MEMAKNAI DOKUMENTASI Pidato Kepustakawanan Sebagai Memori Akhir Masa Tugas Oleh Blasius Sudarsono PDII LIPI, 28 Februari 2013 Sejawat Pustakawan yang saya hormati, Para Pimpinan Lembaga, Institusi, serta Unit Kerja, Hadirin yang saya muliakan,
Selamat pagi.
Pada kesempatan ini izinkan saya terlebih dahulu menyampaikan ucapan terima kasih kepada Kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI) yang pada hari ini secara khusus memberi kesempatan kepada saya untuk menyampaikan memori akhir masa tugas sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Memaknai Dokumentasi
Semoga Allah berkenan selalu melimpahkan rahmat dan karunia bagi kita semua.
1
Esok, 1 Maret 2013 saya mulai menyandang sebutan sebagai pensiunan PNS. Adalah tepat jika pada kesempatan ini saya gunakan untuk menyampaikan pemikiran tentang makna kata dokumentasi yang merupakan salah satu kata dalam nama lembaga tempat saya bekerja. Oleh karena itu, judul pembicaraan saya pagi ini adalah Memaknai Dokumentasi.
Memaknai Dokumentasi
Dalam Pengantar buku terbaru saya Perputakaan Untuk Rakyat: dialog anak dan bapak, Agus Rusmana menegaskan bahwa ”makna (meaning) adalah arti sesuatu bagi seseorang (atau makhluk lain)”. Dengan demikian, apa yang akan saya sampaikan pada kesempatan ini adalah tafsir pribadi saya tentang kata dokumentasi. Meski saya bekerja di lembaga dokumentasi, pada kenyataannya perhatian saya pada masalah itu tidak saya lakukan sejak awal. Hal ini mohon dapat dimaklumi karena saat awal tugas, saya ditempatkan pada Pusat Perpustakaan dari Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional (PDIN). Oleh karena itu, pemaparan saya tentu akan berawal dari pemaknaan saya tentang perpustakaan dan kepustakawanan.
2
Bekerja sebagai PNS memang belum terpikirkan saat saya kuliah di Fakultas Ilmu Pasti dan Alam-Universitas Gadjah Mada (FIPA-UGM) di Yogyakarta. Menjadi PNS terlebih hanya karena dorongan keinginan untuk menyelesaikan studi kesarjanaan saya. Waktu itu saya berpikir, jika saya bekerja pada lembaga ilmiah, tentu ada kesempatan suatu saat dapat menyelesaikan studi kesarjanaan saya. Adalah suatu kebetulan jika pada bulan Mei tahun 1973, PDIN memerlukan tenaga sarjana muda bidang ilmu fisika. Ini tentu menjadi salah satu peluang bagi saya untuk melanjutkan studi. Namun, apa sebenarnya dokumentasi itu? Apa pula tugas
PDIN? Dugaan saya lembaga ini adalah museum ilmiah, tempat disimpannya peralatan ilmiah kuno. Jika demikian tentu akan sangat menarik bagi saya karena tidak terlalu jauh dari suasana laboratorium fisika dasar tempat saya bekerja menjadi mahasiswa pembantu. Bayangan saya, saya akan bekerja di antara beragam peralatan ilmiah kuno. Menarik sekali membayangkannya.
Tanggal 4 Juni 1973, saya melangkah memasuki halaman PDIN yang terletak di Jalan Raden Saleh No. 43, Jakarta Pusat. Apa yang saya saksikan saat saya memasuki gedung PDIN itu? Wajah PDIN adalah wajah sebuah perpustakaan dan bukan wajah museum ilmiah seperti dugaan saya sebelumnya. Apakah benar saya akan bekerja pada lembaga perpustakaan? Antara ragu dan ingin tahu, muncul tanya dalam kepala: ”Apakah saya jadi menemui pihak pengundang di instansi yang berwajah perpustakaan ini?” Namun mengapa pula saya datang ke Jakarta? Tentu saya akan
Memaknai Dokumentasi
Adalah wajar juga jika kemudian saya melayangkan surat menanyakan tentang jenis pekerjaan yang menjadi tugas sebuah pusat dengan nama dokumentasi ilmiah itu. Surat balasan memang datang, namun bukanlah surat yang menjawab pertanyaan saya. Surat itu adalah undangan bagi saya untuk datang ke Jakarta pada tanggal 4 Juni 1973 dengan agenda wawancara. Tertulis juga dalam surat itu bahwa dengan melihat langsung PDIN tentu akan terjawab pertanyaan tentang dokumentasi. Dapat dikatakan sebuah kebetulan juga karena saya mendapat kesempatan untuk datang ke Jakarta memenuhi undangan tersebut. Itu terjadi karena pembimbing rohani saya, yaitu Pater Drost S.J. kebetulan melakukan perjalanan dinas ke Jakarta, sehingga saya dapat ikut dalam kendaraan beliau.
3
tetap menemui karena untuk apa saya sudah jauh-jauh dari Yogyakarta sampai di PDIN ini. Tentang apakah saya harus bekerja di sebuah perpustakaan? Saya akan coba simak nanti dalam proses wawancara.
Memaknai Dokumentasi
Ternyata wawancara itu langsung dilakukan sendiri oleh Direktur PDIN, yaitu Ibu Luwarsih Pringgoadisurjo, M.A. Dalam wawancara tersebut, selain beliau menanyakan latar belakang keluarga dan pendidikan saya, beliau lebih banyak menanyakan apakah saya bersedia untuk mempelajari bidang komputer dan kemungkinan untuk ditugasbelajarkan ke luar negeri. Beliau tidak menerangkan sama sekali tentang perpustakaan atau dokumentasi. Mungkin beliau mengira bahwa saya telah mengetahui dengan sendirinya. Beliau juga bertanya apa rencana saya saat itu? Saya tetap mengatakan keinginan saya untuk menyelesaikan studi saya di bidang fisika. Yang menarik adalah pernyataan beliau, bahwa baliau akan menerima saya di PDIN kapan pun saya mau. Sekarang atau nanti setelah saya menyelesaikan studi saya di UGM.
4
Sebuah pernyataan yang membuat saya merasa ”diperlukan”. Betapa saya merasakannya menjadi sangat bermakna pada waktu itu, saat saya sendiri dalam suasana ”kehilangan kepercayaan diri”. Terlebih dengan kelanjutan pernyataan beliau berikut: ”Menurut saya, masa depan saudara akan cerah dalam bidang ini”. Sebuah pernyataan yang mengekspresikan sebuah harapan. Kalimat itulah yang terngiang di telinga saya selama perjalanan kembali ke Yogyakarta, di samping penggal kalimat dalam lagu Koes Bersaudara, yaitu ”Ke Jakarta aku kan kembali, walaupun apa yang kan terjadi”. Malam itu belum berarti keputusan saya untuk bekerja di PDIN. Bahkan jujur saja, sekembali di Yogya, sepertinya juga malah sudah saya lupakan kemungkinan itu.
Dalam hati saya bertanya apakah benar bahwa sesungguhnya manusia menjalani hidup yang memang bukan rencananya sendiri? Kalau kita sadari, kita semua hidup dalam rentang waktu yang ditandai dengan peristiwa yang tidak pernah kita rencanakan. Sewaktu kita lahir dan nantinya mati jelas bukan rencana kita. Kita hanya dapat merencanakan hidup kita pada rentang waktu di antaranya. Itupun pada kenyataan perjalanan hidup kita sering tidak sesuai dengan rencana yang kita buat. Kemudian muncul pertanyaan: “Bagaimana cara kita menerima kenyataan itu?” Kiranya kita perlu menjalani hidup di antara dua ujung yang bukan rencana kita itu dengan ikhlas, berusaha memahami, menyenangi, serta mengembangkannya, agar hidup kita menjadi bermakna bagi sesama manusia. Demikian juga hidup yang saya jalani sebagai pustakawan selama ini. Saya berusaha menerima secara ikhlas, juga berusaha memahami, menyenangi, dan mengembangkannya. Pada gilirannya juga mengupayakan
Memaknai Dokumentasi
Ternyata pada awal Juli saya dipanggil lagi ke Jakarta untuk mengikuti tes psikologi. Sempat bertanya dalam hati, kenapa saya harus mengikuti tes psikologi lagi? Tetapi tetap saja saya penuhi permintaan itu karena perjalanan Yogya-Jakarta pergipulang ditanggung oleh PDIN, dan sudah disebut sebagai perjalanan dinas. Ya itung-itung tamasya gratis ke Jakarta lagi karena perjalanan ini adalah perjalanan saya yang kedua ke Jakarta. Kenyataannya hasil tes itu yang menjadikan PDIN segera memanggil saya untuk segera mulai bekerja pada tanggal 1 Agustus tahun 1973. Diberi juga catatan bahwa jika saya tidak datang berarti saya dianggap mengundurkan diri. Inilah fait accompli serta awal berbagai dilema yang selanjutnya sering muncul dan menemani saya dalam meniti jalan kepustakawanan.
5
agar bermanfaat bagi nilai kemanusiaan. Selama ini saya hidup dalam rumah pustaka, bernafas dalam udara rumah itu, menjaga rumah itu, dan mendapatkan nafkah hidup juga karena tugas itu. Hadirin yang saya muliakan,
Memaknai Dokumentasi
Seperti telah saya sebut di muka, saat saya melangkah masuk ke rumah pustaka PDIN, muncul dilema awal, yaitu antara idealisme dan materialisme, atau lebih tepatnya pragmatisme. Antara keinginan tetap berada dalam bidang fisika dan kenyataan pekerjaan dalam bidang perpustakaan. Ada secercah rasa rendah diri saat bertemu dengan teman mahasiswa sefakultas di UGM. Apa guna ilmu fisika yang sudah saya pelajari? Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya saya harus berada dalam lembaga perpustakaan dan harus melaksanakan tugas kepustakawanan. Keharusan itu muncul, bukankah karena saya sudah mengatakan “ya” untuk bekerja dengan kedatangan saya pada tanggal 1 Agustus 1973 di PDIN? Apakah saya akan mengingkari kata “ya” yang sudah saya ucapkan? Apa kata orang bagi pribadi yang ingkar janji? Namun jelas saya memerlukan alasan mengapa saya bekerja di bidang perpustakaan. Dengan kata lain, saya harus menemukan jati diri saya sebagai pustakawan dan juga mengembangkannya.
6
Selajutnya, untuk menemukan jati diri, waktu itu saya lalu mulai membaca beberapa teks filsafat terutama yang menyangkut eksistensialisme. Saya berusaha memahami eksistensi saya di lingkungan tempat kerja baru ini. Untuk pertama kalinya di PDIN saya mendengar Ilmu Perpustakaan dan Profesi Pustakawan. Mendengar itu, muncul beragam
pertanyaan, antara lain: “Apakah perpustakaan memang benar suatu ilmu?” Waktu itu saya berpikir, jika ilmu tentu ada hukum atau kaidah dasar yang berlaku secara universal. Hukum atau kaidah dasar itu tentunya juga harus dapat dibuktikan secara ilmiah. Bagaimanakah hukum atau kaidah dasar itu? Logikanya semua fenomena yang terjadi dan terkait dengan kehidupan dan perkembangan perpustakaan harus dapat diterangkan dengan hukum atau kaidah dasar tersebut. Selain itu ada pertanyaan lain, seperti “Apakah tidak lebih tepat perpustakaan dan kepustakawanan itu sebagai arts? Atau selanjutnya bagaimana merumuskannya menjadi Library Arts and Sciences?
Hal itulah yang saya kerjakan pada tahun 1981 sewaktu saya diminta mengajar di Jurusan Ilmu Perpustakaan – Fakultas Sastra Universitas Indonesia (JIP-FSUI). Ada tiga pendekatan dasar yang saya pakai untuk memahami hakekat perpustakaan dan kepustakawanan. Tiga pendekatan dasar itu adalah pendekatan sistem, konsep ruang dan waktu, serta bilangan tiga. Sampai kini pendekatan saya dalam berpikir selalu menggunakan tiga pendekatan tersebut. Terlahir
Memaknai Dokumentasi
Pertanyaan ini benar-benar mem engaruhi langkah saya ke depan dalam memahami apa yang disebut orang dengan ilmu perpustakaan itu. Oleh karena itu, saat belajar kepustakawanan di Amerika Serikat, saya memilih tempat belajar di University of Hawaii, Graduate School of Library Studies. Sekolah ini saya pilih karena tidak menggunakan nama library science. Alasan saya, karena saya masih ragu apakah benar perpustakaan itu memang ilmu. Baru di sekolah itu saya mulai “sedikit memahami” bahwa perpustakaan sebagai ilmu, namun dengan catatan: ada yang harus diubah dalam mengajarkannya!
7
dari pendekatan itu juga pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana.
Memaknai Dokumentasi
Pendekatan sistem Saya mulai mengajar dengan memakai pendekatan sistem. Pada hari pertama perkuliahan, saya selalu mendiskusikan teori umum kesisteman (general system theory). Saya menerangkan apa dan bagaimana delapan tingkat sitem itu, mulai dari 1) sistem daftar, 2) sistem tanggalan, 3) sistem jam, 4) sistem termostat, 5) sistem sel, 6) sistem tumbuh-tumbuhan, 7) sistem manusia, hingga 8) sistem masyarakat. Dalam hal ini perpustakaan ada dalam ruang sistem masyarakat. Sistem masyarakat adalah sistem yang sangat kompleks, banyak parameter yang menentukannya. Berarti perpustakaan adalah sistem yang sangat kompleks dan beragam atau dengan kata lain tidak ada dua perpustakaan yang sama persis. Hal ini akan lebih jelas diterangkan dengan pendekatan konsep ruang dan waktu.
8
Konsep ruang dan waktu Harus diakui bahwa pada dasarnya kehidupan itu adalah fungsi ruang dan waktu. Demikian pula masyarakat atau dalam hal ini lebih tepatnya perpustakaan ada dalam sistem ruang dan waktu. Berarti bahwa keadaan atau kondisi perpustakaan ditentukan oleh di mana (x,y,z) dan kapan (t). Dalam rumusan matematis dapat dituliskan bahwa Perpustakaan = f (x,y,z,t). Tiga parameter pertama (x,y,z) adalah terbalikkan (reversible) sedang parameter keempat (t) adalah tidak terbalikkan (irreversible). Waktu yang disimbolkan dengan t selalu berjalan ke depan. Kenyataannya t inilah yang
Bilangan tiga Kita sangat memahami bahwa perpustakaan tidak dapat meninggalkan klasifikasi. Bahkan pernah dianggap bahwa inti dari ilmu perpustakaan adalah katalogisasi dan klasifikasi. Bertolak dari pengetahuan perpustakaan tentang klasifikasi yang pada dasarnya membedakan hal berbeda dan mengelompokkan hal yang sama. Secara umum logika diadik (diadic) dipakai di sini. Membedakan itu minimal ada dua objek yang dilihat. Namun, saya tidak berhenti hanya pada membedakan atau mengelompokkan. Dari dua kelas yang berbeda itu saya memikirkan interaksi apa yang terjadi antara dua kelas itu. Sering saya pakai sebagai ilustrasi adalah fenomena benda jatuh. Pada dasar ada dua massa dalam fenomena benda jatuh. Benda yang jatuh itu adalah massa kecil sedang bumi adalah massa besar. Dalam hal ini kita sudah melakukan klasifikasi. Selanjutnya, apa yang terjadi antara massa kecil dan massa besar tadi? Ternyata ada gaya tarik-menarik yang dalam hal benda jatuh adalah gaya tarik-menarik bumi atau gravitasi bumi. Nah, proses jatuhnya benda itu diterangkan dengan matematika. Jadi, dalam kasus benda jatuh ini pendekatan yang dipakai adalah bilangan tiga (triadic). Seperti dalam ilmu fisika, matematika, dll dikenal
Memaknai Dokumentasi
mengakibatkan segala perkembangan dan kemajuan. Dengan bahasa sederhana t adalah kemajuan zaman yang berarti pula kemajuan peradaban dan kebudayaan. Ilmu dan teknologi adalah buah peradaban dan kebudayaan. Perpustakaan tidak dapat meninggalkan ilmu dan teknologi!
9
terminologi magic number. Saya menggunakan bilangan tiga sebagai salah satu magic number untuk perpustakaan dan kepustakawanan. Pendekatan dalam memahami dan menerangkan perpustakaan dan kepustakawan ini pun adalah tiga.
Memaknai Dokumentasi
Secara logis bagaimana kita melukiskan suatu sistem? Dari rangkaian diskusi di awal dasawarsa 1980-an dengan Dr. Nilyardi Kahar, Almarhum, fisikawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) akhirnya saya memakai segi tiga sama sisi sebagai cara melukiskan sistem. Mengapa segi tiga sama sisi? Karena segitiga sama sisi (yang melukiskan sistem) dapat dibagi menjadi empat segitiga sama sisi lain yang lebih kecil (yang melukiskan sub sistem). Demikian dapat dilakukan pembagian selanjutnya atas empat segitiga sama sisi yang terbentuk. Pembagian itu dapat dilanjutkan sampai tak berhingga kecilnya. Sebaliknya segi tiga sama sisi awal (yang melukiskan sistem) merupakan bagian dari segi tiga sama sisi lain yang lebih besar. Segitiga sama sisi yang besar inipun juga merupakan bagian dari segitiga sama sisi yang lebih besar lagi. Demikian seterusnya menjadi bagian dari segitiga sama sisi yang lebih besar berikutnya sampai menuju besar yang tidak berhingga.
10
Bagaimana penerapannya untuk suatu sistem perpustakaan? Kita semua sudah sangat memahami bahwa pada dasarnya fungsi teknis perpustakaan dapat dibedakan menjadi: sub sitem pengadaan, subsistem pengolahan, dan dan sub sistem layanan jasa. Ketiga sub sistem tersebut dilukiskan dengan segitiga sama sisi kecil yang terbentuk karena pembagian sistem menjadi empat sub sistem. Letak sub sistem pengadaan, pengolahan, dan layanan/jasa ada pada segi tiga sama sisi yang berimpit dengan ujung segi tiga
sama sisi awal. Segi tiga sama sisi yang di tengah melukiskan subsistem pendukung (suport system) terdiri atas dukungan teknis dan administratif/manajemen. Cara pelukisan ini menunjukkan bahwa masing-masing fungsi minimal memiliki satu titik singgung, bahkan untuk segi tiga sama sisi yang menggambarkan subsistem pendukung memiliki satu garis singgung dengan tiga subsistem lainnya. Titik singgung dan garis singgung itu mencerminkan kerja sama.
Keterangan SL : Subsistem Layanan SA : Subsistem Akuisisi SO : Subsistem Pengolahan SP : Subsistem Pendukung Administrasi/ManajemenTeknis
Memaknai Dokumentasi
DIAGRAM PERPUSTAKAAN SEBAGAI SUATU SISTEM
11
Konsep teknis perpustakaan memang menjadi pusat perhatian saya sebagai Kepala Pusat Perpustakaan PDIN sampai tahun 1987. Fokus itu berlanjut sampai tahun 1990 saat saya menjadi Kepala Bidang Sarana Teknis PDII-LIPI. Jujur harus saya katakan bahwa perhatian pada pengelolaan perpustakaan menjadi fokus saya. Fungsi dokumentasi belum menjadi fokus perhatian saya kecuali terbatas pada bagaimana mendukung tugas pelaksanaan dokumentasi pustaka dengan kemampuan teknologi (baca komputer) yang dimiliki oleh PDII-LIPI.
Memaknai Dokumentasi
Hadirin yang saya hormati,
12
Izinkan saya kini bergeser dari pemaknaan saya tentang perpustakaan ke pemaknaan tentang dokumentasi. Apa yang saya pelajari saat saya mulai bekerja di PDIN tentang definisi dokumentasi adalah sesuai dengan yang diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 20 tahun 1961. Peraturan ini mengatur tentang Tugas-Kewajiban dan Lapangan Pekerjaan Dokumentasi dan Perpustakaan dalam Lingkungan Pemerintah. Pasal 1 Peraturan Presiden ini jelas membatasi arti dokumentasi, yang dengan tegas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Dokumentasi” dalam Peraturan Presiden ini ialah Dokumentasi Pustaka. Lebih lanjut dalam Penjelasan Peraturan Presiden itu ditulis: Istilah “Dokumentasi” dalam Peraturan Presiden ini diartikan khusus “Dokumentasi Pustaka” atau “Dokumentasi Literair” dan untuk menegaskan bahwa “dokumentasi benda” (dokumentatie corporeel) yang termasuk bahan-bahan dokumentasi bagi museum-museum dan gudang-gudang tidaklah termasuk dalam Peraturan Presiden ini. Perhatian lebih mendasar tentang makna dokumentasi baru benar saya sadari semenjak tahun 1990 saat saya menerima
Puncak ketertarikan saya memikirkan makna kata dokumentasi terjadi pada awal dasawarsa 1990 sewaktu PDII-LIPI diserahi tugas untuk mulai merintis program keanekaragaman hayati (biodiversity). Pendekatan program ini dilaksanakan dengan upaya inventarisasi dan pembangunan basis data keanekaragaman hayati Indonesia. Dari sisi sistem basis data boleh dikata PDII-LIPI sangat mampu, namun dari sisi disiplin ilmu hayati tentu masih banyak yang harus dipelajari dan tentu tidaklah mudah. Saya sempat berargumentasi dengan Prof. Didin Sastrapraja, Wakil Ketua LIPI waktu itu, dengan pertanyaan sederhana: “Mengapa tugas itu diserahkan ke PDII-LIPI?” Ternyata jawabannya tidak kalah sederhananya, yaitu “Justru karena PDII-LIPI adalah pusat dokumentasi!” Jawaban itu saya rasakan telak sebagai gugatan atas tafsir makna dokumentasi ilmiah yang dianut oleh PDII-LIPI, yang
Memaknai Dokumentasi
tanggung jawab memimpin PDII-LIPI. Dari beberapa kali mengikuti rapat dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sering para anggota dewan menanyakan apa saja hasil penelitian LIPI. Waktu itu Ketua LIPI merinci ada empat jenis hasil LIPI, yaitu 1) yang benar merupakan produk akhir; 2) ada yang berupa ilmu baru; 3) ada yang berupa jasa; dan 4) ada yang berupa prototipe. Sayangnya, LIPI tidak (belum) pernah mempunyai data hasil kegiatan itu secara lengkap dalam satu himpunan data (basis data). Tidak mengherankan apabila sering muncul pertanyaan dari kalangan anggota dewan: “Bagaimana sih dokumentasi nya?” Tentu pertanyaan ini sangat merisaukan saya sebagai penanggung jawab unit yang terkait dengan nama dokumentasi. Walaupun sebenarnya tanggung jawab PDIILIPI terbatas hanya pada dokumentasi pustaka, tetap saja saya risau mendengar pertanyaan atau pernyataan tersebut.
13
sampai saat itu hanya berkonsentrasi pada dokumentasi pustaka saja.
Memaknai Dokumentasi
Beragam pemahaman masyarakat umum tentang arti kata dokumentasi. Salah satu pemakaian kata tersebut biasanya untuk nama seksi suatu kepanitiaan. Tugas seksi ini mengabadikan kegiatan yang diselenggarakan dengan bersenjatakan kamera foto atau kamera audio-visual. Sehubungan dengan itu, untuk rekaman peristiwa yang benar-benar terjadi dinamai juga dengan rekaman atau film dokumenter. Di bidang komputer, kata dokumentasi berarti “source code” suatu program komputer yang berupa deretan perintah tertulis yang harus dilakukan oleh komputer. Di kalangan industri dikenal dokumentasi produk yang berupa manual atau keterangan tentang cara kerja dari suatu produk. Sementara itu, dalam bidang proses pabrik ada istilah dokumentasi proses, berupa urutan prosedur tertulis yang harus diikuti secara taat untuk menghasilkan produk dengan tingkat mutu tertentu (ISO 9000). Di bidang permuseuman, artefak disebut juga dokumentasi masa lalu. Gedung tua juga sering disebut dokumentasi arsitektur masa lalu maka harus dilestarikan. Dokumentasi digunakan juga untuk menyebut dokumen sebagai bukti dalam pengadilan. Arsip juga menjadi dokumentasi bukti pertanggungjawaban pelaksanaan tugas.
14
Di kalangan pustakawan waktu itu (mungkin juga masih sampai kini) terdapat dualisme pendapat tentang definisi antara perpustakaan dan dokumentasi. Ada pihak yang mengatakan bahwa dokumentasi adalah bagian dari perpustakaan. Di sisi lain ada yang mengatakan bahwa perpustakan adalah bagian dari dokumentasi. Bahkan ada pendapat yang belum tentu dapat diterangkan yang menyatukan perpustakaan, dokumentasi dan informasi
menjadi satu akronim yang berbunyi pusdokinfo. Saat awal menjalani profesi sebagai pustakawan, saya juga sering menggunakan akronim tersebut. Namun kini jika mendengar orang menyebut atau menulis akronim tersebut saya bertanya dalam hati apa makna pusdokinfo itu sebenarnya? Sepertinya orang memakai akronim itu tanpa memaknainya dengan benar. Kemudian tentu wajar jika menimbulkan pertanyaan bagi diri saya sendiri, bagaimana saya memaknai kata dokumentasi? Hadirin yang saya hormati,
Selain itu, dapat saya pertanyakan apakah penugasan agar PDII LIPI mulai merintis program keanekaragaman hayati dapat diartikan pula sebagai “isyarat” perluasan atas objek dokumentasi yang selama itu masih terbatas menangani dokumentasi pustaka saja? Dapatkah diartikan mulai saat itu PDII-LIPI juga harus menangani, atau paling tidak
Memaknai Dokumentasi
Marilah kita kembali pada kisah dialog singkat argumentatif saya dengan Wakil Ketua LIPI. Apakah jawaban argumentatif Wakil Ketua LIPI yang menyebut ”Justru PDII LIPI adalah pusat dokumentasi” itu dapat diartikan sebagai tuntutan bagi PDII LIPI untuk juga memperhatikan dokumentasi nonpustaka? Sebagai penanggung jawab PDII LIPI saya harus menemukan jawab mengapa selama ini perhatian PDII LIPI hanya pada dokumentasi pustaka saja? Apa sebenarnya yang diinginkan saat PDIN dibentuk pada tahun 1965 itu? Saya bukanlah akademisi yang selalu mencari referensi ilmiah untuk menjelaskan fenomena yang terjadi. Sebagai seorang praktisi adalah wajar jika saya mencoba menjelaskan fenomena itu dari sejarah dan landasan hukum kerja lembaga PDIN yang kemudian menjelma menjadi PDII LIPI ini.
15
memikirkan konsep dokumentasi non-pustaka? Sehingga dapat diartikan pula bahwa dengan penugasan itu sebenarnya memberikan peluang bagi PDII-LIPI untuk mengembangkan organisasi menuju pada penerapan konsep pengelolaan pengetahuan (knowledge management). Tentu untuk mengubah arah perkembangan organisasi harus bertolak dari suatu teori atau paradigma yang jelas. Pencarian paradigma itulah kemudian menjadi obsesi saya sebagai Kepala PDII-LIPI waktu itu, untuk menemukan logika pikir dalam memaknai dokumentasi. Pertanyaan pertama saya yang muncul tentu menyangkut keberadaan PDIN. Mengapa dan untuk apa PDIN dibentuk? Upaya untuk menemukan jawab saya awali dengan melakukan penelusuran sejarah. Dalam hal ini tentu dengan menelusuri sejarah pembentukan PDIN pada tahun 1965. Penelusuran sejarah itu tentu tidak lepas dari penelurusan sejarah lembaga yang melahirkan PDIN yaitu Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1956. Tugas utama majelis adalah :
Memaknai Dokumentasi
1. Memajukan dan membimbing dalam arti kata yang seluas-luasnya usaha dan kehidupan pada
16
lapangan ilmu pengetahuan, dengan berpedoman kepada kepentingan nasional pada khususnya dan kepentingan perdamaian dan umat manusia pada umumnya; 2. Memberi pertimbangan-pertimbangan mengenai soal-soal, rencana-rencana dan usaha-usaha yang bertalian dengan ilmu pengetahuan kepada pemerintah baik atas permintaan maupun atas kehendak sendiri.
Selanjutnya untuk melaksanakan tugas di atas, MIPI mempunyai delapan pokok kewajiban yang dirinci sebagai kewajiban huruf ”a” sampai ”h”. Pada kewajiban huruf ”d” disebutkan:
menyelenggarakan pendaftaran kepustakaan dan benda-benda lain yang berharga untuk ilmu pengetahuan, yang berada di Indonesia. Ketua MIPI, Prof. Sarwono dalam prasarannya pada Konferensi MIPI yang pertama 7-9 Januari 1957 di Bandung, menyampaikan visi atau pandangan tentang dokumentasi. Ditekankan bahwa yang mendasari kerja dokumentasi adalah kewajiban huruf ”d” di atas. Lebih lanjut, Ketua MIPI menyebut bahwa dalam rencana kerja awal MIPI ditentukan enam titik berat usaha. Titik berat usaha yang keenam adalah:
Kata kunci dari titik berat usaha keenam adalah pusat dokumentasi dan penerangan. Dalam bahasa sekarang inilah yang sering disebut pusat dokumentasi dan informasi. Titik berat usaha yang keenam ini ditindaklanjuti MIPI dengan membentuk panitia kerja pada 21 April 1956, dengan tugas mempersiapkan pembentukan PDIN. Saya telah mendaftar kejadian atau pokok terpenting terkait PDIN yang ditemukan dalam dokumen tertulis sepanjang kurun waktu 1956 sampai 1965. Inventarisasi kejadian itu saya laporkan dalam tulisan yang dimuat di majalah BACA Vol. XXI, No. 1-2, Juni 1996 dengan judul: Satu dasa warsa menjelang kelahiran PDIN.
Memaknai Dokumentasi
meletakkan dasar supaya Majelis menjadi salah satu pusat dokumentasi dan penerangan mengenai soalsoal bertalian dengan ilmu pengetahuan.
17
Setelah melalui berbagai persiapan sejak 1959, akhirnya PDIN dibentuk dengan Surat Keputusan Menteri Research Nasional Nomor 107/M/Kpts/Str/65 Tanggal 1 Juni 1965 tentang Pembentukan PDIN. SK itu menyebut tugas PDIN adalah: menyediakan bacaan untuk keperluan dari pada lembaga research di Indonesia. Tugas ini jelas lebih sempit dibanding dengan visi dokumentasi yang ditulis dalam undang-undang pembentukan MIPI. Mengapa tugas itu hanya menyediakan bacaan? Bukankan ini hanya merupakan tugas perpustakaan? Padahal dalam UU No. 6 Tahun 1956 jelas kewajiban MIPI dalam hal ini adalah mendaftar kepustakaan dan barang-barang yang berharga bagi ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa telah terjadi deviasi pada PDIN sejak lahirnya, dari konsep lembaga dokumentasi menjadi hanya lembaga perpustakaan. Kalaupun PDIN dimaksudkan hanya ditugasi untuk melaksanakan dokumentasi pustaka maka unit kerja mana dalam lingkungan MIPI yang ditugasi untuk mendaftar barang-barang yang berharga bagi ilmu pengetahuan?
Memaknai Dokumentasi
Hadirin yang saya muliakan,
18
Pencarian saya akan hakekat perpustakaan dan dokumentasi terekam juga antara lain dalam sebuah tulisan saya yang dimuat dalam buku peringatan 40 tahun pendidikan perpustakaan di Indonesia (1992). Dalam tulisan itu untuk pertama kalinya saya nyatakan kalimat berikut: pada awal mula adalah kehendak manusia untuk mengekspresikan apa yang dia pikirkan dan atau rasakan kepada pihak lain
Apabila ada pihak lain yang berada pada tempat dan waktu yang sama maka ekspresi itu menjadi komunikasi. Namun, apabila tempat berlainan, sedangkan waktu bersamaan tetap akan terjadi komunikasi dengan alat bantu telekomunikasi. Selanjutnya, jika tidak ada pihak yang menerima ekspresi itu pada saat yang sama, perlu upaya untuk menyimpan sementara ekspresi itu agar dapat disampaikan kemudian. Simpanan atau rekaman sementara ini untuk waktu yang tak berhingga menjadi simpanan atau r ekaman abadi. Atau dengan kata lain penggal waktu ”sementara” itu menjadi ”tak berhingga” adalah konsep abadi. Oleh karena itu, proses dokumentasi dapat juga saya katakan sebagai proses pengabadian. Selanjutnya objek apa yang diabadikan?
menyediakan keterangan‑keterangan dalam bentuk dokumen baru tentang pengetahuan dalam arti kata yang luas sebagai hasil kegiatan manusia dan untuk keperluan itu mengumpulkan dan menyusun keterangan‑keterangan tersebut. Menulis hanyalah salah satu proses mengabadikan. Tentu ada cara atau teknologi lain untuk mengabadikan itu sesuai dengan konsep ruang dan waktu f(x,y,z,t). Pemilihan teknologi bagi proses dokumentasi harus disesuaikan dengan tempat
Memaknai Dokumentasi
Dalam kalimat saya itu jelas yang diabadikan adalah pemikiran dan/atau perasaan. Salah satu kegiatan paling sederhana dalam pengabadian adalah menulis, untuk menghasilkan dokumen. Dengan istilah pengelolaan pengetahuan (knowledge management), menulis dapat disebut sebagai mengeksplisitkan yang masih taksit. Proses ini sejalan juga dengan apa yang dirumuskan PP Nomor 20 Tahun 1961 bahwa tugas dokumentasi adalah
19
dan waktunya. Lain tempat bisa lain teknologi. Demikian juga meski tempat sama namun teknologi selalu berkembang. Secara umum proses mengabadikan tentu juga memiliki objek yang diabadikan. Berbicara tentang objek ini saya membedakan menjadi objek nyata dan maya. Objek nyata tidak terbatas hanya pada dua dimensi, namun mencakup juga tiga dimensi, seperti pernyataan Paul Otlet. Yang tiga dimensi juga tidak hanya benda mati. Suzanne Briet mengatakan bahwa gazele termasuk objek dokumentasi selama binatang itu dipelihara untuk penelitian ilmiah. Yang lebih ekstrem lagi adalah pendapat Lund Winfield yang menyatakan bahwa bahasa tubuh adalah dokumen. Berikut adalah skema objek dokumentasi saya.
OBJEK DOKUMENTASI
Memaknai Dokumentasi
Objek Nyata
20
Dua Dimensi Tercetak Film dll Tiga Dimensi Benda Mati Benda Hidup dll
Objek Maya Digital Pikiran Perasaan Inderawi Non-Inderawi Proses Peristiwa dll
Secara logis dokumentasi dilukiskan pada Lampiran 1.
Dengan logika ini diharapkan semua pekerjaan perpustakaan, dokumentasi, jasa informasi, museum, kebun raya, proses kontrol kualitas, dll dapat dijelaskan. Inilah inti dari konsep umum dokumentasi yang selayaknya lahir dari unit kerja yang bernama pusat dokumentasi. Adalah tugas para pustakawan dan peneliti di lingkungan PDII LIPI untuk meneruskan studi dokumentasi menjadi ilmu dokumentasi. Menurut saya studi ini dapat menjadi salah satu tolok ukur keterdepanan PDII LIPI di antara lembaga sejenis di Indonesia. Selama saya masih memimpin PDII LIPI, saya berusaha untuk mengoreksi deviasi yang telah terjadi saat PDIN dibentuk. Saya harus mengakui bahwa saya selama menjadi Kepala PDII LIPI belum berhasil atau gagal menanamkan konsep baru dokumentasi meski di kalangan PDII LIPI sendiri. Namun, saya tetap mencoba ”menjual” pemaknaan saya atas konsep dokumentasi. Bahkan pada pasca tugas saya sebagai Kepala, pernah saya melakukan wawancara dengan seluruh
Memaknai Dokumentasi
• Pada dasarnya dokumentasi adalah proses siklus. Objek maya didokumentasikan menjadi objek nyata atau digital. Objek nyata didokumentasikan kembali dokumen nyata lain atau digital (menggunakan TIK). Proses ini berulang-ulang. • Dokumentasi adalah langkah dalam penciptaan pengetahuan dan ilmu. • Dokumentasi adalah simulasi kerja otak. • Dokumentasi adalah fungsi yang harus dilakukan oleh semua orang. • Dokumentasi adalah kegiatan mengeksplisitkan pengetahuan taksit dan megelola pengetahuan terekam (eksplisit).
21
Pejabat Eselon II di lingkungan LIPI. Hasil wawancara itu saya laporkan dalam laporan tertulis tertanggal 18 November 2003 dengan judul: Pemahaman, Pandangan dan Harapan Pejabat Eselon II di Lingkungan LIPI tentang Dokumentasi.
Memaknai Dokumentasi
Berikut hasil yang diperloleh:
22
• Selama ini permasalahan tentang dokumentasi di lingkungan LIPI ternyata belum pernah terungkapkan. Dapat dikatakan bahwa wawancara yang pertama kali dilakukan ini mengungkap apa sebenarnya yang dihadapi oleh para pejabat eselon II di LIPI. • Kebanyakan para pejabat eselon II mengartikan dokumentasi dalam arti yang lebih luas tidak sekedar masalah dokumentasi literatur. Namun, dalam dokumentasi literatur saja mereka sebenarnya tidak cukup memahami dokumentasi agar benar dapat mendukung tugas penelitian mereka. • Hampir semua mengatakan pentingnya dokumentasi, tetapi masih belum tahu benar sistem yang paling cocok dengan unit kerja mereka. Kesan yang tersirat dalam wawancara adalah bahwa sebenarnya mereka sangat membutuhkan pengetahuan tentang dokumentasi, namun agak malu-malu mengakuinya. Sebenarnya mereka mengharapkan dari PDII-LIPI. Ini tentu menjadi peluang bagi PDII-LIPI untuk menjadi pemimpin di bidang dokumentasi. • Karena kebutuhan yang sudah mendesak kebanyakan dari mereka lalu membangun sistem dokumentasinya menurut pengetahuan mereka sendiri.
• Hanya sebagian kecil yang langsung menyebut kaitan dokumentasi dengan pengelolaan pengetahuan (knowledge management). Padahal sasaran dokumentasi berikutnya adalah manajemen pengetahuan, melalui pelaksanaan manajemen rekaman (records management) yang benar. Saya juga menyampaikan saran berikut dalam laporan tersebut.
Saya berpendapat pemahaman atas pengertian dan cakupan dokumentasi secara benar perlu dibangun. Bahkan muncul obsesi untuk menyusun konsep dokumentasi umum (general concept of documentation). Kelanjutan studi ini memang bukan hanya monopoli saya. Siapapun dapat memperdalam dan mengembangk annya. Bagi yang berminat, perlu diinformasikan adanya satu sekolah ilmu dokumentasi di Norwegia. University of Trompso menyelenggarakan pendidikan ilmu dokumentasi. Bahkan bekerja sama dengan University of California di Berkeley secara rutin setiap tahun menyelenggarakan documentation academy di bulan Oktober.
Memaknai Dokumentasi
• P D I I - L I P I p e r l u b e l a j a r l e b i h l a n j u t d a n berkesinambungan tentang perkembangan konsep dan teknologi dokumentasi, manajemen rekaman, dan manajemen pengetahuan. Hendaknya bidang ini benar menjadi core competency yang harus selalu dijaga. • Segera memaparkan hasil wawancara ini dengan para pejabat Eselon I di lingkungan LIPI untuk mencapai pemahaman yang sama atas konsep dokumentasi. • Pertemuan dengan para pejabat eselon II dimaksudkan juga untuk konfirmasi atas rancangan Kebijakan Dokumentasi LIPI.
23
Saya mengharap ada yang tertarik untuk mempelajari ilmu dokumentasi secara lebih mendalam. Hadirin yang saya muliakan,
Memaknai Dokumentasi
Sampailah pada bagian akhir substansi yang akan saya sampaikan. Jika pada awal tadi saya membuka pembicaraan tentang makna perpustakaan, kini sebagai penutup saya akan kembali bertolak dari makna terkait dengan perpustakaan. Sudah menjadi pemahaman kita pustakawan, bahwa perpustakaan selalu melaksanakan lima fungsi dasarnya, yaitu 1) fungsi pendidikan, 2) fungsi penelitian, 3) fungsi informasi, 4) fungsi pelestarian, dan 5) fungsi rekreasi. Untuk fungsi yang keempat, ada yang menggantikan kata pelestarian dengan kata dokumentasi. Saya termasuk golongan itu. Dengan menjadikan fungsi dokumentasi sebagai salah satu fungsi dasar perpustakaan maka diharapkan pustakawan lebih dijiwai dengan semangat dokumentasi.
24
Pada dasarnya perpustakaan adalah pustakawannya. Pustakawan hendaknya juga harus melaksanakan lima fungsi yang menjadi fungsi dasar sebuah perpustakaan. Apakah pustakawan menyadari hal ini? Jika fungsi pelestarian kita sebut dengan pengertian yang lebih luas dan mendasar, yaitu fungsi dokumentasi maka saya berharap benar pustakawan akan menyadari tugas dokumentasi. Bahkan hendaknya kepustakawanan mereka dijiwai dengan semangat dokumentasi. Pada akhir pemaparan saya ini saya ingin menyampaikan kembali pokok-pokok terpenting pemikiran tentang dokumentasi.
• Pada dasarnya dokumentasi adalah proses siklus.
o Objek maya didokumentasikan menjadi objek nyata atau digital.
o Objek nyata didokumentasikan kembali menghasilan dokumen nyata lain atau digital (menggunakan TIK). o Proses ini berulang-ulang.
• Dokumentasi adalah langkah dalam penciptaan pengetahuan dan ilmu. • Dokumentasi adalah simulasi kerja otak. • Dokumentasi adalah fungsi yang harus dilakukan oleh semua orang. • Dokumentasi adalah kegiatan mengeksplisitkan pengetahuan taksit dan mengelola pengetahuan terekam (eksplisit)
Harus diakui cukup banyak orang yang mengatakan bahwa kegiatan dokumentasi adalah kegiatan kuno, bahkan jika perlu jangan diucapkan lagi kata itu. Namun, pada kenyataannya dokumentasi (meski agak tidak populer lagi), masih menjadi milik banyak pihak. Banyak kegiatan yang pada dasarnya adalah kegiatan dokumentasi hanya saja dengan menggunakan nama dan teknologi baru. Apakah repository itu bukan dokumentasi? Apakah kebun raya itu bukan ex situ living documentation for plants? Apakah gedung kuno atau candi itu bukan dokumentasi kebudayaan kita? Mengapa juga banyak gedung bersejarah justru dihancurkan? Saya berpendapat general theory of documentation perlu segera dipikirkan oleh para akademisi kita.
Memaknai Dokumentasi
Sebagai contoh sederhana dalam kehidupan kita adalah tentang dokumentasi pribadi kita masing-masing. Apakah dokumentasi pribadi kita lengkap dan terpelihara? Sekiranya pokok kelima di atas perlu mendapat perhatian lebih.
25
Memang dalam mengembangkan teori itu tentu juga tidak terlepas dari apa yang sudah dilakukan kaum praktisi di bidang dokumentasi, perpustakaan, dan jasa informasi. Apa yang dahulu sudah saya sampaikan dalam makalah sumbangan saya untuk Konggres IPI di Padang 1992 hendaknya benar dapat diwujudkan bahwa organisasi profesi menjadi wadah interaksi antara akademisi dan praktisi. Himbauan saya itu kini telah berusia lebih dari 20 tahun. Permasalahan perpustakaan di Indonesia memang kompleks. Namun, apakah sudah ada forum diskusi yang “sareh” untuk memikirkan dan menindaklanjuti semua permasalahan itu?
Memaknai Dokumentasi
Hadirin yang saya muliakan,
26
Apa yang saya sampaikan pada hari ini mudah-mudahan dapat diterima sebagai memori akhir tugas saya di PDII LIPI. Permohonan ini khusus saya sampaikan kepada Kepala dan seluruh teman di PDII LIPI. Dokumentasi sebagai bagian nama lembaga kita tentu harus benar kita maknai. Makna itu tentu tidak statis karena fungsi parameter keempat (t) yang selalu melaju dan bisa saja kita selalu ketinggalan jika kita tidak memahami dan menyadarinya. Saya berharap PDII LIPI senantiasa dapat mengikuti perkembangan dan menjawab berbagai tantangan di masa depan. Selain itu perkenankan juga saya mohon maaf kepada semua warga PDII LIPI, atas perilaku saya yang salah atau yang mungkin tidak mudah diterima selama hampir 40 tahun saya bekerja di sini. Juga tentu permohonan maaf saya atas kepemimpinan saya pada tahun 1990 – 2001. Tentu tidak lupa saya juga menyampaikan terima kasih kepada Kepala PDII LIPI dan seluruh jajaran karyawan atas segala perhatian yang diberikan selama ini.
Mengakhiri pembicaraan saya, izinkan saya juga mengucapkan terima kasih kepada para senior saya di PDII-LIPI. Ibu Luwarsih (Almarhumah), Bpk Zultanawar, Bpk Kosasih Prawira Soemantri (Almarhum), Bpk Hernandono, Bpk Hendrarta Kusbandarrumsamsi, Ibu Mimi D. Aman, Ibu Siti Nuraini, dan Bpk Kosam Rimbarawa. Kepada merekalah saya berguru. Tentu juga ucapan terima kasih kepada semua teman yang telah membantu saya saat saya memimpin PDII LIPI. Saya tidak dapat menyebutnya satu-persatu. Ucapan terima kasih juga kepada sejawat pustakawan di Indonesia, calon pustakawan, dan para mahasiswa perpustakaan, atas pertemanan yang telah dijalin selama ini. Benar suatu pertemanan yang saling menguatkan. Terakhir saya juga harus berterima kasih kepada isteri dan anak tercinta yang telah memberi kebebasan saya dalam bekerja dan belajar. Tentu saya juga mohon maaf atas terkuranginya waktu bersama dan hal lain karena perjalanan kepustakawanan saya.
Jakarta, 28 Februari 2013 Blasius Sudarsono
Memaknai Dokumentasi
Demikian ungkapan saya. Izinkan sekarang saya mengakhiri dengan doa, semoga Tuhan selalu berkenan melindungi, membimbing, dan memberkati kita semua.
27
Memaknai Dokumentasi
LAMPIRAN 1
28