KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II Kelurahan Karas, Kota Batam
MITA NOVERIA ASWATINI
CRITC – LIPI 2007 LIPI
KATA PENGANTAR
COREMAP fase II yang telah dimulai sejak tahun 2004 dan direncanakan akan dilaksanakan sampai dengan tahun 2009 bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara berkesinambungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari berbagai aspek, di antaranya dari aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan akan tercapai peningkatan tutupan karang sebesar 2 persen per tahun, sedangkan dari aspek sosial ekonomi diharapkan terjadi peningkatan pendapatan per-kapita penduduk sebesar 2 persen per tahun. Selain peningkatan pendapatan per-kapita, juga diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan sekitar 10.000 penduduk di lokasi program. Keberhasilan Coremap salah satunya dipengaruhi oleh kesesuaian desain program dengan permasalahan yang ada. Oleh karena itu sangat penting pada masa persiapan dilakukan perencanaan program yang didukung oleh data dasar aspek sosial-ekonomi berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya terumbu karang. Selain dipergunakan sebagai masukan dalam merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu karang ini juga penting untuk melakukan evaluasi keberhasilan program. Untuk mendapatkan data dasar tersebut perlu dilakukan baseline studi sosial ekonomi yang bertujuan untuk mengumpulkan data tentang kondisi sosial-ekonomi, budaya masyarakat di lokasi COREMAP sebelum program berjalan. Hasil baseline studi sosial-ekonomi ini merupakan titik awal (T0) iii
yang menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum program/intervensi COREMAP dilakukan. Buku laporan ini merupakan hasil dari baseline studi sosial-ekonomi yang dilaksanakan di lokasi-lokasi Coremap di Indonesia Bagian Barat (lokasi Asian Development Bank/ADB). Baseline studi sosialekonomi dilakukan oleh CRITC - COREMAP bekerjasama dengan tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan - LIPI (PPK-LIPI) dan beberapa peneliti sosial dari kedeputian IPSK - LIPI. Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku laporan melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti melakukan studi ini. Kepada para informan: masyarakat nelayan, ketua dan pengurus LPSTK dan Pokmas, pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat di lokasi Kelurahan Karas, Kota Batam, kami ucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Kami juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur pengelola COREMAP di tingkat kabupaten: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Unit pelaksana COREMAP di Kota Batam, CRITC di Kota Batam dan berbagai pihak yang ada di daerah yang telah membantu memberikan data dan informasi. Pada akhirnya, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna meskipun tim peneliti telah berusaha sebaik mungkin dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan laporan ini. Jakarta, Desember 2007 Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI
Prof. DR. Ono Kurnaen Sumadhiharga, MSc
iv
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................
iii
DAFTAR ISI ..............................................................................
v
DAFTAR TABEL ......................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR..................................................................
xiii
DAFTAR PETA .......................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN...................................................... 1.1. Pendahuluan ..................................................... 1.2. Tujuan Penelitian.............................................. 1.3. Metodologi ....................................................... 1.3.1. Lokasi Penelitian ................................. 1.3.2. Pengumpulan Data............................... 1.3.3. Analisa Data ........................................ 1.4. Organisasi Penulisan ........................................
1 1 7 8 8 8 12 12
BAB II
PROFIL KELURAHAN KARAS.............................. 2.1. Kondisi Geografis............................................. 2.2. Kondisi Sumberdaya Alam...............................
15 16 20
v
2.3. Sarana dan Prasarana ........................................ 2.3.1. Sarana Pendidikan ............................... 2.3.2. Sarana Kesehatan................................. 2.3.3. Sarana Ekonomi................................... 2.3.4. Sarana Transportasi dan Komunikasi .. 2.3.5. Kelembagaan Sosial Ekonomi.............
22 23 26 27 30 31
BAB III PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT .............. 3.1. Pengetahuan, Sikap, dan Kesadaran Terhadap Pengelolaan Terumbu Karang .......................... 3.1.1. Pengetahuan dan Sikap Terhadap Terumbu Karang.................................. 3.1.2. Pengetahuan dan Sikap Terhadap Alat Tangkap yang Merusak Terumbu Karang ................................................. 3.1.3. Pengetahuan dan Sikap Terhadap Peraturan dan Larangan yang Terkait Dengan Pemanfaatan Sumberdaya Laut...................................................... 3.2. Pengelolaan Produksi: Pemanfaatan, Pemasaran, dan Pengolahan Pasca Panen ........ 3.3. Wilayah Pengelolaan ........................................ 3.4. Tenologi Penangkapan ..................................... 3.5. Permasalahan dalam Pengelolaan Sumberdaya Laut................................................................... 3.6. Coremap di Kelurahan Karas ...........................
35
BAB IV POTRET PENDUDUK KELURAHAN KARAS...... 4.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk..................... 4.2. Pendidikan dan Keterampilan........................... 4.3. Pekerjaan .......................................................... 4.4. Kesejahteraan Penduduk...................................
75 76 92 98 106
BAB V
vi
38 39
46
49 52 56 61 66 69
PENDAPATAN ......................................................... 115 5.1. Kondisi Ekonomi dan Pendapatan Regional Kota Batam....................................................... 116
5.2. Pendapatan Rumah Tangga dan Pendapatan per Kapita ......................................................... 5.3. Pendapatan Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga (KRT)................................................................ 5.4. Pendapatan Menurut Kegiatan Kenelayanan.... 5.5. Sintesa Pendapatan (Faktor-faktor Internal, Eksternal dan Struktural yang Mempengaruhi Pendapatan).......................................................
118
122 123
130
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ..................
139
DAFTAR PUSTAKA.................................................................
149
LAMPIRAN ...............................................................................
153
vii
viii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1. Tutupan Karang Hidup di Perairan Kelurahan Karas, Kota Batam, 2007 (%) .................................
4
Tabel 3.1. Pengetahuan Responden Tentang Kegunaan Terumbu Karang, Kelurahan Karas (%) (N=100)...
43
Tabel 3.2. Pengetahuan Responden Tentang Alat Tangkap yang Merusak Terumbu Karang, Kelurahan Karas (%) (N=100)............................................................
47
Tabel 3.3. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan dan Sikap Terhadap Larangan Penggunaan Bahan dan Alat Tangkap yang Merusak Terumbu Karang, Kelurahan Karas (%) ..............................................
51
Tabel 3.4. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Sanksi Terhadap Penggunaan Bahan dan Alat Tangkap yang Merusak Terumbu Karang, Kelurahan Karas (%) ..............................................
52
Tabel 3.5. Harga Beberapa Jenis Ikan di Batam dan Tanjung Pinang .....................................................................
56
Tabel 4.1. Penduduk Kota Batam Menurut Jenis Kelamin, 1996 – 2006.............................................................
77
ix
Tabel 4.2. Penduduk Kota Batam Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 1990, 2000 dan 2005 (persen) ...................................................................
80
Tabel 4.3. Penduduk Kota Batam menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin, 2006................................................
83
Tabel 4.4. Penduduk Kecamatan Galang menurut Kelurahan, Jenis Kelamin dan Kepadatan Penduduk, 2006 ......
84
Tabel 4.5. Persentase Penduduk Kecamatan Galang Tahun 2000 dan Kelurahan Karas Tahun 2000, 2006 dan 2007 Menurut Kelompok Umur..............................
87
Tabel 4.6. Persentase Rumah Tangga Sampel di Kelurahan Karas Berdasarkan Jumlah Anggota Rumah Tangga.....................................................................
90
Tabel 4.7. Penduduk Kota Batam Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Kemampuan Membaca dan Menulis Serta Jenis Kelamin, 2005 (persen).........................
92
Table 4.8. Penduduk Kota Batam berumur 5 tahun keatas menurut tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan jenis kelamin, 2005 (persen)..........
93
Tabel 4.9. Penduduk Kecamatan Galang menurut Kelurahan dan Pendidikan yang Ditamatkan, 2005 (persen)....
94
Tabel 4.10. Distribusi Penduduk Berumur Tujuh Tahun Keatas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin, Kelurahan Karas, 2007 (Persen) ...................................................................
96
Tabel 4.11. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas di Kecamatan Galang yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan, 2005 ......................................
99
Tabel 4.12. Penduduk Berumur 15 tahun Keatas di Kecamatan Galang yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan, 2005.........................................................................
99
x
Tabel 4.13. Penduduk Menurut Kelurahan dan Jenis Pekerjaan, Kecamatan Galang, 2005 (persen) ........ 100 Tabel 4.14. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Kegiatan Utama yang Dilakukan dan Jenis Kelamin, Kelurahan Karas, 2007 (Persen)..... 102 Tabel 4.15. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas yang Bekerja, Menurut Lapangan Pekerjaan Utama yang Dilakukan dan Jenis Kelamin, Kelurahan Karas, 2007 (Persen) ............................. 102 Tabel 4.16. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas yang Bekerja, Menurut Jenis Pekerjaan Utama yang Dilakukan dan Jenis Kelamin, Kelurahan Karas, 2007 (Persen) ............................................... 104 Tabel 4.17. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas yang Bekerja, Menurut Status Pekerjaan Utama yang Dilakukan dan Jenis Kelamin, Kelurahan Karas, 2007 (Persen) ............................................... 104 Tabel 4.18. Distribusi penduduk berumur 10 tahun keatas yang bekerja, dan mempunyai pekerjaan tambahan, Kelurahan Karas, 2007 (Persen) ............................. 106 Tabel 4.19. Jumlah pemilikan alat-alat tangkap dan sumber produksi perikanan di Kecamatan Galang menurut Kelurahan, 2005 (Persen)........................................ 108 Tabel 4.20. Persentase rumah tangga yang memiliki alat/sarana produksi, jumlah pemilikan dan ukuran, Kelurahan Karas, 2007............................... 111 Tabel 5.1. Pertumbuhan Ekonomi Kota batam Tahun 20002005, Berdasar Tahun Dasar Tahun 2000............... 116 Tabel 5.2. Distribusi PDRB Kota Batam Tahun 2003-2005 Menurut Sektor Ekonomi, Atas Harga Konstan Tahun 2000 (persen) ............................................... 117
xi
Tabel 5.3. Statistik Pendapatan Rumah Tangga per Bulan di Kelurahan Karas, Tahun 2007 ............................ 119 Tabel 5.4. Distribusi Pendapatan Rata-rata Rumah Tangga per bulan Menurut Kelompok Pendapatan, Kelurahan Karas, Tahun 2007 (persen) .................. 121 Tabel 5.5. Pendapatan Rata-rata Rumah Tangga per bulan Menurut Lapangan Pekerjaan KRT, Kelurahan Karas, Tahun 2007 .................................................. 123 Tabel 5.6. Banyaknya Hasil Tangkapan Ikan Laut menurut Kelurahan di Kecamatan Galang tahun 2005.......... 124 Tabel 5.7. Statistik Pendapatan Rumah Tangga per bulan dari Kegiatan Kenelayanan, Kelurahan Karas, Tahun 2007 ............................................................. 125 Tabel 5.8. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim, Kelurahan Karas, Tahun 2007 (Rp.) .................................................... 126 Tabel 5.9. Frekuensi Anggota Rumah Tangga Pergi Melaut dan Mendapatkan Hasil Dalam Satu Bulan Menurut Musim, Kelurahan karas, 2007................. 127 Tabel 5.10. Distribusi Pendapatan Rata-rata Rumah Tangga Nelayan Menurut Musim, kelurahan Karas, Tahun 2007 (persen)........................................................... 130
xii
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 3.1.
Gambar 3.2.
Gambar 3.3. Gambar 3.4. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3.
Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Jenis Makhluk Hidup Terumbu Karang, Kelurahan Karas (%) .......................
40
Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Kondisi Terumbu Karang di Perairan Sekitar Kelurahan Karas (%) ..........
44
Rantai Pemasaran Hasil Tangkapan Nelayan Kelurahan Karas ............................................
53
Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Tujuan Coremap, Kelurahan Karas .
72
Penduduk Kota Batam Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1996-2006 ..........................
78
Piramida Penduduk Kota batam tahun 1990 dan 2000 ........................................................
81
Piramida Penduduk Kota batam tahun 1990 dan 2000 ...........................................................
88
xiii
xiv
DAFTAR PETA Halaman Peta 2.1.
Peta Kelurahan Karas..............................................
18
Peta 3.1.
Peta Partisipatif Wilayah Tangkap Nelayan Kelurahan Karas......................................................
41
Wilayah Kota Batam ...............................................
82
Peta 4.1.
xv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pendahuluan
T
erumbu karang merupakan salah satu sumberdaya alam yang terkandung di wilayah perairan yang mengelilingi pulau-pulau di Indonesia. Ekosistem terumbu karang menyebar di hampir dua per tiga garis pantai Indonesia dengan panjang mencapai 80.000 kilometer (Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2006). Secara keseluruhan, luas terumbu karang yang terdapat di wilayah laut Indonesia mencapai 42.000 km2 (17 persen dari luas terumbu karang di dunia). Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kawasan terumbu karang terluas kedua di dunia setelah Australia. Terumbu karang yang tersebar di 371 lokasi tersebut mempunyai peran yang penting bagi ekosistem laut karena merupakan tempat hidup beraneka biota laut yang bernilai ekonomi tinggi seperti ikan karang, udang barong, kima, teripang dan rumput laut (Soekarno, 2001). Sekitar 32 jenis dari 132 jenis ikan yang bernilai jual tinggi hidup di terumbu karang (Departemen Kelautan dan Perikanan RI,
|
1
2006). Selain berfungsi untuk tempat hidup ikan dan menjaga ekosistem laut, terumbu karang juga mempunyai peran penting bagi manusia, antara lain sebagai sumber makanan, obat-obatan, dan juga sebagai obyek wisata bahari. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa terumbu karang memegang peran yang sangat penting bagi kelangsungan ekosistem laut dan kehidupan manusia, baik yang tinggal di sekitar pantai maupun manusia pada umumnya. Saat ini sekitar 61 persen dari terumbu karang Indonesia berada dalam kondisi rusak. Kondisi yang sangat kritis bahkan ditemukan pada sekitar 15 persen di antara areal terumbu karang tersebut (Bisnis Indonesia, 19 Juli 2005, dikutip dalam http://www.bppt.go.id/index.php?option=com_content&task=view&i d=1615%Itemid=30). Hanya sebanyak 7 persen terumbu karang Indonesia yang berada dalam kondisi sangat baik, sedangkan 33 persen lainnya termasuk kategori baik (Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2006). Kerusakan terumbu karang terbesar terjadi di wilayah Sumatra Utara, Selat Sulawesi, terutama di sekitar perairan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) dan perairan sekitar Selayar (Sulawesi Selatan), di pantai utara Jawa, Maluku, serta di perairan Kepulauan Seribu (http://www.kompas.co.id/kompascetak/0603/16/daerah/2515224.htm, seperti dikutip dalam http://www.sulawesigis.org/english/index.php?option=com_content& task=view&id). Sejalan dengan perannya, kerusakan terumbu karang juga berimplikasi terhadap hilangnya daerah pesisir serta kerugian ekonomi yang diderita oleh masyarakat serta negara pada umumnya, antara lain karena hilangnya pendapatan dari sektor pariwisata (http://cdc.eng.ui.ac.id/article/articleview/2786/1/25/). Kerusakan terumbu karang terjadi karena berbagai faktor, baik yang berasal dari alam maupun akibat ulah manusia. Bencana alam seperti gempa bumi yang berpusat di dasar laut, keberadaan organisme yang bersifat predator seperti bintang laut merupakan faktor alam yang menyebabkan kerusakan terumbu karang. Selain itu, kenaikan suhu air laut yang antara lain terjadi akibat fenomena El Nino serta akibat pemanasan global juga memberi sumbangan terhadap kerusakan kondisi terumbu karang. Sebagai contoh, sekitar 16 persen terumbu
2
|
karang dunia mengalami “kematian” akibat kenaikan temperatur air laut akibat El Nino yang melanda berbagai belahan dunia pada tahun 1998 (http://cdc.eng.ui.ac.id/article/articleview/2786/1/25/). Selain fenomena alam, manusia juga memberikan sumbangan yang berarti terhadap kerusakan terumbu karang. Di beberapa wilayah di Indonesia, prilaku manusia dalam mengeksploitasi sumberdaya laut bahkan menjadi penyebab utama kerusakan sumberdaya tersebut (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0110/iptek/keru10.htm; Coremap, 1998). Praktik penangkapan ikan menggunakan alat-alat dan bahan-bahan yang merusak terumbu karang banyak dilakukan oleh nelayan di berbagai daerah. Untuk memperoleh hasil tangkapan dalam jumlah besar, sebagian nelayan menggunakan bahan peledak, bius dan racun yang membahayakan kelangsungan hidup terumbu karang. Di samping itu, penggunaan armada tangkap seperti kapal trawl dan alat-alat tangkap seperti jenis bubu tertentu dapat menghancurkan sumberdaya laut tersebut. Sebagai wilayah perairan dan kepulauan, Kota Batam juga mempunyai kekayaan sumberdaya laut yang terdiri dari beragam biota laut dan juga terumbu karang. Ekosistem terumbu karang menyebar di semua wilayah kelurahan di kota ini, termasuk di wilayah Kelurahan Karas. Berdasarkan hasil survei Tim Ekologi Coremap Pusat, secara keseluruhan tutupan terumbu karang di perairan Kelurahan Karas tergolong baik, yaitu 55.64 persen1. Kondisi ini berbeda dengan terumbu karang di perairan beberapa daerah di Indonesia, antara lain di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan yang sebagian besar telah
1
Berdasarkan luas berikut: - Sangat baik - Baik - Cukup - Kurang
tutupannya, kondisi terumbu karang dikategorikan sebagai : 75-100 persen : 50-74,9 persen : 25-49,9 persen : 0-24,9 persen
|
3
mengalami kerusakan2. Secara rinci, tutupan karang di masingmasing stasiun survei terlihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Tutupan Karang Hidup di Perairan Kelurahan Karas, Kota Batam, 2007 (%) BTML 43
BTML 45
BTML 47
BTML 58
BTML 63
BTML 67
BTML 68
BTML 69
Ratarata
51,87
24,20
55,97
63,60
61,70
62,23
58,13
67,43
55,64
Sumber: Survei Ekologi Terumbu Karang, P2O-LIPI, 2007
Menghadapi kenyataan rusaknya ekosistem terumbu karang di berbagai wilayah di Indonesia, pemerintah Indonesia, meluncurkan suatu program yang bertujuan untuk menyelamatkan sumberdaya laut tersebut. Program yang dilaksanakan melalui kerjasama dengan Asian Development Bank (ADB) dan World Bank (WB) tersebut bernama Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) yang secara spesifik bertujuan untuk mengelola pemanfaatan terumbu karang yang berkelanjutan (Coremap, 1998). Selain untuk menjaga kelestarian terumbu karang, program tersebut juga mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal di daerah pesisir dan kepulauan. Coremap dilaksanakan secara bertahap dalam tiga fase. Fase pertama, yaitu tahap inisiasi dilaksanakan pada tahun 1998-2002. Selanjutnya, fase kedua yang disebut sebagai fase akselerasi diselenggarakan selama tahun 2002-2009. Tahap akhir, yaitu fase ketiga atau dikenal sebagai fase institusionalisasi direncanakan akan dilaksanakan pada tahun 2010-2015 (DKP, 2004). Fase pertama program ini mencakup sepuluh wilayah provinsi, yaitu Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sumatera 2
4
Dari 18 lokasi stasiun survei, kondisi terumbu karang dengan kategori kurang ditemukan di 11 lokasi, sementara sisanya tergolong cukup (lihat Noveria, dkk., 2007)
|
Utara, Riau dan Sumatera Barat. Dalam pelaksanaan Coremap fase pertama ini, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang merupakan salah satu penekanan. Hal ini karena keterlibatan masyarakat sangat menentukan dalam keberhasilan program pengelolaan terumbu karang. Bertolak dari asumsi ini, maka salah satu komponen penting dalam Coremap adalah pelaksanaan berbasis masyarakat (PBM). Setelah fase pertama selesai, Coremap dilanjutkan dengan kegiatan fase kedua. Pada fase kedua ini Coremap dilaksanakan di lokasilokasi program pada tahap pertama, di samping juga di beberapa lokasi tambahan. Oleh karena itu, cakupan wilayah program pada fase kedua lebih luas dibanding fase pertama. Kota Batam merupakan lokasi tambahan untuk pelaksanaan Coremap fase kedua. Pelaksanaan Coremap di kota ini mencakup wilayah Kelurahan Pulau Abang, Kelurahan Karas dan Kelurahan Galang Baru3. Meskipun ekosistem terumbu karang di perairan Kelurahan Karas tergolong baik, program pengelolaan sumberdaya laut ini perlu dilaksanakan agar kondisi tersebut dapat dipertahankan serta untuk mengantisipasi kerusakan yang mungkin akan terjadi. Tujuan Coremap fase kedua diperluas dari tahap sebelumnya dengan penekanan pada terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan agar sumberdaya laut ini dapat direhabilitasi, dilindungi dan dikelola. Sejalan dengan tujuan Coremap secara umum, pada fase kedua tujuan yang hendak dicapai adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mengurangi kemiskinan. Jika pada fase pertama pelaksanaan kegiatan Coremap merupakan tanggungjawab pemerintah pusat, pada fase kedua sebagian tanggungjawab didesentralisasikan kepada pemerintah daerah (kabupaten). Hal ini sejalan dengan semangat otonomi daerah, sehingga daerah juga mempunyai kewenangan dalam mengelola 3
Lokasi Coremap di Kelurahan Galang Baru adalah Pulau Nguan dan Pulau Sembur. Sebelum bulan Juni 2006 kedua pulau ini bukan merupakan wilayah administrasi kelurahan ini. Pulau Nguan sebelumnya termasuk dalam wilayah Kelurahan Pulau Abang, sedangkan Pulau Sembur merupakan wilayah Kelurahan Karas.
|
5
program tersebut. Desentralisasi kegiatan Coremap dilakukan untuk mendukung dan memberdayakan masyarakat pantai dalam comenejemen sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan. Namun, pengelolaan yang dilakukan oleh pihak pemerintah daerah dikoordinir secara nasional. Artinya, program-program yang diselenggarakan di daerah sejalan dengan kebijakan yang ditetapkan di tingkat nasional. Seperti berbagai program (pembangunan) lainnya yang telah dilaksanakan oleh pemerintah, keberhasilan Coremap juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor tersebut yaitu kesesuaian antara rancangan program dengan permasalahan, potensi dan aspirasi masyarakat. Agar program dapat dirancang sesuai dengan permasalahan, potensi, dan aspirasi masyarakat, diperlukan informasi mengenai kondisi sosial dan ekonomi mereka. Mengingat Coremap lebih ditekankan pada pengelolaan terumbu karang, maka informasi yang diperlukan juga lebih ditekankan pada isu-isu sosial ekonomi masyarakat yang terkait dengan pemanfaatan terumbu karang. Penelitian ini dilakukan untuk mengumpulkan berbagai informasi mengenai kondisi sosial ekonomi yang berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang. Semua informasi yang dikumpulkan, mulai dari tingkat yang paling rendah, yaitu kelurahan, sampai ke tingkat kota, digunakan sebagai data dasar untuk bahan masukan dan pertimbangan dalam merancang kegiatan Coremap. Selain itu, data dasar juga diperlukan untuk mengevaluasi keberhasilan Coremap. Dalam konteks penelitian ini, data dasar yang diperoleh digunakan sebagai titik awal (T0) yang berisi gambaran kondisi sosial ekonomi masyarakat Kelurahan Karas sebelum program/intervensi Coremap dilaksanakan di daerah tersebut.
6
|
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman mengenai kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya laut, khususnya terumbu karang. Tujuan Khusus Agar tujuan umum di atas dapat dicapai, penelitian ini mempunyai beberapa tujuan khusus, yaitu: 1. Menyajikan gambaran umum mengenai lokasi Coremap yang meliputi kondisi geografi, sarana dan prasarana sosial ekonomi, potensi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya laut, serta pola pemanfaatannya. 2. Menggambarkan kondisi sumberdaya manusia dengan penekanan pada aspek pendidikan dan keterampilan, serta kegiatan ekonomi, khususnya yang berbasis terumbu karang. 3. Memberikan gambaran mengenai pengelolaan sumberdaya laut dan berbagai potensi yang dapat menimbulkan kerusakannya. 4. Memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan antara lain dari kepemilikan aset rumah tangga, baik aset produksi maupun non produksi, kondisi perumahan, dan sanitasi lingkungan. 5. Mendiskripsikan tingkat pendapatan masyarakat, khususnya pendapatan dari kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang. 6. Mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat. Sasaran yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah tersedianya data dasar mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang. Data dasar tersebut
|
7
dapat dipakai oleh perencana, pengelola, dan pelaksana Coremap untuk merancang, melaksanakan, dan memantau pelaksanaan program ini, Selain itu, data dasar juga digunakan sebagai indikator untuk mengukur keberhasilan Coremap. 1.3. Metodologi 1.3.1.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Karas yang merupakan salah satu dari tiga kelurahan lokasi pelaksanaan Coremap di Kota Batam. Mengingat pengumpulan data dasar untuk Kelurahan Pulau Abang (termasuk juga untuk Pulau Nguan) telah dilaksanakan dalam penelitian pada tahun 2005, maka tahun ini kegiatan pengumpulan data dasar dilakukan di Kelurahan Karas. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kondisi terumbu karang di wilayah perairan Kelurahan Karas tergolong baik. Namun, hal itu bukan berarti bahwa program pengelolaan terumbu karang tidak perlu dilaksanakan di wilayah tersebut. Mengingat mayoritas penduduk Kelurahan Karas mempunyai kegiatan ekonomi yang sangat bergantung pada sumberdaya laut, maka ada kemungkinan di kemudian hari kegiatan tersebut dapat menimbulkan kerusakan terumbu karang. Untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang akan terjadi, pemerintah menetapkan wilayah Kelurahan Karas sebagai lokasi pelaksanaan Coremap. Dengan demikian, pelaksanaan program Coremap di daerah ini lebih ditujukan untuk mempertahankan kondisi yang ada agar tidak menjadi lebih buruk di kemudian hari. 1.3.2.
Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan adalah data kuantitatif serta data kualitatif. Data primer dikumpulkan dari berbagai sumber, yaitu anggota rumah tangga yang terpilih menjadi
8
|
responden penelitian dan tokoh serta pemimpin (formal dan informal) di lokasi penelitian. Selain dari responden dan narasumber di lokasi penelitian, data primer juga dikumpulkan dari narasumber di tingkat yang lebih tinggi, khususnya pengambil kebijakan dan para pelaksana Coremap di Kota Batam. Hal ini dilakukan agar dapat mengumpulkan data yang menyeluruh, mulai dari tingkat yang paling rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Untuk mengumpulkan data primer digunakan teknik-teknik yang sesuai dengan sifat datanya. Data kuantitatif dikumpulkan melalui survei dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang ditanyakan kepada responden-responden terpilih. Selanjutnya, pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan beberapa tenik, yaitu wawancara mendalam, focus group discussion (FGD), participatory rapid appraisal (PRA), dan observasi. Kuesioner yang digunakan untuk mengumpulkan data kuantitatif berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai berbagai aspek. Pertanyaanpertanyaan yang ada dalam kuesioner dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu pertanyaan-pertanyaan mengenai kondisi rumah tangga responden dan pertanyaan yang terkait dengan kondisi individu yang menjadi responden. Pertanyaan mengenai rumah tangga responden mencakup identifikasi semua anggota rumah tangga beserta karakteristik sosial, demografi, dan ekonominya, serta pendapatan rumah tangga dari seluruh anggotanya, baik yang bersumber dari kegiatan kenelayanan maupun dari berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Selain itu, pertanyaan mengenai kondisi rumah tangga adalah kepemilikan aset rumah tangga (aset produktif dan non produktif). Pertanyaan individu juga mencakup berbagai hal, antara lain pengetahuan mengenai terumbu karang, pengetahuan dan sikap mengenai pengelolaan sumberdaya laut, khususnya terumbu karang, pengetahuan dan sikap terhadap kegiatan-kegiatan yang merusak terumbu karang, termasuk pemakaian armada dan alat tangkap. Di samping itu, juga ada beberapa pertanyaan mengenai Coremap, misalnya tujuan Coremap dan keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan program tersebut.
|
9
Pengumpulan data kuantitif dilakukan terhadap 100 rumah tangga di lokasi penelitian yang dipilih secara random. Rumah tangga-rumah tangga terpilih menyebar di seluruh wilayah Kelurahan Karas, yaitu di Pulau Karas (RW 1, 2, 3, dan RW 4) dan di Pulau Mubut (RW 5). Pemilihan rumah tangga di masing-masing RW dilakukan secara proporsional. Artinya, di RW yang mempunyai rumah tangga lebih banyak, rumah tangga yang terpilih menjadi responden juga lebih banyak dibandingkan dengan di RW yang mempunyai jumlah rumah tangga lebih sedikit. Secara rinci, jumlah rumah tangga terpilih di masing-masing RW adalah: -
RW I RW II RW III RW IV RW V
: : : : :
17 rumah tangga 13 rumah tangga 32 rumah tangga 26 rumah tangga 12 rumah tangga.
Responden yang menjawab kuesioner adalah kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga yang menguasai informasi mengenai kondisi rumah tangganya. Responden tersebut menjawab sekaligus pertanyaan-pertanyaan untuk rumah tangga dan pertanyaanpertanyaan untuk individu. Pengisian kuesioner dilakukan dengan bantuan dari penduduk setempat (pewawancara). Beberapa persyaratan digunakan untuk memilih pewawancara, antara lain pernah ikut dalam kegiatan pengumpulan data seperti yang dilakukan oleh BPS atau BKKBN dan berpendidikan minimal tamat SMA/sederajat. Sebelum melakukan tugasnya, pewawancara memperoleh pelatihan untuk mengisi kuesioner serta mendapatkan pemahaman mengenai konsep dan definisi dari pertanyaan-pertanyaan yang tercantum dalam kuesioner. Hal ini dilakukan agar pewawancara memahami isi pertanyaan dan juga mempunyai pemahaman yang sama mengenai pertanyaanpertanyaan tersebut serta dapat menanyakannya kepada responden sesuai dengan konsep yang digunakan peneliti. Setelah pelatihan, pewawancara melakukan uji coba pengumpulan data untuk mengetahui pemahaman mereka terhadap kuesioner. Selesai uji coba,
10
|
baru dilakukan wawancara pengumpulan data kepada 100 rumah tangga yang pemilihannya dilakukan oleh peneliti sesuai dengan metode pemilihan sampel yang digunakan. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini tidak hanya mencakup data kuantitatif, akan tetapi juga data kualitatif. Data kualitatif dikumpulkan menggunakan berbagai teknik kualitatif, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang tidak bisa diperoleh melalui kuesioner. Sebagai contoh, wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh informasi lebih detil berkaitan dengan jawaban resonden terhadap beberapa pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Untuk itu, narasumber yang diwawancarai adalah responden-responden yang mengisi kuesioner. Informan kunci seperti tokoh dan pemimpin masyarakat diwawancari untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat Kelurahan Karas. Pemilihan narasumber dalam kelompok ini dilakukan dengan teknik snowballing, dengan mempertimbangkan penguasaan informasi dan pemahaman mengenai isu-isu yang digali. Selanjutnya, FGD dan PRA dilakukan terhadap kelompok nelayan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi mengenai wilayah tangkap dan pengelolaan sumberdaya laut serta beberapa informasi lainnya yang berkaitan dengan kegiatan kenelayanan. Di tingkat yang lebih tinggi, yaitu di Kota Batam, wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa pejabat dari instansi-instansi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut. Informasi yang digali dari kelompok narasumber tersebut terutama yang terkait dengan kebijakan dan implementasi program-program pengelolaan sumberdaya laut. Selain itu, para pengelola Coremap juga diwawancarai untuk memperoleh informasi yang komprehensif mengenai implementasi program ini. Selain beberapa teknik pengumpulan data kualitatif di atas, juga digunakan teknik observasi untuk mengumpulkan data primer kualitatif. Observasi dilakukan untuk menambah pemahaman
|
11
mengenai kondisi masyarakat di lokasi penelitian. Kondisi lingkungan dan pelaksanaan berbagai kegiatan yang terkait dengan pemanfaatan serta pengelolaan terumbu karang dan sumberdaya laut pada umumnya merupakan beberapa informasi yang diperoleh melalui teknik observasi. Data sekunder dikumpulkan melalui kegiatan desk review mengenai berbagai publikasi yang relevan dengan pengelolaan sumberdaya laut. Publikasi yang dikumpulkan meliputi berbagai bentuk, mulai dari data statistik, kebijakan, perundang-undangan sampai dengan hasilhasil penelitian mengenai pengelolaan sumberdaya laut dan yang terkait dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Penggunaan data yang bervariasi ini diharapkan dapat memperkaya dan mempertajam analisa mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumberdaya laut pada umumnya. 1.3.3.
Analisa Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dianalisa secara deskriptif analitis. Data kuantitatif dianalisa menggunakan analisa statistik sederhana, yaitu tabulasi silang untuk mengetahui keterkaitan antarvariabel yang diteliti. Sementara itu, data kualitatif dianalisa menggunakan analisa isi (content analysis) untuk mengkaji keterkaitan antarfenomena yang menyangkut isu yang diteliti. Melalui analisa kuantitatif dan kualitatif ini diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang dalam dan menyeluruh mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam kaitannya dengan pemanfaatan serta pengelolaan sumberdaya laut, khususnya terumbu karang. 1.4. Organisasi Penulisan Buku ini terdiri dari enam bagian/bab yang membahas isu/topik yang berbeda-beda. Bab satu adalah ”Pendahuluan”, berisi pembahasan mengenai latar belakang dan alasan dilakukannya penelitian ini serta tujuan dan sasaran yang hendak dicapai dalam penelitian ini. Pada bab ini juga dijelaskan metodologi penelitian, mencakup metode dan
12
|
teknik pengumpulan data, responden dan narasumber yang menjadi sumber informasi, serta metode analisa data. Bab dua, ”Profil Kelurahan Karas” menggambarkan kondisi kelurahan lokasi penelitian dari berbagai aspek. Gambaran tersebut mencakup kondisi geografis serta kekayaan dan potensi sumberdaya alam Kelurahan Karas. Keberadaan sarana dan prasarana sosial ekonomi, meliputi sekolah, tempat pelayanan kesehatan, pasar dan lembaga keuangan lainnya menjadi fokus pada bagian ini. Selanjutnya, bab tiga yaitu ”Pengelolaan Sumberdaya Laut” berisi penjelasan mengenai isu-isu yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Termasuk dalam pembahasan bab ini adalah pengetahuan dan sikap masyarakat, khususnya responden penelitian terhadap terumbu karang dan pemanfaatan sumberdaya laut pada umumnya. Penjelasan tentang wilayah tangkap, armada dan alat tangkap, produksi sumberdaya laut dan pemasarannya, serta permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya laut disajikan dalam bab tiga ini. Bab empat buku ini, yaitu ”Potret Penduduk Kelurahan Karas” menyajikan kondisi penduduk Kelurahan Karas, meliputi komposisi penduduk, kualitas penduduk, yang dilihat dari pendidikan dan keterampilan, serta pekerjaan mereka. Selain itu, bab ini juga memberikan gambaran mengenai kesejahteraan penduduk, yang diukur menggunakan indikator kepemilikan aset rumah tangga (produksi dan non produksi) dan kondisi sanitasi lingkungan. ”Pendapatan” penduduk dibahas pada bab lima. Pembahasan mencakup pendapatan rumah tangga per kapita dan juga pendapatan dari kegiatan kenelayanan serta kegiatankegiatan non kenelayanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan penduduk dan nelayan pada khususnya juga dikaji dalam bab ini. Buku ini ditutup dengan bab lima, yaitu ”Kesimpulan dan Rekomendasi”. Bab ini merupakan kesimpulan dari hasil penelitian dan juga mengemukakan beberapa masukan yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan, termasuk implementasi program.
|
13
14
|
BAB II
PROFIL KELURAHAN KARAS
S
ebelum suatu program (pembangunan) diselenggarakan, sangat diperlukan informasi lengkap mengenai lokasi yang menjadi target pelaksanaan kegiatannya. Informasi yang diperlukan mencakup berbagai aspek, mulai dari kondisi sumberdaya alam, sumberdaya manusia (kuantitas dan kualitas) sampai dengan kelembagaan (sosial ekonomi) yang potensial untuk mendukung kelancaran kegiatan program. Semua informasi tersebut berguna bagi para perencana dan pelaksana agar program/kegiatan yang akan dilaksanakan dapat disesuaikan dengan kondisi lokasi kegiatannya. Hal yang sama juga berlaku untuk Coremap, yang keberhasilannya sangat ditentukan oleh kondisi sumberdaya alam dan manusia di lokasi kegiatan. Mengingat program ini antara lain bertujuan untuk melestarikan sumberdaya laut, khususnya terumbu karang, dan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitarnya, maka informasi mengenai keduanya sangat diperlukan untuk mencapai tujuan. Sebagai contoh, untuk memperbaiki dan melestarikan terumbu karang di lokasi Coremap yang kegiatan ekonomi masyarakatnya sangat tergantung pada sumberdaya laut
|
15
diperlukan informasi mengenai berbagai potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi ketergantungan tersebut. Untuk itu, perlu digali informasi mengenai potensi sumberdaya alam yang dapat dikembangkan sebagai alternatif mata pencaharian dan kualifikasi sumberdaya manusia yang akan memanfaatkan potensi yang ada. Bagian ini berisi pembahasan mengenai kondisi Kelurahan Karas yang menjadi salah satu lokasi Coremap di Kota Batam. Pembahasan meliputi kondisi geografis, sumberdaya alam, kondisi kependudukan, serta sarana dan prasarana sosial ekonomi yang dapat mendukung keberhasilan program tersebut. Dengan tersedianya informasi menyeluruh mengenai kelurahan ini, maka kegiatan program dapat disesuaikan dengan kondisi kelurahan ini. 2.1. Kondisi Geografis Kelurahan Karas adalah salah satu dari delapan kelurahan yang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Galang4. Kelurahan ini terletak di areal seluas 70,7 Km2 (Pemerintah Kota Batam & Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam, 2006). Kelurahan Karas di sebelah utara berbatasan dengan Kota Tanjung Pinang (Pulau Pangkil) dan di sebelah timur dengan Kabupaten Bintan. Selanjutnya batas sebelah selatan kelurahan ini
4
Sebelum bulan Juni 2006 Kecamatan Galang terdiri dari tujuh kelurahan, yaitu Kelurahan Pulau Abang, Karas, Sijantung, Sembulang, Rempang Cate, Subang Mas dan Kelurahan Galang Baru. Pada Juni 2006 terjadi pemekaran kelurahan, sehingga jumlahnya menjadi delapan, setelah terbentuknya Kelurahan Air Raja. Wilayah administrasi Kelurahan Air Raja adalah wilayah yang sebelumnya termasuk Kelurahan Galang Baru, sedangkan wilayah Kelurahan Galang Baru merupakan pemekaran dari Kelurahan Karas dan Kelurahan Pulau Abang. Wilayah Kelurahan Baru setelah pemekaran meliputi Pulau Sembur, Pulau Nguan, Air Lingka, Tanjung Pengapit, Pulau Korek, Tanjung Dahan, Pulau Nipah, Pulau Nanga, dan Tanjung Lagam. Kecuali Pulau Nguan yang sebelumnya merupakan wilayah Kelurahan Pulau Abang, semua wilayah Kelurahan Galang Baru sebelumnya termasuk wilayah administrasi Kelurahan Karas.
16
|
adalah Kelurahan Galang Baru, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Sijantung. Diantara seluruh kelurahan yang terdapat di Kota Batam, Kelurahan Karas berada pada urutan keempat terluas, setelah Kelurahan Kasu dan Kelurahan Pulau Terong (keduanya terletak di Kecamatan Belakang Padang) yang masing-masing mempunyai luas 88,5 Km2 dan 72,1 Km2 secara berturut-turut serta Kelurahan Tanjung Piayu (Kecamatan Sei Beduk) dengan wilayah seluas 71,9 Km2 (Pemerintah Kota Batam, 2006)5. Selanjutnya, di Kecamatan Galang, Karas merupakan kelurahan paling luas di antara enam kelurahan lainnya, yaitu Kelurahan Pulau Abang, Sijantung, Sembulang, Rempang Cate, Subang Mas, dan Kelurahan Galang Baru6. Kelurahan Karas terdiri dari beberapa pulau, sebagian di antaranya berpenghuni dan sebagian lainnya merupakan pulau kosong. Pulaupulau yang berpenghuni meliputi Pulau Karas, Pulau Carus, dan Pulau Mubut, sementara pulau-pulau yang tidak berpenghuni adalah Pulau Karas Kecil, Tanjung Malang, Mubut Darat, dan Sungai Mentina. Di antara semua pulau yang termasuk wilayah Kelurahan Karas, Pulau Karas merupakan pulau yang terluas dan sekaligus tempat konsentrasi penduduk kelurahan ini. Hal ini terlihat dari lima RW di wilayah Kelurahan Karas, empat diantaranya (RW 1 – RW 4) terletak di Pulau Karas, sedangkan RW 5 berlokasi di Pulau Mubut dan Pulau Carus. Dari ibukota Kecamatan Galang (Sembulang), Kelurahan Karas berjarak (lurus) 12,5 Km, sedangkan dari ibukota Kota Batam (yang terletak di kawasan Batam Center) daerah ini berjarak (lurus) 18 Km. Untuk mencapai Kelurahan Karas dari Kota Batam diperlukan moda transportasi darat dan laut. Transportasi darat digunakan untuk perjalanan dari Batam ke Sembulang dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Tersedia transportasi umum yang melayani rute ini, berupa bis DAMRI yang beroperasi mulai dari pukul enam pagi sampai 5 6
Keadaan sebelum pemekaran pada bulan Juni 2006. Keadaan sebelum pemekaran bulan Juni 2006.
|
17
dengan pukul enam sore, dengan tarif sebesar Rp. 10.000,- untuk sekali perjalanan. Selain menggunakan bis, perjalanan dapat pula dilakukan dengan mencarter taksi dengan tarif sewa Rp. 100.000,sekali jalan dari Tembesi. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan transportasi laut berupa perahu pompong dalam waktu satu jam atau perahu yang menggunakan motor tempel dengan waktu setengah jam dari pelabuhan Sembulang. Selain itu, tersedia pula kapal reguler (Sri Galang) yang beroperasi tiga kali dalam seminggu dengan rute Sembulang – Pulau Karas – Pulau Dapur Enam. Biaya yang diperlukan untuk perjalanan ini sebesar Rp. 12.000,-/orang. Namun, ketika penelitian dilaksanakan (April 2007) kapal reguler tersebut sudah tidak menyinggahi Pulau Karas karena beberapa alasan. Salah satu di antara alasan tersebut adalah rusaknya pelabuhan di pulau ini. Di samping menggunakan kapal penumpang, perjalanan dari Sembulang ke Karas dapat pula ditempuh dengan pompong carteran seharga Rp. 120.000,- untuk perjalanan pulang pergi. Peta 2.1 Peta Kelurahan Karas
18
|
Dari segi biaya dan akses transportasi, perjalanan dari Karas ke Kota Tanjung Pinang lebih murah dan mudah dibandingkan dengan perjalanan ke Kota Batam. Kota Tanjung Pinang dapat dijangkau dengan hanya menggunakan transportasi laut, sedangkan untuk ke Kota Batam juga diperlukan transportasi darat, setelah perjalanan dengan transportasi laut. Perjalanan dari Karas ke Kota Tanjung Pinang dapat ditempuh dengan pompong dalam waktu satu setengah jam atau dengan kapal/perahu yang menggunakan motor tempel selama setengah jam. Alternatif transportasi lainnya menuju Tanjung Pinang adalah kapal ikan dengan ongkos sebesar Rp. 5.000,/orang/sekali jalan. Kelurahan Karas mempunyai empat musim yang dibedakan menurut karakteristik kekuatan angin dan gelombang laut. Musim Timur terjadi pada bulan Maret – Mei, ditandai dengan kondisi air laut yang tidak dalam, tidak ada pasang dan juga tidak ada gelombang. Musim ini dianggap sebagai musim yang paling susah bagi nelayan karena terbatasnya hasil tangkapan mereka. Hal ini karena sinar matahari terlalu panas, sementara air laut yang dangkal menyebabkan ikan mencari tempat yang dalam. Beberapa nelayan yang menjadi narasumber dalam penelitian menyebut musim timur sebagai ‘air7 gadai’ karena banyak di antara mereka yang terpaksa menggadaikan barang-barang untuk memperoleh uang tunai. Setelah musim Timur, datang musim Selatan (bulan Juni – Agustus). Pada musim ini air besar/pasang di malam hari dan kering di pagi hari serta gelombang laut/ombak kuat. Selanjutnya, bulan September – November dikenal sebagai musim Barat dengan ciri-ciri pasang besar dan ombak yang kurang kuat. Musim Barat kemudian diikuti oleh musim Utara (bulan Desember – Februari), ditandai oleh frekuensi hujan yang tinggi, angin kuat, ombak besar, dan air pasang. Musim-musim yang berbeda yang juga ditandai dengan perbedaan karakteristik cuaca dan kondisi alam seperti dikemukakan di atas menyebabkan terjadinya perbedaan jenis sumberdaya laut yang diperoleh nelayan dalam kegiatan melaut. Hal ini pada gilirannya 7
Nelayan Kelurahan Karas menggunakan istilah ‘air’ untuk menyebut musim.
|
19
menyebabkan perbedaan penghasilan nelayan pada setiap musim karena harga jual masing-masing jenis sumberdaya laut juga bervariasi. Sebagai contoh, ikan dingkis yang banyak diperoleh pada musim Utara mempunyai harga jual yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ketam yang diperoleh pada musim Barat dan Timur atau ikan tamban yang bisa diperoleh pada setiap musim. 2.2. Kondisi Sumberdaya Alam Wilayah darat dan laut Kelurahan Karas kaya dengan sumberdaya alam, dengan beragam jenis. Di wilayah darat kelurahan yang mempunyai luas 70,7 kilometer per segi ini terdapat perkebunan tanaman tua dengan berbagai jenis tanaman, seperti kelapa, durian, cempedak, nangka, petai dan melinjo. Lahan kebun yang ada dibuka oleh beberapa generasi sebelumnya yang kemudian diwariskan kepada anak-anak dan cucu-cucu mereka. Meskipun memiliki lahan kebun yang ditumbuhi oleh beraneka jenis tanaman, hampir tidak ada generasi penerus yang mengolah kebun yang diwarisi. Mereka pada umumnya hanya mengambil hasil kebun tanpa berusaha secara teratur meremajakan tanaman yang ada. Seorang narasumber yang diwawancarai dalam penelitian ini mengemukakan bahwa bagi masyarakat Kelurahan Karas berkebun hanyalah pekerjaan sambilan, sebagaimana kutipan wawancara berikut ini, Mereka pada umumnya neruskan pusaka dari orang tua, termasuk saya juga, itu ada kebun. … untuk kebun sambil-sambilan tadi juga meneruskan pusaka orang tua, jadi juga saya rasa kalau lihat keadaan sekarang ini yang penerus pusaka tadi itu, itu saya rasa makin tidak ada pengganti, tidak ada kan … Jadi itulah saya rasa kalau untuk membuka lahan baru itu nunggu yang sudah ada itu umpamanya kelihatannya penghasilannya sudah kurang gitu, nah itu baru diganti seperti durian, cempedak petai, kelapa tadi.
20
|
Tidak semua lahan kebun yang ada di Kelurahan Karas merupakan milik penduduk setempat. Sebagian di antaranya dimiliki oleh penduduk dari daerah lain. Kepemilikan tersebut diperoleh dengan cara membelinya dari penduduk setempat. Sama halnya dengan penduduk Kelurahan Karas, lahan yang dimiliki oleh orang luar juga dibiarkan terlantar, tanpa ada usaha untuk mengolahnya. Di samping lahan yang sudah dibuka menjadi kebun, masih terdapat lahan hutan yang merupakan milik negara. Namun, banyaknya kegiatan pembalakan liar yang dilakukan oleh berbagai pihak menyebabkan hutan yang ada menjadi gundul. Pelaku pembalakan di antaranya penduduk Kelurahan Karas yang dibiayai oleh pemilik modal dari luar daerah seperti dari Batam. Setelah dilakukan razia oleh gabungan aparat pemerintah kegiatan pencurian kayu mulai berkurang (wawancara dengan narasumber di lokasi penelitian). Daratan Pulau Karas banyak ditumbuhi oleh tanaman pandan yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk membuat kerajinan anyaman tikar dan tudung saji. Keberadaan jenis tanaman ini memungkinkan berkembangnya usaha rumah tangga berupa pembuatan barang-barang tersebut yang pada umumnya dilakukan oleh perempuan. Sampai sekitar pertengahan tahun 1980-an, perairan yang mengelilingi Kelurahan Karas memiliki kekayaan sumberdaya laut, baik jenis maupun volumenya, yang melimpah. Namun, sejak tahun 1986 jenis dan jumlah ikan mulai berkurang. Salah satu penyebab hal ini adalah semakin banyaknya penduduk yang bekerja sebagai nelayan, sehingga terjadi penangkapan ikan dan sumberdaya laut lainnya secara berlebihan, sebagaimana dikemukakan oleh seorang narasumber (nelayan) berikut ini, Ikan di laut itu diambil terus menerus, sejak zaman nenek moyang kami. Jadi ikan-ikan itu tak sempat berkembang biak. Sekarang sulit dapat ikan, tidak seperti dulu lagi. Dulu nelayan kita di depan mata ini sudah bisa nangkap ikan. Sekarang harus pergi dua jam, bahkan lebih, baru dapat ikan bagus.
|
21
Pernyataan di atas dibenarkan oleh narasumber yang berasal dari salah satu dinas pemerintah Kota Batam. Karena banyaknya penduduk Kelurahan Karas yang bekerja sebagai nelayan, tingkat eksploitasi sumberdaya laut di daerah ini juga tinggi, sehingga ikanikan yang ada sangat sedikit jenis dan jumlahnya. Jenis ikan yang masih relatif banyak diperoleh oleh nelayan adalah ikan tamban yang bernilai jual rendah, yaitu Rp. 3.000,- per kg. Meskipun berharga jual rendah, volume produksinya yang besar dalam setiap melaut sangat membantu perekonomian nelayan. Di samping ikan yang mulai berkurang jenis dan volumenya, laut Kelurahan Karas juga mempunyai sumberdaya laut yang bernilai tinggi. Terumbu karang yang terdapat di perairan daerah ini masih dalam kondisi bagus. Seorang narasumber mengatakan bahwa banyak terumbu karang yang masih hidup. Hal ini dimungkinkan karena praktik pengambilan ikan dengan cara dan peralatan yang berpotensi merusak terumbu karang sangat jarang dilakukan di daerah ini, baik oleh nelayan Karas maupun oleh nelayan dari daerah lain. Kelurahan Karas mempunyai kondisi alam yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata. Salah satu di antaranya adalah pantai yang terletak di ujung Pulau Karas, yaitu pantai Tanjung Budus. Pantai Tanjung Budus memiliki kontur yang landai, tanpa ada karang dan langsung ke air dalam. Namun sayangnya, masyarakat sekitar menganggap bahwa daerah ini angker dan beberapa kali telah memakan korban jiwa. Akibatnya, jarang ada penduduk wilayah ini yang berkunjung ke sana. Anggapan ini kemungkinan karena posisinya yang langsung berhubungan dengan laut dalam sehingga mereka yang tidak berhati-hati akan terjatuh dan tenggelam ke laut dalam. 2.3. Sarana dan Prasarana Ketersediaan sarana dan prasarana (sosial dan ekonomi) memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Keberadaannya menjadi penunjang dalam berbagai aktivitas pembangunan, termasuk
22
|
pembangunan sumberdaya manusia. Sarana dan prasarana pendidikan, misalnya, mempunyai peran penting dalam meningkatkan kualitas manusia. Demikian pula halnya dengan sarana dan prasarana kesehatan, keberadaannya sangat penting dalam upaya menjaga dan meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat. Bagian ini membahas ketersediaan dan kondisi sarana dan prasana sosial dan ekonomi di Kelurahan Karas. Sarana dan prasana tersebut mencakup bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Pembahasan difokuskan pada jumlah sarana serta pemanfaatannya oleh masyarakat. 2.3.1. Sarana Pendidikan Sarana pendidikan di Kelurahan Karas tersedia dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Secara keseluruhan terdapat enam sekolah di kelurahan ini, terdiri dari empat SD, dan masing-masing satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan SMA (Pemerintah Kota Batam dan Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam, 2006). Dua di antara keempat SD yang terdapat di kelurahan ini terletak di Pulau Karas, sementara dua SD lainnya masing-masing satu unit terletak di Pulau Mubut dan juga satu unit di Pulau Carus. SMP didirikan di kelurahan ini sejak tahun 1989, sedangkan SMA mulai beroperasi pada tahun ajaran 2003/2004 dan telah meluluskan dua angkatan sampai dengan tahun ajaran 2006/2007. Semua sekolah tersebut merupakan sekolah negeri. Dari semua kelurahan yang ada di wilayah Kecamatan Galang Baru, Kelurahan Karas bersama dengan Kelurahan Rempang Cate mempunyai jumlah SD kedua terbanyak, setelah Kelurahan Sembulang yang mempunyai enam unit SD. Selanjutnya, sarana pendidikan di tingkat SMA hanya dimiliki oleh dua kelurahan, yaitu Kelurahan Karas dan Sembulang. Dengan keberadaan sarana pendidikan mulai dari SD sampai SMA, ditambah dengan kebijakan pendidikan gratis bagi anak-anak sekolah
|
23
di daerah hinterland8 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Batam, anak-anak sekolah di Kelurahan Karas dapat menempuh pendidikan sampai ke jenjang pendidikan menengah di wilayah kelurahan mereka. “Kemewahan” ini tidak didapatkan oleh anak-anak sekolah di beberapa kelurahan lain di Kecamatan Galang. Anak-anak sekolah yang ingin melanjutkan pendidikan sampai ke tingkat SMA terpaksa meninggalkan daerah asal mereka karena ketiadaan sarana sekolah yang lebih tinggi tersebut. Di beberapa kelurahan, bahkan setelah tamat SD anak-anak harus melanjutkan pendidikan ke daerah lain karena sarana pendidikan yang tersedia di daerah mereka hanya terbatas sampai tingkat SD. Kondisi ini antara lain dialami oleh anakanak di Kelurahan Pulau Abang yang hanya bisa bersekolah sampai tingkat SD di daerah tempat tinggal mereka. Anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi terpaksa pindah ke daerah lain seperti Kelurahan Karas, Tanjung Pinang atau ke Kota Batam (Romdiati dan Noveria, 2007). Sekolah-sekolah yang ada di Kelurahan Karas mempunyai guru yang cukup jumlahnya. Guru-guru SD dan SMP bertempat tinggal di wilayah kelurahan ini, sehingga dapat dikatakan hampir tidak ada hambatan dalam melaksanakan kegiatan mengajar. Namun, keadaan ini tidak terjadi di tingkat SMA. Kecuali Kepala Sekolah, guru-guru SMA tidak menetap di Kelurahan Karas. Mereka bertempat tinggal di Kota Batam dan hanya ke Karas pada hari-hari mereka bertugas mengajar. Menurut wawancara dengan beberapa narasumber di lokasi penelitian, ada kesepakatan para guru SMA untuk membagi waktu mengajar menjadi dua ”shift”, yaitu hari Senin, Selasa dan Rabu serta hari Kamis, Jumat, dan Sabtu. Guru-guru yang mendapat tugas mengajar pada hari Senin, Selasa, dan Rabu biasanya pulang ke Batam sepulang sekolah pada hari Rabu. Mereka baru kembali ke Kelurahan Karas pada hari Minggu sore, bahkan tidak jarang yang kembali pada Senin pagi. Selanjutnya, mereka yang bertugas mengajar pada hari Kamis, Jumat, dan Sabtu pulang ke Batam setelah 8
Selain di wilayah Kecamatan Galang, kebijakan bebas sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP) juga diberlakukan bagi anak-anak sekolah mulai dari tingkat SD sampai dengan SMA di Kecamatan Belakang Padang dan Kecamatan Bulang.
24
|
selesai mengajar pada hari Sabtu. Kelompok guru ini kembali ke Kelurahan Karas pada hari Rabu sore atau Kamis pagi ketika akan mengajar. Kondisi tersebut dikeluhkan oleh banyak narasumber karena sangat mengganggu kegiatan belajar mengajar. Adakalanya guru datang terlambat pada hari pertama mereka mengajar setiap minggu, yaitu setelah mereka kembali dari Batam. Pada musim angin dan gelombang kuat, adakalanya mereka tidak bisa kembali ke Karas tepat waktu karena sulitnya perjalanan mencapai daerah tersebut. Hal ini menyebabkan murid-murid tidak dapat belajar sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan pendidikan mereka lebih tertinggal dibandingkan dengan murid-murid SMA lain yang tidak tinggal di daerah kepulauan seperti Kelurahan Karas. Selain sarana pendidikan umum, di Kelurahan Karas juga terdapat sarana pendidikan agama, yaitu TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an). Kegiatan belajar TPA dilaksanakan di mesjid dan mushalla yang terdapat di wilayah kelurahan ini. Di Pulau Karas, misalnya, terdapat dua unit TPA yang melaksanakan kegiatan belajar agama pada sore hari, biasanya setelah shalat Ashar. Kegiatan belajar di TPA dipimpin oleh guru-guru yang berstatus sebagai da’i pulau9. Guru-guru tersebut adalah para pendatang yang ditempatkan di daerah kepulauan melalui Program Da’i Pulau. Program ini merupakan implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam rangka memberikan pendidikan keagamaan kepada masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil. Selama terikat dalam program tersebut, para da’i harus tinggal di pulau lokasi kerja mereka. Oleh karena itu, da’i pulau tidak hanya bertanggungjawab terhadap 9
Terdapat lima orang da’i pulau yang bertugas di Kelurahan Karas. Mereka mendapat honor dengan jumlah Rp. 600.000,- per bulan yang berasal dari Dana Sosial (Dansos) dan selain itu juga memperoleh bantuan setiap bulan puasa dan pada Hari Raya Iedul Fitri juga mendapat santunan tambahan (wawancara dengan narasumber pegawai Kelurahan Karas). Dua orang di antara mereka berasal dari Jawa dan masing-masing satu orang dari Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Lombok (Nusa Tenggara Barat).
|
25
pendidikan agama anak-anak usia sekolah, akan tetapi juga terhadap masyarakat pada umumnya. 2.3.2. Sarana Kesehatan Kelurahan Karas mempunyai sarana kesehatan berupa puskesmas pembantu (Pustu) yang terletak di Pulau Karas. Penduduk yang tinggal di dua pulau lainnya terpaksa melakukan perjalanan laut untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pada musim angin dan gelombang kuat, perjalanan laut sangat sulit dilakukan, sehingga mereka yang membutuhkan tidak dapat memperoleh pelayanan kesehatan. Keadaan ini merupakan hambatan dalam upaya meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan di Pustu di kelurahan ini diberikan oleh seorang bidan, dibantu oleh seorang bidan lain yang baru lulus pendidikan (Akademi Keperawatan dan Kebidanan) dari Kota Medan. Bidan pembantu tersebut merupakan putra daerah yang selama menunggu pengangkatan sebagai pegawai negeri bekerja membantu bidan Pustu. Seperti halnya guru-guru SMA, bidan Pustu ini berasal dari Kota Batam. Bidan tersebut tinggal di Karas dan memberikan pelayanan kesehatan pada hari kerja, yaitu Senin sampai dengan Jumat. Selama jam kerja (pukul 8.00–15.00 WIB) pelayanan kesehatan diberikan secara cuma-cuma, tetapi setelah waktu tersebut mereka yang berobat dikenakan biaya. Biaya pengobatan dalam waktu praktek swasta tersebut berkisar antara Rp. 5.000,- - Rp. 8.000,- berikut obat-obatan. Pada Jumat siang bidan pulang ke Batam dan kembali lagi ke Karas pada (pagi) hari Senin. Selama bidan Pustu tidak berada di Karas, pelayanan kesehatan diberikan oleh bidan pembantu. Sampai saat ini praktik pengobatan tradisional masih berlangsung di kalangan masyarakat Kelurahan Karas. Kegiatan ini dilaksanakan oleh dukun yang oleh masyarakat dikenal dengan istilah ‘dukun jampe’. Terbatasnya sarana dan tenaga yang memberikan pelayanan kesehatan diperkirakan menjadi penyebab utama masih banyaknya penduduk yang mencari pengobatan pada dukun jampe. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kebanyakan masyarakat pertama kali
26
|
mendatangi dukun jampe untuk memperoleh pengobatan. Namun, jika penyakit yang diderita tidak sembuh, mereka mencari pengobatan medis ke Pustu. Pada awalnya pertolongan yang diberikan oleh dukun jampe bersifat sukarela, tanpa dikenakan biaya pengobatan. Namun, sesuai dengan berjalannya waktu beberapa dukun mulai mengenakan tarif untuk pengobatan. Fenomena ini kemudian menimbulkan anggapan baru di kalangan masyarakat, yaitu dukun merupakan singkatan dari ‘duit kontan’. Pengobatan gratis yang ditawarkan di Pustu selanjutnya menjadi alternatif pengobatan bagi masyarakat, terutama mereka yang bertempat tinggal di sekitar Pustu, sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang narasumber yang bekerja sebagai nelayan berikut ini, “kalau penyakit ‘tampak’10 kita langsung berobat ke bidan”. Dukun beranak/bidan kampung merupakan sarana kesehatan tradisional yang terdapat di Kelurahan Karas. Terdapat dua orang bidan kampung yang membantu persalinan ibu-ibu hamil di kelurahan ini. Bidan kampung yang ada sudah mendapat pelatihan dan dalam melaksanakan pekerjaannya sering bekerjasama dengan bidan pustu. Menurut salah seorang narasumber yang diwawancarai, tidak ada persaingan antara dukun kampung dengan dukun Pustu karena di antara mereka telah terjalin kerjasama dalam membantu persalinan. Tidak jarang persalinan yang dibantu oleh bidan kampung melibatkan pula bidan Pustu. 2.3.3. Sarana Ekonomi Sarana dan prasarana ekonomi di Kelurahan Karas sangat terbatas, untuk tidak mengatakan tidak ada. Tidak terdapat pasar tempat masyarakat berbelanja berbagai barang keperluan sehari-hari. Sarana perekonomian yang ada untuk melayani kebutuhan masyarakat terhadap barang-barang tersebut adalah kios kelontong yang kebanyakan berskala kecil. Kios-kios tersebut dimiliki oleh beberapa 10
Penyakit tampak dimaksudkan untuk gejala-gejala penyakit yang dapat diobati secara medis, bukan penyakit yang disebabkan oleh tindakan-tindakan magis.
|
27
penduduk dan sebagian di antaranya juga menjual makanan. Selain kios-kios yang bersifat permanen juga terdapat pedagang keliling yang menjual bahan makanan mentah seperti sayuran, tempe dan tahu. Pedagang-pedagang keliling membeli barang dagangannya di Tanjung Pinang dan setelah sampai di Karas mereka menggunakan gerobak atau sepeda motor untuk menjualnya ke rumah-rumah penduduk. Menurut seorang narasumber yang diwawancarai dalam penelitian ini, masyarakat telah mengusulkan untuk berdirinya pasar di Kelurahan Karas. Proposal untuk itu sudah diajukan kepada Pemerintah Kota Batam dan sudah ditanggapi dengan rencana untuk membuat pasar tradisional. Namun sesungguhnya, kegiatan pasar dapat saja dilakukan tanpa adanya pasar yang dibangun secara khusus. Narasumber yang sama mengatakan bahwa masyarakat Kelurahan Karas sebenarnya kurang berminat untuk berjualan, sebagaimana dikemukakannya berikut ini, … padahal kalau memang kemauan kuat seperti saudara-saudara kita orang Jawa ya, orang Batak, Padang, itu mereka pakai meja kayak gini jadi, di jalan itu bisa jual, tapi itu tadi, mungkin semangat untuk berjualan berdagang itu masih minim, … Tempat pelelangan ikan (TPI) yang sangat diperlukan oleh nelayan untuk menjual ikan hasil tangkapan mereka tidak terdapat di Kelurahan Karas. Untuk memasarkan hasil tangkapan mereka, nelayan menjualnya kepada penampung/pedagang pengumpul yang tinggal di Kelurahan Karas. Selain kepada pedagang tersebut, sebagian nelayan lainnya juga menjual hasil tangkapan kepada tauke/pedagang ikan di Tanjung Pinang. Harga jual komoditas hasil tangkapan nelayan ditentukan oleh penampung/pedagang. Keadaan ini sangat tidak menguntungkan bagi nelayan karena mereka tidak dapat memilih harga penjualan yang lebih tinggi. Sarana ekonomi yang terdapat di Kelurahan Karas berupa tiga unit koperasi, yang semuanya bergerak di bidang bantuan modal usaha bagi petani dan nelayan. Modal untuk kegiatan koperasi tersebut
28
|
berasal dari pemerintah, melalui sektor koperasi dan UKM (Usaha Kecil Mandiri) yang pemanfaatannya menggunakan prinsip dana bergulir. Namun, kegiatan koperasi-koperasi tersebut tidak dapat berlanjut karena sebagian dana yang dipinjamkan kepada kelompokkelompok masyarakat yang menjadi anggotanya tidak dikembalikan kepada koperasi. Sebagai contoh, Koperasi Taman Laut memperoleh dana dari Dinas Koperasi dan UKM sebanyak dua kali dengan jumlah masing-masing sebesar Rp. 50.000.000,-. Dana yang turun pertama kali dapat dikelola dan dipinjamkan secara bergulir kepada anggota koperasi, akan tetapi dana tahap kedua tidak dikembalikan oleh anggota yang meminjamnya. Akibatnya, anggota lain yang belum memperoleh pinjaman dana tidak dapat memanfaatkan dana tersebut. Keadaan yang sama juga terjadi pada Koperasi Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP), yang mendapat tiga kali bantuan dana, masing-masing berjumlah Rp. 3.000.000,-, Rp. 5.000.000,-, dan Rp. 15.000.000,-. Semua dana tersebut tidak dikembalikan, sehingga pembagiannya kepada anggota koperasi seperti uang hibah (wawancara dengan narasumber, seorang pegawai pemerintah di Kelurahan Karas). Kondisi ini terjadi karena tidak ada sanksi yang tegas kepada mereka yang tidak mengembalikan dana yang dipinjam kepada koperasi. Tauke/pedagang penampung merupakan sarana ekonomi yang memberikan sumbangan berarti terhadap perekonomian penduduk Kelurahan Karas, khususnya yang bekerja sebagai nelayan. Mereka merupakan salah satu mata rantai pemasaran hasil produksi nelayan di tingkat kelurahan karena tidak adanya tempat pelelangan ikan. Masing-masing tauke biasanya mempunyai sekitar 15-20 orang anak buah, yaitu nelayan yang secara tetap menjual hasil melaut kepada tauke. Secara keseluruhan terdapat sebelas orang penampung di kelurahan ini, semuanya merupakan warga pribumi dan beberapa di antaranya adalah pendatang beretnis Jawa. Dari semua pedagang pengumpul tersebut, hanya lima orang yang aktif menjalankan usahanya (wawancara dengan narasumber, pegawai di Kelurahan Karas). Kelimanya mempunyai “pelabuhan pendaratan” kapal (masyarakat
|
29
setempat menyebutnya ‘pelantar’) sendiri dan mereka membawa hasil tangkapan yang dibeli dari nelayan setiap dua hari sekali ke Tanjung Pinang untuk dijual kepada pedagang (besar) di sana. Sementara itu, enam penampung yang lain tidak memiliki ‘pelantar’ dan juga tidak melakukan usahanya secara rutin. Sebagaimana halnya pedagang pengumpul di berbagai daerah nelayan lainnya, tauke/pedagang pengumpul di Kelurahan Karas ini juga memberikan piutang kepada anak buah mereka, baik untuk modal melaut maupun untuk kebutuhan rumah tangga. Namun, dibandingkan dengan tauke/pedagang pengumpul di daerah di sekitarnya, misalnya Kelurahan Pulau Abang yang juga terletak di Kecamatan Galang, jumlah pinjaman yang diberikan jauh lebih sedikit. Jika tauke/pengumpul di Kelurahan Pulau Abang mampu memberikan pinjaman berupa perahu beserta mesinnya (Romdiati dan Noveria, 2007), tauke di Kelurahan Karas paling banyak hanya meminjamkan uang sekitar Rp. 1.000.000,- kepada anak buahnya (wawancara dengan narasumber yang bekerja sebagai nelayan). Sarana ekonomi lainnya yang terdapat di Kelurahan Karas adalah usaha bank keliling yang dilakukan oleh tiga sampai empat orang beretnis Batak yang berasal dari Tanjung Pinang. “Lembaga” ini menjalankan usaha melalui pemberian kredit kepada masyarakat dengan bunga yang sangat tinggi. Bunga yang dikenakan sebesar 20 persen dari pinjaman pokok dengan waktu peminjaman selama empat puluh hari. Kondisi ini sangat memberatkan masyarakat, sehingga ada upaya dari pihak pemerintah kelurahan untuk menghentikan praktik bank keliling tersebut. Namun, usaha yang dilakukan tidak sepenuhnya berhasil karena kenyataannya masih ada masyarakat yang meminjam uang dari bank keliling. 2.3.4. Sarana Transportasi dan Komunikasi Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, untuk menuju dan keluar dari wilayah Kelurahan Karas diperlukan sarana transportasi darat dan laut. Dua jenis moda transportasi dibutuhkan untuk perjalanan dari dan menuju Kota Batam. Perjalanan darat
30
|
menggunakan transportasi umum (bis DAMRI) atau kendaraan carteran dilakukan dengan rute Kota Batam-Sembulang atau sebaliknya, sedangkan perjalanan laut adalah untuk rute SembulangKaras atau sebaliknya. Perjalanan laut tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan kapal penumpang umum (kebanyakan berupa perahu pompong) atau perahu carteran. Selanjutnya, perjalanan menuju dan dari Kota Tanjung Pinang dapat dicapai dengan hanya menggunakan transportasi laut. Karena terbatasnya ketersediaan perahu yang secara khusus diperuntukkan bagi transportasi umum, maka tidak jarang perjalanan dari Kelurahan Karas menuju Tanjung Pinang atau sebaliknya, dari Tanjung Pinang ke Karas ditempuh dengan menggunakan kapal nelayan. Sarana telekomunikasi yang tersedia di Kelurahan Karas hanya terbatas pada telepon seluler. Ketersediaan akses layanan telepon selular memudahkan komunikasi penduduk Kelurahan Karas dengan daerah luar. Dua operator telepon seluler yang melayani Kelurahan Karas adalah Telkomsel dan XL. Pelayanan keduanya menjangkau hampir semua wilayah kelurahan dan juga dengan kualitas layanan yang bagus, dalam arti dapat menangkap suara tanpa gangguan yang berarti. Sebaliknya, jaringan telepon statis yang disediakan oleh PT Telkom atau operator telepon swasta belum menjangkau daerah ini. Siaran media massa elektronik, radio dan televisi, dapat diakses oleh penduduk di Kelurahan Karas. Acara berbagai televisi swasta dan pemerintah (TVRI) dapat dinikmati di seluruh wilayah kelurahan ini melalui antene parabola yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan kondisi tersebut, masyarakat dapat dengan mudah memperoleh berbagai informasi yang berasal dari luar. Dalam kaitannya dengan pemberian informasi dan pengetahuan mengenai pengelolaan terumbu karang, televise dan radio dapat dijadikan sebagai media yang efektif karena hampir semua penduduk dapat mengaksesnya dengan mudah. 2.3.5. Kelembagaan Sosial-Ekonomi Seperti halnya sarana dan prasarana ekonomi, sarana dan prasarana sosial di Kelurahan Karas juga terbatas. Sarana dan prasarana sosial
|
31
yang aktif melaksanakan kegiatannya hanya yang bersifat keagamaan. Kegiatan agama antara lain berupa wirid/pengajian yang dilaksanakan di bawah koordinasi da’i pulau yang bertugas di kelurahan ini. Kelompok pengajian terdapat di semua tempat ibadah (tiga mesjid dan dua mushalla) yang terdapat di Kelurahan Karas. Di samping kelompok pengajian, juga terdapat kelompok seni budaya (Islam) yang beranggotakan bapak-bapak dan ibu-ibu anggota pengajian. Kelompok tersebut adalah seni ‘Kompang’ atau rebana dan sebagian masyarakat menyebutnya ‘Handra’. Kelompok remaja mesjid yang juga di bawah bimbingan da’i pulau terdapat pula di Kelurahan Karas. Kelompok ini aktif melakukan beberapa kegiatan, di antaranya adalah gotong royong. Keberadaan da’i pulau dengan semangat dan kerja keras mereka menyebabkan kegiatan lembaga sosial keagamaan dapat berlangsung di kelurahan ini. Lembaga sosial yang merupakan wadah untuk anak-anak muda, yaitu Karang Taruna, terdapat di Kelurahan Karas. Namun, hampir tidak ada kegiatan yang dilaksanakan oleh lembaga ini. Selama ini kegiatan karang taruna hanya terbatas pada kehadiran ketuanya pada undangan rapat (untuk membicarakan berbagai kegiatan pembangunan) yang diadakan oleh pihak kelurahan. Kekurangan dana untuk melaksanakan kegiatan menjadi alasan utama yang menyebabkan tidak berjalannya kegiatan karang taruna. Lembaga sosial lainnya yang ada di Kelurahan Karas adalah PKK (Program Kesejahteraan Keluarga) yang keberadaannya di bawah koordinasi pemerintah kelurahan. Tidak berbeda dengan di berbagai daerah lainnya, lembaga ini mempunyai kegiatan rutin yang dikoordinasikan melalui organisasi di tingkat yang lebih tinggi, mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat kecamatan. Kegiatan rutin yang dilakukan setiap bulan adalah arisan dan kegiatan-kegiatan lain seperti posyandu. Sarana dan prasarana sosial yang terkait dengan upaya pengelolaan dan pelestarian terumbu karang (Coremap) sudah dibentuk di Kelurahan Karas. Lembaga Pengelola Terumbu Karang (LPSTK) dan beberapa kelompok masyarakat (Pokmas) yang tergabung di
32
|
dalamnya telah menjalankan fungsi masing-masing. Kelompok pengawas terumbu karang (reef watcher) sudah dilengkapi dengan perahu dan motornya yang digunakan untuk patroli pantai. Namun, karena ketiadaan dana untuk pengadaan bahan bakar, kelompok ini tidak bisa menjalankan fungsinya secara rutin. Patroli pantai baru dapat dilakukan secara insidental, terutama jika ada kapal atau pihakpihak dari luar melakukan kegiatan yang berpotensi merusak terumbu karang. Masih terkait dengan program Coremap, sudah dibentuk pula kelembagaan ekonomi, khususnya yang bertujuan untuk penciptaan alternatif mata pencaharian dan peningkatan pendapatan masyarakat. Kelembagaan tersebut termasuk dalam Pokmas mata pencaharian alternatif (MPA) dan Pokmas jender yang semua anggotanya adalah perempuan. Terdapat beberapa Pokmas MPA dengan berbagai jenis kegiatan, antara lain usaha pertanian, peternakan ayam, dan peternakan kambing. Selanjutnya, Pokmas jender bergerak dalam pembuatan kerupuk ikan, masing-masing satu Pokmas di Pulau Karas dan Pulau Mubut. Dari enam Pokmas (empat untuk MPA dan dua untuk jender) yang ada di Kelurahan Karas, baru Pokmas jender yang sudah merasakan manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan. Hal ini karena mereka yang tergabung dalam Pokmas jender adalah para perempuan yang sebelumnya sudah melaksanakan kegiatan pembuatan kerupuk ikan. Keikutsertaan mereka dalam kegiatan Pokmas berarti menambah besar modal yang dimiliki, sehingga memungkinkan usaha mereka lebih berkembang.
|
33
34
|
BAB III
PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT
S
umberdaya laut yang terkandung dalam wilayah perairan Indonesia memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Penjualan komoditas sumberdaya laut seperti udang barong/lobster serta berbagai jenis ikan karang, misalnya kerapu dan napoleon menghasilkan pendapatan yang besar bagi berbagai kalangan masyarakat serta negara pada umumnya (Soekarno, 2001). Hal ini karena besarnya permintaan pasar terhadap jenis-jenis sumberdaya tersebut, di samping harga jualnya yang tinggi11. Selanjunya, pemandangan bawah laut yang indah karena keberadaan sumberdaya laut, antara lain hamparan terumbu karang dengan beraneka bentuk dan warna, merupakan potensi wisata bahari yang dapat pula berfungsi sebagai sumber pendapatan.
11
Sebagai contoh, harga ikan kerapu merah hidup dengan ukuran sekitar 0,5 kg/ekor mencapai Rp. 90.000,-/kg, sedangkan yang mati berharga Rp. 40.000,/kg. Udang lobster yang berukuran 3-4 ons per ekor mempunyai nilai jual Rp. 120.000,-/kg (lihat Romdiati dan Noveria, 2007).
|
35
Terumbu karang yang berfungsi sebagai tempat hidup berbagai jenis ikan, termasuk beberapa di antaranya yang merupakan produksi perikanan berharga jual tinggi, juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Di Indonesia, belum tersedia data yang dapat dijadikan acuan mengenai potensi perikanan yang berasal dari terumbu karang. Namun, di negara tetangga Filipina, data memperlihatkan bahwa terumbu karang yang berada dalam kondisi baik menghasilkan produksi perikanan sebanyak 810.000 ton/tahun (Gomez, dkk., 1994 dikutip dalam Soekarno, 2001). Lebih lanjut, Gomez (1998) serta Gomez dan Chou (1994) mengemukakan bahwa di seluruh kawasan ASEAN sekitar 10-15 persen hasil perikanan berasal dari terumbu karang (dikutip dalam Soekarno, 2001). Tidak hanya berperan dalam menghasilkan produksi perikanan, terumbu karang juga menpunyai fungsi ekologis. Salah satu di antaranya adalah sebagai pelindung pantai dari terjangan gelombang laut. Terumbu karang yang terpelihara kondisinya dapat mencegah terjadinya abrasi pantai. Karena berbagai peran penting yang dijalankannya, sumberdaya laut, termasuk terumbu karang perlu dikelola secara berkesinambungan. Pengelolaan sumberdaya laut dapat dilakukan melalui kegiatan eksploitasi tanpa mengabaikan kelestariannya. Dalam kenyataannya, praktik eksploitasi sumberdaya laut yang sering dilakukan justru cenderung menimbulkan kerusakan pada sumberdaya tersebut. Kegiatan eksploitasi sumberdaya laut yang dilakukan seringkali bertentangan dengan proses pengelolaan yang berkesinambungan. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat dan bahan yang berpotensi merusak terumbu karang merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya laut yang banyak dilaksanakan di beberapa wilayah perairan Indonesia. Selain itu, ada pula kecenderungan di antara nelayan untuk mengambil sumberdaya laut, antara lain berbagai jenis ikan secara berlebihan, tanpa memberikan kesempatan pada mereka untuk berkembangbiak. Penangkapan sumberdaya laut tanpa mempertimbangkan ukurannya, dalam arti juga mengambil yang berukuran kecil, merupakan contoh dari praktik eksploitasi secara berlebihan. Fenomena ini antara lain terjadi di
36
|
wilayah Desa Mattiro Bombang, Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan. Semakin tingginya permintaan pasar terhadap kepiting menyebabkan makin banyak nelayan yang menangkap jenis sumberdaya laut ini. Akhir-akhir ini mereka tidak hanya menangkap kepiting yang berukuran besar, akan tetapi juga yang masih kecil (belum cukup umur), sehingga kepiting tidak bisa mencapai masa untuk berkembangbiak. (Noveria, dkk., 2007). Hal ini selanjutnya berdampak pada hilang atau langkanya populasi kepiting di wilayah perairan tersebut. Idealnya, pengelolaan sumberdaya laut dilakukan oleh semua pihak sesuai dengan peran masing-masing. Pihak pemerintah, misalnya, dapat melakukan pengelolaan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk melindungi dan mempertahankan kelestarian sumberdaya laut. Kebijakan yang dikeluarkan mencakup larangan terhadap penggunaan bahan dan jenis-jenis alat tangkap yang merusak sumberdaya laut, penentuan wilayah tangkap atau areal yang terlarang untuk kegiatan penangkapan ikan, dan sanksi yang diberlakukan bagi pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut. Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah, yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 9 Tahun 1985 tentang Usaha Perikanan yang kemudian direvisi menjadi UU No. 31 Tahun 2004. Dalam UU tersebut antara lain dicantumkan larangan pengambilan terumbu karang. Satu hal yang tidak kalah pentingnya yang harus dilakukan pemerintah dalam mengelola sumberdaya laut adalah penegakan hukum secara tegas bagi setiap pelaku pelanggaran tanpa perbedaan perlakuan. Selanjutnya, kelompok nelayan dapat melakukan pengelolaan dengan menghindari aktivitas-aktivitas penangkapan ikan yang merusak sumberdaya laut, khususnya terumbu karang, di samping tidak melakukan eksploitasi secara berlebihan. Agar masyarakat, khususnya nelayan, dapat menghindari aktivitasaktivitas yang berpotensi merusak, diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai sumberdaya laut. Pengetahuan tersebut mencakup antara lain manfaat terumbu karang terhadap kehidupan manusia pada
|
37
umumnya dan ekosistem laut, khususnya, alat-alat dan cara penangkapan sumberdaya laut yang merusak terumbu karang serta peraturan-peraturan tertulis dan atau kesepakatan-kesepakatan tidak tertulis di antara masyarakat yang bertujuan untuk melindungi sumberdaya laut. Bagian ini membahas berbagai hal yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut, dengan penekanan pada isu-isu yang telah dikemukakan tersebut. 3.1. Pengetahuan, Sikap dan Kesadaran Terhadap Pengelolaan Terumbu Karang Pengelolaan terumbu karang mencakup semua upaya atau kegiatan yang bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup sumberdaya laut tersebut. Hal ini antara lain dilakukan melalui berbagai aktivitas, terutama dalam eksploitasi sumberdaya laut.yang tidak merusak. Pengrusakan terumbu karang oleh manusia dapat dihindari jika mereka mempunyai pengetahuan yang tepat mengenai berbagai hal yang terkait dengan kelestarian makhluk hidup tersebut. Pengetahuan yang dimiliki selanjutnya mempengaruhi sikap dan prilaku mereka, termasuk yang berpotensi menimbulkan kerusakan terumbu karang. Dengan pengetahuannya diharapkan manusia tidak melakukan aktivitas-aktivitas yang menimbulkan kerusakan terumbu karang. Namun sayangnya, meskipun telah mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai pengelolaan dan pelestarian terumbu karang, manusia masih berkontribusi terhadap kerusakannya. Tuntutan ekonomi, misalnya keinginan untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak, merupakan salah satu faktor pendorong dilakukannya kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang merusak terumbu karang seperti kapal trawl di areal yang dekat dengan garis pantai serta bahan-bahan yang menimbulkan kerusakan terumbu karang seperti bom, dan sianida. Selain itu, penegakan hukum yang lemah bagi pelanggaran terhadap peraturan mengenai kegiatan ekspsloitasi sumberdaya laut menyebabkan kerusakan sumberdaya laut, khususnya terumbu karang sulit dihindari.
38
|
Terkait dengan pengelolaan terumbu karang, khususnya, pengetahuan masyarakat mengenai kegiatan tersebut penting untuk diketahui. Informasi mengenai pengetahuan masyarakat terhadap segala hal yang berkaitan dengan pengelolaan dan pelestarian terumbu karang sangat diperlukan dalam merencanakan berbagai intervensi yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan sumberdaya laut yang sangat bermanfaat, baik bagi manusia maupun sumberdaya laut pada umumnya tersebut. 3.1.1. Pengetahuan dan Sikap Terhadap Terumbu Karang Sebagai masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai nelayan, penduduk Kelurahan Karas mempunyai pengetahuan mengenai terumbu karang, antara lain lokasi keberadaannya di perairan sekitar tempat tinggal mereka, manfaatnya, dan penyebab kerusakannya. Pengetahuan tersebut berasal dari berbagai sumber, termasuk pengalaman sehari-hari dalam kegiatan melaut. Di antara 100 responden yang mewakili masing-masing rumah tangga terpilih, mayoritas (92 persen) mengatakan bahwa terumbu karang termasuk jenis makhluk hidup. Hanya 1 persen yang menyatakan bahwa terumbu karang bukan makhluk hidup, sedangkan sisanya, 7 persen, tidak mengetahui apakah terumbu karang merupakan makhluk hidup atau makhluk tidak hidup. Di antara 92 orang responden yang mengetahui bahwa terumbu karang merupakan makhluk hidup, lebih dari separuh mengatakan bahwa sumberdaya laut tersebut termasuk kelompok tumbuhtumbuhan. Sekitar seperempat di antara mereka menjawab bahwa terumbu karang merupakan makhluk hidup berupa hewan, sementara hampir seperlimanya menjawab bahwa terumbu karang adalah makhluk hidup gabungan antara hewan dan tumbuh-tumbuhan (Gambar 3.1).
|
39
Gambar 3.1 Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Jenis Makhluk Hidup Terumbu Karang, Kelurahan Karas (%) 60
53.3
50 40 30
26.1 19.5
20 10 1.1 0 Hew an
Tumbuhtumbuhan
Hew an dan tumbuhtumbuhan
Tidak tahu
Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, Kota Batam, 2007.
Berdasarkan data pada Gambar 3.1 dapat dikatakan bahwa responden mempunyai pengetahuan yang cukup baik mengenai penggolongan jenis makhluk hidup dari terumbu karang. Pengetahuan yang memadai yang dimiliki responden tersebut merupakan potensi/pendukung dalam upaya penyelamatan dan pelestarian terumbu karang. Sebagai masyarakat nelayan yang kehidupan kesehariannya sangat terkait dengan laut, penduduk Kelurahan Karas mempunyai pengetahuan mengenai keberadaan terumbu karang, dalam arti lokasi dan kondisinya, di sekitar mereka. Hal ini terlihat dari hasil PRA (participatory rapid appraisal) yang dilakukan bersama dengan beberapa narasumber yang kebanyakan bekerja sebagai nelayan di lokasi penelitian. Menurut peserta PRA, perairan Kelurahan Karas mempunyai beberapa lokasi hamparan terumbu karang dan sebagian besar sumberdaya laut tersebut berada dalam kondisi baik. Terumbu karang yang mempunyai kondisi paling baik adalah terumbu Kecil yang berlokasi di sebelah barat laut Pulau Karas. Terumbu Besar yang
40
|
terletak di antara Pulau Karas dengan terumbu Kecil berada dalam kondisi baik. Di sebelah selatan Pulau Karas, terdapat terumbu yang juga dalam kondisi baik, yaitu terumbu Air Tangkai dan terumbu Batu Putih. Selain keempat terumbu yang baik kondisinya tersebut, terdapat beberapa terumbu lainnya yang terletak menyebar mengelilingi Pulau Karas, namun kondisinya tidak sebagus terumbu Besar, terumbu Kecil, terumbu Air Tangkai, dan terumbu Batu Putih. Terumbu-terumbu yang dimaksud adalah terumbu Semanda dan terumbu Babi yang terletak di sebelah barat terumbu Kecil, terumbu Sekuci yang berlokasi di sebelah timur terumbu Batu Putih dan terumbu Lasim di sebelah selatan terumbu Sekuci. Selanjutnya, terdapat pula terumbu Air Lang yang berada jauh di sebelah selatan Pulau Karas dan berjarak lebih dekat ke Pulau Korek Mentigi. Peta 3.1 Peta Partisipatif Wilayah Tangkap Nelayan Kelurahan Karas
|
41
Di samping mempunyai pengetahuan yang cukup baik mengenai jenis makhluk hidup terumbu karang, responden penelitian ini juga mempunyai pengetahuan yang baik mengenai kegunaan terumbu karang. Pengetahuan mengenai manfaat terumbu karang bahkan lebih baik daripada pengetahuan tentang jenis makhluk hidup sumberdaya laut tersebut. Hal ini terlihat dari data pada Tabel 3.1, yaitu mayoritas responden mengetahui fungsi ekologis terumbu karang. Jika dilihat lebih detil, hampir semua responden (99 persen) mengetahui bahwa sumberdaya laut tersebut berfungsi sebagai tempat ikan hidup, bertelur, dan mencari makan. Sebanyak 97 persen di antara mereka mengetahui bahwa terumbu karang berguna untuk melindungi keragaman ikan dan biota laut lainnya, serta 90 persen mengetahui fungsi terumbu karang sebagai pelindung pantai dari terjangan ombak dan badai. Sejalan dengan fungsi ekologis terumbu karang, sebanyak 89 persen responden mengemukakan bahwa jenis sumberdaya laut ini juga mempunyai manfaat sebagai sumber pendapatan masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh para ilmuwan, antara lain Soekarno (2001) yang mengatakan bahwa terumbu karang bermanfaat sebagai potensi perikanan bagi daerah. Jika diurut sampai ke tingkat paling rendah, maka kegiatan perikanan merupakan sumber mata pencaharian yang dominan bagi masyarakat pesisir dan kepulauan, seperti penduduk yang tinggal di Kelurahan Karas. Pengetahuan tentang manfaat terumbu karang yang dimiliki masyarakat kemungkinan besar diperoleh secara turun temurun dari generasi sebelumnya, di samping dari pengalaman mereka selama melakukan kegiatan melaut. Selain itu, kegiatan Coremap yang telah dilaksanakan selama beberapa waktu terakhir di Kelurahan Karas kemungkinan juga memberi kontribusi terhadap pengetahuan masyarakat mengenai kegunaan terumbu karang. Hal ini karena salah satu kegiatan yang dilakukan Coremap adalah pemberian pemahaman kepada masyarakat mengenai segala hal yang terkait dengan keberadaan terumbu karang, termasuk manfaatnya. Berbeda dengan pengetahuan mengenai fungsi ekologis terumbu karang, pengetahuan responden mengenai fungsi ekonomis sumberdaya laut tersebut masih relatif kurang baik. Kecuali sebagai
42
|
sumber pendapatan, proporsi mereka yang mempunyai pengetahuan mengenai manfaat terumbu karang dari sisi ekonomi jauh lebih kecil. Hal ini terlihat dari mereka yang mengetahui bahwa terumbu karang, khususnya yang sudah mati, bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk keperluan sendiri, misalnya pembangunan rumah (70 persen). Proporsi responden yang mengetahui kegunaan terumbu karang sebagai tempat wisata bahkan paling kecil (34 persen) di antara berbagai manfaat terumbu karang. Kenyataan ini dapat dimaklumi mengingat sampai saat ini upaya untuk menjadikan kawasan terumbu karang sebagai obyek wisata masih sangat terbatas. Di Kelurahan Karas, khususnya, sumberdaya alam yang telah dimanfaatkan sebagai tempat/obyek wisata baru terbatas pada pantai, yaitu Tanjung Budus yang terletak di ujung Pulau Karas, walaupun pengunjungnya belum terlalu banyak (wawancara dengan pegawai pemerintah di Kelurahan Karas). Sebaliknya, terumbu karang dengan segala keindahan yang dimilikinya belum dimanfaatkan sebagai salah satu obyek wisata yang berpotensi menghasilkan pendapatan daerah. Akibatnya, masyarakat juga tidak mempunyai pengetahuan mengenai manfaat ekosistem terumbu karang untuk sektor pariwisata. Tabel 3.1 Pengetahuan Responden Tentang Kegunaan Terumbu Karang, Kelurahan Karas (%) (N=100) Kegunaan terumbu karang Tempat ikan hidup, bertelur, mencari makan Melindungi keragaman ikan/biota laut Melindungi pantai dari ombak dan badai Sumber bahan baku untuk keperluan sendiri Sumber pendapatan masyarakat Tempat wisata Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Indonesia, 2007.
Ya 99,0
Tidak 1,0
Jumlah 100,0
97,0 90,0
3,0 10,0
100,0 100,0
70,0
30,0
100,0
89,0 11,0 100,0 34,0 66,0 100,0 Aspek Sosial Terumbu Karang
|
43
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, penduduk Kelurahan Karas, antara lain yang menjadi peserta PRA, mengetahui kondisi terumbu karang yang terdapat di perairan sekitar tempat tinggal mereka. Hal yang sama juga ditemukan pada mereka yang menjadi responden penelitian. Sebanyak 90 persen responden mempunyai pengetahuan mengenai kondisi terumbu karang, sementara sisanya tidak mengetahui kondisi sumberdaya laut tersebut. Dari seluruh responden yang mengetahui kondisi terumbu karang di perairan sekitar Kelurahan Karas, hampir 60 persen mengatakan bahwa sumberdaya laut tersebut berada dalam keadaan baik. Sekitar seperempat mengatakan bahwa terumbu karang mempunyai kondisi kurang baik, sedangkan 5 persen mereka mengemukakan bahwa terumbu karang dalam kondisi rusak dan sangat rusak (Gambar 3.2). Pengetahuan responden tersebut sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Tim Ekologi Coremap Pusat. Rata-rata tutupan karang di perairan wilayah Kelurahan Karas adalah 55,64 persen yang termasuk kategori baik (lihat Bab I). Gambar 3.2 Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Kondisi Terumbu Karang di Perairan Sekitar Kelurahan Karas (%) 10
Tidak tahu
1
Sangat rusak
Rusak
4
Kurang baik
26
Baik
59
0
10
20
30
40
50
60
70
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007.
44
|
Meskipun 60 persen responden mengatakan bahwa kondisi terumbu karang tergolong baik, proporsi mereka yang berpendapat bahwa upaya perbaikan dan pelestarian sumberdaya laut tempat hidup ikan dan berbagai biota laut tersebut perlu dilakukan, jauh lebih besar. Hal ini terlihat dari sebanyak 94 persen responden yang berpendapatan bahwa terumbu karang perlu diperbaiki dan dilestarikan. Jika dikaitkan dengan proporsi responden menurut pengetahuan tentang kondisi terumbu karang, proporsi mereka yang menyatakan perlunya perbaikan dan pelestarian terumbu karang adalah tiga kali lebih besar daripada mereka yang mengatakan bahwa kondisi terumbu karang kurang baik, rusak, dan rusak parah (31 persen). Kenyataan ini memperlihatkan bahwa responden yang mengetahui bahwa kondisi terumbu karang saat ini tergolong baik juga tetap menginginkan dilakukannya upaya perbaikan dan pelestarian terumbu karang. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh pengetahuan yang cukup baik mengenai fungsi terumbu karang, khususnya sebagai tempat hidup ikan dan biota laut lainnya. Dengan kondisi terumbu karang yang bagus, banyak ikan dan biota laut bisa hidup yang pada gilirannya menyebabkan penduduk bisa memperoleh pendapatan yang besar dari kegiatan melaut. Keinginan kuat masyarakat untuk memperbaiki dan melestarikan terumbu karang, seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian, merupakan faktor positif yang merupakan pendukung bagi pelaksanaan kegiatan Coremap. Masyarakat dengan kondisi tersebut cenderung mudah diajak untuk bekerja sama dalam berbagai upaya pelestarian terumbu karang. Upaya-upaya tersebut termasuk menjaga terumbu karang dari pengrusakan, baik yang dilakukan oleh penduduk setempat maupun oleh penduduk dari daerah lain, seperti penggunaan alat dan teknologi yang mengancam kehidupan sumberdaya laut tersebut. Sejalan dengan pendapat responden mengenai besarnya manfaat terumbu karang, mayoritas mereka (81 persen) tidak menyetujui pengambilan terumbu karang yang masih hidup. Fenomena ini memperlihatkan bahwa pengetahuan tentang manfaat terumbu karang menimbulkan sikap yang positif terhadap upaya untuk menjaga
|
45
kelestariannya. Namun demikian, masih ditemukan sebanyak 12 persen responden yang setuju dengan kegiatan pengambilan terumbu karang hidup, sedangkan sisanya tidak mengemukakan pendapat mereka tentang kegiatan tersebut. Proporsi ini berbeda dengan sikap terhadap pengambilan terumbu karang yang sudah mati. Mereka yang menyetujui kegiatan pengambilan terumbu karang mati meningkat dengan tajam menjadi 56 persen. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa pengambilan terumbu karang mati tidak mempengaruhi kondisi terumbu karang lain yang masih hidup. 3.1.2. Pengetahuan dan Sikap Terhadap Alat Tangkap yang Merusak Terumbu Karang Kerusakan terumbu karang terjadi karena berbagai faktor, baik akibat ulah manusia maupun kondisi alam. Dari sisi manusia, kerusakan yang dominan terjadi akibat penggunaan alat tangkap yang merusak terumbu karang, seperti yang terjadi di banyak daerah di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini menggali pengetahuan penduduk mengenai jenis alat tangkap yang bisa merusak terumbu karang. Informasi tersebut diperlukan dalam upaya pelestarian terumbu karang, antara lain pencegahan penggunaan alat tangkap yang merusaknya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa responden mempunyai pengetahuan yang cukup baik mengenai jenis-jenis alat tangkap yang merusak terumbu karang. Lebih dari 90 persen responden mengatakan bahwa bom, sianida/racun/tuba, dan trawl/pukat harimau/pukat ular/lampara dasar merupakan jenis-jenis bahan dan alat tangkap yang merusak terumbu karang (Tabel 3.2). Hampir semua responden (99 persen) bahkan menyatakan bahwa kerusakan terumbu karang terjadi karena penggunaan bom dalam menangkap ikan. Walaupun di wilayah Kelurahan Karas hampir tidak pernah ada nelayan, baik penduduk setempat maupun yang berasal dari luar daerah, yang menangkap ikan menggunakan bom (hasil FGD dengan beberapa narasumber/nelayan di lokasi penelitian), responden mempunyai pengetahuan yang sangat baik mengenai kerusakan yang
46
|
ditimbulkannya. Besar kemungkinan pengalaman selama bekerja sebagai nelayan dalam waktu lama memberikan mereka pengetahuan mengenai kerusakan yang terjadi akibat penggunaan jenis bahan yang merusak terumbu karang, termasuk bom. Selain itu, kegiatan Coremap yang antara lain memberikan pengetahuan mengenai hal-hal yang terkait dengan terumbu karang, termasuk faktor-faktor yang menyebabkan kerusakannya, juga berperan dalam memberi pengetahuan kepada masyarakat mengenai berbagai alat tangkap dan bahan yang bisa menghancurkan ekosistim terumbu karang. Fenomena yang sama juga ditemukan pada penggunaan sianida/racun/tuba dan kapal trawl/pukat harimau sebagai bahan dan alat untuk menangkap ikan (masing-masing 95 persen dan 93 persen secara berturut-turut). FGD di lokasi penelitian mendapatkan bahwa tidak pernah ada penggunaan sianida/racun/tuba serta kapal trawl/pukat harimau dalam kegiatan penangkapan ikan di perairan Kelurahan Karas, baik oleh penduduk setempat maupun nelayan asal luar lokasi. Namun demikian, responden mempunyai pengetahuan yang baik mengenai kerusakan terumbu karang akibat penggunaan bahan dan alat tangkap tersebut. Sekali lagi, kemungkinan besar pengetahuan tersebut diperoleh dari berbagai sumber, termasuk dari berbagai kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh Coremap. Tabel 3.2 Pengetahuan Responden Tentang Alat Tangkap yang Merusak Terumbu Karang, Kelurahan Karas (%) (N=100) Bahan dan alat tangkap yang merusak terumbu karang
Ya
Tidak
Jumlah
Bom 99,0 1,0 100,0 Bagan tancap 22,0 78,0 100,0 Bagan apung 8,0 92,0 100,0 Sianida/racun/tuba 95,0 5,0 100,0 Bubu/perangkap ikan 18,0 82,0 100,0 Trawl/pukat harimau/pukat ular/lampara dasar 93,0 7,0 100,0 Jaring apung 11,0 89,0 100,0 Pancing 6,0 94,0 100,0 Tombak/panah 24,0 76,0 100,0 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007.
|
47
Selain pengetahuan mengenai ketiga jenis bahan dan alat yang penggunaannya menimbulkan kerusakan terumbu karang, responden juga mempunyai pengetahuan yang baik tentang alat tangkap lainnya. Sebagian besar responden mengemukakan bahwa penggunaan alat tangkap seperti pancing, bagan apung dan jaring apung tidak menyebabkan kerusakan terumbu karang. Dalam kenyataan, penggunaan alat-alat tesebut, terutama pancing memang tidak merusak terumbu karang. Penggunaan pancing yang terdiri dari tali dan mata pancing tidak bersentuhan dengan terumbu karang yang terletak di dasar laut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa responden mempunyai pengetahuan yang baik mengenai jenis alatalat tangkap yang tidak membahayakan terumbu karang. Meskipun secara umum responden mempunyai pengetahuan yang cukup baik mengenai bahan dan alat tangkap yang mengganggu kelangsungan hidup terumbu karang, hal tersebut tidak berlaku untuk bagan tancap dan bubu. Lebih dari seperempat responden mengatakan bahwa kedua alat tersebut tidak merusak terumbu karang. Namun, dalam kenyataan, pendapat tersebut tidak sepenuhnya tepat karena beberapa jenis bubu dapat menimbulkan kerusakan terumbu karang saat ditempatkan di dasar laut. Untuk menempatkan dan mengangkat jenis bubu tertentu dari dasar laut, ada bagian karang yang harus diangkat. Ada kemungkinan karena pertanyaan dalam penelitian ini tidak membedakan jenis bubu, maka jawaban responden lebih ditujukan untuk jenis bubu yang penggunaannya tidak menimbulkan kerusakan terumbu karang. Hal yang sama juga berlaku untuk bagan tancap yang harus dipasang dengan cara menancapkannya ke dasar laut. Kegiatan tersebut berpotensi menimbulkan kerusakan pada terumbu karang, namun mayoritas responden tidak menganggapnya berpotensi menimbulkan kerusakan. Kenyataan di atas tidak hanya ditemukan di antara responden penelitian di Kelurahan Karas. Penelitian yang sama yang dilakukan pada tahun 2005 di Kelurahan Pulau Abang, Kota Batam juga mendapatkan bahwa bubu dan bagan tancap tidak menyebabkan rusaknya terumbu karang (Romdiati & Noveria, 2005). Berdasarkan kenyataan ini diperlukan upaya untuk memberikan pengetahuan yang
48
|
tepat mengenai kerusakan terumbu karang yang bisa timbul akibat penggunaan kedua jenis alat tangkap tersebut. 3.1.3. Pengetahuan dan Sikap Terhadap Peraturan dan Larangan yang Terkait Dengan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Dalam upaya melestarikan dan memperbaiki kondisi terumbu karang, pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan yang mengatur pemanfaatan sumberdaya laut. Salah satu di antaranya adalah UU No. 9 Tahun 85 yang dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa penggunaan bom dalam menangkap ikan merupakan tindak pidana yang diancam sanksi hukuman kurungan selama 10 tahun dan denda sebesar Rp. 100 juta,- (http://dte.gn.apc.org/45iCR.htm). Sejalan dengan upaya pelestarian sumberdaya laut yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah Kota Batam juga telah mengeluarkan kebijakan untuk melindungi sumberdaya alam tersebut. Salah satu di antaranya adalah penetapan wilayah perlindungan laut melalui pembangunan Taman Nasional Laut di arah barat-utara Kelurahan Pulau Abang. Kebijakan ini dituangkan dalam Perda No. 2/2004 tentang Matra Laut. Dengan ditetapkannya kebijakan tersebut, yang wilayah termasuk areal Taman Nasional Laut terhindar dari kegiatan penangkapan ikan yang berpotensi menimbulkan kerusakan terumbu karang dan sumberdaya laut pada umumnya. Masih terkait dengan upaya menjaga kelestarian terumbu karang, pemerintah Kota Batam bekerjasama dengan peneliti dari BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) pada bulan Juli-September 2007 telah menempatkan beberapa unit terumbu karang buatan (dari beton) di perairan Pulau Abang (Setiawan, 2007). Penempatan terumbu karang buatan tersebut bertujuan untuk mengurangi penangkapan ikan di areal terumbu karang alami. Hal ini karena dalam jangka panjang terumbu karang buatan ini akan ditumbuhi tumbuhan laut, sehingga dapat menarik ikan untuk berkumpul di sekitarnya. Ada kemungkinan berbagai kebijakan dan peraturan perundangundangan tentang pengelolaan sumberdaya laut tidak diketahui oleh masyarakat luas. Hasil penelitian ini merupakan fakta bahwa
|
49
peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah tidak menyebar secara luas kepada masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian ini, hampir 40 persen responden tidak mengetahui adanya peraturan yang melarang pengambilan dan pengrusakan karang. Terkait dengan kegiatan penangkapan ikan dan biota laut lainnya, sekitar seperempat responden tidak mengetahui adanya peraturan yang memuat larangan penggunaan bom dalam kegiatan tersebut. Selanjutnya, sekitar sepertiga di antara mereka juga tidak mengetahui larangan pemakaian sianida/racun/tuba dan penggunaan kapal trawl/pukat harimau dalam kegiatan penangkapan ikan (Tabel 3.3). Ada kemungkinan hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi terhadap peraturan-peraturan tersebut, sehingga masih cukup banyak anggota masyarakat yang tidak mengetahui keberadaannya. Namun, ketidaktahuan mereka terhadap peraturan-peraturan yang ada tidak menimbulkan dampak negatif karena hampir tidak ada penduduk yang melakukan kegiatan penangkapan ikan menggunakan bahan dan alat yang dilarang seperti di atas. Dari sekitar seperempat responden yang mengetahui larangan penggunaan bom untuk menangkap ikan, sebanyak 91 persen menyatakan setuju dengan peraturan tersebut. Kenyataan yang sama juga ditemukan pada respon penduduk terhadap larangan penggunaan sianida/racun/tuba dan armada trawl/pukat harimau. Meskipun hanya sekitar dua per tiga dari responden yang mengetahui keberadaan peraturan yang melarang penggunaan bahan dan armada tangkap tersebut, mayoritas mengatakan setuju dengan peraturan-peraturan yang ada. Fenomena ini sejalan dengan keinginan mayoritas responden untuk melestarikan dan memperbaiki terumbu karang, seperti telah dibahas sebelumnya. Dari sisi program pelestarian dan perbaikan terumbu karang, seperti Coremap, sikap responden tersebut merupakan dukungan yang berarti dan harus dimanfaatkan dengan baik agar sasaran yang ditetapkan bisa tercapai.
50
|
Tabel 3.3 Distribusi Responden Menurut Pengetahuan dan Sikap Terhadap Larangan Penggunaan Bahan dan Alat Tangkap yang Merusak Terumbu Karang, Kelurahan Karas (%) Bahan dan alat tangkap
Tahu
Pengetahuan Tidak Jumlah tahu (N)
Bom
78,0
22,0
Sianida/racun/tuba
67,0
33,0
Trawl/pukat harimau
66,0
34,0
100,0 (N) 100,0 (N) 100,0 (N)
Setuju
Sikap Tidak setuju
91,0
9,0
91,0
9,0
94,0
6,0
Jumlah (N) 100,0 (78) 100,0 (67) 100,0 (66)
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang
Indonesia, 2007.
Penelitian ini menemukan bahwa tidak semua responden yang mengetahui adanya larangan penggunaan bahan dan alat yang merusak terumbu karang juga mengetahui sanksi terhadap pelanggaran larangan tersebut. Artinya, pengetahuan mengenai larangan tersebut tidak diikuti dengan pengetahuan mengenai sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran yang terjadi. Data pada Tabel 3.4 memperlihatkan bahwa proporsi mereka yang mengetahui sanksi untuk pelanggaran larangan penggunaan bahan dan alat yang merusak terumbu karang adalah sekitar tiga perempat sampai dengan empat perlimanya. Berdasarkan kenyataan ini dapat dikatakan bahwa penyampaian informasi/sosialisasi mengenai peraturan-peraturan yang ada tidak dilakukan secara menyeluruh. Dengan demikian, agar masyarakat dapat mengetahui peraturan perundang-undangan berikut sanksi atas pelanggaran terhadapnya, maka pelaksanaan kegiatan sosialisasi berbagai peraturan perlu disempurnakan.
|
51
Tabel 3.4 Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Sanksi Terhadap Penggunaan Bahan dan Alat Tangkap yang Merusak Terumbu Karang, Kelurahan Karas (%) Bahan dan alat tangkap Bom Sianida/racun/tuba Trawl/pukat harimau Sumber: Data Primer, Survei Data Indonesia, 2007.
Ya 79,5 74,6 75,8 Dasar Aspek
Tidak
Jumlah (N)
20,5 100,0 (78) 25,3 100,0 (67) 24,2 100,0 (66) Sosial Terumbu Karang
3.2. Pengelolaan Produksi: Pemanfaatan, Pemasaran dan Pengolahan Pasca Panen Seperti halnya nelayan di berbagai daerah lainnya, hasil tangkapan nelayan Kelurahan Karas dijual untuk konsumsi di dalam dan luar negeri. Pemasaran hasil tangkapan dilakukan dengan bantuan pedagang pengumpul yang biasanya juga berstatus sebagai pemilik modal/tauke12. Tauke membeli hasil produksi nelayan yang menjadi anak buahnya (penduduk setempat menyebutnya dengan istilah ”anak pajak”) dan karena kebanyakan mereka berhutang13 kepada tauke, maka sebagian hasil penjualan diperhitungkan sebagai cicilan hutang. Namun, tauke tidak hanya membeli hasil tangkapan nelayan yang menjadi anak buahnya. Hasil tangkapan nelayan yang tidak berhutang kepada tauke pun biasanya juga dibeli oleh pemilik modal tersebut. 12
13
52
Secara keseluruhan terdapat 10 orang tauke di Kelurahan Karas. Tiga orang di antaranya tergolong tauke besar yang mempunyai anak buah sebanyak 15-20 orang dan juga mempunyai pelabuhan pendaratan ikan pribadi. Sebagian anak buah mempunyai hutang kepada tauke dalam bentuk uang, baik untuk modal melaut maupun untuk keperluan rumah tangga mereka. Untuk kegiatan melaut mereka menggunakan armada dan alat tangkap yang milik sendiri. Namun, ada pula anak buah yang tidak mempunyai armada dan alat tangkap, sehingga hubungannya dengan tauke tidak hanya dalam bentuk peminjaman uang, melainkan juga penggunaan armada dan peralatan milik tauke.
|
Terdapat dua jalur pemasaran ikan yang dibeli oleh pedagang pengumpul di lokasi, sesuai dengan skala usaha tauke-tauke yang bersangkutan. Tauke besar menjual sebagian ikan yang dibelinya dari nelayan, baik yang berstatus sebagai ”anak pajak”nya maupun nelayan yang lain, ke Singapura. Ikan-ikan yang dipasarkan ke negara tetangga tersebut adalah jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti ikan kerapu, ikan hiu, dan udang lobster. Jenis-jenis ikan yang tidak berharga jual tinggi seperti ikan tamban, selar, dan ikan gelam dijual di pasar dalam negeri, khususnya di Tanjung Pinang. Bagi tauke kecil, ikan yang dikumpulkan (dibeli) dari nelayan Kelurahan Karas dibawa ke Tanjung Pinang untuk dijual kepada tauke yang mempunyai skala usaha lebih besar14. Sama halnya dengan tauke-tauke besar di Kelurahan Karas, oleh tauke-tauke di ibukota Provinsi Kepulauan Riau tersebut, jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi dikirim ke Singapura, sementara jenis-jenis lainnya dijual ke pasar Tanjung Pinang. Rantai pemasaran hasil tangkapan nelayan Kelurahan Karas dapat dilihat pada Gambar 3.4. Gambar 3.3 Rantai Pemasaran Hasil Tangkapan Nelayan Kelurahan Karas Penampung di Tg. Pinang
Penampung di Karas
Pasar Singapura (ikan bernilai ekonomi tinggi)
Pasar Tg. Pinang (ikan bernilai ekonomi rendah)
Nelayan (+ anak buah)
Sumber: Wawancara dan FGD dengan narasumber di Kelurahan Karas. 14
Sering pula tauke kecil di Kelurahan Karas merupakan anak buah dari tauke besar di Tanjung Pinang. Di antara mereka terjalin hubungan kerja sama yang diikat dengan kegiatan utang piutang. Layaknya hubungan tauke dengan anak buah, tauke kecil berhutang harus menjual ikan kepada tauke besar yang memberi hutang.
|
53
Hasil tangkapan nelayan dijual kepada pedagang pengumpul di darat maupun di laut. Nelayan yang menjual hasil tangkapannya di darat adalah mereka yang pergi dan pulang melaut dalam sehari. Bagi mereka yang melaut lebih dari satu hari, seperti sebagian nelayan Kampung Padang (penjelasan mengenai nama kampung ini ada di Bagian 3.3) yang melaut selama 1 minggu-10 hari, hasil tangkapan dijual kepada tauke di laut. Keadaan ini merupakan hal yang lazim karena sebagian tauke mempunyai kapal yang berkeliling di perairan lokasi penangkapan nelayan untuk membeli ikan dari nelayan. Kotak 1. Ibu S, salah seorang tauke ’kecil’ di Kelurahan Karas Ibu S adalah salah seorang penampung kecil di kampung Darat Pulau, Kelurahan Karas. Suaminya masih sering turun ke laut meskipun sudah berstatus sebagai tauke (bersama dengan istrinya). Dalam melakukan pekerjaannya, ibu S bekerjasama dengan seorang tauke di Tanjung Pinang. Dengan demikian, ibu S berstatus sebagai anak buah dari tauke tersebut. Taukenya di Tanjung Pinang memberi bantuan kepada ibu S berupa pinjaman uang untuk membeli mesin/motor perahu dan peralatan tangkap. Karena berhutang kepada tauke, ibu S ”harus” menjual ikan-ikan yang dikumpulkannya di Kelurahan Karas kepada tauke tersebut. Menurut ibu S, tauke tidak pernah marah meskipun ibu S tidak menjual ikan kepada tauke. Namun, karena merasa punya ikatan, ibu S selalu menjual ikan kepada taukenya di Tanjung Pinang. Padahal, pada musim-musim ikan tertentu, misalnya ikan tenggiri, banyak pembeli yang datang dari Batam untuk membeli ikan kepadanya. Hal ini karena satu alasan, yaitu ”karena kami juga takut dengan tauke di Pinang”. Biasanya ibu S membawa ikan ke Tanjung Pinang jika semuanya mempunyai harga jual sebesar Rp. 100.000,- - Rp. 200.000,-. Kalau harga jual ikan yang dibawa kurang dari harga tersebut, maka ibu S tidak mendapat keuntungan. Dengan harga jual tersebut, keuntungan yang diperoleh hanya sekitar Rp. 20.000,-, setelah dikurangi biaya pengangkutan dan pembelian es. Ongkos angkut satu fiber (wadah untuk membawa ikan) berukuran kecil ke Tanjung Pinang adalah Rp. 13.000,-, sedangkan untuk fiber yang berukuran besar sebamyak Rp. 18.000,-. (Narasumber : ibu S)
54
|
Nelayan Pulau Mubut (RW V Kelurahan Karas) menjual ikan hasil tangkapan kepada tauke di Tanjung Pinang. Hal ini karena tidak ada pedagang pengumpul yang tinggal di wilayah ini. Hasil tangkapan nelayan pulau ini biasanya dijual kepada nelayan yang mempunyai uang untuk membeli es (bukan pedagang pengumpul) dan kemudian membawanya ke Tanjung Pinang untuk dijual kepada tauke di sana. Namun, sebagian lainnya mempunyai strategi yang berbeda dalam memasarkan hasil tangkapan mereka. Salah satu cara yang ditempuh adalah membawa hasil tangkapan beberapa orang nelayan bersamasama dalam satu perahu dan biaya perjalanan, terutama untuk membeli bahan bakar ditanggung bersama. Selanjutnya, ada pula yang hanya menitipkan hasil tangkapannya kepada nelayan yang akan pergi ke Tanjung Pinang tanpa kewajiban untuk membayar biaya pengangkutan (wawancara dengan narasumber di lokasi penelitian). Harga jual ikan di tingkat nelayan bervariasi menurut jenisnya serta musim, dalam arti permintaan konsumen. Berdasarkan informasi dari narasumber di lokasi penelitian, harga ikan karang yang paling tinggi adalah jenis kerapu, terutama kerapu merah hidup. Ikan jenis ini dalam kondisi hidup dijual dengan harga Rp. 170.000,- - Rp. 200.000,-/kg. Jenis kerapu sunu mempunyai harga yang lebih tinggi, yaitu Rp. 180.000,-/kg pada saat tahun baru Imlek. Selanjutnya, ikan hiu mempunyai nilai jual sebesar Rp. 100.000,-/kg untuk yang berukuran 20 kg/ekor. Hal ini kemungkinan karena tingginya permintaan pada saat hari raya etnis Cina tersebut. Harga beberapa jenis ikan yang biasa ditangkap nelayan Kelurahan Karas dapat dilihat pada Tabel 3.5.
|
55
Tabel 3.5 Harga Beberapa Jenis Ikan di Batam dan Tanjung Pinang Jenis Ikan
Harga/kg Kelurahan Karas
Tanjung Pinang
Ikan pari Rp. 9.000,Rp. 12.000,Ikan krosok Rp. 10.000,Rp. 15.000,Ikan lebam (super) Rp. 20.000,Rp. 28.000,Sotong batu Rp. 8.000,- - Rp. 9.000,Rp. 13.000,- - Rp. 14.000,Ikan belanak Rp. 12.000,Rp. 15.000,Ikan sebelah* Rp. 10.000,0 Rp. 17.000,* Harga ikan ini bervariasi sesuai dengan ukuran tiap ekornya. Harga di atas adalah untuk ikan berukuran 1 ons/ekor. Sumber: wawancara dan FGD dengan narasumber di lokasi penelitian.
Selain dijual dalam bentuk ikan segar, ada jenis ikan lain yang dijual setelah diolah oleh penduduk Kelurahan Karas. Jenis ikan ini adalah ikan bilis, ikan gulama, dan ikan memperang. Ikan bilis ditangkap di perairan dekat kelurahan ini menggunakan pukat bilis, sedangkan ikan gulama dan ikan memperang adalah ikan yang tersangkut pada jaring udang. Jenis-jenis ikan tersebut diolah dengan cara mengeringkannya. Pengolahan ikan kering ini merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dan hasilnya juga dijual ke Tanjung Pinang. Pengolahan ikan hasil tangkapan nelayan juga dilakukan untuk membuat kerupuk ikan. Seperti halnya pembuatan ikan kering, kerupuk ikan juga dibuat oleh kelompok perempuan. Dengan berlangsungnya kegiatan Coremap, kelompok pembuat kerupuk ikan ini menjadi salah satu target kegiatan mata pencaharian alternatif dan kelompok jender. 3.3. Wilayah Pengelolaan Wilayah pengelolaan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk wilayah yang biasa dimanfaatkan oleh nelayan Kelurahan Karas sebagai lokasi penangkapan ikan dan sumberdaya laut lainnya. Informasi mengenai wilayah pengelolaan ini sangat diperlukan dalam
56
|
upaya melestarikan dan memperbaiki kondisi terumbu karang. Hal ini terkait dengan cakupan wilayah yang akan menjadi target dalam berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan dalam program tersebut. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari narasumber-narasumber di lokasi penelitian diketahui bahwa nelayan Kelurahan Karas tidak mempunyai wilayah penangkapan yang khusus, dalam arti daerah yang hanya dapat dimanfaatkan oleh mereka. Nelayan kelurahan ini dapat dengan bebas melakukan penangkapan di seluruh wilayah perairan Batam dan Kepulauan Riau pada umumnya. Dengan kata lain, wilayah penangkapan mereka mencakup seluruh lokasi yang dapat dicapai dengan armada tangkap yang mereka gunakan. Selain itu, wilayah penangkapan juga sangat ditentukan oleh kondisi cuaca. Jika cuaca baik, misalnya tidak ada angin besar dan laut tenang, nelayan bisa mencapai lokasi penangkapan yang jauh dari tempat tinggal mereka. Sebaliknya, dalam kondisi angin dan gelombang besar, mereka hanya menangkap ikan di lokasi yang tidak jauh dari pantai. Keadaan di atas terjadi karena tidak ada aturan, baik formal maupun aturan tidak formal mengenai wilayah penangkapan, khususnya, dan pengelolaan sumberdaya laut pada umumnya. Hal ini terlihat dari jawaban responden terhadap pertanyaan mengenai keberadaan aturan adat tentang pengelolaan sumberdaya laut di wilayah Kelurahan Karas. Lebih dari tiga per empat responden (77 persen) mengatakan bahwa tidak ada aturan adat yang mengatur pengelolaan sumberdaya laut. Sisanya, sebanyak 15 persen menjawab ”tidak tahu”, sementara 8 persen lainnya mengatakan bahwa di kelurahan ini ada aturan adat yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut. Jika ditelusur lebih lanjut, ada kemungkinan 15 persen responden menjawab ”tidak tahu” karena sesungguhnya memang tidak ada aturan adat tersebut. Sementara itu, jawaban 8 persen responden lainnya masih diragukan karena narasumber-narasumber yang memberi informasi kualitatif dalam penelitian ini mengemukakan bahwa tidak ada aturan adat mengenai pengelolaan sumberdaya laut.
|
57
Meskipun tidak ada aturan/ketentuan yang secara khusus mengatur wilayah penangkapan dan pengelolaan sumberdaya laut, masyarakat nelayan dengan kearifannya telah melakukan pengelolaan sumberdaya laut. Sebagai contoh, mereka mempunyai wilayah tangkap untuk jenis-jenis sumberdaya laut yang berbeda, sesuai dengan keberadaan populasinya. Dari hasil PRA dengan beberapa nelayan diketahui bahwa wilayah penangkapan ikan karang berlokasi di sekeliling terumbu Kecil dan keliling sebagian (sebelah barat) terumbu Besar. Wilayah tangkap ikan ”lari” seperti bawal, selikur, selar dan tamban/bulat adalah di bagian utara terumbu Kecil, terutama di rumpon yang dipasang oleh nelayan kelurahan ini. Lokasi penangkapan kepiting dan udang adalah di sebelah utara Pulau Karas, yaitu di daerah sebelum Pulau Pangkil. Selanjutnya, lokasi untuk menangkap ketam terletak di bagian selatan Pulau Karas. Semua lokasi tangkap yang telah disebutkan berjarak tidak jauh dari Pulau Karas. Lokasi tangkap yang terletak agak jauh dari pulau ini adalah untuk sumberdaya laut selain ikan, yaitu teripang dan rumput laut. Walaupun tidak besar volumenya, populasi teripang terdapat di sebelah barat daya Pulau Karas, hampir mendekati ujung Pulau Galang dan Tanjung Dahan. Selanjutnya, pengambilan rumput laut dilakukan di sebelah barat Pulau Karas dan lebih dekat ke arah Pulau Galang. Selain daerah tangkap menurut lokasi keberadaan sumberdaya laut, juga ada ”pembagian” wilayah tangkap berdasarkan lokasi tempat tinggal mereka15. Pembagian ini lebih didasarkan pada kedekatan daerah tangkap dengan tempat tinggal karena kebanyakan nelayan mempunyai armada tangkap dengan kapasitas jelajah dalam jarak dekat. Namun, hal ini tidak dapat dikatakan sebagai ”aturan/kesepakatan” yang membatasi karena nelayan yang tinggal di 15
58
Wilayah Pulau Karas terbagi dalam beberapa ’kampung’ yang menjadi lokasi permukiman penduduk. Kampung-kampung tersebut adalah Kampung Darat Pulau yang mencakup seluruh wilayah RW I; Kampung Langkang (RW II/RT 01), Kampung Air Mas (RW II/RT 02); Kampung Padang (RW III/RT 01, 02, 04); Kampung Ketapang (RW III/RT 03); Kampung Batu Putih (RW IV/RT 01, 03); dan Kampung Ranga (RW IV/RT 02).
|
lokasi lain juga dapat menangkap ikan di lokasi yang menjadi areal tangkap kelompok nelayan tertentu. Sebagai contoh, kebanyakan nelayan Kampung Ranga melaut di bagian selatan Pulau Karas, yaitu di sekitar lokasi penangkapan ketam. Selanjutnya, nelayan kampung Darat Pulau pada umumnya menangkap ikan dan mengambil sumberdaya laut lainnya di bagian selatan Pulau Karas. Wilayah kerja nelayan kampung Darat Pulau mencapai lokasi berjarak sekitar 8 mil dari lokasi tempat tinggal mereka16. Di lokasi ini nelayan Kampung Darat Pulau meletakkan rumpon (masyarakat setempat menyebutnya ”lompong”)17 yang menjadi tempat hidup jenis-jenis ikan lari seperti tenggiri, bawal, selikur dan selar, tamban/bulat, dan ikan sagai. Lokasi kerja nelayan Darat Pulau paling jauh dibandingkan dengan wilayah kerja nelayan lain di semua kampung yang terletak di Pulau Karas. Hal ini terjadi karena kapasitas armada tangkap nelayan Darat Pulau lebih besar dibandingkan dengan nelayan kampung-kampung lainnya. Di antara nelayan kampung ini, bahkan ada yang melaut sampai ke Pulau Petong yang termasuk wilayah Kelurahan Pulau Abang18. Terkait dengan penempatan rumpon, tidak ada ketentuan yang mengatur lokasinya. Setiap (kelompok) nelayan boleh membuat dan meletakkan rumpon di semua wilayah perairan Pulau Karas. Namun, di antara nelayan sudah ada kesepakatan bahwa penempatan rumpon dilakukan dalam jarak sekitar 500-1.000 meter dari rumpon yang 16
17
18
Wilayah ini ditempuh dalam waktu sekitar 3-4 jam menggunakan pompong dengan mesin berkekuatan 24 PK. Waktu tempuh paling singkat untuk mencapai lokasi ini adalah 2 jam dengan pompong berkekuatan mesin lebih besar. Lompong dibuat dan dipasang oleh kelompok nelayan. Waktu pertama pembuatan lompong, diperlukan biaya sebesar Rp. 5 juta,-, yaitu untuk 5 tali (jumlah tali minimal untuk pembuatan lompong). Selain itu, diperlukan pula biaya untuk membeli boat dengan ukuran 28 kaki bermesin 20 PK, yaitu sebesar Rp. 12 juta,-. Armada ini diperlukan untuk mengangkut batu yang akan digunakan sebagai pemberat tali di dasar laut. Salah seorang di antaranya adalah Ibu Sy yang melaut bersama dengan suaminya. Perjalanan melaut ke P. Petong dilakukannya sampai seminggu. Kegiatan tersebut menghasilkan ikan tangkapan dalam jumlah besar karena volume dan populasi ikan di P. Petong lebih banyak dibanding di perairan sekitar Kelurahan Karas.
|
59
telah dipasang oleh kelompok lain. Selain itu, juga ada kesepakatan bahwa hanya nelayan yang menjadi anggota kelompok yang membuat dan memasang rumpun yang boleh menangkap ikan di sekitar lokasi rumpon. Nelayan lain yang tidak terlibat dalam kelompok dilarang untuk menangkap ikan di sekitar rumpon yang dipasang. Kesepakatan ini dapat dimaklumi mengingat pemasangan rumpon memerlukan biaya khusus yang harus ditanggung bersama oleh semua anggota kelompok. Oleh karena itu, hanya mereka yang berpartisipasi dalam menyediakan dana yang bisa menikmati hasilnya. Tidak adanya aturan untuk penempatan alat tangkap bagi nelayan tidak hanya berlaku untuk rumpun, akan tetapi juga untuk berbagai jenis alat tangkap lainnya. Bubu, misalnya boleh ditempatkan di seluruh wilayah perairan Kelurahan Karas, dengan mempertimbangkan jarak antara bubu yang akan dipasang dengan bubu yang sudah dipasang sebelumnya oleh nelayan yang lain. Hal yang sama juga berlaku untuk berbagai jenis jaring, seperti jaring udang dan ketam. Hal ini dilakukan untuk menghindari konflik di antara sesama nelayan. Jika lokasi penempatan jenis-jenis alat tangkap di atas tidak diatur dengan ketentuan (formal dan tidak formal), aturan penempatan alat tangkap berlaku khusus untuk kelong dingkis19. Pemasangan jenis alat tangkap ini dilakukan di lokasi yang merupakan hak milik dan bukan di wilayah bebas seperti lokasi penempatan jenis-jenis alat tangkap lainnya. Ketentuan mengenai kepemilikan lokasi kelong dingkis ini diatur oleh Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian (DKP2) Kota Batam. Pemilik jenis kelong mempunyai bukti kepemilikan yang
19
60
Kelong dingkis adalah salah satu alat untuk menangkap ikan dingkis. Ikan ini merupakan jenis ikan bernilai ekonomi tinggi yang banyak diperoleh pada musim Utara, yaitu sekitar tahun baru Imlek (tanggal 13, 14, dan 15 Februari setiap tahun). Saat tahun baru Cina, yaitu ketika permintaan pasar terhadap ikan ini mencapai puncaknya, harga ikan dingkis bisa mencapai Rp. 400.000,-/kg untuk ikan berukuran 300-350 gram/ekor (lihat Romdiati dan Noveria, 2007).
|
dikeluarkan oleh instansi pemerintah tersebut20. Bukti kepemilikan harus diperpanjang setiap 5 tahun sekali dan pada periode 1985-1991 pemiliknya dikenai pajak sebesar Rp. 80.000,-/tahun. Sejak tahun 1992 kelong dingkis tidak lagi dikenakan pajak. Wilayah tangkap nelayan yang tinggal di Pulau Mubut (RW V Kelurahan Karas) berbeda dengan mereka yang bertempat tinggal di Pulau Karas. Nelayan Pulau Mubut bekerja melaut ke arah Pulau Bintan, Kepulauan Riau, di daerah yang berjarak sekitar 3 mil laut dari tempat tinggal mereka (hasil FGD dengan nelayan di Pulau Mubut). Sama halnya dengan nelayan-nelayan lain di Pulau Karas, tidak ada aturan yang mengatur wilayah tangkap nelayan di pulau ini. Namun, mereka mempunyai kesepakatan mengenai alat tangkap yang digunakan. Kesepakatan tersebut menyangkut ukuran jaring yang digunakan, yaitu paling kecil berukuran 2 inci. Jaring berukuran lebih kecil dari 2 inci tidak boleh digunakan. Kesepakatan ini mencerminkan kearifan yang dimiliki oleh nelayan untuk menjaga kelangsungan hidup sumberdaya laut. Penggunaan jaring yang kurang dari 2 inci menyebabkan ikan-ikan kecil juga akan tertangkap, sehingga tidak ada kesempatan bagi ikan untuk berkembang biak. 3.4. Teknologi Penangkapan Teknologi penangkapan dalam buku ini mengacu pada peralatan yang digunakan untuk kegiatan menangkap ikan. Peralatan mencakup armada tangkap, yaitu perahu/kapal dengan mesinnya serta alat tangkap, baik yang bisa digunakan secara berpindah seperti pancing, maupun yang digunakan secara statis seperti bubu atau kelong. Informasi mengenai teknologi penangkapan ini sangat diperlukan untuk mendapatkan gambaran mengenai potensi kerusakan terumbu karang akibat teknologi yang digunakan nelayan. Jika teknologi yang digunakan cenderung menimbulkan kerusakan terumbu karang, maka 20
Kepemilikan kelong dingkis diperoleh melalui cara jual beli dengan harga Rp. 10 juta,- untuk satu kapling. Namun, kelong dingkis juga dapat disewa dengan harga sewa antara Rp. 500 ribu,- - Rp. 1 juta,- per kapling untuk sekali musim.
|
61
upaya yang dilakukan untuk menjaga kelestarian dan memperbaikinya adalah mendorong nelayan untuk menggunakan teknologi yang tidak merusak terumbu karang. Armada tangkap yang dimiliki dan digunakan oleh nelayan Kelurahan Karas untuk kegiatan melaut adalah perahu (pompong) yang dilengkapi dengan mesin berbagai ukuran, mulai dari 12 PK sampai 28 PK. Dapat dikatakan bahwa sekitar tiga per empat dari nelayan di kelurahan ini mempunyai armada tangkap dengan spesifikasi tersebut. Selanjutnya, sekitar seperempat nelayan yang tidak mempunyai perahu motor mempunyai perahu/sampan yang digerakkan dengan dayung. Akibatnya, mereka tidak bisa melaut sampai ke lokasi yang jauh dari pantai. Namun mereka yang tidak mempunyai perahu motor masih bisa melaut sampai jauh melalui kerja sama dengan nelayan yang mempunyai perahu motor21. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Kelurahan Karas bervariasi, sesuai dengan musim. Hal ini merupakan keadaan yang lazim ditemukan di berbagai wilayah pesisir di Indonesia. Secara garis besar, alat tangkap yang digunakan oleh kebanyakan nelayan adalah pancing, bubu, jaring dengan berbagai jenis, kelong, dan candit serta cedo untuk menangkap cumi-cumi. Pada musim Timur (bulan Maret-Mei) yang ditandai dengan kondisi air laut yang tenang, tidak dalam karena tidak ada pasang, alat tangkap yang digunakan oleh nelayan kelurahan ini adalah pancing, bubu, bento, jaring ketam, jaring udang22, dan candit. Pancing
21
22
Kerja sama dilakukan dengan beberapa sistim bagi hasil, yaitu: - 3 bagian untuk pemilik perahu yang sekaligus menanggung biaya untuk membeli bahan bakar dan 1 bagian untuk nelayan yang ”menumpang”. - Dibagi rata antara pemilik perahu dan nelayan yang menumpang jika pemilik perahu tidak mempunyai alat tangkap, sementara yang menumpang mempunyainya dan bahan bakar ditanggung bersama (hasil FGD dengan nelayan di lokasi survei). Untuk membuat seperangkat jaring udang yang bisa menghasilkan tangkapan dalam jumlah memadai diperlukan biaya sebesar Rp. 4 juta,-. Jaring yang dibuat dengan biaya sebesar itu berjumlah 5 pieces dan hanya dapat digunakan selama
62
|
digunakan untuk menangkap ikan seperti tokak, igu dan mempunguk, sedangkan hasil yang diperoleh dengan menggunakan bubu adalah jenis-jenis ikan karang seperti mentimun, gelam, dan mempinang. Dari sisi volume tangkapan, ikan gelam dan mentimun merupakan dua jenis ikan terbanyak yang biasanya ditangkap nelayan. Ikan ini di tingkat nelayan dijual dengan harga Rp. 8.000,-/kg, namun pada hari raya Imlek harganya meningkat dan bisa mencapai Rp. 30.000,-/kg untuk ikan berukuran 300-500 gram/ekor (wawancara dengan narasumber di lokasi penelitian). Bento dan jaring ketam menghasilkan tangkapan berupa ketam renjong, sedangkan jaring udang menghasilkan udang berukuran 40 ekor/kg. Selanjutnya, candit adalah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap cumi-cumi, namun volume produksi cumi-cumi nelayan Kelurahan Karas tidak sebesar nelayan di kelurahan tetangganya, yaitu Kelurahan Pulau Abang. Di kelurahan ini, hasil tangkapan jenis sumberdaya laut tersebut cukup melimpah dan merupakan andalan sumber penghasilan nelayan (lihat Romdiati dan Noveria, 2007). Jika kegiatan melaut dilakukan nelayan menggunakan sampan yang digerakkan dengan dayung, mereka paling sedikit harus menghasilkan tangkapan seharga Rp. 30.000,-. Sementara itu, jumlah pendapatan minimal yang harus diperoleh nelayan dengan menggunakan perahu/pompong yang digerakkan dengan tenaga mesin sebesar Rp. 50.000,-. Pendapatan yang kurang dari jumlah tersebut menyebabkan nelayan mengalami kerugian dalam kegiatan melaut. Di musim Selatan (bulan Juni-Agustus), ketika angin bertiup kencang sehingga menyebabkan ombak besar serta air laut besar pada malam hari dan kering di pagi hari, alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Pulau Karas yaitu pancing, bento, jaring karang, jaring udang kecil23 dan kelong karang. Pancing dan jaring karang menghasilkan
23
lebih kurang 4 bulan. Setelah itu, harus dilakukan penggantian jaring yang membutuhkan biaya sekitar Rp. 500.000,-. Untuk kegiatan melaut jaring udang yang digunakan minimal berjumlah 11 utas. Biaya untuk membuat 1 utas jaring sebesar Rp. 65.000,- dan jaring ini harus diganti setelah dipakai selama satu setengah bulan. Jika diukur dari hasil yang diperoleh dari kegiatan melaut, modal yang dikeluarkan untuk mengadakan alat
|
63
tangkapan berupa campuran berbagai ikan karang seperti mempinang, tarap, tokak, dan kaci, sedangkan bento menghasilkan ketam renjong, seperti yang diperoleh pada musim Timur. Selanjutnya, jaring udang menghasilkan udang kecil dengan ukuran panjang sekitar 3 inci per ekor. Rata-rata hasil yang diperoleh dalam sekali melaut sebanyak 0,5-3 kg dengan harga jual Rp. 45.000,-/kg. Selanjutnya, jenis sumberdaya laut yang diperoleh dari penggunaan kelong karang adalah ikan karang dan sotong karang. Ada dua jenis sotong karang yang ditangkap menggunakan kelong karang. Pertama adalah sotong karang batu dengan volume tangkapan rata-rata sebanyak 1-3 ekor untuk setiap kali melaut. Harga jual sumberdaya laut ini sebesar Rp. 8.000,-/kg dengan ukuran sekitar 0,53 kg/ekor. Jenis kedua adalah sotong karang yang berukuran lebih kecil daripada sotong karang batu. Namun, harga jualnya lebih tinggi dibanding sotong karang batu, yaitu Rp. 12.000,-/kg. Rata-rata volume sotong karang yang ditangkap nelayan pada setiap kegiatan melaut sebanyak 1-3 kg, dengan ukuran 50-300 gram/ekor. Pada musim Barat (bulan September-November) yang ditandai dengan pasang besar tapi kurang ombak, alat tangkap yang digunakan nelayan kelurahan ini adalah pancing, bento, jaring karang, bubu karang, tangkol, lompong (rumpon), dan kelong karang. Alat tangkap pancing pada musim ini menghasilkan sumberdaya laut yang sama dengan yang diperoleh pada musim Selatan. Jaring karang dan bubu karang juga menghasilkan jenis-jenis ikan karang yang sama dengan perolehan alat tangkap pancing. Namun, hasil yang diperoleh menggunakan jaring karang pada musim Barat lebih sedikit dibandingkan dengan hasil dari alat tangkap yang sama yang digunakan pada musim Selatan. Jika pada musim Selatan volume ikan yang diperoleh paling sedikit 5 kg untuk setiap melaut, pada musim Barat rata-rata volume tangkapan sebanyak 1-5 kg per sekali melaut. Bubu menghasilkan kepiting dengan berbagai ukuran, yang dikenal dengan kelas A, B, dan C. Kepiting kelas A dijual dengan harga Rp. tangkap tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh nelayan (hasil PRA dengan nelayan di lokasi survei).
64
|
26.000,-/kg, kelas B seharga Rp. 16.000,-/kg, dan kelas C berharga Rp. 8.000,-/kg. Berdasarkan pengalaman, rata-rata volume kepiting yang diperoleh dalam setiap kali melaut sebanyak 1-4 kg dan jenis terbanyak yang ditangkap adalah kepiting kelas C. Alat tangkap tangkol menghasilkan jenis-jenis ikan pantai seperti belanak putih dan tamok yang masing-masing mempunyai harga jual Rp. 8.000,- - Rp. 11.000,-/kg dan Rp. 2.500,- - Rp. 6.000,-/kg secara berturut-turut. Namun, hasil yang diperoleh menggunakan alat tangkap ini sangat tidak menentu dan menurut penuturan beberapa narasumber, nelayan lebih sering tidak memperoleh hasil dalam kegiatan melaut dengan jenis alat tangkap tersebut. Ikan yang diperoleh dari rumpon meliputi jenis ikan lari seperti belanak bakau, selar, selikur, tenggiri, dan tamban24. Selanjutnya, kelong karang menghasilkan jenis tangkapan yang sama dengan yang dihasilkan pada musim Selatan. Pada musim Utara (bulan Desember-Februari) yang mempunyai karakteristik kuatnya tiupan angin, gelombang dan ombak besar, air laut dalam, disertai tingginya frekuensi hujan, jenis alat tangkap yang digunakan nelayan lebih sedikit daripada musim Barat dan Selatan. Adapun alat tangkap yang digunakan pada musim Utara meliputi kelong dingkis, lompong (rumpon), jaring karang, dan bubu karang. Hasil tangkapan yang diperoleh menggunakan kelong dingkis adalah ikan dingkis (jenis alat tangkap serta ikan tersebut sudah dijelaskan pada bagian ”Wilayah Pengelolaan”). Tidak seperti jenis-jenis alat tangkap lainnya, hanya sedikit nelayan yang mempunyai kelong dingkis. Berdasarkan hasil wawancara dan PRA dengan nelayan diketahui bahwa di seluruh Kelurahan Karas hanya 3 orang nelayan yang memiliki jenis alat tangkap ini. Namun demikian, nelayan yang 24
Harga ikan belanak bakau besar per kg adalah Rp. 12.000,-, sedangkan yang berukuran kecil mempunyai harga jual separuhnya, yaitu Rp. 6.000,/kg. Ikan selikur berukuran besar mempunyai harga jual Rp. 6.000,/kg, sementara yang berukuran kecil dijual dengan harga Rp. 4.000,-/kg. Harga ikan tenggiri dengan ukuran 1-15 ons/ekor adalah Rp. 15.000,-/kg dan yang berukuran 2,5-5 kg/ekor mempunyai harga jual Rp. 24.000,-/kg. Selanjutnya, ikan selar besar (8 ekor/kg) berharga jual Rp. 13.000,-/kg, sedangkan yang kecil dijual dengan harga Rp. 5.000,-/kg.
|
65
lain masih bisa menangkap ikan dingkis dengan menggunakan jaring. Untuk pemasangan jaring dingkis, ada kesepakatan di antara nelayan, yaitu hanya dibolehkan pada jarak minimal 500 meter dari lokasi kelong dingkis. Seperti pada musim-musim yang lain, lompong (rumpon) pada musim Utara juga menghasilkan ikan lari dan jaring karang menghasilkan ikan karang. Namun, harga ikan hasil tangkapan pada musim ini mengalami kenaikan, rata-rata sebesar Rp. 500,- - Rp. 1.000,-/kg. Ada kemungkinan hal ini disebabkan karena berkurangnya suplai ikan akibat cuaca saat musim ini menyulitkan nelayan untuk turun ke laut. Selain karena kenaikan harga ikan lari dan ikan karang tersebut, harga ikan dingkis yang tinggi menyebabkan melayan bisa mendapatkan penghasilan dalam jumlah besar pada musim Utara, meskipun frekuensi melaut mereka berkurang dibandingkan dengan musim Barat. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pancing merupakan alat tangkap yang dipakai hampir sepanjang tahun. Kecuali pada musim Utara, jenis alat tangkap tersebut digunakan pada ketiga musim lainnya. Secara umum, kenyataan ini menunjukkan bahwa nelayan di Kelurahan Karas lebih banyak menggunakan alat tangkap yang tidak merusak kelangsungan hidup terumbu karang. Dari penjelasan di atas diketahui pula bahwa pada musim Barat nelayan Kelurahan Karas menggunakan jenis alat tangkap terbanyak. Namun, hal ini tidak menyebabkan nelayan memperoleh pendapatan dengan jumlah terbesar dalam satu tahun karena pendapatan terbesar diperoleh nelayan pada musim Utara. 3.5. Permasalahan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Laut Pengelolaan sumberdaya laut di wilayah Kelurahan Karas dilakukan nelayan secara arif dengan berpedoman pada ”ketentuan-ketentuan” yang telah disepakati bersama. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain mengatur lokasi penggunaan alat tangkap tertentu serta larangan penggunaan bahan dan alat tangkap yang merusak terumbu karang,
66
|
seperti bom dan racun. Sebagai contoh, lokasi pemasangan jaring udang berbeda dengan lokasi untuk memasang jaring ketam. Selain itu, wilayah tangkap (wilayah kerja) bagi nelayan masing-masing kampung di kelurahan ini juga ”diatur” dengan kesepakatan bersama, terutama berdasarkan kedekatan tempat tinggal dengan lokasi wilayah kerja. Meskipun demikian, ketentuan tersebut tidak sangat mengikat. Artinya, nelayan yang berasal dari kampung lain boleh saja melakukan penangkapan di wilayah kerja nelayan kampung tertentu. Namun, nelayan ”pendatang” harus mematuhi kesepakatan yang berlaku, misalnya memasang suatu alat tangkap dengan jarak minimal yang sudah disepakati, dari jenis alat tangkap yang sama yang sudah dipasang oleh nelayan lain. Dengan kearifan dan ”kepatuhan” terhadap kesepakatan yang telah diambil, semua nelayan dapat melakukan pekerjaan tanpa menimbulkan konflik dengan sesama. Hal ini didukung oleh beberapa narasumber yang diwawancarai di lokasi penelitian. Mereka mengatakan bahwa konflik-konflik di antara nelayan, baik karena pelanggaran wilayah penangkapan maupun penggunaan alat-alat tangkap yang merusak terumbu karang, sangat jarang terjadi. Jika terjadi konflik, dengan cepat masalah dapat diselesaikan karena para nelayan menghormati semua kesepakatan yang ada. Cara kerja nelayan setempat, terutama yang tidak menggunakan bahan dan alat tangkap yang merusak terumbu karang, merupakan faktor positif untuk menjaga kelestarian sumberdaya laut tersebut. Secara normatif, terumbu karang dengan kondisi yang baik menyebabkan banyaknya sumberdaya laut yang terdapat di wilayah perairan Kelurahan Karas. Namun dalam kenyataannya, berbagai jenis ikan dan sumberdaya laut lainnya sudah semakin berkurang. Akibatnya, jumlah produksi nelayan juga makin menurun dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Hal ini terjadi karena penangkapan yang berlebihan akibat semakin banyaknya jumlah nelayan di kelurahan ini. Keterbatasan lapangan pekerjaan di luar kenelayanan berakibat pada semakin banyaknya penduduk yang bekerja sebagai nelayan. Hal ini pada gilirannya berdampak pada
|
67
tingginya volume penangkapan, sehingga populasi sumberdaya laut menjadi berkurang. Sama halnya dengan konflik internal di antara sesama nelayan setempat, konflik-konflik dengan pihak luar juga hampir tidak pernah terjadi. Hal ini karena nelayan dari luar Kelurahan Karas jarang memasuki wilayah ini untuk menangkap ikan. Jika ada nelayan pendatang yang menangkap ikan dalam wilayah Kelurahan Karas, mereka menggunakan armada dan alat tangkap yang tidak merusak terumbu karang. Keadaan ini berbeda dengan yang terjadi di Kelurahan Pulau Abang, ketika kapal pukat harimau milik salah seorang pengusaha di sana sering melakukan penangkapan ikan di wilayah tangkap nelayan tradisional. Kenyataan ini menimbulkan perlawanan dari nelayan setempat yang mencapai puncaknya pada tahun 2004 dalam bentuk pembakaran salah satu kapal pukat harimau (Romdiati dan Noveria, 2007). Beberapa waktu terakhir, tepatnya sekitar 2-3 bulan sebelum penelitian ini dilaksanakan, mulai terlihat potensi konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut antara nelayan Kelurahan Karas dengan pengusaha pertambangan dari luar daerah. Wilayah Kelurahan Karas, yaitu di sekitar Pulau Mubut dibuka oleh pemerintah daerah untuk kegiatan pertambangan nikel. Ketika penelitian berlangsung sudah terlihat sebuah kapal milik perusahaan pertambangan yang akan dioperasikan dalam kegiatan penambangan. Namun, karena belum ada kesepakatan mengenai dana retribusi yang akan diterima oleh pihak kecamatan, kegiatan penambangan belum bisa dilaksanakan (wawancara dengan narasumber, pegawai di Kantor Kelurahan Karas). Meskipun belum diekspresikan secara terbuka, masyarakat menolak diizinkannya kegiatan pertambangan nikel di sekitar tempat tinggal mereka. Apalagi kegiatan tersebut akan berlangsung tidak jauh dari wilayah tangkap mereka. Beberapa narasumber yang diwawancarai di Pulau Mubut mengemukakan kekhawatiran akan berkurangnya hasil tangkapan mereka akibat berlangsungnya kegiatan penambangan.
68
|
Namun, karena kegiatan tersebut belum dilaksanakan, masyarakat belum mengajukan keberatan secara terbuka. Berdasarkan kenyataan di atas, kerusakan sumberdaya laut berpotensi untuk terjadi di Kelurahan Karas. Khusus untuk terumbu karang, meskipun belum terbukti bahwa kegiatan pertambangan dapat menimbulkan kerusakannya, kemungkinan hal tersebut akan terjadi masih terbuka. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan kerusakan sumberdaya laut yang mungkin akan terjadi akibat kegiatan pertambangan di wilayah perairan Kelurahan Karas. 3.6. Coremap di Kelurahan Karas Kegiatan Coremap telah dilaksanakan di Kelurahan Karas sejak beberapa tahun terakhir, tidak lama setelah program ini diimplementasikan di Kelurahan Pulau Abang. Berbagai kegiatan, mulai dari sosialisasi program sampai dengan implementasi beberapa jenis kegiatan kelompok telah dilakukan. Namun, pelaksanaan berbagai kegiatan kelompok tidak bersamaan waktunya. Sebagian kegiatan masih pada tahap awal pelaksanaan, seperti kelompok usaha ternak kambing yang baru menerima bantuan kambing beberapa minggu sebelum penelitian dilaksanakan. Sementara itu, kegiatan kelompok lainnya sudah berlangsung lebih dahulu, misalnya kelompok reef watcher dan pengawas terumbu karang, serta kelompok usaha pembuatan kerupuk ikan. Pelaksanaan Coremap dimulai dengan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat untuk menyebarluaskan program ini serta kegiatan yang akan dilaksanakan. Kegiatan sosialisasi dilakukan beberapa kali dalam bentuk pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan masyarakat dari berbagai kalangan. Peserta sosialisasi berasal dari semua kampung di Kelurahan Karas, dengan tujuan agar program ini dapat diketahui secara luas oleh masyarakat di kelurahan ini. Setelah kegiatan sosialisasi pelaksanaan Coremap dilanjutkan dengan pembentukan LPSTK (Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang) yang merupakan ’koordinator’ pelaksanaan Coremap di
|
69
tingkat kelurahan dan kelompok kegiatan (Pokmas – kelompok masyarakat). Pokmas beranggotakan seluruh lapisan masyarakat, namun sebagian besar adalah mereka yang ikut serta dalam berbagai pertemuan untuk kegiatan sosialisasi. Adapun pokmas untuk pelaksanaan kegiatan Coremap yang sudah terbentuk di Kelurahan Karas adalah: -
Reef watcher Pengawasan Usaha ekonomi produktif (UEP), yang terdiri dari 1 pokmas yang melakukan usaha pertanian, 2 pokmas dengan kegiatan beternak kambing, dan 1 pokmas yang mengusahakan ternak ayam Jender, yang dalam kegiatannya juga melaksakan usaha ekonomi produktif, yaitu pembuatan kerupuk ikan (2 pokmas, masing-masing 1 di Pulau Karas dan juga 1 di Pulau Mubut).
-
Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pokmas sesuai dengan minat dan keinginan masing-masing. Untuk pokmas UEP, kegiatan yang dilakukan juga sesuai dengan pilihan anggotanya. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pokmas jender, khususnya, disesuaikan dengan pekerjaan anggota sebelum kelompok ini dibentuk, yaitu membuat kerupuk ikan. Sebelum kegiatan Coremap dilaksanakan, sebagian anggota, terutama ketua kelompok jender sudah mengusahakan pembuatan kerupuk ikan secara individu. Dengan adanya Coremap, mereka bekerja secara berkelompok dengan bantuan dana dan pembinaan dari program ini. Berbagai pelatihan kemudian dilaksanakan untuk menunjang kegiatan pokmas. Untuk kelompok pengawasan dan reef watcher, menyelam merupakan salah satu pelatihan keterampilan yang diberikan. Pelatihan diberikan oleh pelatih yang berasal dari Jakarta. Selanjutnya, anggota pokmas UEP dan pokmas jender yang juga melaksanakan kegiatan ekonomi produktif mendapatkan pelatihan yang sesuai dengan kegiatan yang mereka lakukan. Kegiatan pelatihan dilaksanakan di kelurahan, namun adakalanya juga diselenggarakan di Kota Batam.
70
|
Untuk melaksanakan kegiatan Coremap, telah disediakan sarana dan peralatan yang dibutuhkan. Pondok informasi sudah dibangun di salah satu tempat di RW I (Kampung Darat Pulau). Pondok ini dilengkapi dengan sarana audio visual seperti televisi serta radio dan tape recorder yang diperlukan untuk melaksanakan berbagai kegiatan Coremap. Kelompok-kelompok juga dibekali dengan sarana dan peralatan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Pokmas pengawasan dan reef watcher, umpamanya, memperoleh bantuan perahu serta mesinnya yang digunakan untuk patroli menjaga perairan Kelurahan Karas dari kegiatan-kegiatan yang merusak sumberdaya laut, terutama yang dilakukan oleh nelayan dari luar daerah. Pelampung yang diperlukan untuk kegiatan patroli juga disediakan untuk kelompok ini. Selanjutnya, kelompok kegiatan beternak (ayam dan kambing) juga memperoleh bantuan sarana yang dibutuhkan seperti kandang ayam. Hal yang sama juga diperoleh kelompok jender yang menerima bantuan peralatan untuk membuat kerupuk ikan, termasuk peralatan memasak dan uang untuk modal usaha25. Dalam kenyataannya, tidak semua kegiatan dapat dilaksanakan sesuai dengan pedoman pelaksanaan program. Salah satu di antaranya adalah kegiatan kelompok reef watcher. Kelompok ini tidak dapat melaksanakan kegiatan patroli secara rutin karena tidak tersedianya dana untuk membeli bahan bakar motor perahu. Akibatnya, perahu beserta motornya sering tidak digunakan dan hanya dipakai untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat insidentil, misalnya ketika ada laporan dari masyarakat tentang adanya kegiatan-kegiatan yang merusak terumbu karang.
25
Kelompok Mekar Sari di Pulau Karas menerima bantuan pinjaman dana sebesar Rp. 1.280.000,- dari Coremap sebagai modal usaha. Bantuan ini bersifat dana bergulir yang nantinya akan diberikan kepada kelompok lainnya. Kelompok ini diwajibkan membayar cicilan setiap kali kegiatan produksi, melalui LPSTK. Meskipun sudah membuat dan menjual hasil produksi sebanyak lima kali, cicilan yang dibayarkan baru dua kali, masing-masing Rp. 100.000,- pada produksi pertama dan Rp. 350.000,- pada produksi kelima (wawancara dengan ketua kelompok).
|
71
Meskipun berbagai kegiatan Coremap telah dilaksanakan di Kelurahan Karas, tidak semua masyarakat mengetahui Coremap. Hal ini terlihat dari hasil penelitian, yaitu sebanyak 61 responden pernah mendengar istilah Coremap, sementara 39 persen tidak pernah mendengarnya. Artinya, kelompok responden ini tidak mengetahui adanya Coremap di lokasi tempat tinggal mereka. Dari seluruh responden yang pernah mendengar istilah Coremap, proporsi terbesar (73,8 persen) mengetahui bahwa program ini bertujuan untuk melindungi terumbu karang (Gambar 3.5). Selain itu, juga ada di antara mereka yang mengetahui bahwa tujuan Coremap adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Hal menarik yang ditemukan dari penelitian ini adalah proporsi responden yang tidak mengetahui tujuan Coremap cukup besar, yaitu mencapai 20 persen. Ada dua kemungkinan yang menyebabkan kenyataan ini terjadi. Kemungkinan pertama adalah kelompok responden ini tidak terlibat dalam berbagai kegiatan/pertemuan yang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai Coremap, termasuk tujuannya. Kedua, ada kemungkinan sosialisasi program ini tidak menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Agar program ini dapat dipahami dan mendapat dukungan dari seluruh penduduk, maka kegiatan sosialisasinya perlu dilakukan lebih intensif. Gambar 3.4 Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Tujuan Coremap, Kelurahan Karas
Tidak tahu 20% Meningkatkan pendapatan masyarakat 7% Melindungi terumbu karang 73%
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007.
72
|
Berbagai kegiatan Coremap telah dilaksanakan di Kelurahan Karas, tetapi hal ini tidak diketahui oleh semua responden yang pernah mendengar istilah Coremap. Dari 61 orang responden dalam kelompok ini, sekitar 21 persen tidak mengetahui bahwa kegiatan Coremap telah mulai dilaksanakan. Besar kemungkinan kelompok ini adalah mereka yang juga tidak mengetahui tujuan Coremap seperti telah dibicarakan di atas. Artinya, mereka hanya pernah mendengar istilah Coremap, tapi tidak mempunyai informasi secara detil mengenai program ini, baik tujuan maupun waktu pelaksanaannya. Selanjutnya, dari 48 orang responden yang mengetahui bahwa kegiatan Coremap telah dilaksanakan di Kelurahan Karas, hanya 19 orang (sekitar 40 persen) yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Sisanya, 29 orang (60 persen) tidak terlibat dalam kegiatan Coremap. Hal ini dapat dimengerti karena pemilihan responden dilakukan secara random. Akibatnya, banyak di antara anggota kelompok kegiatan Coremap tidak terpilih sebagai responden. Jika diperhatikan lebih lanjut, keinginan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan Coremap tergolong besar. Sebagai contoh, 80 persen dari 29 orang responden yang mengetahui bahwa kegiatan Coremap telah dilaksanakan di Kelurahan Karas namun tidak terlibat dalam kegiatan tersebut mengemukakan keinginan mereka untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan program ini. Kegiatan PRA dengan beberapa nelayan di lokasi penelitian juga memperlihatkan fenomena yang sama. Para peserta yang tidak terlibat sebagai anggota kelompok kegiatan Coremap menyatakan keinginan mereka untuk ikut serta dalam kegiatan kelompok. Khusus untuk kegiatan pertanian, beberapa peserta PRA menyatakan kesediaan untuk ’menyerahkan’ lahan mereka untuk digunakan dalam kegiatan kelompok pertanian di bawah pengelolaan Coremap. Adanya keinginan yang kuat di antara sebagian penduduk untuk terlibat dalam berbagai kegiatan Coremap kemungkinan karena mereka sudah merasakan manfaat dari kegiatan tersebut. Dari sisi ekonomi, misalnya, kegiatan Coremap dalam mengembangkan alternatif mata pencaharian menjadi daya tarik tersendiri bagi
|
73
penduduk karena pendapatan dari kegiatan melaut semakin hari makin berkurang. Mata pencaharian alternatif yang dikembangkan melalui kegiatan Coremap dipandang sebagai kesempatan kerja baru yang selama ini tidak pernah dimanfaatkan. Bagi penduduk yang mempunyai lahan pertanian, khususnya, kegiatan Pokmas pertanian membuka kesempatan bagi mereka untuk mengolah lahan yang selama ini cenderung diabaikan. Selama ini lahan pertanian yang pada umumnya adalah warisan dari generasi sebelumnya tidak pernah diolah. Kebanyakan pemiliknya hanya mengambil hasil tanaman yang dulu ditanam oleh nenek moyang mereka. Melalui pokmas Coremap ada kemungkinan peremajaan tanaman atau penamanan jenis tanaman (baru) yang potensial untuk dikembangkan di wilayah kelurahan ini bisa dilakukan.
74
|
BAB IV
POTRET PENDUDUK KELURAHAN/KAWASAN KARAS
P
otret penduduk suatu wilayah dapat memberikan gambaran tentang potensi ataupun kendala berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia yang dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan sumberdaya alam di wilayah tersebut, termasuk sumberdaya lautnya. Gambaran ini dilihat baik secara kuantitas maupun kualitas. Gambaran kuantitas mencakup jumlah dan komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur maupun jenis kelamin serta persebarannya di wilayah tersebut. Gambaran kualitas mencakup tingkat pendidikan dan keterampilan, pekerjaan maupun tingkat kesejahteraannya. Pemahaman tentang kondisi kependudukan ini, baik secara kuantitas maupun kualitas, dapat dijadikan dasar dalam merancang program-program pemberdayaan masyarakat di wilayah tersebut. Bab IV ini menggambarkan kondisi penduduk di desa/kawasan penelitian, yaitu di Kelurahan Karas, Kecamatan Galang. Kecamatan Galang wilayahnya mencakup 80 pulau, termasuk sebagian Pulau Galang dan kurang lebih 87 buah pulau-pulau kecil lainnya.
|
75
Kelurahan Karas, sebagai daerah penelitian wilayahnya antara lain mencakup Pulau Karas Besar, Pulau Karas Kecil, Pulau Mubud Darat, Pulau Mubud Laut serta Pulau Carus, Tanjung Malang dan Sungai Mentina. 4.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk Kota Batam terdiri dari 12 kecamatan dan 64 kelurahan (Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pemekaran Perubahan dan Pembentukan Kecamatan dan Kelurahan Dalam Daerah Kota Batam, Pemerintah Kota Batam, 2006a) dengan persebaran penduduk antar kecamatan yang tidak merata. Jumlah kecamatan ini merupakan pemekaran, dimana pada tahun 2002, wilayah Kota Batam hanya terdiri dari delapan (8) kecamatan yang terdiri dari 35 kelurahan dan 16 desa (Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 4 tahun 2002; Pemerintah Kota Batam, 2006). Kecamatankecamatan yang mengalami pemekaran adalah Kecamatan Sei Beduk, Kecamatan Nongsa, Kecamatan Sekupang dan Kecamatan Batu Ampar. Empat kecamatan tambahan (baru) setelah pemekaran pada tahun 2005 adalah Kecamatan Bengkong, Kecamatan Batam Kota, Kecamatan Sagulung dan Kecamatan Batu Aji (Lihat Tabel 3.1.1 dan Tabel 3.2.2 dalam Pemerintah Kota Batam, 2006). Pemekaran wilayah ini menunjukkan pertumbuhan administratif Kota Batam yang cukup pesat. Ini dapat berkaitan dengan perkembangan wilayah Kota Batam sebagai daerah industri, perdagangan dan pariwisata, juga pertumbuhan penduduknya, sehingga untuk memberikan pelayanan administratif yang lebih baik pada masyarakat diperlukan pemecahan wilayah dalam luasan yang lebih kecil. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (1996-2006), penduduk Kota Batam tumbuh cukup pesat, dengan angka pertumbuhan per tahun rata-rata sebesar 10,41 persen. Angka pertumbuhan penduduk perempuan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk laki-laki. Jumlah penduduknya selama sepuluh tahun ini juga bertambah hampir tiga kali lipat. Secara umum, jumlah penduduk perempuan lebih besar dari jumlah penduduk laki-laki
76
|
meskipun perbandingannya tiap tahun bervariasi. Namun, untuk satu tahun, yaitu tahun 1998, seperti dapat dilihat dari rasio jenis kelamin yang melebihi 100 (110,7), jumlah penduduk laki-laki lebih besar (Tabel 4.1). Keadaan ini dapat disebabkan oleh migrasi masuk penduduk laki-laki ke Kota Batam. Tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi yang kemudian berlanjut menjadi krisis multidimensi. Batam sebagai kota dengan konsentrasi industri dan dengan lokasinya yang memudahkan penyeberangan ke negara tetangga Singapora, tentunya merupakan daya tarik bagi banyak tenaga kerja di berbagai daerah yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menghadapi kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan setelah krisis ekonomi tersebut, untuk bermigrasi mencoba mencari pekerjaan di Kota Batam atau sebagai persinggahan untuk menyeberang, mencari kerja di Singapora. Tahun 1999, rasio jenis kelamin penduduk Kota Batam kembali di bawah angka 100, seperti tahun-tahun sebelum 1998, menunjukkan jumlah penduduk perempuan lebih besar dari laki-laki. Tabel 4.1 Penduduk Kota Batam Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1996 – 2006 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 20062) Pertumbuhan penduduk 1996-2006 (persen)3)
Laki-laki
Jumlah penduduk1) Perempuan
123.685 127.410 154.300 160.066 210.325 244.184 257.272 268.431 281.807 332.720 341.821 10,17
124.273 127.769 139.400 179.891 227.033 282.967 292.679 294.230 309.446 353.067 360.258 10,64
Total 247.958 255.179 293.700 336.957 437.358 527.151 549.951 562.661 591.253 685.787 702.079 10,41
Rasio jenis kelamin 99,5 99,7 110,7 90,5 92,6 86,3 87,9 91,2 91,1 94,2 94,9 -
Sumber: Pemerintah Kota Batam, 2006. Batam Dalam Angka, Tabel 3.1.4. Catatan: 1) Termasuk penduduk Warga Negara Asing (WNA) 2) Sampai Bulan Juli 2006 3) Perhitungan pertumbuhan penduduk eksponensial
|
77
Pertumbuhan penduduk perempuan di Kota Batam juga lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk laki-laki. Dari Gambar 4.1 terlihat bahwa, sampai dengan tahun 1998, pertumbuhan penduduk laki-laki cenderung lebih cepat dari perempuan, tetapi mulai tahun 1999, pertumbuhan penduduk perempuan melebihi pertumbuhan penduduk laki-laki. Hal ini dapat disebabkan migrasi masuk penduduk perempuan atau karena tingginya migrasi keluar penduduk laki-laki. Namun demikian, mengingat Batam sebagai daerah industri, kemungkinan yang terjadi adalah tingginya migrasi masuk penduduk perempuan, akibat daya tarik kesempatan kerja yang tersedia untuk perempuan di sektor industri di Kota Batam. Gambar 4.1. Penduduk Kota Batam Menurut Jenis Kelamin, Tahun 1996-2006
Sumber: Pemerintah Kota Batam, 2006. Batam Dalam Angka 2005
Data pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.2 (piramida penduduk Kota Batam tahun 1990 dan 2000), memperlihatkan adanya pergeseran struktur umur penduduk menuju penduduk tua. Jika pada tahun 1990, proporsi penduduk usia muda (0-14 tahun) masih sebesar 32,4 persen, pada tahun 2000 menurun menjadi 22,6 persen. Lima tahun berikutnya,
78
|
pada tahun 2005, proporsi ini meningkat lagi menjadi 25,7 persen. Keadaan ini dapat berkaitan dengan meningkatnya angka kelahiran antara tahun 2000-2005. Seperti kita ketahui, Indonesia mengalami krisis multidimensi yang dimulai dengan krisis ekonomi pada tahun 1997. Krisis ini dapat berdampak pada terhambatnya program KB karena ketersediaan alat-alat kontrasepsi secara gratis juga menjadi terbatas.
|
79
Tabel 4.2 Penduduk Kota Batam Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 1990, 2000 dan 2005 (%) 1990
2000
2005
Kelompok umur (tahun) Laki-laki 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-6970-74 75+ Total Jumlah penduduk
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
10,8 10,7 8,3 7,7 14,5 15,9 10,9 7,7 4,5 3,4 2,4 1,3 0,9 0,5 0,3 0,2 100
Perempuan 13,2 12,4 9,8 9,2 14,9 14,0 9,2 6,0 3,3 2,4 1,9 1,2 1,0 0,6 0,4 0,3 100
Total 11,9 11,5 9,0 8,4 14,7 15,0 10,1 6,9 4,0 3,0 2,2 1,3 1,0 0,5 0,4 0,3 100
12,1 7,3 4,9 6,3 17,3 19,5 13,6 7,5 4,4 2,8 1,8 1,0 0,7 0,4 0,2 0,1 100
10,4 6,3 4,3 9,4 31,2 18,1 8,4 4,6 2,7 1,7 1,0 0,7 0,5 0,3 0,2 0,1 100
Total 11,2 6,8 4,6 7,9 24,5 18,8 10,9 6,0 3,5 2,3 1,4 0,8 0,6 0,3 0,2 0,1 100
26,8
24,6
25,7
72,2
75,3
73,8
0,9
0,1
0,5
100
100
100
59.030
46.790
105.820
210.325
227.033
437.358
292.633
323.455
616.088
Sumber: - Pemerintah Kota Batam Tahun 2006. Batam Dalam Angka. Berdasarkan data Sensus Penduduk 1990 dan 2000 - Badan Pusat Statistik, 2006.
80
|
Total
Gambar 4.2 Piramida Penduduk Kota Batam Tahun 1990 dan 2000
Sumber: Pemerintah Kota Batam Tahun 2006. Batam Dalam Angka. Berdasarkan data sensus penduduk 1990 dan 2000
Proporsi penduduk pemuda (youth population) usia 15-24 juga cukup besar, yaitu pada tahun 1990 sebesar 23,1 persen dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 32,4 persen. Kondisi dimana proporsi penduduk usia pemuda lebih dari 20 persen, dikenal dengan sebutan youth bulge (Huntington, 1996). Keadaan ini dapat disebabkan migrasi masuk penduduk usia pemuda ke Kota Batam yang memang merupakan kota industri yang menarik penduduk usia muda untuk mencari pekerjaan. Namun, pertambahan proporsi penduduk usia pemuda yang hampir 10 persen selama 10 tahun, perlu dicermati dampaknya terhadap berbagai masalah antara lain ketersediaan lapangan pekerjaan serta masalah-masalah lainnya yang terkait dengan perilaku penduduk usia pemuda. Persebaran penduduk Kota Batam juga tidak merata dalam kecamatan-kecamatannya. Proporsi penduduk di kecamatankecamatan yang wilayahnya merupakan pulau-pulau seperti Kecamatan Belakang Padang, Bulang dan Galang lebih sedikit dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan yang terletak di wilayah Pulau Batam seperti Kecamatan Sekupang, Lubuk Baja, Sagulung dan Batu Aji. Penduduk terbanyak ditemukan di Kecamatan Sagulung (15,9 persen) diikuti oleh Kecamatan Batam Kota, sedangkan
|
81
Kecamatan Bulang merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit (1,2 persen). Peta 4.1 Wilayah Kota Batam
Sumber: Peta Kemiskinan Indonesia 2000, Lembaga Penelitian SMERU, 2004
Secara umum, jumlah penduduk perempuan lebih besar dari jumlah penduduk laki-laki meskipun perbandingannya di tiap kecamatan bervariasi. Hanya di Kecamatan Sei Beduk (dengan rasio jenis kelamin sebesar 54,3), Bengkong (dengan rasio jenis kelamin sebesar 94,2) dan Batu Aji (dengan rasio jenis kelamin sebesar 83,4), jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari laki-laki. Keadaan yang agak ekstrim ditemukan di Kecamatan Sei Beduk, yaitu perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan mendekati 1:2 (Tabel 4.3). Keadaan ini dapat disebabkan karena tingginya migrasi keluar
82
|
penduduk laki-laki dari kecamatan ini atau migrasi masuk penduduk perempuan. Namun demikian, karena pada tahun 2005 Kecamatan Sei Beduk mengalami pemekaran, komposisi penduduk laki-laki dan perempuan pada tahun 2006 ini dapat saja terjadi akibat pemekaran kecamatan tersebut. Tabel 4.3 Penduduk Kota Batam Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin, Tahun 2006 Jumlah penduduk1) Kecamatan/wilayah
Laki-laki
Perempuan
1. Belakang Padang 2. Bulang 3. Galang 4. Sei Beduk 5. Nongsa 6. Sekupang 7. Lubuk Baja 8. Batu Ampar 9. Bengkong 10. Batam Kota 11. Sagulung 12. Batu Aji Kota Batam
10.362 4.485 7.390 25.549 21.598 36.592 38.418 25.131 32.937 47.305 57.355 34.829 341.821
10.037 4.240 6.627 47.095 18.078 35.990 36.377 23.452 34.952 47.266 54.303 41.841 360.258
Total 20.399 8.725 14.017 72.644 39.676 72.582 74.795 48.583 67.889 94.571 111.658 76.670 702.079
% 2,9 1,2 2,0 10,3 5,7 10,3 10,6 6,9 9,7 13,5 15,9 10,9 100,0
Rasio jenis kelamin 103,23 105.8 111,5 54,3 119,4 101,7 105,6 107,2 94,2 100,1 105,6 83,4 94,9
Sumber: Pemerintah Kota Batam, 2006. Batam Dalam Angka, Tabel 3.1.2. Catatan: 1) Termasuk penduduk Warga Negara Asing (WNA)
Kecamatan Galang, yang merupakan kecamatan lokasi penelitian ini, merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk relatif sedikit (sebesar 2 persen, nomor dua terkecil setelah Kecamatan Bulang), dibanding kecamatan lainnya di wilayah Kota Batam, dengan rasio jenis kelamin sebesar 111,5. Satu dari delapan kelurahan yang ada di Kecamatan Galang ini, yaitu Kelurahan Karas merupakan lokasi penelitian, sebagai unit administratif terkecil. Kelurahan Karas termasuk kelurahan dengan jumlah penduduk cukup besar, hampir sama dengan dua kelurahan lainnya, yaitu Kelurahan Rempang Cate dan Galang Baru, sedangkan lima (5) kelurahan
|
83
lainnya berpenduduk lebih sedikit dari ketiga kelurahan ini. Kelurahan dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kelurahan Subang Mas (Tabel 4.4). Penduduk Kelurahan Karas ini terdiri dari 683 keluarga (Profil Kelurahan Karas, 2006) dengan jumlah penduduk sebanyak 2.528 orang26. Dilihat dari komposisi jenis kelamin penduduk, jumlah penduduk laki-laki di Kelurahan Karas sedikit lebih banyak dari penduduk perempuan. Komposisi jenis kelamin penduduk ini tidak jauh berbeda dengan komposisi penduduk Kecamatan Galang. Keadaan ini juga ditemukan di kelurahankelurahan lainnya, kecuali di Kelurahan Pulau Abang, yang mempunyai jumlah penduduk laki-laki lebih sedikit daripada perempuan (rasio jenis kelamin 94,6) (Tabel 4.4). Tabel 4.4 Penduduk Kecamatan Galang Menurut Kelurahan, Jenis Kelamin dan Kepadatan Penduduk, Tahun 2006 Kelurahan 1. Pulau Abang 2. Karas 3. Sijantung 4. Sembulang 5. Rempang Cate 6. Subang Mas 7. Galang baru 8. Air Raja Kec. Galang
Sumber: Catatan:
26
Lakilaki
Jumlah penduduk1) PeremTotal puan
%
Rasio jenis kelamin
Luas wilayah (Km2)
Kepadatan penduduk (orang/ km2)
704 1.366 881 972 1.323
744 1.192 762 847 1.164
1.488 2.528 1.643 1.819 2.528
10,6 18,0 11,7 13,0 18,0
94,6 114,6 115,6 114,7 113,7
52,7 70,7 38,8 59,9 68,8
28 36 42 30 37
374 1.360 410 7.390
359 1.177 362 6.627
733 2.537 772 14.017
5,2 18,1 5,5 100
104,2 115,5 113,3 111,5
17,4 4,2 na*) 312,5
42 604 45
Pemerintah Kota Batam, 2006. Batam Dalam Angka, Tabel 3.1.2. Pemerintah Kota Batam. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam. 2006. Kecamatan Galang Dalam Angka, Tabel 2.4 (untuk data luas wilayah) 1) Termasuk penduduk Warga Negara Asing (WNA) *) data luas kelurahan tidak tersedia (merupakan kelurahan pemekaran pada tahun 2005)
84
Berbagai sumber data yang ada memperlihatkan jumlah penduduk Kelurahan Karas yang berbeda untuk tahun yang sama (2006). Menurut Batam Dalam Angka (Tabel 3.1.2), Pemerintah Kota Batam, 2006, jumlah penduduk Kelurahan Karas pada tahun 2006 (sampai dengan Bulan Juli) adalah 2.528 orang sedangkan menurut Profil Kelurahan Karas 2006, jumlah penduduknya adalah 2.616 orang yang terdiri dari 683 kepala keluarga.
|
Kepadatan penduduk Kecamatan Galang pada tahun 2006 sebesar 45 orang/km2. Kelurahan dengan kepadatan penduduk tertinggi di Kecamatan Galang adalah Kelurahan Galang Baru (604 orang/km2), jauh lebih besar dari kepadatan penduduk Kecamatan Galang dan Kelurahan Sembulang yang merupakan pusat pemerintahan Kecamatan Galang. Kondisi ini terjadi setelah adanya pemekaran Kelurahan Galang Baru pada Bulan Juni 2006, menjadi kelurahan Galang Baru dan Air Raja. Ini dapat disebabkan karena wilayah Kelurahan Galang Baru memang merupakan wilayah yang sudah berkembang lebih lama dibandingkan dengan Kelurahan Sembulang. Kelurahan Karas, meskipun memiliki jumlah penduduk relatif besar, bukan merupakan kelurahan yang terpadat penduduknya, karena merupakan kelurahan dengan wilayah terluas di Kecamatan Galang. Dilihat dari struktur umur penduduk, data penduduk tahun 2000 menunjukkan tidak ada perbedaan yang mencolok antara struktur umur penduduk Kelurahan Karas dengan Kecamatan Galang. Proporsi penduduk usia muda (0-14 tahun) sekitar 35 persen dan penduduk usia tua (65 tahun ke atas) sekitar 2,5 pesen (Tabel 4.5), yang menunjukkan struktur umur penduduk muda. Rasio ketergantungan (dependency ratio)27 adalah sekitar 0,6. Keadan ini menunjukkan bahwa baik di Kecamatan Galang maupun Kelurahan Karas, setiap orang dalam usia produktif hanya menanggung kurang dari satu orang dalam kelompok umur tidak produktif (usia muda dan tua). Keadaan ini juga menunjukkan bahwa sebenarnya tabungan (saving) dari produksi yang dihasilkan penduduk usia produktif masih dimungkinkan, karena penduduk yang mempunyai kemampuan untuk berproduksi masih lebih besar dibandingkan mereka yang hanya merupakan konsumer. Untuk tahun 2007, berdasarkan hasil survey bahkan ditemukan bahwa rasio ketergantungan di Kelurahan Karas turun menjadi 0,5. Ini berarti beban tanggungan penduduk usia produktif (15-64 tahun) menjadi lebih ringan lagi dibanding tahun 2000, dengan rasio ketergantungan masih sebesar 0,6. Jika dikaitkan 27
Rasio ketergantungan (dependency ratio) adalah perbandingan antara penduduk usia muda (0-14 tahun) ditambah penduduk usia tua (65 tahun keatas) dengan penduduk usia produktif (15-64 tahun).
|
85
dengan tingkat kesejahteraan, keadaan ini dapat menjadi indikasi bahwa kesejahteraan penduduk mengalami peningkatan. Untuk melihat kondisi kesejahteraan penduduk (tingkat kemiskinan), beberapa studi menunjukkan angka pada kisaran 0,4-0,5 sebagai rasio ketergantungan terendah. Artinya, rumah tangga yang memiliki rasio ketergantungan di atas 0,5 mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga dengan rasio ketergantungan di bawah angka tersebut. Kondisi di Kelurahan Karas dalam kurun waktu 2000-2007 menunjukkan bahwa meskipun terjadi penurunan rasio ketergantungan (dari 0,6 menjadi 0,5), tingkat kesejahteraan penduduk belum bisa dikatakan baik, karena masih berada dalam kisaran angka cutting point. Jika dibandingkan antara angka ketergantungan penduduk usia muda (0-14/15-64) dengan angka ketergantungan penduduk usia tua (65+/15-64), terlihat bahwa angka ketergantungan penduduk usia muda masih lebih tinggi. Keadaan ini dapat menjadi indikasi bahwa sebenarnya beban yang ditanggung penduduk usia produktif dapat lebih berat, jika diasumsikan penduduk usia muda dalam kenyaannya memang masih belum produktif, karena besar kemungkinan mereka masih duduk di bangku sekolah. Sebaliknya, penduduk usia tua (di atas 65), di masyarakat pertanian, dalam kenyataannya banyak yang masih berproduksi secara aktif (terlibat dalam kegiatan ekonomi), sehingga sebenarnya tidak sepenuhnya menjadi beban tanggungan penduduk usia produktif (15-64 tahun). Di Kelurahan Karas, antara tahun 2000 dan 2006 terlihat adanya penurunan jumlah penduduk dari 3.648 orang pada tahun 2000 menjadi 2.626 pada tahun 2006. Keadaan ini terjadi karena pada tahun 2006 kelurahan tersebut dimekarkan dan sebagian wilayahnya menjadi wilayah Kelurahan Galang Baru (lihat footnote 4 pada Bab 2).
86
|
Tabel 4.5 Penduduk Kecamatan Galang Tahun 2000 dan Kelurahan Karas Tahun 2000, 2006 dan 2007 Menurut Kelompok Umur (%) Kelompok Umur
Kecamatan Galang 2000
2000
Kelurahan Karas 20071) Laki- Perempuan laki 9,3 10,0 9,4 9,8 8,4 12,2 11,1 12,4 9,9 10,3 12,9 9,4 10,9 11,2 12,7 9,6 10,0 8,9 8,9 5,6 5,2 6,2 4,8 7,0 6,3 7,6 9,4 5,2 3,2 5,6 4,1 7,2 5,6 3,1 2,8 1,9 5,22) 2,0 0,5 0,4 0,0 0,4 1,4 0,8 0,9 100 100 100 2.6263) 249 213 2006
Total
0-4 10,8 10,5 9,7 5-9 11,9 11,7 10,2 10-14 12,2 13,0 11,3 15-19 11,6 11,3 11,3 20-24 9,2 10,0 11,9 25-29 9,5 9,1 9,5 30-34 7,5 7,2 5,4 35-39 7,0 7,6 5,8 40-44 6,0 5,8 8,4 45-49 4,7 4,9 4,3 50-54 3,2 3,2 6,5 55-59 2,2 1,9 2,4 60-64 1,8 1,3 1,3 65-69 1,2 1,1 0,2 70-74 0,7 0,8 0,9 75+ 0,5 0,6 0,9 Jumlah 100 100 100 Jumlah 11.023 3.648 462 penduduk Rasio 0,6 0,6 0,5 ketergantungan (dependency ratio) Sumber: Pemerintah Kota Batam. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam. 2006. Kecamatan Galang Dalam Angka. Tabel 3.6. Profil Kelurahan karas, 2006 Catatan: 1) Berdasarkan survei di Kelurahan Karas, 2007 2) Untuk kelompok umur 60+ 3) Sumber data adalah Profil Kelurahan Karas 2006.
|
87
Gambar 4.3 Piramida Penduduk Kota Batam Tahun 1990 dan 2000
Sumber: Pemerintah Kota Batam. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam. 2006. Kecamatan Galang Dalam Angka. Tabel 3.6. Profil Kelurahan Karas, 2006
Data hasil survei di Kelurahan Karas tahun 2007, berdasarkan sampel rumah tangga, menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk perempuan (Tabel 4.5). Keadaan ini tidak berbeda dengan kondisi yang ditunjukkan oleh data statistik kelurahan pada tahun 2006 pada Tabel 4.4. Proporsi penduduk usia muda (0-14 tahun) sebesar 31,2 persen; usia tua (60 tahun lebih) sebesar 3,3 persen dan penduduk usia produktif dalam kelompok umur 15-59 sebesar 65,5 persen (Tabel 4.5). Keadaan ini juga menunjukkan kondisi yang tidak telalu berbeda dengan kondisi tahun 2006 berdasarkan data statistik Kelurahan Karas, meskipun dalam proporsi penduduk di tiap kelompok umur ditemukan beberapa perbedaan. Struktur penduduk Kelurahan Karas, kerenanya juga termasuk dalam penduduk muda (lihat piramida penduduk), yaitu lebih dari 30 persen berada pada kelompok usia 0-14 tahun dan lebih dari 23 persen pada kelompok penduduk pemuda, berusia 15-24 tahun. Cukup besarnya proporsi penduduk usia pemuda ini juga memerlukan perhatian dalam kaitannya dengan perilaku mereka,
88
|
terutama karena umumnya jika mereka sudah tidak duduk di bangku sekolah lagi dan mereka merupakan penduduk dalam kelompok usia kerja (produktif). Data hasil survei di Kelurahan Karas juga menunjukkan bahwa ratarata jumlah anggota rumah tangga di kelurahan ini sebesar 4,6 (pembulatan menjadi 5) orang, dengan median jumlah anggota rumah tangga sebesar empat (4) orang. Proporsi terbesar rumah tangga (52 persen) mempunyai anggota rumah tangga paling banyak empat (4) orang (Tabel 4.6)28. Keadaan ini dapat menjadi indikasi cukup rendahnya tingkat fertilitas untuk lebih dari 50 persen rumah tangga, jika diasumsikan bahwa rumah tangga yang memiliki 4 orang anggota terdiri dari suami, istri dan dua orang anak. Ini juga dapat disebabkan keberhasilan program keluarga berencana (KB) yang berdampak terhadap penurunan jumlah penduduk, seperti diindikasikan oleh data penduduk Kelurahan Karas untuk tahun 2000 dan 2006, (Tabel 4.5). Keberhasilan program KB juga disampaikan oleh Lurah Karas dalam wawancara yang dilakukan sebagai berikut: Tanya: Pak, kalau misalnya pertumbuhan penduduk ya Pak ya, ini sepengamatan Bapak aja, apakah kepadatan ini meningkat dengan cepat di karas ini Pak? Jawab: Pertubuhan penduduk itu memang itu Bu, tapi kita tidak bisa mengkalkulasikan berapa persen, itu karena, ini saya rasa, kalau memang tidak dijalankan program KB oleh pemerintah ini, memang pertumbuhannya tinggi mungkin, ini karena ada program pemerintah melalui KB ini kan. Tanya: Agak lambat ya Pak ya? Jawab: Pertumbuhan penduduk tadi bisa ditekan. (Hasil wawancara Tim Peneliti dengan Lurah Karas, tanggal 18 April 2007). 28
Anggota rumah tangga adalah jumlah seluruh individu yang tinggal dalam rumah tangga di daerah penelitian.
|
89
Sekitar 52 persen rumah tangga memiliki anggota sebanyak 4 orang atau kurang dan 48 persen lainnya mempunyai jumlah anggota ≥ 5 orang, dengan jumlah anggota rumah tangga rata-rata 4,6 orang. Kirakira 25 persen rumahtangga mempunyai anggota enam (6) orang lebih (Tabel 4.6). Jumlah anggota rumah tangga atau besaran rumah tangga dapat menjadi salah satu ukuran kemiskinan di tingkat rumah tangga. Studi-studi empirik yang dilakukan di berbagai negara mengindikasikan bahwa keluarga miskin cenderung mempunyai jumlah anggota rumah tangga yang besar. Besarnya jumlah anggota rumah tangga ini tentunya akan berpengaruh terhadap kehidupan rumah tangga tersebut, seperti pendidikan anak, kesehatan ibu dan anak serta pemenuhan kebutuhan pangan yang juga akan sangat berpengaruh terhadap derajat kesehatan anggota rumah tangga. Di Indonesia, berdasarkan hasil pendataan BPS pada tahun 1999, rumah tangga miskin pada umumnya mempunyai anggota rumah tangga rata-rata sebesar 4,9 orang sedangkan rumah tangga tidak miskin mempunyai anggota rumah tangga sebesar 3,9 (Latifa, dkk., 2006: 18). Dengan demikian, kira-kira 48 persen rumah tangga di Kelurahan Karas dapat dikategorikan sebagai rumah tangga miskin, berdasarkan indikator demografi yang diukur dari indikator besaran rumah tangga. Tabel 4.6 Persentase Rumah Tangga Sampel di Kelurahan Karas Berdasarkan Jumlah Anggota Rumah Tangga Jumlah anggota rumah tangga 2 orang 3 orang 4 orang 5 orang 6 orang 7 orang 8 orang 10 orang Jumlah (N) Rata-rata jumlah anggota rumah tangga Median jumlah anggota rumah tangga
Persen 7 18 27 23 11 8 5 1 100 (100) 4,6 4
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007.
90
|
Penduduk Kelurahan Karas mayoritas adalah Suku Melayu yang beragama Islam. Komposisi penduduk berdasarkan etnis adalah 90 persen penduduk asli Suku Melayu dan 10 persen pendatang yang menurut jumlahnya terdiri dari Orang Jawa, Padang, Flores, Batak, Bugis dan lainnya (Bappeda Kota Batam, 2006). Mayoritas pendatang adalah Orang Jawa yang rata-rata bermata pencaharian sebagai pedagang. Kedatangan Orang Jawa ke Kelurahan Karas sudah cukup lama, sehingga mereka sudah beranak cucu di wilayah kelurahan ini (wawancara dengan Lurah Karas). Orang Jawa dan Padang dikatakan sangat mudah membaur dengan masyarakat penduduk asli Suku Melayu, tetapi untuk Orang Buton, meski jumlahnya sangat sedikit, dikatakan masih sering bermasalah dalam pembaurannya. Analisis jumlah dan komposisi penduduk di Kelurahan Karas menunjukkan bahwa, kelurahan ini temasuk salah satu kelurahan dengan jumlah penduduk terbesar, selain dua kelurahan lainnya (Kelurahan Rempang Cate dan Galang Baru) di Kecamatan Galang. Namun, selama kurun waktu tahun 2000-2006, jumlah penduduk di Kelurahan Karas mengalami penurunan yang disebabkan karena adanya pemekaran kelurahan, sehingga sebagian wilayahnya menjadi wilayah kelurahan lain. Dari struktur umurnya terlihat bahwa penduduk Kelurahan Karas masih termasuk dalam kategori penduduk muda, dengan proporsi penduduk usia 0-14 tahun di atas 30 persen dan usia 15-24 tahun (penduduk pemuda) di atas 20 persen. Rasio ketergantungan juga cukup rendah, di bawah 1. Dari komposisi jenis kelamin terlihat bahwa jumlah penduduk laki-laki masih sedikit lebih banyak dari penduduk perempuan. Rumah tangga di Kelurahan Karas, sebagian besar juga memiliki anggota rumah tangga cukup kecil, dimana lebih dari 50 persen rumah tangga mempunya jumlah anggora rumah tangga 4 orang atau kurang. Dengan mengambil cutting point sebesar 4 orang anggota rumah tangga, dapat disimpulkan bahwa hanya 48 persen rumah tangga di Kelurahan Karas dapat dikategorikan sebagai keluarga miskin. Kondisi ini juga perlu dikaji lebih lanjut berkaitan dengan kondisi ekonomi dan sosial lainnya.
|
91
4.2. Pendidikan dan Keterampilan Pendidikan merupakan salah satu indikator kualitas sumber daya manusia, yang sangat ditentukan oleh investasi yang dilakukanoleh keluarga terhadap pendidikan anggota rumah tangganya maupun investasi pemerintah dalam sarana dan prasarana pendidikan. Kualitas sumberdaya manusia yang terkait dengan pendidikannya dapat dilihat dari beberapa determinan, yaitu kemampuan membaca dan menulis (angka buta huruf), status sekolah, serta pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Karena keterbatasan data, analisis dalam bagian ini hanya mencakup kemampuan membaca dan menulis serta pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Tabel 4.7 menunjukkan bahwa di antara penduduk berusia 10 tahun ke atas di Kota Batam pada tahun 2005, masih ada sekitar 1-2 persen yang tidak dapat membaca huruf latin. Angka ini cukup kecil, jika mempertimbangkan bahwa penduduk berumur 10 tahun ke atas termasuk juga yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tidak jarang ditemukan di daerah-daerah terpencil, murid yang sudah duduk di kelas tiga SD ternyata masih belum mampu membaca dan menulis. Jika dibandingkan antara penduduk laki-laki dan perempuan, tingkat buta huruf ini lebih tinggi di antara penduduk perempuan, meskipun proporsinya tidak terlalu jauh berbeda. Ini juga mengindikasikan bahwa ada kemungkinan anak perempuan tidak diutamakan untuk cepat masuk sekolah pada, sehingga berpengaruh terhadap kemanpuan membacanya. Tabel 4.7 Penduduk Kota Batam Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Kemampuan Membaca dan Menulis Serta Jenis Kelamin, Tahun 2005 (%)
92
Kemampuan membaca dan menulis
Laki-laki
Perempuan
Total
Dapat membaca huruf latin Dapat membaca huruf lainnya Tidak dapat membaca (buta huruf) Total N Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006
98,7 0,1 1,1 100,0 229.400
98,1 0,4 1,5 100,0 258.443
98,4 0,3 1,3 100,0 487.843
|
Dari tingkat pendidikan yang ditamatkan, terlihat bahwa lebih dari 50 persen penduduk Kota Batam berpendidikan SLTA ke atas (Tabel 4.8). Umumnya pendidikan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, tetapi untuk jenjang pendidikan SLTP dan SLTA, proporsi penduduk perempuan berpendidikan SLTP dan SLTA lebih besar dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Ini dapat berkaitan dengan migrasi masuk penduduk perempuan berpendidikan SLTP dan SLTA untuk bekerja di sektor industri di Batam, terutama di industri elektronik (Pemerintah Kota Batam, 2005). Sebaliknya untuk penduduk yang berpendidikan di bawah SLTP dan di atas SLTA, proporsi laki-laki lebih besar daripada perempuan, meskipun pada jenjang pendidikan dasar proporsinya tidak terlalu jauh berbeda. Namun, untuk jenjang pendidikan diatas SLTA, perbedaan antara laki-laki dan perempuan cukup besar, sekitar 5 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa masih ada kendala yang dihadapi penduduk perempuan di Kota Batam dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Table 4.8 Penduduk Kota Batam Berumur 5 Tahun ke Atas Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin, Tahun 2005 (%) Pendidikan Tidak/belum pernah sekolah Belum/tidak tamat SD SD SLTP SLTA Diploma I-II Akademi/Diploma III Universitas Total N
Laki-laki 5,7 12,4 11,6 13,8 45,1 3,5 2,9 5,0 100,0 258.192
Perempuan 5,0 11,8 10,0 15,0 52,1 2,3 1,4 2,4 100,0 285.734
Total 5,4 12,1 10,7 14,4 48,7 2,9 2,1 3,7 100,0 543.926
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006, Tabel 9.7; 9.8; 9.9
|
93
Analisis pendidikan dan ketrampilan penduduk di Keluhan Karas terutama akan didasarkan pada data hasil survei rumah tangga di kelurahan tersebut, karena terbatasnya data sekunder tentang profil kelurahan yang tersedia. Kira-kira 82 persen penduduk Kelurahan Karas berpendidikan SD ke bawah. Keadaan ini juga hampir tidak berbeda dengan kondisi umum Kecamatan Galang yang kurang lebih 85 persen penduduknya berpendidikan SD ke bawah (Tabel 4.9). Namun, kondisi pendidikan penduduk di Kelurahan Karas ini lebih baik dari Kelurahan-kelurahan Pulau Abang, Rempang Cate dan Subang Mas, yang lebih dari 90 persen penduduknya berpendidikan SD ke bawah. Kondisi pendidikan penduduk kelurahan lainnya tidak jauh berbeda dengan penduduk Kelurahan Karas. Tabel 4.9 Penduduk Kecamatan Galang Menurut Kelurahan dan Pendidikan yang Ditamatkan, Tahun 2005 (%)
Kelurahan
Tingkat Pendidikan yang ditamatkan Tidak/Bl SD SLTP SLTA Diploma/ m tamat Akademi/ SD Universitas
Total %
N 1)
PulauAbang
70,9
20,8
4,1
3,2
0,9
100,0
1.369
Karas Sijantung
52,6 41,5
29,7 38,3
9,2 8,5
7,8 11,2
0,8 0,6
100,0 100,0
3.017 815
Sembulang
41,9
38.6
9,3
9,0
1,2
100,0
1.118
Rempang Cate Subang Mas
49,7
42,9
3,4
3,6
0,5
100,0
1.745
69,5
21,6
5,1
2,3
1,5
100,0
472
Galang Baru
43,4
32,0
15,2
8,3
1,0
100,0
696
Kec. Galang
52,7
32,5
7,5
6,5
0,8
100,0
9.232
Sumber: Pemerintah Kota Batam. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam. 2006. Kecamatan Galang dalam Angka Catatan: 1) Tidak termasuk kategori ’Lainnya’
Data survei yang dilakukan terhadap 100 rumah tangga di Kelurahan karas menunjukkan bahwa kira-kira 12 persen penduduk berumur 7 tahun ke atas belum/tidak sekolah dan sekitar 76 persen lainnya berpendidikan SD ke bawah (Tabel 4.9). Jika dibandingkan antara penduduk laki-laki dan perempuan, terlihat bahwa hampir tidak ada
94
|
perbedaan tingkat pendidikan antara penduduk laki-laki dan perempuan. Seperti yang diungkapkan Lurah Karas, untuk tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Galang, Belakang Padang, dan Bulang, pendidikan dari SD sampai ke SLTA digratiskan. .....di tiga kecamatan ini, Kecamatan Galang, Belakang Padang dan Bulang itu dari SD sampai ke SLTA itu digratiskan, maka anak-anak itu rata-rata tamat SMA, sebelum itu mereka hanya tamat SMP aja, dua, tiga orang yang nyambung ke Batam, nyambung ke Tanjung Pinang. Ini, Alhamdullillah karena kebijakan pemerintah untuk daerah hinterland ini dengan mainland itu beda gitu kan, kalau di kota itu bayar sekolahnya, kalau di hinterland itu gratis kan. (Wawancara dengan Lurah Karas, 18 April 2007). Program ini belum berlangsung lama, sehingga mungkin masih sedikit terlihat pengaruhnya terhadap pendidikan penduduk di Kelurahan Karas. Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, di Kelurahan Karas sendiri terdapat tiga (3) buah SD, satu (1) buah SMP dan satu (1) buah SMA. Tingginya proporsi penduduk yang berpendidikan SD ke bawah dapat disebabkan karena tingginya proporsi penduduk pada kelompok umur muda yang memang masih menempuh pendidikan SD. Kira-kira 22 persen penduduk di Kelurahan Karas berada pada kelompok umur 5-14 tahun (lihat Tabel 4.5), yang didalamnya termasuk kelompok usia pendidikan SD (7-12 tahun). Untuk daerah-daerah terpencil, kesulitan ekonomi sering menghambat anak masuk sekolah, sehingga anak mulai masuk sekolah SD pada usia yang lebih tua, di atas 7 tahun. Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 2000 terlihat bahwa untuk Kota Batam, kira-kira 92 persen penduduk berumur 7-12 tahun (kelompok umur SD) tidak/belum tamat SD serta untuk kelompok umur 13-15 tahun (kelompok umur SLTP) kira-kira 18 persen yang tidak/belum menamatkan SD (Lampiran 4.1). Dengan asumsi adanya wajib belajar (Wajar) 9 tahun, dapat diartikan bahwa mereka yang
|
95
dalam kelompok ini masih menempuh pendidikan, tetapi belum menamatkan pendidikan SD. Tabel 4.10 Distribusi Penduduk Berumur 7 Tahun Keatas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin, Kelurahan Karas, Tahun 2007 (%) Pendidikan Belum/tidak sekolah Belum/tidak tamat SD SD tamat SLTP tamat SLTA tamat keatas Total N
Laki-laki
Perempuan
Total
11,0 35,3 30,3 13,3 10,1 100 218
13,0 37,0 26,1 13,6 10,3 100 184
11,9 36,1 28,4 13,4 10,2 100 402
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007.
Penduduk Pulau Karas dahulunya dikenal memiliki keahlian membuat perahu yang disebut dengan Sampan Melayu. Namun, keahlian dan ketrampilan itu sekarang tidak diteruskan pada generasi muda, seperti yang dinyatakan Lurah Karas berikut: Tanya: Masyarakat nelayan di sini ya Pak ya?. Biasanya kan pasti ada juga yang punya keahlian untuk buat kapal? Jawab: Ada Bu. Di sini kalau di Pak jamil ini kan sudah dibantu......Pak Ani, kemudian lagi di daerah pulau itu Pak Yanto, memang kalau orang sini bilang dulu ada yang membuat Sampan Melayu kan, tukang Sampan Melayu, untuk diperlombakan, adakan .......seperti tujuh belas Agustus, itu kan itu dulu memang di Karas ini ada orang yang
96
|
pandai buat sampan-sampan kecil itu, tapi sekarang ini tidak ada penerusnya nampaknya, berganti dari sampan dayung berganti ke motor pompong, sekarang yang tinggal hanya pandai buat pompongnya. (Wawancara dengan Lurah Karas, 18 April 2007). Selain Sampan Melayu, beberapa di antara penduduk juga mempunyai keahlian membuat perahu untuk kegiatan melaut. Bagi sebagian orang, keterampilan tersebut tidak hanya dimanfaatkan untuk membuat perahu yang digunakan sendiri, melainkan juga perahu pesanan pihak lain. Salah seorang diantaranya bahkan membuat perahu atas pesanan orang-orang dari luar wilayah Kelurahan Karas, termasuk juga dari Bangkok (wawancara dengan narasumber di lokasi penelitian). Selanjutnya, ada pula beberapa penduduk yang mempunyai keterampilan mekanik motor tempel, yang sudah diikutkan pelatihan oleh Lurah. Selain dari itu ada beberapa penduduk yang mempunyai ketrampilan dan membuka bengkel untuk memperbaiki motor pompong dan bengkel las untuk membuat trali-trali besi untuk jendela. Ketrampilan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut dalam industri rumah tangga seperti membuat kerupuk ikan dan sambal ikan (semacam abon ikan) juga sudah dimiliki penduduk setempat. Tetapi usaha ini belum merupakan usaha komersil, baru untuk dikonsumsi sendiri. Program Coremap yang sudah masuk ke Kelurahan Karas ini membuat kegiatan-kegiatan tersebut sekarang merupakan kegiatan kelompok industri rumah tangga. Keterampilan lainnya yang dimiliki juga membuat ikan asing/kering, ikan asap (ikan salai) juga untuk dikonsumsi sendiri dan membuat anyamanyaman (tikar). Kegiatan-kegaitan ini biasanya dilakukan oleh perempuan. Sebagian perempuan, khususnya, menguasai keterampilan membuat anyaman untuk berbagai keperluan, antara lain tikar dan peralatan untuk menutup makanan (tudung saji berukuran besar dan kecil).
|
97
Keterampilan yang dimiliki didapat secara turun temurun atau belajar dari penduduk setempat yang menguasainya. Ketersediaan bahan baku untuk membuat anyaman, yaitu pandan (sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya), menyebabkan mereka yang menguasai keterampilan tersebut terus melakukan kegiatannya sampai sekarang. Namun, usaha anyam-anyaman ini masih merupakan usaha perorangan, untuk digunakan sendiri, atau hanya dijual pada pedagang pengumpul keliling yang biasanya datang ke Pulau Karas Anyam-anyaman dari Pulau Karas ini sudah dipromosikan sampai ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). (Wawancara dengan Lurah Karas). 4.3. Pekerjaan Labih dari 75 persen penduduk Kota Batam bekerja di sektor industri dan hanya sekitar 0,8 persen bekerja di sektor pertanian, termasuk perikanan. Ada sekitar 779 buah perusahaan industri, sedangkan perusahaan yang bergerak di bidang pertanian hanya berjumlah 24 buah (Pemerintah Kota batam, 2006: Tabel 3.2.18). Tetapi, sebagai daerah yang wilayahnya terdiri dari pulau-pulau, penduduk Kecamatan Galang terutama bekerja di sektor perikanan, diikuti oleh sektor pertanian, perdagangan dan jasa (Tabel 4.11). Hampir 70 persen dari penduduk yang bekerja adalah mereka yang bekerja sendiri, dan hanya kira-kira 15 persen bekerja dengan dibantu buruh/pekerja yang dibayar dan 9 persen dibantu anggota rumah tangga (Tabel 4.12). Ini sesuai dengan lapangan pekerjaan penduduk yang mayoritas di sektor perikanan.
98
|
Tabel 4.11 Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas di Kecamatan Galang yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan, Tahun 2005 Sektor pekerjaan
Jumlah pendududuk yang bekerja 490
Persentase
Pertanian tanaman pangan/ 12,1 Pertanian lainnya Perkebunan 74 1,8 Perikanan 2.109 52,0 Industri Pengolahan 145 3,6 Perdagangan 433 10,7 Jasa 327 8,1 Angkutan 59 1,4 Lainnya 421 10,4 Jumlah 4.058 100,0 Sumber: Pemerintah Kota Batam. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam. 2006. Kecamatan Galang dalam Angka, Tabel 3.13 Tabel 4.12 Penduduk Berumur 15 tahun Ke Atas di Kecamatan Galang yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan, Tahun 2005 Status pekerjaan
Jumlah pendududuk Persentase yang bekerja Berusaha/bekerja sendiri 2.787 69,9 Berusaha dibantu buruh tidak tetap 366 9,2 Berusaha dibantu buruh tetap 31 0,8 Buruh/karyawan/pekerja dibayar 589 14,8 Lainnya 212 5,3 Jumlah 3.985 100,0 Sumber: Pemerintah Kota Batam. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam. 2006. Kecamatan Galang Dalam Angka.
|
99
Dari jenis pekerjaannya, Tabel 4.13 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kecamatan Galang adalah petani, yang merupakan refleksi dari keadaan di tiap-tiap kelurahan. Petani di sini mempunyai pengertian luas yang mencakup pertani tanaman pangan, perkebunan dan juga perikanan (nelayan, budidaya ikan). Kelurahan Karas dan Kelurahan Pulau Abang merupakan dua kelurahan yang mempunyai proporsi terkecil penduduk yang bekerja sebagai petani. Namun, cukup tinggi proporsi penduduk di kedua kelurahan ini yang bekerja sebagai penampung ikan, seperti terlihat pada data pada Tabel 4.13. Pekerjaan ini juga masih berkaitan dengan eksploitasi sumberdaya laut. Dengan demikian, masih dibutuhkan intervensi program untuk menciptakan mata pencaharian alternatif, terutama yang tidak berkaitan dengan eksploitasi sumberdaya laut yang berlebihan, yaitu di sektor perdagangan dan jasa, yang memang sudah merupakan jenis pekerjaan yang sudah dilakukan penduduk setempat. Tabel 4.13 Penduduk Menurut Kelurahan dan Jenis Pekerjaan, Kecamatan Galang, Tahun 2005 (%)
Kelurahan
Pulau Abang Karas Sijantung Sembulang Rempang Cate Subang Mas Galang Baru Kec. Galang
Jenis pekerjaan IndusPenampun tri g ikan segar (mati)
Petani
Jasa perdagangan
56,6
4,6
4,3
86,4 93,6 94,2 92,1
2,1 1,5 2,5 2,5
94,1 95,0 90,4
Penampung ikan hidup
Total
N
15,2
19,2
100,0
302
1,7 1,0 1,4 3,0
4,2 2,3 1,5 2,0
5,6 1,7 0,4 0,4
100,0 100,0 100,0 100,0
906 823 844 831
2,5 2,4
2,7 1,5
0,5 0,6
0,2 0,5
100,0 100,0
809 822
2,4
2,0
2,7
2,5
100,0
5.337
Sumber: Pemerintah Kota Batam. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam. 2006. Kecamatan Galang Dalam Angka, Tabel 4.9.
100
|
Hasil survei di Kelurahan Karas menunjukkan bahwa lebih dari 54 persen penduduk merupakan angkatan kerja (Tabel 4.14). Proporsi penduduk laki-laki yang berada dalam kelompok angkatan kerja (lebih dari 75 persen) jauh lebih besar daripada penduduk perempuan (yang hanya kurang lebih 30 persen). Penduduk perempuan lebih banyak berada dalam kelompok ’bukan angkatan kerja’, terutama dalam kategori ’mengurus rumah tangga’. Dalam kelompok ’bukan angkatan kerja’ ini, proporsi penduduk laki-laki yang masih bersekolah juga lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Struktur kegiatan utama penduduk di Kelurahan Karas ini menunjukkan keadaan yang umum ditemukan di berbagai wilayah diIndonesia, yaitu stereotipe perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga dan tidak memerlukan pendidikan formal yang tinggi. Lakilaki adalah pencari nafkah utama dan mendapat prioritas untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggidari perempuan. Sebaliknya, tidak ada sama sekali penduduk laki-laki yang mempunyai kegiatan utama ’mengurus rumah tangga’. Tingginya proporsi penduduk perempuan yang masuk dalam kategori ’mengurus rumah tangga’ ini juga dapat disebabkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tentang stereotipe kegiatan perempuan yang berkaitan dengan pengurusan rumah tangga. Padahal, dalam kenyatannya perempuan di masyarakat pertanian (termasuk keluarga nelayan) juga banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang menghasilkan pendapatan tunai, misalnya membantu mengurus usaha penampungan ikan di rumah yang dilakukan suami, bahkan seringkali istri justru yang mengurus usaha tersebut sedangkan suami lebih banyak terlibat dalam kegiatan kenelayanan. Karena kegiatan ini dilakukan di rumah dan hanya dalam jam-jam tertentu dalam sehari, kemungkinan kegiatan ini tidak diperhitungkan sebagai ’bekerja’. Selain dari itu, keterlibatan perempuan dalam kegiatan industri rumah tangga juga rentan terhadap pengelompokan sebagai ’hanya mengurus rumah tangga’. Karena itu, untuk intervensi kegiatan ekonomi alternatif (selain eksploitasi sumber daya laut), hal-hal seperti ini perlu menjadi perhatian. Dilihat dari penduduk yang bekerja, sebagian besar penduduk laki-laki bekerja di sektor perikanan tangkap, diikuti sektor pertanian tanaman keras dan indiustri pengolahan. Perempuan banyak
|
101
bekerja di sektor industri pengolahan dan perdagangan yang umumnya dapat dikerjakan di rumah (Tabel 4.15). Tabel 4.14 Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas Menurut Kegiatan Utama yang Dilakukan dan Jenis Kelamin, Kelurahan Karas, Tahun 2007 (%) Kegiatan Utama
Laki-laki
Perempuan
Angkatan kerja - Bekerja 60,1 - Menganggur/tidak mencari 10,8 kerja - Mencari kerja 3,9 Bukan angkatan kerja - Sekolah 24,6 - Mengurus rumah tangga 0,0 - Lainnya 0,5 Jumlah 100,0 N 203 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial 2007.
Total
22,8 4,8
43,2 8,1
3,0
3,5
21,0 23,0 47,3 21,4 1,2 0,8 100,0 100,0 167 370 Terumbu Karang Indonesia,
Tabel 4.15 Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama yang Dilakukan dan Jenis Kelamin, Kelurahan Karas, Tahun 2007 (%) Kegiatan Utama
Laki-laki
Perempuan
Total
Perikanan tangkap 86,1 10,5 68,1 Pertanian tanaman keras 4,1 2,6 3,8 Industri pengolahan 4,1 52,6 15,6 Perdagangan 1,6 23,7 6,9 Angkutan 0,8 0,0 0,6 Jasa 3,3 7,9 4,4 Lainnya 0,0 2,6 0,6 Jumlah 100,0 100,0 100,0 N 122 38 160 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007.
102
|
Berdasarkan jenis pekerjaannya, sebagian besar laki-laki di Kelurahan Karas bekerja sebagai nelayan dan ada pula sebagian kecil yang bekerja sebagai tenaga usaha jasa, petani tanaman keras dan tenaga produksi (Tabel 4.16). Dilihat dari status pekerjaannya, sebagian besar (52,5 persen) penduduk laki-laki ini bekerja dengan status berusaha sendiri. Ini memang berkaitan dengan kegiatan sebagai nelayan yang umumnya bekerja sendiri atau dibantu anggota rumah tangganya, atau bekerja bersama orang lain dengan sistim bagi hasil. Kira-kira 17 persen penduduk yang bekerja di Kelurahan Karas menyatakan bahwa mereka bekerja dengan/bersama orang lain dengan sistim bagi hasil (Tabel 4.17). Untuk penduduk perempuan, di antara yang bekerja, proporsi terbesar bekerja sebagai tenaga produksi dan tenaga penjualan. Proporsi terbesar penduduk perempuan (50 persen) juga bekerja berusaha sendiri dan kira-kira 37 persen sebagai buruh. Mereka yang bekerja sebagai buruh bisa bekerja sebagai tenaga produksi di industri pengolahan, seperti pengolahan hasil laut (pembuatan kerupuk) dan pembuatan ikan asin, terutama ikan bilis di Kelurahan Karas, tetapi ada pula yang bekerja di sektor industri yang ada di Kota Batam, meskipun secara resmi masih merupakan penduduk Kelurahan Karas, seperti dinyatakan Lurah Karas berikut: ....rata-rata dia tamatan SMA tadi bekerja di Batam itu rata-rata perempuan, karena perempuan ini mungkin di satu sisi perusahaan itu menganggap perempuan itu ulet kerjanya, sesudah itu mungkin tidak banyak resikonya, untuk demo itu juga tidak berani kalau perempuan, mungkin. Tapi kalai laki-laki ini memang payah, kalau dari SMA 9 Karas sini yang pergi ke Batam minta kerja itu, pulang nggak dapat. (Wawancara dengan Lurah Karas, 18 April 2007). Perempuan yang berusaha sendiri umumnya adalah mereka yang bekerja sebagai tenaga penjualan di sektor perdagangan, seperti membuka warung di rumah. Tidak ada penduduk perempuan yang bekerja dengan buruh tetap ataupun yang bekerja dengan sistim bagi
|
103
hasil. Ini sangat berkaitan erat dengan jenis pekerjaan yang dilakukan penduduk perempuan. Bekerja dengan bagi hasil umumnya dilakukan dalam kegiatan kenelayanan (menangkap ikan), dan memang hampir tidak ada perempuan yang terlibat dalam kegiatan kenelayanan. Tabel 4.16 Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Jenis Pekerjaan Utama yang Dilakukan dan Jenis Kelamin, Kelurahan Karas, Tahun 2007 (%) Kegiatan Utama
Laki-laki
Perempuan
Total
Nelayan 85,2 7,9 66,9 Petani tanaman keras 3,3 2,6 3,1 Tenaga produksi 3,3 44,7 13,1 Tenaga penjualan 1,6 31,6 8.8 Tenaga usaha jasa 4,9 7,9 5,6 Lainnya 1,6 5,3 2,5 Jumlah 100,0 100,0 100,0 N 122 38 160 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007.
Tabel 4.17 Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama yang Dilakukan dan Jenis Kelamin, Kelurahan Karas, Tahun 2007 (%) Kegiatan Utama
Laki-laki
Perempuan
Total
Berusaha sendiri 52,5 50,0 51,9 Berusaha dibantu anggota 9,8 5,3 8,8 keluarga Berusaha dengan buruh tetap 3,3 0,0 2,5 Buruh/karyawan 11,5 36,8 17,5 Pekerja keluarga 5,7 7,9 6,3 Berusaha dengan orang lain/bagi 17,2 0,0 13,1 hasil Jumlah 100,0 100,0 100,0 N 122 38 160 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007.
104
|
Pekerjaan yang sepenuhnya dilakukan oleh perempuan adalah membuat kerajinan/anyaman dari bahan pandan yang banyak terdapat di Kelurahan Karas. Hasil pekerjaan kelompok perempuan tersebut dipasarkan secara sendiri-sendiri karena belum ada pihak yang bekerja sama untuk memasarkannya. Selain itu, belum tertanamnya rasa kebersamaan dalam aktivitas ekonomi menyebabkan penduduk melakukan usaha ekonomi, termasuk memasarkan hasil produksi, secara sendiri-sendiri. Hal ini dikemukakan oleh salah seorang narasumber berikut ini, … kelemahan ibu-ibu kita di sini dan bapak-bapaknya juga rasa kekompakan, rasa gotong royong itu kurang. Mereka kalau nganyam tikar itu sendirisendiri, buat tikar sendiri-sendiri, nanti kalau sudah siap dijual sama orang jual keliling. Kira-kira 21 persen dari total penduduk berumur 10 tahun yang bekerja menyatakan bahwa mereka mempunyai pekerjaan tambahan. Artinya mereka melakukan lebih dari satu pekerjaan. Dari total penduduk yang melakukan lebih dari satu pekerjaan ini, proporsi perempuan hanya sekitar 9 persen (Tabel 4.18). Lapangan pekerjaan yang utama untuk pekerjaan tambahan ini adalah pertanian tanaman keras dan perdagangan. Dengan demikian sebagian besar penduduk yang bekerja sebagai nelayan (di sektor perikanan laut) juga banyak yang bekerja sebagai petani dan pedagang. Mereka yang bekerja pada lapangan pekerjaan perdagangan, jika dilihat menurut jenis pekerjaannya adalah tenaga usaha jasa dan tenaga penjualan. Penduduk yang mempunyai pekerjaan tambahan ini juga sebagian besar berusaha sendiri tanpa dibantu anggota rumah tangga maupun tenaga lainnya (buruh).
|
105
Tabel 4.18 Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Bekerja, dan Mempunyai Pekerjaan Tambahan, Kelurahan Karas, Tahun 2007 Ciri-ciri pekerjaan tambahan
Persentase
Penduduk yang bekerja dan mempunyai pekerjaan 20,6 (33) tambahan (% dari total yang bekerja) - Proporsi perempuan 9,0 Lapangan pekerjaan tambahan - Pertanian tanaman keras 45,4 - Perdagangan 18,2 - Lainnya 36,4 Jenis pekerjaan tambahan - Petani tanaman keras 36,4 - Tenaga usaha jasa 24,2 - Tenaga penjualan 18,2 - Lainnya 21,2 Status pekerjaan tambahan - Berusaha sendiri 69,7 - Berusaha dengan dibantu anggota rumah tangga 12,1 - Lainnya 18,2 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007.
4. 4. Kesejahteraan Penduduk Tingkat kesejahteraan penduduk dapat dilihat dari pemilikan aset produksi yang merupakan sarana untuk mencari nafkah, dan aset non produksi, yang bersifat konsumtif, yang menunjukkan kemampuan penduduk untuk meningkatkan kesejahteraannya. Selain dari itu, kesejahteraan juga dapat dilihat dari kondisi lingkungan tempat tinggal, termasuk sanitasi lingkungan, karena kondisi lingkungan yang kumuh sangat berkaitan dengan tingkat ekonomi penduduk. Aset produksi yang dimiliki penduduk di Kecamatan Galang meliputi kapal penangkap ikan, pompong, sampan, kelong pantai, kelong bilis,
106
|
keramba, kolam ikan, dan kolam udang (Tabel 4.19). Kelurahan Karas merupakan kelurahan dengan pemilikan aset produksi terbesar untuk hampir semua jenis, kecuali aset produksi budidaya, yaitu kolam ikan. Keadaan ini menunjukkan bahwa ekonomi penduduk Kelurahan Karas memang sangat tergantung pada perikanan tangkap, tetapi Kelurahan Karas juga merupakan satu-satunya kelurahan di Kecamatan Galang yang memiliki kolam budidaya udang. Ini mungkin merupakan salah satu usaha budidaya sumberdaya laut yang dapat dikembangkan di Kelurahan Karas. Selain dari itu, penangkapan ikan bilis juga cukup dominan di Kelurahan Karas, dibandingkan dengan kelurahan-kelurahan lainnya. Di Kelurahan Karas ini juga ditemukan rumah tangga yang mengusahakan industri pengeringan ikan bilis.
|
107
Tabel 4.19 Jumlah Pemilikan Alat-alat Tangkap dan Sumber Produksi Perikanan di Kecamatan Galang Menurut Kelurahan, Tahun 2005 (Unit) Jenis alat tangkap dan sumber produksi
Kelurahan Pulau Abang
Karas
Sijantung
Sembulang
Rempang Cate
Subang Mas
Galang Baru
Kapal penangkap 22 24 ikan Pompong 184 311 198 76 36 6 49 Sampan 112 210 34 32 154 27 64 Kelong Pantai 297 274 86 83 133 32 142 Kelong bilis 9 95 17 18 30 23 10 Keramba 113 842 194 164 61 26 23 Kolam ikan 94 25 5 4 25 Kolam udang 7 Sumber: Pemerintah Kota Batam. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam. 2006. Kecamatan Galang Dalam Angka. 2006. Tabel 4.14
108
|
Untuk Kelurahan Karas sendiri, berdasarkan hasil survei terhadap 100 rumah tangga, pemilikan aset produksi secara rinci menunjukkan bahwa kurang dari 50 persen rumah tangga memiliki perahu motor, baik motor dalam maupun motor tempel, yang dapat digunakan sebagai sarana untuk menangkap ikan. Cukup besar proporsi rumah tangga (31 persen) yang memiliki perahu tetapi tanpa motor. Kondisi ini tentunya akan berpengaruh terhadap kemampuan nelayan untuk berproduksi (menangkap ikan). Umumnya rumah tangga hanya memiliki 1unit motor (dalam ataupun tempel), dengan ukuran mesin antara 6-110 PK. Tetapi ukuran rata-rata motor dalam adalah 20 PK sedangkan untuk motor tempel hanya 15 PK. Aset produksi lainnya yang dimiliki, berkaitan dengan mata pencaharian sebagai nelayan adalah karamba, bagan/kelong, jaring dan pancing rawai, masing-masing dengan pemilikan terbanyak hanya satu unit dan bubu, dengan pemilikan terbanyak 10 dan 20 buah. Hanya dua (2) rumah tangga yang memiliki tambak (udang) dengan luas 1 dan 10 ha (Tabel 4.20). Dari sampel 100 rumah tangga ini, yang memiliki alat transportasi komersil, yaitu motor (Honda) sebagai ojek, hanya satu (1) rumah tangga. Namun, berdasarkan pengamatam di lapangan, di Kelurahan Karas (terutama di wilayah Pulau Karas) terdapat cukup banyak motor yang digunakan sebagai sarana angkutan ojek. Kira-kira 17 persen dari 100 rumah tangga sampel juga menyatakan mempunyai lahan pertanian tanaman pangan dan kebun dengan luas antara 0,5 sampa 6,0 ha, dengan pemilikan rata-rata seluas kira-kira 1,38 ha. Pemilikan terbanyak adalah dengan luas 0,5 ha (sembilan rumah tangga) dan hanya satu (1) rumah tangga yang menyatakan memiliki lahan seluas 6,0 ha (Tabel 4.20). Lahan perkebunan di Kelurahan Karas mencakup kira-kira 37 persen dari total penggunaan
|
109
lahan di kelurahan ini, dengan tingkat kesuburan subur dan sedang. Lahan pertanian ini sudah tidak mungkin lagi untuk diperluas mengingat kondisi geografis wilayah pulau-pulau di Keluahan Karas (Pemerintah Kota Batam, Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam, 2006: Tabel 5.1 dan 5.2). Lahan kebun di Kelurahan Karas ini sudah tidak tertalu produktif karena tidak digarap secara baik untuk tujuan komersial, sebagai sumber mata pencaharian utama. Bahkan banyak juga lahan yang memang tidak diusahakan oleh pemiliknya. Tanaman yang banyak terdapat di kebun penduduk adalah kelapa, petai, cempedak dan durian, seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Umumnya kebun ini merupakan warisan/pusaka dari orang tua, bukan merupakan kebun penanaman baru. Untuk tanaman kelapa misalnya, pemilik tidak melakukan penanaman baru, hanya jika produksi (buahnya) sudah sangat berkurang, baru dilakukan penanaman baru (pengganti). Akhir-akhir ini juga banyak yang membeli batang pohon kelapa, sehingga tanaman kelapa banyak yang dipotong/ditebang dan tidak diremajakan kembali (hasil wawancara dengan Lurah Karas). Dengan demikian, sektor pertanian bukan merupakan sektor yang diandalkan dalam meningkatkan perekonomian penduduk. Usaha untuk merevitalisasi dan meremajakan kebun-kebun ini harusnya dapat menjadi alternatif mata pencaharian mengingat sektor perikanan (laut) juga sudah mulai berkurang hasilnya. Seperti yang dinyatakan oleh Lurah Karas: Saya rasa memang , Bu, itu makin hari, minggu, bulan ke tahun itu memang Karas ini saya rasa untuk perekonomiannya itu suram, karena melaut sudah tidak seperti dulu lagi kan. Dulu orang di depan mata, nelayan kita di depan mata ini sudah bisa nangkap ikan, sekarang harus pergi 2 jam, bahkan lebih, baru dapat ikan bagus, kan gitu, Jadi saya rasa makin suram masa depannya. Kemudian untuk kebun sambilsambilan, tadi juga meneruskan pusaka orang tua.......
110
|
Tabel 4.20 Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Alat/Sarana Produksi, Jumlah Pemilikan dan Ukuran, Kelurahan Karas, Tahun 2007 Persentase rumah tangga yang memiliki
Jumlah pemilikan
Ukuran
Motor dalam
45,0
1-2 unit (1)
Motor tempel
3,0
1 unit
Perahu tanpa motor
31,0
1-2 buah (1)
Mesin: 6-110 PK (20) Body : 16-42 GT (26) Mesin: 15 PK Body : 2-26 GT Body: 3,5-35 (20) 1-10 Ha
Jenis aset
Karamba 6,0 1-2 unit (1) Bagan/kelong 11,0 1-20 buah (1) Bubu 18,0 1-40 buah (10, 20) Jaring 43,0 1-30 unit (1) Pancing rawai 17,0 1-14 unit (1) Tambak 2,0 Alat transportasi komersil 1,0 1 unit - Honda (motor) Lahan - Pertanian 17,0 0,5-6,0 Ha (0,5) tanaman pangan 1,38 Ha dan perkebunan - Pemilikan ratarata Jumlah total rumah 100 tangga Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007. Catatan: ( ) jumlah pemilikan terbanyak.
Aset non produksi yang dimiliki penduduk yang paling umum adalah pesawat televisi (71 dari 100 rumah tangga). Televisi memang sudah merupakan sarana informasidan hiburan yang umum di hampir seluruh wilayah Indonesia, dan sudah tidak merupakan barang yang mewah, tetapi merupakan salah satu kebutuhan (non pangan) yang
|
111
utama juga. Selain televisi, 50 persen dari rumah tangga sampel juga memiliki VCD player, sedangkan antena parabola hanya dimiliki oleh dua (2) rumah tangga. Kendaraan bermotor juga merupakan aset non produksi lainnya yang cukup penting sebagai sarana transportasi di Kelurahan Karas, terutama di wilayah Pulau Karas, meskipun seluruh wilayah pulau dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Dengan adanya jalan desa (yang sebagian sudah di aspal/semen), keberadaan kendaraan roda dua (motor) ini sangat membantu kelancaran mobilitas penduduk dalam melakukan aktifitas sehari-hari mereka. Sebanyak 21 dari 100 rumah tangga sampel menyatakan bahwa mereka memiliki kendaraan roda dua (motor). Pemilikan aset non produksi yang dapat dianggap sebagai tabungan adalah perhiasan dan ternak. Sebanyak 24 dari 100 rumah tangga sampel memiliki perhiasan yang dapat dianggap sebagai tabungan, dengan jumlah antara 1 sampai 20 potong. Pemilikan ternak hanya dinyatakan oleh 9 dari 100 rumah tangga. Tetapi ternak yang terdapat di Kelurahan Karas hanya kambing dan ayam (Pemerintah Kota Batam, Bappeda Kota Batam, 2006: Tabel 5.9). Dari kondisi pemilikan aset non produksi ini terlihat bahwa kemampuan ’saving’ penduduk juga tidak terlalu tinggi. Sanitasi dan kondisi lingkungan di Kelurahan Karas, sebagai salah satu indikator yang menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk juga tidak terlalu baik. Dari kondisi lingkungannya, Kelurahan Karas merupakan salah satu dari tiga kelurahan di Kecamatan Galang yang tidak memiliki hutan bakau29 (Pemerintah Kota Batam, Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam, 2006: Tabel 5.4) Sebagai wilayah yang penduduknya sebagian besar bermata pencaharian di sektor perikanan laut, keberadaan hutan bakau di sekitar wilayah tersebut tentunya akan sangat berarti dalam mempertahankan populasi sumber daya laut yang dapat dieksploitasi. Tidak adanya hutan balau di wilayah ini dapat merupakan akibat dari kondisi lingkungan yang memang sudah tidak baik.
29
Dua kelurahan lainnya adalah Kelurahan Rempang Cate dan Subang Mas.
112
|
Rumah-rumah di Kelurahan Karas sebagian juga ada yang berada di atas laut dengan penerangan listrik dari PLN hanya menyala pada malam hari. Semua rumah tangga, seperti juga kondisi di kelurahankelurahan lain di Kecamatan Galang memanfaatkan sumber air dari sumur gali untuk keperluan sehari-hari, temasuk untuk minum, memasak dan MCK (mandi, cuci, kakus) (Pemerintah Kota Batam, Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam, 2006: Tabel 6.10). Sebagai sumber air minum, air sumur gali ini dikatakan cukup baik, meskipun bukan berdasarkan ukuran analisis kimia (hanya tidak berbau dan tidak berwarna dan berasa baik). Tetapi hanya ada 127 buah sumur gali di seluruh kelurahan, yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh penduduk di Kelurahan Karas. Untuk sarana MCK, seluruhnya ada 15 buah milik keluarga dan 2 buah yang dapat dimanfaatkan secara umum. Prasarana pembuangan air limbah juga sangat kurang memadai dan tempat pembuangan (sampah) akhir (TPA) juga tidak tersedia (Profil Kelurahan Karas, 2006). Secara umum, kondisi sanitasi di kelurahan Karas, seperti juga umumnya di wilayah-wilayah kelurahan/desa yang terletak di pulau-pulau kecil, sangat kurang terjaga. Penduduk umumnya masih memanfaatkan laut sebagai sarana buang air dan tempat membuang sampah, terutama mereka yang memang bertempat tinggal di atas laut.
|
113
114
|
BAB V
PENDAPATAN
A
da beberapa sumber mata pencaharian penduduk di Kelurahan Karas, yang dapat dilihat dari lapangan maupun jenis pekerjaannya. Seperti sudah diuraikan dalam Bab IV, mengenai pekerjaan, lebih dari 80 persen penduduk di Kelurahan Karas mempunyai mata pencaharian utama sebagai nelayan (sektor perikanan tangkap), dan sebagian kecil bermata pencaharian utama di sektor lainnya seperti pertanian tanaman keras, industri pengolahan, perdagangan dan jasa, serta angkutan. Karena itu besarnya pendapatan untuk sebagian besar rumah tangga di Kelurahan Karas juga akan sangat tergantung kepada musim serta fluktuasi harga ikan hasil tangkapannya. Bab V ini menggambarkan tentang pendapatan rumah tangga di Kelurahan Karas, mencakup pendapatan rata-rata rumha tangga dari semua jenis pekerjaan yang dilakukan anggotanya, pendapatan per kapita, pendapatan berdasarkan lapangan dan jenis pekerjaan serta secara lebih khusus pendapatan dari kegiatan kenelayanan untuk setiap musim, yaitu musim Timur, Selatan, Barat dan Utara. Kondisi laut yang berbeda pada setiap musim tersebut berpengaruh terhadap hasil tangkapan
|
115
nelayan. Sebelum masuk dalam analisis di tingkat kawasan (Kelurahan Karas), akan dibahas kondisi ekonomi dan pendapatan regional Kota Batam. 5.1. Kondisi Ekonomi dan Pendapatan Regional Kota Batam Secara umum kondisi ekonomi Kota Batam mengalami kenaikan pertumbuhan antara tahun 2000-2005. Meskipun antara tahun 20002001 terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,23 persen, tetapi pada tahun-tahun selanjutnya terus mengalami peningkatan hingga mencapai angka pertumbuhan ekonomi sebesar 8,03 persen pada tahun 2005 (Tabel 5.1). Tabel 5.1 Pertumbuhan Ekonomi Kota Batam Tahun 2000-2005, Berdasar Tahun Dasar Tahun 2000 Tahun 2000 2001 2002 2004 2004 2005
Pertumbuhan ekonomi (persen) 7,72 6,49 7,18 7,28 7,46 8,03
Sumber : Pemerintah Kota Batam, 2006a, Hal 33
Kondisi perekonomian Kota Batam terutama sangat dipengaruhi oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan dan sektor jasa keuangan. Keadaan ini dapat dilihat dari distribusi Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB) menurut sektor ekonomi (Pemerintah Kota Batam, 2006a). Antara tahun 2000-2005, PDRB Kota Batam naik dari Rp 14.176.099,34 (juta) pada tahun 2000 menjadi Rp 24.191.078,43 (juta) pada tahun 2005, atas dasar harga berlaku (Pemerintah Kota Batam, 2006a: 27-28). Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Kota Batam ini selama tiga (3) tahun berturut-turut (20032005) sebesar lebih dari 63 persen, diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran (kira-kira 22 persen). Kontribusi sektor pertanian,
116
|
yang merupakan sektor primer, termasuk di dalamnya pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan sangat kecil, hanya mencapai 0,8 persen (Tabel 5.2). Jika dilihat pertumbuhan sektor-sektor ekonomi tersebut seperti diindikasikan oleh kenaikan proporsi kontribusi terhadap PDRB, selama tiga tahun (2003-2005) hanya terjadi sedikit pergeseran. Sektor Industri Pengolahan dan Perdagangan, Hotel dan Restoran kontribusinya terhadap PDRD menurun, meskipun penurunannya tidak terlalu besar. Sektor yang mengalami kenaikan dalam kotribusinya terhadap PDRB Kota Batam adalah sektor Pengangkutan dan Komunikasi serta Jasa Keuangan, meskipun persentase kenaikannya juga cukup kecil. Sektor Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan mengalami penurunan, meskipun juga sangat kecil. Mengamati kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap PDRB Kota Batam, terlihat bahwa hampir tidak ada perubahan dalam tiga tahun tersebut. Sektor Industri Pengolahan tetap dominan, meskipun kontribusinya sedikit menurun. Tabel 5.2 Distribusi PDRB Kota Batam Tahun 2003-2005 Menurut Sektor Ekonomi, Atas Harga Konstan Tahun 2000 (%) Sektor Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Jasa-jasa Jumlah
2003
2004
2005
1,45
1,45
1,44
0,33 63,23 0,26 2,09 23,10 2,68 5,52
0,32 63,30 0,23 2,09 22,83 2,86 5,55
0,31 63,13 0,27 2,09 22,80 3,06 5,58
1,34 100,00
1,34 100,00
1,33 100,00
Sumber: BPS Kota Batam dalam Pemerintah Kota Batam, 2006: Tabel 1.
|
117
Jika dilihat PDRB per kapita dan pendapatan per kapita Kota Batam, antara tahun 2001-2005 terjadi fluktuasi. Antara tahun 2004-2005 terjadi penurunan PDRB per kapita sebesar 4,69 persen, demikian juga dengan pendapatan per kapita, turun sebesar 4,69 persen (Pemerintah Kota Batam, 2006a: 30). Jika dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk, tampaknya pertumbuhan ekonomi di Kota Batam tidak seimbang dengan pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan turunnya pendapatan perkapita, secara umum antara tahun 2000-200530. 5.2. Pendapatan Rumah Tangga dan Pendapatan per Kapita Pendapatan rumah tangga dilihat untuk tingkat kelurahan/kawasan, berdasarkan survei di tingkat rumah tangga di Kelurahan Karas. Pendapatan rumah tangga ini dihitung berdasarkan penjumlahan pendapatan yang dihasilkan oleh setiap anggota rumah tangga yang bekerja (menghasilkan pendapatan) dari berbagai kegiatan di sektor perikanan dan non-perikanan, baik untuk pekerjaan utama maupun pekerjaan tambahan (jika ada anggota rumah tangga yang melakukan lebih dari satu macam pekerjaan). Pendapatan ini merupakan pendapatan bersih, misalnya untuk yang bekerja sebagai nelayan, merupakan penghasilan sesudah dikurangi dengan biaya-biaya untuk keperluan melaut. Data pada Tabel 5.3 menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga per bulan di Kelurahan Karas berkisar antara 38 ribu rupiah sampai dengan 9 juta rupiah. Keadaan ini menunjukkan kesenjangan yang sangat besar dan sangat berkaitan dengan status pekerjaan yang dilakukan. Meskipun lebih dari 80 persen penduduk yang bekerja, berusaha di sektor perikanan tangkap, tetapi status mereka sangat bervariasi, mulai dari nelayan buruh (bagi hasil) yang tidak memiliki modal (perahu, alat tangkap), sampai kepada pedagang pengumpul 30
Penduduk Kota Batam pada tahun 2000 berjumlah 437.358 orang dan menjadi 685.787 orang pada tahun 2005, pertambahan sebesar lebih dari 56 persen (lihat Tabel 5.1).
118
|
atau tauke yang merupakan ’juragan’ dengan banyak anak buah (buruh) selain juga mempunyai peran ganda sebagai pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul ini biasanya memasarkan hasilhasil tangkapannya, juga tangkapan anak buahnya sampai Ke Batam dan Tanjung Pinang. Karena itu mereka juga memiliki pendapatan yang cukup tinggi. Namun, hanya ada satu (1) rumah tangga yang memiliki pendapatan lebih dari 9 juta rupiah/bulan dan demikian juga, hanya satu rumah tangga yang mempunyai pendapatan terendah, sebesar 38 ribu rupiah/bulan. Tabel 5.3 Statistik Pendapatan Rumah Tangga per Bulan, Kelurahan Karas, Tahun 2007 Statistik pendapatan Besar pendapatan (Rp.) Per kapita 249.680 Rata-rata rumah tangga 1.048.565 Median RT 616.670 Minimum 38.330 Maksimum 9.160.000 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007.
Pendapatan per kapita anggota rumah tangga di Kelurahan Karas, sebesar Rp 249.680,-. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004, garis kemiskinan untuk Kota Batam adalah Rp. 238.828,-/kapita/bulan (Badan Pusat Statistik, 2004a: Tabel 1,1). Berdasarkan standar Kota Batam tahun 2004 ini, pendapatan rata-rata penduduk di Kelurahan Karas masih berada di atas garis kemiskinan untuk Kota Batam31, tetapi kira-kira 67 persen penduduk Kelurahan Karas masuk dalam kategori penduduk miskin. Jika digunakan ukuran dalam pencapaian Millenium Development 31
Data untuk tahun 2007 tidak tersedia. Dengan perubahan harga-harga, kemungkinan besar bahwa garis kemiskinan untuk tahun 2007 tidak sama dengan tahun 2004 (lebih tinggi).
|
119
Goals (MDG), sebesar US $ 1/hari/kapita32 (Government of Indonesia, 2004), atau kurang lebih Rp 270.000,-/bulan/kapita, pendapatan rata-rata penduduk Kelurahan Karas masih berada di bawahnya, dan akan berada jauh di bawahnya jika digunakan ukuran US $ 2/hari/kapita. Berdasarkan ukuran pencapaian MDG’s US $ 1/kapita/hari ini, kira-kira 71 persen dari penduduk Kelurahan Karas masuk dalam kategori penduduk miskin (Lampiran 5.1). Kondisi kemiskinan ini juga ditunjukkan dari kenyataan bahwa 85 persen rumah tangga sampel menyatakan tidak mempunyai tahungan dan 75 persen menyatakan pernah mengalami kesulitan keuangan dalam setahun terakhir ketika survei dilakukan. Kesulitan keuangan yang paling sering dihadapi adalah untuk penyediaan sarana produksi (37 persen) dan untuk membeli bahan makanan (30 persen). Berdasarkan garis kemiskinan Susenas 2004 di atas, kira-kira 5,1 persen penduduk Kota Batam masuk dalam kategori penduduk miskin (BPS, 2004a: Tabel 1,1). Ini menunjukkan penurunan dari perhitungan data tahun 2000, yaitu kira-kira 13,1 persen penduduk Kota Batam, berdasarkan pengukuran Poverty Head Count (BPS, 2004: 2;), masuk dalam kategori penduduk miskin (BPS, 2004: Tabel 04.2). Untuk Kecamatan Galang, kira-kira 21 persen penduduknya pada tahun 2000 masuk dalam kategori penduduk miskin, Keadaan ini lebih buruk dari kondisi Kota Batam secara keseluruhan (13,1 persen), dan Kecamatan Galang termasuk empat kecamatan (dari 8 kecamatan di Kota Batam) yang memiliki persentase penduduk miskin cukup besar, yakni di atas 20 persen (BPS, 2004: Tabel 04.2). Rata-rata pendapatan rumah tangga/bulan di Kelurahan Karas cukup tinggi, yaitu di atas satu (1) juta rupiah, sedangkan median pendapatan sebesar Rp 616.670,-. Artinya, 50 persen rumah tangga berada di atas dan 50 persen lagi berada di bawah jumlah pendapatan tersebut. Besarnya rata-rata pendapatan rumah tangga tidak selalu dapat menunjukkan tingkat kesejahteraan rata-rata penduduk, karena 32
120
Dengan menggunakan ukuran kemiskinan US $ 1/orang/hari, rata-rata 1 bulan 30 hari dan kurs US $ 1 kira-kira Rp 9.000,-, maka cutting point garis kemiskinan (poverty head count) 1 x 30 x Rp 9.000,- = Rp 270.000,-
|
besarnya perbedaan antara pendapatan terendah dan pendapatan tertinggi di Kelurahan Karas. Untuk mendapatkan gambaran kesejahteraan penduduk dari tingkat pendapatannya, Tabel 5.2 menunjukkan bahwa 42 persen rumah tangga berpendapatan kurang dari Rp 500.000,/bulan. Dengan jumlah anggota rumah tangga ratarata sebanyak 5 orang (4,6 orang pada Tabel 4.6), maka dengan menggunakan standard MDG’s sebesar US $ 1 saja, rumah tangga ini masih berada dalam kategori rumah tangga miskin33. Demikian juga jika dilihat dari besarnya rata-rata pendapatan rumah tangga sebesar Rp 1.048. 565,- (masih di bawah cutting point, Rp 1.350.000,-), sebagian besar rumah tangga di Kelurahan Karas tergolong miskin. Hanya kira-kira 18 persen rumah tangga di Kelurahan Karas (yang berpendapatan Rp 1.500.000,- dan lebih) yang benar-benar dapat dikategorikan sebagai rumah tangga tidak miskin, berdasarkan pengukuran MDG’s ini (Tabel 5.4). Tabel 5.4 Distribusi Pendapatan Rata-rata Rumah Tangga per Bulan Menurut Kelompok Pendapatan, Kelurahan Karas, Tahun 2007 (%) Kelompok pendapatan (Rp)
Jumlah (persen)
< 500.000 42,4 500.000 – 999.999 30,3 1.000.000 – 1.499.999 9,1 1.500.000 – 1.999.999 5,1 2.000.000 – 2.499.999 4,1 2.500.000 – 2.999.999 2,0 > 3.000.000 – 3.499.999 2,0 > 3.500.000 5,1 Jumlah (N) 100,0 (99) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007. 33
Dengan menggunakan ukuran kemiskinan US $ 1/orang/hari, dengan jumlah anggota rumah tangga 5 orang, rata-rata 1 bulan 30 hari dan kurs US $ 1 kira-kira Rp 9.000,-, maka cutting point untuk ukuran kemiskinan di tingkat rumah tangga adalah sebesar 5 x 1 x 30 x Rp 9.000,- = Rp. 1.350.000,-
|
121
5.3. Pendapatan Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga (KRT) Lebih dari 80 persen penduduk yang bekerja di Kelurahan keras, mempunyai lapangan pekerjaan di sektor perikanan laut. Tetapi pendapatan dari sektor perikanan laut ini ternyata lebih rendah dari sektor-sektor lainnya, yaitu pertanian tanaman keras, perdagangan dan industri pengolahan. Sektor jasa memberikan pendapatan yang lebih rendah dari sektor perikanan laut (Tabel 5.5). Hal ini dapat dipahami karena dengan kondisi Kelurahan Karas yang merupakan wilayah kepulauan, sektor jasa yang dapat berkembang tentunya sangat terbatas sekali. Rendahnya pendapatan rumah tangga yang berbasis perikanan laut sangat berkaitan dengan potensi sumberdaya laut (SDL) yang dapat dieksploitasi oleh penduduk. Seperti yang dinyatakan oleh Lurah Karas, hasil tangkapan nelayan semakin hari makin berkurang. Hal ini terutama akibat berkurangnya volume SDL karena terus menerus dieksploitasi sejak dulu. Sektor perdagangan memberikan pendapatan rumah tangga tertinggi, tetapi ini mungkin sangat berkaitan dengan adanya beberapa orang pedagang penampung (tauke) ikan. Di Kelurahan Karas dikatakan ada enam (6) orang penampung (pedagang penampung) ikan dan tiga di antaranya dapat dikategorikan sebagai penampung besar, menurut batasan lokal (Wawancara dengan Ibu SM yang bersama suaminya merupakan salah seorang pedagang penampung, tetapi Ibu Sm masih menganggap usahanya sebagai penampung kecil). Meskipun pendapatan dari sektor perdagangan dan sektor industri pengolahan sangat besar, tetapi karena yang memberi penghasilan juga umumnya perdagangan dan pengolahan hasil laut, kegiatan ini juga masih sangat erat berkaitan dengan eksploitasi SDL. Dengan demikian, sektor yang dapat dikembangkan (direvitalisasi) sebagai alternatif, yang memberikan pendapatan cukup baik adalah pertanian tanaman keras.
122
|
Tabel 5.5 Pendapatan Rata-rata Rumah Tangga per Bulan Menurut Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga, Kelurahan Karas, Tahun 2007 Lapangan pekerjaan
Besar pendapatan (Rp.)
Perikanan laut 910.110 Pertanian tanaman keras 1.977.920 Perdagangan (ikan, warung) 3.759.580 Jasa 700.000 Industri pengolahan 1.175.000 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007.
Seperti sudah disinggung dalam Bab IV, lahan perkebunan di Kelurahan Karas mencakup kira-kira 37 persen dari total penggunaan lahan di kelurahan ini, dengan tingkat kesuburan subur dan sedang (Pemerintah Kota Batam, Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam, 2006: Tabel 51 dan 5.2). Lahan kebun ini banyak yang tidak digarap secara baik untuk tujuan komersial, sebagai sumber mata pencaharian utama dan hanya dimanfaatkan untuk mengambil hasil seadanya. Lahan perkebunan ini merupakan warisan dari orang-orang tua yang dahulunya datang ke wilayah ini dan membuka kebun. Dalam perjalanannya, kegiatan berkebun terkalahkan oleh kegiatan kenelayanan. Ini mungkin disebabkan karena kegiatan kenelayanan dapat dengan cepat memberikan hasil berupa uang tunai (setiap hari), sedangkan mengolah kebun tidak bisa menghasilkan uang tunai setiap hari dan harus menunggu waktu panen. Dengan demikian kebun-kebun yang sudah ada hanya dimanfaatkan seadanya, dan konsentrasi pekerjaan penduduk umumnya lebih kepada kegiatan kenelayanan. 5.4. Pendapatan Menurut Kegiatan Kenelayanan Meskipun untuk tingkat Kota Batam, sektor Perikanan bukan merupakan sektor penting dalam sumbangannya terhadap PDRB,
|
123
untuk penduduk di Kelurahan Karas, sektor perikanan tangkap (kegiatan kenelayanan) mempunyai peran penting dalam ekonomi rumah tangga. Keadaan ini juga dapat dilihat dari banyaknya hasil tangkapan ikan laut nelayan-nelayan di Kelurahan Karas, dibandingkan dengan kelurahan-kelurahan lainnya di Kecamatan Galang. Kontribusi Kelurahan Karas terhadap hasil tangkapan ikan laut di Kecamatan Galang pada tahun 2005 mencapai kurang lebih 39 persen (Tabel 5.6). Tabel 5. 6 Banyaknya Hasil Tangkapan Ikan Laut Menurut Kelurahan di Kecamatan Galang, Tahun 2005 Kelurahan
Hasil tangkapan (Ton)
Pulau Abang 2.014,42 Karas 4.101,19 Sijantung 1.739,78 Sembulang 1.032,27 Rempang Cate 1.546,39 Subang Mas 48,02 Galang Baru 68,93 Kecamatan Galang 10.551,00 Sumber: Pemerintah Kota Batam. Badan Perencanaan penelitian dan Pengembangan Kota Batam, 2006: Tabel 5.5
Dengan diversifikasi kegiatan (mata pencaharian) pendapatan rumah tangga di Kelurahan Karas dapat ditingkatkan. Ini terlihat dari kontribusi kegiatan kenelayanan terhadap pendapatan rata-rata rumah tangga yang hanya sebesar 58 persen. Dengan demikian kurang lebih 42 persen pendapatan rata-rata rumah tangga di Kelurahan Karas merupakan sumbangan dari kegiatan di luar kenelayanan (Tabel 5.7). Tabel 5.7 juga menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata rumah tangga dari kegiatan kenelayanan berkisar dari Rp 21.670,- sampai dengan Rp 6.114.170,- dalam satu bulan. Pendapatan rata-rata rumah tangga dari kegiatan kenelayanan ini sebesar Rp 608.730,- dengan pendapatan per kapita sebesar Rp 142.960,-. Pendapatan dari kegiatan
124
|
kenelayanan ini masih jauh di bawah garis kemiskinan provinsi maupun target MDG’s US $ 1/hari/kapita. Keadaan di atas juga menunjukkan bahwa sektor perikanan laut bukan merupakan sektor yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk, meskipun kontribusinya terhadap pendapatan total rumah tangga cukup besar. Untuk rumah tangga dengan pendapatan yang cukup besar dari kegiatan kenelayanan, kontribusi kegiatan kenelayanan lebih besar (mendekati maksimum), dibandingkan dengan kelompok rumah tangga yang memiliki pendapatan mendekati jumlah minimum. Umumnya penduduk yang melakukan kegiatan kenelayanan langsung, adalah nelayan berpendapatan relatif kecil karena hasil mereka sangat tergantung pada musim, alat tangkap serta harga penjualan yang penentuannya di luar kontrol nelayan. Rumah tangga yang berpendapatan mendekati maksimum, umumnya mereka yang bekerja sebagai tenaga penjualan (penampung, tauke) yang dalam usahanya memerlukan modal yang lebih besar, sehingga hasil yang didapat juga jauh lebih besar. Tabel 5.7 Statistik Pendapatan Rumah Tangga per Bulan dari Kegiatan Kenelayanan, Kelurahan Karas, Tahun 2007
Statistik pendapatan
Besar pendapatan (Rp.)
Per kapita Rata-rata rumah tangga Median Minimum rumah tangga Maksimum rumah tangga
142.960 608.730 435.420 21.670 6.114.170
Kontribusi terhadap pendapatan total rumah tangga *) 57,25 58,05 70,61 56,53 66,74
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007. Catatan: *) Untuk semuan kegiatan, kenelayanan dan non nelayan
|
125
Kontribusi kegiatan kenelayanan terhadap total pendapatan rumah tangga ini mungkin berbeda dengan situasi bertahun-tahun yang lalu, ketika SDL yang dapat dieksploitasi di sekitar pulau-pulau wilayah Kelurahan Karas masih berlimpah, seperti yang diutarakan oleh Lurah Karas pada bagian sebelumnya. Karena itu, masyarakat memang perlu diberdayakan agar dapat ikut menjaga kelestarian SDL yang ada di sekitarnya, dan mengurangi eksploitasi yang berlebihan dengan menggunakan alat-alat dan bahan yang tidak ramah lingkungan. Selain itu, juga perlu dikembangkan alternatif mata pencaharian lainyang tidak berkaitan langsung dengan ekploitasi SDL. Pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayanan sangat dipengaruhi oleh kondisi alam (musim). Statistik pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayanan menurut musim menunjukkan bahwa pada musim ombak lemah rumah tangga bisa mendapatkan pendapatan per bulan yang lebih besar dibandingkan dengan musim pancaroba dan musim ombak kuat. Tetapi pendapatan terendah rumah tangga (minimum) maupun pendapatan maksimun rumah tangga didapat pada musim ombak kuat (Tabel 5.8). Tabel 5.8 Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim, Kelurahan Karas, Tahun 2007
Statistik Pendapatan
Musim dan besar pendapatan (Rp.) Ombak Lemah Pancaroba Ombak Kuat (Musim Timur) (Musim Barat) (Musim Selatan dan Utara)
Per kapita 173.130 154.910 139.960 Rata-rata rumah tangga 712.440 623.845 615.390 Median 500.000 422.500 360.000 Minimum rumah 30.000 45.000 20.000 tangga Maksimum rumah 7.000.000 7.000.000 10.000.000 tangga Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007.
126
|
Jika dilihat dari intensitas nelayan untuk pergi melaut dan frekuensi mereka mendapatkan hasil, pada musim ombak lemah umumnya nelayan bisa pergi melaut hampir setiap hari dengan intensitas mendapatkan hasil juga lebih sering dibandingkan musim-musim lainnya (Tabel 5.9). Meskipun hasil dalam sekali melaut tidak sebanyak pada musim-musim lainnya, tetapi karena frekuensi mendapat hasil lebih besar, dapat dipahami jika pendapatan rata-rata rumah tangga pada musim ombak lemah juga lebih tinggi. Tabel 5.9 Frekuensi Anggota Rumah Tangga Pergi Melaut dan Mendapatkan Hasil Dalam Satu Bulan Menurut Musim, Kelurahan Karas, Tahun 2007
Kegiatan melaut dan hasil
Ombak Lemah (Musim Timur) 2-30 kali 1-30 kali
Musim Pancaroba (Musim Barat)
Ombak Kuat (Musim Selatan dan Utara) 1-30 kali 1-28 kali
Frekuensi ART melaut 2-30 kali Kegiatan melaut yang 1-27 kali memberi hasil Rumah tangga yang 47 persen 43 persen 36 persen mendapat hasil di atas 10 kali Rumah tangga yang 27 persen 10 persen 8 persen mendapat hasil di atas 20 kali(persen) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, musim ombak lemah (musim Timur) untuk nelayan di Kelurahan Karas sebenarnya disebut sebagai musim susah (musim gadai) karena hasil tangkapan yang paling baik (banyak) justru terjadi pada musim Utara (ombak kuat). Karena situasi ombak yang kuat, hanya nelayan dengan peralatan baik (perahu cukup besar) yang dapat berlayar lebih jauh untuk mencari
|
127
ikan. Anggapan ini mungkin juga berkaitan dengan hasil yang bisa didapat dalam sekali melaut. Meskipun frekuensi mendapatkan hasil pada musim ombak kuat lebih sedikit dibandingkan pada musim ombak lemah, hasil sekali tangkapan bisa lebih banyak. Ini keadaan yang langsung dapat dirasakan oleh nelayan. Musim ombak lemah atau musim Timur di laut pulau-pulau wilayah Kelurahan Karas terjadi pada Bulan Maret sampai Mei. Beberapa alat tangkap yang digunakan pada musim ini adalah Bubu, Bento, Jaring ketam dan Pancing, dengan hasil tangkapan ikan karang dan ketam (kepiting). Hasil yang didapat pada musim ini dikatakan tidak menentu dan juga sangat tergantung pada perahu yang digunakan, sampan atau pompong (lihat Lampiran 5.2). Musim pancaroba atau musim Barat terjadi pada Bulan September sampai dengan Bulan November. Pada musim ini air laut pasang besar dan ombak besar. Pendapatan rata-rata rumah tangga pada musim ini juga lebih rendah dari pendapatan pada musim ombak lemah (musim Timur). Frekuensi nelayan mendapatkan hasil dari kegiatan melaut selama bulan-bulan ini juga lebih rendah dibandingkan pada musim ombak lemah. Tetapi pendapatan minimum pada musim ini (Rp 45.000,-/bulan) yang tertinggi di antara musim lainnya. Ini dapat berkaitan dengan lebih lebih bervariasinya alat tangkap yang digunakan pada musim ini, dibandingkan musim lainnya, sehingga hasil yang didapat juga bermacam jenis SDL, di antaranya ikan kerapu macan yang harganya cukup tinggi. ikan kerapu macan ini ditangkap dengan menggunakan alat bubu karang (lihat Lampiran 5.3). Musim Selatan dan Utara merupakan musim ombak kuat di wilayah laut Kelurahan Karas. Musim Selatan terjadi pada bulan Juni sampai dengan Agustus, dengan kondisi air besar pada malam hari dan kering pada pagi hari serta ombak kuat. Musim utara terjadi pada bulan Desember sampai Februari, dengan kondisi ombak besar, angin kuat, hujan dan air dalam. Meskipun pada dua musim ini ombak kuat, alat tangkap yang digunakan nelayan berbeda. Pada musim Selatan, alat tangkap yang digunakan adalah jaring karang, bento, jaring udang
128
|
kecil, pancing dan kelong karang dengan hasil bervariasi antara lain berbagai jenis ikan karang, udang dan sotong karang dan sotong batu (lihat Lampiran 5.4). Pada musim Utara, alat tangkap yang digunakan nelayan adalah kelong dingkis, lompong, jaring karang dan bubu korea dengan jenis hasil tangkapan ikan dingkis, jenis-jenis ikan lari, ikan karang dan ketam (kepiting). Ikan Dingkis merupakan ikan yang banyak dibeli oleh masyarakat keturunan Tionghoa untuk keperluan parayaan hari Raya Imlek yang jatuh pada bulan Februari. Tiga hari dalam setahun ikan dingkis ini dikatakan lewat di jalur tertentu yang biasa dilaluinya di laut, dimana nelayan meletakkan kelongnya. Harga ikan dingkis ini pada hari Raya Imlek bisa mencapai Rp 400.000,-/kilogram untuk ikan yang berukuran 300-350 gram/ekor. Adanya musim ikan dingkis ini kemungkinan besar berpengaruh terhadap tingginya (mencapai 10 juta/bulan) pendapatan maksimun dari kegiatan kenelayanan pada musim ombak besar. Namun, tidak setiap nelayan bisa beruntung mendapatkan ikan dingkis ini, karena di jalur-jalur yang biasa dilewati ikan dingkis ini sudah dipasang kelong-kelong (dingkis) yang dimiliki oleh nelayan bermodal besar. Kelong ini bisa juga disewa nelayan dengan harga Rp. 500.000,- sampai Rp 1.000.000,per tahun (lihat Lampiran 5.5). Lebih rendahnya pendapatan minimum pada musim ombak besar ini juga dapat berkaitan dengan kesulitan yang dihadapi nelayan kecil untuk melaut, karena keterbatasan peralatan yang dimiliki, meskipun jenis SDL yang dapat ditangkap lebih bervariasi. Distribusi pendapatan dari kegiatan kenelayanan ini menunjukkan bahwa persentase terbesar rumah tangga berpendapatan kurang dari Rp. 500.000,- per bulan terjadi pada ketiga musim, ombak lemah, pancaroba dan ombak kuat (Tabel 5.10). Keadaan ini menunjukkan kondisi ekonomi nelayan yang memang umumnya berpendapatan rendah. Tetapi proporsi rumah tangga dengan pendapatan terendah ini menjadi lebih besar pada musim pancaroba dan musim ombak kuat. Jika digunakan standard pencapaian MDG’s sebesar US $ 1/kapita/hari yang memberikan cutting point ukuran kemiskinan rumah tangga sebesar Rp. 1.350.000,-/bulan (dengan asumsi satu
|
129
rumah tangga terdiri rata-rata dari lima orang anggota), maka hanya kira-kira 10 persen rumah tangga pada musim ombak lemah, 8 persen pada musim pancaroba dan 9 persen pada musim ombak kuat, berada di atas cutting point tersebut, yang dapat dikategorikan bukan keluarga miskin. Tabel 5.10 Distribusi Pendapatan Rata-rata Rumah Tangga Nelayan Menurut Musim, Kelurahan Karas, Tahun 2007 (%) Musim Ombak Lemah Pancaroba Ombak Kuat < 500.000 53,6 63,1 65,6 500.000 – 999.999 25,0 25,0 21,1 1.000.000 – 1.499.999 10,7 3,6 4,4 1.500.000 – 1.999.999 5,9 2,4 3,3 2.000.000 – 2.499.999 2,4 3,6 2,2 2.500.000 – 2.999.999 1,2 2,2 > 3.000.000 2,4 1,2 1,1 Jumlah (N) 100,0 (84) 100,0 (84) 100,0 (90) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007. Kelompok pendapatan(Rp)
5.5. Sintesa Pendapatan (Faktor-faktor Internal, Eksternal dan Struktural yang Mempengaruhi Pendapatan) Dari analisis pendapatan per kapita serta pendapatan rumah tangga di Kelurahan Karas dapat disimpulkan bahwa pendapatan per kapita penduduk masih di bawah garis kemiskinan berdasarkan target pencapaian MDG’s sebesar US $ 1/kapita/hari. Rumah tangga dengan pendapatan di bawah Rp 500.000,-/bulan juga masih merupakan proporsi terbesar. Pendapatan rumah tangga di Kelurahan Karas sangat bervariasi dan perbedaan antara pendapatan tertinggi dan terendah sangat besar. Ini terjadi baik untuk pendapatan total rumah tangga dari semua kegiatan maupun pendapatan rumah tangga yang hanya berdasarkan kegiatan kenelayanan.
130
|
Meskipun proporsi terbesar penduduk dan rumah tangga bermata pencaharian di sektor perikanan tangkap (laut), tetapi sektor ini bukan merupakan sektor yang memberikan pendapatan tertinggi. Pendapatan tertinggi ditemukan pada rumah tangga yang KRT-nya bekerja di sektor perdagangan dan pertanian tanaman keras. Kegiatan kenelayanan memang memberikan kontribusi terbesar dalam total pendapatan rumah tangga tetapi dengan diversifikasi kegiatan ekonomi, dapat meningkatkan pendapatan tumah tangga. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga di Kelurahan Karas, baik faktor internal, eksternal maupun struktural. Faktor internal yang berpengaruh antara lain diversifikasi pekerjaan dan pemilikan aset produksi. Hasil/pendapatan dari kegiatan kenelayanan di wilayah Kelurahan Karas saat ini sudah sangat menurun dibandingkan waktu-waktu yang lalu. Kelurahan Karas sebenarnya mempunyai potensi pertanian, yaitu perkebunan, yang merupakan warisan dari orang tua-tua yang dahulu datang ke wilayah ini dan membuka kebun. Tetapi, sekarang ini perkebunan bukan merupakan sektor yang menarik bagi sebagian besar penduduk. Hal ini mungkin disebabkan karena tanaman perkebunan tidak dapat di panen setiap saat (ada tenggang waktu) sedangkan kegiatan kenelayanan dapat setiap saat memberikan penghasilan tunai meskipun besarnya tidak tetap. Jaringan pemasaran yang sudah berakar di wilayah ini (antara pedagang penampung atau tauke dan anak buah) juga memudahkan nelayan untuk mendapatkan pinjaman uang (pada saat tidak ada hasil dari laut) yang akan dikembalikan pada saat nelayan mendapatkan hasil. Untuk kegiatan perkebunan tidak terbangun jaringan seperti itu. Dari besarnya pendapatan juga terlihat bahwa sektor perkebunan (pertanian tanaman keras) dapat memberikan pendapatan yang lebih besar dari sektor perikanan tangkap (nelayan). Namun demikian, dari 100 rumah tangga sampel, hanya kira-kira 17 persen yang memiliki lahan perkebunan dengan luas pemilikan rata-rata 1,38 Ha (Tabel 4.20). Lahan perkebunan di Kelurahan Karas mencakup 37 persen dari luas seluruh wilayah kelurahan, dengan demikian merupakan potensi yang dapat dikembangkan. Saat ini lahan perkebunan baru
|
131
tidak memungkinkan untuk dibuka lagi, karena keterbatasan ketersediannya sehingga yang ada hanya kebun-kebun yang sudah dibuka oleh orang-orang tua. Dengan demikian, diversifikasi kegiatan kenelayanan dan pertanian tanaman keras (perkebunan) dapat dilakukan dengan peremajaan tanama-tanaman yang sudah tidak produktif (seperti kelapa), sehingga produksi yang dihasilkan juga dapat maksimal. Selain sektor petanian tanaman keras, pariwisata juga merupakan sektor yang sangat mungkin untuk dikembangkan, sebagai alternatif diversifikasi pekerjaan penduduk. Kelurahan Karas dan Kelurahan Pulau Abang di Kecamatan Galang memang merupakan wilayah yang direncanakan sebagai wilayah pengembangan pariwisata (Pemerintah Kota Batam, 2006: 129). Rendahnya pendapatan dari kegiatan kenelayanan juga dipengaruhi oleh kepemilikan perahu dan alat tangkap. Nelayan di Kelurahan Karas menggunakan berbagai alat tangkap, yang digunakan pada musim-musim berbeda untuk menangkap SDL yang berbeda pula. Namun, kepemilikan alat tangkap ini tidak merata. Nelayan yang memiliki modal besar memiliki alat tangkap dengan variasi yang banyak dan dengan ukuran yang tentunya juga lebih besar. Dengan demikian mereka lebih memiliki kesempatan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih bervariasi (ikan, udang, cumi, ketam/kepiting) dan lebih banyak. Sebaliknya, nelayan dengan modal kecil, mempunyai keterbatasan kemampuan untuk berproduksi. Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga di Kelurahan Karas adalah kondisi alam (musim), harga hasil laut, dan ketersediaan serta harga bahan bakar. Seperti sudah dibahas sebelumnya, pendapatan yang didapat nelayan juga berkaitan dengan musim (angin lemah, pancaroba dan angin kuat). Meskipun pada musim angin lemah frekuensi nelayan untuk mendapatkan hasil lebih besar sering dibandingkan dengan dua musim lainnya, tetapi pada musim ini jenis SDL yang dapat ditangkap juga terbatas. Musim angin kuat dikatakan musim banyak ikan, tetapi nelayan dengan peralatan yang terbatas akan sulit melaut karena ombak dan angin keras pada musim ini. Dengan demikian, hanya nelayan dengan peralatan yang cukup baik yang dapat memanfaatkan ketersediaan
132
|
SDL pada musim ini. Karena itu untuk meningkatkan hasil tangkapnya, nelayan kecil perlu diberdayakan dengan permodalan (alat-alat tangkap), sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang ada. Di Kelurahan Karas ini sangat sedikit rumah tangga yang memiliki aset produksi (misalnya alat dan armada tangkap) yang cukup memadai utuk melaut pada musim angin kuat. Karenanya sebagian nelayan tidak dapat melaut pada musim ini yang tentunya akan mempengaruhi pendapatan mereka. Harga SDL hasil tangkapan juga sangat berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima nelayan. Pada umumnya nelayan tidak mempunyai posisi tawar dalam menentukan harga hasil tangkapan mereka. Ini disebabkan karena mereka tidak menghadapi pasar bebas untuk memasarkan hasil tangkapannya. Seperti umumnya yang terjadi di daerah-daerah lain, nelayan di Kelurahan Karas juga terikat dengan para pedagang pengumpul (tauke). Mereka terikat untuk menjual hasil tangkapan kepada pedagang pengumpul (tauke) tertentu, karena terikat pinjaman yang harus dibayar (dicicil) ketika mereka membawa/menjual hasil tangkapannya. Pinjaman ini dapat berupa pinjaman modal untuk pergi melaut (membeli/memperbaiki alat tangkap dan bekal selama melaut), bahkan juga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kira-kira 39 dari 75 rumah tangga di Kelurahan Karas yang menyatakan mengalami kesulitan keuangan, meminjam kepada tauke. Pada saat menjual hasil tangkapannya, harga ditentukan oleh pedagang penampung (tauke), yang berhubungan langsung untuk mendapatkan informasi harga dengan pasar di Tanjung Pinang. Harga di pedagang penampung (tauke) ini bisa berbeda-beda satu dengan lainnya, tetapi satu nelayan yang sudah terikat dengan satu penampung tidak dapat menjual pada penampung lainnya meskipun harga yang ditawarkan bisa lebih tinggi. Ketersediaan dan harga bahan bakar juga sangat berpengaruh terhadap pendapatan nelayan. Untuk nelayan yang menggunakan perahu motor, harga hasil tangkapan masih harus dikurangi dengan biaya bahan bakar. Seperti dikatakan oleh Ibu SM, seorang
|
133
pengumpul yang suaminya juga seorang nelayan, bahwa harga bahan bakar terus naik sedangkan harga hasil laut sangat berfluktuasi: .....kalau nelayan nih, sekarang dah sulit, tak stabil. Kadang-kadang ikan murah 1200 sedangkan minyak tadi kan tak turun, macam mana, kalau kemarin minyak 8 ribu, ikan gitu juga. Ya kan, macam mana, kan tak stabil, tak macam pegawai, gaji naik, naik, naik, kalau nelayan itulah, turun, turun, turun aja, kan tak stabil. Jaringan pemasaran hasil laut yang ada di wilayah Kelurahan Karas dapat dianggap sebagai faktor struktural yang berpengaruh terhadap pendapatan penduduk. Seperti yang dapat dilihat pada Skema 5.1, nelayan biasanya menjual hasil tangkapannya kepada penampung tertentu, yang mempunyai jaringan pemasaran ke Tanjung Pinang. Penampung dapat saja menerima hasil dari nelayan lainnya, tetapi nelayan yang sudah terikat pada penampung tertentu umumnya tidak akan menjual hasil tangkapannya pada penampung lain. Hasil tangkapan mungkin bisa dijual (sebagian) kepada penduduk yang hanya memerlukan untuk keperluan konsumsi rumah tangga, seperti dinyatakan seorang penampung di Kelurahan Karas berikut, Tanya: Tapi kalau yang untuk beli, beli untuk makan aja dijual kan?. Jawab: Jual, tapi kalau untuk orang jual keluar, tak bisa, sudah ada tauke kan (maksudnya tauke tertentu, dimana nelayan terikat untuk menjual hasil tangkapannya). T: kalau tahu taukenya marah, apa gimana? J: marah lah, kalau tahu, habisnya kan kita kalau apa-apa sering minta bantu ke dia, walaupun itu tak banyak, tapi kan minta bantu ke dia. T: Kalau minta bantu, misalnya apa, ketauke itu?
134
|
J:
Minta bantu uang, keuangan, minta ke tauke; saya mau beli barang ini, kurang uang satu juta, dia bantu.
Skema 5.1. Jaringan Pemasaran Hasil Kegiatan Kenelayanan.
Tauke/ Tanjung Pinang
Luar daerah, eksport
Tauke/ Tanjung Pinang
Penampung/ LokalKaras
Penduduk setempat hanya untuk konsumsi
Nelayan lain
Nelayan anak buah
Jaringan ini sudah melembaga dan tidak hanya merupakan jalinan hubungan dagang, tetapi merupakan hubungan ’patron client’. Nelayan dapat meminta berbagai macam bantuan jika
|
135
membutuhkannya, dari uang tunai sampai alat-alat tangkap (termasuk motor tempel). Pinjaman ini tidak dikenai bunga, tetapi hanya disertai kewajiban untuk menjual hasil tangkapan kepada pedagang pengumpul yang memberi piutang. Hubungan baik ini seperti dikatakan salah seorang penampung di Kelurahan Karas, Ibu SM berikut ini, Jawab:
Tanya: J: T: J:
136
|
Tauke kami ini kata orangpun sudah macam kita orang kampung, baik Bu. Baik, dia semua orang sini, pengertian kalau kita minta tolong, tolongi, dia nolong. Agaknya tauke yang lain memang begitu (juga). Tapi karena itu dia baik sama kita , kita merasa, kita juga. Pinjaman, nanti dipotongnya terserah dari hasil itu ya? Ya. Terus, itu ada bunganya nggak Bu? Tak. Tak macam kita pinjam-pinjam ke simpan-pinjam, ke apa-apa tak. Istilahnya macam dia bantu kita lah, bantu modal, kalau kita tak ada fiber, tak ada apa, tauke tolong beli fiber. Kalau dia beli murah daripada kita, kan dia orang sama Cina kan, kita mahal, dia murah sekali Bu. Makanya kami kan kalau tak beli apa-apa, jerigen..........minta tolong ke dia. Kalau kita jadinya harganya 12 ribu, kalau dia sepuluh ribu aja. Tapi karena tauke kami ini, kalau kita minta beli tauke tolong minta beli jerigen 5 biji, kadang-kadang kirim 10, itu dimasuk di hutang, nanti dipotong dis, dipotong 5 biji yang 5 biji dia bantu. Gitu makanya, saya sayang pindah walaupun kata orang dia itu murah, kalau
dipikir-pikir sama juga, pindah laripun gitu juga....... Faktor struktural lainnya yang mungkin berpengaruh terhadap pendapatan penduduk Kelurahan Karas adalah program-program bantuan pemerintah. Untuk sektor perkebunan, UKM dan Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP) sudah pernah ada program bantuan, seperti dikatakan oleh Lurah Karas,. Jawab:
Tanya: J:
T:
J:
T: J:
......kemarin, dari Dinas KP2, maksudnya bagian pertanian itu, ada dibantu bibit mangga, bibit durian, rambutan, dengan cuma-cuma, dapat 20 orang, 20 kepala keluarga dibantu. Tahun berapa Pak? Tahun 2006, itu dari Dinas Pertanian, kemudian sampai tahap sekarang ini, itu lagi tahap pemeliharaan, sampai mangga itu katanya jadi, kalau durian itu karena mungkin perawatannya itu Bu ya, durian kawin itu katanya kurang bagus. Lantas, program lain Pak, selain ini, selain bantuan bibit? Mungkin ada program UKM? UKM ada Bu, tapi tidak jalan, kandas, kandas di tengah jalan, kita kemarin koperasi di Karas ini ada 4 koperasi......yang dua koperasi lari ke Galang Baru karena ada pemekaran kemarin, .....sehingga yang ada di Kelurahan Karas ini UEDSP sama Taman Laut, Koperasi Taman Laut. UESDP? Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam, tapi bukan simpan pinjam, ......seperti barang pindah, setelah dikasih mereka tidak mau mengembalikan. Padahal harusnya
|
137
T: J:
bergulir gitu kan, Taman Laut tadi gitu juga sehingga sudah diambil Dinas UKM minta tolong dilunasi, sampai sekarang itu saya sering juga ingat-ingatkan...... kalau Taman Laut itu tentang kenelayanan? Ada nelayan, ada pertanian, bantuan modal ... berupa uang dari UKM itu, kemarin 50 juta, kemudian dapat 50 juta lagi, yang 50 juta pertama bagus, yang 50 juta kedua ini, setelah disebarkan ke anggota, anggota sebab apa alasannya tidak mau mengembalikan itu Bu.
Meskipun sudah ada beberapa program bantuan pemerintah yang berkaitan dengan usaha peningkatan pendapatan rumah tangga, tetapi keberhasilannya masih belum tampak. Ini disebabkan karena masih kurangnya kesadaran masyarakat akan arti bantuan, yang bukan merupakan ’hadiah’, tetapi harus dianggap sebagai perangsang yang dapat menjadi insentif dalam pengembangan usaha-usaha ekonomi di Kelurahan Karas. Untuk itu diperlukan penyuluhan-penyuluhan dan pembimbingan yang lebih intensif agar program-program yang diberikan dapat memberikan hasil dan berdampak pada peningkatan pendapatan rumah tangga.
138
|
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
K
elurahan Karas terdiri wilayah perairan dan kepulauan yang membentang di areal seluas 70,7 km2. Sebagian pulau yang termasuk dalam wilayah kelurahan ini, yaitu Pulau Karas Kecil, Tanjung Malang, Mubut Darat, dan Sungai Mentina tidak berpenghuni. Sebaliknya, pulau-pulau yang dihuni oleh penduduk Kelurahan Karas adalah Pulau Karas, Pulau Carus, dan Pulau Mubut. Di antara semua pulau yang terdapat di kelurahan ini, Pulau Karas merupakan yang terluas. Oleh karena itu, mayoritas penduduk Kelurahan Karas bertempat tinggal di Pulau Karas. Sebagai wilayah yang dikelilingi oleh lautan, kelurahan ini memiliki kekayaan sumberdaya laut yang besar dengan beragam jenis. Berbagai jenis ikan, mulai dari yang bernilai ekonomi tinggi seperti ikan kerapu pari, dan tenggiri sampai dengan ikan-ikan yang berharga jual rendah, antara lain tamban dan selar terdapat di perairan yang mengelilingi kelurahan ini. Selain beraneka jenis ikan, jenis-jenis biota laut yang lain, misalnya udang, kepiting, dan teripang terdapat pula di perairan kelurahan ini. Namun, karena penangkapan sumberdaya laut dilakukan secara berlebihan, terutama karena makin
|
139
banyaknya penduduk yang bekerja sebagai nelayan, jumlah ikan dan biota laut lainnya semakin berkurang dari waktu ke waktu. Penurunan ini semakin terasa sejak pertengahan tahun 1980-an. Di samping sumberdaya laut yang telah disebutkan di atas, Kelurahan Karas juga mempunyai kekayaan berupa terumbu karang. Terumbu karang yang terdapat di wilayah kelurahan ini berada dalam kondisi baik, seperti terlihat dari hasil survei yang dilakukan oleh Tim Ekologi Coremap Pusat, yaitu 55, 64 persen. Kenyataan ini menunjukkan bahwa penurunan jumlah ikan di perairan Kelurahan Karas disebabkan oleh penangkapan yang berlebihan, bukan karena kerusakan terumbu karang yang berfungsi sebagai tempat hidup ikan dan biota laut lainnya. Kelurahan Karas tidak hanya memiliki kekayaan sumberdaya laut, melainkan juga sumberdaya darat, berupa lahan pertanian dan perkebunan. Namun potensi ini tidak dimanfaatkan oleh mayoritas penduduknya. Lahan kebun yang ada hampir tidak pernah diolah, termasuk untuk peremajaan tanaman tua yang tumbuh di dalamnya. Selama ini penduduk hanya mengambil hasil kebun seperti kelapa, durian, dan petai yang pada umumnya adalah warisan dari generasigenerasi sebelumnya. Ada kemungkinan lamanya waktu menunggu panen menyebabkan penduduk tidak berminat untuk bekerja di bidang pertanian, sedangkan dengan bekerja sebagai nelayan mereka bisa mendapatkan penghasilan langsung setelah melaut. Tanaman pandan banyak terdapat di wilayah Kelurahan Karas. Sebagian penduduk, khususnya perempuan memanfaatkan tanaman ini sebagai bahan baku untuk membuat barang-barang kerajinan. Tikar, tudung saji, dan berbagai peralatan rumah tangga merupakan barang-barang yang dihasilkan oleh beberapa penduduk perempuan di kelurahan ini. Akan tetapi, pekerjaan membuat barang-barang kerajinan ini tidak dilakukan secara terus menerus karena mereka hanya bekerja jika ada pesanan dari orang lain. Padahal, jika ditekuni dan disertai dengan upaya mencari pasar hasil produksi, pekerjaan ini dapat menjadi sumber mata pencaharian karena ketersediaan bahan baku di sekitar tempat tinggal penduduk.
140
|
Proporsi terbesar (59 persen) penduduk Kelurahan Karas berpendidikan rendah, yaitu hanya lulus SD. Namun demikian, terdapat hampir seperlima dari penduduk telah menamatkan pendidikan menengah (SMP dan SMA atau yang sederajat). Selanjutnya, ada pula yang berhasil menamatkan pendidikan tinggi (D I dan S I), meskipun proporsinya sangat kecil. Kondisi ini lebih baik dibandingkan dengan lokasi Coremap lainnya di Kota Batam, yaitu Kelurahan Pulau Abang. Di kelurahan tersebut hampir 90 persen penduduknya tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD. Dengan kondisi pendidikan penduduk yang lebih baik, ada kemungkinan kegiatan Coremap lebih berhasil di Kelurahan Karas. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa mereka yang berpendidikan lebih tinggi akan lebih mudah menyerap informasi dan juga lebih terbuka menerima ide-ide baru, misalnya yang terkait dengan upaya pengembangan mata pencaharian alternatif. Meski sudah memiliki sarana pendidikan sampai tingkat SMA, bukan berarti kelurahan ini tidak menghadapi hambatan di bidang pendidikan. Guru-guru SMA, khususnya, tidak tinggal menetap di kelurahan ini. Kebanyakan di antara mereka mempunyai rumah dan keluarga di Batam, sedangkan keberadaan mereka di Kelurahan Karas hanya beberapa hari dalam seminggu, sesuai dengan jadwal mengajar. Dengan demikian, kebanyakan guru mempunyai mobilitas yang tinggi antara Karas-Batam. Dalam kondisi cuaca yang baik, keadaan tersebut tidak menimbulkan permasalahan karena guru-guru yang meninggalkan Karas pada hari ”libur” mereka dapat kembali ke daerah ini tepat waktu. Namun, jika cuaca buruk, mereka mengalami kesulitan untuk kembali yang pada gilirannya menyebabkan terhambatnya kegiatan belajar dan mengajar di SMA. Keadaan tersebut menjadi keluhan yang banyak ditemukan di antara orang tua murid dan penduduk Karas pada umumnya. Dengan karakteristik wilayahnya yang dikelilingi oleh lautan, mayoritas penduduk Kelurahan Karas bekerja sebagai nelayan. Pekerjaan ini dilakukan oleh penduduk (laki-laki) dari berbagai usia, terutama karena sangat terbatasnya lapangan pekerjaan yang lain. Namun, sejak berdirinya SMA di daerah ini tahun 2004 yang
|
141
memungkinankan anak-anak usia sekolah mencapai pendidikan tinggi, penduduk lulusan SMA kurang tertarik untuk bekerja sebagai nelayan. Kelompok penduduk ini lebih memilih untuk pergi ke Kota Batam dan bekerja di berbagai pabrik yang beroperasi di sana. Dengan ijazah SMA yang menjadi salah satu persyaratan untuk bekerja di pabrik, mereka mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Nelayan kelurahan ini mayoritas adalah nelayan tradisional dengan armada tangkap berupa perahu bermotor dengan ukuran mesin 12-28 PK. Beberapa di antaranya bahkan hanya mempunyai perahu tanpa motor. Hal ini menyebabkan mereka tidak bisa melaut sampai ke wilayah perairan yang jauh dari pantai, sehingga hasil tangkapan pun menjadi terbatas. Keterbatasan kemampuan armada tangkap semakin dirasakan pada musim gelombang laut kuat, terutama musim Utara. Mesin perahu berkekuatan kecil yang dimiliki nelayan tidak dapat mengimbangi kondisi cuaca dengan gelombang yang besar, sehingga banyak yang tidak bisa pergi melaut selama musim tersebut. Nelayan di kelurahan ini pada umumnya mempunyai pengetahuan mengenai berbagai aspek yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya laut. Pengetahuan tersebut antara lain lokasi hamparan terumbu karang serta kondisi masing-masing. Nelayan juga mempunyai pengetahuan yang baik mengenai fungsi terumbu karang, khususnya fungsi ekologisnya sebagai tempat hidup ikan, pelindung keragaman ikan dan berbagai jenis biota laut lainnya, serta sebagai pelindung pantai dari terjangan ombak. Selanjutnya, jenis-jenis armada, bahan dan alat tangkap yang menyebabkan kerusakan terumbu karang, serta larangan penggunaannya juga diketahui dengan baik oleh mayoritas nelayan di Kelurahan Karas. Dalam menjalankan kegiatan melaut, di antara nelayan terdapat beberapa kesepakatan, seperti lokasi penggunaan jenis-jenis alat tangkap tertentu dan wilayah penangkapan (wilayah kerja) nelayan dari masing-masing kampung di Kelurahan Karas. Khusus untuk wilayah kerja nelayan, kesepakatan tersebut tidak diberlakukan secara ketat. Artinya, nelayan dari kampung lain masih boleh menangkap
142
|
ikan di areal yang dikenal sebagai wilayah kerja nelayan suatu kampung tertentu. Namun, nelayan dari kampung lain tersebut harus mematuhi berbagai ketentuan, seperti meletakkan jenis alat tangkap tertentu (misalnya jaring udang) dalam jarak yang tidak kurang dari jarak minimal yang telah disepakati, dari jenis alat tangkap yang sama yang sebelumnya telah dipasang oleh nelayan lain. Dalam praktiknya, semua nelayan menghormati kesepakatan-kesepakatan yang dibuat, sehingga hampir tidak pernah terjadi konflik di antara mereka. Sebagai nelayan tradisional dengan kepemilikan modal yang terbatas, mayoritas nelayan Kelurahan Karas sangat tergantung kepada tauke. Ketergantungan tersebut berupa pinjaman uang, baik untuk modal melaut maupun untuk kelangsungan hidup rumah tangga nelayan serta pemasaran hasil tangkapan nelayan. Karena di kelurahan ini tidak ada lembaga ekonomi yang berfungsi sebagai pemberi pinjaman uang, maka nelayan meminjam uang kepada tauke. Selanjutnya, tidak adanya tempat pelelangan ikan (TPI) menyebabkan satu-satunya alternatif untuk memasarkan hasil tangkapan adalah menjualnya kepada tauke yang sekaligus berfungsi sebagai pedagang pengumpul. Selain karena tidak ada TPI, nelayan harus menjual ikan kepada tauke karena sebagian hasil penjualan adalah untuk membayar hutang mereka kepada tauke. Hubungan ketergantungan ini kemungkinan akan berlangsung terus menerus selama tidak ada lembaga ekonomi lainnya yang dapat menggantikan peran tauke di wilayah ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata rumah tangga di Kelurahan Karas sebesar Rp. 1.048.565,-/bulan, sedangkan pendapatan per kapita adalah Rp. 249.680,- setiap bulan. Berdasarkan garis kemiskinan Kota Batam menggunakan data Susenas 2004, pendapatan rata-rata per kapita penduduk Kelurahan Karas termasuk di atas garis kemiskinan. Namun, jika menggunakan indikator pendapatan seperti yang disepakati dalam MDGs (US $1/hari/kapita), pendapatan rata-rata per kapita penduduk kelurahan ini berada di bawah garis kemiskinan. Hal yang sama juga ditemukan pada pendapatan rata-rata rumah tangga. Dengan menggunakan cutting point yang sama dengan kesepakatan MDGs, maka pendapatan rata-
|
143
rata rumah tangga penduduk di Kelurahan Karas berada di bawah garis kemiskinan. Penelitian ini menemukan bahwa meskipun kegiatan kenelayanan merupakan sumber mata pencaharian utama mayoritas penduduk Kelurahan Karas, pendapatan terbesar yang diperoleh penduduk tidak berasal dari kegiatan tersebut. Berdasarkan informasi dari 100 rumah tangga responden dalam penelitian ini terlihat bahwa pendapatan ratarata rumah tangga setiap bulan yang paling besar berasal dari sektor perdagangan, termasuk perdagangan ikan. Namun, karena perdagangan ikan hanya dilakukan oleh sebagian kecil penduduk, yaitu sekitar 10 orang tauke, maka mereka yang memperoleh pendapatan besar hanya sebagian kecil dari penduduk kelurahan ini. Sebaliknya, kegiatan kenelayanan (perikanan laut) menghasilkan pendapatan rata-rata terendah kedua setiap bulan, setelah sektor jasa yang menduduki peringkat paling rendah. Ada kemungkinan hal ini karena kegiatan kenelayanan dilakukan secara tradisional, seperti menggunakan armada tangkap yang kemampuan jelajahnya sangat terbatas. Selain itu, sedikitnya jumlah alat tangkap karena keterbatasan modal untuk pengadaannya mengakibatkan hasil tangkapan nelayan juga menjadi sedikit. Besarnya pendapatan penduduk dari kegiatan kenelayanan ditentukan oleh musim. Pendapatan rata-rata rumah tangga tertinggi diperoleh pada musim gelombang/ombak lembah, diikuti oleh musim pancaroba dan musim gelombang kuat. Hal ini karena pada saat gelombang lemah nelayan mampu menangkap ikan sampai ke lokasi yang jauh dari pantai. Hal ini menyebabkan volume produksi mereka lebih besar dibandingkan dengan dua musim lainnya, pancaroba dan musim ombak lemah. Pada musim pancaroba, keadaan ombak sering berubah-ubah, dari tenang menjadi berombak kuat. Hal ini menyebabkan nelayan tidak bisa melaut setiap saat selama musim ini. Akibatnya, penghasilan yang diperoleh selama musim pancaroba tidak sebesar yang didapat di saat musim ombak lemah. Selanjutnya, pada musim ombak kuat nelayan tidak bisa pergi melaut. Untuk memperoleh pendapatan, mereka hanya mengandalkan hasil tangkapan dari jenis-jenis alat tangkap yang dipasang di laut. Mereka
144
|
tidak bisa memancing di laut karena ombak yang besar menghambat kegiatan melaut. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pendapatan paling rendah sepanjang tahun diperoleh pada musim ombak kuat. Namun, bagi nelayan-nelayan tertentu, terutama yang mempunyai alat tangkap ikan dingkis seperti kelong dan jaring dingkis, musim utara merupakan saat untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar. Ikan dingkis yang banyak ditangkap pada musim tersebut mempunyai nilai jual tinggi, terutama karena ikan tersebut merupakan bahan konsumsi selama perayaan hari raya Imlek di kalangan penduduk etnis Cina di Singapura. Permintaan yang tinggi untuk konsumsi ekspor menyebabkan harga ikan ini jauh lebih tinggi daripada jenis-jenis ikan lainnya. Namun demikian, tingginya harga ikan dingkis ini hanya dinikmati oleh sebagian kecil nelayan yang memiliki alat tangkapnya. Seperti telah dibicarakan sebelumnya, hanya 3 orang di seluruh Kelurahan Karas yang mempunyai kelong dingkis serta beberapa orang yang mempunyai jaring jenis ikan ini. Sebaliknya, mereka yang tidak mempunyai alat tangkap ikan mahal ini tidak bisa memperoleh penghasilan yang besar pada musim Utara. Berdasarkan kenyataan yang telah dikemukakan di atas, beberapa pertimbangan untuk pelaksanaan program-program yang bertujuan untuk mengelola sumberdaya laut pada umumnya serta terumbu karang pada khususnya adalah sebagai berikut: 1. Meskipun kondisi terumbu karang yang ada di wilayah kelurahan ini tergolong baik, tidak berarti bahwa kegiataan pengelolaan sumberdaya laut tidak perlu dilakukan di daerah ini. Kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya laut yang dilakukan lebih ditujukan untuk mempertahankan kondisi terumbu karang, antara lain dengan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya laut, terutama pengurangan penangkapan ikan secara berlebihan. Untuk itu, penciptaan mata pencaharian alternatif bagi penduduk sangat perlu mendapatkan penekanan dalam kegiatan Coremap di Kelurahan Karas.
|
145
2. Potensi sumberdaya darat yang selama ini cenderung diabaikan sudah saatnya dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan lahan pertanian dan perkebunan dapat dijadikan sebagai mata pencaharian alternatif, sehingga mengurangi jumlah mereka yang kegiatan ekonominya tergantung dari laut. Berbagai jenis tanaman pertanian, misalnya untuk kebutuhan makanan/konsumsi sehari-hari seperti cabe, bawang dan sayur-sayuran dapat diperkenalkan dan ditanam di lahan kebun. Hasil tanaman tersebut kemudian dipasarkan ke Tanjung Pinang, mengingat jarak kelurahan ini yang relatif lebih dekat ke ibukota Provinsi Kepulauan Riau ini daripada ke Kota Batam. 3. Untuk menumbuhkan minat masyarakat terhadap kegiatan pertanian, perlu dilakukan upaya untuk mengubah pola pikir terhadap cara memperoleh penghasilan. Jika selama ini mereka langsung memperoleh penghasilan setiap kali melaut, sedangkan dalam kegiatan pertanian harus menunggu selama waktu tertentu sebelum panen, maka perlu dilakukan upaya agar mereka bisa menerima perubahan pola perolehan penghasilan. Disadari bahwa upaya tersebut tidak mudah dilakukan, namun dengan kesungguhan dan keinginan yang kuat dari masyarakat untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya laut, upaya tersebut akan mencapai hasilnya. 4. Perlu pengembangan dalam kegiatan pembuatan kerajinan berupa anyaman dari bahan daun pandan. Upaya pemasaran dalam lingkup yang lebih luas, tidak hanya untuk memenuhi permintaan penduduk setempat, perlu dilakukan. Dengan pasar yang lebih luas, maka tidak hanya perempuan yang bisa melakukan kegiatan ekonomi tersebut. Penduduk laki-laki pun dapat melakukan kegiatan ini jika permintaan pasar semakin meningkat. Sekali lagi, keterlibatan laki-laki dalam kegiatan ini berpotensi mengurangi tekanan terhadap sumberdaya laut, khususnya penangkapan ikan secara berlebihan.
146
|
5. Di samping menciptakan dan mengembangkan mata pencaharian alternatif, salah satu upaya yang juga penting dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya laut adalah menekan laju pertumbuhan penduduk. Hal ini karena penangkapan ikan secara berlebihan terjadi akibat semakin banyaknya penduduk yang bekerja sebagai nelayan. Dengan struktur umur penduduk yang tergolong muda akibat tingginya angka kelahiran, maka proporsi mereka yang akan masuk ke pasar kerja juga semakin besar. Karena bekerja sebagai nelayan merupakan cara termudah untuk memperoleh pendapatan, maka akan semakin banyak pula penduduk yang bekerja mengekploitasi sumberdaya laut tersebut.
|
147
148
|
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2006. Penduduk Provinsi Kepulauan Riau. Hasil Survei penduduk Antar Sensus 2005. Jakarta: BPS. Badan Pusat statistik. 2004. Peta Penduduk Miskin Indonesia 2000. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2004a. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004. Buku 2: Kabupaten. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Coremap, 1998. Penyelamatan Terumbu Karang Indonesia: Berpacu Dengan Waktu. Jakarta: Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coremap) Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2006. “Ekspor Terumbu Karang Dijual Sekaligus Dilindungi”. Majalah Demersal Agustus 2006. http://www.dkp.go.id/content.php?c=3471, download 18/1/2007. Government of Indonesia. 2004. Indonesia. Progress Report on the Millenium Development Goal. Jakarta: Government of Indonesia and United nations. Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilization and the Remarking of World Order. London: Touchstone Books. http://www.bppt.go.id/index.php?option=com_content&task=view&i d=1615%Itemid=30. Budidaya Karang, Bisnis Sekaligus Melestarikan Alam, download 18/1/2007.
|
149
http://cdc.eng.ui.ac.id/article/articleview/2786/1/25/. Pemanasan Global Ancam Terumbu Karang Dunia, download 18/1/2007. http://dte.gn.apc.org/45iCR.htm. ”Krisis Sumber Pantai”. Down to Earth No. 45, Mei 2000.
Daya
Sekitar
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0110/iptek/keru10.htm. Kerusakan Terumbu Karang Terus Terjadi, download 18/1/2007. http://www.sulawesigis.org/english/index.php?option=com_content& task=view&id. Bom Ikan hancurkan Terumbu Karang, download 18/1/2007. Latifa, Ade dkk. 2006. Penduduk dan Kemiskinan Di Wilayah Perbatasan Provinsi Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur. Jakarta: Pusat Penelitian Kependudukan – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPK-LIPI). Noveria, Mita dkk., 2007. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi Coremap II. Kasus Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Jakarta: CRITC-LIPI, COREMAP-LIPI. Pemerintah Kota Batam & Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam, 2006 Pemerintah Kota Batam. 2006a. Profil Batam. Jakarta/Surabaya: PT Exatama Mediasindo. Pemerintah Kota Batam. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam. 2006. Kecamatan Galang Dalam Angka. Batam. Pemerintah Kota. 2006. Batam Dalam Angka. Batam. Profil Kelurahan Karas, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. 2006. Romdiati, Haning dan Noveria, Mita. 2007. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia. Kelurahan Pulau Abang, Kecamatan Galang, Kota Batam. Jakarta: LIPI PRESS.
150
|
Soekarno. 2001. “Potensi Terumbu Karang Bagi Pembangunan Daerah Berbasis Kelautan”. Info URDI Vol. 11. http://www.urdi.org/urdi/Info_URDI_New/Vol.%2011%20(). pdf, download 18/1/2007.
|
151
152
|
Lampiran 4.1 Distribusi Penduduk Kota Batam Berumur 5 Tahun ke Atas Menurut Kelompok Umur dan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, Tahun 2000 (%) Pendidikan tertinggi yang ditamatkan Kelompok umur (tahun)
Tidak/ blm tamat SD
SD
SLTP
SLTA
Jumlah
-
-
100,0
13.988
-
-
100,0
28.117
N
5-6
100
-
7-12
92,1
7,9
13-15
18,2
64,5
17,3
-
-
100,0
11.653
16-19
4,7
17,9
33,9
43,4
0,1
100,0
30.387
20-24
1,7
7,7
11,9
75,8
2,9
100,0
107.206
25-55
5,9
18,0
15,7
50,8
9,5
100,0
188.578
56 +
36,5
40,9
9,1
10,8
2,6
100,0
8.064
Total
15,3
15,6
14,3
49,3
5,4
100,0
387.993
59.281
60.717
55.446
191.235
23.314
-
N
-
Diploma/ PT
Sumber: Pemerintah Kota Batam. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam. 2006. Kecamatan Galang dalam Angka. Berdasarkan data sensus tahun 2000
|
153
Lampiran 5.1 Statistik Pendapatan Rumah Tangga per Bulan di Kelurahan Karas, untuk Rumah Tangga yang Berpendapatan di Bawah Garis Kemiskinan Tahun 2007 Besar pendapatan (Rp.) Statistik pendapatan
Rumah tangga berpendapatan dibawah garis kemiskinan Kota Batam tahun 2004 sebesar Rp. 238.828,-
Rumah tangga dibawah garis kemiskinan US $ 1/kapita/hari
Rata-rata 98.059 106.961 rumah tangga(Mean) Median RT 87.500 95.666 Minimum 14.833 14.833 Maksimum 231.000 267.333 Jumlah kasus 67 (67 persen) 71 (71 persen) Sumber: Survei Data dasar Aspek Sosial Ekonomi terumbu Karang Indonesia. PPK-LIPI, 2007
Lampiran 5.2 Alat Tangkap yang Digunakan, Jenis, Jumlah dan Harga Hasil Tangkapan Nelayan Pada Musim Timur Musim Timur Gelombang Tenang, Air tidak dalam, tidak ada pasang, tidak ada ombak Bulan Maret-Mei
154
|
Alat tangkap 1. Bubu 2. Bento 3. Jaring Ketam 4. Pancing
Jenis tangkapan 1. Ikan karang (Mentimon, Gelam, Mempinang, dll) 2. Ketam Renjong 3. Ketam Renjong 4. Ikan karang (Tokak, Igu, Mempunguk dll)
Jumlah hasil tangkapan Hasil tidak menentu - Jika menggunakan sampan, minimal harus mendapat hasil Rp 30.000,-, baru dikatakan ’cukup’ - Jika menggunakan pompong, minimal harus mendapat hasil Rp 50.000,- karena harus dikurangi biaya bahan bakar Rp 24.000,- dan bekal Rp 10.000,- Jadi hasil bersih sekali melaut rata-rata • Dengan sampan Rp 30.00,- dikurangi Rp 10.000,- = Rp 20.000,• Dengan pompong Rp 50.000,- dikurangi Rp 34.000,- = Rp 16.000,-
Lampiran 5.3 Alat Tangkap yang Digunakan, Jenis, Jumlah dan Harga Hasil Tangkapan Nelayan Pada Musim Selatan Musim Selatan Air besar pada malam hari dan pagi hari kering, ombak kuat Bulan JuniAgustus
Alat tangkap
Jenis tangkapan
1. Jaring Karang
1. Ikan karang (Mentimon, Gelam, Mempinang, dll)
2. Bento
2. Ikan karang (Mentimon, Gelam, Mempinang, dll) 3. Udang kecil, 3 inci per ekor
3. Jaring udang kecil
4. Pancing
4. Ikan karang (Mempinang, Tarap, Tokak, Kaci)
5. Kelong karang (lompong)
5. Ikan karang, Sotong Karang, Sotong Batu
Jumlah hasil tangkapan Hasil antara 1-10 kg, ratarata 5 kg Harga ikan segar Rp 8.000,-/kg; ikan layu Rp 6.000/kg,- dan ikan busuk Rp 3.000,-/kg Hasil sama dengan menggunakan jaring karang Hasil rata-rata 0,5 sd 3 kg, dengan harga Rp 45.000,/kg Tetapi hasil ini tidak seimbang dengan modal karena harga jaring mahal. Untuk mendapatkan hasil seperti diatas diperlukan 11 utas jaring dengan harta Rp 65.000,-/utas. Jaring ini harus diganti setiap 1,5 bulan. Hasil Ikan campur 1 sd 6 kg Harga sekitar Rp 2.500,-/kg (Tokak) dan Rp 8.000,-/kg (Gelam, Mentimon, Mempinang, Bulus) Hasil - Ikan karang, 0,5-1 kg (harga sama dengan diatas) - Sotong Batu, 1-3 kg. Per ekor bisa beratnya sampai 0,5-3 kg (1 hasta). Harga Rp 8.000,-/kg - Sotong Karang, 1-3 kg mulai dari ukuran 0,5 sd 3 ons/ekor. Harga Rp 12.000,-/kg.
|
155
Lampiran 5.4 Alat Tangkap yang Digunakan, Jenis, Jumlah dan Harga Hasil Tangkapan Nelayan Pada Musim Barat Musim Barar Pasang besar, ombak kuran. Bulan SeptemberNovember
156
|
Alat tangkap
Jenis tangkapan
Jumlah hasil tangkapan
1. Bento
1. Kepiting (ketam renjong)
2. Jaring Karang
2. Ikan karang
3. Bubu karang
3. Ikan karang
Hasil pada musim Barat sama dengan hasil pada musim Timur Rata-rata 1-4 kg, ukuran A,B,C. Dalam 4 kg hasil terdapat ukuran: • A sebanyak 1 kg, harga Rp 26.000/kg • B dan C sebanyak 3 kg, tetapi paling banyak ukuran C. Harga ukuran B Rp 16.000,-/kg; Harga ukuran C Rp 8.000,-/kg Hasil selih sedikit dari Musim Selatan, rata-rata 1-5 kg Harga rata-rata sama (dengan harga pada Musim Selatan) 1 kawat dengan 12 bubu dalam 7-10 hari memberi hasil ikan campur 10 kg seharga rata-rata Rp 82.000,/10 kg Ikan bubu ini terdirri dari macam-macam ikan: • Kerapu Macan, harga Rp 40.000/kg ikan hidup dengan berat mulai 4 ons – 1 kg • Kosok, Rp 13.000,-/kg • Kerapu Merah, tetapi sangat jarang didapat.
4. Tangkol
4. Ikan pantai (Belanak Putih, Tamok, Belanak Bakau)
Hasil tidak tentu, bisa antara 0,5 – 5 kg, tetapi lebih sering tidak mendapat hasil Harga • Belanak Putih, Rp 8.000,- - Rp 11.000,-/kg • Tamok , Rp 2.500,-- Rp 6.000,-/kg
Lanjutan: Lampiran 5.4 Alat Tangkap yang Digunakan, Jenis, Jumlah dan Harga Hasil Tangkapan Nelayan Pada Musim Barat (lanjutan) Musim Barat Pasang besar, ombak kuran. Bulan SeptemberNovember
Alat tangkap
Jenis tangkapan
Jumlah hasil tangkapan
5. Lompong (lompang)
5. Ikan Lari (Belanak Bakau, Selar, Selikor, Tengiri, Tamban)
Hasil tidak tentu, 1-5 kg • Belanak Bakau, besar, Rp 12.000,-/kg; kecil, Rp 6.000,-/kg • Selar, besar (8 ekor/kg) Rp 13.000,/kg; kecil Rp 5.000,/kg • Selikor, besar Rp 6.000,-/kg; kecil Rp 4.000,-/kg • Tengiri, 1-15 ons Rp 15.000,-/kg; 2,5 - 5 kg, Rp 24.000,-/kg, tetapi ikan Tengiri ukuran besar ini sudah sulit didapat.
6. Kelong Karang
6. Sotong
7. Pancing
7. Ikan Karang
Hasil 1-3 kg • Harga Sotong Batu, yang per ekor bisa beratnya sampai 0,5-3 kg (1 hasta). Harga Rp 8.000,-/kg • Sotong Karang, mulai dari ukuran 0,5 sd 3 ons/ekor. Harga Rp 12.000,-/kg. Hasil selih sedikit dari Musim Selatan, rata-rata 15 kg Harga rata-rata sama (dengan harga pada Musim Selatan)
|
157
Lampiran 5.5 Alat Tangkap yang Digunakan, Jenis, Jumlah dan Harga Hasil Tangkapan Nelayan Pada Musim Utara Musim Utara Ombak besar, angin kuat, hujan dan air dalam Bulan DesemberFebruari
Alat tangkap 1. Kelong Dingkis
Jenis tangkapan 1. Ikan Dingkis
Jumlah hasil tangkapan Hasil sangat sedikit, dari seluruh nelayan yang melaut (i kampung) paling hanya 3 orang yang bisa mendapat hasil Hasil paling banyak 50-100 kg, sedikit 10-20 kg, dan lebih sering mendapat sedikit hasil 3 hari dalam 1 tahun Ikan Dingkis ini lewat di jalur yang sudah biasa di laut. Kelong disewakan Rp 500.000,- - Rp 1.000.000,/musim. Harga pada Hari raya Cina (hari H) bisa mencapai Rp 60.000,-- Rp 80.000,-/kg 1 dan 2 hari sebelum hari raya, harga antara Rp 20.000,- - Rp 35.000,-/kg
158
|
2. Lompang
2. Ikan Lari
Hasil agak banyak, 5-10 kg tetapi musimnya tidak lama Harga juga naik antara Rp 500,0- Rp 1.000,-/kg; Ikan besar harga menjadi Rp 8.500 – 9.000,-/kg
3. Jaring Karang
3. Ikan Karang
4. Bubu Korea
4. Ketam Renjong
Hasil antara 7-10 kg, hasil tangkapan sama Harga juga naik antara Rp 500 – 1.000,-/kg Hasil kurang lebih sama dengan musim Barat dan musim Timur Rata-rata 1-4 kg, ukuran A,B,C.
|
159
Lampiran 4.1 . Distribusi penduduk Kota Batam berumur lima tahun keatas menurut kelompok umur dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan, tahun 2000 (Persen) Kelomp ok umur (tahun)
Pendidikan tertinggi yang ditamatkan Tidak/bl m tamat SD
SD
SLTP
5-6
100
-
7-12
92,1
7,9
13-15
18,2
64,5
16-19
4,7
20-24
Diplo ma/ PT
N
-
-
100,0
13.988
-
-
100,0
28.117
17,3
-
-
100,0
11.653
17,9
33,9
43,4
0,1
100,0
30.387
1,7
7,7
11,9
75,8
2,9
100,0
107.206
25-55
5,9
18,0
15,7
50,8
9,5
100,0
188.578
56 +
36,5
40,9
9,1
10,8
2,6
100,0
8.064
Total
15,3
15,6
14,3
49,3
5,4
100,0
387.993
59.281
60.717
55.446
191.235
23.314
-
N
-
SLTA
Jumla h
Sumber: Pemerintah Kota Batam. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam. 2006. Kecamatan Galang dalam Angka. Berdasarkan data sensus tahun 2000 Referensi Badan Pusat Statistik. 2006. Penduduk Provinsi Kepulauan Riau. Hasil Survei penduduk Antar Sensus 2005. Jakarta: BPS. Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilization and the Remarking of World Order. London: Touchstone Books. Latifa, Ade dkk. 2006. Penduduk dan Kemiskinan Di Wilayah Perbatasan Provinsi Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur. Jakarta: Pusat
Penelitian Kependudukan – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPK-LIPI). Pemerintah Kota Batam. 2006a. Profil Batam. Jakarta/Surabaya: PT Exatama Mediasindo. Pemerintah Kota Batam. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Kota Batam. 2006. Kecamatan Galang Dalam Angka. Batam. Pemerintah Kota. 2006. Batam Dalam Angka. Batam. Profil Kelurahan Karas, Kota Batam, Provinsi Kep. Riau. 2006.
Daftar tabel Tabel 4.1.
Penduduk Kota Batam menurut jenis kelamin, 1996 – 2006
Tabel 4.2.
Penduduk Kota Batam menurut kelompok umur dan jenis kelamin, tahun 1990, 2000 dan 2005 (persen)
Tabel 4.3.
Penduduk Kota Batam menurut Kecamatan dan jenis kelamin, 2006
Tabel 4.4.
Penduduk Kecamatan Galang menurut kelurahan, jenis kelamin dan kepadatan penduduk, 2006
Tabel 4.5.
Persentase Penduduk Kecamatan Galang tahun 2000 dan Kelurahan Karas tahun 2000, 2006 dan 2007 menurut kelompok umur.
Tabel 4.6.
Persentase rumahtangga sampel di Kelurahan Karas berdasarkan jumlah anggota rumah tangga.
Tabel 4.7.
Penduduk Kota Batam berumur 10 tahun keatas menurut kemampuan membaca dan menulis serta jenis kelamin, 2005 (persen)
Table 4.8.
Penduduk Kota Batam berumur 5 tahun keatas menurut tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan jenis kelamin, 2005 (persen)
Tabel 4.9.
Penduduk Kecamatan Galang menurut kelurahan dan pendidikan yang ditamatkan, 2005 (persen).
Tabel 4.10.
Distribusi penduduk berumur tujuh tahun keatas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan jenis kelamin, Kelurahan Karas, 2007 (Persen).
Tabel 4.11.
Penduduk berumur 15 tahun keatas di Kecamatan Galang yang bekerja menurut lapangan pekerjaan, 2005
Tabel 4.12.
Penduduk berumur 15 tahun keatas di Kecamatan Galang yang bekerja menurut status pekerjaan, 2005
Tabel 4.13.
Penduduk menurut kelurahan dan jenis pekerjaan, Kecamatan Galang, 2005 (persen)
Tabel 4.14.
Distribusi penduduk berumur 10 tahun keatas menurut kegiatan utama yang dilakukan dan jenis kelamin, Kelurahan Karas, 2007 (Persen).
Tabel 4.15.
Distribusi penduduk berumur 10 tahun keatas yang bekerja, menurut lapangan pekerjaan utama yang dilakukan dan jenis kelamin, Kelurahan Karas, 2007 (Persen).
Tabel 4.16.
Distribusi penduduk berumur 10 tahun keatas yang bekerja, menurut jenis pekerjaan utama yang dilakukan dan jenis kelamin, Kelurahan Karas, 2007 (Persen).
Tabel 4.17.
Distribusi penduduk berumur 10 tahun keatas yang bekerja, menurut status pekerjaan utama yang dilakukan dan jenis kelamin, Kelurahan Karas, 2007 (Persen).
Tabel 4.18.
Distribusi penduduk berumur 10 tahun keatas yang bekerja, dan mempunyai pekerjaan tambahan, Kelurahan Karas, 2007 (Persen).
Tabel 4.19
Jumlah pemilikan alat-alat tangkap dan sumber produksi perikanan di Kecamatan Galang menurut Kelurahan, 2005 (Persen).
Tabel 4.20.
Persentase rumah tangga yang memiliki alat/sarana produksi, jumlah pemilikan dan ukuran, Kelurahan Karas, 2007
Daftar Lampiran Lampiran 4.1 .
Distribusi penduduk Kota Batam berumur lima tahun keatas menurut kelompok umur dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan, tahun 2000 (Persen)
Daftar Peta Peta 1.
Wilayah Kota Batam
Daftar Grafik Grafik 1: Penduduk Kota Batam 1996-2006 menurut jenis kelamin
Grafik 2. Piramida Penduduk Kota Batam tahun 1990 Grafik 3. Piramida Penduduk Kota Batam tahun 2000 Grafik 4. Piramida penduduk Kelurahan Karas Tahun 2000 Grafik 5. Piramida penduduk Kelurahan Karas Tahun 2007
Referensi (Tambahan dari bab IV). Badan Pusat statistik. 2004. Peta Penduduk Miskin Indonesia 2000. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2004a. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004. Buku 2: Kabupaten. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Government of Indonesia. 2004. Indonesia. Progress Report on the Millenium Development Goal. Jakarta: Government of Indonesia and United nations.
Lampiran 5.1. . Statistik Pendapatan Rumah Tangga per bulan di Kelurahan Karas, untuk rumah tangga yang berpendapatan dibawah garis kemiskinan Tahun 2007
Statistik pendapatan
Besar pendapatan (Rp.) Rumah tangga berpendapatan dibawah garis kemiskinan Kota Batam tahun 2004 sebesar
Rumah tangga dibawah garis kemiskinan US $ 1/kapita/hari
Rp. 238.828,Rata-rata rumah tangga(Mean)
98.059
106.961
Median RT
87.500
95.666
Minimum
14.833
14.833
Maksimum
231.000
267.333
67 (67 persen)
71 (71 persen)
Jumlah kasus Sumber:
Survei Data dasar Aspek Sosial Ekonomi terumbu Karang Indonesia. PPK-LIPI, 2007
Lampiran 5.2 :
Alat tangkap yang digunakan, jenis, jumlah dan harga hasil tangkapan nelayan pada Musim Timur. Musim Timur Gelombang Tenang, Air tidak dalam, tidak ada pasang, tidak ada ombak Bulan Maret-Mei
Alat tangkap Bubu
Jenis tangkapan Ikan karang (Mentimon, Gelam, Mempinang, dll)
2. Bento
2. Ketam Renjong
3. Jaring Ketam
3. Ketam Renjong
4. Pancing
Ikan karang (Tokak, Igu, Mempunguk dll)
Jumlah hasil tangkapan Hasil tidak menentu Jika menggunakan sampan, minimal harus mendapat hasil Rp 30.000,-, baru dikatakan ’cukup’ Jika menggunakan pompong, minimal harus mendapat hasil Rp 50.000,- karena harus dikurangi biaya bahan bakar Rp 24.000,- dan bekal Rp 10.000,Jadi hasil bersih sekali melaut rata-rata Dengan sampan Rp 30.00,dikurangi Rp 10.000,- = Rp 20.000,Dengan pompong Rp 50.000,- dikurangi Rp 34.000,- = Rp 16.000,-
Lampiran 5.3. :
Alat tangkap yang digunakan, jenis, jumlah dan harga hasil tangkapan nelayan pada Musim Selatan. Musim Selatan Air besar pada malam hari dan pagi hari kering, ombak kuat
Alat tangkap
Jenis tangkapan
Jumlah hasil tangkapan
1. Jaring Karang Ikan karang (Mentimon, Gelam, Mempinang, dll)
Hasil antara 1-10 kg, rata-rata 5 kg
2. Bento
Ikan karang (Mentimon, Gelam, Mempinang, dll)
Hasil sama dengan menggunakan jaring karang
3. Jaring udang kecil
Udang kecil, 3 inci per ekor
Hasil rata-rata 0,5 sd 3 kg, dengan harga Rp 45.000,-/kg
Harga ikan segar Rp 8.000,-/kg; ikan layu Rp 6.000/kg,- dan ikan busuk Rp 3.000,-/kg
Bulan Juni-Agustus
Tetapi hasil ini tidak seimbang dengan modal karena harga jaring mahal. Untuk mendapatkan hasil seperti diatas diperlukan 11 utas jaring dengan harta Rp 65.000,/utas. Jaring ini harus diganti setiap 1,5 bulan.
4. Pancing
Ikan karang (Mempinang, Tarap, Tokak, Kaci)
Hasil Ikan campur 1 sd 6 kg Harga sekitar Rp 2.500,-/kg (Tokak) dan Rp 8.000,-/kg (Gelam, Mentimon, Mempinang, Bulus)
5. Kelong karang (lompong)
Ikan karang, Sotong Karang, Sotong Batu
Hasil Ikan karang, 0,5-1 kg (harga sama dengan diatas) Sotong Batu, 1-3 kg. Per ekor bisa beratnya sampai 0,5-3 kg (1 hasta). Harga Rp 8.000,-/kg Sotong Karang, 1-3 kg mulai dari ukuran 0,5 sd 3 ons/ekor. Harga Rp 12.000,-/kg.
Lampiran 5.4 :
Alat tangkap yang digunakan, jenis, jumlah dan harga hasil tangkapan nelayan pada Musim Barat. Musim Barar
Alat tangkap 1. Bento
Pasang besar, ombak kuran.
Jenis tangkapan Kepiting (ketam renjong)
Jumlah hasil tangkapan Hasil pada musim Barat sama dengan hasil pada musim Timur Rata-rata 1-4 kg, ukuran A,B,C. Dalam 4 kg hasil terdapat ukuran:
Bulan SeptemberNovember
A sebanyak 1 kg, harga Rp 26.000/kg B dan C sebanyak 3 kg, tetapi paling banyak ukuran C. Harga ukuran B Rp 16.000,-/kg; Harga ukuran C Rp 8.000,-/kg Jaring Karang
Ikan karang
Hasil selih sedikit dari Musim Selatan, rata-rata 1-5 kg Harga rata-rata sama (dengan harga pada Musim Selatan)
3. Bubu karang
Ikan karang
1 kawat dengan 12 bubu dalam 7-10 hari memberi hasil ikan campur 10 kg seharga rata-rata Rp 82.000,-/10 kg Ikan bubu ini terdirri dari macammacam ikan: Kerapu Macan, harga Rp 40.000/kg ikan hidup dengan berat mulai 4 ons – 1 kg Kosok, Rp 13.000,-/kg Kerapu Merah, tetapi sangat jarang didapat.
4. Tangkol
Ikan pantai (Belanak Putih, Tamok, Belanak Bakau)
Hasil tidak tentu, bisa antara 0,5 – 5 kg, tetapi lebih sering tidak mendapat hasil Harga Belanak Putih, Rp 8.000,- - Rp 11.000,-/kg Tamok , Rp 2.500,-- Rp 6.000,/kg
Lanjutan:
Lampiran 5.4 :
Alat tangkap yang digunakan, jenis, jumlah dan harga hasil tangkapan nelayan pada Musim Barat (lanjutan. ) Musim Barat Pasang besar, ombak kuran.
Alat tangkap Lompong (lompang)
Jenis tangkapan Ikan Lari (Belanak Bakau, Selar, Selikor, Tengiri, Tamban)
Bulan SeptemberNovember
Jumlah hasil tangkapan Hasil tidak tentu, 1-5 kg Belanak Bakau, besar, Rp 12.000,-/kg; kecil, Rp 6.000,-/kg Selar, besar (8 ekor/kg) Rp 13.000,-/kg; kecil Rp 5.000,-/kg Selikor, besar Rp 6.000,-/kg; kecil Rp 4.000,-/kg Tengiri, 1-15 ons Rp 15.000,-/kg; 2,5 - 5 kg, Rp 24.000,-/kg, tetapi ikan Tengiri ukuran besar ini sudah sulit didapat.
Kelong Karang
Sotong
Hasil 1-3 kg Harga Sotong Batu, yang per ekor bisa beratnya sampai 0,5-3 kg (1 hasta). Harga Rp 8.000,-/kg Sotong Karang, mulai dari ukuran 0,5 sd 3 ons/ekor. Harga Rp 12.000,-/kg.
7. Pancing
Ikan Karang
Hasil selih sedikit dari Musim Selatan, rata-rata 1-5 kg Harga rata-rata sama (dengan harga pada Musim Selatan)
Lampiran 5.5. :
Alat tangkap yang digunakan, jenis, jumlah dan harga hasil tangkapan nelayan pada Musim Utara. Musim Utara
Alat tangkap Kelong Dingkis
Jenis tangkapan Ikan Dingkis
Ombak besar, angin kuat, hujan dan air dalam
Jumlah hasil tangkapan Hasil sangat sedikit, dari seluruh nelayan yang melaut (i kampung) paling hanya 3 orang yang bisa mendapat hasil Hasil paling banyak 50-100 kg, sedikit 10-20 kg, dan lebih sering mendapat sedikit hasil
Bulan DesemberFebruari
3 hari dalam 1 tahun Ikan Dingkis ini lewat di jalur yang sudah biasa di laut. Kelong disewakan Rp 500.000,- - Rp 1.000.000,- /musim. Harga pada Hari raya Cina (hari H) bisa mencapai Rp 60.000,-- Rp 80.000,-/kg 1 dan 2 hari sebelum hari raya, harga antara Rp 20.000,- - Rp 35.000,-/kg
Lompang
Ikan Lari
Hasil agak banyak, 5-10 kg tetapi musimnya tidak lama Harga juga naik antara Rp 500,0- Rp 1.000,-/kg; Ikan besar harga menjadi Rp 8.500 – 9.000,-/kg
Jaring Karang
Ikan Karang
Hasil antara 7-10 kg, hasil tangkapan sama Harga juga naik antara Rp 500 – 1.000,-/kg
4. Bubu Korea
Ketam Renjong
Hasil kurang lebih sama dengan musim Barat dan musim Timur Rata-rata 1-4 kg, ukuran A,B,C.
Daftar Tabel Tabel 5.1.
Pertumbuhan Ekonomi Kota batam Tahun 2000-2005, Berdasar Tahun Dasar Tahun 2000
Tabel 5.2.
Distribusi PDRB Kota Batam Tahun 2003-2005 Menurut Sektor Ekonomi, Atas Harga Konstan Tahun 2000 (persen)
Tabel 5.3.
Statistik Pendapatan Rumah Tangga per bulan di Kelurahan Karas, Tahun 2007
Tabel 5.4.
Distribusi Pendapatan Rata-rata Rumah Tangga per bulan Menurut Kelompok Pendapatan, Kelurahan Karas, Tahun 2007 (persen)
Tabel 5.5.
Pendapatan Rata-rata Rumah Tangga per bulan Menurut Lapangan Pekerjaan KRT, Kelurahan Karas, Tahun 2007
Tabel 5. 6. Banyaknya Hasil Tangkapan Ikan Laut menurut Kelurahan di Kecamatan Galang tahun 2005 Tabel 5.7.
Statistik Pendapatan Rumah Tangga per bulan dari Kegiatan Kenelayanan, Kelurahan Karas, Tahun 2007
Tabel 5.8.
Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim, Kelurahan Karas, Tahun 2007 (Rp.)
Tabel 5.9.
Frekuensi anggota rumah tangga pergi melaut dan mendapatkan hasil dalam satu bulan menurut musim, Kelurahan karas, 2007
Tabel 5.10. Distribusi Pendapatan Rata-rata Rumah Tangga Nelayan Menurut Musim, kelurahan Karas, Tahun 2007 (persen) Daftar Skema Skema 5.1. Jaringan pemasaran hasil dari kegiatan kenelayanan. Daftar Lampiran Lampiran 5.1.
Statistik Pendapatan Rumah Tangga per bulan di Kelurahan Karas, untuk rumah tangga yang berpendapatan dibawah garis kemiskinan Tahun 2007
Lampiran 5.2 :
Alat tangkap yang digunakan, jenis, jumlah dan harga hasil tangkapan nelayan pada Musim Timur.
Lampiran 5.3. : Alat tangkap yang digunakan, jenis, jumlah dan harga hasil tangkapan nelayan pada Musim Selatan. Lampiran 5.4 :
Alat tangkap yang digunakan, jenis, jumlah dan harga hasil tangkapan nelayan pada Musim Barat
Lampiran 5.5. : Alat tangkap yang digunakan, jenis, jumlah dan harga hasil tangkapan nelayan pada Musim Utara.