MOTIVASI TOKOH DIFABEL DALAM NOVEL SARASWATI SI GADIS DALAM SUNYI KARYA A. A. NAVIS DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
oleh Madhensia Putri Pratiwi NIM 1111013000102
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
Skripsi berjudul "Motivasi Tokoh Difabet dalam Novel Saraswati Si Gadis dalam sunyi Karya A. A. Navis dan Implikasinya pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia" disusun oleh Madhensia putri pratiwi Nomor Induk Mahasiswa 1111013000102, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 14 Juli 2016 dihadapan dewan penguji. Karena ifu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Sl (S.Pd.) dalam bidang pendidikan Bahasa dan Sasta Indonesia.
Jakarta, 14 Juli 2016 Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/prodi)
Tanggal
Makvun Subuki.,M.Hum.
t2..Jplt..3:(o
NrP. 19800305200901 S
eketari s P aniti a
(S
i 0ls
Tanda Tansan
ekretari s Jurus anlprodi)
Dona Aii Karunia Putra. MA. NrP. 19840409201101 1 015
20 Jrl; eot6
Penguji I
Nurvati Diihad?h.
IVI.Pd.. MA. NIP. 19660829199903 2 003
4;.?.7.:?Pr(
Penguji II 19
J,tA eotL
NrP. 19841126
/
ABSTRAK Madhensia Putri Pratiwi, 1111013000102, “Motivasi Tokoh Difabel dalam Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A. Navis dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Rosida Erowati, M. Hum. Sebagai kaum difabel, Saraswati mengalami diskriminasi baik dalam keluarga maupun di masyarakat seperti perbedaan kesempatan dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan kekerasan baik fisik, psikis maupun seksual menjadi salah satu bentuk ketidakadilan yang diterima Saraswati sebelum akhirnya memperoleh aktualisasi diri. Tujuan analisis ini adalah mendeskripsikan motivasi tokoh difabel yang terkandung dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis yang diharapkan dapat menjadi referensi dalam kegiatan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Subjek penelitian ini adalah motivasi tokoh difabel dan objek penelitian ini adalah novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A. Navis. Teknik pengumpulan data dalam analisis ini dengan menggunakan teknik kepustakaan yaitu dilakukan dengan mengumpulkan sejumlah sumber untuk memperoleh data intrinsik secara hermeneutik. Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan teori Abraham Maslow, tampak motivasi pada tokoh difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi meliputi enam kebutuhan dasar manusia yakni: 1) motivasi kebutuhan fisiologis; 2) motivasi kebutuhan akan rasa aman; 3) motivasi kebutuhan akan cinta; 4) motivasi kebutuhan akan penghargaan diri; 5) motivasi kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti; dan 6) motivasi kebutuhan untuk aktualisasi diri. Kata Kunci: Motivasi, Difabel, Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi, A. A. Navis, Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
i
ABSTRACT Madhensia Putri Pratiwi, 1111013000102, “Motivasi Tokoh Difabel dalam Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A. Navis dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kelas VIII” Department of Indonesian Language and Literature, the Faculty of Tarbiyah and Teachers Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Adviser: Rosida Erowati, M.Hum As difabel people, Saraswati get discrimination both in family and society such as opportunity gap in education, occupation and physical, psychological, even sexual violence which become one of injustice case faced by Saraswati before she get self-actulaization. The purpose of this analysis is to describe motivation of difabel’s character which is implied on Saraswati Si Gadis dalam Sunyi novel by A.A navis, it is also hoped that it can be used as references in teaching and learning Indonesian language and literature in junior high school. The method used in this research is descriptive analysis. The subject of this research is motivation of difabel character on Saraswati Si Gadis dalam Sunyi, as for the object of this research is Saraswati Si Gadis dalam Sunyi novel by A.A Navis. The technique of collecting data in this analysis is by kepustakaan, collecting several resources to get intrinsic data hermeneutically. Based on the analysis of Abraham Maslow theory, there is motivation in difabel characters on Saraswati Si Gadis dalam Sunyi novel included 6 basic needs of human being: 1) motivation of physiological needs; 2) motivation of securty can needs; 3) motivation of love need; 4) motivation of self-appreciation needs; 5) motivation of needs to know and understand; 6) motivation of needs to selfactualization Keywords: Motivation, Difabel, Novel of Saraswati Si Gadis dalam Sunyi, A. A. Navis, Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
ii
KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim, Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, serta kesehatan jasmani dan rohani kepada penulis sehingga diberi kemudahan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Motivasi Tokoh Difabel dalam Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A. Navis dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. beserta para keluarga dan sahabatnya. Penulisan skripsi ini ditujukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya. Dalam proses penulisan skripsi ini tentu saja tidak terlepas dari nasihat, saran dan motivasi dari berbagai pihak yang dengan ketulusan hati mau membantu dan membimbing penulis. Dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang memudahkan dalam segala proses baik formal maupun informal; 3. Dona Aji Karunia P., selaku Sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang memudahkan dalam segala proses administrasi; 4. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu berusaha meluangkan waktu untuk penulis dalam proses bimbingan skripsi, sabar dalam membimbing dan memberikan masukan untuk referensi tulisan hingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik; 5. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya dan dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan pada umumnya yang telah iii
memberikan ilmu dalam menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 6. Ucapan teristimewa ditujukan kepada kedua orang tua tercinta yaitu Medi Prayitno dan Budiwiyati, S.Pd yang telah merawat, membimbing, tidak hentihentinya memberikan doa dan dorongan baik moril, materil, dan ilmu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tanda bakti; 7. Ucapan teristimewa ditujukan kepada adik-adik tersayang yaitu Fiveti Novia Pratiwi dan Muhammad Made Ardika yang telah memberikan motivasi, keceriaan, kehangatan di tengah perjalanan hidup hingga saat selesainya skripsi ini; 8. Ucapan teristimewa juga ditujukan kepada Ade Munawar Luthfi, Rizky Jadwiko, Dicky Permana Putra dan Fakhrazade Khafabihi yang bersedia menjadi tempat berkeluh kesah dan tanpa henti memberikan doa, perhatian, saran, semangat dan dukungan; 9. Sahabat seperjuangan “Genk Che” Ade Nurfadillah, Amalia Rosyidah, Astri Pertiwi, Rahayu Handayani, dan Rohmatun Masruroh yang sejak awal perkuliahan menjadi tempat berkeluh kesah, selalu memberi keceriaan, saling mendukung, menyemangati, mendoakan, dan memberikan saran. 10. Teman-teman seperjuangan yang menjadi tempat diskusi dan berkeluh kesah dalam proses penulisan skripsi ini, Adam Zakaria, Astra P. Leksana, Irmalia N. Aminuddin, Irma Wulandari, Lilyani Susanti, Marchita Fajarwati, Muhammad Irfan, Nova Liana, Okeu Yudipratomo, Sidqi Daivan. R, Sukaesih, Yohanes, dan Syifa Fauziah; 11. Teman-teman PPKT di SMA PGRI 56 Ciputat yang telah bekerja sama dengan kompak selama praktik mengajar. Terimakasih atas pengalaman, keceriaan, dukungan, doa, semangat dan waktu yang telah kalian berikan; 12. Teman-teman seperjuangan di SD Negeri Pondok Makmur angkatan 2004-2005, SMP Negeri 8 Tangerang angkatan 2007-2008, SMA Negeri 5 Tangerang angkatan 2010-2011 dan PBSI kelas C angkatan 2011 yang telah mengajarkan penulis arti dari kekeluargaan, kebersamaan, kepedulian dan kekompakan.
iv
Terimakasih atas keceriaan, doa, dukungan, semangat, pengalaman dan waktu yang telah kalian berikan; 13. Keluarga besar SMA PGRI 56 Ciputat yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk praktik mengajar, menambah pengalaman dan ilmu untuk bekal di masa depan; 14. Keluarga besar POSTAR (Pojok Seni Tarbiyah) yang telah memberikan ruang berkreativitas untuk mengembangkan potensi dalam berkesenian; dan 15. Keluarga besar Teater Syahid yang telah memberi banyak pelajaran dan pengalaman berharga dalam berkesenian;
Terima kasih pula kepada pihak-pihak yang telah memudahkan penulis dalam mempermudah penyelesaian skripsi ini, baik secara struktural ataupun kultural. Semoga limpahan rahmat Allah, Tuhan yang maha kuasa, terhikmat kepada kita semua. Tentunya sangat besar harapan penulis agar penelitian ini dapat bermanfaat baik secara pribadi maupun pembaca.
Jakarta, 7 Juni 2016
Penulis
v
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ABSTRAK ........................................................................................................................ i ABSTRACT ........................................................................................................... ii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................................1 B. Identitas Masalah ............................................................................................5 C. Pembatasan Masalah .......................................................................................6 D. Rumusan Masalah ...........................................................................................6 E. Tujuan Penelitian ............................................................................................6 F. Manfaat Penelitian ..........................................................................................6 G. Metodologi Penelitian .....................................................................................7 BAB II KAJIAN TEORI A. Hakikat Motivasi ..........................................................................................11 1. Pengertian Motivasi.............................................................................11 2. Ciri-ciri Motivasi .................................................................................12 3. Fungsi Motivasi ...................................................................................12 4. Sudut Pandang Humanistik dan Teori Motivasi Melalui Pendekatan Maslow ................................................................................................13 B. Hakikat Disabilitas........................................................................................16 1. Pengertian Disabilitas ..........................................................................16 2. Hak dan Kewajiban Penyandang Disabilitas ......................................18 3. Penggambaran Penyandang Disabilitas ..............................................19 C. Hakikat Novel ...............................................................................................22 1. Pengertian Novel .................................................................................22 2. Unsur Intrinsik Novel ..........................................................................24 vi
3. Unsur Ekstrinsik Novel .......................................................................31 D. Pendekatan Psikologi Sastra .........................................................................32 E. Pembelajaran Sastra Indonesia .....................................................................34 F. Penelitian yang Relevan ...............................................................................38 BAB III BIOGRAFI PENGARANG A. Biografi A. A. Navis .....................................................................................40 B. Pandangan Hidup A. A. Navis ......................................................................41 C. Karya-karya A. A. Navis ..............................................................................44 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Unsur Intrinsik Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A. Navis ...................................................................................................45 1. Tema ....................................................................................................45 2. Alur atau plot .......................................................................................49 3. Tokoh dan Penokohan .........................................................................57 4. Latar ....................................................................................................73 5. Sudut Pandang .....................................................................................82 6. Gaya Bahasa ........................................................................................84 7. Amanat ................................................................................................90 B. Analisis Motivasi Tokoh Difabel dalam Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A. Navis...............................................................................91 1. Motivasi Kebutuhan Fisiologis ...........................................................92 2. Motivasi Kebutuhan Akan Perasaan Aman ........................................96 3. Motivasi Kebutuhan Akan Cinta .........................................................99 4. Motivasi Kebutuhan Akan Penghargaan Diri ...................................101 5. Motivasi Kebutuhan untuk Mengetahui dan Mengerti .....................103 6. Motivasi Kebutuhan untuk Aktualisasi Diri......................................106 C. Implikasi Analisis Motivasi Tokoh Difabel dalam Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A. Navis Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ...................................................................................109
vii
BAB V PENUTUP A. Simpulan .....................................................................................................113 B. Saran ...........................................................................................................114 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................115 LAMPIRAN LEMBAR UJI REFRENSI DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyandang disabilitas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Mereka hidup, berkembang dan berinteraksi di tengah-tengah masyakarat. Namun, mereka kerap tersisih dalam pergaulan dan kehidupan seharihari karena keadaan dan keterbatasan yang dimiliki. Umumnya masyarakat menganggap keberadaan penyandang disabilitas sebagai sesuatu hal yang merepotkan. Ada pula yang menganggap penyandang disabilitas “aneh” sehingga mereka semakin terpojok dalam pergaulan sehari-hari. Hashim Djojohadikusumo dalam sambutannya di acara dialog dan penampilan bakat anak-anak istimewa penyandang disabilitas di kantor DPP Partai Gerindra, Sabtu (19/9/15) mengatakan, “saat ini banyak dari masyarakat Indonesia yang belum menyadari betapa pentingnya keberadaan fasilitas dan sarana prasarana serta pendidikan bagi para anak-anak berkebutuhan khusus dan saudara-saudara kita kaum difabel atau disabilitas lainnya”.1 Terabaikannya masalah “difabel” di negara berkembang seperti Indonesia ini disebabkan oleh adanya faktor sosial budaya, faktor ekonomi, dan lemahnya kebijakan dan penegakan hukum yang kurang memihak penyandang disabilitas. Hal ini menyebabkan difabel terabaikan dalam segala aspek kehidupan. Secara tidak sadar masyarakat sekitar juga mengabaikan hak dan kewajiban penyandang disabilitas. Akibatnya sebagai bagian dari masyarakat, para penyandang disabilitas tidak dapat menikmati hak dan kewajiban mereka sebagaimana mestinya. Padahal secara jelas pemerintah sudah menetapkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 untuk melindungi hak-hak penyandang disabilitas.
1
Endang Saputra, Gerindra Konsisten Perjuangkan Kaum Difabel, (www.satuharapan.com), diakses pada tanggal 11 Februari 2016 pada pukul 16.15 WIB.
1
2015,
2
Dalam bidang pendidikan ternyata masih terdapat gambaran ketidakadilan terhadap pemenuhan hak pendidikan bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Jika merujuk Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Pasal 12 seharusnya “setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.”2 Namun hal tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan. Hingga kini instansi pendidikan tinggi belum menyediakan sarana dan prasarana bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Seperti yang terlihat pada Portal Berita Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta “Kita akui, memang kampus ini belum memfasilitasi mereka (mahasiswa difabel),” ujar Wakil Rektor (Warek) II Bidang Administrasi Umum, Amsal Bakhtiar.3 Terdapat ketidakadilan lain di bidang pendidikan yang diterima oleh penyandang disabilitas, seperti informasi yang diambil dari website resmi Panitia Pelaksana SNMPTN 2014 dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia dan ditulis oleh Joni Yulianto dalam artikelnya yang menyatakan bahwa seorang calon peserta SNMPTN 2014 disyaratkan tidak tuna netra, tidak tuna rungu, tidak tuna wicara, tidak tuna daksa, tidak buta warna keseluruhan, dan tidak buta warna keseluruhan maupun sebagian.4 Persyaratan tersebut jelas menjadi penghalang penyandang disabilitas untuk mengembangkan minat, bakat dan kecerdasannya di perguruan tinggi negeri. Selain bidang pendidikan, dalam bidang pekerjaan penyandang disabilitas juga kerap mengalami ketidakadilan. Rendahnya kualitas sumber daya penyandang disabilitas menjadi asumsi bahwa mereka tidak dapat bersaing dengan manusia normal dalam bidang pekerjaan. Padahal sudah dijelaskan pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 pasal 13 bahwa “setiap penyandang cacat
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 12, Tentang Penyandang Disabilitas, (Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997), hlm. 3. 3 Thohirin, Buka Sejak Dulu, UIN Tak Fasilitasi Mahasiswa Difabel, 2014, (http:// lpminstitut.com), diakses pada tanggal 18 Desember 2015 pada pukul 19.00 WIB. 4 Joni Yulianto, Pernyataan Sikap: Cabut Persyaratan Diskriminatif SNMPTN 2014!, 2014, (http://solider.or.id), diakses pada tanggal 18 Desember 2015 pada pukul 19.45 WIB.
3
mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.”5 Tidak jarang penyandang disabilitas memanfaatkan keterbatasannya untuk menjadi pengemis karena kurangnya lapangan pekerjaan untuk orang-orang seperti mereka. Permasalahan-permasalahan aktual di atas kini ternyata telah diangkat oleh Ali Akbar Navis dalam novel yang berjudul Saraswati Si Gadis dalam Sunyi (SSGDS). Novel ini menarik perhatian karena mengambil latar peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), yang melibatkan dua pihak secara garis besar yaitu pusat (Jakarta) dan daerah (Sumatra Barat). Salah satu pemicunya adalah munculnya ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah. Oleh sebab itu novel ini termasuk novel sosial dan sejarah. Selain itu, novel ini seperti menjadi catatan harian dari seorang gadis penyandang disabilitas sejak lahir bernama Saraswati. Penggunaan diksi “Saudaraku” membuat Saraswati sebagai narator seolah-olah mengajak pembaca untuk ikut serta memberikan pendapat terhadap keseharian tokoh. Kondisi Saraswati yang bisu dan tuli sehingga berbeda dengan orang-orang normal menyebabkan Saraswati mengalami diskriminasi baik dalam keluarga maupun di masyarakat. Persoalan perbedaan kesempatan dalam hal pendidikan dan pekerjaan menjadi salah satu ketidakadilan yang diterima Saraswati sebagai kaum difabel. Selain itu, kekerasan yang diterima Saraswati mulai dari kekerasan fisik seperti pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti penindasan, penghinaan, dan pelecehan merupakan ketidakadilan yang Saraswati terima di lingkungan masyarakat. A. A. Navis seorang cerpenis dan novelis yang terkenal sebagai “pencemooh tak kenal ampun”, karena sikapnya yang kritis terhadap berbagai persoalan kehidupan dan kemasyarakatan mampu menyindir semua lapisan masyarakat dengan karya-karyanya. Anak sulung yang lahir di Padang Panjang 17 Oktober 1924 ini merupakan sosok orang yang senantiasa memperhatikan keadaan di
5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 13, Tentang Penyandang Disabilitas, (Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997), hlm. 4.
4
sekelilingnya lalu menuliskan semuanya dalam karya sastra. Seperti salah satu kutipan pada novel SSGDS berikut: …. Aku banyak mengenal orang-orang seperti diriku, entah perempuan entah laki-laki. Tak seorang pun di antara mereka yang menjadi manusia sama layaknya dengan manusia lainnya. Di mana pun orang-orang bisu seperti aku hanyalah jadi bahan olok-olok anak-anak belaka. Hanya jadi orang suruhan belaka. Aku kenal sebuah keluarga yang menaruh seorang perempuan bisu di rumahnya. Kerjanya hanya mencuci baju orang.6 Kemampuan A. A. Navis dalam bercerita menggugah pembaca untuk mengamati setiap peristiwa di dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi. Kritik pengarang dalam memandang fenomena yang terjadi pada masyarakat ketika itu terkait penyandang disabilitas dalam masyarakat, sangat dapat dirasakan oleh pembaca. Kegelisahan A. A. Navis yang disampaikan melalui tokoh utamanya merupakan bentuk kritik terhadap keadaan masyarakat tersebut. Pada novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi, A. A. Navis berhasil memperlihatkan kepada pembaca kekuatan-kekuatan besar yang tersembunyi di dalam diri manusia, kekuatan yang tidak disadari seseorang di dalam dirinya lewat tokoh Saraswati, seorang gadis difabel. Saraswati mampu untuk tetap bertahan dan berjuang dalam menjalani hidupnya. Tujuan hidup dan motivasi yang kuat telah menjadi energi besar bagi dirinya untuk terus berjuang melawan keterbatasan yang dimiliki dan mampu menegaskan bahwa kekurangan secara fisik bukan menjadi hambatan seseorang berusaha meraih cita-citanya. Novel yang terbit pada tahun 1970 ini menjadi salah satu novel bernilai inspiratif dan dapat memotivasi pembacanya. Sejak kemunculannya, novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi mendapat tanggapan yang positif dari kalangan pembaca. Membaca novel yang pernah memenangkan sayembara mengarang UNESCO/IKAPI pada tahun 1968 ini membuat pembaca seolah-olah melihat potret nyata kehidupan penyandang disabilitas yang ternyata terlupakan. Dapat dikatakan bahwa novel SSGDS menjadi pelopor lahirnya novel-novel yang mengangkat kisah mengenai tokoh difabel seperti Biola Tak Berdawai karya Seno
6
A. A. Navis, Saraswati Si Gadis dalam Sunyi, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 11
5
Aji Gumira (2004), Moga Bunda disayang Allah karya Tere Liye (2006), Hati kedua karya Achi T. M (2011) dan lain sebagainya. Pembelajaran sastra mengenai analisis novel dapat diterapkan oleh guru untuk membangun kreativitas peserta didik dalam mengapresiasi karya sastra. Dengan mengetahui pelajaran hidup dan motivasi yang dapat diambil dari tokoh penyandang disabilitas pada novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi menjadikan peserta didik lebih berwawasan dan berpikir kritis lewat motivasi kehidupan yang sifatnya mendidik. Selain itu, diharapkan pandangan negatif terhadap penyandang disabilitas dapat berubah lebih baik dan semakin banyak yang peduli dengan penyandang disabilitas. Dengan begitu akan semakin terbuka lebar juga peluang bagi adanya persamaan hak untuk setiap golongan masyarakat termasuk penyandang disabilitas. Dengan demikian novel ini bukan hanya sekedar karya sastra semata, tetapi sebagai motivasi kehidupan yang dapat dijadikan bekal dalam menghadapi kehidupan seperti sekarang ini. Selain itu dapat dijadikan sebuah proses pendidikan untuk meraih cita-cita demi terciptanya generasi muda yang berkualitas. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik mengambil judul Motivasi Tokoh Difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah, sebagai berikut: 1. Penyandang disabilitas kerap tersisih dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari karena keadaan dan keterbatasan yang dimiliki. 2. Terabaikannya masalah “difabel” dalam berbagai aspek kehidupan di negara berkembang seperti Indonesia. 3. Banyak terjadi pelanggaran terhadap hak penyandang disabilitas terutama dalam bidang pendidikan dan pekerjaan.
6
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, penulis membatasi masalah hanya pada motivasi tokoh difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
D. Rumusan Masalah Agar permasalahan dalam analisis ini menjadi jelas dan terarah, perlu adanya perumusan masalah. Perumusan masalah dalam analisis sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur yang membangun novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis? 2. Bagaimana motivasi tokoh difabel digambarkan dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis? 3. Bagaimana implikasi analisis Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia?
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan analisis ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui struktur yang membangun novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis. 2. Untuk mengetahui gambaran motivasi tokoh difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis. 3. Untuk mengetahui implikasi analisis novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
F. Manfaat Penelitian Analisis ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis sebagai berikut:
7
1. Manfaat Teoretis Analisis ini diharapkan dapat memperkaya penelitian sastra Indonesia dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan sehingga dapat bermanfaat bagi perkembangan sastra Indonesia. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia Hasil analisis ini dapat digunakan guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai masukan bahan ajar apresiasi sastra dalam pengembangan materi pembelajaran apresiasi sastra. b. Bagi Peserta Didik Karya sastra diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan peserta didik tentang motivasi tokoh difabel yang terdapat dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis sehingga mampu memetik pelajaran mengenai persoalan kehidupan dan masalah kehidupan. c. Bagi Peneliti Lain Hasil analisis ini dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan bagi penulis lain yang akan melakukan analisis sastra dengan permasalahan yang sejenis dan dapat menambah wawasan kepada penikmat karya sastra tentang motivasi tokoh difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis.
G. Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode deskriptif analisis. Dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.7 Metode yang penyajiannya berupa kata-kata maupun kalimatkalimat dengan cara mendeskripsikan terlebih dahulu untuk menemukan unsurunsurnya yang kemudian dapat dianalisis. Dengan demikian hasil penelitian ini berisi analisis data yang sifatnya menuturkan, memaparkan, dan menafsirkan.
7
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 53.
8
Pada dasarnya, psikologi sastra ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus. Pertama, pendekatan tekstual yakni yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakat.8 Dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan objektif untuk menganalisis struktur yang membangun novel SSGDS dan pendekatan tekstual untuk menganalisis motivasi tokoh difabel yang tergambar dalam novel SSGDS. Hal-hal yang perlu dipaparkan dalam analisis ini meliputi sumber data dan teknik pengumpulan data. 1. Sumber Data Sumber data untuk analisis ini terdapat dua sumber, yaitu data primer dan data sekunder. a. Sumber data primer Sumber data primer dalam analisis ini adalah novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis diterbitkan pertama kali oleh Gramedia Pustaka Utama, tahun 2002 dengan tebal halaman 136. b. Sumber data sekunder Sumber data sekunder yang digunakan berupa data yang berhubungan dengan analisis ini sebagai pelengkap dan penunjang seperti UndangUndang Dasar, buku, artikel, jurnal dari internet yang terkait dengan permasalahan yang ingin dibahas dan beberapa penelitian yang relevan dengan analisis ini.
8
98.
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2013), hlm. 97-
9
2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam analisis ini dengan menggunakan teknik kepustakaan yaitu dilakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan sejumlah sumber seperti buku-buku teori, referensi online, surat kabar, majalah, UUD dan kamus untuk memperoleh data mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian dalam hal ini adalah analisis motivasi tokoh difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis. Data yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian disimak dan dibaca dengan cermat dan teliti secara berulang-ulang untuk memperoleh informasi yang akurat. Informasi ini berkenaan dengan seluruh isi cerita yang berkaitan dengan gambaran motivasi tokoh difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis. Kemudian, pencatatan dilakukan perbagian dalam tiap kalimat, frase hingga ke bagian terbesar secara keseluruhan isi novel. Fokus data yang dicatat berupa unsur intrinsik novel dan gambaran motivasi tokoh difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis. 3. Teknik Analisis Data Semua data yang diperoleh dari hasil teknik data diolah dan dianalisis dengan teknik ini dalam beberapa tahap. Pertama, penulis mengkategorikan data berdasarkan unsur intrinsik yang terkandung dalam novel. Kemudian dilakukan analisis lebih mendalam mengenai unsur intrinsik dalam novel tersebut dengan menggunakan pendekatan objektif. Unsur intrinsik itu berupa, tema, alur, latar, tokoh dan penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Kedua, mengkategorikan hal-hal yang berkaitan dengan teori motivasi Abraham H. Maslow yang terdapat dalam novel. Setelah menemukan hal-hal yang berkaitan tersebut, penulis menganalisisnya menggunakan pendekatan psikologi sastra dengan mengkaitkan antara teori motivasi Abraham H. Maslow yang telah diperoleh dengan kondisi psikologis tokoh difabel dalam novel. Ketiga, penulis pengimplikasikan motivasi tokoh difabel yang terkandung dalam novel dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas VIII semester genap. Hal tersebut dapat dijadikan
10
motivasi untuk menjalani kehidupan sehari-hari dan diterapkan dalam dunia pendidikan terutama pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, sehingga tujuan dari analisis novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis dapat tercapai dengan baik. Seluruh analisis ini disusun secara sistematis dengan memberikan kutipan sebagai bentuk data sehingga memudahkan dalam mendeskripsikan makna yang terkandung dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis.
BAB II KAJIAN TEORI A. Hakikat Motivasi 1. Pengertian Motivasi Untuk melakukan aktivitas sehari-hari, sebenarnya ada peranan motivasi di dalamnya. Oleh sebab itu, seberapa besar motivasi yang dimiliki seorang individu menjadi salah satu penentu dalam kemajuan hidupnya. Setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda untuk mendefinisikan motivasi. Namun pada intinya motivasi adalah suatu kekuatan yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu secara sadar maupun tidak sadar. Mc. Donald dalam Sardiman A. M. menganggap motivasi sebagai “perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.”1 Selain itu, Mc. Donald juga mengemukakan tiga elemen penting dari pengertian motivasi yakni: a. Motivasi mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia. b. Motivasi ditandai dengan munculnya, rasa/”feeling”, afeksi seseorang. c. Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan.2 Hal tersebut dipertegas oleh James O. Whittaker dalam Wasty Soemanto yang mengatakan bahwa motivasi adalah “kondisi-kondisi atau keadaan yang mengaktifkan atau memberi dorongan kepada makhluk untuk bertingkah laku mencapai tujuan yang ditimbulkan oleh motivasi tersebut.”3 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Morgan bahwa motivasi bertalian dengan tiga hal yang sekaligus menjadi aspek dari motivasi, yaitu: “keadaan yang mendorong tingkah laku (“motivating states”), tingkah laku yang didorong oleh keadaan tersebut
1
Sardiman A. M, Interaksi & Motivasi Belajar-Mengajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.73. 2 Ibid., hlm.74. 3 Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), hlm. 193.
11
12
(“motivated behavior”), dan tujuan daripada tingkah laku tersebut (“goals or ends of such behavior”).”4 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi pada diri manusia yang berhubungan dengan gejala kejiwaan, perasaan dan emosi. Hal tersebut dirangsang oleh faktor dari luar tetapi tumbuh dalam diri seseorang, sehingga mau dan ingin melakukan sesuatu kegiatan/pekerjaan sesuai dengan tujuan. Tujuan tersebut dapat tercapai jika kita memiliki motivasi. Motivasi yang ada dalam diri setiap orang berbeda-beda. Seseorang yang mempunyai motivasi berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupan. 2. Ciri-ciri Motivasi Sardiman berpendapat, seseorang dikatakan memiliki motivasi jika mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus-menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai); b. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa); c. Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah; d. Lebih senang bekerja mandiri; e. Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin; f. Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu); g. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini; dan h. Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal. 5 3. Fungsi Motivasi Sardiman dalam bukunya juga menjelaskan tiga fungsi motivasi, yaitu: a. Mendorong manusia untuk berbuat, bertindak sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Jadi, dalam hal ini motivasi merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.
4 5
Ibid., hlm. 194. Sardiman A. M, op. cit., hlm. 83.
13
b. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya. c. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan untuk mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatanperbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. 6 4. Sudut Pandang Humanistik dan Teori Motivasi Melalui Pendekatan Maslow Abraham Maslow lahir di Manhattan, New York, 1 April 1908. Maslow menghabiskan masa kecilnya yang tidak bahagia di Brooklyn. Kehidupan pribadinya diwarnai dengan rasa sakit baik fisik maupun psikologis. Saat remaja ia adalah orang yang sangat pemalu, tidak bahagia, terisolasi, dan tidak menyukai dirinya sendiri. Walaupun begitu, Maslow banyak menerima penghargaan semasa hidupnya termasuk keikutsertaannya pada pemilihan presiden American Psychological Association untuk masa jabatan tahun 1967-1968. Saat meninggal, ia adalah seseorang yang terkenal bukan hanya di profesi psikologi tetapi di antara orang-orang terpelajar pada umumnya, terutama di bidang bisnis manajemen, marketing, teologi, konseling, pendidikan, ilmu perawatan, dan bidang lain yang berhubungan dengan kesehatan.7 Dalam A. Supratiknya, Abraham Maslow bersikap kritis terhadap ilmu pengetahuan. Menurutnya ilmu pengetahuan mekanik klasik seperti yang dikemukakan behaviorisme tidak cocok untuk mempelajari seluruh kepribadian, sehingga ia menganjurkan ilmu pengetahuan humanistik sebagai pelengkap karena ilmu humanistik menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang nilai, individualitas, kesadaran, tujuan estetika, dan jangkauan yang lebih tinggi dari kodrat manusia.8 Abraham Maslow sebagai arsitek penggerak humanistik dalam Supratiknya mengemukakan sejumlah asumsi yang menakjubkan tentang kodrat 6
Ibid., hlm. 85. Handriatno, Teori Kepribadian Edisi Tujuh, Terj. dari Theories of Personality 7th Edition oleh Jess Feist dan Gregory. J. Feist, (Jakarta Selatan: Salemba Humanika, 2013), hlm. 326-330. 8 A. Supratiknya, Psikologi Kepribadian 2 Teori-teori Holistik (OrganismikFenomenologis), Terj. dari Theories Of Personality oleh Calvin S Hall & Gardner Lindzey, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 111. 7
14
manusia. Sebenarnya kodrat manusia menurut pembawaan tidaklah jahat, orangorang memiliki kodrat bawaan yang pada hakikatnya baik atau sekurangkurangnya netral.9 Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa sudut pandang humanistik menentang sudut pandang psikodinamika yang memandang bahwa tanpa disadari tingkah laku manusia digerakkan oleh sesuatu yang bersifat negatif, seperti konflik, permusuhan, kecemasan, dan pesimis. Senada dengan yang dikatakan Freud dalam Frank. G. Goble bahwa selamanya manusia hidup dalam konflik dengan dirinya sendiri maupun dengan masyarakat.10 Selain itu sudut pandang humanistik juga berlawanan dengan sudut pandang behaviorisme yang memandang bahwa lingkungan yang akan menentukan proses belajar asosiatif atau proses belajar stimulus-respon sebagai penjelasan terpenting tentang tingkah laku manusia.11 Handriatno
mengatakan
bahwa
teori
kepribadian
Maslow
dibuat
berdasarkan beberapa asumsi dasar mengenai motivasi. Pertama, Maslow mengadopsi sebuah pendekatan menyeluruh pada motivasi. Kedua, motivasi biasanya kompleks atau terdiri dari beberapa hal. Ketiga, orang-orang berulang kali termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan. Keempat, semua orang di mana pun termotivasi oleh kebutuhan dasar yang sama. Kelima, kebutuhan-kebutuhan dapat dibentuk menjadi sebuah hierarki. Konsep kebutuhan hierarki ini beranggapan bahwa kebutuhan-kebutuhan di level rendah harus terpenuhi atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di level lebih tinggi menjadi hal yang memotivasi.12 Seseorang melakukan aktivitas didorong oleh adanya faktor-faktor kebutuhan biologis, insting, unsur-unsur kejiwaan yang lain (dalam dirinya) serta adanya pengaruh perkembangan budaya manusia (luar dirinya). Motivasi akan selalu berkaitan dengan kebutuhan, sebab seseorang akan terdorong melakukan
9
Ibid., hlm. 109. Frank. G. Goble, Mazhab Tiga (Psikologi Humanistik Abraham Maslow), (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 20. 11 Ibid., hlm. 23. 12 Handriatno, op. cit., hlm. 330-331. 10
15
sesuatu bila merasa ada suatu kebutuhan. Seperti konsep fundamental unik dari pendirian teoretis Maslow “manusia dimotivasikan oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah, dan berasal dari sumber genetis atau naluriah.”13 Pandangan Maslow dalam Albertine Minderop yakni, manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhan universal yang dibawa sejak lahir dan tersusun dari kebutuhan yang paling rendah hingga paling kuat. Tingkah laku manusia lebih ditentukan oleh kecenderungan individu untuk mencapai tujuan agar kehidupan bahagia dan memuaskan.14 Selain itu, Maslow dalam A. Supratiknya mengemukakan suatu teori tentang motivasi manusia yang dibedakan menjadi dua kebutuhan, yakni kebutuhan dasar dan metakebutuhan. Kebutuhan dasar meliputi lapar, kasih sayang, rasa aman, harga diri, dan sebagainya. Sedangkan metakebutuhan meliputi keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan sebagainya.15 Lebih jelasnya lagi, Maslow sebagaimana yang ditulis oleh Dimyati membagi kebutuhan pokok menjadi lima tingkat, yaitu:
a) Kebutuhan fisiologis, berkenaan dengan kebutuhan pokok manusia seperti pangan, sandang, dan perumahan. b) Kebutuhan akan perasaan aman, berkenaan dengan keamanan yang bersifat fisik dan psikologis. c) Kebutuhan sosial, berkenaan dengan perwujudan berupa diterima oleh orang lain, jati diri yang khas,
13
Frank. G. Goble, op.cit., hlm. 70. Albertine Minderop, Psikologi Sastra (Karya Sastra Metode, Teori dan Contoh Kasus), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 279-280. 15 A. Supratiknya, op. cit. 14
16
berkesempatan maju, merasa diikutsertakan, dan pemilikan harga diri. d) Kebutuhan akan penghargaan diri. e) Kebutuhan untuk aktualisasi diri, berkenaan dengan kebutuhan individu untuk menjadi sesuatu yang sesuai dengan kemampuannya. 16 Dalam bukunya, Maslow sendiri menambahkan tentang teori manusia salah satunya yakni: f) kebutuhan untuk mengetahui dan memahami. Bagi Maslow sekalipun telah mengetahui sesuatu, kita akan terdorong untuk mengetahui secara detail di satu pihak dan di lain pihak untuk semakin mengetahui secara lebih meluas ke arah falsafah dunia, teologi dan lain-lain. Dengan demikian, kita akan mendalilkan suatu keinginan untuk memahami, mengatur, mengorganisir, menganalisa, mencari kaitan dan makna, membentuk suatu sistem nilai-nilai. Bila keinginan itu telah dapat diterima sebagai bahan pembahasan, kita akan melihat di mana keinginan untuk mengetahui lebih kuat dibanding dengan keinginan untuk memahami.17 Dalam kehidupan sehari-hari seseorang sangat membutuhkan motivasi baik dari luar maupun dalam dirinya guna memenuhi suatu kebutuhan. Menurut pemaparan di atas ada enam kebutuhan dasar manusia yakni fisiologis, rasa aman, kasih sayang, harga diri, hasrat untuk mengetahui dan memahami, dan aktualisasi diri. Seseorang akan terdorong melakukan sesuatu bila merasa ada suatu kebutuhan. Oleh karena itu, teori kebutuhan tersebut diharapkan dapat membantu mengungkapkan motivasi dari tingkah laku dan sikap tokoh utama dalam memenuhi kebutuhan tersebut seperti pada novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis.
B. Hakikat Disabilitas 1. Pengertian Disabilitas Penyandang cacat yang mempunyai nilai rasa negatif dan terkesan diskriminatif telah diperhalus dengan istilah disabilitas pada tahun 1997. 16
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), Cet. 4, hlm. 81-82. 17 Nurul Imam, Motivasi dan Kepribadian, Terj. dari Motivation and Personality oleh Abraham H. Maslow, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 1993), Cet. 4, hlm. 62.
17
Penyandang disabilitas atau anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang membutuhkan layanan pendidikan khusus karena tergolong cacat atau menyandang ketunaan dan juga mereka yang memiliki bakat istimewa atau anak potensial. Lewis dalam Tri Wibowo B. S mengungkapkan bahwa dahulu istilah “ketidakmampuan” (disability) dan “cacat” (handicap) dapat dipakai bersamasama, namun sekarang kedua istilah itu dibedakan. Disability adalah keterbatasan fungsi yang membatasi kemampuan seseorang. Sedangkan handicap adalah kondisi yang terjadi pada seseorang sehingga menderita ketidakmampuan. Kondisi ini boleh jadi disebabkan oleh masyarakat, lingkungan fisik, atau sikap orang itu sendiri.18 Mengutip pendapat Union of the Physically Impaired Against Segregasi (UPIAS/Persatuan Penyandang Cacat Melawan Segregasi) dalam Siti Napsiyah, kecacatan adalah “sesuatu yang diletakan pada kekurangsempurnaan tubuh kami dengan cara mengisolasi dan mengeluarkan kita dari proses partisipasi dalam kehidupan masyarakat secara penuh.”19 Sedangkan disabilitas adalah “terbatasnya aktivitas yang disebabkan oleh organisasi sosial kontemporer (kekuasaan) yang tidak mempertimbangkan mereka yang memiliki kekurangan secara fisik dan dengan demikian menghalangi mereka untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial.”20 Pendapat lain dikemukakan oleh Disabled People’s International (DPI) bahwa kekurangan fisik atau (impairment) adalah “keterbatasan fungsional pada seorang individu yang disebabkan oleh kekurangan fisik, mental dan sensorik.” Sedangkan, disabilitas adalah “hilangnya kesempatan untuk mengambil bagian dalam kehidupan normal di dalam masyarakat dengan tingkatan yang sama dengan yang lain dikarenakan halangan fisik dan sosial.”21
18
Tri Wibowo B. S, Psikologi Pendidikan Edisi Kedua, Terj. dari Educational Psychology 2 Edition oleh John W. Santrock, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008), hlm. 220. 19 Siti Napsiyah, dkk., Disabilitas (Sebuah Pengantar), Terj. dari Disability oleh Colin Barnes dan Geof Mercer, (Jakarta: PIC UIN Jakarta, 2007), Cet. 1, hlm. 17. 20 Ibid., hlm. 18. 21 Ibid., hlm. 105. nd
18
Sedangkan definisi penyandang disabilitas menurut Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang disabilitas adalah “setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: a) penyandang cacat fisik; b) penyandang cacat mental; dan c) penyandang cacat fisik dan mental.”22 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa disabilitas merupakan bentuk ketidaksempurnaan dalam bentuk fisik, metal, dan sensorik yang menyebabkan terhambatnya kemampuan seseorang dalam aktivitas sosial. Tidak hanya itu, bahkan penyandang disabilitas kerap mendapat perlakuan berbeda di lingkungan masyarakat karena kondisi keterbatasannya yang berbeda dengan orang-orang normal pada umumnya. 2. Hak dan Kewajiban Penyandang Disabilitas Mengutip Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang disabilitas, setiap penyandang disabilitas berhak memperoleh: “a) pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; b) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya; c) perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; d) aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; e) rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan f) hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.” 23 Kebijakan baru yang berkaitan dengan penyandang disabilitas, tertuang dalam UU nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities atau Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, yang menjelaskan: “setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak 22
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 1, Tentang Penyandang Disabilitas, (Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997), hlm. 1. 23 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 6, Tentang Penyandang Disabilitas, (Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997), hlm. 2-3.
19
untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain. Termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.”24 Selain mempunyai hak, penyandang disabilitas juga mempunyai kewajiban yang diatur dalam Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang disabilitas, yakni: a. setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan b. kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya.25 3. Penggambaran Penyandang Disabilitas a. Disabilitas sebagai bentuk penindasan sosial Iris Marison Young dalam Siti Napsiyah membedakan lima aspek utama penindasan: eksploitasi, marginalisasi, pelemahan, imperialisme kultur, dan kekerasan. Marginalisasi mengacu kepada upaya-upaya untuk menghilangkan sebuah kelompok sosial dari mayoritas kehidupan sosial sehari-hari secara sistematis. Kebijakan-kebijakan sosial dengan cara memberikan bantuan, kesejahteraan, dan pelayanan bisa diambil untuk menghindari marginalisasi yang terjadi pada penyandang cacat, tetapi solusi seperti ini bisa menimbulkan ketergantungan sosial dan ekonomi. Imperialisme kultural merupakan aspek penindasan sosial yang lebih dalam pada abad sekarang ini, penandaan antara masyarakat normal dan penyandang cacat telah sangat mapan secara kultural. Penyandang cacat dipisahkan, dilihat sebagai sosok yang menyimpang dari yang normal. Hal yang tampak dari kekerasan dan pelecahan sebagai bentuk penindasan terhadap penyandang cacat bahwa kekerasan ini terjadi secara sistematis dan luas. Tidak melihat apakah kekerasan tersebut terjadi secara fisik atau mental misalnya 24
Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011, Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hakhak Penyandang Disabilitas), (Biro Hukum Departemen Sosial RI, 2011), hlm. 35. 25 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 7, Tentang Penyandang Disabilitas, (Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997), hlm. 3.
20
pelecehan seksual, baik berada dalam kebijakan atau ejekan-ejekan verbal, kekerasan tersebut muncul karena korban berasal dari kategori kelompok sosial tertentu yaitu penyandang cacat. 26 b. Disabilitas di masyarakat dunia Disabilitas menjadi fokus perhatian pada beberapa dekade belakangan ini dengan meningkatnya aktivisme politik oleh masyarakat dan organisasi mereka pada level internasional dan meningkatnya perdebatan mengenai pertumbuhan program pelayanan alternatif yang kebanyakan berkaitan dengan rehabilitasi berbasis kemasyarakatan. Mengutip pendapat Miles dalam Siti Napsiyah, “pada awalnya para advokat model sosial mendefinisikan disabilitas sebagai isu biomedika dan terkonsentrasi pada ketidakmampuan sebagai fenomena-fenomena sosial, ekonomi, politik, dan budaya.”27 Lebih lanjut Ingstad dan Whyte mengatakan dalam budaya Cina pikiran hati dan tubuh dipandang suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dari perspektif penyakit dan disabilitas ini dipahami sebagai tanda atau produk ketidakseimbangan dalam suatu realisme konstituen dari sistem totalitas fisik dan pikiran. Hal ini memiliki implikasi penting dan spesifik untuk cara-cara dimana masyarakat dengan ketidakberdayaannya dipersepsikan dan diperlakukan oleh anggota keluarga dan masyarakat di Cina.28 New Internationalis tahun 1992 mengutarakan bahwa kemiskinan, kekurangan kesehatan dan perhatian pada infrastruktur sosial tidak hanya menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya disabilitas di sebagian besar masyarakat dunia. Kebanyakan penyebab disabilitas menyebar ke praktik budaya tertentu (seperti program keluarga berencana atau meniadakan kelahiran bagi wanita), bencana alam (gempa bumi, banjir), korban pembangunan ekonomi (akibat industrialisasi dan populasi). Salah satu contoh bersumber dari UNESCO tahun
26
Siti Napsiyah, dkk., op.cit., hlm. 30-34. Ibid., hlm. 206. 28 Ibid., hlm. 207. 27
21
1995 di Kamboja, diperkirakan 100.000 orang cacat fisik sebagai akibat langsung dari peperangan yang menggunakan ranjau.29 Sementara itu Siti Napsiyah berpendapat, bagi keluarga miskin dan individu-individu yang tidak mampu memberikan makanan yang cukup, kehadiran anak-anak yang tidak berdaya mempunyai efek yang sangat mengerikan seperti ditemukannya laporan dari masyarakat di Asia dan Afrika tentang terjadinya pembunuhan janin karena ketidakberdayaan yang dianggap sebagai suatu gambaran universal tradisi masyarakat.30 Oleh karenanya, penyandang disabilitas memerlukan proses pemberdayaan. c. Pemberdayaan penyandang disabilitas melalui program keterampilan menjahit Penyandang disabilitas perlu mendapat perhatian yang serius dan dapat didayagunakan selayaknya manusia pada umumnya agar mempunyai kemampuan dalam menjalani kehidupannya. Upaya untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan penyandang disabilitas dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan, salah satunya menjahit. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Amirah Mukminina, adanya program keterampilan menjahit yang diterapkan oleh Yayasan Wisma Cheshire dalam memberdayakan penyandang disabilitas, tampak mulai adanya perubahan. Yang awalnya mereka sama sekali belum bisa menjahit, setelah mengikuti keterampilan menjahit di yayasan mereka sudah bisa menjahit dengan tangan, menggunakan mesin dan mengenal macam-macam peralatan menjahit. Mereka sudah bisa membuat produk hasil karya mereka sendiri. Bukan hanya pengetahuan yang didapat, melainkan penghasilan karena semua hasil kerajinan dijual di toko yayasan dan mereka mendapat upah pembuatan barang yang dihitung dari jumlah produk yang dijahit.31
29
Organisasi Perburuhan Internasional, “Fakta Tentang Penyandang Disabilitas dan Pekerja Anak”, Jurnal Sosial, 2011, hlm. 216-217. 30 Ibid., hlm. 210. 31 Amirah Mukminina, “Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Melalui Program Keterampilan Menjahit di Yayasan Wisma Cheshire Jakarta Selatan”, Skripsi pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2013, hlm. 77-78, tidak dipublikasikan.
22
d. Dampak rendahnya pendidikan pada penyandang disabilitas Semua anak memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan dasar. Namun,
UNESCO
dalam
artikel
Organisasi
Perburuhan
Internasional
memperkirakan bahwa sepertiga dari 75 juta anak di seluruh dunia yang tidak bersekolah adalah penyandang disabilitas. Kemungkinan seorang anak usia 6-11 tahun dengan disabilitas untuk bersekolah hanyalah setengah dari anak tanpa disabilitas. Di Indonesia, meskipun pemerintah sudah mengupayakan pendidikan yang inklusif, tingkat partisipasi sekolah dasar dari anak-anak penyandang disabilitas masih sekitar 60% lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak tanpa disabilitas.32 Kajian cepat yang dilakukan oleh ILO-East di Indonesia menunjukkan bahwa dalam kasus anak-anak penyandang disabilitas, keprihatinan orang tua untuk melindungi anaknya menjadi peran penting dalam keputusan untuk tidak mempekerjakan mereka. Akan tetapi bukti dari penelitian lain mengarah pada simpulan yang berbeda, sebuah working paper dari ILO-IPEC mengambil perspektif lebih global, mengatakan bahwa disabilitas bisa menjadi faktor pendorong bagi anak untuk masuk menjadi pekerja anak.33 Ketika tekanan ekonomi meningkat dan tingkat pendidikan rendah, maka hidup dengan disabilitas dapat mengakibatkan anak jauh lebih rentan terhadap eksploitasi seperti yang terjadi di Indonesia, salah satu contohnya menjadi pengemis.
C. Hakikat Novel 1. Pengertian Novel Mengutip pendapat dari Burhan Nurgiantoro, novel berasal dari bahasa Italia yaitu novellai yang secara harfiah berarti “sebuah barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa.”34 Novel merupakan salah satu bagian dari prosa yang mudah diterima masyarakat. Salah
32
Organisasi Perburuhan Internasional, op.cit., hlm. 4. Ibid., hlm. 5. 34 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2013), hlm. 9. 33
23
satu alasannya karena novel menceritakan peristiwa-peristiwa kehidupan yang biasanya dialami oleh pembaca dalam keseharian. Wijaya Heru Santosa menyebutkan bahwa istilah novel tercakup roman, karena sebelum Perang Dunia II di Indonesia istilah roman lebih dulu dipakai daripada novel. Digunakannya istilah roman pada waktu itu dinilai wajar karena sastrawan Indonesia umumnya berorientasi ke negeri Belanda. Setelah kemerdekaan barulah sastrawan Indonesia beralih ke bacaan-bacaan berbahasa Inggris dan istilah novel dikenal.35 Definisi novel menurut Wahyudi Siswanto adalah “bentuk prosa rekaan yang lebih pendek dari roman. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu. Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Meskipun demikian, penggarapan unsur-unsur intrinsiknya masih lengkap, seperti tema, plot, latar, gaya bahasa, tokoh dan penokohan.”36 Sementara itu R. J Rees dalam Furqonul Aziez mengatakan bahwa novel adalah “sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup panjang, yang tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata dan digambarkan dalam suatu plot yang cukup kompleks.”37 Pendapat lain diutarakan oleh H. B Jassin dalam Suroto mengenai pengertian novel yakni “suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh cerita), luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu pertikaian, pemusatan, kehidupan dalam satu saat, dalam satu krisis yang menentukan.”38 Definisi tersebut berbeda dengan pendapat Virginia Wolf dalam Henry Guntur Tarigan, “sebuah roman atau novel ialah sebuah eksplorasi atau suatu kronik
35
Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), hlm. 47. 36 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 141. 37 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi (Sebuah pengantar), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 1 38 Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia Untuk SMTA, (Jakarta: Erlangga, 1989), hlm. 19.
24
penghidupan, merenungkan dan melukiskan dalam bentuk tertentu, pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran atau tercapainya gerak-gerik manusia.”39 Pada novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis di dalamnya mengandung kehidupan sehari-hari dengan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh tiap tokohnya. Dengan gaya bahasa yang sesuai untuk menghadirkan berbagai karakter dan penggambaran latar serta situasi yang bertujuan untuk menyampaikan informasi atau pesan pada pembaca. 2. Unsur Intrinsik Novel Karya sastra bentuk prosa pada dasarnya dibangun oleh unsur-unsur intrinsik, unsur tersebut terdiri dari: a. Tema Aminuddin dalam Wahyudi Siswanto berpendapat bahwa tema adalah “ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya.”40 Sedangkan Hayati dan Winarno Adiwardoyo menganggap tema sebagai “gagasan sentral pengarang yang mendasari penyusunan suatu cerita dan sekaligus menjadi sasaran dari cerita itu.”41 Mengutip pendapat Suroto, “bila seorang pengarang mengemukakan hasil karyanya, tentu ada sesuatu yang hendak disampaikan kepada pembacanya. Sesuatu yang menjadi pokok persoalan atau sesuatu yang menjadi pemikirannya itulah yang disebut tema.”42 Hampir semua gagasan yang ada di kehidupan ini bisa dijadikan tema, biasanya tema tentang perjuangan hidup, nilai-nilai kehidupan, masalah sosial, budaya, karakter dalam kehidupan dan lain sebagainya. Kita dapat menemukan tema setelah membaca dan menafsirkan melalui jalan cerita yang tergambar dalam sebuah karya sastra. Seperti yang dikemukakan oleh Aminuddin dalam Wahyudi Siswanto, bahwa seorang pengarang dapat 39
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2011), hlm.
167. 40
Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 161. Hayati dan Winarno Adiwardoyo, Latihan Apresiasi Sastra Penunjang Pengajaran Bahasa Sastra Indonesia, (Malang: Yayasan Asih Asah Asuh, 1990), hlm. 13. 42 Suroto, op.cit., hlm. 88. 41
25
memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkannya dengan tujuan penciptaan pengarang.43 Gagasan pokok yang terkandung pada novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis ditafsirkan melalui jalan cerita yang tergambar dalam novel. Melalui novel ini A. A. Navis hendak menyampaikan pemikirannya kepada pembaca tentang perjuangan tokoh difabel untuk mengaktualisasikan diri. Hal tersebut menjadi tema besar dalam novel SSGdS yang tersusun dalam alur cerita secara progresif. b. Alur atau plot Wahyudi Siswanto mengutip pendapat Abrams tentang pengertian alur yakni “rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahap-tahapan peristiwa sehingga menjadi sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita,”44 dengan demikian alur merupakan suatu urutan peristiwa yang terangkai menjadi satu kesatuan sehingga menghasilkan suatu cerita yang utuh. Selain itu, Suroto berpendapat bahwa alur atau plot ialah “jalan cerita berupa peristiwa-peristiwa yang disusun satu persatu dan saling berkaitan menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita.”45 Hayati dan Winarno Adiwardoyo mengatakan “peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita tidak hanya berupa tindakan-tindakan fisik tetapi juga yang bersifat non-fisik. Tindakan fisik misalnya: ucapan, gerak-gerik; sedangkan tindakan non-fisik misalnya: sikap, kepribadian, cara berpikir.”46 Tahap plot yang dikemukakan oleh Tasrif dalam Burhan Nurgiantoro dibagi menjadi lima tahapan yakni: 1) Tahap penyituasian, berisi pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini menjadi tahap pembuka pemberian informasi awal yang melandasi cerita berikutnya. 2) Tahap pemunculan konflik. Pada tahap 43
Wahyudi siswanto, loc.cit. Ibid, hlm. 159. 45 Suroto, op.cit., hlm. 89. 46 Hayati dan Winarno Adiwardoyo, op.cit., hlm. 10. 44
26
ini masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang memicu timbulnya konflik mulai dimunculkan. Konflik tersebut nantinya akan berkembang pada tahap berikutnya. 3) Tahap peningkatan konflik. Pada tahap ini konflik yang dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita pun semakin mencekam dan menegangkan. 4) Tahap klimaks. Konflik atau pertentangan yang terjadi baik yang dilakukan atau dialami para tokoh cerita mencapai titik puncak. Biasanya klimaks tersebut akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. 5) Tahap penyelesaian. Konflik yang telah mencapai klimaks kemudian diberi jalan keluar hingga cerita berakhir.47 Tahapan alur di atas digunakan dalam menganalisis novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis. Jika dilihat dari tataran cerita, alur novel SSGdS terjadi secara kronologis sesuai dengan logika cerita dan waktu terjadinya peristiwa. Di mulai dari memperkenalkan kesunyian yang dialami tokoh utama dengan berbagai konflik yang harus dijalani hingga akhirnya mampu mengaktualisasikan diri. c. Tokoh dan penokohan Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang pasti ada. Tokoh sangat penting dalam cerita, karena tokoh merupakan unsur yang membawakan cerita dari awal hingga akhir. Menurut Aminudin dalam Wahyudi Siswanto yang disebut sebagai tokoh adalah pembawa peristiwa dalam cerita rekaan sehingga terjalin suatu cerita, sedangkan cara pengarang dalam menampilkan tokoh disebut sebagai penokohan.48 Perwatakan atau penokohan dalam suatu cerita menurut Hayati dan Winarno Adiwardoyo merupakan pemberian sifat, baik lahir maupun batin pada seorang tokoh yang terdapat pada cerita. Sifat-sifat yang diberikan pada tokoh cerita akan tercermin pada pikiran dan perbuatannya. Watak inilah yang membedakan tokoh satu dengan tokoh lain.49
47
Burhan Nurgiyantoro, op.cit, hlm. 209-210. Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 142. 49 Hayati dan Winarno Adiwardoyo, op.cit., hlm. 11. 48
27
Ada beberapa cara menurut Aminuddin dalam Wahyudi Siswanto untuk memahami watak tokoh yakni melalui: “1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya; 2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara berpakaian; 3) menunjukkan bagaimana perilakunya; 4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri; 5) memahami bagaimana jalan pikirannya; 6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya; 7) melihat tokoh lain berbicara dengannya; 8) melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain memberikan reaksi terhadapnya; dan 9) melihat bagaimana tokoh itu dalam reaksi tokoh yang lain.” 50 Menurut Burhan Nurgiantoro, tokoh-tokoh dalam cerita dapat dibedakan dalam beberapa kategori menurut sudut pandang dan tinjauan tertentu: 1) tokoh utama (tokoh yang tergolong penting dan mendominasi sebagian besar cerita) dan tokoh tambahan (tokoh yang hanya sekali atau beberapa kali dimunculkan dan mendapat porsi penceritaan yang relatif pendek); 2) tokoh protagonis (tokoh yang mengalami konflik) dan antagonis (tokoh yang menjadi penyebab terjadinya konflik); 3) tokoh sederhana (tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi atau watak tertentu) dan tokoh bulat (tokoh yang memiliki berbagai sisi kehidupan, kepribadian dan jati diri); 4) tokoh statis (tokoh yang tidak mengalami perubahan watak sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi) dan berkembang (tokoh yang mengalami perubahan watak sejalan dengan tuntutan peristiwa secara keseluruhan; dan 5) tokoh tipikal (tokoh yang diciptakan berdasarkan persepsi tokoh di dunia nyata) dan netral (tokoh imaji yang hanya hidup dalam cerita).51 Tokoh merupakan unsur yang membawakan cerita, baik yang dipengaruhi oleh tokoh lain maupun dengan lingkungan. Ada banyak tokoh yang terdapat dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis, namun dalam analisis ini akan diuraikan beberapa tokoh yang dianggap penting dan menguasai isi cerita seperti Saraswati sebagai tokoh utama sekaligus narator, sedangkan Busra, Angah, Bisri, laki-laki tua bisu, Uni Ros (guru menjahit dan menyulam), dan Guru Andika sebagai tokoh tambahan.
50
Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 145. Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm. 258-278.
51
28
d. Latar Latar biasanya diwujudkan dengan menciptakan kondisi-kondisi untuk melengkapi cerita baik tentang lingkungan, waktu, dan tata cara kehidupan para tokoh dalam menjalankan perannya di masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Burhan Nurgiantoro yang membagi unsur latar menjadi tiga bagian yakni: 1) latar tempat, menunjukan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan; 2) latar waktu, berhubungan dengan “kapan” terjadinya suatu peristiwa yang diceritakan; dan 3) latar sosial-budaya, berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan.52 Mengutip apa yang dikatakan Leo Hamalian dan Federick R. Karell dalam Aminuddin, dan lebih lanjut Wahyudi Siswanto menjelaskan bahwa “latar cerita dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problema tertentu.” Kemudian Kenney menambahkan dalam Sudjiman bahwa cakupan latar cerita dalam cerita fiksi meliputi “penggambaran lokasi geografis, pemandangan, princian perlengkapan sebuah ruangan, pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh, waktu berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim terjadinya sebuah tahun, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional para tokoh.”53 Suroto menjelaskan bahwa latar berfungsi sebagai pendukung alur dan perwatakan. Gambaran situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang sedang dikemukakan. Untuk dapat melukiskan latar yang tepat pengarang harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keadaan atau waktu yang akan digambarkannya. Hal itu dapat diperoleh melalui pengamatan langsung atau melalui bacaan-bacaan serta informasi dari orang lain.54 Latar akan memberikan warna tersendiri pada sebuah cerita. Pembaca akan mempunyai persepsi tersendiri tentang peristiwa yang tergambar melalui latar yang disuguhkan.
52
Ibid, hlm. 314-322. Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 149. 54 Suroto, op.cit., hlm. 94. 53
29
Latar menjadi landasan berlangsungnya berbagai peristiwa yang diceritakan cerita fiksi. Latar dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A. Navis tidak lepas dari tempat, waktu, dan sosial budaya yang terjadi dalam cerita. Latar dalam novel ini sekitar tahun 1958 saat peristiwa PRRI yang memberi dampak besar bagi watak dan kejadian yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Dengan begitu latar dapat berfungsi untuk memperkuat keyakinan pembaca terhadap perjuangan tokoh utama (difabel) dalam memperoleh aktualisasi diri. e. Sudut pandang Suroto berpendapat mengenai pengertian sudut pandang yakni, “kedudukan atau posisi pengarang dalam cerita tersebut.”55 Mengutip pendapat Hayati dan Winarno Adiwardoto mengenai sudut pandang, “posisi pengarang dalam suatu cerita atau cara pengarang memandang suatu cerita.”56 Pengertian dari kedua tokoh tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda, yakni sudut pandang dalam karya fiksi adalah tempat suatu pengarang memposisikan dirinya dalam cerita mengenai tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gaya bahasanya. Dalam bukunya, Burhan Nurgiantoro membedakan sudut pandang berdasarkan pembedaan yang sudah umum diketahui orang yakni: 1) Sudut pandang persona ketiga “Dia” Dalam sudut pandang ini narator berada di luar cerita dan menggunakan kata pengganti (ia, dia, mereka) untuk menampilkan tokoh-tokohnya. Sudut pandang “dia” dibedakan lagi berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya, yakni mahatau (narator bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”; dan pengamat (sama dengan “mahatau” hanya saja narator terbatas pada satu tokoh saja). 2) Sudut pandang persona pertama “Aku” Dalam sudut pandang ini narator ikut terlibat dalam cerita sebagai tokoh kisah yang menceritakan seluruh peristiwa yang dialami. Berdasarkan peran dan kedudukannya dalam cerita, sudut pandang “aku” dibedakan menjadi 55
Suroto, op. cit., hlm. 96. Hayati dan Winarno Adiwardoyo, op. cit., hlm. 12.
56
30
dua golongan, yakni “aku” menduduki peran utama dan “aku menduduki peran tambahan. 3) Sudut pandang persona kedua “Kau” Dalam
teknik
sudut
pandang
ini
biasanya
dipakai
untuk
“mengoranglainkan” diri sendiri sebagai orang lain. Hal tersebut digunakan sebagai variasi cara memandang oleh tokoh aku dan dia. 4) Sudut pandang campuran Dalam sudut pandang ini pengarang dapat berganti teknik, dari teknik satu ke teknik yang lain dalam sebuah cerita yang ditulisnya tergantung kemauan dan kreativitas yang dimiliki. Penggunaan sudut pandang ini dapat berupa sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” mahatau dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi. Selain itu, berupa campuran antara persona pertama dan ketiga bahkan kadang diselingi persona kedua sekaligus 57 Pemilihan sudut pandang yang tepat akan membuat cerita menjadi lebih kuat dalam segi penyampaian dan keterikatan, sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Dalam novel SSGdS pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama untuk menggambarkan perjuangan tokoh utama (difabel) untuk memperoleh aktualisasi diri. f. Gaya bahasa Pusat perhatian dalam masalah penggunaan bahasa untuk mengungkapkan ide atau tema pada karya sastra adalah kecocokan bahasa yang digunakan dengan persoalan yang diangkat. Dalam hal ini Hayati dan Winarno Adiwardoyo berpendapat gaya bahasa dapat dijadikan sebagai media ekspresi pikiran dan perasaan pengarang sehingga pembaca atau penikmat dapat tertarik.58 Gaya penceritaan menurut Wahyudi Siswanto mencakup teknik penulisan dan teknik penceritaan. Teknik penulisan adalah cara yang digunakan oleh
57
Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm. 347-362. Hayati dan Winarno Adiwardoyo, op.cit., hlm. 2.
58
31
pengarang untuk menulis karya sastranya. Sedangkan teknik penceritaan adalah cara yang digunakan oleh pengarang dalam menyajikan karya sastranya.59 Penggunaan gaya bahasa yang menarik akan membuat pembaca tertarik menyelesaikan cerita hingga akhir. Hal ini yang dilakukan A. A. Navis dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi dengan banyak menggunakan gaya bahasa untuk mempertegas perjuangan tokoh difabel dalam memperoleh aktualisasi diri. g. Amanat Mengutip pendapat Wahyudi Siswanto bahwa amanat dianggap sebagai “gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.”60 Dalam karya sastra, pengarang selalu memberikan suatu pesan yang dapat diambil oleh pembacanya baik tersirat ataupun tersurat. Pesan atau amanat yang tersirat, memaksa pembaca mencari sendiri di dalam teks dengan mencermati tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita dan memahami secara keseluruhan maksud dari cerita yang disajikan. Melalui novel SSGdS, A. A. Navis ingin memberikan gambaran realita penyandang disabilitas yang selama ini terlupakan. Namun, pencapaian Saraswati akan kebutuhan aktualisasi diri menjadi ajang pembuktian bahwa keterbatasan bukanlah halangan untuk hidup mandiri tanpa bergantung dengan orang lain, sehingga pembaca akan memiliki motivasi, jiwa optimis dan kepercayaan diri untuk mengembangkan potensi yang dimiliki secara maksimal. 3. Unsur Ekstrinsik Novel Unsur ekstrinsik menurut Burhan Nurgiantoro adalah “unsur-unsur yang berada di luar karya sastra yang tidak secara langsung ikut terlibat membangun atau mempengaruhi sistim organisme karya sastra.”61 Lebih lengkapnya Suroto menambahkan yang dimaksud dengan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra, biasanya ikut mempengaruhi penciptaan sebuah karya sastra. Unsur-unsur tersebut terdiri dari latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan 59
Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 162. Ibid. 61 Burhan Nurgiantoro, op.cit., hlm. 23. 60
32
dan pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi, pengerahuan agama dan lain sebagainya. Tiap bentuk karya sastra memiliki unsur ekstrinsik yang berbeda, mencakup berbagai aspek kehidupan sosial yang tampak menjadi latar belakang penyampaian tema dan amanat cerita. Seorang pengarang yang baik akan selalu mempelajari semua aspek kehidupan manusia. Jika pengarang kurang mengetahui kehidupan manusia dan segala keunikan yang dimiliki, maka sebuah karya yang dihasilkan akan terasa hambar bahkan janggal.62
D. Pendekatan Psikologi Sastra Psikologi dalam istilah lama disebut ilmu jiwa, menurut Muhibbinsyah “psikologi berasal dari kata bahasa Inggris psychology. Kata psychology merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani), yaitu: 1) psyche yang memang berarti jiwa; 2) logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi memang berarti ilmu jiwa.”63 Pendapat lain dikemukakan oleh M. Purwanto yang menganggap psikologi sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, yang dimaksud dengan tingkah laku di sini ialah segala kegiatan, tindakan, perbuatan manusia baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, yang disadari maupun yang tidak disadari. Termasuk di dalamnya cara berbicara, berjalan, berfikir/mengambil keputusan, cara ia melakukan sesuatu, cara bereaksi terhadap segala sesuatu yang datang dari luar dirinya maupun dari dalam dirinya.64 Sedangkan bagi Albertine Minderop, sastra dianggap sebagai “karya tulis yang memberikan hiburan dan disampaikan dengan bahasa yang unik, indah dan artistik serta mengandung nilai-nilai kehidupan dan ajaran moral sehingga mampu menggugah pengalaman, kesadaran moral, spiritual dan emosional pembaca.”65 Sastra lahir sebagai hasil ungkapan jiwa pengarang berdasarkan ide, gagasan, 62
Suroto. op.cit., hlm. 138. Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 7. 64 M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 1. 65 Albertine Minderop, op. cit., hlm. 76. 63
33
peristiwa, realita kehidupan masyarakat serta nilai-nilai yang diamanatkan lewat tokoh-tokoh cerita melalui media bahasa. Dalam kajian sastra yang menggunakan pendekatan psikologi sastra inilah, hubungan antara sastra dan psikologi terjadi. Perkembangan
kajian
sastra
yang
bersifat
interdisipliner
telah
mempertemukan ilmu sastra dengan ilmu lainnya, salah satunya psikologi. Pertemuan tersebut melahirkan pendekatan dalam kajian sastra yakni psikologi sastra. Jadi, psikologi sastra adalah sebuah interdisipliner antara psikologi dan sastra. Mempelajari psikologi sastra sama halnya dengan mempelajari tingkah laku manusia dari sebuah karya sastra. Seperti yang dikemukakan oleh Suwardi Endraswara, bahwa psikologi sastra adalah “kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan.”66 Karena tujuan dari psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Dalam kajian psikologi sastra berusaha mengungkapkan sistem kepribadian meliputi tiga unsur kejiwaan yang saling berkaitan, yaitu id, ego, dan super ego. Roekhan berpendapat bahwa pada dasarnya psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus: Pertama, pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya.67 Daya tarik psikologi sastra ialah pada masalah manusia yang melukiskan potret kejiwaan yang ia miliki. Dalam sebuah karya sastra terkandung fenomenafenomena kejiwaan yang tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya yang secara sadar atau tidak sadar diciptakan oleh pengarang dengan menggunakan teori psikologi, sehingga karya sastra dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi.
66
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2013), hlm.96. Ibid, hlm.97-98.
67
34
Langkah yang dilakukan oleh peneliti psikologi sastra dengan sasaran psikologi tokoh, yaitu: pertama, pendekatan psikologi sastra menekankan kajian keseluruhan baik berupa unsur intrinsik maupun ekstrinsik. Namun, tekanan pada unsur intrinsik yaitu tentang penokohan dan perwatakannya. Kedua, masalah tema suatu karya. Ketiga, konflik perwatakan tokoh perlu dikaitkan dengan alur cerita.68 Penelitian psikologi sastra memiliki peranan penting dalam pemahaman sastra karena adanya beberapa kelebihan seperti: “pertama, pentingnya psikologi sastra untuk mengkaji lebih mendalam aspek perwatakan. Kedua, dengan pendekatan ini dapat memberi umpan balik kepada peneliti tentang masalah perwatakan yang dikembangkan. Ketiga, penelitian semacam ini sangat membantu untuk menganalisis karya sastra yang kental dengan masalah-masalah psikologis.”69
E. Pembelajaran Sastra Indonesia Mengutip pendapat Dimyati dan Mudjiono bahwa pembelajaran dianggap sebagai “proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam memperoleh dan memproses pengetahuan, keterampilan, dan sikap.”70 Guru bukan hanya berperan sebagai pengajar yang mentransfer ilmu sesuai dengan bidang yang ia kuasai, tetapi juga sebagai pendidik karakter anak bangsa. Ia harus menciptakan suasana kelas yang memungkinkan terjadinya interaksi belajar mengajar sehingga dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik dan menyenangkan. Sebagai makhluk sosial, manusia dalam kehidupannya selalu berhubungan dengan orang lain. Mereka saling berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang di sekitarnya maupun yang jauh sekalipun. Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling penting bagi manusia karena dengan bahasa, manusia dapat mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran, gagasan atau perasaannya. Selain
68
Ibid., hlm. 104. Ibid., hlm. 12. 70 Dimyati dan Mudjiono, op.cit., hlm. 157. 69
35
itu, bahasa juga digunakan sebagai alat penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain baik secara lisan maupun tulisan Dalam dunia pendidikan para pengajar terus berupaya meningkatkan keberhasilan dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Menurut Basennang Saliwangi, pengajaran berbahasa berupaya untuk melatih siswa menemukan konsep-konsep yang berkaitan dengan semantik, pemahaman arti kata, kalimat, isi paragraf, dan isi secara keseluruhan, juga prinsip tentang bahasa yang digunakan.71 Sedangkan menurut Wahyudi Siswanto, melalui pengajaran sastra siswa diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung.72 Mengutip pendapat Henry Guntur Tarigan, dalam kurikulum di sekolah keterampilan berbahasa (atau language arts, language skills) biasanya mencakup empat aspek, yaitu: “(1) keterampilan menyimak/mendengar (listening skills), (2) keterampilan berbicara (speaking skills), (3) keterampilan membaca (reading skills) dan keterampilan menulis (writing skills).”73 Dalam pembelajaran sastra menurut Wahyudi Siswanto keempat keterampilan tersebut meliputi: (1) keterampilan mendengar meliputi: mendengar, memahami, mengapresiasi ragam karya sastra baik asli, saduran atau terjemahan sesuai kemampuan siswa. (2) keterampilan berbicara meliputi: membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra sesuai dengan isi konteks lingkungan dan budaya. (3) keterampilan membaca meliputi: membaca dan memahami ragam karya sastra, serta mampu melakukan
apresiasi
secara
tepat.
(4)
keterampilan
menulis
meliputi:
mengekspresikan karya sastra yang diminati dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang telah dibaca.74 Keempat aspek tersebut terdapat dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
71
Basennang Saliwangi, Pengantar Strategi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia, (Malang: IKIP, 1989), hlm. 23. 72 Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 168. 73 Henry Guntur Tarigan, Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Angkasa, 2008), hlm. 1. 74 Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 171.
36
Dalam kurikulum KTSP, pelajaran bahasa dan sastra Indonesia memiliki silabus yang di dalamnya terdapat Standar Kompetensi (SK) yang harus penuhi oleh siswa. Hal yang terkait dengan sastra dalam SK pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas VIII semester genap salah satunya adalah memahami buku novel remaja (asli atau terjemahan), terdapat Kompetensi Dasar (KD) yang harus dimiliki oleh siswa yakni menjelaskan alur cerita, pelaku dan latar novel (asli atau terjemahan). Selain itu terdapat indikator yang harus dicapai siswa yakni (1) mampu menentukan alur cerita, karakter tokoh dan latar novel dengan bukti yang meyakinkan; dan (2) menganalisis keterkaitan antar unsur intrinsik dalam novel. Guru bahasa dan sastra Indonesia dituntut untuk kreatif menggunakan berbagai strategi, metode, dan bahan ajar dalam menyampaikan materi pelajaran. Strategi menurut Abdul Majid ialah suatu rencana tindakan yang termasuk metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya dalam pembelajaran.75 Semua ini harus diupayakan dengan baik agar siswa menguasai materi tersebut dan tujuan pembelajaran dapat tercapai. Jenis-jenis strategi pembelajaran: 1) strategi pembelajaran langsung; 2) strategi pembelajaran tidak langsung; 3) strategi pembelajaran interaktif; 4) strategi pembelajaran melalui pengalaman; dan 5) strategi pembelajaran mandiri.76 Masih dari sumber yang sama, metode pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana pembelajaran yang telah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai secara optimal. Metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran menurut Depdiknas (PMPTK, 2008): 1) metode ceramah; 2) metode demonstrasi; 3) metode diskusi; 4) metode simulasi; 5) metode tugas dan resitasi; 6) metode tanya jawab; 7) metode kerja kelompok; 8) metode problem solving; 9) metode sistem regu; 10) metode latihan; 11) metode karyawisata; 12) ekspositori; 13) inkuiri; dan 14) pembelajaran kontekstual (CTL).77 M. Atar Semi berpendapat bahwa pengajaran sastra di sekolah menengah pada dasarnya bertujuan agar siswa memiliki rasa peka terhadap karya sastra 75
Abdul Majid, Strategi Pembelajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 8. Ibid., hlm. 11-12. 77 Ibid., hlm. 193-230. 76
37
sehingga dapat terdorong dan tertarik untuk membacanya. Dengan demikian, diharapkan siswa memperoleh pengetahuan tentang manusia dan kemanusiaan sebagai suatu respon sastra, mengenal nilai-nilai dan mendapat ide-ide baru.
78
Karya sastra lahir dari penggabungan antara fakta dan imajinasi dengan bahasa sebagai medianya, sehingga diharapkan siswa mempunyai bekal untuk merespon kehidupan ini dengan imajinatif. Manfaat membaca dan mempelajari sastra yakni untuk menunjang keterampilan
berbahasa,
meningkatkan
pengetahuan
sosial
budaya,
mengembangkan rasa karsa dan pembentukan watak.79 Dengan manfaat ini, kemampuan siswa dapat lebih diasah melalui pembelajaran sastra. Studi sastra dalam hubungannya dengan pengajaran sastra telah melahirkan berbagai macam pendekatan, yakni: 1. Pendekatan kesejarahan Pendekatan kesejarahan adalah pendekatan pengajaran yang memusatkan perhatian kepada aspek sejarah kehadiran sastra. Periodisasi sastra, dan ciriciri khas yang menandai perkembangan sastra dari zaman ke zaman. Dengan pendekatan ini siswa memperoleh pengetahuan mengenai: (1) proses kejadian suatu karya sastra; (2) latar belakang yang mewarnai karya sastra tersebut; (3) perkembangan sastra dari masa ke masa; dan (4) latar belakang yang mendorong perkembangan sastra atau yang menjadi fenomena yang menonjol pada suatu periode tertentu. 2. Pendekatan sosiopsikologis Pendekatan yang memusatkan perhatian kepada masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang ada di dalam karya sastra. Dengan pendekatan ini diharapkan siswa memahami sastra dalam konteks kemasyarakatan tempat sastra tersebut dilahirkan. 3. Pendekatan emotif Pendekatan ini dalam pengajaran sastra berupa upaya guru memanipulasi emosi siswa tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk menentukan 78
M. Atar Semi, Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1990), hlm. 152-153. 79 Ibid., hlm. 154.
38
sendiri atau menikmati sendiri karya tersebut. Setelah itu guru memberikan tugas kepada siswanya untuk membaca karya sastra. Dengan begitu siswa membaca dengan menggunakan sikap emosi tertentu. 4. Pendekatan analisis Pendekatan ini memusatkan perhatian kepada aspek pendidikan dan moral yang terdapat dalam suatu karya sastra. 5. Pendekatan didaktis Pendekatan analisis yaitu pendekatan yang memusatkan perhatian kepada analisis segi-segi intrinsik karya sastra. Dengan pendekatan ini guru cenderung untuk menunjukan komponen-komponen yang terdapat dalam suatu karya sastra. Pendekatan yang disebutkan di atas memiliki kelemahan-kelemahan di samping adanya kekuatan, sehingga guru dapat mengambil unsur-unsur yang positifnya. Di dalam pemilihan pendekatan perlu mempertimbangkan beberapa masalah, yaitu: a) tujuan pengajaran; b) kebutuhan siswa menurut perkembangan jiwa dan lingkungan ekologis; c) hakikat sastra sebagai karya seni; d) memperhatikan perbedaan individual siswa seperti watak dan minat; e) pendekatan yang dipilih hendaknya memungkinkan siswa mendapat peluang seluas-luasnya mengapresiasi karya sastra; dan f) pendekatan yang dipilih hendaknya menjamin pengertian yang benar tentang sastra secara utuh dan memperhatikan fungsi sastra dalam kehidupan.80
F. Penelitian yang Relevan Suatu penelitian maupun hasil penelitian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur lainnya, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan permasalahan yang sedang dibahas oleh seorang peneliti atau penulis. Sebuah karya ilmiah mutlak membutuhkan referensi sebagai acuan suatu penelitian yang sedang dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber dari makalah, skripsi, jurnal, internet atau yang lainnya. Sepanjang penelitian yang
80
Ibid., hlm. 196-197.
39
penulis lakukan, ada beberapa tulisan yang berkaitan dengan skripsi yang penulis tulis di antaranya: 1. Siti Marfiah (2003) Universitas Muhamadiyah Surakarta dengan judul “Aspek Kepercayaan Diri Tokoh Utama dalam Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A Navis: Tinjauan Psikologi Sastra“. Penelitian ini berusaha menjelaskan aspek kepercayaan diri tokoh utama dengan menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kepercayaan diri tokoh utama yang meliputi faktor-faktor keberanian tokoh utama, faktor pengharapan, faktor religius, dan faktor ketidakadilan. 2. Vivi Nova Rina (2007) dengan judul “Analisis Persoalan dan Perjuangan Sosial pada Saraswati dalam Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A Navis”. Penelitian ini berusaha menjelaskan persoalan sosial yang ada dalam karya sastra yaitu diskriminasi, kebodohan, pesimis, kemiskinan, dan harga diri dan bagaimana perjuangan Saraswati mengatasi persoalan sosial tersebut. 3. Retno Wijayanti (2004) Universitas Muhamadiyah Surakarta dengan judul "Citra Wanita dalam Novel Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi karya A. A Navis: Tinjauan Sastra Feminis". Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa wanita cacat yang keberadaannya tidak diperhatikan, diremehkan, tidak dihargai dan dianggap sebagai manusia kelas rendah. Padahal ia mempunyai kemauan dan keinginan seperti layaknya orang normal. Gadis bisu dan tuli itu juga ingin belajar, mendapatkan cinta dan kasih sayang serta pekerjaan yang layak. Walaupun penelitian di atas sama-sama meneliti sebuah novel karya A. A Navis yang berjudul Saraswati Si Gadis dalam Sunyi, tetapi setiap penulis mengkaji novel dari sudut pandang materi dan metode yang berbeda-beda. Dalam analisis ini penulis menggunakan pendekatan psikologi sastra. Penulis ingin menjelaskan motivasi tokoh difabel yang terdapat dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A Navis dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Analisis ini dimaksudkan sebagai pelengkap dari penelitian-penelitian yang terdahulu.
BAB III BIOGRAFI PENGARANG
A. Biografi A. A Navis Bersumber dari profil sastrawan Indonesia, Giri Prastowo mengungkapkan bahwa Haji Ali Akbar Navis atau lebih akrab dengan nama A. A Navis merupakan anak sulung dari lima belas bersaudara. Ia adalah salah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia. Putera dari St. Marajo Sawiyah ini lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17 November 1924. Ia meninggal pada tanggal 22 Maret 2003 di Rumah Sakit Pelni, Jakarta pada usia 78 tahun karena komplikasi jantung, asma dan diabetes. A. A Navis mempunyai seorang isteri bernama Aksari Yasin yang dinikahi pada tahun 1957. Mereka dikaruniai tujuh orang anak yakni: Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini, serta tiga belas cucu.1 Menurut Ensiklopedia Sastra Indonesia yang ditulis oleh Hasanudin W. S, A. A Navis menamatkan pendidikannya di Perguruan INS Kayutaman pada tahun 1945. Ia pernah menjadi pegawai pabrik porselin di Padang Panjang pada tahun 1944 hingga 1947. Pada tahun 1955 hingga 1957 ia juga pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat di Bukit Tinggi. Kemudian, pada tahun 1969 menjadi Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutaman. Selain itu, Pemimpin Redaksi Harian Umum Semangat pada tahun 1971 hingga 1972 dan anggota DPRD Sumatera Barat pada tahun 1971 hingga 1982.2 Sesuai yang ditulis oleh Giri Prastowo dalam bukunya, sepanjang hidup A. A Navis telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup kebudayaan dan kesenian. Bahkan ia menjadi guru bagi banyak sastrawan. Ia seorang sastrawan intelektual yang menulis berbagai hal untuk menyampaikan pemikiran1
Giri Prastowo, Profil Sastrawan Indonesia, (Jawa Barat: PT. Sukses Anugrah Kreasi, 2011), hlm. 1. 2 Hasanudin W. S, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), hlm. 2.
40
41
pemikirannya di pentas nasional dan internasional. Sudah ratusan karya yang ia buat mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya hingga penulisan otobiografi dan biografi.3 Sementara itu, menurut Hasanudin sebagai sastrawan A. A Navis telah meraih sejumlah penghargaan, seperti dari Majalah Kisah untuk cerpen terbaik tahun 1955 yakni Robohnya Surau Kami. Novel Remaja Terbaik dari Unesco/Ikapi yakni Saraswati, si Gadis dalam Sunyi dan Cerita Rakyat dari Sumatera Barat 2 tahun 1998. Ia juga memperoleh penghargaan dari Radio Nederland tahun 1970 atas cerpen terbaik pada sayembara menulis cerpen Kincir Emas, dengan judul Jodoh. Kemudian, dari majalah Femina ia memenangkan sayembara atas cerpen Kawin pada tahun 1971. Tahun 1988 ia meraih Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dan empat tahun kemudian ia kembali memenangkan penghargaan Hadiah Sastra dari Mendikbud RI dan South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand. Selain itu, pada tahun 2000, Navis memperoleh Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.4
B. Pandangan Hidup A. A. Navis Merujuk dari blog Ahmad Ali, kehadiran A. A Navis di dunia sastra Indonesia menurut A. Teeuw sebenarnya bukan sebagai pengarang besar, tetapi seorang pengarang yang menyuarakan suara Sumatera di tengah konsep Jawa (pengarang Jawa) sehingga ia layak disebut sebagai pengarang “Angkatan Terbaru”.5 Lebih lanjut Giri Prastowo bercerita bahwa kesenangan A. A Navis terhadap sastra dimulai dari rumah. Orang tuanya pada saat itu berlangganan majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat. Ia selalu membaca cerita-cerita itu dan lama kelamaan menggemarinya. Ayahnya mengetahui dan mengerti akan kegemaran Navis itu. Oleh karena itu, ayahnya memberikan uang untuk membeli
3
Giri Prastowo, op. cit., hlm. 3. Hasanudin W. S, op. cit., hlm. 2-3. 5 Ahmad Ali, “Sang Kepala Pencemooh dalam Sebuah Kisah Proses Kreatif A. A Navis”, 2015, (http://ahmadali-laskar.blogspot.co.id), diakses pada tanggal 16 Desember 2015 pada pukul 14.05 WIB. 4
42
buku-buku bacaan kegemarannya. Dari situlah modal awal Navis untuk menekuni dunia karang-mengarang di kemudian hari.6 Minat pokok A. A Navis dalam menulis menurut Hasanudin W. S tertuju pada masalah-masalah manusia dan kemanusiaannya seperti, penderitaan, kegetiran, kebahagiaan dan harapan. Minat demikian lebih didorong oleh semacam latar belakang kesadaran intelektual, bukan primodial atau kepentingan tertentu.7 Seperti yang dikatakan Abrar Yusra dalam bukunya bahwa masalahmasalah kedaerahan yang ditampilkan dalam karya-karya A. A Navis terasa sangat menonjol, menggambarkan sosok umum dari kemanusiaan yang sering dilihat dalam pengalaman semua suku bangsa di negeri kita. Hal tersebut yang menjadi salah satu kekuatan A. A Navis dalam membuat karya-karyanya. Unsur setting sosial yang kuat ini memberikan warna aktualitas yang hidup dalam karyakaryanya, dan membuatnya berbeda dari penulis-penulis kontemporer lain yang berasal dari tanah Minang.8 “Jadikan aktivitas menulis sebagai suatu kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan.” Seperti itu jawaban A. A Navis saat ditanya alasan dirinya terus menulis sepanjang hidup yang dikutip dari Kompas 7 Desember 1997 dalam blog Ahmad Ali, “Soalnya senjata saya hanya menulis. Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen, katanya.”9 Hikmat Ishak dalam harian kompas mengatakan, keinginan A. A. Navis untuk menyatakan pendapat tentang kehidupan masyarakat lewat karya-karyanya timbul ketika jemu melihat sikap pemuka masyarakat dan pemerintah sipil dan militer yang munafik pada tahun 1847-1948. Pada tahun 1950 setelah pemulihan kekuasaan republik dari tangan Belanda menjadi puncak kejemuannya. Dia melihat parasit-parasit menikmati kemerdekaan, berebut fasilitas karena matinya penjajah.
6
Giri Prastowo, op. cit., hlm. 1. Hasanudin W. S, op.cit., hlm. 3. 8 Abrar Yusra, Otobiografi A. A Navis, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 7
259. 9
Ahmad Ali, loc.cit.
43
Kelompok tertentu sempat mencurigai A. A. Navis sebagai komunis akibat sikapnya yang sempat tidak percaya pada ajaran pada ulama yang mengatakan bahwa “Tuhan akan memperlihatkan balasanNya di dunia”. Menurutnya orang baik-baik bisa mati konyol karena kesulitan hidup dan penjahat-penjahat mendapatkan kesenangan.10 Hal tersebut tergambar pada salah satu karya A. A. Navis yang berisi sebuah oto kritik seorang Islam terhadap faham agamanya yakni kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (1963). Kecenderungan mengkritik diri sendiri adalah salah satu cirikhas budaya Minang. Masyarakat Minang memang tidak pernah habis daya tariknya sebagai ajang kajian sosial, politik, ekonomi, maupun kebudayaan, bahkan sebagai sumber inspirasi bagi pengarang dalam menciptakan sebuah karya. Hal tersebut tergambar pada novel kemarau yang berisi kritik tentang berbagai nilai kehidupan yang sudah mulai pudar terutama tentang nilai sosial. Nilai sosial yang dihadirkan A. A. Navis merupakan sebuah kegelisahan terhadap masyarakat minang yang menjadikan agama sebagai pembentuk nilai-nilai sosial namun implementasinya tidak berjalan sebagaimana mestinya. A. A Navis adalah sosok yang ceplas-ceplos apa adanya sehingga dijuluki “Sang Pencemooh”. Seperti yang dikatakan A. A Navis dalam Kompas, Jum’at 9 Oktober 1992 “Saya memang kurang tahu bagaimana caranya menulis dengan segenap perasaan marah yang saya punya apabila saya tengah menyoroti sebuah situasi. Makanya saya melakukannya dengan dengan nada mengejek,” ujarnya.11 Selanjutnya Hasanudin menambahkan, cemooh terhadap tradisi, takhayul, penggunaan akal dan ilmu pengetahuan dalam ikhtiar memperbaiki nasib dan meningkatkan taraf kehidupan, rendahnya kedudukan wanita, kesenangan hedonis, menghamburkan uang untuk perhelatan dan kenduri sebagai suatu keharusan sosial. Semua itu merupakan sisi-sisi kehidupan yang dikembangkan
10
Hikmat Ishak, “A. A. Navis: “Saya Tak Mungkin Menjadi Pelipur Lara”, Harian Kompas, Jakarta, 20 November 1978, hlm. 5. 11 Arya Gunawan, “Ali Akbar Navis: Saya tidak Suka Bertaruh dalam Hidup”, Harian Kompas, Jakarta, 9 Oktober 1992, hlm. 1.
44
oleh Navis dalam karyanya untuk mendorong masyarakatnya agar memahami kehidupan secara lebih baik.12
C. Karya-karya A. A Navis Beberapa karya A. A Navis menurut Giri Prastowo dalam bukunya Profil Sastrawan Indonesia, yakni: 1) Robohnya Surau Kami (1955). 2) Hudjan Panas (1963). 3) Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963). 4) Kemarau (1967). 5) Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi: Novel (1970). 6) Dermaga dengan Empat Sekoci: Kumpulan Puisi (1975). 7) Dialektika Minangkabau (editor) (1983). 8) Di Lintasan Mendung (1983). 9) Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984). 10) Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986). 11) Hujan Panas dan Kabut Musim: Kumpulan Cerita Pendek (1990). 12) Cerita Rakyat dari Sumatra Barat (1994). 13) Surat dan Kenangan Haji (1994). 14) Otobiografi A. A Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994). 15) Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutaman (1996). 16) Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 2 (1998). 17) Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999). 18) Jodoh: Kumpulan Cerpen (1999). 19) Dermaga Lima Sekoci (2000). 20) Kabut Negeri si Dali: Kumpulan Cerpen (2001). 21) Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 3 (2001). 22) Bertanya Kerbau pada Pedati: Kumpulan Cerpen (2002). 23) Gerhana: Novel (2004). 24) Antologi Lengkap Cerpen A. A Navis tahun 200513
12
Hasanudin W. S, loc.cit. Giri Prastowo, op. cit., hlm. 4-5.
13
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Unsur Intrinsik Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A. Navis Unsur pembangun sebuah novel secara umum dapat dikatakan bersifat lebih terperinci dan kompleks daripada sebuah cerpen. Hal tersebut disebabkan novel menceritakan masalah yang begitu kompleks, sehingga tokoh utama tidak hanya mengalami sekali proses pemunculan konflik, melainkan berulang kali tokoh utama menjadi sentris dalam pemunculan suatu konflik dalam sebuah cerita. Bahkan dalam sebuah novel disuguhkan rentetan konflik yang mampu mengguncang perasaan pembaca, dimulai dari tokoh utama lahir hingga tokoh tersebut
meninggal
dunia.
Keresahan
yang
dialami
pembaca
setelah
menyelesaikan keseluruhan cerita dalam sebuah novel dapat dijadikan sebagai bahan dalam penelitian sastra. Peneliti sastra menggunakan kajian unsur intrinsik sebagai bahan penelitian mereka karena unsur intrinsik berperan sebagai salah satu unsur pembangun sebuah novel. Unsur intrinsik dapat dijadikan sebagai jembatan atau fondasi awal dalam proses analisis kesusasteraan. Sehingga unsur intrinsik sangat penting diketahui agar sebuah cerita dapat dinikmati serta lebih dipahami oleh pembaca. Di bawah ini akan dijelaskan unsur intrinsik dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi (SSGdS) karya A. A. Navis antara lain sebagai berikut: 1. Tema Tema merupakan salah satu unsur pembangun dalam sebuah cerita yang tidak hanya dituliskan secara tersurat atau terpampang jelas dalam kutipan, tetapi penampakan tema dapat tersirat dalam berbagai kutipan dialog antar tokoh ataupun alur kejadian dalam suatu peristiwa yang tengah dialami tokoh. Tema dalam novel tidak dapat ditentukan hanya dengan membaca sepotong cerita, tetapi harus membaca keseluruhan cerita secara utuh. Hal tersebut dikarenakan sifat tema yang bersifat luas, artinya tema dalam sebuah novel harus mampu menjadi
45
46
ide dasar atau gagasan besar dalam sebuah novel, sehingga kemunculan tema pada sebuah novel tidak hanya dimunculkan dengan satu-dua kutipan atau dalam penanda cerita saja, namun penyajiannya kompleks sehingga intensitasnya hampir selalu muncul begitu dominan di setiap kejadian. Tema-tema yang kerap diangkat A. A. Navis selalu menunjukkan sikapnya yang berani dan jujur menyuarakan kebobrokan mental bangsa Indonesia yang semakin digerogoti oleh para pemimpinnya. Hal tersebut bukanlah sebagai omong kosong belaka sebab banyak karya A. A. Navis yang menyuarakan hal senada, seperti novel Roboh Surau Kami, Kemarau, Bertanya Kerbau pada Pedati, cerpen Sang Guru Juki, Kuda, Jodoh dan lain sebagainya. Hal tersebut disurakan A. A. Navis begitu menukik namun dengan lembut, sehingga tidak kentara sebagai kritik moral yang sebernarnya disuarakan. Tema dalam novel SSGdS, yakni perjuangan tokoh difabel untuk mengaktualisasikan dirinya. Tema besar dalam novel tersebut memiliki keterkaitan pada pandangan Maslow yang dikutip dalam Albertine Minderop, “semua manusia memiliki perjuangan atau kecenderungan yang dibawa sejak lahir untuk mengaktualisasikan diri”.1 Penulis menganggap kemunculan tema tersebut sebagai upaya eksistensi tokoh utama, yaitu Saraswati, dalam menghadapi berbagai kompleksitas masalah yang ia hadapi. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kehendak atas eksistensi dirinya pada lingkungan atau bahkan sesama manusia. Pengarang dengan cerdik memunculkan tema tersebut sebagai ide besar yang membungkus serangkaian peristiwa atau konflik dalam keberadaan cerita yaitu dengan cara membenturkan ide dasar bahwasanya tokoh utama digambarkan sebagai gadis bisu-tuli (difabel), namun dituntut untuk memenuhi berbagai kebutuhan layaknya manusia normal pada umumnya. Dengan mengusung tema tersebut, A. A. Navis memberikan suguhan lika-liku problematika kehidupan yang harus dihadapi tokoh difabel. Hal tersebut bukan hanya berdampak pada eksistensi diri si tokoh difabel, tetapi juga pada lingkungan di mana ia berada. Hal 1
Albertine Minderop, Psikologi Sastra (Karya Sastra, Metode, Teori dan Contoh Kasus), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 279.
47
tersebut menjadikan cerita pada novel SSGdS menjadi cukup sulit dipahami oleh kategori pembaca yang memiliki kecenderungan terlalu dini untuk menyimpulkan isi cerita. Berangkat dari pernyataan pakar yang sama bahwa seseorang akan mencapai aktualisasi diri apabila ia mampu melewati masa-masa sulit yang berasal dari diri sendiri maupun dari luar.2 Begitupun Saraswati yang akhirnya dapat melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Rentetan penderitaan yang dialami tokoh utama sebagai gadis bisu-tuli tidaklah mudah. Dengan motivasi yang tinggi, tekad yang kuat dan tidak mudah putus asa telah membawa keberadaan tokoh utama pada titik eksistensi terbesarnya. Tema tersebut tergambar jelas dari berbagai usaha yang dilakukan Saraswati sebagai tokoh utama. Untuk itu, pengambilan tema besar dalam novel SSGdS dirasakan tepat untuk melukiskan semua ketangguhan yang telah dilakukan oleh tokoh utama dalam perjalanan hidupnya sebagai gadis difabel. Berikut ini berbagai kutipan penting yang menandakan keberadaan tema pada cerita yang begitu dominan di antaranya: Belajar menjahit sebetulnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Lebihlebih, aku harus memegang pensil untuk membuat garis-garis di atas kertas. Terasa sekali kesulitanku, karena aku tidak mengenal huruf-huruf yang harus aku tulis.3 …. Lama-lama aku dapat menuliskan beberapa kata, menyebutkan dan mengenal maksud gerak-gerak mulutnya. Tentu saja semua itu tidak mudah bagiku, meski di rumah aku selalu mengulang-ulangnya, menuliskan apa yang aku ucapkan dan menggunakan kaca untuk memahami gerak-gerik mulutku. Memang tidak mudah, Saudaraku.4 Kutipan di atas menunjukkan bentuk usaha yang dilakukan oleh Saraswati untuk mengembangkan potensinya sebagai wujud eksistensi diri dalam kehidupannya. Ia terlihat mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari semua yang terkait tulismenulis. Hal tersebut tidaklah mudah bagi seorang gadis bisu-tuli yang tidak pernah mendapatkan pendidikan formal selayaknya di sekolah. Namun, pada 2
Ibid., hlm. 307. A. A. Navis, Saraswati Si Gadis dalam Sunyi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2002), hlm. 46. 4 Ibid., hlm. 61. 3
48
akhir cerita Saraswati dikisahkan memulai hidup baru untuk belajar menulis dan membaca pada Pusat Rehabilitasi yang dirintis oleh Dr. Soeharso di Solo. Menurut YPAC, Pusat Rehabilitasi bagi penyandang disabilitas di Indonesia didirikan pada tahun 1952.5 Upaya yang dilakukan oleh Dr. Soeharso tersebut muncul sebagai pengharapan baru untuk kaum penyandang disabilitas seperti Saraswati, mengingat pada masa itu memang belum ada sekolah bagi penyandang disabilitas. Dengan motivasi yang terbentuk karena kesadaran diri atas pemahaman betapa pentingnya belajar untuk mengembangkan diri dan bekal menjalani kehidupan membuat Saraswati memperoleh aktualisasi diri dan akhirnya mengangkat derajatnya dalam masyarakat. Aktualisasi diri tokoh utama diungkapkan dengan nada optimis seperti dalam kutipan berikut: …, kini aku telah mempunyai kehidupan sebagaimana yang aku rindukan. Hidup seperti gadis-gadis lain, karena kekurangan yang ada padaku hampir tidak berarti lagi. Apalagi bila suatu waktu aku mendapat kesempatan untuk belajar lebih banyak.6 Kutipan di atas menggambarkan keberhasilan Saraswati meraih kehidupan yang dinginkannya. Hidup seperti manusia normal tanpa orang lain memandang keterbatasannya. Keberhasilan itu menimbulkan keyakinan dan rasa percaya diri Saraswati sebagai difabel. Ia percaya bahwa setiap manusia memiliki potensi yang luar biasa. Jika ia diberi kesempatan lebih banyak untuk belajar pasti ia akan menjadi difabel yang lebih hebat. Lewat perjuangan tokoh Saraswati sebagai gadis difabel dalam mengaktualisasikan diri, A. A. Navis sebagai pengarang ingin membuktikan kepada pembaca bahwa penyandang disabilitas berhak mendapat kesempatan yang sama dengan orang normal dalam kehidupan untuk membuktikan potensi yang ia miliki. Selain itu, penulis juga memberikan apresiasi yang tinggi kepada A. A. Navis karena mampu memberikan tamparan keras kepada keadaan yang menghimpit pada masa itu. Pemerintah pada masa itu kurang memperhatikan hal5
Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC), Sejarah YPAC, 2016, (http://ypac-nasional-org), diakses pada tanggal 23 Maret 2016 pada pukul 14.15 WIB. 6 A. A. Navis, op.cit., hlm. 66.
49
hal yang bersifat minor seperti kaum disabilitas, karena pada masa itu mereka hanya terfokus pada birokrasi dan politik saja, sehingga tema yang serupa dengan novel SSGdS tidak banyak dijumpai. Dapat dikatakan hanya pengarang yang peka dan memiliki keresahan mendalam yang mampu meramu tema tersebut menjadi suguhan cerita yang menarik, dengan tidak menyinggung namun tetap mengutamakan esensi atas kualitas yang tinggi dari suatu karya, yakni dulce dan utile. Dapat disimpulkan bahwa berbagai usaha yang dilakukan tokoh utama (difabel) menjadi bentuk perjuangan untuk mengaktualisasikan dirinya. Hal ini menjadi tema besar yang diangkat A. A. Navis dalam novel SSGdS yang berlatar kejadian sekitar tahun 1958. Oleh karena itu, kecerdikan pengarang dalam memandang suatu realitas penyandang disabilitas dan mengangkat permasalahan tersebut dalam karyanya patut diapresiasi. 2. Alur atau plot Peristiwa dalam novel SSGdS menceritakan perjuangan tokoh utama bisutuli (difabel) dengan berbagai macam konflik yang harus dihadapi untuk mencapai aktualisasi diri. Hal tersebut menjadi tema besar dalam novel SSGdS yang tersusun dalam alur cerita secara progresif. Alur dapat diartikan sebagai rangkaian peristiwa dalam sebuah karya sastra. Rangkaian cerita tersebut saling berhubungan membentuk hubungan sebab akibat. Jika dilihat dari tataran cerita, alur novel SSGdS terjadi secara kronologis sesuai dengan logika cerita dan waktu terjadinya peristiwa. Artinya, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel diceritakan berurutan mulai dari peristiwa paling awal hingga peristiwa paling akhir. Di bawah ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai peristiwa tersebut dengan menggunakan tahapan alur menurut Tasrif, mulai dari tahap penyituasian, pemunculan konflik, tahap klimaks dan tahap penyelesaian. Peristiwa yang terjadi dalam novel akan diceritakan oleh tokoh “Aku” sebagai narator sekaligus tokoh utama yang mengalaminya, tokoh tersebut adalah Saraswati. Dilihat dari judul Saraswati Si Gadis dalam Sunyi novel ini sudah dapat menggambarkan kondisi tokoh utama (Saraswati) yang hidup dalam kesunyian. Namun pembaca dibuat penasaran, kesunyian seperti apa dan
50
bagaimana yang dialami Saraswati sebagai tokoh utama. Pada bagian awal penceritaan A. A. Navis sebagai pengarang menggunakan diksi yang amat puitis untuk mengenalkan tokoh utama, dibuktikan dengan kutipan berikut: Sunyi adalah duniaku. Sunyi adalah nasibku. Sunyi dunia tanpa bunyi, tanpa suara. Segala-galanya sunyi.7 Kutipan di atas dijadikan pengantar untuk memahami novel ini. Pengarang menggunakan kata “sunyi” berkali-kali. Penggunaan gaya bahasa ini berfungsi memberi penekanan lebih dan mengkongkretkan gambaran perasaan tokoh utama. Dengan kemahirannya tersebut pembaca seolah-olah dapat merasakan bagaimana kesunyian yang dialami oleh tokoh utama. Jika merujuk pada KBBI makna kata “sunyi” adalah tidak ada bunyi atau suara apapun, kosong, tidak ada orang, bebas dan lain sebagainya.8 Jadi, pada bagian awal ini pembaca sudah menangkap informasi awal mengenai kenyataan yang harus dijalani oleh tokoh utama dengan keadaan yang serba sunyi. Pada bagian kedua, pembaca kembali diyakinkan dengan informasi yang lebih detail bahwa Saraswati tidak hanya hidup dengan keterbatasan bisu-tuli, tetapi Saraswati juga harus menjalani kesunyian lain yakni kehilangan seluruh anggota keluarga. Betapapun sebuah kehilangan membuat hari-hari yang dilalui tokoh utama menjadi kosong. Peristiwa tersebut diceritakan oleh tokoh utama dengan nada kesedihan pada kutipan berikut: .... Mereka telah meninggal oleh suatu penghadangan pasukan pemberontakan dalam perjalanan kembali dari Bandung. Mobilnya jatuh ke jurang dan terbakar. Dan aku tidak pernah lagi bertemu mereka semenjak itu.9 Kutipan di atas menggambarkan takdir yang harus dijalani Saraswati. Peristiwa dalam kutipan menggunakan latar waktu sekitar tahun 1958 yang memang pada saat itu masih banyak pemberontakan di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini digunakan A. A. Navis untuk memunculkan situasi ketegangan sekaligus rasa
7
Ibid., hlm. 1. ___, KBBI Online, 2016, (http://kbbi.web.id), diakses pada tanggal 5 Maret 2016 pada pukul 16. 34 WIB. 9 A. A. Navis, op.cit., hlm. 2. 8
51
penasaran pembaca untuk mengetahui perjuangan tokoh utama untuk memperoleh aktualisasi diri dengan kondisi dan situasi yang membelenggunya. Pada bagian tiga, A. A. Navis menggunakan pengisahan peristiwa secara retrospeksi yang pada umumnya dilakukan dengan teknik kenangan atau ingatan masa lalu. Setelah mengetahui seluruh anggota keluarganya meninggal, Saraswati sebagai narator sering menghabiskan waktu untuk membayangkan perlakuan kedua orang tua serta saudara-saudaranya semasa hidup. Hal ini dilakukan saat kesendirian menghampirinya. Menurutnya sosok ayah paling banyak memberi kenangan. Perlakuan ayah yang tidak pernah menganggapnya sebagai anak bisutuli membuat Saraswati mengagumi sosok sang ayah. Hanya pendidikan yang tidak pernah diberikan sang ayah padanya, dibuktikan oleh kutipan berikut: …. Satu-satunya yang tidak bisa diberikan Ayah dibandingkan dengan saudaraku yang lain, yaitu pendidikan di sekolah. Itu aku tahu, karena memang belum ada sekolah untuk anak bisu-tuli di Jakarta, tempat kami tinggal.10 Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa sekolah untuk tunarungu memang belum merata di Indonesia. Pengarang menjadikan kutipan di atas sebagai kritik bagi pemerintah yang terkesan belum sepenuhnya peduli pada masalah pendidikan untuk difabel seperti Saraswati. Sebagai gadis bisu-tuli yang tidak mendapatkan
pendidikan,
perkembangan
intelijensinya
secara
fungsional
terhambat. Hal ini akan menjadi pemicu terjadinya berbagai konflik seperti pelecehan, penindasan, ketidakadilan dan lain sebagainya. Kebingungan dan ketakutan juga akan muncul karena pada tahap selanjutnya Saraswati akan bertemu dengan beberapa tokoh dalam kondisi lingkungan yang bermacammacam. Kemudian cerita berjalan terus, pengarang mulai menceritakan pertemuan Saraswati dengan tokoh-tokoh lain yang berpengaruh terhadap munculnya konflik. Konflik pertama muncul pada bagian empat, bermula saat Angah membawa Saraswati untuk tinggal di Padang Panjang. Di atas kapal menjadi tempat konflik pertama yang terjadi akibat pertemuan Saraswati dengan laki-laki 10
Ibid., hlm. 8.
52
tua bisu yang menjadi bahan tertawaan seluruh penumpang kapal. Keberadaan Saraswati tidak luput dari bahan leluconnya, terlihat pada kutipan berikut: …. Dia mengajakku berbicara dengan gerakan tangannya. Semua orang menjadi gembira melihat tingkahnya yang membadut. Sekali dia menyatakan perasaan cintanya terang-terangan dan mengajak aku menjadi istrinya dengan gerak-gerik di hadapan Angah. Semua orang tertawa dan bahkan ada yang bertepuk tangan melihat permainannya. Bahkan Angah pun ikut tertawa.11 Kutipan di atas menjadi bentuk penindasan terhadap kaum disabilitas yang kerap dijadikan bahan lelucon akibat keterbatasannya. Peristiwa tersebut menjadi konflik batin yang membuat perasaan Saraswati sedih, terlebih melihat respon Angah yang seolah tidak peduli atas apa yang ia rasakan. Konflik-konflik lain dialami oleh Saraswati terjadi ketika ia tinggal di Padang Panjang. Kota ini menjadi latar tempat kedua sekaligus pusat penceritaan Saraswati memulai hidup barunya dengan status yatim piatu. Banyak tokoh-tokoh lain yang dimunculkan pengarang di tempat ini sebagai pemicu terjadinya konflik sampai akhirnya berpengaruh membantu Saraswati memperoleh aktualisasi diri. Selama di Padang Panjang Saraswati ditugaskan untuk membantu Angah mengerjakan pekerjaan rumah dan menggembala ternak. Kondisinya yang bisutuli membuat Saraswati mengalami masalah dalam berkomunikasi. Hal tersebut seringkali membuatnya dilecehkan dan statusnya dianggap rendah. Seperti yang terjadi ketika bertemu dengan anak-anak kecil saat menggembala ternak. Peristiwa pada bagian enam ini menjadi konflik kedua dalam novel, seperti pada kutipan berikut: Pengalaman pahit yang senantiasa aku terima dari anak-anak itu, menyebabkan aku menjadi takut kepada mereka. Senantiasa aku berusaha menghindar dari gerombolan anak-anak itu. Tambah banyak mereka bergerombol tambah nakallah mereka. Malah kenakalan itu mereka lakukan juga sendiri-sendiri bila berahadapan denganku. Umpamanya ketika berpapasan di jalan, lalu setelah aku agak jauh sedikit, aku dilempari dengan apa saja yang ada di tangannya. Kadang-kadang juga aku dipukul dengan tangannya yang kecil, lalu dia lari jauh-jauh.12
11
Ibid, hlm. 13. Ibid., hlm. 25-26.
12
53
Dari kutipan di atas, pembaca bisa menyaksikan bagaimana kesulitan yang harus dijalani Saraswati di tengah keterbatasan yang dimiliki. Peristiwa tersebut bukan pertama kalinya dialami oleh Saraswati dan lebih parah dari yang sebelumnya. Hal tersebut berakibat pada perkembangan kepribadian Saraswati yakni timbul perasaan takut, merasa diperlakukan tidak adil dan kurang dihargai. Dari kutipan ini pengarang ingin memperlihatkan kepada pembaca bagaimana realita penyandang disabilitas yang kerap dijadikan sebagai media hiburan dan selalu menjadi objek penindasan serta dianggap sebagai makhluk rendah dalam status sosial. Masih pada bagian yang sama, sebagai seorang yang menumpang tinggal pada keluarga Angah, kebutuhan fisiologis Saraswati tidak terpenuhi dengan baik. Hal tersebut menjadi konflik ketiga yang harus dihadapi Saraswati. Konflik ini timbul ketika Pak Angah pulang setelah lama meninggalkan rumah untuk memberi pengajian. Saraswati yang selama ini tidur di kamar Angah, kini harus pindah ke kamar sepen jorok dan berdebu yang letaknya terpisah di belakang rumah. Namun keterbatasan memaksanya untuk menerima ketidakadilan tersebut tanpa bisa menentang seperti yang tergambar pada kutipan berikut: Dengan perasaan pahit, aku kerjakan apa yang disuruh Angah. Aku pindahkan barang-barang tua yang berat-berat itu seorang diri ke kolong rumah. Sungguh aku tidak menangis, Saudaraku, meski aku ingin sekali. Cuma perasaanku sangatlah getir dan hatiku menjerit-jerit.13 Kutipan di atas menjadi gambaran nasib kelam penyandang disabilitas yang diperlakukan seperti seorang pembantu di rumah saudaranya sendiri. Peristiwa tersebut digunakan A. A. Navis untuk mengkritisi adanya perbedaan hak penyandang
disabilitas
ketidakadilan
seperti
dalam yang
keluarga.
dialami
Perbedaan
tokoh
utama.
tersebut
melahirkan
Namun,
pengarang
menggambarkan tokoh utama sebagai gadis yang tegar, yang dibuktikan dari sikap Saraswati yang tidak menangis dan tetap mengerjakan apa yang disuruh Angah walaupun sesungguhnya hatinya ingin sekali berontak. Sifat tegar yang
13
Ibid., hlm. 30.
54
dimiliki Saraswati menjadi ciri bahwa ia memiliki motivasi untuk mengaktualisasi diri. Bertubi-tubi Saraswati mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang-orang sekitar secara fisik maupun psikis yang berdampak pada perkembangan fungsi sosialnya. Seiring berjalannya alur cerita dan banyaknya konflik yang dialami Saraswati dalam memperoleh aktualisasi diri, akhirnya mengantarkannya pada puncak cerita. Klimaks pada novel terjadi pada bagian tujuh ketika Saraswati benar-benar sudah tidak tahan dengan perlakuan tidak adil orang-orang padanya. Selama ini ia sudah sabar dan membiarkan hatinya tersiksa oleh perlakuan mereka. Namun, seringnya mengalami kekecewaan karena kesulitan dalam menyampaikan pikiran perasaan kepada orang lain membuat Saraswati mengekspresikan semuanya dengan kemarahan, terlihat pada kutipan di bawah ini: Aku kira Busra mulai memahami maksudku, karena dia menganggukangguk setiap aku menunjukkan perbandingan yang mencolok itu padanya. Namun aku belum puas. Aku jajarkan tangannya ke kandang kambing. Lalu aku menjerit-jerit lagi, sehingga terasa getaran suara itu di seluruh tubuhku. Aku gerak-gerakkan tanganku dengan kacau agar ia tahu betapa segalanya telah menjadi kacau oleh mereka semua.14 Kutipan di atas menjadi bentuk protes Saraswati atas perlakuan orang-orang yang selama ini tidak adil padanya. Hal tersebut dilakukan untuk menuntut hak-haknya yang tidak didapatkan dari Angah. Peristiwa tersebut digambarkan pengarang dengan penuh ketegangan, kekacauan dan kemarahan. Cara seperti itulah yang menurut A. A. Navis paling tepat untuk meluapkan keresahan hati Saraswati. Kemahiran pengarang dalam bercerita membuat pembaca seolah ikut merasakan secara langsung apa yang dialami oleh utama. Pada tahap ini pengarang memunculkan tokoh Busra untuk membantu memahami keinginan Saraswati. Munculnya Busra pada tahap ini memiliki pengaruh besar pada tahap alur selanjutnya. Selanjutnya alur mulai berjalan menuju tahap penyelesaian. Pada tahap akhir ini mulai terjadi kekenduran dari klimaks dan konflik-konflik yang ada 14
Ibid.
55
dalam cerita. Hal ini terjadi pada bagian delapan yakni saat tuntutan Saraswati terhadap ketidakadilan yang dialami mulai mendapat penyelesaian. Aksi protes yang dilakukan Saraswati dalam menuntut haknya terhadap keluarga Angah akhirnya berhasil. Angah menyadari bahwa Saraswati juga merupakan bagian dari keluarga mereka dan sepantasnya diperlakukan dengan baik. Akhirnya kesempatan untuk memperoleh keterampilan belajar menyulam dan menjahit dirasakan Saraswati dengan bimbingan Uni Ros. Ternyata di tempat kursus itu kemampuan Saraswati lebih baik dari yang lain, seperti yang ia ceritakan pada kutipan berikut: Yang paling cepat aku peroleh kemajuan ialah pelajaran menyulam. Seleraku dalam menyusun warna lebih baik dari peserta kursus lainnya. Mereka banyak memujiku, malah ada yang menanyakan warna apa yang sebaiknya disusun atas bermacam-macam warna dasar dari kain yang sudah tersedia.15 Kutipan di atas menjadi bentuk keberhasilan Saraswati dalam memulihkan harga diri yang selama ini dipandang rendah. Dari penghargaan orang lain, pengarang ingin memunculkan motivasi dan rasa percaya diri tokoh utama agar lebih meningkatkan potensinya. Keberhasilan Saraswati dibantu oleh tokoh baru yang dimunculkan pengarang untuk merangsang keterampilan serta memberi kesempatan bagi Saraswati untuk mengembangkan potensinya. Kemunculan Uni Ros juga tidak lepas dari perubahan sikap Angah yang mendukung potensi Saraswati. Di sini, pengarang ingin menyampaikan pada pembaca bahwa kesadaran dan pemahaman anggota keluarga yang baik terhadap anak bisu-tuli seperti Saraswati akan sangat membantu dalam mengembangkan sikap sosial, potensi dan kepribadian anak ke arah yang positif. Selain belajar menjahit dan menyulam, Saraswati sebenarnya ingin sekali dapat berkomunikasi dengan orang lain. Salah satu cara untuk berkomunikasi yakni dengan belajar menulis, membaca, dan berbicara. Dengan bantuan tokoh Busra akhirnya kesempatan itu datang. Setiap hari Busra selalu mengajari Saraswati yang terkadang dibantu oleh Bisri. Hingga suatu hari Busra membawa Saraswati ke sebuah rumah yang tidak begitu jauh dari rumahnya untuk bertemu 15
Ibid., hlm. 46.
56
dengan seorang laki-laki tua bernama guru Andika. Tokoh guru ini dimunculkan pengarang untuk mengajari Saraswati berbicara. Di bawah ini akan dijelaskan kutipan proses Saraswati belajar memperoleh keterampilan berbahasa: …. Dua kali seminggu aku ke rumah orang tua itu untuk belajar. Lama-lama aku dapat menuliskan beberapa kata, menyebutnya dan mengenal maksud gerak-gerak mulutnya. Tentu saja semua itu tidak mudah bagiku, meski di rumah aku selalu mengulang-ulangnya, menuliskan apa yang aku ucapkan dan menggunakan kaca untuk memahami gerak-gerik mulutku. Memang tidak mudah, Saudaraku.”16 A. A. Navis tidak hanya menampilkan potret penyandang disabilitas dari sisi yang lemah, tetapi juga dari sisi tekad penyandang disabilitas untuk memperjuangkan nasibnya. Terlihat dari bentuk kesabaran dan usaha yang dilakukan Saraswati untuk mengatasi masalah ketertinggalan di hidupnya. Meski harus melalui proses yang
panjang
perlahan-lahan
akhirnya
Saraswati
mampu
memperoleh
kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa ini nantinya membuat Saraswati dapat berkomunikasi dengan orang lain. Saraswati yang sejak awal diceritakan tersia-sia karena penghinaan, penindasan dan ketidakadilan menjadikan hal itu sebagai motivasi untuk terus berusaha. Kini sampailah pada tahap dimana ia benar-benar bersyukur dengan hidupnya yang baru. Kerja keras yang disertai dengan perjuangan tentu membuahkan hasil yang menyenangkan. Saraswati ingin membuktikan kepada keluarga Angah dan masyarakat bahkan kepada laki-laki tua bisu yang mengejeknya pada waktu di kapal bahwa meskipun dirinya cacat tetapi dia juga bisa lebih hebat dari manusia normal. Hal tersebut diungkapkan Saraswati pada kutipan: Saudaraku, kini aku mulai sungguh-sungguh merasakan bahwa hidup ini berarti. Sebagai gadis bisu-tuli yang selama ini tersia-sia, yang hidup atas belas kasihan dan yang hanya dapat disuruh menjadi gembala, kini aku telah mempunyai kehidupan sebagaimana yang aku rindukan. Hidup seperti gadis-gadis lain, karena kekurangan yang ada padaku hampir tidak berarti lagi. Apalagi bila suatu waktu aku mendapat kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi.17 16
Ibid., hm. 61. Ibid., hlm. 66.
17
57
Dari awal kemunculannya, pembaca sudah dapat memprediksi bahwa akan banyak konflik yang dialami oleh tokoh utama dengan keterbatasannya. Namun, A. A. Navis sebagai pengarang berhasil memunculkan sisi lain penyandang disabilitas yang menginspirasi. Kutipan di atas menggambarkan keberhasilan Saraswati memperoleh aktualisasi diri. Keberhasilan ini menumbuhkan keyakinan Saraswati dalam menerima kondisinya, dengan kata lain kepercayaan diri semakin tinggi, sehingga kematangan dalam berperilaku pun muncul. Hal tersebut tidak terlepas dari motivasi yang tergambar dari sikap tokoh utama dalam menghadapi setiap masalah di hidupnya. Pengarang menggunakan seperenam bagian dalam novel untuk menggambarkan usaha Saraswati setelah rendahnya konflik, sebelum akhirnya sampai pada keberhasilan memperoleh aktualisasi diri. Dengan begitu terlihat betapa sulit dan panjang usaha Saraswati sebagai gadis bisu-tuli. Terselip pesan dari pengarang untuk pembaca dari kutipan di atas bahwa penyandang disabilitas yang selama ini dipandang negatif oleh masyarakat nyatanya mampu melakukan banyak hal untuk memperoleh aktualisasi diri. Hasil analisis di atas memperlihatkan bagaimana tema perjuangan tokoh difabel untuk mengaktualisasikan dirinya dikisahkan sesuai urutan waktu peristiwa demi peristiwa secara kronologis. Dimulai dari memperkenalkan kesunyian yang dialami tokoh utama dengan berbagai konflik yang harus dijalani hingga akhirnya mampu mengaktualisasikan diri. Setelah adanya aktualisasi diri yang dicapai tokoh utama, muncul konflik-konflik lain pada cerita selanjutnya. Konflik-konflik tersebut berfungsi menguatkan perubahan sikap mental tokoh utama seperti dewasa, kemandirian, kepercayaan diri dan optimis terhadap berbagai masalah kehidupan. 3. Tokoh dan penokohan Sama halnya dengan alur, tokoh dan penokohan merupakan unsur penting dalam cerita fiksi. Hadirnya sebuah peristiwa dan konflik dalam cerita fiksi dijalani oleh tokoh-tokoh dengan segala perwatakannya. A. A Navis dalam Novel SSGdS melukiskan tokohnya secara jelas, hal ini terlihat melalui kualitas mental para tokoh, tindakan para tokoh dan juga dideskripsikan berdasarkan sudut
58
pandang tokoh utama. Hal ini dikarenakan novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama “aku” sebagai tokoh utama. Ada banyak tokoh yang terdapat dalam novel, namun dalam analisis ini akan diuraikan beberapa tokoh yang dianggap penting dan menguasai isi cerita seperti Saraswati sebagai tokoh utama sekaligus narator, sedangkan Busra, Angah, Bisri, laki-laki tua bisu, Uni Ros (guru menjahit dan menyulam), dan Guru Andika sebagai tokoh tambahan. Berikut akan diuraikan karakter dari masing-masing tokoh: a. Saraswati Dilihat dari penggunaan nama Saraswati dalam judulnya, Saraswati adalah tokoh utama dalam novel ini karena sebagian besar cerita dalam novel ini mengisahkan perjuangan tokoh Saraswati sebagai difabel dalam memperoleh aktualisasi diri yang banyak berhubungan dengan tokoh lain dan mempengaruhi perkembangan alur. Saraswati juga berperan sebagai pencerita sehingga dari awal hingga akhir cerita selalu muncul. Pada bagian pertama dan kedua pembaca sudah dapat menangkap kondisi Saraswati yang digambarkan oleh pengarang pada kutipan di bawah ini: .... Maka terkembanglah duniaku sendiri yang tak dapat kau kenal, dunia tanpa bunyi dan suara. Karena aku tuli dan karenanya pula aku bisu.18 Aku seorang gadis. Dari kecil telah begini dan aku tidak tahu kapan nasib begini bermula. Aku punya dua orang kakak laki-laki. Dua orang adik, juga laki-laki. Aku punya ayah dan ibu. Tapi mereka semua telah tiada lagi kini, Saudaraku. Mereka telah meninggal oleh suatu penghadangan pasukan pemberontak dalam perjalanan kembali dari Bandung. Mobilnya jatuh ke jurang dan terbakar.19 Melalui penggambaran di atas pengarang membuat tokoh utama sebagai gadis difabel terlihat pada kutipan pertama yang menceritakan kondisi Saraswati bisutuli. Sedangkan pada kutipan kedua diceritakan bahwa anggota keluarga Saraswati meninggal karena suatu penghadangan pasukan pemberontakan. Hal tersebut memberikan informasi terhadap pembaca bahwa Saraswati seorang yatim piatu.
18
Ibid., hlm. 1. Ibid., hlm. 2.
19
59
Kehilangan seluruh anggota keluarga membuat Saraswati menjadi sosok yang pesimis. Terlebih dengan kondisi bisu-tuli, Saraswati banyak dihinggapi kecemasan karena menghadapi lingkungan yang beraneka ragam. Hal tersebut kerap membuatnya merasa rendah diri, selalu menganggap dirinya tidak memiliki kelebihan apapun dan tidak percaya diri hidup di tengah orang-orang normal. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut: Di mana pun juga orang cacat seperti aku, tidak pernah dipandang seperti manusia sebagaimana wajarnya manusia. Seolah-olah hak kami hanyalah untuk menjadi manusia kelas terbawah.20 …. Sampai dimanakah kemampuanku? Apakah aku akan menjadi manusia yang berharga di tengah-tengah manusia yang tidak cacat? Kalau seandainya aku bisa mencapainya, bagaimanakah caranya?21 Sebagai yatim piatu, kondisi itu mengharuskan Saraswati tinggal bersama Angah di Padang Panjang. Di perjalanan menuju padang Panjang terjadi pertemuan antara Saraswati dengan seorang laki-laki tua bisu. Saat itu terjadi penghinaan yang dilakukan oleh laki-laki tua bisu terhadap Saraswati. Peristiwa tersebut menjadi konflik pertama yang dialami oleh tokoh utama sekaligus awal munculnya motivasi, ambisi dan tekad kuat Saraswati untuk mengaktualisasikan diri. Sikap tersebut terlihat pada kutipan berikut: …. Pengalaman di kapal itu telah membangkitkan keinginan untuk menjadi orang bisu-tuli yang hebat. Bahkan lebih hebat dari manusia lainnya, agar orang-orang jangan selamanya memandang manusia cacat seperti kami sebagai manusia yang gunanya hanya untuk bahan olok-olok atau sebagai orang suruhan semata.22 Dilihat dari penggambaran fisik, Saraswati termasuk gadis yang cantik. Hal ini digambarkan pengarang melalui reaksi tokoh Bisri saat pertama kali bertemu Saraswati seperti pada kutipan berikut: Dengan kedua belah tangannya dirabanya kepalaku. Terus menurun ke pipiku. Ke bahuku. Lalu ke lenganku dan terus ke pinggangku. Dia terus
20
Ibid., hlm. 12. Ibid., hlm. 15. 22 Ibid., hlm. 19. 21
60
tertawa. Akhirnya diacungkannya empu jarinya seolah hendak mengatakan bahwa aku adalah adiknya yang cantik.23 Saraswati memiliki sifat pekerja keras yang tergambar dari kesehariannya selama di Padang Panjang salah satunya dengan beternak. Ia melakukan kegiatan itu dengan sungguh-sungguh dan tekun. Sifat tersebut akan berpengaruh pada perjuangan tokoh utama untuk memperoleh aktualisasi diri. Melalui sosok Saraswati, pengarang ingin memperlihatkan bahwa keterbatasan bukan digunakan untuk berpangku tangan dan menjadi halangan dalam melakukan hal-hal positif. Sifat tersebut diperlihatkan pengarang melalui gambaran perilaku tokoh utama pada kutipan di bawah ini: …. Kini akulah yang menyiapkan makanan itik sebelum kandang-kandang dibuka. Sementara itik-itik menyudu makanannya di dalam pasu yang disediakan, aku mengutip telur-telurnya di bawah kolom. Pagi-pagi sekitar pukul sepuluh, aku melepaskan itik-itik itu lalu menghalaunya ke kolam yang tidak di gunakan lagi.24 Akibat kondisinya yang bisu-tuli, Saraswati kerap mendapat perlakuan tidak baik dari anak-anak kecil di kampung saat menggembalakan ternak. Peristiwa ini menjadi konflik lain yang harus dijalani Saraswati. Walaupun begitu, Saraswati tetap bersikap ramah dan pemaaf. Hal tersebut diperlihatkan oleh pengarang dari sikap Saraswati saat menanggapi permintaan maaf anak kecil tersebut pada kutipan di bawah ini: … seorang anak laki-laki diiringi oleh ibunya datang mengulurkan tangan padaku untuk meminta maaf. Anak laki-laki itulah yang kemarin melempari aku dengan batu sehingga kepalaku berdarah. Anak itu datang dengan pandangan mata yang sukar dipahami. Matanya ngeri demi melihat perban di kepalaku. Uluran tangan itu aku sambut dengan ramah dan dengan tanganku yang lain aku usap kepalanya.25 Pengarang menggambarkan Saraswati sebagai sosok perempuan yang tegar, tabah dan sabar dalam menghadapi segala ujian hidup yang bertubi-tubi menimpanya. Dibuktikan dengan sikap Saraswati yang tidak lagi menangisi kehidupannya walaupun penuh penderitaan, seperti pada kutipan di bawah ini: 23
Ibid., hlm. 21. Ibid., hlm. 24. 25 Ibid., hlm. 27. 24
61
Pukulan demi pukulan telah menimpa perasaanku. Sekali lagi aku katakan kepadamu, Saudaraku, aku tidak pernah menangis lagi meski hatiku telah demikian luluh.26 Terjadi perubahan karakter pada tokoh Saraswati yang semula selalu tegar, tabah dan sabar saat mendapat perlakuan tidak adil dari orang-orang di sekitarnya, kemudian mulai geram. Motivasi yang mendorong Saraswati untuk protes dan menentang orang-orang sebagai bentuk perjuangan untuk mendapat kesempatan dalam mengaktualisasikan dirinya. Perubahan sikap ini digambarkan pengarang
sebagai akibat tekanan batin yang diterima Saraswati atas perlakuan orang-orang sekitar seperti pada kutipan berikut: Tak aku pedulikan lagi itik-itik yang harus diberi makan. Tak aku pedulikan lagi kambing-kambing yang kelaparan. Aku tidak mau menjadi gadis penggembala kambing terus hanya karena aku bisu-tuli. Anak lakilaki yang buta itu telah memperoleh kesempatan untuk menjadi sesuatu yang lebih berarti, hingga dia dapat ikut menikmati pergaulan yang merata antara sesama manusia.27 Seiring berjalannya alur, kehidupan Saraswati mulai mengalami perubahan setelah pemberontakan yang dilakukannya. Kesempatan untuk memperoleh keterampilan menjahit pun akhirnya terbuka dengan bantuan dari Angah. Melalui kutipan di bawah ini pengarang ingin memperlihatkan kepada pembaca bahwa Saraswati mempunyai potensi lebih dari pada orang normal: Yang paling cepat aku peroleh kemajuan ialah pelajaran menyulam. Seleraku dalam menyusun warna lebih baik dari peserta kursus lainnya.28 Saraswati dalam bahasa Sansekerta memiliki arti pendidikan, seni, dan ilmu pengetahuan.29 Walaupun dalam novel SSGDS pengarang menggambarkan Saraswati sebagai gadis bisu-tuli yang tidak mengenal pendidikan sehingga membuatnya buta huruf dan kesulitan dalam berkomunikasi. Tetapi pada kutipan di bawah ini pengarang memunculkan penokohan Saraswati sebagai sosok yang
26
Ibid., hlm. 30. Ibid., hlm. 43. 28 Ibid. 29 _______ , “Arti Nama Saraswati Jawa Perempuan”, http://www.kamuskbbi.id, 2016, diakses pada tanggal 18 Juli 2016 pada pukul 07.15 WIB. 27
62
kritis, ini terbukti dengan rasa ingin tahu dan semangat yang tinggi untuk belajar. Sifat
ini
membuktikan
bahwa
Saraswati
memiliki
motivasi
untuk
mengaktualisasikan diri: Buku yang aku bawa itu, entah kepunyaan siapa, kutemukan di atas rak. Banyak gambar di dalamnya. Betapa pun asyiknya aku memperhatikan huruf demi huruf, sekumpulan demi sekumpulan huruf, tak satu pun yang aku pahami maksudnya.30 Besok harinya oleh Busra aku dibawa lagi ke rumah orang tua itu. Lagi-lagi aku disuruh menyebut α dan u dan menuliskannya. Kemudian aku disuruh menulis huruf o dengan menyuarakannya dengan memonyongkan mulutku sama seperti menyuarakan huruf u, tapi dengan mulut lebih terbuka. Alangkah sulitnya bagiku. Setelah seminggu barulah aku dapat menyuarakan kelima huruf itu, Saudaraku.31 Pengarang tidak menyebutkan dengan pasti usia Saraswati. Dapat dikatakan bahwa Saraswati termasuk remaja akhir yakni berusia 18-21 tahun. Hal ini tergambar pada karakteristik perkembangan sosialnya yang telah mandiri dan tidak bergantung pada orang lain untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Seperti yang tergambar pada kutipan berikut ini: … para tetangga sudah mulai banyak minta aku membuatkan pakaian mereka. Seperti kebaya atau baju anak-anak mereka yang laki-laki atau perempuan. Mereka memberi aku uang menurut sukanya saja. Uang jahitan itu aku berikan pada Angah untuk membantu biaya rumah tangga kami. Akan tetapi hasil dari peternakan ayam disuruh Busra agar aku simpan sendiri.32 Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa Saraswati termasuk tokoh protagonis karena mengalami konflik, baik konflik dengan diri sendiri maupun dengan tokoh-tokoh lain yang terdapat dalam cerita. Selain itu termasuk dalam tokoh berkembang karena mengalami perubahan karakter sejalan dengan perkembangan peristiwa yang dikisahkan. Pada awalnya digambarkan sebagai tokoh yang pesimis, rendah diri, tidak percaya diri atas kondisinya sebagai gadis difabel. Namun sejak pertemuannya dengan laki-laki tua bisu di kapal, Saraswati optimis untuk mengaktualisasikan dirinya. Ketegaran, ketabahan, kesabaran, 30
Ibid., hlm. 51. Ibid., hlm. 60-61. 32 Ibid., hlm. 66. 31
63
motivasi dan rasa ingin tahu yang tinggi serta sifat mau berusaha yang ia miliki membuat tekadnya untuk menjadi gadis bisu-tuli yang hebat tercapai. Dari penokohan Saraswati, pengarang ingin membuktikan kepada pembaca bahwa keterbatasan fisik tidak membatasi manusia untuk sukses dan hidup mandiri tanpa belas kasih dari orang lain. b. Busra Busra merupakan anak pertama Angah. Di awal kemunculannya, Busra digambarkan sebagai sosok laki-laki yang sederhana dan ramah. Ini terbukti dari sikapnya saat menyambut kedatangan Saraswati di rumah Angah, seperti pada kutipan berikut: Busra muncul dari samping rumah. Tak beralas kaki dia. Dia mengenakan celana pendek dengan kaos oblong saja. Rambut di kepalanya seperti tidak disisir. Demi melihat kami dia bergegas menyongsong. Dia tersenyum lebar memperlihatkan giginya. Tidak bersalaman seperti yang biasa dilakukan kakak-kakakku kepada Ayah dan Ibu sepulang dari perjalanan jauh. Lalu perhatiannya beralih kepadaku. Diacungkan tangannya padaku untuk bersalaman. Dia memperlihatkan giginya ketika ketawa sambil meletakkan tangan kirinya pada bahuku.33 Tidak hanya itu, sebagai seorang laki-laki Busra juga termasuk pekerja keras. Hal ini terlihat saat Busra sedang bekerja di halaman rumah membuat kandang kambing. Kambing-kambing tersebut nantinya akan digembalakan oleh Saraswati: Busra hanya mengaso ketika waktu makan siang tiba. Kemudian ia bekerja lagi. Menjelang magrib siaplah kandang itu. Hanya pintunya yang belum ada.34 Pengarang juga menggambarkan Busra sebagai sosok kakak yang penuh perhatian dan menjadi pelindung bagi tokoh utama. Ini terbukti dari sikap Busra yang selalu ada untuk menolong, menghibur dan menguatkan Saraswati terhadap berbagai masalah yang dialami. Hal ini dijelaskan lewat sudut pandang tokoh utama dalam kutipan berikut: …. Hanya Busra yang menunjukkan perhatiannya. Seperti biasa yang dilakukannya, diletakkannya tangannya yang besar itu ke bahuku dan 33
Ibid., hlm. 18. Ibid., hlm. 28.
34
64
ditatapnya aku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Itulah caranya menghiburku.35 Pengarang menggambarkan tokoh Busra melalui sudut pandang tokoh utama sebagai laki-laki yang tidak suka mengekspresikan sesuatu secara berlebihan. Ini mencerminkan bahwa Busra adalah sosok yang dewasa. Kedewasaan terlihat pada kemampuan Busra dalam mengendalikan sikap saat menanggapi pemberian sapu tangan buatan Saraswati seperti pada kutipan berikut: …. Tampak kegembiraanya tidak kurang dari Bisri, meski tidak sampai bersorak-sorak. Seperti yang telah aku katakan dulu padamu, Saudaraku, sikap Busra lebih tenang dari Bisri.36 Busra juga termasuk tokoh yang berpengaruh memotivasi tokoh utama agar mampu bergaul dengan orang lain dan memaksimalkan potensi yang dimiliki. Hal ini diperlihatkan melalui sudut pandang tokoh utama pada bagian tujuh novel SSGdS. Saat itu Busra memaksa Saraswati untuk ikut dalam pesta untuk memperlihatkan seorang pemuda yang pandai memainkan akordion seperti dalam kutipan di bawah ini: …. Aku memahami maksud Busra, bahwa ia ingin mengatakan padaku, banyak orang cacat lainnya, tapi dapat bergaul dengan semua orang dan mampu memainkan alat musik untuk membuat suasana jadi gembira. Tahulah aku maksud Busra, bahwa ia ingin mendorong aku untuk memulihkan harga diriku.37 Selain itu, Busra juga termasuk orang yang penuh kasih sayang, peduli dan memiliki empati. Terlihat dari penjelasan Saraswati mengenai maksud Busra menyuruhnya menjadi penggembala kambing selama ini seperti pada kutipan di bawah ini: …. Kini aku merasakan betapa sayangnya dia padaku sebagai adiknya. Sekarang terpaham olehku, kalau pun dia menyuruhku menjadi penggembala kambing selama ini, hal itu mungkin karena dia tidak tahu apa
35
Ibid., hlm. 32. Ibid., hlm. 49. 37 Ibid., hlm. 42. 36
65
yang harus diberikannya padaku sebagai pengisi waktu. Dia bukan hendak menghinaku dengan cara itu.38 Busra termasuk orang yang berjasa dalam perubahan hidup Saraswati sejak berada di Padang Panjang. Pengarang menjadikan tokoh Busra sebagai orang pertama yang mengajari Saraswati untuk mengenal huruf-huruf. Selain itu Busra juga yang mempertemukan Saraswati dengan guru Andika untuk belajar berbicara. Dari hasil belajar tersebut, Saraswati dapat memperoleh kemampuan berbahasa sehingga dapat berkomunikasi dengan orang lain. Dapat disimpulkan bahwa Busra memiliki sifat baik hati, hal ini diungkapkan oleh tokoh Saraswati dalam kutipan di bawah ini: …. Hari ini aku telah mengenal beberapa kumpulan huruf yang menerangkan rumput, kaki, hidung, telinga, mata, tangan, dan pipi. Oh, alangkah bahagianya aku. Oh, Busra yang baik, kakakku yang aku sayang, bukakanlah isi dunia ini untukku.39 Besok harinya oleh Busra aku dibawa lagi ke rumah orang tua itu. Lagi-lagi aku disuruh menyebut a dan u dan menuliskannya. Kemudian aku disuruh menulis huruf o dan menyuarakannya dengan memonyongkan mulutku sama seperti menyuarakan huruf u, ….40 Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa Busra termasuk tokoh statis karena memiliki sikap dan watak yang tetap, cenderung tidak berkembang sejak awal hingga akhir cerita. Sejak awal hingga akhir kemunculannya Busra digambarkan sebagai tokoh baik. Hal ini terlihat dari unsur-unsur kebaikan dalam dirinya yakni ramah, pekerja keras, dewasa dalam bersikap, peduli dan memiliki empati, penuh kasih sayang dan menjadi pelindung bagi Saraswati. Busra tidak mempengaruhi alur secara keseluruhan, namun berpengaruh terhadap motivasi dan perubahan hidup tokoh utama dalam mengaktualisasikan dirinya. Dominasi tokoh ini ada di bawah tokoh utama sehingga dapat dipandang sebagai tokoh tambahan yang utama.
38
Ibid., hlm. 44. Ibid., hlm. 55. 40 Ibid., hlm. 60-61. 39
66
c. Angah Tidak digambarkan dengan pasti nama dan usia tokoh Angah. Hanya saja jika kita teliti dalam bahasa Minangkabau, Angah merupakan panggilan khas untuk kakak dari ayah Saraswati yang tengah. Secara tidak langsung panggilan khas tersebut berpengaruh pada latar tempat dalam novel SSGdS sekaligus mencerminkan ciri khas A. A. Navis sebagai pengarang yang berasal dari Sumatra Barat. Pada bagian empat menjadi awal kemunculan Angah sebagai tokoh tambahan. Lewat sudut pandang tokoh utama, pengarang menceritakan bahwa Angahlah yang membawa Saraswati untuk tinggal di Padang Panjang. Namun, Angah termasuk orang yang kurang memahami perasaan Saraswati. Hal ini terlihat dari respon Angah saat menanggapi perlakuan laki-laki tua bisu terhadap Saraswati di kapal menuju Padang Panjang seperti pada kutipan di bawah ini. Hal ini sedikit janggal karena sebagai keluarga seharusnya Angah membela dan melindungi Saraswati dari orang-orang yang mengganggunya bukan malah ikut menertawai. …. Dan tak seorang pun yang membelaku. Oh, tak seorang pun. Angah malah ikut tertawa, karena Angah pun mengharapkan bantuan laki-laki bisu itu untuk mengambilkan ransum kapal. Dan untuk mengharapkan bantuan kecil itu, dibiarkannya aku diolok-olok terus.41 Karakter seorang tokoh dapat dibentuk oleh tempat di mana ia dibesarkan. Begitu pun pengarang menggambarkan tokoh Angah yang tinggal di kampung. Hal itu yang melandasi ketidaktahuan Angah dalam memperlakukan gadis difabel seperti Saraswati, sehingga timbul protes dan anggapan bahwa Angah telah memperlakukan Saraswati dengan tidak adil. Hal tersebut diungkapkan melalui sudut pandang tokoh utama pada kutipan di bawah ini: …. Aku ingin menanyakan kenapa aku dijadikan penggembala ternak di rumah itu. Aku ingin memperotes perlakuannya yang tidak adil. Aku ingin menanyakan ke mana saja harta warisan orang tuaku.42 Angah termasuk tokoh tambahan yang tidak banyak mempengaruhi perkembangan alur, namun berpengaruh terhadap perubahan hidup tokoh utama. 41
Ibid., hlm. 14. Ibid., hlm. 36.
42
67
Ini terlihat pada perubahan sikap Angah yang akhirnya memberi kesempatan pada Saraswati untuk mengembangkan potensi dengan membekalinya keterampilan. Perubahan sikap tersebut terjadi setelah pemberontakan yang dilakukan Saraswati. Hal ini memperlihatkan bahwa sebenarnya Angah termasuk orang yang baik seperti pada kutipan berikut: …. Lalu aku dibawa Angah ke rumah yang tidak begitu jauh dari rumah kami. Banyak gadis-gadis di sana sedang menjahit dan menyulam.43 Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa Angah termasuk tokoh berkembang karena seiring berjalannya cerita mengalami perkembangan karakter dari awal hingga akhir cerita. Pada awalnya digambarkan sebagai tokoh yang kurang memahami perasaan Saraswati dan kerap memperlakukan Saraswati dengan tidak adil. Namun, akhirnya sadar dan memberikan kesempatan kepada Saraswati untuk mengaktualisasikan dirinya. Pengaruhnya terhadap tokoh utama menggambarkan bahwa ia termasuk tokoh tambahan. d. Bisri Bisri adalah anak laki-laki Angah dan merupakan adik dari Busra. Pengarang memunculkan tokoh ini pada bagian lima dalam novel SSGdS. Pada awal kemunculannya itu, pengarang menggambarkan Bisri sebagai laki-laki yang suka berolahraga. Ini terlihat dari penampilan Bisri saat bertemu dengan Saraswati di rumah: Ketika senja, Bisri muncul. Rambutnya kusut masai. Di bahunya tersandang sepasang bola. Baju kaosnya yang kuning warnanya basah oleh keringat. Ketika melihatku, mula-mula dia tercengang.44 Selain itu pengarang juga menggambarkan Bisri sebagai orang yang lebih agresif dari kakaknya (Busra). Terlihat dari sikap Bisri yang sering memperhatikan bahkan berani memuji kecantikan Saraswati. Hal ini diceritakan melalui sudut pandang tokoh utama dalam kutipan berikut: …. Sambil mengunyah-ngunyah dia terus juga memandangku. Aku menjadi kikuk. Setelah aku selesai mengeluarkan pakaianku yang kotor, aku menoleh kepadanya. Diacungkannya lagi empu jarinya ke arahku. Senang 43
Ibid., hlm. 45. Ibid., hlm. 20-21.
44
68
hatiku dengan pujian itu. Tapi aku bertambah malu oleh perhatiannya yang begitu besar.45 Tidak hanya itu, Bisri juga senang sekali mengacau. Hal ini terlihat saat Bisri membantu Busra mengajari Saraswati mengenal kumpulan huruf-huruf. Di sela-sela pembelajaran, ia selalu melakukan keusilan yang membuat Saraswati merasa kesal karena dipermainkan. Pengarang memperlihatkan sikap Bisri tersebut melalui pemaparan tokoh utama pada kutipan di bawah ini: .... Bukan sekali dua dia mempermainkan aku demikian. Kalau aku memukulnya, dia malah bertambah senang. Kalau aku memburunya, dia lari sejauh tanganku hampir menggapainya dan itu membuatku jadi lebih ingin memburunya. Itulah yang dia suka lakukan tanpa memperdulikan kedongkolanku.46 Pada bagian kesembilan, Bisri diceritakan pergi meninggalkan rumah. Kepergian Bisri memberikan pengaruh terhadap Saraswati, sehingga dalam novel ini Bisri disebut sebagai tokoh tambahan. Hal ini terlihat dari tuturan tokoh utama pada kutipan di bawah ini: …. Entahalah. Aku tidak tahu. Namun aku selalu terkenang padanya bila melihat dua ring besi yang tergantung pada sepotong besi yang disangga dua tiang bambu.47 Terjadi perubahan pada penampilan Bisri setelah kepergiannya yang dipaparkan melalui sudut pandang tokoh utama pada kutipan pertama. Pada kutipan kedua pengarang menegaskan bahwa kepergian Bisri selama ini untuk belajar menjadi tentara. Merujuk pada Perpem RI No. 52 Tahun 1958, syarat untuk dapat diterima dalam pendidikan pertama untuk prajurit adalah berusia tidak lebih dari 22 tahun.48 Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa usia Bisri sekitar 22 tahun dan termasuk usia dewasa awal. …, Bisri yang telah sebulan meninggalkan rumah, tiba-tiba muncul. Dia memakai seragam hijau. Warna kulitnya lebih hitam dari tembaga.
45
Ibid., hlm. 21. Ibid., hlm. 61. 47 Ibid., hlm. 69. 48 Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 52 Tahun 1958 Pasal 3, Tentang Ikatan Dinas dan Kedudukan Hukum Militer Sukarela, (Presiden Republik Indonesia, 1958), hlm. 4. 46
69
Rambutnya dipotong pendek. Hampir botak. Tubuhnya agak kurus dari biasanya.49 .... Lama kemudian aku baru tahu bahwa Bisri pergi belajar jadi tentara dengan baju seragam hijaunya itu. Masih pada bagian sembilan, Bisri diceritakan sempat melakukan pelecehan seksual terhadap Saraswati saat kembali dari kepergiannya. Peristiwa ini menjadi sebuah kritik yang dilakukan pengarang terhadap nilai kehidupan yang sudah mulai pudar terutama tentang nilai sosial dan agama. Bagaimana seorang tentara yang berlatarbelakang anak dari seorang ulama digambarkan melakukan perbuatan tidak terpuji. Dari peristiwa tersebut dapat dikatakan bahwa Bisri termasuk tokoh antagonis karena menjadi penyebab terjadinya konflik pada diri Saraswati. Berikut kutipan dari perlakuan Bisri terhadap Saraswati: Ada sesuatu yang memukul-mukul dalam dadaku. Aku menghindar dengan pura-pura hendak mengambil teko di rak piring. Tak dibiarkannya aku pergi dengan mengetatkan rangkulan. Lalu kedua tangannya memelukku dengan erat, sehingga seluruh tubuhku merapat ke tubuhnya. Kepalanya merunduk. Dia mencium pipiku, mataku, leherku dan bibirku. Dan…seluruh tubuhku bergetar. Ketika otakku berkata bahwa perbuatan Bisri itu tidak pantas dilakukannya kepadaku, aku tolak dia dengan seluruh kekuatanku.50 Selama pergi menjadi tentara, Bisri diceritakan memiliki kekasih bernama Tati. Hal ini yang menjadi pemicu perubahan sikap Bisri terhadap Saraswati setelah sebulan kepergiannya yang kedua. Hal ini berpengaruh menciptakan perasaan tentram pada Saraswati yang dijelaskan pada kutipan di bawah ini: …. Wajahnya gembira dan ketawanya seperti yang biasa aku kenal. Pandangan matanya ketika aku menatapnya dengan mencuri, tidak terlihat jahil seperti setelah peristiwa di dapur dulu. Mata Bisri telah seperti mata seorang kakak. Aku merasa tentram di hati.51 Berdasarkan pemaparan tersebut, terlihat bahwa Bisri termasuk tokoh berkembang karena mengalami perubahan karakter sejalan dengan perkembangan dari awal hingga akhir peristiwa. Pada awalnya digambarkan sebagai tokoh yang 49
Ibid., hlm. 70. Ibid., hlm. 70-71. 51 Ibid., hlm. 73. 50
70
suka berolahraga, lebih agresif dari Busra, suka menggoda, menjahili Saraswati hingga merasa kesal karena dipermainkan. Namun sejak kepergiannya menjadi tentara, dan tiba-tiba kembali ke rumah sikapnya berubah menjadi lebih berani hingga melakukan pelecehan seksual pada Saraswati. Pelecehan seksual tersebut menggambarkan bahwa Bisri termasuk tokoh antagonis karena menjadi penyebab terjadinya konflik pada tokoh utama. Tetapi selama pergi menjadi tentara dan memiliki kekasih lalu kembali ke rumah, Bisri berubah lagi menjadi sosok kakak yang menentramkan hati. e. Laki-laki Tua Bisu Bagian empat menjadi awal kemunculan tokoh laki-laki tua bisu ini. Pengarang tidak memberikan banyak informasi mengenai laki-laki tua bisu ini. Bahkan pengarang tidak memberikan nama pada tokoh ini. Pengarang menggambarkan laki-laki tua bisu ini sebagai orang yang kocak, dan suka menolong orang lain walaupun dengan merendahkan harga dirinya seperti yang dijelaskan melalui sudut pandang tokoh utama dalam kutipan berikut: …. Semua orang tertawa-tawa melihat tingkah dan gerak-geriknya. Tak penat-penatnya dia berbicara dengan gerak tangannya. Dia rajin sekali menolong orang. Mengambilkan air minum, mengambilkan makanan, bahkan apa saja yang disuruhkan orang.52 Pada bagian empat, diceritakan laki-laki tua bisu ini menjadikan Saraswati sebagai bahan olok-oloknya demi menggembirakan semua penumpang. Dari kejadian tersebut, dapat dikatakan bahwa laki-laki bisu ini merupakan tokoh antagonis karena menyebabkan timbulnya konflik pada tokoh utama seperti yang diceritakan oleh Saraswati pada kutipan berikut: …. Sekali dia menyatakan perasaan cintanya terang-terangan dan mengajak aku menjadi istrinya dengan gerak-gerik di hadapan Angah. Semua orang tertawa dan bahkan ada yang bertepuk tangan melihat permainannya.53 Laki-laki tua bisu ini juga termasuk tokoh tambahan karena tidak banyak mempengaruhi perkembangan alur, namun berpengaruh terhadap motivasi tokoh
52
Ibid., hlm. 13. Ibid.
53
71
utama untuk mengaktualisasikan diri. Hal ini diperlihatkan pengarang melalui sudut pandang tokoh utama dalam kutipan berikut: …. Pengalaman di kapal itu telah membangkitkan keinginan untuk menjadi orang bisu-tuli yang hebat. Bahkan lebih hebat dari manusia lainnya, agar orang-orang jangan selamanya memandang manusia cacat seperti kami sebagai manusia yang gunanya hanya untuk bahan olok-olok atau sebagai orang suruhan semata.54 f. Uni Ros Guru menjahit dan menyulam ini bernama Uni Ros dan usianya tidak disebutkan dengan pasti oleh pengarang, hanya saja dijelaskan bahwa ia lebih tua dari perempuan-perempuan yang ada di tempat kursus itu, sehingga sebutan “uni” yang digunakan A. A. Navis dalam novel SSGdS berfungsi sebagai panggilan untuk kakak perempuan. Tokoh Uni Ros dihadirkan pengarang pada bagian delapan sebagai perempuan yang ramah, namun sempat putus asa karena kesulitan untuk mengajari Saraswati akibat keterbatasannya dalam berkomunikasi. Hal itu dipaparkan melalui sudut pandang tokoh utama dalam kutipan di bawah ini: …, karena aku bisu dan tuli. Itulah pangkal kesulitan dari segala macam kesulitan yang menimpa diriku. Guruku sampai tampak putus asa memberikan pelajaran kepadaku.55 Keterampilan
bagi
penyandang
disabilitas
sangat
penting
dalam
mengembangkan kemampuan yang mereka miliki, selain itu bakat dan minat mereka juga dapat tersalurkan dengan baik. Dengan keterampilan menjahit, menyulam dan merenda yang Saraswati dapatkan dari tokoh ini, akhirnya dapat memotivasi Saraswati menjadi lebih kreatif dan mandiri menghasilkan uang untuk memenuhi keperluannya tanpa harus bergantung pada orang lain. Selain itu, ia juga mampu membantu tetangganya yang miskin. Oleh karena itu, tokoh ini termasuk dalam tokoh tambahan karena berpengaruh pada aktualisasi tokoh utama. Hal ini dapat terlihat dari pemaparan tokoh utama dalam kutipan berikut: …. Yang menyenangkan dari segala-galanya ialah karena aku telah dapat membantu kesukaran orang lain dengan hasil usahaku sendiri. Aku telah
54
Ibid., hlm. 19. Ibid., hlm. 46.
55
72
dapat membuatkan atau mempermak pakaian anak tetangga kami yang miskin.56 Tetangga lain ada yang mampu memberi imbalan lumayan bila meminta aku menjahitkan pakaiannya. Lebih dari itu, semua orang di kampung tempat kami tinggal sangat bersahabat dengan aku.57 g. Guru Andika Pengarang menghadirkan tokoh ini pada bagian delapan dengan tidak diketahui pasti usianya. Namun jika dilihat dari penggambaran fisik seluruh rambut laki-laki ini telah memutih, sehingga dapat dikatakan termasuk usia dewasa tengah. Laki-laki ini bernama Guru Andika, penyebutan “guru” dalam nama guru Andika dapat ditafsirkan bahwa tokoh ini adalah tokoh tipikal. Ia termasuk orang yang sangat ramah. Selain itu ia juga baik hati, ia mengajari Saraswati dengan penuh kesabaran tanpa mengenal lelah dan putus asa. Penggambaran tersebut dapat dilihat dari sudut pandang tokoh utama pada kutipan berikut: …. Kemudian ditunjuknya huruf-huruf yang serupa pada ketiga kata itu. Lalu dingangakannya mulutnya lebar-lebar. Aku pun disuruhnya menganga. Dia melakukannya berulang-ulang. Aku pun meniru. Tapi selalu dia menggeleng setiap kali aku menganga.58 Selain itu Guru Andika termasuk tokoh tambahan karena tidak banyak mempengaruhi perkembangan alur, namun berpengaruh terhadap motivasi tokoh utama untuk mengaktualisasikan diri. Hal ini yang dirasakan Saraswati lewat kutipan berikut: …. Tapi itu bukan berarti aku tidak menghormati dan berterima kasih kepada Busra dan guru Andika. Tanpa mereka, aku tidak mempunyai hasrat apa pun dalam hidup ini. Merekalah yang membukakan tabir cakrawala kehidupan yang amat luas itu untukku.59 Untuk memperkuat tema dan alur cerita, A. A. Navis dalam novel SSGdS menghadirkan beberapa tokoh cerita. Relevansi tokoh dan penokohan harus dilihat dalam keterkaitannya dengan unsur lain dan perannya dalam cerita secara 56
Ibid., hlm. 68. Ibid., hlm. 58 Ibid., hlm. 59. 59 Ibid., hlm. 67. 57
73
keseluruhan. Seperti yang telah dipaparkan di atas tokoh cerita dalam novel SSGdS menempati posisinya sebagai pembawa dan penyampai pesan atau sesuatu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Selain tokoh utama yakni Saraswati, terdapat beberapa tokoh tambahan yang berpengaruh pada perjuangan tokoh utama untuk memperoleh aktualisasi diri. Tokoh-tokoh tersebut memiliki porsinya masing-masing untuk mengantarkan tokoh utama dalam menghadapi berbagai kompleksitas masalah yang dihadapi hingga akhirnya mencapai aktualisasi diri. 4. Latar Pada hakikatnya sebuah cerita fiksi seperti novel SSGdS dilengkapi oleh tokoh-tokoh lengkap dengan berbagai permasalahan hidupnya. Berbagai permasalahan tersebut memerlukan tempat berpijak, dimana, kapan dan pada kondisi sosial-budaya yang seperti apa mereka dikisahkan. Penggambaran latar secara kongkret dan jelas dapat menciptakan kesan realistis pada pembaca. Di bawah ini latar pada novel SSGdS akan dianalisis sesuai dengan teori Burhan Nurgiantoro. a. Latar waktu Latar waktu dalam novel SSGDS tidak digambarkan secara gamblang dalam cerita. Hal ini mengesankan bahwa setiap kejadian yang ada dalam novel dapat terjadi kapan pun dari waktru ke waktu. Meskipun demikian, terdapat petunjuk yang menjadi pertimbangan dalam menganalisis latar waktu dalam novel SSGdS. Terdapat penggambaran latar waktu secara eksplisit yang tertera di bagian sebelas. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: Saudaraku, lama kemudian aku baru tahu, bahwa yang berperang di masa itu ialah tentara PRRI dengan tentara pemerintah. Kata Busra, kalau tentara pemerintah tidak beringas, pastilah tentara PRRI akan cepat menyerah, karena perang itu tidak ada gunanya. Akan tetapi karena pada diri tentara itu telah ditumbuhkan perasaan membenci, mereka didorong menjadi beringas, meski kepada bangsa sendiri.60 Diketahui bahwa dalam novel terjadi peristiwa pemberontakan yang melibatkan dua pihak secara garis besar yaitu daerah dan pusat. “Pusat” yang dimaksud adalah Jakarta sebagai ibukota negara sekaligus pusat kekuasaan, dan “daerah” 60
Ibid., hlm. 94.
74
yang dimaksudkan adalah Sumatra Barat. Menurut salah satu artikel yang ditulis oleh D. Kusahistoryan, salah satu pemicu terjadinya pemberontakan adalah munculnya ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah. Pihak yang tidak puas terhadap kondisi tersebut menamakan gerakan mereka sebagai Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal 10 Februari 1958 di Padang.61 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengarang menggunakan latar waktu cerita sekitar tahun 1958. Pemilihan latar waktu ini digunakan pengarang bukan tanpa alasan sebab saat itu pemerintah kurang memperhatikan hal-hal yang bersifat minoritas seperti kaum disabilitas. Kegelisahan tersebut yang melandasi pengarang untuk menyampaikan kritik melalui tokoh utama terhadap keadaan masyarakat pada masa itu. Kemudian latar lainnya yang terdapat dalam novel SSGdS ialah waktu pagi, dan malam hari. Berikut kutipan-kutipan yang mengacu pada latar waktu tersebut: 1) Pagi hari …. Pagi-pagi sekitar pukul sepuluh, aku melepaskan itik-itik itu lalu menghalaunya ke kolam yang telah tak digunakan lagi.62 .... Setelah pagi-pagi aku memberi makan itik, barulah kemudian aku giring kambing-kambing itu ke pemakaman menyusuri rel kereta api.63 2) Malam hari .... Dan ketika mula-mula tidur di kamar itu. Saudaraku, air mataku tergenang-genang tanpa aku sadari. Padahal aku telah berjanji takkan menangis lagi.64 ... pada suatu malam timbullah perasaan duka melanda sanubariku. Waktu itu mataku sukar terlelap, Saudaraku. Banyak pikiran timbul berebutan di benakku. Aku yang telah mulai serasi dengan lingkungan, aku yang telah mulai pasrah pada kekuatan-kekuatan yang tak dapat aku lawan, tiba-tiba saja menjadi kalap.65
61
D. Kusahistoryan, “Kabupaten Solok Pada Masa PRRI”, 2009, (http:// Peristiwa PPRI/PRRI Dahulu, Kini dan Nanti KABUPATEN SOLOK PADA MASA PRRI.htm), diakses pada tanggal 13 Oktober 2015 pada pukul 13.34 WIB. 62 A. A Navis, op. cit., hlm. 24. 63 Ibid., hlm. 33. 64 Ibid., hlm. 32. 65 Ibid., hlm. 35.
75
Sampai tengah malam, ketika aku berbaring di ranjang dalam kamar sepen itu, pikiran untuk belajar mengenal huruf dan kumpulan huruf itu terus mengusik benakku.66 A. A. Navis memilih penggambaran latar waktu ini berfungsi untuk memberi kesan dan memperkuat isi cerita. Pagi hari menggambarkan keadaan untuk memulai segala aktivitas dengan semangat. Begitupun Saraswati yang setiap pagi sudah
menggembalakan
ternak.
Sosok
Saraswati
dalam
novel
SSGdS
mencerminkan sosok perempuan yang bekerja keras meskipun ada dalam penderitaan. Latar selanjutnya malam hari, pada kutipan pertama terlihat kesedihan dan kemeranaan yang dialami Saraswati akibat ketidakadilan yang diterima dari keluarga Angah. Selanjutnya pada kutipan kedua menggambarkan perasaan tidak karuan yang harus dirasakan Saraswati sebelum akhirnya ia melakukan protes akibat ketidakadilan tersebut. Pada kutipan terakhir, tengah malam menjadi
latar waktu yang digunakan pengarang pada kutipan ketiga untuk menciptakan suasana sunyi karena biasanya saat itu semua orang telah tertidur. Namun saat itu keinginan Saraswati untuk belajar mengetahui huruf-huruf terus muncul mengganggu pikirannya. Dengan latar malam hari pembaca lebih merasakan penderitaan dan kesusahan yang dialami tokoh utama. b. Latar tempat Latar tempat mengacu pada penggambaran keadaan bangunan, tempat atau letak geografis yang terdapat dalam cerita dan sebagainya. Latar tempat dalam novel ini berperan kuat dalam jalannya cerita. Latar tempat yang pertama muncul dalam cerita adalah Jakarta. Penggambaran latar ini memberi arahan kepada pembaca bahwa tokoh utama yang hidup bahagia menjadi berubah dengan kesedihan akibat kehilangan seluruh anggota keluarganya dan harus meninggalkan Jakarta untuk tinggal bersama Angah. Latar tempat ini dapat dilihat pada kutipan: Dalam perasaan gamang itulah aku meninggalkan kota Jakarta. Kota yang telah memberi tempat cinta kasih ayah bundaku. Kota yang memberi
66
Ibid., hlm. 50.
76
naungan hidup bersama semua saudara-saudaraku. Aku meninggalkan Jakarta, meninggalkan segala yang aku cintai.67 Selanjutnya, latar tempat yang kedua yakni di atas kapal menuju Padang Panjang. Tempat ini digunakan pengarang untuk memunculkan konflik Saraswati dengan seorang laki-laki tua bisu. Dari konflik tersebut pengarang memunculkan motivasi Saraswati untuk mengaktualisasikan dirinya. Latar tempat ini dapat dilihat pada kutipan berikut: …. Sungguh hatiku tak tahan menderita penghinaan demikian. Maulah aku lari dan terjun ke laut karenanya. Dan tak seorang pun yang membelaku. Oh, tak seorang pun. Angah malah ikut tertawa, karena angah pun mengharapkan bantuan laki-laki bisu itu untuk mengambil ransum kapal. Dan untuk mengharapkan bantuan kecil itu, dibiarkan aku diolok-olok terus.68 …. Pengalaman di kapal itu telah membangkitkan keinginan untuk menjadi orang bisu-tuli yang hebat.69 Kemudian, latar tempat ketiga yaitu Padang Panjang. Padang Panjang dipilih pengarang sebagai latar cerita perjuangan Saraswati dalam memperoleh aktualisasi diri. Di tempat ini akan muncul berbagai tokoh lain dan konflik yang harus dihadapi tokoh utama hingga akhirnya memperoleh aktualisasi diri. Latar tempat ketiga ini akan dibagi lagi menjadi beberapa tempat sesuai peristiwa yang dialami oleh tokoh utama, yakni: Pengarang menyuguhkan pembaca berupa pelukisan rumah Angah yang akan menjadi tempat tinggal Saraswati untuk memulai kehidupan barunya di Padang Panjang. Di tempat ini menjadi awal perjumpaan Saraswati dengan tokohtokoh lain yang berpengaruh pada hidupnya yakni Busra dan Bisri. Berikut ini kutipannya: …. Aku masih ingat rumah itu, karena dulu aku sering bertandang ke sana sebelum Ayah pindah ke Jakarta. Rumah itu rumah kayu yang dicat hijau. Kecil saja ukurannya. Hanya dua kamarnya. Kamar depan lebih kecil dari kamar belakang. Di bagian belakang ada kamar sepen. Letaknya di serambi
67
Ibid., hlm. 12. Ibid., hlm. 14. 69 Ibid., hlm. 19. 68
77
terbuka yang terpisah dari ruang dalam oleh pintu. Rumah Angah berkolong tinggi. Ada tangga kayu untuk naik-turun.70 Busra mengangkat semua barang bawaan kami ke rumah. Tak dibiarkannya aku ikut mengangkat. Dalam pengamatanku, hampir hampir tidak ada perubahan isi dalam rumah itu. Sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Hanya beberapa gambar dinding yang berubah. Sekarang banyak digantungkan gambar bintang film india.71 Aku lihat Bisri membongkar keranjang buah-buahan. Dipilihnya buah salak yang besar. Lalu duduk di tepi ranjang Angah. Sambil mengunyahngunyah dia terus juga memandangku.72 Selain itu, rumah Angah digunakan pengarang untuk menggambarkan perlakuan tidak adil yang dialami tokoh utama. Hal tersebut terjadi saat kepulangan Pak Angah dan Saraswati diberikan kamar yang letaknya terpisah dengan rumah, sehingga latar tempat ini menjadi salah satu gambaran konflik hidup tokoh utama seperti pada kutipan di bawah ini: …. Karena serambi belakang dan kamar sepen terpisah dari ruang dalam oleh pintu yang harus dikunci bila malam, maka selanjutnya aku tidur terpisah dari seluruh penghuni rumah itu.73 Rumah Angah juga menjadi tempat Saraswati melakukan aksi protes dari ketidakadilan yang diterimanya dari keluarga Angah. Dari peristiwa tersebut, pengarang menjadikan latar tempat ini sebagai puncak dari konflik-konflik yang dialami oleh tokoh utama terlihat pada kutipan di bawah ini: Aku gedor-gedor pintu belakang sekuat tenagaku. Pintu terbuka. Yang membukanya Busra. Aku langsung menerobos masuk tanpa menghiraukan dia yang tercengang memandangku. Aku terus masuk ke kamar Angah. Aku ingin menanyakan kenapa aku dijadikan penggembala ternak di rumah itu.74 Di pendam perkuburan, yang jaraknya lima ratus meter dari rumah menjadi tempat Saraswati memberi makan kambing-kambing. Pengarang menggunakan tempat ini untuk menggambarkan peristiwa penindasan yang dilakukan anak-anak 70
Ibid., hlm. 16. Ibid., hlm. 18. 72 Ibid., hlm. 21. 73 Ibid., hlm. 31. 74 Ibid., hlm. 36. 71
78
kecil terhadap Saraswati. Hal tersebut menjadi gambaran konflik lain yang terjadi dalam hidup Saraswati seperti pada kutipan berikut: …. Mereka suka mengganggu bila bertemu denganku seorang diri menggembalakan ternak. Malah kadang-kadang mereka melempariku dengan ranting atau batu-batu kecil, atau dengan tanah atau pasir. Lalu mereka lari menjauh dengan gembira.75 Latar tempat selanjutnya yakni, tempat kursus menyulam dan menjahit yang tidak begitu jauh dari rumah. Di tempat ini Angah mempertemukan dengan Uni Ros untuk mengembangkan potensi dan keterampilannya. Tempat ini dipilih pengarang sebagai awal terbukanya kesempatan Saraswati sebagai gadis difabel untuk mengaktualisasikan diri seperti pada kutipan berikut: …. Kini aku tahu, bahwa aku dititipkan di sana untuk belajar menyulam dan menjahit.76 Yang paling cepat aku peroleh kemajuan ialah pelajaran menyulam. Seleraku dalam menyusun warna lebih baik dari peserta kursus lainnya.77 Latar tempat selanjutnya yakni rumah guru Andika. Rumah itu tidak begitu jauh dari rumah Angah. Rumah guru Andika menjadi tempat Saraswati belajar memperoleh keterampilan berbahasa agar dapat berkomunikasi dengan orang lain. Latar tempat ini digunakan pengarang untuk memperlihatkan proses Saraswati dalam memperoleh aktualisasi diri seperti pada kutipan di bawah ini: Besok harinya oleh Busra aku dibawa lagi ke rumah orang tua itu. Lagi-lagi aku disuruh menyebut α dan u dan menuliskannya. Kemudian aku disuruh menulis huruf o dengan menyuarakannya dengan memonyongkan mulutku sama seperti menyuarakan huruf u, tapi dengan mulut lebih terbuka. Alangkah sulitnya bagiku. Setelah seminggu barulah aku dapat menyuarakan kelima huruf itu, Saudaraku.78 Akhirnya di Padang Panjang Saraswati memperoleh aktualisasi dirinya. Secara otomatis tempat ini menjadi penyelesaian dari konflik-konflik hidup Saraswati. Di tempat ini juga pengarang menyampaikan pesan pada pembaca
75
Ibid., hlm. 25. Ibid., hlm. 46. 77 Ibid. 78 Ibid., hlm. 60-61. 76
79
lewat pencapaian tokoh utama dalam membuktikan potensi yang ia miliki seperti pada kutipan: …. Yang menyenangkan dari segala-galanya ialah karena aku telah dapat membantu kesukaran orang lain dengan hasil usahaku sendiri. Aku telah dapat membuatkan atau mempermak pakaian anak-anak tetangga kami yang miskin. Bukan kepalang gembiranya mereka ketika menerima hasil kerjaku.79 Tetangga lain ada yang mampu memberi imbalan lumayan bila meminta aku menjahitkan pakaiannya. Lebih dari itu, semua orang di kampung tempat kami tinggal sangat bersahabat dengan aku. Mereka selalu menyapaku bila aku berpapasan atau lewat di depan rumah mereka dengan melambaikan tangan dan tersenyum padaku. Senakal apa pun anak-anak, mereka tidak lagi menggodaku.80 Dalam seluruh latar tempat pada novel SSGdS pengarang menggambarkan tempat-tempat penting bagi Saraswati sebagai tokoh utama untuk mencapai aktualisasi dirinya. Demikian latar tempat di sini memiliki keterkaitan yang erat dengan tema yang telah dipaparkan sebelumnya. Meskipun harus bergulat dengan berbagai kesunyian, namun dengan motivasi yang tinggi dan penuh perjuangan akhirnya Saraswati berhasil melalui berbagai cobaan hidup yang menimpanya. Dengan demikian latar tempat pun terkait erat dengan alur yang menjadi jalan cerita tokoh utama. c. Latar sosial-budaya Latar sosial sangat erat hubungannya dengan latar tempat dan waktu. Dalam novel SSGdS, pengarang menampilkan latar sosial masyarakat Padang Panjang. Latar sosial yang menjadi sorotan adalah kebiasaan hidup, tradisi, serta cara berpikir dan bersikap. Mata pencaharian penduduk yang memiliki corak sederhana biasanya sangat berhubungan dengan pemanfaatan lahan dan sumber daya alam contohnya pertanian, perkebunan, dan peternakan. Sama seperti penduduk asli kota Padang Panjang yang melakukan kegiatan pertanian, perkebunan dan peternakan sebagai sumber kehidupan. Dalam novel SSGdS
79
Ibid., hlm. 68. Ibid.
80
80
pemanfaatan lahan untuk perkebunan diperlihatkan pengarang dari kondisi halaman rumah Angah yang luas seperti pada kutipan di bawah ini: …. Halaman rumah Angah luas juga. Barangkali akan dapat dibangun empat rumah lagi. Tidak akan sampai berdempet-dempet seperti rumahrumah di Jakarta. Halaman samping-menyamping rumah ditanami sayuran ubi-ubian.81 Selain itu, pengarang memperlihatkan bahwa mata pencaharian masyarakat Padang Panjang yakni dengan beternak. Seperti yang dialami oleh Saraswati setelah berada di Padang Panjang, ia belajar bagaimana memelihara dan menggembalakan itik, kambing serta ayam agar uang hasil penjualan hewanhewan itu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Latar sosial tersebut terdapat pada kutipan berikut: …. Setelah pagi-pagi aku memberi makan itik, barulah kemudian aku giring kambing-kambing itu ke pemakaman menyusuri sisi rel kereta api. Sepanjang jalan aku biarkan kambing itu mencari makan pada tebing di sisi rel, sambil aku memegang ujung talinya.82 …. Rupanya dia ingin aku membuka usaha peternakan ayam dengan modal dari uangku sendiri, agar aku mandiri dan tidak tergantung pada belas kasihan orang lain.83 Secara fisik, penggambaran sebuah desa diwarnai dengan kehijauan alamnya, dikelilingi gunung-gunung, lembah-lembah atau hutan, dan umumnya belum sepenuhnya digarap manusia. Penggambaran desa yang indah dengan hamparan hijaunya persawahan yang membentang sampai ke kaki gunung dan perkampungan yang dikelilingi pohon-pohon rindang terdapat pada novel SSGdS yang diperlihatkan pengarang pada kutipan berikut: Alam di bawah indah sekali. Sesayup mata memandang aku lihat persawahan membentang sampai ke kaki gunung yang puncaknya diliputi awan. Kaki gunung itu bersalaman dengan kaki gunung di sebelahnya yang puncaknya tidak berawan. Di tengah-tengah persawahan yang luas itu, banyak kampung-kampung berserakan. Atap seng rumah kelihatan di selasela pohon-pohon yang rindang dan pohon yang nyiur.84 81
Ibid., hlm. 16. Ibid., hlm. 33. 83 Ibid., hlm. 65. 84 Ibid., hlm. 115. 82
81
Di samping indahnya pemandangan yang masih hijau dan asli, cara bersikap masyarakat desa cenderung ramah. Hal ini mencerminkan nilai budaya dan karakteristik masyarakat Indonesia yang sangat menjunjung tinggi persaudaraan, saling menghormati dan menghargai orang lain. Dalam kehidupan kita memerlukan interaksi yang baik dengan orang-orang di lingkungan sekitar. Salah satu caranya dengan tegur sapa. Dalam novel diperlihatkan pengarang lewat sambutan orang-orang kampung terhadap kedatangan Saraswati di Padang Panjang. Sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat di lingkungan tersebut membuat Saraswati merasa dihargai seperti pada kutipan berikut: …. Mereka menegurku dengan lambaian tangan atau dengan tawa ramah. Aku hanya membalas dengan senyum, karena aku tidak suka menggunakan tangan untuk berbicara.85 Pada dasarnya manusia adalah makluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya. Pola hubungan sosial pada masyarakat desa sangat terasa sekali dibandingkan masyarakat perkotaan karena masyarakat desa senantiasa bergotong royong dalam segala hal. Gotong-royong merupakan budaya yang diwarisi oleh nenek moyang kita. Dengan sikap ini akan terjalin kerjasama baik antar warga. Terlihat dalam novel SSGdS bahwa masyarakat di Padang Panjang yang masih mempertahankan perilaku-perilaku baik ini. Dari kutipan di bawah ini terlihat bahwa mereka masih bergotong-royong membersihkan pasar, bendar atau jalan akibat dari kerusuhan yang terjadi di daerah itu: …. Busra tidak lagi ke sekolah. Namun hampir setiap pagi ia keluar rumah seperti laki-laki lainnya. Pergi membawa pacul dan sapu lidi. Lama baru aku tahu, Busra pergi bergotong-royong membersihkan pasar, bendar atau jalan karena tidak ada lagi petugas yang mesti melakukannya. Secara sosial kehidupan di desa sering dinilai sebagai kehidupan yang tenteram, damai, selaras, jauh dari perubahan yang dapat menimbulkan konflik. Namun, kehidupan yang tadinya tentram dan damai berubah menjadi kacau. Terjadi perang di Padang Panjang digunakan pengarang sebagai salah satu pemicu
85
Ibid., hlm. 24.
82
terjadinya pemberontakan dan munculnya ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah. Banyak tentara berseragam hijau yang hilir mudik dengan senjatanya. Terjadi pemukulan yang dilakukan oleh tentara-tentara itu kepada orang-orang kampung hingga babak belur dan mengganggu perempuan yang lewat di jalan. Rumah Angah tidak luput dari kepungan para tentara itu. Mereka menggeledah isi rumah dan melakukan penganiayaan terhadap Busra, Angah dan Saraswati seperti pada kutipan di bawah ini: …. Wajah mereka pitam ketika berbicara dengan Angah dan Busra. Mereka menggeledah isi rumah, sehingga semua terbusai-busai dari tempatnya, tak karuan. Salah seorang memandangku dengan sinar mata yang mengecutkan hati. Gemetar aku karenanya. Lalu dia mendekat. Tangannya diulurkan ke dadaku. Ketika aku mengelak dan hendak menyingkir, aku didesaknya ke dinding. Sehingga aku tergencet dan menjerit-jerit.86 Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa latar dengan penokohan memiliki hubungan yang erat. Hal ini tercermin dari peristiwa dalam novel SSGdS yang terjadi sekitar tahun 1958. Pada masa itu sedang terjadi pemberontakan PRRI yang disebabkan adanya ketidakharmonisan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terutama di Padang Panjang. Dengan membungkus tema besar dengan berlatar waktu, tempat dan sosial budaya tersebut, A. Navis memberikan suguhan lika-liku problematika kehidupan yang harus dihadapi tokoh difabel meskipun harus bergulat dengan berbagai kesunyian, kesedihan, pelecehan, ketidakadilan, penindasan dan ketegangan. Dengan motivasi yang tinggi dan penuh perjuangan akhirnya tokoh difabel dalam novel SSGdS berhasil mengaktualisasikan diri. 5. Sudut pandang Sudut pandang berkaitan dengan siapa yang membawakan cerita atau narator. Hal ini berkaitan pada pendapat Wahyudi Siswanto tentang pengertian sudut pandang yakni “tempat sastrawan memandang ceritanya.”87 Dari tempat ini pengarang menceritakan peristiwa sesuai dengan latar yang dialami tokoh dengan gayanya sendiri. Pemilihan sudut pandang yang tepat akan membuat cerita 86
Ibid., hlm. 89. Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), hlm. 151.
87
83
menjadi lebih kuat dalam segi penyampaian dan keterikatan, sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Dalam novel SSGdS pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama dari awal sampai akhir cerita. Pada bagian awal cerita pengarang menggambarkan tokoh “aku” seolah-olah sedang menulis catatan harian dari pengalaman hidupnya dan mengajak pembaca untuk ikut serta memberikan pendapat terhadap keseharian tokoh, dibuktikan dengan penggunaan diksi “Saudaraku”. Hal ini yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca novel SSGdS karya A. A. Navis seperti pada kutipan berikut: Engkau tidak akan tahu kenapa duniaku mesti sunyi, Saudaraku. Aku juga tidak tahu. Semua orang mengatakan, itulah suratan nasib. Kenapa hidup seperti ini dipilihkan nasib bagiku. Aku tidak tahu. Hanya Tuhanlah yang tahu. Maka berkembanglah duniaku sendiri yang tak dapat kau kenal, dunia tanpa bunyi dan suara. Karena aku tuli dan karenanya pula aku bisu.88 Jika dilihat pada kutipan di atas, “Aku” memulai cerita dengan kebingungan akan nasib yang harus diterimanya. Hidup dengan kesunyian karena kondisinya yang (difabel) bisu-tuli menjadi informasi awal yang disampaikan oleh pengarang lewat tokoh “aku” sebagai pengantar munculnya cerita, sehingga dapat dikatakan bahwa “aku” terlibat dalam cerita yang diceritakannya sendiri sekaligus menjadi tokoh dalam ceritanya. Dengan menggunakan sudut pandang “aku” sebagai pelaku utama, tokoh “aku” lebih bebas menggambarkan tokoh-tokoh dan menceritakan segala bentuk peristiwa yang ada dalam cerita berdasarkan sudut pandangnya seperti pada salah satu kutipan di bawah ini: … Aku tidak tahu bahasa yang ada di dalam bacaan itu. Aku pun kecewa lagi. Hatiku menjadi sedih. Jalan untuk maju sudah tampak pada mulanya. Tapi rupanya jalan itu bukan jalan untuk aku yang bisu-tuli. Kalau sebagai orang bisu aku dapat membaca tentulah ayah yang menyayangiku telah lebih dahulu memberi pelajaran. Namun aku terus juga berpikir-pikir. Suatu jalan bagiku untuk mengenal dunia yang lebih luas dan lebih indah tentu ada ambang pintunya untuk aku masuki.89
88
A. A Navis, op.cit., hlm. 1. Ibid., hlm. 40.
89
84
Pada kutipan di atas terlihat bahwa tokoh “aku” menjadi pencerita dalam novel SSGdS. Penggunaan sudut pandang ini menunjukkan bahwa pengarang tidak ikut terlibat dalam cerita. Posisi pencerita pada sudut pandang ini terdapat pada tokoh utamanya yakni Saraswati. A. A. Navis berusaha untuk memunculkan seorang tokoh utama yang sama sekali berbeda dengan karya-karya sebelumnya yakni gadis tuli dan bisu. Pengarang menggunakan sudut pandang ini dengan tujuan membuat pembaca seolah-olah masuk ke dalam cerita dan ikut merasakan kehidupan seorang difabel, bagaimana harus bertahan dengan lingkungan yang kadang mengkhianatinya, dan bagaimana perjuangannya dalam memperoleh aktualisasi diri. Dengan demikian sudut pandang “aku” sebagai tokoh utama memiliki kelebihan dibanding penggunaan sudut pandang lain dalam hal keterikatan terhadap pembaca. 6. Gaya bahasa Gaya bahasa menjadi bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Dalam mengisahkan ceritanya, A. A. Navis membuka cerita dengan menggunakan diksi yang amat puitis untuk mengenalkan tokoh utama, dibuktikan dengan kutipan berikut: Sunyi adalah duniaku. Sunyi adalah nasibku. Sunyi dunia tanpa bunyi, tanpa suara. Segala-galanya sunyi.90 Kutipan di atas dijadikan pengantar untuk memahami novel ini. Bila kita cermati kutipan tersebut dapat terlihat bahwa pengarang menggunakan kata “sunyi” berkali-kali. Penggunaan gaya bahasa ini berfungsi memberi penekanan lebih dan mengkongkretkan gambaran perasaan tokoh utama. Dengan kemahirannya tersebut pembaca seolah-olah dapat merasakan bagaimana kesunyian yang dialami oleh tokoh utama. Selain itu, dalam novel A. A Navis juga menyelipkan kosa kata dalam bahasa Minangkabau untuk lebih menonjolkan latar cerita. Salah satunya pada kutipan berikut:
90
Ibid., hlm. 1.
85
Saudaraku, ketika mula-mula tiba di kota kecil Padang Panjang, aku punya tiga pasang sandal. Sekarang tiga-tiganya telah hancur oleh kakiku yang senantiasa menginjak lunau dan lumpur ketika aku menggembalakan ternak.91 Kutipan di atas menggambarkan bahwa kebutuhan fisiologis Saraswati tidak tercukupi selama di Padang Panjang. Terlihat dari rusaknya seluruh sandal yang dimiliki Saraswati akibat menginjak lunau saat menggembalakan ternak. Kata Lunau berasal dari bahasa Minangkabau nomina (kata benda) artinya lumpur yang dihanyutkan banjir.92 Penggunaan bahasa Minangkabau dalam novel tidak hanya dilihat dari latar cerita saja, tetapi juga penamaan tokoh seperti Angah dan Uni Ros. Munculnya kosa kata bahasa daerah tersebut menandakan bahwa novel ini menggunakan campur kode. Selain menggunakan kosa kata bahasa daerah, terdapat beberapa macam gaya bahasa dalam novel SSGdS di antaranya: a. Sinisme Menurut Burhan, sinisme digunakan untuk menyindir atau mengkritik sesuatu secara terus terang atau tajam.93 Penggunaan majas ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: .... Tak seorang pun diantara mereka yang menjadi manusia sama layaknya dengan manusia lainnya. Di mana pun orang-orang bisu seperti aku hanyalah jadi bahan olok-olok anak-anak belaka. Hanya jadi orang suruhan belaka. Aku kenal sebuah keluarga yang menaruh seorang perempuan bisu di rumahnya. Kerjanya hanya mencuci baju orang.94 A. A. Navis menggunakan gaya bahasa ini sebagai sindiran terus terang terhadap potret penyandang disabilitas dalam masyarakat melalui tokoh Saraswati. Keterbatasan membuat Saraswati dipandang sebelah mata dan tersisih dari masyarakat sehingga kerap dilecehkan ataupun diperlakukan tidak adil. Tidak terpenuhinya HAM bagi kaum difabel juga menjadi masalah yang dikritisi oleh A. A. Navis dalam novel SSGdS.
91
Ibid., hlm. 29. ___, “Arti Kata Indonesia Inggris Kamus Lengkap”, 2015, (www.artikata.web.id), diakses pada tanggal 16 Desember 2015 pada pukul 13.29 WIB. 93 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2013), hlm. 404. 94 A. A Navis, op. cit., hlm. 11. 92
86
b. Ironi Menurut Burhan, ironi digunakan untuk menyindir atau mengkritik sesuatu secara halus atau intensitasnya rendah.95 Ironi akan berhasil jika pembaca sadar akan maksud yang tersembunyi di balik rangkaian kata-kata seperti kutipan berikut: .... Aku menangis karena nasibku telah dimalangkan oleh lingkungan tempat aku menumpang hidup. Dimalangkan oleh bangsaku. Dimalangkan oleh orang bisu lainnya.96 Secara tidak langsung A. A. Navis menggunakan tokoh Saraswati dengan segala peristiwa yang dialaminya menjadi sindiran kepada masyarakat Indonesia pada masa itu. Pada masa itu (1958) fokus masyarakat Indonesia hanya pada birokrasi dan politik sehingga kurang memperhatikan hal-hal yang bersifat minor seperti kaum disabilitas. c. Repetisi Repetisi merupakan perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting berfungsi untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks.97 Penggunaan repetisi dapat dilihat dalam kutipan berikut: Engkau, Saudaraku, barangkali pernah mencoba hidup tanpa pengharapan pada suatu masa. Engkau barangkali pernah mencoba hidup diolok-olok sepanjang hari. Engkau barangkali pernah merasakan hidup berputus asa. Engkau barangkali pernah hidup dalam kesakitan hati karena dilecehkan.98 Sebagai gadis bisu-tuli, Saraswati merasa tertekanan dan sering merenungi nasib. Tekanan pada emosinya itu dapat menghambat perkembangan pribadinya dengan timbul perasaan takut, merasa diperlakukan tidak adil, dilecehkan dan kurang dihargai. A. A. Navis menggunakan gaya bahasa ini sebagai penegas terhadap kegelisahan hati Saraswati sehingga pembaca ikut merasakan hal tersebut.
95
Burhan Nurgiantoro, loc. cit. A. A Navis, op. cit., hlm. 13. 97 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 96
127. 98
A. A Navis, op. cit., hlm. 14.
87
d. Elipsis Elipsis berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat ditafsirkan sendiri oleh pembaca, sehingga struktur kalimatnya memenuhi pola yang berlaku.99 Penggunaan elipsis dapat dilihat dalam kutipan: Dan … pada suatu malam timbullah perasaan duka melanda sanubariku. Waktu itu mataku sukar terlelap, Saudaraku. Banyak pikiran timbul berebutan di benakku.100 Secara tidak langsung pengarang menggunakan gaya bahasa ini untuk memperlihatkan kesedihan yang dialami Saraswati akibat perlakuan tidak adil yang diterima dari keluarga Angah. Ketidakailan yang diterima Saraswati pada kutipan di atas terjadi saat Saraswati disuruh menempati kamar yang jorok, berdebu dan terpisah dari rumah. e. Eufemismus Eufemismus semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung
perasaan
menggantikan sesuatu
orang,
atau
ungkapan-ungkapan
halus
untuk
yang dirasa tidak menyenangkan.101 Penggunaan
eufemismus dapat dilihat dalam kutipan: Dan sekarang, segalanya telah tiada. Mereka hilang secara serentak dari duniaku.102 Kutipan di atas menggambarkan kesedihan Saraswati setelah mengetahui kematian seluruh anggota keluarga yang ia sayangi. Pengarang menggunakan “Mereka hilang serentak dari duniaku” sebagai media penyampai makna “mati” yang disampaikan dengan bahasa yang lebih halus. f. Antitesis Antitesis merupakan sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan.103 Penggunaan antitesis dapat dilihat dalam kutipan:
99
Gorys Keraf, op. cit., hlm. 132. A. A Navis, op. cit., hlm. 35. 101 Gorys Keraf, loc. cit. 102 A. A Navis, op. cit., hlm. 10. 103 Gorys Keraf, op. cit., hlm. 126. 100
88
…. Aku senang menonton film, tapi yang sekali ini tidaklah menyenangkan hatiku, Saudaraku.104 Pengarang menggunakan majas ini untuk menggambarkan bentuk pertentangan yang terjadi dalam diri Saraswati. Adanya perubahan sikap yang terlihat pada kutipan yakni kesenangan Saraswati menonton film berubah akibat kejadian di film itu mengingatkannya pada pelecehan seksual yang dilakukan Bisri. g. Retoris Retoris merupakan semacam pertanyaan yang digunakan dalam tulisan dengan tujuan mendapat efek penekanan yang lebih mendalam dan sama sekali tidak memerlukan jawaban.105 Penggunaan retoris dapat dilihat dalam kutipan: …. Apakah arti hidup di tengah-tengah manusia banyak kelak? Kenapa Tuhan menyediakan orang-orang cacat di tengah-tengah manusia lain yang tidak cacat? Apakah maksudNya? Apakah maksud Tuhan agar kami, orangorang cacat dijadikan sebagai contoh betapa dahsyat azabNya di akhirat kelak? Dan kenapa itu dilakukan Tuhan, padahal kami tidak pernah melakukan kejahatan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak cacat?106 Dengan majas ini pengarang menggambarkan kegelisahan hati seorang difabel atas nasib yang diberikan Tuhan kepadanya. Dari gaya bahasa ini terlihat sikap Saraswati yang seringkali tersiksa dengan kerendahdirian akibat keterbatasannya. h. Hiperbola Hiperbola merupakan semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dan terkesan membesar-besarkan.107 Penggunaan hipebola dapat dilihat dalam kutipan: Biasanya aku baru pulang menjelang matahari tepat di ubun-ubun.108 Kutipan di atas menggambarkan kebiasaan yang dilakukan Saraswati setelah menaruh kambing-kambing di pemakaman. Kata “matahari tepat di ubun-ubun” dimaksudkan untuk menyatakan bahwa peristiwa itu terjadi pada siang hari yang 104
A. A Navis, op. cit., hlm. 82. Gorys Keraf, op. cit., hlm. 134. 106 A. A Navis, op. cit., hlm. 12. 107 Gorys Keraf, op. cit., hlm. 135. 108 A. A Navis, op. cit., hlm. 35. 105
89
sangat terik. Gaya bahasa ini digunakan A. A. Navis untuk menekankan latar waktu suatu peristiwa yang di alami oleh Saraswati secara berlebihan. i. Simile Simile merupakan gaya bahasa yang menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya secara eksplisit menunjukkan kesamaan yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya.109 Penggunaan simile dapat dilihat dalam kutipan: …. Kadang-kadang ada ulat yang menjalar sambil membungkuk seperti gelombang laut.110 Pengarang menggunakan gaya bahasa ini untuk menggambarkan kekaguman Saraswati terhadap keadaan alam yang dirasakan dan dilihatnya saat menggembala ternak di pemakaman. Gaya bahasa ini sebagai perumpamaan di mana dalam bayangan Saraswati ulat yang menggeliat di atas daun mirip dengan gelombang laut. Hal ini diciptakan pengarang sebagai penggambaran sikap Saraswati yang mencintai alam sekaligus media hiburan akan masalah-masalah hidupnya. j. Personifikasi Personifikasi
merupakan
semacam
gaya
bahasa
kiasan
yang
menggambarkan benda mati seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.111 Penggunaan personifikasi dapat dilihat dalam kutipan: Aku tidak berduka lagi, Saudaraku. Dunia sekitarku menari-nari. Awan di langit, burung di ranting, rama-rama di rumput bunga, saling berdansa seolah ikut memeriahkan hatiku yang riang dan senang.112 Pada kutipan di atas terdapat perumpamaan “dunia sekitarku menari-nari. Awan di langit, burung di ranting, rama-rama di rumput bunga, saling berdansa ikut memeriahkan hatiku yang riang dan senang”. Pengarang menggunakan majas ini sebagai penegasan perasaan Saraswati yang saat itu sedang jatuh cinta pada Bisri. Terlihat sekali betapa bahagianya Saraswati mendapat surat dari Bisri. 109
Gorys Keraf, op. cit., hlm. 138. A. A Navis, op. cit., hlm. 34. 111 Gorys Keraf, op. cit., hlm. 140. 112 A. A Navis, op. cit., hlm. 85. 110
90
Penggunaan gaya bahasa yang menarik tidak akan menimbulkan kesan monoton atau membosankan bagi pembaca. Hal ini yang dilakukan A. A. Navis dalam novel SSGdS dengan banyak menggunakan gaya bahasa untuk mempertegas perjuangan tokoh difabel dalam memperoleh aktualisasi diri. 7. Amanat Pada novel SSGdS pengarang menggambarkan tema besar yakni perjuangan tokoh difabel untuk memperoleh aktualisasi diri dengan gaya bahasa yang menarik. Dari tema besar yang diungkapkan dalam cerita melalui sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh terdapat makna kehidupan yang menjadi pesan atau amanat penting bagi pembaca agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti yang terlihat pada beberapa kutipan di bawah ini: Di mana pun juga orang cacat seperti aku, tidak pernah dipandang seperti manusia sebagaimana wajarnya manusia. Seolah-olah hak kami hanyalah untuk menjadi manusia kelas terbawah.113 …. Bukan saja pernah aku alami di Jakarta, juga pernah aku lihat seorang bisu dijadikan bahan olok-olok semata.114 …. Satu-satunya yang tidak bisa diberikan Ayah dibandingkan dengan saudaraku yang lain, yaitu pendidikan di sekolah. Itu aku tahu, karena memang belum ada sekolah untuk anak bisu-tuli di Jakarta, tempat kami tinggal.115 …. Tidak bolehkah seorang gadis bisu-tuli mempunyai pekerjaan yang lain sampai akhir hayatnya?116 Dari kutipan-kutipan di atas, kita dapat melihat bahwa kisah dalam novel ini memberi kita banyak pelajaran bagaimana arti kehidupan kaum difabel di tengah masyarakat. Melalui novel SSGdS, A. A. Navis ingin memberikan gambaran realita penyandang disabilitas yang selama ini terlupakan. Bagaimana penyandang disabilitas dipandang “berbeda” dengan manusia lain. Bagaimana penyandang disabilitas mendapat perlakuan yang tidak baik di tengah-tengah masyarakat.
113
Ibid., hlm. 12. Ibid., hlm. 25. 115 Ibid., hlm. 8. 116 Ibid., hlm. 29. 114
91
Kemudian, bagaimana penyandang disabilitas tidak mendapat hak yang sama dalam hal pendidikan dan pekerjaan. Saraswati Si Gadis dalam Sunyi (SSGdS) merupakan novel yang bercerita mengenai tokoh Saraswati yang terlahir sebagai gadis difabel dengan segala kesunyian, penderitaan dan cobaan yang dialami. Namun akhirnya terjadi perubahan motivasi tokoh Saraswati ke arah yang lebih berani, berkemauan kuat, serta memiliki tekad untuk mengaktualisasikan diri. …. Saudaraku, tidak pernah aku bayangkan bahwa gadis bisu-tuli masih bisa belajar. Aku merasa pilu, bahkan iri bila melihat anak-anak seusiaku ke sekolah, sedangkan aku hanya dapat tinggal di rumah saja. Tapi ternyata di dunia ini banyak keajaiban-keajaiban yang dapat dicapai kalau kita mau, Saudaraku.117 Kutipan di atas menggambarkan keberhasilan tokoh utama mencapai aktualisasi diri. Hal ini yang ingin disampaikan oleh A. A Navis kepada pembaca lewat tokoh Saraswati yakni jangan sampai keterbatasan membuat potensi yang kita miliki pun terbatas sehingga menjadi penghalang dalam mengapai cita-cita.
B. Analisis Motivasi Tokoh Difabel dalam Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A. Navis Analisis berikutnya digunakan penulis untuk menemukan motivasi tokoh difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi (SSGdS) karya A. A. Navis. Penulis menggunakan pendekatan psikologi sastra sebagai upaya untuk memperoleh gambaran mengenai motivasi dan kepribadian yang dimunculkan oleh tokoh utama (bisu-tuli) dalam mencapai aktualisasi dirinya. Motivasi tersebut berkaitan dengan lingkungan, keadaan, maupun kepribadian Saraswati sebagai tokoh utama. Motivasi tersebut dianalisis berdasarkan teori kebutuhan bertingkat Abraham H. Maslow karena susunan kebutuhan dasar yang bertingkat itu mendasari motivasi manusia.
117
Ibid., hlm. 66.
92
1. Motivasi Kebutuhan Fisiologis Tokoh utama dalam novel SSGdS digambarkan oleh pengarang memiliki keterbatasan alat indera yakni bisu-tuli dan tidak pernah memperoleh pendidikan formal. Ketidakmampuan dalam berkomunikasi dengan orang lain dan rendahnya kualitas sumber daya anak bisu-tuli menimbulkan pandangan bahwa kaum difabel tidak dapat berbuat apa-apa dan cenderung bergantung kepada orang lain. Pandangan tersebut sangat merugikan kaum difabel termasuk tokoh utama dalam novel SSGdS untuk bersaing memperoleh lapangan pekerjaan. Secara perundang-undangan, Indonesia memiliki Undang-Undang tentang ketenagakerjaan yakni No. 13 Tahun 2003 dan dua Undang-Undang terkait penyandang disabilitas yakni No. 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, serta Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat. Ketiga hal tersebut secara jelas menyatakan bahwa penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama untuk memperoleh
pekerjaan,
penghidupan
yang
layak
dan
perlakuan
tanpa
diskriminasi. Kenyataan yang terjadi di Indonesia sampai saat ini masih banyak perusahaan yang belum memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk bekerja. Fajar Nursahid (Project Manager Indonesia Democracy Index) mengungkapkan selama ini pemerintah belum membuat peraturan secara tegas untuk penyandang disabilitas terutama dalam mencari pekerjaan. Padahal mereka tentu sangat ingin mendapat kesempatan bekerja.118 Hal ini diperkuat dengan pendapat gadis tunanetra bernama Tyas pada portal KBR dalam acara JIExpo Kemayoran di Jakarta, “belum ada perusahaan yang mau memberikan kerja. Padahal seharusnya di forum ini ada lowongan untuk disabilitas. Mungkin mereka takut mempekerjakan disabilitas.”119 Kondisi tersebut menjadi potret penyandang disabilitas Ibukota yang masih mengalami diskriminasi di bidang pekerjaan.
118
Salsabila Qurrataa’yun, Penyandang Disabilitas Butuh Pekerjaan, Pemerintah Diminta Buatkan Regulasi, 2016, (http://news.okezone.com), diakses pada tanggal 22 Maret 2016 pada pukul 17.56 WIB. 119 Yudi Rachman, Sulitnya Disabilitas Mencari Pekerjaan, 2014, (http://m.portalkbr.com), diakses pada tanggal 22 Maret 2016 pada pukul 17.38 WIB.
93
Faktor regulasi ini mengakibatkan sulitnya penyandang disabilitas termasuk tokoh utama pada novel SSGdS, untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang paling mendesak yakni kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis menurut E. Kuswara terdiri dari kebutuhan makan, air, oksigen, aktif, istirahat, keseimbangan temperatur, seks dan kebutuhan stimulasi sensoris (menstimulasi pancaindra).120 Albertine Minderop berpendapat bahwa kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan paling mendesak pemuasannya karena terkait dengan kebutuhan biologis manusia.121 Di awal cerita pengarang menggambarkan tokoh utama hidup serba kecukupan dipengaruhi dengan pengambilan latar tempat pertama yakni Jakarta sebagai tempat tinggal Saraswati. Sebagai Ibukota negara, Jakarta merupakan kota dengan berbagai aktivitas mulai dari aktivitas politik, ekonomi hingga aktivitas lainnya. Tetapi penghadangan pasukan pemberontak membuat Saraswati kehilangan seluruh anggota keluarga, sehingga mengharuskan dirinya untuk melanjutkan hidup di Padang Panjang. Padang panjang menjadi latar ketiga dalam novel SSGdS. Banyak konflik yang terjadi di tempat ini, salah satunya mengenai perbedaan kehidupan yang dirasakan tokoh utama. Perbedaan tersebut diceritakan melalui sudut pandang tokoh utama pada kutipan berikut: .... Aku bongkar pakaianku yang bagus-bagus, serta pakaian Ibu dan perhiasan emasnya. Lalu kutunjukkan ke bawah hidung Busra sambil menjerit-jerit. Aku tunjukkan satu demi satu kepadanya agar dia memahami bahwa aku dulu adalah anak seorang yang berkedudukan baik. Lalu aku ambil album besar berisi foto keluargaku. Aku tunjukkan padanya foto-fotoku semasa di Jakarta, agar dia tahu betapa terpeliharanya hidupku dulu. Aku tunjukkan padanya foto aku di dalam kamar tidurku, foto rumah kami di Jakarta, mobil Ayah yang bagus. Maksudku agar dia membandingkan perlakuan ibunya padaku sekarang. Busra tercengangcengang memandang tingkah lakuku. Aku tidak tahu apakah dia mengerti apa yang aku mau. Aku tidak peduli. Lalu aku jajarkan dia ke kamarku. Aku tunjukkan kepadanya betapa joroknya kamarku sekarang dibandingkan dengan kamarku di Jakarta seperti yang tertera di dalam foto-foto itu.122 120
E. Koeswara, Teori-teori Kepribadian, (Bandung: PT. Eresco, 1991), Cet. 2, hlm. 119. Albertine Minderop, op. cit., hlm. 286. 122 A. A. Navis, op. cit., hlm. 36-37. 121
94
Kutipan di atas menjadi bentuk protes tokoh utama atas perlakuan tidak adil yang diterima dari keluarga Angah. Sikap yang ditunjukkan oleh Saraswati menunjukkan bahwa ia memiliki keinginan untuk diperlakukan secara adil meskipun ia seorang difabel. Ketidakadilan tersebut digunakan pengarang untuk menggambarkan tidak terpenuhinya kebutuhan fisiologis tokoh utama selama di Padang Panjang. Hal ini terlihat dari cara Saraswati menunjukkan pada Busra mengenai perbedaan kehidupannya saat masih tinggal bersama orang tua di Jakarta dengan saat tinggal di Padang Panjang bersama keluarga Angah. Sebagai
difabel,
Saraswati
kesulitan menjalankan segala
aktivitas
keseharian termasuk memenuhi kebutuhan fisiologis. Namun Key, Brozek, Henschel, Mickelsen dan Taylor dalam Jess Feist menegaskan, ketika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan fisiologisnya maka mereka akan terus berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut.123 Begitupun Saraswati yang tidak pernah putus asa dan selalu bekerja keras walaupun sempat mengalami berbagai kesulitan. Dorongan semangat dari dalam diri dan keluarga agar mampu berkembang memperoleh keterampilan ditunjukkan pengarang sebagai bentuk motivasi tokoh utama dalam memenuhi kebutuhan fisiologisnya. Kebutuhan fisioligis memiliki prioritas tertinggi karena menyangkut kebutuhan untuk bertahan hidup, sehingga pemberian bekal keterampilan dan pengetahuan sangat penting guna menunjang kemampuan penyandang disabilitas dalam memenuhi kebutuhan fisiologis secara mandiri. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Umum Penyandang Cacat Indonesia, Gufroni Sakaril di sela-sela peringatan Hari Disabilitas Internasional 2013 “seharusnya bisa dilakukan pelatihan bagi penyandang disabilitas.”124 Oleh sebab itu, diperlukan bimbingan dan kesempatan yang seluas-luasnya agar potensi yang dimiliki dapat berkembang secara optimal. Seperti kesempatan yang diberikan oleh tokoh Angah pada
123
Handriatno, Teori Kepribadian Edisi Tujuh, Terj. dari Theories of Personality 7th Edition oleh Jess Feist dan Gregory. J. Feist, (Jakarta Selatan: Salemba Humanika, 2013), hlm. 333. 124 ___, Penyandang Disabilitas Masih Alami Diskriminasi, 2013, (http://sp.beritasatu.com), diakses pada tanggal 16 Desember 2015 pada pukul 14.30 WIB.
95
Saraswati untuk belajar menyulam dan menjahit melalui tokoh Uni Ros.125 Kesempatan dan bekal keterampilan yang didapatkan Saraswati dari tokoh-tokoh tersebut digunakan A. A. Navis sebagai salah satu usaha pemberdayaan kaum difabel agar nantinya memperoleh pekerjaan sehingga tidak bergantung pada orang lain. Lewat tokoh Saraswati, pengarang ingin memberi gambaran kaum difabel yang mandiri, dibuktikan dengan keberhasilannya memenuhi kebutuhan hidup. Kemandirian seseorang dilihat dari sejauh mana mereka mampu untuk berdiri sendiri tanpa harus bergantung kepada orang lain seperti pada kutipan di bawah ini: Dari famili kami di Jakarta, aku menerima kiriman uang banyak hasil penjualan barang-barang peninggalan ayah dan ibuku. Dari uang itulah kamarku diperbaiki. Serambi yang terpisah dari ruang tengah tidak lagi terpisah. Karena bagian luar serambi itu sudah diberi dinding dan jendela serta pintu ke bagian dapur di belakang, sehingga serambi itu menjadi seperti ruang belakang rumah. Sebuah tempat tidur, meja, dan lemari pakaian dibelikan. Sebuah mesin jahit bekas yang masih cukup baru pun dibeli. Aku taruh di ruang depan kamarku. Dengan uang itu pula Busra membuat tiga kandang ayam.126 .... para tetangga sudah mulai banyak minta aku membuatkan pakaian mereka. Seperti kebaya atau baju anak-anak mereka yang laki-laki atau perempuan. Mereka memberi aku uang menurut sukanya saja. Uang jahitan itu aku berikan pada Angah untuk membantu biaya rumah tangga kami. Akan tetapi hasil dari peternakan ayam di suruh Busra agar aku simpan sendiri.127 Kutipan di atas digunakan pengarang sebagai gambaran tercapainya kebutuhan fisiologis yang diperoleh Saraswati. Terlihat pada kutipan pertama bahwa dari uang hasil penjualan harta warisan orang tuanya, Saraswati mampu memperbaiki kamar yang selama ini tidak layak ditempati. Selain itu ia juga mampu membeli sebuah mesin jahit. Mesin jahit itu digunakan untuk membuat pesanan pakaian para tetangga seperti yang terlihat pada kutipan kedua, sehingga uang hasil jahitan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keberhasilan ini 125
Lihat catatan kaki nomor 43. A. A. Navis,op.cit., hlm. 64-65. 127 Ibid., hlm. 66. 126
96
menumbuhkan
kepercayaan
diri
Saraswati
untuk
memenuhi
kebutuhan
selanjutnya. A.
A.
Navis
sebagai
pengarang
berhasil
membuktikan
bahwa
ketidaksempurnaan bukanlah alasan untuk berdiam diri atau meratapi keadaan. Sikap tidak mudah menyerah, tekun dan sabar menjadi modal Saraswati untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya. Perjuangan Saraswati dalam memenuhi kebutuhan fisiologis memberi motivasi dan keyakinan pada pembaca bahwa difabel bukan menjadi alasan seseorang untuk tidak berkarya dan berguna bagi orang lain, sehingga harus mampu mencukupi kebutuhan hidup secara mandiri. 2. Motivasi Kebutuhan Akan Perasaan Aman Penyandang disabilitas kerap dijauhi dari kehidupan sosial masyarakat dan mendapat kekerasan mulai dari kekerasan fisik seperti pemukulan, kekerasan, dan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan, menganggap tidak mampu, penciptaan
ketergantungan
hingga
kekerasan
seksual.
Menurut
Tribun
Internasional, kekerasan terhadap penyandang disabilitas di Jepang cukup sering terjadi dan mencapai 1.261 kasus atau mengalami kenaikan 46 persen dibandingkan tahun 2014. Misalnya di Unzen sekitar bulan Februari 2015 seorang pria difabel dipukuli oleh staf fasilitas difabel. Selain itu ada pula yang mendapat pelecehan seksual.128 Padahal penyandang disabilitas mempunyai hak yang sama atas perlakuan dari siapapun seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Convention on the Right of Person with Disabilities/ CRPD mengenai hak penyandang disabilitas. Dalam novel SSGdS disinggung mengenai kasus kekerasan pada penyandang disabilitas. Terlihat dari tokoh utama yang merupakan gadis bisu-tuli banyak dihinggapi kecemasan karena menghadapi lingkungan yang beraneka ragam komunikasinya. Oleh karena itu ia sering mengalami berbagai konflik, kebingungan, dan ketakutan karena hidup dalam lingkungan yang bermacammacam sehingga menuntut adanya kebutuhan rasa aman.
128
Richard Susilo, Ribuan Penyandang Disabilitas di Jepang Mengalami Kekerasan dan Pelecehan, 2015, (http://tribunnews.com), diakses pada tanggal 23 Maret 2016 pada pukul 17.30 WIB.
97
Kebutuhan rasa aman menurut Albertine Minderop adalah suatu kebutuhan ketika seseorang dapat merasakan keamanan, ketentraman, kepastian dan kesesuaian dengan lingkungannya.129 Pengekspresian lain dari kebutuhan akan rasa aman menurut Ngalim Purwanto bisa muncul apabila individu dihadapkan pada bahaya, ancaman penyakit, perang, kemiskinan, perlakuan tidak adil dan lain sebagainya.130 Seseorang dapat hidup lebih baik apabila merasa aman baik secara fisik maupun psikis. Sebaliknya Saraswati selalu merasa tidak aman karena ketika menggembala ternak banyak pengalaman pahit yang diterima dari anak-anak kecil di kampung itu. Peristiwa yang terjadi di bagian enam ini menjadi konflik kedua dalam novel seperti pada kutipan di bawah ini: .... Malah kadang-kadang mereka melempariku dengan ranting atau batubatu kecil, atau dengan tanah atau pasir. Lalu mereka lari menjauh dengan gembira. Apakah yang harus aku perbuat terhadap kenakalan anak-anak itu? Aku pernah berusaha untuk beramah-ramah dengan mereka, menyapanya dengan senyum persahabatan. Tapi itu malah menjadikan mereka tambah terangsang mengganggu aku.131 Dari kutipan di atas, secara fisik kekerasan ditunjukkan ketika anak-anak kecil melempari ranting, batu-batu kecil, tanah atau pasir ke arahnya. Sedangkan secara psikis terjadi ketika mereka lari menjauh dengan gembira setelah mengganggu Saraswati. Pengarang menggunakan peristiwa tersebut sebagai gambaran realitas kehidupan sosial yang sering terjadi dalam masyarakat, dimana penyandang disabilitas seakan kehilangan hak-haknya karena diperlakukan secara semenamena. Selain itu, jika melihat beberapa kasus kekerasan yang ditemukan dalam validasi data kekerasan terhadap perempuan difabel dan anak difabel di Kabupaten Wonogiri dan Klaten yang dilakukan oleh PPRBM (Pusat Pengembangan dan Pelatihan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat), Prof. Dr. Soeharso menunjukkan fakta tidak adanya keadilan bagi perempuan difabel yang
129
Albertine Minderop, op. cit., hlm. 294. M. Ngalim Purwanto, op.cit., hlm. 78. 131 A. A. Navis, op. cit., hlm. 25. 130
98
menjadi korban.132 Hal ini juga disinggung pengarang dalam novel SSGdS melalui tokoh Saraswati. Selain kekerasan secara fisik dan psikis, Saraswati juga mendapat kekerasan seksual dari anak kedua Angah yakni Bisri.133 Dari kutipan tersebut, A. A. Navis ingin memperlihatkan pada pembaca mengenai realita kasus kekerasan seksual terhadap perempuan difabel yang terjadi begitu saja tanpa mempertimbangkan keadilan korbannya. Dengan demikian tokoh Saraswati membutuhkan rasa aman baik secara fisik, psikis maupun seksual agar merasa terlindungi dan tidak merasakan cemas atau takut yang berlebihan. Untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman, seseorang cenderung akan bergerak ke arah menghindari hal-hal yang dirasa membahayakan dirinya. Dalam novel pengarang menggambarkan timbulnya motivasi pada diri Saraswati yang terlihat dari cara tokoh memenuhi rasa aman akibat gangguan anak-anak kecil. Ia memilih menghindar dan menahan diri untuk tidak melawan serta berusaha untuk bersikap ramah pada anak-anak kecil. Saat Bisri melakukan pelecehan seksual, Saraswati pun berusaha menolak dengan berlari menuju kamar dan mengunci pintu. Hasil dari motivasi intrinsik ini134 dan kutipan berikut: ... tidak seorang pun dari anak-anak itu menggodaku lagi. Aku tidak tahu kenapa terjadi perubahan sikap itu. Siapa yang memberi pelajaran kepada mereka, aku tidak tahu. Tapi yang terang, sesalan demi sesalan terhadap nasibku yang malang sungguh terasa tak berfaedah sama sekali. Orangorang itu tidaklah seburuk yang kita sangka apabila mereka diberi pengertian yang patut, Saudaraku135 Kedua kutipan di atas digunakan pengarang sebagai gambaran tercapainya kebutuhan rasa aman Saraswati karena telah terjadi perubahan perilaku dari anakanak kecil di kampung itu dan Bisri. Hal ini memberi dampak motivasi besar bagi tokoh utama untuk menjalani kehidupan dengan tentram, aman dan lebih percaya diri atas kondisinya sebagai gadis difabel. Selain itu, usaha Saraswati dalam memenuhi kebutuhan rasa aman yang digambarkan pengarang pada novel memberi motivasi dan keyakinan pada pembaca, bahwa kebutuhan akan rasa 132
Dyah Ningrum. R, Mengurai Benang Kusut Keadilan Bagi Perempuan Difabel, 2013, (http://solider.or.id), diakses pada tanggal 20 Desember 2015 pada pukul 13.21 WIB. 133 Lihat catatan kaki nomor 50. 134 Lihat catatan kaki nomor 51. 135 A. A. Navis, op. cit., hlm. 27.
99
aman yang biasanya terpuaskan pada orang-orang sehat dan normal ternyata mampu dicapai oleh Saraswati, seorang gadis difabel. 3. Motivasi Kebutuhan Akan Cinta Manusia pada umumnya membutuhkan perasaan bahwa mereka dicintai oleh keluarga dan diterima oleh teman maupun masyarakat. Menurut Sardiman, kebutuhan ini meliputi kasih, rasa diterima dalam masyarakat (keluarga, sekolah atau kelompok).136 Begitupun pada anak difabel yang membutuhkan dukungan dan kasih sayang dari keluarga atau orang-orang sekitar. Memiliki anak difabel merupakan tantangan cukup berat bagi orang tua. Padahal suatu keterbatasan tidak menjadi penghalang bagi keberhasilan mereka menjalani aktivitas tanpa selalu bergantung pada orang lain. Namun hal ini perlu disikapi dengan positif agar orang tua mampu membantu mengoptimalkan potensi yang dimiliki anak tersebut. Pada kehidupan anak difabel, keluarga menjadi lingkungan terdekat dan utama sehingga keluarga lebih memahami kondisi mereka dibanding orang lain. Dalam hal ini, peran dan kasih sayang keluarga sangat besar dalam mendukung munculnya semangat hidup anak difabel. Selain itu, hubungan antara orang tua dengan anaknya dapat mempengaruhi tingginya motivasi. Dalam novel SSGdS pengarang memperlihatkan bagaimana peran keluarga bagi anak difabel melalui sosok ayah yang tidak pernah menunjukkan perhatian yang berlebihan dan memandang Saraswati sama dengan anak-anaknya yang lain. Hal tersebut terlihat melalui pengisahan peristiwa secara retrospeksi melalui sudut pandang Saraswati seperti pada kutipan berikut: Bila melakukan perjalanan dinas ke daerah, Ayah selalu membawa oleh-oleh buat kami. Ayah membaginya dengan urutan yang tetap. Mulanya kepada kakakku tertua dan berakhir kepada adikku terkecil. Atau sebaliknya. Dimulai dari adikku terkecil dan berakhir pada kakakku tertua. Tidak pernah aku diberi lebih dulu. Jika kami keluar kota atau ke rumah kerabat, Ayah selalu bertndak seolah-olah aku bukan gadis bisu-tuli. Adaada saja cara Ayah bertindak sehingga orang tidak tahu bahwa aku gadis bisu-tuli.137
136
Sardiman A. M, Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 80. 137 A. A. Navis, op.cit., hlm. 8.
100
Perlakuan adil dan memperhatikan hak sang anak seperti yang dilakukan ayah menginterpretasikan bahwa Saraswati adalah orang yang berharga dan layak mendapat perhatian dan kasih sayang. Hal ini menjadi penilaian positif bagi Saraswati
sebagai
bentuk
dukungan
sosial
yang
berpengaruh
pada
perkembangannya baik secara fisik maupun psikologis. Lewat tokoh ayah, pengarang ingin memberi gambaran tentang pentingnya peran keluarga dalam menumbuhkan motivasi dan semangat hidup anak difabel. Hal ini senada dengan pendapat Coopersmith dalam Aliya Tusyani, dkk yakni keseluruhan faktor penting dalam keluarga mempengaruhi persepsi anak terhadap orang tua dan motivasi mereka.138 Panut dan Ida menganggap bahwa dari waktu ke waktu seorang remaja ingin orang lain menyayanginya dan lingkungan sekitar menerima dirinya dengan apa adanya.139 Oleh karena itu, Saraswati merasa sedih ketika kehilangan keluarga yang dicintai dan merasa dikucilkan atau tidak disenangi oleh masyarakat. Maka dengan segala cara ia akan mencari kasih sayang orang lain sesuai dengan kebutuhannya, sehingga timbul motivasi pada diri Saraswati untuk memenuhi kebutuhan tersebut salah satunya melalui tokoh Busra140 dan kutipan berikut: .... Kini aku merasakan betapa sayangnya dia padaku sebagai adiknya. Sekarang terpaham olehku, kalau pun dia menyuruhku menjadi penggembala kambing selama ini, hal itu mungkin karena tidak tahu apa yang harus diberikannya padaku sebagai pengisi waktu. Dia bukan hendak menghinaku dengan cara itu. Aku pun menangis di bahunya dan tanganku memeluknya erat-erat. Ingin aku takkan melepaskannya, karena sekarang, aku ingin teruslah dia menjadi pelindungku dan hidupku senantiasa akan tergantung pada kasih sayangnya.141 Terlihat pada kutipan kedua bahwa tokoh utama cenderung memiliki pandangan negatif terhadap lingkungan. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya kasih sayang yang ia terima dari keluarga Angah setelah kehilangan ayah dan ibu. Namun
138
Aliyana Tusyani, dkk. Kepribadian: Teori dan Penelitian Edisi Sepuluh, Terj. dari Personality: Theory and Research 10th Edition oleh Daniel Cervove dan Lawrence A. Pervin, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), hlm. 230. 139 Panut Panuju dan Ida Umami, Psikologi Remaja, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 32. 140 Lihat catatan kaki nomor 35 141 A. A. Navis, op.cit., hlm. 44.
101
pengarang menampilkan sosok Busra sebagai tokoh yang berpengaruh mengubah pandangan negatif tersebut. Dari awal kemunculannya Busra digambarkan sebagai tokoh yang peduli, memiliki empati, dan penuh kasih sayang serta sebagai pelindung bagi tokoh utama. Sikap tersebut membuat Saraswati menjadi semakin yakin bahwa ia tidak hidup sendiri karena masih ada orang yang menyayangi dan memperdulikannya. Hal tersebut berdampak besar bagi motivasi tokoh utama untuk lebih optimis menjalani hidup. Pencapaian Saraswati dalam memenuhi kebutuhan akan rasa cinta dapat memberi motivasi dan keyakinan pada pembaca, bahwa dukungan dari orang-orang yang mencintai atau kita cintai sangat berperan penting untuk memotivasi kita dalam menjalani kehidupan. 4. Motivasi Kebutuhan Akan Penghargaan Diri Dalam menjalani kehidupan setiap orang pasti memiliki harga diri yang menuntut untuk dihargai. Menurut Maslow dalam Albertine Minderop, kebutuhan harga diri dibagi menjadi dua: pertama, adanya penghargaan dari diri sendiri yang mencakup keinginan untuk memperoleh kompetensi, percaya diri, kebebasan, kemandirian dan kepribadian yang kuat. Kedua, adanya penghargaan dari orang lain yang mencakup keinginan untuk mencapai prestasi dalam kehidupan sehingga memperoleh penghargaan dari pihak lain.142 Sebagai makhluk sosial, Saraswati memerlukan interaksi dengan orang lain. Akan tetapi karena memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi menyebabkan dirinya sulit menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Pandangan negatif dari lingkungan juga membuat Saraswati merasa kurang berharga. Bermula saat Angah membawa Saraswati untuk tinggal di Padang Panjang. Di atas kapal menjadi
tempat
pertemuan Saraswati
dengan laki-laki tua bisu
yang
mengakibatkan munculnya kebutuhan akan penghargaan diri seperti pada kutipan berikut: .... Dia senang berolok-olok. Dia puas memperolok-olok aku. Kenapa dia tidak solider kepadaku, gadis yang sama cacatnya dengan dia? Aku sungguh-sungguh ingin melemparinya dengan apa saja.143
142
Albertine Minderop, op.cit., hlm. 303. A. A. Navis, op.cit., hlm. 13.
143
102
Kutipan di atas menjadi bentuk penghinaan terhadap Saraswati sekaligus gambaran tidak adanya penghargaan dari orang lain terhadap kaum difabel. Nasib kaum difabel seperti Saraswati memang sering menjadi objek penindasan dan dijadikan media hiburan karena dianggap sebagai makhluk yang rendah dalam status sosial. Seperti penilaian Asep Cuwantoro (Anggota KPID Jawa Tengah) dalam website tempo mengenai masih banyak terdapat lelucon di acara televisi yang mendiskriminasikan kaum difabel.144 Peristiwa di atas menjadi konflik batin bagi Saraswati yang hanya bisa menangisi nasib sebagai gadis bisu-tuli. Namun hal tersebut tidak membuat Saraswati larut dalam kesedihan. Justru persitiwa itu membangkitkan tekad untuk memenuhi kebutuhan harga dirinya.145 Selain menggambarkan sebuah motivasi, kutipan tersebut juga digunakan pengarang untuk menggambarkan potret kaum difabel yang kerap menjadi korban penindasan akibat keterbatasannya. Mengutip pendapat Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD) bahwa “penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain”.146 Hal ini yang coba dikritisi oleh A. A. Navis lewat karyanya bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama dalam masyarakat, sehingga keterbatasan bukan suatu penghalang untuk berharga di mata orang lain. Bagi difabel seperti Saraswati, penghargaan dari orang lain sanggat diperlukan. Namun jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka akan ada upaya untuk menuntut kebutuhan ini dengan berbagai cara. Salah satu cara yang dilakukan Saraswati untuk memulihkan harga dirinya, terlihat pada kutipan berikut: Yang paling cepat aku peroleh kemajuan ialah pelajaran menyulam. Seleraku dalam menyusun warna lebih baik dari peserta kursus lainnya. Mereka banyak memujiku, malah ada yang menanyakan warna apa yang sebaiknya disusun atas bermacam-macam warna dasar dari kain yang sudah 144
Rafael Marchante, Komisi Penyiaran Minta Televisi Ramah Kaum Difabel, 2015, (http://tempo.com), diakses pada tanggal 23 Maret 2016 pada pukul 13.38 WIB. 145 Lihat catatan kaki nomor 22. 146 Rahayu Repindowaty Harahap dan Bustanuddin, “Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD)", Jurnal Inovatif, Vol. VIII, 2015, hlm. 17.
103
tersedia. Kepandaian menyusun warna itu tidak aku peroleh dari guru kami, melainkan dari cita rasaku sendiri.147 Tetangga lain ada yang mampu memberi imbalan lumayan bila meminta aku menjahitkan pakaiannya. Lebih dari itu, semua orang di kampung tempat kami tinggal sangat bersahabat dengan aku. Mereka selalu menyapaku bila bila aku berpapasan atau lewat di depan rumah mereka dengan melambaikan tangan dan tersenyum padaku. Senakal apapun anakanak, mereka tidak lagi menggoda.148 Kutipan di atas digunakan pengarang sebagai bentuk penghargaan yang Saraswati terima atas pencapaian dan proses kerja kerasnya. Usahanya untuk belajar menjahit dan menyulam berhasil membuat orang di sekitar menghargai kemampuan yang ia miliki, sekaligus mengubah sikap mereka yang tadinya kurang bersahabat menjadi sangat bersahabat. Hal ini memberikan kepuasan dan semangat untuk lebih kreatif, mandiri, percaya diri dan lebih produktif menggali kemampuannya di kemudian hari. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa motivasi berperan penting dalam pencapaian harga diri seseorang. Oleh karena itu, keberhasilan Saraswati memenuhi kebutuhan akan penghargaan diri dapat mempengaruhi pembaca bahwa dengan memberikan penghargaan terhadap diri sendiri atau orang lain akan menimbulkan dampak positif serta menumbuhkan motivasi untuk mencapai tujuan. 5. Motivasi Kebutuhan untuk Mengetahui dan Mengerti Kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti terdiri dari rasa ingin tahu untuk mengerti sesuatu, mendapatkan pengetahuan dan informasi. Untuk memenuhi kebutuhan ini dapat diupayakan melalui belajar. Belajar adalah suatu proses yang terjadi karena adanya usaha untuk mengadakan perubahan terhadap diri baik berupa pengetahuan, keterampilan, ataupun sikap. Bila mengacu pada UndangUndang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 5 Ayat 1 dan Undang-Undang No. 39 tahun 1999, khususnya Pasal 12 tentang HAM, seharusnya penyandang disabilitas mempunyai kesempatan yang sama
147
A. A. Navis, op.cit., hlm. 46. Ibid., hlm. 68.
148
104
untuk memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi. Kenyataannya hingga kini penyandang disabilitas masih sulit mendapat pendidikan yang layak. Berbagai sarana seperti sekolah untuk penyandang disabilitas juga masih sangat minim. Dalam novel SSGdS A. A. Navis menyinggung masalah minimnya kesempatan difabel (bisu-tuli) untuk memperoleh pendidikan karena pada masa itu (1958) sekolah untuk bisu-tuli di Jakarta belum tersedia. Di Indonesia sekolah pertama untuk tunarungu menurut Fajri Wulandari sudah ada sejak tahun 1930 dan didirikan di Bandung.149 Kemudian menambahkan dari buku Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, pada tahun 1938 berdiri sekolah kedua di Wonosobo yang diasuh oleh Broeder-Broder Charitas. Setelah kemerdekaan dengan adanya jaminan pelayanan pendidikan dan adanya urusan Pendidikan Luar Biasa pada Jawatan Pendidikan Umum Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan maka jumlah sekolah untuk anak bisu-tuli sedikit demi sedikit bertambah.150 Perkembangan kognitif dan bahasa pada Saraswati sebagai gadis bisu-tuli sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Kurangnya pendidikan yang dialami Saraswati akan menghambat perkembangan intelijensinya. Selain itu, kemiskinan berbahasa membuatnya tidak mampu terlibat secara baik dalam situasi sosial. Sebaliknya, orang lain pun sulit memahami perasaan dan pikirannya. Hal ini yang memicu dirinya untuk menemukan cara agar kebutuhan untuk mengerti dan mengetahui terpenuhi seperti pada kutipan berikut: Ya, membaca! Membaca! Membaca! Demikianlah gagasan yang timbul dalam benakku. Alangkah baiknya kalau aku pandai membaca. Dengan pandai membaca tentu aku akan tahu lebih banyak lagi tentang dunia dan kehidupan ini. Kenapa aku tidak belajar membaca? Kenapa tidak, Saudaraku? Bukankah akan baik sekali kalau aku pandai membaca? Oh, itu pikiran yang manis sekali, Saudaraku. Ya, aku harus belajar membaca.151
149
Fajri Wulandari, “Sejarah Pendidikan Inklusif di Dunia dan di Indonesia,” Makalah dibuat untuk memenuhi tugas matakuliah Pendidikan Inklusif, PGSD Universitas Pendidikan Indonesia, Kampus Serang, 2014. 150 Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), Cet 1, hlm. 47. 151 A. A. Navis, op.cit., hlm. 40.
105
Pada bagian ketujuh dalam novel SSGdS pengarang memperlihatkan timbulnya motivasi yang kuat dalam diri Saraswati untuk mengetahui dan mengerti yakni dengan belajar membaca. Dapat dilihat pada kutipan di atas terdapat pengulangan beberapa kali pada kata “membaca”. Hal ini berfungsi sebagai penegas terhadap semangat Saraswati untuk memenuhi kebutuhan mengetahui dan mengerti kehidupan yang selama ini tidak ia ketahui. Segala sesuatu yang berasal dari dalam diri merupakan hal penting untuk menuju sebuah keberhasilan, begitu pula dengan motivasi. Seberapa kuat motivasi yang timbul dalam diri menentukan usaha yang dilakukan. Di bawah ini akan terlihat bagaimana usaha Saraswati dalam memenuhi kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti: Sampai tengah malam, ketika aku berbaring di ranjang dalam kamar sepen itu, pikiran untuk belajar mengenal huruf dan kumpulan huruf itu terus mengusik benakku. Kertas koran yang melapisi dinding kamarku menjadi perhatianku sepenuh malam itu. Aku lihat macam-macam ukuran huruf itu satu demi satu. Aku coba meneliti jenisnya.152 Saudaraku, pusing juga aku jadinya harus mengingat semua nama benda itu, di samping aku harus pandai membaca. Pandai membaca saja sudah begitu susahnya. Apalagi mengenali bermacam-macam nama benda. Bayangkan betapa sulitnya membedakan nama masing-masing benda, gunanya, sifatnya.153 Pada kutipan pertama, pengarang memunculkan rasa ingin tahu Saraswati untuk mengenal huruf-huruf. Hal tersebut memberi dampak positif pada diri Saraswati untuk
berusaha
mewujudkannya.
Meskipun
mengalami
kesulitan
dan
membuatnya mengeluh seperti pada kutipan kedua, tetapi motivasi yang tinggi memacu dirinya untuk lebih semangat mewujudkan keinginannya. Dalam meraih sebuah impian bukan hanya motivasi dari dalam diri saja yang diperlukan, tetapi adanya motivasi dari orang lain juga diperlukan. Begitupun Saraswati yang membutuhkan motivasi ekstrinsik untuk memenuhi kebutuhan mengetahui dan mengerti seperti pada kutipan di bawah ini:
152
Ibid., hlm. 50. Ibid., hlm. 56.
153
106
.... Beberapa hari berikutnya Busra mengenalkan aku kepada lebih banyak susunan huruf, sampai aku tahu susunan huruf untuk untuk seluruh anggota tubuhku.154 Kemudian orang tua itu menunjukkan huruf α untuk aku baca dengan bersuara. Disuruhnya aku melakukannya berulang-ulang. Setelah dia puas atas kemampuanku, ditulisnya huruf u. Dia membaca dengan meruncingkan mulutnya. Aku menirukannya. Berulang-ulang aku disuruh melakukannya sampai dia puas. Kemudian aku disuruhnya menulis huruf-huruf menurut gerakan mulutnya. Kedua huruf itu dapat aku tulis.155 Pengarang memunculkan tokoh tambahan seperti Busra dan Guru Andika untuk membantu tokoh utama memenuhi kebutuhan mengerti dan mengetahui. Saraswati menjadikan kedua sosok ini sebagai motivator dirinya untuk belajar. Terlihat betapa sulitnya Saraswati sebagai gadis bisu-tuli dalam belajar keterampilan berbahasa. Walaupun awalnya terkesan mustahil, tetapi ia terus berusaha tekun dan bersabar dalam menjalani proses mengatasi ketertinggalan hidupnya. Pemberian bimbingan yang teratur terutama dalam kecakapan berbahasa akan dapat membantu perkembangan intelijensi dan sosialnya. Akhirnya dengan motivasi intrinsik dan ekstrinsik mampu membuat Saraswati memenuhi kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti. Pencapaian ini menumbuhkan keyakinan dalam menerima dirinya, dengan kata lain kepercayaan diri semakin tinggi sehingga akan menunjukkan kematanganya dalam berperilaku. Semua yang dilakukan Saraswati dapat menjadi pelajaran bagi pembaca bahwa selain tekad kuat untuk melakukan suatu hal perlu adanya sosok yang dijadikan sebagai motivasi diri. 6. Motivasi Kebutuhan untuk Aktualisasi Diri Menurut Sardiman, kebutuhan untuk aktualisasi diri yakni pencapaian atas hasil usaha dalam bidang pengetahuan, sosial, dan pembentukan kepribadian dengan cara mengembangkan bakat.156 Kebutuhan ini menjadi kebutuhan tertinggi setelah kebutuhan-kebutuhan lainnya terpenuhi. Jadi dapat dikatakan, seseorang yang telah memenuhi seluruh kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah dari 154
Ibid., hlm. 55. Ibid., hlm. 60. 156 Sardiman A. M, op.cit., hlm. 81. 155
107
aktualisasi diri berarti mereka sudah mencapai potensi mereka yang paling maksimal. Dalam perjalanan atau proses kehidupan, keterbatasan membuat Saraswati sulit beradaptasi, mengembangkan sikap dan perilaku, mudah menyerah, merasa rendah diri dan tidak mampu melakukan aktivitas keseharian serta merasa dirinya tidak berguna. Kondisi seperti itu akan berdampak pada rendahnya kemampuan untuk dapat mengembangkan diri dalam mewujudkan kemandiriannya serta selalu bergantung kepada keluarga atau orang lain. Namun, pertemuan Saraswati dengan laki-laki buta yang pandai bermain alat musik menjadi motivasi ekstrinsik yang timbul dalam diri Saraswati seperti pada kutipan di bawah ini: .... Anak laki-laki yang buta itu telah memperoleh kesempatan untuk menjadi sesuatu yang lebih berarti lagi, hingga dia dapat ikut menikmati pergaulan yang merata antara sesama manusia. Kenapa dia bisa, tapi aku tidak diberikan kesempatan sama sekali. Dia toh tidak dengan sendirinya pandai memainkan alat musik itu. Dia toh mendapat pendidikan juga.157 Munculnya tokoh difabel lain pada bagian tujuh digunakan pengarang sebagai pemicu
timbulnya
motivasi
Saraswati
untuk
memperoleh
kesempatan
mengembangkan potensinya. Setiap anak memiliki potensi yang berbeda-beda termasuk tokoh utama. Potensi yang besar pada anak bisu-tuli (difabel) seperti Saraswati harus dilatih dan dikembangkan secara optimal supaya kemampuannya meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan pendidikan dan keterampilan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuannya. Keterampilan menyulam dan menjahit yang didapat dari Uni Ros menjadi salah satu usaha pemberdayaan kaum difabel seperti Saraswati untuk mengembangkan potensi dalam mencapai kemandirian. Keterampilan yang diperoleh dari Uni Ros akhirnya mampu membuktikan bahwa keterbatasan bukan menjadi penghalang dalam mencapai kebutuhan aktualisasi diri.158 Pencapaian Saraswati dalam memenuhi kebutuhan aktualisasi diri tidak terlepas dari dorongan keluarga yang memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Hal tersebut senada dengan pendapat Panut dan Ida, adanya dukungan juga perhatian 157
A. A. Navis, op.cit., hlm. 43. Lihat catatan kaki nomor 17.
158
108
dari orang tua dan keluarga menjadi motivasi yang sangat baik untuk keberhasilan seseorang.159 Maslow dalam Kuswara mengakui bahwa untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri tidak mudah. Banyak hambatan baik dalam diri sendiri maupun dari masyarakat atas upaya mewujudkan kebutuhan tersebut.160 Kondisi Saraswati yang bisu-tuli (difabel) dan tidak mengenal pendidikan membuatnya kesulitan dalam berkomunikasi dan mencapai kematangan sosial, sehingga tidak jarang mendapat penghinaan, penindasan dan ketidakadilan baik dari keluarga maupun lingkungan sekitar. Namun, pengarang memunculkan tokoh utama sebagai seorang gadis difabel yang memiliki motivasi tinggi untuk belajar keterampilan berbahasa agar dapat berkomunikasi dengan orang lain.161 Dengan bantuan tokoh Busra dan Guru Andika akhirnya Saraswati mempunyai kesempatan untuk memperoleh keterampilan berbahasa yang nantinya dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Pencapaian Saraswati akan kebutuhan aktualisasi diri dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni adanya keyakinan diri, kerja keras dan semangat. Semangat hidup merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan agar hidup lebih berguna. Keyakinan dan kerja keras menjadi motivasi untuk memberikan sesuatu yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Pencapaian akan kebutuhan aktualisasi diri dapat berpengaruh terhadap perilaku lingkungan sekitar seperti yang terlihat pada kutipan berikut: .... Yang menyenangkan dari segala-galanya ialah karena aku telah dapat membantu kesukaran orang lain dengan hasil usahaku sediri. Aku telah dapat membuatkan atau mempermak pakaian anak tetangga kami yang miskin. Bukan kepalang gembiranya mereka ketika menerima hasil kerjaku. Namun akulah yang lebih gembira dari mereka karena di samping telah memberikan jasaku, aku juga memberi kegembiraan kepada mereka.162 Kutipan di atas menggambarkan kepuasan yang timbul dari usaha Saraswati untuk melakukan yang terbaik dari yang ia bisa. Terlihat bahwa Saraswati memiliki
159
Panut Panuju dan Ida Umami, op.cit., hlm. 40. E. Koeswara, op.cit., hlm. 126. 161 Lihat catatan kaki nomor 40. 162 A. A. Navis, op.cit., hlm. 68. 160
109
kepercayaan diri terhadap potensi yang dimilikinya karena dengan usahanya ia mampu berguna dan memberi kebahagiaan kepada orang lain. Pencapaian Saraswati akan kebutuhan aktualisasi diri menjadi ajang pembuktian bahwa keterbatasan bukanlah halangan untuk hidup mandiri tanpa harus bergantung dengan orang lain, sehingga pembaca akan memiliki jiwa optimis dan kepercayaan diri untuk mengembangkan potensi yang dimiliki secara maksimal. Sesuai dengan pendapat Daniel mengenai konsep aktualisasi yang merujuk pada kecenderungan manusia untuk tumbuh dari makhluk sederhana menjadi sesuatu yang komplek, lalu berubah dari ketergantungan menuju kemandirian serta dari sesuatu yang tetap dan kaku menuju proses perubahan dan kebebasan berekspresi.163
C. Implikasi Analisis Motivasi Tokoh Difabel dalam Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Dalam proses belajar setiap peserta didik harus mempunyai suatu tujuan yang harus dicapai sehingga terjadi perubahan dalam diri mereka setelah mereka mengikuti sebuah proses pendidikan yang diberikan oleh guru. Motivasi memegang peranan yang penting dalam proses belajar. Dengan adanya motivasi, peserta didik dapat tekun dalam mengerjakan tugas, mandiri dalam memecahkan berbagai masalah, dan menunjukkan minatnya dalam belajar sehingga proses belajar mengajar akan berhasil dengan baik. Motivasi ekstrinsik dari seorang guru sangat penting untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Seperti yang dikatakan Sardiman bahwa “hasil belajar akan optimal kalau ada motivasi yang tepat”.164 Oleh karena itu guru bukan hanya sebagai pengajar tetapi juga berfungsi sebagai fasilitator, sehingga harus selektif dalam memilih media pembelajaran. Media yang diberikan harus bermanfaat bagi peserta didik dan menambah motivasi peserta didik untuk lebih bersemangat dalam belajar.
163
Aliya Tusyani, op.cit., hlm. 217. Sardiman A.M, op.cit., hlm. 75.
164
110
Menurut M. Atar Semi pelajaran sastra di sekolah bertujuan agar siswa memiliki kepekaan terhadap karya sastra sehingga merasa termotivasi dan tertarik untuk membacanya. Dengan membaca karya sastra diharapkan peserta didik memperoleh pengertian yang baik tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai dan mendapatkan ide-ide baru.165 Wahyudi Siswanto menambahkan dengan pendidikan sastra peserta didik diajak secara langsung untuk membaca, memahami, menganalisis dan menikmati karya sastra. Pendidikan semacam ini akan mengembangkan kemampuan berpikir, sikap dan keterampilan peserta didik.166 Guru hendaknya memperkenalkan peserta didik dengan karya sastra Indonesia salah satunya novel sebagai media pembelajaran yang menginspirasi dan relevan terhadap kehidupan sekarang. Pengalaman dan permasalahan yang terdapat dalam novel dapat memberikan pengalaman berharga kepada peserta didik untuk dijadikan pelajaran dalam memahami hakikat kehidupan. Seorang guru perlu cermat memilih novel bermutu untuk dihadirkan kepada pesera didik dalam pembelajaran apresiasi sastra. Salah satu karya yang cocok dan dapat dijadikan referensi dalam pembelajaran sastra adalah novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi (SSGdS) karya A. A. Navis. Penggunaan novel SSGdS sebagai media pembelajaran menarik peserta didik untuk mengetahui motivasi gadis difabel bernama Saraswati dengan berbagai persoalan hidup yang menimpanya dan akhirnya mampu mengaktualisasikan diri. Syarat untuk mencapai aktualisasi diri ialah memenuhi lima kebutuhan yang berada pada tingkat lebih rendah yakni, (1) kebutuhan fisiologis, (2) kebutuhan akan rasa aman, (3) kebutuhan akan cinta, (4) kebutuhan untuk dihargai, dan (5) kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti. Hasil analisis ini dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam kurikulum KTSP, pelajaran bahasa dan sastra Indonesia memiliki silabus yang di dalamnya terdapat Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang harus dicapai dan dikuasai oleh siswa. Dalam analisis ini terdapat analisis unsur-unsur 165
M. Atar Semi, Rancangan dan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1990), hlm. 152-153. 166 Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 168-169.
111
intrinsik yang dapat diimplikasikan pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas VIII semester genap. Dalam silabus terdapat SK yang harus dikuasai oleh peserta didik yakni memahami buku novel remaja (asli atau terjemahan). Kemudian KD yang harus dicapai ialah menjelaskan alur cerita, pelaku, dan latar novel (asli atau terjemahan), sehingga guru bahasa dan sastra Indonesia dituntut untuk kreatif menggunakan berbagai strategi dan metode dalam menyampaikan materi pelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran novel, strategi yang digunakan yakni pembelajaran interaktif dengan merujuk pada bentuk diskusi dan saling berbagi kesempatan di antara peserta didik untuk memberi suatu tanggapan. Untuk merealisasikan strategi tersebut, digunakan beberapa metode pembelajaran yakni tanya jawab, ceramah, diskusi, CTL, dan penugasan dan resitasi. Semua ini harus diupayakan dengan baik agar siswa menguasai materi tersebut dan tujuan pembelajaran dapat tercapai. Dalam mencapai tujuan pembelajaran mengenai novel, peserta didik akan mempraktikkan empat keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dua minggu sebelum materi pembelajaran, peserta didik sudah diberi tugas membaca novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis. Saat kegiatan belajar mengajar, peserta didik menyimak penjelasan dari guru terkait cara dan langkah-langkah menganalisis unsur intrinsik novel khususnya alur cerita, karakter tokoh dan latar cerita yang akan menjadi fokus pembahasan. Setelah peserta didik selesai menyimak penjelasan guru, peserta didik membentuk kelompok diskusi. Kemudian, secara berkelompok peserta didik diminta untuk mengidentifikasi dan menganalisis keterkaitan unsur intrinsik (karakter tokoh, alur cerita dan latar) pada novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Tiap kelompok mengerjakan tugas di Lembar Kerja Siswa (LKS) yang telah disiapkan oleh guru. Setelah tugas selesai, tiap kelompok mempresentasikan hasil diskusinya dengan bergantian sesuai nomor yang dipanggil. Kelompok lain diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan atas hasil presentasi kelompok temannya. Untuk menguji pemahaman mengenai
112
konsep-konsep yang telah dipelajari, di akhir pembelajaran peserta didik menjawab “Kuis Uji Kecocokan” yang telah disiapkan oleh guru. Melalui tahapan-tahapan pembelajaran di atas peserta didik dituntut untuk lebih berwawasan dan berpikir kritis lewat motivasi tokoh difabel yang tertuang dalam novel, sehingga diharapkan mampu lebih menghargai dan peduli terhadap penyandang disabilitas yang selama ini kerap tersisih dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari. Selain itu, peserta didik dapat mengambil contoh yang baik dari berbagai peristiwa dan motivasi yang tergambar dalam perilaku dan pikiran tokoh utama (difabel) untuk dijadikan bekal dalam berperilaku sehari-hari serta menjadi inspirasi dan semangat mereka dalam mencapai cita-citanya.
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai “Motivasi Tokoh Difabel dalam Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A. Navis dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”, dapat diambil beberapa kesimpulan yakni: 1. Tema dalam novel SSGdS yakni perjuangan tokoh difabel untuk memperoleh aktualisasi diri. Alur cerita tersusun secara kronologis. Ada banyak tokoh dalam novel SSGdS, namun tokoh penting dan menguasai isi cerita yakni Saraswati sebagai tokoh utama sekaligus narator, sedangkan Busra, Angah, Bisri, laki-laki tua bisu, Uni Ros (guru menjahit dan menyulam), dan Guru Andika sebagai tokoh tambahan. Pengarang menggunakan latar waktu cerita sekitar tahun 1958, ditandai dengan peristiwa PRRI. Pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama dan banyak menggunakan gaya bahasa. Amanat yang dapat diambil yakni, keterbatasan fisik jangan sampai membuat potensi yang kita miliki pun terbatas sehingga menjadi penghalang dalam mengapai cita-cita. 2. Motivasi tokoh difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis dianalisis berdasarkan teori kebutuhan bertingkat Abraham H. Maslow karena susunan kebutuhan dasar yang bertingkat itu mendasari motivasi manusia: 1) motivasi kebutuhan fisiologis yang terlihat dari keberhasilan Saraswati memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri; 2) motivasi kebutuhan akan rasa aman terlihat saat Saraswati merasa terlindungi dan tidak merasakan cemas atau takut yang berlebihan terhadap lingkungan sekitar; 3) motivasi kebutuhan akan cinta terlihat dari keyakinan Saraswati bahwa ada orang yang menyayangi dan memperdulikannya; 4) motivasi kebutuhan akan penghargaan diri terlihat dari penghargaan yang diterima Saraswati dari orang-orang sekitar atas pencapaian dari proses kerja kerasnya; 5) motivasi kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti terlihat dari keberhasilan Saraswati mengatasi ketertinggalan hidupnya; dan 6)
113
114
motivasi kebutuhan untuk aktualisasi diri terlihat dari timbulnya kepercayaan diri Saraswati terhadap potensi yang dimiliki. 3. Analisis motivasi tokoh difabel dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis dapat diimplikasikan pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas VIII semester genap. Dalam silabus KTSP terdapat SK yang harus dikuasai oleh peserta didik yakni memahami buku novel remaja (asli atau terjemahan). Kemudian KD yang harus dicapai ialah menjelaskan alur cerita, pelaku, dan latar novel (asli atau terjemahan). Melalui novel ini peserta didik dapat mengambil contoh yang baik dari berbagai peristiwa dan motivasi yang tergambar dalam perilaku dan pikiran tokoh utama (difabel) untuk dijadikan bekal dalam berperilaku sehari-hari serta menjadi inspirasi dan semangat peserta didik dalam mencapai cita-citanya.
B. Saran Berdasarkan hasil analisis dan simpulan yang telah diuraikan, ada beberapa saran yang diajukan penulis, yakni: 1. Diharapkan guru cermat memilih novel bermutu untuk dihadirkan kepada peserta didik dalam pembelajaran apresiasi sastra sebagai media pembelajaran yang menginspirasi dan relevan terhadap kehidupan sekarang. Salah satu karya yang cocok dan dapat dijadikan referensi dalam pembelajaran sastra adalah novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi (SSGdS) karya A. A. Navis. 2. Dari pengalaman dan permasalahan yang terjadi pada kaum difabel seperti tokoh utama dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi (SSGdS) karya A. A. Navis, diharapkan peserta didik dapat lebih menghargai dan peduli terhadap penyandang disabilitas yang selama ini kerap tersisih dalam pergaulan dan kehidupan seharihari. 3. Lewat motivasi tokoh difabel yang tertuang dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi (SSGdS) karya A. A. Navis diharapkan dapat memberikan pengalaman berharga kepada peserta didik untuk dijadikan pelajaran dalam memahami hakikat kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA A. M, Sardiman. Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2011. A. Navis, A. Saraswati Si Gadis dalam Sunyi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2002. Agustyawati dan Solicha. Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009. Atar Semi, M. Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa, 1990. Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi (Sebuah pengantar). Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, Cet. 4, 2009. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS, 2013. G. Goble, Frank. Mazhab Tiga (Psikologi Humanistik Abraham Maslow). Yogyakarta: Kanisius, 1987. Guntur Tarigan, Henry. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa, 2008. ,
. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa, 2011.
Handriatno. Teori Kepribadian Edisi Tujuh. Terj. dari Theories of Personality 7th Edition oleh Jess Feist dan Gregory. J. Feist. Jakarta Selatan: Salemba Humanika, 2013. Hayati dan Winarno Adiwardoyo. Latihan Apresiasi Sastra Penunjang Pengajaran Bahasa Sastra Indonesia. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh, 1990. Heru Santosa, Wijaya dan Sri Wahyuningtyas. Pengantar Apresiasi Prosa. Surakarta: Yuma Pustaka, 2010. Imam, Nurul. Motivasi dan Kepribadian. Terj. dari Motivation and Personality oleh Abraham H. Maslow. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, Cet. 4, 1993. 115
116
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004. Koeswara, E. Teori-teori Kepribadian. Bandung: PT. Eresco, Cet. 2, 1991. Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Majid, Abdul. Strategi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013. Minderop, Albertine. Psikologi Sastra (Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011. Muhibbinsyah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008. Napsiyah, Siti., dkk., Disabilitas (Sebuah Pengantar). Terj. dari Disability oleh Colin Barnes dan Geof Mercer. Jakarta: PIC UIN Jakarta, Cet.1, 2007. Ngalim Purwanto, M. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007. . Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. 5, 1992. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2013. Panuju, Panut dan Ida Umami. Psikologi Remaja. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Prastowo, Giri. Profil Sastrawan Indonesia. Jawa Barat: PT. Sukses Anugrah Kreasi, 2011. Saliwangi, Basennang. Pengantar Strategi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia. Malang: IKIP, 1989. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo, 2008. Soemanto, Wasty. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987. Supratiknya, A.
Psikologi Kepribadian 2 Teori-teori Holistik (Organismik-
Fenomenologis). Terj. dari Theories Of Personality oleh Calvin S Hall & Gardner Lindzey. Yogyakarta: Kanisius, 1993. Suroto. Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia Untuk SMTA. Jakarta: Erlangga, 1989.
117
Tusyani, Aliya., dkk., Kepribadian: Teori dan Penelitian. Terj. dari Personality: Theory and Reserch 10th Edition oleh Daniel Cervone dan Lawrence A. Pervin. Jakarta: Salemba Humanika, 2011. W. S, Hasanudin. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu, 2004. Wibowo B. S, Tri. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Terj. dari Educational Psychology 2ndEdition oleh John W. Santrock. Jakarta: Prenada Media Grup, 2008. Yusra, Abrar. Otobiografi A. A Navis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994. Mukminina, Amirah. “Pemberdayaan Penyandang Disabilitas Melalui Program Keterampilan Menjahit di Yayasan Wisma Cheshire Jakarta Selatan”, Skripsi pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta: 2013. Tidak dipublikasikan. Wulandari, Fajri. “Sejarah Pendidikan Inklusif di Dunia dan di Indonesia,” Makalah dibuat untuk memenuhi tugas matakuliah Pendidikan Inklusif. Kampus Serang: PGSD Universitas Pendidikan Indonesia, 2014. Organisasi Perburuhan Internasional. “Fakta Tentang Penyandang Disabilitas dan Pekerja Anak”. Jurnal Sosial, 2011. Repindowaty Harahap, Rahayu dan Bustanuddin. “Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD)". Jurnal Inovatif. Vol. VIII, 2015. Gunawan, Arya. “Ali Akbar Navis: Saya tidak Suka Bertaruh dalam Hidup”, Harian Kompas. Jakarta, 9 Oktober 1992. Ishak, Hikmat. “A. A. Navis: Saya Tak Mungkin Menjadi Pelipur Lara”, Harian Kompas. Jakarta, 20 November 1978.
118
.“Arti
Kata
Indonesia
Inggris
Kamus
Lengkap”.
www.artikata.web.id, 2015. Diakses pada tanggal 16 Desember 2015 pada pukul 13.29 WIB. .
“Arti
Nama
Saraswati
Jawa
Perempuan”.
www.kamuskbbi.id, 2016. Diakses pada tanggal 18 Juli 2016 pada pukul 07.15 WIB. .
. KBBI Online. http://kbbi.web.id, 2016. Diakses pada
tanggal 5 Maret 2016 pada pukul 16. 34 WIB. .
. Penyandang Disabilitas Masih Alami Diskriminasi.
http://sp.beritasatu.com, 2013. Diakses pada tanggal 16 Desember 2015 pada pukul 14.30 WIB. Administrator.
Lima
Warga
Difabel
Indonesia
yang
Berprestasi
dan
Menginspirasi Banyak Orang. http://www.indonesiabangga.com., 2015. Diakses pada tanggal 16 Desember 2015 pada pukul 13.10 WIB. Ali, Ahmad. “Sang Kepala Pencemooh dalam Sebuah Kisah Proses Kreatif A. A Navis”. http://ahmadali-laskar.blogspot.co.id, 2015. Diakses pada tanggal 16 Desember 2015 pada pukul 14.05 WIB. Kusahistoryan, D. “Kabupaten Solok Pada Masa PRRI”. http:// Peristiwa PPRI/PRRI
Dahulu, Kini dan Nanti
KABUPATEN SOLOK PADA
MASA PRRI.htm, 2009. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2015 pada pukul 13.34 WIB. Marchante, Rafael. Komisi Penyiaran Minta Televisi Ramah Kaum Difabel. http://tempo.co, 2015. Diakses pada tanggal 23 Maret 2016 pada pukul 13.38 WIB. Ningrum R, Dyah. Mengurai Benang Kusut Keadilan Bagi Perempuan Difabel. http://solider.or.id, 2013. Diakses pada tanggal 20 Desember 2015 pada pukul 13.21 WIB. Qurrataa’yun, Salsabila. Penyandang Disabilitas Butuh Pekerjaan, Pemerintah Diminta Buatkan Regulasi. http://news.okezone.com, 2016. Diakses pada tanggal 22 Maret 2016 pada pukul 17.56 WIB.
119
Rachman, Yudi. Sulitnya Disabilitas Mencari Pekerjaan. http://m.portalkbr.com, 2014. Diakses pada tanggal 22 Maret 2016 pada pukul 17.38 WIB. Saputra,
Endang.
Gerindra
Konsisten
Perjuangkan
Kaum
Difabel.
www.satuharapan.com, 2015. Diakses pada tanggal 11 Februari 2016 pada pukul 16.15 WIB. Supriyanto,
Ondo.
Irma
Suryati,
Kartini
dari
Karangsari.
http://carakubudidaya.blogspot.co.id, 2011. Diakses pada tanggal 18 Desember 2015 pada pukul 20.00 WIB. Susilo, Richard. Ribuan Penyandang Disabilitas di Jepang Mengalami Kekerasan dan Pelecehan. http://tribunnews.com, 2015. Diakses pada tanggal 23 Maret 2016 pada pukul 17.30 WIB. Thohirin.
Buka
Sejak
Dulu,
UIN
Tak
Fasilitasi
Mahasiswa Difabel.
http://www.lpminstitut.com, 2014. Diakses pada tanggal 18 Desember 2015 pada pukul 19.00 WIB. Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC). Sejarah YPAC. http://ypac-nasionalorg, 2016. Diakses pada tanggal 23 Maret 2016 pada pukul 14.15 WIB. Yulianto, Joni. Pernyataan Sikap: Cabut Persyaratan Diskriminatif SNMPTN 2014!. http://solider.or.id, 2014. Diakses pada tanggal 18 Desember 2015 pada pukul 19.45 WIB.
Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011. Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas). Biro Hukum Departemen Sosial RI, 2011. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 1958 Pasal 3. Tentang Ikatan Dinas dan Kedudukan Hukum Militer Sukarela. Presiden Republik Indonesia, 1958. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 1. Tentang Penyandang Disabilitas. Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 12. Tentang Penyandang Disabilitas. Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997.
120
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 13, Tentang Penyandang Disabilitas. Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 6. Tentang Penyandang Disabilitas. Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 7. Tentang Penyandang Disabilitas. Biro Hukum Departemen Sosial RI, 1997.
Lampiran 1
Tokoh Penyandang Disabilitas yang Menginspirasi dan Memotivasi di Indonesia Sebagai manusia dengan fisik dan mental sempurna, terkadang kita masih saja tidak mau berusaha dan bekerja lebih keras lagi. Terlebih jika ingin menjadi seorang yang sukses. Penyandang disabilitas telah memberikan banyak contoh, dengan semangat tinggi dan kerja keras, bahwa mencapai kesuksesan bukanlah suatu hal yang mustahil. Terlahir dengan ketidaksempurnaan bukan suatu alasan tidak menjadi sukses. Namun dengan doa, usaha dan kerja keras dapat memberikan sebuah hasil maksimal di tengah cobaan dalam menjalani kehidupan ini. Berikut akan diberikan contoh penyandang disabilitas yang menginspirasi dan memotivasi di Indonesia yang diambil dari salah satu artikel: a. M. Ade Irawan Penyandang tunanetra yang lahir pada 15 Januari 1994 di Colchester, Inggris sejak kecil memiliki bakat di bidang musik dan didukung oleh ibunya. Saat berusia 12 tahun permainan pianonya semakin luar biasa, ia juga sudah mulai tampil di Chicago Winter Jazz Festival. Ade juga mengikuti audisi khusus dengan musisi jazz Amerika Serikat, seperti Coco Elysses hevia, Peter Saxe, Ramsey Lewis, John Faddis, Dick Hyman, Ryan Cohen dan Ernie Adams. Ia bercita-cita menjadi pianis terkenal di dunia. b. Angkie Yudistia Penyandang tunarungu sejak usia 10 tahun namun hal itu tidak membuatnya pasrah dalam menjalani hidup. Ia mampu menyelesaikan pendidikannya di sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Tidak jarang ia menerima cacian dan hinaan dari teman-temannya di sekolah. Rasa malu sempat membuat Angkie menutup jati diri sebagai penyandang tunarungu. Kemudian, Angkie menyelesaikan studinya di jurusan periklanan di London School of Public Relations (LSPR) dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,5. Bahkan Angkie telah meraih gelas master setelah lulus di bidang komunikasi pemasaran lewat program akselerasi. Ia merupakan finalis Abang None mewakili wilayah Jakarta Barat pada 2008. Selain itu ia berhasil terpilih sebagai The Most Fearless Female Cosmopolitan (2008), serta Miss Congeniality dari Natur-e dan berbagai prestasi lainnya. Angkie mulai terlibat dengan kegiatan sosial pada tahun 2009 saat bergabung dengan Yayasan Tunarungu Sehijara. Sejak saat itu hingga kini, ia kerap menjadi pembicara dan delegasi Indonesia di berbagai kegiatan internasional di mancanegara yang berkaitan dengan kaum difabel. c. Gola Gong Pria bernama asli Heri Hendrayana Harris ini kehilangan tangannya sejak usia 11 tahun. Novelnya yang populer di kalangan remaja saat ia duduk di bangku SMA adalah “Balada Si Roy” awalnya dimuat berseri di majalah “Hai” dari tahun 19891994. Selain menulis novel, Gola Gong juga seorang traveller. Ia gemar menulis cerita-cerita perjalanan yang dialami. Sejak 2001 ia mendirikan komunitas kesenian Rumah Dunia di kawasan komplek Hegar Alam, Ciloang, Serang, banten. Dalam komunitas itu ia menyebarkan virus “Gempa Literasi” yaitu, gerakan kebudayaan menghancurkan kebodohan lewat kata (sastra dan jurnalistik), suara (musik), rupa (teater dan film), dan warna (melukis).1 d. Irma Suryati Pernah mengalami penolakan oleh perusahaan saat melamar kerja dengan alasan kekurangan fisik yang ia alami. Pengalaman itulah yang membuat Irma berniat untuk membuka usaha sendiri yakni kerajinan dari limbah garmen. Dipandang sebelah mata, remehan, dan cibiran kerap ia terima dari orang-orang di 1
Administrator, Lima Warga Difabel Indonesia yang Berprestasi dan Menginspirasi Banyak Orang, 2015, (http://www.indonesiabangga.com), diakses pada tanggal 16 Desember 2015 pada pukul 13.10 WIB.
Lampiran 1
sekelilingnya. Kini Irma memiliki sedikitnya 600 binaan perajin keset. Selain di Kebumen, mereka tersebar di Kabupaten Banyumas, Banjarnegara dan Purworejo. Sebanyak 150 orang di antaranya merupakan penyandang disabilitas. Dengan keterbatasan fisiknya Irma telah membuktikan bahwa penyandang disabilitas bisa mandiri. Semangat, kemandirian, dan dedikasinya memberdayakan para penyandang disabilitas itu mengantarkan Irma memperoleh banyak penghargaan, salah satunya menjadi “Wirausaha Muda Teladan Tingkat Nasional” tahun 2007 yang diberikan oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga.2 Tokoh-tokoh di atas telah membuktikan bahwa penyandang disabilitas mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh aktualisasi diri. Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis menceritakan tentang kehidupan tokoh difabel yang kerap mendapat penghinaan, penindasan dan ketidakadilan dari orang-orang sekitar. Dengan kesempatan dan dukungan dari keluarga, akhirnya Saraswati berhasil memperoleh aktualisasi diri.
2
Ondo Supriyanto, Irma Suryati, Kartini dari Karangsari, 2011, (http://carakubudidaya.blogspot.co.id), diakses pada tanggal 18 Desember 2015 pada pukul 20.00 WIB.
Lampiran 2
Sinopsis Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi Karya A. A Navis Novel ini seperti menjadi catatan harian dari seorang gadis bisu-tuli bernama Saraswati. Gadis difabel ini tinggal bersama orang tua dan keempat saudara laki-lakinya di Jakarta. Mereka termasuk keluarga yang cukup berada pada waktu itu. Ayahnya bekerja di pemerintahan dengan kedudukan tinggi, selalu membawa mobil dinas dan berpenghasilan tinggi. Kini seluruh keluarganya telah meninggal akibat penghadangan pasukan pemberontak dalam perjalanan kembali dari Bandung setelah menghadiri pesta perkawinan kerabat karib. Mobil yang mereka tumpangi jatuh ke jurang dan terbakar. Kini Saraswati menjadi yatim piatu. Saraswati selalu menghabiskan hari-harinya yang sunyi dengan mengenang perlakuan ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Ayah menjadi satu-satunya orang yang tidak pernah menganggap Saraswati sebagai gadis bisu-tuli. Hal ini membuat Saraswati merasa begitu dihargai dan dianggap keberadaannya. Ayahnya juga selalu memberikan contoh hal-hal baik. Hanya satu hal yang tidak diberikan ayahnya. Saraswati tidak disekolahkan oleh ayahnya seperti saudara-saudaranya karena waktu itu belum ada sekolah untuk orang bisu tuli. Lain hal dengan ibu yang mencurahkan kasih sayang dan perhatian melebihi kepada saudara-saudaranya. Tidak tanggung-tanggung ibunya akan memukul jika saudaranya menggoda dan mengejek Saraswati. Saudara-saudaranya memang terkenal nakal dan kadang terkesan cuek terhadap Saraswati namun sebenarnya mereka sangat melindungi dan menyayanginya. Atas kesepakatan keluarga besar, Saraswati harus meninggalkan Jakarta dan tinggal di rumah Angah yakni kota Padang Panjang, Sumatra Barat. Saat keberangkatan menuju Padang Panjang, di atas kapal timbul konflik yang terjadi akibat pertemuan Saraswati dengan penumpang laki-laki tua bisu yang menjadikannya bahan cemoohan penumpang lain karena melihat tingkah dan gerak-gerik laki-laki tua bisu. Hal itu membuat Saraswati sedih dan merasa tidak dihargai. Pengalaman tersebut telah membangkitkan keinginan Saraswati untuk menjadi orang hebat dan tidak dipandang sebelah mata akibat keterbatasannya. Kedatangan Saraswati di Padang Panjang disambut baik dan ramah oleh kedua anak Angah dan para tetangga. Ia mulai beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Tapi, konflik-konflik lain mulai muncul di tempat ini. Selama di Padang Panjang Saraswati ditugaskan untuk membantu Angah mengerjakan pekerjaan rumah mulai dari mencuci, membersihkan rumah dan memasak serta menjaga ternak yang kadang membuatnya kewalahan. Semua dilakukannya, walau kadang dia harus menerima perlakuan anak-anak kecil yang senantiasa menjadikan Saraswati sebagai media hiburan dan objek penindasan akibat kekurangannya. Mereka kadang-kadang melempari Saraswati sampai kepalanya berdarah dan jatuh pingsan. Sebagai seorang yang menumpang tinggal pada keluarga Angah, Saraswati harus rela pindah ke kamar sepen jorok dan berdebu yang letaknya terpisah di belakang rumah saat Pak Angah pulang dari kepergiannya memberikan pengajian. Hatinya serasa dilukai berkali-kali, tetapi keterbatasan dalam berbahasa membuatnya tidak dapat mengadu kepada siapa. Bertubi-tubi Saraswati mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari orang-orang sekitar yang membuatnya tidak tahan karena merasa diperlakukan tidak adil sehingga ia memutuskan untuk berontak mengurung diri dalam kamar, berteriak-teriak sambil menggedor-gedor pintu kamar. Keesokan harinya Saraswati membiarkan itik-itik dan kambing-kambingnya kelaparan. Namun kejadian itu diketahui oleh Busra yang tidak tega melihat penderitaan Saraswati dengan cara memberikan pengertian bahwa tujuan mereka memberikan semua tugas itu agar Saraswati bisa mengisi waktu. Mulai terjadi perubahan dalam hidup Saraswati setelah terjadi peristiwa pemberontakan yang ia lakukan. Angah memberi kesempatan pada Saraswati untuk memperoleh keterampilan menjahit, menyulam, dan merenda pada Uni Ros. Ternyata di tempat kursus itu, kemampuan Saraswati dalam menyusun warna lebih baik dari peserta
Lampiran 2
kursus lainnya. Hal ini memunculkan rasa percaya dirinya untuk lebih mengembangkan potensi. Saraswati sebenarnya mempunyai keinginan untuk belajar membaca, tetapi ia tidak tahu siapa yang bisa mengajarinya. Ketika ia ingin sekali memahami bacaan dari sebuah buku, datanglah Busra. Dengan susah payah Busra mengenalkan huruf-huruf yang ada dalam buku tersebut. Begitu juga Bisri yang ikut membantu mengenalkan huruf serta menuliskan sebuah nama yaitu “Saraswati”. Keesokan harinya Saraswati dibawa kepada seorang guru untuk belajar membaca, berbicara, dengan mengeluarkan bunyi dari mulut. Saraswati berusaha mempelajari semuanya dengan tekun. Akhirnya ia mampu mengucapkan beberapa kata yang dapat dipahami orang lain. Saraswati mendapat kiriman uang dari hasil penjualan barang-barang peninggalan orang tuanya di Jakarta. Dari uang itu ia dapat membeli mesin jahit serta memperbaiki kamarnya. Ia dapat menjahit, mempermak pakaian, bahkan dapat membantu kesukaran orang lain dengan hasil usahanya sendiri. Ia sudah bisa membuatkan pakaian anak tetangga yang miskin serta dapat menambah penghasilan sehari-hari dari hasil jahitannya. Bisri pergi meninggalkan rumah untuk menjadi tentara. Sebelum berangkat untuk mengikuti latihan militer, ia sempat mengucapkan cinta yang tulus pada Saraswati. Setiap bulan Bisri menyempatkan pulang untuk menemui keluarga dan Saraswati. Pada suatu ketika Saraswati dikejutkan dengan kedatangan Bisri yang kemudian memeluk serta mencium mata, hidung, mulut, dan leher Saraswati.Tak pelak tubuh Saraswati merasa aneh, sekujur tubuhnya dibasahi keringat dingin karena tak pernah sekalipun Saraswati diperlakukan seperti ini oleh seorang lelaki. Bulan berikutnya ketika Saraswati sudah berdandan secara khusus untuk menyambut kedatangan Bisri, Bisri tidak pulang. Peristiwa itu membuat Saraswati kecewa dan menangis lalu jatuh sakit. Tak lama kemudian terjadi kekacauan di kota Padang Panjang antara tentara PRRI dengan tentara pemerintahan. Banyak orang-orang kampung dipukuli sampai babak belur. Begitu juga yang dialami oleh Angah dan Busra. Mereka sempat dipukuli tentara. Berbagai pertanyaan muncul dalam diri Saraswati berkenaan dengan kekejaman yang dilakukan oleh tentara yang memasuki kampung halamannya. Suatu hari datanglah seorang perempuan menemui Angah. Namun tidak diketahui maksud dan tujuan perempuan itu. Keesokan harinya saat pagi masih gelap Angah mengajak Saraswati berjalan kaki menelusuri satu desa ke desa yang lain untuk bertemu dengan Bisri. Setelah menuruni dan mendaki beberapa bukit, tiba-tiba terdengar letusan senapan. Angah meninggal saat kejadian tersebut akibat salah satu peluru menembus dadanya. Saraswati amat terpukul dan sedih, untuk kesekian kali ia harus kehilangan orang yang disayangi. Saraswati tetap mengikuti rombongan pengungsi untuk mencari Bisri dengan berbagai penderitaan yang dialaminya. Suatu hari Saraswati berkenalan dengan Tati yang juga pengungsi. Pada saat itu, ia dikenalkan dengan ayah Tati. Mulai saat itu untuk mengisi waktu luang Saraswati kembali belajar membaca dan menulis oleh ayah Tati. Dengan menyibukkan diri, kekesalan menanti sebuah pertemuan mulai terobati. Suatu hari Saraswati melihat Tati sedang lari ke halaman dengan wajah yang riang serta berpegangan tangan dengan seorang pemuda yang ternyata adalah Bisri. Mengetahui hal itu hati Saraswati hancur karena merasa dikhianati oleh Bisri. Ia juga benci pada Tati yang telah merebut kekasihnya. Saat Tati dan Bisri mendekatinya, ia lari sejauh mungkin dengan membawa luka dan duka. Kini Saraswati benar-benar merasa sendiri, terpencil entah di mana dan tidak tahu mau ke mana. Ia putus asa dan rela mati di hutan belantara asal tidak berjumpa dengan Bisri dan Tati. Ketika menelusuri tebing dan bukit ia tergelincir, terkapar tak berdaya, haus, lapar dan merasakan nyeri pada seluruh tubuhnya sampai tak sadarkan diri. Namun jiwa Saraswati masih dapat tertolong berkat bantuan penduduk sekitar hutan yang menemukannya. Selama hidup dalam perang, Saraswati sering melihat kesengsaraan banyak korban yang luka dan mati, banyak rumah yang hangus dan hancur. Pada suatu pagi kembali terjadi kekacauan, ketika itu Saraswati sedang berada di dapur bersama perempuan yang
Lampiran 2
menolongnya. Tetapi belum sempat keduanya berlari, perempuan itu tertembak dan mati. Kepala Saraswati dihantam oleh tentara yang menyerang kampung itu hingga jatuh. Saraswati segera bangun dan berlari mencari pertolongan. Saat itu Saraswati bertemu dengan Busra. Saat Saraswati dan Busra ditahan kembali ke pedalaman, mereka bertemu dengan Kapten Hendro. Atas usaha dari Kapten Hendro, Saraswati dibawa ke Pusat Rehabilitasi Dr. Suharso di Solo untuk belajar membaca tulisan dan membaca gerak bibir orang yang berbicara. Sementara Busra tetap di Padang Panjang. Di Solo, kemahiran menulisnya diperlancar oleh asiknya berkirim surat kepada Busra. Di samping belajar membaca dan menulis, ia juga belajar berbagai mode pakaian perempuan. Suatu ketika Busra mengirimkan surat yang membuat mata Saraswati terpusat pada kalimat yang ditulis bergaris, “Sekarang usahaku dapat menghidupi lima sampai delapan orang”. Ia tersentak dan memahami maksudnya bahwa Busra telah siap hidup bersamanya. Kemudian Saraswati menelegram Busra dengan kalimat “Busra, aku mau pulang”. Enam hari kemudian tiba telegram balasan yang isinya “Tunggu, aku kan jemput kau”.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) NAMA SEKOLAH MATA PELAJARAN KELAS /SEMESTER ASPEK PEMBELAJARAN STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR
SMP....................... Bahasa dan Sastra Indonesia VIII (delapan) / 2 (genap) Membaca 15. Memahami novel (asli atau terjemahan) 15.1 Menjelaskan alur cerita, pelaku, dan latar novel (asli atau terjemahan) Nilai Budaya dan Kewirausahaan/ Indikator Pencapaian Kompetensi Karakter Bangsa Ekonomi Kreatif Keorisinilan Mampu menentukan karakter tokoh Kreatif Bersahabat/ Kepemimpinan dengan bukti yang meyakinkan. komunikatif Mampu menentukan alur cerita Gemar membaca dengan bukti yang meyakinkan. Mampu menentukan latar novel Tekun Tanggung jawab dengan bukti yang meyakinkan. Menganalisis keterkaitan antar unsur Rasa hormat dan perhatian intrinsik dalam novel. ALOKASI WAKTU 2 x 40 menit (1 pertemuan) TUJUAN PEMBELAJARAN TUJUAN Peserta didik mampu menentukan karakter tokoh dengan bukti yang meyakinkan. Peserta didik mampu menentukan alur cerita dengan bukti yang meyakinkan. Peserta didik mampu menentukan latar novel dengan bukti yang meyakinkan. Peserta didik mampu menganalisis keterkaitan antar unsur intrinsik dalam novel. MATERI POKOK Pengertian novel PEMBELAJARAN Unsur-unsur intrinsik dalam novel Cara menentukan karakter tokoh, alur cerita dan latar novel serta implementasinya METODE PEMBELAJARAN Tanya jawab Ceramah Diskusi kelompok Penugasan dan resitasi SUMBER BELAJAR Pustaka rujukan
Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP kelas VIII Jilid 2 karya Nurhadi, dkk., terbitan Erlangga 2007 halaman 147. Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis. Pengantar Teori Sastra karya Wahyudi Siswanto, terbitan Grasindo tahun 2008. Menganalisis Fiksi (Sebuah pengantar) karya Furqonul Aziez dan
Abdul Hasim, terbitan Ghalia Indonesia tahun 2010. Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiyantoro, terbitan Gajah Mada University Press tahun 2013. Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia Untuk SMTA karya Suroto, terbitan Erlangga tahun 1989. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi karya Albertine Minderop, terbitan Yayasan Obor Indonesia tahun 2005.
KEGIATAN PEMBELAJARAN TAHAP
KEGIATAN GURU
KEGIATAN SISWA
ALOKASI WAKTU
Pertemuan ke 1 PEMBUKA
INTI
Guru mengucapkan salam dan menanyakan kabar peserta didik. Guru dan peserta didik berdoa bersama sebelum pembelajaran. Guru melakukan absensi kelas. Guru mengingatkan peserta didik tentang tugas sebelumnya yakni membaca novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis. Guru memberikan informasi kompetensi, meteri, tujuan, manfaat, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan. Eksplorasi Guru menstimulus peserta didik untuk memanggil pengetahuan awal mereka tentang konsep novel dengan memberi pertanyaan: “Masih ingatkah kalian dengan materi novel?” “Apa yang kalian ketahui tentang novel? Guru memberikan umpan balik terhadap jawaban peserta didik. Guru menjelaskan secara lebih mendetail beberapa unsur intrinsik yaitu karakter tokoh, alur cerita dan latar cerita yang akan
Peserta didik menjawab 10 menit salam dan kabar dari guru. Peserta didik dipimpin oleh ketua kelas berdoa bersama guru. Peserta didik menyebutkan teman sekelas yang tidak hadir. Peserta didik diharapkan menyimak apa yang disampaikan guru terkait informasi kompetensi, meteri, tujuan, manfaat, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan.
15 menit Peserta didik diharapkan menjawab dengan antusias. Peserta didik menyimak penjelasan dari guru. Peserta didik mencatat hal-hal penting dari penjelasan guru mengenai beberapa unsur intrinsik yaitu karakter tokoh, alur cerita dan latar cerita yang akan menjadi fokus pembahasan. Peserta didik membentuk kelompok diskusi dengan mengambil potongan kertas berwarna dan bernomor.
menjadi fokus pembahasan. Guru memfasilitasi peserta didik untuk membentuk kelompok diskusi dengan memilih potongan kertas berwarna dan bernomor.
PENUTUP
Elaborasi Guru membantu peserta Tiap kelompok 35 menit didik untuk mengelaborasi diharapkan fokus dalam informasi yang didapat berdiskusi dan dengan memberi tugas memastikan anggota secara berkelompok: kelompok dapat mengerjakan tugas yang untuk menjelaskan diberikan: unsur intrinsik (karakter menjelaskan unsur tokoh, alur cerita dan latar) pada novel intrinsik (karakter Saraswati Si Gadis tokoh, alur cerita dan dalam Sunyi karya A. latar) pada novel A. Navis yang telah Saraswati Si Gadis dibaca dengan bukti dalam Sunyi karya A. kutipan yang A. Navis yang telah meyakinkan. dibaca dengan bukti kutipan yang untuk mengidentifikasi meyakinkan. keterkaitan antar unsur mengidentifikasi intrinsik (karakter tokoh, alur cerita dan keterkaitan antar unsur latar) dalam novel intrinsik (karakter Saraswati Si Gadis tokoh, alur cerita dan dalam Sunyi karya A. latar) dalam novel A. Navis yang telah Saraswati Si Gadis dibaca. dalam Sunyi karya A. Guru memberitahu waktu A. Navis yang telah pengerjaan tugas kelompok dibaca. dan mengingatkan agar Tiap kelompok dapat tepat waktu dalam mengatur proses menyelesaikannya. penyelesaian tugas dengan tepat waktu. Konfirmasi Guru menanyakan kepada Tiap kelompok tiap kelompok kendala apa mengemukakan kendala 10 menit saja yang didapat saat yang didapat saat proses proses penyelesaian tugas. penyelesaian tugas. Guru menyimpulkan hasil Peserta didik diharapkan 10 menit pembelajaran dan menyimak apa yang mengingatkan tugas untuk disampaikan guru terkait pertemuan selanjutnya simpulan hasil yakni mempresentasikan pembelajaran dan hasil diskusi. informasi tugas untuk Guru meminta ketua kelas pertemuan selanjutnya. memimpin doa. Peserta didik berdoa.
PENILAIAN TEKNIK DAN BENTUK
Tugas: Peserta didik diminta membaca novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis dua minggu sebelum materi pembelajaran. Peserta didik diminta berdiskusi untuk memahami unsur intrinsik (karakter tokoh, alur cerita dan latar) dalam novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis. Secara kelompok peserta didik diminta untuk mengidentifikasi dan menganalisis keterkaitan unsur intrinsik (karakter tokoh, alur cerita dan latar) novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis. Tangerang, 2 Maret 2016
Mengetahui, Kepala Sekolah
Guru Bahasa Indonesia
........................... NIP./NIK.
................................... NIP./NIK.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) NAMA SEKOLAH MATA PELAJARAN KELAS /SEMESTER ASPEK PEMBELAJARAN STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR
SMP....................... Bahasa dan Sastra Indonesia VIII (delapan) / 2 (genap) Membaca 15. Memahami novel (asli atau terjemahan) 15.1 Menjelaskan alur cerita, pelaku, dan latar novel (asli atau terjemahan) Nilai Budaya dan Kewirausahaan/ Indikator Pencapaian Kompetensi Karakter Bangsa Ekonomi Kreatif Keorisinilan Mampu menentukan karakter tokoh Kreatif Bersahabat/ Kepemimpinan dengan bukti yang meyakinkan. komunikatif Mampu menentukan alur cerita Gemar membaca dengan bukti yang meyakinkan. Mampu menentukan latar novel Tekun Tanggung jawab dengan bukti yang meyakinkan. Menganalisis keterkaitan antar unsur Rasa hormat dan perhatian intrinsik dalam novel. ALOKASI WAKTU 2 x 40 menit (1 pertemuan) TUJUAN PEMBELAJARAN TUJUAN Peserta didik mampu menentukan karakter tokoh dengan bukti yang meyakinkan. Peserta didik mampu menentukan alur cerita dengan bukti yang meyakinkan. Peserta didik mampu menentukan latar novel dengan bukti yang meyakinkan. Peserta didik mampu menganalisis keterkaitan antar unsur intrinsik dalam novel. MATERI POKOK Pengertian novel PEMBELAJARAN Unsur-unsur intrinsik dalam novel Cara menentukan karakter tokoh, alur cerita dan latar novel serta implementasinya METODE PEMBELAJARAN Tanya jawab Presentasi Kelompok CTL (Contextual Teaching and Learning) Penugasan dan resitasi SUMBER BELAJAR Pustaka rujukan
Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP kelas VIII Jilid 2 karya Nurhadi, dkk., terbitan Erlangga 2007 halaman 147. Novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis. Pengantar Teori Sastra karya Wahyudi Siswanto, terbitan Grasindo tahun 2008. Menganalisis Fiksi (Sebuah pengantar) karya Furqonul Aziez dan
Abdul Hasim, terbitan Ghalia Indonesia tahun 2010. Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiyantoro, terbitan Gajah Mada University Press tahun 2013. Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia Untuk SMTA karya Suroto, terbitan Erlangga tahun 1989. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi karya Albertine Minderop, terbitan Yayasan Obor Indonesia tahun 2005.
KEGIATAN PEMBELAJARAN TAHAP Pertemuan ke PEMBUKA
INTI
KEGIATAN GURU
KEGIATAN SISWA
ALOKASI WAKTU
2 Guru mengucapkan salam dan menanyakan kabar peserta didik. Guru dan peserta didik berdoa bersama sebelum pembelajaran. Guru melakukan absensi kelas. Guru memberikan informasi kompetensi, meteri, tujuan, manfaat, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan.
Peserta didik menjawab 10 menit salam dan kabar dari guru. Peserta didik dipimpin oleh ketua kelas berdoa bersama guru. Peserta didik menyebutkan teman sekelas yang tidak hadir. Peserta didik diharapkan menyimak apa yang disampaikan guru terkait informasi kompetensi, meteri, tujuan, manfaat, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan.
Eksplorasi Guru menstimulus peserta Peserta didik diharapkan didik untuk memanggil menjawab dengan pengetahuan mereka antusias. tentang pelajaran Peserta didik diharapkan sebelumnya dengan menyimak penjelasan memberi pertanyaan: dari guru. “Masih ingatkah kalian dengan materi sebelumnya?” “Apa saja yang telah kita pelajari tentang novel? “Bagaimana cara menentukan karakter tokoh?” “Bagaimana cara menentukan alur cerita?” “Bagaimana cara menentukan latar dalam
10 menit
novel?” Guru memberikan umpan balik terhadap jawaban peserta didik. Elaborasi Guru meminta peserta Peserta didik berkumpul didik untuk berkumpul dengan kelompok dengan kelompok masingmasing-masing. masing. Secara bergantian, nomor Guru memanggil salah satu yang dipanggil nomor peserta didik di melaporkan hasil setiap kelompok. diskusinya. Guru memberikan nilai, Kelompok lain diberi ulasan dan tanggapan atas kesempatan untuk setiap hasil presentasi memberikan tanggapan. kelompok.
PENUTUP
40 menit
Konfirmasi Guru meminta peseta didik Peserta didik mengungkapkan manfaat mengungkapkan manfaat 10 menit yang dapat diambil dari yang dapat diambil dari pembelajaran hari ini. pembelajaran hari ini dengan aktif. Guru memberikan “Kuis Peserta didik menjawab 10 menit Uji Kecocokan” untuk “Kuis Uji Kecocokan” mengukur pemahaman untuk mengukur mengenai konsep-konsep pemahaman mengenai yang telah dipelajari. konsep-konsep yang telah Guru meminta ketua kelas dipelajari. memimpin doa. Peserta didik berdoa.
PENILAIAN TEKNIK DAN BENTUK
Observasi kinerja/Demontrasi: Tiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi secara bergantian. Kelompok lain menyimak dan menanggapi setiap hasil presentasi kelompok. Tes tulis: Peserta didik menjawab “Kuis Uji Kecocokan” untuk mengukur pemahaman mengenai konsep-konsep yang telah dipelajari. Tangerang, 3 Maret 2016
Mengetahui, Kepala Sekolah
Guru Bahasa Indonesia
........................... NIP./NIK.
................................... NIP./NIK.
Uraian Materi A. Hakikat Novel 1. Pengertian Novel Definisi novel menurut Wahyudi Siswanto adalah “bentuk prosa rekaan yang lebih pendek dari roman. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu. Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Meskipun demikian, penggarapan unsurunsur intrinsiknya masih lengkap seperti tema, plot, latar, gaya bahasa, tokoh dan penokohan.”1 Sementara itu R. J Rees dalam Furqonul Aziez mengatakan bahwa novel adalah “sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup panjang, yang tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata dan digambarkan dalam suatu plot yang cukup kompleks.”2 2. Unsur Intrinsik Novel Mengidentifikasi alur, latar dan penokohan dalam novel yang dibaca: a. Alur Mengutip pendapat Abrams dalam Wahyudi Siswanto tentang pengertian alur yakni “rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahap-tahapan peristiwa sehingga menjadi sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.”3 Dengan demikian alur merupakan suatu urutan peristiwa yang terangkai menjadi satu kesatuan sehingga menghasilkan suatu cerita yang utuh. Tahap plot yang dikemukakan oleh Tasrif dalam Burhan Nurgiantoro dibagi menjadi lima tahapan yakni: 1) Tahap penyituasian Berisi pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini menjadi tahap pembuka pemberian informasi awal yang melandasi cerita berikutnya. 2) Tahap pemunculan konflik Masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang memicu timbulnya konflik mulai dimunculkan. Konflik tersebut nantinya akan berkembang pada tahap berikutnya. 3) Tahap peningkatan konflik Konflik yang dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita pun semakin mencekam dan menegangkan. 4) Tahap klimaks Konflik atau pertentangan yang terjadi baik yang dilakukan atau dialami para tokoh cerita mencapai titik puncak. Biasanya klimaks tersebut akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. 5) Tahap penyelesaian Konflik yang telah mencapai klimaks kemudian diberi jalan keluar hingga cerita berakhir.4 b. Latar Suroto menjelaskan bahwa latar berfungsi sebagai pendukung alur dan perwatakan. Gambaran situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang sedang dikemukakan. Untuk dapat melukiskan latar yang tepat pengarang harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keadaan atau waktu yang akan digambarkannya. Hal
1
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 141. Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi (Sebuah pengantar), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 1 3 Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 159. 4 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2013), hlm. 209-210. 2
itu dapat diperoleh melalui pengamatan langsung atau melalui bacaan-bacaan serta informasi dari orang lain.5 Burhan Nurgiantoro yang membagi unsur latar menjadi tiga bagian yakni: 1) latar tempat, menunjukan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan; 2) latar waktu, berhubungan dengan “kapan” terjadinya suatu peristiwa yang diceritakan; dan 3) latar sosial-budaya, berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan.6 c. Tokoh dan penokohan Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang pasti ada. Tokoh sangat penting dalam cerita, karena tokoh merupakan unsur yang membawakan cerita dari awal hingga akhir. Menurut Aminudin dalam Wahyudi Siswanto yang disebut sebagai tokoh adalah pembawa peristiwa dalam cerita rekaan sehingga terjalin suatu cerita, sedangkan cara pengarang dalam menampilkan tokoh disebut sebagai penokohan.7 Ada beberapa cara menurut Aminuddin dalam Wahyudi Siswanto untuk memahami watak tokoh yakni melalui: “1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya; 2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara berpakaian; 3) menunjukkan bagaimana perilakunya; 4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri; 5) memahami bagaimana jalan pikirannya; 6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya; 7) melihat tokoh lain berbicara dengannya; 8) melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain memberikan reaksi terhadapnya; dan 9) melihat bagaimana tokoh itu dalam reaksi tokoh yang lain.” 8 Menurut Burhan Nurgiantoro, tokoh-tokoh dalam cerita dapat dibedakan dalam beberapa kategori menurut sudut pandang dan tinjauan tertentu: 1) tokoh utama (tokoh yang tergolong penting dan mendominasi sebagian besar cerita) dan tokoh tambahan (tokoh yang hanya sekali atau beberapa kali dimunculkan dan mendapat porsi penceritaan yang relatif pendek); 2) tokoh protagonis (tokoh yang mengalami konflik) dan antagonis (tokoh yang menjadi penyebab terjadinya konflik); 3) tokoh sederhana (tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi atau watak tertentu) dan tokoh bulat (tokoh yang memiliki berbagai sisi kehidupan, kepribadian dan jati diri); 4) tokoh statis (tokoh yang tidak mengalami perubahan watak sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi) dan berkembang (tokoh yang mengalami perubahan watak sejalan dengan tuntutan peristiwa secara keseluruhan; dan 5) tokoh tipikal (tokoh yang diciptakan berdasarkan persepsi tokoh di dunia nyata) dan netral (tokoh imaji yang hanya hidup dalam cerita).9
5
Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia Untuk SMTA, (Jakarta: Erlangga, 1989), hlm. 94. 6 Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 314-322. 7 Wahyudi Siswanto, op.cit., hlm. 142. 8 Ibid., hlm. 145. 9 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm. 258-278.
Lembar Kerja Siswa (LKS) Kelompok ke- : Anggota kelompok : Analisislah unsur alur, latar, tokoh dan penokohan dari novel Saraswati Si Gadis dalam Sunyi karya A. A. Navis: No. Unsur Intrinsik Jawaban Bukti 1. Alur a) Penyituasian b) Pemunculan konflik c) Peningkatan konflik d) Klimaks e) Penyelesaian
2.
3.
Latar a) Waktu b) Tempat c) Sosial-Budaya
Tokoh dan penokohan
Jawaban Lembar Kerja Siswa (LKS) No. 1.
Unsur Intrinsik Alur a) Penyituasian
Jawaban
Bukti
Pada bagian awal penceritaan A. A. Navis sebagai pengarang menggunakan diksi yang amat puitis untuk mengenalkan tokoh utama. Pada bagian ini pembaca sudah menangkap informasi awal mengenai kenyataan yang harus dijalani oleh tokoh utama dengan keadaan yang serba sunyi.
Sunyi adalah duniaku. Sunyi adalah nasibku. Sunyi dunia tanpa bunyi, tanpa suara. Segala-galanya sunyi. (A. A. Navis, hlm. 1)
b) Pemunculan konflik
Konflik pertama muncul pada bagian empat, bermula saat Angah membawa Saraswati untuk tinggal di Padang Panjang. Di atas kapal menjadi tempat konflik pertama yang terjadi akibat pertemuan Saraswati dengan lakilaki tua bisu yang menjadikannya bahan tertawaan seluruh penumpang, bahkan Angah. Peristiwa tersebut menjadi sumber konflik batin bagi Saraswati yang hanya bisa menangisi nasib sebagai gadis bisu-tuli.
.... Dia senang berolok-olok. Dia puas memperolok-olok aku. Kenapa dia tidak solider kepadaku, gadis yang sama cacatnya dengan dia? Aku sungguhsungguh ingin melemparinya dengan apa saja. (A. A. Navis, hlm. 13)
c) Peningkatan konflik
Selama di Padang Panjang Saraswati ditugaskan untuk membantu Angah mengerjakan pekerjaan rumah dan menggembala ternak. Kondisinya yang bisutuli membuat Saraswati mengalami masalah dalam berkomunikasi.
Pengalaman pahit yang senantiasa aku terima dari anak-anak itu, menyebabkan aku menjadi takut kepada mereka. Senantiasa aku berusaha menghindar dari gerombolan anakanak itu. Tambah banyak mereka bergerombol tambah nakallah mereka. Malah kenakalan itu mereka lakukan juga sendiri-sendiri bila berahadapan denganku. Umpamanya ketika berpapasan di jalan, lalu setelah
d) Klimaks
Hal tersebut seringkali membuatnya dilecehkan dan statusnya dianggap rendah. Seperti yang terjadi ketika bertemu dengan anak-anak kecil saat menggembala ternak.
aku agak jauh sedikit, aku dilempari dengan apa saja yang ada di tangannya. Kadang-kadang juga aku dipukul dengan tangannya yang kecil, lalu dia lari jauhjauh. (A. A. Navis, hlm. 25-26)
Sebagai seorang yang menumpang tinggal pada keluarga Angah kebutuhan fisiologis Saraswati tidak terpenuhi dengan baik. Hal tersebut menjadi konflik ketiga yang harus dihadapi Saraswati. Konflik ini timbul ketika Pak Angah pulang setelah lama meninggalkan rumah untuk memberi pengajian. Saraswati yang selama ini tidur di kamar Angah, kini harus pindah ke kamar sepen jorok dan berdebu yang letaknya terpisah di belakang rumah. Namun keterbatasan memaksanya untuk menerima ketidakadilan tersebut tanpa bisa menentang.
Dengan perasaan pahit, aku kerjakan apa yang disuruh Angah. Aku pindahkan barang-barang tua yang berat-berat itu seorang diri ke kolong rumah. Sungguh aku tidak menangis, Saudaraku, meski aku ingin sekali. Cuma perasaanku sangatlah getir dan hatiku menjerit-jerit. (A. A. Navis, hlm. 30)
Klimaks pada novel terjadi pada bagian tujuh ketika Saraswati benarbenar sudah tidak tahan dengan perlakuan tidak adil orang-orang padanya. Selama ini ia sudah sabar dan membiarkan hatinya tersiksa oleh perlakuan mereka. Namun, seringnya mengalami kekecewaan karena kesulitan dalam menyampaikan pikiran perasaan kepada orang lain membuat Saraswati
Aku kira Busra mulai memahami maksudku, karena dia menganggukangguk setiap aku menunjukkan perbandingan yang mencolok itu padanya. Namun aku belum puas. Aku jajarkan tangannya ke kandang kambing. Lalu aku menjerit-jerit lagi, sehingga terasa getaran suara itu di seluruh tubuhku. Aku gerakgerakkan tanganku dengan kacau agar ia tahu betapa segalanya telah menjadi kacau oleh mereka semua. (A. A. Navis, hlm. 30)
mengekspresikan semuanya dengan kemarahan. e) Penyelesaian
2.
Latar a) Waktu
b) Tempat
Pada tahap akhir ini mulai terjadi kekenduran dari klimaks dan konflik-konflik yang ada dalam cerita. Saraswati yang sejak awal diceritakan tersia-sia karena penghinaan, penindasan dan ketidakadilan menjadikan hal itu sebagai motivasi untuk terus berusaha. Aksi protes yang dilakukan Saraswati dalam menuntut haknya terhadap keluarga Angah akhirnya berhasil. Kini sampailah pada tahap dimana ia benar-benar bersyukur dengan hidupnya yang baru. Kerja keras yang disertai dengan perjuangan tentu membuahkan hasil yang menyenangkan.
Saudaraku, kini aku mulai sungguhsungguh merasakan bahwa hidup ini berarti. Sebagai gadis bisu-tuli yang selama ini tersia-sia, yang hidup atas belas kasihan dan yang hanya dapat disuruh menjadi gembala, kini aku telah mempunyai kehidupan sebagaimana yang aku rindukan. Hidup seperti gadis-gadis lain, karena kekurangan yang ada padaku hampir tidak berarti lagi. Apalagi bila suatu waktu aku mendapat kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi. (A. A. Navis, hlm. 66)
Dalam novel terjadi peristiwa pemberontakan yang melibatkan dua pihak secara garis besar yaitu daerah dan pusat. “Pusat” yang dimaksud adalah Jakarta sebagai ibukota negara sekaligus pusat kekuasaan, dan “daerah” yang dimaksudkan adalah Sumatra Barat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengarang menggunakan latar waktu cerita sekitar tahun 1958.
Saudaraku, lama kemudian aku baru tahu, bahwa yang berperang di masa itu ialah tentara PRRI dengan tentara pemerintah. Kata Busra, kalau tentara pemerintah tidak beringas, pastilah tentara PRRI akan cepat menyerah, karena perang itu tidak ada gunanya. Akan tetapi karena pada diri tentara itu telah ditumbuhkan perasaan membenci, mereka didorong menjadi beringas, meski kepada bangsa sendiri. (A. A. Navis, hlm. 94)
Latar tempat yang Dalam perasaan gamang itulah aku pertama muncul dalam meninggalkan kota Jakarta. Kota yang
c) Sosial-Budaya
cerita adalah Jakarta. Penggambaran latar ini memberi arahan kepada pembaca bahwa tokoh utama yang hidup bahagia menjadi berubah dengan kesedihan akibat kehilangan seluruh anggota keluarganya dan harus meninggalkan Jakarta untuk tinggal bersama Angah.
telah memberi tempat cinta kasih ayah bundaku. Kota yang memberi naungan hidup bersama semua saudara-saudaraku. Aku meninggalkan Jakarta, meninggalkan segala yang aku cintai. (A. A. Navis, hlm. 12)
Latar tempat yang kedua yakni di atas kapal menuju Padang Panjang. Tempat ini digunakan pengarang untuk memunculkan konflik Saraswati dengan seorang laki-laki tua bisu.
…. Sungguh hatiku tak tahan menderita penghinaan demikian. Maulah aku lari dan terjun ke laut karenanya. Dan tak seorang pun yang membelaku. Oh, tak seorang pun. Angah malah ikut tertawa, karena angah pun mengharapkan bantuan laki-laki bisu itu untuk mengambil ransum kapal. Dan untuk mengharapkan bantuan kecil itu, dibiarkan aku diolokolok terus. (A. A. Navis, hlm. 14)
Latar tempat ketiga yaitu Padang Panjang. Padang Panjang dipilih pengarang sebagai latar cerita perjuangan Saraswati dalam memperoleh aktualisasi diri. Di tempat ini muncul berbagai tokoh lain dan konflik yang harus dihadapi tokoh utama hingga akhirnya memperoleh aktualisasi diri.
…. Yang menyenangkan dari segalagalanya ialah karena aku telah dapat membantu kesukaran orang lain dengan hasil usahaku sendiri. Aku telah dapat membuatkan atau mempermak pakaian anak-anak tetangga kami yang miskin. Bukan kepalang gembiranya mereka ketika menerima hasil kerjaku. (A. A. Navis, hlm. 68)
Pengarang menampilkan latar sosial masyarakat Padang Panjang yakni dengan beternak. Seperti yang dialami oleh Saraswati setelah berada di Padang Panjang, ia belajar bagaimana memelihara dan menggembalakan itik, kambing serta ayam agar uang hasil penjualan hewan-hewan itu dapat digunakan untuk
…. Setelah pagi-pagi aku memberi makan itik, barulah kemudian aku giring kambing-kambing itu ke pemakaman menyusuri sisi rel kereta api. Sepanjang jalan aku biarkan kambing itu mencari makan pada tebing di sisi rel, sambil aku memegang ujung talinya. (A. A. Navis, hlm. 33)
memenuhi hidupnya.
3.
Tokoh dan penokohan a) Saraswati
kebutuhan
Penggambaran desa yang indah dengan hamparan hijaunya persawahan yang membentang sampai ke kaki gunung dan perkampungan yang dikelilingi pohon-pohon rindang terdapat pada novel.
Sesayup mata memandang aku lihat persawahan membentang sampai ke kaki gunung yang puncaknya diliputi awan. Kaki gunung itu bersalaman dengan kaki gunung di sebelahnya yang puncaknya tidak berawan. Di tengah-tengah persawahan yang luas itu, banyak kampung-kampung berserakan. Atap seng rumah kelihatan di sela- sela pohon-pohon yang rindang dan pohon yang nyiur. (A. A. Navis, hlm. 115)
Dalam kehidupan kita memerlukan interaksi yang baik dengan orangorang di lingkungan sekitar. Salah satu caranya dengan tegur sapa. Dalam novel diperlihatkan pengarang lewat sambutan orangorang kampung terhadap kedatangan Saraswati di Padang Panjang.
…. Mereka menegurku dengan lambaian tangan atau dengan tawa ramah. Aku hanya membalas dengan senyum, karena aku tidak suka menggunakan tangan untuk berbicara. (A. A. Navis, hlm. 24)
Pengarang membuat tokoh utama sebagai gadis difabel (bisu-tuli) dan yatim piatu.
Aku seorang gadis. Dari kecil telah begini dan aku tidak tahu kapan nasib begini bermula. Aku punya dua orang kakak laki-laki. Dua orang adik, juga laki-laki. Aku punya ayah dan ibu. Tapi mereka semua telah tiada lagi kini, Saudaraku. Mereka telah meninggal oleh suatu penghadangan pasukan pemberontak dalam perjalanan kembali dari Bandung. Mobilnya jatuh ke jurang dan terbakar. (A. A. Navis, hlm. 2)
Dengan kondisi bisutuli, Saraswati banyak dihinggapi kecemasan karena menghadapi lingkungan yang beraneka ragam. Hal tersebut kerap membuatnya merasa rendah diri, selalu menganggap dirinya
…. Sampai dimanakah kemampuanku? Apakah aku akan menjadi manusia yang berharga di tengah-tengah manusia yang tidak cacat? Kalau seandainya aku bisa mencapainya, bagaimanakah caranya? (A. A. Navis, hlm. 15)
tidak memiliki kelebihan apapun dan tidak percaya diri hidup di tengah orang-orang normal.
b) Busra
C) Angah
Pengarang menggambarkan Saraswati sebagai sosok perempuan yang tegar, tabah dan sabar dalam menghadapi segala ujian hidup yang bertubi-tubi menimpanya.
Pukulan demi pukulan telah menimpa perasaanku. Sekali lagi aku katakan kepadamu, Saudaraku, aku tidak pernah menangis lagi meski hatiku telah demikian luluh. (A. A. Navis, hlm. 30)
Pengarang juga menggambarkan sosok Saraswati sebagai seorang gadis bisu-tuli yang mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.
… para tetangga sudah mulai banyak minta aku membuatkan pakaian mereka. Seperti kebaya atau baju anak-anak mereka yang laki-laki atau perempuan. Mereka memberi aku uang menurut sukanya saja. Uang jahitan itu aku berikan pada Angah untuk membantu biaya rumah tangga kami. Akan tetapi hasil dari peternakan ayam disuruh Busra agar aku simpan sendiri. (A. A. Navis, hlm. 66)
Busra termasuk tokoh statis karena memiliki sikap dan watak yang tetap, cenderung tidak berkembang sejak awal hingga akhir cerita. Sejak awal hingga akhir kemunculannya Busra digambarkan sebagai tokoh baik.
…. Hanya Busra yang menunjukkan perhatiannya. Seperti biasa yang dilakukannya, diletakkannya tangannya yang besar itu ke bahuku dan ditatapnya aku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Itulah caranya menghiburku. (A. A. Navis, hlm. 32)
Busra termasuk tokoh tambahan yang berpengaruh memotivasi tokoh utama agar mampu bergaul dengan orang lain dan memaksimalkan potensi yang dimiliki.
…. Aku memahami maksud Busra, bahwa ia ingin mengatakan padaku, banyak orang cacat lainnya, tapi dapat bergaul dengan semua orang dan mampu memainkan alat musik untuk membuat suasana jadi gembira. Tahulah aku maksud Busra, bahwa ia ingin mendorong aku untuk memulihkan harga diriku. (A. A. Navis, hlm. 42)
Angah termasuk tokoh tambahan yang tidak banyak mempengaruhi perkembangan alur, namun berpengaruh terhadap perubahan
…. Lalu aku dibawa Angah ke rumah yang tidak begitu jauh dari rumah kami. Banyak gadis-gadis di sana sedang menjahit dan menyulam. (A. A. Navis, hlm. 45)
hidup tokoh utama. Terlihat pada perubahan sikap Angah yang akhirnya memberi kesempatan pada Saraswati untuk mengembangkan potensi dengan membekalinya keterampilan. d) Bisri
Bisri termasuk tokoh antagonis karena menjadi penyebab terjadinya konflik pada diri Saraswati. Bisri diceritakan sempat melakukan pelecehan seksual terhadap Saraswati saat kembali dari kepergiannya. Hal ini sedikit janggal karena sebagai seorang tentara yang berlatarbelakang anak dari seorang ulama, Bisri menunjukkan sikap yang tidak terpuji.
Ada sesuatu yang memukul-mukul dalam dadaku. Aku menghindar dengan pura-pura hendak mengambil teko di rak piring. Tak dibiarkannya aku pergi dengan mengetatkan rangkulan. Lalu kedua tangannya memelukku dengan erat, sehingga seluruh tubuhku merapat ke tubuhnya. Kepalanya merunduk. Dia mencium pipiku, mataku, leherku dan bibirku. Dan…seluruh tubuhku bergetar. Ketika otakku berkata bahwa perbuatan Bisri itu tidak pantas dilakukannya kepadaku, aku tolak dia dengan seluruh kekuatanku. (A. A. Navis, hlm. 70-71)
e) Laki-laki tua Laki-laki tua bisu ini bisu menjadikan Saraswati sebagai bahan olokoloknya demi menggembirakan semua penumpang. Dari kejadian tersebut, dapat dikatakan bahwa lakilaki bisu ini merupakan tokoh antagonis karena menyebabkan timbulnya konflik pada tokoh utama
…. Sekali dia menyatakan perasaan cintanya terang-terangan dan mengajak aku menjadi istrinya dengan gerak-gerik di hadapan Angah. Semua orang tertawa dan bahkan ada yang bertepuk tangan melihat permainannya. (A. A. Navis, hlm. 13)
Termasuk tokoh tambahan karena tidak banyak mempengaruhi perkembangan alur, namun berpengaruh terhadap motivasi tokoh utama untuk mengaktualisasikan diri.
…. Pengalaman di kapal itu telah membangkitkan keinginan untuk menjadi orang bisu-tuli yang hebat. Bahkan lebih hebat dari manusia lainnya, agar orang-orang jangan selamanya memandang manusia cacat seperti kami sebagai manusia yang gunanya hanya untuk bahan olok-olok atau sebagai orang suruhan semata. (A. A. Navis, hlm. 19)
f) Uni Ros
Tokoh tambahan ini dihadirkan pengarang sebagai perempuan yang ramah, namun sempat putus asa karena kesulitan untuk mengajari Saraswati akibat keterbatasannya dalam berkomunikasi.
…, karena aku bisu dan tuli. Itulah pangkal kesulitan dari segala macam kesulitan yang menimpa diriku. Guruku sampai tampak putus asa memberikan pelajaran kepadaku. (A. A. Navis, hlm. 46)
g) Guru Andika
Tokoh tambahan ini termasuk orang yang sangat ramah. Selain itu ia juga baik hati, ia mengajari Saraswati dengan penuh kesabaran tanpa mengenal lelah dan putus asa.
…. Kemudian ditunjuknya huruf-huruf yang serupa pada ketiga kata itu. Lalu dingangakannya mulutnya lebar-lebar. Aku pun disuruhnya menganga. Dia melakukannya berulang-ulang. Aku pun meniru. Tapi selalu dia menggeleng setiap kali aku menganga. (A. A. Navis, hlm. 59)
Penilaian Kelompok Kelompok keAnggota kelompok Kelas Tanggal penilaian No.
: : : :
Aspek-aspek yang dinilai A
1. 2.
Antusiasme peserta kelompok dalam penyusunan tugas. Kemampuan bekerjasama atau berdiskusi.
3.
Ketuntasan menyelesaikan tugas.
4.
Keberanian dalam mengemukakan pendapat.
5.
Tingkat perhatian pada kelompok lain yang sedang mempresentasikan hasil diskusi.
Nilai B
C
Petunjuk: Lembar ini diisi oleh guru untuk menilai kelompok dalam menyelesaikan tugas dan mengemukakan pendapat. Berilah tanda ceklis (√) pada kolom skor sesuai dengan sikap sosial yang ditunjukkan oleh peserta didik dalam kelompok dengan kriteria sebagai berikut: Baik sekali (A) : skor 81-90 Baik (B) : skor 71-80 Cukup (C) : skor 61-70 Kurang (D) : skor 51-60
D
“Kuis Uji Kecocokan”
Unsur latar
Tahapan alur Pengertian alur
1) tokoh utama dan tokoh tambahan
tokoh-tokoh dalam cerita
1) Tempat 2) Waktu 3) Sosial-Budaya
Perbedaan tokoh dan penokohan
1) Penyituasian 2) Pemunculan konflik 3) Peningkatan konflik 4) Klimaks 5) Penyelesaian
2) tokoh protagonis dan antagonis 3) tokoh sederhana dan tokoh bulat 4) tokoh statis dan berkembang 5) tokoh tipikal dan netral
Rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahap-tahapan peristiwa sehingga menjadi sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.
Tokoh adalah pembawa peristiwa dalam cerita rekaan sehingga terjalin suatu cerita, sedangkan cara pengarang dalam menampilkan tokoh disebut sebagai penokohan.
Jawaban “Kuis Uji Kecocokan” Pedoman penskoran: Jumlah benar x 20 = 100
Unsur latar
Tahapan alur Pengertian alur
tokoh-tokoh dalam cerita
1) Tempat 2) Waktu 3) Sosial-Budaya
Perbedaan tokoh dan penokohan
1) Penyituasian 2) Pemunculan konflik 3) Peningkatan konflik 4) Klimaks 5) Penyelesaian
1) tokoh utama dan tokoh tambahan 2) tokoh protagonis dan antagonis 3) tokoh sederhana dan tokoh bulat 4) tokoh statis dan berkembang 5) tokoh tipikal dan netral
Rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahap-tahapan peristiwa sehingga menjadi sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.
Tokoh adalah pembawa peristiwa dalam cerita rekaan sehingga terjalin suatu cerita, sedangkan cara pengarang dalam menampilkan tokoh disebut sebagai penokohan.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Madhensia Putri Pratiwi lahir di Tangerang 2 Maret 1993. Anak pertama dari Bapak Medi Prayitno dan Ibu Budiwiyati ini memulai pendidikan dasar di SD Negeri Pondok Makmur, lalu melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 8 Tangerang. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 5 Tangerang sebelum akhirnya memilih untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yakni di Universitas Islam Negeri Jakarta. Dari kecil penulis bercita-cita untuk menjadi seorang guru. Itulah yang menjadi salah satu alasan penulis memilih Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis termasuk orang yang menyukai kesenian, hal ini terlihat dari kecil hingga sekarang sering mengikuti pementasan seni. Ia tercatat pernah memenangkan lomba tari tradisional di sebuah mall. Ia juga sempat mengikuti kegiatan POSTAR (Pojok Seni Tarbiyah) dengan mengambil elemen saman. Selain itu penulis juga sempat mengikuti beberapa pementasan drama yakni pementasan drama 1001 Malam yang diselenggarakan oleh POSTAR, drama Cipoa karya Putu Wijaya yang diselenggarakan oleh jurusan PBSI (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), dan drama Cannibalogy karya Benny Johanes yang diselenggarakan oleh UKM Teater Syahid.