Oleh E L L Y A N U R
JURUSAN
alzl
MASYARAKAT FAKULTAS
D A N SUMBERDAYA PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN
1989
BOGOR
KELUARGA
RINGKASAN ELLYANUR.
Telaahan Mengenai I n d i k a t o r K u a l i t a s Hidup
Penduduk Indonesia ( D i bawah bimbingan DJITENG ROEDJITO dan DIAH KRISNATUTI PRANADJI). I'ujuan umum p e n e l i t i a n i n i adalah menelaah kembali i n d i k a t o r k u a l i t a s hidup penduduk Indonesia.
Sedangkan
t u j u a n khusus adalah mellhat sejauh m a n a k e t e r k a i t a n an-
tara h a s i l pembangunan dengan k u a l i t a s hidup penduduk dalam populasi masyarakat yang bersangkutan. Sesungguhnya i n d i k a t o r k u a l i t a s hidup penduduk i t u s e n d i r i sudah ada, yakni kombinasi unsur Angka Melek Hu-
ruf (AMH),
Angka Harapan Hidup (AHH), Angka F e r t i l i t a s
( ~ l i T )dan Angka Mortalitas (AMT).
Tetapi kombinasi yang
l e b i h umum digunakan adalah AMH, AHFI dan AMT dengan komp o s i s i sumbangan s e t i a p unsur adalah sama, yakni sepert i g a (1/3).
Namun dalam p e n e l i t i a n i n i , diajukan s a t u
w s u r tambahan yakni Angka S t a t u s Gizi-baik (ASG), untuk menelaah kembali bentuk i n d i k a t o r k u a l i t a s hidup penduduk Indonesia t e r s e b u t . Untuk menganalisa apakah unsur ASG cukup beralasan untuk d i t e r i m a sebagai i n d i k a t o r dan bagaimanakah sebaiknya komposisi lima unsur t e r s e b u t dalam mengukur k u a l i t a s hidup penduduk, yang dalam ha1 i n i disebut nama Indeks Kualitas Hidup (IKH) digunakan a n a l i Korelasi Spearman a n t a r a lima unsur t e r s e b u t ,
hasil pembangunan yang meliputi variabel pendapatan, pendidikan, spsial budaya, kesehatan lingkungan dan tingkat konsumsi dalam populasi masyarakat yang bersangkutan, dengan menggunakan 27 provinsi di Indonesia sebagai sample. Hasil analisis menunjukkan, bahwa kecuali terhadap variabel tingkat konsumsi terdapat korelasi positif antara hasil pembangunan dengan lima unsur tersebut di atas.
Artinya, bahwa dengan semakin berhasilnya pemba-
ngunan maka kualitas hidup penduduk dalam populasi masyarakat yang bersangkutan juga semakin tinggi atau sebaliknya.
Sedangkan dengan variabel tingkat konsumsi
adalah sebaliknya bahwa semakin tinggi tingkat konsumsi maka kualitas hidup penduduk semakin rendah atau sebaliknya.
Hasil korelasi yang bertentangan tersebut, di-
duga disebabkan kevaliditasan data yang diragukan.
Oleh
karena itu, untuk menelaah indikator kualitas hidup penduduk tersebut di atas data tingkat konsumsi tidak dipergunakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan pendapatan penduduk, memang dapat meningkatkan AHH atau sebaliknya, bahwa keberhasilan pemerintah dalam menurunkan AFT dan AMT dapat meningkatkan pendapatan penduduk.
Namun peningkatan pen-
dapatan belum diikuti dengan peningkatan ASG (r,=0,1459).
Dengan melihat t i n g g i rendahnya n i l a i k o e f i s i e n kor e l a s i dapat disimpulkan bahwa ASG cukup beralasan untuk d i t e r i m a sebagai i n d i k a t o r .
Diantara lima unsur penyu-
sun IKH t e r s e b u t d i a t a s , unsur AMH adalah unsur yang p a l i n g rendah k o e f i s i e n korelasinya terhadap h a s i l pembangunan.
Adapun p e r s e n t a s e komposisi sumbangan masing-
masing unsur dalam membentuk IKEI adalah sebagai b e r i k u t : 8,401 persen AMH, 21,487 persen ASG, 24,637 persen AHH, 2O,Lc87 persen A F T dan 24,988 persen AMT.
Rendahnya per-
s e n t a s e sumbangan AMH dalam menyusun IKH disebabkan karena, keberhasilan pemerintah dalam memberantas buta hu-
ruf belum d i i k u t i oleh kebiasaan penduduk untuk melakukan kegiatan s o s i a l budaya ( r s = 0,1117), misalnya membaca.
Kegiatan s o s i a l budaya adalah v a r i a b e l yang pa-
l i n g e r a t kaitannya dengan k u a l i t a s hidup penduduk ( r s = 0,7179) dibandingkan v a r i a b e l h a s i l pembangunan lainnya. Peningkatan AMH juga t i d a k d i i k u t i oleh peningkatan keadaan kesehatan lingkungan.
Kesehatan lingkungan i t u
s e n d i r i sangat dipengaruhi oleh keadaan s o s i a l budaya Hal (1)s = 0,4078) disamping pendidikan ( r s = 0,5684). i n i menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dalam mening-
katkan t a r & hidup penduduk, a n t a r a l a i n dengan member a n t a s buta huruf adalah t i d a k cukup.
Dengan menggunakan bentuk rumusan IKH t e r s e b u t d i a t a s , d i k e t a h u i bahwa d a r i 27 p r o v i n s i Indonesia, bertur u t - t u r u t p r o v i n s i Yogyakarta, J a k a r t a dan B a l i a d a l a h t i g a p r o v i n s i yang mencapai peringkat IKH t e r t i n g g i dan sebaliknya dengan p r o v i n s i Nusa Tenggara Barat, Timor Timur dan Sulawesi Tengah.
Tingkat kesenjangan I K H t e r -
t i n g g i (Yogyakarta) dan I K H terendah (Nusa Tenggara Bar a t ) adalah sebesar 83,67,
yakni suatu t i n g k a t kesen-
jangan yang sangat t i n g g i b i l a d i l i h a t d a r i s e g i pemerataan. Berdasar h a s i l a n a l i s i s t e r s e b u t di a t a s , disarankan kepada i n s t a n s i Biro Pusat S t a t i s t i k untuk mengkaji kembali metode pendataan konsumsi yang digunakan selama i n i dan kepada pemerintah a g a r kebijakan dalam memberant a s b u t a huruf d i i k u t i a n t a r a l a i n dengan mendorong m i n a t penduduk, untuk menggunakan keterampilan baca t u l i s tersebut. sa.
Misalnya meningkatkan program koran masuk de-
Mengingat sebagian b e s a r penduduk Indonesia berdo-
m i s i l i d i pedesaan.
Disamping i t u , juga disarankan ke-
pada pemerintah untuk l e b i h memperhatfkan p r o v i n s i yang minus sumberdaya alam dan manusia, agar t i n g k a t kesenjangan I K H t i d a k t e r l a l u t i n g g i dalsm rangka program pemerataan pembangunan.
TELAAHAN MENGENAI I N D I K A T O R 'KUALITAS HIDUP PENDUDUK INDONESIA
Oleh ELLYANUR A 2 0 1425
KARYA IIdilIAH Sebagai Salah Satu Syarat U n t u k M e m p e r o l e h G e l a r
Sarjana Pertanian
Pada F a h l t a s Pertanian, I n s t i t u t Pertanian B o g o r
JURUSAN G I Z I MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA PAKULTAS PERTANIAN I N S T I T U T PERTANIAN BOGOR
I989
:
TELAABAN MENGmAI INDIKATOR KUALITAS HIDUP PENDUDUK
INDONESIA Nama Mahasiswa
Honor Pokok
Meny etujui
(Ir, D. Roedjito, D-Ntr)
(Ir- Di&
Dosen Pembimbing
K o m i si Pendidikan Tanggal Lulus :
27 Maret 1989
K. Pxanadji, MS.)
Dosen Pembimbing
Ketua Jurusan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 23 Oktober 1962, dari Ibu Nurmaya dan Bapak Muhammad Noer, sebagai putri keempat dari empat orang bersaudara. Penulis lulus pada tahun 1975 dari Sekolah Dasar Negeri Babakan Tarogong II Bandung.
Kemudian melanjut.,..
kan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri XII Bandung dan lulus pada tahun 1979.
Pada tahun 1979 pe-
nulis masuk Sekolah Menengah Atas Negeri X Bandung, kemudian pertengahan tahun ajaran 1980/1981 penulis pindah ke Sekolah Menengah Atas Negeri II Bogor hingga lulus pada tahun 1982. Pada tahun 1983 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) malalui Proyek Perintis I.
Kemudian pada tahun
1985 penulis diterima di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Ir. Djiteng Roedjito, D.Ntr dan Ibu Ir. Diah Krisnatuti Pranadji, MS sebagai dosen pembimbing yang telah banyak membantu sejak awal penelitian sampai tersusunnya karya ilmiah ini.
Tak lupa penulis juga menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Ir. Hartoyo sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk penyempurnaan karya ilmiah ini. ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Said Rusli dari Jurusan So sial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan kepada Bapak Kepala Biro Pusat Statistik beserta jajarannya serta semua pihak yang telah membantu penulisan karya ilmiah ini. Penulis berharap semoga apa yang tertuang dalam tulisan ini dapat bermantaat bagi yang membacanya.
Bogor, Maret 1989
DAFrAR lSI Halaman
. ... . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . .. . . . . . DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . Latar Belakang . . . . . .. . . . . .. . . . . . . . . . . . . DAFTAR TABEL
Tujuan Penelitian
• • ••• • •••• •••• ••• • ••••
..... .. . . .. .. ... .... . . .. . . . . . . . . . . ... . . . .. . . . . ..
Kegunaan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA
vii ix 1
1 4 4
5
Faktor-Faktor Pembentuk Kualitas Hidup ••
5
Indikator Kualitas Hidup
8
. . .. . . . . . . . . . . .
Teori Perumusan Indikator Kualitas Hidup.
10
. . . . . . .. . . . . . . . .... Kerangka Pemikiran .. . . .. . . . . . . .. . ... . . . Hipotesis . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . .. . .
17
Batasan Istilah
• •• ••• ••••••••••• • ••••••
18
. . . . . . . . . . . . . . . .. . . .. . .
21
KERANGKA DASAR PENELITIAN
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
•• •• ••••••••
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
••••••••
... . . . . . . . .. . . . . . .. . . . ... . PEMBAHASAN . . . . . ... . ... . . . . . . . . . . . .
Analisis Data HASIL DAN
Profil Penduduk Indonesia Tahun 1985
14 14
21 21
24 26
•••
26
Hubungan Variabel Hasil Pembangunan dan Kualitas Hidup Penduduk Indonesia..
33
Pendapatan dan Kualitas Hidup ••••• Pendidikan dan Kualitas Hidup ••••• So sial Budaya dan Kualitas Hidup..
33 35 37
vi
Halsman
... .. . .. ... .. ... ... ...... ..
Kes'ehatan Lingkungan dan Kualitas Hidup KonsUDIsi Kalori, Protein dan Kualitas Hidup
. . . . . . . . .. . . .. . . . . . . . . . . . Indikator Kualitas Hidup Penduduk Indonesia ... . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . Kondisi Kualitas Hidup Penduduk Indonesia Tahun 1985 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ... SIMPULAN DAN SARAN ... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Simpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . .. . . . . . ..
41
45
55 66 66
67
69 72
DAFrAR TABEL
Nomor
Halaman
Teks Tiga Provinsi dengan Luas Wilayah Terbesar dan Terkecil ••••••••••••••••••
26
2.
Tiga Provinsi dengan Jumlah Penduduk Terbanyak dan Terkecil •••••••••••••••
27
3.
Tiga Provinsi dengan Kepadatan Penduduk Terbanyak dan Terkecil ••••••••••••
28
4.
Tiga Provinsi dengan Jumlah Rumah Tangga Terbanyak dan Terkecil ••••••••••••
29
5.
Tiga Provinsi dengan Laju Pertumbuhan Penduduk Tertinggi dan Terendah
31
6.
Tiga Provinsi dengan Nisbah Beban Tanggungan Tertinggi dan Terendah •••••
32
Tiga Provinsi dengan Kondisi Kualitas Hidup Penduduk Tertinggi.dan Terendah
56
1.
7.
Lampiran 1.
Luas Wilayah Indonesia per Provinsi
........
72
2.
Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 1985 per Provinsi ••••••••••••••••••••••••••
73
3.
Kepadatan Penduduk Indonesia Tahun 1985 per Provinsi •••••••••••••••..•..•.
74
4.
Jumlah Rumah Tangga Indonesia Tahun 1985 per Provinsi ••••••••••••••••••••••
75
5.
Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Tahun 1980 - 1985 per Provinsi ••••••••••
76
6.
Nisbah Beban Tanggungan Penduduk Indonesia Tahun 1985 per Provinsi •••••••
77
7.
Variabel HasH Pembangunan
. .. . .. .. . .. . . .. . .. .
78
8.
Persentase Kondisi Hasil Pembangunan Indonesia Tahun 1985 per Provinsi •••
79
viii Nomor
9. 10. 11. 12.
Halaman Indeks Kondisi Hasil Pembangunan sia Tahun 1985 per Provinsi
Indone~.
•••••••
80
Kondisi Kualitas Hidup Penduduk Indonesia Tahun 1985 per Provinsi •••••••
81
Indeks Kondisi Kualitas Hidup Penduduk Indonesia Tahun 1985 per Provinsi..
82
Jumlah Klinik KB di Indonesia Tahun 1985/ 1986 per Provinsi •••••••••••••••••
83
DAFTAR GAMBAR Halaman
Nomor
. . .. . . . . . . . .. .
1.
Bagan Kerangka Pemikiran
2.
Piramida Penduduk Indonesia Tahun 1985
30
3.
Histogram Nilai Korelasi Indeks Pendapatan terhadap Indeks AMH, ASG, AHH, AFT dan AMT ••••••••....•.••.
34
Histogram Nilai Korelasi Indeks Pendidikan terhadap Indeks AMH, ASG, AHH, AFT dan AMT ••••••••.••••.•.•
36
4.
5.
Histogram Nilai Korelasi Indeks Sosial Budaya terhadap Indeks AMH, ASG, AHH, Apr dan .Af\1T
6.
7. 8.
•••••••••••••••••
38
Nilai Koefisien Korelasi Keeratan Hubungan antara Pendapatan, Pendidikan, AMH dan Sosial Budaya •••••
40
Histogram Nilai Korelasi Indeks Kesehatan Lingkungan terhadap Indeks AMH, ASG, AHH, AFT dan AMT •••••••
42
Nilai Koefisien Korelasi Keeratan Hubungan antara Pendapatan, Pendidikan, AMH, So sial Budaya dan Kesehatan Lingkungan
9. 10.
•••.••.•••••.••.•
43
Histogram Nilai Korelasi Indeks Tingkat Konsumsi terhadap Indeks AMH, ASG, AHH, AFT dan AMT •••••••••••••••••
46
Histogram Nilai Korelasi Tingkat Konsumsi Tahun 1984 terhadap Tingkat KEP Tahun 1986
11.
12.
15
••••••.••••••••••••••••
48
Histogram Nilai Korelasi Indeks Hasil Pembangunan terhadap Indeks AMH, ASG, AliH, AFT dan AMT ••••••••••••
51
Histogram Nilai Korelasi Indeks IKH terhadap Indeks Variabel Hasil Pembangunan
•••••. •. . •. . . . . . . . . . . . . •. •.
55
PENDAHULUAN Latar Belakang Pada umumnya masalah kependudukan dikaitkan dengan aspek kuantitas (jumlah) manusianya saja.
Sehingga
program kependudukan banyak diarahkan untuk upaya penurunan laju pertumbuhan penduduk, seperti penurunan rertilitas melalui program Keluarga Berencana, penurunan angka kematian dan lain-lain.
Sedangkan aspek kualitas
manusia belum banyak diketahui di Indonesia.
Kepusta-
kaan ilmiah yang langsung membahas masalah ini masih jarang baik di dalam maupun di luar negeri.
Sejauh ini
masalah kualitas baru dibahas secara umum dan normatir saja, walaupun Perserikatan Bangsa- -Bangsa (PBB) dalam publikasinya yang terakhir selalu menggunakan istilah "population quality", namun belum ada penjabaran dalam bentuk operasional secara luas dan jelas (KLH, 1986). Pertumbuhan penduduk yang masih tinggi dan penyebarannya yang tidak merata, merupakan salah satu raktor penyebab pentingnya kualitas hidup penduduk.
Sebab, un-
tuk mendayagunakan sumberdaya manusia dalam pembangunan, penduduk perlu memiliki produktivitas dan kualitas yang memadai (KLH, 1986).
Pandangan yang selama ini hanya
menganggap modal dan teknologi sebagai mesin penggerak pembangunan mulai melemah, terutama di negara yang banyak tenaga kerja, keberhasilan pembangunan adalah
2
sangat tergantung pada kualitas tenaga kerjanya (Hidayat, 1982).
Kualitas manusia semakin penting di saat pereko-
nomian kurang menguntungkan, karena pertambahan investasi barang dan modal sulit dilaksanakan.
Orang mulai
beralih pada masukan lain yang berupa tenaga manusia, sehingga dirasakan perlu mengkaji sumberdaya manusia yang dimiliki (Tjiptoheriyanto, 1983).
Ahli ekonomi
terkenal Theodore Schultz dalam Soekirman (1987) juga mengatakan bahwa faktor penentu untuk meningkatkan produksi petani miskin, terutama terletak pada perbaikan kualitas petaninya yang merupakan "human capital". Sumberdaya manusia memegang peranan strategis dalam pembangunan seperti terbukti dalam perkembangan negara Swiss, Israel, Jepang dan Singapura.
Negara-negara ini
tidak banyak memiliki sumberdaya alam untuk dijadikan modal dasar pembangunan, sehingga banyak keperluan sehari-hari harus diimpor dari luar negeri.
Namunkemajuan
ekonomi negara-negara ini pesat sekali, terutama dimungkinkan oleh kualitas sumberdaya manusianya yang tinggi (KLH, 1988). Indonesia memiliki sumberdaya manusia dan alam yang potensial.
Persoalannya sekarang, bagaimana meningkat-
kan sumberdaya alam secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan (KLH, 1988).
Masalah kualitas
manusia adalah penting, agar bangsa Indonesia dapat tegak berdiri di tengah-tengah bangsa lain dan tumt menentukan peri kehidupan dunia (Gani, 1984). Walaupun dalam Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1983 sudah disinggung masalah kualitas manusia, namun belum banyak dibahas atau ditelaah secara luas. Padahal sangat banyak yang perlu dipikirkan, diteliti dan dilakukan dalam bidang ini, untuk mempersiapkan masyarakat dan manusia Indonesia agar siap tinggal landas (Kleden, 1984).
Seperti yang diungkapkan Mohamad (1988)
bahwa indikator kualitas manusia harus ada, karena dengan indikator terse but dapat diketahui sejauhmana manusia yang dicita-citakan GBHN tercapai atau berapa jauh lagi yang hams dikejar.
Tetapi yang menjadi kesulitan
adalah bagaimana hams menentukan indikator dan bagaimana pula cara mengukurnya?
Hal ini tentu bukan hal yang
mudah, karena besarnya kenisbian setiap tolok ukur indikator yang akan ditentukan. Publikasi kantor Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH), menyatakan bahwa saat ini teori tentang kualitas manusia dirasakan masih kurang dan menumt Kleden (1984) masih banyak juga yang perlu dipikirkan dan diteliti tentang hal tersebut.
Dalam GBHN juga disinggung ten-
tang kualitas manusia, tetapi rumusan tentang kualitas manusia itu sendiri masih mendapat kritikan.
Berdasarkan
permasalahan tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang kualitas manusia, khususnya untuk melihat bentuk rumusan indikator kualitas hidup penduduk Indonesia. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian adalah menelaah kembali cara perumusan indikator kualitas hidup penduduk Indonesia. Sedangkan tujuan khusus, melihat kaitan aspek hasil pembangunan terhadap kualitas hidup penduduk di wilayah yang bersangkutan.
Aspek hasil pembangunan, antara lain
meliputi variabel pendapatan, pendidikan, sosial budaya, kesehatan lingkungan dan konsumsi kalori, protein terhadap kualitas hidup penduduk yang diukur dari:
Angka Me-
lek Huru! (AMH), Angka Status Gizi-baik (ASG), Angka Harapan Hidup (ARR), Angka Fertilitas (AFT) dan Angka Mortalitas (AMT). Kegunaan Penelitian Penelitian ini berguna untuk membantu pemecahan masalah bagi para pengambil kebijakan, khususnya di bidang kependudukan untuk melihat sudah sampai dimana kualitas penduduk Indonesia dengan tolok ukur indikator yang lebih memadai.
TINJAUAN PUSTAKA Fakto~-Faktor
Pembentuk Kualitas Hidup
Pembangunan nasional ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat.
Disamping itu pembangunan nasional juga diharapkan
dapat meletakkan dasar yang kokoh untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa secara berkesinambungan dari generasi ke generasi (BPS, 1988a ). Jumlah penduduk yang besar merupakan modal pembangunan.
Pembangunan akan ber-
hasil bila melihat penduduk tidak saja sebagai modal, tetapi juga sebagai komponen pembangunan.
Disisi lain
manusia adalah konsumen pembangunan, karena pembangunan tersebut bertujuan meningkatkan kesejahteraan manusia itu sendiri.
Oleh karena itu agar jumlah penduduk yang
besar dapat menjadi modal pembangunan, maka kualitas penduduk perlu ditingkatkan (KLH, 1988).
Bila penduduk
dilihat sebagai obyek dan kriteria kualitas seperti yang diinginkan GBHN sebagai hasil yang dicapai setelah obyek tadi "diolah", maka perlu dipikirkan suatu masukan yang dibutuhkan untuk "mengolah" penduduk agar menjadi berkualitas.(Mohamad, 1988).
Kualitas fisik dan non fisik
serta keluarannya memerlukan suatu masukan yang mencukupi agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Diantaranya masukan gizi, pendidikan dan lingkungan yang meliputi fisik, sosial, biologis.
Gizi adalah masukan
terpenting disamping masukan lainnya (Gani, 1984).
6 Bahan makanan yang cukup tersedia dalam jumlah dan mutu, perbaikan rumah, peningkatan pelayanan kesehatan dan tingkat pendidikan, merupakan faktor yang banyak mempengaruhi usia harapan hidup (Winarno, 1988).
Gizi
yang cukup, baik kualitas maupun kuantitas diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun mental (Gani, 1984).
Perkembangan mental, terutama se-
masa kanak-Kanak sangat dipengaruhi oleh konsumsi zat gizi, sebab kurang gizi akan mengakibatkan kemampuan intelektualnya terhambat.
Bahkan kalau kurang gizi ini
sampai mengganggu pertumbuhan otak, terjadilah kelainan yang menetap, yaitu kemampuan bereaksi at au memberi respon yang kurang cepat terhadap stimulus atau informasi dari luar dan pertumbuhan fisik menjadi terhambat.
Ku-
rang gizi juga mempunyai andil terhadap angka kematian yang tinggi di kalangan penduduk dewasa, karena daya tahan tubuh rendah sehingga bila terserang penyakit berakibat fatal, disamping itu produktivitas juga menurun dengan kondisi tubuh yang kurang gizi (Gani, 1985). Masalah gangguan pertumbuhan sering merupakan aki_ bat dari masalah kesehatan dan gizi yang ada.
Sekalipun
faktor keturunan berpengaruh terhadap ukuran tubuh, namun tidak tercapainya tingkat pertumbuhan yang optimal setelah menjadi dewasa lebih sering diakibatkan oleh keadaan gizi dan kesehatan yang buruk pada masa
7 kanak-kanak atau pada masa pertumbuhan (Kar,yadi, Abunain dan Muhilal,"1988).
Kurang Energi Protein (KEF) berat
pada usia dini, akan mengakibatkan kualitas manusia yang lemah, kemampuan belajar serta kemampuan koqnitif dan "Intellegence Quotient" yang rendah (Kar,yadi, 1985). Masukan bagi kualitas fisik menentukan bobot fisik, dan keduanya mempengaruhi pula ketahan fisiko
Kualitas
fisik selanjutnya menentukan pula kualitas non fisik yang meliputi akal, rasa maupun budi.
Contoh yang pa-
ling jelas adalah hubungan gizi (masukan bagi kualitss fisik) terhadap kecerdasan (kualitas non fisik).
Anak
yang kurang gizi akan mengalami gangguan menghadapi perkembangan ilmu dan teknologi serta tantangan lingkungan, karena kemampuan intelektualnya terbatas.
Apabila tan-
tangan dan rangsangan lingkungan tidak terkendalikan oleh rasa dan emosi dan tidak dapat dicarikan jalan keluarnya oleh akal yang terbatas, maka dikhawatirkan persoalan tersebut dipecahkan melalui jalan pintas, misalnya dengan perbuatan yang sifatnya negatif.
Hal ini me-
nunjukkan bahwa kualitas manusia dapat dilihat dari keluarannya ("output").
Jadi, kualitas fisik dan non fi-
sik yang cukup baik akan menghasilkan perilaku hidup yang mandiri, produktif dan berkesetiakawanan sosial (Gani, 1984).
8
Bayi yang sehat adalah modal dasar yang kuat untuk menjadikan ma-nusia yang berkuali tas (Anonymous, 1986). Oleh karena itu, anak hari ini adalah cermin masa depan bangsa.
Keberhasilan dalam mendidik dan membina anak
secara baik akan melahirkan bangsa yang baik dan tera di kemudian hari.
sejah~,
Untuk mewujudkan cita-cita ter-
sebut banyak cara yang harus dilakukan. salah satu diantaranya adalah menangani masalah gizi.
Gizi adalah sa-
ngat penting dan berpengaruh terhadap kehidupan manusia, terutama pada anak-anak khususnya anak balita. Keadaan kurang gizi pada seorang anak, selain akan mengakibatkan tingkat kecerdasan menurun, juga menyebabkan pertumbuhan badan lambat, dayakerja (kreativitas) menurun dan perkembangan mental terganggu.
Gizi kurang juga merupakan penyebab utama kematian anak (BPS, 1986b ). Indikator Kualitas Hidup Berbeda dengan Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebelumnya, dalam GBHN tahun 1988 agak jelas mem-
beri rincian kualitas manusia Indonesia yang dikehendaki, agar dapat menjadi modal d8sar pembangunan nasional. Kriteria manusia yang dikehendaki oleh GBHN 1988 adalah: berbudi luhur, tangguh, cerdas, terampil, mandiri, memiliki rasa kesetiakawanan, bekerja keras, produktif, kreatif, inovatif, berdisiplin serta berorientasi ke masa depan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Dengan
9 bahan baku dan pengolahan yang baik, diharapkan dapat dicapai hasil-yang baik pula.
Indikator kualitas hidup
yang baik dan sesuai dengan cita-cita GBHN tidak mudah dirumuskan, karena yang dihadapi adalah manusia yang hidup, tumbuh dan mempunyai otak untuk ber£ikir serta mempunyai kemampuan memproses "input" dengan cara dan hasil yang berbeda-beda (Mohamad, 1988). Salah satu aspek yang cukup penting dalam membicarakan kualitas manusia adalah masalah indikator kualitas hidup manusia itu sendiri.
Dengan indikator kita dapat
menilai masalah yang ada sekarang, sehubungan dengan kualitas hidup manusia itu.
Dengan indikator pula dapat
dirumuskan kriteria manusia berkualitas yang diinginkan di masa yang akan datang, sehingga berbagai macam upaya dapat dilakukan untuk mencapainya (Gani, 1984). Indikator kualitas £isik penduduk merupakan alat bantu
untuk~engetahui
sik penduduk tersebut.
tingkat perkembangan kualitas £iIndikator yaitu suatu alat yang
dapat dipakai sebagai petunjuk suatu keadaan tertentu atau yang dapat mencerminkan keadaan tertentu tersebut. Indikator dapat juga berarti sebagai variabel yang dapat menolong untuk mengukur suatu perubahan (KLH, 1986). Menurut Gani (1984) de£inisi indikator secara konsepsional yakni, abstraksi atau persepsi manusia tentang
10
sesuatu hal yang dikaitkan dengan indikator tersebut. Atau dapat juga diartikan secara operasional, yaitu yang member! penjelasan bagaimana indikator tersebut diukur. Titik tolak sistematika konsepsional kualitas manusia adalah dengan asumsi bahwa kualitas manusia dapat dilihat dari keadaannya yang bersifat fisik dan non fisik serta "output" dari kedua kualitas tersebut. tas fisik
seorang~anusia
Kuali-
dapat dilihat dari ukuran atau
bobot badan (misalnya tinggi badan dan berat badan), tenaga serta dayatahan dari serangan penyakit.
Kualitas
non fisik dapat dilihat dari kreativitas, produktivitas, disiplin serta kemandirian (Gani, 1984). Teori Perumusan Bentuk Indikator Kualitas Hidup Untuk mengukur kemajuan atau perkembangan suatu wilayah sebagai dampak hasil pembangunan, dapat digunakan berbagai indikator.
Selama 40 tahun terakhir ini, indi-
kator yang paling sering digunakan oleh para ekonom dan perencana pembangunan adalah GNP ("Gross National Product"), yang ternyata tidak mewakili kenyataan sebenarnya.
Hal ini terbukti dari banyak kasus, dimana tingkat
GNP per kapita tinggi, ternyata tingkat kemiskinan juga ,
tinggi di negara yang bersangkutan (Wiradi, 1988). Morris dan Alpin dalam.bukunya pada tahun 1982, mengajukan suatu bentuk "Physical Quality of Life Index" (PQLI) atau Indeks Mutu Hidup Fisik.
Ukuran ini dapat
11 memberi gambaran sesuatu yang sudah dicapai dalam pembangunan dan pemerataan pembangunan.
Ada tiga unsur yang
tercakup dalam indeks ukuran tersebut yakni:
angka ke-
matian bayi, angka harapan hidup dan angka melek hurut. Mengingat angka melek hurut bukanlah ukuran "tisik hidup" maka di Indonesia PQLI diterjemahkan menjadi Indeks Mutu Eidup (IME) (Sayogyo, Pardoko, Soeharso, Tan, Rusli dan Mamas, 1983). Indeks mutu hidup yang dibentuk oleh tiga unsur di atas, berada dalam ukuran skala 0 sampai 100. setiap unsur diberi bobot sama.
Dimana
Tiap unsur itu juga di-
buat atas skala 0 - 100, dimana titik nol (0) adalah tingkat "terburuk" dan titik 100 adalah tingkat "terbaik". Sedangkan cara memberi indeks adalah sebagai berikut: misalnya angka kematian bayi terburuk adalah sebanyak 229 orang dan terbaik adalah sebesar 7 orang per 1000 kelahiran hidup, maka indeks kematian bayi adalah sebagai berikut:
229
AKB, dimana nilai 2,22 adalah ha-
2,22 sil perhitungan (229
7)/100 dan AKB merupakan angka
kematian bayi pada saat tahun perhitungan.
Untuk angka
harapan hidup (ARR) adalah sebagai berikut, misalnya AHH terendah dalam populasi masyarakat yang bersangkutan adalah 38 tahun dan tertinggi 77 tahun, maka indeks harapan hidup adalah hasil bagi (77
AHH 0,39 38)/100.
38 , dim ana angka 0,39 adalah Sedangkan indeks melek hurut
12
adalah angka persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis 1985).
huru~
latin (Sayogyo.
Namun indikator inipun tidak luput dari kritikan
antara lain, karena tingkat melek
huru~
yang merupakan
sepertiga dari indeks mutu hidup bukanlah hasil akhir dari proses pembangunan (Wiradi, 1988). Sementara kritikan tentang keberadaan unaur melek hu~
sebagai ukuran IMH diperdebatkan, pada tahun 1985
Sayogyo menganjurkan satu masukan unsur baru yaitu unsur ~ertilitaa
(kelahiran), sehingga IMH semula diterjemah-
kan menjadi "Indeks Mutu Hidup-Plus".
Bersamaan dengan
lahirnya IMH-plus, KLH dalam publikasinya tahun 1986 menganjurkan cara pengukuran kualitas manusia sebagai berikut, yakni kombinasi tinggi badan, berat badan, kesegaran jasmanani, jumlah konsumsi makanan dan pola konsumsi makanan dalam 48 jam terakhir. Proaterman dan Riedinger dalam Wiradi (1988) mengukur kemajuan atau perkembangan hasil pembangunan dengan indikator BL'MI' ("Birth and Death Moderation Index") I yaitu suatu indikator yang menyerupai IMH yang sudah ada sebelumnya.
Indikator ini terdiri atas unsur angka ke-
matian bayi, angka harapan hidup dan angka kelahiran per 1000 penduduk. tor kualitas
Sedangkan KLH (1988) mengusulkan indika-
~isik
sebagai berikut:
hidup, dengan menggunakan lima un sur (1) indeks tinggi/berat badan,
13 (2) indeks masa tubuh, (3) kadar haemoglobin (Bb) darah, (4) test kesegaran jasmani dan (5) konsumsi kalori dan protein (zat gizi).
Tetapi diakuinya, bahwa empat dari
lima unsur tersebut sulit sekali untuk dilakukan di Indonesia pada saat ini, karena berkaiatan erat dengan tersediaan dana, perala tan dan tenaga ahli.
ke~
Oleh karena
itu, unsur yang lebih memungkinkan untuk dipakai adalah unsur "tinggi/berat badan".
KERANGKA DASAR PENELITIAN Kerangka Pemikiran Hasil pembangunan mempunyai hubungan yang timbal balik dengan kualitas hidup penduduk.
Artinya, dengan
hasil pembangunan yang tinggi maka akan tercipta penduduryang berkualitas tinggi pula dan sebaliknya, dengan penduduk yang berkualitas tinggi maka akan dicapai hasil pembangunan yang tinggi pula. Hasil pembangunan sangat luas dan beragam, oleh karena itu untuk menyederhanakan permasalahan, dari 28 unsur hasil pembangunan (Lampiran 7) digolongkan menjadi lima variabel hasil pembangunan yakni:
pendapatan, pen-
didikan, sosial budaya, kesehatan lingkungan dan konsumsi. Pengukuran kualitas hidup penduduk yang digunakan selama ini, terdiri dari unsur Angka Melek Huruf (AMH). Angka Harapan Hidup (ARR), Angka Fertilitas (AFT) dan Angka Mortalitas (AMT) dengan berbagai macam variasi kombinasi.
Bila empat unsur tersebut dilihat dari segi
ilmu gizi, akan terasa ada aspek yang kurang diperhatikan.
Apabila AFT, AMT dapat ditekan dan AHH dapat di-
naikan tetapi keadaan gizi penduduk buruk, maka indikator atau pengukuran tersebutakanokurang mencerminkan kriteria manusia berkualitas yang diinginkan GBHN.
Oleh
karena itu, untuk memantau keadaan gizi penduduk dalam
15
Kualitas Hidup
Hasil Pembangunan
,
II
I
I
INDEKS KUALITAS HIDUP
1
III
- - - -- - - - - - -
I
- - -.,.. - - -.: Kriteria Manusia Berkualitas I Menurut GBHN ~
I
I I I
I1_ _ _ _
Gambar 1.
_
I I I
_________ __ -I
Bagan Keran'gka Pemikiran ,
16
penelitian ini dimasukan unsur Angka Status Gizi-baik (ASG).
Apakah ASG beralasan untuk diterima sebagai in-
dikator dan apakah empat unsur yang sudah ada masih tepat digunakan, maka lima unsur tersebut dikontrol dengan melihat sejauh mana keeratan korelasinya terhadap hasil pembangunan.
Bila unsur-unsur tersebut di atas dapat
dan masih dapat diterima sebagai indikator, maka untuk unsur yang korelasinya terhadap hasil pembangunan lebih tinggi, akan memberikan persentase sumbangan terhadap Indeks Kualitas Hidup (IKH) yang tinggi pula.
Dengan
demikian, rumusan IKH tersebut diharapkan menjadi indikator kualitas hidup penduduk yang lebih mencerminkan 12 kriteria manusia berkualitas yang dicita-citakan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara). Keterangan bagan kerangka pemikiran (Gambar 1): I.
Variabel Hasil Pembangunan PDT. PDD. SOS. KSL. KON.
II.
Pendapatan Pendidikan So sial Budaya Kesehatan Lingkungan Konsumsi kalori, protein
Unsur Indikator Kualitas Hidup Penduduk AMH. ASG. A~. A~.
AMT.
Angka Angka Angka Angka Angka
Melek Huruf Status Gizi-baik Harapan Hidup Fertilitas Mortalitas
17 III.
Kriteria Manusia Berkualitas menurut GBHN 1. 2. ,3.
4.
5. 6.
--------
Tangguh Cerdas Terampil Mandiri Inovatif Kreatif
7.
8.
9. 10. 11. 12.
Berbudi luhur Berdisiplin Berorientasi ke masa depan Bekerja keras Produktif Memiliki rasa berkesetiakawanan.
Variabel yang tidak dianalisis Variabel yang dianalisis Hipotesis
(1)
pendapatan semakin tinggi maka kualitas hidup semakin tinggi atau sebaliknya.
(2)
Pendidikan semakin tinggi maka kualitas hidup semakin tinggi atau sebaliknya.
(,3)
80sial budaya semakin tinggi maka kualitas hidup semakin tinggi atau sebaliknya.
(4)
Kesehatan lingkungan semakin tinggi maka
kua~
litas hidup semakin tinggi atau sebaliknya. (5)
Tingkat konsumsi semakin tinggi maka kualitas hidup semakin tinggi atau sebaliknya.
(6)
Hasil pembangunan yang semakin tinggi maka kualitas hidup penduduk semakin tinggi atau sebaliknya.
18
Batasan Istilah Indikator
ad~lah
suatu alat yang dapat dipakai sebagai
petunjuk yang dapat mencerminkan suatu keadaan tertentu. Hasil Pembangunan adalah indeks rata-rata hasil pembangunan yang meliputi variabel:
pendapatan, kese-
hatan lingkungan, so sial budaya, pendidikan, tingkat konsumsi kalori dan protein (Lampiran 9). Pendapatan yang dimaksud adalah indeks rata-rata persentase Rumah Tangga CRT) yang memiliki radio kaset, pesawat televisi, RT dengan pengeluaran per bulan lebih dari kebutuhan
~isik
minimum.
Kesehatan Lingkungan yang dimaksud adalah indeks ratarata persentase RT dengan keadaan sebagai berikut: air parit mengalir lancar, air parit tergenang, jarak sumur/pompa ke penampungan kotoran kurang dari lima meter, jarak sumur/pompa ke penampungan kotoran lebih dari 15 meter, tempat membuang sampah ke kali, tempat membuang sampah ke bak sampah, luas lantai rumah terluas adalah tanah, luas lantai rumah terluas adalah ubin teraso, luas lantai rumah kurang dari 40 meter persegi, air untuk mandi adalah air ledeng, air untuk mandi adalah air sungai, tempat mandi adalah kamar mandi sendiri, tempat buang air basar adalah kakus sendiri yang dilengkapi dengan
19 tangki septik, tempat buang air besar adalah kakus bersama; air untuk minum adalah air sungai, air untuk minum adalah air ledeng. Sosial Budaya yang dimaksud adalah indeks rata-rata persentase penduduk usia 10 tahun keatas yang mendengarkan siaran radio, menonton siaran televisi, membaca koran/surat kabar dan RT yang sumber penerangannya adalah listrik. Pendidikan yang dimaksud adalah indeks rata-rata persentase penduduk usia 10 tahun keatas yang tidak sekolah, tidak tamat Sekolah Dasar (SD), penduduk berpendidikan diatas Sekolah Menengah Tingkat Atas. Konsumsi yang dimaksud adalah indeks rata-rata tingkat konsumsi kalori dan protein.
Berdasar angka kecu-
kupan yang dianjurkan untuk setiap provinsi dari Widyakar,ya Pangan dan Gizi (1988). Kualitas Hidup Fenduduk yang dimaksud diukur dari keadaan Angka Melek Huruf (AMH), Angka status Gizibaik (ASG), Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Fertilitas (AFT), Angka Mortalitas (AMT). Angka Melek Huruf (AMH) adalah persentase penduduk usia sepuluh tahun ke atas yang dapat membaca dan menulia huruf latin.
20
Angka status Gizi-baik (ASG) adalah besar persentase anak berumur dibawah lima tahun (balita) yang
~er
status gizi baik di wilayah yang bersangkutan. St~tus
gizi diukur berdasarkan berat badan per umur
yang kemudian dikelompokan menjadi empat kriteria status gizi,
yaitu:~80
persen dari standard.Harvard
(gizi baik), 70 - 79,99 persen dari standard Harvard (gizi sedang), 60 - 69,99 persen dari standard Harvard (gizi kurang) dan kurang dari 60 persen dari standard Harvard (gizi buruk). Angka Harapan Hidup (AHH) adalah perkiraan angka harapan hidup orang setelah lahir. Angka Fertilitas (AFT) adalah rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita dalam masa reproduksinya. Angka Mortalitas (AMT) adalah banyaknya kematian bayi berumur di bawah satu tahun per 1000 kelahiran.
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dimulai bulan September sampai dengan bulan Oktober 1988.
Wilayah yang dianalisis dalam pene-
litian meliputi seluruh provinsi yang ada di Indonesia. yakni sebanyak 27 provinsi. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang diolah meliputi lima variabel yang terdiri dari 28 unsur hasil pembangunan. seperti yang terlihat pada Lampiran 7 dan data Angka Melek Huru£ (AMH), Angka Status Gizi-baik (ASG). Angka Harapan Hidup (ARR). Angka Fertilitas (AFT) dan Angka Mortalitas (AMT) (Lampiran 10). Pada penelitian ini data sekunder yang dipakai berasal dari buku kumpulan data: ya
198~.
Statistik Sosial Buda-
Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 1987, Pro-
£il Statistik Ibu dan Anak di Indonesia 1985, Indikavor Kesejahteraan Rakyat
198~.
Indikator Kesejahteraan Rak-
yat 1987. Perkiraan Angka Kelahiran dan Kematian 1985. Statistik Indonesia 1987. Kebutuhan Fisik Minimum 19791987. status Gizi Anak Balita 1985/1986 •. Statistik Lingkungan Hidup dan Perumahannya 1986. dari Biro Pusat Statistik (BPS) Indonesia.
22 Pada dasarnya data yang diolah tersebut di atas adalah keadaan tahun 1985.
Mengingat ketersediaan data
yang terbatas untuk data-data tertentu digunakan pendekatan sebagai berikut:
jumlah penduduk yang mendengar-
kan radio, penduduk yang membaca koran/surat kabar, penduduk yang mengikuti acara siaran televisi adalah data tahun 1984.
Jumlah RT (Rumah Tangga) dengan keadaan air
parit tergenang, keadaan air parit mengalir lancar adalah data tahun 1986. data tahun 1984.
Konsumsi kalori dan protein adalah
ASG adalah data tahun 1985/1986 dan
AHH, AFT, AMT adalah data tahun 1980 - 1985. Analisis data yang digunakan adalah uji korelasi Spearman.
Korelasi Spearman dihitung dengan cara membe-
ri ranking (peringkat). Pada dasarnya perkembangan peringkat data dari tahun ke tahun setiap provinsi tidak banyak berubah.
Dengan demikian bias akibat pengambilan
data lebih awal (1984) dan lebih akhir (1986) dapat diabaikan. Khusus untuk data tentang persentase RT dengan pengeluaran per bulan lebih dari kebutuhan £isik minimum, ditentukan dengan cara melihat rata-rata besar anggota keluarga per wilayah.
Sehingga besar kebutuhan fisik
minimum setiap keluarga di wilayah tersebut dapat ditentukan, kecuali untuk provinsi Maluku karen a rata-rata anggota keluarga di wilayah tersebut adalah enam orang,
23 sedangkan buku kumpulan data "Kebutuhan Fisik Minimum" hanya terbatas untuk besar keluarga maksimal lima orang, maka keadaan ini didekati dengan jumlah anggota keluarga lima orang. Data konsumsi yang dianalisis adalah data konsumsi dari BPS yang di "mark up" oleh Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1988.
Dan besar kecukupan konsumsi
yang dianjurkan untuk setiap wilayah, juga berdasarkan angka kecukupan yang dianjurkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1988. Pada dasarnya data yang disajikan BPS dalam satuan jumlah, sedangkan jumlah penduduk dan rumah tangga setiap provinsi berbeda-beda.
Oleh karena itu, untuk
me~
nyeragamkan satuan hasil pembangunan dihitung dalam satuan persen, dengan cara membandingkan terhadap jumlah total penduduk bagi variabel/unsur yang bersangkutan untuk persentase penduduk dan jumlah total RT untuk
per~
sentase RT pada setiap provinsi yang bersangkutan. Data Angka Mortalitas (AMT) yang tersedia dibedakan antara laki-laki dan wanita, oleh karena itu untuk melihat rata-rata AMT setiap provinsi tanpa membedakan usia dihitung dengan cara: 1,05 AMTpria AMTrata-rata
=
+
AMTwanita
2,05
Hal ini dengan asumsi bahwa tingkat AMT pria dibanding AMT wanita adalah 105 : 100.
24
Analisis Data Untuk me'lihat ada tidaJmya hubungan antara aspek variabel hasil pembangunan yang meliputi pendapatan, pendidikan, so sial budaya, kesehatan lingkungan dan tingkat konsumsi terhadap unsur AMH, ASG, AHH, AFT dan AMT digunakan Uji Korelasi Spearman (Gibbons, 1975) dengan rumus sebagai berikut: 1
=
n (n 2
-
1)
Dimana: koei'isien korelasi Spearman
rs
c
Di
= Ui
Ui
=
Vi
= pangkat nilai-nilai y
n
= jumlah pasangan pengamatan
Vi
pangkat nilai-nilai x
x dan y adalah pasangan pengamatan Untuk mengetahui bahwa dua variabel yang diteliti (pasangan pengamatan yang diteliti) dengan nilai jenjang independen, tidak ada hubungan antara jenjang variabel yang satu dengan jenjang variabel yang lain digunakan hipotesa:
.
t
o o
Kriteria pengambilan keputusan: HO HO
di terima :
bila r s ~ rs (ol)
ditolak bila rs
>
rsCof..)
25 Indeks dicari dengan cara memberi skala 0 - 100, terhadap variabel yang bersangkutan dengan rumus: Nilai (tertinggi -
X)
Nilai (tertinggi - terendah)/100 untuk variabel yang menunjukkan bahwa nilai yang semakin tinggi merupakan cermin hasil pembangunan yang semakin buruk, misalnya persentase rumah tangga dengan sumber air minum adalah air sungai. Nilai (X
terendah)
Nilai (tertinggi - terendah)/100 untuk variabel yang menunjukkan bahwa nilai yang semakin tinggi merupakan cermin hasil pembanguna"n yang semakin baik, misalnya persentase rumah tangga dengan sumber air minum adalah air ledeng. ti.
X adalah variabel yang diteli-
BASIL DAN PEMBAHASAN Profil Penduduk Indonesia Tahun 1985 Indonesia terbagi atas 27 provinsi yang tersebar dalam wilayah seluas 1 919 443 km 2 • Tiga provinsi yang luas wilayahnya terbesar berturut-turut adalah Irian Jaya, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan tiga provinsi yang luas wilayahnya terkecil berturut-turut adalah Jakarta, Yogyakarta, Bali (Tabel 1) sedangkan luas wilayah di 27 provinsi dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 1.
Tiga Provinsi dengan Luas Wilayah Terbesar dan Terkecil
No
Luas Terbesar
Luas Terkecil
1.
Irja (421 981 km 2 )
Jakarta (590 km 2 )
2.
Kaltim (202 440 km 2 ) Kalteng (152 600 km 2 )
Yogyakarta (3 169 km 2 ) Bali (5 561 km 2 )
3.
Wilayah Indonesia tersebut didiami oleh jumlah penduduk 164 049 988 jiwa, 49,77 persen di antaranya lakilaki dan 50,23 persen wanita.
Penyebaran jumlah pendu-
duk terbanyak di tiga provinsi berturut-turut adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah sedangkan
jumlah pen-
dudlllt terkecil berturut-turut adalah Timor Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara (Tabel 2) dan jumlah penduduk antar provinsi dapat dilihat pada Lampiran 2.
27 Tabel2.
Tiga' Provinsi dengan·Jumlah Penduduk Terbanyak dan Terkecil
No
Jumlah Penduduk Terbanyak
Jumlah Penduduk Terkecil
1.
Jatim (31 261 591 jiwa)
Timtim (630 676 jiwa)
2.
Jabar (30 830 365 jiwa)
Kalteng (1 117 881 jiwa)
3.
Jateng (26 945 028 jiwa)
Sultra (1 119 726 jiwa)
Berdasarkan perbandingan luas wilayah dan jumlah penduduk di atas, maka diketahui kepadatan penduduk Indonesia sebesar 85 jiwa' per kilometer persegi.
Tiga
provinsi terpadat berturut-turut adalah Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah sedangkan kepadatan penduduk terendah berturut-turut adalah Irian Jaya, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, Kalimantan Barat (Tabel 3) sedangkan kepadatan penduduk antar provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 3. Terpusatnya kepadatan penduduk yang tinggi di Pulau Jawa, khususnya Jakarta disebabkan karena Pulau Jawa umumnya dan Jakarta khususnya merupakan wilayah yang mempunyai berbagai sarana kehidupan dan terbukanya lapangan pekerjaan yang lebih bervariasi dibandingkan
de~
ngan pulau/provinsi lainnya, seperti yang diungkapkan BPS (1988b ) sehingga arus migrasi penduduk dari pulau
28 lain (luar Pulau Jawa umumnya) semakin besar sedangkan lUas wilayah Jakarta, Yogyakarta dan Jawa Tengah atau Pulau Jawa umumnya termasuk kecil. Tabel 3.
Tiga Provinsi dengan Kepadatan Penduduk Tertinggi dan Terendah
No
Kepadatan Penduduk Tertinggi
1.
Jakarta (13 365 jiwa/km2)
Irja (3 jiwa/km2)
2.
Yogyakarta (925 jiwa/km2)
3.
Jateng (788 jiwa/km2)
Kalteng da~ Kaltim (7 jiwa/km ) 2 Kalbar (19 jiwa/km ),
Kepadatan Penduduk Terendah
Tingginya jumlah penduduk atau tingginya kepadatan penduduk di Pulau Jawa umumnya juga dicerminkan oleh jumlah rumah tangga (RT).
Adapun rincian tiga provinsi
dengan jumlah rumah tangga terbanyak berturut-turut adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah sedangkan jumlah rumah tangga terkecil berturut-turut adalah Timor Timur, Sumatra Selatan, Sulawesi Tengah (Tabel 4) dan jumlah rumah tangga di Indonesia adalah 35 889 411 buah.
Jum-
lah rumah tangga antar provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan komposisi umur dan jenis kelamin, karakteristik bentuk piramida penduduk Indonesia (Gambar 2) termasuk tipe piramida penduduk yang menunjukkan bahwa
29 Tabel 4.
Tiga Provinsi dengan Jumlah Rumah Tangga Terbanyak dan Terkecil
No
Jumlah RT Terbanyak
Jumlah RT Terkecil
1.
Jabar (7 564 157 RT)
Timtim (119 780 RT)
2.
Jatim (7 344 726 RT)
Sumsel (190 628 RT)
3.
Jateng (5 391 283 RT)
Sulteng (216 422 RT)
sebagian besar penduduk di wilayah yang bersangkutan berada dalam kelompok umur muda (umur relatif rendah) (Lembaga Demografi, 1981).
Sifat "expansive" piramida
penduduk Indonesia, antara lain terlihat dari banyaknya jumlah anak balita yaknisebanyak 21 550 364 jiwa atau sekitar 13,10 persen dari seluruh penduduk.
Sedangkan
bila dilihat dari jumlah penduduk usia di bawah sepuluh tahun, persentase penduduk usia muda mencapai 26,60 persen (43 666 972 jiwa) dari jumlah penduduk Indonesia. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia 2,15 persen, . dengan rinoian tiga provinsi yang laju pertumbuhan penduduknya tertinggi berturut-turut adalah Lampung, Kalimantan Timur, Bengkulu.
Sedangkan tiga provinsi yang
laju pertumbuhan penduduknya terendah berturut-turut adalah Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur (Tabel 5). Laju pertumbuhan penduduk antar provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 5.
30 Laki-Laki
Wanita Umur 1~+
T
70-7Q
8,
1 1
I
e~-6g I-~..,
E=:~ I]., . . J::::=I'GO -M G~ -
59
~o
fl4
~~~~~~~~~~~~~['30-34 \
2et- 2920 - >.4 15 - Iii
I 1 ,
1
1C,1 -14
5 -- 9
.0 -
I
10 Juta
o
5
Gambar 2.
4
o
5
10 Juta
Piramida Penduduk Indonesia Tahun 1985
Terpusatnya laju pertumbuhan penduduk yang rendah di Pulau Jawa (Jateng, Yogyakarta, Jatim khususnya), disebabkan karena Pulau Jawa telah mengalami tahap-tahap pertama dari transisi
demogra~i
mulai sejak abad ke-19
yang lalu, sedangkan Lampung, Bengkulu, Kalimantan Timur khususnya dan wilayah luar
~lau
Jawa umumnya masa tran-
sisi demogra~i baru mulai pada abad ke-20, bahkan beberapa provinsi baru dimulai sesudah perang dunia kedua (Koentjaraningrat, 1976).
Masa transisi demogra~i yaitu
suatu mesa peralihan antara keseimbangan tingkat kema-. tian dan kelahiran yang alami terhadap tingkat keseimbangan kematian dan kelahiran akibat kemajuan teknologi kesehatan.
31 Tabel 5.
Tiga Provinai dengan Laju Pertumbuhan Penduduk Tertinggi dan Terendah
No
Laju Pertumbuhan Tertinggi
Laju Pertumbuhan Terendah
1.
Lsmpung (5,01 %)
Jateng (1,20 %)
2.
Kaltim (4,41 %)
Yogyakarta (1,26
3.
Bengkulu (4,19 %)
Jatim (1,38 %)
%)
Sebaliknya, laju pertumbuhan penduduk yang tinggi di Lampung, Kalimantan Timur, Bengkulu, khususnya di Lampung antara lain disebabkan karena tingginya tingkat ~ertilitas
si.
(kelahiran) sebagai dampak program transmigra-
Menurut Oey (1981) dalam Swasono dan Singarimbun
(1986) bahwa meningkatnya tingkat pertumbuhan penduduk di Indonesia secara keseluruhan disebabkan karena program transmigrasi.
e~ek
Hal tersebut dibuktikan oleh ha-
ail penelitiannya di Lampung, bahwa makin muda usia transmigran, makin tinggi
~ertilitasnya.
Para trans-.
migran yang bertransmigrasi sebelum usia 15 tahun (yaitu seluruh masa reproduksinya dilalui di daerah transmigrasi) menunjukkan tingkat fertilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan para transmigran yang pindah pada usia lebih tua (yaitu sebagian masa reproduksinya dilalui di daerah asal).
Sehingga pada akhir tulisannya Oey
32 mengungkapkan kekhawatirannya tentang perluasan program transmigrasi yang nampaknya membawa akibat pengulangan kembali dan perluasan masalah kependudukan dari Pulau Jawa ke daerah penerima transmigran. Berdasarkan perbandingan jumlah penduduk usia tidak produktif (65 tahun ke atas + 14 tahun ke bawah) terhadap jumlah penduduk umur produktif ( 15 - 64 tahun) kali seratus, diketahui bahwa nisbah beban tanggungan penduduk Indonesia adalah 74,7.
Adapun rincian tiga provinsi
yang mempunyai nisbah beban tanggungan tertinggi berturut-turut adalah Sulawesi Tenggara,Bengkulu, Sumatra Utara, sedangkan tiga provinsi dengan nisbah beban tanggungan terendah berturut-turut adalah Jakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur (Tabel 6).
Besar nisbah beban Tang-
gungan antar provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 6.
Tiga Provinsi dengan Nisbah Beban Tanggungan Tertinggi dan Terendah
No
Nisbah Beban Tanggungan Tertinggi
Nisbah Beban Tanggungan Terendah
1.
Sultra (96,9)
Jakarta (58,5)
2.
Bengkulu (90,6)
Yogyakarta (63,3)
3.
Sumut (90,0)
Jatim (64,7)
33 Tingginya nisbah beban tanggungan di Sulawesi Tenggara, Bengkulu, Sumatra Utara atau provinsi di luar Pulau Jawa umumnya, disebabkan karena tiga provinsi tersebut dan luar Pulau Jawa mempunyai laju pertumbuhan penduduk yang tinggi (sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya), sehingga menyebabkan struktur umur penduduk usia muda meningkat (angka pembilang dalam melihat nisbah beban tanggungan) akibatnya nisbah beban tanggungan meningkat dan sebaliknya yang terjadi di Jakarta, karta, Jawa Timur atau Pulau Jawa umumnya.
Yogya~
Seperti yang
diungkapkan S. Guhardja, Syarief, Hartoyo, puspitawati (1989) bahwa pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan tingginya struktur umur penduduk muda, sehingga pertumbuhan angkatan kerja dan beban ketergantungan semakin meningkat. Hubungan Variabel Hasil Pembangunan dan Kualitas Hidup Penduduk Indonesia Pendapatan dan Kualitas Hidup Gambar 3 menunjukkan bahwa terjadi korelasi positif antara indeks pendapatan dengan indeks AMH, ASG, AHH, AFT dan AMT.
Artinya bahwa semakin baik kondisi penda-
patan penduduk di wilayah yang bersangkutan maka kuali-·. tas hidup penduduk semakin baik pula, yang dicerminkan
34
0,8
0,7 0,6
% -- - - - - 99,99 -- - -. % 0,5 1'-- ,=-=-- - - - -- --- - - -- 99,50 -- - - - -- -- - -- --- ---- - - - 1'----
- --
0,4
0,3
99,00 %
.... - --
-
--
- -
0,2
--
-- - --
0,1 A
B
Gambar 3.
C
D
90,00 % - - _.- - -
Q
AMH
GJ
ASG
GJ
AHH
GJ
AFT
GJ
AMT
E
Histogram Nilai Korelasi Indeks Pendapatan terhadap Indeks AMH, ASG dan AHH, AFT, AMT.
berturut-turut dengan nilai keeratan hubungan tertinggi adalah AHH (rs = 0,6026), AMT (r s = 0,4902), AMH (r s 0,4805), AFT (r s = 0,4614) dan ASG (rs = 0,1459).
=
Pada selang kepercayaan 90,00 persen, indeks pendapatan berkorelasi nyata terhadap indeks AMH, AHH, AFT, dan AMT tetapi korelasi tersebut tidak nyata terhadap indeks ASG.
Untuk unsur AHH korelasi tersebut masih
nyata pada selang kepercayaan 99,99 persen, untuk unsur AMT pada selang 99,50 persen, untuk unsur AMH dan AFT pada selang kepercayaan 99,00 persen, sedangkan untuk
35 ASG korelasi tersebut hanya menunjukkan ada kecenderungan bahwa peningkatan pendapatan diikuti oleh peningkatan ASG.
Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan penda-
patan tidaklah dengan sendirinya meningkatkan status gizi penduduk ke arah yang lebih baik secara nyata, sesuai dengan pendapat Berg (1986).
Implikasinya, bahwa usaha
meningkatkan pendapatan untuk menciptakan penduduk yang berkualitas memang perlu, tetapi tidak cukup.
Seperti
yang diungkapkan Kleden (1984) bahwa kenaikan pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi, tidaklah dengan sendirinya meningkatkan kualitas hidup penduduk. Pendidikan dan Kualitas Hidup Gambar 4 menunjukkan bahwa terjadi korelasi positi£ antara indeks pendidikan dengan indeks AMH, ASG, AHH.dan AFT, AMT.
Artinya bahwa semakin baik keadaan pendidikan
penduduk di wilayah yang bersangkutan maka kualitas hidup penduduk semakin baik pula, yang dicerminkan bertu-. rut-turut dengan nilai keeratan hubungan tertinggi adalah AMT (r s E 0,5763), AHH ers = 0,5238), ASG (rs = 0,4737), AFT (rs = 0,4296) dan AMH ers = 0,3828). Pada selang kepercayaan 90,00 persen, indeks keadaan pendidikan penduduk berkorelasi nyata terhadap semua unsur ukuran kualitas hidup penduduk (AMH, ASG, AHH, AFT dan AMT).
Bahkan korelasi tersebut masih nyata un-
tuk unsur AMT pada selang kepercayaan 99,99 persen,
36
0,9 0,8 0,7 0,6 -
0,5 0,4
0,3
99,99 %
-- - - - - --- 99,50 % F- - - - - - - - -- -- - - - - - - - r- --- r::-=-:- - -- --- --- - - - - - - - % r------ -- --- --- -- - ---99,00 97,50 % --- - - --
--- --- ---
---
--- ---
0,2
0,1
A
B
Gambar 4.
C
D
--.-
GJ
AMH
EJ
ASG
- GJ GJ - - --
90,00 %
GJ
AHH AFT AMT
E
Histogram Nilai korelasi Indeks Pendidikan terhadap Indeks AMH, ASG, AHH, AFT dan AMT.
untuk unsur AHH pada selang 99,50 persen, untuk unsur ASG pada selang 99,00 persen, untuk unsur AMH dan AFT pada selang kepercayaan 97,50 persen.
Implikasinya,
bahwa usaha meningkatkan pendidikan penduduk berkorelasi secara nyata terhadap peningkatan kualitas hidup penduduk yang berada di dalam populasi masyarakat yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan pendapat BPS (1988 b ) bahwa upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui program pendidikan merupakan suatu upaya yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
37 Selain itu, tugas pembangunan yang semakin berat menun-. tut peningkatan "mutu modal manusia" dan tidak dapat hanya mengandalkan modal (kekayaan) alamo
Dalam kaitan
ini program pendidikan dapat dilihat sebagai investasi manusia (lIhuman invesment"), bagi kepentingan pembangunan nasional. Sosial Budaya dan Kualitas Hidup Menurut Kleden (1984) disamping pendapatan, peningkatan kualitas hidup penduduk juga dipengaruhi oleh faktor so sial budaya.
Seperti yang diungkapkan BPS (1985)
bahwa untuk membentuk penduduk yang berkualitas, pembangunan nasional secara menyeluruh tidak dapat dipisahkan dengan pengembangan kebudayaan, sebab pengembangan kebudayaan akan merupakan landasan bagi pengembangan nilainilai yang menunjang usaha pembangunan.
Disamping itu,
dengan kebudayaan diharapkan akan dapat mengimbangi akibat sampingan dari usaha pembangunan.
Kegiatan sosial
budaya yang paling berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan penduduk adalah kegiatan membaca, baik koran, majalah ataupun buletin (BPS, 1988b ). Gambar 5 menunjukkan bahwa terjadi korelasi positif antara indeks so sial budaya dengan indeks AMH, ASG, AHH, AFT dan AMT.
Artinya, bahwa semakin baik keadaan sosial
budaya penduduk di wilayah yang bersangkutan maka kualitas hidup penduduk semakin baik pula, yang dicerminkan
38
0,9
GJ
0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2
99,99 -- - -
-- - - -- -- -- -- -.. 99,50 ' - - - ----- -- - -- --- --- -
I- - -
-~-
~
-
-:
~ _-0
~ ---- - r=-=- - -- - -- - -- - - -97,50 - -- - -
-- -
-- --
- --
--- -- -
90,00 ~ ---------,
~ ~ ~
[!]
0,1 A
Gambar 5.
B
C
D
E
AMH ASG ARE
AFr AMT
..
Histogram Nilai Korelasi Indeks Sosial Budaya terhadap Indeks AMR, ASG ARE, AFT dan AMT.
berturut-turut dengan nilai keeratan hubungan tertinggi adalah AFT (rs = 0,7392), AHH (rs = 0,6429), AMT (rs 0,5366), ASG (r s = 0,3889) dan AMH (rs = 0,1117).
=
Pada selang kepercayaan 90,00 persen, indeks so sial budaya berkorelasi nyata dengan indeks ASG, ARE, AFr dan AMT tetapi tidak nyata dengan indeks AMH.
Bahkan untuk
unsur AHH, AFT korelasi tersebut masih nyata pada selang kepercayaan 99,99 persen, untuk unsur AMT pada selang 99,50 persen sedangkan untuk unsur AMH korelasi tersebut hanya menunjukkan ada kecenderungan.
Implikasinya,
39 bahwa keberhasilan pemerintah memberantas buta huruf tidak diikuti oleh kebiasaan penduduk untuk membaca (salah satu unsur sosial budaya dalam penelitian ini), hal ini kemungkinan disebabkan kurangnya minat baca penduduk. Hasil analisis menunjukkan, bahwa keeratan hubungan AMH dengan pendapatan (r s m 0,4805) lebih rendah dibanding hubungan pendapatan dengan so sial budaya (r s m 0,7295) dan keeratan hubungan AMH dengan pendidikan
= 0,3828) lebih rendah dibandingkan hubungan pendis dikan dengan sosial budaya era. 0,5452), sedangkan hu(r
bungan AMH itu sendiri sangat rendah terhadap sosial budaya (r s = 0,1117)·(Gambar 6). Artinya, bahwa tidak terdapatnya hubungan yang nyata antara peningkatan AMH dengan peningkatan so sial budaya penduduk, terjadi karena
pendidikan dan pendapatan yang rendah.
Hal tersebut
disebabkan oleh kecenderungan bahwa variabel yang lebih mempengaruhi tinggi rendahnya keadaan sosial budaya penduduk adalah variabel pendidikan dan pendapatan.
Se-
hingga, walaupun penduduk yang bersangkutan sudah melek huruf, tetapi tingkat pendapatan dan pendidikan yang masih rendah,·tidak banyak, meinbawa dampak dalam peningkatan minat penduduk untuk melakukan kegiatan so sial budaya (misalnya membaca).
40
PENDIDIKAN .
PENDAPATAN 0,3828
0,5452
0,4805
0,1117
0,7295
SOSIAL BUDAYA Gambar 6.
Nilai Koefisien Korelasi Keeratan Hubungan antara Pendapatan, Pendidikan, AMH dan 80siel Budaya
kegiatan ini secara keseluruhan akan membawa dampak meningkatnya kualitas hidup penduduk dalam populasi masyarakat yang bersangkutan.
Oleh karena itu, bila minat
baca penduduk kurang maka kualitas hidup penduduk itu juga akan rendah.
Salah satu cara pemerintah meningkat-
kan kualitas hidup penduduk adalah memberantas buta huruf, dengan harapan antara lain agar keterampilan tersebut diikuti dengan peningkatan so sial budaya.
Namun
da~
ri hasil analisis di atas ditunjukkan bahwa peningkatan AMH tersebut tidak diikuti dengan kegiatan so sial budaya. Implikasinya, bahwa untuk meningkatkan sosial budaye melalui peningkatan AMH, agar terjadi peningkatan kualitas hidup penduduk, tidak cukup hanya dengan sekedar bebas buta huruf.
41 Kesehatan Lingkungan dan Kualitas Hidup Pemanfatan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam secara optimal bagi pembangunan, mensyaratkan derajat status gizi dan kesehatan yang optimal pula (Karyadi, dkk., 1988).
Tujuan dari pembangunan kesehatan adalah
meningkatkan kesehatan.penduduk, sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat sekaligus dalam rangka usaha pembinaan, dan pemanfaatan sumberdaya manusia.
Upaya perbaikan kesehatan, dikembangkan mela-
lui suatu sistem kesehatan nasional guna tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk (BPS, 1986a ). Gambar
7 menunjukkan bahwa terjadi korelasi positif
antara indeks kesehatan lingkungan dengan indeks AMH, ASG, ARli, AFT dan AMT.
Artinya bahwa semakin baik kea-
daan kesehatan lingkungan penduduk di wilayah yang bersangkutan, maka kualitas hidup penduduknya semakin baik pula, yang dicerminkan berturut-turut dengan nilai keeratan hubungan tertinggi adalah AMT (rs = 0,6056), ASG (rs - 0,5665), ARli (r s - 0,5092), AFT (rs = 0,4248) dan AMH (r s = 0,1429). Pada selang kepercayaan 90,00 persen, indeks kesehat an lingkungan berkorelasi nyata dengan indeks ASG,
ARli, AFT dan AMT tetapi korelasi tersebut tidak nyata dengan indeks AMH.
Bahkan untuk unsur ASG dan AMT
42
0,8 0,7 0,6
r- ---
0,5 t-- -
--
0,4 I- - ----
0,3
1-----
--- -
-- - --
- - - - - - -- - _91t..5.9 ~_ -- - -
0,2 0,1
--
99,99 %
- - --- -- - - - - - ~~,2Q.~-
A
Gambar 7.
B
C
D
-
-- E
90,00 % -------
Q GJ
GJ GJ GJ
AMH
ASG
AHH AFT AMT
Histogram Nilai Korelasi Indeks Kesehatan Lingkungan terhadap Indeks AMH, ASG, AHH, AFT dan AMT.
korelasi tersebut masih nyata pada selang kepercayan
99,99 persen, untuk unsur AHH pada selang 99,50 persen, untuk unsur AFT pada selang 97,50 persen, sedangkan untuk unsur AMH korelasi tersebut hanya menunjukkan ada kecenderungan. Hasil analisis menunjukkan, bahwa keadaan sosial budaya mempengaruhi tinggi rendahnya keadaan kesehatan lingkungan penduduk (r s = 0,4078) disamping pendidikan (rs = 0,5584). Diketahui dalam pembahasan sebelumnya, bahwa peningkatan AMH tidak diikuti dengan peningkatan
43 PENDAPATAN
PENDIDIKAN 0,3828 0,5684
0,2295 AMH
0,4078
O"42~/ I
Gambar 8.
SOSIAL BUDAYA
0,4805
KESEHATAN LINGKUNGAN
I'
Nilai Koefisien Korelasi Keeratan Hubungan antara Pendapatan, Pendidikan, AMH, Sosial Budaya dan Kesehatan Lingkungan.
so sial budaya (r s = 0,1117). Akibatnya, peningkatan AMH juga tidak diikuti dengan peningkatan kesehatan lingkungan (r s = 0,1429) (Gambar 8). Selain karena rendahnya minat penduduk untuk melakukan kegiatan sosial budaya, sehingga hubungan peningkatan AMH juga tidak diikuti dengan peningkatan kesehatan lingkungan secara nyata, faktor lain penyebab hal tersebut terjadi adalah karena pendidikan yang rendah, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa. pendidikan yang rendah, juga merupakan penyebab rendahnya aktivitas penduduk untuk melakukan kegiatan sosial budaya.
Hal ini
akan terlihat dari keeratan hubungan yang rendah antara
44 AHH dengan pendidikan (r s = 0,3828) dibandingkan dengan pendidikan terhadap kesehatan lingkungan (r s = 0,5684). Dan bukan karena pendapatan yang rendah, sebab hasil analisis menunjukkan bahwa keeratan hubungan AHH dengan pendapatan lebih tinggi ers
=
0,4805) dibandingkan de-
ngan hubungan pendapatan terhadap kesehatan lingkungan
= 0,2295) (Gambar 8). Sebaliknya, tidak terjadinya a hubungan yang nyata antara pendapatan dengan kesehatan (r
lingkungan (r s = 0,2295) disebabkan oleh keterampilan melek huruf tersebut, tidak diikuti dengan kegiatan sosial budaya, lebih-lebih didukung lagi dengan pendidikan yang rendah.
Sehingga walaupun penduduk tersebut ber-
pendapatan cukup tinggi, mereka tidak mampu menciptakan sua sana kesehatan lingkungan yang lebih baik.
Implika-
sinya, bahwa harapan pemerintah meningkatkan kualitas hidup penduduk melalui peningkatan AHH, selain tidak memberi dampak peningkatan sosial budaya, juga tidak memberi dampak lebih lanjut terhadap peningkatan keadaan kesehatan lingkungan ke arah yang lebih baik secara nyata, walaupun pendapatannya tinggi.
Diduga, sama halnya
dengan variabel sosial budaya bahwa taktor yang lebih penting dalam rangka meningkatkan kualitas penduduk adalah pendidikan.
Sebab, pendidikan dengan sendirinya
akan menumbuhkan minat baca dan tidak dapat hanya dengan sekedar dapat melek hurut.
45 Konsumsi Kalori, Protein dan Kualitas Hidup Konsumsi' zat gizi berkorelasi negatif terhadap mortalitas bayi dan anak balita, oleh karena itu konsumsi dapat merupakan variabel penduga yang baik untuk morbiditas dan mortalitas.
Mencari sebab-sebab kematian de-
ngan lebih mendasar, seperti konsumsi zat gizi akan mempunyai kebijakan yang lebih mendasar pula.
Sedangkan
memperhatikan sebab kematian karena infeksi, akan mempunyai implikasi kebijakan program ke arah teknologi kesehatan.
Teknologi kesehatan memang efektif menekan kema-
tian tetapi tidak cukup untuk memperbaiki mutu hidup (Soekirman, 1985). Selain masalah kurang zat besi, tiga masalah gizi pokok lainnya yang harus mendapat perhatian dalam kaitannya dengan mutu atau kualitas sumberdaya manusia adalah kur~ng
kalori protein, kurang vitamin A dan kurang yo-
dium.
Ketiga permasalahan gizi itu, seperti halnya masa-
lah kurang zat besi, akan mempunyai akibat baik langsung maupun tidak langsung, terhadap produktivitas kerja pada khususnya dan kehidupan manusia pada umumnya (S. Guhardja, dkk., 1989).
Gambar 9 menunjukkan bahwa kecuali terhadap indeks AMH terjadi korelasi negatif antara indeks tingkat konsumsi dengan indeks ASG, AHH, AFT dan AMT.
Artinya bah-
wa semakin tinggi tingkat konsumsi maka kualitas hidup
46
0,4 0,3 0,2
- - - - - -- - - - - -
0,1
-- --
90,00
- - --
A
0,0 B
-0,1 -0,2
--- -- - -
C
-
D
E
- -- -- - - - - - - - - 90,00
-0,3
GJ GJ GJ
ASG
~
AFT
GJ
AMT
AMH
AHH
-0,4 -0,5 Gambar 9.
Histogram Nilai Korelasi Indeks Tingkat Konsumsi terhadap Indeks AMH, ASG, AHH, AFT dan AMT
penduduk semakin rendah, yang dicerminkan berturut-turut dengan nilai keeratan hubungan tertinggi adalah AER, (rs
-0,3034), ASG (r a a -0,2717), AFT (r a = -0,1964), AMT (rs = -0,1392) sedangkan nilai koefisien korelasi 3
terhadap AMH (rs = +' 0,1325). Implikasinya, ada kecenderungan bahwa AMH semakin tinggi maka tingkat konsumsi semakin tinggi.
Sedangkan terhadap empat unsur lainnya
(ASG, AER, AFT, AMT), hasil analisis menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat konsumai diikuti dengan ASG, AHH semakin rendah dan AFT, AMT semakin tinggi.
47 Kecenderungan korelasi tingkat konsumsi terhadap ukuran kualitas hidup penduduk seperti yang diuraikan di atas, terjadi karena beberapa faktor.
Misalnya, ka-
rena data konsumsi yang digunakan adalah konsumsi penduduk perkapita tanpa membedakan usia.
Atau mungkin juga
kevaliditasan data diragukan, seperti yang diungkapkan oleh Suryana dan Kasryno (1988), Megawangi (1987) dan Prof. David Davice, yaitu seorang pengamat perkembangan ekonomi Indonesia. Menurut Suryana dan Kasryno (1988), bahwa hasil analisis data konsUmsi penduduk Indonesia dari BPS menunjukkan prevalensi defisit energi pada tahun 1984 lebih buruk dari pada tahun 1980.
Hal ini tidak sejalan
dengan perkembangan ekonomi Indonesia dalam kurun waktu tersebut.
Sebab, dengan laju pertumbuhan GDP (tlGross
Domestic Product") 6,1 persen per tahun dan laju pertumbuhan penduduk 2,1 persen per tahun, cukup beralasan untuk menduga bahwa dalam kurun waktu tersebut, seharusnya terjadi peningkatan konsumsi per unit keluarga atau per kapita.
Dan pada tahun 1984 Indonesia sudah merupakan
negara Bwasembada beras.
Dengan demikian dianjurkan
agar BPS mengkaji kembali data konsumsi tersebut, karen a selain faktor tersebut di atas telaahan awal data mentah konsumsi dari BPS
.
memperl~hatkan,
" ada rumah tangga bahwa
48
contoh yang mengkonsumsi energi perkapita perhari di bawah 100 kalori maupun di atas 10 000 kalori, orang dengan besar konsumsi seperti itu tidak akan bertahan didupe Hardinsyah (1988) menyatakan bahwa konsumsi penduduk Indonesia tahun 1984 sudah mencukupi kebutuhan yang dianjurkan, bahkan ada beberapa provinsi yang sudah melebihi tingkat konsumsi di atas 100 persen (dengan catatan data dari BPS tersebut sudah di "mark up").
Artinya
bahwa bila dilihat dari tingkat konsUmsi, penduduk nesia sudah tidak mempunyai masalah gizi.
Indo~
Sedangkan me-
nurut Karyadi, dkk(1988) di Indonesia sampai sa at ini
0,05
~
0,04 0,03
-
~ KEP Wanita
0,02 0,01
A
Gambar 10.
KEP Laki-Laki
B
Histogram Nilai Korelasi Tingkat Konsumsi Tahun 1984 terhadap Tingkat KEF Tahun 1986.
masih terdapat empat masalah gizi utama yakni;
KEP ... (Ku-
rang Energi dan Protein), KV A (Kurang Vitamin A), anemi
49 zat besi ,dan gondok endemik.
Dan Soekirman (1988) me-
ngatakan, bahwa konsumsi zat gizi adalah kebutuhan dasar yang utama disamping;lingkungan yang bersih untuk dapat hidup sehat.
Sedangkan hasil korelasi tingkat konsumsi
terhadap tingkat KEP (Gambar 10) menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif, artinya dengan tingkat konsumsi yang semakin tinggi maka tingkat KEF juga semakin tinggi. Megawangi (1987) menyatakan bahwa BPS perlu
mengka~
ji kembali data konsumsi kalori, karena hasil analisis menunjukkan tingkat konsumsi tahun 1984 lebih buruk dari pada tahun 1976 bahkan tahun 1970 (awal Repelita I), padahal dalam kurun waktu tersebut Indonesia berhasil meningkatkan produksi pangan, terutama beras sebagai sumber kalori.
Selain itu, hasil analisis data konsumsi
beras menunjukkan penurunan sejak tahun 1976 sampai de- , ngan tahun 1980, padahal dalam kurun waktu tersebut pendapatan perkapita selalu meningkat.
Meningkatnya penda-
patan penduduk akan diikuti oleh peningkatan konsumsi kalori, terutama pada penduduk golongan miskin.
David
Davice (1987) dalam Megawangi (1987) ternyata sudah sejak lama meragukan kebenaran data konsumsi BPS tersebut, karena hasil pengamatannya menunjukkan sejak tahun 1976 sampai dengan tahun 1980 perbedaan antara data BPS dan GDP semakin besar.
,~
Tahun 1980 data konsumsi dari BPS
50 hanya 54 persen dari data GDP, sedangkan pada tahun 1984 hanya 52 pers'en, padahal menurut teori hasil pendataan kedua ukuran tersebut harus sarna. Berdasarkan beberapa alasan terse but di atas, maka untuk selanjutnya dalarn menelaah indikator kualitas hidup penduduk Indonesia, variabel konsumsi tidak
diguna~
kan. Indikator kualitas Hidup Penduduk Indonesia Pengukuran kualitas rnanusia dapat dilakukan selain secara individual, yaitu secara rnenyeluruh dalam suatu rnasyarakat.
Oleh karena itu, selama ini sering diguna-
kan pendekatan yang berlawanan.
Misalnya untuk mengukur
tingkat kesehatan, digunakan berapa orang yang mati ke-j tika masih bayi atau kanak-kanak (Mohamad, 1988). Indikator kualitas hidup penduduk yang digunakan selama ini, terdiri dari unsur AMH, ARE, AFT dan AMT dengan berbagai variasi kombinasi, diantaranya teori Morris dan Alpin (1982) dengan kombinasi AMH, AHH dan AMT. Sayogyo (1985) dengan kombinasi AMH, ARE, AMT dan AFT. Dan kombinasi ARE, AMT, AFT dari Prosterman dan Riedinger (1987).
Tetapi di Indonesia yang lebih umum digunakan
adalah kombinasi AMH, ARE dan AMT, hal ini kemungkinan disebabkan karena tiga unsur tersebut adalah unsur yang lebih awal dipublikasikan secara luas.
51
0,7
0,6
99,99 "
0,5
0,4
0,3
90,00 ?0,2
0,1
AMH
ROfi!
AMT ASG
(mIl
AFT
AHE Gambar 11.
Histogram Nilai Korelasi Indeks Hasil Pembangunan terhadap Indeks Unsur AMH, ASG, AHH, AFT dan AMT
52 Tampak pada Gambar 11, nilai koefisien korelasi indeks AMH dengan indeks hasil pembangunan (ra tidak nyata.
•
0,2344),'
Hal ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan
hubungan antara
_~H
dengan indeks hasil pembangunan ber-
sifat positif, artinya makin tinggi indeks AMH cenderung menunjukkan indeks hasil pembangunan semakin tinggi. Sedangkan antara indeks hasil pembangunan dengan indeks lainnya (AHH, AFT, AMT) mempunyai korelasi yang nyata (~=
0,001).
Oleh karena itu, keberadaan unsur AMH yang
salama ini digunakan sebagai indikator kualitas hidup penduduk pada bobot (sumbangan persentase) yang sama dengan unsur lainnya, perlu dipertimbangkan kembali.
Se-
perti yang diungkapkan Wiradi (1988), bahwa unsur AMH sebagai indikator kualitas hidup penduduk perlu dikaji kemball, sebab AMH berslfat terlalu"amblguous" dan bukan merupakan hasil akhir pembangunan.
Dan dari Gambar 11,
juga terlihat bahwa unsur yang paling erat hubungannya dengan hasil pembangunan, dlantara empat unsur indikator kualitas hidup penduduk yang 8udah ada selama ini adalah unsur AMT. Memusatkan perhatian memperkecil AMT memang perlu, tetapi tidak cukup.
Keberhasilan menekan AMT berarti
berhasil mempertahankan kelangsungan hidup anak.
Tentu-
nya tldak diinginkan agar mereka "a sal hidup", tetapi hidup yang berkualitas tinggi, untuk dapat mencapai
53 secara optimal·P9tensi genetik yang ada pada diri masingmasing anak •. Anak yang berhasil diselamatkan dari kematian, misalnya dengan pemberian imunisasi sejak dini, tetapi kemudian hidup dalam keadaan kurang gizi, kemungkinan untuk mencapai potensi optimalnya menjadi berkurang (Soekirman, 1988).
Hal ini menunjukkanbahwa
se~
lain mengukur faktor masukan dari luar, faktor masukan dari manusia itu sendiri perlu diperhitungkan.
Artinya,
bahwa manusia sebagai obyek yang akan "diproses" perlu berkualitas tinggi.
Sebab, semakin baik bahan baku yang
dimasukan untuk diproses, semakin baik hasil yang dicapai.
Jadi manusia Indonesia sejak kanak-kanak harus su-
dah berkualitas tinggi, yaitu mempunyai kesehatan yang baik (Mohamad, 1988).
Oleh karena itu, dalam penelitian
ini dimasukan unsur ASG sebagai salah satu unsur indikator kualitas hidup penduduk Indonesia. Dari Gambar 11, terlihat bahwa ternyata unsur ASG menunjukkan keeratan hubungan (r s = 0,5959) lebih tinggi dibanding un sur AFT (r s : 0,5716) dan jauh lebih tinggi dibanding unsur AMH (r s = 0,2344). Dengan demikian, unsur ASG beralasan untuk diperhitungkan sebagai indikator kualitas hidup penduduk Indonesia, yang dalam hal ini disebut Indeks Kualitas Hidup (IKE), disamping empat unAMH, ARE (r s = 0,6874), AFT dan AMT 0,6972) yang sudah umum digunakan selama ini.
sur lain yakni: (r s
=
54 Hanya saja persentase bobot setiap unsur (AMH, ASG, AHH, AFT, AMT) dalam mengukur kualitas hidup penduduk (IKH) perlu dibedakan, karena keeratan masing-masing unsur , V tersebut dengan hasil pembangunan tidak sama.
Dengan
demikian, bias pengukuran kualitas hidup penduduk akibat keberadaan unsur AMH, yang dianggap terlalu "ambiguous" dapat diatasi', karena pada kenyataannya dalam peneli tian ini, korelasi AMH terhadap hasil pembangunan adalah sa-:. ngat rendah. Dengan asumsi bahwa nilai rs menunjukkan perbandingan besar pengaruh unsur yang bersangkutan terhadap IKH, maka diperoleh rumusan IKH sebagai berikut: 0,2344AMH + 0,5995ASG + 0,6874AHH + 0,5716AFT + 0,6972AMT 0,2344 + 0,5995 + 0,687 4 + 0,5716 + 0,6972
8,401%AMH + 21,487%ASG + 24,637%AHH + 20,487%APT .. IKH + 24,988%AMT
Dengan menggunakan bentuk rumusan IKH di atas, tampak pada Gambar 12 bahwa variabel hasil pembangunan yang paling berpengaruh terhadap peningkatan kualitas hidup penduduk dalam populasi masyarakat yang bersangkutan adalah keadaan sosial budaya penduduk (rs .. 0,7179), kemudian berturut-turut adalah keadaan kesehatan lingkungan (rs .. 0,6429), pendidikan (rs .. 0,5714) dan pendapatan
55
0,8
0,7 0,6
,--
0,5 0,4
0,3 0,2 0,1
P
Gambar 12.
(rs
c
0,5690).
Q
R
S
G
Pendapatan
[~]
Kesehatan Lingkungan
0 GJ
Sosial Budaya Pendidikan
Histogram Nilai Korelasi Indeks IKH terhadap Indeks Variabel Hasil Pembangunan. Implikasinya, bahwa untuk meningkatkan
kualitas hidup penduduk, persentase prioritas utama yang perlu ditangani adalah keadaan sosial budaya masyarakat dalam populasi masyarakat yang bersangkutan. Kondisi Kualitas Hidup Penduduk Indonesia Tahun 1985 Tampak dari Tabel
7, persentase penduduk Indonesia
yang sudah melek huruf sebanyak 79,39 persen, dengan penyebaran pada setiap provinsi sudah melebihi 60 persen, kecuali provinsi Timor Timur (33,18
%).
Rata-rata ASG
penduduk Indonesia 47,12 persen, dengan tingkat kesenjangan ASG tertinggi (Bali) dan ASG terendah (Kalimantan
56 Tabel 7.
No
Tiga Provinsi dengan Kondisi Kualitas Hidup Penduduk Tertinggi dan Terendah
Kualitas Tertinggi
Kualitas Terendah
ANGKA MELEK HURUF (AMH) 1. Sulawesi Utara (94,67 %) Timor Timur (33,18 %) 2. Jakarta (93,04 %) Irian Jaya (64,32 %) 3. Sumatra Utara (90,99 %) NTB (64,44 %) Indonesia (79,39 %) II. ANGKA STATUS GIZI-BAIK (ASG) 1. Bali (67,31 %) Kalteng (27,07 %) 2. Yogyakarta (61,51 %) Kalbar (34,05 %) 3. Jakarta (55,62 %) NTT (36,62 %) Indonesia (47,12 %) III. ANGKA HARAPAN HIDUP (AHH) 1. Yogyakarta (66,88 tahun) NTB (47,77 tahun) 2. Jakarta (59,90 tahun) 'Sultra (51,41 tahun) 3. Bali (58,44 tahun) Sulteng (51,43 tahun) Indonesia (55,30 tahun) IV. ANGKA FERTILITAS (AFT) 1. Yogyakarta (3,170 orang) NTB (5,780 orang) 2. Jatim (3,325 orang) Maluku (5,730 orang) 3. Bali (3,460 orang) Bengkulu (5,520 orang) Indonesia (4,260 orang) V. ANGKA MORTALITAS (AMT) 1. Yogyakarta (31,41 orang) NTB (111,38 orang) Timtim (90,00 orang) 2. Jakarta (33,37 orang) 3. Bali (50,30 orang) Sulteng (88,35 orang) Indonesia (71,13 orang) 1.
1. 2.
3.
INDEKS KUALITAS HIDUP (IKE) Yogyakarta (94,26) NTB (10,59) Jakarta (80,37) Timtim (27,54) Sulteng (32,04) Bali (77,59) Indonesia (47,73)
57 Tengah) adalah sebesar 40,24 persen.
Rata-rata AHH pen-
duduk Indonesia adalah 55,30 tahun, dengan tingkat kesenjangan AHH tertinggi (Yogyakarta) dan AHH terendah (NTB) adalah sebesar 19,11 persen.
Rata-rata AFT penduduk In-
donesia adalah 4,260 orang, dengan tingkat kesenjangan AFT terbaik (Yogyakarta) dan AFT terburuk (NTB) sebesar 2,610 orang.
Rata-rata AMT penduduk Indonesia 71,13 "
orang, dengan tingkat kesenjangan AMT terbaik (Yogyakarta) dan AMT terburuk (NTB) sebesar 79,97 orang. Secara keseluruhan tingkat kesenjangan ukuran kualitas hidup penduduk terbaik dan terburuk masih sangat tinggi, hal ini terlihat dari tingginya tingkat kesenjangan Indeks Kualitas Hidup (IKH) tertinggi (Yogyakarta) dan IKH terendah (NTB) yakni sebesar 83,67, yaitu suatu tingkat kesenjangan yang sangat tinggi bila dilihat dari segi pemerataan.
Sedangkan rata-rata IKH untuk penduduk
Indonesia adalah 47,73 (Tabel
7). Kondisi kualitas
hi-
dup penduduk yang lebih rinci, antar provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 11. Hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi kualitas hidup penduduk Indonesia provinsi Yogyakarta, Jakarta, Bali atau Pulau Jawa-Bali umumnya, merupakan wilayah yang mencapai tingkat kualitas hidup penduduk tergolong tinggi dan Nusa Tenggara Barat, Timor Timur, Sulawesi Tengah at au luar Pulau Jawa-Bali umumnya, merupakan wilayah yang mencapai tingkat kualitas hidup penduduk tergolong rendah di Indonesia.
Tingginya kualitas hidup penduduk Yogyakarta, Jakarta, Bali atau Pulau Jawa-Bali umumnya dan rendahnya kualitas hidup penduduk Nusa Tenggara Barat, Timor Timur dan Sulawesi Tengah atau luar Pulau Jawa-Bali umumnya, disebabkan karena tinggi rendahnya kondisi lima unsur ukuran kualitas hidup penduduk (IKH).
Dan tinggi rendah-
nya kondisi lima unsur tersebut, berkaitan dengan tinggi rendahnya hasil pembangunan yang dicapai oleh wilayah yang bersangkutan, sebagaimana yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, bahwa terdapat korelasi positif antara hasil pembangunan dan kualitas hidup penduduk.
Tampak
pada Tabel Lampiran 9, bahwa indeks 26 unsur dari empat variabel hasil pembangunan yang meliputi:
pendapatan,
pendidikan, sosial budaya dan kesehatan lingkungan di Yogyakarta, Jakarta, Bali atau Pulau Jawa-Bali umumnya termasuk peringkat tinggi dan sebaliknya yang terjadi dengan provinsi Nusa Tenggara Barat, Timor Timur, Sulawesi Tengah atau luar Pulau Jawa-Bali umumnya. Tinggi rendahnya hasil pembangunan di suatu wilayah berkaitan dengan keberhasilan program kebijakan yang dicanangkan pemerintah, dalam rangka meningkatkan tara! hidup penduduk dalam populasi masyarakat yang bersangkutan.
Misalnya, program Keluarga Berencana (KB) dan',
program Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) yang mempunyai dampak lang sung dalam menurunkan tingkat kelahiran
59 (AFT) atau yang bertujuan meningkatkan status gizi penduduk (ASG) •. Artinya, bahwa tingginya kualitas hidup penduduk Yogyakarta, Jakarta, Bali atau Pulau Jawa-Bali umumnya, antara lain adalah karena keberhasilan program KB maupun program UPGK di wilayah tersebut dan sebaliknya dengan Nusa Tenggara Barat, Timor Timur, Sulawesi Tengah atau luar Pulau Jawa-Bali umumnya.
Sebab, pro-
gram KB adalah alat kontrasepsi yang merupakan salah satu variabel antara yang berpengaruh secara lang sung dalam menurunkan tingkat kelahiran (Blake dan Davis (1976) dalam Rusli, 1983). Keberhasilan program KB di Pulau Jawa-Bali, sehingga kondisi kualitas hidup penduduknya lebih tinggi dibandingkan luar Pulau Jawa-Bali adalah karena: 1.
Pulau Jawa-Bali merupakan wilayah sasaran utama dan pertama sejak dicanangkannya program KB pada tahun 1970, bahkan sudah merupakan daerah sasaran program KB sejak tahun 1957 yang dikoordinasi oleh perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), PKBI kemudian berubah nama menjadi Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN).
Pada tahun 1970 LKBN menjadi
BKKBN (Badan Keluarga Berencana Nasional) yang bertanggung jawab atas koordinasi pelaksanaan KB di seluruh Indonesia, dan masih memusatkan wilayah sasaran
60
di Pulau Jawa-Bali.
Kemudian, mulai sejak tahun
1974 wilayah sasaran diperluas ke daerah luar Pulau Jawa-Bali (Soeradji, S. H. Hatmadji dan Ananta, 1987). 2.
Pulau Jawa-Bali merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk yang tergolong paling tinggi (Lampiran 3), sehingga mendorong pemerintah untuk melaksanakan kebijakan program KB lebih aktif, misalnya dengan cara memprioritaskan pemberian input program.
Sebab me-
nurut Soeradji, dkk (1987) bahwa untuk daerah yang keadaan demografinya kurang menguntungkan (kepadatan penduduk yang tinggi) akan diberikan input program yang lebih.
Misalnya, jumlah klinik KB, jumlah per-
sonalia program KB, jumlah dokter, bidan dan petugas lapangan KB.
Hal ini dapat diligat pada Lampiran 12,
bahwa perbandingan jumlah klinik KB di Pulau JawaBali dengan luar Pulau Jawa-Bali (I) sebesar 2 : 1, sedangkan dengan luar Pulau Jawa-Bali (II) 4 : 1.
3.
Status so sial ekonomi penduduk Pulau Jawa-Bali lebih tinggi dibadingkan dengan provinsi/pulau lainnya (Lampiran 9), sehingga menyebabkan penduduk Pulau Jawa-Bali lebih mudah menerima keberadaan program KB yang dianjurkan pemerintah.
Sebagaimana yang diung-
kapkan Slamet (1978) dalam Mardikanto dan Sutarni
61 (1982), bahwa status so sial ekonomi dan pendidikan yang tinggi adalah merupakan ciri-ciri karakteristik cepatnya penerimaan suatu inovasi oleh inovator. Disamping itu, rendahnya AFT di Pulau Jawa khususnya disebabkan karena Pulau Jawa sudah mengalami masa transisi demogra£i jauh lebih awal dibanding luar Pulau Jawa, seperti yang telah dibahas dalam bab sebelumnya. Sesuai dengan tujuan ganda program KB, yakni menurunkan AFT (kelahiran) dan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak, dampak lain dari lebih berhasilnya program KB di Pulau Jawa-Bali adalah meningkatnya status gizi penduduk.
Hal ini terlihat dari tingginya ASG di Yogya-
karta, Jakarta, Bali atau Pulau Jawa-Bali dibadingkan dengan pulau/provinsi lainnya.
Akibatnya, tingkat kema-
tian (AMT) di Yogyakarta, Jakarta, Bali lebih rendah (Tabel
7). Sebab, status gizi adalah variabel yang ber-
pengaruh secara langsung disamping in£eksi/penyakit yang menyebabkan tinggi rendahnya tingkat kematian. ,-Seperti
.
yang diungkapkan Dov Chernichovsky, dkk (1981) dalam Soekirman (1985) bahwa disamping in£eksi, status gizi bayi dan anak adalah variabel yang langsung mempengaruhi tinggi rendahnya angka kematian bayi dan anak. Disamping program KB, adanya program UPGK sejak tahun 1963 yang semula lebih memusatkan daerah sasaran di Pulau Jawa (Jawa Tengah), dan baru pada tahun 1973
62
daerah sasaran diperluas ke delapan provinsi lainnya, tetapi tetap terfokus di Pulau Jawa-Bali, juga merupakan faktor penyebab meningkatnya ASG di Pulau Jawa-Bali lebih pesat dibanding pulau/provinsi lainnya.
Meningkat-
nya ASG atau menurunnya AMT mengakibatkan meningkatnya angka harapan hidup CARR), hal ini terlihat dari tingginya AHH di Yogyakarta, Jakarta, Bali CTabel
7). Sebab,
AHH adalah besaran yang dihitung berdasarkan tingkat kematian (AMT) dari tabel level kematian.
Proses menurun-
nya AFT, juga dapat terjadi karena menurunnya AMT.
Se-
bab, dengan menurunnya AMT berarti memberi jaminan terhadap kehidupan anak, sehingga penduduk tidak menginginkan anak lagi sebagai penggantinya CSoeradji, dkk.,
1987). Pertanyaan lebih lanjut, dari enam provinsi yang meliputi Pulau Jawa-Bali, mengapa program KB lebih berhasil di provinsi Yogyakarta, Jakarta, dan Bali?, sehingga kualitas hidup penduduk di provinsi tersebut tergolong paling tinggi.
Hal ini antara lain disebabkan oleh
karena:
Dr Yogyakarta Yogyakarta merupakan pusat dari kebudayaan Jawa disamping Surakarta, yaitu dua wilayah pemecahan dari Kerajaan Mataram.
Dan masyarakat Yogyakarta merupakan
masyarakat yang masih menjunjung tinggi kebudayaan
63 kerajaan tersebut (koentjaraningrat, 1976).
Sampai
saat ini, masyarakat Yogyakarta masih mengakui adanya kerajaan (kesultanan) tersebut, dan orang yang berperan dalam kesultanan tersebut, juga merupakan orangorang yang memegang peranan dalam jenjang pemerintahan atas nama pemerintah pusat (Indonesia).
Dengan
demikian, diduga bahwa keberhasilan program KB di Yogyakarta adalah karena program tersebut merupakan program pemerintah yang pada akhirnya, juga merupakan program dari kesultanan.
Sehingga, penerimaan inova-
si program KB lebih lancar, mengingat tingginya tingkat kepercayaan mereka pada kesultanan. DKI Jakarta Jakarta merupakan ibukota negara, sehingga segala mac am kegiatan pemerintahan lebih terpusat padanya. Untuk memperlancar jalannya pemerintahan tersebut, maka antara lain penyediaan sarana kesehatan, pendidikan, komunikasi lebih diprioritaskan untuk Jakarta. Oleh karena itu, indeks hasil pembangunannya lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya (yaitu peringkat tertinggi dari 27 provinsi di Indonesia) (Tabel 9). Provinsi Bali Dalam masyarakat Bali, dikenal suatu bentuk organisasi pengairan yang bernama "Subak".
Organisasi
ini sudah melembaga demikian kuatnya, bahkan bila ada
64
penolakan terhadap perintah yang dikeluarkan oleh pengurus Subak, anggota yang bersangkutan akan mendapat hukuman berat (Sayogyo dan P. Sayogyo, 1983).
Dengan
demikian, diduga bahwa keberhasilan program KB di Bali antara lain adalah karena penyebaran inovasi program tersebut, berhasil dilakukan melalui struktur organisasi Subak.
Mengingat sifat kelembagaannya yang de-
mikian kuatnya, sehingga penerimaan inovasi program KB oleh masyarakat lebih mudah. Rendahnya kualitas hidup penduduk Nusa Tenggara Barat, Timor Timur, Sulawesi Tengah atau luar Pulau JawaBali, berkaitan dengan sumberdaya manusia dan alam wilayah tersebut yang kurang menguntungkan, sehinggaindeks hasil pembangunannya tergolong rendah dibanding wilayah lainnya (Lampiran 9), seperti yang telah dibahas sebelumnya.
Misalnya Nusa Tenggara dan Pulau Timor umumnya,
selain keadaan tanahnya yang tidak subur, sumberdaya alamnya miskin serta iklimnya kering.
Disamping itu,
susunan masyarakat dan sikap mental orang Timor masih banyak terpengaruh oleh tradisi kuno dan adat feodal, sehingga program pembangunan mengalami banyak kesukaran (Koentjaraningrat, 1976).
Dengan demikian, diduga bahwa
penerimaan inovasi program KB oleh masyarakat mendapat banyak hambatan.
Sehingga tingkat kelahiran tetap
65 tinggi (bahkan Nusa Tenggara Barat adalah peringkat tertinggi), keadaan gizi penduduk rendah dan tingkat kematian tinggi serta angka harapan hidup rendah (Tabel
7).
Provinsi Timor Timur baru 10 tahun (1976 - 1985) lepas dari penjajahan portugis, sehingga mengakibatkan indeks hasil pembangunan di wilayah ini tergolong rendah dibanding provinsi!pulau lainnya.
Mengingat masa penja-
jahan adalah, kurun waktu yang tidak memungkinkan
ba~i
penduduk!wilayah terjajah untuk membangun negerinya secara utuh.
Hal ini antara lain terlihat dari sangat
rendahuya tingkat melek huruf (AMH) penduduk Timor Timur (33,18 %), sedangkan 26 provinsi lainnya tingkat AMH sudah melebihi 60 persen.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tinggi rendahnya hasil pembangunan yang terdiri dari variabel
pendapatan, pendidikan, sosial budaya,
dan kesehatan lingkungan berkorelasi dengan tinggi rendahnya, kualitas hidup penduduk dalam populasi masyarakat yang bersangkutan.
Kecuali terhadap variabel ting-
kat konsumsi, hasil analisis menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat konsumsi maka kualitas hidup penduduk yang bersangkutan semakin rendah. Dengan menggunakan Angka Melek Huruf (AMH), Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Fertilitas (AFT) dan Angka Mortalitas (AMT) sebagai ukuran indikator kualitas hidup penduduk yang sudah digunakan selama ini dan satu unsur baru, yakni Angka Status Gizi-baik (ASG) yang diajukan dalam penelitian ini, hasil analisis menunjukkan bahwa persentase sumbangan masing-masing unsur tersebut dalam membentuk Indeks Kualitas Hidup (IKH), sebagai indikator kualitas hidup penduduk adalah sebagai berikut:
8,401
persen AMH, 21,487 persen ASG, 24,637 persen AHH, 20,487 persen AFT dan 24,988 persen AMT. Varia bel hasil pembangunan yang paling besar pengaruhnya dalam meningkatkan kualitas hidup penduduk adalah keadaan so sial budaya penduduk, yang meliputi:
persen-
tase penduduk usia sepuluh tahun ke atas yang melakukan
67 kegiatan mendengarkan siaran radio, menonton siaran pesawat televisi, membaca koran/surat kabar dan persentase rumah tangga yang sumber penerangannya adalah listrik. Indeks Kualitas Hidup (IKH) penduduk Indonesia adaIah sebesar 47,73, dengan rincian tiga provinsi yang. mencapai IKH tertinggi adalah Yogyakarta, Jakarta dan Bali, sedangkan tiga provinsi yang IKHnya terendah adaIah Nusa Tenggara Barat, Timor Timur, Sulawesi Tengah. Dan tingkat kesenjangan IKH tertinggi (Yogyakarta) dan IKH terendah (Nusa Tenggara Barat) sebesar 83,67. Saran Kebijakan pemerintah dalam memberantas buta huruf (meningkatkan AME), hendaknya ditunjang dengan kebijakan yang mendorong minat penduduk untuk memanfaatkan keterampilan tersebut, misalnya dengan pengadaan perpustakaan desa, meningkatkan program koran masuk desa yang memang sudah ada selama ini. Pemerintah diharapkan untuk lebih memperhatikan wilayah yang minus sumberdaya alam dan manusia, agar ting_ kat kesenjangan IKE tidak terlalu tinggi dalam rangka pemerataan pembangunan. Instansi BPS diharapkan agar mengkaji kembali metode pendataan konsumsi yang dipakai selama ini.
Mengingat
data konsumsi banyak digunakan sebagai dasar perencanaan
68 dan pengambilan keputusan (kebijakan) khususnya di bidang pangan dan gizi, sehingga keberhasilan kebijakan perencanaan tersebut adalah sangat tergantung dari ketepatan data yang dipakai. Disamping itu, disarankan kepada BPS untuk menghindari terjadinya publikasi penyajian data yang berulangulang.
Misalnya, banyaknya rumah tangga dengan sumber
air minum yang dipakai, data tersebut terdapat dalam buku kumpulan data:
Statistik Indonesia 1987, Survei Pen-
duduk Antar Sensus Penduduk Indonesia 1985, Statistik Lingkungan dan Perumahannya 1986. juga tidak efektif.
Selain tidak efisien
DAFTAR PUS TAKA Anonymous. 1986. Bayi Sehat Jadi Modal Dasar Wujudkan Manusia Berkualitas. Kompas 16 Oktober 1986. Jakarta. Berg, A. 1986. Nutrition Factor (diterjemahkan oleh Zahara D. Noer. CV Rajawali. Jakarta. BPS.
1985. Statistik So sial Budaya 1984. Biro Pusat Statistik. Jakarta. 1986 a • Profil Statistik Ibu dan Anak di Indonesia Tahun 1985. Biro Pusat Statistik. Jakarta. 1986b • Status Gizi Anak Balita 1985/1986. Biro Pusat Statistik. Jakarta. 1988 a • Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 1987. Biro Pusat Statistik. Jakarta. 1988b • Indikator Kesejahteraan Rakyat 1987. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Gani, A. 1984. Indikator Kualitas Manusia dan Penduduk. LP3S Jakarta. Prisma 9: 23 - 32. 1985. Gizi dan Kualitas Penduduk. April 1985. Jakarta.
Kompas 6
Gibbons, Jean D. 1975. Nonparametric Methods for Quantitative Analysis. International Series in Decision Processes. Alabama. Hardinsyah. 1988. Kuantitas dan Kualitas Konsumsi Pangan Penduduk Menurut Strata Ekonomi dan Wilayah di Indonesia. Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hidayat. 1982. Strategi Ketenagakerjaan dan Sumberdaya Manusia. LP3S Jakarta. Prisma 4: 17 - 29. Karyadi, D. 1985. Pengaruh Perbaikan Kesehatan terhadap Produktivitas Kerja. Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) Jakarta. Gizi Indonesia X (1): 1 - 12.
70 - - - - - , Djumadias Abunain dan Muhilal. 1988. Status Gizi yang Dibutuhkan oleh Penduduk Indonesia untuk Mehunjang Peningkatan Kesejahteraan Jasmani. Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Gizi Bogar. Berita Pergizi Pangan 5 (1): 1 - 17. Kleden, I. 1984. Ilmu Sosial. KLH.
Kualitas Manusia sebagai Persoalan LP3S Jakarta. Prisma 9: 3 - 22.
1986. Mengkaji Kualitas Fisik Penduduk Indonesia. Warta Kependudukan dan Lingkungan Hidup (WKLH) Jakarta. Serasi 2: 7 - 8, 22. 1988. nesia.
Pengembangan Kualitas Fisik Penduduk IndoWKLH Jakarta. Serasi 9: 17 - 18.
Koentjaraningrat. 1976. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta. Lembaga Demografi. 1981. Dasar-Dasar Demografi. Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jakarta. Mardikanto, T. dan Sri Sutarni.. luhan Pertanian. Hapsara.
1982. Pengantar PenyuSurakarta.
Megawangi, R. 1987. Betulkah Rata-Rata Konsumsi Kalori Penduduk Indonesia Semakin Buruk 1. Kompas 23 Pebruari 1987. Jakarta. Mohamad, K. 1988. Mencari Tolok Ukur Kualitas Manusia Indonesia. Kompas 20 April 1988. Jakarta. Rusli, S. 1983. Pengantar Ilmu Kependudukan. karta. Jakarta.
LP3S Ja-
Sayogyo dan Pudjiwati Sayogyo. 1983. Kumpulan Bacaan Sosiologi Pedesaan (I). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. -----, R. H. Pardoko, Soeharso, Mely G. Tan, S. Rusli, Made Mamas. 1983. Pemerataan dalam Mutu Kehidupan. Widyakarya Pangan dan Gizi 1983. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta. Jakarta. - - - - . 1985. Indeks Mutu Hidup: Indikator So sial Hasil Pembangunan 1971 - 1980. Pusat Studi Pengembangan (PSP) - Institut Pertanian Bogor. Bogor.
71 Soekirman. 1985. Gizi, Morbiditas dan Mortalitas Bayi dan Anak Indonesia. PERSAGI Jakarta. Gizi Indonesia X (1): 14 - 26. 1987. Keadaan Gizi dan Kesehatan Petani sebagai Faktor Produksi. Makalah disampaikan pada Seminar PERSAGI. Puslitbang Gizi Bogor. Bogor. 1988. Kebijakan Pangan dan Gizi dan Upaya Peningkatan Kualitas Hidup. PERSAGI Jakarta. Gizi Indonesia 13 (1): 16 - 29. Soeradji, B., Sri Harijati Hatmadji dan Aris Ananta. 1987. Analisis Determinan Kontrasepsi dan Efisiensi Pelaksanaan Program Keluarga Berencana. Akademi Ilmu Statistik, Biro Pusat Statistik dan Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jakarta. Suprihatin Guhardja, Hidayat Syarief, Hartoyo, Herien Puspitawati. 1989. Bahan Pengajaran Pengembangan Sumberdaya Keluarga. Laboratorium Gizi Masyarakat, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suryana, A. dan E. Kasryno. 1988. Prevalensi Rumah Tangga Defisit Energi dan Protein di Indonesia Menurut Data Susenas 1984. PERSAGI Jakarta. Gizi Indonesia 13 (1): 82 -' 95. Swasono, S. E. dan Masri Singarimbun. 1986. Transmigrasi di Indonesia 1905 - 1985. ITI. Press. Jakarta. Tjiptoheriyanto, P. 1983. Pengembangan Sumberdaya Manusia. LP S Jakarta. Prisma 11/12: 34 - 41. 3 Winarno, F. G. 1988. Pang an Pembangunan dan Mutu Hidup. Makalah disampaikan pada Seminar "Nutrition Expo 1988". Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wiradi, G. 1988. Kedudukan Indonesia Menurut Indikator BDMI dan CPLI; Kompas 23 Maret 1988. Jakarta.
LAMPIRAN
72 Tabel Lampiran 1.
Luas Wilayah Indonesia per Provinsi
No
Nama Provinsi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Daerah Istimewa Aceh Sumatra utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Timor Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Irian Jaya
INDONESIA
Luas Wilayah (lan 2 )
55 70 49 94 44 103 21 33 46 34 3 47 5 20 47 14 146 152 37 202 19 69 72 27 74 421
392 787 778 562 924 688 168 307 590 300 206 169 922 561 117 876 874 760 600 660 440 023 726 781 686 505 981
1 919 443
73 Tabel Lampiran 2.
Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 1985 per Provinsi
No
Nama Provinsi
1.
Daerah Istimewa Aceh Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Timor Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Irian Jaya
2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
9. 10. 11.
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
INDONESIA
Jumlah Penduduk (Jiwa) 2 9 3 2 1 5
972 422 698 548 744 369 943
187 137 124 261 672 872 207
5 905 564 7 30 26 2 31 2 2 3 2 1 2 1 2 1 6 1 1 1
885 830 945 930 261 649 994 061 630 819 117 272 511 315 510 609 119 608 370
519 365 028 309 591 401 718 244 676 496 881 623 665 626 975 608 726 558 973
164 046 988
74Tabel Lampiran 3.
Kepadatan Penduduk Indonesia Tahun 1985 per Provinsi
No
Nama Provinsi
1. 2. 3. 4-. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14-. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24-. 25. 26. 27.
Daerah Istimewa Aceh Sumatra utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Timor Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Irian Jaya
INDONESIA
Kepadatan (jiwa/km2) 54133 7427 39 52 4-5 177 13 365 666 788 925 652 4-76 14-8 644-2 19
7 60
7 122 22 91 4-0
22
3 85
75 Tabel Lampiran 4.
No
Jumlah Rumah Tangga Indonesia Tahun 1985 per Provinsi
Nama Provinsi
Daerah Istimewa Aceh 2. Sumatra Utara 3. Sumatra Barat 4. Riau 5. Jambi 6. Sumatra Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat 11. Jawa Tengah 12. DI Yogyakarta 13. Jawa Timur 14. Bali 15. Nusa Tenggara Barat 16. Nusa Tenggara Timur 17. Timor Timur 18. Kalimantan Barat 19. Kalimantan Tengah 20. Kalimantan Selatan 21. Kalimantan Timur 22. Sulawesi Utara 23. Sulawesi Tengah 24. Sulawesi Selatan 25. Sulawesi Tenggara 26. Maluku 27. Irian Jaya
1.
INDONESIA
Jumlah Rumah Tangga Cbuah) 604 ~1 1 800 982 724 786 511 792 ~ 291 1 107 502 190 628 1 281 535 1 783 194 7 564 157 5 391 283 675 366 7 344 726 552 568 660 241 571 941 119 780 570 605 292 170 511 793 304 776 526 069 309 968 1 270 334 216 422 289 786 263 960 35 889 411
76 Tabel Lampiran 5.
No
Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Tahun 1980 - 1985 per Provinsi
Nama Provinsi
Laju Pertumbuhan Penduduk (persen/tahun)
Daerah Istimewa Aceh 2. Sumatra utara 3. Sumatra Barat 4. Riau 5. Jambi 6. Sumatra Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat 11. Jawa Tengah 12. DI Yogyakarta 13. Jawa Timur 14. Bali 15. Nusa Tenggara ~arat 16. Nusa Tenggara Timur 17. Timor Timur 18. Kalimantan Barat 19. Kalimantan Tengah 20. Kalimantan Selatan 21. Kalimantan Timur 22. Sulawesi Utara 23. Sulawesi Tengah 24. Sulawesi Selatan 25. Sulawesi Tenggara 26. Maluku 27. Irian Ja:ya
2,62 2,41 1,65 3,28 3,83 3,00 4-,19 5,01 3,93 2,341,20 1,26 1,38 1,4-0 1,90 2,26 2,59 2,52 3,18 1,93 4,4-1 1,80 3,21 1,73 3,52 2,66 3,15
INDONESIA
2,15
1.
77 Tabel Lampiran 6.
Nisbah Beban Tanggungan Penduduk Indonesia Tahun 1985 per Provinsi
No
Nama Provinsi
Nisbah Beban Tanggungan
1.
Daerah Istimewa Aceh Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Timor Timur Kalimantan Barat 'Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Irian Jaya
84,5 90,0 86,8 82,6 83,0 84,9 90,6 85,0
2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
INDONESIA
58,5 58,5 76,3 71,6
64,7 68,8 88,7 83,6 73,6 81,9 88,1 74 ,7 74 ,8 74 ,5 86,3 80,3
96,9 89,3 83,2
74 ,7
78 Tabel Lampiran 7 •.
Variabel Hasil Pembangunan
Nomor !
Nama Variabel
PEN D A PAT A N
1. Persentase RT yang memiliki radio kaset 2. Persentase RT yang memiliki pesa~at televisi
3. Persentase RT dengan pengeluaran per bulan lebih dari kebutuhan fisik minimu II
KESEHATAN
LINGKUNGAN
4. Persentss8 RT dengan keadaan air parit mengalir lancar 5. Persentase RT dengan keadaan air parit tergenang 6. Persentase RT yang memiliki sUII1ur/pompa dengan jarak ke penampungan kotoran kurang dari lima meter 7. Persentase RT yang me.miliki sumur/pompa dengan jarak ke penampungan kotoran lebih dari:,15 meter 8. Persentase RT yang membuang samoah ke kali 9. Persentase RT yang membuang ssmpah ke bak ssmpah 10. P~rsentaBe RT dengan lantai terluas, tanah 11. Persentsse RT dengan lant'ai terluas, ubin teraso
12. Persentase RT .13. Persentase RT ··14. Persent~se RT 15. Persentsse RT 16. Persentase RT dengan tangki
dengan luas yang sumber yang sumber yang tempa t yang tempat septik
lantai rumah.kurang dari 40 m2 air mandinya, air ledeng air manctinya, air sungai mandinya, kamar mandi sendiri buang air besarnya, ka'kus sendiri dan dilengkapi
17. Persentase RT yang tempat buang air besarnya, kakus bersema
18. Persentase RT yang sumber air minumnya, air sungai 19. Persentase RT yang sumber air minumnya, air ledeng
III·
S 0 S I ALB U DAY A
20. 21. 22. 23.
Persentase Persentaae Persentsse Persentase
IV
PENDIDIKAN
penduduk usia 10 tahun keatas yru.:g mendengarkan siaran radio penduduk usia 10 tahun keatas yang menonton siaran televi"B'l" penduduk usia 10 tahun keatas yang membaca koran/Burat kabar RT yang sumber penerangannya adalah listrik
24. Persentase penduduk usia 10 tahun keatas yang tidak sekolah 25. Persentase penduduk usia 10 tahun keatas yan~ tidak tamat Sekolah DaBar (SD) 26. Persentase penduduk yang berpendidikan diatas Gekolah Lanjutan Atas (SLA) V
K 0 N SUM S I
27.
Tingkat konsumsi kalori
28.
Tingkat konsumsi protein
,
;
2
14,50
11.93
19.P
':",C1
7,12
')(.,07
16,15,
}1,60
~.'4
7,47
42,2£
1e ,08
15.'19
29,16
3. 4 ;
e,6!:
29,45
23.2.10
;.6,03
5,:''5
'7,4'1
24,57
2 4 ,10
15.51
7. 6 3,2' 4
,,46 ",8 4
57,60 55,40 47.58 50.75
10,87
8
11,96
8,89 8.04
9
81,35
10
59,8') 18,91
10,42
; 4
s
15.51
1.07
"taR 58."5 29.79 }4."" 61,79 4'.72 5',62
18,99
20,62
52,37
"".38
15 ..30
1.f1.,01
".;0
'.76
6,01
57.95
18,66
" ,61
49,42
2,16
15
25.88
3',38
2."7
20.58
5.26 3.23
4,11.1
16
5,49
32,00
'11
21,89
2,47
3.33
18.~
1,62 1,82
1.54 '.22 2,03
18
50,25 59.74
17.90
10,60 14.12
;0.;0
2,73
2,""9
17,0;
6,62
1.;a
6
7
11
57.23 57. '9
12
70,41
1; 14
19 20
e
1
6
Z?70
"7,}2 53.as 50.75 67,90
2
?,.6,97
~,41
o,es
6.50
;,67
5,8,)
.,16 2,05
20,02 12,20
2,5
'
1,02
7. 19 }.86
3,25
·.!!,e~
'.68
48,"3 "4,27
11,65
11,71 11,e1 9,22 GO,32
15,10
2,}O 11,97
47,2 1 53,21
59.71
5.21
12,41
}8.'9 67,36 76,07 47. 15 66.86
8,8;
17,00
25, 10 9 2,18
1.;0 5,13
}." 1,43
10.65
2.60
19,92
36,63
6.10
18,48 5. 1 8
55.91
;,79
8,,.
. 9.;1
8,13
5.'10
2'
12.76
5.63 8.26
36.71
42,24
7. 47
1I,.7.V
8,';
25
29.20 39.67 28.93
1,76
5,6<
60.35
10,22
16.7' 21.79
2.}4 3.72 6,23
6,19
68,01 81,86 68,21
1,15
52,76
4,'3
6,31
53.}8
15,95
' ....
17,94 23.11 __ .02
21.91
11.58
6.21 1.53
42,40 18,0;
9,19
10,}€.
. 24,86
~.c.,44.
12,10
4S,7~
~,"
2'),05
1'1,117
"J,;O
)C,41
'9,09
<::,28
47.57
20,45
11.72
'.10
47.76 36.35
31.39 20,49
1.19
13,66
50.36
0,61.
1,1')
17,06
1..5~
'J,29
e2,c1 46,17 66.}3
29.9;
"',ea
14.55
65.92
~.5o;
'0.12
76,03
18,es
'5,45
}S,04
5,5
0.00
1... 9'2 0,11 ":.52 3",50
'
67,26
51,3S
39.49
26,35
11,80
n,84
33.98
66.57
-,57
49,62
1,24
26.;0 9,01
12,24 16,46 12,99 19.64 5.2}
9O.}O
1.66
6,57 •• 68 12,2! 19.99 4..53
}2.76
6.96
41.48
10.70
16,03
',00
64.88
11,14
10,66
6,85 50.84
•• 22
72,7· }4 .... 2,75
3.67 17,52 19.78 14.,49
21,}5
7.74
13.0;
3,0;
13,99
4.e7
1.88
£1.12
5.10
18.64
18,39
41,85
14.44
32.82
'.71
3,42 14.62 1.0/)
26.50
0.38
71,61 56.}? 69.93
1.00
"'.62
4,12
10.60
16,37 13,75
",'1.1
2.52
76.60
9.45
0,63 }.50
",97
}.05 1.87
51.09
8.}4 15.07 12.82 6.35 •• 20 11.21
49,'H3
~l,Ov
O'}9
12,18
35.27
10,:;4
•• 06
14,11 1},70
'.20
l~
'7,46
12." 13.SO
1,11
.
"
li,l"
..-;
29,07
27,O}
1.92
•
";,n
58.68
1,92 0,81 2,12
~
".27
2},1)rl.
',75
'.GO
.. ,'-
'1
,"'Ii
5.""
},G2
t #
'5
3'j,f:.~
}ii
20,15
}."
4.95 9.08
J,G'; 2,31
37,7q 54,52 36,08 25,49 43,81
65,70 50.;0 52.79 29." ·40,55 62,67 6,,".20
7,67 2.33
20.00
5.11
I
5.57
55.;5 67,7 4 53,82
5O.:n
10.36
67,06
3,03
;4,18
9.76
".06 10,74
17,70
'.09 7.22 11,93 12.75 10, }to 13,50
18,23
21
1
14,70 6,1;
38.90 35.93
26
}7 ,~'J
39,23 4.9, !rO
".87
2,02
1},4 ! .:?,10
20.68 35.82
'." 3,37
6,88 , ',67
.:?,2:0
10,07 23.64
2}
,>
e.46
33.89
3.0 1
'2
10,71
57.94-
6." 6.86
'0
~.67
60,6}
6.88
9
')~
}4,
13.16 21,80
21 22
79
Persentase Kondisi Hasil Pembangunan Indonesia Tahun 1985 per Provinsi
Tabel Lampiran 8.
23.30 19.32
".08 41,56
}."
".29
3.'7
70.28
9,72
55.06
15,20
9.31
;S.OO
43 • .30 37.71
21.68
20,50
10,04
70.84 86.,9 71.0/) 51.60 55.11 13.e}
16.19
12,29
69.16
8.04
63.00
1'.?O
~,17
8.20 10.31 15.26
16.03 33.12 13.66
3.69
35,09
1.91 3,59
47.58
}4.09
8,"
18,02
0.10
60,16
12.25
.0.80
16,91
20."
25. 4 5
19.94
41,88
7.2"
4,82
9.""
20
5'.2} }6,97 42,43 6},54 48,16
52. 4 2 52,35 66.;0 66,47 78,8}
21
2S
28
52,09
17.61
22,43
13.77
~4.oe
0.70
11&,85
1&"',12
26,O}
40.63
6.19
0,86
~,49
132,39
33,21
29,5
37,96 43. 10
1,00 102,49
63,19
'5,60 11,92
;;,O}
1q..~4
39,GB
0,63
105.84
124,24 141,16
22,19
12,81
45,21
0,66
39,13 19,60
10,64
45,15
0,62
104,03 97.10
".21
20 .... 15.61
O,S}
12,~
14,40
56.11 21.4, 14.51 28,0'7 12,65 15.0'7 12.47
66,91
'49,16 24 ,15
0,39
91,66 51 ,7'
'}.49 13,55 6.68
".74
".97
29.28
16,31
38.29 39.74
0,10
n.47 }5.60
1,58 0,58
50.10
0,80
18,25
33,71
}5,95
'5,11
1.60
23.90
42.24-
26.18
5.52
65.57 21,85
22,54
1}.1? 14,70\-
"'7,28 }4.}4 13,70
13,31 '.31
}1,6}
54.21
10.11
52."
65.37
60.79 58. 5 '
9.80
'
21.67
'10." 16.42 54.18
45.30 50.90
67.29
12,72
19,94
,",.}4
17.65
14.87
65,'1.2
62.90
39,6}
69,52
19.75 26.90
36,16
60.55
11,97
52.52
51,88 }G,75
16,62 17.88
64,72
9.04
11,87
45,13
21.97
14,00
74.74
28,21
1}.62
40,~
59.03
28.}4
138,11 1}O,96
85,-9 85,lI.6
106,65
66,16 96,0'7
138,7S
0,"
91 . "
142,45
0. 4 2
101,12
0.32 D,}O
88.06
'10.60 ".05
0.68
102.12
146,54 126,92
0.41
105.~
157.15
36,02
0.99
96.08
146,8}
",28
1.00
105.61
114.18
12,71
38,73
0,63 117.59
107.34
21,02 25.18
}4.'4
0.71
132,81
36,23
0.67 116.52 12,.,9
4}.99
0.64
111,73
".94
0.42
88,74
115.04
0,76
100,82
131,89
21,15
53.~
}6."
97,23 102,23
23,5"126.10 29.29
}9.72 SO,61
25.9'1. 9.10
114,39 99,2}
24,3 1
64,63
41.00
Z7,47
14,21 19.92 18,21
135,~
128,81 145,61 110,26
29.87
75,'5
38.10 65,92
21
66.26 68,37
70,72 61.08
22
8.21 35.33
4}.26
3,00 0,61
96.45
106,04
96,01 111,05
147.73 153.87
142.37
Keterangan: NV. X.
NP.
Nomor Variabel (lihat Lampiran 7) Rata-Rata Persentase Hasil Pembangunan 27 Provinsi Indonesia Nomor Provinsi: 1. Daerah Istimewa Aceh 2. Sumatra Utara 3. Sumatra Barat 4. Riau 5. Jambi 6. Sumatra Selatan
7. 8.
9. 10. 11. 12.
13.
Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur
14.
15. 16.
17. 18. 19.
20.
Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Timor Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan
21.
22.
23. 24.
25. 26.
27.
Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Irian Jaya
80
Tabel Lampiran 9. Io
2
..... 00 yo,60
Xl.95 "J.g ..
25.56 }6,11
"~.62
l
"9.65
27.'9
P,6}
}6.'6
77.lI7 60,92 57.W
~.9'9
59,19
26,07
76,00 }6,21 16,5'
•7
!I7,67 '4,6} 16,5' "00,0 28,63 22.71
~.'3
49,65 100.0 60," M.2" 62.00 52.}' 6'."9 6,72 0,00 2.16
a 9
12
,}
28.77 2,.}9 28.20 •• 86 ',32 0,00
-.s.6.2 26.87 64."
",00
100.0
2'.06 ,,,.12 5'.'i9 }1.75 2".61 },21
6."2 0,00 21.61 }2,07 20,04
61,4.6 66.2} 300,"5 25,26
"6,62 }}.66 54.72 27.45 6.71
60.37
35.64
18.,0
·' .... 66
1",18 }","1 13.7'" '-6,S6
9.21 14.96 14.4.0 25,66
6,61
19.11 6.&4
2O.~
20.90 28.6'
}C.'?
Indeks Kondisi Hasil Pembangunan Indonesia Tahun 1985 per Provinai
• ",07 2L-.o '9.59 }a.56
7 7'.}2 6',07
68.}6 &6,5'
76.59 60,10 G1,}S se,.x. 55,96 5!>.00 26,~ 42,7 4 4!1.!IS 4',7!1 65,59 78,3' ]6,2!1 25,20 20,55 100,0 7',65 CG.7} 27.&0 7 4 ,'1 75.09 100,0 1O.a. 69.96 0,00 }G.67 39.}O 159,1' 41,~ }1.}6 5-'.66 8-4,'7'" 67.99 54,25 "3.~ 96,46 65,6-4 '5,al 4,.}5 91.7" 7'.24 }6.10 51,0\.0 M.11 66,'4 5.60 2}.05 85.)) 6}.73 2.56 24.0} 9,.01 95.}4 0.72 2.72 91,20 M,e? ,2.4., 2",}S 8.2,9-' 92,90 }6,}a o,SO '7.64 96.78 }8.Y3 6,2'4 0.00 90.'" 60," }Cl,O} "5.26 69,85 25.57 52.e} 60,60 69.7'" 13.60 ,1.52 58,71 62,88 22.61 4.8.02 ",94 88,2'4. 10.09 100,0 86.4.8 95.,9 22.26 0.00 7},96 7}.l9 "6,}5 7.~ '51.16 100.0 }}.76 }l,22 10,20 72.66
6'.}7
•
?',tlS 90.99 65.50 62,17 n.m 90,20 Yi,14 4-4,61 51.23 M,O, 49.93 57.21 43,69 }2.2O 0,00 95.67 4.6,'0 55,89 57,09 62,}5 58.5" 92,65 66,9 1 6},59 }4.59 68.61 78.26 0,00 91." 96,36 -aIm 100,0 n.5} M,'7 60.29 ,9," 78,65 22;70 58,00 2},O} }l,25 60,16 65,71 8'),71 79,25 66.89 100,0 64.91 79.55,67,84 56. 4 ' ~?.50 57,}' 67,46 ~.(,8
6,}O 15.60 H,''''
10
11
8},70 8".t19
},1Q
6.2 •• '
10.15
96,"5
5.59
505.27 5-'.56 6},"7 51,64. 6'.,.... 60,67 78,76 "7.37 76.1} 100,0 96.,9 75.97 0\.0.57 0,00 26.02 2.a?
10.11
97.61
}."
4,95
56,9' 86,151 159,91
1,82
5,50
6,152 16,00 28.~ 100,0 '7',"2 17.25 76.!1 1}.505 22,18 'B,}9 40.65 16.7} '7.67 2'.12 65.79 }.}7 5<:,}" 0,00 25.az 14.05 0.00 9.51 96.67 1.}7 100,0 1,7& 96."; 25,96 96.67
2,35 7.2-4. "00.0 4.0."1 20.2-4 2}.65 22.65 }C.69 2,'" 1.25 0,00 1,20 1.41 0,4' 5.'5
5.11 79.46
4..56
10,86 73.26 10,21 96.15 ~.06 7 .... 70 7.37 SO.1} 0,15 79.'5 '}.6O 11,16
5,68 2,7} 5.51 0',55 11.5}
Keterangan:
Xa. Xb.
Xc. Xd.
Xe. X. NV. NP.
5,~
Rata-rata indeks pendapatan Rata-rata indeks kesehatan lingkungan Rata-rata indeks so sial budaya Rata-rata indeks pendidikan Rata-rata indeks tingkat konsumsi Rata-rata indeks hasil pembangunan (indeks hasil pembangunan Indonesia) Nomor Variabel Nomor Provinsi
2,56
12
,.
1}
2 1 ,02 17.57 28,21 18.9} 18,'i9 64.72 21.57 0,00 100.0 29.9} 11," 22.6.2 27.72 81." 1},71 82.5-" 41,79 YJ.26 18,01 4.6,"'5 8,17 45.49 "".95 6.2.06 85.}1 }S,04 71,4.-e :s?,79 '1,71
M.ze ?},tI" 6}.306 53.}} ,9,66 39."3 5,,25 15',0, 100,0 6 4 ,59 "}.2'4
90."2
76,67 !>d.5' 66,6.2 '70.71 75.60 10,2} 0,00 }c.07 51 .81 60.00 505.15 6.2.~ }G.?9 8}.01 41.0, 61,95 78.66 6-\..07 45.79 71.46 19.55 61.98 52.58 4..1,75 6}.7}
-.a."
7'.'2 68,17
17.96 7 1 .07 29,94
!>6.'2 19.7' 70,99 100.0 }},2O 42.67 6}.&4 55,sa 29.68 0.00 40.61 12.&4 6,1' 0.76 10.6}
58.67 4..9.}7 19.7.5 12.}} 19.97 4,,19 26,22 }1,68
17.10 }5,1e 1Z o0} }1,a}
11,17 22.2'7 12,92 24.17 "00,0 16.46 '17,}9
26.}O 16,97 ",01 2.60
6,25 0,00
14,06 4,69 11,21 "'9,98
}3.e..-. 12.75 17,50 8.86 1}." 2}.71 21.39
21
Ib
17
~.21
'7,69 &7.9'
88.S5 eS.78
10,96 }5.96
H,SO
M.'2
22.~
81,55 '-6,'l)
16.55
9,(y') sa.8S 10.19
49 • .t6
55t~
'5.~
2".4}
"'7,19 27.5 1
52,!>Q 0\0,6,
"9,87
,},Qo\
'00,0 98.'5 2 4 ,"2
7',~
51.29
".en
",92 "Z,75
92.', 0.00 "00,0 '00.0 95,2 4 17,}4 "9.9, 9}.72 15,}1 78.75 96,}O 9.5-' SO.}5 95.64 '2,"7 }a.7S 86,&4 56.00 0.00 69."7 9,1' 94.50 65.29 ".00 '9.21 90.58 29.17 }7.67 }C,'" 10,01 7.57 0,00 6,52 2'4.00 '2 .... } "'6.51 7'.91 52,65 55.51 68.'2 96.22 39,}} }1,68 70,65 "8,36 }9.76 68,95 22.80 52.85 8}.64. }1,69 10.60 67.57 ,1.}iS }C.12 6"."'" }6.69 "-6.69 76,&..B 26.01
"7,15 79.60 "9.oe 51.07 59.'5 54.42 5}.305 }1.81 5-'.8} 40.'} 39.7' 26,.7
}4,e.e 52,95 5}.67 43.55 '9.12 57,M "5.71 '1.81 "-7.91
Nomor Provinsi: 1. Daerah Istimewa Aceh 2. Sumatra Utara 3. Suma tra Bara t 4. Riau 5. Jambi 6. Sumatra Selatan 7. Bengkulu 8. Lampung 9. DKI Jakarta 10. Jawa Barat 11. Jawa Tengah 12. DI Yogyakarta 13. Jawa Timur
}O,62
'.5'9
12.74
47.41 66.24 69.05 62,16 50.23 72,2'0\. 31,01 51.95 100.0
}2.90 61.25 61,59 &6,71 ~.'1 ('O,2) 0\.8.41 100,0 505,97
50.64
S~.46
19,2' ".07 }\,}O
}2,46
7.2' 29,}6
5O.~
0,00
1.805'7 67.61 29.95 ,1,19 59.46 61.7'8 7,05 7'0,57 0.00 56.67 5,16 2'6,81 60.48 47,1, ",25 Z'l.02 18,2' 7,}iS 8,74. 56,6' 8.7' 56.6}
22
2}
Ie
2'
26.96
8},20
t.
H,6 1
17.~
20.78
}5.l9
",Ho 36.5-' 92,16 "2,00 ZO.7'
50.66 12.71
29,4.8 ".60
".78 20,48 2,.2, 4.1.2'9 1,,17 17,}C 5.60 10,9Z 100,0 100.0 25,27 29,19 10.36 2},O9 '9.58 29.92 6.}6 27.21 11.", 50.96 5.97 15,64 11.79 2,56 }E..SO 0,00 6.51 17,72 17.1' 11,'9 21.65 26.97 37.06 51,}1 }4,99 }S,"1 0.00 10.05 19,22 32.06 17,6, 10,&5 9,27 17.69 -0,16 15.59 ttO,16 15,59
14. 15. 16.
17. 18. 19. 20. 21. 22.
23. 24.
25. 26.
27.
S6.65
5',55 9".1) 51,G} }}.}f.
"00,0 52,00
ZS.9}
'-6.09 5'.5'
yj.~A
450,19
65.27 SG,80
"-O.~
89.56
"'toa 2-4..98
62,12
}5.61
'9,G}
&4.,74. 86.23
25,10 B},65 2B,9} 83,55 90,-.5 9-4,59
14,6" 15.06 16.60 0,00 9},95
~.90
79,"2
~.8}
1',}} 1',65 6,52 }.}} "00..0 1',61
308.02 57,12
}5.}9 61.-a
5,40 29.29
7'.}5 67.51 6},40 58.21 51,06 66.9} 0,00
27.60
60,58
0\2 ..'5
~.92
51,4-6 22.09
22.59 42 ....7 "'1,50
6',16 61,64 8'.94. 32.27 100,0 10S2 64,90 }9.7} 61.92 22,15 6-\,81 1},14 92.0, }O.26 4.8.51 }O,26 48,57
22.76
50,~
71.60 "9.74 26.00 100.0 22,16 '2,"6 19,20 "9,.36 18,}} }9,18 56,'2 4.8.57 19.'2 64.69 64.,69
61,6')
}7.64 S6.17 }8,!>6 3S,21 }6,26 87.51 28,96 4.',65 96,"6 35.60 ~,92 50.73 11,0\8 39.41 0.09 4.7."1 65,'7 0.00 10.37 41,57 2.'2 16.S2 '9,'-6 }2,O9 5.19 ,5,}" 16.09 ',~ '2,46 '7,;7 0.74 ",sa 7,86 0,00 21.50 }9.29
.v:...S9 72,00 18,S} 60,66 49,8' 0,00 '}.}7 '9,72 6',62 67.22 75,21
8"'~
7"" "'3,n 9O,!>6 73,85
14,07
"},46 SO.}9
6,50 25.56
}5,7' 60,7'" 5<.95 }S,17 -a.09 60.95 24,~ '5 .... ' 97,'9 '''.'1 "5,25 62,25 52,6' '2.}8 100,0 }5.,7 0\'.35 79.-'6 67,'0 '9.2} 9.92 25.76 }9.2, 0\6.-.6 ')1,25
25.93 "2.22 17." 1}.70 12.59 "-," -,""
Bali Nusa Tenggara Barat Nuaa Tenggara Timur Timor Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Irian Jaya
1?,14n "2.68 ..
.,.(,0
6!1."o S6,,,,q -.0.90 7g,76 ;0.09 4.8,'}
50.29 0,05 '6,69 '0,92 46,e6 "2.66 6',29 4.6,18 S6,}5 47.06 75.55
}/;,O" 41,7 1
S'S.6S S7."S 67.69 '},28 17.8" -.s,B6
"7," ,
5' ... 2 .. } ,20 <0 ,. }7, S5 "';,28
"",50 }9, '9 65,62 47.08 "'2,20 55,58 '"5,16
5O,sa 26,60 "0,23 ~.26 }7. 1 0
}O,'9 }9.22 52." 4.6.22 }6.69
"S. ,,, C-6.70 --a.05 }5,'5
-.....2"
81 Tabel Lampiran 10.
Kondisi Kualitae Hidup Penduduk Indonesia Tahun 1985 per Provinei
No
Nama Provinsi
AMH (persen) ASG'(persen) AHH (tahun)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Daerah Istimewa Aceh Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nues Tenggara Timur Timor Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Irian Jaya
83,95 90,99 88,23 84,95 86,31 88,56 85,80 84,75 93,04 82,60 76,96 75,24 7 1 ,43 70,16 64,44
43,33 53,05 43,23 38,19 40,00 38,50 52,46 54,26 55,62 47,80 48,13 61,5 1 50,42 67,3 1 38.,9 1
73,76 33,18 7 1 ,75 85,90 83,21 85,24 94,67 85,88
36,62 47,17 34,05 27,07 40,87 51 ,07 53,70 43,4.7 43,46 45,50 47,8·6
7. 8.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
INDONESIA
71 ,36 7 4 ,04 90,3 4 6 4 ,32 79,39
58,19 57,95 52,89 53,86 53,62 57,23 55,78 57,23 59,90
54 ,3 4 57,23 66,88 56,3 1 58,44 47,77 52,16 52,16 53,62 56,26 52,89 56,02 56,5 1
39,56
51,43 54 ,82 51,41 52,41 51,68
47,12
55,30
TFR (orang)
AMT (onnf.')
4,840
54 ,40 S7,56 80,14 67,07 70,78 65,02 60,46 55.06 33,37 79.7 4 61,2 1
5,335 5,120 5,015 4,960 5,190 5,520 5,415 3,625 4,520 3,850 3,170 3,325 3,460 5,780 5,210 5,210 4,910 5,37 4 4,190 4,690 4,610 5,250 4,585 '0,300 5,730
31,41 66,77 50,30 111,38 7 4 ,18 90,00 68,98 62,97 79,99 50,50 54 ,90 88,35 60,06
97,98
5,O~5
80,24 77,39
4,260
71,13
82 Tabel Lampiran 11.
No
Nama Provinsi
1•
Daerah Istimewa Aceh Sumatra Utara Sum3tra bara t Riau Jambi Sum3tra Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jaws Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Timor Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Irian Jaya
INDONESIA
Indeka Kondiai Kualitas Hidup Penduduk Indoneaia Tahun 1985 per Provinsi
ASG
AHH
ltFT
AMT
lKl!
82,57 94,02 89,53 84,19 86,40 90,06 85,57 83,87 97,35 80,37 71,20 68,40 62,21 60,14 50,84 65,99 0,00 62,73 85,74 81,36 84,66 100,0 85,70 62,09 66,45 92,96 50,64
40,41 64,56 40,16 27,63 32,13 28,40 63,10 68,32 70,95 51,52 52,34 85,59 58,03 100,0 29,42 23,73 49,95 17,35 0,00 34,29 59,64 66,18 40,76 40,73 45,80 51,67 31,04
54,53 53,27 26,79 31 ,87 30,61 49,50 41,92 49,50 63,47 34 ,38 49,50 100,0 45,74 55,83 0,00 22,97 22,97 30,61 44,43 26,79 43,17 45,74 19,15 36,89 19,05 24,28 20,46
36,02 17,05 25,29 29,3 1 31,42 22,61 9,96 13,98 82,57 48,28 73,95 100,0 94,06 88,89 0,00 21,84 21,84 33,33 15,52 60,92 41,76 44,83 20,31 45,79 18,39 1,92 28,5 4
71,25 67,30 39,06 55,41 50,77 57,97 63,67 70,43 97,55 39,56 62,7 4 100,0 55,78 76,38 0,00 46,52 26,74 53,02 60,54 39,25 76,13 70,63 .28,80 64,17 54,27 38,94 42,50
54,23 55,20 37,69 40,7 1 40,83 44,99 49,03 54,39 80,37 46,07 60,26 94,26 62,18 77,59 10,59 32,39 27,54 36,62 36,46 43,10 58,14 60,72 32,04 48,47 37,44 35,01 32,43
75,00
47,17
38,65
38,09
55,90
47,73
AMH
83 Tabel Lampiran 12.
Jumlah Klinik KB di Indonesia Tahun 1985/1986 per Provinsi Banyaknya Klinik KB
No
Provinsi/Pulau
1. 2. 3. 4. 5. 6.
DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali JAWA - BALI
417 928 933 154 1 570 180 4 182
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
DI Aceh Sumatra Utara Sumatra Barat Sumatra Selatan Lampung Nusa Tenggara Barat Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Sulawesi Utara Sulawesi Selatan LUAR JAWA - BALI (I)
196 509 278 361 180 155 167 172 158 329 2 505
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Riau Jambi Bengkulu Nusa Tenggara Timur Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Maluku Irian Jaya Timor Timur LUAR JAWA - BALI (II)
143 131 128 148 157 156 122 74 135 126 66 1 386