BAB III KEADAAN POLITIK DI INDONESIA DALAM MEREBUT KEMERDEKAAN 3.1 Runtuhnya Negara Jajahan Masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun merupakan salah satu periode yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia. Sebelum serbuan jepang tidak ada satupun tantangan yang serius terhadap kekuasaan Belanda di Indonesia. Pada waktu Jepang menyerah telah berlangsung begitu banyak perubahan luar biasa yang memungkinkan terjadinya Revolusi Indonesia. Jepang memberi sumbangan langsung pada perkembangan-perkembangan tersebut. Terutama di Jawa, dan sampai tingkatan yang lebih kecil di Sumatera, mereka mengindoktrinasi, melatih, dan mempersenjatai banyak dari generasi muda serta memberi kesempatan kepada para pemimpin yang lebih tua untuk menjalin hubungan dengan rakyat. Di seluruh Nusantara mereka mempolitisasikan bangsa Indonesia sampai pada tingkat desa dengan sengaja dan dengan menghadapkan Indonesia pada rezim kolonial yang bersifat sangat menindas dan merusak dalam sejarahnya. Dengan demikian, desa-desa secara keras digoncang dari kelesuan dan isolasi politik dari akhir periode Belanda. Akhirnya, sesuatu yang paling menunjang ialah kekalahan Jepang dalam perang, karena andaikan tujuan mereka membentuk suatu „Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya‟ tercapai hanya ada sedikit harapan bagi kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya.
Indonesia dibagi menjadi tiga wilyah oleh Jepang. Sumatera di tempatkan di bawah Angkatan Darat ke-25, sedangkan Jawa dan Madura berada di bawah Angakatan Darat wilayah ke-7 dengan markas besarnya di Singapura. Kebijakan diantara wilayah-wilayah tersebut sangat berbeda. Pada umumnya Jawa dianggap sebagai daerah yang secara politik paling maju namun secara ekonomi kurang penting, sumber dayanya yang utama adalah manusia. Kebijakan-kebijakan Jepang di sana membangkitkan rasa kesadaran nasional yang jauh lebih mantap daripada di kedua wilayah lainnya, dan dengan demikian semakin memperbesar perbedaan tingkat kecanggihan politik antara Jawa dan daerah-daerah
lainnya.
Dikarenakan
pentingnya
arti
perkembangan-
perkembangan itu bagi masa yang akan datang, maka Jawa juga mendapatkan perhatian ilmiah yang lebih besar daripada pulau-pulau lainnya. Sumatera mempunyai arti yang penting untuk pihak Jepang karena sumber-sumber strategisnya dan baru ketika Jepang berada di ambang kekalahan ide-ide nasionalis diperbolehkannya berkembang di sana. Bagi Jepang, wilayah yang berada di bawah kekuasaan angkatan laut dianggap terbelakang atas wilayah tersebut bersifat sangat menindas. Dari uraian penjelasan diatas dapat dianalisa bahwa kependudukan Jepang memang relative singkat di Indonesia, namun penjajahannya sangat dirasakan oleh rakyat Indonesia. Lepas dari belenggu Belanda maka Jepangpun masuk ke Indonesia sebagai penjajah baru. Masuknya Jepang di Indonesia melalui janji-janji manis akan kesejahteraan rakyat. Namun pada akhirnya janji-janji itu diabaikan dan berubah menjadi suatu penderitaan baru bagi rakyat Indonesia. Maka untuk
menyapu bersih pasukan-pasukan Belanda dan Sekutu serta pengambilalihan pemerintahan memerlukan waktu berbulan-bulan, dan perjuangan yang sangat berat bagi rakyat Indonesia.
3.1.1
Perang
Dunia
II
dan
Pendudukan Jepang 1942-1945 M. C. Ricklefs (1995:298) mengemukakan bahwa masa kependudukan Jepang selama tiga setengah tahun merupakan salah satu periode yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia. Salah satu tugas pertama pihak Jepang adalah menghentikan revolusi-revolusi yang mengancam akan menyertai upaya penaklukan mereka. Serangan-serangan terhadap orang-orang Eropa dan perampokan terhadap rumah-rumah di Banten, Cirebon, Surakarta, dan daerahdaerah lainnya tampak akan menjurus ke suatu gelombang revolusi. Di Aceh dan di Sumatera Barat dan Timur ketegangan-ketegangan di antara penduduk asli yang timbul dari zaman penjajahan Belanda mulai meletus dalam tindak kekerasan. Para pemimpin agama (ulama) Aceh membentuk PUSA (Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh) pada tahun 1939 di bawah pimpinan Mohammad Daud Beureu‟eh (1899-1987) umtuk mempertahankan Islam dan mendorong pemodernisasian sekolah-sekolah Islam. Pernyataan diatas dengan jelas mengatakan bahwa hal pertama yang dilakukan Jepang di Indonesia adalah menghentikan revolusi-revolusi yang ada di Indonesia, karena dianggap dapat mengancam kependudukan mereka. Namun
ulama-ulama yang berada di Aceh tetap mempertahankan sekolah-sekolah Islam yang nantinya akan membantu mereka dalam melawan pasukan Jepang. Sudiyo (2002:90) menjelaskan bahwa pada awal pemerintahan bala tentara Jepang, memang tidak terasa bahwa Jepang akan berbuat kejam. Hal ini diperlihatkan dalam pembebasan tokoh-tokoh nasionalis dari dalam tahanan pada masa penjajahan Belanda. Mereka itu antara lain: Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, St. Syahrir, dan lain-lain. Namun dibalik itu, kaum pergerakan nasional juga ada yang tetap tidak menyambut baik tentang kedatangan Jepang. Hal ini diketahui dengan adanya larangan kegiatan dan pembubaran seluruh organisasi politik oleh pemerintah bala tentara Jepang tersebut. Padahal organisasi politik itu suatu wadah atau alat untuk berjuang dalam rangka Mencapai Indonesia Merdeka. Oleh karena, itu apa yang dipropogandakan oleh Jepang itu sebenarnya hanya untuk mengelabui rakyat saja. Dengan demikian kaum pergerakan nasional d alam perjuangan melawan Jepang, menempuh dua cara, yaitu ada yang secara legal dan ilegal. Legal berarti mau bekerja sama dengan pemerintah Jepang, sedangkan ilegal berarti tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Jepang, akhirnya mereka ini bergerak secara sembunyi-sembunyi atau disebut bergerak dibawah tanah. Terkait dengan masalah diatas bahwa awal pemerintahan bala tentara Jepang memang terasa jelas bahwa Jepang akan memperlakukan rakyat Indonesia dengan cara yang sangat kejam. Mereka membubarkan organisasi-organisasi yang bergerak dibidang kemerdekaan Indonesia. Namun hal itu tidak memudarkan semangat bangsa Indonesia, mereka terus berusaha bergerak sendiri secara diamdiam tanpa sepengetahuan Jepang.
Perlawanan terhadap Jepang itu tidak hanya terjadi di pulau Jawa saja, melainkan juga terjadi di luar pulau Jawa. Diantaranya ialah Aceh pada bulan November 1944 yang di pimpin oleh Teuku Hamid. Disusul di Sulawesi Selatan di daerah Unra, sehingga terkenal dengan Peristiwa Unra. Perlawanan yang memakan korban besar pada masa pemerintahan bala tentara Jepang itu adalah perlawanan rakyat yang terjadi di Kalimantan Barat. Walaupun di Kalimantan Timur, di Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat, sama-sama terjadi perlawanan rakyat terhadap Jepang, tetapi korban yang paling besar terjadi di Kalimantan Barat. Banyak rakyat dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh masyarakat, cendekiawan, dan rakyat biasa yang dibunuh secara kejam di Kalimantan Barat ini. Oleh masyarakat pada korban tersebut dimakamkan di pemakaman Mandor. Saat ini di daerah tersebut telah didirikan Monumen Mandor untuk mengenang peristiwa pembunuhan yang kejam itu dan mengingatkan keberanian rakyat di daerah Kalimantan Barat. Menurut Sagimun (dalam Sudiyo 2002:94). Penjelasan diatas dengan jelas menyatakan bahwa semangat yang tinggi rakyat Indonesia menjadikan mereka melakukan perlawanan dimana-mana, baik itu perlawanan di Pulau Jawa maupun di Luar pulau Jawa. Namun sangat disayangkan perlawanan itu justru memakan banyak korban, terutama di daerah Kalimantan. Selain itu M.C. Ricklefs (1995:304-316) mengatakan bahwa pada akhir tahun 1944 orang-orang Dayak di Kalimantan Barat mulai membunuhi orangorang Jepang.Akan tetapi, tak satu pun dari bentuk-bentuk perlawanan rakyat
tersebut yang benar-benar mengancam kekuasaan Jepang, dan semuanya mengalami akibat-akibat yang sangat buruk. Sementara itu di Jawa tidak ada satu pun perlawanan rakyat yang seruis sampai tahun 1944. Sementara itu, pihak Jepang mencari pemimpin-pemimpin Indonesia untuk membantu mereka memobilisasikan rakyat demi kepentingan upaya perang. Pada bulan september 1942 di Jakarta diselenggarakan suatu konferensi para pemimpin Islam yang memerlukan hasil-hasil yang mengecewakan pihak Jepang dan memaksa mengalihkan pandangan mereka kepada kelompok-kelompok pimpinan lainnya. Awal tahun 1943 pihak Jepang mulai mengerahkan usaha-usaha pada mobilisasi. Gerakan-gerakan pemuda yang baru diberi prioritas tinggi dan ditempatkan dibawah pengawasan ketat pihak Jepang. Pada bulan Oktober 1943 pihak Jepang membentuk organisasi Indonesia yang paling berarti, yaitu Peta (Pembela Tanah Air). Peta tidak secara resmi menjadi bagian dari balatentara Jepang melainkan dimaksudkan sebagai pasukan gerilya pembantu guna melawan serbuan pihak sekutu. Akan tetapi, pihak Jepang mulai menyadari bahwa merak akan kalah dalam perang dan kehilangan kendali atas kekuatan rakyat yang sudah digairahkan meraka. Bulan Februari 1944 perlawanan serius pertama kaum tani di Jawa terhadap kewajiban menyerahkan beras meletus di sebuah desa di Priangan dan berhasil ditumpas secara kejam. Kepemimpinannya dipangku oleh seorang kyai NU setempat dan murid-muridnya, yaitu orang-orang dari kelompok yang justru diharapkan pihak Jepang dapat dimanfaatkan. Pemberontakan-pemberontakan selanjutnya yang dipimpin oleh para haji setempat meletus di Jawa Barat pada
bulan Mei dan Agustus, dan sejak saat itu dan seterusnya protes-protes kaum tani yang teritolasi menjadi semakin umum. Pihak Jepang berusaha mendapatkan pegangan yang lebih kuat pada Islam pedesaan dengan jalan mendirikan cabangcabang Kantor Urusan Agama di seluruh Jawa, dan pada bulan Agustus mereka mengangkat Hasyim Asjari sebagai kepala kantor itu. Akan tetapi, sekali berkobar maka kekuatan revolusioner Islam pedesaan tersebut tidak dapat dengan mudah dikuasai. Di kota-kota besar, terutama Jakarta dan Bandung, para pemuda yang berpendidikan mulai menggalang jaringan-jaringan bawah tanah mereka sendiri, yang dalam banyak hal ada di bawah pengaruh Sjahrir.Mereka tahu bahwa posisi Jepang di dalam perang memburuk, dan mereka mulai menyusun rencana-rencana untuk merebut kemerdekaan nasioanl dari kekalahan yang mengancam Jepang. Pihak Jepang akhirnya harus memberikan isi pada janji kemerdekaan mereka karena runtuhnya posisi militer mereka yang berlangsung secara cepat itu. Pada bulan Oktober 1944 apa yang masih tinggal di Armada Jepang nyaris tersapu bersih di Teluk Leyte, dengan hancurnya armada itu bahkan pertahanan Jepang sendiri hampir tidak dapat dilakukan lebih lama lagi. Pada bulan Januari 1945 serbuan Amerika terhadap Luzon di Filipina dimulai dan pada bulan Februari Manila berhasil direbut. Setelah kekalahan di Filipina itu maka angkatan laut Jepang mengakhiri oposisinya terhadap pemberian kemerdekaan semu kepada Indonesia, karena bagaimanapun juga mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk tetap mempertahankan kekuasaannya. Jadi mereka mengakui perlunya memperoleh jasa baik dari pihak Indonesia. Akan tetapi, dalam kenyataannya pihak angkatan laut sendiri hanya berbuat sedikit untuk mendorong hal ini.
Sementara itu, kesulitan menegakkan jasa baik semacam itu menjadi semakin jelas. Pada bulan Februari 1945 detasemen Peta di Blitar menyerang gudang persenjataan Jepang dan membunuh beberapa serdadu Jepang. Kini pihak Jepang mulai merasa takut bahwa mungkin mereak tidak dapat mengendalikan kekuatan militer Indonesia yang telah mereka ciptakan. Perasaan takut ini menjadi semakin kuat pada bulan Maret ketika angkatan bersenjata serupa di Birma berbalik melawan mereka dan bergabung dengan pasukan penyerbu sekutu. Bulan Juli 1945 semua unsur dikalangan orang-orang Jepang sepakat bahwa kemerdekaan harus diberikan kepada Indonesia dalam beberapa bulan. Pada bulan Maret Amerika telah berhasil merebut Iwojima dan mulai menggunakannya sebagai pangkalan pesawat pengebom untuk melancarkan serangan-serangan terhadap Jepang. Koiso mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri pada bulan April dan digantikan oleh Laksamana Suzuki Kantaro yang cenderung kepada perdamaian melalui meja perundingan. Pada bulan Mei Jerman menyerah, dan dengan demikian pihak Sekutu diberi peluang untuk memusatkan perhatian pada perang Pasifik. Pada bulan yang sama Rangoon jatuh. Okinawa jatuh pada bulan Juni dan dimulailah pengeboman secara besar-besaran terhadap Jepang. Akhir bulan Juli para pemimpin Sekutu di Potsdam mengeluarkan suatu tuntutan agar Jepang menyerah tanpa syarat. Jepang tidak dapat lagi memikirkan tentang kemenangan ataupun tindakan mempertahankan wilayah-wilayah pendudukannya. Tujuannya di Indonesia kini adalah membentuk sebuah negara yang merdeka dalam rangka mencegah berkuasanya kembali lawan, yaitu
Belanda. Pada akhir bulan Juli angkatan darat dan angkatan laut Jepang mengadakan suatu pertemuan di Singapura guna merencanakan pengalihan perekonomian ke tangan bangsa Indonesia. Mereka memutuskan bahwa Jawa akan di beri kemerdekaan pada awal bulan September, sedangkan daerah-daerah lainnya segera menyusul. Tanggal 6 Agustus bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima yang menewaskan sedikitnya 78.000 orang. Peperangan di Asia sedang mendekati tahap akhir yang mengerikan.Hari berikutnya keanggotaan sebuah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia diumumkan di Jakarta, dan berita-berita mengenai panitia ini disiarkan ke seluruh Indonesia.Pada hari berikutnya bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki dan pihak Soviet menyerbu Manchuria. Pada hari itu, karena tampak tak terelakkan lagi bahwa pihak Jepang akan menyerah, Sukarno, Hatta, dan Radjiman terbang ke Saigon untuk menemui Panglima Wilayah Selatan. Panglima Tetinggi Terauchi Hisaichi, yang mereka temui di Dalat pada tanggal 11 Agustus. Kepada mereka Terauchi menjanjikan kemerdekaan bagi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, tetapi memveto penggabungan Malaya dan wilayah-wilayah Inggris di Kalimantan. Sukarno ditunjuk sebagai Ketua Panitia Persiapan tersebut dan Hatta sebagai wakil ketua. Pada tanggal 14 Agustus Sukarno dan rekan-rekannya tiba kembali di Jakarta. Tanggal 15 Agustus Jepang menyerah tanpa syarat, dan dengan demikian menghadapkan para pemimpin Indonesia pada suatu masalah yang berat. Karena pihak sekutu tidak menaklukkan kembali Indonesia, maka kini terjadi suatu kekosongan politik. Pihak jepang masih tetap berkuasa namun telah menyerah,
dan tidak tampak kehadiran pasukan Sekutu yang akan menggantikan mereka. Rencana-rencana bagi kemerdekaan yang disponsori pihak Jepang yang tertib kini tampaknya terhenti, dan pada hari berikutnya gunseikan telah mendapat perintahperintah khusus supaya mempertahankan keadaan politik yang ada sampai kedatangan pasukan-pasukan Sekutu. Sukarno, Hatta, dan generasi tua ragu-ragu untuk berbuat sesuatu dan takut memancing konflik dengan pihak Jepang. Maeda ingin melihat pengalihan kekuasaan secara cepat kepada generasi tua, karena merasa khawatir terhadap kelompok-kelompok pemuda yang dianggapnya berbahaya maupun pasukan-pasukan Jepang yang kehilangan semangat. Para pemimpin pemuda menginginkan suatu pernyataan kemerdekaan secara dramatis di luar kerangka yang disusun oleh pihak Jepang, dan dalam hal ini mereka didukung oleh Sjahrir. Akan tetapi, tak seorangpun berani bergerak tanpa Sukarno dan Hatta. Tanggal 16 Agustus pagi Hatta dan Sukarno tidak dapat ditemukan di Jakarta. Pada malam harinya mereka telah dibawa oleh para pemimpin pemuda ke garnisun Peta di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak ke Utara dari jalan raya ke Cirebon. Dari dalih melindungi mereka bilamana meletus suatu pemberontakan Peta dan Heiho. Ternyata tidak terjadi satu pemberontakanpun, sehingga Sukarno dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini merupakan suatu usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan di luar rencana pihak Jepang, tujuan ini mereka tolak. Maeda mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat maka dia dapat mengukur agar pihak Jepang tidak menghiraukan bilamana kemerdekaan dicanangkan. Pada malam itu Sukarno dan
Hatta sudah berada di rumah Maeda di Jakarta. Pernyataan kemerdekaan dirancang sepanjang malam. Kaum aktivis pemuda menginginkan bahasa yang dramatis dan berapi-api, tetapi untuk menjaga supaya tidak melukai perasaan pihak Jepang atau mendorong terjadinya kekerasan maka disetujuilah suatu pernyataan yang tenang dan bersahaja yang dirancang oleh Sukarno. Maka pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi dalam keadaan sehat yang tak kurang satu apapun Sukarno membacakan pernyataan kemerdekaan tersebut dihadapan sekelompok orang yang relatif sedikit jumlahnya di luar rumahnya sendiri, bendera merah-putih ikibarkan dan berkumandanglah lagu “Indonesia Raya”. Lagu kebangsaan ini dinyanyikan oleh rakyat Indonesia selesai pembacaan teks proklamasi, dengan penuh semangat dan wajah yang gembira. Pernyataan ini dengan jelas menyatakan bahwa perjuangan rakyat Indonesia ternyata tidak berakhir dengan sia-sia. Walaupun banyak mengalami perlawanan dari pihak Jepang, namun mereka tetap berusaha meraih cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka. Perlawanan mereka berpapasan dengan adanya penyerangan sekutu di Negara Jepang, sehingga kekuatan Jepang di Indonesia mulai melemah. Disaat kekuatan Jepang melemah dengan penyerangan bala tentara sekutu, maka kesempatan itu digunakan oleh rakyat Indonesia untuk tetap berjuang dan akhirnya menjadikan Jepang menyerah tanpa syarat kepada Indonesia. Meskipun mengalami banyak perbedaan pendapat paska kemunduran Jepang dalam mengumumkan kemerdekaan Indonesia, namun pada akhirnya pembacaan teks proklamasi dapat dibacakan dan pengibaran bendera merah putih dilaksanakan dengan diiringi lagu Indonesia Raya.
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia, sampai saat ini tetap mencatat, bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia secara resmi yang di-Proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Gedung Proklamasi Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Hal tersebut bukan tidak menghargai perjuangan rakyat Rengasdengklok, tetapi bila ditinjau dari segi historis sejak awal para pejuang yang berada di Jakarta itu memang sudah bersifat nasional.Segala sesuatunya telah terorganisasi secara teratur dan bobot perjuangannya sudah mengarah kepada Nation State (negara kebangsaan).Sedang perjuangan di Rengasdengklok masih bersifat parsial (lokal). Para pelakunya pun di Rengasdengklok masih banyak menunjukkan sifat kedaerahan, yang tujuannya masih terbatas kepada daerah Rengasdengklok saja. Sikap Bung Karno dan Bung Hatta pun tegas, bahwa proklamasi harus diucapkan di Jakarta. Sudiyo (2002:103). Berdasarkan pandangan diatas rengasdengklok
yang
terjadi
pada
mengungkapkan bahwa peristiwa
saat
dimana
proklamasi
dibacakan,
mengandung banyak kontroversi karena adanya perbedaan pendapat. Namun sifat tegas dari Soekarno dan Moh.Hatta, akhirnya teks proklamsi ini dapat dibacakan pada hari yang tepat yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan demikian berakhirlah pemerintahan jajahan, baik penjajah Belanda maupun Penjajah Jepang untuk selama-lamanya. Walaupun bangsa Indonesia masih memperkirakan pihak penjajah Belanda pasti akan kembali ke Indonesia. Hal itu disebabkan bahwa Belanda termasuk blok Sekutu dan pihak Sekutu dalam Perang Perang II (19391945) sebagai pihak yang menang perang. Bangsa Indonesia telah mengambil momentum yang tepat, yaitu sejak kekalahan dan disusul dengan penyerahan
Jepang kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, bangsa Indonesia terus cepat bergerak untuk memproses Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Orangorang Jepang berhasil dilawan dan dipulangkan ke negara Jepang. Hal ini dilakukan di seluruh wilayah tanah air Indonesia. Rasa persatuan dan kesatuan atas dasar senasib sepenanggungan untuk menegekkan dan mempertahankan negara merdeka tumbuh secara spontanitas, berjuang tanpa pamrih, rela berkorban, tanpa menuntut balas jasa dan bersemboyan Merdeka atau Mati demi negara dan bangsa, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut adalah suatu kenyataan dan tanggal 17 Agustus 1945 adalah suatu hari bersejarah yang tak ternilai harganya, yaitu Hari Proklamsi Kemerdekaan
Indonesia.
Hari
tersebut
juga
merupakan
puncak-puncak
perjuangan bangsa Indonesia dalam rangka berjuang meraih kemerdekaan Indonesia Dengan penjelasan-penjelasan diatas maka disimpulkan bahwa 17 Agustus menjadi hari yang paling bersejarah bagi bangsa Indonesia, dimana para penjajah disapu bersih dari negara tercinta Indonesia. Rakyatpun bebas dari belenggu-belenggu Jepang. Semangat yang tinggi oleh pahlawan-pahlawan kita dan berkat rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa, maka kita dapat menikmati kemerdekaan sampai saat ini.