BAB V RRI CABANG BANDUNG SEBAGAI ALAT PERJUANGAN RAKYAT DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
5.1 Perjuangan RRI Cabang Bandung Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 5.1.1 Perjuangan RRI Cabang Bandung Pada Awal Revolusi Radio bukan hanya alat perjuangan belaka, tetapi radio adalah alat pangkal dari revolusi Indonesia. Radio timbul dan tenggelam bersama pasang naik dan pasang surutnya perjuangan Republik Indonesia (Deppen, 1984:166). Pentingnya keberadaan radio dalam suatu revolusi untuk menghubungkan antara pemerinah dengan rakyat dan rakyat dengan rakyat, memberikan dorongan yang sangat besar bagi para pemuda Radio Republik Indonesia cabang Bandung untuk selalu menghidupkan siaran radionya. Walaupun pada tanggal 19 Agustus 1945 pemerintah Militer Jepang memerintahkan untuk mematikan semua siaran radio di Jawa, tetapi para pemuda Bandung nampaknya ingin selalu memberontak dengan tidak menghiraukan instruksi itu. Para pemuda radio Bandung masih tetap menyiarkan acara-acaranya guna membangkitkan semangat para pejuang Bandung untuk selalu mempertahankan kemerdekaan
Indonesia.
Hal
inilah
yang
memberikan
keunikan
pada
perkembangan radio di Bandung bila dibandingkan dengan perkembangan radio-
91
radio di stasiun lainnya. Radio Bandung tetap bersiaran ditengah-tengah serangan para tentara Jepang yang telah dilakukan beberapa kali. Bukti dari eksistensi studio radio di Bandung yaitu, Pada
tanggal
29
Agustus 1945, ketika BKR kota Banudung resmi terbentuk, untuk mengkordinir para anggota BKR yang terdiri dari bekas anggota PETA, Heiko, KNIL, Gyugun, pemuda pelajar dan mahasiswa yang telah menyebar di berbagai daerah, maka Aruji Kartawinata sebagai pimpinan BKR meminta bantuan dari studio radio Bandung untuk menyiarkan pengumuman agar mereka berkumpul. Dengan kelebihan yang dimiliki radio yaitu dapat menghubungkan antar pemerintah dengan rakyat dalam waktu yang cepat, maka pada keesokan harinya para pemuda yang akan diangkat menjadi anggota BKR sudah berkumpul di depan gedung milik Bousee di Jl. Pasir Kaliki no.43. Radio Bandung masih dapat beraksi walaupun pada waktu itu belum dideklarasikan sumpah Tri Prasetya RRI. Para pemuda radio Bandung selalu siaran karena mereka sangat memikirkan kebutuhan rakyat akan siaran radio walapun dengan resiko yang sangat besar. Peristiwa yang paling heroik akan penyerangan tentara Jepang terhadap pemuda radio di Bandung terjadi pada tanggal 19 Oktober 1945, ketika para pemuda Bandung sedang melakukan siaran, ditengah-tengah siarannya datang tentara Jepang ke dalam studio radio Bandung. Mereka langsung menyergap para pemuda yang sedang melakukan siaran dan di bawa ke markas Jepang yaitu di sekolah Jalan Beliton. Namun berkat bantuan dari kepala siaran radio Jepang,
92
yaitu Ideo Zenda yang memang sudah lama memiliki hubungan baik dengan para pemuda radio, maka pada pagi harinya mereka langsung dibebaskan. Kemerdekaan Indonesia yang telah dideklarasikan dalam suatu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ternyata belum dapat dipastikan bahwa bangsa Indonesia terbebas dari serangan musuh. Rakyat Indonesia masih harus berjuang guna mempertahankan kemerdekaannya dari serangan-serangan para tentara Sekutu. Pada bulan September 1945, isu tentang kedatangan tentara Sekutu untuk menyelesaikan urusannya dengan tentara Jepang selaku pihak yang kalah dalam perang Pasifik di Indonesia sudah terdengar. Para pemuda pejuang di Bandung mempunyai prediksi lain tentang kedatangn tentara Sekutu itu, mereka beranggapan bahwa tentara Sekutu datang ke Indonesia bukan hanya untuk menyelesaikan masalah dengan tentara Jepang tetapi mereka juga ingin menumbuhkan kembali kolonialisme di Indonesia. Para pemuda pejuang di Bandung
yang merasa bahwa kemerdekaannya sudah didapat,
merasa
berkewajiban untuk selalu mempertahankan kemerdekaannya. Tindakan yang dilakukan oleh para pemuda Radio Republik Indonesia cabang Bandung dalam membantu mempertahankan kemerdekaan Indonesia lewat siaran radio untuk persiapan menghadapi kedatangan tentara Sekutu dan tentara Jepang yang masih berkuasa di Bandung, yaitu melakukan kerja sama dengan organisasi BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia) di Surabaya yang dipimpin oleh Bung Tomo. Kerja sama ini dilakukan karena BPRI memiliki radio pemberontak di Surabaya yang sering menyiarkan pidato-pidato Bung Tomo
93
untuk mengobarkan semangat para pemuda pejuang untuk bangkit melawan penjajahan. Pada bulan Oktober 1945, pemancar radio pemberontak dari Surabaya menyiarkan seruan yang menyatakan bahwa “Para pemuda Bandung jangan bermental Peuyeum bol (bermental lemah dan mudah menyerah)” siaran ini direlay oleh para pemuda RRI cabang Bandung untuk disiarkan kepada masyarakat Bandung. Semula para pemuda Bandung beranggapan bahwa yang menyerukan agar pemuda Bandung jangan bermental pueyeum bol dengan menggunakan bahasa Sunda itu adalah Bung Tomo, tetapi ternyata orasi itu dilakukan oleh pemuda Bandung yang berada di Surabaya, atas izin dari Bung Tomo, pemuda itu berorasi dengan bahasa Sunda untuk membangkitkan semangat juang para pemuda di Bandung lewat siaran radio. Seruan yang dilakukan lewat siaran radio ini ternyata berhasil, para pemuda Bandung bangkit dengan penuh semangat menyerbu tempat-tempat musuh dan berhasil merebut senjata untuk modal perjuangan kemudian. Serbuan itu dilakukan untuk merebut kembali objek-objek yang telah dikuasai oleh Jepang dan membuktikan bahwa para pemuda Bandung tidak bermental peuyeum bol. Walikota Bandung, R.A Atmadinata memutuskan untuk membalas tindakantindakan Jepang selama ini, pada pertengahan Oktober 1945, diadakan serangan oleh para pemuda Bandung ke markas Jepang di Tegallega, dari arah timur dengan menggunakan brengun dan granat tangan. Untuk mengantisipasi serangan musuh yang datang dari arah Jl. Supratman (sekarang) karena di sana terdapat markas Jepang, maka para pemuda PTT berjaga-jaga di sepanjang jalan Cilaki dan
94
Cisangkuy. Tentara Jepang yang ada di markas Tegallega tidak menyangka akan penyerangan itu, sehingga mereka panik. Situasi ini dimanfaatkan oleh para pemuda untuk menyerang musuh, dan akhirnya musuh lari tunggang langgang. Para pemuda pejuang di Bandung, setelah melakukan penyerangan lalu menyebar dan bergabung dengan rakyat biasa guna mengecoh tentara Jepang. Serangan ini berhasil karena tidak ada korban jiwa dari pihak pemuda dan musuh berhasil dipukul mundur dari markasnya dan juga membuktikan bahwa pemuda Bandung tidak bermental peuyeum bol. Pada tanggal 15 Oktober 1945, tentara Sekutu mulai mendarat di Bandung. Kedatangan mereka bukanlah disaat yang tepat karena rakyat Bandung sudah tahu maksud dan tujuan mereka sebenarnya. Para tentara Sekutu yang juga turut memboncengi tentara Belanda disambut dengan pertempuran di mana-mana, hal ini membuat panik pihak Sekutu. Untuk meminimalisir kegiatan-kegiatan pemberontakan rakyat Bandung, Brigjen Mac Donald selaku perwakilan dari pihak Sekutu segera mengadakan pertemuan dengan pemerintah daerah kota Bandung. Dalam pertemuan ini disepakati untuk membentuk Badan Penghubung yang beranggotakan empat orang dari pihak pemerintah daerah kota Bandung dan dari pihak Sekutu. Badan Penghubung ini berfungsi sebagai perantara pemerintah daerah dengan tentara Sekutu yang apabila ada perbedaan pendapat maka dapat diselesaikan dengan jalan damai (Depdikbud, 1984:156). Penggalangan kerja sama yang dilakukan oleh pihak Sekutu terhadap pemerintah daerah kota Bandung dilakukan untuk menyelamatkan kedudukan mereka di Indonesia. Pihak
95
Sekutu pada saat itu semakin terancam oleh serangan-serangan yang dilakukan oleh para pemuda pejuang di Bandung. Badan Penghubung ini banyak melakukan pertemuan guna membahas apaapa yang akan dan harus disepakati oleh kedua belah pihak (pihak Sekutu dan pihak pemerintah daerah kota Bandung). Pertemuan pada tanggal 23 Oktober 1945 menghasilkan beberapa kebijakan dalam hal kepolisian, senjata, surat kabar, radio, pemilikan rumah dan lain-lain. Khusus tentang keradioan maka diputuskan bahwa radio boleh menyelenggarakan siarannya lagi, asal di bawah pengawasan pemerintah. Dipertimbangkan supaya diadakan radio-komite yang bertanggung jawab atas berbagai hal yang berhubungan dengan siaran radio itu (Depdikbud, 1984:158). RRI cabang Bandung harus tetap berdiri, ditengah kedatangan tentara Sekutu, maka Mr. Achmad Soebardjo menginstruksikan untuk sementara waktu RRI cabang Bandung dimasukkan ke dalam jawatan PTT sebagai tindakan antisipasi. Sedangkan untuk masalah siaran dan sebagainya diatur sesuai dengan kesepakatan Badan Penghubung. Akibat dari keputusan Badan Penghubung, di Bandung terdapat dua stasiun radio, yaitu Radio Republik Indonesia (RRI) cabang Bandung dan Radio Resmi Indonesia (RRI). Pertama adalah RRI cabang Bandung yang dijadikan sebagai alat perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kedua adalah Radio Resmi Indonesia yang merupakan pemancar radio milik tentara Sekutu, radio ini digunakan untuk melakukan propaganda terhadap rakyat Bandung guna melegalkan kekuasaan tentara Inggris serta tentara Sekutu dalam kedudukannya di Indonesia.
96
Sejak awal bulan November 1945, kondisi keamanan di Bandung semakin tidak terkendali. Para tentara Belanda mulai banyak melakukan kekerasan terhadap rakyat Bandung. Sedangkan keadaan perpolitikan di Bandung sedang labil, karena Walikota Atmadinata mengundurkan diri karena sakit, sehingga mulai tanggal 1 November 1945, Syamsurizal menjadi pejabat Walikota yang merangkap juga sebagai ketua Komite Nasional Indonesia. Dalam situasi pemerintahan yang masih labil itu, para pemuda RRI cabang Bandung yang bekerja sama dengan pemuda dari PTT berhasil menghidupkan pemancar radio (Zender) dengan sebutan Benteng Hitam yang dipimpin oleh Nawawi Arif. Pemancar radio ini sangat aktif menyiarkan berbagai acara yang dapat mengobarkan semangat para pejuang Bandung untuk terus berkorban demi kemerdekaan Indonesia. Acara-acara tersebut diantaranya adalah siaran pidato yang dilakukan oleh para tokoh Bandung seperti oleh Achmad Tirtosidiro, Kiai Abdul Wahid, Oto Iskandar Dinata, dan lain-lain. Khusus pidato yang dilakukan oleh Kiai Abdul Wahid yang disiarkan setiap malam, yaitu ditujukan kepada para tentara Gurkha, Maharatta dan Punjab yang ikut membantu Sekutu dalam pertempuran di Indonesia. Siaran ini dilakukan dengan bahasa Urdu, menyatakan bahwa Indonesia dan India itu tidak bermusuhan, bahkan banyak yang seagama yaitu agama Islam (Depdikbud, 1984:165). Pengaruh dari siaran yang ditujukan kepada tentara Gurkha, Maharatta dan Punjab itu pada tangga 23 November 1945, terdapat 19 orang tentara India yang berpindah haluan ke Indonesia. Para tentara ini bersenjata lengkap dan membawa dua buah truk yang nantinya dijadikan sebagai modal perjuangan. Adapun
97
kepindahan mereka ke pihak Indonesia karena mereka mengetahui maksud perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia melalui RRI cabang Bandung yang selalu mereka dengarkan, maka mereka secara sukarela ingin membantu perjangan bangsa Indonesia. Pada tanggal 24 November 1945, melalui siaran radio Benteng Hitam, kolonel Aruji Kartawinata berbicara di depan corong radio dengan terlebih dahulu membacakan doa, beliau memberikan komando penyerangan. Beliau menyebut nama-nama pasukan serta objek-objek yang harus diserang dengan kata-kata kode. Serangan itu dilakukan pada malam hari tepat pukul 12.00 malam. Serangan malam itu berjalan lancar, tetapi hasilnya tidak memuaskan para pemuda Indonesia karena kekurangan senjata dan kurangnya pengalaman para pejuang dalam berperang. Walaupun demikian, serangan itu berhasil menunjukan kepada tentara Inggris bahwa pejuang Bandung itu memiliki kemampuan untuk melakukan perlawanan. Perjuangan para pemuda RRI cabang Bandung, bukan hanya untuk menggalang persatuan di dalam negeri, khususnya di daerah kota Bandung saja tetapi juga meminta dukungan dari dunia Internasional. Pada waktu pembentukan organisasi RRI tanggal 11 September 1945, para perwakilan radio tidak memikirkan tentang penyiaran luar negeri, tetapi para pemuda RRI cabang Bandung yang bekerja sama dengan pemuda PTT berhasil membuat pemancar yang ditujukan ke luar negeri dengan menggunakan pemancar milik PTT dengan kekuatan pemancar sangat besar. Keberhasilan para pemuda RRI cabang Bandung dalam melakuan penyiaran ke luar negeri dapat dilihat sebagai berikut,
98
Pada bulan November 1945, siaran luar negeri berhasil dilakukan, dengan siaran dari Radio Republik Indonesia cabang Bandung inilah maka pihak PBB mendapatkan informasi yang akurat tentang kelicikan dan kebiadaban pihak Sekutu (Inggris dan Belanda) di Indonesia. Akibatnya pihak Belanda bereaksi, dalam siaran radionya yaitu Radio Resmi Indonesia, mereka memutar balikan fakta bahwa siaran RRI cabang Bandung telah menghasut dan mempengaruhi rakyat Bandung khususnya dan rakyat Indonesia umumnya untuk memberontak terhadap Sekutu (Sejarah 60 Tahun, tt:19).
5.1.2 Perjuangan RRI Cabang Bandung Ketika Peristiwa Bandung Lautan Api Awal tahun 1946, keadaan kota Bandung semakin genting, karena sering terjadi bentrokan bersenjata antara pihak pejuang Bandung dengan pihak tentara Sekutu. Atas situasi itu, maka Jendral Hawthorn, selaku Panglima Divisi ke-23 melapor kepada panglima besar di Jakarta, bahwa ia ingin menguasai seluruh kota Bandung. Dalam usahanya itu, ia berniat untuk melakukan komunikasi dengan Komandan Divisi III, yaitu kolonel A.H Nasution melalui Badan Penghubung guna membicarakan hal tersebut. Walikota Syamsurizal selaku komite dari Badan Penghubung berusaha untuk menemui A.H Nasution untuk membicarakan rencana tentara Sekutu tersebut, tetapi A.H Nasution tidak dapat ditemui karena beliau memang mengasingkan diri untuk sementara dari markasnya. Pengasingan ini dia lakukan juga karena dia sudah mengira rencana itu, A.H Nasution beranggapan bahwa rencana tentara Sekutu itu hanya akan merugikan bangsa Indonesia, khususnya rakyat Bandung.
99
Di Jakarta, sebagai pusat pemerintahan, markas besar tentara Sekutu menghubungi Perdana Mentri Sutan Syahrir dan menyatakan bahwa tentara Sekutu akan menduduki kota Bandung dan mereka akan melaksanakan aksi pembersihan dan pendudukan Bandung bagian Selatan. Untuk itu, pihak Sekutu menghendaki kota Bandung bagian Selatan harus dibersihkan dari tentara dan para pejuang Indonesia sedangkan pegawai sipil dan rakyat biasa bisa tetap tinggal disana. Untuk membicarakan hal itu, maka utusan dari pemerintah yaitu Mr. Syafruddin Prawiranegara dan Mayor Jendral Didi Kartasasmita datang ke kota Bandung. Mr. Syafruddin Prawiranegara diberi izin untuk melakukan pertemuan dengan para tokoh Bandung untuk membicarakan tentang rencana Sekutu itu, sedangkan Mayor Jendral Didi Kartasasmita hanya boleh menunggu di markas tentara Sekutu di Bandung. Pertemuan antara Mr. Syafruddin Prawiranegara dengan tokoh Bandung dilakukan di daerah Bandung Selatan, tokoh Bandung yang hadir diantaranya adalah Walikota Bandung, Syamsurizal, Gubernur Jawa Barat, Mr. Datuk Jamin, A.H. Nasution dan lain-lain. Dalam pertemuan ini Mr. Syafruddin Prawiranegara menginginkan agar semua pasukan bersenjata dapat meninggalkan kota Bandung sedangkan rakyat dan pegawai sipil tetap tinggal di Bandung Selatan, usulan itu tidak disetujui oleh A.H Nasution, dia menginginkan apabila pasukan bersenjata hengkang dari Bandung maka rakyat sipil dan pegawai sipil juga harus ikut. Pertemuan itu tidak menghasilkan kesepakatan, maka A.H Nasution diminta untuk datang ke markas tentara Sekutu di kota Bandung guna meminta peninjauan kembali keputusan itu.
100
Sesampainya di markas tentara Sekutu, A.H Nasution tidak langsung bertemu dengan Jendral Hawthorn, beliau dibawa berkeliling untuk melihat kerusakan-kerusakan bangunan dan korban jiwa akibat serangan pejuang Bandung dan dia juga diajak untuk melihat senjata-senjata yang sudah siap digunakan bila tentara Indonesia tidak mau mundur dari Bandung Selatan. Setelah berkeliling lalu A.H Nasution bertemu dengan Jendral Hawthorn dan meminta peninjauan kembali keinginannya untuk menduduki Bandung Selatan, tetapi Jendral Hawthorn tidak mau mengubah keputusannya. Kesepakatan antara pihak pemerintah dengan A.H Nasution tidak membuahkan hasil, maka A.H Nasution diajak untuk menghadap Perdana Menteri Sultan Syahrir di Jakarta. Pada hari itu juga dia pergi ke Jakarta menemui Perdana Menteri Sultan Syahrir. A.H Nasution mengungkapkan keberatannya akan keinginan tentara Sekutu, tetapi Sultan Syahrir menanggapi dengan mengatakan sebagai berikut. Kerjakan saja. TRI kita adalah modal yang harus dipelihara, jangan dulu hancur. Harus kita bangun untuk kelak melawan NICA. Pemerintah sipil supaya terus bertugas di posnya sekarang, karena kalau pergi pasti NICA yang akan menggantikannya, jangan diadakan pembakaran atau segalanya, karena yang akan rugi adalah rakyat kita juga dan kita harus membangunnya kembali kelak (Depdikbud 1984:206)
A.H Nasution merasa tidak puas akan keputusan pihak pemerintah pusat Republik Indonesia, karena dia menginginkan apabila pasukan bersenjata di Bandung pergi, maka otomatis masyarakat Bandung juga harus ikut. A.H Nasution merasa bahwa pasukan bersenjata di Bandung dengan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dilema yang dialami oleh
101
A.H Nasution adalah benturan antara loyalitas tugas dengan rasa persatuan dengan rakyat. Akhirnya beliau menginginkan keputusan dari rakyat sendiri sebagai objek dari keserakahan Sekutu ini. Pada pagi hari tanggal 24 Maret 1946, A.H Nasutio kembali ke Bandung dan mengutarakan hasil pertemuannya dengan Perdana Menteri Sultan Syahrir. Para pemimpin Bandung merasa tidak puas, maka atas kesepakatan bersama diputuskanlah untuk membumihanguskan kota Bandung dengan jalan meledakkan sungai Citarum dengan dinamit sehingga Bandung akan menjadi lautan api dan lautan air (Depdikbud, 1984:208). Pembumihangusan kota Bandung dilakukan agar tidak mudah digunakan oleh musuh. Sementara untuk warga Bandung, hasil kesepakatan itu menghendaki semua rakyat untuk ikut mengungsi tetapi apabila tidak mau maka mereka akan dilindungi oleh pemerintah yang ada di Bandung. Sebelum melaksanakan aksinya, pada tanggal 24 Maret 1946 tepat pukul 10.00 hari minggu, Walikota Bandung Syamsuridzal melakukan pidato di radio Republik Indonesia cabang Bandung untuk menentramkan rakyat Bandung. Dalam pidatonya dikatakan bahwa Berdasarkan keputusan pemerintah RI di Jakarta yang menghendaki TRI dan pasukan bersenjata lainnya meinggalkan kota Bandung. Dikatakan pula bahwa kedudukan pemerintah kota akan tetap di dalam kota Bandung. Bagi penduduk sipil yang akan meninggalkan kota dipersilahkan, tetapi penduduk yang akan tetap tinggal di dalam kota akan dilindungi oleh pemerintah kota (Depdikbud,1978:208).
Sementara itu RRI cabang Bandung terus memonitor segala sesuatu yang terjadi di daerah Bandung. Pada pagi hari tanggal 23 Maret 1946, tentara Sekutu mengadakan serangan melalui pesawat udara ke berbagai tempat di Bandung.
102
Kantor studio Radio Republik Indonesia cabang Bandung yang terletak di Jl. Tegallega juga tidak luput dari serangan itu. Pada waktu itu, RRI Cabang Bandung sedang mengadakan siaran luar negeri untuk Amerika Seriat dan daratan Eropa. Instalasi listrik terkena dentuman peluru musuh, sehingga siaran dialihkan ke INTE (Internasional Telephone) di jalan Lembong. Operator dan penyiar RRI dipindahkan ke sana untuk terus memonitor berita dan instruksi dari pusat, ternyata diterima instruksi bahwa kota Bandung harus dikosongkan pada tanggal 24 maret 1946. Sedangkan RRI cabang Bandung sendiri mendapat instruksi dari Walikota Bandung agar terus mengudara untuk menyiarkan ucapan perpisahan. Para pegawai RRI cabang Bandung pada awalnya tidak berencana untuk ikut mengungsi dengan rakyat sipil tetapi ketika mereka melihat banyak tokoh Bandung yang ikut mengungsi, maka untuk menyelamatkan alat-alat siaran RRI, mereka pun terpaksa ikut mengungsi. Setelah RRI cabang Bandung menyiarkan pidato dari Walikota Bandung mengenai pemberitahuan kepada masyarakat Bandung akan rencana kemunduran itu, mereka didatangi oleh Mayor Saharin dan menjanjikan akan mengirimkan bantuan sepuluh buah truk untuk mengangkut peralatan dan personil RRI cabang Bandung. Sebelum
meninggalkan
kota
Bandung,
sebagai
persiapan
untuk
melanjutkan perjuangan selanjutnya, para pegawai RRI cabang Bandung mengadakan pertemuan singkat. Pertemuan itu menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu mengembalikan peralatan pemancar milik PTT dan selanjutnya menyatakan bahwa RRI akan lepas dari Jawatan PTT dan berdiri sendiri seperti semula sebelum adanya perintah dari Mr. Achmad Soebarjo di Jakarta. Keputusan
103
lain yaitu ditetapkannya bahwa R.A Darya sebagai pimpinan umum yang merangkap sebagai kepala tata usaha di RRI cabang Bandung. Keputusan agar memisahkan diri dengan PTT karena RRI akan melakukan pengungsian sehingga tidak mungkin dapat terus berhubungan dengan PTT. Sebelum tanggal 24 Maret 1946, RRI cabang Bandung sudah mengangkut pemancar 124 meter ke Rancaekek, sebelah tenggara kota Bandung. Alat-alat siaran lainnya, sudah dipersiapkan untuk diangkut keluar kota Bandung. Pada tanggal 24 Maret 1946, ternyata bantuan kendaraan yang dijanjikan hanya datang satu truk saja, sehinga hanya dapat mengangkut peralatan radio yang perlu saja guna melakukan siaran di luar kota Bandung. R.A Darya sebagai kepala bagian umum dan merangkap sebagai kepala Tata Usaha RRI cabang Bandung pada waktu itu memerintahkan kepada para pegawai agar segera meninggalkan kota Bandung sambil membawa peralatan siaran radio yang memungkinkan untuk dibawa. Para pegawai mengungsi dengan menggunakan kendaraan Morris sambil mengangkut barang-barang yang dianggap penting. Sedangkan bantuan yang rencananya akan diberikan kepada RRI cabang Bandung berupa 9 buah truk untuk mengangkut barang-barang, sampai pukul 18.00 belum juga datang. Pegawai RRI Cabang Bandung sebagian besar sudah mengungsi, tetapi R.A Darya masih menunggu kedatangan truk yang dijanjikan oleh Mayor Saharin itu. R.A Darya menunggu hingga pukul 21.00 tetapi masih juga belum tiba, sedangkan alat-alat siaran harus segera diangkut guna kepentingan penyiaran di daerah pengungsian. Akhirnya dengan menggunakan mobil Jeep willys yang
104
kempes ban depannya dan lampunya tidak menyala, alat-alat radio itu berhasil diungsikan. R.A Darya bersama rekannya Broto Kusumo, mengambil alat-alat radio itu ke Majalaya, lalu ke Racaekek dan setibanya di Cicalengka, alat-alat itu diangkut oleh kereta api menuju Tasikmalaya. Usaha-usaha para pegawai RRI cabang Bandung untuk mengungsikan alat-alat radio serta pemancar-pemancar radio merupakan refleksi dari sumpah setia yang sudah mereka ucapkan dalam Tri Prasetya 11 September 1945. Selain itu pengungsian juga dilakukan agar alat-alat radio tidak dapat digunakan oleh pihak musuh untuk melakukan penyiaran propaganda yang hanya akan merugikan bangsa Indonesia. Sementara RRI cabang Bandung sedang melakukan pengungsian untuk menghindari gencaran musuh dengan membawa semua peralatan radio, kehidupan peradio di Bandung tidak musnah begitu saja. Siaran radio masih hidup di Bandung, yaitu siaran radio yang dilakukan oleh Radio Resmi Indonesia yang merupakan radio buatan Belanda bertempat di Jl. Cieumbuleuit. Selain itu juga berdiri studio radio yang dikuasai oleh Dienst Leger Contacten (DLC) yang diberi nama Radio Omroep In Overgangstijd (ROIO) yang merupakan perusahaan radio swasta. ROIO ini berada di seluruh cabang RRI yang tersebar di delapan kota besar di Jawa. Studio radio ini bertempat di bekas studio radio milik RRI yang telah ditinggalkan oleh para pegawai untuk mengungsi. Di Bandung ROIO berada di Jl. Tegallega tepatnya di bekas studio radio Republik Indonesia cabang Bandung.
105
Para pegawai RRI cabang Bandung yang melakukan pengungsian guna menyelamatkan alat-alat radionya terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mengungsikan peralatan radio dengan tujuan ke Yogyakarta, tetapi diperjalanan berhasil digagalkan oleh tentara Sekutu, sehingga alat-alat radionya tidak
dapat
diselamatkan.
Sedangkan
kelompok
yang
kedua
berhasil
mengungsikan alat-alat radionya ke Tasikmalaya dengan menggunakan kereta api dari Cicalengka. Para pegawai RRI cabang Bandung yang berhasil mengungsikan alat-alat radio ke Tasikmalaya, sesampainya di sana pemancar ditempatkan pada sebuah pabrik tenun di Jl. Seladarma untuk beberapa saat. Penempatan pemancar di Jl. Seladarma ini tidak berlangsung lama karena alasan keamanan, maka dipindahkan ke Jl. Gunung Ladu di rumah seorang penduduk yang bernama bapak Wahyu. Di sanalah RRI Cabang Bandung mulai bersiaran lagi dengan siaran radio gerilya nya. Dengan peralatan pemancar yang serba darurat, berkat kerja keras seorang tehnisi RRI yaitu Saikun, suara penyiar Sakti Alamsyah dengan call khasnya “ Di sini Sakti Alamsyah dengan warta berita” dapat berkumandang dan didengar oleh warga kota Bandung yang tidak ikut mengungsi (Sejarah 60 Tahun…, tt:21). Adapun acara-acara yang disiarkan oleh RRI Cabang Bandung di Tasikmalaya yaitu siaran-siaran yang sarat dengan perjuangan, hasutan-hasutan untuk terus berjuang guna mengembalikan kota Bandung ke tangan pemerintah Republik Indonesia, menyiarkan warta berita untuk mengetahui situasi yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia khususnya di Jakarta dan Yogyakarta
106
sebagai pusat pemerintahan. Selain itu juga melakukan siaran hiburan dengan menyiarkan nyanyian-nyanyian serta drama yang sarat dengan semangat perjuangan. Khusus tentang penyiaran warta berita, para pegawai RRI cabang Bandung, masih bisa mengetahui tentang perkembangan dan kondisi perpolitikan di Indonesia berkat usaha mereka sebagai spionase. Para penyiar RRI cabang Bandung di Jl. Gunung Ladu yaitu A.R Rasyid, R.A Darya, Broto Kusumo, Sam Saimun, Husein, Onong, Sumartono, Undang Ojok, dan lain-lain memiliki tugas tambahan, selain sebagai tehnisi dan penyiar radio, mereka juga bertugas untuk memata-matai musuh. Tugasnya yaitu dengan mengadakan pengiriman berita ke kantor perjuangan di Gunung Sawa, pengiriman berita ini dilakukan dengan menggunakan alat generator pada sepeda yang merupakan penemuan Darya. Melalui pengiriman berita ini, dilaporkan tentang pengiriman tentara Republik Indonesia ke Jawa Tengah, tentang kekuatan Sekutu di Panjalu, tentang di gempurnya Ciawi oleh Sekutu, tentang pengintaian pesawat-pesawat terbang terhadap kantor pertahanan perjuangan Republik Indonesia, dan berita-berita lainnya yang langsung mereka siarkan lagi untuk diketahui oleh seluruh warga Bandung baik itu di kota Bandung maupun yang sedang dalam pengungsian. Selain itu, acara dari RRI gerilya cabang Bandung ini juga menyiarkan perang “Urat Syaraf di udara” yang ditujukan pada Radio Resmi Indonesia yang sebagai radio buatan tentara Sekutu di stasiun radio Jl. Ciembuleuit, Bandung. Radio Resmi Indonesia selalu menyiarkan berita berupa propaganda-propaganda busuknya, maka dibalas oleh RRI Cabang Bandung di Tasikmalaya dengan
107
melakukan propaganda juga dengan mematahkan semangat tentara Inggris dan Belanda di Indonesia. Perjuangan para pegawai RRI cabang Bandung di Tasikmalaya ini berlangsung selama kurang lebih satu tahun setengah. Kedudukan RRI cabang Bandung di Tasikmalaya tidak bisa dipertahankan lagi karena wilayah Tasikmalaya sudah mulai digempur oleh tentara Sekutu. Untuk menyelamatkan alat-alat radio, maka para pegawai Radio Republik Indonesia cabang Bandung segera mengungsikan alat-alat beserta pemancarnya ke daerah Yogyakarta. Pemindahan alat-alat siaran radio ke Yogyakarta sebagai realisasi dari instruksi pemerintah untuk segera meninggalkan Tasikmalaya. Dari semua alatalat serta pemancar radio, terdapat beberapa yang dimusnahkan karena tidak mungkin semua dibawa untuk diungsikan. Pemusnahan ini dilakukan agar alatalat radio tidak dapat digunakan oleh pihak musuh. Sesampainya di kota Yogyakarta, berdasarkan perintah dari Menteri Penerangan RI, maka RRI cabang Bandung ditempatkan di Jl. Kepatihan dengan mengganti nama untuk sementara yaitu Radio Perjuangan Jawa Barat dengan pemimpin umumnya yaitu Sakti Alamsyah. Selama di pengungsiannya yaitu di Yogyakarta, siaran yang diutamakan yaitu siaran berupa hiburan, karena dengan siaran itu diharapkan dapat menghibur para pejuang yang sedang mempertaruhkan nyawanya untuk mempertahankan kemerdekaan, dan untuk memberi ketenangan pada para pendengar radio yang sedang dikecam ketegangan setiap saat.
108
5.1.3 RRI Cabang Bandung Kembali Ke Kota Bandung Pengungsian yang dilakukan oleh RRI cabang Bandung dan RRI seluruh Indonesia karena situasi keamanan yang sangat labil. Pengungsian ini dilakukan dengan tujuan agar seluruh alat siaran serta pemancar radionya tidak dapat digunakan oleh pihak musuh untuk mengkokohkan kedudukannya di Indonesia. Selain itu, pengungsian yang dilakukan oleh RRI cabang Bandung dengan membawa semua peralatan siaran dan pemancar-pemancar radio, agar mereka dapat terus mengudara dalam keadaan apapun juga, sebagai wujud kesetiaan mereka pada sumpah Tri Prasetya 11 September 1945 yaitu menjadikan RRI sebagai alat perjuanagn bangsa, selain itu mereka juga selalu teringat dengan semboyan RRI yaitu “Sekali Di Udara Tetap Di Udara”!. Pengungsian yang dilakukan oleh para pegawai RRI cabang Bandung dimulai pada tahun 1946 dan berakhir pada tahun 1949. Dengan daerah pengungsian di Tasikmalaya selama satu tahun setengah dan di Yogyakarta selama satu tahun setengah juga. Pada pertengahan tahun 1949, pertikaian antara pihak Belanda dengan Indonesia semakin membaik. Penyelesaian dari konflik antara Belanda dengan Indonesia, diselesaikan melalui dua jalur perjuangan, perjuangan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan jalur diplomasi dan perjuangan yang dilakukan oleh sebagian besar rakyat Indonesia yang dipelopori oleh para pemuda pejuang Indonesia, dengan jalan perjuangan fisik. Melalui kedua pola perjuangan ini akhirnya bangsa Indonesia dapat mencapai satu kesepakatan dengan tentara Belanda untuk meminimalisir pertikaian yang terjadi di Indonesia, melalui perundingan-perundingan. Akhirnya
109
disepakati bahwa Indonesia diakui kedaulatannya dengan bentuk negara serikat, maka sejak tahun 1949 negara Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat. Pada tanggal 28 Juni 1949, secara resmi diadakan serah terima jawatanjawatan sipil dari pihak Belanda kepada Republik Indonesia Serikat. Sementara masalah radio di Indonesia, pihak Belanda belum bisa melakukan serah terima karena masalah siaran radio dalam negeri Indonesia belum diputuskan dan menunggu hasil keputusan dari perundingan KMB (Komprensi Meja Bundar). Sedangkan di kota-kota besar di Jawa masih dikuasai oleh balatentara Belanda, hanya di Yogyakarta saja pemerintah Indonesia masih menguasai wilayahnya. Pada bulan Juni 1949, kota Bandung masih dikuasai oleh Belanda, sehingga RRI cabang Bandung belum bisa kembali ke tempat asalnya. Sementara pihak pemerintah masih merundingkan tentang kehidupan radio dalam negara RIS. Pihak Belanda menginginkan agar keradioan di Republik Indonesia Serikat dipegang oleh ROIO (Radio Omroep In Overgangstijd ) tidak oleh RRI. Keinginan Belanda ini didasarkan pada kenyataan yang terjadi bahwa RRI sudah tidak lagi memiliki peralatan radio serta pemancar yang dapat menunjang siarannya sebagai akibat dari pengungsian yang mereka lakukan sehingga alat-alat siaran banyak yang mengalami kerusakan, sedangkan ROIO memiliki alat siaran dan pemancar-pemancar yang canggih dan dapat menunjang dalam melakukan penyiaran di kemudian hari. Pihak pemerintah tidak dapat menerima usulan dari Belanda, karena RRI merupakan jawatan penyiaran yang pada waktu itu telah resmi menjadi milik
110
pemerintah, sehingga tidak akan mudah dihilangkan dengan begitu saja, sedangkan ROIO hanyalah badan penyiaran swasta yang tidak berbadan hukum. Situasi rumit ini ternyata membuat resah para pegawai RRI di Indonesia juga para pegawai ROIO. Keresahan dari RRI adalah, mereka tidak menginginkan RRI punah karena mereka merasa bahwa siaran di Indonesia adalah milik RRI yang sudah diakui secara sah oleh pemerintah Republik Indonesia, tetapi memang benar bahwa RRI sudah tidak memiliki lagi alat-alat yang cukup untuk menunjang penyiaran. Sedangkan dari pihak ROIO resah karena mereka merasa bahwa mereka tidak diakui oleh pemerintah RIS, sehingga mereka terancam dimusnahkan, apabila ROIO musnah maka sangat disayangkan karena peralatan yang mereka miliki sudah sangat canggih.
ROIO tidak bisa dengan mudah
menyerahkan peralatannya kepada RRI karena ROIO bukan jawatan miliki pemerintah seperti Radio Resmi Indonesia, tetapi ROIO adalah badan penyiaran milik swasta. Keresahan dari kedua badan penyiaran ini mendorong mereka untuk berunding guna mencari titik temu akan masalah keradioan dalam negara Republik Indonesia Serikat. Pihak ROIO merasa bahwa kedudukan mereka dalam RIS akan terancam karena kedudukan mereka tidak diakui oleh pemerintah Indonesia, maka Mr. Kappeyne Van de Capello selaku pimpinan ROIO mengajak berunding pada Maladi untuk membicarakan posisi mereka. Pada awal September 1949, diadakanlah pertemuan antara kedua pimpinan studio radio di Indonesia, yaitu pimpinan RRI dan pimpinan dari ROIO. Dalam perundingan tersebut dicapai suatu kesepakatan yaitu :
111
1. 2. 3. 4. 5.
RRI dan ROIO mengadakan fusi menjadi satu jawatan dalam pemerintah Republik Indonesia Serikat dengan nama radio RIS ROIO harus membubarkan diri sebagai yayasan dan menyerahkan segala harta bendanya kepada radio RIS. Segala hutang piutang dan hak serta kewajiban RRI dan ROIO dioper seluruhnya oleh radio RIS. Kepala jawatan radio RIS harus orang Indonesia Untuk menetapkan struktur organisasi radio RIS dan personalia di Kantor pusat maupun di daerah-daerah serta hal-hal lainnya dibentuk komite bersama yang disebut “Hoofdcommissie”. Ketua komisi ditetapkan secara bergiliran antar direktur ROIO dan kepala RRI menurut rapat-rapat komisi (Deppen, 1978:217).
Sebagai penutup dari perundingan ini, maka ditetapkan pada tanggal 10 Oktober 1949 akan diadakan lagi perundingan untuk membentuk struktur organisasi dan menentukan pasal-pasal persetujuan tentang penggabungan RRI dengan ROIO menjadi RRIS (Radio Republik Indonesia Serikat). Pada tanggal yang telah ditentukan maka pertemuan keduanya, diselenggarakan di Jakarta. Dalam perteman ini ditetapkan 23 pasal persetujuan pokok yang memuat dasardasar untuk pembentukan Radio Republik Indonesia Serikat (RRIS) yang kuat. Pasal-pasal persetujuan itu akhirnya disepakati antar kedua belah pihak dan langsung ditandatangai oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia yaitu Wiwoho Poerbohadidjojo. Dengan adanya keputusan itu, maka RRIS sudah resmi menjadi instalasi pemerintah yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan penyiaran. Penyiaran yang dilakukan oleh RRIS haruslah dapat membantu pemerintah dalam menggalang persatuan dengan rakyat dan harus juga sesuai dengan keinginan rakyat. Untuk melaksanakan kerjanya, maka kepala jawatan RRIS menyusun pokok organisasi RRIS yang mempunyai dasar sebagai berikut 1. Organisasi harus mampu menjamin segala kebutuhan negara dan bangsa Indonesia pada umumnya.
112
2. Program siaran harus menjamin segala kebutuhan negara dan bangsa Indonesia pada umumnya. 3. Tenaga-tenaga yang menyelenggarakan penyiaran radio harus mempunyai jiwa dan rasa kebangsaan yang tebal serta keakhlian dan kecakapan serta pengalaman dalam siaran radio yang cukup (Deppen, 1978:222).
Berkat kesepakatan antara RRI dengan ROIO ini, maka seluruh RRI yang asalnya melakukan pengungsian, dapat kembali lagi ke daerah asal dan bergabung dengan ROIO menjadi RRIS. RRI cabang Bandung segera kembali dari pengungsian ke kota Bandung dan langsung menggabungkan diri dengan ROIO cabang Bandung dan membentuk RRIS cabang Bandung. Setelah RRI cabang Bandung bergabung dengan ROIO cabang Bandung, mereka
segera
mengadakan
penyempurnaan
alat-alat
serta
tenaganya.
Penggabungan ini membuahkan hasil yang sangat baik, RRIS cabang Bandung dapat mengudara dengan baik dan dapat memenuhi kebutuhan warga kota Bandung dan juga dapat selalu menjadi alat perjuangan bangsa Indonesia. Walaupun telah terjadi penggabungan antara kedua badan penyiaran radio menjadi RRIS tetapi para pegawai Radio Republik Indonesia yang termasuk dominan dalam RRIS masih berpegang teguh pada sumpah Tri Prasetya 11 September 1945.
113
5.2 Proses Pengakuan RRI Menjadi Jawatan Milik Pemerintah Republik Indonesia. RRI yang sejak kelahirannaya selalu mengabdi kepada pemerintah Republik Indonesia. Dimulai dari usaha para pemuda RRI untuk mengambil alih studio dari tangan Jepang hingga dapat menyiarkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan pada masa terjadinya perjuangan fisik yang dilakukan oleh para pejuang Indonesia, RRI mengambil perannya untuk terus mengobarkan semangat para pejuang agar tidak henti-hentinya untuk berjuang. Sejak kelahirannya yaitu tanggal 11 September 1945 hingga awal tahun 1946, RRI masih belum juga dijadikan sebagai organisasi formal milik pemerintah. Walaupun demikian RRI tetap tidak bosan mengabdi kepada pemerintah Republik Indonesia, dengan tetap menjaga seluruh alat dan pemancar siaran RRI agar tidak digunakan oleh pihak musuh. Hingga tahun 1946, kehidupan perpolitikan di Indonesia semakin tidak terkendali. Perbedaan persepsi antara pemerintah Indonesia dengan rakyat pada umumnya dalam strategi perjuangan masih belum dapat singkron. Pemerintah masih memegang prinsipnya untuk berjuang dengan jalan diplomasi tetapi rakyat masih tetap ingin berjuang dengan perlawanan fisik sementara pihak Sekutu semakin gencar melakukan penyerbuan di Indonesia. Menanggapi kondisi yang demikian, maka pemerintah mulai menyadari akan pentingnya siaran radio untuk menunjang perjuangan mereka, yaitu untuk melakukan hubungan dengan rakyat. Untuk merealisasikannya maka mulai tahun 1946 pemerintah mengadakan pendekatan dengan para pemuda RRI.
114
Proses pemasukan RRI ke dalam jawatan pemerintahan ternyata tidak mudah, terdapat beberapa pendapat tentang hal itu dari berbagai kalangan, yaitu dari RRI sendiri, dari Kementerian Penerangan dan dari Kementerian Perhubungan. Komentar dari RRI menyatakan bahwa siaran radio pada dasarnya merupakan satu kesatuan usaha (one integrated enterprise) dibawah satu pimpinan yang bertanggung jawab penuh (Full responsibility), baik yang bertalian dengan segi teknis, politis maupun segi kultural edukatif. Motif pengurusan siaran radio yang diinginkan oleh orang-orang RRI yaitu menganut sistem yang berlaku di Amerika Serikat. Kementerian Penerangan menyatakan bahwa semua siaran radio yang bersifat politis menjadi wewenang Kementerian Penerangan dan menyatakan bahwa yang mengatur tentang keradioan di Indonesia dapat dilakukan oleh Kementerian Penerangan dan Kementerian Perhubungan, masalah penyiaran diatur oleh Menteri Penerangan dan bagian tehnis diatur oleh Menteri Perhubungan. Kementerian Penerangan juga menyatakan bahwa RRI harus berada dibawah pimpinan seorang pemimpin umum yang pengangkatannya dilakukan atas persetujuan Menteri Penerangan dan Menteri Perhubungan. Sedangkan Menteri perhubungan menginginkan struktur organisasi keradioan dikembalikan seperti pada masa penjajahan Belanda, terutama mengenai status pemancar-pemancar radio. Menurut Kementerian Perhubungan, hal-hal mengenai penyiaran dapat dikelola oleh Menteri Penerangan dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
115
Dengan adanya pendapat yang berbeda dari ketiga komponen tersebut, maka pemerintah belum bisa juga menetapkan status RRI dalam pemerintahan. Ditambah dengan situasi politik yang semakin tidak menentu sehingga sangat sulit bagi pemerintah untuk mengeluarkan keputusannya. Akhirnya untuk sementara kedudukan RRI diserahkan kepada pemerintah daerah setempat dimana RRI itu berkembang. Khusunya kota Bandung, RRI cabang Bandung ditetapkan menurut kebijakan pemerintah daerah kota Bandung bahwa, bagian tehnik dimasukkan dalam lingkungan PTT sedangkan bagian siaran dimasukkan ke dalam jawatan Penerangan propinsi Jawa Barat. Diputuskan juga bahwa pimpinan tehnis dipegang oleh Hardjopranoto dari PTT dan pimpinan siaran dipegang oleh kepala jawatan Penerangan, yaitu Mr. Djumhana. Pada tanggal 23 Januari 1946, akhirnya para utusan dari RRI diundang untuk mendengarkan penjelasan dari Soemarno sebagai perwakilan dari jawatan Menteri Penerangan. Pemerintah yang diwakilkan oleh Menteri Penerangan menyatakan bahwa RRI dapat disetujui menjadi jawatan radio dibawah Kementerian Penerangan tetapi dalam segi tehnis, RRI hendaknya dapat bekerja sama dengan PTT sebagai jawatan dari Kementerian Perhubungan. Menteri Perhubungan meminta agar pihak dari RRI mengajukan tiga orang calon yang nantinya akan dijadikan sebagai pimpinan umum dalam RRI. Setelah melalui perundingan maka ditetapkan bahwa semua RRI di Jawa resmi menjadi jawatan Menteri Penerangan pada tanggal 1 April 1946 dengan
116
pimpinan umumnya yang terpilih adalah Maladi dan pusat RRI dipindahkan dari Jakarta ke Surakarta. Setelah sekian lama para pegawai RRI menunggu untuk mendapat pengakuan dari pemerintah, akhirnya RRI sudah resmi menjadi jawatan milik pemerintah dibawah Kementerian Penerangan. Sejak saat itu RRI mulai mengabdikan sepenuhnya kepada pemerintah.
117