Press Release INDEF Kebijakan Ekonomi 5 Tahun Mendatang:
Merebut Momentum, Membalik Keadaan
Jakarta, 2 April 2014
Pendahuluan ▪ Menjelang pergantian kepemimpinan nasional, pasti memunculkan harapan masyarakat agar pemimpin baru mampu segera mewujudkan janji kemerdekaan yaitu membawa kehidupan masyarakat yang semakin sejahtera. ▪ Ekspektasi publik kepada pemimpin baru sangat besar mengingat warisan persoalan yang semakin menggunung. ▪ INDEF sebagai lembaga riset independen dan lembaga think thank mempunyai tanggung jawab akademis untuk selalu menyumbangkan gagasan yang konstruktif untuk dapat berkontribusi dalam menyelesaikan berbagai persoalan perekonomian Indonesia. ▪ Hasil kajian INDEF untuk Perbaikan Perekonomian Indonesia 5 tahun mendatang dibagi menjadi 4 bagian: 1. Evaluasi Kinerja Perekonomian Selama 10 Tahun Terakhir. 2. Analisis tentang Dekade yang Hilang (Peluang dan Momentum yang Terbuang) selama 10 Tahun Terakhir. 3. Strategi Kebijakan Kedepan. 4. Target dan Kebijakan yang Harus Dilakukan Pemimpin Baru Selama 5 Tahun Mendatang. 1
Evaluasi Kinerja Perekonomian 10 Tahun Terakhir INDEF mencatat terdapat 10 indikator yang dapat dijadikan acuan untuk mengukur kinerja Pemerintah selama 10 tahun terakhir : 1. Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, namun Rapuh dan Tidak Berkualitas. 2. Tingkat Pengangguran Terbuka Menurun Secara Lambat 3. Tingkat Kemiskinan Berjalan di Tempat 4. Ketimpangan Semakin Melebar 5. Perekonomian Menghadapi Tekanan Inflasi 6. Nilai Tukar Petani (NTP) tidak kunjung meningkat 7. Sektor formal meningkat, namun porsi sektor informal masih terlalu besar 8. Tax Ratio Stagnan 9. Belanja Rutin dan Subsidi Semakin Tidak Terkendali 10. Terbelit Defisit Neraca Perdagangan
2
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (%) 6.3 5.7
6.2
6.0
6.5
6.2
5.5
5.8
5.7
2013
2014*
5.0 4.6
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Pertumbuhan Tidak berkualitas. berkualitas. Ekonomi Indonesia selama satu dekade ini (2004-2013) rata-rata mampu tumbuh 5,8% per tahun. Sayangnya capaian pertumbuhan ini diikuti dengan semakin terpinggirkannya sektor tradable dan makin lebarnya ketimpangan. 3
Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 11.2 10.3
9.9
9.1 8.4
7.9 7.1
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
6.6
2011
6.1
6.3
2012
2013
5.9
2014*
Tingkat pengangguran Terbuka dapat diturunkan, namun penurunannya sangat lambat akibat sumber pertumbuhan ekonomi hanya bertumpu pada sektor non tradable yang kedap terhadap penyerapan tenaga kerja. 4
Tingkat Kemiskinan (%) 17.8 16.7
16.6
16.0
15.4 14.2
13.3
12.5
12.0
11.7 10.6
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014*
Tingkat Kemiskinan juga menurun dengan lambat. Peningkatan anggaran kemiskinan tidak signifikan mengurangi tingkat kemiskinan. Salah satu penyebabnya karena program pengentasan kemiskinan terlepas dan tidak terintegrasi dengan pembangunan perdesaan, pertanian serta pemberdayaan UMKM. 5
Gini Ratio (%) 0.41
0.41
0.41
0.41
2011
2012
2013
2014*
0.38 0.37 0.36
0.36 0.35
2005
2007
2008
2009
2010
Ketimpangan antara penduduk yang kaya dan miskin semakin melebar. Peningkatan ketimpangan membuat capaian pertumbuhan ekonomi tidak dapat dinikmati semua lapisan masyarakat. 6
Inflasi (%) 17.1
11.1 8.4 6.6
6.4
7.0
6.6
5.5 3.8
4.3
2.8
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014*
Tren inflasi menurun, namun sumber inflasi masih didominasi dari pangan sehingga sangat menekan daya beli masyarakat bawah. Fluktuasi harga pangan disebabkan karena ketergantungan impor komoditas pangan strategis. 7
Nilai Tukar Petani (%) 117.4
105.2
2005
105.8 101.2
100.6
2004
107.9
106.5
105.9
102.8
102.0
99.0
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014*
NTP tidak kunjung meningkat, akibatnya kesejahteraan petani semakin terpinggirkan. Penyebab utamanya adalah disparitas harga yang tajam antara harga di level petani dengan harga di level konsumen pada komoditas pertanian. Petani menerima harga dibawah harga keekonomiannya. 8
Sektor Formal (%) 37.83
39.86
40.42
2012
2013
41.75
33.07
30.33
30.73
31.08
30.95
30.42
30.65
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2014*
Sektor formal meningkat, namun porsi sektor informal masih terlalu besar (lebih dari 58%). Melambatnya pertumbuhan sektor formal mengindikasikan iklim usaha yang masih belum kondusif. Padahal sektor informal sangat rentan terhadap gejolak ekonomi. 9
Tax Ratio (%) 13.3 12.2
2004
12.5
2005
12.3
2006
12.4
2007
2008
11.1
11.2
2009
2010
11.8
11.9
12.2
12.4
2011
2012
2013
2014*
Tax Ratio stagnan, bahkan cenderung mengalami penurunan. Padahal pertumbuhan ekonomi diklaim cukup tinggi dan pertumbuhan kelas menengah cukup tajam. 10
Belanja rutin yang meningkat pesat juga mempersempit ruang fiskal.
APBN Tersandera Subsidi Energi Subsidi Energi Total Subsidi Non Energi Subsidi Subsidi BBM Subsidi Listrik (Miliar Porsi (%) (Miliar Rp) Porsi (%) (Miliar Rp) Porsi (%) (Miliar Rp) Rp) 2009 45.039,4
32,6
49.546,5
35,9
43.496,3
31,5
138.082,2
2010 82.351,3
42,7
57.601,6
29,9
52.754,1
27,4
192.707,0
2011 165.161,3
55,9
90.447,5
30,6
39.749,4
13,5
295.358,2
2012 211.895,7 2013 APBNP 199.850,0 2014 RAPBN 194.893,0
61,2
94.583,0
27,3
39.941,7
11,5
346.420,4
57,4
99.979,7
28,7
48.289,3
13,9
348.119,0
58,0
89.766,5
26,7
51.582,3
15,3
336.241,8
Subsidi Energi semakin tidak terkendali, sehingga menyandera peran stimulus fiskal. 11
Terbelit Defisit Perdagangan 40,000 30,000 20,000 10,000 0 -10,000
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013*
-20,000 -30,000 Neraca Perd. Nonmigas
Neraca Perd. Migas
Neraca Jasa
Pendapatan
Transfer berjalan
Transaksi Berjalan
Berbagai macam kebijakan liberalisasi perdagangan melalui berbagai macam FTA semakin memperburuk kondisi neraca perdagangan Indonesia. FTA yang dilakukan Indonesia absen strategi dan persiapan. 12
Dekade Yang Hilang (Peluang yang Terbuang Selama 10 Tahun Terakhir) Dalam kurun waktu hampir sepuluh tahun (2004-2014) banyak kesempatan yang terlewatkan, padahal Indonesia memiliki potensi besar yang seharusnya dapat dimaksimalkan. 1. Ketahanan Pangan 2. Ketahanan Energi 3. Ketimpangan Ekonomi 4. Absennya Kebijakan Pro UMKM 5. Lambatnya Pembangunan Infrastruktur 6. Perbandingan Investasi Rill dan Portfolio
13
1. Ketahanan Pangan ▪
Sebagai Negara Agraris, Indonesia masih menempati peringkat 70-an dalam tingkat ketahanan pangan. Kalah dengan India, Vietnam, bahkan Singapura
▪
Kebutuhan komoditas pangan strategis, seperti : beras, jagung, kedelai, gula, dan daging masih mengandalkan impor. Walaupun neraca perdagangan sektor pertanian masih surplus, namun surplus hanya terjadi pada sektor perkebunan saja. Sub sektor Pangan, hortikultura dan perternakan telah mengalami defisit yang semakin membengkak – Target swasembada beras 10 juta ton di tahun 2014 tidak akan tercapai apabila tidak ada upaya untuk meningkatkan produktifitas pertanian dan menghambat laju konversi lahan sawah subur menjadi kegunaan lain serta upaya untuk mengakselerasi perbaikan sistem infrastruktur pertanian (utamanya irigasi ) yang telah rusak; – Target pencapaian produksi jagung 24 juta ton tidak akan tercapai jika semua kebijakan insentif peningkatan produksi dan produktivitas belum dilaksanakan secara konsisten – Target Swasembada gula 4,2 juta ton masih terkendala masalah kelembagaan serta ancaman dari industri gula rafinasi. – Target swasembada kedelai sebesar 2,5 juta ton terkendala “dekedelisasi”. Saat ini lahan untuk kedelai tinggal 567 ribu hektar, sehingga produksi nasional kedelai hanya 748.000 ton, jauh dari kebutuhan nasional sebesar 2,2 juta ton. – Produksi daging sapi 2013 sebesar 430.000 ton masih belum mencukupi kebutuhan nasional daging sapi yang mencapai 540.000 ton atau masih kekurangan 110.000 ton dari yang tersedia. 14
NERACA PERDAGANGAN SEKTOR PERTANIAN, 20082008-2012 (US$ 000)
15
2. Ketahanan Energi ▪ Proporsi subsidi energi masih membengkak, didominasi Subsidi BBM. Hal ini dikarenakan Indonesia mengalami ketergantungan konsumsi BBM sementara Indonesia merupakan negara Net Importir BBM. ▪ Produksi minyak terus mengalami penurunan di tengah konsumsi BBM yang terus meningkat, sementara realisasi kebijakan energi alternatif hanya sebatas wacana. ▪ Besarnya subsidi Listrik, namun Produksi listrik masih belum maksimal. Pulau Jawa belum seluruhnya menikmati pasokan listrik, apalagi luar Jawa. Masih sering terjadi pemadaman bergilir serta pembatasan penggunaan listrik di daerah-daerah tertentu. ▪ Kapasitas produksi listrik per kapita Indonesia (<2000 kWh/Kapita) masih di bawah China, Brazil, India, dan di ASEAN berada di bawah Brunei, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
16
Perkembangan Subsidi energi Rp.triliun Jenis Energi 1. Subsidi BBM 2. Subsidi Listrik
2008
2009
223,0 139,1 83,9
94,6 45,0 49,5
2010 240,0 82,4 57,6
2011 155,6 165,2 90,4
2012 306,5 211,9 94,6
2013 299,8 199,9 100,0
2014 284,7 194,9 89,8
Sumber : APBN 2014 Kapasitas Produksi Listrik
Sumber: The Global Competitiveness Index, WEF, 2009-2013, dan The Global Innovation Index 2013, Cornell University, INSEAD, and WIPO, 2013, diolah
17
3. Ketimpangan Ekonomi ▪
Terjadi ketimpangan antara sektor tradable dan non tradable, sumber Pertumbuhan ekonomi di dominasi oleh sektor non tradable.
▪
Sektor industri mengalami penurunan pertumbuhan yang drastis. Hal ini dikarenakan ketiadaan kebijakan dan startegi pembangunan industri di Indonesia.
▪
Industri yang berkembang adalah industri yang mempunyai daya saing rendah karena ketergantungan bahan baku, barang modal dan tehnologi impor.
▪
Pembangunan Industri gagal membangun industri hilir yang berbasis pertanian dan pertambangan yang memiliki daya saing dan nilai tambah besar.
Perbandingan Pertumbuhan Sektor Tradable dan Non Tradable Sektor Tradable Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri pengolahan Non-tradable Listrik, air & gas Konstruksi Perdagangan, hotel & restoran Pengangkutan & komunikasi Keuangan, real estat & jasa perusahaan Jasa-jasa PDB
1970-1984
1985-1997
1997-1998
1999-2006
2007-2012
3,7 4,9
2,9 2,7
-0,2 -0,3
2,9 0,6
3,77 2,31
11,4
10,3
-3,1
4,9
4,53
12,8 13 8
13,7 9,7 7,5
7,7 -14,5 -6,2
6,9 5,5 4,9
8.68 7,38 7,18
11,1
7,5
-4,1
9,6
13,43
11,1
8,1
-10,3
4,7
6,85
8 6,7
4,6 6,3
-0,1 -4,2
4 4,4
6,19 5,99
Sumber: BPS, diolah
18
4. Absennya Kebijakan Pro UMKM ▪
Permasalahan UMKM adalah akses pendanaan, minimnya penerapan tehnologi, manajemen operasional.yang masih tradisional, dan kualitas SDM yang terbatas. – Kendala dalam mengakses sumber pendanaan perbankan, utamanya dalam memenuhi persyaratan administrasi dan ketersediaan agunan yang memenuhi syarat legal. Untuk itu diperlukan strategi terobosan untuk meningkatkan akses UMKM yang feasible agar bankable. Salah satunya melalui Perusahaan Penjaminan Kredit yang berfungsi untuk menjamin pemenuhan kewajiban finansial UMKM sebagai penerima kredit dari bank. Masih terbatasnya peran KUR sebagai kredit modal kerja atau investasi kepada UMKMK yang produktif. – Keterbatasan teknologi dan manejemen yang masih tradisional menyebabkan produk UMKM tidak efisien dan sulit bersaing dengan produk impor. – Keterbatasan kualitas SDM memerlukan pelatihan dan keberlanjutan program yang konkrit melalui optimalisasi fungsi balai-balai pelatihan.
▪
Kebijakan fasilitasi ekspor UMKM masih terbatas, sehingga potensi ekspor produk UMKM tidak terealisasikan. Fasilitasi yang dibutuhkan UMKM terutama kemudahan mendapatkan lisensi, informasi pasar, bahan baku, dsb.
▪
19
Struktur Usaha yang Tidak Proporsional
Sumber :Kementerian UMKM dan Koperasi 19
5. Pembangunan Infrastruktur Lambat ▪
Lambatnya pembangunan infrastruktur menyebabkan buruknya kualitas infrastruktur. Tercermin dari indeks infrastruktur Indonesia berada pada peringkat 61 , dibawah Malaysia (29) dan Thailand (47) serta jauh tertinggal dari Singapura (2).
▪
Rendah indeks infrastruktur berdampak pada mahalnya biaya logistik. Logistic Performance Index mengalami penurunan dari peringkat 43 (2007) menjadi 59 (2012), Posisi Indonesia masih di bawah China (26), Brazil (45), India (46), dan di ASEAN berada di bawah Singapura (1), Malaysia (29), Thailand (38), Filipina (52), dan Vietnam (53) Logistic Performance Index (LPI) 2012
Sumber: The Global Competitiveness Index, WEF, 2009-2013, dan The Global Innovation Index 2013, Cornell University, INSEAD, and WIPO, 2013, diolah 20
Debottlenecking infrastructure Infrastructure Quality (Ranking out of 133 countries)
Source: FDI Strategy Paper 2010, WEF 21
6. Perbandingan Investasi Rill vs Portfolio ▪ Investasi Asing yang masuk ke Indonesia memang mengalami peningkatan yang cukup besar. Triwulan I 2014 modal asing telah mencapai Rp. 38 triliun (meningkat dari Rp.10 triliun dari posisi Triwulan I 2013 Rp 28 triliun). ▪ Sayangnya, porsi terbesar dana investor asing dalam bentuk surat utang negara dan saham (hot money) yang dapat ditarik sewaktu-waktu. Investasi portofolio memang dapat mendongkrak nilai rupiah namun kecil kemungkinan dapat meningkatkan kinerja di sektor riil ▪ Peranan PMTB semakin meningkat, >30% dari PDB. Hanya saja masih memunculkan beberapa kritik: – Sebagian besar ditopang oleh PMA (berpotensi repatriasi keuntungan yang menekan neraca pendapatan) – Distribusi sektoral. PMA dan PMDN sebagian besar terserap ke sektor tersier dan sekunder sedangkan sektor primer hanya tersebar pada sektor perkebunan. Penyerapan PMA dan PMDN pada sektor perkebunan mulai melambat sejalan dengan penurunan harga komoditas internasional. – Distribusi regional. Masih terpusat di Jawa dan Sumatera karena masalah iklim investasi (birokrasi + infrastruktur)
22
Perbandingan Investasi Rill vs Portfolio di Beberapa Negara
22
Strategi dan Kebijakan 5 Tahun Mendatang Momentum yang hilang disebabkan : Strategi yang tidak fokus dan tanpa arah/haluan Kebijakan tanpa perencanaan yang komprehensif hanya reaktif dan parsial Orientasi kebijakan hanya jangka pendek dan bersifat populis Potensi Indonesia sangat besar, namun untuk merealisasikan target diperlukan: Konsistensi kebijakan Komitmen Sinergisitas antar sektor/lembaga serta pusat-daerah 23
Strategi Ketahanan Pangan Peningkatan produksi pangan dalam negeri, bukan dengan jalan impor • Reforma Agraria: manajemen usaha tani, peningkatan produktifitas, peningkatan kualitas input, inovasi kelembagaan pertanian • Alokasi APBN -> peningkatan kapasitas SDM pertanian • Peningkatan infrastruktur produksi pertanian • Pengendalian ketat konversi lahan pertanian pangan • Pencetakan lahan sawah di luar Pulau Jawa
Aksesibilitas pertanian yang menjangkau usaha tani pangan dari hulu hingga hilir dan tata niaga pertanian yang sehat Kebijakan stabilisasi harga pangan dan skema perlindungan harga produk pertanian kepada petani Diversifikasi pangan yang berbasis pemanfaatan teknologi dan industri pangan 24
Strategi Ketahanan Energi Demand • Efisiensi BBM pada sektor transportasi dan pengembangan transportasi publik • Pembatasan kendaran pribadi dan perbaikan infrastruktur jalan • Konversi energi alternatif baru dan terbarukan
Supply • Realokasi struktur belanja APBN untuk meningkatkan secara riil lifting minyak • Evaluasi skema subsidi BBM secara komprehensif • Percepatan penyediaan energi alternatif dengan langkah yang konkrit • Peningkatan pasokan energi di luar Pulau Jawa 25
Strategi Percepatan Infrastruktur Membentuk lembaga pembiayaan Infrastruktur terutama dari BUMN untuk menyelesaikan persoalan keterbatasan dana pembiayaan proyek infrastruktur Kepastian Lahan untuk pembangunan Infrastruktur Kerja sama dengan sektor privat domestik dalam pembangunan jalan tol dan pelabuhan Prioritas pembangunan infrastruktur di sektor pertanian dan perdesaan
Pembangunan di sektor maritim untuk konektivitas antar pulau
26
Strategi Mengembalikan Tradisi Surplus Perdagangan ▪
Langkah fundamental mengurangi defisit neraca perdagangan adalah mengendalikan impor BBM
▪
Meningkatkan nilai Ekspor melalui percepatan hilirisasi industri, agar menggeser komoditas ekspor barang mentah menjadi komoditi industri yang memiliki nilai tambah tinggi, serta memperluas ekspor ke negara-negara non tradisional.
▪
Strategi Pengendalian Impor : (i) Optimalisasi Non Tariff Barrier (NTB). Perlu segera mengevaluasi dan merevisi semua Standar Nasional Indonesia (SNI) yang sudah kadaluarsa dan menerapkannya secara tegas (ii) Pemanfaatan pasar domestik secara lebih optimal dengan memberi insentif bagi produk dalam negeri agar tidak semakin terdesak oleh produk-produk impor.
▪
Optimalisasi perdagangan internasional untuk komoditi yang berdaya saing, sekaligus memberikan perlindungan dan dukungan pengembangan kapasitas kelembagaan ekspor (seperti memfasilitasi promosi dan peningkatan kemampuan negosiasi) bagi komoditi yang belum berdaya saing.
▪
Komoditi/sektor yang padat karya (menyerap tenaga kerja banyak) apabila belum mempunyai kemampuan untuk berkompetisi/berdaya saing hendaknya jangan dibuka FTA dahulu.
▪
Urgensi Tim Marketing dan Tim Negosiasi yang permanen (terlembagakan) untuk memperluas pasar dan menjaga pasar produk nasional baik di dalam maupun di luar negeri.
28
Target Pemerintah 20152015-2019 • Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemimpin baru, utamanya 10 kegagalan kinerja yang kritis dan fatal. • Untuk mencapai target kinerja perekonomian dibutuhkan intervensi kebijakan yang tepat • Jika pemerintah tidak melakukan strategi dan kebijakan yang fundamental maka Indonesia akan berkutat pada persoalan yang sama dan akan terjebak pada middle income trap.
29
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (%) 5.0
5.7 5.5
6.3 6.0
6.7 7.0 6.5 6.4 6.2 6.2 5.8 6.1 5.7 5.8 5.4 5.2 4.9 4.6 4.6 4.4
Dengan Perubahan Kebijakan Tanpa Perubahan Kebijakan
Target Pertumbuhan Sektoral (%) 9.0 7.8
7.8
7.8 7.4
6.2 5.8
6.8 6.1
6.4
3.7
4.0
4.4
8.2 7.8 6.7 4.9
7.8 7.0
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (%)
5.5
Pertumbuhan Sektor Pertanian (%) Pertumbuhan Sektor Industri (%) Pertumbuhan Sektor Jasa (%)
2015
2016
2017
2018
2019
Menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, membalik sumber pertumbuhan yang lebih di dominasi oleh sektor tradable daripada non tradable 31
4.6
2015
Tingkat Pengangguran Terbuka (%)
4.2
2016
3.8
2017
3.4
2018
3.0
2019
Angka pengangguran terbuka tidak saja dapat ditekan sampai dengan 3%, namun juga tidak hanya menggeser pengangguran terbuka menjadi pengangguran terselubung yang berada di sektor non formal. Untuk itu harus ada strategi yang riil dalam penciptaan lapangan kerja. 32
Tingkat Kemiskinan (%) 7.0
6.6 6.1 5.5 4.0
2015
2016
2017
2018
2019
Program pengentasan kemiskinan harus riil berdampak pada peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan tidak sekedar bersifat artificial.
33
Gini Ratio (%) 0.39
2015
0.37
2016
0.35
2017
0.33
2018
0.31
2019
Target penurunan ketimpangan harus konkrit terealisasi setiap tahun. Oleh karena itu perlu penerapan pajak progresif dan pemberdayaan kemampuan ekonomi masyarakat menengah kebawah. 34
Inflasi (%) 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0
2015
2016
2017
2018
2019
Stabilitas perekonomian merupakan syarat mutlak terjadinya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Oleh karena itu perlu kebijakan stabilitas pasokan dan pengendalian tataniaga komoditas pangan strategis oleh pemerintah.
35
Nilai Tukar Petani (%) 120.0 118.1 116.2 114.3 112.4
2015
2016
2017
2018
2019
Ketahanan pangan tidak mungkin terwujud tanpa memperbaiki tingkat kesejahteraan petani sebagai ujung tombaknya.
36
Sektor Formal (%) 44.4
2015
47.1
2016
49.7
2017
52.4
2018
55.0
2019
Pertumbuhan sektor formal akan menjamin terpenuhinya lapangan kerja yang memberikan jaminan tingkat kehidupan yang layak bagi masyarakat
Tax Ratio (%)
13.9
2015
15.4
2016
16.9
2017
18.5
2018
20.0
2019
Peningkatan Tax Ratio dilakukan melalui perbaikan sistem perpajakan, mencegah kebocoran pajak, meningkatkan kepatuhan wajib pajak serta
38
Target pertumbuhan ekspor dan Pengendalian Impor Skenario Akselerasi 8.0 7.0 6.0
6.0
5.7
5.5 5.0 4.0
3.8
4.0
4.1
4.2
6.8
6.5
6.3
4.4
4.7
3.0 2.0 2014
2015
2016
Ekspor
2017
2018
2019
Impor
Target ekspor dapat tercapai jika terjadi akselerasi Hilirisasi industri . Sementara pengendalian impor terutama harus ada pengurangan impor BBM
40
Target pertumbuhan ekspor dan Pengendalian Impor Skenario BaU 6.50 6.00 5.50 5.00 4.50 4.00 2014
2015
2016 Ekspor
2017
2018
2019
Impor
Jika pemerintah tidak melakukan hilirisasi industri maupun pengendalian impor maka ancaman defisit neraca perdagangan akan kembali terjadi.
TERIMA KASIH Konfirmasi lebih lanjut bisa melalui Email :
[email protected],
[email protected],
[email protected]
41