METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian merupakan wilayah hilir Sungai Mangottong yang secara administrasi wilayah berada di Kecamatan Sinjai Utara dan Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan, dengan luas sekitar 27,86 km2. Pemilihan daerah studi berdasarkan kondisi topografi yang relatif rendah (dataran banjir) yang berkontribusi terhadap kejadian banjir di kota Kabupaten Sinjai dan sekitarnya, dan berdasarkan ketersediaan data spasial untuk mendukung penelitian (Gambar 1). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Desember 2012.
Gambar 1 Lokasi studi.
14
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi data spasial dan data tabular seperti yang tersaji pada Tabel 2. Adapun alat yang digunakan berupa seperangkat komputer dengan perangkat lunak (software) Microsoft Word, Microsoft Excel, ArcGIS, dan peralatan penunjang lain seperti alat tulis, kamera dijital, Global Positioning System (GPS) Garmin Oregon. Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari 2 tahapan yaitu: 1) pengumpulan data dan 2) analisis data. Pengumpulan data Data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder seperti tersaji pada Tabel 2. Data primer berupa data citra dan data yang diperoleh melalui survei dan wawancara penduduk. Data sekunder terdiri dari data spasial dan data tabular. Tabel 2 Jenis, bentuk, dan sumber data penelitian Jenis Data Peta Topografi (Rupa Bumi Indonesia) Peta Administrasi Peta Dasar Pendaftaran Peta Land System Cross Section Elevasi Sungai Mangottong Citra Satelit WorldView-2 akuisisi tahun 2011 Kab. Sinjai dalam Angka tahun 2011 Jejak banjir
Skala
Bentuk
Sumber Data
1:50.000
Dijital
Bakosurtanal
1:100.000
Dijital
BPN Kanwil Sulsel
1:1.000
Analog
BPN
1:250.000
Dijital
-
Dijital
Bakosurtanal Balai Besar Wilayah Sungai PompenganJeneberang (BBWSPJ)
Resolusi 0.5 meter
Dijital
LAPAN
-
Tabular
BPS Kab. Sinjai
-
Dokumentasi
Survei dan Wawancara
15
Analisis Data 1) Pembuatan DEM (Digital Elevation Model) Data DEM dibuat untuk menggambarkan kondisi medan (terrain) di lokasi penelitian yang merupakan dataran banjir (flood plain). Data DEM yang tersedia adalah DEM SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) dengan ukuran piksel 30 × 30 meter. Dalam penelitian ini dibutuhkan data DEM yang memiliki akurasi yang tinggi dan informasi yang lebih detil, khususnya penggambaran kondisi geometri sungai (river geometry). Oleh karena itu dilakukan pembuatan DEM baru dengan metode penggabungan DEM dari berbagai sumber data (Trisakti dan Julzarika 2011; Tsamalashvili 2010; Yulianto et al. 2009; Shaviraachin 2005; Marfai 2003) yaitu DEM SRTM dan DEM yang dibuat dengan teknik interpolasi. Secara lebih rinci, bagan alir pembuatan DEM disajikan pada Gambar 4 dan tahapan proses pembuatan DEM dijelaskan sebagai berikut: a)
Ekstraksi dan penggabungan titik tinggi Data titik tinggi (point height) yang bersumber dari: 1) peta topografi
(RBI) skala 1:50.000 berupa garis kontur dan titik tinggi, 2) peta dasar pendaftaran skala 1:1.000 berupa titik tinggi tanah, dan 3) pengukuran cross section Sungai Mangottong berupa titik tinggi, diekstraksi dan digabungkan menjadi 1 data. Hasil ekstraksi titik tinggi disajikan pada Gambar 2. b) Penyiapan data DEM SRTM dan DEM hasil interpolasi Data DEM SRTM (Gambar 3) terlebih dahulu dilakukan fill sink atau penghilangan dan pengisian nilai error berdasarkan nilai piksel tetangganya. Data titik tinggi hasil penggabungan dari berbagai sumber data dilakukan interpolasi untuk pembuatan DEM, yang selanjutnya dinamakan DEM Awal, dengan output ukuran piksel adalah 20 × 20 meter. Metode interpolasi dilakukan dengan menggunakan metode semivariogram tipe ordinary kriging dengan model spherical pada software ArcGIS. Adapun pengaturan parameter dalam metode semivariogram disajikan pada Lampiran 1. Selain dihasilkan DEM Awal (prediction map), dihasilkan juga error DEM Awal (prediction standart error map) untuk mengkan nilai error berdasarkan kerapatan data titik tinggi.
16
Selanjutnya dilakukan normalisasi nilai DEM SRTM berdasarkan nilai DEM Awal dengan cara melakukan co-registrasi antara kedua DEM dan koreksi topografi berbasis nilai deviasi dan rata-rata (mean) ketinggian pada kedua DEM tersebut, sehingga diperoleh DEM yang relatif sama secara geometrik dan nilai ketinggiannya.
Gambar 2 Sebaran titik tinggi di lokasi penelitian.
Gambar 3 DEM SRTM resolusi 30 meter
17
Data titik tinggi pada badan sungai dipisahkan untuk membuat DEM Sungai.
Pembuatan DEM Sungai dilakukan dengan menggunakan metode
interpolasi spline with barrier. Barrier yang digunakan adalah poligon badan sungai untuk membatasi daerah interpolasi, sehingga dihasilkan nilai ketinggian (DEM) hanya pada daerah badan sungai. c) Penggabungan DEM Berdasarkan hasil error DEM Awal, dilakukan penghilangan nilai error pada DEM Awal dengan terlebih dahulu mengekstrak titik tingginya. Kemudian proses selanjutnya adalah pengisian titik tinggi pada daerah error yang tinggi (pengisian void) dengan titik tinggi yang diekstrak dari DEM SRTM yang telah dinormalisasi. Proses akhir dari penggabungan tersebut adalah melakukan kembali interpolasi titik tinggi dengan metode semivariogram tipe ordinary kriging dengan model spherical untuk menghasilkan DEM Gabungan. Output yang dihasilkan adalah DEM dengan ukuran piksel 20 x 20 meter. Resolusi spasial atau ukuran piksel DEM yang dibuat, ditentukan berdasarkan jumlah dan kerapatan titik tinggi yang tersedia, serta lebar sungai minimum yaitu 20 m. d) Evaluasi DEM Gabungan Evaluasi DEM Gabungan dilakukan dengan menghitung nilai RMSE (Root Mean Square Error) untuk mengetahui tingkat keakurasian antara nilai ketinggian DEM yang dibuat terhadap ketinggian titik validasi. Terdapat 100 titik tinggi validasi (secara acak) yang digunakan (selain dari data titik tinggi yang diinterpolasi) untuk menghitung nilai RMSE. Adapun rumus yang digunakan dalam perhitungan RMSE sebagai berikut:
........................................................................... (1)
dimana Z’ adalah nilai ketinggian DEM, Z adalah nilai ketinggian titik validasi, dan n adalah jumlah titik yang divalidasi.
18
Peta Topografi (RBI)
SRTM 30 m
100 titik tinggi
Fill sink
Ekstraksi Titik Tinggi
Ekstraksi titik bagian daratan
Interpolasi (Kriging Spherical)
Co-registrasi, Normalisasi Ketinggian (mean dan deviasi)
Cross Section Sungai (BBWSPJ)
Peta Dasar Pendaftaran (BPN)
DEM Awal
Error Map
Interpolasi (Spline with barrier)
DEM Sungai
Penghilangan Error
Pengisian void
Ekstraksi Titik Tinggi
Interpolasi (Kriging Spherical)
Evaluasi RMSE
DEM Gabungan
Gambar 4 Bagan alir metode pembuatan DEM. 2) Klasifikasi Penggunaan Lahan Klasifikasi penggunaan lahan dilakukan dengan menggunakan citra satelit WorldView-2 yang telah terkoreksi secara geometrik (Gambar 5).
Metode
klasifikasi yang digunakan adalah metode visual dengan teknik dijitasi on screen berdasarkan warna/rona, tekstur, bentuk, ukuran, pola, bayangan, asosiasi spasial (Lillesand & Kiefer 1997) dan kedekatan interpreter dengan objek (Munibah 2008). Penggunaan lahan di lokasi penelitian dikelaskan menjadi 12 kelas yaitu terdiri dari Pemukiman/Perumahan, Bisnis, Perkantoran, Fasilitas Pendidikan, Fasilitas Kesehatan, Ruang Terbuka/Lapangan, Sawah, Kebun Campuran, Semak Belukar, Tambak/Empang, Mangrove, dan Sungai. Hasil klasifikasi penggunaan lahan digunakan sebagai input untuk analisis selanjutnya.
19
Gambar 5 Citra satelit WorldView-2 akuisisi tahun 2011. Secara visual kenampakan (tampilan) objek pada citra satelit memberikan informasi yang berbeda-beda terkait penggunaan lahannya. Tampilan penggunaan lahan pada citra satelit berdasarkan kondisi pengamatan (foto lapangan) di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Tampilan penggunaan lahan pada citra satelit dan foto lapangan No
Penggunaan Lahan
1
Pemukiman/Perumahan
2
Bisnis
3
Perkantoran
4
Fasilitas Pendidikan
Citra Satelit
Foto Lapangan
20
Lanjutan Tabel 3 No
Penggunaan Lahan
5
Fasilitas Kesehatan
6
Ruang Terbuka/Lapangan
7
Sawah
8
Kebun Campuran
9
Semak Belukar
10
Tambak/Empang
11
Mangrove
12
Sungai
Citra Satelit
Foto Lapangan
21
3) Pemodelan Spasial Genangan Banjir Pemodelan spasial genangan banjir di wilayah Sungai Mangottong mengacu pada analisis model genangan berdasarkan volume sumber banjir yang diketahui dengan menggunakan data DEM (Jing 2010). Model ini menggunakan algoritma aproksimasi (approximation algorithm) untuk menganalisis ketinggian genangan (H) berdasarkan perbandingan antara volume air (V) daerah yang tergenang dan volume air (Q) sumber banjir. Fungsi dari algoritma aproksimasi untuk menentukan daerah genangan didefinisikan berdasarkan persamaan berikut: .................................... (1) Nilai V dihitung dengan menggunakan persamaan: .......................................................................... (2) dimana Hi yaitu akumulasi ketinggian antara ketinggian genangan (hi) dan elevasi DEM (Ei) pada unit piksel ke-i, artinya
; m yaitu jumlah unit piksel
yang tergenang; A yaitu luas unit piksel. Berdasarkan persamaan tersebut, dapat diketahui nilai V yang paling mendekati atau sama dengan nilai Q. Dalam penelitian ini, untuk mencapai kondisi tersebut dilakukan pengembangan algoritma melalui proses distribusi limpasan (ketinggian) genangan. Sebelum proses simulasi dimulai, data DEM dengan format raster Esri grid dikonversi ke bentuk format ascii (sejenis format teks) yang dapat di-import ke dalam software Microsoft Excel dengan tetap mempertahankan header data (lihat Gambar 6). Di dalam lingkungan Microsoft Excel, proses simulasi dijalankan dengan memanfaatkan macro VBA (Visual Basic Application) untuk membuat script yang dapat menjalankan algoritma yang telah dibuat (Lampiran 2).
22
Gambar 6 Header data DEM dalam format ascii Adapun tahapan algoritma dalam simulasi model genangan banjir berdasarkan proses distribusi limpasan genangan yaitu sebagai berikut: 1) Menetapkan kondisi awal yaitu Hi = Ei, sehingga hi = 0. Artinya belum terjadi genangan dan V = 0. 2) Menentukan piksel awal (h0) yaitu unit piksel bagian hulu pada data DEM. 3) Menetapkan nilai Q sebagai nilai masukan untuk proses perhitungan genangan. 4) Melakukan pengisian piksel h0 dengan persamaan: .................................................................................... (3) dimana
adalah tinggi genangan sebelumnya; dan n adalah penambahan
ketinggian. Nilai n digunakan untuk memberikan nilai ketinggian genangan pada piksel h0 sehingga dapat mendistribusikan genangan ke piksel selanjutnya. Asumsi ini mengikuti prinsip bahwa air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. 5) Setelah piksel h0 terisi, maka dilakukan pendistribusian limpasan genangan pada piksel tetangga (t) yang terpilih (j). Pengecekan piksel tetangga ditentukan berdasarkan 8 arah dari piksel pusat atau disebut tipe 8 tetangga (Gambar 7). Penentuan piksel j berdasarkan perbedaan (selisih) ketinggian maksimum (∆H) dengan menggunakan persamaan: ................................................................... (4) dimana Ht adalah akumulasi ketinggian (genangan dan elevasi) pada piksel tetangga.
23
(a)
(b)
Gambar 7 Tipe ketetanggaan piksel: (a) 4 tetangga, (b) 8 tetangga. 6) Menentukan limpasan genangan (hlimpas): ................................................................................ (5) Nilai maksimum hlimpas yang dapat didistribusikan adalah sama dengan tinggi genangan (hi). Pada kondisi dimana nilai ∆H menghasilkan nilai hlimpas > hi, maka ditetapkan hlimpas = hi. Distribusi limpasan genangan ke piksel tetangga yang terpilih digunakan persamaan: ............................................................................ (6) ............................................................................ (7) dimana
adalah ketinggian genangan pada piksel tetangga sebelum
memperoleh limpasan; dan
adalah ketinggian genangan pada piksel ke-i
sebelum memberi limpasan. 7) Proses pada tahap 4 sampai tahap 6 dilakukan secara berulang (diiterasi), hingga kondisi berdasarkan Persamaan 1 terpenuhi, yaitu Q = V. Untuk menghitung volume daerah yang tergenang digunakan Persamaan 2. Secara ringkas algoritma model genangan banjir untuk simulasi disajikan pada Gambar 8. Ilustrasi simulasi model genangan banjir berdasarkan tahapan algoritma tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 9.
24
Mulai
Input DEM dan nilai Q
Kondisi awal Hi = Ei → hi = 0
Menentukan piksel awal (h0 ) Pengisian piksel awal h0 = h 0 ’ + n
Pengecekan dan pemilihan piksel tetangga ∆H = maks (Hi + Ht) Tidak Distribusi limpasan genangan dari piksel awal ke piksel tetangga terpilih hlimpas = ½∆H
Ya
Q=V terpenuhi?
Daerah genangan
Ya
hlimpas > hi ?
hlimpas = hi
Tidak Kondisi genangan: hj = hj’ + hlimpas hi = hi’ - hlimpas
Hitung volume genangan (V)
Selesai
Gambar 8 Algoritma model genangan banjir. Iterasi ke-1 Iterasi ke-2 5.4
4.5
3.9
3.7
5.4
4.5
3.9
3.7
5.4
4.5
3.9
3.7
3.7
3.0
2.8
3.1
3.8
3.8
2.8
3.1
4.3
3.6
3.6
3.1
4.0
4.3
4.9
5.7
4.0
4.3
4.9
5.7
4.0
4.3
4.9
5.7
7.1
8.1
8.9
9.6
7.1
8.1
8.9
9.6
7.1
8.1
8.9
9.6
5.4
4.5
3.9
3.8
5.4
4.5
3.9
3.7
5.4
4.5
3.9
3.7
4.7
4.5
3.9
3.8
4.7
3.8
3.7
3.7
4.5
4.0
3.6
3.6
4.5
4.3
4.9
5.7
4.7
4.3
4.9
5.7
4.0
4.3
4.9
5.7
7.1
8.1
8.9
9.6
7.1
8.1
8.9
9.6
7.1
8.1
8.9
9.6
Iterasi ke-5
Gambar 9
Iterasi ke-4
Keterangan: Q = 2000 m3 n=1 m Daerah genangan; Perubahan nilai Hi
Iterasi ke-3
Ilustrasi simulasi model genangan dengan data DEM ukuran matriks 4×4 berdasarkan tahapan algoritma.
25
Batasan Model Pembuatan model spasial genangan banjir di lokasi penelitian memiliki batasan yang diasumsikan sebagai berikut: - Pengaruh pasang air laut tidak diperhitungkan, sehingga tidak terjadi akumulasi genangan akibat masuknya air laut ke daratan. Dalam penelitian ini, daerah laut merupakan NODATA yang memiliki nilai 9999 pada data DEM, sehingga tidak diperhitungkan (diabaikan) dan batas perhitungan dilakukan hanya sampai pada batas garis pantai. Asumsi tersebut dianggap bahwa kejadian banjir terjadi saat pasang, sehingga aliran air sungai tertahan di muara. - Pengaruh luapan sungai lainnya di sekitar wilayah Sungai Mangottong tidak diperhitungkan, sehingga tidak terjadi akumulasi genangan akibat luapan sungai yang lain. Pada bagian utara terdapat Sungai Tangka dan pada bagian selatan terdapat Sungai Baringeng Sungai, yang merupakan 2 sungai di sekitar Sungai Mangottong. Daerah genangan yang diperhitungkan hanya bersumber dari luapan Sungai Mangottong. - Resapan air ke dalam
tanah sebagai
proses infiltrasi
tidak
diperhitungkan, dengan asumsi tanah dalam keadaan jenuh. Verifikasi Model Verifikasi model dilakukan untuk melihat logika internal model. Adapun verifikasi yang dilakukan yaitu menganalisis pengaruh nilai n (penambahan ketinggian genangan pada piksel awal sehingga dapat didistribusikan ke piksel selanjutnya; lihat tahap 4 dalam tahapan algoritma dan Gambar 8) terhadap keluaran hasil simulasi model. Verifikasi dilakukan pada sebagian wilayah penelitian dengan menggunakan nilai Q sebesar 500.000 m3 (uji coba), kemudian membandingkan hasil simulasi nilai n yang berbeda terhadap ketinggian dan luas daerah genangan, serta waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan simulasi, yang dihasilkan oleh masing-masing simulasi. Nilai n yang disimulasikan yaitu 1 m, 0.5 m, dan 0.1 m. Berdasarkan hasil simulasi, selanjutnya dipilih nilai n yang mendekati atau sesuai dengan pola alami genangan banjir, untuk dimasukkan dalam proses simulasi genangan pada kejadian banjir pada tahun 2006.
26
Simulasi Model Kejadian Banjir tahun 2006 Simulasi model untuk kejadian banjir pada tahun 2006 dilakukan dengan menetapkan nilai Q sebesar 10 507 600 m3 yang dihitung berdasarkan volume kurva hidrograf sintetis, dengan debit puncak banjir yang dihasilkan oleh Sungai Mangottong sebesar 346.66 m3/s atau setara dengan debit banjir periode ulang 25.3 tahun (Rahayu 2008). Validasi Model Hasil simulasi daerah yang tergenang tersebut kemudian divalidasi berdasarkan perbandingan terhadap data titik kedalaman genangan hasil observasi (pengukuran) di lokasi penelitian. Data titik kedalaman genangan di lokasi penelitian diperoleh berdasarkan wawancara penduduk terkait kondisi banjir pada tahun 2006. Model Prediksi Genangan Periode Ulang 50 dan 100 Tahun Setelah proses validasi dilakukan, maka dilanjutkan dengan simulasi genangan untuk memprediksi dan memetakan daerah genangan pada periode ulang 25, 50 dan 100 tahun dengan input nilai volume masing-masing yaitu sebesar 10 476 400 m3, 11 989 800 m3 dan 13 531 400 m3, yang juga dihitung berdasarkan volume kurva hidrograf sintetis debit banjir yang dihasilkan oleh Sungai Mangottong (Rahayu 2008). Data DEM yang telah dianalisis dalam proses simulasi yaitu telah diperoleh daerah yang tergenang, selanjutnya akan dikonversi kembali ke bentuk format raster Esri grid menggunakan ArcGIS untuk digunakan dalam analisis selanjutnya. 4) Analisis Risiko Bencana Banjir a. Analisis Bahaya (Hazard) Berdasarkan hasil simulasi pemodelan spasial genangan banjir, maka analisis bahaya banjir dilakukan dengan memilih hasil simulasi genangan periode ulang 25 tahun sebagai peta bahaya banjir. Analisis bahaya banjir pada lokasi penelitian dilakukan dengan membagi kelas kedalaman genangan berdasarkan tingkat bahayanya. Adapun pembagian kelas kedalaman genangan mengacu pada BNPB (2012) yaitu disajikan pada Tabel 4.
27
Tabel 4 Kelas bahaya banjir berdasarkan kedalaman genangan (BNPB 2012) Kelas Bahaya
Kedalaman (meter)
Rendah
<0.76
Sedang
0,76 – 1,5
Tinggi
>1,5
b. Analisis Kerentanan (Vulnerabilty) Dalam penelitian ini, analisis kerentanan dikaji berdasarkan kriteria kerentanan fisik, kerentanan sosial, dan eksposur lahan. Setiap kriteria dianalisis dengan prosedur sebagai berikut: 1. Kerentanan fisik dinilai berdasarkan jumlah bangunan yang berada di daerah genangan banjir, yang diperoleh dengan melakukan dijitasi citra satelit WorldView-2 dalam bentuk data titik (point). Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengelompokkan jumlah bangunan dengan metode Point Statistics di ArcGIS berdasarkan analisis ketetanggaan (neighborhood) menggunakan tipe circle dengan radius 100 meter, dan tipe statistik yang dipilih yaitu sum, dengan output berupa data raster dengan ukuran piksel 20 × 20 meter. Hasil yang diperoleh kemudian dikelaskan dengan metode klasifikasi Natural Breaks (Jenks), Metode tersebut juga dikenal sebagai goodness of varians fit, digunakan untuk meminimalkan penyimpangan kuadrat dari rata-rata kelas (ESRI 2012). Jumlah bangunan di lokasi penelitian dikelaskan sebanyak 3 kelas yaitu kelas rendah (skor 0.33), sedang (skor 0.67), dan tinggi (skor 1). 2. Kerentanan sosial dinilai berdasarkan kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk dihitung berdasarkan jumlah penduduk (mewakili 1 unit bangunan pemukiman yang berada di daerah genangan banjir) per km2. Berdasarkan data titik bangunan, dilakukan penyeleksian terhadap titik bangunan yang termasuk bangunan pemukiman dengan mengacu pada data penggunaan lahan. Jumlah penduduk untuk setiap unit bangunan pemukiman
dihitung
berdasarkan
jumlah
penduduk
di
setiap
administrasi desa/kelurahan dibagi dengan jumlah rumah tangga di setiap administrasi desa/kelurahan di lokasi penelitian. Hasil bagi antara
28
jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga merupakan jumlah rata-rata penduduk yang tinggal dalam 1 unit bangunan. Selanjutnya dilakukan analisis Point Density untuk menghitung kepadatan penduduk dengan menggunakan data titik bangunan pemukiman yang atributnya telah diisi dengan jumlah penduduk. Point Density di ArcGIS dilakukan berdasarkan analisis ketetanggaan (neighborhood) menggunakan tipe circle dengan radius 100 meter per unit luasan km2, dengan output berupa data raster dengan ukuran piksel 20 × 20 meter. Hasil yang diperoleh kemudian dikelaskan dengan metode klasifikasi Natural Breaks (Jenks) sebanyak 3 kelas yaitu kelas rendah (skor 0.33), sedang (skor 0.67), dan tinggi (skor 1). 3. Ekposur lahan dinilai berdasarkan nilai kerugian (ekonomi) setiap kelas penggunaan lahan di daerah genangan banjir. Nilai kerugian setiap kelas penggunaan lahan dihitung secara relatif berupa bobot, berdasarkan pembobotan yang dilakukan dengan metode perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dalam metode Analytialc Hierarchy Process (AHP) (Saaty 1988). Kelas penggunaan lahan yang dinilai adalah kelas Pemukiman/Perumahan (PP), Bisnis (B), Perkantoran (PK), Fasilitas Pendidikan (FP), Fasilitas Kesehatan (FK), Sawah (S), Kebun Campuran (KC), dan Tambak/Empang (T), sedangkan kelas Ruang Terbuka/Lapangan, Semak Belukar, Mangrove, dan Sungai diberi nilai 0, dengan asumsi tidak menghasilkan dampak kerugian bagi penduduk. Nilai bobot yang dihasilkan kemudian dinormalisasi untuk menghasilkan skor dengan kisaran nilai 0 – 1. Data eksposur lahan kemudian dikonversi kebentuk raster dengan ukuran piksel 20 × 20 meter. Setelah semua kriteria kerentanan telah dianalisis, analisis kerentanan bencana banjir di lokasi penelitian dilakukan dengan metode spasial MCDA (Multi Criteria Decision Analysis) yaitu menggabungkan beberapa kriteria secara spasial berdasarkan nilai dari masing-masing kriteria (Malczewski 1999). Penggabungan beberapa kriteria dilakukan dengan proses overlay secara operasi matematika berdasarkan nilai skor dan bobot (weight) masing-masing kriteria
29
kerentanan. Berdasarkan hal tersebut, untuk menganalisis kerentanan digunakan persamaan berikut: ............................................................... (9) dimana V adalah kerentanan; Vp adalah kerentanan fisik berdasarkan nilai skornya; Vs adalah kerentanan sosial berdasarkan nilai skornya; El adalah eksposur lahan berdasarkan nilai skornya; dan w adalah bobot masing-masing kriteria. Pembobotan (weighting) masing-masing kriteria kerentanan dilakukan dengan metode perbandingan berpasangan dalam metode AHP (Saaty 1988). Perbandingan antara masing-masing kriteria diminta dari tim ahli (pakar) melalui kuisioner (Lampiran 4), yang memiliki tujuan untuk membuat penilaian komparatif (preferensi) tentang kepentingan relatif dari masing-masing pasangan kriteria dalam hal kriteria yang mereka ukur. Pemberian nilai oleh pakar berdasarkan skala nilai kepentingan yang disarankan Saaty (1988), seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5
Skala nilai kepentingan untuk perbandingan berpasangan (pairwise comparison)
1
Intensitas Kepentingan Sama penting
3
Sedikit lebih penting
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya.
5
Lebih penting
7
Sangat penting
9
Mutlak penting
2,4,6,8
Nilai menengah
Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya. Satu elemen jelas sangat lebih penting daripada elemen lainnya dan memiliki dominasi nyata Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya dan dipilih secara tegas. Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di antara 2 pilihan. Nilai untuk kebalikan perbandingan. Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka disbanding dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i.
Skala
1/n
Kebalikan (reciprocals)
Keterangan Kedua elemen sama pentingnya
Langkah selanjutnya dari proses perhitungan yaitu nilai-nilai preferensi yang diberikan disintesis menggunakan tabel matriks untuk menentukan ranking dari faktor yang relevan dalam hal nilai-nilai numerik yang setara dengan bobot faktor. Oleh karena itu nilai-nilai eigen dan eigenvektor dari matriks preferensi
30
mengungkapkan rincian penting tentang pola dalam matriks data yang dihitung. Beberapa pengalaman dalam proses AHP, nilai-nilai dari matriks perbandingan berpasangan biasanya akan dianggap baik dan tidak ditetapkan secara sewenangwenang. Namun, perasaan responden dan preferensi tetap tidak konsisten dan intransitif, yang kemudian dapat menyebabkan gangguan dalam perhitungan eigenvektor (Marinoni 2004). Agar hasil penilaian konsisten melalui kuisioner yang dibuat, responden diarahkan untuk terlebih dahulu mengurutkan tiap indikator berdasarkan urutan prioritas yang dianggap penting kemudian memberikan nilai kepentingan relatifnya (Panuju, Desember 2012, komunikasi pribadi), seperti disajikan pada Lampiran 2. Untuk menilai konsistensi hasil penilaian kepentingan relatif secara berpasangan, digunakan rasio konsistensi/consistency ratio (CR). Saaty (1988) mendefinisikan CR sebagai rasio antara consistency index (CI) terhadap suatu average consistency index (RI) berdasarkan persamaan berikut: ..................................................................................... (10) .............................................................................. (11) dimana λmax adalah vektor prioritas dikalikan dengan masing-masing jumlah kolom; dan n adalah jumlah kriteria. Nilai CR <0.1 disebut konsisten. RI atau juga disebut indeks acak (random index), adalah dihitung oleh Saaty dan Sodenkamp (2008) sebagai konsistensi rata-rata matriks persegi pada berbagai n yang di-order yang diisi dengan masukan acak. Nilai RI pada berbagai tingkat order disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Nilai RI pada berbagai tingkat order Order
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
RI
0
0
0.52
0.89
1.11
1.25
1.35
1.40
1.45
1.49
1.52
1.54
1.56
1.58
1.59
Proses akhir dari penentuan bobot masing-masing kriteria dilakukan dengan menggabungkan nilai bobot dari masing-masing responden menjadi satu nilai, dengan menggunakan metode rata-rata geometrik (Marimin 2008). Hasil dari perhitungan rata-rata geometrik terhadap bobot masing-masing kriteria akan
31
dilakukan kembali perhitungan dengan metode pairwise comparison. Adapun rumus yang digunakan dalam perhitungan rata-rata geometrik yaitu sebagai berikut: ........................................................................ (12) dimana
adalah rata-rata geometrik; n adalah jumlah responden; dan Xi adalah
penilaian oleh responden ke-i. Berdasarkan konsep analisis spasial, alur proses analisis kerentanan dengan metode spasial MCDA untuk menghasilkan peta kerentanan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 10. Hasil yang diperoleh kemudian dikelaskan menggunakan klasifikasi Equal Interval (interval sama) menjadi 3 kelas yaitu kelas rendah (skor 0.33), sedang (skor 0.67), dan tinggi (skor 1). Kerentanan Fisik (Jumlah Bangunan)
Kerentanan Sosial (Jumlah Penduduk)
Eksposur Lahan (Penggunaan Lahan)
Penentuan skor
Penentuan skor
Penentuan skor
Penentuan Bobot
Penentuan Bobot
Penentuan Bobot
Overlay
Reklasifikasi (Rendah, Sedang, Tinggi)
Peta Kerentanan
Gambar 10 Alur proses analisis kerentanan dengan metode spasial MCDA. c. Analisis Risiko (Risk) Risiko banjir dapat dihitung berdasarkan persamaan umum: ................................................................................ (13)
32
dimana: R adalah risiko (risk); H adalah bahaya (hazard); dan V adalah kerentanan (vulnerability). Menurut BNPB (2012) hasil indeks perkalian perlu dikoreksi dengan menunjukkan pangkat 1/n, untuk mendapatkan kembali dimensi asalnya. Berdasarkan koreksi tersebut digunakan persamaan: ............................................................................. (14) Berdasarkan persamaan tersebut, analisis risiko dikaji secara spasial yaitu dalam bentuk peta risiko, dengan menggabungkan komponen H (peta bahaya) dan V (peta kerentanan). Seperti halnya dalam analisis kerentanan, risiko bencana banjir dianalisis dengan menggunakan metode spasial MCDA. Nilai skor masingmasing komponen risiko diberi nilai pada kisaran 0 – 1, yaitu untuk kelas rendah diberi skor 0.33, kelas sedang diberi skor 0.67, dan kelas tinggi diberi skor 1. Nilai-nilai skor tersebut merupakan nilai normalisasi dari pemberian nilai pada skala 1 – 3. Semakin tinggi nilai yang diberikan, maka semakin besar pengaruhnya terhadap risiko. Selanjutnya, untuk nilai bobot masing-masing komponen risiko diberikan nilai bobot yang sama yaitu 0.5. Alur proses analisis risiko dengan metode spasial MCDA disajikan pada Gambar 11. Hasil yang diperoleh kemudian dikelaskan menggunakan klasifikasi Equal Interval (interval sama) menjadi 3 kelas yaitu kelas rendah, sedang, dan tinggi. Peta Bahaya
Penentuan Skor
Penentuan Bobot Overlay 2
= ( ×
Peta Kerentanan
Penentuan Skor
Reklasifikasi (Rendah, Sedang, Tinggi)
Peta Risiko
Penentuan Bobot
Gambar 11 Alur proses analisis risiko dengan metode spasial MCDA.