IV 4.1
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa
Barat.
Pemilihan
lokasi
dilakukan
secara
sengaja
(purposive)
dengan
pertimbangan bahwa Kecamatan Cikajang merupakan daerah sentra produksi komoditas susu segar sapi perah. Kecamatan Cikajang merupakan salah satu daerah terbesar pemasok susu segar untuk Industri Pengolahan Susu di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Oleh karena itu, Kecamatan Cikajang dapat dijadikan contoh sebagai daerah yang cocok untuk melakukan analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas susu segar sapi perah. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2009. 4.2
Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data
sekunder. Data primer akan diperoleh melalui pengamatan langsung, wawancara dan diskusi dengan pihak peternak sapi perah yang tergabung sebagai anggota Koperas Peternak Garut Selatan. Data sekunder diperoleh melalui instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Perpustakaan Departemen Agribisnis IPB, Perpustakaan LSI-IPB dan Internet.
4.3
Metode Penarikan sampel Pengambilan sampel sebagai responden dalam penelitian ini menggunakan
metode purposive, yaitu populasi sampel dibagi menjadi kelompok yang homogen terlebih dahulu (wilayah) dan anggota sampel ditarik setiap wilayah. Wilayah yang akan dijadikan responden (sampel) dalam penelitian ini didasarkan pada tempat dimana peternak yang tergabung merupakan kelompok terbesar, masingmasing diambil 5 orang dari setiap kelompok anggota untuk dijadikan responden yaitu kelompok Mekar Jaya, Mekar Sari, Cimanuk, Giri Jaya, Giri Waras, Mangunreja. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 30 orang peternak anggota Koperasi Peternak Garut Selatan (KPGS) yang diambil dari 5 kelompok anggota peternak yang berasal dari 29 kelompok anggota KPGS.
38
4.4
Analisis Data Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data penelitian terdiri atas
beberapa tahap. Pertama adalah penentuan input usahaternak sapi perah. Tahap kedua adalah pengidentifikasian input kedalam komponen input tradable yaitu input yang diperdagangkan dipasar internasional baik diekspor maupun diimpor dan identifikasi input non tradable yaitu input yang dihasilkan dipasar domestik dan tidak diperdagangkan secara internasional. Kedua, penentuan harga bayangan input dan output, kemudian dianalisis dengan menentukan Policy Analysis Matrix (PAM). Langkah terakhir adalah analisis sensitivitas. Data yang diperoleh diolah menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. 1.
Metode Pengalokasian Komponen Biaya Domestik dan Asing, penelitian ini menggunakan pendekatan total dalam mengalokasikan biaya input tradable dan non tradable.
2.
Alokasi Biaya Tataniaga, penentuan biaya ini dengan cara menghitung biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut barang dari peternak ke IPS.
3.
Penentuan Harga Bayangan Input dan Output, harga bayangan yang sebenarnya akan terjadi dalam perekonomian jika pasar dalam keadaan persaingan sempurna dan dalam kondisi keseimbangan (Gittinger, 1986). a. Harga Bayangan Output, harga perbatasan untuk output yang diekspor kemudian dikonversi kedalam nilai rupiah bayangan dan dikurangi biaya tataniaga, b. Harga bayangan Input, sama dengan harga finansialnya. Penentuan harga bayangan dengan mengeluarkan distorsi akibat kebijakan pemerintah atau akibat kegagalan pasar.
Dalam penelitian ini untuk
menentukan harga sosial komoditas yang diperdagangkan didekati dengan harga batas (border price).
Untuk komoditas yang selama ini diekspor
digunakan harga f.o.b (free on board) dan untuk komoditas yang diimpor digunakan harga c.i.f (cost insurance freight).
Untuk harga fob, karena
merupakan harga batas di pelabuhan ekspor perlu dikurangi biaya transport dan handling dari pedagang besar ke pelabuhan Tanjung Priok. Sementara itu untuk harga c.i.f, karena merupakan harga batas di pelabuhan impor, maka
39
perlu ditambah biaya transport dan handling dari pelabuhan Tanjung Priok ke lokasi penelitian. Biaya handling didekati dengan biaya handling KPGS Cikajang. 4.5
Policy Analysis Matrix (PAM) Terdapat banyak metode pendekatan dan teori untuk mengestimasi daya
saing komoditi, di mana kesemua cara pendekatan dan teori tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang memerlukan pemecahan. Salah satu cara pendekatan yang dipandang efisien adalah metode PAM (Policy Analysis Matrix) yang telah kembangkan oleh Monke dan Pearson sejak tahun 1987. Oleh sebab itu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan keunggulan kompetitif dan komparitif model PAM dengan formulasi seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) Biaya Keterangan
Penerimaan
Harga privat Harga sosial Dampak Kebijakan
A E I
Input Tradable B F J
Input non Tradable C G K
Keuntungan D H L
Sumber : Monke dan Pearson (1987). Keterangan : Keuntungan Privat (D) = (A) - (B) - (C) Keuntungan Sosial (H) = (E) - (F) - (G) Transfer Output (I) = (A) - (E) Transfer Input (J) = (B) - (F) Transfer Faktor (K) = (C) - (G) Transfer Bersih (L) = (D) - (H) = I - (J + K) Rasio biaya privat (PCR) = C / (A-B) Rasio biaya sumberdaya domestik (DRCR) = G / (E-F) Koefisien proteksi output nominal (NPCO) = A/E Koefisien proteksi input nominal (NPCI) = B / F Koefisien proteksi efektif (EPC) = (A-B) / (E-F) Koefisien keuntungan (PC) = D / H Kelebihan model PAM ini adalah selain diperoleh koefisien DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) sebagai indikator keunggulan komparatif, analisis ini juga dapat menghasilkan beberapa indikator lain yang berkait dengan variabel daya saing, seperti PCR (Private Cost Ratio) untuk menilai keunggulan
40
kompetitif, NPCO (Nominal Protection Coefficient on tradable Output), NPCI (Nominal Protection Coefficient on tradable Inputs), EPC (Effective Protection Coefficient), PC (Profitability Coeffisient), dan SRP (Subsidy Ratio to Producers). Untuk mendapatkan nilai-nilai koefisien tersebut, setiap unit biaya (input), output, dan keuntungan dikelompokkan ke dalam harga pasar (privat) dan harga sosial. Dari selisih perhitungan berdasarkan kedua kelompok harga tersebut diperoleh angka transfer untuk menilai dampak dari penerapan kebijakan pemerintah yang berlaku pada komoditas susu segar sapi perah dan mengukur dampak dari adanya kemencengan (failure) pasar (Sadikin, 1999). 4.5.1
Analisis Keuntungan Keuntungan adalah selisih antara penerimaan (nilai penjualan komoditi
yang diterima) dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani. Analisis keuntungn terdiri dari keuntungan privat dan keuntungn social. Keuntungan privat (KP) menunjukan selisih antara penerimaan dengan biaya yang sesungguhnya diterima atau dibayarkan petani. Nilai KP yang lebih besar dari nol berarti secara financial menguntungkan, yaitu kndisi adanya kebijakan pemerintah atau komoditi menguntungkan untuk diusahakan. Jika nilai KP kurang dari atau sama dengan nol maka yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu kegiatan usaha tidak menguntungkan pada kondisi adanya intervensi pemerintah terhadap input dan output. KP dirumuskan oleh Monke dan Pearson (1989) sebagai berikut : Private Profitability (PP); D = A – (B + C) Social Profitability (SP); H = E – (F +G)
Keuntungan Sosial (KS) menunjukan selisih antara penerimaan dengan biaya yang dihitung dengan harga sosial. Jika nilai KS lebih besar dari nol maka secara ekonomi, yaitu pada kondisi pasar persaingan sepurna, kegiatan pengusahaan komoditi dapat dilanjutkan karena menguntungkan atau komoditi tersebut memiliki keunggulan komparatif jika nilai KS kurang dari atau sama dengan nol maka kegiatan usaha tidak menguntungkan secara ekonomi atau pada kondisi pasar persaingan sempurna. 4.5.2
Analisis Efisiensi Tingkat efisiensi pengusahaan suatu komoditi dapat dilihat dari dua
indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan
41
kompetitif dapat dilihat dari nilai Rasio Biaya Privat (Privat Cost Rasio atau PCR) yaitu rasio antara biaya input domestik privat dengan nilai tambah privat. Jika nilai PCR lebih kecil dari satu, maka berarti bahwa untuk menigkatkan nilai tambah output sebesar satu satuan diperlukan tambahan biaya faktor domestik lebih kecil dari satu satuan. Hal ini menunjukan bahwa pengusahaan komoditi tersebut efisien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif pada saat ada kebijakan pemerintah. Jika nilai PCR lebih besar atau sama dengan satu maka yang terjadi adalah sebaliknya. Private Cost Ratio (PCR) = C/ (A - B)
Keunggulan komparatif suatu komoditi juga dapat dilihat dari nilai Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost atau DRC). Jika nilai DRC lebih kecil dari satu, maka pengusahaan komoditi efisien secara ekonomi atau memiliki keunggulan komparatif pada kondisi tanpa adanya kebijakan. Hal sebaliknya berlak jika nilai DRC lebih dari satu. Domestic Resource Cost Ratio (DRC) = G/ (E - F)
4.5.3
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Dampak kebijakan pemeriah yang diidentifikasikan dari analisis PAM
melputi dampak kebijakan pemerintah terhadap output, Input dan dampak kebijakan terhadap input-output. 1.
Dampak Kebijakan Output Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan oleh nilai Transfer
Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output atau NPCO). Nilai TO merupakan selisih antara penerimaan privat dengan penerimaan social dari aktivitas produksi. Nilai tanfer output yang positif menunjukan bahwa masyarakat membeli produk dengan harga yang lebih tinggi dari haga yang seharusnya diterima. Jika transfer output bernilai negatif, berarti terdapat kebijakan subsidi negatif pada output yang membuat harga privat lebih rendah dari harga sosialnya. Untuk output ekspor, angka negatif menunjukan bahwa kebijakan menyebabkan harga output yang diterima produsen didalam negeri lebih kecil dari harga di pasar dunia. Berdasarkan matriks PAM, nilai TO yang dirumuskan dihitung sebagai berikut : Output Transfer (OT) = A – E
42
NPCO menunjukan dampak insentif pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat dan sosial. Nilai NPCO negatif menunjukan bahwa akibat kebijakan pemerintah, harga privat lebih kecil dari harga dunia, sehingga dapat dikatakan bahwa produsen output memberkan nilai transfer kebada pemerintah (TO). Kebijakan ini dapat berupa subsidi negatif kepada produsen untuk barang ekspor. Nominal Protection Coefficient on Tradable Output ( NPCO) = A/E
Sumber : Monke dan Pearson (1989), Halaman 24 2.
Dampak Kebijakan Input Dampak kebijakan pemerntah terhadap input tradable dijelaskan dengan
Transfer Input (TI) dan Koefisien Proteksi Input Nominal (Nominal Protection Coefficient on Input atau NPCI), sedangkan dampak kebijakan input domestik dijelaskan oleh Transfer Faktor (TF). Nilai TI menunjukan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable yang mengakibatkan terjadinya perbedaan input tradable privat dan sosial. Nilai transfer input positif menunjukan kebijakan pemerintah pada input tradable menyebabkan keuntungan yang diterima secara privat lebih besar dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Nilai transfer input negative menunjukan kebijakan pemerintah menyebabkan keuntungan yang diterima secara finansial lebih kecil dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Transfer Input (IT) = B –F
Nilai NPCI lebih dari satu menunjukan adanya proteksi terhadap produsen input, sementara sektor yang menggunakan input akan dirugukan dengan tingginya biaya produksi. Nilai NPCI lebih kecil dari satu menunjukan adanya hambatan ekspor input, sehingga produksi menggunakan input lokal. Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCI) = B/F
Sumber : Monke dan Pearson (1989), Halaman 19 Nilai Transfer Faktor (TF) menunjukan pengaruh kebijakan pemerintah terhadap produsen dan konsumen yang berbeda dengan kebijakan pada input tradable. Nilai TF menunjukan besarnya subsidi terhadap input non tradable. Bila nilai transfer faktor negatif berarti terdapat subsidi positif pada input non tradable. Transfer Factor (FT) = C – G
43
3.
Dampak Kebijakan Input-Output Pengaruh kebijakan input-output dapat dijelaskan melalui analisis Koefisien
Proteksi Efektif (Effective Protection Coefficient atau EPC), Transfer Bersih (TB), Koefisien Keuntungan (PC) dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP). Koefisien Proteksi Efektif (EPC) adalah analisis gabungan proteksi output dengan proteksi input. Nilai EPC menggambarkan arah kebijakan pemerintah apakah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestic secara efektif. Nilai EPC lebih besar dari satu menunjukan kebijakan untuk melindungi produsen domestik berjalan dengan efektif. Jika EPC lebih kecil dari satu maka kebijakan untuk melindungi produsen domestik tidak berjalan dengan baik. Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCI) = B/F
Transfer Bersih (TB) adalah selisih antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Nilai TB juga menggambarkan selisih antara transfer output dengan transfer input. Jika nilai TB lebih besar dari nol, maka nilai tersebut menunjukan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang dilakukan pada input dan output. Jika nilai transfer bersih lebih kecil dari nol maka yang terjadi adalah sebaliknya. Net Transfer (NT) = D – H
Koefisien Keuntungan (Profitability Coefficient atau PC) adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial. Nilai PC yang kuang dari satu menunjukan kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima produsen lebih kecil bila dibandingkan tanpa ada kebijakan. Jika nilai PC lebih dari satu maka yang terjadi adalah sebaliknya. Profitability Coefficient (PC) = D/H
Rasio Subsidi bagi Produsen (Subsidi Ratio to Producers atau SRP) menunjukan insentif bersih atas penerimaan yang dihitung dengan harga sosial, yaitu : Subsidy Ratio to Produce; (SRP) = L/E
Nilai SRP negatif menunjukan kebijakan pemerintah yang berlaku membuat produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya imbangan 44
untuk berproduksi. Jika nilai SRP adalah positif maka yang terjadi adalah sebaliknya. Untuk output dan input yang dapat diperdagangkan secara internasional, harga sosial dapat dihitung berdasarkan harga perdagangan internasional. Untuk komoditas yang diimpor dipakai harga CIF (Cost, Insurance and Freight). Sedangkan komoditas yang diekspor digunakan harga FOB (Free on Board), juga untuk input non tradable digunakan biaya imbangan (opportunity cost). 4.5.4
Identifikasi Input dan Output
Penentuan input usahaternak sapi perah adalah seluruh bahan, peralatan, tenaga kerja dan lain sebagainya yang diperlukan dalam proses usahaternak sapi perah dan dalam perolehannya menimbulkan biaya. Input yang digunakan antara lain lahan, bibit, tenaga kerja, pakan dan peralatan. Sedangkan output yang dihasilkan adalah susu sapi. 1.
Pengalokasian Komponen Biaya Input Tradable dan Non Tradable Menurut Monke dan Pearson (1989) terdapat dua pendekatan dalam
pengalokasian biaya kedalam komponen tradable dan non tradable yaitu pendekatan langsung dan pendekatan total. Pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Dengan kata lain, input non tradable yang sumbernya dari pasar domestik ditetapkan sebagai komponen domestik dan input asing yang dipergunakan dalam proses produksi barang non tradable tetap dihitung sebagai komponen biaya asing. Pendekatan total mengasumsikan setiap biaya input tradable dibagi kedalam biaya domestik dan asing dan penambahan input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input tersebut memiliki kemungkinan untuk diproduksi didalam negeri. Penelitian ini menggunakan pendekatan total dalam mengalokasikan biaya kedalam komponen biaya input tradable dan non tradable.
45
2.
Alokasi Biaya Tataniaga Biaya tataniaga merupakan biaya yag dikeluarkan untuk menambah nilai
atau kegunaan suatu barang, yaitu kegunaan tempat, bentuk dan waktu termasuk didalamnya penanganan dan pengangkutan. Dalam perhitungan biaya tataniaga diperoleh dengan menjumlahkan seluruh biaya tataniaga dari produsen sampai kepelabuhan ekspor atau dari pelabuhan impor sampai ke daerah konsumen. Biaya tataniaga dalam penelitian ini yaitu biaya pengengkutan dari produsen sampai ke industri pengolahan. Besarnya biaya tataniaga output susu segar Rp 125,00 per liter. Sedangkan biaya besarnya biaya tataniaga input yaitu konsentrat adalah Rp 50,00 per kilogram konsentrat. 3.
Analisis Harga Bayangan Harga bayangan adalah sebagian harga yang terjadi dalam perekonomian
pada keadaan persaingan sempurna dan kondisinya dalam keadaan keseimbangan (Gittinger, 1982). Kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar sulit ditemukan, maka untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga sosial perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku. Alasan penggunaan harga bayangan adalah sebagai berikut : a.
Harga bayangan tidak mencerminkan korbanan yang dikeluarkan jika sumberdaya tersebut dipakai untuk kegiatan lain,
b.
Harga yang berlaku dipasar tidak menunjukan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui suatu produksi dari aktivitas tersebut.
Harga Bayangan Output Harga yang digunakan sebagai harga bayangan output adalah harga perbatasan (border price). Posisi Indonesia saat ini untuk produk susu dan sapi perah bibit sebagai Negara pengimpor, sehingga harga output yang dipakai adalah harga CIF susu dan sapi perah bibit. Namun, harus dilakukan perhitungan harga bayangan nilai tukar sebagai berikut.
46
SER =
OER SCFt
Dimana, SER
: Nilai Tukar Bayangan (Rp.US$)
OER
: Nilai Tukar Resmi (Rp/US$)
SCFt
: Faktor konversi Standar
Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan eskpor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut :
SCFt =
Xt + Mt (Xt − Txt) + (Mt + Tmt)
Dimana, SCFt
: Faktor konversi stadar untuk tahun ke-t
Xt
: Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp)
Mt
: Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp)
Txt
: Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp)
Tmt
: Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t (Rp)
Harga bayangan nilai tukar dihitung berdasarkan metode Square dan Van der Tak, yaitu besarnya nilai ekspor tahun 2008 (Xt) Rp 1,310,827,813,309,640.0, nilai impor (Mt) Rp 1,235,986,701,560,890.0, pajak ekspor dan impor masingmasing Rp 453,000,000,000.0 dan Rp 14,417,000,000,000.0 (BPS, 2009). Pada akhirnya diperoleh nilai SER sebesar Rp. 10,232.00. Dalam usahaternak sapi perah, output yang dihasilkan merupakan komoditi impor, sehingga perhitungan harga bayangannya menggunakan harga CIF Tanjung Priok setelah dikalikan dengan SER semester pertama sebesar Rp 10.900,00 dan dikurangi biaya tataniaga sebesar Rp 91,85. Didapatkan harga bayangannya menjadi Rp 3.673,93. Harga tersebut merupakan harga susu dengan pendekatan full cream milk powder, karena susu untuk mendapatkan harga CIF susu segar tidak tersedia.
47
Harga Bayangan Input a.
Harga Bayangan Bibit Bibit sapi perah termasuk dalam komponen input tradable, namun peternak
mendapatkan bibit melalui peternak lainnya atau pun koperasi. Diduga tidak ada campur tangan pemerintah dan cenderung mendekati pasar persaingan sempurna. Sehingga, diperkirakan harga bayangan bibit sapi perah sama dengan harga finansialnya yaitu sebesar Rp 2.875.000,00. b.
Harga Bayangan Kandang dan Alat Kandang dan peralatanya sebagian besar merupakan produksi domestik,
kecuali milkcan yang pengadaannya melalui impor. Biaya produksi yamg pembuatannya di dalam negeri dapat dibagi ke dalam komponen asing dan domestik. Walaupun milkcan produk impor, karena dalam unit biaya alat kandang milkcan hanya bagian kecil (dua persen), maka perhitungan komponen asing dan domestiknya mengikuti unit peralatan lainnya dalam satuan paket biaya alat kandang. Sebagian besar komponen kandang berada pada dalam pasar yang mengarah pada pasar persaingan sempurna. Oleh karena itu, harga bayangan yang dipakai diasumsikan sama dengan harga finansialnya. Selanjutnya biaya tersebut diasumsikan 50 persen merupakan komponen asing dan 50 persen domestik. c.
Pakan Hijauan dan Tenaga Kerja Sebagian besar peternak sapi perah memperolah pakan hijauan dengan cara
mencari di lahan-lahan terbuka. Sumber pengadaan pakan hijauan tersebut sebagian besar mengandalkan modal tenaga kerja. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, harga pakan hijauan didekati dengan jam kerja yang dicurahkan dalam mencari rumput. Demikian pula dalam penentuan harga sosialnya. Dengan asumsi pasar yang mengarah pada persaingan sempurna, tingkat upah akan mencerminkan nilai produktivitas marjinalnya. Pada kondisi seperti ini, tingkat upah aktual dapat dipakai sebagai harga bayangan dari tenaga kerja. Namun di Indonesia kondisinya tidak demikian, terutama pada pasar tenaga kerja sektor pertanian yang pendidikannya relatif rendah antara 60-80 persen dari harga aktualnya.
48
d.
Pakan Limbah dan Konsentrat Seluruh pakan limbah dan sebagian pakan konsentrat menggunakan bahan
domestik. Pemasaran bahan-bahan tersebut mengarah pada kondisi pasar bersaing sempurna. Oleh sebab itu dalam penelitian ini harga sosial kedua jenis pakan ini sama dengan harga aktualnya. Sementara itu untuk pakan limbah, seluruh komponennya merupakan komponen domestik, sedangkan pakan konsentrat 15 persen merupakan komponen asing. e.
Biaya Tataniaga dan Biaya Lain Biaya tataniaga dalam tulisan ini terdiri dari biaya pengangkutan susu dan
pengangkutan pakan dengan proporsi 80 persen komponen domestik dan 20 persen komponen asing. Sedangkan, untuk pemasaran seluruhnya merupakan komponen domestik. Biaya obat-obatan yang dimaksudkan dalam bahasan ini adalah biaya tunai yang dikeluarkan peternak untuk pembelian obat-obatan dan vitamin serta tip yang diberikan kepada petugas. Biaya sosial obat-obatan dikurangi biaya tip sebesar Rp 5.000,00. Komponen bahan baku obat-obatan dan vitamin 100 persen diasumsikan merupakan komponen domestik. Biaya perkawinan termasuk management fee, yang dalam tulusan ini termasuk penanganan. Namun ada tip bagi petugas sebesar Rp 15.000,00 diluar management fee. Atas dasar itu, harga sosial dari biaya perkawinan sama dengan nol. Selain itu, ada juga biaya listrik, iuran air, pajak ternak pembelian sabun dan vazlin. Berdasarkan komponen tersebut 30 persen diantaranya merupakan iuran, selebihnya merupakan komponen asing dimana harga sosialnya sama dengan harga aktual. 4.
Analisis Sensitifitas Analisis sensitifitas dilakukan untuk mengetahui perubahan perhitungan
biaya dan manfaat dari perubahan input atu output dari hasil analisis suatu efektivitas perekonomian. Kelenturan usaha terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam perekonomian nasinal dan internasional dapat dilakukan analisis untuk menguji secara sistematis apa yang terjadi pada komponen penerimaan suatu usaha jika terjadi perubahan-perubahan pada komponen penerimaan suatu usaha jika terjadi perubahan variabel teknis maupun variabel ekonomis. Sebagai
49
produk substitudi impor, harga bahan baku susu impor sebagai saingan SSDN sangat dipengaruhi oleh fluktuasi rupiah terhadap dolar. Karena untuk memproduksi susu olahan IPS dapat menggunakan bahan baku SSDN atau impor, selain itu perubahan bea masuk susu impor juga akan sangat berpengaruh terhadap daya saing SSDN yang jika ternyata harga susu impor lebih murah. Hal ini lah yang menjadi variabel yang relevan digunakan dalam analisis kepekaan pada usahaternak sapi perah.
50