MAKALAH EKSISTENSI PANCASILA DALAM KONTEKS MODERN dan global pasca reformasi Dosen Pembimbing: Junaidi Idrus, S.Ag., M.Hum
Disusun oleh : Nama :Wahyu Cahyono NIM : 11.12.6257 Kelompok :J Program Studi : S1 Jurusan : SI
SEKOLAH TINGGI MANAJEMN INFORMATIKA DAN KOMPUTER
STMIK “AMIKOM” YOGYAKARTA
2011-2012
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar dari kehidupan kita, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara, atau kehidupan politik, kita lewatkan atas dasar “common sense” atau yang kerapkali disebut sebagai “akal sehat”. “Common sense” adalah pengetahuan sehari-hari, yang tidak kita pertanyakan kebenarannya, tetapi kita andaikan “benar”, taken for granted. Tetapi salah satu ciri khas manusia adalah “mempertanyakan”. Ia tidak puas dengan “common sense”, ia terdorong untuk mengangkat apa yang dialami menjadi pertanyaan. Begitu kita mengajukan “pertanyaan”, “interrogating” kita mengatasi “common sense”. Mempertanyakan, interrogating adalah awal dari perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Ilmu pengetahuan mempertanyakan
segala sesuatu
termasuk manusia sampai batas tertentu atau dalam perspektif tertentu, yaitu perspektif instrumental. Ilmu pemgetahuan mempertanyakan dan mencari jawaban atas pertanyaannya untuk digunakan bagi kepentingan manusia. Filsafat mempertanyakan segala sesuatu, khususnya yang menyangkut “nasib” diri manusia, lebih jauh dari ilmu pengetahuan. Mempertanyakan siapakah dan apakah aku ini adalah awal dari filsafat manusia, dimana manusia ingin memperoleh makna dari dirinya. “Pahamilah dirimu” demikian kata Sokrates. Mempertanyakan manusia berarti mencari jalan bagaimana manusia mencapai tujuan hidupnya, yaitu semakin menjadi manusiawi. Dalam pengertian ini bila filsafat harus mati, kemanusian akan meredup tak lama kemudian.
Berhenti
bertanya hanya akan berakibat kemandekan dan berhentinya
perkembangan. Dalam kaitan ini filsafat tidak hanya merupakan “disiplin (ilmu) yang mempertanyakan”, tetapi juga „disiplin (ilmu) yang membebaskan”. Dalam arti apa? Manakala kita mengangkat pertanyaan, kita dibebaskan dari jawaban yang tidak dipertanyakan, yaitu jawaban berdasarkan “common sense” semata, yang diandaikan benar. Dalam setiap pertanyaan kita mengatakan “tunggu sebentar”: ada yang lebih dari ini atau itu. Bahkan ada “ekses” dari realitas, yang tidak tertampung dari suatu konsep yang sekarang kita miliki, “ada yang lebih” yang terbelenggu oleh berbagai struktur yang melilit kita.
B. Permasalahan Untuk menghindari adanya kesimpang siuran dalam penyusunan tugas akir ini, maka penulis membatasi masalah masalah yang akan dibahas diantaranya: a. Istilah Modernisasi b. Istilah Globalisasi c. Istilah Reformasi d. Keberadaan Pancasila setelah Reformasi e. Bagaimana Pancasila seharusnya ( solusi )
BAB II PEMBAHASAN A. Istilah Modernisasi Dalam memahami pengertian „modernisasi‟, perlu dijelaskan lebih dahulu pengertian „modern‟. 1. Pengertian Modernisasi Untuk memahami arti modernisasi perlu kita ketahui bahwa modernisasi sendiri berasal dari kata “modern” yang berarti baru atau lebih baik (canggih) dari sebelumnya. Menurut pendapat saya pengertian modernisasi adalah Perubahan atau pembaharuan dari hal yang lama menjadi hal yang lebi baru (canggih). 2.Aliran -Aliran Modenisasi Modernisasi (pembaharuan) berkembang di dunia Barat dengan sangat pesat. Di Negara-Negara barat pada umumnya pembaharuan yang dilakukan adalah dalam hal etika dan dikelompokkan menjadi tiga aliran, yaitu hedonistik, utilitarian dan deontologis. Hedonisme sendiri lebih mengarahkan untuk menghasilkan sebanyak mungkin kesenangan bagi manusia. Utilitaristik yaitu mengoreksinya dengan menambahkan bahwa kesenangan atau kebahagiaan yang dihasilkan adalah kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Sedangkan deontologis memandang bahwa sumber bagi perbuatan etis adalah rasa kewajiban. Menurut Burhanuddin
Salam, teori-teori etika dapat digolongkan menjadi dua teori, yaitu deontologis dan teleologis. Etika deontologis menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik yang tidak dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, tetapi berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri. Oleh karena itu sebuah tindakan bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban. Terdapat dua teori deontologis, yaitu deontologis tindakan dan deontologis peraturan.
B. Istilah Globalisasi Pemikiran tentang modernisasi, sangat berkaitan erat dengan Globalisasi. Globalisasi berasal dari kata Global yang berarti luas (mencakup semua hal yang sifatnya menyeluruh). Jadi Globalisasi adalah semua hal baik positif maupun negative yang mencakup hal yang sangat luas bahkan bersifat Internasional. Modernisasi sendiri sekarang sudah bersifat global dan bahkan pembaharuan dalam bidang teknologi sudah mencapai sampai ke masyarakat pedesaan. Contoh Globalisasi negatif yakni penyalahgunaan narkoba yang telah beredar ke masyarakat luas dan bahkan telah sampai ke kalangan pelajar. Dalam menghadapi konsep Globalisasi kita harus mengenal etika,terutama etika muslim. Dalam mendeskripsikan etika Globalisasi dalam konsep Islam, dapat ditempuh beberapa pendekatan, yaitu pertama, pendekatan nilai yakni nilainilai yang terkandung dalam Islam yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat atau bernegara; kedua, pendekatan sejarah, khususnya pada zaman nabi
Muhammad SAW dan para Sahabat; dan ketiga, pendekatan pemikiran ulama berkaitan dengan etika bernegara. Uraian secara akumulatif dari hasil ketiga pendekatan ini akan berujung pada perumusan etika bernegara dalam konsep Islam. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam Islam yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat atau bernegara, yang berasal dari sumber ajaran pokok agama Islam yakni Al Quran, Hadits atau Sunnah Rasul dan Ijtihad. harus dilakukan pencermatan terhadap sejarah Islam periode klasik. Periode klasik dimulai sejak turunnya Al Quran pada awal abad ke-7 hingga abad ke-13 (Siti Maryam, dkk. Diantara rentang waktu 6 abad itu, secara lebih khusus pencermatan
dilakukan
terhadap
periode
Rasulullah
dan
para
sahabat
(Khulafaurrasyidin, artinya para pengganti yang mendapatkan bimbingan ke jalan yang lurus). Pada masa awal pertumbuhan Islam (sekitar 20 tahun, terhitung sejak diterimanya wahyu yang pertama tahun 610 M, saat Nabi berusia 41 tahun, hingga wafatnya beliau), semua masalah yang muncul menyangkut urusan agama dan dunia ditanyakan langsung kepada nabi Muhammad SAW. Berdasarkan wahyu, Rasulullah menerangkan ajaran-ajarannya dengan ucapan-ucapan, perbuatan dan seruan. Pada saat itu tidak ada perselisihan atau khilaf karena wewenang tasyri‟ langsung berada pada Rasul. Sehingga apapun yang terefleksikan dari sosok Muhammad SAW dipastikan sesuai dengan Al Quran. Setelah Rasulullah wafat, selama sekitar 30 tahun berikutnya kepemimpinan ummat ada pada sahabat Nabi yakni Abu Bakar As Shiddiq (2 tahun), Umar ibn Al Khaththab (10 tahun), Utsman ibn „Affan (12 tahun), dan Ali ibn Abi Thalib (5 tahun). Pada masa sahabat, meskipun Islam mengalami kemajuan pesat dengan wilayah yang meluas,
namun banyak terjadi perselisihan26 di bidang amaliah, yaitu masalah khilafah. Dengan demikian, contoh akurat dan ideal menyangkut implementasi etika bernegara dalam konsep Islam adalah pada masa Nabi, baik ketika masih berada di Mekah maupun setelah hijrah di Madinah. Kepemimpinan Nabi di dua tempat ini disebut oleh berbagai kalangan sebagai periode atau fase kepemimpinan Mekah dan fase kepemimpinan Madinah. Kedua fase ini berlangsung masingmasing 13 tahun dan 10 tahun. Fase kepemimpinan Nabi di Mekah atau fase Mekah, diawali sejak Muhammad diangkat menjadi Rasul. Pada fase Mekah ini Rasulullah masih merupakan pemimpin spiritual dengan tujuan pembangunan umat yang dititikberatkan pada penanaman aqidah, iman dan tauhid. Ibarat sebuah bangunan, aqidah, iman dan tauhid merupakan pondasi yang memungkinkan di atasnya dibangun masyarakat yang baik yang kokoh. Pada fase Madinah, kepemimpinan Rasulullah dititikberatkan pada penalaran hukum, seperti hukum ibadah, jinayat, qadha‟iyyah dan ahwal syekhsyiyyah (hukum kekeluargaan). Pembangunan hukum ini dimungkinkan karena keimanan (Islam) sudah kuat tertanam dalam hati umat, sebagai buah utama hasil perjuangan selama fase Mekah. Dengan demikian fase kepemimpinan Rasulullah di Madinah, tidak bisa dilepaskan dari fase Mekah. Mengawali keberadaannya di Madinah, Rasulullah melakukan beberapa langkah strategis, yaitu (1) mendirikan masjid Quba‟, (2) mempersaudarakan kaum muslimin (antara Anshar dan Muhajirin) berdasarkan tali ikatan agama dan aqidah tanpa membedakan status social apapun, (3) membuat piagam perjanjian (Piagam Madinah) antara kaum muslimin dengan non-muslim. Ketiga langkah strategis ini
sekaligus merupakan implementasi etika bernegara islami yang diterapkan Rasulullah khususnya menyangkut kepemimpinan dan bentuk masyarakat yang hendak dibangun. Secara komprehensif, nilai-nilai yang terkandung dalam ketiga langkah strategis tersebut adalah sebagai berikut. Pendirian masjid Quba‟ melambangkan bahwa sebelum dilakukan pembangunan di berbagai aspek kehidupan lainnya, maka yang terlebih dahulu harus dibangun adalah moral (akhlak) umat. Sebab aspek moralitas merupakan pondasi sekaligus ramburambu yang
mengarahkan
pembangunan
berlangsung
sesuai
dengan
nilainilai
kemanusiaan yang berujung pada peningkatan kesejahteraan umat di dunia dan akhirat. C.Istilah Reformasi Reformasi adalah kembalinya tataan ulang yang salah ke bentuk semulanya. Dalam bahasa indonesia Reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk kepada gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah Orde Baru. Kata-kata reformis kemudian disandingkan dengan status quo. Reformasi kemudian dijadikan nama satu orde dalam sejarah politik Indonesia. Padahal istilah reformasi telah digunakan lama dalam perpolitikan Indonesia. Sejarah militer Indonesia misalnya pernah mendengar istilah Rera, Reformasi dan rasionalisasi. D.Keberadaan Pancasila setelah Reformasi Pancasila sendiri setelah reformasi mengalami banyak perubahan, setelah masa reformasi pancasila lebih terorganisir dan tataannya lebih bagus. Hal ini di karenakan pancasila selalu mengikuti perkembangan zaman walaupun isi,makna dan butir-butir Pancasila sendiri tidak ada perubahan yang menonjol.
E.Bagaimana Pancasila seharusnya a. Ketuhanan Yang Maha Esa Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, sang pencipta seluruh alam. YangMaha Esa berarti Maha Tunggal, tidak ada sekutu dalam zat-Nya, sifat-Nya dan
perbuatan-Nya.
Atas
keyakinan
demikianlah,
maka
Negara
Indonesiaberdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Negara memberikan jaminan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya untuk beribadat dan beragama. Bagi semua warga tanpa kecuali tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti Ketuhanan Yang Maha Esa dan anti keagamaan. Hal ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2.
b. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yaitu makhluk yang berbudaya dan memiliki potensi pikir, rasa, karsa, dan cipta. Dengan akal nuraninya manusia menyadari nilai-nilai dan norma-norma. Adil berarti wajar, yaitu sepadan dan sesuai dengan hak dan kewajiban seseorang. Beradab kata pokoknya adalah adab, sinonim dengan sopan, berbudi luhur dan susila. Beradab artinya berbudi luhur, berkesopanan, dan bersusila. Hakikatnya terkandung dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan …”. Selanjutnya dijabarkan dalam batang tubuh UUD 1945.
c. Persatuan Indonesia Persatuan berasal dari kata satu, artinya utuh tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang berabeka ragam menjadi satu kebulatan. Sila Persatuan Indonesia ini mencakup
persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi, social budaya, dan hankam. Hal ini sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang berbunyi, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …”. Selanjutnya lihat batang tubuh UUD 1945.
d. Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyarawatan/Perwakilan Kata rakyat yang menjadi dasar Kerakyatan, yaitu sekelompok manusia yang berdiam dalam satu wilayah tertentu. Sila ini bermaksud bahwa Indonesia menganut system demokrasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti bahwa kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berarti bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas kekuasaannya ikut dalam pengambilan keputusan-keputusan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yaitu, “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan rakyat …”. Selanjutnya lihat dalam pokok pasal-pasal UUD 1945.
e. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Keadilan social berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat disegala bidang kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat berarti semua warga Negara Indonesia baik yang tinggal didalam negeri maupun yang di luar negeri. Hakikat keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dinyatakan dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945, yaitu “Dan perjuangan kemerdekaan kebangsaan Indonesia … Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur”. Selanjutnya dijabarkan dalam pasalpasal UUD 1945. Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak dilakukan sesuai dengan kelima sila yang telah dijabarkan diatas.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Euforia kebebasan pers, kebebasan berekspresi, berserikat dan Berpolitik menjadi warna dominan Era Reformasi menuju ke kehidupan demokrasi.. B. Saran
Untuk kepentingan pengkayaan khasanah ilmu, dalam ranah kajian pemikiran dan penelitian tentang eksistensi pancasila pasca reformasi, diperlukan studi perbandingan antar kelompok kepentingan dalam masyarakat, baik yang berbasis politik, profesi, budaya, wilayah/geografis, dan sebagainya.
Daftar Pustaka http://www.equator-news.com/index.php?mib=berita.detail&id=16287 http://leilamona.blogspot.com/2008/04/etika-politik-di-indonesia.html Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jakarta. Penerbit Ghalia Indonesia. Kartono, Kartini. 1983. Pathologi Sosial. Jakarta. Edisi Baru. CV. Rajawali Press.