25
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium TLB (Teknik Lingkungan Biosistem), Laboratorium TPPHP, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem. Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2012 sampai November 2012. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis gabah dari varietas Ciherang sebanyak 50 kg. Gabah tersebut diperoleh dari petani di Desa Pura Sari, kecamatan Leuwiliang-Bogor Barat. Dua jenis plastik (LDPE dan PP), garam jenuh NaOH, KF, K2CO3, NaBr, KI, NaCl, KCl, K2SO4, dan akuades. Peralatan yang digunakan adalah unit pengolahan beras pratanak (drum perendaman, tangki pengukusan gabah, steam boiler), thermometer, kompor gas, termokopel, timbangan analitik, grain moisture tester, mesin penggilingan milik petani di desa Marga Jaya tipe ICHI N50. Peralatan yang digunakan dalam penentuan umur simpan adalah inkubator, desikator modifikasi toples, oven, Permatran W 3*31, neraca analitik, cawan alumunium, hygrometer, sealer dan Whitennestester. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.
(a)
(b)
Gambar 4 Unit pengolahan beras pratanak : drum perendaman (a), tangki pengukusan dan steam boiler (b)
26
(a)
(b)
Gambar 5 Alat bantu penelitian : grain moisture tester (a), Timbangan analitik (b), inkubator (c), dan chamber modifikasi toples (d) C. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan 3 tahap yaitu tahap proses pengolahan beras pratanak, tahap Pendugaan umur simpan beras pratanak berdasarkan kadar air kritis dan tahap pendugaan umur simpan berdasarkan model Arrhenius. Tahap I. Proses pengolahan beras pratanak Pada tahap ini gabah terlebih dahulu di bersihkan dari kotoran-kotoran seperti jerami, benda asing dan gabah hampa dengan menggunakan mesin precleaner. Gabah kering giling (GKG) yang telah disortasi direndam dalam air, perendaman dilakukan dengan air hangat di dalam drum pada suhu 60oC selama 4, 6 dan 8 jam dengan terlebih dahulu melakukan penelitian pendahuluan sehingga akan di dapatkan lama perendaman terpilih yang mendekati kadar air
27
terserap ±30 %. Gabah yang telah direndam selanjutnya dikukus didalam tangki pengukusan pada suhu 90oC selama 30 menit, sehingga diperoleh gabah yang mengalami gelatinisasi dan sekam yang sedikit terbuka (pecah). Gabah selanjutnya dikeringkan pada lantai jemur dengan memanfaatkan panas sinar matahari sampai kadar air gabah mencapai 12-14%. Untuk lebih jelasnya diagram alir proses pengolahan beras pratanak dapat dilihat pada Gambar 6. Gabah GKG Pembersihan (Precleaning)
Perendaman T=60oC selama 6 jam
Kontrol
Pengukusan(steaming) T=90oC selama 30 menit Pengeringan , (KA = 12- 14 %) Gabah pratanak Penggilingan
Beras kontrol
Beras Pratanak
Analisis fisik dan kimia : Rendemen giling, kadar air, mutu giling, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, kadar amilosa dan derajat keputihan. Organoleptik : warna, aroma, dan tekstur. Gambar 6 Diagram alir proses pengolahan beras pratanak
28
Tahap II. Pendugaan umur simpan berdasarkan kadar air kritis Untuk menentukan umur simpan beras pratanak berdasarkan kadar air kritis maka diperlukan pengukuran beberapa atribut seperti kadar air awal, kadar air kesetimbangan, kadar air kritis, slope kurva kadar air kesetimbangan, permeabilitas kemasan, luas kemasan, berat padatan per kemasan dan tekanan uap air jenuh pada suhu 30oC. Diagram alir penentuan umur simpan beras pratanak dapat dilihat pada Gambar 7. Beras pratanak
Pengukuran kadar air awal Penyimpanan dalam desikator pada suhu 30oC (RH 7%, 27%, 43%, 58%, 69%, 76%, 84% dan 97%) Penimbangan setiap hari sampai kadar air konstan Penentuan kadar air kesetimbangan Penentuan pola kurva sorpsi isotermis Penentuan model persamaan sorpsi isotermis Dan uji ketepatan model Penentuan nilai kemiringan (b) kurva sorpsi isotermis Gambar 7 Diagram alir pendugaan umur simpan beras pratanak berdasarkan kadar air kritis a. Penentuan kadar air kesetimbangan (Me) Penentuan kadar air kesetimbangan diawali dengan melarutkan garam tertentu hingga jenuh atau tidak larut kembali. Garam yang digunakan antara lain NaOH, KF, K2CO3, NaBr, KI, NaCl, KCl dan K2SO4. Sebanyak 200 ml larutan garam jenuh dimasukkan kedalam chamber yang di modifikasi untuk mengatur
29
RH ruangan (chamber modifikasi toples). Sekitar ±5 gram sampel diletakkan pada cawan almunium yang telah diketahui beratnya. Cawan berisi sampel tersebut diletakkan di dalam chamber yang telah berisi larutan garam jenuh. Chamber kemudian disimpan pada suhu ruang (30±1oC) dan sampel ditimbang secara periodik tiap 24 jam hingga mencapai bobot yang konstan yang berarti kadar air kesetimbangan telah tercapai (Arpah, 2001). Menurut Adawiyah (2006), bobot yang konstan ditandai dengan selisih bobot antara tiga kali penimbangan tidak lebih dari 2 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH dibawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH diatas 90%. Sampel yang telah mencapai bobot konstan kemudian diukur kadar airnya berdasarkan AOAC 2005. Nilai RH dan larutan garam jenuh yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Nilai RH dan aw dari larutan garam jenuh yang digunakan (Suhu 30oC) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Larutan garam jenuh NaOH KF K2CO3 NaBr KI NaCl NaI K2SO4
RH (%) 7 27 43 58 69 76 84 97
aw 0.07 0.27 0.43 0.58 0.69 0.76 0.84 0.97
Sumber: Julianti et al., 2005
b. Kurva sorpsi isotermis Penentuan kurva sorpsi isotermis dibuat dengan cara memplotkan nilai kadar air kesetimbangan hasil percobaan dengan nilai kelembaban relatif (RH) atau aktivitas air (aw). Labuza (1982) menyatakan bahwa aktivitas air suatu bahan pangan dapat dihitung dengan membandingkan tekanan uap air bahan (P) dengan tekanan uap air murni (Po) pada kondisi sama atau dengan membagi kelembaban relatif keseimbangan (equilibrium relative humidity = ERH) lingkungan dengan nilai 100. Rumus aw tersebut adalah:
aw =
P ERH = ………………………………………………………………..(3) Po 100
30
Keterangan: aw
= Aktivitas air
P
= Tekanan uap air bahan (mmHg)
Po
= Tekanan uap air murni pada suhu yang sama (mmHg)
ERH = Kelembaban relatif keseimbangan c. Penentuan model persamaan sorpsi isotermis
Penentuan model persamaan sorpsi isotermis dilakukan untuk memperoleh kemulusan kurva yang terbaik. Persamaan yang dipilih adalah persamaan yang dapat di aplikasikan pada bahan pangan dengan kisaran RH 0–98% sehingga dapat mewakili ketiga daerah pada kurva sorpsi isotermis. Model persamaan yang digunakan pada penelitian ini ada 5, yaitu model Hasley, Henderson, Caurie, Oswin,
dan
Chen-Clayton.
Henderson
mengemukakan
persamaan
yang
menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini berlaku untuk bahan pangan pada semua aktivitas air dan merupakan salah satu persamaan yang paling banyak digunakan pada bahan pangan kering. Model Caurie berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada selang aw 0.0-0.85 dan model Oswin berlaku untuk bahan pangan pada RH 0-85%. Sedangkan model Chen-Clayton berlaku untuk bahan pangan pada semua aktivitas air. Pada percobaanya Hasley mengemukakan suatu persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan kelembaban relatif 0-98% (Arpah dan Syarief, 2000). Model-model persamaan sorpsi isotermis yang digunakan diubah ke dalam bentuk linear, sehingga nilai-nilai konstantanya dapat ditentukan dengan metode kuadrat terkecil (Walpole, 1993). Adapun model persamaan Hasley, Henderson, Caurie, Oswin dan Chen Clayton dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Linierisasi model-model sorpsi isotermi Model Caurie Chen-Clayton Halsey Henderson Oswin
Bentuk linier ln Me = ln P(1) - P(2)aw ln(ln(1/aw))=ln P(1)-P(2)Me log (ln(1/aw) = log P(1)-P(2)log Me log(ln(1/(1-aw))) = log K + n log Me ln Me = ln P(1) + P2 ln (aw/1-aw)
31
Keterangan: Me
= Kadar air kesetimbangan
aw
= Aktivitas air
K dan n
= Konstanta
P1 dan P2
= Konstanta
Data kadar air kesetimbangan (KAK) dan aw hasil penelitian digunakan dalam perhitungan dengan kelima model diatas, lalu dilakukan evaluasi ketepatan hasil perhitungan KAK berdasarkan model. Uji ketepatan model sorpsi isotermis dilakukan dengan menggunakan perhitungan nilai MRD (Mean Relative Determination) (Walpole, 1990). MRD =
100 n ⎡ Mi − Mpi ⎤ …………………………………………………...(4) ∑ n i =1 ⎢⎣ Mi ⎥⎦
Dimana Mi adalah kadar air hasil percobaan, Mpi adalah kadar air hasil perhitungan, dan n adalah jumlah data. Jika nilai MRD<5 maka model isotermi sorpsi itu dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya, dan jika nilai 5<MRD<10 maka model tersebut agak tepat. Sedangankan jika nilai MRD>10 maka model tersebut tidak tepat untuk menggambarkan keadaan sebenarnya. Model dengan nilai MRD terkecil dinyatakan sebagai model
terbaik dan
digunakan dalam perhitungan pendugaan masa simpan beras pratanak (Tarigan et al., 2006). d. Penentuan nilai kemiringan (b) kurva sorpsi isotermis
Menurut Rahayu dan Arpah (2003), kemiringan (b) kurva sorpsi isotermis ditentukan dari garis lurus yang terbentuk pada kurva model persamaan sorpsi isotermis terpilih. Titik-titik hubungan antara kelembaban relatif (RH) dan kadar air kesetimbangan memiliki persamaan linier y = a + bx. Nilai b dari persamaan linier tersebut merupakan nilai kemiringan kurva sorpsi isotermis. Penentuan nilai kemiringan (b) dilakukan untuk melihat pengaruhnya terhadap umur simpan produk melalui persamaan Labuza. e. Umur simpan berdasarkan kadar air kritis
Masa simpan beras pratanak ditentukan dengan mensubtitusikan data kadar air awal, kadar air kesetimbangan, kadar air kritis, berat kering bahan, luas
32
permukaan kemasan, permeabilitas kemasan, tekanan uap air jenuh, dan nilai slope sorpsi isotermi kedalam persamaan Labuza (1982).
⎡ Me − Mi ⎤ ln ⎢ Me − Mc ⎥⎦ t = ⎣ k A Po x Ws b
…………………………………………………….……..(5)
Dimana t = umur simpan, Me= kadar air kesetimbangan (%bk), Mi= Kadar air awal (%bk), Mc= Kadar air kritis (%bk), Ws= berat kering bahan (g), A= Luas permukaan kemasan (m2), k/x= permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg), Po= tekanan uap air jenuh (mmHg), b= slope kurva kadar air kesetimbangan. Penentuan kadar air kritis dari beras pratanak dilakukan dengan cara menyimpan produk tanpa kemasan pada kondisi suhu 30 oC dan RH 97%. Sampel diamati setiap 3 hari sekali melaluli uji organoleptik terhadap aroma dan tekturnya. Apabila produk tidak dapat diterima lagi oleh panelis maka sampel tersebut sudah pada kondisi kritis dan telah mencapai kadar air kritisnya. Tahap III. Pendugaan umur simpan berdasarkan model Arrhenius
Pendugaan umur simpan dilakukan dengan metode akselerasi melalui pendekatan metode Arrhenius untuk melihat konstanta penurunan mutu terhadap suhu penyimpanan yang ekstrem. Selama penyimpanan beras pratanak dikemas dalam kemasan plastik LDPE dan PP. Bobot bahan setiap kemasan sebesar 200 gram. Produk disimpan dalam suhu 40, 45, dan 50oC selama 21 hari. Pengamatan dilakukan setiap 7 hari sekali. Parameter uji yang dilakukan setiap minggunya adalah nilai TBA (thiobarbituric acid) dan aroma (ketengikan). Pendugaan umur simpan dilakukan berdasarkan penurunan parameter kritis mutu atau parameter mutu yang paling cepat menyebabkan kerusakan pada produk selama penyimpanan. Pengujian sampel untuk mengetahui penurunan mutu yang terjadi, dilakukan setiap minggu selama 21 hari masa penyimpanan. Pendugaan umur simpan beras pratanak menggunakan parameter kritis yaitu peningkatan nilai TBA selama penyimpanan. Parameter tersebut dianggap kritis karena peningkatan nilai TBA merupakan indikasi perubahan mutu pada bahan dengan timbulnya ketengikan pada beras pratanak.
33
Titik kritis yang diperoleh setiap minggunya selama penyimpanan diplotkan pada grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dan rata-rata penurunan mutu/hari. Sumbu x menyatakan lama penyimpanan (minggu) sedangkan sumbu y menyatakan rata-rata penurunan mutu/hari (k). Langkah berikutnya adalah menentukan regresi linearnya. Setelah diperoleh persamaan regresi untuk masingmasing suhu penyimpanan, dibuat plot dengan sumbu x menyatakan 1/T dan sumbu y menyatakan ln k. Nilai k menunjukkan gradien dari regresi linear yang didapat dari ketiga suhu penyimpanan, sedangkan T merupakan suhu penyimpanan yang digunakan. Nilai regresi yang diperoleh dalam kurva hubungan 1/T dan ln k, digunakan untuk menentukan nilai konstanta penurunan mutu produk. Nilai konstanta penurunan mutu tersebut ditunjukkan seperti berikut. k= ko e -E/RT ……………………………………………………………………(6) Nilai ko menunjukkan konstanta penurunan mutu yang tidak tergantung pada suhu yang diperoleh dari ln nilai intersep persamaan regresi. Nilai k menyatakan konstanta penurunan mutu pada suhu penyimpanan tertentu, sedangkan E/R merupakan gradien yang diperoleh dari nilai regresi. Selanjutnya umur simpan produk dihitung berdasarkan persamaan berikut: t
……………………………………………………………………...(7)
Keterangan: t = Pendugaan waktu umur simpan produk (hari) Ao = Nilai mutu awal produk At = Nilai mutu produk setelah waktu penyimpanan t k = Konstanta penurunan mutu beras pratanak (per hari) Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu hedonik terhadap parameter aroma (ketengikan). Tiga puluh panelis tidak terlatih diminta untuk membandingkan parameter aroma (ketengikan). Skala yang digunakan adalah 1-7, untuk parameter ketengikan skala 1 (ketengikan tercium sangat kuat), 2 (ketengikan tercium kuat), 3 (ketengikan tercium agak kuat), 4 (netral), 5 (ketengikan tercium agak lemah), 6 (ketengikan tercium lemah), 7 (ketengikan tercium sangat lemah). Skor 3 digunakan untuk menentukan bahwa sampel tersebut sudah pada kondisi kritis.
34
D. Metode analisis fisik dan kimia beras pratanak
1. Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) Pengukuran rendemen beras pratanak dihitung berdasarkan perbandingan berat beras pratanak yang dihasilkan (b gr) terhadap berat awal gabah yang digunakan (a gr). Rendemen dihitung dengan rumus: Rendemen = b/a x 100% ……………………………………………………….(8) 2. Mutu giling (SNI 1999) Sampel beras giling dan beras pratanak ditimbang sebanyak 100 gram, dengan 3 ulangan. Sampel dipisahkan menjadi beras kepala (>2/3), beras patah (1/3-2/3) dan beras menir (<1/3). Sampel tersebut selanjutnya ditimbang. Mutu giling beras pratanak ditentukan dengan rumus : Beras kepala (%)= Berat beras kepala (>2/3)/Berat awal x 100% ………….….(9) Beras patah (%) = Berat beras patah (1/3-2/3)/Berat awal x100% …………..(10) Berat Menir (%) = Berat beras menir (<1/3)/Berat awal x 100% ……………(11) 3. Kadar air beras pratanak, metode oven (AOAC, 2005) Penentuan kadar air awal perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi awal produk. Penentuan kadar air ini diawali dengan mengambil sampel secara acak dari masing-masing perlakuan sebanyak kira-kira 5-10 gram. Sebelum bahan dimasukan kedalam cawan, terlebih dahulu cawan diberi label dengan jelas, kemudian ditimbang sebagai berat A gram. Selanjutnya sampel dimasukan kedalam cawan tersebut dan di timbang sebagai berat B (berat awal). Proses selanjutnya di oven selama 72 jam pada suhu 100 oC sampai berat bahan konstan. Setelah selesai, cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin lalu sebagai berat C gram (berat akhir). Kadar air dapat dihitung dengan rumus: % bb = {(berat awal-berat akhir)/(berat awal)}x 100%, atau
( B − A) − (C − A) x100% ..................................................................(12) ( B − A) % bk = {(berat awal-berat akhir)/(berat akhir)}x 100%, atau =
=
( B − A) − (C − A) x100% ……………………………………….…..(13) (C − A)
4. Kadar Abu, metode pengabuan kering (AOAC, 2005)
35
Ditimbang sampel sebanyak 2 gram (a gr), dimasukan kedalam cawan porselin yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya (b gr), kemudian di abukan dalam tanur pengabuan dalam suhu 450–550oC selama 2 jam atau sampai semua sampel telah menjadi abu, di dinginkn dalam desikator dan di timbang (c gr).
Kadar abu (%bb) =
(c − a ) x 100% …………………………………….…..(14) (b − a)
Kadar abu (%bk ) =
Kadar abu (%bb) x 100% ……………….………….(15) 100 − Kadar air
5. Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC, 2005) Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100110oC, di dinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukan kedalam alat ekstraksi (soxhlet) yang berisi pelarut heksana. Reflux dilakukan selama 5 jam, kemudian pelarut yang ada di dalam labu lemak di destilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan di dalam oven pada suhu 100oC hingga beratnya konstan, di dinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Kadar lemak ditentukan dengan rumus sebagai berikut : Kadar lemak (bb%) =
Berat labu akhir − Berat labu awal x100% …….…..(16) Berat sampel
Kadar lemak (%bk ) =
Kadar lemak (%bb) x100% ………….……………..(17) 100 − kadar air
6. Kadar Protein, Metode mikro Kjeldahl (AOAC 1995) Sampel di timbang sebanyak 0.2 gram, kemudian dimasukan ke dalam labu kjeldahl 100 ml dan di tambahkan 2 gram K2SO4, 40 mg HgO dan 2.5 H2SO4 pekat, setelah itu di destruksi selama 30 menit sampai warna cairan berwarna hijau jernih, di biarkan sampai dingin, lalu di tambahkan 35 ml air suling dan 10 ml NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman, kemudian di destilasi. Hasil destruksi di tamping dalam Erlenmeyer 125 ml yang berisi H3BO3 dan indikator, lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N, larutan blanko dianalisis seperti sampel. Kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus :
36
Kadar nitrogen(%) =
HCl sampel − HCl blanko)ml x NHCl x 14,0007 x100% mg contoh
Kadar protein (%bb) = % N x Faktor konversi ( Faktor konversi beras = 5.95)
Kadar protein(%bk ) = 7.
Kadar protein(%bb) x100% ………………………(18) 100 − kadar air
Kadar Karbohidrat by difference (Winarno, 1992) Kadar karbohidrat dihitung menggunakan metode by difference yaitu dengan
menggunakan rumus :
Kadar karbohidra t (% bk ) = 100 − % bk ( abu + lemak + protein ) ....(19) 8.
Kadar Amilosa (Juliano, 1971) Amilosa murni di timbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukan kedalam
labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan standar kemudian di diamkan selama 24 jam dan ditetapkan sampai tanda tera dengan aquades. Sebanyak 1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml dan 5 ml larutan di atas pipet, di masukan kedalam labu takar 100 ml dan diasamkan dengan asam asetat 1 N sebanyak 0.2 ml, 0.4, ml, 0.6 ml, 0.8 ml dan 1 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan 2 ml larutan Iod dan aquades sampai tanda tera. Larutan digoyangkan dan dibiarkan selama 20 menit, kemudian di ukur absorbansinya pada λ= 620 mm, dan dibuat kurva hubungan antara kadar amilosa dan absorbansinya. Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar amilosa contoh. Sejumlah 100 mg sampel dimasukan kedalam tabung reaksi, ditambah 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 0.1 N, dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit. Seluruh gel di pindahkan secara kuantitatif kedalam labu takar 100 ml dengan pencucian berkalikali menggunakan aquades dan di encerkan menjadi 100 ml. Dari larutan diatas dipipet sebanyak 5 ml, kemudian dimasukan kedalam labu takar 100 ml, ditambah 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod serta aquades sampai tanda tera. Campuran dikocok, dibiarkan selama 20 menit, kemudian di ukur absorbansinya pada λ= 620 nm. Absorbansinya yang diperoleh diplotkan pada kurva standar. Kadar amilosa dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :
37
Kadar amilosa(%) =
A FP + x100% ………………………………….…….(20) S W
Keterangan : A
: Absorbansi sampel pada panjang gelombang 620 nm
S
: Slope pada kurva standar
FP
: Faktor pengenceran
W
: Berat sampel
9. Penetapan Bilangan TBA (thiobarbituric acid) (Apriyantono at al, 1989) Pada prinsipnya 2- Thiobarbituric acid akan bereaksi dengan malonaldehid membentuk warna merah, intensitas warna merah yang terbentuk dapat diukur pada spektrofotometer. Malonaldehid merupakan hasil oksidasi iopid. Cara kerja yang dilakukan pertama-tama menimbang bahan sebanyak 10 gram dengan teliti, masukan ke waring blender, ditambahkan 50 ml aquades dan di hancurkan selama 2 menit. Langkah berikutnya di pindahkan secara kuantitatif kedalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47.5 ml aquades. Kemudian tambahkan kurang lebih 2.5 ml HCL 4M sampai pH menjadi 1.5. Tambah batu didih dan pencegah buih secukupnya dan pasanglah labu destilasi pada alat destilasi. Destilasi dijalankan dengan pemanasan tinggi sehingga diproses 50 ml destilat selama 10 menit pemanasan. Aduk merata destilat yang diperolah, pipet 5 ml destilat kedalam tabung reaksi tertutup. Tambahkan 5 ml pereaksi TBA, tutu, campur merata lalu panaskan selama 35 menit dalam air mendidih. Selanjutnya buat larutan blangko dengan menggunakan 5 ml aquades dan 5 ml pereaksi, lakukan seperti penetapan sampel. Dinginkan tabung reaksi dengan air pendingin selama kurang lebih 10 menit kemudian ukur absorbansinya (D) pada panjang gelombang 528 nm dengan larutan blangko sebagai titik nol. Hitung bilangan TBA, dinyatakan dalam mg malonaldehid per kg sampel. Bilangan TBA adalah 7.8 D. E. Pengukuran sifat fisik kemasan
a. Penentuan permeabilitas kemasan (ASTM F 1249) Penentuan permeabilitas kemasan poliprepilen dan LDPE dilakukan dengan Permatran Mocon W*3/31 pada suhu 100oF (37.8oC). Kemasan dipotong sesuai cetakan, kemudian diukur ketebalanya. Kemasan contoh dikondisikan dahulu
38
selama 24 jam dalam ruang uji. Kemasan contoh kemudian ditempel pada tempat uji. Nilai ketebalan kemasan, luas kemasan, suhu uji, lamanya uji, laju alir udara, dan kelembaban udara yang digunakan dimasukan pada program komputer yang telah disediakan. Gas nitrogen kering dilewatkan pada sebuah chamber dimana terdapat contoh uji (plastik) yang memisahkan aliran gas nitrogen kering dari aliran nitrogen basah. Adanya perbedaan tekanan menyebabkan uap air berdifusi menuju daerah dengan tekanan lebih rendah. Uap air yang berdifusi melalui plastik dibawa oleh gas pembawa (nitrogen kering) menuju sensor inframerah untuk selanjutnya terdeteksi sebagai jumlah uap air yang dilewatkan melalui plastik. Pengujian dianggap selesai bila kondisi kesetimbangan telah tercapai (steady state). Kondisi dianggap setimbang bila laju uap air yang terdeteksi sensor inframerah telah menunjukan nilai yang konstan. Pada akhir pengujian, alat menunjukan nilai Water Vapour Transmission Rate (WVTR, g/m2/hari/mmHg). Nilai permeabilitas kemasan (k/x) dihitung dengan membagi nilai WVTR dengan hasil perkalian tekanan uap air murni (Po) pada suhu pengujian (37.8oC) dengan nilai RH. b. Penentuan bobot padatan per kemasan (Ws) dan luas kemasan (A) Bobot produk awal (Wo) dalam satu kemasan ditimbang dan dikoreksi kadar air awalnya (Mo) yang merupakan berat padatan per kemasan (Ws). Luas kemasan (A) yang digunakan dihitung dengan mengalikan panjang dengan lebar kemasan dalam satuan m2. Ws
= Wo x (% solid/100) ……………………………..…………………(21)
% solid = (1- (Mo/1 + Mo)) x 100 …………………………...……………….(22) A
= P (panjang) x L (lebar) ……………………………….……………(23)
Keterangan : Wo
= Bobot produk awal (g)
Mo
= Kadar air produk awal (%)
% solid
= Persentase padatan dalam kemasan
A
= Luas kemasan (m2)