1 BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Peraturan penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah yang dituangkan dalam TAP MPR No XV/MPR/1998 merupakan acuan dasar bagi tiap daerah di Indonesia untuk menjalankan pembangunan di wilayahnya sendiri. Daerah diberikan wewenang dan tanggungjawab untuk melaksanakan pembangunan dan pengembangan masyarakat di wilayahnya. Selama masa orde baru, harapan yang besar dari pemerintah daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Yang terjadi adalah ketergantungan fiskal dan subsidi serta bantuan pemerintah pusat sebagai wujud ketidakberdayaan PAD dalam membiayai APBD (Mardiasmo, 2002). Dengan adanya era reformasi khususnya dalam bidang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal setelah masa krisis tersebut maka pemerintah pusat dengan giat memprioritaskan pembangunan sebagai tanggungjawab bagi pemerintah daerah. Adanya pembangunan daerah menuntut pemerintah daerah untuk mampu mengelola sumber daya ekonominya secara efektif dan efisien untuk pencapaian kemajuan daerah serta kesejahteraan masyarakatnya. Pembangunan daerah juga bertujuan untuk memberdayakan masyarakat lokal sehingga masyarakat tersebut dapat menikmati kualitas hidup yang lebih baik.
2 Dalam pengelolaan keuangan daerah, pemerintah dihadapkan pada dua hasil guna yang harus dicapai yaitu: 1. Peningkatan penerimaan daerah, baik dari sumber bagi hasil, pendapatan asli daerah sendiri, ataupun sumber yang lainnya. 2. Peningkatan efisiensi dan efektifitas pengeluaran keuangan daerah sehingga tepat pada sasaran pembangunan daerah dan tidak terjadi kebocoran. (Riyardi dkk, 2002). Kemampuan untuk mengelola keuangan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan pelaksanaan pembangunan daerah (self supporting). Setiap daerah harus mempunyai sumber-sumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaraan otonominya. Pemerintah daerah harus tanggap dan mampu menggali potensi-potensi daerah yang dapat dijadikan sumber penerimaan bagi kas daerah. Sumber-sumber pendapatan potensial yang dimiliki daerah akan menentukan tingkat kemampuan keuangannya. Setiap daerah mempunyai potensi pembangunan yang berbeda-beda, sesuai dengan kondisi ekonominya, sumber daya alam, luas wilayah dan jumlah penduduk sehingga memberikan kesempatan pada daerah untuk mengembangkan diri sesuai dengan potensi dan kondisinya (Halim, 2001). Pajak saat ini merupakan sumber yang paling potensial bagi daerah, dengan penerimaan yang besar dari sektor pajak akan meminimalkan ketergantungan daerah terhadap dana dari pusat serta menambah jumlah pendapatan asli daerah (selanjutnya disebut PAD) tersebut. Dengan meningkatnya jumlah PAD suatu daerah, biasanya juga dapat menggambarkan pertumbuhan kegiatan ekonomi di daerah tersebut. Namun peningkatan PAD belum dapat menjadi tolak ukur keberhasilan pelaksanaan
3 otonomi daerah tanpa didukung dengan peningkatan kualitas pelayanan bagi masyarakat serta pertumbuhan pembangunan dan kesejahteraan daerah. Pemerintah daerah harus mampu mengelola dan mengalokasikan dana seefektif dan seefisien mungkin agar terjadi keseimbangan antara rencana dan tujuan pencapaian dari pungutan pajak yang berasal dari masyarakat. Pajak sebagai penyumbang terbesar bagi pendapatan daerah selain mempunyai fungsi pokok yaitu fungsi budgeter dan fungsi reguler, pajak juga mempunyai fungsi tambahan yang tidak kalah pentingnya yaitu fungsi demokrasi dimana pajak yang dipungut dari masyarakat harus diimbangi dengan pemenuhan hak masyarakat untuk menerima pelayanan yang baik dari pemerintah. Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu: 1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat 2. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah 3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat, ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan (Mardiasmo, 2002) Pemerintah daerah pada hakekatnya sedang dan terus menerus melakukan program tersebut. Pemerintah daerah dalam hal mempublikasikan pajak kepada masyarakat punya semboyan yang berbunyi: “Pajak Lancar Pembangunan Lancar“. Namun pada kenyataannya masyarakat masih merasa bahwa mereka belum merasakan nilai positif dari membayar pajak kepada pemerintah (Kompas, 2007).
4 Praktek di lapangan terkadang dengan alasan otonomi daerah kabupaten maupun kota terkesan asal memungut pajak dan retribusi kepada masyarakatnya demi meningkatkan PAD. Padahal pajak dan retribusi ini bisa saja kontra-produktif terhadap perekonomian setempat. Persoalannya adalah bagaimana pemerintah daerah mengembangkan dan mengefektifkan penggunaan PAD sehingga tidak membebani masyarakat. Masalah ini akan sulit sepanjang daerah masih mengutamakan belanja untuk keperluan yang tidak produktif yang jumlahnya bisa lebih besar dibandingkan dengan kemampuan pendapatannya. Untuk itu diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui sejauh mana dana pajak daerah yang dipungut dari masyarakat digunakan kembali oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan di daerahnya. Perlu diketahui bagaimana pemerintah daerah membuat rencana anggaran penggunaan dana pajak, realisasi, serta penggunaannya untuk kepentingan masyarakat, dalam hal ini alokasi anggaran sektor pajak terhadap belanja pembangunan. Dari uraian diatas maka penelitian ini diberi judul “Analisis Kontribusi Pajak Daerah Kota Yogyakarta Terhadap Pendapatan Asli Daerah Dan Belanja Daerah Di Sektor Pembangunan Pada Tahun Anggaran 1997-2006”. Penelitian ini akan mengkaji aspek-aspek yang berhubungan dengan pajak daerah dan alokasinya untuk biaya pembangunan untuk pelayanan kepada masyarakat.
1.1.1
Profil Wilayah
Kota Yogyakarta berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang berada di bagian tengah Pulau Jawa. Provinsi DI Yogyakarta sendiri merupakan salah satu daerah yang diberi status istimewa oleh pemerintah Indonesia karena daerah ini
5 merupakan daerah kesultanan yang pernah menjadi ibukota RI sebelum pindah ke DKI Jakarta. Kota Yogyakarta merupakan ibukota dari provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang merupakan salah satu provinsi terkecil di Indonesia (0,17% dari luas Indonesia) setelah DKI Jakarta. Kota Yogyakarta juga merupakan wilayah Tingkat II yang luas wilayahnya paling kecil dibandingkan empat wilayah administratif Tingkat II lainnya di DIY. Dari keseluruhan wilayah provinsi DIY, Kota Yogyakarta hanya memiliki 1.02% dari luas provinsi. Berikut gambaran luas wilayah Dati II Provinsi DIY yang total wilayahnya seluas 3.185,80 km2: Kabupaten Kulon Progo: 586,27 km2 (18,40%) Kabupaten Bantul: 506,85 km2 (15,91%) Kabupaten Gunung Kidul: 1.485,36 km2 (46,63%) Kabupaten Sleman: 574,82 km2 (18,04%) Kotamadya Yogyakarta: 32,50 km2 (1,02%) Secara geografis kota Yogyakarta tidak memiliki keunggulan sumber daya alam yang memadai seperti halnya daerah lain di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Satusatunya keunggulan Kota Yogyakarta adalah karena didukung oleh fasilitas-fasilitas infrastruktur yang lengkap. Faktor letak geografis yang berbatasan dengan beberapa kabupaten yang sedang berkembang pesat dan menjadi sentra perekonomian baru yaitu Kabupaten Sleman dan Bantul membawa banyak manfaat positif bagi kota Yogyakarta. Selain itu kota Yogyakarta juga menjadi pusat perhubungan transportasi darat maupun udara antar propinsi DI Yogyakarta yaitu dengan adanya sarana seperti Bandara Adi sucipto, Terminal bus Giwangan, Stasiun Kereta Api Tugu dan Stasiun Kereta Api Lempuyangan sehingga Yogyakarta dapat dikembangkan sebagai pusat perdagangan dan transportasi regional. Dengan adanya sarana perhubungan tersebut
6 memberikan kontribusi positif bagi sektor pariwisata Yogyakarta yang memberikan manfaat positif bagi masyarakat karena dapat memberikan penghidupan bagi masyarakatnya. Kota Yogyakarta menurut letak geografisnya berbatasan dengan : Utara: Kabupaten Sleman Selatan: Kabupaten Bantul Barat: Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman Timur: Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman Kota Yogyakarta sendiri terbagi atas 14 kecamatan dan 45 kelurahan atau desa. Berikut gambaran kondisi luas wilayah kecamatan dan jumlah penduduk kota Yogyakarta sesuai sensus penduduk tahun 2000: Tabel 1.1 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta Sesuai Sensus Penduduk Tahun 2000 NO KECAMATAN LUAS ( km2) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Mantrijeron Kraton Mergangsan Umbulharjo Kotagede Gondokusuman Danurejan Pakualaman Gondomanan Ngampilan Wirobrajan Gedongtengen Jetis Tegalrejo TOTAL
2.61 1.4 2.31 8.12 3.07 3.99 1.1 0.63 1.12 0.82 1.76 0.96 1.7 2.91 32.5
JUMLAH 32.31 19.734 31.334 69.321 27.729 47.771 19.816 10.534 13932 17.477 26.56 18.041 26.029 35.016 395.604
Sumber: Litbang Kompas diolah dari Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta, 2001
7 1.1.2
Potensi Wilayah
Yogyakarta merupakan kota yang kaya budaya dan kesenian Jawa. Pusat budaya dan kesenian tersebut sebenarnya adalah kesultanan, dimana berbagai kesenian jawa klasik seperti seni tari, tembang, gamelan, seni lukis, sastra dan ukir-ukiran, berkembang dari dalam kraton dan kemudian menjadi kesenian rakyat. Kesatuan budaya dengan kehidupan masyarakat inilah yang dikemudian hari menjadi dasar bagi perekonomian kota. Kekayaan budaya dan seni ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal maupun mancanegara untuk datang mengunjungi Yogyakarta. Yogyakarta juga dijadikan kota daerah tujuan wisata utama di Indonesia setelah Bali. Sebagai sebuah industri, pariwisata memang melibatkan banyak sektor ekonomi lainnya, seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, sewa jasa perusahaan dan sektor jasa-jasa lainnya. Selain dikelilingi oleh daerah yang subur, kekayaan lain yang mendukung potensi dari Yogyakarta adalah sekolah. Sejak berdirinya Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1949, kota ini dikenal sebagai kota pelajar. Ribuan pendatang berdatangan dari luar kota maupun dari dalam Pulau Jawa untuk menempuh pendidikan di kota ini. Walaupun kini kota Yogyakarta ini tidak lagi memiliki universitas negeri, karena UGM sekarang termasuk wilayah Kabupaten Sleman, tetapi julukan itu masih tetap diberikan kepadanya. Kota ini masih memiliki 47 perguruan tinggi, mulai dari tingkat akademi, institut, politeknik, sekolah tinggi, maupun universitas, dengan jumlah mahasiswa mencapai 86.000 orang. Subsektor pendidikan ini merupakan salah satu penyumbang dari sektor jasa-jasa. Kota Yogyakarta bukan merupakan kota industri manufaktur, hampir semua kegiatan ekonomi berbasis pada usaha rakyat. Kota ini lebih mengandalkan sektor
8 unggulan di bidang jasa, seperti hotel dan restoran, penerangan jalan dan pasar dibandingkan dengan sumber daya alam. Dengan potensi tersebut Yogyakarta sebagai kota pelajar dan kota budaya memiliki empat sumber penerimaan andalan yang berasal dari pajak hotel dan restoran, pajak penerangan jalan, retribusi pelayanan kesehatan, dan retribusi pasar. Biasanya struktur transformasi perekonomian suatu kota selalu menunjukan mekanisme agrikultur ke manufaktur lalu ke sektor jasa. Sedangkan kota Yogyakarta terjadi loncatan dari agrikultur ke jasa, dimana jasa merupakan leading sector terutama di bidang pariwisata, hotel, dan bisnis rumah kos yang dominan, sekaligus merupakan kekuatan pengembangan ekonomi di daerah ini (Mudrajad). Walaupun Yogyakarta mempunyai potensi lahan yang subur tetapi sektor pertanian belum dapat dijadikan andalan oleh pemerintah daerah dibandingkan dengan sektor jasa. Berikut adalah gambaran distribusi kegiatan ekonomi Kota Yogyakarta tahun 2000:
DISTRIBUSI KEGIATAN EKONOMI KOTA YOGYAKARTA Industri Pengolahan
12.23%
Listrik, Gas dan Air Bersih
6.52%
Bangunan
1.46%
P erdagangan, Ho tel dan Resto
24.96%
Pertanian
1.11%
0.02% Pertambangan dan Penggalian
16.07% 22.05% Jasa-Jasa
15.58%
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan
Sumber: Litbang Kompas diolah dari Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta, 2001
Gambar 1.1 Distribusi Kegiatan Perekonomian Kota Yogyakarta
9 1.2
Perumusan Masalah
•
Bagaimana tingkat pertumbuhan sektor pajak daerah di wilayah kota Yogyakarta?
•
Bagaimana trend pajak daerah di kota Yogyakarta, jenis pajak apa yang paling potensial dan bagaimana prospek ke depannya?
•
Bagaimana kontribusi sektor pajak daerah terhadap pendapatan asli kota Yogyakarta dan kontribusinya terhadap pembelanjaan daerah di sektor pembangunan?
1.3 •
Tujuan Penelitian Mengumpulkan data penerimaan pajak daerah, seperti anggaran dan realisasi penerimaan pajak daerah untuk mengetahui tingkat pertumbuhan penerimaan pajak kota Yogyakarta
•
Menganalisis tren pertumbuhan dan prospek pajak daerah di kota Yogyakarta
•
Mengumpulkan dan mentabulasi data dan informasi keuangan pemerintah daerah untuk melihat peranan sektor perpajakan terhadap pendapatan asli daerah
•
Menganalisis perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dengan jumlah belanja pemerintah daerah di sektor pembangunan
1.4 •
Kontribusi Penelitian Bagi pemerintah daerah Penelitian
ini
memberikan
sumbangan
bagi
pemerintah
daerah
dalam
pengembangan dan penyusunan anggaran, sehingga pemerintah daerah dapat lebih cermat dalam melakukan perencanaan serta pembelanjaan kas daerah serta supaya pemerintah daerah dapat mengalokasikan dana tepat pada sasaran.
10
•
Bagi mahasiswa Penelitian ini dapat menjadi referensi bagi para mahasiswa maupun pihak-pihak akademis lain yang ingin melakukan penelitian tentang pajak daerah.
•
Bagi penulis Penelitian ini memberikan gambaran tentang kondisi perpajakan yang terjadi di lapangan dan melatih penulis untuk menganalisis suatu keadaan yang dapat digunakan sebagai bekal saat terjun langsung di dunia kerja.
1.5 •
Batasan Penelitian Penelitian dilakukan pada jenis penerimaan pajak daerah wilayah Tingkat II atau pajak untuk wilayah kabupaten dan kota.
•
Penelitian dilakukan untuk membandingkan penerimaan pajak daerah dengan pembelanjaan pemerintah daerah di sektor pembangunan dengan asumsi pengeluaran rutin pemerintah daerah cenderung stabil.
•
Penelitian dilakukan di wilayah kota Yogyakarta pada tahun anggaran 1997-2006.