MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA MENCERITAKAN PERISTIWA MELALUI MODEL ARTIKULASI DI KELAS III SDN 2 BOTUBILOTAHU KECAMATAN MARISA KABUPATEN POHUWATO ELAN A. DUKALANG Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa menceritakan peristiwa di kelas III SDN 2 Botubilotahu Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato melalui model artikulasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada siklus I, dari jumlah siswa sebanyak 20 orang, siswa yang memperoleh nilai yang mencapai ketuntasan dengan indikator kinerja mencapai 75% dengan kriteria mampu adalah mencapai 67% sedangkan siswa yang memperoleh kriteria kurang mampu mencapai 27%, dan tidak mampu mencapai 6%. Pelaksanaan tindakan pada siklus II sudah mencapai target karena siswa yang mendapatkan kriteria mampu rata-rata mencapai 88% sedangkan siswa yang memperoleh kriteria kurang mampu dengan persentase rata-rata mencapai 12%, hasil capaian ini melebihi target yang telah ditetapkan. Dari hasil penelitian tindakan kelas ini baik siklus I maupun siklus II dapat disimpulkan bahwa model artikulasi dapat meningkatkan kemampuan siswa menceritakan kembali peristiwa pada siswa kelas III SDN 2 Botubilotahu Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato. Dengan demikian bahwa hipotesis tindakan yang telah dirumuskan terbukti dan dapat diterima. Keywords: Ability, Telling Story, Articulation Model Pendahuluan Seorang dikatakan terampil dalam berbahasa apabila memiliki empat keterampilan berbahasa yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Bahasa sebagai alat komunikasi nampak dalam setiap aktivitas manusia. Melalui komunikasi manusia dapat memenuhi segala kebutuhannya baik yang menyangkut kebutuhan fisik maupun phisis. Oleh karena itu, betapa pentingnya keterampilan tersebut dimiliki oleh setiap orang demi efektifnya komunikasi yang terjalin dan terhidarnya kesalahpahaman di antara orang yang sedang berkomunikasi. 1
Sebagai alat komunikasi, bahasa disampaikan secara lisan maupun secara tertulis sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dari pengguna bahasa itu sendiri. Kemampuan berbahasa sangatlah ditentukan oleh pengetahuan, pemahaman dan keterampilan berbahasa yang dimilikinya. Dari ketiga kemampuan tersebut, keterampilan berbahasa merupakan wujud nyata dari kegiatan berbahasa yang dilakukan seseorang (Tarigan, 2008:26). Kegiatan
berbahasa
merupakan
suatu
proses
komunikasi
yang
berkembang mengikuti pola luas dan tingginya tingkat ketergantungan seseorang terhadap orang lain. Hal ini diawali dengan ketergantungan atau komunikasi dengan ibu pada masa bayi, yang kemudian semakin luas seiring bertambahnya usia dan semakin tingginya kualitas komunikasi sesuai kebutuhan yang diharapkan. Menyadari pentingnya komunikasi itu, maka sebagai upaya yang dilakukan khususnya di lingkungan pendidikan dasar (SD) adalah menyiapkan dan memberdayakan wadah pembinaan dan pengembangan kegiatan berbahasa. Hal ini secara nyata dapat dilihat pada pemberian prioritas waktu yang lebih pada mata pelajaran bahasa Indonesia yaitu 6 jam dalam seminggu, di samping itu disediakan pula fasilitas lain berupa pengadaan buku-buku bacaan baik berupa buku paket mata pelajaran maupun buku cerita untuk perpustakaan yang diharapkan dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, serta program peningkatan kualitas guru dalam bidang pengajaran bahasa Indonesia melalui berbagai kegiatan pendidikan/latihan. Khusus keterampilan menuturkan/berbicara, untuk kelas III (tiga), uraian pembelajarannya adalah menceritakan gambar, menceritakan isi cerita rakyat/
2
dongeng yang didengar, bermain peran, menceritakan kegiatan sehari-hari dan menceritakan kembali isi cerita/dongeng yang didengar. Berdasarkan kegiatan pembelajaran di atas, jelas bahwa kegiatan tersebut berkaitan langsung
dengan
upaya
meningkatkan
keterampilan
siswa
dalam
menggunakan bahasa lisan sebagai salah satu keterampilan berbahasa yang perlu dibina dan dikembangkan sejak dini. Mengenai hal ini, Supraktinya (2011:12)
menjelaskan
bahwa:
“Keterampilan
berkomunikasi
bukan
merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir dan juga tidak akan muncul secara tiba-tiba saat memerlukannya. Keterampilan tersebut harus dipelajari atau melalui latihan”. Kaitan dengan hal di atas, dalam upaya membina dan mengembangkan keterampilan berbahasa tersebut, guru berusaha semaksimal mungkin melaksanakan setiap kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia melalui berbagai kegiatan yang menunjang peningkatan keterampilan berbicara dengan menggunakan kegiatan pengajaran yang relevan. Khusus untuk keterampilan berbicara, guru telah melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan kegiatan-kegiatan pengajaran berbicara melalui kegiatan bercerita. Pelaksanaan kegiatan tersebut terlihat adanya suatu gejala yang menunjukkan kurangnya keterampilan siswa kelas III dalam berbicara, dalam setiap pembelajaran yang mengharapkan siswa dapat berbicara sesuai dengan argumen yang dimiliki, tidak dapat dilakukan dengan baik, dikarenakan kurangnya percaya diri siswa terhadap argumen yang akan diajukan. Hal itu menimbulkan suatu pemikiran sekaligus kekhawatiran guru akan akibatnya bagi siswa di masa mendatang, terlebih jika melihat kenyataan
3
yang ada, bahwa banyak orang yang memiliki pengetahuan yang luas/menguasai
berbagai
ilmu
pengetahuan
namun
sulit
untuk
menceritakannya sehingga pengetahuan tidak dapat ditransferkan kepada orang lain. Kenyataan yang lain banyak kesalahpahaman terjadi bahkan sampai ke hal yang lebih buruk lagi yang semua itu disebabkan oleh ketidakterampilan dalam menceritakan maksud/tujuan. Jelasnya keterampilan menceritakan ini sangat perlu dikembangkan melalui kegiatan bermain peran yang diterapkan oleh guru kelas III SD. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, disadari betapa pentingnya keterampilan menceritakan dalam pembelajaran bahasa, jika hal ini dilakukan melalui kegiatan bermain peran. Dengan demikian peneliti mengangkat masalah dengan formulasi judul: “Meningkatkan Kemampuan Siswa menceritakan peristiwa Melalui Model Artikulasi di kelas III SDN 2 Botubilotahu Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato”.
Pengertian Bercerita Kata “cerita” mengacu pada sesuatu yang diungkapakan dalam aktivitas bercerita. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (Damiati dkk. 2003:45), cerita diartikan dalam beberapa pengertian, yaitu:1) Tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal peristiwa, kejadian, dan sebagainya; 2) Karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, penderitaan orang, kejadian, dan sebagainya, baik sungguh-sungguh maupun rekaan belaka; 3) Lakon yang diwujudkan atau dipertunjukkan dan digambar hidup seperti sandiwara, wayang, dan sebagainya. Masing-masing pengertian tersebut memiliki bentuk visualisasi
4
yang berbeda-beda. Pada pengertian yang pertama, cerita diartikan sebagai sesuatu yang dituturkan secara lisan tentang suatu peristiwa atau kejadian. Pengertian cerita seperti ini dapat dilihat pada aktivitas bercerita yang dilakukan guru kepada siswanya, atau orang tua kepada anaknya. Aktivitas bercerita ini secara kental muncul pada tradisi lisan yang berkembang pada beberapa waktu lalu, yaitu dengan munculnya pawing cerita. Meskipun tradisi lisan ini sudah banyak berkurang, tetapi pada beberapa kesempatan masih kita jumpai aktivitas bercerita ini. Berbeda dengan pengertian yang pertama, pada pengertian yang kedua, karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, penderitaan orang, kejadian, dan sebagainya baik yang sungguh-sungguh maupun rekaan belaka, cerita diartikan sebagai karya dalam bentuk tulisan, seperti halnya buku cerita atau cerita anak yang ditulis dalam majalah. Dalam pengertian yang kedua ini dikenal cerita yang sungguh-sungguh terjadi (nonfiksi) dan cerita rekaan (fiksi). Dalam kategori cerita yang sungguh-sungguh terjadi, cerita anak dapat diwujudkan dalam bentuk biografi seorang tokoh dan tulisan pengalaman yang mengesankan. Dalam kategori cerita rekaan, cerita anak dapat berkembang secara lebih luas sehingga muncul variasi- variasi tema yang menarik dalam berbagai karya cerita. Dalam praktiknya, unsur nonfiksi dan fiksi sebenarnya dapat digabung. Hal ini dapat dilakukan pada cerita yang mengandung sains (ilmu alam). Berbeda lagi dengan pengertian pertama dan kedua, pada pengertian yang ketiga, lakon yang diwujudkan atau dipertumjukkan dan digambar hidup seperti sandiwara, wayang dan sebagainya, maka cerita dapat diartikan sebagai karya
5
dalam bentuk pementasan. Untuk pengertian yang ketiga ini, secara operasional dibutuhkan beberapa hal tentang desain panggung dan dekorasi, pemilihan pemain, pemakaian kostum, acting, sound effect (efek-efek yang dimunculkan dari suara), dan sebagainya. Pementasan cerita anak dapat diwujudkan dalam bentuk operet, sandiwara atau drama, ataupun sinetron anak di televisi yang berkembang pada saat ini. Ketiga pengertian tentang cerita di atas mengisyaratkan bentuk-bentuk cerita anak dalam beberapa kategori, yaitu lisan, tulis, dan gerak atau acting. Ketiga bentuk tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda. Walaupun cenderung mengacu pada istilah teknis, bercerita juga bisa dikaitkan dengan istilah “cerita” dalam bentuk tulisan dan pementasan. Sebenarnya esensi dari bercerita itu terletak pada adanya cerita yang diceritakan, sehingga apa pun bentuknya (lisan, tulis, acting), semuanya dapat dikategorikan sebagai aktivitas bercerita. Bercerita bukan hanya untuk mengajarkan anak-anak membaca, namun untuk membuat anak mencintai buku. Akan sangat menyenangkan bagi seorang anak untuk merasakan kehadiran kita bersama mereka, mendengarkan suara kita, dan melihat gambar-gambar ilustrasi dalam buku.
Hakikat Model Artikulasi Model pembelajaran Artikulasi prosesnya seperti pesan berantai, artinya apa yang telah diberikan guru, seorang siswa wajib meneruskan menjelaskannya pada siswa lain (pasangan kelompoknya). Di sinilah keunikan model pembelajaran ini. Siswa dituntut untuk bisa berperan sebagai ‘penerima pesan’ sekaligus berperan
6
sebagai ‘penyampai pesan.’ (Purwanto, Ari. 2008:67) Senada dengan itu Tarigan, Henry
Guntur(2008:46)
mengungkapkan
model
pembelajaran
Artikulasi
merupakan model yang prosesnya seperti pesan berantai, artinya apa yang telah diberikan guru, seorang siswa wajib meneruskan menjelaskannya pada siswa lain (pasangan kelompoknya). Di sinilah keunikan model pembelajaran ini. Siswa dituntut untuk bisa berperan sebagai ‘penerima pesan’ sekaligus berperan sebagai ‘penyampai pesan’. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran artikulasi merupakan model pembelajaran yang menuntut siswa aktif dalam pembelajaran dimana siswa dibentuk menjadi kelompok kecil yang masingmasing siswa dalam kelompok tersebut mempunyai tugas mewawancarai teman kelompoknya tentang materi yang baru dibahas. Konsep pemahaman sangat diperlukan dalam model pembelajaran ini. Langkah-langkah model pembelajaran Artikulasi adalah sebagai berikut : 1.
Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
2.
Guru menyajikan materi sebagaimana biasa.
3.
Untuk
mengetahui
daya
serap
siswa,
bentuklah
kelompok
berpasangan dua orang. 4.
Menugaskan salah satu siswa dari pasangan itu menceritakan materi yang baru diterima dari guru dan pasangannya mendengar sambil membuat catatan-catatan kecil, kemudian berganti peran. Begitu juga kelompok lainnya.
7
5.
Menugaskan siswa secara bergiliran/diacak menyampaikan hasil wawancaranya dengan teman pasangannya sampai sebagian siswa sudah menyampaikan hasil wawancaranya.
6.
Guru mengulangi/menjelaskan kembali materi yang sekiranya belum dipahami siswa.
7.
Kesimpulan/penutup.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode PTK yang dilaksanakan di kelas III SDN 2 Botubilotahu Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato dengan subjek penelitian adalah Kelas III A tahun pelajaran 2012 – 2013 dengan jumlah siswa 20 orang yang terdiri dari 8 orang siswa laki-laki dan 12 orang siswa perempuan dengan usia rata-rata 8-9 tahun dan seluruhnya memiliki latar belakang kemampuan yang bervariasi, yang diolah secara kuantitatif, dengan empat tahapan penelitian, yakni persiapan, pelaksanaan tindakan, pemantauan dan evaluasi, refleksi, dianalisis menggunakan persentase.
Hasil Penelitian Peningkatan
kemampuan
menceritakan
kembali
peristiwa
perlu
diperhatikan ini merupakan cara melatih siswa berbicara dengan baik atau berkomunikasi dengan baik, mengingat kondisi kehidupan saat ini semakin kompleks dan memberikan dampak yang sangat buruk terhadap perkembangan anak. Peningkatan kemampuan menceritakan kembali peristiwa merupakan salah satu hal yang penting dan harus dipahami oleh guru.
8
Siswa yang belum dapat bercerita dengan baik membawa dampak negatif pada pergaulannya akan datang.
Lingkungan sangat berperan aktif dalam
membina kemampuan anak. Kehidupan, pengetahuan keluarga bagaimana cara menstimulasi siswa turut mempengaruhi, arang tua yang kurang memperhatikan anaknya mengakibatkan, kemampuan siswa kurang maskisamal. Kegiatan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menceritakan kembali peristiwa melalui model artikulasi, telah memperlihatkan hasil sesuai harapan setelah dilaksanakan tindakan siklus II, dimana indikator kinerja yang telah ditetapkan telah tercapai, yaitu 75 % dari jumlah subjek penelitian telah mencapai nilai baik atau setiap aspek penilaian telah mencapai peningkatan sebesar 30% dari data pada saat observasi awal. a. Pada observasi awal, anak yang mencapai kriteria mampu pada tiga aspek penilaian rata-rata hanya 35% dan yang mencapai kriteria kurang mampu rata-rata hanya 25% yang mencapai kriteria tidak mampu sebesar 40%. b. Pada siklus I prosentase kemampuan menceritakan kembali peristiwa mengalami peningkatan. Anak yang mencapai kriteria mampu pada tiga aspek penilaian rata-rata hanya 67% dan yang mencapai kriteria kurang mampu rata-rata hanya 30% yang mencapai kriteria tidak mampu sebesar 3%. Prosentase kemampuan menceritakan kembali yang telah dicapai anak pada siklus I, dirasa belum mencapai sasaran indikator kinerja oleh karena itu dilakukan tindakan pada siklus II dengan memperhatikan faktor-faktor dalam lembar observasi guru. 9
c. Pada siklus II, prosentase
kembampuan menceritakan kembali
akhirnya mencapai indikator kinerja yang ditetapkan, prosentase kemampuan siswa meningkat dari hasil tindakan pada siklus I, dimana siswa yang memperoleh kriteria mampu pada dua aspek penilaian rata-rata hanya 88% dan yang mencapai kriteria kurang mampu rata-rata hanya 12% Pada siklus II terjadi peningkatan kemampuan menceritakan kembali pada siswa kelas III SDN 2 Botubilotahu Kabupaten Pohuwato menunjukkan hasil yang menggembirakan, hal ini ditunjukkan oleh capaian pada tabel 6. dalam konteks ini persentase peningkatan kemampuan menceritakan kembali mengalami peningkatan rata-rata menjadi 88% dari 3 aspek yang diamati. Capaian persentase yang cukup menggembirakan ditandai dengan beberapa fakta sebagai berikut. 1) partisipasi siswa dalam menceritakan kembali peristiwa memperlihatkan hasil yang menggembirakan bagi peneliti, dan rekan guru lainnya; 2) pembimbingan kepada siswa dalam kegiatan menceritkan kembali peristiwa sangat menarik ; 3) sebagian siswa semakin aktif dalam kegiatan pembelajaran; 4) sebagian siswa mulai berani maju tampil kedepan kelas; 4) sebagian siswa berebutan untuk ikut dalam menceritakan kembali peristiwa; 5) Siswa mulai berbicara dengan baik; 6) siswa dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan teman-teman yang lain, 7) keterampilan menceritakan kembali peristiwa sudah sesuai dengan harapan walaupun masih ada 2 orang anak yang perlu bimbingan. Dengan mencermati hasil capaian yang telah diperoleh anak secara eksplisit hipotesis penelitian tindakan kelas ini menyatakan bahwa ” Jika guru menerapkan
model
artikulasi
dalam
10
pembelajaran,
maka
kemampuan
menceritakan kembali peristiwa pada siswa kelas III SDN 2 Botubilotahu Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato meningkat” dapat diterima
Simpulan Dengan memperhatikan hasil analisis data dan pembahasan sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka peneliti menarik kesimpulan dari pelaksanaan tindakan penelitian tindakan kelas ini adalah sebagai berikut : Kemampuan menceritakan kembali peristiwa yang dicapai siswa dalam pelaksanaan tindakan pada siklus I belum menunjukkan hasil yang diharapkan karena siswa yang mendapatkan kriteria mampu rata-rata mencapai 67% sedangkan siswa yang memperoleh krteria kurang mampu mencapai 30%, begitu pula pada yang diperoleh siswa dalam kategori tidak mampu mencapai 3%. Pelaksanaan tindakan pada siklus II sudah mencapai target karena anak yang mempunyai anak yang mendapatkan kriteria mampu rata-rata mencapai 88% sedangkan siswa yang memperoleh krteria kurang mampu dengan persentase rata-rata mencapai 12%. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
yang
menyatakan Jika guru menerapkan model artikulasi dalam pembelajaran, maka kemampuan menceritakan kembali peristiwa pada siswa kelas III SDN 2 Botubilotahu Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato meningkat” dapat diterima. Saran Berdasarkan pembahasan dan simpulan di atas, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut: 1. Setiap pendidik hendaklah dapat melaksanakan penelitian tindakan kelas ini dengan menggunakan model artikulasi pada proses pembelajaran di
11
kelasnya, sehingga pencapaian mutu pendidikan dan pengajaran serta kualitas mengajar pendidik dapat terwujud. 2. Untuk penelitian tindakan kelas ini, kiranya pihak terkait dapat memberikan perhatian dan dukungan kepada para pendidik yang hendak melaksanakannya. 3. Mengingat pentingnya kemampuan berbicara, maka harus dibina sejak dini, Dengan demikian, kualitas berbicara anak akan berkembang dan keterampilannya dalam berbicara akan meningkat.
DAFTAR PUSTAKA Damiati dkk. 2003 Membaca dalam Teori dan Praktek. Bandung:Mutiara Tarigan, Henry Guntur. 2008. Berbicara sebagai suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Purwanto. 2003. Administrasi dan supervisi pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya Supratiknya. 2011. Materi Pokok Bahasa Indonesia I. Jakarta : Depdikbud PPTK
12