Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan: Mencegah Degradasi Bentanglahan Fisik dan Budaya Dede Sulaeman Kementerian Pertanian Jl. Harsono RM No. 3 Ragunan Jakarta Selatan e-mail:
[email protected]
1. Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Perkembangan sosial-ekonomi, membutuhkan banyak ruang sebagai fasilitas untuk produksi dan kehidupan (Long et al., 2009; Su et al., 2011 dalam Su et. al, 2014). Namun demikian, lahan pertanian menjadi pilihan untuk menunjang aktivitas non-pertanian. Hal ini karena lahan pertanian memiliki hambatan yang paling kecil dalam menyediakan ruang bagi kehidupan manusia, sehingga menjadi pilihan pertama untuk pemusatan aktivitas ekonomi dan masyarakat (lihat Su et. al, 2014). Berdasarkan data Kementerian Pertanian, laju alih fungsi lahan pertanian ke lahan non pertanian mencapai 110.000 ha/tahun dan potensi alih fungsi lahan sawah akibat penerapan RTRW oleh pemerintah daerah kabupaten/kota yang kurang berpihak kepada sektor pertanian juga meningkat setiap tahun. Cepatnya alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, antara lain (Anonim, 2013): (a) menurunnya produksi pangan yang menyebabkan terancamnya ketahanan pangan, (b) hilangnya mata pencaharian petani dan dapat menimbulkan pengangguran, dan (c) hilangnya investasi infrastruktur pertanian (irigasi) yang menelan biaya sangat tinggi.
Selain aspek penyediaan pangan yang terganggu, alih fungsi lahan pertanian juga akan merubah bentanglahan secara fisik dan bentanglahan budaya. Menurut Su et. al (2014) pembangunan sarana industri akan menyebabkan kekacauan distribusi dalam bentanglahan pertanian. Bentang lahan pertanian akan terfragmentasi dan menyebabkan perubahan bentang lahan secara tidak langsung.
--------
1
Perubahan lahan pertanian didorong oleh keinginan peningkatan pendapatan atau nilai ekonomi dari lahan tersebut. Hasil pertanian yang berfluktuasi atau bahkan menurun membuat usaha pertanian menjadi berprospek rendah dalam peningkatan pendapatan masyarakat dan diubah menjadi kegiatan lain yang lebih menguntungkan. Dengan demikian, faktor ekonomi menjadi salah satu pendorong bagi terjadinya alih fungsi lahan yang menyebabkan perubahan bentang lahan pertanian (lihat Su et. al, 2014), keterbagian dan hilangnya bentanglahan (Pérez-Llorentea et. al, 2013). Perubahan bentanglahan budaya di kegiatan pertanian, dapat terjadi disebabkan oleh dua hal yang saling bertentangan yaitu metode pertanian intensif di wilayah yang lebih produktif dan aktivitas tradisional di lahan marginal (Schmitz et al., 2003 dalam Rescia et. al, 2010), terlebih lagi bila lahan pertanian telah beralih fungsi menjadi lahan non pertanian. 2. Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, memerintahkan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten untuk membentuk Peraturan Daerah yang mengatur jumlah dan lokasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LPPB). Berdasarkan definisinya, LPPB adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan daerah. Dengan demikian, tiap daerah akan memiliki sejumlah lahan pertanian yang dilindungi undang-undang yang dipertahankan keberadaan fisik dan aktivitasnya untuk tetap menjadi lahan pertanian dan menghasilkan produk pertanian. Hal ini berdampak positif terhadap keberadaan bentang lahan pertanian secara fisik dan budaya karena dilindungi undang-undang. Masalah kemudian muncul ketika pemerintah daerah akan menetapkan lokasi LPPB karena, ketika ditetapkan sebagai LPPB maka ada konsekuensi hukum yang mengikat ketika lahan tersebut akan dialihfungsikan. Sebagai contoh, Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian --------
2
Pangan Berkelanjutan yang menjadi acuan bagi pemerintah kabupaten di DIY untuk menyusun Peraturan Daerah yang secara spesifik menetapkan lokasi LPPB ternyata setelah berjalan tiga tahun belum dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten. Sebagai contoh, Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 04 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul Tahun 2010-2030 ternyata masih menyebutkan jumlah luasan minimum yang akan dijadikan LPPB tetapi belum menyebutkan dimana luasan lahan tersebut diplotkan. Padahal, ada keuntungan bagi masyarakat dari ditetapkannya atau dimasukannya lahan mereka ke dalam LPPB, diantaranya adalah adanya keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, pengembangan infrastruktur pertanian, dan mendapat fasilitasi sarana dan prasarana produksi pertanian. Selain itu program-program pemerintah diprioritaskan pada lahan dengan status LPPB. Kesulitan yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam penetapan LPPB terkait dengan arah pengembangan kawasan ekonomi non pertanian, tawaran investasi yang menginginkan pembangunan di lahan pertanian produktif, dan pengalokasian LPPB dalam wilayah administratif yang dapat menimbulkan konflik ditingkat masyarakat. Untuk itu, pendekatan holistik dalam perencanaan dan penentuan lokasi LPPB dan implementasi program dan kegiatan setelah penetapan LPPB harus dilakukan. 3. Hampiran Holistik Kompleksitas dalam pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan menuntut hampiran holistik dalam perencanaan, implementasi program dan kegiatan. Hampiran perencanaan holistik terkait dengan dikajinya berbagai faktor yang mempengaruhi penetapan LPPB, sedangkan implementasi program dan kegiatan yang holistik terkait dengan jenis program dan kegiatan yang dapat membuat masyarakat mendapatkan keuntungan ketika lahannya ditetapkan sebagai LPPB.
--------
3
3.1. Perencanaan Program dan Kegiatan Perencanaan program dan kegiatan LPPB dalam kerangka mempertahankan bentanglahan fisik dan sosial dibutuhkan pengelolaan yang adaptif dan melibatkan berbagai organisasi dalam pengambilan keputusan dan proses perencanaan (Rescia et. al, 2010). Perencanaan bentang lahan dijelaskan dalam tiga aspek, pertama, secara historis berupaya untuk mempelajari aspek utama pada faktor lingkungan, fitur, proses, sistem dan isu-isu terkait; kedua, pada skala bentanglahan atau wilayah tertentu mempelajari secara historis dampak lingkungan pembangunan, pemanfaatan lahan yang tidak seimbang, dan tempat yang secara yuridis berdampak besar; ketiga, secara terus-menerus mencari jalan untuk kebutuhan sosial masyarakat saat ini dan kebutuhan pengembangan tanpa membahayakan integritas ekologi dan lingkungan (lihat Linehan et. al, 1998). Perencanaan bentanglahan yang baik akan membantu para pihak melalui cara-cara sebagai berikut (Linehan et. al, 1998): 1. Secara berlanjut menemukan cara aplikasi dari teori dan metodologi ekologi. 2. Mendorong penelitian dalam kerangka jangka panjang mengenai masalah bentanglahan. 3. Melihat perencanaan ekologi agar terintegrasi dalam segala aktivitas. 4. Menggalakkan hubungan produsen-konsumen untuk memdorong perdagangan produk pertanian di wilayah setempat. 5. Perencanaan relokasi bentanglahan dalam konteks sosial yang lebih luas. 6. Dapat memberikan gambaran dari keterkaitan isu-isu sosial, ekonomi, kesehatan dan lingkungan. 7. Membantu penyusunan dan menjalankan proyek yang implementasinya berkelanjutan dan melibatkan masyarakat. Perencana bentanglahan dan pembuat kebijakan juga perlu memperhitungkan adanya perubahan budaya dan ekonomi pada masyarakat adat yang disebabkankan perubahan fisik bentang lahan (Pérez-Llorentea et. al, 2013). Ini biasanya terjadi karena adanya tawaran dari pihak luar untuk mengusahakan lahan bagi kegiatan produktif lainnya. --------
4
Sehingga, mencermati dan memahami interaksi antara bentang budaya dan penggerak budaya akan membantu pengelolaan bentanglahan secara berkelanjutan dan mengurangi peningkatan degradasi bentanglahan biologi dan budaya (Naveh, 1995). Masyarakat juga perlu dilibatkan secara serius dan matang dalam proses perencanaan (Linehan et. al, 1998) agar hasilnya dapat diadaptasi oleh masyarakat untuk meningkatkan nilai produk-produk pertanian dan keuntungan ekonomi yang sejalan dengan kebutuhan saat ini (Rescia et. al, 2010). 3.2. Implementasi program dan kegiatan Di wilayah tropis, petani memainkan peranan penting dalam pemanfaatan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan sendiri dan merespon kebutuhan pasar global (Sherbinin et al., 2008 dalam Palaciosa et. al, 2013). Dalam diskusi mengenai sensitivitas bentanglahan, kegiatan manusia secara umum merupakan kekuatan luar yang berkontribusi dalam perubahan bentanglahan, dengan fokus pada dampak dari metode budidaya, penggunaan pupuk, penggembalaan dan polusi atmospherik (Simpson et. al, 2001). Terjadinya perubahan lingkungan dan ekonomi dari pemanfaatan sumber daya lahan akan mengancam keberlanjutan sistem ekologi tradisional warga yang selanjutnya menurunkan kemampuan daya tahan masyarakat terhadap sumber pendapatan dari sektor pertanian. Untuk itu, diperlukan adaptasi dan ketahanan terhadap bentanglahan budaya dengan cara penyebarluasan pengetahuan empiris dalam penggunaan sumberdaya lahan (Rescia et. al, 2010) yang lebih produktif agar dapat tetap menjadi andalan pendapatan masyarakat. Meningkatnya isu degradasi lahan juga membuat para ilmuwan sosial dan alam melakukan studi holistik mengenai perubahan bentanglahan dalam kerangka politik, sosial ekonomi dan historis (Blaikie and Brookfield, 1987 dalam Simpson et. al (2001), untuk menemukan penjelasan yang lebih memadai terhadap berbagai aspek yang terkait. Hal ini berkaitan dengan terjadinya perubahan tutupan lahan yang merupakan ekspresi dari transformasi kondisi sosial ekonomi yang telah memiliki sebuah dampak yang mendalam --------
5
pada pola ekologi dan proses bentanglahan (Potschin dan Haines-Young, 2006 dalam Parcerisas et. al, 2012). Pertimbangan sosial dan ekonomi harus mendasari adaptasi, ketahanan dan pemulihan daya tahan di bentanglahan budaya. Beragam aktivitas ekonomi dapat didorong sebagai alternatif untuk menggantikan penggunaan lahan yang semakin intensif di desa yang dekat dengan pusat pemasaran, yang terbukti merusak dan mengakibatkan hilangnya berbagai habitat yang menunjang kegiatan ekonomi (Pérez-Llorentea et. al, 2013). Usaha-usaha berbasis sumberdaya alam seperti eko-wisata dapat dikembangkan sebagai tambahan penghasilan dan pengembangan masyarakat (Rescia et. al, 2010). Selain itu, pendidikan dan penyebarluasan informasi pada masyarakat melalui pembelajaran kelompok, pelatihan dan mengembangakan kurikulum yang memasukan pengetahuan budaya lokal (Pérez-Llorentea et. al, 2013) juga akan membantu masyarakat dalam menjalankan pertanian pangan berkelanjutan. 4. Kesimpulan Tingginya alih fungsi lahan pertanian yang mencapai 110 ribu hektar per tahun perlu dicegah karena akan mengurangi kemampuan produksi pangan. Undang-undang 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi harapan bagi terciptanya kemandirian produksi pangan dan tidak berlanjutnya degradasi bentanglahan fisik dan sosial lahan pertanian. Belum adanya lokasi spesifik LPPB, karena berbagai kesulitan yang dihadapi Pemerintah Daerah, dapat dibantu dengan pendekatan holistik dalam perencanaan dan penentuan lokasi LPPB dan implementasi program dan kegiatan pasca penetapan LPPB. Secara prinsip, dalam perencanaan perlu melibatkan masyarakat dan menentukan secara adil disetiap wilayah administratif lokasi LPPB dan non LPPB agar pertumbuhan ekonomi dari kegiatan pertanian dan non-pertanian dapat saling melengkapi. Pada implementasi program dan kegiatan, hampiran sosial dan ekonomi dapat digunakan untuk memberikan alternatif kegiatan pada masyarakat agar mampu meningkatkan pendapatan melalui usaha-usaha berbasis sumberdaya pertanian seperti eko-wisata. --------
6
Dengan dipertahankannnya sejumlah lahan pertanian menjadi LPPB, maka kita berharap masih dapat melihat aktivitas budaya masyarakat tani dalam bentang lahan fisik dan sosial yang merupakan sumber penghasil pangan dan sumber kebudayaan masyarakat Indonesia.
--------
7
Daftar Pustaka Anonim, 2014. Forum PLP2B dalam http://psp.deptan.go.id/index.php/page/forum diakses tanggal 28 Maret 2014 Linehan, JR., M. Gross. 1998. Back to the future, back to basics: the social ecology of landscapes and the future of landscape planning. Landscape and Urban Planning 42 (1998) 207-223 Naveh, Z. 1995. Interactions of landscapes and cultures. Landscape and Urban Planning 32 (1995) 43-54 Palaciosa, MR., E. Huber-Sannwalda, L.G Barriosb, F.P de Paz, J.P Hernándeza, M.D.G Mendoza. 2013. Landscape diversity in a rural territory: Emerging land use mosaics coupled to livelihood diversification. Land Use Policy 30 (2013) 814– 824 Parcerisas, L., J. Marull, J. Pino, E. Tello, F. Coll, C. Basnou, C. 2012. Land use changes, landscape ecology and their socioeconomic driving forces in the Spanish Mediterranean coast (El Maresme County, 1850–2005). Environmental sciences & policy 23 (2012) 120-132 Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 04 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul Tahun 2010-2030 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Pérez-Llorentea, I., J. Paneque-Gálveza, A.C Luzb, M.J Macíac, M. Guèzeb, J.A Domínguez-Gómezd, V. Reyes-Garcíae. 2013. Changing indigenous cultures, economies and landscapes: The case of the Tsimane’, Bolivian Amazon. Landscape and Urban Planning 120 (2013) 147– 157 Rescia, AJ., B.A Willaartsc, M.F Schmitza, P.A Aguilerac. 2010. Changes in land uses and management in two Nature Reserves in Spain: Evaluating the social–ecological resilience of cultural landscapes. Landscape and Urban Planning 98 (2010) 26–35 Simpson, IA., A.J Dugmore, A. Thomson, O. Ve´steinsson. 2001. Crossing the thresholds: human ecology and historical patterns of landscape degradation. Catena 42 (2001). 175–192 Su, S., X. Maa, R. Xiao. 2014. Agricultural landscape pattern changes in response to urbanization atecoregional scale. Ecological Indicators 40 (2014) 10–18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
--------
8
Tentang Penulis Dede Sulaeman Lahir di Kuningan, Jawa Barat, pada tanggal 7 Desember 1973. Saat ini bertugas di Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian. Pendidikan sarjana (S1) diselesaikan pada Jurusan Teknik Lingkungan, Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan Yogyakarta tahun 1997 dan Pendidikan Magister (S2) diselesaikan pada Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia tahun 2006. Pengalaman dalam bidang lingkungan hidup meliputi Peneliti pada Eco-Indorganic Project kerjasama Ecosolve United Kingdom dengan Deptan tahun 20002001, yang meneliti pemanfaatan limbah pertanian pada tanaman dan efeknya terhadap pengurangan Gas Rumah Kaca; menjadi anggota Tim Teknis Kompos Nasional pada Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 2004-2005; bersama dengan Asdep Pengendalian Pencemaran Agroindustri KLH menyusun buku berjudul Profil Pengelolaan Limbah Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Indonesia yang diterbitkan tahun 2008; anggota Tim Modernisasi Irigasi Kementerian PU tahun 2013-sekarang; dan berbagai kegiatan atau penelitian lainnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Sejak tahun 2013, menempuh pendidikan Doktor Ilmu Lingkungan di Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, dan aktif dalam kegiatan irigasi bersih. Bersama dengan masyarakat petani di Kabupaten Bantul dan Fakultas Teknologi Pertanian UGM mengelola website gerakan irigasi bersih (GIB) dengan alamat www.gerakanirigasibersih.or.id, yang merupakan sarana informasi, sosialisasi dan advokasi mengenai pertanian ramah lingkungan, irigasi bersih, pengelolaan sampah dan pemberdayaan masyarakat. Tulisan lainnya terkait pertanian organik, agroindustri ramah lingkungan, pengelolaan limbah irigasi bersih, dan pengelolaan lingkungan dimuat pada website Ditjen PPHP dan website gerakan irigasi bersih. Kontak dan diskusi dapat dikirimkan ke alamat e-mail:
[email protected].
--------
9
