BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sejarah perebutan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan. melahirkan komitmen bangsa, jati diri bangsa keyakinan percaya pada kekuatan sendiri dan melahirkan tradisi kepejuangan. Lahirnya peradilan militer tidak terlepas dan tidak dapat dipisahkan dari sejarah. Lahirnya Tentara Nasional Indoensia (TNI) yang telah melahirkan keamanan bagi bangsa dan negara yakni TNI dengan Rakyat bersatu padu mengusir penjajah dari bumi Indnesia meskipun telah banyak menelan korban para pahlawan perintis kemerdekaan gugur sebagai patriot, pahlawan heroik dengan gagah perkasa, berani menentang maut, sebagai bukti kecintaan terhadap bangsa dan tanah air Indonesia meski harus berkorban jiwa dan raganya. Sejalan
sejarah
perebutan
kemerdekaan
dan
mempertahankan
kemerdekaan telah disusun pula oleh para Pahlawan Perintis Kemerdekaan (BPUPKI). Konsep dasar negara kita oleh putra-putra terbaik bangsa yakni Soekarno, Soepomo dan Hatta yang kemudian menjadi Komitmen bangsa Indonesia yang berdaulat, maka lahirlah Pancasila Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). Peradilan militer sebagai lembaga/peradi1an khusus bagi militer yang sudah ada sebelum Perang Dunia I dan terselenggara diberbagai negara. Peradilan Militer di Indoensia pada masa penjajahan sampai dengan kemerdekaan dan sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara masih kapabel, fisibel
Universitas Sumatera Utara
dan eksis serta fleksibel sebagai penegak hukum dan keadilan, juga sebagai perekat bangsa. Lahirnya keamanan merupakan kesadaran, keinginan, kerelaan, sebagai perwujudan putra-putri terbaik pahlawan bangsa, dan pahlawan tumbuh dari rasa persatuan, rasa senasib terhadap tanah air tercinta yang telah membentuk
barisan
keamanan
oleh
pejuang-pejuang
rakyat.
Kemudian
terbentuknya BKR, TKR, TRI dan menjadi TNI, hal ini merupakan tonggak keamanan bangsa dan negara yang merupakan catatan sejarah. Pada tanggal 30 September 1945 Pemuda Pemudi yang mencintai kemerdekaan RI yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 membentuk organisasi massa Ikatan Pemuda Indonesia (IPI) di Aceh berdiri Ikatan Pemuda Indonesia (IPI). Di medan berdiri Barisan Pemuda Indonesia (BPI), Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Riau berdiri Pemuda Indonesia (PI). Organisasiorganisasi massa yang banyak berdiri itulah diantaranya menjelma menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Tanggal 10 Oktober 1945 secara resmi terbentuk TKR, tanggal 12 Oktober 1945 di Aceh berdiri TKR devisi V, Tanggal 10 Oktober 1945 di Sumatera Timur berdiri TKR Devisi IV, Tanggal 10 Nopember 1945 di Tapanuli berdiri TKR Divisi VI dan Tanggal 1 Juni 1946 di Sumatera Tengah (Sumatera Barat-Riau) berdiri TKR Divisi III. Tanggal 13 Desember 1949 dibentuk Komando Tentara Teritorium Sumatera Utara (KOTT-SU). 1 Dalam perjalanan sejarah Peradilan Militer telah banyak mengalami perubahan-perubahan, namun di Era Reformasi telah pula terjadi pergesaran 1
Majalah Bukit Barisan 59, Tahun Pengabdian Kodam I/BB Edisi II/ 2009, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Saat ini masih terus berlangsung revisi terhadap Peradilan Militer sebagai usul DPR terhadap Pemerintah sebagaimana terdapat dalam TAP MPR dan tertuang dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam teori atau filsafat hukum, agar hukum ditaati, (maksudnya) ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, ssosiologis dan filosofis. Karena peraturan perundang-undangan adalah
hukum,
maka
peraturan
perundang-undangan
yang
baik
harus
mengandung ketiga unsur tersebut. Yang tidak pernah dijelaskan adalah bagaimana imbangan antara unsur itu? Hal ini akhirnya sangat tergantung pada pendekatan yang dipergunakan. Mereka yang mendekati hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal tentu akan melihat unsur yuridis sebagai yang terpenting. Begitu pula mereka yang melihat hukum sebagai gejala social akan melihat unsur sosiologis sangat penting. Begitu pula mereka yang mengukur kebaikan hukum dari “rechtsidee” tentu akan menekankan pentingnya aspek filosofis. 2 TNI sebagai Wadah pengabdian, pengalaman perjuangan kemerdekaan Indonesia telah timbul keyakinan yang kuat tentang hakikat pertahanan dan keamanan negara (Hankamneg) yaitu perlawanan rakyat semesta, yang dilaksanakan
dengan
sistim
pertahanan
keamanan
rakyat
semesta
(Sishankamrata) dimana TNI sebagai angkatan perang terdiri dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU), yang menjadi komponen
2
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan, Penerbit, INDH. Hill. Co, Jakarta,
1992.
Universitas Sumatera Utara
utama
kekuatan
Hankamneg.
Sishankamrata
dibina
sebagai
kekuatan
Hamkamneg. Sishankamrata dibina sebagai kekuatan siap yang relatif kecil namun efektif dan efesien, serta memiliki mobilisasi yang tinggi dan kekuatan cadangan yang cukup. Peradilan Militer merupakan wadah, pembinaan prajurit TNI harus mengacu kepada tetap lestarinya tradisi keperjuangan sehingga mampu mengemban setiap tugas yang dibebankan kepadanya, baik sebagai kekuatan, pertahanan maupun keamanan negara. Dalam hal itu pembinaan prajurit TNI merupakan salah satu fungsi komando yang menjadi tanggung jawab setiap Komandan/Pimpinan satuan TNI yang bersangkutan mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. 3 Tugas dan beban yang berat dalam menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan NKRI dengan sistim pertahanan keamanan rakyat semesta. Sejalan dan searah dengan sejarah perkembangan Peradilan Militer di Indonesia dan masa ke masa a. Peradilan Militer pada masa penjajahan b. Peradilan Militer pada masa perang kemerdekaan (1945-1949) c
Peradilan Militer masa Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
d. Peradilan Militer masa berlakunya UUDS (1950-1959) e
Peradilan Militer Periode 5 Juli I 959 sampai dengan 11 Maret 1966.
f
Peradilan Militer 1966 sampai dengan 1997.
g. Peradilan Militer Tahun 1997 sampai dengan sekarang. Peradilan militer telah berjalan sebagaimana mestinya dan telah melaksanakan reformasi. Perubahan sistim dan sistem dan unsur-unsur pidana 3
Bujukdas tentang Bin Prajurit (Mabes TNI) Kep. Pangab No. Kep/06/X/1991, 5 Oktober 1991.
Universitas Sumatera Utara
akan sangat berpengaruh terhadap sub sistem lainnya. Hal ini juga menyangkut legalitas baik legal structure, legal substance dan legal culture Doktrin-doktrin yang terdapat dalam hukum militer dan hukum acara pidana militer. Generasi yang menjalankan negeri saat ini memang bukanlah mereka yang bermandikan peluh darah dalam memperjuangkan kemerdekaan, bila tidak kita lestarikan, bisa saja apapun yang sudah ada hanya menjadi sebuah tontonan tanpa suatu arti. Satu-satunya jalan agar sebuah perjuangan itu tidak padam adalah dengan mengingat apa yang terjadi di Indonesia dahulu kala. Akibat kemajuan, api revolusi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan di negeri ini sudah dapat kita rasakan dan dihargai.
4
Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa-jasa para pahlawannya Kata-kata bijak ini mengandung makna yang dalam dan sangat berarti bila kita mengenang dan memaknainya dengan menghargai perjuangan para pahlawan kita, yang rela berkorban jiwa raga demi bangsa dan tanah air tercinta. Para pahlawan yang gugur di medan tempur dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, gugur menjadi bunga kesuma bangsa yang tidak ternilai harganya. Hal inilah yang diwariskan oleh para pahlawan patriot bangsa dengan keberanian dan rela berkorban seogianya kita jadikan benteng dihati sanubari setiap anak bangsa untuk melanjutkan cita-cita negara dalam mengisi kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia tercinta. Semboyan para pejuang kita dalam meraih kemerdekaan “lebih baik hancur lebur bersama debunya kemerdekaan, dari pada hidup subur di alam penjajahan”
4
www.indonesia. Kemarin. Perihal Sejarah Perjuangan Indonesia Dalam Menyambut HUT-RI ke 63, diakses 09 Pebruari.2009.
Universitas Sumatera Utara
Sejarah Perjuangan bangsa ini pulalah yang melahirkan patriot putra-putra bangsa. Berperang mengusir penjajah dengan gagah perkasa dalam gabungan kesatria-kesatria
dengan
laskar
pejuang-pejuang
lainnya
walau
dengan
persenjataan yang amat sederhana, terkenal dengan bambu runcingnya melawan meriam dan mortir belanda. Dari laskar pejuang yang berubah menjadi BKR, TKR, TRI, TNI inilah penjelmaan rakyat Indonesia dalam perjuangan menjadi tradisi bangsa manunggal TNI dengan rakyat. Dari pengalaman perjuangan yang panjang TNI sebagai penjelmaan seluruh rakyat mampunyai tugas dan fungsi sebagai penegak kedaulatan. Dalam teorinya: Teori kedaulatan rakyat bertolak dari persefsi bahwa sesungguhnya rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara, bukan Penguasa karena penguasa condong mempertahankan dan memperluas kekuasaannya, maka perlu adanya pembatasan-pembatasan atas kekuasaan yang diserahkan kepada penguasa itu. 5 Menurut John Locke utama mengadakan suatu perjanjian masyarakat untuk membentuk negara adalah untuk mempertahankan hak-hak asasi. Dalam perjuangan masyarakat tadi ketika dilakukan penyerahan hak-hak tersebut karena menurut anggapan John Locke kekuasaan seorang Dewan/Pemerintah yang tanpa batas (absolut) dikhawatirkan dapat memperkosa hak asasi. Jadi anggap dapat melenyapkan hakekat dan tujuan membentuk negara. 6
5 6
Majalah Advokasi Hukum, Konsep Kedaulatan Rakyat, Edisi 16 Juni 2009. Bambang Wahyu, Implementasi Kekuasaan Kehakiman RI, Jakarta Sinar Grafika, 1992,
hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
Distorsi militer pada masa orde baru dengan rezim yang sangat kuat tidak terlepas dari pendelegasian kewenangan TNI sebagai penegak kedaulatan dan sebagai kekuatan pertahanan keamanan. Peradilan Militer dalam masa periode tahun 1966 sampai dengan tahun 1998 sebagai awal reformasi, pada masa tersebut TNI telah begitu kuat dan disebut rezim militer yang dinamakan Orde Baru.
Hal ini harus diakui
merupakan distrorsi yakni kekuatan politik yang dominan tanpa tantangan yang berarti dari kekuatan politik sipil terhadap otoritasnya. Kesalahan orde baru ini disebut rezim militer, terutama dalam bidang kekaryaan, yang dapat melahirkan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Negatifnya TNI dapat melakukan pelanggaran HAM yaitu hak demokrasi. Namun
dari sisi lain (positifnya)
Indonesia telah dapat mempersatukan Asia dan diperhitungkan oleh bangsa dunia. Pada masa orde baru telah terjadi krisis, dimulai dari krisis moneter sampai dengan krisis global termasuk krisis kepercayaan. Dengan adanya penyelewengan seperti : Korupsi, Kolusi, Nepotisme serta kejahatan Ekonomi, Keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini hendaknya diikuti langkah-langkah nyata dalam menerapkan dan menegakkan hukum. Hingga pada saat ini masih terjadinya campur tangan dalam proses peradilan serta tumpang tindih dan kerancuan hukum yang mengakibatkan terjadinya krisis hukum. Dalam penjelasan
Undang-Undang
Dasar
1945 khususnya
pada
bagian
sistem
pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum
Universitas Sumatera Utara
(rechtstaat) dan bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat). 7 Perwujudan hal tersebut adalah dengan memainkan peran hukum sebagai pengatur sekaligus pengawas dalam tata kehidupan nasional dengan tujuan agar tercapainya suatu ketertiban, keamanan, keadilan serta kepastian hukum. Apa yang kita perbuat hari ini, juga merupakan sejarah depan generasi penerus bangsa, akankah kita warisi “Devide et Impera” apakah kita melupakan komitmen perjuangan kemerdekaan bangsa kita? karena hari ini juga merupakan sejarah hari esok. Benar kata pepatah jangan tunggu sampai esok, apa yang dapat kau kerjakan hari ini sesal kemudian tak berguna. Sejarah perjuangan kemerdekaan kita merupakan saksi hidup yang hendaknya tetap melekat dihati sanubari setiap anak bangsa. Satu-satunya yang tidak berubah dan tak pernah berubah adalah sejarah, hal ini merupakan tugas dan kewajiban pemerintah dalam politik nasional atau politik negara untuk membenahi sistim Hankamnas dalam penyelenggaraan keadilan suatu negara, karena yang terjadi saat ini, saling tumpang tindih dan tidak saling memperkuat/memelihara antara satu sistem dengan sistim lainnya. Untuk hal itu diperlukan pengaturan pula guna mendukung sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum dan pemeliharaan ketertiban umum Dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-undang nomor 31 tahun 1997 di sebutkan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer merupakan badan kekuasaan Kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata dan pelaksanaan 7
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Penjelasannya, Lestari Bukit Tinggi.
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan kehakiman sebagai mana dimaksud pada ayat (1) berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. 8 Dalam Pasal 9 ayat (1) Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah a. Prajurit b. Yang menurut Undang-undang dipersamakan dengan prajurit c. Anggota
suatu
golongan
atau
jawatan
atau
badan-badan
yang
dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan Undang-undang. d. Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a. b. dan huruf c, tetapi atas keputusan Panglima TNI dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer. 9 Saat ini Peradilan Militer baik pembinaan organisasi administrasi, tehnis dan finansial Peradilan Militer sudah berada dibawah Mahkamah Agung, akibat reformasi, krisis kepercayaan terhadap Peradilan Militer dianggap kebebasan yang tidak mandiri masih campur tangan Mabes, kurang terbuka, sebagian masyarakat menganggap Peradilan Militer impunity karena keberadaan ankum dan adanya Papera, menjadikan penghambat, Peradilan Militer hanya berlaku bagi anggota bawahan sedangkan petinggi militer tidak. Dasar hal tersebut, atas hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang dibahas konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Hal yang
8 9
Undang-Undang No. 31 tahun 1937 tentang Peradilan Militer. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sangat mendasar adalah dalam konsep RUU mengenai perubahan atas Undangundang nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Yaitu dengan keluarnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor : VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 3 ayat (4) mengatur “ a
Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. b. Kekuasaan Peradilan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) tidak berfungsi maka prajurit TNI tunduk dibawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan Undang-undang. Sampai saat ini, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik tindak pidana yang tercantum dalam KUHP, atau tindak pidana militer yang diatur dalam KUHPM, maupun tindak pidana lain yang tersebar di luar KUHP, seperti : Narkotika, Psikotropika, Korupsi, Lalu Lintas dan lain-lain masih diadili dalam Peradilan Militer. Kecuali untuk perkara-perkara yang dilakukan secara bersamasama oleh dua orang atau lebih yang masing-masing tunduk pada justisiabel peradilan yang berbeda, yaitu dilakukan oleh orang sipil (tunduk pada justisiabel peradilan umum) dan militer (tunduk pada justisiabel peradilan militer) atau yang dikenal dengan istilah perkara koneksitas, maka telah ditentukan dengan ketentuan, apabila kepentingan militer yang lebih banyak dirugikan, ia akan diadili oleh pengadilan militer, tetapi apabila kepentingan sipil lebih banyak dirugikan maka ia akan diadili oleh pengadilan umum. Tentang penundukan militer pada Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum tidak terlepas dari pelanggaran hukum dan perundangundangan, kepentingan militer, sebab peradilan militer menyangkut pertahanan dan keamanan negara. Dalam hal ini terkait dan saling ketergantungan
Universitas Sumatera Utara
kepentingan mengadili yang disebut dengan yurisdiksi (kekuasaan memeriksa dan mengadili) sedangkan yustisiabel mempersoalkan tentang asas-asas yang diperiksa dan diadili. Dengan demikian ketentuan-ketentuan mengenai yurisdiksi dapat juga ditafsirkan sebagai ketentuan-ketentuan mengenai justisiabeljustisiabel menyangkut hukum materil atau KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer) sedangkan jurisdiksi merupakan hukum acara pidana militer adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997.
B. Permasalahan Selanjutnya untuk membatasi dan memfokuskan penelitian ini diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1.
Apa yang menjadi landasan Filosofis Peradilan Militer berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer ?
2.
Apakah
ketentuan
Perundang-undangan
telah
dapat
mengakomodir
penundukan militer pada peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum ? 3.
Bagaimana kewenangan Peradilan Militer dalam menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negera ?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dengan dilakukannya penelitian ini adalah mengenai hal-hal sebagai berikut : 1. Untuk memberikan sumbang saran pemikiran tentang pemahaman dan mengungkapkan kebenaran ilmiah kewenangan atau yurisdiksi peradilan militer berkaitan dengan penyelenggaraan Pertahanan keamanan yang diatur
Universitas Sumatera Utara
dalam Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia terutama Pasal 65 ayat (2) dan (3) serta landasan Hukum Militer dan koneksitas agar dapat memenuhi legalitas perundang-undangan sehingga dapat diberlakukan, Perundang-undangan yang telah ada, dapat diberlakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang dimaksud. 2. Sebagai deksripsi analitis tentang eksistensi prajurit dalam mengemban tugas negara khususnya sebagai Penegak Kedaulatan, Keutuhan NKRI dan Keselamatan Bangsa dan Negara. Peradilan Militer juga merupakan penangkal terhadap segala bentuk ancaman dari dalam maupun dari luar negeri terhadap sistem pertahanan bangsa yang dikenal dengan Sishankamrata, agar menjadikan pedoman pengemban tugas dan kewajiban prajurit TNI dalam pelaksanaan tugas ke depan
di masa damai dan masa perang,
diperlukan kekhususan peradilan bagi militer untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsi dengan penuh wibawa dan dicintai rakyat, karena TNI sebagai bhayangkara negara, benteng terakhir bangsa dan negara, dalam menegakkan kedaulatan diperlukan regulasi dan delegasi yang menjadikan kekuasaan dan kewenangan dalam memikul tugas dan tanggung jawab TNI ke depan.
D. Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini tujuan-tujuan yang ingin dicapai untuk memberikan masukan terhadap kegiatan revisi RUU No. 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Secara teoritis, sebagai sumbangan pemikiran baik berupa perbendaharaan konsep-konsep pemikiran, metode atau teori dalam khasanah studi ilmu hukum pada umumnya dan hukum militer pada khususnya yang sangat erat dan
sarat
terhadap
pertahanan
keamanan
(Hankam)
terutama
yang
menyangkut kewenangan peradilan militer, asas-asas militer, aspek-aspek militer sebagai subjek hukum yang termaktub dalam hukum pidana militer sebagai hukum materil dan peradilan militer sebagai hukum Pidana Formil, serta hukum Disiplin militer yang tumbuh dan berkembang dengan penuh kesadaran pribadi yang lahir dengan tulus dan iklas, tercermin dalam sikap dan tingkah laku sebagai insan prajurit, yang sapta margais menjungjung tingi nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Menghargai jasa-jasa para Pahlawan Kemerdekaan yang merupakan sosok pengabdian, sebagai aset bangsa yang dapat dijadikan dasar serta landasan untuk pedoman cinta tanah air, bela negara dalam menghadapi ancaman, gangguan hambatan dan tantangan baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Hal tersebut merupakan sifat awal untuk pengabdian terhadap bangsa dan negara, sifat dasar untuk pembinaan, pengembangan postur prajurit dalam fungsi pertahanan, dalam menegakkan hukum dan keadilan demi bangsa dan negara tercinta. 2. Secara
praktis
menghentikan
praktek-praktek
dan
arogansi
terhadap
penegakan hukum dan memperlemah sistim pertahanan keamanan bangsa yang digunakan untuk kepentingan pribadi/golongan, serta bahan masukan bagi pembuat kebijakan, praktisi pakar-pakar ilmu hukum serta seluruh
Universitas Sumatera Utara
komponen
bangsa
dalam
memberikan
penilaian
dan
masukan
bagi
pembangunan hukum yang mendukung Hankanmeg untuk mencapai tujuan nasional dan pengembangan hukum yang sesuai dengan organisasi dan tugas TNI ke depan sebagai jati diri bangsa yang demokratis, berkedaulatan rakyat demi tercapainya tujuan nasional masyarakat yang adil dan makmur.
E. Keaslian Penelitian Didasarkan dan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dapat diketahui bahwa penelitian tentang “Kewenangan Peradilan Militer Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia” belum pernah dilakukan dalam pendekatan terhadap permasalahan yang sama, sehingga dengan demikian penelitian ini dapat mengandung kadar keaslian karena telah memenuhi atau sesuai dengan azas-azas keilmuan yaitu mengandung aspek kejujuran, rasional,
objektif
dan
terbuka,
sehingga
penelitian
ini
dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan, kritik dan saran yang membangun dan konstruktif
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Dalam membahas permasalahan tersebut sebagaimana penelitian ini menggunakan beberapa teori sebagai pedoman diskripsi analitis penulis yang menjadi dasar-dasar dalam memberikan pedoman kehidupan berbangsa dan
Universitas Sumatera Utara
bernegara. Hal ini penting menurut penulis sebagai kesatuan pandang dan wawasan kebangsaan yang menjujug tinggi nilai-nilai luhur. Bahwa bangsa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan sistim pemerintahan Kabinet Presidentil. Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, juga sebagai Panglima Tertinggi dalam Angkatan Perang atau Tentara Nasional Indonesia. Dalam
sejarah
perebutan
kemerdekaan
Bangsa
Indonesia
dan
mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidaklah sama dengan negara-negara lain pada umumnya, dan masing-masing negara berbeda dalam historis, yuridis dan sosiologisnya. Adapun teori-teori atau pendapat pakar sebagai pedoman penulis juga dalam melakukan penelitian ini menerapkan defenisi yang telah ada, penulis menggunakan beberapa teori sebagai landasan pembahasan masalah. Yang dimaksud dengan teori adalah dasar memberikan pertanggung-jawaban secara ilmiah (wetenschap pelijk verant wourdong) karena dibicarakan dalam teori konstitusi bukanlah suatu yang serta merta dapat diperaktekkan, bukanlah mengenai nilai-nilai (practische maarde) melainkan mengenai nilai-nilai teoritis (theoritisch waorde), a. Teori mengenai kedaulatan b. Teori mengenai fungsi negara c. Teori pemisahan kekuasaan oleh Montesquieu d. Teori Lawrence M. Friedman tentang Sistim hukum e. Teori Benhard Grossfeld dalam judul bukunya “The Strength and Weakness of Comperative Law”
Universitas Sumatera Utara
2. Konsepsi Sebagaimana tercetus dalam Era Reformasi bahwa tekad rakyat Indonesia melalui reformasi untuk memberantas segala bentuk penyelewengan seperti : Korupsi,
Kolusi,
Nepotisme
serta
kejahatan
Ekonomi,
Keuangan
dan
penyalahgunaan kekuasaan ternyata belum diikuti langkah-langkah nyata dalam menerapkan da menegakkan hukum. Hal ini terbukti dengan masih terjadinya campur tangan dalam proses peradilan serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum. Dalam penjelasan UndangUndang Dasar 1945 khususnya paa bagian sistem pemerintah negara yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) dan bukan atas kekuasaan (machstaat). Perwujudan hal tersebut adalah dengan memainkan peran hukum sebagai pengatur sekaligus pengawas dalam tata kehidupan nasional dengan tujuan agar tercapainya suatu ketertiban, keamanan, keadilan serta kepastian hukum. 10 Berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Ketetapan MPR RI nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka mulai tanggal 1 Juli 2000, Polri dan TNI dinyatakan sebagai suatu keseimbangan yang terpisah dengan kedudukan yang setara.
10
Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman RI, Jakarta : Sinar Grafika,
1990.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 89 tahun 2000 tanggal 1 Juli 2000, kedudukan Polri ditetapkan berada langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang kemudian dikuatkan dengan Ketetapan MPR RI nomor VII / MPR / 2000, khususnya Pasal 7 ayat (2). Kemudian dengan diundangkannya Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 29 ayat (1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan umum. Pada ketentuan peralihan pasal 43 (b) mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum diperiksa baik ditingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum. Berkaitan dengan peradilan mana yang memeriksa dan memutus tindak pidana yang dilakukan anggota Militer, pasal 65 ayat (2) mengatur Prajurit TNI (militer) tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Ketentuan ini membawa perubahan yang mendasar, sebab Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer pasa1 9 mengatur tentang kompetensi Peradilan. Militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh militer, dan orang-orang yang ditentukan oleh Perundangundangan tunduk kepada Peradilan Militer dan koneksitas. Dalam arti Peradilan Militer sampai saat ini mengadili dan memeriksa berdasarkan pada pelaku tindak pidana.
Universitas Sumatera Utara
Ketika militer akan ditundukkan kepada Peradilan Umum, prospeksi koneksitas dipersoalkan, masih perlukah acara pemeriksaan koneksitas. RUU Perubahan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pidana Peradilan Militer usulan DPR, menyatakan bahwa koneksitas tidak diperlukan lagi. Namun, pada sisi lain, apabila lembaga koneksitas ini dihilangkan tentu akan ada persoalan yang mengarah pada tidak ada aturan hukumnya untuk suatu perbuatan yang potensial dapat terjadi, sehingga akan menjadi kekosongan hukum. Menurut Hans Kelsen, hukum memiliki suatu kekosongan (gaps) artinya bahwa hukum yang berlaku tidak dapat diterapkan pada kasus konkrit karena tidak ada norma umum yang sesuai dengan kasus. 11 Rumusan secara tegas mengenai Koneksitas dapat diketemukan pada BAB XI UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, atau yang lebih dikenal dengan KUHAP, dengan judul Pemeriksaan Koneksitas. Sedangkan pengertian koenksitas sendiri dapat disimpulkan dari rumusan Pasal 89 ayat (1). Tindak Pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer. Rumusan koneksitas pada BAB XI Pasal 89 sampai dengan Pasal 94 KUHAP kemudian ditransfer ke dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dalam BAB IV bagian Kelima Pasal 198 sampai dengan Pasal 203.
11
Hans Kelsen Geraal Therry, dalam Jimly Asshiddigie dalam Ali Safaat, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Pers, 2006, hal. 130.
Universitas Sumatera Utara
Peraturan-peraturan yang bersifat umum yang hanya berlaku bagi militer yang disebut hukum militer, selain bersifat keras dan berat, sering pula disasarkan kepada azas-azas yang menyimpang dari teori-teori hukum pidana termasuk sanksinya sering menjungjung dari stelsel pemidanaan yang lazim berlaku bagi masyarakat biasa. Dalam arti perluasan jenis-jenis pidana dan pemberatan pidana maka lahirlah di bidang hukum pidana, hukum pidana militer dan satu jenis hukuman lagi mempunyai ciri-ciri seperti hukum pidana, tetapi karena alasan pembentukannya mempunyai tujuan yang berlainan maka dibedakan daripadanya dan disebut hukum disiplin militer. Jenis-jenis hukum ini dibukukan dalam buku tersendiri yakni berturutturut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara (KUHPT) sekarng Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan Kitab UndangUndang, Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Tentara (KUHDT) sekarang Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM). Semula memang pernah dipersoalkan jenis hukum ini, khususnya mengenai Hukum Pidana Militer, tidak sebaiknya dibukukan menjadi satu dalam KUHP. Gagasan untuk membukukan Hukum Pidana Militer menjadi satu dengan Hukum Pidana khusus kemudian dilepaskan, oleh karena perkiraan-perkiraan yang keras dan berat, serta dalam beberapa hal sering menyimpang dari azas yang berlaku umum ini, di samping memang memerlukan adanya hukum yang tersendiri. Juga akan menyulitkan bila dimasukkan dalam satu buku dengan Pidana Umum yaitu dalam KUHP.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengatakan bahwa puncak peradilan tetap ada di Mahkamah Agung, meskipun nantinya dibawa ke peradilan umum atau dipertahankan. Seperti sekarang diperadilan militer, perkara itu
akan
tetap
berpuncak
ke
Mahkamah
Agung.
Semua
pihak
harus
memperhatikan aspek sosiologis dan aspek normatif, secara sosiologis apakah polisi sanggup menyidik tentara dan apakah realistis. Pada bagian lain, pekerjaan pengadilan sudah cukup banyak kalau ditambahkan lagi dengan masalah militer, apakah Peradilan Umum sanggup dan perlu dicek apakah keputusan Peradilan Militer selalu lebih ringan dari pada Peradilan Umum. 12 Menurut Juwono Darsono (Menhan) : Aspek psikologis TNI-Polri, Belum siapnya penegak hukum sipil di lapangan, yaitu : Polisi, Jaksa, Hakim, ketika melayani perkara yang melibatkan prajurit TNI. KUHPM sebagai dasar hukum materil masih belum dirubah, perubahan landasan hukum materil harus terlebih dahulu dilakukan sebelum merevisi Undang-Undang Peradilan Militer, sebab di KUHP tidak ada ketentuan yang memungkinkan seorang prajurit bisa dituntut atau dihukum di Peradilan Umum, jadi harus ada aturan peralihan. Peradilan sipil dengan peradilan militer sudah sama tingkatannya. Mencarikan alternatif agar tidak terjadi kebuntuan dengan memasukkan/melibatkan unsur peradilan sipil, seperti Hakim, Jaksa ke peradilan militer.
13
Menurut Muladi (Gubernur Lemhanas) : Pembuatan RUU peradilan militer harus melibatkan hakim, jaksa, dari kalangan militer dan diterapkan 12 13
http://www.hukumonlinecom.jalan_tengah,Menham_usul_usul_perwakilan. http://www.pelita.or.id.Dilematis,RUU_Peradilan_Militer,diakses,selasa,_16_juni_2009.
Universitas Sumatera Utara
secara gradual dengan meniru Negara lain, namun tetap ciri khas Indonesia. Pemberlakuan Undang-undang
militer yang baru secara bertahap, bila sudah
ditetapkan pemerintah diberikan waktu 2 tahun bagi anggota TNI menyiapkan sikap dan mental dan menerima perubahan. System campuran menjadi jalan tengah yang baik dari koneksitas. Sulit menginplementasikan jika militer disidik Polri. Sejarah dan aspek sosiologis TNI dan Polri tetap harus menjadi perhatian utama. 14 Ketika militer akan ditundukkan kepada Peradilan Umum, prospeksi koneksitas dipersoalkan, masih perlukah acara pemeriksaan koneksitas. RUU Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer usulan DPR, menyatakan bahwa koneksitas tidak diperlukan lagi. Namun, pada sisi lain, apabila lembaga koneksitas ini dihilangkan tentu akan ada persoalan yang mengarah pada tidak ada aturan hukumnya untuk suatu perbuatan yang potensial dapat terjadi, sehingga akan menjadi kekosongan hukum. Menurut Hans Kelsen, hukum memiliki suatu kekosongan (gaps) artinya bahwa hukum yang berlaku tidak dapat diterapkan pada kasus konkrit karena tidak ada norma umum yang sesuai dengan kasus. 15 Teori atau filsafat hukum, kepada kita diajarkan agar hukum ditaati (maksudnya taat secara spontan bukan dengan paksaan), hukum itu harus mempunyai dasar, ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. Karena 14 15
Ibid, hal. 3. Journal Hukum Militer Vol 1, No. 2 Agustus, 2009.
Universitas Sumatera Utara
peraturan perundang-undangan adalah hukum, maka peraturan
perundang-
undangan yang baik harus mengandung ketiga unsure tersebut. Yang tidak pernah dijelaskan adalah bagaimana imbangan antara unsur-unsur itu ? hal ini akhirnya sangat tergantung pada pendekatan yang dipergunakan. Mereka yang mendekati hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal tentu akan melihat unsur yuridis sebagai yang terpenting. Begitu pula mereka yang melihat hukum sebagai gejala social akan melihat unsur sosiologis sangat penting. Begitu pula mereka yang mengukur kebaikan hukum dari “rechtsidee” tentu akan menekankan pentingnya aspek filosofis. 16 Terlepas dari perbedaan titik pandang tersebut, ketiga unsur yuridis, sosiologis dan filosofis memang penting. Sebab setiap pembuat peraturan perundang-undangan berharap agar kaidah yang tercantum dalam perundangundangan itu adalah sah secara hukum (legal validity) dan berlaku efektif karena dapat atau akan diterima masyarakat secara wajar dan berlaku untuk waktu yang panjang. 17 Pengertian kaidah hukum meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai (norm) dan peraturan hukum konkrit. Pengertian kaedah hukum dalam arti luas itu berhubungan satu sama lain dan merupakan satu sisem, sistem hukum. 18
16
Bagir Manan, Dasar-dasar Perunang-undangan, Jakarta : Penerbit Indonesia. IND. Hillco,
1992. 17 18
Ibid. Sudikmo Mertakusumo, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta, Cetakan, ke-4.
Universitas Sumatera Utara
Dari apa yang diuraikan di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut (bandingkan dengan Scholten dalam G.J. Scholten, 1949 : 402). Ini berarti menunjuk pada kesamaan-kesamaan yang konkrit itu dengan menjabarkan peraturan hukum konkrit menjadi peraturan umum yang karena menjadi umum sifatnya tidak dapat diterapkan secara langsung pada peristiwa konkrit. Asas hukum ditemukan dalam hukum positif. Fungsi ilmu hukum adalah mencari asas hukum
dalam hukum positif. Jadi asas hukum
sebagai pikiran dasar peraturan konkrit pada umumnya bukan tersurat melainkan tersirat dalam kaedah atau peraturan hukum konkrit. 14 Perlu tidaknya Hukum Militer erat hubungannya dengan persoalan ada tidaknya perbedaan antara Hukum Umum dan Hukum Militer. Dan ada tidaknya perbedaan fungsi ini tergantung dari pada ada tidaknya perbedaan kedudukan atau tugas kewajiban antara orang preman (bukan militer) dengan orang militer. 19 Orang militer harus mengabdikan kemauannya sendiri kepada kemauan orang lain, kepada kemauan Angkatan Bersenjata. Untuk itu jika perlu, dia harus mengenyampingkan perasaan-perasaan, pendapat-pendapat serta kepentingan-
19
A Tambunan, Himpunan Kuliah Hukum Militer, Jakarta 1990
Universitas Sumatera Utara
kepentingan pribadinya. Sifat menurut dan menjadikan kemauan sendiri kepada kemauan orang lain, harus dipelajari dan dipelihara. Untuk memudahkannya maka setiap militer diwajibkan untuk menghormati atasannya dan menghargai bawahannya. 20 Itulah kewajiban-kewajiban khusus yang terutama dari pada seorang militer. Secara praktis dapat dikatakan bahwa semua kewajiban-kewajiban lainnya dari pada seorang militer dapat dikembalikan kepada kedua kewajiban utama
tadi.
Melalaikan
kewajiban-kewajiban
tersebut
mungkin
dapat
mengakibatkan suatu malapetaka bagi kelanjutan kehidupan Negara dan Bangsa. 21 Oleh karena itu bagaimana yurisdiksi yang dimaksud “Pelanggaran Hukum Pidana” yang terdapat dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI hal ini berkaitan dengan tindak pidana dan kompetensi mengadili. Undang-undang Darurat Tahun 1951 Nomor 1 Pasal 56 mengenai istilah hukum pidana sipil ini adalah lebih baik dan dapat diteruskan sebab dalam istilah tersebut dinyatakan perbedaannya dengan hukum pidana militer. Saya katakan berlaku untuk umum, karena juga berlaku bagi para militer (S. 1934-167 Jo Undang-undang 1947 Nomor 39). Bahwa hukum pidana sipil juga berlaku bagi tentara, antara lain dinyatakan Pasal 1 KUHP dikatakan bahwa aturan-aturan umum termasuk juga BAB IX KUHP pada umumnya berlaku dalam menggunakan KUHP militer. 20 21
Ibid, hal. 9. Ibid, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Prof. Romli Atmasasmita pakar hukum Universitas Padjajaran tentang perbedaan “tindak pidana umum, dengan tindak pidana sipil” adalah. Tindak pidana sipil adalah : Tindak pidana yang menimbulkan akibat-akibat langsung dan tidak langsung terhadap keamanan dan ketertiban sipil. Sedangkan tindak pidana umum adalah tindak pidana yang menimbulkan akibat-akibat langsung dan tidak langsung kepada pertahanan negara. 22
G. Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan pendekatan doktrinal atau normatif yang memandang hukum sebagai perangkat aturan atau kaidah yang bersifat normatif dan sebagai ilmu normatif (ilmu tentang norma) ilmu hukum mengarahkan refleksinya kepada norma dasar yang diberi bentuk konkrit dalam norma-norma yang ditentukan dalam bidang-bidang tertentu. Untuk mengkaji unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan hukum Indonesia dan berbagai negara. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis kompratif secara terbatas yang membandingkan dengan yurisdiksi peradilan militer beberapa negara. 1. Spesifikasi Penelitian Jadi pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis, yuridis sosiologi, pendekatan konsep, pendekatan perundang-undangan 22
http.//www.Vhrmedia.com. Ahli Hukum Setuju TNI Disidik Polisi Militer, diakses 24 Oktober 2008
Universitas Sumatera Utara
dengan menginventarisasi, menemukan Undang-undang. Sehubungan dengan, permasalahan yang diangkat adalah berkaitan Kewenangan Peradilan Militer Pasca Berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Diharapkan akan diperoleh pemahaman yang integral dan aspek hukum maupun sistem negara. 2. Sumber dan Jenis Data a. Bahan Hukum Primer Penelitian ini membutuhkan jenis data yang berasal dan sumber-sumber bahan hukum yaitu : Yang bersumber dan peraturan perundang-undangan (hukum positif di Indonesia), catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan maupun doktrin militer yang merupakan sumber hukum militer termasuk didalamnya berbagai literatur keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh organisasi militer dalam pembinaan kehidupan militer. b. Bahan Hukum Skunder Yaitu data-data yang berasal dan bahan-bahan pustaka, yang meliputi dokumen-dokumen tertulis, yang bersumber dan publikasi tentang hukum meliputi buku-buku, teks kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal maupun doktrin militer yang hukum dan komentar-komentar atas putusan-putusan pengadilan. c. Bahan Hukum Tertier Yaitu sebagai bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
Universitas Sumatera Utara
kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui : Studi kepustakaan (library research). Sehubungan dengan permasalahan ini akan dilakukan pengumpulan data melalui studi kepustakaan yaitu buku-buku, dokumen, literatur dan bahan berkaitan dengan penelitian serta mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang hukum militer, tindak pidana militer. hukum disiplin militer dan peradilan militer. 4. Analisis Data Setelah semua bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diperoleh dari berbagai sumber yang dibutuhkan disamping melalui studi kepustakaan (library research) dihubungkan dengan data lain dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya. kemudian dikelompokkan atas data yang sejenis terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara filosofis, yuridis dan sosiologis melalui pendekatan sejarah maka akan dapat dilihat sistematika penelitian dan digunakan metode deduktif dan induktif. Metode induktif maksudnya menarik dan generasi yang berkembang dari hukum militer dan hukum disiplin militer serta pelaksanaan peradilan militer dan koneksitas dalam kapasitas TNI sebagai fungsi pertahanan dan keamanan. Metode deduktif maksudnya melihat suatu peraturan-peraturan yang berlaku secara umum walaupun tidak berlaku mutlak, baik terhadap peraturan
Universitas Sumatera Utara
militer (hukum pidana militer) atau hukum pidana sipil (hukum pidana umum) atau Hukum Acara Pidana Militer (HAPMIL). Dengan menggunakan metode deduktif induktif ini maka akan diperoleh persesuaian tentang bagaimana kewenangan Peradilan Militer yang mengadili semua tindak pidana militer terhadap subjek militer yang dipersamakan dan non militer dalam UndangUndang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer serta kaitannya
pertahanan keamanan negara. Dari hasil pembahasan dan analisis ini diharapkan akan memperoleh kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
Universitas Sumatera Utara