PANDANGAN YÛSÛF AL-QARADHÂWÎ TENTANG HADIS-HADIS RELASI SUAMI-ISTERI Norcahyono ABSTRAK Tulisan ini dilatarbelakangi oleh Hadis-hadis tentang ketaatan isteri pada suami yang dianggap tidak adil oleh sebagian pemikir Islam. Dalam hal ini, seorang isteri wajib melayani kebutuhan biologis suaminya, wajib izin suami ketika puasa sunnah, wajib izin suami ketika menerima tamu, dan wajib izin suami ketika bersedekah. Adapun objek kajian dalam tulisan ini adalah pemikiran Yûsûf AlQaradhâwi tentang hadis-hadis tersebut. Dalam menganalisis penelitian ini digunakan pendekatan Filosofis, selanjutnya datadata itu diolah dan dianalisa secara seksama dengan metode content analysis. Menurut Yûsûf al-Qaradâwî, Kewajiban seorang isteri untuk melayani dan menaati suami bukan dimaksudkan untuk merendahkan perempuan, atau menganggap perempuan itu hanya sebagai objek kesenangan para laki-laki. Semua itu hanyalah sebuah etika dan tatakrama seorang isteri pada suaminya. Hal itu dilakukan demi terciptanya kemaslahatan dalam sebuah rumah tangga. Alasannya adalah, Pertama, Setiap hak diimbangi dengan kewajiban. Kedua, Dalam keluarga harus ada pimpinan yang bertanggungjawab dalam keluarga. Kata kunci: Hadis-hadis relasi suami isteri A. Latar Belakang Masalah Mengupas tuntas tentang eksistensi perempuan dalam keluarga, karena adanya ikatan perkawinan, baik menyangkut prosesi pernikahan itu sendiri ataupun akibat yang ditimbulkan setelah pernikahan dikaitkan dengan wacana keagamaan senantiasa menarik untuk dikaji mengingat adanya pandangan bahwa pemahaman Agama dianggap sebagai salah satu pemicu berbagai ketidakadilan terhadap perempuan.1 Disisi lain, ada beberapa nash yang mengisyaratkan tentang ketidakadialan pada kaum perempuan sehingga menihilkan eksistensi perempuan, diantaranya: “dianggap sebagai subjek yang tidak mandiri” (tidak
Dosen pada Program Studi AHS Fakultas Agama Islam UM Palangkaraya .Nurun Najwah, Perempuan Dalam Pernikahan (Telaah Ulang Wacana Keagamaan), Yogyakarta: TH Press 2008, h. 4. 1
bisa melakukan nikah sendiri, tidak bisa menjadi wali nikah, ataupun saksi nikah); “diposisikan sebagai obyek mutlak suami” (harus dipertimbangkan kesuburan dan status kegadisannya, sebagai objek nikah mut’ah, harus patuh secara total pada suami, pengibaratan sujud istri kepada suami, objek seks suami); “sasaran kekerasan suami, baik secara fisik maupun psikis” (kebolehan memukul istri, zihar, li’an, poligami); “adanya marjinilisasi” (pembagian secara kaku wilayah domestik dan pablik, warisan yang lebih sedikit, dan tidak memiliki hak ashabah); “keterikatan dengan otoritas suami” (dalam memberikan infak, menerima tamu, dan keluar rumah); serta adanya berbagai “perbedaan dengan laki-laki” (aqiqah yang lebih kecil dan tidak boleh menikah dengan ahlul kitab). Diantaranya kandungan nash yang dianggap sarat dengan ketidakadilan terhadap kaum perempuan atas kaum laki-laki yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari berikut:
إذا دﻋﺎ اﻟﺮﺟﻞ اﻣﺮأﺗﻪ إﱃ ﻓﺮاﺷﻪ ﻓﺄﺑﺖ ﻓﺒﺎت ﻏﻀﺒﺎن ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻟﻌﻨﺘﻬﺎ اﳌﻼﺋﻜﺔ ﺣﱴ ﺗﺼﺒﺢ )رواﻩ (اﻟﺒﺨﺎري ﻋﻦ أﰊ ﻫﺮﻳﺮة “...dari Abu Hurairah berkata, telah barsabda Rasulullah Saw., “jika seorang laki-laki mengajak istrinya ketempat tidur (untuk berhubungan seks) lalu istri menolak dan suami tidur dalam keadaan marah terhadap istrinya, maka malaikat melaknati istri sampai pagi hari...”. Masdar F. Mas’udi menyatakan meskipun hadis ini diriwayatkan Bukhari dan Muslim, tapi tidak dapat diterima begitu saja karena Rasulullah s.a.w. tidak mungkin mensabdakan ketidakadilan suami terhadap isteri.2 Kritik senada diungkapkan Siti Musdah Mulia bahwa pemahaman tekstual terhadap hadis tersebut akan menimbulkan kesan yang kuat tentang ketinggian derajat lelaki atas perempuan, bahkan menjadi alat legitimasi bagi lelaki untuk memaksa dan mengeksploitasi perempuan dalam hubungan seksual. Menurutnya, jika penolakan dikarenakan kondisi isteri sedang tidak sehat atau tidak bergairah atau karena suami mengajak dengan kasar dan tidak manusiawi, maka seharusnya suamilah yang mendapat laknat malaikat karena
2
Masdar F Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fikih Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 1997), hal. 76.
dia dianggap melakukan nusyuz terhadap isteri.3 Zaitunah Subhan juga berpendapat serupa, bahwa laknat malaikat tidak bisa disimpulkan mutlak menimpa isteri yang tidak memenuhi ajakan suaminya saja, tetapi juga berlaku bagi suami, karena Islam mengakui keberadaan perempuan sebagai individu independen yang juga mempunyai hak yang dapat dituntut.4 Menurut pandangan dan pemahaman sebagian umat Islam, hadis diatas dianggap tidak adil bagi perempuan, karena secara zhahir hadis tersebut melegalkan hak mutlak biologis suami, sedangkan bagi istri wajib untuk melayaninya, dan kalau tidak mau melayani biologis suaminya maka malaikat akan melaknatinya. Sehingga hadits diatas dijadikan dalil untuk kepuasan biologis para suami. Munculnya interpretasi tersebut seolah-olah menunjukkan bahwa Islam membenci dan merendahkan kaum perempuan, padahal Islam sangat menghargai perempuan. Islam memandang perempuan memiliki peran utuh bagi pria dan begitu juga sebaliknya. Satu sama lainnya bukanlah musuh, lawan, atau saingan bagi yang lainnya. Tetapi, satu sama lain diciptakan untuk saling melengkapi. Untuk menyikapi masalah diatas tentunya kita perlu menelaah pemikiran para ulama’ kontemporer saat ini, supaya kita bisa arif dalam memecahkan masalah tersebut. Salah satu dari sekian ulama kontemporer yang memperbincangkan tentang isu-isu perempuan adalah Yûsûf alQaradhâwî, beliau adalah salah satu ulama yang cukup berpengaruh dalam dunia Islam. Pemikiran serta ide-idenya cukup digandrungi oleh pemikirpemikir dan para intelektual muslim dibeberapa Negara Islam, mungkin salah satunya adalah Indonesia. Beliau terkenal sebagai ulama yang cukup moderat dalam merespon persoalan-persoalan yang bersifat kekinian, sehingga fatwafatwanya cukup sejuk dan nikmat untuk dibaca dan direnungkan.
3 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis; Perempuan Pembaru Keagamaan (Bandung: Mizan, 2005), h. 249-250. 4 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam al-Quran, (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 150-151.
Berdasar pada latar belakang diatas, penulis ingin melakukan kajian tentang
pemikiran
Yûsûf al-Qaradhâwî tentang kandungan hadis-hadis
relasi suami-istri, terutama mengenai keterbatasan perempuan sebagai istri yang terdapat dalam kitab Halal wal haram fil Islam dan Hadyu al-Islam Fatâwa Mu’ashirah. Dalam
mempermudah
pembahasan,
penulis
merumuskan
permasalahan-permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pemikiran Yûsûf al-Qaradhâwî tentang hadis-hadis
relasi
suami-istri? 2. Bagaimana karakteristik pemikiran Yûsûf al-Qaradhâwî dalam memahami Hadis-hadis relasi suami-istri? B. PEMBAHASAN 1. PEMIKIRAN YÛSÛF AL-QARADHÂWÎ TENTANG HADIS-HADIS RELASI SUAMI-ISTERI a. Hadis tentang kewajiban isteri untuk memenuhi kebutuhan biologis suami. Yûsûf al-Qaradhâwî mewajibkan isteri untuk memenuhi panggilan suami ketika suami memintanya untuk tidur seranjang dengannya, juga melarang menyelisihinya dalam suatu perkara. Dalam hal ini Yûsûf al-Qaradhâwî berkata, 5
" وﻻﲣﺘﻠﻒ ﻋﻨﻪ،"أوﺟﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﺰوﺟﺔ أن ﺗﺴﺘﺠﻴﺐ ﻟﻠﺰوج إذا دﻋﺎﻫﺎ إﱃ ﻓﺮاﺷﻪ
Berdasarkan hadis berikut,
( )رواﻩ اﻟﱰﻣﺬي.إذا دﻋﺎ اﻟﺮﺟﻞ زوﺟﺘﻪ ﳊﺎﺟﺘﻪ ﻓﻠﺘﺄﺗﻪ وإن ﻛﺎﻧﺖ ﻋﻠﻰ اﻟﺘﻨﻮر “Apabila seorang laki-laki mengajak isterinya untuk memenuhi hajatnya, maka hendaklah si istrinya memenuhinya meskipun ia sedang sibuk di dapur.” (HR Tirmidzi dan dihasankannya). Terkait dengan kewajiban seorang isteri untuk memenuhi ajakan suami, Yûsuf al-Qaradâwî tidak mewajibkan secara mutlak. Kewajiban melayani tersebut hendaknya segera dipenuhi, jika isteri tidak sedang dalam keadaan
5
Yûsûf al-Qaradhâwî, Hadyul Islam fatawi Mu’asyirah, (Libanon: Darul Ma’ârif, 1988), Juz 2, h.113
udzur yang dibenarkan oleh syariat. Sebagaimana penjelasan Yûsûf alQardhâwî berikut;
" أو ﻏﲑ ذﻟﻚ،"وﻫﺬا ﻛﻠﻪ ﻣﺎﱂ ﻳﻜﻦ ﻟﺪﻳﻬﺎ ﻋﺬر ﻣﻌﺘﱪ ﻣﻦ ﻣﺮض أو إرﻫﺎق أو ﻣﺎﻧﻊ ﺷﺮع
6
Selanjutnya Yûsuf al-Qaradhâwî mempertegas, jika isteri dalam keadaan sedang sakit, atau karena ada halangan syar’i maka suami harus menyadari hal itu, karena Allah SWT saja yang telah menciptakan hambahambanya, dan memberi rizki, memberikan kemudahan, dan bahkan menggugurkan kewajiban hamba-hambanya ketika sedang dalam keadaan sedang udzur, logikanya apalagi sebagai sesama hamba Allah. 7 b. Hadis tentang puasa sunnah isteri atas izin suami. Berkaitan dengan puasa sunnahnya isteri atas izin suami Yûsuf alQaradhâwî berpandangan menunaikan hak suami lebih utama dari pada nilai ibadah puasa sunnah. Dalam hal ini ia berkata,
ﻷن ﺣﻘﻪ أوﱃ ﺑﺎﻟﺮﻋﺎﻳﺔ ﻣﻦ ﺛﻮاب،"وﺗﺘﻤﻪ ﻟﺬﻟﻚ ﺎﻫﺎ أن ﺗﺘﻄﻮع ﺑﺎﻟﺼﻴﺎم وﻫﻮ ﺣﺎﺿﺮ إﻻ ﺑﺈذﻧﻪ 8 "...ﺻﻴﺎم اﻟﻨﺎﻓﻠﺔ Berdasarkan hadis,
ﻻ ﺗﺼﻮم اﳌﺮأة وزوﺟﻬﺎ ﺷﺎﻫﺪ إﻻ ﺑﺈذﻧﻪ “Tidak boleh seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada dirumah kecuali dengan izinnya.” Dalam hal puasa sunnah seorang isteri hendaknya meminta izin pada suaminya apabila suaminya sedang ada dirumah. Izin tersebut merupakan etika seorang isteri pada suaminya karena memenuhi hak suami lebih utama dari pahala puasa sunnah. Namun hendaknya suamipun memperhatikan hakhak isterinya dalam hal itu, sebagaimana perkataan Yûsûf al-Qaradhâwî ini,
وﺣﻘﻬﺎ اﻟﻔﻄﺮى ﰲ اﻹﺷﺒﺎع، ﱂ ﻳﻨﺲ ﺟﺎﻧﺐ اﳌﺮأة،"واﻻﺳﻼم ﺣﲔ رﻋﻰ ﻗﻮة اﻟﺸﻬﻮة ﻋﻦ اﻟﺮﺟﻞ إن ﻟﺪﻳﻚ: وﳍﺬ ﻗﺎل ﳌﻦ ﻛﺎن ﻳﺼﻮم اﻟﻨﻬﺎر وﻳﻘﻮم اﻟﻠﻴﻞ ﻣﻦ أﺻﺤﺎﺑﻪ ﻣﺜﻞ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮو.ﺑﻮﺻﻔﻬﺎ أﻧﺜﻰ 9 . وإن ﻷﻫﻠﻚ )أي اﻣﺮأﺗﻚ( ﻋﻠﻴﻚ ﺣﻘﺎ،ﻋﻠﻴﻚ ﺣﻘﺎ 6
Ibid, h. 114 Ibid 8 Ibid 9 Ibid 7
Perkataan al-Qaradhâwî tersebut mengisyaratkan tentang adanya keadilan dan keberpihakan pada perempuan. Yaitu; keharusan suami untuk memperhatikan hak-hak isterinya yang harus dipenuhi, sehingga suami jangan sampai hanya mementingkan hal-hal yang sunnah seperti puasa yang terus-menerus disiang hari dan shalat terus dimalam hari seperti yang dilakukan Abdullah bin Umar bin al-Ash. c. Hadis tentang menerima tamu harus sepengetahuan dan seizin suami. Yûsûf al-Qaradhâwî melarang isteri menerima tamu yang tidak disukai suaminya tanpa sepengetahuan dan seizinnya. Dalam hal ini Yûsûf alQaradhâwî berkata dengan mengutip hadis berikut;
ﻻ ﳛﻞ ﻻﻣﺮأة ﺗﺆﻣﻦ ﺑﺎﷲ أن ﺗﺄذن ﰲ ﺑﻴﺖ زوﺟﻬﺎ وﻫﻮ ﻛﺎرﻩ وﻻ ﲣﺮج وﻫﻮ ﻛﺎرﻩ وﻻ ﺗﻄﻴﻊ ﻓﻴﻪ
... أﺣﺪا
“Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah mengizinkan seseorang yang tidak disukai suaminya masuk kerumah suaminya itu sementara suaminya tidak suka, tidak keluar rumah sedang ia tidak suka, tidak menaati seorangpun...”10 Kemudian Yûsuf al-Qaradhâwî mempertegaskan dengan Firman Allah pada Q.S An-Nisa:34
ِ ِ ﻓَﺎﻟ ﱠ ِ ِ ﺎت ﻟِْﻠﻐَْﻴ ...ُﺐ ِﲟَﺎ َﺣ ِﻔ َﻆ اﻟﻠﱠﻪ ٌ َﺎت َﺣﺎﻓﻈ ٌ َﺎت ﻗَﺎﻧﺘ ُ َﺼﺎﳊ
“...Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada...” Dalam hal menerima tamu Yûsuf al-Qaradhâwî melarang seorang isteri untuk menerima orang lain kerumah suaminya ketika suaminya tidak berada dirumah, atau tanpa sepengetahuan suami meskipun orang tersebut adalah kerabat dekat. Namun apabila ketika suaminya ada dan mengizinkannya maka diperbolehkan. Bahkan dianjurkan untuk membantu suami untuk menjamu para tamunya, selama ia bisa menjaga etika, dan akhlak islam dalam berpakaian, perhiasan, ucapan dan cara berjalan. Dalam hal ini Yûsuf alQardhâwî mengutib sebuah hadis Riwayat Bukhari,
10
Yûsûf al-Qaradhâwî, Halal wal Haram fil Islam, (Cairo: Maktabah Wahbah, Cet. Ke duabelas 1418 H/1997 M), h. 180.
ﳌﺎ ﻋﺮس أﺑﻮ أﺳﻴﺪ اﻟﺴﺎﻋﺪي دﻋﺎ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ وأﺻﺤﺎﺑﻪ ﻓﻤﺎ ﺻﻨﻊ ﳍﻢ ﻃﻌﺎﻣﺎ وﻻ ﻗﺮﺑﻪ إﻟﻴﻬﻢ إﻻ اﻣﺮأﺗﻪ أم أﺳﻴﺪ ﺑﻠﺖ ﲤﺮات ﰲ ﺗﻮر ﻣﻦ ﺣﺠﺎرة ﻣﻦ اﻟﻠﻴﻞ ﻓﻠﻤﺎ ﻓﺮغ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻣﻦ اﻟﻄﻌﺎم أﻣﺎﺛﺘﻪ ﻟﻪ ﻓﺴﻘﺘﻪ ﺗﺘﺤﻔﻪ ﺑﺬﻟﻚ “ketika Abu Usaid As-Sa’idiy menikah, beliau mengundang Nabi saw. dan para sahabatnya. Tidak ada yang memasak makanan dan menyajikan kepada mereka kecuali isterinya sendiri, yaitu Ummu Usaid. Ia yang membasahi kurma-kurma dibejana sejak malam. Ketika Nabi saw. selesai makan, dialah yang melunakkannya untuk beliau dan menyediakannya minum. Dengan begitulah dia menghormati Nabi saw.” d. Hadis tentang infaq istri harus seizin suami. Mengenai infaqnya seorang isteri harus mendapat izin dari suami. Yûsuf al-Qaradhâwî tidak mengutip sebuah hadis secara spesifik, tetapi dalam buku Hadyul Islam Fatawa Mu’asyi’rah beliau menjelaskan,
"... ﺣﱴ اﻟﺼﺪﻗﺔ،"ﻟﻴﺲ ﻟﻠﻤﺮأة اﳊﻖ ﰱ اﻟﺘﺼﺮف ﲟﺎل زوﺟﻬﺎ إﻻ ﺑﺈذﻧﻪ Selanjutnya berkata, 11
.ﻻ ﳚﻮز ﳍﺎ أن ﲣﺎﻟﻒ وﺗﻔﻌﻞ ﲟﺎﻟﻪ ﻣﺎ ﱂ ﻳﺄذن ﳍﺎ ﺑﻪ..."
Pernyataan Yûsuf al-Qaradhâwî mengisyaratkan bahwa perempuan tidak berhak menggunakan harta suaminya meskipun dalam bersedekah kecuali dengan izinnya. Apabila suaminya memberikan izin dengan perkataan atau dengan keadaan (sikapnya), maka boleh ia menggunakannya, tapi bila suami tidak memberi izin, ia tidak boleh menggunakannya, lebih-lebih kalau ia tau bahwa suami marah jika hartanya digunakan. Lain halnya jika harta itu miliknya sendiri, Islam menjadikan kepemilikan perempuan tersendiri, terlepas dari kepemilikan orang tua dan suaminya. Artinya sudah menjadi haknya untuk mempergunakan harta miliknya
sendiri,
untuk
membeli,
menjual,
memberi
hadiah,
dan
menginfakkannya. Semua itu terserah padanya, sebagaimana laki-laki bebas mempergunakannya.
Tidak
ada
yang
berhak
memaksanya.12 Sebagaimana firman Allah (Q.S An-Nisa:32).
11 12
Yûsûf al-Qaradhâwî, Hadyul Islam fatawi Mu’asyirah, h. 179 Yûsûf al-qardhâwî, Hadyul Islam Fatawî mu’asyirah, Jilid 3, h. 757
untuk
melarang
dan
“...bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan...” Keterangan diatas adalah pemikiran Yûsûf al-Qaradâwî tentang hadishadis relasi suami-isteri yang terdapat dalam Halal wal haram fil Islam dan Hadyu al-Islam Fatâwa Mu’ashirah. Secara garis besar pemikiran beliau dilandasi riwayat-riwayat yang sahih, tidak bertentangan dengan al-Qur’an, dan menurut penulis tidak terkesan menekankan superioritas laki-laki. Menurut
Yûsûf
al-Qaradâwî,
wanita
muslimah
berkewajiban
melaksanakan tugas untuk melayani suaminya dan mengurus rumah tangganya sesuai dengan fitrahnya dan sesuai dengan tradisi masyarakat Islam yang diwarisi dari generasi ke generasi. Wanita yang sombong dan congkak atau yang buruk akhlaknya tidaklah memperhatikan petunjuk agama dan tidak menghiraukan perkataan seorang fuqaha pun mengenai hak atau kewajibannya.13 Secara umum Pemikiran hukum Yûsûf al-Qaradâwî terhadap hadishadis relasi suami-isteri lebih cendrung memperhatikan keseimbangan antara pemenuhan hak dan kewajiban sebagai suami-isteri. Untuk keseimbangan antara pemenuhan hak dan kewajiban tersebut Yûsûf al-Qaradâwî mewajibkan seorang isteri untuk memenuhi keinginan dan menaati suami sebagai kepala rumah tangga sebagaimana firman Allah Dalam (Q.S An-Nisa:34):
ِ ِ ﺎل ﻗَـ ﱠﻮاﻣﻮ َن ﻋﻠَﻰ اﻟﻨ ٍ ﻀ ُﻬ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ﺑَـ ْﻌ ...ﺾ َوِﲟَﺎ أَﻧْـ َﻔ ُﻘﻮا ِﻣ ْﻦ أ َْﻣ َﻮاﳍِِ ْﻢ ﱢ َ ﱠﻞ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑـَ ْﻌ َ ُ ُ اﻟﺮ َﺟ َ َ ﱢﺴﺎء ﲟَﺎ ﻓَﻀ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...” Kepemimpinan dan tanggungjawab inilah suatu derajat yang dilebihkan oleh Allah kepada laki-laki dari padaperempuan. Dalam (Q.S AlBaqarah:228) Allah berfirman, “...Dan para wanita mempunyai hak yang
13
. Lihat, Yûsûf al-Qaradhâwî, Hadyul Islam fatawi Mu’asyirah, (Libanon: Darul Ma’ârif, 1988), Juz 2, h.105-106
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya...” Akan tetapi untuk tercapai keharmonisan dalam sebuah rumah tangga juga di imbangi dengan kewajiban suami untuk memenuhi segala hal yang menjadi hak-hak isterinya, jangan sampai suami mengabaikan kewajibannya. Sebagaimana peryataan Yûsûf al-Qaradâwî diatas yaitu; “keharusan suami untuk memperhatikan hak-hak isterinya yang harus dipenuhi, sehingga suami jangan sampai hanya mementingkan hal-hal yang sunnah seperti puasa yang terus-menerus disiang hari dan shalat terus dimalam hari seperti yang dilakukan Abdullah bin Umar bin al-Ash.” Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan mengenai alasan-alasan pemikiran hukum Yûsûf al-Qaradâwî dalam memahami hadis-hadis relasi suami-isteri, yaitu; Pertama; Kewajiban dan anjuran isteri untuk patuh dan taat pada suami merupakan etika seorang isteri terhadap suaminya sebagai pimpinan keluarga, juga untuk menjaga keharmonisan dalam sebuah hubungan. Etika tersebut diperlukan dalam rangka untuk terpeliharanya kemaslahatan
()ﻧﻀﺮﻳﺔ اﳌﺼﻠﺤﺔ
sehingga terciptanya mu’âsyarah bil ma’rûf dalam rumah tangga. Kedua; Isteri mendapatkan hak yang harus dipenuhi oleh suaminya seperti; hak untuk mendapatkan mahar, terpenuhinya nafkah, dan perlakuan baik. sehingga hak yang didapatkan dari suami tersebut menuntut isteri untuk taat pada suami. 2. KARAKTERISTIK PEMIKIRAN YÛSÛF AL-QARADHÂWÎ DALAM MEMAHAMI HADIS-HADIS RELASI SUAMI-ISTERI Setelah menganalisa pemikiran hukum Yûsûf al-Qaradhâwî terhadap hadis-hadis relasi suami-isteri, penulis mendapatkan gambaran tentang karakteristik pemikiran Yûsûf al-Qaradhâwî, yaitu: a. Menyesuaikannya dengan realita. Bekenaan dengan hadis tentang kewajiban seorang isteri untuk memenuhi permintaan suaminya jika ia mengajak bersengsama (jimak). Hadis ini mengisyaratkan tentang fakta yang sebenarnya bahwasanya lakilaki adalah sebagai orang yang aktif dalam hal (jimak), karena dia tidak bisa menahan dalam hal syahwat, juga kurang sabar dalam hal tersebut. Terlepas
dari pemikiran sebagian orang bahwa syahwat perempuan lebih besar dari syahwat laki-laki, padahal tidak demikian. Makanya syara’ menetapkan hal tersebut. Sebagaimana perkataan Yûsûf al-Qardhâwî berikut;
وأﻧﻪ أﺷﺪ ﺷﻮﻗﺎ.أن اﻟﺰوج ﲟﻘﺘﻀﻰ اﻟﻔﻄﺮة واﻟﻌﺎدة ﻫﻮ اﻟﻄﺎﻟﺐ ﳍﺬﻩ اﻟﻨﺎﺣﻴﺔ واﳌﺮأة ﻫﻲ اﳌﻄﻠﻮﺑﺔ..." ﻓﻘﺪ أﺛﺒﺖ اﻟﻮاﻗﻊ، ﻋﻠﻰ ﺧﻼف ﻣﺎ ﻳﺸﻴﻊ ﺑﻌﺾ اﻟﻨﺎس أن ﺷﻬﻮة اﳌﺮأة أﻗﻮى ﻣﻦ اﻟﺮﺟﻞ، وأﻗﻞ ﺻﱪا ﻋﻨﻬﺎ,إﻟﻴﻬﺎ 14 .وﻫﻮ ﻋﲔ ﻣﺎ أﺛﺒﺘﻪ اﻟﺸﺮع...ﺧﻼف ذﻟﻚ b. Mengaplikasikannya sesuai prinsip taisir. Masih berkaitan dengan hadis diatas, Yûsûf al-Qaradhâwî dalam mengomentari hadis tentang dilaknatnya seorang isteri oleh para malaikat sampai subuh jika ia tidak mau memenuhi ajakan suaminya untuk bersengsama (jimak), itu berlaku jika isteri tersebut sedang tidak dalam keadaan udzur yang dibenarkan, seperti sedang sakit, haid, nifas, dan udzur yang lainnya. Dan hendaknya suami menyadarinya. Sebagaimana perkataan beliau, 15
" أو ﻏﲑ ذﻟﻚ،"وﻫﺬا ﻛﻠﻪ ﻣﺎﱂ ﻳﻜﻦ ﻟﺪﻳﻬﺎ ﻋﺪر ﻣﻌﺘﱪ ﻣﻦ ﻣﺮض أو إرﻫﺎق أو ﻣﺎﻧﻊ ﺷﺮع Hal ini menerangkan bahwa laknat malaikat tidak akan menimpa
seorang istri yang tidak melayani suaminya dikarenakan adanya udzur yang dibenarkan. Ini menunjukkan tentang keringanan terhadap kewajiban yang telah dibebankan kepada isteri untuk senantiasa siap melayani keperluan biologis suaminya. Keterangan al-Qardhâwî ini sangat realistis dan tidak bertentangan dengan tujuan syariat. c. Memprioritaskan yang wajib dari pada yang sunnah. Diantara karakteristik pemahaman al-Qaradhâwî tentang hadis adalah lebih mendahulukan hal-hal yang wajib dari hal yang sunnah. Hal ini terlihat ketika memahami hadis tentang puasa sunnah isteri hendaknya atas izin suaminya. Mengenai hal tersebut Yûsûf al-Qaradhâwî berkata,
ﻷن ﺣﻘﻪ أوﱃ ﺑﺎﻟﺮﻋﺎﻳﺔ ﻣﻦ ﺛﻮاب،"وﺗﺘﻤﻪ ﻟﺬﻟﻚ ﺎﻫﺎ أن ﺗﺘﻄﻮع ﺑﺎﻟﺼﻴﺎم وﻫﻮ ﺣﺎﺿﺮ إﻻ ﺑﺈذﻧﻪ 16 "...ﺻﻴﺎم اﻟﻨﺎﻓﻠﺔ 14
. Ibid Ibid, h. 114 16 Ibid 15
Perkataan Yûsûf al-Qaradhâwî diatas menyatakan tentang larangannya terhadap isteri untuk berpuasa sunnah tanpa izinnya jika suaminya sedang berada dirumah, itu dikarenakan hak suami lebih diutamakan dari pada mengharap pahala puasa sunnah. Hal ini disebabkan memenuhi hak suami hukumnya wajib, dan puasa sunnah isteri merupakan hal yang sunnah, dikhawatirkan jika isteri sedang berpuasa sunnah dan suaminya sedang ada dirumah akan menghalangi ia untuk melayani suaminya. d. Memperhatikan aspek keseimbangan dan keadilan. Hadis-hadis diatas menjelaskan tentang hak suami yang harus dipenuhi oleh isterinya. Karena itu, hendaknya suami juga memperhatikan hak-hak isterinya dalam hal itu, sebagaimana perkataan Yûsûf al-Qaradhâwî ini,
وﺣﻘﻬﺎ اﻟﻔﻄﺮى ﰲ اﻹﺷﺒﺎع، ﱂ ﻳﻨﺲ ﺟﺎﻧﺐ اﳌﺮأة،"واﻻﺳﻼم ﺣﲔ رﻋﻰ ﻗﻮة اﻟﺸﻬﻮة ﻋﻦ اﻟﺮﺟﻞ إن ﻟﺪﻳﻚ: وﳍﺬ ﻗﺎل ﳌﻦ ﻛﺎن ﻳﺼﻮم اﻟﻨﻬﺎر وﻳﻘﻮم اﻟﻠﻴﻞ ﻣﻦ أﺻﺤﺎﺑﻪ ﻣﺜﻞ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮو.ﺑﻮﺻﻔﻬﺎ أﻧﺜﻰ 17 . وإن ﻷﻫﻠﻚ )أي اﻣﺮأﺗﻚ( ﻋﻠﻴﻚ ﺣﻘﺎ،ﻋﻠﻴﻚ ﺣﻘﺎ Perkataan al-Qaradhâwî tersebut mengisyaratkan tentang keharusan suami untuk memperhatikan hak-hak isterinya yang harus dipenuhi, sehingga suami jangan sampai hanya mementingkan hal-hal yang sunnah seperti puasa yang terus-menerus disiang hari dan shalat terus dimalam hari seperti yang dilakukan Abdullah bin Umar bin al-Ash. Selanjutnya Yûsûf al-Qaradhâwî
mewajibkan pada suami agar
memenuhi kebutuhan materi seperti nafkah, tempat tinggal, pakaian, pengobatan dan yang sejenisnya untuk isterinya sesuai dengan kesanggupan dan keadaan suami dan sesuai keperluan isteri. Dalam hal ini beliau mengatakan,
ﻓﺎﻟﺸﺮﻳﻌﺔ أوﺟﺒﺖ ﻋﻠﻰ اﻟﺰوج أن ﻳﻮﻓﺮ ﻻﻣﺮأﺗﻪ اﳌﻄﺎﻟﺐ اﳌﺎدﻳﺔ ﻣﻦ اﻟﻨﻔﻘﺔ واﻟﻜﺴﻮة واﳌﺴﻜﻦ 18 " أو ﻛﻤﺎ ﻗﺎل اﻟﻘﺮآن "ﺑﺎﳌﻌﺮوف، ﲝﺴﺐ ﺣﺎﻟﻪ وﺣﺎﳍﺎ،واﻟﻌﻼج وﳓﻮﻫﺎ Dalam Halal wal haram fil Islam al-Qaradhawi juga berkata,
"ﻛﻔﻰ ﺑﺎﳌﺮء: وﰲ اﳊﺪﻳﺚ اﻟﻨﺒﻮي.ﻓﻼ ﳛﻞ ﻟﻠﺰوج اﳌﺴﻠﻢ أن ﻳﻬﻤﻞ اﻟﻨﻔﻘﺔ ﻋﻠﻰ زوﺟﺘﻪ وﻛﺴﻮ ﺎ 19 "إﲦﺎ أن ﻳﻀﻴﻊ ﻣﻦ ﻳﻘﻮت 17 18
Ibid Ibid, Yûsûf al-Qaradhâwî, Hadyul Islam fatawi Mu’asyirah, h. 108
Perkataan al-Qaradhâwî diatas menunjukkan ketika memahami suatu hadis beliau juga mengkaji nash-nash lain yang bisa menyeimbangkan dengan masalah yang dibahas. e. Mengompromikannya bila tampak bertentangan Mengenai hadis-hadis relasi suami-isteri yang tampak bertentangan adalah hadis tentang infaq isteri harus izin suami, yaitu; Hadis riwayat Abu Daud pada bab al-Buyû’
yang marfu’ dan
20
berkualitas hasan.
ﻮز ِﻻ ْﻣَﺮأَةٍ َﻋ ِﻄﻴﱠﺔٌ إِﻻﱠ ﺑِِﺈ ْذ ِن َزْوِﺟ َﻬﺎ ُ ُﻻَ َﳚ
“seorang perempuan tidak boleh memberikan sesuatu kecuali atas izin suaminya”. Juga hadis Riwayat Bukhari;
وﻣﺎ أﻧﻔﻘﺖ ﻣﻦ ﻧﻔﻘﺔ ﻋﻦ ﻏﲑ أﻣﺮﻩ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺆدى إﻟﻴﻪ ﺷﻄﺮﻩ... “...Dan tidaklah ia menafkahkan nafkah selain perintah suaminya sesungguhnya ditunaikan kepadanya setengahnya.”21 Berdasarkan hadis diatas Yûsûf al-Qaradhâwî melarang isteri untuk bersedekah tanpa seizin suaminya dengan berkata;
"... ﺣﱴ اﻟﺼﺪﻗﺔ،"ﻟﻴﺲ ﻟﻠﻤﺮأة اﳊﻖ ﰱ اﻟﺘﺼﺮف ﲟﺎل زوﺟﻬﺎ إﻻ ﺑﺈذﻧﻪ Selanjutnya berkata,
.ﻻ ﳚﻮز ﳍﺎ أن ﲣﺎﻟﻒ وﺗﻔﻌﻞ ﲟﺎﻟﻪ ﻣﺎ ﱂ ﻳﺄذن ﳍﺎ ﺑﻪ..."
22
Akan tetapi dilain kesempatan Yûsûf al-Qaradhâwî membolehkan isteri mempergunakan harta miliknya sendiri, untuk membeli, menjual, memberi hadiah, dan menginfakkannya. Semua itu terserah padanya, sebagaimana lakilaki bebas mempergunakannya. Tidak ada yang berhak untuk melarang dan memaksanya.23 Pemikiran juga didasari oleh hadis-hadis yang sahih yaitu hadis riwayat Bukhari berikut, “Aku pernah berkata kepada Rasulullah, wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai apa-apa, kecuali uang belanja yang diberikan oleh 19
Ibid, Yûsûf al-Qaradhâwî, Halal wal Haram fil Islam,h. 180. Nurun Najwah, Perempuan Dalam Pernikahan (Telaah Ulang Wacana Keagamaan), h. 58 21 ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Bâz, shahih Al-Bukhari, (Dârul fiqr, 1414 H/1994M) Juz 5, h. 184 22 Yûsûf al-Qaradhâwî, Hadyul Islam fatawi Mu’asyirah, h. 179 23 Yûsûf al-qardhâwî, Hadyul Islam Fatawî mu’asyirah, Jilid 3, h. 757 20
Zubair kepadaku. Apakah aku berdosa kalau aku sisihkan sedikit uang belanja tersebut untuk bersedekah? Nabi menjawab:
ﺗﺼﺪﻗﻲ وﻻ ﺗﺮﻋﻲ ﻓﻴﻮﻋﻰ ﻋﻠﻴﻚ ‘bersedekahlah, dan jangan kau simpan. Agar Allah tidak menahannya darimu.” Maksud hadis ini adalah Rasulullah menyuruh Asma’ untuk bersedekah. Beliau melarang Asma’ dari sifat kikir, menumpuk harta, dan menimbunnya. Beliau tidak mengaitkan perintah tersebut dengan izin suami, akan tetapi beliau perintahkan secara umum. Selain riwayat diatas ada riwayat lain yang menguatkan tentang sedekah isteri tanpa izin suaminya. Juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah. Ia berkata, “Pada hari raya Idul Fitri, Nabi menunaikan shalad Id, Beliau shalat terlebih dahulu baru kemudian berkhutbah. Selesai khutbah, beliau turun kemudian mendatangi para wanita, sambil menggandeng tangan bilal untuk mengingatkan mereka agar bersedekah. Bilal kemudian membentangkan kainnya untuk menampung sedekah mereka. Saya (Ibnu Juraij) berkata kepada Atha’, ‘Apakah sedekah itu adalah zakat fitrah?’ Ia menjawab, ‘Bukan, tapi itu adalah sedekah yang mereka sedekahkan pada saat hari raya...24 Mengenai kasus diatas Yûsûf al-Qaradhâwî tidak mentarjih salah satu hadis dengan memenangkan hadis yang satunya dengan mengalahkan hadis yang lainnya, tetapi al-Qaradhâwî memilih untuk mengompromikannya (alJam’u) dengan cara mengamalkan kedua hadis yang nampak bertentangan tersebut. Apabila harta tersebut milik suaminya maka keharusan isteri untuk izin suami ketika memakainya (sedekah) menjadi kewajiban yang diprioritaskan. Tetapi bila harta tersebut miliknya sendiri dia boleh mempergunakannya tanpa harus izin suaminya.
24
Muhammad bin Syakir Asyarif, Lin Nisâi Ahkâmun wa Adâbun, h. 278
f. Hadis-hadis relasi suami-isteri yang dijadikan dalil dalam berfatwa tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an Disamping hak-hak isteri yang wajib dipenuhi oleh suami diatas, sebagai mafhum mukhalafah sudah semestinya isteri pun wajib menaati suaminya dalam segala hal, kecuali dalam maksiat kepada Allah. Seperti memenuhi ajakan suaminya untuk berjimak ketika tidak sedang udzur. Ini tidak bertentang firman Allah dalam (Q.S. al-Baqarah: 187),
ِ ِ ِ ِ ِ ُ َﺼﻴ ِﺎم اﻟ ﱠﺮﻓ ِ ...ﺎس َﳍُ ﱠﻦ َأُﺣ ﱠﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻟَْﻴـﻠَﺔَ اﻟ ﱢ ٌ َﺎس ﻟَ ُﻜ ْﻢ َوأَﻧْـﺘُ ْﻢ ﻟﺒ ٌ َﺚ إ َﱃ ﻧ َﺴﺎﺋ ُﻜ ْﻢ ُﻫ ﱠﻦ ﻟﺒ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka...” Dia tidak boleh menerima orang lain memasuki rumahnya tanpa seizin suami, meskipun orang itu kerabat dekat, juga wajib mengatur keuangan keluarga, tidak menghabiskannya atau membelanjakannya kecuali dengan izin suami. Sebagaimana firman Allah dalam (Q.S. an-Nisa’: 34),
ِ ﻓَﺎﻟ ﱠ... ِ ِ ِ ﺎت ﻟِْﻠﻐَْﻴ ...ُﺐ ِﲟَﺎ َﺣ ِﻔ َﻆ اﻟﻠﱠﻪ ٌ َﺎت َﺣﺎﻓﻈ ٌ َﺎت ﻗَﺎﻧﺘ ُ َﺼﺎﳊ
“...maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)...” Kewajiban semacam itu sebenarnya tidak terlalu memberatkan, ataupun tidak adil bagi isteri, jika dibanding dengan hak-hak isteri yang harus dipenuhi oleh suami. Karena setiap hak pasti menuntut kewajiban. Sebagaimana firman Allah dalam (Q.S al-Baqarah:228)
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ﻴﻢ ٌ َوَﳍُ ﱠﻦ ﻣﺜْﻞُ اﻟﱠﺬي َﻋﻠَْﻴﻬ ﱠﻦ ﺑﺎﻟ َْﻤ ْﻌُﺮوف َوﻟﻠﱢﺮ َﺟﺎل َﻋﻠَْﻴﻬ ﱠﻦ َد َر َﺟﺔٌ َواﻟﻠﱠﻪُ َﻋ ِﺰ ٌﻳﺰ َﺣﻜ...
“...Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Dilihat dari karakteristik pemikiran hukum Yûsûf al-Qaradhâwî, khususnya ketika memahami hadis-hadis relasi suami-isteri, al-Qaradhâwî berpandangan sebagai seorang ulama’ yang moderat patriarkhi-sentris. Ini sejalan dengan pemikirannya yang Ia ditulis dalam buku “Dirasah fi Fiqh Maqâshid Asy-Syari’ah (Baina Al-Maqâshid Al-Kulliyah wa An-Nushush AlJuz’iyyah), yang mana ciri dan karakteristik madrasah moderat adalah:
1) percaya kepada hikmah syariat yang mengandung kemaslahatan. 2) Menggabungkan teks dan hukum syariat. 3) Memandang dengan adil terhadap urusan agama. 4) Menyambungkan teks dengan realita kehidupan. 5) Memudahkan manusia. 6) Terbuka untuk dialog dan toleran terhadap dunia.25 C. KESIMPULAN Pemikiran hukum Yûsûf al-Qaradhâwî dalam tentang hadis-hadis relasi suami-isteri memiliki alasan yang cukup argumentatif, bisa diterima oleh logika, dan tidak melenceng dari tujuan syariat Islam. Adapun hal-hal yang sangat penting dalam pemikiran hukum Yûsûf al-Qaradhâwî tentang hadishadis relasi suami-isteri adalah: a. Mewajibkan
isteri untuk
memenuhi kebutuhan biologis
suami.
Kewajiban tersebut berlaku ketika isteri tidak sedang dalam keadaan udzur yang dibenarkan. b. Menganjurkan seorang isteri untuk tidak berpuasa sunnah ketika suaminya dirumah, kecuali atas izinnya. Sebaliknya sebagai mafhum mukhalafah suamipun hendaknya memperhatikan hak-hak isterinya dalam hal itu. c. Melarang isteri menerima tamu tanpa sepengetahuan dan seizin suami. d. Melarang isteri menggunakan harta suami tanpa izinnya, meskipun dalam hal sedekah. Tetapi jika harta itu miliknya pribadi ia diberikan hak untuk mempergunakan, sebagaimana laki-laki mempergunakannya. Adapun karakteristik pemikiran hukum Yûsuf al-Qaradhâwî terhadap hadis-hadis relasi suami-isteri adalah sebagai berikut: a. Menyesuaikannya dengan realita. b. Mengaplikasikannya sesuai prinsip Taisir (memudahkan). c. Memprioritaskan yang wajib dari pada yang sunnah. 25
Lihat Yûsûf al-Qaradhâwî, Dirasah fi Fiqh Maqâshid Asy-Syari’ah (Baina Al-Maqâshid AlKulliyah wa An-Nushush Al-Juz’iyyah),penerj. Arif Munandar Riswanto, Judul terj. Fiqih Maqashid Syari’ah (moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cet. pertama, 2007), h. 152-159
d. Memperhatikan aspek keseimbangan dan keadilan. e. Mengompromikannya bila tampak bertentangan. f. Hadis-hadis perempuan yang dijadikan dalil dalam berfatwa tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA Abdul bin ‘Abdullah bin Bâz, shahih Al-Bukhari, (Dârul fiqr, 1414 H/1994M) Juz 5.
‘Aziz
al-Qaradhâwî Yûsûf, Hadyul Islam fatawi Mu’asyirah, (Libanon: Darul Ma’ârif, 1988). al-Qaradhâwî Yûsûf, Halal wal Haram fil Islam, (Cairo: Maktabah Wahbah, Cet. Ke duabelas 1418 H/1997 M). al-Qaradhâwî Yûsûf, Hadyul Islam fatawi Mu’asyirah, (Libanon: Darul Ma’ârif, 1988), Juz 2. al-Qaradhâwî Yûsûf, Dirasah fi Fiqh Maqâshid Asy-Syari’ah (Baina Al-Maqâshid Al-Kulliyah wa An-Nushush Al-Juz’iyyah),penerj. Arif Munandar Riswanto, Judul terj. Fiqih Maqashid Syari’ah (moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cet. pertama, 2007) F Mas’udi Masdar, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fikih Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 1997). Musdah Mulia Siti, Muslimah Reformis; Perempuan Pembaru Keagamaan (Bandung: Mizan, 2005). Najwah Nurun, Perempuan Dalam Pernikahan (Telaah Ulang Wacana Keagamaan), Yogyakarta: TH Press 2008. Subhan Zaitunah, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam al-Quran, (Yogyakarta: LKiS, 1999).