NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT RELIGIUSITAS DENGAN RELASI BERSAMA PEER GROUP PADA LANSIA
Oleh : Allif Rahmi Hani Qurotul Uyun
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2005
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT RELIGIUSITAS DENGAN RELASI BERSAMA PEER GROUP PADA LANSIA
Telah Disetujui Pada Tanggal
Dosen Pembimbing
(Qurotul Uyun, S.Psi)
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT RELIGIUSITAS DENGAN RELASI BERSAMA PEER GROUP PADA LANSIA
Allif Rahmi Hani Qurotul Uyun
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan positif antara tingkat religiusitas dengan relasi bersama peer group pada lansia. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara tingkat religiusitas dengan relasi bersama peer group pada lansia Semakin tinggi tingkat religiusitas, semakin positif relasi bersama peer group pada lansia. Sebaliknya semakin rendah tingkat religiusitas, semakin negatif relasi bersama peer group pada lansia. Subjek dalam penelitian ini adalah Lansia yang berdomisili di Sagan dengan rentang usia antara 60-90 tahun. Tehnik pengambilan subjek yang digunakan adalah metode angket. Adapun skala yang digunakan adalah skala religiusitas yang menggunakan teori Glock&Stark (1966) dan skala relasi bersama yang menggunakan teori David (1999). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 11,0 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara tingkat religiusitas dengan relasi bersama peer group pada lansia. Korelasi product moment dari Pearson menunjukkan korelasi sebesar r = 0,310, p < 0,01 yang artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara tingkat religiusitas dengan relasi bersama peer group pada lansia. Jadi hipotesis penelitian diterima. Kata Kunci :Tingkat religiusitas, Relasi bersama peer group pada lansia
A. Pengantar Kemajuan teknologi yang semakin maju menyebabkan adanya perkembangan di segala bidang kehidupan manusia. Perkembangan itu meliputi bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang juga akan mendukung penemuan baru dalam ilmu pengetahuan yang lain. Semua perkembangan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia agar tercukupi kebutuhan hidupnya. Perkembangan di bidang pangan dan kesehatan akan dapat menambah harapan usia hidup manusia agar lebih lama dan produktif. Semakin tingginya angka harapan usia hidup, maka sebagai konsekwensinya akan semakin banyak pula jumlah penduduk yang berusia lanjut. Di Indonesia tahun 1990 harapan usia hidup rata-rata mencapai 59.8 tahun. Perkiraan ini cenderung meningkat pada satu dekade berikutnya yaitu bertambahnya usia harapan hidup hingga mencapai usia 65 tahun.diperkirakan sampai tahun 2020 harapan usia hidup akan mencapai usia 71,7 tahun (Pikiran Rakyat,11-10-2003) Fenomena pertambahan jumlah penduduk berusia lanjut atau Aged Population Boom, seperti yang dikatakan oleh Sri Sultan HB X adalah akibat dari meningkatnya usia harapan hidup. Diantara enam propinsi lainnya, DIY adalah yang tertinggi dalam jumlah penduduknya yang berusia lanjut. Enam propinsi tersebut adalah DIY (13,7 %), (JaTim 10,45 %), Bali ((,79 %), SulSel 7,63 %) dan SumBar (9,08 %) (Bernas,1612-2003). Hal ini memerlukan penanganan agar tidak dapat berkembang menjadi sumber masalah baru bila tidak mendapat penanganan khusus dari pemerintah. Permasalahan baru ini akan berdampak bagi usia produktif maupun bagi keseimbangan sistem kependudukan yang ada. Lanjut usia mendapat kedudukan dan penghormatan yang tinggi dalam masyarakat sehingga mereka mendapat perlakuan khusus dari orang lain dan
keluarganya (Gandadiputra,1985). Maksud dari perlakuan tersebut adalah untuk menunjukkan penghargaan dan penghormatan pada lanjut usia. Mereka mendapat perlakuan istimewa berupa pembebasan dari tugas-tugas sosial dan tugas sebagai orang tua. Sebagai contohnya dalam suatu kegiatan sosial dalam masyarakat, lanjut usia hanya diberi jabatan sebagai penasehat saja tanpa diberi kesempatan untuk ikut turun tangan membantu secara konkrit. Mereka jarang diberi jarang diberi kesempatan untuk menduduki jabatan yang mempunyai peran riil. Selain itu lanjut usia oleh keluarganya seringkali diminta untuk banyak tinggal dirumah beristirahat dan mengurangi aktifitas agar tidak lelah. Perlakuan istimewa tersebut dikatakan untuk alasan kesehatan dan keamanan lanjut usia itu sendiri. Pada kenyataannya perlakuan yang maksudnya ingin melindungi dan menghargai lanjut usia menjadi salah kaprah dan lebih cenderung memanjakan tanpa memberikan kesempatan pada lanjut usia untuk mengembangkan diri sesuai keinginannya. Penghormatan yang sebenarnya bertujuan positif ternyata justru menciptakan jarak komunikasi dan emosional dengan lingkungan sosial. Yang terjadi kemudian adalah lanjut usia merasa bingung karena ruang geraknya dibatasi dan tidak bisa secara bebas melakukan keinginannya akibat dari pembatasan aktifitas yang boleh dilakukan lanjut usia. Hal semacam itu dapat memunculkan perasaan tidak berguna dan tersisih yang mungkin juga menimbulkan depresi bila dibiarkan berlarut-larut. Padahal sebenarnya mereka masih ingin tetap memberikan kontribusi nyata sesuai dengan kemampuannya dan mendapat penghargaan dari orang lain secara wajar. Pada kenyataannnya orang lanjut usia tetap memerlukan perhatian dari lingkungan sosial yang menyangkut kesejahteraan fisik misalnya olah raga dan terutama
lagi
kesejahteraan
emosionalnya
berupa
hubungan
sosial
yang
menguntungkan terutama dengan teman sebaya. Pada lansia tetap ditemukan adanya
kebutuhan untuk berafiliasi terutama dengan keluarga dekat dan teman sebaya dalam rangka mendapat dukungan sosial serta penghargaan dari orang lain. kebutuhan berafiliasi yang terpenuhi akan mampu menekan tingkat depresi pada lansia, hal ini tentunya akan menimbulkan dampak yang positif bagi kesehatan mental lansia. Dari subjek penelitian lansia sebanyak 38 orang yang diukur tingkat depresinya, terungkap fakta bahwa 25 orang atau 65,8 % dari sampel menunjukkan tingkat depresi yang cukup. Dari subjek tersebut diukur tingkat kebutuhan berafiliasinya, ternyata didapatkan korelasi yang negatif dengan tingkat depresi. Subjek yang tingkat depresinya rendah mempunyai tingkat pemenuhan kebutuhan berafiliasi yang tinggi sekitar 55,3 %. Kenyataan ini didapat dengan adanya hasil penelitian tentang kebutuhan berafiliasi lansia pada panti werdha dengan judul Hubungan Antara Pemenuhan Kebutuhan Berafiliasi Dengan Tingkat Depresi Pada Wanita Lansia di PantiWerdha yang menyebutkan bahwa kebutuhan berafiliasi yang tinggi berkorelasi negatif dengan tingkat depresi pada lansia (Afida dkk, 2000). Ditinjau dari segi kesehatan, aktifitas pada lansia baik fisik maupun mental dan bersifat individual ataupun melibatkan orang lain dikatakan akan mampu menunjang kondisi fisik dan mental lansia. Secara fisik lansia yang tetap aktif diharapkan mampu untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungan sosialnya termasuk pada relasi bersama orang lain. Keuntungan dari segi fisik pada lansia yang tetap aktif terlibat aktifitas bersama orang lain salah satunya adalah tetap terjaga kondisi kesehatannya karena adanya tambahan informasi penting yang berkaitan dengan kesehatan dari orang lain. Secara mental aktifitas bersama orang lain juga mampu membawa manfaat yaitu pencegahan terhadap resiko terserang penyakit degeneratif misalnya pikun. Interaksi yang luas akan memberikan pengalaman baru yang mungkin terkait dengan peristiwa sebelumnya sehingga
aktifitas otak yang berkait dengan kemampuan menyimpan suatu informasi tetap aktif. Lansia selalu mendapat anggapan yang negatif dari orang lain terutama oleh usia yang jauh lebih muda (Santrock,1995). Mereka dianggap sebagai manusia yang sulit dan cenderung merepotkan serta sumber masalah. Lansia tidak mampu untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain terutama dengan generasi yang lebih muda karena adanya pemahaman yang berbeda. Masalah kepribadian yang mempengaruhi interaksi sosial juga sering menjadi keluhan baik pada lansia maupun orang di sekitarnya. Lansia menjadi semakin sulit beradaptasi dengan perubahan kondisi fisik dan mental yang menyebabkan perasaan sedih dan kecewa karena adanya anggapan negatif yang melekat pada diri lanjut usia. Akibatnya pada sebagian lanjut usia yang kurang matang perkembangan mentalnya muncul kompensasi berupa sikap yang maladaptif dan bagi orang lain menjengkelkan sehingga mereka semakin membutuhkan dukungan dari orang lain sehingga sering dikatakan rewel dan manja. Mereka hanya bisa menyalahkan dan memberi penilaian yang salah terhadap orang lain tanpa mau dan mampu memahami lebih jauh. Sikap kekanak-kanakan seperti inilah yang sering terjadi pada lansia yang mendapat predikat sebagai lansia sulit dari orang lain. Kenyataan seperti diatas sebenarnya tidak perlu terjadi apabila lingkungan sosial termasuk lanjut usia itu sendiri mau berkembang bersama serta adanya pemberian kesempatan. Sebenarnya anggapan diatas tidak seluruhnya salah berkaitan dengan kondisi yang terjadi pada usia lanjut. Menurut tahapan perkembangan dari Erickson (Carlson,1988) yang mengatakan bahwa usia lanjut adalah usia dimana tahap perkembangan sampai pada tahap integritas versus keputusasaan. Kondisi psikologis yang terjadi pada tahap keputusasaan adalah ditandai dengan adanya kondisi yang
menimbulkan perasaan negatif pada diri lansia. Emosi negatif yang biasanya dialami berupa perasaan tersisih, tidak berguna, perasaan hampa, menarik diri dari lingkungan, depresi dan perilaku maladaptif, serta beberapa perilaku lainnya yang pada umumnya disebut dengan lansia yang memiliki kepribadian yang sulit. Kondisi seperti di atas sangat mungkin dan umum ditemui pada usia lanjut. Pada umumnya perasaan kesepian, tersisih dan perasaan hampa terjadi karena berkurangnya jumlah anggota keluarga. Contohnya berpisah dengan anak-anaknya yang sudah membentuk keluarga sendiri dan secara otomatis akan mengurangi perhatian anak pada orang tua. Para ahli mengistilahkan kondisi diatas sebagai Empty Nest Syndrome (Zander,1985). Hal seperti ini sangatlah wajar terjadi dikarenakan perubahan aktifitas pada lansia. Pada saat jumlah anggota keluarga masih lengkap dan berupa keluarga inti orang tua masih berkewajiban untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya serta mengasuh dan membesarkan mereka, orang tua mempunyai tanggung jawab dan hak penuh atas anak mereka, begitu juga sebaliknya anak-anak masih bergantung sepenuhnya pada orang tua selama mereka belum mampu sendiri. Saat itu orang tua masih merasa berguna dan berharga sehingga jarang timbul perasaan negatif. Lain halnya bila jumlah anggota keluarga berkurang, itu berarti tanggung jawab mereka berkurang dan mereka tidak lagi di butuhkan untuk aktifitas tertentu. Pada saat seperti itulah mereka ingin merasakan kembali kondisi-kondisi sebelumnya dimana mereka mendapatkan kehangatan, hubungan yang intens, dukungan emosional serta tempat bergantung yang biasanya di dapat dalam keluarga. Disinilah pentingnya peran sahabat sebagai support sistem untuk membantu meminimalkan munculnya perasaan negatif yang terjadi pada lansia dengan menyediakan dukungan emosional dan bantuan lainnya. Menurut data dari DepKes RI tahun 1992 gangguan jiwa pada lansia angka prevalensinya mencapai angka 1% dari jumlah lansia. Kenyataan seperti itu terjadi
karena pada lansia banyak sekali ditemui perubahan dari segi fisik, psikologis serta sosial budaya. Perubahan inilah yang sering kali menjadi sumber masalah dalam interaksi bersama orang lain terutama antar generasi. Pada kelompok usia yang sebaya masih dimungkinkan adanya pengalaman hidup serta pemahaman yang dapat menyatukan anggotanya karena perbedaan pandangan diantara mereka tidak terlalu jauh. Hubungan sosial pada kelompok ini cenderung intens dan ada proses timbal balik sehingga menghasilkan kondisi yang berdampak positif secara psikologis. Perbedaan yang sifatnya mendasar seperti pandangan hidup serta kepribadian akan mencetuskan konflik yang berdampak timbulnya kondisi tertekan dan perasaan negatif lainnya. Haditono (1993) mengemukakan bahwa di samping harus dapat melaksanakan tugas perkembangan lansia dengan baik, pada usia ini juga akan terjadi important life event yaitu kejadian penting dalam hidup. Kejadian-kejadian tersebut biasanya berupa kemunduran fisik, perasaan hampa serta menopause dan klimakterium. Pada kondisi ini akan timbul dampak berupa emosi negatif apabila tidak disadari sebelumnya. Diperlukan persiapan jauh sebelum menjelang usia lanjut dan setelah kita memasuki usia lanjut. Dengan begitu diharapkan mampu mempersiapkan lansia untuk menjalani masa lanjut usia dengan sejahtera. Persiapan menjelang masa usia lanjut antara lain dengan melaksanakan tugas perkembangan tahap sebelumnya secara progresif. Setelah kita memasuki masa usia lanjut tetap diperlukan dukungan dan bantuan berupa kehangatan dan perhatian serta respon positif dari orang lain. Lansia akan lebih mampu menghadapi important live event karena adanya saling tukar informasi dan dukungan dari peer groupnya yang juga menghadapi masalah yang sama. Mereka akan saling menguatkan bahwa perubahan-perubahan tersebut tidak hanya dijalani sendiri tetapi sesuatu yang wajar dialami lanjut usia. Lansia yang tidak memiliki peer
group dan terisolasi akan semakin merasa tersisih dan jauh dari kehidupan sosialnya. Hal yang muncul kemudian adalah adanya perasaan tidak berdaya dan tidak berguna sehingga semangat hidup menurun. Lansia mengalami perubahan secara psikologis maupun fisik dengan dinamika yang berbeda-beda pula karena mereka juga manusia yang selalu berkembang menurut arahnya masing-masing. Perubahan-perubahan semacam ini juga akan dialami oleh semua manusia pada setiap tahapan usia selama hidupnya. Agar perubahan dalam hidup manusia terutama dalam hal ini lansia tidak membawa dampak yang negatif, peran orang lain sangat membantu dalam penyediaan dukungan emosional disaat yang penting. Menurut Taylor (1995) ada beberapa alternatif untuk menghindarkan diri dari stress, salah satunya adalah mencari atau menambah sumber yang dapat dijadikan solusi. Sumber dari dalam diri lansia adalah pengalaman religius berupa perasaan dekat dengan Tuhan dan ciptaan-Nya serta percaya terhadap semua ajarannya dan mau melaksanakan. Setiap agama tentunya mengajarkan kebaikan agar kehidupan manusia senantiasa sejahtera lahir maupun batin. Setiap agama memberikan pedoman-pedoman hidup yang ditujukan bagi pengikutnya agar dapat digunakan disaat mereka membutuhkan. Begitu pula dalam setiap ajaran agama diajarkan untuk selalu menjalin silaturahmi dan bekerjasama dengan orang lain kearah kebaikan. Kualitas pemahaman dan ketaatan beragama akan tercermin dari tingkah laku sehari-hari. Lansia yang memiliki keyakinan bahwa dengan memperluas pergaulan terutama dengan usia sebaya yang memiliki pengetahuan yang berguna dan bermanfaat akan semakin membawa pengaruh yang positif pada kondisi psikologisnya. Mereka akan berusaha saling menolong dan memberi dukungan disaatsaat yang sulit sehingga tercipta kondisi yang nyaman. Selanjutnya akan tebentuk ikatan emosional yang intens sehingga tiap individu akan berusaha untuk berbuat
yang terbaik bagi sesamanya. Selain itu usia lanjut merupakan tahap akhir perjalanan hidup manusia sebelum mengalami kematian sehingga lansia ingin berbuat kebaikan selama masih mampu agar dalam hidupnya lansia merasa berguna. Berdasar dari uraian diatas maka penulis ingin meneliti adakah hubungan antara tingkat religiusitas dengan relasi bersama peer group pada lansia. Penulis ingin mengetahui apakah tingkat religiusitas mempunyai korelasi terhadap relasi bersama peer group pada lansia.
B. Hipotesis Ada hubungan yang positif antara tingkat religiusitas dengan relasi bersama peer group pada lansia. Semakin tinggi tingkat religiusitas maka semakin positif relasi bersama peer garoup pada lansia. Semakin rendah tingkat religiusitas maka semakin negatif relasi bersama peer group pada lansia.
C. Metode Penelitian Variabel Penelitian 1. Variabel Tergantung
: Relasi bersama peer group pada lansia.
2. Variabel Bebas
: Tingkat religiusitas.
Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah sejumlah lansia laki-laki dan perempuan dengan rentang usia
60-90 tahun serta mampu berkomunikasi secara lisan dan
tulisan, serta berdomsili di yogyakarta.
Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan skala sebagai metode pengumpulan data. Digunakan dua skala yaitu skala religiusitas dan skala relasi bersama peer group.
Metode Analisis Data Dalam penelitian ini data yang diperoleh selanjutnya akan dilakukan analisis dengan menggunakan SPSS 11 for windows untuk mengetahui signifikansi hubungan antara tingkat religiusitas dengan relasi bersama peer group pada lansia digunakan teknik analisis product moment.
D. Hasil Penelitian Hasil Penelitian 1. Hasil Kategorisasi Hasil kategorisasi dari variabel relasi bersama peer group pada lansia berada pada kategori sedang yaitu 37 subjek (61.7%) dan hasil kategorisasi dari variabel religiusitas berada pada kategori sedang yaitu 37 subjek (61.6 %). Pada variabel religiusitas terdiri dari empat aspek yaitu aspek belief berada dalam kategori sedang sebesar 66.7 % (40 subjek), aspek practice berada dalam kategori sedang sebesar 63.3 % (38 subjek), aspek feeling berada dalam kategori sedang sebesar 58.3 % (35 subjek) dan aspek effect berada dalam kategori sedang sebesar 2. Uji Normalitas Hasil penelitian menunjukkan kedua variabel dinyatakan normal atau representatif dalam menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya. Dimana variabel relasi bersama r = 0,299 p > 5 % dan variabel relugiusitas r = 0,162 p > 5 %.
3. Uji Linearitas Dari hasil analisis data menunjukkan hubungan antara variabel relasi bersama dengan variabel religiusitas membentuk suatu garis lurus (Linier). Dimana Linierity signifikan (p < 5 %) dan Deviation From Linierity tidak signifikan (p > 5 %), maka termasuk dalam linieritas sempurna. 4. Uji Hipotesis Hasil perhitungan dengan Korelasi Product Moment Pearson menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara tingkat religiusitas dengan relasi bersama peer group pada lansia (r=0,310, p =0,008 atau p<0.01). Maka hipotesis awal diterima, karena terbkti bahwa ada hubungan antara tingkat religiusitas dengan relasi bersama peer group pada lansia dan semakin tinggi tingkat religiusitas maka semakin positif relasi bersama peer group pada lansia. Hasil lain yang diperoleh adalah koefisien determinasi (R Squared) sebesar 0.09.6 % yang berarti bahwa tingkat religiusitas memberikan sumbangan efektif sebesar 9.6 % pada relasi bersama peer group pada lansia.
a. Analisis Tambahan 1) Hasil analisis antara variable religiusitas belief dan variable relasi bersama peer group pada lansia menunjukkan hasil r= 0,179 (p=0,086 atau p>0.05). hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada koreasi yang signifikan antara variable belief dengan variable relasi bersama peer group pada lansia. 2) Hasil analisis antara variable religiusitas practice dan variable relasi bersama peer group pada lansia menunjukkan hasil r=0,330 (p=0,005 atau p<0,01). hasil ini mennjukkan bahwa ada koreasi yang sangat
signifikan antara variable practice dengan variable relasi bersama peer group pada lansia. Sumbangan efektif religiusitas practice sebesar 10,9%. 3) Hasil analisis antara variable religiusitas feeling dan variable relasi bersama peer group pada lansia menunjukkan hasil r=0,333 (p=0,005 atau p<0,01). hasil ini mennjukkan bahwa ada koreasi yang sangat signifikan antara variable feeling dengan variable relasi bersama peer group pada lansia. Sumbangan efektif religiusitas feeling sebesar 111%. 4) Hasil analisis antara variable religiusitas effect dan variable relasi bersama peer group pada lansia menunjukkan hasil r=0,340 (p=0,004 atau p<0,01). hasil ini mennjukkan bahwa ada korelasi yang sangat signifikan antara variable effect dengan variable relasi bersama peer group pada lansia. Sumbangan efektif religiusitas practice sebesar 11,6%.
E. Pembahasan Hasil perhitungan dengan Korelasi Product Moment Pearson menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara tingkat religiusitas dengan relasi bersama peer group pada lansia (r=0,310, p =0,008 atau p<0,01). Maka hipotesis awal diterima, karena terbkti bahwa ada hubungan antara tingkat religiusitas dengan relasi bersama peer group pada lansia dan semakin tinggi tingkat religiusitas maka semakin positif relasi bersama peer group pada lansia. Variable religiusitas 1 dalam penelitian ini memberikan hasil sumbangan sebesar 9,6 %.
Relasi bersama adalah interaksi dengan orang lain yang melibatkan aktifitas bersama serta adanya komunikasi dua arah. Relasi bersama dalam penelitian ini melibatkan antar lansia. Lansia yang menjadi subjek penelitian ini memiliki relasi bersama yang baik, hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang membuktikan bahwa kategorisasi yang diperoleh pada variable relasi bersama peer group bukan pada kategori rendah atau sangat tinggi tetapi pada kategori sedang sebanyak 37 subjek yaitu 61,7 % dari keseluruhan subjek peneltian. Aspek-aspek dalam religiusitas ada lima yaitu religious knowledge atau pengetahuan agama, religious belief atau keyakinan agama, religious practice atau praktek agama, religious feeling atau pengalaman agama dan religious effect pengamalan agama. Dalam penelitian ini religiusitas hanya mengungkap empat aspek yaitu religious belief atau keyakinan agama, religious practice atau praktek agama, religious feeling atau pengalaman agama dan religious effect pengamalan agama. Hasil penelitian untuk kategorisasi pada variable religiusitas ini menunjukkan bahwa 41 subjek penelitian dalam
kategori sedang yaitu 61.6 %. Untuk lebih dapat
mengungkap keterkaitan antara variable religiusitas dengan variable relasi bersama peer group pada lansia dalam penelitian ini maka dilakukan analisis koefisien korelasi antara kedua variable tersebut. Hasil analisis antara variable religiusitas belief dan variable relasi bersama peer group pada lansia menunjukkan hasil r=0,179 (p=0,086 atau p>0.05). hasil ini mennjukkan bahwa tidak ada koreasi yang signifikan antara variable belief dengan variable relasi bersama peer group pada lansia. Kenyataan tersebut berarti belief atau keyakinan subjek hanya memberikan sumbangan yang arelatif kecil dalam pembentukan sikap dalam relasi bersama peer group pada lansia.
Hasil analisis antara variable religiusitas practice dan variable relasi bersama peer group pada lansia menunjukkan hasil r=0,330 (p=0,005 atau p<0,01). hasil ini mennjukkan bahwa ada koreasi yang sangat signifikan antara variable practice dengan variable relasi bersama peer group pada lansia. Sumbangan efektif religiusitas practice sebesar 10,9%. Hasil analisis antara variable religiusitas feeling dan variable relasi bersama peer group pada lansia menunjukkan hasil r=0,333 (p=0,005 atau p<0,01). hasil ini mennjukkan bahwa ada koreasi yang sangat signifikan antara variable feeling dengan variable relasi bersama peer group pada lansia. Sumbangan efektif religiusitas feeling sebesar 11,1%. Hasil analisis antara variable religiusitas effect dan variable relasi bersama peer group pada lansia menunjukkan hasil r=0,340 (p=0,004 atau p<0,01). hasil ini mennjukkan bahwa ada korelasi yang sangat signifikan antara variable effect dengan variable relasi bersama peer group pada lansia. Sumbangan efektif religiusitas practice sebesar 11,6%.
F. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara tingkat religiusitas dengan relasi bersama peer group pada lansia (r = 0,310, p < 0,01). Hal ini berarti semakin tinggi religiusitas maka semakin positif relasi bersama peer group pada lansia. Sumbangan effektif yang diberikan oleh variabel religiusitas adalah 9,6 % dan sisanya 90,4 % disebabkan oleh faktor lainnya. Hal ini berarti hipotesis yang diajukan diterima.
G. Saran 1. Bagi Subjek Penelitian Semakin
menambah
pengetahuan
tentang
ilmu
agama
agar
dapat
mengamalkannya dengan tepat dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan dengan orang lain akan semakin baik bila dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama. 2. Bagi Peneliti Selanjutnya Sumbangan variabel tingkat religiusitas yang kecil bisa juga disebabkan oleh factor-faktor lain. penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengungkap factor lain yang mempengaruhi relasi bersama peer group pada lansia.
H. Daftar Pustaka Afida dkk, 2000. Bernas Carlson, 1988 Gandadiputra, 1985 Haditono, S. R. dkk. 1993. Diktat Psikologi Gerontologi. Yogyakarta. Tidak diterbitkan. Pikiran Rakyat Santrock, J. W. 1995. Adolescence. 2th ed. Mc Graw Hill. Taylor, Shelley. E, 1995. Healty Psychology. 3rd ed. Mc. Graw Hill. Zander, James. W. 1985. Human Development. 3rd ed. Alfred A. Knopf. New York.
I. Identitas Allif Rahmi Hani Sagan GK V/1053 RT 43/9 Yogyakarta 0274-589256