BAB VI PENUTUP
PENUTUP
Air dan lahan merupakan dua elemen ekosistem yang tidak terpisahkan satu-sama lain. Setiap perubahan yang terjadi pada lahan akan berdampak pada air, baik terhadap kuantitas, kualitas, pergerakan fisik dan lain-lain. Sifat air yang khas, yaitu berupa mobilitas yang berkaitan dengan topografi lahan, memberikan tantangan tersendiri yang harus diatasi dengan pendekatan-pendekatan yang bersifat lintas administrasi (trans-boundary), lintas sektor dan lintas keilmuan. Sebaliknya, lahan tidak memiliki mobilitas dan lebih mudah menentukan batas fisiknya, baik secara kewilayahan, maupun secara fisik. Akan tetapi setiap perubahan tindakan manusia terhadap lahan selalu diikuti oleh perubahan kondisi air yang berada dalam lahan ataupun di atas permukaan lahan. Keterkaitan lahan dan air dengan sifat yang sangat berbeda namun saling mempengaruhi telah menimbulkan berbagai konflik diantara pemangku kepentingan air dan lahan. Konflik atas air terjadi terutama karena benturan kepentingan dan persaingan kelembagaan (institutional competition). Pertambahan penduduk dan pembangunan infrastruktur di Indonesia mempercepat peningkatan konversi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman dan peruntukan lain. Dalam proses alih guna tersebut sering terjadi benturan kepentingan yang bermuara pada konflik fisik seperti protes, demonstrasi dan bahkan kerusuhan dengan kekerasan. Dalam mempertahankan kualitas sumber daya lahan dan air untuk pertanian, berbagai upaya telah dilaksanakan. Upaya-upaya tersebut meliputi upaya teknologi, hukum dan pendekatan sosio-kultur. Sebagian kerusakan dapat diatasi dengan upaya perbaikan hara lahan seperti rekomendasi pemupukan berimbang dan peningkatan penggunaan pupuk organik. Namun kesulitan terbesar dalam upaya pemulihan lahan dan air adalah sikap dan tindakan manusia, baik berupa tindakan langsung terhadap lahan dan air, maupun sifat dan sikap partisipasi dalam upaya pemulihan kedua sumber daya tersebut.
Degradasi Lahan dan Air Persepsi umum tentang lahan pertanian cenderung mengarah pada lahan pertanian tanaman pangan, terutama lahan sawah, baik sawah beririgasi, irigasi setengah-teknis, maupun sawah tidak beririgasi atau lahan tadah hujan. Walaupun lahan sawah memiliki stabilitas dan keberlanjutan (sustainabilitas) lebih tinggi dibandingkan lahan pertanian lainnya, namun lahan sawah dapat mengalami penurunan produktivitas sebagai dampak pengelolaan yang tidak tepat. Pemupukan tidak berimbang merupakan salah satu penyebab
PENUTUP
penurunan kesuburan lahan karena pemasukan dan pengurasan unsur hara tidak berimbang. Lahan yang mengalami penurunan produktivitas yang disebabkan oleh kegiatan berlebih (overexploited) sering disebut sebagai lahan sakit atau mengalami keletihan (soil fatigue). Selain pemanfaatan berlebih, penurunan produksi lahan sawah juga disebabkan oleh alih fungsi lahan menjadi lahan non-pertanian seperti pemukiman, industri, infrastruktur jalan, dan lain-lain. Peningkatan produksi pangan dan pembangunan sektor pertanian akan sulit dilakukan bila bertumpu semata-mata pada lahan sawah. Lahan kering adalah salah satu lahan berpotensi besar untuk memproduksi pangan dalam posisinya sebagai pendukung utama pembangunan pertanian. Lahan kering yang tersedia untuk usahatani meliputi luasan yang besar. Lebih jauh lagi, lahan kering tidak memiliki kendala pemanfaatan sebesar lahan lainnya (lahan rawa dan rawa pasang-surut). Salah satu kendala pemanfaatan lahan kering mencakup aspek kesuburan dan keberlanjutan kegiatan usahatani. Selain itu, kepemilikan lahan kering oleh petani sangat rendah dan pengetahuan dan modal petani sangat lemah. Kondisi demikian sangat berdampak pada pencapaian keuntungan dan penataan lahan dan air sebagai sumber daya penting dalam usahatani lahan kering. Degradasi yang dialami lahan sawah juga dialami lahan kering. Lahan kering, termasuk lahan penggembalaan, mengalami konversi yang sama parahnya dengan alih-fungsi lahan sawah. Lahan kering yang dialih-fungsikan menjadi lahan pemukiman atau lahan non pertanian terutama lahan kering yang memiliki topografi datar. Di sisi lain, lahan kering juga umumnya merupakan lahan dominan yang berada di jalur daerah aliran sungai (DAS). Degradasi lahan dan air sebagai sumber daya penting dalam pembangunan pertanian terjadi secara kuantitatif dan kualitatif. Degradasi kuantitatif terjadi dalam bentuk penurunan luas sebagai akibat alih-fungsi lahan menjadi lahan non pertanian. Perubahan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya tidak hanya menimbulkan degradasi permukaan (biomass) saja, namun juga menyebabkan kerusakan “tanah dan kehidupan yang ada di dalamnya” (below ground). Perubahan dan degradasi lahan yang mempengaruhi kondisi lahan dan ketersediaan air bersifat irreversible, yaitu tidak dapat kembali ke kondisi semula. Perubahan tersebut secara dramatis menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan secara negatif umumnya menyebabkan penurunan produktivitas lahan pertanian. Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dapat mempengaruhi produktivitas pertanian secara sektoral, namun dalam pertimbangan keseimbangan ekosistem lebih bersifat merusak. Lahan hutan yang telah dikonversi menjadi lahan pertanian umumnya mengalami kehilangan unsur-unsur hara tanah yang terakumulasi secara berabad-abad. Akumulasi hara tanah seperti itu secara dramatis menurun dan bahkan hilang karena perubahan penggunaan dan pencucuian oleh air dalam tanah yang mengalami perubahan karena perubahan struktur dan kepadatan lahan akibat tindakan konversi tersebut.
392
PENUTUP
Upaya Penataan dan Pemberdayaan Upaya penataan kembali sumber daya lahan dan air tidak terlepas dari konteks politik. Pengelolaan sumber daya lahan dan air pada hakekatnya merupakan dimensi politik yang disebut sebagai governan atau governance (aspek pengelolaan atau kepemerintahan dalam suatu kelembagaan). Krisis terkait air dalam suatu lembaga atau kelompok pengelola air mencerminkan bahwa dalam lembaga tersebut telah terjadi krisis pengelolaan (crisis of governance). Dinamika pengelolaan lembaga dan sumber daya lahan dan air merupakan kinerja kelompok masyarakat yang terlibat. Kelompok masyarakat itu sendiri merupakan salah satu elemen sebagai modal sosial yang merupakan bagian kekayaan sosio-budaya atau kelembagaan yang terkandung dalam suatu kolektivitas masyarakat. Dalam modal sosial terkandung tata-nilai yang membentuk kerjasama (“collective action”) suatu kelompok atau masyarakat untuk pencapaian tujuan bersama. Dalam kaitan dengan modal sosial, terutama elemen manusia, politik air merupakan suatu cerminan hubungan kompleks dan agregat antara manusia (orang-orang) dalam suatu masyarakat yang memperjuangkan kewenangan dan kekuasaan. Di sisi lain, degradasi lahan merupakan dampak perilaku negatif masyarakat sebagai pengguna lahan tersebut. Eksploitasi fisik dan teknis yang menyebabkan degradasi sumber daya lahan dan air memerlukan sikap dan tindakan yang mengarah pada upaya pengelolaan yang lebih berkesinambungan. Dalam dekade terakhir ini terjadi pergeseran topik perdebatan akademik ke arah sejauh mana dan secepat apa dampak perubahan memberikan pengaruh dan bagaimana masyarakat harus bersikap dan bertindak. Dari sisi sosial-budaya dan kelembagaan kemasyarakatan, aspek governan yang mencerminkan kewenangan terhadap suatu sistem sosial-ekologi harus mampu mengembangkan sikap membangun pada anggota kelembagaan pengelolaan lahan dan air. Dalam upaya membalik kecenderungan degradasi lahan dan air diperlukan suatu interaksi positif antara para pemangku kepentingan sumber daya lahan dan air dengan sektor swasta, lembaga nirlaba, dan kelembagaan terkait lainnya yang berada dalam sistem sosial-ekologi yang sama. Dengan pendekatan hukum, perundang-undangan, peraturan, mediasi, negosiasi, resolusi konflik, pemilihan, konsultasi, protes dan berbagai proses pengambilan keputusan melalui konsensus, degradasi lahan dapat diperlambat. Dampak yang diharapkan dari pengelolaan lingkungan yang baik antara lain adalah berkembangnya ekonomi hijau yang mementingkan keberlanjutan (sustainabilitas) lingkungan ekosistem yang produktif. Upaya penataan kembali sumber daya lahan dan air hanya dapat dilakukan oleh suatu kelembagaan pengelolaan yang memiliki kemampuan yang baik, memahami manfaat dan memiliki akses terhadap teknologi terkait penataan sumber daya, mampu melibatkan para pihak dan pemangku kepentingan (partisipasi), didukung oleh infrastruktur fisik dan 393
PENUTUP
kelembagaan, dan didukung pula oleh lembaga hukum dan perundang-undangan sebagai dasar untuk melakukan tindakan (lihat gambar di bawah). Lembaga tata pengelolaan lahan dan air adalah suatu konstruksi sosial yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perubahan dan dinamika sistem sosial-ekologi yang bersifat spesifik. Kelembagaan tersebut harus mampu memahami dan memanfaatkan secara jeli potensi dan peluang dari aspek kebijakan, hukum dan administrasi yang mencakup elemen-elemen formal dan non formal. Lebih jauh lagi kelembagaan pengelolaan yang baik harus menguasai dan menerapkan tata administrasi secara baik dan jeli melihat peluang implementasi hukum dan peraturan dalam kehadiran atau ketiadaan peraturan administrasi. Lembaga demikian harus mampu mengembangkan kebijakan yang meliputi prioritas penggunaan, biaya, kemampuan desentralisasi atau sentralisasi, kemampuan partisipasi dan koordinasi dengan kebijakan lain. Lebih jauh lagi lembaga pengelolaan sumber daya lahan dan air harus memiliki struktur organisasi pengelolaan air yang memadai, mampu menggali sumber pembiayaan serta mampu secara baik mengelola dan memanfaatkan sumber daya manusia yang tersedia. KEBIJAKAN/ UNDANG-UNDANG YANG MENDUKUNG
TEKNOLOGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA
KELEMBAGAAN PENGELOLA SUMBER DAYA (GOVERNAN)
INFRASTRUKTUR FISIK DAN KELEMBAGAAN
PARTISIPASI PEMANGKU KEPENTINGAN
Gambar 1. Faktor Pendukung Pengelolaan Sumber Daya. Lembaga tata pengelolaan harus membuka peluang bagi para stakeholder atau pemangku kepentingan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya untuk menyampaikan aspirasi terkait kebutuhan kolektif mereka. Pengembangan kelembagaan pengelolaan hendaknya diarahkan ke upaya pemecahan masalah komunal (communal problem-solving oriented). Dari sisi akuntabilitas, tata pengelolaan yang baik juga harus mendorong perkembangan dan penguatan hubungan horizontal antar anggota tata pengelolaan guna meningkatkan
394
PENUTUP
difusi informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah kolektif tersebut. Sumber daya ekonomi dan sumber daya sosial harus dimanfaatkan secara lokal dan disesuaikan dengan kebutuhan pengelolaan sumber daya lahan dan air (locally and finely tuned). Kebijaksanaan ini membuka peluang memprioritaskan pencapaian yang sejalan dengan tuntutan riil. Disamping itu pengetahuan dan keterampilan lokal (indigenous knowhow) juga harus diadaptasikan ke dalam sistem pengelolaan sumber daya untuk membantu mempercepat proses transformasi lembaga pengelolaan tersebut. Dari sisi teknis dan teknologi, upaya penataan kembali sumber daya lahan dan air dapat dilakukan antara lain dengan menerapkan teknologi terapan sebagai berikut: 1. Menerapkan teknik dan teknologi terkait kesuburan lahan. Dalam langkah ini dapat digunakan teknik pemupukan berimbang untuk meningkatkan kesuburan dan menurunkan keasaman lahan. Penggunaan pupuk organik juga merupakan salah satu cara untuk menggemburkan dan mengembalikan kesuburan lahan. 2. Mengembangkan dan menerapkan teknik konervasi lahan. Teknik konservasi lahan yang dapat diterapkan terdiri atas teknik konservasi secara mekanik, vegetatif dan teknik konservasi kimia. Dalam penerapannya, teknik konservasi mekanik umumnya disertai dengan implementasi teknik konservasi vegetatif. Khusus untuk lahan kering, penerapan teknik konservasi vegetatif dianjurkan untuk mencegah erosi dengan pengembangan alley cropping, strip cropping dan agroforestry. 3. Mengembangkan teknik rehabilitasi. Upaya rehabilitasi lahan dilakukan sebelum teknik konservasi diterapkan. Lahan terdegradasi perlu direhabilitasi terlebih dahulu, baik secara vegetatif maupun secara kimia. Rehabilitasi vegetatif dilaksanakan dengan penanaman leguminosa penutup tanah guna mempercepat pemulihan status bahan organik tanah. Rehabilitasi kimia dilakukan dengan pemberian bahan anorganik tertentu dalam bentuk pupuk. 4. Mengembangkan teknik konservasi air dan irigasi suplemen. Konservasi air selalu terkait dengan penataan lahan. Penataan kualitas lahan akan berdampak pada status air, baik air tanah, maupun air permukaan. Dalam kondisi saat ini, upaya konservasi air dapat dilakukan dengan meningkatkan pemanfaatan air irigasi, air permukaan, dan air tanah. Pemanenan air hujan atau air permukaan (water harvesting) dapat dilakukan dengan menampungnya di tempat tertentu untuk digunakan sewaktu-waktu diperlukan. Upaya penataan kembali sumber daya lahan dan air memerlukan kepedulian kolektif tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan. Perubahan perilaku sosial pemangku kepentingan sumber daya lahan dan air diharapkan bergerak ke arah minat atas manfaat, fungsi dan masa depan sumber daya lahan dan air. Masa depan sumber daya lahan dan air hendaknya tidak merupakan beban, namun diharapkan merupakan warisan positif bagi generasi mendatang. Tindakan pembelajaran yang mengarah kepada falsafah pemberdayaan lingkungan atau enabling environment hendaknya
395
PENUTUP
dilakukan secara terprogram dan diimplementasikan secara baik dan konsisten. Perencanaan dan penyusunan kebijakan penataan dan pelestarian lingkungan hendaknya dilaksanakan dengan melibatkan kelompok pemangku kepentingan di hierarki akar rumput (grass-root level). Tokoh lokal sebagai figur pembangkit minat dan penggerak energi masyarakat harus dilibatkan secara proporsional dalam penyusunan kebijakan pemberdayaan sumber daya lokal.
396