STUDIA DIDKATIKA Jurnal Ilmiah Pendidikan Vol.10 No.2 Tahun 2016 ISSN 1978-8169
MEMAKNAI MOMENTUM HIJRAH
[email protected] Dosen Fakultas Tarbiyah dan Kegurua IAIN SMH Banten
Abastrak. Peristiwa hijrah dapat dimaknai Islam pertama, konteks hijrah makaniyah atau hijrah teritorial. Kedua, Hijrah Nafsiyah, perpindahan secara spiritual dan intelektual dari kekafiran kepada keimanan. Ketiga, Hijrah Amaliyah, perpindahan perilaku dan perbuatan seperti perpindahan dari perilaku jahiliyah kepada perilaku / akhlaq Islam atau meninggalkan segala sesuatu yang dilarang Allah kepada yang diperintahkan dan diridhai-Nya. Makna yang terkandung dalam Hijrah Nabi Muhmaad saw terdapat reformasi individual (spiritual-moral), reformasi sosio-kultural dan reformasi struktural. Hijrah juga dimaknai sebagai pembentukan masyarakat sifil, maysarakart pluralis dan pemberdayaan etos dinamis. Kata: kunci: etos dinamis, hijrah, masyarakat sivil, piagam madinah, spirit hijrah. Abstrak. The events can be interpreted Islam first hijrah, or migration context territorial makaniyah move. Second, Nafsiyah Hijrah, spiritually and intellectually transfer from disbelief to faith. Third, Hijrah Amaliyah, displacement behavior and actions such as the displacement of the behavior of ignorance to conduct / morality of Islam or leave everything that is forbidden by God to ordered and blessed him. Meaning contained in the Hijra of the Prophet PBUH Muhmaad are individual reforms (spiritual-moral), socio-cultural reforms and structural reforms. Hijrah is also defined as the establishment of community sifil, maysarakart pluralist and dynamic ethos of empowerment. Password: key: a dynamic ethos, migration, the Civil Society, charter Medina, the spirit of hijrah Pendahuluan Tantangan yang dihadapi umat Islam dalam hal modernitas, telah mendorong banyak pemikir muslim untuk merenungkan kembali mengenai segi-segi dinamis dari agama. Salah satunya adalah mencoba menafsirkan kembali etos dinamis dalam peristiwa hijrah, dalam konteks globalisasi yang dihadapi seluruh umat dewasa ini. Meski perayaan hijrah selalu diadakan setiap tahun, namun merenungkan substansi hijrah sebagai etos gerak dalam Islam, masih tetap relevan. Bahkan Iqbal menganalogikan hidup adalah gerak. Gerak berarti siap menghadapi pelbagai tantangan, agar mampu mengembangkan daya dorong dan daya juang guna meraih prestasi terbaik dalam hidup. Sekali lagi kita perlu menyelami etos gerak ini agar kita menyadari betapa pentingnya etos ini dalam memasuki milenium baru. Diantara cara merenungkan etos dinamis dalam Islam, adalah melihat kembali dan memaknai momentum hijrah. Hijrah berarti pindah. Dalam bahasa Inggris, emigration.1 Akan tetapi orang-orang Barat sering menerjemahkan kalimat hijrah dengan flight, padahal flight itu secara implisit mengandung stigma negatif, karena konotasinya berarti melarikan diri. Maka pemaknaan hijrah tersebut banyak dikritik oleh para intelektual muslim, karena tidak sesuai dengan substansi hijrah Rasulullah.2 Dengan berimigrasi dari Makkah ke Madinah, Nabi Muhammad tidak bermaksud melarikan diri, akan tetapi memang ada perintah pindah, jadi bukan atas kemauan sendiri melainkan atas petunjuk dari Allah swt. Momentum hijrah hijrah memiliki banyak makna dan ibrah yang dapat dipetik. Makna dan ibrah yang dapat diambil mulai dari ketatatan menjalnakan perintah Allah swt, 65
STUDIA DIDKATIKA Jurnal Ilmiah Pendidikan Vol.10 No.2 Tahun 2016 ISSN 1978-8169
persuudaraan antar sesama muslim, toleransi antara kaum pribumi dan batang, dan banyak lagi makna dan ibrah yang dipetik dari peristiwa hijrah. Tulisan ini mencoba untuk menelisik sebagian kandungan makna hijrah yang sarat dengan hikmah tersebut. Lintasan Historis Secara sosiologis historis, terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi hijrah Nabi, yaitu antara lain didahului dengan adanya bai‟at-bai‟at (janji-janji setia) yang diikuti oleh orang-orang dari Madinah (waktu itu namanya Yatsrib, yang dalam naskah-naskah Yunani kuno dikenal sebagai Yathroba). Tidak banyak yang diketahui oleh orang-orang luar mengenai Arabia, karena Arabia memang merupakan daerah yang tidak begitu menarik bagi bangsa-bangsa lain. Karena itu tidak ada usaha untuk menaklukkan daerah tersebut. Orang Arab sendiri menyadari hal itu, karenanya disebut Jazirah. Dalam bahasa Arab, Jazirah itu bukan semenanjung, tetapi pulau. Orang Arab menyebut negerinya sebagai pulau karena dari tiga jurusan dikelilingi oleh laut yaitu Laut Merah, Lautan Arabian dan Teluk Persi. Tetapi yang di utara itu bukan lautan air melainkan lautan pasir yang sulit sekali diterobos, terutama gurun pasir Syria atau dalam bahasa Arab ‖Wadiah al-Syam‖. Daerah itu memang terkenal ‖kejam‖ sekali sehingga tidak mudah diterobos oleh orang-orang dari luar. Karena itu jazirah Arabiah, dalam sejarahnya, hanya mengirim orang keluar dan sedikit sekali orang yang masuk. Dalam sejarah dibuktikan bahwa bangsa-bangsa Semitik kuno seperti bangsa Asyria, bangsa Babilonia, bangsa Kanaan dan sebagainya, sebetulnya berasal dari jazirah Arabiah. Mereka disebut Arab karena selalu berpindah-pindah. Jadi Arab itu memang artinya berpindah-pindah, dari perkataan Ibrani, ‟Ibrun, ‟Abara yang artinya juga menyeberang. Dalam bahasa Arab memang sering terjadi perpindahan suku kata tetapi mempunyai makna yang sama atau asalnya bermakna sama yang disebut ”tashrif kabir”. Misalnya, kata ‟Ilm (dari huruf ‟ayn, lam dan mim), itu satu akar kata dengan ‟amal (dari ‟ayn, mim dan lam), sebab antara ilmu dan amal itu terkait.3 Demikian juga Arab dengan Ibrani. Ibrani itulah yang lalu menjadi Hebrew, menjadi orang Yahudi. Jadi orang-orang Bani Israil disebut Hebrew atau Ibrani itu karena suka mengembara. Bahkan ada pendapat dari sebagian ahli sejarah bahwa kata Ibrahim berasal dari Abram, yang artinya orang yang menyeberang, orang yang mengembara. Memang Nabi Ibrahim itu mengembara dari Babilonia ke Mesopotamia Utara, kemudian belok ke Selatan ke Kanaan.4 Pandangan seperti ini penting diketahui untuk sampai pada pemahaman mengapa, misalnya, Nabi Muhammad hijrah ke kota sebelah utara yaitu Yatsrib, lalu dengan strategi baru beliau berhasil menghimpun kekuatan orang-orang Arab dan kemudian terjadi apa yang dalam istilah para ahli sejarah disebut ‖Arab explosion‖ (ledakan orang Arab).5 L. Stoddard dalam bukunya yang berjudul Bangkitnya Bangsa-bangsa Berwarna mengatakan bahwa Nabi Muhammad seolah-olah mengubah padang pasir Timur Tengah menjadi mesin yang dia sulut dari Madinah dan meledaklah ke seluruh penjuru Timur Tengah. Sebab tidak lama setelah Rasulullah pindah ke Madinah, dalam tempo 10 tahun beliau menjadi tokoh yang paling sukses dalam sejarah umat manusia. Michael Hart, seorang wartawan Amerika yang menulis buku tentang 100 tokoh itu, kalau dilihat efeknya, maka Muhammadlah yang paling berpengaruh di dalam sejarah umat manusia.6 Efek itu ada terutama karena kepindahan Nabi Muhammad dari Makkah ke Yatsrib. Kalau diingat bahwa Nabi di Makkah selama 13 tahun tanpa hasil yang mengesankan, bisa dikatakan –dalam bahasa manusia—bahwa beliau ‖belum sukses‖. Diantara ahli tafsir ada yang mengatakan bahwa Nabi pernah sedih karena hasil yang kurang sukses itu, sehingga turun surat al-Dhuha, maka Allah menegur sekaligus menghibur Nabi. Secara historis kemenangan yang dijanjikan oleh Allah itu terealisir setelah 10 tahun di Madinah. Karena itu, 66
STUDIA DIDKATIKA Jurnal Ilmiah Pendidikan Vol.10 No.2 Tahun 2016 ISSN 1978-8169
bukanlah akhirat lebih baik dari pada dunia, tetapi dalam bahasa sekarang, ‘yang jangka panjang itu lebih baik dari pada yang jangka pendek‘. Jadi ini suatu peringatan kepada Nabi seolah-olah Allah mengingatkan, ‖Hai Muhammad, mungkin bahwa kamu gagal dalam jangka pendek, tetapi kalau kamu berjuang terus, maka dalam jangka panjang kamu akan berhasil.‖ Hal ini dapat diambil pelajaran yang penting, dimana pada umumnya manusia itu tidak tahan berpikir panjang dan selalu ingin cepat berhasil (instant success). Itulah salah satu hal yang bisa ditarik dari pelajaran hijrah. Yang mengingatkan manusia jangan sampai terjebak pada hal-hal yang bersifat jangka pendek dan melupakan yang bersifat jangka panjang. Ada ungkapan ”you may loose the battle but you should win the war‖ (kamu boleh kalah dalam pertempuran, tetapi harus menang dalam peperangan). Sebab perang itu merupakan jumlah dari pertempuran-pertempuran. Dalam hidup ini banyak sekali orang yang sukses dalam jangka pendek tetapi gagal dalam jangka panjang. Jadi, ‖wa la ‟l-akhirat-u khayrun laka min-a ‟l-ula” (Dan sungguh, yang kemudian akan lebih baik bagimu dari pada yang sekarang) itu mempunyai nilai yang sangat spiritual. Yaitu, bahwa akhirat lebih penting daripada dunia, sekaligus mempunyai nilai yang sangat praktis dalam hidup, karena dikaitkan dengan wa lasawfa yu‟thika rabbuka fatardha (Dan Tuhanmu kelak memberimu apa yang menyenangkan kau) sebagai hasil dari sebuah proses yang berkelanjutan dan simultan. Bunyi surah al-Dhuha yang merupakan teguran keras kepada Nabi itu selanjutnya ialah, alam yajidka yatim-an fa‟awa (Bukankah Dia mendapati kau sebagai yatim, lalu Ia melindungi ?). Tentu saja bukan Allah secara langsung yang memelihara tapi melalui kakeknya, yaitu Abdul Muthalib, kemudian oleh pamannya Abu Thalib. Itulah yang dimaksud ayat tadi. Jadi seolah-olah Nabi Muhammad diingatkan oleh Tuhan, ‖Bukankah kamu Muhammad dulunya dalam keadaan susah?‖ Bahkan, wa wajadaka dhallan fahada (Dan Dia mendapatimu tak tahu jalan, lalu Ia memberi bimbingan). Wa wajadaka ‟ailan fa aghna (Dulu Tuhan mendapati kamu itu miskin, kemudian dibuat kaya). ‘A‘il itu artinya depent, yaitu orang yang tergantung kepada orang lain. Fa aghna—kemudian dibuat independent secara ekonomi, yang wujud historisnya ialah berkat kawinnya dengan Khadijah yang waktu itu adalah konglomerat Makkah. Berkat kawin dengan Khadijah itulsh msks Nabi punya waktu luang untuk merenung, untuk bertapa di gua Hira. Jadi, karena ekonominya terjamin, maka dia menjadi leisure class.7 Itulah gambaran situasi psikologis Nabi sebelum hijrah. Karena adanya janji seperti di atas ditambah dengan penguatan kerohanian yang dialami Nabi yaitu dengan peristiwa Isra‟ dan Mi‟raj, maka Nabi menjadi bersemangat kembali. Jadi seolah-olah Nabi diperkuat jiwanya dengan diperlihatkan keadaan di luar. Ini sebetulnya juga analog dengan pengalaman sehari-hari. Kalau orang kehilangan ghairah, lalu berkunjung kepada orang yang bisa diajak ngomong, atau pergi ke tempat-tempat lain, biasanya bangkit kembali gairahnya. Dalam ungkapan Inggris, ‖Try to reach out‖. Itulah yang dilakukan oleh Nabi, tetapi karena beliau akan mendapat tugas yang luar biasa, maka reach out-nya tidak tanggung-tanggung, yaitu kepada Allah s.w.t. dengan perjalanan Isra‟ Mi‟raj. Dalam perjalanan itu Nabi diingatkan bahwa beliau tidak sendirian. Dia hanya bagian dari suatu deretan sejarah yang panjang. Ketika di Yerussalam, di Bayt al-Maqdis, beliau salat bersama semua Nabi. Di Bayt al-Maqdis atau Masjid Aqsha itu Nabi menjadi Imam. Beliau diberikan semacam pemutara film tentang sejarah para nabi-nabi terdahulu untuk menguatkan jiwa beliau. Ketika naik ke langit, pada masing-masing lapisan langit beliau bertemu lagi dengan nabi-nabi yang dulu ditemui di Yerussalam dan beliau imam salat. Itu memang peristiwa spiritual yang tidak perlu dipertanyakan bagaimana bias terjadi orang yang sudah mati bisa bertemu lagi. Nabi Muhammad waktu itu berjumpa dengan para nabi terdahulu yang bahkan dilukiskan secara sangat fisikal. Setelah itu Nabi bertolak ke langit dan bertemu lai dengan Nabi Musa, Isa, Ibrahim dan sebainya, sampai ke Sidrat al-Muntaha. 67
STUDIA DIDKATIKA Jurnal Ilmiah Pendidikan Vol.10 No.2 Tahun 2016 ISSN 1978-8169
Sidrat adalah pohon atau lotus padang pasir. Digunakannya lambang pohon lotus, karena pohon itu universal di Asia dan Timur Tengah, dan dianggap sebagai lambang wisdom. Hanya saja kalau di India (dalam agama Budha) lotusnya air. Di Timur Tengah tentu saja lotusnya padang pasir Dan al-Muntaha artinya yang terakhir. Jadi Nabi itu sudah sampai kepada wisdom yang penghabisan dan tidak ada lagi wisdom setelah itu. Jadi itu sebetulnya yang dimaksud bahwa beliau itu sampai ke Sidrat al-Muntaha. Setelah mengalami hal itulah maka Nabi kemudian hijrah. Hijrah itu dilakukan atas petunjuk Tuhan. Ada hal-hal yang sangat menarik sekitar hijrah ini. Pertama, hijrah itu dilakukan dengan sangat rahasia, tidak ada yang tahu kecuali Aisyah (Yang pada waktu itu masih anak-anak), Abu Bakar, Ali dan seorang petunjuk jalan yaitu Abdullah dari Bani ‗Adil (dari suku Adil, kafir Quraisy) Jadi Nabi menyewa petunjuk jalan yang kafir karena beliau tidak mau menempuh jalan yang konvensional karena menjadi buron. Karena itu dia cari seorang petunjuk jalan yang sangat ahli dalam perjalanan menuju ke utara yaitu menuju ke Syam, dan orang itu adalah Abdullah. Nabi mempertaruhkan nyawanya pada orang tersebut. Ini lalu menjadi dalil bagi banyak ulama bahwa sebetulnya kerja sama dengan orang kafir itu tidak apa-apa, asalkan bias dipercaya. Bahkan Nabi Muhammad sendiri dalam momen yang sangat kritis, yang menjadi masalah hidup atau matinya, mempertaruhkan dirinya kepada Abdullah yang kafir. Oleh Abdullah yang kafir itu Nabi Muhammad s.a.w. dibawah tidak menempuh jalan konvensional, jalan kafilah. Madinah terletak di utara Makkah, tetapi Abdullah membawa Nabi ke selatan dahulu untuk menghilangkan jejak, kemudian belok ke Barat menyusuri pantai yang sama sekali tidak diduga oleh orang-orang Arab. Sesampainya di Madinah, Nabi mendirikan masjid yang pertama yaitu masjid Quba, terletak disebelah selatan Madinah menuju Makkah. Sebetulnya Nabi tidak mau pergi sebelum Ali selesai melakukan sebuah tugas yang sangat rahasia yaitu ia dititipi oleh Nabi untuk mengembalikan barang-barang orang Makkah yang dititipkan pada Nabi, karena beliau terkenal al-amin atau orang yang bias dipercaya. Bahkan, orang-orang kafir Makkah yang memusuhinya, kalau ingin barangnya selamat dititipkan kepada Nabi, dan Nabi tidak mau meninggalkan Makkah sebelum semua barang titipan itu dikembalikan. Untuk itu, Ali ditugasi untuk mengembalikan barang-barang itu, sehingga mereka yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa Nabi sedang merencanakan untuk pergi ke Madinah meninggalkan Makkah. Ali adalah seorang pemuda yang amat berani. Salah satu keberaniannya ialah ketika dia menerima penugasan oleh Nabi untuk tidur di tempat tidurnya. Jadi ketika orang Makkah geger karena ternyata Muhammad telah hilang, maka mereka pergi ke rumah Nabi dan disitu didapati Ali sedang tidur. Mereka mendesak Ali untuk menceritakan ke mana Nabi pergi. Tetapi Ali sendiri tetap tidak mau menceritakannya. Jadi Hijrah memang suatu perjalanan yang sulit, sebab dari awal sudah mulai terlihat beberapa hal yang sangat penting yang bisa diambil pelajaran yaitu amanat, bahwa seorang muslim harus bisa dipercaya. Ini perlu disadari lebih jauh karena banyak orang Islam yang mengira bahwa amanat orang kafir itu tidak perlu dikembalikan. Seolah-olah kalau mencuri sesama Islam, itu baru haram. Tetapi kalau mencuri barang orang kafir tidak haram. Madinah dan Civil Society Setelah 10 tahun di Yatsrib, Nabi kemudian mengubah nama kota itu menjadi Madinah. Kata al-madinah secara umum memang diartikan sebagai kota, tetapi sebetulnya al-madinah itu mengandung makna peradaban. Karena dalam bahasa Arab, peradaban itu adalah madaniyah atau tamaddun. Dalam bahasa Arab kata itu juga digunakan untuk padanan perkataan Inggris ”civil”. Misalnya dalam bahasa Inggris ada istilah ”Civil Act” (Undangundang sipil), dalam bahasa Arabnya disebut ”Qanun Madani”. Kata “madaniyah/madinah” 68
STUDIA DIDKATIKA Jurnal Ilmiah Pendidikan Vol.10 No.2 Tahun 2016 ISSN 1978-8169
juga menjadi padanan dari perkataan Yunani “polish”, yang dari perkataan itu terambil perkataan politic, policy, police dan sebagainya. Yaitu, ide tentang suatu kehidupan yang teratur.8 Dalam bahasa Yunani, misalnya, ada ungkapan “zoon politicon”, bahwa manusia itu secara alami berpolitik. Dalam bahasa Arab disebut ”al-insan Madaniyun bi al-thab‟i” (manusia itu berpolitik menurut nalurinya). Tidak mungkin manusia tidak berpolitik, dalam arti yang seluas-luasnya bukan dalam arti sempit. Jadi perkataan ‘madinah‘ itu mempunyai kaitan dengan ide-ide semacam civility, civic, dan juga kemudian ide tentang politik. Kalau Nabi mengubah kota Yatsrib itu menjadi Madinah yang sering dipanjangkan menjadi Madinah al-Nabi, maka itu artinya kota Nabi atau al-Madinah al-Nabawiyah, kota kenabiaan. Ini bias dibandingkan dengan Konstantin ketika memindahkan ibukotanya dari Roma ke sebelah Timur, kemudian dia menamakan kota itu Konstantinopolis, artinya kota Konstantin. Seandainya Nabi Muhammad adalah orang Yunani, maka ―Madinah al-Nabi” itu akan berbunyi “Prophetopolis‖, kota Nabi. Ini penting untuk difahami, karena menurut uraian para ahli sebetulnya perubahan kota itu (dari Yatsrib menjadi Madinah), menunjukkan semacam agenda Nabi dalam perjuangan beliau, yaitu menciptakan masyarakat yang teratur, dan itulah memang yang Nabi lakukan. Pada waktu itu di Madinah terdapat banyak macammacam suku termasuk orang Yahudi. Orang-orang Yahudi iniliah yang menjadi bahan perselisihan. Ada yang mengatakan mereka itu orang Arab yang masuk Yahudi, tetapi teori yang lebih umum mengatakan bahwa mereka adalah orang Yahudi yang ”terarabkan”. Dikisahkan bahwa setelah orang Yahudi (dulu) ditindas oleh Titus pada tahun 70-an maka mereka mengalami diaspora atau mengalami pengembaraan di muka bumi tanpa tanah air.9 Sebagian mereka masuk Arabia, dan mereka tinggal di oase-oase yang subur seperti Khaibar, Tabuk. Dan Madinah itu termasuk kota oase. Piagam Madinah dan Masyarakat Majemuk Dengan hijrah, Madinah didiami oleh berbagai golongan suku bangsa Arab dan bangsa Yahudi yang menganut agama dan kepercayaan yang berbeda. Para sejarawan berbeda pendapat dalam merumuskan golongan penduduk yang terdapat di Madinah pascahijrah. Hasan Ibrahim Hasan, menyebutnya ada empat golongan : Muhajirin (orang-orang Islam yang hijrah dari Makkah), Ansar (orang Islam penduduk Madinah), kaum munafik musyrik dan Yahudi yang tinggal di Madinah.10 Muhammad Zafrullah Khan juga menyebut empat golongan dengan rumusan yang berbeda ; yaitu kaum muslimin (muhajirin dan ansar), kaum Aus dan Khazraj, suku Yahudi (bani Qainuqa‘, bani Nadhir dan bani Quraidhah).11 Lain halnya dengan Syed Amir Ali yang hanya menyebut tiga golongan saja, namun mengandung maksud yang sama dengan pendapat dua yang tersebut di atas, yaitu muhajirin-ansar, kaum munafiq dan Yahudi.12 Sementara itu, Muhammad Khalid hanya menggolongkan menjadi dua saja ; kaum muslimin muhajirinansar dan kaum Yahudi. Meski mereka berbeda pendapat dalam mengkategorikan konstelasi penduduk Madinah, namun esensinya sama bahwa penduduknya heterogin atau majmuk. Kemajemukan tersebut dapat dilihat dari pelbagai aspek. Dilihat dari aspek kebangsaan, penduduk Madinah terdiri dari bangsa Arab dan Yahudi, yang masing-masing terbagi dalam suku-suku. Dilihat dari struktur sosial dan kultur, mereka sama-sama menganut sistem kesukuan namun berbeda dalam kebiasaan. Dilihat dari segi agama dan keyakinan, mereka terdiri dari penganut agama Yahudi, penganut Kristen minoritas, penganut Islam mayoritas, golongan munafik dan menganut paganisme (musyrik).13 Tampaknya, Nabi Muhammad memahami benar bahwa masyarakat yang beliau hadapi merupakan masyarakat majemuk yang semula saling bermusuhan satu sama lainnya. Untuk itu diperlukan adanya penataan dan pengendaliaan sosial guna mengatur hubungan antar golongan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan agama. Estimasi ini didasarkan pada 69
STUDIA DIDKATIKA Jurnal Ilmiah Pendidikan Vol.10 No.2 Tahun 2016 ISSN 1978-8169
langkah-langkah strategis Nabi setelah tiba di Madinah pasca hijrah, yang oleh Ibn Abi Rabi‘, al-Mawardi, al-Ghazali dan Ibn Khaldun disebut sebagai langkah awal terbentuknya tatanan negara dalam Islam.14 Memberdayakan Etos Dinamis Jika kita telusuri dari aspek sejarah, hijrah mempunyai paling tidak tiga hikmah besar, yang sampai kini masih tetap aktual. Pertama, peristiwa hijrah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu perlu persiapan dan perencanaan yang matang. Bahwa dalam berjuang, iman dan do‘a saja tidak cukup. Mungkin ada orang yang setiap malam berdo‘a, namun jika tidak dibarengi dengan persiapan, membuat perencanaan dan melaksanakannya, maka akan mengalami kegagalan. Ali berkata : Man asa‟a tadbiran ta‟ajjala tadmiran. (Siapa yang jelek perencanaannya, akan cepat kehancurannya). Makanya terdapat ungkapan, plan your work, and work your plan. Dalam hijrah, Nabi melakukan persiapan dengan perencanaan yang cermat, akurat, matang dengan pembagian tugas yang bagus. Kedua, Para pendukung hijrah Nabi itu kebanyakan para pemuda. Ali bin Abi Thalib, yang menggantikan Nabi untuk tidur di tempat tidur Nabi. Kemudian Amir bin Tahirah, Asma seorang pemudi, Abdullah bin Abu Bakar, dan seorang yang bertugas untuk membuka jalan bernama Mas‘ad bin Umair. Di sini terlihat betapa peran pemuda dalam peristiwa hijrah itu demikian besar. Gerakan Islam berhasil secara meyakinkan dan mengesankan, jika para pemuda banyak berperan dalam perjuangan. Ketiga, Arti pentingnya disiplin. Misalnya, kalaulah waktu itu Ali tidak disiplin untuk menetap di atas tempat tidur Nabi, meski ancamannya adalah nyawa. Kemudian, kalau Abdillah bin Abu Bakar tidak melaksanakan tugasnya, tidak memberitahu Nabi bahwa mereka sudah kelelahan dan tidak menemukan jejak, mungkin Nabi tidak berangkat. KKKalau Asma tidak berangkat mengantar makanan, kalau Amir bin Tahirah tidak menghapus jejak, mungkin peristiwa hijrah itu akan gagal.15 Dengan hijrah terbentuklah Daru-l-Islam (Islam state) di Madinah dan kaum muslimin mempunyai negara sendiri. Dengan hijrah pula kaum muslimin dianggap sebagai satu umat dan dapat membentuk spesifikasi karakternya yang sangat unik. Dan setelah hijrah, barulah turun ayat-ayat al-Quran yang membawa perintah kewajiban dan tatanan hukum formal bagi kaum muslimin. Karena itu, momentum hijrah pada esensinya adalah titik perubahan dan transformasi yang sangat penting dalam kehidupan muslim dan sejarah Islam. Transformasi dari kenyataan nafsi-nafsi tanpa ukhuwah kepada eksistensi integritas ummatan wahidah (umat yang bersatu) dalam aqidah, ibadah dan akhlak. Maka hijrah sebenarnya adalah konsep perubahan, reformasi dan transformasi diri masyarakat Islam. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa Rasulullah bersabda :‖Tidak ada hijrah setelah fath (dibukanya kota Makkah) tetapi yang ada adalah jihad dan niat‖ (HR. Bukhari dan Muslim). Secara leksikal, hijrah berarti pindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti pindahnya sebagian sahabat Rasulullah dari Makkah ke Habasyah atau dari Makkah ke Madinah. Sedangkan secara terminologis, hijrah dapat dibagi menjadi tiga macam. Pertama, hijrah makaniyah, yaitu pindah dari tempat yang tidak aman ke tempat yang aman ; dari Dar al-Kufr ke Dar-al-iman. Seperti hijrah Rasulullah saw dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Perpindahan ini tidak dapat begitu saja kita namakan migrasi, karena harus dilakukan dengan seluruh kekuatan yang dimilikinya dan dengan niat yang benar. Memang, sebab hijrahnya kaum muslimin dari Makkah ke Madinah adalah karena tekanan fisik dan siksaan yang dilakukan kaum kafir Quraisy terhadap kaum muslimin. Tetapi itu bukan satu-satunya sebab, karena apabila hanya karena tekanan dan siksaan maka para sahabat Rasulullah seperti Abu Bakar dan Umar yang tidak mendapatkan siksaan seharusnya tidak wajib berhijrah. Namun dalam kenyataannya seluruh kaum muslimin di Makkah baik yang tertekan ataupun tidak, diwajibkan untuk berhijrah. Karena hijrah lebih merupakan ujian 70
STUDIA DIDKATIKA Jurnal Ilmiah Pendidikan Vol.10 No.2 Tahun 2016 ISSN 1978-8169
atas iman mereka sebagaimana janji Allah dalam firman-Nya :‖Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan :‖Kami telah beriman‖, sedangkan mereka tidak diuji lagi?‖. (QS. Al-Ankabut 2) Ayat di atas adalah dalam konteks hijrah makaniyah atau hijrah teritorial. Dalam artian, bahwa setelah dibukanya kota oleh Rasulullah saw kota itu menjadi bagian dari Dar al-Islam, maka kaum muslimin tidak diperintahkan lagi untuk berpindah dari daerah asalnya ke daerah lain. Tetapi yang masih tetap wajib adalah jihad dan niat. Artinya bahwa seorang muslim tidak boleh lagi berhijrah, berpindah dari tanah airnya apabila diserang dan diduduki oleh non-muslim, tetapi mereka harus berjihad untuk mempertahankan apa yang menjadi miliknya. Kedua, Hijrah Nafsiyah, perpindahan secara spiritual dan intelektual dari kekafiran kepada keimanan. Dari kebodohan kepada ilmu.Dalam ilmu jiwa, nama atau simbul tertentu memberikan sugesti dan stimulus kepada seseorang,. Maka, nama‟hijriyah‟ di dalam alQur‘an disebut dengan berbagai derivasinya sebanyak 27 kali. Penyebutan isim hanya 8 kali, sedangkan yang lebih banyak (19 kali) disebut dengan fiil, baik madhi, mudhari‘ dan amr.16 Disinilah hijrah difahami sebagai adanya dinamika dalam hidup, mendapatkan penguatan dan penekanannya. Bahwa hakekat hidup adalah gerak, amal dan perjuangan. Hidup, bukan sekedar ada tapi meng ‗ada‘, not only being but becoming. Hidup sekali hiduplah yang berarti. Berjasalah tapi jangan minta jasa. Ketiga, Hijrah Amaliyah, perpindahan perilaku dan perbuatan seperti perpindahan dari perilaku jahiliyah kepada perilaku / akhlaq Islam atau meninggalkan segala sesuatu yang dilarang Allah kepada yang diperintahkan dan diridhai-Nya. Hijrah yang kedua dan ketiga ini tetap ada dan bahkan harus selalu dilakukan oleh setiap muslim sampai hari kiamat. Nabi menginterpretasikan hijrah sebagai taubat sebagaimana dipertegas oleh sabda Rasulullah saw lainnya :‖Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa‖ (HR. Imam Ahmad). Dalam riwayat Bukhari dan Muslim : ―Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang telah dilarang oleh Allah swt.‖ Maka, bagi seorang muslim, hijrah kedua (hijrah nafsiyah) dan ke tiga (hijrah „amliyah) dapat dikatakan sebagai proses reformasi. Istilah reformasi dalam bahasa Inggris, Reformation ; atau dalam bahasa Prancis Renaissance ; dan dalam bahasa Jerman, Aufklaruung secara etimologis adalah derivate dari to reform yang dalam The Oxford Reference Dictionary, berarti to make better by removal of faults and errors (membuat sesuatu lebih baik dengan menghilangkan dan membuang kesalahan dan kekeliruan). Karena itu hijrah dan reformasi mempunyai esensi yang sama. Hijrah dan Spirit Reformasi Secara umum, reformasi ini bias dibagi menjadi tiga fase : reformasi individual (spiritual-moral), reformasi sosio-kultural dan reformasi struktural. Dan peristiwa hijrah dapat dijadikan contoh yang sangat konkrit dan praktis. Selama kurang lebih tiga belas tahun, Rasulullah telah mengadakan reformasi individual dalam masyarakat Quraisy. Para sahabatnya yang tersentuh dakwah Rasulullah segera mengadakan hijrah baik secara spiritual ataupun moral. Mereka meninggalkan kekufuran dan kejahiliyahan lalu menggantinya dengan keimanan dan akhlak Islamiyah. Reformasi individual-spiritual-moral ini selanjutnya mendorong terjadinya reformasi sosio-kultural, karena sekelompok manusia yang telah melakukan reformasi individual mau tidak mau akan mereformasi tatanan kehidupan sosialnya. Dalam peristiwa hijrah, kita melihat bagaimana Rasulullah saw membangun sosiokultural Islami di Madinah dengan melakukan Muakhat (mempersaudarakan) antara kaum muhajirin dan kaum ansar. Ketika fase reformasi itu sudah dilakukan oleh sekelompok manusia, maka pasti mereka akan menuntut untuk mengadakan reformasi struktural, sesuai dengan tingkat intelektual dan keimanan mereka. Rasulullah saw dan para sahabat yang telah 71
STUDIA DIDKATIKA Jurnal Ilmiah Pendidikan Vol.10 No.2 Tahun 2016 ISSN 1978-8169
berhasil mengadakan reformasi individual dan kultural namun gagal mengadakan reformasi struktural karena kekuatan kaum kafir Quraisy jauh lebih kuat dari mereka, terpaksa harus mengadakan hijrah makaniyah ke Madinah sehingga dapat membuat dan mendirikan struktur masyarakat Islami yang berperadaban. Simbolisasi Hijrah Dalam pandangan ilmu psikologi, nama atau simbol tertentu akan memberi inspirasi bahkan makna sugestif kepada seseorang. Maka, nama atau kata ‖hijrah‖ pun memberikan kesan untuk menggerakkan setiap muslim agar selalu ada dinamika dalam hidupnya. Banyak isyarat dalam al-Qur‘an maupun hadis yang menyatakan demikian : ‖Sesungguhnya orangorang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka mengharap rahmatNya. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‖. ‖Dan dari perilaku kotor (jelek), maka tinggalkanlah‖ ‖Hakekat hijrah adalah meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah‖. Muhammad Iqbal dalam masterpiece puisinya mengatakan : ‖On this road, halt is out of place. A static condition means death. Those on the more have gone ahead. Those who tarried – even a while – got crushed (Berhenti, tak ada tempat di jalan ini. Sikap lamban berarti mati. Mereka yang bergerak, merekalah yang maju ke depan. Mereka yang menunggu – sejenak sekalipun – pasti tergilas). Memperingati tahun baru hijriyah 1 Muharram, tidak sama dengan memperingati tahun baru lainnya. Karena disini ada nilai tambah, lebih dari sekedar berakhirnya tahun yang lama dan mulainya tahun yang baru. Umar bin Khatab yang menjadikan momentum hijrah menjadi awal dari tahun Islam, sadar betul bahwa hijrah adalah satu peristiwa yang besar, dan tidak hanya bagi sejarah Islam tetapi bahkan bagi sejarah manusia secara keseluruhan. Nothing to Loose Sebelum hijrah –saat di Makkah – meski menghadapi tantangan yang luar biasa berat dan kejamnya, Rasulullah dan para sahabatnya, telah settle dalam tatanan masyarakat. Mereka ada yang telah mapan secara ekonomi, pengaruh dan sebagainya. Lazimnya, seorang yang berkuasa tidak mau, atau pada saatnya tidak berani untuk ‗turun gelanggang‘, karena selama ini ia tidak punya waktu sedetik pun untuk sedekar membayangkan –apalagi mempersiapkan‗wujud kehidupan‘ nya jika kelak tidak mempunyai power. Bahkan, banyak orang yang secara gigih untuk tetap dan terus try to get power, baik dengan cara merekayasa diri atau direkayasa oleh sejumlah kolega. Kepentingan itu mungkin didorong oleh kemungkinan sejumlah konsesi dan kesepakatan untuk bias melanggengkan ‗kursi‘nya. Alangkah getir potret kehidupan manusia dalam kurun jahiliyah itu. Mereka tidak mau bergeser apalagi beranjak dari tempat duduknya, malah sekali-kali diselingi menggunting dalam lipatan, menjegal kawan seiring. Homo homini lupus, dan kondisi barbarian. Setting kehidupan social mereka, pada umumnya menampilkan kekuatan yang mencengkeram atas banyak orang, namun lembek, lemah dibawah cengkeraman dirinya sendiri. Mereka menumpuk dan menghimpun apa saja yang justru menjadi boomerang bagi dirinya, tanpa memperhatikan hak dan kewajiban terhadap sesamanya. Sedhumuk bathuk harga diri dan kemerdekaan sesame yang mereka rampas, menjelma menjadi anak panah yang dekat mengarah ke jantungnya. Senyari bumi yang ia curi dari kepemilikan orang lain adalah api yang siap menjilat dari alas kakinya. Mereka takut mengangkat badannya dari kursi, karena setiap benih, dan noktah kedzaliman maupun kekejaman akan menjadi jari jemari malaikat pencabut nyawa. Sejak awal kehidupannya, Nabi sudah bersiap diri untuk tidak punya apa-apa. Ketika menerima perintah dari Allah untuk hijrah ke Madinah dengan para sahabatnya, mereka tidak memikirkan bagaimana hidup dan nasip keluarganya di tempat yang baru. Apakah nanti akan mendapatkan jaminan hidup yang lebih baik atau paling tidak sama dengan sebelumnya. 72
STUDIA DIDKATIKA Jurnal Ilmiah Pendidikan Vol.10 No.2 Tahun 2016 ISSN 1978-8169
Namun bagi Nabi dan para sahabatnya, nothing to loose. Tidak khawatir sedikit pun akan kehilangan apa-apa. Sebab, jangankan harta benda, simpanan uang, seribu hewan gembala, tanah dan perhiasan berharga. Sedangkan dirinya sendiri pun sudah tidak dimilikinya, sebab telah diberikan dan dibeli oleh Allah. Inna Allaha isytara min al-mu‟minina anfusahum wa amwalahum …… Dan itulah landasan hijrah sebagaimana juga digambarkan oleh Nabi dalam hadisnya dengan indah tentang keikhlasan, Innama al-„amalu bi al-niyyat wa innama likulli imri‟in ma nawa. Di dalamnya terdapat motivasi, idealisme, dan dinamika hidup guna meraih ridha ilahi. Penutup Dengan momentum hijrah, kita berharap mampu memberi spirit yang menggedor kesadaran kita, guna mengisi kalbu dan mengasah reformasi sosial spiritual dalam jiwa kita, sehingga mampu melangkah dalam hidup ini menjadi lebih tegap, optimis, dinamis dan produktif dari hari-hari sebelumnya. Dan yang tidak kalah pentingnya, peringatan hijrah ini sebagai starting point bagi bangsa kita yang sedang melakukan reformasi nasional, untuk meluruskan arah dan proses reformasi total menuju Indonesia bersatu, dan bersatu untuk membangun bangsa dari keterpurukan dan krisis multi-dimensi ini. Karena hakekat hijrah adalah transformasi dan reformasi sosial dan spiritual agar mampu melakukan yang terbaik dalam kehidupan personal maupun komunal dengan dinamika hidup secara optiman.
1
Muhammad Husayn Haykal, The Life of Muhammad, North American Truth Publication, 1976, p. 163 Al-Hajj Qassim Ali Jairazbhoy, Muhammad A Mercy to Allah the Nation, Goodword Books, New Delhi, India, 2001, p. 98 3 Lihat uraian Safwat Hamed Mubarak, Madkhal li dirasah Muqaranat Al-Adyan, cet 4, Maktabah al-Fakhr alJadidah. Kairo Masir. Hlm 24. Dijelaskan pula asal-usul Ibrahim 4 Ibid. hlm. 26 5 Ameer Ali, The Spirit of Islam, a History of the Evolution and Ideals of Islam, Humanities Press, New York, Cet. I, 1994, p. 48. 6 Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpenagaruh dalam Sejarah, (Terjemahan Mahbub Junaidi), Pustaka Jaya, Jakarta Cet. XV. 1993, hlm. 27-29. 7 W. Montgomery Watt, Muhammad ; Prophet and Statesman, Oxford University, London, Cet. I, 1961. p. 91 8 Golam W. Choudhury, The Prophet Muhammad, His Life and Eternal Message, WHS Publications Sdn Bhd, Kuala Lumpur, Cet I, 1993, p. 115. 9 Muhammad Abdullah al-Syarqowi, Buhuth fi Muqarana al-Adyan, Dar al-fikr al-Arabi, Kairo Mesir, 1979, hlm. 127 10 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Jilid I, Maktabah Nahdah al-Mishriyyah, Kairo, 1979, hlm. 102 11 Muhammad Zafrullah Khan, Muhammad Seal of the Prophet, Routledge & Keagan Paul, London, 1980 hlm.88. 12 Ameer Ali, op.cit. hlm. 57 13 J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan AlQuran, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet II, November 1996, hlm. 57 14 Lihat pembahasan menarik dari Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyah, hlm. 136, Ibn Abi Rabi‘ dalam Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, hlm. 116, Ibn Khaldun, dalam Muqadimah, hlm. 43. 15 Jamal Abdul Hadi Muhammad Mas‘ud, Sirah Khatam al-Mursalin Muhammad mundzu al-milad wa hatta almamat, Dar al-Salam, Mesir, Cet. I, 1427, hlm. 168. 16 Muhammad Fuad Abd. Baqi, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur‟an al-Adhim, Dar el Fikr, Beirut, cet. III, 1989. 2
73
STUDIA DIDKATIKA Jurnal Ilmiah Pendidikan Vol.10 No.2 Tahun 2016 ISSN 1978-8169
Daftar Pustaka Abd. Baqi, Muhammad Fuad, Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur‟an al-Adhim, Dar el Fikr, Beirut, cet. III, 1989. Abdullah al-Syarqowi, Muhammad Abdullah Buhuth fi Muqarana al-Adyan, Dar al-fikr alArabi, Kairo Mesir, 1979. Ali Jairazbhoy ,Al-Hajj Qassin, Muhammad A Mercy to Allah the Nation, Goodword Books, New Delhi, India, 2001. Ameer Ali, Ameer, The Spirit of Islam, a History of the Evolution and Ideals of Islam, Humanities Press, New York, Cet. I, 1994. Choudhury, Golam W. The Prophet Muhammad, His Life and Eternal Message, WHS Publications Sdn Bhd, Kuala Lumpur, Cet I, 1993. Haykal, Muhammad Husayn. The Life of Muhammad, North American Truth Publication, 1976, p. 163 H. Hart, Michael H. Seratus Tokoh yang Paling Berpenagaruh dalam Sejarah, (Terjemahan Mahbub Junaidi), Pustaka Jaya, Jakarta Cet. XV. 1993. Hasan, Hasan Ibrahim, Tarikh al-Islam, Jilid I, Maktabah Nahdah al-Mishriyyah, Kairo, 1979 Mas‘ud Jamal Abdul hadi Muhammad,, Sirah Khatam al-Mursalin Muhammad mundzu almilad wa hatta al-mamat, Dar al-Salam, Mesir, Cet. I, 1427. Montgomery Watt, W. Montgomery, Muhammad ; Prophet and Statesman, Oxford University, London, Cet. I, 1961. Pulungan, J. Suyuthi, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Quran, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet II, November 1996. Zafrullah Khan,Muhammad Zafrullah, Muhammad Seal of the Prophet, Routledge & Keagan Paul, London, 1980.
74