BAB I
SEBUAH GAGASAN YANG BELUM TERUNGKAP
A. Latar belakang Studi ini berusaha mengungkap gagasan nasionalisme yang tidak lazim dalam wacana perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme memang selalu menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan. Selain karena gagasan nasionalisme menjadi ruh berdirinya sebuah bangsa ini, gagasan nasionalisme juga merupakan gagasan yang tidak tunggal. Heterogenitas gagasan nasionalisme sendiri lahir atas dasar pemikiran para nasionalis yang memiliki nilai-nilai ideologis yang berbeda. Jika sedikit menengok ke belakang, secara historis kata nasionalisme mulai terdengar gaungnya oleh kalangan pribumi semenjak diberlakukannya Politik Etis di Hindia Belanda (1900). Politik Etis merupakan program balas budi yang dipelopori oleh Van Deventer bersama golongan
ethici
(baca: etis).
Keduanyaberhasil medorong Ratu Wihelmina untuk mengimplementasikannya melalui “trilogi” program Politik Etis yakni, pendidikan, irigasi, dan imgrasi (Simbolon, 2006: 241). Meskipun dalam implementasinya banyak menemui penyimpangan namun Politik Etis telah memberikan angin segar bagi sebagian besar pribumi. Dari trilogi program Politik Etis nampaknya pendidikan yang paling berpengaruh positif bagi sebagian besar pribumi di Hindia-Belanda. Massifnya pendidikan telah membawa masyarakat pribumi pada imaji sebuah bangsa yang 1
bebas dan merdeka. Sampai pada akhirnya gerakan perlawanan mulai dikobarkan. Gerakan perlawanan diawali dengan mengandalkan kekuatan fisik dan masih bersifat sporadis (bedasarkan nilai-nilai primodial
dan regional). Dampaknya
dengan mudah penjajah menumpas habis perlawanan yang dilakukan oleh pribumi. Akan tetapi yang terpenting dari fenomena ini ialah realitas dimana pendidikan secara tidak langsung telah melahirkah benih-benih nasionalisme dalam benak berbagai komunitas pribumi. Sementara itu, memasuki pertengahan abad ke19-20 lahir banyak golongan intelektual sehingga strategi perlawanan yang tadinya menggunakan “kapak” bertransformasi dengan menghandalkan “otak”.
Hal tersebut ditandai
dengan lahirnya gagasan nasionalisme dari salah seorang foundinng father kita yakni, Dr. Soetomo. Bersama kawannya di STOVIA (sekolah dokter Bumiputra) berhasil mendirikan organisasi kebangsaan yang diberi rnama Budi Oetomo (1908-1918). Kemunculan organisasi BO dinilai sebagai tonggak bangkitnya nasionalisme Indonesia yang kemudian diikuti oleh penggerak bangsa lainnya dengan konsep nasionalisme dengan haluan yang berbeda-beda (Simbolon 2006:249). Salah satunya penggerak bangsa adalah Soekarno, baginya gagasan nasiolisme merupakan sebuah ideologi cinta tanah air yang hidup berdampingan dengan nilai-nilai Islam dan Marxisme; atau Soekarno acapkali menggunakan istilah Marhaenisme (ideologi yang memihak rakyat jelata) daripada ideologi hasil buah pikir Karl Marx. Penyatuan ketiga ideologi itu dengan tegas ia nyatakan melalui tulisannya dalam Suluh Indonesia Muda tahun 1926. Dalam tulisa nnya ia
mengatakan bahwa
“Nasionalisme adalah nasionalisme
yang hidup 2
berdampingan dengan Islam dan Marxisme”. Ia berkeyakinan bahwa ketiga ideologi itu hakekatnya saling mengisi dan lahir atas dasar antitesis dari kolonialisme. Semangat nasionalisme juga ia kembangkan melalui partai yang didirikannya yakni Partai Nasional Indonesia yang bersifat radikal dan non-kooperatif. Dengan kata lain partai ini berjalan di atas pondasi rakyat Indonesia sendiri tanpa ada campur tangan dari pihak asing atau dalam hal ini,
Belanda. Pemikiran ini kelak
menjadi ruh dalam konsep Demokrasi Terpimpin yang diusung Soekarno sendiri (Sjamsuddin, 1998: 48-50). Gagasan nasionalisme yang diusung Soekarno pun sangat kontras dengan gagasan yang diusung oleh pendampingnya saat ia berada di kursi tertinggi pemerintahan, Mohammad Hatta. Gagasan nasionalisme yang diusung Hatta ini tidak bisa dilepaskan dengan konsep revolusi nasional dan sosial. Jika mengacu pada Karl Marx, revolusi sosial hanya akan menjadi sebuah angan-angan apabila revolusi nasional belum tercapai. Sementara Hatta secara implisit menyiratkan dalam konteks Indonesia, yang dimaksud revolusi nasional adalah mengusahakan perubahan secara mendasar kondisi politik yang terlepas dari belenggu kolonialisme dan dihidupkan dengan nafas demokrasi desa (baca: demokrasi musyawarah dan mufakat), sementara revolusi sosial mengupayakan perubahan secara cepat dalam sektor ekonomi. Revolusi sosial ini nantinya menjadi akar lahirnya konsep koperasi (Kanhar dan Susila, 2012: 15 -17). Oleh karena itu
3
dalam benak Hatta, kedua revolusi ini harus dijalankan secara bersamaan sebagai sebuah realisasi dari gagasan nasionalisme. Dari sepenggal pembahasan tentang gagasan Soekarno dan Mohammad Hatta dapat ditarik kesimpulan bahwa dua orang yang memiliki kedekatan dalam berpolitik pun nyatanya memiliki gagasan nasionalisme yang berlainan sehingga Craig Calhoun (1997:123) berpandangan bahwa perbedaan haluan dalam gagasan nasionalisme memang tidak dapat dihindarkan. Lantaran para nasionalis akan selalu bersinggungan dengan orientasi politik, konteks politik, serta kognisi yang berbeda. Selain itu, latar belakang kehidupan sosial juga turut menjadi penentu corak dari agasan nasionalisme yang dilahirkan oleh para nasionalis. Dalam konteks Indonesia sendiri perbedaan itu telah tergambar jelas seperti dalam pemaparan sebelumnya namun dari keseluruhan gagasan nasionalisme yang telah lahir dapat ditarik benang merah bahwa nasionalisme diciptakan sebagai semangat antitesis atas adanya penjajahan dan pemersatu untuk mempertahakan kemerdakaan (Purwanto 2001: 244). Berangkat dari apa yang dikatakan Craig Calhoun, studi ini mempunyai fokus untuk membedah anatomi dari salah satu bentuk gagasan nasionalisme yang muncul dalam wacana perjuangan bangsa Indonesia yakni Nasionalisme-Religius Katolik melalui tokoh nasionalis Indonesia yang representatif. Hal ini menarik karena ditinjau dari latar belakangnya agama Katolik merupakan keyakinan yang telah diperkenalkan kepada pribumi sejak lama oleh penjajah Portugis dan Spanyol (abad ke-15). Kemudian diperkuat ketika masa penjajahan Belanda yang membawa misi cuius regio, euis religio (agama penguasa harus menjadi agama rakyat) dengan tujuan memperkuat legitimasi kekuasannya di Indonesia. Sebagai 4
konsekuensinya mau tidak mau pribumi akan mengenal dan bahkan mengimani nilai-nilai religius Katolik yang lekat dengan citra kolonialisme (Klinken, 2010). Akan tetapi hal itu bukan penghalang munculnya rasa nasionalisme dalam kalangan umat Katolik pribumi dan justru beberapa founding father kita yang mencoba memadukan gagasan nasionalisme dengan nilai-nilai religius Katolik yang bertujuan untuk melawan penjajah. Dalam penelitian ini gagasan Nasionalisme-Religius Katolik akan dibaca melalui tindakan politik yang dilakukan oleh seorang Ignasius Joseph Kasimo (1900-1986). Ia merupakan seorang. Kasimo adalah seorang intelektual Jawa Katolik yang terlahir pada masa revolusi. Meskipun ia berkeyakinan sama dengan penjajah tetapi hal itu tidak menghambat langkahnya sebagai perwujudan semangat nasionalisme yang muncul dalam dirinya. Hal itu tercermin dari banyaknya jerih payah yang telah ia ukir dalam meperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Di
antaranya dengan mendirikan Partai Katolik Indonesia
(1923-1950) dan pernah beberapa kali dipilih menjadi anggota
Volksaard
(anggota perwakilan) sebagai representator rakyat Indonesia pada masa kolonialisme (Tim Kompas dan Gramedia, 1980) Selain itu, ia juga terlibat aktif dalam menjalakan roda pemerintahan pada periode kepemimpinan Soekarno. Ketika masa itu, Kasimo telah melahirkan konsep swasembada pangan untuk menanggulangi kekurangan keadaan darurat yang terkenal dengan nama Kasimo Plan. Jadi jauh sebelum orang membicarakan soal swasembada pangan, Kasimo telah berhasil melaksanakannya (Tim Kompas dan Gramedia, 1980:58). Dengan kata lain ia merupakan sesosok nasionalis yang
5
patut diperhitungkan dalam jalannya roda pemerintahan Indonesia sebelum dan paska kemerdekaan. Sementara dalam kehidupan politik salah seorang sejarawan, Anhar Gonggong (2010:35) menilai bahwa anak
dari seorang prajurit keraton
Yogyakarta tersebut termasuk golongan evolusioner dalam memperjuangkan kemerdekaan. Posisinya sebagai seorang awam (bukan anggota hierarki Gereja Katolik) ia harus tunduk pada hierarki Gereja Katolik pada waktu itu. Terlebih jabatan strategis dalam hierarki gereja banyak diduduki oleh orang-orang Belanda sehingga mengakibatkan Kasimo berada pada posisi yang sulit untuk merealisasikan gagasan nasionalismenya. Masih dalam ranah politik namun pada tingkat yang lebih tinggi, ia juga merupakan sesosok nasionalis yang idealis atau dalam istilah seorang sejarawan penggandrung Kasimo yakni J.B. Soedarmanta, Kasimo merupakan politisi yang bermartabat (hingga dijadikan sebuah judul buku oleh Seodarmanta). Salah satu idealismenya ia manifestasikan dalam penolakannya terhad ap konsepsi “Kabinet Empat Kaki” yang diajukan Soekarno. Meski sekalipun yang mengajukan konsepsi tersebut adalah orang nomer satu di negara ini namun Kasimo berani menyatakan sikapnya karena tidak sesuai dengan prinsip politiknya. Lantaran menurut Kasimo konsepsi yang diajukan Soekarno membuka ruang bagi komunis untuk masuk ke dalam pemerintahan Indonesia. Oleh karena itu, Kasimo dikenal sebagai aktor politik yang teguh memegang prinsip yang anti terhadap Komunisme.
6
Sebagai bukti atas perjuangannya, pada tahun
2011 lalu Pemerintah
Indonesia telah menyematkan gelar pahlawan kepada Kasimo namun suatu ironi layaknya pasir yang terhempas ombak bahwa banyak generasi penerus bangsa yang tidak lagi mengenalnya. Keprihatinan ini dipertegas oleh Anhar Gonggong yang mengatakan “Orang seperti Kasimo kok ditinggalkan dan dilupakan. Tidak hanya orang Katolik, bangsa ini telah melupakan orang besar seperti Kasimo” (dalam manjalah hidup online,edisi Minggu, 2 November 2008). Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa Kasimo telah mati
secara fisik maupun dalam cerita
historis tentang berdirinya sebuah Bangsa dan Negara Indonesia. Ditambah lagi, Kasimo merupakan aktor politik yang lahir dari golongan minoritas di Indonesia sehingga tidak banyak orang yang tertarik pada pemikirannya atau bahkan pada kehidupan pribadinya. Sejarawan Indonesia pun masih seringkali mempertanyakan bagaimana bisa seseorang awam yang berkeyakinan sama dengan penjajah dapat memikirkan gagasan nasionalisme Indonesia? (Jamesetiawan,2012). Mungkin inilah yang membuat banyak orang ragu-ragu untuk mengkaji pemikirannya dan namanya tidak sebesar dengan founding father lainnya seperti Soekarno dan Bung Hatta. Sebenarnya di Indonesia telah ada dua buku biografi yang secara khusus membahas Kasimo. Dua buah pena tersebut berjudul “I.J Kasimo Hidup dan Perjuangannya” yang disusun oleh tim wartawan Kompas serta Tim Redaksi Gramedia, “Politik Bermartabat: Biografi I.J Kasimo” karya J.B. Seodarmanta. Buku pertama, I.J. Kasimo Hidup dan Perjuangannya telah terbit lebih dahulu dibanding buku buah pena J.B. Seodarmanta. Sejatinya kedua buku tersebut secara apik membungkus sejarah hidup dan tidakan politik seorang Kasimo 7
menjadi sistematis dan komprehensif. Hal itu dikarenakan Tim wartawan Kompas dan Redaksi Gramedia telah berhasil mengumpulkan dokumen atau sumber tentang Kasimo yang notabene sangat jarang. Sedikit berbeda dengan buku karya Sudarmanta yang lebih menekankan pada tindakan politik Kasimo di masa sebelum hingga paska revolusi. Keduanya memang berbeda tetapi dari perspektif yang digunakan kedua penulis sama-sama cenderung melihat Kasimo dari tindakan praksisnya. Melihat kenyataan yang ada, penulis merasa tertantang untuk mengungkap “Apa yang mendasari seorang Kasimo ikut berjuang dalam merebut dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia? Atau dengan kata lain sebenarnya bagaimana konsep nasionalisme yang dipikirkan oleh seorang nasionalis yang berasal dari golongan awam ini (bukan berasal dari militer atau hirarki gereja). Dalam menjawab pertanyaan tersebut penulis akan menggunakan kerangka politis –relligius guna memetakan pemikiran seorang Kasimo secara Komprehensif melalui tindakan politiknya. Artinya dalam hal ini, penulis dituntut untuk melihat nilai-nilai virtual Katolik dan referensi literatur teologis maupun politis yang mempengaruhi pemikirannya. Hal itu, dapat terwujud dalam pidato maupun tulisannya serta kajian tentang perjalanan hidup dan pemikirannya yang pernah ditulis oleh orang -orang terdekatnya sehingga tidak dipungkiri bahwa buku biografi yang pernah ditulis sebelumnya termasuk menjadi sumber dalam penulisan ini. Dengan demikian, studi ini diharapakan dapat memberikan warna tersendiri bagi wacana perpolitikan Indonesia dan menjadi suguhan literatur baru 8
bagi penerus bangsa khususnya tentang nasionalisme-religius. Lantaran sejauh ini di Indonesia studi tentang gagasan nasionalisme cenderung stagnan atau homogen karena sebagian besar hanya ditinjau dari kacamata negara dan religius mayoritas saja. Oleh karena itu, studi ini menawarkan gagasan nasionalisme dengan corak yang berbeda yakni nasionalisme yang dipadukan dengan nilai-nilai Katolik. Hal itu, sekaligus dapat menjadi bukti bahwa ajaran Kat olik dapat diaplikasikan dalam konstelasi politik Indonesia. Selain itu, dengan melalui studi tentang sejarah hidup Kasimo pula dapat menjadi fakta utama bahwa adanya sumbangsih umat Katolik awam dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini. Akarnya studi-studi tentang sejarah Indonesia tidak banyak membahas peranan golongan minoritas pada periode revolusi bahkan hingga reformasi. Keutamaan itu juga didorong oleh keyakinan penulis bahwa tidak akan lahir Kasimo -kasimo lain dalam kehidupan politik di tanah air ini, maka sangat disayangkan apabila seorang tokoh pemikir yang memiliki gagasan nasionalisme yang khas seperti Kasimo terlewatkan begitu saja dalam balada keilmuan sejarah politik Indonesia.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan muncul permasalahan dan akan dibahas dalam studi ini yakni, Bagaimana pemikiran Ignatius Joseph Kasimo tentang gagasan nasionalisme-religius Katolik yang dibaca melalui tindakan politiknya?
C. Tujuan Jawaban dari semua persoalan dalam studi ini betujuan untuk:
9
1. Memahami pandangan nasionalisme-religius Katolik yang selama ini belum terungkap dalam kajian-studi perpolitikan di Indonesia melalui tindakan politiknya. 2.
Mengetahui seberapa jauh pemikiran I.J. Kasimo mempengaruhi wacana perjuangan bangsa dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan.
Selain itu, dari tujuan yang belum disebutkan penulis yakni melalui pemikiran I.J. Kasimo bermaksud menunjukkan bahwa nilai-nilai Katolik kental kolonialisme dapat dipadukan dengan paham nasionalisme dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa golongan pribumi yang berkeyakinan Katolik juga turut berkontribusi menyumbangkan gagasan nasionalisme wacana perjuangan kemerdekaan Indonesia
D. Kerangka teori: Anatomi Pemikiran Kasimo tentang Nasionalisme Religius Katolik dalam konteks modern Nasionalisme bagaikan organisme yang berkembang dari satu waktu ke waktu. Artinya gagasan nasionalime merupakan gagasan yang tidak tunggal terlebih proses modenisasi membawa angin perubahan terhadap para nasionalis untuk memaknai kembali nasionalisme. Salah satunya I.J. Kasimo yang berpijak pada nilai-nilai religiusitas dalam mengilhami nasionalisme. Perspektif yang digunakan oleh Kasimo memang di luar mainstream (arus utama) dalam wacana perpolitikan Indonesia sehingga penulis perlu membangun konstruksi teori dari beberapa konsep yang tekait dengan nasionalisme dan religius Katolik sebagai perspektif
untuk
membaca
pemikirannya.
Secara
garis
besar
penulis
menggambarkan kontstruksi teori tersebut sebagai berikut:
10
Sosiologi Pengetahuan Nasionalisme
Religiusitas Katolik
1. Latar belakang dari lahirnya sebuah produk gagasan dalam Sosiologi Pengetahuan Arief Budiman (1991: xiii-xiv) dalam tulisannya dari Partriotisme Ayam dan Itik sampai ke Sosiologi Pengetahuan menceritakan sebuah kisah menarik di sebuah negara totaliter. Suatu seorang pejabat negara itu datang menemui seorang petani miskin. Dia ingin menguji kadar patriotisme warganya ini. Mulailah dengan pertanyaaan: “Saudara apakah anda rela mengorbankan tanah anda untuk negara? “ “Siap,” jawab si petani “Bagaimana dengan rumah anda?” “Siap!” “Tentunya anda juga rela mengorbankan ayam dan itik anda untuk kepentingan negara?” “Tidak!” Si Pejabat terperanjat. Dengan penuh keheranan, dia lalu bertanya: “Lho, mengapa tidak?” Si petani miskin dengan tenang menjawab: “Karena saya memiliki ayam dan itik.” Dari kisah di atas Arief Budiman ingin menggambarkan petani tidak akan melepaskan itik dan ayamnya kepada pejabat negara itu karena kedua itulah sesuatu yang menjadi kepentingan dan dan kondisi yang melatarbelakanginya. Pejabat negara tentu akan berpikir bahwa petani memiliki jiwa patriotisme yang rendah. Akan tetapi jika dilihat dari sisi petani dengan mempetahankan itik dan 11
ayamnyaadalah cara untuk mempertahankan kepentingannya. Dari kisah itulah, Arief Budiman sampai pada kesimpulan bahwa pemikiran seseorang tidak bisa lepaskan dari eksistensi kehidupannya. Pemikiran seseorang tidak terlepas dari apa yang dia miliki di dunia ini, dari apa yang dia cintai, dari apa yang menjadi kepentingannya. Pemikiran seseorang menentukan pengetahuannya. Antara pengetahuan seseorang dan eksistensinya sebagai manusia terdapat hubungan yang erat (Budiman, 1991:xiv) Apa yang dikatakan oleh Arief Budiaman tentang setiap hal yang dilakukan seseorang selalu dilatar-belakangi oleh pengetahuan, menghantarkan kita pada satu disiplin ilmu yang dinamakan Sosiologi Pengetahuan. Dalam bukunya yang berjudul Ideology and Utopia and Introduction to the Sociology of Knowegde, Karya Karl Mannheim ditanyatakan: “Sosiologi pengetahuan adalah salah satu dari cabang-cabang termuda dari sosiologi: sebagai cabang ini berusaha menganalisis kaitan antara pengetahuan dan eksitensi: sebagai riset sosiologis-historis, cabang ini berusaha menelusuri bentukbentuk yang diambil oleh kaitan dalam perkembangan intelektual manusia.” (Mannheim, 1979: 237; 1991: 287 diterjemahkan oleh Arief Budiman, 1991: xiv) Dengan adanya sosiologi pengetahuan ini berusaha mengungkap pengetahuan yang selama ini dinilai subjektif dari segi kontekstual historinya. Pengetahuan subjektif adalah pengetahuan yang secara epistemologi memiliki hubungan antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui. Karl Mannheim menambahkan bahwa ideologi merupakan sebuah bentuk pengetahuan seseorang yang telah tercampur oleh perasaan, kepentingan, atau faktor-faktor subjektif lainya. Oleh karena itu, ideologi itu merupakan pengetahuan yang tidak absolut atau universal atau dengan kata lain ideologi adalah sebuah pengetahuan 12
subjektif karena itu salah. Bila didasarkan pada apa yang dikatakan oleh Karl Mannheim, pemikiran Kasimo tentang nasionalisme religius Katolik dapat dikategorikan pengetahuan yang cukup subjektif. Nasionalisme religius Katolik adalah sebuah ideologi yang syarat dengan keyakinan subjektif seseorang daripada fakta-fakta empiris sehingga tentu saja pemikiran ini idak mempunyai kebenaran absolut yang dapat diterima oleh semua orang dan tidak jarang pemikirannya menuai kontra dari penggagas nasionalisme lain. Dengan menggunakan Sosiologi Pengetahuan, penelitian ini tidak sekedar menjustifikasi pemikiran Kasimo yang tergolong sebagia ideologi menjadi sebuah pengetahuan yang salah, tetapi mengungkap realita dibalik lahirnya produk pemikiran. Oleh karena itu, sosiologi pengetahuan cukup membantu studi ini untuk mengungkap pemikiran Kasimo tidak dari permukaan pemikiran saja tapi lebih dari itu yakni melihat latar belakang lahirnya pemikiran tersebut. Hal itu, dapat dicapai dengan menelurusi jejak sang pemikir langsung atau kontekstual historisnya dan konteks di luar dirinya. Penelusuran kontekstual secara historis tersebut mencakup dari kehidupan masa kecilnya, pendidikannya, tokoh-tokoh yang menjadi insipratornya, dan perjalanan karier politik serta tak ketinggalan adalah konteks sosial budaya politik ekono mi yang mengiringi masa hidupnya. 2. Arti dan makna nasionalisme Secara epistemologi istilah nasionalisme diambil dari istilah dalam bahasa Inggris yakni nation yang berarti bangsa dan isme yang berarti paham atau kepercayaan sehingga nasinaliosme berarti paham tentang kebangsaan. Dengan kata lain, kehadiran suatu bangsa tidak akan bisa dilepaskan dari paham nasionalisme itu sendiri. 13
Ben Anderson menjelaskan makna nasionalisme dari sudut pandang yang agak berbeda. Nasionalisme menurutnya adalah paham yang lahir dari “imagine community”. Anderson menjelaskan bahwa mustahil bila seluruh komunitas dalam suatu bangsa akan berkomunikasi atau berinteraksi dan berkumpul untuk mensepakati tujuan bersama. Oleh karena itu, nasionalisme adalah paham yang lahir dari komunitas yang memiliki angan-angan tentang kedaulatan dalam wilayah teritorial yang sama untuk membentuk sebuah bangsa (Anderson, 1983, hlm xxi). Dalam rangka mewujudkan sebuah angan-angan itu dibutuhkan perwujudan nyata dan konkret. Berbeda dengan Anderson, Dhaniel Dakiae mencoba mengaitkan nasionalisme dengan bangsa dan negara. Menutunya nasionalisme paham yang mendasari bangsa ingin membentuk sebuah negara (dalam Aderson, 2001; xxxvii). Bagi suatu bangsa, tujuan bersama yang telah mereka sepakati tidak akan tercapai apabila tidak ada negara. Artinya negara adalah sebuah organisasi politik yang dapat mempersatukan rasa kebangsaan mereka untuk mencapai tujuan dari bangsa itu sendiri. Sehingga nasionalisme tidak dapat dipisahkan dari proses nation-state building. Dalam konteks Indonesia, menurut sejarawan Sartono Kartodirjo (dalam Anderson, 2001: xiiii) pada zaman modern, nasionalisme merupakan gejala historis yang lahir akibat adanya rasa penderitaan yang ditimbulkan oleh kolonialisme atau penjajahan. Dari pengertian ini nasionalisme dapat d imaknai sebagai rasa yang mendasari rakyat untuk bersatu dan berjuang bersama untuk lepas dari belenggu penjajah. Lebih jauh sesuai dengan pemikiran Ernest Renant (dalam Soekarno,1959,3) keinginan untuk hidup bersama tersebut diwujudkan 14
dengan gerakan perlawanan dengan mengesampingkan nilai-nilai primordial seperti agama,suku, ras dan regionalistik. Berkaca dari konteks Indonesia sendiri, nasionalisme adalah paham yang lahir dalam komunitas yang disebut bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia telah membayangkan akan kebebasan untuk terlepas dari belenggu kolonialisme. Mereka ingin membentuk negara sebagai manifestasi politiknya dan untuk mencapai apa yang telah dibayangkan itu. Guna mencapainya mereka mereka berbagai cara dilakukan di antaranya dengan terjun ke dalam kancah perpolitikan, membentuk organisasi politik dengan misi persatuan kesatual nasional. 3. Akar-akar nasionalisme di Indonesia 3.1. bahasa Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa berarti sistem lambang bunyi yg arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Dengan mengacu pada arti tersebut, bahasa merupakan lahir dari kesepakatan di dalam masyarakat. Bahasa juga merupakan sarana individu-individu dalam masyarakat untuk berkomunikasi dan mengidentifikasi diri untuk membedakan “kami” dan “mereka”. Bahasa Hindia Kuno, bahasa Melayu Pasar (yang disebut bahasa Indonesia sekarang) mempunyai arti penting dalam sejarah lahirnya nasionalisme di Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Bousquet (dalam Kahin, 1995, 51) bahwa kaum nasionalis menggunakan bahasa Melayu-Indonesia sebagai senjata melawan pengaruh Belanda. Kaum Nasionalis dengan memakai bahasa nasional-sebagai
15
senjata psikologis yang menggetarkan, mereka dapat mengungkapkan tujuan nasional yang hendak dicapai bersama. 3.2. Pendidikan Tidak bisa dielakan lagi bahwa pendidikan menjadi akar dari nasionalisme. Melalui pendidikan penduduk pribumi mulai terinternalisasi oleh paham-paham kebangsaan yang berkembang abad 19an. Dengan itu, penduduk pribumi dapat merefleksikannya dengan kondisi sosial politik di dalam bangsanya. Lama-kelamaan, proses itu membawa kesadaran penduduk pribumi untuk melawan kolonialisme. Pendidikan yang diberikan oleh Belanda di Indonesia adalah bumerang bagi Belanda. George Kahin (1995) menjelaskan konsekuensi terpenting dari pendidikan Barat adalah perkembangan suatu golongan elite pribumi yang tidak dapat diserap oleh masyarakat kolonial-suatu golongan elite yan merasa tidak puas, tidak berdaya dan kecewa. Mereka merasakan adanya diskriminasi dalam bidang ekonomi maupun sosial. Dari situlah muncul propaganda nasionalisme Indonesia dan sering juga penyebar gagasan-gagasan sosialis. Pendidikan yang diberikan oleh Belanda juga melahirkan golongan baru yaitu, golongan intelektual -golongan kelas menengah. Melalui golongan ini pergerakan kebangsaan mulai berjalan. Pendidikan yang awal mulanya bertujuan untuk mendapatkan tenaga adminitratif dalam kursi pemerintahan Belanda, berbalik menjadi saluran internalisasi paham nasionalisme-antitesis kolonialisme (Kahin,
1995:
77).
Dengan
demikian
Belanda
benar
-benar
tidak
memperhitungkan implikasi pendidikan bagi penduduk pribumi masa itu. 16
4. Agama Katolik sebagai sebuah landasan berpikir (ber)politik dan (ber)negara Dalam penelitian ini, Agama Katolik dilihat sebagai sebuah landasan berpikir dalam berpolitik dan menjalankan kehidupan bernegara. Maksudnya, konsep Agama Katolik digunakan sebagai kacamata untuk membaca tindakan politik Kasimo yang dikemudian diterjamahkan sebagai sebuah gagasan Nasionalisme-Religius katolik. 4.1. Agama Katolik sebagai landasan berpikir Menurut Y.B. Mangun Wijaya dalam bukunya “Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat” (dalam Purwanto, 2001: 23) menerjemahkan agama sebagai perangkat ajaran, hukum, ritus, adat/ tradisi, peninggalan historis, hasil budaya
sertaorganisasi
dengan
peraturan-peraturannya,
impian/
pendampingannya, dan harta miliknya. Pendek kata, segala hal yang lahiriah dan sosiologis bersifat kolektif untuk mengatur dan mengarahkan sikap-sikap serta kerohanian pemeluknnya. Suatu organisasi serta oraganisme sosilogis kolektif daan kultural yang menjadi wahana wahyu. Sementara Hans Kung (Purwanto, 2001: 23) menerjemahkan agama secara luas yakni, suatu realisasi sosio individu yang hidup (dalam ajaran, tingkah laku, ritus/ upacara kegamaan) dari suatu relasi dengan yang melampaui kondrat manusia (Yang Kudus) dan dunianya dan berlangsung lewat tradisi dan dalam masyarakatnya. Dengan kata lain, Hans Kung menjelaskan bahwa agama adalah kultur spirtualitas dan wujud sistem yang mengatur makna atau nilai-nilai dalam kehidupan manusia yang digunakan sebagai kerangka dan acuan atau landasan
17
bepikir setiap individu Katolik yang dihubungkan ajaran-ajaran Katolik untuk melihat seluruh realitas sosial, tidak terkecuali Agama Katolik. 4.2.
Makna (ber)politik dalam padangan Agama Katolik
4.2.1. Konsep politik secara umum Secara umum istilah “politik” selalu dikaitakan dengan kekuasaan, namun dalam kamus politik istilah yang selalu dikaitkan dengan kekuasaan itu memiliki beberapa makna sebagi berikut: (1) Mulanya istilah politik diambil dari bahasa Yunani dan diambil oleh banyak bahasa, temasuk bahasa Indonesia. Pada zaman klasik Yunani, negara atau lebih tepatnegara-negara kota disebut “polis”. Plato (kurang lebih 347 sebelum masehi) menamakan bukunya tentang soal-soal kenegaraan Politea,
dan muridnya
bernama Aristoteles (kurang lebih 322 sebelum masehi) menyebut karangannya tentang sosal-soal kenegaraan Politikon. Makna “politik” memperoleh arti seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan. Politik mencakup kebijaksanaan/ tindakan
yang bermaksud mengambil bagian dalam urusan
kenegaraan/ pemerintahan termasuk yang menyangkut penetapan bentuk, tugas, dan lingkup urusan negara. Mengurus negara/ pemerintahan dapat dijalankan dengan cara, aturan dan hukum yang berbeda-beda, misalnya secara demokratis, liberal, otoriter, diktatorial, machiavelistis atau etis. Menjadi bahan perdebatan apakah politik praktis ini bersifat meta-etis (artinya tidak terikat pada normanomra etika) atau harus tunduk pada noerma-norma yang lebih luru daripada
18
keberhasilan dan kekuasaan saja, misalnya pada hukum keadilan atau kepentingan bersama rakyat maupun umat manusia seluruhnya; (2) Pada umumnya politik mencakup bernaeka macam kegiatan dalam suatu sistem masyarakat yang terogranisasikan (terutama
negara) yang menyangkut
pengambilan keputusan baik mengenai tujuan-tujuan sistem itu sendiri maupun mengenai pelaksanaanya; (3) Kebijakan; cara bertindak; kebijaksanaan; (4) Dalam arti yang lebih luas politik diartikan sebagai cara atau kebijaksanaan (policy) untuk m encapai tujuan tertentu, msialnya politik pendidikan (Marbun,1996:518). Dengan demikian berpolitik berarti tidak terbatas pada pencarian kekuasaa namun mencakup makna yang lebih luas terkait dengan kehidupan bernegara. Artinnya berpolitik dalam kehidupan bernegara dapat diwujudkan dengan berpolitik praktis. Salah satu bentuk atau wujud dari politik praktis tersebut dapat dilakukan dengan ikut berpartisipasi dalam perjuangan dalam mewujudkan berdirinya sebuah negara itu sendiri. Lebih jauh, melihat dalam kamus politik tersebut, bepolitik juga
mencakup menjalankan pemerintahan-mengambil
kebijakan dalam negaranya dengan cara yang berbeda-beda untuk mencapai tujuan bersama yang telah disepakati dalam negara itu. 4.2.2. Landasan (ber)politik dalam Agama Katolik Gereja katolik memandang kegiatan berpolitik adalah “mengusahakan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat umum demi kemajuan bangsa sesuai 19
dengan harkat dan martabat kemanusiaannya dan demi persahabatan dan perdamaian antarabangsa” (Purwanto, 2002:24). Jadi berpolitik dalam agama Katolik merupakan kegiatan yang fokus pada usaha untuk mewujudkan keselamatan dan kesejahteraan seluruh masyarakat -tanpa memandang etnis dan agama yang dilakukan dengan cara menjaga perdamaian dan hubungan baik dengan bangsa lain. Lebih lanjut, dalam pandangaan Gereja Katolik kegiatan berpolitik tidak bisa dilepaskan dari hidup beragama. Oleh karena itu, pada konteks kegiatan berpolitik yang dilakukan umat Katolik, mereka harus mendasarkan kegiatan berpolitiknya pada nilai-nilai injili yang menjadi bagian dari spritualitasnya untuk mendorongnya dalam melibatkan diri dalam kerasulan sosial politik. Nilai-nilai injili yang menjadi dasar kerasulan sosial-politik mencakup disampikan oleh Dr. Ignatius Suharyo, Pr. dalam makalah diajukan pada Seminar Univeritas Sanata Dharma pada 12 Desember 1999 mencakup tiga hal (dalam Longgina Nova Bayo, Skripsi: Hubungan Gereja dan Negara, 2004: 9-10): (1) Martabat manusia sebagai pribadi sebagai dasar antropologis. Oleh karena itu secara po litis, sistem demokrasi menjadi sangat sesuai dengan hal tersebut. Karena dalam sistem demokratis hakekatnya sangat menjunjung tinggi martabat dan hak-hak manusia. Hal ini juga menjelaskan Gereja tidak pernah berdamai dengan sistem yang menghapus hak perseorangan dan merendahkan harkatmartabat manusia. (2)
Solidaritas sebagai tuntutan fundamental yang merupakan konsekuensi dari
dasar 20
antropologis. Artinya solidaritas merupakan nilai-nilai dasar untuk mewujudkan dari sistem demokrasi tersebut. (3) Keterpihakan pada yang lemah sebagai konkretitas tuntutan etis fundamental. Hal ini tekait dengan solidaritas, dimana kaum lemah, miskin, dan menderitas menjadi adalah pihak yang harus dibela. Oleh karena itu, Gereja Katolik mengusung konsep berpolitik untuk meningkatkan kesejahteraan. Dengan adanya pedoman kerasulan itu, menegaskan bahwa dalam pandangan Agama Katolik agama dan politik tidak dapat dipisahkan namun harus dibedakan.perbedaan itu terletak pada asas dan dasarnya sendiri seerta bergerak pada tataran yang berbeda (Purwanto, 2001:26). Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya juga tidak bisa dipisahkan karena (ber)politik-secara normatif adalah tindakan yang bermoral terkait dengan kenegaraan sementara agama merupakan pedoman moral dari tindakan bermoral itu sendiri. 4.2.3. Etika (ber)politik dalam kacamata Agama katolik Pada prinsipnya etika politik dalam agama Katolik adalah berpolitik dengan tujuan “bonnum commune” yang artinya “kesejahteraan umum”. Oleh karena itu, Gereja sebagai kehadiran agama Katoik-yang dimaknai sebagai pedoman moral untuk bertindak moral-berpolitik menghadirkan Ajaran Sosial Gereja (ASG) sebagai wujud konkret dari bentuk pedoman moral tersebut. Ajaran itu sejatinya merupakan perumusan dari refleksi pesan injil yang diselaraskan dengan realitas sosial dewasa ini.
21
Sebagai pedoman moral berpolitik, Ajaran Sosial Gereja sangat berkaitan dengan nilai-nilai injili dalam berpolitik. Implikasinya Secara garis besar dalam pesan-pesan dalam ASG merupakan bentuk himbauan profetis dan solidaritas praktis. Profetis merupakan sikap injili secara terbuka dan konkret terhadap situasi, masalah atau tantangan tertentu sementara solidaritas praktis adalah keterpihakan pada mereka yang diperlakukan tidak adil (Magnis, 1992: 54). Secara tidak langsung melalui ASG, Gereja mendorong umatnya untuk terlibat dalam menyelesaikan permasalah sosial dan politik Tujuan dari kemunculan pedoman mengenai etika politik atau yang terwujud dalam ASG sendiri ialah supaya umat dapat hidup baik dalam bernegara bersama orang lain untuk semakin memperluas lingkup kekhasan dan menciptakan institusi -institusi yang lebih adil agar terwujud kedamaian dan kesejahteraan bersama. Arti dari kekhasan tersebut ialah syarat -syarat sosial, politik, dan fisik yang memungkinkan pelaksanaan secara kongkret kebebasan. Biasanya dipakai istilah democratic liberties yang meliputi kebebasan mengeluarkan pendapat,kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, bebas dari campur tangan negara dalam hal-hal yang mengangkut hak privat (Haryatmoko, MajalahPraedicamus No. 6, Vol II, 2003). Salah satunya hak privat termasuk dalam memeluk keyakinan atau keagamaan dimana negara tidak boleh mengintervensinya. Prinsip-prinsip refleksi etika politik dalam Agama Katolik pada intinya mencakup delapan hal yang telah disampaikan melalui Nota Pastoral konferensi Waligereja Indonesia (November 2003) (dalam Suharyo, 2009: 61-66). Penjelasan prinsip-prinsip tersebut yang telah disarikan, sebagai berikut: 22
(1) Hormat terhadap martabat manusia Prinsip ini menegaskan bahwa manusia mempunyai nilai dalam dirinya sendiri dan tak pernah boleh diperalat karena di daalam agama Katolik, manusia pada hakekatnya diciptakan secitra dengan Allah ehingga martabat manusia memiliki value yang tinggi dan harus dihargai dan tidak boleh d iperalat untuk tujuan apapun, termasuk tujuan politik; (2) Kebebasan Kebebasan adalah hak setiap orang dan kelompok, artinya bebasa dari segala bentuk ketidakadilan dan bebas untuk mengembangkan diri secara penuh; (3) Keadilan Keadilan merupakan keutamaan yang yang membuat manusia sanggup memberikan kepada setiap orang atau pihak lain apa yang merupakan haknya. Keadilan yang dimaksud konteks ini adalah penciptaan sistem ekonomi yang mendiring penggunaan modal untuk pengembangan ekonomi riil dan mendukung wirausaha-wirausaha kecil dan menengah dan menciptakan lembaga dan hukumhukum yang adil; (4) Solidaritas Solider mengacu pada keterpihakan pada korban ketidakadilan, termasuk keadilan struktural; (5) Subsidiaritas 23
Menjalankan prinsip subsidiaritas berarti menghargai kemampuan setiap manusa, baik pribadi maupun kelompok untuk mengutamak an usahanya sendiri; (6) Fairness Prinsip fairness adalah menjamin terciptanya aturan yang adil dan sikap taat pada aturan tersebut; dihormatinya pribadi dan nama baik lawan politik; dijaganya pembedaan wilayah privat dari wilayah public; disadari dan dilaksanakannya kewajiban sebagai pemenang suatu kontes politik untuk memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat; (7) Demokrasi Dalam sistem demokrasi kedulatan rakyat berada di tangan rakyat. Demokrasi sebagai sistem tidak hanya menyangkut kenegaran, melainkan juga hidup ekonomi, sosial, dan kultural. Dengan demokrasi diharapkan suara minoritas pun terdengar; (8) Tanggung Jawab Bertanggung jawab berarti mempuya komitmen penuh pengabdian dalam pelaksanaan tugas. 4.3. (Ber)negara dalam kerangka Agama Katolik 4.3.1. Makna negara secara umum Kranenburg mengatakan bahwa negara pada hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Dengan kata lain negara tidak akan lahir apabila tidak ada sekelompok manusia 24
yang mempunyai kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi dengan tujuan untuk memelihara kepentingan dari kelompok tersebut (dalam Busroh, 1990: 23). Dalam konteks ini negara hanya kausalitas dari adanya sebuah bangsa. Senada dengan Kranenburg, negara menurut Hobbes Locke adalah entitas politik suatu masyarakat hukum. Yang dimaksud oleh Locke dengan masyarakat hukum adalah kumpulan dari orang-orang yang percaya pada nilai-nilai primitif namun, suatu pada titik tertentu mereka menyadari bahwa terdapat kekurangan dalam hukum alam yang mereka anut. Untuk itu, ia membentuk suatu pemerintahan dan undang-undang guna menciptakan tata kelola sosial yang lebih pasti (Huijbers, 1982: 81). Lebih lanjut, untuk itulah Locke menafsirkan tujuan negara adalah untuk mewujudkan keselarasan kehidupan sosial dalam masyarakat dan hendaknya harus menjaga hak-hak warganegaranya. Tujuan negara tersebut sebagai konsekuensi dari penyerahan masyarakatnya yang terdiri
dari orang-orang
primitif dan bersedia meninggalkan nilai-nilai tradisional yang mereka anut demi kepentingan bersama dalam membentuk sebuah negara. Locke sekaligus menjelaskan hak-hak warganegara yang dilindungi oleh negara adalah hak yang seturut negara dengan hukum tata negara (Huijbers, 1982:81-82). Bila kita cermati dua teori milik Kranenburg dan Hobbes Locke, terdapat enang merah bahwa sekelompok orang yang disebut bangsa berusaha membentuk negara. Negara dimaksud ialah suatu organisasi politik se bagai yang dibentuk oleh bangsa yang terdiri dari orang-orang yang memiliki latar belakang yang sama sebagai sarana untuk mewujudkan kebebasan, satu persatuan, persamaan dari rasa 25
kebangsaan terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, versi negara yang dimaknai sebagai sarana dari suatu bangsa tidak akan jauh dari corak kebangsaan yang telah ada sebelumnya. Jika mengacu pada Locke, negara memiliki fungsi sebagai pengawal hukum. Hal itu sebagai sebuah implikasi penyerahan hak-hak primitif dari masyarakat didalamnya dan ketersediaan mereka untuk mematuhi hukum tata negara. Tetapi bukan berarti negara dapat mengahpuskan hak-hak alam pribadi yang dimiliki manusia seperti kehidupan, kesehatan, milik seorang pribadi, oleh karena hak pribadi yang bersifat alamiah (termasuk beragama)
lebih kuat
dibanding negara (Huijbers, 1982: 82). Dengan demikian sudah menjelaskan mengapa bangsa bersusah payah mewujudkan independent state (negara merdeka). 4.3.2. Hakekat Negara dalam pandangan Agama Katolik Menurut FX. Hadisumarto (1985: 8), negara diapandang sebagai perwujudan dan konsekuensi kondrat manusia sebagai pribadi sosial. Manusia pada hakekatnya adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dengan kata lain ia pada titik tertentu akan membutuhkan orang lain untuk melengkapi keterbatasannya. Untuk itu, dibentuklah sebuah negara sebagai sarana pengaturan untuk mewujudkan sistem sosial antar manusia. Dengan demikian dalam konteks ini negara dibentuk oleh kumpulan manusia yang memiliki tujuan bersama (bangsa) didalamnya sehingga negara memiliki legitimasi dari masyarakatnya untuk mewujudkan tujuan bersama tersebut.
26
Sebagai konsekuensinya hakekat negara (state) dalam Agama Katolik mempunyai makna
“lembaga yang menyelenggarakan dan mengupayakan
kesejahteraan para warganya” (Purwanto, 2001:5) Kesejahteraan dalam konteks ini mencakup kebebasan sosial dan kehidupan. Kebebasan sosial sendiri misalnya dapat diwujudkan dengan menjamin berkembangnya kebebasan berkembangnya agama dalam suatu negara tersebut. Sementara dalam kehidupan ekonomi, negara memiliki kewajiban untuk mendorong masyarakatnya untuk mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih baik. Oleh karena itu, dalam pandangan agama Katolik negara harus dijalankan dengan sistem yang sesuai dengan karakter bangsa atau kumpulan masyarakat yang ada di dalamnya guna mewujudkan kesejahteraan umum dengan menjamin perkembangan karakter bangsa itu sendiri. Senada dengan yang dikatakan Hobbers Locke dan Kranenburg bahwa negara merupakan sarana dari sebuah bangsa untuk untuk mewujudkan kesejahteraannya. Hal itu sekaligus menjelaskan nilai-nilai kultural yang ada dalam sebuah bangsa tidak bisa dibisa dihilangkan begitu saja oleh negara, karena nilai-nilai kultural (agama dan etnisitas) telah ada lebih dulu dibanding adanya negara itu didirikan. Sebagai contoh, Indonesia merupakan bangsa yang bersifat heterogen-terdiri dari masyarakat yang memiliki suku dan agama yang berbeda-beda tidak akan sesuai dengan sistem negara yang bersifat homogen dalam mewujudkan kesehajahteraan umum sebagai cita-cita bangsa. Dengan kata lain, karakter bangsa sangat menentukan dalam memaknai dan menjalankan sebuah negara. 4.3.3. Tugas Kerasulan Umat Katolik dalam bernegara
27
Umat Katolik adalah persekutuan yang terdiri dari kaum klerikus dan kaum awam. Kaum klerikus merupakan golongan umat Katolik yang menerima tahbisan atau yang disebut yang dapat dibagi menjadi dua kaum rohaniawan dan hierarki Gereja. Hierarki gereja yang dimaksud adalah perjabat-pejabat rohani dalam agama Katolik, dari paus-kardinal-uskup-imam-diakon(dari yang tertinggi sampai yang terendah). Sementara kaum rohaniawan terdiri dari biarawan dan biarawati dan kaum awam adalah umat Katolik di luar hierarki gereja yang menerima sakramen baptis sebagai tanda menjadi umat Allah dalam Gereja Katolik. Maksud dari “kerasulan” sendiri adalah segala kegiatan yang mengarah pada penebusan dan keselamatan bagi semua yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang mengimani Kristus. Dalam konteks gerejawi, kaum klerikus mengemban tugas kerasulan yang lebih banyak dibanding kaum awam.Kaum klerikus memiliki tanggung jawab untuk melayani dan membina umatnya demi terwujudnya keutuhan Gereja sehingga kaum awam dalam tugas gerejawi tidak memiliki pernanan besar seperti yang tercantum dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) pada kanon 231 bahwa, “Kaum awam, yang secara tetap atau untuk sementara diperbantukan untuk pengabdian khusus Gereja, terikat kewajiban untuk memperoleh pembinaan yang tepat yang dituntut untuk melakukan tugas secara semestinya, dan untuk menjalankan tugasitu dengan sadar, sungguh -sungguh dan rajin”. Kaum awam pada tataran gerejawi tugasnya terbatas pengabdian pada kaum klerikus dalam mengemban tugas perutusannya. Artinya kaum awam dituntut untuk setia pada kaum klerikus sebagai wakil Allah didunia. Akan tetapi dalam hidup bernegara, kaum awam memiliki tugas kerasulan yang lebih luas dibanding 28
dengan kaum klerus. Hal itu dikarenakan, terdapat banyak batasan-batasan bagi kaum klerikus dalam bernegara seperti yang tercantum dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) pada kanon 285 dikatakan
“Kaum klerikus dilarang untuk
menerima –jabatan-jabatan publik yang membawa serta partisipasi-partisipasi dalam pelaksaaan kuasa sipil.”. Artinya kaum klerikus tidak diperkenankan untuk menduduki jabatan-jabatan politik maupun pemerintahan dalam suatu negara. Selain itu dalam KHK pada kanon 278 juga diatur sebagai berikut: “Para klerikus janganlah mendirikan atau meengambil bagian dalam perserikatan-perkserikatan yang tujaun atau kegiatannya tak dapat diselerasakan dengan kewajiban-kewajiban khas status klerikal, atau dapat menghambat pelaksanaan seksama tugas yang dipercayakan orotitas Gereja yang berwenang kepada mereka.” Hal itu dimaksudkan agar kaum klerikus dapat menjaga “kesucian” sebagai wakil Allah di dunia dan tidak
mencari kekuasaan yang bersifat duniawi namun
sesungguhnya kaum klerikus juga mempunyai peran dalam tugas kerasulan sosialpolitik dalam bernegara karena pada hakekatnya mereka juga merupakan warga negara. Keterlibatan mereka dapat dilakukan dalam bentuk
menyumbangkan
pandangan-pandangan terkait dengan isu-isu sosial -politik namun harus diselaraskan dengan nilai-nilai injili. Hal itu berkaitkan dengan tugas kaum klerus atau hierarki gereja dalam membina umatnya agar dalam menjalankan kehidupan bernegaranya sesuai dengan ajaran-ajaran Agama Katolik. Maka dari itu, kaum awam adalah ujung tombak dari keterlibatan gereja dalam politik praktis. Mereka adalah wakil Gereja Katolik yang dipanggi untuk melakukan tugas kerasulan dalam kehidupan sosial-politik di negaranya. Dalam aktualisasinya, kaum awam sebagai warganegara harus berkomitmen pada 29
pemenuhan kewajiban-kewajiban warganegara dengan diresapi semangat injili; sebagai politisi Katolik pada khussunya secara profesional dan dierapi semangat injili mengusahakan perwujudan kesejahteraan umum. Komitmen tersebut harus didasari nilai-nilai spritualitas yakni tanpa pamrih; penghomatan terhadap martabat manusia, fairness, pengorbanan. Serta yang paling terpenting adalah tugas kerasulan awam dalam sosial dan politik tidak terlepaskan oleh komitmen untuk erjalan bersama Hierarki Gereja Katolik (O. Carm, dkk, 1994, 72). 5. Benang merah Nasionalisme dengan Agama Katolik sebagai landasan berpikir dalam berpolitik dan bernegara Sampailah pada pembahasan apakah yang dimaksud dengan nasionalismereligius Katolik. Dalam penelitian ini gagasan nasionalisme-Religius Katolik adalah benang merah antara konsep nasionalisme dan Agama Katolik sebagai landasan berpikir dalam berpolitik dan bernegara. Benang merah tersebut merupakan pemaknaan yang dilitik melalui tiga dimensi yakni, makna negara dan bangsa di dalamnya, kontribusi individu, dan strategi perjuangan yang harus dipilih dalam mewujudkan gagasan itu. Secara umum nasionalisme di Indonesia dalam konteks ini dibatasi sebagai paham yang mendasari penyatuan sekelompok orang yang mendiami wilayah teoritorial yang luas dan memiliki identitas yang berbeda-beda tetapi mereka diikat oleh persamaan nasib di bawah kuasa kolonial, dan kemudian disebut sebagai “bangsa” hingga pada derajat tertentu nasionalisme juga paham yang mendasari sebuah “bangsa” membentuk sebuah “negara” sebagai manifestasi politiknya untuk mewujudkan cita-cita bangsa itu sendiri. Dengan demikian nasionalisme adalah paham yang mendasari pencapaian sebuah bangsa 30
dan negara tapi juga kesungguhannya untuk mempertahankan bangsa dan negaranya itu. Tidak jauh berbeda dalam pandangan Agama Katolik, negara adalah sarana untuk mewujudkan kesejahteraan umum dari sebuah bangsa. Meski posisi de mikian dan memiliki legitimasi, negara tidak memiliki hak untuk menghilangkan identitas-identitas bangsa yang ada didalamnya. Oleh karena itu, Gereja Katolik tidak pernah menghendaki pemahaman sistem negara yang syarat dengan hak penghapusan hak-hak individu. Dalam agama Katolik, terdapat tugas kerasulan awam yang menuntut setiap invidu Katolik terlibat aktif dalam dunia politik praktik. Hal itu seperti yang disampaikan oleh Soegijapranata bahwa nasionalisme paham mencintai negara dan bangsanya sendiri sama porsinya dengan mengimani agama Katolik karena “100% patriotik sebab kita juga merasa 100% Katolik” (Subanar, 2003, 82). Implikasinya dalam mewujudkannya, setiap invidu Katolik harus memperhatikan sikap-sikap sebagai berikut: (Purwanto, 2001: 26-27): (1) Keterlibatan dalam bidang sosial politik merupakan satu panggilan mulia orang Katolik demi kesejahteraan umum. Maka dalam keterlibatannya itu orang Katolik wajib memperjuangkan kebenaran dan keadilan, dengan memegang prinsip dasar bahwa keselamatan rakyat itulah hukum yang paling dasar ( salus populi suprema lex) (2)
Terus memperkembangkan pemikiran kritis dan kreatif serta integritas
kepribadian untuk menghadapi berbagai tantangan dalam mewujudkan kehidupan
31
demokrasi; melalui jalinan kerjasama dengan saudara-saudari yang beragama lain demi persatuan bangsa Indoenesia (3) Para pelaku politik hendaknya menjalankan keterlibatan politis dengan sikap etis (menghayati etika politisi). Artinya mempelakukan rekan berpolitik sebagai sesama manusia dan warga negara yang sejajar, dan mengambil keputusan secara betul-betul adil. Tolak ukurnya adalah kesejahteraan umum dan prosedur demokratis. Sedangkan bagi warga Katolik pada umumnya, memberi warna etis kepada
dunia
politik
berarti
ikut
membangun
mekanisme-mekanisme
demokratis,memperjuangkan keadilan tanpa pamrih, mengambangkan wawasan kebangsaan dan konsisten dan mencari kesejahteraan seluruh rakyat. (4)
Meningkatkan kesadaran diri dan kesadaran masyarakat terhdap hukum.
Kesadaran hukum harus ditumbuhkan, sebab dapat membentuk meningkatkan mutu hidup manusia bersama. Hukum harus diyakini sebagai perlindungan bagi rakyat untuk memperoleh keadilan. Bukan rakyat untuk hukum melaikan hukum untuk rakyat. (5) Keterlibatan orang katolik dalam tata politik praktis memang dijiwai oleh iman Katolik, namun mereka harus berjuang atas nama pribadi atau kelompok politiknya, atas prakarsa sendiri, dan dengan tanggungjawab sendiri, bukan atas nama gereja. Tiada seorang pun dapat mengatasnamakan Gereja Katolik dalam langkah politiknya. Para rohaniwan (kaum klerikus) harus mengukuti pelbagai dinamika kehidupan politik sehingga tetap menjadi bagian seluruh gerakan masyarakat tanpa harus terjun aktif dalam organisasi politik
32
Sementara bernegara adalah bentuk panggilan atau bentuk kerasulan bagi umat Katolik untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan permasalah-permasalah sosial-politik. Pemaknaan nasionalisme sebagai sebuah kegiatan bernegara atau bentuk kerasulan berimplikasi pada kewajiban untuk melakukan kegiatankegiatan terkait dengan kenegaraan tersebut dengan patuh pada nilai-nilai ajaranajaran sosial gereja dan etika politik yang selaras dengan nilai-nilai injili tersebut. Franz Magnis Suseno dalam tulisannya Gereja Katolik dan Nasionalisme Bangsa-Bangsa (dalam Majalah Rohani tahun XXVIII No. 8, 1981, 237-238) menegaskan nasionalisme dalam kerangka Katolik adalah paham cinta pada keadilan dan kebenaran yang ada di dalam bangsa dan negaranya. Artinya “cinta” yang dimaksud bukan cinta fanatik melainkan cinta objektif-pada kebenaran dan keadilan dalam bangsa dan negaranya. Franz Magnis Suseno (dalam Majalah Rohani, 1981: 237) menambahakan nasionalisme dalam kerangka Katolik membutuhkan sikap keluasaan pandangan, kemantapan kepribadian dan kekuatan batin yang besar sehingga manusiamanusia yang sungguh-sungguh mencintai bangsa dan negaranya sendiri sehingga usaha pencapaiannya tidak diperkenankan dilakukan dengan cara merendahkan bangsa lain tetapi tetap menentang segala ketidakadilan yang dilaku kan bangsa lain (evolusioner).
E. Metode penelitian 1. Bentuk penelitian Dari segi bentuknya penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Artinya penelitian ini dilakukan dengan berusaha memahami data yang bersifat kualitatif 33
dari berbagai sumber Selain itu sebagai sebuah penelitian kualitatif, penelitian ini tidak sekedar mendiskripsikan data yang ada tetapi juga melihat konteks yang mempengaruhi data tersebut (Neuman, 2007). Lantaran konteks dalam penelitian juga menjadi pondasi penulis dalam membangun argumen. Dengan demikian bentuk
penelitian kualitatif diharapkan dapat
memberikan kontribusi untuk membedah anatomi pemikiran Kasimo tentang nasionalisme-religius Katolik. Melalui metode tersebut, peneliti tidak hanya sekedar ingin mendiskripsikan konsep-konsep dari pemikirannya tetapi juga ingin memahami latar belakang yang mendorong lahirnya pemikiran Kasimo tersebut. Hal itu, dilakukan karena pemikiran seseorang terbentuk karena adanya konteks yang mempengaruhinya. Tak jarang justru konteks tersebut yang menjadi kunci untuk memetakan pemikiran seseorang. 2. desain penelitian Penulis merangkai bentuk penelitian kualitatif dengan desain penelitian biografi. Menurut Denzin dan Lincoln menyatakan biografi merupakan desain penelitian yang berusaha mengungkapkan arti terdalam dari pengalaman dan sejarah hidup seseorang yang kemudian dapat memberikan pencerahan kepada orang lain (dalam Raco, 2010: 38 ). Hal itu didasarkan pada asusmsi dasar metode biografi yang menganggap setiap orang memiliki kisah hidup dan pe ngalaman menarik dan dapat dijadikan bahan ajar selanjutnya. Terutama kisah hidup tokohtokoh yang berpengaruh bagi banyak orang. Akan tetapi bukan hal mudah untuk mengoprasionalisasikan metode biografi itu sendiri. Sebab mengacu pada Kochhar (2008:308) yang menyatakan 34
dalam penggunaan metode biografi tidak boleh membangun “pemujaan” pada subjek yang teliti. Artiya seorang penulis biografi harus bersikap netral atau dan tidak boleh menyembunyikan sisi gelap dari subjek penelitian. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar dapat menghasilkan sebuah narasi yang berimbang. Selain itu hal perlu diperhatikan dalam operasionalisasi biografi yaitu, pencarian epifani. Yang dimaksud epifani adalah “pencerahan” atau “yang nampak berarti” dari tindakan, sejarah hidup
dan problematika kehidupan
seseorang yang dianggap bermanfaat bagi orang lain (seseorang yang objek penelitian) (Dr. J. R. Raco, 2010, ). Untuk itu dalam penulisan biografi tidak serta merta menuliskan secara holistik kisah hidup subjek penelitian tetapi lebih pada mencari dan menghubungkan epifani-epifani menjadi sebuah narasi yang bekesinambungan. Dengan dimikian desain penelitian biografi sesuai dengan karakteritik penelitian iniyang bertujuan untuk mengungkap pemikiran I.J. Kasimo tentang nasionalisme-Religius. Ditambah lagi, karakteristik biografi membutuhkan pengeksplorasian atau pencarian data secara mendalam. Hal itu sesuai dengan pertanyaan mendasar yang menjadi pertanyaan penulis diawali dengan “bagaimana” . Artinya penulis tidak hanya menarcari “apa” epifani dalam kehidapan Kasimo tertapi mengungkap secara holistik yang mencakup bagiamana momen-momen penting yang terkait dengan pemikirannya dapat terjadi, bagaimna dasar-dasar pemikirannnya, dan bagaimana ia membumikan pemikirannya. Lebih tepatnya pengeksplorasian terhadap kisah hidup Kasimo dimulai dari masa kecilnya dalam masyarakat dan keluarga, masa pendidikannya, hingga memasuk i jenjang berkarier dipolitik.
35
3. Teknik pengumpulan data Secara umum dalam kerangka penelitian biografi, teknik pengumpulan data yang digunakan ialah studi literatur berupa dokumen maupun foto dan wawancara ( Raco, 2010; 39) . Penulisan biografi ini merupakan penulisan biografi Ignatius Joseph Kasimo yang telah meninggal dan peristiwa t ekait dengan kehidupannya telah terjadi di masa lampau. Oleh karena itu, metode primer yang digunakan untuk dalam penelitian ini berupa studi literatur sejarahsejarah dan tulisan-tulisan yang tekait dengan Kasimo. Studi literatur dalam penelitian ini dilakukan pada tiga buku babon yaitu I.J. Kasimo, Hidup dan Perjuangannya yang disusun oleh Tim Gramedia dan Kompas; Politik “Bermartabat buah pena J.B. Soedarmanta”; dan buku karya Gerry Van Klinken yang berjudul “5 Penggerak Bangsa yang Terlupa”. Ditambah pula tulisan yang berbentuk artikel-artikel (cetak dan on-line), majalah maupun buku yang menceritakan tentang pemikirannya maupun tentang riwayat hidupnya. Serta tak ketinggalan beberapa dokumen-dokumen resmi Gereja Katolik yang sekiranya mendukung pemikirannya antara lain, Ajaran Sosial Gereja (Rerum Novarum dan Quadragesimmo Anno), dan Kitab Hukum Kanonik. 4. Teknik analisis data Setelah menemukan epifani secara holistik yang ada dalam hidup Kasimo, penulis akan mengalisis data melalui beberapa tahapan yakni, mengorganisir datadata yang terkait dengan kehidupan Kasimo dimulai dari masa kecilnya, memasuki jenjang pendidikan, masa persiapan terkhir hingga terjun ke dalam dunia politik. menyeleksi data yang telah terkumpul dengaan berpedoman teori
36
yang digunakan dalam penulisan ini yakni sosiologi pengetahuan dan nasionalisme-religius Katolik. Setelah itu, data-data yang telah terseleksi dimaknai dengan melihat interaksi sosial Kasimo dengan tokoh individual maupun kelompok yang mempengaruhi pemikirannya. Kemudian, penulis juga melihat konteks sosial politik budaya ekonomi dan ideologi yang berkembang pada masa kehidupan Kasimo untuk melihat pemikirannya. Dari keseluruhan data yang telah dimaknai penulis menyajikannya dalam bentuk satu kesatuan cerita kronologis yang utuh atas dasar waktu.
F. Sistematika Penulisan Bab I berisikan latar belakang, tujuan, rumusan masalah, kerangka teori dan metode penelitian dari penulisan kajian tentang I.J. Kasimo dan Nasionalisme-religius Katolik. Bab II berisikan mengenai sejrah kehidupan Kasimo sedari kecil hingga ia terjun ke dalam dunia politik. Bab III berisi tentang pemetaan pilihan-pilihan politik Kasimo dari masa pra kemerdekaan hingga mempertahankan kemerdekaan. Bab IV merupakan bab yang isinya terkait dengan analisis dari tindakantindakan politik Kasimo yang dibaca sebagai sebuah ide atau gagasan Nasionalisme-Religius Katolik. Bab V adalah penegasan jawaban dari rumusan masalah yang diajukan.
37