KONDISI BIOFISIK DAN SOSIAL EKONOMI
2015
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
i
KONDISI BIOFISIK DAN SOSIAL EKONOMI
Pesisir Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur 2015 Tim Penyusun Marthen Welly, Muhammad E. Lazuardi, Wira Sanjaya, Dodik Prasetia
Kerjasama Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur Dewan Konservasi Perairan Provinsi – NTT Pemerintah Kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur, Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya The Nature Conservancy Indonesia Marine Program Coral Triangle Center Universitas Pendidikan Ganesha
Sitasi Welly, M., Lazuardi, M.E., Sanjaya, W., & Prasetya, D. (2016). Kondisi biofisik dan sosial ekonomi Pesisir Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur – 2015. The Nature Conservancy Indonesia dan Pemerintah Kabupaten Se-Sumba, Propinsi NTT. Denpasar: The Nature Conservancy. Foto sampul depan: Marthen Welly; foto sampul bab: D. Prasetia, M. Welly; peta: W. Sanjaya, layout: M.E. Lazuardi.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
ii
Kata Sambutan Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas anugerah dan lindunganNya kegiatan serta laporan survei biofisik dan sosial ekonomi di pesisir Pulau Sumba ini dapat diselesaikan dengan baik. Tujuan dari survei ini adalah untuk mengumpulkan data biofisik maupun sosial ekonomi yang dapat dijadikan masukan di dalam perancangan jejaring kawasan konservasi perairan dan pembentukan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil (RZWP3K) di Pulau Sumba, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang. Kami mewakili pemerintah Propinsi NTT dan Kabupaten/Kota di Pulau Sumba mengapresiasi atas kerjasama dan kerja keras dari tim survei baik dari TNC Indonesia Marine Program, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota di Pulau Sumba, Coral Triangle Center (CTC), dan para relawan sehingga survei ini dapat diselesaikan dalam kurun waktu 12 hari nonstop. Mudah-mudahan, apa yang telah dihasilkan ini dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Pulau Sumba pada khususnya dan Propinsi NTT pada umumnya agar menjadi lebih baik di masa yang akan datang sehingga sumberdaya tersebut tetap lestari dan memberikan manfaat ekonomi secara berkelanjutan bagi masyarakat Sumba. Akhirnya sebagai Ketua Dewan Konservasi Perairan Provinsi - NTT, kami ucapkan selamat atas pencapaian ini dan mudah-mudahan kerjasama yang telah berlangsung baik dari berbagai lembaga dan instansi dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan di masa-masa mendatang untuk pengelolaan pesisir dan laut Pulau Sumba dan Propinsi NTT yang lebih baik.
Kupang, Desember 2015
Ketua Dewan Konservasi Perairan Provinsi Nusa Tenggara Timur
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
iii
Ucapan Terima Kasih Terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam hal ini Ketua Dewan Konservasi Perairan Provinsi NTT, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumba Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya. Terima kasih juga kami sampaikan kepada The Nature Conservancy Indonesia Marine Program (TNC-IMP) atas prakarsa dan pendanaan survei. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Direktur Coral Triangle Center atas dukungan dan kepercayaan bagi kami dalam melakukan survei dan penyusunan laporan. Kepada para partisipan dan sukarelawan pengambilan data baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri dan institusi terkait, Universitas Pendidikan Ganesha (UNDIKSA) Singaraja, kami ucapkan banyak terima kasih atas dukungan, kerjasama dan partisipasinya. Kepada Pak Condo, kapten beserta kru kapal Yohannes III, serta Om Ekky yang telah mendukung transportasi baik di laut maupun di darat juga kami ucapkan banyak terima kasih. Semoga laporan survei ini bisa menjadi kontribusi positif bagi pembangunan berkelanjutan di kawasan pesisir Pulau Sumba.
Tim Survei Pesisir Pulau Sumba 2015
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
iv
Ringkasan Eksekutif Propinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu propinsi di dalam Bentang Laut LesserSunda yang memiliki keanekaragaman hayati laut cukup tinggi. Perairan di propinsi ini diidentifikasi sebagai jalur migrasi setasean (paus dan lumba-lumba) yang penting di Indonesia termasuk ikan pari manta, dugong, penyu, dan hiu. Saat ini Bentang Laut Lesser Sunda merupakan salah satu prioritas konservasi laut di Indonesia. Pulau Sumba merupakan salah satu pulau di Propinsi NTT. Diduga di perairan Pulau Sumba memiliki potensi keanekaragaman hayati laut yang cukup tinggi. Agar potensi pesisir dan laut di Pulau Sumba dapat bermanfaat bagi masyarakat maka perlu dikelola dengan baik. Salah satu cara pengelolaan potensi pesisir dan laut di Pulau Sumba adalah dengan melakukan upaya konservasi laut dan pengelolaan perikanan agar dapat secara berkelanjutan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Guna mendukung pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Pulau Sumba melalui pembentukan kawasan konservasi perairan dan zonasi di wilayah pesisir, maka The Nature Conservancy Indonesia Marine Program (TNC-IMP) bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi NTT, Dewan Konservasi Perairan Propinsi NTT, Pemerintah Kabupaten di Pulau Sumba dan Coral Triangle Center dengan dibantu oleh beberapa sukarelawan, sejak tahun 2014 telah melakukan survei biofisik dan sosial ekonomi di selatan Pulau Sumba dimana hasil dan laporannya (terpisah) telah disampaikan kepada instansi terkait. Pada tahun 2015 ini kembali dilakukan survei yang sama dengan mengambil lokasi bagian barat laut, utara hingga tenggara P. Sumba guna melengkapi survei tahun sebelumnya sehingga dapat diperoleh data secara utuh keseluruhan pesisir Pulau Sumba. Survei biofisik yang dilakukan fokus pada pengumpulan data terumbu karang, ikan karang, sebaran ekosistem mangrove, sebaran ekosistem padang lamun dan pantai-pantai peteluran penyu. Sementara itu, survei sosial ekonomi, fokus pada data perikanan, wisata bahari, dan kearifan tradisional di pesisir Pulau Sumba. Data ini diharapkan dapat digunakan untuk merancang kawasan-kawasan konservasi perairan dan sebagai masukan pembuatan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Pulau Sumba. Berdasarkan survei biofisik dan sosial ekonomi yang dilaksanakan dari tanggal 17-28 Oktober 2015 diperoleh hasil sebaran terumbu karang hampir terdapat merata di sepanjang pesisir Pulau Sumba mulai dari barat laut, utara dan tenggara. Persentase penutupan karang hidup (karang keras + karang lunak) pada titik-titik pengamatan berkisar antara 9.3 hingga 84.0% dengan rata-rata sebesar 49.7% ± 3.5% SE. Kisaran persentase penutupan karang hidup di perairan P. Sumba masuk dalam kategori dari buruk hingga memuaskan dengan kondisi rata-
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
v
rata sedang mendekati bagus. Lokasi dengan persentase tutupan karang hidup tertinggi adalah selatan Pulau Kotak dan Pulau Mangudu, Kabaru dan Mangrove Timur Waingapu. Kondisi ikan karang di pesisir Pulau Sumba didominasi ikan-ikan kecil (di bawah 35 cm) dengan biomassa rata-rata ikan karang sebesar 297.2 kg/ha masuk dalam katagori sedang dan kepadatan ikan rata rata sebesar 2778 individu/hektar. Dalam pengamatan ikan karang ini, tercatat setidaknya 23 famili ikan karang. Ditinjau dari sisi komposisi kepadatan ikan karang per famili, data menunjukan bahwa ikan karang didominasi oleh famili Acanthuridae sebesar 32.5%, Caesionidae 18.9% dan Chaetodontidae 14.2%. Dalam pelaksanaan survei biofisik, biota laut kharismatik yang dijumpai yaitu dugong, penyu sisik dan hijau, lumba-lumba dan hiu (white tip reef shark). Berdasarkan interview dengan nelayan dan masyarakat pesisir disebutkan juga bahwa di pesisir Pulau Sumba dijumpai penyu belimbing, paus dan pari manta. Di sepanjang pesisir utara Pulau Sumba mulai dari barat laut, utara dan tenggara tersebut banyak dijumpai pantai-pantai peneluran penyu. Vegetasi mangrove dijumpai tersebar di Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah maupun Sumba Timur. Jenis-jenis mangrove yang cukup dominan di jumpai di pesisir Pulau Sumba yaitu genus Avicenia sp., Rhizopora sp., Bruguiera sp., dan Sonneratia sp. Sementara itu Padang Lamun (segrass) juga dijumpai tersebar di keempat Kabupaten yang ada di Pulau Sumba. Jenis-jenis lamun yang cukup dominan dijumpai seperti Cymodocea sp., Halodule sp., dan Syringodium sp. Tim sosial-ekonomi menjumpai desa-desa nelayan di seluruh Kabupaten di pesisir Pulau Sumba mulai dari barat laut, utara dan tenggara Pulau Sumba. Terdapat perikanan tangkap dan budidaya di pesisir Sumba bagian utara hingga ke Pulau Salura dan Pulau Mangudu. Alat tangkap perikanan umumnya terdiri dari jaring insang (Gill net), Pukat cincin (Purse seine), Pukat Pantai (Beach seine), Pancing Tonda (Tonda pole and line), dan longline dengan jenis kapal berupa jukung, perahu papan, dan perahu motor temple. Jenis-jenis ikan yang ditangkap seperti tuna, tongkol, cakalang, cumi, kembung, tenggiri, teri, kerang abalon dan ikan karang lainnya. Sementara itu perikanan budidaya di pesisir utara hingga timur Pulau Sumba adalah rumput laut dan tambak garam. Pulau Sumba di bagian utara memiliki pantai-pantai berpasir putih yang indah sejauh mata memandang. Jenis wisata pantai telah dikembangkan dibeberapa pantai di seluruh Kabupaten di Pulau Sumba, bahkan beberapa resort telah dibangun di pinggir pantai. Pantai-pantai tersebut masih memiliki potensi yang cukup besar untuk terus dikembangkan dimana vegetasi mangrove dan ekosistem terumbu karang yang berada di sepanjang pesisir dapat menjadi salah satu atraksi wisata bahari di Pulau Sumba, demikian pula dengan lokasilokasi peneluran penyu dan kampong-kampung nelayan. Masyarakat Pulau Sumba masih menjalankan ritual-ritual adat yang berkaitan dengan pesisir dan laut seperti ritual adat Wula Po’du di Kabupaten Sumba Barat, Hodu Tairi di Kabupaten Sumba Tengah, Repit di Kabupaten Sumba Timur, Madidi Nyale di Kabupaten Sumba Barat, dan ritual makan meting di Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur. Dengan ritualritual tersebut masyarakat di Sumba berinteraksi dengan alam khususnya laut dan bagaimana mereka menghormati alam dan mengatur pemanfaatannya.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
vi
Daftar Isi Kata Sambutan .....................................................................................................iii Ucapan Terima Kasih ............................................................................................ iv Ringkasan Eksekutif ...............................................................................................v Daftar Isi .............................................................................................................. vii Partisipan ........................................................................................................... xiv I.
Pendahuluan................................................................................................... 1 1.1. Kondisi Umum ....................................................................................................... 1 1.2. Tujuan Survei ........................................................................................................ 3
II. Metodologi ....................................................................................................... 4 2.1. Biofisik .................................................................................................................. 4 2.2. Sosial Ekonomi .................................................................................................... 10 2.3. Waktu ................................................................................................................. 10 2.4. Lokasi .................................................................................................................. 10 2.5. Analisis data ........................................................................................................ 11
III. Tinjauan Pustaka .............................................................................................13 3.1. Wilayah Pesisir .................................................................................................... 13 3.2. Terumbu karang .................................................................................................. 13 3.3. Mangrove ............................................................................................................ 20 3.4. Padang Lamun ..................................................................................................... 20 3.5. Penyu .................................................................................................................. 22
IV. Kondisi Biofisik Pesisir Utara Pulau Sumba ......................................................23 4.1. Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Karang di Pesisir Utara Pulau Sumba ............. 23 4.1.1. Pengamatan Manta Tow ....................................................................................... 23 4.1.2. Kondisi Karang dan Ikan Karang Berdasarkan Pengamatan Point Intercept Transect (PIT) ................................................................................................................... 33 4.2. Kondisi Ekosistem Mangrove ............................................................................... 44 4.3. Ekosistim Padang Lamun ...................................................................................... 55
V. Kondisi Sosial Ekonomi Pesisir Utara Pulau Sumba ...........................................59 5.1. Demografi, Iklim dan Topografi ............................................................................ 59 5.3. Perikanan ............................................................................................................ 77 5.4. Wisata Bahari ...................................................................................................... 93
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
vii
VI. Kesimpulan dan Rekomendasi ........................................................................97 6.1. Kesimpulan.......................................................................................................... 97 6.2. Rekomendasi ....................................................................................................... 98
Pustaka.............................................................................................................. 100 LAMPIRAN ......................................................................................................... 102
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
viii
Daftar Tabel Tabel 1. Daftar titik-titik pengamatan substrat bentik dan ikan karang survey Sumba – 2015 ......................................................................................................................................... 34 Tabel 2. Indeks mortalitas dan kategori kondisi terumbu karang pada titik-titik pengamatan survei Sumba 2015. ......................................................................................................... 38 Tabel 3. Komposisi rata-rata kepadatan populasi dan biomassa berdasarkan famili ikan karang, survei Sumba 2015. ............................................................................................ 41 Tabel 4. Indeks kesehatan karang berdasarkan penutupan karang hidup dan indeks biomass ikan karang, survei Sumba, 2015. .................................................................................... 42 Tabel 5. Luas wilayah Kecamatan di Kabupaten Sumba Barat Daya, survei Sumba 2015. ..... 60 Tabel 6. Jumlah desa dan kelurahan di Kabupaten Sumba Barat Daya, survei Sumba 2015. 61 Tabel 7. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sumba Barat Daya, survei Sumba 2015. ......................................................................................................................................... 62 Tabel 8. Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Sumba Barat, survei Sumba 2015. ............. 63 Tabel 9. Jumlah Desa dan Kelurahan di Kabupaten Sumba Barat, survei Sumba 2015. ......... 64 Tabel 10. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sumba Barat, survei Sumba 2015. . 65 Tabel 11. Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Sumba Tengah, survei Sumba 2015. ........ 66 Tabel 12. Jumlah Desa dan Kelurahan di Kabupaten Sumba Tengah, survei Sumba 2015. .... 67 Tabel 13. Jumlah dan kepadatan penduduk Kabupaten Sumba Tengah, survei Sumba 2015.67 Tabel 14. Luas wilayah kecamatan di Kabupaten Sumba Timur, survei Sumba 2015............. 70 Tabel 15. Jumlah dan kepadatan penduduk Kabupaten Sumba Barat, survei Sumba 2015. .. 71 Tabel 16. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Kodi, survei Sumba 2015. ................ 77 Tabel 17. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Kodi Utara, survei Sumba 2015. ...... 78 Tabel 18. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Kota Tambolaka, survei Sumba 2015. ......................................................................................................................................... 79 Tabel 19. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Loura, survei Sumba 2015. .............. 80 Tabel 20. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Tana Righu, survei Sumba 2015. ..... 81 Tabel 21. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Mamboro, survei Sumba 2015. ....... 82 Tabel 22. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Umbu Ratu Nggay, survei Sumba 2015. ................................................................................................................................ 83 Tabel 23. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Haharu, survei Sumba 2015. ........... 85 Tabel 24. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Kanatang, survei Sumba 2015. ........ 86 Tabel 25. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Kota Waingapu, survei Sumba 2015.86
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
ix
Tabel 26. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Kambera, survei Sumba 2015. ......... 87 Tabel 27. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Pandawai, survei Sumba 2015......... 88 Tabel 28. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Umalulu, survei Sumba 2015. .......... 88 Tabel 29. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Kodi Utara, survei Sumba 2015. ...... 89 Tabel 30. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Panguha Lodu, survei Sumba 2015. 90 Tabel 31. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Wulla Waijelu, survei Sumba 2015. . 91 Tabel 32. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Ngadu Ngala, survei Sumba 2015. ... 91 Tabel 33. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Karera, survei Sumba 2015.............. 92 Tabel 34. Data posisi desa nelayan di pesisir Sumba, survei Sumba 2015. ........................... 102 Tabel 35. Daftar posisi GPS pantai peneluran/pendaratan penyu di pesisir Sumba, survei Sumba 2015. .................................................................................................................. 104 Tabel 36. Daftar posisi GPS pantai mangrove di pesisir Sumba, survei Sumba 2015. .......... 105 Tabel 37. Dafta posisi GPS pantai padang lamun di pesisir Sumba, survei Sumba 2015. ..... 106 Tabel 38. Daftar species ikan karang yang teramati dari titik pengamatan 11 hingga 19, survey Sumba 2015. ...................................................................................................... 107
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
x
Daftar Gambar Gambar 1. Pengamatan terumbu karang dengan menggunakan metode manta tow (English, Wilkinson & Baker, 1997). ................................................................................................. 5 Gambar 2. Lebar pengamatan pada karakter kontur dasar substrat yang berbeda (English, Wilkinson and Baker, 1997). .............................................................................................. 6 Gambar 3. Metode pengamatan ikan dan substrat karang. .................................................... 8 Gambar 4. Metode pengamatan komunitas bentik. ................................................................. 9 Gambar 5. Peta lokasi survey pesisir P. Sumba 2015. ............................................................. 11 Gambar 6. Struktur Polip Karang ( Veron, 1996)..................................................................... 16 Gambar 7. Proses reproduksi karang. ..................................................................................... 17 Gambar 8. Zonasi mangrove berdasarkan perbedaan areal pasang surut berdasarkan contoh di Cilacap, Jawa Tengah (White dkk, 1989 dalam Noor dkk, 2006)................................. 20 Gambar 9. Penampang tumbuhan lamun. .............................................................................. 21 Gambar 10. Peta habitat dan peneluran penyu di Indonesia (Adnyana & Hitipeuw, 2009)... 22 Gambar 11. Peta sebaran karang keras di pesisir P. Sumba berdasarkan survei manta tow 2015. ................................................................................................................................ 24 Gambar 12. Peta sebaran karang lunak di pesisir P. Sumba berdasarkan survei manta tow 2015. ................................................................................................................................ 24 Gambar 13. Peta sebaran pecahan karang (rubble) di pesisir P. Sumba berdasarkan survei manta tow 2015. ............................................................................................................. 25 Gambar 14. Aktifitas masyarakat yang berkontribusi terhadap kerusakan karang. a-b. Kapal compressor; c. Aktifitas makanmeting dengan speargun; d. alat tangkap bubu; e. substrat pecahan karang. Foto: W. Sanjaya/CTC. ........................................................... 25 Gambar 15. Peta sebaran karang mati di pesisir P. Sumba berdasarkan survei manta tow 2015. ................................................................................................................................ 27 Gambar 16. Peta sebaran makro algae di pesisir P. Sumba berdasarkan survei manta tow 2015. ................................................................................................................................ 28 Gambar 17. a-b. makro algae yang dijumpai; c-d. Jenis-jenis lamun yang dijumpai pada pengamatan manta tow pesisir utara P. Sumba, 2015. Foto: W Sanjaya/CTC. .............. 28 Gambar 18. Peta sebaran batuan (rock) di pesisir P. Sumba berdasarkan survei manta tow 2015. ................................................................................................................................ 29 Gambar 19. Peta sebaran substrat pasir di pesisir P. Sumba berdasarkan survei manta tow 2015. ................................................................................................................................ 30 Gambar 20. Peta sebaran mega fauna di pesisir P. Sumba berdasarkan survei manta tow 2015. ................................................................................................................................ 30
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
xi
Gambar 21. Peta lokasi peneluran penyu di pantai pesisir utara P. Sumba, survei Sumba 2015. ................................................................................................................................ 32 Gambar 22. Peta titik-titik pengamatan substrat bentik dan ikan karang survey Sumba 2015. ......................................................................................................................................... 33 Gambar 23. Histogram persentase penutupan karang keras titik-titik pengamatan survei Sumba 2015. .................................................................................................................... 35 Gambar 24. Histogram persentase rata-rata karang hidup (karang keras + karang lunak) pada titik-titik pengamatan survei Sumba 2015. ..................................................................... 35 Gambar 25. Histogram komposisi substrat bentik di titik-titik pengamatan survey Sumba 2015. ................................................................................................................................ 37 Gambar 26. a. Rata-rata komposisi (%) substrat bentik survei Sumba 2015; b. Rata-rata komposisi (%) karang keras survey Sumba 2015............................................................. 37 Gambar 27. Histogram kepadatan populasi ikan karang (individu/ha) di titik-titik pengamatan survey Sumba 2015. ........................................................................................................ 39 Gambar 28. Histogram biomassa ikan karang (kg/ha) di titik-titik pengamatan survei Sumba 2015. ................................................................................................................................ 39 Gambar 29. Perbandingan komposisi kepadatan populasi (ind/ha) dan biomassa (kg/ha) ikan karang antara ikan kecil dan ikan besar pada titik-titik pengamatan survei Sumba 2015. ......................................................................................................................................... 40 Gambar 30. Perbandingan komposisi kepadatan populasi dan biomassa berdasarkan family ikan karang, survei Sumba 2015. ..................................................................................... 40 Gambar 31. Peta Kawasan TNP Laut Sawu dan titik-titik pengamatan terbaik di pesisir P. Sumba, survei Sumba, 2015. (bulat kuning merupakan titik-titik pengamatan yang mempunyai nilai indeks kesehatan karang tertinggi di pesisir P. Sumba). ..................... 43 Gambar 32. Kondisi terumbu karang di Tanjung Sasar. Foto: ME Lazuardi/CTC. ................... 43 Gambar 33. Peta sebaran mangrove di pesisir Pulau Sumba, survei Sumba 2014 dan 2015. 45 Gambar 35. Vegetasi mangrove di Desa Pero Konda survey Sumba 2015. ............................ 46 Gambar 36. Vegetasi mangrove di Desa Rada Mata, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia. 47 Gambar 37. Vegetasi mangrove di Desa Lete Konda, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia. 47 Gambar 38. Vegetasi mangrove di Desa Loko Ry, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia...... 48 Gambar 39. Vegetasi mangrove di Desa Wendewa Utara, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia. ........................................................................................................................... 49 Gambar 40. Vegetasi mangrove di Desa Kuta, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia. .......... 50 Gambar 41. Vegetasi mangrove di Desa Hambala, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia. ... 51 Gambar 42. Vegetasi mangrove di Desa Watumbaka, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia. ......................................................................................................................................... 52 Gambar 43. Vegetasi mangrove di Kecamatan Umalulu, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia. ........................................................................................................................... 53
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
xii
Gambar 44. Vegetasi mangrove di Kecamatan Mburukulu, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia. ........................................................................................................................... 54 Gambar 45. Vegetasi padang lamun di Desa Randa Mata, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia. ........................................................................................................................... 55 Gambar 46. Vegetasi padang lamun di Desa Kuta, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia. ... 56 Gambar 44. Peta sebaran padang lamun di pesisir Pulau Sumba, survey Sumba 2014 dan 2015. ................................................................................................................................ 57 Gambar 45. Kegiatan makan meting oleh anak-anak di Pantai tarimbang. Foto: P. Hutasoit.76 Gambar 49. Desa pantai di Pero Konda, survei Sumba 2015. Foto: D. Prasetia. .................... 93 Gambar 50. Pesisir Pantai Bina Natu, Desa loko Ry, survei Sumba 2015. Foto: D. Prasetia. .. 94 Gambar 51. Pantai di pesisir Desa Lenang, survei Sumba 2015. Foto: D. Prasetia. ................ 95 Gambar 52. Pesisir Pulau Salura, survei Sumba 2015. Foto: D. Prasetia. ............................... 96
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
xiii
Partisipan Matheus Jaga Dewa
Marthen Welly
(Penanggung jawab kegiatan dan ahli ekologi Kasi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir /Pantai terumbu karang) dan Pengelolaan Perairan Coral Triangle Center (Koordinator Kegiatan)
Dinas Kelautan dan Perikanan
Jl. Danau Tamblingan No. 78 Sanur 80228 Bali
Kabupaten Sumba Barat
T/F: 0361 289 338
Jl. Basuki Rahmat no 12 Waikabubak, Sumba Email:
[email protected] Barat, NTT Telp: 038 721 375 Muhammad Erdi Lazuardi
Wira Sanjaya
(Ahli ekologi terumbu karang dan ikan karang)
(Ahli ekologi terumbu karang)
Coral Triangle Center
Coral Triangle Center
Jl. Danau Tamblingan No. 78 Sanur 80228 Bali
Jl. Danau Tamblingan No. 78 Sanur 80228 Bali
T/F: 0361 289 338
T/F: 0361 289 338
Email:
[email protected]
Email:
[email protected]
Dodik Prasetia
Julius Umbu Pingge
(Ahli sosial ekonomi pesisir)
(Survey biofisik dan karakteristik pantai)
Kasi Sarana Prasarana dan Produksi Jl. Ahmad Yani No. 67, Kaliuntu, Banyuasri, Penangkapan Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Buleleng, Bali Sumba Barat T: 0362 21541 Universitas Pendidikan Ganesha
Email:
[email protected] Azhar Muttaqin
Nurul Utami Raharjo
(Volunteer manta tow, pengamatan karang dan (Volunteer manta tow, pengamatan ikan karang data entry) dan data entry) Alumni Ilmu dan Tehnologi Kelautan - IPB
Alumni Ilmu dan Tehnologi Kelautan - IPB
Email:
[email protected]
Email:
[email protected]
Sigit Prasetya
Asri Puji Lestari
(Volunteer manta tow, pengamatan ikan karang (Volunteer manta tow, point intersept transect dan data entry) dan data entry) Alumni Ilmu dan Tehnologi Kelautan - Undip Email:
[email protected]
Alumni Ilmu Biologi Kanazawa University dan ITB Email:
[email protected]
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
xiv
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015 ix
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
15
I. Pendahuluan
1.1. Kondisi Umum Pulau Sumba merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografis terletak pada posisi 90 40’ Lintang Selatan dan 1200 00’ Bujur Timur, berbatasan dengan Selat Sumba (bagian utara), Samudera Indonesia (bagian selatan dan barat), dan Laut Sabu (bagian timur). Pulau Sumba memiliki luas wilayah sekitar 1.093.489 ha. Secara administrasi terbagi atas 4 (empat) Kabupaten yaitu: Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Tengah, dan Kabupaten Sumba Timur.
1. Kabupaten Sumba Timur dengan luas laut 8.373,53 Km2 dengan panjang garis pantai 433,6 Km. 2. Kabupaten Sumba Tengah dengan panjang garis pantai bagian utara sepanjang 55,62 Km dan bagian selatan sepanjang 48,52 Km sehingga total panjang garis pantai adalah 104,14 Km. 3. Kabupaten Sumba Barat memiliki panjang garis pantai di wilayah bagian utara adalah 3.11 km sedangkan di wilayah bagian selatan adalah 63.38 km. 4. Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki garis pantai sepanjang 79,68 km. Pulau Sumba memiliki 2 (dua) musim yaitu: musim kemarau dan musim hujan. Pada bulan Juni – September angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember – Maret angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik sehingga terjadi musim hujan. Keadaan seperti ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April – Mei dan Oktober – November. Posisi Pulau Sumba yang dekat dengan Australia, mengakibatkan angin yang banyak mengandung uap air dari Asia dan Samudera Pasifik sampai di wilayah Pulau Sumba kandungan uap air sudah berkurang yang mengakibatkan hari hujan di Pulau Sumba relatif lebih sedikit dibanding wilayah yang dekat dengan Asia. Hal ini menjadikan Pulau Sumba sebagai wilayah yang tergolong kering dimana hanya 4 bulan yaitu: Januari sampai Maret, dan Desember yang keadaannya relatif basah. Pulau Sumba memiliki 14 sungai yang tersebar di empat Kabupaten. Sungai yang terdapat di Kabupaten Sumba Barat Daya adalah Pola Pare (18 km), Wai Ha (9 km), Wee Wagha (10 km), Wee Lambora (10 km), Wee Kalowo (7 km), dan Loko Kalada (16 km). Kabupaten Sumba Barat
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
1
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
Pulau Sumba berdasarkan pembagian wilayah per kabupaten, memiliki potensi pesisir dan laut yang meliputi:
1
memiliki Sungai Wano Kaka dengan panjang sungai 80 km. Kabupaten Sumba Tengah memiliki Sungai Bewi (8 km) dan Pamalar (6 km). Kabupaten Sumba Timur memiliki Sungai Payeti (70 km), Wangga (50 km), Kakaha (55 km), Kambaniru (1.171 km), dan Baing (301,4 km). Sungaisungai tersebut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi ekosistem pesisir di P. Sumba. Berkaitan dengan target nasional pemerintah Indonesia untuk melindungi lautnya seluas 20 juta hektar pada tahun 2020 melalui pembentukan kawasan konservasi perairan, maka perlu didukung data yang valid dan lengkap agar perancangan kawasan konservasi perairan maupun jejaringnya dapat dilakukan secara efektif. Salah satu kawasan konservasi perairan nasional terbesar di Indonesia yang saat ini telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan bersama dengan pemerintah Propinsi NTT adalah Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu yang merupakan bagian dari bentang laut Lesser Sunda. Bentang Laut (Seascape) Lesser Sunda yang meliputi wilayah Bali, NTB, NTT, Maluku Barat Daya dan Timor Leste, merupakan salah satu bentang laut prioritas di dalam kawasan segitiga karang dunia (coral triangle). Bentang laut ini menempati ranking ketiga prioritas konservasi di wilayah coral triangle setelah bentang laut Kepala Burung (Bird Head) dan Laut Banda (Banda Sea). Pulau Sumba juga termasuk dalam wilayah Bentang Laut Lesser Sunda memiliki potensi keanekaragaman hayati laut yang cukup tinggi. Dari potensi perikanan wilayah ini menjadi daerah penangkapan ikan bagi para nelayan yang berasal dari Bali, Lombok, Flores dan Sulawesi. Potensi keanekaragaman hayati laut juga berpengaruh pada peningkatan pembangunan beberapa resort dengan skala internasional di pesisir Pulau Sumba. Agar potensi pesisir dan laut di Pulau Sumba dapat bermanfaat bagi masyarakat maka perlu dikelola dengan baik. Salah satu cara pengelolaan potensi pesisir dan laut di Pulau Sumba adalah dengan melakukan upaya konservasi laut dan pengelolaan perikanan agar secara berkelanjutan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Guna mendukung pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Pulau Sumba melalui pembentukan kawasan konservasi perairan dan zonasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka The Nature Conservancy Indonesia Marine Program (TNC-IMP) bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi NTT, Dewan Konservasi Perairan Provinsi NTT, Pemerintah Kabupaten di Pulau Sumba dan Coral Triangle Center (CTC) dengan dibantu oleh beberapa sukarelawan, pada tahun 2014 telah melakukan survei biofisik dan sosial ekonomi di pesisir selatan Pulau Sumba dimana hasil dan laporannya telah disampaikan kepada instansi terkait. Pada tahun 2015 ini kembali dilakukan survei yang sama dengan mengambil lokasi bagian utara Pulau Sumba mulai dari barat laut, utara dan tenggara guna melengkapi survei tahun 2014 sehingga dapat diperoleh data secara utuh keseluruhan pesisir Pulau Sumba. Survei biofisik yang dilakukan fokus pada pengumpulan data terumbu karang, ikan karang, sebaran ekosistem mangrove, sebaran ekosistem padang lamun dan pantai-pantai peteluran penyu. Sementara itu, survei sosial ekonomi, fokus pada data perikanan, wisata bahari, dan kearifan tradisional di pesisir Pulau Sumba.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
2
1.2.
Tujuan Survei
Survei ini bertujuan untuk mengumpulkan data-data biofisik dan sosial ekonomi meliputi: • Pengumpulan data biofisik berupa kondisi dan sebaran terumbu karang, identifikasi jenis ikan, kondisi dan sebaran mangrove, kondisi dan sebaran padang lamun, identifikasi pantai-pantai peneluran penyu dan habitat pesisir penting lainnya. • Pengumpulan data sosial ekonomi yang meliputi demografi, perikanan, wisata bahari dan kearifan tradisional masyarakat pesisir. Data-data ini diharapkan dapat digunakan untuk merancang kawasan-kawasan konservasi perairan dan sebagai masukan pembuatan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Pulau Sumba.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
3
II. Metodologi
2.1. Biofisik
Manta tow dan timed swims (English, Wilkinson & Baker, 1997; Hill & Wilkinson, 2004) Reef health - Point Intercept Transect dengan peralatan SCUBA (Wilson & Green, 2009) Pengamatan ekosistem mangrove (English et all., 1997) Pengamatan padang Lamun (Mackenzie, Finkbeiner & Kirkman, 2001) Kerusakan Pantai (Penandaan dengan GPS) Pantai Peneluran Penyu (Adnyana dan Hitipeuw, 2009) Semi-structured Interview dan Kajian Pustaka sebagai bagian dari triangulasi data (Miller & Brewer, 2007).
2.1.1. Manta Tow and Timed Swims (English, Wilkinson & Baker, 1997; Hill & Wilkinson, 2004) Pengamatan dengan menggunakan metode manta tow merupakan pengamatan yang dilakukan untuk kawasan luas. Tujuan pertama untuk mengetahui gambaran umum kondisi terumbu karang, kejadian coral bleaching, peledakan populasi mahkota berduri (Acanthaster plancii), maupun kejadian lain yang memberi perubahan luas pada suatu kawasan terumbu karang. Kedua, metode ini juga dipilih jika suatu kawasan belum pernah disurvey secara menyeluruh. Ketiga, metode ini dipilih sebagai dasar penentuan pengamatan atau monitoring berikutnya yang lebih detail namun terbatas pada titik-titik contoh pengamatan yang diseleksi seperti dengan menggunakan peralatan selam (SCUBA). Tehnik pengamatan Seorang pengamat dengan menggunakan peralatan snorkeling ditarik oleh speedboat dengan kecepatan rata-rata 2 knot (+- 5 km/jam) pada sebuah tali dengan panjang 18 m. Pada ujung tali terdapat papan manta sebagai pegangan pengamat dan sebagai alas pencatatan data. Pencatatan data dilakukan tiap 2 menit tarikan (towing). Pada tali yang ditarik tersebut diberikan pelampung tanda tiap 6 m. Pelampung tersebut digunakan sebagai
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
4
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
Pengumpulan data biofisik difokuskan pada terumbu karang (substrat bentik), ikan karang, mangrove, padang lamun, kerusakan pantai dan pantai peneluran penyu di Pulau Sumba. Untuk pengumpulan data-data tersebut digunakan metode :
4
estimasi jarak pandang atau kecerahan air laut. Namun demikian, panjang tali untuk pengamatan manta tow bisa disesuaikan dengan karakter pantai yang bergelombang maupun tubir karang yang berkelok-kelok. Pada saat speedboat berhenti, pengamat mencatat estimasi tutupan karang hidup dan substrat lain yang sudah ditentukan dan menuliskan pada kolom tersedia. Pada saat yang sama pemegang GPS di atas speedboat mencatat posisi GPS dan karakter pantai (nama dan gambaran umum pantai seperti pantai berpasir, berbatu dan lainnya).
Gambar 1. Pengamatan terumbu karang dengan menggunakan metode manta tow (English, Wilkinson & Baker, 1997).
Peralatan Peralatan yang digunakan meliputi: -
Speedboat (kapal kecil, jukung),
-
Papan manta,
-
Tali dengan diameter minimal 1 cm sepanjang 20 m (panjang tali dilebihkan untuk keperluan mengikat),
-
Kertas data anti air dan pensil untuk pengamat di permukaan air dan kertas data GPS untuk pengamat di atas speedboat,
-
Peralatan snorkeling (Masker, snorkel, fin dan wetsuit),
-
Stopwatch, dan
-
GPS.
Tim manta tow Terdiri minimal 3 orang meliputi: -
Pengamat yang ditarik speedboat;
-
Pencatat GPS, waktu, dan infomarsi pantai; dan
-
Motoris (pengendara speedboat).
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
5
Penambahan anggota tim bisa berfungsi sebagai penunjuk arah untuk memastikan speedboat tetap di atas tubir karang. Pengamatan dilakukan sepanjang tubir karang dengan kedalaman antara 3 – 5 m dengan cakupan lebar pengamatan tergantung kontur dasar substrat sesuai dengan Gambar 1.
Gambar 2. Lebar pengamatan pada karakter kontur dasar substrat yang berbeda (English, Wilkinson and Baker, 1997).
Pada kondisi alam seperti berombak tinggi, hujan sangat deras maupun kecerahan air laut yang kurang dari 2 m, maka pengamatan manta tow ini tidak bisa dilakukan. Sebagai antisipasi, pengamatan dilakukan dengan menggunakan timed swims selama 20 menit di beberapa lokasi yang memungkinkan dan mengestimasi tutupan substrat seperti dalam manta tow.
2.1.2. Reef health - Point Intercept Transect (PIT) dengan peralatan SCUBA (Wilson & Alison, 2009). Cakupan Area dan Lokasi Cakupan area survei dengan metode Reef Health – PIT ini adalah pesisir barat laut, utara hingga tenggara P. Sumba yang memiliki sebaran terumbu karang berdasarkan data manta
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
6
tow. Lokasi pengamatan adalah lokasi yang memiliki panjang habitat yang mencukupi untuk dilakukan pengamatan baik menggunakan transek maupun pengamatan “long-swim”. Survei dilakukan di 19 titik terpilih di pesisir utara hingga tenggara P. Sumba.
Metode Survei Ikan Metode sensus visual di bawah air merupakan metode yang paling efektif untuk memantau ikan-ikan terumbu karang, khususnya di lokasi yang jauh/terpencil (Choat dan Pears 2003). Populasi ikan terumbu karang (difokuskan pada jenis perikanan penting) disurvei dengan mengggunakan metode sensus visual di bawah air seperti yang dijelaskan oleh English, et al. (1997), Wilkinson, et al. (2003), Choat dan Pears (2003), Hill dan Wilkinson (2004) dan Sweatman, et al. (2005) yang dimodifikasi dalam Wilson dan Green (2009).
Daftar Jenis Jenis ikan yang diamati meliputi: -
Jenis ikan yang menjadi target nelayan lokal/komersial, Jenis ikan yang dapat di-identifikasi secara akurat oleh pengamat, Jenis ikan yang sesuai untuk penghitungan menggunakan sensus visual di bawah air, yaitu jenis ikan yang terlihat sangat jelas (menyolok).
Pengamatan ini pada umumnya mencatat nama famili hingga genus berdasarkan sistem turus yang dibedakan antara ikan besar dan ikan kecil. Kategori ikan besar adalah semua jenis ikan ekonomis penting dengan panjang lebih dari 35 cm. Sedangkan kategori ikan kecil adalah semua jenis ikan ekonomis penting dengan panjang antara 10 – 35 cm.
Estimasi Panjang Ikan Mengestimasi panjang setiap individu ikan yang terlihat di transek atau long-swim dengan seakurat mungkin sangat penting. Data tersebut dibutuhkan untuk mengestimasi biomasa dari famili atau jenis ikan. Untuk itu, sebelumnya diadakan pelatihan estimasi panjang dan pengamatan jenis ikan. Tingkat keakuratan dari para pengamat ikan harus dicatat pada awal pemantauan sehingga derajat kesalahan (error) dari estimasi mereka dapat diketahui. Idealnya, para pengamat ikan harus dapat mengestimasi panjang ikan dengan selisih 5 cm dan harus bertujuan mencapai tingkat keakuratan tersebut melalui pelatihan dan praktek. Kelas-kelas ukuran ikan dibagi ke dalam ikan kecil sampai sedang (10 – 35 cm) dan ikan besar (>35 cm).
Transek Sabuk (Belt-Transect) Transek sabuk digunakan karena sesuai sesuai untuk pemantauan data sebaran populasi dan biomassa ikan. Panduan transek sabuk adalah bentangan 50 m x 5 transek garis menyinggung ditambah dengan 20 menit berenang (long swim) (sekitar 400 m). Transek ini diletakkan pada kedalaman 10 m tubir luar terumbu karang searah garis pantai. Pengamatan ikan besar memiliki bentangan lebar transek sabuk selebar 10 m ke kiri dan 10 m ke kanan dari transek garis. Sedangkan pengamatan ikan kecil memiliki bentangan lebar transek sabuk selebar 2.5 m ke kiri dan 2.5 m ke kanan dari transek garis. Long swim dilakukan hanya untuk
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
7
pencatatan ikan besar. Pengamat menghitung individu ikan dan mengestimasi ukuran jenis ikan target. Estimasi biomasa yang paling akurat adalah panjang total (TL) dalam cm.
Gambar 3. Metode pengamatan ikan dan substrat karang.
Long-Swim Pada saat kedua pengamat ikan telah mencapai bagian yang paling akhir dari meteran transek 5 x 50 m pada kedalaman 10 m, mereka akan melanjutkan dalam arah yang sama untuk melakukan long swim untuk survei ikan karang yang besar dan rentan sesuai daftar pada Lampiran 1. Metode long swim terdiri dari 20 menit berenang pada kecepatan berenang standar (sekitar 20 m per menit) secara paralel dengan tubir terumbu (reef crest) pada kedalaman sekitar 3-5 m di depan terumbu (di bawah tubir, sehingga memungkinkan untuk memantau secara serempak di daerah tubir, rataan dan lereng terumbu di mana jenis yang lebih besar muncul di situ). Ukuran transek yang optimal adalah 400 m x 20 m. Dalam menggunakan metode ini, hal yang sangat penting adalah jarak yang dilalui dicatat secara akurat dan minimal panjangnya adalah 400 m. Hal ini dapat dilakukan dalam 2 cara yaitu dengan membuat tanda permanen di wilayah yang harus dilalui oleh pengamat atau dengan mencatat secara akurat posisi GPS di titik awal dan akhir penyelaman atau menandai dengan pelampung permukaan. Alternatif lain, GPS dapat dipasang pada sebuah pelampung permukaan yang kemudian ditarik oleh pengamat selama dia melakukan survei sehingga dapat memberikan hasil yang lebih akurat. Pelampung tersebut dapat juga membantu pengemudi kapal untuk mengikuti perjalanan dari penyelam yang melakukan long swim. Jika memungkinkan, pelampung harus digunakan selama melakukan long swim karena alasan keselamatan. Metode ini lebih cocok untuk menghitung jenis yang besar dan rentan yang tingkah-lakunya terlihat jelas (Choat dan Spears 2003), sebab mereka cenderung berenang di atas dasar, misalnya hiu, manta, napoleon, kakatua besar, beberapa kerapu (khususnya jenis Plectropomus, Gracilia dan Variola) dan ikan kuwe (giant trevally).
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
8
Metode Survei Substrat Bentik Metode Point-Intercept Transect (PIT) – Reef Health digunakan untuk mengukur komunitas bentik tutupan substrat pembangun terumbu karang (karang keras; karang lunak; komponen abiotik meliputi substrat bergerak dan substrat tetap; alga; dan biota lainnya (others); serta karang memutih). Kode pengamatan bentuk pertumbuhan sesuai dengan English, et al. (1997); dan Hill & Wilkinson (2004) yang dimodifikasi dalam Wilson & Green (2009). Pengamatan dilakukan pada dua kedalaman: 3 dan 10 m. Pengamat berenang di sepanjang transek berukuran 3 x 50m yang diletakkan oleh tim ikan karang pada kedalaman 10 m (Gambar 2.) dan mencatat dengan segera kategori bentuk pertumbuhan di bawah meteran pada interval 0.5 m sepanjang transek, dimulai pada point 0.5 m dan berakhir pada point 50 m (3 x 100 titik per transek = total 300 titik). Transek pada kedalaman 10 m ini juga digunakan oleh tim ikan karang. Jika transek tidak berada tepat pada atau langsung di atas karang, maka dapat dipilih titik yang berada pada lereng terumbu pada kedalaman yang sama dan segera disesuaikan dengan posisi titik pada meteran yang ada di lereng terumbu. Pada saat survei telah selesai dilakukan pada kedalaman 10 m, tim survei substrat bentik akan mengambil kembali transek (total 5 transek). Jika jumlah personal pengamat mencukupi, secara terpisah tim pengamat komunitas bentik melakukan pemasangan transek dan pengambilan data di kedalaman 3 m. Jika tim pengamat tidak mencukupi, maka tim pengamat substrat bentik di kedalaman 10 m akan naik untuk melakukan pengamatan substrat bentik di kedalaman 3 m.
1-2 m
50 m
Kedalaman 3 m
............ 0
0.5 1 m
50 m
Kedalaman 10 m
Gambar 4. Metode pengamatan komunitas bentik.
2.1.3. Ekosistem mangrove (English et al., 1994) Pencatatan vegetasi mangrove mencatat posisi dengan GPS untuk selanjutnya ditampilkan dalam peta. Dalam survei ini, pencatatan mangrove hanya sebatas posisi dan sebaran untuk memberikan gambaran umum posisi mangrove di pesisir utara hingga tenggara Pulau Sumba.
2.1.4. Padang Lamun (Mackenzie, Finkbeiner & Kirkman, 2001) Pencatatan ekosistem padang lamun mencatat posisi dengan GPS untuk selanjutnya ditampilkan dalam peta. Dalam survei ini, pencatatan padang lamun hanya sebatas posisi dan sebaran untuk memberikan gambaran umum posisi padang lamun di pesisir Pulau Sumba.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
9
2.1.6. Pemetaan Pantai Peneluran Penyu (Adnyana & Hitipeuw, 2009) Pemetaan pantai peneluran penyu mencatat posisi pantai dengan GPS dan karakter pantai peneluran berdasarkan pengamatan langsung maupun informasi dari masyarakat dan pengambilan gambar.
2.2. Sosial Ekonomi Metode pengamatan sosial ekonomi meliputi pengumpulan informasi dari masyarakat dan pemerintah melalui semi-structured interviews dan focus group discussion (FGD), serta dokumen dan laporan dari akademisi, pemerintah dan LSM sebagai triangulasi temuantemuan (Chamber, 1999; Miller and Brewer, 2007). Pengumpulan Data Primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara:
Semi-structure interviews, yaitu dengan mengajukan pertanyaan secara langsung yang tidak terstruktur untuk lebih membuka pendapat responden namun dengan mempersiapkan kuisioner poin kunci. Kuesioner dengan pertanyaan terbuka yang memberikan kesempatan kepada responden untuk menjawab pertanyaan dengan jawaban bebas menggunakan katakata responden sendiri. FGD (Focus Group Discussion), yaitu diskusi terbuka dan terarah yang diikuti oleh stakeholder sektor perikanan dan pariwisata (nelayan, masyarakat, Pemda, swasta, LSM).
Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan berupa: Data statistik Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPPDA) Peta Wilayah Dokumen hasil-hasil penelitian yang relevan (buku, laporan). Informasi dari staf pemerintah dan LSM.
2.3. Waktu Survei kajian biofisik dan sosio-ekonomi dilakukan antara 17 - 28 Oktober 2015.
2.4. Lokasi Survei kajian dilakukan di pesisir Utara Pulau Sumba dari barat ke timur hingga Pulau Salura dan Pulau Mangudu di bagian tenggara Sumba Timur.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
10
Gambar 5. Peta lokasi survey pesisir P. Sumba 2015.
Lokasi survei sosial ekonomi difokuskan pada seluruh desa pesisir barat laut hingga tenggara Kabupaten Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur.
2.5. Analisis data Data yang akan ditampilkan merupakan data kulaitatif dan data kuantitatif. Untuk data substrat bentik, data estimasi dari manta tow, timed swims dan penyelaman akan diolah di dalam program excel untuk mendapatkan persentase rata-rata substrat, histogram, dan tampilan table. Penggunaan angka desimal dipisahkan dengan tanda titik, sedangkan penggunaan angka ribuan tidak dipisahkan dengan tanda koma ataupun titik. Contoh: -
Penutupan karang sebesar 30.4% (tigapuluh koma empat persen). Kepadatan ikan karang sebesar 4609 ind/ha (empat ribu enam ratus sembilan). Satuan ikan adalah individu disingkat ind. Satuan luas memakai hektar disingkat ha.
Persentase penutupan komponen substrat bentik pada pengamatan manta tow dikategorikan sebagai berikut: -
Kategori 1 Kategori 2 Kategori 3 Kategori 4
: (1 – 24 %) : (25 – 49 %) : (50 – 74 %) : (75 – 100 %)
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
11
Kepadatan populasi ikan dihitung dengan jumlah individu ikan yang dijumpai di mana: Kepadatan (individu per hektar) = (jumlah ikan tiap transek : luas transek dalam m2) x 10000. Biomassa ikan didapatkan dari estimasi panjang setiap individu ikan dengan rumus: = a x Lb (Kulbicki, dkk. 2005) W = Berat ikan (kg/ha) L = Panjang ikan (cm) a dan b = konstanta panjang-berat Kategori tinggi rendahnya biomassa ikan mengacu pada Hilomen et al. (2000) bahwa lebih dari 750 kg/ha merupakan kategori sangat tinggi, sedangkan dimana biomassa berbagai jenis ikan karang dikategorikan sebagai berikut: W
-
Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
: 0 - 250 kg/ha : 251 – 500 kg/ha : 501 – 750 kg/ha : >750 kg/ha
Kategori kondisi terumbu karang mengacu pada Gomez dan Yap (1988) berdasarkan persentase penutupan karang karang hidup (karang keras dan karang lunak) dengan kategori sebagai berikut: Buruk : 0 – 24.9% Sedang : 25 – 49.9% Baik : 50 – 74.9% Memuaskan : 75 – 100% Indeks mortalitas digunakan untuk melihat rasio atau tingkat kesehatan karang atau tingkat mortalitas karang (Gomez & Yap, 1988). Nilai indeks mortalitas berada pada 0 hingga 1. Artinya jika nilai indek mortalitas karang mendekati 0, maka nilai tingkat kesehatan karang pada suatu lokasi adalah tinggi, atau tingkat kematian karangnya rendah. Sebaliknya, jika nilai indeks mortalitas mendekati 1, maka nilai tingkat kesehatan karang pada suatu lokasi adalah rendah, atau tingkat kematian karangnya tinggi. Adapun rumus dari indeks mortalitas adalah sebagai berikut: IM=
Persentase karang mati Persentase karang keras + karang mati
Catatan:
IM= Indeks mortalitas
Komponen karang mati pada indeks ini meliputi penjumlahan persentase penutupan karang mati dan rubble. Posisi GPS pada pengamatan terumbu karang, mangrove, padang lamun, abrasi pantai dan pantai peneluran penyu akan diolah melalui program ArcView untuk selanjutnya ditampilkan pada peta tematik. Demikian pula, temuan-temuan pada sosio-ekonomi akan ditampilkan sebagai data kualitatif, data kuantitatif dan peta tematik.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
12
III. Tinjauan Pustaka
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore) (Dahuri et al., 1996) .Pesisir adalah daerah pertemuan antara daratan dan lautan. Batas daratan meliputi bagian kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut, seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi air laut. Bagian laut, perairan pesisir mencakup bagian batas terluar dari daerah paparan benua yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar. Dengan definisi wilayah seperti diatas maka memberikan suatu pengertian bahwa wilayah pesisir mempunyai ekosistem-ekosistem yang dinamis dengan kekayaan habitat beragam, di darat maupun di laut dengan saling berinteraksi. Karena letaknya yang berada di hilir dan berdekatan dengan aktifitas manusia, maka ekosistem di wilayah ini rentan terhadap dampak kegiatan manusia. Apalagi wilayah ini juga dipengeruhi oleh aktifitas di hilir atau daratan lebih tinggi. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem perairan pesisir.
3.2. Terumbu karang Keberadaan ekosistem terumbu karang yang luas, memerlukan sebuah pengelolaan kawasan yang terpadu, meliputi pemanfaatan yang tidak bersifat eksploitatif, pengawasan atau patroli kawasan, perencanaan tata ruang dan pengambilan data potensi secara kontinyu, sehingga bisa dimanfaatkan secara keberlanjutan untuk menunjang ekonomi masyarakat. Pengelolaan kawasan pesisir yang belum optimal, kurangnya kesadaran masyarakat akan arti penting terumbu karang, kurang adanya mekanisme pemantauan yang berkelanjutan dan liputan media yang kurang akan arti penting dan potensi sumber daya yang berharga ini telah membuat kerusakan kawasan terumbu karang Indonesia semakin meningkat. Sangat dimungkinkan juga kawasan pesisir selatan Pulau Sumba adalah salah satunya. Pemantauan atau pengamatan terumbu karang yang merupakan salah satu komponen dalam pengelolaan sebuah kawasan dilakukan untuk mengetahui keberadaannya dan
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
13
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
3.1. Wilayah Pesisir
13
mengetahui penurunan atau peningkatan kualitas kondisi terumbu karang yang nantinya bisa digunakan sebagai acuan bagi kebijakan dan pengelolaan kawasan pesisir secara berkelanjutan.
Pengertian Terumbu Terumbu dapat diartikan ke dalam berbagai macam pengertian, tergantung dari sudut pandang seseorang. Para kapten kapal mendefinisikan terumbu sebagai bagian dari laut dangkal yang dapat menganggu pelayaran (navigasi). Para nelayan mengartikan terumbu karang sebagai batuan yang tenggelam di laut (sub marine) tempat ikan-ikan biasanya bergerombol dan nelayan dapat menangkapnya dengan jaring. Sedangkan para ahli fisika menyebutnya sebagai struktur batuan dangkal sampai supratidal yang dapat mengakibatkan pecahnya gelombang. Menurut ahli biologi laut, istilah terumbu diterjemahkan sebagai suatu struktur kerangka kerja organik yang dibentuk oleh organisme yang meliputi berbagai avertebrata (seperti binatang karang batu, tiram dan cacing) dan alga pembentuk karang (coralline algae). Dalam perkembangan lebih lanjut, pengertian terumbu karang dikelompokkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama yaitu terumbu bukan karang (non coral reef) dimana terumbu ini dibangun umumnya oleh tiram, cacing ataupun alga koralin. Kelompok kedua adalah terumbu karang (coral reef), dengan unsur pembangun utama terumbu jenis ini adalah binatang karang (Davies, 1984). Berdasarkan Nybakken (1988) Terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis. Terumbu karang adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria=Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organismeorganisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Karang terbagi atas dua kelompok, yaitu hermatipik dan ahermatipik. Karang hermatipik dapat menghasilkan terumbu karang sedangkan ahermatipik tidak. Karang ahermatipik tersebar di seluruh dunia, tetapi karang hermatipik hanya ditemukan di wilayah tropik. Perbedaan yang mencolok antara kedua karang ini adalah bahwa di dalam jaringan karang hermatipik terdapat simbiosis tumbuhan bersel satu yang dinamakan zooxanthellae, sedangkan karang ahermatipik tidak memiliki simbiosis semacam ini (Nybakken, 1988).
Penyebaran dan Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang Menurut Nybakken (1988), yang menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan terumbu karang adalah suhu, kedalaman, cahaya, salinitas dan pengendapan. Suhu Penyebaran geografis terumbu karang hampir semuanya ditemukan pada perairan dengan suhu permukaan isotherm 20 0C. Perkembangan terumbu yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23 – 25 0C, tetapi menurut Sukarno et al., (1983) suhu rata-rata tahunan perkembangan optimal terumbu karang adalah 25 – 30 0C. Dalam hal ini untuk daerah tropis menggunakan acuan Sukarno et al., (1983). Suhu maksimum yang dapat ditoleransi oleh terumbu karang adalah 35 – 40 0C.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
14
Kedalaman Terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50 – 70 m. Kebanyakan terumbu karang tumbuh di kedalaman 25 m atau kurang. Pembatasan kedalaman ini berhubungan dengan intensitas cahaya.
Cahaya Cahaya yang cukup harus tersedia agar fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang dapat terlaksana. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang pula. Titik kompensasi untuk karang nampaknya merupakan kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang sampai 15-20% dari intensitas di permukaan. Salinitas Kebanyakan spesies karang hermatipik sangat sensitif terhadap perubahan salinitas dari salinitas normal (30 – 35 0/00). Meskipun demikian masih ada koloni karang yang dapat berkembang di daerah dengan salinitas yang tinggi, seperti di Teluk Persia yang mempunyai salinitas 42 0/00. Pengendapan Kebanyakan karang hermatipik tak dapat bertahan dengan adanya endapan yang menutupi dan menyumbat struktur polip karang. Endapan juga mengakibatkan berkurangnya penetrasi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang. Faktor-faktor lainnya adalah pemasukan air segar. Hal itu didapat dari arus dan gelombang yang juga memberikan oksigen dan menghalangi pengendapan pada koloni karang. Pertumbuhan terumbu karang ke arah atas dibatasi oleh udara. Banyak karang yang mati karena terlalu lama berda di udara terbuka, sehingga pertumbuhan mereka ke arah atas terbatas hanya sampai tingkat pasang surut terendah.
Binatang Karang (Veron, 1986) Polip karang berbentuk tabung dengan mulut berada di atas yang juga berfungsi sebagai anus. Sekitar mulut dikelilingi oleh suatu rangkaian tentakel-tentakel yang mempunyai kapsul yang dapat melukai yang disebut nematokis, yang berfungsi sebagai penangkap makanan berupa zooplankton. Kerongkongan pendek menghubungkan mulut dengan rongga perut. Rongga perut berisi semacam usus yang disebut mesentri filament dan berfungsi sebagai alat pencernaan. Polip karang menempati cawan kecil ‘koralit’ yang merupakan kerangka kapur dan berfungsi sebagai penyangga agar seluruh jaringan dapat berdiri tegak. Kerangka kapur merupakan lempengan-lempengan yang tersusun secara radial dan tegak terhadap lempeng dasar. Lempengan yang berdiri ini disebut septa yang tersusun dari bahan anorganik dan kapur yang merupakan hasil sekresi dari polip karang. Karang terdiri dari dua lapisan sel utama; lapisan epidermis (kadang disebut juga ektodermis) dan lapisan gastrodermis (disebut juga endodermis). Kedua lapisan ini dipisahkan oleh
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
15
lapisan jaringan penghubung yang tipis yaitu mesoglea. Ektodermis terdiri dari berbagai jenis sel, antara lain sel mucus yang membantu menangkap makanan dan untuk membersihkan diri dari sedimen yang melekat dan sel nematokis yang berada di dalam sel cnidoblast, berfungsi sebagai sel penyengat untuk menangkap makanan dan mempertahankan diri. Dalam menangkap makanan dan membersihkan sedimen ini dilakukan oleh semacam rambut disebut cilia. Sedangkan lapisan endodermis sebagian besar selnya berisi simbiotik algae yang merupakan simbion karang.
Gambar 6. Struktur Polip Karang ( Veron, 1996).
Secara alami hampir semua jenis karang bersimbiose dengan algae bersel tunggal yang disebut zooxanthellae. Zooxanthellae hidup dalam lapisan endodermis karang. Beberapa bagian lain pada polip karang adalah sebagai berikut: 1. Corallite Kerangka polip, yaitu semaca pipa yang terdiri dari piringan vertikal yang mengelilingi pusat pipa atau tabung. Tabung itu sendiri adalah dinding corallite. 2. Septo-costae Elemen yang mengitari (radial) corallite secara vertikal dan terbagi oleh dinding menjadi 2 komponen. Yang di dalam dinding disebut Septa, dan yang di luar disebut Costae. Costae kadang-kadang memanjang melebihi dinding, kecuali pada corallite yang rata di atas sekeliling kerangka. Pada tahap berikutnya costae sering bergabung dengan corallite berikutnya. 3. Paliform lobes Semacam pilar pada batas dalam beberapa atau semua septa yang mengelilingi columella.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
16
4. Collumela Tonjolan semacam gerigi yang tersusun acak di dalam corallite. 5. Coenesteum Pipa-pipa corallite yang tergabung bersama oleh piringan datar (horizontal) dan struktur yang lain secara kolektif. Coenesteum biasanya berupa matrik bentuk lelehan piringan yang sangat kecil yang bergabung antara corallite yang satu dengan yang lainnya. Pada beberapa karang, piringan melebur menjadi lapisan yang solid. 6. Epitheca Tambahan kerangka tipis pada beberapa polip yang mengelilingi dinding corallite. Ini adalah elemen kerangka pertama yang diproduksi oleh planula larva karang. Itu tersemenkan pada substrat dan kemudian tumbuhlah polipnya. Pada beberapa karang, epitheca lenyap, tetapi pada karang yang lain, itu menjadi bentukan lapisan mati menyerupai jaringan dimana karang berhubungan dengan substrat. Lapisan ini sering mengerak dengan melanggar organisme lain. Itu sering tumbuh bebas pada koloni mati, dan bahkan bisa tumbuh dan membunuh corallite yg lain jenis.
Reproduksi Karang (Veron, 1986) Karang mempunyai reproduksi baik secara seksual dan aseksual. Reproduksi aseksual umumnya dilakukan dengan cara membentuk tunas yang akan menjadi individu baru pada induk, dan pembentukan tunas yang terus-menerus merupakan mekanisme untuk menambah ukuran koloni, tetapi tidak membentuk koloni baru. Reproduksi seksual menghasilkan larva planula yang berenang bebas, dan bila larva itu menetap di dasar maka akan berkembang menjadi koloni baru. Seksual#
Kebanyakan karang mencapai dewasa seksual pada usia 7 – 10 tahun. Karang dapat bersifat hermaprodit atau dioecious. Pembuahan umumnya terjadi di dalam ruang gastrovaskuler induk betina, sperma dilepaskan ke perairan dan akan masuk ke ruang gastrovaskuler. Telurtelur yang telah dibuahi biasanya ditahan sampai perkembangannya mencapai stadium larva planula. Planula dilepaskan dan berenang di perairan terbuka untuk waktu yang tidak dapat ditentukan, tetapi mungkin hanya beberapa hari sebelum menetap dan membentuk koloni baru. Bila karang dewasa menetap di suatu tempat, larva planula merupakan alat penyebar dari berbagai spesies karang. # # # # #
Seksual#
Aseksual#
Gambar 7. Proses reproduksi karang.
# # # # #
#
Aseksual# Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
17
#
Formasi Koloni Karang dan Bentuk Pertumbuhan Karang Semua karang dalam bentuk koloni mengalami proses perbanyakan di mana polip awal terbagi 2 atau lebih (perbanyakan intratentakulera), atau polip lain terbentuk di sisi polip awal (extratentakulera), atau polip kehilangan identitas sebagai individu dan membentuk lembah secara kontinyu. Bentuk pertumbuan koloni yang dihasilkan tergantung pada tipe perbanyakan dalam masing-masing karang. Suatu jenis karang dari genus yang sama dapat mengalami bentuk pertumbuhan yang berbeda pada suatu lokasi pertumbuhan. Kondisi fisik yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan yang mirip walaupun secara taksonomis berbeda. Adanya perbedaan bentuk pertumbuhan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kedalaman, arus dan topografi dasar perairan (Veron, 1986). Berdasarkan bentuk pertumbuhannya, karang batu dalam buku Survey Manual for Tropical Marine Resources (English et al., 1997) terbagi atas karang Acropora dan non-Acropora yang bentuk pertumbuhannya terdiri dari:
Branching, bentuk bercabang seperti ranting pohon. Massive, bentuk seperti batu besar. Encrusting, bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil. Submassive, bentuk mengerak atau merayap dengan hamper seluruh bagian menempel pada substrat. Foliose, bentuk menyerupai lembaran daun. Digitate, bentuk menjari. Tabulate, bentuk datar seperti meja. Mushroom, bentuk seperti jamur dan soliter. Millepora (karang api), semua jenis karang api dan dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar apabila disentuh. Heliopora (karang biru), dapat dikenali dengan adanya warna biru pada bagian dalamnya (skeleton). Tubipora (karang pipa), dapat dikenali dengan kerangkanya seperti susunan pipa dan di atasnya keluar tentakel seperti bunga.
Tipe-tipe Terumbu Karang (Veron, 1986) Terumbu karang dilihat dari struktur geomorfologinya dan proses pembentukannya dapat dibedakan menjadi empat yaitu : 1. Terumbu karang tepi (Fringing reef) Yaitu tipe terumbu yang berkembang di sekitar pantai (dekat dengan daratan) dan menjadi batas garis pantai. Karang ini jarang tumbuh hingga ke perairan dalam. 2. Karang penghalang (Barrier reef) Karang ini tumbuh pada tepi paparan benua atau terletak sejajar dengan garis pantai namun dipisahkan oleh lautan. 3. Terumbu karang cincin (Atoll)
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
18
Terumbu karang ini tumbuh melingkar mengelilingi gobah atau lagoon. Menurut teori Darwin. Atoll ini bermula terumbu karang tepi pada suatu pulau volkanis. Seiring waktu terumbu karang tumbuh dan permukaan pulau perlahan berkurang dan tenggelam yang menjadikannya sebuah gobah. 4. Terumbu karang takad/gosong/rep (Patch reef atau Platform reef) Terumbu Karang yang tumbuh di tengah lautan datar dan dangkal hingga pada surut tertinggi kadang terlihat di permukaan.
Karang Lunak Karang lunak kedudukannya dalam ekosistem terumbu karang menempati peringkat kedua setelah karang keras. Peranannya selain sebagai salah satu hewan penyusun ekosistem terumbu karang, juga merupakan hewan pemasok terbesar senyawa karbonat yang berguna bagi penyusun terumbu karang. Hal ini terbukti sejak ditemukannya sejumlah besar spikul berkapur di dalam jaringan tubuh karang lunak, yang tidak ditemukan pada hewan lain yang hidup di komunitas terumbu karang (Konishi, 1981). Menurut George and George (1978), karang lunak termasuk ke dalam filum Coelenterata, sub filum Anthozoa, klas Alcyonaria atau Octocorallia dan ordo Alcyonacea. Perbedaan karang lunak dengan karang batu terletak pada jumlah tentakel, kekenyalan tubuh dan kerangka yang menyusunnya. Tentakel karang lunak berjumlah delapan buah dan dilengkapi dengan duri-duri (pinnula), sedangkan karang batu memiliki tentakel yang berjumlah enam atau kelipatan enam dan tidak berduri. Karang lunak tidak menghasilkan kerangka berkapur yang radial, tetapi spikul yang terpisah-pisah dan berkapur (Konishi, 1981). Untuk jumlah tentakel ini, sebenarnya karang biru (Heliopora) dan karang pipa (Tubipora) termasuk ke dalam soft coral karena mempunyai jumlah tentakel 8 (Fabricius & Alderslade, 2001). Namun dalam pengamatan karang karena kedua jenis tersebut mempunyai kerangka padat maka dikategorikan karang keras.
Fungsi Terumbu Karang Fungsi terumbu karang dapat dibedakan nilainya secara: Biologis Adalah sebagai tempat berlindung atau nursery ground, mencari makan atau feeding ground, pemijahan atau spawning ground dan pembesaran atau breeding bagi ikan dan biota lainnya, termasuk biota langka seperti dugong dan penyu. Ekonomis Terumbu karang mampu menyediakan sumber daya perikanan yang besar bagi usaha perikanan dan sumberdaya lainnya seperti teripang, lobster dan karang hias. Terumbu karang juga mampu menyediakan bahan baku industri kosmetik, makanan dan farmasi. Fisikis Menjadi peredam ombak dan pelindung pantai dari abrasi dan memberi sumbangan bagi akresi pantai dengan pasir gerusan karangnya. Estetis
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
19
Menyediakan pemandangan yang indah yang mendatangkan orang untuk menikmati keindahannya dan nilai estetis ini juga menguntungkan secara ekonomis sebagai obyek pariwisata.
3.3. Mangrove Mangrove atau bakau merupakan sebuah ekosistem pesisir dan juga mengacu pada seluruh tumbuhan vascular yang terdapat di daerah pasang surut air laut (Noor, Khazali & Suryadiputra, 2006).
Gambar 8. Zonasi mangrove berdasarkan perbedaan areal pasang surut berdasarkan contoh di Cilacap, Jawa Tengah (White dkk, 1989 dalam Noor dkk, 2006).
Tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan adaptasi tinggi dari kadar garam, kondisi tanah tergenang dan kondisi tanah yang tidak stabil. Adaptasi tersebut terlihat dari akar nafas pada beberapa jenis mangrove, kemampuan mengeluarkan garam dari jaringan tubuh dan juga cara berkembang biak, seperti buah yang sudah berkecambah pada jenis Bruguiera, Rhizophora dan Ceriops. Noor dkk (2006) menyatakan adanya keberbedaan tinggi rendahnya pasang surut membuat mangrove memiliki zona vegetasi yang berbeda. Misalnya, Avicennia alba atau Sonneratia alba umumnya mendominasi areal yang selalu tergenang walaupun pada saat pasang terendah. Adapun Bruguiera dan Xylocarpus granatum umumnya berada pada areal yang hanya digenangi pada saat pasang tinggi, sedangkan Bruguiera sexangula dan Lumnitzera littorea umumnya mendominasi areal yang digenangi pada saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan).
3.4. Padang Lamun Lamun (seagrass) adalah kelompok tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae) dan berkeping tunggal (monokotil) yang mampu hidup secara permanen di bawah permukaan air laut. Komunitas lamun berada di antara batas terendah daerah pasang-surut sampai kedalaman tertentu dimana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut. Padang lamun merupakan suatu komunitas dengan produktivitas primer dan sekunder yang sangat tinggi, detritus yang dihasilkan sangat banyak, dan mampu mendukung berbagai macam
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
20
komunitas hewan. Padang lamun memiliki peranan ekologis yang sangat penting, yaitu sebagai tempat berlindung, tempat mencari makan, tempat tinggal atau tempat migrasi berbagai jenis hewan. Ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain adalah:
Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif Mampu hidup di media air asin Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah. Jadi sangat berbeda dengan rumput laut (algae) (Wood et al. 1969; Thomlinson 1974; Azkab 1999).
Morfologi Lamun (Seagrass) Bentuk vegetatif lamun memperlihatkan karakter tingkat keseragaman yang tinggi. Hampir semua genera lamun (Seagrass) memiliki rhizoma yang sudah berkembang dengan baik dan bentuk daun yang memanjang (linear) atau berbentuk sangat panjang seperti ikat pinggang (belt), kecuali jenis Halophila memiliki bentuk lonjong.
Gambar 9. Penampang tumbuhan lamun.
Berbagai bentuk pertumbuhan tersebut mempunyai kaitan dengan perbedaan ekologik lamun (Hartog, 1977). Misalnya Parvozosterid dan Halophilid dapat dijumpai pada hampir semua habitat, mulai dari pasir yang kasar sampai limpur yang lunak, mulai dari daerah dangkal sampai dalam, mulai dari laut terbuka sampai estuari. Magnosterid dapat dijumpai pada berbagai substrat, tetapi terbatas pada daerah sublitoral sampai batas rata-rata daerah
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
21
surut. Secara umum lamun memiliki bentuk luar yang sama, dan yang membedakan antar spesies adalah keanekaragaman bentuk organ sistem vegetatif. Menjadi tumbuhan yang memiliki pembuluh, lamun juga memiliki struktur dan fungsi yang sama dengan tumbuhan darat yaitu rumput. Berbeda dengan rumput laut (marine alga/seaweeds), lamun memiliki akar sejati, daun, pembuluh internal yang merupakan sistem yang menyalurkan nutrien, air, dan gas.
3.5. Penyu Penyu merupakan hewan yang tergolong reptil. Mempunyai karapas di punggungnya serta empat kaki yang menyerupai sirip. Berbeda dengan kura-kura, kepala penyu tidak dapat masuk ke dalam karapasnya. Perbedaan lainnya adalah, kura-kura memiliki kaki yang berkuku dan dapat digunakan untuk berjalan di darat dengan mengangkat tubuhnya. Sedangkan penyu, jika berjalan di darat hanya dengan menggeser tubuhnya.
Gambar 10. Peta habitat dan peneluran penyu di Indonesia (Adnyana & Hitipeuw, 2009).
Di Indonesia tercatat 6 dari 7 penyu yang ada di dunia. Spesies yang ada antara lain penyu Hijau/Green turtle (Chelonia mydas) dan penyu Sisik/Hawksbill (Eretmochelys imbricate) yang paling umum dijumpai. Penyu lainnya yaitu penyu Sisik Semu/Olive ridley (Lepidochelys olivacea), penyu Tempayan/Loggerhead (Caretta caretta), dan penyu Pipih/Flatback (Natator depressus) yang bisa dijumpai dalam jumlah yang lebih kecil. Dan yang terakhir adalah penyu Belimbing/Leatherback (Dermochelys coriacea) yang juga dalam jumlah sedikit walaupun tersebar di pantai peneluran di Indonesia (Adnyana & Hitipeuw, 2009).
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
22
IV. Kondisi Biofisik Pesisir Pulau Sumba
Survey biofisik di pesisir Pulau Sumba ini meliputi pengumpulan data terumbu karang, ikan, mangrove, padang lamun, pantai peneluran penyu, dan mega fauna perairan.
Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Karang di Pesisir Pulau Sumba
Tipe terumbu karang di perairan pesisir utara hingga tenggara Sumba umumnya adalah terumbu karang tepi (fringing reef), namun juga dijumpai terumbu karang takad (patch reef) seperti di utara dan timur Kab. Sumba Timur. Tipe patch reef di ujung timur Sumba Timur memiliki bentuk memanjang sehingga menyerupai tipe terumbu karang penghalang (barrier reef). Kontur dasar perairan di pesisir Sumba bagian utara hingga tenggara yang terbentang dari kabupaten Sumba Barat Daya hingga Sumba Timur umumnya landai. Hanya beberapa lokasi yang mempunyai kontur curam hingga wall seperti di Tanjung Sasar dan pulau-palau di tenggara Kabupaten Sumba Timur (P. Salura, P. Kotak dan P. Mangudu). Pulau-pulau kecil tersebut karena berhadapan dengan Samudera Hindia, kontur dasar curam dan umumnya beralur karena hempasan ombak.
4.1.1. Pengamatan Manta Tow Pengamatan dengan manta tow mencatat substrat bentik secara umum meliputi karang keras, karang lunak, pecahan atau patahan karang (rubble), karang mati, macro algae, rock dan pasir. Persentase penutupan karang keras umumnya berkisar pada kategori I (1 – 24%) dan beberapa tempat memiliki tutupan karang hidup yang relatif lebih baik seperti di Pantai Lokori, Tanjung Sasar, Pantai Waingapu (depan mangrove) dan di Pantai Rindi. Karang lunak (soft coral) dijumpai tersebar merata di berbagai lokasi. Persentase penutupan karang lunak pada umumnya tergolong kategori 1 (1 – 24%), namun di timur Tanjung Sasar (Rambangaru), Pantai Kadumbul (timur Waingapu) dan sepanjang pesisir timur relatif tidak banyak dijumpai hingga tidak ada. Karang lunak yang banyak ditemukan adalah jenis Xenia sp. yang tumbuh di atas pecahan karang.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
23
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
4.1.
23
Gambar 11. Peta sebaran karang keras di pesisir P. Sumba berdasarkan survei manta tow 2015.
Gambar 12. Peta sebaran karang lunak di pesisir P. Sumba berdasarkan survei manta tow 2015.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
24
Hasil pengamatan terhadap substrat berupa pecahan karang (rubble) menunjukkan bahwa beberapa lokasi memiliki persentase penutupan rubble yang relatif tinggi hingga kategori 3 dan ditemukan hampir di seluruh pesisir. Diduga kuat bahwa banyaknya tutupan rubble karena kegiatan penangkapan ikan yang merusak.
Gambar 13. Peta sebaran pecahan karang (rubble) di pesisir P. Sumba berdasarkan survei manta tow 2015.
a
c
b
d
e
Gambar 14. Aktifitas masyarakat yang berkontribusi terhadap kerusakan karang. a-b. Kapal compressor; c. Aktifitas makanmeting dengan speargun; d. alat tangkap bubu; e. substrat pecahan karang. Foto: W. Sanjaya/CTC.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
25
Kondisi karang yang rusak, umumnya disebabkan oleh adanya aktifitas yang bersifat merusak seperti penempatan jangkar, jaring dan juga bubu di terumbu karang serta pengeboman ikan yang mungkin dampak dari aktifitas sebelumnya. Pengaruh dari alam juga dapat menyebabkan patahnya karang seperti; arus dan gelombang. Hasil survei, kondisi sebaran karang yang patah lebih banyak terdapat di lokasi pantai yang
daerah terumbu karang dengan cara tradisional menggunakan panah dan berjalan di karang dan pada waktu-waktu tertentu (makanmeti). nelayan setempat juga sering melihat nelayan luar datang menggunakan kompresor dan kadang menggunakan bom, meskipun penggunaan bom sudah jarang ditemukan saat ini. Kategori karang mati adalah karang yang relatif baru mati dan masih terlihat putih hingga ditumbuhi algae, namun bukan merupakan rubble. Rata-rata persentase penutupan karang mati sekitar 10-20% selama 1 kali tarikan atau towing. Pada umumnya masuk dalam kategori I hingga tidak ada. Karang-karang yang mati umumnya sudah ditumbuhi alga yang menunjukkan bahwa karang tersebut sudah mati dalam waktu yang cukup lama, namun beberapa lokasi ditemukan karang yang mati dan belum ditumbuhi alga serta beberapa lokasi terlihat karang yang rusak ataupun terbalik karena pengaruh jangkar nelayan. Penyebab kematian karang juga dapat disebabkan oleh tingginya sedimentasi di beberapa lokasi. Sedimentasi terjadi karena adanya aktifitas di darat yang menyebabkan adanya aliran partikel-partikel kecil ke perairan sehingga menutupi polyp karang yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian karang karena terjadi dalam waktu yang lama. Namun
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
mudah di akses oleh nelayan karena umumnya nelayan melakukan penangkapan ikan di
dimungkinkan juga matinya karena racun potasium sianida.
26
Kondisi terumbu karang di Mangrove Timur Waingapu. Foto: ME Lazuardi/CTC
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
26
Gambar 15. Peta sebaran karang mati di pesisir P. Sumba berdasarkan survei manta tow 2015.
Lokasi sebaran makro algae atau jenis algae-algae besar di sepanjang pesisir bagian utara Pulau Sumba umumnya ditemukan pada lokasi yang berteluk dan terlindung seperti misalnya di Teluk Waingapu. Namun demikian persentase kemunculannya relatif kecil hingga tidak ada. Jenis alga yang ditemukan pada saat survei adalah alga jenis Ulva sp yang ditemukan di daerah pecahan karang ataupun tumbuh bersama-sama dengan padang lamun serta jenis rumput laut yaitu alga merah (Rhodopyceae) atau dikenal dengan Eucheuma spinosum. Pesisir Pulau Sumba juga banyak dikembangkan untuk kegiatan budidaya rumput laut oleh masyarakat sekitar namun kondisi perairan yang memiliki gelombang besar dan pasang surut yang cukup kuat bisa menjadi kendala, namun beberapa tempat terutamanya di Sumba Timur terlihat cukup berhasil untuk membudidayakan rumput laut.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
27
Gambar 16. Peta sebaran makro algae di pesisir P. Sumba berdasarkan survei manta tow 2015.
Padang lamun serta ganggang juga ditemukan dalam survei ini. Padang lamun, ditemukan paling tidak ada 4 (empat) jenis yaitu: Syringodium sp, Cymodaceae sp, Hallophila sp, dan Enhalus sp. Alga besar lainnya yang ditemukan juga termasuk Sargassum sp.
a
b
c
d
Gambar 17. a-b. makro algae yang dijumpai; c-d. Jenis-jenis lamun yang dijumpai pada pengamatan manta tow pesisir utara P. Sumba, 2015. Foto: W Sanjaya/CTC.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
28
Substrat dasar perairan dalam survei ini dilihat secara umum berupa pasir dan batuan (rock). Hasil survei manta tow untuk substrat batuan atau RCK (rock) sangat banyak ditemukan hampir di seluruh/sepanjang pesisir Sumba. Batuan ini ada yang berasal dari karang-karang yang mati dalam waktu yang sudah sangat lama ataupun berasal dari runtuhan tebing karst (fosil karang) yang banyak tersebar di sepanjang lokasi ini. Lokasi ini utamanya di Tanjung Sasar, perairan pasang surut dimana banyak masyarakat melakukan makanmeting dan pesisir tenggara Pulau Sumba, Pulau Saluran, Pulau Kotak dan Pulau Mangudu.
Gambar 18. Peta sebaran batuan (rock) di pesisir P. Sumba berdasarkan survei manta tow 2015.
Subsrat perairan berupa pasir juga banyak ditemukan di lokasi ini. Subsrat dasar berpasir terdapat di depan muara sungai atau beberapa teluk. Umumnya lokasi ini memiliki kekeruhan yang cukup tinggi serta memiliki arus pasang surut yang cukup signifikan untuk mengendapkan pasir.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
29
Gambar 19. Peta sebaran substrat pasir di pesisir P. Sumba berdasarkan survei manta tow 2015.
Disamping pengamatan substrat bentik, dalam manta tow ini juga mencatat beberapa mega fauna yang dijumpai. Buaya terlihat di depan mangrove muara di daerah Kayuri yaitu di sebelah timur pantai Malolo dengan ukuran sekitar 1,5-2 meter. Hiu terlihat di sekitar pantai Leihanggar. Sedangkan penyu terlihat relatif banyak dijumpai mulai dari Sumba Barat sampai dengan Sumba Timur. Adapun jenisnya adalah Penyu Sisik dengan ukuran berkisar 20-40 cm. Sedangkan dugong terlihat dari atas perairan di timur Tanjung Sasar.
Gambar 20. Peta sebaran mega fauna di pesisir P. Sumba berdasarkan survei manta tow 2015.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
30
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
Informasi penting lainnya yang didapatkan berdasarkan keterangan dari masyarakat sekitar adalah adanya informasi keberadaan ikan pari manta di Hambuang, Pantai Leihanggar dan juga di Pulau Salura. Tim survei belum menemukan atau melihat keberadaan ikan pari manta ini secara langsung namun informasi dari masyarakat bahwa ikan pari manta sering terlihat pada pagi hari pada saat air laut pasang, dan terdapat bukti foto di Hambuang dari komunitas Humba Ailulu.
31
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
31
Gambar 21. Peta lokasi peneluran penyu di pantai pesisir utara P. Sumba, survei Sumba 2015.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
32
4.1.2. Kondisi Karang dan Ikan Karang Berdasarkan Pengamatan Point Intercept Transect (PIT) Untuk melihat kondisi terumbu karang dan ikan secara lebih detail di pesisir utara hingga tenggara Sumba dari hasil data manta tow, maka dilakukan survei pada 19 titik pengamatan terpilih dengan menggunakan peralatan SCUBA di kedalaman antara 5 – 8 m. Pengamatan dilakukan pada satu kedalaman karena jumlah sumberdaya manusia pengamat yang terbatas dan kontur dasar perairan yang landai, menyebabkan jarak antara kedalaman 3 m dan 10 m relatif jauh. Pemilihan lokasi-lokasi tersebut berdasarkan pada keterwakilan dan interest area yang ditunjukkan oleh data manta tow seperti lokasi yang berada di lokasi kawasan konservasi perairan, kawasan yang mempunyai luasan dan tutupan terumbu yang mewakili, tutupan terumbu karang di depan mangrove dan lokasi baru yang sebelumnya tidak tersedia data dan belum pernah diselami.
Pantai Kandunga Rambangaru
Gambar 22. Peta titik-titik pengamatan substrat bentik dan ikan karang survey Sumba 2015.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
33
Tabel 1. Daftar titik-titik pengamatan substrat bentik dan ikan karang survey Sumba – 2015
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Titik Pengamatan Waelonda Karuni Lokori Pantai Sambi Pantai Kandunga Walkari Tananambas Tanjung Sasar Wunga Rambangaru Tanjung Laiwodung Teluk Waingapu Mangrove timur Waingapu Pantai Kandora Rindi Tanaraing Kabaru Mburukullu Selatan Kotak P. Salura Selatan P. Mangudu
LS -9.38335 -9.36076 -9.37289 -9.35740 -9.35596 -9.34672 -9.27870 -9.35313 -9.45577 -9.48558 -9.60153 -9.64308 -9.69024 -9.91828 -9.96855 -10.06577 -10.05567 -10.31746 -10.32524
BT 119.15270 119.31039 119.42854 119.46.307 119.56934 119.85178 119.93199 119.99225 120.07761 120.20305 120.23385 120.36094 120.54826 120.75400 120.82706 120.87119 120.89522 120.15536 120.10564
Pengamatan terumbu karang dan ikan karang dengn metode reef health - point intersept transect (Wilson & Green, 2009) berhasil dilakukan di 19 titik pengamatan. Kecerahan air horizontal pada waktu pengambilan data berkisar antara 6 hingga 11 m dengan rata-rata 8 m. Pengamatan dilakukan pada kedalaman antara 5 hingga 8 m menyesuaikan dengan kondisi perairan dan kontur dasar.
Persentase Karang Keras Karang keras adalah pembangun utama terumbu karang, sehingga penting untuk mengetahui persentase penutupan karang keras dalam sebuah kawasan terumbu karang. Persentase penutupan karang keras pada titik-titik pengamatan berkisar antara 6.7 hingga 70.0%. Titik pengamatan 10 (Tanjung Laiwodung) memiliki penutupan karang keras terendah, sedangkan titik pengamatan 12 (Mangrove timur Waingapu) memiliki penutupan karang keras tertinggi. Rata-rata penutupan karang keras sebesar 46.1% ± 2.7% standar error (SE).
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
34
Persentase penutupan (%)
100 80 60 40 20 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Gambar 23. Histogram persentase penutupan karang keras titik-titik pengamatan survei Sumba 2015.
Dari rata-rata persentase karang keras, utamanya di dominasi oleh karang non-acropora sebesar 20.1%, karang Acropora sebesar 11.3%, karang Millepora sebesar 0.1%, dan karang jamur (coral mushroom) sebesar 0.7%.
Persentase Karang Hidup Persentase penutupan karang hidup (karang keras + karang lunak) pada titik-titik pengamatan berkisar antara 9.3 hingga 84.0% dengan rata-rata sebesar 49.7% ± 3.5% SE. Kisaran persentase penutupan karang hidup di perairan utara hingga tenggara Sumba baik masuk dalam kategori dari buruk hingga memuaskan dengan kondisi rata-rata sedang mendekati bagus.
Persentase penutupan (%)
100
75
50
25
0 1
2
3
4
5
6
7
8
Karang Keras
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Karang Lunak
Gambar 24. Histogram persentase rata-rata karang hidup (karang keras + karang lunak) pada titik-titik pengamatan survei Sumba 2015.
Dari histogram Gambar 23., sebanyak masing-masing 4 titik pengamatan atau 21% dari total titik pengamatan mempunyai kategori kondisi buruk. Sedangkan masing-masing 5 titik pengamatan atau 26% mempunyai kategori sedang, bagus dan memuaskan.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
35
Buruk (21%)
: titik pengamatan 9, 10, 13 dan 17
Sedang (26%)
: titik pengamatan 2, 4, 8, 7, 8, 11, dan 15
Bagus (26%)
: titik pengamatan 1, 3, 5, 6, dan 14
Memuaskan (26%)
: titik pengamatan 7, 12, 16, 18, dan 19
Dari kategori kondisi tersebut bisa disimpulkan bahwa 21% terumbu karang di pesisir utara hingga tenggara Sumba mengalami kerusakan. Di sisi lain, 26% terumbu karang di pesisir utara hingga tenggara Sumba masih memiliki kondisi yang memuaskan.
Komposisi Substrat Bentik Komposisi substrat bentik pada 19 titik pengamatan cukup bervariasi yang terdiri dari karang keras, karang lunak, alga, coraline alga, biota lainnya, karang mati, patahan karang (rubble) dan abiotik. Secara umum, komponen substrat bentik rata-rata yang relatif mendominasi adalah karang keras dengan rata-rata tutupan 32.3%, disusul oleh komponen rubble sebesar 21.0% dan karang lunak sebesar 17.4%. Komponen abiotik memiliki penutupan rata-rata sebesar 14.7%, sedangkan komponen lain seperti alga, coralline algae biota lain dan karang mati, masing-masing hanya di bawah 2%. Komponen karang keras relatif mendominasi di 7 titik pengamatan yaitu di titik pengamatan 1, 5, 6, 12, 14, 16 dan 18 dimana persentase penutupannya hingga 70% (titik pengamatan 12). Komponen karang lunak relatif mendominasi di titik pengamatan 3, 7, dan 19, dimana persentase penutupannya hingga 51% (titik pengamatan 3). Persentase penutupan alga yang relatif tinggi terdapat di titik pengamatan 4 dan 9 dimana tutupan alga hingga 48% (titik pengamatan 4). Komponen coralline alga yang menutupi rock sebagai substrat potensial untuk pertumbuhan karang baru relatif kecil persentase penutupannya. Paling besar coralline algae hanya terdapat di titik pengamatan 7 (10.7%). Biota lain yang termasuk di dalamnya antara lain adalah sponge, anemone dan gorgonian memiliki penutupan relatif rendah, dimana paling tinggi hanya 5% (titik pengamatan 17%). Karang mati paling banyak dijumpai di titik pengamatan 1, dengan tutupan sebesar 20.7%. Patahan karang dijumpai hingga mendominasi beberapa titik seperti di titik pengamatan 2 (61.0%), titik pengamatan 8 (65.7%), titik pengamatan 10 (61.0%), titik pengamatan 11 (44.7%), dan titik pengamatan 14 (30.7%). Komponen abiotik yang terdiri dari rock dan pasir hanya dominan di titik pengamatan 17 (61.0%). Dari persentase tersebut, sebesar 57% merupakan substrat pasir. Titik pengamatan 5 juga mempunyai komponen abiotik relatif tinggi yaitu sebesar 31.0%, sedangkan titik pngamatan lainnya mempunyai komponen abiotik di bawah 25%.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
36
Persentase penutupan
100% 80% 60% 40% 20% 0% 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Karang Keras
Karang Lunak
Algae
Coralline Algae
Biota Lain
Karang Mati
Rubble
Abiotik
Gambar 25. Histogram komposisi substrat bentik di titik-titik pengamatan survey Sumba 2015.
b
a Abiotik; 14,7
Karang Keras; 32,3
Rubble; 21,0 Karang Mati; 1,9 Biota Lain; 1,2
Millepor a; 0,1
Karang Lunak; 17,4
Mushroo m Coral; 0,7 Acropora ; 11,3
Non Acropora ; 20,1
Coralline Algae; 9,7 Algae; 1,7
Gambar 26. a. Rata-rata komposisi (%) substrat bentik survei Sumba 2015; b. Rata-rata komposisi (%) karang keras survey Sumba 2015.
Dari 19 titik pengamatan terumbu karang di perairan hingga tenggara Sumba indeks mortalitas berkisar antara 0.0 – 0.9 dengan rata-rata 0.4. Hal ini memberi gambaran bahwa pada titik-titik pangamatan mempunyai rasio kematian karang relatif sedang atau memiliki tingkat kesehatan karang yang relatif sedang juga. Data ini terkonfirmasi dengan kategori terumbu karang dengan kategori buruk hingga memuaskan dengan rata-rata kategori sedang.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
37
Tabel 2. Indeks mortalitas dan kategori kondisi terumbu karang pada titik-titik pengamatan survei Sumba 2015.
No
Titik Pengamatan
1
Kabupaten
Karang hidup
Indek mortalitas
Kategori kondisi
Waelonda 2 Karuni 3 Lokori 4 Pantai Sambi
Sumba Barat Daya
54.3
0.4
bagus
Sumba Barat Daya
34.7
0.7
sedang
Sumba Barat
66.0
0.1
bagus
Sumba Tengah
27.3
0.5
sedang
5
Pantai Kandunga Walkari
Sumba Tengah
62.3
0.1
bagus
6
Tananambas
Sumba Tengah
66.7
0.3
bagus
7
Tanjung Sasar
Sumba Timur
77.0
0.0
memuaskan
8
Wunga
Sumba Timur
27.7
0.7
sedang
9
Rambangaru
Sumba Timur
15.3
0.7
buruk
10
Tanjung Laiwodung
Sumba Timur
9.3
0.9
buruk
11
Teluk Waingapu
Sumba Timur
28.0
0.7
sedang
12
Mangrove timur Waingapu
Sumba Timur
76.0
0.0
memuaskan
13
Pantai Kandora
Sumba Timur
22.7
0.8
buruk
14
Rindi
Sumba Timur
66.3
0.4
bagus
15
Tanaraing
Sumba Timur
39.0
0.3
sedang
16
Kabaru
Sumba Timur
83.7
0.1
memuaskan
17
Mburukullu
Sumba Timur
24.7
0.0
buruk
18
Selatan P. Kotak
Sumba Timur
84.0
0.2
memuaskan
19
Selatan P. Mangudu
Sumba Timur
79.0
0.0
memuaskan
Keterangan: warna oranye adalah titik-titik pengamatan dengan kondisi terumbu karang relatif lebih baik dari titik-titik pengamatan lainnya.
Ikan Karang Pengamatan terhadap ikan karang di 19 titik pengamatan di perairan utara hingga tenggara Sumba mencatat jumlah kelimpahan ikan berkisar antara 18 hingga 276 individu ikan karang per titik pengamatan dengan rata-rata kelimpahan 71 individu. Kepadatan populasi ikan karang berkisar antara 696 - 10968 individu/hektar dengan nilai rata-rata kepadatan populasi sebesar 2778 individu/hektar. Kepadatan populasi terkecil ditemui di titik pengamatan 14 (Rindi) dan terbesar di titik pengamatan 1 (Waelonda) seperti yang ditunjukan pada Gambar 27.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
38
Ikan kecil (dibawah 35cm) berkontribusi sebesar 99% dan ikan besar (diatas 35cm) berkontribusi sebesar 1% dari total kepadatan populasi ikan (gambar 29.) 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Gambar 27. Histogram kepadatan populasi ikan karang (individu/ha) di titik-titik pengamatan survey Sumba 2015.
Biomassa ikan karang berkisar antara 44.1 hingga 987.1 kg/ha dengan rata-rata biomassa ikan karang sebesar 297.2 kg/ha atau kategori sedang. Kepadatan populasi terkecil ditemui di titik pengamatan 14 (Rindi) dan terbesar di titik pengamatan 12 (Mangrove Timur Waingapu) seperti yang ditunjukan pada Gambar 28.
1250,0 1000,0 750,0 500,0 250,0 0,0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Gambar 28. Histogram biomassa ikan karang (kg/ha) di titik-titik pengamatan survei Sumba 2015.
Sebanyak 11 titik pengamatan memiliki biomassa ikan karang relatif rendah di bawah 250 kg/ha, sedangkan 5 titik pengamatan memiliki biomassa ikan karang sedang (antara 251 – 500 kg/ha). Terdapat 2 titik pengamatan yang mempunyai biomassa ikan tinggi (501 – 750 kg/ha), dan terdapat hanya 1 titik pengamatan yang mempunyai biomassa ikan dengan kategori sangat tinggi (>751 kg/ha). Biomassa ikan karang ini juga didominasi oleh ikan kecil yaitu sebesar 84%, sedangkan 16% dari biomassa ikan karang merupakan ikan besar.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
39
Gambar 29. Perbandingan komposisi kepadatan populasi (ind/ha) dan biomassa (kg/ha) ikan karang antara ikan kecil dan ikan besar pada titik-titik pengamatan survei Sumba 2015.
Dari perbandingan komposisi antara ikan kecil dan ikan besar, keberadaaan ikan besar yang memiliki kepadatan populasi hanya 1% ternyata memiliki kontribusi signifikan terhadap biomassa ikan hingga 16% dari rata-rata total biomassa ikan karang yang tercatat. Dalam pengamatan ikan karang ini, tercatat setidaknya 23 famili ikan karang. Ditinjau dari sisi komposisi kepadatan ikan karang per famili, data menunjukan bahwa ikan karang didominasi oleh famili Acanthuridae sebesar 32.5%, Caesionidae 18.9% dan Chaetodontidae 14.2% seperti yang diterlihat pada Gambar 30.
Gambar 30. Perbandingan komposisi kepadatan populasi dan biomassa berdasarkan family ikan karang, survei Sumba 2015.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
40
Tabel 3. Komposisi rata-rata kepadatan populasi dan biomassa berdasarkan famili ikan karang, survei Sumba 2015.
Famili Ikan Karang
Rata-rata biomassa (kg/ha)
1047.2 848.8 252.6 160.5 104.8 87.1 83.5 65.7 49.4 32.4 14.5 11.8 11.8 8.6 3.8 0.9 0.7 0.4 0.4 0.2 0.1 0.1 0.1
117.2 54.2 14.7 20.0 10.5 7.6 28.0 4.6 5.6 3.5 5.8 5.0 3.0 2.1 1.3 1.1 2.1 8.7 0.1 0.5 0.2 0.2 1.7
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
Acanthuridae Caesionidae Chaetodontidae Lutjanidae Labridae Balistidae Scaridae Nemipteridae Mullidae Zanclidae Haemulidae Lethrinidae Serranidae Siganidae Pomacentridae Carangidae Dasyatidae Carcharhinidae Kyphosidae Muraenidae Scombridae Tetraodontidae Hemiscylliidae
Rata-rata kepadatan populasi (ind/ha)
Koloni karang Porites yang mencapai diameter hingga 10 m di P. Mangudu. Foto: ME Lazuardi/CTC Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015 41
41
Indeks Kesehatan Karang Jika hasil penutupan karang hidup dikombinasikan dengan biomasa ikan karang maka akan didapatkan index kesehatan karang (Kaufman, Sandin, Sala, Obura, Rohwer & Tschirky, 2011). Dari indeks ini bisa dilihat ranking titik-titik pengamatan dari kondisi yang memuaskan hingga buruk. Tabel 4. Indeks kesehatan karang berdasarkan penutupan karang hidup dan indeks biomass ikan karang, survei Sumba, 2015.
No
Titik Pengamatan Mangrove timur Waingapu
Kabupaten Sumba Timur
0.76
0.20
0.96
19
Selatan P. Mangudu
Sumba Timur
0.79
0.09
0.88
18
Selatan P. Kotak
Sumba Timur
0.84
0.03
0.87
16
Kabaru
Sumba Timur
0.84
0.03
0.87
7
Tanjung Sasar
Sumba Timur
0.77
0.10
0.87
3
Lokori
Sumba Barat
0.66
0.05
0.71
6
Tananambas
Sumba Tengah
0.67
0.03
0.69
1
Waelonda
Sumba Barat Daya Sumba Timur
0.54
0.14
0.68
0.66
0.01
0.67
Pantai Kandunga Walkari
Sumba Tengah
0.62
0.01
0.63
Tanaraing
Sumba Timur
0.39
0.10
0.49
2
Karuni
0.35
0.10
0.45
4
Pantai Sambi
Sumba Barat Daya Sumba Tengah
0.27
0.04
0.31
17
Mburukullu
Sumba Timur
0.25
0.06
0.31
Wunga
Sumba Timur
0.28
0.02
0.30
11
Teluk Waingapu
Sumba Timur
0.28
0.01
0.29
13
Pantai Kandora
Sumba Timur
0.23
0.03
0.25
Rambangaru
Sumba Timur
0.15
0.04
0.19
Tanjung Laiwodung
Sumba Timur
0.09
0.05
0.15
12
14 5 15
8
9 10
Rindi
Karang hidup
Biomass
Indeks Kesehatan Karang
Dari tabel 4. terlihat bahwa titik pengamatan 12 (Mangrove Timur Waingapu mempunyai indeks kesehatan karang paling tinggi (0.96), disusul oleh titik pengamtan 19 (Selatan P. Mangudu), titik pengamatan 18 (Selatan P. Kotak), titik pengamatan 16 (Kabaru) dan titik pengamatan 7 (Tanjung Sasar). Sedangkan titik pengamatan 10 (Tanjung Laiwodung) mempunyai indeks kesehatan karang yang paling rendah (0.15).
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
42
Gambar 31. Peta Kawasan TNP Laut Sawu dan titik-titik pengamatan terbaik di pesisir P. Sumba, survei Sumba, 2015. (bulat kuning merupakan titik-titik pengamatan yang mempunyai nilai indeks kesehatan karang tertinggi di pesisir P. Sumba).
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
Dilihat dari peta Taman Nasional Perairan Laut Sawu, maka kesemua titik pengamatan yang mempunyai indeks kesehatan karang yang relatif tinggi terdapat di dalam kawasan TNP Laut Sawu. Namun demikian, Mangrove Timur Waingapu (titik pengamatan 12) terdapat di luar Kawasan TNP Laut Sawu. Sehingga hasil dari indeks kesehatan karang ini bisa menjadi acuan dalam pengelolaan kawasan pesisir P. Sumba di masa mendatang.
43
Gambar 32. Kondisi terumbu karang di Tanjung Sasar. Foto: ME Lazuardi/CTC.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
43
4.2. Kondisi Ekosistem Mangrove Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif.Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai. Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam yang memberikan banyak keuntungan bagi manusia, berjasa untuk produktivitasnya yang tinggi serta kemampuannya memelihara alam. Mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan karena itulah mangrove menjadi salah satu produsen utama perikanan laut. Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik. Mangrove membantu dalam pengembangan dalam bidang sosial dan ekonomi masyarakat sekitar pantai dengan mensuplai benih untuk industri perikanan. Selain itu telah diketemukan bahwa tumbuhan mangrove mampu mengontrol aktivitas nyamuk, karena ekstrak yang dikeluarkan oleh tumbuhan mangrove mampu membunuh larva dari nyamuk Aedes aegypti. Secara biologi fungsi dari pada hutan mangrove antara lain sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi biota yang hidup pada ekosisitem mengrove, fungsi yang lain sebagai daerah mencari makan (feeding ground) karena mangrove merupakan produsen primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove dimana dari sana tersedia banyak makanan bagi biota-biota yang mencari makan pada ekosistem mangrove tersebut, dan fungsi yang ketiga adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground) bagi ikan-ikan tertentu agar terlindungi dari ikan predator, sekaligus mencari lingkungan yang optimal untuk memisah dan membesarkan anaknya. Secara fisik mangrove berfungsi dalam peredam angin badai dan gelombang, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Dimana dalam ekosistem mangrove ini mampu menghasilkan zat-zat nutrient (organik dan anorganik) yang mampu menyuburkan perairan laut. Selain itupun ekosisitem mangrove berperan dalam siklus karbon, nitrogen dan sulfur. Secara ekonomi mangrove mampu memberikan banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, baik itu penyediaan benih bagi industri perikanan, selain itu kayu dari tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan untuk sebagai kayu bakar, bahan kertas, bahan konstruksi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Dan juga saat ini ekosistem mangrove sedang dikembangkan sebagai wahana untuk sarana rekreasi atau tempat pariwisata yang dapat meningkatkan pendapatan negara.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
44
Gambar 33. Peta sebaran mangrove di pesisir Pulau Sumba, survei Sumba 2014 dan 2015.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
45
Kabupaten Sumba Barat Daya
Kecamatan Kodi
Vegetasi Mangrove di Kecamatan Kodi terdapat di Kawasan Teluk Punrere muara dari Sungai Ronda Kodi, yang merupakan bagian Desa Pero Konda, Kecamatan Kodi. Masyarakat memanfaatkan vegetasi mangrove sebagai tempat penambatan perahu, mencari kepiting, dan bahan kayu bakar. Vegetasi mangrove bagi masyarakat setempat diyakini sebagai pelindung perkebunan kelapa serta terdapat sumber air tawar di kawasan vegetasi mangrove.
Gambar 34. Vegetasi mangrove di Desa Pero Konda survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia.
Jenis mangrove yang dijumpai di kawasan ini diantaranya: Bruguiera cylindrica, B. Gymnorrhiza, B. Parviflora, Excoecaria agallocha, Rhizophora stylosa, R. stylosa, dan Sonneratia alba.
Kota Tambolaka
Vegetasi mangrove di Kota Tambolaka terdapat di sepanjang pesisir Desa Wee Londa, Wee Tobula, dan Rada Mata. Kawasan mangrove dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat penangkapan udang dan kepiting bakau. Jenis mangrove yang dijumpai di kawasan ini diantaranya: Avicennia marina, Bruguiera cylindrica, B. Gymnorrhiza, B. Parviflora, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
46
Gambar 35. Vegetasi mangrove di Desa Rada Mata, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia.
Kecamatan Loura
Mangrove di Kecamatan Loura tersebar di sepanjang pantai Desa Karuni dan Lete Konda. Sejak tahun 1996 masyarakat Desa Lete Konda melakukan penanaman pohon bakau sepanjang muara sungai. Hal ini dilakukan karena adanya kesadaran tentang pentingnya mangrove menjaga daratan. Kawasan mangrove dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat penangkapan komoditas perikanan dan bahan bakar untuk proses pengaramam.
Gambar 36. Vegetasi mangrove di Desa Lete Konda, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia.
Jenis mangrove yang dijumpai di Pesisir Desa Karuni diantaranya: Bruguiera cylindrica, B. Gymnorrhiza, B. Parviflora, Rhizophora apiculata, R. mucronata, dan Sonneratia alba. Sedangkan jenis mangrove yang dijumpai di Pesisir Desa Lete Konda diantaranya: Avicennia alba, A. marina, Bruguiera cylindrica, B. Gymnorrhiza, B. Parviflora, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, dan Sonneratia alba.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
47
Kabupaten Sumba Barat
Kecamatan Tana Righu
Vegetasi Mangrove di Kecamatan Tana Righu terdapat di pesisir Desa Loko Ry. Masyarakat memanfaatkan vegetasi mangrove sebagai mencari kepiting bakau dan bahan kayu bakar.
Gambar 37. Vegetasi mangrove di Desa Loko Ry, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia.
Jenis mangrove yang dijumpai di kawasan ini diantaranya: Bruguiera cylindrica, B. Gymnorrhiza, B. Parviflora, Excoecaria agallocha, Rhizophora stylosa, R. stylosa, dan Sonneratia alba. Jenis asosiasi mangrove terdiri dari Barringtonia asiatica, Calophyllum inophyllum, dan Pandanus tectorius Parkinson.
Kabupaten Sumba Tengah
Kecamatan Mamboro
Mangrove dapat ditemukan di sepanjang pesisir Desa Wendewa Barat, Wendewa, Wendewa Utara, Manu Wolu, dan Watu Asa. Vegetasi mangrove akan semakin rapat dijumpai pada muara sungai yang berbatasan dengan laut. Masyarakat memanfaatkan pohon bakau sebagai bahan bakar proses pengaraman, penambatan kapal, dan area penangkapan komoditas perikanan bakau.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
48
Gambar 38. Vegetasi mangrove di Desa Wendewa Utara, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia.
Tutupan mangrove di muara Sungai Mananga, Desa Wendewa Utara terdiri dari jenis: Bruguiera parviflora, B. Gymnorhiza, Rhizophora stylosa, R. Opiculata, Xylocarpus granatum, Sonneratia Alba, S. Caseolaris. Sedangkan untuk jenis mangrove sekunder: Spinifex littoreus, Ipomea pes-capree, Calontropis gigantea.
Kecamatan Umbu Ratu Nggay
Mangrove di Kecamatan Umbu Ratu Nggay dapat ditemukan di sepanjang pesisir Desa Ngadu Mbolu, Lenang, dan Tana Mbanas. Vegetasi mangrove akan semakin rapat dijumpai pada muara sungai yang berbatasan dengan laut. Masyarakat memanfaatkan pohon bakau sebagai bahan bakar proses pengaraman, penambatan kapal, dan area penangkapan komoditas perikanan bakau. Vegetasi mangrove di muara Sungai Desa Ngadu Mbolu terdiri dari jenis mangrove mayor: Avicenia lanata, Bruguiera parviflora, B. Gymnorhiza, Rhizophora stylosa, R. Opiculata, Xylocarpus granatum, Sonneratia Alba, S. Caseolaris, Nypa fruticans. Jenis mangrove minor: Excoecaria agallocha L, Scyphiphora hydrophyllacea. Mangrove associate: Calotropis gigantea, Hibiscus tiliaceus L, Pandanus tectorius Parkinson. Jenis mangrove di Desa Lenang terdiri dari jenis: Avicenia lanata, Bruguiera parviflora, B. Gymnorhiza, Lumnitzera racemosa, Rhizophora stylosa, R. Opiculata, Xylocarpus granatum, Sonneratia Alba, S. Caseolaris. Sedangkan untuk jenis mangrove sekunder: Spinifex littoreus, Ipomea pes-capree, Calontropis gigantea. Jenis mangrove di Desa Tana Mbanas terdiri dari jenis: Avicenia lanata, A. marina, Bruguiera parviflora, B. Gymnorhiza, Ceriops tagal, Excoecaria agallocha, Rhizophora stylosa, R. Opiculata, Xylocarpus granatum, Sonneratia Alba, S. Caseolaris. Sedangkan untuk jenis mangrove sekunder: Spinifex littoreus, Ipomea pes-capree, Calontropis gigantea.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
49
Kabupaten Sumba Timur
Kecamatan Haharu
Mangrove di Kecamatan Haharu dapat ditemukan di sepanjang pesisir Desa Napu, Wunga, Kaahang, dan Rambagaru. Vegetasi mangrove akan semakin rapat dijumpai pada muara sungai yang berbatasan dengan laut. Masyarakat memanfaatkan pohon bakau sebagai bahan bakar, penambatan kapal, dan area penangkapan komoditas perikanan bakau. Vegetasi mangrove di pesisir Kecamatan Haharu terdiri dari jenis mangrove mayor: Avicenia alba, A. lanata, Bruguiera parviflora, B. Gymnorhiza, Rhizophora stylosa, R. Opiculata, Xylocarpus granatum, Sonneratia Alba, S. Caseolaris, Nypa fruticans. Jenis mangrove minor: Aegiceras corniculatum, Excoecaria agallocha L, Scyphiphora hydrophyllacea. Mangrove associate: Calotropis gigantea, Hibiscus tiliaceus L, Pandanus tectorius Parkinson.
Kecamatan Kanatang Mangrove di Kecamatan Kanatang dapat ditemukan di sepanjang pesisir Desa Mondu, Hamba Praing, Kuta, dan Temu. Vegetasi mangrove akan semakin rapat dijumpai pada muara sungai yang berbatasan dengan laut. Masyarakat memanfaatkan pohon bakau sebagai bahan bakar, penambatan kapal, dan area penangkapan komoditas perikanan bakau.
Gambar 39. Vegetasi mangrove di Desa Kuta, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia.
Vegetasi mangrove di pesisir Kecamatan Waigapu terdiri dari jenis mangrove mayor: Avicenia alba, A. lanata, A. marina, Bruguiera cylindrica, B. Gymnorrhiza, B. parviflora, B. Gymnorhiza, Ceriops decandra, C. tagal, Lumnitzera racemosa, Nypa frutican, Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, Sonneratia Alba, S. caseolaris. Jenis mangrove minor: Excoecaria agallocha L, Pemphis acidula, Scyphiphora hydrophyllacea Xylocarpus granatum. Mangrove associate: Barringtonia asiatica, Calotropis gigantea, Hibiscus tiliaceus L, Pandanus tectorius Parkinson.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
50
Kecamatan Waingapu
Mangrove di Kecamatan Waingapu dapat ditemukan di sepanjang pesisir Desa Hambala, Kamalaputi, Matawai, dan Kambajawa. Vegetasi mangrove akan semakin rapat dijumpai pada muara sungai yang berbatasan dengan laut. Masyarakat memanfaatkan pohon bakau sebagai bahan bakar, penambatan kapal, dan area penangkapan komoditas perikanan bakau.
Gambar 40. Vegetasi mangrove di Desa Hambala, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia.
Hal yang menarik di Desa Kamalaputi adalah terdapat kelompok masyarakat yang melestarikan ekosistem mangrove dengan sukarela. Kelompok – kelompok ini terdiri dari beberapa anggota yang bertugas mengawasi dan melakukan penanaman kembali pohon – pohon bakau. Kelompok masyarakat ini sangat patuh terhadap hukum untuk tidak menebang pohon mangrove, dan kesadaran ini timbul karena keyakinan mereka bahwa mangrovelah yang menjaga kehidupan manusia. Vegetasi mangrove di pesisir Kecamatan Waigapu terdiri dari jenis mangrove mayor: Avicenia alba, A. lanata, A. marina, Bruguiera cylindrica, B. Gymnorrhiza, B. parviflora, B. Gymnorhiza, Ceriops decandra, C. tagal, Lumnitzera racemosa, Nypa frutican, Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, Sonneratia Alba, S. caseolaris,. Jenis mangrove minor: Excoecaria agallocha L, Pemphis acidula, Scyphiphora hydrophyllacea Xylocarpus granatum. Mangrove associate: Barringtonia asiatica, Calotropis gigantea, Hibiscus tiliaceus L, Pandanus tectorius Parkinson.
Kecamatan Kambera
Mangrove di Kecamatan Kambera dapat ditemukan di sepanjang pesisir Desa Mauliu. Masyarakat memanfaatkan pohon bakau sebagai bahan bakar, dan area penangkapan komoditas perikanan bakau.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
51
Jenis mangrove yang dijumpai di Pesisir Desa Mauliu diantaranya: Bruguiera cylindrica, B. Gymnorrhiza, B. Parviflora, Rhizophora apiculata, R. mucronata, dan Sonneratia alba. Jenis asosiasi mangrove terdiri dari Barringtonia asiatica, Calophyllum inophyllum , dan Pandanus tectorius Parkinson,
Kecamatan Pandawai
Mangrove di Kecamatan Pandawai dapat ditemukan di sepanjang pesisir Kawangu, Watumbaka, Kadumbul. Vegetasi mangrove akan semakin rapat dijumpai pada muara sungai yang berbatasan dengan laut. Masyarakat memanfaatkan pohon bakau sebagai bahan bakar dan area penangkapan komoditas perikanan bakau.
Gambar 41. Vegetasi mangrove di Desa Watumbaka, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia.
Vegetasi mangrove di pesisir Kecamatan Pandawai terdiri dari jenis mangrove mayor: Avicenia lanata, Bruguiera parviflora, B. Gymnorhiza, Rhizophora stylosa, R. Opiculata, Xylocarpus granatum, Sonneratia Alba, S. Caseolaris, Nypa fruticans. Jenis mangrove minor: Excoecaria agallocha L, Scyphiphora hydrophyllacea. Mangrove associate: Calotropis gigantea, Hibiscus tiliaceus L, Pandanus tectorius Parkinson.
Kecamatan Umalulu
Mangrove di Kecamatan Umalulu dapat ditemukan di sepanjang pesisir Desa Wanga, Patawang, dan Lumbu Kore. Vegetasi mangrove akan semakin rapat dijumpai pada muara sungai yang berbatasan dengan laut. Masyarakat memanfaatkan pohon bakau sebagai bahan bakar, dan area penangkapan komoditas perikanan bakau.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
52
Gambar 42. Vegetasi mangrove di Kecamatan Umalulu, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia.
Vegetasi mangrove di pesisir Kecamatan Umalulu terdiri dari jenis mangrove mayor: Avicenia lanata, Bruguiera parviflora, B. Gymnorhiza, Rhizophora stylosa, R. Opiculata, Xylocarpus granatum, Sonneratia Alba, S. Caseolaris, Nypa fruticans. Jenis mangrove minor: Excoecaria agallocha L, Scyphiphora hydrophyllacea. Mangrove associate: Calotropis gigantea, Hibiscus tiliaceus L, Pandanus tectorius Parkinson.
Kecamatan Rindi
Mangrove di Kecamatan Rindi dapat ditemukan di Desa Kabaru. Masyarakat memanfaatkan pohon bakau sebagai bahan bakar dan area penangkapan komoditas perikanan bakau. Jenis mangrove yang dijumpai di Pesisir Desa Kabaru diantaranya: Bruguiera cylindrica, B. Gymnorrhiza, B. Parviflora, Rhizophora apiculata, R. mucronata, dan Sonneratia alba. Jenis asosiasi mangrove terdiri dari Barringtonia asiatica, Calophyllum inophyllum , dan Pandanus tectorius Parkinson,
Kecamatan Pahunga Lodu
Mangrove di Kecamatan Haharu dapat ditemukan di Desa Mburukulu. Masyarakat memanfaatkan penangkapan komoditas perikanan bakau.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
53
Gambar 43. Vegetasi mangrove di Kecamatan Mburukulu, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
Jenis mangrove yang dijumpai di Pesisir Desa Mburukulu diantaranya: Bruguiera cylindrica, B. Gymnorrhiza, B. Parviflora, Rhizophora apiculata, R. mucronata, dan Sonneratia alba. Jenis asosiasi mangrove terdiri dari Barringtonia asiatica, Calophyllum inophyllum, dan Pandanus tectorius Parkinson.
54
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
54
4.3. Ekosistim Padang Lamun Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif. Di samping itu ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal, menurut hasil penelitian diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai berikut: 1. Sebagai produsen primer, Lamun mempunyai tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti ekosistem terumbu karang. 2. Sebagai habitat biota, Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan. Disamping itu, padang lamun dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makan dari berbagai jenis ikan herbivora dan ikan– ikan karang. 3. Sebagai penangkap sedimen, Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaaan. Jadi padang lamun yang berfungsi sebagai penangkap sedimen dapat mencegah erosi. 4. Sebagai pendaur zat hara, Lamun memegang peranan penting dalam pendauran barbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka di lingkungan laut. Khususnya zatzat hara yang dibutuhkan oleh algae epifit.
Kabupaten Sumba Barat Daya Sebaran padang lamun dapat ditemukan di: 1) Desa Bondo Kodi dan Pero Konda di Kecamatan Kodi, 2) Desa Wee Londa, Wee Tobula, dan Rada Mata di Kecamatan Tambolaka, 3) Desa Lete Konda di Kecamatan Loura.
Gambar 44. Vegetasi padang lamun di Desa Randa Mata, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
55
Jenis padang lamun yang terdiri dari jenis: Cymodocea serrulata, C. Rotundata, Halodule ovalis, H. universis, dan Syringodium isoetifolium.
Kabupaten Sumba Barat Padang lamun di Kabupaten Sumba Barat yang ditemukan di Desa Loko Ry, Kecamatan Tana Righu terdiri dari jenis: Cymodocea serrulata, C. Rotundata, dan Syringodium isoetifolium.
Kabupaten Sumba Tengah Sebaran padang lamun Kabupaten Sumba Tengah ditemukan di Desa Lenang dan Tana Mbanas di Kecamatan Umbu Ratu Nggay. Jenis padang lamun yang terdiri dari jenis: Cymodocea serrulata, C. Rotundata, Halodule ovalis, H. universis, dan Syringodium isoetifolium.
Kabupaten Sumba Timur Sebaran padang lamun Kabupaten Sumba Timur ditemukan: 1) Desa Napu, Kecamatan Haharu, 2) Desa Hamba Praing, Kuta, dan Temu di Kecamatan Kanatang, 3) Desa Kamalaputi, Kecamatan Waigapu, 4) Desa Lambakara, Tanamanang, Kaliuda di Kecamatan Pahunga Lodu, 5) Desa Wulla, Hadakamali, Lumbu Manggit, dan Lainjanji di Kecamatan Wula Waijelu, 6) Desa Praimadita dan Prai Salura Kecamatan Karera.
Gambar 45. Vegetasi padang lamun di Desa Kuta, survey Sumba 2015. Foto: D. Prasetia.
Jenis padang lamun yang terdiri dari jenis: Cymodocea serrulata, C. Rotundata, Halodule ovalis, dan Syringodium isoetifolium.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
56
Gambar 46. Peta sebaran padang lamun di pesisir Pulau Sumba, survey Sumba 2014 dan 2015.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
57
4.1.5. Mega fauna rentan punah Kabupaten Sumba Barat Daya Species rentan yang dilaporkan terdapat di 1) pesisir Desa Pero Konda, Kecamatan Kodi, dan 2) Desa Wee Manada, Karuni, Lete Konda di Kecamatan Loura, Kabupaten Sumba Barat Daya. Kawasan ini merupakan tempat pendaratan penyu, dan kawasan lintasan lumbalumba dan paus. Kabupaten Sumba Barat Berdasarkan survey 2014 terdapat setidaknya empat jenis penyu di perairan selatan Sumba Barat. Jenis penyu tersebut antara lain Sisik/Hawksbill (Eretmochelys imbricate),penyu Sisik Semu/Olive ridley (Lepidochelys olivacea), penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu Belimbing/Leatherback (Dermochelys coriacea). Lokasi peneluran penyu di pantai selatan Kabupaten Sumba Barat terdapat di Pantai Mambang, Pantai Kerewee, Pantai Ngihi Watu, Pantai Keri jara, dan Pantai Bali Loku (Lazuardi, dkk. 2014)
Species rentan yang dilaporkan terdapat di: 1) Desa Ngadu Mbolu, 2) Desa Lenang, 3) Desa Tana Mbanas di Kecamatan Umbu Ratu Nggay. Kawasan ini merupakan tempat pendaratan penyu dan kawasan lintasan lumba – lumba dan paus. Pesisir desa Ngodu Mbolu merupakan tempat pendaratan penyu untuk bertelur dari bulan April sampai September. Penyu yang ditemukan Penyu Hijau, Penyu Sisik, Penyu Belimbing. Penyu ini jika tertangkap nelayan dijual dengan harga Rp. 500.000 – 1.000.000 (penyu hijau besar). Telur penyu dijual dengan harga Rp. 500/telur pada musim banyak dan Rp. 2.000/3 butir tidak pada musimnya.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
Kabupaten Sumba Tengah
4.1.5.tempat Pantai pendaratan peneluran penyu penyusisik, hijau, Sepanjang pantai Pahar – Wendei merupakan belimbing. Musim bertelur penyu antara bulan Pebruari –pengamatan Agustus. Puncaknya padalangsung bulan maupun identifik Berdasarkan baik melihat masyarakat, terdapat setidaknya empat je Pebruari, sekitar 5 – 6 ekor, dengan jumlah telur 100 –dan 150informasi butir/lubang. Masyarakat menjual telur penyu dengan harga Rp. 1.000/6 butir. penyu di perairan selatan Sumba Barat. Jenis penyu tersebut ant lain Sisik/Hawksbill (Eretmochelys imbricate),penyu Sisik Semu/O Kawanan lumba – lumba dijumpai pada saat bulan teduh di sekitar pesisir desa Ngodu ridley (Lepidochelys olivacea), penyu hijau (Chelonia mydas) dan pen Mbolu. Di muara sungai Ngodu Mbolu juga sering ditemukan buaya sepanjang 50 cm. Belimbing/Leatherback (Dermochelys coriacea). Kabupaten Sumba Timur Lokasi peneluran penyu di pantai selatan Kabupaten Sumba Ba
di Pantai Mambang, Pantai Species rentan yang dilaporkan terdapat di: 1)terdapat Desa Mondu, Hamba Praing, Kuta, danKerewee, Temu Pantai Ngihi Wa Pantai Keri jara, dan Pantai Bali Loku. Meskipun survei ini bel di Kecamatan Kanatang; 2) Desa Lambakara, Tanamanang, dan Kaliuda di Kecamatan mengidentifikasi penyu di masing-masing pantai, nam Pahunga Lodu; 3) Desa Wulla, Hadakamali, Lumbu Wutang, dan jenis Lainjanji di Kecamatan Wula demikian dari telur penyu yang dikirimkan masyarakat Weihura un Waijelu. 4) Desa Prai Salura di Kecamatan Karera. Kawasan ini merupakan tempat ditangkarkan di Nihiwatu Resort, setidaknya di pantai peneluran B pendaratan penyu dan kawasan lintasan lumba – lumba dan paus. Loku terdapat 2 jenis yaitu Penyu Sisik Semu dan Penyu Belimbing.
58
Kondisi Biofisik Sosial Pesisir Pulauuntuk Sumba, 2015 Tukik, penangkaran penyu dandan telur yangEkonomi diambil masyarakat ditangkarkan di58 Ngihi Watu, Sumba Barat. Foto: ME Lazuardi/CTC
5.1. Demografi, Iklim dan Topografi Kabupaten Sumba Barat Daya Secara astronomis Kabupaten Sumba Barat Daya terletak antara 90 18’ - 100 20’ Lintang Selatan (LS) dan 1180 55’-1200 23’ Bujur Timur (BT). Berdasarkan posisi geografisnya, Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki batas-batas: Utara
: Selat Sumba
Selatan
: Samudera Indonesia
Barat
: Samudera Indonesia
Timur
: Kabupaten Sumba Barat
Kabupaten Sumba Barat Daya terdiri atas 11 kecamatan, yaitu Kodi Bangedo, Kodi Balaghar, Kodi, Kodi Utara, Wewewa Selatan, Wewewa Barat, Wewewa Timur, Wewewa Tengah, Wewewa Utara, Loura, dan Kota Tambolaka.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
V. Kondisi Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba
59
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
59
Tabel 5. Luas wilayah Kecamatan di Kabupaten Sumba Barat Daya, survei Sumba 2015.
No
Kecamatan
Luas
Tinggi Rata-
Wilayah
Rata dari
Sungai
Area
Permukaan
(Km)
(Ha)
Laut (m)
1
Kodi Bangedo
7.322
0 – 300
2
Kodi Balaghar
14.467
0 – 300
3
Kodi
11.186
0 – 300
4
Kodi Utara
25.373
0 – 300
5
Wewewa Selatan
17.414
300 – 500
Nama Sungai
Panjang
Pola Pare
18
Waiha
9
Wee Wagha
10
Wee
10
Lambora 6
Wewewa Barat
14.734
300 – 750
7
Wewewa Timur
13.988
300 – 850
8
Wewewa Tengah
10.967
300 – 850
9
Wewewa Utara
6.326
100 – 600
10
Loura
14.480
0 – 300
11
Kota Tambolaka
9.895
0 – 300
Wee Kalowo
7
Loko Kalada
16
Sumber: Sumba Barat Daya dalam Angka 2014 Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki luas daratan mencapai 1.445,32 km2. Sebagian besar wilayahnya berbukit-bukit di mana hampir 50 persen luas wilayahnya memiliki kemiringan 140 - 400. Pada tahun 2013 Kabupaten SumbaBarat Daya terdiri dari 11 kecamatan, 129 desa dan 2 kelurahan. Jumlah desa terbanyak di Kecamatan Kodi Utara (18 desa), sedangkan yang paling sedikit jumlah desa adalah Kecamatan Wewewa Utara (6 desa).
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
60
Tabel 6. Jumlah desa dan kelurahan di Kabupaten Sumba Barat Daya, survei Sumba 2015.
No
Kecamatan
Ibukota
Desa
Kelurahan
Keterangan
1
Kodi Bangedo
Walla Ndimu
12
Daerah Pantai
2
Kodi Balaghar
Panenggo Ede
12
Daerah Pantai
3
Kodi
Kodi
14
Daerah Pantai
4
Kodi Utara
Kori
18
Daerah Pantai
5
Wewewa Selatan
Tena Teke
12
-
6
Wewewa Barat
Waimangura
17
-
7
Wewewa Timur
Elopada
10
-
8
Wewewa Tengah
Ndapa Taka
10
-
9
Wewewa Utara
Palla
6
-
10
Loura
Karuni
10
Daerah Pantai
11
Kota Tambolaka
Tambolaka
8
2
129
2
Jumlah
-
Sumber: Sumba Barat Daya dalam Angka 2014 Kabupaten Sumba Barat Daya dan Propinsi Nusa Tenggara Timur hanya dikenal 2 musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada bulan Juni sampai dengan September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya, pada bulan Desember sampai dengan Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik, sehingga terjadi musim hujan. Keadaan seperti ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober- Nopember. Walaupun demikian, mengingat Sumba Barat Daya dan umumnya NTT dekat dengan Australia, arus angin yang banyak mengandung uap air dari Asia dan Samudera Pasifik sampai di wilayah Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
61
Sumba Barat Daya kandungan uap airnya sudah berkurang yang mengakibatkan hari hujan di Sumba Barat Daya lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah yang lebih dekat dengan Asia. Hal ini menjadikan Sumba Barat sebagai wilayah yang tergolong kering di mana hanya 4 bulan (Januari sampai dengan Maret, dan Desember) yang keadaannya relatif basah dan 8 bulan sisanya relatif kering. Jumlah penduduk di Kabupaten Sumba Barat Daya sesuai dengan data BPS Kabupaten Sumba Barat Daya dalam Angka 2014 sejumlah 306.195 orang, dengan kepadatan penduduk per km 2 sekitar 207.
Tabel 7. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sumba Barat Daya, survei Sumba 2015.
No
Kecamatan
Jumlah
Luas Daerah
Kepadatan
% Penduduk
Penduduk
Area
Penduduk
Kecamatan
(Km2)
per Km2
terhadap Penduduk Kabupaten
1
Kodi Bangedo
18.549
73,22
253
6,06
2
Kodi Balaghar
20.258
146,47
138
6,62
3
Kodi
32.257
111,86
288
10,53
4
Kodi Utara
51.417
235,73
218
16,79
5
Wewewa Selatan
22.968
174,14
276
13,28
6
Wewewa Barat
40.649
147,34
276
13,28
7
Wewewa Timur
27.395
139,88
196
8,95
8
Wewewa Tengah
29.474
109,67
269
9,63
9
Wewewa Utara
12.281
63,26
194
4,01
10
Loura
14.971
144,80
364
11,75
11
Kota Tambolaka
35.976
98,95
364
11,75
Jumlah
306.195
1.445,32
212
100
2012
299.534
1.445,32
207
100
Sumber: Sumba Barat Daya dalam Angka 2014 Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
62
Kabupaten Sumba Barat Secara astronomis Kabupaten Sumba Barat terletak antara 90 22’- 90 47’ Lintang Selatan (LS) dan 1190 08’- 1190 32’ Bujur Timur (BT). Berdasarkan posisi geografisnya,Kabupaten Sumba Barat memiliki batas-batas: Utara
: Selat Sumba
Selatan
: Samudera Indonesia
Barat
: Kabupaten Sumba Barat Daya
Timur:
: Kabupaten Sumba Tengah
Secara administrasi, sejak tanggal 22 Mei 2007, Kabupaten Sumba Barat mengalami pemekaran wilayah menjadi Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah. Kabupaten Sumba Barat terdiri atas 6 kecamatan, yaitu Lamboya, Wanokaka, Laboya Barat, Loli, Kota Waikabubak, dan Tana Righu.
Tabel 8. Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Sumba Barat, survei Sumba 2015.
No
Kecamatan
Luas
Tinggi Rata-
Nama Sungai
Panjang
Wilayah
Rata dari
Sungai
Area
Permukaan
(Km)
(Ha)
Laut (m)
1
Lamboya
12.565
0 – 700
Kadengara
2
2
Wanokaka
13.368
0 – 450
Loku Bakul
1
3
Laboya Barat
16.123
0 – 700
-
-
4
Loli
13.236
200 – 600
Loko Kalada
5
5
Kota Waikabubak
4.471
200 – 600
Tabaka Dana
2,5
6
Tana Righu
13.979
0 – 550
-
-
Sumber: Sumba Barat dalam Angka 2014 Kabupaten Sumba Barat memiliki luas daratan mencapai 737 km2. Sebagian besar wilayahnya berbukit-bukit di mana hampir 50 persen luas wilayahnya memiliki kemiringan 140 – 400.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
63
Tabel 9. Jumlah Desa dan Kelurahan di Kabupaten Sumba Barat, survei Sumba 2015.
No
Kecamatan
Ibukota
Desa
Kelurahan
Keterangan
1
Lamboya
Kabukarudi
11
Daerah Pantai
2
Wanokaka
Pogo Katoda
14
Daerah Pantai
3
Laboya Barat
Hodi
4
Daerah Pantai
4
Loli
Dokakaka
9
5
-
5
Kota Waikabubak
Waikabubak
7
6
-
6
Tana Righu
Malata
18
Jumlah
63
Daerah Pantai 11
Sumber: Sumba Barat dalam Angka 2014
Kabupaten Sumba Barat dan Propinsi Nusa Tenggara Timur dikenal 2 musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada bulan Juni sampai dengan September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya, pada bulan Desember sampai dengan Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik, sehingga terjadi musim hujan. Keadaan seperti ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Walaupun demikian, mengingat Sumba Barat dan umumnya NTT dekat dengan Australia, arus angin yang banyak mengandung uap air dari Asia dan Samudera Pasifik sampai di wilayah Sumba Barat kandungan uap airnya sudah berkurang yang mengakibatkan hari hujan di Sumba Barat lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah yang lebih dekat dengan Asia. Hal ini menjadikan Sumba Barat sebagai wilayah yang tergolong kering di mana hanya 4 bulan (Januari sampai dengan April, dan Desember) yang keadaannya relatif basah dan 8 bulan sisanya relatif kering.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
64
Jumlah penduduk di Kabupaten Sumba Barat sesuai dengan data BPS Kabupaten Sumba Barat dalam Angka 2014
sejumlah 117.787 orang, dengan kepadatan
penduduk per km2 sekitar 160.
Tabel 10. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sumba Barat, survei Sumba 2015.
No
Kecamatan
Jumlah
Luas Daerah
Kepadatan
% Penduduk
Penduduk
Area
Penduduk
Kecamatan
(Km2)
per Km2
terhadap Penduduk Kabupaten
1
Lamboya
16.315
125,56
130
13,85
2
Wanokaka
14.810
133,68
111
12,57
3
Laboya Barat
7.964
161,23
49
6,76
4
Loli
29.224
132,36
221
24,81
5
Kota Waikabubak
30.795
44,71
689
26,14
6
Tana Righu
18.679
139,79
134
15,86
Jumlah
117.787
737,42
160
100
2012
116.621
737,42
158
100
2011
113.189
737,42
153
100
2010
110.993
737,42
151
100
2009
108.644
737,42
147
100
2008
106.524
737,42
144
100
Sumber: Sumba Barat dalam Angka 2014
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
65
Kabupaten Sumba Tengah Secara astronomis Kabupaten Sumba Tengah terletak antara 90 20’ - 90 50’ Lintang Selatan (LS) dan 1190 22’-1190 55’ Bujur Timur (BT). Berdasarkan posisi geografisnya, Kabupaten Sumba Tengah memiliki batas-batas: Utara
: Selat Sumba
Selatan
: Samudera Indonesia
Barat
: Kabupaten Sumba Barat
Timur
: Kabupaten Sumba Timur
Kabupaten Sumba Tengah terdiri atas 5 kecamatan, yaitu: Mamboro, Katikutana, Umbu Ratu Nggay Barat, Umbu Ratu Nggay, dan Katikutana Selatan. Kabupaten Sumba Tengah memiliki luas daratan mencapai 187,87 km2. Sebagian besar wilayahnya berbukit-bukit di mana hampir 50 persen luas wilayahnya memiliki kemiringan 140 – 400.
Tabel 11. Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Sumba Tengah, survei Sumba 2015.
No
Kecamatan
Luas Wilayah Area (Km2)
Tinggi Rata-
Nama
Panjang
Rata dari
Sungai
Sungai
Permukaan Daratan
Pulau
Laut (m)
1
Mamboro
358,59
0 – 450
2
Katikutana
78,83
0 – 800
3
Katikutana Selatan
368,25
4
U. R. Nggay Barat
272,05
0 – 800
5
Umbu Ratu Nggay
791,37
0 – 800
0,09
(Km)
Bewi
8
Pemalar
6
0 – 720
Sumber: Sumba Tengah dalam Angka 2014
Secara administrasi, sejak tanggal 22 Mei 2007, Kabupaten Sumba Barat mengalami pemekaran wilayah menjadi Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
66
Tabel 12. Jumlah Desa dan Kelurahan di Kabupaten Sumba Tengah, survei Sumba 2015.
No
Kecamatan
Ibukota
Desa
Kelurahan
Keterangan
1
Mamboro
Mananga
13
Daerah Pantai
2
Katikutana
Waibakul
7
-
3
Katikutana Selatan
Waikabeti
9
Daerah Pantai
4
U. R. Nggay Barat
Maderi
18
-
5
Umbu Ratu Nggay
Lendi Wacu
18
Daerah Pantai
Jumlah
65
Sumber: Sumba Tengah dalam Angka 2014
Jumlah penduduk di Kabupaten Sumba Tengah sesuai dengan data BPS Kabupaten Sumba Tengah dalam Angka 2014 sejumlah 66.314 orang, dengan kepadatan penduduk sekitar 35 jiwa per km2. Tabel 13. Jumlah dan kepadatan penduduk Kabupaten Sumba Tengah, survei Sumba 2015.
No
Kecamatan
Jumlah
Luas Daerah
Kepadatan
% Penduduk
Penduduk
Area (Km2)
Penduduk
Kecamatan
per Km2
terhadap Penduduk Kabupaten
1
Mamboro
15.044
358,59
42
22,69
2
Katikutana
10.366
78,83
131
15,63
3
Katikutana
10.890
368,34
30
16,42
Nggay
17.057
272,05
63
25,72
Ratu
12.957
791,37
16
19,54
Selatan 4
U.
R.
Barat 5
Umbu Nggay
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
67
Jumlah
66.314
1.869,18
35
100
2012
65.606
1.869,18
35
100
2011
63.721
1.869,18
34
100
2010
62.485
1.869,18
33
100
2009
60.215
1.869,18
32
100
2008
60.151
1.869,18
32
100
Sumber: Sumba Tengah dalam Angka 2014
Kabupaten Sumba Tengah dan Propinsi Nusa Tenggara Timur hanya dikenal 2 musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada bulan Juni sampai dengan September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya, pada bulan Desember sampai dengan Maret arus angin banyak mengandunguap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik, sehingga terjadi musim hujan. Keadaan seperti ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober- Nopember. Walaupun demikian, mengingat Sumba Tengah dan umumnya NTT dekat dengan Australia, arus angin yang banyak mengandung uap air dari Asia dan Samudera Pasifik sampai di wilayah Sumba Tengah kandungan uap airnya sudah berkurang yang mengakibatkan hari hujan di Sumba Tengah lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah yang lebih dekat dengan Asia. Hal ini menjadikan Sumba Tengah sebagai wilayah yang tergolong kering di mana hanya 4 bulan (Januari sampai dengan April, dan Desember) yang keadaannya relatif basah dan 8 bulan sisanya relatif kering.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
68
Kabupaten Sumba Timur Secara astronomis Kabupaten Sumba Timur terletak antara 1190 45’ – 1200 52’ Bujur Timur (BT) dan 90 16’ – 100 20’ Lintang Selatan (LS). Berdasarkan posisi geografisnya, Kabupaten Sumba Timur memiliki batas-batas : Utara
: Selat Sumba
Selatan
: Lautan Hindia
Timur
: Laut Sabu
Barat
: Kabupaten Sumba Tengah
Kabupaten Sumba Timur terdiri dari 22 kecamatan, yaitu : Lewa, Ngadu Ngala, Nggaha Ori Angu, Pahunga Lodu, Lewa Tidahu, Wula Waijelu, Katala Hamu Lingu, Rindi,
Tabundung,
Umalulu,
Pinu
Pahar,
Pandawai,
Paberiwai,
Kambata
Mapambuhang, Karera, Kota Waingapu, Matawai La Pawu, Kambera, Kahaungu Eti, Haharu, Mahu, dan Kanatang. Luas wilayah daratan Sumba Timur 700.050 ha yang tersebar pada 1 pulau utama (Pulau Sumba) dan 3 pulau kecil yaitu Pulau Prai Halura, Pulau Mengkudu dan Pulau Nuha (belum berpenghuni). Sekitar 40% luas Sumba Timur merupakan daerah yang berbukit-bukit terjal terutama di daerah bagian Selatan, dimana lereng-lereng bukit tersebut merupakan lahan yang cukup subur, sementara daerah bagian Utara berupa dataran yang berbatu dan kurang subur Seperti halnya daerah lain di Nusa Tenggara Timur (NTT), Sumba Timur memiliki 2 musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada umumnya Sumba Timur diguyur hujan pada bulan Januari – April, sementara 8 bulan lainnya mengalami kemarau, yang menyebabkan wilayah Sumba Timur tergolong wilayah kering. Kabupaten Sumba Timur menjadi Daerah Tingkat II definitif berdasarkan UndangUndang Nomor 64 Tahun 1958 dan lembaran Negara Nomor 115 Tahun 1958 serta Tambahan Lembaran Negara Nomor 1649. Secara administrasi, sejak tahun 2007 telah terjadi pemekaran sejumlah kecamatan di Sumba Timur menjadi 22 kecamatan, 16 kelurahan dan 140 desa. Kabupaten Sumba Timur dipimpin oleh seorang Bupati dengan ibukota kabupaten adalah Waingapu yang terletak di kecamatan Kota Waingapu.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
69
Tabel 14. Luas wilayah kecamatan di Kabupaten Sumba Timur, survei Sumba 2015.
No
Kecamatan
Ibukota
Luas Wilayah (Ha)
Desa
Kelurahan
Keterangan
Pameti Karata
28.110
7
1
-
Karipidita
28.640
8
-
Laikeri
32.210
6
Daerah Pantai
1
Lewa
2
Nggaha Ori Angu
3
Lewa Tidahu
4
Katala Hamu Lingu
Kombapri
45.310
5
Daerah Pantai
5
Tabundung
Malahar
51.440
10
Daerah Pantai
6
Pinu Pahar
Tawui
24.660
6
Daerah Pantai
7
Paberiwai
Kananggar
19.970
7
-
8
Karera
Nggongi
33.460
7
Daerah Pantai
9
Matawai La Pawu
Tanarara
40.450
6
-
10
Kahaungu Eti
Kamanggih
47.510
9
-
11
Mahu
Wairara
19.660
6
-
12
Ngadu Ngala
Praiwitu
20.790
5
Daerah Pantai
13
Pahunga Lodu
Ngalu
34.980
8
Daerah Pantai
14
Wula Waijelu
Wula
22.130
7
Daerah Pantai
15
Rindi
Tanaraing
36.650
8
Daerah Pantai
16
Umalulu
Melolo
30.790
9
1
Daerah Pantai
17
Pandawai
Kawangu
41.260
5
2
Daerah Pantai
18
Kambata Mapambuhang
Lukuwingir
41.270
6
19
Kota Waingapu
Waingapu
7.380
3
4
-
20
Kambera
Pakukinjara
5.200
1
7
Daerah Pantai
21
Haharu
Rambangaru
60.150
7
22
Kanatang
Temu
27.940
4
1
140
16
Jumlah
-
Daerah Pantai Daerah Pantai
Sumber: Sumba Timur dalam Angka 2014
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
70
Jumlah penduduk di Kabupaten Sumba Timur sesuai dengan data BPS Kabupaten Sumba Timur dalam Angka 2014 sejumlah 241.416 orang, dengan kepadatan penduduk per km2 sekitar 34.
Tabel 15. Jumlah dan kepadatan penduduk Kabupaten Sumba Barat, survei Sumba 2015.
No
Kecamatan
Jumlah Penduduk
Luas Daerah Area (Km2)
Kepadatan Penduduk per Km2
1
Lewa
16.420
281,1
58
2
Nggaha Ori Angu
9.272
286,4
32
3
Lewa Tidahu
6.632
322,1
21
4
Katala Hamu Lingu
3.855
453,1
9
5
Tabundung
8.607
514,4
17
6
Pinu Pahar
7.149
246,6
29
7
Paberiwai
5.838
199,7
29
8
Karera
7.938
334,6
24
9
Matawai La Pawu
6.186
405,4
15
10
Kahaungu Eti
8.491
475,1
18
11
Mahu
4.264
196,6
22
12
Ngadu Ngala
4.976
207,9
24
13
Pahunga Lodu
12.569
349,8
36
14
Wula Waijelu
7.343
221,3
33
15
Rindi
9.633
366,5
26
16
Umalulu
17.011
307,9
56
17
Pandawai
15.656
412,6
38
18
Kambata Mapambuhang
3.617
412,7
9
19
Kota Waingapu
37.459
73,8
508
20
Kambera
32.422
52,0
624
21
Haharu
6.106
601,5
10
22
Kanatang
9.972
279,4
36
241.416
7.000,5
34
Jumlah Sumber: Sumba Timur dalam Angka 2014
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
71
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015 72 Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
72
5.2. Kearifan Tradisional Masyarakat di Pesisir Masyarakat pesisir selatan Pulau Sumba memiliki kearifan lokal yang bersumber dari kepercayaan Marapu yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun-temurun. Beberapa bukti kearifan lokal di Pulau Sumba adalah:
Ritual Wula Po’du Wula Po’du diartikan sebagai bulan pahit atau bulan pamali yang dianggap sebagai bulan suci atau bulan keramat bagi masyarakat adat Sumba Barat yang masih menganut agama asli Marapu. Ini adalah bulan ritual penyucian diri yang dilakukan setahun sekali setiap bulan Nopember. Selama sebulan penuh penganut Marapu melakukan berbagai pamali atau pantangan antara lain dilarang membunyikan gong dan gendang, menyembelih hewan atau menikam babi di depan rumah, menangisi orang mati, serta berpesta pora. Pada masa puncak hari pamali masyarakat tidak boleh ke kebun, karena tanaman di kebun pasti mati. Ritual lainnya adalah berburu yang dilakukan para Rato di hutan, namun bagi yang tinggal di daerah pesisir, ritual berburu dilakukan di laut. Puncak perayaan Wula Podu diisi dengan berbagai tarian adat yang ditarikan sehari penuh, dari pagi hingga petang. Selain diiringi gong, para Rato juga silih berganti melantunkan syairsyair adat yang ditujukan kepada Pencipta. Khusus di Desa Hoba Wawi, Kecamatan Wanokaka, ritual Wula Po’du dilakukan dengan pantangan atau pamali menangkap ikan bagi warga desa maupun luar desa selama sebulan penuh, kecuali para Rato yang diperkenankan menangkap ikan, itupun hanya dilakukan satu hari saja, yaitu pada hari ketiga setelah bulan Purnama (full moon) di bulan Nopember. Ritual ini dilakukan di Pantai Kadora, Desa Hobawawi. Cara menangkap ikannya adalah para Rato mengebas-ngebaskan batang pohon beracun yang berasal dari batang pohon tua yang menjalar di dalam tanah yang diambil dari hutan. Seluruh hasil tangkapan ikan dari jenis apapun diambil dan dimakan dengan ketupat. Hanya para Rato dan penduduk lokal saja yang diperkenankan makan ikan tangkapan dari ritual ini. Saat ritual Wula Po’du dilakukan orang luar tidak diperkenankan masuk ke desa atau makan ikan hasil tangkapan para Rato. Jika dilanggar, diyakini ikan yang dimakan akan meracuni orang yang memakannya. Sedangkan warga desa yang memakannya tidak terkena imbas racun. Sebelum ritual menangkap ikan dilakukan, sehari sebelumnya para Rato dengan pakaian adat secara beriringan menuju hutan untuk mengambil racun batang kayu. Saat iring-iringan
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
73
lewat, masyarakat maupun hewan tidak diperkenankan keluar rumah atau berada di jalan yang dilalui para Rato menuju hutan agar terhindar dari malapetaka. Ritual ini masih berlangsung hingga kini. Tradisi Hodu Tairi Hodu Tairi adalah tradisi memanen ikan teri yang dilakukan setiap musim ikan teri pada bulan Agustus hingga September di Teluk Tangeiri, Desa Weimanu, Kecamatan Katikutana Selatan, Kabupaten Sumba Tengah. Secara administrasi termasuk dalam kawasan Taman Nasional Manupeu Tana Daru yang terletak di sebelah Selatan Samudera Hindia, sekitar 20 km dari kota kecamatan Anakalang atau 40 km dari kota Waikabubak, Sumba Barat. Desa ini terpencil, berada di lembah yang dikelilingi perbukitan dan hutan pantai. Belum ada akses jalan untuk mobil, kecuali kendaraan roda dua dan kuda. Perahu merupakan alat transportasi utama warga untuk mengangkut hasil-hasil pertanian dan lainnya ke kota atau desa terdekat. Dua buah sungai, yaitu sungai bermuara ke Teluk Tangeiri. Masyarakat Desa Weimanu yang mendiami pesisir teluk lebih dikenal sebagai suku Tangeiri, meyakini nenek moyang mereka berasal dari suku pesisir Tanjung Sasar, Sumba bagian utara. Desa ini juga dianggap desa keramat dan tidak ada orang luar yang bisa menetap di sana, kecuali keturunan aslinya. Desa ini baru akan ramai saat musim teri tiba. Ratusan warga dari berbagai desa di kecamatan Anakalang, Sumba Tengah, serta warga Kecamatan Wanokaka dan Loli, Sumba Barat akan datang berduyun-duyun untuk memanen teri bersama warga lokal. Setiap orang diperkenankan menangkap ikan teri selama musim itu, tetapi dengan syarat tertentu yang harus dipatuhi, yaitu tidak boleh berbuat jahat, seperti mengucapkan kata-kata kotor, mencuri, membunuh, bermusuhan, dan perbuatan jahat lainnya. Cara mengambilnya dengan menggunakan jaring khusus yang disebut tangguk, dilakukan secara berkelompok, dan tidak diperkenankan menggunakan jala/jaring. Kelompok dibagi dua, dikomando oleh 2 orang yang ditunjuk. Dua kelompok yang terbagi ini kemudian membuat lingkaran dengan masing-masing membawa tangguk berjalan lurus secara bersama-sama. Tidak boleh ada yang mendahului. Bila aturan ini dilanggar, maka orang yang melanggarnya diyakini akan digigit atau dimakan hiu, dan ikan teri akan menghilang dari teluk. Hiu adalah ikan yang dikeramatkan warga desa dan dilarang atau pantang ditangkap. Menurut penuturan salah satu tetua desa, Bora Paji, pada saat musim teri di Teluk Tangeiri, ribuan hiu (warna hitam, putih, belang, masih perlu diidentifikasi, Red) masuk ke teluk mengejar ikan teri. Meskipun warga berlomba memanen teri dengan hiu, namun hiu-hiu
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
74
tersebut tidak menyerang manusia dan dilarang ditangkap, kecuali secara tidak sengaja tersangkut mati di jaring. Jika tersangkut masih hidup, hiu harus segera dilepas. Saat musimnya, masyarakat akan panen ikan teri antara 0,5 sampai 1 ton per hari. Ikan teri biasanya dikeringkan lalu dijual di pasar-pasar. Ikan teri dari Teluk Tangeiri sudah dikenal oleh masyarakat banyak di Sumba, selain karena ukurannya lebih besar yaitu 4-8 cm, rasanya pun sangat enak (manis, harum), berbeda dengan ikan teri dari daerah lainnya di Sumba. Menurut penuturan warga, di luar bulan Agustus hingga September, ikan teri selalu ada di Teluk Tangeiri, hanya saja jumlahnya lebih sedikit, dan ukurannya lebih kecil, yaitu sekitar 2 centimeter. Sebelum agama Kristen masuk ke Desa Weimanu, kegiatan memanen ikan teri didahului dengan upacara memanggil ikan teri dengan ritual adat Marapu yang dipimpin oleh seorang tetua adat atau Rato. Syair-syair memanggil ikan teri dilantunkan di batu karang tempat penyembahan Biru Dongu Langu (laki-laki) dan Pidu Watu Watu (perempuan). Sampai sekarang batu karang ini dianggap keramat oleh warga, seperti halnya Teluk Tangeiri itu sendiri. Sejak pemimpin tertua adat Marapu (Rato) Tangeiri, Umbu Liya Kani meninggal pada tahun 1987, tradisi ini hilang. Penyebabnya adalah tidak ada penerus yang bisa melantunkan syair-syair ritual. Syair-syair memanggil teri hanya dapat dilakukan oleh pewarisnya melalui wangsit. Meskipun ritual ini hilang, namun tata cara menangkap ikan dan pantangan-pantangannya tetap dijalankan.
Repit Repit adalah semacam tradisi nyepi di Bali yang dilakukan masyarakat Sumba di Desa Tarimbang penganut aliran kepercayaan Marapu. Prosesi Repit dilakukan selama 7 hari di mana satu hari penuh tidak boleh melakukan aktivitas apapun, termasuk melaut.
Makan Meting Makan meting adalah kegiatan menangkap ikan pada saat air surut di daerah laguna. Aktivitas ini dilakukan hampir di seluruh desa pesisir bagian Selatan Kabupaten Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. Makan meting dilakukan berbagai kelompok umur mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, termasuk para wanita, baik yang masih gadis maupun ibu rumah tangga. Wanita hamil dan sedang haid dilarang melakukan makan meting. Alat tangkap yang digunakan biasanya jaring, pancing dan tombak. Jenis ikan yang ditangkap bermacam-macam ikan demersal, termasuk gurita, lobster, dan kepiting. Hasil tangkapan umumnya untuk dikonsumsi sendiri dan jarang sekali dijual.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
75
Madidi Nyale Ritual Madidi Nyale merupakan rangkaian dari ritual Pasola di Pulau Sumba. Pasola adalah atraksi lempar lembing kayu dari atas kuda yang melaju kencang yang merupakan ritual penting dalam kepercayaan Marapu yang dilakukan setahun sekali setiap bulan Pebruari dan
Repit
Madi
Repit Laboyaadalah Barat. semacam tradisi nyepi di Bali yang dilakukan masyarakat Sumba di Desa Tarimbang penganut aliranberarti kepercayaan Marapu. Madidi Nyale merupakan ritual yang secara harafiah memanggil nyale ini Prosesi Repit dilakukan hari Pati di mana satu harisesaat penuh tidak berlangsung di pantai Wanokakaselama pada hari 7 keempat Rahi. Ritual dimulai sebelum boleh melakukan aktivitas termasuk melaut. fajar setelah rombongan Rato (paraapapun, tetua adat Marapu) selesai melakukan ritual di Ubu Bewi
Ritua Sumb mela Mara Mare Wanu
Maret. Pasola diselenggarakan secara berurutan di Kecamatan Wanokaka, Lamboya, dan
dan beriringan menuju pantai untuk memimpin upacara. Para warga dan juga wisatawan Makameting diperkenankan ikut berburu nyale, cacing laut warna-warniyang dijadikan indikator hasil
Makameting adalah kegiatan menangkap ikan pada saat air surut di panen dan juga makanan. Nyale yang banyak dan bersih berarti panen melimpah. Nyale daerah laguna. Aktivitas ini dilakukan hampir di seluruh desa pesisir kotor dan saling menggigit berarti ada hama tikus. Nyale busuk berarti hujan berlebihan bagian Selatan Kabupaten Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba (sehingga padi bisa busuk). Nyale tidak muncul berarti kemarau panjang (bisa menyebabkan Timur. Makameting dilakukan berbagai kelompok umur mulai dari musibah kelaparan). anak-anak hingga orang dewasa, termasuk para wanita, baik yang Penentuan waktu penyelenggaraan Pasola dilakukan bertepatan dengan munculnya masih gadis maupun ibu rumah tangga. Wanita hamil dan sedang haid purnama raya. Dasar utama perhitungan ini adalah bentuk bulan, yang didukung oleh dilarang melakukan makan meting. Alat tangkap yang digunakan kemunculan tanda-tanda alam. Karena terkait dengan pemunculan nyale sebagai indikator biasanya jaring, pancing dan tombak. Jenis ikan yang ditangkap hasil panen yang hanya terjadi setahun sekali, maka penentuan waktu menjadi sangat ital. bermacam-macam ikan demersal, termasuk gurita, lobster, dan Perkiraan mungkin bisa dilakukan jauh hari, tapi tanggal pastinya tidak. Para Rato sangat kepiting. Hasil tangkapan umumnya untuk dikonsumsi sendiri dan berhati-hati membaca tanda alam karena salah menentukan tanggal berarti nyale tak akan jarang sekali dijual. muncul pada waktunya, dan bagi mereka hal demikian bisa dianggap sebagai kesialan.
Madi mem keem romb Ubu Para cacin maka Nyale berar munc kelap
Pene deng bentu Karen yang sanga pasti karen pada kesia Gambar 47. Kegiatan makan meting oleh anak-anak di Pantai tarimbang. Foto: P. Hutasoit.
Kondisi Biofisik dan Sosialmakameting Ekonomi PesisirdiPulau Sumba, 2015 76 Gambar 26. Anak-anak sedang Pantai Tarimbang. Foto: P. Hutasoit.
5.3. Perikanan Kabupaten Sumba Barat Daya Kecamatan Kodi Kecamatan Kodi secara geografis memiliki wilayah yang berbatasan dengan: Utara
: Kecamatan Kodi Utara
Selatan
: Kecamatan Kodi Bangedo
Timur
: Kecamatan Wewewa
Barat
: Lautan Indonesia
Kecamatan Kodi terdiri atas 14 desa dan mempunyai luas sekitar 111,86 km2. Desa yang memiliki luas wilayah terbesar adalah Mali Iha, yakni mencapai 22,66 persen dari luas total, sedangkan desa yang luas willayahnya paling kecil adalah Desa Pero Konda, yakni hanya sekitar 0,89 persen dari luas Kecanatan Kodi secara keseluruhan. Dari ke - 14 desa yang ada di Kecamatan Kodi, 3 diantaranya adalah desa pesisir yang berbatasan langsung dengan Lautan Indonesia. Ketiga desa tersebut adalah: Desa Tanjung Karoso, Bondo Kodi, dan Pero Konda.
Tabel 16. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Kodi, survei Sumba 2015.
No
Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Sex Ratio
1
Tanjung Karoso
5,19
2.294
1.131
1.163
73,07
2
Bondo Kodi
3,31
2.440
1.223
1.217
100,49
3
Pero Konda
0,99
1.219
621
598
103,85
Sumber: Kecamatan Kodi dalam Angka 2014 Selama kurun waktu 2011- 2013 penduduk Kecamatan Kodi selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2010, penduduk Kecamatan Kodi mencapai 31.681 jiwa, naik menjadi 33.802 jiwa pada tahun 2012. Kemudian, jumlah penduduk mencapai 34.862 jiwa pada tahun 2013. Armada perikanan yang dimiliki masyarakat nelayan di Kecamatan Kodi yang tersebar di ketiga desa, terdiri dari Jukung (60 unit), Perahu papan (6 unit), perahu motor tempel (6 unit), dan belum memiliki armada kapal motor besar. Hal ini menunjukkan masih kurangnya armada yang dimiliki masyarakat dalam melakukan usaha perikanan. Nelayan di Kecamatan Kodi pada umumnya menggunakan alat tangkap berupa: Jaring insang (Gill net), Pukat pantai (Beach seine), Pancing tonda (Tonda pole and line), Long line, Alat tangkap cumi, dan Pukat cincin. Hasil tangkapan utama nelayan Desa Tanjung Karoso, Bondo Kodi, dan Pero Konda adalah cumi – cumi. Musim penangkapan cumi dilaksanakan dari Bulan Mei sampai Nopember dan umumnya pada Bulan Oktober menjadi puncak kelimpahan tangkapan cumi. Hasil tangkapan sampingan berupa ikan pelagis dan dasaran, biasanya dipakai sebagai konsumsi sehari-hari.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
77
Usia rata – rata nelayan di Kecamatan Kodi umumnya masih usia muda yaitu di bawah 30 tahun, hal ini menunjukkan minat generasi muda untuk menjadi nelayan cukup tinggi.
Kecamatan Kodi Utara Kecamatan Kodi Utara secara geografis memiliki wilayah yang berbatasan dengan: Utara
: Kecamatan Loura
Selatan
: Kecamatan Kodi
Timur
: Kecamatan Wewewa Barat
Barat
: Lautan Indonesia
Kecamatan Kodi Utara terdiri atas 18 desa dan mempunyai luas sekitar 235,73 km 2. Desa yang memiliki luas wilayah terbesar adalah Kendu Wela, yakni mencapai 39,89 km 2 atau 15,72 persen dari luas total, sedangkan desa yang luas willayahnya paling kecil adalah Waila Bubur, yakni hanya sekitar 4,16 km2 atau 1,64 persen dari total luas Kecamatan Kodi Utara secara keseluruhan. Tabel 17. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Kodi Utara, survei Sumba 2015.
No
Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Sex Ratio
1
Kalena Rongo
14,87
3.999
2.005
1.994
100,55
2
Mangga Nipi
7,92
2.725
1.408
1.317
106,91
3
Kendu Wela
39,88
3.202
1.656
1.546
107,12
4
Bila Cenge
23,17
2.413
1.239
1.174
105,54
5
Bukambero
22,15
4.316
2.305
2.011
114,62
Sumber: Kecamatan Kodi Utara dalam Angka 2014 Persebaran penduduk di Kecamatan Kodi Utara masih mengalami ketimpangan di kedelapanbelas desa. Secara rata-rata, dengan luas wilayah sekitar 235,73 km², setiap km² wilayah di Kecamatan Kodi Utara ditempati penduduk sebanyak 229 jiwa. Armada perikanan yang dimiliki masyarakat nelayan di Kecamatan Kodi Utara yang tersebar di kelima desa, terdiri dari Jukung (20 unit), Perahu papan (2 unit), perahu motor tempel (2 unit), dan belum memiliki armada kapal motor besar. Hal ini menunjukkan sangat kurangnya armada yang dimiliki masyarakat dalam melakukan usaha perikanan.
Kecamatan Kota Tambolaka Kecamatan Kota Tambolaka secara geografis memiliki wilayah yang berbatasan dengan: Utara
: Selat Sumba
Selatan
: Kecamatan Wewewa Barat
Timur
: Kecamatan Loura
Barat
: Kecamatan Kodi Utara
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
78
Kecamatan Kota Tambolaka mempunyai luas sekitar 98,95 km2. Pembagian wilayah administrasi terdiri atas 8 desa, 2 kelurahan, 40 dusun, 81 rukun warga dan 162 rukun tetangga. Tabel 18. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Kota Tambolaka, survei Sumba 2015.
No
Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Kepadatan (jiwa/km)
1
Wee Londa
28,50
3.609
1.890
1.719
127
2
Wee Tobula
3,26
3.845
1.994
1.851
1.179
3
Rada Mata
7,51
4.537
2.311
2.226
604
Sumber: Kecamatan Kota Tambolaka dalam Angka 2014
Armada perikanan yang dimiliki masyarakat nelayan di Kecamatan Kota Tambolaka yang tersebar di ketiga desa, terdiri dari Jukung (20 unit), Perahu papan (8 unit), perahu motor tempel (25 unit), kapal motor 0 – 5 GT (20 unit), dan kapal motor > 6 GT (1 unit). Komoditas perikanan tangkap di daerah Kota Tambolaka adalah: tongkol, cakalang, tuna, tenggiri, ikan terbang, barakuda, dan gurita. Musim tangkap perikanan pada umumnya: Oktober – Desember untuk musim tenggiri, Agustus sampai Oktober untuk musim tongkol, dan September sampai Desember untuk kerang abalon. Area penangkapan berjarak 1 – 2 mil ke arah timur dan barat pantai. Nelayan di Desa Rada Mata pada umumnya merupakan nelayan separuh waktu, dimana pagi hari bekerja sebagai buruh di Pelabuhan Waikelo dan sore mulai jam 15:00 – 18:00 melakukan aktivitas penangkapan ikan. Meskipun hanya dikerjakan paruh waktu masyarakat di daerah ini sangat merasakan peningkatan ekonomi dari hasil laut. Hasil tangkapan saat ini belum mampu memenuhi tingginya permintaan pasar, sehingga berapapun hasil tangkapan selalu habis terserap pasar. Hasil produk perikanan dijual ke pasar Kodi, Waikabula, dan Wawewa.
Kecamatan Loura Kecamatan Loura secara geografis memiliki wilayah yang berbatasan dengan: Utara
: Selat Sumba
Selatan
: Kecamatan Wewewa Timur dan Wewewa Barat
Timur
: Kecamatan Wewewa Utara dan Kabupaten Sumba Barat
Barat
: Kecamatan Wewewa Barat
Kecamatan Loura terdiri atas 10 desa dan mempunyai luas sekitar 144,80 km2. Desa yang memiliki luas wilayah terbesar adalah Letekonda, yakni mencapai 17,54 persen dari luas total, sedangkan desa yang luas willayahnya paling kecil adalah Payola Umbu, yakni hanya sekitar 2,36 persen dari luas Kecamatan Loura secara keseluruhan.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
79
Tabel 19. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Loura, survei Sumba 2015.
No
Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Sex Ratio
1
Wee Manada
13,39
1.247
638
609
104,76
2
Karuni
16,32
1.932
1.022
910
112,31
3
Lete Konda
25,39
3.045
1.540
1.505
102,33
Sumber: Kecamatan Loura dalam Angka 2014
Pada tahun 2013 jumlah penduduk Kecamatan Loura berjumlah 17.643 orang, dari sebelumnya sejumlah 16.474 orang pada tahun 2012 artinya mengalami kenaikan sebesar 7,10 persen. Armada perikanan yang dimiliki masyarakat nelayan di Kecamatan Kota Tambolaka yang tersebar di ketiga desa, terdiri dari Jukung (38 unit), Perahu papan (10 unit), perahu motor tempel (50 unit), dan kapal motor 0 – 5 GT (27 unit). Komoditas perikanan tangkap di daerah ini adalah tongkol, cakalan, tenggiri, kerapu, cumi, dan ikan karang. Masyarakat di Desa Lete Konda hampir semuanya berprofesi sebagai nelayan baik secara penuh maupun paruh waktu. Jumlah penduduk di desa berjumlah kurang lebih 700 orang dengan 260 KK. Selain nelayan tangkap di Desa Lete Konda terdapat 20 unit pengolahan garam. Pengolahan dilakukan dengan membeli garam Bima seharga Rp. 50.000/karung sedang, untuk diolah menjadi 10 karung kecil dengan harga Rp. 20.000/karung.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
80
Kabupaten Sumba Barat Kecamatan Tana Righu Kecamatan Tana Righu mempunyai luas sekitar 140.49 km2 dan terdiri atas 18 desa. Desa yang memiliki luas wilayah terbesar adalah Lingu Lango, yakni mencapai 16,64 persen dari luas total, sedangkan desa yang luas willayahnya paling kecil adalah Wanokaza, yakni hanya sekitar 4,83 persen dari luas Kecamatan Tana Righu secara keseluruhan. Kecamatan Tana Righu secara geografis berbatasan dengan: Utara
: Kecamatan Mamboro dan Samudra Indonesia
Selatan
: Kecamatan Wewewa Timur dan Wewewa Utara
Timur
: Kecamatan Mamboro dan Kecamatan Loli
Barat
: Kecamatan Wewewa Utara dan Kecamatan Loura
Tabel 20. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Tana Righu, survei Sumba 2015.
No 1
Desa Loko Ry
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
11,18
2.591
1,309
1,282
Sex Ratio 102.11
Sumber: Kecamatan Tana Righu dalam Angka 2014
Berdasarkan data registrasi penduduk 2013. Selama kurun waktu 2011-2013 penduduk Tana Righu mengalami peningkatan. Pada tahun 2013, penduduk Tana Righu mencapai 21.295 jiwa, naik 7,17 persen dari tahun 2012. Desa Loko Ry memiliki Pantai Bina Natu dengan panjang pantai 2,83 km dengan luas 11,18 km2. Pantai ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan kegiatan perikanan dan potensial dikembangkan untuk kawasan pariwisata. Jumlah nelayan di Desa Loko Ry sebanyak 54 orang nelayan tangkap dan 51 orang nelayan pembudidaya. Luas lahan yang dimanfaatkan untuk usaha budidaya seluas 5 Ha dari 500 ha lahan potensi budidaya laut.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
81
Kabupaten Sumba Tengah Kecamatan Mamboro Kecamatan Mamboro secara geografis memiliki wilayah yang berbatasan dengan: Utara : Samudera Indonesia Selatan : Kabupaten Sumba Barat Timur : Kecamatan Katikutana, Umbu Ratu Nggay, Umbu Ratu Nggay Barat Barat
: Kabupaten Sumba Barat
Kecamatan Mamboro terdiri atas 13 desa dan mempunyai luas sekitar 358,59 km2. Desa yang memiliki luas wilayah terbesar adalah Wendewa Selatan, yakni mencapai 56,77 km 2 atau sekitar 15,83 persen dari luas total Kecamatan Mamboro, sedangkan desa yang luas willayahnya paling kecil adalah Bondo Sulla, yakni hanya sekitar 10,56 km2 atau 2,94 persen dari luas Kecamatan Mamboro secara keseluruhan Tabel 21. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Mamboro, survei Sumba 2015.
No
Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Sex Ratio
1
Wendewa Barat
33,89
969
506
463
109,29
2
Wendewa Selatan
56,77
1.563
833
730
114,11
3
Wendewa Utara
15,13
2.136
1.062
1.074
98,88
4
Manu Wolu
16,99
1.811
916
895
102,35
5
Watu Asa
48,23
825
429
396
108,33
Sumber: Mamboro dalam Angka 2015
Persebaran penduduk di Mamboro belum cukup merata. Hal ini dapat terlihat dari perbandingan kepadatan penduduk antar desa. Secara rata-rata, dengan luas wilayah sekitar 358,59 km², setiap km² wilayah di Mamboro ditempati penduduk sebanyak 46 jiwa. Sementara, dengan jumlah rumah tangga sebanyak 3.527, dapat disimpulkan bahwa ratarata satu rumah tangga memiliki anggota sebanyak 5 orang. Salah satu sentral perikanan tangkap di Kecamatan Mamboro adalah di Desa Wendewa Utara. Nelayan Desa Wendewa Utara berjumlah 265 KK dan memiliki 265 armada penangkapan berupa sampan tradisional. Alat tangkap yang umum digunakan seperti pukat cincin dan pukan rawe. Jenis ikan yang menjadi komoditas penangkapan seperti: lemuru, teri, tuna, tongkol, sotong, dan ikan karang. Karakteristik khas dari nelayan di kawasan ini adalah waktu mereka melaut sangat disesuaikan dengan kondisi perairan, hal ini disebabkan oleh kemampuan armada yang dipakai dalam menangkap ikan. Armada penangkapan yang masih sederhana mengakibatkan area penangkapan juga menjadi terbatas. Nelayan melaut pada pagi antara pukul 05:00 – 10:00 dan sore pada pukul 07:00 – 22:00. Adapun kisaran umur dari nelayan dari 18 – 50 tahun, dan umumnya ketika mereka sudah berkeluarga mereka akan mulai melaut.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
82
Kesadaran untuk tidak menggunakan bom dan bahan merusak untuk menangkap ikan dari tahun 2000. Hal ini terjadi karena banyak nelayan yang terluka kena bom dan tertangkap aparat. Alat tangkap pukat cincin menjadi alternatif yang ramah bagi masyarakat, dan membuahkan hasil yang baik.
Kecamatan Umbu Ratu Nggay Kecamatan Umbu Ratu Nggay secara geografis memiliki wilayah yang berbatasan dengan: Utara : Selat Sumba Selatan
: Lautan Indonesia
Timur
: Kabupaten Sumba Timur
Barat
: Kecamatan Katikutana
Kecamatan Umbu Ratu Nggay terdiri atas 18 desa dan mempunyai luas sekitar 791,37 km 2. Desa yang memiliki luas wilayah terbesar setelah pemekaran menjadi 18 desa adalah Tana Mbanas, yakni mencapai 11,37 persen dari luas total, sedangkan desa yang luas willayahnya paling kecil adalah Maradesa Selatan, yakni hanya sekitar 1,52 persen dari luas Umbu Ratu Nggay secara keseluruhan. Tabel 22. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Umbu Ratu Nggay, survei Sumba 2015.
No
Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Sex Ratio
Perempuan
1
Ngadu Mbolu
83,96
930
412
518
79,54
2
Lenang
45,03
1.120
585
535
115,72
3
Tana Mbanas
89,98
821
401
420
95,48
Sumber: Umbu Ratu Nggay dalam Angka 2015
Kecamatan Umbu Ratu Nggay Tahun 2011 mengalami Pemekaran Desa sebanyak 7 Desa. Setiap desa di Umbu Ratu Nggay terdiri atas 3 sampai 4 dusun, dan setiap dusun terdiri atas 6 sampai 8 RW. Secara keseluruhan terdapat 56 dusun, 112 RW, dan 223 RT. Selama kurun waktu 2011 dan 2012 penduduk Umbu Ratu Nggay mengalami peningkatan. Pada tahun 2011, penduduk Umbu Ratu Nggay mencapai 11.626 jiwa, naik menjadi 12.789 jiwa pada tahun 2012. Pada Tahun 2013, penduduk yang dicakup melalui pendataan Potensi Desa 2014, yang mencapai 14.560 Jiwa. Desa Ngadu Mbolu memiliki 4 kelompok nelayan dengan setiap kelompok memiliki 10 orang anggota. Selain melaksanakan kegiatan perikanan tangkap kelompok di desa ini juga melakukan budidaya rumput laut. Aktivitas perikanan tangkap yang dilakukan di Desa Ngadu Mbolu dilakukan dengan target komoditas seperti: ikan kembung, tembang, dan teri serta kerag abalon jika air surut. Armada perikanan terdiri dari: sampan dayung sebanyak 50 unit, kapal 1 ton sebanyak 3 unit, dan kapal kapasitas 5 ton sebanak 1 unit. Alat tangkap yang digunakan pada umumnya berupa pancing, pancing onda, gillnet, dan rawe.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
83
Aktivitas budidaya rumput laut dilakukan dengan teknik lepas dasar dan long line. Teknik long line dilakukan pada bulan – bulan hujan untuk menghindari rumput laut dari pengadukan subsrat. Jenis rumput laut yang dibudidayakan adalah Euchema cottoni dengan harga jual kering di tingkat pembudidaya Rp 10.000/kg. Rata – rata satu orang pembudidaya memiliki 100 tali dengan panjang masing – masing 25 meter. Aktivitas pembuatan garam juga dilaksanakan di kawasan ini. Diusahakan oleh kelompok wanita dengan 2 – 3 orang dalam satu kelompok. Desa Lenang memiliki 50 unit sampan yang diusahakan oleh 80 KK yang merupakan nelayan sampingan. Komoditas perikanan tankap di Desa Lenang adalah ikan teri, kembung, dan ikan karang. Musim puncak penangkapan ikan teri pada umumnya pada bulan Mei – Juni setiap tahunnya. Di Desa Lenang juga terdapat 5 unit usaha pengolahan garam rakyat yang umumnya diusahakan oleh ibu – ibu nelayan. Desa Tana Mbanas memiliki armada penangkapan ikan yang terdiri dari: perahu sampan sebanyak 50 unit, kapal berkapasitas 1 ton sebanyak 6 unit, dan kapal berkapasitas 3 ton sebanyak 1 unit. Alat tangkap yang digunakan adalah pukat cincin, pukat biasa, gill net, pancing, rampala, tonda. Komoditas perikanan tangkap terdiri dari ikan lemuru, kembung, tongkol, teri, cumi – cumi, dan ikan karang. Musim penangkapan ikan biasanya dilakukan pada bulan April dan Mei tiap tahunnya dan untuk musim puncak penangkapan ikan lemuru terjadi pada bulan Juli. Setiap hari nelayan melakukan penangkapan dari pukul 05:00 – 09:00 dan sore pukul 17:00 – 19:00.
Kabupaten Sumba Timur Kecamatan Haharu Kecamatan Haharu terletak di Pulau Sumba bagian Utara Kabupaten Sumba Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur, berbatasan dengan: Utara
: Selat Sumba,
Selatan
: Kecamatan Lewa dan Kecamatan Nggaha Ori Angu
Timur
: Kecamatan Kanatang
Barat
: Kabupaten Sumba Tengah.
Luas kecamatan Haharu 601,5 Km2 atau 60.150 Ha dengan jumlah desa/kelurahan sebanyak 7 desa. Topografi wilayah Kecamatan Haharu sebagian besar merupakan daerah berbukit-bukit dengan curah hujan yang rendah dan tidak merata tiap tahun. Ketinggian masing-masing desa/ kelurahan dari permukaan laut berada di antara 18 – 375 m dengan titik tertinggi berada di desa Mbatapuhu dan terendah di desa Rambangaru. Tahun 2012, tingkat pertumbuhan ekonomi kecamatan Haharu mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi ditahun ini sebesar 15,63 persen, berada pada posisi ke dua dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan yang berbatasan wilayah, yakni Kanatang 12,58%, Lewa 13,45% dan Nggaha Ori Angu 18,42% serta kabupaten Sumba Timur 13,88%.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
84
Tabel 23. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Haharu, survei Sumba 2015.
No
Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Sex Ratio
Perempuan
1
Napu
142,6
865
437
428
102
2
Wunga
22,4
853
444
409
109
3
Kadahang
23,5
755
388
367
106
4
Prai Bakul
105
888
468
420
111
5
Rambangaru
61,4
1.496
749
746
100
Sumber: Kecamatan Hahura dalam Angka 2015
Produksi perikanan Kecamatan Haharu pada Tahun 2014 sebanyak 778,9 ton, dengan jenis ikan yang dominan ditangkap adalah ikan tetengkek, tembang, tongkol komo, cakalang, kembung, tongkol abu-abu, beronang lingkis, dan cucut (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sumba Timur, 2014) Desa Napu memiliki 17 nelayan dengan armada penangkapan perahu tanpa motor 2 unit, perahu motor tempel 1 unit dan tanpa perahu sebanyak 14 unit. Alat tangkap yang dipakai dalam penangkapan ikan adalah Gillnet hanyut 25 unit, jala tebar 10 unit dan pancing sebanyak 20 unit. Desa Wunga memiliki armada penangkapan yang terdiri dari perahu tanpa motor 8 unit, perahu motor tempel 23 unit, tanpa perahu sebanyak 50 unit, dan kapal motor (1-3 GT) sebanyak 3 unit. Jumlah masyarakat yang menjadi nelayan di Desa Wunga sebanyak 84 orang. Alat tangkap yang umumya digunakan nelayan terdiri dari Gillnet hanyut 112 unit, jala tebar 12 unit, dan pancing sebanyak 90 unit. Nelayan di Desa Kadahang berjumlah 63 orang dengan armada penangkapan berupa: perahu tanpa motor 22 unit, perahu motor tempel 31 unit, tanpa perahu 22, dan kapal motor (1-3 GT) sebanyak 2 unit. Alat tangkap yang digunakan adalah 254 unit gillnet hanyut, 29 unit jala tebar, dan 120 unit pancing. Desa Praibakul memiliki 9 nelayan dengan armada penangkapan perahu tanpa motor 2 unit, perahu motor tempel 2 unit dan tanpa perahu sebanyak 5 unit. Desa Rambangaru memiliki armada penangkapan yang terdiri dari perahu tanpa motor 13 unit, perahu motor tempel 17 unit, tanpa perahu sebanyak 74 unit, dan kapal motor (1-3 GT) sebanyak 5 unit. Jumlah masyarakat yang menjadi nelayan di Desa Rambangaru sebanyak 84 orang. Alat tangkap yang umumya digunakan nelayan terdiri dari Gillnet hanyut 504 unit, jala tebar 63 unit, pancing sebanyak 537 unit, dan sero 3 unit.
Kecamatan Kanatang Kecamatan Kanatang memiliki luas 279.4 Km² atau 27.940 hektare dengan letak yang umumnya disepanjang pantai utara dataran rendah dan curah hujan yang sangat rendah dan tidak merata tiap tahun. Dimana musim penghujan relatif pendek bila dibanding musim kemarau.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
85
Kecamatan Kanatang secara geografis memiliki wilayah yang berbatasan dengan: Utara
: Selat Sumba
Selatan
: Kecamatan Kota Waingapu, Kecamatan Nggaha Ori Angu
Timur
: Kecamatan Kota Waingapu
Barat
: Kecamatan Haharu, Kecamatan Nggaha Ori Angu
Tabel 24. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Kanatang, survei Sumba 2015.
No
Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Sex Ratio
Perempuan
1
Mondu
97,8
1.390
718
672
107
2
Hamba Praing
44,2
1.082
549
533
103
3
Kuta
42,9
1.212
605
607
99
4
Temu
56,5
5.575
2.928
2.647
110
Sumber: Kecamatan Kanatang dalam Angka 2015
Nelayan di Kecamatan Kanatang berjumlah 331 orang, yang tersebar di Desa Mondu 80 orang, Hamba Praing 44 orang, Kuta 53 orang, dan Temu sebanyak 154 orang. Armada yang digunakan terdiri dari 89 unit perahu tanpa motor, 65 unit perahu motor tempel, 175 tanpa perahu, dan 2 unit kapal motor dengan kapasitas 1 – 3 GT yang terdapat di Desa Mondu dan Temu. Kecamatan Waingapu Kecamatan Kota Waingapu memiliki luas 73,8 Km2 atau 7.380 hektare dengan letak yang umumnya disepanjang pantai utara, berbukit dan curah hujan yang sangat rendah dan tidak merata tiap tahun. Dimana musim penghujan relatif pendek bila dibanding musim kemarau. Kecamatan Kota Waingapu menurut PP No. 46 Tahun 1992, berbatasan dengan : Utara
: Selat Sumba
Selatan : Kecamatan Kambera Timur
: Kecamatan Kambera
Barat
: Nggaha Ori Angu dan Kecamatan Kanatang
Tabel 25. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Kota Waingapu, survei Sumba 2015.
No
Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Sex Ratio
Perempuan
1
Hambala
2,4
8.402
4.275
4.127
104
2
Kamalaputi
1,2
8.479
4.560
3.919
116
3
Matawai
1,4
5.315
2.653
2.662
100
4
Kambajawa
2,7
11.253
5.797
5.456
106
Sumber: Kecamatan Kota Waingapu dalam Angka 2015
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
86
Nelayan di Kota Waingapu berjumlah 343 orang, yang tersebar di Desa Hambala 205 orang, Kamalaputi 127 orang, Matawai 3 orang, dan Kambajawa 8 orang. Armada yang dipergunakan terdiri dari 75 perahu tanpa motor, 106 perahu motor tempel, 125 tanpa perahu, dan kapal motor kapasitas 1 – 3 GT berjumlah 16 unit di Desa Hambala dan 13 unit di Desa Kamalaputi.
Kecamatan Kambera Kecamatan Kambera memiliki luas 52 Km2 atau 5.200 hektare dengan letak yang umumnya disepanjang pantai utara berbukit dan curah hujan yang sangat rendah dan tidak merata tiap tahun. Dimana musim penghujan relatif pendek bila dibanding musim kemarau. Kecamatan Kambera secara geografis memiliki wilayah yang berbatasan dengan: Utara
: Selat Sumba
Selatan
: Kecamatan Kambata Mapambuhang
Timur
: Kecamatan Pandawai
Barat
: Kecamatan Nggaha Ori Angu dan Kecamatan Kota
Tabel 26. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Kambera, survei Sumba 2015.
No
Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Sex Ratio
Perempuan
1
Prailiu
5,3
6.071
4.084
3.984
103
2
Kambaniru
1,9
6.885
3.545
3.340
106
3
Mauliru
5,8
4.201
2.180
2.021
108
4
Mauhau
1,4
1.928
1.013
915
111
5
Wangga
4,1
6.071
3.137
2.934
107
Sumber: Kecamatan Kambera dalam Angka 2015 Jumlah nelayan di Kecamatan Kambera sebanyak 129 orang, yang tersebar di Desa Prailiu 47 orang, Kambarinu 41 orang, Mauliru 13 orang, Mauhau 21 orang, dan Wangga 7 orang. Armada yang digunakan terdiri dari 36 unit perahu tanpa motor, 33 unit perahu motor tempel, 58 tanpa perahu, dan 2 unit kapal motor 1 – 3 GT di Desa Prailiu dan Kambaniru.
Kecamatan Pandawai Kecamatan Pandawai memiliki luas 412,6 Km2 atau 41.260 hektar dengan letak yang umumnya disepanjang pantai utara berbukit dan curah hujan yang sangat rendah dan tidak merata tiap tahun, dimana musim penghujan relatif pendek bila dibanding musim kemarau. Kecamatan Pandawai menurut PP No. 46 Tahun 1992 berbatasan dengan : Utara
: Selat Sumba
Selatan
: Kecamatan Kahaungu Eti dan Kambata Mapambuhang
Timur
: Kecamatan Umalulu
Barat
: Kecamatan Kambera
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
87
Tabel 27. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Pandawai, survei Sumba 2015.
No
Luas (Km2)
Desa
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Sex Ratio
Perempuan
1
Kawangu
54,0
4.404
2.240
2.164
104
2
Watumbaka
53,0
1.661
844
817
103
3
Palakahembi
54,9
3.806
1.978
1.828
108
4
Kadumbul
50,2
1.671
872
799
1.671
Sumber: Kecamatan Pandawai dalam Angka 2015 Nelayan Kecamatan Pandawai berjumlah 303 orang yang tersebar di Desa Kawangu 104 orang, Watumbaka 61 orang, Palakahembi 65 orang, dan Kadumbul 73 orang. Armada yang digunakan terdiri dari 132 unit perahu tanpa motor, 83 unit perahu motor tempel, 86 unit tanpa motor, dan 2 unit kapal motor (1 – 3 GT) yang terdapat di Desa Kawangu dan Kadumbul.
Kecamatan Umalulu Kecamatan Umalulu memiliki luas 307,9 Km² atau 30.790 hektar dengan letak yang umumnya di sepanjang pantai utara berbukit dan curah hujan yang sangat rendah dan tidak merata tiap tahun, dimana musim penghujan relatif pendek bila dibanding musim kemarau. Kecamatan Umalulu secara geografis memiliki wilayah yang berbatasan dengan: Utara
: Laut Sawu
Selatan
: Kecamatan Paberiwai dan Kahaungu Eti
Timur
: Kecamatan Rindi
Barat
: Kecamatan Pandawai.
Tabel 28. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Umalulu, survei Sumba 2015.
No
Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Sex Ratio
1
Wanga
65,6
1.493
793
700
113
2
Patawang
61,9
1.958
1.031
927
112
3
Mutunggeding
24,8
1.904
1.002
902
111
4
Matawai Atu
5,4
1.899
992
907
109
5
Watu Hadang
10,2
2.190
1.112
1.078
103
6
Watu Puda
41,1
1.429
763
666
101
7
Lumbu Kore
10,4
3.452
1.762
1.690
104
Sumber: Kecamatan Umalulu dalam Angka 2015
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
88
Kecamatan Umalulu memiliki 395 orang masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, tersebar di Desa Wanga 45 orang, Petawang 49 orang, Mutunggeding 27 orang, Matawai Atu 84 orang, Watu Hadang 35 orang, Watu Puda 2 orang, dan terbanyak di Lumbu Kore 153 orang. Armada yang dipakai terdiri dari 112 unit perahu tanpa motor, 87 unit perahu motor tempel, 186 tanpa perahu, dan 8 unit kapal motor (1-3 GT) di Desa Wanga 1 unit, Petawang 2 unit, Watu Puda 1 unit, dan Lumbukore 4 unit.
Kecamatan Rindi Kecamatan Rindi memiliki luas 366,5 Km2 atau 36650 hektare dengan letak yang umumnya disepanjang pantai utara berbukit dan curah hujan yang sangat rendah dan tidak merata tiap tahun. Dimana musim penghujan relatif pendek bila dibanding musim kemarau. Kecamatan Rindi secara geografis memiliki wilayah yang berbatasan dengan: Utara
: Laut Sabu
Selatan : Kecamatan Paberiwai Timur
: Kecamatan Pahunga Lodu
Barat
: Kecamatan Umalulu
Tabel 29. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Kodi Utara, survei Sumba 2015.
No
Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Sex Ratio
Perempuan
1
Kayuri
20,6
1.401
704
679
101
2
Rindi
51,7
924
463
461
100
3
Tanaraing
32,4
999
510
489
104
4
Haikatapu
48,9
1.360
682
678
101
5
Kabaru
58,7
947
457
401
88
Sumber: Kecamatan Rindi dalam Angka 2015
Nelayan di Kecamatan Rindi sebanyak 192 orang yang tersebar di Desa Kayuri 67 orang, Rindi 35 orang, Tanaraing 35 orang, Haekatapu 21 orang, dan Kabaru 34 orang. Armada yang dipakai terdiri dari 72 unit perahu tanpa motor, 53 unit perahu motor tempel, 63 tanpa perahu, dan 4 unit kapal motor (1-3 GT) di Desa Tanaraing.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
89
Kecamatan Pahunga Lodu Kecamatan Pahunga Lodu memiliki luas 349,8 Km2 atau 34.980 hektare yang pada umumnya merupakan dataran rendah di sepanjang pantai timur, sedangkan sebelah barat dari timur ke selatan merupakan dataran tinggi yang cukup subur, dimana musim penghujan relatif pendek bila dibanding musim kemarau. Kecamatan Pahunga Lodu memiliki wilayah yang berbatasan dengan: Utara
: Kecamatan Rindi
Selatan
: Kecamatan Wula Waijelu
Timur
: Laut Sabu
Barat
: Kecamatan Mahu
Tabel 30. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Panguha Lodu, survei Sumba 2015.
No
Luas (Km2)
Desa
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Sex Ratio
Perempuan
1
Palanggay
33,5
760
376
384
98
2
Mburukulu
33,4
1.631
835
796
105
3
Lambakara
34,4
1.480
779
701
111
4
Tanamanang
25,7
1.979
964
1.015
95
5
Kaliuda
76,9
3.810
1.893
1.917
99
Sumber: Kecamatan Pahunga Lodu dalam Angka 2015
Jumlah nelayan di Kecamatan Pahunga Lodu sebanyak 147 orang yang tersebar di Desa Palanggay 25 orang, Mburukulu 12 orang, Lambakara 21 orang, Tanamanang 61 orang, dan Kaliuda 28 orang. Armada penangkapan yang dipakai terdiri dari 45 unit perahu tanpa motor, 39 unit perahu motor tempel, 54 tanpa perahu, dan kapal motor (1 – 3 GT) 1 unit di Palanggay, 2 unit di Lambakara, 1 unit di Tanamanang, dan 5 unit di Kaliuda.
Kecamatan Wula Waijelu Kecamatan Wula Waijelu memiliki luas 271,2 Km2 atau 27 120 hektare yang sebagian wilayah kecamatan ini berada di sepanjang pantai yang berdataran rendah dan sebagian wilayahnya merupakan dataran tinggi yang cukup subur dan curah hujan yang rendah dan tidak merata setiap tahun. Seperti pada umumnya Wilayah Kabupaten Sumba Timur dimana musim penghujan relative pendek bila disbanding musim kemarau. Kecamatan Wula Waijelu secara geografis memiliki wilayah yang berbatasan dengan: Utara
: Kecamatan Pahunga Lodu
Selatan
: Lautan Indonesia
Timur
: Laut Sawu
Barat
: Kecamatan Karera
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
90
Tabel 31. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Wulla Waijelu, survei Sumba 2015.
No
Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Sex Ratio
Perempuan
1
Wulla
54,7
1.233
670
563
121
2
Hadakamali
14,3
1.501
766
735
105
3
Lumbu Manggit
7,9
1.102
552
550
101
4
Laijanji
97,2
1.223
636
587
112
Sumber: Kecamatan Wulla Waijelu dalam Angka 2015
Jumlah nelayan di Kecamatan Wulla Waijelu sebanyak 128 orang, yang tersebar di Desa Wula 11 orang, Hadakamali 36 orang, Lumbumanggit 46 orang, dan Laijanji 35 orang. Armada yang dipakai terdiri dari 42 unit perahu tanpa motor, 34 unit perahu motor tempel, 51 tanpa perahu, dan 1 unit kapal motor apasitas 1 – 3 GT di Desa Laijanji.
Kecamatan Ngadu Ngala Kecamatan Ngadu Ngala terletak di Pulau Sumba bagian Selatan Kabupaten Sumba Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur. Luas Kecamatan Ngadu Ngala 207.9 Km2 atau 20.790 hektare. Kecamatan Ngadu Ngala secara geografis memiliki wilayah yang berbatasan dengan: Utara
: Kecamatan Mahu
Selatan
: Lautan Indonesia
Timur
: Kecamatan Wula Waijelu
Barat
: Kecamatan Karera
Tabel 32. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Ngadu Ngala, survei Sumba 2015.
No
Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Sex Ratio
Perempuan
1
Hamba Wutang
62,5
1.388
733
655
112
2
Kakaha
68,9
1.693
872
821
106
Sumber: Kecamatan Ngadu Ngala dalam Angka 2014
Kecamatan Ngadu Ngala memiliki 50 orang nelayan, yang tersebar di Desa Hamba Wutang 18 orang dan Kakaha 32 orang. Armada yang dipakai terdiri dari 22 unit perahu tanpa motor, 6 unit perahu tempel, dan 22 tanpa perahu
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
91
Kecamatan Karera Kecamatan Karera terletak di Pulau Sumba bagian Selatan Kabupaten Sumba Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur. Luas Kecamatan Karera 334,6 Km² atau 33 460 hektar. Kecamatan Ngadu Ngala secara geografis memiliki wilayah yang berbatasan dengan: Utara
: Kecamatan Matawai La Pawu
Selatan
: Lautan Indonesia
Timur
: Kecamatan Wula Waijelu
Barat
: Kecamatan Pinu Pahar
Tabel 33. Jumlah penduduk desa pesisir di Kecamatan Karera, survei Sumba 2015.
No
Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Sex Ratio
Perempuan
1
Nggonggi
99,0
1.994
1.042
952
109
2
Praimadita
52,5
2.166
1.106
1.060
104
3
Prai Salura
29,0
550
293
257
114
4
Ananjaki
49,4
878
436
442
99
Sumber: Kecamatan Karera dalam Angka 2014
Kecamatan Karera memiliki 85 orang nelayan. Nelayan tersebar di Desa Nggonggi 14 orang, Praimadita 24 orang, Prai Salura 39 orang, dan Ananjaki 8 orang. Armada yang dimiliki terdiri dari 28 unit perahu tanpa motor, 12 peahu motor tempel, 14 tanpa perahu, dan kapal motor (1 – 3 GT) 6 unit di Praimadita dan 17 unit di Prai Salura.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
92
5.4. Wisata Bahari Kabupaten Sumba Barat Daya Potensi wisata bahari yang terdapat di Kabupaten Sumba Barat Daya didominasi oleh wisata pantai. Keindahan panorama pantai dan pasir putih menjadi daya tarik bagi wisatawan. Pantai – pantai yang sudah berkembang menjadi objek wisata di Kabupaten Sumba Barat Daya adalah: -
Pantai Bondo Kawango di Desa Bondo Kodi, Kecamatan Kodi Pantai Pero di Pero Konda, Kecamatan Kodi Danau air asin Weekuri di Desa Kalena Rongo, Kecamatan Kodi Utara Pantai Newa dan Waikelo di Desa Rada Mata, Kecamatan Tambolaka Pantai Mananga Aba di Desa Karuni, Kecamatan Loura
Gambar 48. Desa pantai di Pero Konda, survei Sumba 2015. Foto: D. Prasetia.
Aktivitas yang dilakukan wisatawan masih sebatas menikmati pemandangan, berenang, dan wisata pantai. Fasilitas akomodasi pariwisata di kawasan ini masih belum optimal untuk menunjang kenyamanan wisatawan.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
93
Kabupaten Sumba Barat Kawasan pantai yang sudah berkembang menjadi objek wisata di Kabupaten Sumba Barat adalah Pantai Bina Natu di Desa Loko Ry, Kecamatan Tana Righu.
Gambar 49. Pesisir Pantai Bina Natu, Desa loko Ry, survei Sumba 2015. Foto: D. Prasetia.
Aktivitas yang dilakukan wisatawan masih sebatas menikmati pemandangan, berenang, dan wisata pantai. Namun demikian dari hasil survei 2014, terdapat beberapa pantai wisata di Kabupaten Sumba Barat seperti Pantai Ngihiwatu, Mambang, Rua, dan Lamboya yang umumnya adalah untuk surfing (Lazuardi, dkk. 2014).
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
94
Kabupaten Sumba Tengah Potensi wisata bahari yang terdapat di Kabupaten Sumba Tengah adalah wisata pantai. Kawasan pantai yang sudah berkembang menjadi objek wisata di Kabupaten Sumba Tengah adalah: 1. Pantai Karendi dan Terapa di Kecamatan Mamboro 2. Pantai Kapulit di Desa Watu Asa, Kecamatan Mamboro 3. Pantai Waiurang atau Lenang di Desa Lenang, Kecamatan Umbu Ratu Nggay 4. Pantai Pahar atau Wende di Desa Tana Mbanas, Kecamatan Umbu Ratu Nggay
Gambar 50. Pantai di pesisir Desa Lenang, survei Sumba 2015. Foto: D. Prasetia.
Aktivitas yang dilakukan wisatawan masih sebatas menikmati pemandangan, berenang, dan wisata pantai.
Kabupaten Sumba Timur Potensi wisata bahari yang terdapat di Kabupaten Sumba Timur adalah wisata pantai. Keindahan panorama pantai dan pasir putih menjadi daya tarik bagi wisatawan. Kawasan pantai yang sudah berkembang menjadi objek wisata di Kabupaten Sumba Timur adalah: 1. Tanjung Sasar di Desa Napu, Kecamatan Haharu
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
95
2. Pantai Mambang di Desa Prai Bakul, Kecamatan Haharu 3. Pantai Puru Kambera di Desa Mondu, Kecamatan Kanatang 4. Pantai Londa Lima di Desa Kuta, Kecamatan Kanatang 5. Pantai Walakiri di Desa Watumbaka, Kecamatan Pandawai 6. Pantai Watu Parunu di Desa Laijanji, Kecamatan Wula Waijelu 7. Pantai Tawui, Waihungu, dan Katundu di Desa Praimadita, Kecamatan Karera 8. Pulau Salura dan Manggudu di Desa Prai Salura, Kecamatan Karera
Gambar 51. Pesisir Pulau Salura, survei Sumba 2015. Foto: D. Prasetia.
Aktivitas yang dilakukan wisatawan masih sebatas menikmati pemandangan, berenang, dan wisata pantai.
Salah satu atraksi budaya masyarakat lokal di
Kabupaten Sumba Timur adalah Hamayang yang merupakan Upacara Adat Marapu, dilakukan di Pantai Londa Lima, Desa Kuta, Kecamatan Kanatang.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
96
VI. Kesimpulan dan Rekomendasi
Sebaran terumbu karang hampir terdapat merata di sepanjang pesisir barat laut, utara hingga tenggara Pulau Sumba. Hasil yang diperoleh oleh tim survei biofisik di seluruh pesisir Pulau Sumba adalah persentase penutupan karang hidup (karang keras + karang lunak) pada titik-titik pengamatan berkisar antara 9.3 hingga 84.0% dengan rata-rata sebesar 49.7% ± 3.5% SE. Kisaran persentase penutupan karang hidup di perairan Sumba masuk dalam kategori dari buruk hingga memuaskan dengan kondisi rata-rata sedang mendekati bagus. Lokasi dengan persentase tutupan karang hidup tertinggi adalah selatan Pulau Kotak dan Pulau Mangudu, Kabaru dan Mangrove Timur Waingapu. Kondisi ikan karang di pesisir Pulau Sumba didominasi ikan-ikan kecil (dibawah 35 cm) dengan biomassa rata-rata ikan karang sebesar 297.2 kg/ha masuk dalam katagori sedang dan kepadatan ikan rata rata sebesar 2778 individu/hektar. Dalam pengamatan ikan karang ini, tercatat setidaknya 23 famili ikan karang. Ditinjau dari sisi komposisi kepadatan ikan karang per famili, data menunjukan bahwa ikan karang didominasi oleh famili Acanthuridae sebesar 32.5%, Caesionidae 18.9% dan Chaetodontidae 14.2%. Dalam pelaksanaan survei biofisik, biota laut kharismatik yang dijumpai yaitu dugong, penyu sisik dan hijau, lumba-lumba dan hiu (white tip reef shark). Berdasarkan interview dengan nelayan dan masyarakat pesisir disebutkan juga bahwa di pesisir utara Pulau Sumba dijumpai penyu belimbing, paus dan pari manta. Disepanjang pesisir utara tersebut banyak dijumpai pantai-pantai peneluran penyu. Vegetasi mangrove dijumpai tersebar di Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah maupun Sumba Timur. Jenis-jenis mangrove yang cukup dominan di jumpai di pesisir Pulau Sumba yaitu genus Avicenia sp., Rhizopora sp., Bruguiera sp., dan Sonneratia sp. Sementara itu Padang Lamun (segrass) juga dijumpai tersebar di keempat Kabupaten yang ada di Pulau Sumba. Jenis-jenis lamun yang cukup dominan dijumpai seperti Cymodocea sp., Halodule sp., dan Syringodium sp.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
97
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
6.1. Kesimpulan
97
Tim sosial-ekonomi menjumpai desa-desa nelayan di seluruh Kabupaten di pesisir Pulau Sumba. Terdapat perikanan tangkap dan budidaya di pesisir Sumba bagian utara hingga ke Pulau Salura dan Pulau Mangudu. Alat tangkap perikanan umumnya terdiri dari jaring insang (Gill net), Pukat cincin (Purse seine), Pukat Pantai (Beach seine), Pancing Tonda (Tonda pole and line), dan longline dengan jenis kapal berupa jukung, perahu papan, dan perahu motor temple. Jenis-jenis ikan yang ditangkap seperti tuna, tongkol, cakalang, cumi, kembung, tenggiri, teri, kerang abalon dan ikan karang lainnya. Sementara itu perikanan budidaya di pesisir utara Pulau Sumba adalah rumput laut, dan tambak garam. Pulau Sumba di bagian utara memiliki pantai-pantai berpasir putih yang indah sejauh mata memandang. Jenis wisata pantai telah dikembangkan dibeberapa pantai di seluruh Kabupaten di Pulau Sumba, bahkan beberapa resort telah dibangun di pinggir pantai. Pantai-pantai tersebut masih memiliki potensi yang cukup besar untuk terus dikembangkan dimana vegetasi mangrove dan ekosistem terumbu karang yang berada di sepanjang pesisir dapat menjadi salah satu atraksi wisata bahari di Pulau Sumba, demikian pula dengan lokasilokasi peneluran penyu dan kampong-kampung nelayan. Masyarakat Pulau Sumba masih menjalankan ritual-ritual adat yang berkaitan dengan pesisir dan laut seperti ritual adat Wula Po’du di Kabupaten Sumba Barat, Hodu Tairi di Kabupaten Sumba Tengah, Repit di Kabupaten Sumba Timur, Madidi Nyale di Kabupaten Sumba Barat, dan ritual makan meting di Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur. Dengan ritualritual tersebut masyarakat di Sumba berinteraksi dengan alam khususnya laut dan bagaimana mereka menghormati alam dan mengatur pemanfaatannya.
6.2. Rekomendasi Pesisir Pulau Sumba memiliki potensi sumberdaya hayati pesisir dan laut yang cukup besar. Potensi ini dapat dikembangkan untuk menciptakan kegiatan-kegiatan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat Pulau Sumba dari sector perikakanan (tangkap dan budidaya) serta pariwisata bahari. Namun sayangnya, sumberdaya tersebut saat ini terancam dari kegiatan-kegiatan penangkapan ikan dengan cara-cara merusak ( bom, racun, kompresor), penebangan mangrove dan pengambilan terumbu karang, pembangunan di wilayah pesisir dan pencemaran. Untuk itu laporan hasil survei biofisk dan sosial ekonomi ini merekomendasikan :
Pentingnya untuk melestarikan dan melindungi terumbu karang, mangrove, pantai peneluran penyu di pesisir Pulau Sumba melalui pembentukan kawasan konservasi perairan sebagai habitat penting perikanan, asset wisata bahari dan perlindungan pantai dari abrasi.
Untuk menjamin usaha perikanan tangkap dan pendapatan nelayan di Pulau Sumba pada khususnya dan Propinsi NTT pada umumnya, perlu dibuat kebijakan dan aturan terkait pengelolaan perikanan berkelanjutan berbasis ekosistem untuk menjaga stok ikan di perairan Pulau Sumba. Perairan Pulau Sumba memiliki banyak hewan laut besar dan eksotik, perlu perlindungan sebagai asset wisata bahari dan menjaga keseimbangan ekosistem, terutama upaya perlindungan ikan hiu, penyu, pari manta, hiu paus dan lumbalumba serta upaya pelarangan penangkapan dan perdagangannya.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
98
Perairan Pulau Sumba bagian utara memiliki potensi untuk pengembangan budidaya khususnya rumput laut dan kepiting bakau. Pentingnya dibuat Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) di masing-masing Kabupaten di Pulau Sumba yang diintegrasikan dengan RZWP3K Propinsi NTT dan disahkan dengan PERDA untuk mengatur pemanfaatan ruang di pesisir dan pulau-pulau kecil Pulau Sumba. Sebagai antisipasi penerapan UU.23/2014, penting dilakukan langkah-langkah koordinasi baik program maupun penganggaran antara pemerintah Propinsi NTT dengan Kabupanten/Kota di Pulau Sumba. Pentingnya pengembangan alternatif mata-pencaharian bagi masyarakat pesisir sebagai insentif untuk mengganti aktivitas-aktivitas yang bersifat merusak. Pantai dan laut memiliki nilai penting bagi budaya dan adat istiadat masyarakat pesisir Pulau Sumba, sangat penting untuk dijaga. Kearifan tradisional terkait pesisir yang sejalan dengan pelestarian alam perlu dipertahankan dan diperkuat dengan aturan/hukum positif.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
99
Pustaka Adnyana, W. dan Hitipeuw C. (2009). Panduan melakukan pemantuan populasi penyu di pantai peneluran di Indonesia. Jakarta: WWF – Indonesia. Azkab, M.H. (1999). Pedoman Inventarisasi Lamun. Jakarta: Balai Penelitian Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi LIPI. BPS. (2014).
Sumba Barat Daya dalam angka 2014. Sumba Barat dalam angka 2014. Sumba Tengah dalam angka 2014. Sumba Timur dalam angka 2014.
Dahuri, R., Rais, J., Ginting S.P. & Sitepu, M.J. (1996). Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita, 305p. Davies, P.S. (1984). The Role of Zooxanthellae in the Nutritional Energy Requirements of Pocillopora eydouxi. Coral Reef. English, S., Wilkinson C. and Baker V. (1997). Survey Manual for Tropical Marine Resources. 2nd edition. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Fabricius, K. & Alderslade, P. (2001). Soft corals and sea fans, A comprehensive guide to the tropic shallow-water genera of the Central-West Pacific, the Indian Ocean and the Red Sea. Townsville: the Australian Institute of Marine Science. FAO. (1982). Management and Utilization of Mangroves in Asia and the Pasific. FAO Environmental Paper 3. FAO. George, J.D. and George J.J. (1978). Marine Life, an Illustrated Encyclopedia of Invertebrates in the Sea. New York: John Wiley and Sons. Gomez, E.D. and H.T. Yap. (1988). Monitoring Reef Conditions. In: Kenchington, R.A. and B.E.T. Hudson (eds). Coral Reef Management Handbook. Jakarta: Unesco Regional Office for Science and Technology for South-East Asia. Hartog, C.D. (1970). Seagrass of the world. Amsterdam: North-Holland Pub.Co. Hill, J. and Wilkinson C. (2004). Methods for ecological monitoring of coral reefs – A resource for managers. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Hutchings, PA.. & Saenger, P. (1987). Ecology of mangroves. St. Lucia, QLD: University of Queensland Press. Kaufman, L., Sandin S., Sala E., Obura D., Rohwer F., & Tschirky T. (2011). Coral Health Index (CHI): measuring coral community health. Arlington, VA, USA: Science and Knowledge Division, Conservation International. Kikuchi & Peres, J.M. (1977). Consumer ecology of seagrass beds, pp. 147-193. In P. McRoy and C.Helferich (eds). Seagrass ecosystem. A scientific perspective. Mar.Sci.Vol 4. New York: Marcel Dekker Inc.
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
100
Konishi, (1981). Alcyonarian spiculite: Limestone of soft corals. Proceeding of the Fourth International Coral Reef Symposium, Manila, 1981, Vol 1. Lazuardi, M.E., Sanjaya W., Hutasoit P., Welly M. dan Subijanto J. (2014). Kondisi biofisik dan sosial ekonomi di selatan Pulau Sumba – Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sanur – Bali: Coral Triangle Center. Menez, E.G.,R.C. Phillips & Calumpong, H.P. (1983). Sea Grass from the Philippines. Smithsonian Cont. Mar. Sci. 21. Washington: Smithsonian Inst. Press. Miller, R.L. and Brewer J.D. (2003). The A-Z of social research: a dictionary of key social science research concepts. London: Sage Publication. Noor, Y.R., Khazali M. & Suryadiputra I.N.N. (2006). Panduan pengenalan mangrove di Indonesia. Bogor: PHKA/WI-IP. Nybakken, J.W. (1988). Biologi Laut suatu Pendekatan Ekologis. (Terjemahan dari Marine Biology: an ecological Approach. Alih bahasa oleh H.M. Eidman dkk). Jakarta: PT. Gramedia. Saenger, P., Hegerl, E.J. &, Davie, J.D.S. (1983). Global Status of Mangrove Ecosystems. Comission on Ecology Papers No.3, IUCN. Sukarno, M. Hutomo, M.K., Moosa dan P. Darsono. (1983). Terumbu Karang di Indonesia; Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Jakarta: LON-LIPI. Tomlinson, P.B. (1974). Vegetative morphology and meristem dependence. The foudation of productivity in seagrasses. Aquaculture 4: 107 – 130. Veron, J.E.N. (1986). Coral of Australia and the Indo-Pacific. Honolulu: University of Hawaii Press. Wood, E.J.F., Odum, W.E. & Zieman, J.C. (1969). Influence of Seagrass on the Productivity of Coastal Lagoons. Memoirs Symposium International Costeras (UNAM - UNESCO).
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
101
LAMPIRAN Tabel 34. Data posisi desa nelayan di pesisir Sumba, survei Sumba 2015. Titik Koordinat No
Desa
Kecamatan
Sumba Barat Daya
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tanjung Karoso Bondo Kodi Pero Konda Kalena Rongo Mangga Nipi Kendu Wela Bila Cenge Bukambero Wee Londa
10 11 12 13 14 15
Wee Tobula Rada Mata Wee Manada Karuni Lete Konda
Loura
Loko Ry
Tana Righu
Sumba Barat
16
Wendewa Barat Wendewa Selatan Wendewa Utara Manu Wolu Watu Asa
Mamboro
Sumba Tengah
Ngadu Mbolu
Umbu Ratu Nggay
17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Lenang Tana Mbanas Napu Wunga Kadahang Prai Bakul Rambangaru Mondu Hamba Praing Kuta Temu Hambala
34
Kamalaputi
35 36 37 38 39 40 41
Matawai Kambajawa Prailiu Kambaniru Mauliru Mauhau Wangga
Kodi
Kabupaten
Kodi Utara
Tambolaka
Haharu
Kanatang
Waingapu
Kambera
Sumba Timur
Latitude Derajat Menit
Detik
Derajat
Longitude Menit Detik
Keterangan
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
36 35 31 29 27 25 24 23 23 23 23 22 22 21 22 22 22 22
36.05 32.82 58.81 55.72 23.25 30.04 59.95 06,55 11.72 29.32 05,54 39.66 06,68 31.31 39.65 58.23 54.86 28.87
119 118 118 118 119 119 119 119 119 119 119 119 119 119 119 119 119 119
02 58 56 57 00 03 06 09 09 13 13 14 16 17 20 23 23 25
13.19 03,19 00.48 17.74 01,34 09,24 32.61 09,88 12.11 11.07 53.25 31.52 27.14 43.26 42.94 39.14 46.69 13.38
Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Pelabuhan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Pelabuhan Desa Nelayan
9 9 9 9 9
22 22 21 21 21
13.14 19.8 10.68 51.33 47.09
119 119 119 119 119
26 30 32 39 39
09,46 23.37 51.28 05,17 01,28
Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Pelabuhan
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
22 23 24 20 23 23 23 23 29 29 34 37 38 38 38 38 38 38 38 38 38 38 38 39
13.23 14.52 03,02 38.07 00,83 14.99 23.09 49.42 08,68 58.59 29.9 54.04 12.23 09,66 23.06 51.56 23.11 28.9 37.57 44.05 09,99 37.38 33.18 38.22
119 119 119 117 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120
39 42 47 52 00 00 00 01 07 11 13 14 14 14 15 14 15 15 16 16 15 16 16 17
41.28 07,39 38.3 02,32 22.39 40.6 42.6 37.35 57.14 11.47 31.59 24.61 27.07 44.89 01,88 57.06 16.21 37.46 03,94 06,75 26.78 04,81 46.54 31.6
Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Pelabuhan Pelabuhan Desa Nelayan Pelabuhan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
102
42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63
Kawangu Watumbaka Palakahembi Kadumbul Wanga Patawang Mutunggeding Matawai Atu Watu Hadang Watu Puda Lumbu Kore Kayuri Rindi Tanaraing Haikatapu Kabaru Palanggay Mburukulu Lambakara Tanamanang Kaliuda Wulla
64 65 66 67 68 69 70 71 72
Hadakamali Lumbu Manggit Laijanji Hamba Wutang Kakaha Nggonggi Praimadita Prai Salura Ananjaki
Pandawai
Umalulu
Rindi
Pahunga Lodu
Wula Waijelu
Ngadu Ngala Karera
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 10 9 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
40 39 39 41 41 43 45 45 46 46 46 47 47 47 02 54 01 02 07 08 10 14 14 14 14 15 15 14 14 13 18 13
06,96 05,89 42.63 27.78 14.63 30.87 19.01 48.37 05,94 04,83 33.1 40.5 10.16 21.08 25.37 23.14 57.03 20.07 41.9 18.47 37.01 11.11 17.93 18.92 00,24 02,14 20.46 53.6 03,13 46.4 45.41 04,01
120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120
17 23 29 31 32 32 36 36 36 36 35 36 37 37 48 40 45 50 47 46 44 36 34 34 33 30 22 21 12 11 10 12
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
54.18 24.79 22.16 00,38 13.03 21.22 06,45 00,61 04,73 13.89 44.67 49.49 11.12 20.31 12.9 57.22 45.94 36.01 26.1 30.47 33.71 41.23 15.2 13.15 03,84 51.58 28.52 03,67 44.95 07,47 51.54 10.42
Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Pelabuhan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan Desa Nelayan
103
Tabel 35. Daftar posisi GPS pantai peneluran/pendaratan penyu di pesisir Sumba, survei Sumba 2015.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Desa Wee Manada Karuni Lete Konda Ngadu Mbolu Lenang Tana Mbanas Mondu Hamba Praing Kuta Temu Lambakara Tanamanang Kaliuda Wulla Hadakamali Lumbu Manggit Laijanji Prai Salura
Kecamatan
Kabupaten
Loura
Sumba Barat Daya
Umbu Ratu Nggay
Sumba Tengah
Kanatang
Pahunga Lodu
Wula Waijelu
Karera
Sumba Timur
Latitude Longitude -9.368522222 119.2742056 -9.358697222 119.29535 -9.377680556 119.3452611 -9.370341667 119.6614667 -9.387366667 119.7020528 -9.400838889 119.7939722 -9.724444444 120.1325389 -9.499608333 120.1865194 -9.574972222 120.2254417 -9.631677778 120.2401694 -10.12830556 120.7905833 -10.13846389 120.7751306 -10.17694722 120.7426972 -10.23641944 120.6114528 -10.23858889 120.5703194 -10.2334 120.5510667 -10.25059444 120.5143278 -10.31261389 120.1809833
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
104
Tabel 36. Daftar posisi GPS pantai mangrove di pesisir Sumba, survei Sumba 2015.
Desa
No
Kecamatan
Kabupaten
Latitude
Longitude
1
Wee Londa
-9.39316
119.21913
2
Wee Tobula
-9.38265
119.24320
-9.36642
119.31494
-9.37685
119.34491
-9.37834
119.35053
-9.38155
119.39859
-9.37539
119.42335
-9.37821
119.42734
-9.36875
119.49023
-9.36785
119.49381
-9.37184
119.50543
-9.37834
119.52188
-9.37914
119.54291
-9.37461
119.54971
-9.35201
119.58480
-9.37840
119.67551
-9.38591
119.70214
-9.38824
119.75929
Tambolaka 4
Lete Konda
5
Loko Ry
Tana Righu
6
Wendewa Barat
7
Wendewa Selatan
8
Wendewa Utara
Sumba Barat Daya
Sumba Barat
Mamboro Sumba Tengah 9
Manu Wolu
10
Ngadu Mbolu
11
Lenang
12
Tana Mbanas
-9.39991
119.79362
13
Napu
-9.38961
117.88901
14
Wunga
-9.38339
120.00799
15
Kadahang
-9.38648
120.01381
17
Rambangaru
-9.39424
120.02593
18
Mondu
-9.48268
120.14165
19
Hamba Praing
-9.53048
120.22256
-9.53104
120.22481
-9.55723
120.22790
20
Kuta
-9.57557
120.22808
-9.59846
120.23098
-9.62931
120.24366
-9.63563
120.24436
-9.64701
120.24970
-9.64008
120.25938
-9.64259
120.26338
Umbu Ratu Nggay
Haharu
Kanatang
21
Temu
22
Hambala
23
Kamalaputi
Sumba Timur
Waingapu
24
Matawai
25
Kambajawa
-9.64170
120.26898
26
Mauliru
-9.63969
120.27586
27
Kawangu
-9.67376
120.31244
-9.64974
120.38437
28
Watumbaka
-9.64725
120.39168
29
Kadumbul
-9.69053
120.51590
30
Wanga
-9.68865
120.54371
Pandawai
Umalulu
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
105
31
Patawang
32
Kabaru
33
Mburukulu
-9.73256
120.57697
-9.74292
120.59774
-9.90714
120.68449
-10.03263
120.84219
Tabel 37. Dafta posisi GPS pantai padang lamun di pesisir Sumba, survei Sumba 2015.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Desa Bondo Kodi Wee Londa Wee Tobula Lete Konda Lenang Tana Mbanas Wunga Hamba Praing Kuta Temu Kamalaputi Lambakara Tanamanang Kaliuda Wulla Hadakamali Lumbu Manggit Laijanji Hamba Wutang Kakaha Praimadita Prai Salura
Kecamatan Kodi Tambolaka
Kabupaten Sumba Barat Daya
Latitude -9.59245 -9.39316 -9.38265 -9.37685 -9.38737
Longitude 118.96755 119.21913 119.24320 119.34491 119.70205
-9.40084 -9.38356 -9.49961 -9.57497 -9.63168 -9.64766 -10.12831 -10.13846 -10.17695 -10.23642 -10.23859 -10.23340 -10.25059 -10.25568 -10.24822 -10.22956 -10.31261
119.79397 120.00622 120.18652 120.22544 120.24017 120.24918 120.79058 120.77513 120.74270 120.61145 120.57032 120.55107 120.51433 120.37459 120.35102 120.18541 120.18098
Sumba Tengah
Haharu
Sumba Timur Wula Waijelu Ngadu Ngala
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
106
Tabel 38. Daftar species ikan karang yang teramati dari titik pengamatan 11 hingga 19, survey Sumba 2015.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Species ikan karang Abudefduf sexfasciatus Acanthurus auranticavus Acanthurus lineatus Acanthurus mata Acanthurus nigricans Acanthurus nigrofuscus Acanthurus olivaceus Acanthurus pyroferus Aethaloperca rogaa Amblyglyphidodon Aprion virescen Balistapus undulatus Balistoides conscipillum Balistoides Bodianus axillaris Bodianus mesothorax Caesio caerulaureus Caesio cuning Caesio teres Cephalopholis boenak Cephalopholis cyanostigma Cephalopholis miniata Cephalopholis urodeta Cetoscarus bicolor Chaetodon kleinii Chaetodon decussatus Chaetodon lunula Chaetodon trifascialis Chaetodon ulitensis Chaetodon vagabundus Cheilinus fasciatus Chlorurus microrhinos Cirrhilabrus iyukyuensis Coradion melanopus Coris gaimard Ctenochaetus spp. Dascyllus reticulatus Forcipiger longirostris Heniochus varius Kyphosus vaigiensis Lethrinus olivaceus Lutjanus Carponotatus Lutjanus fulviflama Lutjanus decussatus Lutjanus gibbus
11 12 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
Titi pengamatan 13 14 15 16 17 18 19 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 1 1 0 1 1 1 0 0 0
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
107
46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82
Naso caeruleacaudus Naso hexacanthus Odunus niger Parapeneus indicus Pempheris vanicolensis Pigloplites diacanthus Plectorinchus lessonii Plectorinchus lineatus Plectorinchus polytaenia Pomacanthus imperator Pseudanthias spp. Pseudanthias huchtii Pterocaesio pisang Scarus ghobban Scolopsis bilineata Siganus argenteus Siganus corallinus Siganus margaritiferus Siganus guttatus Siganus virgatus Siganus vulpinus Variola louti Zanclus cornutus Zebrasomma scopas Halichoeres leucurus Halichoeres rivulatus Lutjanus kasmira Chaetodon ephippium chaetodon octofasciatus Cephalopholis argus Chaetodon raflesii Chelmon rostratus Heniochus chrysostomus Heniochus pleurotaenia Parupeneus Barberinus scolopsis bilineatus Scarus niger
0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
108
Kondisi biofisik dan sosial ekonomi di selatan Pulau Sumba – Propinsi Nusa Te 2014 Disusun oleh: Coral Triangle Center (CTC) Tim penulis: Muhammad Erdi Lazuardi, Wira Sanjaya, Pariama Hutasoit, Marthen Welly, dan Johannes Subijanto Peta: Wira Sanjaya Kredit foto: CTC 2014 Sitasi
Lazuardi, M.E., Sanjaya W., Hutasoit P., Welly M. dan Subijanto J. (2014). Kondisi biofisik dan sosial ekonomi di selatan Nusa Tenggara Timur. Sanur – Bali: Coral Triangle Center.
Coral Triangle Center (CTC) Jalan Danau Tamblingan No.78, Sanur, Bali – Indonesia (80228) Telephone (+62 – 361) 289338 ; Facsimile (+62 - 361) 289338
Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Pesisir Pulau Sumba, 2015
109 Kondisi biofisik dan sosial ekonomi di selatan Pulau Sumba – Propinsi Nu