutama rumput laut dan ikan kerapu. Namun tampaknya usaha ini masih belum berhasil. Menurut beberapa narasumber di lokasi penelitian, usaha budi daya rumput laut telah pernah dicoba di desa mereka, namun mengalami kegagalan sebelum sempat dipanen. Kondisi Permukiman dan Sanitasi Lingkungan Kondisi permukiman dan sanitasi lingkungan merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Semakin sejahtera masyarakat maka kondisi permukiman dan sanitasi lingkungan akan semakin baik. Dalam kajian ini kondisi permukiman yang diamati mencakup kondisi fisik rumah (lantai, dinding dan atap), sedangkan sanitasi lingkungan mencakup jamban keluarga, tempat pembuangan sampah, air bersih, sumber penerangan dan bahan bakar. Dibanding dengan kondisi dua tahun yang lalu, kondisi permukiman diketiga wilayah penelitian relatif lebih baik. Hal ini terutama disebabkan oleh banyaknya bantuan dari pemerintah setempat melalui dana otsus maupun dana pembangunan lainnya. Beberapa fasilitas permukiman yang mengalami perbaikan antara lain pembangunan dermaga di setiap desa, sekolah dasar, ruang serbaguna, kantor desa dan rumah kepala. Sedangkan kondisi bangunan rumah umumnya relatif homogen yaitu bangunan semi permanen dengan lantai diplester semen. Selain itu di Friwen juga terdapat bangunan permanen type 45 yang terbuat dari batako. Rumah ini terdiri dari dua ruang tidur, ruang tamu, dapur dan kamar mandi/WC dan merupakan bantuan dari Pemerintah Daerah Raja Ampat. 52
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Kondisi sanitasi lingkungan, terutama di Desa Mutus tampaknya masih cukup memprihatinkan. Meskipun sumber air bersih cukup memadai, namun menurut informasi hanya dua rumah yang memiliki WC dan tidak ada WC umum. Masyarakat pada umumnya membuang air besar di sekitar pantai. Pembuangan air besar ke laut sebenarnya tidak memberi dampak serius terhadap sumber daya laut, karena di samping merupakan bahan organik yang mudah hancur, laut luas dengan penduduk yang sedikit akan mudah mendaur ulang. Namun selain mengurangi keindahan dan kenyamanan pantai, hal ini tentu saja dapat berdampak pada penyebaran penyakit. Selain itu, di ketiga desa penelitian belum ada sistem pengolahan limbah masyarakat. Semua limbah domestik langsung dibuang ke laut atau pantai disekitarnya. Mengingat penggunaan plastik pada beberapa tahun terakhir ini sudah semakin meningkat, kebiasaan ini tentu saja dapat merusak lingkungan, baik darat maupun laut. Sosialisasi membuang sampah dengan menggali lubang dan membakarnya tampaknya masih perlu ditingkatkan. Sumber penerangan diketiga desa penelitian masih bertumpu pada lampu minyak tanah dan beberapa genset. Namun mengingat kelangkaan dan mahalnya harga BBM di daerah ini, genset umunya hanya digunakan pada waktu-waktu tertentu saja. Pada tahun 2006 sebenarnya beberapa penduduk di Desa Friwen sudah menggunakan listrik dengan tenaga surya, namun pada tahun 2008, fasilitas ini tidak lagi dapat dimanfaatkan masyarakat. Hal ini antara lain karena alat yang mereka miliki tidak lagi berfungsi dengan baik. Bahan bakar yang digunakan untuk memasak pada umumnya adalah kayu bakar dengan menggunakan tungku batu. Persediaan kayu bakar umumnya diperoleh dari lahan pertanian atau tempurung kelapa yang banyak tumbuh di daerah permukiman masyarakat. Selain itu ada beberapa rumah tangga yang juga memiliki kompor minyak tanah, namun penggunaannya hanya sesekali saja. Secara keseluruhan dilihat dari kepemilikan asset produksi dan kondisi permukiman di ketiga wilayah penelitian dalam dua tahun terakhir ada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
53
kesejahteraan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adanya berbagai bantuan pemerintah daerah baik berupa penyediaan sarana dan prasarana umum maupun bantuan saran tangkap yang dapat membantu peningkatan hasil tangkap. Selain itu beberapa narasumber juga menginformasikan bahwa usaha pelestarian terumbu karang di wilayah mereka juga cukup memberi pengaruh terhadap hasil tangkap yang dirasa semakin meningkat.
54
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
BAB III COREMAP DAN IMPLEMENTASINYA
C
OREMAP merupakan program yang semua kegiatannya terfokus untuk penyelamatan terumbu karang. Program ini bertujuan melestarikan terumbu karang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, terutama nelayan. Berdasarkan tujuan tersebut, maka pendekatan yang digunakan COREMAP dalam penyelamatan terumbu karang adalah keterlibatan secara aktif dari masyarakat atau dikenal dengan konsep pengelolaan berbasis masyarakat. Pelaksanaan COREMAP di Indonesia bagian timur mendapat bantuan pendanaan dari Bank Dunia. Di wilayah ini COREMAP dilaksanakan di tujuh kabupaten yang tersebar di empat provinsi yaitu: Provinsi Papua, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur. Di Provinsi Papua, COREMAP dilaksanakan di Kabupaten Biak dan Raja Ampat. Pelaksanaan COREMAP di Kabupaten Raja Ampat sudah dimulai sejak tahun 2005/6. Pada awalnya lokasi COREMAP di kabupaten ini difokuskan di dua distrik: Waigeo Selatan dan Waigeo Barat. Pada tahun 2007 Distrik Waigeo Selatan dimekarkan menjadi dua: Distrik Waigeo Selatan (induk) dan Distrik Mansfar. Distrik Waigeo Barat juga dimekarkan menjadi Distrik Waigeo Barat dan Distrik Selat Sagamin. Berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan setelah kurang lebih tiga tahun COREMAP diimplementasikan di Kabupaten Raja Ampat. Bahasan pada bab ini akan difokuskan pada hasil kajian tentang pelaksanaan COREMAP di Kabupaten Raja Ampat dengan berbagai permasalahan dan kendalanya. Bagian pertama dari bab ini berisi bahasan mengenai pengelolaan COREMAP di tingkat Kabupaten Raja Ampat. Aspek yang akan dikaji dalam bagian ini diantaranya
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
55
adalah pengelolaan program, kerjasama antar komponen dan kerjasama dengan pihak ketiga dalam pelaksanaan program. Bagian kedua dari bab ini membahas pengelolaan dan pelaksanaan COREMAP di tingkat lokasi, yaitu Distrik Waigeo Selatan, Mansfar, Waigeo Barat dan Selat Sagamin. Pada bagian terakhir dari bab ini dikemukakan tentang pemahaman dan keterlibatan masyarakat terhadap kegiatan COREMAP setelah kurang lebih tiga tahun program diimplementasikan di distrik tersebut.
3.1. PELAKSANAAN COREMAP: PERMASALAHAN DAN KENDALA 3.1.1. Tingkat Kabupaten Pengelolaan COREMAP di tingkat kabupaten dilakukan oleh Project Management Unit (PMU) dengan leading sektornya adalah Dinas Kelautan. Struktur organisasi pengelola COREMAP di tingkat kabupaten ini mengacu pada ketentuan dari COREMAP tingkat nasional. Dalam struktur organisasinya, pengelola di tingkat kabupaten (PMU), terdiri dari beberapa komponen, yaitu: penyadaran masyarakat atau public awareness (PA), pengelolaan berbasis masyarakat atau community base management (CBM), pengawasan atau MCS (Monitoring, Controlling and Surveilance) dan CRITC atau Coral Reef Information and Training Center. Karena terdiri dari beberapa komponen, pengelola di tingkat kabupaten melibatkan berbagai instansi disesuaikan dengan tugas komponen dan kompentensi masing-masing instansi yang terlibat. Pengelola masing-masing komponen COREMAP di tingkat kabupaten sebagian besar melibatkan staff dari Dinas Kelautan Kabupaten Raja Ampat sebagai leading sector. Pengelola PBM, PA dan MCS adalah staff dari Dinas Kelautan, sedangkan pengelola CRITC adalah staff pengajar dari Akademi Perikanan Sorong. Pada tahun 2006 PMU, melalui Pemegang Komitmen (PK) yang juga bertugas melaksanakan koordinasi pelaksanaan seluruh program melakukan rekruitment SETO (Senior Extension and Training Center) dan CF (Cummunity Facilitator). SETO bertugas mengkoordinasikan 56
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
pelaksanaan kebijakan dan program di lapangan dengan pemerintah kecamatan. Dalam menjalankan tugasnya SETO bertanggung jawab langsung kepada PMU. Di Kabupaten Raja Ampat ada 6 SETO. Masing-masing 1 SETO bertugas di Distrik Mansfar, 1 SETO di Distrik Waigeo Selatan, 3 Seto di Distrik Waigeo Barat dan 1 SETO di Distrik Selat Sagamin. CF mempunyai tugas mensosialisasikan kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat dan memfasilitasi kegiatan lainnya, seperti pembentukan LPSTK, Pokmas, pengangkatan motivator, penyusunan RPTK dan berbagai pelatihan dan penyuluhan terhadap masyarakat. CF ditempatkan di masing-masing kampung lokasi COREMAP. Jumlah seluruh CF di Kabupaten Raja Ampat adalah 20 orang. Sebelum SETO dan CF ditempatkan di lokasi COREMAP, terlebih dahulu dilakukan pelatihan dan pembekalan. Tujuan pelatihan dan pembekalan terutama untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang COREMAP yang meliputi program, kegiatan dan pendekatan yang dipergunakan. Selain itu juga diberikan materi tentang cara dan kiat-kiat bekerja dan berinteraksi di masyarakat. Program dan Kegiatan di Tingkat Kabupaten Pelaksanaan COREMAP fase II di Kabupaten Raja Ampat mulai dilaksanakan sejak tahun 2005. Pada awal program, kegiatan COREMAP di Kabupaten Raja Ampat lebih ditekankan pada sosialisasi program kepada masyarakat di lokasi maupun pada stakeholders terkait. Sosialisasi ini dilakukan melalui berbagai media, seperti kampanye melalui radio, advokasi lintas sektor melalui berbagai pertemuan, pemasangan billboard dan pembuatan leaflet dan brosure. Kegiatan sosialisasi ini pada awal program dilaksanakan oleh pengelola PBM bekerjasama dengan PA. Pada tahun 2006, selain sosialisasi dilakukan juga penguatan kelembagaan di tingkat lokasi dengan membentuk LPSTK di masingmasing desa yang menjadi lokasi COREMAP. Setelah LPSTK terbentuk, di masing-masing desa, pengurus LPSTK bersama-sama aparat desa menyusun RPTK tingkat desa. Berdasarkan RPTK KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
57
tersebut pengurus LPSTK berkoordinasi dengan aparat desa membentuk Pokmas-Pokmas yang meliputi Pokmas UEP, Pokmas Gender dan Pokmas Konservasi. Kegiatan sosialisasi, pembentukan LPSTK dan penyusunan RPTK serta pembentukan Pokmas difasilitasi oleh CF dan SETO dengan mendapat bimbingan dari konsultan yang dikontrak oleh pengelola COREMAP tingkat kabupaten. Berbagai kegiatan berkaitan dengan pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) dan MCS mulai diimplementasikan pada tahun 2007. Pelaksanaan kegiatan PBM diawali dengan sosialisasi tentang akan diberikannya dana bergulir untuk anggota Pokmas. Sosialisasi ini diberikan oleh konsultan PBM bekerjasama dengan SETO dan FC yang bertugas di masing-masing kampung. Selain pemberian dana bergulir, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat kegiatan COREMAP yang juga dilakukan di masing-masing lokasi adalah pencairan dana village grant. Penggunaan dana village grant di masing-masing desa diserahkan kepada keputusan masyarakat dengan mendapat fasilitasi dari LPSTK, aparat desa dan dibantu oleh konsultan. Rencana penggunaan dana village grant ini tertuang dalam RPTK di masing-masing desa. Kegiatan lainnya yang dilakukan oleh pengelola tingkat kabupaten adalah rencana penentuan KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah) yang terdiri dari beberapa daerah perlindungan laut (DPL) yang ada di kampung di seluruh lokasi COREMAP di Kabupaten Raja Ampat. Pada saat kajian ini dilakukan, DPL di masing-masing kampung sebagian sudah diresmikan. Batas-batas DPL seperti pelampung dan tanda-tanda lainnya juga sudah terpasang. Untuk memberikan pemahaman dan meningkatkan kepedulian akan pentingnya penyelamatan terumbu karang sejak dini, CRITC – COREMAP bidang edukasi telah mengembangkan seri buku Mulok Kelautan: Pesisir dan Laut Kita untuk kelas 1 sampai dengan 6. Buku ini merupakan buku pegangan guru dan sekaligus bahan ajar untuk murid. Oleh CRITC- COREMAP bidang edukasi buku telah dicetak
58
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
dan disebarluaskan ke seluruh lokasi COREMAP di Indonesia bagian timur. Di Kabupaten Raja Ampat, semua SD di lokasi COREMAP sudah mendapatkan buku Mulok Pesisir dan Laut Kita. Pada saat kajian ini dilakukan belum ada pelatihan atau workshop di tingkat kabupaten yang bertujuan untuk mensosialisasikan Buku Mulok Pesisir dan Laut Kita kepada para guru. Namun demikian terdapat beberapa wakil guru yang telah mengikuti workshop dan pelatihan tentang buku Mulok ini di tingkat nasional yang diadakan di Makasar dan Jakarta. Pelaksanaan Mulok Kelautan di tingkat sekolah di Kabupaten Raja Ampat diserahkan kepada kebijakan masing-masing sekolah. Di beberapa lokasi COREMAP pelajaran tentang kelautan diberikan bergabung (difusi) dengan pelajaran biologi dan ilmu pengetahuan sosial. Salah satu kendala yang dialami dalam penerapan Mulok Kelautan di sekolah dasar di beberapa lokasi COREMAP di kabupaten ini adalah keterbatasan jumlah guru. Sebagai contoh Sekolah Dasar di Kampung Friwen hanya ada satu guru tetap yang mengajar untuk semua kelas. Demikian pula dengan kampung lainnya seperti Kampung Yenbeser, Mutus dan Meos Manggara, jumlah guru relatif terbatas sehingga satu guru kadang-kadang merangkap mengajar lebih dari satu kelas. CRITC Kabupaten Raja Ampat berkedudukan di Akademi Perikanan Sorong (APSOR). Jumlah staff CRITC terdiri dari lima orang yang semuanya adalah dosen APSOR. Peralatan penunjang yang dimiliki untuk mendukung kegiatan antara lain komputer lap top 3 unit dan peralatan selam lengkap. Kegiatan CRITC Daerah antara lain adalah melaksanakan filing dan diseminasi data dan penelitian. Kegiatan penelitian yang dilakukan pada tahun 2007 adalah Identifikasi Kearifan Lokal di Lokasi COREMAP. Penelitian ini dilaksanakan oleh pihak ketiga (konsultan) karena terdapat peraturan administrasi bahwa semua kegiatan harus dilakukan oleh pihak ketiga. Kegiatan lainnya adalah melakukan pengambilan data CREEL dan membantu tim ekologi melakukan
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
59
penelitian baseline study dan BME terumbu karang di lokasi COREMAP. Permasalahan dan Kendala Berdasarkan informasi dari hasil wawancara dengan berbagai narasumber dan mempelajari dokumen tentang pelaksanaan kegiatan, kajian ini menemukan beberapa kendala dan permasalahan berkaitan dengan pengelolaan COREMAP di tingkat kabupaten. Berbagai permasalahan dan kendala tersebut diantaranya adalah: - Terbatasnya akses transportasi dan komunikasi. Lokasi COREMAP di Kabupaten Raja Ampat cukup menyebar di empat distrik, yaitu Distrik Waigeo Barat, Selat Sagawin, Meos Mansfar dan Waigeo Selatan. Lokasi yang cukup jauh antara satu dengan yang lainnya dengan kondisi alam yang kurang bersahabat, terutama pada musim ombak besar menjadi kendala bagi mobilitas dan komunikasi antara SETO, CF dan pengelola di tingkat kabupaten. Komunikasi antara SETO, CF yang ada di lokasi dengan konsultan dan pengelola di tingkat kabupaten dapat dilakukan dengan radio HT dan hand pone (HP). Di setiap lokasi, terutama di Distrik Waigeo Barat dan Selat Sagawi telah tersedia radio. Di wilayah ini komunikasi hanya dapat dilakukan melalui radio HT karena belum ada sinyal untuk telepon seluler. Sementara itu di Distrik Mansfar dan Waigeo Selatan selain dengan radio HT, di beberapa lokasi tertentu komunikasi juga bisa dilakukan dengan HP. Kendala utama bagi para SETO, CF dan konsultan serta pengelola COREMAP di tingkat Kabupaten adalah sarana untuk mobilisasi ke lokasi dan ke ibukota Kabupaten (Waisai). Transportasi antar pulau hanya dapat dilakukan dengan menggunakan perahu milik nelayan setempat. Para SETO dan CF dalam melakukan perjalanan ke beberapa kampung di dalam distrik atau dari lokasi ke kota kabupaten (Waisai) memerlukan biaya transportasi yang cukup tinggi untuk membeli BBM dan sekedar uang tambahan bagi pemilik perahu. Hal
60
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
ini menjadi kendala, terutama apabila ada pekerjaan atau urusan penting untuk segera dilaksanakan. - Tersendatnya pembayaran honor utuk SETO dan CF. Teknis pelaporan dan pertanggung – jawaban keuangan COREMAP cukup rumit, rinci dan berkaitan antara kegiatan yang satu dengan yang lain. Jika suatu kegiatan pelaporan administrasi keuangannya belum selesai, maka kegiatan lain yang pelaporan keuangannya telah selesai menjadi terganggu. Dalam hal ini kegiatan yang telah selesai pelaporan keuangannya belum dapat melakukan pencairan dana untuk kegiatan selanjutnya sebelum semua kegiatan dilaporkan pertanggung-jawaban keuangannya. Salah satu komponen pembiayaan yang tertunda pembayarannya adalah honor untuk para SETO dan CF yang bertugas di lokasi. Pada saat kajian ini dilakukan (Mei 2008) para SETO dan CF kurang lebih sudah enam bulan tidak mendapatkan honor. Honor ini sangat diperlukan oleh para SETO dan CF untuk biaya hidup sehari-hari dan biaya transportasi dari lokasi ke kota kabupaten atau dari kampung (pulau) yang satu dengan yang lain. Tersendatnya honor para SETO dan CF ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja mereka di lapangan. Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian SETO dan CF yang ada di lokasi masih bersemangat melakukan tugasnya, walaupun mereka belum mendapatkan honor untuk waktu yang relatif lama. Untuk kehidupan sehari-hari para SETO dan CF ini kadang-kadang mendapat bantuan berupa ikan dan makanan lainnya dari masyarakat setempat. Berdasarkan informasi dari berbagai narasumber, masyarakat setempat cukup simpati dengan para CF yang bertugas di kampungnya. Masyarakat mengetahui bahwa para CF tersebut sudah lama tidak mendapatkan honor. Namun demikian mereka masih tetap bertahan di lokasi dan tetap mengerjakan tugas-tugasnya. - Kapasitas CF yang cukup bervariasi. Para CF direkrut untuk ditempatkan di lokasi COREMAP dengan tugas yang cukup banyak, diantaranya melakukan sosilaisasi kegiatan KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
61
COREMAP dan memfasilitasi seluruh kegiatan yang ada mulai dari pembentukan LPSTK, Pokmas, penyusunan RPTK sampai dengan mengkoordinasikan seluruh kegiatan di lokasi. Para CF direkrut dengan persyaratan administrasi dan kualifikasi serta latar belakang pendidikan yang standar. Selain itu, sebelum diterjunkan ke lokasi para CF telah mendapat berbagai pelatihan dan pembekalan yang sama. Meskipun demikian kemampuan dan kapasitas para CF yang bertugas di masing – masing kampung lokasi COREMAP sangat bervariasi. Kajian ini menemukan bahwa terdapat sebagian CF yang kinerjanya masih belum optimal dalam melakukan pendampingan di masyarakat. Pemahaman tentang tujuan dan pendekatan COREMAP pada sebagian CF masih minim. Padahal mereka ditugaskan untuk mendampingi masyarakat dan melakukan fasilitasi agar semua kegiatan COREMAP di lapangan dapat berjalan baik. Kondisi ini tentunya sangat mempengaruhi keberhasilan program mengingat masyarakat di lokasi masih belum sepenuhnya mandiri dalam melakukan seluruh kegiatan COREMAP. 3.1.2. Pelaksanaan dan Permasalahan COREMAP di Tingkat Lokasi. Bahasan mengenai pelaksanaan COREMAP dan permasalahannya ini akan terdiri dari beberapa bagian sesuai dengan urutan program dan kegiatan COREMAP di lokasi. Di lokasi COREMAP di Kabupaten Raja Ampat, kegiatan dimulai dengan sosialisasi, pembentukan LPSTK, penyusunan RPTK , pembentukan Pokmas dan pelaksanaan dana bergulir atau lembaga keuangan mikro (LKM). -
Kegiatan Sosialisasi COREMAP
Terdapat dua jenis kegiatan sosialisasi di lokasi COREMAP, yaitu sosialisasi berkaitan dengan penyelamatan terumbu karang dan kegiatan sosialisasi tentang program-program dan kegiatan COREMAP yang akan dilaksanakan di lapangan. Berikut ini gambaran kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan di lokasi
62
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
COREMAP dikampung-kampung lokasi COREMAP di Distrik Waigeo Selatan dan Waigeo Barat. Sosialisasi tentang penyelamatan dan pelestarian terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat pada umumnya dan di kampung-kampung lokasi COREMAP pada khususnya, dilakukan melalui berbagai cara dan media. Cara dan media yang dipergunakan antara lain adalah bill board yang dipasang di tempat- tempat strategis (misalnya di dekat dermaga di masing-masing kampung), radio dan brosur, poster serta informasi lain yang dipasang di pondok informasi dan beberapa tempat strategis lainnya. Selain itu sosialisasi tentang pentingnya penyelamatan terumbu karang juga dilakukan melalui pertemuanpertemuan yang diselenggarakan di tingkat kampung. Pertemuan dengan warga kampung ini difasilitasi oleh CF, motivator desa dan aparat kampung. Pada saat kajian ini dilakukan keberadaan dan kondisi berbagai sarana dan media sosialisasi di masing-masing kampung berbeda-beda. Sebagai contoh billboard tentang penyelamatan terumbu karang di beberapa kampung lokasi COREMAP baik di Waigeo Barat dan Waigeo Selatan sudah tidak terpasang lagi. Sementara itu, media lainnya seperti poster dan brossure umumnya yang dipasang di Pondok Informasi jumlahnya sangat terbatas. Pelaksanaan sosialisasi berkaitan dengan program dan kegiatan utamanya dilakukan oleh CF didampingi oleh SETO. Media sosialisasi umumnya adalah pertemuan dan rapat dengan warga masyarakat yang difasilitasi oleh aparat kampung. Selain itu CF yang tinggal bersama masyarakat di kampung, Gambar 3.1 juga melakukan sosialisasi Billboard di Kampung Arborek melalui berbagai kesempatan yang sifatnya informal, seperti ngobrol-ngobrol dengan warga pada berbagai kesempatan. KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
63
Pondok Informasi
Pondok informasi merupakan sarana untuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat yang ada di lokasi tentang pentingnya penyelamatan terumbu karang melalui COREMAP. Pembangunan pondok informasi di beberapa kampung lokasi COREMAP secara umum dimulai awal tahun 2008. Kondisi pondok informasi dan kelengkapan fasilitas dan materi yang ada di dalamnya di masing-masing kampung lokasi COREMAP cukup bervariasi. Pondok Informasi di Kampung Friwen dibangun di pinggir pantai dekat dermaga. Tempat ini cukup strategis karena terletak di dekat dermaga yang sering dipakai lalu lalang masyarakat untuk memulai beraktifitas sehari-hari. Selain itu, pada bulan terang tempat ini juga merupakan tempat warga berkumpul sambil memancing ikan. Bahan dan materi edukasi tentang penyelamatan terumbu karang yang ada di pondok informasi masih terbatas dari segi jumlah dan jenisnya. Di Kampung Yenbeser pembangunan Pondok Informasi belum sepenuhnya Gambar 3.2. selesai pada saat kajian ini Pondok Informasi dilakukan (bulan Mei 2008). Di Kampung Mutus pondok informasi tidak menempati bangunan baru seperti kampung lainnya. Atas kesepakatan ketua LPSTK dan masyarakat diputuskan untuk menggunakan bangunan SD yang telah dipakai lagi. Bangunan SD direnovasi untuk dijadikan pondok informasi dan tempat pertemuan. Satu ruang kelas dipakai untuk pondok informasi dan satu ruang kelas lagi untuk sarana pertemuan warga. Bahan dan materi yang ada di pondok ini juga hanya terbatas pada poster dan beberapa gambar tentang penyelamatan terumbu karang. 64
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Pondok informasi di Kampung Meosmanggara menempati bangunan baru yang letaknya di tengah-tengah pemukiman warga. Tempat ini juga cukup strategis karena terletak di tengah-tengah kampung. Bahan dan materi berkaitan dengan penyelamatan terumbu karang berupa poster dan gambar-gambar cukup lengkap. Selain itu, juga terdapat beberapa informasi tentang kondisi penduduk dan kegiatan COREMAP yang disajikan dalam bentuk poster yang dipasang di dinding pondok informasi. Pembuatan poster tentang data dan informasi yang ada di pondok ini dilakukan oleh SETO, CF bekerja sama dengan masyarakat setempat. Upaya ini dilakukan dalam rangka persiapan kunjungan Bank Dunia pada awal Mei 2008.
Gambar 3.3. Pondok Informasi Meosmanggara
Meskipun menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan sarana komunikasi dan transportasi upaya sosialisasi tentang pentingnya penyelamatan terumbu karang di lokasi COREMAP di wilayah Waigeo Selatan dan Waigeo Barat cukup berhasil. Keberhasilan ini diindikasikan dengan menurunnya kegiatan penangkapan ikan yang illegal seperti penggunaan bom dan potas. Beberapa tahun sebelum COREMAP dilaksanakan, kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan potas sangat marak dilakukan oleh para nelayan di Kabupaten Raja Ampat, terutama para nelayan dari wilayah Waigeo Barat. Waigeo barat terkenal sebagai wilayah penghasil ikan hidup. Adanya upaya sosialisasi penyelamatan terumbu karang melalui COREMAP telah meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk menjaga kelestarian terumbu karang dengan meninggalkan seluruh kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan potas dan bom. Para nelayan yang sebelumnya dikenal sebagai pengguna potas menjadi sadar dan sangat mendukung kegiatan KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
65
COREMAP. Diantara mereka ada yang menjadi motivator dan ketua pengurus LPSTK. Kesadaran dan kepedulian para nelayan ini menjadi teladan bagi nelayan lain yang juga pengguna potas. Sampai pada akhirnya kampung yang dulunya dikenal hampir semua masyarakatnya menggunakan potas sekarang menjadi salah contoh keberhasilan dalam menjaga dan melestarikan terumbu karang. Perekrutan Motivator dan kinerjanya Motivator desa bertugas membantu CF dan SETO melaksanakan kegiatan COREMAP mulai dari pembentukan kelembagaan sampai dengan melaksanakan sosialisasi dan identifikasi kegiatan Pokmas. Motivator desa dipilih masyarakat atas kesepakatan dengan SETO, CF dan aparat kampung. Di setiap kampung lokasi COREMAP terdapat dua motivator terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum kinerja para motivator belum optimal. Hal ini tercermin dari minimnya pemahaman mereka tentang konsep dan tujuan COREMAP serta pendekatan yang digunakan. Rendahnya pemahaman motivator tentang konsep, tujuan dan pendekatan COREMAP ini menjadi kendala dalam memberikan fasilitasi kepada masyarakat tentang pentingnya penyelamatan terumbu karang. - Pembentukan, kegiatan dan kinerja LPSTK Pembentukan LPSTK di lokasi COREMAP di Kabupaten Raja Ampat secara umum sudah dimulai sejak tahun 2006. Pembentukan lembaga dan kepengurusan LPSTK tersebut difasilitasi oleh SETO dan CF yang bertugas di masing-masing kampung. Berdasarkan hasil wawancara dari berbagai narasumber di lokasi kajian, proses pembentukan pengurus LPSTK dilakukan dengan berkoordinasi dengan kepala desa. Pembetukan LPSTK dilakukan melalui pertemuan dengan warga masyarakat. Pengurus dipilih dari warga yang hadir di dalam rapat. Peran LPSTK dalam pelaksanaan kegiatan COREMAP di lokasi sangat besar, karena lembaga ini berperan sebagai agen sosial untuk sebuah misi penyelamatan terumbu karang. Perannya yang demikian 66
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
menuntut sejumlah kemampuan menejerial untuk merencanakan suatu program kegiatan, memiliki pengalaman, pengetahuan, dan skil yang memadai berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan setiap program yang dilakukan. Statusnya yang demikian juga dituntut kemampuannya untuk dapat memahami kondisi sosial budaya masyarakat binaannya. Secara administratif LPSTK juga dituntut untuk melakukan tertib administrasi terhadap berbagai aktivitas yang dilakukan, oleh karena lembaga ini akan berfungsi sebagai pusat informasi menyangkut segala hal yang bersangkutan dengan kegiatan program COREMAP. Fungsinya yang demikian juga menuntut perlunya prasarana penunjang kegiatan administrasi serta kemampuan teknis mengoperasikan peralatan kerja tersebut. Berkaitan dengan kegiatan dan kinerja LPSTK di ketiga lokasi kajian, terdapat beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian, diantaranya adalah: •
Sebagai pengelola kegiatan COREMAP di lokasi LPSTK berperan untuk menyediakan berbagai informasi terkait dengan pelaksanaan program/kegiatan. Informasi mengenai kegiatan COREMAP tersebut berbagai macam bentuknya, antara lain catatan harian yang dilakukan jajaran pengurus LPSTK, foto-foto dokumentasi hasil kegiatan, buku-buku hasil laporan kegiatan, peta-peta lokasi kegiatan, jadwal kegiatan, laporan keuangan kegiatan, laporan hasil-hasil rapat pengurus, peralatan kerja, dan sebagainya. Secara umum, informasi tertulis berkaitan dengan kegiatan COREMAP yang didokumentasikan oleh LPSTK di ketiga lokasi kajian masih sangat minim.
•
Kinerja LPSTK dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor tersebut adalah kapasitas pengurusnya. Pengurus LPSTK sebaiknya mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang konsep, tujuan dan pendekatan yang dipakai oleh COREMAP dalam upaya menjaga kelestarian terumbu karang. Konsep dan tujuan tersebut di lapangan diterjemahkan ke dalam bentuk beberapa kegiatan yang saling terkait satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan. Hasil kajian menunjukkan bahwa pemahaman sebagian pengurus LPSTK tentang COREMAP masih belum KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
67
memadai. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap keberhasilan beberapa kegiatan yang dilaksanakan. Keterbatasan pemahaman ini berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia yang ada. Secara umum pendidikan warga masyarakat di beberapa kampung lokasi COREMAP relatif rendah. Pembentukan kelompok masyarakat (Pokmas) Mempertimbangkan bahwa jumlah rumah tangga yang ada di setiap kampung lokasi COREMAP relatif kecil maka keanggotaan Pokmas melibatkan seluruh rumah tangga yang ada. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya kecurigaan dan konflik yang terjadi apabila anggota Pokmas hanya melibatkan sebagian rumah tangga. Di Kampung Mutus dibentuk 8 Pokmas yang terdiri dari 6 Pokmas UEP (produksi) yang anggotanya semuanya laki-laki dan 2 Pokmas Gender yang anggotanya semuanya perempuan. Kelompok Pokmas produksi anggotanya masing-masing 10 orang sedangkan Pokmas Gender anggotanya 14 orang. Selain Pokmas usaha produktif dan gender dibentuk juga satu Pokwasmas. Jumlah Pokmas yang terbentuk di Kampung Yenbeser ada tujuh. Terdiri dari tiga Pokmas usaha produktif, tiga Pokmas Gender dan satu Pokwasmas. Sementara itu di Kampung Friwen karena jumlah KK hanya sekitar 27, maka dibentuk 3 Pokmas yang meliputi Pokmas usaha produktif, Pokmas Gender dan Pokwasmas. Kegiatan Pemberian Dana Bergulir (Seed Fund) Dana bergulir adalah bantuan yang disiapkan oleh COREMAP untuk mendukung pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif yang diusahakan oleh masyarakat melalui lembaga keuangan mikro (LKM). Dalam pelaksanaanya peminjam yang mendapat bantuan dana bergulir berkewajiban untuk melakukan pengembalian sehingga dana tersebut dapat digulirkan ke anggota masyarakat lainnya. Besarnya dana bergulir untuk setiap lokasi (desa/kampung) sebesar Rp 50.000.000.
68
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Berkaitan dengan pelaksanaan pemberian dana bergulir di beberapa lokasi COREMAP di Kabupaten Raja Ampat terlebih dahulu dibentuk kepengurusan lembaga keuangan mikro (LKM) di setiap kampung. LKM adalah suatu lembaga yang telah ada atau akan dibentuk oleh masyarakat yang berfungsi menghimpun, mengelola dan menyalurkan dana untuk menunjang upaya pelaksanaan dan pengembangan mata pencaharian bagi masyarakat. Pembentukan LKM di kampung-kampung lokasi COREMAP difasilitasi oleh SETO dan CF. LKM dibentuk dengan menetapkan pengurus yang terdiri dari ketua, bendahara dan sekertaris. Sebelum dana digulirkan terlebih dahulu para pengurus di masing-masing kampung diberikan pelatihan tentang pengelolaan keuangan. Pelatihan ini dimaksudkan untuk memberikan pembekalan kepada pengurus LKM tentang tata cara pembukuan dan pelaporan keuangan. Setelah LKM terbetuk langkah selanjutnya adalah mensosialisasikan besarnya jumlah dana bergulir, persyaratan mendapatkan dana dan tata cara pengusulan pinjaman dan cara pengembalian kepada masyarakat pengguna (Pokmas). Uraian berikut ini menggambarkan tentang penggunaan dana bergulir di masing-masing kampung lokasi COREMAP yang menjadi sampel kajian. Fokus uraian akan ditekankan pada jenis usaha, mekanisme dan tata cara mendapatkan dana bergulir dan perkembangan penggunaan dana leh masyarakat. •
Kampung Mutus
Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa di Kampung Mutus terdapat 8 Pokmas. Masing-masing Pokmas mempunyai anggota antara 10-14 orang. Berdasarkan kesepakatan antara Pokmas, LPSTK, ketua LKM dan aparat kampung penggunaan dana bergulir diberikan kepada anggota masyarakat melalui Pokmas. Dana bergulir tahap pertama untuk kampung Mutus sampai bulan Mei 2008 baru dapat dicairkan sebesar 50 persen atau sekitar Rp 25 juta. Dana sebesar Rp 25 juta dipotong Rp 100.000 untuk biaya administrasi di bank.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
69
Upaya untuk mencairkan dana ke ibukota kabupaten (Waisai) memerlukan biaya transportasi sebesar Rp 900.000 untuk membeli BBM dan upah pemilik perahu. Dalam perkembangannya biaya operasional untuk pencairan dana tersebut membengkak menjadi Rp 4 juta rupiah karena dipergunakan untuk memberbaiki perahu yang karam dalam perjalanan dari Mutus ke Waisai. Karena terpakai sebesar Rp 4 juta sehingga dana yang tersisa tinggal Rp 20, 9 juta. Dari dana tersebut disepakati bahwa Rp 12 juta disalurkan ke Pokmas dan Rp 4 juta dipakai untuk biaya operasional LKM dan gereja. Sisanya sekitar Rp 9 juta masih dipegang oleh bendahara. Dana sebesar Rp 12 juta disalurkan kepada 8 Pokmas. Atas kesepakatan para ketua pokmas dan anggotanya serta pengurs LKM diputuskan setiap Pokmas hanya ada tiga anggota yang bisa mendapatkan pinjaman sebesar Rp 500.000. Pemilihan ketiga anggota Pokmas yang berhak mendapatkan pinjaman ini dilakukan dengan cara diundi. Dengan demikian ada 24 anggota Pokmas yang telah menikmati pinjaman dana bergulir sebesar Rp 500.000 per anggota. Penggunaan dana bergulir di Kampung Mutus difokuskan untuk menambah modal perdagangan (warung), usaha perikanan tangkap, pembuatan kue dan pengrajin senat dan souvenir. Berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah narasumber yang telah mendapatkan pinjaman dana bergulir diperoleh informasi bahwa penambahan modal ini terlalu kecil dan kurang membantu untuk meningkatkan skala usaha. •
Gambar 3.4. Pembuat Anyaman Topi
Kampung Yenbeser
Berbeda dengan lokasi COREMAP di kawasan Waigeo Barat yang dananya baru dapat dicairkan sebesar 50 persen. Di Waigeo Selatan
70
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
(termasuk Kampung Yenbeser dan Friwen) dana bergulir yang sudah dicairkan mencapai 75 persen atau sekitar Rp 36 juta. Penggunaan dana bergulir di Kampung Yenbeser atas kesepakatan pengurus LKM dan ketua Pokmas difokuskan untuk menambah modal usaha Pokmas Gender. Di kampung ini terdapat tiga Pokmas, yaitu Pokmas Melati, Mawar dan Anggrek. Dana sebesar kurang lebih 36 juta rupian dipinjamkan kepada sekitar 69 ibu-ibu anggota Pokmas. Besarnya jumlah pinjaman bervariasi antara Rp 500.000 sampai dengan Rp 1.000.000. Pinjaman tersebut oleh anggota Pokmas digunakan untuk menambah modal perdagangan (sirih, pinang dan sayuran), pembuatan kue untuk dijual dan pembuatan kerajinan/souvenir (senat dan topi). Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber sampai kajian ini dilakukan belum ada anggota Pokmas yang sudah mengembalikan dana yang dipinjam. •
Kampung Friwen
Dana bergulir sebesar kurang lebih Rp 36 juta oleh pengurus LKM dipinjamkan ke 24 KK yang ada di Kampung Friwen. Besarnya jumlah pinjaman bervariasi antara Rp 1 juta yang terendah dan sekitar Rp 3 juta yang tertinggi. Oleh masyarakat dana bergulir ini digunakan untuk menambah modal usaha pembuatan ikan garam (ikan asin), warunga/kios dan penangkapan lobster. Penetapan besarnya jumlah penjaman pada masing-masing KK dilakukan oleh pengurs LKM. Dalam hal ini tidak ada kriteria yang jelas untuk menentukan jumlah dana yang boleh dipinjam, seperti jenis usaha dan kemampuan peminjam untuk melakuka usaha. Sampai kajian ini dilakukan semua dana sudah tersalur ke masyarakat. Menurut informasi dari pengurus LKM baru terdapat tiga peminjam yang telah mulai mencicil pinjamannya. Penggunaan pinjaman dana bergulir oleh masyarakat ini secara umum belum menampakkan hasilnya. Terdapat beberapa peminjam yang usahanya berkembang berkat adanya dana bergulir ini. Salah satu usaha ekonomi produktif yang cukup berhasil adalah warungan. Warung yang mendapat tambahan bantuan modal dari dana bergulir KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
71
ini merupakan satu-satunya warung yang ada di Kampung Friwen. Sebelumnya tidak ada warung di kampung ini. Beberapa narasumber menginformasikan bahwa warung ini berkembang cukup pesat. Dana Bantuan Desa (Village Grant) Dana bantuna desa merupakan bantun hibah yang disediakan oleh COREMAP untuk mendukung pembiayaan kegiatan penglolaan terumbu karang dan pembangunan prasarana dasar desa. Jumlah dana yang disediakan Rp 100.000.000 untuk masing-masing desa (lokasi). Pemanfaatan dana bantuan desa ini disesuaikan dengan dokumen rencana pengelolaan terumbu karang (RPTK). Village grant untuk Kampung Yenbeser sesuai dengan RPTK dipergunakan untuk pembuatan pagar jalan kampung, pembelian genset untuk penerangan dan pemasangan lampu ke rumahrumah penduduk. Di Kampung Friwen, village grant dimanfaatkan oleh masyarakat untuk penerangan jalan dan penyambungan lampu-lampu ke rumah warga. Sementara itu di Kampung Mutus village grant direncanakan digunakan untuk Gambar 3.5. pembuatan MCK dan Penerangan jalan dan pagar penerangan jalan. Kegiatan Pokwasmas Pokwasmas di masing-masing kampung sudah terbentuk dengan anggota antara 8 – 10 orang. Fasilitas yang dimiliki oleh masingmasing kelompok adalah 3 set alat dasar selam. Satu set alat dasar selam terdiri dari snorkel, fine, masker dan life jacket. Peralatan penunjang lainnya adalah senter, binokuler (teropong), radio SSB dan HT.
72
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Sampai kajian ini dilakukan Pokwasmas belum mempunyai sarana kapal patroli. Dalam melakukan patroli Pokwasmas masih menggunakan alat transportasi yang dimiliki oleh masyarakat. Selain belum mempunyai kapal patroli, untuk biaya operasional patroli juga belum diberikan. Selama ini masyarakat secara swadaya melakukan patroli dengan biaya dari masyarakat. Tidak adanya biaya operasional berpengaruh pada kurangnya intensitas patroli yang dilakukan oleh Pokwasmas. Padahal semangat masyarakat untuk melakukan patroli cukup tinggi karena masih adanya kegiatan penangkapan ikan illegal yang dilakukan oleh nelayan dari luar. Sementara itu masyarakat setempat telah mempunyai kesadaran yang cukup tinggi untuk tidak melakukan kegiatan penangkapan yang ilegal, seperti pemakaian potas dan bom. Menurut beberapa narasumber, adanya sarana kapal patroli sangat diperlukan di wilayah Waigeo Barat. Wilayah ini masih rawan terhadap berbagai kegiatan penangkapan ikan yang illegal. Oleh karena itu diperlukan pengawasan yang melibatkan masyarakat setempat. Meskipun dengan sarana dan fasilitas patroli yang minim, Pokwasmas dan masyarakat setempat pernah berhasil menangkap nelayan dari luar Waigeo (Pulau Buaya) yang melakukan pengeboman di perairan Waigeo Barat. Oleh masyarakat nelayan yang tertangkap diserahkan kepada polisi untuk proses lebih lanjut. Keberhasilan Pokwasmas ini perlu mendapat dukungan oleh pengelola COREMAP agar semangat untuk melakukan pengawasan berbasis masyarakat dapat dipertahankan. Jika aspirasi masyarakt ini tidak terpenuhi dikhawatirkan kesadaran yang telah tumbuh untuk menyelamatkan terumbu karang akan luntur mengingat mereka hanya menjadi penonton karena tidakmenikmati hasil kekayaan alam yang ada di wilayahnya. Sementara itu masyarakat dari luar yang justru memanfaatkannya.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
73
3.2. PENGETAHUAN DAN PARTISIPASI MASYARKAT TERHADAP KEGIATAN/PROGRAM COREMAP Uraian di bawah ini akan memaparkan tentang seberapa besar pengetahuan dan sekaligus partisipasi masyarakat menyangkut berlangsungnya program pelestarian terumbu karang di tiga lokasi COREMAP (Friwen, Yenbeser dan Mutus). Di samping itu juga akan diuraikan seberapa besar manfaat program COREMAP yang dirasakan oleh masyarakat bersangkutan. Untuk menggali jawaban responden tentang hal tersebut, maka diajukan pertanyaan-pertanyaan mulai dari pengetahuan responden terhadap COREMAP itu sendiri dan kegiatan penyelamatan terumbu karang. Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan dan partisipasi mereka dalam berbagai kegiatan COREMAP, meliputi: peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya pelestarian terumbu karang (misalnya sosialisasi dan kampanye penyelamatan terumbu karang melalui pertemuan, pemutaran film dan pemasangan poster), kegiatan perlindungan/pengawasan pesisir dan laut, pembentukan Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK), pelatihan dan pendampingan Usaha Ekonomi Produktif (UEP), kegiatan penyusunan Rencana Pemanfaatan dan Pelestarian Terumbu Karang (RPTK) dan kegiatan kelompok masyarakat (Pokmas). Sedangkan untuk mengetahui seberapa besar manfaat kegiatan COREMAP untuk kegiatan ekonomi masyarakat, maka diajukan pertanyaan-pertanyaan yang bertautan dengan pengetahuan dan keterlibatan responden dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh COREMAP. Pertanyaan-pertanyan yang dimaksud adalah: pemilihan jenis-jenis usaha yang tidak merusak terumbu karang, pemberian dana bergulir untuk mengembangkan usaha ekonomi produktif masyarakat, pelatihan dan bimbingan tentang ketrampilan untuk meningkatkan usaha (peternakan, perikanan dan industri rumah tangga), pengetahuan responden tentang jenis usaha yang pernah dilakukan oleh COREMAP dan dampak ekonomi kegiatan COREMAP terhadap keluarga responden.
74
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Semua data di atas dikumpulkan terutama dengan metode kuisioner disertai dengan metode observasi, wawancara terbuka dengan melakukan focus group discusion (FGD) di tingkat masyarakat serta diskusi mendalam dengan berbagai pemangku kepentingan dari tingkat pelaksana program Project Implemantation Unit (PIU), Pemegang Kuasa Anggaran (PKA), pengurus Critc Daerah sampai dengan tingkat masyarakat seperti fasilitator dan pengurus LPSTK termasuk masyarakat di lokasi penelitian. Kewenangan Kabupaten Raja Ampat untuk melakukan program penyelamatan terumbu karang (COREMAP fase II) diperoleh pada tahun 2005, yaitu tiga tahun setelah kabupaten ini terbentuk. Bila dihitung mundur dari penelitian ini dilakukan, maka telah tiga tahun pula lamanya program penyelamatan terumbu karang berlangsung di Kabupaten Raja Ampat. Suatu kurun waktu yg relatif cukup untuk mensosialisasikan berbagai kegiatan yang hendak dilakukan di 17 dusun (desa) yang berada di Distrik Waigeo Selatan dan Waigeo Barat. 3.2.1. Pemahaman Tentang COREMAP Aspek yang dilihat untuk mengkaji pemahaman masyarakat tentang COREMAP antara lain adalah; pengetahun tentang adanya COREMAP, LPSTK, RPTK dan berbagai kegiatan yang sudah dilaksanakan, seperti sosialisai, kegiatan pelatihan dan pendampingan, UEP dan kegiatan pengawasan dan perlindungan. Hasil BME menunjukkan bahwa hampir semua masyarakat mengetahui adanya COREMAP. Tingginya pengetahuan tentang COREMAP di beberapa kampung lokasi COREMAP di Kabupaten Raja Ampat ini kemungkinan berkaitan dengan keberhasilan sosialisasi yang pernah dilakukan baik oleh pengelola COREMAP maupun aparat desa. Di samping itu, jumlah penduduk di desa ini relatif sedikit dan karakteristik masyarakatnya relatif homogen. Sedikitnya jumlah penduduk dan relatif homogennya masyarakat memudahkan untuk memberikan informasi berkaitan dengan berbagai program yang ada di masing-masing kampung.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
75
Diagram 3.1. Pengetahuan Responden tentang COREMAP di Lokasi COREMAP Yen Beser, Friwen dan Mutus, Kabupaten Raja Ampat, 2008
Tidak mengetahui , 0.6
Mengetahui , 99.4
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2006. Data Primer, BME Sosial – Ekonomi, COREMAP – LIPI, 2008
Pemahaman masyarakat tentang adanya COREMAP di lokasi kajian tampaknya tidak hanya terbatas pada ada program yang namanya COREMAP, tetapi juga termasuk pengetahuan tentang tujuan dan kegiatannya. Hasil ini tercermin dari relatif tingginya pengetahuan masyarakat tentang adanya LPSTK, RPTK dan berbagai kegiatan COREMAP yang ada di lokasi. Dari data yang dikumpulkan melalui angket, secara umum dapat dikatakan bahwa pemahaman responden mengenai keberadaan dan kegiatan COREMAP dapat dikatakan sangat baik, yaitu rata-rata berada pada tingkat di atas 90 persen, kecuali kegiatan yang berkaiatan dengan pendampingan UEP. Pengetahun masyarakat terkait dengan kegiatan inti COREMAP yaitu peningkatan 76
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
pengetahuan dan kesadaran pentingnya penyelamatan terumbu karang dan kegiatan perlindungan dan pengawasan pesisir sangat baik. Masyarakat juga memahami adanya lembaga pengelola terumbu karang di tingkat desa, yaitu LPSTK. Data menunjukkan bahwa hanya sekitar 2 persen responden yang tidak mengetahui adanya kegiatan inti COREMAP tersebut. Demikian pula hanya 4 persen responden yang tidak mengetahui adanya LPSTK. Upaya pengelolaan terumbu karang di tingkat lokasi dituangkan ke dalam perencanaan yang dibuat oleh pengurus LPSTK, aparat desa bersama-sama masyarakat yang diwakili oleh beberapa tokoh masyarakat, pemuda dan kelompok wanita. Perencanaan pengelolaan terumbu karang di tingkat desa ini disusun dan dituangkan ke dalam dokumen yang dinamakan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK). Berkaitan dengan pemhaman tentang keberadaan RPTK, hasil kajian juga menunjukkan bawa pengetahuan masyarakat tentang RPTK juga relatif baik. Kegiatan UEP (usaha ekonomi produktif), merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh COREMAP untuk membantu mendukung pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif yang diusahakan oleh masyarakat melalui lembaga keuangan mikro. Penentuan usaha yang cocok dilakukan oleh masyarakat dengan dibantu oleh SETO, CF dan motivator. Hasil kajian ini juga menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat tentang adanya UEP ini cukup baik. Lebih dari 90 persen responden mengetahui adanya kegiatan UEP yang dilaksanakan oleh COREMAP di kampungnya. Pemahaman masyarakat yang cukup baik tentang berbagai kegiatan COREMAP ini berkaitan dengan berhasilnya sosialisasi yang dilakukan oleh para SETO, CF yang dibantu oleh para konsultan.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
77
Diagram 3.2. Pengetahun Responden Tentang Berbagai Kegiatan COREMAP di Kampung Yenbeser, Friwen dan Mutus, Kabupaten Raja Ampat, tahun 2008. 50.8
Pendampingan UEP
93.3
Kegiatan UEP
87.2
Penyusunan RPTK
95.6
Pembentukan LPSTK Kegiatan perlindungan /pengaw an pesisir
98.3
Peningkatan pengetahuan dan kesadaran pentingnya penyelamatan
98.3 0
20
40
60
80
100 120
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2006. Data Primer, BME Sosial – Ekonomi, COREMAP – LIPI, 2008
Bervariasinya tingkat pengetahuan dan partisipasi responden mulai dari kegiatan peningkatan pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya pelesatarian terumbu karang sampai dengan kegiatan penyususunan Rencana Pemanfaatan dan Pelestarian Terumbu Karang (RPTK) yang memiliki nilai terendah dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kegiatan peningkatan pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya pelesatarian terumbu karang adalah kegiatan COREMAP yang bersifat umum, yakni dengan melibatkan anggota masyarakat sebanyak mungkin untuk memberikan pencerahan tentang pengetahuan dasar mengenai ekosistem terumbu karang dan upaya-upaya yang akan dilakukan agar tetap lestarai. Dengan sifat kegiatan seperti itu menjadi masuk 78
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
akal bila kemudian kegiataan ini memiliki tingkat paling tinggi dalam hal pengetahuan dan partisipasi responden dibandingkan dengan kegiatan COREMAP lainnya. 2. Kegiatan perlindungan/pengawasan pesisir dan laut hampir serupa dengan kegiatan di atas dalam hal penyampaian informasi; bersifat massal, namun dalam implementasinya membutuhkan orang-orang yang punya kepedulian untuk selalu melakukan pengawasan terhadap laut dari aktifitas perusakan ekosistem terumbu karang. Faktor keterbatasan jumlah orang yang sungguh-sunguh peduli terhadap perlindungan/pengawasan pesisir dan laut menjadikan kegiatan ini memiliki tingkat partisipasi yang lebih kecil dari kegiatan peningkatan pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya pelesatarian terumbu karang. 3. Kegiatan pembentukan Lembaga Pengelola Sumber Daya Terumbu Karang (LPSTK) merupakan salah satu kegiatan wajib COREMAP yang akan melakukan pengelolaan sumber daya terumbu karang di tingkat lokasi/kampung. Pembentukan LPSTK difasilitasi oleh fasilitator masyarakat dengan melibatkan pemerintah kampung dan Badan Pengembangan Daerah (BPD). LPSTK terdiri dari wakilwakil pokmas yang ada di kampung bersangkutan dan motivator desa. Dengan sistem perwakilan mengindikasikan bahwa lembaga ini makin terbatas jumlah anggota yang terlibat bila dibandingkan dengan kegiatan COREMAP seperti telah disebutkan sebelumnya. Oleh karenanya dapat dipastikan pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ini relatif lebih kecil dari kegiatan COREMAP yang sifatnya umum dan melibatkan anggota masyarakat secara keseluruhan di suatu kampung. 4. Kegiatan penyususunan Rencana Pemanfaatan dan Pelestarian Terumbu Karang (RPTK) sdilakukan oleh LPSTK yang difasilitasi oleh fasilitator masyarakat. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa keanggotaan LPSTK menjadi lebih terbatas karena menganut sitem perwakilan dari KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
79
kelompok masyarakat (pokmas). Kemudian dalam penyusunan RPTK tidak semua anggota LPSTK bisa terlibat langsung karena menyangkut kapasitas anggota LPSTK yang tidak seluruhnya memiliki kemampuan untuk membuat perencanaan dan program pengelolaan terumbu karang. Dengan demikian makin mengecil pula pengetahuan dan keterlibatan responden dalam kegiatan COREMAP dalam penyusunan RPTK. 3.2.2. Keterlibatan Masyarakat Dalam Program dan Kegiatan COREMAP Salah satu faktor yang perlu diperhatikan untuk mengevaluasi pelaksanaan COREMAP adalah sampai seberapa jauh masyarakat terlibat dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang telah dilakukan. Hal ini penting mengingat keterlibatan dan partisipasi masyarakat adalah faktor yang menentukan keberhasilan suatu program. Sementara itu, keterlibatan dan partisipasi masyarakat berkaitan dengan pemahaman tentang tujuan dan jenis program atau kegiatan yang dilaksanakan. Bahasan berikut ini akan melihat pemahaman masyarakat tentang berbagai kegiatan COREMAP dan keterlibatannya dalam kegiatan tersebut. •
Pokmas
Mengutip buku Pedoman Umum Pengelolaan Berbasis Masyarakat (DKP, 2007) disebutkan bahwa kelompok masyarakat (pokmas) adalah suatu organisasi atau kelompok masyarakat desa yang telah ada atau yang sengaja dibentuk di desa. Pokmas berfungsi sebagai wadah aspirasi, pikiran dan tujuan bersama untuk memudahkan desiminasi informasi yang melibatkan masyarakat. Disebutkan pula bahwa pokmas tidak bersifat kaku, sehingga seseorang dapat menjadi anggota dari beberapa kelompok.
80
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Diagram 3.3. Pengetahuan Responden Tentang Pokmas dan Keterlibatannya Dalam Kegiatan Pokmas di Kampung Yenbeser, Friwen dan Mutus, Kabupaten Raja Ampat, 2008 100
92.2
93.3
90
84.5
79.1
80
71
70 60 50 40
30
30 20 10
Pengetahuan
Pokmas Gender
Pokmas UEP
Pokmas Konservasi
Pokmas gender
Pokmas UEP
Pokmas Konservasi
0
Keterlibatan
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2006. Data Primer, BME Sosial – Ekonomi, COREMAP – LIPI, 2008
Diagram 3.3 menggambarkan pengetahuan responden tentang Pokmas dan keterlibatannya dalam kegiatan Pokmas. Secara umum pengetahuan masyarakat tentang adanya Pokmas relatif baik. Tingkat pengetahuan responden tentang Pokmas Konservasi hampir sama besar dengan Pokmas Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Sementara pengetahuan masyarakat tentang Pokmas Gender relatif lebih rendah dari Pokmas Konservasi dan Pokmas UEP. Dari deretan angka-angka tersebut dapat dimaknai bahwa pokmas konservasi dan usaha ekonomi produktif sangat popular bagi responden mengingat program COREMAP menititikberatkan pada kegiatan konservasi dan pemberian kredit untuk usaha ekonomi produktif untuk mendukung
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
81
masyarakat membuka peluang usaha agar tidak melakukan kegiatan yang berakibat pada kerusakan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Akan halnya persentase pengetahuan dan keterlibatan responden pada pokmas wanita/jender jauh lebih kecil dari dua pokmas lainnya lebih disebabkan karena pokmas ini bersifat khusus, yaitu mengacu pada kegiatan kewanitaan yang umumnya kurang menjadi perhatian dari pihak para lelaki. Sejalan dengan tingginya pengetahuan tentang adanya Pokmas, keterlibatan masyarakat dalam Pokmas juga cukup tinggi. Lebih dari 80 persen masyarakat yang mengetahui adanya Pokmas UEP terlibat dalam kegiatan Pokmas. Sementara sekitar 70 persen dari yang mengetahui Pokmas konservasi juga terlibat dalam kegiatan Pokmas Konservasi. Tingginya keterlibatan masyarakat dalam Pokmas ini berkaitan dengan kebijakan tentang pembentukan Pokmas oleh LPSTK dan aparat kampung. Jumlah rumah tangga yang ada di masing-masing kampung lokasi COREMAP relatif sedikit sehingga hampir semua rumah tangga (kepala rumah tangga) menjadi anggota Pokmas. •
Kegiatan Ekonomi COREMAP
Dalam rangka menundukung upaya pelestarian terumbu karang, salah satu kegiatan yang didanai oleh COREMAP adalah mengembangkan usaha ekonomi produktif (UEP) masyarakat. Dalam upaya merealisasikan kegiatan ini setelah dibentuk Pokmas UEP dilakukan kegiatan sosialisasi tentang pemilihan usaha ekonomi yang tidak merusak terumbu karang. Pemilihan jenis usaha ekonomi masyarakat ini mempertimbangkan beberapa faktor, diantaranya potensi sumber daya yang ada di masyarakat, ketrampilan yang dimiliki masyarakat dan prospek pemasaran hasilnya. Setelah diketahui beberapa jenis kegiatan ekonomi yang dapat dikembangkan kemudian dilakukan sosialisasi tentang adanya dana bergulir yang akan disalurkan kepada anggota Pokmas untuk melaksanakan kegiatann sesuai dengan jenis pilihan usaha yang telah ditentukan. Untuk mendukung keberhasilan
82
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
usaha dan memonitor perkembangannya, dilakukan juga pelatihan dan pendampingan usaha oleh pengelola COREMAP melalui konsultan. Diagram 3.4 menunjukkan pengetahuan dan keterlibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh COREMAP dalam rangka mendukung pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat. Secara umum pengetahuan dan keterlibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan ekonomi COREMAP cukup tinggi. Pemahaman dan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis usaha yang tidak merusak terumbu karang menempati urutan paling tinggi. Pemahaman tentang pemberian dana bergulir menempati urutan kedua dan yang ke tiga adalah pengetahuan tentang adanya pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan usaha (seperti usaha ternak ayam, itik, lele, keramba ikan, pembuatan kue, minyak kelapa dan pengolahan hasil laut). Tingginya pemahaman masyarakat tentang berbagai kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh COREMAP di beberapa lokasi COREMAP di Kabupaten Raja Ampat ini berkaitan dengan intensifnya sosialisasi yang dilakukan oleh pengelola COREMAP di tingkat lokasi, yaitu CF, SETO, pengurus LPSTK, motivator yang dibantu oleh aparat kampung. Di samping itu, karakteristik masyarakat yang homogen dan jumlah rumah tangga yang relatif sedikit pada masing-masing kampung memudahkan pengelola COREMAP di tingkat lokasi dalam melakukan sosialisasi berbagai kegiatan yang ada. Data pada Diagram 3.4 juga menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan ekonomi COREMAP cukup tinggi. Sekitar 87 persen responden terlibat dalam pemilihan usaha ekonomi yang tidak merusak terumbu karang dan kurang lebih 82 persen aktif mengikuti kegiatan sosialisasi pemberian dana bergulir. Tingginya keterlibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan COREMAP ini terkait dengan kecilnya jumlah rumah tangga yang ada di masing-masing kampung. Hanpir setiap kepala rumah tangga KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
83
di masing-masing kampung COREMAP menjadi anggota Pokmas. Dengan menjadi anggota Pokmas maka dalam setiap kegiatan sosialisasi selalu diminta hadir dan terlibat dalam kegiatan. Diagram 3.4. Pengetahuan dan Keterlibatan Responden Dalam Berbagai Kegiatan Ekonomi COREMAP di Kampung Lokasi COREMAP Kabupaten Raja Ampat, 2008 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Kegiatan Pemilihan jenis Pemberian dana pelatihan dan bergulir utk usaha yg tdk pembimbingan usaha merusak TK
Pengetahuan
99.4
95.6
80.2
Keterlibatan
87.4
82.2
75.7
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2006. Data Primer, BME Sosial – Ekonomi, COREMAP – LIPI, 2008
•
Usaha Ekonomi Produktif (UEP)
Seperti sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya bahwa penggunaan dana UEP di masing-masing kampung lokasi COREMAP disesuaikan dengan potensi dan aspirasi masyarakat. Di Kampung Friwen dana UEP disalurkan untuk keperluan membuka usaha warungan, penangkapan ikan dan pengolahan hasil laut. Di Kampung Yenbeser dana UEP atas kesepakatan masyarakat disalurkan ke Pokmas Gender
84
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
untuk pengembangan usaha perdagangan. Sedangkan di Kampung Mutus dana UEP dipinjamkan kepada anggota Pokmas UEP dan Gender untuk peningkatan modal penangkapan ikan, pengolahan hasil laut, perdagangan (kue dan anyaman senat). Diagram 3.5. Pengetahuan dan Keterlibatan Responden Dalam Kegiatan UEP di Kampung Friwen, Yenbeser dan Mutus, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2008 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Perdaganga Perikanan Pembuatan Pengolahan Kerajinan, n (w arung) Tangkap Kue, Minyak hasil laut souvenir
Mengetahui
47
57
71
78
68
Terlibat
61
75
45
76
48
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2006. Data Primer, BME Sosial – Ekonomi, COREMAP – LIPI, 2008
Diagram 3.5 menggambarkan pengetahuan dan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan UEP di ketiga kampung lokasi COREMAP di Kabupaten Raja Ampat. Pemahaman masyarakat terhadap kegiatan UEP lebih rendah dari pemahaman terhadap kegiatan ekonomi dalam rangka mempersiapkan kegiatan UEP. Rendahnya pemahaman masyarakat tentang kegiatan UEP ini kemungkinan terkait dengan aktifitas UEP yang tidak semuanya berjalan lancar. Seperti diketahui bahwa dana bergulir di masingKASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
85
masing kampung disalurkan kepada masing-masing anggota Pokmas atas kesepakatan pengurus UKM dan ketua Pokmas. Di Kampung Mutus misalnya, pinjaman dana bergulir dibagi rata pada sebagian anggota Pokmas dengan besar dana hanya Rp 500.000. Jumlah uang yang relatif kecil ini belum dapat memberikan bantuan yang signifikan untuk modal usaha perdagangan atau usaha penangkapan ikan. Karena jumlah dana yang kecil tersebut tidak semua dana tersebut digunakan oleh anggota Pokmas untuk modal usaha. Ditengerai sebagian dari anggota Pokmas memanfaatkan dana tersebut untuk kebutuhan konsuntif. Kasus yang sama juga ditemui di Kampung Yenbeser. Dana bergulir di kampung ini disalurkan kepada kelompok gender dan dibagi rata, sehingga masing-masing anggota mendapat bantuan pinjaman yang relatif kecil. Sebagian anggota Pokmas dapat memanfaatkan untuk berjualan sirih – pinang, kue dan modal untuk pembuatan senat. Namun usaha mereka tidak semuanya dapat berjalan lancar, sebagian tidak dapat melanjutkan usaha dan sebagian lainnya menggunakan dana tersebut untuk keperluan lain. Tidak berbeda jauh dengan Kampung Mutus dan Yenbeser, di Kampung Friwen kegiatan ekonomi yang mendapat bantuan pinjaman modal dari dana bergulir sebagian tidak dapat berjalan baik (mandeg). 3.2.3. Persepsi Masyarakat Tentang Manfaat COREMAP Salah satu indikasi dari keberhasilan berbagai kegiatan COREMAP adalah jika masyarakat terlibat dan merasakan manfaat dari adanya kegiatan tersebut. Hasil kajian BME sosial – ekonomi menunjukkan bahwa secara umum masyarakat merasakan manfaat dari adanya berbagai kegiatan COREMAP yang telah dilaksanakan. Dari Diagram 3.6 dapat diketahui bahwa hampir semua anggota masyarakat yang terlibat dalam berbagai kegiatan ekonomi COREMAP merasakan manfaatnya. Cukup menarik untuk dicermati dari diagram ini adalah manfaat yang dirasakan oleh responden untuk ketiga kegiatan ekonomi mendekati angka 100 persen. Ini artinya responden yang terlibat dalam kegiatan ekonomi COREMAP merasakan manfaat
86
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
yang sangat besar dari kegiatan tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari. Diagram 3.6. Persepsi masyarakat tentang manfaat berbagai kegiatan Ekonomi COREMAP di Kampung Friwen, Yenbeser dan Mutus, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2008
Kegiatan pelatihan dan pem bim bingan
97
Pem berian dana bergulir untuk m engem bangkan usaha
99
Pem ilihan jenis usaha yang tidak m erusak terum bu karang
100
95
96
97
98
99
100
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2006. Data Primer, BME Sosial – Ekonomi, COREMAP – LIPI, 2008
Sama halnya dengan kegiatan ekonomi, kegiatan UEP juga sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Diagram 3.7 menggambarkan persepsi masyarakat terhadap berbagai jenis kegiatan UEP yang dilakukan di tiga kampung lokasi COREMAP di Kabupaten Raja Ampat. Dari diagram terlihat bahwa tiga kegiatan yaitu usaha warungan, perikanan tangkap dan pembuatan kue dan minyak dirasakan manfaatnya oleh semua responden. Sementara kegiatan lainnya juga dirasakan manfaatnya oleh hampir semua responden.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
87
Diagram 3.7. Persepsi masyarakat terhadap berbagai Ekonmomi CORENAP di Kampung Friwen, Yenbeser dan Mutus, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2008
98
Ke ra jina n, s o uv e nir P e ngo la ha n ha s il la ut
99
P e m bua t a n Kue , M inya k
100
P e rik a na n T a ngk a p
100
P e rda ga nga n ( wa rung)
100
90
92
94
96
98
100
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2006. Data Primer, BME Sosial – Ekonomi, COREMAP – LIPI, 2008
Indikator lain keberhasilan COREMAP adalah jika masyarakat di lokasi program merasakan dampak positif kegiatan terhadap status sosial – ekonominya. Dampak positif ini dapat berupa kenaikan pendapatan atau kondisi ekonomi rumah tangga yang lebih baik jika dibandingkan dengan keadaan sebelum COREMAP dilaksanakan. BME - Sosek mengkaji dampak posistif COREMAP terhadap status sosial ekonomi masyarakat dengan menanyakan tentang kondisi ekonomi rumah tangga pada saat kajian dilakukan dibandingkan dengan keadaan sebelum COREMAP dilaksaakan (keadaan sebelum tahun 2006 dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2008). Hasil kajian menunjukkan bahwa sekitar 94.4 persen masyarakat merasakan 88
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
bahwa kondisi ekonomi rumah tangganya lebih baik jika dibandingkan dengan keadaan sebelum COREMAP dilaksanakan. Cukup tingginya masyarakat yang berpendapat keadaan ekonominya lebih baik ini sejalan persepsi mereka terhadap manfaat COREMAP. Gambaran mengenai kondisi ekonomi rumah tangga sebelum dan sesudah COREMAP dilaksanakan akan diulas lebih renci pada BAB IV dari laporan ini. Diagram 3.8. Distribusi Responden Menurut Pendapat Tentang Keadaan Ekonomi Rumah Tangga Sebelum dan Sesudah COREMAP dilaksanakan di Kampung Friwen, Yenbeser dan Mutus, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2008
Sam a Saja, 5.6
Lebih baik, 94.4
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2006. Data Primer, BME Sosial – Ekonomi, COREMAP – LIPI, 2008
Jika nilai manfaat kegiatan ekonomi ini kemudian dibandingkan dengan nilai pengetahuan dan partisipasi kegiatan COREMAP lainnya seperti telah diuraikan sebelumnya terlihat dengan jelas bahwa kegiatan-kegiatan yang berkaitan langsung dengan konservasi terumbu karang memiliki nilai paling tinggi, kemudian disusul oleh kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi dan nilai KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
89
terbawah adalah yang bertautan dengan pelatihan dan/atau bimbingan untuk kegiatan usaha ekonomi produktif. Fenomena bahwa kegiatan konservasi yang paling dikenal oleh masyarakat menunjukkan adanya sosialisasi yang demikian intensifnya dari pihak COREMAP untuk menjelaskan kepada masyarakat betapa pentingnya melakukan kegiatan konservasi terhadap terumbu karang yang sebagian sudah mengalami kerusakan parah karena aktifitas eksploitasi yang tidak ramah lingkungan. Kata ”konservasi” lambat laun akan menjadi suatu tindakan yang wajib dilakukan bagi siapa saja yang berkepentingan terhadap sumber daya laut. Pemahaman masyarakat tentang COREMAP yang cukup baik dan diikuti oleh tingkat partisipasi dalam kegiatan yang tinggi menggambarkan cukup diterimanya COREMAP di masyarakat Raja Ampat. Di samping itu, cukup diterimanya COREMAP di masyarakat juga diindikasikan dari tingginya proporsi masyarakat yang menyatakan bahwa beberapa kegiatan COREMAP sangat bermanfaat bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Apresasi ini hampir terjadi di semua kampung lokasi COREMAP, terutama masyarakat kampung Arborek. Masyarakat nelayan di kampung ini pada awalnya sering melakukan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal (potas dan bom). Setelah dua tahun secara perlahan-lahan COREMAP melakukan pendekatan dan memberikan pengertian kepada masyarakat tentang pentingnya melakukan pengelolan sumber daya laut secara baik dengan menghindari kegiatan yang merusak akhirnya masyarakat menjadi sadar dan sangat mendukung upaya-upaya yang dilakukan COREMAP. Masyarakat cukup berharap kegiatan COREMAP untuk menjaga dan melindungi sumber daya laut dapat berlanjut. Sedikitdemi sedikit masyarakat sudah melihat hasilnya. Salah satu hasil yang dirasakan oleh masyarakat adalah munculnya beberapa jenis ikan yang beberapa tahun terakhir sudah mulai jarang ditemukan di perairan sekitar kampung pada saat ini mulai muncul dan populasinya cukup tinggi. Apresiasi dan harapan masyarakat terhadap keberlanjutan COREMAP terermin dari hasil kajian yang menunjukkan bahwa sekitar 98 persen responden menginginkan COREMAP tetap dilanjutkan.
90
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
3.2.4. Sumber Informasi Tentang COREMAP Pengetahuan responden terhadap ketiga kegiatan ekonomi seperti telah dipaparkan di atas lebih dari 80 persen diperoleh dari fasilitator/motivator atau pengurus COREMAP seperti tergambar pada Diagram 3.9 di bawah ini. Sumber informasi lainnya didapatkan dari aparat kampung, kemudian dari anggota masyarakat yang terlibat dalam kegiatan COREMAP dan dari anggota masyarakat lainnya. Dominasi sumber informasi yang diperoleh masyarakat dari pengurus COREMAP dimungkinkan karena wilayah kampung (permukiman) tidak lebih dari 4 Ha dan dengan jumlah penduduk sekitar 27 s/d 80 KK. Ini artinya kegiatan apapun yang melibatkan masyarakat akan sangat mudah tersebar luas ke seluruh lapisan masyarakat atau secara hiperbola dapat dikatakan:”orang mendengkur sekalipun di siang hari akan terdengar oleh seluruh masyarakat kampung” Diagram 3.9. Distribusi Responden Menurut Sumber Informasi Tentang COREMAP Di Kampung Yenbeser, Friwen dan Mutus, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2008 Pem ilihan jenis usaha yang tidak m erusak terum bu karang
120 100
98 90 81
Pem berian dana bergulir untuk m engem bangkan usaha
80 60
Kegiatan pelatihan dan pem bim bingan
40 20
9
14 2
1 0 3
0 0 2
Kepala desa/dusun
Anggota m asyarakat yg terlibat
Anggota m asyarakat lainnya
0 Fasilitator (CF, m otivator)
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2006. Data Primer, BME Sosial – Ekonomi, COREMAP – LIPI, 2008
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
91
92
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
BAB IV PENDAPATAN MASYARAKAT: Perubahan dan Faktor Berpengaruh
M
eningkatnya pendapatan dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya adalah salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan COREMAP dari aspek sosial ekonomi. Sumber pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang sangat luas dan beragam. Di Kabupaten Raja Ampat sumber pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang diantaranya adalah pendapatan dari kegiatan kenelayanan (perikanan tangkap dan budidaya), perdagangan hasil laut, pariwisata dan kerajinan rumah tangga untuk souvenir para wisatawan. Uraian pada bab ini akan difokuskan pada perubahan pendapatan masyarakat yang terjadi dari tahun 2006 (pada saat COREMAP mulai diimplementasikan) sampai tahun 2008 (pertengahan program). Bahasan mengenai perubahan pendapatan ini akan dikelompokkan menjadi dua, yaitu perubahan pendapatan masyarakat di tingkat kabupaten secara keseluruhan dan perubahan pendapatan masyarakat di lokasi COREMAP. Gambaran perubahan pendapatan di tingkat kabupaten akan dilihat dari kondisi perekonomian Kabupaten Raja Ampat dari data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berdasarkan data sekunder yang tersedia. Sedangkan gambaran perubahan pendapatan masyarakat di lokasi COREMAP akan dilihat dari perubahan pendapatan rumah tangga dan pendapatan per-kapita. Sumber data yang dipergunakan untuk melihat perubahan pendapatan masyarakat di lokasi COREMAP ini adalah hasil survei sosial – ekonomi yang dilakukan pada tahun 2006 dan 2008 di tiga kampung lokasi COREMAP di kawasan Waigeo Selatan dan Waigeo Barat.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
93
4.1. PERUBAHAN KONDISI PEREKONOMIAN
DI
TINGKAT
KABUPATEN
Kabupaten Raja Ampat terbentuk tahun 2002, namun pemerintahan baru efektif berjalan pada tahun 2004. Pada tahun 2004 roda pemerintahan daerah masih berpusat di Kota Sorong. Dua tahun kemudian (tahun 2006), pemerintahan mulai pindah ke ibukota Waisai. Pada awal perpindahan dari Sorong ke Waisai, belum semua instansi dan dinas mempunyai kantor di Waisai, sebagian masih berada di Kota Sorong. Sekitar tahun 2007 semua dinas dan instansi sudah berkantor di Waisai. Sebagai kabupaten baru, berbagai perangkat pemerintahan, termasuk dinas-dinas masih dalam tahap peralihan dan pembenahan dalam rangka menyusun program. Oleh karena masih dalam masa peralihan dan pembenahan maka berbagai data tentang kependudukan, sosial-ekonomi, fisik dan berbagai data penunjang lainnya yang dimiliki oleh masing – masing instansi secara umum masih terbatas. Gambaran perubahan kondisi perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari data PDRB menurut lapangan usaha atau sektor – sektor ekonomi yang berperan. Dengan melihat sumbangan masing-masing sektor dalam PDRB dapat diketahui struktur perekonomian daerah. Data tentang kondisi perekonomian di Kabupaten Raja Ampat masih sangat terbatas. Oleh karena itu, uraian gambaran tentang perubahan kondisi pendapatan masyarakat di tingkat kabupaten hanya didasarkan pada perkembangan nilai PDRB secara keseluruhan karena data perekonomian per – sektor belum tersedia. Diagram 4.1. menggambarkan perkembangan PDRB Kabupaten Raja Ampat dari tahun 2003 sampai tahun 2006. Dari diagram terlihat bahwa perkembangan PDRB Kabupaten Raja Ampat berfluktuasi. Tahun 2003 PDRB kabupaten ini sebesar 211.445 juta naik menjadi Rp 235.959 pada tahun 2004 atau terjadi kenaikan sekitar 11,59 persen. Pada tahun 2005 terjadi kenaikan PDRB yang cukup tajam mencapai lebih dari 100 persen menjadi Rp 702.556 juta. Setelah mengalami kenaikan kemudian terjadi penurunan hampir 100 persen menjadi Rp 378,704 juta pada tahun 2006. Dari data PDRB ini
94
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
memberikan kesan bahwa perlu kehati-hatian dalam mencermati dan menganalisanya. Terdapat kemungkinan adanya ketidakakuratan data yang ditampilkan mengingat kabupaten ini masih relatif baru. Berbagai instansi masih dalam peralihan dan sumber daya manusia yang ada juga masih terbatas sehingga pengumpulan dan pengelolaan data masih dalam taraf peralihan dan pembenahan. Diagram 4.1. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Raja Ampat Tahun 2003 – 2006 702,556 800,000 700,000 600,000
378,704
500,000 400,000
211,445
235,959
300,000 200,000 100,000 0 Tahun 2003
Tahun 2004
Tahun 2005
Tahun 2006
Sumber: BPS, Propinsi Papua Barat, 20006.
4.2. PERUBAHAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA Bagian ini akan berisi uraian tentang perubahan pendapatan penduduk di ketiga lokasi COREMAP di Kabupaten Raja Ampat. Perubahan pendapatan ini akan dilihat dari pendapatan rumah tangga dan pendapatan per-kapita. Pendapatan rumah tangga yang dimaksudkan disini adalah penghasilan dari seluruh anggota rumah tangga yang bekerja dari pekerjaan pokok maupun tambahan. Jumlah pendapatan yang diterima oleh orang yang bekerja adalah pendapatan bersih, sebagai contoh pendapatan dari kegiatan kenelayanan merupakan pendapatan bersih setelah dikurangi biaya produksi seperti ongkos KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
95
BBM, ransum (gula, teh dan kopi, beras dll). Demikian pula pendapatan yang diterima oleh petani adalah pendapatan setelah dikurangi biaya produksi, seperti pupuk dan obat-obatan. Sementara itu, pendapatan dari sektor perdagangan adalah rata-rata keuntungan yang diperoleh dalam satu bulan (keterangan lebih lanjut lihat pada lampiran). Deskripsi mengenai perubahan pendapatan penduduk pada bagian ini akan dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, uraian mengenai perubahan pendapatan rumah tangga dari semua penduduk yang bekerja di berbagai lapangan dan jenis pekerjaan yang ada di lokasi. Untuk mendapatkan gambaran yang rinci mengenai pendapatan rumah tangga, diuraikan juga pendapatan rumah tangga menurut lapangan pekerjaan kepala rumah tangga. Dari uraian ini akan terlihat perbandingan pendapatan rata-rata rumah tangga antar lapangan pekerjaan kepala rumah tangga. Kedua, deskripsi tentang perubahan pendapatan penduduk dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya yang teridentifikasi dari pendapatan yang diterima dari jenis pekerjaan nelayan, pedagang hasil laut dan industri rumah tangga. Khusus pendapatan dari kegiatan nelayan akan dirinci menurut musim, yang dibagi ke dalam musim gelombang lemah, musim pancaroba dan musim gelombang kuat. 4.2.1. Perubahan pendapatan dari semua sumber pendapatan Pendapatan rata-rata rumah tangga dan per-kapita. Dalam uraian ini yang dimaksudkan dengan pendapatan rata-rata rumah tangga adalah pendapatan yang diterima oleh semua anggota rumah tangga yang bekerja (pekerjaan pokok dan tambahan). Sedangkan pendapatan per kapita adalah pendapatan total penduduk yang bekerja dibagi dengan seluruh jumlah penduduk. Daigram 4.2. menunjukkan distribusi rumah tangga menurut besar pendapatan hasil baseline study yang dilakukan tahun 2006 (T0) dan hasil dari BME Sosial- Ekonomi tahun 2008. Secara umum dari perbandingan hasil baseline dan BME terdapat peningkatan pendapatan rumah tangga yang tercermin dari meningkatnya proporsi 96
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
rumah tangga yang mempunyai pendapatan di atas Rp 1.000.000 dan menurunnya proporsi rumah tangga yang mempunyai pendapatan di bawah Rp 1.000.000. Dari tabel terlihat bahwa proporsi rumah tangga yang mempunyai pendapatan di atas Rp 1.000.000 meningkat pada setiap kelompok pendapatan. Kelompok pendapatan antara Rp 2.000.000 sampai dengan Rp 3.000.000 naik hampir dua kali lipat dan kelompok pendapatan antara Rp 3.000.000 – Rp Rp 3.500.000 naik lebih dari dua kali lipat. Di samping itu hasil BME tahun 2008 juga menunjukkan ada sekitar 7 persen rumah tangga yang mempunyai pendapatan rata-rata di atas Rp 3.500.000. Pada tahun 2006 tidak ada rumah tangga yang mempunyai pendapatan rumah tangga di atas Rp 3.500.000. Diagram 4.2. Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Besar Pendapatan, Di Tiga Kampung Lokasi COREMAP, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2006 dan 2008 (Persen) 40 35 30 25 20 15 10 5 0
<500,000
500,000 - 1,000,000 - 1,500,000 - 2,000,000 - 2,500,000 - 3,000,000 - >3,500,00 999, 000 1,499,000 1,999,000 2,499,000 2,999,000 3,499,000 0
2006
26.6
33.8
18.2
9.7
5.8
4.5
1.4
0
2008
11.1
25
24.4
11.7
10
7.2
3.9
6.7
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
Seiring dengan naiknya proporsi rumah tangga yang mempunyai pendapatan di atas Rp 1.000.000, proporsi rumah tangga yang mempunyai pendapatan di bawah Rp 1.000.000 menurun sangat signifikan. Pada tahun 2006 proporsi rumah tangga yang mempunyai KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
97
pendapatan di bawah Rp 500.000 sekitar 27 persen, menurun menjadi hanya 11 persen pada tahun 2008 dan rumah tangga yang mempunyai pendapatan antara Rp 500.000 – Rp 1.000.000 menurun menjadi 45 persen pada tahun 2008. Sejalan dengan naiknya proporsi rumah tangga yang mempunyai pendapatan di atas Rp 1.000.000, hasil BME tahun 2008 juga menunjukkan adanya kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga dan pendapatan per-kapita. Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa pendapatan rata-rata rumah tangga naik sekitar Rp 630 selama dua tahun. Pendapatan rata- rata rumah tangga pada tahun 2006 sebesar Rp 1.011.95 naik menjadi Rp 1.638.300 pada tahun 2008. Lebih lanjut data juga menunjukkan bahwa di samping terjadi kenaikan ratarata pendapatan, kesenjangan antara rumah tangga yang mempunyai pendapatan tinggi dan yang rendah makin melebar. Pada tahun 2006 pendapatan tertinggi sekitar Rp 3.500.000 dan pendapatan terendah nol rupiah. Pada tahun 2008 terdapat rumah tangga yang mempunyai pendapatan di atas Rp 8.000.000. Tabel 4.1. Statistik Pendapatan Penduduk di Tiga Kampung Lokasi COREMAP, Kabupaten Raja Ampat Tahun 2006 dan 2008 (Rupiah) No 1.
Pendapatan per bulan Rata-rata Rumah Tangga (RT)
2.
Median Pendapatan RT
3.
Minimum pendapatan RT
4.
Maksimum pendapatan RT
5.
Per kapita
Tahun 2006 (T0)
Tahun 2008 (T1)
1.011.955
1.638.320
860.000
1.250.000
0
33.333
3.466.666
8.266.666
278.422
433.454
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
98
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Diagram: 4.3. Perubahan Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga dan Per-kapita Tahun 2006 – 2008, Kabupaten Raja Ampat 1,800,000 1,600,000 1,400,000 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 0
Pendapatan rumah tangga Pendapatan per-kapita
2006
2008
Perubahan 2006 - 2008
1,011,900
1,638,300
626,400
278,400
433,400
155,000
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
Pendapatan per-kapita yang merupakan total dari seluruh penduduk yang bekerja dibagi dengan jumlah penduduk di tiga lokasi penelitian juga menunjukkan kenaikan sebesar (Rp 155.032) selama dua tahun. Pada tahun 2006 pendapatan per - kapita penduduk di lokasi COREMAP sebesar Rp 278.422 naik menjadi Rp433.454 pada tahun 2008. Besar pendapatan per-kapita ini lebih besar dari nilai garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS. Menurut data BPS, minimal pengeluaran per-kapita per bulan di Papua pada tahun 2006 sebesar Rp 200.039 (BPS, 2007). Naiknya pendapatan per- kapita di Raja Ampat ini tidak sebanding dengan naiknya harga-harga kebutuhan sehari-hari seperti minyak tanah, premium, beras dan gula. Dalam dua tahun kebutuhan seharihari mengalami kenaikan (lihat Tabel 4.2). Tingginya harga bahan KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
99
pokok di Kabupaten Raja Ampat berkaitan dengan sarana transportasi yang masih minim. Meskipun telah mengalami perubahan selama jangka waktu dua tahun (2006-2008), tetapi secara umum transportasi masih menjadi kendala di Kabupaten Raja Ampat. Tabel 4.2. Gambaran harga beberapa kebutuhan pokok di Waigeo Selatan dan Waigeo Barat Jenis Barang Minyak tanah Premium (Bensin) Beras Gula
Sorong Rp 4.500
Harga Tahun 2006 Saonek Rp 5.000
Sorong Rp 4.500
Harga Tahun 2008 Saonek Rp 5.000
Mutus Rp 5.500
Mutus Rp 5.500
Rp 7.000
Rp 7.500
Rp 8,500
Rp 7.000
Rp 7.500
Rp 8.500
Rp 7.000 Rp 7.000
Rp 8.000 Rp 8.000
Rp 9.000 Rp 9.000
Rp 7.000 Rp 7000
Rp 8.500 Rp 7.500
Rp 9.500 Rp 9.000
Sumber: wawancara dengan sejumlah narasumber di lokasi penelitian
Dalam dua tahun terakhir (2006-2008) pembangunan Waisai, ibukota Kabupaten Raja Ampat meningkat cukup tajam. Seiring dengan meningkatnya pembangunan, sarana transportasi dari Sorong ke Waisai dan sebaliknya semakin membaik. Pada tahun 2006, hanya kapal perintis yang melayani transportasi penumpang dan barang. Dalam dua tahun, selain kapal perintis, transportasi penumpang dan barang juga dilayani oleh kapal cepat Raja Ampat dan beberapa kapal lainnya. Meskipun telah ada peningkatan sarana dan prasarana transportasi, tetapi pada musim gelombang besar transportasi masih terganggu. Hal ini menyebabkan pengiriman barang menjadi tidak lancar dan berdampak pada naiknya harga kebutuhan pokok. Berbeda dengan Waigeo Selatan yang transportasinya mengalami peningkatan, masalah transportasi masih tetap menjadi kendala di Distrik Waigeo Barat. Sampai tahun 2008, belum ada transportasi yang secara rutin melayani route Sorong – Mutus atau beberapa desa di sekitarnya. Transportasi penumpang dan barang masih dilayani oleh kapal barang dan penumpang dari Sorong – Halmahera yang melewati Pump (sebuah pulau di wilayah Distrik Waigeo Barat). Tidak adanya sarana transportasi yang secara rutin melayani ini
100
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
menyebabkan harga kebutuhan sehari-hari di Waigeo Barat sangat tinggi. Pendapatan rumah tangga menurut lapangan pekerjaan kepala rumah tangga Pendapatan rumah tangga nelayan adalah pendapatan dari seluruh anggota rumah tangga yang bekerja sebagai nelayan. Pendapatan ini dihitung berdasarkan pendapatan yang diterima dalam satu tahun (pada saat musim gelombang kuat, musim pancaroba dan pada saat musim gelombang lemah) kemudian dibagi dua belas. Dari Tabel 4.3. dan Diagram 4.4 dapat diketahui bahwa pendapatan dari perikanan mengalami peningkatan yang cukup signifikan antara tahun 2006 – 2008. Pada tahun 2006, pendapatan rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja sebagai nelayan sebesar Rp 940.400 meningkat menjadi Rp 1.585.100 atau naik sekitar 60 persen selama dua tahun. Tabel 4.3. Gambaran Pendapatan Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga, di Tiga Kampung Lokasi COREMAP, Kabupaten Raja Ampat, 2006 Lapangan pekerjaan KRT Perikanan tangkap Pertanian tanaman pangan Jasa/pemerintahan Perdagangan Pengolahan/ industry Bangunan
Pendapatan Tahun 2006 (T0) Rata-rata N 940.438 120
Tahun 2008 (T1) Rata-rata N 1.585.106 121
408.888
6
1.078.500
10
1.602.402 1.916.666 58.333
17 3 2
2.072.194 2.371.333 872.083
33 5 4
-
2.200.000
2
-
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
Peningkatan yang cukup signifikan selama kurun waktu dua tahun juga terjadi pada pendapatan dari sektor pertanian, dari sekitar Rp 400 ribu menjadi sekitar Rp 1 juta. Selain pendapatan yang naik, selama kurun waktu dua tahun jumlah rumah tangga yang bekerja di sektor KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
101
ini juga naik menjadi 10 persen. Naiknya jumlah anggota rumah tangga yang bekerja di bidang pertanian ini terutama berkaitan dengan meningkatnya permintaan sayur-sayuran karena peningkatan jumlah penduduk yang membutuhkan. Pembangunan Waisai sebagai ibukota Kabupaten Raja Ampat telah menarik penduduk untuk bermigrasi ke wilayah ini sehingga terjadi peningkatan penduduk yang berimplikasi pada naiknya kebutuhan bahan pangan, termasuk sayuran dan ikan. Karena permintaan sayuran naik dan harganya cukup baik, maka banyak rumah tangga yang kemudian beralih ke usaha pertanian. Diagram 4.4. Gambaran Pendapatan Rumah Tangga Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga
Menurut
2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000 2008
500,000 0
2006 Jasa/peme Perdagang Pengolaha Perikanan Bangunan Pertanian rintahan an n/industri tangkap
2006
940,400
408,800
1,602,400
1,916,600
58,300
0
2008
1,585,100
1,078,500
2,072,100
2,371,300
872,000
2,200,000
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
Hasil pertanian berupa sayuran (kangkung, sawi dan daun singkong), singkong (kasbi) dan ubi (betatas). Dalam satu bulan rata-rata bisa menjual sayur dan ubi-ubian dua sampai tiga kali, bahkan ada yang sampai empat kali per bulan. Dalam satu kali penjualan seorang petani bisa membawa pulang uang sebesar Rp 75.000 - Rp Rp 102
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
100.000. Harga satu ikat sayuran Rp 1.000, sedangkan harga tiga tumpuk ubi sekitar Rp 10.000. Penjualan ke Saonek dan Waisai dilakukan bersama-sama petani lainnya, sehingga ongkos transportasi ditanggung bersama. Biasanya dalam satu kali jual, biaya untuk membeli BBM per satu orang sekitar Rp 5.000 - Rp 10.000. Selain dijual ke Saonek atau Waisai, sayuran juga dijual ke lokasi wisata resort yang ada di Pulau Manspar untuk konsumsi para wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat dalam rangka diving dan wisata bahari. Pendapatan dari hasil pertanian ini pada musim gelombang besar (musim selatan) menjadi ‘dewa penolong’ bagi penduduk desa Friwen dan Yenbeser. Pada saat musim gelombang besar para nelayan mengurangi aktifitas di laut, bahkan sebagian nelayan ada yang tidak melaut sama sekali. Pada musim ini para nelayan beralih pada aktfitas di kebun. Hasil dari kebun ini yang secara rutin bisa diharapkan menjadi sumber penghasilan bagi penduduk desa Yenbeser dan Friwen. Meningkatnya kegiatan ekonomi di lokasi COREMAP juga diindikasikan dari bertambahnya jumlah rumah tangga yang berusaha di bidang jasa dan pemerintahan serta jasa penjualan. Jumlah rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di bidang jasa dan pemerintahan naik menjadi 33 rumah tangga pada tahun 2008. Pada tahun 2006 jumlah rumah tangga yang kepala runah tangganya bekerja di bidang jasa dan pemerintahan hanya 17 rumah tangga. Kelompok rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di bidang jasa/pemerintahan diantaranya adalah bekerja sebagai pegawai negeri, aparat desa termasuk motivator COREMAP, jasa transportasi dan pegawai di resort, yang ada di Pulau Mansfar. Pendapatan rumah tangga dari kelompok ini juga mengalami kenaikan sekitar Rp 400.000 selama kurun waktu dua tahun. Jumlah rumah tangga yang berusaha di bidang jasa penjualan (warungan dan penampung hasil laut) naik menjadi lima rumah tangga. Kenaikan jumlah pendapatan dari sektor penjualan relatif kecil jika dibandingkan dengan kenaikan pendapatan dari sektor lainnya. KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
103
Indikasi lain dari meningkatnya kegiatan ekonomi masyarakat juga terlihat dari bertambahnya rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja si sektor industri/pengolahan. Lapangan pekerjaan di sektor industri/pengolahan di lokasi COREMAP diantaranya adalah pengolah kopra, pembuat kue jajanan dan pembuat anyaman topi dan tikar. Penduduk yang bekerja di sektor ini umumnya adalah para perempuan. Hasil baseline tahun 2006 menunjukkan bahwa tidak terdapat satu rumah tangga yang mempunyai pendapatan dari sektor bangunan. Dari hasil BME tahun 2008 diketahui terdapat dua rumah tangga yang sumber pendapatannya berasal dari bekerja di sektor bangunan. Meskipun hanya terdapat dua rumah tangga yang mempunyai pendapatan dari sektor bangunan, ini juga merupakan indikasi dari bervariasinya sumber penghasilan karena meningkatnya kegiatan ekonomi masyarakat. 4.2.2. Perubahan Pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan Pendapatan rata-rata rumah tangga Perubahan pendapatan nelayan di lokasi COREMAP Kabupaten Raja Ampat terlihat dari perbandingan distribusi pendapatan tahun 2006 dan 2008 (Tabel 4.4). Dari hasil perbandingan tersebut terlihat, bahwa perubahan yang cukup signifikan terjadi pada kelompok rumah tangga yang berpendapatan kurang dari Rp 500.000 dan kelompok rumah tangga yang mempunyai pendapatan lebih dari Rp 2.500.000. Perbandingan hasil baseline dan BME menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga yang mempunyai pendapatan kurang dari Rp 500.000 turun secara signifikan. Pada tahun 2006 proporsi yang mempunyai pendapatan kurang dari Rp 500.000 sekitar 26 persen, turun menjadi hanya 8 persen pada tahun 2008. Sebaliknya kelompok rumah tangga yang mempunyai pendapatan di atas Rp 2,5 juta naik cukup signifikan selama dua tahun. Pada tahun 2008, kelompok rumah tangga yang mempunyai pendapatan di atas Rp 2,5 juta sekitar 12.5 persen naik sekitar 10 persen jika dibandingkan tahun 2006 yang proporsinya hanya 2.5 persen.
104
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Perubahan distribusi pendapatan juga terjadi pada kelompok rumah tangga yang berpendapatan antara Rp 1 juta - Rp1,5 juta. Jumlah rumah tangga yang mempunyai pendapatan antara Rp 1 juta- Rp1,5 juta naik sekitar 10 persen selama dua tahun. Pada tahun 2006 jumlah rumah tangga yang mempunyai pendapatan Rp 1 juta - Rp1,5 juta sebesar 17,5 persen naik menjadi 27 persen pada tahun 2008. Tabel 4. 4. Distribusi Rumah Tangga Nelayan Menurut Jumlah Pendapatan di Tiga Kampung Lokasi COREMAP Kabupaten Raja Ampat, 2006 dan 2008 No
Kategori Pendapatan
Friwen Yenbeser
Mutus
Friwen, Yenbeser Mutus
Tahun 2006 (T0) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
< Rp 500.000 Rp 500.000 - Rp 999.000 Rp 1.000.000 – Rp 1.499.000 Rp 1.500.000 – Rp 1.999.000 Rp 2.000.000 – Rp 2.499.000 Rp 2.500.000 – Rp 2.999.000 Rp 3.000.000 – Rp 3.499.000 Jumlah N
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
< Rp 500.000 Rp 500.000 - Rp 999.000 Rp 1.000.000 – Rp 1.499.000 Rp 1.500.000 – Rp 1.999.000 Rp 2.000.000 – Rp 2.499.000 Rp 2.500.000 – Rp 2.999.000 Rp 3.000.000 – Rp 3.499.000 >Rp 3.500.000 Jumlah N
39,3 42,6 11,5 3,3 1,6 1,6 0 100 61
11,9 35,6 23,7 18,6 6,8 0 2 100 59
25,8 39,2 17,5 10,8 4,2 0,8 1,7 100 120
13,3 46,7 21,7 8,3 1,7 3,3 0 5,0 100 61
3,3 36,1 32,8 4,9 8,2 6,6 4,9 3,3 100 60
8,3 41,3 27,3 6,6 5,0 5,0 2,5 4,1 100 121
Tahun 2008 ( T1)
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
Apabila dilihat menurut wilayah, penurunan jumlah rumah tangga yang berpendapatan kurang dari Rp 500.000 yang sangat signifikan terjadi di Desa Friwen dan Yenbeser (Waigeo Selatan). Sebaliknya
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
105
kenaikan jumlah rumah tangga yang berpendapatan di atas 2,5 juta yang cukup tinggi terjadi di Mutus (Waigeo Barat). Selama dua tahun jumlah rumah tangga nelayan yang berpendapatan kurang dari Rp 500.000 turun sekitar 26 persen. Sementara di Mutus (Waigeo selatan) penurunan jumlah kelompok rumah tangga tersebut hanya terjadi sekitar 8 persen. Penurunan yang relatif kecil ini dikarenakan proporsi rumah tangga yang berpendapatan kurang dari Rp 500.000 di wilayah ini relatif kecil. Kenaikan jumlah rumah tangga yang berpendapatan di atas 2,5 juta di Waigeo Barat sekitar 11 persen dan di Waigeo Selatan kurang dari 6 persen.
M utus , Friw e n, Y e nbe s e r
Diagram 4.5. Distribusi Rumah Tangga Nelayan Menurut Kelompok Pendapatan Tahun 2006 – 2008 2008
8.3
27.3
2006
11.5
25.8
17.5
2.5
Friw e n, Y e nbe s e r W a ige o S e la ta n
M utus , W a ige o B a ra t
Kurang dari 500 ribu 2008 3.3
33.7
13.8
1 juta - 1, 5 juta 1,5 juta - 2,5 juta
2006
11.9
2008
25.1
13.3
2006
21.7
20%
40%
2.5 juta keatas
8.3
39.4
0%
2
11.5
60%
80%
1.6
100%
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
Hasil baseline tahun 2006 menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga nelayan di Waigeo Barat dan Waigeo Selatan sekitar Rp 954.400. Jika dilihat masing-masing distrik, pendapatan penduduk dari kegiatan kenelayan di Waigeo Barat lebih tinggi dari rumah tangga nelayan Waigeo Selatan. Tingginya pendapatan rumah tangga 106
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
nelayan di Mutus ini diperkirakan karena target tangkapan utama nelayan di desa ini adalah kerapu hidup yang harga jualnya relatif tinggi. Wilayah Waigeo Barat dikenal sebagai salah satu sentra penghasil ikan Kerapu di Kabupaten Raja Ampat (TNC, 2001, ). Tabel 4.5. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Nelayan di Tiga Kampung Lokasi COREMAP, Kabupaten Raja Ampat, 2006 dan 2008 (Rupiah) Pendapatan
Rata-rata rumah tangga Median Minimum Maksimum N Rata-rata rumah tangga Median Minimum Maksimum N
Kampung Friwen Mutus Yenbeser (Waigeo Barat) (Waigeo Selatan) Tahun 2006 (T1) 735.614 1.180.680
Friwen, Yenbeser Mutus 954.438
676.333 1.000.000 109.166 313.333 2.983.333 3.346.666 61 59 Tahun 2008 (T1) 1.165.894 1.515.082
1.341.931
808.333 276.666 5.433.333 60
1.000.000 276.666 8.200.000 121
1.123.333 293.333 8.200.000 61
812.000 109.166 3.346.666 120
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
Dua tahun kemudian, hasil BME menunjukkan bahwa pendapatan penduduk dari kegiatan kenelayanan di Waigeo Barat dan Waigeo Selatan meningkat menjadi sekitar Rp 1.340.000. Dalam dua tahun pendapatan penduduk dari kegiatan kenelayanan naik sekitar Rp 387.000. Apabila dilihat per distrik, pendapatan penduduk dari kegiatan kenelayanan di Distrik Waigeo Barat konsisten tetap lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan dari kegiatan kenelayanan di Waigeo Selatan. Namun jika dilihat peningkatannya selama dua tahun, peningkatan pendapatan dari kegiatan kenelayanan di Distrik KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
107
Waigeo Barat lebih rendah jika dibandingkan dengan Distrik Waigeo Selatan. Dalam jangka waktu dua tahun, pendapatan dari kegiatan kenelayanan di Distrik Waigeo Barat naik sebesar Rp 334.400, sementara di Waigeo Selatan naik sekitar Rp 429.400 (Lihat Diagram 4.6). Diagram 4.6. Perubahan Pendapatan Rumah Tangga Nelayan Tahun 2006 – 2008 di beberapa lokasi COREMAP, Kabupaten Raja Ampat
2000000 1500000 1000000
Waigeo Sel dan Bar Waigeo Barat
500000
Waigeo Selatan
0
Waigeo Selatan Waigeo Barat Waigeo Sel dan Bar
2006
2008
Perubahan 2006-2008 429,200
736600
1,165,800
1,180,600
1,515,000
334,400
954400
1,341,900
387,500
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
Secara umum peningkatan pendapatan nelayan di lokasi COREMAP berkaitan dengan beberapa faktor, diantaranya peningkatan kepemilikan perahu motor, naiknya harga ikan dan meningkatnya hasil tangkapan serta permintaan ikan yang cenderung mengalami kenaikan karena pertambahan jumlah konsumen (penduduk). Apabila dilihat per distrik, peningkatan pendapatan nelayan di Waigeo Barat lebih disebabkan oleh meningkatnya harga ikan dan sedikit kenaikan hasil tangkapan. Sementara itu di Distrik Waigeo Selatan peningkatan pendapatan selain karena kenaikan harga ikan dan kenaikan hasil 108
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
tangkapan juga dikarenakan oleh naiknya permintaan ikan untuk konsumsi lokal di sekitar ibukota Kabupaten (Waisai). Hasil tangkapan nelayan di Waigeo Barat yang utama adalah ikanikan karang yang dijual dalam bentuk ikan hidup. Komoditi ini termasuk ke dalam jenis yang bernilai ekonomi tinggi. Seperti telah diketahui bahwa Waigeo Barat merupakan salah satu sentra penghasil ikan hidup yang cukup berpotensi di kabupaten Raja Ampat. Sekitar tahun 2000 – 2004 penggunan potas untuk menangkap ikan di wilayah ini cukup marak. Namun berkat adanya berbagai program penyadaran masyarakat, baik oleh COREMAP maupun (CI) penggunaan potas di wilayah ini sudah sangat berkurang. Berkurangnya pemotasan sejak beberapa tahun terakhir ini telah menunjukkan hasilnya, yaitu munculnya beberapa jenis ikan karang di sekitar perairan desa. Menurut seorang narasumber yang pernah menggunakan potas, pada saat sekarang ini muncul beberapa jenis ikan-ikan karang dengan populasi yang cukup banyak di sekitar perairan Pulau Mutus, Meosmanggara dan beberapa pulau lainnya di Waigeo Barat. Dua tahun sebelumnya beberapa jenis ikan tersebut sudah jarang ditemui. Dengan demikian berkurangnya penangkapan ikan menggunakan potas telah mempunyai dampak positif terhadap pendapatan nelayan, yaitu mulai meningkatnya populasi ikan karang yang pada akhirnya meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Berbeda dengan nelayan di Distrik Waigeo Barat, hasil tangkapan utama nelayan di Distrik Waigeo Selatan utamanya adalah berbagai jenis ikan yang dijual dalam bentuk ikan segar atau dibuat ikan asin. Dalam beberapa tahu terakhir ini terjadi peningkatan permintaan ikan segar untuk kebutuhan makan sehari-hari masyarakat di sekitar ibukota kabupaten raja Ampat (Waisai). Adanya pembangunan Waisai sebagai ibukota Kabupaten Raja Ampat mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk di wilayah ini. Penduduk yang datang ke wilayah ini selain bekerja sebagai pegawai pemerintah juga bekerja di sektor lainnya seperti sebagai pekerja bangunan, berdagang berbagai komoditi (kebutuhan sehari-hari, bahan bangunan, makanan dsbnya) dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya terkait dengan peningkatan pembangunan fisik yang terjadi. Peningkatan jumlah KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
109
penduduk ini berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan pangan, termasuk ikan sebagai lauk pauk sehari-hari masyarakat Kabupaten Raja Ampat. Selain peningkatan hasil tangkap berupa ikan segar dan ikan asin, terdapat kecenderungan terjadi peningkatan hasil tangkap berupa ikan hidup (ikan karang dan lobster) di wilayah ini. Hasil utama nelayan di wilayah ini adalah ikan segar dan ikan asin, namun terdapat juga sejumlah nelayan yang pada musim-musim tertentu menangkap ikan ikan karang hidup dan lobster. Karena meningkatnya permintaan ikan hidup, termasuk lobster dan adanya penampung lokal maka para nelayan mulai meningkatkan hasil tangkapannya. Jika sebelumnya memancing ikan hidup hanya dilakukan pada musim-musim tertentu, pada saat sekarang ini menjadi salah satu target tangkapan utama. Hasil tangkapan berupa ikan hidup dan lobster ini langsung dijual ke penampung lokal yang ada di desa. Oleh penampung lokal ikan-ikan ini dijual ke penampung yang lebih besar yang datang ke desa setiap bulan. Peningkatan hasil tangkap nelayan di Distrik Waigeo Selatan ini ditunjang oleh adanya bantuan kapal motor dari dana otonomi khusus Provinsi Papua. Penduduk Kampung Yen Beser dan Friwen mendapatkan bantuan kapal motor dari dana otonomi khusus. Adanya perahu motor ini telah meningkatkan hasil tangkapan nelayan karena wilayah tangkapnya menjadi lebih jauh. Perbedaan pendapatan menurut musim Secara umum pendapatan rumah tangga nelayan sangat dipengaruhi oleh musim. Pendapatan rumah tangga nelayan pada musim gelombang lemah umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan pada musim gelombang kuat. Sementara itu pada musim pancaroba (peralihan antara gelombang lemah dan gelombang kuat), pendapatan rumah tangga nelayan cenderung berada pada kisaran angka antara pendapatan musim gelombang kuat dan gelombang lemah.
110
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Hasil baseline tahun 2006 menunjukkan adanya perbedaan pendapatan yang sangat signifikan antara musim gelombang lemah, musim pancaroba dan gelombang kuat. Pada musim gelombang lemah, sekitar 48 persen rumah tangga nelayan mempunyai pendapatan antara Rp 1.000.000 – Rp 2.000.000 dan terdapat rumah tangga yang mempunyai pendapatan di atas Rp 3.500.000. Pada musim ini rumah tangga yang mempunyai pendapatan di bawah Rp 500.000 hanya sekitar 12 persen. Sebaliknya pada musim gelombang kuat, sebagian besar rumah tangga (lebih dari 80 persen) hanya mempunyai pendapatan di bawah Rp 500.000. Pendapatan maksimum rumah tangga hanya mencapai antara Rp 1.500.000 sampai Rp 2.000.000. Sementara itu, pada musim pancaroba sekitar separoh dari jumlah rumah tangga nelayan berpendapatan di bawah Rp 500.000 dan sekitar seperempatnya mempunyai pendapatan antara Rp 500.000 – Rp 1.000.000 (Diagram 4.7). Diagram 4.7. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Nelayan, Menurut Musim, Tahun 2006 (Persentase)
100 80 60 40
Gel Kuat Pancaroba Gel lemah
20 0 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000 >3,500,00 0 1,499,000 1,999,000 2,499,000 2,999,000 3,499,000
<500,000
500,000 999, 000
Gel lem ah
12.5
21.7
18.3
19.2
10.8
5.8
4.2
Pancaroba
55.8
25
8.3
7.5
1.7
0
1.7
0
Gel Kuat
83.3
12.5
2.5
1.7
0
0
0
0
7.5
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2006 Data Primer BME Sosial- Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
111
Diagram 4.8. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Nelayan, Menurut Musim, Tahun 2008 (Persentase)
Persentase
100 80 60 40
Gel Kuat Pancaroba Gel lemah
20 0 <500,000
500,000 999, 000
1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000 >3,500,00 0 1,499,000 1,999,000 2,499,000 2,999,000 3,499,000
Gel lem ah
1.7
9.9
10.8
16.7
21.7
16.7
6.7
20.8
Pancaroba
36.4
45.5
5.8
7.4
1.7
0.8
1.7
0.8
Gel Kuat
41.2
43.7
10.1
0.8
1.7
0
0
2.5
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2006 Data Primer BME Sosial-Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
Dua tahun kemudian berdasarkan hasil BME 2008 dapat diketahui bahwa perbedaan pendapatan rumah tangga nelayan antar musim masih terjadi. Namun demikian perbedaan tersebut cenderung menipis -- kurang signifikan jika dibandingkan dengan perbedaan pada tahun 2006 --. Diagram 4.8 mengiformasikan bahwa pada musim gelombang lemah sebagian besar rumah tangga (55 persen) mempunyai pendapatan antara Rp 1.500.000 – Rp 3.000.000, hanya sebagian kecil (sekitar dua persen) yang berpendapatan kurang dari Rp 500.000. Rumah tangga yang mempunyai pendapatan di atas Rp 3.500.000 jumlahnya cukup besar, mencapai lebih dari 20 persen. Sebaliknya pada musim gelombang kuat, jumlah rumah tangga yang mempunyai pendapatan diatas Rp 3.500.000 hanya 2,5 persen. Sebagian besar rumah tangga hanya mempunyai pendapatan dibawah Rp 500.000 dan antara Rp 500.000 – Rp 1.000.000 (masing-masing 44 persen dan 41 persen). Statistik pendapatan rumah tangga nelayan tahun 2006 dan 2008 yang terlihat pada Tabel 4.6 menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata, pendapatan minimum dan maksimum serta median pendapatan secara 112
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
umum naik pada seluruh musim (gelombang lemah, pancaroba dan gelombang kuat). Jika dicermati lebih lanjut terlihat bahwa peningkatan riil (nominal) pendapatan rata-rata yang cukup signifikan terjadi pada musim gelombang lemah. Selama dua tahun (20062008) pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan pada musim gelombang lemah telah meningkat sebesar Rp 1.050.000 atau sekitar 65,7 persen (dari Rp 1.605.100 tahun 2006 menjadi Rp 2.659.300 pada tahun 2008). Jika peningkatan dilihat dari persentasenya (bukan nilai riilnya), maka peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada musim gelombang kuat. Pada tahun 2006 pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan sebesar Rp 310.600 meningkat menjadi Rp 692.400 pata tahun 2008. Jadi selama kurun waktu dua tahun terjadi peningkatan sebesar Rp 381.800 atau sekitar 122,9 persen. Pada musim pancaroba peningkatan pendapatan secara riil maupun persentase lebih kecil jika dibandingkan dengan peningkatan pada musim gelombang lemah dan gelombang kuat (lihat Diagram 4.9). Tabel 4.6. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim, di Tiga Kampung Lokasi COREMAP Kabupaten Raja Ampat, 2006 dan 2008 (Rupiah) Pendapatan Rata-rata Median Minimum Maksimum N Rata-rata Median Minimum Maksimum N Nominal Persen
Musim Gelombang Lemah Pancaroba Tahun 2006 (T1) 1.605.100 625.008 1.330.000 410.000 96.000 0 6.300.000 3.450.000 120 120 Tahun 2008 (T2) 2.659.300 707.404 1.800.000 500.000 400.000 96.000 19.200.000 3.750.000 120 121 Peningkatan Pendapatan Tahun 2006 -2008 1.054.200 172.400 65,7 27,6
Gelombang Kuat 310.608 232.500 0 1.700.000 120 692.478 550.000 100.000 5.000.000 119 381,800 122,9
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2006 Data Primer BME Sosial-Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
113
Data statistik menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan rumah tangga maksimum cukup tinggi terjadi pada musim gelombang lemah dan gelombang kuat. Pada musim gelombang lemah peningkatan cukup tinggi, mencapai hampir tiga kali lipat (dari Rp 6.300.000 menjadi Rp 19.200.000). Demikian pula pada musim gelombang kuat, terjadi peningkatan cukup tajam dari Rp 1.700.000 menjadi Rp 5.000.000 (meningkat hampir 300 persen). Peningkatan pendapatan yang cukup besar pada musim gelombang kuat ini mengindikasikan bahwa pada musim ini terdapat sejumlah rumah tangga nelayan yang tetap bisa melaut dengan perolehan hasil tangkapan yang cukup besar sehingga pendapatannya tetap tinggi. Diagram 4.9. Perubahan Pendapatan Rumah Tangga Nelayan Tahun 2006 -2008 Menurut Musim (Rupiah)
Rupiah
3,000,000 2,000,000 Gel Kuat
1,000,000
Pancaroba Gel lemah
0 Tahun 2006
Tahun 2008
Perubahan 2006 - 2008
Gel lemah
1,605,100
2,659,300
1,054,200
Pancaroba
625,000
707,400
172,400
Gel Kuat
310,600
692,400
381,800
Sumber: Data Primer Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2006 Data Primer BME Sosial-Ekonomi, COREMAP –LIPI, 2008.
Meningkatnya pendapatan nelayan di lokasi COREMAP berkaitan dengan beberapa faktor. Salah satu faktor adalah adanya bantuan perahu motor dari Pemerintah Propinsi (dana otonomi khusus). Seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa telah terjadi 114
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
peningkatan kepemilikan perahu motor di ketga kampong lokasi COREMAP. Dengan adanya perahu motor, pada musim gelombang kuat, para nelayan masih bisa melaut dengan mempertimbangkan cuaca. Seperti dikemukakan oleh salah satu narasumber bahwa pada musim gelombang kuat, para nelayan kadang-kadang masih bisa melaut dengan wilayah tangkap yang terbatas. Pada musim ini kadang-kadang nelayan bahkan mencari lobster di sekitar perairan desa. Walaupun perolehan tangkapan jumlahnya kecil, tetapi harga ekonominya cukup tinggi.
4.3. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PERUBAHAN PENDAPATAN
Terjadinya perubahan pendapatan rumah tangga, khususnya pendapatan dari kegiatan kenelayanan, di tiga kampong lokasi COREMAP, yaitu Kampung Yenbeser, Friwen dan Mutus di Kabupaten Raja Ampat berkaitan dengan berbagai faktor. Faktorfaktor tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu struktural, internal dan eksternal. Struktural faktor yang mempengaruhi pendapatan masyarakat adalah kebijakan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat, diantaranya adalah COREMAP dan program lainnya. Faktor internal antara lain meliputi kapasitas penangkapan (teknologi penangkapan dan modal), produksi, dan kualitas sumber daya manusia. Sedangkan faktor ekternal di antaranya permintaan, pemasaran, kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya laut dan musim. 4.3.1. Struktural Faktor •
Perubahan pendapatan karena adanya Program COREMAP
Seperti telah dijelaskan pada Bab III, sosialisasi program COREMAP di Kabupaten Raja Ampat, telah dimulai sejak tahun 2005 dan dilanjutkan dengan pembentukan kelembagaan (LPSTK dan Pokmas ) pada tahun 2006 dan 2007. Salah satu kegiatan COREMAP yang diharapkan dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat dan sekaligus mengurangi tekanan terhadap pemanfaatan terumbu
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
115
karang secara berlebih adalah usaha ekonomi produktif (UEP) yang dikelola oleh komponen pengelolaan berbasis masyarakat (PBM). Dari bahasan pada BAB III tentang pelaksanaan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) melalui pemberian dana bergulir kepada masyarakat untuk modal usaha mengalami berbagai kendala. Dana bergulir tersebut sebagian besar macet, tidak bisa digulirkan kepada kelompok masyarakat yang belum mendapatkan pinjaman. Sementara kelompok masyarakat anggota Pokmas yang telah mendapatkan pinjaman dana untuk modal atau menambah modal usaha sebagian besar tidak bisa melanjutkan usahanya karena beberapa permasalahan, diantaranya usaha merugi (tidak laku) dan pinjaman kredit tidak digunakan untuk usaha, tetapi untuk keperluan membeli barang-barang konsumsi. Program UEP melalui pemberian dana bergulir di desa ini baru dilakukan untuk tahap pertama. Sesuai AD dan ART yang telah disusun, anggota Pokmas bisa mendapat pinjaman dengan persyaratan dana tersebut untuk melakukan usaha yang bisa menambah pendapatan rumah tangga. Namun kenyataan di lapangan, hanya sebagian saja dari yang mendapatkan dana bergulir menggunakan dana tersebut untuk melakukan usaha. Sebagian besar pinjaman tidak d ipergunakan untuk usaha. Sementara itu, sebagian anggota Pokmas yang mendapatkan dana bergulir untuk usaha, menemui berbagai kendala sehingga usahanya tidak berjalan lancar, sebagian diantaranya macet. Dari evaluasi tentang pelaksanaan UEP di ketiga lokasi COREMAP ini dapat diketahui bahwa secara umum dampak COREMAP terhadap peningkatan pendapatan masyarakat belum terlihat. Meskipun di beberapa lokasi terdapat beberapa kasus anggota Pokmas yang telah sekses mengembangkan usahanya karena mendapat bantuan/pinjaman dana bergulir dari program UEP COREMAP, namun jumlah kasus yang berhasil tersebut masih relatif kecil sekali. Program COREMAP yang dinilai cukup berhasil adalah sosialisasi tentang pentingnya penyelamatan terumbu karang yang dikelola oleh komponen penyadaran masyarakat (public awareness). Berkat adanya sosialisasi, telah meningkatkan kesadaran masyarakat akan 116
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
pentingnya penyelamatan terumbu karang yang antara lain terlihat dari berkurangnya kegiatan masyarakat yang dapat mengakibatkan kerusakan terumbu karang seperti pengeboman dan penggunaan potas di ketiga lokasi COREMAP. Sebagai contoh di Kampung Meosmanggara sudah tidak ada lagi masyarakat yang menggunakan potas untuk menangkap ikan. Demikian pula di Kampung Mutus, penggunaan potas sudah mulai berkurang sejak adanya COREMAP di wilayah ini. Padahal sebelum ada COREMAP sebagian besar penduduk kedua kampung ini menggantungkan hidupnya dari hasil penangkapan ikan dengan menggunakan potas. Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan perusakan terumbu karang ini secara tidak langsung akan berdampak pada meningkatnya pendapatan masyarakat dalam jangka panjang. Peningkatan pendapatan sebagai akibat berkurangnya kegiatan penangkapan ikan dengan potas sudah mulai tampak. Hasil tangkapan nelayan sudah mulai meningkat dibandingkan dengan hasil baseline tahun 2006. Selain itu berbagai jenis ikan karang yang sebelumnya sudah jarang ditemui, sekarang sudah mulai meningkat populasinya. •
Program Lainnya
Kebijakan otonomi khusus untuk Provinsi Papua memberikan dampak yang positif terhadap pembangunan wilayah Papua dan kesejahteraan masyarakatnya. Berbagai program dan kegiatan berkaitan dengan pembangunan wilayah dilakukan mulai dari kotakota kabupaten sampai ke distrik dan perkampungan-perkampungan. Berbagai program pembangunan berkaitan dengan bantuan otonomi khusus yang dilaksanakan di Kabupaten Raja Ampat pada umumnya dan lokasi COREMAP pada khususnya dapat dikelompokan menjadi dua kelompok. Pertama, program pembangunan yang bertujuan untuk membangun prasarana dan sarana sosial-ekonomi yang ada di kampong-kampung. Program yang kedua adalah program yang bertujuan memberdayakan masyarakat melalui peningkatan kegiatan ekonominya.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
117
Program pembangunan prasarana dan sarana sosial-ekonomi berkaitan dengan bantuan otonomi khusus ini sudah berlangsung sejak tahun 2007. Kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan program ini diantaranya adalah pembangunan kantor desa, perbaikan sekolah, pembangunan gereja dan sarana lainnya seperti dermaga. Program pembangunan fisik di lokasi COREMAP ini berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berkat adanya pembangunan fisik, masyarakat setempat mempunyai peluang kerja dan peluang berusaha. Peluang kerja yang ada karena adanya pembangunan tersebut, diantaranya adalah bekerja sebagai tukang bangunan, tukang kayu, kuli angkut dan penyedia jasa yang terkait seperti kerja di transportasi/angkutan dan jasa perdagangan lainnya. Hasil BME menunjukkan bahwa, sebagian penduduk di beberapa kampung di lokasi COREMAP yang sebelumnya bekerja di bidang kenela yanan sementara mengalihkan pekerjaannya di laut dan bekerja di proyek pembangunan sarana sosial seperti Puskesmas, sekolah dan kantor desa yang di wilayah Waigeo Selatan dan Waigeo Barat. Di samping itu juga sebagian penduduk lainnya masih bekerja sebagai nelayan, tetapi mempunyai pekerjaan sampingan sebagai tukang bangunan dan tukang kayu. Pelaksanaan bantuan otonomi khusus terkait dengan upaya pemberdayan masyarakat yang dilakukan di kampung-kampung diantaranya adalah bantuan sarana dan alat tangkap, berupa perahu motor yang dilengkapi dengan alat tangkap jaring dan pancing. Dengan adanya bantuan perahu motor para nelayan dapat mencari ikan dengan wilayah tangkap yang lebih luas sehingga hasil tangkapan meningkat. 4.3.2. Internal Faktor 1. Faktor Internal •
Sumber pendapatan
Sumber pendapatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan penduduk di lokasi COREMAP. Di lokasi COREMAP Distrik Waigeo Selatan (Kampung Friwen dan Yenbeser) 118
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
sumber pendapatan masyarakat lebih bervariasi. Pada tahun 2006 (hasil baseline) alternatif sumber matapencaharian selain di sektor perikanan adalah dari hasil bertani atau berkebun. Pada musim gelombang kuat (angin selatan) yang terjadi sekitar bulan Juni sampai Oktober) para nelayan umumnya tidak melaut, tetapi lebih mencurahkan kegiatannya di kebun. Kebun dengan hasil berupa ubi, singkong, sayuran dan cabe ini menjadi sumber pendapatan yang tidak mengenal musim. Walaupun pendapatan dari pertanian ini relatif kecil, tetapi bisa menjadi sumber pendapatan sepanjang tahun. Hasil BME tahun 2008 menunjukan bahwa sumber pendapatan masyarakat di Waigeo Selatan semakin terbuka pada berbagai lapangan pekerjaan selain pertanian. Dengan telah berpindahnya ibukota Kabupaten Raja Ampat ke Waisai, berbagai pembangunan sarana dan prasarana fisik dilakukan. Adanya pembangunan ini memberikan lapangan pekerjaan pada masyarakat di sekitar Waigeo Selatan, termasuk kedua kampung lokasi COREMAP. Sebagian penduduk di kedua kampung ini mempunyai alternatif tambahan pendapatan dari bekerja di bangunan, jasa transportasi dan perdagangan yang semakin berkembang. Di lokasi COREMAP di Waigeo Barat, ketergantungan pendududuk terhadap sumber daya laut cukup tinggi, karena tidak ada alternatif sumber mata pencaharian lain. Hal ini mengakibatkan persaingan dalam memperebutkan SDL yang sudah mulai menurun produksinya dan berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat. •
Teknologi
Faktor penguasaan teknologi juga berpengaruh terhadap pendapatan. Hasil baseline studi tahun 2006 menunjukan bahwa secara umum teknologi penangkapan nelayan di Distrik Waigeo Selatan dan Waigeo Barat masih sederhana. Armada yang dipakai umumnya perahu dengan mesin 5 PK (Ketinting) dan alat tangkap pancing. Dengan teknologi yang sederhana ini wilayah tangkap para nelayan menjadi terbatas dan tidak dapat bersaing dengan nelayan dari luar.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
119
Dua tahun kemudian (tahun 2008) hasil BME menunjukkan bahwa meskipun secara umum nelayan masih menggunakan teknologi sederhana, yaitu perahu ketinting 5 PK, tetapi telah terjadi peningkatan kepemilikan perahu motor jenis ini. Peningkatan kepemilikan perahu motor ini terutama terjadi di Kampung Yenbeser di Waigeo Selatan. Dengan adanya peningkatan kepemilikan perahu motor ini telah berpengaruh kepada naiknya hasil tangkapan nelayan yang pada akhirnya mempengaruhi pendapatan. 2. Faktor Eksternal •
Pengelolaan sumber daya laut dan pesisir
Hasil baseline tahun 2006 menunjukan bahwa dampak kerusakan sumber daya laut, khususnya terumbu karang terhadap pendapatan masyarakat di Distrik Waigeo Selatan dan Waigeo Barat sudah mulai dirasakan. Menurunnya pendapatan karena kerusakan terumbu karang ini, terutama sangat dirasakan oleh nelayan di Waigeo Barat yang target tangkapannya ikan kerapu hidup. Menurut para nelayan jaman ‘keemasan’ di mana pendapatan nelayan cukup tinggi terjadi pada tahun 1995-2000 saat nelayan lokal mulai mengenal penggunaan potas. Dengan menggunakan potas, dalam satu bulan nelayan minimal bisa mendapatkan 100kg ikan kerapu hidup dengan harga Rp 30.000 per kg. Penggunaan potas yang telah berlangsung cukup lama mengakibatkan kerusakan terumbu karang di perairan pulau-pulau Batang Pele di Waigeo Barat. Dampak dari kerusakan tersebut adalah mulai menurunnya hasil tangkapan nelayan. Pada saat ini jumlah tangkapan maksimal yang bisa diperoleh oleh seorang nelayan hanya sekitar 50-60 kg ikan kerapu. Setelah dua tahun COREMAP dilaksanakan terjadi penurunan kegiatan penangkapan ilegal seperti penggunaan potas dan bom yang cukup signifikan. Pengaruh adanya penurunan kegiatan pemotasan dan pengeboman ini sudah dirasakan oleh masyarakat dengan telah adanya indikasi meningkatnya populasi ikan karang di wilayah ini. Peningkatan populasi ikan ini dalam di masa yang akan datang berpengaruh pada naiknya hasil tangkap nelayan.
120
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
•
Pemasaran
Pemasaran merupakan faktor eksternal yang cukup berpengaruh terhadap tingkat pendapatan penduduk di lokasi COREMAP. Hasil baseline tahun 2006 menunjukkan bahwa ada dua pola pemasaran untuk hasil sumber daya laut. Pemasaran ikan hidup (kerapu) dikuasai oleh satu perusahaan, di mana setiap bulan kapal penampung mengambil ikan di keramba-keramba para nelayan. Karena hanya ada satu perusahaan (monopoli), para nelayan tidak mempunyai alternatif pasar yang lain, maka harga juga ditentukan oleh penampung. Demikian pula para nelayan tidak mempunyai akses untuk mendapatkan informasi harga. Sama dengan pemasaran ikan hidup yang dimonopoli oleh satu penampung, pemasaran ikan kering juga dikuasai oleh satu penampung. Kalau ikan kerapu dimonopoli oleh perusahaan, maka ikan kering dikuasai oleh penampung lokal yang sekaligus pedagang sembako yang ada di masing-masing kampung. Karena hanya ada satu penampung, maka harga ikan juga ditentukan oleh penampung. Dominasi penampung dalam menentukan harga semakin kuat, karena nelayan juga mengambil BBM (bensin campur dan minyak tanah), sembako dan rokok dari penampung. Tidak adanya alternatif pasar dan akses terhadap informasi harga, mengakibatkan harga sangat ditentukan oleh penampung dan nelayan tetap tidak berdaya dengan pendapatan yang diterima. Dua tahun kemudian telah terjadi perubahan pola pemasaran, dimana monopoli semakin berkurang. Penampung ikan hidup dan ikan kering yang ada di kampung Friwen dan Yenbeser semakin bertambah. Bertambahnya penampung ini memberikan alternatif pemasaran kepada para nelayan. Nelayan mempunyai pilihan untuk menjual hasil tangkapan kepada penampung yang dianggap lebih memberikan keuntungan. Selain adanya tambahan penampung yang ada di kampung, para nelayan dari Kampung Friwen dan Yenbeser ini juga mempunyai alternatif pemasaran yang lebih terbuka , yaitu dipasarkan langsung ke Waisai (ibukota Kabupaten Raja Ampat). Permintaan ikan segar dan ikan kering di Waisai cukup tinggi karena adanya peningkatan penduduk yang pindah ke wilayah ini. Pemasaran hasil KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
121
laut ke Waisai lebih menguntungkan karena harganya lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga di penampung lokal. Adanya alternatif pemasaran yang lebih terbuka dan memberikan keuntungan ini telah berpengaruh pada peningkatan pendapatan nelayan di wilayah Waigeo Selatan. Berbeda halnya dengan nelayan di Waigeo Barat, pola pemasaran hasil laut di wilayah ini tidak mengalami perubahan yang berarti selama dua tahun. Nelayan setempat masih tergantung pada penampung lokal dalam memasarkan hasil tangkapan. Lebih terbukanya pemasaran hasil tangkapan nelayan di Waigeo Selatan dibandingkan dengan nelayan di Waigeo Barat ini berpengaruh pada perbedaan peningkatan pendapatan nelayan di dua wilayah ini. Hasil BME menunjukkan bahwa secara umum terjadi peningkatan pendapatan nelayan. Jika dicermati lebih lanjut peningkatan pendapatan nelayan di Waigeo Selatan lebih tinggi jika dibandingkan dengan peningkatan pendapatan nelayan di Waigeo Barat. •
Naik Permintaan Pasar terhadap Hasil Laut
Dijadikannya Waisai sebagai ibukota kabupaten mengakibatkan pembangunan dan kegiatan ekonomi di sekitar Waigeo Selatan meningkat. Adanya peningkatan pembangunan dan kegiatan ekonomi ini telah menarik para pendatang untuk bekerja di berbagai lapangan pekerjaan yang ada. Peningkatan jumlah pendatang ini berimplikasi pada kenaikan permintaan hasil laut untuk konsumsi lauk pauk seharihari. Secara umum permintaan ikan untuk konsumsi masyarakat di Waisai belum tercukupi oleh pasar lokal. Hal ini mengakibatkan harga ikan di Waisai jauh lebih tinggi dibandingkan harga ikan di Sorong. Tingginya permintaan hasil laut ini sangat menguntungkan bagi penampung ikan di tingkat kampung dan nelayan di sekitar Waigeo Selatan. Pendapatan mereka meningkat karena harga jual yang relatif tinggi. Selian itu dengan makin berkembangnya Waisai sebagai ibukota kabupaten di masa datang merupakan peluang bagi nelayan untuk lebih meningkatkan hasil tangkapannya. Peningkatan hasil tangkap akan berpengaruh pada naiknya pendapatan nelayan. 122
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
K
abupaten Raja Ampat merupakan kabupaten baru di Provinsi Papua Barat yang dibentuk pada tahun 2004. Meskipun dibentuk pada tahun 2004, tetapi kegiatan pemerintahan secara resmi di ibukota Waisai baru dimulai sekitar tahun 2006. Sebelumnya selama kurang lebih dua tahun, pusat kegiatan pemerintahan masih berada di Kota Sorong. Sebagai kabupaten baru, Kabupaten Raja Ampat telah menjadi salah satu dari 7 lokasi COREMAP di Indonesia Bagian Timur yang mendapat bantuan dana dari World Bank.
Dimasukkannya Kabupaten Raja Ampat sebagai salah satu lokasi COREMAP berkaitan dengan kekayaan sumber daya hayati laut yang berada di wilayah ini. Kepulauan Raja Ampat terletak di dekat jantung ‘segitiga karang’ (“coral triangle”), sebuah kawasan yang mencakup bagian Utara Australia, Phlippina, Indonesia dan Papua Nugini yang memiliki keragaman karang yang tertinggi di dunia. Kekayaan keragaman hayati laut di Kepulauan Raja Ampat diindikasikan dari ditemukanya berbagai jenis spesies ikan karang, moluska dan hewan karang. Tidak hanya jenis-jenis ikan, Kepulauan Raja Ampat juga kaya akan keanekaragaman terumbu karang, hamparan padang lamun, hutan mangrove, dan pantai tebing berbatu yang indah. Hamparan karang di kepulauan Raja Ampat menyokong fauna karang terkaya di dunia. Sebagai salah satu kekayaan alam warisan dunia sangat penting untuk melakukan pengelolaan yang berkelanjutan agar kekayaan ini dapat dimanfaatkan oleh generasi penerus. Pelaksanaan COREMAP di Kabupaten Raja Ampat yang telah dimulai dari tahun 2006 difokuskan pada dua kawasan, yaitu kawasan Waigeo Selatan dan Waigeo Barat. Secara administratif pelaksanaan COREMAP mencakup empat distrik dan 21 kampung. Ke empat KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
123
distrik tersebut adalah: Distrik Waigeo Selatan, Distrik Mansfar, Distrik Waigeo Barat dan Distrik Selat Sagawin. Sedangkan rincian jumlah kampung per distrik adalah: Distrik Waigeo Selatan 4 kampung, Distrik Mansfar 7 kampung, Distrik waigeo Barat 5 kampung dan Distrik Selat Sagawin 2 kampung.
5.1. KESIMPULAN Selama kurang lebih 2,5 tahun COREMAP berjalan berbagai kegiatan telah dilakukan. Fokus kegiatan pada tahun 2006 adalah sosialisasi tentang pentingnya pelestarian terumbu karang kepada para stakeholders baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat lokasi/kawasan. Bersamaan dengan diadakannya sosialisasi berbagai kegiatan di tingkat lokasi dilakukan, diantaranya adalah pembentukan LPSTK dan penyusunan RPTK. Pada tahun 2007 kegiatan lebih difokuskan pada penguatan kelembagaan, pelatihan dan pendampingan, pelaksanaan UEP dan kegiatan pengawasan. Sedangkan kegiatan tahun 2008 masih melanjutkan pelaksanaan UEP dan kegiatan perlindungan dan pengawasan. Pelaksanaan COREMAP di Kabupaten Raja Ampat telah berjalan kurang lebih 2,5 tahun atau baru mencapai setengah dari satu fase. Setelah berjalan kurang lebih 2,5 tahun ada dua hal penting yang perlu dicermati dan dilihat hasilnya. Pertama, apakah ada permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam mengelola program, baik di tingkat kabupaten dan di tingkat lokasi? Kedua, bagaimanakah dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat, khususnya peningkatan pendapatan masyarakat di lokasi program? Pertanyaan yang kedua ini ini penting karena merupakan indikator dari keberhasilan COREMAP dari aspek sosial ekonomi. Seperti tertera dalam Project Appraisal Document bahwa indikator keberhasilan COREMAP dari aspek sosial – ekonomi di lokasi yang mendapat bantuan pembiayaan dari Bank Dunia adalah (1) pendapatan yang diterima dari, dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya naik sebesar 10 persen pada akhir program (tahun 2009); dan (2) paling sedikit 70 persen dari masyarakat nelayan (beneficiary) di kabupaten program 124
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
merasakan dampak positif COREMAP terhadap tingkat kejahteraan dan status sosial ekonominya (World Bank, Project Appraisal Document, 2004 Appendix 3, p. 39). Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut di atas dilakukan penelitian Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial- Ekonomi. Hasil BME sosil- ekonomi ini selain dapat dipakai untuk memantau perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya peningkatan pendapatan penduduk di lokasi COREMAP, juga dapat dipergunakan untuk melakukan evaluasi pengelolaan dan pelaksanaan program, baik di tingkat nasional, kabupaten maupun di tingkat lokasi. Dengan adanya evaluasi dan masukan-masukan bagi pengelola dan pelaksana program, diharapkan dalam sisa waktu yang ada sampai akhir program fase II, keberhasilan COREMAP dari indikator bio-fisik dan sosial-ekonomi dapat tercapai. Beberapa temuan dari hasil kajian BME berikut ini mencoba untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut di atas. Oleh karena itu, temuan kajian ini dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama temuan terkait dengan permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam melakukan pengelolaan program di tingkat kabupaten dan di tingkat lokasi. Temuan yang kedua adalah gambaran perubahan pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah dilaksanakan COREMAP di tiga kampung lokasi studi. 5.1.2. Permasalahan dan kendala dalam pengelolaan COREMAP Pengelolaan COREMAP di tingkat Kabupaten •
Pengelolaan program dan kegiatan COREMAP di tingkat kabupaten dilakukan oleh ketua PMU yang dibantu oleh pengelola masing-masing komponen dan konsultan. Sedangkan pengelolaan keuangan dilakukan oleh Kuasa Pemegang Anggaran (KPA) yang dalam hal ini dilakukan oleh ketua PMU. Terpusatnya pengelolaan keuangan pada KPA dan PPK yang dibantu oleh beberapa staff serta teknis pelaporan keuangan yang cukup rumit mengakibatkan berbagai kegiatan tidak berjalan sesuai jadwal. Teknis pelaporan dan pertanggung – jawaban KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
125
keuangan COREMAP cukup rumit, rinci dan berkaitan antara kegiatan yang satu dengan yang lain. Jika suatu kegiatan pelaporan administrasi keuangannya belum selesai, maka kegiatan lain yang pelaporan keuangannya telah selesai menjadi terganggu. Dalam hal ini kegiatan yang telah selesai pelaporan keuangannya belum dapat melakukan pencairan dana untuk kegiatan selanjutnya sebelum semua kegiatan dilaporkan pertanggung-jawaban keuangannya. Salah satu komponen pembiayaan yang tertunda pembayarannya adalah honor untuk para SETO dan CF yang bertugas di lokasi. •
Lokasi COREMAP di Kabupaten Raja Ampat cukup menyebar dengan jarak yang cukup jauh antara satu dengan yang lainnya. Terbatasnya sarana transportasi dan kondisi alam yang kurang bersahabat, terutama pada musim ombak besar menjadi kendala bagi mobilitas dan komunikasi antara SETO, CF dan pengelola di tingkat kabupaten. Mobilisasi dan komunikasi yang terkendala ini mempengaruhi kelancaran pelaksanaan beberapa kegiatan yang dilakukan oleh SETO, CF, pengelola di tingkat kabupaten dan konsultan.
•
Kajian ini menemukan bahwa kapasitas CF yang ditugaskan di masing – masing kampung sangat bervariasi. Terdapat sebagian CF yang kinerjanya masih belum optimal dalam melakukan pendampingan di masyarakat. Pemahaman tentang tujuan dan pendekatan COREMAP pada sebagian CF masih minim. Padahal mereka ditugaskan untuk mendampingi masyarakat dan melakukan fasilitasi agar semua kegiatan COREMAP di lapangan dapat berjalan baik. Kondisi ini tentunya sangat mempengaruhi keberhasilan program mengingat masyarakat di lokasi masih belum sepenuhnya mandiri dalam melakukan seluruh kegiatan COREMAP.
Pengelolaan di tingkat lokasi •
126
Lembaga pengelola COREMAP di tingkat lokasi adalah LPSTK. Lembaga ini mempunyai peran memberikan dukungan
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
operasional terhadap semua kegiatan COREMAP di lokasi. Peran LPSTK dapat berjalan baik jika didukung oleh kinerja dan kapasitas pengurus yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang konsep, tujuan dan pendekatan yang dipakai oleh COREMAP dalam upaya menjaga kelestarian terumbu karang. Hasil kajian menunjukkan bahwa pemahaman sebagian pengurus LPSTK tentang COREMAP masih belum memadai. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap keberhasilan beberapa kegiatan yang dilaksanakan. Keterbatasan pemahaman ini berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia yang ada. Secara umum pendidikan warga masyarakat di beberapa kampung lokasi COREMAP relatif rendah. •
Motivator desa bertugas membantu CF dan SETO melaksanakan kegiatan COREMAP mulai dari pembentukan kelembagaan sampai dengan melaksanakan sosialisasi dan identifikasi kegiatan Pokmas. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum kinerja para motivator belum optimal. Hal ini tercermin dari minimnya pemahaman mereka tentang konsep dan tujuan COREMAP serta pendekatan yang digunakan. Rendahnya pemahaman motivator tentang konsep, tujuan dan pendekatan COREMAP ini menjadi kendala dalam memberikan fasilitasi kepada masyarakat tentang pentingnya penyelamatan terumbu karang.
Program dan kegiatan di lokasi •
Secara umum kegiatan sosialisasi tentang penyelamatan terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat cukup berhasil yang terlihat dari menurunnya beberapa kegiatan illegal seperti penggunaan bom dan potas untuk menangkap ikan.
•
Keberadaan pondok informasi di beberapa lokasi belum termanfaatkan secara optimal untuk media dan sumber informasi bagi penyebarluasan kegiatan COREMAP. Materi terkait dengan informasi mengenai program dan kegiatan COREMAP seperti brosure, leaflet dan buku-buku yang ada di pondok sangat minim.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
127
Pondok informasi yang cukup lengkap materinya hanya dapat ditemui di Kampung Meos Manggara. •
Kegiatan UEP yang telah dimulai dari tahun 2007 secara umum hasilnya belum optimal. Dana bergulir yang disalurkan ke anggota Pokmas di Kampung Mutus dan Yenbeser dengan jumlah yang relatif kecil (masing-masing anggota Rp 500.000) belum dapat dipergunakan untuk membantu menambah modal usaha masyarakat. Sebagian besar pinjaman tersebut digunakan oleh anggota Pokmas untuk modal usaha dan sebagian lainnya ada yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Usaha yang dilakukan oleh para anggota Pokmas diantaranya adalah berjualan kue, membeli tali untuk membuat senat (tikar khas Raja Ampat), berjualan sirih pinang dan menambah modal untuk menangkap ikan di laut. Sebagian dari usaha tersebut ada yang berhasil, namun sebagian besar tidak berkelanjutan. Di Kampung Friwen, karena jumlah rumah tangga di kampung ini relatif kecil (sekitar 28 KK), maka setiap anggota Pokmas mendapatkan pinjaman maksimal Rp 2 juta. Dana bergulir yang disalurkan anggota Pokmas ini sebagian besar dipakai untuk menambah modal usaha penangkapan ikan dan usaha warungan. Usaha yang dilakukan oleh Pokmas ini sebagian berhasil namun sebagian besar tidak berkelanjutan. Terdapat satu usaha warungan yang cukup berkembang berkat adanya modal dari dana bergulir COREMAP. Kurang berhasilnya berbagai usaha yang dilakukan oleh Pokmas ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor adalah kurangnya bimbingan oleh pengelola COREMAP. Monitoring terhadap kegiatan usaha Pokmas ini belum dilakukan, sehingga tidak ada kontrol (pengawasan) dan bimbingan terhadap para anggota Pokmas. Monitoring dan bimbingan diperlukan untuk mengetahui kendala - kendala yang dihadapi oleh anggota Pokmas dalam menjalankan usahanya dan sekaligus dapat memberikan alternatif solusinya.
128
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
•
Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat secara umum masih berjalan meskipun belum mendapat fasilitas yang memadai. Minimnya sarana dan prasarana (armada patroli dan perlengkapannya) menjadi kendala bagi masyarakat untuk melakukan patroli secara efektif. Armada yang dipakai oleh nelayan setempat tidak sebandung dengan armada yang dipakai oleh para nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan sekitar Waigeo Selatan dan Waigeo Barat.
5.1.2. Perubahan pendapatan berpengaruh
masyarakat
dan
faktor
yang
Gambaran perubahan pendapatan •
Secara umum dalam kurun waktu 2006 – 2008 terjadi peningkatan pendapatan penduduk di ketiga kampung lokasi COREMAP di Kabupaten Raja Ampat. Berdasarkan baseline studi tahun 2006 pendapatan rata-rata rumah tangga yang berasal dari semua sumber penghasilan sebesar Rp 1.011.900. Dua tahun kemudian hasil BME menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga ini naik menjadi Rp 1.630.300. Sejalan dengan kenaikan pendapatan rumah tangga, pendapatan per-kapita yang merupakan total dari seluruh penduduk yang bekerja dibagi dengan jumlah penduduk di tiga lokasi penelitian juga menunjukkan kenaikan sebesar (Rp 155.032) selama dua tahun. Pada tahun 2006 pendapatan per - kapita penduduk di lokasi COREMAP sebesar Rp 278.422 naik menjadi Rp433.454 pada tahun 2008. Besar pendapatan per-kapita ini lebih besar dari nilai garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS. Menurut data BPS, minimal pengeluaran per-kapita per bulan di Papua pada tahun 2006 sebesar Rp 200.039 (BPS, 2007).
•
Pendapatan rumah tangga nelayan juga menunjukkan kenaikan dari Rp 954.4000 pada tahun 2006 menjadi Rp 1.341.900 atau naik sebesar Rp 387.500. ika di lihat per distrik, peningkatan pendapatan dari kegiatan kenelayanan di Distrik Waigeo Barat
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
129
lebih rendah jika dibandingkan dengan Distrik Waigeo Selatan. Dalam jangka waktu dua tahun, pendapatan dari kegiatan kenelayanan di Distrik Waigeo Barat naik sebesar Rp 334.400, sementara di Waigeo Selatan naik sekitar Rp 429.400. •
Pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayanan sangat dipengaruhi oleh musim. Pada musim gelombang kuat (angin kencang) pendapatan rumah tangga yang bersumber dari kegiatan kenelayanan menurun drastis hingga hanya sekitar sepertiga sampai seperempat dari pendapatan yang diperoleh pada musim gelombang tenang (teduh). Sementara itu pada musim pancaroba pendapatan rumah tangga dari hasil melaut menjadi hanya sekitar separoh dari pendapatan pada musim tenang. Perbedaan pendapatan menurut musim ini dikarenakan keadaan alam yang tidak memungkinkan para nelaya melaut pada musin gelombang kuat mengingat armada tangkap yang dipakai secara umum masih sederhana.
•
Kenaikan pendapatan rumah tangga yang berasal dari semua sumber penghasilan dan juga pendapatan rumah tangga yang berasal dari kegiatan kenelayanan berkaitan dengan berbagai faktor. Faktor tersebut diantaranya adalah: adanya program pemberdayaan masyarakat (COREMAP dan Dana Otonomi khusus), semakin bervariasinya lapangan pekerjaan yang dapat menghasilkan tambahan pendapatan, kemudahan pemasaran hasil laut, permintaan hasil laut yang tinggi dan naiknya jumlah tangkapan nelayan.
Pengaruh COREMAP •
130
Dari evaluasi tentang pelaksanaan UEP (pemberian dana bergulir) dapat diketahui bahwa secara umum dampak COREMAP terhadap peningkatan pendapatan masyarakat belum terlihat. Dengan modal pinjaman yang relatif kecil (Rp 500.000) skala usaha yang dilakukan oleh masyarakat juga relatif kecil, seperti jualan kue, pembuatan senat dan modal tambahan untuk penangkapan ikan. Sebagian dari usaha Pokmas tersebut ada yang berhasil, namun sebagian besar tidak berkelanjutan. Di samping KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
itu, dana bergulir ini juga baru dilaksanakan tahun 2007. Dengan demikian belum mempunyai dampak langsung terhadap peningkatkan pendapatan masyarakat. •
Program COREMAP yang dinilai cukup berhasil adalah sosialisasi tentang pentingnya penyelamatan terumbu karang. Adanya sosialisasi telah meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya penyelamatan terumbu karang yang antara lain terlihat dari terjadinya penurunan kegiatan illegal seperti pengeboman dan penggunaan potas. Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan perusakan terumbu karang ini secara tidak langsung akan berdampak pada meningkatnya pendapatan masyarakat dalam jangka panjang.
Pengaruh program lain Kebijakan otonomi khusus untuk Provinsi Papua memberikan dampak yang positif terhadap pembangunan wilayah Papua dan kesejahteraan masyarakatnya. Bantuan dari dana otonomi khusus ini diberikan kepada masing-masing kampung. Bantuan yang diberikan berupa pembangunan sarana dan prasarana dan program pemberdayaan masyarakat. Pembangunan sarana dan prasarana kampung, diantaranya kantor desa, perbaikan sekolah, pembangunan gereja dan sarana lainnya seperti dermaga telah memberikan peluang kerja dan berusaha pada masyarakat setempat. Adanya peluang kerja ini memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat. Peluang kerja yang ada karena adanya pembangunan tersebut, diantaranya adalah bekerja sebagai tukang bangunan, tukang kayu, kuli angkut dan penyedia jasa yang terkait seperti kerja di transportasi/angkutan dan jasa perdagangan lainnya. Pelaksanaan bantuan otonomi khusus terkait dengan upaya pemberdayan masyarakat yang dilakukan di kampung-kampung diantaranya adalah bantuan sarana dan alat tangkap, berupa perahu motor yang dilengkapi dengan alat tangkap jaring dan pancing. Dengan adanya bantuan perahu motor para nelayan dapat mencari KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
131
ikan dengan wilayah tangkap yang lebih luas sehingga hasil tangkapan meningkat dan menambah pendapatan nelayan.
5.2. REKOMENDASI Dari berbagai isu dan permasalahan yang terangkum dalam temuantemuan pokok, dapat diusulkan beberapa rekomendasi yang tersaji dalam matrik berikut ini.
132
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
Matrik 5.1. Rekomendasi untuk peningkatan pengelolaan dan pelaksanaan kegiatan COREMAP Berdasarkan Isu, Permasalahan dan Tingkatan Stakeholders Isu
Permasalahan
Alternatif Strategi Pemecahan Masalah
Pengelola dan Pelaksana COREMAP di tingkat Kabupaten
-
Pengelolaan program
SETO dan CF
-
Terpusatnya pengelolaan keuangan pada KPA dan PPK yang dibantu oleh beberapa staff serta teknis pelaporan keuangan yang cukup rumit mengakibatkan berbagai kegiatan tidak berjalan sesuai jadwal.
-
Salah satu dampak pengelolaan administrasi keuangan yang rumit adalah keterlambatan pembayaran honor bagi para SETO dan CF.
-
Lokasi COREMAP yang cukup menyebar (terutama di wilayah Waigeo Barat) dengan kondisi alam yang kurang bersahabat pada musim- musim tertentu dan terbatasnya sarana transportasi menjadi kendala dalam melakukan monitoring program oleh pengelola di tingkat kabupaten.
-
Terbatasnya sarana transportasi juga menjadi kendala bagi mobilitas para SETO dan CF untuk melakukan koordinasi dengan pengelola di tingkat kabupaten dan para konsultan.
-
Kapasitas CF yang ditugaskan di masing - masing kampung sangat bervariasi. Pemahaman tentang tujuan dan pendekatan COREMAP pada sebagian CF masih minim.
-
Terdapat sebagian CF yang kinerjanya masih belum optimal dalam melakukan pendampingan di masyarakat.
-
Meningkatkan kerjasama dan koordinasi antara pengelola dan staff agar pelaporan teknis keuangan dapat berjalan lancar sehingga tidak menghambat kegiatan yang sedang berjalan.
-
Penjadwalan kegiatan monitoring dengan memperhatikan kondisi cuaca.
-
Dalam melakukan koordinasi dan monitoring bagi para CF telah dilakukan pertemuan bulanan di kabupaten. Melalui forum ini diupayakan untuk memberikan pembekalan dan penyegaran bagi para CF yang kinerjanya masih belum optimal.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
133
Isu
Permasalahan
Alternatif Strategi Pemecahan Masalah
Pengelolaan di tingkat lokasi
-
-
134
LPSTK
Motivator
-
Pemahaman tentang tujuan dan kegiatan COREMAP yang belum memadai pada sebagian pengurus LPSTK.
-
Terbatasnya pemahaman pengurus LPSTK tentang COREMAP menyebabkan kinerja LPSTK kurang optimal.
-
Kinerja LPSTK yang kurang optimal menjadi kendala dalam melaksanakan kegiatan di tingkat lokasi.
-
Kapasitas motivator yang sangat bervariasi di beberapa lokasi.
-
Pemahaman tentang tujuan dan kegiatan COREMAP yang belum memadasi pada sebagian motivator
-
Terdapat sebagian motivator yang kurang memahami tugas dan fungsinya.
-
Kinerja sebagian motivator yang belum optimal
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
-
Perlunya semakin meningkatkan monitoring dan pembimbingan kepada pengurus LPSTK oleh SETO dan CF dengan dibantu oleh konsultan.
-
Untuk meningkatkan kinerja para pengurus LPSTK dapat dilakukan melalui forum diskusi atau pertemuan seluruh pengurs LPSTK dari beberapa kampong yang difasilitasi oleh SETO dan CF.
-
Perlunya meningkatkan monitoring dan pembibingan terhadap para motivator oleh SETO dan CF.
-
Untuk meningkatkan kinerja para motivator dapat dilakukan melalui forum diskusi atau pertemuan seluruh motivator dari beberapa kampung yang difasilitasi oleh SETO dan CF.
Isu
Permasalahan
Alternatif Strategi Pemecahan Masalah
Kegiatan di Tingkat Lokasi Dana bergulir dan Kegiatan UEP
-
Kegiatan pengawasan
-
Minimnya monitoring dan pendampingan terhadap pengelolaan dana bergulir yang dikelola oleh LKM.
-
Minimnya pelatihan tentang teknis pelaksanaan dan pengelolaan usaha kecil bagi anggota Pokmas.
-
Minimnya pendampingan bagi anggota Pokmas yang telah melakukan kegiatan usahanya.
-
Monitoring terhadap keberhasilan penggunaan dana bergulir untuk kegiatan UEP sangat minim. Hal ini menyebabkan sebagian besar kegiatan UEP yang dilaksanakan oleh Pokmas tidak berkelanjutan. Hanya beberapa kasus yang dapat bertahan dan mempunyai kontribusi untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga.
-
Secara umum kegiatan UEP belum berdampak kepada peningkatan pendapatan rumah tangga.
-
Kegiatan patroli dilakukan oleh masyarakat secara swadaya. Dengan kesadaran yang cukup tinggi masyarakat setempat telah melakukan kegiatan patrol di wilayah perairan sekitar kampong. Kegiaan ini terkendala dengan belum adanya sarana kapal dan belum adanya biaya operasional dari COREMAP.
-
Sarana kapal yang dimiliki oleh masyarakat sangat terbatas kapasitasnya (tidak sepadan dengan nelayan dari luar yang menggunakan kapal yang lebih besar kapsitasnya).
-
Perlu adanya review kegiatan UEP (pengelolaan dan teknis pengguliran dana kepada masyarakat) oleh pengelola di tingkat kabupaten dengan dibantu oleh konsultan.
-
Diperlukan monitoring yang intensif terhadap kegiatan dan pengeloaan dana bergulir yang dilaksanakan oleh LKM.
-
Pendampingan dan pelatihan bagi Pokmas yang melakukan usahanya.
-
Perlu adanya pemikiran untuk memberikan bantuan sarana patroli yang lengkap dan biaya operasional untuk patrol.
-
Perlunya terobosan untuk mendapatkan biaya operasional secara mandiri oleh masyarakat, misalnya menyewakan kapal patroli untuk angkutan dan hasilnya untuk biaya operasi patroli.
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
135
Isu
Permasalahan
Alternatif Strategi Pemecahan Masalah
Kegiatan di Tingkat Lokasi
-
136
Pondok Informasi
-
Pondok informasi di beberapa kampung telah dibangun (sebagian masih dalam proses pembangunan).
-
Bahan dan materi yang tersedia di Pondok Informasi (poster, leaflet, buku-buku dan informasi lainnya terkait dengan pengelolaan sumber daya laut) secara umum masih minim.
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME
-
Pengadaan bahan dan materi yang diperlukan untuk Pondok Informasi.
DAFTAR BACAAN Anonymous. 1997. Struktur dan Komposisi Vegetasi Pulau Waigeo, Kabupaten Sorong, Irian Jaya. Herbarium Manokwariense, Universitas Cendrawasih, Manokwari. Anonimous. 2005. Atlas Sumberdaya Pesisir dan Laut Kepulauan Raja Ampat (Distrik Waigeo Barat dan Waigeo Selatan). Kerja Sama Antara Coremap tahap II, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Raja Ampat dengan PT. Edecon Prima Mandiri. Bappeda Kabupaten Raja Ampat. 2005. Monografi Kabupaten Raja Ampat 2004. Bunce, L., P. Townsley, R. Pomoroy, R. Pollnac., 2000 Socio-Economic Manual for Coral Reef Management. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Cesar, H.S.J 2000. Collected Essays on the Economics of Coral Reefs. Published by Cordio, Depart for Biology and Environmental Sciences, Kalmar University. Sweden. 244. de Fretes, Y. dan A. Yohanita. 2003. Mengenal Keanekaragaman Hayati Pulau Waigeo. Seri Penelitian No 7. Conservation International Indonesia. Jakarta. de Fretes, Y. dan Rachman, I. 2005. Keragaman dan komposisi jenis pohon pada hutan dataran rendah, Desa Waifoi, Sorong (report to CI). Conservation International, Jakarta. Donelly, R and Peter J Mous, 2005. Report on A Rapid Assessment of the Raja Ampat Islands, Papua Province. Bali: TNC
KASUS KABUPATEN RAJA AMPAT
137
Farid, Muhamad dan DessyAnggraeni. 2006. “Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pilihan Konservasi Berbasis Masyarakat di Waigeo Selatan”. Tropika. www.Conservation. or.id. Kay, Robert and J. Aldier, 1999. Coastal Planning and Management. New York: Routledge. Konsorsium Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat dengan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat, 2006. Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat, Sorong. Muchtar, Zulfikar, dkk., 2002. Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan di Kepulauan Sinjau. Jakarta: COREMAP LIPI. TNC and WWF. 2003. Report on a Rapid Ecological Assessment of the Raja Ampat Islands, Papua, Eastern Indonesia, held October 30 – November 22, 2002. Wawa, Jannes Eudes, “Melestarikan Terumbu Karang Raja Ampat”, dalam Kompas 18 Desember 2006, Jakarta. Widayatun (ed.), 2002. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, Studi kasus: Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Propinsi Papua, COREMAP-LIPI, Jakarta.
138
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME