KODE TUTUR DAN PEMILIHAN BAHASA TOKOH DALAM NOVEL “SARASWATI” KARYA KANTI W. JANIS (Kajian Sosiolinguistik) Afi Fadlilah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, UPI
Tokoh dalam novel „Saraswati‟ karya Kanti W. Janis merupakan salah satu novel yang tokohnya memiliki banyak bahasa (multilingual), yaitu bahasa Indonesia (BI), bahasa Belanda (B.Bel), bahasa Inggris (B.Ingg), dan bahasa Daaerah (BD). Hal ini menimbulkan gejala sosiolinguistik berupa campur kode dan interferensi, seperti bahasa Indonesia campuran dengan bahasa Inggris dan bahasa Belanda campuran bahasa Belanda. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama bagi tokoh yang berasal dari Jakarta, bahasa Belanda sebagai bahasa pertama bagi tokoh yang berasal dari Belanda. Bahasa Inggris digunakan bagi tokoh yang beraspirasi modern. Sedangkan bahasa Daerah digunakan bagi tokoh yang berasal dari Bali dan untuk menjelaskan istilah-istilah atau kata-kata tertentu. BI digunakan sebagai lingua francna dan juga digunakan pada situai formal, nonformal dan modern. Penelitian ini bertujuan: 1) untuk menjelaskan fenomena kode bahasa yang terjadi pada tokoh dalam novel ‟Saraswati‟ karya Kanti W. Janis; 2) menjelaskan fungsi kode bahasa yang terjadi pada pada tokoh dalam novel ‟Saraswati‟ karya Kanti W. Janis; dan 3) menjelaskan faktor-faktor sosial budaya yang menjadi penentu pemilihan kode pada pada tokoh dalam novel ‟Saraswati‟ karya Kanti W. Janis. Data dalam penelitian ini berupa peristiwa tutur yang terjadi pada pada tokoh di dalam novel dengan cara membaca, mencatat percakapan dari berbagai peristiwa oleh berbagai peserta tutur dan berbagai ranah kehidupan. Data dianalisis dengan memperhatikan berbagai konteks tutur seperti yang digariskan oleh Hymes yang dikembangkan oleh Poedjosoedarmo dan juga Wolf, yaitu dengan memperhatikan berbagai komponen tutur. Pemakaian keempat bahasa itu sudah pilah melainkan terdapat tumpang tindih yang sering terjadi yang menimbulkan gejala campur kode dan interferensi. Adapun wujud alih ragam meliputi: alih kode yang berwujud alih ragam dari BI ragam formal ke BI ragam informal. Kata kunci : bahasa, campur kode, komponen tutur, tokoh.
KODE TUTUR DAN PEMILIHAN BAHASA TOKOH DALAM NOVEL “SARASWATI” KARYA KANTI W. JANIS (Kajian Sosiolinguistik) Novel “Saraswati” karya Kanti W. Janis adalah salah satu novel yang sangat menarik karena tokohnya berdialog dengan menggunakan banyak bahasa (multilingual). Keadaaan ini tentu menarik untuk diteliti secara kajian sosiolinguistik sekaitan dengan alih kode, campur kode ataupun interferensi. Novel tersebut memiliki 25 tokoh, tetapi tokoh utamanya adalah: Dirk, Samantha, Disam, Rasty, Bisma, Tuniang, dan Saraswati. Dirk dan Samantha adalah kedua orangtua Disam, Disam adalah seorang laki-laki bule keturunan Belanda, Rasty adalah seorang perempuan berdarah Bali. Bisma adalah seorang laki-laki keturunan Bali saudara jauh Rasty, Tuniang adalah nenek Rasty dari Bali, dan Saraswati adalah putri dari Rasty dan Bisma serta tokoh sebagai pendukung. Berdasarkan latar belakang tokoh yang berbeda-beda inilah kemungkinan yang menjadi kode tutur mereka bervariasi, yakni bahasa Indonesia, bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Daerah. Diceritakan dalam novel itu, bahwa tokoh menetap di Jakarta, sehingga bahasa yang sering digunakan adalah bahasa Indonesia meskipun sering sekali mereka mencampurkannya dengan bahasa Asing, terutama bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Berikut ini adalah tabel pengelompokkan keadaan multilingual pada tokoh dalam novel “Saraswati” karya kanti W. Janis. No
Nama Tokoh
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Disam Rasty Bisma Tuniang Saraswati Dirk Samantha
B. Bel B. Ing.
B. In + B. Ing
B. In + B.Da
B. In + B. Ing + B. Da
Fenomena gejala alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing) berkenaan pula dengan apa yang disebut diglosia, sebuah istilah yang pertama kali dimunculkan oleh Ferguson (1959) yang menunjuk pada ragam bahasa yang masing-masing mempunyai peran dan fungsi yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat tutur (Fishman, 1991: 93). Selaras dengan hal tersebut, maka artikel ini akan mengetengahkan beberapa teori dari beberapa pakar yang berkaitan dengan hal diatas, diantaranya adalah: Hymes dalam Widjajakusuma “Pengembangan Bahasa dan Pembinaan Bahasa”(1981: 200) mengatakan, Alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing) akan terjadi kalau keadaan berbahasa menuntut penutur untuk mengganti bahasa atau ragam seseorang, atau mencampur dua bahasa atau ragam bahasa tersebut secara spontan dan bukan karena dituntut keadaan berbahasa. Pendapat Hymes yang lain (Hymes, 1975: 103) mengatakan: “Code-switching” has become a common term for alternate use of two or more languages, varieties of language, or even speech styles. (Hymes, 1975: 103).
Keterangan Hymes ini dapat diperjelas menjadi sebuah batasan bahwa alih kode adalah pemakaian secara bergantian dua atau lebih bahasa, versi-versi bahasa dari bahasa yang sama, atau bahkan gaya-gaya bahasanya, dalam suatu situasi bicara oleh seorang pembicara. Poedjosoedarmo (1978: 30) mengatakan bahwa kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi oleh anggota suatu masyarakat bahasa. Varian bahasa pada dasarnya akan meliputi dialek, undha-usuk, dan ragam. Dialek dapat dibedakan lagi menjadi dialek geografi, sosial, usia, jenis kelamin, aliran, dan mungkin suku. Ada juga yang disebut sebagai dialek individu yang disebut idiolek. Undha-usuk atau tingkat tutur dapat dibedakan menjadi dua, yakni yang berundha-usuk hormat dan tidak hormat. Ragam dapat dibedakan menjadi ragam suasana, yakni resmi, santai, dan literer; dan ragam komunikasi, yakni komunikasi ringkas dan komunikasi lengkap. Register masih dapat dijabarkan pula menjadi berbagai macam, seperti register penjual obat, register surat kabar, dan semacamnya (Poedjosoedarmo, 1978: 31-32 dalam Rahardi). Dalam penelitian ini kode yang pada hakikatnya berupa varian-varian bahasa yang cukup banyak jumlahnya itu, dibatasi hanya pada varian bahasa yang berupa tingkat tutur dan ragam. Ragam di sini masih dibatasi lagi hanya pada ragam formal atau resmi dan ragam informal. Varian-varian bahasa yang lain tidak akan dibahas dan dianggap berada di luar lingkup kajian ini. Thelander (dalam Chaer, 1976: 103) menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Menurutnya, bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Akan tetapi, apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa ataupun frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode. Keadaan demikian tergambar dalam tuturan pada tokoh di dalam novel karena dipicu oleh seringnya mereka bertemu dan berinteraksi satu sama lain dalam berbagai wahana atau domain, seperti di rumah, di kantor, di pusat perbelanjaan, di kafé, dan di pura. Inilah contoh peristiwa tutur yang terjadi di sebuah gallery lukisan (hal.22) P1: Sam! P2: Hai Nancy P1: Kapan kita ngedisko bareng lagi Sam? P2: Sabtu ini aja gmna, aku dapat invitation di Pit-Stop. P1: Ehm boleh juga, aku telpon kamu ya nanti. See you.
Peristiwa tutur di atas dilakukan oleh model majalah untuk kalangan dewasa yang terjadi di sebuah galery lukisan. Partisipan 1 dan 2 berkomunikasi dengan menggunakan kode BI yang dicampur dengan B.Ing, yakni kata invitation dan frase „see you‟. Pencampuran kode BI dengan B.Ing tersebut dimaksudkan agar mereka dianggap lebih keren dan bergengsi karena menurut lebih stylist di kalangan profesi mereka. BI dalam peristiwa tutur di atas bersifat intim atau akrab yang ditandai dengan sufiks nasal Nge- pada kata „ngedisko‟ dan penghilangan fonem „s‟ pada kata „saja‟. Ragam intim tersebut biasa dilakukan oleh anak muda yang sudah memiliki hubungan yang sudah sangat akrab. Berdasarkan contoh peristiwa kebahasaan di atas, maka artikel ini akan mengangkat rumusan masalah sebagai berikut: 1) bagaimanakah fenomena kode tutur dalam novel “Saraswati”?; 2) bagaimana fungsi kode tutur dalam novel “Saraswati”; dan 3) faktor-faktor apakah yang dapat menentukan pemilihan bahasa pada tokoh dalam novel “Saraswati”. Dengan demikian, tujuan dalam makalah ini adalah: 1) untuk menjelaskan fenomena fenomena kode
tutur dalam novel “Saraswati”; 2) menjelaskan fungsi kode tutur dalam novel “Saraswati” ; dan 3) menjelaskan faktor-faktor yang dapat menentukan pemilihan bahasa pada tokoh dalam novel “Saraswati”. Adapun manfaat dalam penelitian ini ada dua, yaitu secara teoritis dan praktis. Secara teoritis dapat memperluas pengetahuan kita mengenai teori sosiolinguistik dan menambah wawasan bagi kalangan peminat kajian linguistik khususnya sosiolinguistik yang berhubungan dengan kode tutur, campur kode, dan pemilihan bahasa. Selain itu, dapat memberikan informasi kepada para ahli di bidang yang lain, seperti sosiolog, psikolog, dan antropolog bahwa ilmu bahasa itu sangat menarik dan sangat terbuka luas untuk dilakukan penelitian secara kolaboratif sebagaimana dalam penelitian kali ini, yaitu sosiolinguistik. Sedangkan secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi lembaga bahasa sebagai khasanah ilmu pengetahuan, bagi para penulis khususnya novelis agar dapat mengambil pelajaran dari penelitian ini sehingga mampu menulis lebih kreatif dan variatif sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara, metode yang dilakukan dalam penelitian ini ada tiga tahap, yaitu metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian data. Pertama, metode pengumpulan data. Data dalam penelitian ini berupa berbagai peristiwa tutur yang dilakukan oleh tokoh di dalam novel dengan cara membaca dan mencatat. Kemudian, penulis mengklasifikasikannya ke dalam berbagai peran dan fungsi lalu menstranskripsikannya ke dalam bahasa Indonesia. Kedua, metode analisis data. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif melalui pendekatan laku tutur (speech act analysis). Pembahasan 1. Fenomena kode tutur dalam novel “Saraswati” karya Kanti W. Janis? Berdasarkan data tuturan yang didapat di dalam novel, tokoh menunjukkan keberagaman bahasa dalam berbaga peristiwa tutur. Keberagaman bahasa tersebut, antara lain Bahasa Indonesia (BI), Bahasa Belanda (B.Bel), Bahasa Inggris (B.Ing), dan Bahasa Daerah (BD). Fenomena kebahasaan yang multilingual ini tentu mengakibatkan gejala sosiolinguistik, seperti interferensi, alih kode dan campur kode oleh para penuturnya yang dipengaruhi oleh faktorfaktor status sosial budaya dan psikologi. Salah satu peristiwa campur kode yang dilakukan oleh tokoh dalam novel itu, misalnya apabila seorang penutur mencampurkan kode dasar B.Bel dengan kode BI atau sebaliknya. Percampuran kode ini karena penutur memiliki dua bahasa atau lebih, sehingga tanpa disadari akan mempengaruhi terhadap tuturannya meskipun hanya berupa serpihan-serpihan baik berupa kata, frasa, klausa, ataupun kalimat. Hal ini sesuai dengan definisi campur kode yang dapat disimpulkan dari pendapat beberapa ahli yang telah di sebutkan di atas. Berikut ini merupakan pemerian kode tutur yang dilakukan oleh tokoh dalam novel “Saraswati” karya Kanti W. Janis di dalam berbagai peristiwa tutur. 1. Kode Bahasa Indonesia (BI) Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang berperan sebagai pemersatu bangsa merupakan hal yang paling dominan di dalam komuanikasi yang dilakukan oleh tokoh dalam novel “Saraswati. Hal tersebut disebabkan selain mayoritas tokoh bertempat tinggal di Jakarta sebagai latar atau setting dalam novel itu, juga karena sebagian mereka berasal dari luar Jawa, yaitu Bali dan luar negara, yaitu Belanda. Dalam novel tersebut tokoh menggunkan BI di berbagai ranah baik dalam situasi resmi ataupun tidak resmi, seperti ketika berpidato, di kantor, di rumah, percakapan sehari-hari dalam pergaulan, dan lain sebagainya.
Berikut ini merupakan tuturan dalam peristiwa tutur di beberapa kontek yang menggunakan BI. (1) Kontek: Seorang ibu yang bertanya kepada anaknya ketika bergegas keluar dari rumah. (hal.10 dan 11) P1: Mau kemana? P2: Ngga. P1: Mau pergi? Katanya kamu sakit. P2: Ngga kok. P1: Mmmmmm, kamu ngga keliatan sakit. P2: Tapi aku ngga enak badan. P1: Ya udah.
BI juga digunakan di ranah keluarga sebagaimana peristiwa tutur di atas yang dilakukan oleh seorang ibu kepada anaknya. Kedua partisipan tersebut menggunakan BI ragam kasual atau santai, yakni ragam bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib, pada waktu beristirahat, berolah raga, berekreasi. Sebagimana yang disebutkan oleh Chaer (2004: 71). Ragam santai dalam peristiwa tutur di atas ditandai oleh bentuk kata dan ujran yang dipendekkan, seperti kata „udah‟ dan kata „ngga‟. Contoh peristiwa tutur yang menggunakan BI ragam santai yang lain juga sebagai berikut. (2) Kontek: Seorang perempuan sebagai sekertaris Organisasi Pelukis Perempuan menelpon seseorang. (hal.94) P1: Selamat malam bisa bicara dengan Ibu Saraswati? P2: Iya selamat malam, ini saya sendiri. Dari mana ya ini? P1: Ah, Rasty, ini Sandra, sekertaris Organisasi Pelukis Perempuan. P2: O ya, Mba Sandra ada apa? P1: Begini Rasty, kamu mau ikut pameran bersama bulan depan tanggal 4? P2: Wah mau dong Mba. Temanya apa? P1: Bebas, karena judul pamerannya Ekspresi perempuan.
Di dalam peristiwa tutur di atas, P1 dan P2 menggunakan BI dalam kontek percakapan melalui media telepon. Kita dapat memperhatikan dalam peristiwa tutur tersebut bahwa pada awal percakapan P1 dan P2 menggunkana BI ragam resmi karena P1 sudah memposisikan dirinya sebagai sekertaris Organisasi Pelukis Perempuan dan menganggap menelpon kepada orang yang belum dia kenal. Begitu juga sebaliknya, P2 merespon P1 dengan menggunakan BI ragam resmi karena dia menghargai P1 yang berbicara dengan BI resmi. Akan tetapi, dalam percakapan selanjutnya mereka mengalihkan BI ragam resmi ke dalam BI ragam santai atau kasual. Hal ini dilakukan karena antara P1 dan P2 ternyata sudah mengenal satu sama lain sebelumnya sehingga percakapan selanjutnya menggunakan BI ragam santai. (3) Kontek: Seorang pemuda sedang meratapi nasib cintanya. (hal.108) Hati ini telah mengejar cinta yang terus berlari. Jiwaku tidak sanggup terus-menerus kau sakiti Airmata sudah mengering untuk selamnya setelah luka di hatiku yang terus menerus kau torehkan. Kekasihku bukannya aku mau berhenti mencintaimu tetapi aku hanya akan menyimpan cinta ini di kotak yang kukubur dalam-dalam di hati.
Cintaku akan aman di dalam sana, sambil menunggu kau menemukannya dan menggalinya lagi… Tidak akan ada yang dapat menemukan cintaku selain dirimu, sebab hanya kamu yang mengetahui rahasia menuju ke sana…..
Sama hal nya seperti peristiwa tutur sebelumnya, peristiwa tutur di atas juga menunjukkan bahwa P1 seorang pemuda yang mencurahkan isi hatinya dengan meratapi nasib cintanya kepada seorang perempuan yang tidak ada kabar berita. P1 menggunakan BI ragam tulis yang tergolong ke dalam bidang sastra karena bahasanya mengandung nilai-nilai estetis, sperti kalimat „Hati ini telah mengejar cinta yang terus berlari‟. Kalimat tersebut bermakna bahwa cinta seorang pemuda kepada gadis pujaannya tidak kunjung mendekat bahkan semakin menjauh. Lalu, kalimat „Airmata sudah mengering untuk selamnya setelah luka di hatiku yang terus menerus kau torehkan‟. Kalimat tersebut bermakna bahwa seorang pemuda sudah sekian lama menanti balasan cinta dari seorang gadis pujannya yang membuat dia tersakiti. Kalimat „Kekasihku bukannya aku mau berhenti mencintaimu tetapi aku hanya akan menyimpan cinta ini di kotak yang kukubur dalam-dalam di hati‟. Kalimat tersebut bermakna bahwa cinta seorang pemuda kepada gadis pujannya akan selalu tersimpat di hatinya selama-lamanya sampai gadis itu membalas cintanya.. (4) Kontek: Seorang perempuan sedang chatting dengan seorang laki-laki di internet. (hal.114) P1: BUZZ!!! P2: Hai P1: Lagi ngaps? P2: Nulis cerita film P1: Oh ya? Seru dong! P2: pasti P1: Film apalagi nih? Dokumenter atau komersil? P2: BF P1: LAGI???!!!! P2: Knapa kaget? Bukannya kamu suka banget sama BF yang terakhir aku bikin? P1: Ya sih. Yg terakhir keren! Love it sooooooooo much! Erotis…...tapi ga vulgar.
BI juga digunakan dalam peristiwa tutur di dunia maya (internet) ketika seseorang sedang melakukan chatting dengan teman jejaring sosialnya, seperti data tuturan di atas misalnya. Di dalam peristiwa tutur tersebut P1 seorang perempuan dan P2 seorang laki-laki sedang melakukan chatting dengan menggunakan BI ragam akrab atau intim. Ragam ini ditandai dengan adanya bentuk pemendekan kata, seperti kata pada kalimat „Lagi ngaps?‟ Kalimat tanya itu dilontarkan oleh P1 kepada P2 sebagai teman chatting nya di internet. Mereka tampak sangat akrab sehingga konten percakapannya pun terkesan terbuka dan vulgar. Hal itu wajar saja terjadi karena chatting bersifat pribadi dan rahasia. Contohnya kalimat seperti tuturan yang dilontarkan oleh P2 kepada P1 „Knapa kaget? Bukannya kamu suka banget sama BF yang terakhir aku bikin? Kemudia P1 menjawab „Ya sih. Yg terakhir keren! Love it sooooooooo much! Erotis…...tapi ga vulgar‟. (5) Kontek: Seorang pemuda sedang menceritakan kisah pembuatan film dokumenternya. (hal. 121) Aku pernah selama setahun membuat film dokumenter tentang suku di pulau-pulau kecil sekitar Sulawesi Utara yang salah satunya adalah Sangir. Sangir terbagi-bagi menjadi beberapa daerah lagi, dan yang kufokuskan saat itu adalah masyarakat Siau. Mereka adalah suku yang sangat
mencintai laut, sekaligus penakluk lautan yang tangguh. Mereka pandai sekali berenang dan ikan adalah makanan utama mereka. Orang-orang Siau masih sangat percaya akan keberadaan leluhurleluhur yang senantiasa menjaga mereka. Sebutan bagi para leluhur mereka adalah Opo. Ada Opo yang menjaga lautan, ada Opo yang menjaga gunung, ada juga Opo dari raja-raja terdahulu.
Peristiwa tutur di atas dilakukan oleh seorang pemuda yang sedang menceritakan kisah pembuatan film dokumenternya. Di dalam peristiwa tutur tersebut P1 bertutur dengan menggunakan BI ragam usaha atau ragam konsultatif yang ditandai dengan bentuk bahasnya yang berada di antara ragam formal dan ragam informal atau ragam santai. Tampaknya peristiwa tutur di atas telah terjadi peralihan ragam BI, yakni dari BI ragam informal beralih ke dalam ragam formal. Coba kita perhatikan, di awal ceriat partisipan bertutur menggunakan BI ragam informal yang ditandai dengan kata ganti orang pertama „Aku‟. Hal ini dimaksudkan partisipan menyadari bahwa kontek situasi tuturannya berada pada situasi yang informal, yakni menceritakan film dokumenter kepada dua orang teman timnya dalam pembuatan film dokumenter tersebut. Kemudian, ketika partisipan menjelaskan mengenai suatu konsep dan mendeskripsikan sesuatu maka secara sepontanitas partisipan mengalihkan ragam BI yang ia gunakan ke dalam BI ragam formal, seperti pada kalimat penjelas dibaris kalimat penjelas yang dimulai dari kalimat kedua sampai ahir paragraf. (6) Kontek: Narasumber (sesepuh Puri Saren Agung) di Puri Saren Agung sedang memberikan informasi tentang Tjok Muter (Pemimpin Ubud) kepada tiga pemuda. (hal 128) Tjok Muter adalah saudara kembar dari pangeran Ubud. Tjokroda Gde Agung Sukawati sekaligus anak kesepuluh Tjokroda Gde Sukawati. Tjokroda Gde Agung Sukawati adalah orang yang sangat berperan besar dalam mempertahankan Ubud sebagai pusat seni Bali, karena bersamasama Walter Spies dan Rudolph Bonner, memperkenalkan seni lukis gaya baru Bali. Tjokroda Gde Agung Sukawati mendirikan yayasan dan asosiasi Pita Maha untuk memberikan standar tinggi terhadap nilai artistic sebuah lukisan, ini untuk menjaga nilai sebuah lukisan.
BI ragam resmi juga dapat dilakukan oleh seorang narasumber yang sedang memberikan penjelasan mengenai suatu hal kepada pewawancara, seperti yang tampak pada data peristiwa tutur di atas. Di dalam peristwa tutur tersebut P1 (narasumber sebagai sesepuh Puri Saren Agung) sedang memberikan informasi tentang Tjok Muter (Pemimpin Ubud) kepada P2 (tiga pemuda) di Puri Saren Agung. P1 bertutur menggunakan BI ragam resmi kepada P2 karena disamping tempat peristiwa tuturnya di sebuah Puri juga karena menjelaskan seorang tokoh penting, yakni Tjok Muter (Pemimpin Ubud) yang memiliki peran besar dalam mempertahankan Ubud sebagai pusat seni Bali. Adapun ciri BI ragam resmi ini ditandai dengan struktur BI yang setandar dan bersifat ilmiah, sperti pada kalimat „Tjokroda Gde Agung Sukawati mendirikan yayasan dan asosiasi Pita Maha untuk memberikan standar tinggi terhadap nilai artistik sebuah lukisan, ini untuk menjaga nilai sebuah lukisan‟. Kalimat tersebut merupakan kalimat lengkap karena sudah memberikan pola dan kaidah ragam resmi yang sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu setandar. 2. Kode Bahasa Belanda Kode berbentuk bahasa Belanda (B.Bel) memang relatif sedikit di dalam novel “Saraswati” karya Kanti W. Janis. Kode ini hanya sering digunakan oleh anggota keluarga yang mampu berbahasa Belanda, terutama keluarga Disam (tokoh utama). Keluarga ini merupakan keluarga hasil pernikahn blesteran Indonesia-Belanda, sehingga mereka dapat digolongkan ke
dalam masyarakat yang disebut keanekabahasan, yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Dalam interaksi sehari-hari mereka dapat menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris. BI dapat mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka sendiri dan dapat pula digunakan kepada orang lain. Begitupun B.Ingg dan B.Bel, mereka dapat menggunakannya kepada siapaun yang bisa menggunakan kedua bahasa ini. Berikut ini merupakan beberapa peristiwa tutur yang menggunakan bahasa Belanda. (7) Kontek: Seorang ibu membangunkan anaknya (hal.9) P1: Sam, wakker warden! Het is al ochtend, ga je naar school? (Sam, bangunlah! Ini sudah pagi, pergi ke sekolah nggak kamu?) P2: Engga Ma, ik voel me niet lekker. (Aku ngga enak badan) P1: Oh mijn God! Wat is er met jou gebeurd? (Oh Tuhan! Apa yang terjadi sama kamu?) coba Ma lihat! Oh nee! En je knie ook? P2: Ma, rustig, het is al genezen. Ik ben gisteren gevallen van de fiets, maar rasty heft me genezen. (Ma, tenang, ini udah diobatin kok. Kemaren aku jatuh dari sepeda, terus Rasty tolong aku) P1: Rasty? Wie is dat? (Rasty, siapa itu) P2: Zij is een vriendin van mij, degene die mi geholpen heeft toen ik viel (Dia temanku, yang kemaren menolong aku waktu jat uh).
Peristiwa tutur di atas terjadi dalam ranah keluarga, yakni di rumah ketika seorang ibu membangunkan anaknya untuk pergi ke sekolah. P1 dan P2 menggunakan Bahasa Belanda (B.Bel), namun terdapat kode dasar B.Bel yang dicampur dengan kode BI, yakni pada kalimat „Engga Ma, ik voel me niet lekker‟. Dalam hal ini P2 mencampurkan kode B.Bel dengan kode BI „Engga‟ karena terjadi secara sepontan saja tanpa ada maksud apapun karena antar keduanya sudah saling mengerti satu sama lain. 3. Kode Bahasa Inggris Kode tutur Bahasa Inggris kerap mewarnai tuturan tokoh dalam novel “Saraswati” karya Kanti W. Janis. Hal ini karena umumnya mereka memiliki tingkat status sosial budaya yang tinggi, khususnya Disam dan Rasty tokoh utama dalam novel tersebut. Disam memiliki orang tua blasteran Indonesia-Belanda tentunya dia telah memiliki pengalaman dan pergaulan yang cukup luas ditambah dengan profesinya sebagai salah satu model majalah dewasa terkenal di Jakarta. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika bahasa yang digunakannya bervariasi terutama bahasa Belanda dan Bahasa Inggris. Begitupun dengan Rasty, dia berasal dari keturunan bangsawan di Bali yang berprofesi sebagai pelukis perempuan terkenal baik di dalam maupun di luar negeri. Maka dari itu dengan keberadaannya sudah sangat wajar apabila dalam interaksinya mengalami campur kode dari satu kode ke kode yang lain, misalnya dari BI ke dalam B.Ingg. Selain itu, bahasa Inggris juga sudah lumrah dilakukan oleh tokoh yang lain dalam novel ini yang berperan sebagai tokoh tambahan seperti teman-teman se-profesi Disam dan Rasty. Mereka sering sekali mencampurkan kode-kode dasar mereka dengan kode bahasa asing terutama bahasa Inggris. Untuk lebih jelasnya berikut ini merupakan data peristiwa tutur yang merupakan salah satu fonema kode tuturan dari B.Ingg. di dalam novel. (8) Kontek: Seorang laki-laki remaja sedang mencari teman perempuannya (hal. 19)
Pagar rumah Rasty tidak dikunci, hanya dikaitkan gembok saja seperti biasanya. Tapi kok pintu rumahnya juga?! Kenapa ini? Tumben Rasty begini……Rasty where are you?!! Don‟t do this to me!!!
Peristiwa tutur di atas dilakukan oleh P1 seorang laki-laki remaja bernama Disam yang sedang mencari temannya di rumahnya. Di dalam peristiwa tutur tersebut, pada awalnya P1 berbicara kepada dirinya sendiri dengan menggunakan BI, tetapi selanjutnya dia mengalihkan kode BI ke dalam kode B.Ing. seperti pada kalimat „Rasty where are you?!! Don‟t do this to me!!!‟. Pengalihan kode itu dilakukan dengan maksud untuk memberikan ketegasan kepada P2 dan dilakukan dengan nada marah dan cemas karena P1 merasa kecewa kepada P2 yang secara tiba-tiba menghilang tanpa sepengetahuan P1. (9) Kontek: Seorang laki-laki meyakinkan temtan dekat perempuannya (hal.34) P1: Rasty, aku kan bukan seleb. Aku Cuma model. Aku engga pernah main film atau sinetron, main iklan juga cuman 2 kali. Selama ini aku kebanyakan di catwalk dan difoto aja. No publication for my personal life, jadi tenang aja. P2: heheheh kamu kok langsung panas gitu.
Peristiwa tutur di atas dilakukan oleh P1 dan P2 di sebuah kafe tempat P1 (Disam) bekerja sebagai model. P1 sedang meyakinkan P2 (Rasty) bahwa dia hanya bekerja sebagai model tidak yang lainnya, sperti pemain film ataupun sinetron. P1 berbicara dengan menggunakan BI yang dicampurkan dengan B.Ing., seperti pada kalimat „Selama ini aku kebanyakan di catwalk dan difoto aja. No publication for my personal life, jadi tenang aja‟. Pencampuran kode BI ke dalam B.Ingg berupa klausa „No publication for my personal life „ yang dilakukan P1 itu bermaksud untuk memberikan keyakinan kepada P2 bahwa dia bekerja hanya sebagai model di catwalk dan difoto. (10) Kontek: Seorang laki-laki merasa cemburu kepada teman dekat perempuannya (hal.44) P1: Ehm…. Pasti buat jalan sama Mr.X itu deh. P2: hehehe, tau aja kamu, by the way namanya bukan Mr.X, tapi Adit ya. P1: O.K see you Ras. (11) Kontek: Seorang laki-laki mengajak teman dekat perempuannya pulang (46) P1: Mau ngapain, katanya mau pulang? P2: Iya emang mau pulang. P1: Hey come on, kamu apa sih ngambek tiba-tiba. P2: Engga aku enggak ngambek kok. (12) Kontek: Seorang perempuan bertanya kegiatan malam minggu teman dekat laki-lakinya. (hal.49) P1: Malam minggu kemarin jalan ke mana? P2: Yah seperti biasalah pergi sama temen-temen ngedisko all night long. P1: Engga bosen-bosen ya kamu. Engga pakai yang aneh-aneh kan? P2: Hahaha, bosen juga. Enggalah, I‟m totally clean! P1: Baguslah kalau gitu, awas ya sampai macem-macem. (13) Kontek: seorang laki-laki meminta teman dekat perempuannya memakai baju terbaik (hal.81) P1: Ayolah, pakai baju terbaikmu! P2: Engga punya Sam. P1: Aduh what about wearing something black, itu paling gampangkan? P2: Ah tetap saja. Kalau judulnya kencan ya harus rapi dong.
P1: Come on Ras, just for fun. (14) Kontek: Seorang laki-laki mengajak kencan teman dekat perempuannya (hal.82) P1: Sam ayo berangkat! P2: Waw! You look wonderful. Really-really wonderful. Cantik sekali Ras! P1: Hehehe, thanks!
Data peristiwa tutur dari (10) sampai (14) merupakan tuturan dengan menggunakan kode BI yang dicampur dengan kode B.Ing. baik berupa kata maupun frasa. Di dalam peristiwa tutur (10) terdapat penyisipan kata B.Ing. berupa frase B.Ing. „by the way‟ dan frase „O.K. see you‟. Peristiwa tutur (11) terdapat penyisipan frase B.Ing. „Hey come on‟. Peristiwa tutur (12) terdapat penyisipan frase B.Ing. „all night long‟ dan klausa „I‟m totally clean!‟. Peristiwa tutur (13) penyisipan klausa B.Ing. what about wearing something black dan „Come on Ras, just for fun‟. Sementara, pada peristiwa tutur (14) terdapat penyisipan klausa B.Ing. „Waw! You look wonderful. Really-really wonderful‟ dan kata „thanks.‟ 4. Kode Bahasa Daerah Pemakaian bahasa Daerah dalam novel “Saraswati” karya Kanti W. Janis ini sangat terbatas bahkan hampir tidak digunakan oleh tokoh dalam novel tersebut, tetapi yang ada hanya berupa istilah-istilah tertentu saja terutama kata sapaan. Adapun kode bahasa Daerah yang terdapat di dalam novel ini adalah bahasa Bali karena salah satu tokohnya, yakni Rasty berketurunan Bali. Selain itu, Bali juga merupakan salah satu setting atau latar yang digunakan di dalam novel sehingga terdapat beberapa istilah pada sebagian peristiwa tutur, terutama ketika terjadi proses upacara ngaben. Pemakaian kode bahasa Daerah ini cenderung dilakukan oleh peristiwa tutur dalam bentuk campur kode karena hanya berupa serpihan baik kata-kata ataupun istilah-istilah saja. Untuk lebih jelasnya berikut ini merupakan data peristiwa tutur dan penjelasannya. (15) Kontek: Seorang perempuan menjemput ibunya di airport (59) P1: Jegeg, perkenalkan ini Gus Bisma. P2: Halo P2: Ayo Tuniang kita cari taksi untuk ke rumah tiang. Cape Tuniang? P1: Yah lumayanlah, namanya juga Tuniang sudah tua. Tapi untung ada Gus Bisma.
Peristiwa tutur di atas dilakukan oleh P1 dan P2 di airport. Semua partisipan meemiliki hubungan keluarga yang datang dari Bali untuk mengunjungi keluarganya di Jakarta. Dalam peristiwa tutur tersebut partisipan menggunakan BI ragam santai. Namun, di sana terdapat terdapat istilah-istilah dari bahasa Bali yang menunjukkan kata sapaan sperti kata „jegeg‟, „Gus‟, „Tuniang‟, dan „Tiang‟. Istilah atau kata „jegeg‟ dan „Gus‟ terdapat dalam kalimat yang dilakukan oleh P1 (orang tua P2) kepada P2 (Rasty, anak Pr P1) yang hendak memperkenalkan seorang laki-laki kepadanya dengan maksud menjodohkan mereka, yaitu pada kalimat „Jegeg, perkenalkan ini Gus Bisma‟. Kata sapaan „Jegeg‟ berarti panggilan kesayangan untuk anak perempuan bangsawan dalam bahasa Bali dan kata sapaan „Gus‟ bermakna panggilan kesayangan untuk anak laki-laki dalam bahasa Bali. Semantara, istilah atau kata sapaan „Tuniang‟, dan „Tiang‟ terdapat pada kalimat yang dilakukan oleh P2 kepada P1 pada kalimat „Ayo Tuniang kita cari taksi untuk ke rumah tiang. Cape Tuniang?‟. Dalam kalimat tersebut P2 menggunakan BI yang disisipi dengan istilah bahasa Daerah „Tuniang‟ yang berarti panggilan untuk nenek dalam bahasa Bali, biasanya digunakan para brahmana dan istilah atau kata „Tiang‟
yang berarti saya dalam bahasa Bali. Istilah atau kata sapaan juga terdapat pada peristiwa tutur berikut. (16) Kontek: seorang laki-laki bertanya kepada seorang perempuan remaja (hal.146,147) P1: Siapa nama ayahmu? P2: Aji saya namanya Bisma. P1: Di mana Bisma sekarang? Lalu di mana Tuniang? P2: Aji ada di rumah. Dan Tuniang sudah meninggal. P1: Astaga!
Peristiwa tutur di atas dilakukan oleh P1 dan P2 menggunakan BI ragam santai karena terjadi di pura Dewi Saraswati-Bali. P1 adalah seorang pria dewasa bernama Disam dari Jakarta yang sedang melakukan proyek di Bali sekaligus mencari kekasihnya yang bernama Rasty. P1 bertanya kepada P2 seorang gadis remaja warga asli Bali menggunakan BI yang dijawab menggunakan BI pula oleh P2. Di dalam peristiwa tutur tersebut P2 menyisipkan istilah atau kata sapaan „Aji‟ yang bermakna ayah dalam bahasa Bali, biasanya digunakan oleh para brahmana. Selain itu, di sana juga terdapat istilah atau kata sapaan yang lain, yaitu „Tuniang‟. Istilah-istilah atau kata-kata yang menunjukkan bahasa Daerah Bali yang lain juga tampak pada beberapa peristiwa tutur yang lain, seperti kata udeng, Pedanda, lembu, Umah tua, Pemralina, Undangi, pelebon, dan Aben. Untuk lebih jelasnya berikut ini peristiwa tururnya. (17) Kontek: Hari Pelebon Tjokroda Istri Nyang Muter ……..Bagian yang paling seru adalah saat arak-arakan perjalanan pemindahan bade dari Puri Agung Saren menuju tanah pekuburan Campuhan di Tebesaya…… (hal 139) (18) Kontek: hari Pelebon Tjokroda Istri Nyang Muter Hari masih dini, pk. 03.00kami bertiga sudah tiba di lokasi lengkap dengan dresscode hari ini, sarung dengan selendang yang diiket di pinggang serta serta udeng yang diikat di kepala. (hal. 139) (19) Kontek: hari Pelebon Tjokroda Istri Nyang Muter ……..Pedanda terus menggumamkan doa persiapan bagi roh untuk menuju ke umah tua. Upacara ini disebut pemralina. Proses berikutnya adalah upacara menghidupkan bade dan lembu yang dipimpin oleh Undangi. (hal 140) (20) Kontek: Seorang pria bertemu dengan seraong perempuan pada hari Pelebon Tjokroda Istri Nyang Muter P1: Sam, kenapa kamu bisa ada di sini? P2: Kamu sendiri kenapa ada di sini? P1: Tuniang ikut di dalam pelebon ini. P2: Oh aku turut berduka cita Ras. Maaf ya Rasty.
Peristiwa tutur dari 33 sampai 34 di atas dilakukan oleh P1 dan kawan-kawannya yang sedang melakukan pemotretan pada upacara ngaben Pelebon Tjokroda Istri Nyang Muter untuk pembuatan sebuah film dokumenter. Di dalam peristiwa tutur tersebut P1 menggunakan BI ini semi formal karena beada di dalam situasi resmi, yaitu upacara ngaben. Dalam tuturannya P1 menyisipkan beberapa kode bahasa Daerah Bali berupa istilah atau kata, seperti kata „bade‟, „udeng‟, „pedanda‟, „uma tua‟, „Pemaralina‟, „lembu‟, „pelebon‟ dan „Undangi‟. Istilah-istilah tersebut merupakan register dalam upacara ngaben yang masing-masing istilah itu berarti: „Bade‟ adalah menara untuk mengangkut jenazah. „Udeng‟ adalah ikat kepala yang dipakai pada kepala dapat menjadi pengganti kopiah. „Pedanda‟ adalah penghulu (pendeta). „Uma tua‟ adalah rumah tua. „Pamaralina‟ adalah upacara persembahan untuk membangkitkan roh yang meninggal.
2. Fungsi Kode Tutur dalam Novel “Saraswati” karya Kanti W. Janis Sebagaimana telah dipaparkan pada poin sebelumnya bahwa tokoh dalam novel “Saraswati” ini tergolong ke dalam masyarakat yang multilingual karena memiliki latar belakng status sosial dan budaya yang berbeda-beda. Adapun kode tutur yang ada di dalam novel „Saraswati‟ karya kanti W, adalah bahasa Indonesia, bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Daerah. Berikut ini merupakan penjelasan fungsi dari masing-masing kode tutur tersebut. 2.1 Fungsi Bahasa Indonesia Tokoh yang terdapat di dalam novel “Saraswati” karya Kanti W. Janis ini mayoritas menggunakan bahasa Indonesia baik di dalam situasi formal maupun tidak formal. Mereka menggunakan BI sesuai dengan fungsi dan kedudukannya, yaitu sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan. Hal ini dilakukan karena mayoritas tokoh dalam novel tersebut adalah orang yang menetap di Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia yang tentunya banyak didatangi oleh orang-orang baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Oleh karena tokoh di dalam novel ini berlatar belakng multietnis, maka bahasa yang layak digunakan untuk berkomunikasi baik dalam lingkungan pemerintahan maupun kehidupan sehari-hari adalah bahasa Indonesia. Latar belakng daerah asal tokoh di dalam novel itu sendiri bermacam-macam, sebagian adalah orang Jakarta, sebagian adalah orang luar Jawa, dan ada beberapa yang berasal dari luar negeri. Pemakaian BI di dalam novel ini bervariasi ada ragam resmi atau formal dan ada yang tidak resmi atau nonformal sesuai dengan dimana, kapan, dan kepada siapa mitra tuturnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Wijana (2000: 22-23) bahwa ragam-ragam bahasa Indonesia sekarang ini dapat dilihat atau diidentifikasikan berdsarkan berbagai kriteria, misalnya: situasi atau suasana pemakaianya, bidang penggunaan, sarana, penutur, dan daerah pemakainya. Oleh karena itu, berdasarkan hasil analisis tuturan tokoh dalam novel „Saraswati‟ ini didapati bahwa BI ragam resmi digunakan dalam situasi resmi, seperti dalam peristiwa tutur dalam berpidato, rapat kantor, dan berdiskusi mengenai topik ilmiah. Sementara, BI ragam resmi digunakan di dalam situasi yang tidak resmi pula, seperti di rumah, di kafe, di mall, dan di galeri. Berikut ini merupakan tuturan dalam peristiwa tutur di berbagai kontek yang menggunakan BI. (21) Kontek: seorang ibu yang bertanya kepada anaknya ketika bergegas keluar dari rumah. (hal.10 dan 11) P1: Mau kemana? P2: Ngga. P1: Mau pergi? Katanya kamu sakit. P2: Ngga kok. P1: Mmmmmm, kamu ngga keliatan sakit. P2: Tapi aku ngga enak badan. P1: Ya udah.
BI juga digunakan di ranah keluarga sebagaimana peristiwa tutur di atas yang dilakukan oleh seorang ibu kepada anaknya. Kedua partisipan tersebut menggunakan BI ragam kasual atau santai, yakni ragam bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib, pada waktu beristirahat, berolah raga, berekreasi. Sebagimana yang disebutkan oleh Chaer (2004: 71). Ragam santai dalam peristiwa tutur di atas ditandai oleh bentuk kata dan ujran yang dipendekkan, seperti kata „udah‟ dan kata „ngga‟. Contoh peristiwa tutur yang menggunakan BI ragam santai yang lain juga sebagai berikut.
(22) Kontek: Sepasang kekasih sedang menikmati suasana Menara Graviola dan memesan makanan kepada pelayan. (hal. 83) P1: Rasty, kamu mau makan apa? P2: Ehm dulu sih aku suka selalu makan steak di sini. P1: Jadi kamu mau pesan steak? P2: iya. P1: O.K Mas pesan tenderloin steak 2 ya. P3: Dimasak apa? P1: Saya medium. Kamu apa Ras? P2: Welldone.
Peristiwa tutur di atas terjadi di sebuah kafe yang terdapat di kawasan Menara Graviola. Dalam peristiwa tutur tersebut P1 dan P2 tampak akrab. Mereka menggunakan BI ragam santai yang ditandai dengan kata ganti orang pertama „aku‟. Berbeda ketika P1 berbicara kepada P3 pelayan restoran, P1 mengalihkan kata ganti orang pertama „aku‟ menjadi „saya‟. Hal ini karena hubungan antara P1 dan P3 hanya sebatas pembeli dan pelayan. (23) Kontek: Mc membuka Acara Pembukaan pameran “By Women” (hal.53) P1: Baiklah para hadirin sekalian silahkan duduk di tempat yang telah disediakan, acara peresmian pembukaan pameran “By Women” ini akan segera dimulai. P1: Setelah pemotongan pita seluruh hadirin dipersilahkan untuk berkeliling melihat hasil karya para peserta.
Dalam peristiwa tutur di atas, P1 menggunakan BI ragam resmi karena konteknya berada di dalam situasi resmi, yakni acara pembukaan pameran “By Women”. P1 sebagai MC sudah sepatutnya menggunakan BI ragam resmi meskipun di dalam acara tersebut dihadiri oleh berbagai peserta yang berlatar belakang sosial budaya yang berbeda-beda. Hal itu karena selain BI adalah bahasa persatuan juga agar terjalinnya komunikasi yang efektif bagi seluruh partisipan dan dapat menghargai fungsi BI itu sendiri sebagai identitas negara Indonesia. Sementara, ciri BI ragam resmi di dalam peristiwa tutur di atas ditandai dengan penggunaan kata-kata BI yang formal dan bersifat standar, seperti kata „disediakan‟, „dipersilakan‟, dan „berkeliling‟. (24) Kontek: Surat cinta yang ditujukan kepada kekasih hati (hal.107) P1: To my forever love Disam….. Hal terindah dalam hidupku adalah mengetahui bahwa kamu mencintai aku. Hal termanis dalam hidupku adalah ketika merasakan ciumanmu. Hal terhangat dalam hidupku adalah ketika dirimu dan diriku saling berdekapan. Sam, aku pergi….Aku telah pergi ketika kau baca pesan ini…Jangan tunggu aku, jangan cari aku. Aku pergi karena kebodohanku sendiri, menolak cintamu yang kucintai juga…lalu aku akan meratapi kebodohanku ini untuk seumur hidup….
Peristiwa tutur di atas berupa tuturan ragam tulis, yakni surat cinta yang ditulis oleh seorang perempuan dewasa yang ditujukan kepada kekasihnya. P1 (penulis) menggunakan BI ragam intim atau akrab, namun berdasarkan kepemakainnya tuturan dalam surat tersebut tergolong ke dalam bidang sastra. Hal ini tampak dari gaya dan diksi yang digunakan oleh P1 yang mengandung unsur estetis, sperti kalimat „Hal terindah dalam hidupku adalah mengetahui bahwa kamu mencintai aku. Hal termanis dalam hidupku adalah ketika merasakan ciumanmu. Hal terhangat dalam hidupku adalah ketika dirimu dan diriku saling berdekapan‟. Ungkapan hati seorang perempuan yang sedang dilanda rindu kepada kekasihnya mendorong dia bertutur
dengan menggunakan BI ragam tulis bersifat estetis yang timbul dari dasar hatinya yang dalam sehingga terungkap kata-kata yang menyentuh dan halus. 2.2 Fungsi Bahasa Belanda Kode bahasa Belanda (B.Bel) berfungsi hanya sebagai alat komunikasi yang digunakan oleh anggota keluarga yang menggunakan bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-harinya, terutama keluarga Disam (tokoh utama). Akan tetapi, mereka juga dapat berbicara dengan bahasa lainnya, seperti bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. BI digunakan oleh mereka apabila berbicara dengan orang Indonesia yang berbicara BI. Sedangkan B.Ing. digunakan oleh mereka apabila bertemu dengan orang yang berbicara B.Ing. Berikut ini merupakan beberapa peristiwa tutur yang menggunakan bahasa Belanda. (25) Kontek: Seorang ibu membangunkan anaknya (hal.9) P1: Sam, wakker warden! Het is al ochtend, ga je naar school? (Sam, bangunlah! Ini sudah pagi, pergi ke sekolah nggak kamu?) P2: Engga Ma, ik voel me niet lekker. (Aku ngga enak badan) P1: Oh mijn God! Wat is er met jou gebeurd? (Oh Tuhan! Apa yang terjadi sama kamu?) coba Ma lihat! Oh nee! En je knie ook? P2: Ma, rustig, het is al genezen. Ik ben gisteren gevallen van de fiets, maar rasty heft me genezen. (Ma, tenang, ini udah diobatin kok. Kemaren aku jatuh dari sepeda, terus Rasty tolong aku) P1: Rasty? Wie is dat? (Rasty, siapa itu) P2: Zij is een vriendin van mij, degene die mi geholpen heeft toen ik viel (Dia temanku, yang kemaren menolong aku waktu jat uh).
Peristiwa tutur di atas terjadi dalam ranah keluarga, yakni di rumah ketika seorang ibu membangunkan anaknya untuk pergi ke sekolah. P1 dan P2 menggunakan Bahasa Belanda (B.Bel), namun terdapat kode dasar B.Bel yang dicampur dengan kode BI, yakni pada kalimat „Engga Ma, ik voel me niet lekker‟. Dalam hal ini P2 mencampurkan kode B.Bel dengan kode BI „Engga‟ karena terjadi secara sepontan saja tanpa ada maksud apapun karena antar keduanya sudah saling mengerti satu sama lain. (26) Kontek: keluhan rasa sakit anak remaja laki-laki karena terjatuh dari sepedanya kepada anak remaja perempuan di jalan (hal.6 dan 8) P1: Aku mau mati saja! P2: Dik, kenapa kamu? Aduh, luka-luka semuanya. Ayo, sini aku obati! P1: makasih bantuannya. Sorry udah ngerepotin. Aku pasti bakal ngebales bantuan Rasty. P2: Ngga usah. Aku emang kepengen nolong aja, kok. P1: O.K P2: Daah!
Peristiwa tutur di atas terjadi di jalan yang dilakukan oleh P1 anak remaja laki-laki berketurunan Belanda dan P2 anak remaja perempuan dari Bali. Mereka belum mengenal satu sama lain, sehingga kode yang digunakan adalah BI ragam nonformal yang diantaranya ditandai dengan kata ganti orang pertama „aku‟ dan orang kedua „kamu‟. Selain itu, ciri ragam nonformal yang lain adalah danya penghilangan dan penambahan dalam tataran afiksasi, seperti kata „obati‟, „ngerepotin‟ dan ngebales. Dalam peristiwa tutur itu juga mengalami campur kode BI
dengan B.Ingg, yakni kata „sorry‟ dan „O.K. pencampuran kode ke dalam B.ing. tersebut dilakukan secara sepontanitas karena sudah dianggap umum dalam oleh sebagian masyarakat Jakarta. 2.3 Fungsi Kode Bahasa Inggris Fungsi kode tutur Bahasa Inggris di dalam novel „Saraswati‟ ini juga sama seperti halnya dengan fungsi kode yang lain, yakni sebagai alat komunikasi sehari-hari. Perbedaaannya adalah tingkat keseringan digunakannya kode tersebut oleh tokoh yang ada di dalam novel tersebut. Oleh kerena hampir semua tokoh tersebut berstatus social dan budaya yang relative tinggi, maka bahasa Inggris sering sekali mewarnai tuturan tokoh di berbagai peristiwa tutur. Mereka sering sekali mencampurkan kode dari kode dasar BI dengan kode B.Ing., terutama dilakukan oleh tokoh yang berusia remaja dan dewasa. Peristiwa tutur tersebut dapat terjadi dimana saja, di kafe, kantor, galeri, dan di mall. Untuk lebih jelasnya kita perhatikan peristiwa tutur berikut ini. (27) Kontek: Seorang laki-laki mengajak teman dekat perempuannya naik kendaraannya untuk diantar pulang ke rumahnya (hal.28) P1: Ayo Ras ikut! P2: Engga usah deh Sam. Rumahku jauh banget lho. P1: Rasty, please. Ini bukan tawaran. I insist you! Ayo Ras, kalau pulang engga ikut aku, kamu pulang naik apa? P2: Naik bis.
Peristiwa tutur di atas dilakukan oleh P1 seorang laki-laki yang ingin mengantar pulang P2 teman perempuannya ke rumahnya. Di dalam peristiwa tutur tersebut tampak bahwa P1 mencampurkan kode dasar BI dengan kode B.Ing, yaitu pada kalimat „I insist you‟. Pencampuran kode itu dimaksudkan oleh P1 untuk meyakinkan P2 bahwa dia betul-betul ingin mengantarnya pulang ke rumahnya. (28) Kontek: seorang laki-laki dan perempuan melakukan perjanjanjian untuk saling tetap berkomunikasi (hal. 33) P1: Bagus kalo gitu. O.K sekarang kita buat perjanjian ya, apa pun yang terjadi kita harus selalu keep in touch! P2: Janji kelingking ya.
Peristiwa tutur di atas dilakukan oleh P1 dan P2 yang sedang mengukir janji untuk selalu berkomunikasi setelah beberapa tahun mereka tidak bertemu. Di dalam peristiwa tutur tersebut tampak P1 berbicara kepada P2 menggunakan BI yang dicampurkan dengan kode B.Ing, yaitu berupa kata „O.K. dan frase „keep in touch‟. Pencamupran kode dari BI ke dalam B.Ing dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap janji yang mereka buat. 2.4 Fungsi Kode Bahasa Daerah Fungsi pemakaian bahasa Daerah dalam novel “Saraswati” karya Kanti W. Janis ini adalah sebagai alat penyampaian budaya daerah setempat, khususnya budaya Bali. Di dalam novel tersebut terdapat beberapa istilah-istilah atau kata-kata yang menunjukkan cerminan budaya Bali, terutama untuk menunjukkan nama panggilan seseorang dan upacara adat setempat. Hal ini disebabkan karena disamping Bali juga merupakan salah satu setting atau latar novel ini karena salah satu tokoh utama yang bernama Rasty berasal dari Bali sehingga istilah-istilah atau
kata-kata yang berbau Bali mewarnai tuturan-tuturan dalam beberapa peristiwa tutur di dalam novel tersebut meskipun hanya berupa serpihan-serpihat istilah atau kata. Untuk lebih jelasnya berikut ini merupakan data peristiwa tutur dan penjelasannya. (29) Kontek: seorang laki-laki bertanya kepada seorang perempuan remaja (hal.146,147) P1: Siapa nama ayahmu? P2: Aji saya namanya Bisma. P1: Di mana Bisma sekarang? Lalu di mana Tuniang? P2: Aji ada di rumah. Dan Tuniang sudah meninggal. P1: Astaga!
Peristiwa tutur di atas dilakukan oleh P1 dan P2 menggunakan BI ragam santai karena terjadi di pura Dewi Saraswati-Bali. P1 adalah seorang pria dewasa bernama Disam dari Jakarta yang sedang melakukan proyek di Bali sekaligus mencari kekasihnya yang bernama Rasty. P1 bertanya kepada P2 seorang gadis remaja warga asli Bali menggunakan BI yang dijawab menggunakan BI pula oleh P2. Di dalam peristiwa tutur tersebut P2 menyisipkan istilah atau kata sapaan „Aji‟ yang bermakna ayah dalam bahasa Bali, biasanya digunakan oleh para brahmana. Selain itu, di sana juga terdapat istilah atau kata sapaan yang lain, yaitu „Tuniang‟. Istilah-istilah atau kata-kata yang menunjukkan bahasa Daerah Bali yang lain juga tampak pada beberapa peristiwa tutur yang lain, seperti kata udeng, Pedanda, lembu, Umah tua, Pemralina, Undangi, pelebon, dan Aben. Untuk lebih jelasnya berikut ini peristiwa tururnya. 3. Faktor-Faktor yang Menentukan Pemilihan Bahasa pada Tokoh dalam Novel “Saraswati” Karya Kanti W. Janis. Bagian ini akan memaparkan faktor-faktor sosial budaya yang menjadi penentu pemilihan kode bahasa dan campur kode. Sebagai dasar analisis ini digunakan konsep komponen tutur dari Hymes (1972). Dalam penelitian pemilihan kode pada tokoh novel “Saraswati” karya Kanti W. Janis ini, faktor yang diungkap adalah faktor ranah dan peserta tutur. Pemilihan faktorfaktor tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa kedua faktor tersebut merupakan faktor-faktor yang paling dominan terhadap pemilihan kode bahasa pada tokoh di dalam novel. Sementara faktor-faktor peristiwa campur kode yang dilakukan oleh tokoh dalam berbagai peristiwa tutur terjadi karena tiga faktor utama, yakni (1) keterbatasan penggunaan kode, (2) penggunaan istilah yang lebih popular, dan (3) pengunandika atau pengudarasa (soliloquy). Berikut ini dipaparkan kedua faktor yang menentukan pemilihan kode bahasa dan campur kode. 3.1 Faktor-Faktor Sosial Budaya yang Menjadi Penentu Pemilihan Kode Bahasa Tokoh dalam novel “Saraswati‟ yang mayoritas bilingualism ini dapat menentukan pemilihan kode bahasa yang mereka gunakan. Bagian ini dipaparkan faktor-faktor sosial budaya yang menjadi penentu pemilihan kode bahasa tokoh di dalam novel. Faktor-faktor penentu tersebut berdasarkan ranah (domain) dan peserta tutur. Faktor berdasarkan ranah yang relevan dengan novel meliputi ranah pekerjaan, ranah keluarga, dan ranah pergaulan. Faktor-faktor sosial budaya yang menentukan pemilihan kode bahasa akan dipaparkan di bawah ini. 3.1.1. Ranah Ranah (domain) merupakan salah satu faktor yang menentukan pemilihan kode bahasa. Pada penelitian ini konsep ranah sangat relevan dengan pemilihan kode bahasa mengingat tokoh
di dalam novel „Saraswati‟ adalah masyarakat bilingual. Dalam penelitian ini, ranah pemilihan bahasa pada tokoh novel tersebut dibagi atas tiga ranah, yakni ranah pekerjaan, ranah keluarga, dan ranah Pergaulan. A. Ranah Pekerjaan. Interaksi verbal yang diamati pada ranah ini terjadi ketika Mc membuka Acara Pembukaan pameran “By Women” di sebuah gallery lukisan dan Nara sumber (sesepuh Puri Saren Agung) yang sedang memberikan informasi mengenai Tjok Muter (Pemimpin Ubud) kepada tiga pemuda di Puri Saren Agung. Peserta tutur yang terlibat dalam ranah ini mencakup para pegawai dan tamu yang datang pada latar tersebut dan merupakan penutur yang bermacammacam bahasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ranah pekerjaan terdapat dua kode yang dominan digunakan, yakni kode BI ragam resmi dan tidak resmi. B. Ranah Keluarga. Pemilihan kode bahasa dalam ranah keluarga pada novel „Saraswati‟ umumnya terjadi pada latar dalam rumah antar anggota keluarga. Pokok tutur yang dibicarakan dalam ranah keluarga umumnya adalah pokok tutur sehari-hari. Hasil analisis pemilihan bahasa pada tokoh di dalam novel tersebut yang berusia antara 15-50 tahun diuraikan sebagai berikut. Pada umumnya tokoh di dalam novel „Saraswati‟ menggunakan kode BI dan B.Bel dalam interaksi verbal mereka dengan sesama anggota keluarga di rumah. Interaksi verbal tersebut dapat terjadi antara suami-istri dan orang tua-anak. Dalam interaksi verbal antara suami-istri yang menggunakan kode B.Bel sebagai B1 mereka, kode B.Bel merupakan kode yang dominan digunakan dengan diselingi kode BI. Hal yang serupa juga terjadi dalam interaksi verbal antara orang tua-anak yang menggunakan BI sebagai B1 mereka. C. Ranah Pergaulan Ranah pergaulan dalam tokoh dalam novel „Saraswati‟ mengacu pada lingkungan sosial di luar ranah pekerjaan. Lingkungan sosial ini memiliki jangkauan yang sangat luas, untuk itu dalam penelitian ini ranah pergaulan pada tokoh dalam novel tersebut dibatasi pada lingkungan sosial pergaulan pada latar relasi pekerjaan, kafe, pusat perbelanjaan, dan internet. Pada peristiwa tutur percakapan santai antar relasi pekerjaan dalam ranah pergaulan terdapat satu kode yang dominan digunakan, yakni kode BI yang dicampur dengan kode B.Ing. 3.1.2 Peserta Tutur Peserta tutur merupakan salah satu penanda yang penting dalam pemilihan kode bahasa. Pada masyarakat tutur, faktor tingkat kekerabatan penutur merupakan faktor penting dalam pemilihan kode pada tokoh dalam novel „Saraswati‟ karya Karya W. Janis. Peserta tutur lebih dominan memilih kode BI yang dicampurkan dengan kode B.Ing. Pada peristiwa tutur dimana tingkat keakrabannya rendah, maka kode BI tanpa adanya campur kode dengan B.Ing. Di lain pihak, jika hubungan peserta tutur tersebut tinggi, maka peserta tutur tersebut cenderung menggunakan kode BI yang dicampurkan dengan kode B.Ing. Peristiwa tutur dimana tingkat keakrabannya rendah terjadi pada orang yang baru dikenal, sperti ketika orang tua Rasty akan memperkenalkan seorang pemuda yang akan dijodohkan kepadanya. Sedangkan peristiwa tutur dimana tingkat keakrabannya tinggi terjadi pada interaksi antara Disam dan Rasty yang sudah lama saling mengenal satu sama lain. 3.2 Faktor-Faktor Sosial Budaya yang Menjadi Penentu Campur Kode Campur kode yang dilakukan tokoh dalam novel „Saraswati‟ karya Kanti W. Janis dipengaruhi beberapa hal, antara lain adalah faktor kekurangmampuan mereka terhadap fungsi
bahasa, keterbatasan penguasaan kode, penggunaan istilah yang lebih mudah, dan munculnya partikel-partikel atau kata-kata yang berfrekuensi tinggi dalam bahasa yang dipindahkan. Berikut ini akan diperikan faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode pada tokoh di dalam novel. A. Tidak Menguasai Kaidah Bahasa Indonesia dengan Baik dan Benar Campur kode yang terjadi pada tokoh dalam novel „Saraswati‟ tidak terlepas dari tempat, topik, lawan tutur, dan suasana tutur yang mempengaruhi tuturan penutur. Meskipun mereka mempergunakan BI sebagai bagian dari bahasa-bahasa dalam kehidupan sehari-hari, namun pada kenyataannya mereka sering mencampurkannya dengan bahasa Asing, terutama B.Ing dan B.Bel khususnya bagi anak-anak muda yang beraspirasi moderen. B. Keterbatasan Penguasaan Kode Faktor keterbatasan kode terjadi apabila penutur melakukan campur kode karena tidak memahami padanan kata, frase, atau klausa dalam bahasa dasar yang digunakan. Campur kode karena faktor tersebut lebih dominan terjadi ketika tokoh bertutur dengan kode dasar BI atau B.Bel. Keterbatasan kode dalam BI menyebabkan penutur mencampur kode BI dengan bahasa Inggris. C. Pengunandika atau Pengudarasa (soliloquy) Tokoh sering sekali melakukan campur kode di dalam tuturannya terutama pada saat mengudarasa karena ada sesuatu hal secara iba-tiba membuatnya merasa kaget, bingung, sedih, dan nuasnsa perasaan yang lain, sehingga mengakibatkan dia mengucapkan sesuatu dengan menggunakan bahasa pertamanya. D. Munculnya partikel-partikel atau kata-kata yang berfrekuensi tinggi Tokoh sering melakukan campur kode dalam bertutur terutama pada saat munculnya partikel-partikel atau kata-kata yang berfrekuensi tinggi dalam bahasa yang dipindhkan itu. Misalnya, ketika seseorang bertutur untuk mempertegas pertanyaan, maka dia menggunakan partikel atau kata tertentu yang dianggapnya lebih baik.
5.1 Simpulan Kesimpulan berdasarkan analisis yang terangkum secara keseluruhan dalam penelitian ini adalah bahwa tokoh dalam novel „Saraswati‟ karya Kanti W. Janis merupakan salah satu novel yang tokohnya memiliki banyak bahasa (multilingual), yaitu bahasa Indonsesia (BI), bahasa Belanda (B.Bel), bahasa Inggris (B.Ing), dan bahasa Daerah (BD). Kenyataan tersebut dapat dilihat pada situasi tuturan yang menjadikan bahasa-bahasa sebagai medium komunikasi, karena hampir 40% tokohnya adalah pendatang dari berbagai etnis, seperti Jakarta, Bali, dan Belanda. Sehingga, kondisi itu dapat menimbulkan gejala sosiolinguistik baik berupa alih kode maupun interferensi dalam interaksi sosial diantara penuturnya. Beberapa hal yang dapat diamati dari gejala sosiolinguistik tersebut, antara lain: (1) walaupun tokoh yang menggunakan BI itu relatif banyak, tetapi mereka masih menggunakan bahasa Belanda itu, yakni: a) B. Bel sebagai bahasa pertama, BI digunakan kalau berhadapan dengan orang Jakarta atau Indonesia, dan BI sebagai lingua franca dan juga bahasa dalam situasi sehari-hari baik resmi, tidak resmi ataupun modern.
Akan tetapi, karena terjadinya tumpang tindih pada fungsi bahasa-bahasa tersebut maka terjadi alih kode dan campur kode, b) meskipun penggunaan bahasa-bahasa itu pilah-pilah, tetapi terdapat banyak tumpang tindih pada penggunaan bahasa-bahasa tersebut. Misalnya, B.Belanda digunakan oleh tokoh yang berasal dari Belanda. Bahasa Inggris digunakan oleh tokoh yang beraspirasi modern. BI digunakan oleh pendatang dari pulau luar Jawa baik O2 maupun O1 dan orang Jakarta tokoh asli setempat. Bahasa Daerah (bahasa Bali) digunakan oleh tokoh yang berasal dari Bali, tetapi digunakan hanya untuk menjelaskan istilah-istilah atau kata-kata tertentu saja. c) sebagai akibat multilingualisme, maka terjadi alih kode dan sebagai akibat adanya tumpang tindih pada fungsi bahasa-bahasa tersebut maka terjadilah gejala campur kode. Adapun wujud alih kode tersebut dapat berupa alih kode yang berwujud alih ragam yang meliputi: alih kode yang berwujud alih ragam dari BI ragam formal ke BI ragam informal.
DAFTAR PUSTAKA
Adisumarto, Mukidi, dkk. 1981. "Geografi Dlalek Bahasa Jawa Kabupaten Banyumas". Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah-daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. AJwasilah, Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Angkasa. Bandung. Appel, Rene, 1976. Sociolinguistics. Antwerpen Utrrech: Het Spectrum. Bloomfield, Leonard. 1933. Language. New York:holt, Rinehart and Winston. Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie, 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. PT Rineka Cipta. Jakarta. Djajasudarma, Fatimah. 2006. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Refika Aditama. Bandung. Fishman, Joshua A. 1991. Sosiologi Bahasa Suatu Pendekatan Sains Kemasyarakalan Antar Disiplin Bahsa Dalam Mayarakat. Penerbit Universitas Sains Malaysia. Kuala Lumpur. Fasya, Mahmud. 2009. Pemilihan Bahasa dalam Ranah Keluarga Masyarakat Sunda. Laporan Penelitian Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS-Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. Longman. London. New York. Janis, W Kanti. 2006. Saraswati. Andal Krida Nusantara. Jakarta. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa-Tahapan Strategi, Metode, dan Strateginya. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Poedjosoedarmo, Soepomo, 1985. Komponen Tutur di dalam Soenjono Dardjowidjodjo, Perkembangan Linguistik di Indonesia, Jakarta, Arcan. ______, 2000. "Dinamika Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah dan Bahasa Asing". PUSLITBANG Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lemabaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Ford Foundation. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Weinreich, U. 1953. "Language in Contact" dalam Proceedings of The Eight International Congress of Linguistics. Oslo University Press Wedhawati. 2001. Tatabahasa Jawa Mutaakhir. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Yusuf, Asmari. 1999. "Selintas Tentang Desa Sindang Laul" (Kec. Lemah Abang Kabupaten Cirebon). Sindang Laut. Cirebon.