PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD NATSIR DALAM PETA PERPOLITIKAN DI INDONESIA DI MASA ORDE LAMA
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun oleh : MUHAMMAD IBNU TASLIM NIM: 1110045200007
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/ 2015 M
ABSTRAK MUHAMMAD IBNU TASLIM. NIM 1110045200007. PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD NATSIR DALAM PETA PERPOLITIKAN DI INDONESIA DI MASA ORDE LAMA. Konsentrasi Ketatanegaraan Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 1436 H/2015 M. IX + 76. Tokoh Mohammad Natsir ini penting untuk dikaji. dari karya-karya dia mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran Islam dan politik di Indonesia dalam melihat berbagai fenomena keagamaan Islam dan ia juga mengkritik sejumlah persoalan politik yang berkembang di Tanah Air terutama pada masa orde lama. Karena, Natsir mampu membicarakan persoalan Islam, baik dalam dimensi normative maupun historis, yang melibatkan isu-isu sosial budaya, ekonomi, dan politik yang lebih bersifat praktis. Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif (library research). yaitu metode penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan datanya dengan memanfaatkan berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penelitian baik dari buku-buku teks, media masa, ataupun jurnal, yang membicarakan tentang pemikiran politik Mohammad Natsir. Hasil dari penelitian ini untuk menambah khazanah keilmuan bagi pembaca, memberikan wawasan serta keilmuan bagi peneliti, dan memberikan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Kata Kunci : Orde Lama, Pemikiran Politik, Peta Perpolitikan. Pembimbing : Dr. H. Abdurrahman Dahlan, MA. Daftar Pustaka : Tahun 1965 s.d. Tahun 2014
i
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang telah melimpahkan rahmat, nikmat dan karunia-Nya kepada segenap umat manusia. Shalawat beriringkan salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, manusia yang sempurna keimanannya serta manusia yang paling mulia, hingga patutlah menjadi teladan bagi seluruh umat manusia lainnya. Dengan mengucap syukur Alhamdulillah. Penelitian yang berjudul “Pemikiran Politik Mohammad Natsir Dalam Peta Perpolitikan Di Indonesia Di Masa Orde Lama” telah dapat penulis selesaikan. Penulisan karya ilmiah dalam bentuk skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata satu (S1) guna memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Merupakan suatu kehormatan bagi penulis untuk mempersembahkan yang terbaik bagi kedua orang tua, seluruh keluarga penulis, almamater, dan pihakpihak yang telah ikut andil dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Sebagai bentuk penghargaan, penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada : 1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Dra. Hj. Maskufah, MA. Selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah yang telah memberikan arahan dalam penelitian skripsi penulis. 3. Ibu Hj. Rosdiana, MA. Selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak membantu dalam hal akademik terkait penyelesaian studi penulis.
ii
4. Bapak Dr. H.Abdurrahman Dahlan, MA. Selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu serta memberikan arahan dan masukan agar skripsi ini terselesaikan dengan baik. 5. Segenap Dosen dan staf akademik Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat serta bantuan bagi penulis. 6. Segenap staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas penyediaan literature dalam penulisan skripsi ini. 7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Suhartono dan Ibunda Inayah Zakaria, serta adik-adik tersayang Muhammad Fahri Husain dan Syifa Amalia dan keluarga yang telah memberikan motivasi, saran, dukungan dan doa bagi penulis. 8. Keluarga Besar Siyasah Syariah (Ketatanegaraan Islam) 2010, khususnya teman-teman seperjuangan Siyasah Syariah 2010, Alumni Darussalam Gontor 2008 serta K.H.Abdullah Syukri Zarkasyi, K.H. Hasan Abdullah Sahal, K.H. Syamsul Hadi Abdan S,Ag. Dan masih banyak yang lainnya yang tidak mampu penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan dan doanya selama ini. 9. Teman-teman KKN Sahabat dan Keluarga Besar Desa Mauk Barat. Terimakasih atas motivasinya. 10. Teman-teman Seperjuangan HMI KOMFAKSY terimakasih atas dukungan dan doanya selama ini.
iii
11. Terimakasih juga untuk semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT dengan Ridho-Nya membalas segala kebaikan dengan pahala yang berlipat ganda. Dengan segala kekurangan, besar harapan penulis agar skripsi ini mampu memberikan manfaat serta pengetahuan bagi penulis pribadi dan para pembaca lainnya. Semoga Allah senantiasa membimbing dan memberikan petunjuk dalam setiap langkah.
Jakarta, 5 April 2015 Penulis
Muhammad Ibnu Taslim
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................
i
KATA PENGANTAR .................................................................................
ii
DAFTAR ISI ................................................................................................
v
PENDAHULUAN .......................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Permasalahan ..........................................................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................
9
D. Metode Penelitian ...................................................................
11
E. Review Studi Terdahulu .........................................................
16
F. Sistematika Penulisan .............................................................
18
PETA PERPOLITIKAN DI MASA ORDE LAMA ................
21
A. Kondisi Sosial Politik Di Masa Orde Lama ...........................
21
B. Kekuatan Politik Islam Di Masa Orde Lama ..........................
26
1. Politik Islam di Masa Kemerdekaan .................................
26
BAB I
BAB II
2. Politik Islam Dalam Pembentukan Negara Pada Masa Kemerdekaan .....................................................................
32
3. Peranan Islam dalam Konstituante ....................................
35
C. Kebijakan Politik Orde Lama ..................................................
37
1. Kebijakan Pemerintah Orde Lama ……………………. ..
37
2. Kebijakan Orde Lama Terhadap Islam ……………….. ...
42
v
3. Aspirasi
Dan
Perjuangan
Umat
Islam
Terhadap
Kebijakan Orde Lama .......................................................
44
BAB III BIOGRAFI MOHAMMAD NATSIR ........................................
46
A. Riwayat Hidup Mohammad Natsir .........................................
46
B. Riwayat Intelektual Mohammad Natsir ..................................
47
C. Posisi Mohammad Natsir Diantara Para Pemikir Islam Pada Masanya .................................................................................
52
D. Pengaruh Pemikiran Mohammad Natsir di Indonesia…….. ...
55
1. Dianggap Sebagai Tokoh Pancasila .................................
55
2. Arsitek Utama Negara Kesatuan ......................................
56
3. Dari Berpolemik Hingga Menjadi Menteri Kesayangan Soekarno ...........................................................................
56
4. Tokoh Dunia Islam Yang Sederhana ................................
58
BAB IV SIGNIFIKANSI PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD NATSIR .......................................................................................
60
A. Peran Natsir Sebagai Menteri Penerangan…………….. .....
60
B. Peran Natsir Sebagai Perdana Menteri Pertama Negara Kesatuan RI ...........................................................................
63
1. Pembentukan Negara Kesatuan RI………………..........
63
2. Pemetaan Politik Luar Negeri…………………….. .......
66
3. Konsep Ekonomi dan Pembangunan……………… ......
67
vi
4. Integrasi dan Konvergensi Pendidikan……………........
68
C. Peran Natsir di Konstituante .................................................
70
D. Peran Natsir Saat Dalam Tahanan Politik .............................
74
PENUTUP ...................................................................................
79
A. Kesimpulan .............................................................................
79
B. Saran .......................................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
81
BAB V
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masaalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentang dari Sabang sampai Merauke adalah sebuah negara besar. NKRI yang diperjuangkan dengan segenap pengorbanan, baik melalui perang maupun diplomasi. Perjuangan itu pun melahirkan banyak pahlawan pejuang kemerdekaan dari Sultan Hasanuddin, Sultan Ageng Tirtayasa, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, hingga KH Zaenal Mustafa. Dalam bidang diplomasi ada Soekarno, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir, Muhammad Roem, Sjafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir yang mana mereka gigih memperjuangkan Kedaulatan Negara dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.1 Dalam upaya menegakkan kedaulatan NKRI selain Sjafruddin Prawiranegara dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia-nya (PDRI) di Sumatera Barat, juga ada Mohammad Natsir yang turut serta memainkan peranan luar biasa bagi tegaknya kedaulatan Negara kita ini.2 Di mana dalam sidang parlemen gabungan Negara Republik Indonesia (RI) dan Republik Indonesia Serikat (RIS), Mohammad Natsir yang sebagai anggota parlemen dari Masyumi, pada 3 april 1950, mengajukan Mosi Kesatuan yang populer
1
Lukman Hakiem, dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir (Jakarta: Republika, 2008), h. 353-354. 2
Ajib Rosidi, M.Natsir: Sebuah Biografi (Jakarta: Giri Mukti Pustaka, 1990), h.42.
1
2
dengan sebutan Mosi Integral Natsir.3 Mosi inilah yang mengantarkan masingmasing Negara bagian, untuk bersatu kembali ke dalam Negara kesatuan Republik Indonesia. Pengaruh mosi ini diakui sangat strategis bagi perjuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia.4 Masa orde lama sangatlah menarik karena adanya pertarungan ideologi partai berbeda antara yang satu dengan lainnya. Misalnya, Nasakom yaitu Nasionalis PNI-PARTINDO-IPKI-dll, Komunis PKI; Islam NU-MASYUMIPSII-PI PERI, Sosialis PSI-MURBA, Kristen PARKINDO dll.5 Orde Lama dalam sejarah politik Indonesia merujuk kepada masa pemerintahan Soekarno (1945-1965).6 Sedangkan Nasakom merupakan konsep politik selama presiden Sukarno di Indonesia. Nasakom adalah akronim dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme.7 Memang Orde lama telah dikenal dengan prestasinya dalam memberi identitas, kebangsaan nasional dan mempersatukan bangsa Indonesia.8 Namun di sisi lain Orde Lama juga telah memberikan peluang bagi kemungkinan kaburnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pemberontakan PKI pada 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD
3
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan RI (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.70-71.
4
Lukman Hakiem, dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir, h.359-360.
5
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia: Studi SosioLegal atas Konstituante 1956-1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), h.34. 6
https://id.wikipedia.org/wiki/Orde_Lama
7
https://id.wikipedia.org/wiki/Nasakom
8
Lukman Hakiem, dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir (Jakarta: Republika, 2008), h. 353-354.
3
Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965 yang mengaburkan identitas nasional kita. 9 Pada masa Orde Lama partai-partai Islam berasaskan Islam juga bersatu padu memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara.10 Namun, kekuatan politik umat Islam banyak dirugikan oleh kebijakan Soekarno. Kebijakan itu terutama berkaitan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan. Sebab sistem ini, memberikan keleluasaan lebih besar kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk bergerak dan menguasai panggung politik
Nasional.
Juga,
kebijakan
Soekarno
tentang
keputusannya
membubarkan Masyumi Agustus 1960.11 Dalam proses pengakuan kedaulatan dan pembentukan kelengkapan Negara, ditetapkan sistem demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi ini presiden hanya bertindak sebagai kepala negara. Presiden hanya berhak mengatur formatur pembentukan kabinet.12 Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintah ada pada kabinet dan presiden tidak boleh bertindak sewenangwenang. Adapun kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Dalam hal ini Presiden Soekarno menunjuk Mohammad Natsir sebagai formatur
9
Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa (Jakarta:Gema Insani Press, 1997), h.60-61.
10
https://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/10/13/partai-politik-islam-dalam-petapolitik-indonesia/ 11
https://ikadianhumairohsuparyat.wordpress.com/2013/07/25/politik-islam-era-orde-
lama/ 12
Yusril Ihza Mahendra, ed., M.wahyuni Nafis, dkk, Makna dan peranan islam dalam proses sosio-politik di Indonesia konstektualisasi ajaran islam: 70 tahun Munawir Sjadzali, cet.I. (Jakarta:IPHI dan Paramadina,1995), h. 354
4
karena telah berjasa dengan Mosi Integralnya yang membubarkan RIS yang diterima bulat oleh parlemen, lalu diangkatlah Mohammad Natsir sebagai Perdana Menteri oleh Presiden saat itu yaitu Soekarno.13 Dalam sistem demokrasi liberal ini, partai-partai besar seperti Masyumi, PNI, dan PKI mempunyai partisipasi besar dalam pemerintahan. Dibentuklah kabinet-kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat ) yang merupakan kekuatan-kekuatan partai besar berdasarkan UUDS 1950.14 Salah satu ciri penting dalam penerapan sistem Demokrasi Liberal di negara kita ini adalah silih bergantinya kabinet yang menjalankan pemerintahan. Kabinet yang pertama kali terbentuk pada tanggal 6 september 1950 adalah kabinet Natsir.15 Mohammad Natsir dikenal sebagai seorang negarawan Muslim, ulama, intelektual, tokoh pembaharu dan politisi kenamaan dunia Islam pada abad ke20 ini. Pada masa perjuangan kemerdekaan ia dipercaya untuk menduduki jabatan-jabatan penting di Republik Indonesia, seperti menjadi anggota badan pekerja komite nasional Indonesia pusat (BP KNIP), Menteri Penerangan 1946-1948, anggota DPRS dan Perdana Menteri 1950-1951.16 Setelah pemilu tahun 1955, terjadi perkembangan politik yang cukup menarik. Pertentangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis 13
Lukman Hakiem, dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir, h.283.
14
Deliar Noer, Partai-partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, h.347.
15
Soekarno, Bung Karno: Seridokumentar,2003), h.103. 16
Negara
Nasional
dan
Cita-cita
Lukman Hakim, dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir, h.305.
Islam
(Jakarta:
5
sekuler mulai terlihat dalam majelis konstituante yang membahas tentang rancangan UUD perihal dasar Negara yang akan digunakan.17 Saat itu ada tiga rancangan dasar Negara yaitu Islam, Pancasila dan Sosial-ekonomi. Rancangan tentang sosial ekonomi diajukan oleh partai buruh. Sedangkan murba hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Majelis Konstituante. Sementara itu perdebatan didominasi antara golongan Islam dan Nasionalis sekuler yang mengajukan Pancasila sebagai dasar Negara. Perdebatan itupun berakhir setelah Bung Karno membubarkan Majelis Konstituante dengan dekrit presiden 5 juli 1959 dan menyerukan kembali pada UUD 1945 dengan tetap berdasarkan Pancasila.18 Suasana di atas setidaknya menggambarkan dinamika politik pasca kemerdekaan dengan upaya untuk merumuskan kembali hubungan antara agama Islam dan Negara yang dapat diterima secara luas oleh bangsa Indonesia. Pada pemerintahan sistem politik orde lama, masyarakat masih belum memiliki kesadaran berpolitik.19 Dalam perdebatan dasar Negara golongan Islam diwakili oleh Mohammad Natsir yang selama masa pra-kemerdekaaan telah berusaha merumuskan konsep-konsepnya mengenai Negara Islam melalui tulisantulisannya di majalah Pembela Islam yang terbit antara tahun 1929-1935 dan
17
18
19
A.H. Nasution, Sejarah Kembali Ke UUD 1945 (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1976), h.14. Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta:LP3ES,1987), h.124.
Sudirman Teba, Islam Orde Baru Perubahan Politik dan Keagamaan (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993), h.9.
6
Pandji Islam 1937-1941.20 Menurutnya, Islam bukan semata-mata agama dalam pengertian ruhaniah saja. Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan antara sesama manusia. Islam merupakan pedoman dan falsafah hidup yang tidak mengenal pemisahan agama dan politik.21 Mohammad Natsir merupakan tokoh yang telah berhasil membangun fondasi perpolitikan di Indonesia, dan khusus bagi umat Islam, Mohammad Natsir telah memerankan peranan yang luar biasa dalam bingkai Ke-Islaman dan meletakkan Islam dalam bingkai Ke-Indonesiaan. Maka tak heran jika banyak predikat yang melekat pada pribadinya. Predikat ini pun muncul bukan dari keinginannya, tetapi justru lahir dari umat ketika melihat perjalanan hidup Mohammad Natsir.22 Tanpa menafikan peran para pemikir muslim lainnya, Mohammad Natsir telah mengembangkan pemikirannya di masa orde lama dan Politik Islam di Indonesia dengan bingkai teori Ilmu-ilmu politik.23 Banyak karya dan buku telah di terbitkannya sebagai bagian kepedulian dan kontribusinya dalam mencari jalan keluar dari kebuntuan perdebatan mengenai politik. Ini menunjukkan, pentingnya Ilmu politik dalam memahami soal politik yang terjadi di Indonesia dan khususnya di masa orde lama.24Dalam hemat penulis tokoh seperti Mohammad Natsir penting untuk dikaji sebab dari pemikiran
20 21 22 23
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h.125-127. Deliar Noer, Partai-partai Islam di pentas nasional 1945-1965, h.126. Lukman Hakim, dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir, h.140. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2001), h.9. 24
Ajib Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, h.18.
7
serta karya-karyanya mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran Islam dan politik di Indonesia dalam melihat berbagai fenomena politik. Dalam penulisan skripsi ini, penulis memfokuskan kajian penelitian pada pemikiran politik Mohammad Natsir (selanjutnya disebut Natsir) tentang Peta perpolitikan di Indonesia pada masa orde lama, dan beberapa aspek pemikirannya yang mengundang kontroversi. Pemikiran politik Natsir dalam hal ini, merupakan ijtihad politik Natsir dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem bernegara. Kepedulian seorang tokoh terhadap tanah kelahirannya dapat dilihat dari pemikiran, perjuangan dan tindakannya dalam
mengartikulasikan
ide-idenya.
Ide-idenya
dipaparkan
secara
komprehensif dan meyakinkan. Argumen-argumen yang dibangunnya disampaikan, mulai dari filosopis sampai praktisnya. Sehingga ide-idenya tidak saja memperkaya wacana, namun dapat dijabarkan secara operasional. Hal itu dimungkinkan karena kapasitasnya sebagai intelektual dan negarawan.25 Natsir memang telah tiada, namun ia telah mewariskan ide dan gagasan pemikiran yang mahal dan langka. Semuanya telah tertuang dalam beberapa artikel yang jumlahnya tak terhitung.26 Islam jelas berpengaruh dalam pikiran dan perjuangannya. Oleh karena itu, studi tentang pemikiran dan aksi politik Islam Mohammad Natsir menjadi sangat menarik dan patut untuk diteliti secara mendalam dalam rangka memberikan kontribusi positif
25
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia (Bandung: Mizan Pustaka, 2010), h.42. 26
Mohammad Natsir, Capita Selekta, Jilid 1 dan 2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
8
bagi upaya memahami format politik Islam di Indonesia dalam kaitannya dengan Islam dan politik di masa orde lama. Untuk itu judul yang diambil dalam penelitian skripsi ini adalah PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD NATSIR DALAM PETA PERPOLITIKAN DI INDONESIA DI MASA ORDE LAMA.
B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Dengan mengajukan skripsi ini maka peneliti memperoleh kesempatan melakukan historical insight, tentang seorang tokoh besar yaitu Mohammad Natsir. Kiprah Natsir sebagai seorang tokoh intelektual, politikus, pemimpin negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal-usul dan fisiknya, Natsir hanyalah orang biasa, dengan temperamen yang lemah lembut, bicara penuh sopan santun, dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya. Tak diragukan lagi banyak sekali pengalaman yang menginspirasikan pemikiranpemikirannya untuk diterapkan di Indonesia. Dari sekian banyak pemikiran Mohammad Natsir, penulis ingin memfokuskan kajian penelitiannya terhadap pemikiran politik Mohammad Natsir di masa orde lama. 2. Pembatasan Masalah. Sebagaimana banyak diketahui Mohammad Natsir dikenal sebagai seorang tokoh intelektual, politikus, pemimpin negara maupun tokoh dunia
9
Islam, Seorang tokoh yang menghasilkan pemikiran yang luar biasa tentang Islam. Oleh sebab itu, dalam skripsi ini penulis akan membatasi pembahasannya lebih fokus kepada pemikiran politik Mohammad Natsir di masa orde lama dan difokuskan yang ditulis adalah kerangka pemikiran politik Mohammad Natsir di masa orde lama dalam membatasi ruang kajian ini. 3. Perumusan Masalah Dengan merujuk pada keterangan yang telah dijelaskan diatas, ada bebarapa persoalan
yang terangkum
dalam
identifikasi
masalah,
berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pembahasan skripsi ini penulis melakukan penelitian bagaimana pemikiran politik Mohamammad Natsir di Indonesia di masa orde lama dan dapat diuraikan secara terperinci sebagai berikut: a.
Bagaimana peta perpolitikan Mohammad Natsir di Indonesia di masa orde lama?
b.
Bagaimana Perjalanan hidup Mohammad Natsir selaras dengan kehidupan politiknya?
c.
Bagaimana Signifikansi pemikiran politik Mohammad Natsir?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui dan memahami secara jelas tentang pemikiran politik Mohammad Natsir khususnya pemikiran politik Mohammad Natsir di masa orde lama. Serta melakukan analisis
10
kritis terhadap pemikiran dan gagasannya. Dan juga ingin lebih dalam mengkaji tentang beberapa hal, yang di antaranya adalah: a. Untuk mengetahui peta perpolitikan Mohammad Natsir dalam politiknya, khususnya peta perpolitikan Mohammad Natsir di masa orde lama. b. Mengetahui Perjalanan hidup Mohammad Natsir selaras dengan kehidupan politiknya. c. Untuk mengetahui signifikansi pemikiran politik Mohammad Natsir. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Praktis Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam meraih gelar kesarjanaan strata 1 (S1) Fakultas Syariah dan Hukum di Jurusan Ketatanegaraan
Islam
pada
Universitas
Islam
Negeri
Syarif
Hidayatullah Jakarta. b. Manfaat Akademis 1) Sebagai tambahan referensi atau perbandingan bagi studi-studi yang akan datang, judul skripsi yang penulis angkat diharapkan akan menambah jumlah studi mengenai politik Islam. 2) Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan dibidang ilmu poltik. 3) Bagi Fakultas, diharapkan memberikan sumbangan kepustakaan dalam pengembangan wacana civitas akademika di Jurusan
11
Ketatanegaraan Islam.
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini adalah library research yaitu metode penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan datanya dengan memanfaatkan berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penelitian baik dari buku-buku teks, media masa, ataupun jurnal, yang membicarakan tentang pemikiran politik Mohammad Natsir. Namun yang tetap perlu diperhatikan adalah unsur selektif yaitu tidak semua unsur bacaan yang di temukan lalu ditelaah dan dipakai begitu saja, agar didapatkan hasil penelitian yang relevan dan tidak meluas kemana-mana. Kajian inipun sering juga disebut kajian literatur27. Penelitian tokoh ini juga bersifat kualitatif yang berangkat dari generalisasi empiris atau realitas-realitas sosial sejarahnya. Realitasrealitas tersebut dideskripsikan dan di analisis secara komprehensif, holistik, dan komparatif. Aspek yang bersifat fenomenal dan historis juga didiskripsikan dan ditelaah secara kritis hingga melahirkan satu generalisasi yang bersifat ideografis.
27
Mohammad Kasiram, Metodologi Penelitian : Refleksi Pengembangan Pemahaman dan Penguasaan Metodologi Penelitian (Malang: UIN Press, 2008), h. 111.
12
Menurut Bogdan dan Taylor (1973),28 penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan, dan perilaku yang dapat diamati dari subyek itu sendiri. Pendekatan ini menunjukkan langsung dari setting itu secara keseluruhan. Subjek studi baik berupa organisasi, lembaga, atau individu tidak dipersempit menjadi variable yang terpisah atau menjadi hipotesis, tetapi dipandang sebagai bagian dari suatu keseluruhan (holistik). Strategi
penelitian
menggunakan
studi
tokoh
kritis
yang
merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif. Dalam studi tokoh kritis, metode
yang digunakan untuk
meneliti
subjek penelitian
akan
mempengaruhi cara pandang subjek tersebut. Sehingga studi tokoh kritis terletak pada kapasitas untuk menganalisa dan menginterpretasi tokoh Mohammad Natsir secara kritis. Melalui metode ini juga, dapat dikenali secara mendalam bagaimana Mohammad Natsir secara pribadi dengan melihat konsepnya, sesuai dengan cara pandangnya terhadap dunia dengan pemikiran, karya, dan perilaku politiknya. Penelitian kualitatif ini mencoba mengeneralisasikan tokoh Mohammad Natsir, dari sisi pemikiran politiknya khususnya tentang perpolitikan di masa orde lama. Oleh karena itu, kajian literatur kritis yang baik menjadi prasyarat wajib bagi setiap penelitian, baik untuk penjabaran atau mempertajam permasalahan, merumuskan hipotesis, merumuskan konsep-konsep, menentukan dasar-dasar teori yang dipergunakan dalam mengumpulkan 28
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Farian Kontemporer (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001), h.31.
13
data, maupun dalam menafsirkan data. Penelitian kepustakaan ini diperoleh dengan melakukan penalaran dedukatif secara simultan dari sumber-sumber bacaan yang diperoleh. Jadi penelaahan ini tidaklah hanya memindahkan buah pemikiran orang lain secara dogmatis tetapi memerlukan proses berpikir seorang peneliti agar terhindar dari unsur menjiplak. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan
pendekatan
sejarah (historical approach) dalam hal ini peneliti mengeksplorasi perkembangan konsep ataupun pemikiran serta aksi politik Mohammad Natsir secara kronologis. Dengan mengunggkap perkembangan politik Islam secara kronologis, dari itu akan dapat diketahui dengan lebih mudah perihal sebab-sebab lahir dan berkembangnya kebijakan-kebijakan pada masa itu. Pada akhirnya penulis dapat menemukan orisinalitas dan inti pemikiran Mohammad Natsir tersebut. 2. Teknik Pengumpulan Data a. Pengumpulan data Sebagai implikasi dari pendekatan yang digunakan, maka metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan, dan prilaku yang dapat diamati dari subyek itu sendiri. dengan metode ini penulis mengkaji bahan atau data dari sumber tulisan yang terkait, baik dari sumber primer maupun sekunder. Adapun sumber data yang besifat primer adalah dokumen atau
14
karya tulis yang merupakan karya asli dari Mohammad Natsir antara lain adalah Kebudayaan Islam dalam perspektif sejarah, Di bawah Naungan Risalah, Islam Sebagai Dasar Negara, Demokrasi di Bawah Hukum, Indonesia di Persimpangan Jalan, dll. Adapun sumber data yang bersifat sekunder adalah dokumen atau karya tulis yang ditulis oleh orang atau suatu lembaga tentang sosok Mohammad Natsir dengan memberikan kategorisasi dan pengelompokan kualitas pada data yang diperoleh baik yang berasal dari dokumen pustaka misalnya Buku-buku yang mengkaji tentang Mohammad Natsir adalah Pemikiran Natsir dalam perkumpulan intelektual di Indonesia yang ditulis oleh Anwar
Haryono dan
Lukman Hakim, dan juga buku Mohammad Natsir 70 tahun: kenangkenangan kehidupan dan perjuangan karangan Yusuf Abdullah Puar, lalu ada pula buku yang menjelaskan tentang Biografi Mohammad Natsir yaitu buku M. Natsir, sebuah biografi yang ditulis oleh Ajib Rosyidi, kemudian ada buku tentang Gerakan Modernisme Islam di Indonesia 1900-1942 yang ditulis oleh Deliar Noer dan Partai Islam di Pentas Nasional, ataupun dari data lain seperti internet, kemudian data-data tersebut dianalisis dengan kritis secara akademis. Oleh karena itu, penulisan akan merujuk pada pengkajian pustaka, baik karya asli mapun terjemahan, juga karya-karya yang sesuai atau mendukung dengan tema bahasan. b. Pengolahan Data Metode pengolahan data yang digunakan dalam penulisan
15
skripsi ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan hasilhasil penelitian yang bersumber dari data primer dan sekunder secara apa adanya. Kemudian dianalisa dengan cara menginterpretasikan dari hasil-hasil yang telah didapatkan. Kemudian data-data tersebut diklasifikasikan sesuai dengan tema dan sub-sub bab yang akan dibahas oleh penulis, kemudian penulis mendeskripsikan ini dengan memaparkan secara sistematis yang disertai dengan membuat analisis, kritik dan kesimpulan. Analisis yang digunakan penulis adalah analisis hubungan yaitu memberikan analisis dengan menghubungkan uraian dan penjelasan yang terdapat pada bab-bab sebelumnya diakhir pembahasan. c. Teknik Analisis Data Analisis data dengan metode analisis induktif yaitu dengan melakukan analisis secara menyeluruh terhadap data-data yang telah didata, kemudian akan dihasilkan kesimpulan penelitian terhadap permasalahan yang diangkat. Metode ini dilakukan penulis dengan berbagai langkah yaitu dengan cara menghimpun seluruh data-data tersebut dijadikan beberapa bab dan sub bab, setelah semuanya terdata dengan baik, langkah selanjutnya data-data tersebut dianalisa oleh penulis sehingga menjadi sebuah kesimpulan yang sesuai dengan informasi dan data-data yang didapatkan. d. Teknik Penulisan Skripsi Teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada
Buku
pedoman Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
16
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tahun 2012. E. Review Studi Terdahulu Sebagai seorang tokoh agama sekaligus negarawan, kehidupan dan pemikiran Mohammad Natsir cukup banyak mendapat sorotan dari para penulis, terutama berkaitan dengan perjuangan Islam dan bangsa Indonesia. Sebagai contoh Deliar Noer dalam bukunya yang berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Deliar Noer memaparkan tentang Mohammad Natsir sebagai anggota Persis, permulaan karirnya, kaitannya dengan Partai Islam Indonesia, dan Polemiknya dengan Soekarno.29 Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya yang berjudul Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan dalam Islam : di dalamnya memaparkan pandangan Mohammad Natsir tentang Perjuangan Islam dan Bangsa Indonesia.30 Meskipun kedua buku ini membicarakan tentang Mohammad Natsir dalam Perjuangan Islam dan Bangsa Indonesia, tapi ia bukanlah tema sentral dari tulisan tersebut. Mohammad Natsir dibahas sebagai sebuah bagian yang berfungsi untuk menyempurnakan tema sentral dari kedua tulisan. Adapun tulisan yang menjadikan Mohammad Natsir sebagai tema sentral antara lain: (1) Pak Natsir 80 Tahun: Pandangan dan Penilaian Generasi Muda Antar Generasi. Tulisan ini merupakan kumpulan tulisan dari 29
Deliar Noer , Gerakan Modernisme Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996), h.308-315. 30
Abdur Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri : Strategi Kebudayaan Dalam Islam (Yogyakarta: Sipress,1994), h. 140-149.
17
beberapa tokoh tentang pandangan mereka terhadap Mohammad Natsir baik sisi
pribadinya,
perjuangannya
dalam
agama
dan
Negara
ataupun
pemikirannya tentang Islam dan Negara.31 (2) Percakapan antar Generasi: Natsir Pesan Perjuangan seorang bapak adalah hasil wawancara A.W. Praktiknya dan Amien Rais dengan Mohammad Natsir yang berkaitan dengan Islam, Gerakan, dan Perkembangannya.32 (3) Natsir: Sebuah Biografi oleh Ajib Rasidi. Dari judul tulisan ini dapat terlihat bahasa tulisan tersebut memfokuskan diri pada biografi Mohammad Natsir dari awal kelahirannya hingga perjuangan dan perannya dalam kehidupan beragama dan berbangsa.33 (4) Dasar Negara Islam Indonesia: Pemikran, Cita-cita, dan Semangat Nasionalisme Natsir oleh Kholid O.Santosa: Memaparkan Perkembangan Pemikiran Mohammad Natsir berkaitan dengan agama dan politik serta konsep Negara Islam sebagai konsep usulannya.34 (5) Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir oleh Ahmad Suhelmi. Fokus tulisan ini adalah perdebatan antara Soekarno dan Natsir dalam memahami hubungan agama dan Negara.35 Selain tulisan-tulisan diatas, terdapat juga tulisan dalam bentuk skripsi
31
Endang Saifuddin Anshari dan Amien Rais, Pak Natsir 80 Tahun: Pandangan dan Penilaian Generasi Muda (Jakarta: Media Dakwah, 1988), h.187-189. 32
A.W Praktiknya, Percakapan Antara Generasi: Natisr Pesan Perjuangan seorang Bapak (Yogyakarta : Labda, 1989), h.1-130. 33
Ajib Rosidi, M.Natsir: Sebuah Biografi, h.15-312.
34
Kholid O. Santosa, Dasar Negara Islam Indonesia: Pemikiran, Cita-cita dan Semangat Nasionalisme Mohammad Natsir (Bandung: LP2EPI, 2002), h.187-345. 35
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir (Jakarta: Terajin, 2002), h.79-127.
18
yang membahas tentang Mohammad Natsir, antara lain (1) “Konsep Kenegaraan Dalam Islam Menurut Mohammad Natsir” oleh Muhammad Taisir. Tulisan ini menyoroti pandangan Mohammad Natsir tentang Negara yang berpijak pada ajaran agama Islam.36 (2) “Natsir: Politikus Intelektual Muslim” oleh Sri Murti. Tulisan ini tidak memfokuskan pada salah satu pemikiran Natsir namun menyoroti segala sesuatu yang berkaitan dengan Mohammad Natsir sebagai seorang politikus Muslim.37 (3) “Pemikiran Mohammad Natsir tentang Negara dan Kiprahnya dalam Perpolitikan di Indonesia” oleh Adhiyat Bagus Nugraha. Dalam pembahasannya lebih mengarah pada hubungan agama dan Negara.38 Dengan demikian, Penelitian ini berbeda dengan tulisan-tulisan tentang Mohammad Natsir yang telah ada, penelitian ini lebih menekankan dan membahas serta menitikberatkan tentang pemikiran politik Mohammad Natsir dalam peta perpolitikan di Indonesia di masa orde lama. Oleh karena itu, studi tentang pemikiran dan aksi politik Mohammad Natsir menjadi sangat menarik dan patut untuk diteliti secara mendalam dalam rangka memberikan kontribusi positif yang tinggi bagi upaya memahami format politik Islam di Indonesia dalam kaitannya dengan Islam dan politik.
F. Sistematika Penulisan 36
Muhammad Taisir, “Konsep Kenegaraan Islam Menurut Mohammad Natsir”, (Skripsi S1 Fakultas Adab, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, 1999). 37
Sri Murti, “Politikus Intelektual Muslim”, (Skripsi S1 Fakultas Adab, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, 1996). 38
Adhiyat Bagus Nugraha, “Pemikiran Mohammad Natsir tentang Negara dan Kiprahnya dalam Perpolitikan di Indonesia”, (Sripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan Ketatanegaraan Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004).
19
Untuk
memudahkan
penulisan,
maka
penulis
menggunakan
sistematika penulisan dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta agar pemaparan hasil penelitian dalam bentuk penulisan skripsi ini lebih terarah dan sistematis, penulis membagi uraian skripsi ini menjadi lima bab, yakni masing-masing terdiri dari sub-sub yang terdiri sebagai berikut: Pada Bab I (bab Pertama) Penulisan ini dimulai bab pertama, Merupakan bab pendahuluan yang diuraikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi standar laporan penulisan dalam bentuk skripsi sebagaimana lazimnya. Selanjutnya diuraikan pula Pada Bab II (bab Kedua) Pada bagian ini akan dibahas mengenai peta perpolitikan di Indonesia di masa orde lama, serta pergulatan sejarah kekuatan politik Islam di Masa Orde lama, dan kebijakan pemerintah Orde lama, serta kebijakan orde lama terhadap Islam secara deskriptif. Uraian ini dimaksudkan untuk menggambarkan peta perpolitikan pada umumnya di masa orde lama, uraian ini penulis tempatkan pada bab Kedua. Selanjutnya untuk mengenal lebih dekat sosok Mohammad Natsir, pemikiran politik Mohammad Natsir di masa orde lama. Maka lebih dahulu diuraikan dalam hal ini Biografi Mohammad Natsir adapun materi-materi yang disajikan pada bab III (bab Ketiga) ini adalah Membahas mengenai
20
Riwayat Hidup, Riwayat Intelektual (Pendidikan), Corak dan Posisi Mohammad Natsir diantara para pemikir Islam pada masanya, dan Pengaruh Pemikiran Mohammad Natsir di Indonesia. Masuk pada bab IV (Bab keempat). Pada bab keempat ini penulis menjelaskan tentang pembahasan masalah, dimana didalamnya penulis menjelaskan Signifikansi
Pemikiran Mohammad Natsir tentang peta
perpolitikan di Indonesia di masa orde lama, dan penulis juga menjelaskan Peran Mohammad Natsir di masa orde lama, serta Signifikansi Peran Mohammad Natsir dalam Peranannya. Selanjutnya dalam Bab V (Bab Kelima) adalah bab Penutup, dimana dalam bab ini penulis mencoba menyimpulkan apa yang jadi tema skripsi ini yang berisi kesimpulan dan Rekomendasi. Dalam bab ini disajikan pokokpokok temuan penelitian yang dihasilkan. Disamping itu, dimuat pula saran terkait tindak lanjut atas temuan penelitian.
BAB II PETA PERPOLITIKAN DI MASA ORDE LAMA
A. Kondisi Sosial-Politik Di Masa Orde Lama Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi, dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman
yang
membahayakan
perjuangan
bangsa
Indonesia
dalam
mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.1 Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan Instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era orde baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik orde lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideologi sosialisme komunisme.2 Konfigurasi politik yang ada pada periode lama membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur
1
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta:UII Press,1991), h.3. 2
Suhadirman, Pembangunan Politik Satu Abad (Jakarta: Yayasan Lestari Budaya, 1996),
h.50.
21
22
pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Konfigurasi politik otoriter yang dimaksudkan disini ialah dimana susunan sistem politik yang lebih memungkinkan Negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan Negara. konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan Negara untuk menentukan kebijaksanaan Negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elite politik yang kekal, serta dibalik semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan.3 Konfigurasi politik diartikan sebagai kekuatan-kekuatan politik yang riil dan eksis dalam suatu sistem politik.4 Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme.5 Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim orde baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas
lewat
proses
rencana
Pembangunan
Lima
Tahun
yang
berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.6 3
Gallenksonk,”Konfigurasi Politik”, artikel diakses pada 19 Maret 2015 dari https// Kodifikasi.blog.spot.com 4
Gallenksonk,”Konfigurasi Politik”, artikel diakses pada 19 Maret 2015 dari https// Kodifikasi.blog.spot.com 5
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.91.
6
Sudirman Tebba, Islam Orde Baru Perubahan Politik dan Keagamaan, h.329.
23
Presiden Soekarno pada tanggal 5 juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No.75, Berita Negara 1959 No.69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstitiuante melaksanakan tugasnya.7 Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit.8 Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah menjadi masyarakat merdeka.9 Masa orde lama bisa diartikan juga sebagai masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam
7
Moh Mahfud MD, Politik Hukum Diklat Program Pasca Sarjana UII Tahun 1998/1999 (Yogyakarta: penerbit UII Press,1998), h.133-134. 8
9
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.115.
Fira Rahmania, “Penerapan pancasila pada masa orde lama”, artikel diakses pada 19 Maret 2015 https: // Firacomplicated.blogspot.com
24
bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama.10 Orde lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando. Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer.11 Problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila.12 Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democraticie).13 10
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Jakarta: Rajawali,1986),
h.93. 11
Cita Dastmik. “Orde Lama”. artikel diakses pada 19 Maret 2015 dari https: // citadastmikpringsewu.wordpress.com 12
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik:Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) (Jakarta: Gema Insani Press,1996), h.31-32. 13
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi (Yogyakarta : FH UII PRESS, 2004), h.141.
25
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Nahdhatul Ulama (NU), Majlis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas.14 Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tinggi berupa : 1. Gerakan separatis pada tahun 1957; 2. Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959. Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam Fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara Pro dan yang Kontra.15 Pihak yang pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, 14
Ibid,. h.155.
15
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.115.
26
sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.16
B. Kekuatan Politik Islam di Masa Orde Lama 1. Politik Islam di Masa Kemerdekaan Ketika Indonesia memasuki pintu gerbang kemerdekaan, muncul persoalan yang sangat pelik atau kritis, yaitu mengenai pilihan dasar negara atau undang-undang dasar negara. hal ini terkait dengan adanya golongan masyarakat yang secara teoritis digambarkan oleh Geertz, melalui kategori sosial santri, priyai dan abangan. Kalangan santri secara politik mengelompokkan dalam aliran politik dengan ideologi yang agamis (Islam), sedangkan kalangan priyayi (Islamiyah) ke dalam kelompok kecil yang bercakupan Nasional dan Aksi Kesatuan Umat Islam (AKUI) Madura ke dalam kelompok kecil yang bercakupan daerah.17 Berbicara secara Ideologis , perdebatan serius antara wakil-wakil golongan Islam dan kelompok Nasionalis sekuler dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) harus dan abangan secara politik mengelompokkan dalam aliran politik dengan 16
17
Ibid., h.124.
Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Penerjemah: Nugroho Katjasungkana (Jakarta: kepustakaan popular Gramedia, 1999), h. 84-90.
27
ideologi yang sekuler.18 Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 atau tepatnya pada tanggal 3 November 1945, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Pemerintah tentang hak hidup Partai-partai politik Indonesia. Partai-partai tersebut diharapkan sudah berdiri sebelum dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946. Pada saat inilah setelah Partai Nasional Indonesia didirikan, Partai Muslim bernama Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) didirikan pada tanggal 7 November 1945.19 Antara bulan November sampai Desember 1945, berbagai partai politik bermunculan di tanah air. Umat Islam, sekalipun tidak secara langsung berkaitan dengan seruan pemerintah itu, menyelenggarakan kongres umat Islam Indonesia pada tanggal 7-8 November 1945 di Yogyakarta. Semangat yang menjiwai kongres itu bukan saja semangat persatuan, tetapi juga semangat kesatuan. Kongres yang dilaksanakan pada saat seluruh bangsa tengah menghadapi tentara sekutu dan tentara Belanda yang membonceng sekutu berniat kembali menjajah bangsa Indonesia, dengan tegas dan penuh keyakinan mengumandangkan seruan Jihad fi sabilillah untuk mempertahankan kemerdekaan.20 Pembentukan Partai Masyumi di Yogyakarta pada tahun 1945, 18
Firdaus Syam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Di Pentas Politik Indonesia Modern (Jakarta: Khoirul Bayaan, Sumber Pemikiran Islam, 2003), h.47. 19
20
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.94.
Ades Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam Dalam Lintasan Sejarah (Bandung:Pustaka Setia, Januari 2004), h.121-122.
28
melalui kongres umat Islam, salah satu tujuannya adalah melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Kongres ini mengahasilkan kesepakatan bahwa Masyumi Merupakan satu-satunya institusi politik umat Islam. Dari komposisi personalia kepengurusan Masyumi, tampak bahwa
partai
ini
melibatkan
seluruh
fungsionaris
Islam
pasca
kemerdekaan, seperti dalam Majlis Syuro diketuai oleh Hasyim Asy’ari (NU), Agus Salim (PSII) dan lain-lain; sedangkan Pengurus Besar diketuai oleh Sukiman, Abikusno Tjokrosujoso, dan kemudian melibatkan M. Natsir, Mohammad Roem, dan juga Kartosuwirjo.21 Mulai dilaksanakannya sistem pemerintahan parlementer berarti membuka peluang lebih besar kepada partai politik untuk memainkan perannya di legislatif. Partai apa pun yang bisa memperoleh suara terbanyak di legislatif pada gilirannya ia akan mendapat kesempatan untuk mendominasi kabinet atau lembaga eksekutif. Hal ini menjadi salah satu pendorong bagi masyarakat yang terbelah menjadi lima aliran pemikiran politik untuk mendirikan partai sesuai dengan aliran yang dimilikinya. Kelima aliran itu adalah Komunisme, Sosialisme Demokratik, Islam, Nasionalisme Radikal, dan Tradisionalisme Jawa.22 Pada bagian lain, Alfian membagi partai-partai yang muncul pascaMaklumat November 1945 menjadi lima bagian, yaitu Nasionalisme, Islam, Komunis, Sosialis, dan Kristen/Nasrani. Sedangkan buku
21
22
Ibid,. h.122-123.
Herberth Feith dan Lance Castle (penyunting), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, ,Penerjemah: Nugroho Katjasungkana, (Jakarta:LP3ES, 1965), h. iii-Iix.
29
Kepartaian Indonesia terbitan Kementerian Penerangan tahun 1951 menggolongkannya menjadi 4 jenis, yakni (1) Dasar Ketuhanan, (2) Dasar Kebangsaan, (3) Dasar Marxisme, dan (4) Partai Lain-lain.23 Sementara itu Herbert Feith dengan mendasarkan diri pada hasil perolehan suara dan jumlah
kursi
yang
diperoleh
partai-partai
dalam
pemilu
1955,
mengelompokkan partai menjadi empat bagian. Keempat bagian itu adalah partai besar, partai menengah, kelompok kecil yang bercakupan nasional, dan kelompok kecil yang bercakupan daerah. Mengikuti taksonomi ini, Feith memasukkan Masyumi dan NU ke dalam Golongan Partai besar, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), PPTI (Partai Persatuan Tharikat Indonesia).24 Pada 9 April 1945, BPUPKI (dalam bahasa jepang :Dokuritsu Zyumbi Tyoosokai) dibentuk sebagai realisasi janji Jepang untuk memberikan
kemerdekaan
kepada
Indonesia
sebagaimana
telah
diumumkan Perdana Menteri Koiso pada 9 September 1944. Perdebatan tentang dasar Negara dalam sidang-sidang BPUPKI memang tegang dan panas. Ada dua aliran politik yang muncul ke permukaan: Islam dan aliran pemisahan Negara dan Agama. Profesor Supomo menjelaskan tentang dua aliran ini sebagai Perbedaan dua paham : Paham pertama dibela oleh ahliahli agama yang bertujuan mendirikan suatu Negara Islam di Indonesia; paham kedua, sebagaimana disarankan oleh Hatta ialah paham pemisahan 23
M.Rusli karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah potret pasang-surut (Jakarta:Rajawali Press, 1993), h. 65-68. 24
Ahmad Syafii Maarif, Islam Dan Pancasila Sebagai Dasar Negara (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006) h.103.
30
antara urusan Negara dan urusan Islam. Pendeknya bukan suatu Negara Islam.25 Pendapat di atas dikemukakan Supomo pada 31 Mei 1945, yakni sehari sebelum Soekarno menyampaikan usul Pancasila sebagai dasar ideologi Negara. hanya perlu dicatat bahwa dalam Pancasila Soekarno, sila Ketuhanan diletakkan sebagai sila kelima, sila pengunci. Dengan demikian Soekarno tidak menjadikan sila Ketuhanan sebagai sumber moral bagi sila-sila yang lain. Lebih dari itu, bagi Soekarno Pancasila dapat disarikan menjadi Trisila, yakni : 1. Sosio-nasionalisme; 2. Sosio-demokrasi; 3. Ketuhanan.26 Bahkan sila yang tiga ini dapat diperas menjadi Ekasila dalam bentuk gotong-royong. Dalam perasan yang terakhir ini sila Ketuhanan telah menghilang. Sudah barang tentu teori tipikal ini dipandang tidak masuk akal oleh setiap Muslim yang sadar akan ajaran agamanya. Itulah sebabnya mereka berusaha melakukan modifikasi terhadap rumusan Pancasila Soekarno, jika memang Pancasila mau dijadikan Falsafah Negara.27 Isu tentang dasar Negara telah memaksa para pendiri Republik Indonesia untuk menjalani masa-masa yang sulit dalam sejarah modern Indonesia. Tetapi Akhirnya, sebuah kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 dapat dicapai. Piagam Jakarta adalah hasil kerja sebuah Panitia kecil dalam BPUPKI yang diketuai 25
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h.17.
26
Ibid,. h.26.
27
Ahmad Syafii Maarif, Islam Dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, h.105-106.
31
Soekarno, dan ditandatangani oleh 9 anggota terkemuka, yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim dan Muhammad Yamin.28 Piagam Jakarta sebenarnya adalah sebuah preambule (Pembukaan) bagi konstitusi yang diajukan dalam sidang BPUPKI. Di dalamnya, Pancasila sebagai dasar Negara yang telah disepakati, tetapi sila pertama, yaitu
sila
Ketuhanan
diikuti
oleh
klausul:…dengan
kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Anak kalimat yang dinilai strategis ini juga terdapat dalam pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang diusulkan itu. Bagi ummat Islam, anak kalimat ini menjadi sangat penting sebab dengan itu tugas pelaksanaan syari’at Islam secara konstitusional terbuka pada waktu yang akan datang. Inilah salah satu alasan mengapa wakil-wakil ummat Islam dalam BPUPKI dapat berkompromi dengan kelompok nasionalis. Sisi lain yang menarik di sini ialah bahwa anggota panitia kecil, kecuali Maramis yang Kristen, semuanya beragama Islam, sekalipun hanya empat wakil saja yang membawa aspirasi politik Islam. Mereka adalah Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim dan Wachid Hasjim. Sedangkan empat anggota lainnya telah sejak awal menolak Islam sebagai dasar Negara.29
28
29
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h.30.
Ahmad Syafii Maarif, Islam Dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, h.109.
32
2. Politik Islam dalam Pembentukan Negara Pada Masa Kemerdekaan Sebagai realisasinya maka dibentuklah Badan Penyelidik UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 9 April 1944. Dalam pembahasan mengenai dasar negara Indonesia merdeka terdapat dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan Islam dan nasionalis Sekuler.30 Salah satu kepentingan umat Islam ketika itu adalah menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tuntutan ini menimbulkan reaksi dari kelompok nasionalis sekuler, sosialis, dan nasrani yang pada masa itu merupakan mayoritas dalam BPUPKI. Kelompok tersebut mengajukan pancasila sebagai dasar negara. untuk mengatasi permasalahan ini dibentuklah “Panitia Sembilan”. Panitia ini terdiri atas lima orang dari golongan nasionalis sekuler dan empat orang dari golongan Islam. Berdasarkan keputusan dari “Panitia Sembilan” pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai kesepakatan menambah tujuh kata dalam sila pertama pancasila menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Konsep ini kemudian disebut Piagam Jakarta.31 Piagam ini adalah sebuah kompromi politis ideologis antara golongan yang beraspirasi Islam dan kelompok nasionalis yang sebagian besar juga beragama Islam, akan tetapi menolak ide negara berdasarkan Islam. Meskipun demikian UUD 1945 yang disahkan sehari setelah proklamasi kemerdekaan ternyata menghapuskan tujuh kata dalam Piagam 30
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.112.
31
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h.29.
33
Jakarta diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menetapkan Pancasila sebagai dasar Negara. Umat Islam terpaksa mengalah dengan tuntutan kelompok pendukung Pancasila. Perubahan ini dipandang oleh sebagian orang sebagai kekalahan politik wakil-wakil umat Islam.32 Pada era pasca kemerdekaan harapan untuk semakin berperan dalam politik tetap ada. Sarana perjuangan politik yang paling utama di era ini adalah melalui partai Masyumi, yang mewadahi dua kelompok besar, yaitu kelompok tradisional dan kelompok modernis. Di era Demokrasi Liberal (1945-1959)33 peran partai Masyumi cukup menggembirakan. Tetapi partai ini pecah menjadi dua setelah Nahdlatul Ulama (NU) yang pada awalnya merupakan sebuah organisasi keagamaan keluar dari Masyumi dan membentuk partai baru pada tahun 1952. Pemilu pertama tahun 1955 yang dilaksanakan selama dua kali. Pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR sedang yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Pemilu tahun 1955 ini telah menghasilkan empat partai besar pemenang pemilu yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. 34 Setelah pemilu tahun 1955 selesai, terjadi perkembangan politik yang cukup menarik. Pertentangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis sekuler mulai terlihat dalam majelis konstituante yang membahas tentang rancangan UUD perihal dasar Negara yang akan digunakan. Pada saat itu 32
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h.108-109.
33
Deliar Noer, Partai-partai Islam di pentas nasional (1945-1965), h.49-50.
34
Ibid,. h.53.
34
ada tiga rancangan dasar negara yaitu Islam, Pancasila dan Sosialekonomi. Rancangan tentang sosial-ekonomi yang diajukan oleh partai buruh dan Murba hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Majelis Konstituante sehingga akhirnya perdebatan didominasi antara golongan Islam dan Nasionalis sekuler yang mengajukan Pancasila sebagai dasar negara. Perdebatan tentang dasar negara ini berakhir setelah Bung karno membubarkan Majelis Konstituante dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 juli 1959 dan menyerukan kembali pada UUD 1945 dengan tetap berdasarkan pancasila.35 Suasana di atas setidaknya menggambarkan dinamika pemikiran politik pasca kemerdekaan berkenaan dengan upaya untuk merumuskan kembali hubungan antara agama (Islam) dan Negara yang dapat diterima secara luas oleh bangsa Indonesia. Dalam beberapa peristiwa politik tampak bahwa upaya untuk membangun hubungan formalistik dan Legalistik antara Islam dan sistem politik Negara selalu berujung pada kebuntuan dan pertentangan ideologis antara dua kelompok pemikiran politik di kalangan aktivis politik Muslim yakni kelompok Islam dan kelompok Nasionalis sekuler. Kelompok pertama menuntut dijadikannya Islam sebagai dasar Negara sedangkan kelompok kedua menolak hubungan agama dan Negara yang bersifat formalistik dan legalistik seperti yang dituntut oleh kelompok Islam.
35
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h.124.
35
3. Peranan Islam dalam Konstituante Pemimpin-pemimpin Islam Indonesia dari semua golongan menjelang Proklamasi telah berusaha agar pelaksanaan syariah diakui secara konstitusional dengan dicapainya suatu kesepakatan antara wakilwakil Islam dengan para pemimpin Nasionalis yang netral agama melalui Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945. Piagam ini hanya berumur selama 57 hari, yakni sampai dengan tanggal 18 Agustus 1945. Sebagai gantinya maka sila pertama Pancasila yang semula Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada saat itu juga Presiden Soekarno memberikan janji kepada umat Islam untuk menjadikan UUD 1945 bersifat sementara. Janji Presiden Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1945 tersebut sejalan dengan janjinya terdahulu dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 ketika dia mengusulkan prinsip permusyawaratan sebagai salah satu sila dasar Negara.36 Pada tanggal 27 Januari 1953 Presiden Soekarno menyampaikan pernyataan
yang
mengagetkan
di
Amuntai,
Kalimantan
Selatan,
sebagaimana yang dikutip oleh H. Endang saifuddin Anshori ketika Soekarno berkata: “Negara yang kita susun dan yang kita ingini ialah Negara Nasional yang melliputi seluruh Indonesia. Kalau kita dirikan Negara berdasarkan Islam, maka banyak daerah-daerah yang pendudukpenduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri, misalnya Maluku, Bali, Flores, Timor, Kutai dan juga Irian barat yang belum masuk 36
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h.49.
36
wilayah Indonesia tidak akan mau ikut dalam Republik”.37 Pidato Soekarno ini mengandung banyak reaksi dan protes dari berbagai kelompok Islam diantaranya adalah dari Gerakan Pemuda Islam. Usaha-usaha yang ditempuh untuk memperjelas apa yang menjadi pemikiran Soekarno tersebut secara detail dapat dilihat dalam diskusi yang dilakukan oleh A. Dahlan Ranuwiharjo, ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam yang menulis surat kepada Soekarno untuk meminta penjelasan tentang hubungan antara negara nasional dan negara Islam, dan antara Pancasila dan Ideologi Islam.38 Dalam masa kepemimpinan Mohammad Natsir ini juga, Masyumi ikut dan berpartisipasi aktif dalam menyukseskan Pemilihan Umum tahun 1955, yang merupakan pemilu pertama dalam sejarah Republik Indonesia. Pemilu 1955 dimaksudkan untuk memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk di DPR dan di Konstituante. Menurut Badruzzaman Busyairi, “Dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 1955 adalah UUDS 1950, khususnya Pasal 1 Ayat 2 dan Pasal 35”.39 Partisipasi aktif Masyumi terlihat sejak awal persiapan dan pelaksanaan pemilu itu, termasuk ikut berkompetisi bersama partai-partai lain pada hari pelaksanaannya. Berdasarkan telaahan dari berbagai sumber, penulis menyimpulkan bahwa Pemilu 1955 adalah unik dan istimewa, karena melibatkan tiga
37
38 39
Ibid,. h.153. Soekarno, Bung Karno: Negara Nasional dan Cita-cita Islam, h.103.
Badruzzaman Busyairi, Boerhanudin Harahap: Pilar Demokrasi (Jakarta:Bulan Bintang, 1989), h.87.
37
kabinet berturut-turut secara langsung, yakni Kabinet Wilopo, Kabinet Ali I, dan Kabinet Boerhanuddin, mulai masa persiapan, masa kampanye, sampai tahap pelaksanaannya sejak 1952 hingga awal 1956. C. Kebijakan Politik Orde Lama 1. Kebijakan Pemerintah Orde Lama Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat politik umat Islam dalam perpolitikan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Gerak politik umat Islam diwadahi melalui Partai Masyumi buatan Indonesia. Partai Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam memiliki keanggotaan dari berbagai organisasi Islam maupun perorangan. NU dan Muhammadiyah merupakan anggota yang mendominasi Masyumi. Namun, keutuhan keanggotaan Partai Masyumi tidak bisa bertahan lama. Keluarnya PSII dari Masyumi merupakan awal dari perpecahan dalam tubuh Masyumi. Pada tahun 1952 menyusul NU sebagai penyokong besar Masyumi keluar dari partai tersebut. NU mengubah dirinya dari jami’ah (gerakan sosio-keagamaan) menjadi partai politik yang berdiri sendiri. Keluarnya NU dari tubuh Masyumi merupakan goncangan hebat bagi Masyumi mengingat pengikut NU yang cukup banyak di tiga daerah yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan.40 Dengan tampilnya NU sebagai partai politik, maka umat Islam terbagi menjadi dalam empat 40
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h.115.
38
partai yaitu Masyumi, PSII, NU, dan Perti.41 Pada awal Demokrasi Parlementer, Masyumi masih memegang peranan aktif dalam politik. Pada masa kabinet Natsir dan Kabinet Soekiman, posisi menteri Agama berada ditangan K.H. Wahid Hasyim (tokoh NU dalam Masyumi). Namun, pada masa Kabinet Wilopo-Prawoto yang dimulai sejak April 1952, posisi Menteri agama dipegang oleh K.H. Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam Masyumi). Dalam masa kabinet ini NU memang tidak terwakili, sementara Masyumi menduduki empat kursi dan PSII satu kursi. Pertengahan tahun 1953 Kabinet Wilopo digantikan dengan Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini NU telah berdiri sendiri sebagai partai politik dan mula-mula hanya menduduki tiga kursi namun setelah terjadi perubahan, NU mendapat empat kursi yang meliputi kursi wakil perdana menteri I, menteri dalam negeri, menteri agama, dan menteri agraria. Kabinet Ali I jatuh pada bulan Juli 1955 dan digantikan oleh kabinet Burhanudin Harahap (Masyumi). Kabinet ini merupakan kabinet terakhir sampai partai tersebut bubar pada tahun 1960. Salah satu prestasi dari kabinet ini adalah berhasil menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955.42 Sebelum dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959, pada tanggal 22 April 1959, Soekarno sebagai Presiden pertama RI menyampaikan definisi
41
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) (Yogyakarta:IAIN Suka Press, 1988), h. 38. 42 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h. 38-40.
39
Demokrasi Terpimpin.43 Salah satu definisi mengatakan bahwa Demokrasi Terpimpin ialah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan. Namun, dalam kesempatan lain Soekarno menyampaikan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa anarkinya liberalisme dan tanpa otokrasi yang diktator. Yang dimaksud dengan demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi
yang
mendasarkan
sistem
pemerintahannya
kepada
musyawarah dan mufakat dalam satu kekuasaan sentral yang tidak diktator dan mengayomi masyarakat.44 Periode Demokrasi Parlementer berakhir setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit 5 Juli mengukuhkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Majelis Konstituante serta sebagai tanda dimulainya fase baru yang disebut Demokrasi Terpimpin.45 Soekarno memilih Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk demokrasi Indonesia karena menurutnya Demokrasi Parlementer tidak bisa mewujudkan cita-cita demokrasi bangsa Indonesia. Kekecewaan Soekarno pada keadaan yang sebenarnya juga berpangkal dari tidak terwujudnya kabinet gotong royong yang diinginkannya di mana PKI turut serta di dalamnya. Soekarno membentuk Dewan Nasional pada tanggal 11 Juli 1959 yang diketuai oleh Soekarno sendiri. Lalu pada tanggal 22 Juli 1959 Dewan Nasional diganti dengan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang juga 43
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), h.17. 44 Ibid,. h.21. 45
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h. 178.
40
diketuai oleh Soekarno. Penanganan sehari-hari DPAS diserahkan oleh wakilnya, Roeslan Abdoelgani, tokoh PNI. DPAS ini pulalah yang mengusulkan agar pidato kenegaraan presiden tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan sebagai Manifesto Politik.46 Demokrasi Terpimpin dengan pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno, membawa konsekuensi politik bagi umat Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti diizinkan hidup di bawah payung Demokrasi terpimpin. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi politik yang baru dan berusaha bertindak selalu menyenangkan Soekarno. Di sisi lain, kaum modernis bagi Soekarno merupakan penghalang revolusi. Kaum modernis terutama Masyumi dianggap sebagai musuh revolusi.
Adanya perbedaan
antara musuh
dan kawan
revolusi
menyebabkan kristalisasi dalam tubuh umat Islam. Pada tanggal 20 Maret 1960 Soekarno membubarkan parlemen dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR).47 Anggota DPRGR yang dipilih merupakan mereka yang mengiakan Soekarno. Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI tidak dimasukan dalam anggota DPRGR dengan alasan bahwa kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan. Jika diteliti lebih cermat, keanggotaan DPRGR terdiri dari 94 pihak NasionalisSekuler, kelompok Komunis mendapat 81 kursi, dan wakil Islam hanya 46
Ibid,. h.182.
47
Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta:Tintamas, 1970), h.53-57.
41
mendapat 67 kursi. Di sini umat Islam kehilangan kursi sebanyak 48 jika dibandingkan dengan parlemen sebelumnya. Namun, yang lebih menderita kerugian adalah modernis yang telah dicap sebagai musuh revolusi.48 Soekarno juga menyampaikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang beberapa bulan kemudian disebut Manifesto Politik (Manipol). Ia menyerukan semangat revolusi, keadilan sosial, dan revitalisasi lembagalembaga
dan
organisasi-organisasi
Negara
demi
revolusi
yang
berkesinambungan. Pada awal tahun 1960 ideologi yang samar-samar ini menjadi semakin rumit dengan ditambahkannya kata USDEK (UndangUndang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
Terpimpin,
dan
Kepribadian
Indonesia).
Soekarno
mengharuskan pers mendukung Manipol-USDEK yang dicetuskannya. Namun, beberapa redaktur yang pro-Masyumi dan pro-PSI menolak sikap mendukung terhadap Manipol-USDEK. Sebagai akibatnya, terjadi pembredelan surat kabar.49 Kebijakan-kebijakan politik Soekarno kini lebih menekankan pada adanya persatuan antara Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Dengan berkurangnya peran umat Islam dalam panggung politik Demokrasi Terpimpin menunjukan bahwa Soekarno menginginkan suatu koalisi politik antara kaum Nasionalis, Agama, dan Komunis. Tema yang diangkat oleh Soekarno adalah Nasakom (Nasionalis, Agama, dan 48
49
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h.183-186.
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Penerjemah: Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1994), h. 403-404.
42
Komunis). Perwujudan dari politik Nasakom ini adalah tampilnya PNI sebagai wakil Nasionalis, NU sebagai wakil Agama, dan PKI sebagai wakil Komunis dalam koalisi kabinet baru bentukan Soekarno.50 2. Kebijakan Orde Lama Terhadap Islam Dekrit Soekarno yang diikuti oleh pelaksanaan Demokrasi Terpimpin telah menyumbat saluran legal bagi umat Islam, terutama kelompok modernis, untuk menyatakan ide-ide dan aspirasi politik mereka. Bagi kelompok modernis periode Demokrasi Terpimpin adalah suatu kenyataan politik yang amat pahit dan memperkosa. Dengan tidak mengabaikan kekurangan-kekurangan demokrasi liberal, umat Islam mempunyai kemerdekaan politik yang penuh selama periode ini. 51 Karena Demokrasi Terpimpin juga bertanggung jawab bagi jatuhnya kekuatan politik Islam Indonesia. Pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno mempunyai konsekuensi politik yang berbeda bagi partai-partai Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti, diizinkan hidup dibawah payung Demokrasi Terpimpin dengan gaya dan retorika politiknya, masing-masing partai ini telah melakukan berbagai langkah penyesuaian diri dengan berbagai perkembangan politik yang serba sulit. Bagi kaum modernis, situasi baru ini cukup jelas. Menurut kategori Soekarno, kelompok modernis ini “merintangi penyelesaian revolusi kita,“
50
51
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h. 406.
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), h.83-84.
43
atau dengan memakai jargon komunis, mereka adalah golongan kepala batu, suatu jargon yang juga popular dalam kamus politik Soekarno. Sebagai kekuatan perintang, logika revolusioner Soekarno menyatakan lebih jauh, bahwa golongan modernis, terutama Masyumi, tidaklah hidup pada masa Demokrasi Terpimpin.52 Sebaliknya, tiga partai Islam lainnya, yakni NU, PSII, dan Perti, berusaha menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno tersebut. Mereka bersikap akomodatif sehingga bisa hidup berdampingan dengan Soekarno dan bertahan dalam alam demokrasi terpimpinnya Soekarno. NU adalah partai yang paling besar di antara ketiganya, karenanya dapat dianggap sebagai pendukung utama setiap gagasan Soekarno. Bahkan NU menikmati sekali iklim politik yang diciptakan Soekarno dengan sistem Nasakomnya. Memang dalam era ini NU terlibat aktif dalam Demokrasi Terpimpin dan ingin mewarnai peta percaturan politik berkembang ketika itu. Setidaknya NU berusaha memasukkan Islam dalam tataran politik dan mengimbangi dominasi komunisme yang sudah sangat berpengaruh.53 Namun demikian, antara NU dan Soekarno sudah terjalin hubungan yang baik sekali. Antara keduanya seakan-akan saling membutuhkan. Bahkan NU, bersama-sama partai Islam lainnya yang mendukung Demokrasi Terpimpin serta pendukung-pendukung Soekarno dari pihak nasionalis dan komunis, pada sidang MPRS 18 Mei 1963 mengangkat Soekarno menjadi presiden Seumur Hidup. Ini tentu suatu 52
53
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, h.190.
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), h.23.
44
bentuk penyimpangan dari UUD 1945. NU, dengan juru bicara Sjaikhu, mencari dalil agama bagi pembenaran sikap mereka.54 3. Aspirasi dan Perjuangan Umat Islam Terhadap Kebijakan Orde Lama. Dalam Periode Orde Lama, tampaknya peran umat Islam terpilahkan dalam 3 aspirasi besar: Pertama, peran umat Islam yang bersikap kritis kepada Negara yang diwakili oleh Masyumi; Kedua, peran umat Islam yang bersikap akomodatif kepada Negara yang diwakili oleh NU; Ketiga, peran umat Islam yang bersebelahan pemikiran di luar pagar sampai memberontak yang diwakili oleh gerakan DI/TII. Sehingga dalam posisi ini Douglas Ramage, memberikan makna yang khas, bahwa umat Islam lebih disosokkan sebagai ancaman. Dalam pandangannya, Islam pernah ditempatkan sebagai kekuatan terlarang sebagaimana kekuatan komunis.55 Umat Islam membentuk Kogalam (Komando Kesiapsiagaan Umat Islam) dan GEMUIS (Genarasi Muda Islam), Organisasi-organisasi Islam mendirikan pasukan Banser, Kokam, Brigade PII, Korba HMI, dan sebagainya, sebagai kekuatan untuk menghadapi pemberontakan PKI 1965 itu. Gerakan pemberontakan G. 30. S/PKI di pusat maupun daerah-daerah berhasil ditumpas, sehingga selamatlah Negara Republik Indonesia dari
54
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer) (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010) h. 270271. 55 Douglas E. Ramage, Democracy, Islam and The Ideology of Tolerance, Penerjemah: Dharmono Hardjowidjono (London:Routledge, 1995), h.115.
45
usaha dijadikan Negara komunis. Situasi negara mulai ada perubahan, masyarakat menyadari akan bahaya laten komunis, dan membuka lembaran baru dalam kehidupan Negara yang memiliki nuansa keagamaan atau religiositas yang memang sebagai jati diri Bangsa Indonesia. Dengan adanya Ketetapan MPRS No. XXV/ 1966, Partai Komunis Indonesia (PKI)
dan
antek-anteknya
dibubarkan
serta
dihilangkan,
ajaran
Komunisme Marxisme dilarang untuk seluruh Indonesia.56
56
Ahmad Adaby Darban, (Yogyakarta : UII Press, 1989) h.79.
Peran Serta Islam dalam Perjuangan di Indonesia
BAB III BIOGRAFI MOHAMMAD NATSIR
A. Riwayat Hidup Mohammad Natsir Natsir adalah pribadi yang penuh pesona. Ia ibarat mata air yang tak pernah kering meskipun kemarau datang berkepanjangan. Sejak ia muda, bersekolah di Bandung dan terlibat dalam berbagai polemik intelektual di bidang keagamaan dan politik, ia selalu menjadi fokus perhatian orang.1Seorang tokoh yang menghasilkan pemikiran yang luar biasa tentang Islam. Ia juga dengan sangat berani mengemukakan gagasannya yang sangat bertentangan dengan pemikir lain salah satunya adalah Presiden Soekarno.2 Tanah Minangkabau pada permulaan Abad ke-20, dikenal sebagai salah satu daerah pelopor gerakan pembaruan di Indonesia. Daerah ini turut melahirkan beberapa tokoh besar, baik dalam bidang keagamaan, intelektual, kesusastraan, pendidikan, maupun politik Indonesia. Beberapa nama yang dapat disebutkan, antara lain Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Sutan Syahrir, Mohammad Natsir, dan Buya Hamka.3 Natsir lahir di Minangkabau, Alahan Panjang, Sumatra Barat 17 Juli 1908, Di ranah Minangkabau yang masyarakatnya dikenal kuat memegang dan menjalankan syariat Islam itulah, Mohammad Natsir dilahirkan. 4 Ia lahir
1
Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir 70 Tahun , kenang-kenangan Hidup dan Perjuangan (Jakarta : Pustaka Antara, 1978), h.1. 2
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia,, 1981). h.7.
3
M.Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.19.
4
Ibid,. h.19.
46
47
sebagai anak ketiga dari pasangan Idris Saripado dan Khadijah. Dan wafat di Jakarta 5 Februari 1993.5 Ayahnya, Idris Sutan Saripado adalah seorang pegawai pemerintahan di sana dan seorang juru tulis kontrolir, sedangkan ibunya Khadijah adalah ibu rumah tangga yang bijaksana6 dan kakeknya merupakan seorang ulama. Sebagaimana masyarakat minang lainnya , keluarga Idris ini pun merupakan keluarga Muslim yang taat. Mohammad Natsir dikenal sebagai seorang pemikir, pemimpin politik Indonesia dan salah seorang tokoh dunia Islam di abad ke-20.7 Ayahnya asisten Demang di Bonjol, kemudian menjadi juru tulis kontrolir di Maninjau. Mulanya Natsir sekolah di Gubernemen berbahasa Melayu sampai kelas 2 tinggal bersama kedua orang tuanya, kemudian Natsir pindah ke Padang. Tidak di terima HIS Pemerintah setingkat SD ia masih beruntung dapat masuk HIS swasta Adabiyah yang baru dibuka Dr. Abdullah Ahmad. Disana, Natsir tinggal bersama keluarga Haji Musa, seorang saudagar yang dermawan. Ketika di solok itulah, dasar agama Natsir dibentuk dan dibina.8
B. Riwayat Intelektual Mohammad Natsir Ketika kecil, Natsir belajar di Holland Inlandse School (HIS) Solok serta di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer 5
Mohammad Natsir, Yayasan Idayu, 1976), h.51.
World Of Islam Festival dalam perspektif sejarah (Jakarta:
6
Ibid,. h.8.
7
Ajib Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, h.45.
8
M.Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.19-20.
48
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) setingkat SLTP sekarang di Padang. Ketika di MULO itu, dia belajar main biola. Di samping itu, dia masuk Pandu National Islamische Padvindrij (Natipiji), bagian dari perkumpulan Jong Islamieten Bond (JIB) cabang Padang. Karena nilai Natsir selalu baik, bahkan terbaik, dia mendapatkan beasiswa sebesar dua puluh rupiah setiap bulan dari pemerintah Belanda.9 Beasiswa per bulan itu terus diterimanya sampai tamat MULO pada 1927. Setelah dari MULO, Natsir kemudian melanjutkan ke Algemene Middelbare School (AMS) Bandung. Di AMS Natsir berhasil memperoleh nilai yang baik. Di AMS itupun, Natsir mendapatkan beasiswa dari Belanda sebesar tiga puluh rupiah per bulan. Beasiswa itu terus diterimanya hingga dia tamat dari AMS pada tahun 1930.10 Ketika belajar di AMS itu, Natsir aktif menjadi anggota JIB cabang Bandung, bahkan terpilih menjadi ketuanya sejak 1928 sampai 1932 Di JIB, Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir.11 Natsir lahir dan dibesarkan dalam suatu setting sejarah yang penuh gejolak sosial, dan konflik politik keagamaan.12 Natsir tenggelam dalam
9
“Mohammad Natsir”, dalam Lukman Hakim, dkk, Ensiklopedi Islam, vol.4 (Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), h.21. 10
Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir 70 Tahun , kenang-kenangan Hidup dan Perjuangan, h.7-9. 11
Arifin Bachtiar, “Biografi Moh Natsir” Artikel diakses pada 5 september 2014 dari http://Wikipedia /Mohammad Natsir/ www.wikipedia.com. 12
h.37.
Ahmad Suhelmi, Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam (Jakarta : Darul Falah, 2001),
49
setting sejarah seperti itu sejak masa kanak-kanak di minangkabau,13 masa remaja di zaman kolonial dan revolusi serta menjelang Demokrasi terpimpin (1959). Setting dan konteks sejarah itulah yang justru melahirkan Natsir menjadi tokoh sejarah dikemudian hari.14 Di tempat kelahirannya itu Mohammad Natsir melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan Intelektualnya yang pertama, ketika ia mulai menempuh Pendidikan dasar di sekolah Belanda dan mempelajari Agama kepada beberapa tokoh atau Ulama Pembaharu. Waktu belajarnya cukup padat, sehabis maghrib ia mengaji Al-Quran pada siang hari hingga sore hari ia belajar di Madrasah Diniyah. Sedangkan secara Formal Mohammad Natsir menempuh Pendidikan Barat (sekolah-sekolah Belanda), seperti Meer Uitgebreid Lager Ordewijs (MULO) kemudian melanjutkan sekolah Algemene Middelbare School (AMS) Bandung, dalam bidang kesusastraan Barat Klasik15. Perasaan Fanatik membela Islam mulai muncul dalam diri Natsir. Ini berawal ketika diajak guru gambarnya menghadiri khutbah Pendeta Protestan DS Christoffel yang menyerang Islam. Natsir membuat sanggahan yang dimuat dalam Surat Kabar Algemeen Indisch Dagblad (AID) dengan judul “Qur’an en Evangeli” dan “Muhammad alsm Profect”.16 13
Ibid,. h.37.
14
Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir 70 Tahun , kenang-kenangan Hidup dan Perjuangan, h. 15. 15
16
Ajib Rosidi, M. Natsir: Sebuah Biografi, h.45.
Sofwan Karim, “Mohammad Natsir (1908-1993)”, Artikel diakses pada 5 september 2014 dari http://www.shofwankarim.blogspot.com/
50
Setelah selesai Mohammad Natsir sebenarnya mempunyai kesempatan untuk meneruskan pendidikannya ke Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta, atau ke Handels Hogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam dengan beasiswa dari pemerintah Belanda, karena nilai-nilai akhir yang diraihnya sangat baik. Akan tetapi, tawaran dari pemerintah Belanda tersebut semuanya ditolak dan memilih menjadi guru agama dan jurnalis. Disamping untuk meneruskan kajian kegamaanya kepada ustad Ahmad Hasan.17 Seorang Ulama berpaham radikal dan menjadi tokoh utama organisasi Persatuan Islam (Persis) di Bandung yang mengajarkan kepada Mohammad Natsir agar selalu memajukan Pendidikan umat Islam, misalnya dengan menggunakan Ijtihad. Karena itulah ia kemudian menekuni dunia pendidikan dengan mendirikan Yayasan Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung dengan menerapkan metode pendidikan barat agar umat Islam dapat berhasil dunia akhirat.18 Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, selain bekerja sebagai guru, Natsir juga menjadi Jurnalis. Sebagai jurnalis, dia bekerja sama dengan Hassan menerbitkan majalah Pembela Islam. Majalah itu memberikan kesempatan kepada Natsir untuk mengeluarkan pendapatnya tentang Islam dan pembaruan. Dalam tulisan-tulisannya, Natsir memakai nama samaran Is.19 Selain itu, Natsir juga mengirimkan karangan-karangannya ke Pandji Islam 17
Mohammad Natsir, Dunia Islam dari Masa ke Masa Mas,1982), h.x. 18
19
(Jakarta: Pustaka Panji
Deliar Noer, Gerakan Modenisme Islam di Indonesia 1900-1942, h.101.
Anwar Harjono, Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h.210.
51
dan Pedoman Masjarakat, dua majalah mingguan Islam terkemuka saat itu yang terbit di Medan. Di sini, Natsir memakai nama samaran A. Muchlis.20 Tulisan-tulisan Natsir dalam tiga media Islam itu membuatnya dikenal dan diperhitungkan sebagai tokoh muda yang dapat diharapkan umat Islam Indonesia pada masa mendatang. Tidak mengherankan, bila pada gilirannya Mohammad Natsir mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang nilai-nilai Ke-Islaman yang pada akhirnya menjadi sebuah landasan dimana beliau mengaktualisasikan nilai-nilai Ke-Islaman ke dalam tataran Praktis. Latar belakang tersebut telah mengantarkan Natsir tumbuh sebagai seorang yang memiliki pemahaman Islam yang kuat, pendidikan Barat yang memadai, dan pendidikan politik yang cukup. Menurut pengakuannya ada tiga guru yang mempengaruhi alam pemikirannya, perilaku kegamaan dan politiknya yaitu Ahmad Hassan, Agus Salim, dan Ahmad Syurkati.21 A Hassan pendiri Persatuan Islam (Persis) berpengaruh membentuk Natsir teguh menganut prinsip tauhid (doktrin monotheisme Islam). Cara berpikirnya yang selalu berorientasi syariah dan pendekatan legal formalistik juga pada segisegi tertentu merefleksikan
pengaruh Hassan yang memang seorang ahli
hukum Islam.22 Melalui syaikh Ahmad Syurkati, Natsir mengenal pemikiran modernis Islam seperti Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Ibnu 20
“Mohammad Natsir”, dalam Lukman Hakim, dkk, Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid II (Jakarta:Ciptaka Adi Pustaka, 1990), h.48. 21
Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir 70 Tahun , kenang-kenangan Hidup dan Perjuangan, h.5. 22
Ahmad Suhelmi, Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam, h.38.
52
Taimiyyah, Ibnu Al Qoyyim, Amir Ali, Syibli Nu’mani, Ahmad Khan dan Jamaluddin Al-Afghani. Agus Salim berjasa membentuk orientasi politik Natsir dan mendidik memahami persoalan politik kaum pergerakan, keahlian debat, berpolemik dan cita-cita demokrasi.23
C. Posisi Mohammad Natsir diantara para pemikir Islam pada masanya Ia diakui sebagai tokoh handal sebagai Pemikir, Intelektual, Pujangga, dan Negarawan. Ia tidak hanya terampil menuangkan ide dan gagasannya dalam bentuk tulisan, namun ia juga bertindak secara nyata. Buktinya selain pernah mengetuai Jong Islamiten Bond (JIB) Bandung, 1928-1932, Natsir pernah pula aktif di Partai Islam Indonesia (PII) dan PERSIS. Di dunia pendidikan, Natsir sempat mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung, sebuah bentuk pendidikan Islam modern yang bernafas agama. Di Pendis ini, Natsir menjadi direktur selama 10 tahun, sejak 1932.24 Kemudian, Tatkala RI dinyatakan kembali sebagai Negara kesatuan pada 17 Agustus 1950, Bung Karno menunjuk M.Natsir sebagai Perdana Menteri pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia karena terkesan oleh pandangan jauh dan strategis Natsir melalui Mosi Integral Natsir.25 Natsir dilantik sebagai PM oleh Presiden Soekarno pada 7 september 1950 di Istana
23
Ibid,. h.38.
24
Anwar Harjono, Indonesia Kita: Pemikiran berwawasan Iman-Islam, h.10.
25
Nurcholis Madjid , “Kita Kenang Pak Natsir”, Pandji Masyarakat, Nomor 748, 1-10 Maret 1993, h.20.
53
Yogyakarta26 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 9 tahun 1950.27 Secara Formal, itulah puncak karir Natsir sebagai politikus. Sebagai Perdana Menteri, Natsir memimpin kabinet dalam masa peralihan yang penuh tantangan berat dan menuntut penyelesaian secara tepat dan arif. Walaupun Natsir selalu ’menghendaki’ agama sebagai ideologi negara, akan tetapi ia berusaha menampilkan semangat ke-Islaman-nya dengan wajah terbuka dan lebih luwes. Ia adalah seorang politisi profesional diantara banyak pemikir.28 Kiprah Natsir sebagai seorang tokoh intelektual, politikus, pemimpin negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal-usul dan fisiknya, Natsir hanyalah orang biasa, dengan temperamen yang lemah lembut, bicara penuh sopan santun, dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya. Berkat jasanya yang besar di dalam bidang Akademik, Mohammad Natsir menerima gelar Doktor Honoris Causa di bidang Politik Islam dari Universitas Islam Libanon Tahun 1967, kemudian menerima gelar Doktor Honoris Causa di bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan gelar Doktor Honoris causa dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains dan Teknologi Malaysia di Tahun 1991.29
26 Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir 70 Tahun , kenang-kenangan Hidup dan Perjuangan, h.126. 27 Tridah Bangunan, dkk, Susunan dan Program Kabinet-Kabinet RI 1945-1998, (Jakarta:DPP Karya Pembangunan,1993) h.38. 28
G. H. Jansen, Islam Militan , Penerjamah:Armahedi Mahzar (Bandung: Pustaka, 1983), h.231, 272. 29
Lukman Hakiem, dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir, h.379.
54
Oleh karena pengabdiannya yang tidak mengenal lelah di dalam dakwah dan pelayanan kepada umat pada Puncaknya, Mohammad Natsir mendapat penghargaan Jaizat Al-Malik Faisal Al-Alamiyat (The International King Faisal Award) dari Lembaga Hadiah Internasional Malik Faisal yang berkedudukan di Riyadh pada 1980, bersama Syaikh Hasan Al-Nadwi, seorang ulama besar dari Lucknow, India, atas pengabdian dan pengkhidmatan keduanya kepada Islam dan umatnya.30 Natsir memperoleh piagam, medali emas, dan uang sebesar 100 ribu riyal. Uang sebanyak itu tidak dinikmatinya sendiri, tetapi diserahkan ke kasir DDII untuk dibagikan kepada seluruh karyawan di setiap biro dan unit DDII.31 Itulah kesederhanaan Natsir. Tak salah penghargaan itu diberikan kepadanya sebagai penghormatan terhadap reputasi dan dedikasi Natsir yang tidak kecil bagi umat. Hal itu juga sedikit banyak telah mengharumkan nama bangsa Indonesia di dunia Internasional, khususnya di Dunia Islam. Namun dibalik temperamennya yang lemah lembut dan mudah tersenyum itu, sosok pribadi Natsir ialah ibarat batu karang yang kokoh. Ia termasuk seorang yang teguh memegang prinsip, walau dalam berhubungan dengan orang-orang lain, ia terkesan terbuka dan malahan cenderung kompromistik, sejauh kemungkinan
kompromi-kompromi
itu
memang
dapat
dicapai
tanpa
mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakininya32 Mohammad Natsir telah tiada, tetapi meninggalkan keteladanan moral kepemimpinan, keteladanan dan karyakarya yang tidak ternilai harganya. 30
Akmal Stanzah, “Natsir, Syafruddin, Kasman, Noer Ali, Soleh Iskandar, Pahlawan Nasional?” , Pandji Masyarakat, Nomor 824, 11-20 April 1995, h.18. 31
Lukman Hakim, Pemimpin Pulang : Rekaman Peristiwa Wafatnya M.Natsir (Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu,1993), h.125. 32
Anwar Harjono, Indonesia Kita: Pemikiran berwawasan Iman-Islam, h. 217.
55
D. Pengaruh Pemikiran Mohammad Natsir di Indonesia Mohammad Natsir dikenal sebagai seorang pemikir, pemimpin politik Indonesia dan salah seorang tokoh dunia Islam di abad ke-20.33 Ia juga diakui sebagai tokoh intelektual, Pujangga, dan Negarawan yang tidak hanya terampil menuangkan ide dan gagasannya dalam bentuk tulisan, dan ia juga bertindak secara nyata.34 Oleh karena itu, maka tak heran jika Natsir banyak mendapat penghargaan maupun kritikan baik dari tokoh ataupun lembaga baik level nasional maupun internasional. Antara lain adalah: 1. Dianggap sebagai Tokoh Anti Pancasila Oleh karena Natsir sangat intens mengkaji dan menawarkan gagasan persatuan agama dengan negara, ditambah dengan sikap politiknya yang sangat transparan menawarkan Islam sebagai dasar negara di Majelis Konstituante lembaga negara yang dibentuk melalui pemilihan umum 1955 untuk menyusun konstitusi, nama Natsir dilekatkan kepada cita-cita pembentukan Negara Islam, bahkan distigmakan sebagai tokoh yang anti-Pancasila.35 Memang benar bahwa Natsir pernah berusaha menjadikan Islam sebagai dasar Negara untuk menggantikan Pancasila yang saat itu sedang berlaku, sebagaimana diuraikan di muka. Namun, mesti dipahami bahwa
33
Ajib Rosidi, M. Natsir:Sebuah Biografi, h.45.
34
Anwar Harjono, Indonesia Kita: Pemikiran berwawasan Iman-Islam, h.10.
35
AM Fatwa, “Pemikiran M Natsir dan Kontribusinya dalam Pembangunan Negara Kesatuan”, Artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari https://docs.google.com/document.
56
perjuangan untuk menjadikan Islam atau Pancasila, bahkan Sosialisme dan Komunisme sekalipun, adalah sesuatu yang legal dan sah dilakukan pada saat itu. Bahkan, lembaga untuk memperjuangkan ide-ide itupun dibentuk secara resmi melalui pemilu 1955, yaitu Majelis Konstituante. Walaupun pada akhirnya Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan UUD 1945 dengan Pancasila sebagai dasar Negara dinyatakan berlaku kembali, tidaklah beralasan untuk terus menerus menuduh Natsir dan para politisi Islam masa itu sebagai kelompok yang anti-Pancasila.36 2. Arsitek Utama Negara Kesatuan Mosi Integral Natsir yang telah mengembalikan Negara Kesatuan RI dengan demokratis, konstitusional, dan cara terhormat ini merupakan sumbangan besar yang tak ternilai dari Natsir kepada bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu tepat apabila Natsir disebut sebagai salah seorang Negarawan dan Bapak Pendiri Negara Indonesia. Sayangnya jasa besar Natsir dalam mempersatukan kembali RI ini tidak dimasukkan dalam buku-buku Sejarah Indonesia yang menjadi bacaan dan panduan generasi muda bangsa.37 3. Dari Berpolemik Hingga Menjadi Menteri Kesayangan Soekarno Pemahaman Islam membawa M.Natsir kepada polemiknya dengan tokoh-tokoh lain di tahun 30-an yang sebenarnya berintikan masalahmasalah nasionalis-sekularis dan isu Islam dan masalah-masalah 36
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.119.
37
Ibid., h.70.
57
kebangsaan dan kenegaraan. Natsir menolak faham kebangsaan sekuler yang berintikan fanatisme bangsa sempit, tetapi ia menerima apa yang dinamakannya sebagai kebangsaan muslimin yang berintikan cinta bangsa, semangat persatuan, persaudaraan Islam, kesadaran membela muruah dan cita-cita menegakkan Islam.38 Khusus terhadap Soekarno, Natsir terlibat polemik hangat yang terpenting dan paling monumental adalah tentang agama dan Negara. Perdebatan dengan Soekarno terutama berlangsung 1936-1940-an tatkala Bung Karno dibuang Belanda ke Endeh, Flores. Pasalnya, tesis Soekarno ialah pembelaannya terhadap gerakan sekularisasi westernisasi Kemal Attaturk di Turki berintikan ide pemisahan agama dari Negara. Natsir yang mendukung faham kesatuan agama dan Negara mendebat hujah-hujah Soekarno dan sumber-sumber rujukannya termasuk kitab al-Islam wa Usul al-hukm oleh Al-Syaikh Ali Abdul Raziq.39 Namun
demikian
Soekarno
yang
pernah
menjadi
lawan
polemiknya pada 1930-an, sama sekali tidak keberatan atas gagasan Syahrir untuk mengangkat Natsir menjadi Menteri Penerangan. “Hij Is de man” (Dialah orang yang tepat), kata bung Karno kepada Syahrir. Sejak itu lah Natsir menjadi dekat dengan Soekarno. Bahkan menurut pengakuan Natsir sendiri, “sulit mencari orang yang lebih rapat dengan Bung Karno
38
Shofwan Karim Elha, “Ensiklopedi Minang M Natsir Shofwan”, artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari http://www.scribd.com//. 39
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.21
58
di antara para Menteri, kecuali saya sebagai Menteri Penerangan”.40 Sehingga Natsir dikenal sebagai Bung Besar dan Menteri Kesayangan oleh Soekarno yang sebelumnya pernah berpolemik dengannya. 4. Tokoh Dunia Islam yang Sederhana Berkat jasanya yang besar di dalam bidang Akademik, Mohammad Natsir menerima gelar Doktor Honoris Causa di bidang Politik Islam dari Universitas Islam Libanon Tahun 1967, kemudian menerima gelar Doktor Honoris Causa di bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan gelar Doktor Honoris causa dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains dan Tekinologi Malaysia di Tahun 1991.41 Oleh karena pengabdiannya yang tidak mengenal lelah di dalam dakwah dan pelayanan kepada umat pada Puncaknya, Mohammad Natsir mendapat penghargaan Jaizat Al-Malik Faisal Al-Alamiyat (The International King Faisal Award) dari Lembaga Hadiah Internasional Malik Faisal yang berkedudukan di Riyadh pada 1980, bersama Syaikh Hasan Al-Nadwi, seorang ulama besar dari Lucknow, India, atas pengabdian dan pengkhidmatan keduanya kepada Islam dan umatnya.42 Natsir memperoleh piagam, medali emas, dan uang sebesar 100 ribu riyal. Uang sebanyak itu tidak dinikmatinya sendiri, tetapi diserahkan ke kasir DDII untuk dibagikan kepada seluruh karyawan di setiap biro dan
40
Mohammad Natsir, Dunia Islam dari Masa Ke Masa, h.13.
41
Lukman Hakiem, dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir, h.379.
42
Akmal Stanzah, “Natsir, Syafruddin, Kasman, Noer Ali, Soleh Iskandar, Pahlawan Nasional?” , Pandji Masyarakat, Nomor 824, 11-20 April 1995, h.18.
59
unit DDII.43Itulah kesederhanaan Natsir. Tak salah penghargaan itu diberikan kepadanya sebagai penghormatan terhadap reputasi dan dedikasi Natsir yang tidak kecil bagi umat. Hal itu juga sedikit banyak telah mengharumkan nama bangsa Indonesia di dunia Internasional, khususnya di Dunia Islam.44
43
Lukman Hakim, Pemimpin Pulang : Rekaman Peristiwa Wafatnya M.Natsir, h.125.
44
Anwar Harjono, Indonesia Kita: Pemikiran berwawasan Iman-Islam, h.217.
BAB IV SIGNIFIKANSI PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD NATSIR
Tak bisa dipungkiri bahwa Moh Natsir telah banyak memberikan kontribusi besar bagi Indonesia. Bahkan Natsir memerankan tokoh kunci dalam mempertahankan negara kesatuan RI. Sebab ia berkali-kali menyelamatkan Republik ini dari ancaman perpecahan.1 A. Peran Natsir sebagai Menteri Penerangan Perjalanan karir Natsir bersinar cemerlang.2 Antara lain sebagai Menteri Penerangan RI selama empat kabinet yang berbeda. Jabatan tersebut, ia emban sejak 3 Januari 1946-12 Maret 1946 pada Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946-2 Oktober 1946), Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946-3 Juli 1947), Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949).3 Diangkatnya Natsir sebagai Menteri Penerangan adalah karena tugas dan fungsi Kementerian Penerangan pada waktu itu dirangkap oleh Amir Syarifudin, dan untuk mengefektifkannya Perdana Menteri Sutan Sjahrir meminta Natsir untuk menjadi Menteri Penerangan.4 Sementara itu menurut Ridwan Saidi adalah karena Syahrir memerlukan dukungan umat Islam untuk kabinetnya dan Natsir lah yang dipandang cakap untuk menyosialisasikan kebijaksanaan pemerintah RI.5
1 Aidil Heryana, “Proklamator Mosi Integral Bangsa”, artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari http://Dakwatuna.com. 25/05/08 | 11:09 2
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.56.
3
Ibid., h.57.
4
Tridah Bangunan, dkk, Susunan dan Program Kabinet-Kabinet RI 1945-1948, h.17-27.
5
Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia (Jakarta: LSIP, 1994), h.45.
60
61
Bahkan Soekarno yang pernah menjadi lawan polemiknya pada 1930-an, sama sekali tidak keberatan atas gagasan Syahrir itu. Bahkan Soekarno mengatakan “Hij Is de man” (Dialah orang yang tepat).6 Sejak itu pula Natsir menjadi dekat dengan Soekarno. Kendati demikian selaku Menpen Natsir hanya beberapa hari menjalankan tugasnya di Jakarta, karena perpindahan Ibu Kota negara dari Jakarta ke Yogyakarta pada Januari 1946. Namun, di kantornya yang berlokasi di Jalan kali Code Yogya itulah, Natsir dapat mencurahkan pikiran untuk membentuk Kementerian Penerangan dengan lebih baik. Di samping itu ia juga tetap menjalankan tugas sebagai Sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) yang juga ikut pindah ke Yogyakarta.7 Kemudian pada Juli 1949, Mohammad Hatta mengutus Mohammad Natsir ke Sumatera sebagai delegasi dalam perundingan Roem-Royen, melalui perundingan secara marathon, Natsir berhasil membujuk rekannya agar mengembalikan mandatnya. Meski secara pribadi dirinya menentang isi persetujuan Roem-Royen itu, Natsir tetap berupaya membela persetujuan itu saat berpidato di depan penduduk setempat.8 Meski akhirnya mengundurkan diri dari delegasi pimpinan Roem, karena menentang konsesi-konsesi yang disepakati dalam persetujuan tersebut, tindakan Menteri Penerangan itu berhasil meyakinkan orang-orang dekatnya agar tunduk terhadap keputusan yang telah diambil. Keberhasilan 6
Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir 70 Tahun: kenangan-kenagan dan kehidupan dan perjuangan, h.78. 7 8
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.59.
Remy Madinier, Partai Masjumi Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral (Jakarta, Mizan, 2013), h.102-103.
62
Natsir dalam membentuk Kementerian Penerangan juga diakui oleh Harmoko (Menpen RI pada Kabinet Pembangunan IV-VI). “Dasar-dasar di Kementerian Penerangan banyak dibentuk oleh Natsir pada 1946-1947 ketika dia menjabat Menteri
Penerangan,
sehingga
bisa
dikatakan
bahwa
dia
banyak
menyumbangkan pemikiran untuk sistem Penerangan pada saat itu,” demikian ungkap Harmoko.9 Adapun tugas kewajiban Kementerian Penerangan adalah: 1. Memberi penerangan kepada segenap lapisan rakyat yang dijalankan oleh pemerintah (kabinet) serta memberi penerangan tentang peraturanperaturan yang dikeluarkan dan tindakan-tindakan yang dilakukan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah. 2. Memberi penerangan dan memperdalam pengertian tentang ideologi negara Pancasila, seperti termaktub dalam Undang-Undang Dasar. 3. Memperdalam
kesadaran
politik
dan
kecerdasan
membanding
(critischezen) dari rakyat sebagaimana yang harus ada pada tiap-tiap warga negara yang menjunjung dasar demokrasi. 4. Memiliki jiwa dan ruh perjuangan rakyat untuk melaksanakan cita-cita negara. 5. Memperkenalkan Negara Republik Indonesia serta cita-cita persatuan seluruh bangsa Indonesia ke luar negeri.10
9
Yusuf Abdullah Puar, Kelemahan atau Kelebihan Natsir (Jakarta: Pustaka Antara, 1978) h.386. 10
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.59.
63
B. Peran Natsir Sebagai Perdana Menteri Pertama Negara Kesatuan RI Di samping kontribusinya di bidang pemikiran, terutama dalam memberi ruh agama terhadap konstitusi, Natsir juga cerdas dan gemilang dalam memulihkan bentuk negara dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena langkah strategisnya dalam mengemukakan Mosi Integral di sidang parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 3 april 1950, Soekarno mengangkatnya sebagai Perdana Menteri RI. Kedudukan ini merupakan karier politik tertinggi yang pernah dicapainya. Pada saat itu, usianya baru 42 tahun.11 1. Pembentukan Negara Kesatuan RI Sumbangan besar yang tak ternilai dari Natsir kepada bangsa dan negara Indonesia adalah Mosi Integral, yang telah mengembalikan Negara Kesatuan RI dengan demokratis, konstitusional, dan cara terhormat. 12 Oleh karena itu sangat tepat jika Natsir disebut sebagai salah seorang Negarawan dan Bapak Pendiri Negara Indonesia.13 Mosi
itu
kemudian
diteken
beramai-ramai
oleh
Subadio
Sastrosatomo, Hamid Algadri, Ir Sakirman, K. Werdoyo, Mr A.M Tambunan, Ngadiman Harjosubroto, Sahetapy Engel, Dr Cokronegoro, Moch Tauchid, Amelz, dan H Sirajudin Abbas, mereka mewakili 11 fraksi di parlemen. Sehari sebelum penyampaian Mosi Integral Natsir, masih ada
11
Aidil Heryana, “Proklamator Mosi Integral Bangsa” Artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari http://Dakwatuna.com. 25/05/08. 12
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.70.
13
Ibid., h.70.
64
lagi dua resolusi dari daerah. Dewan Perwakilan Kota Praja Jakarta Raya dan Dewan Perwakilan Daerah Sulawesi Selatan juga menyatakan keinginan bergabung kembali dengan Republik Indonesia.14 Kemudian pada 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno membacakan Piagam Pembentukan Negara Kesatuan dalam sidang bersama parlemen dan senat Republik Indonesia Serikat. Dua hari kemudian saat perayaan ulang tahun kelima proklamasi kemerdekaan, Presiden Soekarno mengumumkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Momen bersejarah itu pun dikenang sebagai Proklamasi Kedua Republik Indonesia dan peran Mohammad Natsir di sini patut dicatat sebagai sang arsitek utama dalam pembentukan negara kesatuan RI.15 Dengan kembalinya Republik Indonesia ke bentuk Negara Kesatuan, maka pemerintah pun harus diganti. Karena itu, kabinet RIS yang dipimpin oleh Hatta secara otomatis menjadi demisioner sampai terbentuknya kabinet baru. Sebagaimana dalam UUDS 1950, “Pemerintah RI berdasarkan sistem demokrasi parlementer.”16 Dalam hal ini bukan presiden yang bertanggung jawab atas pemerintahan pada kabinet, melainkan perdana menteri. Sedangkan presiden hanya sebagai kepala dan simbol negara, bukan sebagai kepala pemerintahan dan presiden tidak bisa atau tidak boleh bertindak 14
Seri Buku Tempo Natsir, Politik Santun di antara Dua Rezim, h.55-56.
15
Ibid., h. 57.
16
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.70.
65
menyimpang dari kebijakan kabinet.17 Artinya, pemerintahan berada di tangan Dewan Menteri (Kabinet) yang diketuai oleh seorang perdana menteri dan kabinet harus mendapat dukungan mayoritas di parlemen dan bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam tugasnya membentuk kabinet baru, Natsir bermaksud mengajak sebanyak mungkin partai agar kabinetnya mencerminkan sifat nasional dan mendapat dukungan sebesar mungkin dalam parlemen, karena soal pembagian kursi yang tidak dapat disepakati antara PNI dan Masyumi. Upaya Natsir mengajak PNI tidak berhasil. Dua kali dia menemui Presiden untuk mengembalikan mandat sebagai formatur kabinet karena gagal mengajak PNI berkompromi, tetapi ditolak Soekarno. “Terus saja walaupun tanpa PNI!” kata Bung Karno.18 Pembentukan Kabinet Natsir ini berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 9 Tahun 1950 tertanggal 6 September 1950. Keberhasilan Natsir dalam menyusun kabinetnya, mendapat tanggapan dari berbagai pihak dan kebanyakan mereka menilai bahwa Natsir “sangat berani” karena telah meninggalkan PNI. Sebab, selain sebagai partai yang mempunyai wakil terbanyak kedua di parlemen, PNI adalah partai yang selalu ikut dalam kabinet pertama RI, yakni Kabinet Sjahrir I. Keberanian lainnnya adalah mengikutsertakan lima orang tokoh nonpartai dalam kabinetnya, yaitu Mr Assaat, Hamengkubuwono IX, Dr Abdul Halim, Ir Juanda, dan Dr Bahder Djohan. Selain itu ada pula tokoh partai yang ahli 17
Ibid., h.70.
18
Remi Madinier, Partai Masjumi Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral, h.71.
66
dalam bidangnya, seperti Dr Soemitro Djojohadikusumo, dr. J. Leimena, dan KH. A. Wahid Hasyim. Karena itu Kabinet Natsir disebut sebagai Zaken Kabinet.19 2. Pemetaan Politik Luar Negeri Beberapa keberhasilan yang dicapai dalam kabinet Natsir yang perlu dicatat adalah pemetaan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan masuknya Indonesia menjadi anggota PBB yang ke 60 pada 28 September 1950.20 Akan tetapi, tidak banyak yang tahu bahwa orang yang pertama merintis dan melaksanakannya adalah Natsir saat dia menjadi Perdana Menteri.21 Dalam hal ini Ridwan Saidi, menjelaskan bahwa Natsir sudah melihat perlunya dibangun Gerakan Non Blok dan dia memandang Inter Asia Conferense dapat menjadi embrio ke arah itu, yang disebutnya “Third Power Policy”. Namun, usulan itu tidak disepakati oleh peserta konferensi. Barulah setelah konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955, pemikiran Natsir tersebut dapat terealisasi dengan dibentuknya Gerakan Non Block (GNB). Jadi, sebenarnya Natsir telah menggagas perlunya GNB jauh sebelum GNB itu berdiri, walaupun dengan nama lain.22
19
Endang Saifuddin Anshari , Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h.123.
20
M.Dzulfikriddin, Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, h.84.
21
Ibid,. h.83.
22
Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia, h.66.
67
3. Konsep Ekonomi dan Pembangunan Salah satu program yang dinilai bagus dari Kabinet Natsir adalah di bidang ekonomi dan pembangunan. Antara lain adalah adanya dua ahli ekonomi Indonesia terkemuka saat itu, yakni Syafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Keuangan serta Soemitro Djojohadikusumo sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian.23 Kabinet Natsir terkenal dengan program pembangunan ekonomi dan industri yang disebut Soemitro Plan. Sasaran program itu menurut Nugroho Notosusanto, dipusatkan pada pembangunan industri, seperti pabrik semen, percetakan, pabrik karung, dan pemintalan. Hasil-hasil Soemitro Plan itu dijelaskan lebih perinci oleh Yusuf Abdullah Puar, sebagai berikut:24 a. Mengadakan reorganisasi Bank Rakyat Indonesia, sehingga dapat membantu kegiatan-kegiatan baru di bidang perdagangan dan produksi dalam negara. b. Mendirikan bank baru, yaitu Bank Industri Negara untuk membiayai pembangunan yang bersifat jangka panjang. Sekarang bank ini bernama Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). c. Dapat meletakkan petunjuk-petunjuk untuk mendirikan perusahaanperusahaan baru dalam memajukan industri kecil di daerah-daerah
23
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1956-1965), h.18. 24
Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir 70 Tahun Kenang-kenangan Hidup dan Perjuangan, h.67.
68
pertanian, seperti pengolahan kulit, pembuatan payung, batu bata, tegel dan keramik. d. Juga untuk pembangunan industri menengah dan besar, seperti percetakan, remiling getah, pabrik semen, pabrik kertas, dan pabrik pupuk.25 Selain itu, menurut Moedjanto dan Poerwantana, karena terjadinya Perang Korea yang berakibat barang-barang ekspor Indonesia mendapat pasaran yang baik di dunia. Sehingga pemerintah memiliki devisa luar negeri yang cukup besar. Semua itu telah meningkatkan kemampuan Kabinet Natsir dalam mengendalikan inflasi dengan cara liberalisasi sistem impor serta mengandalikan perbaikan-perbaikan yang subtansial bagi kondisi ekonomi negara secara menyeluruh.26 4. Integrasi dan Konvergensi Pendidikan Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, Natsir melangkah ke arah lebih jauh lebih penting, lebih bermakna dan lebih berdampak jangka panjang, yaitu integrasi di bidang pendidikan. Kabinet Natsir tampil sebagai pendorong terjadinya proses kenvergensi pendidikan umum dan pendidikan agama di Tanah Air. Dalam hal ini Natsir sengaja memilih Dr Bahder Djohan, seorang intelektual berpendidikan Barat yang memiliki kepekaan keagamaan, sebagai Menteri Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K). Sedangkan untuk jabatan Menteri Agama, dipilihnya KH A Wahid
25
26
Ibid., h.86.
A. Hasyimi, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan (Jakarta:Bulan Bintang, 1985), h.383.
69
Hasyim, seorang Kiai yang memiliki pengetahuan umum yang luas.27 Melalui kedua menteri itu Kabinet Natsir meletakkan dasar gagasan bahwa pendidikan umum harus ditambah dengan pelajaran agama dan pendidikan agama harus dilengkapi dengan pelajaran ilmu pengetahuan umum. Hal itu tertuang dalam Peraturan Bersama melalui SK Menteri PP dan K No 1432/Kab dan SK Menteri Agama No K1/651 Tahun 1951 tanggal 20 Januari 1951.28 a. Di sekolah-sekolah rakyat, pendidikan agama mulai diberikan di kelas IV sebanyak 2 jam pelajaran seminggu. Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama mulai diberikan pada kelas I SR, dengan alokasi waktu tidak melebihi 4 jam pelajaran seminggu. b.
Di sekolah lanjutan pertama atau tingkat atas, pendidikan agama diberikan sebanyak 2 jam dalam seminggu.
c. Pendidikan agama diberikan menurut agama murid dan baru diberikan pada suatu kelas sedikitnya 10 orang murid yang menganut suatu agama, dengan ketentuan bahwa murid-murid yang menganut agama lain dari agama yang diajarkan pada suatu waktu, boleh meninggalkan kelas selama jam pelajaran itu. d. Guru agama dilarang mengajarkan segala sesuatu yang mungkin menyinggung perasaan orang yang menganut agama lain.
27
28
Adam Malik, Mengabdi Republik (Jakarta: Gunung Agung, 1978), h.218.
Mahmud Yunus , Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:Mutiara Sumber Widya, 1992), h.297.
70
e. Bahan pelajaran agama ditetapkan oleh Kemenag setelah disetujui oleh Kementrian PP dan K. Sejak saat itu pendidikan agama secara resmi diajarkan di sekolahsekolah umum, baik negeri maupun swasta, mulai dari SD sampai SLTA, termasuk sekolah kejuruan. Dengan Peraturan Bersama itu, Kabinet Natsir telah menyelamatkan kehidupan negara dan bangsa dari paham sekuler.29 Dalam perjalanan waktu, ternyata keputusan Kabinet Natsir dalam bidang pendidikan ini diperkuat oleh pemerintah RI dengan UndangUndang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan demikian usaha mengintegrasikan sistem pendidikan nasional ini juga merupakan warisan monumental Natsir30 Karena ide Natsir tentang integrasi nasional tidak lah terbatas pada segi struktur kenegaraan yang berupa terwujudnya Negara Kesatuan RI saja, tetapi juga meliputi bidang pendidikan.
C. Peran Natsir di Konstituante Dalam rangkaian sidang-sidang Majelis Konstituante, terutama ketika membahas tentang dasar Negara, Natsir termasuk tokoh utama dalam perdebatan yang membagi para anggota majelis kepada dua kelompok: Islam dan Pancasila. Sebagai seorang Muslim dan pemimpin Masyumi, partai Islam terbesar saat itu, baginya tak ada pilihan lain sebagai dasar Negara, kecuali Islam yang melandasi kehidupan Individual, bermasyarakat, dan bernegara. 29
Syafiq A Mughni, Hasan Bandung:Pemikir Islam Radikal (Surabaya: Bina Ilmu, 1994), h.69. 30
Anwar Harjono, Indonesia Kita: Pemikiran berwawasan Iman-Islam, h.210.
71
Pada 12 November 1957, Natsir menyampaikan pidatonya dalam sidang pleno konstituante dengan judul Islam Sebagai Dasar Negara.31 Dalam pidatonya itu, Natsir menyatakan bahwa “Indonesia hanya mempunyai dua alternatif pilihan sebagai dasar Negara: paham sekularisme (La diniyah) atau paham agama (diniy)”.32 Natsir menjelaskan paham sekularisme itu dan akibatnya apabila masuk dalam ketatanegaraan.33 Kemudian uraian tentang sekularisme itu ditutup oleh Natsir bahwa, “Pancasila bukan bersumber kepada salah satu wahyu ilahi”,34 oleh karena itu Pancasila adalah sekuler sebab dia merupakan produk manusia. Setelah itu, Natsir menjelaskan bahwa Islam akan memelihara yang telah ada dan menumbuhkan yang belum ada dalam Pancasila. Dari kaidahkaidah Islam yang banyak terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, dia menerangkan tujuh butir diantaranya, yaitu mengenai: Nilai tolong-menolong, Nilai demokrasi atau musyawarah, Nilai cinta tanah air, Nilai cinta kemerdekaan, Nilai kesukaan membela yang lemah, Nilai tidak mementingkan diri sendiri serta kesediaan hidup dan memberi hidup, Nilai toleransi antara para pemeluk agama-agama.35
31
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, h.179. 32
Lukman Hakiem, Pemimpin Pulang: Rekaman Peristiwa Wafatnya M.Natsir, h.254.
33
M.Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.12-21.
34
Fachri Ali dan Bachtiar Efendy, Menambah Jalan Baru Islam, (Bandung,: Mizan, 1986), h.90. 35
Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir 70 Tahun : Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan, h.194-200.
72
Peranan Natsir dalam perdebatan di Konstituante diakui oleh banyak penulis dan pengamat politik Indonesia, tidak hanya sebagai pemimpin Masyumi, tetapi sekaligus pemimpin kelompok Islam di majelis itu. Lebih dari semua itu, Ahmad Suhelmi bahkan menyebut, “Perjuangan ideologis Masyumi untuk menegakkan Negara yang didasarkan pada syariat Islam, tidak bisa dipisahkan dari figur Natsir, karena dia adalah ideologi terkemuka partai itu.”36 Penilaian itu juga didukung oleh George McTurnan Kahin, professor pada Universitas Cornell AS yang menyatakan, “mengenai peranan Natsir dalam pekerjaan Konstituante, tampaknya bagi saya dia telah menyelesaikan lebih dari pada apa yang umumnya telah diakui”. Di tengah-tengah adanya satu kecurigaan keras pada mulanya oleh partai-partai non-Islam, maka Natsir, Prawoto Mangkosasmito, Osman Raliby, dan pemimpin-pemimpin progresif Masyumi lainya pada akhirnya telah bergerak jauh dalam menyesuaikan kedudukan partai mereka dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam perwakilan politik di Konstituante.”37 Akan
tetapi,
keberanian
Natsir
dan
teman-temannya
dalam
menyalurkan aspirasinya mengajukan Islam sebagai dasar Negara, banyak disalahpahami oleh orang-orang yang tidak senang kepada Islam, termasuk pemerintahan Orde Baru dibawah rezim Soeharto. Muncul tuduhan bahwa
36
Ahmad Suhelmi, “Sekitar Islam dan Negara” Makalah pada seminar PEDATI v, 5 April 1995, di UI Depok, h.6. 37
Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir 70 Tahun : Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan , h.328.
73
Natsitr hendak mendirikan Negara Islam Indonesia. Ada pula yang menyatakan bahwa Natsir tidak mengakui Pancasila sebagai dasar Negara dan hendak menggantinya dengan Islam. Tuduhan-tuduhan itu terus terlontarkan meskipun dia telah wafat. Misalnya, oleh R.William Liddle, “Ide Negara Islam ini tetap hidup, meskipun diungkapkan secara hati-hati.”38 Sebenarnya tuduhan-tuduhan terhadap Natsir itu tidak akan keluar jika dipahami konteks sejarahnya. Memang benar bahwa Natsir pernah berusaha menjadikan Islam sebagai dasar Negara untuk menggantikan Pancasila yang saat itu sedang berlaku, sebagaimana diuraikan di muka. Tapi yang mesti dipahami bahwa perjuangan untuk menjadikan Islam atau Pancasila, bahkan Sosialisme dan Komunisme sekalipun adalah sesuatu yang legal dan sah dilakukan pada saat itu.. Bahkan, lembaga untuk memperjuangkan ide-ide itupun dibentuk secara resmi melalui pemilu 1955, yaitu Majelis Konstituante. Harus diingat pula bahwa yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, bukan hanya Nastir dan Masyumi, melainkan juga ada politisi dari NU (91 orang), PSII (16 Orang), Perti (7 Orang) dan beberapa partai kecil lainnya sehingga jumlah pendukung Islam sebagai dasar negara ada 230 orang.39 Walaupun pada akhirnya Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan UUD 1945 dengan Pancasila sebagai dasar Negara dinyatakan berlaku kembali, tidaklah beralasan untuk terus menerus menuduh Natsir dan para politisi Islam masa itu sebagai kelompok yang anti-
38
R.William Liddle, “Skriptualisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam Masa Orde Baru”, Jurnal Ulumul Quran, nomor 3 volume IV, Tahun 1993, h.57. 39
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h. 119.
74
Pancasila. Harus juga diingat bahwa “Dekrit itu telah diterima secara aklamasi oleh DPR hasil pemilu 1955, termasuk wakil-wakil golongan Islam yang merupakan 45 persen dari seluruh anggota DPR”.40 Meskipun tidak dapat menerima cara dekrit itu dikeluarkan, karena ia adalah bentuk dari suatu tindakan yang otoriter dan diktator, bukan hasil musyawarah,41 Masyumi menyetujui isi dekrit itu. Kenyataan sejarah pula yang membuktikan bahwa Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya banyak menyalahi dan melanggar UUD 1945 yang dia berlakukan sendiri. Sebaliknya, Natsir bersama tokoh-tokoh Masyumi yang berusaha memperingatkan Soekarno untuk bertindak sesuai dengan UUD 1945, malah diteror dan diintimidasi sehingga tidak lagi merasa aman untuk tinggal di Ibu Kota Jakarta. Oleh sebab itulah, ketika Konstituante dibubarkan, Natsir sudah tidak lagi berada di tengah-tengah para anggota majelis yang terhormat itu. Sejak akhir 1957, Natsir telah hijrah ke Sumatera bersama keluarga dan beberapa tokoh Masyumi lainnya.42
D. Peran Natsir Saat dalam Tahanan Politik Tahun 1946 Natsir mendirikan partai MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang dipimpinnya sampai tahun 1957. Natsir juga pernah menjabat sebagai menteri penerangan (1946-1949). Pada waktu itu Natsir 40
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, h.180. 41
Lukman Hakim, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan: Biografi Dr. Anwar Harjono, SH (Jakarta: Media Dakwah , 1993), h.192. 42
Seri Buku Tempo Natsir, Politik Santun di antara Dua Rezim, h.64.
75
berhasil membujuk Sjafruddin Prawiranegara dan Jenderal Sudirman untuk kembali ke Jogja dan menyerahkan kekuasaan kepada Soekarno Hatta karena tersinggung atas kesepakatan Roem Royen. Natsir juga melunakkan hati Daud Beureuh untuk bergabung dengan Sumatera Utara. Pada waktu Natsir menjadi perdana Menteri (1950-1951), Indonesia bergabung dalam PBB.43 Hanya saja karena sikapnya yang kritis menyebabkan Soekarno memecat Natsir. Apalagi pada waktu itu Soekarno sudah mulai mendekat dengan China melalui Partai Komunis Indonesia. Puncaknya, dari tahun 19621966 Natsir menjadi tahanan politik orde lama. Hal ini merupakan lanjutan dari perdebatan panjang M. Natsir dengan golongan nasionalis melalui majalah pembela Islam. M. Natsir yang pada awalnya begitu mendukung nasionalisme bahkan cukup sering menghadiri orasi Soekarno, berubah menjadi mengkritik kelompok ini karena sikap mereka yang mulai merendahkan Islam. Misalnya, pernyataan Dr. Sutomo yang mengatakan bahwa pergi ke Digul lebih baik daripada pergi naik haji ke Makkah.44 Tahun
1960
Masyumi
dibubarkan
oleh
presiden
Soekarno.
Pembubaran ini disebabkan karena ikutsertaannya M. Natsir dalam pemberontakan pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat, yang disebabkan karena tidak sepaham dengan kebijakan yang dilakukan oleh presiden Soekarno yang tidak berpegang kepada UUD 45. Serta semakin kuatnya pengaruh PKI dalam semua kebijakan yang
43
http://rakyatjabarnews.blogspot.com/2014/08/sejarah-pemikiran-politik-mohammad.html
44
Ibid.
76
dikeluarkan Soekarno.45Lantaran itu pula jasa-jasa besar Natsir seolah tertelan oleh sejarah. Padahal keterlibatannya dalam pembentukkan PRRI/Permesta tidak berdiri sendiri dan mempunyai relevansi yang dapat dipahami.46 Ketika terlibat PRRI yang dianggap sebagai perlawanan politik atas sentralisme kekuasaan dan pelanggaran konstitusi oleh Soekarno justru nasionalisme Natsir diperlihatkan. Pasalnya, bila Natsir tidak memiliki nasionalisme, dia dengan mudah bisa pergi ke luar negeri dan mengasingkan diri di banyak negara di mana tokoh-tokoh di negara-negara itu akan menyambutnya dengan gembira. Tapi Natsir bukan Karl Marx (1818-1883), Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), atau Imam Khomeini, yang kabur dari negaranya dan meminta perlindungan asing untuk eksis dan kemudian come back ke negaranya.47 Menurut Mochtar Lubis, kalau kita mau menilai sejarah secara jujur dan objektif, sebenarnya Natsir dan kawan-kawan lebih dahulu melakukan koreksi terhadap Orde Lama, jauh sebelum Orde Baru melakukannya. Orde Baru mengoreksi Orde Lama lemah, sedangkan Nastir justru melakukannya ketika Orde Lama berada di puncak kekuasaan. Dalam konteks ini sulit membantah kehadiran sosok Natsir sebagai pejuang demokrasi yang konsisten, meskipun akhirnya dia menjadi “pejuang terluka” dan dituduh
45
Solihin,“Natsir dan PRRI,” Artikel http://solihinnet.wordpress.com/2013/05/30. 46
47
diakses
pada
27
Maret
2015,
dari
Lukman Hakim, M. Natsir di Panggung Sejarah Republik, h.141.
Nurbowo, “Bercermin pada Masyumi”, artikel diakses pada 28 Maret 2015 dari http://www.suara-islam.com// 11 April 2014//.
77
sebagai pemberontak oleh penguasa negara yang pernah dia perjuangkan.48 Natsir menjadi tahanan politik rezim Soekarno selama empat tahun empat bulan dari Januari 1962 hingga 1966. Natsir dan teman-teman ditahan bukan karena keterlibatannya dalam aksi PRRI Permesta, karena peristiwa itu telah diampuni pemerintah dengan pemberian amnesti. Mereka ditahan karena dipandang membahayakan politik Presiden Soekarno, terutama terhadap ide Demokrasi Terpimpin. Mereka juga dinilai kontra revolusi dan kontra Nasakom.49 Natsir dan kawan-kawan seperjuangannya ditangkap dan dijadikan tahanan politik oleh Soekarno dengan tirani Demokrasi Terpimpinnya dan dukungan komunis PKI. Raganya terkurung di balik tembok penjara, tetapi jiwa dan keyakinan politik mereka tetap bebas dan terpatri kukuh. Zaman beredar dan musim berganti, Soekarno pun jatuh menyusul gagalnya pemberontakan PKI. Sebaliknya Natsir semakin mencuat dan harum namanya di hati sanubari kaum Muslim, tidak hanya di Indonesia, tetapi di dunia internasional.50 Sebab, dalam statusnya sebagai tahanan politik, Natsir berkontribusi sangat besar pada permulaan Orde Baru. Waktu itu pemerintahan Soeharto berupaya memulihkan hubungan diplomatik dengan Malaysia yang memburuk akibat konfrontasi „'Ganyang Malaysia'‟ di masa presiden pertama. Namun, duta islah RI selalu ditolak mentah-mentah oleh Malaysia. Mengatasi 48
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.144.
49
Lukman Hakiem, Pemimpin Pulang: Rekaman Peristiwa Wafatnya M.Natsir, h.149.
50
Ibid,. h.150.
78
kebuntuan itu, dari balik tembok penjara Keagungan Jakarta Barat, Natsir menulis surat pribadi kepada PM Tengku Abdul Rahman yang sebelumnya menampik kedatangan Ali Moertopo yang Kejawen dan Benny Moerdani yang Nasrani. Isi suratnya memberitahu kawan-kawan ingin bicara. “Sewaktu Abah membuat surat itu, kami protes juga. Abah, kita aja nggak boleh bergerak, ngapain masih dibantu?” kenang Farida Natsir, putri Pak Natsir. Tapi Abah jawab, “Kalau demi bangsa, lakukan.“Begitu menerima pesan Natsir, Malaysia welcome”. Begitupun kemudian Jepang dan negara-negara Timur Tengah, dibuka gerbang diplomasinya oleh nama besar Natsir.51Meskipun berada di tahanan politik, Natsir telah membantu pemerintahan Orba dalam memulihkan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia yang rusak akibat konfrontatif Bung Karno. Namun sayang peranan dan jasa Natsir itu jarang terungkap dan tidak dimuat dalam buku-buku sejarah Indonesia.52
51
Nurbowo, “Bercermin pada Masyumi”, artikel diakses pada 28 Maret 2015 dari http://www.suara-islam.com// 11 April 2014//. 52
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.151.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Natsir adalah sosok yang Mukhlis meskipun begitu dia kerap kali dituduh dengan berbagai macam tuduhan namun jiwanya tetap kokoh dengan pendiriannya walaupun di belakang jeruji besi ia tetap bersama Indonesia. Ia telah tiada akan tetapi keteladanan, moral kepemimpinan, dan karya-karya lain yang tak ternilai harganya Ia tinggalkan. Hal itu dapat dilihat dari beberapa kesimpulan di bawah ini: 1. Mohammad Natsir, dia dikenal sebagai tokoh pemikir, tokoh yang telah berhasil membangun fondasi perpolitikan di Indonesia, khususnya bagi umat Islam. Selain itu, tanpa menafikan peran para pemikir muslim lainnya, Mohammad Natsir juga telah mengembangkan pemikirannya di masa orde lama dan Politik Islam di Indonesia dengan bingkai teori Ilmu-ilmu politik. 2. Pandangan politik Natsir berakar dari kefahaman politik Islam yang tuntas yang merangkul kekuatan demokrasi dan pancasila, yang ujungnya adalah perjuangan demokrasi yang tulen. Selain itu, Natsir juga berjuang menggerakkan kefahaman budaya yang inklusif, dan mengembangkan dasar politik yang ideal dan menekankan demokrasi yang terbuka. 3. Bagi Indonesia, Natsir merupakan tokoh kunci dan pejuang yang gigih mempertahankan negara kesatuan RI, yang telah berkali-kali menyelamatkan
79
80
Republik ini dari ancaman perpecahan. Pasalnya, pengabdiannya kepada bangsa Indonesia begitu besar. Mulai dari jabatannya di Masyumi, Menteri Penerangan, Perdana Menteri hingga dalam penjara pun Natsir tetap berperan penting dalam perkembangan Indonesia yang usia kemerdekanya baru seumur jagung.
B. Saran 1. Di penghujung studi ini perlu juga untuk melampirkan sekelumit saran-saran dalam rangka memperbaiki pola pemikiran Islam tentang berbagai fenomena terkait keagamaan Islam yang bersangkutan dalam perpolitikan di masa orde lama dan sejumlah persoalan sosial-politik. Hal ini penting, sehingga tidak berimplikasi pada permusuhan antara fenomena keagamaan Islam dengan persoalan-persoalan politik yang tentunya hanya membuat komunitas politik Islam semakin tidak produktif. 2. berkaitan dengan skripsi ini penulis mengharapkan saran dan kritik para pembaca guna memperbaiki kesalahan atau kekurangan yang ada. Selain itu penulis sendiri sadar bahwa karya ini merupakan buah pertama dari proses panjang
pendewasaan
intelektual
dimungkinkan jauh dari kesempurnaan.
penulis,
sehingga
masih
sangat
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Muhammad Husain. “Dirasat Fi Al-Fikri Al-Islami”. Artikel diakses pada 11 Maret 2015 dari http://www.wordpress.mpg.de/groups. Husain/wordpress.com. Alfian. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 1981. Ali, Fachri dan Bachtiar Effendi. Menambah Jalan Baru Islam. Bandung: Mizan, 1986. Amir, Ahmad Nabil. “Pak Natsir dalam Perjuangan Politik dan Dakwah”. Artikel diakses pada 28 Maret 2015 dari http://Infront.net.// Amir, Zainal Abidin. Peta Islam Politik Pasca Soeharto. Jakarta: LP3ES, 2003. Anshari, Endang Saifuddin dan Amien Rais. Pak Natsir 80 Tahun: Pandangan dan Penilaian Generasi Muda. Jakarta: Media Dakwah, 1988. Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Jakarta: Rajawali, 1986. Bachtiar, Arifin. “Biografi Moh.Natsir”. Artikel diakses pada 5 September 2014 dari http://www.wikipedia/MohammadNatsir/wikipedia.com. Bangunan, Tridah, dkk. Susunan dan Program Kabinet-kabinet RI 1945-1998. Jakarta: DPP Karya Pembangunan, 1993. Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001. Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif. Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Farian Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Busyairi, Badruzzaman. Boerhanuddin Harahap: Pilar Demokrasi. Jakarta: Bulan Bintang, 1989. Darban, Ahmad Adaby. Peran Serta Islam Dalam Perjuangan di Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 1989. Dastmik, Cita. “Orde Lama”. Artikel diakses pada 19 Maret 2015 dari http://www.citradastmikpringsewu-wordpress.com. Dzulfikriddin, Muhammad. Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia. Bandung: Mizan Pustaka, 2010.
81
82
Effendi, Bahtiar. “Integrasi Keagamaan dan Teori Ilmu Sosial”. Kompas, 16 Desember 2014. Elha, Shofwan Karim. “Ensiklopedi Minang M.Natsir”. artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari http://www.scribd.com. Fahri, Muhammad. “Mohammad Natsir: Sejarah dan Gagasannya Terhadap Pendidikan Islam”. Artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari http://mpiuika.wordpress.com. Fatwa, A.M. “M.Natsir dan Kontribusinya Dalam Pembangunan Negara Kesatuan”. Artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari http://docs.google.com/document. Feith, Herbert dan Lance Castle. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Penerjemah Nugroho Katjasungkana. Jakarta: LP3ES, 1965. Feith, Herbert. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Penerjemah Nugroho Katjasungkana. Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia, 1999. Gallenksonk. “Konfigurasi Politik”. Artikel diakses pada 19 Maret 2015 dari http://www.kodifikasi.blogspot.com/konfigurasi/blogspot.com Ghazali, Ades Muchtar. Perjalanan Politik Umat Islam Dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Pustaka Setia, 2004. Hakiem, Lukman, dkk. Refleksi Seabad Mohammad Natsir. Jakarta: Republika, 2008. __________ Ensiklopedia Nasional Indonesia. Jakarta: Ciptaka Adi Pustaka, 1990. Hakim, Lukman. Pemimpin Pulang: Rekaman Peristiwa Wafatnya M.Natsir. Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu, 1993. __________ Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan: Biografi Dr Anwar Harjono SH. Jakarta: Media Dakwah,1993. Harjono, Anwar dan Lukman Hakim. Di Sekitar Lahirnya Republik. Jakarta: DDII, 1997. Harjono, Anwar. Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Hasyimi, Ahmad. Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: Bulan Bintang, 1985. Hazairin. Demokrasi Pancasila. Jakarta: Tintamas, 1970.
83
Heryana, Aidil. “Proklamator Mosi Integral Bangsa”. Artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari http://Dakwatuna.com. Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer). Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Jansen, G.H. Islam Militan. Penerjemah Armahedi Mahzar. Bandung: Pustaka, 1983. Joeniarto. Sejarah Ketatanegaraan RI. Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Karim, Muhammad Rusli. Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: Rajawali Press, 1993. Karim, Shofwan. “Mohammad Natsir (1908-1993)”. Artikel diakses pada 5 September 2014 dari http://www.shofwankarim/blogspot.com. Kasiram, Mohammad. Metodologi Penelitian: Refleksi Pengembangan Pemahaman dan Penguasaan Metodologi Penelitian. Malang: UIN Press, 2008. Liddle, R.William. “Skriptualisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam Masa Orde Baru”. Jurnal Ulumul Quran. Vol.IV (1993): h.57 Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta:LP3ES, 1987. __________ Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Jakarta:Gema Insani Press, 1996. __________ Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,2006. __________ Peta Bumi Intelektualisme di Indonesia. Bandung: Mizan, 1993. Machmudi, Yon. Sejarah dan Profil Ormas-ormas di Indonesia. Jakarta: Penerbit PSKTTI UI, 2013. Madinier, Remi. Partai Masjumi Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral. Jakarta: Mizan,2013. Madjid, Nurcholis. “Kita Kenang Pak Natsir”. Pandji Masyarakat, 20 Maret 1993. Mahendra, Yusril Ihza dan M.Wahyuni Nafis, Ed. Makna dan Peranan Islam Dalam Proses Sosio-Politik di Indonesia Konstektualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Munawir Sjadzali. Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995.
84
Mahendra, Yusril Ihza. “Modernisasi dan Islam: Pandangan Politik Mohammad Natsir”. Islamika, 12 Maret 1994. Malik, Adam. Mengabdi Republik. Jakarta: Gunung Agung, 1978. Manan, Bagir. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press, 2004. Mayeli, Yoechenky Salahuddin. “Konsep Pendidikan Mohammad Natsir”. Artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari http://yoechenkymayeli.blogspot.com. MD, Mohammad Mahfud. Politik Hukum Diklat Program Pasca Sarjana UII Tahun 1998/1999. Yogyakarta: UII Press, 1998. Mughni , Syafiq, dkk. Pak Natsir 80 Tahun. Jakarta: Media Dakwah, 1998. Mughni, Syafiq. A. Hasan Bandung: Pemikir Islam Radikal. Surabaya: Bina Ilmu, 1994. Mulkhan, Abdur Munir. Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan Dalam Islam. Yogyakarta: Sipress, 1994. Murti, Sri. “Politikus Intelektual Muslim.” Skripsi S1 Fakultas Adab, 1996. Muttaqin, Hidayatullah. “Pemikiran Politik”. Artikel diakses pada 2 Maret 2015 dari http://www.wikipress.html/muttaqinblogspot./wiki. “Mohammad Natsir.” Dalam Lukman Hakim, dkk, ed., Ensiklopedi Islam, Vol. 4, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993: h. Nasution, Abdul Haris. Sejarah Kembali Ke UUD 1945. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1976. Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia: Studio Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995. Natsir, Seri Buku Tempo. Politik Santun Diantara Dua Rezim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011. Natsir, Mohammad. Capita Selekta, cet.II. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. __________ World Of Islam Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Yayasan Idayu, 1976. __________ Dunia Islam dari Masa ke masa. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982. Noer, Deliar. Partai-partai Islam Di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: PT Pustaka Grafiti, 1987.
85
__________ Gerakan Modernisme Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1996. Nugraha, Adhiyat Bagus. “Pemikiran Mohammad Natsir Tentang Negara dan Kiprahnya Dalam Perpolitikan di Indonesia.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2004. Nurbowo. “Bercermin pada Masjumi”. Artikel diakses pada 28 Maret 2015 dari http://www.suara-Islam.com. Praktiknya, A.W. Percakapan Antara Generasi: Natsir Pesan Perjuangan Seorang Bapak. Yogyakarta: Labda, 1989. Puar, Yusuf Abdullah. Mohammad Natsir 70 Tahun, Kenang-kenangan Hidup dan Perjuangan. Jakarta: Pustaka Antara, 1978. __________ Kelemahan Atau Kelebihan Natsir. Jakarta: Pustaka Antara, 1978. Rahmania, Fira. “Penerapan Pancasila pada Masa Orde Lama”. Artikel diakses pada 19 Maret 2015 dari http://www.firacomplicated/blogspot.com. Rais, Lukman Fatahullah, dkk. Mohammad Natsir Pemandu Umat, Jakarta: Bulan Bintang, 1989. Ramage, Douglas E. Democracy Islam and The Ideology of Tolerance. Penerjemah Dharmono Hardjowidjono. London: Routledge, 1995. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Penerjemah Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994. Roem, Mohammad. “Mohammad Natsir dan Perjuangannya”. Artikel diakses pada 28 Maret 2015 dari http://www.Islampos.com. __________ Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI. Jakarta: Gramedia, 1989. Rosidi, Ajib. M.Natsir: Sebuah Biografi. Jakarta: Giri Mukti Pustaka, 1990. Saidi, Ridwan. Zamrud Khatulistiwa. Jakarta: LSIP, 1995. __________ Islam dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: LSIP, 1995. Salim, Islam. Terobosan PDRI dan Peranan TNI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. Santosa, Kholid. O. Dasar Negara Islam Indonesia: Pemikiran, Cita-cita, dan Semangat Nasionalisme Mohammad Natsir. Bandung: LP2EPI, 2002. Satriawan. “Natsir Dan Masjumi”. Artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari
86
http://satriawan.wordpress.com. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UII Press, 1998. Sjamsuddin , Nazaruddin. Integrasi Politik di Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1989. Soekarno. Bung Karno: Negara Nasional dan Cita-cita Islam. Jakarta: Seridokumentar, 2003. Solihin.
“Moh.Natsir”. Artikel diakses http://solihinnet/wordpress.com.
pada
28
Maret
2015
dari
Stanzah, Akmal. “Natsir, Syafruddin, Kasman, Noer Ali, Soleh Iskandar, Pahlawan Nasional?”. Pandji Masyarakat, 20 April 1995. Suhadirman. Pembangunan Politik Satu Abad. Jakarta: Yayasan Lestari Budaya, 1996. Suhelmi, Ahmad. Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir. Jakarta: Terajin, 2002. __________ Dari Kanan Islam Hingga Kiri Islam. Jakarta: Darul Falah, 2001. __________ “Sekitar Islam dan Negara”. Pedati V. (April 1995): h.1-15. Syam, Firdaus. Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Di Pentas Politik Indonesia Modern. Jakarta: Khoirul Bayaan, Sumber Pemikiran Islam, 2003. Taisir, Muhammad. “Konsep Kenegaraan Islam Menurut Mohammad Natsir.” Skripsi S1 Fakultas Adab, 1999. Tamam, Badrul. “Konsep Pendidikan Mohammad Natsir”. Artikel diakses pada 27 Maret 2015 dari http://www.voa-Islam.com// __________ “Natsir: Berpetisi Tanpa Caci Maki”. Tempo, 21 Juli 2008 Teba, Sudirman. Islam Orde Baru Perubahan Politik dan Keagamaan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993. Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta, Mutiara Sumber Widya, 1992. Zuhri, Damanhari. “Mohammad Natsir: Pendidik-Pejuang Yang Istiqomah”. Republika, 17 Juli 1994.