MEMBALIK KECENDERUNGAN DEGRADASI: PENGELOLAAN AIR MELALUI PENGELOLAAN LAHAN Kedi Suradisastra1, Irsal Las2, dan Effendi Pasandaran3 1)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian 2) Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian 3) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Degradasi lahan mempengaruhi produktivitas air dalam skala luas serta berdampak pada ketersediaan, kualitas dan daya simpan air. Dalam jangka panjang, degradasi lahan dan air merupakan ancaman besar bagi ketahanan pangan masyarakat miskin di berbagai negara. Degradasi lahan dan air memberikan andil besar terhadap peningkatan kemiskinan. Lebih jauh lagi degradasi lahan dan air dapat menurunkan ketangguhan ekosistem dan penyediaan jasa lingkungan. Demikian kuatnya keterkaitan lahan dan produktivitas air sehingga upaya mengelola air selalu menuntut perbaikan lahan terlebih dahulu. De Fraiture et al., (2007) mengemukakan skenario optimis bahwa pada tahun 2050, konsumsi air untuk kegiatan pertanian akan meningkat sekitar 30-40 persen dari kebutuhan saat ini. Sebaliknya, dalam skenario pesimis, kebutuhan air untuk pertanian dalam tahun yang sama akan meningkat sekitar 70-90%. Perkiraan di atas akan menimbulkan dampak dramatis terhadap status dan ketersediaan air bagi kebutuhan lainnya. Di beberapa lokasi di Indonesia, konflik atas air terjadi bukan semata-mata karena keterbatasan ketersediaannya, melainkan terlebih karena benturan kepentingan dan persaingan kelembagaan (institutional competition). Kasus kerusakan ekologi yang disebabkan oleh penambangan bahan galian-C di Kabupaten Sumedang dan Garut telah menimbulkan perubahan distribusi dan kemerataan atas air (Suradisastra 2010). Dalam kedua kasus ini, masyarakat petani tidak mampu bertindak melawan kekuatan yang lebih besar yang bersikap sebagai predator terhadap sumber daya air. Guna mengantisipasi dan mengatasi masalah dan konflik yang mungkin terjadi karena perubahan kemerataan dan distribusi air di masa depan, diperlukan upaya-upaya untuk menempatkan air dan lahan serta hak-hak pemangku kepentingan secara proporsional. Makalah ini mencoba menggali peluang pengelolaan dan strategi pemanfaatan air bagi pertanian di Indonesia. Sebagian isi makalah ini merupakan saduran tulisan Bossio dan kawan-kawan (2009) yang dikaitkan dengan kondisi pengelolaan lahan dan air di beberapa lokasi di Indonesia.
Hubungan Lahan dan Air Lahan dan air memiliki hubungan yang tidak terpisahkan. Degradasi lahan dan air juga terjadi secara paralel dan saling terkait satu sama lain. Walaupun hubungan lahan dan air sangat kasat mata, akan tetapi kedua sumber daya tersebut masih sering dianggap
MEMBALIK KECENDERUNGAN DEGRADASI: PENGELOLAAN AIR MELALUI PENGELOLAAN LAHAN
tidak saling terikat dan masing-masing ditempatkan sebagai variabel independen, padahal setiap perubahan lahan dalam suatu ekosistem selalu mempengaruhi ketersediaan dan kualitas air. Degradasi lahan pangonan karena penggembalaan berlebih (overgrazing) dan trampling (penginjakan) mempengaruhi penyerapan air hujan ke dalam tanah sehingga mengakibatkan penurunan muka air tanah. Dari sisi yang berseberangan dengan lahan, kesalahan penataan dan pengelolaan air juga menyebabkan degradasi lahan, antara lain berupa peningkatan erosi karena air dan peningkatan salinitas. Demikian pula perubahan ekologi yang diakibatkan oleh tindakan manusia, akan mempengaruhi kondisi lahan dan air tanah dan permukaan. Kasryno (2009) mengemukakan bahwa pembangunan pertanian berkelanjutan berbasis ekologi dalam keterpaduan pengelolaan sumber daya pertanian adalah perubahan pola penerapan teknologi pertanian konvensional yang mengeksploitasi dan merusak fungsi sumber daya pertanian. Secara implisit, pernyataan tersebut mengungkap peran lahan dan air yang merupakan bagian sumber daya pertanian terpenting. Suradisastra dan kawan-kawan (2009) mendukung pendapat Kasryno tentang peran penting lahan dan air yang menimbulkan persaingan kelembagaan pengguna air di sepanjang DAS Bengawan Solo. Tindakan eksploitasi berlebihan (over-exploitation) terhadap lahan pertanian di Indonesia sudah mencapai taraf yang mengkhawatirkan dan telah menarik perhatian berbagai pihak. Akan tetapi tindakan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya air kurang memperoleh perhatian. Bossio, Noble, Pretty dan de Vries (2004) mengemukakan bahwa berbagai sungai besar di dunia seperti Sungai Colorado di Amerika Serikat, Huang-He di Cina, Nil di Afrika dan sungai-sungai besar di India (Indus, SyrDarya dan Amu Darya) telah mencapai tahap eksploitasi 100% yang mengakibatkan kerusakan ekosistem air dan menurunkan kesejahteraan manusia. Kekurangan air pada umumnya diakui sebagai salah satu faktor pembatas produksi pangan dan menyebabkan penurunan tingkat kesehatan bagi kelompok masyarakat miskin (Rijsberman, 2000, dalam Bossio et al., 2004). Di sisi lain, pencemaran air kini telah merupakan masalah yang menakutkan karena selain menurunkan kualitas air, juga mempercepat perkembangan penyakit tertentu yang secara signifikan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat. Lemly, Lingford dan Thompson (2000) mengingatkan pula akan masalah kritis yang ditimbulkan oleh konflik antara perluasan irigasi dengan pengembangan konservasi lingkungan dan hewan liar yang menimbulkan dampak negatif terhadap pertanian beririgasi di lahan basah dan lingkungan sekitarnya. Contoh-contoh di atas adalah pengingat (reminder) bahwa degradasi kualitas air yang disebabkan oleh interaksi sistem sosial dengan lahan (lingkungan) dapat mengurangi keragaman pemanfaatan air. Secara lebih luas, kondisi ini menyebabkan penurunan nilai jasa lingkungan yang diberikan oleh air. Pencemaran air (yang semula memiliki keragaman pemanfaatan tinggi) akan menyingkirkan ragam manfaatnya sebagai sumber air minum bagi manusia. Pencemaran air dalam tingkat yang lebih buruk akan menyingkirkan ragam pemanfaatan air untuk mandi dan mencuci pakaian dan lain-lain. 376
MEMBALIK KECENDERUNGAN DEGRADASI: PENGELOLAAN AIR MELALUI PENGELOLAAN LAHAN
Bahan organik yang terkandung dalam air merupakan bagian integral pengelolaan air dalam suatu ekosistem. Pemadatan lahan oleh alat mesin pertanian atau oleh injakan (trampling) ternak mempengaruhi penyerapan air oleh lahan tersebut dan meningkatkan volume aliran air permukaan. Peningkatan aliran air permukaan (overland flow) membawa bahan organik tanah ke lokasi lebih rendah dan menurunkan manfaatnya terhadap lahan dan tanaman yang tumbuh di atasnya. Kegiatan penambangan bahan galian-C yang menggunakan alat gali dan kendaraan pengangkut berat di Desa Cibeureum, Cimalaka, Kabupaten Sumedang, mengakibatkan tanah di sekitar lokasi penambangan meningkat kepadatannya. Air hujan dan air permukaan yang terdapat di sekitar lokasi mengalir ke ketinggian yang lebih rendah dan membawa hara tanah terbuang ke selokan dan anak sungai Cimanuk di lokasi tersebut (Suradisastra, 2010). Air yang mengalir di permukaan lahan miring atau tebing membawa serta hara tanah ke tempat yang lebih rendah dan air yang tergenang di lahan datar akan menguap dalam jumlah yang lebih besar daripada yang diserap tanah. Perilaku air seperti yang diuraikan di atas menyebabkan hanya sebagian saja hara tanah yang dapat dimanfaatkan secara baik. Salah satu cara mengantisipasi kondisi ini adalah dengan menyesuaikan teknik pengelolaan air secara efisien sehingga baik air, maupun bahan organik yang larut di dalamnya, tidak terbuang percuma. Selain itu, teknik pemanenan tanaman tertentu (kacang tanah, kedelai, hortikultura bawang merah, sayuran, dan lain-lain) dengan cara mencabut seluruh tanaman dari tanah dapat meningkatkan erosi lahan dan mempengaruhi ketersediaan air dan kemampuan lahan dalam menyerap dan menyimpan air. Kasus-kasus panen tanaman dengan mencabut seluruh batang tanaman merupakan teknik yang diterapkan secara meluas oleh petani kecil di Jawa.
Masalah Degradasi Lahan dan Ketersediaan Air Kegiatan pertanian yang tidak terkontrol dengan baik dapat meningkatkan erosi. Kondisi seperti ini dicontohkan di DAS Cimanuk Hulu. Di Desa Cikandang, Cikajang, Kabupaten Garut, petani hortikultura mengkonversi lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kegiatan pengolahan lahan di lereng miring meningkatkan erosi angin dan air. Kedua jenis erosi tersebut mempengaruhi hasil panen dan produksi air secara negatif. Erosi mampu mempengaruhi hubungan lahan dengan air. Semakin dalam kerusakan lahan, semakin besar peluang kehilangan air tanah dan semakin menurun kemampuan lahan untuk menyimpan air. Selain itu, erosi juga merusak struktur tanah dan mengakibatkan penurunan sifat poreus (porosity) lahan tersebut. Lahan pertanian yang subur dan hijau menyejukkan mata yang memandang, sedangkan degradasi lahan menyebabkan perubahan penampilan tanaman yang tumbuh diatasnya. Erosi yang menyebabkan penurunan fungsi lahan digabungkan dengan kehilangan penutupan vegetasi menimbulkan dampak buruk terhadap kualitas dan ketersediaan air
377
MEMBALIK KECENDERUNGAN DEGRADASI: PENGELOLAAN AIR MELALUI PENGELOLAAN LAHAN
di lokasi yang bersangkutan. Degradasi lahan menurunkan efisiensi proses penyaringan air secara alami dan karenanya memperburuk polusi air ketika terjadi peningkatan aliran air di permukaan tanah. Ryszkowski dan Kedziora (2008) mengemukakan bahwa degradasi lahan dan perubahan vegetasi yang meningkatkan proses evaporasi memberikan dampak terhadap pola pengendapan dan ketersediaan air. Hal tersebut merupakan akibat tambahan atas kehilangan fungsi penyaring tanah yang bersangkutan. Degradasi lahan yang terjadi di permukaan juga memberikan dampak terhadap keragaman hayati, baik organisme yang hidup di permukaan tanah, maupun yang hidup di bawah permukaan. Perubahan keragaman hayati seperti itu memperburuk seluruh fungsi ekosistem. Penyebab utama degradasi lahan adalah tindakan manusia yang kurang atau tidak bijaksana terhadap lahan. Kegiatan pertanian hendaknya juga dimaklumi sebagai penyebab utama degradasi lahan. Peubah kunci dalam degradasi lahan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi akses manusia terhadap lahan. Salah satu faktor kunci adalah bentuk dan fungsi hubungan antar manusia (social relationship). Secara rinci di bawah dibahas berbagai penyebab degradasi lahan yang selanjutnya berdampak terhadap ketersediaan dan kualitas air: Kebijakan yang tidak mendukung. Penyusunan kebijakan terkait lahan pada umumnya selalu dikaitkan dengan kepadatan penduduk per hektare dan/atau konsentrasi masyarakat miskin dalam sebidang lahan yang rawan dan terdegradasi secara horisontal atau merata. Sebagai contoh di Republik Demokrasi Rakyat Laos, kebijakan yang melarang kegiatan ladang berpindah di kawasan hutan memaksa penempatan ribuan orang ke lahan yang lebih sempit (Lestrelin et al., 2005). Sebaliknya, kebijakan serupa di negara-negara Amerika Latin lebih memperhatikan pemilik lahan luas dan menyediakan rangsangan finansil yang menguntungkan bagi pengembangan usaha peternakan yang luas. Di Meksiko, kebijakan distribusi lahan cenderung memihak pihak yang tidak miskin. Sekitar 88% pemilik lahan luas menempati lahan datar, sedangkan 66 persen masyarakat miskin menempati lerenglereng dengan kemiringan lebih dari 5 persen (Bellon et al., 2005). Kepadatan. Degradasi lahan juga erat kaitannya dengan kepadatan penduduk. Kepadatan tinggi yang disertai kemiskinan sering disitir sebagai penyebab degradasi lahan (cf. WCED 1987). Namun Boserup (1965), dan Templeton dan Scherr (1999) menyatakan bahwa kepadatan penduduk tidak selalu menjadi penyebab degradasi lahan. Akan tetapi kasus Desa Cibeureum, Cimalaka, Kabupaten Sumedang, peningkatan jumlah penduduk hanya menyebabkan perubahan akses terhadap air, namun kondisi lahan pedesaan tidak mengalami degradasi yang berarti. Dalam kasus ini, sistem sosial dan ekologi lokal berinteraksi secara mutualis dan keduanya bertransformasi menjadi suatu sistem sosialekologi yang memiliki ketangguhan sosial-ekologi tinggi (Suradisastra, 2010). Dengan demikian, degradasi lahan tidak secara langsung dipengaruhi kepadatan penduduk, tetapi lebih erat kaitannya dengan konteks kesalahan pengelolaan lahan dan air.
378
MEMBALIK KECENDERUNGAN DEGRADASI: PENGELOLAAN AIR MELALUI PENGELOLAAN LAHAN
Kemerataan akses. Akses terhadap lahan dan air merupakan masalah komunal. Pemilikan atas lahan tidak lepas dari sistem kelembagaan dan kewenangan yang berkaitan dengan hak guna lahan dan sumber daya lainnya (Maxwell and Weibe 1999). Akses terhadap lahan bukan milik individu, melainkan milik kolektif suatu kelompok masyarakat. Bila petani memiliki akses yang terjamin terhadap sebidang lahan, ia akan menanamkan upaya dan modalnya guna memperoleh kegiatan usahatani yang berkelanjutan. Akan tetapi bila akses terhadap lahan berubah menjadi akses terbuka, hampir dapat dipastikan bahwa pengelola lahan akan melakukan pengusahaan berlebih (overexploitation) yang berakhir pada degradasi lahan tersebut. Faktor sosial: Hubungan antar gender merupakan bagian proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan lahan. Di Papua dan bagian lain di Indonesia, gender wanita adalah pelaku utama kegiatan usahatani (Suradisastra, Yusron dan Sefudin 1990). Lado (1992) menyatakan bahwa 90% gender wanita memegang peran penting dalam kegiatan usahatani di negara-negara penghasil padi di Asia Tenggara, dan di sub-Sahara Afrika, keterlibatan gender wanita dalam kegiatan produksi pangan keluarga mencapai angka 80%. Akan tetapi gender wanita pada umumnya tidak memiliki kontrol atas lahan. Lahan pertanian dikuasai para suami dan kepala keluarga laki-laki. Selain kontrol atas lahan, pengambilan keputusan juga dikuasai laki-laki (Suradisastra, Yusron dan Saefudin 1990; dan Ellis 2000). Akibatnya, kaum wanita tersisih dari keputusan-keputusan yang menyangkut kelangsungan dan kegiatan usahatani. Kondisi ini dapat memicu pengelolaan sumber daya pertanian secara tidak berkelanjutan karena gender wanita tidak memiliki akses terhadap input dan sarana produksi. Alderman et al. (2003) membuktikan bahwa gender wanita yang memiliki akses terhadap input pertanian dapat meningkatkan produksi lahannya.
Membalik Kecenderungan Degradasi Lahan dan Air Bright Spots Approach. Masalah degradasi lahan yang berdampak negatif terhadap ketersediaan dan kualitas air, baik air tanah maupun air permukaan, sangat besar pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup pertanian. Lahan dan air tidak terpisahkan dalam kehidupan dan keberlanjutan kegiatan pertanian. Intensifikasi dan pengelolaan kegiatan pertanian secara berkelanjutan dan sejalan dengan kebutuhan manusia dan lingkungan seperti pemanfaatan jasa lingkungan, pemenuhan kebutuhan pangan dan air serta kebutuhan lainnya, memungkinkan untuk diterapkan. Critchley (2004) mengingatkan bahwa kunci keberhasilan pembangunan pertanian yang memanfaatkan kearifan komunitas lokal adalah mengintegrasikan pengelolaan dan pemanfaatan lahan dan air. Success story Critchley tersebut oleh Pretty dan Hine (2004) dalam Bossio et al., (2004) telah ditelusuri dalam database titik-titik terang atau “bright spots” dari berbagai kegiatan penelitian, survei, 379
MEMBALIK KECENDERUNGAN DEGRADASI: PENGELOLAAN AIR MELALUI PENGELOLAAN LAHAN
pendapat publik dan kepustakaan lain. Bright spots studi tersebut mengidentifikasi lebih dari 12 juta kasus individu petani dan meliputi luasan lahan pertanian lebih dari 36 juta hektare. Bossio et al., (2004) mengidentifikasi elemen-elemen bright spot sebagai investasi, status dan keamanan kepemilikan atas lahan, teknologi pengelolaan lahan dan air yang memadai, dan aspirasi sebagian besar anggota masyarakat yang terlibat. Kompilasi bright spots dihimpun dari kasus-kasus yang didokumentasikan dengan baik yang membuktikan kemampuan mempertahankan keberlanjutan kegiatan pertanian lebih jauh dari yang seharusnya diimplementasikan. Namun demikian masih perlu diidentifikasi faktor kunci dalam bright spots tersebut untuk menggerakkan dan memanfaatkan elemen-elemen di dalamnya. Secara garis besar Bossio et al., (2004) merinci kunci penggerak bagi keberhasilan bright spots approach sebagai berikut: Individu: Individu merupakan kunci utama penggerak bright spot approach. Faktor internal dalam diri seseorang, seperti aspirasi untuk berubah dan kepemimpinan, merupakan pendorong utama bagi individu tersebut untuk mengubah nasib dan menentukan arah di masa datang. Aspirasi merupakan suatu tuntutan internal yang berasal dari diri individu atau kelompok masyarakat untuk mencapai perubahan yang didorong oleh keinginan atau keyakinan untuk berubah. Di sisi lain, individu yang memiliki sifat kepemimpinan (leadership) yang baik mampu menggerakkan minat dan tindakan kolektif kelompok masyarakat. b. Faktor sosial: Lingkungan atau sistem sosial memberikan pengaruh besar terhadap minat dan sikap seseorang. Faktor sosial yang dapat mempengaruhi minat masyarakat untuk berubah disebut modal sosial yang mencakup kelembagaan. Jejaring kerjasama, kemitraan, norma dan tata peraturan serta perilaku seseorang dalam sistem sosial tersebut. Bright spots juga membutuhkan keterlibatan atau partisipasi masyarakat dan individu dalam proses menyusun dan mengambil keputusan. c. Faktor teknis: Pada umumnya masyarakat lebih tertarik kepada tujuan kegiatan yang secara teknis dapat diduga dan dapat dicapai (tangible target). Suradisastra (2020) mengemukakan bahwa petani lebih responsif terhadap kebijakan dan upaya terkait kebutuhan rumah tangga mereka seperti peningkatan produksi pangan dan lain-lain. Petani selalu berupaya menghindari risiko kegagalan atau menguranginya melalui strategi usaha yang lebih mudah dikelola dan tidak berisiko. Komponen teknologi tepat-guna merupakan elemen terakhir dalam kelompok faktor teknis yang dibutuhkan untuk menerapkan pendekatan bright spots. d. Faktor eskternal: Faktor-faktor eksternal yang dapat dimanfaatkan sebagai kunci penggerak bright spots adalah peluang pasar, hak cipta atas kepemilikan dan kebijakan yang mendukung, baik kebijakan di hierarki nasional, provinsiprovinsi, maupun kebijakan lokal. a.
380
MEMBALIK KECENDERUNGAN DEGRADASI: PENGELOLAAN AIR MELALUI PENGELOLAAN LAHAN
INDIVIDU
SOSIAL
- ASPIRASI - KEPEMIMPINAN
- MODAL SOSIAL - PARTISIPASI BRIGHT SPOTS APPROACH
TEKNIS
- TUJUAN - RISIKO - INOVASI
EKSTERNAL
- PASAR - HAK CIPTA - KEBIJAKAN
Diagram 1. Faktor Penggerak Bright Spots (diadaptasi dari Bossio et al. (2004)
Upaya Praktis Membalik Kecenderungan Degradasi Dalam menghadapi masalah kerusakan lahan dan air yang telah dibahas di atas, serta kaitannya dengan kelangsungan hidup sektor pertanian, diperlukan berbagai upaya dan langkah nyata mengatasi dampak degradasi lahan dan air sebagai berikut: Mengembangkan kegiatan usahatani dalam unit kecil (smallholder). Dalam upaya intensifikasi jangka panjang (sustainable intensification), degradasi lahan harus dicegah atau dilakukan mitigasi. Dalam hal ini upaya mempertahankan kesuburan lahan harus mengutamakan pelayanan distribusi input yang diperlukan. FAO (2004) menekankan peran penting petani kecil dalam mempengaruhi pengelolaan lahan dan air agar mencapai dampak positif terhadap kehidupan pedesaan. Himbauan FAO tersebut didasarkan pada fakta bahwa proporsi terbesar masyarakat kurang gizi terkonsentrasi pada masyarakat petani kecil. Pernyataan tersebut juga dapat dipahami karena pengelolaan lahan, air dan sumber daya lain pada kegiatan usahatani kecil lebih efisien dan kondisi ini akan lebih memudahkan pembinaan dan pelayanan penyediaan input dan sarana terkait penyuburan lahan. Van Zyl et al., (1995) menyebutkan bahwa pemanfaatan sumber daya pada usahatani kecil lebih efisien dibandingkan pada kegiatan usahatani besar. Usahatani kecil juga sangat efisien dalam memanfaatkan tenaga kerja keluarga. b. Investasi dalam upaya rehabilitasi lahan terdegradasi. Pemikiran atas gagasan bahwa upaya rehabilitasi lahan rusak merupakan suatu langkah investasi baru muncul dalam dua dekade terakhir. Pemikiran ini diarahkan kepada upaya konservasi sumber daya pertanian melalui pengenalan metode partisipasi dalam proses pengambilan keputusan a.
381
MEMBALIK KECENDERUNGAN DEGRADASI: PENGELOLAAN AIR MELALUI PENGELOLAAN LAHAN
dan implementasinya yang menekankan kepada pelatihan dan peningkatan kapasitas kelembagaan (capacity building). Dalam penerapannya diharapkan keterlibatan sukarela (self-mobilization) para pemangku kepentingan yang pernah melakukan hal yang menggangu keseimbangan ekosistem di masa lalu. Pendekatan partisipatif menghargai tindakan para politikus dan ilmuwan sosial yang menaruh keprihatinan atas degradasi lahan. Kedua kelompok tersebut juga menghargai fakta bahwa pengetahuan dan kearifan lokal serta kapasitas inovatif petani kecil merupakan sumber daya lokal yang vital alam upaya pengelolaan dan konservasi lahan. Pretty et al., (2006) dan Noble et al., (2006) menunjukkan bahwa upaya restorasi dan pelestarian sumber daya dan sekaligus meningkatkan produktivitas usahatani dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan menunjukkan keberhasilan yang ditunjukkan dalam 438 kasus di 57 negara yang mencakup 11 juta keluarga petani di lahan seluas 32 juta hektare (Tabel 1). Table 1. Summary of global adoption and impact of resource-conserving agricultural technologies and practices on 438 projects in 57 countries (dari Noble et al. 2006) FAO farm system category Smallholder irrigated Wetland rice Smallholder rainfed humid Smallholder rainfed highland Smallholder rainfed dry/cold Dualistic mixed Coastal artisanal Urban-based and kitchen garden Total weighed mean
No. of Hectares under resource- Average increase in farmers conserving agriculture crop yields (%) 172,389 357,296 169.8 (±197.2) 7,226,414 4,986,284 21.9 (±32.3) 1,708,278 1,122,840 129.3 (±167.3) 387,265 702,313 112.3 (±122.3) 579,413 719,820 98.6 (±95.3) 466,292 23,515,847 55.3 (±32.4) 220,000 160,000 62.0 (±28.3) 206,492 35,952 158.8 (±98.6) 10,966,543 31,600,351 156.4
Sumber: Noble et al., (2006).
Investasi di lahan pertanian yang menerapkan teknologi ramah lingkungan dapat memperbaiki produktivitas air yang tersedia untuk pertanian, baik di lahan tadah hujan maupun di lahan beririgasi. Pertanian hemat air mampu meliput area yang sangat luas yang memiliki potensi memperbaiki dan meningkatkan ketersediaan air dan pengelolaannya secara beragam. Sebagai contoh, praktik pengelolaan air yang mampu memperbaiki peresapan dan penyimpanan air (seperti teknologi zero-tillage) dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air sebesar 15-25 persen (Hatfield et al., 2001). Hatfield juga mengemukakan bahwa produktivitas air di lahan semi-arid dapat ditingkatkan dengan mengadopsi sistem bercocok tanam yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungannya. Namun demikian tata pengelolaan yang baik (good governance) terhadap lahan yang menjanjikan masa depan yang lebih baik dalam kaitannya untuk meningkatkan produktivitas air di wilayah lahan tadah hujan. 382
MEMBALIK KECENDERUNGAN DEGRADASI: PENGELOLAAN AIR MELALUI PENGELOLAAN LAHAN
Praktik Pengelolaan Lahan dan Peningkatan Ketersediaan Air Good governance dalam pengelolaan lahan dapat meningkatkan ketersediaan air dan memperbaiki kondisi ekosistem yang berkaitan dengan air. Dalam praktik sehari-hari, beberapa contoh good governance pengelolaan lahan adalah: 1. Pertanian organik: praktik pertanian organik di Indonesia masih terbatas. Namun karena praktik ini dapat meningkatkan kemampuan lahan untuk mengikat air, hendaknya dipertimbangkan perluasan pertanian organik ke berbagai wilayah yang memungkinkan secara teknis-biofisik dan finansial. 2. Pertanian konservasi: mengkombinasikan teknik zero tillage dengan penutupan lahan (mulsa) atau melakukan rotasi tanaman. 3. Eco-farming: menekankan pengelolaan lahan pertanian untuk meningkatkan produksi sekaligus melakukan konservasi atau memulihkan kondisi ekosistem dan keragaman hayati. 4. Agroforestry: menggabungkan penanaman pohon-pohonan dalam sistem pertanian dan menekankan nilai multifungsi pohon-pohonan yang tumbuh dalam sistem tersebut. Kegiatan agroforestry dapat meningkatkan keragaman pemanfaatan air dan ketersediaannya. 5. Pemberantasan Hama Penyakit Secara Terpadu (Integrated Pest Management): memanfaatkan ketangguhan dan keragaman ekosistem dalam upaya pemberantasan hama penyakit dan gulma serta hanya memanfaatkan pestisida bila pilihan lain tidak memberikan hasil yang baik. Praktik ini dapat mengurangi polusi air secara signifikan. 6. Pengelolaan hara tanah terintegrasi (Integrated Nutrient Management, INM): menganalisis kemungkinan menyeimbangkan kebutuhan nitrogen dalam suatu sistem usahatani yang membutuhkan penambahan bahan organik serta kebutuhan menurunkan kehilangan hara tanah karena erosi. Teknik ini mampu meningkatkan ketersediaan air tanah secara signifikan. 7. Integrasi pemeliharaan ternak dan tanaman: terutama dalam upaya memanfaatkan saling ketergantungan yang positif antara ternak dan tanaman yang mampu meningkatkan produksi, diversifikasi kegiatan, meningkatkan pemanfaatan sisa hasil panen dan rabuk ternak. Praktik ini dapat meningkatkan keragaman penggunaan air sehingga meningkatkan ketersediaan air. 8. Akuakultur: menghasilkan ikan, udang dan sumber daya akuatik lain dalam suatu sistem usahatani terpadu seperti sawah beririgasi dan kolam, serta meningkatkan produksi protein. Peningkatan keragaman penggunaan air dalam teknik ini juga membantu meningkatkan ketersediaan air tanah. 9. Panen air: dapat dilakukan di wilayah-wilayah kering. Teknik ini mampu meningkatkan manfaat air hujan melalui penampungan untuk dimanfaatkan selanjutnya. Teknik ini mampu mengurangi kehilangan air secara tidak produktif. 383
MEMBALIK KECENDERUNGAN DEGRADASI: PENGELOLAAN AIR MELALUI PENGELOLAAN LAHAN
10. Merancang sarana irigasi hemat air: termasuk di dalamnya irigasi skala kecil dan upata mengurangi air untuk produksi padi dengan tujuan untuk memanfaatkan air dan meningkatkan keragaman usahatani kecil (diversifikasi). 11. Meningkatkan keragaman fungsi lahan pertanian: merupakan kegiatan agrowisata seperti yang berkembang di beberapa perkebunan teh di dataran tinggi Jawa Barat (kawasan Puncak di kabupaten Cianjur, perkebunan teh Gambung di kabupaten Bandung). Agrowisata berjalan menyusuri jalan setapak diantara pohon teh (tea walk) telah berkembang menjadi salah satu kegiatan wisata dan olahraga yang populer. Di Bali, wisatawan asing yang berkunjung ke lokasi kelompok petani kopi ditawari menggiling dan mengemas kopi yang ingin mereka beli. Meningkatkan keragaman fungsi lahan pertanian berarti meningkatkan jenis jasa yang dapat disediakan ekosistem lahan perkebunan tanpa mengabaikan peran utamanya dalam memproduksi komoditas perkebunan. Relevansi peningkatan keragaman fungsi lahan dengan pengelolaan air adalah meningkatkan efisiensi penggunaan air dan mempertahankan serta mendukung pengembangan jasa ekosistem yang dapat mempertahankan ketersediaan air. Dari seluruh peluang pengelolaan lahan yang baik, peningkatan keragaman fungsi lahan merupakan salah satu strategi diversifikasi upaya peningkatan kesejahteraan, menurunkan kerentanan kehidupan rumah tangga (Pretty et al., 2006) dan memperoleh keuntungan dari ekosistem berupa manfaat yang dapat meningkatkan taraf hidup keluarga tani. Salah satu cara meningkatkan keragaman fungsi lahan adalah mengelola secara aktif lahan non pertanian yang berada di luar lahan usahatani dan yang berada dalam lahan usahatani yang disebut “lahan terbuang”. Selain itu, dapat pula dilakukan upaya substitusi tanaman berumur panjang (perennial crops) oleh tanaman setahun (annual crops) yang dapat dimanfaatkan terutama untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. Scherr dan McNeely (2008) mengemukakan bahwa peningkatan pemanfaatan tanaman perennial dapat meningkatkan konsumsi air secara dramatis melalui proses evapotranspiration (proses penguapan air melalui panas dan pernafasan makhluk hidup).
Penutup Ada tiga hal penting yang dapat disimpulkan yaitu 1. Lahan dan air memiliki kaitan erat. Good governance dalam pengelolaan lahan dapat secara simultan memberikan dampak positif terhadap kelangsungan kehidupan pertanian dan sumber daya air. 2. Mitigasi degradasi lahan dapat meningkatkan ketersediaan air secara dramatis. Hal ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknologi sederhana yang tersedia. 3. Upaya mengatasi masalah degradasi lahan dan air harus merupakan suatu pendekatan terintegrasi, transdisiplin dan wilayah, serta melibatkan aspek teknis, sosial dan ekonomi serta faktor-faktor eksternal lain. 384
MEMBALIK KECENDERUNGAN DEGRADASI: PENGELOLAAN AIR MELALUI PENGELOLAAN LAHAN
Upaya membalik kecenderungan degradasi lahan dan air memerlukan perencanaan yang matang dan tindakan yang berhati-hati. Posisi dan proporsi aspek-aspek teknis, sosial dan individu serta kelembagaan dan infrastruktur, harus dipertimbangkan dan dikaji secara matang. Pendekatan terintegrasi, trans-disiplin dan lintas wilayah bukan satu-satunya strategi yang mampu mengatasi masalah degradasi lahan dan air. Pendekatan permasalahan degradasi sumber daya memiliki keragaman yang sangat luas dan sangat erat kaitannya dengan kondisi spesifik lokasi dalam aspek biofisik, sistem sosial dan kebutuhan teknologi wilayah. Upaya membalik kecenderungan degradasi lahan dan air hendaknya tidak hanya dilihat dan dikaji manfaatnya dalam jangka pendek. Kegunaan pendekatan permasalahan terkait strategi pemulihan lahan dan air hendaknya dilihat jauh ke depan. Tanaman dan hutan serta wilayah tangkapan air merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan karena fungsinya yang saling terkait dan saling menutupi (overlapping and intersecting). Pohonpohonan dan hutan selain mempertahankan kualitas air tanah, juga mampu menyediakan jasa ekosistem berupa peluang melaksanakan pengelolaan air secara tertata (good governance in water management). Secara teknis, kondisi seperti itu dapat dicapai dengan melakukan teknik penanaman strategis yang mencakup penerapan agroforesty, usahatani konservasi, eco-farming, atau tindakan produktif ramah lingkungan lainnya. Akan tetapi sebaliknya, kondisi demikian tidak pernah dapat dicapai bila pengelolaan lahan dan air tidak disertai penghargaan yang tulus atas lahan dalam arti luas berikut elemen-elemen sosial di dalamnya. Investasi dalam upaya pemulihan sumber daya lahan dan air harus melibatkan investasi sumber daya sosial (social capital, social fabric) seperti peningkatan peran gender dan pemanfaatan serta pengembangan kelembagaan petani.
Daftar Pustaka Alderman H, J Hoddinott, L Haddad and C Udry. 2003. Gender differentials in farm productivity: implications for household efficiency and agricultural policy. In: A. Quisumbing, Editor, Household Decisions, Gender, and Development: A Synthesis of Recent Research, Johns Hopkins University Press, Baltimore, MD (2003). Bellon MR, D Hodson, D Bergvinson, D Beck, E Matinez-Romero and Y Montoya. 2005. Targeting agricultural research to benefit poor farmers: relating poverty mapping to maize environments in Mexico, Food Policy 30 (5–6) (2005), pp. 476–492. Boserup E. 1965. Agrarian Change under Population Pressure, Allen and Unwin, London (1965). Bossio Deborah, Kim Geheb and William Critchley. 2009. Managing water by managing land: Addressing land degradation to improve water productivity and rural livelihoods. Available online 22 January 2009. Bossio, Deborah, A. Noble, J. Pretty and Frits Penning de Vries. 2004. Reversing Land and Water Degradation: Trends and Bright Spot Opportunities. Paper Presented at the SIWI/CA Seminar. Stockholm, Sweden, 21 August 2004. 385
MEMBALIK KECENDERUNGAN DEGRADASI: PENGELOLAAN AIR MELALUI PENGELOLAAN LAHAN
Critchle, W. 2004 in review. Local Innovation in ‘Green Water’ Management: an Interesting Distraction of Something worth a Second Look? In: In: Reversing Land and Water Degradation: Trend and ‘Bright Spot’ Opportunities. Comprehensive Assessment of Water Management for Agriculture. CABI. De Fraiture, D. Wichelns, J Roskstrom and E Kemp-Benedict. 2007. Looking ahead to 2050: Scenarios of Alternative Investment Approaches. In: D. Molden, Editor, Water for Food, Water for Life: A Comprehensive Assessment of Water Management in Agriculture, Earthscan, London and International Water Management Institute, Colombo (2007), pp. 91–145. Ellis F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries, Oxford University Press, Oxford (2000). FAO. 2004 FAO (Food Agriculture Organization), The State of Food Insecurity in the World 2004, Food and Agriculture Organization, Rome (2004). Hatfield JL, TJ Sauer and JH Prueger. 2001. Managing soils to achieve greater water use efficiency: a review, Agronomy Journal 93 (2) (2001), pp. 271–280. Kasryno F. 2009. Integrasi Pengelolaan Lahand an Air: Prospek Mencapai Kemandirian Pangan di Indonesia, dalam Membangun Kemampuan Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Pertanian. Hal. 111-158. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Lado C. 1992. Female Labour Participation in Agricultural Production and the Implications for Nutrition and Health in Rural Africa, Social Science and Medicine 34 (7) (1992), pp. 789–807. Lemly DA, RT Kingsford and JR Thompson. 2000. Irrigated Agriculture and Wildlife Conservation: Conflict on a Global Scale. Environmental Management 25, 485512. Lestrelin G, Giordano M, Keohavong B. 2005. When “Conservation” Leads to Land Degradation: Lessons from Ban Lak Sip, Laos. IWMI Research Report 91, International Water Management Institute, Colombo. Maxwell S, and K Weibe. 1999. Land Tenure and Food Security: Exploring Dynamic Linkages, Development and Change 30 (1999) (1999), pp. 825–849. Noble, AD, DA Bossio, Penning de Vries, FWT, Pretty J, Thiyagarajan, TM. 2006. Intensifying Agricultural Sustainability: An Analysis of Impacts and Drivers in the Development of ‘Bright Spots’. Comprehensive Assessment of Water Management in Agriculture Research Report 13. International Water Management Institute, Colombo.
386
MEMBALIK KECENDERUNGAN DEGRADASI: PENGELOLAAN AIR MELALUI PENGELOLAAN LAHAN
Pretty J, A Noble, D Bossio, J Dixon, R Hine FTW Penning de Vries and J Morison. 2006. Resource-conserving agriculture increases yields in developing countries, Environmental Science and Technology 40 (4) (2006), pp. 1114–1119. Pretty J, and R Hine. 2004. Measuring Proghress Toward Agricultural Sustainability in Developing Regions. Report to DFID for Project CNTR 02 4047: An Analysis of Findings fron the University Of Essex SAFE 2 Project. Rijsberman FR. (ed.). 2000. World Water Scenarios: Analyses. Draft. 396p. Ryszkowski L, and A Kędziora. 2008. The influence of plant cover structures on water fluxes in agricultural landscapes. In: D. Bossio and K. Geheb, Editors, Conserving Land, Protecting Water. Comprehensive Assessment of Water Management in Agriculture Series, vol. 6, CABI, Wallingford, UK (2008), pp. 163–177. Scherr SJ and JA McNeely. 2008. Biodiversity conservation and agricultural sustainability: towards a new paradigm of ‘ecoagriculture’ landscapes, Philosophical Transactions of the Royal Society of London Series B 363 (2008), pp. 477–494. Suradisastra K. 2010. Membangkitkan Ketangguhan Sosial dan Ekologi. Manuscript. Suradisastra K, M Yusron dan A Saefudin. 1990. Analisis Agro-ekosistem untuk Pembangunan Masyarakat Pedesaan Irian Jaya: Kasus Enam Desa. KEPAS, Badan Litbang Pertanian dan Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Cenderawasih dan The Ford Foundation. Suradisastra KSM Pasaribu, B Sayaka, AM Fagi dan E Pasandaran. 2009. Pembelajaran Kunjungan Lapang: Keterpaduan, Persaingan dan Segmentasi Penggunaan Air di Pulau Jawa, dalam Membangun Kemampuan Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Pertanian, Hal. 331-342. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Templeton SR and SJ Scherr. 1999. Effects of demographic and related microeconomic change on land quality in hills and mountains of developing countries, World Development 27 (6) (1999), pp. 903–918. Van Zyl J, Binswanger H, Thirtle C. 1995. The Relationship between farm size and efficiency in South African agriculture. World Bank Policy Research Working Paper no. 1548. World Bank, Washington DC. WCED. 1987 WCED (World Commission on Environment Development), Our Common Future, Oxford University Press for the WCED, Oxford (UK) (1987).
387