KIPRAH POLITIK MUHAMMAD ROEM DALAM KONSTELASI PERPOLITIKAN DI INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN (1945 – 1957)
Oleh: SUDARMIN BAKIR
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/ 2007 M
KIPRAH POLITIK MUHAMMAD ROEM DALAM KONSTELASI PERPOLITIKAN DI INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN (1945 – 1957)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
Oleh:
SUDARMIN BAKIR NIM. 102045225156
Pembimbing:
DRS. H. AFIFI FAUZI ABBAS, MA NIP. 150 210 421
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/ 2007 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul KIPRAH POLITIK MUHAMMAD ROEM DALAM KONSTELASI PERPOLITIKAN DI INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Nopember 2006. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelarSarjana Program Starta 1 (S1) pada Program Studi Jinayah Siyasah
Jakarta, 1 Desember 2006 Disahkan oleh Dekan,
Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua
: Asmawi, M.Ag
(…………………………...)
NIP. 150 282 394 Sekretaris
: Sri Hidayati, M.Ag
(………………………..….)
NIP. 150 282 403 Pembimbing
: Drs. H. Afifi Fauzi Abbas, MA.
(…………...…………...…)
NIP. 150 210 421 Penguji I
: Khamami Zada, MA.
(……………...……….......)
NIP. 150 326 892 Penguji II
: Iding Rasyidin, M.Si. NIP. 150 371
(………………………..…)
MOTTO
“ Barang siapa yang menginginkan kebahagiaan hidup di dunia maka ia harus memiliki ilmu, dan barang siapa yang menginginkan kebahagiaan hidup di akhirat maka ia harus memiliki ilmu, dan barang siapa yang menginginkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat maka ia harus memiliki ilmu “
Persembahan tak berarti, sebagai rasa cinta mendalam dan baktiku buat ayahanda (almarhum) dan ibunda tercinta, do’a nanda selalu mengiringi setiap langkahmu………………
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan rahim-Nya
serta
hidayah
dan
bimbingan-Nya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat teriring salam semoga Allah curahkan kepada baginda nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak langkah perjuangan dakwahnya dan meneladani uswatun hasanahnya dalam kehidupan. Penulisan skripsi ini “jujur” diselesaikan dengan penuh keterbatasan, baik dalam kapaistas kemampuan penulis sendiri maupun dari berbagai sarana penunjang dalam proses penyelesaiannya. Oleh sebab itu, adanya berbagai kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini adalah bukan sebuah kesengajaan, tapi semata-mata karena keniscayaan bahwa manusia tidak ada yang sempurna, yang sempurna hanyalah Allah Robbul ‘Izzati. Meski demikian, penulis tetap yakin bahwa Allah adalah sebaik-baik penolong yang selalu membisikkan kemudahan dan memberikan cahaya penerang untuk menerangi jalan terjal menuju kepastian dan penyelesaian tulisan ini. Kepda-Mu Yaa Robb, hamba mengucapkan Alhamdulillahirobbil’alamiin. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA yang telah memberi bantuan secara administratif dari awal sampai akhir perkuliahan. 2. Bapak Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Asmawi M.Ag dan Ibu Ketua Jurusan Sri Hidayati, M.Ag yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan bagi penyelesaian skripsi ini. 3. Yang terhormat Bapak
Drs. Afifi Fauzi Abbas, MA. yang telah penuh
kemurahan hati memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga bimbingan ini menjadi amal soleh yang berlipat ganda dan mudah-mudahan bimbingan yang diberikan senantiasa bermanfaat bagi penulis. 4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen yang dengan susah payah dan penuh kesabaran menghantarkan penulis dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang dimilikinya selama perkuliahan. 5. Kepada bagian Perpustakaan Umum, Perpustakaan Syari’ah dan Hukum, Perpustakaan Adab dan Humaniora memberikan
pinjaman
buku-buku
beserta staf yang selalu bersedia berharga
kepada
penulis
selama
menyelesaikan skripsi ini. 6. Kepada Ayahanda (almarhum) dan Ibunda yang tercinta serta kakakku dan adikku di kejauhan sana yang selalu sabar dan atas segala do’a restunya, semoga anakmu ini tetap menjadi anak yang soleh.
7. Kepada Ayahanda Piminan Cabang Muhammadiyah Tanah Abang I, ananda mengucapkan Jazaakumullahu Khairon Katsiiron “jujur” ananda tidak bisa mengukir kebaikan yang diberikan selama ini dengan kata-kata. 8. Kepada Ayahanda Munheri Koto dan Ibunda Popi selaku orang tuaku kedua, terima kasih atas nasehat dan arahan yang diberikan semoga Allah membalas kebaikan selama ini dengan berlipat ganda. 9. Kawan-kawan Siyasah Syar’iyyah angkatan 2002 dengan canda-tawanya telah memberikan suasana santai bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas ini. Terima kasih kepad teman seperjuangan Iie, Iik, Masriyanti, Muammar, Aidi, Kholok.A, Kholik B, Takin, Muhayyah, Irwah, Zaenal dan yang lainnya yang tidak bisa saya sebutkan. Teman-teman kelompok KKS Cianjur, aku rindu dengan kebersamaan kita, AKANKAH KAU INGAT…KITA KKS DI CIANJUR YANG PENUH SUKA DAN DUKA……(sebait lagu KKS kita). 10. Bapak Philip dan Ibu di Bekasi, atas dorongan dan nasehat yang diberikan semoga semuanya bermanfaat. 11. Kepada Bapak Ali Umar sekeluarga atas segala dukungan serta bantuan material yang dengan ikhlas diberikan selama ini. 12. Kepada teman-teman asrama Muhammadiyah di Sawangan dan di Tanah Abang, terutama Andre, Zaenal, Yanto, Yusuf dan Efendi terima kasih atas do’a dan kebaikannya. 13. Kepada teman-teman Pimpinan Daerah dan Pimpinan Cabang Ikatan Remaja Muhammadiyah Kota Depok, terima kasih atas giroh dan semangat yang
diberikan, terutama Iik, Nia, dan Dedy. Sekalipun nama yang terakhir ini pernah membuat penulis marah di sela-sela penyelesaian skripsi ini. Atas bantuan dan jasa-jasa baik mereka, penulis ucapkan sekali lagi terima kasih banyak. Akhirnya, kepada Allah SWT jualah penulis memohon ampun dan semua ini penulis serahkan semoga niat baik dan kontribusi amal mereka mendapat ganjaran berlipat ganda. Amin. Selanjutnya karena keterbatasan dan kemampuan penulis, maka penulis mengharapkan masukan dan saran agar skripsi ini menjadi lebih baik.
Depok,
24 Syawal 1427 H 15 Nopember 2006 M
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……..………………………………………………..…
iv
DAFTAR ISI……………………………………………………….………….
vii
BAB I PENDAHULUAN………..…………………………………………..…
1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………………
7
C. Objek Penelitian…….……………………………………………………
8
D. Metodologi Penelitian...………………………………………………….
8
E. Tujuan dan Kegunaan Penulisan……………………...…………………
9
F. Sistematika Penulisan……………………………………………………
10
BAB II RIWAYAT HIDUP MUHAMAD ROEM……..…………………..…
11
A. Kelahiran dan Keluarganya..…...………………………………………..
11
B. Pendidikannya……………………………………………………………
14
C. Karya-karya Penting……………………………………………………..
18
BAB III MUHAMAD ROEM DIPLOMAT DAN PEJUANG……………….
22
A. Muhamad Roem Dalam Gerakan Nasionalisme…………………………
22
B. Pejuang Yang Realis……………………………………………………..
27
C. Keterlibatan Muhamad Roem Dalam Perundingan………………………
34
BAB IV PERAN POLITIK MUHAMAD ROEM DI INDONESIA………
41
A. Keberadaan Muhamad Roem Dalam Partai Masyumi…………………
41
B. Di Dalam Pemerintahan………………………………………………..
45
a. Sebagai Menteri Dalam Negeri………………………………………
46
b. Sebagai Ketua Delegasi Indonesia Pada Perundingan Roem-Royen (1949)………………………………………………..
50
c. Sebagai Wakil Ketua Delegasi Indonesia Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag (1949)…………………………………………..
56
d. Sebagai Menteri Luar Negeri (1950-1951)……………………………
63
e. Sebagai Wakil Perdana Menteri (1956-1957)……………………….. .
65
BAB V PENUTUP………………………………………………………………
69
A. Kesimpulan………………………………………………………………
69
B. Kritik dan Saran………………………………………………………….
71
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. . LAMPIRAN-LAMPIRAN
73
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Banyak orang mengatakan bahwa dalam sejarah setiap bangsa ada nama orang-orang yang menjadi perhatian tersendiri. Artinya, nama seseorang tidak lagi hanya menunjukan identitas penyandangnya, melainkan telah menjadi milik umum, yang mengandung makna tertentu dan langsung membawa ingatan orang kepada suatu peristiwa bersejarah atau kejadian-kejadian penting lainnya. Sering kali pula sampai dicatat dengan tinta emas, karena menyimpan kenangan akan kehebatan prestasi atau jasa si penyandang nama terhadap umat manusia di tingkat nasional maupun internasional. Jika sejarah dilihat sebagai rentetan
jejak langkah orang-orang besar,
misalnya menyebut nama Sudirman, maka orang akan segera mengingatkan kepada perjuangan bersenjata dalam suasana bergerilya melawan Belanda. Jika disebut nama HOS Cokroaminoto dan Haji Agus Salim, maka orang juga segera mengingatkan pada masa Sarekat Islam pada dekade awal abad dua puluh. Sementara Mohamad Roem selalu akan diasosiasikan dengan kegiatan diplomasi
di tahun-tahun awal kemerdekaan
Republik Indonesia untuk memperoleh
pengakuan dunia internasional.1 Pada tanggal 1 November 1945 pemerintah mengeluarkan sebuah maklumat politik.
Dinyatakan dalam maklumat tersebut bahwa pemerintah Republik
Indonesia dari Serikat maupun dari pihak Belanda yang dibuat atau di bawah komando dan kekuasaan Belanda sebelum Perang Dunia kedua, berjanji akan mengembalikan semua milik pribumi yang telah dikuasai oleh pihak asing untuk kesejahteraan rakyat. Bersamaan dengan itu dikeluarkan pernyataan bahwa pemerintah menyukai berdirinya partai-partai politik sebagai sarana pembantu perjuangan.2 Sebagai realisasi dari maklumat pemerintah tersebut kabinet presidentil
3
yang dipimpin oleh presiden sendiri
diganti dengan kabinet
ministeril 4. Pemerintah baru ini segera mengadakan kontrak diplomatik dengan pihak Belanda dan Inggris. Muhamad Roem menjadi Menteri Dalam Negeri dalam kabinet Syahrir III dan menjadi anggota delegasi dalam perundingan dengan Belanda.5 Bersama temannya Susanto Tirtoprojo dan A.K. Gani, disertai dengan anggota-anggota 1
Lihat Prakata Penyuting, Kustiniyati Mochtar, Mohamad Roem, Diplomasi; Ujung Tombak
Perjuangan RI, (Jakarta: Gramedia, 1989), cet, ke-1, hlm.IX 2
Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Departemen P&K, 1975), cet. keI, jilid ke-IV, hlm. 121 3 Kabinet yang menteri-menterinya diangkat atau diberhentikan atau juga bertanggung jawab pada presiden. 4 Kabinet yang telah jatuh masih merupakan tugas sampai terbentuk atau dilantiknya kabinet baru. 5 Subadio Sastrosatomo, Roem Seperti Saya Kenal, dalam Soemarso Soemarsono, M. Roem 70 tahun, Pejuang Perunding, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), cet, ke-I, hlm. 269
cadangan Amir Syarifuddin, Sudarsono dan J. Liemena, mampu menempatkan diri mereka sebagai wakil bangsa Indonesia. Sesungguhnya ada hal yang menarik dari peran Muhamad Roem. Selama masa aktifnya, pemuka Masyumi ini pernah tiga kali menjabat sebagai menteri dalam negeri dalam tiga buah kabinet, pernah menjadi wakil perdana menteri dalam kabinet pertama yang terbentuk setelah pemilu 1955, menjadi menteri luar negeri dalam kabinet Perdana Menteri Muhammad Natsir dan pernah pula menjadi menteri tanpa portopolio
6
sewaktu masa peralihan Republik Indonesia
serikat. Namun secara umum orang selalu mengingatkan nama Muhamad Roem dengan kegiatan luar negeri dan terutama kemahirannya dalam diplomasi yang sulit dicari bandingannya. Salah satu peran penting diplomasinya adalah persetujuan Van Roiyen-Roem yang membuka jalan ke arah Konferensi Meja Bundar.7 Kegiatan Muhamad Roem dalam partai juga mempengaruhi terhadap kemerdekaan Indonesia. Sarekat Islam merupakan partai politik Islam yang pertama di Indonesia yang sangat banyak memberikan dampak dan pengaruh pemikiran politiknya.
Tentang partai ini, John Ingleson mengatakan, “Sejak
pertumbuhan dan pembentukannya pada tahun 1912, ia merupakan partai politik
6
Portopolio adalah menteri yang tidak memegang departemen tertentu atau juga sering disebut sebagai menteri negara. 7 Kustiniyati Mochtar, Op. Cit. hlm. x
Islam yang terkemuka dan selama beberapa tahun menjadi partai modern satusatunya pada masa kolonial”.8 Hal yang senada diungkapakan oleh Deliar Noer, ia mengatakan bahwa ,“Asal-usul dan pertumbuhan gerakan politik di kalangan muslim Indonesia dapat dikatakan identik dengan asal-usul dan pertumbuhan Sarekat Islam, terutama pada dua puluh tahun
pertama sejak didirikan”,
9
begitu juga pendapat yang
dikeluarkan oleh Van Niel yang menyebutkan bahwa Sarekat Islam adalah salah satu organisasi politik Indonesia abad dua puluh yang paling menonjol.10 Selain berperan aktif dalam partai atau organisasi Sarekat Islam Indonesia, Muhamad Roem juga aktif dalam partai Masyumi – yang kemudian dibubarkan oleh rezim Orde Baru pada tahun 1961 – bahkan sebagai pengurus Pimpinan Pusat Masyumi tahun 1945, 1949, 1951, 1952, 1954, 1956 dan terakhir pada tahun 1957.11 Dr. J.H. Van Royen lawan berundingnya tahun 1949 menyatakan kesannya, “Dalam pembicaraan kami, yang akhirnya menuju Konferensi Meja Bundar dan penyerahan
Kedaulatan,
Muhamad
Roem
menunjukan
keluwesan
dan
kebijaksanaan dalam mewakili delegasinya”12. Begitu juga George MCT. Kahin, sejarawan Amerika terkemuka memberikan penghargaan kepada Muhamad
8
John Ingleson, Jalan Kepengasingan, (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 48-49 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 114 10 Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 2 11 Deliar noer, Op. Cit. hlm. 100 12 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Depag, 1987/ 1988), cet. ke-I, Jilid II, hlm. 617 9
Roem, karena keahliannya sebagai seorang negarawan modern dan seorang pemecah masalah yang efektif. Menurut Herberth Feith dalam bukunya tentang Masa Kemunduran Demokrasi Konstitusional di Indonesia, bahwa Muhamad Roem bersama dengan Sultan Hamungkubuwono, Ir. Juanda, Prof. Supomo, Wilopo, Dr. Leimena, ditambah dengan Mr. Tambunan dan I.J. Kasimo adalah jenis para pemimpin administrators13 dengan Bung Hatta sebagai tokoh utamanya. Mereka ini adalah lawan kelompok lain yang disebut Feith sebagai solidarity markers (penggalang solidaritas), yaitu para pemimpin yang dijiwai oleh gaya kepemimpinan Bung Karno.14 Sebaliknya, Feith menyebut mereka sebagai tokoh problem solvers atau pemecah masalah dengan tidak begitu tertarik kepada usaha-usaha mengutarakan ide tentang masa depan bangsanya secara umum, apalagi masalah itu dilalui dengan orasi dan retorika. Mereka lebih suka kepada pendekatan-pendekatan dingin dan tekun, tanpa kobaran sebuah pidato di depan umum. Hal ini juga diungkapkan oleh T.B. Simatupang,15 tidak ada seorangpun – sekalipun besar peranannya dalam sebuah peristiwa bersejarah – yang mendapat hasil dan sukses dengan bekerja sendiri. Tiap sukses dan perjuangan adalah hasil jerih payah serta pengorbanan banyak orang, yang sebagian di antaranya sering tidak dikenal 13
Pimpinan dalam bidang pelaksanaan peraturan, prosedur dan kebijaksanaan. Ibid. hlm. xvi 15 T.B. Simatupang, Penulisan Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia, dalam Soemarso Soemarsono, M. Roem 70 Tahun: Pejuang Perunding, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), cet. ke-I, hlm. 191-193. 14
namanya. Panglima besar Soedirman tidak berperang sendiri, melainkan tetap berhubungan dengan perjuangan bersenjata. Muhamad Roem pun demikian, ia tidak berjuang sendirian dalam berunding, melainkan bersama ketua-ketua delegasinya yakni Syahrir, Amir Syarifuddin, dan Bung Hatta. Maka wajar kalau Muhamad Roem diasosiasikan dengan perunding atau diplomasi selama pasca kemerdekaan Indonesia. Selain dari rentetan aktivitasnya sebagai seorang juru runding yang handal, ia juga dikenal sebagai politikus yang praktis dan mempersembahkan segalanya yang dimiliki untuk bangsa yang tercinta ini yang berbuah manis yaitu kemerdekaan Indonesia dari tangan-tangan penjajah. Lahir dari kalangan keluarga Muhammadiyah, maka ia berkembang menjadi seorang yang islamis dan terpelajar. Maka dengan demikian tidak diragukan lagi eksistensi Mohamad Roem dalam percaturan politik dalam negeri. Berangkat dari masalah-masalah di atas, maka penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang kiprah politik Muhamad Roem pasca kemerdekaan Indonesia. Sosok Muhamad Roem dikenal oleh insan politik dan akademisi sebagai tokoh yang ahli dalam berunding atau Muhamad Roem sebagai diplomasi ujung tombak perjuangan Republik Indonesia dengan segala aktivitas politiknya yang ada, baik sebelum kemerdekaan Indonesia maupun sesudah kemerdekaan Indonesia adalah juga tidak terlepas dari riwayat kehidupannya yang turut mempengaruhi. Kemerdekaan Indonesia adalah tidak terlepas dari peran politiknya sebagai seorang juru runding, ini menjadi menarik untuk kita telusuri agar kita
memperoleh gambaran tentang seberapa jauh peran politik Muhamad Roem pasca kemerdekaan – baik dalam partai politik maupun dalam pemerintahan. Atas alasan tersebut, penulis bermaksud mengangkat tema skripsi dengan judul “KIPRAH
POLITIK
MUHAMAD
ROEM
DALAM
KONSTELASI
PERPOLITIKAN DI INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN (1945 – 1957)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk mengungkapkan permasalahan di atas dengan jelas serta tidak terlalu melebar, maka perlu diberikan batasan. Pokok permasalahan yang akan penulis bahas adalah sejauh mana peranan politik Muhamad Roem pasca kemerdekaan Indonesia (1945 – 1957). Maka penulis perlu memberikan batasan masalah agar tidak terlalu melebar. Adapun fokus masalah yang menjadi titik tekan penulis dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana peran Muhamad Roem sebagai diplomat dalam perundingan dan pejuang dalam gerakan nasionalisme? 2. Bagaimana peran politik Muhamad Roem di Indonesia pasca kemerdekaan? (Dalam partai politik maupun dalam pemerintahan). C. Objek Penelitian Dalam skripsi ini objek penelitian difokuskan pada studi tokoh tentang peran politik Muhamad Roem pasca kemerdekaan Republik Indonesia (1945 – 1957), dimana Muhamad Roem tidak hanya dikenal sebagai seorang diplomat dalam
perundingan tapi juga memiliki peran politik yang cukup gemilang di pentas nasional maupun internasional, seperti beliau aktif dalam partai Masyumi bahkan menjadi tokoh yang disegani di Masyumi. Selain itu beliau juga terlibat dalam kursi pemerintahan sebagai Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri pada tahun 1950-1951, dan menjadi wakil Perdana Menteri pada tahun 1956-1957, sebagai ketua delegasi Indonesia pada perundingan Roem-Royen pada tahun 1949, dan sebagai wakil ketua delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949. Dengan demikian, maka objek pembahasannya bukan terletak pada pemikiran atau ide politiknya, melainkan pada peran atau kiprah politiknya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945 D. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah metode penelitian/ jenis penelitian kualitatif atau liberary resech, di mana pengumpulan data diperoleh dari berbagai sumber tertulis, seperti buku-buku bacaan, majalah, koran, artikel dan tulisan-tulisan lain yang ada relevansinya dengan permasalahan yang penulis bahas.
1. Pengumpulan Data Data tersebut terbagi kepada dua sumber yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah data yang dianggap sebagai sumber utama atau sumber bukti yang terbaik yang diperoleh dari saksi mata atau saksi telinga untuk
kemudian dijadikan sebagai rujukan dalam penyusunan skripsi ini, seperti buku yang berjudul,: (1) Mohamad Roem Diplomasi; Ujung Tombak Perjuangan RI, yang disunting oleh Kustiniyati Muchtar, (2) Mohamad Roem 70 Tahun Pejuang Perunding, yang ditulis oleh Panitia Peringatan Mohamad Natsir/ Mohmad Roem 70 tahun, (3) Mohamad Roem Bunga rampai Sejarah, (4) Mr. Mohamad Roem; karya dan Pengabdiannya, yang ditulis oleh Suratmin. Sementara data sekunder adalah data yang diperoleh penulis dari buku-buku bacaan, majalah, koran, artikel dan tulisan-tulisan lain yang ada relevansinya dengan permasalahan yang penulis bahas, sehingga hasil dari penelitian ini dapat menghadirkan sebuah kebenaran dan kepastian sebagaimana yang penulis harapkan. 2. Pengolahan dan Analisis Data Data-data tersebut kemudian diklasifikasikan sesuai dengan tema dan hal-hal yang akan dibahas oleh penulis. Kemudian penulis mendeskripsikannya dengan memaparkan secara sistematis. Analisa penulisan data dalam skripsi ini adalah, penulis menggunakan analisa kualitatif dengan tekhnik deduktif. Adapun dalam tekhnik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan acuan dasar penulisan Skripsi Mahasiswa Fakultas Syari’ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. E. Tujuan dan Kegunaan Penulisan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang peran politik Muhamad Roem pasca kemerdekaan Republik Indonesia (1945 – 1957).
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi khazanah keilmuan mahasiswa dan kalangan akademisi dan juga kepada seluruh masyarakat yang masih mencari tahu tentang peran politik Muhamad Roem di Indonesia pasca kemerdekaan (1945 – 1957). F. Sistematika Penulisan Mengingat kajian ini sangat luas serta untuk lebih mudah dalam memahaminya, maka secara singkat penulis menyusunnya dalam lima bab. Bab pertama, pendahuluan yang membahas tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian, objek penelitian, tujuan dan kegunaan penulisan, dan sistematika penulisan. Bab kedua, seputar riwayat Mohamad Roem. Bab ini memuat pembahasan tentang kelahiran Muhamad Roem, pendidikannya, dan karya-karyanya. Bab ketiga, Muhamad Roem sebagai diplomat dan pejuang. Bab ini membahas tentang Muhamad Roem dalam gerakan nasionalisme, Muhamad Roem sebagai pejuang yang realis, dan keterlibatan Muhamad Roem dalam perundingan. Bab keempat, peran politik Muhamad Roem di Indonesia. Bab ini membahas tentang keberadaan Muhamad Roem dalam partai Masyumi, Muhamad Roem dalam pemerintahan, yang meliputi Muhamad Roem sebagai menteri Dalam Negeri, sebagai ketua delegasi Indonesia dalam perundingan Roem-Royen tahun 1949, sebagai wakil ketua delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di
Den Haag tahun 1949, sebagai menteri Luar Negeri tahun 1950-1951, dan sebagai wakil perdana menteri tahun 1956-1957. Bab kelima, penutup yang mencakup kesimpulan dan kritik/ saran yang relevan.
BAB II RIWAYAT HIDUP MUHAMAD ROEM
A. Kelahiran dan Keluarganya Muhamad Roem dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1908 di Desa Klewongan, Parakan, Temanggung Jawa Tengah, dari suami isteri Dulkarnaein Joyosasmito dan Siti Tarbiyah. 16 Mereka memiliki tujuh orang anak, lima orang laki-laki dan dua orang perempuan. Muhamad Roem adalah anak yang ke-enam dan anak lakilaki yang ke-lima.17 Kakaknya yang tertua dan adiknya yang bungsu perempuan, bernama Mutiah dan Siti Khadijah. Empat dari anak laki-laki dalam keluarga tersebut mempunyai urutan nama yang khas. Ayah Muhamad Roem Dulkarnaen Joyosasmito – sebagaimana yang diakui oleh Muhamad Roem sendiri – sebenarnya orang yang bukan ahli dalam bidang agama, bahkan bila dilihat dari nama saja telah menunjukkan adanya perubahan antara nilai Jawa di satu sisi dan Islam di sisi lain, dan sulit untuk digolongkan ke dalam kalangan santri. Hanya saja, setidaktidaknya Dulkarnaen memiliki kesadaran ke-Islaman yang tinggi, khususnya kesadaran historis. Ke-empat anaknya diberi nama para Khalifah Ar-Rasyidun, suatu sistem pemerintahan yang menjadi simbol historis dalam Islam, setelah
16
Harun Nsution, “Muhamad Roem”, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1987/ 1988), Cet. ke-1, jilid. II, hlm. 617 17 Soemarso Soemarsono, Muhamad Roem 70 Tahun: Pejuang Perunding, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. ke-1, hlm. 1
Nabi Muhammad wafat. Nama anaknya yang tertua atau anak pertama diberi nama Abu Bakar, yang ke-dua Umar, yang ke-tiga Usman, dan yang ke-empat Ali. Namun Muhamad Roem sendiri merupakan refleksi dari kesadaran historis sang ayah, sebab dalam Al-qur’an terdapat surat yang bernama “Ar-Rum” yang mengisahkan tentang imperium Romawi. Kesadaran yang semacam inilah yang mungkin Muhamad Roem katakan tentang ayahnya, sebagai orang yang berusaha untuk menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan keluarga sehari-hari.18 Lingkungan ini memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan keluarga Muhamad Roem, termasuk keluarganya dalam memilih aktivitas kehidupan. Usman kakaknya, lebih memilih menjadi Jawatan Agama Propinsi Jawa Tengah. Sementara isteri Usman adalah aktivis dalam organisasi perempuan yang bernama ‘Muslimat” yaitu sebuah organisasi kumpulan wanita-wanita muslimah. Kakak perempuan
Muhamad
Roem,
Muti’ah
juga
aktivis
dalam
organisasi
Muhammadiyah di Pekalongan. Hanya satu orang dari sekian banyak saudarasaudaranya yang dapat menggantikan posisi ayahnya sebagai lurah di Desa Klewongan. Masa kecil Muhamad Roem dihabiskan di Desa Klewongan sampai ia berumur 11 tahun, setelah itu beliau pindah ke Pekalongan hingga berumur 16 tahun. Di Desa, Muhamad Roem hidup dalam keluarga priyayi kecil, dalam suasana kejawaan dan pemeluk Islam tradisional. Sedangkan di Pekalongan, ia
18
Kustiniyati Mochtar, Muhamad Roem, Diplomasi; Ujung Tombak Perjuangan RI, (Jakarta: Gramedia, 1989), cet, ke-1, hlm.
hidup dalam keluarga Islam yang modern, karena kakak yang diikutinya adalah aktivis dalam organisasi Islam Muhammadiyah dan PSII. 19 Muhamad Roem dipindahkan ke Pekalongan bersama dengan adiknya yang bungsu, Siti Khadijah tinggal di rumah kakaknya Muti’ah. Kepergian Muhamad Roem dari Desanya ke Pekalongan kerena desanya dilanda oleh penyakit kolera. Pada saat itu Muhamad Roem baru berumur 11 tahun, sementara adiknya berumur 10 tahun. 20 Pada tahun 1920 Muhamad Roem dan adiknya Siti Khadijah mendapat panggilan supaya segera pulang ke Parakan untuk berkumpul bersama dengan keluarganya, karena ayah mereka meninggal dunia. Akhirnya kakak Muhamad Roem yang tertua, Muti’ah, menetap di Peklaongan, aktif dalam organisasi agama ‘’Muhammadiyah’’ bersama suaminya. Dari keluarga kakaknya inilah Muhamed Roem memperoleh lanjutan pendidikan agama. Adapun dua kakak laki-laki yang lain, Abu Bakar dan Ali, tidak pernah dilihat Muhamad Roem karena keduanya itu sudah tidak ada sejak Muhamed Roem lahir. Memang di Zaman itu keadaan kesehatan di pedesaan sangat terbelakang. Dan setiap kali timbul wabah penyakit menular seperti infuluenza, kolera atau pun pes, selalu banyak menimbulkan korban jiwa. Itulah sebabnya, sewaktu terjadi lagi wabah penyakit seperti itu di tahun 1919, segera Muhamad Roem yang masih kanak kanak itu diungsikan ke daerah lain.
19 20
Ensiklopedi Islam, hlm. 345 Soemarso Soemarsono, Op. Cit., hlm. 2
B. Pendidikannya Sesungguhnya Muhamad Roem termasuk bagian kecil dari anak anak Jawa yang beruntung. Ketika ia masuk pendidikan bersamaan dengan dilaksanakannya kebijaksanan baru penjajah Belanda yang lebih memeperhatikan bumi putera. Kritik kaum sosialisme dan kaum etisi Belanda yang mulai dilancarkan sejak tahun 1891
21
, telah mendorong lahirnya kebijaksanan baru program pemerintah
Belanda tentang Hindia. Pada bulan Januari 1901, di depan parlemen, Ratu Wilhelmina mengumumkan tujuan utama pemerintah jajahan di masa mendatang untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Dikatakan bahwa, bangsa Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Hindia, karena eksploitasi yang dilaksanakan sebelumnya telah memberi keuntungan besar kepada Belanda. Dengan perubahan kebijaksanan ini, perlahan-lahan pemerintah Hindia Belanda memperluas kesempatan bagi anak Indonesia golongan atas untuk mengikuti pendidikan tingkat dasar yang berbahasa Belanda.22 Muhamad Roem tersebut sebagai salah satu anak dari anak-anak Hindia Belanda yang mendapatkan kesempatan menuai pendidikan. Sewaktu kecil Muhamad Roem tinggal bersama orang tua di Parakan. Ia sekolah pada sekolah rakyat biasa (Volks School). Kemudian Muhamad Roem
21
Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Departemen P & K, 1975), Cet. ke-1, Jilid V, hlm. 35 22 John Inglesen, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927 – 1934, (Jakarta: LP3ES, 1973), Cet. ke-1, hlm. 1
masuk ke Hollandsch Inlansche School (HIS ),23 Muhamad Roem dapat masuk HIS karena ayahnya seorang kepala desa. Waktu itu bagi orang yang mau masuk HIS harus memenuhi persyaratan tertentu yaitu harus anak pegawai negeri, atau yang lain dengan disertai seponsor yang menjaminnya. Ia masuk HIS di tanggung. Waktu kelas tiga, Muhamad Roem dipindahkan ke Pekalongan, di sana ia tinggal bersama kakak perempuannya yang tertua, Muti’ah, istri Bapak Ranuharjo.24 Ranuharjo semula ia guru sekolah di Desa Parakan di mana Muti’ah menjadi muridnya. Perkenalan itu berkembang sampai membawa mereka ke jenjang perkawinan.25 Sebagai pegawai pegadaian tugasnya berpindah pindah hingga sampai di Pekalongan. Tahun 1924 Mohamad Roem menamatkan sekolah HIS di Pekalongan dan pada tahun yang sama ia juga lulus ujian masuk di STOVIA (Secool Tar Opleiding Voor Indiesche Arta – Sekolah untuk Mendidik Dokter Pribumi ) sebagai kesempatan yang terakhir, karena setelah itu tidak dibuka lagi.26 Keberhasilan masuk STOVIA mempunyai kebanggaan tersendiri bagi Muhamad Roem, di samping ia mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi juga akan melicinkan wawasannya dalam berbagai aktivitas. Di Jakarta ia dapat bergaul dengan teman-temannya dari berbagai daerah. Ia bergaul dengan tokoh seperti
23
Soemarso Soemarsono, Op. Cit, hlm. Ibid, hlm. 3 25 Kustiniyati Mochtar Op. Cit., hlm. 117 26 Ibid, hlm. 119 24
HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim, dan dari keduanya, Muhamad Roem banyak belajar tentang politik, keagamaan, dan masalah-masalah lainnya. Pendidikan di STOVIA itu berlangsung selama 10 tahun, STOVIA dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian persiapan selama tiga tahun. Sehingga, setelah ti pendidikan 10 tahun orang bisa menjadi Indische Arts (Dokter Jawa), kemudian untuk meneruskannya telah dibuka sekolah baru di NIAS (Nederladsch Indische Artsen School) yang berdomisili di Surabaya yang dibuka pada tahun 1927.27 Antara tahun 1924 sampai tahun 1927 Muhamad Roem menyelesaikan pelajaran sebagai persiapan di STOVIA. Kemudian tahun 1927, ia mendapatkan kesempatan untuk meneruskan pendidikan di NIAS di Surabaya atau di AMS (Algemen Miidelbare School) di Jakarta. Muhamad Roem memilih untuk masuk ke AMS, di gedung kebangkitan nasional sekarang dan tinggal di asrama Jan Pieterszoon Coen Stichting jalan Guntur Jakarta, di gedung corps polisi militer sekarang. Murid-murid hampir semuanya mendapatkan beasiswa dari pemerintah, termasuk di dalamnya Muhamad Roem.28 Antara tahun 1930-1932 Muhamad Roem lulus dari AMS dan meneruskan ke GHS (Geneskundige Hoge School) atau Sekolah Tinggi Kedokteran di jalan Salemba. Tetapi selama dua kali ujian GHS, tidak pernah berhasil lulus. Ujian pertama gagal, ujian kedua pun gagal. Karena itu Muhamad Roem berhenti menjadi mahasiswa GHS dan beristirahat selama dua tahun. Waktu tidak sekolah 27
Soemarso Soemarsono, Op.,Cit., hlm. 5 Suratmin, MR. Muhamad Roem Karya dan Pengabdiannya, (Jakarta: Departemen P & K, 1986), hlm. 13 28
itulah ia giat dalam Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), di samping aktivitasnya di JIB. Karena itu, Muhamad Roem dari Mahasiswa GHS dan beristirahat selama dua tahun. Muhamad Roem mengikuti kegagalan dalam GHS, karena kesibukan yang ia lakukan dalam organisasi juga dalam keluarga.29 Pada tahun 1932, ia menikah dengan Markisah Dahlia di Malang, seorang yang juga aktivis Nativij (Nasionale Indonesische Padvinderij). Selama tidak sekolah ia memanfaatkan waktunya untuk belajar ilmu-ilmu agama dengan Haji Agus Salim yang menjadi guru para pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam JIB (Jong Islamieten Bond). Metode belajar yang diterapkan adalah dengan cara membaca majalah, surat kabar, buku-buku keagamaan, maupun diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh JIB. Muhamad Roem mengakui bahwa doktrin dan ajaran yang diberikan oleh Haji Agus Salim sangat berarti baginya, terutama yang terkait erat dengan persoalan agama Islam.30 Mula-mula Islam dipelajari secara apologis, yaitu membela diri dari serangan-serangan luar. Sementara ada anggapan anak muda ketika itu bahwa jika mendapat serangan
atau tantangan terhadap agamanya, tidak dapat
menghindarkan diri dari perasaan rendah diri sebagai orang Islam. Seolah-olah agama Islam memiliki nilai yang rendah dan tidak peka terhadap fenomena rasa senasib dan seperjuangan yang masih terbelakang, sehingga agama Islam diklaim
29 30
Ensiklopedi Islam, Op. Cit., hlm. 618 Kustiniyati Mochtar, Op. Cit., hlm. 132
sebagai agama yang terbelakang, karena pemeluknya adalah orang yang masih terbelakang
dan primitif yang jauh dari nilai-nilai modern atau kehidupan
modern. Hasil dari belajar agama Islam itu maka pemuda yang tergabung dalam JIB tidak malu lagi menjadi orang Islam, justru mereka bangga dan yakin sepenuh hati bahwa ajaran Islam yang dipelajari itu telah memberikan pedoman yang baik dalam menghadapi dunia modern. Tidak lagi membela diri ketika diserang, tetapi mempelajari Islam secara langsung dan mencari tahu artinya. Tidak lagi peduli dengan komentar dan pembicaraan orang lain yang menunjukkan sikap ketidak sukaan terhadap mereka. Dengan demikian, maka sikap kepercayaan diri menjadi besar bahwa apa yang mereka pelajari itu adalah sebuah ilmu kebaikan yang diajarkan dalam Islam. Setelah Muhamad Roem diterima di RHS (Recht Hoge School atau Sekolah Tinggi Hukum) ia aktif dalam SIS (Studenten Islam Studi Club atau Perkumpulan Mahasiswa Untuk Studi Islam).31 Muhamad Roem dapat menyelesaikan studinya di RHS pada tahun 1939 dengan meraih titel Mr. C. Karya-Karyanya
31
Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), hlm. 93, dalam Jong Islamieten Bond, bahwa ia mengidentikan keanggotaan dan kepemimpinan di JIB dan SIS dengan organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)pasca kemrdekaan. Pada pasca kemerdekaan PII lebih merupakan organisasi kumpulan siswa atau Pelajar Menengah Atas (SLTA) dan HMI organisasi Mahasiswa. Begitu juga JIB dan SIS, JIB lebih kepada Pelajar Menengah Atas dan SIS lebih kepada organisasi perkumpulan Mahasiswa Islam pada masa revolusi fisik.
Muhamad Roem adalah tokoh, negarawan, diplomat, pejuang, pemikir, dan penulis masalah-masalah sosial politik dan masalah diplomasi, hukum dan agama. Karya-karya dari hasil tulisannya adalah sebagai berikut: 1. Masalah Diplomasi Muhamad Roem banyak menuangkan ide-ide tentang diplomasi melalui karya-karyanya baik yang berbentuk buku-buku, majalah-majalah, dan artikel lainnya. Dalam karyanya itu ia menyoroti bahwa keberhasilan Indonesia mendapatkan pengakuan dunia adalah semata-mata berkat hasil positif dari diplomasi yang dijalankan oleh Agus Salim sebagai pelopornya dan dilanjutkan oleh para tokoh-tokoh Problem Solvers (pemecah masalah) yang lainnya, seperti: Muhammad Hatta, Muhammad Roem, Syahrir, Sultan Hamungkubuwono, Wilopo, Kasimo, Ir. Juanda, Soepomo, dan lain-lain. Di antara karya-karyanya adalah Jejak Langkah Agus Salim, Jakarta: Tintamas, 1969. Bunga Rampai dari Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1972, Jilid ke- 1. Suka Duka Berunding Belanda, Jakarta: Idayu Press, 1977. Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, Penyunting Kustiniati Muchtar, Jakarta: PT Gramedia, 1989. Apa yang Terjadi dalam Republik Indonesia Jika Tidak ada Hamungkubuwono IX, dalam tahta untuk Raja, Sinarharapan, 1983. Haji Agus Salim dalam 100 Tahun Haji Agus Salim, Sinar Harapan, 1984. Bung Kecil yang Bernuat Besar, dalam Mengenang Sutan Syahrir, PT. Gramedia, Jakarta, 1980. Muhammad Hatta, Ketua Delegasi Indonesia, dalam Bung Hatta, Mengabdi pada Cita-cita Perjuangan Bangsa,
Jakarta, 1972. Indonesia dan PBB, dalam Panji Masyarakat, nomor 3, tahun 1966. Pelajaran dari Sejarah, Documenta, Surabaya, tahun 1970. 2. Masalah Sosial Politik Muhamad Roem menginginkan adanya pemerintahan yang kuat dan bersih berdasarkan demokrasi Pancasila. Dalam pelaksanaan Pemilihan Umum yang pertama tahun 1955 sampai tahun 1971 mengalami ketidakjujuran dan ketidak bersihan. Lebih jelas lagi dipaparkan dalam karya-karyanya: 2.500 ex-Masyumi/ PSI Kehilangan Hak Disiplin, Documenta, Embong Belimbing 3, Surabaya, 1970. Tinjauan Pemilihan I dan II dari Sudut Hukum, Budaya, Documenta, Jakarta, 1971. Karena Benar dan Adil, Hudaya, Jakarta, 1969. Pelajaran dari Sejarah, Documenta, Surabaya, 1970.
Renungan Tentang Pancasila dan UUD 1945,
Panji Masyarakat, no. 348, tahun 1967. Rakyat Pilihan, Panji Masyarakat, no. 50 dan 51, 1969. Partai Muslimin Indonesia Setelah Muktamar, Panji Masyarakat, no. 48 dan 49, tahun 1969. Sumpah Pemuda, Puncak Perkembangan Awal Pertumbuhan, Yayasan Fajar Sodiq, Jakarta, 1975.
3. Masalah Hukum Menurut Muhamad Roem dalam undang-undang Pidana yang berlaku (hukuman positif) masih membolehkan hukuman mati. Pada pokoknya hukuman mati adalah dijatuhkan pada perkara-perkara yang berat. Ia sangat setuju kalau peroalan ini menjadi pemikiran umum yang luas, sambil melihat-lihat apakah sistem ini dan segala pelaksanaannya sudah sesuai dengan maksud hukum dan
sesuai dengan salah satu sila yang dijunjung tinggi, yaitu kemanusiaan, lebih tajam lagi beliau paparkan di dalam bukunya, seperti: Tentang Hukum Mati, Bulan Bintang, Jakarta, atau lihat dalam Muhamad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan Bangsa, Gramedia, 1989. Hak Manusia dalam UU 1945, dalam makalah penyambutan Hari Natal 1978. 4. Masalah Agama Muhamad Roem banyak menulis tentang persoalan-persoalan yang ada dalam Islam. Karya-karyanya yang terkait dengan persoalan agama yang ia bahas adalah banyak di artikel-artikel ketimbang berbentuk buku-buku. Ada khusus buku yang membahas tentang “Monogami dan Poligami dan Peradilan Agama”. Dalam buku ini Muhamad Roem banyak menyoroti tentang sulitnya Peradilan Agama (PA) merealisasikan
Undang-Undang
Perkawinan.
Di
dalam
konsep
Islam
membolehkan orang untuk berpoligami, tetapi terbatas yaitu empat dan berlaku adil. Di sisi lain, monogami sangat mengkhawatirkan terjadinya “jajan di luar”, oleh karenanya ia mencari alternatif lain bahwa dalam UUD perkawinan, ada undang-undang yang melarang dengan ancaman hukuman tiap hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrimnya. Lebih jelas lagi, persoalan keagamaan ini beliau ungkapkan dalam karya-karyanya, seperti: Monogami Poligami dan Peradilan Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973. Bunga Rampai Dari Sejarah, Bulan Bintang, Jakarta, 4 Jilid, 1972. Monogami, Poligami atau Pergundikan. Keperhatinan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, dimuat dalam Suara Muhammadiyah pada tahun 1976.
BAB III MUHAMAD ROEM DIPLOMAT DAN PEJUANG
A. Muhamad Roem dalam Gerakan Nasionalisme Muhamad Roem banyak terlibat dalam diplomasi. Sebuah aktivitas yang ia lakukan dan cukup besar dalam memberikan andil bagi kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945. Masa itu adalah mencerminkan bahwa penggunaan alat senjata sebagai cara dan jalan untuk mencapai kemerdekaan, tidak lagi memiliki pengaruh yang signifikan. Di sinilah letak kejeniusan dan kecerdasan Muhamad Roem, di mana ia tampil sebagai seorang anak bangsa untuk mengembalikan eksistensi dan harga diri bangsa menuju kemerdekaan Indonesia melalui meja perundingan. Dalam bukunya Sartono Kartodirjo menyatakan bahwa tidak bisa disangkal lagi nasionalisme merupakan hasil yang paling penting dari pengaruh kekuasaan Barat di negeri-negeri Asia dan Afrika pada zaman modern. Nasionalisme merupakan suatu fenomena historis telah berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi, budaya, dan sosial yang ditimbulkan oleh situasi kolonial.32 Ratu Wilhelmina pada bulan Januari 1901 mengatakan di hadapan anggota parlemen bahwa tujuan utama pemerintah jajahan di masa yang akan datang
32
Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru; Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, (Jakarta: PT Gramedia, 1990), Cet. ke-1, Jilid ke-2, hlm. 58
adalah semata-mata untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Ia mengatakan bahwa bangsa Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Hindia, karena eksploitasi yang dilakukan sebelumnya telah melimpahkan keuntungan yang besar bagi Belanda. Dampak kebijaksanaan ini mulai dirasakan oleh anak-anak pribumi, termasuk Muhamad Roem, di mana ia sempat menamatkan sekolahnya sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Orang-orang yang pernah mengenyam dan merasakan dunia pendidikan Barat, memiliki persepsi dan bahkan prinsip, bahwa masa depan kemerdekaan politik di Indonesia tidak akan memiliki nilai dan arti yang sesungguhnya, jika kemerdekaan politik tersebut tidak disertai dengan kemerdekaan dalam bidang ekonomi. Hal ini disebabkan oleh hampir semua pemilik modal dikuasai oleh orang-orang non-pribumi, terutama pihak sekutu yaitu Belanda. Oleh sebab itu, cita-cita dan semangat untuk meraih kemerdekaan dan menguasai secara total persoalan ekonomi menjadi penting dan prioritas utama. Perasaan ini muncul bersamaan dengan tidak baiknya lapangan kerja bagi mereka yang terdidik, sehingga menimbulkan kelompok elit yang frustasi. Diskriminasi bidang pekerjaan, antara kelompok terdidik pribumi dengan Belanda, walaupun memiliki titel dan keterampilan yang sama. Gejala dan pesoalan-persoalan yang dihadapi di atas adalah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses pembentukan karakter yaitu nasionalisme Indonesia. Munculnya kaum intelektual baru yang menggugat struktur sosial politik Hindia Belanda merupakan dampak terpenting dari perubahan kebijaksanaan ini. Kelompok intelektual, terutama
pelajar-pelajar Hindia Belanda bisa berkomunikasi langsung dengan berbagai aliran yang sedang berkembang di Eropa, pada tahun 1982-an, terutama Marxisme, Leninisme, dan Sosialisme. Lewat pemikiran yang berkembang ini sehingga mereka dapat mendapatkan penjelasan tentang situasi penjajahan dan filsafat determinisme historis.33
Berdasarkan pada pemikiran aliran ini para
pelajar yang disebut sebagai Perhimpunan Indonesia (PI), sejak tahun 1925 menyusun ideologi nasional yang terdiri dari empat pokok: Kesatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi dan swadaya.34 Sebelumnya di Hindia Belanda gerakan menuntut kemerdekaan juga bermunculan, dimulai dari lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908 dan Serikat Islam pada tahun 1911, di samping itu juga bermunculan organisasi-organisasi pemuda – mulai dari organisasi kesukuan sampai pada organisasi nasional keagamaan seperti Muhammadiyah pada tahun 1912 dan Nahdatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Pekalongan menjadi penting bagi Muhamad Roem, karena kota ini adalah salah satu dari pusat reformis Islam di tanah Jawa, Muhamad Roem tinggal dalam salah satu keluarga yang menjadi anggota dan sekaligus aktivis salah satu organisasi pergerakan Islam modernis. Kakaknya menjadi sekretaris PSII dan sekaligus tokoh Muhammadiyah di Pekalongan. Dari Pekalongan Muhamad Roem menuju ke Jakarta setelah menamatkan AMS 1930.
33
Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Dep. P dan K, 1975), jilid V,
hlm. 35 34
John Ingleson, Jalan ke Pengasingan, Pergerakan Indonesia Tahun 1927 – 1934, (Jakarta: LP3ES, 1973), hlm. 7
Meski menjadi anggota Jong Islamieten Bond (JIB) di Jakarta, Muhamad Roem lebih mengenal gerakan PSII daripada gerakan-gerakan lainnya, sekalipun corak pergerakan PSII pada periode itu belum lagi sebagai organisasi gerakan radikal. “Hijrah” yang dipelopori oleh Kartosuwiryo,35 dan menjadi konsep dasar gerakan radikal telah dipisah dari tubuh PSII, dan sebagai gantinya, corak pergerakan PSII dimulai dengan jalan kooperasi dalam bentuk tuntutan bersama (partai-partai lainnya) tentang berdirinya sebuah parlemen di Hindia Belanda.36 Lewat PSII inilah Muhamad Roem berkenalan dengan tokoh muda Islam lainnya, terutama Haji Agus Salim, sang guru Muhamad Roem. Menurutnya radikalisme PSII dan gerakan-gerakan lainnya harus dilihat dari konteks yang luas. Sekitar tahun 20-an telah terjadi depresi ekonomi yang menyebabkan lahirnya perubahan kebijaksanaan pemerintah Belanda. Deliar Noer menjelaskan,37 tingkat ekspor mendorong runtuhnya perusahaan-perusahaan Barat. Keadaan inilah yang mendorong terjadinya penghematan dana. Pajak ekspor dihapus, sementara pajak rakyat naik mencapai 34 gulden pada tahun 1925. Akibatnya, pengangguran meningkat, dan menyebabkan tumbuhnya gerakan radikalisme nasionalis. Dalam rangka menghadapai aksi-aksi yang dilancarkan oleh organisasiorganisasi pergerakan nasional yang semakin gencar dan radikal itu, pemerintah kolonial merasa semakin terancam kedudukan dan otoritasnya, sehingga tidak
35
Ibid, hlm. 8 Lihat G. Van Dikj, Darul Islam, (Jakarta: Grafiti, 1983), cet.ke-1 37 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Jakarta 1900 – 1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hlm. 154 – 155 36
segan-segan melakukan tindakan keras dan tegas dalam menghadapi aksi-aksi tersebut.38 Pada tahun 1926 terjadi pergolakan besar-besaran di Sumatera Barat, Banten dan beberapa tempat lainnya di Jawa. Situasi ini membuat De Graaf, seorang Gubernur Jenderal yang baru, menindas nasionalis. Pada masa De Graaf ini, masih memberi ruang gerak politik bagi kegiatan kaum nasionalis. Ketika Gubernur Jenderal beralih tangan ke De Jonge, penindasan-penindasan terhadap gerakan-gerakan nasionalis semakin gencar. Peraturan tentang larangan berkumpul dan mengadakan rapat, hukuman bagi pegawai yang menggabungkan diri pada kegiatan “ekstriminis”, hak pemerintah jajahan untuk membuang kaum nasionalis radikal. Soekarno, Muhamad Hatta, dan Syahrir, merupakan tokohtokoh nasionalis termasuk yang terkena kebijaksanaan yang baru ini.39 Perubahan-perubahan inilah yang kemudian mendorong surutnya radikalisme. Partai politik yang bersifat non-kooperasi dipaksa untuk bersifat kooperasi. Hal ini menyebabkan partai-partai politik pada waktu itu mendukung berdirinya parlemen. Dalam konteks PSII, konflik-konflik yang terjadi antara fraksi yang mendukung non-kooperasi
dengan fraksi yang mendukung kooperasi telah
menyebabkan Haji Agus Salim dan Kartosuwiryo terpental dari PSII. Haji Agus Salim terlempar karena ideologi “hijrah” yang ia usung. Kartosuwiryo yang mengusung dan menekan sifat non-kooperasi bagi PSII, sementara Salim lebih
38 39
Ibid, hlm. 156 Sartono Kartodirjo, Op. Cit., hlm. 147
memilih kooperasi. Mereka tidak mendapatkan dukungan sama sekali dari Tjokroaminoto,
ketika
itu
menjabat
sebagai
ketua
PSII.
Terpentalnya
Kartosuwiryo, juga tidak terlepas dari peran dan tekanan Belanda kepada Tjokroaminoto yang sesungguhnya sudah tidak lagi mendukung konsep hijrah.40 Melihat konteks di atas, Muhamad Roem mengagumi pandangan Haji Agus Salim yang realistis. Baginya, dalam situasi dan kondisi penekanan seperti itu cara untuk mencapai kemerdekaan harus dirubah, yaitu dengan cara perundingan bukan secara radikal. Muhamad Roem pernah ikut berunding dengan Tjarda Van Starkenborgh Stakhouwer, Gubernur Jenderal Belanda, mengenai masa depan Indonesia. Dalam perundingan tersebut, Agus Salim mengusulkan kesediaan rakyat Hindia membantu Belanda dalam perang dunia II dengan syarat, Indonesia harus diberikan kemerdekaan dan menjadi negara merdeka. Sampai Indonesia merdeka, Tjarda tidak lagi mngurusi usulan yang disampaikan oleh Agus Salim tersebut. Ketika Jepang masuk pada tahun 1942, seluruh partai politik dibubarkan, kendati begitu pengalama dengan Haji Sagus Salim, memberikan arah aktivitas politik Muhamad Roem sebagai pejuang dan perunding.41
B. Muhamad Roem Pejuang yang Realis Tampaknya dalam konteks Haji Agus Salim inilah
Muhamad Roem
difahami, yaitu dalam sikap realistis. Apa yang diperoleh Muhamad Roem lebih
40 41
Suratmin, Op. Cit., hlm. 36 – 37 Ibid, hlm. 150
dikembangkan. Rumusan pandangan realitas diungkapkan dengan pembentukan pribadi yang bebas dan tidak terlalu terikat pada kelompok atau organisasi tertentu. Bentukan sikap inilah yang kemudian menentukan putusan-putusan politik pribadinya. Adalah wajar, Muhamad Roem sebagai anggota Partai Masyumi yang kurang mendapat dukungan dari kolega-koleganya. Pun terkait dengan pengangkatan dirinya menduduki menteri dalam kabinet, juga bukan atas nama partainya, tapi karena faktor kepribadian dirinya dan atas nama dirinya sendiri untuk duduk dalam satu kabinet.42 Tidak ada keterangan, apakah sikapnya ini dapat memunculkan ketegangan dan konflik antara dirinya dengan pimpinan Masyumi atau tidak. Namun yang jelas, sikap seperti ini telah dibuktikan ketika ia terpilih menjadi ketua PMI atau ketika menerima pencalonannya sebagai anggota parlemen pada pemilu 1972, walau Muhamad Natsir telah mengingatkan dirinya.43 Faktor yang mempengaruhi Muhamad Roem menjadi diplomat dan pejuang bukanlah karena semata-mata bakat atau warisan keterampilan yang diperolehnya dari Haji Agus Salim, melainkan karena pola pikirannya yang realis. Dengan pola pikirnya yang realis itu, membebaskan dirinya dari rasa risih untuk bertindak sebagai perunding, sebab waktu itu, ada kekuatan perlawanan kelompok terhadap
42
Muhamad Roem duduk dalam kabinet Syahrir III atas namanya sendiri, bukan mewakili Masyumi, partainya. 43 Lihat Natsir, Insya Allah Roem Tetap Reom, dalam Soemarso Soemarono, Muhamad Roem: Pejuang Perunding, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 209 – 214)
Belanda lebih menekankan kepada perjuangan fisik daripada berunding secara bijaksana. Maka pembentukan pola pikir yang bebas bagi Muhamad Roem lebih diprioritaskan untuk lebih memilih lapangan diplomasi atau perundingan dalam tarik menarik kekuatan pro dan kontra perundingan yang akan bisa difahami dengan melihat realitas kekuatan pergerakan sosial dan persenjataan Indonesia pada waktu itu. Dengan melihat situasi semacam ini, sedikitnya Muhamad Roem ditempatkan pada perjuangan kemerdekaan penuh yang mendapat pengakuan formal dari dunia internasional, khususnya Belanda. Dengan itu pula sekaligus menempatkan perjuangan diplomasi dan lokasi tersendiri dalam perjuangan kemerdekaan.44 Sesungguhnya setelah Soekarno dan Muhammad Hatta mengumumkan proklamasi kemerdekaan, hampir tidak ada lagi kekuatan-kekuatan bersenjata yang terorganisir dengan rapi, kecuali kekuatan milisi. Pembela Tanah Air (PETA), satu-satunya organisasi bersenjata dengan hirarki yang ketat, dibubarkan beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dari segala penjajahan kolonialisme. Soekarno ingin mencoba menghindarkan pembubabaran PETA ini, namun terlambat. Dengan demikian, pemerintah kehilangan kesempatan selama beberapa tahun untuk mengontrol tentara.45 Kekuatan bersenjata, praktis tidak
44
Subadio Sastrosatomo, “Roem Seperti Saya Kenal”, dalam Soemarso Soemarsono, at. al., (ed), Muhamad Roem: Pejuang Perunding, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 269 45 Onghokhan, Soekarno Antara Mitos dan Realitas, dalam Taufik Abdullah, at. al., (ed). Manusia dalam Kemelut Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1978), hlm./ 38 - 39
cukup kuat melindungi negara yang baru tumbuh ini dari serangan – serangan luar. Pada tanggal 23 Agustus 1945, Soekarno mengumumkan berdirinya Badan Keamanan Rakyat (BKR), di samping Komite Nasional Indonesia (KNI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI),46 walaupun dilihat dari segi organisasinya, jelas kekuatan bersenjata ini masih sangat lemah, apalagi berdirinya tanpa adanya koordinasi yang terpusat. Pembentukan BKR-BKR di daerah-daerah diserahkan kepada daerah yang bersangkutan. Kondisi yang belum stabil serta belum dibentuknya lembaga-lembaga pemerintah, sehingga kelompok-kelompok radikal yang menolak pembentukan itu membentuk kekuatan tersendiri yang disebut Komite Van Aksi yaitu gabungan dari Angkatan Pemuda Indonesia (API), Barisan Rakyat Indonesia (BARA) dan Barisan Buruh Indonesia.47 Kekuatan bersenjata inipun tidak memiliki daya untuk menahan masuknya tentara serikat Southeast Asia Command di bawah Pimpinan Laksamana Lord Louis Maunntbetten, yang menimbulkan pertempuran-pertempuran lokal. Baru kemudian disadari perlunya mempersatukan BKR yang dinyatakan dengan maklumat pemerintah pada tanggal 5 Oktober 1945. Dari sinilah terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dalam
kemelut
ini,
TKR
hampir
tidak
mempunyai
kesempatan
mengembangkan diri, sementara tentara Belanda terus menerus didatangkan. 46
Sartono Kartodirjo, Op. Cit. hlm. 30 15 Komite Van Aksi ini bermarkas di Jln. Menteng 31 Jakarta. Tokohnya antara lain Adam Malik, Sukarni, M. Nitimiharjo, dan lain-lain.
Mungkin karena ini pula, pihak TKR pun bersedia maju ke meja perundingan sebagai hasil pertemuan Perdana Menteri Syahrir dengan Lord Killiearn pada tanggal 17 September 1945. Pertemuan ini menemukan jalan buntu dan tidak ada kesepakatan apa-apa. Namun sikap ingin berunding dari pihak TKR menunjukan betapa pertempuran fisik bukanlah satu-satunya jalan untuk berjuang.48 Kegagalan persetujuan gencatan bersenjata ini punya implikasi yang cukup luas terhadap sistem pertahanan Indonesia sekaligus semakin membuktikan bahwa, perjuangan diplomasi merupakan alternatif satu-satunya yang harus ditempuh. Setelah Belanda melaksanakan penafsiran yang sepihak terhadap perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville, serbuan tentara Belanda hampirhampir tak tertahan lagi. Yogyakarta, Ibukota negara RI, setelah dihujani bom pada tanggal 19 Desember 1948, jatuh ke tangan Belanda. Soekarno, Hatta, Syahrir, Muhamad Roem, Ali Sastroamijoyo dan lain-lain ditawan.49 Indonesia dihadapkan pada satu realitas, melanjutkan perjungan fisik dengan konsekwensi kedaulatan penuh masih harus diperjuangkan dalam masa yang belum dapat ditentukan atau bersedia berunding. Dalam korelasi inilah dimensi perjuangan diplomasi menjadi amat penting. Sebab di bawah dominasi kekuatan Belanda yang menyeluruh, hanya ada dua kekuatan yang harus ditempuh. Pertama, opini dunia terhadap agresi Belanda I dan II serta kelompok-kelompok tertentu di dalam negeri yang mampu
16 Ibid, hlm. 31 Suratmin, Op. Cit., hlm. 32
49
memanfaatkan kekuatan opini tersebut untuk perjuangan. Muhamad Roem hampir sepenuhnya berada pada dunia ini. Debut pertama diplomasinya berlangsung ketika RI semakin lama semakin tergerogoti. Ketika ia menerima amanat sebagai Menteri Dalam Negeri dalam kabinet Syahriri III pada tahun 1946, ia sangat sadar bahwa wilayah Republik Indonesia yang efektif hanyalah di Yogyakarta dan Banda Aceh. Alasan inilah yang kemudian mendorong Muhamad Roem menerima atau menjadi anggota delegasi perjanjian Linggarjati, walaupun Masyumi sendiri menolak perjanjian tersebut.50 Perjanjian diplomasi ini merupakan jalan panjang yang mendebarkan, karena setiap perundingan melahirkan kekeruhan walau hasil yang dicapai dapat dijadikan dasar pijakan dalam perundingan selanjutnya. Betapapun perjanjian Linggarjati diliputi kekeruhan,51 kondisi struktural mengharuskan perjuangan diplomasi berjalan terus tidak berhenti. Serangan Belanda terhadap kedaulatan Indonesia yang membuktikan amarah dunia menyebabkan pada tanggal 1 Agustus 1947 – Dewan Keamanan PBB menyerukan supaya permusuhan di Indonesia diselesaikan dengan satu perantara, atau dengan cara yang damai. India, Australia mengecam Belanda dengan pelanggaran perdamaiannya, sementara Syahrir diberikan kesempatan di Dewan Keamanan PBB untuk mengajukan pendapat Indonesia menyelesaikan keadaan tersebut.52 Atas prakarsa Amerika Serikat, pada tanggal 18 September 1947 lahirlah Komite Tiga Negara (KTN) yang dibentuk 50
Ibid, hlm. 32 Ibid, hlm. 32 52 Ibid, hlm 32 51
oleh PBB. KTN ini merupakan suatu perdamaian PBB untuk menyelesaikan sengketa antara Indonesia dan Belanda. Pembentukannya dilaksanakan dengan cara masing-masing pihak yang bersengketa mengusulkan satu orang anggota. Dan kemudian, dua anggota yang telah ditunjuk tersebut menunjuk satu anggota tambahan. Indonesia memilih Australia, Belanda memilih Belgia, lalu keduanya memilih Amerika Serikat.53 Hampir bersamaan dengan tekanan-tekanan internasional itu, di Indonesia terjadilah perubahan-perubahan politik yang menentukan nasib Muhamad Roem dalam dunia diplomasi. Kegagalan dalam perjanjian Linggarjati telah mencoreng dan telah menimbulkan kegagalan serta krisis dalam kepemimpinan Syahrir. Amir Syarifudin muncul sebagai Pedana Menteri baru. Baru pada anggal 13 November 1947, Masyumi yang semula menolak duduk dalam kabinet , kini menerima seruan Amir Syarifudin memperkuat kabinetnya. Muhamad Roem yang ikut jatuh bersama Syahrir muncul kembali sebagai menteri, mewakili Masyumi. Dalam kabinet Amir Syarifuddin inilah, atas prakarsa KTN usaha-usaha perundingan Indonesia – Belanda dilaksanakan kembali. Perundingan ini terjadi pada tanggal 8 Desember 1947 di atas kapal Renville yang kemudian dikenal dengan sebutan “Perjanjian Renville”. Keikutsertaan dalam perundingan Lingarjati tetap mengikat Muhamad Roem untuk terus menekuni bidang ini. Sehingga setelah terjadi krisis kabinet Amir Syarifuddin yang tidak lama
53
hlm. 137
Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), jilid IV,
kemudian dan dibentuk kabinet baru di bawah Pimpinan Muhammad Hatta, Muhamad Roem ditunjuk sebagai ketua delegasi Indonesia dalam perundinganperundingan selanjutnya. Kabinet baru ini mencanangkan 4 pasal program, yaitu: Pertama, berunding dengan Belanda atas dasar persetujuan Renville; kedua, meningkatkan pembentukan Indonesia Serikat; ketiga, rasionalisasi tentara dan ekonomi; empat, pembangunan fisik akibat kerusakan-kerusakan perang atas pendudukann Jepang.
C. Keterlibatan Muhamad Roem dalam Perundingan Dalam realisasi perundingan – sebagaimana yang telah dicanangkan kabinet Muhammad Hatta di atas yaitu dalam melakukan perundingan dengan Belanda atas dasar persetujuan Renville, Muhamad Roem menghadapi persoalan yang berat, karena pasca perundingan Renvcille Belanda kembali melanjutkan aksinya dengan melakukan agresi militer kedua pada tanggal 19 Desember 1948 dengan menyerang RI ke Ibukota Yogyakarta. Belanda menunjukkan sikap optimisme dalam perundingan selanjutnya (Roem – Royen) bahwa perundingan yang akan diselenggarakan adalah suatu peristiwa yang menentukan atas kemungkinan Belanda bisa kembali menguasai Indonesia sebagai daerah jajahan, atau lepas sama sekali untuk selama-lamanya, karena Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Besarnya tekanan opini dunia serta meningkatnya ekspansi usaha-usaha diplomat Indonesia ke luar negeri mempersukar Belanda untuk berusaha kembali
menguasai Indonesia sebagai daerah jajahan – sebagaimana yang telah dan pernah mereka lakukan. Belanda mencoba untuk bertahan dengan pendapat dan argumentasinya dalam perundingan yang berlangsung pada pertengahan bulan Maret 1948. Dalam perundingan tersebut, Belanda tetap pada prinsipnya, yaitu adanya keinginan untuk mendirikan negara-negara bagian di Indoensia. Walau demikian sikap yang ditunjukkan oleh Belanda, Indonesia tidak tinggal diam dan pasrah serta tunduk dengan pengaruh Belanda, justru Indonesia semakin termotivasi dan terus melakukan diplomasi hingga ke luar negeri. Hal ini dilakukan untuk mempengaruhi negara-negara lain, agar dapat mengakui secara de facto bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang merdeka dan lepas dari intervensi penjajahan. Nampaknya, Belanda di lain pihak juga tidak mau mengalah dan terus berusaha dengan gigih untuk tetap bertahan, sehingga terjadi hubungan tegang antara Indonesia – Belanda, tetapi juga antara Belanda dengan KTN, yaitu Australia, Belgia dan Amerika Serikat.54 Kerasnya sikap Belanda ini juga ada hubungannya dengan pergerakan kelompok-kelompok kekuasaan di negeri Belanda sendiri. Pada bulan Juli 1948, kekuatan kaum kanan Belanda semakin membesar, dan mendesak kelompok kiri. Dr. Dresa dari partai Buruh yang terpilih menjadi Perdana Menteri, ternyata tidak cukup tangguh mempengaruhi tekanan-tekanan kaum kanan. Situasi ini semakin tegang dengan naiknya Dr. Emmanuel M.J.A. Sassen sebagai menteri seberang 54
Fachri Ali, Muhamad Roem Diplomat Pejuang, (Jakarta: Perisma, 1984), hlm. 84
lautan. Naiknya Sassen mempengaruhi tekad Belanda dalam perundingan di Indonesia.55 PBB tidak berhasil menembus kemacetan,56 situasi politik di Indonesia semakin keruh. Hal ini disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukan Belanda dalam perundingan Renville dengan melakukan agresi militer kedua ke kota Bandung, Cilacap dan sekitarnya. Situasi yang demikian ini dimanfaatkan oleh kelompok tertentu dalam usaha untuk menjatuhkan kabinet Muhammad Hatta, seperti PKI dan Front Demokrasi Rakyat (FDR). Akhirnya, pada tanggal 18 Desember 1948, PKI dan FDR melakukan pemberontakan di Madiun di bawah pimpinan Musso, Amir Syarifuddin, Setiadji, dan lain-lain. Pemberontakan ini justru terjadi di tengah-tengah blokade Belanda semakin ketat. Bersamaan dengan itu, di dalam anggota delegasi KTN pun terjadi perubahan. Mehre Cochran menggantikan Graham. Atas nama PBB Cochran membuat usul baru yang sebenarnya menguntungkan pihak Belanda.57 Namun ditolak Belanda, karena hak komisi agung Belanda tidak termasuk hak mengirimkan tentaratentara Belanda ke wilayah-wilayah
manapun yang dikehendaki. Muhamad
Roem dan kawan-kawan tentu saja menolak usul tersebut, sebab tidak hanya
55
Fachri Ali, Untuk menembus kemacetan, Du Bois dari AS yang menggantikan Graham dan Thomas K. Crichtly (Australia) mengajukan usul-usul sebelumnya, namun ditolak Belanda, pada tanggal 1 Juli 1948 PBB bersidang mengenai Indonesia. Sayangnya AS yang menolak usun Du Bois yang disiukan Cina. Akibatnya, terjadi kemacetan total dalam perundingan. 57 Usul Cochran dalah pembentukan pemerintah federal Indonesia yang dikepalai oleh komisaris Agung Belanda dengan kekuasaan yang amat luas. Ia dapat memveti badan Legislatif dan wewenang untuk memerintah. Lihat Sartono Kartodirjo, op. cit, hlm. 139 56
mengembalikan kekuasaan Belanda, tetapi sekaligus menghapuskan Tentara Nasional Indonesia (TNI).58 Dinamika pertumbuhan situasi inilah yang mendorong Belanda melakukan agresi ke II menganeksasi Yogyakarta, daerah inti pemerintahan Indonesia. Dalam aneksasi ini presiden dan wakil presiden memilih untuk menyerah.59 Praktis seluruh pemerintah Indonesia runtuh, kecuali PDRI yang dipimpin oleh Syarifuddin Prawiranegara di pendalaman Sumatera Barat. Serangan Belanda tidak menghasilkan alih kekuasaan, kecuali kemenangan militer. Reaksi dunia terhadap peristiwa itu semakin keras. Tiongkok, Kuba, Amerika, dan Norwegia mengajukan resolusi ke PBB pada tanggal 19 Januari 1949. Isinya adalah sebagai berikut: “Menyerukan kepada Belanda agar segera menghentikan serangan operasi militernya, dan kepada Republik untuk memerintahkan kepada pengikutnya menghentikan serangan grilya. Tahanan politik Indonesia dibebaskan segera tanpa syarat dan dibolehkan kembali sekaligus ke Yogyakarta…..agar mereka dapat melanjutkan tugasnya dalam kebebasan penuh, termasuk pemerintah kota Yogyakarta” 60
Resolusi ini lebih disempurnakan dalam konferensi New Delhi. Atas desakan Amerika Serikat, tanggal 28 Januari 1949, PBB berhasil memutuskan Resolusi. Resolusi serta merta menggoncangkan politik Belanda. Sassen Menteri seberang lautan, jatuh dan diganti J.H. Van Maarseveen. Perubahan politik di Belanda dan penggantian menteri seberang lautan mengubah pula pandangan perundingan
58
Fachri Ali, op, cit. hlm. Soekarno, Haji Agus Salim dan Syahrir ditawan di Berastagi. Sementara Muhammad Hatta, Muhamad Roem, Ali Sastromijoyo, Asa’at, Pringgodigdo dan komodor Suryadarma di Bangka. 60 Muhamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), jilid II, hlm. 33 59
dengan Indoensia. Perundingan harus terus dilaksanakan. Untuk itu tempat Soekarno dan Haji Agus Salim dipindahkan dari Berastagi ke Bangka, agar mereka bisa saling berhubungan dan berkomunikasi dengan Muhammad Hatta dan kawan-kawan, untuk membahas rencana perundingan Beel.61 Menurut rencana, pemerintah Belanda mengundang perwakilan dari Indonesia untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan maksud menyerahkan kedaulatan kepada negara Indonesia Serikat. Namun usul ini ditolak oleh Soekarno dan Hatta, jika kedudukan Republik Indonesia tidak dipulihkan terlebih dahulu. Pada tanggal 7 Mei 1949 diadakan pertemuan antara delegasi Indonesia dengan Belanda dimana dilangsungkan “Van Roeyen – Roem Statements”, maka Dr. Beel menyadari bahwa yang akan dilaksanakan adalah resolusi Dewan Keamanan dan karena tidak ada lagi rencana Beel, maka tidak ada lagi Dr. Beel sebagai wakil Tinggi Kerajaan Belanda, ia minta berhenti. 62
Muhamad
Roem
dalam situasi ini, sebagai ketua delegasi, dihadapkan pada dilema, sebab Soekarno dan Hatta menyetujui KBM dengan catatan kedudukan RI kembali ke Yogyakarta, Ibu Kota negara RI, padahal sebelum ditawan, Presiden telah memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara menjadi Presiden PDRI, sehingga acara formal PDRI lah yang berhak melaksanakan perundingan.
61
Dr. Beel merupakan wakil tertinggi Ratu Belanda di Indonesia. Lebih jelas lagi lihat Ronald Gase, Beel in Batavia. Van Contact tot Conflict Verwikkelingen rond de Indonesische Kwestie in 1948, (Anthos: Uitgeverij In den Toren, 1986), hlm. 50 – 53 62 Ronal Gase, Ibid, hlm. 287 - 288
Masyumi mendukung pendapat ini. Bahkan Muhammad Natsir, Dr. Dermawan Setiawan dan DR. Halim sengaja datang ke Bangka untuk merealisasikan pendapat ini. Namun Muhamad Roem lebih memihak pada Soekarno – Hatta dan tidak mendukung pendapat Masyumi. Sikap Muhamad Roem terbukti dengan penolakannya atas undangan Cochran untuk memulai perundingan pada tanggal 30 Maret 1949. Muhamad Roem bersikap sama dengan Soekarno – Hatta, bahwa ia memulihkan kedaulatan pemerintah RI ke Yogyakarta merupakan syarat memulai perundingan. Sebab, menurut Muhamad Roem tanpa itu akan menimbulkan kesalah pahaman. Muhamad Roem bersedia hanya membicarakan segi-segi praktis secara detil bagi pemulihan RI, lebih dahulu di Yogyakarta.63 Ketika perundingan berlangsung yang kemudian terkenal dengan “Roem – Royen Statement” berlangsung pada tanggal 14 April 1949, Muhamad Roem mengecam serangan-serangan Belanda. Dalam pidatonya ia menyatakan, agresi Belanda kedua telah mengakibatkan kehilangan kepercayaan rakyat Indonesia bagi berhasilnya suatu perundingan damai. Sesungguhnya, perundingan yang berlangsung di hotel
Des Indes, Jl.
Molenvliet,64 merupakan suatu perundingan yang sangat menentukan masa depan bangsa Indonesia yang berdaulat, sebab pertempuran lokal yang hanya terjadi di daerah pinggiran, sementara pusat sudeh dikuasai oleh Belanda. Roem – Royen
63
Soemarso Soemarsono, Roem Sebagai Perunding, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), cet. ke1, hlm. 135 64 Sekarang diganti dengan Jl. Gajah Mada. Tempat tersebut kini menjadi pertokoan Duta merlin.
Statement merealisasikan konflik yang jika dilihat dari perspektif perjuangan militer sangat sukar dicapai dalam waktu singkat. Dalam hal ini, Statement Roem sebagai ketua delegasi Republik Indonesia yang diberi kuasa oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta menyatakan: Pertama, mengeluarkan perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya. Kedua, bekerja sama dalam hal pengambilan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan. Ketiga, turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang lengkap kepada Negara Republik Indonesia Serikat, dengan tiada bersyarat. Sementara Statement Royen menyatakan: Pertama, Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah RI harus bebas dan leluasa melaksanakan jabatan yang sepatutnya dalam suatu daerah yang meliputi kepresidenan Yogyakarta. Kedua, Pemerintah Belanda sekali lagi menguatkan kesanggupan untuk menjamin penghentian segera tanpa syarat tahanan politik yang ditangkap sejak tanggal 17 Desember 1948 dalam RI. Segera setelah persetujuan ini, proses pencapaian kedaulatan RI berjalan lebih lancar. Pada tanggal 10 Juni 1949, ditetapkan pertemuan antara Indonesia dan Belanda, yang diikuti oleh negara federal dan KTN.
Pada tanggal 22 Juni 1949 Royen mengumumkan penarikan pasukan
Belanda. Selanjutnya, giliran Soekarno – Hatta dielu-elukan rakyat Yogyakarta sekembali nya dari tahanan mereka di Bangka. Semua yang terjadi ini adalah berkat usaha dan diplomasi yang dilakukan oleh Muhamad Roem.
BAB IV PERAN POLITIK MUHAMAD ROEM DI INDONESIA
A. Keberadaan Muhamad Roem dalam Partai Masyumi Proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 telah memberikan kesempatan baru bagi warga dan rakyat Indonesia untuk membentuk partai-partai politik sebagai sarana dan media penyaluran aspirasi. Pembentukan partai-partai politik ini adalah wujud dari demokratisasi yang dinyatakan dalam pasal 28 Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh oleh rakyat Indonesia khususnya umat Islam. Maka pada tanggal 7 – 8 November 1945 melalui sebuah kongres umat Islam di Yogyakarta dibentuklah sebuah partai politik Islam dengan nama Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia).
65
Tetapi tidak sama dengan Masyumi “buatan Jepang” , karena ia dibentuk dan didirikan oleh umat Islam sendiri tanpa campur tangan pihak lain, sekalipun nama lama tetapi dipakai. Dalam pengakuan Muhamad Roem,66 ia sebetulnya tidak setuju dengan nama Masyumi itu karena kedengarannya berbau Jepang. Walaupun bisa disesuaikan dengan singkatan yang dimaksud Majelis Syura Muslimin Indonesia.Muhammad Roem dan Haji Agus Salim mengusulkan nama ‘’Partai Rakyat Islam’’. Tetapi mereka berdua kalah suara dengan yang lain –lain.
65
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam, II, (Jakarta: Departemen Agama, IAIN Jakarta, 1987/ 1988), cet, ke-I, hlm. 61 66 Soemarso Soemarsono, Muhamad Roem 70 Tahun: Pejuang Perunding, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 63
Masyumi pada periode pembentukannya merupakan masa kongkrit. 67 Sebab, partai ini mendapat sambutan hangat dari hampir semua gerakan Islam Pra perang Dunia II, baik nasional maupun lokal, politik maupun sosial keagaman. Pembentukan Mayumi bertujuan untuk menyalurkan aspirasi politik ummat sebagai cermin dari potensi mereka yang sangat besar dan kongkrit. Ungkapan masa kongkrit ini disampaikan oleh Muhammad Natsir pada masa Orde Baru, merupakan reaksinya terhadap konsep masa mengembangkan (Floating ,mass ) yang menjadi ciri kehidupan politik Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini. Bila dikorelasikan dengan kondisi tahun 1945, maka pembentukan Masyumi merupakan ‘’massa kongkrit’’, karena tanpa pimpinanan partai politik yang berdasarkan Islam akan sudah jatuh ke tangan mereka yang sudah sejak semula menentang implementasi Syariah dalam kehidupan bernegara pada pasca kemerdekan Indonesia.68 Dilihat dari sisi lain, munculnya Masyumi pada tahun 1945 dapat pula dipandang sebagai jawaban ummat terhadap manifesto politik Wakil Peresiden Muhammad Hatta tanggal 1 November 1945 yang mendorong pembentukan partai. Pemimpin-pemimpin umat memanfaatkan kesempatan baik seperti halnya golongan-golongan lain berbuat serupa.69Dalam kepengurusan hasil kongres Masyumi bulan November tahun 1945 di Yogyakarta , lebih mewakili organisasi 67
Lihat Syafaat Mintarja, Islam dan Politik Islam dan negara di Indonesia ,(Jakarta: :t.p.,1973), cet. ke-1, hal.24 68 Pusat Komite Pemilihan Umum Masyumi , Masyumi Mendukung Repumbelik Indonesia, (Jakarta: t t .) ,hal .12 69 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta : LP 3S ,1978), Cet. ke-II, hlm. 111
massa dan politik yang berasal dari zaman penjajahan. Ini mencerminkan juga kondisi massa itu, berupa kebulatan tekad untuk bersatu.70 Sekalipun organisasi Islam sebelum perang menyokong Masyumi, namun dukungan terbesar diberikan oleh NU dan Muhammadiyah. Masyumi secara organisasi adalah sebuah badan federasi,71 di dalamnya terdapat anggota biasa (perorangan ) dan anggota luar biasa (kolektif),seperti Muhammandiyah dan NU.72 Tentunya partai yang bersifat federatif memiliki kekuatan maupun kelemahan, lantaran wataknya yang demikian itulah, partai ini berhasil menarik organisasiorganisasi
dan kelompok-kelompok muslim untuk
menyertainya. Ini
kekuatannya, tetapi di balik itu tersembunyi pula kelemahannya, yaitu sering menonjolnya semangat golongan mengalahkan semangat peraturan dalam tubuh partai. Pada suatu waktu semangat golongan ini sangat dominan,73 sehingga sering menempatkan partai pada posisi yang sulit dalam menyusun suatu dewan pimpinan yang kuat dan tangguh. Walaupun mekanisme Syura berlaku dalam Msyumi, namun tidak selalu mudah dalam organisasi federatif. Erat kaitannya dengan fenomena tersebut, bahwa dalam dewan eksekutif Masyumi sendiri
70
Daliar hoer, Partai Islam di Pentas Nasional, ( Jakarta : pt , Pustaka Utama Grafiti, 1987 ), cet. ke-I,h.99 71 Gabungan badan badan atau himpunana baik sosio- keagamaan politik, dan negara. Lebih jelasnya lihat Mariam Budiarjo,dalam ‘’Dasar dasar Ilmu Politik’’ ( Jakarta : Geramedia, 1912 ), cet, ke-I ,hal. 138-146 72 Ahmad Syafii Ma’arif, op.cit. , hal .112 73 Ibid. hlm, 112 - 113
didominasi oleh kelompok modernis sehingga terjadi dua atau tiga kelompok yang mempunyai organisasi ideologi politik yang beda.74 Hasil muktamar Masyumi di Yogyakarta Muhamad Roem dimasukkan anggota pusat Masyumi, padahal ia sebagai pendiri partai politik Islam tersebut. Ditempatkannya ia sebagai anggota, karena ketika Muktamar berjalan ia harus kembali ke Jakarta. Dan beberapa hari di Jakarta menjalankan tugas sebagai Ketua Komite Nasional Jakarta Raya, tiba-tiba mengalami musibah ditembak oleh tentara Belanda. Dengan demikian Muhamad Roem tidak ikut serta dalam kegiatan partai politik tersebut. 75 Peranan politik Muhamad Roem dalam Partai Masyumi memang tidak seperti Muhammad Natsir dan Dr Soekiman. Mereka berdua sama-sama tiga kali menjabat sebagai ketua partai Masyumi Pusat, sedangkan Muhamad Roem hanya sebagai anggota pusat, dan sekali menjabat sebagai wakil ketua II pada masa presiden Masyumi dipimpin oleh Dr Soekiman pada tahun 1951 dan jabatan terakhirnya di Partai Masyumi menjadi wakil ketua III pada masa pimpinan Prawoto Mangu Sasmito pada tahun 1959 setahun sebelum Partai Masyumi dibubarkan.
74
Ketiga kelompok tersebut adalah, pertama, kelompok sosialis religius yang lebih berfikir secara Barat Dr. Soekiman, Yusuf Wibisono dan Abu Hanifah. Kedua, kelompok moderat, yang terdiri di antaranya dari Muhamad Roem, Muhammad Natsir, dan Syafrudin Prawiranegara. Dan ketiga, kelompok konserfatif yang umumnya terdiri dari pimpinan-pimpinan agama muslim. 75 Soemarso Soemarsono, Op, Cit., hlm. 64
Di antara pengurus Masyumi tahun 1945 yang tetap ikut menjadi pengurus pada periode selanjutnya ialah Muhamad Roem dan Prawoto Mangu Sasmito.76 Kedudukan beliau dalam Masyumi bersama-sama Muhamat Natsir, Mr. Kasman Singodimejo, Mr. Jusuf Wibisono, Dr. Abu Hanifah, Mr. Syarifudin Prawiranegara dan sebagainya. Karir yang dirintis melalui partai Masyumi inilah yang mengantar menjadi negarawan yang disegani. Selain itu Muhamad Roem bekas seorang pimpinan pergerakan penyadar pada masa sebelum perang, berkalikali duduk dalam kabinet, baik pada masa revolusi maupun masa sesudahnya.
B. Kiprah Muhamad Roem Dalam Pemerintahan Peran politik Muhamad Roem pada penandatanganan persetujuan RoemRoeyen statement tanggal 14 April 1949 adalah sebagai ketua delegasi Indonesia. Penandatangan Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 2 November 1949 sebagai wakil ketua delegasi Indonesa. Ia benar-benar memikul beban tugas yang dipercayakan padanya sebagai seorang diplomat. Sebagai negarawan, ia pernah memegang jabatan penting
dalam Pemerintahan Republik Indonesia.
Menjadi Menteri Dalam Negeri pada masa kabinet Syahrir III dan kabinet Amir Syarifuddin II, menjadi Menteri Luar Negeri pada masa Kabinet Muhammad Natsir dan menjadi wakil perdana Menteri pada masa Kabinet Ali Sastroamijiyo.77 Di bawah ini penulis akan menjelaskan satu persatu.
76 77
Deliar Noer, Op. Cit . , hal. 106 Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1984), hlm. 2924 - 2925
a. Sebagai Menteri Dalam Negeri (1946 – 1947) Cukup lama Muhamad Roem beristirahat dalam segala aktivitas politik, karena sakit, akibat ditembak tentara Belanda. Pada suatu hari diajak oleh Mr. Kasman Singodimejo ke Yogyakarta. Di sana dia diminta untuk duduk dalam pengurus, akhirnya Muhamad Roem duduk sebagai Ketua bagian Partai Masyumi. Bung Hatta yang waktu itu sebagai Wakil Presiden membujuk Muhamad Roem untuk ikut serta dalam kabinet Sultan Syahrir yang akan dibentuk oleh Sultan Syahrir sendiri. Muhamad Roem sempat berfikir ada tujuan apa ia diminta untuk turut serta dalam kabinet Syahrir, tapi Bung Hatta sudah percaya dengan kompetensi seorang Muhamad Roem.78 Kemudian Muhamad Roem berkonsultasi dengan Dr. Sukiman, waktu sebagai Ketua Umum Partai Masyumi. Dr. Sukiman tidak setuju kalau Muhamad Roem mewakili Masyumi dalam Kabinet RI, tetapi tidak keberatan ikut serta sebagai perseorangan. Akhirnya Muhamad Roem juga menjadi Menteri Dalam Negeri sebagai perseorangan. Sebaliknya, Syahrir duduk, mewakili partainya. Ini berarti baru saja tiga bulan Muhamad Roem turut aktif dalam pengurus Pusat Masyumi di Yogyakarta, sudah harus melepaskan lagi, karena telah diangkat menjadi sebagai Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Syahrir yang ke III.79 Peristiwa ini terjadi yang kedua kali, seorang Menteri dari Masyumi duduk dalam kabinet, tetapi lebih banyak sebagai perseorangan dan bukannya secara
78 79
Soemarso Soemarsono, Op. Cit., hlm. 65 – 66 Ibid, hlm. 66
formal mewakili Masyumi, sedang sebelumnya adalah haji Muhammad Rasyidi (Menteri Agama) dalam kabinet Syahrir I. Kabinet Syahrir pertama mulai bekerja pada tanggal 14 November 1945, sebagai perubahan dari kabinet RI yang pertama yang dipimpin oleh presiden Soekarno dan Wakil Muhammad Hatta. Meskipun terjadi pergeseran – pergeseran politik dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang didahului oleh desakan politik ekstrim dari kelompok Tan Malaka, ternyata Sutan Syahrir memperoleh kemenangan dan memperbesar pendukungnya dalam KNIP. Hal itu terutama disebabkan tersiarnya brosur politik kecil oleh Syahrir yang berjudul “Perjuangan Kita” yang isinya antara lain mengecam keras mereka yang pernah kerja sama dengan tentara pendukung Jepang. Brosur kecil yang di mulai beredar pada akhir Oktober
1945 itu memperoleh dukungan luas sehingga dapat
dianggap sebagai penyebab terjadinya perubahan konsitusional dari bentuk kabinet peresidentil menjadi kabinet yang dipimpin seorang Perdana Menteri.80 Dengan demikian korelasi “perorangan” atau ”Formil”antara seorang menteri yang duduk dalam kabinet dengan pusat pimpinan Partai Masyumi, menjadi kabur. Secara formil masih menjadi perbedaan pendapat, tetapi secara de Facto81 semuanya berjalan terus. yaitu, di satu pihak Partai Masyumi yang menolak
80
Pebedan kabinet peresidentil dan minstril adalah peresidentil kabinet yang menteri menterinya diangkat dan diberhentikan dan bertanggung jawab pada peresiden. sedangakan ministriil kabinet yang bertanggung jawab kepada perdana menteri . Lebih jelas lagi lihat hal .2 pada pendahuluan Soemarso, Soemarsono, Ibid 15 pengakuan berdasarkan realitas, walaupun dalam tubuh Masyumi terjadi kesalah pahaman namun tetap menteri-menteri bersikap realistis.
perundingan-perundingan dengan Belanda, tetapi menteri-menteri (Masyumi) mengikuti perundingan-perundingan dengan Belanda.82 Pada tahun 1946 kekuasan pemerintah diserahkan kembali oleh Presiden kepada kabinet yang lagi-lagi dipimpin oleh Syahrir. Kabinet ke tiga Syahrir ini terdiri atas 30 anggota dan bersifat nasional. Termasuk didalamnya enam orang anggota Masyumi, yaitu Muhamad Roem ( Mentri Dalam Negeri), Jusuf wibisono (mentri muda kemakmuran), Muhamad Natsir ( Mentri Penerangan ), Syarifuddin Prawira Negara ( Mentri Keuangan ), Faturahman ( Mentri Agama ), dan KH.Wahid Hasyim ( Mentri Negara ).83 Bahkan menurut Soemarso Soemarsono tidak hanya yang tersebut di atas, melainkan masih ada dua orang pimpinan lagi yaitu Haji Agus Salim ( Mentri Muda Luar Negeri ) dan A.R Baswaden (Mentri muda Penerangan ) walau sebagai perseorangan dan mewakili golangan minorias keturunan Arab, tetapi berasal dari lingkungan Masyumi.84 Kegiatan Syahril berhasil mengadakan persetujuan perjanjian dengan pihak Belanda yang dikenal dengan nama persetujuan Linggajati,85 yang diparaf bersama Indonesia dan Belanda tanggal 15 November 1946 di linggajati ( Cirebon ).86 Sayang sekali persetujuan itu diterima dengan sikap permusuhan oleh partai-partai tertentu termasuk di dalamnya Masyumi. Sukiman sendiri mengatakan bahwa persetujuan itu demokratis sifatnya, tetapi ia juga mengemukakan perasaan kebanyakan 16 Ibid 83 Daliar Noer, op.cit., hal., 163 84 Soemarso Soemarsono, op. cit., hal., 67 85 Delegasi Indonesa diketahui oleh sutan syahrir dan delegasi Belanda oleh Schermerhorn. 86 Deliar Noer, op. cit.
anggota Masyumi yang beranggapan bahwa banyak bagian persetujuan itu yang menimbulkan keraguan, sehingga banyak menyebabkan interpetasi yang berbeda oleh kedua pihak . Sebaliknya, Muhamad Roem melihat persetujuan tersebut sebagai pengakuan de facto atas Republik Indonesia oleh pihak Belanda.87 Sikap partai Masyumi sendiri tidak memberi jalan licin bagi perundingan dengan Belanda. Sebelum perundingan di Linggajati mulai, ketua partai, sukiman sudah menolak duduk dalam delegasi Indonesia sebagai tenaga ahli, sesungguhnya penolakan itu didasarkan kepada perlu tenaganya diberikan kepada partai, sedangkan tenaga-tenaga lainpun dari Masyumi.88 Pada tanggal 27 Juni 1947 Kabinet Syahrir ketiga melepaskan jabatan, karena tidak memperoleh
dukungan bagi penandatanganan persetujuan Linggar Jati
dengan Belanda. Partai Masyumi dan PNI menolak persetujuan tersebut, bahkan pihak sayap kiri telah menolak terlebih dahulu sehingga merupakan tamparan yang menentukan bagi Perdana Menteri Syahrir dari partainya sendiri. Muhamad Roem menerangkan, bahwa waktu Masyumi menolak persetujuan Linggar Jati, tetapi menteri-menteri yang berasal dari partai Masyumi menyetujuinya, bukan atas nama partai tapi perseorangan. Bahkan ketika Muhamad Roem berada di Linggarjati, beliau sudah mendengar dari siaran radio
87
Muhamad Roem, Suka Duka Berunding dengan Belanda, ( Jakarta : Yayasan Idayu, 1975
),hal. 173 88
Loc. cit.
bahwa Masyumi menolak persetujuan tersebut, sekalipun hasil tersebut belum dilaporkan kepada partai Masyumi.89
b. Sebagai Ketua Delegasi Indonesia Pada Perundingan Roem – Royen (1949) Sesudah agresi kedua, sikap dunia pada umumnya dan Amerika Serikat khususnya, menghendaki Indonesia – Belanda diselenggarakan dengan cara yang damai tanpa ada korban jiwa. Roem – Royen Statement yang ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1949 dengan merealisasikan kembalinya RI ke Yogyakarta pada hari tersebut.90 Untuk itu, sehari sebelum perjanjian Roem – Royen berlangsung, para pejabat KTN (Komisi Tiga Negara) diundang ke Yogyakarta guna menyaksikan kembalinya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ke Yogyakarta. Muhamad Roem tidak turut serta dalam rombongan Presiden tersebut, karena ia harus kembali ke Jakarta untuk mempersiapkan penyerahan kekuasaan Belanda kepada Indonesia dalam waktu dekat.91 Satu lagi peranan penting para Pimpinan Masyumi di masa revolusi ialah dalam tataran diplomasi setelah proses perdamaian dan kompromi antara kedua negara
dilakukan
dengan
gencatan
senjata
tanpa
berakhir,
akhirnya
penyelesaiannya dicari juga denga jalan perundingan resmi antara Indoensia dan Belanda yqang dimulai pada tanggal 14 April 1949. Perundingan itu sendiri
89
Soemarso Soemarsono, Op. Cit., hlm. 68 Muhamad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, Penyuting Kustiniati Muchtar, (Jakarta: PT. Gramedia, 1989, cet. ke-1, hlm. 14 91 Ibid, hlm. 15 90
berada di bawah pengawasan Komisi Persyarikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia. Memang persoalan Indonesia telah membawa dampak dan pengaruh yang cukup luas, sehingga memunculkan perhatian dari dunia Internasional dan organisasi-organisasi dunia yang menghendaki agar persoalan yang sedang dihadapi oleh Indonesia segera untuk diselesaikan dengan jalan yang damai dan simpatik yaitu melalui perundingan antara kedua negara. Delegasi Indonesia dalam perundingan yang disebut dengan Roem – Royen Statemen diketuai langsung oleh Muhamad Roem seorang tokoh dan pejabat dalam partai Masyumi yang juga menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri
dalam kabinet Hatta.
Sementara perundingan berjalan, delegasi Indonesia mendapat tambahan kekuatan dalam menghadapi Belanda dengan cara bergerilya – baik di Jawa maupun di Sumatera, dan sikap simpati dari sebagian besar anggota PBB, serta pendirian yang positif terhadap kawan
setanah air dari kalangan BFO
(Bijeenkomst voor Federal Overleg – Pertemuan Perundingan Federal) yang walaupun berasal dari mereka yang bekerja sama dengan Belanda, kini lebih mendekati dan memahami aspirasi Pemerintah RI.92 Sementara di kalangan gerilya, umumnya tidak ada yang menyetujui
persetujuan Roem – Royen.
Mereka menganggap bahwa keinginan untuk melakukan perundingan dengan Belanda dalam Roem – Royen Statemen itu adalah bukan
92
Deliar Noer, Op, Cit., hlm. 190
sebuah kemajuan bagi bangsa, tapi mereka menilai bahwa peristiwa itu tidak lebih kecuali sebagai bentuk kekalahan terhadap pihak Belanda.93 Detik bersejarah itu terjadi pada tanggal 7 Mei 1949, suatu persetujuan antara Roem dan Royen. Dalam pertemuan tersebut, delegasi Indonesia yaitu Muhamad Roem berpidato terlebih dahulu. Dalam kesempatan tersebut ia mengatakan, bahwa dirinya sebagai ketua delegasi Indonesia diberi amanat dan kuasa oleh Presdiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta untuk menyatukan kesanggupan mereka pribadi, sesuai dengan revolusi Dewan Keamanan pada tanggal 28 Januari 1949 dan pedoman pelaksanaan tanggal 23 Maret 1949. Kemudian menyusul Van Royen berpidato. Dalam pidatonya Royen mengatakan bahwa pemerintah Belanda menyetujui usaha pemulihan pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta, bahwa Belanda menghentikan segera segala aktivitas militernya serta membebaskan seluruh tawanan yang pernah di tahan. Dalam kesempatan itu, Van Royen juga mengatakan bahwa Belanda tetap membatasi pendirian negara-negara di daerah Republik sampai kondisinya pulih.94 Persetujuan ini sebenarnya bukan persetujuan dalam arti biasa, tidak ditandatangani bersama tidak pula terdiri pada pasal-pasal tertentu, melainkan ucapan oleh ketuanya masing-masing dalam pidatonya itu. Isi pernyataan kedua pihak 93
yang bersengketa untuk menyelesaikan
konflik antara Indonesia dan
A.H. Nasutiaon, Sekitar Perang Kemerdekaan di Indonesia, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1979, jilid 10, cet. ke-1, hlm. 553 94 Suratmin, Op. Cit., hlm. 91
Belanda di Meja Perundingan., antara lain: Pertama, kerjasama dalam pengembalian
dan
pemeliharaan
perdamaian
di
Indonesia.
Kedua,
mengembalikan pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta yang akan ditinggalkan
oleh
pasukan
pendudukan
Belanda.
Ketiga,
mengadakan
perundingan dalam bentuk Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda, agar dapat dipercepat proses penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia. Di mana bahwa dengan adanya persetujuan Renville maka wilayah RI makin sempit. Batas daerah RI dengan wilayah pendudukan Belanda disebut Garis Van Mook. Pasukan Siliwangi yang ada di daerah kedudukan (Jawa Barat) harus ditarik ke wilayah RI (Jawa Tengah dan Jawa Timur)95 Dari pihak Indonesia persoalan persetujuan ini bukan pekerjaan delegasi saja. Tanpa mengecilkan peran Muhamad Roem, ia harus berkonsultasi berkali-kali dengan Soekarno dan Muhammad Hatta serta para pemimpin lain yang ditahan Belanda di pulau Bangka. Dalam pidatonya Muhamad Roem sengaja menyebutkan bahwa ia mendapat mandat dari Soekarno dan Hatta untuk mengikat janji
guna bekerjasama dengan Belanda dalam usaha mencapai
kesepakatan damai. Ketika Muhamad Roem tidak melihat ada persetujuan yang dicapainya dengan Van Royen itu mempunyai arti besar. Ia juga menyadari bahwa tidak semua orang yang ada di Indonesia menganggap persetujuan tersebut sebagai suatu hasil yang cemerlang, malah ada diantaranya yang menunjukan
95
Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Terjemahan, Ismail dan Muhammad Isa, (Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pertahanan Kementrian Pelajar Malaysia, 1980), cet.ke-1, hlm. 521
sikap tidak menyukainya sama sekali atau menganggap persetujuan tersebut sebagai
suatu kegagalan, mereka ini dengan sendirinya menyesali tokoh
Masyumi ini.96 Penilaian seperti ini disebabkan antara lain oleh tiga hal. Pertama, terdapat keyakinan bahwa persetujuan Roem – Royan itu tercapai pada saat perjuangan bersenjata kita, baik TNI maupun laskar, sudah menempati yang memungkinkan mereka mengambil prakarsa untuk menyapu bersih kekuatan militer Belanda. Kalau itu terjadi, maka tidak ada alasan untuk berunding, dan Belanda akan terpaksa menerima syarat-syarat yang ditunjukan oleh Muahammad Roem. 97 Kedua, persetujuan tersebut mengandung penerimaan bentuk federasi bagi negara Indonesia. Dalam bentuk ini Republik Indonesia akan hanya merupakan negara bagian, yang mempunyai kedudukan yang sama dengan negara – negara bagian lain ciptaan Belanda. Di kalangan para pejuang Indonesia, bentuk federasi ini benar-benar tidak populer, ia dianggap merupakan hasil usaha Belanda memecah bangsa Indonesia. Lagi pula, Republik Indonesia merupakan modal satu-satunya dalam mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan tahun 1945. Modal ini tidak mungkin disamakan dengan negara-negara bagian yang lain buatan Belanda.98
96
Muhamad Roem, dalam Bunga Rampai Dari Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), cet. kr-1, hlm. 43-51 97 Ibid, hlm. 43-51 98 Deliar Noer , Op . Cit . hal . 192
Ketiga, Muhammad Roem sebagai ketua delegasi Indonesia mendapat mendapat dari Soekarno dan Muhammad Hatta yang tidak berfungsi lagi sebagai Peresiden dan wakil Peresiden Republik Indonesia karena memang berada dalam tahanan Belanda. Pendapat ketiga ini lebih dapat menerima persetujuan itu bila Muhamad Roem mendapat mandat dari Syafrudin Prawiranegara, kepada Pemerintah Darurat Republik Indonsia. Bukankah para pemimpin Indonesia yang sedang dalam tahanan Belanda itu di Bangka juga mengakui Syarifudin Prawiranegara yang berfungsi sebagai kepala pemerintah.99 Alasan-alasan ini ditegaskan oleh Muhammad Natsir bahwa ia lebih tau dan Muhamad Roem menunggu informasi dari Syafruddin Prawiranegara. Ia beranggapan bahwa perundingan Roem – Royen terlalu cepat diselesaikan. Dalam hal ini ia lebih suka melihat bila perkembangan pembicaraan disampaikan terlebih dahulu ke PBB sehingga dengan demikian delegasi dapat mengulur waktu untuk memperkukuh kedudukan.100 Ada protes keras juga datang dari Panglima Besar Jenderal Sudirman kepada ketua delegasi Muhamad Roem, ia menentang dipakai istilah “pengikut-pengikut bersenjata RI”, dalam persetujuan Roem – Royen. Ini dianggap sebagai pengabaian dan akan menyingkirkan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam pengakuan Muhamad Roem terhadap pernyataan Mr. Ali Sastroamijoyo, bahwa ia tidak pernah menerima surat protes dari Jenderal Sudirman. Dan juga tidak
99
Ibid, hlm . 192 – 193 Ibid, hlm. 193 – 194
100
terbukti tentang apa yang dikhawatirkan pihak militer tersebut. Maka pada tanggal 3 Agustus 1949 dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak secara serentak oleh pihak Belanda dan juga Indonesia. Dari pihak Indonesia dinyatakan sendiri oleh Jenderal Sudirman. Dengan pemulihan kekuasaan Republik di Yogyakarta serta penghentian tembak menmbak yang gencar terjadi di Jawa dan Sumatera, maka selesailah tahap terakhir dari pelaksanaan persetujuan Roem – Royen di Indonesia. Van Royen menyatakan terima kasih atas bantuan yang sangat besar dari Komisi Tiga Negara (KTN), sementara semua problem dapat direalisasikan berkat pengalaman-pengalaman semua pihak yang bersangkutan. Sultan Hamid dari Negara Federal memuji usaha KTN yang tidak mengenal lelah sampai kepada pencapaian hasil yang menggembirakan. 101 Muhamad Roem atas nama Republik Indonesia menyatakan: “Salah satu hasil terpenting sampai saat ini, adalah terbukanya hati bangsa Indonesia yang sebelumnya
terkunci, dan dipulihkannya rasa kepercayaan diri yang telah
hilang”. 102
C. Sebagai Wakil Ketua Delegasi Indonesia Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag (1949) Setelah pernyataan Roem – Royen, Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai aktif melaksanakan tugasnya untuk meletakkan prinsip-prinsip perdamaian yang
101 102
Soemarso Soemarsono. op. cit. hlm. 158 - 159 Ibid, hlm. 159
telah disepakati ditandatangani
kedua belah pihak. Roem-Royen statement yang telah dan
diselesaikan
akan
dijadikan
sebagai
langkah
awal
pengunduran seluruh tentara Belanda dari daerah istimewa Yogyakarta.103 Memang perjanjian Roem Royen membuka jalan bagi pulihnya kekuasaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Karena perjanjian Roem – Royen ini akan diteruskan pada Konferensi Meja Bundar di Belanda. Dalam KBM tersebut Muhammad Hatta memimpin delegasi Republik Indonesia. Sementara Muhamad Roem dipercayakan menjadi wakil ketua. Sebelum keberangkatan delegasi Indonesia untuk perundingan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, dibentuklah susunan delegasi Indonesia ke Den Haag pada tanggal 24 Juli 1949. Dalam penyusunan tersebut, Muhammad Hatta didaulat sebagai ketua delegasi dan wakilnya adalah Muhamad Roem dan anggotanya adalah Dr. Soekiman Wirjosandjojo, Dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamojoyo, Mr. Sujono Hadinoto, Kolonel TAB. Simatupang, Ir. Juanda, Prof. Mr. Soepomo, dan R. Margono Djojohadikusumo,
yang
kemudian
digantikan
putranya
Dr.
Sumitro
Djojohadikusumo. Para anggota delegasi tersebut adalah berkedudukan sebagai menteri negara. Turut serta dalam rombongan delegasi ke KBM itu sejumlah tenaga ahli di berbagai bidang.104 Pertemuan ini menghasilkan kedaulatan bagi
Purnawan Condronegoro, Merdeka Tanahku Merdeka Negeriku, (akarta: CV. Mas Agunf, 1987), cet. kr-1, hlm. 171 104 Sutarmin, Muhamad Roem Karya dan Pengabdiannya, (Jakarta: Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), hlm. 96
rakyat Indonesia, bahwa kedaulatan di Indonesia telah diserahkan kembali oleh pihak Belanda kepada Indonesia pada tanggal 29 Desember 1949.105 Konferensi Meja Bundar dibuka dengan resmi di Den Haag oleh Perdana Menteri Belanda Dr. Drees pada tanggal 23 Agustus 1949. Tujuan diselenggarakannya KBM adalah menyelesaikan persengketaan Indonesia – Belanda, dan untuk mencapai kesepakatan antara peserta tentang tata cara penyerahan kedaulatan tanpa syarat kepada negara Indonesia Serikat sesuai dengan pokok-pokok persetujuan Renville.106 Sudah
empat
tahun
Indonesia
berunding
dengan
Belanda
untuk
menyelesaikan sengketanya, dalam kurun waktu itu telah empat kali berganti delegasi. Sudah dua kali diadakan persetujuan, yaitu Linggar Jati dan Renville, yang berakhir tidak dengan pelaksanaan yang membawa kedua pihak kepada perdamaian, melainkan kepada perang, yaitu aksi militer I dan II.107 Perundingan setelah aksi militer I, dilangsungkan dengan bantuan badan Internasional dari PBB, yang dinamakan panitia jasa-jasa baik, kemudian berganti nama menjadi Panitia PBB untuk Indonesia. Konferensi Meja Bundar membicarakan persoalan yang sulit dan rumit antara kedua pihak untuk dirumuskan oleh pihak-pihak yang berunding. Tetapi di samping itu selalu mendampingi ketua KTN yang sudah mendapat kuasa lebih 105
Deliar Noer, Op., Cit. hlm. 194 - 195 K.M.L. Tobing, Perjuangan fisik Bangsa Indonesia KBM, (Jakarta: CV. Mas Agung, 1987), cet. ke-1, hlm. 171 107 Muhammad Roem, Bung Hatta, Pengabdi pada Cita-cita Perjuangan Bangsa, (Jakarta: Panitia HUT Bung Hatta, 1972), cet. ke-1, hlm. 383 106
luas dari PBB yaitu untuk membantu perundingan-perundingan di KBM. Dalam perjalanannya sering mengalami kemacetan, misalnya telah terjadi tanggal 16 September 1949 untuk merumuskan bentuk dan isi Uni Belanda – Indonesia. Maka untuk mengatasinya segera cochran mengambil prakarsa untuk membentuk panitia kecil yang terdiri dari: Van Royen, Muhamad Roem, dan Anak Agung Gede Agung, pada tanggal 17 September 1949 mengadakan pembicaraan yang tuntas di suatu hotel Casino di kota kecil Namur, di Belgia. Dengan bantuan dan kemahiran Cochran semua pihak-pihaknya dapat merumuskan persetujuan yang memuaskan pihak masing-masing secara menyeluruh. Masalah kedua yang sulit adalah mengenai penetapan pinjaman Belanda yang dioperkan kepada Negara Federal Indonesia, meliputi pinjaman sebelum dan sesudah perang. Mengenai militer ternyata merupakan acara yang paling empuk, cepat dapat diselesaikan, yaitu: tanggungjawab keamanan dan pertahanan di Indonesia dipegang oleh Negara Indonesia Serikat. Tentara Belanda harus ditarik setelah penyerahan kedaulatan kepada Indonesia. Sebelum dapat ditarik tentara Belanda hanya boleh digunakan atas perintah Negara Indonesia Serikat. Anggota tentara Hindia Belanda pada dasarnya dapat disalurkan ke dalam angkatan perang Indonesia Serikat dan peralatan militer diserahkan melalui kesepakatan timbal balik. Penyerahan tanggungjawab atas suatu wilayah dilakukan secara teratur, kerjasama dengan pihak-pihak yang bersangkutan. Belanda akan mengirim Missi Militer ke
Indonesia guna membantu negara Indonesia Serikat membangun angkatan perangnya.108 Persoalan Irian Barat merupakan persoalan yang paling berat, yang kemudian terpaksa ditangguhkan penyelesaiannya. Atas rumusan dan desakan Cochran lagi dirumuskan persetujuan mengenai Irian Barat.109
Bunyi persetujuan itu adalah
bahwa persoalan Irian Barat akan ditentukan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Negara Belanda. Kita tahu, bahwa delegasi Belanda tidak dapat bergeser
dari ketentuan,
karena terikat pada parlemen, untuk tidak melepaskan Irian Barat sebagai hasil Konferensi Meja Bundar ini, kalangan BFO, terutama Anak Agung Gede Agung bertahan menuntut agar Irian Barat dilepaskan, sebab ia adalah menjadi bagian Indonesia yang tak dapat dipisahkan.110 Persetujuan KBM diratifikasi (disahkan) oleh KNIP pada tanggal 14 Desember 1949 dengan perbandingan suara, 226 suara setuju, 62 suara menolak, dan 31 suara blanko. Parlemen Belanda meratifikasi persetujuan KBM tanggal 22 November 1949 dengan 71 suaru pro dan 29 suara anti, sedangkan senat Belanda menerimanya dengan suaru 74 suara pro dan 15 suara anti pada tanggal 11 Desember 1949.111
108
Soemarso Soemarsono, Op. Cit., hlm. 159 – 160 Ibid, hlm. 159 110 Muhamad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), cet. ke-1, 109
hlm. 69 111
Suratmin, op. cit., hlm. 98
Pada tanggal 16 Desember 1949 Parlemen dan senat RIS sudah mengambil keputusan mengangkat Presiden Soekarno menjadi Presiden RIS. Dalam hal ini Muhamad Roem sudah menjabat sebagai Menteri tanpa “protpel” mewakili Partai Masyumi. Kemudian Wakil Presiden/ Perdana Menteri Muhammad Hatta Wakil Presiden atau Perdana Menteri terbang lagi ke Nederland untuk menerima penyerahan kedaulatan secara de jure
dari Belanda kepada Indonesia pada
tanggal 27 Desember 1949 diserahkan oleh Ratu Juliana. Sementara di Jakarta juga dilangsungkan penyerahan kedaulatan dari tangan wakil
Ratu
Belanda
di
Indonesia
kepada
Wakil
Indonesia
Sultan
Hamungkubuwono IX yang didampingi oleh Muhamad Roem. Upacara penyerahan ini berlangsung dengan baik dan lancar di Istana Rijawik (yang sekarang Istana Negara), bendera tiga warna Belanda diturunkan dan diganti dengan bendera “merah putih” di atas Istana Merdeka.112 “Pengakuan Kedaulatan” dan bukan “Penyerahan Kedaulatan”, sebab dalam hal ini ada perbedaan antara Belanda dan Inggris. Inggris tidak menimbulkan kekacauan atau sengketa dalam penyerahan sebuah kedaulatan, hal ini karena apa yang dilakukan oleh Inggris kepada bekas jajahannya adalah dengan ikhlas dan tulus bukan didasarkan pada pemaksaan dan yang lainnya. Tidak sama halnya dengan Belanda, penyerahan kedaulatan kepada bekas jajahannya cenderung agar penyelesaian sengketa Belanda – Indonesia jangan terlalu banyak didengar orang,
112
Ibid, hlm. 98
apabila pengakuan kedaulatan tersebut merupakan bagian penting dalam sejarah negara Belanda.113 Orang akhirnya mengakui bahwa dalam politik luar negeri Muhamad Roem ia telah memainkan peranan penting sebagai anggota delegasi RI diperundingan Linggarjati maupun Renville, dan perundingan dengan Belanda tahun 1949 terbukti sangat menentukan hari depan Republik Indonesia. Walaupun hasil dalam konfernsi tersebut memunculkan kontroversi, bahkan tokoh Masyumi dan PSII yang dekat dengan Muhamad Roem, pun memiliki pandangan yang berbeda. Mereka beranggapan bahwa Muhamad Roem terlalu banyak memberikan konsesi kepada pihak Belanda. Sekalipun kondisi demikian serta kritikan yang dihadapinya, tetapi atas dasar keyakinan yang kuat, maka sejauh itulah kata sepakat dan persetujuan yang dicapainya dalam konferensi tersebut.
d. Sebagai Menteri Luar Negeri (1950 – 1951) Ketika Republik Indonesia Serikat dibubarkan, pada tanggal 17 Agustus 1950 Negera Federal tersebut menjelma menjadi Negara Kesatuan, dengan Undangundang dasar sementara yang disahkan dua hari sebelumnya. Seminggu kemudian, pada tanggal 22 Agustus 1950
Presiden Soekarno menunjuk
Muhammad Natsir dari Partai Masyumi menjadi formatur dalam pembentukan
113
Ibid, hlm. 99
kabinet RI baru.114 Ketika Muhammad Natsir merumuskan pemerintahan Indonesia dari tanggal 6 September 1950 sampai 20 Maret 1951 Muhamad Roem dipercayakan menjadi Menteri Luar Negeri. Sebagai Menteri Luar Negeri, Muhamad Roem segera menangani masalah perundingan dengan Belanda tentang persoalan Irian Barat. Dalam usahanya tersebut, Muhamad Roem mengalami kebuntuan, artinya tidak ada kejelasan tentang duduk persoalannya. Sebab persoalan Irian Barat adalah persoalan yang rumit. Belanda sesungguhnya sudah merencanakan, agar Irian Barat menjadi tempat penampungan bagi orang-orang Indonesia – Belanda. Oleh karena hal tersebut di atas, setiap ada persoalan yang muncul, Belanda selalu lebih dahulu berperan untuk mengulur-ulur waktu dalam proses penyelesaiannya. Selain daripada itu juga Muhamad Roem berkesempatan berkunjung ke Amerika Serikat secara resmi, di Amerika Muhamad Roem memperoleh sambutan yang mengesankan dari rekannya, Menteri Luar Negeri AS – waktu itu dijabat oleh Dean Acheson.115 State Departement AS, di bawah pimpinan Dean Acheson telah menunjukan kebijaksanaan yang simpati
kepada Indonesia, sehingga dengan sungguh-
sungguh menekankan kepada Belanda untuk menyelesaikan persoalan Indonesia melalui perundingan. Jika perundingan itu tidak dituruti akan mendapat sangsi dan akan berakibat negatif terhadap kelanjutan bantuan ekonomi Amerika Serikat
114 115
Soemarso Soemarsono, Op. Cit., hlm. 162 - 163 Ibid, hlm. 163
kepada Belanda. Kebijaksanaan Dean Acheson sebagai pihak ke tiga dalam perundingan Indonesia – Belanda walaupun masih dalam batas-batas tertentu.116 Setelah Muhamad Roem tidak lagi menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, ia pun sering ke luar negeri, tapi bukan sebagai diplomat, melainkan kegiatan berupa kunjungan-kunjungan muhibbah atau mengikuti seminar-seminar dan konferensikonferensi persahabatan.
e. Sebagai Wakil Perdana Menteri (1956 – 1957) Setelah beberapa tahun lamanya upaya membentuk Kabinet, dari satu kabinet ke
kabinet
berikutnya,
akhirnya
melaksanakan Pemilihan Umum.117
selesailah
persiapan-persiapan
untuk
Pemilihan umum pertama di Indonesia
diselenggarakan pada tanggal 12 September 1955. Tidak kurang dari 28 partai politik atau calon perseorangan ikut serta dalam demokratisasi tersebut.
118
Sekalipun pesertanya demikian banyak, namun secara ideologis mereka dapat digolongkan secara kasar ke dalam tiga aliran ideologi yang memang telah ada sebelum perang yaitu: Islam, Marxisme/ Sosialisme, dan Nasional sekuler.
119
Ketiga aliran besar ini muncul kepermukaan dalam berbagai kelompok dan organisasi politik, dan
116
mereka mengikuti pemilihan umum dengan penuh
Ibid, hlm. Sekretaris Negara Republik Indonesia, dalam 3o Tahun Indonesia Merdeka, (Jakarta: PT. Lamtoro Gung Persada, 1985), cet. ke-4, hlm. 88-89 118 Ibid, hlm. 119 Lihat Ahmad Syafi’I Ma’arif, Op. Cit., hlm. 122 117
semangat dalam suasana bebas dan demokrasi. Pemilihan Umum pertama ini diselenggarakan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi). Pada tanggal 3 Maret, Presiden memilih Ali Sastroamijoyo sebagai formatur. Untuk menghadapinya, Masyumi menunjuk Prawoto, Muhamad Roem, dan Fakih Usman. Masyumi gagal memperoleh keinginan menduduki kursi Menteri Pendidikan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama, tetapi mendapat wakil perdana menteri I, kehakiman, keuangan, perhubungan, dan pekerjaan umum. Kursi-kursi ini dipercayakan kepada Muhamad Roem, Mulyanto, Jusuf Wibisono, Suchjar Tedjakusuma, dan Pangeran Muhamad Noer.120 Setelah selesainya pemilihan umum dibentuklah kabinet Ali – Roem – Idham (PNI, Masyumi, NU),
121
kabinet ini mendapat sokongan dan dukungan yang
sangat kuat di parlemen, yaitu dengan mayoritas mutlak122 kecuali PKI yang tidak dibawa masuk. Ditinjau dari sudut pandang ideologis, kabinet ini mewakili dua aliran besar dalam masyarakat Indonesia, yaitu Islam dan Nasionalis Sekuler. Ironisnya, bahwa kabinet yang baru terbentuk ini tidak berumur panjang, karena Masyumi dan partai-partai lain dalam kabinet ini sering tidak mendapat tempat dalam menghadapi isu-isu politik penting. Faktor lain yang turut serta dalam mengurangi atau memperpendek umur Kabinet ARI adalah sikap oposisi dari Presiden RI Soekarno sejak awal pembentukannya. Soekarno menginginkan dibentuknya kabinet berkaki empat 120
Deliar Noer, Op. Cit., hlm. 250 Kabinet ini diistilahkan kabinet “ARI” (Ali, Roem, Idham), selanjutnya disebut ARI. 122 PNI, Masyumi, NU, dan dari 28 partai politik dan perorangan, kecuali PKI. 121
dengan inti pendukung di dalamnya adalah PNI, Masyumi, NU dan PKI. Dalam kasus ini Soekarno sangat menyesalkan sikap Ali Sastromijoyo sebagai formatur, mengapa tidak memasukan sebuah partai besar, maksudnya adalah PKI yang mendapat enam juta
suara lebih. Ali juga menegaskan bahwa tidak
dimasukannya partai PKI dalam parlemen disebabkan oleh ketidak setujuan Masyumi dan NU dan bahkan menentang para simpatisannya.123 Akhirnya, Soekarno dengan rasa ragu-ragu menyetujui susunan Kabinet ARI, setelah formatur mengecam dan mengembalikan mandat. Dengan jatuhnya kabinet ARI, disebabkan para oposisi yang diseponsori oleh Presiden Soekarno dan didukung oelh PKI, maka pada bulan Maret 1957, kabinet ARI bubar. Setelah bubarnya kabinet ARI peranan partai-partai dan panggung politik kontemporer Indonesia menjadi melorot secara drastis. Harapan umat yang cukup besar terhadap kabinet hasil pemilihan umum pertama ini tinggal harapan belaka. Memang, harga sebuah demokrasi di Indonesia sangat mahal. Muhamad Roem memiliki peranan penting dalam kabinet tersebut sebagai wakil perdana menteri I dalam kabinet ARI. Maka setelah kabinet ARI bubar, maka selesailah peran politik Muhamad Roem dalam pemerintahan. Dan ia aktif dalam sosial-keagamaan, ia duduk dalam Dewan Eksekutif setelah Muktamar Alam Islami yang bertempat di Mina Saudi Arabiyah. Pada waktu itu Presiden Muktamar Alam Islami Ma’ruf Dawalibi bekas Perdana Menteri Syiria. Kemudian ia kembali hidup bebas sebagaimana warga negara lainnya, kemudian 123
Ahmad Syafi’I Ma’arif, op. cit., hlm. 123
meneruskan aktivitas yang telah dirintis sebelumnya di bidang penelitian dan penulisan sejarah, juga ia menjadi kolomnis di Mesmedia Indonesia,. Di antaranya, Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Pelita dan sebagainya.124
124
Untuk mengetahui lebih jauh, Lihat Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Departemen Agama, IAIN Jakarta, 1977/ 1988), hlm. 619 – 621.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Muhamad Roem adalah tokoh, negarawan, diplomat, pemikir, penulis masalah-masalah sosial politik, hukum dan masalah-masalah agama dan diplomasi. Semasa muda ia aktif dalam organisasi Jong Islamieten Bond (JIB) dan Studenten Islam Studi Club (SIS). Karir politiknya ia mulai dari sebuah partai yang cukup mempengaruhinya ketika itu, yaitu Partai Serikat Islam Indonesia (PSSI). Puncak dari aktifitas politiknya yaitu ketika beliau ikut andil sebagai pengurus atau pimpinan teras atas dalam partai Masyumi. Pada masa gerakan nasionalisme Muhamad banyak belajar dari tokoh-tokoh pergerakan seperti Hos Cokroaminoto, Haji Agus Salim. Dari kedua tokoh di atas, beliau mendapatkan ilmu-ilmu penting dan sekaligus pengalaman yang tak terhingga – baik dalam masalah keagamaan maupun sosial politik dan masalahmasalah lainnya. Hasil yang ia peroleh dari kedua tokoh di atas, ia amalkan dengan norma-norma sebagai seorang muslim dan seorang nasionalis dan seorang demokrat. Yang menarik adalah bahwa dari kedua tokoh di atas, yang lebih berpengaruh dalam diri Muhamad Roem adalah Haji Agus Salim– baik dalam tataran pemikiran, tindakan, hingga pada titik nasionalisme. Pasca kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Muhammad Hatta pada tahun 1945 merupakan saat yang paling bersejarah dalam
perkembangan bangsa Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan tersebut, Muhamad Roem menunjukan dirinya sebagai seorang diplomat yang diakui dan disegani oleh tokoh-tokoh politik nasional maupun Internasional. Kemerdekaan yang telah diproklamirkan, bagi sebagian bangsa Indonesia belum aman dari serangan dan intimidasi pihak penjajah, termasuk Muhamad Roem. Dalam kondisi yang demikian, ia pun ikut aktif dalam kancah politik Indonesia di mana ia dan rekan-rekannya membangkitkan bangsanya melalui meja perundingan, sekalipun saat itu pertempuran masih terasa berkobar, namun Republik Indonesia ketika itu mengalami kemajuan yang sangat pesat. Walaupun kemajuan itu harus dirintis secara perlahan-lahan dan bertahap melalui perundingan. Muhamad Roem bisa diterima oleh kalangan Islam yang fanatik dan nasionalis sekuler lantaran ia juga mengetahui bahwa ia hidup dalam lingkungan yang majemuk dan plural, ia tidak membatasi diri pada kalangan Islam saja dalam bergaul, tetapi juga kepada semua orang tanpa ada unsur-unsur yang membedakan. Di bidang politik, ia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh yang tidak sealiran dengan prinsipnya, ketika ia ditegaskan sebagai negarawan konotasinya hanya untuk memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Pola pemikirannya yang realis ini, membuat Muhamad Roem sebagai seorang tokoh yang dapat memahami pendirian dan pandangan orang lain, tanpa harus mengorbankan pendirian dan pandangan hidup yang dijiwainya dalam ajaran Islam.
Muhamad Roem dalam menghadapi problematika, ie lebih mengedepankan kompromi dalam mencapai tujuan, ketimbang menggunakan kekerasan sebagai solusi, baginya kekrasan bukanlah jalan terbaik dalam solusi, justru membawa malapetaka yang lebih besar. Dari sikap inilah yang membuat Muhamad Roem disegani oleh kawan maupun lawan. Sehingga ia mendapatkan kedudukan sebagai Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Wakil Perdana Menteri dan penanda tangan persetujuan Roem – Royen Statement, Penanda tangan persetujuan Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda. Karir politiknya berakhir dalam pemerintahan , ketika partai Islam Masyumi dibubarkan pada tangga 17 Agustus 1960.
B. Saran Saran yang hendak penulis tuliskan dalam bab akhir skripsi ini adalah hal-hal yang belum dan tidak tertulis dalam penyelidikan sekarang. Oleh sebab itu, saransaran yang akan penulis paparkan di bawah ini adalah dikaitkan dengan data yang disajikan, seperti penyelidikan terdahulu, pemikiran-pemikiran yang sedang berkembang, dan keterbatasan cakupan penelitian yang dilakukan sekarang. Berdasarkan landasan teoritis di atas, maka penulis akan memaparkan dan memberikan saran sebagai renungan bagi pembaca yang budiman dan acuan untuk penelitian selanjutnya. Kajian tentang kiprah politik Muhamad Roem pasca kemerdekaan Republik Indonesia adalah menarik – terutama bagi penulis. Mengingat kapasitas keilmuan,
keahlian sebagai juru runding, dan figur politik yang disegani oleh tokoh-tokoh nasional maupun internasional. Oleh sebab itu, karena Muhamad Roem adalah bagian dari sejarah dan kiprahnya telah membawa perubahan bagi bangsa ini sebagai bangsa yang bermartabat di mata dunia internasiona, maka mengkaji dan menelusuri kiprah politiknya adalah sangat bermanfaat bagi perkembangan intelektual. Keberadaan Muhamad Roem bisa diterima oleh kalangan manapun – baik Islam maupun nasionalis adalah tidak terlepas dari sikap moderat yang ia miliki. Artinya, dalam suasana demokratisasi di era reformasi ini di mana bahwa ada kelompok-kelompok tertentu dengan prinsip dan radikalismenya
hendak
membuat perubahan dan terobosan baru dalam dunia politik maupun hukum. Yang hendak penulis katakan bahwa untuk menghadapi realitas yang ada, sikap kooperatif dan moderat – sebagaimana ditunjukkan Muhamad Roem – adalah saran dan jawaban dalam menjawab hegemoni pemikiran dan aksi politik yang berkembang. Pada akhir tulisan ini penulis ingin mengatakan lepada pembaca yang budiman bahwa perkembangan hidup manusia yang akan datang adalah cerminan masa ini dan sejarah masa lalu. Penulis melihat, Muhamad Roem kurang muncul di permukaan – sebagai tokoh pemikir dan pejuang – dalam dunia akademisi dan keilmuan, dibandingkan dengan Hamka, Agus Salim dan yang lainnya. Oleh sebab itu karya ilmiah yang sederhana ini hadir sebagai jawaban atas persoalan di
atas, sekalipun penulis belum bisa menghadirkan sajian secara komperhensif. dan bermutu. Penulis pun tidak menutupi diri dengan segala kekurangan-kekurangan yang ada dalam tulisan ini. Sebagai manusia yang memiliki kelemahan dan kekurangan – baik dalam kapasitas keilmuan dan pengalaman – sehingga penyajian tulisan ini kurang maksimal atau bahkan masih jauh dari nilai akademik dan keilmuan, karena kekurangan pada diri penulis adalah kelebihan pada diri orang lain. Oleh karena itu, apa yang pembaca lihat dalam tulisan ini adalah sebagai sarana yang baik dalam rangka meningkatkan mutu keilmuan dan evaluasi untuk meraih hari depan yang berkualitas dari hari ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Taufik, Manusia DalamKemelutSejarah, Jakarta: LP3ES, 1978, cet.ke-1 Agung,Ide Anak Agung Gede, Dari Indonesia TimurKe Republik Indonesia Serikat,Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1985 Alfian, Hasil Pemeilihan Umum 1945 Untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta: Leknas, 1972 Anshory, H. Endang Syaifuddin, Piagam Jakarta, Bandung: Pustaka Yayasan Masjid Salman, 1981 Budiardjo, Miriam, Prof, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia, 1991 ,cet. Ke-XIII Hardi, Api Nasionalisme; Cuplikan Pengalaman, Jakarta: Gunung Agung, 1983 Hatta, Muhammad, Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta: Tinta Mas, 1987 Ingleson, John, Jalan Ke Pengasingan; Pergerakan Nasionalis Indonesia 1927 – 1934, Jakarta: LP3ES, 1977 Kahin, G. M. T, Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia, Terjemahan, Kualalumpur, 1980, cet. Ke-1 Mintarja, Syafa’at, Islam dan Politik Islam dan Negara di Indonesia, Jakarta: Tanpa Nama Penerbit, 1979, cet. Ke-1 Ma’arif, Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan ,Jakarta: LP3ES, 1985 Mochtar, Kustiniyati, Muhamad Roem; Diplomasi Ujung Tombak Perjuangan RI, Jakarta: PT.Gramedia, 1989, cet. Ke-1 Nasution, A. H, Memenuhi Panggilan, Jakarta: GunungAgung, 1985 ………………, Sekitar Perang Kemerdekaan, Bandung: Angkasa, 1979, cet. Ke-1, jilid 10
Nasution, Harun, Prof, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Depag RI,IAIN, Jakarta: 1987, cet. Ke-1 Natsir, Muhammad, Capita Celekta, Jakarta: Pustaka Pandis, 1957 Niel, Van, Munculnya Elit Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984 Noer,Deliar, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900 – 1942, Jakarta: LP3ES …………..., Partai Islam di PentasNasional 1945 – 1965, Jakarta: Grafiti Press, 1987, cet. Ke-1 Prawiranegara, Syaifuddin, Indonesia di Persimpangan Jalan, Jakarta: Yayasan Al Ma’arif Bandung, 1951 Condronegoro, Purnawan, Merdeka Negeriku Merdeka Tanahku ,Jakarta: CV Mas Agung, 1987, cet. Ke-1 Pustaka Indonesia, Putusan Muktamar ke-IV Masyumi, Malang: 1950 Roem,Muhamad, Jejak Langkah Agus Salim; Pilihan Karangan,Ucapan danPendapat Beliau dari DuluSampai Sekarang ,Jakarta: Tinta Mas, 1945 …………………, Pelajaran dari Sejarah, Surabaya: Documenta, 1970 …………………, Monogamy Poligamy dan Peradilan Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1973 …………………….., Suka Duka Berunding dengan Belanda, Jakarta: Yayasan Idayu, 1975 …………………….., Sumpah Pemuda Puncak Awal Pertumbuhan, Yayasan Pajar Shodiq, 1975 …………………….., Bunga Rampai dari Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, Jilid II …………………….., Bunga Rampai Dari Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, cet.ke-1
…………………….., Dalam Bung Hatta, Mengabdi Pada Cita-Cita Perjuangan Bangsa, Jakarta:Panitia HUT Bung Hatta, 1972, cet.ke-1 Kartodirjo, Sartono, Sejarah Nasional Indonesia Baru; Sejarah Pergerakan Nasional, Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jakarta: PT.Gramedia,1990 ,jilid ke-2 ……………………., Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, Jilid IV Sekretaris Negara RI, 30 Tahun Indonesia Merdeka, Jakarta: PT Lamtoro Gung Persada, 1985, cet. Ke-4 Suratmin, Mr. Muhamad Roem Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: Depertemen P& K, 1986 Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, Van Hoeve, 1980 Soemarsono, Soemarso, Roem Sebagai Perunding, Jakarta: Bulan Bintang,1970 ……………………….., Muhamad Roem 70 Tahun Pejuang dan Perunding, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, cet. Ke-1 Tobing,K.M.L, Pejuang Fisik Bangsa Indonesia KBM, Jakarta: CV. Mas Agung, 1987,cet.ke-1 Van, G. Dijk, Darul Islam, Jakarta: Grafiti Press, 1983, cet. Ke-1