Notulensi Lunch Seminar: Seri Kebijakan Pembiayaan Kesehatan
Outlook Kebijakan Pembiayaan Kesehatan 2011‐ 2014 Diskusi Universal Coverage 2014 dengan atau tanpa BPJS
Pengantar Kebijakan pembiayaan kesehatan di tahun 2010 ditandai oleh beberapa perkembangan menarik. Salah satunya adalah target Universal Coverage 2014 (100 persen penduduk terjamin) telah ditetapkan. Ini merupakan tantangan berat karena saat ini baru sekitar 50% penduduk yang terjamin asuransi kesehatan atau jaminan kesehatan lainnya, itupun lebih dari 75% terdiri dari warga miskin yang dijamin oleh pemerintah lewat dana pajak. Universal coverage sudah ditargetkan untuk dicapai namun pada saat yang sama penerapan UU SJSN masih belum dilakukan. Walaupun demikian, ada satu langkah menarik yang dianggap sebagai “pembuka jalan” untuk tercapainya Universal Coverage, yaitu Jampersal (jaminan kesehatan persalinan) yang, berbeda dengan Jamkesmas, juga ikut menjamin ibu non miskin yang bersalin asal mau dirawat di klas 3 RS Pemerintah atau swasta tertentu. Juga pada tahun 2010, hampir semua kabupaten/kota juga sudah mencanangkan program Jaminan Kesehatan Daerah dengan berbagai variasinya. Pada tahun 2010 sebenarnya ditargetkan untuk diundangkannya UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, namun kenyataannya belum juga terlaksana akibat tarik ulur antara eksekutif dan legislatif mengenai jumlah BPJS. Outlook Kebijakan Pembiayaan Kesehatan 2011‐ 2014 Pengantar oleh dr. Sigit Riyarto Beberapa seri kegiatan yang akan diselenggarakan bersama‐sama dan topik‐topik apa yang bisa ditambahkan selain topik yg sdh diidentifikasi. Dan isu apa lagi yang menarik yang akan kita buat serangkaian seminar di masa datang. Ada dua isu menarik di tahun 2011; 1. Pembiayaan kesehatan seperti kata orang, yang katanya kurang dari 5% GDB, 15 % dari APBD ternyata penyerapannya masih rendah. Ini menarik, karena mengapa bisa seperti itu. 2. Universal Coverage dan health insurance system and Who will dominant health insurance in the future. Apakah mungkin kita mencapai universal coverage tanpa badan penyelenggara jaminan (BPJS). Ketidakmampuan kita menyerap dana/Kebijakan Pembiayaan Kesehatan/Health Financing Pemerintah mengeluarkan isu jampersal disisi lain kita punya jamkesmas. Dulu ada kesepakatan 15 % APBD utk kesehatan dan 5% anggaran APBN untuk kesehatan. Dan sekarang apabila itu diterapkan apakah itu bisa mencapai suatu derajat kesehatan yang ideal yang kita harapkan,kurang atau malah berlebih jika dilihat dari anggaran sumber kementerian keuangan. Kalau anggaran itu kurang dan dinaikkan setiap tahunnya tetapi mengapa ada sisa lebih anggaran. Pertengahan Februari kita akan membuat seminar yg lebih besar untuk kita bisa membahas dengan teman‐teman di kemenkeu dan kemendagri. Jadi sebetulnya hambatan apa yang meyebabkan anggaran kurang tetapi pada akhir tahun terjadi lebih anggaran. Serangkain acara bisa dilihat di website kami. Yang mengarah pada isu dan hasil diskusi di website yang bisa ditambahkan dan diangkat.
Pembiayaan kesehatan ada beberapa acara. Diskusi hari ini , februari lunch seminar dg tema Mengapa terjadi sisa anggaran, dg me‐link‐kan teman‐2 di kemenkeu dan kemendagri. Mohon dibahas dikotomi anggaran, dikotomi besaran preventif dan kuratif, mengapa ada perbedaan kuratif dan preventif jumlah anggarannya. Bulan Maret ada lembaga evaluasi penjaminan asuransi dengan hasil data susenas dan ILLS. Bulan April tentang monitoring BOK yang menurut kami BOK termasuk anggaran dadakan dengan pelaksanaan pendek dan apakah BOK bisa meningkatkan derajat kesehatan atau mengejar total jumlah anggaran pemerintah. Bulan Mei dengan isu internasional kita ada membahas outcome yaitu equity dan quality dg mengundang orang luar yang di beberapa Negara sudah menggunakan health equity terutama financing sebagai outcome. Contoh dengan menaikkan anggaran kesehatan bagaimana bisa berefek pada tujuan utk melindungi masyarakat miskin (protecting the poor), jangan‐jangan setiap tahun naik bukan digunakan mengatasi masalah kemiskinan, maka apakah bisa menurunkan kemiskinan atau menguntungkan yang kaya atau bahkan memunculkan group tengah. Pelatihan‐pelatihan 1. Eksplorasi pada kebijakan kesehatan dengan kerjasama litbangkes, dengan data yang ada bagai mana kebijakan itu dibuat atau sesuai dengan pembiayaan kesehatan 2. Menghitung equity Bulan Juni dengan tema Health Account karena ini sesuatu yg penting tapi tidak penting, karena untuk mengukur peran stake holder di sector kesehatan. Berapa kebutuhan dana untuk kesehatan?? Bulan Juli tentang cukai rokok yang di permak jadi dana kesehatan. Ada beberapa daerah yg sudah menerima kompensasi dari perusahaan rokok. Data keuangan dari nota keuangan Kemenkes terbaru tahun 2011 bahwa kemenkes selama 5 tahun terakhir telah mengalami peningkatan dari 25%, 6,5 triliun pada tahun 2005 menjadi 22,4 triliun di tahun 2010, prosentasenya naiknya hanya 0,2% dari total PDB . Ini merupakan langkah berat untuk mencapai target 2% PDB anjuran WHO. Absorbsinya juga meningkat pada tahun 2005 mencapai 60% dan tahun 2010 mencapai 94%. Teapi nilai riilnya yg kita lihat dari penyerapannya, tiap tahun kita punya sisa 1‐2 triliun yang tidak terserap. Kepesertaan jaminan kesehatan, saat ini jumlah orang nya hanya 42 % . Apakah catatan 2014 bisa mengejar sisanya yg belum tercover? Dari hasil penelitian Equity, utilisasi di RS menunjukkan situasi yang tidak equitable. Artinya yg menikmati adalah orang kaya, sedangkan org miskin mencari akses kesehatan di luar RS. Otomatis subsidi yg diberikan pemerintah tidak mencapai target, tidak seusai dengan tujuan untuk orang miskin sesuai penelitian equita projek. Sedangkan orang miskin melalui non RS yaitu puskesmas. Bagaimna situasi ke depan, apakah akan tetap seperti ini atau puskesmas tetap menjadi ujung tobak pelayanan atau ada kebijakan lain??? Besaran anggaran tidak bisa mereduksi gap kesenjangan yg terjadi. Walaupun hanya 0,02% tapi gap nya membesar. Merancang kebijakan yang tepat. Prolog: Disparitas utk wilayah Indonesia, catastropik, banyaknya rumah tangga yang menjadi miskin karena biaya kesehatan 40% melebihi kebutuhan dasarnya (kebutuhan rumah tangga). Dari tahun ke tahun hal ini terlihat semakin baik tetapi ada beberapa daerah yang memburuk. Indonesia bagian timur banyak yang miskin karena masalah kesehatan, pada tahun 2004 meningkat, implikasi bansos nya tidak tercapai atau barang‐barang kesehatannya mahal, disparitas antar propinsi terlihat jelas. Lesson learn kebijakan pusat utk Indonesia omong kosong belaka, dilihat dari propinsi‐propinsi wilayah timur. Tahun 2010 anggaran Kemenkes 23,8 triliun, hanya 1,72% dari total pengeluaran pemerintah sebesar 1120 triliun, atau 0.4‐0.5% PDB . Peningkatan ada tetapi masih ada yg tidak teserap.
Tampaknya hal tersebut missed‐planning, missed‐budgeting, bermasalah dengan imbursment yg tidak tepat. Situasi pembiayaan yangg tidak merata terutama Indonesia bagian tengah dan timur. Mereka sebenarnya tidak kekurangan uang, seperti contohnya provinsi Papua memiliki anggaran dengan uang banyak dan jumlah penduduk sedikit. Koordinasi perencanaan dan anggaran di daerah belum bagus antara kabupaten/kota, propinsi dan pusat. Ketidak sinkronan perencanaan program dan kegiatan yang tumpang tindih, serta kondisi politis yang banyak menetukan arah planning dan budgeting. Universal Coverage adalah sesuatu yang harus dilakukan Indonesia, tetapi apakah bisa dilaksanakan tanpa BPJS dr. Sigit Riyarto, PMPK FK UGM UC segera dilaksanakan tetapi, BPJS‐nya belum ditentukan. Semua BP asuransi kesehatan seperti PT. Jamsostek dan PT ASKES ingin menjadi BPJSnya. Harusnya BPJS ini perlu disepakati terlebih dahulu. Tetapi kita harus siap menuju UC tanpa BPJS. Tiap BP sudah mempunyai skema yang bagus, tetapi masih belum memiliki satu skema yang terintegrasi. Misalnya Jamsostek masih belum mengcover penyakit yang katastropik, ASKES masih belum memberikan pelayanan yang adil, dsbnya. Saat ini para BP tersebut (JAMSOSTEK, ASKES, JAMKESMAS, JAMPERSAL, ASABRI, dsb) berlomba untuk meningkatkan kepersertaan. Meningkat kepesertaan ini apakah sifatnya politis. Termasuk jampersal yang menanggung 2,8 juta ibu hamil. Perlu diketahui bahwa peningkatan coverage dalam 30 tahun terakhir terjadi karena Askeskin/Jamkesmas dan Jamkesda. Bukan karena prestasi Askes, Jamsostek atau lembaga asuransi lain. Kebijakan yang menyerupai adalah jampersal (jaminan persalinan gratis). Diperkirakan akan meningkatkan coverage 1‐3 juta ibu hamil. UC tanpa BPJS ini beresiko karena terdapt pihak yang menganggap tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Fragmentasi pengelolaan akan terjadi. Artinya terdapat pengelolaan yang berbeda‐beda, dengan benefit yang juga berbeda‐beda. Pada akhirnya perlu didiskusikan, apakah semua scenario dapat mencapai UC? Ya, semua akan mencapai UC, tetapi yang paling cepar adalah kalau ada BPJS yang disepakati semua pihak. Rekomendasinya adalah negosiasi dan lobby politik tetap diusahakan dr. Prita, Seperi di RS, punya banyak spesialisasi tetapi tidak ada organisasi tim kerja. Demikian pula di departemen ksehatan, terlalu banyak skema tetapi tidak ada koordinasi satu dengan yang lain, hal ini menunjukkan adanya mis‐management Ahmad Anshori, JAMSOSTEK Saat ini UC terkendala masalah keinginan politik (political will). Proses politik di DPR justru memperkeruh suasana saat ini. Dikotomi siapa yang akan menjadi BPJS tunggal, bukan menjadi isu pertanyaan penting. Permasalahan yang muncul adalah kepastian hukumnya. Tiap BP mempunyai latar belakang kepentingan yang berbeda‐beda. Masalah yang ada sebetulnya adalah dalam UU no 40 tahun 2004 yang dikira banyak orang tidak mungkin salah. Padahal dalam UU tersebut ada materi yang belum sesuai dengan kondisi saat ini. Asih Eka Putri ( LSM) Jaminan Kesehatan di Indonesia ini masih di persimpangan jalan antara jaminan kesehatan dengan pembiayaan program kesehatan total oleh pemerintah. Sekarang ini pemerintah jangan terlalu terpaku kepada pola pola uji coba, harus segera implementasi. Saat ini potensi pajak kita sudah progresif, sehingga seharusnya sudah menetapkan pola pembiayaan kesehatan. Pemerintah harus cepat bertindak untuk menetapkan pola pembiayaan, baik secara regulasi perundangannya dan
sistematika‐nya. UC harus segera berpikir bagaimana bisa mengkombinasi dari para BP ini. Termasuk salah satunya adalah jaminan bagi usia pension (>65 tahun). Setiap pilihan tentu saja ada resikonya. Tetapi ini lebih baik daripada harus berlama‐lama di tengah persimpangan jalan. dr. Prita Dari kelompok ini perlu jadi motor untuk ikut dalam pembahasan DPR, khususnya untuk membantu meyakinkan pemerintah dan DPR. Kemampuan pemerintah untuk monitoring dan evaluasi untuk seluruh program kesehatan. Misalnya akreditasi untuk RS masih belum berjalan dengan baik. SPM untuk pelayanan medik di RS sampai saat ini tidak terkontrol. Perlu ada standar baku SPM. Soewarta Kosen (Balitbangkes, Kemenkes) Kembali ke anggaran Kemkes, dipatok 5% (60T) tetapi dari anggaran tersebut hanya optimal 30T atau dengan komposisi 15T untuk public goods dari pemerintah, sisanya untuk asuransi social/jaminan kesehatan. Lebih dari itu akan membentuk program yang “tidak benar” jadi yang paling penting adalah adanya sense dari pemerintah untuk bisa mengalokasikan anggaran dengan benar. Isu yang penting adalah pemerataan, equity, yang saat ini pemerintah belum melihat hal ini menjadi suatu outcomes dari kebijakan pembiayaan. Dr Pujiyanto (FKM UI) Pemerintah tidak sadar bahwa anggaran ini harus dihabiskan tetapi harus kembali ke Rakyat. Jadi potensi sisa ini perlu ditindak lanjuti. Anggaran harus efisiensi, saat ini terjadi in‐efisiensi 10%‐30%. Untuk masalah BPJS, bisa lebih jelas lagi porsi masing‐masing BPJS sebagai sopir dari system jaminan kesehatan, sehingga mohon dikembalikan ke UU SJSN. Walaupun jika ada masalah, bisa dikembalikan atau di amandemen. Yang penting jalan, sambil ada pembenahan di tengah jalan jangan dipersimpangan. Ahmad Anshori ( JAMSOSTEK) Ada indikasi negative bahwa para BPJS ini ada keinginan terpendam, tetapi ketakutan ini perlu diatasi dengan menjalaninya terlebih dahulu, jika kemudian ada hambatan, bisa dilakukan pembenahan. Let’s do Something dimulai dari hal yang sederhana. Siapa yang menjadi BPJS merupakan hanya 1 masalah kecil, tetapi masalah yang besar adalah konten dari bentuk jaminan itu sendiri. Untuk BPJS sendiri, saat ini yang diperlukan ketegasan pemerintah untuk memulai bentuk dasar jaminan, dan para BP akan mengikutinya. UC perlu dilihat dari sisi lain, harus dilihat kebutuhan masyarakat, jadi jangan sampai masyarakat terus menunggu. Perlu segera diperjelas. Secara simple, justru semacam jamkesda terlihat lebih operasional, dan langsung “kena” di masyarakat. Jadi argument siapa yang jadi BPJS bukan masalah, yang ditunggu adalah tindakan langsung. Jadi perlu segera diputuskan. Eddy (FKM UI) Kita terbiasa membuat keputusan tidak selesai, dan sering kali membuat system tidak berjalan. Solusinya kita berpikir ke sebuah system besarnya dulu dibenahi, baru system kecilnya dipikirkan kemudian. Rizkyana Riskandi Putra ( Dir. Gizi dan KIA) Indonesia dengan disparitas yang luar biasa lebar, perlu dilihat dimana weakness kita, perlu dimediasi oleh perguruan tinggi. Perlu identifikasi problem dasar dan tujuan akhirnya. Jadi setuju pembenahan system besarnya, dan perlu ditindak lanjuti dengan kebijakan yang operasional, jangan hanya teori, perlu kerja sama antara pemerintah, legislative, akademisi dan LSM. Masalahnya tidak hanya straight benar dan salah. Kebijakan one for all tidak bisa dilakukan.
Komentar Penutup dan kesimpulan: Perlu tindak lanjut untuk membantu pemerintah minimal jadi pendamping pemerintah memberikan masukan tentang kebijakan pembiayaan kesehatan public dan jaminan kesehatan. Dibutuhkan suatu jejaring bersama lintas sector yang concern masalah pembiayaan kesehatan: • Perlu tim work Æ berpikir as a one team for the country • Perlu Leadership Æ good leader • Perlu kembali ke permasalahan inti Æ health for all, kesehatan untuk masyarakat • Pentingnya Supervisi, Monitoring dan Evaluasi yang total dalam semua kegiatan dan program kesehatan. • Perdebatan politik tentang badan penyelenggara jaminan sosial akan tetap ada dan diprediksikan terjadi terus. • UGM menyarankan bahwa perdebatan tersebut tidak mengganggu pemerintah pusat dan daerah serta penyelenggara jaminan yang sudah ada sekarang untuk meningkatkan kepesertaan. • Cara untuk meningkatkan kepesertaan yang paling cepat adalah dengan menyediakan anggaran yang semakin besar yang berasal dari pemerintah pusat (APBN) dan pemerintah daerah (APBD).