Langkah Hukum Terhadap Pelaksanaan Putusan Deklarator Yang Tidak Dapat Dieksekusi (Studi Kasus Putusan No. 1283 K/Pdt/2005, No. 59 K/Pdt/2011, No. 244 K/Pdt/2011) Mulya Haryadi dan Sri Laksmi Anindita Fakultas Hukum Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Penulisan ini membahas langkah hukum terhadap pelaksanaan putusan deklarator yang tidak dapat dieksekusi. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan solusi perihal langkah hukum yang dapat dilakukan untuk melaksanakan putusan deklarator. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1283 K/Pdt/2005, No. 59 K/Pdt/2011, dan No. 224 K/Pdt/2011 dibahas sebagai analisis skripsi. Berdasarkan hasil analisis, bahwa pada perkara kontentiosa dapat ditemukan amar bersifat deklarator dan kondemnator. Putusan yang dapat dieksekusi hanya putusan yang bersifat kondemnator. Apabila terdapat suatu putusan yang hanya mencantumkan amar putusan deklarator dan telah berkekuatan hukum tetap, maka langkah hukum yang dapat diajukan adalah dengan mengajukan gugatan baru. Gugatan baru tersebut menuntut agar dicantumkannya amar kondemnator, sehingga pihak tereksekusi dapat dipaksa melaksanakan putusan deklarator. Dalam gugatan baru tersebut, penggugat juga dapat menuntut uitvoerbaar bij voorraad atau putusan serta merta karena telah ada putusan berkekuatan hukum tetap sebelumnya Legal Action Against The Execution of Declaratoir Decision That Can’t Be Executed (Case Studies of Decision No. 1283 K/Pdt/2005, No. 59 K/Pdt/2011, No. 244 K/Pdt/2011) Abstract This thesis discusses the legal action against the execution of declaratoir decision that can not be executed. The purpose of this paper is to provide solutions regarding legal steps can be taken to implement the execution of declaratoir decision. The research method of this thesis is normative research. Supreme Court Decision No. 1283 K/Pdt/2005, No. 59 K/Pdt/2011, and No. 224 K/Pdt/2011 are discussed as an analytical thesis. Based on the analysis that, including the contentiosa case, we may be found the declaratoir decision or condemnatoir decision. Decisions can be executed if they are in the form of condemnatoir decision. If there is a decision that only lists the declaratoir decision, and it was final and binding, so the legal action that can be filed is to file a new lawsuit. The new lawsuit demands to include condemnatoir decision, so the party can be forced to execute deklaratoir decision. In the new lawsuit, the plaintiff may also sue uitvoerbaar bij voorraad or decision necessarily because there has been a previous decision which was final and binding. Key words: Court decisions, executions, declaratoir decisions, condemnatoir decision, uitvoerbaar bij voorraad, a lawsuit.
1
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
Pendahuluan Putusan pengadilan yang dapat dieksekusi atau dilaksanakan adalah putusan-putusan yang amar atau diktumnya mengandung suatu penghukuman saja, atau biasa disebut putusan condemnatoir (kondemnator). Putusan-putusan declaratoir (deklarator) atau constitutief (konstitutif) tidak dapat dieksekusi, karena begitu putusan-putusan yang demikian diucapkan, maka keadaan yang dinyatakan sah oleh putusan deklarator mulai berlaku pada saat itu juga, atau dalam halnya putusan konstitutif, keadaan baru sudah tercipta pada detik itu pula.1 Suatu putusan dapat mencederai hak dari pihak yang memenangkan sengketa sekaligus menginginkan eksekusi apabila di dalam amar putusannya tidak terkandung suatu penghukuman (kondemnator). Pada perkara kontentiosa, terdapat kondisi di mana penggugat dalam petitumnya memohon kepada pengadilan agar menghukum tergugat melaksanakan sesuatu, dan gugatan itu dikabulkan di dalam amar putusan. Namun, amar putusan yang dikabulkan tersebut sebatas pernyataan saja, tidak ada unsur penghukumannya. Seperti yang ada pada kasus hutang piutang antara Oslan Hani Purwanegara melawan Agus Bunadi Margono dalam Putusan No. 09/Pdt.G/1990/PN.BB jo Putusan No. 447/Pdt/1990/PT.Bdg jo Putusan No. 2334 K/Pdt/1991, yakni “menyatakan tergugat membayar hutangnya kepada penggugat sejumlah Rp. 17.850.350,- ditambah bunganya sebesar 2% dari hutang tersebut untuk setiap bulannya terhitung sejak gugatan didaftarkan”, dan “menyatakan sita jaminan yang diletakan Juru Sita Pengganti Pengadilan Negeri Klas I Bandung adalah sah dan berharga”. Keadaan seperti ini membuat pihak penggugat yang memenangkan perkara tidak dapat memaksa pihak tergugat untuk melaksanakan putusan tersebut, sehingga tidak melindungi hak pihak penggugat yang jelas-jelas memenangkan perkara. Oleh karena itu, diperlukan suatu langkah hukum untuk menjamin pelaksanaan putusan deklarator, dan peneliti melalui penulisan ini ingin memaparkan suatu langkah hukum agar putusan yang bersifat deklarator dapat dieksekusi, sebagaimana yang digunakan pula oleh penggugat dalam Putusan No. 1238 K/Pdt/2005 jo No. 320/Pdt/2003/PT.Bdg jo No. 122/Pdt.G/2002/PN.BB, Putusan No. 59 K/Pdt/2011 jo No. 280/Pdt/2010/PT.Mks jo No. 07/Pdt.G/2009/PN.Sengkang; dan Putusan No. 244 k/Pdt/2011 jo 94/Pdt/2010/PT.Dps jo No. 432/Pdt.G/2009/PN.Dps. Berdasarkan uraian mengenai latar belakang sebelumnya, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah bahwa langkah hukum apakah yang dapat dilakukan agar putusan noneksekutabel (yang bersifat deklarator) tetap dapat dieksekusi, serta 1
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Penerbit Bina Cipta, 1977), hlm. 128.
2
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
bagaimana langkah hukum yang dilakukan terhadap pelaksanaan putusan deklarator yang tidak dapat dieksekusi (studi kasus Putusan Nomor 1283 K/Pdt/2005, 59 K/Pdt/2011, dan 244 K/Pdt/2011). Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengkaji suatu putusan yang bersifat deklarator sebagai alasan bahwa putusan tersebut tidak dapat dieksekusi, serta memberikan solusi untuk masyarakat Indonesia mengenai langkah hukum yang dapat dilakukan untuk melaksanakan putusan deklarator tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif yaitu, penelitian yang dilakukan terhadap hukum positif, baik tertulis maupun tidak tertulis2. Penulisan ini difokuskan terhadap pemaparan kaedah-kaedah hukum suatu putusan hakim dan pelaksanaan atas putusan hakim. Dari kaedah hukum itu ditemukan suatu putusan hakim yang bersifat deklarator di mana secara prinsip putusan demikian tidak dapat dieksekusi, oleh karena itu menimbulkan permasalahan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh para pihak yang menginginkan eksekusi atas putusan deklarator tersebut.
Pembahasan Jika kita bertitik tolak pada ketentuan-ketentuan terkait putusan hakim seperti Pasal 184 ayat (1) HIR3, Pasal 195 ayat (1) RBg4, dan Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman5, maka tidak ditemukan mengenai pengertian/batasan terhadap “putusan hakim”, sebab ketentuan-ketentuan tersebut pada asasnya hanya menentukan hal-hal
2
Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 9-‐10. 3 Pasal 184 ayat (1) HIR menyatakan bahwa “keputusan harus berisi keterangan ringkas, tetapi yang jelas dan gugatan dan jawaban, serta dasar alasan-‐alasan keputusan itu; ...”. Hindia Belanda (1), Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui [Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatblad 1941 No. 44], diterjemahkan oleh M. Karjadi, (Bogor: Politeia, 1992), Pasal 184 ayat (1). 4 Pasal 195 ayat (1) RBg menyatakan bahwa “keputusan hakim harus memuat secara singkat tetapi jelas tentang apa yang dituntut serta jawabannya, begitu pula tentang dasar-‐dasar keputusan itu, ...”, Hindia Belanda (2), Reglemen Hukum Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura [Rechtsreglement voor de Buitengewesten, Staatblad 1927 No. 227], diunduh dari http://hukum.unsrat.ac.id/uu/RBg.pdf pada tanggal 4 Juni 2014, Pasal 195 ayat (1) 5 Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa “putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-‐undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Indonesia (1), Undang-‐ Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN No. 157 Tahun 2009, TLN No. 5076, Pasal 50 ayat (1).
3
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
yang harus ada dan dimuat oleh “putusan hakim”.6 Para sarjana memberikan pengertian terkait putusan hakim, yang pada intinya bahwa pada hakekatnya putusan hakim merupakan suatu pernyataan hakim dalam bentuk tertulis sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk membuat putusan dan diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum, serta telah melalui proses dan prosedural hukum acara perdata sehingga sah dan mempunyai kekuatan hukum, dengan tujuan menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara. Pembahasan berikutnya akan diawali dengan uraian mengenai asas-asas yang semestinya ditegakkan dalam setiap putusan. Asas-asas ini dijelaskan dalam Pasal 178 HIR7, Pasal 189 RBg8, dan beberapa pasal yang terdapat dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman9. Asas-asas tersebut antara lain suatu putusan harus memuat dasar alasan yang jelas dan rinci, wajib mengadili seluruh bagian gugatan, tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan, dan diucapkan di muka umum. Putusan hakim pada hakekatnya memiliki penggolongan tertentu, salah satunya jika ditinjau dari sifatnya. Putusan ditinjau dari sifatnya terdiri dari putusan deklarator, konstitutif, dan kondemnator. Putusan deklarator adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Misalnya, perjanjian antara penggugat dan tergugat dinyatakan sah menurut hukum, dan dinyatakan tergugat berhutang kepada penggugat dalam jumlah tertentu.10 Putusan konstitutif adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang amarnya menciptakan suatu keadaan hukum yang baru11, baik yang bersifat meniadakan suatu
6
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia, (Malang: PT Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 147-‐148. 7 Pasal 178 HIR menyatakan bahwa “(1) Hakim karena jabatannya waktu bermusyawarat wajib mencukupkan segala alasan hukum, yang tidak dikemukakan oleh kedua belah fihak. (2) Hakim wajib mengadili atas segala bahagian gugatan. (3) Ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan dari pada yang digugat.” Hindia Belanda (1), Op.Cit., Pasal 178 HIR. 8 Pasal 189 RBg menyatakan bahwa “(1) Dalam rapat permusyawaratan, karena jabatan hakim harus menambah dasar-‐dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak. (2) Ia wajib memberi keputusan tentang semua bagian gugatannya. (3) Ia dilarang memberi keputusan tentang hal-‐hal yang tidak dimohon atau memberikan lebih dari yang dimohon.” Hindia Belanda (2), Op.Cit., Pasal 189 RBg. 9 Contoh Pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa “semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-‐undang menentukan lain”, dan Pasal 50 ayat (1) Indonesia (1), Op.Cit. Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1). 10 Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1988), hlm. 88. 11 Ibid.
4
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru12. Misalnya putusan perceraian, merupakan putusan yang meniadakan keadaan hukum yakni tidak ada lagi ikatan hukum antara suami dan istri sehingga putusan ini meniadakan hubungan perkawinan yang ada, dan bersamaan dengan itu timbul keadaan hukum yang baru kepada suami dan istri, yaitu sebagai duda dan janda. Putusan kondemnator adalah putusan yang bersifat menghukum. Dalam perkara perdata, hukuman artinya kewajiban untuk memenuhi prestasi yang dibebankan oleh hakim, sedangkan menghukum artinya membebani kewajiban untuk berprestasi terhadap lawannya. Prestasi itu dapat berwujud memberi (geven, give), berbuat sesuatu (doen, do), atau tidak berbuat sesuatu (niet doen, do). Dalam putusan kondemnator ada pengakuan atau pembenaran hak penggugat atas sesuatu prestasi yang dituntutnya, atau sebaliknya tidak ada pengakuan atau tidak ada pembenaran atas suatu prestasi yang dituntutnya. Hak atas suatu prestasi yang telah ditetapkan oleh hakim dalam putusan kondemnator dapat dilaksanakan dengan jalan paksaan (forcelijk executie).13 Eksekusi berasal dari kata executie, artinya melaksanakan putusan hakim (ten uitvoer legging van vonnissen14). Pelaksanaan tersebut dilakukan secara paksa kepada pihak tereksekusi dengan bantuan Ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan peraturan perundangundangan15, karena pihak tereksekusi tidak bersedia melakukannya secara sukarela.16 Putusan yang dapat dimintakan eksekusi oleh pihak yang menang kepada Ketua Pengadilan Negeri adalah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,17 dan putusan yang 12
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 876. 13 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hlm. 167. 14 Istilah ten uitvoer legging von vonnissen memiliki makna bahwa pengertian eksekusi sama dengan tindakan menjalankan putusan. Menurut Prof. R. Subekti, S.H., perkataan eksekusi atau pelaksanaan sudah mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau menaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Dikutip dari Edward Kennetze, “Penundaan Eksekusi Dengan Alasan Adanya Perkara Lain yang Saling Berkaitan dan Putusan Perkara Tersebut Belum Berkekuatan Hukum Tetap”, (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2009), hlm. 10. 15 Peraturan perundang-‐undangan tersebut adalah Pasal 195 ayat (1) HIR, yang menyatakan bahwa “hal menjalankan keputusan pengadilan negeri, dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri, adalah atas perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-‐pasal berikut ini” 16 Wildan Suyuthi, Sita dan Eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2004), hlm. 60. 17 Ibid., hlm. 61.
5
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
telah berkekuatan hukum tetap tersebut hanya dapat dieksekusi apabila bersifat kondemnator.18 Hal ini disebabkan putusan kondemnator memiliki sifat menghukum19. Berbeda dengan sifat putusan lainnya, yaitu putusan deklarator20 dan konstitutif21, yang mana pelaksanaannya tidak memerlukan sarana-sarana pemaksa, karena kedua jenis putusan ini tidak memuat hak atas suatu prestasi sehingga akibat hukum yang ditimbulkan tidak bergantung kepada bantuan atau kesediaan dari pihak yang dikalahkan.22 Putusan yang berkekuatan hukum tetap antara lain berupa putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak dimintakan banding atau kasasi karena telah diterima oleh kedua belah pihak, putusan pengadilan tingkat banding yang tidak dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung, putusan pengadilan tingkat kasasi dari Mahkamah Agung atau putusan peninjauan kembali dari Mahkamah Agung, putusan verstek dari pengadilan tingkat pertama tanpa perlawanan, dan putusan perdamaian dari semua pihak yang berperkara.23 Adapun putusan berkekuatan hukum tetap ini berdasarkan peraturan perundang-undangan terdapat pengecualian yang antara lain meliputi24: pelaksanaan putusan terlebih dahulu dengan alasan tertentu sesuai dengan Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBg, bahwa eksekusi dapat dijalankan terlebih dahulu oleh pengadilan walaupun putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap dengan alasan adanya surat yang sah, adanya putusan lain yang berkaitan dan sudah berkekuatan hukum tetap, dan terkait hak milik; pelaksanaan putusan provisi, yakni sebagai wujud pelaksanaan putusan hakim yang bersifat sementara, mendahului pokok perkara yang belum diputus oleh pengadilan; pelaksanaan akta perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 130 ayat (2) HIR atau Pasal 154 ayat (2) Rbg, yaitu 18
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, ed. Ke-‐6, (Yogyakarta: Liberty, 2002), hlm.
239.
19
Karena bersifat menghukum, M. Yahya Harahap berpendapat bahwa kekuatan hukum eksekutorial dengan sendirinya melekat pada putusan kondemnator. Harahap (1), Op.Cit., hlm. 16. 20 Putusan deklarator hanya menerangkan atau menegaskan suatu keadaan hukum saja. Misalnya, bahwa A adalah anak angkat yang sah dari X dan Y, atau bahwa A, B dan C adalah ahli waris dari almarhum Z. 21 Putusan konstitutif merupakan putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan/atau menimbulkan suatu keadaan hukum baru. Contohnya, adalah putusan perceraian, atau putusan yang menyatakan pailit. 22 Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Djambatan, 2005), hlm. 234. 23 Moh. Taufik Makarao, Pokok-‐Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 214-‐ 215. 24 Mulyadi, Op.Cit., hlm. 373.
6
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
penyelesaian perkara oleh para pihak dengan perdamaian yang dituangkan dalam bentuk akta perdamaian dan diucapkan di persidangan; dan eksekusi grosse akta25, yakni menjalankan grose akta, baik hipotik maupun pengakuan hutang sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR atau Pasal 258 RBg. Syarat selanjutnya agar putusan dapat dieksekusi adalah bahwa putusan tidak dijalankan secara sukarela. Eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela. Jika pihak yang kalah bersedia menaati dan memenuhi putusan secara sukarela, maka tindakan eksekusi harus disingkirkan.26 Menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela maksudnya adalah pihak yang kalah memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan, tanpa paksaan dari pihak manapun.27 Serta eksekusi harus atas perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 195 ayat (1) HIR. 28 Kasus yang akan dibahas dalam penelitian ini bersumber dari 3 (tiga) putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu: 1. Putusan
No.
1283
K/Pdt/2005
jo
No.
320/Pdt/2003/PT.Bdg
jo
No.
280/Pdt/2010/PT.Mks
jo
No.
122/Pdt.G/2002/PN.BB; 2. Putusan
No.
59
K/Pdt/2011
jo
No.
07/Pdt.G/2009/PN.Sengkang; dan 3. Putusan No. 244 k/Pdt/2011 jo 94/Pdt/2010/PT.Dps jo No. 432/Pdt.G/2009/PN.Dps. Inti daripada ketiga kasus tersebut adalah penggugat dan tergugat pada perkara sebelumnya telah mendapatkan putusan hakim, namun putusan tersebut hanya memiliki amar deklarator tanpa ada suatu penghukuman. Penggugat yang memenangkan sengketa dan menginginkan 25
Yang dimaksud dengan grosse adalah salinan pertama dari akta otentik. Salinan pertama ini diberikan kepada kreditur. Dikutip dari Pengadilan Negeri Sleman, “Eksekusi”, http://pn-‐sleman.go.id/index.php/proses-‐ beracara-‐prosedur-‐kerja-‐215/21-‐perkara-‐perdata/61-‐eksekusi, diunduh 13 Juni 2014. 26 Makarao, Op.Cit., hlm. 215-‐216. 27 Whimbo Pitoyo, Strategi Jitu Memenangi Perkara Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2012), hlm. 166. 28 Pasal 195 ayat (1) HIR menyatakan bahwa “menjalankan keputusan pengadilan negeri, dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri, adalah atas perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-‐ pasal berikut ini”, Hindia Belanda, Op.Cit., Pasal 195 ayat (1) HIR.
7
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
eksekusi mengajukan gugatan baru sebagaimana tertera dalam putusan, dengan memintakan untuk mencantumkan amar kondemnator agar putusan tersebut dapat dilaksanakan. Dari kasus yang ada tersebut, penulis menganalisa bahwa Putusan yang dapat dieksekusi hanyalah putusan yang bersifat kondemnator, karena putusan tersebut mengandung unsur penghukuman, sehingga dapat digunakan sebagai pemaksa bagi pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan tersebut. Selain putusan itu, seperti putusan bersifat deklarator atau menyatakan suatu hal, tidak bisa untuk dieksekusi. Putusan deklarator hanya menyatakan hukum tertentu yakni apa yang dituntut atau dimohon oleh penggugat atau pemohon ada atau tidak ada, tanpa mengakui adanya hak atas suatu prestasi tertentu. Putusan deklarator tidak memerlukan upaya pemaksa, karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan pihak lawan. Menurut Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Dr. H. Gusrizal, S.H., M.Hum., putusan deklarator setelah diucapkan sudah bisa dikatakan tidak bisa dieksekusi atau noneksekutabel, karena sudah memiliki akibat hukum secara langsung tanpa perlu paksaan.29 Pada perkara kontentiosa, terdapat kondisi di mana Penggugat dalam petitumnya memohon kepada pengadilan agar menghukum Tergugat untuk melaksanakan sesuatu, dan gugatan itu dikabulkan di dalam amar putusan. Namun, amar putusan yang dikabulkan tersebut hanya sebatas pernyataan saja atau deklarator, tidak ada penghukumannya atau kondemnator. Dalam analisa ini, kasus yang terdapat dalam Putusan No. 1238 K/Pdt/2005 jo No. 320/Pdt/2003/PT.Bdg jo No. 122/Pdt.G/2002/PN.BB dengan putusan sebelumnya Putusan No. 09/Pdt.G/1990/PN.BB jo No. 447/Pdt/1990/PT.Bdg jo No. 2334 K/Pdt/1991; Putusan No. 59 K/Pdt/2011 jo No. 280/Pdt/2010/PT.Mks jo No. 07/Pdt.G/2009/PN.Sengkang dengan
putusan
sebelumnya
Putusan
No.
18/Pdt.G/2004/PN.Skg
jo
No.
209/Pdt/2005/PT.Mks; dan Putusan No. 244 k/Pdt/2011 jo 94/Pdt/2010/PT.Dps jo No. 432/Pdt.G/2009/PN.Dps dengan putusan sebelumnya Putusan No. 237/Pdt.G/1996/PN.Dps jo No. 45/Pdt/1998/PT.DPS jo No. 420 K/Pdt/1999, merupakan perkara kontentiosa yang putusannya hanya mengandung pernyataan saja. Keadaan ini membuat pihak penggugat yang memenangkan perkara tidak dapat memaksa pihak tergugat untuk melaksanakan putusan tersebut. Perlindungan hak bagi pihak yang memenangkan perkara untuk melaksanakan putusan bersifat deklarator adalah dengan mengajukan gugatan baru yang menuntut pelaksanaan 29
Wawancara dengan Bapak Dr. H. Gusrizal, M.Hum., sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (dilakukan Tanggal 5 Mei 2014, Pukul 13.30 WIB, di ruangan KPN Jakarta Pusat).
8
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
putusan kondemnator disertai tuntutan putusan serta merta. Hal ini diamini oleh Dr. Andriani Nurdin, S.H., M.H., selaku Ketua Pengadilan Tinggi Mataram30, dan Dr. H. Gusrizal, S.H., M.Hum., selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta ditegaskan oleh M. Yahya Harahap bahwa sifat deklarator yang terdapat dalam putusan perkara kontentiosa (perkara sengketa) dapat berubah menjadi putusan yang berkekuatan eksekusi dengan bantuan gugatan baru, yang mana gugatan tersebut dapat juga disertai dengan permintaan untuk melaksanakan putusan secara serta merta,31 dan oleh Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., SIP., M.Hum bahwa jika hakim lalai atau lupa mencantumkan amar yang bersifat kondemnator sebagaimana tersebut di atas, maka pihak yang ingin agar putusan itu dijalankan harus mengajukan gugatan baru kepada Pengadilan yang memutuskan perkara semula, dengan dalil gugat berdasarkan putusan deklarator dan minta dalam petitum agar barang-barang yang telah diputus dalam perkara terdahulu supaya dieksekusi dan kalau perlu dapat diminta putusan uitvoerbaar bij vorraad (putusan serta merta) meskipun ada banding dan kasasi.32 Perkara baru atau gugatan baru maksudnya adalah putusan yang berdiri sendiri dengan nomor perkara lain dengan perkara yang terdahulu. Penggugat juga harus membayar biaya perkara secara tersendiri. Posita dalam perkara baru tersebut dikaitkan dengan perkara yang terdahulu dengan petitum mohon agar putusan yang terdahulu supaya dapat dijalankan dan dapat dieksekusi sebagaimana mestinya.33 Dalam hal gugat baru dengan petitum perubahan amar putusan, tidak akan terjadi ne bis in idem karena hakim tidak memeriksa pokok perkara yang telah diputus dalam putusan sebelumnya.34
30
Pada prinsipnya putusan hakim harus memenuhi kriteria yang mengandung asas kepastian hukum, keadilan, dan manfaat. Manfaat tersebut salah satunya adalah dapat dilaksanakannya putusan tersebut, oleh karena itu hakim harus menganalisis dampak putusan sebelum diucapkan. Seandainya hal tersebut telah dipertimbangkan oleh hakim, maka kecil kemungkinan putusan hakim tidak dapat dilaksanakan hanya karena tidak mencantumkan amar putusan yang bersifat kondemnator, di mana merugikan penggugat. Hal ini merugikan penggugat, karena untuk mengajukan permohonan eksekusi harus mengajukan gugatan baru terlebih dahulu sehingga asas cepat, sederhana dan murah, serta asas manfaat akan tidak tercapai. Wawancara dengan Ibu Dr. Andriani Nurdin, S.H., M.H., sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Mataram (dilakukan via email Tanggal 12 Juni 2014). 31 Harahap (1), Op.Cit., hlm. 338-‐339. 32 Abdul Manan (2), “Eksekusi dan Lelang dalam Hukum Acara Perdata”, (Makalah disampaikan pada Rakernas 2011 Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia, Jakarta, 18-‐22 September 2011), hlm. 18. 33 Ibid. 34 Ibid., hlm. 19.
9
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
Di dalam kasus (terlampir), langkah hukum yang dilakukan untuk pelaksanaan putusan deklarator adalah dengan cara penggugat mengajukan gugatan baru terhadap tergugat disertai pengajuan putusan serta merta. Langkah hukum tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Gugatan Baru Apabila seseorang atau suatu badan hukum merasa dan dirasa haknya telah dilanggar oleh orang lain, kemudian penyelesaian secara kekeluargaan tidak tercapai maka salah satu jalan yang dapat ditempuh oleh mereka adalah perkara tersebut diajukan kepada Hakim/Pengadilan Negeri yang berwenang, yaitu dengan dibuatnya surat gugatan perdata.35 Doktrin yang disampaikan oleh Lilik Mulyadi ini adalah sesuai dengan yang terjadi pada kasus dengan putusan terlampir, bahwa pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, dan atas putusan tersebut tidak dapat dieksekusi karena bersifat deklarator, sehingga tidak ada jalan lain lagi selain mengajukan gugatan baru untuk melaksanakan putusan deklarator, yakni memintakan putusan yang bersifat kondemnator. Perihal gugatan, HIR maupun RBg tidak menentukan syarat-syarat atau formulasi yang seharusnya ada dalam surat gugatan, akan tetapi terdapat sarjana yang menganalisa syarat yang harus ada dalam gugatan tersebut. Salah satunya adalah Darwan Prinst, yang menyatakan bahwa syarat atau formulasi yang harus terdapat dalam gugatan terbagi menjadi 2 (dua) yaitu syarat materiil dan syarat formil.36 Menurutnya syarat materiil dalam suatu surat gugatan diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Rv, yang mana gugatan seharusnya terdiri dari: 1. 2. 3.
Identitas para pihak, bahwa secara jelas identitas harus dicantumkan dalam surat gugatan, yaitu Penggugat atau Para Penggugat, Tergugat atau Para Tergugat, atau Turut Tergugat. Posita atau fundamentum petendi adalah dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari tuntutan.37 Petitum atau tuntutan adalah apa yang oleh penggugat minta atau harapkan agar diputuskan oleh hakim.38
35
Lilik Mulyadi (2), Hukum Acara Perdata: Menurut Teori dan Praktik Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm. 37. 36 Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 25-‐26. 37 Prinst, Op.Cit., hlm. 28. 38 Mertokusumo, Op.Cit., hlm. 51.
10
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
Gugatan baru sebagai langkah hukum pelaksanaan putusan deklarator ini (terlampir dalam putusan), menurut analisa penulis telah memenuhi syarat-syarat suatu surat gugatan, yaitu: 1.
Terdapat identitas para pihak, yang mana telah disebutkan di dalam kasus posisi;
2.
Positanya adalah merujuk kepada putusan sebelumnya yang telah berkekuatan hukum tetap, sebagaimana putusannya telah disebutkan sebelumnya. Namun putusan sebelumnya tersebut hanya bersifat deklarator. Amar yang bersifat deklarator ini, tentu pada asasnya tidak dapat dieksekusi, oleh karena itu dalam gugatannya penggugat meminta putusan kondemnator. Terkait langkah hukum ini, posita pada gugatan baru tersebut menurut Dr. Andriani Nurdin, S.H., M.H., mengemukakan perihal duduk permasalahan kenapa gugatan ini diajukan yaitu sehubungan dengan tidak dicantumkannya amar putusan yang bersifat kondemnator, sehingga untuk memenuhi peraturan hukum atau peraturan perundangundangan harus diajukan gugatan sebelum mengajukan permohonan eksekusi.39 Dalam posita disebutkan juga karena berdasarkan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka putusan ini memenuhi persyaratan untuk dapat dilaksanakan lebih dahulu. Kemudian petitumnya menurut beliau adalah mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya, menghukum tergugat untuk melakukan sesuai dengan yang diminta dan sesuai dengan putusan deklarator sebelumnya, dan menyatakan putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu.40 Setiap apa yang terdapat dalam petitum ini harus didukung alasannya dalam posita, sehingga apabila meminta mencantumkan putusan kondemnator maka di petitumnya terdapat tuntutan menghukum, karena berdasarkan pemikiran hakim tidak boleh memutus apa yang tidak diminta dan menghindari putusan ultra petita. Berikut adalah rumusan posita yang penulis rangkum setelah melakukan beberapa wawancara dengan para praktisi, salah satunya adalah Indra Nathan Kusnadi, S.H.41 (advokat yang berkantor di Adnan Buyung Nasution & Partners (ABNP)), antara lain sebagai berikut:
39
Menurut Dr. Andriani Nurdin, S.H., M.H. adalah mengenai asas sederhana, cepat, dan biaya ringan, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 40 Pendapat tersebut telah sesuai dengan yang ada dalam kasus (terlampir). 41 Wawancara dengan Bapak Indra Nathan Kusnadi, sebagai advokat di Kantor ABNP (dilakukan Tanggal 20 Juni 2014 2014, Pukul 14.00 WIB, di Kantor ABNP).
11
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
a. Dalam rumusan tidak menjelaskan kembali pokok sengketa seperti wanprestasi atau perbuatan melawan hukum dalam kasus sebelumnya, melainkan mengajukan permintaan untuk putusan kondemnator atas putusan deklarator sebelumnya; b. Dalam rumusan posita ini disebutkan putusan sebelumnya, sebagai gambaran bahwa alasan adanya gugatan ini adalah karena putusan sebelumnya bersifat deklarator. Adapun gugatan baru ini diajukan karena sudah tertutup kemungkinan untuk mengajukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa atau luar biasa, atas putusan deklarator tersebut. c. Memaparkan bukti-bukti tertulis seperti penetapan eksekusi yang menyatakan putusan noneksekutabel karena bersifat deklarator, dan/atau memaparkan surat rekomendasi dari Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi untuk mengajukan gugatan baru tersebut. 3.
Petitumnya pun jelas bahwa penggugat hanya meminta untuk menghukum tergugat sesuai putusan deklarator sebelumnya, dan meminta agar putusan dapat dilaksanakan dengan serta merta.
Pengajuan Putusan Serta Merta Analisa terkait pengajuan putusan serta merta ini adalah mengenai apakah putusan serta merta yang telah diputus, sebagaimana terlampir dalam kasus, sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan, yaitu Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBg, serta ketentuan lain yang juga dapat mengikat yaitu SEMA No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta dan Provisioneel, dan SEMA No. 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Serta Merta dan Provisioneel. Berikut adalah syarat-syarat agar putusan serta merta dapat dikabulkan adalah terdapat surat yang sah (otentik), putusan pengadilan yang telah mempunyai kekutatan hukum tetap, dalam perselisihan tentang hak kepunyaan, dan berkaitan dengan putusan Provisioneel. Dari ketiga kasus yang terlampir, semuanya dimenangkan oleh Penggugat dengan salah satu amar putusannya menyatakan putusan dapat dilaksanakan dengan serta merta. Pertimbangan hakim yang menerima putusan tersebut adalah karena tidak ada permasalahan baru terhadap putusan sebelumnya, melainkan hanya memutar balik (dari tidak ada menjadi ada) amar kondemnator saja. Bahkan syarat-syarat permohonan putusan serta merta tersebut
12
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
salah satunya terpenuhi, yaitu berkaitan dengan adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.42 SEMA No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta dan Provisioneel mengatur mengenai pemberian jaminan ketika mengajukan permohonan putusan serta merta. Jaminan tersebut nilainya sama dengan nilai obyek yang akan dieksekusi terlebih dahulu agar tidak menimbulkan kerugian. Bahkan dipertegas di dalam SEMA No. 4 Tahun 2001, yakni tanpa adanya jaminan tersebut, tidak boleh ada pelaksanaan putusan serta merta. Dalam SEMA No. 3 Tahun 2000 tersebut, diatur pula bahwa setelah putusan serta merta diajukan Hakim Pengadilan Negeri, maka selambat-lambatnya 30 hari setelah diucapkan, turunan putusan yang sah dikirim ke Pengadilan Tinggi. Kemudian, apabila penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar putusan serta merta tersebut dilaksanakan, maka permohonan tersebut beserta berkas perkara selengkapnya dikirim ke Pengadilan Tinggi disertai pendapat dari Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Kesimpulan Dari seluruh pembahasan yang telah disampaikan, kiranya terdapat beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan yaitu sebagai berikut: 1. Dalam perkara kontentiosa atau perkara dengan sengketa antara pihak penggugat dan tergugat, penggugat dapat menuntut tergugat untuk menghukum memenuhi prestasi tertentu. Penghukuman atau kondemnator ini harus disertai dengan pernyataan terlebih dahulu atau deklarator, karena amar kondemnator tidak dapat berdiri sendiri. Apabila dalam putusan hakim nantinya terdapat amar deklarator yang disertai kondemnator maka tidak akan bermasalah saat ada permohonan eksekusi, akan tetapi apabila suatu putusan hanya menyatakan saja maka terhadap putusan tersebut harus dinyatakan noneksekutabel secara langsung tanpa harus ada permohonan dan pertimbangan Ketua Pengadilan Negeri lagi. Sebagai contoh putusan yang hanya memuat amar deklarator saja tanpa adanya kondemnator adalah Putusan No. 09/Pdt.G/PN.BB jo No. 447/Pdt/1990/PT.Bdg jo No. 2334 K/Pdt/1991, Putusan No. 18/Pdt.G/2004/PN.Skg jo No. 209/Pdt/2005/PT.Mks, dan Putusan No. . 237/Pdt.G/1996/PN.Dps jo No. 45/Pdt/1998/PT.DPS jo No. 420 K/Pdt/1999.
42
Syarat ini bersifat alternatif karena dalam Pasal 180 ayat (1) HIR tertulis kata “atau”, yang memisahkan antara syarat yang satu dengan syarat yang lain.
13
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
Berdasarkan pembahasan sebelumnya mengenai pelaksanaan putusan deklarator, langkah hukum yang dapat diambil oleh pihak yang menginginkan eksekusi adalah dengan mengajukan gugatan baru, mengingat tertutupnya upaya hukum karena telah melewati batas waktu yang ditentukan. Dalil gugatannya didasarkan atas putusan deklarator sebelumnya, serta jika ada didasari pula oleh surat perintah dari Ketua Pengadilan Negeri dan/atau Ketua Pengadilan Tinggi. Selanjutnya dicantumkan dalil untuk memintakan amar kondemnator, baik itu dalam posita dan petitumnya, sebagai pertimbangan majelis hakim memutus perkara. Dalam gugatan baru tersebut, hakim tidak lagi memeriksa pokok perkara sebagaimana dilakukan pada pemeriksaan di putusan deklarator sebelumnya, melainkan hanya memeriksa untuk menambahkan amar kondemnator saja supaya putusan tersebut dapat dieksekusi. Kemudian dengan adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yaitu putusan deklarator tersebut, maka pihak penggugat dapat mengajukan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad). 2. Dalam studi kasus Putusan No. 1238 K/Pdt/2005 jo No. 320/Pdt/2003/PT.Bdg jo No. 122/Pdt.G/2002/PN.BB, Putusan No. 59 K/Pdt/2011 jo No. 280/Pdt/2010/PT.Mks jo No. 07/Pdt.G/2009/PN.Sengkang; dan Putusan No. 244 k/Pdt/2011 jo 94/Pdt/2010/PT.Dps jo No. 432/Pdt.G/2009/PN.Dps, pihak yang memenangkan sengketa sebelumnya, di mana amar putusannya berupa deklarator, mengajukan gugatan baru untuk memintakan putusan kondemnator supaya putusan deklarator sebelumnya dapat dieksekusi. Dalam studi kasus ini, para penggugat ketika mengajukan gugatan baru menyertai tuntutan mereka dengan pengajuan putusan serta merta, dengan alasan bahwasannya telah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap sebelumnya, dan dalam putusan tersebut baik tuntutan untuk memintakan amar kondemnator ataupun putusan serta merta dikabulkan oleh majelis hakim. Dalil gugatan dari setiap kasus ini adalah sama, bahwa gugatan didasarkan atas putusan sebelumnya sehingga dasar hukum gugatan baik itu perbuatan melawan hukum ataupun wanprestasi akan merujuk ke perkara sebelumnya, serta jika sudah memohon eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri maka dilampirkan pula alasan kenapa itu noneksekutabel dan saran Ketua Pengadilan Negeri untuk mengajukan gugatan baru ini. Selanjutnya adalah dalil yang memintakan amar kondemnator dan putusan serta merta.
14
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
Saran Setelah disampaikannya beberapa kesimpulan di atas, kiranya terdapat beberapa saran yang dapat dikemukakan sebagai suatu masukan terhadap langkah hukum pelaksanaan putusan deklarator dan penerapan uitvoerbaar bij vorraad, apabila diminta juga putusan serta merta. Adapun saran yang hendak dikemukakan antara lain sebagai berikut: 1. Saat mengajukan gugatan dalam perkara kontentiosa penggugat dan/atau kuasa hukumnya sebaiknya mencermati gugatannya terlebih dahulu, bahwa apakah dalam gugatannya tersebut telah ada tuntutan deklarator dan kondemnator atau tidak. Hal ini berakibat apabila ternyata tuntutan dari penggugat hanya memintakan amar deklarator saja, maka sudah pasti amar yang akan diputus hanya bersifat deklarator sehingga putusan tersebut nantinya tidak dapat dieksekusi atau noneksekutabel. Hakim pun tidak dapat memberikan putusan dengan amar kondemnator dalam perkara itu, karena hakim tidak boleh memutus sesuatu hal yang tidak dimohonkan di dalam tuntutan penggugat. Lain halnya jika penggugat sudah mencantumkan tuntutan untuk menghukum, akan tetapi hakim hanya menyatakan saja, maka dengan kejadian ini penggugat bisa mengajukan upaya hukum, dan apabila sudah tertutup kemungkinan upaya hukum maka dapat diajukan dengan gugatan baru sebagaimana pembahasan dalam penelitian ini; 2. Putusan hakim pada prinsipnya harus memenuhi kriteria yang mengandung asas kepastian hukum, keadilan, dan manfaat. Manfaat tersebut salah satunya adalah dapat dilaksanakannya putusan tersebut, oleh sebab itu hakim harus menganalisis dampak putusan sebelum diucapkan. Seandainya hal tersebut dipertimbangkan oleh hakim, maka kecil kemungkinan putusan hakim tidak dapat dilaksanakan hanya karena tidak ada amar putusan yang bersifat kondemnator. Jadi majelis hakim dalam memutus suatu sengketa diharuskan sekali mencermati amar yang akan dijatuhkannya, karena amar putusan akan berkaitan kelak dengan eksekusi; 3. Majelis hakim yang memeriksa gugatan baru berkenaan dengan permintaan eksekusi terhadap putusan perkara kontentiosa yang hanya bersifat deklarator, perlu memperhatikan bahwa tidak diperbolehkan menilai dan memeriksa materi isi putusan deklarator sebab hal itu telah dilakukan pada putusan deklarator sebelumnya yang mana telah memiliki kekuatan hukum tetap, dan pemeriksaan gugatan baru tersebut hanya sebatas mengenai dapat atau tidaknya putusan deklarator tersebut dieksekusi; 15
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
4. Penggugat yang mengajukan gugatan baru untuk pelaksanaan putusan deklarator ini, dapat mengajukan putusan serta merta dengan alasan telah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Berkaitan dengan putusan serta merta ini, majelis hakim yang menangani perkara hendaknya sebelum mengabulkan tuntutan uitvoerbaar bij voorraad melihat ke depan mengenai potensi masalah yang mungkin timbul dengan dikabulkannya tuntutan uitvoerbaar bij voorraad, yaitu resiko yang akan dihadapi pengadilan untuk melakukan pemulihan kembali kepada keadaan semula, apabila ternyata putusan yang mengabulkan tuntutan uitvoerbaar bij voorraad tersebut dibatalkan pada tingkat yang lebih tinggi. Serta resiko terkait jaminan sebagaimana disebutkan dalam SEMA No. 4 Tahun 2001 dan SEMA No. 3 Tahun 2000 mengenai pelaksanaan uitvoerbaar bij voorraad. Jaminan ini dapat menimbulkan resiko apabila ketika suatu harta benda dijaminkan agar putusan serta merta dilaksanakan memiliki harga sesuai dengan obyek yang akan dieksekusi, namun saat adanya upaya hukum dan ternyata putusan yang mengabulkan tuntutan uitvoerbaar bij voorraad tersebut dibatalkan pada tingkat yang lebih tinggi, harga jaminan tersebut menjadi naik atau mungkin berkurang karena adanya faktor tertentu. Terkait resiko ini timbul permasalahan baru bahwa siapa yang harus bertanggung jawab dan bagaimana pemulihan atas hal tersebut. Jadi, sangat disarankan sekali majelis hakim memutus tuntutan uitvoerbaar bij voorraad secara hati-hati dan dengan penuh pertimbangan.
Daftar Referensi Ali, Achmad dan Wiwie Heryani. (2012). Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata. Jakarta: Kencana. Bachar, Djazuli. (1995). Eksekusi Putusan Perkara Perdata: Segi Hukum dan Penegakan Hukum. Jakarta: Akademika Pressindo. Black, Henry Campbell. (1968). Black’s Law Dictionary Fourth Edition. Minnesota: West Publishing Co. Budi Cahyono, Akhmad, dan Surini Ahlan Sjarif. (2008). Mengenal Hukum Perdata. Jakarta: CV. Gitama Jaya. Hamzah, Moh. Amir. (2013). Hukum Acara Perdata Peradilan Tingkat Banding. Malang: SetaraPress. Harahap, Krisna. (2011) Hukum Acara Perdata: Kasasi, Class Action, Arbitrase dan Alternatif. Bandung: PT. Grafiti Budi Utami. 16
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
Harahap, M. Yahya. (1997). Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. -------------------------. (2008). Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. -------------------------. (2008). Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989). Jakarta: Sinar Grafika. -------------------------. (2005). Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Ed. Ke-2. Jakarta: Sinar Grafika. -------------------------. (1986). Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni. Kansil, CST. (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Karjadi, M. (1992). Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR). Bogor: Politea. Leihitu, Izaac S. (1982). Intisari Hukum Acara Perdata. Jakarta: Ghalia Indonesia. Mahkamah Agung Republik Indonesia. (1994). Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan. Jakarta: Mahkamah Agung RI. ---------------------------------------------------. (2007). Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum Edisi 2007. Jakarta: Balitbang Kumdil MA RI. ---------------------------------------------------. (2009). Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan. Jakarta: Mahkamah Agung RI. Manan, Abdul. (2000). Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Yayasan Al Hikmah. Mamudji, Sri et.al. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Mas, Marwan. (2004). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. Mertokusumo, Sudikno. (2002). Hukum Acara Perdata Indonesia, ed. Ke-6. Yogyakarta: Liberty. ---------------------------. (2005). Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), cet. 2. Yogyakarta: Liberty. Makarao, Moh. Taufik. (2009). Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: Rineka Cipta. Muhammad, Abdulkadir. (1986). Hukum Acara Perdata Indonesia. Badung: Penerbit Alumni.
17
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
Mulyadi,
Lilik. (2002). Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan
Indonesia. Jakarta: Djambatan. -------------------. (2009). Kompilasi Hukum Perdata Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan. Bandung: PT. Alumni. -------------------. (2009). Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia. Malang: PT Citra Adtya Bakti. Nasir, Muhammad. (2005). Hukum Acara Perdata. Jakarta: Djambatan. Ngadijarno, FX. (1995). Lelang: Teori dan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Pitoyo, RPH. Whimbo. (2012). Strategi Jika Memenangi Perkara Perdata dalam Praktik Peradilan. Jakarta: Visi Media. Prinst, Darwan. (1992). Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Prodjodikoro, R. Wirjono. (1980). Hukum Acara Perdata di Indonesia, cet. Ke-8. Bandung: Sumur Bandung. Rubini, I. dan Chaidir Ali. (1974). Pengantar Hukum Acara Perdata. Bandung: Penerbit Alumni. Saleh, K. Wantjik. (1981). Hukum Acara Perdata RBg/HIR. Jakarta: Ghalia Indonesia. Saleh, Mohammad dan Lilik Mulyadi. (2012). Bunga Rampai Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: PT. Alumni. Sarwono. (2011). Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika. Setiawan. (1977). Pokok-Pokok Perikatan, cet. I. Bandung: Bina Cipta. Soekanto, Soerjono. (1981). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. -----------------------, dan Sri Mamudji. (2013). Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, cet. 15. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. -------------------------, dan Purnadi Pubacaraka. (1993). Sendi-Sendi Ilmu Hukum Dan Tata Hukum, cet. Ke-6. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Soesilo, R. (1985). RIB/HIR Dengan Penjelasan. Bogor: Politea. Subekti, R. (1977). Hukum Acara Perdata. Bandung: Binacipta. -------------. dan R. Tjitrosudibio. (2007). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Sugeng A.S., Bambang. (2012). Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi. Jakarta: Kencana.
18
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. (2009). Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, cet. 11. Bandung: Mandar Maju. Suyuthi, Wildan. (2004). Sita dan Eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan. Jakarta: PT. Tatanusa. Syahrani, Riduan. (2013). Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Edisi Revisi). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. ---------------------. (1988). Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum. Jakarta: Pustaka Kartini. Dirjen Badilag MA RI, Direktorat Pembinaan Administrasi PA. Formulir Administrasi Kepaniteraan
Pengadilan
Agama.
Accesed
on
June
19,
2014
from
http://www.badilag.net/data/ditbinadpa /Subdit%20Takel/standarisasi.pdf. Mahkamah Agung RI. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Accesed on June 5, 2014 from
http://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pn-jakarta-
pusat/direktori/perdata-khusus. MYS. Bahasa Hukum: “Ex Aequo et Bono”. Accesed on June 11, 2014 from http://www.hukumonline.com/berita/baca/
lt4d904eea83da8/bahasa-hukum-iex-
aequo-et-bonoi. Nasima, Imam. Titel Eksekutorial Grosse Akta: Ketika Nama Tuhan Tidak Lagi Bermakna. Accesed
on
June
5,
2014
from
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bce9ab50b7e9/titel-eksekutorial-grosseakta-ketika-nama-tuhan-tidak-lagi-bermakna--. Prasetio, Bimo dan Rizky Dwinanto. Di Mana Pengaturan Kerugian Konsekuensial dalam Hukum
Indonesia.
Accesed
on
June
19,
2014
from
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4da27259c45b9/di-mana-pengaturankerugian-konsekuensial-dalam-hukum-indonesia. Manan, Abdul. (September 2011). Eksekusi dan Lelang dalam Hukum Acara Perdata. Paper was presented on Rakernas 2011 Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia, Jakarta, Indonesia. Suwardi. (November 2012). Penggunaan Lembaga Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij Voorraad).
Paper was presented on Rakernas 2012 Mahkamah Agung dengan
Pengadilan Tk. Banding Seluruh Indonesia, Manado, Indonesia. Anindita, Sri Laksmi. (1998). Eksekusi Grosse Acte Hak Tanggungan Melalui Pengadilan Negeri (Study Kasus di Bank Danamon). Skripsi, Program Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta. 19
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014
A.S. Pane, Heikhal. (2009). Perapan Uitvoerbaar Bij Voorraad dalam Putusan Hakim Pada Pengadilan Tingkat Pertama. Skripsi, Program Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Kennetze, Edward. Penundaan Eksekusi Dengan Alasan Adanya Perkara Lain yang Saling Berkaitan dan Putusan Perkara Tersebut Belum Berkekuatan Hukum Tetap. Skripsi, Program Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
20
Langkah hukum…, Mulya Haryadi, FH UI, 2014