Jurnal Ilmiah IKIP Mataram
Vol. 1. No. 2 ISSN:2355-6358
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE SERTA PENGGUNAANNYA DALAM RANAH SOSIOLINGUISTIK
Sungkono Dekan FKIP Universitas Borneo Tarakan E-mail:
[email protected] ABSTRAK: Manusia mengungkapkan maksud yang ingin disampaikan dengan menggunakan bahasa. Ada banyak bahasa daerah yang sampai saat ini masih digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari selain bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional. Selain itu ada beberapa bahasa Asing yang juga telah masuk dan digunakan oleh banyak masyarakat Indonesia. Dalam praktik komunikasinya tak dapat dipungkiri telah terjadi pengalihan bahasa (alih kode) dan pencampuran bahasa (campur kode) dalam berkomunikasi sehari-hari. Pengalihan dan pencampuran bahasa ini tentu memiliki maksud dan tujuan tertentu. Kajian ini bermaksud untuk mengulas tentang pengertian pengalihan bahasa atau alih kode, pencampuran bahasa atau campur kode, serta penggunaannya dalam ranah sosiolinguistik. Kata Kunci: Alih Kode, Campur Kode, Sosiolinguistik. PENDAHULUAN Indonesia merupakan Negara yang teridiri dari banyak pulau, suku, dan bahasa. Indonesia juga merupakan Negara yang menjadi salah satu tujuan pariwisata karena memiliki kekayaan alam yang sangat indah, sehingga wisatawan dari berbagai Negara datang silih berganti. Orang-orang Indonesia kini tidak lagi hanya menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi, namun kini mereka juga mulai belajar menggunakan bahasa asing seperti bahasa Inggris, Jepang, Mandarin, Jerman, Prancis, dan sebagainya. Masyarakat Indonesia kini tidak lagi hanya menguasai satu bahasa, tetapi memungkinkan mereka menguasai lebih dari satu bahasa. Mereka juga sering menggunakan lebih dari satu bahasa dalam berkomunikasi. Mereka juga bisa mengalihkan bahasa yang mereka gunakan untuk beberapa situasi dengan alasan tertentu. Tanpa mereka sadari, dalam kajian ilmu linguistik khususnya sosiolinguistik mereka telah menggunakan alih kode dan campur kode dalam berkomunikasi. Linguistik merupakan ilmu yang mempelajari mengenai bahasa. Linguistik memiliki beberapa cabang yang salah satunya adalah sosiolinguistik yakni ilmu yang mempelajari bahasa dengan mengaitkannya pada konteks sosial, dalam hal ini melihat penggunaan bahasa dari interaksi sosial masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Dalam kajian ini akan diulas mengenai pengertian alih kode, campur kode,
dan penggunaannya sosiolinguistik.
dalam
ranah
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sosiolinguistik Manusia sebagai mahluk sosial memiliki kebutuhan untuk selalu berinteraksi dengan sesamanya dengan menggunakan bahasa. Sosiolinguistik mengkaji mengenai bahasa yang dihubungkan dengan masyarakat penuturnya. Seperti yang diungkapakan oleh Suwito (1985:2), sosiolingusitik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakaiannya dalam masyarakat. Ini berarti bahwa sosiolingusitik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan bagaian dari suatu masyarakat tertentu. Sebagai objek dalam sosiolingusitik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:2). Sosiolinguistik dapat dikatakan sebagai studi atau pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagi anggota masyarakat atau lebih tepat sosiolinguistik itu mempelajari atau mengkaji bahasa dan dimensi kemasyarakatan. Kode adalah istilah netral yang dapat mengacu kepada bahasa, dialek, sosiolek, atau ragam bahasa (Sumarsono, 2004:201).
168
Jurnal Ilmiah IKIP Mataram Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak).Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register. B. Alih Kode Suatu daerah atau masyarakat dimana terdapat dua bahasa disebut daerah atau masyarakat yang berdwibahasa atau bilingual. Kemudian Mackey dalam Chaer (2004:84) mengatakan penggunaan dua bahasa oleh seorang masyarakat tutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian disebut bilingualisme. Dalam keadaan seperti inilah masyarakat tutur menjadi masyarakat yang bilingual. Dengan keadaan kedwibahasaan (bilingulisme) Ohoiwutun (2007:71) mengatakan alih kode (code switching), yakni peralihan pemakaian dari suatu bahasa atau dialek ke bahasa atau dialek lainnya. Alih bahasa ini sepenuhnya terjadi karena perubahanperubahan sosiokultural dalam situasi berbahasa. Perubahan-perubahan yang dimaksud meliputi faktor-faktor seperti hubungan antara pembicara dan pendengar, variasi bahasa, tujuan berbicara, topik yang dibahas, waktu dan tempat berbincang. Apple dalam Chaer (2004:107) mengatakan, alih kode yaitu gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Ditambahkan oleh Hymes bahwa alih kode bukan hanya terbagi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Sebagai contohnya, seorang ibu yang sedang pergi ke pasar, ia berusaha menggunakan bahasa yang dipakai oleh penjual-penjual yang ada di pasar dengan harapan pada saat tawar menawar bisa mendapatkan harga yang murah, maka pada saat ke penjual daging yang sukunya jawa
Vol. 1. No. 2 ISSN:2355-6358 ia menggunakan bahasa jawa standar jual beli, kemudian ke penjual sayur yang sukunya makasar ia mengalihkan bahasa jawa ke bahasa bugis standar jual beli, dan saat kembali di rumah ia menggunakan bahasa sehari-hari yang digunakan dalam keluarga. Ada beberapa jenis alih kode yakni: 1. Alih kode metaforis yaitu alih kode yang terjadi jika ada pergantian topik. 2. Alih kode situasional yaitu alih kode yang terjadi berdasarkan situasi dimana para penutur menyadari bahwa mereka berbicara dalam bahasa tertentu dalam suatu situasi dan bahasa lain dalam situasi yang lain. Dalam alih kode ini tidak tejadi perubahan topik. Pergantian ini selalu bertepatan dengan perubahan dari suatu situasi eksternal (misalnya berbicara dengan anggota keluarga) ke situasi eksternal lainnya (misalnya berbicara dengan tetangga). 3. Alih Kode Intern yaitu alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya. 4. Alih kode ekstern yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing. Fungsi alih kode adalah beban makna suatu satuan bahasa; penggunaan bahasa untuk tujuan tertentu. Alih kode masing-masing bahasa mendukung fungsi tersendiri secara eksklusif dan peralihan kode terjadi apabila penuturnya merasa bahwa situasinya relafan dengan peralihan kodenya. Dengan demikian alih kode menunjukan suatu gejala saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan fungsi relefansial di dalam pemakaian suatu bahasa atau lebih. Secara rinci fungsi alih kode yakni; memenuhi kebutuhan yang bersifat linguistik yakni memilih kata, frasa, kalimat atau wacana yang tepat, menyambung pembicaraan sesuai dengan bahasa yang digunakan terakhir, mengutip kalimat orang lain, menyebutkan orang yang dimaksudkan dalam pembicaraan, mempertegas pesan pembicaraan, menyangatkan atau menekankan argumen, mempertegas keterlibatan pembicaraan (mempersonifikasikan pesan), menandai dan menegaskan identitas kelompok (solidaritas), menyampaikan hal-hal rahasia, kemarahan atau kejengkelan, membuat orang lain yang tak-dikehendaki
169
Jurnal Ilmiah IKIP Mataram tidak bisa memahami pembicaraan, mengubah peran pembicaraan, menaikkan status, menegaskan otoritas memperlihatkan kepandaian. C. Campur Kode Thelander dalam Chaer (2004:115) mengatakan apabila didalam suatu peristiwa tutur terdapat klausa-klausa atau frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa dan frase tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi ini adalah campur kode. Campur kode yaitu suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua (artau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Maksudnya adalah keadaan yang tidak memaksa atau menuntut seseorang untuk mencampur suatu bahasa ke dalam bahasa lain saat peristiwa tutur sedang berlangsung. Jadi penutur dapat dikatakan secara tidak sadar melakukan percampuran serpihan-serpihan bahasa ke dalam bahasa asli. Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata yang-kata yang megalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. akan berbeda jika penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain ketika sedang berbicara dalam suatu bahasa. Peristiwa inilah yang kemudian disebut dengan capur kode. Oleh karena itu dalam bahasa tulisan, biasanya unsur-unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya secara sadar. Sebagai contohnya, di Indonesia kini sedang marak lagu-lagu Indonesia yang liriknya dicampur antara lirik berbahasa Indonesia dengan lirik berbahasa Inggris dengan berbagai maksud dan tujuan. Tidak hanya dalam lirik lagu, dalam berkomunikasi secara lisan maupun tertulis, masyarakat Indonesia sudah mulai mencampur bahasa, dan yang paling banyak digunakan adalah mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Ada 2 jenis campur kode yakni: 1. Campur kode keluar yaitu campur kode yang berasal dari bahasa asing atau
Vol. 1. No. 2 ISSN:2355-6358 dapat dijelaskan bahasa asli yang bercampur dengan bahasa asing. 2. Campur kode kedalam yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya. Contohnya bahasa Indonesia–bahasa Jawa–bahasa Batak– Bahasa Minang (lebih ke dialek), dan lain-lain. Fungsi campur kode yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah penggunaan campur kode bahasa melayu untuk maksud atau tujan tertentu. Tujuan penutur (penceramah) melakukan campur kode pada kegiatan pencerahan kegiatan keagamaan dalah untuk menunjukkan gengsi, bertindak sopan, melucu, menjelaskan Kemudian dijelaskan lagi faktor eksternal ditentukan oleh ketepatan rasa (makna) dan kurangnya kosa kata. Dapat disimpulkan bahwa fungsi campur kode adalah lebih argumentatif, lebih persuasif, lebih komunikatif, lebih singkat dan mudah diucapkan, dan lebih prestise atau bergengsi. D. Penggunaan Alih Kode dan Campur Kode dalam Ranah Sosiolinguistik Chaer (2004:108) menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode dan campur kode, yaitu: 1. Penutur Seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. Kemudian ada juga penutur yang mengharapkan sesuatu dari mitra tuturnya atau dengan kata lain mengharapkan keuntungan atau manfaat dari percakapan yang dilakukanya. Sebagai contoh, dalam acara resmi suatu institusi seseorang menggunakan pengalihan bahasa maupun pencampuran bahasa tertentu, namun setelah acara resmi tersebut usai ia kembali menggunakan bahasa seperti biasanya, baik itu pengalihan bahasa maupun pencampuran bahasa. 2. Lawan Tutur Mitra tutur atau lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode. misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan tuturnya. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak kurang karena
170
Jurnal Ilmiah IKIP Mataram mungkin bahasa tersebut bukan bahasa pertamanya..jika lawan tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Kemudian bila lawan tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa. Sebagai contoh, dua orang yang berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, kemudian mereka mengganti bahasa yang diguunakan dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa jawa karena suku mereka samasama berasal dari daerah pulau jawa, atau mereka mencampur bahasa yang mereka gunakan, yakni mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa jawa agar lebih memudahkan penutur dan lawan tutur mengutarakan maksudnya. 3. Hadirnya Penutur Ketiga Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode. Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Sebagai contoh, pada awalnya percakapan hanya terjadi antara dua orang yang sama sukunya dengan bahasa daerah yang digunakan, yakni bahasa jawa, namun kemudian hadirlah orang ketiga yang bukan berasal dari suku yang sama, untuk menghindari prasangka orang ketiga dengan percakapan menggunakan bahasa jawa, maka kedua orang yang tadinya berbahasa jawa dalam berkomunikasi kemudian mengalihkan bahasa yang digunakan dengan bahasa Indonesia. 4. Perubahan Situasi Perubahan situasi pembicaraan juga dapat mempengaruhi terjadinya laih kode. Situasi tersebut dapat berupa situasi formal ke informal atau sebaliknya. Sebagai contoh, ada dua orang staff di kantor yang sedang berkomunikasi ringan menggunakan bahasa non formal, kemudian menggantinya karena tiba-tiba pimpinan mereka datang dengan arah
Vol. 1. No. 2 ISSN:2355-6358 pembicaraan yang berkaitan dengan pekerjaan. 5. Topik Pembicaraan Topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Topik pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa nonbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya. Sebagai contoh, dua orang yang berkomunikasi dengan topik politik akan menggunakan bahasa yang berbeda saat mereka membicarakan tentang permasalahan rumah tangga yang dihadapi. Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode Alih kode dan campur kode sebenarnya sulit untuk dipisahkan. Apabila suatu masyarakat tutur menggunakan alih kode untuk berkomunikasi dengan lawan bicara maka sedikit banyak kosa kata yang ia dapat dari peristiwa alih kode tersebut akan muncul dalam percakapan yang tidak memerlukan peristiwa alih kode. Ini berarti penggunaan campur kode tidak disadari dan disengaja oleh masyarakat tutur pengguna bahasa. Oleh karena itu Sumarlan (2005:159-160) membedakan antara kedua peristiwa ini, yaitu sebagai berikut : 1. Dalam Alih kode, dua (atau lebih) bahasa atau variasi bahasa yang dipakai masing-masing mendukung fungsifungsi tersendiri sesuai dengan konteks, sedangkan dalam campur kode unsur bahasa atau variasi bahasa yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri tetapi telah menyatu dengan bahasa yang menyisipinya. 2. Dalam alih kode, penggunaan dua bahasa atau variasi bahasa disesuaikan dengan sesuatu yang relevan dengan perubahan konteks, sedangkan dalam campur kode dua bahasa atau variasi digunakan tanpa adanya faktor-faktor sosiolinguistik dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu. 3. Batas terjadinya campur kode terletak pada tataran klausa, sedangkan alih kode terjadi mulai pada tataran kalimat. Jadi, campur kode bisa berwujud kata, frase, pengulangan kata, ungkapan, idiom dan klausa.
171
Jurnal Ilmiah IKIP Mataram SIMPULAN Dalam berinteraksi dengan sesamanya, manusia tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Bahasa memegang peranan penting sebagai sarana komunikasi. Dalam proses komunikasi tersebut sangat mungkin para penutur memakai bahasa yang lebih dari satu. Kondisi seperti ini biasanya terjadi pada masyarakat bilingual/multilingual. Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia tersebut mengakibatkan timbulnya fenomena bahasa, yaitu: alih kode dan campur kode. Masyarakat Indonesia setidaknya bisa berkomunikasi dengan dua bahasa yakni bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu dan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional. Seiring dengan arus globalisasi yang membuat masyarakat Indonesia kini mampu menguasai lebih dari dua bahasa yang menciptakan situasi multilingual dengan menggunakan pengalihan bahasa dan pencapuran bahasa sesuai dengan kondisi dan maksud tujuan komunikasinya. Alih kode dan campur kode sering kali terjadi dalam berbagai percakapan masyarakat, alih kode dan campur kode dapat terjadi di semua kalangan masyarakat, status sosial seseorang tidak dapat mencegah terjadinya alih kode maupun campur kode atau sering disebut multi bahasa. Masyarakat yang multi bahasa muncul karena masyarakat tutur tersebut mempunyai atau menguasai lebih dari satu bahasa yang berbeda-beda sehingga mereka dapat menggunakan pilihan bahasa tersebut dalam kegiatan berkomunikasi. Dalam kajian sosiolinguistik, pilihan-pilihan bahasa tersebut kemudian dibahas karena hal ini merupakan aspek penting yang dikaji dalam suatu ilmu kebahasaan.
Vol. 1. No. 2 ISSN:2355-6358 Suamarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda. Suwito. (1985). Sosiolinguistik. Surakarta: UNS Press.
DAFTAR RUJUKAN Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta:Rineka Cipta. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:Rineka Cipta. Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge:Cambridge University Press. Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta : Kesaint Blanc. Spolsky, Bernard. 1998. Sociolinguistics. Berlin:Oxford University Press. Sumarlan. 2005. Teori dan Praktik Analisi Wacana. Solo: Pustaka Cakra Surakarta.
172