“ SOLUSI ” No. 16 Tahun VI Januari 2010
ISSN.0216-9835
MAJALAH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PALEMBANG PALEMBANG
ANALISIS VISUM ET REPERTUM PSYCHIATRICUM TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA PIDANA Oleh : Hotman Siahaan, SH., M.Hum Abstrak Permasalahan yang timbul dari gangguan kejiwaan terhadap putusan hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana adalah: Bagaimana pengaruh visum et repertum psychiatricum terhadap pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Dari apa yang telah diuraikan di atas dapat di simpulkan: bahwa pengaruh hasil visum et repertum psychiatricum terhadap pertimbangan hakim adalah bahwa hakim tidak harus terikat pada alat bukti visum, karena kedudukannya sama dengan alat bukti lainnya dan hakim boleh terikat dengan hasil visum itu, sejauh visum itu dapat menimbulkan dugaan kuat pada hakim yang dapat mempengaruhi pertimbangan hakim sehingga pertimbangan tersebut akan menjadi dasar bagi hakim untuk memutuskan perkara dan antara alat bukti visum dengan alat bukti yang lain berkesinambungan, dengan sendirinya putusan hakim akan berpatokan dengan hasil visum, keterangan ahli dan alat bukti lainnya. A. LATAR BELAKANG Bila pengadilan dihadapkan pada suatu kasus yang berhubungan dengan luka, gangguan kesehatan, ataupun matinya seseorang, jelas ini bukan kajian ilmu hukum. Belum lagi jika gangguan kesehatan itu disebabkan tingkah laku manusia yang abnormal yang kadang-kadang tingkah laku yang abnormal ini dapat membebaskan seorang dari hukum pidana. Untuk mengungkap secara hukum tentang benarkah telah terjadi tindak pidana dalam contoh kasus seperti pencurian, penggelapan, penipuan dan sejenisnya,
tentunya pihak penyidik tidak akan kesulitan mengidentifikasikan barang bukti yang salah satunya atau beberapa dapat dijadikan alat bukti yang selanjutnya akan di periksa di sidang, pengadilan. Namun tidaklah demikian bila tindak pidana tersebut berkaitan dengan gangguan manusia terutama menyangkut masalah jiwa yang abnormal. Bila dihubungkan dengan hukum pidana, tingkah laku manusia yang abnormal tersebut dapat mendorong seseorang melakukan suatu kejahatan. Orang yang abnormal adalah orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Oleh sebab itu hukum pidana membutuhkan bantuan ilmu pengetahuan lain untuk mengungkap kasus tersebut, ilmu yang dibutuhkan adalah ilmu kedokteran jiwa kehakiman (forensik psikiatri) menurut Abdul Mu’min Idris, Ilmu kedokteran jiwa kehakiman (forensik psikiatri) adalah "salah satu sub spesialisasi dari ilmu kedokteran jiwa (forensik psikiatri) yang mengkhususkan diri dalam hal-hal gangguan kejiwaan yang berhubungan dengan tindak kriminal yang dilakukan oleh seseorang yang dalam keadaan terganggu jiwanya. Selanjutnya di jelaskan pula bahwa: "secara sederhana dapat dikatakan tingkah laku manusia merupakan penjelmaan dari dua fungsi kejiwaan, yaitu fungsi berfikir/rasio dan fungsi perasaan/emosi is berpikir dan berperasaan secara sadar, dan dapat pula berpikir dan berperasan secara tanpa disadari. Dengan adanya bagian jiwa yang telah sadar ini yang memegang peranan petting dalam penjelmaan gangguan jiwa, maka seseorang dapat berbuat diluar batasbatas normal sampai tindak kriminal, dimana yang bersangkutan itu sendiri tidak mengerti mengapa hal itu terjadi" Adapun bentuk bantuan dari ilmu kedokteran jiwa kehakiman ada kesaksian seorang psikiatri forensik. Psikiatri forensik adalah dokter ahli kejiwaan yang berperan sebagai saksi ahli dalam peradilan hukum pidana. Kesaksian seorang psikiatri forensik ini akan dimintakan oleh hakim apabila salah satu pihak yang berperkara diduga terdapat gangguan kejiwaan. Hal yang
Analisis Visum Et Refertum…… (Hotman Siahaan, SH, M.Hum)
paling penting dalam ilmu kedokteran kehakiman adalah kesaksian seorang psikiatri, kesaksian ini dapat berupa lisan dan tulisan. Untuk kesaksian lisan seorang psikiatri forensik (psikiater) akan berperan sebagai saksi ahli di pengadilan dan sebelum memberikan kesaksiannya sang psikiater hams mengangkat sumpah terlebih dahulu. Sedangkan untuk kesaksian tertulis seorang psikiatri forensik (psikiater) berperan sebagai pembuat visum et repertum psychiatricum dan pada saat membuat visum et repertum psychiatricum tersebut, seorang psikiater tidak perlu mengangkat sumpah lagi karena cukup dengan sumpah pada waktu psikiater tersebut dilantik menjadi seorang dokter. Biasanya psikiater yang membuat visum et repertum psychiatricum tidak seharusnya menjadi saksi ahli, tetapi bila dipandang perlu, hakim dapat meminta sang psikiater hadir dalam persidangan dan memberikan kesaksian secara lisan di muka pengadilan, lebih baik lagi jika kedua kesaksian lisan dan tertulis ini dapat dijalankan keduanya. Sulit dibayangkan apabila kasus yang menyangkut seorang terdakwa yang melakukan tindak pidana pembunuhan pada kondisi jiwa yang tidak normal dan setelah membunuh ia kembali pada keadaan normal, maka disinilah tugas kedokteran psikiatri forensik untuk melakukan pemeriksaan apakah terdakwa benar-benar berada dalam keadaan tidak sadar atau terganggu jiwanya. Kalau hal tersebut dilakukan sendiri oleh hakim. tentunya akan sangat sulit mengingat keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh hakim, walaupun begitu keputusan terakhir dalam memutuskan suatu perkara pidana di pengadilan tetap berada pada hakim. Dengan visum et repertum psychiatricum diharapkan hakim tidak raguragu lagi dalam memutus suatu perkara sehingga suatu kasus perkara menjadi jelas dan terang, oleh sebab itu visum et repertum psychiatricum ini penting untuk membantu hakim dalam mencari dan menegakkan keadilan, mengingat kedudukan visum et repertum psychiatricum adalah sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
B. PERMASALAHAN Berdasarkan uraian sebelumnya, dimana visum et repertum psychiatricum sangat berperan penting dalam proses penegakan hukum pidana, maka permasalahan yang akan dibahas adalah "bagaimana pengaruh visum et repertum psychiatricum terhadap pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara". C. PEMBAHASAN Suatu pertanyaan yang sederhana yang dapat di ketengahkan dalam kaitannya dengan visum et repertum psychiatricum sebagai alat bukti adalah dapatkah visum et repertum psychiatricum mengikat hakim ? Meskipun pertanyaan ini sangat sederhana akan tetapi bila kita kaji dalam maka kita akan memperoleh jawaban yang tidak sederhana. Kita mengenal tiga macam putusan pengadilan (hakim) yaitu putusar pernidanaan, putusan bebas dan putusar lepas, dart ketiga macam putusan itu baru dapat dijatuhkan berdasarkan pertimbangan hakim disamping berdasarkan alat bukti yang ada, keyakinan hakim merupakan dasar yang sangat dominan dalam memutus suatu perkara. Selanjutnya dalam teori pembuktian mengenal beberapa sistem pembuktian salah satu diantaranya adalah sistem pembuktian negatif, yaitu sistem pembuktian yang didasarkan pada keyakinan hakim dan didasarkan juga pada alat-alat bukti yang ada. Adapun alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah: 1. Keterangan saksi, 2. Keterangan ahli, 3. Surat 4. Petunjuk 5. Ketarangan terdakwa. Jika kita hubungkan antara Pasal 184 KUHAP dalam kaitannya dengan penyelesaian perkara pidana yang kemudian dihubungkan dengan macam sistem pembuktian, maka dapat disimpulkan bahwa sistem pembuktian kita adalah sistem pembuktian yang negatif. Sekarang yang menjadi persoalan adalah bagaimanakah
Analisis Visum Et Refertum…… (Hotman Siahaan, SH, M.Hum)
pengaruh visum et repertum psychiatricum terhadap pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara mengingat visum et repertum psychiatricum adalah merupakan alat bukti yang sah menurut undang-undang. Khusus untuk kasus-kasus yang terdakwanya mengalami gangguan kejiwaan, hakim tidak boleh langsung memutuskan bahwa si terdakwa dapat dilepaskan atau bebas dari kesalahan, kecuali ada visum yang menyatakan bahwa terdakwa benarbenar mengalami gangguan kejiwaan. Permohonan visum ini sudah dapat dimintakan oleh penyidik pada saat penyidik polisi melihat gejala aneh pada tersangka, seperti sulit ditanyai, jawabannya tidak dapat di mengerti. Tapi ini raja tidak cukup dijadikan patokan, karena bisa raja sitersangka pura-pura mengalami gangguan kejiwaan dengan harapan dapat dibebaskan dari hukuman, untuk itulah polisi diberi kewenangan untuk meminta visum terhadap tersangka, apabila dari basil visum menyatakan bahwa tersangka benar-benar mengalami gangguan kejiwaan dan tidak dapat bertanggung jawab berdasarkan Pasal 44 KUHP, maka hakim dapat memerintahkan memasukan terdakwa ke dalam rumah sakit jiwa untuk dirawat. Demi kepastian hukum dan keadilan, kasus tersebut haruslah disidangkan di pengadilan walaupun hasil visum sudah di dapat pada tingkat penyidikan karena hasil visum adalah alat bukti yang sah di pengadilan. Didalam memutuskan suatu perkara, pertimbangan hakim didasari oleh minimal 2 (dua) alat bukti yang sah dalam KUHAP dan pertimbangan hakim selalu mempengaruhi keputusan hakim, perlu diketahui keputusan hakim dalam memutus suatu perkara di pengadilan ada tiga yaitu keputusan bebas, keputusan lepas, dan tuntutan hukuman pidana dan keputusan yang menghukum, dalam hal kasus gangguan jiwa hakim dapat memutus, lepas dari tuntutan pidana dan memerintahkan mengirim ke rumah sakit jiwa untuk dirawat atau memberikan hukuman. Hak tergantung dari hasil visum itu sendiri, hasil visum itu ada dues yaitu hasil visum yang menyatakan terdakwa tidak
mengalami gangguan kejiwaan dan hasil visum yang menyatakan bahwa terdakwa benar-benar mengalami gangguan jiwa, dan keduanya bertujuan untuk menentukan apakah terdakwa dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya atau tidak. Dalam hasil visum yang menyatakan bahwa terdakwa tidak mengalami gangguan kejiwaan bahwa terdakwa, hakim dapat memberikan putusan bersalah dan menghukum terdakwa, kalau hasil visum menyatakan terdakwa mengalami gangguan kejiwaan, maka pertimbangan hakim dapat berupa: 1. Hakim dapat melihat seberapa jauhkah orang tersebut mengalami gangguan kejiwaan, bila masih dapat mempertanggung-jawabkan perbuatannya, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman. 2. Apakah si terdakwa pada saat melakukan tindak pidana itu pada kondisi yang sadar artinya pada saat-saat tertentu raja orang mengalami keadaan mental yang dituduh sehat, tapi pada saat dia melakukan tindak pidana ia dalam kondisi yang sadar sehingga hakim dapat menjatuhkan pidana kepadanya. Secara teori, hakim boleh tidak terikat terhadap hasil visum, karena hakim juga harus mempertimbangkan alat bukti yang lain tapi dalam prakteknya hakim selalu terikat dengan hasil visum meskipun tidak secara terang-terangan, karena hanya dari hasil visum itulah hakim dapat memperoleh pertimbangan. Jadi hasil visum itu dapat mempengaruhi hakim dalam memutus suatu perkara di pengadilan sejauh apabila visum itu dapat menimbulkan dugaan pada hakim dan dugaan tersebut dapat mempengaruhi pertimbangan hakim. Pada akhirnya pertimbangan hakim merupakan dasar bagi hakim untuk memutuskan perkara. D. KESIMPULAN Dari apa yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa hasil visum et repertum psychiatricum terhadap
Analisis Visum Et Refertum…… (Hotman Siahaan, SH, M.Hum)
pertimbangan hakim adalah hakim tidak harus terikat pada alat bukti visum; karena kedudukannya sama dengan alat bukti lainnya, dan hakim boleh terikat dengan hasil visum itu sejauh visum itu dapat menimbulkan dugaan kuat pada hakim yang dapat mempengaruhi pertimbangan hakim sehingga pertimbangan tersebut akan menjadi dasar bagi hakim untuk memutuskan perkara dan antara alat bukti visum dengan alat bukti yang lain berkesinambungan, dengan sendirinya putusan hakim akan berpatokan dengan hasil visum, keterangan ahli dan alat bukti lainnya. DAFTAR PUSTAKA Abdul
Mu'min Idris, Ilmu kedokteran kehakiman, Gunung Agung, Jakarta, 1985.
Bambang W.A.Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Pidana, Sinar Grafika Aksara, Jakarta, 1992 C.S.T.Kansil, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Sekitarnya, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1984. R. Subekti, Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 20;92. Wahjadi Darma Grata, dkk. Psikiatri Forensik, EGC, Jakarta, 2003. B.I.I.
Tamba, Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana Dokter, UNSRI, 1996.
Analisis Visum Et Refertum…… (Hotman Siahaan, SH, M.Hum)
PROPOSAL PENELITIAN HUKUM
PERANAN PERUSAHAAN MODAL ASING PERKEMBANGAN TENAGA KERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR : 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL
PENELITI :
HOTMAN SIAHAAN, SH, H.HUM NIDN : 0008105401
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PALEMBANG 2011
1
HALAMAN PENGESAHAN PENELITIAN DOSEN
1. Judul Penelitian
: Peranan Perusahaan Modal Asing Terhadap Perkembangan Tenaga Kerja Menurut Undang-Undang Nomor : 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
2. Bidang Ilmu Penelitian : Ilmu Hukum 3. Peneliti : a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. Nidn/Nip d. Pangkat / Golongan e. Jabatan f. Fakultas / Jurusan
: : : : : :
4. Jumlah Tim Peneliti
: 1 (Satu) Orang
5. Lokasi Penelitian
: Kodya Palembang
6. Waktu Penelitian
: 2 (Dua) Semester
7. Biaya
: Pribadi
Hotman Siahaan, SH, M.Hum Laki-Laki 0008105401 / 195410081983031001 Lektor Kepala / IVa Dosen Biasa Fakultas Hukum Unpal Hukum / Ilmu Hukum
Menyetujui Ketua LPPM
Palembang, Maret 2012 Peneliti
Drs. Nusbar Djawahan
Hotman Siahan, SH, M.Hum NIDN/NIP : 0008105401/195410081983031001 Mengetahui Dekan Fakultas Hukum Universitas Palembang
Riza Yusmanda, SH, M.MH 2
NIDN : 0218036202
3
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya rencana penelitian ini dapat diselesaikan. Rencana penelitian ini disusun sebagai pedoman bagi penulis dalam rangka persiapan penelitian hukum di Universitas Palembang. Dalam penyusunan rencana penelitian ini penulis menyadari terdapat banyak kekurangan baik bentuk, isi serta cara penyajiannya. Oleh sebab itu penulis akan membuka diri untuk segala saran, kritik dan pengarahan yang bersifat membangun. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Zulkipli, SM. SH (Rektor Universitas Palembang) dan Bapak Rizayusmanda, SH. M.H (Dekan Fakultas Hukum Universitas Palembang), serta semua pihak yang telah turut berpartisipasi dalam penyusunan rencana penelitian ini. Akhirnya peneliti berharap semoga rencana penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
Palembang,
2011
HOTMAN SIAHAAN, SH, M.Hum
4
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam Negara yang berkembang, Indonesia tentunya sedang memacu pembangunan disegala bidang. Pembangunan merupakan suatu proses yang harus dialami untuk dapat meneruskan cita-cita bangsa yang sudah di rencanakan Hal ini dibarengi dengan suatu kontiunitas yang dinamis, sehingga tahapan pembangunan merupakan suatu konsekwensi, hal ini diperlukan sebagai pegangan dan landasan pembangunan berikutnya guna mendukung pembangunan nasional. Pembangunan menghendaki agar seluruh potensi yang ada dapat dihimpun menjadi kekuatan yang dayanya dapat menggerakkan bangsa dan masyarakat Indonesia untuk terus berkembang dan maju sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satu potensi yang ada yaitu memanfaatkan peran modal asing Menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Mengatur bahwa Penanaman modal Asing secara langsung yang dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari penanaman modal tersebut Penanaman Modal Asing bagi peningkaan pembangunan pada umumnya adalah mutlak penting. Saran-saran yang diciptakan dan dikembangkan merupakan transper dari Negara penanam modal. Sarana demikian dapat berupa fisik dapat juga bcrupa non fisik ini dibatasi dan atau di perkenankan jika dapat mendorong dan membantu rakyat indonesia, secara ekonomis dapat berdiri sendiri atas kekuatannya sendiri, selanjutnya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 pasal 25 mengamanatkan bahwa : Perusahaan-perusahaan modal asing diijinkan untuk mendatangkan dan atau menggunakan tenaga-tenaga pimpinan dan tenaga ahli warga negara asing bagi jabatan-jabatan yang belum dapat diisi dengan tenaga kerja warga negara Indonesia 5
Dengan demikian bahwa tenaga kerja asing di perusahaan modal asing, sangat dominan dan merupakan peranan yang cukup penting dalam mengendalikan perusahaan tersebut, ini mempunyai dampak yang cukup berarti terhadap perkembangan tenaga kerja Indonesia sendiri. Selanjutnya masalah ketenagakerjaan di Indonesia cukup pelik. Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan penyebaran penduduk yang kurang seimbang, merupakan faktor yang sangat mempengaruhi masalah ketenagakerjaan di Indonesia.
B. Permasalahan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana Peranan Perusahaan Penanaman Modal Asing terhadap perkembangan tenaga kerja menurut Undang-Undang Nornor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal 2. Apa Hambatan - Hambatan dalam Penerapan Perusahaan Penanaman ModalAsing terhadap perkembangan tenaga kerja menurut Undang-Undang Nomor 25 tahan 2007 tentang Penanaman Modal
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui Peranan Perusahaan Penanaman Modal Asing terhadap perkembangan tenaga kerja menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal 2. Untuk
Mengetahui
apa
Hambatan-Hambatan
dalam
Penerapan
Hukum
Penanaman Modal Asing terhadap perkembangan tenaga kerja menurut UndangUndang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
6
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah 1. Secara Teoritis, Penelitian ini dapat di rnanfaatkan sebagai bahan pustaka dalam Bidang Hukum Perusahaan dan Hukum Penanaman Modal 2. Secara Praktis, Penelitian ini dapat menjadi pertmbangan bagi Perusasahaan dalam mengambil keputusan di bidang Hukum Perusahaan dan Hukum Penanaman Modal
E. Metode Penelitian Metode peneliti.an merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian, karena metode penelitian dapat menentukan langkah-langkah dari suatu penulisan, baik rnengenai pendekatan masalah, teknik pengumpulan data dan sumber data maupun analisis datanya. 1. Jenis Penelitian Selaras dengan tujuan yang dimaksudkan untuk menelusuri tentang keberlakuan hukum, terutama yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan diteliti, maka jenis penelitian ini tergolong penelitian hukum Normatif yang didukung pendekatan Undang-Undang dengan melakukan analisis terhadap pengaturan hukum tentang Undang-Undang Tentang Penanaman Modal clan UndangUndang tentang Ketenagakerjaan 2. Jenis dan Sumber data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualatif yang bersumber pada : a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dan wawancara terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dengan permasalahan dalam penelitian. b. Data skunder, yaitu data yang diperoleh melelui penelitian bahan-bahan pustaka atau literatur, yang terdiri dari :
7
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang rnengikat yakni peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan seperti KUHPerdata, dan Peraturan-Peraturan Tentang Hukum Penanaman Modal serta Hukum Perusahaan 2. Bahan hukum skunder yaitu bahan hukum yang memberikan pehjelasan mengenai bahan hukum primer seperti : huku-buku, tulisan ilmiah, majalah, internet. 3. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder seperti kamus hukum dan ensiklopedia.
3. Analisis Data Dalam membahas permasalahan yang ada penulis menggunakan analisa data deduktif, artinya penerapan dari hal yang umum menuju hal yang khusus, sehingga dapat diketahui bagaimana Peranan Perusahaan Penanaman Modal Asing terhadap perkembangan tenaga kerja menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
8
BAB II TINJAUAN UMUM
A. Sejarah Penanaman Modal Asing Di Indonesia Sejarah penanaman modal asing di Indonesia dapat dikatakan dimulai pada saat penjajahan Belanda. Pada masa ini modal asing, sangat besar sekali penguasaannya, dimana hampir di semua sektor dapat ditanamkan modal asing tanpa kecuali. Ini akibat dari kebijaksanaan pemerintah Belanda yang memberikan kesempatan yang sangat luas kepada modal asing dan menutup semua usaha bagi penguasa pribumi. Setelah berakhirnya masa penjajahan, sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang penanaman Modal Asing, kegiatan penanaman modal asing tetap berlangsung baik, hal ini dapat dilihat dengan adanya perusahaanperusahaan seperti : unilever, Goodyear, dan sebagainya. Ketetapan MPR Nomor XXIII/MPRS/1966 pada pasal 62 telah menganggap perlu agar ditetapkan Undang-Undang mengenai modal asing termasuk domestic asing, dengan memperbaharui peraturan pemerintah Nomor 18 Tahun 1959 sehingga ditinggalkan menjadi Undang-undang (pasal 63). Sebagai pelaksanaan pasal 62 dan 63 tersebut diatas maka lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 10 Januari 1967. Untuk lebih menggiatkan usaha penanaman modal asing oleh pernerintah sejak tahun 1967 diciptakan kondisi-kondisi yang berupa stabilitas politik, hukum, ekonomi dan sosial. Sembilan hari setelah diberitahukannya Penanaman Modal Asing (PMA), yaitu tanggal 19 Januari 1967 Pemerintah membentuk suatu organisasi untuk mengenai penanaman Modal Asing, yaitu Badan Pertimbangan penanaman Modal Asing (BPPM). Kemudian pada tanggal 13 Juli 1968 dikeluarkanlah UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Untuk rnengantisipasi 9
dikeluarkannya undang-undang ini Badan Pertimbangan Penanaman Modal (BPPM) digantikan oleh Team Teknis Penanaman Modal (TTPM). Pada tahun 1973 diadakan perubahan baru, yaitu TTPM diganti oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sampai sekarang. Selanjutnya diterbitkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Penanaman Modal, usaha pengembangan modal nasional mulai digerakan melalui usaha pemerintah dengan penyertaan modal pemerintah dan kemudian dalam bentuk pemberian fasilitas penanaman modal dalam negeri kredit investasi perbankan. Penanaman Modal Asing diberlakukan lebih cepat daripada PMDN karena dalam pandangan pemerintah, penanaman modal asing merupakan persoalan yang lebih mendesak. Itulah sedikit hubungan dengan sejarah diberlakukannya. Pihak swasta diberi kebebasan untuk memilih wilayah kegiatan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pada tahun pertama sejak diterbitkannya UndangUndang Penanaman Modal Asing, usaha penanaman modal asing umumnya bergerak dibidang sejenis industri yang tidak bersifat mendasar seperti industri assembling kendaraan bermotor, sepeda, alat-alat radio dan industri barang-barang konsumsi. Dalam tahun berikutnya jenis-jenis penanaman modal telah berubah kepada yang bersifat mendasar dengan masuknya modal dibidang-bidang yang menghasilkan barang-barang untuk keperluan industri lain seperti industri industri yang digunakan dalam industri assembling, dan sebagainya. Dengan adanya pengaturan terlebih dahulu yang berkaitan yaitu, Peraturan Menteri ekuin Nomor 21 tahun 1970, kredit luar negeri dapat diberikan sebagai kredit kepada pengusaha nasioanal, dimana kebijaksanaan ini diambil untuk memungkinkan dan memperlancar Penanaman Modal Asing secara Joint Venture. Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 dan Nomor 12 Tahun 1970 terdahulu yang menghapuskan perbedaan pcndapat yang terdapat antara pengetur pajak terhadap penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri. Dengan adanya Undang-Undang ini maka terdapat peraturan dan fasilitas yang sama, baik kepada pengusaha nasional maupun pengusaha asing. 10
B. Pengertian Modal Asing Menurut pasal 2 Undang-Undang Nomor 25 Tabun 2007, yang climaksud dengan modal asing adalah : 1. Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia, yang dengan persetujuan pemerintah digunakan untuk pembiayaan perusahaan di Indonesia. 2. Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik orang asing dan badan-badan yang dimaksudkan dari luar kedalam wilayah Indonesia selama alat-alat tersebut dibiayai oleh kekayaan devisa Indonesia. 3. Bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 diperkenankan ditransfer, tetapi dipergunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia. Maka yang menjadi ukuran apakah itu termasuk modal asing atau bukan ternyata adalah ; 1. Dalam valuta asing 2. Dalam hal alat-alat keahlian Dalam pada itu kewarganegaraan pemilik modal tidak: disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, karena itu maka ada kemungkinan, bahwa modal warga Negara Indonesia yang didatangkan dari luar negeri dan ditanam di Indonesia, juga termasuk kategori modal asing untuk mana fasilitas yang diberikan oleh Undang-Undang Penanaman Modal Asing yang berlaku. Mengenai modal asing yang berbentuk alat-alat keahlian, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 mempergunakan kriteria subjektif, karena tergantung dari apakah si pemilik alat-alat keahlian itu adalah orang asing atau bukan. Kriteria lain yang diadakan oleh Undang-Undang Penanaman Modal Asing adalah bahwa si penanam modal secara langsung menanggung resiko dari penanam modal tersebut. Hal ini untuk rnembedakannya dari kredit-kredit luar negeri. Yang sebenarnya pada
11
hakekatnya juga merupakan modal asing. Menurut penjelasan pasal demi pasal mengenai pasal 2 Undang-Undang Penanaman Modal, mengatakan : "Modal asing dalam Undang-Undang ini hanya berbentuk valuta asing, tetapi meliputi pula alat-alat perlengkapan tetap yang diperlukan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, penemuan-penemuan milik orang / badan asing yang dipergunakan dalam perusahaan di Indonesia, dan ketentuan yang boleh ditransfer keluar negeri tetapi dipergunakan kembali di Indonesia"' Jadi dapat ditanam sebagai modal asing di Indonesia adalah : 1. Milik orang asing 2. Milik badan asing Pada zaman Belanda tidak ada peraturan yang jelas tentang penanaman modal asing. Dalam Agrurisehe Besluit 1870 : 188 hanya disinggung mengenai penggunaan tanah dalam jangka panjang dengan cara-cara erfact untuk 75 tahun, disamping itu ada pula kernungkinan untuk menyewa tanah dari orang-orang Indonesia. Modal asing yang lazim di masa kini adalah investasi dari badan asing atau perusahaan yang berdomisili di luar negeri. Sebagai contoh, sebuah perusahaan manufaktur Jepang, mungkin merasa perlu pembangun sebuah pabrik di Indonesia, atau sebuah perusahaan Amerika, barangkali memutuskan untuk melakukan eksplorasi minyak dikawasan itu. Dalam kasus seperti ini, modal berasal dari perusahaan asing itu, begitu pula dengan team managemen yang dibutuhkan. Jika perusahaan ini tidak mempunyai cukup modal, ia dapat meminjam uang dari sebuah bank atau sumber-sumber lain, tetapi ia adalah pengambilan irrisiaaif investasi ini. Investasi asing dapat bersifat horizontal, vertikal dan konglomerat tergantung pada jenis opersi yang dijalankan perusahaan asing dikawasan itu. Suatu investasi horizontal dilakukan untuk membiayai suatu operasi yang juga dilakukan oleh perusahaan asing itu. Umpamanya memutuskan untuk mendirikan sebuah pabrik perakitan mobil di Indonesia, hal ini adalah investasi horizontal, karena Toyota melakukan perakitan di Jepang. Denis investasi ini tidak terbatas pada
12
manufaktur melainkan meluas pada sektor primer. Jenis investasi vertikal yang sangat lazim adalah pembentukan kantor penjualan dan sebagainya.
C. Pengertian Penanaman Modal Asing Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang dimaksud dengan Penanaman Modal Asing adalah : Pengertian penanaman modal asing di dalam Undang-Undang ini hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik secara langsung rnenanggung resiko dari penanam modal tersebut. Perumusan pasal tersebut mengandung beberapa unsur pokok yaitu ; : 1. Penanaman modal secara langsung 2. Penggunaan modal untuk menjalankan perusahaan. 3. Resiko yang langsung ditanggung oleh Pemilik Modal Ad. 1. Penanaman Modal secara langsung Dalam hal ini yang dimaksud dengan penananam modal secara langsung, oleh pembuat Undang-Undang, ialah dalam pengertian direct investment seperti diartikan oleh organization for European Economic Cooperation dalam hal mana penanaman modal mempunyai pengusaha atas modal yang ditanam dalam perusahaan yang bersangkutan, dalam arti bahwa pemilik modal atau penanaman modal mempunyai kekuasaan pengusaha atas pengusaha modal asing tersebut. Pengusaha atau menjalankan di Indonesia dapat dilakukan dua macam, yaitu ; a. Perusahaan itu berkedudukan di luar negeri dan menjalankan perusahaan di Indonesia dengan hanya mempunyai kantor ataupun kantor cabang atau kuasa tertentu, tanpa mendirikan badan hukum menurut hukum Indonesia. b. Dengan mendirikan badan hukum Indonesia.
13
Ad. 2 . Penggunaan Modal untuk Menjalankan Perusahaan Di dalam memori penjelasan mengenai pasal 1, ditegaskan bahwa kredit berbeda dengan penanaman modal asing, yaitu bahwa dalam hal resiko penggunaan dari pada kredit yang bersangkutan oleh peminjam, sedangkan di dalam hal Penanaman Modal Asing yang langsung, resiko ditanggung oleh penanam modal. Selain dari pada itu ditegaskan bahwa pada Undang-Undang Penanaman Modal Asing tidak mengatur tentang kredit. Berdasarkan hal disebut di atas, maka pembuat Undang-Undang bermaksud untuk menjelaskan perbedaan antara modal asing dan kredit. Dalam hal ini pembuat Undang-Undang, melihat, penanaman modal asing dan kredit dari segi penggunaannya, karena Undang-Undang berpendapat bahwa dalam penggunaan terletak suatu resiko, sedangkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing justru bermaksud mentiadakan resiko atau penggunaan modal asing. Yang dimaksud dengan kredit di sini adalah kredit luar negeri, yang juga merupakan modal asing. Maka lebih tepat dibedakan antara lain : a. Modal asing dalam bentuk penanaman, atau biasa disebur penanaman modal langsung (direct investment) b. Modal asing dalam bentuk kredit, atau biasa disebut penanaman modal tak langsung (inderect investment) Jadi yang dimaksud dengan penggunaan modal untuk menjalankan perusahaan oleh pembuat Undang-Undang adalah modal asing dalam bentuk penanaman modal (direct investmen). Mengenai apa yang dimaksud dengan perusahaan dalam Undang-Undang, terutama dalam hal KUHD, tidak terdapat sebuah pasal yang secara penafsiran resmi memberikan pengertian tentang perusahaan. Berdasarkan azas concorduntie, dengan stb. 1938-276, maka 1934-347 menyatakan bahwa kekuatan perundang-undangan menyerahkan penetapan pengertian perusahaan pada dunia keilmu dan kepada
14
yurisprudensi, dinyatakan berlaku di Indonesia. Menurut Molegraf, barulah dapat dikatakan adanya perusahaan, apabila pihak yang berkepentingan secara terus menerus bertindak keluar untuk memperoleh penghasilan dengan memperniagakan barang-barang atau meniagakan perjanjian-perjanjian perniagaan. Jadi pada dasamya perusahaan itu harus memenuhi unsur-unsur : terus menerus atau tidak terputus-putus (regelmatig), secara terang-terangan (openlijk) karena berhubungan dengan pihak ketiga (opirenden naar buiten) dalam kualitas tertentu (in zekere kwaliteit), karena dalam hal ini berhubungan erat masalah perniagaan,
menyerahkan
barang-barang,
mengadakan
perjanjian-perjanjian
perniagaan, harus berniat untuk memperoleh keuntungan (winstoogmeek). Pada pokoknya, bahwa perusahaan yang dijalankan oleh pemilik atau penanaman modal harus mempunyai sebagai modal perusahaan, modal asing yang bersangkutan. Ad. 3 . Resiko yang lan.gsung ditanggung oleh pemilik modal Penetapan kriteria resiko yang ditanggung langsung oleh pemilik modal, dimaksudkan untuk membedakan modal asing dari kredit-kredit luar negeri yang sebenarnya, pada hakikatnya juga merupakan modal asing. Kredit yang dimaksud antara lain kredit yang diperoleh sebelumnya diundangkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing, yang menurut. persetujuan yang dicapai, diadakan re-scheduling mengenai pembayaran hutanghutang yang dijamin oleh pemerintah asing. Agar
resiko
tetap
tertanggung
oleh
pemilik
modal,
maka
dalam
pelaksanaannya resiko ini dapat dituangkan dalam bentuk saham-saham dengan demikian maka modal asing yang ditanamkan di Indonesia, perusahaan akan ada harus berstatus Perseroan Terbatas seperti dimaksudkan oleh pasal 3 (1) UndangUndang nomor 25 tahun 2007.
15
Mengenai bentuk perusahaannya menurut Undang-Undang Penanaman Modal Asing, dapat dilakukan dalam bentuk perusahaan yang modalnya secara keseluruhan merupakan modal asing ataupun dalam bentuk kerja sama antara modal asing dan modal nasional. Bidang usaha, dalam arti tidak secara penuh, bagi perusahaan modal asing hanya diperbolehkan bekerja atas dasar kerja sama, dibagi dalam dua golongan, yaitu: a. Atas dasar kerja sama hanya dengan pemerintah. Dalam
hal
ini
menguraikan
wewenang
pemerintahan
untuk
misalnya
menyerahkan pelaksanaannya kepada suatu perusahaan Negara. b. Atas kerjasama, baik dengan Pemerintah pusat maupun daerah atau juga dengan dengan pihak swasta nasional Jadi, dalam arti Undang-Undang Penanaman Modal Asing, dapat dibedakan menjadi : a. Penanaman Modal Asing dalam arti sesungguhnya, yaitu modal asing yang sejak semula memang di peruntukkan bagi penanaman modal (investment) b. Penanaman Modal Asing yang berasal dari hutang (kredit) luar negeri yang dikenal dengan debt investment conversion scheme (DIGS) Pemilik modal asing yang hendak menanamkan modalnya di Indonesia, haruslah menggunakan modal asing tersebut sebagai modal perusahaan dan dengan modalnya tersebut menjalankan perusahaan di Indonesia. Sebagai pasal 2 sub a Undang-Undang Penanaman Modal Asing, alat pembayaran luar negeri adalah juga merupakan modal asing. Untuk menentukan alat pembayaran luar negeri mana yang termasuk dalam pengertian modal asing, dalam hal ini digunakan kriteria "kekayaan devisa Indonesia". Devisa adalah saldo bank dalam bentuk valuta asing yang mempunyai catatan kurs resmi dari Bank Indonesia. Pengusaha devisa oleh Negara ini tidak senantiasa bersifat pemilikan, oleh karena pemilik devisa tidak terbatas pada Negara saja tetapi terdapat pula devisa yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia maupun Warga Negara Asing.
16
Jadi, penguasaan oleh Negara terhadap devisa dapat dalam arti pemilik, dalam ini devisa yang secara langsung diharuskan untuk diserahkan kepada dana devisa dan dapat pula penguasaan itu dalam arti mengatur/menerbitkan cara penggunaan ataupun cara pemakaian devisa yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia, yaitu devisa yang tidak diharuskan untuk diserahkan langsung kepada dana devisa. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan "kekayaan devisa Indonesia" adalah devisa yang dikuasai oleh Negara, dan yang dimiliki baik oleh negara maupun oleh warga Negara Indonesia. Jadi, alat pembayaran luar negeri yang merupakan modal asing adalah alat pembayaran luar negeri yang tidak dikuasai oleh Negara, dan digunakan untuk Pembiayaan perusahaan di Indonesia dengan persetujuan pemerintah. Persetujuan Pemerintah ini berupa izin penanaman modal asing sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 18 Undang-Undang Penanaman Modal Asing. Selain alat pembayaran luar negeri ditentukan pula bahwa alat-alat untuk perusahaan pun merupakan modal asing akan tetapi alat-alat tersebut haruslah alatalat yang diperoleh tidak atas biaya/beban dari kekayaan devisa Indonesia, artinya bahwa alat-alat tersebut tidak dibeli dengan menggunakan devisa yang berada dalam penguasaan negara.
D. Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Pada permulaan dilaksanakannya kembali kebijaksanaan penanaman modal asing, pemerintah mengizinkan investasi oleh perusahaan asing dengan pemilik penuh seluruh saham (staight investment). Ketentuan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 yang menyebutkan terbentuknya kerja sama antara modal asing dan nasional, ditafsirkan sebagai tidak adanya suatu keharusan bagi investor asing untuk mengadakan kerja sama dengan pengusaha Indonesia. Namur pemerintah, hanya mendorong kerja sama tersebut, baik kerja sama pengusaha asing dengan swasta Indonesia atau pemerintah, dengan memberikan perangsangan tambahan berupa pembebasan pajak perusahaan dan pajak keuntungan selama 1 tahun. 17
Selanjutnya perusahaan modal asing, baik yang seluruh sahamnya dimiliki oleh pihak asing maupun bentuk perusahaan patungan (joint venture), menurut undang-undang Nomor 25 tahun 2007, harus berbentuk badan hukum yang tunduk pada hukum Indonesia adalah "Perusahaan Indonesia" atau perusahaan dalam negeri walaupun modalnya datangnya dari luar negeri atau milik oleh orang asing. Dalam penanaman modal asing, ada dua aspek hukum yang penting, yaitu sebagai berikut : 1. Perjanjian patungan (joint venture) 2. Perseroan terbatas (joint enterprise)
1. Perjanjian patungan (Joint Venture) Yang dimaksud dengan joint venture adalah bentuk kerja sama sementara dan merupakan suatu perjanjian biasa, tanpa pihak-pihak membentuk suatu badan hukum tersendiri/baru sebagai badan yang herusaha. Para pihak dalam joint venture adalah perseorangan atau badan hukum. Dasar dari perjanjian patungan (join venture) dalam penanaman modal asing ialah dengan ditetapkannya kebijaksanaan barn dalam penanaman modal asing pada tanggal 22 Januari 1974, yaitu dengan tidak mengizinkan lagi seratus pemilikan perusahaan oleh pihak asing claim penanaman modal, dengan demikian maka kerja sama dengan modal nasional dalam bentuk perusahaan patungan merupakan suatu keharusan. Perusahaan patungan (joint venture) berbentuk, ketika dua pihak atau lebih, baik secara prihadi maupun perusahaan bermaksud menjadikan partner atau sama lainnya untuk suatu kegiatan dan mengatur secara bersama perusahaan baru yang saham-sahamnya dimiliki bersama pula. Perjanjian patungan merupakan kontrak antara pihak yang terlihat di dalamnya tidak sama tunduk kepada kita Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya III Bab 2 tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan oleh kontrak atau persetujuan tetapi juga ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah berhubungan 18
dengan penanaman modal. Menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat empat persyaratan utama yang harus dipenuhi, agar suatu kontrak atau perjanjian mengikat para pihak yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Perikatan harus mengenai suatu hal tertentu 4. causal yang halal
Perikatan yang memenuhi persyaratan tersebut diatas secara hukum mengikat para pihak. Perikatan ini tidak akan diakhiri tanpa persetujuan para pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk membatalkan persetujuan tersebut. Selanjutnya perikatan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian patung (joint venture) ialah pencerminan kehendak dari para pihak. Perjanjian itu harus memuat beberapa yang akan dikeluarkan, berapa hesar yang akan ditempatkan dan berapa bagian atau kewajiban tiap-tiap patner dari jumlah yang ditetapkan tersebut. Perjanjian patungan juga menguraikan ini dari anggaran dasar perusahaan joint venture yang akan didirikan untuk keperluan usaha bersama yang akan dituju. Perusahaan saham terutama pemegang saham mayoritas kepada pihak lain. Di samping itu terdapat pula hak untuk membeli saham tersebut, yang akan diberikan kepada patner yang sudah ada. Perjanjian joint venture, juga memuat ketentuan apakah akan ada perjarjian tersendiri antara perusahaan joint venture dengan patner, umpamanya manajemen dari perusahaan yang baru, bantuan teknik atau hal-hal yang berhubungan dengan paten dan merk dagang. Akhirnya, suatu ketentuan yang penting mengenai proses penyelesaian sengketa yang mungkin timbul juga harus dicantumkan. Apakah perselisihan akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase atau pengadilan.
19
Saat ini perlu untuk mengkoordinasikan perjanjian joint venture dengan anggaran dasar dari Perseroan Terbatas (joint enterprise) yang merupakan satusatunya bentuk perusahaan di Indonesia yang memenuhi ketentuan dari UndangUndang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal .
2. Perseroan Terbatas (Joint Enterprise) Yang dimaksud dengan joint enterprise, menurut Ismail Suny, adalah suatu bentuk kerjasama antara modal asing dengan modal nasional yang dituangkan dalam hukum Indonesia. Dalam Perseroan Terbatas (joint venture) terdapat harta yang terpisah dari harta pemegang saham. Ciri lain adalah tanggung jawab terbatas dari para pemegang sahamnya. Para pemegang saham tidak bertanggung jawab melebihi besarnya dalam suatu Perseroan Terbatas. Ketentuan tentang Perseroan Terbatas yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang sudah lagi mengikuti dan memenuhi kebutuhan perkembangan perekonomian dan dunia usaha yang sangat pesat dewasa ini. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijaksanaan baru, misalnya dalam hal devisa, bantuan luar negeri, penanaman modal asing, peningkatan kerjasama internasional; sistem perbankan, pasar modal dan lain sebagainya. Perseroan Terbatas adalah sebagai badan usaha yang berbentuk hukum yang modalnya terdiri dari saham-saham sehingga merupakan persekutuan modal, maka dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 ditetapkan bahwa semua saham yang ditetapkan harus disetor penuh agar dalam melaksanakan usahanya mampu berfungsi secara sehat berdaya guna dan berhasil guna. Organ yang terpenting dari suatu Perseroan Terbatas adalah rapat umum pemegang saham, organ ini yang menentukan kebijaksanaan umum dari perseroan. Organ yang kedua juga memegang peranan penting dalam direktis yang menjalankan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang digariskan oleh rapat umum pemegang saham. Organ ketiga adalah komisaris yang berfungsi sebagai pengawas yang bertindak atas nama dan kepentingan para pemegang saham. 20
Rapat Umum Pamegang Saham Rapat umum pemegang saham dikatakan organ tinggi dan terikat dalam perseroan terbatas. Dalam Undang-Undang dan terkait dalam perseroan terbatas. Dalam Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 pasal 63 menyebutkan : 1. Rapat umum pemegang saham rnempunyai segala wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan atau anggaran dasar. 2. Rapat Umum Pemegang Saham berhak rnemperoleh sagala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari direksi dan atau komisaris. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Pasal 54 ayat (1) mengatakan bahwa "hanya pemegang saham yang berhak mengeluarkan suara. Setiap pemegang saham sekurang-kurangnya berhak satu suara". Keputusan dalam rapat biasanya diambil suara terbanyak dari jumlah suara yang dikeluarkan secara sah, kecuali dalam Undang-Undang dan atau anggaran dasar menentukan bahwa keputusan harus diambil berdasarkan suara yang lebih besar dari suara terbanyak. Direksi Rapat umum Pernegang Saham. memiliki direksi untuk menja.la.kan perusahaan sehari-hari. Kepengurusan perseroan dilaksanakan oleh Direksi, dan Direksi adalah pemegang saham mayoritas dari perusahaan tersebut, tetapi dalam perusaiaan Negara, bank dan perusahaan patungan, diangkat pula orang lua.r untuk menjabat Direksi. Pada umumnya para Direksi bertanggung jawab untuk menjalankan organisasi perusahaan dengan baik dan bertanggung jawab baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri atas tindakan-tindakan yang melampaui wewenang.
21
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 pasal 79 ayat (3) rnengatakan "Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseroan yang rnampu melaksanakan perbuatan hokum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, atau orang yang pernah dihukum melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan Negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan".
Komisaris Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 pasal 96 mengatakan : "Yang diangkat menjadi Komisaris adalah orang perorangan mampu melaksanakam perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit atau orang yang pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan Negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan. Dalam memutuskan sesuatu, para Komisaris harus melakukannya melalui rapat. Jika tidak diperboleh kesepakatan biasanya keputusan diambil dengan suara terbanyak. Dari aspek hukum yang telah diuraikan di atas Penanaman Modal Asing juga dihadapkan pada aspek untung dan rugi dan ini dikaitkan lagi dengan faktor-faktor lain selain hukum, yaitu faktor hukum ekonomi. Berdasarkan ketiga faktor diatas maka dapat diutarakan aspek positif dan negatif dari penanaman modal asing, yaitu : 1. Aspek Positif Penanaman Modal Asing a. Penanaman Modal Asing menambah pendapatan devisa Negara melalui penanaman modal di hidang produksi ekspor. b. Di sektor industri penanaman modal asing menguraikan kebutuhan devisa untuk import 22
c. Penanaman Modal Asing menambah pendapatan Negara berupa pajak-pajak dan royalty dari pada perusahaan-perusahaan asing. d. Penanaman modal asing menambah kesempatan kerja untuk membuka lapangan kerja baru. e. Penanaman Modal Asing menaikkan keterampilan tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan asing tersebut. f. Penanaman Modal Asing memberikan pengaruh moderennisasi dengan adanya perusahaan-perusahaan asing yang moderen. g. Penanaman Modal Asing mendatangkan keuntungan yang banyak bagi mereka yang berhubungan dengan modal asing tersebut. 2. Aspek Negatif Penanaman Modal Asing. a. Modal asing tujuan utamanya mencari keuntungan sebesar-besarnya baru kemudian memproduksi barang. Maksudnya ketika hendak dan telah menanamkan modal pihak penanaman modal asing yang paling utama dilihat adalah apakah usaha-usaha ini akan menguntungkan atau tidak, karena tingkat keuntungan di Negara yang ditanami modal asing jauh lebih besar dari pada tingkat keuntungan di Negara asal modal tersebut. Bila ternyata amat menguntungkan maka pasti modal asing itu akan ditambah tanpa memperdulikan barang yang akan diproduksi. Setelah itu baru dipikirkan tentang produksi barangnya. b. Penanaman Modal asing yang dimaksud untuk pernbangunan kemungkinan besar akan bentrok dengan motif dari modal asing yang mengutamakan keuntungan saja. c. Jika terjadi pertentangan kepentingan antara modal asing dengan pihak Negara ditanami, maka modal asing akan selalu lebih unggul karena mereka penanam dan pemilik saham terbanyak, serta mereka pun akan dibantu oleh negaranya, karena dalam hal ini mereka bertindak sebagai wakil Negara. d. Jumlah modal asing, baik yang sedikit apalagi yang besar akan mempengaruhi kebijaksanaan Negara penerima modal asing, dan akan mempengaruhi pula 23
Undang-Undang Pananama Modal Asing dari Negara tersebut. e. Hanya sebagian kecil penduduk Negara penanaman modal asing yang mendapat keuntungan / manfaat dari penanaman modal asing, yaitu mereka yang mempunyai hubungan langsung dengan pihak penanaman modal asing. f. Lapangan usaha bagi pengusaha-pengusaha nasional akan semakin sempit. g. Bidang usaha modal asing hanyalah pada sektor-sektor tertentu saja yang mendatangkan keuntungan banyak, sehingga penyebaran pendapatan tidak merata. Di lain pihak kalau dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan Penanaman Modal Asing, maka mengadung dua hal yang nampak bertentangan. Di satu nisi, Penanaman Modal Asing mengandung penanaman modal asing untuk melakukan usahanya di Indonesia tetapi disisi Undang-Undang, itu dengan ketat membatasi dan memagari para penanaman modal itu. Hal ini dapat dilihat, misalnya pada pasal 9 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 yang memungkinkan penanaman modal asing untuk beroperasi dalam bidang pertambangan, asalkan bekerja sama dengan pemerintah atas dari kontrak karya ataupun bentuk-bentuk kerjasama lainya seperti persetujuan bagi basil, dan lain sebagainya. Ini juga merupakan salah satu aspek negatif dari Penanaman Modal Asing, yang dihubungkan dengan ketentuan yang memagari atau membatasinya.
24
BAB III PERANAN PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERKEMBANGAN TENAGA KERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL
A. Peranan Perusahaan Penanaman Modal Asing Terhadap pekembangan Tenaga Kerja menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 Menurut nasal 9 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007, pemilik modal mempunyai wewenang sepenuhnya untuk menentukan Direksi Perusahaanperusahaan dimana modalnya ditanam. Sedapat mungkin, dalam pelaksanaan kerja perusahaannya harus menggunakan tenaga-tenaga kerja Indonesia, kebijaksanaan pemerintah ini dimaksudkan agar setiap pembangunan perusahaan selalu memberikan kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia yang belum memperoleh lapangan kerja, dengan demikian berarti dapat mengurangi pengangguran. Dalam hal ini pemilik modal belum mendapatkan tenaga kerja yang dapat didudukan sebagai pembantu pimpinan dan atau mengisi jabatan-jabatan yang penting dalam perusahaannya, pemerintah rnelalui kebijaksanaan-kebijaksanaannya rnengizinkan untuk mendatangkan atau menggunakan tenaga pimpinan dan tenagatenaga ahli Warga Negara Asing dari kewarganegaraan si pemilik modal asing yaitu dengan proses kerja sama antar Negara. Kebijaksanaan pemerintah dengan perizinan tersebut di atas bukan berarti menutup kesempatan tenaga-tenaga kerja Indonesia untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam perusahaan yang bersangkutan, akan tetapi belum waktunya, mengingat pemerintah telah mewajibkan si pemilik modal agar membantu melatih, mendidik, meningkatkan tenaga kerja Indonesia agar setaraf dengan keahlian dan keterampilan mereka, setelah demikian barulah tenaga kerja Indonesia dapat menduduki jabatan-jabatan penting dalam perusahaan tadi, setelah tenaga-tenaga ahli bangsa asing tersebut meninggalkan Negara Indonesia sehubungan dengan masa kontrak kerja yang telah habis. 25
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 menyebutkan : perusahaanperusahaan modal asing berkewajiban menyelenggarakan dan menyediakan fasilitas-fasilitas latihan dan pendidikan di dalam dan di luar negeri secara teratur dan terarah bagi Warga Negara Indonesia dengan tujuan agar berangsur-angsur tenaga-tenaga warga Negara asing dapat diganti oleh tenaga-tenaga warga Negara Indonesia. Memang akhirnya teori akan menjadi teori dan berlainan di lapangan. Perusahaan Modal Asing yang ada di Kotamadya Palembang ini sebagian besar merupakan perusahaan industri yang disesuaikan ataupun diserasikan dengan lingkungan daerah Palembang dilihat dari keadaan daerah Palembang ini, merupakan potensi dan prospek tersendiri bagi pemerintah daerah untuk terus dan berkesinambungan menciptakan dan mengundang lebih hanyak lagi investor asing. Perlu diperhatikan bahwa jangan hanya melihat banyak investasi asing akan melipat gandakan penerimaan pendapatan daerah / Negara. lni terlalu berorientasi pada pendapatan dan devisa, tanpa melihat yang terpenting bagi yang menyangkut masalah manusia. Yaitu bagaimana caranya supaya dapat rnengurangi ataupun ikut rnenyelesaikan permasalahan sosial di daerah tersebut. Masalah-masalah sosial untuk Kotamadya Palembang pada hakikatnya berpuncak pada banyaknya pengangguran. Dari sini juga harus dipikirkan seberapa banyak perusahaan modal asing dapat membuka atau menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja. Masalah pengangguran dan lapangan kerja bukan saja masalah yang dihadapi di kota Palembang tetapi menyeluruh untuk seluruh wilayah Indonesia. Di Indonesia jumlah tenaga kerja dapat dikatakan cukup banyak sehingga pemerintah banyak menghadapi kesulitan dalam menghadapi kelebihan tenaga kerja. sedangkan lapangan kerja sangat terbatas. Akan tetapi, dalam hal tenaga kerja yang mempunyai
keahlian
dapat
dikatakan
bahwa
di
Negara
kita
sangatlah
membutuhkannya terutama yang berhubungan dengan perindustrian. Di Negara berkembang yang sedang mengingat berbagai pembangunan, sangat terlihat bagaimana caranya untuk dapat menyalurkan tenaga kerja yang berlebihan itu kelapangan kerja baru.
26
Masalah penduduk di Negara berkembang berbeda dengan penduduk di Negara yang telah maju, di Negara yang telah maju ada kalanya mereka menderita kekurangan tenaga kerja, sehingga untuk mengatasinya mereka menciptakan teknikteknik baru yang mutahir yang dapat menggantikan tenaga kerja manusia, seperti halnya menciptakan berbagai jenis alat-alat pertanian dan perindustrian yang sekaligus dapat menangani proses produksi dari sejak permulaan sehingga menjadi barang-barang jadi yang siap untuk dipasarkan atau di ekspor. Dengan adanya penanaman modal asing, baik mereka mendirikan perusahaanperusahaan yang segala sesuatunya dilaksanakan secara maksimal. atau perusahaanperusahaan yang dapat menyerap banyak tenaga kerja, sedangkan kedua-duanya adalah penting, karena : a. Sangat mendambakan berdiri perusahaan-perusahaan yang mutahir, yang dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan kuantitasnya sangat memuaskan. b. Sangat mernerlukan pula perusahaan-perusahaan yang dapat menyerap tenaga kerja untuk menanggulangi masalah kelebihan tenaga kerja. Sehubungan dengan masalah di atas dan secara kenyataan pengusaha asing yang menanamkan modalnya, hanya dari Negara-Negara maju yang membawa teknologi yang serba mutakhir, maka pemerintah mengambil kebijaksanaan yang tepat, dapat menggunakan peralatan yang mutakhir asalkan dapat pula menunjang kesempatan kerja bagi tenaga kerja. Belum lagi jika dihubungkan dengan kemajuan ilmu dan teknologi Negara penanaman modal yang semakin mutakhir. Industri-industri yang sudah ada menuju pada penggunaan mesin-mesin teknologi tinggi dengan tidak mengurangi pencapaian produksi. Sudah menjadi kenyataan bahwa penggunaan sumber daya manusia semakin berkurang dan ironisnya tenaga kerja Indonesia yang semakin bertambah dalam mencari lapangan kerja. Dalam masalah tenaga kerja sudah harus sangat diperhatikan, dengan adanya penanaman modal asing, pembangunan berbagai jenis pabrik telah banyak dilakukan
27
sedang salah satu tujuan dilaksanakan industrialisasi ialah untuk mencari lapangan kerja yang luas bagi setiap penduduk Indonesia, menyediakan lapangan kerja demikian ini merupakan satu langkah terciptanya keadailan sosial. Karena itulah setiap penanaman modal asing yang dapat membantu melakukan penyerapan tenaga kerja sangat kita hargai. Sehubungan dengan ini pula pemerintah mengusahakan industrialisasi yang dapat dikatakan menuju kearah modernisasi, yaitu penggunaan mesin-mesin di samping penggunaan tenaga-tenaga kerja dengan maksud apabila masalah tenaga kerja telah dapat ditanggulangi, peningkatan industrialisasi ke industri yang benar-benar serba mutahir dan dapat dilakukan. Setiap perusahaan, apakah perusahaan itu penanaman modal asing, penanaman modal dalam negeri, BUMN, BUMD, swasta nasional, perusahaan perorangan, dan yayasan-yayasan, yang mempunyai dan mempekerjakan tenaga kerja apabila tidak dilaksanakan peraturan Perundang-undangan ketenaga kerjaan dapat diduga sebagai tindak pidana pelanggaran yang sanksinya berupa pidana kurungan/ denda. Dari uraian mengenai Peranan Perusahaan Penanaman modal asing terhadap Perkebangan tenaga kerja, dapatlah dikatakan bahwa: 1. Berpengaruh terhadap Tenaga Kerja Indonesia. Adanya jabatan-jabatan tertentu dalam tingkatan kepegawaian yang tidak bisa diduduki oleh tenaga kerja Indonesia di perusahaan penanaman modal asing, walaupun bersifat sementara. Sementara di sini merupakan rekayasa dari pihak penanam modal yang tidak pernah berakhir. Munculnya kapital intensif yang hanya akan bermanfaat apabila terjadi di Negara-Negara yang kckurangan tenaga kerja, karena segala sesuatunya dilaksanakan secara maksimal. Berlainan di Indonesia yang justru sedang mengalami kelebihan tenaga kerja, tidak akan membantu usaha-usaha untuk menanggulangi masalah pengangguran.
28
2. Berpengaruh terhadap Peningkatan Mutu Tenaga Kerja Dengan adanya perusahaan-perusahaan modal asing, sehubungan dengan perusahaan-perusahaan tersebut mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan, yaitu kewajiban untuk menyelenggarakan fasilitas-fasilitas latihan dan pendidikan di dalam atau di luar negeri bagi tenaga-tenaga kerja. Selain itu karena para pengusaha asing yang menemukan modalnya di Indonesia sangat menjunjung disiplin kerja, maka hal-hal dapat didorong meningkatan tata tertib kerja dan tata tertib berusaha. 3. Berpengaruh pula pada bidang-bidang lain yang tidak secara langsung berhubungan dengan tenaga kerja. 4. Adanya pelatillan-pelatihan sumber daya manusia yang diadakan oleh Depnaker, agar memperoleh keterampilan yang dibutuhkan oleh Pemilik Modal Asing. Sebagai kewajiban dari perusahaan penanaman modal asing yang ada di Indonesia, pasal 26 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007, menyebutkan : "perusahaan-perusahaan modal asing yang wajib mengurus dan mengendalikan perusahaannya sesuai dengan azas-azas ekonomi perusahaan dengan tidak merugikan Kepentingan Negara". Di dalam penjelasan resminya diterangkan bahwa peraturan dalam pasal 26 yaitu adalah untuk mencegah tindakan-tindakan perusahaan-perusahaan modal asing yang merugikan kepentingan Negara ataupun (yang tentunya juga merugikan Negara) cara-cara menyelenggarakan perusahaan-perushaan yang tidak efektif dan efisien sesuai dengan tujuan pemberian kesempatan menanam modal asing di Indonesia. Selanjutnya pemerintah harus sungguh-sungguh mengawasi apakah tidak terdapat penyelewengan-penyelewengan yang dimaksudkan. Karena itu, sebagai halnya dengan pasal 13 mengenai personalia yang menyebutkan: " Pemerintah mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam pasal 9, 10, 11 dan 12. -
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007, "Pemilik modal mempuuyai wewenang sepenuhnya untuk menentukan Direksi perusahaan-perusahaan dimana
29
modalnya ditanam" -
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007, "Perusahaan-perusahaan modal asing wajib memenuhi kebutuhan akan tenaga kerjanya dengan warga Negara Indonesia kecuali dalam hal-hal tersebut pada pasal 11"
-
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007, " Perusahaan-perusahaan modal asing diizinkan mendatangkan atau menggunakan tenaga-tenaga pimpinan dan tenaga-tenaga ahli warga Negara asing bagi jabatan-jabatan yang belum dapat diisi dengan tenaga kerja warga negara Indonesia.
-
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 "Perusahaan-perusahaan modal asing berkewajiban menyelenggarakan dan menyediakan fasilitas-fasilitas latihan dan pendidikan di dalam atau di luar negeri secara teratur dan terarah bagi warga Negara Indonesia dengan tujuan agar berangsur-angsur tenaga-tenaga warga negara asing dapat diganti oleh tenaga kerja warga Negara Indonesia.
Dengan ketentuan-ketentuan ini, maka akan berarti perusahaan-perusahaan penanaman modal asing tersebut : a. Harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum perjanjian-perjanjian yang berlaku di Indonesia b. Harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum perekonomian Indonesia, terutama ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pelaksanaan demokrasi Ekonomi. c. Harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan dari hukum perburuhan, khususnya tentang keselamatan dan keamanan kerja serta peraturan tentang pengubahan, jaminan social dan lain sebagainya.
Dalam rangka mendorong dan meningkatkan kegiatan penanaman modal asing, melalui penciptaan iklim penanaman modal yang lebih baik lagi, maka Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah mengambil langkah-langkah dan upaya untuk mengadakan penyederhanaan dalam prosedur, perizinan dan pelaksanaan 30
modal asing, sebagaimana ditetapkan dan diatur kemudian dalam Surat keputusan BKPM. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Personalia di PT. Interbis Sejatera Food Industry bahwa prosedur untuk mendirikan perusa.haan modal asing adalah: a. Mencari mitra kerja b. Minta izin kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) c. Membuat proposal. Dan berdasarkan prosedur perizinan penanaman modal permohonan persetujuan dan fasilitas penanaman modal mengajukan permohonan dengan menggunakan model-model sebagi berikut: -
Model I PMA/PMDN untuk proyek baru dalam rangka PMA/PMDN
-
Model II PMA/PMDN untuk perluasan proyek PMA/PMDN Apabila setelah dikeluarkan Surat Pemberitahuan Persetujuan Presiden
(SPPP) untuk proyek baru PMA dan kalau proyek baru PMDN berupa Surat Persetujuan tetap (SPT) penanaman modal asing bermaksud mengadakan perubahan terhadap modal asing bermaksud mengadakan perubahan terhadap proyek yang tercantum di dalam lampiran SPPP/SPT tersebut, maka permohonan persetujuan atas perubahan penanaman modal asing tersebut diajukan dengan menggunakan model II A-G dan model III A-B, dengan penjelasan sebagai berikut : - Model II A
: Untuk perubahan nama perusahaan PMA/PMDN
- Model II B
: Untuk perubahan lokasi proyek ke propinsi lain (PMA dan PMDN)
- Model II C
: Khusus untuk PMDN
- Model ll D
: Untuk perubahan rcncana investasi PMA/PMDN
- Model II E
: Untuk perubahan jenis dan disfesifikasi produk tanpa perubahan kapasitas PMA/PMDN
31
- Model II F
: Untuk
mengundurkan
jadwal
waktu
penyelesaian
proyek
PMA/PMDN - Model II G
: Untuk perubahan pemasaran hasil produksi PMA/PMDN
- Model III A
: Untuk perubahan pemilik saham dalam perusahaan PMA
- Model III B
: Untuk pengadilan status dari PMA menjadi PMDN
Persetujuan yang diberikan atas permohonan persetujuan penanaman modal asing dapat dibedakan dengan aflikasi yang diajukan. Khusus untuk model I PMA, persetujuan yang dapat diberikan dapat berupa 1. Surat Persetujuan Sementara (SPS), apabila masih ada persetujuan/persyaratan sesuai dengan prosedur perizinan penanaman modal asing yang berlaku sebelum dipenuhi. 2. Surat Pemberitahuan Persetujuan Presiden (SPPP), untuk proyek PMA Surat Persetujuan Tetap (SPT), untuk proyek PMDN apabila seluruh ketentuan atau persyaratan sesuai prosedur perizinan penanaman modal asing yang berlaku telah dipenuhi. Masa berlaku Surat Persetujuan Sementara (SPS) adalah satu tahun dengan ketentuan SPS tersebut menjadi batal dengan sendirinya apabila jangka. waktu tersebut pemohon tidak memenuhi permintaan kelengkapan data yang dipersyaratkan dalam SPS, SPS tersebut dapat diperpanjang selama 6 (enam) bulan apabila mempunyai alasan yang cukup kuat untuk memberi perpanjangannya. Penanaman modal asing yang telah memperoleh SPPP kelonggaran waktu untuk menyelesaikan proyeknya, dengan perincian memenuhi jenis surat persetujuan yang diberikan sebagai berikut: 1. SPPT / SPT : Dalam waktu 3 (tiga ) tahun, dengan ketentuan SPPP / SPTtersebut akan menjadi batal dengan sendirinya dalam jangka waktu tersebut penanaman modal asing dalam bentuk kegiatan yang nyata, seperti penyedian tanah, pembangunan gedung / obrik,
32
pengadaan peralatan / mesin. 2. SPT
: Dalam waktu 2 (Dua) tahun, dengan ketentuan SPT perluasan tersebut akan menjadi batal dengan sendirinya apabila dalam jangka waktu tersebut penanaman modal asing sama sekali tidak melaksanakan rencana penanaman modal asing dalam bentu.k kegiatan yang nyata, seperti penyediaan tanah, pembangunan gedung / pabrik, pengadaan peralatan, mesin.
Proses penyelesaian SPS diawali dari pihak investor menyampaikan aplikasi model I PMA yang dilampirkan dengan lampiran-lampirannya dan diserahkan kepada sekretaris dalam hal ini BKPM. Untuk proses penyelesaian Surat Pemberitahuan Persetujuan Presiden (SPPP), diawali dengan pihak investor menyampaikan kelengkapan data yang ditujukan kesekretaris dalam hal ini kantor BKPM. Sekretaris menerima dan meneliti kelengkapan data tersebut dan mendistribusikan kelengkapan data kemudian dikirik ke: 1. Biro Penelitian Aplikasi, dengan nilai keseluruhan proyek yang diajukan 2. Biro Perizinan dan Fasilitas, dengan mengevaluasi fasilitas dan perizinan secara terinci. Rekomendasi kembali lagi ke biro Penelitian Apliksi untuk menyiapkan rekomendasi dari ketua BKPM kepada Presiden. Presiden menyetujui proyek, kemudian dikembalikan ke Sekretariat (BKPM). Sekretariat memeriksa kembali naskah pesetujuan setelah lengkap barulah dikirim ke : a. Perusahaan penanaman modal asing, untuk mernpersiapkan pelaksanaan proyek b. Instansi pemerintah lainnya, untuk mengadakan pembinaan di bawah koordinasi BKPM.
33
Jangka waktu penyelesaian permohonan aplikasi sesuai dengan jenis tahapan persetujuan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : 1. Surat Persetujuan Sementara (SPS) dikeluarkan oleh Ketua BKPM selambatlambatnya (empat) minggu setelah permohonan model UPMA dinyatakan diterima oleh BKPM 2. Selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak tanggal dikeluarkannya SPS, BKPM sudah diterima segala perlengkapan data dan bahan tambahan yang diperlukan dari penanaman modal. 3. a. Pemberitahuan Persetujuan Presiden atau permohonan penanaman modal asing sudah dapat dikeluarkan 1 (situ) minggu sejak surat persetujuan presiden diterima oleh Ketua BKPM. b. Persetujuan tetap ketua BKPM atas permohonan PMDN dikeluarkan. selarnbatlambatnya 4 (empat) minggu sejak tanggal diterimanya segala kelengkapan data dan bahan tambahan oleh BKPM c. Persetujuan tetap Ketua BKPM atas permohonan penambahan kapasitas baik untuk penanaman modal asing maupun Penanaman Modal Dalam Negeri dikeluarkan
selambat-lambatnya
4
(empat)
minggu
sejak
diterimanya
permohonan dengan kelengkapan data yang diperlukan oleh BKPM. 4. Persetujuan tetap BKPM atas peruba.han pemohonan penanaman modal yang telah
memperoleh
persetujuan
pemerintah
sebelumnya
dikeluarkan
selarnbat-lambatnya 2 (dua) minggu sejak tanggal diterimahnya permohonan yang bersangkutan oleh BKPM Penilaian terhadap permohonan persetujuan penanaman modal asing dapat dibedakan menurut aplikasi yang diajukan dan jenis persetujuan yang akan diberikan.
34
B. Penerapan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal terhadap Perusahaan Penanaman Modal Asing. Yang menjadi harapan setiap pengusaha, bahwa dalam penerimaan dalam tenaga kerja bagi keperluan perusahaannya itu akan diperoleh tenaga kerja (sumber daya manusia) yang berkualitas tinggi, efisien dan efektif. Harapan tersebut akan terwujud kalau : 1. Para tenaga kerja berada dalam perasaan yang senang untuk menangani pekerjaan-pekerjaannya, sehingga karena perasaan ini akan menimbulkan. kegairahan kerja dan kegairahan kerja inilah yang baik meningkatkan atau menimbulkan nilai tambahan dalam kegiatan-kegiatan usaha perusahaan. 2. Para tenaga kerjanya berada dalam kesesuaian/kecocokan lapangan pekerjaannya, dan tidak adanya kerja rangkapan yang dipaksakan untuk ditangani 3. Para tenaga kerja bekerja sesuai dengan keahlian / keterampilan yang dimilikinya dan pengalaman keahlian / keterampilan yang dimilikinya. dan pengalamanpcngalamannya. 4. Memperoleh upah atau pendapat yang layak sesuai dengan bidang kerja yang ditanganinya. Tenaga kerja (sumber daya manusia) merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam perusahaan, di samping faktor alam dan modal serta faktor organisasi dan manajemen. Pengadaan tenaga kerja agar dapat memenuhi harapan pengusaha, mencapai kemajuan serta perkembangan haruslah memanfaatkan analisa jabatan, yang semantap mungkin. Pekerjaan yang harus perlu dianalisa terlebih dahulu sehingga akan diperoleh uraian-uraian yang jelas dengan cara demikian pihak pengusaha berarti telah memiliki informasi-informasi tentang jenis pekerjaan atau jabatan yang sangat diperlukan itu serta macam dan kualitas tenaga kerja (sumber daya manusia) yang akan ditempatkan pada pekerjaan dan atau jabatan tersebut.
35
Dalam hal perincian tentang analisa jabatan haruslah diperoleh keteranganketerangan terlebih dahulu, kemudian selanjutnya dapat ditentukan tentang apa yang dipekerjaan dalam suatu jabatan, selanjutnya dapat diklasifikasikan tentang para tenaga kerjanya (sumber daya manusia) yang diperlukan untuk pengisian jabatan itu, dengan jalan memanfaatkan hasil-hasil dari ke-4 jenis informasi dibawah ini. 1. Apa yang mesti dipekerjakan 2. Kecakapan untuk menangani pekerjaan itu 3. Pertanggungjawaban dalam menangani pekerjaan tersebut 4. Keadaan-keadaan dalam pekerjaan Pembuatan analisa jabatan yang dimaksudkan agar dapat menempatkan para tenaga kerja secara tepat atau mendekati ketepatan, pada kedudukannya yang tepat, yang dapat menggairahkan mereka selama menangani pekerjaan. Dalam dunia kerja terdapat beberapa istilah, yaitu tenaga kerja (sumber daya manusia), buruh, karyawan, di bawah ini dengan manfaatkan istilah-istilah yang dipergunakan dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketentuanketentuan pokok tenaga kerja, dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Tenaga kerja (Sumber daya manusia) Menurut pasal 1 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketentuanketentuan pokok mengenai tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik didalam atau di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang-barang atau jasa untuk mernenuhi kebutuhan masyarakat, jadi disini terkandung arti yang luas. Mereka yang telah berkerja pada instansiinstansi pemerintah terikat oleh Undang-Undang Kepegawaian, sedangkan mereka yang telah bekerja pada perusahaan-perusahaan terikat atau dilindungi oleh Undang-Undang Hukum Ketenagakerjaan berlaku di setiap perusahaan yang mampu atau mempekerjakan para tenaga kerja.
36
2. Buruh Yang dimaksud dengan buruh adalah para tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan, dimana tenaga kerja itu harus tunduk kepada perintah dan peraturan kerja yang diadakan oleh pengusaha (majikan) yang bertanggung jawab atas lingkungan perusahaannya, dimana tenaga kerja itu akan memperoleh upah atau jaminan lainnya yang wajar. 3. Hubungan kerja Hubungan kerja adalah hubungan-hubungan dalam rangka pelaksanaan kerja antara tenaga kerja dengan pengusaha dalam suatu perusahaan yang berlangsung di dalam batas-batas perjanjian kerja dan peraturan kerja yang telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak. 4. Perjanjian Kerja Merupakan suatu wujud persetujuan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dengan calon tenaga kerja, (buruh) yang lazim diadakan sebelum terjadinya hubungan kerja, dimana dengan ditanda tanganinya perjanjian kerja oleh masingmasing pihak, yang bersangkutan merupakan tanda resminya pengusaha memperkerjakan buruh itu pada perusahaannya dan bagi para buruh (tenaga kerja) merupakan resminya bekerja pada perusahaan tersebut untuk jangka waku terbatas atau tidak terbatas sesuai dengan segalah sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian kerja tersebut 5. Perselisihan Perburuhan Yang dimaksud dengan perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubungan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/keadaan perburuhan. Sedang yang dimaksud dengan masalah perburuhan adalah permasalahan-permasalahan yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan hubungan kerja yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan hubungan kerja antara buruh dengan pihak pengusaha, baik yang menyangkut segi yuridis teknis, segi ekonomi dan segi sosial. Segala masalah dan perselisihan 37
perburuhan, kalau masing-masing pihak memanfaatkan nilai-nilai pancasila, dengan sendirinya akan mudah tercapai keselarasan dan keserasian berjalan lancar. 6. Pegawai Perantara Dalam hubungan terjadi perselisihan perburuhan yang dimaksud dengan pegawai perantara adalah pegawai dari Departeman Tenaga Kerja (Kanwil Departemen Tenaga Kerja, Kandep Tenaga Kerja) yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja (Kakanwil, Kakandep Tenaga kerja) untuk memberikan perantara dalam menyelesaikan perselisiahan perburuhan. Dalam mempekerjakan tenaga kerja pada perusahaan-perusahaan penanaman modal asing harus ada surat perjanjian kerja (SPK) yang meliputi antara lain : a. Mulai adanya hubungan kerja b. Besarnya upah c. Hak dan kewajiban pekerja d. Hak dan kewajiban pengusaha e. Adanya disiplin kerja Sedangkan untuk tenaga kerja asing yang dipekerjakan pada perusahaanperusahaan penanaman modal asing harus melalui Rencana Pengajuan Tenaga Kerja (RPTK) sebagai berikut : -
Diajukan ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
-
Setelah disetujui minta visa ke imigration
-
Setelah datang di Indonesia melapor ke polda untuk dapat Surat Tanda Melapor Diri (STMD)
-
Kemudian minta rekomendasi dari Departemen Tenaga Kerja (disnaker)
-
Dengan rekomendasi ini maka Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk izin Tenaga Kerja Asing (ITKA) Hak dan kewajiban tenaga kerja dalam Undang-Undang pokok tentang 38
ketenagakerjaan nomor 154 tahun 1969 adalah sama, dalam arti tidak diperbolehkan adanya diskriminasi baik bagi tenaga kerja laki-laki maupun tenaga kerja wanita baik dari segi pengupahan, kesejahteraan jaminan sosial tenaga kerja maupun dalam perlindungan moral kesusilaan. Sanksi yang diberikan apabila tenaga kerja mengabaikan ketentuan-ketentuan yang berlaku, baik peraturan perundang-undangan ketenaga kerjaan. Peraturan-peraturan, atau kesepakatan kerja sama, maka kepada tenaga kerja dapat diberikan sanksi berupa : 1. Surat peringatan pertama 2. Surat peringatan kedua. 3. Skorsing 4. Pemutusan hubungan kerja setelah perusahaan mendapatkan izin dari panitera penyelesaian perburuhan daerah pusat.
39
BAB IV PENUTUP
Berdasarkan uraian dalam bab-bab terdahulu, terutama yang berhubungan dengan permasalahan, dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut :
Kesimpulan 1. Peranan
Perusahaan
Penanaman
Modal
using
terhadap
Perkembangan
Ketenagakerjaan : a. Terhadap hak dan kewajiban tenaga kerja, dimana bagi tenaga kerja laki-laki maupun tenaga kerja wanita baik dari segi pengupahan, kesejahteraan dan jaminan sosial tenaga kerja mendapat perlindungan hukum, kesusilaan yang sama. b. Terhadap mutu tenaga kerja sehubungan dengan perusahaan penanaman modal asing maka ada kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan yaitu kewajiban untuk menyelenggarakau latihan dan pendidikan di dalam maupun diluar negeri bagi tenaga-tenaga kerja. c. Terhadap pembangunan ekonomi serta pembangunan lebih lanjut dart potensi ekonomi yang merupakan tugas dari pemerintah yang harus didasarkan kepada kematnpuan serta kesanggupan rakyat Indonesia sendiri. 2. Penerapan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal terhadap Perusahaan Penanaman Modal Asing apabila: a. Perusahaan Penanaman Modal Asing tersebut menjalankan aktivitas-aktivitas yang harus jelas di Indonesia. Jika tidak akan merugikan kita dan hal demikian harus dicegah. b. Penanaman Modal Asing itu sangat dikehendaki oleh pemerintah, guna rehabilitas dan pembangunan ekonomi yang berkehendak untuk menjaniin ketenangan bekerja modal asing yang ditanam di Indonesia.
40
c. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang telah diterapkan oleh perusahaan Penanaman Modal Asing, maka yang menjadi harapan bagi setiap pengusaha bahwa dalam penerimaan tenaga kerja bagi keperluan pengusahanya itu akan diperoleh tenaga kerja (Sumber daya Manusia) yang berkualitas tinggi, efisien, dan efektif. Harapan tersebut akan dapat terwujud kalau : -
Para tenaga kerjanya berada dalam perasaan yang senang untuk menagani pekerjaan-pekerjaannya.
-
Para
tenaga
kerjanya
dalam
kesesuaian
/
kecocokan
lapangan
pekerjaannya. -
Memperoleh upah / pendapatan yang layak sesuai dengan bidang kerja yang ditangani nya.
Saran- Saran 1. Tenaga kerja asing yang karena sementara menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam perusahaan penanaman modal asing haruslah diperketat untuk memperoleh Izin
Kerja
Tenaga
Asing
usaha
ini
dapat
dilakukan
dengan
mengadakan hubungan yang lebih luas lagi dengan instansi-instansi terkait. 2. Agar tidak timbul pertentangan antara penanaman modal asing dengan tenaga kerja dapat menimbulkan kesan bahwa perusahaan tersebut kurang sesuai atau cocok dalam rnemberikan pekerjaannya, maka disarankan kepada perusahaan yang bersangkutan harus mempunyai feeling yang baik untuk menilai tenaga kerja (Sumber Daya Manusia) mana yang sebenarnya dapat diterima atau ditolak untuk bekerja pada perusahaan tersebut.
41
DAFTAR PUSTAKA
Kansil, CST, Hukum Perusahaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005 Kertasaputra, G, Hukum Perburuhan Di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 2006 Hartono, Sunaryati, Beberapa Masalah Penanaman Modal Asing di Indonesia, Bina Cipta, Jakarta. 2003 Muhammad, Abdul kadir, Hukum Perusahaan di Indonesia, PT.Citra Aditia Bakti Jakarta. 2010 Sumantoro, Pengantar tentang Pasar Modal di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. 2003 Soekardono, R. Hukum Dagang Indonesia Jilid I, Dian Rakyat, Jakarta, 1983 Yahya, A, Muhaimin, Bisnis dan Polilik Kebijakan Ekonomi Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2005 ................................, Dasar-dasar Hukum Perseroan Terhatas, Rineka Cipta, Jakarta, 2008 ……………………………., Kitab Undang-Undang Hukum Undang-Undang Kepailitan, Terjemahan oleh R. Tjiptosudibio, Pradnya Paramita, 1983
Dagang Subekti
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Undang -Undang Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
42
dan dan
“ SOLUSI ” No. 16 Tahun VI Januari 2010
ISSN.0216-9835
MAJALAH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PALEMBANG PALEMBANG
PERLINDUNGAN HUKUM REPRODUKSI PEREMPUAN DI INDONESIA Oleh : Hotman Siahaan, SH, M.Hum
Abstract Health Development become effort to fulfill one of the basic rights of society that is the right to obtain service of health as according to The Constitution 1945 specially Section 28 H article 1 and Law No 23 Year 1992 about Health. Health of reproduction becomes one of the problems of health befalling most women in Indonesia where government and society ought to take responsibility to optimize ifs accomplishment. It means we have to continue trying that the problems of women reproduction health of all women especially women in rural area can enjoy and accept maximize service of health and also can access and control what becoming their rights. Considering the important of reproduction health, besides regulations above, various copy regulations exist as governmental caring form to move forward health of reproduction, for example : Section 27 sentence (2), Section 28A, Section 281sentence (2), Section 28 H sentence (1), Section 34 sentence (3) Law No.7 Year 1984 (Woman Convention) Section 12. Besides Law No.39 Year 1999 about National Development Program (Propenas) and Presidential Regulation No 7 Year 2005 About National Middle-Term Development Plan (RPJPMN) 2004-2009. Declaration and World Conference Action Plan IV about Woman in Beijing Year 1995 (Beijing Platform of Action) and MDGs (Millennium Development Goals) Year 2000 also becomes reference attainment Of problem of reproduction health in Indonesia. Pembangunan kesehatan harus dilihat sebagai investasi peningkatan kualitas sumber daya manusia suatu negara yang
antara lain diukur dengan indeks Pembangunan Manusia (PM) dimana kesehatan adalah salah satu komponen utama selain pendidikan dan pendapatan. Selain itu kesehatan juga merupakan investasi untuk mendukung pembangunan ekonomi serta mempunyai peranan penting dalam upaya meminimalkan angka kemiskinan pada sebuah masyarakat. Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan dibutuhkan perubahan cara pandang (mindset) dari paradigm sakit ke paradigm sehat sejalan dengan visi Indonesia sehat 2010 Indonesia telah mengalami kemajuan penting dalam meningkatkan kualitas kesehatan penduduk. Dan data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan angka kematian bayi menurun dari 46 (SDKI 1997) menjadi 35 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003) dan angka kematian ibu melahirkan menurun dari 334 (SDKI 1997) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003). Umur harapan hidup meningkat dari 65,8 tahun (Susenas 1999) menjadi 66,2 tahun (Susenas 2003). Dari Survey konsumsi garam yodium yang juga mencakup survey status gizi prevalensi gizi kurang (underweight) pada anak balita telah menurun dari 34,4 persen (1999) menjadi 25,8 persen (2002). Akan tetapi dalam upaya pencapaian peningkatan kesehatan berkualitas tersebut diatas muncul beberapa permasalahan dan tantangan bare sebagai dampak dari perubahan social ekonomi serta perubahan lingkungan strategic global dan nasional. Tantangan global antara lain adalah pencapaian sasaran Millenium Development Goals (MDGs) sedangkan dalam lingkup dalam negeri adalah penerapan desentralisasi bidang kesehatan. Adapun sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2009 adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang antara lain tercermin dari indikator dampak (impack) yaitu : 1. Meningkatnya umur harapan hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun
Perlindungan Hukum … (Hotman Siahaan, SH, M.Hum)
2. Menurunnya angka kematian bayi dari 35 menjadi 26 per 1000 kelahiran hidup 3. Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup 4. Menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dari 25,8 persen menjadi 20,0 persen. Untuk mencapai sasaran tersebut kebijakan pembangunan kesehatan terutama diarahkan pada : peningkatan jumlah jaringan dan kualitas puskesmas, peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kerja kesehatan, pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin, peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat. Peningkatan pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini dan pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dasar. Pembangunan kesehatan memprioritaskan upaya promotif dan preventif yang dipadukan secara seimbang dengan upaya kuratif dan rehabilitasif. Perhatian khusus diberikan kepada pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, daerah tertinggal dan daerah bencana dengan memperhatikan kesetaraan gender. Selanjutnya melihat perkembangan sejak bangsa Indonesia merdeka hingga sekarang menunjukkan permasalahan kesehatan belum berkeadilan gender. Hal ini terlihat dari berbagai indikator dimana masalah kesehatan perempuan (kesehatan reproduksi) masih menimpa perempuan Indonesia. Misalnya Sunat Perempuan, Tingkat Kematian ibu yang masih tinggi, tingginya Aborsi, tingkat infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS juga relative tinggi, angka peserta KB aktif yang tidak meningkat, rendahnya partisipasi pria dalam Keluarga Berencana, serta kurangnya pengetahuan keluarga, tentang Kesehatan Reproduksi. Selain itu juga permasalahan kompetensi Penolong Persalinan masih kurang, masih banyak pertolongan persalinan oleh dukun, meningkatkan kasus kekerasan, kuatnya budaya Patriarkhi dan Menopause. Artinya permasalahan
kesehatan yang menimpa perempuan lebih banyak terkait dengan fungsi reproduksinya. Permasalah mendasar dalam pembangunan permbedayaan perempuan dan anak yang terjadi selama ini adalah rendahnya partisipasi perempuan dan anak dalam pembangunan disamping masih adanya berbagai bentuk praktek diskriminasi terhadap perempuan. Permasalah lainnya mencakup kesenjangan partisipasi politik kaum perempuan yang bersumber dari ketimpangan struktur sosio-kultural masyarakat yang diwarnai penafsiran terjemahan ajaran agama yang bias gender. Dalam konteks sosial kesenjangan ini mencerminkan masih terbatasnya akses sebagian perempuan terhadap layanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi dan keterlibatan dalam kegiatan public yang lebih luas. Masalah dalam pembangunan perempuan adalah rendahnya kualitas hidup terutama dibidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan politik. Perlindungan Hukum Reproduksi Perempuan Ada beberapa definisi Kesehatan Reproduksi tetapi seperti dikatakan WHO, tahun 1992 kesehatan reproduksi dikatakan sebagai keadaan sehat dan sejahtera secara fisik, mental dan sosial bukan karena ketiadaan penyakit dan kecacatan dalam segala aspek yang berkaitan dengan fungsi, sistem, dan proses-prosesnya. Sedangkan di dalam Deklarasi Universal atas Hak Asasi Manusia ayat 25 disebutkan bahwa "Setiap orang memiliki hak terhadap penghidupan yang layak yang mendukung kesehatan dan ketercukupan dia dan keluarganya termasuk perawatan, medic dan hak untuk memperoleh jaminan jika tidak memiliki pekerjaan, mengalami sakit, cacat, duda/janda atau kekurangan sumber penghidupan dalam keadaan yang berada diluar kendalinya. Selain itu dalam Perjanjian Internasional atas Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Ayat 12 dikatakan bahwa "Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh
Perlindungan Hukum … (Hotman Siahaan, SH, M.Hum)
kesenangan dari keadaan terbaik atas standar kesehatan fisik dan mental". Selanjutnya UNAIDS & Office of UN High Commissioner for Human Right/ UNAIDS dan Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia juga menjelaskan bahwa hukum juga harus mampu memastikan hak reproduksi dan seksual perempuan, termasuk hak akses bebas kepada informasi kesehatan dan reproduksi dan layanan dan cara kontrasepsi, termasuk aborsi yang aman dan sah kebebasan untuk memilih di antaranya, hak untuk memperoleh praktek seks lebih aman dan hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari kekerasan seksual, di luar atau di dalam pernikahan termasuk perkosaan dalam pernikahan. Keterkaitan Hak Asasi Manusia dengan Kesehatan Reproduksi bisa, diperinci dalam hak-hak berikut : • Hak asasi pemerolehan standar kesehatan fisik dan mental tertinggi • Hak kebebasan dan jaminan terhadap seseorang • Hak untuk memiliki privasi • Hak untuk bebas berasosiasi • Hak untuk bekerja • Hak untuk menikah dan membina keluarga • Hak memiliki dalam kemajuan ilmu • Hak untuk terbebas dari siksaan, kekejaman, perlakuan tidak manusiawi atau hukuman Di Indonesia pengaturan tentang Kesehatan Reproduksi diatur dalam UndangUndang Dasar 1945 yaitu : • Pasal 27 ayat (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. • Pasal 28 A mengatakan sernua orang berhak hidup serta hak mempertahankan hidup dan kehidupan. • Pasal 28 I ayat (2) Semua orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.
•
•
•
• •
•
Pasal 28 H ayat (1) Semua orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Selain itu Undang Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Selanjutnya sebagai negara yang sudah merativikasi ketentuan internasional, di bidang kesehatan terlihat dari Undang Undang No.7 Tahun 1984 (dikenal dengan Konvetisi Wanita). Undang Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 49 ayat 2 Wanita berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita. Pasal 49 ayat 3 Hak khususyang melekat pada diri wanita dikarenkan fungsi reproduksi, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Selanjutnya dalam Undang-Undang No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dalam Bab VIII Pembangunan Sosial Budaya (A.Umum B.Arah Kebijakan C.Program Program Pembangunan dan D.Matrik Kebijakan Program Pembangunan Sosial Budaya) dan Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJPMN) 2004-2009 pada Bagian III Agenda Menciptakan Indonesia Yang Adil Dan Demokratis Bab 12 Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak dan Bagian IV Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat Bab 28 Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Kesehatan yang berkualitas.
Perlindungan Hukum … (Hotman Siahaan, SH, M.Hum)
Selain itu dalam konferensi Beijing Kespro juga menjadi perhatian serius disamping permasalahan-permasalahan perempuan yang lain, seperti terlihat dalam Deklarasi dan rencana Aksi Konferensi Dunia IV tentang Wanita di Beijing Tahun 1995 (Beijing Platform of Action) : 1. Perempuan & kemiskinan (struktural) 2. Kesempatan pendidikan dan pelatihan perempuan 3. Kekerasan fisik dan non fisik di rumah dan ditempat kerja 4. Kekerasan di wilayah konflik/perang 5. Akses pada usaha produktif & modal, kerja 6. Peranan perempuan dalam pengambilan keputusan 7. Lembaga & mekanisme perjuangan perempuan 8. Kesehatan dan hak reproduksi serta perlindungan dan pengayoman secara hukum 9. Akses pada media & eksploitasi perempuan 10. Rentan terhadap lingkungan hidup 11. Kesehatan anak perempuan mengembangkan potensi terbatas 12. Eksploitasi anak bekerja & kekerasan pada anak perempuan Selanjutnya ditegaskan lagi dalam Program Tahun 2000 MDGs (Millennium Development Goals) bahwa pemerintah dan masyarakat harus mengupayakan pencapaian target hal-hal penting di bawah ini dimana Kespro juga menjadi fokus yang harus diperhatikan sampai tahun 2015, yaitu: 1. Menanggulangi kemiskinan ekstrem dan kelaparan 2. Mencapai pendidikan dasar untuk semua 3. Mendorong kesetaraan gender dan pemperdayaan perempuan 4. Menurunkan angka kematian balita 5. Meningkatkan kualitas kesehatan ibu melahirkan 6. Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lain 7. Menjamin kelestarian lingkungan hidup 8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan
Dalam pasal 2 ayat (2) dan konvensi Wanita ini jelas sekali ada Kewajiban Negara untuk menjamin tersedianya pelayanan kesehatan reproduksi perempuan, yaitu: a. Memastikan pelayanan yang layak untuk perempuan dalam hubungannya dengan kehamilan, persalinan, dan periode pasta persalinan, bila perlu menyediakan pelayanan gratis. b. Memastikan perempuan mendapatkan gizi yang cukup selama masa kehamilan dan menyusui Bila dilihat komponen pemeliharaan dan perlindungan kesehatan dalam Pasal 12 Konvensi Wanita dengan jelas, ada 4 komponen yang hams dijamin ketersediaannya, yaitu: a. Jaminan pelayanan kesehatan bagi perempuan b. Jaminan pelayanan KB c. Pelayanan Cuma-Cuma bagi layanan selama kehamilan, persalinan dan sesudah persalinan d. Pemberian gizi yang cukup selama kehamilan dan masa menyusui Kesehatan Reproduksi di Bidang Ketenagakerjaan Yang berkaitan dengan ketenagakerjaan pemerintah juga diminta menentukan kewajiban membuat peraturanperaturan yang tepat, seperti diatur dalam pasal 11 ayat (2) Konvensi Wanita yaitu: 1. Melarang dengan dikenakan sanksi pemecatan atas dasar kehamilan atau cuti hamil dan diskriminasi dalam pemberhentian atas dasar status perkawinan. 2. Cuti hamil dengan bayaran atau dengan tunjangan sosial yang sebanding tanpa kehilangan pekerjaan semula. 3. Mendorong disediakannya pelayanan sosial yang perlu guna memungkinkan para orang tua menggabungkan kewajiban-kewajiban keluarga dengan tanggung jawab pekerjaan dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat, khususnya
Perlindungan Hukum … (Hotman Siahaan, SH, M.Hum)
dengan meningkatkan pembentukan dan pengembangan suatu jaringan tempattempat penitipan anak. 4. Member perlindungan khusus kepada wanita selama kehamilan dalam jenis pekerjaan yang terbukti berbahaya bagi mereka. Kesehatan Reproduksi yang Berkaitan dengan Masalah Perlindungan Reproduksi Aktual Masalah kesehatan reproduksi sekarang ini mengalami tambahan permasalahan yang signifikan karena pemahaman masyarakat juga meningkat. Seperti terlihat dalam Keputusan ICPD Kairo tahun 1994 itu terdiri atas 10 program kesehatan reproduksi yang merupakan kesehatan primer yang harus dikembangkan oleh semua negara termasuk Indonesia, yaitu: 1. Pelayanan sebelum, semasa kehamilan, dan pasca kehamilan 2. Pelayanan kemandulan 3. Pelayanan KB yang optimal 4. Pelayanan dan penyuluhan HIV/AIDS 5. Pelayanan aborsi 6. Pelayanan dan pembelian Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi 7. Pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi remaja 8. Tanggung jawab keluarga 9. Peniadaan sunat dan mutilasi anak perempuan 10. Pelayanan kesehatan lanjut usia (lansia) Selain itu di samping adanya program kesehatan reproduksi tersebut diatas dalam Deklarasi ICPD, juga diakui adanya Hak Reproduksi Perempuan, yaitu ;
1. Hak individu untuk menentukan kapan ia akan mempunyai anak, berapa jumlah anak, dan berapa lama penjarakan tiaptiap kelahiran anak. 2. Hak untuk mendapat pelayanan yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya. Daftar Pustaka Anita Rahman, 2007, Bahan Ajar tentang Hak Perempuan, Jakarta: The Convention Watch-Yayasan Obor Indonesia Deputi Bidang Perlindungan Perempuan Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, 2006, Data dan Informasi Permasalahan Spesifik Perempuan di daerah Rawan Konflik dan Berencana, Jakarta:Kantor Kementrian Pemberdayaan Perempuan Nur Irian Subono, 2003, Perempuan dan Partisipasi Politik, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan-the Japan Foundation. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propemas) Tahun 20002004. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Pengurustaman Gender di Indonesia dalam Pembangunan Nasional.
Perlindungan Hukum … (Hotman Siahaan, SH, M.Hum)
DHARMAPALA, Volume 2, No.2 April 2010
Hukum
UNPAL
Ekonomi
Pertanian
Teknik
147
DHARMAPALA, Volume 2, No.2 April 2010
Jurnal Penelitian dan Pengabdian
VOL.2
NO.2
HAL 127- 249
Palembang, April 2010
ISSN 1979-8741
Daftar Isi Kedudukan Tanah Adat Dalam Hukum Tanah Nasional (Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960) Abuyazid Bustomi ….......................................................................
127 - 139
Matos Solusi Untuk Stabilisasi Tanah Asrullah ……………………………………………………………
140 - 146
Tinjauan Terhadap Sita Marital Menurut Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Asuan …………………………………………………………........
147 - 156
Respon Letak Mata Tunas dan Perlakuan Mekanis Setelah Okulasi Terhadap Pertumbuhan Bibit Jeruk Siam Burlian Hasani ……………………………………………………
156 - 162
Analisis Karakteristik Migran Yang Masuk Kota Palembang Jonadi …………………………………............................................
163 - 172
Kelimpahan Serangga Predator Aphis gossypii Glover (HOMOPTERA: APHIDIDAE) Pada Tanaman cabai Di Kota Palembang Khodijah dan laili Nisfuriah………………………………………
173 - 180
Peningkatan Daya Sangga Tanah Oleh Bahan Organik Midranisiah. ……............................................................................. Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Kode Etik Advokat Nina Yolanda ...................................................................................
188 - 200
Pengaruh Cuaca Panas pada Pelaksanaan Pengecoran Beton Purwanto............................................................................................
201- 220
Analisis Kestabilan Dinamik Generator Sinkron Rotor Kutub Menonjol Dengan Menggunakan Metode Nilai Eigen Surya Darma....................................................................................
181 - 187
221 - 236
Perubahan Morfologi Sungai SP IV Bagan Cengal Serta Solusi Perbaikannya Yudianto Yuanda………………….........………............................ 237 - 249
148
DHARMAPALA, Volume 2, No.2 April 2010
ALAMAT REDAKSI: Kampus Universitas Palembang Jl. Dharmapala No.1.A Bukit Besar Palembang Phone: (0711)440650; 442318, Fax: (0711)442318 Web: www.universitaspalembang.co.cc E-mail:
[email protected]
TINJAUAN TERHADAP SITA MARITAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA Oleh : Asuan, SH.,M.Hum ABSTRAK Hukum islam harta bersama adalah suatu perkongsian yang dalam bahasa Arabnya disebut Syarikat atau syirkh yang maksudnya harta yang didapati oleh pasangan suami isteri dalam ikatan perkawinan. Harta tersebut adalah mengenai harta waris, harta hibah dan harta-harta pencaharian.. Harta bersama suami dalam hal ini dapat dibagikan apabila terjadi perceraian.. Perceraian adalah pemisahan antara suami isteri atau pemutusan ikatan yang menggabungkan suami isteri berdasarkan sunnatullah, karena itu dapat dikatakan bahwa orang yang tidak menuruti sunnatullah berarti telah menjauhkan diri dari halhal yang menimbulkan kebaikan, kecintaaan, dan ketenangan. Perceraian yang tidak didasarkan pada alasan-alasan yang benar adalah suatu perbuatan yang sia-sia dan bertentangan dengan kehendak Allah. Dalam mengajukan permohonan perkara sita marital yang diajukan oleh pihak penggugat di Pengadilan Agama sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama terhadap harta bersama (harta perkawinan). Untuk mengajukan sita marital di Pengadilan Agama harus mengikuti prosedur. Gugatan tentang harta bersama atau harta perkawinan dapat diajukan gugatan tersendiri apabila pada saat gugatan cerai diajukan dan diselesaikan oleh pengadilan tidak dimohonkan bersama-sama dengan gugatan cerai. Hambatanhambatan eksekusi sita marital adalah Barang tersebut atau barang yang disita sering tidak diketahui (karena dipindah tangankan), kesulitan menentukan nilai harga jika dibagi secara natural (barang asli) dan dilakukan pelelangan terhadap harta bergerak juga tidak sesuai dengan biaya operasional lelang. Pihak tereksekusi selalu sering menghindari diri dengan cara menghambat ataupun mengajukan surat perlawanan terhadap eksekusi Kata Kunci : Harta bersama, Perkawinan, Perceraian
149
DHARMAPALA, Volume 2, No.2 April 2010
A. Pendahuluan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimaksud harta bersama adalah merupakan harta pencarian bersama antara suami isteri yang di dapat dari usaha bersama dalam ikatan perkawinan. Dewasa ini untuk mengatasi penyelesaian pembagian harta bersama atau harta pencaharian yang mereka peroleh selama ikatan perkawinan, apabila terjadi perceraian hidup manusia perceraian mati, maka penyelesaian harta bersama ini dapat diselesaikan di pengadilan. Menurut Hukum Islam harta bersama ini termasuk dalam perkongsian, yang dalam bahasa Arab disebut Syarikat atau Syirkh. Oleh karena itu masalah pencaharian bersama suami isteri ini adalah termasuk perkongsian atau syarikat, maka untuk mengetahui hukumnya terlebih dahulu adalah jenis-jenis perkongsian yang sudah dibicarakan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih dan bagaimana hukumnya masing-masing. Adapun menurut Ismail Muhammad Syah menyimpulkan dalam Yahya Harahap “Hukum bersama dalam perkawinan digolongkan dalam bentuk syarikat abadan muwafadhah”. Menurut uraian diatas pada umumnya suami isteri dalam masyarakat Indonesia, sama-sama bekerja membanting tulang berusaha untuk mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari-hari dan sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka.1) Harta tersebut adalah mengenai harta waris, harta hibah dan harta-harta pencaharian. Hal ini diadakan perjanjian perkawinan dan perjanjian ini menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 harus diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan. Harta bersama suami dalam hal ini dapat dibagikan apabila terjadi perceraian. Terjadinya perceraian berarti timbulnya akibat hukum antara suami isteri, terutama mengenai harta bersama suami isteri yang diperoleh selama perkawinannya. Perceraian adalah pemisahan antara suami isteri atau pemutusan ikatan yang menggabungkan suami isteri berdasarkan sunnatullah, karena itu dapat dikatakan bahwa orang yang tidak menuruti sunnatullah berarti telah menjauhkan diri dari hal-hal yang menimbulkan kebaikan, kecintaaan, dan ketenangan. Perceraian yang tidak didasarkan pada alasan-alasan yang benar adalah suatu perbuatan yang sia-sia dan bertentangan dengan kehendak Allah. 2) Apabila terjadi perceraian akan timbul akibat tertentu yang menyangkut : 1. Hubungan suami isteri 2. Hubungan orang tua dengan anak 3. Harta benda (kekayaan) Mengenai harta yang didapatkan atau diperoleh selama ikatan perkawinan telah diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan : (1) Harta benda yang di dapat selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta benda yang diperoleh masingmasing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (UU No.1/1974 Pasal 35 Ayat 1 dan 2 ).
1) M. Yahya Harahap, SH, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Garuda Metropolitan, Jakarta, 1990, h.297 2) Al-Khauly Bahay, Islam dan Persoalan Wanita Modern, Ramadhan, Solo, 1990, h.126.
150
DHARMAPALA, Volume 2, No.2 April 2010 Kemudian pada Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga ditegaskan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian maka harta diatur menurut hukumnya masingmasing. Persoalan harta bersama di atas, baik sedang dalam proses perceraian ataupun setelah suami isteri bercerai sering menimbulkan perselisihan dan silang sengketa antara kedua belah pihak yang sama menghendaki harta tersebut. Dalam hal ini Pengadilan Agama berkewajiban untuk memberikan hak kepada yang punya untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dari pihak lain, dan menyelamatkan seseorang, serta selanjutnya memberikan kepastian hukum melalui proses persidangan sampai pada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Di dalam Hukum Acara Perdata upaya untuk melindungi hak ini, maka dikenal dengan istilah sita (beslag), dalam kaitannya dengan harta (penyitaan harta), seperti yang diterangkan oleh Sudikno Mertokusumo bahwa : “Barang-barang yang disita untuk kepentingan kreditur (penggugat) dibekukan, ini berarti bahwa barang-barang yang disimpan (di consever) untuk jaminan dan tidak boleh dialihkan atau dijual (Pasal 197 ayat 9 HIR 212 – 214 RBG). Oleh karena itu penyitaan ini disebut juga sita Conservator ata sita jaminan”. 3) Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang tentang Peradilan Agama juga mengatur tentang harta bersama (harta perkawinan) selama berlangsungnya gugatan perceraian, yang terdapat pada Pasal 78 menyatakan : “Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohoan penggugat, Pengadilan dapat : a. Menentukan nafkah yang ditanggungkan oleh suami; b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak; c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak istri”. Berdasarkan ketentuan di atas berarti pihak isteri dapat mengajukan permohonan sita untuk menjamin haknya atas harta bersama, selama berlangsungnya proses perceraian tersebut. Dalam Hukum Acara Perdata bahwa sita terhadap harta perkawinan dikenal dengan Sita Marital. B. Permasalahan Berdasarkan uraian di atas di rumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. 2.
Bagaimanakah prosedur yang harus dipenuhi untuk mengajukan sita marital menurut Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan eksekusi sita marital
C. Tujuan Penelitian Selain berusaha untuk pengembangkan substansi bidang ilmu, tujuan penelitian dan penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui mengenai prosedur dalam mengajukan sita marital menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. 2. Untuk mengetahui dan memahami apakah hambatan-hambatan dalam pelaksanaa eksekusi sita marital tersebut. 3)
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, h.62
151
DHARMAPALA, Volume 2, No.2 April 2010 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan atau manfaat, baik untuk kepentingan ilmu pengetahuan (teoritis) maupun kepentingan praktis dalam bidang hukum acara perdata. 1. Kegunaan Teoritis, memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan tentang kedudukan harta bersama dalam perceraian dan sekaligus dapatmemberikamemberikanperlindungan kepada para pihak. 2. Kegunaan Praktis, penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dan sekaligus meberikan cakrawala bagi badan peradilan baik itu peradilan umum dan peradilan agama. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian dan Bahan Hukum Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative-legal research). Penelitian normatif dilakukan untuk mendapatkan bahan-bahan hukum berupa teori-teori, konsepkonsep, asas-asas hukum serta peraturan hukum yang ada hubungannya dengan pokok bahasan. Bahan hukum penelitian menggunakan satu macam data, yaitu data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer yang meliputi peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 3 tahaun 2006 tentang Peradilan Agama
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang dapat memberikan penjelasan bahan c.
hukum primer, berupa buku-buku, literatur hasil karya ilmiah sarjana dan hasil penelitian yang berkaitan dengan permasalahan. Bahan hukum tersier bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari majalah, jurnal hukum dan literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian.
2. Analisis Bahan Hukum Pengumpulan dan analisa bahan hukum yang digunakan, yaitu studi Kepustakaan yang berupa asas-asas, teori-teori hukum, konsep-konsep, doktrin, serta kaidah hukum yang diperoleh. baik dari bahan hukum primer maupun dari bahan hukum sekunder dan tersier. Dalam kegiatan studi kepustakaan, dilakukan melalui serangkaian kegiatan membaca, mencatat, mengutip dan menyusun secara sistematis ataupun melakukan pengelompokan (klasifikasi) bahan hukum baik peraturan perundang-undangan, doktrin maupun informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian. Dan analisis bahan hukum tersebut dilakukan penarikan kesimpulan dan selanjutnya dari beberapa kesimpulan.
F. Pembahasan 1. Prosedur yang harus dipenuhi untuk mengajukan Sitarital Menurut Undangundang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama Prosedur yang harus dipenuhi untuk mengajukan sita marital sebagai berikut bahwa Proses sita marital atau sekarang disebut sita jaminan bertujuan untuk menjamin hak pihak 152
DHARMAPALA, Volume 2, No.2 April 2010 penggugat kalau gugatannya dikabulkan dan kemungkinan terjadinya perbuatan curang yang dilakukan oleh pihak tergugat selama perkara sidang berlangsung. Dalam mengajukan permohonan perkara sita marital yang diajukan oleh pihak penggugat di Pengadilan Agama sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama terhadap harta bersama (harta perkawinan). Untuk mengajukan sita marital di Pengadilan Agama harus mengikuti beberapa prosedur yaitu : 1. Prosedur sita marital diajukan dengan bersamaan dengan surat gugatan, atau diajukan setelah perkara perceraian yang telah di proses. 2. Menunjuk barang-barang yang akan diletakkan di sita marital. 3. Dibuktikan permasalahannya dikhawatirkan akan dipindah tangankan. 4. Ketua memberikan keputusan tentang dapat atau tidaknya disita. 5. Pemohon sita membayar sita. 6. Majelis mengeluarkan penetapan. 7. Penyitaan terhadap barang sitaan dilakukan oleh juru sita. Gugatan tentang harta bersama atau harta perkawinan dapat diajukan gugatan tersendiri apabila pada saat gugatan cerai diajukan dan diselesaikan oleh pengadilan tidak dimohonkan bersama-sama dengan gugatan cerai. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang tercantum dalam Pasal 73 menyatakan : (1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. (2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerahnya hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. (3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Lebih lanjut diterangkan juga pada Pasal 86 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentan Peradilan Agama, yaitu : (1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu. Jadi tata cara atau prosedur yang harus dipenuhi untuk mengajukan sita marital di Pengadilan Agama menurut ketentuan yang berlaku adalah untuk mengajukan permohonan atau gugatan tentang harta bersama atau harta perkawinan agar tetap utuh dalam proses sidang perceraian, lalu disampaikan kepada kepaniteraan perkara untuk diperiksa kelengkapan persyaratannya. Setelah berkas perkara atau gugatan diproses dan diteliti, maka sub kepaniteraan mengajukan berkas tersebut kepada panitera kepala. Apabila tidak ada kekurangan lagi selanjutnya diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama menetapkan hari sidang dan sekaligus menunjuk Majelis Hakim sebagai pimpinan sidang dan didampingi oleh hakim anggota dan orang serta seorang Panitera sidang. 153
DHARMAPALA, Volume 2, No.2 April 2010 Sebagaimana dijelaskan oleh pasal 73 Undang-Undang Perdilan Agama bahwa kalau alamat tergugat cukup jelas perkara diajukan di wilayah hukum meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat, jika alamat tergugat berada diluar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman tergugat. Sedangkan pemanggilan tergugat dan penggugat untuk persidangan di pengadilan agama harus disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan dimulai oleh petugas yang berwenang atau yang ditunjuk. Hal ini telah diatur dalam Pasal 26 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan : “Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut”. Panggilan sidang harus disampaikan pada pribadi pihak-pihak yang berperkara atau kepada kuasanya. Apabila petugas pemanggilan tidak menentukan pihak-pihak tersebut, pemanggilan dapat disampaikan melalui Lurah atau Kepala Desa setempat. Sebagaimana telah diatur Pasal 26 Ayat (3) sampai dengan Ayat (5) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 menyebutkan : (3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, pemanggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu. (4) Panggilan sebagai dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. (5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan. Apabila tempat tinggal termohon atau tergugat tidak jelas (tidak diketahui), pemanggilan dapat dilakukan dengan cara menempelkan surat permohonan atau gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkan pula maksud pengadilan itu pada surat kabar-surat kabar atau koran (mass media) sekurang-kurangnya dua kali pemberitahuan dengan senggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. Jika termohon atau tergugat berkediaman diluar negeri pemanggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia di tempat kediamannya sebagaimana telah diatur dalam PP No.9 Tahun 1975 Pasal 28 disebutkan : “Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Ayat (3) pemanggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat”. Dalam hal mengajukan proses Sita Marital di Pengadilan Agama telah Selanjutnya masih menurut beliau, hakim juga berusaha untuk mendamaikan pihakpihak yang berperkara, apabila kedua belah pihak tidak dapat didamaikan lagi maka dilanjutkan pembacaan surat gugatan tersebut. Setelah dalam sidang selanjutnya, atas pernyataan hakim penggugat mengajukan replik secara lisan yang isinya berupa tanggapan atas jawaban yang diajukan oleh tergugat, kemudian tergugat mengajukan duplik terhadap yang diajukan oleh penggugat. Jawaban dari tergugat, duplik yang diajukan oleh tergugat harus berdasarkan bukti-bukti yang formal dan dapat diterima oleh akal sehat, jika perlu mendatangkan saksi, sekiranya tidak berdasarkan hal tersebut maka semuanya akan ditolak oleh Majelis Hakim. Setelah semua diperiksa, dipelajari dan 154
DHARMAPALA, Volume 2, No.2 April 2010 dipertimbangkan berdasarkan aturan dan Undang-Undang yang berlaku maka ditetapkan barang atau harta yang termasuk harta bersama atau yang tidak termasuk harta bersama. Dalam menetapkan harta termasuk harta bersama dipilih harta yang benar-benar dapat atau diperoleh selama masa perkawinan. Dalam hal penetapan harta bersama berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang tentang Peradilan Agama. Upaya hukum terhadap pembagian harta bersama atau jaminan harta bersama akibat perceraian di Pengadilan Agama sama dengan upaya hukum terhadap putusan perkaraperkara lainnya yaitu masing-masing pihak merasa kurang puas terhadap putusan hakim di Pengadilan Agama, dapat mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Agama dan kalau ternyata masih kurang puas juga, maka upaya hukum terakhir dapat mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. 2.
Hambatan-hambatan Eksekusi Sita Marital Sebelum penulis membahas masalah eksekusi, terlebih dahulu harus diketahui bahwa ada 2 (dua) cara untuk melaksanakan putusan Pengadilan, yaitu : 1. Dengan Sukarela 2. Dengan Eksekusi (Paksaan). Melaksanakan putusan dengan sukarela apabila pihak yang kalah mau melaksanakan isi putusan tersebut dengan sukarela, maka dengan demikian tidak diperlukan lagi eksekusi, tetapi pihak Pengadilan (juru sita) harus aktif melaksanakan hal-hal sebagai berikut : - Membuat berita acara pelaksanaan putusan dengan sukarela tersebut. - Disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. - Pembuatan berita acara dan kesaksian tersebut dilakukan ditempat putusan dijalankan. - Berita acara ditanda tangani oleh juru sita, para saksi dan pihak Penggugat dan Tergugat. Pembuatan berita acara terhadap putusan yang dilaksanakan secara sukarela, ini adalah untuk sebagai bukti Pengadilan bahwa putusan tersebut sudah dijalankan secara sukarela oleh pihak yang kalah. Andaikata dibelakang hari pihak yang menang mohon eksekusi, maka berdasarkan bukti tersebut, Pengadilan dapat menolak permohonannya. Sedangkan dalam melaksanakan Putusan dengan eksekusi (paksaan) yakni merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan Pengadilan secara paksa terhadap yang kalah jika tidak mau melakukan putusan secara sukarela. Dari hal tersebut maka timbul hambata-hambatan dalam melakukan eksekusi sita marital. Hambatan-hambatan eksekusi sita marital adalah sebagai berikut : 1.
Barang tersebut atau barang yang disita sering tidak diketahui (karena dipindah tangankan) 2. Kesulitan menentukan nilai harga jika dibagi secara natural (barang asli) 3. Dilakukan pelelangan terhadap harta bergerak juga tidak sesuai dengan biaya operasional lelang. 4. Pihak tereksekusi selalu sering menghindari diri dengan cara menghambat ataupun mengajukan surat perlawanan terhadap eksekusi. Pada azasnya putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti yang dijalankan. Pengecualiannya ada, yaitu apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan Pasal 180 HIR Ayat (1) dan (2), menyatakan :
155
DHARMAPALA, Volume 2, No.2 April 2010 (1)
Ketua pengadilan negeri dapat memerintahkan supaya putusan itu dijalankan dahulu biarpun ada perlawanan atau bandingnya, jika ada surat yang syah, suatu surat tulisan yang menurut aturan yang berlaku dapat diterima sebagai bukti atau jika ada hukuman lebih dahulu dengan putusan yang sudah mendapat kekuasaan pasti, demikian juga jika dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula di dalam perselisihan tentang hak kepunyaan. (2) Akan tetapi hal menjalankan dahulu, keputusan ini sekali-kali tidak dapat menyebabkan orang disanderakan. Perlu juga dikemukakan, bahwa tidak semua putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dijalankan, karena yang perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan.
G. Kesimpulan 1.
Bahwa dalam prosedur yang harus dipenuhi untuk mengajukan sita marital i Pengadilan Agama adalah sebagai berikut : a. Mengajukan permohonan atau gugatan tentang harta bersama atau harta perkawinan agar tetap utuh dalam proses sidang perceraian. b. Disampaikan kepada kepaniteraan perkara untuk diperiksa kelengkapan persyaratan. c. Berkas perkara atau gugatan di proses dan diteliti maka kepaniteraan mengajukan berkas tersebut kepada panitera kepala. d. Diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama menetapkan hari sidang dan sekaligus menunjuk majelis hakim sebagai pimpinan sidang dan didampingi oleh hakim anggota dua orang serta seorang panitera sidang.
2.
Hambatan-hambatan eksekusi sita marital yaitu lemahnya kemampuan personil dengan melakukan pendekatan eksekusi dan kesulitan menentukan nilai harga jika dibagi secara bentuk barang asli, disamping itu sita marital tidak dapat dilaksanakan jika tidak terdapat bukti-butki, bahwa tergugat akan memindah tangankan menggadaikan atau menjual harta bersama sehingga tidak lengkap lagi.
DAFTAR PUSTAKA Al-Khauly Bahay. Islam dan Persoalan Wanita Modern. Ramadhan. Solo. 1990. M. Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Garuda Metropolitan. Jakarta. 1990. Sudikno Mertukusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty. Yogyakarta. 1999. Subekti. Hukum Acara Perdata. Bina Cipta. Bandung. 1991. Muhammad Amrullah. Sejarah Perkembangan Peradilan Agama Di Indonesia. Official Weblog Zanikhan. Jakarta. 2009. M. Idris Ramulyo. Sekilas Pintas Tentang Peradilan Agama di Indonesia. Bursa Buku FHUI. Jakarta. 1987. 156
DHARMAPALA, Volume 2, No.2 April 2010 Pengadilan Agama Lubuklinggau. Kerangka Yuridiksi dan Koreksi Data Pengadilan Agama Lubuklinggau. Lubuklinggau. 2007. H. Zainal Abidin Abubakar, SH. Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama. Pegadilan Agama Surabaya. Surabaya. 1992. Soerjono Soekanto. Hukum Adat Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta 1992. Peraturan Perundang-undangan a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang tentang Peradilan Agama. c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
157
DAFTAR ISI MAJALAH SOLUSI No. 09 Tahun III September 2007
Pengantar Redaksi EKSISTENSI DAN IMPLIKASI EMPAT KALI PROSES AMANDEMEN UUD 1945 DENGAN BEBERAPA PERMASALAHAN SERTA RELEVANSI DIBENTUKNYA KOMISI KONSTITUSI (KK) Oleh : Evi Purnamawati, SH. ...................................................................................
395-405
SOLUSI KRISIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Oleh : Dra. Sarah, SH, M.Hum .................................................................................
406-408
MENUJU REFORMASI HUKUM DAN SISTEM HUKUM YANG RESPONSIF Oleh : Gurmani, SH, M.Hum ....................................................................................
409-411
ANALISIS TENTANG SEBAB-SEBAB SESEORANG TIDAK DAPAT DIHUKUM BERDASARKAN KUHP Oleh : Ali Dahwir, SH Barhamudin, SH, M.Hum ...............................................................................
412-417
ANALISIS TERHADAP PEMEGANG KARTU KREDIT DALAM PERJANJIAN KREDIT BILA TERJADI WANPRESTASI Oleh : Asuan, SH, M.Hum ........................................................................................
418-428
395
ANALISIS TERHADAP PEMEGANG KARTU KREDIT DALAM PERJANJIAN KREDIT BILA TERJADI WANPRESTASI Oleh : Asuan, SH, M.Hum
A. Pendahuluan Pembangunan di segala bidang dilaksanakan untuk mencapa tujuan negara yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan UUD 1945, selaras dengan fungsi lemabaga perbankan dewasa ini disamping sebagai suatu institusi penyedia dana untuk dipinjamkan kepada nasabah berupa uang tunai. Bank juga mempunyai peran strategis dalam memberikan dan menyeimbangkan pembangunan di bidang ekonomi oleh sebab itu perbankan nasional perlu diberi kesempatan dalam memperluas jangkauan pelayanannya. Usaha di bidang kartu kredit merupakan bagian dari kegiatan lembaga pembiayaan usaha bank diatur dalam pasal 6 huruf I Undang-undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 yang penjelasannya menyatakan usaha kartu kredit merupakan usaha dalam kegiatan pemberian kredit atau pembiayaan untuk pembelian barang atau jasa yang penarikannya dilakukan dengan kartu, secara teknis kartu kredit berfungsi sebagai sarana pemindahbukuan dalam melakukan pembayaran suatu transaksi. Kartu ini dikeluarkan berdasarkan izin/lisensi dari Master Card Internasional dan Visa Internasional. Ada beberapa jenis kartu kredit yang telah populer di Indonesia, bahkan diantaranya secara internasional, seperti Via Master, Dinners dan Amex. Selain
Bank ada perusahaan penerbit kartu kredit yaitu perusahaan internasional yang mempunyai jaringan operasi di berbagai penjuru dunia.1 Disamping itu ada pula kartu kredit berlaku di dalam negeri (lokal) seperti BRI Master Card, BNI Card, BCA Card, Duta Card. Kartu deposit dewasa ini sudah merupakan mode, bahkan bagi golongan masyarakat yakni golongan menengah ke atas, kartu kredit merupakan kebutuhan dalam melakukan kegiatan-kegiatan bisnis atau kegiatan yang langsung atau tidak langsung dapat mendukung kegiatan bisnis. Di Indonesia, perkembagan kartu dimulai pada tahun 1983 dan sampai tahun sekarang terus menunjukkan perkembangan yang cukup pesat baik dari segi penerbit, jumlah pengusaha yang melayani kartu kredit dan jumlah pemegang kartu. Penggunaan kartu kredit di Indonesia mulai marak setelah deregulasi perbankan dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan No.1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988, tentang Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, dimana bisnis kartu kredit ini digolongkan sebagai kelompok usaha jasa pembiayaan. Perjanjian Kartu Kredit adalah Perjanjian untuk menerbitkan kartu kredit yang dapat dimanfaatkan pemegangnya untuk membayarkan barang atau jasa perjanjian kartu kredit ini mengacu pada perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 1754.2 Mekanisme penggunaan kartu kredit melibatkan empat pihak yaitu sebagai 1
Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia,Pradnya Paramita, Jakarta, 1999. h. 27 2 Soebekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke2. Penerbit Alumni Bandung, 1996. h.35
395 SOLUSI No. 09 Tahun III September 2007
bertikut : Penerbit (Issure), pemegang kartu (Card holder), pengusaha atau pedagang (Merchant) serta pengelola (Acquirer), hubungan hukum diantara pihak timbul karena adanya perjanjian, dengan demikian penyalahgunaan kartu kredit ditinjau dari aspek perjanjian adalah wanprestasi.3
2. Bagaimanakah hubungan hukum antara penerbit dan pemegang kartu kredit ? 3. Bagaimanakah penyelesaian bila terjadi wanprestasi antara kedua belah pihak ?
Dalam penulisan ini akan menekankan hubungan antara pemegang kartu kredit dan penerbit kartu kredit, dimana penerbit disini adalah pihak Bank yaitu PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) yang mengeluarkan BRI Card Center. Perjanjian kartu kredit ini bersifat baku karena perjanjian ini bersifat tertulis dan pihak Bank telah menyediakan formulir untuk diisi oleh calon pemegang kartu kredit, perjanjian ini dianggap sah apabila calon pemegang kartu kredit sudah mengisi formulir yang disediakan oleh pihak dan di tandatangani serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditetukan pihak Bank.
C. Pembahasan 1. Syarat dan Prosedur Perjanjian Pemberian Kartu Kredit Setelah membahas pengertian “Kredit”, pertanyaan yang timbul apakah kartu kredit merupakan bagian dari kredit dan sejauhmana unsur-unsur kredit terdapat dalam kartu kredit ? Pertama-tama, mencoba untuk menelusuri pengertian kartu kredit. Black’s Law Dictionary memberikan rumusan tentang “credit card”, sebagai berikut : “any card, plate, or other like credut devise existing for the purpose of obtainig money, property, labor or services on credit. The term does not include a note, check, draft, money order or other like negaotiable instrument”. Terjemahan bebas : “Apapun kartu, plate atau sejenis kartu yang digunakan untuk upaya memperoleh uang, properti/kebebasan, tenaga kerja atau jasa secara kredit. Istilah ini tidak meliputi note, cek, draft, poswesel atau instrumen lainnya yang dapat dicairkan”.5) Dari definisi di atas, dapat penulis simpulkan bahwa kartu kredit atau credit card adalah uang plastik yang diterbitkan oleh suatu institusi yang memungkinkan pemegang kartu untuk memperoleh kredit atas transaksi yang dilakukannya dan pembayarannya dapat dilakukan secara angsuran dengan membayar sejumlah bunga (Finance Charge) atau sekaligus pada waktu yang telah ditentukan.
Banyak manfaat yang didapat dari penggunaan kartu kredit antara lain sebagai alat pembayaran pengganti uang tunai atau cek. Kartu ini memungkinkan si pemegang memperoleh pelayanan jasa yaitu di hotelhotel, di rumah makan, pasar swalayan dan sebagainya. Disamping aman penggunaannya, kartu kredit juga dianggap lebih efisien.4 B. Permasalahan Berdasarkan uraian tersebut maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah : 1. Bagaimanakah syarat dan prosedur perjanjian penerbitan kartu kredit ?
3
Johannes Ibrahim, dkk. Kartru Kredit Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan. PT. Refika Aditama, Bandung, 2004. h. 20 4 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1995. h. 28
5)
Ibid. Halaman 9
SOLUSI No. 09 Tahun III September 2007
396
Dalam penerbitan kartu kredit melibatkan empat pihak yaitu : penerbit, pemegang kartu kredit, pengelola dan pengusaha. Pihak penerbit /Bank dalam menerbitkan kartu kredit menentukan sendiri syarat yang harus dipenuhi oleh calon Pemegang (sebelum perjanjian antara Penerbit dan Pemegang ditanda tangani) yaitu : 1. Mengisi surat permohonan 2. Mengisi formulir perjanjian 3. Membayar uang dimuka 4. Menunjukkan rekening di Bank 5. Menunjukkan rekening di bank atau mempunyai simpanan deposito di bank 6. Menunjukkan akte pendirian dan surat izin usaha bagi mereka yang mempunyai perusahaan sendiri. Dalam penerbitan kartu kredit pada PT. Bank Rakyat Indonesia bahwa dalam penerbitan kartu kredit diterbitkan oleh PT. Bank Rakyat Indonesia Pusat, tetapi pada pelaksanaannya perjanjian pembukaan penerbitan kartu kredit atau proses aplikasi kartu kredit (BRI Card) dapat dilakukan di seluruh PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang di Wilayah Indonesia.6) Adapun syarat-syarat dalam penerbitan kartu kredit atau proses aplikasi bagi pemegang kartu kredit pada Bank Rakyat Indonesia yaitu : 1. Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing yang mempunyai ijin tinggal di indonesia yang dibuktikan dengan paspor dan kepemilikan KITTAS/KITTAP. 2. Umur 21 Tahun (sudah menikah) sampai 65 tahun 3. Masa kerja 1 tahun untuk karyawan tetap atau profesional minimal 2 tahun
4. Bertempat tinggal/usaha yang terdapat kantor pelayanan BRI 5. Lama tempat tinggal minimal 2 tahun di alamat terakhir, milik sendiri, milik orang tua, rumah dinas atau ngontrak 6. Memiliki telepon rumah / kantor / cellular pasca payar atas nama sendiri 7. Tidak termasuk dalam Black List BRI, BI atau Negative List AKKI dan memiliki rekening tabungan pada PT. BRI 8. Memiliki pendapatan kotor sesuai dengan jenis kartu yang diinginkan.7) Untuk menjadi Pemegang Kartu Kredit ada prosedur yang harus ditempuh oleh calon Pemegang Kartu Kredit antara lain adalah sebagai berikut : 1. Mengajukan permohonan kepada penerbit dengan cara mengisi formulir aplikasi terdiri dari : a. Data Pribadi : Nama, alamat, tempat tinggal b. Data Pekerjaan : Nama Perusahaan, alamat perusahaan c. Data Penghasilan : Gaji per tahun, penghasilan tambahan, rekening bank kartu kredit yang sudah dimiliki 2. Melampirkan dokumen yang diperlukan pada formulir aplikasi yang terdiri dari : a. Bagi Karyawan : Foto kopi KTP, Foto kopi surat keterangan penghasilan. b. Bagi Dokter / Pengacara : Foto kop KTP, Foto kopi Surat izin praktek . 7)
Ketentuan dan Proses Aplikasi Kartu Kredit BRI, PT. BRI Pusat, Jakarta, 2006,Halaman 8
Analisis ... (Asuan, SH, M.Hum)
397
c. Bagi Pengusaha : Foto kopi KTP, Foto kopi STUP/Akte pendirian/Tanda, Daftar Perusahaan Bila pemohon adalah orang asing, diperlukan foto kopi paspor dan kepemilikan KITTAS/KITTAP. 3. Menyampaikan formulir aplikasi yang sudah diisi lengkap bersama lampiran yang diperlukan kepada penerbit. Dengan menandatangani formulir aplikasi, maka permohon akan memberikan pernyataan sebagai berikut : a. Data yang diisikan dalam formulir adalah benar b. Memberikan kuasa kepada penerbit memeriksa kebenaran c. Tunduk dan terikat pada syarat dan ketentuan bagi pemegang kartu yang ditetapkan oleh penerbit d. Tanggung jawab untuk membayar semua biaya yang timbul dari penggunaan kartu. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh penerbit setelah menerima formulir aplikasi adalah : a. Penerbit melakukan analisis terhadap aplikasi berikut lampiran yang diterima bila perlu dilakukan pengecekan setempat untuk memastikan kebenaran dari data yang disampaikan, termasuk kjepada Penerbit lain, dalam hal pemohon mencantumkan bahwa ia sudah menjadi Pemegang kartu kredit dari penerbit lain. b. Penerbit menetapkan putusan terhadap permohonan tersebut, yang dapat berupa : Mengabulkan permohonan untuk menjadi Pemegang Kartu, jika hasil analisis menunjukkan bahwa pemohon layak menjadi pemegang kartu, atau ;
c. d.
e.
f.
Menolak permohonan tersebut, jika terjadi sebaliknya. Sesuai dengan formulir aplikasi, penerbit dapat menolak permohonan calon Pemegang kartu tanpa harus menyebutkan alasannya. Putusan disampaikan kepada pemohon dengan surat. Jika permohonan dikabulkan, dipersiapkan pembuatan kartu kredit. Kartu kerdit dikirimkan kepada pemegang kartu dengan menggunakan jasa kurir. Kartu kredit tersebut disampaikan dalam sampul tertutup yang hanya boleh dibuka oleh pemegang kartu. Dalam penyampaiank kartu juga disampaikan pemberitahuan tentang plafond kredit diberikan. Pemegang kartu menanda tangani bagian kartu kredit (signature panel). Dengan pembubuhan tanda tangan itu, pemegang kartu sudah dapat menggunakannya baik untuk mendapatkan barang atau jasa maupun untuk mendapatkan uang tunai (cash advance), dengan demikian perjanjian sah menurut hukum karena isinya disepakati oleh semua pihak yang terkait. Kartu kredit adalah milik bank yang berarti apabila sewaktu-waktu kartu kredit tersebut dikembalikan apabila pihak-pihak bank memintanya.
2. Hubungan Hukum Antara Penerbit dan Pemegang Kartu Kredit Selain kegunaan untuk melakukan transaksi dengan pihak pengusaha dan kartu kredit dapat menarik sejumlah uang tunai dari penerbit. Mekanisme penarikan uang tunai dengan menggunak kartu kredit lebih sederhana, pemegang kartu dapat memilih dua alternatif, dilayani oleh 398
SOLUSI No. 09 Tahun III September 2007
petugas bank secara manual atau dilayani secara otomatis oleh Automated Teller Machine (ATM). Uang yang ditarik itu merupakan pinjaman atau kredit dari penerbit yang apada waktunya harus dibayar kembali oleh pemegang kartu dengan tambahan bunga. Adanya tenggang waktu yang cukup panjang (lebih dari 30 hari) antara saat transaksi yang dilakukan oleh Pemegang Kartu dengan tanggal jatuh waktu pembayaran yang harus dilakukan oleh Pemegang Kartu dengan pembayaran secara angsuran atau cicilan yang sesuai tanggal jatuh waktu pembayaran kembali. Adanya kesempatan pembayaran secara angsuran bagi pemegang kartu, khsususnya bila kartu tersebut jenis Credit Card . Konsekuensi dari pembayaran secara angsuran adalah adanya perhitungan bunga. Hal-hal tersebut di atas dituangkan secara tertulis dalam suatu perjanjian/dokumen yang bentuknya baku dan sudah dipersiapkan lebih dahulu oleh penerbit. Karena merupakan perjanjian kredit, maka dalam penggunaan kartu kredit untuk mendapatkan barang/jasa, kredit yang diberikan sebenarnya tetap dalam bentuk uang, senilai barang/jasa yang menjadi obyek transaksi. Perjanjian atau dokumen yang ditandatangani oleh Pemegang kartu adalah perjanjian kredit, walaupun bentuknya berbeda dengan akad kredit umum. Namun unsur-unsur pemberian kredit terpenuhi, yaitu : a. Adanya plafond dana yang disediakan penerbit b. Adanya tenggang waktu antara penarikan kredit dengan pembayaran c. Adanya perhitungan bunga Ketentuan di atas jika dikaitkan dengan penggunaan kartu kredit dapat digambarkan sebagai berikut :
1) Pihak penerbit sebagai penyedia uang adalah, kesediaannya membayar tagihan dari pegusaha 2) Persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam tercermin pada waktu penanda tanganan perjanjian antara penerbit dan pemegang kartu kredit. 3) Kewajiban peminjam (dalam hal ini cardholder) untuk membayar tagihan dari penerbit yang telah melunasi tagihan dari pihak pengusaha. Dalam penggunaan kartu kredit, penerbit akan melakukan pembayaran terlebih dahulu atas pengeluaran yang dilakukan oleh pemegang kartu kredit, seolah-olah terjadi pergantian debitur, sehingga seakan terjadi novasi subyektif pasif. Namun demikian, bentuk hubungan hukum tersebut tidak dapat disebut novasi subyektif pasif, sebab dalam penggunaan kartu kredit tidak ada perjanjian baru. Sebaliknya, kalau ditinjau dari kewajiban pemegang kartu kredit untuk membayar transaksi kepada penerbit, seakan-akan terjadi penggantian kreditur, padahal di sini bukan subrogasi karena tidak ada perjanjian baru pada waktu melakukan pembayaran. Dalam hubungan hukum tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik, pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut dan pihak yang lain wajib memenuhi tuntutan itu. Adapun kewajiban penerbit antara lain : Kewajiban Penerbit Kartu Kredit PT. Bank Rakyat Indonesia 1) Menerbitkan kartu kredit untuk calon pemegang kartu kredit yang telah disetujui permohonannya, karena hasil analisis yang dilakukan oleh pihak bank menunjukkan bahwa
399
2)
3)
4)
5)
pemohon layak untuk menjadi pemegang kartu kredit. Menjamin Pemegang Kartu Kredit agar dapat menggunakan kartunya, dengan cara memberikan hak kepada pemekgang kartu kredit untuk mendapatkan mengambil uang secara langsung di bank BRI atau melalui ATM. Penerbit membayarkan segala transaksi yang dilakukan oleh Pemegang Kartu kepada Pengusaha melalui pengelola. Menyampaikan tagihan kepada Pemegang Kartu, penagihan dilakukan dalam satu bulan sekali dengan mengirimkan slip penagihan yang ditunjukan pada pemegang kartu kredit. Bank berkewajiban untuk memenuhi setiap kewajiban yang belum diselesaikan pada saat terjadinya pengakhiran perjanjian antara kedua belah pihak.
4)
5)
6) Hak Penerbit PT. Bank Rakyat Indonesia 1) Penerbit berhak memperoleh iuran tahunan (annual fee) dan uang pangkal dari pemegang kartu kredit 2) Penerbitan berhak memperoleh pembayaran atas transaksi ,yanig telah dilakukan oleh Pemegang Karti termasuk bunga keterlambatan pembayaran yaitu pemgang kartu melakukan pembayaran atas seluruh jumlah tagihan sebelum atau pada saat jatuh tempo yaitu sebesar 3,25 % perbulan. 3) Penerbit berhak membatalkan atau memperpanjang
7)
8)
9)
keanggotaan Pemegang Kartu Kredit, pembatalan ini dapat terjadi karena beberapa hal antara lain : Si Pemegang kartui dinyatakan pailit, dipemegang kartu meninggal dunia, sedang memperpanjangh kartu kredit dapat secara langsung dilakukan oleh pihak Bank atau atas permintaan pemegang kartu kredit itu sendiri. Menarik kembali kartu kreditu yang ada pada Pemegang Kartu, baik yang masih berlaku atau yang sudah habis masa berlakunya, atau karena alasanalasan tertentu. Mencantumkan nomor kartu kredit ke dalam daftar hitam kartu kredit yang telah dibatalkan secara sepihak oleh Penerbit atau atas dasar permintaan Pemegang Kartu, daftar hitam adalah terbitan berkala yang memuat nomornomor yang tidak berlaku lagi. Menolak transaksi yang dilakukan oleh Pemeganig Kartu Kredit bila : Pemegang Kartu belum memenuhi kewajibannya kepada Penerbit berupa permbayaran tagihan atas transkasi yang dilakukan Meneliti kebenaran data yang diajukan Pemegang sesuai dengan syarat yang diminta oleh Penerbit antara lain : Alamat, KTP, Rekening koran dan kekayaan. Bank berhak bertukar informasi tentang data atau identitas pemegang kartu kredit dengan pemegang kartu kredit lainnya. Bank berhak untuk tidak mengganti kartu yang
SOLUSI No. 09 Tahun III September 2007
400
dilaporkanb hilang atau dicuri, apabila pemegang kartu dalam keadaan tidak melunasi tagihan lebih dari enam puiluh hari terhitung sejak tanggal laporan diterima. 10) Dengan mengecualikan ketentuan yang ada dalam pasal 1832 KUHPerdata bank berhak untuk menuntut pembayaran kepada pemegang kartu utama atas setiap transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu tambahan. Kewajiban Pemegang Kartu Kredit 1) Pemegang Kartu berkewajiban untuk mencantumkan tanda tangan pada kertas panel di bagian belakang kartu, serta menandatangani salesdraf yang disediakan oleh pengusaha, setelah itu baru sipemegang kartu kredit diperboleh membawa barang hasil transaksinya 2) Wajib membayar iuran tahunan yang besarnya telah ditetapkan oleh Bank, besarntya iuran tahunan dapat berubah sewaktuwaktu menurut ketentuan Bank dan perubahannya akan diinfomasikan kepada pemegang kartu dan pemegang kartu kredit wajib membayar sebagian cicilan tagihan dan beban bunga. 3) Mematuhi seluruhi ketentuan/aturan yang telah ditentukan dalam perjanjian atau pemegang kartu kredit tunduk dan terikat pada syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam perjanjian 4) Wajib membayar semua biaya yang timbul karena penggunaan kartu kredit tersebut
5) Pemegang kartu wajib segera memberi tahukan pihak Bank apabila terjadi perubahan alamat atau perusahaan tempat bekerja 6) Pemegang kartu utama bertanggung jawab sepenuhnya atas transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu tambahan. 7) Pemegang kartu wajib menyelesaikan kewajibannya yang bekum diselesaikan pada saat pengakhiran perjanjian kedua belah pihak. Hak Pemegang Kartu Kredit : 1) Pemegang kartu kredit berhak dapat melakukan penarikan uang tunai dan fasilitas ATM disekitar cabang PT. Bank Rakyat Indonesia, selama 24 Jam. 2) Mendapatkan pelayanan barang dan jasa di setiap tempat yang sudah ditunjuk oleh Bank yang bersangkutan dan mendapatkan fasilitas yang disediakan oleh bank bagi pemegang Kartu Kredit 3) Pemegang Kartu Kredit berhak mendapatkan fasilitas disediakan oleh pihak PT. Bank Rakyat Indonesia antara lain : Adanya kemudahan pembayaran tanpa biaya administrasi karena dapat membayarkan tagihan kartu kredit PT. Bank Rakyat Indonesia diseluruh kantor cabang PT. Bank Rakyat Indonesia tanpa dikenakan biaya administrasi. Dana Plus dapat mentransfer dana dari batas kredit anda untuk apa saja melalui teleplus PT. Bank Rakyat Indonesia.
401
Perlindungan asuransi perjalanan udara bebas premi, dan masih banyak lagi fasilitas yang disediakan oleh pihak Bank. 3. Penyelesaian Bila Terjadi Wanprestasi Dalam perjanjian penggunaan kartu kredit, antara penerbit (issure) dengan pemegang kartu kredit (cardholder) telah disepakati, bahwa penerbit menyanggupi untuk membayar setiap transaksi yang ditutup oleh pemegang dengan pihak ketiga. Untuk keperluan itu, pemegang bersedia menyediakan dana khusus sebelumnya, ataupun ia bersedia membayar setiap tagihan yang diajukan oleh penerbit. Dengan demikian, prestasi yang harus diberikan oleh penerbit adalah membayar transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu kredit dengan pihak ketiga. Prestasi penerbit ini termasuk dalam kategori memberikan sesuatu dalam hubungannya dengan perjanjian penggunaan kartu kredit, pihak penerbit mungkin melakukan suatu tindakan yang tergolong wanprestasi, manakala tidak melakukan pembayaran kepada pengusaha, tetapi penerbit dapat melakukan penolakan pembayaran apabila : 1. Harga transaksi melampaui line limit tanpa otorisasi 2. Kartu kredit yang digunakan kadaluarsa (bila kartu kredit yang diterbitkan ada jangka waktunya) 3. Diperkirakan kartu kredit tersebut palsu. Kemungkinan wanprestasi lain dapat terjadi, apabila pihak pemegang kartu kredit tidak melakukan pembayaran atas tagihan dari penerbit, dalam hal ini penerbit dapat melakukan gugatan terhadap pemegang kartu kredit agar memenuhi kewajiban. Dari uraian di atas, dapat diketahui masing-masing pihak menghendaki prestasi
dari pihak lain, dan untuk keperluan itu ia sanggup memberikan atau melakukan prestasi tertentu yang dapat dinilai dengan uang, masing-masing pihak tidak mungkin akan dirugikan sepanjang : a. Para pihak telah menyelahi kewenangannya, dengan perkataan lain para pihak memang berhak atas itu b. Dokumen yang digunakan (kartu kredit, slip, billing statement adalah benar (tidak dipalsukan) c. Jumlah uang yang ditagih oleh pengusaha adalah sebesar nilai yang tercantum di dalam billing statement Selain hal di atas kekeliruan administrasi oleh bank, sangatlah kecil kemungkinannya mengingat, bank sebagai penerbit sangat selektif dalam menertibkan kartu kredit disamping itu penerbitannya melalui proses tertentu, yakni : 1. Pengisian / pengajuan formulir aplikasi 2. Pemeriksaan daya yang ada oleh penerbit 3. Penandatanganan perjanjian keanggotaan Sehubungan dengan perjanjian penggunaan kartu kredit, kekeliruan administrasi dapat terjadi dalam bentuk kesalahan pada waktu menerbitkan daftar hitam yang diedarkan bank kepada para pengusaha, bila hal ini terjadi, tertentu kesalahan atau kekeliruan tersebut akan merugikan pemegang kartu kredit. Kekeliruan semacam ini seyogyanya tidak perlu terjadi, bilamana bank dalam strategi operasionalnya sesuai dengan prinsip dalam Undang-Undang Perbankan : 1. Asas pengamanan dan perlindungan kepentingan masyarakat ; dan 2. Asas kehati-hatian dalam mengelola dana. Selain masalah yang timbul di atas ada beberapa masalah yang dapat timbul 402
dalam pelaksanaan perjanjian kartu kredit yaitu : 1. Masalah sengketa yang disebabkan iuran pokok (“Joining fee”)_dan iuran tahunan (“annual fee”). Dalam hal ini adalah pemegang kartu kredit dianggap tidak membayar angsuran bulanan atau tahunan yang menjadi kewajibannya. Sehubungan dengan ini pemegang kartu kredit akan dipanggil melalui suatu surat teguran, pemegang kartu kredit dapat menyelesaikan masalah ini dengan mendatangi bank, dengan membawa bukti pembayaran bulanan/tahunan yang dianggap belum bayar. 2. Masalah sengketa yang disebabkan karena “Pemegang Kartu Kredit dinyatakan pailit. Semua anggota yang menjadi tanggung jawabnya dan semua tagihan jatuh tempo maka tagihan harus dibayar seketika oleh si Pemegang kartu kredit. 3. Masalah sengketa yang disebabkan karena “Pemegang Kartu Kredit” meninggal dunia. Semua anggota yang menjadi tanggung jawabnya dan semua tagihan menjadi jatuh tempo maka tagihan harus segeera dibayar oleh para ahli waris yang ditentukan. 4. Masalah sengketa yang disebabkan karena “Pemegang Kartu Kredit” lalai membayar angsuran Apabila pemegang kartu kredit belum melunasi kewajibannya sedangkan batas waktu peringatan yang diberikan Bank untuk melunasi tagihan sudah habis masa belakunya, maka dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah berakhir surat peringatan tesebut tanpa harus melalui proses pengadilan maupun persetujuan pemegang kartu kredit
terlebih dahulu, Bank dapat melakukan tindakan penguasaan secara nyata atas harta kekayaan pemegang kartu kredit, jika perlu dengan bantuan alat negara, baik secara lelang maupun bawah tangan dengan syarat-syarat yang ditetapkan sendiri oleh Bank dan hasilnya digunakan untuk melunasi kewajiban pemegang kartu kredit. Untuk tagihan yang melebihi rekening nasabah (dalam hal adanya persyaratan rekening) adalah kewajiban Penerbit untuk membayarnya. Dengan demikian adalah wanprestasi / cidera janji bagi Penerbit bila melakukan alat bukti dari perjanjian kredit (antara pemegang dengan penerbit dimana pemegang kartu meminjam dari Penerbit, yang dengan uang itu Penerbit akan membayar tagihan pengusaha). Untuk meneyelesaikan tagihan yang jumlahnya di atas dana Pemegang kartu yang tersedia di bank atau belum ada dananya sama sekali, Penerbit dapat membuat klausula-klausula penagihan seperti yang dijalankan selama ini (seperti formulir keanggotaan BRI Master Card. Berakhirnya perjanjian kartu kredit ini bila dilihat dari dokumen perjanjian kartu kredit antara PT. Bank Rakyat Indonesia dengan pemegang kartu kredit, maka perjanjian ini dapat berakhir karena beberapa hal yaitu : 1. Perjanjian dibatalkan atas permintaan pemegang kartu kredit atau karena pembatalan yang dilakukan oleh pihak Bank karena alasan tertentu. 2. Tidak melaksanakan atau mematuhi ketentuan yang berlaku di Bank misalnya dengan sengaja tidak mau membayar tagihan dari pihak Bank. 3. Dinyatakan dalam keadaan menunda pembayaran suatu tagihan
403
4. Harta kekayaan pemegang kartu kredit akan disita oleh pihak ketiga 5. Pemegang kartu kredit meninggal dunia sehingga kewajiban harus diselesaikan oleh ahli waris 6. Pemegang kartu kredit dalam keadaan pailit 7. Keterangan dan data yang diberikan pemegang kartu kredit ternyata palsu. 8. Daluarsa artunya dalam pemaakain kartu kredit telah ditentuka jangka waktu berlakunya kartu kredit. Apabila jangka waktunya habis maka dengan sendirinya perjanjian kartu kredit dianggap berakhir 9. Karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam Bab I, dikatakan dalam pengampuan atau dinyatakan tidak berhak untuk mengelola harta kekayaan karena suatu sebab tertentu.8
D. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Syarat dalam penerbitan kartu kredit pada PT. Bank Rakyat Indonesia Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing yang mempunyai ijin tinggal di Indonesia berumur 21 tahun (sudah menikah) bekerja, bertempat tinggal di wilayah kantor pelayanan BRI serta tidak termasuk dalam Black List BRI, atau negative list AKKI. Prosedur pengajuan permohonan penerbitan kartu kredit oleh calon pemegang kartu kredit kepada pihak penerbit
diawali dengan pengisian formulir aplikasi yang telah disediakan oleh pihak bank, setelah folmulir itu diisi dan persyaratannya disepakati maka pihak penerbit akan melakukan setempat untuk mendapatkan kebenaran terhadap data yang diberikan calon pemegang kartu kredit. Dan penerbit kartu kredit berhak menentukan permohonan akan ditolak atau diterima. 2. Hubungan hukum dalam perjanjian pembuatan kartu kredit menimbulkan hak dan kewajiban yang saling timbal balik antara pihak-pihak yaitu pemegang kartu kredit dan penerbit kartu kredit tersebut telah ditegaskan dalam perjanjian dan apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi maka akan dikenakan sanksi yang telah disepakati bersama. 3. Wanprestasi terjadi apabila salah satu pihak lalai atau melanggar janji. Dalam perjanjian kartu kredit ini apabila terjadi wanprestasi maka pihak yang dirugikan dapat menggugat si berhutang untuk melakukan pembayaran utang serta biayabiaya lain yang timbul akibat sengketa tersebut. Selain penyelesaian melalui pengadilan, wanprestasi juga dapat diselesaikan secara musyawarah.
DAFTAR PUSTAKA 8)
Ketentuan dan Proses Aplikasi Kartu Kredit BRI, PT. BRI Pusat, Jakarta, 2006, Halaman 20
Fuady, Munir. 1999. Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktek (Leasing Factoring, Modal
SOLUSI No. 09 Tahun III September 2007
404
Ventura, Pembiayan Konsumen, Kartu Kredit). Cetakan Ke II. Penerbit. P.T. Citra Aditya Bakti. Bandung. Johannes Ibrahim, dkk. Kartu Kredit Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan. PT. Refika Aditama, Bandung, 2004. John Salindeho, Sistem Jaminan Kredit Dalam Era Pembangunan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1999. Ketentuan dan Proses Aplikasi Kartu Kredit BRI, PT. BRI Pusat, Jakarta, 2006. Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999.
Soebakti, Soerjono. 1995. Metodologi Penelitian Normatif. Cetakan Ke-10. Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti. Bandung. Soebekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-2. Penerbit Alumni Bandung, 1996. Soebekti, R.R., Tjitrosudibio. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Edisi Revisi. Penerbit. P.T. Pradya Paramita. Jakarta.. Soekanto, Soerjono. Pola Operasi Sistem Pembayaran Uang Aman. Edisi 12 Majalah Media Data 1991.Surat Edaran Nomor: S10.DIR/CBK/03/2006 tentang Penyelesaian Transaksi Kartu Kredit, PT. BRI, Jakarta, 2006.
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1995. Muhammad, Abdulkadir. 1986. Hukum Perjanjian. Cetakan Ke-2. Penerbit Alumni. Bandung. Muhammad, Abdulkadir. 1993. Hukum Perdata Indonesia. Cetakan Ke-2 Penerbit. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, Filsafat Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Rajawali Pers, Jakarta, 1983. Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Negara, Alumni, Bandung, 1982. R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1983.
405
DAFTAR ISI MAJALAH SOLUSI No. 10 Tahun IV Januari 2008
Pengantar Redaksi PERANAN BANTUAN HUKUM DALAM MELINDUNGI HAK ASASI MANUSIA Oleh : Gurmani, SH, M.Hum ....................................................................................
429-434
TRAFIKING MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 Oleh : Ardiana Hidayah, SH ......................................................................................
435-439
PERANAN LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA DITINJAU DARI ASPEK KEAMANANAN KREDIT PADA BANK-BANK MENURUT UU NOMOR 42 TAHUN 1999 Oleh : Asuan, SH, M.Hum ........................................................................................
440-449
OPTIMALISASI PERAN LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh : Barhamudin, SH, M.Hum ...............................................................................
450-461
PERLINDUNGAN HAK HUKUM TERPIDANA PADA PROSES PEMASYARAKATAN Oleh : Ali Dahwir, SH ...............................................................................................
462-467
395
PERANAN LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA DITINJAU DARI ASPEK KEAMANAN KREDIT PADA BANK-BANK MENURUT UU NO. 42 TAHUN 1999 Oleh : Asuan, SH, M.Hum
PENDAHULUAN Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan yang mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana. Dalam hal ini perbankan berperan dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, menjadi pelaku pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Dalam rangka mengaktualisasikan peranan tersebut, maka salah satu jasa perbankan yang dapat dilakukan oleh bank umum adalah bergerak dalam kegiatan perkreditan dan pembiayaan. Dalam tertib hukum yang berlaku di Indonesia, perjanjian kredit bank berdasarkan atas Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Salah satu hal penting dalam undang-undang tersebut yang ada kaitannya dengan lalu lintas perbankan adalah menyangkut perkreditan dengan menggunakan jaminan. Bank dalam menjalankan perannya sebagai lembaga keuangan yang memberikan kredit, harus
memperhatikan azas perkreditan yang sehat dan mampu menerapkan prinsip kehati-hatian. Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko jika di kemudian hari kredit tidak dapat diselesaikan sebagaimana mestinya, karena itu diperlukan suatu jaminan dalam pemberian kredit tersebut. Dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu dalam pemberian kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.1) Kebutuhan masyarakat dewasa ini sangat diperlukan bentuk jaminan dimana orang mendapatkan kredit dengan jaminannya benda bergerak, akan tetapi debitur tersebut masih tetap dapat memakai untuk keperluan seharihari maupun usahanya. Sehubungan dengan masih beradanya benda jaminan di tangan debitur, maka akan menguntungkan debitur itu sendiri, yaitu dapat tetap mempergunakan benda jaminan untuk keperluannya. Oleh sebab itu maka timbullah lembaga jaminan fidusia, yaitu jaminan atas dasar kepercayaan sedangkan bendanya sendiri masih berada dalam tangan debitur. Hal ini dirasa sangat melemahkan kedudukan pihak kreditur terhadap benda jaminan tersebut, sebab dengan tidak beradanya benda jaminan di tangan kreditur maka debitur dapat 1)
Fuady, Munir.Hukum Perusahaan Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 1996 Halaman.15
395
mempergunakan benda jaminan yang mungkin dapat merugikan pihak kreditur.2) PERMASALAHAN 1. Bagaimanakah sifat pengikatan benda jaminan dengan menggunakan fidusia dalam praktek lembaga jaminan fidusia ? 2. Apa hak dan kewajiban para pihak pada jaminan secara fidusia ? 3. Bagaimana berakhirnya perjanjian jaminan fidusia ?
PEMBAHASAN 1. Tahapan-tahapan Pengikatan Benda Jaminan dengan Menggunakan Fidusia Menurut UU No. 42 Tahun 1999 a. Pihak kreditur dan debitur harus telah sepakat dengan perjanjian pokoknya yaitu perjanjian pinjaman kredit. Dalam hal ini baik besarnya pinjaman, jaminan ataupun bunga yang ditentukan, peruntukan pinjaman tersebut kedua belah pihak telah menyetujuinya (Pasal 4 UU No. 42 Tahun 1999) b. Kemudian di depan notaris pihak kreditur dan debitur membuat akta jaminan fidusia. Akta jaminan fidusia ini memuat halhal yang berkaitan dengan perjanjian pinjaman kredit yang telah disepakati baik pihak-pihak yang berkaitan dengan perjanjian pinjaman kredit tersebut, besarnya pinjaman, benda yang dijaminkan secara fidusia tersebut dan sebagainya. Fungsi 2)
Badrulzaman, Mariam Darus.Bab-bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia. Alumni, Bandung. 1981. Halaman 43
dari akta jaminan fidusia ini adalah untuk mengotentikkan suatu surat perjanjian oleh Pejabat Negara yaitu Notaris (Pasal 5 UU No. 42 Tahun 1999) c. Perjanjian jaminan fidusia ini kemudian didaftarkan pada Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada bagian pendaftaran fidusia oleh penerima fidusia (BRI atau kuasa atau wakilnya) sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999. Pendaftaran ini juga melampirkan perjanjian jaminan fidusia yang sebagian datanya akan dimasukkan pada Sertifikat Jaminan Fidusia. d. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia sie Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia yang mencatat identitas pihak pemberi dan penerima kuasa, tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama dan tempat kedudukan notaris yang memuat akta jaminan fidusia, data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, nilai penjaminan, dan nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia (Pasal 12 UU No. 42 Tahun 1999) Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia. Benda-benda yang dapat dijadikan jaminan tersebut menurut UU No. 42 Tahun 1999 adalah mobil, motor, mesin-mesin pabrik, piutang, barang dagangan dan lain-lain. Apabila menggunakan jasa gadai tentu saja barang-barang tersebut harus diserahkan kepada kreditur sehingga pemilik tidak dapat menggunakannya
Peranan Lembaga ... (Asuan, SH, M.Hum)
396
dalam menjalankan usaha. Jaminan fidusia sebagai agunan suatu ikatan utang piutang mempunyai daya tarik khusus, karena pemilik benda yang dijaminkan tidak perlu menyerahkan benda tersebut kepada pemberi utang (kreditur) sehingga barang tersebut masih dapat dipergunakan untuk menunjang usahanya. Hal ini menjadi unsur positif pada jaminan fidusia. Adanya UU ini akan banyak membantu para pelaku usaha untuk menggunakannya, dengan demikian memperlancar kebutuhan para pengusaha dalam memenuhi atau memperbesar permodalannya. Syarat untuk permohonan suatu kredit, calon debitur harus melampirkan hal tersebut di bawah ini disamping proposal pengajuan kredit yang diajukan kepada bank : - Apabila calon debitur adalah perusahaan : 1. NPWP 2. SITU 3. Akta Pendirian 4. Buku Rekening Tabungan - Apabila calon debitur adalah perorangan : 1. NPWP 2. Rekening telepon, air, listrik 3. Buku Rekening Tabungan 4. Kartu Pegawai Negeri (bila calon debitur adalah Pegawai Nmegeri Sipil) Pada calon debitur perusahaan dibutuhkan akta pendiriannya untuk mengetahui apakah perusahaan itu berbadan hukum atau tidak dan juga harus melengkapi dengan SITU (Surat Izin Tempat Usaha). Hal tersebut di atas dibutuhkan untuk meneliti sejauh mana kelayakan calon debitur untuk mendapat suatu kredit dari bank.
Pada praktek perbankan untuk mendapatkan kredit seorang calon debitur harus mengadakan perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit adalah salah satu bentuk perjanjian pada umumnya. Di dalam pengajuan perjanjian fidusia terdiri atas dua tahap, yaitu : a. Tahap Pemberian Jaminan Fidusia Perjanjian fidusia dituangkan dalam suatu akta tersendiri, yaitu Akta Jaminan Fidusia dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian kredit. Dengan adanya akta jaminan fidusia ini, pemberi fidusia (debitur) harus menyerahkan jaminan kepada penerima fidusia (kreditur), tetapi hak miliknya saja yang diserahkan sedang bendanya masih dikuasai oleh pemberi fidusia. Pada perjanjian tersebut pihak penerima fidusia menguasai suratsurat kepemilikan secara fisik menyangkut barang-brang jaminan, misal: 1. Bukti pemilikan kendaraan bermotor 2. Surat kepemilikan mesin pabrik Dalam pemberian benda dengan jaminan fidusia dibua dengan Akta Notaris yang dihadiri oleh penerima fidusia. Di dalam akta jaminan fidusia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 UU No. 42 Tahun 1999, harus memuat : 1. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia 2. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia 3. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia 4. Nilai penjaminan
SOLUSI No. 10 Tahun IV Januari 2008
397
5. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia Pada fidusia benda jaminan tetap berada di tangan pemberi fidusia, oleh karena itu dalam perjanjian fidusia sangat perlu dicantumkan suatu ketentuan yang merupakan pembatasan terhadap perbuatan-perbuatan pemberi fidusia yang mungkin dapat merugikan penerima fidusia. Ketentuan tersebut dapat berupa pernyataan kewenangan menguasai benda dari pemberi fidusia. Pernyataan tersebut terdapat dalam klausul yang menyebutkan antara lain : 1. Bahwa debitur atau pemberi fidusia adalah benar memiliki secara sah benda yang dipakai sebagai jaminan. 2. Bahwa benda tersebut pemberi fidusia (debitur) jadikan jaminan untuk permintaan pinjaman pada bank 3. Bahwa benda tersebut tidak menjadi jaminan untuk suatu pinjaman lain. 4. Jaminan tersebut tidak akan debitur pindahkan hak kepemilikannya kepada orang lain selama benda tersebut menjadi jaminan pada bank. Surat perjanjian ini sangat berguna bagi penerima fidusia atau pihak bank, karena penerima fidusia tidak mempunyai waktu yang cukup untuk menyelidiki terlebih dahulu apakah pemberi fidusia benar-benar pemilik benda yang dijaminkan itu. Selaku peminjam pakai atas suatu benda, pemberi fidusia secara umum berkewajiban memelihara benda jaminan tersebut. Untuk menjaga keamanan kredit yang disalurkan dan benda yang
dijaminkan, di dalam akta perjanjian fidusia dicantumkan klausul tentang pemeliharaan barang-barang yang dijaminkan tersebut. Pemberi fidusia dilarang menyewakan, meminjamkan pada orang lain serta mengganti bagianbagian yang rusak atau hilang atas barang-barang yang dijaminkan tersebut. Dalam akta tersebut dapat pula dicantumkan klausul untuk mengasuransikan barang-barang jaminan itu. Biasanya dilakukan oleh penerima fidusia sedangkan biayanya ditanggung oeh pemberi fidusia. Pihak bank atau kuasanya setiap waktu berhak ke tempat penyimpanan barang yang dijaminkan tersebut untuk melakukan pengawasan dalam rangka pengamanan barang-barang jaminan tersebut. Termasuk pemeriksaan pembukuan suatu perusahaan. Jadi pihak bank dapat memeriksa buku-buku perusahaan dan barang jaminan yang ada hubungannya dengan kredit yang diterima oleh pemberi fidusia. Dalam fidusia, debitur tetap menguasai barang jaminannya tersebut tetapi hak milik diserahkan kepada penerima fidusia, pemberi fidusia disebut juga peminjam pakai. Penguasaan atas benda jaminan tersebut dapat dibagi menjadi dua sistem : 1. Untuk barang-barang inventaris, pemberi fidusia menguasai barang jaminan atas dasar perjanjian pinjam pakai dengan penerima fidusia. Pada bentuk pinjam pakai ini pemberi fidusia tidak diberi kekuasaan untuk mengalihkan atau menjual
Peranan Lembaga .... (Asuan, SH, M.Hum)
398
barang jaminan, sebab barang inventaris diperlukan oleh pemberi fidusia untuk menjalankan usahanya, misalkan mobil, mesin pabrik, dan sebagainya. 2. Untuk barang dagangan, pemberi fidusia menguasai barang jaminan atas dasar konsinyasi atau penitipan. Pada bentuk penitipan ini pemberi fidusia diberi kuasa untuk mengalihkan atau menjual barang jaminan. b. Tahap Pendaftaran Jaminan Fidusia Untuk menghindari fidusia ulang yang dilakukan oleh pemberi fidusia maka benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilakukan oleh penerima fidusia pada kantor pendaftaran fidusia. Dalam hal pendaftaran jaminan fidusia yang dilakukan oleh penerima fidusia dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia yang memuat : 1. Identitas pihak pemberi dan penerima jaminan fidusia. 2. Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama dan kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia. 3. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia. 4. Uraian benda yang menjadi objek jaminan fidusia. 5. Nilai penjaminan. 6. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Berdasarkan permohonan fidusia tersebut, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia sie Kantor Pendaftaran Fidusia selanjutnya melakukan pengecekan mengenai identitas para pihak, tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama, tempat kedudukan notaris, data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, benda objek jaminan fidusia, nilai penjaminan, nilai benda. Setelah melakukan pengecekan kemudian mencatat ke dalam Buku Daftar Fidusia sesuai dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Setelah mencatat permohonan pendaftaran fidusia tersebut, selanjutnya kantor pendaftaran fidusia menerbitkan dan menyerahkan “Sertifikat Jaminan Fidusia” yang diserahkan kepada penerima fidusia. Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan ekskutorial, artinya memberikan kekuasaan kepada penerima fidusia untuk dapat mengeksekusi benda jaminan tanpa melalui gugatan ke pengadilan, melainkan langsung ke Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) untuk meminta pelaksanaan lelang atas jaminan pemberi fidusia. Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut merupakan perjanjian pelengkap dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit. Dalam hal ini Sertifikat Jaminan Fidusia merupakan agunan atau jaminan atas perjanjian pinjaman kredit tersebut. Untuk mengurangi resiko kerugian untuk pinjaman yang cukup besar, biasanya penerima fidusia dalam hal ini bank meminta jaminan hak tanggungan atas tanah. Hal ini merupakan cara menjaga
SOLUSI No. 10 Tahun IV Januari 2008
399
keamanan pengeluaran kredit oleh bank. Mengingat harga tanah yang akan mengalami kenaikan pertahunnya dan juga untuk mengurangi resiko penyusutan nilai pada barang-barang bergerak yang dijamin secara fidusia. 2. Hak dan Kewajiban Pada Pihak dalam Perjanjian Kredit dengan Lembaga Jaminan Fidusia 1) Hak dan Kewajiban Pemberi Fidusia a. Hak Pemberi Fidusia 1) Hak pemberi fidusia dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia antara lain adalah mendapatkan sejumlah pinjaman atau kredit dari pihak penerima fidusia untuk kelancaran usahanya dan dapat tetap mempergunakan benda jaminan fidusia untuk kelancaran usahanya tanpa mengurangi hak penerima fidusia untuk menguasai benda tersebut. 2) Di dalam Pasal 21 UU No. 42 Tahun 1999 menjelaskan bahwa pemberi fidusia dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia dengan cara dan prosedur yang lazim digunakan dalam usaha perdagangan, maksudnya pemberi fidusia berhak untuk menjual, menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka kegiatan usaha tetapi benda yang sudah dialihkan tersebut harus diganti dengan benda yang
mempunyai nilai dan jenisnya sama, tetapi hal ini tidak berlaku apabila wanprestasi. b. Kewajiban Pemberi Fidusia Di dalam perjanjian jaminan fidusia, pihak pemberi fidusia mempunyai kewajiban antara lain : 1) Pemberi fidusia berkewajiban untuk tidak melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar (Pasal 17 UU No. 42 Tahun 1999) 2) Pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan (Pasal 30 UU No. 42 Tahun 1999) 3) Pemberi fidusia berkewajiban untuk tidak mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan pada pihak lain benda objek jaminan fidusia, kecuali dengan persetujuan tertulis dari penerima fidusia (Pasal 23 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999) 4) Pemberi fidusia dapat mengasuransikan benda jaminan atas permintaan penerima fidusia apabila dianggap perlu untuk penerima fidusia, oleh karena dikhawatirkan jika benda yang menjadi objek jaminan fidusia musnah,
Peranan Lembaga ... (Asuan, SH, M.Hum)
400
maka dalam hal ini klain asuransi tersebut menjadi pengganti objek jaminan fidusia, karena dengan musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi. 5) Pemberi fidusia menyerahkan kepada penerima fidusia semua surat bukti pemilikan dari benda yang dijaminkan. 2) Hak dan Kewajiban Penerima Fidusia a. Hak Penerima Fidusia 1) Penerima fidusia mempunyai hak didahulukan terhadap kreditur lain, artinya penerima fidusia mempunyai hak untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan hak ini tidak hapus karena likuidasi atau kepailitan pemberi fidusia, sesuai dengan Pasal 27 UU No. 42 Tahun 1999. 2) Apabila pemberi fidusia melakukan kelalaian dalam melakukan pelunasan hutangnya, maka penerima fidusia dapat melakukan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan eksekusi ini dapat dilakukan dengan cara penjualan di bawah tangan dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pihak pemberi dan penerima fidusia atau dilakukan lelang
b. 1)
2)
3)
4)
di muka umum dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh penerima fidusia, jika hal tersebut lebih menguntungkan. 3) Memohon kepada pengadilan agar melakukan sita revindikasi, artinya dapat melakukan pengambilan benda yang difidusiakan tanpa perantara hakim namun apabila pelaksanaannya sulit dapat ditempuh melalui jalur hukum. Kewajiban Penerima Fidusia Penerima fidusia berkewajiban utuk memberikan sejumlah uang atau pinjaman kredit kepada pemberi fidusia agar dapat menjalankan usaha lagi dan mengizinkan pemberi fidusia untuk dapat mempergunakan benda jaminan tersebut. Penerima fidusia wajib melakukan pendaftaran fidusia (Pasal 13 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999). Penerima fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam sertifikat jaminan fidusia (Pasal 16 UU No. 42 Tahun 1999). Penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan pembayaran utang melalui fidusia setelah hasil penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang digunakan
SOLUSI No. 10 Tahun IV Januari 2008
401
untuk pelunasan pemberi fidusia.
hutang
3. Berakhirnya Perjanjian Lembaga Jaminan Fidusia Berakhirnya perjanjian jaminan fidusia mengikuti perjanjian pokoknya. Dalam hal ini yang menjadi perjanjian pokok adalah perjanjian kredit. Adanya perjanjian jaminan fidusia tergantung pada adanya perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang yang dijamin pelunasannya dengan fidusia sebagai perjanjian accesoir. Jika perjanjian pokok dari fidusia tersebut hapus, maka perjanjian jaminan fidusia tersebut sebagai perjanjian accseoir-nya juga turut hapus. Pada setiap perjanjian pinjaman diharapkan berakhir dengan baik, yaitu dengan cara pelunasan hutang pokok beserta bunga dan apabila ada tambahan tunggakan-tunggakan oleh debitur sesuai dengan yang telah ditentukan dalam perjanjian. Jika dalam perjanjian fidusia dan pada perjanjian pokoknya juga tidak ditegaskan, maka berakhirnya perjanjian jaminan fidusia tersebut sesuai dengan Pasal 25 UU No. 42 Tahun 1999. 1. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia 2. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia 3. Musnhanya benda yang menjadi objek jaminan fidusia Musnahnya objek jaminan fidusia tidak menghapus klaim asuransi yang telah dibuat. Kemudian penerima fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya jaminan fidusia tersebut, baik dikarenakan utang telah dibayar unas atau yang lainnya. Pada saat pemberitahuan tersebut harus pula
melampirkan pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak atau musnahnya objek jaminan fidusia. Dengan hapusnya jaminan fidusia tersebut maka Kantor Jaminan Fidusia mencoret pencatatan Jaminan Fidusia dari Buku Daftar Fidusia lalu menerbitkan surat keterangan yang menyatakan Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut tidak berlaku lagi. KESIMPULAN 1. Pengikatan benda jaminan dengan menggunakan fidusia dalam praktek lembaga perbankan melalui beberapa tahap, yaitu : a. Proses pemberian kredit secara fidusia. b. Tahap pengikatan benda jaminan dengan menggunakan fidusia, yang terdiri dari dua tahap, yaitu : 1) Tahap pemberian jaminan fidusia. 2) Tahap pendaftaran jaminan fidusia. 2. Perjanjian fidusia yang dibuat oleh debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) menimbulkan hak dan kewajiban pada para pihak. Kewajiban pemberi fidusia adalah menyerahkan hak milik atas benda yang menjadi objek fidusia tersebut, memelihara barang yang difidusiakan tersebut, mengasuransikan objek yang dijamin secara fidusia. Hak debitur adalah mendapatkan pinjaman uang yang telah disepakati. Sedangkan kreditur berhak untuk mengambil pelunasan piutangnya terlebih dahulu dari kreditur lain, menjual objek jaminan fidusia apabila debitur lalai. Kewajiban kreditur adalah wajib memberikan pinjaman
Peranan Lembaga .... (Asuan, SH, M.Hum)
402
kepada debitur, mendaftarkan jaminan fidusia. 3. Berakhirnya perjanjian pinjaman fidusia dikarenakan hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia, pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia, dan musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia. SARAN-SARAN 1. Pihak bank seyogyanya melakukan penyelidikan yang akurat dengan mencari informasi pada bank-bank lain, apakah calon debitur mempunyai tunggakan di tempat tersebut. Juga menyelidiki sifat dari calon debitur, apakah jujur, taat, tidak boros, dan lain sebagainya, sehingga dapat meminimalisir terjadi adanya kredit macet di kemudian hari. 2. Perjanjian pinjaman fidusia diharapkan berakhir dengan baik, yaitu dengan cara pelunasan hutang pokok beserta bunga dan apabila ada tambahan tunggakan-tunggakan oleh debitur sesuai dengan yang telah ditentukan dalam perjanjian. Oleh karena itu itikad baik dari kedua belah pihak sangat diharapkan memperlancar penyelesaian pelunasan hutang tersebut. 3. Diperlukan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hukum khususnya perbankan melalui sosialisasi/penyuluhan oleh bank-bank tersebut.
SOLUSI No. 10 Tahun IV Januari 2008
403
DAFTAR PUSTAKA Badrulzaman, Mariam Darus. 1981. Babbab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia. Alumni, Bandung. Fuady, Munir. 1996. Hukum Perusahaan Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. _______. 1999. Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Yuwono, G.B. dan Tata Iryanto. 1987. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Indah. Surabaya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Hadisoeprapto, Hartono. 1989. Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan. Liberty, Yogyakarta. Muhammad, Abdulkadir. 1996. Hukum Perseroan Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Subekti, R dan R. Tjitrosudibio. 1994. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. PT. Pradnya Pratama, Jakarta. Satrio, J. 1992. Hukum Perjanjian. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Soebekti, R. 1995. Aneka Perjanjian. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 1985. Penelitian Hukum. PT. Rajawali, Jakarta. Tiong, Oey Hoey. 1984. Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-unsur Perikatan. Ghalia Indonesia, Jakarta. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2001. Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Peranan Lembaga ... (Asuan, SH, M.Hum)
404
DAFTAR ISI MAJALAH SOLUSI No. 11 Tahun IV Mei 2008
Pengantar Redaksi BENCANA ALAM ATAU PERBUATAN MANUSIA (IS IT NATURAL DISASTER OR MAN MADE DISASTER) Oleh : Rudiansyah, SH, M.Si .................................................................................... 468-470 KESEIMBANGAN PEMBAGIAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM Oleh : Ardiana Hidayah, SH ......... ............................................................................
471-475
HAK-HAK PEREMPUAN DI BIDANG POLITIK DAN PEMERINTAHAN Oleh : Ali Dahwir, SH ...............................................................................................
476-479
PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH SECARA SPORADIK MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 Oleh : Asuan, SH, M.Hum ........................................................................................
480-487
KEBIJAKAN BANK INDONESIA TERHADAP PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA Oleh : Chilyatul Badroh, SH, M.Hum .......................................................................
488- 495
395
“Dengan demikian terdapat perbedaan perlindungan dan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah. Dimana terhadap hak-hak Barat seperti eigendom, erfacht, opstal dan lain sebagainya mendapat jaminan kepastian hukum karena telah mempunyai bukti hak dan terdaftar dalam daftar umum, sedangkan terhadap tanah-tanah yang dimiliki rakyat Indonesia tidak terdapat jaminan kepastian hukum karena tidak memiliki buktibukti tertulis sehingga tercipta permasalahan di bidang pertanahan”.2)
PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH SECARA SPORADIK MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 Oleh : Asuan, SH, M.Hum
A. PENDAHULUAN Hubungan manusia dengan tanah sangat erat sehingga dirasakan mempunyai pertalian dalam pikiran. Di desa maupun di kota tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting baik untuk lahan pertanian, perkebunan, peternakan, pabrik-pabrik, perkantoran, tempat hiburan, jalan-jalan untuk perhubungan ataupun dijadikan jaminan hutang sehingga dewasa ini tanah mempunyai nilai yang lebih tinggi, lebih-lebih dengan bertambah pesatnya perkembangan penduduk. “Semakin lama dirasakan tanah menjadi sempit, sedangkan permintaan selalu bertambah, maka tidak heran kalau nilai tanah menjadi meningkat tinggi. Tidak seimbangnya antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah telah menimbulkan persoalan yang banyak segi-seginya”.1) Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, di Indonesia terdapat dualisme hukum di bidang pertanahan yaitu di satu pihak berlaku hukum barat dan di lain pihak berlaku hukum adat.
Untuk mencegah terjadinya suatu masalah-masalah di bidang pertanahan, pemerintah Indonesia telah menggariskan dan menetapkan dalam suatu hukum yang sangat mendasar yaitu Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Untuk menjelaskan yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 maka pada tanggal 24 September 1960 pemerintah mengundangkan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104) tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ini adalah merupakan landasan dasar terciptanya satu kesatuan hukum (unifikasi) di
1)
Soetomo, Pedoman Jual Beli Tanah Peralihan Hak dan Sertifikat, Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya, Malang, 1981, h. 11.
2)
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, h. 8.
SOLUSI No. 11 Tahun IV Mei 2008
395
bidang pertanahan dan memberi kepastian hukum. Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Perkataan dikuasai oleh negara bukan berarti memiliki tetapi memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan persediaan dan pemeliharaannya; b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Dengan kekuasaan seperti diuraikan di atas, “negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut keperluannya dan 3) peruntukkannya”. Dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 menentukan bahwa tanah di seluruh Indonesia harus diinventariskan. Untuk menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah maka dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan bahwa : a. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang 3)
Ibid, h. 13.
diatur dengan Peraturan Pemerintah; b. Pendaftaran tersebut meliputi 1. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan hak; 2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak tersebut; 3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti. c. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria; d. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran tanah. Guna melaksanakan Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria ini pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, ini adalah merupakan penyempurnaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional, khususnya dalam pelaksanaan pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. “Adapun tujuan pendaftaran itu sendiri adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah dan kepada yang bersangkutan diberi sertifikat hak atas tanah. Selain itu pendaftaran tanah juga bertujuan memberikan informasi mengenai suatu tanah baik penggunaannya, pemanfaatannya maupun informasi mengenai untuk apa
Pendaftaran Hak Atas ..... (Asuan, SH, M.Hum)
396
sebaiknya tanah 4) dipergunakan”.
itu
Salah satu cara untuk mendapatkan sertifikat hak atas tanah dan pendaftaran tanah secara sporadik sesuai ketetuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang adalah pelaksanaan dari Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 1997. B. PERMASALAHAN Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat ditarik beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana proses pendaftaran tanah secara sporadik setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ? 2. Tugas dan kewenangan dimiliki oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ? C. PEMBAHASAN 1. Proses Pendaftaran Tanah Secara Sporadik menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Dalam proses pendaftaran tanah secara sporadik, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu : 1. Permohonan pendaftaran tanah secara sporadik. 2. Dilakukan pengukuran bidang tanah. 3. Pengumpulan dan penelitian data yuridis bidang tanah.
4)
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 1990, h. 8.
4. Pengumuman data fisik dan data yuridis, dan pengesahannya. 5. Penegasan konversi dan pengakuan hak. 6. Pembukuan hak, dan 7. Penerbitan sertifikat. Ad.1. Permohonan pendaftaran tanah secara sporadik. Untuk pendaftaran tanah secara sporadik terlebih dahulu yang bersangkutan melakukan permohonan untuk pengukuran bidang tanah, mendaftar hak baru dan mendaftar hak lama dengan melengkapi surat sesuai bentuk dengan disertai dokumen asli, lalu diajukan kepada Kantor Pertanahan untuk membuktikan hak atas tanah yang bersangkutan. Setelah surat diterima di Kantor Pertanahan dan apabila terbukti kepemilikan atas bidang tanah tidak lengkap, maka berdasarkan Pasal 76 ayat (2) peraturan ini harus dengan pernyataan yang bersangkutan dengan disaksikan sekurang-kurangnya dua orang saksi dari masyarakat setempat yang bukan hubungan keluarga. Dengan demikian permohonan dapat dikabulkan oleh Kantor Pertanahan dan selanjutnya dilakukan pengukuran. Ad.2. Dilakukan pengukuran bidang tanah. Dalam kegiatan pengukuran berdasarkan Pasal 77 ayat (1), pengukuran bidang tanah atas tanggung jawab Kepala Kantor Pertanahan. Pada ayat (2) menjelaskan untuk pengukuran mempertimbangkan kemampuan teknologi petugas pengukuran, apabila pengukuran suatu bidang tanah yang luasnya 10 Ha sampai 1000 Ha dilaksanakan oleh Kantor
SOLUSI No. 11 Tahun IV Mei 2008
397
Wilayah (Kantor Pertanahan Provinsi), sedangkan yang luas tanahnya lebih dari 1000 Ha dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional (Kantor Pusat) dan hasilnya diserahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Setelah pengukuran selesai lalu dilakukan penetapan batas, pemasangan tandatanda batas dan pemetaan bidang tanah, lalu dilanjutkan pengumpulan dan penelitian data yuridis. Ad.3. Pengumpulan dan penelitian data yuridis bidang tanah. Dalam kegiatan pengumpulan dan penelitian data yuridis bidang tanah dapat dijelaskan berdasarkan Pasal 82 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, untuk keperluan pendaftaran hak baru dan pendaftaran hak lama, maka Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertanahan melakukan pengumpulan dan penelitian alat bukti pada pendaftaran hak baru. Sedangkan pada pendaftaran hak lama dilakukan pengumpulan dan penelitian permulaan data yuridis bidang tanah berupa dokumen alat bukti oleh Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertanahan. Apabila penelitian dokumen sudah dilakukan ternyata bahwa bukti kepemilikan tanah atas bukti-bukti tertulis sudah lengkap, maka Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertanahan menyiapkan untuk pengumuman dengan pengisian daftar isian 201, 201B, dan 201C. Tetapi apabila buktibukti tertulis tidak lengkap akan tetapi sudah melakukan pernyataan dengan menghadirkan dua orang saksi, penelitian ini dilanjutkan oleh Panitia
A dengan pengisian daftar isian 201 dan hasilnya diserahkan kepada Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah. Selanjutnya Kantor Pertanahan menyiapkan pengumuman data fisik dan data yuridis, dan pengesahannya. Ad.4. Pengumuman data fisik dan data yuridis, dan pengesahannya. Dalam suatu pengumuman data fisik dan data yuridis, dan pengesahannya berdasarkan Pasal 86 peraturan ini penulis dapat mengambil kesimpulan masalah pengumuman data fisik dan data yuridis adalah pemberitahuan hasil dari penelitian di atas mengenai penetapan batas bidang tanah dan pengesahannya yang dimohon pendaftarnya adalah melalui sebuah harian umum setempat. Dalam hal ini apabila pemohon keberatan atas data fisik dan data yuridis yang diumumkan, maka berdasarkan Pasal 86 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Kantor Pertanahan memberikan kesempatan kepada pemohonnya untuk mengajukan keberatan atas data fisik dan data yuridis dengan mengisi daftar isian 201B di Kantor Pertanahan. Atas keberatan tersebut, maka berdasarkan Pasal 87 peraturan ini pemohon dapat mengajukan gugatannya ke pengadilan dengan keberatan-keberatan atas data fisik dan data yuridis dengan didaftar menggunakan daftar isian 309. Untuk selanjutnya setelah proses pengumuman berakhir, maka data fisik dan data yuridis disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan daftar isian 202. Apabila pada waktu pengesahan data fisik dan data yuridis masih ada kekurang lengkapan
Pendaftaran Hak Atas ..... (Asuan, SH, M.Hum)
398
“Berdasarkan alat bukti hak baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, penegasan konversi dan pengakuan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, hakhak atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun, hak pengelolaan dan tanah wakaf yang bersangkutan dibukukan dalam buku tanah”. 5)
data atau keberatan yang belum diselesaikan Kantor Pertanahan dapat memberikan catatan mengenai hal-hal yang belum lengkap dan atau keberatan yang belum diselesaikan. Dengan ini Kantor Pertanahan dapat melakukan penegasan konversi dan pengakuan hak. Ad.5. Penegasan konversi dan pengakuan hak. Penulis dapat menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 88 peraturan ini penegasan konversi adalah suatu berita acara pengesahan data fisik dan data yuridis sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas dengan alat bukti tertulisnya lengkap dan alat bukti yang tidak lengkap tetapi ada keterangan saksi maupun pernyataan oleh Kepala Kantor Pertanahan ditegaskan konversinya menjadi hak milik atas pemegang hak yang terakhir dengan diberi catatan pada daftar isian 201. Adapun contoh penegasan konversi pada Lampiran 1. Selain itu untuk pengakuan hak dapat dijelaskan berikut ini. Berdasarkan peraturan ini pengakuan hak adalah pemberian catatan hak milik yang diakui oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan daftar isian 201 sebagaimana pada hak atas tanah yang alat bukti kepemilikannya tidak ada tetapi telah dibuktikan pernyataan fisiknya selama 20 tahun. Adapun contoh pengakuan hak milik pada Lampiran 2. Ad.6. Pembukuan hak Untuk selanjutnya Kantor Pertanahan melakukan pembukuan hak. Pada Pasal 89 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 bahwa :
Berdasarkan isi pasal tersebut dapat diambil kesimpulan pembukuan hak adalah penegasan hak atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun, hak pengelolaan dan tanah wakaf yang dibukukan dengan berdasarkan alat bukti hak baru dengan diberi catatan penegasan konversi dan pengakuan hak oleh Kepala Kantor Pertanahan. Pembukuan hak yang dilakukan Kantor Pertanahan pada Pasal 89 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini meliputi pembukuan hak pembatasanpembatasan, pemindahan hak, pembatasan dalam penggunaan tanah menyangkut garis sempadan pantai dan pembatasan penggunaan tanah hak dalam kawasan lindung juga dicatat. Ad.7. Penerbitan sertifikat. Setelah proses pendaftaran tanah di atas sudah dilakukan, lalu yang terakhir Kantor Pertanahan menyiapkan penerbitan sertifikat, dalam hal ini sebelum sertifikat diterbitkan dilakukan pengesahan yang ditanda tangani oleh Kepala Kantor Pertanahan. Lalu sertifikat 5)
Ibid, h. 621.
SOLUSI No. 11 Tahun IV Mei 2008
399
dapat diberikan sebagaimana pada Pasal 93 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. “Sertifikat diserahkan kepada pemegang hak atau kuasanya, atau dalam hal tanah wakaf, kepada nadzirnya”. 6)
2. Tugas dan Kewenangan Kantor Pertanahan dalam Pendaftaran Tanah Secara Sporadik Setelah Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Sebelum kita membahas tugas dan kewenangan Kepala Kantor Pertanahan, perlu diketahui bahwa pada umumnya tugas merupakan kewajiban, sedangkan kewenangan merupakan hak seseorang sesuai dengan profesi dan kedudukannya sebagaimana peraturan yang berlaku. Adapun tugas dan kewenangan pada Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah adalah untuk kepentingan masyarakat mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan hukum hak atas suatu bidang tanah sebagaimana yang dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Pertanahan untuk melakukan tugas serta kewenangan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana dalam peraturan ini, antara lain: a. Pengukuran Bidang Tanah dan Pemetaan Dalam kegiatan pengukuran bidang tanah sebagaimana pada Pasal 77 peraturan ini Kepala Kantor Pertanahan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengukuran bidang tanah. Dengan ini hasil 6)
Ibid, h. 623.
pengukuran yang dilaksanakan oleh Kantor Wilayah (Kantor Provinsi) dan Badan Pertanahan Nasional (Kantor Pusat) dan hasilnya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan. Dalam hal ini Kepala Kantor Pertanahan memiliki kewenangan untuk mengesahkan hasil pengukuran bidang tanah tersebut.
b. Pengumuman Data Fisik dan Data Yuridis, dan Pengesahannya Kepala Kantor Pertanahan memutuskan bahwa pengumuman data fisik dan data yuridis tanah yang dimohonkan pendaftarnya dilaksanakan melalui sebuah harian umum setempat. Dalam hal ini Kepala Kantor Pertanahan memiliki kewenangan untuk mengesahkan data fisik dan data yuridis tersebut sebagaimana dalam Pasal 87 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
c. Penegasan Konversi dan Pengakuan Hak Kepala Kantor Pertanahan dalam hal ini sebagaimana pada Pasal 88 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ditegaskan komversinya berdasarkan hak atas tanah yang alat buktinya lengkap atau belum lengkap untuk menjadi hak milik dengan memberi catatan yang ditanda tanganinya dan dalam pengakuan hak Kepala Kantor Pertanahan dengan memberi catatan alat bukti kenyataan penguasaan fisiknya selama 20 tahun, lalu disahkan/ditanda tangani. Dalam hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1999 jo Kepala Kantor Pertanahan memiliki kewenangan dalam pemberian hak milik atas tanah, hak guna bangunan, hak pakai dan memberi keputusan mengenai semua perubahan hak atas tanah, terkecuali hak guna usaha menjadi hak lain, yang dibukukan dalam buku tanah. 400
d. Pembukuan Hak Dalam SH, pembukuan ftaran Hak Atas .... (Asuan, M.Hum) hak sebagaimana pada Pasal 90 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Kepala Kantor Pertanahan melakukan penandatanganan buku tanah dalam pendaftaran tanah secara sporadik, antara lain : - Hak-hak atas tanah - Hak milik atas satuan rumah susun - Hak pengelolaan Kepala Kantor Pertanahan dalam hal ini dapat melimpahkan kewenangan tersebut kepada Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah apabila Kepala Kantor Pertanahan berhalangan dalam rangka melayani permohonan pendaftaran tanah yang bersifat massal.
e. Penerbitan Sertifikat Kepala Kantor Pertanahan memiliki kewenangan penandatanganan sertifikat apabila hak-hak atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan yang sudah didaftar dalam buku tanah dan memenuhi syarat. D. KESIMPULAN Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan pendaftaran tanah dan dalam pelaksanaannya adalah tugas Kepala Kantor Pertanahan. Adapun kegiatan proses pendaftaran tanah secara sporadik antara lain : a. Permohonan pendaftaran tanah secara sporadik. b. Pengukuran bidang tanah. c. Pengumpulan dan penelitian data yuridis bidang tanah.
d. Pengumpulan data fisik dan data yuridis dan pengesahannya. e. Penegasan konversi dan pengakuan hak. f. Pembukuan hak. g. Penerbitan sertifikat. Kepala Kantor Pertanahan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 memiliki tugas serta kewenangan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah secara sporadik, antara lain : a. Mengesahkan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Kantor Wilayah (Kantor Provinsi) dan Badan Pertanahan Nasional (Kantor Pusat). b. Kepala Kantor Pertanahan mengesahkan dan memutuskan mengenai pengumuman data fisik dan data yuridis melalui harian umum setempat. c. Kepala Kantor Pertanahan memberi penegasan konversi dan pengakuan hak dengan diberi catatan yang telah ditanda tangani. d. Kepala Kantor Pertanahan menandatangani sertifikat terkecuali apabila Kepala Kantor Pertanahan berhalangan dalam pendaftaran tanah yang bersifat massal, maka Kepala Kantor Pertanahan dapat melimpahkan kewenangan tersebut kepada Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah.
SOLUSI No. 11 Tahun IV Mei 2008
401
DAFTAR PUSTAKA Parlindungan. A.P., Pendaftaran Tanah di Indonesia, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 1990. Boedi Harsono, Undang-undang Pokok Agraria, Bagian I, Jilid II, Djambatan, Jakarta, 1971. ..........................., Hukum Agraria Indonesia Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2000.
Yuwono, G.B. dan Tata Iryanto. 1987. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Indah. Surabaya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Parangangin Efendi, Hukum Agraria Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1991. G. Kartasapoetra, Masalah Pertanahan di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 1986. Wantjik Saleh. K., Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985. Soetomo, Pedoman Jual Beli Tanah Peralihan Hak dan Sertifikat, Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya, Malang, 1981.
Pendaftaran Hak Atas ..... (Asuan, SH, M.Hum)
402
SOLUSI No. 17 Tahun VI Mei 2010 TINJAUAN UMUM POLITIK PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN Oleh : Asuan, SH, M.Hum A. Pendahuluan Sejak diberlakukannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka keberadaan bank syariah dalam sistem perbankan di Indonesia sebenarnya telah diakui dan dikenal. Bahkan, dapat dikatakan bahwa UU No. 7 Tahun 1992 ini merupakan pintu gerbang dimulainya perbankan syariah di Indonesia. Namun demikian, UU tersebut belum memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syariah karena belum secara tegas mengatur mengenai keberadaan bank berdasarkan prinsip syariah, melainkan bank bagi hasil. Tahun 1998 dengan diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk SK Direksi BI baru dianggap telah memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberikan kesempatan yang lebih luas untuk pengembangan jaringan perbankan syariah antara lain melalui izin dual banking system. Selain itu UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juga menugaskan BI mempersiapkan perangkat peraturan dan fasilitas-fasilitas penunjang yang mendukung operasional bank syariah. Pengembangan bank syariah di Indonesia memiliki kendala pada dua hal: Pertama, beleid pemerintah yang belum
memberikan tempat yang cukup luas bagi kemajuan perbankan syariah, dan Kedua, sosialisasi perbankan syariah yang masih sangat lemah pada masyarakat Indonesia, baik pada kalangan terdidik (nasabah rasional) terlebih pada masyarakat awam (nasabah emosional). Bank syariah pada dasarnya adalah institusi yang mencoba menerapkan kebijakan “keterkaitan antara sektor moneter dengan sektor riil”. Selama ini, ekonomi Indonesia dipacu dengan mengejar pertumbuhan yang mengandalkan pinjaman luar negeri. Lembaga perbankan nasional sebagai institusi terpenting dalam menyalurkan kredit luar negeri itu akhirnya terperosok pada pengejaran sektor moneter dan mengabaikan sektor riil. Semua ini dilandasi oleh ajaran filosofis Adam Smith yang mengatakan bahwa uang memiliki nilai waktu (time value of money). Maka, investasi selalu diukur dengan berapa besar tingkat suku bunga yang diterapkan Bank Sentral. Tak peduli apakah proyek di sektor riil kemudian gagal ataupun sukses. Pertumbuhan perbankan syariah yang pesat ini selain adanya potensi pasar yang mendapat sambutan cukup hangat dari masyarakat juga tidak lepas dari dukungan Pemerintah, para ulama dan regulasi BI yang terus mengakomodasi kebutuhan regulasi industri dan membuka kesempatan lebih luas kepada perbankan dan investor untuk menjalankan kegiatan usaha bank syariah. B. Permasalahan 1. Bagaimana politik kelembagaan perbankan syariah ? 2. Bagaimana perbandingan antara perbankan syariah dengan bank-bank konvensional?
SOLUSI No. 17 Tahun VI Mei 2010
764
SOLUSI No. 17 Tahun VI Mei 2010 C. Pembahasan 1. Politik Kelembagaan Perbankan Syariah Jaminan UUD 1945 Pasal 29 yakni, kebebasan berkeyakinan beserta pelaksanaannya harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi masyarakat Islam untuk melakukan aktivitas keperdataan sesuai dengan konsep hukum Islam sebagai keyakinan yang dianutnya. Dalam pencapaiannya, penerapan pasal inipun mengalami banyak interpretasi. Bagi Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, tentu dalam pencapaian yang diinginkan oleh Islam formalis adalah harus dengan penetapan ketentuan-ketentuan syariah dalam ketetapan hukumnya (hukum formil), yang terkadang tanpa tersadar bahwa terbentuknya Indonesia atas dasar kontrak sosial. Dimana Indonesia tetap berpegang pada kemajemukan penduduk meskipun Islam sebagai agama mayoritas. Jaminan negara tentang hak kebebasan beragama tersebut menempatkan posisi negara sebagai fasilitator. Dalam ketetapan pencapaiannya dikembalikan kepada mekanisme penetapan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Jika berbentuk undang-undang, maka harus melalui lembaga legislatif, yang diperoleh dari hasil Pemilihan Umum (Pemilu). Oleh karena Indonesia menganut sistem politik demokrasi, maka hal ini juga harus terpenuhi dalam segala langkah upaya melalui jalur politik. Sehingga apapun yang terlahir, baik undang-undang maupun keputusan kenegaraan tidak mengarah pada pembelaan atau pertentangan negara terhadap satu kelompok tertentu. Berikut DPS-DSN juga harus melepaskan seragam partai, menjaga jarak dan tidak terintegrasi dengan pemerintah atau lembaga perbankan untuk menghindari politisasi fatwa.
Demikian juga yang seharusnya dilakukan oleh para pelaku industri perbankan syariah. Melalui jalur politik dalam penetapan hukumnya akan membuat tujuan pencapaian perkembangan perbankan syariah di Indonesia akan semakin terbuka lebar. Hal ini telah di sebutkan dalam UU No. 7 Tahun 1992 yang diperbarui dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Jika langkah-langkah yang perlu dicapai di atas telah tercapai secara komprehensif, maka orientasi bank syariah harus dikonsentrasikan penuh untuk peningkatan kualitas SDM, manajemen risiko, pengembangan bisnis, peningkatan kualitas pelayanan, perluasan jaringan kantor, pengembangan teknologi informasi dan sistem informasi, dan permodalan. Dari deskripsi yang telah dijelaskan sebelumnya. Ada dua pandangan berbeda mengenai institusi atau lembaga perbankan syariah di Indonesia. Pertama, perbankan syariah dianggap sebagai lembaga keuangan yang futuristik, jika perbankan syariah mampu menerapkan regulasi yang telah ditetapkan dan mampu meningkatkan kualitas SDMnya. Kedua, regulasi yang ada saat ini sudah cukup bagus. Serta tidak lepas dari dukungan Pemerintah, para ulama dan regulasi BI yang terus mengakomodasi kebutuhan regulasi industri, dan membuka kesempatan yang lebih luas kepada perbankan dan investor untuk menjalankan kegiatan usaha bank syariah. Dalam menyusun peraturan bagi perbankan syariah ini, BI bertujuan untuk mewujudkan pertumbuhan bank syariah yang sehat dan patuh kepada prinsip syariah. Baik manajemen maupun regulasi yang mendukungnya. Sehingga dalam menjalankan aktivitasnya lembaga perbankan syariah tidak lagi hanya berorientasi pasar, akan tetapi lebih jauh
Tinjauan Umum Politik ….. (Asuan, SH, M.Hum)
765
SOLUSI No. 17 Tahun VI Mei 2010 sebagai lembaga keuangan yang mempunyai karakteristik tersendiri melalui penerapan syariah secara menyeluruh tanpa ada politisasi poin-poin syariah didalamnya. Secara umum, perbankan syariah, mulai dari pendekatan politik, landasan hukum, efektifitas pengawasan, dan kelembagaannya telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Meski harus ada perbaikan kelembagaan pengawasan yang memang harus berbeda treatmentnya dibandingkan dengan perlakuan terhadap perbankan konvensional. Karena industri ini terkait dengan syariah dan masih muda. Ketika kemudahan-kemudahan itu tidak ada, janganlah ditafsirkan menghambat perkembangannya. Sekali lagi harus dicamkan ini highly regulated industry, terlebih lagi industri ini terkait dengan syariah, tentu sewajarnya paradigma ini perlu dipegang, bila seluruh stakeholders perbankan syariah ingin selamat dunia dan akhirat. Sebab, ini merupakan amanah yang harus kita pertanggung jawabkan kelak. Dengan demikian dalam hal ini sebaiknya kita melihat gambaran yang lengkap mengenai regulasi BI tidak secara parsial atau segmentasi. Adanya anggapan bahwa BI menghambat pengembangan bank syariah merupakan informasi yang misleading kepada masyarakat dan apalagi informasi tersebut tanpa didukung oleh data yang akurat. Khususnya dalam pembukaan bank syariah, BI telah menyediakan regulasi yang cukup memadai untuk pendirian baru, konversi, dan membolehkan bank umum konvensional membuka kantor bank syariah. Dengan regulasi tersebut, pertumbuhan bank syariah pada periode tahun 1999 hingga akhir 2004 terus meningkat. Demikian pula pertumbuhan jaringan kantor dan volume usaha
menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat. Berikut partisipasi publik yang mulai melihat perbankan syariah sebagai alternatif perekonomian. Sehingga perbankan syariah bukan dilihat dari perspektif agama, tetapi lebih kepada kepentingan ekonomi nasional. Ke depan, semoga pertumbuhan bank dan kantor bank syariah akan terus meningkat, dengan semakin banyaknya bank syariah baru terutama dalam bentuk dual banking system dan office channelling oleh bankbank pembangunan daerah. Diperkirakan pangsa aset perbankan syariah pada akhir tahun 2011 akan melebihi target blue print (Cetak Biru) BI, sebesar lima persen dari pangsa perbankan nasional. Wallahu A‟lam bi al Showab. 2. Perbandingan Bank Konvensional dengan Bank Syariah Pada wilayah tinjauan hukum materilnya, perbankan konvensional dengan perbankan syariah pasti sangat berbeda. Hukum perbankan konvensional didasari oleh prinsip penetapan bunga yang dibawa oleh sistem ekonomi kapitalis, dengan filosofi “uang memiliki nilai waktu” (time value of money). Sedangkan hukum perbankan syariah mempunyai filosofi berbeda dengan prinsip perbankan konvensional tersebut. Dimana Islam memandang sebaliknya, uang hanyalah alat penukaran yang tidak memiliki “nilai waktu”. Karena itu, berapapun besarnya tingkat suku bunga tetap saja diharamkan. (QS Al-Baqarah : 275). Hal inilah yang menjadi pembeda mendasar antara bank konvensional dengan bank syariah. Hanya pada aspek teknis operasionalnya, bank konvensional dengan bank syariah dapat menemui beberapa persamaan, yaitu: 1. Akad/kontrak; 2. Lembaga penyelesaian sengketa;
SOLUSI No. 17 Tahun VI Mei 2010
766
SOLUSI No. 17 Tahun VI Mei 2010 3. 4. 5. 6. 7.
Struktur organisasi; Bisnis dan usaha yang dibiayai; Lingkungan dan budaya kerja; Paradigma perhimpunan dana; dan Kegiatan operasional dan pengelolaan risiko. Namun mempunyai perbedaan karakteristik didalamnya, sehingga dalam operasionalisasinya harus mengikuti instrumen karakter yang dipakai pada masing-masing bank. Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 8/3/PBI/2006 tentang Office Channeling, maka bank syariah menjadi sederajat kedudukannya dihadapan hukum dalam hal kelembagaan. Office channelling adalah istilah yang digunakan BI untuk menggambarkan penggunaan kantor bank konvensional dalam melayani transaksi-transaksi syariah, dengan syarat bank bersangkutan telah memiliki Unit Usaha Syariah (UUS), seperti Bank BNI Syari’ah, BRI Syariah, Bank Sumut Syariah dan lain-lain. Oleh karena hukum perbankan telah berkembang menjadi hukum sektoral dan fungsional. Dimana meniadakan perbedaan antara hukum publik dan privat, dalam kajiannya. Bentang ruang lingkupnya pun meliputi hukum administrasi, perdata, dagang, pidana dan hukum internasional. Maka dalam permasalahan seperti ini, maka hukum perbankan juga tidak bisa lepas dari perangkat hukum yang mengatur institusi yang berhubungan dengan lembaga perbankan. Misalnya perangkat hukum yang mengatur mengenai, antara lain: 1. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian; 2. Standar akuntansi, audit dan pelaporan; 3. Instrumen yang diperlukan untuk pengelolaan likuiditas; 4. Instrumen moneter yang sesuai dengan prinsip syariah untuk keperluan
pelaksanaan tugas bank sentral, dan lain sebagainya; 5. Memberikan kepercayaan kepada perguruan tinggi yang berkompetensi syariah, Universitas Islam Negeri dan Insititut Agama Islam Negeri misalnya. Dalam pemenuhan penyelenggaraan ekonomi demokrasi, bank syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan bank konvensional dalam hal di atas, tentu mempunyai karakter yang berbeda pula dalam memenuhi dasar hukumnya. Karena perbedaan yang mendasar adalah aspek filosofis, maka seharusnya undang-undang yang mengatur aspek teknis bisa disejajarkan dengan bank konvensional. Dimana pengaturannya dilakukan dengan pembedaan pasal dalam ketetapan hukumnya, namun bukan pada karakternya. Jika lembaganya perbankan syariah, maka landasan hukum yang dipakai dalam operasionalnya adalah landasan hukum perbankan syariah. Akan tetapi hal ini harus tetap diatur dalam satu perundangan saja, sehingga aspek demokrasi ekonomi dalam menjalankan system perbankan syariah dapat terpenuhi. Dengan begitu, jaminan hukum terhadap dua prinsip yang berbeda pun akan tetap terpenuhi, tanpa harus memarjinalkan lembaga yang lain. Dengan demikian persaingan secara dewasa juga akan terjadi. Justru yang menjadi masalah adalah diterapkannya dual banking sistem (yang diamanatkan oleh UU No. 10 Tahun 1998 ) membuat bank syariah menjadi kelas kedua dari bank konvensional. Hal-hal di atas sangat diperlukan agar bank syariah dapat menjadi elemen dari sistem moneter yang dapat menjalankan fungsinya secara baik dan mampu berkembang serta bersaing dengan bank konvensional.
Tinjauan Umum Politik ….. (Asuan, SH, M.Hum)
767
SOLUSI No. 17 Tahun VI Mei 2010 Selain itu, dari sisi kelembagaan dan ketetapan hukum penyelenggaraan perbankan syariah pun perlu mendapatkan penyempurnaan. Hal ini sebagai upaya antisipasi terhadap berbagai permasalahan yang mungkin timbul dalam operasionalisasi bank syariah di lapangan. Misalnya terjadi penyimpanganpenyimpangan antara lain, sengketa, penipuan, pencucian uang dan sebagainya. Walaupun pada hakikatnya bank syariah didirikan atas dasar moralitas dan unsur agama, penyimpangan ini mungkin akan terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum baik dari sisi kelembagaan atau dari sisi undang-undang itu sendiri yang lebih jelas dan tegas dalam mengatur permasalahan ini. Sehingga masyarakat dapat memilih badan penyelesaian sengketa sesuai dengan transaksi yang digunakan. Melengkapi kepentingan tersebut di atas, dari sisi materi undang-undang, maka sangat perlu juga mendorong masuknya kompilasi hukum muamalat kepada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Dalam rangka mempersiapkan undangundang yang memberikan ruang untuk ditetapkannya karakteristik transaksi muamalah dalam KUHD. KUHD dan undang-undang lainnya, harus semata-mata ditunjukkan sebagai hal yang bukan tidak mungkin dan malah harus dilihat sebagai implementasi dari adanya jaminan serta tidak adanya pertentangan dengan hukum positif perdata yang kita anut sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 yang menganut asas kebebasan berkontrak, dan ini berarti bahwa setiap individu dari setiap anggota masyarakat bebas melakukan ikatan dan perjanjian sesuai kehendak, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang lebih banyak. Bahkan pasal tersebut menjamin pula bahwa, “perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang” yang mengikat bagi
mereka yang membuat dan menyepakatinya. (al-„aqd syari‟at almuta‟aqidain). Kebebasan untuk memilih termasuk kebebasan untuk berkontrak bagi setiap individu selain bersifat kudrati dan hak paling asasi serta merupakan bagian dari pengertian yang lebih luas dari definisi ibadah muamalah, maka dalam hubungan dengan negara, juga mendapat jaminan dalam UUD 1945 Pasal 29 yakni, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan demikian jaminan UUD 1945 ini harus dipandang sebagai adanya kebebasan bagi masyarakat Islam untuk melakukan aktivitas keperdataan sesuai dengan konsep hukum Islam sebagai keyakinan yang dianutnya. Pada prinsipnya, praktik sistem perbankan syariah beserta lembaga yang berhubungan dengannya, sudah memenuhi syarat kelengkapan perangkat hukum dan operasionalnya. Akan tetapi hanya orientasi pendekatan penetapan hukumnya yang harus dirubah oleh para pelaku industri perbankan syariah. Dilihat dari sudut pandang hukum formil, rasanya memang perlu membuat undang-undang yang mampu menjamin operasional bank syariah secara khusus. Akan tetapi dalam pencapaiannya perlu adanya pemahaman yang mendalam mengenai aspek materilnya, sehingga apa yang akan dicapai dapat terwujud secara maksimal. Jika yang terjadi adalah pemenuhan jaminan hukum terhadap aspek kesyariahannya maka hal ini mustahil dilakukan tanpa memperhatikan industri perbankan yang lain.
SOLUSI NO. 17 Tahun VI Mei 2010
768
SOLUSI No. 17 Tahun VI Mei 2010 Daftar Pustaka Agus Wahid, Dilema BMI di Tengah Tuntutan Umat, Ulumul Qur‟an No. 4 Vol. VI, Jakarta, 1995. Antonio, Bank Syariah Bagi Bankir & Praktisi Keuangan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999. M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia AlQur‟an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996. Miriam Darus Badrulzaman, Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994. Muhammad Syafi’i Antonio, Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994. Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999.
Tinjauan Umum Politik ….. (Asuan, SH, M.Hum)
769
MAJALAH SOLUSI No. 19 Tahun VII Januari 2011 TANGGUNG JAWAB PT KERETA API INDONESIA (PERSERO) APABILA TERJADI KECELAKAAN TERHADAP KESELAMATAN PENUMPANG Oleh : Asuan, SH, M.Hum A. Pendahuluan Fungsi pengangkutan menurut H.M.N. Purwosutjipto, SH. ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ketempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Di sini jelas, meningkatkan daya guna dan nilai merupakan tujuan dari pengangkutan, yang berarti bila daya guna dan nilai ditempat baru itu tidak naik, maka pengangkutan tidak perlu diadakan, sebab merupakan suatu perbuatan yang merugikan bagi si pedagang. Fungsi pengangkutan yang demikian itu tidak hanya berlaku di dunia perdagangan saja, tetapi juga berlaku dibidang pemerintahan, politik, sosial, pendidikan, hankam dan lain-lain.1 Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Pasal 3 tentang Perkeretaapian menyatakan bahwa Perkeretaapian diselenggarakan dengan tujuan untuk memperlancar perpindahan orang dan / atau barang secara massal dengan selamat, aman, nyaman, cepat, dan lancar, tepat, tertib dan teratur, efisien, serta menunjang pemerataan, pertumbuhan, stabilitas, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional. 1
H.M.N. Purwosutjipto, SH. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3 Hukum Pengangkutan cetakan ke-2, Djambatan, Jakarta, 1984, Hlm. 1.
Berdasarkan ketentuan pasal diatas, maka dapat disebutkan bahwa dengan diselenggarakan perkeretaapian angkutan penumpang ini akan memperlancar mobilitas penduduk antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya guna mendukung terciptanya pemerataan dalam suatu program pembangunan. Di Indonesia sekarang tampak sekali bertambahnya jumlah kendaraan bermotor, kereta api, pesawat terbang dan kapal, yang selanjutnya mengakibatkan juga bertambahnya kecelakaan-kecelakaan penumpang yang makin hari makin meningkat, kecelakaan penumpang ini sebagai gejala sosial perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Dalam hal ini salah satu tindakan yang dapat diambil oleh Pemerintah ialah memperlunak penderitaan orang yang mengalami kecelakaan atau keluarganya, dengan cara memberi bantuan uang kepada si penderita atau keluarganya. Sebagai resiko suatu perjalanan, maka perlu diusahakan untuk menghindari kecelakaan yang terjadi di kereta api, meskipun usaha tersebut sudah dilakukan tetapi masih tetap saja kemungkinan hal itu akan terjadi, bila mana kecelakaan tersebut tidak dapat dihindari maka sudah barang tentu menimbulkan suatu pertanyaan yaitu pihak manakah atau siapakah yang harus bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan itu. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 Pasal 157 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) tentang Perkeretaapian menyatakan bahwa Ayat 1 : Penyelenggara sarana perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna yang mengalami kerugian, luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api, pada Ayat 2 : Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak pengguna jasa diangkut dari stasiun asal
Tanggung Jawab ...... (Asuan, SH, M.Hum)
835
MAJALAH SOLUSI No. 19 Tahun VII Januari 2011 sampai dengan stasiun tujuan yang disepakati, Ayat 3 : Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata dialami, dan Ayat 4 : Penyelenggara sarana perkeretaapian tidak bertanggung jawab atas kerugian, luka-luka, atau meninggalnya penumpang yang tidak disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api. Berdasarkan ketentuan diatas menyatakan bahwa pihak pengangkut akan bertanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi pada alat angkutannya dikarenakan kesalahan dari pihak perusahaan itu sendiri kecuali kesalahan itu bukan diakibatkan oleh kesalahan dari pihak perusahaan. B.
Permasalahan Dari uraian diatas dapat diambil permasalahan yaitu : 1. Bagaimana tanggung jawab PT Kereta Api Indonesia (Persero) apabila terjadi kecelakaan terhadap keselamatan penumpang? 2. Bagaimana prosedur dan tata cara penuntutan ganti rugi bila terjadi suatu kecelakaan terhadap keselamatan penumpang? 3. Apakah hambatan-hambatan dalam tanggung jawab PT. Kereta Api Indonesia (Persero) apabila terjadi kecelakaan terhadap keselamatan penumpang? C. Ruang Lingkup Dalam suatu tulisan Ilmiah perlu adanya ruang lingkup penulisan, hal ini diperlukan untuk membatasi pembahasan sehingga lebih terfokus pada inti permasalahan yang ada, dengan demikian dalam pembahasannya tidak akan keluar jauh dari apa yang hendak dicapai pada permasalahan.
Dalam batasan ruang lingkup, yaitu Pelaksanan tanggung jawab PT Kereta Api Indonesia (Persero) apabila terjadi kecelakaan terhadap keselamatan penumpang, Dalam penulisan ini berdasarkan studi kepustakaan dengan cara mempelajari buku-buku, peraturanperaturan yang ada hubungannya dengan permasalahan. D. Pembahasan 1. Tanggung Jawab PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Apabila Terjadi Kecelakaan Terhadap Keselamatan Penumpang Perusahaan angkutan penumpang PT. Kereta Api Indonesia (Persero) adalah salah satu Perusahaan Persero yang bergerak dibidang angkutan penumpang didalam Wilayah Indonesia . Sejalan dengan perkembangan pembangunan pada atas jasa angkutan penumpang yang meningkat, Perusahaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) yang didirikan dengan Peraturan Perundang-undangan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 Pasal 157 ayat (1) tentang Perkeretaapian, yang menyebutkan bahwa Penyelenggara sarana perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud diberikan dengan ketentuan sumber kerugian berasal dari pelayanan angkutan dan harus dibuktikan adanya kelalaian petugas, atau pihak lain yang dipekerjakan oleh badan penyelenggara. Besarnya ganti rugi di batasi sejumlah
SOLUSI No. 19 Tahun VII Januari 2011
836
MAJALAH SOLUSI No. 19 Tahun VII Januari 2011 maksimum asuransi yang ditutup oleh badan penyelenggara dalam hal menyelenggara kegiatannya. Tanggung jawab dari pihak perusahaan dapat berupa pemberian dana santunan yang banyaknya sesuai dengan kecelakaan yang dialami oleh korban itu sendiri. Dalam hal pemberian ganti rugi tersebut maka pihak PT. Jasa Raharja (Persero) yang menanggung resiko yang sesuai dengan kerugian. Adapun hak setiap penumpang PT. Kereta Api Indonesia (Persero) berhak memperoleh dana santunan bila terjadi kecelakaan dari kendaraan yang ditumpanginya sehingga penumpang tersebut cidera ataupun mengakibatkan kematian. Besarnya dana santunan yang diberikan sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 36/PMK.010/2008 yaitu : a. Santunan kematian sebesar : Rp25.000.000,b. Santunan cacat tetap sebesar : Rp25.000.000,- ( Maksimal). c. Santunan biaya perawatan : Rp10.000.000,- (Maksimal). d. Santunan biaya penguburan : Rp2.000.000,- hanya diberikan kepada pihak yang menyelenggarakan penguburan korban yang tidak memiliki ahli waris. PT. Kereta Api Indonesia (Persero) bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan yang diakibatkan oleh angkutan penumpang, yaitu : a. Pengurus PT. Kereta Api Indonesia (Persero) bersedia untuk sebagai perantara dalam mengajukan permintaan dana santunan kepada pihak PT. Jasa Raharja (Persero). b. Pihak PT. Kereta Api Indonesia (Persero) mengurus, membimbing dan memberikan saran-saran yang diperlukan pihak penumpang yang menderita kecelakaan itu.
Untuk penumpang yang naik dijalan atau dengan kata lain membayar diatas tanpa mendapatkan tiket atau karcis atau tanpa suatu bukti apapun selama dalam perjalanannya terjadi suatu kecelakaan, maka penumpang tersebut tidak berhak mengajukan dana santunan sebagaimana penumpang lainnya, karena penumpang tersebut tidak mempunyai bukti yang sah dari kendaraan yang dimiliki oleh PT. Kereta Api Indonesia (Persero). Untuk pertanggungan jiwa bagi penumpang PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dalam setiap bulannya menyetor iuran wajib kepada pihak PT. Jasa Raharja (Persero) sebagai dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang. Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1964, menyangkut masalah besarnya dana santunan yang diberikan kepada sikorban adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebagaiman uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pertanggung jawaban pihak PT. Kereta Api Indonesia (Persero) bila terjadi kecelakaan yang mengakibatkan cacat tetap ataupun kematian seseorang, selama penumpang berada didalam kekuasaan pihak pengangkut maka tanggung jawab sepenuhnya berada pada pihak pengangkut yaitu pihak PT. Kereta Api Indonesia (Persero) kecuali bila terjadi kecelakaan tersebut diakibatkan oleh penumpang itu sendiri, karena kesalahan atau kelalaiannya sendiri. 2. Prosedur/Tata Cara Penuntutan dan Pemenuhan Ganti Rugi atau Dana Santunan Bila Terjadi Kecelakaan Terhadap Keselamatan Penumpang. Selaku pihak penanggung jawab PT. Jasa Raharja (Persero) terhadap penumpang PT. Kereta Api Indonesia (Persero) telah dilindungi oleh perusahaan jika para penumpang tersebut telah menunaikan
Tanggung Jawab ...... (Asuan, SH, M.Hum)
837
MAJALAH SOLUSI No. 19 Tahun VII Januari 2011 kewajibannya yang berupa membayar sejumlah uang kepada pihak pengangkut atau perusahaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada perusahaan tersebut yang dituangkan didalam tiket atau karcis. Untuk melengkapi jati diri sebagai pembuktian keabsahan suatu tuntutan dana santunan dalam pertanggungan jiwa terhadap penumpang wajib menyerahkan surat-surat jati diri, hal ini terdapat dalam ketentuan pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 17 ayat (1) PP. No. 17 / 1965 Kecuali yang ditetapkan dalam ayat-ayat Peraturan Pemerintah ini, untuk tuntutan dana santunan pertanggungan jiwa terhadap penumpang berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang dan Peraturan Pemerintah dalam hal ini berlaku juga peraturan pembuktian Hukum Acara Perdata. Pasal 17 ayat (2) PP. No. 17 / 1965 Untuk pembuktian keabsahan sesuatu tuntutan dana santunan atas pertanggungan wajib menyerahkn surat-surat sebagai berikut : a. Dalam hal korban meninggal dunia. 1. Proses Verbal Polisi Lalu Lintas pihak yang berwenang tentang kecelakaan yang terjadi dengan alat angkutan umum bersangkutan, yang menyebabkan kematian pewaris sebagai penuntut. 2. Keputusan Hakim atau pihak-pihak yang berwenang lainnya tentang pewarisan yang bersangkutan. 3. Surat-surat keterangan Dokter dan alat bukti lainnya yang dianggap perlu, guna pengesahan fakta kematian yang terjadi pada sikorban. Hubungan sebab musabab kematian tersebut dengan penggunaan alat angkutan umum sebagai demikian dan hal-hal yang
menentukan jumlah pembayaran ganti kerugian pertanggungan yang harus diberikan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. b. Dalam hal cacat tetap atau cidera. 1. Proses Verbal Polisi Lalu Lintas atau pihak yang berwenang tentang kecelakaan yang terjadi dengan alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan, yang cacat atau cidera pada penumpang. 2. Surat keterangan Dokter tentang jenis cacat atau cidera yang terjadi sebagai akibat kecelakaan yang dimaksud pada sub (1) diatas. 3. Surat bukti lainnya yang dianggap perlu guna pengesahan fakta cacat atau cidera yng terjadi. Bila kecelakaan penumpang dari PT. Kereta Api Indonesia (Persero) mengakibatkan kematian, maka yang berhak untuk mendapat dana santunan ditetapkan dalam Pasal 12 PP No. 1965 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang berbunyi: Pasal 12 ayat (1) PP No. 17 / 1965, yang berhak memperoleh dana santunan pertanggungan dalam hal kematian korban adalah jandanya atau dudanya yang sah, dalam hal tidak ada janda atau duda yang sah maka anak-anak yang sah, dalam hal tidak ada jandanya atau dudanya dan anakanaknya yang sah, maka kepada orang tuanya yang sah. Pasal 12 ayat (2) PP No. 17 / 1965, untuk dana santunan dalam hal korban tidak meninggal dunia, maka dana santunan tersebut diberikan kepada pihak korban itu sendiri. Pasal 12 ayat (3) PP No. 17 / 1965, hak untuk mendapatkan pembayaran dana santunan berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Jo Peraturan Pemerintah
SOLUSI No. 19 Tahun VII Januari 2011
838
MAJALAH SOLUSI No. 19 Tahun VII Januari 2011 Nomor 17 Tahun 1965 ini, tidak boleh diserahkan pada orang lain, digadaikan atau dibuat tanggungan pinjaman pun tidak boleh disita untuk menjalankan putusan hakim atau untuk menjalankan palisemen. Selaku pihak PT. Jasa Raharja (Persero) bahwa prosedur atau tata cara penuntutan dan pemenuhan ganti rugi atau dana santunan bila terjadi suatu kecelakaan terhadap keselamatan penumpang yaitu : 1. Pengisian formulir. Adapun tata cara pengisian formulir tersebut adalah : a. Keterangan dan identitas korban atau ahli waris diisi oleh yang mengajukan dana santunan kecelakaan itu sendiri. b. Keterangan kecelakaan disini diisi dan disahkan oleh pihak kepolisian atau pihak yang berwenang kapan, dimana, tanggal berapa, dan waktu terjadinya kecelakaan itu. c. Keterangan kesehatan atau keadaan kesehatan yang diisi dan disahkan oleh Dokter yang merawat korban. d. Jika korban meninggal dunia maka untuk keabsahannya ahli waris diisi dan disahkan oleh Lurah, Camat, atau pihak yang berwenang lainnya. 2. Bukti lain yang diperlukan oleh pihak PT. Jasa Raharja (Persero) adalah : a. Dalam hal korban mengalami lukaluka. 1) Identitas korban atau KTP yang berlaku. 2) Laporan Polisi tentang terjadinya kecelakaan. 3) Tiket atau karcis korban yang terlibat kecelakaan Kereta Api. 4) Keterangan kesehatan korban akibat kecelakaan yang diisi oleh pihak rumah sakit. b. Dalam hal korban mengalami cacat tetap. 1) Keterangan cacat tetap dari pihak Rumah sakit / Dokter. 2) Foto rontghen terakhir.
3) Kwitansi pembayaran santunan pertama. 4) Di ajukan 365 hari setelah tanggal kecelakaan, kecuali korban mengalami amputasi pada saat kecelakan. c. Dalam hal korban meninggal dunia. 1) Identitas korban atau KTP yang berlaku. 2) Laporan Polisi tentang terjadinya kecelakaan. 3) Tiket atau karcis korban yang terlibat kecelakaan Kereta Api. 4) Fhoto Copy Kartu Keluarga. 5) Buku nikah jika sudah berkeluarga atau Akte lahir atau Ijazah terakhir. 6) Keterangan kematian dari Rumah Sakit / Lurah / Kades. 7) Keterangan ahli waris dari Lurah / Kades, ahli waris tersebut adalah anak, orang tua, dan suami / istri dari korban. Adapun dana santunan tersebut diperoleh setelah adanya permintaan dari sikorban kepada pihak PT. Jasa Raharja (Persero) Kota Lubuk Linggau dan permintaan disetujui oleh pihak PT. Jasa Raharja (Persero) adalah sebagai berikut : a. Santunan yang berupa penggantian biaya perawatan dan pengobatan yang telah dikeluarkan oleh sikorban yang dibuktikan melalui kwitansi-kwitansi Dokter yang merawatnya. b. Santunan kematian, santunan ini diberikan kepada pihak ahli warisnya yang sah yang dibuktikan oleh pihak yang berwenang. c. Santunan cacat tetap, santunan ini diberikan kepada sikorban sesuai dengan cacat yang dideritanya yang diakibatkan dari kecelakaan yang terjadi pada PT. Kereta Api Indonesia (Persero).
Tanggung Jawab ....... (Asuan, SH, M.Hum)
839
MAJALAH SOLUSI No. 19 Tahun VII Januari 2011
Menyangkut masalah besarnya dana santunan diberikan kepada sikorban atau pihak penumpang yang mengalami kecelakaan pada dirinya sehingga mengakibatkan cacat ataupun kematian terhadap penumpang itu sendiri. Besarnya dana santunan yang diberikan tergantung dari keadaan atau tergantung perawatan sikorban seperti yang tersebut dibawah ini : a. Bagi korban kecelakaan yang meninggal dunia yang diakibatkan dari kecelakaan yang terjadi pada kendaraan yang ditumpanginya maka dana santunan yang diberikan oleh pihak PT. Jasa Raharja (Persero) sebesar Rp. 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah). b. Bagi korban yang mengalami cacat tetap dari akibat kecelakaan yang terjadi dari kendaraan yang ditumpangi akan diberikan dana santunan sesuai dengan tingkatan cacat yang dideritanya, adapun dana yang diberikan sebesar Rp. 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah) maksimal. c. Dana santunan yang diberikan untuk biaya perawatan sikorban sebesar Rp.10.000.000,00 (Sepuluh juta rupiah) Maksimal, atau diberikan dana sesuai dengan biaya yang telah dikeluarkan melalui kwitansi Dokter yang merawatnya Hak-hak dana santunan tersebut diatas menjadi gugur bila pihak korban tidak mengajukan permintaan dana santunan kepada pihak PT. Jasa Raharja (Persero) dalam jangka waktu lebih dari 6 (enam) bulan setelah hari terjadinya kecelakan dari penumpang yang bersangkutan dan tidak melakukan penagihan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah hak dana santunan tersebut disetujui oleh pihak PT. Jasa Raharja (Persero)
3. Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Tanggung Jawab PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Apabila Terjadi Kecelakaan Terhadap Keselamatan Penumpang Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan tanggung jawab PT. Kereta Api Indonesia (Persero) apabila terjadi kecelakaan terhadap keselamatan penumpang ialah banyaknya penumpang yang tidak membeli tiket dengan kata lain penumpang tersebut membayar diatas melalui petugas angkutan tanpa tiket, hal ini menjadi kendala bagi pihak pengangkut seandainya terjadi peristiwa yang tidak diinginkan atau terjadinya kecelakaan, tentu para pihak PT. Kereta Api Indonesia (Persero) kesulitan dalam hal menjadi perantara penuntutan ganti rugi kepada pihak PT. Jasa Raharja (Persero), karena tidak adanya bukti yang sah berupa tiket, sedangkan salah satu syarat dalam hal penuntutan ganti rugi adanya bukti tiket penumpang yang sah Selain itu adanya penumpang yang tidak membawa identitas diri atau KTP pada saat bepergian menggunakan alat angkutan PT. Kereta Api Indonesia (Persero), hal ini tanpa mereka sadari apabila dalam suatu perjalanan terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan seperti kecelakaan, tentu para pihak PT. Kereta Api kesulitan dalam mengindentifikasi atau mendata para korban yang mengalami kecelakaan tersebut. Dengan semakin meningkatnya para penumpang yang menggunakan alat angkutan PT. Kereta Api Indonesia (Peresero) pada saat bepergian, semakin banyak pula penumpang yang tidak memikirkan keselamatannya sendiri dengan tidak mentaati peraturan, seperti masih banyaknya penumpang yang naik diatas gerbong kereta atau penumpang yang berdiri didepan pintu keluar kereta
SOLUSI No. 19 Tahun VII Januari 2011
840
MAJALAH SOLUSI No. 19 Tahun VII Januari 2011 padahal ini sudah dilarang dengan tegas oleh para petugas, dan hal semacam ini diluar tanggung jawab pihak pengangkut seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, karena pihak pengangkut juga mempunyai batasan-batasan tanggung jawab. Selanjutnya dalam hal penggantian kerugian bagi pihak korban yang meninggal dunia yang tidak mempunyai ahli waris yang sah seperti orang tua yang sah, suami atau istri yang sah, janda atau duda yang sah, atau anak kandung yang sah, selain dari pada ahli waris tersebut ahli waris yang lain tidak berhak mendapatkan dana santunan, hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.010/2008, dana santunan hanya diberikan kepada pihak yang menyelenggarakan penguburan korban yang tidak mempunyai ahli waris D. Kesimpulan 1. Pihak PT. Kereta Api Indonesia (Persero) bertanggung jawab apabila terjadi kecelakan pada penumpang, dan pihak PT. Kereta Api Indonesia (Persero) bersedia untuk menjadi perantara dari pihak penumpang dalam mengajukan penuntutan dana santunan kepada pihak PT. Jasa Raharja (Persero) 2. Prosedur / tata cara penuntutan dana santunan bila terjadi kecelakaan terhadap keselamatan penumpang, dari alat angkutan pihak PT. Kereta Api Indonesia (Persero), apabila korban meninggal dunia, adanya bukti Verbal Polisi tentang kecelakaan, identitas korban lengkap,dan keterangan ahli waris. Apabila korban mengalami cacat tetap, adanya keterangan dari pihak Rumah Sakit tentang cacat yang diderita. Dan apabila korban mengalami luka-luka, adanya
keterangan kesehatan dari pihak Rumah Sakit akibat dari kecelakaan, dan besarnya dana santunan sesuai dengan ketentuan yang ada didalam Undangundang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan wajib Kecelakaan Penumpang, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian. 3. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan tanggung jawab PT. Kereta Api Indonesia (Persero) apabila terjadi kecelakaan terhadap keselamatan penumpang, adanya penumpang yang tidak membeli tiket atau membayar diatas, penumpang yang tidak membawa identitas diri, dan penumpang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai ahli waris yang sah, dan masih adanya penumpang yang tidak mentaati peraturan dari pihak angkutan.
Tanggung Jawab ...... (Asuan, SH, M.Hum)
841
MAJALAH SOLUSI No. 19 Tahun VII Januari 2011 DAFTAR PUSTAKA Emmy Pangaribuan Simanjutak, Hukum Pertanggungan (Pokok-pokok Pertanggungan Kerugian, Kebakaran, dan Jiwa), Seri Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1980. ,Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya, Seksi Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1980. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Dagang Indonesia 3 Pengangkutan, Djambatan, 1984. ,Pengertian Pokok Dagang Indonesia 6 Pertanggungan, Djambatan, 1996.
Hukum Hukum Jakarta,
R. Subekti, R Tjitrosudibio, Kitab Undangundang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarata, 1985. Nanik
Suparmi, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Kepailitan, PT. Rineka Cipta, Jakarata, 1990.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian. Undang-undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan Undangundang Nomor 33 Tahun 1964
Hukum Hukum Jakarta,
Abdulkadir Muhammad, Pokok-pokok Hukum Pertanggungan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1983. , Pengantar Hukum Pertanggungan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994. Roni Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimatri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000. R. Ali Ridho, Hukum Dagang, Tentang Prinsip dan Fungsi Asuransi Dalam Lembaga Keuangan, Pasar Modal, Lembaga Pembiayaan Modal Ventura, dan Asuransi Haji, Alumni, Bandung, 1998.
SOLUSI No. 19 Tahun VII Januari 2011
842