1
LAPORAN TIM KUNJUNGAN KERJA KOMISI VI DPR RI DALAM RANGKA MENDAPATKAN MASUKAN TERKAIT RUU TENTANG BUMN KE UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (USU) DI PROVINSI SUMATERA UTARA
PADA MASA PERSIDANGAN III TAHUN SIDANG 2014-2015 TANGGAL 20 - 22 APRIL 2015
2
LAPORAN KUNJUNGAN KERJA KOMISI VI DPR RI DALAM RANGKA MENDAPATKAN MASUKAN TERKAIT RUU TENTANG BUMN KE UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (USU) DI PROVINSI SUMATERA UTARA Pada Masa Persidangan III Tahun Sidang 2014-2015 Tanggal 20 – 22 April 2015
I.
PENDAHULUAN A. Dasar Kunjungan Kerja Surat Tugas Nomor: ST/21/KOM.VI/DPR-RI/IV/2015, tanggal 14 April 2015 tentang Penugasan Anggota Komisi VI DPR RI untuk melakukan Kunjungan Kerja Pada Reses Masa Persidangan III Tahun Sidang 2014 – 2015 ke Provinsi Sumatera Utara. B. Ruang Lingkup Laporan ini dimaksudkan untuk menyampaikan masukan terkait perubahan UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, sebagai hasil temuan Komisi VI DPR RI dalam rangka memenuhi salah satu fungsi Dewan sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib dengan tujuan sebagai bahan masukan penyusunan RUU tentang BUMN, yang merupakan Prolegnas Prioritas 2015 nomor urut 19. Narasumber adalah Civitas Akademika dari Universitas Sumatera Utara yaitu: 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. 2. Dr. Faizal Akbar Nasution, S.H., M.Hum. 3. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. 4. Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec. C. Susunan Anggota Tim Kunjungan Kerja Susunan anggota Tim Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI sebagai berikut: 1. Sdr. Ir. H. ACHMAD HAFISZ TOHIR A-465 KETUA TIM/FPAN 2. Sdr. Ir. H. AZAM AZMAN NATAWIJANA A-430 ANGGOTA/FPD 3. Sdr. Dr. Ir. H.N. FARID AL-FAUZI, MMT A-555 ANGGOTA/FHANURA 4. Sdr. IRMADI LUBIS A-125 ANGGOTA/FPDIP 5. Sdr. M.R.IHSAN YUNUS,BA,BCOM, MECON A-133 ANGGOTA/FPDIP 6. Sdr. DARMADI DURIANTO A-148 ANGGOTA/FPDIP 7. Sdr. Dr. Ir. H. LILI ASDJUDIREDJA,SE, PhD A-255 ANGGOTA/FPG 8. Sdri.DWI AROEM HADIATIE,S.I.KOM A-247 ANGGOTA/FPG
3
9. Sdr. MOHAMAD HEKAL, MBA 10. Sdr. KHILMI 11. Sdr. WAHYU SANJAYA, SE 12. Sdr. H. NASRIL BAHAR,SE 13. Sdr. Ir. M. NASIM KHAN 14. Sdr. H. ISKANDAR D. SYAICHU,SE 15. Sdr. ZULFAN LINDAN 16. Sdri.WAHYU PRAMESWARI, SH, M.SI 17. Sdr. ADI SOMARA 18. Sdri.RAFIKA SARI, SE, M.SE 19. Sdr. M. NAJIB IBRAHIM 20. Sdr. OLSEN EPRANTO
A-361 A-373 A-408 A-461 A-066 A-531 A-473
ANGGOTA/FGERINDRA ANGGOTA/FGERINDRA ANGGOTA/FPD ANGGOTA/FPAN ANGGOTA/FPKB ANGGOTA/FPPP ANGGOTA/FNASDEM KABAG SET.KOM.VI SET.KOM.VI P3DI LEGAL DRAFTER LEGAL DRAFTER
D. Jadwal Kegiatan Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI pada masa persidangan III tahun 2014 – 2015 dilaksanakan pada tanggal 20 sampai dengan 22 April 2015. Jadwal kegiatan adalah sebagai berikut: NO HARI/TGL 1.
Senin, 20-4-2015
PUKUL 16.00 WIB
17.10 WIB
19.35 WIB
20.00 WITA
21.30 WITA
2
Selasa, 06.00-08.00 WITA 21-4-2015 08.30–09.00 WITA 09.00-12.00 WITA
13.00 WITA
14.30 WITA
ACARA
KET
Tim Kunjungan Kerja Komisi VI Diatur oleh DPR RI telah berkumpul di Set.Komisi VI Bandara Soekarna-Hatta. Tim Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI takeoff dari Bandara s.d.a Soekarno-Hatta menuju Bandara Internasional Kualanamu, Prov. Sumatera Utara dengan GA…. Tim Kunker Komisi VI DPR RI tiba Diatur Protokol di Bandara Internasional Pemda Kualanamu, Provinsi Sumatera Utara (istirahat sejenak di VIP). Ramah Tamah dengan Jajaran Diatur oleh Direksi PTPN III (Persero), Direksi para PT. Angkasa Pura II (Persero), Sekretaris Direksi PT. Inalum (Persero) Perusahaan Tim Kunker Komisi VI DPR-RI menuju Hotel Marriott (check in)/ istirahat Makan pagi di Hotel Marriot/check Diatur oleh out Set. Komisi VI Tim menuju ke Kampus USU s.d.a Pertemuan Tim Komisi VI DPR RI Tempat di dengan Rektor Universitas Kampus USU Sumatera Utara (USU) Dalam rangka mendapatkan masukan terkait Pembentukan RUU tentang BUMN (diakhiri sholat Dzhuhur) Ramah Tamah dengan Jajaran Direksi PT. PLN (Persero) dan Direksi PT. Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tim Kunjungan Kerja Komisi VI
Diatur oleh para Sekretaris Perusahaan s.d.a
4
NO HARI/TGL
PUKUL
16.05 WITA
18.30 WIB
II. A.
ACARA
KET
DPR RI menuju ke Bandara Internasional Kualanamu, Provinsi Sumatera Utara Tim Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI takeoff menuju Jakarta dengan GA ….. Tim tiba di Bandara SoekarnaHatta Cengkareng Jakarta
ISI LAPORAN PERMASALAHAN TERKAIT RUU TENTANG BUMN
Perubahan terhadap UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN didasarkan pada beberapa hal penting dan strategis. a. Keberadaan BUMN pada hakekatnya merupakan salah satu amanat konstitusi. Dalam rangka mencapai pemenuhan hajat hidup masyarakat sebagai implementasi kewajiban negara terhadap kesejahteraan rakyatnya, negara perlu menggerakkan roda ekonomi secara berkesinambungan dan meningkatkan pendayagunaan seluruh kekuatan ekonomi nasional. Legitimasi ini dilandasi oleh Pembukaan UUD RI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa salah satu tujuannya adalah “memajukan kesejahteraan umum” dan dalam batang tubuh UUD RI Tahun 1945 Pasal 33 ayat (2) menyebutkan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan ayat (3) menyebutkan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pembukaan dan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tersebut merupakan legitimasi dari keberadaan berbagai perusahaan yang dimiliki negara yang kemudian dikenal dengan sebutan Badan Usaha Milik Negara sebagai agent of development sekaligus menjalankan social function. b. BUMN sebagai salah satu sumber penerimaan negara dalam bentuk setoran deviden dan pajak. Hingga akhir bulan November 2014, BUMN telah menyetor deviden sebesar Rp36,2 triliun dari target Rp40 triliun deviden. Namun, kontribusinya masih terbilang kecil dan belum signifikan jika dibandingkan keinginan kuat Pemerintah agar BUMN menjadi roda penggerak roda ekonomi dalam pembangunan terutama pada bidang perintis di mana swasta dan koperasi belum menggelutinya, menjadi pengelola bidang usaha strategis, dan sekaligus sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar. c. Jumlah aset BUMN meningkat dari tahun 2014 mencapai Rp4.467 triliun, melonjak 5,95 persen dibanding tahun 2012 sebesar Rp4.126 triliun. Namun sayangnya, dari 119 jumlah BUMN yang ada pada tahun 2014, terdapat sejumlah BUMN yang mengalami kerugian yaitu
5
mencapai 20 perusahaan dengan perkiraan total defisit sebesar Rp7,09 triliun. d. Adanya harapan Pemerintah bahwa BUMN sebagai perusahaan berpelat merah dapat berperan aktif dalam mewujudkan programprogram prioritas dan strategis pemerintah, khususnya di bidang kedaulatan energi, kemandirian pangan, serta pembangunan infrastruktur dan kemaritiman, serta di bidang lainnya. e. Menyangkut Putusan MK No.62/PUU-XI/2013 yang menyebutkan bahwa BUMN merupakan badan usaha kepunyaan negara yang fungsinya menjalankan usaha sebagai derivasi dari penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta sumber daya alam Indonesia, sebagian besar atau seluruh modal usaha berasal dari keuangan negara yang dipisahkan, dan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa BUMN berbeda dengan badan hukum privat yang juga menyelenggarakan usaha di satu pihak dan berbeda pula dari organ penyelenggara negara yang tidak menyelenggarakan usaha, seperti lembaga negara dan kementerian atau badan. Selain itu, banyak permasalahan pengelolaan BUMN yang terjadi, dapat dirangkum sebagai berikut: 1. Maksud dan tujuan pendirian BUMN belum diatur pemisahan dan kriteria secara tegas tentang BUMN yang bertujuan menjalankan kewajiban pelayanan umum, murni mengejar keuntungan, dan yang termasuk BUMN strategis sehingga mencampuradukkan pengelolaan BUMN dan mengakibatkan BUMN tidak profesional dalam berusaha. 2. Definisi BUMN menimbulkan multitafsir mengenai status anak perusahaan BUMN apakah termasuk bagian dari BUMN atau perusahaan swasta. Pemaknaan yang salah terhadap anak perusahaan sebagai perusahaan swasta telah memberikan peluang bagi BUMN untuk melakukan modus penyimpangan melalui anak perusahaan. Menurut BPK, rasio permasalahan anak usaha BUMN yang berpotensi merugikan negara dan korporasi mencapai 62% dari total anak usaha yang mencapai sekitar 600-an perusahaan. BPK mensinyalir adanya dugaan pengalihan transaksi BUMN melalui pendirian anak perusahaan untuk kepentingan tertentu. Tidak sedikit jumlah anak perusahaan BUMN yang didirikan tidak sesuai dengan core business induk perusahaannya. Minimnya pengawasan terhadap pendirian anak perusahaan dan holding BUMN disebabkan karena tidak melalui persetujuan DPR. Kondisi ini disebabkan karena selama ini tidak ada kriteria pengaturan pendirian anak perusahaan BUMN. Dan diperlukan juga pengaturan mengenai pengelolaan aset-aset pada BUMN dan anak perusahaannya 3. Dalam praktek korporasi, BUMN masih mengacu pada UU tentang Perseroan Terbatas, padahal kedudukan BUMN yang berbentuk Persero berbeda dengan Perseroan Terbatas. Salah satunya contohnya adalah pada proses penjualan aset yang hanya melalui persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. 4. Pengertian “kekayaan negara yang dipisahkan” masih saja menimbulkan
6
multitafsir antara hak dan kewajiban negara terhadap BUMN apakah negara hanya berfungsi sebagai penatausahaan atau ikut bertangungjawab atas pengelolaan kekayaan negara. Padahal ini sudah ditegaskan berdasarkan Putusan MK yang menyatakan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN tidak terlepas dalam lingkup keuangan negara sehingga kewenangan pengawasan tetap dilakukan oleh negara. 5. Pengertian “menteri” tidak jelas dan rancu juga terdapat pada pendelegasian wewenang dari Menteri Keuangan kepada Menteri BUMN dalam RUPS sebagaimana ditetapkan pada Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2003 menyebabkan permasalahan dalam pelaksanaannya. 6. Kewenangan RUPS juga berpotensi menimbulkan masalah terkait daya ikat Surat Menteri dan hak substitusi kepada perseorangan atau badan hukum untuk mewakili Menteri dalam RUPS karena selain organ BUMN, pihak lain manapun dilarang campur tangan dalam pengurusan BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 91 UU BUMN. 7. Belum memadainya pengaturan mengenai kriteria dan pelaksanaan privatisasi Persero menyebabkan ada BUMN yang menguntungkan justru diprivatisasi sehingga mengurangi potensi deviden dan pajak yang disetor ke kas negara, sementara di sisi lain banyak BUMN yang merugi tetap dipertahankan oleh negara walaupun BUMN tersebut tidak strategis dan atau menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, diperlukan batasan sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai negara yang dapat diprivatisasi dan tidak dapat dipravitisasi. Selain itu, kerancuan dalam pelaksanaan privatisasi BUMN yang terjadi selama ini berpotensi merugikan negara. Dalam aturan mengenai privatisasi haruslah ditegaskan komposisi kepemilikan saham pemerintah pada BUMN terbuka minimal 60 persen dan mengedepankan partipasi modal swasta dalam negeri dan karyawan Persero bersangkutan. 8. Pengelola BUMN merasa kehilang-kepastian hukum akibat adanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam melakukan audit terhadap ada tidaknya kerugian negara dalam pengelolaan BUMN. Kondisi ini disebabkan karena BPK dalam melakukan pemeriksaan masih menggunakan pendekatan government judgement rules, yang semestinya pemeriksaan menggunakan pendekatan business judgement rules. 9. Selama ini belum ada ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai kualifikasi kompetensi bagi direksi dan komisaris BUMN, batas frekuensi masa jabatan direksi, mekanisme reward and punishment bagi direksi dalam menjalankan good corporate governance. Implikasi dari ketidakjelasan aturan ini menyebabkan penempatan direksi dan komisaris tidak sesuai dengan kompetensinya (the right man in the wrong place). Selain itu, diangkatnya direksi berkali-kali pada BUMN yang berbeda akan menutup kesempatan adanya jenjang karir karyawan/internal. 10. Tidak tegasnya pengaturan mengenai “penyertaan modal negara” menyebabkan penafsiran bahwa modal negara harus berupa uang, sehingga yang terjadi dalam penyertaan modal negara berbentuk barang tidak melalui proses persetujuan DPR. Di samping itu, tidak adanya pengaturan kriteria BUMN yang dapat memperoleh PMN mengakibatkan
7
BUMN yang tidak berkinerja dan terus merugi tetap dimungkinkan untuk memperoleh PMN. 11. Banyak BUMN yang belum optimal melaksanakan program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL) karena masih mengacu pada Pasal 74 UU Perseroan Terbatas. Namun, penyisihan sebagian laba bersih untuk PKBL sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 88 UU BUMN memberikan persoalan tersendiri bagi BUMN yang merugi untuk dapat melakukan PKBL. 12. Belum diterapkannya Ketentuan Pasal 21 UU No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang terhadap peran BUMN dalam mendukung perekonomian nasional, termasuk pengaturan kewajiban BUMN untuk menggunakan mata uang rupiah dalam setiap transaksi, terutama transaksi antar BUMN dan transaksi dalam negeri. 13. Keterkaitan UU tentang BUMN dengan UU lainnya sehingga membutuhkan harmonisasi, seperti UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan lainnya. B.
Masukan Akademisi Terkait RUU BUMN
1.
Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum.
Perkataan “menteri” harus dipertegas lagi antara Menteri BUMN, Menteri terkait, dan Menteri Keuangan. Kerancuan ini menghadapkan BUMN pada dilema antara pertanggungjawaban keuangan negara di satu sisi dan pertanggungjawaban tata kelola perusahaan yang profesional di sisi yang lain. Kondisi ini dipengaruhi oleh tanggungjawab Menteri Keuangan adalah sebagai pemegang kuasa pengguna anggaran, sedangkan Menteri BUMN selama ini yang bertugas mengelola operasional dan tata kelola BUMN. Oleh karena itu, dalam RUU tentang BUMN, perlu adanya pembatasan yang jelas antara wewenang Menteri Keuangan dan Menteri BUMN. Apakah Menteri BUMN kedepannya hanya sebatas sebagai koordinator dari seluruh BUMN ataukah sebagai pengambil keputusan atas tata kelola perusahaan. Istilah Government Judgement Rules berlaku di sektor publik, bukan Business Judgement Rules yang seharusnya berlaku di sektor privat. Perlu ada kejelasan mengenai prosentasi dari laba perusahaan yang wajib dialokasikan oleh BUMN untuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), khususnya mengenai tatakelola dan bidang terkait dengan sektor kehidupan masyarakat di sekitar BUMN. Dalam era otonomi, daerah dituntut untuk mampu mengelola keuangan masing-masing, namun penerimaan PBB dari BUMN yang relatif besar masih masuk sebagai penerimaan pemerintah pusat, sementara penerimaan pajak dari BUMN yang masuk sebagai penerimaan daerah relatif kecil.
8
2.
Karena keberadaan anak perusahaan dan perusahaan holding tidak dikenal dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka dalam RUU tentang BUMN perlu diperjelas keberadaan anak perusahaan dan perusahaan holding. Perlu dianalisa mengenai kelayakan suatu BUMN yang tetap dikuasai oleh negara. BUMN belum bisa professional karena memiliki banyak anak perusahaan. Oleh karena itu, harus ada larangan atas pendirian anak perusahaan, namun apabila perlu ada, harus mendapat persetujuan dari DPR, dan pengaturan terhadap batasan hingga mana anak perusahaan dapat berdiri sendiri. Perlu pengawasan DPR terhadap organ BUMN atas pelaksanaan tata kelola perusahaan, setidaknya melalui proses persetujuan DPR.
Dr. Faizal Akbar Nasution, S.H., M.Hum.
Dengan landasan filosofis dan yuridis Pasal 33 UUD 1945, negara bisa bergerak dalam bidang usaha melalui BUMN. Namun demikian, UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN bersifat unik karena melalui regulasi tersebut, posisi BUMN memasuki dua ranah bidang hukum sekaligus yaitu hukum publik dan hukum privat. BUMN sebagai bagian dari peran negara masuk dalam ranah hukum publik melalui posisi menteri dalam RUPS dan terdapat keterlibatan negara/ menteri dalam pengangkatan direksi dan komisaris. Namun, BUMN juga masuk ranah hukum privat, dengan mengacu Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan UU tentang Koperasi. Dalam perkembangan suatu usaha (baik swasta maupun koperasi) dimungkinkan mengalami kontraksi sehingga ada potensi rugi, namun tidak demikian dengan BUMN. Padahal, kerugian yang terjadi pada BUMN bukan hanya disebabkan karena missmanagement semata, beberapa di antaranya dapat disebabkan karena faktor eksternal perusahaan yang menyebabkan banyak perusahaan selain BUMN juga merugi. Pasal 4 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, menyebabkan persoalan yang pelik pada implementasi pengelolaan BUMN yang menimbulkan tafsiran tindakan terhadap potensi kerugian pada BUMN sebagai tindak pidana korupsi terhadap kerugian negara. Proses penyelidikan hukum pada perkara BUMN cenderung menggunakan hukum publik yang mengacu pada UU tentang Keuangan Negara, UU tentang Perbendaharaan Negara, dan UU tentang Badan Pemeriksa Keuangan, dll. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 menyebutkan bahwa pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsipprinsip perusahaan yang sehat.
9
Kondisi ini mengindikasikan bahwa ketika APBN ditentukan menjadi penyertaan modal negara dalam ranah hukum publik, namun ketika uang tersebut diluncurkan kepada BUMN akan masuk dalam ranah hukum privat, karena pembinaan dan pengelolaan BUMN atas kekayaan negara yang dipisahkan didasarkan pada prinsip perusahaan yang sehat. Hal ini juga diperkuat pada Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2013 tentang BUMN menyebutkan bahwa Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. Namun akan kembali lagi menjadi uang negara pada saat BUMN melakukan kewajiban pembayaran pajak kepada negara, seperti halnya dengan BUMS dan memberikan deviden kepada negara sesuai dengan saham yang dimiliki. Diperlukan ketentuan yang lebih jelas mengenai prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat yang berlaku pada BUMN untuk mengantisipasi pelaku BUMN terhindari dari pelanggaran dalam mengembangkan perusahaan. Sesuai dengan makna dan tujuan pendirian, Perum dibedakan dengan Persero. Namun banyak BUMN Perum yang beralih fungsi menjadi Persero karena desakan Pemerintah untuk mendapatkan keuntungan perusahaan yang sebesar-besarnya, padahal Perum didirikan sebagai implementasi/penjawantahan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, perlu penegasan kembali terhadap tujuan pendirian Perum bukan semata mencari keuntungan, sehingga sebaiknya tidak perlu dituntut untuk mencari keuntungan pada situasi tertentu sama seperti fungsi Perusahaan Jawatan pada masa lalu. Pasal 36 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 menyebutkan bahwa Perum dapat menyertakan modal dalam badan usaha lainnya (dalam hal ini Perseroan Terbatas) mengindikasi bahwa Perum dapat memiliki anak perusahaan sama halnya dengan Persero. Untuk itu, diperlukan persetujuan DPR sebagai fungsi pengawasan sampai sejauh mana penyertaan modal Perum dalam badan usaha swasta terkait aspek pertanggunjawaban keuangan negara yang ada di tangan swasta, di samping mendapat persetujuan menteri. Perlu ditegaskan dalam pengaturan yang jelas pada sebuah Peraturan Pemerintah ataupun Peraturan Menteri terpisah mengenai akibat perbuatan hukum yang dibuat Perum dan kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang dipisahkan terutama Pasal 39 huruf (a) UU No. 19 Tahun 2003 di mana “baik langsung dan tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perum untuk kepentingan pribadi”. Hal ini didasarkan pada realita yang terjadi di pemerintah daerah bahwa banyak kebijakan kepala daerah yang dititipkan kepada SKPD untuk dilakukan dengan sebuah kekuatan melawan hukum. Perlu ditegaskan dalam pengaturan yang jelas mengenai tata cara pemindahtanganan, pembebanan atas aktiva tetap Perum, dan lainlain pada sebuah Peraturan Menteri Keuangan/BUMN terkait Pasal 40 UU No. 19 Tahun 2003.
10
3.
Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec.
4.
Pengertian “hajat hidup orang banyak” yang mana yang dimaksud untuk dikelola oleh negara. Apakah jenis kebutuhan primer (sandang, papan, dan pangan) itu yang menyangkut hajat hidup orang banyak? Saat ini, negara melalui BUMN sudah mengelola bidang perumahan dan pangan, namun tidak untuk sandang. Pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa negara harus menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, namun perlu dipertimbangkan mana yang harus dikuasai oleh negara. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena pengelolaan sumber daya air bertentangan dengan UUD 1945, sehingga hak pengelolaan air mutlak milik negara, dan yang diberikan penguasaan atas air adalah BUMN/BUMD. Bagaimana halnya bisnis mengenai bumi/tanah dan kekayaan alam yang dikandung di dalamnya (mineral)? Kurang setuju dengan kata “mengejar keuntungan” sebagai salah satu tujuan pendirian BUMN pada Pasal 2 huruf (b) UU No. 19 Tahun 2003, karena bersifat kontradiksi dengan “memberikan pelayanan umum”. Sangat sulit bagi BUMN untuk memberikan pelayanan yang dengan harga murah bagi masyarakat ketika perusahaan juga harus mengejar keuntungan. Oleh karena itu, perlu dipisah antara BUMN yang tidak ditargetkan mencari keuntungan dan BUMN yang murni ditargetkan mencari keuntungan. Untuk menghindari kerancuan tujuan ini, maka kata “mengejar keuntungan” sebaiknya diganti dengan “mengelola badan usaha secara optimum”. Dalam istilah mikro ekonomi, optimum mengandung 2 makna, yaitu mendapat keuntungan yang maksimum dan menekan tingkat kerugian yang minimum. Kondisi ini memberikan ruang bagi BUMN untuk mengalami kerugian dengan tingkat yang minimum yang dibuktikan dengan pengawasan dan pemeriksaan (audit). Perlu ditegaskan menteri mana yang dimaksud secara spesifik. Jumlah BUMN yang sedemikian banyaknya menyebabkan kesulitan pengawasan terhadap kinerja masing-masing BUMN. Bercermin dari beberapa negara, wacana holding dapat mempermudah pengawasan dan pengelolaan perusahaan, seperti halnya Temasek di Singapura dan Khazanah di Malaysia. Perlu pengaturan yang tegas mengenai besaran Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang harus dianggarkan oleh BUMN bagi masyarakat. Kondisi ini dipengaruhi oleh banyaknya keluhan masyarakat sekitar BUMN yang tidak merasakan dampak positif atas kehadiran BUMN di wilayahnya.
Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum.
Perlu ada ketegasan mengenai syarat penyertaan modal negara yang membutuhkan persetujuan DPR. Terjadi prokontra terhadap
11
III.
perlunya persetujuan DPR ini pada waktu rencana divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara dengan dasar hukum UU tentang Perbendaharaan Negara, dan kasus ini masih tetap menggantung dalam jangka waktu yang lama. Padahal, untuk memperjuangkan hal ini melalui arbitrase internasional yang menggunakan uang negara dan ketidaksepakatan ini merugikan negara karena menunda masuknya keuntungan PT Newmont Nusa Tenggara yang sangat besar ke negara. Terdapat penyertaan modal negara yang tidak melalui oleh Persero dan Perum yaitu Pusat Investasi Pemerintah di bawah Menteri Keuangan, yang jumlahnya banyak yang tidak masuk dalam UU tentang BUMN. Menteri Keuangan dan Menteri BUMN belum diberi wewenang sesuai porsinya dengan jelas, di mana Menteri Keuangan merupakan wakil negara sebagai pemegang saham dan Menteri BUMN merupakan pemegang kekuasaan kebijakan nasional terkait dengan BUMN. Setidaknya perbedaan keduanya dijelaskan dalam penjelasan UU ini.
KESIMPULAN Berbagai permasalahan pengelolaan BUMN yang terjadi seperti yang dipaparkan di atas dan didukung dengan aspirasi dari kalangan akademisi dari Universitas Sumatera Utara telah menjadi pertimbangan bagi Komisi VI DPR RI untuk menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara dikarenakan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN sudah tidak sesuai lagi.
IV. A.
PENUTUP KATA PENUTUP Demikianlah gambaran laporan Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI pada masa persidangan III tahun 2014 – 2015 untuk mendapatkan masukan terkait RUU tentang Badan Usaha Milik Negara.
Jakarta, 4 Mei 2015 Ketua Tim Komisi VI DPR RI
Ir. H. ACHMAD HAFISZ TOHIR