NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEBAHAGIAAN OTENTIK (AUTHENTIC HAPPINESS) PADA MAHASISWA
Oleh: DAFIT MUHAMMAD MUSLIM FUAD NASHORI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007
1
2
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEBAHAGIAAN OTENTIK (AUTHENTIC HAPPINESS) PADA MAHASISWA
Oleh: DAFIT MUHAMMAD MUSLIM FUAD NASHORI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007
3
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEBAHAGIAAN OTENTIK (AUTHENTIC HAPPINESS) PADA MAHASISWA
Telah disetujui pada tanggal
___________________________
Dosen Pembimbing
(H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., Psi)
4
HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEBAHAGIAAN OTENTIK (AUTHENTIC HAPPINESS) PADA MAHASISWA
Dafit Muhammad Muslim H. Fuad Nashori INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dengan kebahagiaan otentik pada mahasiswa. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara religiusitas dengan kebahagiaan otentik pada mahasiswa. Semakin tinggi religiusitas mahasiswa, maka semakin tinggi kebahagiaan otentik mahasiswa. Sebaliknya semakin rendah religiusitas mahasiswa, maka semakin rendah kebahagiaan otentik mahasiswa. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia yang terdiri dari prodi Akuntansi, Ilmu Ekonomi dan Manajemen masih tercatat sebagai mahasiswa aktif angkatan 2003-2007. Teknik pengambilan subjek yang digunakan adalah purposive sampling yaitu dengan pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang memiliki sangkut paut dengan ciri-ciri populasi yang telah diketahui sebelumnya. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah menggunakan skala. Adapun skala yang digunakan adalah skala kebahagiaan otentik berjumlah 36 aitem dengan memodifikasi alat ukur dari Seligman (2002) yaitu; authentic happiness inventory, approaches to happiness questionnaire, general happiness scale, statisfaction with life scale, dan the gratitude survey. Skala religiusitas berjumlah 30 aitem yang disusun peneliti dengan mengacu pada teori Ancok & Suroso (2004). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS Versi 13,0 for windows untuk menguji apakah ada hubungan antara religiusitas dengan kebahagiaan pada mahasiswa. Korelasi product moment dari Spearman menunjukkan korelasi sebesar r = 0,423 dan p=0,000 (p<0,01). Hal ini berarti bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara religiusitas dengan kebahagiaan mahasiswa. Jadi hipotesis yang diajukan peneliti diterima. Kata kunci: Religiusitas, Kebahagiaan Otentik.
5
Pengantar Sejak dahulu kebahagiaan (happpiness) merupakan suatu hal yang sangat penting dan didambakan setiap manusia. Aristoteles (384-324 SM) berpendapat bahwa kebahagiaan itu adalah tujuan terakhir dari kehidupan manusia (http://enlightenment.multiply.com). Berbagai penelitian di seluruh dunia menunjukkan bahwa manusia memerlukan pertolongan untuk menemukan apa yang membuat mereka bahagia. Kebahagiaan ternyata juga menjadi dambaan mahasiswa baik di negeri Barat maupun Timur. Hanya 2% responden yang mengatakan tidak pernah memikirkannya sama sekali (Diener dkk dalam Diponegoro, 2005). Energi kebahagiaan mampu mempengaruhi kesehatan fisik seseorang. Penelitian Cohen menemukan bahwa kebahagiaan dapat meningkatkan kesehatan tubuh (http://astaga.com). Keadaan jasmani individu yang bahagia lebih sehat, cepat sembuh dari penyakit dan lebih tahan menghadapi penyakit dibandingkan individu yang tidak bahagia (Myers dalam Diponegoro, 2005). Dalam penelitian lainnya di Sekolah Biarawati Notre ditemukan bahwa kebahagiaan mampu turut serta memperpanjang usia harapan hidup. Sebuah riset tentang pengaruh kebahagiaan terhadap produktivitas menghasilkan bahwa perasaan lebih bahagia menyebabkan produktivitas yang tinggi dan penghasilan yang lebih besar. Penelitian Aspinwall (Seligman, 2002) mengumpulkan bukti kuat bahwa dalam mengambil keputusan penting pada kehidupan nyata, individu yang bahagia lebih pintar daripada individu yang tidak bahagia. Diener menemukan bahwa orang
6
yang bahagia nantinya cenderung punya penghasilan lebih tinggi dalam hidup (www.kompas.com). Berlawanan dengan perasaan bahagia, bisa diartikan bahwa individu merasakan perasaaan tidak bahagia. Khavari (2006) menyatakan bahwa ketidakbahagiaan tidak sama dengan depresi klinis, namun depresi klinis dan ketidakbahagiaan umum mempunyai banyak persamaan gejala. Khavari (2006) menjelaskan lebih lanjut bahwa energi ketidakbahagiaan bersifat konstruktif dan destruktif. Bersifat konstruktif bila ketidakbahagiaan menjadi kekuatan yang menambah daya upaya untuk berbuat sesuatu demi membuang sumber ketidakbahagiaan. Ketidakbahagiaan bersifat destruktif apabila energi bersifat merusak ataupun merugikan, dalam contoh ekstrem energi ketidakbahagiaan mampu menghisap daya hidup seseorang. Contohnya bertindak kasar terhadap apa yang dianggap sebagai sumber ketidakbahagiaan, membunuh orang yang tak bersalah, individu yang hatinya remuk redam bisa melakukan bunuh diri. Kasus bunuh diri terjadi pada kehidupan yang kosong dari pengaruh spiritual. Kekosongan pengaruh spiritual ini akhirnya akan membawa manusia kepada
kehidupan
yang
tidak
tenteram
dan
tidak
bahagia
(http://www.mykhilafah.com). Sebuah survei terhadap sejumlah mahasiswa di Eropa dan Amerika menunjukkan bahwa, 25 sampai 60 persen mahasiswa sedikit-banyak merasakan kehampaan eksistensial. Kehampaan eksistensial tersebut terutama tercermin dalam bentuk rasa bosan (Frankl, 2004). Sebuah hasil survei di Amerika menunjukkan, bahwa waktu perasaan kecewa anak muda yang berusia antara 20-
7
24 tahun lebih lama dibanding orang tua yang berusia 65-74 tahun (www.erabaru.or.id). Kehampaan dan kekecewaan merupakan kondisi yang mencerminkan kondisi tidak bahagia. Perasaan tidak bahagia yang dirasakan mahasiswa di Indonesia dapat dilihat dari perilaku menyimpang yang mengindikasikan perasaan tidak bahagia yang kemudian memunculkan perilaku dstruktif serta adanya keinginan mencari kebahagiaan dengan cara-cara tertentu; Ada yang berusaha keras mengejar harta, ada yang melakukan segala macam kemaksiatan, seperti minum-minuman keras dan seks bebas, ada pula yang lari dari kenyataan dengan cara menenggak alkohol, pil ekstasi dan barang-barang aditif lainnya. Namun ternyata semua itu tidak membuat mereka bahagia. Sebaliknya, mereka malah merasakan kesengsaraan batin. Hidup tidak tenang, dan selalu dihantui kecemasan. (http://www.republika.co.id). Delapan pasangan selingkuh, dua pasang di antaranya mahasiswa digrebeg aparat kepolisian, yang sedang melancarkan operasi di sejumlah hotel di semarang (Kedaulatan Rakyat, 31 Oktober 2005). Lima oknum mahasiswa yang sedang nyabu di kos – kosan tak berdaya saat disergap petugas kepolisian (Koran Merapi, 3 desember 2005). Perilaku menyimpang lain adalah sebagai berikut; 73,1% remaja laki-laki telah merokok dan remaja putri sebesar 12,5%, minum-minuman keras 42,2% pada remaja lakilaki dan 3% pada perempuan, narkoba 22,4% pada remaja laki-laki dan 2,3% pada remaja perempuan, seks sebelum menikah 9,4% pada laki-laki dan 3,2% pada perempuan (www.pikiranrakyat.com). Setiap tahun diperkirakan 15.000 remaja (serta mahasiswa) tewas akibat penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan
8
bahan adiktif lainnya di seluruh Indonesia. Sementara omzet peredaran narkoba dalam satu tahun diperkirakan mencapai Rp 20 triliun (www.kompas.com). Perilaku menyimpang tersebut mengindikasikan adanya ketidakbahagiaan. Menurut Suardiman (1995) kebahagiaan dapat menjauhkan individu dari masalahmasalah yang serius dan perilaku menyimpang yang serius. Menurut Myers tanda individu
yang
memiliki
kebahagiaan
dalam
hidupnya
adalah
mampu
mengendalikan diri termasuk tidak berperilaku menyimpang (www.gsnsoeki.com). Menurut Rostiana & Nisfiannoor (2004), individu yang memiiki level subjective well being atau kebahagiaan yang tinggi pada umumnya memiliki sejumlah kualitas yang baik, seperti kontrol emosi yang baik dan mampu menghadapi peristiwa-peristiwa dalam kehidupan dengan cara yang baik, tentunya bukan dengan cara ataupun perilaku yang menyimpang. Aristoteles (Hasyim, 1983) menyatakan bahwa kenikmatan, kelezatan, dan kebahagiaan bukanlah bersumber pada sesuatu yang serba duniawi atau kebendaan, karena kenikmatan kebendaan itu terbatas, membosankan dan menjemukan. Kelezatan rohanilah yang tidak membosankan. Senada dengan Aristoteles, Basya (2006) menyatakan bahwa kebahagiaan terdapat dalam ketaatan kepada Allah, kecintaan kepada sesama, membantu orang fakir, mengobati yang terluka, menolong yang jatuh, memberi makan yang kelaparan, dan mengasihani orang-orang yang layak untuk dikasihani. Penelitian yang dilakukan Diener dan Seligman terhadap 222 mahasiswa selama satu semester menemukan bahwa aktivitas religius dan olah raga mampu menimbulkan
perasaan
bahagia
(http://flexiland.telkomflexi.com).
Hasil
9
penelitian ahli psikologi menunjukkan bahwa kebahagiaan yang menjadi idaman seluruh ummat manusia ini ternyata banyak dimiliki oleh individu yang aktif beribadah, berdo’a dan bersedekah (McCullough dalam Diponegoro, 2005). Nashori (1997) menjelaskan bahwa secara sekilas dapat dilihat dari dalam (hati nurani) bahwa siapa yang mendekat kepada Tuhan, maka individu merasa lebih tenang kehidupannya. Siapa yang menjauh dari Tuhan, maka kehidupannya akan lebih diwarnai dengan stres dan ketidak-tentraman. Seligman (2002) menyatakan bahwa terdapat korelasi yang lebih mendasar; agama mengisi manusia dengan harapan akan masa depan dan menciptakan makna hidup. Berdasarkan survei secara konsisten menunjukkan bahwa orang-orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada orang yang tidak religius (Seligman, 2002). Oleh karena itu mahasiswa yang religius akan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Kebahagiaan otentik yang dirasakan karena mengamalkan perintah agama dan menjauhi larangan agama dengan penuh kesungguhan. Seligman (2002) menjelaskan tentang kehidupan yang utuh atau dapat diartikan merasakan kebahagiaan otentik adalah mengalami emosi positif tentang masa lalu dan masa sekarang, menghayati perasaan positif dari kenikmatan, memperoleh banyak gratifikasi dengan cara mengerahkan kekuatan pribadi, dan menggunakan kekuatan ini untuk sesuatu yang lebih Akbar. Aspek kebahagiaan otentik menurut Seligman (2002) yaitu: a. Kepuasan akan masa lalu b. Kebahagiaan pada masa sekarang
10
c. Optimisme akan masa depan Nashori (1997) menyatakan bahwa individu yang religius selalu mencoba patuh
terhadap
ajaran-ajaran
agamanya.
Mereka
berusaha
mempelajari
pengetahuan-pengetahuan agama, meyakini doktrin-doktrin agama, menjalankan ritual agama, beramal dan selanjutnya merasakan pengalaman-pengalaman beragama. Ancok dan Suroso (2004) merumuskan dimensi religiusitas yang disesuaikan dengan Islam ke dalam lima dimensi, yaitu: a. Dimensi keyakinan atau akidah Islam. b. Dimensi pengetahuan atau ilmu. c. Dimensi peribadatan (atau praktek agama) atau syariah. d. Dimensi pengamalan atau akhlak. e. Dimensi penghayatan atau pengalaman.
Metode Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi UII yang terdiri dari prodi Akuntansi, Ilmu Ekonomi dan Manajemen baik laki-laki atau perempuan yang masih tercatat sebagai mahasiswa aktif angkatan 2003-2007. Teknik pengambilan subjek yang digunakan adalah purposive sampling. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua macam skala yaitu skala kebahagiaan otentik dan skala religiusitas. Kebahagiaan otentik diungkap melalui skala kebahagiaan otentik (selanjutnya diberi nama skala pengkuran K), yang disusun oleh penulis dengan memodifiksi
11
aitem
dalam
authentic
happiness
inventory,
approaches
to
happiness
questionnaire, general happiness scale, statisfaction with life scale, dan the gratitude survey buatan Seligman (2002) yang mengukur kebahagiaan dengan aspek-aspek sebagai berikut; (1) optimisme akan masa depan mencakup, (2) kebahagiaan masa sekarang, dan (3) kepuasan akan masa lalu. Tingkat religiusitas dalam penelitian ini diungkap melalui skala religiusitas (selanjutnya diberi nama skala pengukuran R1 dan R2), yang disusun oleh penulis dengan mengacu pada teori Ancok dan Suroso (2004) yang merumuskan dimensi religiusitas ke dalam lima dimensi, yaitu: (1) dimensi keyakinan atau akidah Islam, (2) dimensi pengetahuan atau ilmu, (3) dimensi peribadatan (atau praktek agama) atau syariah, (4) dimensi pengamalan atau akhlak, dan (5) dimensi penghayatan atau pengalaman Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik uji korelasi Product Moment, dengan alat bantu yang digunakan untuk analisis statistik adalah program komputer SPSS 13,0 for windows.
Hasil Penelitian Uji normalitas menunjukkan bahwa data penelitian memenuhi syarat normalitas yaitu skor kedua variabel terdistribusi normal. Dari hasil pengolahan data kebahagiaan diperoleh koefisien K-SZ = 0,718 dengan p = 0,681 (p > 0,05) dan data religiusitas diperoleh K-SZ = 0,440 dengan p = 0,990 (p>0,05). Dari hasil uji linearitas pada kedua variabel diperoleh F = 25,507 dengan p = 0,000 (p < 0.05), sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara kedua
12
variabel adalah linier. Oleh karena itu, pada variabel- variabel diatas dapat dikenakan analisis korelasi
product moment dari Pearson dengan program
komputer SPSS 13,0 for windows. Uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara religiusitas dengan kebahagiaan otentik pada mahasiswa Fakultas Ekonomi UII. Dari hasil analisis menunjukkan besarnya koefisien korelasi antara variabel religiusitas dan variabel kebahagiaan adalah r = 0,423 dengan p = 0,000 (p < 0,01). Berdasarkan data tersebut maka dinyatakan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara religiusitas dengan kebahagiaan otentik. Semakin tinggi religiusitas, maka semakin tinggi kebahagiaan otentik subyek. Sebaliknya, semakin rendah religiusitas, maka semakin rendah kebahagiaan otentik subyek. Hasil analisis data ini menunjukkan bahwa hipotesis yang dikemukakan oleh peneliti diterima.
Pembahasan Hasil analisis korelasi dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson menunjukkan bahwa adanya hubungan positif yang sangat signifikan antar variabel. Semakin tinggi religiusitas, maka semakin tinggi kebahagiaan subyek. Sebaliknya, semakin rendah religiusitas, maka semakin rendah kebahagiaan subyek. Hal ini berarti hipotesa yang diajukan oleh peneliti telah terbukti diterima. Besarnya r² =0,179 menunjukkan bahwa sumbangan religiusitas terhadap kebahagiaan otentik sebesar 17,9%.
13
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Seligman (2002) yang menyatakan bahwa individu yang religius merasa lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupannya dibandingkan dengan individu yang tidak religius. Sejalan pula dengan hasil penelitian Diponegoro (2004), bahwa nilai ajaran Islam berperan pada kepuasan hidup dan afek (kesejahteraan subjektif) remaja Islam. Sejalan pula dengan hasil penelitian Rostiana & Nisfiannoor (2004), yaitu terdapat hubungan yang positif antara komitmen beragama dan subjective well being pada remaja akhir. Berdasarkan hasil analisis stepwise diperoleh tiga aspek sebagai predictor yang signifikan mampu mempengaruhi kebahagiaan, yaitu; aspek pengalaman, aspek pengamalan, dan aspek keyakinan dengan nilai r = 0,526 dan r² = 0,277. Besarnya sumbangan ketiga aspek tersebut dalam mempengaruhi kebahagiaan adalah 27,7%. Sedangkan aspek praktek agama dan aspek pengetahuan dinyatakan tidak signifikan sebagai predictor yang mempengaruhi kebahagiaan. Kebahagiaan otentik dirasakan oleh individu yang mempunyai keyakinan (akidah) yang kuat terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Menurut Jauziyah (Hasyim, 1983) keyakinan serta keteguhan akan membuat hati merasakan ketentraman. Menurut Seligman (2002), keyakinan menjadikan individu optimis terhadap masa depan dan merasakan kebahagiaan. Menurut Daradjat (1988), modal utama dalam mencapai kebahagiaan adalah iman (kepercayaan/keyakinan). Kepercayaan yang telah diejawantahkan dalam kehidupan akan membuat individu benar-benar teguh dalam pendirian, tidak mudah digoncangkan oleh berbagai
14
godaan, baik yang berupa harta, anak, kedudukan, dan segala bentuk kesenangan duniawi. Keimanan yang teguh dan kuat, serta memantul dalam sikap hidup sehari-hari, itulah yang akan membuat kebahagiaan dalam hidup. Kebahagiaan dirasakan oleh individu yang mempunyai keyakinan (akidah) kemudian mengamalkannya dalam kehidupannya sehari-hari atau sering disebut memiliki akhlak yang baik saat berhubungan dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Ancok & Suroso (2004) menjelaskan akhlak seorang diwujudkan
dalam
perilaku
suka
menolong,
bekerjasama,
Muslim berderma,
menyejahterakan dan menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan kebenaran dan keadilan, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum minuman yang memabukkan, mematuhi norma-norma Islam dalam berperilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam, dan sebagainya. Menurut Hidayat (2006), dengan memberi, berbagi, menolong orang lain maka individu akan merasa hidupnya lebih bermakna dan bahagia. Tolstoy (Hasyim, 1983) menyebutnya sebagai kebahagiaan sejati, yaitu kebahagiaan bersama dalam masyarakat pada umumnya. Bilamana semua orang saling mencintai dan saling menolong dalam kebaikan, dan cintanya kepada orang lain itu sebagaimana cintanya terhadap dirinya, maka amanlah dunia ini dan berbahagialah masyarakat luas. Seligman (2002) menjelaskan bahwa jika individu menggunakan kekuatan khas pada dirinya seperti; kearifan dan pengetahuan, keberanian, kemanusiaan dan cinta, keadilan, kesederhanaan, dan transendensi maka individu tersebut akan
15
merasakan hidupnya semakin bersemangat, merasakan ektase, rasa senang, riang, ceria, kegembiraan, santai, tenang, flow dan gratifikasi. Kebahagiaan akan dirasakan oleh individu yang telah merasakan pengalaman-pengalaman religius akibat mengamalkan (akhlak) ajaran agamanya dengan sungguh-sungguh dan disertai dengan keyakinan (akidah) yang kuat. Pengalaman tersebut dikatakan Daradjat (2003) sebagai religious experience. Menurut Ancok & Suroso (2004), pengalaman religius tersebut antara lain; merasa dekat dengan Allah, merasa do’a-do’anya sering terkabul, merasa bertawakkal (pasrah diri secara positif), merasa khusyu’ ketika sholat atau berdo’a, merasa tergetar mendengar adzan atau ayat-ayat Al-Qur’an, merasa bersyukur, merasa mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah dan merasa tenteram bahagia karena menuhankan Allah. Menurut Maslow (Ancok & Suroso, 2004), keadaan ini adalah bagian dari kesempurnaan manusia. Pada saat seperti ini individu dapat mengaktualisasikan diri, mengalami ektase, kebahagiaan, perasaan terpesona yang meluap-luap, suatu pengalaman keagamaan yang mendalam. Dalam keadaan seperti ini Seligman (2002) mengatakan bahwa individu merasakan kenikmatan batiniah yang menimbulkan parasaan; semangat yang meluap-luap, ektase, rasa senang, riang, ceria, kegembiraan, santai, tenang, dan flow. Pada keadaan ini pula individu merasakan gratifikasi (gratification) yang membuat individu merasa terlibat sepenuhnya, tenggelam dan terserap di dalamnya, merasa kehilangan kesadaran diri, dan flow yang dihasilkan oleh kepuasan-bukan hadirnya kenikmatan.
16
Pada dimensi pengetahuan dan ritual agama tidak terbukti mempengaruhi kebahagiaan otentik. Karena pengetahuan dan ritual yang dijalankan tanpa disertai dengan keyakinan yang kuat dan tidak dapat tercermin dalam perilaku (akhlak) di kehidupan sehari-hari. Selain itu mungkin pengetahuan dan ritual tidak dijalankan sesuai dengan perintah serta larangan-Nya. Menurut Bukhori (2006), tanpa keyakinan atau kepercayaan terhadap Tuhan individu tidak mungkin akan merasakan ketenangan jiwa dan kebahagiaan dalam hidup. Bukhori (2006) menambahkan bahwa ibadah-ibadah yang diajarkan dalam Islam akan mampu memberikan pengaruh positif jika dilakukan sesuai dengan pedoman yang disampaikan oleh Allah, serta dengan mengindahkan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kebahagiaan otentik yang dirasakan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia ternyata dimiliki oleh individu yang mempunyai keyakinan kuat terhadap agamanya yang kemudian tercermin dalam perilakunya (akhlak) sehari-hari sehingga individu tersebut benar-benar merasakan suatu pengalaman dalam beragama kemudian pengalaman itu membuat individu merasakan kebahagiaan otentik dalam kehidupannya. Sedangkan pengetahuan dan ritual tidak signifikan mempengaruhi kebahagiaan otentik.
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian hubungan religiusitas dengan kebahagiaan otentik pada mahasiswa adalah sebagai berikut:
17
1. Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara religiusitas dengan kebahagiaan otentik pada mahasiswa. 2. Ditemukan tiga aspek religiusitas yang signifikan mempengaruhi kebahagiaan otentik. Besarnya pengaruh aspek tersebut secara berurutan yaitu aspek pengalaman, aspek pengamalan dan yang terakhir aspek keyakinan. Aspek pengetahuan dan ritual tidak signifikan mempengaruhi kebahagiaan otentik
Saran Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran sebagai berikut: 1. Bagi subyek penelitian Hendaknya mahasiswa lebih meningkatkan keyakinan dalam beragama kemudian mengamalkan ajaran agama Islam dengan sungguh-sungguh dalam berbagai aspek kehidupan agar merasakan suatu pengalaman beragama sehingga merasakan kebahagiaan otentik dalam kehidupannya. Bagi civitas akademik Fakultas Ekonomi pada khususnya dan fihak Universitas
Islam
memfokuskan
pada
Indonesia hal-hal
pada yang
umumnya mampu
diharapkan
meningkatkan
semakin religiusitas
mahasiswanya. 2. Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik ingin meneliti masalah kebahagiaan otentik diharapkan memperhatikan faktor-faktor yang belum atau tidak terungkap dalam penelitian seperti; faktor kehidupan sosial/hubungan
18
interpersonal, faktor cinta dan perkawinan, pekerjaan, tugas dan aktivitas yang memuaskan dan menyenangkan, dan lain sebagainya. Karena dalam penelitian ini ditemukan bahwa religiusitas memberikan sedikit pengaruh terhadap kebahagiaan otentik berarti sebagian besar dipengaruhi oleh faktor selain religiusitas namun faktor-faktor tersebut tidak diteliti dalam penelitian ini. Diharapkan peneliti selanjutnya lebih memperhatikan alat ukur yang akan digunakan. Pertama, sebisa mungkin meminimalisir aitem yang mengandung social desirability tinggi pada alat ukur kebahagiaan otentik maupun pada alat ukur religiusitas. Kemudian yang kedua hendaknya pada variabel religiusitas perlu memperhatikan dimensi pengetahuan dan praktek agama. Aitem-aitem pada dimensi pengetahuan diharapkan lebih spesifik mampu mengungkap sesuai dengan variabel bebasnya. Aitem-aitem pada dimensi praktek agama atau peribadatan diharapkan mampu mengungkap praktek agama yang mendalam dan tidak terkesan hanya mengungkap secara permukaan saja.