KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II Kepulauan Hinako, Kabupaten Nias
WIDAYATUN AUGUSTINA SITUMORANG IGP ANTARIKSA
CRITC – LIPI 2007 LIPI
KATA PENGANTAR COREMAP fase II yang telah dimulai sejak tahun 2004 dan direncanakan akan dilaksanakan sampai dengan tahun 2009 bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara berkesinambungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari berbagai aspek, diantaranya dari aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan akan tercapai peningkatan tutupan karang sebesar 2 persen per tahun, sedangkan dari aspek sosial ekonomi diharapkan terjadi peningkatan pendapatan per-kapita penduduk sebesar 2 persen per tahun. Selain peningkatan pendapatan per-kapita, juga diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan sekitar 10.000 penduduk di lokasi program. Keberhasilan Coremap salah satunya dipengaruhi oleh kesesuaian desain program dengan permasalahan yang ada. Oleh karena itu sangat penting pada masa persiapan melakukan perencanaan program yang didukung oleh data dasar aspek sosial-ekonomi berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya terumbu karang. Selain dipergunakan sebagai masukan-masukan dalam merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu karang ini juga penting untuk melakukan evaluasi keberhasilan program. Untuk mendapatkan data dasar tersebut perlu dilakukan baseline studi sosial ekonomi yang bertujuan untuk mengumpulkan data tentang kondisi sosial-ekonomi, budaya masyarakat di lokasi COREMAP sebelum program berjalan. Hasil baseline studi sosial-ekonomi ini merupakan titik awal (T0) yang menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum program/intervensi COREMAP dilakukan. Buku laporan ini merupakan hasil dari baseline studi sosial-ekonomi yang dilaksanakan di lokasi-lokasi Coremap di Indonesia Bagian Barat (lokasi Asian Development Bank/ADB). Baseline studi sosialKata Pengantar
iii
ekonomi dilakukan oleh CRITC - COREMAP bekerjasama dengan tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI (PPK-LIPI) dan beberapa peneliti sosial dari kedeputian IPSK - LIPI. Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku laporan melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti melakukan studi ini. Kepada para informan: masyarakat nelayan, ketua dan pengurus LPSTK dan Pokmas, pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat di Desa Hinako, Halamona, Sineneeto kami ucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Kami juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur pengelola COREMAP di tingkat kabupaten: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Unit pelaksana COREMAP di Kabupaten Nias, staff CRITC di Kabupaten Nias dan berbagai pihak yang ada di daerah yang telah membantu memberikan data dan informasi. Pada akhirnya, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna meskipun tim peneliti telah berusaha sebaik mungkin dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan laporan ini. Jakarta, Desember 2007 Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI
Prof. DR. Ono Kurnaen Sumadhiharga, MSc
iv
Kata Pengantar
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................
iii
DAFTAR ISI .............................................................................
v
DAFTAR TABEL .....................................................................
vii
DAFTAR DIAGRAM...............................................................
ix
BAB I
PENDAHULUAN.....................................................
1
1.1. Latar Belakang.................................................. 1.2. Tujuan............................................................... 1.3. Metodologi ....................................................... 1.3.1. Lokasi penelitian..................................... 1.3.2. Pengumpulan data................................... 1.3.3. Analisa data ........................................... 1.4. Organisasi Penulisan ........................................
1 4 5 5 6 8 9
PROFIL KEPULAUAN HINAKO.........................
11
2.1. Kondisi Geografis............................................. 2.2. Kondisi Sumber Daya Alam............................. 2.3. Sarana dan Prasarana ........................................
11 13 17
BAB III PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT ..........
27
BAB II
3.1.
3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 3.6.
Pengetahuan, Kesadaran dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Penyelamatan Terumbu Karang .............................................................. Pemanfaatan (Produksi, Pemasaran dan Pascapanen) ...................................................... Wilayah Pengelolaan ........................................ Teknologi.......................................................... Permasalahan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut ......................................................... COREMAP....................................................... Daftar Diagram
28 41 46 47 50 56
v
BAB IV POTRET PENDUDUK KEPULAUAN HINAKO 4.1. 4.2. 4.3. 4.4.
BAB V
65
Jumlah dan komposisi penduduk...................... Pendidikan dan ketrampilan ............................. Kegiatan Ekonomi Penduduk .......................... Kesejahteraan .................................................... 4.4.1. Kepemilikan asset produksi.................... 4.4.2. Kepemilikan Asset Non –produksi......... 4.4.3. Kondisi Tempat Tinggal......................... 4.4.4. Strategi Keuangan Keluarga ..................
65 70 74 85 86 89 92 95
PENDAPATAN MASYARAKAT ..........................
99
5.1. Pendapatan rata-rata rumah tangga dan perkapita ................................................................ 5.2. Pendapatan Rumah Tangga Menurut Jenis Pekerjaan ......................................................... 5.3. Pendapatan dari kegiatan kenelayanan ............ 5.4. Sintesa pendapatan ...........................................
104 108 117
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................
127
6.1. Kesimpulan....................................................... 6.2. Saran .................................................................
127 128
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................
133
vi
Daftar Diagram
100
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Pengetahuan Responden Terhadap Manfaat Terumbu Karang .....................................................
32
Tabel 3.2. Sikap Responden Terhadap Terumbu Karang ........
35
Tabel 3.3. Pengetahuan Responden Terhadap Larangan dan Sanksi Penggunaan Alat Tangkap Yang Merusak ..
36
Tabel 3.4. Sikap Responden Terhadap Larangan Penggunaan Alat Tangkap yang Merusak ...................................
38
Tabel 3.5. Pengetahuan Responden Terhadap Orang Lain Menggunakan Alat Tangkap yang Merusak Dalam Satu Tahun Terakhir................................................
38
Tabel 3.6. Pengakuan Responden Dalam Menggunakan Alat Tangkap yang Merusak Dalam Satu Tahun Terakhir...................................................................
39
Tabel 3.7. Sikap Responden Terhadap Larangan Penggunaan Alat Tangkap Yang Merusak ..................................
40
Tabel 3.8. Zona-zona Pengelolaan dan Peruntukan dan Kreterianya..............................................................
58
Tabel 3.9. Tugas Pokok Pemangku Kepentingan Pelaksanaan RPTK ......................................................................
62
Tabel 4.1. Luas Wilayah dan jumlah penduduk di Kepulauan Hinako Tahun 2007.................................................
66
Tabel 4.2. Jumlah penduduk Desa Hinako, Sineneeto dan Desa Halamona yang masih berdomisili di Pulau Hinako berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin, tahun 2007................................................
68
Daftar Diagram
vii
Tabel 4.3. Penduduk usia 5 tahun keatas berdasarkan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan di tiga desa penelitian, tahun 2007 .............................................
71
Tabel 4.4. Proporsi penduduk usia 5 tahun keatas berdasarkan kelompok umur dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Pulau Hinako.....................................................................
73
Tabel 5.1. Distribusi Rumah Tangga Terpilih di Kep Hinako Menurut Kelompok Pendapatan ............................. 100 Tabel 5.2. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep Hinako) Tahun 2007......................................................................... 102 Tabel 5.3. Pendapatan Rumah Tangga Menurut Jenis Pekerjaan, Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep. Hinako), 2007................................................ 104 Tabel 5.4. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Kelompok Pendapatan Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep. Hinako), 2007............................... 109 Tabel 5.5. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep. Hinako), 2007............................... 112 Tabel 5.6. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep. Hinako) Tahun 2007 (Rupiah) ......................................................... 115
viii
Daftar Diagram
DAFTAR DIAGRAM Diagram 4.1. Diagram 4.2. Diagram 4.3.
Diagram 4.4.
Diagram 4.5. Diagram 4.6. Diagram 4.7. Diagram 4.8.
Distribusi Penduduk Usia Kerja Menurut Kegiatan Ekonomi ............................................
75
Distribusi Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Jenis Pekerjaan Utama .....................
76
Distribusi Penduduk Yang Mempunyai Pekerjaan Tambahan Berdasarkan Lapangan Pekerjaan ..........................................................
85
Distribusi Rumah Tangga Yang Memiliki Pohon Kelapa Berdasarkan Pengelompokan Jumlah Pohon Kelapa yang dimiliki.................
88
Distribusi Rumah Tangga Berdasarkan Kepemilikan Rumah .........................................
90
Distribusi Rumah Tangga Berdasarkan Jumlah KK yang Tinggal Dalam Satu Rumah ............
91
Distribusi Rumah Tangga Menurut Jenis kesulitan keuangan rumah tangga ....................
96
Distribusi Rumah Tangga Menurut Cara Mengatasi Kesulitan Keuangan Rumah Tangga .............................................................
97
Diagram 5.1.
Distribusi Tangga Terpilih di Kep Hinako Menurut Kelompok Pendapatan ...................... 101
Diagram: 5.2.
Distribusi Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Kelompok Pendapatan Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep. Hinako), 2007 ........................ 111
Daftar Diagram
ix
x
Daftar Diagram
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pulau Nias merupakan pulau terbesar di Provinsi Sumatra Utara yang terletak di kawasan Samudara Hindia. Bentuk Pulau Nias memanjang dari Utara ke Selatan dan di sekitarnya banyak dijumpai pulau kecil maupun besar dengan jumlah sekitar 104 buah pulau. Di antara pulaupulau tersebut adalah Pulau Sirambu, Pulau Mause, Pulau Wunga, Kepulauan Hinako dan Pulau Nusa. Seperti halnya wilayah lain di Indonesia P. Nias dan sekitarnya, mempunyai perairan beserta ekosistemnya yang mengandung kekayaan sumberdaya alam yang besar dan beraneka ragam, sehingga dapat menjadi asset dasar bagi pembangunan. Salah satu dari tiga ekosistem penting daerah pesisir dan sekaligus suatu sistem ekologi laut yang mempunyai sifat kompleks adalah terumbu karang. Ekosistem terumbu karang ini sangat kaya akan keanekaragaman hayati, seperti moluska, ikan, krustasea, spora sekitar dan mammalia laut sebanyak 30 jenis (Nontji, 2001). Dalam sepuluh tahun terakhir kondisi terumbu karang di Indonesia pada umumnya dan P Nias pada khususnya telah mengalami kerusakan dan penurunan tutupan pada tingkat yang mengkhawatirkan. Penelitian P2O-LIPI (2007) di 908 stasiun penelitian menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia hanya sekitar 5,5 persen dalam kondisi sangat baik, sekitar 25,1 persen dalam status baik, sekitar 37 persen dalam status cukup dan telah mencapai sekitar 32 persen yang sudah dalam kondisi kurang baik. Kerusakan terumbu karang di wilayah Indonesia bagian barat lebih parah jika dibandingkan dengan wilayah bagian tengah dan timur. Dari 362 stasiun yang ada di wilayah Indonesia bagian barat hanya sekitar 5,5 persen dalam kondisi sangat baik, 27 persen dalam Bab I Pendahuluan
1
kondisi baik dan selebihnya dalam kondisi cukup dan sedang (Suharsono, 2007: 31). Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh banyak faktor yang dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu: faktor alami dan aktifitas manusia. Perubahan yang terjadi berkaitan dengan faktor alami berada di luar kekuasaan manusia, misalnya bencana alam seperti gempa, badai, ombak, perubahan iklim dan berbagai jenis penyakit. Sedangkan perubahan yang terjadi berkaitan dengan aktifitas manusia, utamanya disebabkan oleh prilaku manusia yang tidak ramah lingkungan dalam memanfaatkan sumber daya laut dan pesisir, seperti penggunaan pukat (trawl), bom, bius, bubu dan berbagai kegiatan lainnya, misalnya penambangan pasir laut dan batu karang serta penangkapan biota laut secara berlebihan (over fishing). Di samping kegiatan manusia di laut yang langsung merusak, aktifitas manusia di daratan secara tidak langsung juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan sumber daya laut dan pesisir, seperti kegiatan penebangan hutan yang menyebabkan erosi dan sedimentasi, pemakaian pestisida di pertanian dan pembuangan limbah baik padat dan cair/kimia. Untuk mengatasi masalah kerusakan terumbu karang tersebut pada awal tahun 2000-an Pemerintah Indonesia telah mencanangkan suatu program pengelolaan yang dinamakan COREMAP (Coral Reef Rahabilitation and Management Program). Pada tahap I program ini bermaksud untuk menggerakan dan meningkatkan usaha pengelolaan serta rehabilitasi terumbu karang agar sumber daya laut dapat dimanfaatkan secara lestari bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat pesisir Indonesia. Program COREMAP pada prinsipnya mendasarkan pada partisipasi masyarakat atau dapat dikatakan ‘pengelolaan berbasis masyarakat’. Pengelolaan tersebut menggunakan sistem terpadu yang perencanaannya dilaksanakan dengan pendekatan dari bawah berdasarkan aspirasi masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat sendiri. Kemudian tujuan COREMAP pada tahap II lebih menekankan pada terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan agar sumber daya laut dapat direhabilitasi, 2
Bab I Pendahuluan
diproteksi dan dikelola yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Dalam pelaksanaan pengelolaan ekosistem terumbu karang telah didesentralisasi kepada pemerintah kabupaten dengan sistem pendanaan yang berkelanjutan, namun tetap dikoordinir secara nasional. Desentralisasi pengelolaan ini dilakukan untuk mendukung dan memberdayakan masyarakat pantai, melakukan co-manajemen secara berkelanjutan agar kerusakan terumbu karang dapat dicegah dan dampak positif selanjutnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Indikator yang dapat digunakan untuk melihat tercapainya tujuan COREMAP antara lain adalah melihat aspek biofisik dan sosialekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan tercapai peningkatan tutupan karang paling sedikit 2 persen per tahun. Selanjutnya indikator keberhasilan COREMAP dari aspek sosial-ekonomi adalah : (1) Pendapatan per kapita masyarakat di lokasi target COREMAP naik sebesar 2 persen per tahun dan (2) Terdapat peningkatan taraf hidup sekitar 10.000 rumah tangga pada akhir program (Project Appraisal Document, ADB, 2005). Kabupaten Nias merupakan salah satu lokasi COREMAP dari 7 lokasi di wilayah Indonesia bagian barat yang dalam pelaksanaannya mendapat bantuan pinjaman dari Asian Development Bank (ADB). Pelaksanaan COREMAP di kabupaten ini dilakukan di tiga kawasan, yaitu kawasan Lahewa, Sawo dan Hinako. Pelaksanaan COREMAP di Kawasan Lahewa dan Sawo sudah dimulai sejak COREMAP fase I. Berbagai kegiatan sudah dilaksanakan di dua kawasan ini, diantaranya adalah: sosialisasi tentang COREMAP, pembentukan kelembagaan (LPSTK dan POKMAS), usaha ekonomi produktif (UEP) dan kegiatan pengawasan dan perlindungan laut (konservasi). Kawasan Kep. Hinako, Kecamatan Sirombu merupakan lokasi baru yang ditetapkan pada tahun 2006. Seperti juga kawasan lainnya, berbagai program dan kegiatan berkaitan dengan sosialisasi dan edukasi, pengelolaan berbasis masyarakat melalui kegiatan usaha ekonomi produktif (UEP), pengawasan dan konservasi akan Bab I Pendahuluan
3
dilaksanakan di lokasi ini. Untuk itu diperlukan data dan informasi berkaitan dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat untuk dipakai sebagai bahan merancang berbagai program dan kegiatan. Selain itu, data dan informasi tersebut juga dapat dipakai untuk memantau pelaksanaan program.
1.2. Tujuan Umum Mengumpulkan data dasar mengenai kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Khusus 1. Memberikan gambaran umum tentang lokasi COREMAP yang meliputi kondisi geografi, sarana dan prasarana, potensi sumber daya alam khususnya sumber daya laut dan pola pemanfaatannya. 2. Menggambarkan kondisi sumber daya manusia yang dilihat dari pendidikan dan kegiatan ekonominya, khususnya kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang. 3. Memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang diindikasikan antara lain dari pemilikan asset rumah tangga (produksi dan non-produksi), dan kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan. 4. Mendeskripsikan tingkat pendapatan masyarakat, khususnya pendapatan dari kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang 5. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat.
4
Bab I Pendahuluan
Sasaran •
Tersedianya data dasar tentang aspek sosial-ekonomi terumbu karang yang dapat dipakai oleh para perencana, pengelola dan pelaksana untuk merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP.
•
Tersedianya data pendapatan dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya pada awal program (T0) yang dapat dipakai untuk memantau dampak COREMAP terhadap kesejahteraan penduduk.
1.3. Metodologi 1.3.1. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan lokasi COREMAP Kep. Hinako, Kecamatan Sirombu, Kabupaten Nias. Wilayah Kepulauan Hinako terdiri dari 12 Desa; enam desa di Pulau Hinako (Hinako, Balowondrate, Sinene’eto, Lahawa, Hanofa dan Halamona), tiga desa di Pulau Bawa (Bawasawa, Kafo-kafo dan Tuwa-Tuwa), dua desa di Pulau Imana (Imana dan Bawasalo’o) dan satu desa (Bogi) di Pulau Bogi. Mengingat banyaknya desa di Kep. Hinako dan mempertimbangkan keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, maka baseline studi difokuskan di tiga desa sebagai sampel studi. Tiga desa tersebut adalah Desa Hinako, Sineneeto dan Halamona yang ada di P. Hinako. Pemilihan desa sebagai sampel penelitian dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan beberapa faktor, diantaranya: ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya laut, khususnya terumbu karang dan keterwakilan kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
Bab I Pendahuluan
5
1.3.2. Pengumpulan data 1. Data primer Studi ini menggunakan dua pendekatan dalam mengumpulkan data yaitu kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan melakukan survei/sensus; sedang pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui wawancara terbuka, diskusi kelompok terfokus (FGD) dan pengamatan lapangan (observasi). Mengingat bahwa jumlah rumah tangga yang tinggal menetap di ketiga desa relatif kecil, yaitu 55 kepala keluarga (KK) di Desa Hinako, 31 KK di Desa Halamona dan 12 KK di Desa Sineneeto, untuk data kuantitatif dilakukan sensus dengan mewawancarai semua keluarga yang ada pada saat penelitian dilakukan. Di ketiga desa tersebut sebenarnya jumlah KK yang tercacat sebagai warga desa lebih dari jumlah tersebut di atas. Jumlah KK di Halamona ada sekitar 47 KK, sebanyak 16 KK tinggal di Sirombu (terdiri dari 7 KK mendapat bantuan rumah dari International Red Cross dan yang 9 KK mempunyai tempat tinggal sendiri di Sirombu). Jumlah KK di Desa Hinako yang masih tinggal di P. Hinako sebanyak 55 KK, terdapat beberapa KK yang bertempat tinggal di Sirombu. Jumlah KK yang berhasil diwawancarai di Desa Hinako sebanyak 50 KK, karena ada satu yang menolak untuk diwawancarai dan yang empat KK tidak berada di tempat pada saat sensus dilakukan. Sedangkan jumlah KK di Desa Sineneeto adalah 52 KK dan yang masih tinggal dan menetap di desa hanya 12 KK. Berhubung keterbatasan waktu dan biaya penelitian, beberapa keluarga yang bertempat tinggal di Sirombu tidak dapat diwawancarai. Data yang dikumpulkan melalui kuesioner meliputi data yang berkaitan dengan karakteristik demografi anggota rumah tangga dan keadaan ekonomi rumah tangga. Data mengenai karakteristik demografi anggota rumah tangga antara lain jumlah, umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan anggota rumah tangga. Sementara data tentang kondisi ekonomi rumah tangga meliputi data pendapatan,
6
Bab I Pendahuluan
tabungan dan data mengenai kepemilikan aset rumah tangga seperti alat produksi perikanan dan pertanian serta perumahan. Khusus mengenai data berkaitan dengan pendapatan nelayan yang pada umumnya sangat tergantung pada keadaan iklim, sebaiknya pengambilan data dilakukan pada saat musim angin tenang (musim panen), pada saat musim angin kencang (musim paceklik) dan musim pancaroba. Mempertimbangkan kendala waktu dan biaya, maka pengambilan data dilakukan pada salah satu musim saja. Dengan demikian survei yang dilakukan menggambarkan kondisi kehidupan sosial-ekonomi penduduk pada saat dilaksanakannya survei. Hal ini sesuai dengan sifat survei yang memberikan gambaran secara ‘spot’. Dalam usaha mendapatkan gambaran mengenai pendapatan dan produksi menurut menurut musim, penelitian ini menggunakan teknik ‘restropeksi’, yaitu dengan menanyakan berbagai informasi tersebut menurut musim: musim gelombang lemah, musim pancaroba dan musim gelombang kuat. Dengan menggunakan teknik ini, maka didapatkan data dan informasi mengenai pendapatan dan produksi ikan secara tidak langsung menurut musim. Dalam pengumpulan data kuantitatif, peneliti dibantu oleh beberapa orang pewawancara yang direkrut dari penduduk lokal. Di Desa Hinako direkrut lima orang pewawancara, di Desa Halamona tiga orang dan di Sineneeto satu orang. Perekrutan pewawancara dilakukan dengan bantuan tokoh masyarakat setempat. Sebelum pelaksanaan survei, dilakukan pelatihan untuk para pewawancara. Pelatihan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada pewawancara tentang maksud dan tujuan pengambilan data, tata cara berkunjung ke responden dan cara-cara menanyakan dan mengisi kuesioner. Pemeriksaaan hasil wawancara dilakukan oleh tim peneliti dengan cara diskusi dan menanyakan langsung kepada pewawancara berkaitan dengan kelengkapan isi kuesioner, konsistensi jawaban dan kejelasan tulisan. Pada saat dilakukan pemeriksaan kuesioner, juga dilakukan diskusi tentang permasalahan - permasalahan sosialekonomi masyarakat yang muncul berkaitan dengan topik penelitian. Bab I Pendahuluan
7
Pengumpulan data kualitatif dilakukan sendiri oleh peneliti. Wawancara terbuka dilakukan terhadap berbagai informan kunci seperti nelayan baik pria maupun wanita, pedagang pengumpul, pemuka masyarakat seperti perangkat desa, guru, dan tokoh masyarakat lainnya. Wawancara terbuka dan diskusi kelompok terfokus dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Sedangkan observasi dilakukan dengan mengamati kegiatan-kegiatan penduduk setempat yang berkaitan dengan kenelayanan maupun mata pencaharian alternatif lainnya seperti pembuatan perahu dan pedagang kebutuhan sehari-hari. Pengumpulan data kualitatif ini dimaksudkan untuk menggali lebih dalam mengenai berbagai aspek menyangkut kondisi kehidupan masyarakat dan kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Selain itu, data kualitatif ini juga untuk melengkapi dan menggali lebih dalam lagi berbagai informasi yang telah didapatkan melalui survai. 2. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait, seperti Kantor Statistik Kabupaten, Data Monografi Desa, Dinas Perikanan dan Kelautan dan data dari berbagai sumber lainnya.
1.3.3. Analisa data Data yang diperoleh melalui kuesioner dianalisa secara kuantitatif dengan menggunakan tabulasi silang untuk melihat hubungan antara variabel-variabel yang diteliti. Deskripsi data kuantitatif ini didukung dan dikombinasikan dengan pengolahan field note dari hasil wawancara terbuka dan kelompok diskusi terfokus dan observasi lapangan serta bahan pustaka lain. Selain itu, dilakukan juga analisa situasi dengan pendekatan kontekstual untuk menerangkan kejadian di lapangan. Analisa ini penting untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi sumber daya laut, khususnya terumbu dan
8
Bab I Pendahuluan
pemanfaatannya serta dampaknya terhadap peningkatan pendapatan penduduk.
1.4. Organisasi Penulisan Laporan ini mengenai kondisi sosial-ekonomi masyarakat di lokasi COREMAP ini ini terdiri dari 5 bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang perlunya kajian ini, tujuan penelitian, metode dan analisa data yang digunakan. Profil lokasi penelitian yang meliputi keadaan geografis, kondisi sumber daya alam, sarana dan prasarana serta potensi dan pengelolaan sumber daya laut disajikan dalam Bab II. Pengelolaan sumber daya laut oleh masyarakat dipaparkan pada bab III. Paparan pada bab ini meliputi pengetahuan, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap penyelamatan terumbu karang, pemanfaatan sumber daya laut, wilayah pengelolaan dan teknologi serta permasalahan dalam pengelolaan sumber daya laut. Bab berikutnya (Bab IV) terfokus pada profil sosio-demografi penduduk, seperti jumlah dan komposisi, kondisi pendidikan, dan pekerjaan penduduk. Uraian mengenai pekerjaan penduduk, terutama dikaitkan dengan kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang. Di samping itu, pada bab ini juga dikaji tingkat kesejahteraan penduduk yang diindikasikan dari pemilikan aset rumah tangga (produksi dan non-produksi) dan kondisi perumahan serta sanitasi lingkungan. Bab V berisi paparan mengenai pendapatan masyarakat, khususnya pendapatan dari kegatan ekonomi berbasis terumbu karang dan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan. Laporan ini ditutup dengan kesimpulan dan rekomendasi yang diangkat dari isu dan permasalahan yang muncul berdasarkan hasil kajian.
Bab I Pendahuluan
9
10
Bab I Pendahuluan
BAB II PROFIL KEPULAUAN HINAKO
2.1. Kondisi Geografis Secara geografis, Kepulauan Hinako terdiri dari delapan pulau yang terletak di bagian barat Pulau Nias dan berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Pulau-pulau tersebut terletak saling berdekatan dan membentuk gugusan kepulauan. Kedalaman laut antar pulau-pulau yang terdapat di Kepulauan Hinako mencapai 45 meter, namun di bagian barat yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia, kedalamannya mencapai 2000-3000 meter. Posisi wilayah ini yang berbatasan langsung dengan dengan Samudra Hindia memberikan pengaruh terhadap kondisi perairan di kepulauan ini. Tingkat salinitas perairan cenderung stabil berkisar antara 33%-34%. Tidak jauh berbeda dengan wilayah lain di Kepulauan Nias, kondisi iklim di Kepulauan Hinako tergolong iklim hujan tropis dengan curah hujan merata sepanjang tahun. Curah hujan rata-rata bulanan 258 mm atau mencapai 3 102 mm pertahun dengan jumlah hari hujan mencapai 25 hari perbulan. Temperatur rata-rata harian berkisar antara 28 ºC hingga 30 ºC. Sedangkan rata-rata kecepatan angin berkisar antara 5-6 Knot/jam. Musim hujan yang disertai badai pada umumnya terjadi pada bulan September hingga November. Pada musim ini ombak di perairan pantai dapat mencapai ketinggian 3-5 meter. Pada kondisi diluar kebiasaan kadangkala badai juga terjadi pada bulan agustus. Faktor cuaca, seperti angin dan hujan bisa berubah secara mendadak. Pola arus permukaan memiliki dua bentuk, pada bulan Februari s.d Agustus, arus dengan kecepatan 38 cm/detik bergerak dari arah tenggara menuju arah barat laut, sedangkan arus berkecepatan 12 cm/detik bergerak dari daerah Kepulauan Banyak dan Pulau Nias Bab II Profil Kepulauan Hinako
11
menuju kearah tenggara dan sejajar dengan garis pantai barat Sumatera. Sedangkan pada bulan Agustus s.d Februari pola ini berganti dimana arus dengan kecepatan 12 cm/detik bergerak dari arah barat laut menuju arah tenggara, sedangkan arus berkecepatan 38 cm/detik keluar diantara Kepulauan Banyak dan Pulau Nias menuju kearah tenggara, sejajar dengan garis pantai barat Sumatera. Pertemuan arus di sekitar pertengahan selat antara pulau ini mengakibatkan adanya perputaran arus diantara Pulau Hinako dan Pulau Bawa. Bentuk topografi daratan pulau-pulau di Kepulauan Hinako pada umumnya datar, hanya ada sebuah bukit dengan ketinggian mencapai sekitar 10 meter di Pulau Hinako. Di wilayah perbukitan tersebut terdapat mercusuar dan kebun cengkeh penduduk yang tinggal di pulau ini. Dilihat dari tekstur pulau yang berupa pasir dan pecahan coral, kuat dugaan pulau-pulau di Kepulauan Hinako terbentuk dari Gosong yang naik ke permukaan bumi akibat gerakan kerak bumi sejak masa lampau. Gempa bumi yang terjadi pada tahun 2005 yang lalu, mengakibatkan naiknya permukaan daratan di Kepulauan Hinako. Oleh karena itu seluruh pulau di wilayah ini mengalami pertambahan luas pantai yang cukup signifikan dan dapat dilihat dari tampaknya gugusan terumbu karang yang berada di garis pantai. Tidak semua pulau yang terdapat di Kepulauan Hinako dijadikan tempat pemukiman. Dari kedelapan pulau, hanya lima diantaranya yang berpenghuni yaitu Pulau Bawa, Pulau Hinako, Pulau Imana, Pulau Bogi, dan Pulau Asu, sedangkan tiga pulau lainnya yaitu, Pulau Heruanga dan Pulau Hamutala dan Pulau Langu tidak ada pemukiman. Tiga pulau yang tanpa penghuni ini umumnya dijadikan sebagai lahan kebun kelapa dan lokasi pemeliharaan ternak milik masyarakat dari beberapa desa di Kepulauan Hinako. Pulau yang terbesar adalah Pulau Bawa, dan yang terkecil adalah Pulau Langu, namun pulau yang paling banyak dihuni adalah Pulau Hinako. Secara administratif Kepulauan Hinako termasuk dalam wilayah Kecamatan Sirombu. Ibukota Kecamatan Sirombu terletak di daratan dan dapat ditempuh dalam waktu 45-60 menit dari Kepulauan
12
Bab II Profil Kepulauan Hinako
Hinako. Setiap harinya ada 2 kapal reguler yang beroperasi setiap hari untuk melayani rute ini. Sedangkan jarak antara ibukota kecamatan Sirombu ke ibukota Kabupaten Nias, Gunung Sitoli, sekitar 75 km. Jarak ini dapat dilalui melalui darat, namun karena kondisi jalan yang rusak, diperlukan waktu tempuh sekitar 3-4 jam dengan kendaraan bermotor.
2.2. Kondisi Sumber Daya Alam Perairan laut Kepulauan Hinako pada dasarnya sangat kaya akan ekosistem terumbu karang, beragam jenis ikan dan biota laut lainnya serta potensi ombak yang sangat bagus untuk digunakan sebagi lokasi surfing. Potensi ekosistem terumbu karang di wilayah ini mencapai luas 217 Ha. Terumbu karang ini tersebar di sepanjang garis pantai pulau-pulau dan beberapa gosong, namun kondisinya sangat memprihatinkan. Dari survei mengenai kondisi karang yang dilakukan oleh tim penelitian ekologi CRITC – COREMAP dapat diketahui bahwa kondisi terumbu karang diperairan laut Kepulauan Hinako umumnya dalam kondisi rusak. Dari lima titik pengamatan kondisi tutupan karang berkisar antara 8.17 persen sampai dengan 18.03 persen.
Bab II Profil Kepulauan Hinako
13
Peta 2.1. Kondisi Terumbu Karang di Pulau Hinako, Kabupaten Nias
Sumber: Penelitian Tim Ekologi CRITC- LIPI, 2007. Naiknya permukaan tanah akibat gempa bumi dan tsunami pada tahun 2005 yang lalu memperparah kerusakan ekosistem terumbu karang di wilayah ini. Tutupan karang hidup di perairan ini sangat sedikit. Hal ini dapat dilihat di sepanjang pantai Pulau Hinako maupun pulaupulau lain hamparan patahan karang bercabang, bahkan dibeberapa tempat yang tampak hanya tanda-tanda bekas hidupnya terumbu karang. Karang-karang mati juga banyak tersebar di sepanjang pantai di Pulau Hinako. Karang mati ini banyak dimanfaatkan masyarakat untuk keperluan pribadi seperti membangun rumah dan pekarangan, untuk membangun sarana umum seperti pembuatan jalan, dan untuk komersilkan dengan menjualnya kepada pengelola proyek pembangunan gedung seperti sekolah dan rumah ibadah.
14
Bab II Profil Kepulauan Hinako
Pantai Hinako yang naik paska gempa
Selain karena bencana alam, kerusakan terumbu karang di Kepulauaan Hinako juga diakibatkan oleh ulah manusia yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, pukat harimau dan racun. Kegiatan merusak ini terutama dilakukan oleh nelayan pendatang dari Sibolga maupun kapal-kapal penangkap ikan dari Thailand yang menggunakan armada tanggap modern. Jenis terumbu karang di wilayah ini umumnya adalah fringing reefs atau karang tepi dan patch reefs atau gosong. Perairan Kepulauan Hinako juga kaya akan beragam jenis ikan, baik ikan karang maupun ikan permukaan. Jenis ikan yang banyak ditangkap masyarakat nelayan di wilayah ini adalah ikan karang seperti kerapu, ikan kakap, lobster, teripang dan ikan permukaan seperti ikan tenggiri, cakalang dan tongkol. Dilihat dari kebiasaan masyarakat yang hanya menangkap ikan untuk memenuhi konsumsi sehari-hari, potensi ikan di wilayah ini masih belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh penduduk setempat. Dengan alat tangkap tradisional seperti pancing rawai dan armada tangkap perahu berkekuatan 5 PK masyarakat nelayan di wilayah ini hanya menangkap ikan ‘secukupnya’. Wilayah laut Kepulauan Hinako juga memiliki lokasi yang potensi ombaknya sangat bagus untuk surfing (selancar), khususnya disekitar Pulau Asu dan Pulau Bawa. Wilayah ini telah cukup lama dikenal Bab II Profil Kepulauan Hinako
15
oleh turis mancanegara sebagai lokasi surfing. Di kedua pulau ini terdapat beberapa pondok wisata milik warga yang khusus disewakan bagi wisatawan yang datang ke wilayah ini untuk surfing. Selain sumber daya laut, daerah pesisir Kepulauan Hinako juga terdapat vegetasi mangrove khususnya di Pulau Bawa dalam jumlah yang relatif sedikit. Kondisi pesisir dan salinitas di sekitar pantai di pulau ini sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan mangrove. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh keberadaan sebuah danau di dekat pantai Desa Bawasawa dengan luas sekitar 3 ha. Di danau ini terdapat aliran kecil berbentuk kanal yang mengalirkan air danau ke pantai dan sebaliknya memasukkan air laut pada waktu air pasang naik. Jenis mangrove di pulau ini didominasi oleh jenis Rhizhopora sp. Sumber daya alam di daratan Kepulauan Hinako di dominasi oleh pohon kelapa. Kepulauan ini sudah lama dikenal sebagai daerah penghasil kopra yang utama di bagian Barat Nias. Selain perikanan tangkap, perkebunan kelapa merupakan sumber penghasilan utama masyarakat di Kepulauan Hinako. Namun usaha perkebunan ini tampaknya belum diusahakan secara intensif dan masih merupakan perkebunan kelapa yang tumbuh secara alamiah tanpa ada usaha perawatan dan peremajaan yang memadai. Dari pengamatan pada kebun kelapa di Pulau Hinako, tampak bahwa sebagian besar perkebunan kelapa ditumbuhi belukar tinggi yang menunjukkan kurangnya perawatan dan tidak tampak adanya usaha peremajaan pohon. Selain kelapa, beberapa warga mencoba menanam berbagai jenis tanaman keras perkebunan seperti karet, coklat dan cengkeh. Perkebunan cengkeh umumnya terdapat di wilayah perbukitan di Pulau Hinako. Meskipun hasilnya tidak sebanyak kelapa, hasil perkebunan cengkeh dapat dinikmati sebagian besar masyarakat di Desa Hinako, baik sebagai pemilik kebun maupun sebagai buruh pemetik. Tanaman lain yang juga tumbuh subur di Pulau Hinako adalah pohon sawo. Pohon ini tumbuh sumbur di pekarangan rumah sebagian besar masyarakat, khususnya di Desa Hanofa, namun tanaman ini tampaknya juga belum dikelola secara maksimal.
16
Bab II Profil Kepulauan Hinako
Menurut masyarakat setempat, buah sawo dari Pulau Hinako terkenal dengan rasanya yang manis. Pada waktu penelitian berlangsung, peneliti sengaja membeli buah sawo yang baru dipetik dan setelah memeramnya kurang lebih tiga hari, rasanya terbukti sangat manis.
2.3. Sarana dan Prasarana Secara administratif, Kepulauan Hinako termasuk kedalam wilayah Kecamatan Sirombu. Wilayah Kepulauan Hinako terdiri dari 12 Desa; enam desa di Pulau Hinako (Hinako, Balowondrate, Sinene’eto, Lahawa, Hanofa dan Halamona), tiga desa di Pulau Bawa (Bawasawa, Kafo-kafo dan Tuwa-Tuwa), dan dua desa di Pulau Imana (Imana dan Bawasalo’o) dan satu desa (Desa Bogi) di Pulau Bogi. Berbeda dengan wilayah lain di Indonesia, penentuan batas wilayah desa di Kepulauan Hinako masih bersifat tradisional. Batas desa ditentukan oleh kesepakatan masyarakat berdasarkan batas lahan kebun masing-masing yang kemudian diakui sebagai wilayah desa dimana pemiliknya berasal. Selain itu, dominisi warga tidak selalu menentukan status kependudukan dimana orang tersebut bertempat tinggal. Status kependudukan lebih ditentukan oleh asal-usul keluarga dan kepemilikan lahan di desa tertentu. Sebagai contoh, seorang warga yang berasal dari Desa Halamona namun telah tinggal di wilayah Desa Hinako bertahun-tahun, masih dianggap sebagai warga Desa Halamona. Oleh karena itu tidak sedikit keluarga yang bertempat tinggal di wilayah Desa Hinako namun statusnya adalah warga desa lain, demikian juga sebaliknya. Ketidakjelasan batas wilayah desa juga berdampak pada pengakuan atas penguasaan wilayah pulau-pulau lainnya diluar empat pulau utama (Hinako, Bawa, Imana dan Bogi) dimana terdapat desa definitif. Penguasaan desa atas sebuah pulau tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan kedekatan letak geografis dengan desa tertentu. Penguasaan wilayah lebih ditentukan oleh status kependudukan warga yang memiliki lahan tersebut. Jika lahan disebuah pulau dimiliki oleh beberapa warga desa yang berbeda, maka penguasaan desa atas wilayah pulau tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan pemilik Bab II Profil Kepulauan Hinako
17
kebun berdasarkan batas-batas kepemilikan lahan. Oleh karena itu dapat saja sebuah pulau menjadi wilayah beberapa desa sesuai dengan sejarah kepemilikan lahan oleh warga desanya masing-masing atau berdasarkan kesepakatan bersama pemilik lahan. Ketidakjelasan status kependudukan dan batas wilayah ini bila tidak diantisipasi sebelumnya tentunya dapat menyulitkan pelaksanaan program pembangunan sarana dan prasaran wilayah maupun desa. Sarana Pendidikan Sarana pendidikan formal yang tersedia di Pulau Hinako adalah sebuah SD dan sebuah SLTP. Menurut seorang narasumber, sekolah dasar di wilayah ini sudah ada sejak awal tahun 1960 dan sudah banyak lulusannya yang sekarang sudah menjadi sarjana dan bahkan ada yang menjadi anggota DPR RI. Namun akhir-akhir ini sarana pendidikan tersebut kurang ditunjang dengan keberadaan guru yang sudah terlatih. Kurangnya tenaga guru terlatih mengakibatkan tidak sedikit pengajar di SLTP merupakan guru honorer yang belum mempunyai kualifikasi yang memadai.
SMP Nusantara, Hinako
18
Bab II Profil Kepulauan Hinako
Sarana Kesehatan Sarana kesehatan yang terdapat di Pulau Hinako masih sangat terbatas. Meskipun telah disediakan Pos Kesehatan Desa (POLINDES) di Desa Sinene’eto, namun tidak ada bidan yang menetap diwilayah ini. Bangunan polindes yang tersedia digunakan oleh warga desa untuk rumah tinggal. Masyarakat yang memerlukan pertolongan kesehatan hanya dilayani oleh seorang mantri yang bertempat tinggal di Desa Hinako. Terbatasnya tenaga kesehatan di wilayah ini membuat pertolongan persalinan lebih banyak dilakukan oleh dukun desa. Masyarakat yang memerlukan pertolongan kesehatan yang lebih baik biasanya langsung ke Sirombu atau ke Gunung Sitoli untuk berobat. Sarana ekonomi Pada masa lalu Kepulauan Hinako banyak didatangi oleh para pedagang dari berbagai daerah untuk membeli hasil bumi, khususnya kopra dan hasil laut. Pada waktu itu hasil bumi dari Sirombu dibawa ke Hinako untuk dijual kepada pedagang pengumpul yang ada di pulau ini dan kemudian dikirim ke wilayah lain dengan menggunakan kapal-kapal pedagang yang banyak berlabuh di pulau ini. Tidak jarang kapal barang dari Sibolga maupun Padang singgah di Hinako untuk mengangkut barang –barang dagangan tersebut. Intensitas perdagangan di pulau Hinako pada masa lalu terlihat dari peninggalan bekas kantor syahbandar dan bea cukai di Pulau Hinako. Kegiatan perdagangan di Pulau Hinako mulai menurun setelah dipindahkannya pelabuhan utama ke Sirombu. Sejak itu pemasaran hasil bumi dan hasil laut Kepulauan Hinako harus dibawa terlebih dahulu ke Sirombu dan kemudian diangkut lewat jalan darat ke Gunung Sitoli untuk selanjutnya dikirim ke wilayah lain. Hal ini membuat ongkos angkut kopra dan hasil laut tersebut menjadi semakin tinggi. Selain itu, pada masa lalu kopra yang dihasilkan masyarakat dapat langsung dijual kepada pabrik pengelohan minyak kelapa yang
Bab II Profil Kepulauan Hinako
19
terdapat di Pulau Hinako dan Desa Kafo-kafo. Namun kedua pabrik tersebut berhenti beroperasi sejak tahun 1996, sehingga masyarakat terpaksa kembali mengirim hasil kopranya ke wilayah lain. Kondisi ini diperparah lagi setelah gempa pada tahun 2005 yang lalu yang mengakibatkan dermaga yang ada disetiap pulau tidak dapat lagi dapat disandari kapal akibat naiknya permukaan pantai. Dibutuhkan sampan kecil atau sekoci untuk mengangkut penumpang maupun barang ke kapal. Hal ini tentu saja membuat ongkos angkut barang semakin meningkat. Setelah terjadi gempa, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang pembuatan Virgin Coconat Oli (VCO) membangun pabrik pembuatan VCO di Pulau Hinako. Untuk itu perusahaan tersebut menjalin kerjasama dengan masyarakat setempat untuk dilatih sebagai karyawan perusahaan dan pembuatan perkebunan kelapa percontohan tanpa penggunaan bahan kimia. Pada awalnya perusahaan ini dapat membeli hasil panen kelapa milik masyarakat setempat dengan harga lebih tinggi dari harga di Sirombu. Namun berhubung pemasaran hasil VCO dari perusahaan ini belum dapat menembus pasar international, kegiatan pengolahan VCO tersebut menjadi tersendat dan perusahaan tidak lagi dapat membeli hasil kebun masyarakat dengan harga tinggi. Menurut salah seorang narasumber yang bekerja pada perusahaan tersebut, tersendatnya pemasaran karena perusahaan mereka belum dapat menembus pasar international. Untuk masuk dalam pasar international diperlukan sertifat organik, yang belum dimiliki oleh perusahaan ini. Selama ini ada beberapa kendala yang dihadapi perusahaan dalam proses pengurusan sertifat tersebut. Selain permasalahan birokrasi dan administrasi, perusahaan juga menghadapi kendala dari masyarakat. Perlu pendekatan yang intensif untuk meyakinkan masyarakat agar mau menandatangani kontrak kerjasama untuk tidak menggunakan bahan kimia. Kendala yang sering dihadapi adalah masyarakat menolak pengukuran lahan perkebunan mereka, karena takut lahannya berpindah tangan. Beberapa masyarakat curiga bahwa pengukuran lahan tersebut akan disalahgunakan. Sementara dalam pembuatan kontrak kerjasama harus tertera jelas luas lahan dan jumlah pohon kelapa yang dimiliki
20
Bab II Profil Kepulauan Hinako
agar dapat memperkirakan potensi yang dimiliki. Pada waktu penelitian berlangsung sertifat tersebut masih dalam proses pengurusan. Pemasaran hasil laut masih dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan menjual langsung kepada konsumen. Baik di Hinako maupun di Sirombu belum ada fasilitas Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Bila hasil tangkapnya cukup banyak, nelayan biasanya membawa hasil tangkap mereka ke pasar Sirombu dan menjualnya langsung kepada konsumen. Namun bila hasil tangkap dianggap tidak banyak, penjualan hasil tangkap hanya dilakukan di dermaga atau di sekitar desa dengan cara berkeliling dengan sepeda atau dengan menggantungkannya di depan rumah. Untuk lobster dan teripang hasilnya dijual kepada pedagang penampung yang ada di Desa Balafondrate atau penampung yang ada di Pulau Asu. Untuk membeli kebutuhan sehari-hari seperti sembako, sayur mayur, makanan kecil dan keperluan sandang pangan lainnya, masyarakat di Pulau Hinako dapat membelinya di pasar yang berlokasi di dekat dermaga Desa Hinako. Selain pasar hampir disemua desa dapat ditemui warung-warung yang juga menjual kebutuhan sehari-sehari. Kaum laki-laki biasanya berkumpul di kedai-kedai kopi yang juga banyak ditemui di Pulau Hinako. Di Desa Hinako terdapat sebuah kedai minum yang menjual minuman mengandung alkohol yang sering dikunjungi oleh laki-laki dari berbagai desa di Pulau Hinako. Pada waktu penelitian berlangsung, hampir setiap hari ada warga yang mabuk ditempat tersebut. Kebiasaan meminum minuman mengandung alkohol sampai mabuk tampaknya merupakan kebiasaan buruk penduduk setempat yang sulit dihilangkan. Transportasi dan komunikasi Transportasi antar pulau di Kepulauan Hinako maupun menuju Sirombu dilayani oleh dua kapal motor reguler berkapasitas sekitar 10 ton yang beroperasi setiap hari. Kedua kapal motor ini berangkat pagi hari dengan selang waktu antara 30-60 menit dari Hinako menuju Sirombu dengan menyinggahi keempat pulau utama yang
Bab II Profil Kepulauan Hinako
21
berpenduduk di Kepulauan Hinako. Kedua kapal ini kemudian berangkat dari Sirombu menuju Kepulauan Hinako pada sore hari. Salah satu dari kapal angkutan penumpang dan barang-barang tersebut adalah kapal bantuan COREMAP yang diberikan pada tahun 2006 untuk masyarakat di Kepulauan Hinako.
Kapal bantuan COREMAP - DKP untuk transportasi
Sebagai akibat gempa tahun 2005 lalu yang mengakibatnya naiknya permukaan pantai, semua dermaga yang ada di Kepulauan Hinako rusak dan tidak dapat disandari kapal. Pada waktu penelitian berlangsung ada dua dermaga di Pulau Hinako yang hampir selesai pembangunannya. Satu dermaga yang dibangun oleh Perusahaan Indojaya di wilayah desa Sinene’eto dan satu lagi di Desa Balowondrate yang dibangun dengan dana yang dikelola pemerintah daerah. Selain sarana kapal penumpang reguler tersebut, masyarakat di Kepulauan Hinako, khususnya nelayan juga sering menggunakan kapal penangkap ikan milik mereka untuk menjual hasil tangkapnya ke Sirombu. Kapal penangkap ikan ini umumnya menggunakan mesin tempel berukuran 5 PK.
22
Bab II Profil Kepulauan Hinako
Pelabuhan Hinako paska gempa
Pelabuhan Hinako yang baru dibangun
Sarana transportasi antar pulau yang juga banyak digunakan masyarakat, khususnya untuk mengunjungi lahan pertanian atau peternakan mereka yang berada di lain pulau adalah perahu tanpa motor atau perahu dayung. Letak antar pulau-pulau di Kepulauan Hinako yang saling berdekatan membuat alat transportasi ini cukup efektif meskipun tanpa motor. Sedangkan sarana trasportasi antar desa didalam pulau umumnya adalah sepeda. Berhubung luas pulaupulau di wilayah ini relatif kecil, desa-desa yang terdapat dalam satu pulau dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Jalan yang
Bab II Profil Kepulauan Hinako
23
menghubungkan antar desa di Pulau Hinako berupa jalan setapak yang melintasi perkebunan milik penduduk. Sarana komunikasi satu-satunya yang ada di Pulau Hinako adalah Radio Antar Penduduk Indonsia (RAPI) yang dimiliki oleh semua kepala desa di wilayah kepulauan ini. Selain RAPI, alat komunikasi yang juga banyak membantu masyarakat adalah siaran radio lokal. Pada jam-jam tertentu, masyarakat dapat menyampaikan pesan kepada keluarga melalui siaran radio. Signal telepon genggam telah dapat diterima di lokasi tertentu, seperti di dekat dermaga di Pulau Hinako, namun alat komunikasi ini belum banyak dimiliki oleh masyarakat. Kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat Kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat yang ada di Pulau Hinako masih terbatas pada lembaga keagamaan dan lembaga pengelolaan terumbu karang yang difasilitasi oleh COREMAP. Sarana keagamaan di Pulau Hinako cukup banyak. Di pulau ini paling sedikit ada tiga gereja dari berbagai denominasi (aliran) yang letaknya relatif berdekatan. Pada waktu penelitian, sedang berlangsung pembangunan sebuah gereja di Desa Hinako. Selain gerja, di Pulau Hinako juga terdapat sebuah mesjid yang terdapat di Desa Sinene’eto. Namun pada waktu penelitian mesjid terletak di dekat garis pantai tersebut sedang mengalami kerusakan akibat gempa pada tahun 2005 yang lalu. Menurut penduduk setempat mesjid tersebut akan segera direhabilitasi dengan menggunakan dana dari BRR. Sebagian besar penduduk di Pulau Hinako beragama kristen, kecuali satu desa yaitu Desa Sinene’eto dimana hampir semua warganya telah menganut agama Islam sejak turun temurun. Ada dua Lembaga Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) yang difasilitasi oleh COREMAP di Kepulauan Hinako, yaitu LPSTK Nusantara dengan lingkup kerja meliputi desa-desa yang berada di Pulau Bawa, Pulau Imana dan Pulau Bogi dan LPSTK Fananda dengan lingkup kerja meliputi semua desa-desa yang berada di Pulau Hinako. Pembentukan LPSTK difasilitasi oleh sebuah LSM
24
Bab II Profil Kepulauan Hinako
yang dikontrak oleh COREMAP Kabupaten Nias untuk membantu masyarakat membuat kelompok dan bekerjasama untuk melestarikan ekosistem terumbu karang. Ketua LPSTK dipilih oleh masyarakat dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh perangkat desa, tokoh masyarakat dan masyarakat nelayan. Keberadaan LPSTK tersebut pada dasarnya sudah dimulai pada tahun awal 2006, namun ketika penelitian berlangsung, tidak ditemui aktifitas yang signifikan yang sedang dilakukan oleh LPST Fananda. Beberapa narasumber mengatakan hal ini disebabkan karena adanya permasalahan di dalam organisasi sehingga menimbulkan konflik diantara anggotanya. Kurangnya pemahaman mengenai CORAMAP dan pengalaman berorganisasi serta bekerja sama nampaknya menjadi kendala yang cukup besar di wilayah ini.
Bab II Profil Kepulauan Hinako
25
26
Bab II Profil Kepulauan Hinako
BAB III PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT
Dalam konsep pengelolaan terkandung dua unsur penting, yakni unsur pemanfaatan dan unsur pengaturan. Kedua unsur tersebut saling melengkapi, bukan saling menegasikan. Oleh karena itu dalam pengelolaan tidak hanya ada unsur pemanfaatan tanpa unsur pengaturan, begitu juga sebaliknya unsur pengaturan harus disertai dengan unsur pemanfaatan. Dengan kalimat yang berbeda konsep pengelolaan dapat dikatakan sebagai keseimbangan antara unsur pemanfaatan dengan unsur pengaturan. Apabila dalam praktek pengelolaan unsur pemanfaatan yang mendominasi, maka yang akan terjadi adalah eksploitasi lebih (over exploitation) terhadap sumberdaya yang dimanfaatkan, sehingga hal ini akan merusak lingkungan. Di sisi lain, apabila pengelolaan didominasi oleh unsur pengaturan, maka sumber daya akan terbuang sia-sia, padahal sumber daya yang tidak dimanfaatkan seharusnya dapat mensejahterakan hidup manusia. Kedua unsur pengelolaan tadi dalam pemberlakuannya harus dipandang sebagai “kesementaraan”, artinya pemanfaatan terhadap sumber daya tidak bisa dilakukan secara terus menerus, oleh karena itu berdasarkan alasan tertentu pemanfaatan sumber daya dapat dihentikan (moratorium). Begitu juga unsur pengaturan, suatu larangan memanfaatkan sumber daya tertentu misalnya, pada kurun waktu tertentu dapat menjadi suatu perkenaan untuk dimanfaatkan. Berpedoman uraian di atas, maka perlu azas kehati-hatian dalam memberikan penilaian terhadap prilaku suatu komunitas dalam pemanfaatan sumber daya, seperti pemanfaatan pasir pantai dan penambangan karang batu mati untuk berbagai keperluan. Memanfaatkan pasir pantai dan karang batu mati tidak begitu saja dapat dinilai sebagai perbuatan merusak lingkungan atau tidak merusak lingkungan. Masih dibutuhkan keterangan tambahan Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
27
menyangkut sumber daya tadi, seperti: ketersediaannya, peruntukannya, alat yang digunakan dan volume yang diperlukan dalam satuan waktu. Dari keterangan-keterangan lanjutan itu barulah dapat diberikan penilaian bahwa suatu perbuatan dapat merusak lingkungan atau tidak. Uraian pada bab ini akan memberikan gambaran praktek masyarakat nelayan Kepulauan Hinako dalam mengelola sumber daya laut yang merupakan lingkungan utama mereka. Bagian pertama dari bab ini berisi uraian tentang pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap penyelamatan terumbu karang. Paparan pada bab ini dilanjutkan dengan uraian tentang pemanfaatan sumber daya laut oleh masyarakat yang antara lain berkaitan dengan wilayah pengelolaan, teknologi, jumlah produksi, pemasaran dan penanganan paska panen. Pada bagian berikutnya akan dibahas beberapa aspek terkait dengan permasalahan dalam pengelolaan sumber daya laut. Bab ini akan ditutup dengan uraian tentang pelaksanaan program penyelamatan terumbu karang yang dilakukan oleh COREMAP.
3.1. Pengetahuan, Kesadaran dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Penyelamatan Terumbu Karang Pengetahuan dan Sikap Tentang Terumbu Karang Masyarakat nelayan Nias secara umum menyebut karang hidup dengan nama kolobaha. Kata “kolobaha” itu sendiri tidak dapat sepenuhnya mewakili kata “terumbu karang” yang memiliki pengertian lebih luas sebagai ekosistem seperti yang dimaksudkan dalam penelitian ini. Walaupun demikian masyarakat di Pulau Hinako dapat dikatakan memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang terumbu karang dan manfaatnya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal tersebut dapat diketahui dari paparan jawaban yang diberikan di bawah ini. Terhadap pertanyaan untuk mengidentifikasi apakah terumbu karang merupakan makhluk hidup atau bukan, menunjukkan sebagian besar
28
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
responden (92,4 %) menjawab bahwa terumbu karang merupakan makhluk hidup, sedangkan responden yang mengatakan terumbu karang bukan makhluk hidup porsinya sangat kecil (2,2%). Selebihnya (5,4%) responden tidak mengetahui apakah terumbu karang merupakan makhluk hidup atau bukan. Rendahnya persentase jawaban responden yang mengatakan terumbu karang bukan sebagai makhluk hidup dan bahkan ada responden yang tidak paham apakah terumbu karang itu merupakan makhluk hidup atau bukan, dapat dipastikan responden bersangkutan adalah ibu rumah tangga yang dalam kegiatan sehari-harinya tidak memiliki pengalaman menangkap sumber daya di laut. Meskipun jawaban responden di atas sebagian besar menjawab benar, yaitu terumbu karang adalah makhluk hidup, tetapi jawaban atas pertanyaan tentang jenis dari terumbu karang, sebagian besar responden (64,7%) menjawab terumbu karang adalah jenis “ tumbuhtumbuhan”. Sementara itu yang menganggap sebagai “khewan” serta yang menganggap sebagai “khewan sekaligus tumbuh-tumbuhan” memperoleh jawaban yang hampir sama besar, yaitu 15,3% dan 17,6%. Selebihnya, hanya 2,2% responden mengatakan dirinya tidak tahu jenis makhluk apa terumbu karang tersebut. Berdasarkan pemahaman masyarakat selama ini, jawaban bahwa terumbu karang adalah jenis tumbuh-tumbuhan tersebut di atas dapat dibenarkan, karena selama ini masyarakat memiliki pengetahuan bahwa sesuatu yang tidak bisa berpindah tempat atas daya atau kehendak diri sendiri digolongkan sebagai tumbuh-tumbuhan. Namun secara akademik terumbu karang digolongkan sebagai khewan, karena tidak memiliki Chlorophyll (zat hijau daun), walaupun tetap tinggal di satu tempat seperti halnya tumbuh-tumbuhan. Zat hijau daun inilah pada tumbuh-tumbuhan berfungsi sebagai pengolah makanan dengan bantuan cahaya matahari untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan. Responden yang jawabannya terumbu karang adalah khewan sekaligus tumbuh-tumbuan, tampaknya menunjukkan sikap yang ragu-ragu. Keraguan tersebut diduga akibat dari masih melekatnya Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
29
pengetahuan awal bahwa terumbu karang adalah tumbuh-tumbuhan versus pengaruh pengetahuan baru, yaitu terumbu karang adalah jenis khewan. Sementara responden yang memberi jawaban tegas bahwa terumbu karang termasuk kelompok khewan, kemungkinan pengetahuan mereka telah memperoleh “pencerahan” dari berbagai sumber informasi, seperti televesi, poster, leaflet termasuk sosialisasi program COREMAP. Pada masa mendatang, kecenderungan pandangan masyarakat seperti pandangan responden yang terakhir itu akan semakin besar porsinya seiring dengan semakin terbukanya akses informasi dan berjalannya program COREMAP di Kepulauan Hinako. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya tentang manfaat terumbu karang, responden lebih banyak menjawab “ya” dalam persentase yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap manfaat terumbu karang relatif baik. Sebanyak 98,9 % responden menjawab bahwa terumbu karang sebagai sumber pendapatan masyarakat. Jawaban ini sangat masuk akal bagi sebagian besar nelayan, karena sumber nafkah mereka berada di laut, khususnya pada kawasan terumbu karang. Pada kawasan inilah masyarakat nelayan Hinako biasanya melakukan penangkapan ikan kerapu atau ikan karang lainnya termasuk lobster. Jawaban ini pararel dengan jawaban atas pertanyaan manfaat terumbu karang untuk melindungi keragaman ikan/biota laut, yang juga dijawab “ya” oleh responden dalam persentase yang tinggi (93,5 %). Seorang informan mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang manfaat terumbu karang tersebut merupakan pengetahuan warisan dari generasi pendahulu dan akan terus disosialisasikan kepada generasi berikutnya. Di samping itu pengetahuan tentang manfaat terumbu karang juga diperoleh berdasarkan pergumulan mereka sehari-hari di seputar terumbu karang. Jawaban “ya” atas manfaat terumbu karang sebagai tempat wisata dijawab oleh 92,4% responden. Tingginya persentase ini karena masyarakat memiliki pengetahuan bahwa setiap lokasi yang kondisi terumbu karangnya masih bagus pastilah sering dikunjungi oleh wisatawan mancanegara untuk berselancar dan/atau penyelaman seperti yang terjadi di seputar
30
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
Pulau Asu dan Pulau Bawa (pulau paling utara dan selatan dari gugusan Kepulauan Hinako). Pertanyaan manfaat terumbu karang untuk melindungi pantai dari ombak dan badai dijawab oleh 94,3% responden, sedangkan manfaat terumbu karang sebagai sumber bahan baku untuk keperluan sendiri, jawaban responden berimbang antara yang menjawab “ya” dan “tidak”. Responden yang menjawab “ya” sebanyak 44,6% berbanding dengan 55,4% untuk jawaban “tidak”. Keseimbangan jawaban responden tersebut boleh jadi disebabkan sebagian masyarakat menyadari bahwa pemanfaatan terumbu karang (kendati) untuk keperluan sendiri merupakan tindakan yang dianggap kurang baik, karena dikategorikan sebagai “merusak” lingkungan. Oleh karena itu mereka menjawab “tidak”. Sebaliknya, responden yang berpendapat bahwa memanfaatkan terumbu karang untuk keperluan sendiri (dalam jumlah terbatas) bukanlah perbuatan yang merusak, kecuali memanfaatkan secara berlebihan untuk proyek pembangunan dalam skala besar. Untuk yang terakhir ini responden akan menjawab “ya”. Untuk menghindari dari perdebatan yang kontra produktif pada masa depan menyangkut pemanfaatan sumber daya laut (penambangan batu karang dan pasir serta penangkapan ikan) maka perlu ada kajian yang menyeluruh terhadap sumber daya laut bersangkutan. Kajian terhadap sumber daya laut tersebut paling tidak memuat besaran potensi awal sumber daya laut dan di kawasan tertentu, sehingga pada akhirnya dapat direkomendasikan bahwa pada suatu kawasan diperbolehkan atau dilarang memanfaatkan sumber daya tertentu. Jika pemanfaatan itu diperkenankan, maka berapa besaran yang boleh dimanfaatkan dan dengan cara apa dilakukan?. Begitu pula sebaliknya, bila sumber daya jumlahnya terbatas atau telah rusak, maka perlu adanya larangan beserta sanksi terhadap orang-orang yang memanfaatkan sumber daya tersebut. Dengan demikian diharapkan tidak lagi berkembang pemahaman yang parsial bahwa setiap individu atau kelompok dalam masyarakat yang melakukan penambangan batu karang atau pasir diberi label sebagai perusak lingkungan laut. Dalam hal ini COREMAP dapat meretas jalan
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
31
sebagai pembuka jalan untuk melakukan pengkajian itu melibatkan masyarakat setempat.
dengan
Pemandangan umum di permukiman masyarakat Hinako; karang batu mati yang hancur dipakai untuk menutup halaman rumah dan jalan.
Jawaban responden yang lebih rinci menyangkut pengetahuan mereka terhadap manfaat terumbu karang dapat dicermati pada paparan Tabel 3.1. berikut ini. Tabel 3.1. Pengetahuan Responden Terhadap Manfaat Terumbu Karang Manfaat terumbu karang
Ya
Tidak
Sumber pendapatan masyarakat Melindungi keragaman ikan/biota laut Tempat wisata
98,9
1,1
93,5
6,5
92,4
7,6
Melindungi pantai dari ombak dan badai Sumber bahan baku untuk keperluan sendiri
83,7
16,3
44,6
55,4
Jumlah (N) 100 (92) 100 (92) 100 (92) 100 (92) 100 (92)
Sumber: Data Primer, Survei Sosial Ekonomi Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2007
32
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
Selanjutnya dalam memandang kondisi terumbu karang di kawasan perairan Kepulauan Hinako, sebagian besar responden mengidentifikasi dalam keadaan rusak (54,3%), sangat rusak (15,2%) dan kurang baik (9,8 %). Responden yang menjawab kondisi terumbu karang dalam keadaan baik hanya 13,0%, sedangkan responden yang menjawab tidak tahu sebesar 7,6%. Jawaban responden di atas yang mengkategorikan terumbu karang dalam kondisi kurang baik sampai dengan rusak berat (79,3 %) menjadi rasional apabila dikaitkan dengan pendapat responden yang menganggap perlu terumbu karang diperbaiki atau dilestarikan (96,7%). Menurut laporan kajian penetapan site COREMAP II (Rencana Pengelolaan Terumbu Karang LPSTK Nusantara, 2006, h. 9) menyebutkan bahwa potensi ekosistem terumbu karang di perairan Hinako memiliki luas 217 Ha berupa karang tepi (fringing reefs) dan gosong (patch reefs). Dari wawancara dengan beberapa nelayan setempat diperoleh informasi bahwa kondisi terumbu karang tersebut dalam keadaan rusak yang keberadaannya di sebelah tenggara sampai dengan bagian timur Pulau Asu; di antara pulau-pulau Imana, Hinako, Bogi dan Bawa; sebelah timur sampai dengan selatan Pulau Bogi atau bagian tenggara Pulau Bawa.
Kerusakan terumbu karang di Kep. Hinako akibat Tsunami pada Maret 2005
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
33
Informasi lain yang diperoleh dari wawancara tersebut menyebutkan bahwa, kerusakan terumbu karang di kawasan Kepulauan Hinako disebabkan oleh penggunaan alat tangkap destruktif yang dilakukan oleh nelayan dari luar kawasan Hinako maupun oleh nelayan setempat. Namun demikian, kerusakan terumbu karang di kawasan ini tidak semata-mata karena ulah manusia, melainkan juga karena gempa bumi pada bulan Maret 2005 yang meluluhlantakkan Nias dan sekitarnya. Kerusakan akibat gempa secara kasat mata tampak di berbagai lokasi dengan naiknya permukaan pantai sampai satu meter yang kemudian menjadikan daratan semakin luas. Di sekeliling Pulau Hinako terlihat jelas hamparan karang batu yang hancur menumpuk di pinggir pantai karena hempasan ombak. Jawaban responden berikutnya mengenai sikap mereka terhadap terumbu karang ada kesesuaian dengan pengetahuan mereka yang baik tentang manfaat terumbu karang. Sebagian besar responden (91,3 %) bersikap tidak setuju dengan pengambilan karang hidup. Untuk sikap terhadap pengambilan karang mati, kondisinya menjadi terbalik dengan sikap pengambilan karang hidup, yaitu sebagian besar responden (60,9 %) memberi jawaban setuju, sementara responden yang tidak setuju dan tidak berpendapat terhadap pengambilan karang mati memiliki besaran yang sama, yakni masing-masing 19,6 %. Fakta di atas menunjukkan bahwa masyarakat Hinako sangat permisif terhadap pemanfaatan karang mati, namun tidak mentolerir pemanfaatan karang hidup. Sikap itu kemungkinan besar disebabkan oleh: (1) ketiadaan alternatif bagi masyarakat Hinako untuk membuat fondasi rumah yang ekonomis selain batu karang; (2) dilandasi oleh pengetahuan bahwa segala sesuatu yang telah mati atau lapuk dapat dimanfaatkan, seperti halnya ranting pohon kering yang digunakan untuk kayu bakar; (3) kebalikan dari alasan kedua, yaitu dilandasi pengetahuan bahwa memanfaatkan terumbu karang yang masih hidup sama artinya merusak lingkungan. Dari pengamatan penulis selama penelitian ini dilakukan, penggunaan karang batu di Hinako hanya terbatas untuk penggunaan pondasi bangunan tempat tinggal dan menimbun halaman rumah agar tidak becek saat hujan. Praktek tersebut sejauh ini dapat dikatakan sebagai
34
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
pemanfaatan yang terbatas, sehingga tidak merusak ekosistem terumbu karang secara keseluruhan. Beranjak dari pengetahuan responden yang baik tentang adanya peraturan tentang larangan pengambilan/pengerusakan karang (89,1 %) dan pengetahuan adanya sanksi terhadap pelanggaran pengerusakan karang (93,9 %), kemudian mendorong masyarakat bersikap positif terhadap terumbu karang. Kepedulian terhadap penyelamatan terumbu karang dibuktikan dari jawaban responden yang sebagian besar (87,8 %) setuju dengan adanya peraturan yang melarang untuk mengambil dan merusak karang. Tabel 3.2. Sikap Responden Terhadap Terumbu Karang Sikap terhadap terumbu karang
Setuju
Tidak setuju
Tidak berpendapat
Jumlah N
Pendapat terhadap 3,3 91,3 5,4 100 pengambilan karang 92 hidup Pendapat terhadap 60,9 19,6 19,6 100 pengambilan karang 92 mati Pendapat mengenai 87,8 4,9 7,3 100 peraturan larangan 92 pengambilan atau perusakan karang Sumber: Data Primer, Survei Sosial Ekonomi Terumbu Karang, COREMAPLIPI, 2007
Pengetahuan dan Sikap Tentang Alat Tangkap Dari tabel di bawah terlihat bahwa pengetahuan responden tentang adanya larangan dan sanksi dari pemerintah terhadap penggunaan alat tangkap yang merusak berada pada persentase yang tinggi. Responden yang tahu adanya larangan pemerintah terhadap penggunaan bom (93,5 %), racun/sianida/potasium (83,7 %) serta Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
35
pukat harimau sebesar 80,4 %. Dari jawaban ini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan responden terhadap larangan pemerintah terhadap penggunaan bom, potasium dan pukat harimau sebagai alat tangkap dapat dikatakan sangat baik. Informasi larangan tersebut mereka peroleh dari penyuluhan yang dilakukan oleh aparat pemerintah khususnya dari Dinas Kelautan dan Perikanan dalam rangka COREMAP serta televisi. Pada masa mendatang, pengetahuan mereka tentang larangan penggunaan alat tangkap yang merusak mesti terus dikembangkan dan tidak hanya berhenti sampai pada tahap tahu adanya larangan dan sanksi. Dengan demikian diharapkan justru para nelayan inilah yang akan menjadi ujung tombak pengamanan sumber daya laut, karena mereka adalah salah satu pemangku kepentingan utama ekosistem terumbu karang. Tabel 3.3. Pengetahuan Responden Terhadap Larangan dan Sanksi Penggunaan Alat Tangkap yang Merusak Pengetahuan responden Mengetahui adanya larangan penggunaan bom sebagai alat tangkap Mengetahui adanya sanksi melanggar larangan menggunakan bom sebagai alat tangkap Mengetahui adanya larangan penggunaan racun/sianida/potasium sebagai alat tangkap Mengetahui adanya sanksi melanggar larangan menggunakan racun/sianida/potasium sebagai alat tangkap Mengetahui adanya larangan penggunaan pukat harimau/trawl sebagai alat tangkap Mengetahui adanya sanksi melanggar larangan menggunakan pukat harimau/trawl sebagai alat tangkap
Ya
Tidak
93,5
6,5
Tidak menjawab 0
Jumlah N 100 92 100 92
91,9
1,2
7,0
83,7
16,3
0
100 92
75,3
16,9
7,8
100 92
80,4
19,6
0
100 92
81,1
9,5
9,5
100 92
Sumber: Data Primer, Survei Sosial Ekonomi Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2007
36
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
Alat tangkap yang dianggap dapat merusak terumbu karang oleh masyarakat Hinako adalah: bom, potasium dan pukat harimau. Menurut pengetahuan nelayan setempat, penggunaan bom pada awalnya dilakukan oleh nelayan dari Sibolga dan Aceh. Sementara pemotas diduga pelakunya berasal dari Thailand dan Sibolga serta pengoperasian alat tangkap pukat harimau lebih banyak oleh kapalkapal dari Sibolga. Dalam perkembangannya alat tangkap yang merusak tersebut kemudian diadopsi oleh sebagian nelayan lokal sebagai alat tangkap utama. Informasi yang dikumpulkan dari beberapa nelayan di Desa Hinako memberi gambaran bahwa sebagian besar menunjukkan penolakannya terhadap pengoperasian alat tangkap destruktif. Namun demikian ada sebagian kecil dari mereka yang memberikan toleransi terhadap alat tangkap tersebut. Toleransi itu muncul karena tersangkut langsung dengan dirinya atau berkaitan dengan sanak famili sebagai pengguna alat tangkap yang merusak. Seperti dapat disimak pada Tabel 3.4. dan 3.5. terlihat sebagian responden pernah melihat orang dan bahkan pernah menggunakan alat tangkap ilegal dalam satu tahun terakhir. Sikap penolakan sebagian besar responden terhadap penggunaan bom, potasium dan pukat harimau sebagai alat tangkap didasarkan atas pengetahuan yang benar terhadap ketiga alat tersebut seperti telah terpapar di atas. Responden yang menjawab setuju terhadap larangan penggunaan bom sebagai alat tangkap adalah 91,9 % berbanding 5,8 % dengan jawaban yang mengatakan tidak setuju. Besaran angka yang yang lebih kecil ditemukan untuk larangan penggunaan pukat harimau sebagai alat tangkap, yaitu 81,1 % berbanding 9,5 %. Sedangkan untuk larangan penggunaan potasium angkanya relatif lebih rendah daripada dua alat tangkap lainnya, yakni responden yang menjawab setuju sebesar 75,3 % dan jawaban tidak setuju adalah 16,9 %.
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
37
Tabel 3.4. Sikap Responden Terhadap Larangan Penggunaan Alat Tangkap yang Merusak Setuju
Tidak setuju
Jumlah N
5,8
Tidak berpendapat 2,3
91,9
75,3
22,1
2,6
100 92
78,4
17,6
4,1
100 92
Sikap responden Pendapat mengenai larangan menggunakan bom sebagai alat tangkap Pendapat mengenai larangan menggunakan sianida/potasium sebagai alat tangkap Pendapat mengenai larangan menggunakan pukat harimau/trawl sebagai alat tangkap
100 92
Sumber: Data Primer, Survei Sosial Ekonomi Terumbu Karang, COREMAPLIPI, 2007 Tabel 3.5. Pengetahuan Responden Terhadap Orang Lain Menggunakan Alat Tangkap yang Merusak Dalam Satu Tahun Terakhir Pengetahuan responden
Ya
Tidak
Tidak menjawab
Mengetahui orang lain menggunakan bom sebagai alat tangkap Mengetahui orang lain menggunakan racun/sianida/potasium sebagai alat tangkap Mengetahui orang lain menggunakan pukat harimau/trawl sebagai alat tangkap
50,0
35,9
14,1
100 92
12,0
71,7
16,3
100 92
43,5
46,7
9,8
100 92
Jumlah N
Sumber: Data Primer, Survei Sosial Ekonomi Terumbu Karang, COREMAPLIPI, 2007
38
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
Tabel 3.6. Pengakuan Responden Dalam Menggunakan Alat Tangkap yang Merusak Dalam Satu Tahun Terakhir Pengetahuan responden
Ya
Tidak
Tidak menjawab 5,4
Jumlah N
Menggunakan bom 1,1 93,5 100 sebagai alat tangkap 92 Menggunakan 3,3 91,3 5,4 100 racun/sianida/potasium 92 sebagai alat tangkap Menggunakan pukat 2,2 93,5 4,3 100 harimau/trawl sebagai alat 92 tangkap Sumber: Data Primer, Survei Sosial Ekonomi Terumbu Karang, COREMAPLIPI, 2007
Besarnya persentase tidak setuju (22,1 %) terhadap adanya larangan penggunaan racun sianida sebagai alat tangkap dibandingkan dengan penggunaan bom dan pukat harimau berbanding lurus dengan besaran responden yang mengaku tahu ada orang lain yang menggunakan racun sianida (12,0 %) dan besaran responden yang pernah menggunakan potasium (3,3 %) untuk menangkap sumber daya laut. Data ini juga bisa dibaca sebagai bentuk toleransi sebagian responden terhadap diri sendiri dan sanak familinya yang dalam mengeksploitasi sumber daya laut sangat tergantung pada alat tangkap potasium. Namun demikian karena persentase yang tidak setuju terhadap larangan penggunaan racun sianida (18,5 %) lebih besar dari persentase responden yang pernah menggunakan racun potasium (3,3 %) mengindikasikan adanya kesadaran dari sebagian yang pernah menggunakan untuk berhenti menggunakan potasium karena tahu dampak yang ditimbulkan akhirnya akan merugikan diri sendiri dan kehidupan nelayan secara keseluruhan.
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
39
Tabel 3.7. Sikap Responden Terhadap Larangan Penggunaan Alat Tangkap yang Merusak Setuju Sikap responden
Tidak setuju
Tidak berpendapat 2,3
Pendapat mengenai 91,9 5,8 larangan menggunakan bom sebagai alat tangkap Pendapat mengenai 75,3 22,1 2,6 larangan menggunakan sianida/potasium sebagai alat tangkap Pendapat mengenai 78,4 17,6 4,1 larangan menggunakan pukat harimau/trawl sebagai alat tangkap Sumber: Data Primer, Survei Sosial Ekonomi Terumbu COREMAP-LIPI, 2007
Jumlah N 100 92 100 92
100 92
Karang,
Menyimak jawaban responden di atas, yaitu sebagian besar responden telah memiliki pengetahuan yang benar serta bersikap positif terhadap ekosistem terumbu karang, maka agar mereka dapat berlaku ramah terhadap lingkungan hidupnya, diperlukan adanya penghargaan/reward. Penghargaan bisa saja berasal dari lembagalembaga kemasyarakatan yang peduli lingkungan laut maupun dari pemerintah. Penghargaan yang paling tepat untuk mereka adalah sesuatu yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup nelayan, yaitu terpenuhinya basic need mereka. Dengan demikian akan menutup kemungkinan untuk melakukan kegiatan yang dapat merusak lingkungan laut. Penghargaan tersebut dapat berupa program pemberdayaan ekonomi dan program pendidikan untuk anak-anak nelayan. Hal sebaliknya yang tidak boleh dikesampingkan adalah punishment yang tegas terhadap pelanggar aturan baik nelayan maupun penegak hukum itu sendiri, sehingga tercapai ketertiban masyarakat dalam mengeksploitasi sumber daya laut.
40
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
3.2. Pemanfaatan (Produksi, Pemasaran dan Pascapanen) Produksi Berbagai usaha telah dilakukan untuk memperoleh data kuantitatif tentang produksi perikanan di tingkat kabupaten dan kecamatan, namun bencana gempa yang memporak-porandakan Nias pada Maret 2005 menjadi alasan utama tidak tersedianya data dimaksud. Sementara itu, data perikanan tingkat desa dapat diperoleh langsung dari nelayan. Nelayan Kepulauan Hinako dapat dikategorikan sebagai nelayan tradisional. Lebih banyak perahu dayung dibandingkan dengan perahu yang dilengkapi motor ketinting kapasitas 5,5 PK. Begitu juga alat tangkap mereka yang didominasi pancing, jaring insang dan bubu. Dari alat tangkap tersebut dapat dipastikan sumber daya ikan yang ditangkap relatif terbatas, kecuali yang dilakukan oleh sebagian kecil nelayan yang mengadu peruntungan dengan menggunakan alat tangkap bom dan potasium. Mereka biasanya melakukan penangkapan pagi hari, yaitu jam 04.00 dan kembali sekitar jam 12.00. Ada pula nelayan yang melakukan di sore hari, yaitu berangkat jam 16.00 dan kembali sekitar jam 19.00. Menurut pengakuan mereka, hasil yang diperoleh dalam sekali melaut berkisar sepuluh kilogram ikan campuran. Kalau kondisi laut dan angin bersahabat dan ditambah dengan keberuntungan, maka hasil yang diperoleh bisa dua sampai tiga kali lipat dari hasil biasanya. Akan tetapi ketika nasib kurang beruntung, hasil tangkapan hanya cukup untuk lauk pada hari itu juga. Dari pengamatan penulis, hasil tangkapan yang dibawa pulang berkisar dua puluh sampai 25 ekor ikan dengan berbagai ukuran dan bermacam jenis. Diperkirakan berat ikan tersebut tidak kurang dari sepuluh kilogram. Hasil tangkapan ini yang utama adalah untuk lauk pauk, kemudian sisanya dijual dengan dijajakan dari rumah ke rumah. Penjualan hasil tangkapan ke kota kecamatan di Sirombu hanya
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
41
dilakukan pada saat hasil tangkapan melebihi dua puluh kilogram, dan itupun karena pasar di kampung tidak bisa menampung. Paskapanen Nelayan Hinako tidak biasa melakukan pengolahan sumber daya laut untuk konsumsi sendiri. Mereka senantiasa mengkonsumsi ikan segar yang langsung ditangkap dari laut. Pengolahan sumber daya laut baru dilakukan bila ikan yang ditangkap berlebih untuk konsumsi dan tidak laku dijual karena berbagai alasan atau berkaitan dengan sumber daya yang tidak dikonsumsi, seperti teripang. Pengolahan hanya dilakukan dengan pengeringan dan penggaraman. Ikan yang dikeringkan atau diasinkan akan dikonsumsi sendiri pada saat masa-masa sulit ikan, tetapi teripang merupakan komoditas yang diperdagangkan bila sudah mencapai tingkat kekeringan tertentu.
Tripang yang ditangkap dengan menyelam dikeringkan terlebih dulu sebelum dipasarkan ke Sirombu
Pemasaran Dari pengamatan, hasil tangkapan nelayan Hinako berupa ikan pertama-tama disisihkan dulu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Apabila masih tersisa, akan dijual dengan cara menjajakan
42
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
dari rumah ke rumah. Biasanya ikan yang dijual telah diikat dengan tali. Satu tali bisa berisi satu sampai lima ekor ikan. Satu ikat tali beratnya berkisar satu kilogram, kecuali ikan yang berukuran sangat besar, seperti ikan kakap merah atau tongkol yang bisa mencapai bobot dua kilogram/ekor. Sudah menjadi pandangan umum di Hinako yang menjajakan ikan adalah anak-anak atau istri para nelayan. Apabila kemudian ikan yang dijajakan tidak habis terjual, maka sisanya sebagian dibagikan kepada sanak famili atau tetangga dekat dan sebagian lagi diolah lebih lanjut menjadi ikan kering atau ikan asin. Seperti telah disinggung pada bagian atas tulisan ini pasar sehari-hari untuk menjual ikan bagi nelayan Hinako adalah masyarakat di kampungnya sendiri. Masyarakat yang berdomisili di kota kecamatan, Sirombu merupakan pasar sekunder bagi nelayan Hinako. Sirombu akan menjadi pilihan untuk memasarkan ikan yang ditangkap apabila mereka memperoleh hasil tangkapan di atas dua puluh kilogram. Hal itu dilakukan karena membutuhkan biaya transportasi tambahan dan jarak tempuh ke Sirombu relatif lama, yakni tiga jam untuk pulang pergi dari Pulau Hinako dengan motor ketinting kapasitas 5,5 PK. Oleh karena itu apabila hasil tangkapan memadai untuk dipasarkan di Sirombu, nelayan tidak pulang terlebih dulu, melainkan akan langsung menjual hasil tangkapannya ke pasar Sirombu. Di Sirombu nelayan Hinako menjual hasil tangkapannya kepada konsumen rumah tangga atau pedagang pengumpul. Memasarkan kepada konsumen rumah tangga mesti dilakukan dengan menawarkan dari rumah ke rumah seperti halnya memasarkan di kampung sendiri. Dengan menjual langsung kepada konsumen rumah tangga harga jual menjadi lebih mahal daripada dijual kepada pedagang pengumpul. Nelayan Hinako biasanya lebih suka menjual kepada pedagang pengumpul, karena segera memperoleh uang walaupun harganya relatif lebih rendah daripada dijual kepada konsumen rumah tangga. Ikan ini kemudian oleh pedagang pengumpul dijual kepada konsumen akhir ke desa-desa yang jauh dari pantai. Adakalanya ikan tersebut dijual kepada pedagang pengumpul di Gunung Sitoli bila dianggap Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
43
menguntungkan. Hal yang terakhir ini jarang dilakukan, karena biaya transportasi relatif mahal.
Pedagang pengumpul di Sirombu
Konsumen akhir di desa nonpesisir
Nelayan pancing
Pedagang pengumpul di Gunung Sitoli Konsumen akhir di Sirombu
Konsumen lokal di Hinako
Konsumen akhir di Gunung Sitoli
Jalur pemasaran ikan yang ditangkap dengan pancing
Khusus untuk udang lobster yang masih hidup, nelayan pancing menjual langsung kepada pedagang pengumpul yang memiliki keramba penampungan di Pulau Bawa. Sebulan atau dua bulan sekali ada kapal yang menjemput untuk dibawa ke Singapura atau Hong Kong. Sedangkan hasil tangkapan lain, teripang dijual kepada pedagang pengumpul di Sirombu yang kemudian dipasarkan kepada pedagang pengumpul di Gunung Sitoli.
44
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
Teripang
Nelayan penyelam
Pedagang penampung di Sirombu
Pedagang penampung di Gunung Sitoli Udang lobster Pedagang penampung di Hinako Pedagang di Padang
Jalur pemasaran udang lobster dan teripang
Harga jual ikan di Hinako berkisar Rp 4.000,00–Rp 10.000,00/ikat, sedangkan ikan yang sama bila dijual ke konsumen rumah tangga di Sirombu akan memperoleh tambahan sekitar Rp 2.000,00 setiap ikatnya. Harga jual kepada pedagang pengumpul di Sirombu sekitar Rp 1.000,00 lebih rendah dari harga penjualan kepada konsumen rumah tangga di Sirombu. Walaupun demikian nelayan lebih suka menjual ke pedagang pengumpul, karena ada jaminan ikannya dibeli habis dan segera bisa membawa uang untuk keluarga.
Proses pengemasan udang lobster sebelum diekspor; mulai dari perendaman dengan air es, melumuri dengan pasir dan dibungkus kertas koran dan menyimpan di dalam kotak
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
45
Berbeda dengan harga ikan yang sangat fluktuatif, harga udang lobster memiliki harga yang stabil dan relatif tinggi. Nelayan Hinako menjual udang lobster jenis merah, hijau dan putih yang bobotnya 2 – 5 ekor/kg dengan harga Rp 70,000,00/kg. Harga udang lobster jenis kipas jauh lebih rendah dari jenis lainnya, yakni hanya Rp 10.000,00/kg. Biasanya udang lobster jenis kipas memiliki berat 2 ons/ekor. Harga udang lobster tersebut relatif rendah bila dibandingkan dengan harga penjualan nelayan di daerah Lahewa atau di Pulau-Pulau Batu yang ada di sekitar Nias, yaitu bernilai sekitar Rp 100.000/ekor.
3.3. Wilayah Pengelolaan Jangkauan pengelolaan wilayah laut nelayan Hinako hanya terbatas pada sekitar pulau-pulau yang merupakan gugusan Kepulauan Hinako saja, yaitu paling utara adalah Pulau Asu dan paling selatan adalah Pulau Bawa. Di antara kedua pulau tersebut ada Pulau Heruwanga, Imana, Hinako, Langu, Bogi dan Pulau Hamulata. Kondisi semacam itu mudah dipahami karena sesungguhnya masyarakat Hinako adalah nelayan tradisional dengan teknologi penangkapan sederhana pula. Untuk beroperasi ke Pulau Asu paling kurang membutuhkan bahan bakar sebanyak tujuh liter dan ke Pulau Bawa sekitar lima liter dengan perahu motor ketinting kapasitas 5,5 PK. Bagi nelayan dengan perahu dayung, wilayah penangkapan ada di sekitar permukiman mereka. Menurut penuturan seorang nelayan, daerah-daerah yang dianggap banyak ikannya adalah di sekitar Gosong Langu dan di antara pulaupulau Imana, Bawa, Bogi dan Hinako. Daerah lain yang juga menjadi tempat penangkapan ada di sekitar Gosong Pinang saat musim angin barat, dan bila musim angin tenggara, maka mereka menangkap di sekitar Pulau Heruwanga. Pola penangkapan seperti itu dimaksudkan untuk mengurangi terpaan angin dan gelombang karena relatif terlindungi dari pulau-pulau yang ada di sekitar daerah penangkapan. Seperti halnya nelayan-nelayan di Nias dan bahkan sampai di Mentawai, nelayan Sibolga dianggap sebagai guru dalam hal
46
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
penangkapan, karena merekalah yang pertama kali mengajarkan cara pengeboman ikan pelagis dan pemotasan ikan demersal. Namun di kemudian hari apa yang telah dipelajari mengenai penangkapan menjadi bumerang, karena sebagian besar terumbu karang di Hinako dalam kondisi rusak. Menurut beberapa nelayan yang diwawancarai mengatakan bahwa, di Hinako belum pernah terjadi konflik antar nelayan setempat atau dengan nelayan pendatang karena alasan penggunaan alat tangkap yang berbeda. Pada saat melakukan penangkapan, mereka pernah bertemu dengan nelayan dari luar Hinako yang menggunakan bom sebagai alat tangkap. Karena tahu yang digunakan adalah bom, mereka langsung menjauh karena takut.
3.4. Teknologi Alat tangkap nelayan Hinako yang paling utama adalah pancing. Alat tangkap lainnya adalah penjerat, jaring insang, bom dan potasium. Alat tangkap pancing dioperasikan, baik pada siang atau malam hari. Bila dioperasikan siang hari lebih banyak digunakan untuk menangkap ikan permukaan, seperti ikan kembung dan tongkol. Sedangkan jika dioperasikan pada malam hari adalah untuk menangkap ikan dasar, seperti kerapu dan kakap. Jaring insang di Hinako digunakan untuk menangkap ikan umpan dan berbagai ikan yang ada di sekitar pantai. Dari kuesioner diperoleh informasi bahwa di Hinako masih ada beberapa nelayan yang menggunakan alat tangkap bom dan potasium. Informasi lanjutan yang diperoleh dari seorang informan menyebutkan bahwa nelayan pengguna potasium dan bom melakukannya secara sembunyisembunyi dan pada wilayah penangkapan yang sepi karena malu bila ketahuan oleh nelayan lainnya. Pada masa mendatang, pogram COREMAP untuk meniadakan penggunaan alat tangkap destruktif tidak cukup hanya dengan pendekatan pemberdayaan ekonomi dengan memberikan alternatif mata pencarian, akan tetapi perlu juga mengembangkan gerakan “rasa malu” pada masyarakat ketika Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
47
melakukan tindakan yang salah atau pelanggaran hukum maupun pelanggaran terhadap norma.
Menyiapkan peralatan tangkap: membuat lampu senter untuk menangkap lobster (atas) dan membuat umpan dari taplak meja plastik dan pancing yang sudah siap dioperasikan (bawah)
Potasium digunakan untuk menangkap udang lobster, tetapi lobster bisa juga ditangkap dengan jerat atau langsung ditangkap dengan tangan. Penangkapan dengan jerat atau tangan biasanya dilakukan pada malam hari dengan bantuan penerangan cahaya senter berkekuatan lima baterai. Alat tangkap jerat yang ramah terhadap ekosistem terumbu karang tampaknya di masa depan perlu dikembangkan lebih jauh sehingga alat ini memiliki efektifitas menangkap lobster mendekati potasium. Penggunaan bom untuk menangkap ikan akan menghancurkan kolobaha dalam radius yang relatif luas (tergantung besarnya bom). Di samping itu, walaupun dalam sekali ledakan dapat dikumpulkan
48
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
banyak ikan, namun ikan yang terkena bom badannya hancur, terutama yang dekat dengan pusat ledakan. Untuk ikan yang berada pada radius terluar dari pusat ledakan juga menampakkan gejalagejala kerusakan pada fisiknya. Lebih dari itu, ikan yang ditangkap dengan bom biasanya dihargai lebih murah daripada ikan yang ditangkap dengan jala atau pancing. Alat tangkap bom biasanya digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang bergerombol. Menurut pengalaman mereka, kawasan yang pernah dibom menjadi tempat yang “sepi”, karena di tempat ini dapat dipastikan tidak ada ikan. Oleh karena itu untuk memulihkan tempat tersebut seperti semula membutuhkan waktu yang relatif lama, paling tidak perlu setahun dengan catatan bom tidak pernah lagi diledakkan di tempat yang sama. Serupa dengan bom, alat tangkap potasium juga akan merusakkan kolobaha. Apabila bom menghancurkan secara fisik terumbu karang dalam radius tertentu, maka dampak potasium akan segera mematikan terumbu karang, tanpa menunjukkan kerusakan fisik. Terumbu karang yang mati akibat racun potasium tampak berubah warna menjadi putih. Bila pemotasan dilakukan dengan cara menyemprotkan cairan potasium dari botol plastik (biasanya menggunakan botol air mineral), dampaknya hanya terbatas di sekitar cairan tersebut disemprotkan. Akan tetapi jika cairan itu disemprotkan dengan intensitas tinggi di banyak tempat, akhirnya akan memberi dampak yang luas pada kematian terumbu karang. Cara menggunakan potasium seperti di atas umum digunakan oleh nelayan lokal untuk menangkap ikan kerapu dan napoleon pada masa lalu dan lobster untuk masa kini. Penggunaan alat tangkap yang merusak ekologi laut seperti bom dan potasium dilandasi oleh pemahaman bahwa laut merupakan hak bersama, sehingga siapapun, kapanpun dan dengan alat apapun dapat digunakan secara legal untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada di dalamnya. Berangkat dari pemahaman semacam itu, nelayan merasa akan lebih mudah memenangkan persaingan dalam suatu wilayah, karena harus diakui bom dan potasium adalah alat tangkap ikan yang murah dan sangat efektif. Murah berarti hanya Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
49
membutuhkan modal yang sedikit, sedangkan efektif yang dalam pengoperasiannya akan menghasilkan sumber daya yang banyak. Hasil tangkapan yang banyak pada gilirannya akan menghasilkan keuntungan secara ekonomi, baik nelayan maupun untuk pedagang penampung, akan tetapi memberi dampak sebaliknya pada ekosistem laut, termasuk ekosistem terumbu karang.
3.5. Permasalahan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut Secara garis besar, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan sumber daya laut adalah: (1) faktor internal, meliputi praktek masyarakat dalam mengeksploitasi sumber daya laut dengan teknologi yang tidak ramah lingkungan, penambangan pasir dan batu karang mati; (2) faktor eksternal, meliputi upaya-upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam rangka penyelamatan terumbu karang, situasi eksternal lainnya seperti harga dan ketersediaan pasar, peningkatan konsumsi dan faktor kelancaran transportasi, serta faktor struktural, meliputi kebijakan pengelolaan sumber daya laut terutama dari pihak pemerintah . Faktor-faktor di atas di bawah ini akan dibahas lebih lanjut. Faktor Internal Seperti telah diungkapkan di muka, bahwa degradasi kualitas sumber daya laut di perairan Hinako merupakan akibat dari aktifitas penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Hasil survei menunjukkan bahwa 100 % responden mengatakan bom sebagai alat tangkap yang menyebabkan kerusakan terumbu karang, kemudian potasium sebesar 97,8 %, alat tangkap pukat harimau dijawab oleh 96,7 % responden, dan bagan tancap sebesar 77,2 %. Di samping itu kerusakan ekosistem di Hinako secara khusus juga disebabkan oleh gempa bumi yang diikuti gelombang Tsunami pada Maret 2005. Untuk mengetahui penyebab kerusakan terumbu karang di Hinako pada khususnya dan di Nias pada umumnya, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, apakah kerusakan terumbu karang tersebut lebih disebabkan karena ulah manusia atau bencana alam?
50
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
Alat tangkap bom dan potasium menurut penuturan masyarakat Hinako dipelajari dari nelayan Nias Daratan yang sebelumnya belajar dari nelayan Sibolga, Sumatera Utara sekitar tahun awal 1990-an. Dalam perkembangannya, praktek yang dilakukan oleh nelayan Sibolga itu kemudian diadopsi oleh nelayan Nias maupun Hinako, terutama oleh nelayan yang masih berusia muda. Secara berantai pengetahuan mengenai bom dan potasium ditularkan kepada nelayan lainnya sehingga mereka akhirnya menjadi nelayan yang ahli dalam menggunakan bom dan potasium untuk menangkap ikan dan udang lobster. Pengeboman dan pemotasan di perairan Hinako intensif dilakukan sampai sekitar paruh tahun 2000, kemudian berangsur angsur berkurang seiring dengan kesadaran masyarakat setempat bahwa bom dan potasium telah merusak lingkungan perairan mereka dan dampaknya secara langsung mereka rasakan, yaitu makin sulit dan berkurangnya jumlah tangkapan. Tambahan lagi gempa dan Tsunami makin memporakporandakan ekosistem terumbu karang di kawasan ini. Kesadaran masyarakat semakin mengkristal seiring dengan semakin seringnya penyuluhan dari pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nias lewat program COREMAP. Tayangan televisi tentang perlindungan terumbu karang dari perusakan alat tangkap destruktif juga sebagai faktor pendorong untuk menghentikan penggunaan bom dan potasium. Hal lain yang menjadi faktor berkurangnya pengeboman dan potasium karena perangkat keamanan mulai peduli terhadap penegakan aturan dengan melakukan pengawasan lewat patroli laut. Sikap dan kepedulian sebagian masyarakat Hinako dalam menolak penggunaan alat tangkap bom dan potasium tercermin dalam Survei Sosial Ekonomi Terumbu Karang, COREMAP, 2007. Dari 92 responden, 91,9 % di antaranya setuju terhadap larangan penggunaan bom dan 75,3 % untuk larangan penggunaan potasium. Pendapat responden tersebut dilandasi oleh pengetahuan dari pemerintah tentang adanya larangan dan sanksi penggunaan bom dan potasium untuk alat tangkap sumber daya laut. Sebanyak 93,5 % responden mengetahui adanya larangan pemerintah menggunakan bom dan 83,7 Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
51
% untuk larangan penggunaan potasium. Demikian juga halnya dengan pengetahuan responden terhadap adanya sanksi pelanggaran terhadap kedua alat tangkap yang merusak tersebut. Sebanyak 93,5 % responden menjawab tahu adanya sanksi terhadap penggunaan bom dan 83,7 % untuk potasium. Dengan dasar pengetahuan seperti itu kini mereka memiliki modal sosial yang besar dalam memberikan tekanan-tekanan terhadap pengguna bom dan potasium untuk menghentikan secara total kegiatan yang telah menjadikan ekosistem terumbu karang mereka rusak. Menurut pengamatan penulis, ada kemiripan antara masyarakat Sipora, Mentawai dengan masyarakat Hinako, Nias dalam menyikapi pengguna bom dan potasium. Baik dalam masyarakat Hinako maupun Sipora, tampak adanya standar ganda, walaupun samar dalam menyikapi kedua alat tangkap tersebut. Satu sisi menolak digunakannya kedua alat tangkap tadi, namun di sisi lain ada “toleransi” bagi pengguna potasium. Pengguna bom di Hinako dan Sipora akan melakukan penangkapan di luar fishing ground nelayan setempat karena takut ketahuan, sedangkan pengguna potasium mengoperasikan alat tangkapnya masih berada di dalam perairan Kepulauan Hinako, yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Tidak diperoleh jawaban yang tegas, kenapa hal itu terjadi? Akan tetapi bisa diduga, penggunaan bom sangat terbuka dalam arti ledakannya mudah didengar oleh masyarakat dan hasil tangkapannya secara fisik juga mudah dikenali. Hal itu sangat berbeda dengan penggunaan potasium; secara kasat mata sulit dibedakan penyelam yang menggunakan potasium dengan penyelam yang menggunakan jerat, kecuali ada alat bantu lain berupa kompresor yang dapat dijadikan petunjuk bahwa penyelam bersangkutan kemungkinan besar menggunakan potasium. Secara fisik hasil tangkapan dengan potasium juga tidak berbeda dengan alat tangkap lain. Faktor lain yang menjadikan masyarakat punya standar ganda, boleh jadi masyarakat menduga daya rusak bom yang meledak dengan suara menggelegar jauh lebih tinggi dibandingkan potasium terhadap terumbu karang. Sebaliknya secara teknis operasional penggunaan
52
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
potasium tidaklah memberi gangguan terhadap nelayan pancing yang berada dalam satu kawasan penangkapan. Di samping faktor-faktor tadi, tanpa disadari masyarakat sesungguhnya mengakui bahwa penangkapan dengan potasium lebih efisien dan efektif untuk menangkap lobster yang memiliki harga tinggi dan stabil dan juga pembeli tidak membedakan harga lobster karena ditangkap dengan alat tangkap yang berbeda. Akhirnya penangkapan dengan potasium dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga, yang juga dapat dinikmati oleh sanak famili. Hal lain yang sering dikemukakan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan sumber daya laut adalah penambangan pasir pantai dan karang batu mati untuk berbagai keperluan pembangunan fisik. Adalah sangat umum dilakukan oleh masyarakat pesisir, apalagi kemudian permukimannya berada di suatu pulau kecil yang relatif terpisah dari “tanah besar”, pasir laut dan karang batu yang telah mati dimanfaatkan sebagai bahan dasar utama untuk fondasi rumah, penimbun halaman dan jalan. Kesemuanya itu mereka lakukan berdasarkan beberapa alasan, yaitu: (1) pulau yang mereka tempati tidak mungkin dilakukan penambangan karena berbagai alasan, seperti tidak memiliki kandungan pasir dan batu atau semua areal penuh dengan permukiman; (2) menambang pasir dan karang batu di pantai lebih mudah dilakukan dan lebih murah dibandingkan dengan menambang di daratan. Masyarakat Kepulauan Hinako termasuk dalam kategori kedua alasan di atas. Untuk masyarakat yang bermukim di Pulau Hinako, Bawa, Imana dan Bogi (mungkin) ada sumber daya pasir dan batu di darat, tetapi untuk Pulau Asu, Heruwanga dan Hamutala yang luasnya relatif kecil dan datar, sumber daya pasir dan batu hanya tersedia di pantai. Substansi dari kedua alasan pemanfaatan kedua material pantai di atas adalah, betapa mahalnya pasir dan karang batu yang harus masyarakat bayar bila kedua material tersebut didatangkan dari pulau lain misalnya (untuk alasan-1) dan bagi masyarakat yang penghasilannya sangat terbatas, harga yang lebih murah dan kemudahan untuk melakukan akan menjadi pilihan pertama, Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
53
walaupun mungkin akan memberikan lingkungan (untuk alasan-2).
dampak
negatif pada
Apabila kedua alasan tersebut dicermati lebih seksama, maka kata kuncinya adalah “ketidakberdayaan” masyarakat untuk membeli kedua material bangunan itu dengan harga yang lebih mahal. Dengan demikian, bila penambangan pasir dan batu karang pantai dianggap merusak lingkungan, adakah pemerintah atau pihak-pihak lain yang bisa memberikan subsidi atau alternatif untuk memperoleh pasir dan batu dari sumber lain yang dari sisi efisiensi dan efektifitas setingkat dengan material yang mereka gunakan selama ini? Sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, ada pertanyaan lain yang lebih penting memperoleh jawaban, yaitu apakah penambangan pasir dan karang batu mati seperti umum dilakukan masyarakat pesisir untuk fondasi bangunan, menimbun halaman dan jalan kampung memberikan dampak negatif terhadap lingkungan laut? Bila jawabannya adalah “ya”, berapa besar dampak yang akan ditimbulkan? Akan tetapi bila jawabannya “tidak”, berapa banyak boleh ditambang dari ketersediaannya dan di mana? Pertanyaan-pertanyaan tersebut selama ini dijawab dengan sangat sederhana, yakni “penambangan pasir pantai dan karang batu mati akan merusak lingkungan laut”, tanpa keterangan tempat maupun jumlah. Dampak dari pernyataan itu adalah himbauan yang diawali dengan kata “tidak” atau “jangan”, seperti “tidak boleh mengambil pasir di pantai, karena akan menimbulkan abrasi” atau “gunakan pasir kali dan batu gunung dan jangan menambang pasir dan karang batu di pantai, karena akan merusak lingkungan laut”. Himbauan-himbauan semacam itu tidak menjadikan masyarakat pesisir menjadi lebih berdaya dan peduli soal lingkungan. Apalagi kemudian menempatkan masyarakat sebagai obyek yang perlu mendapatkan bimbingan karena mereka sekaligus sebagai subyek yang merusak lingkungan. Secara konseptual, pengelolaan berarti “pengaturan” dan “pemanfaatan”, seperti telah dijelaskan pada awal bab ini. Oleh karena itu dalam pemanfaatan sumber daya pasir dan karang batu mati untuk berbagai keperluan perlu pengaturan yang jelas dan tegas.
54
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
Pengaturan itu meliputi kuantitas maksimal sumber daya yang boleh diambil dan tempat-tempat pengambilan yang diperkenankan atau dilarang. Hal lain yang perlu juga diatur adalah peruntukan sumber daya tersebut secara terbatas, seperti hanya untuk fondasi rumah, penimbunan halaman dan jalan di perkampugan yang berada di pulaupulau tertentu. Dan yang tidak kalah penting dalam pengelolaan sumber daya laut adalah penegakan aturan (termasuk sanksi) yang tegas dan transparan, karena merupakan tolok ukur keberhasilan dalam pengelolaan sumber daya. Selama ini penegakan aturan inilah merupakan bagian yang terlemah dalam praktek pengelolaan sumber daya laut, sehingga sebuah aturan bagaikan “macan kertas” yang dapat dimanfaatkan sesukanya oleh orang-orang yang punya akses terhadap kekuasaan. Faktor Eksternal Nelayan penangkap udang lobster mengatakan bahwa, dua tahun terakhir ini jumlah udang lobster yang dapat ditangkap semakin menurun dan ukurannya juga makin kecil, padahal menurut informasi yang diperoleh dari pedagang penampung kebutuhan pasar tidak pernah turun. Lebih lanjut dia menuturkankan, pada masa lalu di Kepulauan Hinako ada dua keramba; satu keramba menampung udang lobster dan satu keramba lagi manampung ikan kerapu. Kini yang tetap beroperasi hanya pedagang penampung udang lobster. Informan yang lain mengatakan, belum pernah selama ini hasil tangkapannya ditolak oleh pembeli, berapapun besar dan banyaknya lobster yang ditangkap. Dari pengungkapan nelayan udang lobster di atas menunjukkan demand yang tinggi mendorong produsen atau nelayan untuk terus berproduksi tanpa memperhitungkan produksi lestari dari sumber daya yang dieksploitasi. Dorongan untuk menghasilkan sebanyakbanyaknya dipicu lagi oleh harga yang stabil dan cenderung semakin tinggi. Puncak dari keadaan semacam itu adalah makin cepatnya laju degradasi sumber daya laut di Hinako. Kondisi serupa menurut pengamatan penulis juga terjadi di Mentawai dan di Kepulauan Raja
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
55
Ampat, Irian Jaya Barat atau bahkan mungkin juga terjadi di semua kawasan yang memilki sumber daya ikan karang. Mundurnya pedagang penampung kerapu karena tidak/berkurangnya kerapu yang dapat dibeli membuktikan telah terjadi degradasi sumber daya laut, sedangkan jumlah tangkapan yang makin berkurang dengan ukuran yang semakin kecil merupakan bukti lain bahwa di Hinako telah terjadi overfishing untuk udang lobster. Laju degradasi sumber daya laut akan semakin cepat mengingat tidak ada regulasi yang dibuat oleh pemerintah kabupaten dalam hal pengelolaan terumbu karang dan lemahnya pengawasan di laut. Di sisi lain hubungan yang bersifat simbiosis mutualistis antara nelayan dengan pedagang penampung dan konsumen berdampak negatif terhadap penyelamatan terumbu karang. Dua pemangku kepentingan ini memiliki kesamaan visi, yakni memperoleh keuntungan sebanyak dan secepat mungkin atau dapat diwakili dengan satu kata, yaitu “keserakahan”. Nelayan dengan alat tangkap potasium ingin menangkap sumber daya laut dengan cara mudah dan efektif, sedangkan pedagang penampung ingin memperoleh komoditas dengan jumlah yang memadai untuk diekspor dan dalam waktu yang singkat. Sedangkan konsumen akhir ingin segera menikmati santapan lezat dan eksotis dengan harga yang mahal.
3.6. COREMAP Dalam rangka pelaksanaan COREMAP fase II di Kepulauan Hinako, Kecamatan Sirombu, Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara telah terbentuk dua lembaga pengelola terumbu karang pada tahun 2006. Lembaga yang dimaksud adalah Lembaga Pengelola Sumber Daya Terumbu Karang (LPSTK) Fananda dan Nusantara. LPSTK Fananda meliputi enam desa, yaitu Desa Hinako, Balowondrate, Sinene’eto, Lahawa, Hanofa dan Desa Halamona, yang kesemuanya berada di Pulau Hinako. Sedangkan LPSTK Nusantara mencakup enam desa juga, yakni Desa Bawasawa, KafoKafo dan Desa Tuwa-Tuwa, yang berada di Pulau Bawa; kemudian
56
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
Desa Imana dan Bawasalo’o yang terdapat di Pulau Bawa dan Desa Pulau Bogi yang ada di Pulau Bogi. LPSTK Fananda mencakup sekitar 1500 penduduk, sementara LPSTK Nusantara berpenduduk berkisar 1300 jiwa. Selanjutnya masyarakat Kepulauan Hinako melalui musyawarah desa yang difasilitasi oleh LP3M Universitas Sumatera Utara berhasil menyusun dokumen Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK). RPTK ini merupakan panduan untuk pengelolaan terumbu karang di masa depan yang masing-masing dikoordinasikan oleh LPSTK setempat. Dua RPTK di Kepulauan Hinako masing-masing berisi hal-hal berikut: (1) wilayah pengelolaan; (2) prinsip, azas, kebijakan dan arahan pengelolaan; (3) visi, sasaran dan strategi pengelolaan; (4) organisasi pengelolaan. Uraian di bawah ini akan menyinggung dua hal, yaitu wilayah pengelolaan, untuk mencari tahu seperti apa bentuk pengelolaan wilayah laut yang di dalamnya terdapat daerah perlindungan laut (DPL) dan organisasi pengelolaan, untuk mengetahui mekanisme pengorganisasian pengelolaan sumber daya terumbu karang. Pengelolaan terumbu karang di Kepulauan Hinako dan juga di daerah lainnya yang berada di bawah koordinasi COREMAP fase II dilakukan dengan sistem zonasi. Zona-zona pengelolaan dibagi menjadi lima, masing-masing zona memiliki peruntukan tersendiri, seperti terlihat pada tabel 3.8.
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
57
Tabel 3.8. Zona-zona Pengelolaan dan Peruntukan dan Kreterianya Zona
Peruntukan
Inti/DPL
Sebagai wilayah perlindungan, sehingga terlarang/tertutup bagi aktifitas yang ekstraktif, kecuali untuk penelitian atas pengetahuan kepala desa. Sebagai wilayah penangkapan tradisional dengan alat tangkap pancing.
Penyangga
Zona penangkapan tradisional
Zona budidaya
Sebagai wilayah penangkapan nelayan tardisional dengan perahu dayung dan perahu motor di bawah 5 PK dengan alat tangkap tradisional yang tidak merusak terumbu karang. Sebagai wilayah peruntukan budidaya laut; budidaya ikan atau rumput laut. Sebagai wilayah untuk pengembangan atraksi dan fasilitas pendukung wisata.
Kreteria Kondisi terumbu karang masih baik dan kemudahan untuk melakukan pemantauan dan pengawasan. Wilayah yang keberadaannya mengitari wilayah inti/perlindungan sejauh radius 100 meter Berada di luar zona inti, namun masih berada di lingkungan pesisir desa.
Berada di lingkungan pesisir desa. Pemanfaatannya atas izin kepala desa. Zona Harus berdasarkan konsep Pengembangan ekowisata dengan penekanan Pariwisata pada pemberdayaan masyarakat, edukasi dan berwawasan lingkungan. Sumber: Rencana Pengelolan Terumbu Karang (RPTK) LPSTK Nusantara, 2006
Daerah perlindungan laut LPSTK Fananda berada di Gosong Langu dan daerah perlindungan laut untuk LPSTK Nusantara di Gosong Pinang. Kedua tempat yang dijadikan lokasi DPL memiliki terumbu karang yang relatif lebih baik dari kondisi terumbu karang di wilayah lain dan memiliki luasan masing-masing berkisar 70 hektar. Tujuan utama dari daerah perlindungan laut ini adalah untuk melakukan pengaturan dan pengendalian aktifitas perikanan di tingkat desa sebagai tempat bertelur (spawing ground), pembesaran larva (juvenile), sebagai daerah asuhan (nursery ground) serta menjaga wilayah ini dari kegiatan tangkap lebih dan menjamin ketersediaan
58
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
stok perikanan secara berkelanjutan (RPTK-LPSTK Nusantara, 2006: 39).
Zonasi Kawasan pesisir dan Perairan Kepulauan Hinako Sumber: Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) LPSTK Nusantara, COREMAP 2006.
Struktur organisasi pelaksana RPTK seperti tergambar pada bagan di bawah menunjukkan betapa banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya. Setiap unsur yang terlibat memiliki tugas pokok masing-masing sesuai dengan kewenangan dan program yang hendak dijalankan (Tabel 3.9.). Satu sisi struktur semacam ini positif untuk menjaring berbagai aspirasi yang beragam dan dinamis dalam masyarakat untuk mencapai tujuan bersama, namun sebaliknya bisa berbalik menjadi negatif. Organisasi yang strukturnya terlalu “gemuk” yang berisi beraneka kepentingan dan berbagai perbedaan dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Jika hal yang terakhir terjadi, dapat dipastikan organisasi pelaksana RPTK hanya merupakan organisasi papan nama tanpa kegiatan pengelolaan terumbu karang.
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
59
Struktur Organisasi Pelaksana Rencana Pengelolaan Terumbu Karang LPSTK Fananda dan Nusantara, Kepulauan Hinako Fasilator Lapangan
Kep. Desa dan BPD Desa-desa di Kep. Hinako
LPSTK
Motivator
Pokmas Usaha Ekonomi Produktif
Pokmas Konservasi
Pokmas Wanita
Pokmas Simpan Pinjam
Keterangan: _________ : Masukan dan pendampingan -------------
: Koordinasi dan konsultasi
Sumber: Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) LPSTK Nusantara, COREMAP 2006.
Dalam kerangka COREMAP pada tahun 2006 masyarakat Kepulauan Hinako pernah menerima bantuan/program berupa: (1) satu unit kapal motor 10 GT untuk transportasi Kepulauan HinakoSirombu PP; (2) satu unit kapal motor 10 GT untuk patroli pengamanan wilayah laut; (3) satu paket demplot budidaya rumput laut. Pada saat penelitian ini dilakukan dari dua unit kapal motor, hanya kapal transportasi KM Kara Sauri yang masih aktif melayani kebutuhan transportasi masyarakat Kepulauan Hinako ke Sirombu PP. Menurut informasi yang diperoleh di Sirombu maupun di Hinako, kapal patroli telah lama tidak dapat dioperasikan karena mengalami kerusakan, sedangkan demplot budidaya rumput laut, rusak sebelum waktu panen.
60
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
Tetap beroperasinya kapal transportasi bukan karena LPSTK mengelola dengan baik, melainkan karena pengelolaannya dialihkan kepada pihak perseorangan dari Desa Kafo-Kafo. Pihak perseorangan inilah yang telah mengganti pembiyaan perbaikan kapal tersebut sewaktu rusak. Oleh karena itu yang bersangkutan diberikan hak untuk mengoperasikan KM Kara Sauri sampai biaya perbaikan yang telah dikeluarkan dapat dilunasi. Dalam perkembangannya KM Kara Sauri tetap dioperasikan oleh perseorangan tadi, hasilnya tidak lagi dipakai untuk membayar hutang, melainkan dibagi dua; satu bagian untuk yang mengoperasikan dan bagian lainnya untuk LPSTK Fananda dan Nusantara. Pengalihan pengoperasian itu pada dasarnya disebabkan ketidakmampuan pihak penerima bantuan untuk mengelolanya. Ketidakmampuan pengelolaan dibuktikan lagi menyangkut kapal patroli yang tetap berlabuh di dekat dermaga Hinako karena rusak. Informasi yang diterima mengatakan bahwa, kerusakan tersebut terjadi karena kurangnya perawatan, bahkan informasi yang sinis menyebutkan biaya perawatan digunakan untuk keperluan lain yang bersifat pribadi. Kalaupun kapal patroli dalam keadaan baik, belum tentu bisa untuk berpatroli, karena ketiadaan biaya yang memadai untuk membeli bahan bakar. Hal serupa juga terjadi untuk demplot budidaya rumput laut di bawah pengawasan LPSTK Fananda. Demplot ini rusak sebelum tiba waktu panen. Laporan rusaknya demplot yang disampaikan kepada pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nias adalah disebabkan oleh arus yang kuat, sehingga menghancurkan rakit pengikat bibit rumput laut. Informasi berbeda diperoleh di lokasi demplot yang mengatakan bahwa kerusakan demplot karena tali pengikat rakit sengaja diputuskan oleh orang yang sakit hati terhadap pengurus LPSTK sehingga hanyut diseret arus. Kegagalan-kegagalan yang telah diungkapkan di atas dalam rangka pengembangan masyarakat untuk pelestarian terumbu karang menunjukkan kompleksitas masalah. Konflik yang terjadi di bagian hilir (masyarakat), tampaknya merupakan cermin dari saratnya konflik program ini di tingkat hulu (perencana). Untuk mengurangi Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
61
konflik di tingkat pelaksanaan hal-hal berikut perlu memperoleh perhatian yang seksama: (1) acara sosialisasi program COREMAP di tingkat desa dengan “wajib” memberi uang kehadiran perlu dievaluasi lebih lanjut. Anggota masyarakat yang diundang dimotivasi menghadiri acara sosialisasi bukan karena mendapat “uang kehadiran”, melainkan karena ingin tahu dan mau berpartisipasi; (2) pemilihan kepengurusan LPSTK dilakukan sedemokratis mungkin atas dasar pilihan masyarakat secara langsung, sebagai upaya untuk meniadakan “pesan sponsor” dari pihak-pihak yang mendahulukan kepentingan pribadi; (3) pendampingan oleh fasilitator lapangan mesti dilakukan mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi program. Dengan demikian masa kontrak kerja fasilitator lapangan harus disesuaikan dengan rencana waktu pelaksanaan progam; (4) mengutamakan transparansi keuangan di segala tingkatan dan bagian untuk menghindari kecurigaan dan konflik antar pihak. Tabel 3.9. Tugas Pokok Pemangku Kepentingan Pelaksana RPTK Pemangku Kepentingan
Tugas Pokok
Kepala Desa
Bersama-sama dengan Pokmas, BPD dan LPSTK menyusun RPTK, memberikan arahan dan bimbingan agar RPTK dapat dilaksanakan sesuai dengan yang telah disepakati. Bertanggung jawab atas kebijakan dan kegiatan yang dilaksanakan oleh LPSTK.
Badan Perwakilan Desa
Sebagai perwakilan masyarakat, BPD bertugas menyalurkan aspirasi masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelestarian terumbu karang. Bersama kepala desa membuat kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan terumbu karang di tingkat desa. Lembaga ini bertugas mengkordinasi kan pokmas-pokmas yang ada di setiap desa dan melaksanakan rencana pengelolaan terumbu karang berdasarkan usulan dari berbagai pemangku kepentingan. Dalam melaksanakan tugas, LPSTK perlu meminta pertimbangan dan nasehat dari kepala desa dan tokoh masyarakat.serta berkoordinasi dengan instansi terkait.
Lembaga Pengelola Sumber Daya Terumbu Karang/LPSTK
62
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
Fasilitator Lapangan
Motivator
Pokmas
Mendampingi masyarakat desa di wilayah pelaksanaan program. Fasilitator juga bertugas memberi masukan kepada LPSTK maupun pemerintah desa dalam pengelolaan terumbu karang, agar sesuai dengan perencanaan. Merupakan motor penggerak dari pelaksanaan berbagai kegiatan di tingkat desa. Motivator dapat memberi masukan dan arahan dari pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh LPSTK dan pokmas. Biasanya motivator dipilih dari orang yang memiliki kapasitas dan pengaruh untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam program pelestarian terumbu karang. Kumpulan orang-orang yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dalam wadah kelompok yang menangani kegiatan tertentu., seperti pokmas konservasi, usaha ekonomi produktif, wanita dan pokmas simpan pinjam.
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
63
64
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut
BAB IV POTRET PENDUDUK KEPULAUAN HINAKO Penduduk atau masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir merupakan stakeholder utama yang langsung mengelola sumber daya laut disekelilingnya. Oleh karena itu pemahaman mengenai kondisi kependudukan disuatu wilayah sangat diperlukan dalam pembuatan kebijakan maupun program yang terkait dengan pelestarian sumberdaya laut, khususnya terumbu karang. Bagian ini menggambarkan potret sosio-demografi penduduk di Kecamatan Sirombu, khususnya Kepulauan Hinako yang merupakan lokasi penelitian ini. Pada bagian pertama digambarkan jumlah dan komposisi penduduk yang kemudian diikuti dengan gambaran mengenai kondisi pendidikan penduduk di lokasi penelitian. Bagian berikutnya menggambarkan kondisi pekerjaan penduduk dan diakhiri dengan gambaran kondisi kesejahteraan penduduk di Kepulauan Hinako.
4.1. Jumlah dan komposisi penduduk Secara administratif, jumlah penduduk di Kepulauan Hinako pada tahun 2007 adalah 3.028 jiwa, yang terdiri dari 1.469 laki-laki dan 1.559 perempuan. Jumlah penduduk tersebut tersebar di 12 desa yang berada di empat pulau utama yaitu; Pulau Imana, Pulau Bawa, Pulau Bogi dan Pulau Hinako. Penduduk Pulau Imana berjumlah 560 jiwa, tersebar di dua desa yaitu, Bawasalo’o (332 jiwa) dan Imana (228 jiwa). Penduduk Pulau Bawa berjumlah 729 jiwa tersebar di tiga desa yaitu Kafo-kafo (132 jiwa) Tuwa-Tuwa (270 jiwa) dan Desa Bawasawa (327 jiwa). Sedangkan Pulau Bogi yang hanya terdiri dari satu desa, secara administratif dihuni oleh 116 jiwa. Pulau Hinako yang merupakan pulau yang berpenduduk paling besar (1,623 jiwa), tersebar di enam desa yaitu Balowondrate ( 252 jiwa), Sinene’eto Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
65
(228 jiwa), Hinako (477jiwa), Lahawa (104jiwa), Hanofa (392jiwa) dan Halamona (170 jiwa). Besarnya jumlah penduduk di Pulau Hinako antara lain disebabkan karena pada masa lalu, wilayah ini menjadi pusat perekonomian penduduk di Kepulauan Hinako sehingga banyak didatangi para pedagang dari berbagai daerah untuk membeli hasil bumi maupun hasil laut. Hal ini dimungkinkan karena pada masa itu pelabuhan utama Kecamatan Sirombu terdapat di pulau ini sehingga wilayah ini banyak disinggahi oleh kapal-kapal pedagang. Diantara enam desa yang berada di Pulau Hinako, secara administrasi dapat dikatakan bahwa Desa Sineneeto dan Desa Lahawa merupakan desa yang mempunyai wilayah terluas, namun jumlah penduduknya relatif kecil. Sementara Desa Hanofa merupakan desa dengan luas wilayah terkecil dengan jumlah penduduknya relatif besar, sehingga secara administratif desa ini merupakan salah satu desa yang relatif padat penduduknya. Desa Hinako yang sejak masa lalu telah menjadi pusat perdagangan diwilayah ini, merupakan desa yang mempunyai penduduk yang paling banyak dan sekaligus sebagai desa yang paling padat penduduknya. Tabel 4.1 Luas Wilayah dan jumlah penduduk di Kepulauan Hinako Tahun 2007 Desa Bawasalo’o Imana Kafo-kafo Tuwa-tuwa Bawasawa Pulau Bogi Balafondrate Sineneeto Hinako Lahawa Hanofa Halamona JUMLAH
Luas wilayah (km2) 6,25 2,75 3,75 2,50 6,25 4,00 0,90 3,25 0,90 3,25 0,75 1,25 35,8
Jumlah dusun 2 2 1 1 2 2 2 2 1 1 2 1 19
Laki-laki 152 106 61 140 183 57 118 107 225 47 194 79 1.469
Jumlah Penduduk Perempuan Total 180 332 122 228 71 132 130 270 144 327 59 116 134 252 121 228 252 477 57 104 198 392 91 170 1.559 3.028
Sumber:Data Kecamatan Sirombu, Kabupaten Nias, Februari, 2007
66
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
Berbeda dengan wilayah lain di Indonesia, data administrasi kependudukan di wilayah ini tidak selalu mencerminkan jumlah dan komposisi penduduk yang berdomisili di satu desa. Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya (Bab 2), penentuan status kependudukan seseorang di wilayah Kecamatan Sirombu tidak selalu ditentukan oleh dimana orang tersebut bertempat tinggal, tetapi lebih ditentukan oleh asal-usul keluarga dan kepemilikan lahan di desa tertentu. Oleh karena itu, tidak sedikit penduduk yang secara administratif tercatat sebagai penduduk suatu desa, namun berdomisili di wilayah desa lain. Kondisi ini diperparah lagi dengan bencana alam tsunami pada akhir tahun 2004 yang kemudian disusul dengan gempa bumi pada bulan Maret 2005, dimana penduduk di wilayah kepulauan ini berbondong-bondong pindah ke daratan Sirombu. Tidak sedikit masyarakat yang takut untuk kembali dan memutuskan untuk menetap di wilayah daratan. Selain itu kebijakan untuk membangun bantuan perumahan oleh pemerintah maupun LSM untuk korban tsunami dan gempa bumi di daratan Sirombu, telah mengakibatkan hampir 80 % penduduk di desa-desa di Kepulauan Hinako pindah ke daratan Sirombu. Menurut informasi yang diperoleh, di Pulau Bogi misalnya, pada waktu penelitian berlangsung di pulau ini hanya tinggal 2 KK yang masih menetap di pulau ini, selebihnya telah pindah ke Sirombu. Namun secara administratif pada tahun 2007, jumlah penduduk wilayah ini masih tercatat sebanyak 116 jiwa. Kondisi yang serupa juga ditemui di semua desa di wilayah kepulauan ini. Perbedaan yang mencolok antara jumlah penduduk secara administratif dengan jumlah penduduk yang berdomisi di desa juga ditemui di ketiga desa yang menjadi lokasi penelitian ini yaitu Desa Hinako, Sineneeto dan Desa Halamona di Pulau Hinako. Dalam pendataan yang dilakukan dengan cara sensus (mendata semua penduduk), jumlah penduduk di tiga desa tersebut hanya sekitar 427 jiwa, terdiri dari 212 laki-laki dan 215 perempuan. Penduduk di Desa Hinako terdiri dari kurang lebih 55 KK dengan jumlah penduduk sekitar 254 jiwa, Desa Sineneeto terdiri dari 52 KK yang menetap di desa hanya sekitar 11 KK dan Desa Halamona terdiri dari 47 KK dan Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
67
yang tinggal di desa hanya sekitar 31 KK. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh penduduk desa yang secara administratif terdaftar sebagai penduduk ketiga desa ini berdomisili di luar Pulau Hinako. Menurut beberapa narasumber, hampir semua penduduk tersebut pindah ke Sirombu, menempati rumah bantuan korban tsunami dan gempa bumi yang dibangun di wilayah ini. Sedangkan penduduk ketiga desa yang masih menetap di Pulau Hinako tersebar di enam desa yang ada di pulau ini. Sebagai contoh, meskipun jaraknya relatif jauh, setidaknya ada dua KK penduduk Desa Halamona, berdomisili di wilayah Desa Hinako, sedangkan beberapa KK penduduk Desa Hinako dan Desa Sineneeto juga berdomisili di luar wilayah desa mereka. Tabel 4.2 Jumlah penduduk Desa Hinako, Sineneeto dan Desa Halamona yang masih berdomisili di Pulau Hinako berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin, tahun 2007 Kelompok Umur 0-4 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun 15-19 tahun 20-24 tahun 25-29 tahun 30-34 tahun 35-39 tahun 40-44 tahun 45-49 tahun 50-54 tahun 55-59 tahun 60 + tahun TOTAL
Jenis Kelamin (%) Laki-laki Perempuan (N= 212) (N= 215) 9 10,7 16,5 10,7 15,6 12,1 8,0 9,8 9,4 7,4 9,4 5,1 3,3 7,9 5,7 7,4 7,1 3,7 4,2 4,7 4,7 7,9 1,9 2,3 5,1 10,5 100 100
Total (%) N=427 9,8 13,6 13,8 8,9 8,4 7,3 5,6 6,6 5,4 4,4 6,3 2,1 7,7 100
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007.
68
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
Tabel 4.2 menunjukkan jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin di ketiga desa penelitian yang masih berdomisili di Pulau Hinako. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa secara keseluruhan berdasarkan struktur umur, penduduk di Pulau Hinako berstruktur umur muda. Lebih dari separuh penduduk di ketiga wilayah tersebut adalah mereka yang berusia sangat muda (014 tahun). Meskipun demikian, proporsi penduduk kelompok umur 15-24 tahun relatif kecil. Hal ini mungkin disebabkan tingkat migrasi yang tinggi dikalangan penduduk usia ini, baik untuk melanjutkan pendidikan maupun untuk bekerja. Seperti telah disinggung sebelumnya, di pulau ini tidak terdapat sekolah menengah atas, sehingga mereka yang ingin melanjutkan pendidikan harus pindah ke Sirombu atau ke Gunung Sitoli. Beberapa penduduk yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka terpaksa mengirim anaknya untuk ‘indekost’ di Sirombu atau di Gunung Sitoli untuk melanjukkan pendidikan ke SLTA atau perguruan tinggi. Dilihat dari komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin di ketiga desa ini tidak jauh berbeda, dalam arti jumlah penduduk perempuan dengan jumlah penduduk laki-laki relatif sebanding. Namun bila dilihat dari struktur umur penduduk laki-laki dan perempuan, terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Penduduk laki-laki di wilayah ini cenderung lebih muda dibandingkan dengan penduduk perempuan. Lebih dari dua pertiga (67,8%) penduduk laki-laki berada pada kelompok umur dibawah 30 tahun, sedangkan proporsi penduduk perempuan pada kelompok usia yang sama hanya sekitar 55, 8 %. Hal yang sebaliknya ditemui pada kelompok penduduk berusia 60 tahun keatas, dimana proporsi penduduk perempuan pada kelompok usia ini, dua kali lipat dari proporsi penduduk laki-laki. Kondisi ini mungkin dipengaruhi oleh adanya kecenderungan bahwa usia harapan hidup perempuan lebih tinggi dibanding dengan usia harapan hidup laki-laki. Selain itu dari pengamatan pada waktu penelitian, kebiasaan sehari-hari sebagian besar penduduk laki-laki untuk minum minuman berkadar alkohol tinggi ditengarai dapat berakibat buruk pada kesehatan mereka. Pada waktu penelitian berlangsung, hampir setiap hari ditemui beberapa kelompok laki-laki Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
69
yang mabuk karena pengaruh minuman beralkohol. Menurut beberapa narasumber, sebagian besar penduduk laki-laki dewasa diwilayah ini pernah mabuk, namun keadaan ini tidak ditemui dikalangan perempuan. Komposisi penduduk yang sebagian besar masih berusia balita dan usia sekolah, tentunya memberi konsekuensi terhadap kebijakan penduduk di wilayah ini. Fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memadai tentunya sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas penduduk dimasa yang akan datang. Dari aspek kesehatan, kondisi kesehatan seseorang pada usia balita dan kanak-kanak akan sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan pada usia dewasa. Hal yang sama juga berlaku untuk pendidikan.
4.2. Pendidikan dan ketrampilan Sebagaimana telah disinggung di atas kondisi pendidikan, khususnya pendidikan formal merupakan salah satu indikator yang sangat penting dalam menggambarkan kualitas penduduk di suatu wilayah. Oleh karena itu informasi tentang pendidikan formal yang ditamatkan oleh penduduk di suatu wilayah perlu diperhatikan dalam mempersiapkan suatu program intervensi. Pada waktu penelitian telah diusahakan untuk memperoleh data kependudukan di tingkat kecamatan yang menunjukkan kondisi pendidikan penduduk di wilayah ini namun informasi tersebut belum tersedia. Hal ini mungkin disebabkan karena kondisi kantor Kecamatan Sirombu yang masih darurat akibat rusak parah karena gempa, ditambah dengan belum berjalannya sistem pendataan kependudukan yang memadai di tingkat desa. Informasi mengenai kondisi pendidikan dan ketrampilan penduduk di Kepulauan Hinako dalam studi ini diperoleh dari pendataan penduduk di ketiga desa penelitian. Tabel 4.3 menunjukkan kondisi pendidikan penduduk yang berumur 5 tahun keatas berdasarkan jenjang pendidikan formal yang ditamatkan di tiga desa penelitian. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kondisi pendidikan penduduk di wilayah ini relatif rendah. Hampir dua pertiga dari keseluruhan penduduk yang berusia 5 tahun ke atas
70
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
hanya berpendidikan SD tamat atau di bawahnya. Mengingat bahwa sarana pendidikan di tingkat SD dan SLTP diwilayah ini pada dasarnya sudah tersedia relatif lama, kondisi ini cukup memprihatinkan. Kesadaran orang tua untuk mendorong anaknya untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi tampaknya masih sangat perlu ditingkatkan. Tabel 4.3 Penduduk usia 5 tahun keatas berdasarkan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan di tiga desa penelitian, tahun 2007
Jenjang Pendidikan
Jumlah penduduk
Persentase (%)
Belum/tidak sekolah Belum/tidak tamat SD SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat
36 95
9,9 26,1
98 67 67
27 18,5 18,5
TOTAL
363
100
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007.
Kurangnya minat penduduk untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi antara lain dapat disebabkan karena jenis pekerjaan umumnya penduduk yang berdomisili di wilayah ini tidak memerlukan kualifikasi pendidikan yang tinggi. Sebagaimana umumnya masyarakat yang hidup di wilayah kepulauan di Indonesia, sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah sebagai nelayan atau bertani. Banyak orang tua yang telah membiasakan anaknya yang masih kecil untuk ikut melaut atau berkebun. Beberapa jenis pekerjaan pertanian, seperti memetik cengkeh banyak dilakukan oleh anak-anak berusia sekolah di wilayah ini. Seorang narasumber yang berprofesi sebagai guru SD mengatakan bahwa beberapa muridnya tidak masuk sekolah atau tidak melanjutkan sekolah karena lebih tertarik untuk mencari uang daripada sekolah. Ketika penelitian Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
71
berlangsung, ditemui beberapa anak-anak berusia 10-16 tahun yang putus sekolah karena memilih untuk bekerja. Kebijakan nasional tentang wajib belajar selama 9 tahun tampaknya masih belum terlaksana sepenuhnya di wilayah ini. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk di wilayah Kepulauan Hinako juga dapat dipengaruhi oleh mobilitas penduduk yang berpendidikan tinggi ke luar wilayah. Belum tersedianya sarana pendidikan ditingkat SLTA telah memaksa penduduk untuk pindah ke wilayah lain untuk melanjutkan pendidikan. Selain itu keterbatasan lapangan kerja yang tersedia telah membuat penduduk yang berpendidikan tinggi meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan. Dengan demikian hanya mereka yang berpendidikan relatif rendah saja yang tetap tinggal di desa. Mobilitas keluar penduduk usia dewasa yang berpendidikan tinggi mungkin salah satu penyebab rendahnya tingkat pendidikan penduduk kelompok umur dewasa di wilayah ini. Tabel 4.4 yang menunjukkan kondisi pendidikan penduduk di ketiga desa penelitian berdasarkan kelompok umur. Pada kelompok usia 40 tahun ke atas, proporsi mereka yang mengaku tidak pernah sekolah cukup tinggi, bahkan lebih dari separuh penduduk berusia 60 tahun keatas mengaku tidak pernah sekolah. Kondisi yang lebih baik ditemui pada penduduk yang berumur 29 tahun kebawah, dimana hampir semua mengaku pernah bersekolah, meskipun tidak sedikit diantara mereka yang berusia 2029 tahun hanya tamat SD, bahkan beberapa diantara mereka tidak tamat SD.
72
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
Tabel 4.4 Proporsi penduduk usia 5 tahun keatas berdasarkan kelompok umur dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Pulau Hinako Kelompok Umur 5-9 tahun 10-14 tahun 15-19 tahun 20-24 tahun 25-29 tahun 30-34 tahun 35-39 tahun 40-44 tahun 45-49 tahun 50-54 tahun 55-59 tahun 60 + tahun
Blm/ tdk Sek 8,3 1,7 0 0 0 4,2 3,6 13 21,1 22,2 11,1 54,5
Jenjang pendidikan terakhir yang diperoleh Blm/ tdk SD SLTP SLTA tamat Tamat Tamat tamat + TOTAL SD 91,7 0 0 0 100 54,2 44,1 0 0 100 2,6 26,3 60,5 10,5 100 5,6 22,2 33,3 38,9 100 3,2 22,6 16,1 58,1 100 8,3 33,3 29,2 58,1 100 7,1 21,4 17,9 50,0 100 21,7 26,1 17,4 21,7 100 21,1 31,6 15,8 10,5 100 22,2 37 14,8 3,7 100 18,2 15,2 9,1 3,0 100 26,2 27,0 18,5 18,5 100
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, 2007.
Berbeda dengan mereka yang telah berusia dewasa, kondisi pendidikan penduduk remaja, yaitu mereka yang berusia 15-19 tahun relatif cukup baik. Hampir dua pertiga diantara mereka mengaku telah tamat SLTP atau SLTA. Hal ini tentu saja merupakan hal yang cukup menggembirakan dan sekaligus merupakan tantangan bagi pemerintah setempat untuk menyertakan kelompok usia muda yang berpendidikan relatif tinggi ini dalam program pembangunan. Bila hal ini tidak dilakukan, tidak mustahil bila mereka akan ikut meninggalkan desa. Selain pendidikan formal, tingkat ketrampilan penduduk juga dapat dijadikan sebagai indikator kualitas penduduk disuatu wilayah. Pendidikan ketrampilan biasanya tidak diperoleh dari pendidikan formal, namun dapat berupa pelatihan atau pengajaran dilakukan secara turun-temurun. Salah satu ketrampilan yang dimiliki oleh hampir semua penduduk di Pulau Hinako adalah membuat kopra dan Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
73
ikan kering dengan cara dijemur atau diasapi. Menurut pengakuan beberapa penduduk, ketrampilan membuat kopra dan mengeringkan ikan ini diperoleh secara turun temurun atau dengan cara melihat orang lain melakukannya. Sebagai salah satu wilayah penghasil kopra terbesar di Kecamatan Sirombu, kegiatan membuat kopra ini telah berkembang cukup lama. Namun ketrampilan membuat ikan kering tampaknya masih perlu dikembangkan. Meskipun menurut informasi bahwa sebagian besar masyarakat nelayan di wilayah ini mahir membuat ikan asin atau ikan asap, kegiatan ini hanya dilakukan untuk konsumsi keluarga. Mereka lebih suka menjual ikan dalam keadaan segar daripada menjual ikan kering asin.
4.3. Kegiatan Ekonomi Penduduk Deskripsi mengenai kegiatan ekonomi penduduk di lokasi COREMAP P. Hinako berdasarkan pada hasil survei dan hasil wawancara dengan narasumber. Data mengenai kegiatan ekonomi yang dikumpulkan melalui survei rumah tangga dapat dilihat secara rinci menurut jenis pekerjaan dan lapangan pekerjaan. Dalam studi ini pekerjaan didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa, sesuai dengan pengakuan responden. Adapun uraian tentang pekerjaan meliputi pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan yang dikategorikan menurut lapangan dan jenis pekerjaan. Sebelum uraian tentang pekerjaan, akan dibahas terlebih dahulu kegiatan utama yang dilakukan penduduk di ketiga desa di P. Hinako yang menjadi lokasi penelitian.
74
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
Diagram 4.1 Distribusi Penduduk Usia Kerja Menurut Kegiatan Ekonomi
Mengurus RT , 43, 12%
Sekolah, 114, 32%
Lainnya, 5, 1%
Mencari kerja, 20, 6%
Bekerja, 148, 41%
Menganggur , 28, 8%
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, 2007.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penduduk di tiga desa lokasi penelitian, yaitu Sinene’eto, Hinako dan Halamona yang termasuk dalam kategori bekerja masih terbatas. Dari 358 penduduk usia produktif (umur 10 sampai dengan 64 tahun) yang mempunyai kegiatan utama bekerja hanya meliputi 148 orang atau kurang dari separuhnya (41 persen). Adapun penduduk yang masih sekolah dan penduduk yang berstatus sebagai ibu rumah tangga masing-masing 32 persen dan 12 persen, sisanya adalah merupakan penduduk yang menganggur (tidak mencari kerja) sekitar 8 persen serta pencari kerja sebanyak 6 persen. Relatif tingginya penduduk yang tidak mencari kerja karena mereka pada umumnya masih berumur muda dan berpendidikan rendah. Mereka masih menunggu beberapa tahun untuk dapat ikut melaut.
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
75
- Pekerjaan Utama dan Tambahan Pekerjaan utama adalah pekerjaan yang menurut pengakuan responden paling banyak menyita waktu, sedangkan pekerjaan tambahan adalah pekerjaan yang dilakukan oleh responden di luar pekerjaan utama. Walaupun P. Hinako merupakan wilayah kepulauan dengan kekayaan laut yang berlimpah, namun mayoritas penduduknya tidak bekerja di sektor perikanan. Dari sekitar 148 orang yang bekerja, mayoritas (48 persen) bekerja sebagai petani kelapa dan cengkeh dan yang bekerja sebagai nelayan sekitar 22 persen. Sisanya bekerja sebagai bekerja di sektor jasa sebagai karyawan seperti guru dan staf desa, pedagang, penjahit dan ABK kapal transportasi. Diagram 4.2. Distribusi Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Jenis Pekerjaan Utama
Peternak, 13, 9%
Lainnya, 4, 3%
Karyaw an, 12, 8%
Nelayan , 33, 22% ABK, 4, 3%
Penjahit, 3, 2% Pedagang, 7, 5% Petani, 72, 48%
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, 2007.
76
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
•
Petani
Seperti telah dibahas pada BAB II, selain sumber daya laut, potensi sumber daya alam yang dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi penduduk Kep. Hinako adalah sumber daya darat berupa perkebunan kelapa dan cengkeh. Perkebunan kelapa terdapat hampir di semua pulau-pulau yang ada di Kep Hinako, seperti P Bawah dan P. Langu terutama di pulau-pulau yang tidak ada penduduknya. Sedangkan perkebunan cengkeh hanya dapat diusahakan di P Hinako. Dengan kekayaan sumber daya darat ini Kep. Hinako terkenal sebagai daerah penghasil kopra di Kabupaten Nias. Hasil kopra dari Pulau Hinako dikirim ke pabrik pembuatan minyak kelapa di Sirombu. Selain itu, kopra juga dikirim ke luar P Nias dengan diangkut oleh kapal barang yang datang setiap bulan sekali. Penduduk desa pada tahuan 1990-an masih bisa menikmati hasil kopra yang berlimpah. Dengan hasil kopra yang berlimpah tersebut pendapatan penduduk cukup tinggi yang terlihat dari kehidupan penduduk yang cukup sejahtera. Sisa-sisa kehidupan penduduk yang cukup sejahtera tersebut antara lain masih terlihat dari bangunan rumah yang cukup besar dan terbuat kayu berkualitas.
Kebun kelapa di Hinako
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
77
Berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya darat, ada dua jenis komoditi yang dihasilkan, yaitu kelapa dan cengkeh. Dalam mengelola usaha pertanian, khususnya kelapa secara umum penduduk Kep Hinako tidak melakukan pengelolaan kebun kelapa sendiri, tetapi pengelolaan tanaman kelapa dilakukan oleh pekerja upahan yang umumnya berasal dari luar Kep. Hinako. Terdapat pandangan masyarakat bahwa mengerjakan pemeliharaan dan pemetikan kelapa merupakan pekerjaan yang ‘berstatus rendah’ meskipun dilakukan di kebunnya sendiri. Hal ini terkait dengan sejarah penduduk Kep. Hinako yang terkenal sebagai tuan tanah, pemilik perkebunan kelapa di Kabupaten Nias. Sebagian masyarakat Kabupaten Nias memberikan julukan Kep. Hinako sebagai “Texasnya Nias” karena terkenal dengan penduduknya yang kaya sebagai pemilik tanah (tuan tanah) dan mempekerjakan orang lain untuk mengusahakan usaha pertaniannya. Dengan adanya julukan tersebut sebagian besar masyarakat Kep. Hinako tidak ada yang mau mengelola dan mengerjakan sendiri lahan perkebunannya. Bagi yang tidak mempunyai kebun, juga kurang ada minat untuk bekerja di kebun kelapa milik orang lain. Mereka lebih senang bekerja serabutan, seperti membuat perahu, memperbaiki rumah, tukang kayu dari pada bekerja di kebun kelapa. Para pekerja pengelola perkebunan kelapa milik penduduk Kep. Hinako pada umumnya berasal dari daratan P. Nias, diantaranya penduduk dari Kecamatan Manrehe. Dalam melakukan pemeliharaan, pemetikan sampai memprosesnya menjadi kopra para pekerja ini mendapat upah dengan sistim bagi hasil dengan perbandingan 2 : 1, dua bagian untuk pemilik tanaman kelapa dan satu bagian untuk tenaga pemetik. Para pemetik kelapa ini biasanya tinggal sekitar dua sampai tiga bulan di Kep. Hinako. Paska terjadinya gempa tahun 2004, para pekerja pemetik kelapa dari luar Kep. Hinako mulai berkurang jumlahnya. Para pekerja tersebut tidak tertarik bekerja di Kep Hinako karena lebih senang bekerja di daratan P Nias sebagai buruh bangunan, tukang kayu, dan jasa angkutan. Pembangunan (rekustruksi) paska gempa di Pulau Nias memerlukan tenaga kerja lokal di sektor-sektor tersebut. Selain lebih
78
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
senang bekerja di daratan para pekerja pemetik kelapa ini juga enggan bekerja di Kep. Hinako, karena takut terjadi tsunami. Meskipun sistim upah sudah dirubah, yang pada awalnya 2:1, dua untuk pemilik dan satu untuk pemetik, menjadi 1 berbanding 1, namun para pekerja pemetik kelapa tetap enggan bekerja di Kep. Hinako. Sampai penelitian ini dilakukan (tahun 2007), secara umum hanya sebagian kecil petani kelapa di Kep. Hinako yang melakukan sendiri pengelolaan usaha pertaniannya. Meskipun tenaga kerja upahan sulit didapatkan, hanya sebagian kecil petani Kep. Hinako yang mengerjakan sendiri usaha perkebunan kelapanya sendiri. Berbeda dengan pengelolaan kebun kelapa yang umumnya tidak dikerjakan sendiri oleh penduduk, pekerjaan pemeliharaan dan pemetikan cengkeh dilakukan sendiri oleh penduduk. Tanaman cengkeh merupakan tanaman yang baru diusahakan dalam dua dasa warsa terakhir (dimulai sekitar tahun 1990an) oleh penduduk setempat. Sifat pekerjaan yang hampir sama, yaitu memetik/memanen hasil pertanian, tetapi kalau memanen cengkeh tidak dipandang sebagai pekerjaan yang ‘berstatus rendah’ oleh masyarakat Kep. Hinako.
Cengkeh dari perkebunan di P. Hinako
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
79
•
Nelayan perikanan tangkap
Pekerjaan sebagai nelayan yang dilakukan oleh penduduk di tiga desa penelitian masih dapat dikategorikan sebagai nelayan tradisional. Hal tersebut dapat teridentifikasi dari alat yang digunakan untuk penangkapan ikan yang masih sederhana dan terbatas variasinya. Pancing merupakan alat penangkap ikan utama dan digunakan oleh mayoritas nelayan di tiga desa. Secara umum pemanfaatan sumber daya laut di ketiga desa penelitian menunjukkan persamaan dilihat dari jenis sarana dan alat tangkap yang dipakai. Para nelayan pada umumnya menggunakan perahu dayung dengan ukuran body antara 2,8 meter sampai dengan 5 meter dan mesin Honda 5,5 PK atau Robin bermesin 7,5 PK. Dari sekitar 33 nelayan lebih dari separohnya menggunakan perahu motor dalam menangkap ikan, sisanya menggunakan perahu bermotor. Tidak semua nelayan di Kep. Hinako mempunyai perahu sebagai sarana tangkapnya. Nelayan yang tidak mempunyai perahu umumnya menumpang dengan nelayan yang mempunyai perahu. Pembagian hasil antara si pemilik dan yang menumpang adalah 2 berbanding 1. Dua bagian untuk pemilik perahu dan satu bagian untuk yang menumpang. Sedangkan biaya produksi berupa bahan bakar dan minyak tanah (untuk penerangan lampu jika menangkap ikan pada malam hari) dibagi dua antara pemilik dan yang menumpang.
Alat tangkap: pancing dan jaring
80
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
Dengan armada tangkap dan alat tangkap yang masih berteknologi sederhana tersebut, wilayah tangkap dan waktu tangkap para nelayan sangat terbatas. Wilayah tangkap umumnya di perairan sekitar Kep. Hinako dengan jarak sekitar 5 mil sampai dengan 10 mil. Demikian pula dengan waktu tangkap, sebagian besar nelayan melaut dengan pola pulang hari (tidak bermalam). Terdapat dua pola penangkapan, yaitu memancing siang hari dan memancing malam hari. Memancing pada siang hari umumnya dari jam 4 atau 5 pagi sampai dengan jam 14.00 siang. Sedangkan memancing malam hari dimulai dari jam 20.00 sampai dengan jam 7.00 pagi. Mengingat alat dan sarana tangkap yang masih sederhana tersebut umumnya nelayan melaut secara individual (dalam satu perahu hanya ada satu nelayan). Meskipun memancing dilakukan secara sendiri, tetapi dilaut mereka memancing secara berkelompok supaya dapat saling membantu jika ada kesulitan atau gangguan keamanan dari nelayan dari luar. Target tangkapan nelayan di Kep. Hinako pada umumnya adalah tenggiri, ikan kerapu, gutilah, ikan muk segar. Selain target tangkapan berbagai jenis ikan yang dijual dalam bentuk segar, terdapat sebagian kecil nelayan yang umumnya nelayan yang masih muda mencari lobster dan tripang. Dalam menangkap lobster umumnya mereka melaut secara berkelompok antara 3 sampai 7 orang. Masing-masing orang bekerja sesuai dengan tugasnya masingmasing. Satu orang bertugas sebagai pengemudi perahu dan yang lainnya sebagai penyelam. Alat tangkap yang dipakai untuk menangkap lobster juga masih sederhana yaitu kaca molo. Para penyelam tersebut menyelam pada kedalaman sekitar 3 samapi 5 meter secara alamiah tanpa alat bantu kompresor. Lokasi penyelaman adalah di perairan sekitar P. Hinako, terutama di gosong-gosong. Tempat-tempat yang strategis untuk mencari lobster adalah di perairan yang keruh dan berombak.
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
81
Lobster tangkapan nelayan Hinako
Teripang
Pembagian hasil tangkapan umumnya dilakukan dengan sistim bagi hasil. Hasil penjualan lobster dibagi tiga, satu bagian untuk pemilik perahu (sudah termasuk BBM), satu bagian untuk pengemudi dan satu bagian untuk penyelam. Satu bagian untuk penyelam dibagi lagi sesuai dengan jumlah penyelam yang tergabung dalam kelompok tersebut. Jika terdapat tiga penyelam, maka satu bagian tersebut dibagi untuk tiga penyelam.
82
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
•
Peternak Babi
Selain bertani dan menjadi nelayan, dalam rangka memperoleh pendapatan untuk keluarga sebagian penduduk Kep. Hinako bekerja sebagai peternak babi. Dari hasil survei terungkap bahwa dari sekitar 149 penduduk yang bekerja 9 persen diantaranya menjadi peternak babi. Usaha ternak babi ini pada umumnya merupakan usaha keluarga. Rata-rata setiap rumah tangga yang non-muslim mempunyai 3 sampai 4 ekor babi. Sebagian rumah tangga, memelihara babi untuk tabungan keluarga yang dijual ketika memerlukan uang tunai. Sedangkan rumah tangga lainnya memelihara babi untuk mendapatkan penghasilan. Umumnya babi dijual setelah berumur empat bulan. Bagi rumah tangga yang memelihara babi untuk tabungan umumnya menjual babinya pada tahun ajaran baru sekolah. Hasil penjualan babi digunakan untuk keperluan membayar sekolah dan membeli seragam dan buku-buku bagi anak sekolah. Selain pada saat tahun ajaran baru, penjualan babi juga dilakukan pada bulan Desember untuk biaya merayakan pesta natal.
•
Pedagang (usaha warung sembako dan kedai kopi)
Hasil survei menggambarkan sekitar lima persen penduduk yang bekerja menjadi pedagang atau usaha warungan. Skala usaha warungan yang ada di P. Hinako cukup bervariasi, mulai dari toko yang lengkap menyediakan berbagai kebutuhan sehari-hari (sembako), bahan bangunan, peralatan sekolah (seragam dan buku), pakaian, peralatan rumah tangga dan alat tangkap sampai pada warung-warung kecil yang menjual minuman, makanan kecil dan jajanan anak dengan jumlah dan jenis dagangan yang terbatas. Seperti usaha pertanian dan peternakan, usaha perdagangan ini merupakan usaha bersama dari beberapa anggota keluarga.
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
83
•
Karyawan
Penduduk yang dikategorikan bekerja sebagai karyawan diantaranya adalah guru, baik guru negeri maupun honor dan guru bantu, petugas kesehatan (perawat), staf desa dan karyawan sebuah perusahaan pembuat virgin coconut oil (VCO) yang berlokasi di Desa Hinako. Jumlah penduduk yang bekerja sebagai karyawan di Desa Hinako relatif kecil karena terbatasnya jumlah kesempatan kerja di sektor ini. Hasil survei menunjukkan sekitar 8 persen dari 148 penduduk Hinako yang bekerja. - Pekerjaan Tambahan Dari sekitar 148 penduduk yang bekerja sekitar 29 orang mempunyai pekerjaan tambahan. Penduduk yang mempunyai pekerjaan tambahan pada umumnya bekerja di sektor perikanan tangkap dan pertanian tanaman keras. Berdasarkan wawancara dengan informan kunci dapat diketahui bahwa sebagian penduduk yang mempunyai pekerjaan utama sebagai petani kelapa mempunyai pekerjaan tambahan menangkap ikan. Sebaliknya nelayan, selain menangkap ikan juga mempunyai kebun kelapa atau cengekeh yang menghasilkan pendapatan pada setiap kali panen.
Membuat perahu
84
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
Selain lapangan pekerjaan pertanian dan perikanan, sektor jasa juga merupakan lapangan pekerjaan sebagian penduduk P. Hinako. Penduduk yang bekerja di sektor ini umumnya menjadi tukang kayu, bangunan, membuat perahu, pedagang warungan dan ada pula yang menjadi tenaga guru honorer di sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama yang ada di desa. Sementara itu penduduk yang mempunyai pekerjaan tambahan di sektor angkutan umumnya bekerja sebagai pembantu ABK dan buruh angkut barang di pelabuhan. Diagram 4.3. Distribusi Penduduk Yang Mempunyai Pekerjaan Tambahan Berdasarkan Lapangan Pekerjaan
Perikanan tangkap, 7, 24%
Jasa, 8, 27%
Angkutan, 4, 14% Perdagangan, 2, 7%
Pertanian tanaman keras, 2, 7%
Pertanian tanaman keras, 6, 21%
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, 2007.
4.4. Kesejahteraan Deskripsi mengenai tingkat kesejahteraan penduduk P. Hinako berdasarkan pada data kuantitatif yang diperoleh melalui survei dan data kualitatif yang didapat dari wawncara dengan beberapa informan dan pengamatan di lokasi penelitian. Dalam kajian ini tingkat kesejahteraan penduduk antara lain dapat dilihat dari kepemilikan asset rumah tangga baik asset produksi maupun asset non-produksi Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
85
dan kondisi tempat tinggal. Data tentang aset produksi dan non produksi diperoleh dari survei, sedangkan data mengenai kondisi tempat tinggal berasal dari wawancara dan pengamatan di lapangan. 4.4.1. Kepemilikan asset produksi Meskipun potensi sumber daya laut di Kep. Hinako cukup berlimpah, tetapi mayoritas penduduknya tidak bekerja di sektor perikanan. Oleh karena itu kepemilikan asset produksi yang berkaitan dengan perikanan tangkap relatif rendah jika dibandingkan dengan jumlah rumah tangga keseluruhan. Jumlah perahu motor yang ada di ketiga desa lokasi penelitian berdasarkan hasil survei terhadap 92 rumah tangga adalah 11 unit. Sedangkan perahu dayungnya sebanyak 10 unit. Namun jika jumlah perahu motor dan perahu dayung ini dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang mempunyai pendapatan dari usaha kenelayanan yang jumlahnya sekitar 20 rumah tangga maka hampir semuanya memiliki perahu baik perahu motor maupun perahu dayung. Perahu motor tempel yang dimiliki oleh masyarakat P. Hinako umumnya berukuran bodi antara 2,7 meter sampai 5 meter dengan mesin berkekuatan 5,5 PK (mesin honda) dan 7,5 PK (mesin robin). Harga perahu motor bermesin Honda 5,5 PK sekitar Rp 4.000.000. dan yang bermesin Robin sebesar Rp 3.500.000.
Perahu Nelayan Hinako
86
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
Memperhatikan kepemilikan alat produksi perikanan di ketiga lokasi penelitian, tampak bahwa nelayan hanya mengoperasikan alat tangkap yang sangat sederhana dan ramah lingkungan. Dengan alat semacam itu mestinya sumber daya laut di perairan mereka tidak pernah dalam kondisi tangkap lebih/over fishing, namun apa yang dirasakan lima tahun terakhir adalah semakin sedikit ikan karang yang bisa ditangkap dan itupun membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan masa-masa lalu. Asset produksi lainnya yang dimiliki oleh masyarakat Kep. Hinako adalah kebun kelapa. Dalam menilai kepemilikan kebun kelapa masyarakat Kep. Hinako tidak menggunakan satuan luas kebun, melainkan memakai jumlah batang pohon kelapa yang dimiliki. Dari hasil survei terungkap bahwa dari 92 rumah tangga yang disurvei, terdapat sekitar 64 persen rumah tangga yang memiliki pohon kelapa. Jumlah pohon kelapa yang dimiliki oleh rumah tangga tersebut cukup bervariasi, berkisar dari kurang dari 100 batang sampa1 lebih dari 300 batang. Dari sekitar 64 rumah tangga yang memiliki pohon kelapa, sekitar 60 persen mempunyai pohon kelapa kurang dari 200 batang. Sementara itu rumah tangga yang memiliki pohon kelapa antara 200 sampai dengan 300 sekitar 27.5 persen dan yang memiliki pohon kelapa di atas 300 batang sekitar 9 persen. Jumlah pohon kelapa yang dimiliki oleh masing-masing rumah tangga mengalami penurunan dari tahun ke tahun karena adanya pewarisan dari orang tua ke anak. Kebun kelapa yang semula dimiliki oleh satu rumah tangga kemudian diwariskan kepada anak-anaknya, sehingga masing-masing anak memiliki kebun kelapa dengan jumlah pohon yang semakin sedikit jika dibandingkan dengan kebun kelapa milik orang tuanya (Diagram 4.4).
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
87
Diagram 4.4 Distribusi Rumah Tangga Yang Memiliki Pohon Kelapa Berdasarkan Pengelompokan Jumlah Pohon Kelapa yang dimiliki. 35
31.3
31.8 27.5
30 25 20 15
9.4
10 5 0 Kurang dari 100 batang
100- 199 batang
200 - 299 batang
Lebih dari 300 batang
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, 2007.
Selain kebun kelapa, asset produksi lainnya yang juga dimiliki oleh sebagian penduduk P Hinako adalah ternak. Jenis ternak yang dikembangkan oleh penduduk P. Hinako utamanya adalah babi. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, hampir setiap rumah tangga non-muslim memelihara babi. Pemeliharaan babi ini ada yang bertujan untuk diternakkan dan hasil penjualannya diharapkan menjadi sumber pendapatan keluarga. Namun ada juga rumah tangga yang memelihara babi sebagai tabungan keluarga yang sewaktuwaktu dijual untuk mendapatkan uang tunai. Selain itu terdapat rumah tangga yang memelihara babi untuk dipotong pada acara adat atau perayaan keagamaan. Dalam survei ini kepemilikan ternak hanya ditanyakan pada rumah tangga yang memiliki ternak untuk tujuan dijual atau digunakan sebagai tabungan. Dari survei terungkap bahwa rumah tangga yang
88
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
memiliki ternak babi untuk tujuan dijual dan digunakan sebagai tabungan (asset produksi) jumlahnya mencapai 22 keluarga. Jumlah babi yang dimiliki cukup bervariasi, dari satu ekor sampai 6 ekor. Dari 22 rumah tangga tersebut sebagian besar mempunyai babi dua dan tiga ekor.
4.4.2. Kepemilikan Asset Non -produksi Asset non-produksi yang dilihat dalam kajian ini diantaranya adalah kepemilikan rumah. Secara umum kemapanan ekonomi sebuah rumah tangga/keluarga dapat dilihat dari rumah yang dimiliki atau dikuasai. Nilai ekonomi rumah cukup bervariasi tergantung dengan ukuran, bahan bangunan dan kondisi bangunan. Data survei menunjukkan bahwa dari 92 rumah tangga yang disurvei, sebagian besar (91 persen) memiliki rumah. Sisanya belum memiliki rumah sendiri dan rumah yang ditempati merupakan rumah kontrakan, numpang atau warisan (Diagram 4.5). Walaupun proporsi rumah tangga yang mempunyai rumah cukup tinggi, namun jika ditelusuri lebih lanjut rumah yang dimiliki umumnya bukan satu unit rumah yang terdiri dari beberapa ruangan sesuai dengan fungsinya, seperti kamar tidur, dapur atau ruang tamu, melainkan bagian rumah yang telah menjadi miliknya karena pewarisan. Pada awalnya satu unit rumah tersebut milik orang tuanya yang diwariskan kepada anak-anaknya. Dalam hal ini masing-masing anak yang telah berumah tangga sama-sama berhak memiliki satu unit rumah tersebut dan mereka tinggal dalam satu rumah dengan saudaranya yang telah berumah tangga.
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
89
Diagram 4.5 Distribusi Rumah Tangga Berdasarkan Kepemilikan Rumah
Warisan, 4, 4% Kontrak, 2, 2% Numpang, 3, 3%
Milik sendiri, 83, 91%
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, 2007.
Jumlah rumah tangga yang memiliki rumah secara bersama-sama dengan keluarga lainnya cukup tinggi. Hasil survei menunjukkan bahwa sekitar 44 persen rumah tangga tinggal dalam satu unit rumah bersama-sama dengan rumah tangga lainnya karena sistim pewarisan rumah dari orang tua ke anak-anaknya. Menarik untuk ditelusuri lebih lanjut bahwa jumlah rumah yang ditempati oleh dua rumah tangga sebesar 12 persen dan rumah yang ditempati oleh tiga rumah tangga meningkat menjadi 13 persen. Jumlah rumah ditempati oleh lebih dari tiga rumah tangga meningkat menjadi 19 persen (Diagram 4.6). Jika kepemilikan rumah dipakai sebagai indikasi tingkat kesejahteraan penduduk, tingginya proporsi rumah yang ditempati oleh lebih dari satu rumah tangga ini mengindikasikan adanya penurunan tingkat kesejahteraan penduduk dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Generasi orang tuanya, satu unit rumah dimiliki dan ditempati oleh satu keluarga inti. Sementara itu generasi anaknya satu rumah dimiliki dan digunakan sebagai tempat tinggal secara bersama-sama oleh beberapa rumah tangga.
90
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
Diagram 4.6 Distribusi Rumah Tangga Berdasarkan Jumlah KK yang Tinggal Dalam Satu Rumah 56 60
50
40 19 30 12
20
13
10
0 Satu KK
Dua KK
Tiga KK
Lebih dari 4 KK
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, 2007.
Rumah warisan yang didiami oleh beberapa KK
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
91
Jenis asset non-produksi yang dimiliki rumah tangga yang juga dikumpulkan dalam survei ini adalah kepemilikan barang-barang elektronik seperti tv, para bola dan vcd player. Nilai ekonomi jenisjenis barang elektronik tersebut relatif tinggi. Oleh karena itu, rumah tangga yang memiliki jenis elektronik tersebut diasumsikan mempunyai tingkat kesejahteran yang lebih baik dari rumah tangga yang tidak memiliki. Dari survei terungkap bahwa kepemilikan barang-barang elektronik oleh masyarakat di P. Hinako relatif rendah. Dari 92 rumah tangga yang disurvei, hanya terdapat 9 rumah tangga yang memiliki tv dan parabola dan sekitar 3 rumah tangga yang mempunyai VCD player. Jenis aset rumah tangga non-produksi yang juga bisa dipakai untuk melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga adalah kendaraan bermotor. Kepemilikan sepeda motor di kalangan masyarakat P. Hinako sangat rendah. Berdasarkan survei hanya ada satu rumah tangga yang mempunyai sepeda motor. Rendahnya kepemilikan sepeda motor ini selain karena ketidakmampuan secara ekonomi untuk membeli sepeda motor juga disebabkan fungsi sepeda motor sebagai alat angkutan yang dianggap kurang penting oleh masyarakat. Luas P. Hinako relatif kecil dan jarak antara desa yang satu dengan yang lain relatif dekat. Transportasi yang selama ini digunakan oleh masyarakat adalah sepeda. Jika membawa barang maka masyarakat akan menggunakan perahu melalui jalur laut/pantai. 4.4.3.
Kondisi Tempat Tinggal
Deskripsi tentang tempat tinggal ini akan difokuskan pada kondisi rumah dan sanitasi lingkungan yang di dalamnya mencakup kondisi fisik rumah (lantai, dinding dan atap) dan jamban keluarga. Selain itu, akan dilihat juga kondisi tempat pembuangan sampah, air bersih sumber penerangan dan bahan bakar yang digunakan rumah tangga. Deskripsi tentang kondisi tempat tinggal ini tidak dikaitkan dengan aspek kesehatan lingkungan tetapi lebih digunakan untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat dari aspek ekonomi.
92
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
Secara umum gambaran mengenai kondisi bangunan rumah penduduk P. Hinako dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama, adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu yang umumnya merupakan rumah adat keluarga. Rumah adat ini adalah peninggalan nenek moyang yang masih dihuni oleh anak keturunannya. Secara umum rumah adat yang sekarang masih ada berukuran besar dan terbuat dari kayu yang berkualitas baik. Bangunan rumah panggung terdiri bangunan utama dan bangunan tambahan yang dijadikan sebagai dapur dan tempat memelihara hewan piaraan yang tempatnya terpisah. Menurut beberapa informan, rumah adat ini merupakan simbol status sosial-ekonomi pemiliknya. Semakin besar bangunan rumah panggungnya semakin tinggi status sosial-ekonominya. Pada kondisi sekarang kepemilikan rumah adat sebagai simbol status sosial ekonomi pemiliknya menjadi bergeser. Hal tersebut dikarenakan satu rumah adat tidak lagi dimiliki dan dihuni oleh satu atau dua keluarga, melainkan dimiliki dan dihuni oleh beberapa keluarga (dua atau lebih dari tiga keluarga). Karena secara ekonomi sebuah keluarga baru tidak mampu memiliki rumah, maka mereka tinggal di rumah panggung bersama-sama dengan saudaranya yang sudah berkeluarga juga. Beberapa keluarga tersebut menghuni bangunan utama, masing-masing keluarga menempati sebuah ruangan – ruangan yang telah diberi sekat. Untuk bangunan dapur, umumnya secara fisik dalam satu tempat, tetapi masing-masing keluarga mempunyai tungku dan alat masak sendiri-sendiri. Oleh karena itu dengan kondisi tersebut sebuah keluarga yang menghuni rumah panggung (adat) yang besar belum tentu mempunyai status sosialekonomi yang tinggi. Mereka tinggal di rumah tersebut karena ketidakmampuan secara ekonomi untuk membangun rumah sendiri. Kelompok ke dua jenis bangunan tempat tinggal yang ada di P. Hinako adalah rumah biasa yang merupakan bangunan baru yang umumnya satu unit rumah terdiri dari kamar tidur, dapur dan raungan lainnya. Kondisi bangunan rumah rata-rata semi permanen. Lantai sebagian besar diplester semen, akan tetapi dijumpai beberapa lantai rumah masih berupa tanah dan terbuat dari papan untuk rumah Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
93
panggung. Kemudian dinding bangunan bagian bawah dari batako yang tidak diplester, sedangkan dinding bangunan bagian atas terbuat dari kayu. Seperti halnya lantai, dinding bangunan ada yang seluruhnya terbuat dari papan kayu. Atap rumah rata-rata dari seng, namun dijumpai beberapa rumah yang atapnya dari daun rumbia. Akibat adanya gempa tahun 2005, masih terlihat sisa bangunan beberapa rumah yang terkena gempa.
Rumah yang terkena gempa
Ukuran rumah-rumah di lokasi penelitian cenderung homogen, yaitu panjang enam sampai dengan tujuh meter dengan lebar lima sampai dengan enam meter. Penataan ruang rumah biasanya ruang tamu di bagian depan, kemudian disebelahnya adalah dua kamar tidur. Bangunan dapur biasanya terpisah sejauh dua sampai tiga meter dengan bangunan induk. Di dapur sekaligus digunakan sebagai ruang makan. Menempel dengan bangunan dapur adalah kamar mandi tanpa WC. Bangunan dapur memiliki luasan sekitar dua belas meter persegi dengan kualitas bangunan yang lebih rendah dari bangunan induk. Seperti telah dikemukakan, bangunan dapur biasanya berdekatan atau menempel bangunan kamar mandi yang tidak dilengkapi jamban. Pada bagian halaman pemisah antara rumah induk dengan bangunan
94
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
dapur biasanya ada sumur. Dengan tata letak semacam itu, sumur/air merupakan bagian yang paling mudah dijangkau dari segala arah aktifitas penghuninya. Tidak semua rumah tangga memiliki sumur, sehingga sumur yang berada di dalam pekarangan orang berubah fungsi menjadi sumur umum. Tempat pembuangan air besar adalah laut. Sebagian besar masyarakat membuang air besar secara langsung dengan berjongkok di pantai. Penerangan lampu umumnya memakai minyak tanah. Di desa ini telah ada listrik tenaga surya yang diperoleh dari bantuan pemerintah daerah Kabupaten Nias. Namun kekuatan listrik tenaga surya ini sangat rendah karena nyala lampu tidak maksimal sehingga tidak bisa digunakan untuk memberikan cahaya lampu baca. Masyarakat hanya menggunakan lampu ini untuk penerangan pada saat tidur. Untuk keperluan penerangan ruangan jika melakukan aktifitas pada malam hari mereka menggunakan lampu tempel atau lampu petromak. Dari uraian mengenai kepemilikan asset rumah tangga (asset produksi dan non-produksi) dan kondisi tempat tinggal penduduk P Hinako dapat diketahui bahwa telah terjadi kecenderungan penurunan asset. Kondisi ini merupakan indikasi penurunan tingkat kesejahteraan sebagian penduduk P. Hinako. 4.4.4. Strategi Keuangan Keluarga Dalam mengkaji mengenai kondisi kesejahteraan penduduk, survei ini juga mengumpulkan informasi berkaitan dengan strategi keuangan keluarga. Informasi yang dikumpulkan antara lain adalah pernahtidaknya suatu keluarga mengalami kesulitan keuangan, jenis kesulitan keuangan dan bagaimana cara mengatasinya. Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas (93 persen) responden di ketiga desa penelitian menyatakan permah mengalami kesulitan keuangan. Lebih lanjut data menunjukkan bahwa sebagian besar dari kesulitan keuangan yang dialami berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pangan (sebesar 57 persen). Sedangkan kesulitan keuangan berkaitan dengan sarana produksi, seperti pengadaan kapal dan alat Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
95
tangkap bagi nelayan dialami oleh sekitar 17 persen rumah tangga. Biaya produksi merupakan salah satu kendala meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Kesulitan berkaitan dengan biaya produksi dialami oleh sekitar 12 persen rumah tangga. Kesulitan biaya produksi ini umumnya dikarenakan mahalnya bahan bakar yang harganya mencapai Rp 9.000 per liter. Diagram 4.7 Distribusi Rumah Tangga Menurut Jenis kesulitan keuangan rumah tangga Biaya Biaya kesehatan, Sarana produksi, pendidikan, 1, 1% 15, 17% 11, 13% Biaya produksi, 10, 12%
Bahan makan, 49, 57%
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, 2007.
Dalam rangka mengatasi permasalahan keuangan, usaha yang paling banyak dilakukan adalah pinjam ke tetangga dan diikuti dengan minta bantuan cuma-cuma kepada keluarga. Menggadaikan barang belum merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat P. Hinako dalam mengatasi masalah kesulitan keuangan.
96
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
Diagram 4.8 Distribusi Rumah Tangga Menurut Cara Mengatasi Kesulitan Keuangan Rumah Tangga Minta bantuan CumaCuma, 22, 26%
Menjual simpanan , 1, 1%
Menggadai an barang, 11, 13%
Pinjam ke boss, 5, 6% Pinjam ke tetangga , 45, 54%
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, 2007.
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
97
98
Bab IV Potret Penduduk Kepulauan Hinako
BAB V PENDAPATAN MASYARAKAT
Deskripsi mengenai pendapatan penduduk ini akan dilihat dari pendapatan rumah tangga dan pendapatan per-kapita. Seperti diketahui bahwa salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan COREMAP di lokasi yang mendapat pinjaman dari ADB adalah kenaikan pendapatan per-kapita sebesar 2 persen per tahun. Pendapatan rumah tangga yang dimaksudkan disini adalah penghasilan dari seluruh anggota rumah tangga yang bekerja dari pekerjaan pokok maupun tambahan. Jumlah pendapatan yang diterima oleh orang yang bekerja adalah pendapatan bersih, sebagai contoh pendapatan dari kegiatan kenelayanan merupakan pendapatan bersih setelah dikurangi biaya produksi seperti ongkos BBM, ransum (gula, teh dan kopi, beras dll. Demikian pula pendapatan yang diterima oleh petani adalah pendapatan setelah dikurangi biaya produksi, seperti pupuk dan obat-obatan. Sementara itu, pendapatan dari sektor perdagangan adalah rata-rata keuntungan yang diperoleh dalam satu bulan. Sedangkan pendapatan per-kapita adalah pendapatan rumah tangga dibagi dengan semua anggota rumah tangga yang bekerja maupun yang tidak bekerja. Uraian mengenai pendapatan penduduk pada bagian ini akan dibagi ke dalam empat bagian. Pertama, uraian mengenai pendapatan rumah tangga dan per kapita dari semua penduduk yang bekerja di berbagai lapangan dan jenis pekerjaan yang ada di lokasi. Untuk mendapatkan gambaran yang rinci mengenai pendapatan rumah tangga, diuraikan juga pendapatan rumah tangga menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga yang akan disajikan pada bagian kedua. Dari uraian ini akan terlihat perbandingan pendapatan rata-rata rumah tangga antar jenis pekerjaan kepala rumah tangga. Ketiga, deskripsi tentang pendapatan penduduk rumah tangga dari kegiatan kenelayanan. Khusus pendapatan dari kegiatan nelayan akan dirinci menurut musim, yang Bab V Pendapatan Masyarakat
99
dibagi ke dalam musim gelombang lemah, musim pancaroba dan musim gelombang kuat. Bagian ke empat merupakan penutup yang berisi deskripsi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat.
5.1. Pendapatan rata-rata rumah tangga dan per-kapita Pendapatan rumah tangga diperoleh dari hasil survei terhadap 92 rumah tangga di di tiga desa di P Hinako, yaitu Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto. Hasil survei menggambarkan bahwa lebih dari dua pertiga rumah tangga di ketiga desa mempunyai pendapatan kurang dari Rp 500.000 per bulan. Proporsi rumah tanggga yang mempunyai pendapatan antara Rp 500.000 sampai dengan Rp 1.000.000 sekitar 13 persen dan yang mempunyai pendapatan diatas Rp 3.000.000 per bulan hanya sekitar 1 persen. Tabel 5.1. Distribusi Rumah Tangga Terpilih di Kep Hinako Menurut Kelompok Pendapatan Kelompok pendapatan < 500.000 500.000 – 999.000 1.000.000 – 1.499.999 1.500.000 – 1.999.999 2.000.000 – 2.499.999 3.000.000 – 3.499.999 N
Frekuensi
Persen
74 13 4 0 0 1 92
80.4 14.1 4.3 0 0 1.1 100
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, COREMAP – LIPI, 2007
100
Bab V Pendapatan Masyarakat
Diagram 5.1 Distribusi Tangga Terpilih di Kep Hinako Menurut Kelompok Pendapatan
>500.000, 19, 21%
<100.000, 15.0, 16%
400.000 499.999, 7, 8%
100.000 199.999, 15, 16%
300.000 399.999, 15, 16%
200.000 299.999, 21, 23%
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, COREMAP – LIPI, 2007
Rumah tangga di P. Hinako yang berpendapatan kurang dari Rp 500.000 jumlahnya mencapai 74 rumah tangga. Besarnya pendapatan rumah tangga kelompok ini cukup bervariasi dengan distribusi terbesar pada kategori pendapatan antara Rp 200.000 – 299.999 yang jumlahnya mencapai sekitar 23 persen. Menarik untuk dicermati bahwa proporsi rumah tangga yang hanya berpendapatan kurang dari Rp 100.000 jumlahnya cukup besar, yaitu 16 persen. Demikian pula dengan rumah tangga yang berpendapatan antara Rp 100.000 – Rp 199.999 jumlahnya juga sekitar 16 persen (Diagram 5.1). Gambaran tersebut mencerminkan bahwa rumah tangga di desa-desa P. Hinako mempunyai pendapatan yang rendah dan termasuk ke dalam kategori miskin. Sebanyak 16 persen rumah tangga di pulau ini berpendapatan lebih rendah dari pendapatan per-kapita yang
Bab V Pendapatan Masyarakat
101
ditetapkan sebagai garis kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Nias1. Untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai pendapatan masyarakat, maka dalam analisa mengenai pendapatan juga dikemukakan rata-rata pendapatan rumah tangga, median dan pendapatan minimum dan maksimum (Tabel 5.2). Penghitungan nilai median ini untuk mengetahui distribusi pendapatan rumah tangga yang lebih mendekati kenyataan. Penghitungan median diperlukan untuk meminimalisir/meminimumkan pengaruh pendapatan yang relatif ekstrim, seperti pendapatan yang sangat tinggi atau yang sangat rendah yang hanya dimiliki oleh beberapa rumah tangga saja. Tabel 5.2. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep Hinako) Tahun 2007 Pendapatan
Jumlah
Per-kapita Rata-rata rumah tangga Median Minimum pendapatan RT Maksimum pendapatan RT
97.300 366.270 264.580 4.166 3.000.000
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, COREMAP – LIPI, 2007
Dari tabel 5.2. dapat diketahui bahwa pendapatan rata-rata rumah tangga per bulan di desa lokasi penelitian sebesar Rp.366.270 per bulan. Nilai pendapatan rata-rata rumah tangga ini lebih tinggi dari pada nilai median (Rp 264.580) dengan selisih sekitar Rp 101.690. Dari nilai median ini dapat diketahui bahwa sebagian besar rumah 1
Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) garis kemiskinan untuk Provinsi Sumater Utara adalah pendapatan per-kapita per bulan sebesar Rp 122.615 dan untuk Kabupaten Nias sebesar Rp 108.535 (BPS, 2004).
102
Bab V Pendapatan Masyarakat
tangga di P Hinako mempunyai mendapatan sekitar Rp 260.000. Dengan demikian nilai median ini lebih mendekati gambaran pendapatan rumah tangga di P. Hinako. Data statistik pendapatan pada tabel di atas juga memperlihatkan adanya perbedaan yang cukup signifikan antara pendapatan minimum dan maksimum. Pendapatan rumah tangga terendah sebesar Rp 4.100, di lain pihak terdapat rumah tangga yang hanya mempunyai pendapatan sebesar Rp. 3.000.000. Pendapatan yang hanya sekitar Rp 4.000 ini tentu saja sangat kecil, hanya cukup untuk membeli satu kilogram beras. Pendapatan maksimum rumah tangga yang mencapai sekitar Rp 3.000.000 hanya dimiliki oleh satu rumah tangga (responden). Jika ditelusuri lebih lanjut, rumah tangga tersebut adalah pegawai negeri (guru) yang juga mempunyai toko yang menyediakan kebutuhan sehari-hari (sembako). Pendapatan per-kapita penduduk di tiga desa lokasi COREMAP yang merupakan pendapatan total dari seluruh penduduk yang bekerja dibagi dengan jumlah penduduk sebesar Rp 97. 300. Nilai pendapatan per - kapita ini lebih rendah dari nilai garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS. Menurut data dan informasi mengenai kemiskinan yang dikelurakan BPS, minimal pengelauaran per-kapita per bulan sebesar Rp 108.535. Pendapatan per-kapita di tiga desa lokasi COREMAP di P Hinako ini sangat rendah. Terlebih jika dibandingkan dengan harga sembilan kebutuhan pokok yang relatif tinggi di daerah ini. Sebagai gambaran harga beras kualitas sedang di Gunung Sitoli (ibukota Kabupaten Nias) sebesar Rp 7.000, sesudah sampai di Hinako menjadi Rp 9.000. Demikian pula dengan harga gula pasir di Gunung Sitoli sebesar Rp 7.000, sesudah sampai di P Hinako menjadi Rp 8.000. Tingginya harga sembako di wilayah ini disebabkan ongkos transportasi yang cukup mahal dan terbatasnya sarana transportasi umum yang ada.
Bab V Pendapatan Masyarakat
103
5.2. Pendapatan Rumah Tangga Menurut Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan penduduk. Hasil survei pendapatan rumah tangga di tiga desa yang ada di P Hinako bersumber dari 7 jenis pekerjaan, yaitu nelayan, ABK. Petani, pedagang/warungan, karyawan (termasuk PNS), peternak dan sumber dari pekerjaan lainnya. Dilihat menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga, di ketiga desa penelitian sebagian besar pendapatan rumah tangga bersumber dari pertanian di mana terdapat sekitar 52 rumah tangga kepala rumah tangganya bekerja sebagai petani. Perikanan merupakan sumber pendapatan kedua terbesar dan jasa menempati urutan ketiga. Jumlah rumah tangga yang mempunyai sumber pendapatan dari perikanan sebesar 20 dan yang bersumber dari jasa sekitar 11 rumah tangga. Gambaran mengenai pendapatan rata-rata rumah tangga menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Pendapatan Rumah Tangga Menurut Jenis Pekerjaan, Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep. Hinako), 2007 No 1 2 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Pekerjaan KRT Guru, karyawan Nelayan pancing Nelayan lobster ABK Lainnya* Pedagang/waru ngan Peternak babi Petani Jumlah
Pendapatan N Rata-rata 806.428 454.824
Median 600.000 373.333
Minimum 150.000 50.000
Maksimum 3.000.000 1.270.000
433.333 403.333 417.291 296.250
433.333 366.666 418.750 225.833
433.333 300.000 101.666 116.666
433.333 543.333 730.000 616.666
285.416 201.141 366.274
285.416 178.750 264.600
212.500 4.166 4.166
358.333 613.333 3.000.000
7 19 1 3 4 4 2 52 92
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, 2007. Catatan: Lainnya, termasuk diantaranya kerja serabutan, tukang bangunan, bengkel sepeda dll.
104
Bab V Pendapatan Masyarakat
Tabel 5.3. menggambarkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga yang tertinggi bersumber dari jenis pekerjaan sebagai karyawan, diikuti oleh nelayan dan pekerjaan lainnya. Terdapat 7 rumah tangga yang pendapatanya bersumber dari pekerjaan sebagai karyawan. Termasuk dalam jenis pekerjaan sebagai karyawan di P Hinako dalam hal ini adalah guru, baik guru negeri maupun guru bantu dan guru honor. Pendapatan guru di P Hinako cukup bervariasi tergantung statusnya. Guru PNS bisa mendapatkan gaji mencapai Rp 2.000.000 per bulan dan guru bantu sekitar Rp 1.000.000. Sedangkan guru honor hanya mendapatkan gaji sekitar Rp 150.000. Guru honor ini merupakan pekerjaan sukarela karena sebuah SMP swasta di P Hinako kekurangan tenaga pengajar. Biasanya yang menjadi guru honor adalah pemuda luluasan SLTA yang sudah tidak melanjutkan sekolah lagi. Rata-rata pendapatan terbesar kedua berasal dari jenis pekerjaan sebagai nelayan dengan jumlah pendapatan sebesar Rp 472.800. Nilai pendapatan rata-rata dari pekerjaan sebagai nelayan ini masih lebih tinggi dari pendapatan rata-rata rumah tangga penduduk P. Hinako yang hanya mencapai Rp 366.200. Relatif rendahnya pendapatan nelayan ini kemungkinan terkait dengan armada dan alat tangkap yang dipakai nelayan yang tergolong masih sederhana (lihat Bab 4.3). Pendapatan terbesar ketiga adalah rumah tangga yang sumber pendapatannya berasal dari jenis pekerjaan yang termasuk dalam kategori lainnya. Jenis pekerjaan yang masuk dalam kategori ini antara lain adalah tukang bangunan, sopir, tukang jahit dan bengkel. Rumah tangga yang bersumber dari pekerjaan-pekerjaan tersebut mempunyai pendapatan rata-rata sekitar Rp Rp 417.200 per bulan. Sebagai gambaran upah tukang kayu atau bangunan dalam satu hari sekitar Rp 20.000. Dari 92 rumah tangga terdapat 4 rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di jenis pekerjaan tersebut. Usaha perdagangan atau warungan memberikan kontribusi pendapatan rumah tangga penduduk P Hinako sekitar Rp 296.250, ada pada urutan ke lima. Dari hasil survei terlihat bahwa rumah tangga yang menggantungkan pendapatannya dari usaha ini sekitar 4 rumah tangga. Usaha perdagangan atau warungan umumnya menjual Bab V Pendapatan Masyarakat
105
kebutuhan sehari (sembako) seperti beras, gula, minyak sayur, minyak tanah, rokok dan berbagai jenis makanan anak-anak. Beternak babi adalah salah satu sumber penghasilan bagi masyarakat Desa Hinako. Usaha ini bagi sebagian penduduk merupakan usaha sampingan untuk mendapatkan penghasilan tambahan atau digunakan sebagai tabungan keluarga dan dijual pada saat memerlukan uang tunai. Rata-rata tiap rumah tangga non-muslim mempunyai 3-4 ekor babi sebagai usaha bersama keluarga. Penjualan babi umumnya dilakukan pada saat tahun ajaran baru untuk membayar pendidikan anak atau pada saat menjelang hari natal yang hasilnya digunakan merayakan pesta natal. Namun bagi sebagian penduduk lainnya beternak babi merupakan pekerjaan utama yang hasilnya menjadi tumpuhan untuk mendapatkan penghasilan bagi keluarga. Dari survei terdata dua rumah tangga yang kepala rumah tangganya beternak babi. Rata-rata penghasilan rumah tangga yang bersumber dari usaha ternak babi adalah Rp 285.400. Bagi para peternak babi, anak babi diperoleh dari membeli atau merupakan anak dari induk babi yang sudah dimiliki. Para peternak babi umumnya menjual babi setelah berumur 4 bulan dengan harga antara Rp 1.250.000 – Rp 1.500.000. Penentuan harga babi didasarkan pada timbangan babi yang masih hidup. Masyarakat P. Hinako mempunyai cara menimbang babi secara tradisional, yaitu dengan satuan ukuran ‘talise’2. Babi yang berumur sekitar 4 bulan beratnya sekitar 50 talise dan satu talise harganya Rp 25.000. Pertanian merupakan lapangan pekerjaan yang dominan bagi penduduk Hinako. Hasil survei menunjukkan dari 92 rumah tangga terdapat 52 rumah tangga yang salah satu sumber pendapatannya berasal dari usaha perkebunan kelapa. Meskipun menjadi tumpuan bagi pendapatan rumah tangga, usaha pertanian ternyata memberikan 2
Talise adalah satuan ukuran untuk berat babi. Di P. Hinako hanya ada beberapa orang yang bisa mengukur berat babi menggunakan satuan talise ini. Masyarakat yang ingin menjual babi biasanya minta tolong pada orang yang mempunyai keahlian mengukur menggunakan talise dengan memberikan uang jasa.
106
Bab V Pendapatan Masyarakat
kontribusi yang terendah dibandingkan dengan usaha atau jenis pekerjaan lainnya. Rata-rata pendapatan rumah tangga yang kepala keluarganya bekerja sebagai petani sekitar Rp 201.100 per bulan. Menurut sejarahnya usaha perkebunan kelapa ini pernah memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga yang cukup tinggi. Namun dalam satu dasa warsa terakhir ini pendapatan dari usaha perkebunan kelapa kurang memberikan kontribusi yang berarti bagi pendapatan keluarga. Menurunnya kontribusi hasil perkebunan bagi pendapatan rumah tangga terkait dengan beberapa faktor. Faktor yang pertama, adalah menurunnya kepemilikan jumlah pohon kelapa per rumah tangga karena adanya pewarisan. Kebun kelapa kelapa yang semula dikelola oleh satu keluarga karena adanya pewarisan dibagi menjadi beberapa keluarga sehingga jumlah kepemilikan pohon kelapa per rumah tangga menurun. Kedua, menurunnya hasil panen kopra dikarenakan minimnya usaha peremajaan kelapa, sehingga hasil panen berkurang. Tanaman yang ada umumnya telah berumur tua dan tidak diremajakan lagi. Selain minimnya usaha peremajaan tanaman kelapa, berkurangnya produksi kelapa di P. Hinako juga dikarenakan rendahnya pemeliharaan tanaman. Kebun kelapa dibiarkan membelukar, sehingga banyak tanaman perdu yang menganggu dan ini menyebabkan panen kelapa tidak optimal. Minimnya usaha peremajaan tanaman kelapa dan kurangnya pemeliharaan, berkaitan dengan semakin langkanya tenaga kerja upahan yang biasa melakukan pemeliharaan tanaman kelapa (lihat uraian pekerjaan pada BAB III).
Bab V Pendapatan Masyarakat
107
Kebun kelapa yang kurang terawat
5.3. Pendapatan dari kegiatan kenelayanan Bagian ini terfokus pada pendapatan dari kegiatan kenelayanan yang merupakan pekerjaan dari sebagian masyarakat P. Hinako. Hasil survei menunjukkan bahwa jumlah penduduk di tiga desa yang menjadi lokasi penelitian yang bekerja sebagai nelayan sekitar 33 orang atau sekitar 22 persen dari jumlah penduduk yang bekerja. Sedangkan jumlah rumah tangga yang salah satu sumber penghasilannya dari kegiatan kenelayanan sekitar 19 rumah tangga. Gambaran pendapatan dari kegiatan kenelayanan ini didasarkan pada data kuantitatif hasil survei dan juga data kualitatif dari wawancara terbuka. Untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang pendapatan dari kegiatan kenelayanan, deskripsi pendapatan akan dilihat menurut musim yaitu musim gelombang lemah, pancaroba dan musim gelombang kuat.
108
Bab V Pendapatan Masyarakat
•
Pendapatan rumah tangga menurut musim
Pendapatan nelayan sangat di P. Hinako sangat dipengaruhi oleh musim, yaitu musim gelombang lemah, musim pancaroba dan musim gelombang kuat3 (lihat tabel 5.4 ). Pada kelompok pendapatan yang kurang dari Rp 500.000, terdapat perbedaan yang signifikan antara musim gelombang lemah dan gelombang kuat. Distribusi rumah tangga yang berpendapatan kurang dari Rp 500.000 per bulan cenderung mengalami peningkatan dari musim gelombang lemah (68 persen), pancaroba (89 persen) dan musim gelombang kuat (97 persen). Tabel 5.4. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Kelompok Pendapatan Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep. Hinako), 2007
Pendapatan
Ombak Lemah 67.6 23.5 2.9 0 2.9 2.9 34
Musim Pancaroba
< 500.000 500.000 – 999.999 1.000.000 – 1.499.999 1.500.000 – 1.999.999 2.000.000 – 2.499.999 2.500.000 – 2.999.999 Jumlah (N) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek COREMAP- LIPI, 2007.
3
Gelombang tenang Pancaroba Gelombang kuat
89.3 7.1 3.6 0 0 0 28
Ombak Kuat 96.8 3.2 0 0 0 0 31
Sosial Terumbu Karang,
: mulai bulan Nopember sampai dengan Maret (sekitar 6 bulan) : bulan April dan bulan September (2 bulan) : mulai bulan Mei sampai Agustus (4 bulan). Bab V Pendapatan Masyarakat
109
Apabila dilihat lebih dirinci lagi, dapat diketahui bahwa pada musim gelombang kuat, sekitar 42 persen rumah tangga hanya mempunyai pendapatan di bawah Rp 100.000 per bulan dan sekitar 19 persen berpendapatan antara Rp 200.000 sampai Rp 299.999. Pada musim pancaroba jumlah rumah tangga yang berpedapatan kurang dari Rp 100.000 menjadi 29 persen dan yang berpendapatan Rp 200.000 – Rp 299.000 sekitar 14 persen. Nilai pendapatan di atas tentu kecil sekali dibandingkan dengan harga kebutuhan sehari-hari seperti beras, minyak dan gula. Kondisi ini mencerminkan sterotipe kehidupan nelayan pada umumnya yang umumnya masih menggunakan teknologi sederhana dan berpendapatan rendah (Diagram 5.2). Pada kelompok pendapatan antara Rp 500.000 sampai dengan Rp 999.000 cenderung mengalami penurunan dari musim gelombang lemah ke musim gelombang kuat. Pada musim gelombang lemah proporsi kelompok yang berpendapatan antara Rp 500.000 sampai dengan Rp 999.000 sebesar 23.5 persen dan menurun menjadi hanya 7 persen pada musim pancaroba dan menjadi hanya 3 persen pada musim gelombang kuat. Hal ini menunjukan semakin banyak rumah tangga nelayan yang pendapatan kurang menjadi kurang dari Rp 500.000. Penurunan ini terjadi karena para nelayan tidak bisa melaut atau mengurangi frekuensi melaut pada musim gelombang kuat sehingga mempengauhi pendapatan mereka padamusim ini. Perubahan musim memberikan gambaran pola pendapatan yang berbeda. Pada musim gelombang lemah, distribusi kelompok pendapatan menyebar hampir di semua kategori. Pada musim ini semua nelayan pergi melaut dengan frekuensi yang lebih sering (hampir setiap hari melaut). Dari tabel (5.4 ) terlihat bahwa pada musim ini pendapatan nelayan mulai dari kurang dari Rp 500.000 hingga mencapai Rp 3.000.000. Pada musim pancaroba, hanya tiga kategori pendapatan yang terisi, mulai dari Rp 500.000 hingga yang berpendapatan antara Rp 1.000.000 sampai Rp 1.500.000. Distribusi kelompok pendapatan semakin mengelompok pada musim gelombang kuat, yaitu hanya pada kategori satu dan dua (kelompok pendapatan Rp 500.000 dan antara Rp 500.000 sampai dengan Rp
110
Bab V Pendapatan Masyarakat
1.000.000). Kondisi ini mengindikasikan besarnya dampak perubahan musim terhadap penurunan pendapatan nelayan di P. Hinako. Diagram 5.2. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Kelompok Pendapatan Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep. Hinako), 2007
45
42 38
40
<100.000 100.000 -199.000
35
200.000 - 299.000
29
30
300.000 - 399.000
25 25 20 15 10
400.000 - 499.000 19
17
15 12 9
11
9
>500.000
16
14 14
13
7
7 3
5 0 Geombang lemah
Pancaroba
Gelombang Kuat
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, 2007.
•
Rata-rata pendapatan rumah tangga
Pendapatan rata-rata rumah tangga dari kegiatan kenelayanan penduduk di P Hinako sebesar Rp 330.670 dan mediannya sekitar Rp 270.000. Nilai median ini jauh dibawah rata-rata pendapatan rumah tangga dengan selisih sekitar Rp 60.000. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga mempunyai pendapatan sekitar Rp 270.000 dan hanya beberapa rumah tangga yang penghasilan dari Bab V Pendapatan Masyarakat
111
kegiatan kenelayanan sama atau lebih besar dari Rp 330.670. Dari Tabel 5.5. juga terlihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara rumah tangga yang mendapat penghasilan dari kegiatan kenelayanan terendah dan yang tertinggi. Pendapatan terendah dari kegiatan kenelayanan sebesar Rp 60.000 dan yang tertinggi sekitar Rp 1.270.000. Tingginya perbedaan tersebut kemungkinan besar terkait dengan jenis alat tangkap dan armada tangkap serta intensitas melaut yang berbeda. Ada kemungkinan rumah tangga yang mempunyai pendapatan dari kegiatan kenelayanan tersebut intensitas melautnya tidak setiap hari, karena telah mempunyai pendapatan dari sumber lainnya. Tabel 5.5. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep. Hinako), 2007 Pendapatan
Jumlah
Rata-rata rumah tangga Median Minimum pendapatan RT Maksimum pendapatan RT
330.617 270.000 60.000 1.270.000
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, 2007.
Nelayan di P Hinako, pada umumnya merupakan nelayan yang masih sederhana dengan alat tangkap pancing dan jaring serta armada tangkap perahu motor berkekuatan 5,5 PK dan perahu tanpa motor. Dengan peralatan dan teknologi yang masih sederhana tersebut wilayah tangkap nelayan juga sangat terbatas. Di samping itu intensitas melaut juga relatif rendah. Terdapat dua pola memancing bagi nelayan di P Hinako. Pertama memancing pada siang hari yang dimulai dari jam 4 pagi sampai dengan jam 2 siang. Sedangkan pola kedua, memancing pada malam hari yang dimulai pada jam 20.00 dan
112
Bab V Pendapatan Masyarakat
pulang pada jam 7.00 pagi. Dengan teknologi dan pola melaut tersebut hasil yang diperoleh juga tidak maksimal.
Berbagai jenis ikan hasil tangkapan nelayan
Perolehan hasil tangkapan menurun drastis setelah terjadi gempa. Sebelum terjadi gempa hasil perolehan nelayan dalam sekali memancing pada siang atau malam hari sekitar 10-14 ikat. Setelah gempa, dalam sekali memancing hanya mendapatkan sekitar 6-7 ikat ikan dengan harga Rp 6.000 per ikat. Penurunan perolehan setelah terjadi gempa ini kemungkinan terkait dengan terjadinya kerusakan terumbu karang. Seperti diketahui setelah gempa pantai Hinako naik dan wilayah perairan pinggir pantai menjadi daratan sehingga terjadi penambahan daratan kurang lebih 150 meter. Berikut ini perhitungan pendapatan dari nelayan yang mancing siang dan yang memancing malam yang menggunakan perahu motor Honda dengan mesin 5,5, PK.
Bab V Pendapatan Masyarakat
113
Pendapatan nelayan menggunakan Motor Honda 5,5, PK • Mancing Malam Bahan bakar (bensin 1.5 l – 2 l Rokok Minyak tanah Biaya melaut
: Rp 15.000 : Rp 10.000 : Rp 10.000 -------------- + Rp 35.000
Hasil 7 – 8 ikat, yang dijual 7 ikat yang 1 ikat dimakan untuk keluarga. Harga per ikat Rp 6.000 Hasil penjualan 7 X Rp 6.000 : Rp 42.000 Biaya melaut : Rp 35.000 --------------Pendapatan Rp 7.000 Pendapatan per sekali melaut pada malam hari sekitar Rp 7.000 – Rp 10.000 • Mancing siang Bahan bakar (bensin 1.5 l – 2 l Rokok Biaya melaut Hasil penjualan 7 x Rp 6.000 Biaya produksi Pendapatan sekali melaut sekitar
•
: Rp 15.000 : Rp 10.000 --------------Rp 25.000 : Rp 42.000 : Rp 25.000 -------------: Rp 15.000
Rata-rata pendapatan rumah tangga menurut musim
Dari hasil survei terungkap bahwa pendapatan dari kegiatan kenelayanan sangat dipengaruhi oleh musim. Tabel 5.6. menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya penurunan pendapatan yang sangat
114
Bab V Pendapatan Masyarakat
signifikan dari musim gelombang lemah, pancaroba dan gelombang kuat. Rata-rata pendapatan rumah tangga tertinggi diperoleh pada musim gelombang lemah yang mencapai sebesar Rp 558.676 atau dua kali lipat lebih tinggi dari pendapatan pada musim musim pancaroba dan tiga kali lipat lebih dari pendapatan pada musim gelombang kuat. Tabel 5.6. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep. Hinako) Tahun 2007 (Rupiah)
Pendapatan Rata-rata rumah tangga Median Minimum rumah tangga Maksimum rumah tangga
Musim Pancaroba
Ombak Kuat
289.642
185.967
357.500 50.000
230.000 45.000
140.000 40.000
3.400.000
1.170.000
600.000
Ombak Lemah 558.676
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP- LIPI, 2007.
Pendapatan nelayan meningkat pada musim gelombang lemah karena merupakan musim panen ikan. Pada musim ini setiap hari nelayan bisa pergi melaut dan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan pada musim pancaroba dan gelombang kuat. Sementara itu pada musim pancaroba, angin mulai kencang dan gelombangpun mulai membesar sehingga tidak setiap hari nelayan bisa melaut. Seperti diketahui bahwa nelayan di P. Hinako tergolong nelayan yang masih menggunakan teknologi sederhana (alat dan armadanya). Umumnya nelayan menggunakan motor Honda berkekuatan mesin 5.5 PK sehingga dalam musim pancaroba dengan angin yang mulai kencang tidak bisa melaut setiap hari. Pada musim gelombang kuat kondisi ini semakin memprihatinkan karena para nelayan hanya bisa melaut apabila ada angin reda di sela-sela angin Bab V Pendapatan Masyarakat
115
yang bertiup kencang sepanjang musim. Dengan kebiasaan dan pengetahuan tradisional para nelayan dapat mencuri waktu untuk melaut jika dipertimbangkan angin tidak bertiup kencang. Wilayah tangkap para nelayan di musim gelombang kuat umumnya hanya sekitar pantai atau di tempat yang agak terlindung. Sama dengan rata-rata pendapatan, nilai median pendapatan rumah tangga di kawasan P. Hinako juga cenderung mengalami penurunan sepanjang tahun dari musim gelombang lemah, pancaroba sampai musim gelombang kuat (Tabel 5.6). Dari tabel terlihat bahwa nilai median besarnya di bawah nilai rata-rata pendapatan untuk semua musim. Nilai median terendah diperoleh pada musim gelombang kuat yang nilainya kurang dari sepertiga dari nilai median pada musim gelombang lemah atau sekitar dua pertiga dari musim pancaroba. Perbedaan antara nilai rata-rata pendapatan rumah tangga dan nilai median pendapatan rumah tangga yang cukup signifikan terjadi pada musim gelombang lemah dengan nilai perbedaan sekitar Rp 200.000. Pada musim ini pendapatan rata-rata rumah tangga sekitar Rp 558.676 dan median pendapatan sebesar 357.600. Hal ini mencerminkan bahwa pada musim gelombang lemah, jumlah rumah tangga yang mempunyai pendapatan dari kegiatan kenelayanan sama atau atau lebih besar dari Rp 558.676 jumlahnya relatif kecil. Sebagian besar rumah tangga mempunyai pendapatan dari kegiatan kenelayanan sekitar Rp 357.500. Pada musim pancaroba dan gelombang kuat, perbedaan antara pendapatan rata-rata dan median pendapatan dari kegiatan kenelayanan tidak terlalu mencolok. Perbedaan rata-rata pendapatan dan median pendapatan pada musim pancaroba sekitar Rp 60.000 dan pada musim gelombang kuat sebesar Rp 35.000. Dari data ini dapat diketahui bahwa nilai median pendapatan hampir mendekati rata-rata pendapatan rumah tangga. Ini mencerminkan bahwa sebagian besar rumah tangga mempunyai pendapatan dari kegiatan kenelayanan yang nilai hampir sama dengan pendapatan rata-rata. Nilai minimum pendapatan rumah tangga tidak menunjukkan perbedaan yang cukup berarti antara musim gelombang lemah,
116
Bab V Pendapatan Masyarakat
pancaroba dan musim gelombang kuat (berkisar antara Rp 40.000 sampai dengan Rp 50.000). Pada musim gelombang lemah, nilai minimum sebesar Rp 50.000, padahal musim ini merupakan musim banyak ikan. Rendahnya pendapatan ini kemungkinan berkaitan dengan harga ikan yang sangat rendah pada musim ini. Hasil produksi ikan di P. Hinako sebagian besar hanya dipasarkan di sekitar desa. Sangat jarang nelayan yang memasarkan sampai ke luar desa. Di desa ini tidak ada pedagang penampung ikan, sehingga pemasaran langsung dilakukan oleh nelayan sepulang dari laut. Wilayah pemasaran yang sangat terbatas ini menyebabkan nelayan tidak berupaya untuk mendapatkan hasil tangkapan berlebih, karena takut tidak bisa dipasarkan. Dengan kondisi pasar yang masih terbatas ini maka pendapatan nelayan tetap rendah meskipun pada musim gelombang lemah produksi bisa ditingkatkan, tetapi nelayan hanya menangkap sesuai dengan kemampuan mereka. Perbedaan pendapatan maksimum antar musim cukup mencolok. Pada musim gelombang lemah maksimum pendapatan cukup tinggi mencapai Rp 3,4 juta. Sebaliknya pada musim gelombang kuat pendapatan maksimum hanya berkisar Rp 600.000 atau hanya sekitar seperlima dari pendapatan maksimum pada musim gelombang kuat atau sekitar setengah dari pendapatan maksimum pada musim pancaroba. Perbedaan antara pendapatan maksimum dan minimum sangat mencolok pada musim gelombang lemah. Jumlah pendapatan maksimum mencapai sekitar 68 kali lipat dari pendapatan minimum. Pada musim gelombang lemah perbedaan pendapatan maksimum dan minimum sekitar 15 kali lipat. Keadaan ini mencerminkan adanya ketimpangan pendapatan yang signifikan antara nelayan golong miskin dan yang kaya.
5.4. Sintesa pendapatan Hasil kajian menunjukkan bahwa mayoritas rumah tangga mempunyai pendapatan yang rendah dan berada pada kisaran garis kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara atau Kabupaten Nias. Bab V Pendapatan Masyarakat
117
Sebagian besar rumah tanga yang disurvei mempunyai pendapatan kurang dari Rp 500.000. Kelompok terbesar adalah rumah tangga yang mempunyai pendapatan antara Rp 200.000 – Rp 300.000. Sumber pendapatan masyarakat P Hinako berasal dari sektor jasa, perikanan, pertanian dan peternakan. Sektor yang memberikan sumbangan terbesar bagi pendapatan rumah tangga terbesar adalah sektor jasa, diikuti oleh sektor perikanan, peternakan dan pertanian. Jenis pekerjaan penduduk yang bekerja di sektor ini antara lain adalah guru, perawat, pedagang/warungan dan peternakan. Jumlah rumah tangga yang pendapatannya disumbangkan oleh sektor jasa jumlahnya relatif kecil, sekitar 18 dari 92 KK yang disurvei. Sektor perikanan memberikan kontribusi pada pendapatan rumah tangga pada urutan kedua dengan jumlah rumah tangga yang mempunyai pendapatan dari kegiatan kenelayanan sekitar 19 KK. Sementara itu sektor pertanian yang menjadi mata pencaharian mayoritas masyarakat di P. Hinako, memberikan kontribusi yang sangat rendah terhadap pendapatan penduduk. Pendapatan penduduk sebagai indikator keberhasilan COREMAP dalam studi dapat dilihat dari pendapatan rata-rata rumah tangga dan pendapatan per-kapita. Pendapatan rata-rata rumah tangga adalah pendapatan dari semua anggota rumah tangga yang bekerja, sedangkan pendapatan per-kapita adalah pendapatan rumah tangga dibagi dengan semua anggota rumah tangga (yang bekerja dan tidak bekerja). Berikut ini adalah rangkuman pendapatan rumah tangga dan pendapatan per-kapita di lokasi COREMAP di P . Hinako, Kecamatan Sirombu: •
Pendapatan rata-rata rumah tangga dan pendapatan per-kapita.
Pendapatan rata-rata rumah tangga dan pendapatan per-kapita masyarakat di P. Hinako sebesar Rp 324.068 dan Rp 89.920. Pendapatan per-kapita ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan ukuran garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS yaitu sebesar Rp.108. 535.
118
Bab V Pendapatan Masyarakat
•
Pendapatan dari kegiatan kenelayanan
Hasil survei menunjukkan bahwa dari 92 rumah tangga yang ada di ketiga desa penelitian di P. Hinako (Hinako, Sineneeto dan Halamona), hanya sekitar 20 rumah tangga yang memperoleh pendapatan dari kegiatan kenelayanan. Pendapatan rata-rata rumah tangga dari kegiatan kenelayanan di ketiga lokasi desa tersebut sebesar Rp 330.600. Pendapatan nelayan sangat dipengaruhi oleh musim. Pada musim gelombang lemah, pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan sebesar Rp 558.670. Pendapatan rumah tangga nelayan menurun drastis pada musim gelombang kuat, menjadi Rp 185.900. Pada musim pancaroba, pendapatan rumah tangga nelayan sebesar Rp 289.600. Tingkat pendapatan penduduk di lokasi COREMAP P. Hinako dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat dikategorikan menjadi internal, eksternal dan struktural faktor. Berikut ini uraian faktorfaktor yang mempengaruhi pendapatan penduduk di lokasi Coremap: 1. Faktor Internal Faktor-faktor internal yang mempengaruhi pendapatan penduduk di lokasi COREMAP diantaranya adalah: sumber pendapatan, teknologi dan kualitas SDM dan biaya produksi. •
Sumber pendapatan
Sumber pendapatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan penduduk di lokasi COREMAP. Di Kep. Hinako, sumber pendapatan utama penduduk pada awalnya adalah pertanian (usaha perkebunan kelapa). Namun dalam dasawarsa terakhir pendapatan yang bersumber dari usaha perkebunan kelapa mulai berkurang secara drastis karena menurunnya hasil panen per rumah tangga. Berkurangnya hasil perkebunan kelapa dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah menurunnya kepemilikan jumlah pohon kelapa, karena pewarisan dari orang tua ke anak; kurangnya Bab V Pendapatan Masyarakat
119
pemeliharaan dan peremajan pohon kelapa. Menurunnya hasil panen kelapa ini menyebabkan kontribusi hasil perkebunan pada pendapatan rumah tangga menurun dan ada pada tingkatan terendah dibandingkan sektor lainnya, seperti jasa dan perikanan. •
Teknologi
Faktor penguasaan teknologi juga berpengaruh terhadap pendapatan. Secara umum teknologi penangkapan nelayan di Kep. Hinako masih sederhana. Keadaan ini dapat diketahui dari armada tangkap yang digunakan penduduk, termasuk kapasitas perahu, motor/mesin dan peralatan tangkapnya. Lebih dari separuh nelayan masih menggunakan perahu tanpa motor, sedangkan sisanya adalah perahu motor. Ukuran mesin/motor sangat homogin yaitu jenis Honda 5.5 PK dan Robin 7,7 PK. Sesuai dengan kapasitas mesinnya, body perahu juga berukuran kecil, yaitu sekitar 2,8 meter sampai 5 meter. Adapun alat tangkap yang umum digunakan adalah pancing. Dengan teknologi yang sederhana ini wilayah tangkap para nelayan menjadi terbatas dan tidak dapat bersaing dengan nelayan dari luar. Akibatnya hasil tangkapan para nelayan kurang optimal yang pada akhirnya mempengaruhi pendapatan. o Keterbatasan modal Keterbatasan modal menjadi kendala utama nelayan untuk mengembangkan usaha perikanan tangkap bagi sebagian besar nelayan. Kondisi ini jelas terlihat dari kepemilikan armada dan alat tangkap yang umumnya masih sangat sederhana. Armada dan alat tangkap yang masih sederhana ini membatasi wilayah tangkap dan waktu tangkap (melaut) nelayan. Kondisi ini semakin sulit dengan adanya kenaikan harga bahan bakar, karena biaya melaut yang semakin tinggi. Di lain pihak, karena keterbatasan pemasaran para nelayan tidak memfokuskan pada jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi. Jenis ikan yang ditangkap adalah jenis ikan segar yang untuk konsumsi penduduk lokal yang nilai ekonominya tidak terlalu tinggi.
120
Bab V Pendapatan Masyarakat
•
Biaya produksi
Tingkat pendapatan nelayan di lokasi COREMAP P. Hinako sangat dipengaruhi oleh biaya produksi. Komponen biaya produksi nelayan yang meliputi BBM, kebutuhan pokok (sembako) dan rokok harganya cukup tinggi, dibandingkan dengan harga di beberapa wilayah di P. Nias. Sebagai contoh harga liter bensin campur mencapai Rp 7.000 sampai dengan Rp 8.000, sementara harga di P Nias sekitar Rp 5.000 sampai Rp 6.000. Jika biaya produksi dapat ditekan, maka pendapatan nelayan kan lebih meningkat. 2. Faktor Eksternal Selain dipengaruhi faktor internal, pendapatan nelayan juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang meliputi: sarana dan prasarana, pemasaran dan kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya laut. •
Musim
Secara umum pendapatan nelayan di lokasi COREMAP di Kep. Hinako sangat dipengaruhi oleh musim. Hasil baseline menunjukkan adanya perbedaan pendapatan nelayan yang sangat signifikan antara musim gelombang lemah, musim pancaroba dan musim gelombang kuat. Pada saat gelombang kuat (angin selatan) yang berlangsung antara bulan Juni sampai Oktober pendapatan nelayan merosot drastis menjadi hanya seperlimanya dari pendapatan pada musim angin tenang. Pada musim pancaroba pendapatan nelayan sekitar separoh dari pendapatan pada musim gelombang kuat. •
Degradasi sumber daya laut dan pesisir
Dampak kerusakan sumber daya laut, khususnya terumbu karang terhadap pendapatan masyarakat di Kep. Hinako sudah mulai dirasakan. Kerusakan terumbu karang selain terjadi karena penggunaan alat tangkap yang merusak terumbu karang juga disebabkan oleh terjadinya gempa bumi pada bulan April tahun 2005. Bab V Pendapatan Masyarakat
121
Gempa bumi tersebut telah menyebabkan sebagian pantai di beberapa Pulau di Hinako terangkat keatas. Akibatnya luas pantai menjadi bertambah antara 100 hingga 150 meter dari garis pantai. Gugusan terumbu karang yang ada di sekitar pantai menjadi terangkat. Kerusakan terumbu karang ini sangat mempengaruhi perolehan pendapatan nelayan. Dampak dari kerusakan tersebut adalah mulai menurunnya hasil tangkapan nelayan. Perolehan nelayan setelah terjadi gempa menurun drastis, menjadi hanya sekitar separuhnya. •
Pemasaran
Pemasaran merupakan faktor eksternal yang cukup berpengaruh terhadap tingkat pendapatan penduduk di lokasi COREMAP. Hasil tangkapan nelayan di Kep. Hinako umumnya hanya dipasarkan di sekitar wilayah desa. Di wilayah ini belum ada pedagang yang menampung ikan segar hasil tangkapan nelayan. Terbatasnya pemasaran mengakibatkan para nelayan tidak tertarik untuk meningkatkan hasil tangkapannya atau menangkap jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi, karena khawatir tidak terjual semuanya karena pemasaran yang sangat terbatas. Sebagian nelayan ada yang mencoba memasarkan sendiri ke wilayah daratan P. Nias, yaitu ke kecamatan Sirombu. Namun sistim pemasaran yang langsung ini tidak menguntungkan karena biaya transportasi yang cukup tinggi. •
Prasarana dan sarana
Prasarana dan sarana ekonomi berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut masih terbatas. Fasilitas TPI tidak tersedia di P. Hinako dan pedagang penampung juga belum ada. Para nelayan memilih untuk menjual ikan segar langsung ke konsumen. Keterbatasan sarana pasar yang bisa menampung ikan segar ini membuat para nelayan tidak mempunyai alternatif lain, kecuali menjual ikan segar keliling kampung. Para nelayan juga belum ada yang mempunyai sarana boks pendingin (cool box) yang dapat dipakai untuk mengawetkan ikan. Hal ini mengakibatkan nelayan harus menjual ikan segar langsung ke
122
Bab V Pendapatan Masyarakat
konsumen. Jika nelayan mempunyai sarana boks pendingin, maka ikan segar bisa dijual ke Sirombu dalam jumlah besar sehingga keuntungan lebih besar karena biaya transportasi bisa ditekan yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan nelayan. •
Kompetisi dalam pemanfaatan SDL
Para nelayan di kampung-kampung lokasi Coremap secara umum masih menggunakan sarana dan alat tangkap yang sederhana, yaitu perahu ketinting (5 PK) dan alat tangkap pancing. Dengan alat sarana dan alat tangkap yang masih sederhana tersebut maka wilayah tangkapnya terbatas, sehingga hasil tangkapannya tidak bisa optimal. Sementara itu nelayan dari luar, umumnya memakai armada kapal berkekuatan mesin lebih besar, alat tangkap yang lebih lengkap dan dilengkapi dengan cool box, sehingga hasil tangkapan jauh lebih besar. Persaingan dalam memperebutkan SDL antara nelayan lokal dan nelayan dari luar sudah mulai dirasakan, bahkan dalam berbagai kasus sudah terjadi konflik terbuka. Konflik tersebut dipicu oleh pelanggaran wilayah tangkap nelayan luar yang memasuki wilayah tangkap nelayan lokal. Selain itu, konflik juga disebabkan oleh penggunaan alat tangkap yang merusak (bom dan potasium) oleh nelayan dari luar. Persaingan yang tidak seimbang ini mengakibatkan nelayan lokal semakin berkurang hasil tangkapannya yang berdampak pada menurunnya pendapatan. Menurunnya hasil tangkapan nelayan ini dirasakan oleh para nelayan kurang lebih sejak lima tahun terakhir. 3. Faktor Struktural •
COREMAP
Kegiatan COREMAP yang sudah dilakukan di desa ini belum mempunyai pengaruh terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Hal ini terkait dengan belum dimulainya kegiatan mata pencaharian alternatif yang dilaksanakan di tingkat masyarakat. Kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) yang ada baru sebatas Bab V Pendapatan Masyarakat
123
kegiatan demplot rumput laut. Pada saat penelitian dilakukan kegiatan ini sudah tidak ada lagi, karena demplot rumput laut rusak diterjang ombak. Selain kegiatan PBM demplot rumput laut, COREMAP juga memberikan bantuan kapal untuk transportasi Sirombu-Hinako. Pada saat penelitian ini dilakukan pengelolaan kapal dilakukan oleh perorangan, bukan kelompok masyarakat. Pengelola kapal tersebut adalah perorangan yang telah mengeluarkan biaya untuk perbaikan kapal. Perbaikan perlu dilakukan karena kondisi kapal yang rusak setelah diserahkan dan dipergunakan oleh masyarakat selama beberapa waktu. Karena tidak ada biaya operasional untuk perbaikan kapal dari pemerintah desa mapun COREMAP, maka terdapat salah seorang penduduk desa yang bersedia membiayai perbaikan kapal dengan mendapat kompensasi mengelola kapal untuk transportasi umum. Dengan adanya bantuan kapal tersebut mobilitas penduduk Hinako - Sirombu dan sebaliknya menjadi lebih lancar karena dilayani oleh dua kapal transportasi, yaitu kapal bantuan COREMAP dan kapal milik penduduk desa Hinako. Lancarnya transportasi akan semakin mendorong kegiatan ekonomi masyarakat yang pada gilirannya diharapkan dapat lebih meningkatkan pendapatan masyarakat. o Pembangunan Rekonstruksi Aceh Berkaitan dengan pembangunan paska gempa Nias, terdapat sebuah LSM yang mempunyai kegiatan yang bertujuan memberdayakan ekonomi masyarakat Kep Hinako. Kegiatan yang dilakukan LSM tersebut diantaranya adalah memberikan bantuan perahu untuk beberapa nelayan Hinako. Pembuatan perahu dilakukan oleh pengelola LSM dengan melibatkan penduduk desa Hinako yang akan menerima bantuan kapal. Dalam mengerjakan pembuatan perahu tersebut, penduduk desa mendapatkan upah harian dari pengelola LSM. Setelah pembuatan perahu selesai maka langsung bisa dipakai oleh penduduk yang menerima bantuan. Pada saat penelitian ini dilakukan terdapat beberapa perahu yang telah diserahkan kepada masyarakat Kep Hinako.
124
Bab V Pendapatan Masyarakat
Selain pemberian bantuan kapal, LSM ini juga mempunyai kegiatan memproduksi Virgin Coconut Oil (VCO). Kegiatan ini melibatkan beberapa anggota masyarakat Kep Hinako sebagai pekerjanya dengan mendapat upah tetap. Kelapa sebagai bahan baku pembuatan VCO ini dibeli dari masyarakat Kep. Hinako. Meskipun masih dalam skala kecil kegiatan LSM ini memberikan pengaruh pada kegiatan ekonomi penduduk. Sebagian anngota masyarakat yang sebelumnya tidak mempunyai pekerjaan dapat menjadi pekerja di LSM ini. Demikian pula dengan pemberian bantuan perahu, jika digunakan secara baik oleh masyarakat diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Bab V Pendapatan Masyarakat
125
126
Bab V Pendapatan Masyarakat
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Perairan di sekitar Kabupaten Nias pada umumnya dan wilayah Kep. Hinako pada khususnya memiliki kandungan sumber daya laut yang potensial untuk dikembangkan. Hamparan terumbu karang di wilayah ini cukup luas dan kaya akan berbagai jenis ikan karang dan biota lainnya. Kekayaan akan sumber daya laut di wilayah ini tidak hanya dimanfaatkan oleh nelayan setempat, tetapi juga oleh nelayan dari luar daerah, bahkan luar propinsi. Wilayah perairan ini sudah lama dijadikan ‘fishing ground’ oleh berbagai nelayan dari luar, terutama perusahaan besar yang menangkap ikan kerapu hidup, Napoleon dan ikan hias. Selain itu, pantai-pantai di gugusan pulau-pulau di wilayah ini mempunyai pasir putih dan celukan-celukan yang sangat indah dan ombak yang bagus untuk melakukan selancar yang berpotensi dikembangkan menjadi tempat wisata. Dari penelitian ini terungkap bahwa terdapat ketimpangan dalam pemanfaatan sumber daya laut antara nelayan setempat dengan nelayan yang datang dari luar. Ketimpangan tersebut diantaranya tercermin dari segi teknologi yang digunakan dan cara penangkapan. Nelayan lokal pada umumnya hanya memakai sarana dan alat tangkap yang sederhana, seperti perahu tanpa motor, perahu motor dengan mesin tempel 5 PK dan alat tangkap pancing dan jaring. Sementara nelayan dari luar menggunakan peralatan penangkapan dengan teknologi yang telah maju, misalnya kapal bermotor ukuran besar serta memakai alat tangkap (jaring besar, bom dan potas). Dalam kapal juga dilengkapi sarana penyimpanan ikan (cool box). Ketimpangan teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya laut ini telah mengakibatkan perbedaan jumlah hasil tangkapan dan nilai ekonominya. Bab VI Kesimpulan dan Saran
127
6.2. Saran Program dan kegiatan yang dirancang untuk pengelolaan dan rehabilitasi ekosistem terumbu karang secara berkesinambungan dan sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan perlu mempertimbangkan berbagai isu-isu penting yang muncul berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut dan faktorfaktor yang mempengaruhi pendapatan masyarakat. Berikut ini beberapa alternatif upaya untuk mendukung peningkatan pendapatan masyarakat: •
Selain melakukan pengawasan, untuk membendung adanya kerusakan terumbu karang yang semakin besar di wilayah perairan Kep Hinako perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat dengan tujuan peningkatan pendapatan masyarakat. Alternatif upaya peningkatan pendapatan masyarakat di Kep Hinako tidak hanya tergantung pada kegiatan kenelayanan. Terdapat beberapa alternatif sumber pendapatan di luar sektor perikanan yang dapat dikembangkan, diantaranya adalah peningkatan pengelolaan perkebunan kelapa. Selama ini kegiatan pengelolaan perkebunan kelapa tidak dilakukan secara intensif, karena kekurangan tenaga kerja. Perkebunan kelapa kurang terawat sehingga produksinya menurun. Peremajaan tanaman kelapa juga kurang dilakukan sehingga kebanyakan tanaman kelapa sudah tua. Hal ini tentunya mempengaruhi produksi kelapa. Untuk itu program peremajaan pohon kelapa juga merupakan usaha yang perlu dikembangkan.
•
Potensi perikanan Kep Hinako yang cukup besar belum dimanfaatkan secara optimal. Selama ini yang berkembang hanya kegiatan perikanan tangkap yang umumnya dipasarkan dalam bentuk ikan segar. Kegiatan berkaitan dengan budidaya perikanan dan penanganan paska panen belum berkembang, padahal pengembangan usaha berkaitan dengan budidaya perikanan dan penanganan paska panen dapat memberikan nilai tambah bagi nelayan, terutama dalam meningatkan pendapatan. Untuk itu diversifikasi usaha terkait dengan budidaya dan penanganan
128
Bab VI Kesimpulan dan Saran
paska panen pengolahan dikembangkan.
hasil
laut
berpotensi
untuk
• Ikan yang menjadi target utama para nelayan langsung dipasarkan di pasar lokal (pemenuhan kebutuhan di dalam desa). Karena permintaan ikan di tingkat desa relatif kecil jumlahnya, pada umumnya target tangkapan ikan nelayan hanya sekitar 6 sampai paling banyak 15 ikat ikan. Para nelayan tidak mau meningkatkan hasil tangkap karena takut tidak akan terjual semua. Dalam rangka meningkatkan hasil tangkap nelayan beberapa alternatif upaya yang bisa dilakukan adalah: penyediaan sarana pemasaran ikan yang dilengkapi dengan boks pendingin. Dengan adanya sarana ini maka hasil tangkapan nelayan dapat ditampung dengan jumlah yang cukup, sehingga seberapapun hasil tangkapan nelayan akan terjual. Dengan adanya sarana pemasaran diharapkan dapat merangsang nelayan untuk meningkatkan hasil tangkapannya. •
Belajar dari pengalaman pelaksanaan kebijakan dan progam berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut yang telah dilaksanakan di Kep Hinako dan memperhatikan kondisi dan karakteristik sosial – ekonomi penduduknya, implementasi COREMAP perlu memperhatikan beberapa aspek sosial dan kependudukan. Beberapa isu sosial-kependudukan yang perlu mendapat perhatian adalah: 1. Administrasi pencatatan kependudukan yang pada umumnya tidak sesuai dengan sesuai dengan tempat tinggal penduduk. Hampir di semua di Kep Hinako mempunyai pola yang sama dalam pencatatan kependudukan. Seorang tetap dicatat sebagai penduduk desa asal, walaupun telah pindah tempat tinggalnya di wilayah daratan. Seperti diketahui sejak adanya gempa tahun 2005, banyak warga desa di Kep Hinako pindah ke wilayah daratan di sekitar ibu kota kecamatan Sirombu. Mereka pindah baik karena mendapatkan jatah perumahan dari Red Cross atau dari pemerintah kerajaan Monaco maupun yang telah mempunyai rumah sendiri. Meskipun
Bab VI Kesimpulan dan Saran
129
secara fisik sebagian penduduk telah bertempat tinggal di Sirombu yang secara fisik masuk ke dalam wilayah administratif desa lain, namun semua penduduk dari desadesa di Kep. Hinako, tetap mengaku dan terdaftar sebagai penduduk desa-desa dari Kep Hinako. Kondisi ini perlu mendapat perhatian bagi pengelola COREMAP di daerah dalam melakasanakan berbagai kegiatan COREMAP, seperti pembentukan Pokmas, Pokmaswas dan kelompok konservasi. Sistim pencatatan kependudukan yang agak unik ini perlu dipertimbangkan dalam melakukan pembentukan kelompok (Pokmas, Pokmaswas, dan kelompok konservasi) dalam kegiatan COREMAP. Jika hal ini tidak dicermati dikhawatirkan akan menimbulkan konflik di dalam masyarakat. 2. Banyaknya bantuan yang langsung diserahkan kepada masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di lokasi COREMAP yang terkena dampak gempa mengakibatkan sebagian masyarakat menjadi ‘tergantung’ pada bantuan. Karena banyaknya bantuan kemandirian menjadi luntur, mereka cenderung ‘manja’ dan berharap mendapat bantuan terus, baik dari pemerintah maupun non-pemerintah. Kondisi ini perlu diantisipasi oleh pengelola COREMAP baik di tingkat kabupaten dan di tingkat lokasi, jika mau melaksanakan kegiatan di tingkat desa seperti pemberian kredit untuk pengembangan mata pencaharian alternatif (MPA). Besar dan beragamnya bantuan paska gempa baik dari LSM dan donatur lain di tingkat internasional mengakibatkan masyarakat juga mempunyai harapan terlalu besar terhadap kegiatan COREMAP. Padahal inti dari kegiatan COREMAP tidak memberikan bantuan cuma-cuma, hanya merupakan stimulan untuk melakukan usaha.
130
Bab VI Kesimpulan dan Saran
2. Minimnya tingkat dan jenis ketrampilan yang dimiliki oleh masyarakat di bidang pertanian/perkebunan menjadi tantangan dalam pengembangan usaha peningkatan pendapatan masyarakat melalui program COREMAP.
Bab VI Kesimpulan dan Saran
131
132
Bab VI Kesimpulan dan Saran
DAFTAR PUSTAKA Bayley, Conner, 1988, The Political Economy of Marine Fisheries Development in Indonesia. In Indonesia/46, Cornell. BPS Kabupaten Nias, 2004, Profil Daerah & Informasi Kabupaten Nias Berbasis Statistical Capacity Building. Gunung Sitoli:Kab. Nias & BPS Kab. Nias. COREMAP, 1999, Selamatkan Terumbu Karang Kita. Jakarta: LIPI Hidayati dkk., 2005, Panduan Pendidikan Pasca Bencana Bagi Anak-Anak Pesisir”. Jakarta: LIPI Bagian Pendidikan Kelautan COREMAP. Johanes, Maria Harmmerle, OFMCap, 2001, Asal Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi. Gunung Sitoli: Yayasan Pustaka Nias. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Kajian Strategi Komunikasi Efektif Untuk Sosialisasi dan Implementasi Program COREMAP II di Kabupaten Nias (Laporan Pendahuluan). Medan: LPPMUSU. Nasution, Arif M, Badaruddin, Subhilhar (ed), 2005, “Isu-Isu Kelautan: Dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut”. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Polunin, Nicholas V.C, tt, Traditional Marine Practice in Indonesia and Their Bearing Conservation dalam McNeely dan David Pitt Culture and Conservation: The Human Dimension in Environmental Planning. Croom Helm, tt. Pomeroy, Robert S., 1995, Community-Based and Co-management Institution for Sustainable Coastal Fisheries Management in Southeast Asia. Dalam Ocean & Coastal Management. Volume 27, No. 3. Daftar Pustaka
133
Romdiati, Haning (ed), 1999, Potensi dan Kendala Dalam Pengelolaan Terumbu Karang: Pedoman Untuk Intervensi Pengelolaan Berbasis Masyarakat (Desa Pasar Teluk Dalam, Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias, Provinsi Sumatra Utara). Jakarta: PT Galaksi Perdana. Suharsono, 2007. Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia (Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Biologi Kelautan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Jakarta: LIPI Press. Widayatun, Deny Hidayati, Augustina Situmorang, Dewi Harfina dan Fitranita, 2006. Panduan Penelitian BME SosialEkonomi. Jakarta: CRITC-COREMAP.
134
Daftar Pustaka