Menciptakan Alokasi Sumber Daya Nasional yang Efisien Melalui Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Yang Transparan, Akuntabel, dan Berkeadilan
ZÜtÇw Wxá|zÇ DESENTRALISASI FISKAL INDONESIA
1
Daftar Isi
Daftar Isi .................................................................................................................................. 2 Desentralisasi Fiskal di Indonesia ........................................................................................ 4 Visi, Misi & Matriks Kebijakan........................................................................................... 13 Tujuan 1: Ketimpangan Vertikal dan Horizontal yang Minimum................................ 22 Tujuan 2: Pendapatan dan Pembiayaan Daerah yang Efisien dan Efektif .................. 28 Tujuan 3: Siklus Dan Proses Belanja Daerah yang Efisien dan Efektif ......................... 32 Tujuan 4: Harmonisasi Belanja Pusat dan Daerah........................................................... 42 Desentralisasi EKonomi....................................................................................................... 52 Appendix: Perbandingan Internasional Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Daftar Tabel
Tabel 1 Grand Desain Desentralisasi: Aplikasi di Negara-Negara Lain ...................... 10 Tabel 2 Policy Matrix ........................................................................................................... 18 Tabel 3 Dana Perimbangan Tahun 2001 dan 2008 ........................................................... 22 Tabel 4 Komposisi Pendapatan dari Pemerintah Daerah 2001-2005............................. 29 Tabel 5 Perbandingan Belanja APBD Per Jenis Belanja................................................... 39
2
3
1
Desentralisasi Fiskal di Indonesia
1.1.
Pendahuluan
Indonesia memasuki era baru desentralisasi dalam waktu yang sangat cepat (Alm, Aten, dan Bahl 1999). Undang-undang No. 22 dan No. 25 tahun 1999 disusun dan ditetapkan dalam periode yang sangat singkat setelah jatuhnya pemerintahan Presiden Suharto, yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan termasuk dalam hal hubungan antar-tingkat pemerintahan. Pada pemerintahan Presiden Habibie selama periode 1998-1999, berbagai undang-undang yang mencerminkan paradigma baru tersebut disusun dan ditetapkan. Sementara itu, ronde kedua perumusan kebijakan desentralisasi yang ditandai oleh keluarnya Undang-undang No. 32 dan No. 33 tahun 2004. Hubungan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota ditata kembali. Secara spesifik, peranan pemerintah provinsi dikembalikan sebagai penghubung antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota. Desentralisasi fiskal merupakan salah satu implementasi dari paradigma hubungan pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 antara lain ditandai dengan dialokasikannya Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber daya alam yang berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak yang terbatas kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, amandemen undang-undang desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004 menitikberatkan kepada mekanisme pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah (Brodjonegoro 2004). Di sisi fiskal, UU No. 33 tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang dimiliki daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang menjadi sumber DAU. Perubahan kebijakan desentraliasi fiskal itu sendiri merupakan cerminan dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat daerah, praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat yang juga disebabkan oleh lambatnya reformasi pajak daerah. Meskipun telah dilakukan berbagai penyempurnaan kebijakan, desentralisasi fiskal di Indonesia masih mempunyai berbagai kelemahan dan kekurangan, baik dalam tataran konsep maupun implementasinya. Masih terdapat peraturan yang saling berbenturan satu sama lain, masih terdapat perbedaan pendapat maupun perebutan kewenangan antar level pemerintahan dalam pengelolaan fiskal daerah, ataupun masih sering terjadi multi-tafsir dalam implementasi kebijakan di daerah. Hal ini 4
disebabkan karena tidak adanya kesamaan persepsi mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia. Kesamaan persepsi inilah yang seharusnya diwadahi dalam suatu grand design desentralisasi fiskal. Harus diakui bahwa dua kali perumusan kebijakan desentralisasi fiskal Indonesia tidak dilakukan berdasarkan suatu grand design yang menjadi cetak biru jangka panjang pengaturan hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Perumusan kebijakan desentralisasi fiskal lebih diwarnai oleh rangkaian aspirasi jangka pendek yang dipicu oleh observasi terkini pada saat kebijakan tersebut dirumuskan. Perumusan kebijakan seperti ini seyogyanya tidak dipertahankan ke depannya. Perumusan kebijakan desentralisasi fiskal Indonesia harus didasarkan atas suatu grand design yang menjadi cetak biru dari hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Cetak biru ini memuat rangkaian bentuk ideal yang seyogyanya dicapai dalam jangka panjang. Cetak biru ini diharapkan pada akhirnya dapat menjadi bagian dari aturan perundang-undangan di Indonesia. Bentuk hukum formal ini diperlukan agar grand design ini dapat menjadi acuan bagi proses desentralisasi fiskal ke depan. Bentuk hukum formal dari grand design ini diharapkan tidak lebih rendah dari Undangundang. Lebih dari itu, perlu pula disadari grand design desentralisasi fiskal ini tidak saja menjadi acuan bagi satu kementrian saja di struktur Pemerintahan. Grand design ini pada hakekatnya harus menjadi acuan bagi beberapa Kementrian/Lembaga di Pemerintah Pusat, dan pada saat yang bersamaan menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah di Indonesia. Karena itu posisi Undang-undang yang nantinya memuat grand design ini dapat menjadi semacam undang-undang pokok yang seyogyanya dijadikan referensi bagi pembentukan undang-undang lainnya. Konsep Grand Design Desentralisasi Fiskal akan diawali dengan uraian mengenai perspektif hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah, yang dilanjutkan dengan elaborasi singkat mengenai arah jangka panjang dari pelaksanaan desentralisasi fiskal di negara lain. Selanjutnya, grand design ini akan mengurai secara detail perumusan visi dan misi kebijakan desentraliasi fiskal. Visi dan misi ini kemudian diterjemahkan ke dalam beberapa tujuan kebijakan serta strategi praktis yang harus dilakukan, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
1.2.
Peranan Pemerintah Daerah
Pemerintah adalah satu institusi yang dapat melakukan beberapa hal lebih baik dari swasta atau individu. Tiga hal yang relevan dengan keuangan negara adalah redistribusi pendapatan, penyediaan barang publik, dan perlindungan sosial (Gramlich 1990). Salah satu fungsi utama pemerintah adalah fungsi distribusi (Musgrave 1959). Kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkan distribusi pendapatan yang merata. Padahal, distribusi pendapatan yang (relatif) merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat secara umum. Karenanya, tugas pemerintah adalah memastikan bahwa terdapat pembagian pendapatan yang lebih merata di antara kelompok-kelompok masyarakat.
5
Selanjutnya, dalam sistem yang terdiri dari pemerintahan dengan beberapa tingkatan (multi-level government), pertanyaannya menjadi apakah yang menjadi tugas dari masing-masing tingkat pemerintahan yang berbeda dalam mencapai distribusi pendapatan yang lebih merata. Teori awal menjawab pertanyaan ini (yang belakangan disebut sebagai first-generation theory of fiscal federalism) menunjukkan bahwa pemerintah pusat seyogyanya memainkan peranan utama dalam melakukan redistribusi pendapatan (Oates 2005). Redistribusi pendapatan akan sangat sulit dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang menerapkan suatu sistem pajak progresif memang akan mendapatkan distribusi pendapatan yang lebih merata untuk daerahnya, tetapi kemungkinan besar terjadi dengan perginya kelompok masyarakat (dan dunia usaha) berpendapatan tinggi dari daerah yang bersangkutan. Sistem multi-level government juga biasanya memiliki aktifitas redistribusi yang lain, yaitu pemerataan fiskal (fiscal equalization). Prinsip utamanya adalah transfer dari daerah yang lebih kaya kepada daerah yang lebih miskin sedemikian hingga setiap daerah memiliki kemampuan yang kurang lebih sama untuk menyediakan sejumlah layanan publik. Jumlah dan kualitas layanan publik yang sama di setiap daerah sering menjadi kunci dari konsep pemerataan antar daerah. Namun demikian, bukan hanya jumlah transfer fiskal saja yang penting. Padovano (2007) juga mencatat pentingnya perbedaan pengadministrasian program redistribusi pendapatan di tingkat pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat dari sisi pemerintah pusat membedakan treatment redistribusi terhadap pemerintah daerah, dengan tujuan mendapatkan konsensus pemerintah daerah terhadap program pemerintah pusat (Alesina et al., 1999; Lockwood, 2002; Besley dan Coate, 2003). Ataupun dapat pula dilihat sebagai perbedaan strategi pemerintah daerah dalam mengadministrasikan program redistribusi (misalnya di Emerson, 1988). Berbeda dengan apa yang dikatakan Musgrave (1959) di atas, Buchanan (1974) menunjukkan bahwa redistribusi pendapatan juga dapat secara efektif jika dilakukan oleh pemerintah daerah. Kuncinya adalah dalam penyediaan barang publik lokal. Penyediaan barang publik oleh pemerintah biasanya dilandaskan atas sifat dari barang publik itu sendiri. Beberapa barang memiliki ciri non-exludability dan non-rivalry dalam konsumsinya. Mekanisme pasar menghadapi sifat optimal individu sebagai free rider yang pada gilirannya akan menyebabkan barang publik tidak akan tersedia dalam jumlah yang cukup. Buchanan (1974) menunjukkan bahwa dengan penyediaan barang publik yang dipadukan dengan adanya persaingan antar daerah, maka tingkat kesejahteraan masyarakat tidak akan terlalu jauh dari batas optimal Pareto. Alasan lain mengapa pemerintah perlu melakukan intervensi di perekonomian adalah untuk menyediakan perlindungan sosial. Masyarakat menginginkan adanya perlindungan sosial dari resiko kemiskinan di usia tua, resiko kesehatan, dan resiko pengangguran dalam jangka waktu lama. Gramlich (1990) menyatakan bahwa penyediaan skema perlindungan sosial akan lebih efisien dilakukan oleh pemerintah pusat. Ditambah lagi dengan kemungkinan terjadinya mobilitas orang antardaerah. Namun yang tidak boleh dilupakan juga adalah, seperti yang diuraikan di atas, bahwa literatur telah menunjukkan perlunya pembedaan pengadministrasian program redistribusi pendapatan di tingkat pemerintah daerah. Karena itu pemerintah daerah, dalam kerangka hubungan fiskal pemerintah pusat dan daerah, juga dapat menjadi agen perubahan dalam hal perlindungan sosial di masyarakat. 6
Dari sisi praktis, peranan pemerintah daerah di Indonesia dapat dianggap sangat dominan sejak digulirkannya era otonomi daerah pada tahun 2001. Sebagai implikasi dari pemberian kewenangan yang semakin luas kepada daerah, daerah dituntut untuk dapat secara mandiri melaksanakan pembangunan, baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaannya sesuai prinsip-prinsip otonomi daerah. Untuk mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pada dasarnya dilakukan dengan prinsip ”money follow function”. Dalam implementasinya, seiring dengan pelimpahan kewenangan Pusat kepada yang Daerah, kepada daerah diberikan sumber-sumber pendanaan, terutama melalui transfer yang jumlahnya cukup besar. Selaras dengan esensi otonomi daerah, maka besarnya sumber pendanaan untuk daerah tersebut juga dibarengi dengan diskresi yang luas untuk membelanjakannya sesuai kebutuhan dan prioritas daerah. Dengan demikian, diharapkan agar local government spending akan benar-benar bermanfaat dan menjadi stimulus fiskal bagi perekonomian di daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan belanjanya pada program dan kegiatan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (kepentingan publik), sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin.
1.3.
Elemen utama desentralisasi fiskal Indonesia
Satu hal penting yang harus dipahami oleh semua pihak, bahwa desentralisasi fiskal adalah instrumen, bukan suatu tujuan. Desentralisasi fiskal adalah salah satu instrumen yang digunakan oleh pemerintah dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian daerah maupun nasional. Melalui mekanisme hubungan keuangan yang lebih baik diharapkan akan tercipta kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaan pembangunan di daerah, sehingga akan berimbas kepada kondisi perekonomian yang lebih baik. Sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat. Hal penting lainnya yang juga harus dipahami oleh semua pihak, bahwa desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang didanai terutama melalui transfer ke daerah. Dengan desain desentralisasi fiskal ini maka esensi otonomi pengelolaan fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi (kebebasan) untuk membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan prioritas masingmasing daerah. Penerimaan negara tetap sebagian besar dikuasai oleh pemerintah Pusat, dengan tujuan untuk menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan berpijak pada dua hal tersebut di atas, strategi kebijakan dari grand design desentralisasi fiskal di Indonesia pada prinsipnya adalah bagaimana sistem yang ada saat ini dapat dikembangkan dan diperbaiki untuk disesuaikan dengan normatif dari kebijakan desentralisasi yang seharusnya dimunculkan. Dari perkembangan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia, terdapat empat elemen utama desentralisasi fiskal yang harus disempurnakan, yaitu 1) sistem dana perimbangan (transfer), 2) sistem pajak dan pinjaman daerah, 3) sistem administrasi dan anggaran
7
pemerintahan pusat dan daerah, serta 4) penyediaan pelayanan publik dalam konteks penerapan SPM. Arah dari kebijakan desentralisasi diharapkan dapat menghindari kegagalan dari sistem desentralisasi (Prud’homme 1995), yaitu praktek kebijakan desentralisasi yang justru menciptakan inefisiensi dari perekonomian. Mekanisme atau desain dari desentralisasi fiskal yang dapat memperparah inefisiensi suatu perekonomian, misalnya terjadi ketika sistem transfer justru menimbulkan kondisi soft budget constraint, terciptanya local capture yang melemahkan akuntabilitas dari sistem pemerintahan pada tingkatan yang lebih rendah, serta kondisi low transaction costs di tingkat lokal tidak terpenuhi.1 Sistem Dana Perimbangan Masalah strategis pada desentralisasi fiskal di Indonesia adalah pada sistem transfer antar tingkat pemerintahan. Transfer dari pemerintah pusat pada prakteknya masih merupakan sumber pembiayaan dominan pada sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia. Sampai saat ini, penerapan sistem transfer di Indonesia di cirikan oleh: 1) Sering adanya perubahan formula untuk block grants (DAU) dan juga conditional grants DAK, 2) Peningkatan cakupan sektor dari dana bagi hasil (DBH) dan penerapan earmarked pengeluaran dari alokasi DBH yang diterima oleh daerah, dan 3) Perubahan total alokasi block grants DAU dan DAK, serta 4) belum adanya hubungan antara transfer dan expenditure assignments atau dalam hal ini target pencapaian SPM (standar pelayanan minimum). Sistem Pajak Lokal dan Pinjaman Daerah Pembatasan otonomi dari segi penerimaan cenderung berimplikasi pada penetapan retribusi baru, dan juga untuk beberapa daerah, pembatasan atau penundaan mekanisme penerusan pinjaman luar negeri, tidak berarti tidak adanya praktek defisit anggaran. Kondisi yang ada di Indonesia, pemerintah daerah di Indonesia cenderung menetapkan berbagai jenis retribusi untuk mengurangi keterbatasan jenis pajak yang berada di bawah kebijaksanaan pemerintah daerah (Lewis 2003). Praktek penetapan berbagai retribusi oleh pemerintah daerah untuk mengatasi keterbatasan penerimaan dari pajak daerah bukan merupakan kejadian yang hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara lain di mana pemerintah daerahnya memiliki otonomi pajak yang relatif rendah juga mengalami peningkatan praktek adopsi retribusi untuk menghasilkan pendapatan tambahan (Bryson 2008). Namun, apakah keleluasaan untuk menentukan tarif pajak atau perluasan pajak daerah vis a vis penurunan alokasi transfer akan mendapatkan dukungan dari daerah, sangat tergantung dari kondisi awal keuangan publik daerah dan juga
1 Tingginya transaction costs bisa diakibatkan dari misalnya tingginya uncertainty dari penetapan kebijakan pemerintah daerah yang berubah-ubah, dikarenakan tata perundangundangan yang masih dalam taraf pembenahan serta lemahnya enforcement; biaya finansial atau administrasi yang lebih tinggi diakibatkan lemahnya kapasitas daerah; serta akibat dari informasi yang terpusat ataupun ekslusif untuk setiap daerah sehingga tidak ada pembelajaran dari best practices.
8
konsensus politik. 2 Pengalaman negara-negara lain menunjukkan pemerintah daerah dengan ketergantungan tinggi pada dana transfer lebih memilih "status quo" dalam penerimaan pembiayaan dari pemerintah pusat (Inanga dan Osei Wusu 2004). Sementara itu, dari sisi pinjaman daerah, perubahan regulasi dalam bentuk peningkatan batasan defisit anggaran daerah (dan juga batasan akumulasi pinjaman), kemungkinan menandakan bahwa fiskal disiplin belum sepenuhnya berjalan, atau terbatasnya sumber penerimaan untuk penyediaan barang publik, menyebabkan beberapa daerah memiliki anggaran defisit.
Administrasi Pusat dan Penganggaran Daerah Isu tentang desentralisasi fiskal tidak hanya terbatas pada sistem penerimaan untuk pemerintah daerah, yaitu sistem transfer dan revenue assignments, tetapi juga menyangkut efisiensi dari pengeluaran pemerintah. Efisiensi pada bagian pendapatan tidak akan efektif jika tidak ada disiplin fiskal dari pengeluaran pemerintah dan peningkatan efisiensi pengelolaan anggaran pusat dan daerah. Kebijakan penganggaran pada pemerintahan pusat dan daerah merupakan reformasi yang relatif baru dilakukan untuk kasus Indonesia (Harun 2007). 3 Perubahan terbaru pada proses administrasi penganggaran di tingkat pusat dan daerah adalah menyatukan proses penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah, yang bertujuan untuk memperkuat 1) akuntabilitas dari pengeluaran (input), 2) keterkaitan dengan kinerja pemerintah (output), dan 3) keterkaitan dengan pancapaian peningkatan aspek kesejahteraan di masyarakat (outcome).
Penyediaan Layanan Publik dan Standar Pelayanan Minimum (SPM) Dalam konteks penyediaan layanan publik, otonomi luas untuk tingkat kabupaten/kota belum dikaitkan dengan skala ekonomis terkait dengan jenis pelayanan publik, hal yang sama terjadi pada pembagian kewenangan untuk propinsi, yang sampai saat ini lebih berfungsi sebagai lapisan representasi unit dan fungsi pemerintah pusat pada tingkat lokal. Untuk itu, terkait dengan isu pemekaran wilayah, kriteria benefit costs dari kebijakan pemekaran juga tidak disertai oleh kebijakan pemerintah pusat untuk tetap mendasarkan administrasi pelayanan berdasarkan cakupan skala ekonomis dari pelayanan publik yang terkait.
2 Daerah dengan kapasitas perpajakan tinggi, mengacu pada sumber daya alam yang melimpah besar atau basis pajak yang luas, cenderung akan melobi pemerintah pusat untuk memperluas otonomi pajak, sementara pemerintah daerah yang memiliki ketergantungan terhadap dana transfer relatif tinggi cenderung akan mempertahankan sistem dana perimbangan yang dominan. 3 Tahap pertama desentralisasi, mengacu pada penerapan UU No 22 dan 25 tahun 1999, belum mencakup urusan administrasi penganggaran dan pengeluaran.
9
Penyediaan layanan publik melalui penerapan SPM seyogyanya mengkaitkan antaran batasan sumberdaya dan penetapan target SPM sektor (Martinez-Vazquez et al. 2004, Brodjonegoro 2004). Pengaturan standar pelayanan minimum (SPM) adalah langkah pemerintah pusat untuk mempertahankan kesamaan akses pada penyampaian layanan dasar, sehingga, konsep penerapan SPM harus juga mempertimbangkan diskresi bagi pemerintah daerah.4 Namun demikian, konsep desentralisasi penyediaan barang publik yang disesuaikan preferensi lokal, juga berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan dalam akses dan kualitas pelayanan publik (Joumard dan Giorno 2005).
1.4.
Penetapan Grand Design di Negara Lain
(Hal ini mungkin tidak perlu disampaikan karena justru akan memperlemah argumentasi diperlukannya Grand Design Desentralisasi Fiskal di Indonesia, karena toh tidak banyak negara yang membuatnya)
Dari kajian dan informasi yang dapat diperoleh, seperti terlihat di Tabel 1, aplikasi dari Grand Design ataupun dokumen sejenis lainnya yang menjabarkan framework kebijakan desentralisasi suatu negara umumnya dapat berbentuk sebagai bagian kebijakan jangka pajang negara seperti yang terjadi di Korea, dicantumkan dalam nota keuangan tahun berjalan seperti yang terjadi di Ireland, ataupun bagian dari perubahan besar konstitusi seperti dicontohkan oleh Afrika Selatan, ataupun bagian dari perundang-undangan mengenai desentralisasi yang umumnya dirumuskan pada awal adopsi kebijakan desentralisasi. Tabel 1 Grand Desain Desentralisasi: Aplikasi di Negara-Negara Lain Negara
Bentuk Naskah
Institusi
Tahun di Tetapkan dan Jangka Waktu
Koreaa
Cetak Biru (tergabung dalam Dokumen Rencana Jangka Panjang Nasional)
Disusun oleh Komite di bawah Presiden
2004
Japanb
Package Promoting Decentralization Act
2000
4 Namun, Wrede (2006) berpendapat bahwa keseragaman peraturan pada sistem terpusat dipandang sebagai kelemahan sentralisasi karena preferensi lokal cenderung bervariasi, sebenarnya adalah sebuah alat untuk membuat pemerintah pusat akuntabel. Dengan demikian, keseragaman penyediaan barang publik akan menjadi pendekatan yang lebih efektif secara kelembagaan.
10
Irelandc
Decentralisation Blueprint (bagian dari 2003 Budget)
Afrika Selatan
Konstitusi
Namibia
UU
3 members of government – low key approach
2003
1996 Directorate Decentralisation Coordination
1997
Sumber: a.http://16cwd.pa.go.kr/cwd/en/archive/archive_view.php?meta_id=en_speeches&navi=president&id=015560845 75392ca4a2df672; b. Yagi (2004); c. Irish Times (2007);
Dalam konteks Grand Design Desentralisasi Fiskal Indonesia, yang patut diperhatikan adalah keterkaitan dokumen ini dengan dokumen kebijakan lainnya yang menyangkut arah dari desentralisasi. Hal ini dimaksudkan untuk membuat framework dengan cakupan seluas mungkin (broad) mengenai kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia dalam jangka yang lebih panjang dan juga menetapkan kesesuaian pencapaian tujuan dengan kerangka besar yaitu visi dan misi dari tujuan desentralisasi fiskal.
Referensi Alm, J., R. H. Aten, and R. Bahl. (2001). “Can Indonesia decentralise successfully? Plans, problems and prospects”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 37, no.1: 83102. Alesina, A., Danninger, S., dan Rostagno, M (1999). “Redistribution Through Public Employment: The Case of Italy” Working Paper of the IMF, no. 177 Besley, T. dan Coate, S. (2003). “Central Versus Local Provision of Public Goods: A Political Economy Analysis” Journal of Public Economics 87, hal. 2611-2637. Brodjonegoro, B. (2004). Three Years of Fiscal Decentralization in Indonesia: Its Impacts on Regional Economic Development and Fiscal Sustainability. Hitotsubashi Conference. Bryson, P. J. (2008). "User Fees in Local Finance: Performance and Potential in the Czech Republic and Slovakia." Eastern European Economics 46(2): 5. Buchanan, James M. (1974). “Who Should Distribute What in a Federal System?” dalam Hochman dan Peterson (eds.), Redistribution Through Public Choice, New York, Columbia University Press. Departemen Keuangan. (2007). Municipalities’ Budget Realizations 1994-2005, available at Indonesian Ministry of Finance website at http://www.sikd.djapk.go.id/. Emerson, M. (1988). What Model for Europe?, Cambridge, MIT Press.
11
Gramlich, Edward M. (1990). “The Economics of Fiscal Federalism and Its Reform” dalam Swartz dan Peck (eds.), The Changing Face of Fiscal Federalism, Armonk, NY, M.E. Sharpe, Inc. Harun (2007). "Obstacles to Public Sector Accounting Reform in Indonesia." Bulletin of Indonesian Economic Studies 43(3): 365. Inanga, E. L. and D. Osei-Wusu (2004). "Financial Resource Base of Sub-national Governments and Fiscal Decentralization in Ghana." African Development Review 16(1): 72. Lewis, B.D. (2003). Tax and Charge Creation by Regional Governments under Fiscal Decentralisation: Estimates and Explanations, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(2): 177-192 Lockwood, B (2002). “Inter-Regional Insurance” Journal of Public Economics 72, hal 137. Martinez-Vazquez, J., J. Boex, and G. Ferrazzi. (2004). Linking Expenditure Assignments and Intergovernmental Grants in Indonesia. ISP Working Paper 04-05, AYSPS, Georgia State University. Musgrave, Richard M. (1959). The Theory of Public Finance, New York, McGraw-Hill. Oates, William E. (2005). “Toward a Second Generation Theory of Fiscal Federalism”, International Tax and Public Finance 12, hal. 349-73. Padovano, Fabio (2007). The Politics and Economics of Regional Transfers, Massachusetts, Edward-Elgar. Prud’homme, R. (1995). “On the Dangers of Decentralization”, Research Observer 10, 201-220. Irish Times (2007). “Decentralisation Review Necessary”
12
2
Visi, Misi & Matriks Kebijakan
Desentralisasi fiskal adalah salah satu bagian dari proses desentralisasi yang terjadi di Indonesia. Di samping desentralisasi fiskal masih terdapat desentralisasi politik, desentralisasi administrasi dan desentralisasi ekonomi. Desentralisasi politik telah berlangsung dengan sudah beralihnya sebagian kekuasaan politik kepada pemerintah daerah dimana kepala daerah dan anggota DPRD sudah dipilih secara langsung. Desentralisasi administrasi sudah terwujud melalui pengalihan sebagian besar kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah sehingga praktis sebagian besar pelayanan masyarakat dilakukan oleh pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal sendiri juga sudah berlangsung sejak tahun 2001 dengan pengalihan dana ke daerah dalam jumlah besar. Proses ketiga jenis desentralisasi tersebut masih akan terus berlanjut dan masyarakat akan menuntut lebih jauh untuk melihat bukti bahwa terjadinya desentralisasi memang akan membawa perbaikan kesejahteraan buat mereka. Karenanya desentralisasi ekonomi adalah tahapan berikut dari proses desentralisasi di Indonesia dimana daerah dituntut untuk lebih bertanggung jawab terhadap permasalahan ekonomi lokal sekaligus mengoptimalkan potensi ekonomi yang dimilikinya sehingga memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keempat jenis desentralisasi tersebut akan saling terkait dan tidak dapat terlepas antara satu dengan yang lainnya. Keempatnya harus dibingkai dalam suatu konsep grand design yang utuh. Untuk mempersiapkan grand design yang komprehensif tersebut maka masing-masing jenis desentralisasi juga harus mempunyai konsep yang jelas dalam jangka panjang, yang dirangkai dalam suatu penjabaran visi, misi, tujuan dan strategi yang jelas dan tersinergi satu dengan yang lainnya. Dalam kaitan itulah, grand design desentralisasi fiskal ini disusun dengan jangkauan menuju desentralisasi fiskal tahun 2030. Visi Desentralisasi Fiskal Indonesia (menuju tahun 2030) ialah:
Alokasi Sumber Daya Nasional Yang Efisien Melalui Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Yang Transparan dan Akuntabel
13
Karena desentralisasi fiskal berbicara mengenai sumber daya yang didesentralisasikan sedangkan sumber daya adalah barang yang terbatas, maka salah satu faktor yang sangat penting adalah prinsip alokasi yang efisien. Sumber daya nasional yang sebelumnya lebih banyak dikuasasi oleh pusat diserahkan kepada daerah. Efisiensi menjadi kunci karena sifat sumber daya yang senantiasa terbatas akan menuntut strategi pengalokasian dan penggunaan yang jitu sehingga dapat seoptimal mungkin memberikan manfaat bagi pembangunan dan perekonomian. Selain itu untuk menjamin tercapainya azas adil dan bersih, maka hubungan fiskal antara Pusat dan daerah harus transparan dan akuntabel. Transparan mengandung maksud untuk menjaga obyektifitas pencapaian tujuan pengalokasian dan penggunaannya. Sementara akuntabel mengandung pengertian bahwa setiap bentuk pengalokasian dan penggunaan sumber daya nasional dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, sebagai “pemilik” dari sumber daya nasional tersebut. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya akan berhenti di lembaga legislatif di pusat maupun daerah, namun lebih jauh kepada setiap individu karena setiap kepala pemerintahan, baik pusat, propinsi, kabupaten/kota telah dipilih secara langsung oleh masyarakat.
Untuk menjabarkan visi tersebut, maka ditetapkan beberapa misi yang harus dicapai, sebagai berikut:
1. Mengembangkan hubungan keuangan pusat dan daerah yang meminimumkan ketimpangan vertikal dan horizontal 2. Mengembangkan sistem pajak daerah yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien 3. Mengembangkan keleluasaan belanja daerah yang bertanggung jawab untuk mencapai standar pelayanan minimum 4. Harmonisasi belanja pusat dan daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal
Misi pertama adalah menyeimbangkan hubungan Pusat dan daerah sehingga tidak terdapat lagi kesenjangan fiskal yang besar. Ketimpangan vertikal yang minimum berarti pusat memberikan perhatian dan apresiasi kepada daerah sebagai penghasil sumber daya, sehingga tercipta keharmonisan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Ketimpangan horizontal yang minimum mempunyai pengertian bahwa pola hubungan keuangan yang terbangun akan menciptakan kapasitas fiskal yang relatif seimbang antar-daerah, untuk menjamin pencapaian standar pelayanan minimum yang dapat dimanfaatkan oleh setiap lapisan masyarakat. Secara umum, yang ingin dituju adalah daerah mempunyai sumber daya fiskal yang cukup signifikan untuk menunjang tugas otonominya tanpa membuat pusat kekurangan sumber daya fiskal untuk menjalankan fungsinya sebagai pemerintah negara kesatuan.
14
Selain mencapai keseimbangan fiskal, perlu adanya penguatan pajak daerah tanpa merusak prinsip efisiensi secara nasional; inilah yang dijadikan misi kedua. Meskipun desain desentralisasi fiskal di Indonesia bertumpu pada desentralisasi di sisi pengeluaran yang didanai melalui transfer ke daerah, local taxing power tetap harus dijaga. Namun demikian, penguatan pajak daerah tidak dimaksudkan untuk menjadikan penerimaan pajak daerah sebagai pendapatan yang dominan di daerah. Pajak daerah lebih dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi akuntabilitas fiskal daerah, karena ada pungutan-pungutan yang akan langsung dilakukan oleh pemerintah daerah. Misi yang kedua ini juga bertumpu pada prinsip efisiensi sumber daya fiskal. Daerah yang mempunyai kekuatan fiskal yang memadai harus mempunyai orientasi belanja pembangunan yang berkelanjutan. Keleluasaan belanja ini jangan sampai berjalan tanpa arah sehingga menimbulkan inefisiensi dan mengabaikan kesejahteraan rakyat. Menjadikan Standar Pelayanan Minimum (SPM) sebagai tolak ukur rata-rata minimum nasional bagi daerah merupakan salah satu indikator yang terukur dan objektif, sehingga hal ini dianggap penting untuk dijadikan misi yang ketiga. SPM harus dijadikan sebagai acuan dalam penyusunan anggaran daerah, bersama-sama dengan penerapan standar analisa belanja secara konsisten. Misi yang ketiga ini akan menjadi kunci bagi penilaian keberhasilan pengelolaan keuangan di daerah. Dengan berpatokan pada SPM, masyarakat akan secara lebih mudah melihat dan menilai sejauh mana keberhasilan pemerintah daerah yang bersangkutan dalam menyelenggarakan layanan-layanan yang menjadi hak dasar masyarakat. Di saat yang sama dengan penguatan pajak daerah dan keleluasaan belanja daerah, Pusat juga mempunyai kewajiban dan wewenang untuk menjalankan programprogram nasional terutama pada bidang yang menjadi prioritas pembangunan nasional. Hal ini jelas penting karena keberagaman daerah di Indonesia membuat potensi ketimpangan horizontal yang besar. Selain itu, adanya program nasional dan program daerah juga berpotensi terjadinya pengulangan dan belanja yang berlebihan (over-supply) untuk bidang tertentu dan belanja yang kurang (undersupply) di bidang lainnya. Hal ini perlu dihindari dengan membuat Misi yang ke empat, yaitu adanya harmonisasi belanja Pusat dan daerah demi mencapai pelayanan publik yang optimal. Satu hal yang perlu dicermati dalam harmonisasi ini adalah bahwa semua bentuk belanja tersebut harus berangkat dari kejelasan tugas dan kewenangan masing-masing level pemerintahan. Desentralisasi fiskal yang benar tidak akan berhenti pada aspek fiskal saja, tetapi justru tujuan besarnya adalah mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Ekonomi daerah yang kuat akan mempermudah proses desentralisasi fiskal yang bersih dan sehat, karena sumber daya fiskal mencukupi untuk daerah dan pusat. Jika ekonomi daerah lemah, maka problem desentralisasi fiskal akan didominasi oleh permasalahan kekurangan dan perebutan sumber daya, bukan pada tujuan untuk menyediakan layanan publik yang memadai dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itulah dalam bagian akhir konsep grand design ini juga dipaparkan keterkaitan antara desentralisasi fiskal dengan desentralisasi ekonomi.
15
Gambar 1. Fondasi dan pilar pencapaian visi dan misi Grand Design Desentralisasi Fiskal
VISI VISI Alokasi Alokasi sumber sumber daya daya nasional nasional yang yang efisien efisien melalui melalui hubungan hubungan keuangan keuangan pusat pusat dan dan daerah daerah yang yang transparan transparan dan dan akuntabel akuntabel MISI 1, MISI 2, MISI 3, MISI 4, MISI 5
Kerjasama - Pusat, Propinsi, Kota/Kabupaten-
Untuk mencapai visi dan misi tersebut, setiap pemangku kepentingan baik di pusat maupun daerah harus memahami fondasi dan pilar-pilar yang harus dimiliki dan dikembangkan secara terus menerus. Terdapat lima pilar yang yang menjadi faktor penting dalam implementasi misi-misi guna mendukung pencapaian visi, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1. Kelima pilar tersebut adalah sumber daya manusia, kelembagaan, sistem informasi, kebijakan dan pengetahuan. Sumber daya manusia akan menjadi faktor pertama yang harus dibenahi. Sumber daya manusia yang merupakan faktor imperatif yang harus memadai tidak saja dari segi kuantitas namun juga kualitasnya. Pembenahan faktor sumber daya manusia tidak akan berhenti pada aparat pemerintahan di pusat dan daerah namun juga legislatif maupun masyarakat secara keseluruhan. Hal ini sangat diperlukan karena semua pemangku kepentingan akan mempunyai andil terhadap keberhasilan pencapaian misi dan visi. Pilar yang kedua adalah kelembagaan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sumber daya manusia yang mencukupi dan mumpuni hanya akan dapat berfungsi secara baik apabila diwadahi dalam sistem kelembagaan yang tertata rapi. Kejelasan struktur kelembagaan dan tanggung jawab masing-masing pihak akan menjadi kunci keberhasilan pembenahan kelembagaan. Sistem informasi yang baik merupakan kelemahan mendasar pada negara-negara berkembang. Sistem informasi masih dinomorduakan, bahkan seringkali terjadi sumber daya manusia yang bekerja di bidang penyelenggaraan informasi ini merupakan orang-orang yang terpinggirkan. Hal ini tidak boleh terjadi dalam pengembangan grand design desentralisasi fiskal di Indonesia, karena sistem informasi justru akan menjadi landasan dari berbagai kebijakan yang diambil.
16
Informasi yang jelek akan menghasilkan kebijakan yang jelek, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, sistem informasi harus menjadi salah satu pilar yang menyangga pencapaian visi dan misi grand design desentralisasi fiskal di Indonesia. Pengambilan kebijakan melalui regulasi harus terus dibenahi. Kebijakan umum mengenai desentralisasi fiskal terutama dilakukan oleh pemerintah pusat sebagai regulatornya. Hal utama yang harus dibenahi adalah ketidakserasian peraturan yang dikeluarkan oleh beberapa unit yang berbeda-beda sehingga justru membingungkan dalam implementasinya. Satu hal penting yang harus diperhatikan adalah ketaatan pada peranan yang diemban oleh masing-masing pengambil kebijakan, sehingga tidak justru saling mengambil peranan antar-unit. Kebijakan ataupun regulasi ini merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan visi dan misi grand design ini, karena tidak akan ada implementasi yang baik apabila kebijakannya juga tidak tepat. Pilar yang terakhir adalah pengetahuan atau know how. Implementasi desentralisasi fiskal akan berhasil dengan baik apabila semua pemangku kepentingan yang terlibat mempunyai pengetahuan yang relatif sama, sesuai dengan porsinya masing-masing. Kebijakan yang disusun dengan baik tidak akan berhasil diimplementasikan apabila pihak yang terkait tidak mempunyai pengetahuan yang cukup atas kebijakan itu sendiri. Pengetahuan ini tidak hanya terbatas pada aparan pemerintahan, namun juga harus menyentuh masyarakat luas. Dengan pemahaman yang baik di semua lini dan aspek, diharapkan tidak akan muncul tuntutan-tuntutan “aneh” yang justru akan mendistorsi implementasi desentralisasi fiskal, seperti misalnya tuntutan pendaerahan semua bentuk pajak pusat atau tuntutan pembagian hasil laba BUMN. Secara bersama-sama, kelima pilar tersebut harus dipersiapkan dan terus dibenahi untuk mendukung pencapaian visi dan misi yang telah ditetapkan. Pembenahan atau penguatan kelima pilar tersebut harus terkoordinasi dengan baik dan tidak berjalan sendiri-sendiri. Sebagai fondasi dari lima pilar tersebut adalah kerjasama yang baik diantara pihak-pihak yang terkait, baik di Pusat maupun Daerah. Setiap misi mempunyai tujuan dan strategi serta rencana aksi yang harus dicapai dalam jangka waktu tertentu. Sebagai summary dari tujuan, strategi dan rencana aksi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 matrik kebijakan di bawah ini. Dalam matrik tersebut dijabarkan secara lebih detail strategi dari tiap-tiap tujuan serta rencana aksi pada jangka yang paling pendek yaitu sampai dengan tahun 2015. Rencana aksi tentunya akan terus berkembang sesuai kondisi dan menyesuaikan dengan keadaan eksternal, namun dengan tetap berpegang pada tujuan dan strategi yang telah ditetapkan sehingga akan mendukung pencapaian misi dan visi yang ingin dicapai pada tahun 2030.
17
Tabel 2 Matrik Kebijakan
TUJUAN 1 : KETIMPANGAN VERTIKAL DAN HORIZONTAL YANG MINIMUM STRATEGI 1. Sistem yang adil, transparan dan akuntabel
Rencana Aksi ke 2015 Meningkatkan proporsi DAK dalam alokasi dana perimbangan dengan tidak mengurangi diskresi daerah secara signifikan.
2. Dana Perimbangan untuk memenuhi pencapaian standar pelayanan minimum pemerintah daerah Memperbaiki transparansi dan akuntabilitas sistem transfer.
3. Pengeluaran dari berbagai tingkat pemerintahan yang Menentukan pembagian tugas dan hak yang jelas antara pusat sesuai dengan pembagian kewenangan dan daerah dalam pelaksanaan DAK. 4. DAK difokuskan pada prioritas nasional dan fungsi Menetapkan dan membatasi prioritas sektoral untuk DAK yang didesentralisasikan 5. DBH untuk mengurangi ketidakseimbangan vertikal Menata sistem pengawasan dan evaluasi DAK. dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal nasional 6. DAU difokuskan untuk mengurangi kesenjangan *Memperbaiki skema distribusi DBH SDA dan DBH Pajak agar horisontal dengan tetap menjaga keseimbangan vertikal lebih merata dalam satu periode anggaran. 7. Kebutuhan fiskal yang terukur dari setiap tingkat *Menghilangkan tumpang tindih pengeluaran pemerintah pemerintahan dan kesenjangan fiskal yang terukur pusat (anggaran kementerian, dana dekonsentrasi, dan tugas pembantuan) dengan urusan yang sudah didesentralisasikan. *Memperbaiki formula DAU dengan memperhatikan ASB dan menghilangkan alokasi dasar (belanja pegawai).
18
TUJUAN 2 : PENDAPATAN DAN PEMBIAYAAN YANG EFISIEN DAN EFEKTIF STRATEGI 1. Pajak pusat dan daerah yang harmonis 2. Local taxing power yang lebih optimal
Rencana Aksi ke 2015 Intensifikasi dan ekstensifikasi PPN untuk pajak pusat dan memberikan kewenangan pajak untuk daerah yang siap.
Perubahan penamaan beberapa pajak daerah yang sebenarnya 3. Pajak daerah yang tidak distortif terhadap perekonomian adalah PPN sebagai penyesuaian dengan karakteristik pajak daerah tersebut. Dalam jangka panjang basis pajaknya menjadi basis pajak yang dikelola daerah. 4. *Peran pinjaman daerah yang meningkat untuk pembiayaan infrastruktur dasar perkotaan. Mempercepat pengalihan PBB perkotaan dan perdesaan menjadi pajak daerah (dari rencana masa pengalihan 5 tahun menjadi 3 tahun). Penguatan pajak daerah melalui regrouping dengan basis pajak nasional, contohnya opsen dari PPh. Memberlakukan Pajak Pengelolaan Usaha (business tax) yang merupakan penggabungan semua jenis retribusi perizinan di daerah di dalam sistem OSS (pelayanan satu pintu). *Mempersiapkan daerah-daerah yang potensial untuk dapat menerbitkan obligasi daerah sesuai dengan persyaratan yang berlaku.
19
TUJUAN 3 : SIKLUS DAN PROSES BELANJA DAERAH YANG EFISIEN DAN EFEKTIF STRATEGI
Rencana Aksi ke 2015
1. Perbaikan ASB secara berkelanjutan melalui regulasi Review dan pemetaan kesiapan daerah untuk menerapkan dalam rangka menuju ASB yang rinci, rasional, dan Medium Term Expenditure Framework (MTEF) dapat digunakan Membuat standar ASB oleh pemerintah pusat berkoordinasi 2. Membuat dan memperkuat peraturan yang mengaitkan dengan daerah terutama daerah yang siap. anggaran dengan pelayanan dasar (SPM) 3. Menentukan skala prioritas berdasarkan kombinasi Menggunakan ASB dalam pengalokasian belanja daerah untuk mencapai SPM pendekatan perencanaan bottom-up dan top-down DAK dialokasikan berbasis MTEF Menyusun standar evaluasi pelaksanaan MTEF Harmonisasi siklus budget antara pemerintah pusat dan daerah
20
TUJUAN 4 : HARMONISASI BELANJA PUSAT DAN DAERAH STRATEGI
Rencana Aksi ke 2015
Pemda membangun sistem basis data keuangan daerah yang 1. Meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan terintegrasi dengan SIKD daerah melalui pelibatan masyarakat 2. Melaksanakan evaluasi secara reguler terhadap Evaluasi terhadap dokumen perencanaan tahunan daerah yang dokumen perencanaan tahunan daerah yang dimulai dimulai dari sektor yang memberikan pelayanan dasar. dari sektor yang memberikan pelayanan dasar Simplifikasi dokumen evaluasi perencanaan daerah untuk 3. Mewajibkan setiap Pemda membangun sistem basis efisiensi prosedur evaluasi data perencanaan pembangunan 4. Penguatan peran institusi perencana di tingkat nasional Karena DAK mencerminkan prioritas nasional, Pemda dalam mengkoordinasikan dan menyelaraskan menyelaraskan belanja daerah dalam memenuhi prioritas nasional melalui DAK perencanaan seluruh tingkatan pemerintahan 5. Melakukan evaluasi tahunan terhadap pencapaian SPM
21
3
Tujuan 1: Ketimpangan Vertikal dan Horizontal yang Minimum
Kebijakan desentralisasi fiskal yang pelaksanaannya dimulai pada tahun 2001 bertumpu pada alokasi pusat kepada daerah yang dikenal sebagai dana perimbangan. Selama 8 (delapan) tahun berjalannya desentralisasi fiskal, telah dialokasikan secara signifikan dana perimbangan ke daerah, dalam bentuk dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) dan dana bagi hasil (DBH), baik yang berasal dari pajak maupun sumber daya alam.
Dari data yang diperoleh, dapat ditunjukkan bahwa terjadi peningkatan secara signifikan jumlah yang dialokasikan ke daerah untuk semua jenis dana perimbangan, dimana peran DAU dalam dana perimbangan sangatlah menonjol, sedangkan peran DAK adalah yang terkecil terhadap dana perimbangan. Besarnya peran DAU dan juga DBH juga menunjukkan bahwa dalam era desentralisasi saat ini, pemerintah daerah memperoleh kepercayaan yang sangat besar dalam penggunaan dana transfer dari pusat, mengingat bahwa penggunaan kedua jenis dana perimbangan tersebut samasekali tidak diatur oleh pemerintah pusat.
Tabel 3 Dana Perimbangan, Tahun 2001 dan 2008
Kategori
2001
2008
(Milyar Rupiah)
(Milyar Rupiah)
DAU DAK DBH Total
60.345,8 700,9 20.007,7 81.054,4
Perubahan 179.507, 15 21.202,14 62.671,38 263.370, 67
(skala)
1,97 29,25 2,13 2,25
Sumber : Diperoleh dari data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Depkeu.
Dana Alokasi Umum (DAU) DAU merupakan dana perimbangan yang pengurangan kesenjangan fiskal antar daerah. mengalokasikan DAU sudah tepat untuk memperhitungkan dua aspek sekaligus, yaitu
memiliki tujuan utama adalah Konsep kesenjangan fiskal untuk diadopsi di Indonesia, karena kebutuhan dan juga kemampuan 22
fiskal pemerintah daerah. Formula DAU mungkin berbeda dengan model alokasi IRA (Internal Revenue Allotment) yang merupakan dana transfer di Filipina yang dimana alokasi transfer hanya didasarkan kebutuhan fiskal saja; yaitu menggunakan variabel luas wilayah dan jumlah penduduk. Formula DAU juga mungkin berbeda dengan alokasi transfer di Kanada yang alokasi transfernya hanya berdasarkan kemampuan pemungutan pajak daerah (sisi kapasitas fiskal daerah ) saja. Kondisi saat ini. Dalam UU no.33/2004 telah dinyatakan dengan tegas bahwa DAU dibagikan dengan formula yang didasarkan atas alokasi dasar dan kesenjangan fiskal (fiscal gap). Alokasi dasar ditetapkan terutama berdasarkan besarnya belanja pegawai, sedangkan kesenjangan fiskal dihitung dari selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Dengan masih adanya peran belanja pegawai, mendorong pemerintah daerah untuk terus menambah jumlah pegawainya, terlepas dari pertimbangan efisiensi pegawai. Selain itu, keberadaan variabel belanja pegawai dalam formula DAU dianggap pula sebagai pencetus motivasi untuk melakukan pemekaran daerah, karena bagi daerah otonom baru sebagai hasil pemekaran, mereka akan otomatis membutuhkan pegawai yang pembiayaannya dijamin oleh alokasi DAU. Sementara itu, perhitungan kebutuhan fiskal pada saat ini belum dilakukan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan belanja yang sesungguhnya, melainkan masih menggunakan beberapa variabel pendekatan (proxy variables), diantaranya adalah: jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kondisi yang diharapkan. 1) DAU harus mampu mengatasi ketimpangan horizontal yang sampai saat ini masih cukup tinggi, sebagai akibat adanya kebijakan-kebijakan yang justru mendistorsi formulasi DAU untuk mencapai tujuan tersebut, seperti holdharmless policy dan penggunaan belanja pegawai sebagai variabel. 2) Penilaian kebutuhan fiskal dalam formulasi DAU tidak lagi menggunakan proxy, namun telah menggunakan alat ukur yang lebih mencerminkan kebutuhan riil tiap-tiap daerah. 3) Penghitungan DAU dilakukan oleh lembaga yang independen yang terlepas dari berbagai macam kepentingan politik. Pembagian DAU bukan dari kepentingan politik tetapi kepentingan daerah dalam pengertian yang sebenarnya yaitu kepentingan pemenuhan kebutuhan pelayanan minimum. Penjabaran startegi. Formulasi penghitungan DAU harus diarahkan kembali untuk mengatasi ketimpangan horizontal dan tidak dibebani tujuan-tujuan lain yang bersifat non teknis/politis. 1) Salah satu cara untuk menghindari campur tangan politik dalam penetapan DAU adalah dengan membentuk suatu lembaga independen yang melakukan penghitungan DAU. 2) Arah ke depan, penggunaan belanja pegawai sebagai variabel untuk alokasi DAU harus ditiadakan. 3) Selain itu, untuk mewujudkan perhitungan kebutuhan fiskal yang benar-benar didasarkan atas perhitungan belanja yang dibutuhkan daerah memang tidak mudah, setidaknya harus diperoleh kejelasan tentang ASB untuk setiap urusan yang didaerahkan, yang mempertimbangkan pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM). Atas dasar ini, maka diperlukan suatu kebijakan yang mendorong agar pemerintah daerah menggunakan ASB dalam pengalokasian belanja daerahnya untuk mencapai target SPM di daerah.
23
Dana Alokasi Khusus (DAK) DAK merupakan suatu bentuk transfer pusat guna mendanai kewenangan yang telah didesentralisasikan, yang juga sekaligus mengemban tugas untuk mendukung prioritas nasional. Sebagaimana terdapat di banyak negara lain, maka bentuk transfer yang bersifat specific grant akan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjaga keselarasan arah pembangunan nasional. Di samping itu, DAK di Indonesia juga mempunyai fungsi untuk menjembatani pencapaian standar pelayanan minimum secara nasional, yang berarti bahwa DAK selayaknya dilakosikan kepada daerah tertentu yang belum bisa mencapai kualitas standar nasional pelayanan publik sebagaimana yang diharapkan. DAK tidak dialokasikan kepada semua daerah, namun hanya kepada daerah tertentu yang mempunyai kondisi khusus. Kondisi saat ini. Semenjak dilakukannya kebijakan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, sangat dirasakan tidak jelasnya peran dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam membiayai otonomi daerah. Euforia terhadap desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun 2000 tampaknya mengakibatkan pengambil keputusan untuk lebih memberikan prioritas kepada alokasi dana transfer, seperti DAU dan DBH, yang memberikan diskresi yang luas bagi pemda untuk mengatur penggunaannya. Sebagai akibatnya, peran DAK yang dapat dijadikan stimulus tercapainya target pembangunan nasional dan mengedepankan eksternalitas dari pelayanan publik daerah menjadi terabaikan. Hal ini tampak dari alokasi DAK yang hanya sebesar 700,9 Milyar Rupiah pada tahun 2001. Alokasi DAK inipun pada dasarnya adalah alokasi dana reboisasi, yang seperti diamanatkan oleh Undang-undang pada saat itu (UU No.25/1999) sebagian didaerahkan kembali dalam bentuk alokasi DAK. Namun sejalan dengan waktu dan menguatnya kebutuhan untuk pemenuhan berbagai program prioritas nasional, maka peran DAK menjadi meningkat. Besarnya alokasi DAK pada tahun 2008 telah menjadi 21.202 Milyar Rupiah, suatu peningkatan sangat signifikan dibandingkan dengan alokasi DAK tahun 2001. Namun demikian, alokasi DAK yang pada saat ini hanya sebesar 8,05 % dari total dana perimbangan, relatif masih rendah peranannya dalam mendukung kebijakan desentralisasi fiskal. Selain itu, DAK masih dirasakan belum jelas arah dan kegunaannya. Seperti diketahui, jenis-jenis DAK saat ini meliputi 12 (dua belas) bidang, yaitu : Pendidikan, kesehatan, jalan,irigasi,air bersih, kelautan dan perikanan, pertanian, prasarana pemerintahan, lingkungan hidup,kependudukan dan kehutanan. Dengan demikian, jumlah alokasi DAK yang meningkat pada dasarnya terbagi atas alokasi untuk banyak bidang, sehingga efektivitas alokasi DAK per bidang menjadi sangat minimal. Kondisi yang diharapkan. Oleh karena itu, menjadi suatu urgensi bagi Indonesia untuk merumuskan kembali peran dari dana alokasi khusus (DAK) dalam mekanisme dana perimbangan. Arah yang benar adalah bahwa DAK menjadi instrumen utama dalam rangka mendorong pembangunan daerah untuk memenuhi berbagai prioritas pembangunan nasional. Oleh karena itu, besarnya alokasi DAK seyogyanya meningkat secara signifikan. Bila porsi DAK dalam dana perimbangan saat ini hanya sekitar 8,05%, maka di masa mendatang, untuk dapat menjadi alokasi DAK yang efektif bagi pemenuhan prioritas nasional, diharapkan dapat meningkat porsinya menjadi setidak-tidaknya 30% terhadap total dana perimbangan.
24
Penjabaran strategi dan rencana aksi. Strategi utama yang harus terus didorong adalah meningkatkan peranan DAK sebagai suatu bentuk transfer yang mengutamakan prioritas nasional. Untuk itu, perlu adanya peningkatan yang signifikan dari DAK di masa mendatang. Hal ini seyogyanya juga harus dibarengi dengan berbagai tindakan kebijakan (policy action) yang lebih terfokus, dan lebih teradministrasi dengan baik untuk alokasi maupun implementasinya. Untuk itu, maka beberapa kebijakan yang harus diambil sampai dengan 2015 berikut ini menjadi penting dalam mendukung efektifitas DAK di masa mendatang:
Perlunya diperjelas prioritas nasional yang perlu didukung oleh DAK: Pada saat ini terdapat 12 bidang yang menjadi prioritas DAK. Di masa depan tampaknya perlu dipertajam menjadi hanya 3 (tiga) bidang prioritas, yaitu khususnya : Infrastruktur, Kesehatan dan Pendidikan. Prioritas bidang dalam DAK diharapkan dapat memberikan arah kepada belanja daerah untuk juga turut memfokuskan kepada 3 bidang tersebut, sehingga ketertinggalan nasional dan regional dalam ketiga bidang tersebut akan dapat teratasi.
Menentukan pembagian tugas dan hak yang jelas antara pusat dan daerah dalam pelaksanaan DAK: Pembagian tugas perlu diperjelas antara pusat dan daerah dalam pelaksanaan DAK. Pada saat ini, pemerintah pusat terlalu dalam melakukan intervensi dalam pelaksanaan DAK. Berbagai kasus di daerah menunjukkan bahwa pembelanjaan untuk proyek-proyek yang dibiayai oleh DAK terkadang dilakukan oleh instansi pusat, sedangkan dinas terkait hanya tinggal melaksanakannya. Oleh karena itu, ke depan sebaiknya pelaksanaan DAK dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah, dan untuk itu diperlukan penata sistem pengawasan dan evaluasi DAK yang lebih baik lagi.
Menyederhanakan Formula alokasi DAK : Pada saat ini alokasi DAK ditetapkan dengan menggunakan 3 (tiga) kelompok kriteria; (i) Kriteria Umum (ii) Kriteria Khusus dan (iii) Kriteria Teknis. Dalam penjabarannya, formula alokasi DAK menjadi lebih rumit dari formula Alokasi DAU. Oleh karena itu, dalam desain DAK ke depan, akan dilakukan penyederhanaan formula DAK dengan mempertimbangkan fungsi dan manfaat dari DAK bagi kepentingan nasional dan daerah.
Dana Bagi Hasil (DBH) Dana bagi hasil merupakan dana perimbangan yang strategis bagi daerah-daerah yang memiliki sumber-sumber penerimaan pusat di daerahnya, meliputi penerimaan pajak pusat yaitu pajak penghasilan perseorangan (PPh perseorangan), pajak bumi dan bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam (Minyak Bumi, Gas Alam, Pertambangan Umum, Kehutanan dan Perikanan). Berdasarkan UU No.33/2004, bagian daerah dari pajak maupun sumber daya alam tersebut telah ditetapkan besarnya berdasarkan suatu persentase tertentu. Kondisi saat ini. Untuk melihat kondisi saat ini dari kebijakan DBH dapat ditinjau dari beberapa segi:
25
Formula alokasi DBH : Persentase yang dibagi-hasilkan dengan daerah relatif tidak mengalami perubahan semenjak ditetapkan kebijakan tersebut pada tahun 2001. Pengecualian terjadi untuk besarnya persentase bagi-hasil minyak dan gas bumi, yang mengalami kenaikan sebesar 0,5% pada tahun 2004.Rumusan bagi hasil untuk setiap jenis pajak dan juga penerimaan sumber daya alam sangat bervariasi satu dengan yang lain, selain itu, semenjak ditetapkan rumusan alokasi ini pada tahun 2001, tidak ada argumentasi yang jelas tentang formula bagi hasil tersebut. Formula DBH menjadi makin kompleks karena pemberlakuan formula yang berbeda untuk daerah otonomi khusus, yaitu Nanggro Aceh Darussalam dan Papua.
Dasar nilai penetapan bagi hasil: Selain dari beragamnya formula, yang juga menambah rumit alokasi DBH adalah beragamnya dasar penetapan untuk bagi hasil.Saat ini, untuk minyak dan gas bumi, yang dibagi-hasilkan kepada daerah adalah nilai net-operating income setelah dikurangi berbagai jenis pajak (PPh, PPN, dan PBB), dengan formula yang berbeda untuk minyak bumi dan gas alam.Sedangkan untuk Pertambangan, Kehutanan dan Perikanan, nilai yang dibagi-hasilkan pada dasarnya ada dua jenis, yaitu biaya sewa perijinan usaha dan royalti untuk produksi yang dihasilkan.
Pemanfaatan DBH di daerah : Bagi pemerintah daerah yang memperoleh alokasi DBH yang cukup signifikan, seyogyanya pemanfaatan dana tersebut dilakukan secara optimal dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan pengembangan infrastruktur dasar di daerah. Namun demikian, arah penggunaan DBH tampaknya belum jelas di daerah, bahkan terkadang terjadi tumpang tindih program kegiatan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, misalnya pembangunan lapangan udara pada lokasi yang berdekatan dengan anggaran berbeda, yaitu dari provinsi dan yang satunya dari kabupaten.
Mekanisme penyaluran DBH: Permasalahan klasik yang terus terjadi semenjak tahun 2001 sampai dengan sekarang adalah keterlambatan penyaluran DBH ke daerah, khususnya untuk DBH yang berasal dari sumber daya alam. Seharusnya penyaluran dilakukan pada setiap akhir kuartal, dimana nilai yang disalurkan pada 3 kuartal pertama adalah nilai yang didasarkan kepada angka yang disepakati di APBN, sedangkan nilai yang disalurkan pada kuartal terakhir sudah memperhitungkan berbagai penyesuaian terhadap realisasi yang terjadi.Jumlah yang bisa dibagi-hasilkan untuk realisasi minyak dan gas bumi adalah maksimum 130% dari harga asumsi awal di APBN.Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi keterlambatan penyaluran DBH ke daerah, sehingga alokasi DBH ini mulai lebih baik pada tahun 2008.
Kondisi yang diharapkan. Berdasarkan uraian atas berbagai kompleksitas alokasi DBH tersebut, diharapkan di masa yang akan datang akan dapat didesain suatu sistem bagi hasil yang lebih sederhana. Meskipun demikian, DBH harus tetap mengemban fungsinya untuk mengurangi ketidakseimbangan vertikal dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal nasional. Penjabaran strategi dan rencana aksi. Beberapa tindakan kebijakan sampai dengan tahun 2015 yang dapat diimplementasikan dalam rangka penyederhanaan alokasi DBH dapat diuraikan sebagai berikut :
26
Melakukan penyederhanaan formula alokasi DBH dan memberikan argumentasi yang jelas terhadap proporsi pembagian DBH antara pusat dan daerah.
Mengembangkan sistem penyaluran DBH yang lebih baik, agar alokasi DBH ke daerah penghasil menjadi tepat waktu dan tepat jumlah, sehingga dana tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan yang direncanakan.
Mengembangkan alokasi DBH dengan penetapan suatu “earmarking”, misalnya dengan menetapkan persentase tertentu dari dari DBH untuk dapat dimanfaatkan bagi pengembangan pendidikan, kesehatan ataupun perbaikan lingkungan hidup di daerah.
27
4
Tujuan 2: Pendapatan dan Pembiayaan Daerah yang Efisien dan Efektif
Pajak sebagai sumber pendapatan adalah salah satu instrumen yang sangat penting dalam desentralisasi fiskal, karena mencerminkan seberapa besar otoritas pendapatan yang dimiliki suatu tingkat pemerintahan. Selain sebagai sumber pendapatan, pajak juga merupakan instrumen untuk mengelola permintaan dan penawaran barang publik lokal, instrumen untuk mengukur transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah terhadap publik, dan instrumen untuk mempengaruhi tingkah laku konsumen/publik setempat. Penerimaan juga merupakan salah satu refleksi seberapa besar daerah dipercaya dan mempunyai kemampuan mengelola sumber-sumber pendapatan sendiri untuk membiayai pengeluarannya. Jika –untuk satu atau beberapa alasan– sumber-sumber fiskal yang penting dikonsolidasi dan dikelola di tingkat pusat, maka peran transfer akan menjadi dominan. Sedangkan jika beberapa sumber fiskal yang penting dikelola oleh daerah, maka transfer seharusnya menjadi kurang dominan. Otoritas pajak yang dimiliki oleh suatu tingkat pemerintahan mempunyai beberapa tingkatan, dari hanya kewenangan memungut atau administrasi, kewenangan menentukan tarif, hingga kewenangan untuk menentukan jenis dan basis pajak. Dalam tingkatan otoritas yang paling rendah, pemerintah daerah hanya diberikan wewenang memungut (delegasi). Kondisi saat ini. Dalam skema desentralisasi fiskal di Indonesia, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk memungut dan menentukan tarif secara terbatas (tarif maksimum telah ditentukan oleh UU) untuk beberapa jenis pajak daerah yang ditentukan oleh UU. Hal ini menyebabkan daerah hanya memiliki instrumen yang sangat terbatas untuk mengelola sisi fungsi pendapatan. Walaupun dalam kenyataannya, banyak daerah mengeluarkan peraturan daerah untuk memungut pajak atau retribusi yang berdampak pada ekonomi biaya tinggi. Rendahnya penerimaan pajak dan retribusi daerah ini ditunjukkan oleh data bahwa kontribusi PAD terhadap APBD hanya kurang dari 10%, seperti pada tabel berikut ini.
28
Tabel 4 Komposisi Pendapatan dari Pemerintah Daerah 2001-2005
(Total Gabungan Propinsi dan Kabupaten/Kota) Sumber Penerimaan (%)
2001
2002
2003
2004
2005
PAD
6.6
7.3
6.9
8
10
Dana Perimbangan:
87
79.1
80.5
84
86
DAU
68
61.5
61.2
64
54
DAK
1.5
0.8
2
2.8
2.6
DBH Pajak
7.5
7.4
9
8
12
DBH Non‐Pajak
10
9.4
8.3
9.2
17.4
Sumber Lainnya
6.4
13.6
12.6
8
4
Total Penerimaan (%)
100
100
100
100
100
Nominal (Trilyun Rp)
80.73
101
112.54
114.41
151.85
Sumber: Diolah dari data Depkeu (perbedaan mungkin disebabkan adanya ketidaklengkapan pelaporan APBD)
Kondisi yang diharapkan. Salah satu masalah penting dalam pajak daerah adalah belum diberikannya sumber pajak yang cukup signifikan untuk dijadikan andalan pendapatan daerah dan instrumen untuk merespon permintaan barang publik lokal dan akuntabilitas terhadap pemilih. Jika Indonesia ingin menuju desentralisasi fiskal dengan penguatan kapasitas daerah, maka penguatan pajak daerah adalah suatu syarat penting yang harus dilaksanakan. Penguatan pajak daerah ini tidak berarti memberikan sumber fiskal tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap daerah dan nasional, melainkan melalui penelahaan beberapa faktor dengan mengacu pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
Penjabaran strategi. Secara umum, terdapat tiga strategi utama guna memperbaiki kondisi perpajakan daerah saat ini, yaitu harmonisasi pajak pusat dan daerah, optimalisasi perpajakan daerah, dan pengkondisian perpajakan daerah yang tidak distortif terhadap perekonomian.
Hal penting yang harus menjadi perhatian dalam isu perpajakan adalah harmonisasi pajak daerah dan pusat. Karena basis pajak pada dasarnya tidak berubah atau bertambah dengan adanya jenis pajak baru, maka harus dihindari terjadinya pajak ganda (double-taxation) yang disebabkan pusat dan daerah samasama memungut pada basis pajak yang sama. Harmonisasi juga berarti baik pusat maupun daerah mempunyai sumber fiskal yang memadai sesuai dengan tugas pembiayaan yang diemban masing-masing. Harmonisasi ini juga tidak terlepas dari kerangka penerimaan total (termasuk transfer) dan pembagian beban belanja pusat-daerah (expenditure assignment). Alokasi kewenangan pajak ke daerah akan mempengaruhi besaran transfer dan juga pembagian beban belanja.
29
Salah satu jenis pajak yang penting adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang sampai saat ini secara formal dimiliki sepenuhnya oleh pusat. Tetapi beberapa pajak daerah seperti pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan, sebenarnya adalah varian dari PPN walaupun secara formal tidak dinamakan sebagai PPN. Dalam jangka panjang, diharapkan ada pembagian jenis PPN yang dimiliki pusat dan yang dimiliki daerah. Pembagian wewenang ini tentunya mempertimbangkan jenis komoditas/jasa yang dipungut PPN-nya, pada tingkat pemerintahan mana pengelolaan PPN ini akan optimal dan bagaimana mekanisme bagi-hasilnya jika ada.
Satu hal yang terkait erat dengan harmonisasi pajak pusat dan daerah adalah Local taxing power yang lebih optimal. Dengan memandang basis pajak secara utuh, maka ada peluang untuk melakukan redefinisi istilah perpajakan yang lebih tepat dan melakukan pengelompokan ulang basis pajak ini untuk kemudian dipetakan pembagian pungutan pajak yang dapat dilakukan pusat, daerah, atau berbagi antara pusat dan daerah. Salah satu contoh yang dapat dilakukan adalah menerapkan sistem opsen untuk PPh. Sistem opsen ini selain sebagai sumber pendapatan, juga dapat menjadi instrumen daerah untuk berkompetisi sekaligus latihan bagi daerah untuk mengelola PPh. Pajak daerah yang baik tidaklah harus banyak jumlahnya, namun yang lebih penting adalah signifikan hasilnya. Kedepan, pajak di daerah tidak perlu banyak tapi yang penting adalah menguatkan perpajakan daerah. Satu hal penting yang harus selalu diingat dalam optimalisasi local taxing power adalah bahwa desain desentralisasi fiskal di Indonesia menghendaki adanya pajak daerah yang mampu memberikan hasil yang signifikan, bukan pajak daerah yang dominan.
Hal penting lainnya adalah menjaga agar pajak daerah tidak distortif terhadap perekonomian daerah. Redesain pajak juga sebaiknya diintegrasikan dengan perbaikan iklim usaha, yaitu simplifikasi perizinan usaha. Saat ini banyak daerah masih menerapkan berbagai pungutan untuk mendapatkan izin usaha. Walaupun makin banyak daerah yang mempunyai Sistem Pelayanan Satu Pintu/Jendela (OSS = One Stop Service), tetapi pada tataran implementasi, masih banyak OSS yang tidak secara signifikan mengurangi ekonomi biaya tinggi. Perizinan usaha memang dapat diurus melalui satu jendela, tetapi tetap terdapat beberapa jenis perizinan yang diperlukan dan masing-masing membutuhkan biaya. Pajak Pengelolaan Usaha (business tax) dapat menjadi suatu instrumen yang berperan ganda: sebagai sumber pendapatan daerah, dan sebagai alat untuk menyederhanakan perizinan usaha di daerah tanpa menghilangkan unsur pengawasan dan pelaporan. Investor tidak perlu membayar biaya-biaya perizinan atau perpanjangannya secara terpisah-pisah, cukup melakukan pembayaran dalam satu jenis pajak ini. Daerah juga dapat mendesain tarif pajak ini sehingga tidak memberatkan dunia usaha sekaligus sebagai alat untuk meningkatkan daya saing daerah. Dengan kenyataan bahwa daerah di Indonesia sangat beragam kemampuan dan kapasitas pemerintahan daerahnya, dalam desain pajak untuk daerah perlu dilakukan dua hal sekaligus: pertama, adanya pre-kondisi minimum untuk menjamin tidak adanya distorsi ekonomi akibat pemberian wewenang pajak 30
tertentu ke daerah, dan kedua, pusat membantu meningkatkan kapasitas pemerintah daerah terutama dalam pemahaman ekonomi perpajakan dan kemampuan teknis administrasi perpajakan. Adanya pre-kondisi atau prasyarat minimum ini memungkinkan pengalihan pajak ke daerah menjadi tidak seragam dan serentak, tergantung kesiapan daerah masing-masing.
Rencana aksi 2015. Guna mendukung penerapan startegi tersebut di atas secara baik, maka dalam jangka yang lebih pendek perlu segera diterapkan beberapa kebijakan sebagai berikut:
Menguatkan pajak pusat dan daerah secara bersamaan sehingga pengalihan pajak ke daerah yang siap tidak akan menimbulkan ketidakstabilan pada sisi penerimaan anggaran nasional.
Mempercepat masa transisi pengalihan PBB dari 5 menjadi 3 tahun.
Menerapkan sistem opsen untuk beberapa jenis pajak tertentu, semisal pajak rokok dan PPh.
Mengenalkan Pajak Pengelolaan Usaha sebagai pengganti semua pungutan untuk memperoleh dan memperpanjang izin usaha.
Daerah diberi wewenang menentukan tarif pajak secara terbatas dengan terus dilakukan pemantauan atas kinerja perekonomian daerah. Hal ini untuk menghindari adanya ekonomi biaya tinggi.
Menyelaraskan penguatan pajak daerah dengan kewajiban belanja daerah dan besaran transfer dari pusat.
31
5
Tujuan 3: Siklus Dan Proses Belanja Daerah yang Efisien dan Efektif
Pada dasarnya belanja pemerintah yang efisien dan efektif akan menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya pendapatan akan menjadi kurang bermakna apabila dalam pola belanjanya masih terjadi pemborosanpemborosan dan tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat. Di samping itu, bagi negara yang masih berkembang seperti Indonesia, belanja pemerintah mempunyai peranan yang cukup krusial sebagai stimulus pembangunan ekonomi. Untuk mendapatkan efek positif yang optimal bagi perekonomian, maka diperlukan suatu sistem perencanaan belanja pemerintah yang baik dan tepat sasaran. Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi di sisi pengeluaran. Hal ini berarti dana besar yang telah ditransfer akan dikelola oleh daerah dengan diskresi yang cukup luas dalam penggunaannya. di tingkat pusat maupun daerah. Oleh karena itu, ke depan, belanja pemerintah daerah akan lebih banyak memberikan warna dalam konsolidasi belanja pemerintah secara nasional. Dengan demikian, keberhasilan pembangunan nasional dan perekonomian nasional juga akan dipengaruhi oleh pola belanja daerah. Berdasarkan hal tersebut, maka pengelolaan belanja daerah yang efisien dan efektif haruslah menjadi fokus perhatian dalam penyusunan grand design desentralisasi fiskal di Indonesia. Kondisi saat ini. Proses penganggaran yang berjenjang antar tiap tingkatan pemerintahan, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan panjangnya proses penganggaran. Kondisi saat ini, dimana terdapat sekitar 3 bulan rentang waktu antara penetapan APBN dan APBD berpengaruh pada lambatnya timing eksekusi dari anggaran pemerintah daerah seperti tercantum dalam UU No. 17 Tahun 2003. Selain itu, penerimaan pemerintah daerah yang sebagian besar disalurkan oleh pemerintah pusat melalui dana perimbangan, juga menunjukkan bahwa smoothing out dari alokasi dana perimbangan oleh pemerintah pusat akan sangat membantu efektifitas pengeluaran pemerintah daerah. Pada saat ini, anggaran belanja daerah disusun tidak berdasarkan suatu analisis kebutuhan yang nyata yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Anggaran belanja disusun secara ekletik, dengan anggaran tahun sebelumnya sebagai acuan utama. Tidak jarang bahwa peningkatan anggaran pemerintah hanya dirumuskan sebagai suatu peningkatan proporsional dari anggaran tahun berjalan, tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang nyata.
32
Sulitnya menyusun anggaran belanja sesuai dengan kebutuhan nyata Pemerintah Daerah juga diakibatkan oleh tidak adanya Analisis Standar Belanja (ASB). Karena itu tidak mengherankan bahwa banyak analisis terhadap anggaran pemerintah sampai saat ini menunjukkan adanya biaya penyelenggaraan layanan publik yang sangat fluktuatif dari tahun ke tahun. Hal ini mencerminkan jauhnya penetapan anggaran dari analisis kebutuhan dan analisis standar belanja.
Kondisi yang diharapkan. Siklus dan proses belanja daerah dapat semakin ditingkatkan efisiensi dan efektifitasnya, dalam hal teknis administrasi dan kualitas penganggaran. Terkait dengan teknis administrasi, proses belanja daerah diupayakan 1) tercapainya siklus anggaran yang tepat waktu; 2) cakupan rencana kerja dari dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) tidak hanya menggambarkan kebijakan umum pemerintah daerah tetapi juga sudah mencakup detail program yang komprehensif termasuk dalam hal estimasi pembiayaannya; serta 3) penetapan mekanisme penyaluran dan administrasi dana tersisa (SILPA) yang juga dikaitkan dengan perubahan rencana kerja agar penyesuaian antara APBD dan realisasi budget dapat menghilangkan pemborosan pengeluaran dan juga untuk menjaga keberlanjutan dari suatu program pembangunan (program pemerintah).
Siklus anggaran yang berjenjang antar tingkat pemerintahan sepertinya kontradiktif dengan hirarki kewenangan yang cenderung telah berubah sejak penerapan kebijakan desentralisasi tahun 2001 dengan memberikan kewenangan yang relatif besar ke tingkat pemerintahan kabupaten/kota. Dalam hal ini, simplifikasi dari aktifitas dari proses penyusunan anggaran perlu dilakukan dengan disesuaikan pada kewenangan dan diskresi tiap tingkatan pemerintahan. Proses review dari anggaran pemerintah di tingkat legislative (DPRD) diperlukan untuk menguatkan program pengeluaran yang didasarkan atas pelibatan partisipasi masyarakat (contoh: melalui Musrenbang), dan bukan untuk melakukan perubahan drastis dari program pengeluaran pemerintah. Proses politik dalam penetapan anggaran di tingkat legislatif seyogyanya diarahkan pada pengujian efisiensi yang dapat dilakukan (costs saving) dari setiap anggaran yang diajukan.
Untuk itu, pemerintah harus terus meningkatkan keterlibatan publik (public participation) dalam menilai efektifitas dan efisiensi rencana kerja. Misalnya dengan mempublikasikan laporan penyimpangan antara rencana kerja pemerintah dan realisasinya. Pemerintah juga perlu membuat laporan penyimpangan antara rencana anggaran sebelum dan sesudah dibahas di komisi-komisi terkait di DPRD. Publikasi laporan kepada publik akan memberikan peluang pada masyarakat untuk mengawasi alokasi anggaran. Pemerintah juga sebaiknya melakukan transparansi standar biaya bagi penyusunan APBN/APBD dan mempublikasikannya kepada publik sehingga masyarakat ikut berpartisipasi aktif dalam menilai efektifitas standar biaya dan mencegah terjadinya penggelembungan nilai proyek.
33
Grand Design Desentralisasi Fiskal Indonesia adalah satu langkah menuju desentralisasi ekonomi. Dalam konstelasi desentralisasi ekonomi tersebut, Pemerintah Daerah diarahkan untuk secara disiplin menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi mandatnya. Di antara urusan pemerintahan tersebut, terdapat beberapa layanan dasar yang tertuang dalam Standar Pelayanan Minimum (SPM). Pelayanan dasar adalah pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan.
Penjabaran startegi. Pencapaian SPM seyogyanya menjadi kriteria utama dalam penetapan belanja anggaran Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah harus mengarahkan anggaran belanja daerahnya untuk menyediakan sejumlah layanan dasar yang tercantum dalam SPM. Selanjutnya, anggaran untuk penyediaan layanan dasar tersebut ditetapkan dengan memperhitungkan suatu standar belanja.
Karena itu, idealnya ASB dimiliki oleh setiap daerah untuk setiap jenis urusan pemerintahan. Namun demikian, penerapan ASB ini dapat hendaknya dilaksanakan secara bertahap, dengan memperhatikan kesiapan daerah untuk melaksanakannya. Dalam lima tahun ke depan, prioritas penerapan ASB dapat diberikan kepada beberapa daerah yang relatif siap. Beberapa daerah kota, terutama yang berada di Pulau Jawa, dapat mulai dijadikan percontohan bagi penerapan ASB. Analisis standar belanja juga seyogyanya ada untuk setiap sektor dan aktifitas pemerintahan. Dalam periode lima tahun ke depan, ASB ini seyogyanya diidentifikasi sejalan dengan ditetapkannya standar pelayanan minimum untuk berbagai sektor.
Satu hal penting dalam manajemen pengeluaran pemerintah ialah perlunya dipertajam lagi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Hal ini terkait pula dengan pentingnya proses pemantauan dan evaluasi pelaksanaan anggaran. Untuk mendorong implementasi good governance dalam anggaran (baik pusat maupun daerah), maka keberadaan sistem reward dan penalty adalah mutlak. Sistem yang dapat memberikan reward dan penalty yang seimbang akan memberikan motivasi bagi aparat pemerintah dalam mengelola anggaran secara efektif dan efisien. Tentunya mekanisme penilaian harus memiliki tolak ukur yang jelas. Pemerintah harus memformulasikan key performance indicators yang terukur baik di level strategi maupun operasional.
Dalam hal ini, anggaran pemerintah harus dapat mengadopsi kegiatan yang sifatnya jangka panjang, yang pembiayaannya lebih dari satu tahun. MTEF atau multi-term expenditure frameworkditerapkan sebagai bagian dari proses budgeting selain dari annual budgeting sebagai mekanisme anggaran yang dapat menjamin kejelasan hubungan antara perencanaan atau prioritas pencapaian sektor dengan anggaran atau resource constraint. Apabila annual budgeting dalam praktiknya diterapkan untuk program pembangunan yang umum dilakukan oleh pemerintah daerah, penerapan MTEF adalah untuk lebih menampung inovasi ataupun terobosan program baru 34
yang bersifat strategis. Proses anggaran melalui MTEF juga dapat dikaitkan sebagai salah satu sumber penyaluran sisa lebih anggaran (SILPA) pemerintah daerah.
Secara umum, tujuan dari formulasi MTEF adalah untuk 1) menciptakan anggaran yang terukur untuk menjaga kesinambungan program pembangunan daerah, 2) menguatkan proses perencanaan yang terhubungkan dengan prioritas sektor dan kaitan perencanaan daerah dan nasional, 3) menciptakan kejelasan pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan yang memerlukan pembiayaan lebih dari satu tahun anggaran (long term cost burden), dan 4) menciptakan formulasi sistem penerimaan daerah dari program pembangunan yang bersifat jangka panjang tersebut.
Pada saat ini, pelaksanaan MTEF belum terealisasi baik untuk tingkat pemerintah pusat maupun di tingkat pemerintah daerah. Namun dilihat dari karakteristik penetapan MTEF, pilot project dapat dilakukan untuk daerah-daerah yang telah siap.
Kesiapan suatu daerah untuk penerapan MTEF diantaranya terkait dengan 1) konsensus antara birokrasi dan DPRD ataupun publik mengenai prioritas sektor dan indikator pencapaian, 2) kecukupan sumberdaya untuk administrasi formulasi MTEF terutama untuk sektor pelayanan publik dalam budgeting process, 3) tersusunnya guideline yang mengaitkan antara annual budgeting dengan MTEF, dan 4) kebutuhan data untuk formulasi asumsi anggaran yang dikaitkan dengan sumber penerimaan, dan 5) koordinasi perencanaan antar sektor untuk arah penerapan keseluruhan belanja pemerintah.
Rencana aksi. Beberapa kebijakan yang dapat menjadi prioritas dalam penyempurnaan desain desentralisasi fiskal Indonesia sampai dengan tahun 2015 adalah:
Pemetaan untuk mengidentifikasi kesiapan daerah dan penerapan analisis standar belanja (ASB) pada daerah yang terpilih sebagai pilot project. Kebutuhan penerapan ASB diperlukan untuk seluruh wilayah Indonesia. Namun, konteks pemerintah daerah di Indonesia yang sangat beragam dari segi SDM, resources finansial, dan juga dinamika kompleksitas perekonomian, berimplikasi pada keragaman permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah untuk penerapan ASB. Untuk itu, pilot project dapat bermanfaat sebagai experiment ground dari suatu kebijakan baru dan untuk meminimalisir costs dari ketidaksiapan kapasitas pemerintah daerah.
Pelaksanaan secara konsekuen evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, evaluasi terhadap kinerja dan proses anggaran, dan penerapan sanksi keterlambatan penyerahan laporan pertanggungjawaban anggaran. Dari sisi administrasi, implementasi belanja yang terlambat meningkatkan biaya transaksi dari penyediaan pelayanan publik, dan pada akhirnya juga 35
mempengaruhi efektifitas dari belanja pemerintah. Untuk itu, evaluasi terhadap ketepatan siklus perencanaan dan penyusunan anggaran termasuk salah satu pre-kondisi untuk pencapaian efisiensi dan efektifitas belanja.
Penetapan mekanisme pengeluaran berdasarkan anggaran beberapa tahun, MTEF (multi-term expenditure framework), khususnya bagi beberapa pengeluaran yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) pemerintah pusat. Penggunaan dana perimbangan dalam bentuk DAK utamanya adalah agar penggunaan DAK tidak hanya untuk kegiatan operasional, seperti misalnya untuk alokasi perawatan jalan ataupun gedung sekolah, tetapi juga diarahkan untuk meningkatkan belanja modal. DAK sebagai bagian dari MTEF juga merupakan transisi untuk pembiayaan kegiatan yang bersifat investasi terutama ketika mekanisme pinjaman daerah belum dapat difungsikan secara optimal.
36
6
Tujuan 4: Harmonisasi Belanja Pusat Dan Daerah
Harmonisasi belanja pusat dan daerah bertujuan untuk menurunkan inefisiensi dari tumpang tindih antara pengeluaran pemerintah. Duplikasi pengeluaran pemerintah berimplikasi pada alokasi pengeluaran yang berlebihan atau penurunan kualitas pelayanan publik untuk sektor yang tidak mendapatkan kecukupan pembiayaan. Dalam hal ini, tumpang tindih antara pengeluaran pemerintah dapat terjadi: 1) antara sesama unit dalam pemerintah pusat, 2) antara sesama pemerintah daerah pada tingkatan yang sama, dan 3) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Secara umum, tumpang tindih antara belanja pusat dan daerah kemungkinan disebabkan dari, 1) sistem anggaran yang relatif tidak transparan, 2) inkonsistensi regulasi terkait dengan kewenangan dan pembiayaan oleh departemen teknis, dan 3) ketidaksiapan antisipasi aplikasi perencanaan SPM terkait koordinasi antar sektor dan implementasi perencanaan oleh daerah.
Tumpang-tindih pengeluaran antar tingkat pemerintahan juga dimungkinkan dari diskresi perencanaan pembangunan di tingkatan pemerintah daerah yang kurang efektif dalam pelaksanaannya. Sementara itu, dengan terlepasnya tanggung jawab pembiayaan dari pembagian urusan pemerintahan, diskresi belanja yang besar bagi daerah kemungkinan memperbesar risiko adanya duplikasi alokasi pengeluaran pemerintah.
Penghilangan duplikasi antara pengeluaran pemerintah pusat dan daerah juga bertujuan menjamin kondisi fiskal dari anggaran nasional. Ekspansi pengeluaran yang kurang terkontrol bertentangan dari tujuan penerapan desentralisasi fiskal. Oates (1972) menunjukkan bahwa tujuan dari desentralisasi fiskal melalui pembagian kewenangan yang lebih besar untuk tingkat pemerintahan yang lebih rendah adalah efisiensi alokasi pengeluaran yang sesuai dengan kebutuhan atau preferensi penerima manfaat yaitu masyarakat lokal akibat lebih terjaminnya
37
akuntabilitas pemerintah. Efisiensi alokasi dari desentralisasi fiskal telah mengasumsikan kejelasan pembagian kewenangan antar tingkat pemerintah.5 Kondisi saat ini. Sampai saat ini masih terjadi tumpang tindih belanja antar unit maupun antar tingkatan. Masih sering terjadi belanja pemerintah pusat melalui anggaran kementerian, baik secara langsung ke daerah maupun melalui mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan, digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang seharusnya menjadi urusan daerah yang telah didesentralisasikan. Hal ini juga diperparah dengan rendahnya mekanisme koordinasi antara pusat dan daerah dalam pengalokasian dana-dana tersebut, sehingga tidak hanya tidak tepat guna tapi juga tumpang tindih. Di samping itu, sistem perencanaan nasional juga belum sepenuhnya dapat mengkoordinasikan program-program di pusat maupun daerah. Hal ini didorong oleh adanya ego sektoral dari masing-masing unit di semua tingkatan. Yang masih kadang terjadi adalah ketidakjelasan siapa mengerjakan apa, sehingga berbagai program saling berbenturan. Komitmen untuk menjaga kejelasan pembagian urusan dari masing-masing pihak menjadi salah satu penyebab carut marut perencanaan tersebut, di samping belum adanya SPM yang jelas untuk semua urusan.
Tumpang tindih antara belanja pusat dan daerah ditenggarai sebagai salah satu faktor yang mendorong tingginya belanja pegawai baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tabel 6.1 menunjukkan bahwa belanja pegawai selama tahun 2005-2008 merupakan komponen pengeluaran yang dominan relatif dibandingkan dengan belanja modal. Perbandingan belanja personel (belanja modal) terhadap tahun-tahun sebelum desentralisasi yaitu terhadap pengeluaran rutin (pengeluaran pembangunan) cenderung bias karena dalam belanja pembangunan masih juga mencakup komponen personnel selain belanja modal. Sistem anggaran seperti ini juga merupakan salah satu penyebab kurang terkontrolnya komponen dari pengeluaran belanja pegawai.
Untuk tingkat pemerintah pusat, penerapan standar pelayanan minimal (SPM) juga berarti orientasi pada cakupan outcome yang mungkin akan bersinggungan atau sama untuk tiap unit karena melibatkan koordinasi beberapa departemen teknis. Berdasarkan PP No. 65 Tahun 2005, penentuan SPM yang harus berdasarkan koordinasi dari beberapa kementrian, merupakan salah satu cara untuk pemetaan SPM untuk tiap sektor sementara pada saat yang sama koordinasi dilakukan untuk menghindari ketidaksesuaian antara outcome dengan sumber daya. Namun sampai
5 Kejelasan urusan kewenangan antar tingkat pemerintahan merupakan pre-kondisi dari efektifitas kebijakan desentralisasi fiskal. Penjelasan mengenai pembagian urusan pemerintahan (expenditure assignments) yang ideal terdapat di bagian tujuan dan strategi mengenai penerimaan daerah. Expenditure assignments dalam konteks kebijakan penerimaan daerah misalnya mengenai sistem dana perimbangan sesuai dengan cakupan Grand design pada desentralisasi fiskal. Grand design ini dapat digabungkan dengan kebijakan desentralisasi mengenai expenditure assignments yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri (DDN).
38
saat ini, dari 12 sektor pelayanan dasar, penetapan SPM baru ada untuk sektor pendidikan, kesehatan dan lingkungan hidup (Departemen Keuangan, 2009).
Tabel 5 Perbandingan Belanja APBD Per Jenis Belanja
(Total Belanja APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia)
Sumber: Nota Keuangan Tahun 2009 (Departemen Keuangan 2009)
Kondisi yang diharapkan. Satu hal yang pasti diharapkan akan terjadi dalam masa yang akan datang adalah agar sinkronisasi dan koordinasi antar unit dan antar tingkatan pemerintahan tidak lagi menjadi ”barang mewah” yang sulit untuk diperoleh. Sinkronisasi dan koordinasi antar unit dan antar tingkatan, terutama dalam program-program dan kegiatannya, haruslah diwujudkan melalui sistem perencanaan nasional yang mendukungnya. Sistem tersebut harus mempunyai alat atau regulasi untuk menjamin kepastian dan kejelasan pembagian urusan di antara berbagai tingkatan, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih belanja antar unit dan antar tingkatan.
Penjabaran strategi. Beberapa strategi yang harus disiapkan untuk mendorong munculnya harmonisasi yang baik dalam belanja pusat dan daerah adalah sebagai berikut:
Meningkatkan intensitas dan kualitas perencanaan pembangunan yang melibatkan masyarakat. Dalam era demokrasi, pelibatan masyarakat dapat menjadi salah satu kunci keberhasilan perencanaan pembangunan, karena akan menjamin kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu pelibatan masyarakat juga akan menjadi salah satu strategi jitu guna menghindari resistensi masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan. Meskipun demikian, pelibatan masyarakat harus tetap dilakukan scera berhati-hati dan bertahap, 39
menyesuaikan dengan tingkat pemahaman dan pendidikan dari masyarakat yang bersangkutan.
Evaluasi secara reguler merupakan salah satu hal yang harus dilakukan untuk menghindari tumpang tindih yang berkelanjutan. Namun demikian hasil evaluasi hanya akan bermanfaat apabila setiap pihak terkait mempunyai komitmen untuk secara obyektif menindaklanjuti hasil evaluasi. Guna mendukung pelaksanaan evaluasi, setiap pemerintahan harus mengembangkan sistem basis data perencanaan pembangunan. Dengan sistem informasi yang baik akan sangat mempermudah pelakaksanaan evaluasi.
Persinggungan dalam klaim terhadap pencapaian outcome antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga merupakan aspek yang perlu diantisipasi. Pencapaian outcome adalah juga sejauh mana pemerintah daerah dari threshold Standar Pelayanan Minimum (SPM) nasional. Dalam hal SPM tidak terpenuhi, perlu kejelasan untuk tingkatan pemerintahan yang harus menanggung risiko dari tidak tercapainya target SPM. Apabila pemerintah pusat yang pada akhirnya harus bertanggung jawab terhadap keseluruhan pencapaian SPM, maka pemerintah pusat berkoordinasi dengan unit departemen lainnya perlu memikirkan mekanisme untuk mengaitkan antara penentapan target SPM dengan ketersediaan sumber daya. Penetapan target pencapaian SPM yang mengacu pada guideline dari departmen teknis, disatu sisi menunjukkan bahwa pencapaian SPM untuk sektor-sektor tersebut (dibawah kementrian teknis) adalah juga merupakan prioritas nasional. Untuk itu, perlu pembatasan sejauh mana keterlibatan departemen teknis dalam penetapan SPM terkait dengan urusan yang menjadi kewenangan daerah dan relatif bukan merupakan prioritas nasional. Dalam hal pembiayaan untuk pencapaian SPM yang menjadi urusan daerah, pembiayaan belanja yang terkait dengan SPM pelayanan dasar sebaiknya secara gradual berasal dari sumberdaya pemerintah daerah terlebih dahulu. Hal ini merupakan upaya menciptakan akuntabilitas dari pencapaian SPM lebih terhadap kebutuhan dan kesesuaian dengan masyarakat lokal dibandingkan dengan semata memenuhi program pembangunan nasional.
Penguatan implementasi sistem anggaran terpadu. Salah satu kebijakan untuk menghindari duplikasi atau ketidakjelasan pengeluaran pemerintah terutama yang diakibatkan dari sistem pos anggaran yang tidak transparan adalah diterbitkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Sistem Keuangan Negara. Dalam hal ini, UU No. 17 Tahun 2003 dan PP No. 58 Tahun 2005 telah mengatur mengenai administrasi keuangan pemerintahan untuk menghindari duplikasi anggaran untuk tiap-tiap instansi di tiap tingkatan pemerintahan.6
6 UU No. 17 Tahun 2003 pada dasarnya meredefinisi pos anggaran disesuaikan dengan standar yang berlaku internasional terutama terkait re-klasifikasi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, menjadi berdasarkan kegiatan ekonomi yang terdiri dari jenis belanja personil, belanja modal, dll (perubahan dari T account menjadi I account). Sebelumnya, klasifikasi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan distortif dari segi karakteristik belanja, mengingat dalam item pengeluaran pembangunan juga dimungkinkan pengeluaran untuk administrasi (personil).
40
Harmonisasi regulasi UU otonomi daerah dengan UU sektoral. Regulasi yang ada saat ini belum menyentuh permasalahan duplikasi antara tingkatan pemerintahan dan sesama tingkat pemerintah yang mungkin terjadi dengan adanya implementasi dari SPM terkait dengan pembagian urusan pemerintahan. Selain itu, dengan adanya penetapan SPM dan juga perkembangan akan banyaknya penetapan UU sektoral yang relatif lebih baru dibandingkan dengan UU otonomi daerah, maka terdapat legal constraint untuk tetap menjadikan UU otonomi daerah sebagai acuan penyesuaian dari UU sektoral. Sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2001 mengenai tata perundangan, dalam tingkatan yang sama regulasi yang lebih baru otomatis dapat menganulir regulasi lama. Aspek legal merupakan latent issue dari kebijakan desentralisasi secara umum, tidak hanya menyangkut permasalahan mengenai duplikasi belanja antar tingkat pemerintahan. Kompleksitas dari kebijakan desentralisasi, juga mengimplikasikan bahwa formulasi dan perbaikan regulasi selama ini tetap merupakan proses karena tidak dimungkinkan untuk sepenuhnya complete.
Penguatan institusi untuk koordinasi perencanaan pembangunan di tiap tingkatan pemerintahan. Penguatan institusi untuk menghindari duplikasi ataupun rendahnya alokasi pengeluaran untuk sektor pelayanan dasar dapat berupa kebijakan pemerintah pusat diarahkan untuk pemberian insentif bagi kerjasama antar daerah.
Permasalahan duplikasi belanja pusat dan daerah, juga perlu ditangani tidak hanya untuk kegiatan yang tercakup dalam anggaran pemerintah, tetapi juga pembenahan koordinasi kegiatan pemerintah untuk pengeluaran yang sampai saat ini masih bersifat off-budget. Misalnya dari kegiatan pemerintah baik itu pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah yang dibiayai dari hibah. Memasukkan dana-dana atau pembiayaan off-budget menjadi on-budget, harus dilakukan secara simultan baik ditingkat pemerintah pusat maupun daerah.
41
7
Desentralisasi Ekonomi
Proses desentralisasi dan otonomi daerah akan dianggap gagal apabila APBD menjadi panglima dan menomorduakan isu-isu penting lainnya seperti kemiskinan, pengangguran, buruknya pelayanan pemerintah. Upaya penerapan good governance di pemerintah daerah haruslah dijadikan dasar bagi pengeluaran APBD yang lebih tepat sasaran dan mempunyai dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi daerah yang kemudian dapat menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki pendapatan masyarakat.
Apapun definisi desentralisasi yang dipilih, harus terjadi suatu harmonisasi yang baik antara desentralisasi politik, administrasi, dan fiskal. Desentralisasi politik pada intinya memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan suatu kebijakan, sedangkan desentralisasi administrasi atau desentralisasi manajerial memberikan petunjuk bagaimana implementasi dari pengalihan kewenangan fungsi tersebut. Desentralisasi fiskal kemudian menyediakan pembiayaan untuk pengalihan kewenangan tersebut.
Pelaksanaan desentralisasi di berbagai negara di dunia tidak mempunyai pola yang sama dan juga tidak ada jaminan pasti bahwa desentralisasi akan bermanfaat bagi perekonomian suatu negara. Dengan kata lain, berhasil tidaknya desentralisasi dan sekaligus dampaknya bagi perekonomian suatu negara akan sangat tergantung pada bagaimana desentralisasi itu didesain dan diimplementasikan. Apabila melihat desain dari desentralisasi, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi dapat berasal dari inisiatif pemerintah pusat (top-down) dan bisa juga berasal dari pemerintah daerah (bottom-up) (Bailey, 1999). Pendekatan top-down umumnya dilakukan negaranegara yang sebelumnya menganut negara kesatuan dengan tingkat sentralisasi yang besar dimana pemerintah pusat yang tadinya begitu kuat secara bertahap harus menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah, dan dengan sendirinya pemerintah daerah mempunyai posisi lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Negara-negara seperti Indonesia, Cina, India, dan Australia bisa dikategorikan dalam kelompok ini. Sedangkan pendekatan bottom-up umumnya dilakukan negara-negara yang kita kenal sebagai negara federal dimana beberapa propinsi atau negara bagian memutuskan bergabung menjadi suatu negara federal 42
dengan tetap memperhatikan otonominya. Tidak bisa juga disimpulkan bahwa, misalnya, negara federal akan lebih tinggi tingkat desentralisasinya dibandingkan negara kesatuan, paling tidak dari sisi fiskal. Sebagai contoh, Malaysia yang sejak berdiri berbentuk negara federal mempunyai persentase pengeluaran dan penerimaan daerah (dibandingkan nasional) yang lebih rendah dibandingkan Indonesia, bahkan pada saat dimana Indonesia belum melaksanakan desentralisasi tahun 2001 (Sato, 2004).
Satu hal lagi yang sering menjadi perdebatan banyak pihak adalah apakah desentralisasi memang mendatangkan manfaat bagi suatu bangsa atau lebih spesifik lagi bagi perekonomian suatu negara. Menurut Bird dan Vaillancourt (1998), banyak negara sedang berkembang yang mengimplementasikan berbagai bentuk desentralisasi sebagai salah satu upaya keluar dari tidak efektif dan tidak efisiennya fungsi pemerintahan, ketidakstabilan makroekonomi nasional, dan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Pandangan seperti ini jelas meletakkan desentralisasi dalam posisi sebagai panacea atau obat bagi semua penyakit dan masalah. Dalam kenyataan, harapan tinggi itu sering tidak tercapai oleh banyak negara yang tidak mempersiapkan desain dan implementasi desentralisasi dengan matang. Di negaranegara tersebut, desentralisasi malah menjadi plague atau tambahan beban yang hanya memberatkan kondisi perekonomian negara tersebut. Secara umum, bisa dikatakan bahwa desentralisasi adalah suatu kesempatan yang dimiliki setiap negara di dunia untuk sekaligus melakukan koreksi politik dalam bentuk pelaksanaan demokrasi yang lebih merata dan memperbaiki perekonomian negara yang mungkin sedang mengalami stagnasi. Akan tetapi, pencapaian ideal dari pelaksanaan desentralisasi baru akan terwujud apabila anggaran daerah (APBD) dapat benarbenar merefleksikan preferensi warga lokal dan kapasitas institusi (sumber daya manusia) lokal sudah benar-benar dapat diandalkan. Apabila persyaratan di atas tidak terpenuhi, ada kemungkinan desentralisasi hanya akan menciptakan tambahan biaya di tingkat lokal, berkurangnya efisiensi pelayanan masyarakat, membesarnya kesenjangan pendapatan, atau bahkan mengganggu stabilitas makroekonomi. (Bird and Vaillancourt, 1998).
Argumen bahwa desentralisasi dapat membantu menyelesaikan masalah perekonomian nasional dimulai dari prinsip dasar bahwa pemerintahan daerah (lokal) dapat menyelenggarakan layanan publik bagi masyarakatnya dengan biaya yang lebih rendah atau lebih efisien dibandingkan pemerintahan pusat. Efisiensi itu muncul karena pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan masyarakatnya sekaligus bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut dengan cara yang paling efisien. Selain itu, pemerintah daerah juga akan bereaksi lebih cepat apabila kebutuhan tersebut muncul dan pada akhirnya, masyarakat lokal akan merasa puas atas pelayanan pemerintah lokalnya. Kepuasan tersebut dapat kemudian mendorong produktivitas masyarakat setempat yang kemudian bisa memicu pertumbuhan ekonomi lokal yang lebih tinggi. Simplifikasi seperti di atas baru dapat muncul apabila hubungan agen dan prinsipal (pemerintah daerah dan masyarakat lokal) berjalan dengan baik. Dalam hubungan ini, diharapkan tentunya agar pemerintah bisa menjadi agen yang sempurna bagi masyarakat lokal dengan mengutamakan pencapaian kesejahteraan maksimal. Hambatan utama tercapainya kondisi ideal ini datang dari tidak adanya mekanisme yang jelas bagi masyarakat lokal untuk 43
mengawasi atau mendisiplinkan pihak agen atau pemerintah daerah. Hambatan lainnya muncul dari konflik kepentingan antara warga masyarakat lokal sendiri yang biasanya dipicu oleh adanya sekelompok orang yang melakukan praktek rent seeking (Sato, 2004).
Untuk menciptakan hubungan agen dan prinsipal yang konstruktif bagi perekonomian daerah dan nasional, ada dua mekanisme politik yang bisa digunakan yaitu ”voting with hand” dan ”voting with feet”. ”Voting with hand” tidak lain adalah pilihan masyarakat lokal dalam pemilihan umum daerah untuk eksekutif dan legislatif. Secara rasional, masyarakat lokal pasti memilih pimpinan daerah yang dapat menjadi agen terbaik bagi mereka dan mengutamakan kepentingan masyarakat luas. Apabila pemerintah daerah yang diharapkan cedera janji dan wanprestasi, maka dalam pemilihan berikutnya kemungkinan besar pemerintah daerah tersebut tidak didukung lagi oleh masyarakat lokal dan harus digantikan oleh pihak lain. ”Voting with feet” adalah cara lain masyarakat lokal menunjukkan dukungannya kepada pemerintah setempat. Secara ringkas, setiap warganegara akan memilih tempat tinggal yang paling menyenangkan buat dirinya. Kriteria paling menyenangkan di sini dapat dilihat dari beban pajak yang harus dibayarkan di tempat tersebut, kualitas layanan publiknya, kualitas administrasi pemerintahannya, dan hal-hal lainnya. Apabila suatu daerah dirasakan kurang menyenangkan lagi bagi warganegara yang bersangkutan, maka dia bisa memutuskan untuk pindah menjadi warga daerah lainnya yang dianggap lebih baik. Dengan kata lain, pendekatan ini akan mendorong kompetisi antar pemerintah daerah untuk bisa menjadi daerah ”idaman” bagi setiap warganegara. Apabila terjadi desentralisasi di sisi penerimaan, melalui pemberian kewenangan pajak daerah yang lebih besar, maka kompetisi yang terjadi adalah kompetisi insentif pajak antar daerah dimana setiap daerah akan berupaya membuat tingkat pajaknya semenarik mungkin bagi calon investor dan warganegara potensial agar mereka mau menetap di daerah tersebut.
Seperti sudah sedikit dijelaskan di atas, motif utama dilakukannya desentralisasi di negara sedang berkembang adalah untuk mendukung pembangunan ekonomi. Pemerintah daerah dianggap lebih cocok membuat perencanaan pembangunan lokal dan melaksanakannya, dibandingkan perencanaan pembangunan yang tersentralisasi. Masyarakat lokal akan lebih menghargai upaya mengembangkan perekonomian lokal yang dilakukan pemerintah lokalnya, dibandingkan oleh pemerintah pusat. Meskipun begitu, timbul kekhawatiran bahwa dengan kekuasaan pemerintah daerah yang begitu besar, pemerintah daerah akan rentan terhadap korupsi dan praktek rent-seeking (Sato, 2004). Selain itu perlu diwaspadai kemungkinan akan munculnya banyak kebijakan lokal yang bersifat populis dan lebih bersifat redistributif dibandingkan dengan tujuan utamanya sendiri untuk pembangunan. Karenanya perlu diperhatikan dengan seksama seberapa jauh tingkat akuntabilitas pemerintah daerah bersangkutan terhadap konstituennya serta bagaimana penerapan demokrasi di tingkat lokal. Persaingan antar pemerintah daerah yang proporsional juga akan membantu menciptakan sistim insentif yang akan menuju pada fokus pembangunan ekonomi untuk kemakmuran rakyat, dan tidak semata kebijakan populis yang berumur pendek.
44
Salah satu syarat mutlak agar pembangunan ekonomi dapat berjalan lancar adalah stabilisasi makroekonomi. Proses desentralisasi berpotensi dapat mengganggu stabilisasi apabila kebijakan mengeluarkan obligasi daerah tidak terkontrol dengan baik (Tanzi, 2002). Sebagian dari obligasi daerah itu mungkin diserap oleh perbankan nasional dan manfaatnya mungkin akan dirasakan oleh pemerintah daerah dan perekonomian lokal. Tetapi dari sisi makroekonomi, kondisi tersebut berpotensi menciptakan crowding out yang mengurangi upaya mendorong investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Lebih jauh lagi, keadaan ini berpotensi meningkatkan laju inflasi. Artinya, pemerintah daerah terlalu fokus pada keadaan yang menguntungkan mereka saja dan melupakan eksternalitas negatif pada kondisi makroekonomi nasional. Kondisi ini akan makin mudah terjadi apabila pemerintah daerah mempunyai bank sendiri dan cenderung menggunakan bank itu untuk mendukung semua kebijakan ekonomi lokal tanpa mengedepankan unsur kehati-hatian.
Dengan berbagai komplikasi di atas, ditambah dengan kondisi setiap negara yang berbeda satu dengan yang lainnya, tidaklah mengherankan apabila belum ada kesimpulan yang solid bahwa desentralisasi berdampak positif terhadap pembangunan ekonomi nasional. Davoodi dan Zhou (1998) melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi antar negara. Kesimpulan utamanya menyatakan bahwa desentralisasi berdampak negatif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara sedang berkembang, dan untuk negara maju, tidak ditemukan adanya hubungan yang jelas antara desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi. Zhang dan Zhou (1998) lebih menegaskan kesimpulan tersebut melalui studi yang melihat hubungan antara pengeluaran pemerintah daerah dan pertumbuhan ekonomi antar propinsi di Cina. Semakin besar pengeluaran propinsi, semakin rendah tingkat pertumbuhan ekonomi propinsi tersebut. Kesimpulan ini dapat juga dilihat dari sudut lain dimana hubungan negatif tersebut terjadi akibat persaingan antar daerah yang sebenarnya bermanfaat secara nasional, terutama untuk mendorong perekonomian pasar yang dapat berdampak positif bagi perekonomian nasional. Studi-studi lain yang dilakukan dalam rangka mencoba menjelaskan dampak desentralisasi terhadap pembangunan ekonomi belum dapat menjawab pertanyaan mendasar secara meyakinkan, dan umumnya studi-studi tersebut, termasuk studi yang sudah dikutip di atas, mempunyai kelemahan metodologis yang mendasar dan dapat dengan mudah disimpulkan bahwa kesimpulan yang dihasilkan tidak dapat dijadikan acuan.
Meskipun belum ada bukti empiris yang bisa diterima semua pihak, satu hal yang makin diyakini semua pihak adalah pentingnya memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan bertanggung jawab terhadap pembangunan ekonomi daerahnya sendiri. Melalui konsep Market Preserving Federalism (Sato, 2004) yang mendorong adanya persaingan ekonomi antar daerah, pembangunan ekonomi daerah bisa dioptimalkan. Konsep tersebut menekankan pada efisiensi dinamis, upaya memperbaiki pembangunan, dan inovasi kebijakan, sekaligus menciptakan keseimbangan kekuatan dimana setiap unit pemerintahan dapat membangun dan melindungi pasarnya sendiri tetapi tidak 45
memungkinkan unit tersebut untuk mendominasi pasar nasional atau merusak tatanan pasar yang ada. Kondisi ideal akan tercapai apabila pemerintah daerah berkompetisi antar mereka untuk menarik investor menanamkan modalnya di daerah mereka, dan pada saat yang sama, pemerintah pusat menjamin tidak adanya hambatan pergerakan barang dan orang antar daerah. Dengan kondisi tersebut, pemerintah daerah akan terpacu untuk menyediakan infrastruktur terbaik dan menciptakan peraturan daerah yang kondusif bagi investor. Pemerintah pusat juga akan berusaha sekuat tenaga mencegah terjadinya kemungkinan hambatan pergerakan orang dan barang antar daerah yang sangat mungkin dibuat oleh beberapa pemerintah daerah, sekaligus melakukan fungsi pengawasan dan supervisi terhadap otonomi daerah itu sendiri. Perekonomian nasional jelas akan menerima manfaat optimal dalam bentuk pertumbuhan ekonomi yang stabil, dengan penerapan Market Preserving Federalism.
Suatu studi mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengindikasikan bahwa desentralisasi dari sisi penerimaan mempunyai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, sedangkan desentralisasi pengeluaran tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan di daerah (Fauziah, 2008). Penyebab dari desentralisasi penerimaan memperlambat pertumbuhan diduga sebagai akibat pemerintah daerah yang berorientasi pada peningkatan PAD bukannya PDRB, sehingga mengabaikan perbaikan iklim investasi daerah.
Pada tahun 2004, KPPOD menganalisis 1.025 Perda dan menemukan 709 Perda diantaranya mengandung sebanyak 1.030 jenis pelanggaran yang berkaitan dengan menghambat perekonomian. Sejak tahun 2001 telah dikeluarkan kurang lebih sebanyak 13.000 Perda yang sekitar 3.000 diantaranya dikategorikan bermasalah dan direkomendasikan direvisi atau dicabut oleh Departemen Keuangan. Perda yang bermasalah ini mengandung potensi untuk menimbulkan ekonomi biaya tinggi di daerah yang akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi daerah.
Pada sisi desentralisasi pengeluaran, yang tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kekurangmampuan pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan daerah dan dalam mengeksekusi program. Kedua, pada saat awal desentralisasi, mekanisme transfer masih belum lancar dan terprogram dengan baik, sehingga daerah juga kesulitan dalam merencanakan dan mengeksekusi program pembangunannya. Ketiga, belanja investasi biasanya memerlukan beberapa waktu untuk mulai menampakkan hasilnya. Apalagi mayoritas daerah di Indonesia masih kurang baik pembangunan infrastruktur dan kapasitas SDM-nya. Salah satu bentuk kontribusi desentralisasi terhadap pembangunan ekonomi nasional adalah dalam menghadapi disparitas perekonomian antar daerah. Dalam banyak kasus, desentralisasi dipakai sebagai alat untuk mengatasi atau meredam dampak negatif dari disparitas itu sendiri (Tanzi, 2002). Disparitas perekonomian antar daerah biasanya berkembang menjadi masalah politik yang serius apabila terjadi di negara yang mempunyai perbedaan etnik, 46
bahasa, atau budaya yang kompleks. Akan menjadi lebih rumit lagi apabila kekayaan sumber daya alam negara tersebut berlokasi hanya di beberapa daerah saja. Untuk negara yang menganut sentralisasi, masalah terakhir ini tidak akan menjadi hambatan serius karena pemerintah pusatlah yang kemudian bertanggung jawab untuk mengalokasikan penerimaan yang didapat dari sumber daya alam tersebut untuk kepentingan nasional. Untuk negara yang menjalankan desentralisasi, kondisi tersebut harus ditangani dengan hati-hati karena berpotensi menimbulkan masalah politik yang serius seperti konflik berkepanjangan di Nigeria. Salah satu yang bisa dilakukan untuk meredam potensi konflik adalah upaya menerapkan standar minimum pelayanan di semua daerah dalam satu negara. Pemerintah pusat jelas merupakan pihak yang bertanggung jawab mengawasi dan memonitor pencapaian standar tersebut, sekaligus memberikan alokasi dana bagi daerah yang tidak atau kurang mampu. Dalam melakukan fungsinya melakukan redistribusi pendapatan, pemerintah pusat akan mengalami kesulitan apabila kekayaan sumberdaya alam terkonsentrasi hanya di satu daerah dan daerah tersebut menganggap dirinya berbeda secara etnis maupun budaya dengan daerah lainnya. Skema yang tepat dari hubungan keuangan pusat dan daerah dapat menjadi alat yang efektif bagi pemerintah pusat menjalankan fungsi redistribusi pendapatannya.
Satu aspek dari pembangunan ekonomi yang tidak dapat dilewatkan, terutama untuk negara sedang berkembang seperti Indonesia, adalah masalah kemiskinan. Dengan adanya desentralisasi, pertanyaan besar yang muncul adalah siapa yang kemudian bertanggung jawab mengatasi masalah kemiskinan dan mengurangi jumlah orang miskin. Dari sisi positif, desentralisasi berpotensi mendorong partisipasi kelompok miskin dalam proses penyusunan anggaran di daerah agar anggaran tersebut berpihak pada kepentingan orang miskin dan ada upaya monitoring yang serius agar anggaran itu tepat sasaran (Braun and Grote, 2002). Selain itu desentralisasi juga akan memaksa pemerintah daerah untuk memperbaiki kualitas layanan publik dasar kepada orang miskin dan memperbaiki efisiensi program mereka sendiri. Untuk memastikan bahwa desentralisasi memang akan mendorong upaya mengurangi kemiskinan, syarat utama yang harus dipenuhi adalah adanya interaksi antara desentralisasi politik, administrasi, dan fiskal dalam menciptakan program yang dapat mengurangi kemiskinan. Upaya yang fokus hanya pada satu jenis desentralisasi biasanya tidak akan memberikan hasil yang memadai (Braun and Grote, 2002). Desentralisasi politik dan administrasi secara bersamaan menjadi prasyarat awal dalam mengatasi masalah kemiskinan dimana partisipasi kelompok miskin dan akuntabilitas pemerintah daerah hanya dapat terjadi apabila memang sudah ada desentralisasi politik. Desentralisasi administrasi kemudian memperkuat kondisi tersebut melalui penentuan dan pembentukan institusi yang bertanggung jawab menjalankan proses tersebut. Desentralisasi fiskal menjadi bagian yang melengkapi persyaratan awal tadi agar ada kepastian bahwa semua program dan target yang diharapkan dapat dilaksanakan.
DESENTRALISASI DAN DISPARITAS PEREKONOMIAN DAERAH
47
Ketidakseimbangan perekonomian antar daerah di Indonesia harus dianggap sebagai masalah paling serius dalam perekonomian nasional dan dalam masalah inilah seharusnya desentralisasi bisa memberikan kontribusi yang paling signifikan. Seperti sudah dijelaskan di atas, desentralisasi juga berpotensi membuat disparitas semakin parah apabila tidak ada kebijakan khusus yang memprioritaskan upaya mengurangi kesenjangan itu sendiri. Kesenjangan perekonomian antara daerah sendiri adalah gejala alamiah yang terjadi di hampir semua wilayah di dunia, termasuk di negara maju. Italia, misalnya, mempunyai kesenjangan perekonomian yang besar antara wilayah utara dan wilayah selatan. Cina yang mempunyai pertumbuhan ekonomi spektakuler praktis bergantung pada pertumbuhan wilayah pantai timurnya. Di Amerika Serikat, orang pasti bisa merasakan adanya kesenjangan besar antara wilayah pantai barat dan timur, dengan wilayah selatan. Yang lebih ekstrim lagi, perekonomian Asia Timur (termasuk Asia Tenggara) yang dianggap sebagai wilayah dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat, ternyata terkonsentrasi di satu wilayah metropolitan, Tokyo. Sama halnya dengan perekonomian Thailand yang terkonsentrasi di metropolitan Bangkok.
Meskipun tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, kesenjangan antar daerah tetap harus diupayakan untuk dikurangi. Salah satu prinsip dasar yang harus dipegang para pengambil kebijakan adalah bahwa kesenjangan perekonomian antar daerah masih dapat ditoleransi sejauh tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional dan tidak menciptakan ketidakmerataan pendapatan yang luar biasa dalam masyarakat. Dengan kata lain, upaya melakukan redistribusi pendapatan masyarakat haruslah mendapatkan prioritas utama dibandingkan redistribusi perekonomian daerah. Satu hal lagi yang harus dilakukan dalam upaya mengurangi kesenjangan perekonomian antar daerah adalah mengurangi jarak antara daerah terkaya dengan daerah termiskin, melalui upaya khusus untuk mengangkat daerah termiskin secara signifikan.
Pemikiran ini mencoba mengemukakan kesempatan dan peluang bagi perekonomian Indonesia dengan telah dilaksanakannya desentralisasi selama lima tahun. Dari sisi konseptual, jelas bahwa desentralisasi adalah suatu kesempatan emas bagi bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan di berbagai aspek terutama politik, administrasi, dan fiskal. Lebih jauh lagi, desentralisasi dapat memberikan pengaruh positif terhadap upaya pemulihan ekonomi nasional yang saat ini mungkin dirasakan lambat. Potensi ekonomi Indonesia yang begitu besar mungkin tidak akan optimal kalau hanya diurus oleh satu pemerintah pusat yang sentralistis dan mengganggap tidak penting peran pemerintah daerah. Pemerintah daerah harus diberikan kesempatan memanfaatkan secara optimal keunggulan daerahnya sekaligus berani bersaing dengan sesama daerah di Indonesia atau bahkan dengan daerah lain di luar negeri. Persaingan yang sehat antar daerah dengan didukung fungsi pemerintah pusat sebagai regulator yang mengawasi persaingan tersebut niscaya akan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan.
48
Desentralisasi sendiri tidak boleh dianggap selesai, bahkan apabila urusan pembagian kewenangan dan keuangan antar daerah sudah dianggap beres. Keberhasilan Desentralisasi harus diukur dari kemampuan pemerintah daerah yang lebih mandiri dalam menyejahterakan masyarakat lokal sekaligus menjamin hak-hak politiknya. Bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan kemudian mentransformasikannya dalam bentuk penciptaan lapangan kerja baru dan perbaikan pendapatan masyarakat menjadi tugas utama setiap pemerintah daerah di Indonesia. Inisiatif lokal atau kebijakan ekonomi lokal dapat menjadi awal penggerak pertumbuhan ekonomi tersebut dimana kebijakan tersebut sebaiknya difokuskan pada pengendalian inflasi lokal yang secara bersama-sama akan sangat menolong upaya pengendalian laju inflasi di tingkat nasional. Desentralisasi ekonomi adalah langkah berikut dari tahapan desentralisasi, setelah desentralisasi fiskal, yang harus segera dilakukan di semua daerah di Indonesia.
Desentralisasi di Indonesia juga menghadapi tantangan untuk dapat membantu memecahkan masalah kesenjangan antardaerah yang begitu besar. Segera dilaksanakannya standar pelayanan minimum secara nasional mungkin merupakan langkah awal yang strategis dan fundamental. Dengan suatu jaminan bahwa setiap warganegara dimanapun dapat menikmati paling tidak pelayanan publik yang memenuhi standar minimum adalah resep ampuh untuk mengurangi ketidakpuasan akibat adanya ketimpangan yang kadang-kadang dirasakan terlalu mencolok. Standar tersebut juga dapat dipergunakan sebagai alat evaluasi pelaksanaan otonomi daerah bagi pemerintah daerah sendiri, terutama daerah hasil pemekaran. Penerapan standar minimum secara nasional diharapkan dapat ikut memperbaiki infrastruktur dasar di daerah yang kemudian mungkin bisa menjadi daya tarik dilakukannya kegiatan ekonomi lebih banyak di daerah tersebut. Referensi Bailey, Stephen J.(1999),”Local Government Economics : Principles and Practice”, MacMillan Press Ltd., Great Britain.
Bird, Richard and Francois Vaillancourt (1998), “Fiscal Decentralization in Developing Countries : An Overview”, in Richard M. Bird and Francois Vaillancourt (eds), Fiscal Decentralization in Developing Countries, Cambridge University Press, United Kingdom.
Braun, Joachim Von and Ulrike Grote (2002),” Does Decentralization Serve the Poor ?”, in Ethisham Ahmad and VitoTanzi (eds), Managing Fiscal Decentralization, Routledge, London.
Brodjonegoro, Bambang (2002), “Fiscal Decentralization in Indonesia”, in Hadi Susastro, Anthony L Smith, and Han Mui Ling (eds), Governance in Indonesia :
49
Challenges Facing the Megawati Presidency, The Institute of Southeast Asian Studies, Singapore
Brodjonegoro,Bambang (2004),” Indonesia Decentralization After the Revised Laws : Toward A Better Future ?”, presented at the International Symposium on Fiscal Decentralization in Asia Revisited, Hitotsubashi University, Kunitachi, Japan.
Brodjonegoro, Bambang P.S, Telissa Falianty, and Beta Y. Gitaharie (2005), “Determinant Factors of Regional Inflation in Decentralized Indonesia”, Economics and Finance in Indonesia, Vol 53, No.1, Jakarta
Davoodi, H and H.Zhou (1998),”Fiscal Decentralization and Economic Growth : A Cross Country Study, Journal of Urban Economics 43 (198), 244 - 257 Fauziah (2008), “Fiscal Decentralization and Economic Growth: Evidence from Indonesia”, Journal of Economics and Finance Indonesia, Jakarta. Giugale, Marcelo M. And Steven B Webb (2000),”Acheivements and Challenges of Fiscal Decentralization : Lessons from Mexico”, The World Bank, Washington DC.
Guevara, Miliwida (2004),” The Fiscal Decentralization Process in the Philippines : Lessons from Experience, presented at the International Symposium on Fiscal Decentralization in Asia Revisited, Hitotsubashi University, Kunitachi, Japan.
Sato, Motohiro (2004),”Fiscal Decentralization in Asia Revisited : A Theoretical Foundation, presented at the International Symposium on Fiscal Decentralization in Asia Revisited, Hitotsubashi University, Kunitachi, Japan
Tanzi,Vito (2002),”Pitfalls on the Road to Fiscal Decentralization”, in Ethisham Ahmad and VitoTanzi (eds), Managing Fiscal Decentralization, Routledge, London.
Zhang, T. And H.Zhou (1998),”Fiscal Decentralization, Public Spending, and Economic Growth in China”, Journal of Public Economics 67 (1998), 221 - 240
50
Appendix: Perbandingan Internasional Kebijakan Desentralisasi Fiskal Hambatan dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal mungkin tidak hanya kasus unik yang terjadi di Indonesia. Negara-negara lain yang menerapkan kebijakan desentralisasi, untuk tingkatan tertentu, juga mengalami tantangan serupa, misalnya masalah tingginya pertumbuhan sektor publik, unintended respon dari otonomi penerimaan yang relatif terbatas, kurangnya disiplin fiskal dan kendala soft budget constraint dalam mekanisme sistem transfer.
Dari sistem dana perimbangan di Indonesia, kebijakan DAU terkait dengan perbaikan formula terkait dengan azas dari alokasi berdasarkan fiscal gap dan identifikasi atau pemilihan indikator yang lebih terukur untuk perhitungan kapasitas fiskal. Penerapan formula fiscal gap dalam DAU yang belum sepenuhnya murni diterapkan karena masing mengandung komponen historis alokasi minimum yang terdiri dari komponen belanja gaji pegawai merupakan salah satu faktor yang membatasi kemampuan dan efektifitas distribusi dari transfer DAU. Alokasi minimum juga memberikan disinsentif bagi pemerintah daerah untuk efisiensi belanja personil. Permasalahan formula transfer yang justru mengarah pada “big government” juga merupakan salah satu kendala yang dihadapi negara berkembang seperti yang terjadi di Filipina dan India. Untuk negara OECD, contoh kasus Italia dan Spanyol yang justru mengalami peningkatan belanja personil pada saat penerapan desentralisasi juga terkait dengan desain financing arrangements antar tingkat pemerintahan (Joumard dan Giorno 2005).
Dalam hal pajak daerah, penetapan jenis pajak dan desain pajak daerah relatif beragam antar negara. Beberapa negara seperti U.S dan Kanada menetapkan otonomi yang luas untuk tingkatan propinsi, dan penetapan pajak daerah cenderung merupakan kebijakan yang di formulasikan dan ditetapkan oleh tingkat pemerintahan level propinsi. Oleh karena itu, otonomi penerimaan justru bertumpu pada tingkat propinsi, dan salah satu ciri dari diskresi pengelolaan pajak tersebut adalah tidak semua propinsi memiliki jenis dan struktur pajak yang sama. Pajak daerah pada prinsipnya adalah pajak yang dalam penentuan tariff ataupun cakupan basis pajak ditentukan oleh pemerintah daerah. Sementara itu, perubahan bertahap untuk memobilisasi pendapatan dan juga sebagai stimulasi bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan SDM dalam administrasi pajak daerah, kewenangan untuk penetapan tariff pajak dapat dimulai melalui percepatan pengalihan PBB (property tax). Property tax dibanyak negara adalah pajak pemerintah daerah dan bukan pemerintah pusat, seperti dalam kasus Indonesia. Namun demikian, aplikasi dari 51
negara-negara berkembang dalam hal administrasi property tax relatif tidak seragam. Sebagian negara, seperti Cina dan India menetapkan pajak property sebagai bagian dari pajak propinsi, sementara U.S dan Afrika Selatan merupakan contoh negara yang menetapkan property tax sebagai pajak distrik ---pajak untuk tingkatan pemerintahan kabupaten/kota.
Pinjaman daerah merupakan kebijakan yang belum dan memang dipertahankan untuk tidak dikeluarkan oleh pemerintah pusat untuk saat ini. Namun demikian, walaupun dalam praktiknya, pemerintah belum mengeluarkan kebijakan untuk penerusan pinjaman luar negeri, regulasi kebijakan mengenai batasan defisit anggaran daerah juga telah diperbaharui dan Keputusan Menteri Keuangan cenderung untuk meningkatkan batasan defisit atau pembiayaan melalui pinjaman. Perubahan regulasi juga mengindikasikan bahwa sementara terdapat banyak daerah yang tidak melakukan penyerapan anggaran secara penuh (realized surplus), dilain pihak, juga didapati daerah-daerah yang memiliki tingkat defisit yang tinggi. Sebagai perbandingan, India dan Argentina, mengalami defisit yang relatif tinggi, ketika kran pinjaman daerah relatif sangat liberal dan tidak adanya constraint yang cukup dan enforceable untuk pembatasan defisit ataupun pinjaman oleh pemerintah daerah (Purfield 2003).
Tabel A1 Mekanisme Pembatasan untuk Pinjaman Daerah: Komparasi antar Negara Negara
Apakah Daerah boleh Meminjam
Administrasi Pinjaman Domestik
Apakah Pinjaman Luar Negeri dibolehkan
Batasan Jumlah Pinjaman
Index Otonomi Pinjaman
India
Ya
Pusat
Tidak
Tidak
Jerman
Ya
Peraturan
Peraturan
golden-rule
Kanada
Ya
market based
market based
Tidak
Argentina
Ya
Pusat
Boleh melalui Pemerintah Pusat008
Hampir semua propinsi menetapkan pembatasan deb service/revenue
Mexico
Ya
Pusat
Dilarang
Beberapa negara bagian menetapkan batasan obligasi terhadap transfer
2.8 (propinsi)
Indonesia
Ya
Pusat; pinjaman belum dibolehkan untuk tahun 2001-2008
Boleh melalui Pemerintah Pusat; pinjaman belum dibolehkan untuk tahun 2001-2008
Batasan maksimum obligasi terhadap penerimaan daerah dan debt service
NA
2.5 2.7 (propinsi) 3.25 (propinsi) 4 (propinsi)
52
China
Tidak
Dilarang
Dilarang
NA
NA
Afrika Selatan
Ya
Ditentukan oleh Pusat
Hanya dibolehkan dalam bentuk domestic currency
Tidak ada pembatasan, tapi penjaminan oleh pemerintah pusat tidak dibolehkan
NA
Sumber: Purfield (2003)
Dalam hal otonomi khusus, penerapan asymmetric decentralisation diterapkan lebih pada faktor historis. Tidak ada keterkaitan antara otonomi penerimaan dengan penerapan otonomi khusus. Dana otonomi khusus untuk Papua dan Aceh lebih bersifat adhoc lump-sum grants dan bukan didasarkan atas diskresi pengelolaan pajak daerah maupun kebutuhan atas pelayanan publik atau expenditure need. Sepertinya untuk saat ini, prioritas pemerintah tidak pada penentuan besaran dana dari otonomi khusus per se, tapi lebih pada efektifitas penggunaan dana tersebut yang saat ini diserahkan dalam bentuk block grants. Oleh karena itu, selain dana otonomi khusus, pemerintah juga menyalurkan dana infrastruktur secara lump-sum di dua daerah ini sebagai salah satu sektor prioritas nasional. Sebagai perbandingan, Spanyol dan juga Kanada termasuk dua negara yang menetapkan asymmetric decentralization yang selain didasarkan pada kondisi historis otonomi wilayah tersebut, dalam konteks fiskal, juga dikaitkan dengan keleluasaan pengelolaan pajak daerah. Hal yang sama juga diterapkan pada sistem desentralisasi fiskal di Spanyol (Box 1).
Box 1 Spain Foral System: Penerapan Asymmetric Decentralization Spanyol mengadopsi asymmetric decentralization dari segi financing arrangements untuk dua wilayah, yaitu Pais Vasco dan Navarra. Kedua wilayah ini yang terkaya di Spanyol berhak untuk mendapatkan hampir seluruh penerimaan dari pajak yang berasal di jurisdiksi kedua wilayah tersebut. Otomatis, Pais Vasco dan Navarra, tidak diwajibkan untuk kontribusi dalam pool equalization grants. Pembedaan financial arrangement untuk kedua wilayah ini, the foral system, didasarkan pada pengumpulan pajak sudah selayaknya dimanfaatkan untuk wilayah dimana pajak tersebut dipungut, sementara sistem financial arrangement untuk wilayah lainnya, the common system, menetapkan bahwa sebagian besar pajak jatuh sebagai pajak pusat dan daerah dapat memperoleh equalization grants yang dihitung utamanya berdasarkan populasi. Untuk itu, the foral system mengacu pada azas manfaat (benefit) dari pengumpulan pajak sementara the common system mengacu pada kebutuhan fiskal (need). Dalam hal ini, pembatasan perlakuan khusus dalam bentuk penetapan pajak yang otonom hanya untuk kedua wilayah ini adalah karena perluasan perlakuan khusus dapat berimplikasi pada menurunnya total dana transfer yang tersedia untuk equalization grants. Pemberlakuan asymmetric decentralization juga akan membuat daerah-daerah lainnya untuk menuntut perlakuan yang sama. Namun, dalam kasus Spanyol, kedua wilayah yang mendapatkan perlakuan khusus dalam financial arrangement, secara ekonomi relatif kecil dari keseluruhan perekonomian nasional. Pais Vasco dan Navarra GDRP hanyalah sebesar masing 6.4 percent dan 1.7 percent dari total GDP Spanyol. Oleh karena itu, pencabutan
53
perlakuan khusus untuk kedua wilayah ini juga tidak akan berpengaruh banyak terhadap pool equalization grants. Sumber: Joumard dan Giorno (2005), http://www.worldbank.org/mdf/mdf1/asymmet.htm
Selain itu, dari sisi pengeluaran, tantangan kebijakan desentralisasi terkait dengan expenditure assignment, adalah kesinambungan dari devolusi pengeluaran yang belum banyak terkait dengan upaya efisiensi pengeluaran dan peningkatan efektifitas belanja pemerintah. Salah satu kebijakan adalah dengan penetapan SPM terutama untuk pelayanan dasar. Isu yang terkait dengan penerapan SPM di Indonesia adalah koordinasi dengan departemen sektoral terutama untuk penetapan indikator (Nota Keuangan 2009), dan belum jelasnya hubungan antara sumberdaya (resource constraint) dengan penetapan SPM (Martinez-Vazquez et al. 2004, Brodjonegoro 2004). Dalam hal ini, menurut Martinez et al. (2004), isu serupa juga dihadapi oleh negara berkembang lainnya seperti di Tanzania, Latvia, dan Ukraine.7
Pada saat ini, penerapan SPM yang relatif lambat untuk sektor pelayanan dasar juga diakibatkan oleh belum terintegrasinya proses perencanaan dan penetapan anggaran. Perencanaan relatif sangat bersifat umum, dan pada akhirnya penetapan anggaran cenderung tidak berdasarkan rencana strategis yang dikembangkan. Terkait dengan proses perencanaan, DPD telah mengembangkan metode untuk memfokuskan perencanaan pada tingkat kabupaten/kota. Dalam hal ini, tahapan perencanaan tidak perlu kembali dilakukan ditingkat propinsi dan pusat, selain untuk upaya atau memfasilitasi regulasi yang dapat mendukung implementasi perencanaan oleh pemerintah daerah.
Perbaikan rancangan kebijakan desentralisasi diharapkan dapat menjamin konsistensi proses kebijakan desentralisasi. Berikut tinjauan pengalaman negaranegara lain mengenai desentralisasi fiskal, dengan fokus pada empat negara: Jepang, Vietnam, China, dan India. Pemilihan empat negara ini, secara umum, adalah karena negara-negara ini sudah menerapkan standar pelayanan minimum (SPM) baik untuk tingkat nasional maupun variasi penerapan SPM di tingkat pemerintahan subnasional, sementara pembiayaan pemerintah daerah di negara-negara ini masih bergantung pada transfer antar-pemerintahan dalam bentuk block grant.
7 Pada prinsipnya, upaya mengaitkan pembiayaan dengan penetapan SPM per sektor dapat didasarkan atas closed list dari pembagian urusan pemerintahan dengan asumsi cakupan sektor ataupun urusan pemerintahan spesifik dan jelas sehingga dapat dikaitkan dengan pembiayaan, seperti yang diterapkan di Tanzania. Sementara itu, urusan kewenangan daerah untuk konteks Latvia dan Ukraine yang bersifat open list berimplikasi pada penyesuaian SPM hanya pada sektor-sektor yang menjadi prioritas daerah dan disesuaikan dengan sumberdaya daerah tersebut (Lihat Martinez et al. 2004).
54
Desentralisasi fiskal di Cina memberikan keunikan untuk dibandingkan dengan kasus Indonesia mengingat kedua negara mulai dengan pendekatan perencanaan terpusat untuk menjalankan program ekonomi pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (Hofman dan Zhao 2007). Implementasi desentralisasi di Cina juga dihadapkan pada permasalahan efektifitas pajak yang relatif kurang berkembang terutama karena permasalahan dari extra-budgetary account, walaupun secara umum mekanisme insentif “pajak daerah” relatif telah memacu pertumbuhan ekonomi di Cina. Sementara India juga dapat memberikan gambaran kondisi penerapan sistem pinjaman daerah yang relatif liberal dan kemudian melakukan penataan kembali sistem pinjaman dan transfer antar tingkatan pemerintahan. India adalah contoh negara demokratis yang melibatkan kebijakan sistem transfer dengan penekanan pada tingkatan negara bagian atau propinsi. Dari empat negara tersebut, kecuali India, semua negara adalah negara kesatuan yang mungkin merupakan contoh transisi yang relatif mendekati karakteristik dari negara Indonesia. Kasus desentralisasi fiskal Vietnam menampilkan transformasi dari sentralisasi administratif ke dekosentrasi dengan tahapan yang lebih perlahan dibandingkan dengan Indonesia dan Cina. Jepang juga menggambarkan contoh kasus dari gradual atau incrementalist approach untuk penerapan kebijakan desentralisasi fiskal.
Jepang Sejak satu dasawarsa terakhir terdapat kemajuan yang pesat dalam kebijakan desentralisasi fiskal di Jepang. Pada April 2000, Decentralization Package Law yang bertujuan meningkatkan otonomi daerah baik dari sisi belanja maupun penerimaan daerah mulai diberlakukan. Pembagian Kewenangan Belanja publik termasuk belanja pendidikan dan infrastruktur sebagian besar merupakan kewenangan pemerintah daerah, sedangkan pemerintah pusat menarik pajak untuk mendapatkan penerimaan. Distribusi fungsi yang asimetris ini menyebabkan terjadinya kesenjangan fiskal vertikal yang ditutup dengan transfer. Dengan adanya bagian besar transfer yang diberikan bersama dengan diskresi dari pemerintah pusat, pemerintah daerah hanya memiliki sedikit otoritas. Kondisi fiskal di Jepang masih ditandai dengan dominannya kebijakan yang dirancang oleh pemerintah pusat. PDB pengeluaran (FY2001) berjumlah kurang lebih 502 triliun yen. Belanja pemerintah total menyumbang 121 triliun yen (24.2%). Pemerintah pusat menyumbang 23 T yen (4.6%) dan pemda menyumbang 67 T yen (13.5%). Selisihnya adalah Social Security Fund. Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini, belanja pemda terutama pada sektor yang berkaitan pada kehidupan sehari-hari. Tertinggi ada pada sektor kesehatan publik dan sanitasi. Pemda juga mengawasi 70% dari total pekerjaan umum. Sedangkan belanja nasional tertinggi adalah pada sektor pertahanan, hubungan internasional, dan dana pensiun.
55
Gambar A1. GDP dan Keuangan Publik di Jepang
Sumber: “White Paper on Local Public Finance, 2003
Gambar A2. Porsi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah di Jepang
Sumber: “White Paper on Local Public Finance, 2003”
56
Perimbangan Keuangan Sejak awal 70an, ketika ekonomi Jepang melambat dan memasuki periode stabil, pemerintah pusat memberikan dana transfer yang sangat besar ke daerah miskin dengan tujuan redistribusi pendapatan. Investasi publik meningkat pesat yang ditujukan untuk redistribusi pendapatan dan menciptakan lapangan kerja, sehingga akibatnya daerah miskin menjadi tergantung pada investasi pemerintah ini dan dana transfer. Sama seperti negara lainnya, ada dua macam dana perimbangan ke daerah yaitu dana alokasi umum (block grant) dan dana alokasi khusus (matching grant). Matching grant disebut “national reimbursement” yang ditentukan oleh kementerian teknis, sedangkan block grant disebut “Local Allocation Tax” (LAT) yang dibawah otoritas Kementrian Administrasi Umum. LAT ditentukan dengan rasio sebagai berikut: 32% PPh individu, 35.8% PPh badan, dan pajak minuman keras, 29.5% untuk pajak konsumsi dan 25% untuk pajak rokok. 94% LAT untuk pemerintah daerah dialokasikan berdasarkan kesenjangan fiskal daerah tersebut, yaitu kebutuhan fiskal dikurang estimasi total penerimaan tiap daerah. Jumlah total LAT pada tahun fiskal 2006 kurang lebih 15.9 triliun JPY (atau USD 140 milyar). Meskipun secara formal LAT ditentukan dengan formula, tetapi terdapat intervensi terhadap formula ini. Dana talangan bisa dimasukkan dalam LAT, sehingga pemerintah daerah cenderung tidak independen untuk menyelesaikan permasalahan fiskalnya sendiri. Skema talangan dimasukkan dalam perhitungan kebutuhan fiskal standar yang didasarkan pada formulasi yang rumit. Sebaliknya peningkatan kapasitas fiskal daerah menyebabkan menurunnya jumlah LAT yang ditransfer ke daerah. Hal ini menyebabkan daerah miskin mendapat insentif untuk tetap menjadi miskin, sedangkan daerah kaya mendapat insentif untuk meningkatkan kapasitas fiskalnya walaupun tidak menerima LAT. Akibat dari insentif yang berlawanan antara daerah penerima LAT dan daerah bukan penerima LAT, kesenjangan horizontal semakin melebar dan ketergantungan fiskal daerah miskin semakin tinggi.
India India adalah negara berkembang dengan tradisi struktur federal yang dijalankan secara demokratis. Pada kenyataannya, sistem federalisme di India adalah sangat sentralistik dimana pemerintah pusat menguasai sumber-sumber penerimaan pajak yang signifikan dan dijamin dengan kekuasaan untuk mencabut keputusan yang dibuat pemerintah daerah. Dengan mempertimbangkan keragaman daerah di India yang sangat tinggi, maka pemerintah pusat yang kuat diperlukan untuk menjaga agar negara ini tidak pecah. Sedangkan bentuk federasi diadopsi untuk menghormati keberagaman kepentingan nasional. Setelah menerapkan sentralisasi selama tahun 1960an, India kemudian berpindah ke tahapan desentralisasi fiskal. Bentuk yang diadopsi adalah meningkatkan porsi negara bagian terhadap basis pajak yang dibagihasilkan yaitu pajak penghasilan individu dan cukai. Selain itu pada tahun 1980an mulai dilakukan desentralisasi kepada distrik (kabupaten). Ketika proses desentralisasi ini berlangsung, pemerintah 57
meningkatkan belanja sektor publik secara signifikan sehingga India mengalami defisit anggaran yang tinggi baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah negara bagian. Hal ini kemudian menyebabkan ketidakstabilan makroekonomi yang lantas menyebabkan krisis nilai tukar pada tahun 1991. Alokasi Kewenangan Sesuai dengan konstitusi India, pembagian kewenangan penerimaan dan belanja didasarkan pada prinsip normatif pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan. Barang publik yang bersifat nasional seperti pertahanan dan perdagangan luar negeri merupakan kewenangan pemerintah pusat, sedangkan urusan lokal seperti pertanian dan pendidikan dasar adalah tanggung jawab pemerintah daerah. Selain itu terdapat tugas bersama semisal pembangunan ekonomi dan sosial. Tabel A2. Alokasi Kewenangan di India Tingkat Pemerintahan
Tugas
Pusat
Pertahanan, Hubungan luar negeri, perdagangan luar negeri, perbankan, asuransi, industri, mineral, tenaga kerja, energi, transportasi kereta api dan udara, perkapalan, pengembangan kota
Negara Bagian
Pertanian, Pendidikan dasar, kesehatan dasar, jalan, koperasi, kesejahteraan sosial
Tugas Bersama
Perencanaan sosial dan ekonomi, kehutanan, pendidikan tinggi
Sumber: Hitotsubashi Journal of Economics, 2000 Di sisi penerimaan, sebagian besar basis pajak yang bergerak, seperti pajak penghasilan badan, dimiliki oleh pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah menguasai basis pajak yang tidak berpindah. Pajak daerah meliputi pajak tanah dan bangunan, pajak penghasilan pertanian, pajak motor, dan pajak penjualan. Ada upaya untuk memisahkan basis pajak antara dua tingkat pemerintah tergantung dari tingkat mobilitas basis pajak tersebut. Pemisahan ini dilakukan secara legal tetapi tidak memenuhi kaidah ilmu ekonomi. Contohnya adalah pemerintah pusat memungut pajak produksi, seperti cukai, sedangkan negara bagian memungut pajak konsumsi, seperti pajak penjualan pada basis pajak yang sama. Selain terdapat overlap pada sebagian besar basis pajak terutama untuk pajak tidak langsung, konstitusi India juga mengizinkan negara bagian memungut beberapa pajak yang menciptakan halangan transaksi barang dan jasa antar negara bagian. Contohnya adalah pajak yang dikenakan pada negara bagian yang menjual, dan negara bagian juga dapat mengenakan pajak bea masuk untuk barang konsumsi dari negara bagian lain. Praktek ini tidak hanya akan mengganggu efisiensi alokasi sumber daya antara negara bagian tetapi juga menciptakan konsekuensi negatif terhadap pembangunan nasional.
58
Transfer Karena basis pajak yang signifikan dikuasai oleh pemerintah pusat, terjadilah kesenjangan fiskal vertikal yang perlu ditutup dengan transfer dari pemerintah pusat. Pada tahun 1990, penerimaan dari PAD menyumbang sekitar 45% dari total anggaran daerah, sedangkan sisanya dibiayai melalui dana perimbangan dan pinjaman. Pemerintah pusat mengontrol secara ketat pinjaman yang dilakukan oleh negara bagian. Sebagai tambahan, kesenjangan fiskal horizontal yang disebabkan oleh ketidakmerataan pembangunan antar daerah membuat pentingnya transfer untuk mencapai tingkat pelayanan publik minimum dan pemerataan beban pajak. Transfer dari pusat ke negara bagian dilakukan melalui tiga saluran: 1) Komisi Keuangan, 2) Komisi Perencanaan, dan 3) Kementrian. Tabel A3. Skema Transfer di India Bantuan Sifat Porsi (1990-95)
Komisi Keuangan
Komisi Perencanaan
Bebas/Berdasarkan formula
Alokasi khusus
38.67%
67.33%
Kementrian
Sumber: Hitotsubashi Journal of Economics, 2000 Komisi Keuangan yang dibentuk atas rekomendasi dari Australian Grants’ Commission yang mengusulkan pembagian dari 1) Pajak penghasilan, dan 2) bea cukai, antara pusat dan negara bagian (untuk mengurangi kesenjangan fiskal vertikal) dan antar negara bagian (untuk mengurangi kesenjangan fiskal horizontal). Pembagian ini didasarkan penilaian dan estimasi pengeluaran dan pendapatan pemerintah pusat dan negara bagian. Transfer ini bersifat block grant. Komisi Perencanaan memberikan hibah dan pinjaman pada negara bagian yang ditujukan untuk pembiayaan pembangunan. Dukungan finansial ini perlu karena negara bagian bertanggung jawab untuk mengembangkan ekonomi tetapi tidak memiliki sumber penerimaan yang cukup untuk membiayai fungsi ini. Rencana pembangunan yang secara finansial dibantu dan disetujui oleh Komisi Perencanaan meliputi: i) irigasi, ii) pendidikan, iii) kesehatan publik dan iv) kesejahteraan sosial. Signifikansi bantuan ini secara relatif meningkat, tetapi distribusinya masih bersifat diskresi. Komisi Perencanaan dan juga kementerian lain ikut mencampuri keputusan negara bagian dalam skema pembangunan mereka dan sebagai akibatnya, kebutuhan lokal dan kondisi lokal mungkin kurang diperhitungkan dalam perencanaan. Selain itu, kesalahan manajemen dalam skema pembangunan yang dibiayai oleh utang telah membuat beberapa negara bagian masuk dalam jeratan utang, dan meningkatkan keterbatasan mencari kredit pada otonomi fiskal daerah.
59
China Di tengah kesuksesan fenomenal China dalam membangun ekonominya, negara ini kurang begitu sukses dalam memperluas basis pajak. Baik pemerintah pusat maupun daerah belum mampu menjangkau basis pajak ke perusahaan-perusahaan swasta yang tumbuh pesat sejak tahun 1980an, sehingga beban pajak lebih banyak ditanggung oleh BUMN yang prospeknya mulai menurun. Pada tahun 1995, estimasi menunjukkan bahwa dari tarif pajak rata-rata untuk pajak bisnis dan industri yaitu sebesar 7,3%, tarif pajak untuk perusahaan bersama hanyalah 3,6% dan untuk perusahaan swasta sebesar 3,3%. Hal ini juga bisa dilihat dari kecenderungan penurunan penerimaan pajak penghasilan perusahaan sebagai persentase dari GNP bersamaan dengan penurunan porsi nilai BUMN dalam output industri total (Tabel 3). Sebagai akibatnya, penerimaan pemerintah baik pusat maupun daerah terhadap GDP juga berkurang.
Tabel A4. Rasio Penerimaan terhadap GDP
Tahun
Rasio penerimaan pusat dan daerah terhadap GDP (%)
Rasio penerimaan dari pajak penghasilan perusahaan terhadap GNP (%)
Porsi nilai BUMN terhadap output industri total (%)
1985
22.4
8.23
64.9
1990
15.8
4.27
54.6
1993
12.6
2.11
47.0
1994
11.2
1.52
37.3
1995
10.7
1.53
34.0
1898
12.4
n.a.
28.5
Sumber: Hitotsubashi Journal of Economics, 2000 Selama tahun 1980an, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di China didasarkan pada sistem kontrak fiskal. Kontrak bisa berupa macam-macam. Umumnya, sistem kontrak fiskal ini membolehkan pemerintah provinsi mengambil sebagian dari penerimaan pajak yang dipungut di daerahnya. Porsi yang diambil bervariasi antar provinsi sampai dengan marjin maksimum adalah 100%. Kelebihan sistem ini adalah terbentuknya hubungan positif yang kuat antara penerimaan lokal dan pembangunan ekonomi lokal. Selaras dengan prinsip “market preserving federalism”, pada gilirannya hal ini akan memotivasi pemerintah daerah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi regional karena mereka memiliki instrumen kebijkanan dan kemampuan untuk memenuhi fungsi ini. Pada faktanya, kiat bisa melihat bahwa China sukses dalam membangun ekonominya selama era 1980an. Di pertengahan 80an, pemerintah pusat menerapkan reformasi perpajakan yang ditujukan untuk meningkatkan porsi penerimaan pajak pemerintah pusat, tetapi usaha ini gagal karena penolakan yang kuat dari pemerintah daerah, sehingga akhirnya sistem kontrak fiskal ini tetap berjalan sampai tahun 1994. 60
Pada tahun 1994, dimulai reformasi perpajakan. Tujuannya ada dua, pertama meningkatkan rasio penerimaan pemerintah terhadap GDP, dan kedua meningkatkan rasio penerimaan pemerintah pusat. Berbeda dengan sistem kontrak fiskal yang terdiferensiasi antar daerah, skema bagi hasil pajak ini bersifat formal. Pembagian kewenangan perpajakan diberlakukan, dan dibentuk pula badan pemungut pajak nasional. PPN juga dibagi hasilkan antara pusat dan daerah dengan rasio 75:25. PPh individu dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah daerah sementara kewenangan memungut PPh badan dialokasikan sesuai dengan kepemilikan BUMN/D. Tabel A5 Pembagian Kewenangan Pajak pada reformasi 1994 Pusat
Pajak Perusahaan pada BUMN Bea cukai dll PPh individu
Daerah
Pajak Perusahaan pada BUMD, perusahaan bersama, dan swasta. Pajak Penghasilan Bisnis PBB dsb
Bagi Hasil
PPN Pajak SDA
Sumber: Hitotsubashi Journal of Economics, 2000 Reformasi 1994 ditujukan untuk membentuk sistem yang universal dan bagi hasil dari atas ke bawah. Berlawanan dengan tujuan ini, pemerintah daerah merespon dengan memperluas anggaran ekstra dan anggaran luar (off-budget) untuk mencegah pemerintah pusat mengambil sumber daya fiskal dari mereka. Extra dan off-budget adalah salah satu karakteristik khusus keuangan publik di China di mana terdapat hubugan erat antara pemerintah dan BUMD. Suatu estimasi menunjukkan bahwa nilai dari extra dan off-budget melebihi ratio penerimaan pusat dan daerah (12% pada tahun 1998); secara total rasio penerimaan aktual pemerintah bisa mencapai 25% dari GDP. Saat ini pemerintah daerah lebih mengandalkan penerimaan-penerimaan ad-hoc dari aktivitas ekonomi, yang dimasukkan ke off-budget. Hal ini mengorbankan efisiensi dari alokasi sumber daya karena pungutan-pungutan ini bersifat distortif. Desentralisasi fiskal di China setalah tahun 1970an memberikan kewenangan yang lebih pada pemerintah daerah sehingga membantu meningkatkan perekonomian daerah. Tetapi hal ini juga membawa konflik kepentingan mengenai penerimaan antara pusat dan daerah. Selain itu, dalam proses pembangunan, kesenjangan antar provinsi-provinsi di daerah pesisir dengan provinsi-provinsi di daerah barat semakin meningkat. Pemerintah pusat sekarang menghadapi tugas memeratakan kapasitas fiskal antar daerah yang belum dipertimbangkan oleh reformasi 1994.
61
Vietnam Sistem desentralisasi di Vietnam dicirikan dengan dekonsentrasi dan desentralisasi administrasi, dimana pemerintah daerah bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah pusat. Alokasi anggaran termasuk investasi dilaksanakan dengan pendekatan pusat ke daerah, sehingga kurang memperhatikan keunikan daerah dan tidak fleksibel. Hal ini menyebabkan inefisiensi dalam belanja publik. Penentuan alokasi oleh pemerintah pusat ke daerah dilakukan secara diskresi dan tergantung dari negosiasi antar kementerian dan juga antar pusat dan daerah. Konsekuensinya alokasi antar daerah mungkin bersifat distortif. Ada kecenderungan daerah kaya justru akan mendapatkan alokasi belanja publik yang lebih besar, sehingga mengakibatkan kesenjangan fiskal horizontal yang makin lebar. Tabel A6. Besarnya Anggaran Pusat dan Daerah 1991
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Pusat
61.2%
71.7
70.5
67.0
66.7
66.5
66.8
Daerah
38.8%
28.3
29.5
33.0
33.3
33.5
33.2
Sumber: Hitotsubashi Journal of Economics, 2000 Walaupun otonomi dalam belanja publik telah meningkat sejak tahun 1990an, pada kenyataannya otoritas daerah untuk melakukan otonomi sangat terbatas karena minimnya sumber daya fiskal daerah. Terdapat kesepakatan pajak antara pusat dan daerah, yang agak mirip dengan kasus China sebelum reformasi 1994. Daerah berhak mengambil kelebihan penerimaan pajak dari yang ditargetkan. Insentif yang dimaksudkan adalah daerah termotivasi untuk memberdayakan sumber daya demi pembangunan lokal. Walaupun insentif ini memberikan hasil, tetapi provinsi yang kaya mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi lagi. Pemerintah daerah yang miskin pada akhirnya terpaksa mengandalkan pada sumber ad-hoc untuk membiayai belanja daerahnya. Referensi Hitotsubashi Journal of Economics, vol 41 (2), December 2000, Special Volume for International Symposium on Decentralization and Economic Development in Asian Countries. Hofman, B., M. Zhao (2007). "Asian Development Strategies: China and Indonesia Compared." Bulletin of Indonesian Economic Studies 43(2): 171. Joumard, I. and C Giorno (2005). Getting the Most Out of Public Decentralisation in Spain. OECD Economics Department Working Papers No. 436. OECD Publishing. Martinez-Vazquez, J., J. Boex, and G. Ferrazzi. (2004). Linking Expenditure Assignments and Intergovernmental Grants in Indonesia. ISP Working Paper 04-05, AYSPS, Georgia State University. Purfield, C. (2003). The Decentralization Dilemma: The Case of India. IMF Yagi, K. (2004). “Decentralization in Japan”. Policy and Governance Working Paper Series No. 30 62