VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN DI LOKASI REHABILITASI DAN WISATA BAHARI
Tim Penyusun : Dr. Achmad Zamroni Dr. Irwan Muliawan Dr. Siti Hajar Suryawati Andrian Ramadhan, MT Permana Ari Soejarwo, S.Kel Maulana Firdaus, S.Pi Cornelia Mirwantini Witomo, S.St.Pi Riesti Triyanti, S.Si Lindawati, S.Pi Arfah Elly, A,Md
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2016
LEMBAR PENGESAHAN Satuan Kerja (Satker)
:
Pusat Penelitian Sosial Perikanan
Ekonomi Kelautan dan
Judul Kegiatan
:
Status Pagu Anggaran Tahun Anggaran Sumber Anggaran
: : : :
Valuasi Ekonomi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Baru/ Lanjutan Rp. 900.000.000,2016 APBN/APBNP DIPA Satker Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2016
Pejabat Penanggungjawab Output : (PPO)
Achmad Zamroni, S,Pi, M.Sc, Ph.D
Penanggung Jawab Output (PJPO)
Dr. Irwan Muliawan, S.T, M.Si
Pelaksana :
Jakarta,
Desember 2016
Pejabat Penanggung Jawab Output
Penanggung Jawab Pelaksana Output
(Achmad Zamroni, S,Pi, M.Sc, Ph.D) NIP. 19780821 200312 1 002
(Dr. Irwan Muliawan, S.T, M.Si) NIP. 19731119 200502 1 001
Mengetahui/Menyetujui: Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Ir. Tukul Rameo Adi, MT NIP. 19610210 1990 03 1 001
ii
COPY RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN TAHUN 2016
VALUASI EKONOMI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN DI LOKASI REHABILITASI DAN WISATA BAHARI
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2016
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Satuan Kerja (Satker)
:
Pusat Penelitian Sosial Perikanan
Ekonomi Kelautan dan
Judul Kegiatan
:
Status Pagu Anggaran Tahun Anggaran Sumber Anggaran
: : : :
Valuasi Ekonomi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Baru/ Lanjutan Rp. 900.000.000,2016 APBN/APBNP DIPA Satker Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2016
Pejabat Penanggungjawab Output : (PPO)
Achmad Zamroni, S,Pi, M.Sc, Ph.D
Penanggung Jawab Output (PJPO)
Dr. Irwan Muliawan, S.T, M.Si
Pelaksana :
Jakarta,
Januari 2016
Pejabat Penanggung Jawab Output
Penanggung Jawab Pelaksana Output
(Achmad Zamroni, S,Pi, M.Sc, Ph.D) NIP. 19780821 200312 1 002
(Dr. Irwan Muliawan, S.T, M.Si) NIP. 19731119 200502 1 001
Mengetahui/Menyetujui: Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Ir. Tukul Rameo Adi, MT NIP. 19610210 1990 03 1 001
iv
RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PUSATPENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN 1.
JUDUL KEGIATAN
:
2. 3.
SUMBER DAN TAHUN ANGGARAN STATUS PENELITIAN
: :
Valuasi Ekonomi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan di Lokasi Rehabilitasi dan Wisata Bahari APBN/ APBNP 2016 Baru Lanjutan
hasil penelitian sebelumnya : Hasil yang telah dicapai pada pelaksanaan sebelumnya adalah teridentifkasinya pemanfaatan sumberdaya, karakteristik pemanfaatan dan terpetakannya nilai ekonomi sumberdaya pada WPP 712, WPP 714 dan WPP 716. 4.
PROGRAM
:
a. Komoditas
:
Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Perikanan
b. Bidang/Masalah : Dimensi pembangunan sektor unggulan Kedaulatan Pangan Kedaulatan Energi dan Kelistrikan Kemaritiman Pariwisata, Industri, IPTEK c. Penelitian Pengembangan : Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Jenis Penelitian: Penelitian Dasar Penelitian Terapan Pengembangan Eksperimental d. Manajemen Penelitian
:
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
e. Isu Strategis Pembangunan KP 2015-2019 : Pemberantasan IUU Fishing Penciptaan Iklim Usaha PerikananTangkap yang Berkelanjutan Penciptaan Iklim Usaha Perikanan Budidaya yang Berkelanjutan Penguatan Pasca Panen dan Jaringan Pemasaran Hasil Kelautan dan Perikanan yang Bernilai Tambah Penguatan Pulau-Pulau Kecil Terluar, Rehabilitasi dan Konservasi Swasembada Garam Industri Penguatan Kapasitas SDM dan Inovasi IPTEK KP f. DukunganTerhadap Agenda Pembangunan Nasional (NawaCita) Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara
v
Menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi system dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional Wujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik
g. Dukungan terhadap Indikator Kinerja BSC Jumlah WPP yang Terpetakan Potensi di bidang sumberdaya sosial ekonomi KP untuk Pengembangan Ekonomi Kelautan yang Berkelanjutan Jumlah Rekomendasi penelitian sosial ekonomi KP yang diusulkan untuk dijadikan bahan kebijakan Jumlah Rekomendasi dan Masukan Kebijakan Sosial Ekonomi KP Jumlah Data dan/atau Informasi Ilmiah KP Jumlah Karya Tulis Ilmiah yang diterbitkan Model Sosial Ekonomi Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan Proporsi fungsional PPSEKP dibandingkan total pegawai PPSEKP Jumlah sarana dan prasarana, serta kelembagaan litbang sosial eknomi KP yang ditingkatkan kapasitasnya Jumlah jejaring dan/ atau kerjasama litbang sosial eknomi KP yang terbentuk Proporsi kegiatan penelitian terapan dan pengembangan eksperimental dibandingkan total kegiatan penelitian sosial eknomi KP Indeks kompetensi dan integritas PPSEKP Persentase unit kerja PPSEKP yang menerapkan sistem manajemen pengetahuan yang terstandar Nilai Kinerja Reformasi Birokrasi PPSEKP Nilai kinerja anggaran PPSEKP Persentase Kepatuhan terhadap SAP lingkup PPSEKP
5.
LOKASI KEGIATAN
:
TWP Kapoposang, Sulawesi Selatan KKLD Natuna, Kepulauan Riau TWP Gili Matra, Nusa Tenggara Barat
6.
SASARAN PENGGUNA/ USER
7. PENELITI YANG TERLIBAT No. Nama 1
Achmad Zamroni, PhD.
2
Dr. Irwan Muliawan
:
Dirjen Penataan Ruang Pesisir dan Laut
: Pendidikan/ Jabatan Fungsional S3 / Peneliti Madya
S3/ Calon Peneliti
vi
Disiplin Ilmu Sosial Ekonomi
Tugas (Institusi)
Pejabat Penanggung Jawab Output/ PPSEKP Pengelolaan Penanggung Pesisir Jawab Pelaksana
Alokasi Waktu (OB) 3
5
3
Dr. Siti Hajar S
4
Adrian Ramadhan, ST, MT
5
Riesty Triyanti, S.Si
6
Maulana Firdaus, S.Pi
7
Lindawati S.Pi
8
Cornelia MW, S.STPi
9
Arfah Elly, A.Md
8 LATAR BELAKANG
S3/ Peneliti Madya S2 / Peneliti muda S1 / Peneliti Muda S1 / Peneliti Muda S1 / Peneliti Madya S1/ Peneliti Muda S1 / fungsional pustakawan
Pengelolaan Pesisir Ekonomi wilayah Kimia Sosial Ekonomi Perikanan Sosial Ekonomi Sosial Ekonomi Perikanan pustakawan
Output/ PPSEKP Anggota/ PPSEKP Anggota/ PPSEKP Anggota/ PPSEKP Anggota/ PPSEKP
5 5 5 5
Anggota/ PPSEKP Anggota/ PPSEKP
5
PUMK
5
5
:
Panjang wilayah pesisir Indonesia mencapai 95.181 km yang didalamnya terkandung keragaman potensi sumberdaya kelautan dan perikanan. Sumberdaya tersebut memiliki arti penting bagi pengembangan sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan sehingga penting untuk dilakukan pemetaan agar dapat secara optimal dimanfaatkan. Meski dinilai penting, pemetaan tersebut belum banyak dilakukan dan masih secara parsial dan tersebar diberbagai tempat. Hal ini menyebabkan Indonesia belum memiliki peta sosial ekonomi pada wilayah pesisir sehingga perumusan kebijakan terkait seringkali tidak disertai oleh kondisi eksisting sumberdaya. Dampaknya perencanaan tidak dilakukan secara seimbang dan berkelanjutan. Adrianto (2006), menyebutkan bahwa paradigma pengelolaan sumberdaya selama ini lebih banyak hanya memperhitungkan faktor keuntungan ekonomi dibanding dengan biaya lingkungan terkait dengan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Wilayah pesisir dan laut adalah salah satu ekosistem yang sangat produktif dan dinamis. Aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam ini seringkali tanpa memperhatikan prinsip kelestarian pengelolaan dan tumpang tindih. Disisi lain data maupun informasi biofisik lingkungan maupun sumber daya alam di wilayah tersebut masih sangat terbatas terutama yang bersifat keruangan (Spasial). Survei dan pemetaan sosial ekonomi sumberdaya pesisir merupakan salah satu upaya untuk mempercepat pengadaan data mengenai wilayah pesisir dan laut. Alat bantu yang dapat digunakan untuk menunjang hal ini biasanya berupa pemanfaatan data citra yang dipadukan dengan hasil lapangan sehingga hasilnya dapat divisualisikan secara baik.
vii
Permasalahan Nilai ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan nilai pentinga dalam pemanfaatan sumberdaya. Struktur nilai dan pemanfaatan nilai sebagai indicator pemanfaatan diperlukan agar menunjang langkah dalam pemanfaatan berkelanjutan dan kemandirian / kedaulatan. Beberapa permasalahan dalam upaya rehabilitasi dan wisata bahari. Permasalahan dalam upaya rehabilitasi dan wisata bahari, antara lain: Berapa nilai ekologi/ekosistem pada kawasan rehabilitasi dan wisata bahari Berapa nilai pemanfaatan/ekonomi dari kawasan rehabilitasi dan wisata bahari. Berapa nilai kerelaan dari masyarakat dalam upaya rehabilitasi dan konservasi yang dilakukan. Bagaimana strategi menuju berhasilnya kawasan rehabilitasi dan wisata bahari
Kerangka teoritis
PETA Sumber : Modifikasi de Groot, et,al (2002)
Gambar 1.
Kerangka pemikiran penelitian
Secara umum, kerangka teoritis penelitian ini, menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh de Groot, et al (2002). Kerangka mengambarkan bahwa untuk menuju kebijakan seperti opsi dan pengelolaan yang terukur minimal dibutuhkan tinjuan nilai ekonomi total. Nilai ekonomi total ini didukung oleh tinjauan nilai ekologi, nilai ekonomi dan nilai social budaya. Penilaian ini didasarkan pada potensi barang dan jasa dari masing-masing ekosistem yang tersedia pada lokasi tersebut, dan berdasarkan stuktur dan proses dari ekosistem didalamnya. Dalam penelitian ini diupayakan dihasilkan pula tampilan visualisasi spasial untuk menunjang langkah menuju kawasan rehabilitasi dan wisata bahari yang diharapkan. Aspek strategis penelitian ini terletak pada penilaian terhadap sumberdaya. Dengan nilai yang ada ini menjadi bahan pertimbangan terhadap rangkaian langkah strategis nilai investasi, sasaran kelompak barang dan jasa dari ekosistem yang akan dikelola. Seiring dengan isu strategis pembangunan Kelautan dan Perikanan pada butir Penguatan Pulau-Pulau Kecil Terluar, Rehabilitasi dan Konservasi, penelitian ini dilakukan pada kawasan rehabilitasi dan konservasi dengan alternatif pemanfaatan dan pembangunan wisata bahari. Kebutuhan eselon I lingkup KKP yang menjadi stakeholder penelitian ini adalah Direktorat jenderal Penataan Ruang Laut.
viii
Hipotesis penelitian ini menganut paradigma konservatif, sehingga nilai ekosistem/ekologi akan memberi nilai manfaat lebih besar dibanding pemanfaatan lainnya. Hipotesa ini sangat besar peluangnya terjadi , karena kawasan tersebut adalah kawasan dengan pemanfaatan yang masih rendah, sehingga kondisi ekosistem dapat memenuhi kebutuhan masyarakat setempat.
9. TUJUAN
:
1. Mengkaji karakteristik dan fungsi tipologi sumberdaya pada kawasan terpilih 2. Melakukan penilaian ekonomi terhadap sumberdaya pada kawasan terpilih 3. Merumuskan pilihan-pilihan kebijakan pengelolaan sumberdaya pada kawasan terpilih
10. PERKIRAAN KELUARAN : 1. Diketahuinya karakteristik sumberdaya pesisir pada kawasan terpilih 2. Teridentifikasinya pemanfaatan barang dan jasa dari sumberdaya pesisir 3. Mengetahui nilai ekonomi terhadap sumberdaya pesisir 11. METODOLOGI PENELITIAN
:
Lokasi Penelitian dan Justifikasi Pemilihan Lokasi 1. TWP Kapoposang, Sulawesi Selatan 2. KKLD Natuna, Kepulauan Riau 3. TWP Gili Matra, Nusa Tenggara Barat Penentuan lokasi tersebut merupakan lokasi kawasan rehabilitasi dan wisata bahari yang menjadi kawasan yang dikelola oleh Dirjen Penataan Ruang Laut. Waktu Pelaksanaan Kegiatan Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari s/d Desember 2016. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada JADWAL RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN dibawah (point 14). Metode Penelitian : Kerangka Pemikiran Pemetaan sosial ekonomi sumberdaya pesisir diperlukan dalam rangka menyusun kebijakan yang terkait pemanfaatan ruang pesisir sehingga memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat. Langkah yang diperlukan untuk melakukan pemetaan diawali melalui proses identifikasi ekosistem yang terdapat pada suatu wilayah. Hal ini dilakukan karena barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu ekosistem memiliki karakteristik tersediri. Manfaat yang diperoleh kemudian juga ditentukan oleh karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang melakukan
ix
pemanfaatan pada wilayah tersebut. Sehingga pada satu jenis ekosistem yang sama bisa memberikan nilai manfaat yang beragam pula. Dengan demikian, pada suatu lokasi tertentu akan terlihat peta karakteristis sosial ekonomi dan nilai yang khas. Menurut cara padangan ilmu ekonomi ekologi, tujuan penilaian ekonomi sumberdaya alam bertujuan untuk menciptakan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi manfaat (Constanza and Folke (1997) dalam Adrianto (2006)). Aspek spasial atau keruangan akan memotret kondisi ini sehingga dapat diketahui dengan cepat oleh para pemangku kepentingan . Peta nilai ekonomi sumberdaya Identifikasi dan jasa ekosistem Spasial sumberdaya pesisir
Valuasi ekonomi Fungsi dan dinamika ekosistem
Gambar 2.
Konsep Algoritma Pemetaan Sosial Ekonomi Berbasis Kawasan
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan adalah dengan menggunaan teknik survei. Teknik survei ini dilakukan dengan cara melakukan sampling dan wawancara secara langsung dengan responden untuk mengidentifikasi potensi dan kondisi sosial ekonomi terkait pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan. Survei juga digunakan untuk mengetahui nilai total yang terkandung didalam suatu kawasan. Data–data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan primer. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi statistik dan data-data yang terkait dengan potensi sosial ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan. Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik sumberdaya berdasarkan tipe ekosistem tertentu yang terkait dengan aspek sosial maupun ekonomi.
Metode Analisis Data Valuasi Sosial Ekonomi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Analisis data yang digunakan menggunakan teknik valuasi ekonomi untuk menghitung nilai total ekonomi (Total Economic Value/TEV) dari sumberdaya perikanan perairan pedalaman. Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan x
pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat di tentukan secara benar dan mengenai sasaran (Nilwan et al, 2003). Secara matematis, nilai total ekonomi dapat ditulis sebagai berikut:
Dimana : TEV
= Total Economic Value
IUV
= Indirect Use Value
UV
= Use Values
OV
= Option Value
NUV = Non Use Values
EV
= Existence Value
DUV = Direct Use Value
BV
= Bequest Value
Pada masing – masing nilai, teknik valuasi akan dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan diantaranya yaitu Contingen Valuation Method (CVM), Effect on Production (EoP), Residual Rent (RR), Replacement Cost Method (RCM) dan Travel Cost Method (TCM). Uraian masing-masing teknik valuasi berikut tahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut : Contingent Valuation Method Data yang telah dikumpulkan kemudian dipilah dan ditabulasi agar memenuhi keperluan analisis. Analisis data pada Teknik CVM menggunakan perhitungan Total Benefit sebagai analisis dasar untuk menghitung WTP. untuk mendapatkan dugaan hubungan antara WTP (nilai keberadaan sumber daya) dengan karakteristik responden. maka didekati dengan menggunakan formula sebagai berikut:
Dimana ; WTPi = Kemampuan membayar pengguna terhadap suatu sumber daya Xi = Parameter penjelas ke – i (seperti Usia, pendidikan, pengalaman, pendapatan), (Grigalunas and Congar, 1995). Persamaan di atas, dinormalisasikan agar menyesuaikan bentuk data yang telah dikumpulkan. Bentuk data ordinal seperti pengalaman kerja, usia dan tingkat pendidikan kemudian ditransformasi, sehingga mengharuskan digunakan regresi logaritma ganda. Hasil persamaan berdasarkan regresi logaritma berganda dilakukan dengan tingkat kepercayaan 95% (Yaping, 1999). Adapun bentuk persamaannya ditayangkan sebagai berikut:
Dimana: WTP = Willingness To Pay (Nilai Kesediaan Membayar) α = Konstanta A = Usia Responden E = Tingkat Pendidikan XP = Pengalaman Usaha
xi
I
= Pendapatan per tahun
Penggunaan metoda yang digunakan Grigalunas and Congar, (1995) umumnya digunakan untuk data yang memiliki nilai sebaran yang relatif seragam, dengan interval tidak terlalu besar. Sedangkan untuk memudahkan analisis data untuk data yang memiliki seperti digambarkan tersebut dapat digunakan metoda yang digunakan oleh Yaping, (1999). Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap tiga. Proses ini melibatkan konversi dari data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah dengan mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga di dalam populasi (N). Effect on Production (EoP) Pendekatan EoP memerlukan sebuah pendekatan yang integratif antara flow ekologi dan flow ekonomi karena lebih menfokuskan pada perubahan aliran fungsi ekologis yang memberikan dampak pada nilai ekonomi sumber daya alam yang dinilai. Hufschmidt, et al. (1983) dalam adrianto (2006), memberikan beberapa langkah analisis integrasi ekologi-ekonomi dalam konteks metode EoP sebagai berikut: pertama, Mengidentifikasi input seumberdaya, output (produksi sumber daya) dan residual sumber daya dari sebuah kebijakan/kegiatan, kedua, Melakukan kuantifikasi aliran fisik dari sumber daya, ketiga, Melakukan kuantifikasi keterkaitan antar sumber daya alam, keempat, Melakukan kuantifikasi aliran dan perubahan fisik ke dalam terminologi kerugian dan manfaat ekonomi.Salah satu teknik yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan residual rent. Residual Rent didefinisikan sebagai perbedaan antar biaya faktor produksi dan nilai panen dari sumber daya alam. Residual rent dapat dilihat sebagai kontribusi sistem alam atau faktor pendapatan (Factor Income) terhadap nilai ekonomi total:
Dimana; PV = Present Value Bt = Manfaat bersih dari sumber daya kawasan Ct = Biaya produksi T = Jumlah tahun regresi nilai R = Tingkat diskon riil L = Luasan kawasan sumber daya
xii
Travel Cost Method (TCM) Tujuan TCM adalah untuk menghitung nilai ekonomi suatu kawasan wisata melalui estimasi rata-rata permintaan terhadap kunjungan wisata di lokasi tersebut. Pendekatan biaya perjalanan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan biaya transportasi atau biaya perjalanan terutama untuk menilai lingkungan pada objek-objek wisata. Pendekatan ini menganggap bahwa biaya perjalanan serta waktu yang dikorbankan para wisatawan untuk menuju objek wisata tertentu dianggap sebagai nilai lingkungan yang wisatawan bersedia untuk membayar. Fungsi permintaan atas kunjungan wisatawan individual menurut Grigalunas et.al (1998) adalah :
Keterangan : Vi= trip kunjungan individu ke-i TCi= biaya perjalanan individu ke-i Yi = pendapatan individu ke-i Si= biaya perjalanan ke lokasi wisata subtitusi yang dikeluarkan olehindividu ke-i Dengan teknis regresi sederhana (ordinary least square), maka parameter β0, β1, β2, dapat diestimasi. (catatan paramater TC diharapkan negatif, dan INC diharapkan positif). Kemudian surplus konsumen rata-rata individu kemudian dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan:
Dimana: Vi = tingkat kunjungan individu β1 = nilai parameter regresi untuk biaya perjalanan Nilai ekonomi lokasi rekreasi (total consumers surplus) kemudian dapat diestimasi dengan mengadakan nilai surplus konsumen rata-rata individu.
Dimana: TCS = Total Consumers Surplus CS = Consumers Surplus Vt = total kunjungan pada tahun analisis (tahun ke–t)
xiii
Replacement Cost Method (RCM) Nilai ini dapat diestimasi dengan menggunakan pendekatan Replacement Cost yang diaplikasikan untuk fungsi ekosistem mangrove sebagai penahan gelombang (buffer zone). Biaya rehabilitasi per hektar mangrove dapat digunakan sebagai proksi bagi replacement cost:
Dimana: IUV = Inderect Use Values; buffer zone Cr = Biaya rehabilitasi mangrove per hektar atau m2 M = luas hutan mangrove ( ha atau m2) Secara ringkas, hubungan nilai suatu sumberdaya dengan teknik valuasi/cara melakukan penilaiannya dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 1. Hubungan Nilai Dengan Teknik Valuasi Yang Digunakan Nilai (Value)
Teknik Valuasi
A. Use Value Direct Use Value
Effect on production (EoP), Residual Rent (RR), Replacement Cost Methods (RCM), Travel Cost Method (TCM)
Indirect Use Value
Replacement Cost Methods (RCM), Benefit Transfer Method (BTM)
B. Option Value
Contingent Valuation Method (CVM)
C. Non Use Value Existence Value
Contingent Valuation Method (CVM)
Bequest Value
Contingent Valuation Method (CVM)
Metode Pemetaan Sosial Ekonomi Sumberdaya Pesisir Langkah pemetaan sosial ekonomi sumberdaya pesisir secara umum mengacu pada kerangka sebagai berikut
xiv
Ecosystem Feature Pelagic System
Citra Satelit (Raster)
Mangrove Pengkelasan
Lamun
Terbimbing / tidak terbimbing
Terumbu Karang Cek Lapangan
Ecosistem Services Valuation
Pengkelasan kembali Transformasi data raster bentuk vector (digitasi)
ke
Provisioning Regulating Cultural Supporting
Editing, Annotation, Overlay, Query.
GIS Database Building
Tematik Map Output: (tiap WPP, Site atau area of interest) Nilai ekonomi sumberdaya Lamun, Karang, Mangrove Provisioning Ecosystem Value Regulating Ecosystem Value Cultural Ecosystem Value Supporting Ecosystem Value etc
Gambar 3.
Tahapan Teknik Pemetaan
xv
Area / Luas Perimeter / Keliling Tematik featured: Direct use Indirect use Option value Existence value Bequest value Total Economic Value dll
Citra Satelit Format Raster Data citra satelit dikirim ke stasiun penerima dalam bentuk format digital mentah merupakan sekumpulan data numerik. Unit terkecil dari data digital adalah bit, yaitu angka biner, 0 atau 1. Kumpulan dari data sejumlah 8 bit data adalah sebuah unit data yang disebut byte, dengan nilai dari 0 – 255. Dalam hal citra digital nilai level energy dituliskan dalam satuan byte. Kumpulan byte ini dengan struktur tertentu bisa dibaca oleh software dan disebut citra digital 8bit. Karakteristik citra Pixel Pixel (picture element) adalah sebuah titik yang merupakan elemen paling kecil pada citra satelit. Angka numerik (1 byte) dari pixel disebut digital number (DN). DN bisa ditampilkan dalam warna kelabu, berkisar antara putih dan hitam (gray scale), tergantung level energi yang terdeteksi. Pixel yang disusun dalam order yang benar akan membentuk sebuah citra. Kebanyakan citra satelit yang belum diproses disimpan dalam bentuk gray scale, yang merupakan skala warna dari hitam ke putih dengan derajat keabuan yang bervariasi. Untuk PJ, skala yang dipakai adalah 256 shade gray scale, dimana nilai 0 menggambarkan hitam, nilai 255 putih. Dua gambar di bawah ini menunjukkan derajat keabuan dan hubungan antara DN dan derajat keabuan yang menyusun sebuah citra.
Gambar 4.
Derajat Keabuan dan Hubungannya dengan Digital Number (DN)
xvi
Untuk citra multispectral, masing masing pixel mempunyai beberapa DN, sesuai dengan jumlah band yang dimiliki. Sebagai contoh, untuk Landsat 7, masing-masing pixel mempunyai 7 DN dari 7 band yang dimiliki. Citra bisa ditampilkan untuk masing-masing band dalam bentuk hitam dan putih maupun kombinasi 3 band sekaligus, yang disebut color composites. Gambar di bawah ini menunjukkan composite dari beberapa band dari potongan Landat 7 dan pixel yang menyusunnya.
Gambar 5.
Composite dari Beberapa Band Potongan Landat 7
Pengkelasan (terbimbing dan tidak terbimbing) Klasifikasi multispectral adalah algoritma yang dirancang untuk menurunkan informasi tematik dengan cara mengelompokkan fenomena berdasarkan kriteria tertentu. Pengelompokan kriteria hanya didasarkan pada pantulan spectral dari obyek. (Jensen, 1996) Secara garis besar klasifikasi citra dibagi atas dua yaitu : 1). Klasifikasi supervised dan 2). Klasifiksi unsupervised. Biasanya kedua jenis ini digunakan untuk mengklasifikasi keseluruhan suatu dataset menjadi kelas-kelas. Adapun kelas-kelas secara umum akan dibagi menjadi:
Kelas Lamun
Kelas Mangrove
Kelas Karang dan
Kelas Perairan, ditambah dengan,
Kelas daratan (vegetasi lain, pemukiman dll)
Cek lapangan Untuk kegiatan ini akan digunakan sampling berdasarkan klasifikasi unsupervised, maka sampling obyek dilakukan dengan mengambil data tentatif dari obyek hasil klasifikasi. Dengan prosedur sebagai berikut : -
hasil klasifikasi unsupervised di print out
-
cek obyek yang mempunyai kesamaan,
xvii
-
pilih obyek berdasarkan homogenitas, satu tampilan cukup diwakili oleh sebuah sampling.
-
Catat posisi sampling berdasarkan koordinat pada citra satelit.
-
Selanjutnya siap untuk ground truth
Pengkelasan kembali Reklasifikasi adalah kegiatan mengklasifikasi ulang citra satelit (peta tentative) setelah dilaksanakan pengamatan/cek lapangan, tetapi tidak semua kegiatan pengolahan citra digital yangnmemerlukan reklasifikasi. Pengolahan citra digital yang perlu mengadakan reklasifikasi adalahnjika hasil uji ketelitian tidak mencapai target yang telah ditentukan, misalnya untuk penutup lahan minmal 85 %. Reklasifikasi dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan data yang disadap dari data citra satelit atau data penginderaan jauh. Hingga data yang dihasilkan valid dan dapat digunakan untuk tahap selanjutnya.
Gambar 6.
Tahapan Pengkelasan kembali
Tranformasi Data Raster ke bentuk vektor Untuk mengabungkan informasi spasial yang ada, seperti: nilai sumberdaya lahan, nilai jasa ekosistem, dengan fitur dasar geospasial (titik, garis dan polygon), dilakukan proses transformasi data raster ke bentuk data vector. Transformasi ini dilakukan dengan mengkonversi fitur-fitur spasial data raster menjadi koordinat x,y. koordinat ini dapat berbentuk single koordinat atau titik, berbentuk kumpulan koordinat yang kedua ujungnya terbuka/tidak bertemu atau garis dan dapat berbentuk kumpulan koordinat yang kedua ujungnya bertemu atau polygon.
Gambar 7. Perubahan Bentuk Data Raster Ke Vector
xviii
Gambar 8. Proses Digitasi Pemetaan Pada tahap ini akan dihasilkan informasi tutupan lahan berdasarkan kelas-kelas yang telah terbentuk berdasarkan pengolahan data penginderaan jauh (raster) sebelumnya. GIS Database Building Membangun basis data SIG dalam kegiatan ini adalah mengabungkan informasi terkait valuasi ekonomi seperti Direct use Indirect use Option value Existence value Bequest value atau pun informasi nilai jasa ekosistem yang tergolong dalam Provisioning, Regulating, Cultural, Supporting, dengan kelas-kelas fitur data vector GIS yang telah dibangun. Secara singkat proses membangun database ini dimulai dengan membangun struktur data base untuk tiap jenis data yang akan diinput, menambahkan annotasi pada titik, garis polygon, sesuai masing-masing karakter, kelas dan informasi. Annotasi, Overlay, Serta Query untuk menonjolkan informasi yang diinginkan dari basisdata yang telah dimasukkan.
Gambar 9. Proses Annotasi Pemetaan
xix
Gambar 10.
Gambar 11.
Proses Overlay Pemetaan
Salah Satu Bentuk Query Pemetaan
Tematik Map Output Tahapan ini adalah penanyangan dalam bentuk tema-tema peta yang akan ditampilkan sebagai output kegiatan ini, antara lain: Nilai ekonomi sumberdaya Lamun, Karang, Mangrove, Provisioning Ecosystem, Value, Regulating Ecosystem Value, Cultural Ecosystem Value, Supporting Ecosystem Value, baik dalam skala unit peta Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) ataupun hanya unit peta lokasi yang dicover dalam sampling frame.
Gambar 12.
Contoh Output Peta Tematik
xx
13. PEMBIAYAAN Mata Anggaran
Rincian KomposisiPembiayaan
Jumlah (Rp)
Jumlah (%)
521211
Belanja Bahan
66.550.000
7,39
521811
Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
12.400.000
1,38
521213
Honor Output Kegiatan
25.000.000
2,78
522151
Belanja Jasa Profesi
100.000.000
11,11
522141
Belanja Sewa
104.150.000
11,57
522191
Belanja Jasa Lainnya (Jasa pembuatan peta)
47.400.000
5,27
524111
Belanja Perjalanan Biasa
544.500.000
60,50
900,000,000
100.00
Jumlah
14. JADWAL RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN Bulan Ke-
JADWAL RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN
1
Persiapan, studi pustaka, prasurvey dan koordinasi pemantapan pelaksanaan kegiatan 1. Penyusunan ROKR 2. Koordinasi Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan/ROKR 3. Pemantapan Kuisioner 4. Perbaikan Kuisioner 5. Persiapan Survey Lapang Pengumpulan data primer dan sekunder di lapangan 1. Survey Lapang 2. Verifikasi dan input data 3. Pengolahan Data 2. Pembuatan Laporan Kemajuan Penyusunan laporan, rekomendasi, dan naskah KTI 1. Penyusunan Laporan - Semester - Teknis 2. Penyusunan Policy Brief 3. Penyusunan Rekomendasi 4. Penyusunan paket data dan informasi 5. Penyusunan naskah KTI Sosialisasi dengan stakeholder 1. Semiloka Hasil Riset
xxi
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
15.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. 2006. Sinopsis Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. PKSPL-IPB. Bogor Allen, G.R. and Steene, R., 1996. Indo-Pacifik Coral Reef Field. Singapore Tropical Reef Research. Amira S. 2008. Pendugaan biomassa jenis Rhizophora apiculata Bl. Di hutan mangrove Batu Ampar Kabupaten Kubu raya, Kalimantan Barat. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB Bogor Anonim.
2015. Bab II Gambaran Kota Tarakan. Unduh internet ppsp.nawasis.info/.../profil/profil...tarakan/BAB%20II%20Profil%20Kota... [25November 2015]
Arief, A., 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Azkab, M.H., 2006. Ada Apa dengan Lamun. Oseana 31 (3): 45 -55 Azkab, M.H. 1988. Pertumbuhan dan Produksi Lamun, Enhalus acoroides di Rataan Terumbu di Pari Pulau Seribu. P3O-LIPI, Teluk Jakarta: Biologi, Budidaya, Osenografi, Geologi dan Perairan. Balai Penelitian Biologi Laut, Pusat Penelitian Dan Pengembangan OseanologiLIPI, Jakarta: 11-6. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Tarakan. 2014. Kota Tarakan dalam Angka. 313 hal [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Tarakan. 2015. Kota Tarakan dalam Angka. 308 hal Baliao D dan Tookwinas S, 2002. Manajemen Budidaya Udang yang Baik dan Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Petunjuk Pelaksanaan Penyuluhan Akuakultur No.35. Southeast Asian Fisheries Development Center dan Association Of Southeast Asian Nations. Philippnine Bawole, R. 1998. Distribusi Spasial Ikan Chaetodontidae dan peranannya sebagai indikator kondisi terumbu karang di perairan teluk Ambon. Tesis Program pascasarjana IPB. Bogor. Bell, J. D. and R. Galzin, 1984. Influence of live coral cover on coral reef fish community. Mar.Ecol. Prog. Ser., 15; 265 - 274. Bengen, D.G., 2002. Pedoman Teknis Pengenalan dan pengelolaan Ekosistem Mangrove.PKSPLIPB. Bogor Bengen, DG. 2003. Teknik Pedoman Teknis Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. PKSPL. Bogor Bengen, D.G., 2009. Perspektif Lamun dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. dalam Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. Jakarta Bengen, D.G., 2009a. Struktur dan Dinamika Lamun. Kuliah Dinamika dan Proses-Proses Ekosistem Laut ITK 712. Bogor Bengen DG.2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor
xxii
BRKP-DKP dan P3O-LIPI. Laporan Akhir Pengkajian stok ikan di Perairan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI. Jakarta. Claridge, D. dan Burnett, J. 1993. Mangrove in Focus. Wet paper Marine Education, Ashmore. Dahuri R, Rais J, Ginting S.P, Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (cetakan kedua revisi). PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri, R., 2008. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: LISPI. Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia. Jakarta De la Moriniere, E.C; B.J.A. Pollux; I. Nagelkerken dan G. Vander Velde., 2002.Post-settlement Life Cycle Migration Patterns and Habitat Preference of Coral Reef Fish that use Seagrass and Mangrove Habitats as Nurseries. Estuarine, Coastal and Shelf Scince (2002) 55, 309321. www.elsevier.com [25 November 2009] Dharmawan, I Wayan .S dan C.H Siregar. 2008. Karbon Tanah dan Pendugaan Karbon Tegakan Avicennia marina (Forsk) Vierh. Di Ciasem, Purwakarta. Jurnal Penelitian Hutan dan KOnservasi Alam. Vol. V No.4: 317-328. Donato, D.C., J.B. Kauffman, D. Murdiyarso, S. Kurnianto, M. Stidham & M. Kanninen. 2011. Mangroves Among The Most Carbon-Rich Forests in The Tropics. Nature Geoscience. DOI:10.1038/NGEO1123 Duarte CM, Middleburg JJ dan Caraco C. 2005. Major Role of Marine Vegetation on the Oceanic Carbon Cycle. Biogeoscience 2: 1-8 www.biogeosciences.net [18 Oktober 2009] English, SC., Wilkinson and V. Baker, 1994. Survey Manual of Tropical Marine Resources. Australia Institute Marine Science. Townsville – Australia. Fauzi. 2003. Persepsi Terhadap Nilai Ekonomi Sumberdaya. USAID-Indonesia Coastal Resource Management Project Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003 Fourqurean, J.W., C. M. Duarte, H. Kennedy, N.Marbà, M. Holmer, M. A. Mateo, E. T. Apostolaki, G. A. Kendrick, D. Krause-Jensen, K. J. McGlathery & O. Serrano. 2012. Seagrass Ecosystems As A Globally Significant Carbon Stock. Nature Geoscience. DOI:10.1038/NGEO1477. Fourqurean, J.W., B. Johnson., J.B. Kauffman., H. Kennedy., I. Emmer., J. Howard., E. Pidgeon., O. Serrano. 2014. Conceptualizing the project and Developing a Field Measurement Plan. Dalam Howard, J., S. Hoyt., K Isensee., E. Pidgeon., M. Telszewski (eds). Coastal Blue Carbon: Methods for Assessing Carbon Stock and Emissions factor in Mangrove, Tidal Salt Marsh and Seagrass Meadow. The Blue Carbon Initiative. 25 - 38 Fromard F, Puig H, Mougin E, Marty G, Betoulle JL, Cadamuro L. 1998. Structure, above-ground biomass and dynamics of mangrove ecosystems: new data from French Guiana. Oecologia !!%:39-53. Springer-Verlag Giri C, Ochieng E, Tieszen LL, Zhu Z, Singh A, Loveland T, Masek J, Duke N. 2011. Status and distribution of mangrove forest of the world using earth observations satellite data. Global Ecol Biogeogr 20:154-159. doi:10.1111/j.1466-8238.2010.00584.x xxiii
GoBlue Indonesia, 2009. Mengenal Komunitas Ikan Karang. http://www.goblue.or.id /mengenalkomunitas-ikan-karang-1. diakses 4 Oktober 2011. Grigalunas, T.A and R. Congar, 1995. Environmental economics for Integrated Coastal Area Management: Valuluation Methods and Policy Instruments. UNEP Regional Seas Reports and Studies No. 164. UNEP. Gomez, E.D. and H.T. Yap, 1988. Monitoring reef condition In : R.A. Kenchington & B.E.T. Hudson (eds). Coral Reef Management handbook, UNESCO Jakarta : 187-195. Hairiah, K. S.M, Sitompul., M.V. Noordwijk dan Cheryl.P. 2001. Metthods for Sampling Carbon Carbon Stocks Above and Below Ground. International Center for Research in Agroforestry Hairiah, K. dan Rahayu, S. 2007. Pengukuran ‘Karbon Tersimpan’ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World AgroforestryCentre. ICRAF, SEA Regional Office,University of Brawijaya, Indonesia. Handoko, Yusuf M., Wulandari, SY., 2013. Sebaran Nitrat Dan Fosfat Dalam Kaitannya dengan Kelimpahan Fitoplankton di Kepulauan Karimunjawa. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Buletin Oseanografi Marina April 2013. vol. 2 48 – 53. Hill, J. And C. Wilkinson, 2004. Methods for Ecological Monitoring of Coral Reefs. A Resources for Managers. Australian Institute of Marine Science, Townville, 117 pp. Jensen, 1996. Introductry Digital Image Processing- a Remote Sensing Perspective. London. Prentice Hall. [KMNLH] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 . 2004. Tentang Baku Mutu Kartawinata, K., S. Adisoemarmo., S. Soemodihardjo., IGM Tantar. 1979. Status Pengetahuan Hutan Bakau di Indonesia. Dalam S. Soemodihardjo et.al (eds). Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta.12-22 Kay, R and Alder, J.1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon. London Kauffman, J. Boone and Daniel C.Donato. 2012). Protocols for The Measurement, Monitoring and Reporting of Structure, Biomass and Carbon Stocks in Mangrove Forest. CIFOR Kiswara, W., 2009. Perspektif Lamun dalam Produktivitas Hayati Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. Jakarta
Pesisir.dalam Lokakarya
KLH, 2004. Bahan Penyusunan RPP Baku Mutu Air Laut untuk Mandi, Renang, Biota Laut, Budidaya Biota Laut. Lokakarya Baku Mutu Air Lingkungan Laut. Bogor. Koike, I., H. Ogawa, T. Nagata, R. Fukuda & H. Fukuda. 2001. Silicate to Nitrate Ratio of the Upper Sub-Arctic Pacific and the Bering Sea Basin in Summer: Its Implication for Phytoplankton Dynamics. Journal of Oceanography, 57: pp. 253 – 260. Komiyama A, Poungparn S dan Kato S. 2005. Coomon allometric equation for estimating the tree weight of mangroves. Journal of Tropical Ecology. 21: 471-477. Doi. 10.1017/S0266467405002476. Cambridge University Press
xxiv
Kordi, GH., 2010. Ekosistem Terumbu Karang : Potensi, Fungsi dan Pengelolaan. Rineka Cipta. Jakarta. Kuriandewa, T.E., 2009. Tinjauan tentang Lamun Indonesia.dalam Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. Jakarta Kusmana C. 1997. An Estimation of Above and Below Ground Tree Biomass of A Mangrove Forest in East Kalimantan, Indonesia.Bogor Agricultural University. Bogor. VolII no 1. 24 hal Kusuma, D I. 2005. Economic Valuation Of Natural Resource Management: A Case Study Of The Benuaq Dayak Tribe In Kalimantan, Indonesia (Dissertation). Bogor Institut of Agriculture. Bogor Kusumastanto, 2002. Reposisi “Ocean Policy” dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah (Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Perikanan dan Kelatan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor LPP Mangrove. 2008. Ekosistem Mangrove di Indonesia. (Online). Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia Available at: http://www.imred.org/?q=content/ekosistem-mangrove-di-indonesia. Verified : 28 Januari 2009. [MEA] Millenium Ecosystem Assesment, 2005. Ecosystems and human well-being: A framework for assessment. http://www.milleniumassessment.org/en/products.aspx MacDicken KG. 1997. A Guide to Monitoring Carbon Storage in Forestry and Agroforestry Projects. Winrock International Institute for Agriculture Development. USA. Macnae, W., 1968. A General Account of the Fauna of the Mangrove Swamps of Inhaca Island, Mozambique. J. Ecol. 50: 93 -128. Mahmudin. 2002. Perubahan Bentuk Rumah dan Tata Lingkungan Pemukiman Nelayan Desa Ujung Alang Segara Anakan di Cilacap (tesis). Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro. Semarang Millero, F.J & Sohn, M.L.1992.Chemical Oceanography. CRC Press, New York. Nilwan, dkk. 2003. Spesifikasi Teknis Penyusunan Neraca Dan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Pesisir Dan Lautan. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut Baksurtanal. Bogor Nontji, 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia. Jakarta Nybakken, JW., Bertness, MD., 2003. Marine Biology and Ecological Approach. Sixth Edition. Brown University. Odum, E.P, 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Romimohtarto, K dan Juwana, S. 2009. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut edisi 4. Djambatan. Jakarta Reid, C., Marshall, J., Logan, D., and Kleine, D., 2011. Terumbu Karang dan Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia. Jakarta.
xxv
Romimohtarto, K., Juwana, S., 2007. Biologi Laut. Djambatan. Jakarta. Sadarun, B., Lestari, RIP., Afandy, YA., Nuriadi, L., Zulhiman, E., 2008. Petunjuk Sanusi, H. 2006. Kimia Laut, Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perkanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 188 hal Sifleet S, Pendleton L, Murray BC. 2011. State of the science on coastal blue carbon A summary for policy makers. Durham, North Carolina(US). Nicholas Institut for environmental policy solutions. Duke University. Simanjuntak, M. 2009. Hubungan faktor lingkungan kimia, fisika terhadap distribusi plankton di perairan Belitung Timur, Bangka Belitung. Jurnal Perikanan XI (1):31-45. ISSN: 0853-6384 Stoddart, D.R., 1969. Echology and Morphology of Recent of coral reefs. Biolrev. 44:433 -498. Suharti, S.R., 2011. Ekologi Ikan Karang. Diakses pada hari selasa tanggal 4 Oktober 2011. Supriharyono, 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang, PT. Djambatan. Jakarta. Susana T. 2005. Kualitas Zat Hara Perairan Teluk Lada Banten. Jurnal Oseanologi dan Limnologi Indonesia. No. 37 P2O-LIPI. Jakarta Hal:59–67. Supriadi. R.F, Kaswadji., D.G, Bengen., M, Hutomo. 2012. Produktivitas Komunitas Lamun di Pulau BarrangLompo, Makassar. Jurnal Akuatika Vol III No 2. 159 – 168. ISSN 0853-2523 Talan, MA. 2008. Persamaan penduga biomassa pohon jenis Nyirih (Xilocarpus granatum Koenig. 1784) dalam tegakan mangrove hutan alam di Batu Ampar, Kalimantan Barat. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB Bogor Thayer, G.W., S.M. Adams and M.W. La Croix 1975. Structural and fluctuation aspects of a recently established Zostera marina community Estuarine Tsunogai, S. & Y. Watanabe. 1983. Role of dissolved silicate in the occurrence of a phytoplankton bloom. Journal of the Oceanographical Society of Japan, 39: pp. 231-239. Ulumuddin, Y.I dan W. Kiswara. 2010. Mangrove dan Lamun dalam Siklus Karbon. Oseana. Vol 35 No. 2: 39-46 WWF, 1994. The Economic Value of Reefs. Conservation Indonesia, 10 (1) Yaping, D. 1999. The Value of Improved Water Quality for Recreation in East Lake, Wuhan China. EEPSEA, Singapore. Yoeti, Oka A. 1985. Pengantar Ilmu Pariwisata. Penerbit Aksara. Bandung Sutikno dan Maryunani. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam. Badan Penerbit Universitas Brawijaya. Malang http://americas.iweb.bsu.edu/americas/Americas_vds10/neighborhood/information.html http://www.waikato.ac.nz/fass/about/staff/maximus/tidal-graphics
xxvi
KATA PENGANTAR Laporan hasil penelitian valuasi ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan di kawasan konservasi (rehabilitasi dan wisata perairan) dapat menjadi alat untuk menilai sumberdaya kelautan dan perikanan dalam bentuk moneter. Selain itu hasil ini diharapkan dapat menjadi informasi terkait kondisi kualitas lingkungan, menentukan prioritas masalah, dasar pertimbangan kebijakan dan membantu pemerintah pusat dan daerah dalam merencanakan pengelolaan kawasan konservasi perairan di Indonesia dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Data dan informasi yang ada dalam buku ini hendaknya jangan hanya dipandang sebagai data dan informasi tanpa makna, namun data dan informasi tersebut sudah dihimpun dan dianalisis dari program/kegiatan berbagai sektor yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata oleh berbagai stakeholder sehingga maksud pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan dapat tercapai demi kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Semoga laporan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dan akhir kata, kepada semua pihak yang telah turut berpartisipasi dalam penyusunan laporan penelitian ini , kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, Desember 2016
Tim Peneliti
xxvii
RINGKASAN Nilai ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan nilai penting dalam pemanfaatan sumberdaya. Struktur nilai dan pemanfaatan nilai sebagai indicator pemanfaatan diperlukan agar menunjang langkah dalam pemanfaatan berkelanjutan dan kemandirian / kedaulatan. Beberapa permasalahan dalam upaya rehabilitasi dan wisata bahari. 1) Berapa nilai ekologi/ekosistem pada kawasan rehabilitasi dan wisata bahari, 2) Berapa nilai pemanfaatan/ekonomi dari kawasan rehabilitasi dan wisata bahari, 3) Berapa nilai kerelaan dari masyarakat dalam upaya rehabilitasi dan konservasi yang dilakukan, 4) Bagaimana strategi menuju berhasilnya kawasan rehabilitasi dan wisata bahari berdasarkan penilaian ekonomi sumberdaya. sehingga dirancanglah penelitian ini dengan tujuan: 1) Mengkaji karakteristik dan fungsi tipologi sumberdaya pada kawasan konservasi, 2) Melakukan penilaian ekonomi terhadap sumberdaya pada kawasan konservasi, 3) Merumuskan pilihan-pilihan kebijakan pengelolaan sumberdaya pada kawasan konservasi. Upaya menjawab tujuan tersebut, dilakukan pendekatan metodologis, yaitu: pendekatan valuasi ekonomi sumberdaya dengan mengadopsi konsep Total Economic Value (TEV). Penerapan alat analisis yang digunakan juga merujuk konsep TEV. Adapun alat analisis yang digunakan adalah: Replacement Cost Method (RCM) digunakan untuk mengestimasi nilai jasa ekologi sumberdaya pesisir. Effect on Production (EoP), Travel Cost Method (TCM), Residual Rent (RR) dan Benefit Transfer (BT) digunakan untuk mengukur nilai jasa ekonomi dari pemanfaatan untuk aktifitas ekonomi masyarakat, sedangkan Contingent Valuation Method (CVM), digunakan untuk mendekatai nilai partisipasi masyarakat atau Willingness to Pay (WTP) dari masyarakat (nilai sosial budaya). Selain penilaian jasa ekosistem yang dilakukan pada kasawan konservasi, dilakukan pula penilaian di luar kawasan untuk mendapatkan perbandingan upaya dan hasil pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan perangkat analisis ekonomi sumberdaya. untuk mendekati keragaman pemanfaatan dan jenis sumberdaya sebagai pembanding kawasan konservasi dekati berdasarkan tinjauan sosiologi terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir. tinjuan pola pemanfaatan, karakteristik sumberdaya dan budaya masyarakat setempat dalam pemanfaatan sumberdaya menjadi rujukan memilih kawasan pembanding. tinjauan ini dilakukan agat tujuan penilaian jasa sumberdaya mendekati kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Hasil penilaian ini, mengidentifikasi karakteristik dan tipologi sumberdaya kawasan konservasi sebagai kawasan yang menjamin kehidupan ekologi dan sosial budaya. tiap kawasan dikelola berdasarkan pendekatan aturan dan hukum yang seragam berlaku sama diseluruh kawasan konservasi, berhadapan dengan pola dan karakter pemanfaatan yang juga beragam. Hasil penelitian terkait penilaian barang dan jasa sumberdaya pada kedua kawasan ini (konservasi dan non konservasi) menunjukkan bahwa kawasan yang dikelola untuk tujuan konservasi memiliki nilai jasa sumberdaya yang lebih dibanding kawasan yang tidak terkelola secara konservasi. berbandingan total nilai kawasan konservasi dan non konservasi adalah 734.176.147.186,80 berbanding 146.767.744.475,45 atau 5:1. Proporsi nilai jasa sumberdaya pesisir dikelompokkan berdasarkan pendekatan de Groot (2002), yang membagi nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh ekosistem adalah: 1) nilai jasa ekologis, 2) nilai jasa ekonomi dan 3) nilai jasa sosial budaya. proporsi nilai yang didapat ini dapat menjadi gambaran kondisi sumberdaya berdasarkan nilai barang dan jasa yang dihasilkan pada kawasan konservasi. adapun proporsinya yaitu: nilai jasa ekologis berkisar antara 73,03% - 98,74%, nilai jasa ekonomi berkisar antara 0,83% – 26%, dan nilai jasa sosial budaya berkisar antara 0,42% - 19,64% dari total nilai barang dan jasa dari ekosistem di kawasan konservasi. Penelitian ini mengantar pada kesimpulan bahwa keberagaman karakter, pola pemanfaatan dan tipologi sumberdaya membutuhkan langkah pengelolaan adaptif. Aturan yang
xxviii
berlaku di kawasan konservasi, kondisi karakter, pola pemanfaatan dan tipologi sumberdaya membutuhkan pendekatan setidaknya memperhatikan kondisi ekologi, ekonomi dan sosial budaya. proporsi nilai yang dihasilkan dapat juga berarti proporsi “perhatian” kepada kawasan konservasi dalam bentuk pendanaan atau penganggaran yang selayaknya diberikan, dengan harapan besaran nilai barang dan jasa kawasan konservasi mampu meningkat, lebih dari 5 kali dibanding kawasan non konservasi. Berdasarkan analisis, temuan lapangan, studi literatur serta diskusi yang dilakukan tim peneliti, direkomendasikan, sebagai berikut: 1. Upaya rehabilitasi dan pembangunan wisata bahari di kawasan-kawasan konservasi pesisir perlu dioptimalkan untuk memberi output yang lebih efektif dengan pola pengelolaan yang efisien dan adaptif tanpa meninggalkan aturan berlaku. 2. Tiap kawasan konservasi dan rehabilitasi memiliki komposisi nilai barang dan jasa dari sumberdaya yang berbeda. Komposisi ini juga mencerminkan permasalahan yang dihadapi, sehingga bentuk perhatian terhadap kawasan konservasi dapat mengikuti proporsi yang diarahkan diatas. 3. Kawasan konservasi dan rehabilitasi di lokasi penelitian merupakan fishing ground bagi masyarakat kawasan non konservasi. Dengan upaya konservasi maupun rehabilitasi yang telah dilakukan selama ini, telah menjadikan kawasan konservasi dan rehabilitasi menjadi lokasi penangkapan favorit. Sayangnya pola penangkapan ikan masih banyak yang destruktif. Penggunaan bom, bius maupun muroami telah merusak kawasan lain. Sehingga perlu mengkonservasi lebih banyak wilayah serta dengan tegas tidak membolehkan penggunaan alat penangkap ikan yang merusak. 4. Pembangunan wisata perlu dilakukan untuk menambah manfaat ekonomi kawasan tanpa sumberdaya terdegradasi. Daya dukung lingkungan dan kapasitas lingkungan perlu dilakukan untuk menjaga tingkat optimal penggunaan lahan, jumlah wisatawan, jenis kegiatan wisata.
xxix
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................................................ii COPY RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN TAHUN 2016...............................................iii KATA PENGANTAR..........................................................................................................................xxvii RINGKASAN................................................................................................................................... xxviii DAFTAR ISI........................................................................................................................................xxx DAFTAR TABEL................................................................................................................................xxxii DAFTAR GAMBAR..........................................................................................................................xxxiii DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................................................... xxxvi I. PENDAHULUAN.........................................................................................................................1 1.1. Latar Belakang.....................................................................................................................1 1.2. Tujuan..................................................................................................................................3 1.3. Keluaran.............................................................................................................................. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................4 2.1. Karakteristik Lingkungan Wilayah Pesisir........................................................................... 4 2.2. Pemanfaatan WilayahPesisir...............................................................................................7 2.3. Konservasi Dan Perlindungan Biodiversitas......................................................................12 2.4. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir..............................................................13 2.5. Peta dan Pemetaan...........................................................................................................15 III. METODE PENELITIAN.............................................................................................................. 17 3.1. Kerangka Pemikiran.......................................................................................................... 17 3.2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data................................................................................ 17 3.3. Metode Analisis Data........................................................................................................ 18 3.3.1. Valuasi Sosial Ekonomi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan..................................18 3.3.2. Metode Pemetaan Sosial Ekonomi Sumberdaya Pesisir...........................................22 3.3.3. Citra satelit format raster.......................................................................................... 23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................................................... 29 4.1 Gambaran Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Taman Wisata Perairan di Lokasi Penelitian.......................................................................................................................... 29 4.1.1. Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang..............................................................29 3.3.4. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Natuna..................................................... 44 3.3.5. Taman Wisata Perairan Gili Matra............................................................................ 55 4.2. Identifikasi Jasa Sumberdaya Ekosistem Pesisir............................................................... 65 4.2.1. Jasa Ekologi Sumberdaya Pesisir............................................................................... 65 4.2.1.1. Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang..................................................... 65 4.2.1.2. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Natuna.............................................69 4.2.1.3. Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra.........................................................73 4.2.2. Jasa Ekonomi Sumberdaya Ekosistem Pesisir........................................................... 80 4.2.2.1. Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang..................................................... 80 4.2.2.2. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Natuna.............................................90 4.2.2.3. Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra.......................................................100 4.2.3. Jasa Sosial Ekonomi Sumberdaya Pesisir.................................................................110 4.2.3.1. Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang................................................... 112 4.2.3.2. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Natuna...........................................112 4.2.3.3. Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra.......................................................113 4.3. Nilai Jasa Ekosistem........................................................................................................ 114 4.3.1. Nilai Jasa Ekologi Sumberdaya Ekosistem Pesisir....................................................114 4.3.1.1. Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang................................................... 114 4.3.1.2. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Natuna...........................................116
xxx
4.3.1.3. Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra.......................................................119 4.3.2. Nilai Jasa Ekonomi Sumberdaya Ekosistem Pesisir................................................. 128 4.3.2.1. Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang................................................... 128 4.3.2.2. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Natuna...........................................134 4.3.2.3. Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra.......................................................140 4.3.3. Nilai Jasa Sosial Budaya Sumberdaya Ekosistem Pesisir......................................... 144 4.3.3.1. Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang................................................... 145 4.3.3.2. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Natuna...........................................145 4.3.3.3. Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra.......................................................145 4.4. Analisis Komparasi Kawasan Konservasi dan Kawasan Non Konservasi........................ 146 4.4.1. Nilai Jasa Sumberdaya Ekosistem Kawasan Pesisir Non Konservasi Disekitar TWP Kapoposang.....................................................................................................146 4.4.2. Nilai Jasa Sumberdaya Ekosistem Kawasan Pesisir Non Konservasi Disekitar TWP Gili Matra........................................................................................................ 149 4.4.3. Nilai Jasa Sumberdaya Ekosistem Kawasan Pesisir Non Konservasi Disekitar KKLD Natuna............................................................................................................ 153 V. IMPLIKASI KEBIJAKAN DARI PENELITIAN VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA DI KAWASAN REHABILITASI DAN WISATA BAHARI................................................................... 157 VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI....................................................................................... 159 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................162 LAMPIRAN....................................................................................................................................... 168
xxxi
DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15. Tabel 16. Tabel 17. Tabel 18. Tabel 19. Tabel 20. Tabel 21. Tabel 22. Tabel 23. Tabel 24. Tabel 25. Tabel 26. Tabel 27. Tabel 28. Tabel 29. Tabel 30.
Hubungan Nilai Dengan Teknik Valuasi Yang Digunakan......................................... xiv Zonasi Vegetasi Mangrove Berdasar Salinitas............................................................ 5 Hubungan Nilai Dengan Teknik Valuasi Yang Digunakan..........................................22 Kondisi Pulau-Pulau dalam Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang, Kabupaten Pangkep.................................................................................................. 32 Akses Transportasi Menuju TWP Kapoposang, 2016................................................35 Karakteristik Responden Nelayan di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang, 2016..................................................................................................... 38 Karakteristik Responden Pencari Kayu di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang, 2016..................................................................................................... 42 Data dan Produksi Budidaya Perikanan Menurut Kecamatan di Kabupaten Natuna 2015.............................................................................................................. 47 Volume Produksi Perikanan Tangkap Menurut Kecamatan di Kabupaten Natuna 2015 (Ton).................................................................................................... 48 Armada Kapal/ Perahu Penangkap Ikan yang Beroperasi Menurut Kecamatan di Kabupaten Natuna 2015....................................................................................... 48 Wisata Bahari Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Natuna.................................55 Luas Zonasi di TWP Gili Matra...................................................................................58 Jenis dan Bentuk Pertumbuhan Karang Pada Zona Windward................................ 73 Jenis dan Bentuk Pertumbuhan Karang Pada Zona Leeward....................................74 Kriteria Kondisi Terumbu Karang Berdasarkan Persentase Tutupan........................74 Jenis Ikan Hasil Tangkapan dan Alat Tangkap yang digunakan Oleh Nelayan di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang, 2016............................................... 81 Jenis Ekosistem di TWP Kapoposang.........................................................................82 Jenis dan Bentuk Pertumbuhan Karang Pada Zona Windward.............................. 119 Jenis dan Bentuk Pertumbuhan Karang Pada Zona Leeward..................................120 Kriteria Kondisi Terumbu Karang Berdasarkan Persentase Tutupan......................120 Jenis Ikan Hasil Tangkapan dan Alat Tangkap yang digunakan Oleh Nelayan di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang, 2016............................................. 129 Nilai Rata-Rata Variabel dalam Fungsi Produksi pada Kawasan Konservasi TWP Kapoposang, 2016...........................................................................................129 Perhitungan Regresi antara Tingkat Kunjungan per 1000 Penduduk Masingmasing Zona dengan Biaya Total............................................................................133 Perhitungan Nilai Surplus Pengunjung TWP Kapoposang, 2016............................ 133 Nilai Rata-Rata dan Standar Deviasi dari Variabel Penangkapan Ikan pada Ekosistem Terumbu Karang di Natuna....................................................................136 Nilai Rata-Rata Variabel dalam Fungsi Produksi di Kawasan Konservasi Gili Matra, 2016.............................................................................................................140 Nilai Rata-Rata Variabel dalam Fungsi Produksi pada Kawasan Non Konservasi, 2016..................................................................................................... 147 Nilai Rata-Rata Variabel dalam Fungsi Produksi di Kawasan Non Konservasi Gili Gede, 2016........................................................................................................ 150 Nilai Jasa Ekosistem Sumberdaya Pesisir di Kawasan konservasi...........................155 Nilai Jasa Ekosistem Sumberdaya Pesisir di Kawasan konservasi...........................156
xxxii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20. Gambar 21. Gambar 22. Gambar 23. Gambar 24. Gambar 25. Gambar 26. Gambar 27. Gambar 28. Gambar 29. Gambar 30. Gambar 31. Gambar 32. Gambar 33. Gambar 34. Gambar 35. Gambar 36. Gambar 37.
Kerangka pemikiran penelitian.................................................................................viii Konsep Algoritma Pemetaan Sosial Ekonomi Berbasis Kawasan................................ x Tahapan Teknik Pemetaan.........................................................................................xv Derajat Keabuan dan Hubungannya dengan Digital Number (DN)..........................xvi Composite dari Beberapa Band Potongan Landat 7................................................ xvii Tahapan Pengkelasan kembali................................................................................xviii Perubahan Bentuk Data Raster Ke Vector.............................................................. xviii Proses Digitasi Pemetaan..........................................................................................xix Proses Annotasi Pemetaan....................................................................................... xix Proses Overlay Pemetaan.......................................................................................... xx Salah Satu Bentuk Query Pemetaan.......................................................................... xx Contoh Output Peta Tematik.....................................................................................xx Kerangka pemikiran penelitian................................................................................... 2 Fauna Perairan Yang Hidup Di Ekosistem Mangrove.................................................. 7 Konsep Algoritma Pemetaan Sosial Ekonomi Berbasis Kawasan..............................17 Tahapan Teknik Pemetaan........................................................................................ 22 Derajat Keabuan dan Hubungannya dengan Digital Number (DN).......................... 23 Composite dari Beberapa Band Potongan Landat 7................................................. 24 Tahapan Pengkelasan kembali.................................................................................. 25 Perubahan Bentuk Data Raster Ke Vector................................................................ 25 Proses Digitasi Pemetaan.......................................................................................... 26 Proses Annotasi Pemetaan........................................................................................27 Proses Overlay Pemetaan......................................................................................... 27 Salah Satu Bentuk Query Pemetaan......................................................................... 27 Contoh Output Peta Tematik.................................................................................... 28 TWP Kepulauan Kapoposang dan Laut Sekitarnya....................................................29 Persentase Jumlah Pembudidaya di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang, 2016..................................................................................................... 41 Persentase Umur Pembudidaya di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang, 2016..................................................................................................... 41 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Kapoposang sebagai Penyedia Raw Material, 2016...................................................................... 83 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Kapoposang sebagai Biology Controll, 2016.................................................................................. 83 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Kapoposang sebagai Breakwater, 2016.........................................................................................84 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem di TWP Kapoposang sebagai Climate Regulation, 2016....................................................................................................... 84 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Kapoposang sebagai Erosion Controll, 2016.................................................................................. 85 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Kapoposang sebagai Nutrient Cycling, 2016..................................................................................85 Peta Sebaran Vegetasi Pantai dan Mangrove di TWP Kapoposang, 2016................86 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di TWP Kapoposang sebagai penyedia Raw Material, 2016...................................................................... 87 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di TWP Kapoposang sebagai Break Water, 2016....................................................................................... 88
xxxiii
Gambar 38. Gambar 39. Gambar 40. Gambar 41. Gambar 42. Gambar 43. Gambar 44. Gambar 45. Gambar 46. Gambar 47. Gambar 48. Gambar 49. Gambar 50. Gambar 51. Gambar 52. Gambar 53. Gambar 54. Gambar 55. Gambar 56. Gambar 57. Gambar 58. Gambar 59. Gambar 60. Gambar 61. Gambar 62. Gambar 63. Gambar 64.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di TWP Kapoposang sebagai Climate Regulation, 2016............................................................................. 88 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di TWP Kapoposang sebagai Erosion Controll, 2016.................................................................................. 89 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di TWP Kapoposang sebagai Nutrient Controll, 2016................................................................................ 89 Peta Sebaran Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Natuna, 2016...........................................................................................................................92 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di KKLD Natuna Biology Controll, 2016............................................................................................... 93 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di KKLD Natuna Breakwater, 2016...................................................................................................... 93 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di KKLD Natuna Climate Regulation, 2016.......................................................................................... 94 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di KKLD Natuna Erosion Controll , 2016.............................................................................................. 94 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di KKLD Natuna Nutrient Cycling, 2016............................................................................................... 95 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di KKLD Natuna Raw Material, 2016........................................................................................................... 95 Peta Sebaran Ekosistem Mangrove di KKLD Natuna, 2016.......................................96 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di KKLD Natuna Biology Control, 2016............................................................................................................. 97 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di KKLD Natuna Breakwater, 2016...........................................................................................................................97 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di KKLD Natuna Climate Regulation, 2016....................................................................................................... 98 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di KKLD Natuna Erosion Control, 2016............................................................................................................. 98 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di KKLD Natuna Nutrient Cycling, 2016............................................................................................................. 99 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di KKLD Natuna sebagai Raw Material, 2016................................................................................................... 99 Peta Sebaran Jenis Habitat di TWP Gili Matra, 2016.............................................. 101 Peta Sebaran Terumbu Karang di TWP Gili Matra, 2016........................................ 101 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Biology Control, 2016.................................................................................102 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Breaw Water Control, 2016....................................................................... 103 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Climate Regulation, 2016...........................................................................103 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Erosion Control, 2016.................................................................................104 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Nutrient Cycling, 2016............................................................................... 104 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai penyedia Raw Material, 2016....................................................................105 Peta Sebaran Ekosistem Mangrove di TWP Gili Matra sebagai penyedia Raw Material, 2016.........................................................................................................106 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Biological Control, 2016.............................................................................107
xxxiv
Gambar 65. Gambar 66. Gambar 67. Gambar 68. Gambar 69. Gambar 70. Gambar 71. Gambar 72. Gambar 73. Gambar 74. Gambar 75. Gambar 76. Gambar 77. Gambar 78. Gambar 79. Gambar 80. Gambar 81. Gambar 82. Gambar 83. Gambar 84. Gambar 85. Gambar 86. Gambar 87. Gambar 88.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Break Water, 2016.....................................................................................107 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Cliimate Regulation, 2016..........................................................................108 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Erosion Control, 2016.................................................................................108 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Nutrient Cycling, 2016............................................................................... 109 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai penyedia Raw Material, 2016....................................................................109 Peta Sebaran Nilai Habitat Refugia di TWP Kapoposang, 2016.............................. 115 Peta Sebaran Karang di TWP Kapoposang, 2016.................................................... 116 Peta persentase tutupan karang hidup di wilayah Gili Matra................................ 121 Peta persentase tutupan lamun di wilayah Gili Matra........................................... 123 Peta Sebaran Tutupan Ekosistem Mangrove di Gili Matra (Sumber: Sasanti, 2012)........................................................................................................................125 Komposisi suku ikan karang di Gili Matra (Sumber : Sasanti, 2012).......................127 Kurva Surplus Konsumen Aktifitas Penangkapan Ikan Karang di Kawasan TWP Kapoposang............................................................................................................. 131 Kurva Fungsi Permintaan Effect On Production (EOP) Aktifitas Penangkapan Ikan Karang di Kawasan TWP Kapoposang............................................................. 132 Persentase Hasil Tangkapan Berdasarkan Jenis Ikan.............................................. 135 Nilai Produksi Hasil Tangkapan Ikan Berdasarkan Jenisnya...................................136 Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan Ikan pada Ekosistem Terumbu Karang di Natuna.....................................................................................................138 Kurva Surplus Konsumen Aktifitas Penangkapan Ikan Karang di Kawasan Konservasi Gili Matra.............................................................................................. 142 Kurva Fungsi Permintaan Effect On Production (EOP) Aktifitas Penangkapan Ikan Karang di Kawasan Konservasi Gili Matra....................................................... 143 Fungsi Permintaan Wisata di Kawasan TWP Gili Matra..........................................143 Kurva Surplus Konsumen Aktifitas Wisatawan di Kawasan Gili Matra................... 144 Kurva Surplus Konsumen Aktifitas Penangkapan Ikan Karang di Kawasan Non Konservasi di sekitar Kawasan TWP Kapoposang................................................... 148 Kurva Fungsi Permintaan Effect On Production (EOP) Aktifitas Penangkapan Ikan Karang di Kawasan non Konservasi sekitarTWP Kapoposang.........................149 Kurva Surplus Konsumen Aktifitas Penangkapan Ikan Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Gede................................................................................................152 Kurva Fungsi Permintaan Effect On Production (EOP) Aktifitas Penangkapan Ikan di Kawasan Non Konservasi Gili Gede............................................................. 152
xxxv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18. Lampiran 19. Lampiran 20. Lampiran 21. Lampiran 22. Lampiran 23. Lampiran 24. Lampiran 25.
Peta Sebaran Karang di Kawasan Non Konservasi Kapoposang, 2016................... 169 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Kapoposang sebagai Penyedia Raw Material, 2016............................170 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi apoposang sebagai Biology Controll, 2016........................................... 171 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem di Kawasan Non Konservasi Kapoposang sebagai Breakwater, 2016.................................................................. 172 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem di Kawasan Non Konservasi Kapoposang sebagai Climate Regulation, 2016...................................................... 173 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi sebagai Erosion Controll, 2016..............................................................174 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi sebagai Nutrient Cycling, 2016............................................................. 175 Peta Sebaran Karang di Kawasan Non Konservasi Natuna, 2016........................... 176 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Natuna sebagai Biology Controll, 2016.................................................177 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Natuna sebagai Breakwater, 2016........................................................178 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Natuna sebagai Climate Regulation, 2016............................................179 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Natuna sebagai Erosion Controll , 2016................................................180 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Natuna sebagai Nutrient Cycling , 2016................................................181 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Natuna sebagai Raw Material , 2016...................................................182 Peta Sebaran Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra, 2016....... 183 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi di Gili Matra sebagai Biology Control, 2016........................................ 184 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Breaw Water Control, 2016....................................185 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Climate Regulation, 2016....................................... 186 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Erosion Control, 2016............................................. 187 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Nutrient Cycling, 2016............................................ 188 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai penyedia Raw Material, 2016................................ 189 Peta Sebaran Ekosistem Mangrove di Kawasan Non Konservasi Gili Matra, 2016.........................................................................................................................190 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Biological Control, 2016......................................... 191 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Break Water, 2016................................................. 192 Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Cliimate Regulation, 2016...................................... 193
xxxvi
Lampiran 26. Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Erosion Control, 2016............................................. 194 Lampiran 27. Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Nutrient Cycling, 2016............................................ 195 Lampiran 28. Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai penyedia Raw Material, 2016................................ 196
xxxvii
I. 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Panjang wilayah pesisir Indonesia mencapai 95.181 km yang didalamnya terkandung
keragaman potensi sumberdaya kelautan dan perikanan. Sumberdaya tersebut memiliki arti penting bagi pengembangan sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan sehingga penting untuk dilakukan pemetaan agar dapat secara optimal dimanfaatkan. Meski dinilai penting, pemetaan tersebut belum banyak dilakukan dan masih secara parsial dan tersebar diberbagai tempat. Hal ini menyebabkan Indonesia belum memiliki peta sosial ekonomi pada wilayah pesisir sehingga perumusan kebijakan terkait seringkali tidak disertai oleh kondisi eksisting sumberdaya. Dampaknya perencanaan tidak dilakukan secara seimbang dan berkelanjutan. Adrianto (2006), menyebutkan bahwa paradigma pengelolaan sumberdaya selama ini lebih banyak hanya memperhitungkan faktor keuntungan ekonomi dibanding dengan biaya lingkungan terkait dengan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Wilayah pesisir dan laut adalah salah satu ekosistem yang sangat produktif dan dinamis. Aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam ini seringkali tanpa memperhatikan prinsip kelestarian pengelolaan dan tumpang tindih. Disisi lain data maupun informasi biofisik lingkungan maupun sumber daya alam di wilayah tersebut masih sangat terbatas terutama yang bersifat keruangan (Spasial). Survei dan pemetaan sosial ekonomi sumberdaya pesisir merupakan salah satu upaya untuk mempercepat pengadaan data mengenai wilayah pesisir dan laut. Alat bantu yang dapat digunakan untuk menunjang hal ini biasanya berupa pemanfaatan data citra yang dipadukan dengan hasil lapangan sehingga hasilnya dapat divisualisikan secara baik. Permasalahan Nilai ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan nilai penting dalam pemanfaatan sumberdaya. Struktur nilai dan pemanfaatan nilai sebagai indicator pemanfaatan diperlukan agar menunjang langkah dalam pemanfaatan berkelanjutan dan kemandirian / kedaulatan. Beberapa permasalahan dalam upaya rehabilitasi dan wisata bahari. Permasalahan dalam upaya rehabilitasi dan wisata bahari, antara lain: Berapa nilai ekologi/ekosistem pada kawasan rehabilitasi dan wisata bahari Berapa nilai pemanfaatan/ekonomi dari kawasan rehabilitasi dan wisata bahari. Berapa nilai kerelaan dari masyarakat dalam upaya rehabilitasi dan konservasi yang dilakukan. Bagaimana strategi menuju berhasilnya kawasan rehabilitasi dan wisata bahari 1
Kerangka teoritis
Gambar 13.
Kerangka pemikiran penelitian
Secara umum, kerangka teoritis penelitian ini, menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh de Groot, et al (2002). Kerangka mengambarkan bahwa untuk menuju kebijakan seperti opsi dan pengelolaan yang terukur minimal dibutuhkan tinjuan nilai ekonomi total. Nilai ekonomi total ini didukung oleh tinjauan nilai ekologi, nilai ekonomi dan nilai social budaya. Penilaian ini didasarkan pada potensi barang dan jasa dari masing-masing ekosistem yang tersedia pada lokasi tersebut, dan berdasarkan stuktur dan proses dari ekosistem didalamnya. Dalam penelitian ini diupayakan dihasilkan pula tampilan visualisasi spasial untuk menunjang langkah menuju kawasan rehabilitasi dan wisata bahari yang diharapkan. Aspek strategis penelitian ini terletak pada penilaian terhadap sumberdaya. Dengan nilai yang ada ini menjadi bahan pertimbangan terhadap rangkaian langkah strategis nilai investasi, sasaran kelompok barang dan jasa dari ekosistem yang akan dikelola. Seiring dengan isu strategis pembangunan Kelautan dan Perikanan
pada butir Penguatan Pulau-Pulau Kecil Terluar,
Rehabilitasi dan Konservasi, penelitian ini dilakukan pada kawasan rehabilitasi dan konservasi dengan alternatif pemanfaatan dan pembangunan wisata bahari. Kebutuhan eselon I lingkup KKP yang menjadi stakeholder penelitian ini adalah Direktorat jenderal Penataan Ruang Laut. Hipotesis penelitian ini menganut paradigma konservatif, sehingga nilai ekosistem/ekologi akan memberi nilai manfaat lebih besar dibanding pemanfaatan lainnya. Hipotesa ini sangat besar peluangnya terjadi , karena kawasan tersebut adalah kawasan dengan pemanfaatan yang masih rendah, sehingga kondisi ekosistem dapat memenuhi kebutuhan masyarakat setempat.
2
1.2.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah 1.
Mengkaji karakteristik dan fungsi tipologi sumberdaya pada kawasan terpilih
2.
Melakukan penilaian ekonomi terhadap sumberdaya pada kawasan terpilih
3.
Merumuskan pilihan-pilihan kebijakan pengelolaan sumberdaya pada kawasan terpilih
1.3.
Keluaran
Keluaran dari penelitian ini adalah 1.
Diketahuinya karakteristik sumberdaya pesisir pada lokasi rehabilitasi dan wisata perairan terpilih.
2.
Teridentifikasinya pemanfaatan barang dan jasa dari lokasi rehabilitasi dan wisata perairan terpilih.
3.
Diketahuinya nilai ekonomi sumberdaya pesisir pada lokasi rehabilitasi dan wisata perairan terpilih.
3
II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Lingkungan Wilayah Pesisir Wilayah pesisir didefinisikan oleh Kay dan Alder (1999:2) sebagai daerah dimana daratan
dan lautan bertemu. Sedangkan menurut Undang-Undang No.27 tahun 2007 wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Bengen (2004:2) menambahkan bahwa batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air dan tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Oleh karena itu wilayah pesisir memiliki interaksi antar dua ekosistem tersebut yang bersifat saling timbal balik. Pada wilayah pesisir terdapat berbagai ekosistem penting yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda. Secara khusus penelitian ini akan berkenaan dengan ekosistem estuaria dan mangrove. Dengan demikian pembahasan akan dibatasi pada kedua jenis ekosistem yang saling terkait tersebut. Ekosistem Estuaria Estuaria secara definisi merupakan wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima air tawar dari daratan (Bengen,2004:10). Secara lebih spesifik estuaria dapat dikelompokkan menjadi empat tipe yaitu estuaria daratan pesisir, laguna, Fjords dan estuaria tektonik. Tipe ekosistem estuaria yang terdapat pada lokasi penelitian sendiri merupakan tipe laguna yang terbentuk oleh adanya beting pasir yang terletak sejajar dengan garis pantai. Kondisi tersebut menyebabkan tidak terjadinya interaksi secara langsung dan terbuka dengan perairan laut (Bengen 2004:10). Menurut Bengen (2004:13-14) estuaria secara fisik dan biologis merupakan ekosistem yang produktif dimana disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena estuaria dapat menjebak zat hara yang cepat didaur ulang. Kedua, fotosintesis terjadi sepanjang tahun pada wilayah ini karena tingginya ragam komposisi tumbuhan makro (makrofiton) dan tumbuhan mikro (mikrofiton). Ketiga, karena terjadinya pengangkutan bahan makanan dan zat hara yang dibutuhkan oleh berbagai organisme estuaria melalui proses pasang-surut. Erlangga (2007) mengidentifikasi berbagai fenomena lingkungan yang terjadi di wilayah estuaria sebagai berikut : 1.
Tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut, dimana menyebabkan pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya.
4
2. Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut. 3. Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya 4. Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lain, serta topografi daerah estuaria tersebut. Fenomena yang disebutkan di atas membuat biota di wilayah estuaria memiliki karakteristik yang khas. Secara umum fauna yang ada di wilayah tersebut dapat dibagi menjadi tiga yaitu fauna laut, fauna air tawar dan fauna air payau (Bengen, 2004:12). Diantara ketiga jenis fauna tersebut yang mendominasi adalah fauna laut khususnya yang termasuk hewan stenohalin atau memiliki tingkat toleransi rendah terhadap perubahan salinitas perairan ( >30 ‰ ) dan eurohalin yang mampu mentolelir perubahan salinitas perairan cukup tinggi atau mampu bertahan sampai tingkat salinitas di bawah 30‰. Sedangkan hewan air payau hidup pada kisaran perubahan salinitas antara 5-30‰ dan hewan air tawar yang hanya dapat mentolelir kadar salinitas di bawah 5‰. Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang memiliki fungsi ekologis dan fungsi ekonomis yang penting. Secara ekologis mangrove berfungsi sebagai feeding ground, spawning ground, nursery ground, penahan gelombang dan angin, penahan instrusi air laut dan dapat menurunkan kandungan gas CO2 (Bengen, 2004). Selain itu mangrove memiliki fungsi ekonomis seperti : digunakan sebagai kayu bakar, bahan bangunan, tempat rekreasi, dan obat-obatan. Menurut Lear & Tunner, 1997 dalam Soeroyo (1990) produktivitas primer ekosistem mangrove mencapai sekitar 2500 – 3600 gr/m2/th, merupakan urutan ketiga setelah produktivitas hutan hujan (6000 gr/m2/th) dan produktivitas terumbu karang (4900 gr/m2/th). Tipe ekosistem mangrove yang ada di Indonesia ada tiga tipe yaitu bentuk pantai atau delta, bentuk muara sungai atau laguna dan bentuk pulau (LPP Mangrove, 2008). Tabel 2. No 1 2 3 4
Zonasi Vegetasi Mangrove Berdasar Salinitas
Keterangan Zonasi air payau hingga air laut dengan kisaran salinitas 10-30‰ Area yang terendam air sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan : Rhizopora mucronata Area yang terendam air 10-19 kali per bulan : Avicennia alba, Avicennia marina, Sonneratia sp dan dominan Rizhopora sp. Area yang terendam kurang dari 9 kali per bulan : Rhizopora sp, Bruguiera sp Area yang hanya terendam beberapa hari dalam setahun : Bruguiera gymnorrhiza dan Rizhopora apiculata 5
No
Keterangan Zona air tawar hingga air payau dengan kisaran salinitas 0-10‰ 5 Area yang kurang lebih masih di bawah pengaruh pasang surut : asosiasi Nypa. 6 Area yang terendam secara musiman : Hibiscus dominan Sumber : De Haan dalam Russel & Yonge, 1968 dalam Bengen, 2004. Sedangkan Tomlinson (1986) dalam LPP Mangrove (2008) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni : 1.
Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.
2.
Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contoh : Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.
3.
Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan lainlain. Umumnya flora mangrove tumbuh di lapangan membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai
sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Ekosistem mangrove merupakan habitat bagi berbagai fauna, baik fauna khas mangrove maupun fauna yang berasosiasi dengan mangrove. Berbagai fauna tersebut menjadikan mangrove sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan, bermain atau tempat berkembang biak. Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa sederhana sampai burung, reptilia dan mamalia. Secara garis besar fauna mangrove dapat dibedakan atas fauna darat (terrestrial), fauna air tawar dan fauna laut (Gambar 2). Fauna darat, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lainlain. Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan Mollusca umunya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Bracyura. Di dalam ekosistem mangrove yang menjadi komponen utama adalah fauna laut.
6
Gambar 14.
Fauna Perairan Yang Hidup Di Ekosistem Mangrove
Sumber : Bengen (2004)
2.2.
Pemanfaatan WilayahPesisir Pesisir yang memiliki wilayah daratan dan perairan memang menyimpan potensi
sumberdaya yang besar untuk dimanfaatkan. Terlebih bila pada pesisir tersebut terdapat ekosistem yang mendukung kelimpahan sumberdaya perikanan seperti mangrove yang terdapat pada Kawasan Segara Anakan. Menurut Kay dan Alder (1999:25) pemanfaatan wilayah pesisir dapat dibagi ke dalam empat kategori yaitu untuk eksploitasi sumberdaya, infrastruktur, kegiatan turistik dan rekreasi, serta konservasi dan perlindungan biodiversitas. Pada wilayah yang lebih spesifik seperti estuaria, Bengen (2004) menjelaskan bahwa estuaria dimanfaatkan oleh manusia untuk empat kepentingan yakni (1) tempat permukiman; (2) tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan; (3) jalur transportasi dan (4) tempat pelabuhan dan kawasan industri. Tempat Permukiman Wilayah pesisir merupakan salah satu tempat yang dijadikan oleh masyarakat sebagai tempat bermukim semenjak dulu. Alasannya sederhana yaitu karena wilayah ini memiliki potensi ekonomi, sosial dan rekreasi yang lebih menarik bila dibandingkan dengan daerah pedalaman (Kay dan Alder, 1999:21). Hal ini membuat kawasan pesisir cenderung lebih berkembang bila dibandingkan dengan kawasan pedalaman. Studi yang dilakukan Asian Development Bank (1987) dalam Kay dan Alder (1999:23) menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk wilayah pesisir di Indonesia bahkan mencapai dua kali lipat dari rata-rata pertumbuhan penduduk nasional.
7
Perkembangan penduduk yang tinggi di wilayah pesisir memberi pengaruh yang kuat bagi kondisi dan kualitas lingkungan di wilayah ini. Kondisi tersebut tidak terlepas dari elemen-elemen yang ada di dalam sistem permukiman itu sendiri yang mencakup rumah atau tempat tinggal, prasarana dasar, dan aktivitas sosial ekonomi manusia yang tinggal pada kawasan permukiman tersebut (Vancouver Declaration on Human Settlement, 1976 dalam Setiadi 2008). Rumah menurut Rapoport (1969) dalam Mahmudin (2002) lebih dari sekedar proses bermukim karena di dalamnya juga ada kehadiran manusia beserta aktivitas dan pola tingkah lakunya. Santoso (1993) dalam Mahmudin (2002) menambahkan bahwa hakikat rumah bagi kehidupan manusia adalah tempat realisasi kehidupan manusia. Manusia akan mengaktualisasikan potensinya dan mampu membuka jalan dan memberikan saluran bagi kecenderungan, kebutuhan aspirasi, dan keinginan manusia dengan sepenuhnya. Adanya elemen-elemen dalam sistem permukiman tersebut membuat tingginya tingkat pemanfaatan sumberdaya sebagai suatu upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakatnya. Begitu pula dengan banyaknya limbah yang dibuang sebagai sisa dari aktivitas manusia. Konversi lahan yang tinggi baik untuk permukiman atau bangunan pendukung lainnya dimana membuat tekanan terhadap lingkungan semakin tinggi. Akibatnya fungsi-fungsi lingkungan baik fungsi fisik, biologi maupun kimia semakin berkurang. Situasi ini membuat pelayanan yang diberikan lingkungan kepada manusia juga semakin terbatas. Tempat Penangkapan dan Budidaya Sumberdaya Ikan Secara alami ekosistem mangrove yang mengelilingi perairan laguna berfungsi sebagai feeding ground, nursery ground, dan spawning ground yang membuatnya kaya akan sumberdaya perikanan (Bengen, 2004). Pada wilayah mangrove banyak berbagai biota yang hidup pada kolom air dan pada substrat baik keras maupun lunak (Bengen 2004:22). Jenis yang hidup pada kolom air diantaranya adalah berbagai jenis ikan dan udang yang hidupnya berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Sedangkan yang hidup pada substrat khususnya adalah kepiting dan kerang. Kekayaan sumberdaya tersebut di atas, menjadi dasar pemanfaatan wilayah pesisir oleh banyak masyarakat. Berdasarkan UU. No.27 tahun 2007, pemanfaatan wilayah pesisir pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemanfaatan sumberdaya ikan yang ada di wilayah pesisir dilakukan dengan cara penangkapan dan juga budidaya. Penangkapan berarti mengambil atau mengekstrasi sumberdaya ikan yang ada di alam secara langsung dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap baik yang bersifat aktif mapun pasif. Sedangkan budidaya perikanan merupakan kegiatan pemeliharaan ikan pada satu tempat atau lokasi tertentu dengan tujuan komersil suatu komoditas perikanan tertentu. Daerah di sekitar mangrove umumnya dimanfaatkan untuk 8
tambak bandeng dan udang. Hal tersebut dilakukan karena perairan di sekitar mangrove kaya akan unsur nutrien yang membantu perkembangbiakan jenis yang dibudidayakan. Kegiatan perikanan tangkap bila tidak dikelola secara baik seringkali menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan dan sumberdaya perikanan itu sendiri. Hal ini karena ikan seringkali ditangkap dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan melebihi daya pulih ikan. Sutikno dan Maryunani (2006:146) mengatakan bahwa ikan seringkali diambil secara besarbesaran karena dianggap sebagai sumberdaya yang dapat pulih (renewable). Padahal sumberdaya ikan dapat terkuras bila ia dipanen melebihi kapasitasnya memulihkan diri. Fauzy (2004:100) menyebut fenomena ini sebagai tangkap lebih yang disebabkan oleh sifat kepemilikan sumberdaya yang cenderung terbuka. Victor (2002) dalam Sutikno dan Maryunani (2006:150) berpendapat bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alam milik umum seperti halnya perikanan terdapat tiga dilema. Dilema pertama adalah eksternalitas dari kegiatan penangkapan ikan yaitu ketika salah satu pihak dapat mengeruk atau menangkap ikan sebanyak-banyaknya, maka nelayan lain akan mengalami kerugian karena stok sumberdaya ikan menjadi menurun.
Dilema
kedua
adalah
eksternalitas teknologi yang terjadi karena nelayan cenderung melakukan penangkapan pada lokasi yang sama atau saling berdekatan. Hal ini menyebabkan perlombaan alat tangkap yang menjurus pada perusakan lingkungan. Dilema ketiga adalah masalah penentuan lokasi penangkapan ikan. Hal ini terkait dengan akses sumberdaya yang seringkali menimbulkan ketidakadilan antar nelayan karena ikan biasanya berkonsentrasi pada lokasi tertentu. Hal ini menyebabkan nelayan yang tidak memiliki akses terhadap lokasi tersebut harus menanggung biaya yang ditimbulkan oleh pemegang akses. Kegiatan budidaya juga berpotensi memberi dampak yang buruk terhadap lingkungan bila tidak menerapkan prinsip-prinsip perikanan budidaya yang berkelanjutan. Seperti budidaya udang yang telah lama dianggap merusak mangrove, karena memproduksi sejumlah hara yang secara potensial membahayakan ekosistem mangrove. Selain itu juga terjadi pembuangan limbah ke perairan pada saat panen dan pergantian air tambak secara rutin dimana mengalirkan buangan bahan organik ke hilir, daerah sungai dan ekosistem laut (Baliao dan Tookwinas, 2002). Jalur transportasi Transportasi atau perangkutan dapat diartikan perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan alat pengangkutan, baik yang digerakkan oleh tenaga manusia, hewan (kuda, sapi, kerbau), atau mesin (Sukarto, 2006). Perpindahan terjadi karena adanya kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi di tempat asalnya. Menurut (Faulks, 1982 : 27-28), transportasi akan meningkat akibat peningkatan distribusi bahan baku, kemampuan dan tenaga kerja. Hal tersebut 9
untuk mempertemukan antara material atau bahan baku yang diperlukan dengan perusahaan atau industri tempat pengolahan menjadi bahan baku maupun pemasaran untuk konsumsi masyarakat. Transportasi perlu untuk mengatasi kesenjangan jarak dan komunikasi antara tempat asal dan tempat tujuan (Sukarto, 2006). Untuk itu dikembangkan sistem transportasi dan komunikasi, dalam wujud sarana (kendaraan) dan prasarana (jalan). Dari sini timbul jasa angkutan untuk memenuhi kebutuhan perangkutan (transportasi) dari satu tempat ke tempat lain. Secara garis besar moda transportasi terbagi tiga yaitu transportasi darat, air, dan udara (Sukarto, 2006). Sesuai dengan kondisi wilayah di Kawasan Segara Anakan maka yang berkembang dengan baik adalah moda transportasi air seperti kapal, perahu, tongkang dan rakit. Moda transportasi ini menjadi sarana yang menghubungkan berbagai wilayah di dalam Kecamatan Kampung Laut. Selain itu juga menjadi sarana yang menghubungkan Kecamatan Kampung Laut dengan wilayah lain di sekitarnya. Dampak pemanfaatan wilayah pesisir sebagai jalur transportasi terhadap lingkungan cenderung tidak terjadi secara langsung. Adanya jalur dan sarana transportasi akan meningkatkan pergerakan masyarakat baik yang ke dalam dan ke luar.
Secara ekonomi hal ini akan
memudahkan masyarakat untuk memasarkan hasil produksi sumberdaya alam yang ada di dalam suatu wilayah ke luar wilayah tersebut (Sukarto, 2008). Hal ini berarti akan mendorong peningkatan aktivitas ekonomi yang berarti mendorong pula pemanfaatan dan ekstrasi sumberdaya alam. Meningkatnya kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam akan meningkatkan ancaman terhadap lingkungan bila tidak dilakukan secara hati-hati. Infrastruktur, Pelabuhan dan Kawasan Industri Wilayah pesisir sudah semenjak lama dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai kepentingan. Bahkan sebelum berkembang moda transportasi udara, wilayah pesisir telah menjadi pilihan utama sebagai tempat keluar masuknya barang perdagangan. Untuk mendukung kegiatan tersebut maka dibangunlah berbagai infrastruktur pendukungnya. Kay dan Alder (1999:30), menyebutkan bahwa infrastruktur yang umum dibangun pada wilayah pesisir adalah : 1.
pelabuhan
2. fasilitas pendukung dan operasional berbagai sistem transportasi 3. Jalan, jembatan, dermaga 4. Instalasi pertahanan Pembangunan berbagai infrastruktur di atas menurut Kay dan Alder (1999:30) akan mempengaruhi perkembangan industri berbasis pelabuhan dimana akan meningkatkan pembangunan industri dan pertumbuhan tenaga kerja. Mekanisme umpan balik ini menjadi salah satu faktor pendorong utama bagi berkembangnya wilayah pesisir. Konsep ini sangat sesuai 10
menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi pada perkembangan kota-kota besar di Indonesia dimana kota-kota tersebut sebagian besar berada pada wilayah pesisir. Akibat yang ditimbulkan dari pembangunan berbagai infrastruktur, pelabuhan dan kawasan industri terhadap lingkungan adalah berubahnya lingkungan fisik pada wilayah pesisir yang dapat merubah struktur ekologi komunitas biota laut dan keanekaragaman hayati perairan (Bengen, 2004). Hal ini terjadi karena biota dan keanekaragaman hayati sumberdaya perairan sangat tergantung dari lingkungan fisik atau ekosistem tempat hidupnya. Kegiatan Turistik dan Rekreasi Kegiatan turistik dan rekreasi atau yang biasa disebut sebagai kegiatan wisata pada dasarnya adalah kegiatan yang menawarkan jasa-jasa kenyamanan yang menjadi salah satu fungsi dari wilayah peisir. Jasa wisata merupakan gabungan produk yang terangkum dalam atraksi, transportasi, akomodasi, dan hiburan (Freyer, 1993 dalam Damanik dan Weber, 2006). Sedangkan yang dimaksud dengan produk wisata adalah semua produk yang diperuntukkan atau dikonsumsi seseorang selama melakukan kegiatan wisata. Kegiatan wisata pada dasarnya dilakukan pada suatu tempat yang memiliki potensi wisata. Suatu tempat dikatakan memiliki potensi wisata jika memiliki objek (alam, budaya, buatan) yang memiliki nilai daya tarik bagi wisatawan (Damanik dan Weber, 2006). Objek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan dan atau hubungan aktivitas dan fasilitas yang dapat menarik pengunjung untuk datang ke suatu daerah atau tempat tertentu (Marpaung, 2000). Oleh karena itu daerah tujuan wisata menurut Yoety (1990) harus memiliki tiga syarat berikut : a. Something to see, artinya daerah tersebut harus mempunyai obyek dan daya tarik khusus sebagai hiburan bagi pengunjung. b. Something to do, tersedianya fasilitas sebagai penunjang bagi pengunjung untuk dapat melakukan aktivitas yang beragam dan dapat tinggal lebih lama. c. Something to buy, artinya tersedianya fasilitas untuk berbelanja, seperti kerajinan daerah setempat atau makanan khas sebagai buah tangan. Wilayah estuaria dan ekosistem mangrove pada dasarnya memiliki potensi wisata yang menarik untuk didatangi oleh para wisatawan. Terdapat sejumlah objek alam yang dapat dilihat diantaranya adalah nuansa hutan mangrove dengan vegetasinya yang khas dan beragam fauna yang hidupnya berasosiasi dengan ekosistem tersebut. Selain objek alam terdapat juga objek budaya berupa perkampungan nelayan yang banyak menempati kawasan tersebut. Karakteristik dan kegiatan ekonomi yang khas menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Pengaruh kegiatan wisata terhadap lingkungan adalah meningkatnya ancaman kerusakan wilayah pesisir bila tidak dilakukan secara hati-hati. Adanya kegiatan wisata selalu menuntut 11
adanya sarana dan prasarana pendukung seperti restoran, tempat penginapan dan sebagainya. Menurut Bengen (2004:56), hal ini berpotensi merubah struktur ekologi komunitas biota laut dan keanekaragaman hayati perairan terlebih bila dibangun di sekitar kawasan konservasi. Namun bila kegiatan wisata yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip ekoturisme, justru berpotensi memberi dampak positif terhadap lingkungan karena pengelola setempat akan memiliki dana untuk meningkatkan upaya perbaikan kualitas lingkungan.
2.3.
Konservasi Dan Perlindungan Biodiversitas Menurut Bengen (2004:57), konservasi adalah upaya perlindungan yang dapat dilakukan
agar ekosistem pesisir dapat berperan secara optimal dan berkelanjutan. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa tujuan konservasi adalah melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati dan melindungi proses-proses ekologi. Sedangkan kegiatan konservasi pada wilayah pesisir dan pula-pulau kecil berdasarkan Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Pada laporan mengenai konservasi sumberdaya ikan yang dilakukan oleh DKP dan JICA (2008) disebutkan pula bahwa tujuan dari penyelenggaraan kegiatan konservasi adalah untuk menjaga habitat hidup ikan agar terjaga kelestariannya baik pada daerah asuhan (nursery ground), mencari makan (feeding ground), memijah (spawning ground), dan jalur ruaya migratory route. Di dalam UU. 27 tahun 2007 disebutkan bahwa suatu wilayah atau kawasan pesisir dapat ditetapkan sebagai salah satu kawasan konservasi bila memiliki ciri khas sebagai satu kesatuan ekosistem untuk mewujudkan suatu pengelolaan yang berkelanjutan. Secara lebih spesifik, perlindungan terhadap suatu ekosistem dimaksudkan untuk melindungi hal-hal berikut : a. Sumber daya ikan b. Tempat persinggahan dan/atau alur migrasi biota laut lain; c. Wilayah yang diatur oleh adat tertentu, seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, dan/atau istilah lain adat tertentu; dan d. Ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan. Atas dasar kiteria tersebut, maka ekosistem laguna dan mangrove termasuk di dalamnya dimana merupakan daerah yang vital bagi sumberdaya perikanan dan juga ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan. Sebagaimana disebutkan pula dalam DKP dan JICA
12
(2008) bahwa ekosistem yang terkait dengan konservasi sumberdaya ikan diantaranya adalah laut, padang lamun, terumbu karang, mangrove, estuaria, pantai, rawa, sungai, danau, waduk, embung dan ekosistem perairan buatan. Penyelenggaraan kawasan konservasi laut secara detail dijelaskan dalam PP. No. 60 tahun 2007. Asas dan prinsipnya sebagaimana tercantum dalam pasal 2 adalah sebagai berikut : 1. Pendekatan kehati-hatian 2. Pertimbangan bukti ilmiah 3. Pertimbangan kearifan lokal 4. Pengelolaan berbasis masyarakat 5. Keterpaduan pengembangan wilayah pesisir 6. Pencegahan tangkap lebih 7. Pengembangan alat tangkap, cara penangkapan ikan,dan pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan 8. Pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat 9. Pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan 10. Perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis 11. Perlindungan jenis dan kualitas genetik ikan 12. Pengelolaan adaptif
2.4.
Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Manusia selalu memiliki keterkaitan dengan lingkungan tempat tinggalnya. Begitupula
masyarakat di wilayah pesisir yang kehidupannya sangat terkait dengan kondisi lingkungan di wilayah tersebut. Masyarakat oleh Soekanto (1997:162) diterjemahkan sebagai kelompok besar maupun kecil yang hidup bersama sedemikian rupa sehingga memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang utama. Sedangkan pengertian masyarakat pesisir adalah sekelompok warga yang tinggal bersama di wilayah pesisir dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumberdaya yang ada di wilayah pesisir (Prianto, ed, 2005). Oleh karena itu tidak heran bahwa sebagian besar masyarakat pesisir berprofesi sebagai nelayan dan pembudidaya ikan dimana kedua kegiatan tersebut sangat berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya di wilayah pesisir. Hal ini sejalan dengan pernyataan Fakhrudin dan Yulianto (2008) yang menyatakan bahwa mata pencaharian masyarakat pesisir didominasi oleh sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resources base) seperti nelayan, petani ikan (budidaya tambak dan laut). Kusumastanto (2002) memberikan gambaran yang lebih jelas dimana karakteristik masyarakat pesisir dapat dijabarkan sebagai berikut :
13
1.
Tergantung pada kondisi lingkungan atau rentan pada kerusakan khususnya pencemaran atau degradasi kualitas lingkungan. Bila kondisi lingkungan mengalami degradasi akan membuat kehidupan nelayan semakin sulit karena terkait langsung dengan aktivitas sosial ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat. Begitupula sebaliknya meski hal ini jarang terjadi.
2. Tergantung pada musim khususnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan. Sebagaimana diketahui bahwa musim akan menentukan banyak sedikitnya ikan yang dapat ditangkap oleh nelayan. Pada saat musim banyak ikan, maka nelayan akan sangat sibuk melaut untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Sebaliknya pada musim paceklik banyak masyarakat yang tidak berangkat melaut sehingga tidak ada kegiatan ekonomi yang memberikan penghasilan pada saat tersebut. 3. Pasar yang dapat menyerap hasil produksi perikanan masyarakat mengingat sifat produk perikanan yang mudah rusak. Hal ini membuat nelayan seringkali memiliki daya tawar yang rendah terhadap harga produk perikanan karena keharusan menjual produk dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu seringkali dijumpai masyarakat nelayan hidup dalam keadaan kekurangan karena tidak mendapatkan keuntungan yang memadai. Masyarakat pesisir menurut Dahuri dkk (2001:285) memiliki beberapa masalah umum yang sering dijumpai yaitu pertama, sarana pelayanan dasar termasuk prasarana fisik yang terbatas. Kedua, kondisi lingkungan kurang terpelihara sehingga standar kesehatan relatif rendah. Ketiga, kurangnya sanitasi dan air bersih. Keempat, ketrampilan penduduk yang sebatas pada penangkapan ikan atau dengan kata lain kurang memiliki ketrampilan di bidang lainnya. Kelima, pendapatan penduduk yang relatif rendah. Keenam, pendidikan dan pengetahuan yang umumnya rendah. Sedangkan kegiatan ekonomi masyarakat masih mengandalkan satu sektor saja yaitu perikanan. Aktifitas sosial ekonomi pada wilayah pesisir tercermin dari pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat. Menurut Kay dan Alder (1999:25), pemanfaatan wilayah pesisir dapat dibagi ke dalam empat kategori yaitu untuk eksploitasi sumberdaya, infrastruktur, kegiatan turistik dan rekreasi, serta konservasi dan perlindungan biodiversitas. Secara lebih detail pada wilayah estuari, Bengen (2004) menjelaskan bahwa secara umum kawasan tersebut dimanfaatkan oleh manusia untuk empat kepentingan yakni (1) tempat permukiman; (2) tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan; (3) jalur transportasi dan (4) tempat pelabuhan dan kawasan industri. Sedangkan ekosistem mangrove dimanfaatkan manusia sebagai pemasok larva ikan dan udang
14
alam yang sangat erat kaitannya dengan aktivitas penangkapan dan budidaya perikanan. Selain itu banyak juga masyarakat yang memanfaatkan mangrove untuk diambil kayunya untuk berbagai kepentingan.
2.5.
Peta dan Pemetaan Peta merupakan penyajian secara grafis dari kumpulan data yang mentah maupun yang
telah dianalisis atau informasi sesuai lokasinya. Dengan kata lain peta adalah bentuk sajian informasi spasial mengenai permukaan bumi untuk dapat dipergunakan dalam pembuatan keputusan. Supaya bermanfaat, suatu peta harus dapat menampilkan informasi secara jelas, mengandung ketelitian yang tinggi, walaupun tidak dihindari harus bersifat selektif, dengan mengalami pengolahan, biasanya terlebih dahulu ditambah dengan ilmu pengetahuan agar lebih dapat dimanfaatkan langsung oleh pengguna. Informasi dapat dipandang sebagai data yang telah ditambah dengan pengetahuan untuk mengekstrak maknanya. Misalnya kita ingin menyajikan data mengenai jumlah penduduk pada suatu kabupaten. Dengan hanya menyajikan data hasil sensus, mungkin maknanya kurang jelas walaupun data tersebut telah disajikan dengan keadaan sebenarnya. Mengolah data tersebut secara statistic, menyajikannya dalam bentuk terkelaskan berdasar kelompok umur, jenis kelamin, dll, akan jauh lebih bermakna. Penyajian langsung adalah poenyajian data, sedangkan penyajian yang terakhir adalah penyajian informasi yang dalam hal ini disebut dengan pemetaan. Jenis peta secara garis besar hanya ada dua. Peta topografi dan peta tematik. Peta topografi bersifat umum sehingga penyajiannya tidak menonjolkan satu aspek, sedang pada peta tematik penyajiannya dengan menonjolkan tema/topik sesuai dengan judul peta itu sendiri. Misalnya, penyajian jenis jalan di peta topografi tidak menonjol antara satu ruas jalan dengan ruas jalan lain yang jenis jalannya berbeda, ruas jalan tersebut di peta topografi juga tidak lebih menonjol dibandingkan dengan –misalnya- pola aliran sungai. Tetapi di peta tematik tentang – misalnya- status jalan, ruas jalan yang statusnya berbeda akan tampak ditonjolkan dibandingkan dengan aspek lainnya. Peta dasar merupakan dasar untuk memetakan informasi spasial sehingga informasiinformasi tersebut, baik secara relatif maupun absolut menempati lokasi geografis yang benar. Peta dasar dapat berupa peta topografi secara lengkap atau sudah dikurangi informasinya agar tidak rancu dengan informasi tematiknya. Peta topografi yang sering digunakan sebagai peta dasar dalam pembuatan peta tematik sudah standar, baik dalam ukuran kertasnya, luas liputannya, maupun penyajian aspek kartografi lainnya. Peta tematik itu sendiri merupakan suatu peta yang menyajikan informasi khusus yang mempunyai satu tema. Peta tematik banyak sekali
15
macamnya, seperti peta sistem lahan, peta penggunaan lahan, peta tanah, peta geologi, peta penyebaran jumlah penduduk, dll.
16
III. METODE PENELITIAN 3.1.
Kerangka Pemikiran Pemetaan sosial ekonomi sumberdaya pesisir diperlukan dalam rangka menyusun
kebijakan yang terkait pemanfaatan ruang pesisir sehingga memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat. Langkah yang diperlukan untuk melakukan pemetaan diawali melalui proses identifikasi ekosistem yang terdapat pada suatu wilayah. Hal ini dilakukan karena barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu ekosistem memiliki karakteristik tersediri. Manfaat yang diperoleh kemudian juga ditentukan oleh karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang melakukan pemanfaatan pada wilayah tersebut. Sehingga pada satu jenis ekosistem yang sama bisa memberikan nilai manfaat yang beragam pula. Dengan demikian, pada suatu lokasi tertentu akan terlihat peta karakteristis sosial ekonomi dan nilai yang khas. Menurut cara padangan ilmu ekonomi ekologi, tujuan penilaian ekonomi sumberdaya alam bertujuan untuk menciptakan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi manfaat (Constanza and Folke (1997) dalam Adrianto (2006)). Aspek spasial atau keruangan akan memotret kondisi ini sehingga dapat diketahui dengan cepat oleh para pemangku kepentingan . Peta nilai ekonomi sumberdaya Identifikasi dan jasa ekosistem Spasial sumberdaya pesisir
Valuasi ekonomi Fungsi dan dinamika ekosistem
Gambar 15.
3.2.
Konsep Algoritma Pemetaan Sosial Ekonomi Berbasis Kawasan
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan adalah dengan menggunaan teknik survei. Teknik
survei ini dilakukan dengan cara melakukan sampling dan wawancara secara langsung dengan responden untuk mengidentifikasi potensi dan kondisi sosial ekonomi terkait pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan. Survei juga digunakan untuk mengetahui nilai total yang terkandung didalam suatu kawasan. Data–data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan primer. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi statistik dan data-data yang terkait dengan potensi sosial
17
ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan. Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik sumberdaya berdasarkan tipe ekosistem tertentu yang terkait dengan aspek sosial maupun ekonomi.
3.3.
Metode Analisis Data
3.3.1. Valuasi Sosial Ekonomi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Analisis data yang digunakan menggunakan teknik valuasi ekonomi untuk menghitung nilai total ekonomi (Total Economic Value/TEV) dari sumberdaya perikanan perairan pedalaman. Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat di tentukan secara benar dan mengenai sasaran (Nilwan et al, 2003). Secara matematis, nilai total ekonomi dapat ditulis sebagai berikut:
Dimana : TEV
= Total Economic Value
IUV
= Indirect Use Value
UV
= Use Values
OV
= Option Value
NUV = Non Use Values
EV
= Existence Value
DUV = Direct Use Value
BV
= Bequest Value
Pada masing – masing nilai, teknik valuasi akan dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan diantaranya yaitu Contingen Valuation Method (CVM), Effect on Production (EoP), Residual Rent (RR), Replacement Cost Method (RCM) dan Travel Cost Method (TCM). Uraian masing-masing teknik valuasi berikut tahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut : Contingent Valuation Method Data yang telah dikumpulkan kemudian dipilah dan ditabulasi agar memenuhi keperluan analisis. Analisis data pada Teknik CVM menggunakan perhitungan Total Benefit sebagai analisis dasar untuk menghitung WTP. untuk mendapatkan dugaan hubungan antara WTP (nilai keberadaan sumber daya) dengan karakteristik responden. maka didekati dengan menggunakan formula sebagai berikut:
Dimana ; 18
WTPi
= Kemampuan membayar pengguna terhadap suatu sumber daya
Xi
= Parameter penjelas ke – i (seperti Usia, pendidikan, pengalaman, pendapatan), (Grigalunas and Congar, 1995). Persamaan di atas, dinormalisasikan agar menyesuaikan bentuk data yang telah
dikumpulkan. Bentuk data ordinal seperti pengalaman kerja, usia dan tingkat pendidikan kemudian ditransformasi, sehingga mengharuskan digunakan regresi logaritma ganda. Hasil persamaan berdasarkan regresi logaritma berganda dilakukan dengan tingkat kepercayaan 95% (Yaping, 1999). Adapun bentuk persamaannya ditayangkan sebagai berikut:
Dimana: WTP α A E XP I
= Willingness To Pay (Nilai Kesediaan Membayar) = Konstanta = Usia Responden = Tingkat Pendidikan = Pengalaman Usaha = Pendapatan per tahun Penggunaan metoda yang digunakan Grigalunas and Congar, (1995) umumnya digunakan
untuk data yang memiliki nilai sebaran yang relatif seragam, dengan interval tidak terlalu besar. Sedangkan untuk memudahkan analisis data untuk data yang memiliki seperti digambarkan tersebut dapat digunakan metoda yang digunakan oleh Yaping, (1999). Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap tiga. Proses ini melibatkan konversi dari data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah dengan mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga di dalam populasi (N). Effect on Production (EoP) Pendekatan EoP memerlukan sebuah pendekatan yang integratif antara flow ekologi dan flow ekonomi karena lebih menfokuskan pada perubahan aliran fungsi ekologis yang memberikan dampak pada nilai ekonomi sumber daya alam yang dinilai. Hufschmidt, et al. (1983) dalam adrianto (2006), memberikan beberapa langkah analisis integrasi ekologi-ekonomi dalam konteks metode EoP sebagai berikut: pertama, Mengidentifikasi input seumberdaya, output (produksi sumber daya) dan residual sumber daya dari sebuah kebijakan/kegiatan, kedua, Melakukan kuantifikasi aliran fisik dari sumber daya, ketiga, Melakukan kuantifikasi keterkaitan antar sumber daya alam, keempat, Melakukan kuantifikasi aliran dan perubahan fisik ke dalam terminologi 19
kerugian dan manfaat ekonomi.Salah satu teknik yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan residual rent. Residual Rent didefinisikan sebagai perbedaan antar biaya faktor produksi dan nilai panen dari sumber daya alam. Residual rent dapat dilihat sebagai kontribusi sistem alam atau faktor pendapatan (Factor Income) terhadap nilai ekonomi total:
Dimana; PV = Present Value Bt = Manfaat bersih dari sumber daya kawasan Ct = Biaya produksi T = Jumlah tahun regresi nilai R = Tingkat diskon riil L = Luasan kawasan sumber daya
Travel Cost Method (TCM) Tujuan TCM adalah untuk menghitung nilai ekonomi suatu kawasan wisata melalui estimasi rata-rata permintaan terhadap kunjungan wisata di lokasi tersebut. Pendekatan biaya perjalanan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan biaya transportasi atau biaya perjalanan terutama untuk menilai lingkungan pada objek-objek wisata. Pendekatan ini menganggap bahwa biaya perjalanan serta waktu yang dikorbankan para wisatawan untuk menuju objek wisata tertentu dianggap sebagai nilai lingkungan yang wisatawan bersedia untuk membayar. Fungsi permintaan atas kunjungan wisatawan individual menurut Grigalunas et.al (1998) adalah :
Keterangan : Vi= trip kunjungan individu ke-i TCi= biaya perjalanan individu ke-i Yi = pendapatan individu ke-i Si= biaya perjalanan ke lokasi wisata subtitusi yang dikeluarkan olehindividu ke-i Dengan teknis regresi sederhana (ordinary least square), maka parameter β0, β1, β2, dapat diestimasi. (catatan paramater TC diharapkan negatif, dan INC diharapkan positif). Kemudian surplus konsumen rata-rata individu kemudian dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan:
20
Dimana: Vi
= tingkat kunjungan individu
β1
= nilai parameter regresi untuk biaya perjalanan Nilai ekonomi lokasi rekreasi (total consumers surplus) kemudian dapat diestimasi dengan
mengadakan nilai surplus konsumen rata-rata individu.
Dimana: TCS CS Vt
= Total Consumers Surplus = Consumers Surplus = total kunjungan pada tahun analisis (tahun ke–t)
Replacement Cost Method (RCM) Nilai ini dapat diestimasi dengan menggunakan pendekatan Replacement Cost yang diaplikasikan untuk fungsi ekosistem mangrove sebagai penahan gelombang (buffer zone). Biaya rehabilitasi per hektar mangrove dapat digunakan sebagai proksi bagi replacement cost:
Dimana: IUV Cr M
= Inderect Use Values; buffer zone = Biaya rehabilitasi mangrove per hektar atau m2 = luas hutan mangrove ( ha atau m2) Secara ringkas, hubungan nilai suatu sumberdaya dengan teknik valuasi/cara melakukan
penilaiannya dapat dilihat pada Tabel berikut.
21
Tabel 3.
Hubungan Nilai Dengan Teknik Valuasi Yang Digunakan
Nilai (Value)
Teknik Valuasi
A. Use Value
Indirect Use Value
Effect on production (EoP), Residual Rent (RR), Replacement Cost Methods (RCM), Travel Cost Method (TCM) Replacement Cost Methods (RCM), Benefit Transfer Method (BTM)
B. Option Value
Contingent Valuation Method (CVM)
Direct Use Value
C. Non Use Value Existence Value
Contingent Valuation Method (CVM)
Bequest Value
Contingent Valuation Method (CVM)
3.3.2. Metode Pemetaan Sosial Ekonomi Sumberdaya Pesisir Langkah pemetaan sosial ekonomi sumberdaya pesisir secara umum mengacu pada kerangka sebagai berikut Ecosystem Feature Pelagic System
Citra Satelit (Raster)
Mangrove Pengkelasan
Lamun
Terbimbing / tidak terbimbing
Terumbu Karang Cek Lapangan
Ecosistem Services Valuation
Pengkelasan kembali Transformasi data raster bentuk vector (digitasi)
ke
Provisioning Regulating Cultural Supporting
Editing, Annotation, Overlay, Query.
GIS Database Building
Tematik Map Output: (tiap WPP, Site atau area of interest) Nilai ekonomi sumberdaya Lamun, Karang, Mangrove Provisioning Ecosystem Value Regulating Ecosystem Value Cultural Ecosystem Value Supporting Ecosystem Value etc Gambar 16.
Area / Luas Perimeter / Keliling Tematik featured: Direct use Indirect use Option value Existence value Bequest value Total Economic Value dll
Tahapan Teknik Pemetaan 22
3.3.3. Citra satelit format raster Data citra satelit dikirim ke stasiun penerima dalam bentuk format digital mentah merupakan sekumpulan data numerik. Unit terkecil dari data digital adalah bit, yaitu angka biner, 0 atau 1. Kumpulan dari data sejumlah 8 bit data adalah sebuah unit data yang disebut byte, dengan nilai dari 0 – 255. Dalam hal citra digital nilai level energy dituliskan dalam satuan byte. Kumpulan byte ini dengan struktur tertentu bisa dibaca oleh software dan disebut citra digital 8bit. Karakteristik Citra Pixel Pixel (picture element) adalah sebuah titik yang merupakan elemen paling kecil pada citra satelit. Angka numerik (1 byte) dari pixel disebut digital number (DN). DN bisa ditampilkan dalam warna kelabu, berkisar antara putih dan hitam (gray scale), tergantung level energi yang terdeteksi. Pixel yang disusun dalam order yang benar akan membentuk sebuah citra. Kebanyakan citra satelit yang belum diproses disimpan dalam bentuk gray scale, yang merupakan skala warna dari hitam ke putih dengan derajat keabuan yang bervariasi. Untuk PJ, skala yang dipakai adalah 256 shade gray scale, dimana nilai 0 menggambarkan hitam, nilai 255 putih. Dua gambar di bawah ini menunjukkan derajat keabuan dan hubungan antara DN dan derajat keabuan yang menyusun sebuah citra.
Gambar 17.
Derajat Keabuan dan Hubungannya dengan Digital Number (DN)
23
Untuk citra multispectral, masing masing pixel mempunyai beberapa DN, sesuai dengan jumlah band yang dimiliki. Sebagai contoh, untuk Landsat 7, masing-masing pixel mempunyai 7 DN dari 7 band yang dimiliki. Citra bisa ditampilkan untuk masing-masing band dalam bentuk hitam dan putih maupun kombinasi 3 band sekaligus, yang disebut color composites. Gambar di bawah ini menunjukkan composite dari beberapa band dari potongan Landat 7 dan pixel yang menyusunnya.
Gambar 18.
Composite dari Beberapa Band Potongan Landat 7
Pengkelasan (terbimbing dan tidak terbimbing) Klasifikasi multispectral adalah algoritma yang dirancang untuk menurunkan informasi tematik dengan cara mengelompokkan fenomena berdasarkan kriteria tertentu. Pengelompokan kriteria hanya didasarkan pada pantulan spectral dari obyek. (Jensen, 1996) Secara garis besar klasifikasi citra dibagi atas dua yaitu : 1). Klasifikasi supervised dan 2). Klasifiksi unsupervised. Biasanya kedua jenis ini digunakan untuk mengklasifikasi keseluruhan suatu dataset menjadi kelas-kelas. Adapun kelas-kelas secara umum akan dibagi menjadi:
Kelas Lamun
Kelas Mangrove
Kelas Karang dan
Kelas Perairan, ditambah dengan,
Kelas daratan (vegetasi lain, pemukiman dll)
Cek lapangan Untuk kegiatan ini akan digunakan sampling berdasarkan klasifikasi unsupervised, maka sampling obyek dilakukan dengan mengambil data tentatif dari obyek hasil klasifikasi. Dengan prosedur sebagai berikut : -
hasil klasifikasi unsupervised di print out
-
cek obyek yang mempunyai kesamaan,
-
pilih obyek berdasarkan homogenitas, satu tampilan cukup diwakili oleh sebuah sampling.
24
-
Catat posisi sampling berdasarkan koordinat pada citra satelit.
-
Selanjutnya siap untuk ground truth
Pengkelasan kembali Reklasifikasi adalah kegiatan mengklasifikasi ulang citra satelit (peta tentative) setelah dilaksanakan pengamatan/cek lapangan, tetapi tidak semua kegiatan pengolahan citra digital yangnmemerlukan reklasifikasi. Pengolahan citra digital yang perlu mengadakan reklasifikasi adalah jika hasil uji ketelitian tidak mencapai target yang telah ditentukan, misalnya untuk penutup lahan minmal 85 %. Reklasifikasi dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan data yang disadap dari data citra satelit atau data penginderaan jauh. Hingga data yang dihasilkan valid dan dapat digunakan untuk tahap selanjutnya.
Gambar 19.
Tahapan Pengkelasan kembali
Tranformasi Data Raster ke bentuk vektor Untuk mengabungkan informasi spasial yang ada, seperti: nilai sumberdaya lahan, nilai jasa ekosistem, dengan fitur dasar geospasial (titik, garis dan polygon), dilakukan proses transformasi data raster ke bentuk data vector. Transformasi ini dilakukan dengan mengkonversi fitur-fitur spasial data raster menjadi koordinat x,y. koordinat ini dapat berbentuk single koordinat atau titik, berbentuk kumpulan koordinat yang kedua ujungnya terbuka/tidak bertemu atau garis dan dapat berbentuk kumpulan koordinat yang kedua ujungnya bertemu atau polygon.
Gambar 20.
Perubahan Bentuk Data Raster Ke Vector
25
Gambar 21.
Proses Digitasi Pemetaan
Pada tahap ini akan dihasilkan informasi tutupan lahan berdasarkan kelas-kelas yang telah terbentuk berdasarkan pengolahan data penginderaan jauh (raster) sebelumnya. GIS Database Building Membangun basis data SIG dalam kegiatan ini adalah mengabungkan informasi terkait valuasi ekonomi seperti Direct use Indirect use Option value Existence value Bequest value atau pun informasi nilai jasa ekosistem yang tergolong dalam Provisioning, Regulating, Cultural, Supporting, dengan kelas-kelas fitur data vector GIS yang telah dibangun. Secara singkat proses membangun database ini dimulai dengan membangun struktur data base untuk tiap jenis data yang akan diinput, menambahkan annotasi pada titik, garis polygon, sesuai masing-masing karakter, kelas dan informasi. Annotasi, Overlay, Serta Query untuk menonjolkan informasi yang diinginkan dari basisdata yang telah dimasukkan.
26
Gambar 22.
Proses Annotasi Pemetaan
Gambar 23.
Proses Overlay Pemetaan
Gambar 24.
Salah Satu Bentuk Query Pemetaan
27
Tematik Map Output Tahapan ini adalah penanyangan dalam bentuk tema-tema peta yang akan ditampilkan sebagai output kegiatan ini, antara lain: Nilai ekonomi sumberdaya Lamun, Karang, Mangrove, Provisioning Ecosystem, Value, Regulating Ecosystem Value, Cultural Ecosystem Value, Supporting Ecosystem Value, baik dalam skala unit peta Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) ataupun hanya unit peta lokasi yang dicover dalam sampling frame.
Gambar 25.
Contoh Output Peta Tematik
28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Taman Wisata Perairan di Lokasi Penelitian 4.1.1. Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang Kondisi Geografis TWP Kapoposang Kepulauan Kapoposang merupakan bagian dari Kepulauan Spermonde dan secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan SK Menteri Kehutahan No. 588/KPTS-VI/1996 tanggal 12 September 1996 menetapkan Kepulauan Kapoposang sebagai Taman Wisata Alam Laut dengan luas sebesar 50.000 hektar dan memiliki panjang batas 103 km. Saat ini Pengelolaan Kepulauan Kapoposang dan perairan sekitarnya telah diserahkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan sesuai dengan Berita Acara Serah Terima No. BA.108/MEN.KP/III/2009 pada tanggal 4 Maret 2009. Kawasan ini dan laut disekitarnya ditetapkan sebagai Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang (TWP Kepulauan Kapoposang) sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.66/MEN/2009 dalam Haslindah, 2013).
Gambar 26.
TWP Kepulauan Kapoposang dan Laut Sekitarnya
Sumber: https://twpkapoposang.wordpress.com
Wilayah Taman Wisata Perairan Kapoposang terletak di bagian paling barat dari gugusan Kepulauan Spermonde atau Singkarang, dimana secara administratif merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, dan lebih tepatnya merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Liukang Tuppabiring. Penetapan wilayah menjadi Taman Wisata Perairan sebagaimana Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Tahun 2009 tentang Penetapan Taman 29
Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang dan Laut disekitarmya memiliki posisi geografis pada 118°56’ 18’’ - 118°56’18’’ Bujur Timur dan 4°40’21’’-4°40’35’’ Lintang Selatan, dan dibatasi oleh Selat Makassar sekelilingnya. Kawasan Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang memiliki luas 50.000 ha (SK. Menhut. 558/Kpts-VI/96). Taman Wisata Perairan ini meliputi 6 pulau utama (Kapoposang, Papandangan, Pamangganggang, Tambakulu, Gondongbali, dan Suranti), dan gugusan terumbu karang. Sebagai pusat aktifitas sosial-ekonomi, serta kegatan pelestarian sumberdaya alam Taman Wisata Perairan Kepulauan kapoposang, Pulau Kapoposang menjadi prioritas pengembangan prasarana dan sarana, dan pengembangan kawasan. Secara geografis kawasan Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang terletak pada koordinat 4°37’ sampai 4°52’ Lintang Selatan d an 118°54’00” sampai 119°10’00’’ Bujur Timur. Pulau Kapoposang yang akan menjadi pusat pengembangan Taman Wisata Perairan terletak pada koordinat 04°4 1’00” Lintang Selatan dan 118°57’00” Bujur Timur, sedangkan Pulau Papandangan yang menjadi pulau tetangga terdekat dari Pulau Kapoposang dan sekaligus menjadi ibukota Desa Mattiro Ujung dimana Pulau Kapoposang tercakup didalamnya, terletak pada posisi sekitar titik 4°43’15” Lintang Selatan dan 118°58’00” Bujur Timur. Jarak Pulau Kap oposang ke Pulau Papandangan sekitar 2,2 kilometer dengan jarak tempuh sekitar 10-15 menit menggunakan perahu motor. Selain Pulau Kapoposang dan Papandangan, dalam kawasan Taman Wisata Perairan juga tercakup Pulau Gondongbali, Pulau Tambakulu, Pulau Pemanggangan dan Pulau Suranti. Pulau Gondongbali dahulu merupakan pusat perkembangan sosial ekonomi pulau dikawasan ini. Tetapi setelah diadakan pemekaran desa, Pulau Kapoposang dan Papandangan dijadikan 1 desa baru, Pulau Gondongbali tidak lagi menjadi satu-satunya pusat pengembangan. Pulau Papandangan tampil sebagai pusat administrasi yang baru yang sekaligus pusat perkembangan sosial ekonomi, sedangkan Pulau Kapoposang sebagai pusat kedatangan wisata. Pulau Kapoposang sebagai pusat Taman Wisata Perairan berada di sebelah Barat laut Kota Makasar, dan merupakan pulau paling Barat dari Kepulauan Sangkarang (Spermode). Berdasarkan letaknya yang paling ujung itulah maka pulau ini diberi nama Kapoposang, yang dalam bahasa Bugis berarti yang penghabisan atau yang terakhir. Jarak Pulau Kapoposang dari ibukota Kecamatan Liukang Tupabbiring yang berpusat di Pulau Balang Lompo, mencapai 48 km atau lima jam perjalanan dengan menggunakan perahu motor berkekuatan lima tenaga kuda (HP). Jarak ke ibukota Kabupaten, yakni Kota Pangkajene, mencapai 60 km atau lima sampai enam jam perjalanan, sedangkan jarak ke ibukota propinsi (Makasar) 112 km atau lima sampai 6 jam perjalanan dengan perahu bermotor berkekuatan 66 tenaga kuda (HP) dan sekitar dua jam dengan menggunakan speed-boat berkekuatan 200 tenaga kuda (HP). Sebagai bagian dari
30
komposisi gugusan pulau di Kepulauan Spermonde, garis pantai sebelah Utara dan Timur Pulau Kapoposangberbatasan dengan Selat Makassar. Garis pantai ini merupakan lereng curam dengan kedalaman hingga lebih 600 meter. Sedangkan pantai bagian Selatan merupakan pantai yang landai dengan kedalaman yang berangsur hingga mencapai 40 meter. Pulau Kapoposang membujur kearah Timur laut-Barat daya dan melengkung di bagian tengahnya,sedangkan terumbu karangnya membujur ke arah TimurBarat. Gugusan Kepulauan Spermonde, dimana Kepulauan Kapoposang termasuk didalamnya, merupakan pulau-pulau karang yang tumbuh pada paparan Maros yang bersama Gunung Lompo Battang membentuk paparan Holocone. Lebar paparan Spermode dari pantai ke arah Barat berkisar antara 40 km. Berdasarkan kedalaman dengan pertimbangan bentuk dasar paparan berupa undakan Paparan Spermode dapat dibagi dalam empat zona (Wisman, 1981 dalam Suharsono, 1997) yaitu : a. Zona pertama merupakan zona pantai dengan dasar pasir atau lumpur dan banyak dipengaruhi oleh daratan. b. Zona Kedua berjarak sekitar lima kilometer dari pantai dengan kedalaman sekitar 30 meter. Pada zona ini ditemukan banyak pulau pulau kecil. c. Zona ketiga berjarak 12,5 kilometer dari pantai dengan kedalaman laut bervariasi antara 30-50 meter. Pada zona ini banyak ditemukan ”Patch reef” atau takat yaitu terumbu karang yang belum muncul kepermukaan. d. Zona keempat atau zona terluar mempunyai variasi kedalaman antara 30-50 meter dengan jarak 25-30 kilometer dari pantai. Pada umumnya sisi Timur dari pulau-pulau yang berada di zona ini relatif landai dengan kedalaman antara 30-50 meter, sedangkan sisi Barat mempunyai dinding terumbu yang terjal dengan kedalaman antara 100-300 meter. Pulau Kapoposang berada pada zona keempat. Secara administratif Kepulauan Kapoposang termasuk dalam wilayah Kecamatan Liukang Tupabbiring. Luas wilayah Kecamatan Liukang Tupabbiring mencakup 140 km2, sebagian besar terdiri dari perairan dan 42 buah pulau. Ibukota Kecamatan bernama Mattiro Sompe terletak di Pulau Balang Lompo. Jarak Mattiro Sompe dari Pangkajene mencapai 22 km. TWP Kepulauan Kapoposang meliputi 6 pulau, yaitu Kapoposang dengan luas 42 Ha, Papandangan ± 13 Ha, Gondongbali ±5 Ha, Tambakulu ± 5 Ha, Pamanggangan ± 5 Ha, dan Suranti ± 4 Ha. Kepulauan Kapoposang masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Liukang Tupabbiring. Desa dalam TWP Kepulauan Kapoposang yang berpenghuni adalah Desa Mattiro Ujung (pulau Kapoposang dan Papandangan), dan Mattiro Matae (di Pulau Gondongbali). Sebagai salah satu orientasi pengembangan kawasan pengembangan, pada awalnya pulau yang berpenghuni
31
dipimpin seorang kepala pulau yang disebut galla (gallarang). Beberapa kepala dusun di Kepulauan Kapoposang adalah bekas galla (sebelum pemekaran desa). Ia ditunjuk oleh kepala desa dan memperoleh persetujuan sepenuhnya dari masyarakat. Taman Wisata Perairan Kapoposang berada dalam suatu kawasan yang terdiri dari 5 (lima) pulau-pulau kecil, yaitu Pulau Kapoposang, Pulau Papandangan, Pulau Gondongbali, Pulau Pamanggangan, Pulau Tambakulu, dan Pulau Saranti. Adapun kondisi pulau-pulau yang ada di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang dapat dilihat pada Tabel 4 berikut . Tabel 4. Kondisi Pulau-Pulau dalam Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang, Kabupaten Pangkep. No
Nama Desa
Nama Pulau
1
Mattiro Ujung
2
Mattrio Mattae
Papandangan Kapoposang Gondongbali Suranti Tambakulu Pamanggangang
Berpenghuni/Tidak Berpenghuni Berpenghuni Berpenghuni Tidak Tidak Tidak
Luas Daratan (Ha) 13 42 5 4 5 5
Sumber : Kantor Camat Tupabbiring Selatan, 2011 dalam Haslindah, 2012.
Jumlah Penduduk (Jiwa) 898 510 1.807 -
a. Pulau Kapoposang Pulau Kapoposang merupakan salah satu dusun Desa Mattiro Ujung, terletak pada posisi 04°41'45,6” - 04°43'24. 6” LS dan 118°57'7.2” - 118°59'2.4” BT. Luas pulau Kapoposang 10 km2, merupakan salah satu lokasi Taman Wisata Alam Laut, menjadikan pulau ini sering dikunjungi oleh wisatawan asing maupun domestik. Jumlah penduduk Desa Mattiro Ujung secara keseluruhan adalah 1.408 jiwa. Jumlah penduduk yang berdiam di Pulau Papandangang lebih banyak dibandingkan warga yang berdiam di Pulau Kapoposang. Jaraknya yang cukup jauh dari Makassar dan atau Pangkajene Ibu kota Pangkep dengan lama perjalanan kurang lebih 6 jam. Secara umum, sarana dan prasarana yang tersedia di Pulau Kapoposang relatif sangat terbatas. Sarana pendidikan yang tersedia di pulau tersebut hanya satu unit Sekolah Dasar. Fasilitas kesehatan berupa sebuah Puskesmas Pembantu yang dilengkapi tenaga medis terdapat di Pulau Papandangan. Warga Pulau Kapoposang yang memerlukan pelayanan kesehatan umumnya memanfaatkan Puskesmas Pembantu ini. Untuk tenaga listrik di pulau ini menggunakan generator yang beroperasi antara pukul 18.00 - 06.00 WITA. Tenaga listrik yang dihasilkan generator berbahan bakar solar tersebut relatif terbatas karena hanya mampu menyuplai sebagian rumah-rumah warga. Sebagaimana pulaupulau lainnya di Kabupaten Pangkep, mata pencaharian penduduk Pulau Kapoposang umumnya adalah nelayan, selain itu di darat terdapat banyak kelapa, sukun dan pisang yang tumbuh subur. Hampir seluruh pulau dipenuhi dengan tanaman kelapa dan sukun. Oleh penduduk, kelapa dan 32
sukun tersebut dijual di pulau-pulau terdekat. Dengan harga kelapa dan sukun yang relatif murah dan sarana dan prasarana transportasi yang sangat terbatas, ini menjadi alasan mengapa komoditas tersebut, misalnya, tidak dijual di Pangkajene atau di Makassar. b. Pulau Papandangan Pulau Papandangan merupakan salah satu pulau terluar dalam wilayah Kecamatan Liukang Tuppabiring. Pulau ini bersama Pulau Kapoposang termasuk dalam wilayah administratif Desa Mattiro Ujung. Secara geografis pulau pandangan berada pada 04°41' 45,6”LS dan 118°59'2,4” BT. Pulau Pandangan yang luasnya 5 km2 ini dihuni oleh 853 jiwa yang terdiri dari 448 laki-laki dan 405 perempuan (Kantor Camat Tuppabiring, 2011).
Mereka kebanyakan beretnis Bugis,
sedangkan sebagian kecil lainnya beretnis Makassar dan Mandar. Aksesibilitas dari dan ke Pulau Pandangan dapat dilakukan dengan menggunakan perahu motor dalam waktu 5 jam dari Kota Makassar (Pelabuhan Paotere) dan 4 jam dari Pangkep (Dermaga MacciniBaji) Biasanya penduduk yang ingin bepergian ke Makassar atau Pangkep ikut menumpang di perahu motor ponggawa pulau atau nelayan yang akan membawa ikan hasil tangkapan untuk dijual. Secara umum, sarana dan prasarana di Pulau Pandangan relatif sangat terbatas. Sarana pendidikan yang tersedia hanya berupa sebuah Sekolah Dasar, sedangkan sarana pendidikan belum tersedia untuk tingkat lanjutannya belum tersedia. Sarana kesehatan yang tersedia di pulau ini berupa Pustu dan Posyandu. Sarana umum lainnya adalah dermaga, masjid, listrik dan kantor desa. Sebagai pembangkit tenaga listrik digunakan generator yang beroperasi antara pukul 18.00 sampai dengan 06.00 Wita. Tenaga listrik yang dihasilkan generator berbahan bakar solar tersebut relatif terbatas karena hanya mampu menyuplai sebagian rumah-rumah warga. c. Pulau Gondongbali Pulau Gondongbali terletak pada posisi 04°39'4,32” - 04°44'26,88” LS dan 119°03'39,6” 119°08'24” BT. Pulau Gondongb ali merupakan salah satu dari 4 (empat) pulau yang terdapat di Desa Mattiro Matae (Pulau Pammanggangan, Pulau Gondong Bali, Pulau Tambakulu dan Pulau Saranti). Luas wilayah daratan Pulau Gondongbali adalah 9,10 Km2 dihuni 1,171 jiwa; terdri atas 580 laki-laki dan 591 perempuan (Kantor Camat Liukang Tupabbiring, 2011). Penduduk umumnya beretnis Bugis dan Makassar. Etnis lain yang terdapat di pulau ini adalah etnis Mandar, namun jumlahnya relatif sedikit. Dengan menggunakan perahu motor, Pulau Gondongbali dapat dicapai dalam waktu 4 (empat) jam dari Makassar (Pelabuhan Paotere), 3 (tiga) jam dari Pangkep (Dermaga Maccini Baji), dan 3 (tiga) jam dari ibukota kecamatan (Pulau Balang Lompo). Sarana dan prasarana umum yang tersedia di pulau ini relatif terbatas. Untuk sarana dan prasarana pendidikan, di pulau ini hanya terdapat sebuah gedung SD dengan jumlah guru dan murid sangat terbatas. Sarana dan prasarana kesehatan, di pulau ini hanya terdapat sebuah
33
Puskesmas Pembantu dan 2 (dua) orang tenaga kesehatan (bidan desa). Di pulau ini juga terdapat prasarana listrik yang digerakkan oleh generator listrik (Bantuan Japan International Cooperation Agency (JICA) dengan kapasitas yang relatif cukup besar, mampu melayani semua rumah dari pukul 18.00 sampai dengan 06.00. Sarana dan prasarana olahraga juga cukup tersedia di pulau ini meliputi lapangan sepak bola, lapangan voli, dan bulu tangkis masing-masing sebanyak 1 (satu) buah, serta lapangan tenis meja 3 (tiga) buah. Pekerjaan nelayan yang paling dominan adalah nelayan pang'es dan nelayan penangkap ikan sunu hidup. d. Pulau Pamanggangan Pulau Pamanggangang termasuk dalam kawasan pengelolaan TWP Kepulauan Kapoposang yang tidak berpenghuni kecuali hanya nelayan-nelayan musiman yang beristrahat. Rataan terumbu yang memanjang dari arah utara ke selatan yang didominasi oleh pasir. Kondisi terumbu karang di pulau ini tergolong kurang bagus (15-25 % karang hidup) terutama di rataan terumbu. Kandungan TSS perairan 210 ppm termasuk rendah dibanding dengan yang tercatat di Pulau Saugi dan Pulau Satando. Nilai kecerahan perairan umumnya 2.5-3 m, tergolong cukup dangkal dan sebagai indikasi kekeruhan (Haslindah, 2012). e. Pulau Suranti Pulau Suranti merupakan pulau tak berpenghuni, namun sering disinggahi oleh nelayan untuk bermalam atau sekedar istrahat. Rataan terumbu intertidal tidak terlalu lebar, tapi rataan terumbu yang berada pada paparan subtidal cukup luas pada kedalaman 3 m. Pada terumbu karang yang dangkal kedalaman 3 m tergolong rusak dengan penutupan karang hidupnya 24 %, sedangkan pada kedalaman 10 m tergolong sedang, dengan penutupan karang hidupnya 37 %. Komponen terumbu karang lainnya yang tergolong dominan adalah karang mati di kedua kedalaman, dan rubble di kedalaman 10 m. Paparan terumbu karang kedua, bisa ditemukan pada kedalaman 7-9 meter dengan kondisi terumbu karang yang bagus. Disini tutupan karang hidup mencapai lebih dari 60-75 % dengan kepadatan dan keanekargaman karang yang tinggi (Haslindah, 2012). Potensi Pariwisata dan Potensi Perikanan Potensi Pariwisata Pulau Kapoposang mempunyai potensi wisata bawah air yaitu titik penyelaman gua, titik gua dan titik peyelaman penyu, karena Pulau Kapoposang merupakan habitat alami dari Penyu Sisik Habitat penyu menjadi keindahan dari sisi lain, Beberapa lokasi di Pulau Kapoposang teridentifikasi juga sebagai daerah tempat bertelur bagi Penyu Sisik (Erethmochelys imbricata). Di pulau Kapoposang wisatawan bisa menyaksikan tingkah penyu tanpa boleh mengusik mereka,
34
lantaran hewan ini dilindungi. Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang adalah sala satu Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional. Di Pulau kapoposang tidak hanya pemandangan laut yang di tawarkan, namun panorama alam serta panorama sekitar pantai dan pulau yang juga demikian indah. Selain itu pohon-pohon besar yang teduh di pinggir pantai juga membuat situasi alam demikian indah. Pantainya merupakan pantai pasir putih yang begitu indah. Pulau kapoposang yang topografi yang cukup menunjang untuk wisata bawah laut, sehingga Pulau Kapoposang merupakan salah satu tempat diving terbaik di Makassar. Di Pulau kapoposang tidak hanya pemandangan laut yang di tawarkan, namun panorama alam serta panorama sekitar pantai dan pulau yang juga demikian indah. Selain itu pohon-pohon besar yang teduh di pinggir pantai juga membuat situasi alam demikian indah. Pantainya merupakan pantai pasir putih yang begitu indah. Pulau kapoposang yang topografi yang cukup menunjang untuk wisata bawah laut, sehingga Pulau Kapoposang merupakan salah satu tempat diving terbaik di Makassar. Akses transportasi menuju gugusan pulau Kapoposang, berbagai fasilitas telekomunikasi di Pangkep dan Makassar, Fasilitas emergency bagi penyelam, Hotel, Jalan sutra wisata kuliner Tabel 5. No 1 2 3
Akses Transportasi Menuju TWP Kapoposang, 2016.
Jenis transportasi Speedboat Longboat Longboat
Keberangkatan Pelabuhan Paotere Pelabuhan Kalibone (Maros) Pelabuhan Semen Tonasa (Pangkajene Sumber : Data Primer diolah, 2016.
Waktu 75 menit 6-8 jam 6-8 jam
Harga sewa per hari 3 juta-8 juta 1.5-2 juta 1.5-2 juta
Transportasi antar pulau di gugusan Pulau Kapoposang dapat melalui tiga pelabuhan yaitu pelabuhan GodongB ali, Pulau Papadangan. Sementara transportasi antar pulau digugusan Pulau Kapoposang umumnya menggunakan perahu tradisional yang menggunakan motor tempel berkekuatan kecil yang dikenal dengan katinting. Potensi Perikanan Sebagian besar masyarakat Mattiro Matae bekerja sebagai nelayan. Pekerjaan nelayan yang paling dominan adalah nelayan pang’es dan nelayan penangkap ikan sunu hidup. Pang’es melakukan aktivitas penangkapan di luar wilayah desa hingga mencapai wilayah Kalimantan. Sebagian besar nelayan sunu melakukan aktivitas penangkapan di sekitar wilayah desa dengan menggunakan alat pancing kedo-kedo. Nelayan pancing sunu mulai merasakan kurangnya hasil tangkapan akibat adanya penggunaan bius. Pengolahan pasca panen umumnya dilakukan terhadap sumberdaya teripang dan ikan mairo. Untuk teripang biasanya dimasak sebelum dijual, atau setelah dimasak, dikeringkan lagi baru dijual. Namun kebanyakan nelayan teripang lebih 35
memilih untuk sampai pada tahap dimasak sebelum dijual. Menurut mereka tidak ada perbedaan nyata antara yang kering dan yang basah karena pada saat basah harga rendah tapi timbangannya
berat,
sementara
pada
saat
kering
harga
tinggi
tapi
timbangannya ringan.Untuk ikan mairo, pengeringan ikan hanya dilakukan jika harga jual basah sangat murah, bahkan tidak ada harganya, sehingga satu-satunya cara adalah mengeringkan ikan tersebut. Perbandingan basah dan keringnya adalah 1 basket basah sama dengan 3 kg kering dengan lama pengeringan setengah sampai satu hari penuh bergantung besar kecilnya ukuran mairo
Potensi Sosial Budaya Penduduk di Kepulauan Kapoposang adalah berasal dari Suku Bugis, Makassar dan Mandar. Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari adalah Bahasa Makassar. Sumberdaya sosial adalah berhubungan erat dengan manusianya (sumberdaya manusia) dan lingkungan yang membentuk (given) dan dibentuk (proses) yang termanifestasi dalam bentuk kebudayaan. Sumberdaya manusia di Pulau Kapoposong dapat diukur mulai dari tingkat pendidikan penduduk berikut sarana maupun prasarana pendidikannya, fasilitas kesehatan yang memadai, mobilitas penduduk dan juga akses informasi dan komunikasi. Dilihat dari pendidikannya, umumnya penduduk Desa Mattiro Ujung hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) atau tidak tamat SD. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak pernah sekolah. Umumnya masyarakat memang tidak melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi sesudah lulus dari SD, karena disamping lokasi pendidikan lanjutan (SMP dan SMA) sangat jauh, yaitu berada di ibukota kabupaten dan propinsi, juga kondisi ekonomi masyarakat yang kurang mendukung. Menurut Bapak Desa Matiro Ujung, seringkali anak-anak mereka (yang bersekolah di kota) harus “berpuasa” karena kiriman untuk bekal mereka tidak bisa rutin dikirimkan. Akses yang kurang lancar dan tidak adanya jadwal transportasi yang regular adalah sebab utamanya. Keinginan untuk menyekolahkan anak-anak mereka tetap ada namun terkendala oleh hal tersebut. Pun demikian pada level sekolah dasar, banyak anak-anak yang terpaksa tidak melanjutkan sekolah karena belum mengerti pentingnya pendidikan di tingkatan dasar. Sebagai gambaran dari tingginya tingkat drop out di SD dapat dilihat pada keadaan siswa SD di desa ini. Kelas satu jumlah siswanya mencapai 25 orang. Akan tetapi mulai kelas 4 banyak yang keluar, sehingga jumlah siswa kelas 6 tinggal sedikit, itupun sebagian besar perempuan.
36
Karakteristik Ekosistem Sumberdaya Padang Lamun Kepulauan Kapoposang masih memiliki vegetasi lamun, berupa padang lamun yang mengelilingi pulau, persentase tuupan lamun sangat bervariasi dari satu lokasi ke lainnya digugusan pulau kapoposang. Jenis lamun yang terdapat di pulau Kapoposang terdiri dari Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, C. serntlata dan Syringodium isoetifolium dan Halophila minor. Lamun yang mendominasi adalah Thalassia hemprichii. Terumbu Karang Terumbu karang di pulau Kapoposang mewakili seluruh terumbu karang yang ada di Sulawesi, dengan terumbu karang tepi sebagai ekosistem utama yang mengelilingi perairan gugusan Pulau Kapoposang. Saat air laut surut, terumbu karang tersebut membentuk daratan (reef flat) sampai sejauh 200 m sampai tubir dengan kedalaman 1-10 m. Pada kedalaman kurang dari 10 m dapat ditemukan karang keras dan karang lunak, Anemon, gorgonian (kipas laut) serta sponges. Jenis karang yang banyak ditemukan adalah jenis Acropora sp, pocillopora sp, porites sp, Goniopora sp, Alveopora sp, Pectinia sp, jenis karang ini memiliki corak warna yang beragam dan berbagai bentuk seperti karang bercabang, karang meja, karang otak dan karang lunak. Spesies ikan karang terdiri dari spesies lionfish yang dikenal dengan ikan lepu ayam, triggerfish seperti jenis picasso triggerfish yang memiliki warna dengan corak yang indah, napoleon fish dan kakatua, ikan pinguin, ika kepe, lele laut, ikan kadal, ikan kerapu, ikan ekor kuning, ikan bendera, ikan sersan mayor dan moorish ido. Karakteristik Pemanfaat Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang. Pemanfaat sumberdaya kelautan dan perikanan di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang terdiri dari berbagai jenis pemanfaat antara lain adalah pemanfaat di bidang perikanan tangkap, pemanfaat di bidang budidaya (keramba tancap dan keramba jaring apung), pemanfaat kayu dan pemanfaat dibidang wisata. Pemanfaat ini terdiri dari penduduk sekitar kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang maupun diluar kawasan bahkan dari luar provinsi dan manca negara untuk pemanfaat wisata. Masyarakat sekitar pulau lebih banyak memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan di kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang untuk dibidang perikanan tangkap dan budidaya. Untuk pemanfaat kayu mangrove disekitar kawasan tergolong sedikit karena karakteristik wilayah pulau ini bukanlah hutan mangrove tetapi bagian pesisir pantai langsung
37
berupa pasir pantai dan karang. Tanaman mangrove yang ada hanyalah sedikit dan juga ada yang merupakan hasil penanaman. Karakteristik Nelayan di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang. Responden nelayan yang ada di wilayah Kepulauan Kapoposang memiliki karakteristik yang beragam. Ditinjau dari segi usia, jumlah responden yang berada pada kisaran usia 31-35 tahun lebih banyak dibanding rentang usia yang lain. Kondisi ini menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap di Pangkep memang didominasi oleh kelompok usia produktif khususnya pada rentang usia 31-35 tahun. Namun demikian, nelayan yang berusia lanjut yaitu 56 tahun keatas juga masih cukup banyak yaitu mencapai 11 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa usaha penangkapan ikan di wilayah Kepulauan Kapoposang dapat dilakukan oleh orang dengan usia lanjut tentunya dengan memperhatikan tingkat kemudahan atau aksesibilitas dalam melakukan usaha penangkapan ikan. Beberapa ukuran untuk mengetahui karakteristik responden nelayan perikanan tangkap di Kepulauan Kapoposang dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 6. Karakteristik Responden Nelayan di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang, 2016. Karakteristik
Jumlah (orang)
Persentase (%)
≤20
4
8
21-25
9
17
26-30
7
13
31-35
5
10
36-40
10
19
41-45
5
10
46-50
8
15
≥51
4
8
52
100
Tidak lulus SD
4
8
SD
45
87
SMP
3
5
SMA
0
0
PT
0
0
52
100
1
1
2
2
6
12
3
8
15
4
16
31
5
9
17
Usia
Jumlah Tingkat Pendidikan
Jumlah Jumlah Anggota RT
38
Karakteristik
Jumlah (orang)
Persentase (%)
6
4
8
7
3
6
>7
5
10
52
100
Jumlah
Sumber : Data Primer Diolah, 2016 Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa responden nelayan di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang didominasi oleh penduduk dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar. Kondisi ini hampir sama dengan kondisi pada beberapa wilayah nelayan di Indonesia pada umumnya yang hanya mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Rendahnya tingkat pendidikan nelayan merupakan salahsatu permasalahan yang sering dihadapi oleh masyarakat pesisir dan kepulauan seiring dengan minimnya fasilitas pendidikan dan masih rendahnya kesadaran masyarakat pada pentingnya pendidikan. Dari segi jumlah anggota rumah tangga, sebagian besar rumah tangga nelayan terdiri dari 4 orang anggota rumah tangga. Ratarata jumlah anggota rumah tangga nelayan di Pangkep relatif ideal yaitu 4 orang per rumah tangga yang selaras dengan program keluarga berencana. Nelayan dalam aktifitasnya menggunakan berbagai jenis alat tangkap, seperti jaring, pukat dan pancing. Tetapi seperti pada umumnya nelayan yang beroperasi di sekitar pulau-pulau di Kecamatan Liukang Tuppabiring lainnya, sekarang mereka lebih banyak menggunakan alat tangkap pancing. Pancing ini disebut kedo-kedo karena dioperasikan dengan cara menggerakgerakan alat pancing tersebut. Hasil tangkapan utama nelayan adalah ikan sunu (kerapu) dan ikan cakalang yang banyak terdapat di perairan sekitar Pulau Kapoposang dan Pulau Pandangan, namun karena tingkat harga ikan sunu cukup baik, maka aktifitas nelayan lebih difokuskan pada usaha penangkapan ikan sunu. Ikan sunu hidup bernilai jual antara Rp 100.000,- dan Rp 300.000,- per kg. Tingginya harga jual ikan jenis ini karena ikan ini merupakan komoditas ekspor, khususnya ke Hongkong. Aktifitas penangkapan di lakukan dengan menggunakan perahu motor (jolloro) dengan ukuran sekitar 7 m x 1,5 m. Kegiatan penangkapan dilakukan secara bersama-sama dengan dituntun oleh kapal motor ponggawa sunu, dengan ukuran yang relatif lebih besar (10 m x 2 m). Kapal motor ponggawa sunu ini berfungsi untuk menampung hasil tangkapan ikan sunu. Siklus aktifitas penangkapan berlangsung sekitar hari di laut dan antara 3 sampai 4 hari di darat (pulau). Aktifitas tersebut berlangsung dari bulan Mei sampai November. Selama di darat, sebagian waktu digunakan untuk mempersiapkan segala keperluan yang berkaitan dengan usaha penangkapan. Pendapatan yang mereka peroleh tergantung pada jumlah hasil tangkapan. Hasil tangkapan rata-rata nelayan sunu antara Rp 150.000,- dan Rp 500.000,- per hari, namun biasanya mereka menerima gaji per bulan dari ponggawa yang menampung hasil tangkapan mereka. 39
Aktifitas penangkapan berlangsung setiap hari, dimulai pada pukul 17.00 sampai dengan pukul 05.00 dengan lokasi penangkapan hanya di sekitar pulau. Hasil tangkapan berupa ikan sunu selanjutnya dijual ke ponggawa. Oleh ponggawa ditampung selama beberapa hari (sekitar 2-3 hari) untuk mencapai ukuran tertentu, sebelum dipasarkan di Makassar. Karakteristik Pembudidaya di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang. Peningkatan kebutuhan terhadap sektor hasil laut menjadikan budidaya hasil laut mengalami peningkatan produktivitas. Peningkatan produktivitas ini dapat dilihat dengan melihat nilai keseluruhan produksi yang mungkin dihasilkan suatu kawasan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada berbagai macam komoditas yang dibudidayakan oleh para pembudidaya yang ada di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang. Jumlah pembudidaya paling banyak yaitu berada di Pulau Gondongbali. Pada umumnya penduduk yang memiliki usaha budidaya ini merupakan mata pencaharian sampingan, dimana mata pencaharian utamanya adalah sebagai nelayan. Benih untuk budidaya ada yang berasal dari hasil tangkapannya maupun beli dari nelayan lain. Setiap pulau di Kepulauan Kapoposang memiliki potensi kegiatan budidaya perikanan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik pulau masing-masing, tetapi kegiatan budidaya perikanan di daerah Kepulauan Kapoposang pada umumnya menggunakan metode keramba tancap dan sebagian yang menggunakan keramba jaring apung. Usaha budidaya keramba baru dilakukan oleh masyarakat karena masyarakat cenderung kepada kegiatan nelayan tangkap. Jumlah terbanyak pembudidaya perikanan berada pada Pulau Gondongbali sebanyak 33%, kedua berada di Pulau Kapoposang sebanyak 28%, yang kemudian disusul 22% di Pulau Papandangan, dan 17% di Pulau Pamanggangang. Kegiatan budidaya perikanan terbanyak pada Pulau Gondongbali adalah kegiatan budidaya lobster mutiara, pembudidaya memilih komoditas lobster mutiara dikarenakan harga lobster mutiara sangat tinggi . Perubahan kegiatan masyarakat yang berawal dari nelayan menjadi pembudidaya dikarenakan masyarakat melihat peluang lebih bagus dan harga jual dari komoditas yang dibudidayakan sangat tinggi.
40
Gambar 27.
Persentase Jumlah Pembudidaya di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang, 2016 Sumber : Data Primer Diolah, 2016.
Jenis kelamin dan umur juga memberikan pengaruh terhadap kondisi ekonomi rumah tangga masyarakat. Pembudidaya pada Kepulauan Kapoposang didominasi oleh laki-laki dengan rata-rata 67% terbanyak berpendidikan sekolah dasar. Presentase jumlah umur pembudidaya hasil laut terbanyak 28% pada rentang umur 51 tahun hingga 60 tahun dan rentang umur 20 tahun hingga 30 tahun. Dominasi gender laki-laki ini terjadi dikarenakan pola pikir masyarakat Kepulauan Kapoposang masih beranggapan bahwa kegiatan budidaya maupun kegiatan nelayan tangkap merupakan pekerjaan laki-laki. Rata-rata jumlah anggota keluarga pembudidaya hasil laut di Kepulauan Kapoposang 50% berjumlah 0 hingga 4 orang dalam 1 keluarga, dengan 78% laki-laki tersebut berstatus telah menikah.
Gambar 28.
Persentase Umur Pembudidaya di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang, 2016. Sumber : Data Primer Diolah, 2016.
Pendapatan rumah tangga pembudidaya dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain lama usaha budidaya, status pekerjaan, dan status usaha kepemilikan. Presentase terbesar pendapatan pembudidaya hasil laut di kepulauan Kapoposang 61% berada pada rentang Rp.10.000.001 – Rp. 41
20.000.000. Pada setiap rumah tangga pembudidaya memiliki nilai pendapatan yang berbedabeda. Perbedaan ini disebabkan perbedaan jenis komoditas yang dibudidayakan sekaligus kepemilikan usaha budidaya hasil laut tersebut. Sebanyak 89% responden kegiatan budidaya hasil laut merupakan pemilik dan sisanya 11% responden merupakan penggarap milik orang lain, biasanya pembudidaya yang melakukan kegiatan budidaya lebih dari 1 tahun merupakan pembudidaya ikan sunu atau budidaya komoditas jenis lobster tertentu dan.
Budidaya
hasil
laut biasanya berada di dekat garis pantai, hal ini dikarenakan tingginya nutrien yang terkandung pada perairan tersebut. Perairan dekat garis pantai mendapat nutrien dari laut sekaligus dari darat, sehingga membuat budidaya hasil laut berkembang dengan baik. Pada Kepulauan kapoposang budidaya hasil laut saat ini masih menggunakan keramba seperti yang telah dijelaskan di atas. Karakteristik Pemanfaat Vegetasi Pantai di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang. Pemanfaat kayu di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang dapat dibilang sangat sedikit. Hal ini dikarenakan kondisi ekosistem di sekitar pulau yang sangat sedikit ditumbuhi tanaman mangrove dan lebih dominan ditumbuhi pohon kelapa dan sukun. Pemanfaatan kayu atau pencari kayu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagian masyarakat yang memanfaatkan kayu jenis mangrove untuk kebutuhan sehari-hari baik kebutuhan rumah tangga atau untuk dijual kembali. Berdasarkan hasil penelitian diketahui pemanfaatan kayu mangrove oleh masyarakat sangat sedikit dan untuk kebutuhan rumah tangga. Karakteristik responden pemanfaat kayu yang ada di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 7 berikut: Tabel 7. No. 1.
Karakteristik Responden Pencari Kayu di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang, 2016
Karakteristik Umur (Tahun) - 25-40 - 60-75 2. Jenis Kelamin - Laki-Laki - Perempuan 3. Pendidikan - SD - SLTP `Sumber: Data Primer Diolah, 2016.
Presentase (%) 50 50 0 100 100 0
Umur merupakan karakteristik responden yang melekat secara intrinsik. Faktor umur menentukan prestasi kerja, karena manusia memiliki batas kemampuan untuk bekerja. Semakin meningkat umur seseorang semakin besar penawaran tenaga kerjanya. Selama masih dalam usia
42
produktif, semakin tinggi umur seseorang, semakin besar tanggung jawabnya yang ditanggung, meskipun pada titik tertentu penawaran akan menurun seiring dengan usia yang makin bertambah pula (Payaman dalam Pujiyono et.al. 2013). Umur responden dapat berpengaruh kepada individu yang bersangkutan dalam melakukan aktifitas sehari-hari, sehingga perbedaan umur akan memberikan perbedaan dalam hal tingkat keaktifan dan produktifitas khususnya dalam kegiatan ekonomi. Pada umumnya respnden yang memiliki umur yang lebih muda akan berbeda tingkat produktifitasnya dengan responden yang berumur lebih tua. Sesuai dengan hasil wawancara di lapang bahwa kedua responden memiliki perbedaan umur yang sangat jauh berbeda. Sehingga secara fisik maupun pengetahuan kedua responden tersebut akan memiliki perbedaan yang sangat signifikan utamanya dalam kegiata pemanfaatan kayu. Dalam hal ini usia muda akan memiliki kemampuan fisik yang lebih baik dibanding dengan usia yang dikategorikan tua. Sehingga kedua responden tersebut akan berdampak pula pada hasil pemanfaatan kayu, yang mana usia muda massih akan memperoleh hasil yang lebih banyak (secara kuantitas) dibanding usia tua. Jenis kelamin menjadi karakteristik pribadi yang melekat pada diri responden yang tidak dapat diubah. Pencari kayu dilakukan oleh wanita atau istri nelayan. Secara umum antara perempuan dan laki-laki akan memiliki kemampuan yang berbeda dalam melakukan aktifitas fisik. Jenis kelamin dapat juga berpengaruh terhadap kemampuan seseorng dalam melakukan kegiatan sehari-hari
utmanya dalam pemanfaatan kayu. Berdasarkan hasil wawancara di lapang,
pemanfaat kayu yang ada di desa setempat pada umumnya adalah wanita. Hal ini menggambarkan bahwa pekerjaan tersebut memang pekerjaan yang dilakukan oleh khusus kaum wanita. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemanfaat kayu yang ada di desa setempat akan mencapai hasil yang kurang maksimal. Meskipun kegiatan ini merupakan kegiatan yang mengambil manfaat dari alam. Keterbatasan kemampuan fisik perempuan dalam usaha pemanfaatan kayu akan menjadi faktor utama yang tidak dapat dielakkan lagi sebagai bagian dasar karaktersitik manusia. Pendidikan merupakan kebutuhan manusia selama hidup. Tanpa adanya pendidikan, maka dalam menjalani kehidupan ini manusia tidak akan dapat berkembang dan bahkan akan terbelakang (Triyanto, 2013). Pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyumbangkan kemampuan usaha manusia dalam rangka memajukan aktivitas. Pendidikan sebagai suatu aspek yang menyumbangkan sumber daya manusia yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan seseorang dalam berbagai kegiatan, juga diharapkan mampu membuka cara berpikir ekonomis dalam arti mampu mengembangkan potensi yang ada untuk memperoleh hasil semaksimal mungkin (Basrowi dan Juariyah, 2010).
43
Pada dasarnya pendidikan bukan sekedar proses perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, tetapi tujuan pendidikan juga penting untuk melatih kemampuan manusia dalam hal pengambilan keputusan, mebedakan mana yang baik dan buruk, menentukan solusi terbaik ketika berhadapan dengan suatu masalah. Pendidikan juga dapat dibedakan atas pendidikan formal dan non-formal. Pendidikan formal bisa dalam bentuk kegiatan belajar mengajar di sekolah atau perguruan tinggi sedangkan pendidikan nor-formal bisa terjadi dalam lingkungan keluarga dan lingkugan sosial. Tingkat pendidikan juga bisa mempengaruhi jenis pekerjaan yang dapat dilakukan serta kemampuan mereka dalam mengelola segala kemungkinan yang terjadi dengan aktifitas keseharian mereka. Sesuai dengan hasil wawancara dengan responden, bahwa keduanya memiliki tingkat pendidikan yang sama yaitu setingkat Sekolah Dasar (SD). Dengan tingkat pendidikan yang rendah pada umumnya akan memiliki pengetahuan dan kemampuan yang berbeda-beda dalam meningktakan kreatifikas. Keterbatasan pengetahuan dan kempuan yang menjadi penyebab mengapa seseorang akan melakukan pekerjaan seadanya meskipun dengan hasil yang tidak begitu tinggi. Khususnya dalam kegiatan pemanfaatan kayu, karena dalam pekerjaan ini tidak membutuhkan pengetahuan tinggi untuk melakukannya. Sehingga mereka malakukannya berdasarkan apa yang menjadi kebiasaan terdahulu tanpa adanya suatu inovasi yang dapat memberikan nilai tambah.
3.3.4. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Natuna Kondisi Umum Kabupaten Natuna memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya kelautan dan perikanan yang melimpah. Hal ini didukung oleh daerahnya yang berbentuk kepulauan, dimana terdapat 272 pulau kecil yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Dasar hukum penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Natuna adalah SK Bupati Natuna No. 299 Tahun 2007 yang dikeluarkan pada tanggal 5 September 2007, dan perubahan SK Bupati Natuna No. 378 Tahun 2008. Letak Geografis Secara geografis, wilayah kawasan konservasi terletak antara 108001'10" - 108010'15" LU dan 3047'00" - 4006'00" BT memiliki luas kawasan sekitar 142.997 Ha. Batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah utara dengan Laut Cina Selatan,
Sebelah selatan dengan Kabupaten Bintan,
Sebelah barat dengan Semenanjung Malaysia,
44
Sebelah timur dengan Laut Cina Selatan.
Sementara secara administratif, wilayah kawasan konservasi ini terdapat di wilayah Kecamatan Bunguran Utara, Timur dan Pulau Tiga Kabupaten Natuna. Luas Wilayah Kabupaten Natuna memiliki luas wilayah 264.198,37 km2 dengan luas daratan 2.001,30 km2dan lautan 262.197,07 km2.Ranai sebagai Ibukota Kabupaten Natuna. Di kabupaten ini terdapat 154 pulau, dengan 27 pulau (17,53 persen) yang berpenghuni dan sebagian besar pulau (127 buah) tidak berpenghuni. Dua pulau terbesar diantaranya adalah Pulau Bunguran dan Pulau Serasan. Pulau-pulau yang ada dapat dikelompokkan dalam 2 gugusan:
Gugusan Pulau Natuna, terdiri dari pulau-pulau di Bunguran, Sedanau, Midai, Pulau Laut, dan Pulau Tiga.
Gugusan Pulau Serasan, terdiri dari pulau-pulau di Serasan, Subi Besar dan Subi Kecil.
Iklim Kabupaten Natuna yang beriklim tropis memiliki temperatur dalam setahun berkisar antara 230C - 310C, sementara curah hujan rata-rata pada tahun 2005 adalah 137,6 mm/tahun, dengan curah hujan terendah pada bulan januari sebesar 1,0 mm/tahun dan curah hujan tertinggi sebesar 436,6 mm/tahun. Sedangkan rata-rata kelembaban udara sebesar 83,17% dalam kisaran 77% - 90%.Iklim di Kabupaten Natuna sangat dipengaruhi oleh perubahan arah angin. Musim kemarau biasanya terjadi pada Bulan Maret sampai dengan Bulan Juli. Topologi Berdasarkan kondisi topografinya, Kabupaten Natuna merupakan tanah berbukit dan bergunung batu. Dataran rendah dan landai banyak ditemukan di pinggir pantai. Ketinggian wilayah antar kecamatan cukup beragam, yaitu berkisar antara 3 sampai dengan 959 meter dari permukaan laut dengan kemiringan antara 2 sampai 5 meter. Pada umumnya struktur tanah terdiri dari tanah podsolik merah kuning dari batuan yang tanah dasarnya mempunyai bahan granit, dan alluvial serta tanah organosol dan gley humus. Berikut nama gunung dan tingginya dari permukaan laut yang berada dalam wilayah Kabupaten Natuna:
Gunung Bedung di Kec. Bunguran Timur Laut
Gunung Segeram di Kec. Bunguran Timur Laut
Gunung Ceruk di Kec. Bunguran Timur Laut
Gunung Bukit Kapur di Kec. Bunguran Timur Laut
Gunung Ranai (959 m) di Kec. Bunguran Timur Laut
Gunung Punjang (443 m) di Kec. Serasan
45
Gunung Pelawan Condong (405 m) di Kec. Serasan
Gunung Kute (232 m) di Kec. Serasan
Kondisi Perairan Suhu di kawasan konservasi ini berkisar antara 29,540C - 30,020C, salinitas berkisar antara 30-32 ppt, pH 7,76 - 8,26, dengan kecerahan (transparansi) antara 5-10 m. Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Natuna pada tahun 2015 sebanyak 74.520 jiwa, terdiri dari 38.410 jiwa berjenis kelamin lakilaki dan 36.110 jiwa perempuan. Kecamatan Bunguran Barat dan Bunguran Timur merupakan dua kecamatan dengan jumlah penduduk terpadat di Kabupaten Natuna, yaitu masingmasing sebanyak 11.231 jiwa dan 26.127 jiwa.
Kondisi Sosial Ekonomi Budaya Berdasarkan pembagian kawasan konservasi, maka terdapat empat kelompok kawasan, yaitu : Kawasan I yang meliputi Desa Kelarik, Desa Kelarik Utara dan Desa Kelarik Barat, memiliki jumlah penduduk 3.699 jiwa pada tahun 2006 dan 97,97% beragama Islam. Kawasan II yang meliputi Desa Kelanga, Desa Pengadah, Desa Sepempang, dan Desa Tanjung, memiliki jumlah penduduk 4.092 jiwa dan 98,14% beragama Islam. Kawasan III yang meliputi Desa Cemaga, memiliki jumlah penduduk 2.370 jiwa dan 99,91% beragama Islam. Kawasan IV yang meliputi Desa Sabang Mawang, Desa Pulau Tiga dan Desa Sedadap, memiliki jumlah penduduk 4.297 jiwa dan 99,04% beragama Islam. Dominannya penduduk yang beragama Islam merupakan refleksi penduduk dengan etnis Melayu sebagai penduduk asli masyarakat Kabupaten Natuna. Sedangkan penduduk yang menganut agama lain, umumnya merupakan pendatang dan keturunan Tionghoa. Sementara itu, sektor penyumbang pendapatan terbesar di Kabupaten Natuna adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan kelautan mencapai 831.871,24 milyar (BPS, 2005). Adapun budaya dan adat istiadat yang berkembang di masyarakat adalah budaya dan adat istiadat Melayu, yang berkembang dengan kentalnya nilai-nilai agama terutama Islam. Dengan kata lain, Melayu identik dengan Islam karena perbauran antar etnis tersebut terjadi karena adanya hubungan yang saling menguntungkan, baik dalam bidang ekonomi (kerjasama), sosial (terjadi amalgasi), kehidupan agama dan kehidupan budaya (akulturasi). Mata Pencaharian Mata pencaharian masyarakat di Pulau Bunguran didominasi oleh petani dan nelayan, dan beberapa peternak dan pedagang. Adapun armada tangkap sebanyak 4.793 perahu, terdiri dari 3.676 perahu bermotor diesel, 1.208 perahu tanpa motor, dan 89 perahu motor tempel.
46
Potensi Perikanan Dan Wisata KKLD Natuna Potensi Perikanan Kegiatan perikanan di Kabupaten Natuna didominasi oleh usahapenangkapan ikan. Pada tahun 2015, produksi perikanantangkap mencapai 48.698,84 ton sedangkan produksi perikananbudidaya sebesar 754,84 ton. Pertumbuhan produksiperikanan tangkap tahun 2015 terhadap 2014 mencapai 2,87persen. Sedangkan pertumbuhan produksi perikanan budidayapada periode waktu yang sama mengalami penurunansebesar 69,55 persen. Hal ini disebabkan pembudidaya mengalamikesulitan dalam mencari pangsa pasar bagi produkperikanan budidaya yang dihasilkan. Komoditas perikanan tangkap di kabupaten ini antara lain ikan napoleon, kerapu, tongkol, kuwe, kurisi, tembang/sardine, teri, lobster, cumi-cumi, dan kepiting. Namun komoditas utama yang menjadi andalan adalah naopleon, kerapu, tongkol dan lobster. Tabel 8.
Data dan Produksi Budidaya Perikanan Menurut Kecamatan di Kabupaten Natuna 2015
No.
Kecamatan
Jumlah RTP
Jumlah Keramba (Unit)
(1)
(2)
(3)
1
Midai
2 3
Produksi Rumput Laut (Ton)
Produksi Budidaya Ikan Air Tawar (Ton)
Produksi Budidaya Ikan Laut (Ton)
(4)
(5)
(6)
20
22
-
-
3.08
Bunguran Barat
322
927
21.53
-
144.33
Bunguran Utara
78
105
-
-
12.98
4
Pulau Laut
42
98
-
-
22.42
5
Pulau Tiga
210
316
15.26
-
75.82
6
Bunguran Timur
72
151
17.51
173.19
39.25
7
Bunguran Timur Laut
25
46
-
-
3.46
8
Bunguran Tengah
34
-
-
54.87
-
9
Bunguran Selatan
12
30
21.66
-
2.96
10
Serasan
78
156
16.14
4.08
27.37
11
Subi
55
41
21.38
-
4.09
12
Serasan Timur 2015
92
240
29.32
2.05
42.09
1040
2132
142.80
234.19
377.85
1040
2132
142.36
217.57
374.8
2014
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna (2015)
47
Tabel 9. Volume Produksi Perikanan Tangkap Menurut Kecamatan di Kabupaten Natuna 2015 (Ton) Kecamatan (1)
Jumlah RTP (2) 1 Midai 639 2 Bunguran Barat 916 3 Bunguran Utara 716 4 Pulau Laut 331 5 Pulau Tiga 729 6 Bunguran Timur 764 7 Bunguran Timur Laut 554 8 Bunguran Tengah 142 9 Bunguran Selatan 671 10 Serasan 630 11 Subi 570 12 Serasan Timur 404 2015 7066 2014 3619 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna (2015) No
Produksi (Ton) (3) 2215.85 13095.48 2510.43 1052.49 6448.93 4666.37 2123.16 181.18 2096.58 6816.04 2232.38 5259.95 48698.84 47341.58
Tabel 10.Armada Kapal/ Perahu Penangkap Ikan yang Beroperasi Menurut Kecamatan di Kabupaten Natuna 2015 Perahu Tanpa Motor Bermotor (1) (2) (3) 1 282 Midai 67 2 333 Bunguran Barat 228 3 317 Bunguran Utara 72 4 129 Pulau Laut 67 5 309 Pulau Tiga 95 6 315 Bunguran Timur 122 7 220 Bunguran Timur Laut 102 8 Bunguran Tengah 9 287 Bunguran Selatan 83 10 170 Serasan 246 11 249 Subi 66 12 144 Serasan Timur 94 2755 2015 1242 2749 2014 1123 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna(2015) No
Kecamatan
Tempel (4)
Jumlah 4 12 6 3 9 8 7 7 22 3 11 92 92
(5) 353 573 395 199 413 445 329 377 438 318 249 4089 3964
48
Potensi Wisata Kabupaten Natuna yang berada di wilayah Propinsi Kepulauan Riau, memiliki potensi yang sangat besar di sektor pariwisata. Hanya saja potensi pariwisata di sini belum dikelola secara maksimal oleh pemerintah dan semua stake holder sehingga sektor ini belum bisa memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah (RIPPDA Natuna, 2010). Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk memperkenalkan pariwisata di daerah ini kepada para wisatawan belum cukup memadai. Letak geografis yang cukup jauh juga merupakan salah satu faktor penyebab kurang berkembangnya sektor pariwisata di Kabupaten Natuna. Karena itu upaya untuk membenahi berbagai objek dan melengkapi fasilitas dengan mengembangkan jaringan transportasi perlu terus ditingkatkan. Kabupaten Natuna memiliki banyak objek wisata alam yang menarik, terutama daerah pantainya dengan pesona pemandangan yang indah, seperti kawasan pesisir dari Sepempang (Bunguran Timur) hingga Desa Tanjung di Bunguran Timur Laut. Sementara wisata selam dapat dilakukan di wilayah Bunguran Utara, Pulau Bunga, Tanjung Buton dan Pulau Panjang. Mengingat, di wilayah ini memiliki tutupan karang hidup mencapai 70%. Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Kabupaten Natuna yang diperoleh melalui perhitungan langsung ke lokasi wisata, jumlah wisatawan yang berkunjung ke tempat tempat wisata yang ada di Kabupaten Natuna sebanyak 115.322 jiwa/tahun pada tahun 2010, 135.466 jiwa/tahun pada tahun 2011 dan 213.588 jiwa/tahun pada tahun 2012. Pengunjung yang berkunjung ke lokasi wisata di Kabupaten Natuna ini sebagian besar adalah wisatawan lokal atau wisatawan asal Natuna yang berada dekat dengan lokasi wisata yang ada di Kabupaten Natuna. Sedangkan untuk wisatawan mancanegara, Kabupaten Natuna belum memberikan konstribusi yang signifikan, karena beberapa hambatan yang dihadapi seperti terbatasnya infrastruktur, masih kurangnya prasarana dan sarana pendukung yang tersedia, sulitnya akses dan transportasi ke lokasi wisata meskipun potensi alam dan potensi wisata baharinya cukup besar. Saat ini wilayah Kabupaten Natuna belum masuk kedalam kategori pintu masuk wisatawan mancanegara di Propinsi Kepulauan Riau. Dengan melihat kekhasan dan keunikan wilayah Kabupaten Natuna, potensi potensi pariwisata yang tersedia di Kabupaten Natuna dan juga dengan memperhatikan kelanjutan pembangunan pariwisata jangka panjang maka jenis pariwisata yang potensial dan perlu dikembangkan di Kabupaten Natuna adalah pariwisata alam yang berupa alam pantai dan pesisir serta pariwisata bahari yang berupa laut, terumbu karang, berbagai jenis ikan dan habitat lainnya. Tetapi saat ini potensi pariwisata alam dan pariwisata bahari yang ada di Kabupaten Natuna ini belum bisa secara maksimal memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Sektor ini
49
belum bisa memberikan kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah (BPS,2010). Perlu adanya suatu perencanaan yang terpadu, lebih terfokus, strategistrategi dan program-program yang tepat sasaran dalam mengembangkan pariwisata bahari di Kabupaten Natuna. Pengaturan Dan Pemanfaatan KKLD Natuna Kawasan konservasi laut merupakan wilayah di laut yang ditetapkan untuk melestarikan sumber daya laut dimana dalam wilayah tersebut ditetapkan zona-zona untuk mengatur kegiatan yang dapat dan tidak dapat dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti penambangan minyak dan gas bumi, perlindungan ikan, biota laut lain dan ekologinya untuk menjamin perlindungan yang lebih baik. Kawasan Konservasi Laut (KKL) dipahami sebagai usaha untuk menjamin kelestarian ekosistem laut, dimana didalamnya tidak lepas dari unsur perlindungan dan pemanfaatan yang berkelanjutan untuk menopang kehidupan masyarakat pesisir. Dengan adanya penetapan suatu kawasan konservasi laut, diharapkan terjadi peningkatan kualitas habitat (terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove), peningkatan populasi, reproduksi dan biomassa sumber daya ikan, peningkatan kapasitas lokal untuk mengelola sumber daya ikan, peningkatan kohesif antara lingkungan dan masyarakat, serta peningkatan pendapatan masyarakat dari pengelolaan. Pemerintah Indonesia menargetkan kawasan konservasi laut di Indonesia mencapai 20 juta hektar pada tahun 2020. Keinginan dari pemerintah untuk mengembangkan KKL tersebut, perlu diimbangi dengan strategi pengelolaan kawasan yang efektif untuk mencapai hasil yang optimal. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan suatu strategi pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan, yaitu dengan melakukan kegiatan evaluasi secara rutin. Evaluasi tersebut mencakup beberapa indikator penting dalam pengelolaan kawasan konservasi laut diantaranya: kondisi biofisik, sosial ekonomi dan tata kelola. Karakteristik Ekosistem Perairan Natuna memilikitiga ekosistem pesisir dan laut yang keberadaannya terkait satu sama lain, dimana ketiganya merupakan sumber dari berbagai biota dan pusat keanekaragaman hayati laut, yaitu ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang dan ekosistem padang lamun. Ketiga ekosistem tersebut memiliki fungsi nilai, baik dilihat dari aspek ekologis maupun aspek ekonomis. Dalam kaitannya dengan sumberdaya hayati, ketiga ekosistem tersebut merupakan tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) serta merupakan daerah asuhan (nursery ground) bagi berbagai biota laut yang berasosiasi.
50
Mangrove Ekosistem mangrove berkembang relatif tipis ke arah dalam pulau menuju daratan hanya sampai 500 m mengikuti alur setempat, terutama pada selat dan pada daerah-daerah yang memiliki aliran sungai. Kepadatan anak pohon rata-rata mencapai 1.500 batang/Ha denganketinggian 5 m, sementara kepadatan [ohon mencapai 200 batang/Ha dengan ketinggian hingga 11 m. Adapun jenis mangrove yang dominan adalah jenis Rhizopora sp, dan terdapat 18 jenis vegetasi lainnya yaitu : Xylocarpus granatum, R. apiculata, R. mucronata, R. stilosa, Bruguira parvifora, B. gymnorrhiza, Lumnitzera littorea, L. racemosa, L. Littora,Ceriops tagal, Sonneratia alba, Derris trifolta, Hibiscus tiliacus, Exacaecaria agallacha, Flagellaria indica, Thespesia populnea, Nypa fruticans, Pandanus tectorius. Terumbu Karang Kondisi terumbu karang secara umum di Pulau Bunguran berada pada kondisi buruk hingga sedang, dimana terumbu karang yang hidup hanya sekitar 24% berupa polip-polip karang, seperti jenis karang massive, Acropoa submassive, foliose, dan sedikit soft coral. Adapun jenis-jenis ikan karang yang dominan ditemukan antara lain dari famili Acanthuridae, Holocentridae, Labridae, Lutjanidae, Scolopsidae, Siganidae, Chaetodontidae, Apogontidae, Caesionidae, Pomaconthidae, Pomacentridae, Scaridae, dan Serranidae. Lamun Kondisi lamun di perairan Pulau Natuna telah mengalami degradasi khususnya keberadaan padang lamun. Keberadaan padang lamun hanya dapat ditemukan di Batu Kapal, Kelurahan Ranai Kecamatan Bunguran Timur dengan keanekaragaman jenis sebanyak lima (5) jenis anatar lain Halophila ovalis, Halodule uninervis, Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundatn dan jenis yang dominan yaitu Halodule uninervis dan Cymodocea rotundatn. Rata-rata tutupan lamun 36,1 % atau kondisi lamun”Rusak” menurut KMNLH, 2004.
Karakteristik Pola Pemanfaatan Perikanan Tangkap Kabupaten Natuna memiliki luas laut mencapai 99,24 persen dari total luas wilayahnya sehingga memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Potensi sumberdaya ikan laut Natuna berdasarkan studi identifikasi potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau tahun 2011 adalah sebesar 504.212,85 ton per tahun atau sekitar 50 persen dari potensi WPP 711 sebesar 1.059.000 ton per tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (80 persen dari potensi lestari) mencapai 403.370 ton. Komoditas perikanan tangkap potensial
51
Kabupaten Natuna terbagi dalam dua kategori, yaitu ikan pelagis dan ikan demersal (Ditjen Pengelolaan Ruang Laut, 2015). Potensi ikan pelagis Kabupaten Natuna mencapai 327.976ton/tahun, dengan jumlah tangkapan yang dibolehkan sebesar262.380,8 ton/tahun (80 persen dari potensi lestari). Selainjenis ikan pelagis, ikan demersal juga memiliki peluangproduksi yang tidak kalah besar. Potensi ikan demersal diKabupaten Natuna mencapai 159.700 ton/tahun. Beberapajenis ikan di Kabupaten Natuna, yang potensial untuk dikembangkanantara lain Ikan dari jenis kerapukerapuan, tongkolkrai, teri, tenggiri, ekor kuning/pisang-pisang, selar,kembung, udang putih/ jerbung, udang windu, kepiting, rajungan,cumi-cumi dan sotong. Daerah penangkapan ikan nelayandi perairan Natuna oleh nelayan tradisional dan nelayanbesar berada disekitar area perairan. Lokasi penangkapan itu diantaranya adalah sekitar Pulau Bunguran, Natuna Besar, Pesisir Pulau Natuna, Midai, Pulau Serasan, Tambelan, dan Laut Cina Selatan. Lokasi penangkapan kapal besar umumnya adalah yang berada di luar lokasi 4 mill laut yang beradap di wilayah laut Natuna (Ditjen Pengelolaan Ruang Laut, 2015). Distribusi produksi perikanan tangkap tersebar di dua belas kecamatan, dengan produksi tertinggi ada di Kecamatan Bunguran Barat yang mencapai 13.095,48 ton atau 26,89 persen dengan pertumbuhan rata-rata produksi perikanan tangkap tahun 2013 sampai dengan 2015 sebesar 19,40 persen. Produksi terendah adalah Kecamatan Bunguran Tengah yaitu sebesar 181,18 ton atau mencapai 0,37 persen. Produksi perikanan tangkap tahun 2015 sebagian besar dihasilkan oleh kecamatan yang termasuk ke dalam Gugusan Pulau Natuna yang berada di sebelah utara (Bunguran Barat, Bunguran Timur, Bunguran Tengah, Bunguran Utara, Bunguran Selatan, Bunguran Timur Laut, Midai, Pulau Laut, dan Pulau Tiga) yaitu mencapai 34.390,47 ton. Sisanya dihasilkan oleh kecamatan yang berada di Gugusan Pulau Serasan di sebelah selatan (Serasan, Serasan Timur, dan Subi) dengan produksi sebesar 14.308,37 ton. Produksi perikanan tangkap dihasilkan oleh rumah tangga perikanan (RTP) yang melakukan usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap tertentu di suatu wilayah perairan, baik menggunakan kapal perikanan maupun tidak. Jumlah RTP yang melakukan usaha penangkapan ikan di Kabupaten Natuna adalah sebanyak 7.066. Jumlah ini meningkat 95,25 persen dibandingkan tahun 2014 sebesar 3.619 RTP. Pertumbuhan rata-rata jumlah RTP dari tahun 2013 sampai dengan 2015 adalah 52,18 persen per tahun. Pertumbuhan paling signifikan terjadi di Kecamatan Bunguran Selatan sebesar 231,81 persen per tahun, dari 85 RTP pada tahun 2013 menjadi 671 buah RTP pada tahun 2015. Peningkatan jumlah RTP sebagai dampak positif dari adanya moratorium kapal eks asing yang diatur dalam PerMen KP No.58 Tahun 2014, yaitu
52
bertambahnya nelayan sambilan lokal Kabupaten Natuna yang melakukan aktivitas penangkapan ikan. Jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Natuna pada tahun 2015 adalah sebanyak 17.286 unit atau mengalami peningkatan 12,24 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan jika dihitung dari tahun 2013 maka pertumbuhan rata-ratanya mencapai 5,96 persen per tahun. Kecamatan Bunguran Baratmemiliki jumlah alattangkap tertinggi dibandingkan kecamatan lainnya yaitu sebesar 5.793 unit, sedangkan jumlah alat tangkap terendah ada di Kecamatan Bunguran Tengah. Secara keseluruhan, peningkatan ini merupakan salah satu dampak dari meningkatnya jumlah RTP yang melakukan usaha penangkapan ikan. Berdasarkan diagram segitiga dibawah ini, dapat diketahui bahwa 1 RTP rata-rata memiliki 2 sampai 3 unit alat tangkap. Jumlah armada kapal perikanan yang beroperasi di Kabupaten Natuna, pada tahun 2015 sebanyak 4.089 unit kapal dengan pertumbuhan rata-rata dari tahun 2013-2015 sebesar 3,19 persen per tahun. Kecamatan Bunguran Barat memiliki armada kapal perikanan tertinggi yaitu sebanyak 573 unit. Sedangkan Kecamatan Bunguran Tengah tidak terdapat kapal perikanan karena kecamatan ini tidak memiliki pantai. Perikanan Budidaya Wilayah perairan Kabupaten Natuna juga memiliki potensi untuk melakukan usaha budidaya perikanan. Jenis budidaya perikanan yang sudah dikembangkan di Kabupaten Natuna antara lain budidaya karamba (jaring apung dan tancap), kolam, tambak, dan bak, dengan jenis komoditas meliputi ikan kerapu (macan, bebek, malam,sunu, bakau, kertang, lumpur), kakap putih, bawal bintang, kakap merah, dan ikan hias. Komoditas unggulan yang memiliki nilai jual tinggi antara lain ikan kerapu dan kakap putih. Selain itu, sebagian besar kecamatan di Kabupaten Natuna juga sangat cocok untuk pengembangan komoditas rumput laut, baik dengan menggunakan metode patok dasar maupun longline (Ditjen Pengelolaan Ruang Laut, 2015). Wilayah yang potensial dikembangkan untuk budidaya laut sebesar ± 12.997 ha yang terdiri dari perairan pesisir pantai dengan kedalaman maksimal 20 meter. Tingkat pemanfaatan lahan masih sangat kecil, yaitu sekitar 268,25 hektar (2,06 persen). Hal ini menunjukkan peluang yang besar untuk usaha budidaya perikanan di wilayah ini. (Ditjen Pengelolaan Ruang Laut, 2015). Produksi perikanan budidaya di Kabupaten Natuna pada tahun 2015 sebesar 754,84 ton atau turun 69,55 persen dibandingkan produksi tahun 2014 sebesar 2.479,12 ton. Produksi komoditas rumput laut mengalami penurunan 92,43 persen, dari semula pada tahun 2014 sebesar 1.886,75 ton menjadi 142,80 ton pada tahun 2015. Permasalahan ini disebabkan tidak seimbangnya antara modal produksi yang dibutuhkan untuk pembelian benih dari luar Kabupaten Natuna (BBL
53
Lampung, BBL Batam) dibandingkan dengan hasil penjualan produksi rumput laut, dimana pembudidaya mengalami kesulitan memasarkannya. Kondisi tersebut perlu mendapatkan perhatian untuk mencari peluang pangsa pasar produksi rumput laut dan mengajarkan pembudidaya untuk dapat menghasilkan benih rumput laut unggul. Jumlah RTP yang melakukan usaha budidaya ikan di Kabupaten Natuna pada tahun 2015 sebanyak 1.040 RTP dengan kenaikan rata-rata 5,61 persen per tahun. Jumlah RTP terbanyak ada di Kecamatan Bunguran Barat sebanyak 322 buah,sedangkan jumlah RTP terkecil terdapat di Kecamatan Bunguran Selatan sebanyak 12 buah. Kecamatan Serasan merupakan satu-satunya daerah yang mengalami penurunan jumlah RTP sebesar 27,06 persen per tahun, dari semula 170 RTP pada tahun 2014 menjadi 78 RTP pada tahun 2015. Permasalahan ini disebabkan usaha perikanan budidaya mulai ditinggalkan masyarakat Kecamatan Serasan karena modal produksi yang dibutuhkan untuk pembelian benih dari luar Kabupaten Natuna (BBL Lampung, BBL Batam) jauh lebih besar daripada hasil penjualan produksi rumput laut, dimana pembudidaya mengalami kesulitan memasarkannya. Berdasarkan sarana budidaya yang digunakan, jumlah karamba di Kabupaten Natuna pada tahun 2015 mengalami penurunan sebesar 61,50 persen, darisemula 5.538 unit pada tahun 2014 menjadi 2.132 unit. Dari tabel jumlah karamba di tiap kecamatan terlihat bahwa pada tahun 2014 di Kecamatan Bunguran Timur Laut terjadi peningkatan yang sangat signifikan, dari semula 31 unit pada tahun 2013 menjadi 3.461 unit atau meningkat 11.064,52 persen pada tahun 2014, dan menurun kembali pada tahun 2015 menjadi 46 unit. Kondisi tersebut disebabkan pada tahun 2014 terdapat kapal pengangkut hasil perikanan budidaya dari Hongkong yang siap menampung hasil produksi Ikan Kerapu, namun setelah diberlakukannya PerMen KP No. 49 tahun 2014, tanggal 16 Oktober 2014 mengenai moratorium terhadap kapal pengangkut ikan hasil pembudidayaan, pembudidaya karamba mengalami kesulitan dalam melakukan pemasaran produknya. Pengolahan Kabupaten Natuna memiliki beberapa kelompok-kelompok Pengolah Skala Rumah Tangga (POKLAHSAR) yang tersebar di 9 Kecamatan, yaitu Kecamatan Subi, Serasan Timur, Serasan, Pulau Laut, Pulau Tiga, Bunguran Utara, Bunguran Barat, Bunguran Timur, dan Bunguran Selatan. Jumlah kelompok tersebut sebanyak 111 POKLAHSAR, yang terdiri dari: 1.
Kerupuk atom : 34 pengolah;
2.
Kerupuk iris : 58 pengolah;
3.
Fermentasi : 32 pengolah;
4.
Bakso Ikan : 32 pengolah; dan
54
5.
Ikan Asin : 21 pengolah. Pada tahun 2014,tercatat jumlah bahan baku pengolahan ikan yang dikelola POKLAHSAR,
mencapai 19.095 kg/bulan (senilai Rp 166.955.000,-/bulan). Sedangkan produksi pengolahan ikan mencapai 73.422 kg/tahun (senilai Rp 4.469.400.000,-/ tahun). Mengingat potensi perikanan tangkap dan budidaya Kabupaten Natuna sangat besar, sangat dimungkinkan untuk meningkatkan produksi hasil olahan tersebut (Ditjen Pengelolaan Ruang Laut, 2015). Wisata Bahari Natuna merupakan kabupaten berbentuk kepulauan dengan panorama pantai. Berdasarkan data BPS Kabupaten Natuna, tercatat bahwa sebagian besar pengunjung wisata memilih destinasi wisata bahari atau pantai. Pada tahun 2013 kunjun gan pariwisata di Kabupaten Natuna mencapai 217.620 pengunjung. Jumlah hotel/penginapan tercatat sebanyak 40 unit yang tersebar pada 8 kecamatan, meliputi Kecamatan Midai, Bunguran Barat, Bunguran Timur, Serasan, Bunguran Utara, Pulau Laut, Pulau Tiga, dan Subi. Tabel 11. Wisata Bahari Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Natuna No.
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Midai Bunguran Barat Bunguran Utara Pulau Laut Pulau Tiga Bunguran Timur Bunguran Timur Laut Bunguran Tengah Bunguran Selatan Serasa Subi Serasan Timur Jumlah
Wisata Bahari/Pantai 3 2 8 5 1 2 9 13 5 4 2 54
Sumber : Natuna dalam Angka (2014)
Air Terjun 1 2 3
Wisata Gunung/Bukit 2 6 1 1 3 1 3 3 20
Situs Bersejarah
Lainnya
6 7 2 3 4 2 1 3 2 12 42
1 1 1 3
3.3.5. Taman Wisata Perairan Gili Matra Letak Geografis Kondisi Geografis, Luas dan Batas Wilayah Kawasan Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra memiliki tiga gugusan pulau-pulau kecil, yaitu Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan. Gili dalam bahasa Sasak berarti pulau. Penamaan Gili Matra merupakan singkatan dari ketiga pulau tersebut (Meno, Air dan Trawangan). Dalam Dinas Pariwisata kawasan ini juga dikenal dengan nama singkatan lain yaitu Gili Tramena (Trawangan, Meno dan Air). Secara geografis, kawasan
55
TWP Gili Matra berada pada posisi 8o20’- 8o23’ LS dan 116o00’-116o08’BT. Kawasan ini memiliki total luas 2.954 ha yang terdiri dari luas daratan Gili Air ± 175 ha dengan keliling pulau ± 5 km, Gili Meno ± 150 ha dengan keliling pulau ± 4 km dan Gili Trawangan ± 340 ha dengan keliling ± 7,5 km. Batas-Batas wilayah dari TWP Gili Matra adalah sebagai berikut: dengan Selat Lombok
Sebelah utara berbatasan
Sebelah timur berbatasan dengan Tanjung Sire
berbatasan dengan Desa Pemenang Barat dan Desa Malaka
Sebelah selatan
Sebelah barat berbatasan dengan
Laut Jawa Secara administratif, kawasan TWP Gili Matra berada di wilayah Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara. Kabupaten Lombok Utara merupakan pemekaran dari Kabupaten Lombok Barat berdasarkan UdangUndang Nomor 26 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Lombok Utara. Karena belum terlalu lama mengalami pemekaran, saat ini dinas-dinas pemerintah yang berada di Lombok Utara masih tergabunggabung. Bidang Kelautan dan Perikanan merupakan bagian dari Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Utara. Dinas dipimpin oleh seorang Kepala Dinas dan setiap bidang dipimpin oleh Kepala Bidang. Desa Gili Indah memiliki tiga dusun dimana masing-masing gili merupakan dusun-dusun tersebut. Setiap dusun dipimpin oleh seorang Kepala Dusun yang bertanggung jawab kepada Kepala Desa. Dusun sebagai unsur pelaksana tugas Kepala Desa mempunyai tugas membantu melaksanakan tugas-tugas operasional Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Iklim TWP Gili Matra memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh musim hujan dan kemarau. Suhu udara di kawasan ini berkisar antara 20o-32oC. Periode basah dengan curah hujan 200 mm/bulan umumnya terjadi pada bulan Desember hingga Februari sedangkan periode kering dengan curah hujan di bawah 10 mm/bulan terjadi pada bulan Agustus dan September. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dan curah hujan terendah terjadi pada bulan September. Angin musim merupakan komponen angin yang paling dominan. Selama musim barat angin bertiup dari arah barat laut dengan kecepatan maksimum 35 knot yang terjadi antara bulan Januari dan Februari. Pada musim timur angin bertiup dari arah timur dengan kecepatan maksimum 15 knot yang terjadi antara bulan Juni dan September. Selain angin musim kawasan ini juga dipengaruhi oleh angin akibat cyclone di Samudera Hindia yang berkembang di wilayah Nusa Tenggara Barat dan Australia.
56
Geologi dan Topografi Keadaan geologi di ketiga gili memiliki pembentukan yang sama dengan daratan Pulau Lombok bagian barat. Keadaan tanah terdiri dari tanah coklat dengan bahan induk endapan pasir. Gili Air dan Gili Meno memiliki topografi permukaan tanah yang datar dengan ketinggian hampir sejajar dengan permukaan laut. Gili Trawangan pada bagian tengah ke arah tenggara topografinya berbukit dengan ketinggian ± 70 m di atas permukaan laut. Tingkat Pendidikan Sebagian besar penduduk Desa Gili Indahmerupakan tamatan SD (33,64%). Hanya sebagian kecil penduduk saja yang pernah melanjutkan pendidikan hingga sarjana/diploma (1,27%). Tingkat pendidikan masyarakat Desa Gili Indah yang pada umumnya cukup rendah dapat berdampak terhadap pola pikir yang sederhana dan kurangnya keterampilan yang dimiliki. Tetapi berdasarkan observasi di lapangan, tingginya interaksi sosial penduduk dengan wisatawan asing setidaknya memberikan efek postif terhadap kemampuan dan keberanian masyarakat, baik tua maupun muda, untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris. Mata Pencaharian Jenis mata pencaharian yang dimiliki oleh penduduk Desa Gili Indah cukup bervariasi. Aktivitas pariwisata yang padat di Gili Matra menjadikan sebagian besar penduduknya bekerja sebagai karyawan swasta (44,23%) dengan menjadi pegawai di penginapan atau restoran, instruktur selam dan pemandu wisata. Profesi masyarakat yang paling rendah adalah pengrajin (0,70%). Berdasarkan observasi di lapangan, kawasan TWP Gili Matra juga tidak memiliki bentuk cinderamata atau kerajinan yang khas. Meski berseberangan dengan Bali, kemungkinan jiwa seni masyarakat penduduk Desa Gili Indah memang tidak terlalu tinggi. Pada awalnya kawasan Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan (Gili Matra) telah ditunjuk sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 85/Kpts-II/1993 tanggal 16 Februari 1993 dan ditambah dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 99/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001. Pada tanggal 4 Maret 2009 diterbitkan berita acara serah terima kawasan Suaka Alam dan kawasan Pelestarian Alam dari Kementerian Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan termasuk di dalamnya TWAL Gili Matra dan pada tanggal 3 September 2009 bedasarkan Surat Keputusan menteri Kelautan dan perikanan Nomor KEP.67/MEN/2009 nomenklaturnya berubah dari Taman Wisata Alam Laut (TWAL) menjadi Taman Wisata Perairan (TWP) dan dikelola dibawah Kementerian Kelautan Perikanan khususnya oleh Balai Kawasan Konservasi Pesisir Laut (BKKPN)-Kupang. Pengelolaan TWP Gili Matra menggunakan pendekatan Zonasi dengan luas perairan 2.273,56 ha. Ada pembagian tujuh zona yaitu zona inti, zona perikanan berkelanjutan, sub zona perikanan
57
berkelanjutan karang, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, zona perlindungan dan zona pelabuhan. Untuk lebih jelasnya tertuang dalam Tabel 11. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona inti dengan catatan izin dari pengelola TWP Gili Matra (BKKPN-Kupang) seperti penelitian, pendidikan, pemeliharaan, pemulihan, rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan dan ekosistemnya. Dalam zona pemanfaatan yang dapat dilakukan adalah kegiatan wisata menyelam, snorkeling, surfing, wisata perahu kaca, berlayar melintas, tambatan kapal/mouring bouy, upacara adat, ritual keagamaan, pancing cumi namun tidak buang jangkar, pembuatan foto, video, film untuk tujuan non komersil. Namun khusus untuk marine walk, penenggalaman kapal, penelitian, pendidikan, pemeliharaan, pemulihan, rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan dan ekosistemnya, serta pembuatan foto, video, film untuk tujuan komersil memerlukan izin kepada pengelola TWP Gili Matra. Dalam sub zona perikanan berkelanjutan jenis kegiatan yang diperbolehkan sama dengan zona pemanfaatan namun ada tambahan kegiatan seperti kegiatan budidaya (memerlukan izin), menyelam untuk mengambil biota, menangkap ikan dengan pancing, jaring atas, rawai dasar. Tabel 12. Luas Zonasi di TWP Gili Matra Zonasi 1. Zona Inti Gili Trawangan Gili Meno Gili Air Total luas Zona Inti 2. Zona Perikanan Berkelanjutan Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air 3. Sub Zona Perikanan Berkelanjutan Karang : Gili Trawangan Gili Trawangan Gili Meno Gili Meno Gili Meno Gili Air Gili Air Total Luas Zona Perikanan Berkelanjutan 4. Zona Pemanfaatan : Gili Trawangan Gili Trawangan Gili Meno Gili Meno Gili Meno Gili Air Total Zona Pemanfaatan 5. Zona Rehabilitasi :
Luas (Ha) 67.94 10.78 16.09 94.81 1339.44 86.95 37.9 84.86 4.92 101.11 182.63 32.29 1870.1 115.72 41.52 21.43 4.85 4 19.97 207.49
58
Zonasi Gili Trawangan Gili Meno Gili Air Total Zona Rehabilitasi 6. Zona Perlindungan : Gili Trawangan 7. Zona Pelabuhan Gili Trawangan Gili Meno Gili Meno Gili Air Gili Air Total Zona Pelabuhan Sumber : BKKPN (2016)
Luas (Ha) 22.95 8.52 5.46 36.93 7.44 8.25 9.35 6.94 25.08 10.44 61.64
Zona perikanan berkelanjutan tambahan jenis kegiatan yang boleh dilakukan adalah wisata memanah ikan, windsurf, lintasan kapal pesiar dengan layar dan kapal selam, menangkap ikan dengan jaring atas. Namun ada larangan untuk jenis kegiatan tertentu seperti wisata snorkeling dan marine walk. Zona rehabilitasi dan perlindungan memiliki jenis kegiatan yang diperbolehkan sama dengan sub zona perikanan berkelanjutan namun ada pelarangan pada beberapa jenis kegiatan seperti surfing, budidaya, menyelam untuk mengambil biota, aktifitas penangkapan dengan menggunakan alat tangkap pancing, sparegun dan rawai dasar. Zona yang terakhir yang diatur adalah zona pelabuhan yang memperbolehkan jenis kegiatan seperti wisata perahu kaca, penelitian (memerlukan izin), berlayar melintas, tambatan kapal, berlabuh untuk kapal dibawah 10GT, upacara adat, ritual keagamanan, aktivitas menangkap ikan dengan menggunakan pancing dan pancing cumi yang dilakukan malam hari (tidak membuang jangkar) serta pembuatan foto, video, film untuk tujuan komersil (memerlukan izin) dan non komersial. Gili Matra masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Lombok Utara Kecamatan Pemenang Desa Gili Indah dan terdiri dari 3 dusun yaitu dusun Gili Air, dusun Gili Meno dan dusun Gili Trawangan. Batas-batas Gili Matra pada bagian utara berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah baratnya berbatasan dengan Selat Lombok, sedangkan sebelah timurnya berbatasan dengan Kecamatan Tanjung dan Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lombok Barat. Luas wilayah daratan Gili Indah tercatat 6,78 km2 atau sebesar 5,23% dari luas total kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara. Jumlah penduduk Gili Indah tahun 2015 tercata 5.673 jiwa dengan kepadatan penduduk 837 jiwa/km2. Jika dibandingkan dengan desa lainnya yang ada di Kecamatan Pemenang, Desa Gili Indah adakah desa dengan tingkat kepadatan penduduk yang tertinggi hal ini disebabkan luas wilayah Desa Gili Indah tidak sebanding dengan jumlah penduduk
59
yang tinggal di Desa Gili Indah dan saat ini terlihat Desa Gili Indah seperti wilayah padat penduduk ditambah dengan maraknya pembangunan penginapan/hotel di Desa Gili Indah. Berdasarkan potensi ekosistem yang ada menjadikan sektor perikanan sebagai salah satu potensi ekonomi untuk pembangunan Kabupaten Lombok Utara. Setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Lombok Utara memiliki wilayah pesisir dari Kecamatan Bayan hingga ke Kecamatan Pemenang. Potensi yang kini berkembang adalah perikanan tangkap dengan jumlah armada lebih dari 1546 unit yang didominasi oleh motor temple (77%) dan sisanya jukung (23%). Jenis alat tangkap yang dominan digunakan di perairan Lombok Utara adalah pancing tegak (42,06%), jaring insang tetap (20,71%) dan jaring insang hanyut (15,52%). Perairan TWP Gili Matra masuk dalam wilayah perairan Selat Lombok yang merupakan jalur Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yang berasal dari Samudera Pasifik masuk kedalam perairan Indonesia dan keluar menuju Samudera Hindia Bagian Timur. Berdasarkan hal tersebut jenis ikan yang tertangkap di dominasi oleh ikan-ikan pelagis kecil walaupun terkadang ikan-ikan lainnya juga tertangkap seperti kerapu, baronang, kuniran dan kurisi. Berdasarkan alat tangkap yang digunakan jenis ikan yang sering tertangkap dan dominan di Lombok Utara seperti jenis ikan layang (21,75%) , tongkol abu-abu (16,10%), kuniran (5,77%), kurisi (5,77) dan kembung (4,81%). Jenis ikan lainnya yang juga tertangkap rata-rata adalah jenis ikan pelagis kecil namun juga menangkap ikan-ikan karang serta cumi, gurita, udang-udangan dan teripang Untuk lebih detailnya tertuang dalam tabel berikut. Saat penelitian ini dilakukan masih ada kelompok nelayan muroami melakukan kegiatan penangkapan di sekitar perairan TWP Gili Matra. Alasan dibalik ini karena menurut mereka kesepakatan yang dibangun pada tahun 1990an tentang kompensasi yang diberikan oleh ecotrust kepada kelompok nelayan muroami setiap bulannya dengan kisaran awalnya 3 juta menjadi 6 juta dihentikan sepihak oleh ecotrust. Oleh karena itu jaring muroami masih beroperasi di sekitar peraian TWP Gili Matra. Jaring Muroami menggunakan kapal sebanyak tiga buah yang memuat 50 orang. Untuk daerah penangkapan ditempuh kurang lebih 30 menit dari Gili Air. Biasanya dikedalman kurang lebih 7 meter dan arus yang kencanga supaya jaring muroami mengembang. Dalam 1 trip jumlah bahan bakar yang digunakan sebanyak 50-100 lt dengan harga perliter Rp. 12.000. Rata-rata pengeluaran nelayan muroami berkisar Rp. 600.000 – Rp. 1.200.000. Jenis ikan yang tertangkap adalah ikan demersal dan ikan pelagis kecil. Rata-rata volume tangkapan berkisar 20-1000 kg.trip. Jaring muroami termasuk jenis alat tangkap yang tidak selektif karena semua jenis ikan dapat tertangkap baik ukuran besar dan kecil. Cara pengoperasian jaring ini dibantu dengan kompresor dan menggunakan alat yang dapat menimbulkan suara yang digunakan untuk mengiring ikan-ikan masuk kedalam jaring. Hal ini yang disinyalir jaring muroami masuk sebagai
60
alat tidak ramah lingkungan karena menggunakan karang untuk membuat suara dan menggiring ikan masuk kedalam jaring dengan cara berjalan diatas karang. Tidak selektifnya jaring ini menjaring ukuran ikan kecil juga menambah jaring ini masuk sebagai alat tangkap tidak ramah lingkungan kemudian ditambah penggunaan kompresor sebagai alat bantu penangkapan dan kini dilarang untuk dioperasikan. Jaring seret yang masih beroperasi di Gili Matra khususnya nelayan Gili Air sebanyak 6 unit. Jumlah orang dalam 1 armada sebanyak 10 orang. Jarak yang ditempuh kurang lebih 25 menit menuju takad yang banyak ikan bergerombol. Jenis ikan yang sering tertangkap adalah ikan pelagis kecil seperti ikan tongkol, barracuda, terbang namun terkadang ikan yang ada disekitar terumbu karang seperti kerapu, ekor kuning. Musim puncak jaring seret biasanya setelah musim barat (desember-januari) dan biasanya tidak ada aktivitas penangkapan. Ketika musim puncak dalam 1 trip ikan terbang yang tertangkap mencapai 300 kg namun hanya berlangsung 1 minggu saja. Sedangkan ikan ekor kuning bisa mencapai 150 kg/trip. Jumlah bahan bakar yang digunakan sebanyak 10 liter pertrip dengan harga beli Rp. 10.000 ditambah perbekalan untuk 10 orang sebesar Rp. 100.000. Jaring lainnya yang masih beroperasi adalah jaring dengkol atau jaring mogong. Jumlah orang dalam 1 armada sebanyak 7 orang. Jaring dengkol dinamai sesuai dengan jenis ikan dengkol (bahasa lokal). Daerah tangkapan ikan dengkol biasanya di daerah hempasan ombak. Musim puncak jaring dengkol biasanya pada musim barat yaitu dari bulan November-Januari dan tidak melaut ketika bulan puasa. Potensi yang dapat dimanfaatkan dari ekosistem yang ada di TWP Gili Matra adalah sektor pariwisata. Sektor pariwisata di Gili Matra berkembang terlihat dari jumlah kunjungan wisatawan yang menginap di hotel. Pada tahun 2015 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara yang menginap di hotel 468.687 jiwa sedangkan wisatawan nusatara mencapai 66.838 jiwa. Peningkatan wisatawan yang berkunjung ke Gili Matra juga didukung oleh semakin meningkatnya jumlah hotel. Pada tahun 2015 jumlah hotel berbintang relatif sama dengan tahun 2014 yaitu tiga hotel sedangkan hotel melati mengalami peningkatan signifikan yang sebelumnya tahun 2014 tercatat 293 hotel meningkat 377 hotel di tahun 2015. Sektor pariwisata Gili Matra khususnya dan pariwisata Lombok Utara umumnya membawa pengaruh terhadap perekonomian Lombok Utara hal ini tercermin dalam kategori dalam PDRB tidak hanya kategori penyedia akomodasi namun ditambah dengan kategori perdagangan dan apabila digabung kontribusi nilai tambah mencapai 20,87% pada tahun 2015. Hal ini senada dengan hasil wawancara secara langsung dengan petugas Bank BRI yang ada di Gili Matra dalam sehari uang yang beredar di Gili Matra kurang lebih 2 milyar rupiah. Akses yang digunakan wisatawan untuk menuju Gili Matra adalah 61
menggunakan angkutan laut. Khusus jika berangkat dari Kabupaten Lombok Utara ada dua pelabuhan yang digunakan yaitu pelabuhan bangsal dan pelabuhan Teluk Nara. Tidak hanya dua pelabuhan ini saja akses menuju Gili Matra bisa melalui pelabuhan Senggigi Lombok Barat dan Padang Bai-Benoa, Bali. Jika melihat jumlah angkutan yang melayani penyebrangan dari Bangsal dan Teluk Nara tercatat 105 unit angkutan dan meningkat singnifikan tahun 2015 tercatat 304 unit angkutan. Meningkatnya jumlah angkutan ini berasal dari kontribusi angkutan yang berasal dari Teluk Nara yang meningkat 850%. Jenis atraksi wisata yang ada di Gili Matra berdasarkan potensi sumberdaya alam yang ada adalah wisata bahari seperti snorkeling, diving, menangkap ikan dengan sparegun dan pancing, jetsky, jet surfing, pengamatan penyu, wisata pengamatan burung dan danau air asin Ketiga gili tersebut menawarkan suasana yang berbeda. Gili trawangan merupakan pulau yang paling besar, paling padat dan paling ramai dikunjungi wisatawan jika dibandingkan gili meno dan gili air. Gili meno dan gili air menawarkan suasana untuk wisatawan yang gemar dengan keheningan dan jauh dari keramaian. Minat wisatawan terhadap wisata terumbu karang berupa menyelam/diving dan snorkeling tergolong tinggi. Hal ini dilihat dari jumlah dive shop yang ada di Gili Matra serta paketpaket diving dan snorkeling yang ditawarkan beragama. Lokasi diving yang dituju oleh wisatawan adalah disekitar Christmas tree, turtle area, meno wall, green garden, coral beach, coral van garden, lokasi dekat pelabuhan, hans dive, hans reef, air slope, Manta, shark point, halic, bounty, coral garden, deep turbo, jack fish, voda slope, meno slope, malang, pongkor, shallow turbo, sunset, biorock, frogfish, ship wreck, tanjungan, dan turtle point. Lokasi snorkeling adalah di sekitar blue coral, christmas tree, turtle area, meno wall, green garden, corner, sunrise, garden, good heart, halic, hans reef, meno slope, pantai Gili Air, shallow turbo, manta, biorock, ship wreck, tanjungan, timur Gili Air, turtle point, dan coral garden. Objek dan kegiatan wisata bahari seperti pantai dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata terdapat di ketiga pulau (Gili Trawangan, Gili Meno, Gili Air) dengan kondisi pantai yang landai dan ada juga yang agak curam, lebar pantainya antara 2 m sampai dengan 10 m dari puncak pasang tertinggi dengan panjang pantai untuk Gili Trawangan 6,69 km, Gili Meno 5,08 km, dan Gili Air 5,08 km. Danau air asin berada di Pulau Gili Meno seluas ± 4 Ha dan terletak disebelah barat daya pulau. Danau tersebut merupakan tempat persinggahan berbagai jenis burung migran terutama pada bulan Maret s/d bulan Mei setiap tahunnya. Selain itu juga terdapat banyak ikan air tawar seperti mujair dan nila yang hidup di daerah danau tersebut. Dilihat dari sisi ekonomi, danau
62
tersebut memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar karena air danau digunakan sebagai bahan pembuat garam. Hampir disemua wilayah perairan laut TWP Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan terdapat penyu. Jenis penyu yang ditemukan antara lain Penyu Hijau, Penyu Lekang dan Penyu Sisik. Ada sebuah lokasi penyelaman yang diberi nama Turtle point, dinamakan demikian karena di lokasi tersebut selalu terdapat penyu baik yang sedang mencari makan maupun beristirahat. Turtle point tersebut terdapat di sebelah Utara dari Gili Meno pada kedalaman 3 sampai dengan 28 meter. Populasi penyu yang ada di TWP Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan diperkirakan banyak, dan sampai saat ini masih ditemukan lokasi tempat bertelurnya penyu. Namun seiring dengan perkembangan aktivitas masyarakat dan pengunjung/wisatawan, saat ini terjadi penurunan penyu yang bertelur di ketiga pulau ini. Kegiatan wisata diving dapat dilakukan
diketiga pulau yang didukung oleh fasilitas
penyelaman yang lengkap. Beberapa lokasi yang biasanya dikunjungi oleh wisatawan antara lain sebelak deep, PLN reef, good heart, trawangan slope, jagre reef, giant clam, salobai reef, manta reef, andy’s reef dan shark point di Gili trawangan. Meno slope, Meno reef, turtle point, kuasang wall di Gili Meno dan Han’s reef, Gili Ayer wall, karang gogos, taket malang, rombak wall serta bagik rebak diperairan Gili Ayer. Kegiatan diving ini didukung oleh keindahan gugusan terumbu karang dan berbagai jenis biota laut yang tersebar di ketiga gili hingga kedalaman 30 m. Snorkeling
merupakan
kegiatan
yang
menikmati
pemandangan
dibawah
air.
Pemandangan yang menarik meliputi hamparan terumbu karang, padang lamun, ikan hias dan ikan terumbu karang serta berbagai biota laut lainnya seperti kelompok Mollusca (kerangkerangan dan siput), Coelenterata (ubur-ubur) dan Echinodermata (bintang laut, bulu babi, teripang dan lili laut). Aktivitas snorkeling dapat dilakukan pada semua wilayah perairan yang relatif dangkal sehingga pemandangan bawah air masih dapat dinikmati dengan jelas. Aktivitas snorkeling biasanya dilakukan pada daerah-daerah tertentu yang dapat dikategorikan indah dan aman bagi pengunjung. Seperti di blue coral, christmas tree, turtle area, meno wall, green garden, corner, sunrise, garden, good heart, halic, hans reef, meno slope, shallow turbo, biorock, ship wreck, tanjungan, Gili Ayer bagian Timur, turtle point, dan coral garden. Kegiatan berjemur merupakan salah satu aktivitas yang paling disukai (selain diving dan snorkeling) oleh wisatawan terutama dari mancanegara. Kegiatan berjemur dapat dilakukan disekitar pantai ataupun didekat kolam renang yang ada di sekitar hotel atau tempat penginapan. Tetapi umumnya wisatawan lebih menikmati kegiatan berjemur di sekitar pantai. Apalagi kondisi pantai di wilayah TWP Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan merupakan pantai pasir putih. Lokasi pantai yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan berjemur terdapat di ketiga pulau dengan
63
kondisi pantai yang landai dan ada juga yang agak curam. Hampir semua bibir pantai merupakan hamparan pasir putih yang membuat para wisatawan semakin betah berjemur. Perahu kano merupakan salah satu jenis olah raga dayung yang dapat dilaksanakan pada perairan yang keadaan ombaknya relatif tenang. Kawasan perairan TWP Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan adalah salah satu tempat yang memiliki perairan yang jernih dengan ombak yang tenang. Bagi pengunjung yang ingin menikmati perahu kano dapat langsung menyewa pada tempat penyewaan kano yang ada disekitar lokasi TWP Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan. Selain perahu kano, perahu yang disewakan untuk wisatawan yang digunakan untuk melakukan yoga diatas air. Jadwal melakukan yoga biasanya dilakukan pada pagi hari ketika matahari terbit. Pemandangan bawah laut juga dapat dinikmati tanpa harus berenang, snorkeling ataupun diving, cukup dengan menggunakan perahu kaca (glass bottom boat). Pengunjung dapat melihat dan menikmati pemandangan terumbu karang dan ikan hias melalui kaca yang dipasang persis dibawah perahu. Penggunaan perahu kaca ini dapat memperkecil resiko kerusakan terumbu karang dan biota laut lainnya karena tidak menyentuh dasar perairan sepanjang perahu tidak membuang jangkar atau menabrak daerah terumbu karang yang dangkal. Aktivitas wisata memancing merupakan kegiatan memancing sambil menikmati suasana wisata. Alat tangkap yang digunakan adalah sparegun dan pancing. Memancing adalah salah satu wisata dapat dilakukan dikawasan TWP Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan, khususnya dilakukan diseluruh zona perikanan berkelanjutan (karang dan non karang). Jenis-jenis ikan yang biasa dipancing adalah ikan-ikan karang seperti ikan kakap, kerapu, kakatua dsbnya
Sosial budaya Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Masyarakat Gili Matra bersikap terbuka terhadap kegiatan pariwisata. Mereka melihat pariwisata sebagai peluang dan memanfaatkannya sebagai sumber pencaharian utama maupun sampingan. Dengan pesatnya perkembangan pariwisata yang berkembang di TWP Gili Matra, interaksi sosial antara penduduk sekitar dengan wisatawan pun relatif tinggi. Kondisi tersebut tentunya memberi kesempatan masuknya budaya asing ke dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat Desa Gili Indah. Tetapi penerimaan masyarakat terhadap masuknya budaya asing dari wisatawan mancanegaera bukan berarti tanpa batasan. Dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam, nilai-nilai kesopanan tetap dijaga. Contohnya jika di kawasan pantai yang berada di pinggir pulau wisatawan asing dapat berpakaian terbuka, di bagian dalam pulau, yang merupakan pusat pemukiman penduduk, setiap wisatawan tetap dianjurkan untuk berpakaian sopan. Untuk batasan-batasan lain di ketiga gili sedikit berbeda. Gili Trawangan sebagai pulau dengan kegiatan pariwisata yang paling berkembang,
64
sangat ramai dengan aktivitas hiburan malam. Pulau ini bahkan memiliki julukan sebagai “party island” dimana hampir setiap malamnya beberapa cafe dan bar yang berlokasi di gili tersebut secara bergiliran mengadakan party sebagai hiburan bagi para wisatawan. Tetapikhusus pada setiap malam Jumat diberlakukan larangan untuk mengadakan kegiatan party karena pada waktu tersebut masyarakat muslim Gili Trawangan mengadakan pengajian rutin bersama di Masjid Agung Gili Trawangan. Masyarakat Gili Air memiliki penerimaan terhadap budaya barat yang hampir sama dengan Gili Trawangan, hanya saja berdasarkan wawancara dengan tokoh setempat, kepala dusun Gili Air terdahulu pernah memberikan batasan terhadap pembangunan tempat wisata yang dimiliki oleh investor asing sehingga perkembangan pariwisata di Gili air tidak sepesat di Gili Trawangan. Selain itu masyarakat bermata pencaharian nelayan di pulau ini juga memiliki jumlah populasi terbesar dibandingkan kedua pulau lainnya. Jika hanya terdapat 12 orang. nelayan di Gili Trawangan dan 48 orang nelayan Gili Meno, jumlah nelayan di Gili Air mencapai kurang lebih 232 orang. Oleh karena itu masih banyak penduduk di Gili Air yang fokus terhadap kegiatan perikanan penangkapan ikan. Lain halnya dengan Gili Trawangan dan Gili Air yang tidak memperbolehkan kegiatan party di malam Jumat, masyarakat Gili Meno justru melarang secara penuh adanya kegiatan hiburan malam di pulau tersebut. Masyarakat Gili Meno lebih menginginkan kondisi pulau mereka lebih dekat dengan norma-norma Islam. Oleh karena itu, meski perkembangan pariwisata di pulau ini paling tertinggal tetapi berdasarkan wawancara dengan masyarakat, mereka justru menginginkan agar kehidupan di Gili Meno tidak berubah seperti yang saat ini dialami oleh Gili Trawangan. Norma lain yang menjaga keutuhan masyarakat Gili Matra adalah adanya kearifan lokal yang disebut sebagai awig-awig. Awig-awig mengatur sumberdaya alam apa saja yang boleh dieksploitasi dan di kawasan mana saja sumberdaya alam dapat dieksploitasi Kearifan lokal tersebut didukung dengan persepsi masyarakat yang sudah cukup baik terhadap nilai-nilai konservasi. Sehingga pada akhirnya masyarakat pun turut menjaga kelestarian lingkungan kawasan TWP Gili Matra.
4.2.
Identifikasi Jasa Sumberdaya Ekosistem Pesisir
4.2.1. Jasa Ekologi Sumberdaya Pesisir 4.2.1.1. Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang a. Ekologi Terumbu Karang Sebagai sebuah ekosistem, meskipun hewan karang ditemukan di seluruh perairan dunia, tetapi hanya di daerah tropik terumbu karang dapat berkembang dengan baik. Pertumbuhan dan sebaran terumbu dibatasi oleh beberapa faktor lingkungan. Kepulauan Spermonde termasuk kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang didalamnya memiliki keragaman ekosistem dan
65
keanekaragaman jenis biota laut yang tinggi. Kepulauan ini terbentuk dan muncul di atas dangkalan Spermonde (Spermonde Shelf) yang terletak di pesisir barat Propinsi Sulawesi Selatan (Selat Makassar) membentang dari utara ke selatan sepanjang kurang lebih 300 km dengan luas 16.000 km2 (Ahdiat, 2014 dalam Haslindah, 2012). Wilayah pesisir dan laut Kabupaten Pangkep dicirikan dengan produktivitas ekosistem yang tinggi sehingga dapat mendukung kegiatan perekonomian. Hal ini dapat dilihat bahwa masayarkat di Pulau Kapoposang sumberdaya laut mernjadikan sumber pendapatan utama masayrakat setempat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tipe ekosistem yang ada di perairan Pulau Kapoposang adalah ekosistem terumbu karang dengan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang cukup tinggi dengan tingkat keterwakilan sekitar 55% dan 70%. Laju kepunahan flora adalah 45% sedangkan untuk fauna 65%; komposisi organisme penyusun rantai makanan pada ekosistem perairan tersebut mulai dari produsen primer, konsumen tingkat pertama seterusnya sampai mangsa, pemangsa, pengurai dan top karnivora masih cukup lengkap (Papu, 2010 dalam Haslindah, 2012). Hasil monitoring Coremap Fase II Kabupaten Pangkep tahun 2009 di Pulau Kapoposang diketahu bahwa terlah terjadi peningkatan jika dibandingkan dengan data tahun 2007 dan 2008. Secara keseluruhan terjadi peningkatan tutupan karang hidup dipulau ini baik dikedalaman 3 meter maupun dikedalaman 10 meter. Peningkatan terbesar terlihat pada kategori AC (acropora) di kedalaman 3 meter yaitu sebesar 27%, peningkatan ini diikuti dengan penurunan karang mati dengan alga (DCA) sebesar 23%. Tingginya perubahan yang terjadi pada kategori ini karena pada kondisi perairan yang baik karang jenis acropora ini terutama bentuk pertumbuhan bercabang memiliki kecepatan tumbuh yang bagus. Pada kedalaman 10 meter juga terjadi peningkatan pada kategori AC dan NA, dimana pada tahun 2007 dan 2008 tidak ditemukan AC tetapi pada tahun 2009 ditemukan 14%. Kategori NA peningkatan terjadi dari tahun 2007- 2009 dimana tahun 2007 didapatkan tutupan NA sebesar 9%, tahun 2008 sebesar 30% dan tahun 2009 sebesar 41%. Penurunan karang mati dengan alga (DCA) juga terjadi dikedalaman 10 meter ini, pada tahun 2007 tutupan DCA sebesar 61%, kemudian pada tahun 2008 menurun menjadi 40% dan pada tahun 2009 ini menjadi 0%. Berdasarkan perbandingan kondisi terumbu karang antara monitoring ini dengan survei PPTK-Unhas (2006) menunjukkan bahwa dalam tenggang waktu 1 tahun beberapa tempat di sebelah Barat pulau mengalami peningkatan dan penurunan penutupan karang hidupnya. Penurunan penutupan berkisar 40 - 45 %, sedangkan peningkatan penutupan berkisar 15 - 20 %. Peningkatan dan penurunan penutupan karang hidup di beberapa tempat di pulau ini diakibatkan oleh serangan
66
Acanthaster planci 1 atau 2 tahun yang lalu, dan juga beberapa aktivitas penduduk di kawasan terumbu karang pulau tersebut. Topografi dasar terumbu karang pada sisi Timur, Utara hingga Barat Pulau Kapoposang sangat spesifik yakni terdiri dari Reef flat (rataan terumbu) dan Reef edge (batas atas tubir) dan Drop off (tebing terumbu). Lokasi terumbu ini tidak memiliki lereng terumbu yang landai, akan tetapi berupa tebing terumbu (Drop off) sehingga menjadi tujuan utama penyelaman wisata. Secara ekologi, kondisi terumbu karang di daerah reef flat tergolong rusak. Kerusakan terumbu karang diakibatkan oleh pemangsaan bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci. Populasi binatang pemakan karang ini memuncak pada tahun 2005 di hampir semua titik di sisi Utara dan Barat (PPTK-Unhas, 2006). Hasil penelitian Spice-PPTK (2005) mengungkapkan bahwa populasi Acanthaster planci mencapai 120 ekor per 100 m2. Dalam jangka waktu 6 bulan, kondisi terumbu karang menurun dari 60 % tutupan karang hidup menjadi 10-25 %. Pada tahun 2006 terumbu karang didominasi oleh komponen karang mati dan karang mati tertutup algae. Di satu sisi tutupan terumbu karang pada kawasan ini yang masih tersisa, sekarang sedang diserang pula oleh bintang berduri ini. Untuk kondisi terumbu karang di Pulau Gondongbali masih tergolong bagus pada kedalaman 3 m dan 10 m. Tutupan karang pada kedalaman 3 m terjadi penurunan dari 68% tahun 2007 dan 2008 menjadi 76% tahun 2000, sementara pada kedalaman 10 m, tutupan karang meningkat dari 34% tahun 2007 dan 2008 menjadi 62% tahun 2009. Terjadi peningkatan tutupan karang lunak sekitar 6 – 10% pada kedalaman 3 dan 10 m. Namun demikian, unsur biotik seperti rubble atau pecahan karang mati menurun pada kedalaman 10 m. Di samping itu, karang lunak (Soft coral) sebagai unsur biotik sedikit meningkat tutupannya menggantikan penutupan abiotiknya. Artinya, lokasi ini tidak mengalami selama periode satu tahun dan rekrutmen dan akresinya terjadi akibat pertumbuhan karang keras. Jika dibandingkan dengan survey PPTK-Unhas (2006) yang mendapatkan penutupan karang hidup di tubir terumbu karang 18% dan hanya 24% pada tahun 2001. Jenis karang yang umum ditemukan di Pulau Gondongbali ini adalah Echinopora, Lobophyllia, Porites, Acropora, Mantiphora, Pocillopora, Pocillopora dan genera-genera karang yang bentuk pertumbuhannya masif, bercabang, dan encrusting. Jenis karang lunak (Octocorllia) yang ditemukan antara lain: Sarcophyton dan Lobophytum. Selain itu, juga ditemukan beberapa jenis biota asosiasi lain sepeti lili laut, bulu babi, kima lubang, dan beberapa jenis sponge. Untuk kondisi terumbu karang di Pulau Suranti menunjukkan bahwa pada kedalaman 3 meter mengalami peningkatan yang cukup signifikan, berdasarkan data tahun 2007 didapatkan tutupan karang hidup AC dan NA sebesar 23%, pada tahun 2008 meningkat menjadi 48% dan
67
tahun 2009 meningkat lagi menjadi 97%. Berbeda dengan kedalaman 3 meter, pada kedalaman 10 meter tidak terlihat perubahan data dari tahun ke tahun, data tutupan karang tahun 2007 dari kategori AC dan NA sebesar 46%, tahun 2008 sebesar 47% dan tahun 2009 sebesar 49%, perubahan tutupan dasar yang terlihat adalah pada kategori R (rubble/pecahan karang) dan DCA (dead coral with algae), dimana pada tahun 2007 tutupan rubble sebesar 19% kemudian pada tahun 2008 menurun hingga 0% dan pada tahun 2009 meningkat kembali hingga 38%, menurunnya tutupan karang pada tahun 2008 disebabkan karena pecahan karang ini sudah tertutupi oleh pasir, hal ini dapat dilihat pada grafik dibawah dimana terjadi peningkatan tutupan pasir pada tahun yang sama sebesar 6% dan juga terjadi peningkatan tutupan karang lunak sebesar 10%. Peningkatan tutupan karang lunak mengindikasikan terjadinya perbaikan terumbu karang ditahun 2008 ini mengingat bahwa karang lunak merupakan hewan perintis pada daerah terumbu karang yang rusak sebelum ditumbuhi oleh organisme karang kembali. Perubahan lain yang terjadi adalah perubahan tutupan karang oleh kategori DCA, dimana pada tahun 2007 tutupan DCA sebesar 31%, kemudian pada tahun 2008 meningkat menjadi 36% dan pada tahun 2009 menurun menjadi 9%, penurunan yang terjadi pada tahun 2009 mungkin disebabkan terjadinya aktifitas yang merusak karena pada tahun ini terjadi peningkatan tutupan pecahan karang, Hanya saja ada pengharapan untuk pemulihan kondisi terumbu karang di pulau ini. Indikator adanya pemulihan kondisi terumbu karang di pulau ini telah terlihat pada awal survei dimana banyak koloni-koloni karang yang berukuran kecil yang mulai tumbuh di pulau ini. Beberapa tahun ke depan terumbu karang di pulau ini akan mengalami perbaikan. Sebagai perbandingan dengan survey ini, hasil survey PPTK-Unhas (2005) menunjukan bahwa kondisi karang Pulau Suranti pada umumnya kurang baik. Walaupun penutupan rata-rata terumbu karang hidupnya hanya sekitar 27% di reef top dan 23% di reef edge pada beberapa titik karang hidupnya dapat mencapai 37% dari total makrobentik (kategori sedang). Namun, untuk wilayah tertentu substrat dasar didominasi oleh pasir putih dan wilayah tertentu lainnya lebih sering dijumpai hancuran karang (rubble). Persentase rata-rata penutupan rublle di pulau ini relatif tinggi yakni 21% di daerah reef top dan 20% di daerah reef edge. Data LIT memperlihatkan pesrsentase yang sangat tinggi dari karang mati (DC) dan karang mati yang tertutup alga (DCA) 32%. Genera karang yang dominan ditemukan di kedalaman 3 m adalah Acropora 28%, kemudian Echinopora, Montipora, dan Porites. Sementara pada kedalaman 10 m Genera karang yang dominan adalah Montipora, Caulastrea dan Alveopora. Di saat ekosistem karang sudah banyak yang rusak, nelayan mulai merasakan bahwa semakin hari ikan hasil tangkapan tidak meningkat bahkan dirasakan semakin berkurang,
68
sementara nelayan secara ekonomi tidak mampu meningkatkan kapasitas armada tangkap yang lebih besar untuk menjangkau wilayah fishing ground yang lebih jauh.
b. Ekologi Vegetasi Pantai Daratan dalam Kepulauan Kapoposang terdiri dari tanah berpasir. Semakin ke arah pantai, kandungan pasir semakin besar; sebaliknya semakin ketengah pulau, kadar liat tanah lebih besar. Pulau-pulau di kawasan memiliki tanah yang cukup subur untuk beberapa jenis tanaman. Lahan yang ada vegetasi semak-belukar ditambah pohon sukun, kelapa dan pisang serta perdu yang cukup lebat. Pada beberapa bagian daratan, pelongsoran tanah oleh tekanan air (abrasi) sering terjadi. Kondisi tanah berpasir diwilayah tepi pantai ini tidak memungkinkan banyaknya tumbuhan mangrove disekitar pulau. Mangrove pada umumnya tumbuh pada kondisi lahan berpasir dan lumpur. Jenis tanaman mangrove terdapat hanya di Pulau Kapoposang. Tanaman mangrove ini merupakan hasil penanaman oleh masyarakat. Vegetasi pantai yang ada di Kepulauan Kapoposang pada setiap pulau berbeda-beda. Namun secara umum didominasi oleh pohon kelapa dan pohon sukun. Kedua jenis pohon ini memiliki manfaat ekonomi baik dari buah dan kayunya yang dimanfaatkan oleh masyarakat pulau. 4.2.1.2. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Natuna a. Terumbu Karang Secara ekologi, ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai penyangga bagi kehidupan biota pesisir dan lautan, serta sebagai pelindung pantai dari abrasi akibat terpaan arus, angin dan gelombang.Terumbu karang merupakan organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut.Berbagai organisme yang dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur dan alga yang banyak daintaranya juga mengandung kapur. Terumbu karang dibedakan antara binatang karang atau karang (coral reef) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang sebagai suatu ekosistem (Sorokin, 1993). Terumbu karang dapat dapat berfungsi sebagi pelindung untuk berbagai fauna yang hidup di dalam kompleks habitat terumbu karang ini seperti sponge, akar bahar, kimia, berbagai ikan hias, ikan kerapu, anemone, teripang, bintang laut, lobster, penyu laut, ular laut, siput laut, moluska dan lain-lain.
Karakteristik yang paling mengemuka dari ikan-ikan yang hidup di
lingkungan karang adalah keragamannya dalam hal jumlah spesies dan perbedaan morfologinya. Diperkirakan daerah Indo-Pasifik memiliki ikan-ikan karang sebanyak 4.000 spesies (sebesar 18%) dari ikan laut, jenis ikan-ikan ini berasosiasi dengan habitat terumbu karang dan angka perkiraan
69
ini cenderung meningkat dengan bertambahnya survei-survei eskplorasi daerah habitat karang yang baru (Murdiayanto, 2003 dalam Putrantomo, 2010). Kondisi ekosistem terumbu karang di Natuna berada dalam kategori sedang hingga baik. Ikan karang ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak yakni ditemukan 91 jenis dengan kisaran kepadatan antara 70-321 individu per 50 m2. Jenis ikan yang mendominasi berasal dari family Pomacentridae, Labridae, Caesionidae dan Scaridae, Acanthuridae, Serranidae, Holocentridae, Apogontidae, Chaetodontidae. b. Mangrove Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang dibentuk oleh komunitas hutan bakau yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Ekosistem ini tumbuh khusunya di tempat-tempat dimana terjadi
pelumpuran dan akumulasi bahan organik, baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak maupun di sekitar muara sungai dimana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu (Putrantomo, 2010). Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, dan merupakan komunitas yang hidup di dalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove disebut juga sebagai hutan pantai, hutan payau atau hutan bakau.
Pengertian
mangrove sebagai hutan pantai adalah pohon-pohonan yang tumbuh di daerah pantai (pesisir), baik daerah yang dipengaruhi pasang surut air laut maupun wilayah daratan pantai yang dipengaruhi oleh ekosistem pesisir. Sedangkan pengertian mangrove sebagai hutan payau atau hutan bakau adalah pohon-pohonan yang tumbuh di daerah payau pada tanah aluvial atau pertemuan air laut dan air tawar di sekitar muara sungai. Pada umumnya formasi tanaman didominasi oleh jenis-jenis tanaman bakau. Istilah bakau digunakan hanya untuk jenis-jenis tumbuhan dari genus Rhizophora, sedangkan istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut (Harahab, 2010). Secara ekologis mangrove berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem dan penyedia berbagai kebutuhan hidup bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Sumberdaya hutan mangrove, selain dikenal memiliki potensi ekonomi sebagai penyedia sumberdaya kayu juga sebagi tempat pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nurseryground), dan juga sebagai daerah untuk mencari makan (feeding ground) bagi ikan dan biota laut lainnya, juga berfungsi untuk menahan gelombang laut dan intrusi air laut kearah darat.
70
Diperkirakan terdapat sekitar 89 spesies mangrove yang tumbuh di dunia, yang terdiri dari 31 genera dan 22 famili. Tumbuhan mangrove tersebut tumbuh di hutan pantai Asia Tenggara, yaitu sekitar 74 spesies dan hanya sekitar 11 spesies hiduo di daerah Caribbean. Sekitar 51% atau 38 spesies hidup di Indonesia, jumlah tersebut belum termasuk spesies ikutan yang hidup bersama di daerah mangrove (Sugiharto dan Polunin, 1982 dalam Harahab, 2010). Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang termasuk tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis; 35 jenis berupa pohon dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit (29 jenis) dan parasit (2 jenis). Beberapa jenis mangrove yang umum dijumpai di wilayah pesisie Indonesia adalah bakau (Rhizopora spp), Apiapi (Avicennia spp), Pedada (Sonneratia spp), Tanjung (Bruguiera spp), Nyirih (Xylocarpus spp), Tengar (Ceriops spp) dan Buta-buta (Exoecaria spp) (Nontji, 1987 dalam Dahuri et al, 2008). Ekosistem mangrove berkembang relatif tipis ke arah dalam pulau menuju daratan hanya sampai 500 m mengikuti alur setempat, terutama pada selat dan pada daerah-daerah yang memiliki aliran sungai.
Kepadatan anak pohon rata-rata mencapai 1.500 batang/Ha
denganketinggian 5 m, sementara kepadatan pohon rata-rata mencapai200 batang per Ha dengan ketinggian hingga 11 meter dan basa area 2 m2. Apabila dilihat dari kerapatan pohon, kondisi ekosistem mangrove masih dalam keadaan relatif baik.
Jenis bakau yang dominan
ditemukan adalah jenis Rhizophora. Selanjutnya ditemukan 18 jenis vegetasi yang membentuk ekosistem mangrove, yaitu Xylocarpus granatum, Bruhuiera parvifora, Bruguiera gymnorhiza, Lumnitzera littorea, Lumnitzera racemose, Ceripos tagal, Sonneratia alba, Derris trifolata, Hisbiscus tilacus, Nypa fruticans, Pandanus tectorius (Ilham, 2009). c. Padang Lamun Ekosistem
padang
lamun
merupakan
ekosistem
yang
keberadaannya
sangat
mempengaruhi kondisi fisik, kimia dan biologi lingkungan dari perairan pesisir. Komposisi unik dari tumbuhan semi pasang surut ini mentransisikan aliran air dan dapat membantu mitgasi sampak dari masukan polusi dan nutrien dan sedimen. Dalam suatu lingkungan pesisir yang lengkap, ekosistem padang lamun berada di antara ekosistem mangrove dan terumbu karang. Keberadaan padang lamun sangat bermanfaat bagi ikan, udang serta kepiting untuk bertelur dan tempat bermain ketika masih berbentuk benih. Lamun merupakan sumber makanan bagi banyak hewan laut seperti duyung, penyu, ikan, udang dan bulu babi. Banyak jenis tumbuhan dan hewan menggunakan lamun sebagai tempat tinggal dan berlindung dari hewan-hewan pemangsa (Putrantomo, 2010).
71
Lamun adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam di dalam laut. Lamun hidup di perairan dangkal agak berpasir sering juga dijumpai di terumbu karang. Padang lamun ini merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya (Dahuri et al, 2008). Secara ekologi padang lamun memiliki fungsi antara lain sumber utama produktivitas primer, sumber makanan penting bagi organisme (dalam bentuk detrius), menstabilkan dasar yang lunak denga nsistem perakaran yang padat dan saling menyilang, tempat berlindung organisme, tempat pembesaran bagi beberapa spesies yang menghabiskan masa dewasanya di lingkungan ini, misalnya udang dan ikan beronang, sebagai peredam arus sehingga menjadikan perairan disekitarnya tenang dan sebagai tudung pelindung daru panas matahari yang kuat bagi penghuninya (Nybakken, 1988 dalam Dahuri et al, 2008). Padang lamun (Seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Seperti halnya dengan ekosistem mangrove, secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu : (a) produsen detritus dan zat hara; (b) mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; (c) sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini; dan (d) sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari.Ekosistem padang lamun memiliki persentasi tutupan dan keragaman sedang hingga rendah. Beberapa jenis yang ditemukan adalah Enhalus sp, Cymodocea sp, Halodule sp dan Syringodium sp, Thalassia sp. Kondisi lamun di perairan Pulau Natuna telah mengalami degradasi khususnya keberadaan padang lamun. Keberadaan padang lamun hanya dapat ditemukan di Batu Kapal, Kelurahan Ranai Kecamatan Bunguran Timur dengan keanekaragaman jenis sebanyak lima (5) jenis anatar lain Halophila ovalis, Halodule uninervis, Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundatn dan jenis yang dominan yaitu Halodule uninervis dan Cymodocea rotundatn. Rata-rata tutupan lamun 36,1 % atau kondisi lamun”Rusak” (KMNLH, 2004).
72
4.2.1.3. Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra a. Terumbu karang Terumbu karang merupakan ekosistem khas perairan tropis. Menurut Jean-Pierre Gattuso (2011), terumbu karang merupakan struktur dasar lautan yang terdiri dari deposit kalsium karbonat (CaCO3) yang dapat dihasilkan oleh hewan karang bekerjasama dengan alga penghasil kapur. Secara ekologis berdasarkan Rencana Pengelolaan TWP Gili Indah, luas potensi terumbu karang yang terdapat di Taman Wisata Perairan Gili Matra (Gili Meno, Gili Trawangan dan Gili Air) adalah 448,7634 Ha, dengan rincian; 192,9621 Ha di Gili Trawangan, 118,9508 Ha di Gili Meno dan 136,8505 Ha di Gili Air (BKSDA Prov NTB). Gili Matra memiliki kawasan perairan yang khas yaitu zona windward dan zona leeward. Zona windward adalah daerah yang menghadap arah datangnya angin, dimana zona ini diawali dengan reef slope yang menghadap ke arah laut lepas dan terdapat kehidupan terumbu karang sampai kedalaman sekitar 50 meter. Sementara itu zona leeward merupakan sisi yang membelakangi arah datangnya angin dengan hamparan terumbu yang lebih sempit daripada zona windward. Menurut data sebaran terumbu karang tahun 2014 terdapat 109 jenis karang batu yang merupakan anggota dari 44 marga dan 14 famili. Jenis terumbu karang di perairan Gili Matra adalah dari jenis karang lunak yaitu Heliophora sp dan Labophyelia sp, karang keras yaitu Anacropora matthai, Seriatopora hystrix (Sasanti, 2014), Millephora sp, Anthipathes sp dan Monthipora sp (KP3K, 2015), dan karang meja Acropora hyacinthus dan Acropora clathrata (Sasanti, 2014). Jumlah spesies tertinggi terdapat di Gili Air sebanyak 49 jenis karang batu dan Gili Meno sebanyak 38 jenis karang. Sementara itu menurut Muhlis 2011 hasil pengamatan pada zona windward ditemukan 13 jenis karang dan 251 bentuk pertumbuhan karang yang disajikan pada Tabel 13 berikut ini. Tabel 13. Jenis dan Bentuk Pertumbuhan Karang Pada Zona Windward No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bentuk Pertumbuhan Foliose Massive Branching Branching Ebcrusting Digitate Submassive Mushroom Tabulaie Encrusting Submassive Millepora
Kode CF CM CB ACB CE ACD CS CMR ACT ACE ACS CME
Jumlah Bentuk Pertumbuhan 65 64 44 25 11 9 9 6 5 5 4 3
Persentase Bentuk Pertumbuhan 25.90 25.50 17,53 9,96 4,38 3,59 3,59 2,39 1,99 1,99 1,59 1,20 73
No 13
Bentuk Pertumbuhan Heliopora
Kode CHL
Total
Sumber : Muhlis, 2011
Jumlah Bentuk Pertumbuhan 1 251
Persentase Bentuk Pertumbuhan 0,40
Sementara itu pada zona leeward terdapat 10 jenis karang dengan 276 pertumbuhan karang yang disajikan pada Tabel 14 berikut ini. Tabel 14. Jenis dan Bentuk Pertumbuhan Karang Pada Zona Leeward No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Bentuk Pertumbuhan Massive Foliose Branching Branching Ebcrusting Mushroom Digitate Submassive Encrusting Tabulaie Heliopora
Sumber : Muhlis, 2011
Kode CM CF ACB CB CE CMR ACD CS ACE ACT CHL
Total
Jumlah Bentuk Pertumbuhan 101 51 41 31 17 14 12 4 3 1 1 276
Persentase Bentuk Pertumbuhan 36,59 18,48 14,86 11,23 6,16 5,07 4,35 1,45 1,09 0,36 0,36
Gamez dan Yap (1988) memberikan kriteria kondisi karang berdasarkan besarnya persentase tutupan karang batu yang disajikan pada Tabel 15 di bawah ini. Tabel 15. Kriteria Kondisi Terumbu Karang Berdasarkan Persentase Tutupan Persentase Tutupan 0,0–24,9%, 25,0–49,9%, 50–74,9% 75–100%.
Kriteria Kondisi Terumbu Karang Buruk Sedang Baik Sangat Baik
Berdasarkan tabel di atas, kondisi sebaran terumbu karang di Gili Matra pada tahun 2014 berada pada kondisi buruk dengan rata-rata presentasi sebaran karang hidup secara keseluruhan sebesar 24.48% (Sasanti, 2014). Presentase tutupan karang keras di Gili Meno yaitu 46.33%, Gili Trawangan sebesar 40.53% dan Gili Air sebesar 7.73% didominasi oleh campuran pecahan karang dan pasir sebesar 75.87%. Sebaran terumbu karang di Gili Matra yang berada dalam kondisi baik sebesar 8.016,21 Ha, kondisi sedang 8.338,59 Ha dan kondisi buruk sebesar 13.218,70 Ha (Dinas KKP Kabupaten Lombok Utara, 2015).
74
Jasa ekologi terumbu karang dapat diartikan sebagai manfaat keberadaan terumbu karang yang mendukung hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya. Jasa ekologi terumbu karang di wilayah Gili Matra adalah sebagai berikut: 1. Terumbu karang berfungsi sebagai tempat habitat hidup dan sumber makanan bagi berbagai spesies makhluk hidup di laut. Karena wilayah terumbu karang merupakan sumber makanan, tempat berlindung dan berkembang biak terutama untuk spesies ikan karang. 2. Terumbu karang merupakan sumber keanekaragaman hayati yang tinggi. Tingginya keanekaragaman hayati di dalamnya menjadikan terumbu karang sebagai sumber keanekaragaman genetik dan spesies dengan ketahanan hidup yang lebih tinggi. 3. Terumbu karang bermanfaat sebagai pelindung bagi ekosistem lain di sekitarnya misalnya sebagai pelindung ekosistem mangrove, selain itu juga melindungi wilayah pantai dan pesisir dari gelombang yang besar. Terumbu karang dapat berfungsi sebagai penghalang (barrier) bagi pesisir dari ombak atau gelombang besar dimana terumbu sebagai barrier dapat menahan serta memperkecil energi gelombang dari laut lepas yang masuk ke wilayah pesisir. Reduksi energi tersebut dapat mengurangi dampak abrasi dan kerusakan lain yang terjadi di kawasan pesisir. 4. Terumbu karang dapat mengurangi dampak pemanasan global (global warming) melalui proses kimia yang terjadi antara terumbu karang dan zooxanthellae dimana proses yang terjadi adalah proses perubahan gas CO2 menjadi zat kapur yang merupakan bahan pembentuk terumbu. b. Lamun Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu beradaptasi diperairan dengan salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, serta akar sejati. Sebagai sebuah ekosistem, padang lamun merupakan habitat bagi beberapa organisme laut. Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun (Seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang.Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah padang lamun.
75
Secara ekologis luas potensi padang lamun yang terdapat di TWP Gili Matra adalah 89,21 ha, dengan rincian 21,30 ha di Gili Trawangan, 17,28 ha di Gili Meno, dan 50,63 ha di Gili Ayer. Secara keseluruhan terdapat 8 (delapan) spesies lamun yang dapat ditemukan di kawasan TWP Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan, yakni Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halodule pinifolia, Halophila spinulosa, Halodule uninervis, Halophilaovalis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia hemprichii. Dimana spesies yang mendominasi di seluruh wilayah Gili Matra adalah Thalassia hemprichii dan Cymodecea rotundata. Substrat komunitas lamun di kawasan Gili Matra terdiri dari campuran pasir dan kerikil atau pecahan karang (rubble). Penutupan lamun di wilayah Gili Trawangan memiliki nilai yang cukup tinggi yaitu sekitar 55 – 73.33%. Sementara penutupan lamun di wilayah Gili Air juga memiliki penutupan lamun yang cukup tinggi yaitu 63.57% dimana pada wilayah ini jumlah wisatawan dan masyarakat lebih sedikit dibandingkan dengan dua lokasi lain sehingga ekosistem lamun dapat terjaga . Selain itu posisi Gili Air cukup terlindung dari arus pasang surut yang kuat. Penutupan lamun di wilayah Gili Meno memiliki nilai yang terendah dari kedua lokasi lainnya yaitu 50% karena lokasinya memiliki arus pasang surut yang cukup kuat (Sasanti, 2012). Sebaran ekosistem padang lamun di TWP Gili Matra yang berada pada kondisi baik seluas 5.704,83 Ha, berada pada kondisi sedang seluas 683,73 Ha dan kondisi buruk seluas 1.089,23 Ha (Dinas KKP Kabupaten Lombok Utara, 2015). Jasa ekologi ekosistem lamun di wilayah Gili Matra diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Lamun memiliki jasa ekologis sebagai produsen primer dimana lamun memiliki nilai produktivitas primer yang tinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya (Thayer, et al, 1975) dan berperan sebagai produsen detritus dan zat hara yang sangat penting bagi kehidupan biota laut lainnya. 2. Lamun memiliki jasa ekologis sebagai tempat hidup atau habitat bagi biota laut lainnya. Dimana lamun dapat menjadi tempat berlindung dan tempat menempel bagi beberapa spesies hewan dan alga. Padang lamun juga berfungsi sebagai nursery ground, tempat berlindung, sumber makanan berbagai ikan karang dan ikan herbivora (Kikuchi dan Peres, 1977), sumber oksigen, tempat bertumbuh dan memijah terutama bagi biota laut yang melewati masa dewasanya di padang lamun. 3. Lamun memiliki jasa ekologis sebagai penangkap sedimen dimana daun lamun yang lebat akan memperlambat gerakan air yang didorong oleh arus dan gelombang sehingga perairan di sekitarnya akan menjadi lebih tenang. Sistem rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen sehingga dapat menstabilkan dan menguatkan dasar permukaan serta menstabilkan substrat yang lunak. Oleh karena itu padang lamun juga berfungsi sebagai pencegah erosi.
76
4. Lamun memiliki jasa ekologis sebagai pendaur zat hara dimana lamun memegang peranan penting dalam mendaur ulang berbagai zat hara dan elemen langka yang terdapat di laut terutama zat hara yang dibutuhkan oleh alga epifit. 5. Lamun memiliki jasa ekologis untuk memfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan.
c.
Mangrove Mangrove adalah salah satu jenis vegetasi yang banyak ditemukan pada kawasan muara
dan wilayah pesisir dengan struktur tanah rawa dan atau padat. Mangrove menjadi salah satu solusi yang sangat penting untuk mengatasi berbagai jenis masalah lingkungan terutama untuk mengatasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh rusaknya habitat untuk hewan. Pada kawasan TWP Gili Matra terdapat 8 jenis pohon mangrove yang tergolong dalam 8 famili yaitu jenis-jenis Bruguiera cylindrica, Sonneratia alba, Excoecaria agallocha, Pemphis acidula, Avicennia alba, Avicennia marina, Rhizopora stylosa dan Lumnitzera racemosa. Spesies Avicennia marina mendominasi di Gili Meno dengan substrat berpasir. Persentase tutupan mangrove secara keseluruhan di wilayah Gili Matra berkisar antara 49.02% hingga 70.49% yang terletak di kawasan Gili Trawangan. Berdasarkan klasifikasi standar kualitas degradasi hutan mangrove melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004 , hutan mangrove di Pulau Gili Meno berada dalam kategori cukup baik. Danau air asin yang terdapat di Pulau Gili Meno dimanfaatkan sebagai objek wisata dan telah dikapling atau dipagar oleh pihak swasta. Terdapat indikasi kerusakan akan semakin meningkat dengan tingginya tingkat penebangan mangrove di kawasan tersebut.
Peta persentase tutupan ekosistem
mangrove diperlihatkan pada Gambar 3. Sebaran ekosistem mangrove di kawasan Gili Matra yang berada pada kondisi baik seluas 15.030,09 Ha, sementara itu yang berada pada kondisi rusak seluas 610,28 Ha dan yang berada pada kondisi alih fungsi seluas 1.233,99 Ha (Dinas KKP Kabupaten Lombok Utara, 2015). Jasa ekologis dari ekosistem hutan mangrove di kawasan TWP Gili Matra adalah sebagai berikut: 1. Hutan mangrove sering menjadi habitat jenis-jenis satwa liar dan langka. Berbagai spesies burung hidup di ekosistem hutan mangrove ini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan mangrove merupakan tempat habitat ribuan burung pantai, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus semupalmatus). Selain itu banyak juga satwa lain yang biasanya terdapat di hutan mangrove seperti kera ekor panjang, kera muka putih, dan satwa-satwa air laut seperti udang, kepiting, moluska, termasuk beberapa jenis reptil.
77
2. Hutan mangrove dapat mencegah bencana alam, karena salah satu fungsi utama hutan mangrove adalah untuk melindungi garis pantai dari abrasi dan meredam gelombang besar termasuk bencana alam gelombang besar seperti tsunami. Selain itu vegetasi pada hutan mangrove dapat melindungi tanaman pertanian lahan basah dan lahan kering atau vegetasi alami lain dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi. 3. Sifat fisik tanaman yang terdapat pada hutan mangrove membantu proses pengendapan lumpur dimana hal ini berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air yang seringkali terikat pada partikel lumpur itu sendiri. Dengan hutan mangrove, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur akibat erosi tanah dan abrasi pantai. 4. Sifat fisik hutan mangrove salah satunya adalah cenderung memperlambat aliran jenis-jenis air karena kerapatan setiap pohon dan akarnya, sehingga membut banyak lumpur mengendap. Pengendapan lumpur ini tentu saja sangat bermanfaat bagi hutan mangrove karena banyak lumpur yang terbawa dari areal persawahan sehingga banyak yang lumpur mengandung unsur hara yang dapat dimanfaatkan oleh semua spesies tanaman di hutan mangrove. 5. Beberapa spesies tanaman di dalam hutan mangrove dapat membantu proses penambatan zat toksik atau berbahaya yang dibawa dari wilayah daratan secara aktif. 6. Hutan mangrove memiliki jasa ekologis sebagai sumber plasma nutfah yang merupakan salah satu kekayaan alam berharga dari kehidupan sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untuk memelihara populasi kehidupan liar itu sendiri di masa depan sebagai pendukung kemajuan teknologi ilmu pengetahuan dan untuk mendukung pembangunan suatu daerah. 7. Evapotranspirasi hutan mangrove mampu menjaga kelembaban dan curah hujan di kawasan TWP Gili Matra, sehingga iklim makro di sekitar daerah dengan hutan mangrove akan terjaga yang mana bergantung terhadap beberapa faktor seperti suhu, kelembaban, angin, dan cahaya matahari. 8. Salah satu peran dan sekaligus manfaat ekosistem hutan mangrove adalah adanya sistem perakaran mangrove yang sangat kompleks dan rapat, selain itu lebatnya akar tumbuhan di hutan mangrove dapat memerangkap sisa-sisa bahan organik dan endapan yang terbawa air laut dari bagian daratan. Proses ini menyebabkan terjaganya kebersihan air laut dan dengan demikian memelihara kehidupan rumput laut maupun terumbu karang. Karena proses inilah maka mangrove seringkali menumbuhkan perkembangan garis pantai dari waktu ke waktu.
78
Akar pepohonan di hutan mangrove juga menjaga pinggiran pantai dari bahaya erosi tanah dan abrasi pantai 9. Hutan mangrove memproduksi nutrisi yang dapat menyuburkan perairan laut, baik anorganik maupun nutrisi organik. Dengan rata-rata produksi primer hutan mangrove yang tinggi, hutan mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi ikan, kerang, dan hewan air payau lainnya. Hutan mangrove menjadi tempat perkembangbiakan dan pembesaran bagi beberapa jenis hewan seperti udang, kepiting, dan ikan air payau. d.
Ikan karang Potensi ikan karang yang berada di kawasan TWP Gili Matra cukup tinggi dimana biomassa
ikan karang berkisar antara 541.85 kg/ha hingga 818.43 kg/ha {WCS, 2013). Dari sensus visual yang dilakukan Sasanti, 2012 ikan karang yang teridentifikasi sebanyak 84 spesies dan 16 suku. Jenis ikan target yang potensial mendominasi komunitas ikan karang di TWP Gili Matra adalah Myripristis kuntee, Acanthaurus leucocheilus, Ctenochaetus striatus, Naso branchycentron, Mulloidichthys flavolineatus, Neonipon samara, Naso lituratus, Lutjanus kasmira, Balistapus undulates, Lethrinus nuburotus dan Platakpinatus. Sementara itu komposisi suku ikan karang yang mendominasi kelompoknya dalam 10 besar menurut jumlah spesiesnya adalah Butana (Acanthuridae), Kakatua (Scaridae), Kakap (Lutjanidae), Bijinangka (Mulidae), Kerapu (Serranidae), Baronang (Siganidae), Lencam (Lethrinidae), Brajanata (Holocecntridae), Kurisi pasir (Scolopsidae), dan Ekor kuning (Caesionidae). Potensi perikanan karang yang tinggi di Pulau Lombok, namun disisi lain terdapat ancaman terhadap degradasi ekosistem terumbu karang. karena hal ini terlihat jelas dari kerusakan habitat terumbu karang yang cukup besar, meninggalkan hamparan padang pecahan karang yang luas di hampir 40% luasan terumbu karangnya. Kondisi ini merata hampir di semua kabupaten di Pulau Lombok. di karenakan diduga adanya praktek penangkapan ikan dengan bom dan racun. Secara umum potensi ikan karang yang tinggi dijumpai di Pulau Gili Trawangan yakni berkisar antara 52 – 81 kg per 350 m2. Sebaliknya potensi terendah dijumpai di kawasan Pulau Gili Air dimana rata-rata stok ikan target 39.4 kg per 350 m2. Ketersediaan stok ini setara dengan 1.126 kg per ha atau setara dengan 1.1 ton per ha (Sasanti, 212). Penyumbang biomassa terbesar berasal dari kelompok ikan Butana, Kakatua, Brajanata, Kakap, Bijinangka, Keper, Baronang, Kurisi pasir, Lencam dan ekor kuning. Kelompok ekonomis tinggi termasuk kakap, baronang, lencam, ekor kuning, kerapu, kembung, bibir tebal dan kuwe. Ditinjau dari segi jasa ekologisnya, ikan karang memiliki manfaat sebagai berikut:
79
1. Ikan memiliki jasa ekologis sebagai ikan yang dapat dikonsumsi. Dimana ikan merupakan sumber protein hewani yang sangat penting bagi kesehatan manusia. Protein hewani ini mengandung asam amino esensial yang penting bagi manusia. Demikian juga kandungan lemak ikan baik bagi kesehatan. Daging ikan mengandung lemak yang relatif rendah dibandingkan daging ayam dan sapi, serta kandungan kalsiumnya relatif tinggi. 2. Berbagai spesies ikan karang memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai ikan hias. Keindahan warna, dan perilakunya menjadikan satwa ini banyak digemari untuk dipelihara baik di aquarium maupun di kolam-kolam. 3. Ikan karang dapat digunakan sebagai ikan indikator yaitu digunakan sebagai indikator kondisi kesehatan terumbu karang di suatu perairan 4. Ikan karang jenis mayor family berperan dalam rantai makanan misalnya seperti Famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae, Caesionidae, Siganidae, Muliidae, Apogonida.
4.2.2. Jasa Ekonomi Sumberdaya Ekosistem Pesisir 4.2.2.1. Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang Pemanfaat sumberdaya kelautan dan perikanan di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang terdiri dari berbagai jenis pemanfaat antara lain adalah pemanfaat di bidang perikanan tangkap, pemanfaat di bidang budidaya (keramba tancap dan keramba jaring apung), pemanfaat kayu dan pemanfaat dibidang wisata. Pemanfaat ini terdiri dari penduduk sekitar kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang maupun diluar kawasan bahkan dari luar provinsi dan manca negara untuk pemanfaat wisata. Masyarakat sekitar pulau lebih banyak memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan di kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang untuk dibidang perikanan tangkap dan budidaya. Untuk pemanfaat kayu mangrove disekitar kawasan tergolong sedikit karena karakteristik wilayah pulau ini bukanlah hutan mangrove tetapi bagian pesisir pantai langsung berupa pasir pantai dan karang. Tanaman mangrove yang ada hanyalah sedikit dan juga ada yang merupakan hasil penanaman.
a. Pemanfaatan dalam Ekosistem Terumbu Karang Aktivitas Penangkapan Taman Wisata Perairan Kapoposang memiliki ekosistem terumbu karang yang terbilang cukup luas dengan luas terumbu karang sekitar kurang lebih 1.156 ha. sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan sehingga hidup mereka sangat tergantung
80
dari sumberdaya alam. Penduduk di Wilayah TWP Kapoposang maupun penduduk dari luar kawasan, memanfaatkan sumberdaya perikanan terumbu dengan menjalankan aktifitas penangkapan menggunakan berbagai jenis alat tangkap yaitu Pancing, Pukat Baronang, Jaring Ikan Kakap, Purse Seine (Pa'gae), Pancing Rawai, Jaring Cumi-cumi, Pancing Hiu, Jaring Ikan Terbang, penangkap gurita.
Alat tangkap tersebut menangkap berbagai jenis ikan
karang dan ikan pelagis, yang dapat dilihat pada Tabel 14. Nelayan dalam aktifitasnya menggunakan berbagai jenis alat tangkap, seperti jaring, pukat dan pancing. Tetapi seperti pada umumnya nelayan yang beroperasi di sekitar pulau-pulau di Kecamatan Liukang Tuppabiring lainnya, sekarang mereka lebih banyak menggunakan alat tangkap pancing. Pancing ini disebut kedo-kedo karena dioperasikan dengan cara menggerakgerakan alat pancing tersebut. Hasil tangkapan utama nelayan adalah ikan sunu (kerapu) dan ikan cakalang yang banyak terdapat di perairan sekitar Pulau Kapoposang dan Pulau Pandangan, namun karena tingkat harga ikan sunu cukup baik, maka aktifitas nelayan lebih difokuskan pada usaha penangkapan ikan sunu. Pada Tabel 17 dapat dilihat jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan di kawasan TWP Kapoposang. Tabel 16. Jenis Ikan Hasil Tangkapan dan Alat Tangkap yang digunakan Oleh Nelayan di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang, 2016. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis Ikan Kerapu (Sunu) Baronang Kakap Lobster Hiu Gurita Cakalang Tongkol Ikan Terbang Ikan Teri Cumi
Sumber : Data Primer Diolah, 2016.
Jenis Alat Tangkap Pancing Sunu Pukat Baronang Jaring Ikan Kakap / Pancing Bubu Pancing Hiu Kedo-kedo / sero / tombak Purse seine / Pancing Purse Seine Jaring Ikan Terbang Pukat Mairo Jaring Cumi-Cumi
Aktivitas Budidaya Pemanfaatan ekosistem terumbu karang tidak hanya untuk kegiatan penangkapan. Pada saat ini perkembangan aktivitas budidaya ikan dengan metode keramba jaring tancap di kawasan Kapoposang telah semakin meningkat. Keramba jaring tancap yang dibangun sebagian besar pada kawasan terumbu karang. Jumlah terbanyak pembudidaya perikanan berada pada Pulau Gondongbali sebanyak 33%, kedua berada di Pulau Kapoposang sebanyak 28%, yang kemudian disusul 22% di Pulau Papandangan, dan 17% di Pulau Pamanggangang. Kegiatan budidaya perikanan terbanyak pada Pulau Gondongbali adalah kegiatan budidaya lobster mutiara,
81
pembudidaya memilih komoditas lobster mutiara dikarenakan harga lobster mutiara sangat tinggi. Perubahan kegiatan masyarakat yang berawal dari nelayan menjadi pembudidaya dikarenakan masyarakat melihat peluang lebih bagus dan harga jual dari komoditas yang dibudidayakan sangat tinggi.
Aktivitas Wisata Bahari Kawasan TWP Kapoposang memiliki potensial untuk pengembangan wisata. Namun belum optimal, dari kunjungan survei, tidak ditemukan wisatawan yang dapat ditarik informasi dan keterangan yang dibutuhkan. Namun, kenyataan dilapang didapatkan beberapa fasilitas yang mendukung pengembangan wisata bahari. Berdasarkan hasil survei diketahui ada tiga fasilitas menginap yang ada di TWP Kapoposang, yaitu yang dikelola oleh swasta, rumah tangga (masyarakat) dan oleh pemerintah. TWP Kapoposang memiliki keanekaragaman potensi wisata. Hal ini dapat dilihat ekosistem yang ada TWP Kapoposang (Tabel 17). Keanekaragaman ekosistem yang dimiliki oleh TWP Kapoposang dapat menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke TWP Kapoposang ini. Keanekaragaman ekosistem memberikan banyak pilihan bagi pengunjung untuk menikmati sumberdaya alam yang ada.di TWP Kapoposang. Tabel 17. Jenis Ekosistem di TWP Kapoposang No
Jenis Ekosistem
Jenis Potensi Kegiatan Wisata
1
Ekosistem Hutan Pantai
Outdoor, Sunbathing
2
Ekosistem Mangrove
Pancing, Trecking
3
Ekosistem Padang Lamun
Snorkling
4
Ekosistem Terumbu Karang
Snorkling, diving
Sumber : Data Primer diolah, 2016. Hasil survei lapang diketahui proporsi masyarakat yang bergerak di wisata sangat sedikit. Sehinga potensi ini tidak tergali. Cottage yang ada dikelola secara private, dan tidak terlihat peran dan keterlibatan masyarakat dalam wisata bahari ini. Setidaknya masyarakat dapat diberi peran dalam jasa sewa perahu, atau kuliner. Namun, pada saat dilakukannya penelitian aktifitas ini belum terlihat. Berdasarkan hasil GIS (Pemetaan) selain beberapa pemanfaatan yang telah disebutkan diatas, maka diperoleh beberapa manfaat lainnya ekosisem terumbu karang di TWP Kapoposang antara lain adalah manfaat sebagai penyedia raw material (Rp/Ha), nilai biology control(Rp/Ha) , Break Water (Rp/Ha), climate regulation, erosion control (Rp/Ha) dan Nutrient Cycling (Rp/Ha). Pada gambar berikut dapat dilihat peta sebaran nilai manfaat ekologi TWP Kapoposang. 82
Gambar 29.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Kapoposang sebagai Penyedia Raw Material, 2016.
Gambar 30.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Kapoposang sebagai Biology Controll, 2016.
83
Gambar 31.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Kapoposang sebagai Breakwater, 2016.
Gambar 32.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem di TWP Kapoposang sebagai Climate Regulation, 2016 84
Gambar 33.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Kapoposang sebagai Erosion Controll, 2016
Gambar 34.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Kapoposang sebagai Nutrient Cycling, 2016
85
b. Pemanfaatan dalam Ekosistem Vegetasi Pantai Pemanfaat vegetasi pantai di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang dapat dibilang sangat sedikit. Hal ini dikarenakan kondisi kepadatan vegetasi pada setiap pulau yang berbeda. Vegetasi pantai di kawasan ini terdiri dari pohon kelapa, pohon sukun, pisang, kelor dan semak belukar. Pemanfaatan vegetasi pantai oleh masyarakat sebatas untuk keperluan rumah tangga saja bukan untuk komersial antara lain seperti pemanfaatan buah kelapa, sukun dan pisang. Pemanfaatan kayu vegetasi pantai seperti kayu kelapa digunakan untuk bahan bangunan dan juga sebagian untuk kayu bakar. Untuk di Pulau Kapoposang terdapat jenis tanaman mangrove. Tanaman ini merupakan hasil penanaman oleh masyarakat. Untuk pemanfaatan kayu mangrove di kawasan ini sangat sedikit. Sebagian masyarakat yang memanfaatkan kayu jenis mangrove untuk kebutuhan rumah tangga. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bawa pencari kayu mangrove semuanya dilakukan oleh kaum wanita. Kayu mangrove digunakan untuk kebutuhan rumah tangga yaitu sebagai bahan bakar untuk memasak. Berikut dapat dilihat peta sebaran mangrove di Kawasan TWP Kapoposang.
Gambar 35.
Peta Sebaran Vegetasi Pantai dan Mangrove di TWP Kapoposang, 2016.
Berdasarkan hasil GIS (Pemetaan) selain beberapa pemanfaatan yang telah disebutkan diatas, maka diperoleh beberapa manfaat lainnya ekosisem vegetasi pantai dan mangrove di TWP Kapoposang antara lain adalah manfaat sebagai penyedia raw material (Rp/Ha), nilai biology
86
control(Rp/Ha) , Break Water (Rp/Ha), climate regulation, erosion control (Rp/Ha) dan Nutrient Cycling (Rp/Ha). Pada gambar berikut dapat dilihat peta sebaran nilai manfaat ekologi TWP Kapoposang.
Gambar 36.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di TWP Kapoposang sebagai penyedia Raw Material, 2016
87
Gambar 37.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di TWP Kapoposang sebagai Break Water, 2016
Gambar 38.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di TWP Kapoposang sebagai Climate Regulation, 2016
88
Gambar 39.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di TWP Kapoposang sebagai Erosion Controll, 2016
Gambar 40.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di TWP Kapoposang sebagai Nutrient Controll, 2016
89
c. Pemanfaatan Lainnya Meskipun di Wilayah TWP Kapoposang telah terdapat pos dan petugas dari COREMAP yang secara khusus memberikan penyadaran kepada masyarakat akan manfaat terumbu karang, namun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Haslindah (2012), terhadap penduduk di wilayah tersebut sebagian masyarakat masih menggunakan karang sebagai bahan pondasi rumah mereka. Mereka mengambil karang termasuk karang yang mati pada saat akan membangun rumah sebagai bahan pondasi. Sedangkan dinding biasanya terbuat dari batu merah yang didatangkan dari Kota Makassar. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Wilayah TWP Kapoposang namun juga sebagaian besar pulau-pulau di Indonesia. Berdasarkan penelitian Hamsah (2005) di Pulau Balang Lompo sebanyak 34,4% rumah permanen dan 34,1% rumah semi permanen menggunakan karang sebagai pondasi rumah dan pada penelitian Hasmin (2006) di Pulau Kapoposang dan Sarappo Keke didapatkan nilai penggunaan batu karang sebagai bahan pondasi rumah sebesar Rp. 79.872.000,-. 4.2.2.2. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Natuna Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pemanfaatan sumberdaya ekosistem pesisir di KKLD Natuna terdiri dari berbagai jenis pemanfaat, antara lain pemanfaat di bidang perikanan tangkap, pemanfaat di bidang budidaya (karamba jaring apung dan tancap), maupun pemanfaatan karang sebagai pondasi jalan maupun rumah.
a. Pemanfaatan Ekosistem Terumbu Karang Aktivitas Perikanan Tangkap Kabupaten Natuna memiliki luas laut mencapai 99,24 persen dari total luas wilayahnya sehingga memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Potensi sumberdaya ikan adalah sebesar 504.212,85 ton per tahun atau sekitar 50 persen dari potensi WPP 711 sebesar 1.059.000 ton per tahun. Komoditas perikanan tangkap potensial Kabupaten Natuna terbagi dalam dua kategori, yaitu ikan pelagis dan ikan demersal. Lokasi penangkapan diantaranya adalah sekitar Pulau Bunguran, Natuna Besar, Pesisir Pulau Natuna, Midai, Pulau Serasan, Tambelan, dan Laut Cina Selatan. Distribusi produksi perikanan tangkap tersebar di dua belas kecamatan, dengan produksi tertinggi ada di Kecamatan Bunguran Barat yang mencapai 13.095,48 ton atau 26,89 persen dengan pertumbuhan rata-rata produksi perikanan tangkap tahun 2013 sampai dengan 2015 sebesar 19,40 persen. Produksi terendah adalah Kecamatan Bunguran Tengah yaitu sebesar 90
181,18 ton atau mencapai 0,37 persen. Produksi perikanan tangkap tahun 2015 sebagian besar dihasilkan oleh kecamatan yang termasuk ke dalam Gugusan Pulau Natuna yang berada di sebelah utara (Bunguran Barat, Bunguran Timur, Bunguran Tengah, Bunguran Utara, Bunguran Selatan, Bunguran Timur Laut, Midai, Pulau Laut, dan Pulau Tiga) yaitu mencapai 34.390,47 ton. Sisanya dihasilkan oleh kecamatan yang berada di Gugusan Pulau Serasan di sebelah selatan (Serasan, Serasan Timur, dan Subi) dengan produksi sebesar 14.308,37 ton (BPS Kabupaten Natuna, 2016). Mayoritas masyarakat pesisir sangat menggantungkan hidupnya terhadap sumberdaya alam yang ada di Natuna. Nelayan melakukan pennagkapan dengan cara tradisional, karena adanya keterbatasan pengetahuan, keterampilan, peralatan, modal dan teknologi. Alat tangkap yang digunaka untuk kegiatan penangkapan antara lain pancing ulur, pancing tonda, bagan, jarring pantai, kelong, rawai, bubu, dan tangkul. Jenis ikan yang dominan tertangkap adalah kerapu, tongkol, kakap, kurisi, tenggiri, manyung, cucut, selar, tembang, kembung, selar ekor kuning, pari, cumi-cumi, udang dan lobster. Aktivitas Budidaya Selain untuk aktivitas penangkapan, ekosistem terumbu karang juga dimanfaatakan oleh masyarakat untuk kegiatan budidaya. Wilayah yang potensial dikembangkan untuk budidaya laut sebesar ± 12.997 ha yang terdiri dari perairan pesisir pantai dengan kedalaman maksimal 20 meter. Tingkat pemanfaatan lahan masih sangat kecil, yaitu sekitar 268,25 hektar (2,06 persen). Hal ini menunjukkan peluang yang besar untuk usaha budidaya perikanan di wilayah ini (Ditjen Pengelolaan Ruang Laut, 2015). Jumlah RTP yang melakukan usaha budidaya ikan di Kabupaten Natuna pada tahun 2015 sebanyak 1.040 RTP dengan kenaikan rata-rata 5,61 persen per tahun. Jumlah RTP terbanyak ada di Kecamatan Bunguran Barat sebanyak 322 buah,sedangkan jumlah RTP terkecil terdapat di Kecamatan Bunguran Selatan sebanyak 12 buah. Jenis budidaya perikanan yang sudah dikembangkan di Kabupaten Natuna antara lain budidaya karamba (jaring apung dan tancapdengan jenis komoditas yang dipelihara meliputi ikan kerapu (macan, bebek, malam, sunu, bakau, kertang, lumpur), kakap putih, bawal bintang, kakap merah, nadan ikan hias. Komoditas unggulan yang memiliki nilai jual tinggi antara lain ikan kerapu dan kakap putih. Selain budidaya ikan, Kabupaten Natuna juga sangat cocok untuk pengembangan komoditas rumput laut, baik dengan menggunakan metode patok dasar maupun longline. Berikut ini dapat dilihat peta sebaran terumbu karang di Kawasan Konserrvasi Laut Daerah (KKLD) Natuna.
91
Gambar 41.
Peta Sebaran Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Natuna, 2016.
Berdasarkan hasil GIS (Pemetaan) selain beberapa pemanfaatan yang telah disebutkan diatas, maka diperoleh beberapa manfaat lainnya ekosisem terumbu karang di KKLD Natuna antara lain adalah manfaat sebagai penyedia raw material (Rp/Ha), nilai biology control(Rp/Ha) , Break Water (Rp/Ha), climate regulation, erosion control (Rp/Ha) dan Nutrient Cycling (Rp/Ha). Pada gambar berikut dapat dilihat peta sebaran nilai manfaat ekologi KKLD Natuna
92
Gambar 42.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di KKLD Natuna Biology Controll, 2016
Gambar 43.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di KKLD Natuna Breakwater, 2016
93
Gambar 44.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di KKLD Natuna Climate Regulation, 2016
Gambar 45.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di KKLD Natuna Erosion Controll , 2016 94
Gambar 46.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di KKLD Natuna Nutrient Cycling, 2016
Gambar 47.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di KKLD Natuna Raw Material, 2016 95
b. Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Keberadan ekosistem mangrove di manfaatkan oleh masyarakat pesisir di Natuna untuk kegiatan penangkapan kepiting. Pencari kepiting sebagian besar dilakukan oleh nelayan kecil yang pergi melaut setiap hari (one day fishing). Pencarian kepiting biasanya dilakukan pada saat para nelayan pergi mencari ikan. Size kepiting yang ditangkap rata-rata berukuran 10-27,5 cm dengan jumlah berkisar 2-25 ekor dalam sekali operasi penangkapan. Harga jual kepiting didasarkan atas besar dan beratnya, semakin besar dan berat kepiting nilainya akan menjadi tinggi. Harga kisaran untuk kepiting besar yang ditangkap oleh nelayan bisa mencapai Rp. 75.000,per ekornya, sedangkan untuk yang ukuran kecil per ekornya Rp. 8.000,-. Fasilitas yang digunakan masyarakat untuk mencari kepiting meliputi perahu/sampan serta bubu. . Berikut ini dapat dilihat peta sebaran ekosistem mangrove di KKLD Natuna.
Gambar 48.
Peta Sebaran Ekosistem Mangrove di KKLD Natuna, 2016
Berdasarkan hasil GIS (Pemetaan) selain beberapa pemanfaatan yang telah disebutkan diatas, maka diperoleh beberapa manfaat lainnya ekosisem mangrove di KKLD Natuna antara lain adalah manfaat sebagai penyedia raw material (Rp/Ha), nilai biology control(Rp/Ha) , Break Water (Rp/Ha), climate regulation, erosion control (Rp/Ha) dan Nutrient Cycling (Rp/Ha). Pada gambar berikut dapat dilihat peta sebaran nilai manfaat ekologi KKLD Natuna.
96
Gambar 49.
Gambar 50.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di KKLD Natuna Biology Control, 2016
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di KKLD Natuna Breakwater, 2016
97
Gambar 51.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di KKLD Natuna Climate Regulation, 2016
Gambar 52.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di KKLD Natuna Erosion Control, 2016
98
Gambar 53.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di KKLD Natuna Nutrient Cycling, 2016
Gambar 54.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove di KKLD Natuna sebagai Raw Material, 2016
99
4.2.2.3. Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra a. Terumbu karang dan Lamun Keberadaan terumbu karang dan pasir putih di wilayah TWP Gili Matra merupakan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Dari segi jasa ekonomi, keberadaan terumbu karang di wilayah TWP Gili Matra saat ini masih menjadi objek wisata potensial terutama pada beberapa titik penyelaman (dive spot) yang tersebar di beberapa lokasi Gili Matra. Pengembangan kawasan pariwisata mampu meningkatkan taraf perekonomian masyarakat Gili Matra pada umumnya karena keberadaan objek wisata tersebut turut menghidupkan sektor pendukung lain seperti penginapan, restoran, jasa pemandu wisata, jasa transportasi lokal (becak, cidomo, ojek,dll). Dari segi pemanfaatan biota laut yang hidup di wilayah terumbu, masyarakat setempat dapat memanfaatkan biota yang seperti ikan karang, udang dan teripang sebagai potensi perikanan tangkap yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan atau dijual sehingga menjadi sumber pendapatan. Namun demikian pengawasan proses penangkapan harus selalu dilakukan oleh stakeholder terkait guna menghindari penggunaan alat tangkap yang berbahaya bagi kelestarian terumbu karang (misalnya menggunakan peledak atau racun). Selain itu berdasarkan beberapa penelitian yang dikembangkan, beberapa spesies terumbu karang dapat digunakan sebagai campuran obat-obatan. Pengembangan potensi pemanfaatan terumbu karang dalam bidang kesehatan diperlukan untuk pengembangan paten obat-obatan yang juga dapat menjadi nilai tambah ekonomi bagi pemanfaatan terumbu karang. Beberapa spesies yang hidup di terumbu karang (misalnya ikan kerapu, teripang, lobster, udang, dll) dapat dimanfaatkan bibitnya untuk kemudian dikembangkan melalui proses budidaya yang melibatkan masyarakat setempat sehingga mata pencaharian sebagai nelayan budidaya juga dapat dikembangkan di kawasan TWP Gili Matra. Jasa ekonomi ekosistem lamun di kawasan TWP Gili Matra pada dasarnya lebih merupakan bahan pendukung untuk digunakan sebagai bahan campuran untuk pabrik kertas, beberapa spesies dikembangkan menjadi obat-obatan. Beberapa diantaranya memanfaatkan lamun sebagai pupuk dan kompos yang dapat dijual kembali. Berikut dapat dilihat peta sebaran habitat di TWP Gili Matra dan sebaran terumbu karang.
100
Gambar 55.
Gambar 56.
Peta Sebaran Jenis Habitat di TWP Gili Matra, 2016
Peta Sebaran Terumbu Karang di TWP Gili Matra, 2016
101
Ikan Karang Jasa ekonomi sektor perikanan di kawasan TWP Gili Matra terdiri dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Kegiatan budidaya dilakukan dengan menggunakan Keramba Jaring Apung (KJA) yang terdapat di Gili Air dengan produksi sebesar 2 ton pada tahun 2012 dan 2013 (Pratiwi, dkk, 2014). Sementara itu kegiatan perikanan tangkap juga dilakukan oleh masyarakat pesisir dengan skala yang kecil dilakukan secara tradisional dengan menggunakan perahu kecil atau sampan. Di kawasan Gili Matra belum terdapat TPI sehingga hasil tangkapan ikan yang didaratkan nelayan langsung dibeli oleh pedagang pengumpul dan dijual pada masyarakat di wilayah tersebut. Berikut dapat dilihat sebaran ekosistem terumbu karang di kawasan TWP Gili Matra. Berdasarkan hasil GIS (Pemetaan) selain beberapa pemanfaatan yang telah disebutkan diatas, maka diperoleh beberapa manfaat lainnya ekosisem terumbu karang dan padang lamun di TWP Gili Matra antara lain adalah manfaat sebagai penyedia raw material (Rp/Ha), nilai biology control(Rp/Ha) , Break Water (Rp/Ha), climate regulation, erosion control (Rp/Ha) dan Nutrient Cycling (Rp/Ha). Pada gambar berikut dapat dilihat peta sebaran nilai manfaat ekologi TWP Gili Matra.
Gambar 57.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Biology Control, 2016
102
Gambar 58.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Breaw Water Control, 2016
Gambar 59.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Climate Regulation, 2016
103
Gambar 60.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Erosion Control, 2016
Gambar 61.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Nutrient Cycling, 2016. 104
Gambar 62.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai penyedia Raw Material, 2016
Mangrove Ekosistem hutan mangrove memberikan jasa ekonomi berupa potensi objek wisata alternatif bagi masyarakat di sekitar TWP Gili Matra selain objek wisata bawah laut (snorkeling atau diving). Dengan berkembangnya objek wisata hutan mangrove dapat menumbuhkan perekonomian masyarakat pesisir TWP Gili Matra dengan menyediakan lapangan pekerjaan dan kesempatan usaha. Jasa ekonomi hutan mangrove yang dapat dikembangkan dari kawasan TWP Gili Matra adalah sebagai media carbon trade dimana menurut penelitian satu hektar hutan mangrove dapat menyerap 110 kg karbon dan sepertiganya dilepaskan berupa endapan organik di lumpur. Proses fotosintesis yang mengubah karbon anorganik dalam bentuk dioksida menjadi bentuk karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem hutan, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai karbon dioksida (CO2). Akan tetapi hutan mangrove justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan mangrove lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan sebagai sumber pelepas karbon karena tumbuhan di hutan mangrove memiliki banyak daun sehingga lebih berpotensi menyerap karbon dalam jumlah yang banyak dibanding dengan tumbuhan lain. 105
Gambar 63.
Peta Sebaran Ekosistem Mangrove di TWP Gili Matra sebagai penyedia Raw Material, 2016
Berdasarkan hasil GIS (Pemetaan) selain beberapa pemanfaatan yang telah disebutkan diatas, maka diperoleh beberapa manfaat lainnya ekosisem mangrove di TWP Gili Matra antara lain adalah manfaat sebagai penyedia raw material (Rp/Ha), nilai biology control(Rp/Ha) , Break Water (Rp/Ha), climate regulation, erosion control (Rp/Ha) dan Nutrient Cycling (Rp/Ha). Pada gambar berikut dapat dilihat peta sebaran nilai manfaat ekologi TWP Gili Matra.
106
Gambar 64.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Biological Control, 2016.
Gambar 65.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Break Water, 2016. 107
Gambar 66.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Cliimate Regulation, 2016.
Gambar 67.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Erosion Control, 2016 108
Gambar 68.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai Nutrient Cycling, 2016
Gambar 69.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di TWP Gili Matra sebagai penyedia Raw Material, 2016 109
4.2.3. Jasa Sosial Ekonomi Sumberdaya Pesisir Jasa sosial budaya sumberdaya ekosistem pesisir pada penelitian ini diarahkan untuk mengetahui jasa ekosistem pesisir menurut estetika seperti pemahaman terhadap keindahan, spiritual dan budaya yang dipahami oleh masyarakat setempat. Selain itu, responden diarahkan pula untuk berbagi pemahaman terhadap keanekaragaman hayati dan arti penting ekosistem yang ada. Diketahui, kondisi sumberdaya di sekeliling masyarakat memberi peran terhadap bagaimana masyarakat menilai, menghargai serta turut berpartisipasi dalam menjaga kelestarian sumberdaya, demi keberlanjutan pemanfaatannya. Perubahan tipologi sumberdaya berperan dalam pola pemanfaatan dan penghargaan masyarakat setempat terhadap sumberdaya. Hal ini akan ditentukan oleh tingkat adaptifitas masyarakat setempat dalam menjaga berlangsungan kehidupan, dengan menjaga keberlanjutan pemanfaatan serta keberlanjutan sumberdaya tersebut. Masyarakat pesisir, adalah masyarakat yang sangat tergantung terhadap sumberdaya pesisir, sehingga dengan turut berpartisipasi melestarikan, akan memberi peluang kehidupan sosial budaya lebih berkelanjutan. Dalam penelitian ini, salah satu bentuk adaptasi sosial terhadap sumberdaya ekosistem pesisir dikenali dengan bentuk berpartisipasi. Partisipasi, dalam hal ini, berupa kesediaan melestarikan sumberdaya, lama berkorban tenaga untuk kegiatan pelestarian atau dalam bentuk kerelaan menyumbangkan iuran dalam upaya pelestarian sumberdaya, merupakan variabel yang diukur untuk menemukan jasa sosial budaya sumberdaya ekosistem pesisir. Adapun jenis ekosistem dalam jasa sosial budaya ini tidak dibedakan berdasarkan eksoistem karang, mangrove maupun lamun, untuk menyederhanakan diskusi dan penyaringan informasi dari masyarakat setempat.
Terumbu Karang Jasa sosial budaya dari ekosistem terumbu karang dapat dimanfaatkan sebagai penunjang kegiatan pendidikan dan penelitian agar ekosistem didalamnya dan disekitarnya, serta tumbuhan dan hewan laut yang ada dalam ekosistem terumbu karang tersebut dapat lebih dikenal sehingga mudah untuk dipelajari. Hal ini akan sangat bermanfaat sebagai pengetahuan agar tindakan pengelolaan dan pelestarian yang dilakukan terumbu karang lebih tepat sehingga kerusakan terumbu karang dapat diatasi dengan mudah.
110
Mangrove Jasa sosial budaya hutan mangrove dimanfaatkan dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai negara dengan area hutan mangrove paling besar di dunia, Indonesia tentu membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan, maka dari itu hutan mangrove digunakan sebagai salah satu sarana agar kegiatan pendidikan yang berhubungan dengan ekologi. Masyarakat pesisir di TWP Gili Matra turut dilibatkan dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lamun Jasa sosial budaya lamun dimanfaatkan dalam upaya pengelolaan ekosistem di dalam wilayah pesisir tidak berdiri sendiri atau diantara beberapa ekosistem saling terkait baik secara biogeofisik, maupun secara sosioal-ekonomi; dan kelangsungan hidup suatu ekosistem juga sangat tergantung pada aktifitas manusia di darat yang dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat setempat. Dengan demikian, upaya konservasi dan pelestarian serta penggunaan sumber daya ekosistem lamun yang berkelanjutan memerlukan pengelolaaan secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumber daya alam jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assesment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dangan mempertimbangkan aspek sosialekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah area pesisir (stakeholder) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada. Pelestarian ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keperpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya alam diberikan porsi yang lebih besar. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian areal padang lamun. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam persisir (Bengen, 2001).
111
4.2.3.1. Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang Masyarakat di dalam kawasan TWP Kapoposang cukup mengerti akan fungsi dan keberadaan sumberdaya alam pesisir. Hal ini terlihat dari pemahaman masyarakat terhadap keindahan alam di kawasan TWP ini, hampir semua anggota masyarakat alam kawasan TWP Kapoposang menilai indah untuk sumberdaya alam. Meski, kebanyakan responden mengatakan tidak ada hubungan spiritual dalam kehidupan masyarakat terhadap sumberdaya alam (71,19%), namun ada anggota masyarakat (sebanyak 62,71%) menganggap kegiatan budaya dalam masyarakat yang diarahkan untuk menghargai sumberdaya alam. Bagi masyarakat, keanekaragaman hayati sangat berperan dalam kehidupan sosial budaya, dengan bermacamnya jenis ikan, serta musim penangkapan yang berbeda untuk tiap jenis ikan memberi arti tersendiri dalam pemahaman sosial budaya masyarakat terhadap sumberdaya alam. Semua anggota masyarakat menganggap sumberdaya memiliki arti penting dalam kehidupan sosial budaya, dengan keberadaan sumberdaya yang baik akan menunjang kehidupan sosial budaya setempat. Sehingga hal ini terlihat pada cukup besarnya kerelaan berkorban tenaga dalam jumlah hari. Rata-rata tiap anggota masyarakat dalam kawasan TWP rela mengorbankan tenaga untuk berpartisipasi dalam upaya melestarikan sumberdaya dalam satuan hari adalah 17 hari. Selain itu beberapa anggota masyarakat bersedia pula untuk ikut iuran dengan rata-rata sebesar Rp 19.722 per tahun juga untuk berpartisipasi. Nilai ini kesediaan iuran ini didapatkan dari rata-rata besarnya iuran yang sanggup dibayarkan jika kedepan ada kesepakatan untuk berpartisipasi dalam melestarikan sumberdaya pesisir secara bersama-sama.
4.2.3.2. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Natuna Masyarakat di dalam kawasan KKLD Natuna cukup mengerti akan fungsi dan keberadaan sumberdaya alam pesisir. Hal ini terlihat dari pemahaman masyarakat terhadap keindahan alam di kawasan KKLD ini, hampir semua anggota masyarakat alam kawasan KKLD Natuna menilai indah untuk sumberdaya alam. Meski, kebanyakan responden mengatakan tidak ada hubungan spiritual dalam kehidupan masyarakat terhadap sumberdaya alam (69,70%), namun ada anggota masyarakat (sebanyak 100%) menganggap kegiatan budaya dalam masyarakat yang diarahkan untuk menghargai sumberdaya alam. Bagi masyarakat, keanekaragaman hayati sangat berperan dalam kehidupan sosial budaya, dengan bermacamnya jenis ikan, serta musim penangkapan yang berbeda untuk tiap jenis ikan memberi arti tersendiri dalam pemahaman sosial budaya masyarakat terhadap sumberdaya alam.
112
Semua anggota masyarakat menganggap sumberdaya memiliki arti penting dalam kehidupan sosial budaya, dengan keberadaan sumberdaya yang baik akan menunjang kehidupan sosial budaya setempat. Sehingga hal ini terlihat pada cukup besarnya kerelaan berkorban tenaga dalam jumlah hari. Rata-rata tiap anggota masyarakat dalam kawasan KKLD rela mengorbankan tenaga untuk berpartisipasi dalam upaya melestarikan sumberdaya dalam satuan hari adalah 2,7 hari. Selain itu beberapa anggota masyarakat bersedia pula untuk ikut iuran dengan rata-rata sebesar Rp 19.576 per tahun juga untuk berpartisipasi. Nilai ini kesediaan iuran ini didapatkan dari rata-rata besarnya iuran yang sanggup dibayarkan jika ke depan ada kesepakatan untuk berpartisipasi dalam melestarikan sumberdaya pesisir secara bersama-sama.
4.2.3.3. Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra Masyarakat di dalam kawasan TWP Gili Matra cukup mengerti akan fungsi dan keberadaan sumberdaya alam pesisir. Hal ini terlihat dari pemahaman masyarakat terhadap keindahan alam di kawasan TWP ini, hampir semua anggota masyarakat alam kawasan TWP Gili Matra menilai indah untuk sumberdaya alam. Meski, kebanyakan responden mengatakan tidak ada hubungan spiritual dalam kehidupan masyarakat terhadap sumberdaya alam (58,54%), namun ada anggota masyarakat (sebanyak 19,05%) menganggap kegiatan budaya dalam masyarakat yang diarahkan untuk menghargai sumberdaya alam. Bagi masyarakat, keanekaragaman hayati sangat berperan dalam kehidupan sosial budaya, dengan bermacamnya jenis ikan, serta musim penangkapan yang berbeda untuk tiap jenis ikan memberi arti tersendiri dalam pemahaman sosial budaya masyarakat terhadap sumberdaya alam. Semua anggota masyarakat menganggap sumberdaya memiliki arti penting dalam kehidupan sosial budaya, dengan keberadaan sumberdaya yang baik akan menunjang kehidupan sosial budaya setempat. Sehingga hal ini terlihat pada cukup besarnya kerelaan berkorban tenaga dalam jumlah hari. Rata-rata tiap anggota masyarakat dalam kawasan KKLD rela mengorbankan tenaga untuk berpartisipasi dalam upaya melestarikan sumberdaya dalam satuan hari adalah 1,7 hari.Selain itu beberapa anggota masyarakat bersedia pula untuk ikut iuran dengan rata-rata sebesar Rp 295.013 per tahun juga untuk berpartisipasi. Nilai ini kesediaan iuran ini didapatkan dari rata-rata besarnya iuran yang sanggup dibayarkan jika ke depan ada kesepakatan untuk berpartisipasi dalam melestarikan sumberdaya pesisir secara bersama-sama.
113
4.3.
Nilai Jasa Ekosistem
4.3.1. Nilai Jasa Ekologi Sumberdaya Ekosistem Pesisir 4.3.1.1.
Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang
a. Vegetasi Pantai dan Mangrove Ekosistem secara tidak langsung memberi manfaat kepada manusia melalui fungsi ekologi yang melekat padanya. Salah satu manfaat tidak langsung ekosistem mangrove adalah sebagai penyimpan karbon. Karbon secara massif tersimpan pada bawah permukaan tanah di sekitar ekosistem mangrove. Selain itu, karbon juga tersimpan pada batang dan daun pohon, akar, dan kayu mati yang ada disekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata karbon yang tersimpan adalah sebesar 373 Mg C per Ha. Nilai ini lebih kecil bila dibandingkan dengan penelitian Donatoa et.al (2012) yang menunjukkan rata-rata karbon yang tersimpan untuk mangrove laut adalah 990 Mg C per ha. Sementara itu luasan mangrove di sekitar lokasi penelitian berdasarkan analisis citra landsat 8 diketahui luasan mangrove mencapai 804,45 Ha. Atas dasar hal tersebut dapat diketahui nilai serapan karbon mangrove mencapai 796.405,5Mg C per ha. Simpanan karbon tersebut cukup tinggi yang apabila dinilaikan dengan nilai moneter sebesar 16,5 US$ per metrik ton C sehingga menghasilkan nilai sebesar Rp. 177.399.325.125/tahun. Secara fisik mangrove juga memiliki fungsi sebagai peredam gelombang. Penghitungan nilai manfaat ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode biaya pengganti. Sebagai dasar ukuran digunakan standar pembangunan break water oleh Kementerian Pekerjaan Umum dimana kisaran harga per meter kubik berkisar antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 600.000. Santoso (2005) mengungkapkan untuk menghitung nilai pengganti ekosistem sebagai fungsi ini hanya sepertiga dari pembangunan break water. Panjang mangrove yang berfungsi sebagai green belt ini diketahui sebesar 85.206 meter. Atas dasar tersebut dapat dihitung kebutuhan pembangunan penahan gelombang sebagai nilai pengganti dengan mengalikan panjang dan dimensi yang dibutuhkan per tiap meter panjang. Berdasarkan pendapat ahli diketahui bahwa dimensi yang dibutuhkan adalah 6 meter dengan asumsi 3 meter sebagai pondasi dan 3 meter lainnya sebagai rentang pasang surut perairan. Dengan demikian kebutuhan biaya pembangunan diperkirakan mencapai 281.181.780.000 sehingga nilai manfaat mangrove sebagai fungsi ini adalah Rp. 93.727.260.000/ tahun. Bila nilai tersebut dibagi dengan luasan mangrove yang ada maka nilai yang terbentuk adalah 116.510.983/ha/tahun. Berikut ini dapat dilihat Peta sebaran nilai ekosistem (habitat refugia) vegetasi pantai dan mangrove di TWP Kapoposang.
114
Gambar 70.
Peta Sebaran Nilai Habitat Refugia di TWP Kapoposang, 2016.
b. Terumbu Karang Terumbu karang berfungsi sebagai proteksi lingkungan pesisir khususnya dari ancaman erosi akibat gelombang yang besar. Untuk mendapatkan nilai ekonomi dari fungsi ini didekati dengan biaya pengganti sebesar sepertiga dari biaya pembangunan pemecah gelombang. Berdasarkan hasil workshop diketahui bahwa standar biaya yang digunakan untuk setiap meter kubiknya berkisar antara Rp. 500.000 sapai dengan Rp. 600.000 sehingga diambil nilai tengah sebesar Rp. 550.000 per meter kubik. Kemudian setiap satu meter panjang pemecah gelombang memiliki dimensi sebesar 6 meter kubik dengan asumsi lebar 1 meter dan ketinggian 6 meter. Tinggi 6 meter dibuat dengan catatan pondasi sebesar 3 meter dan 3 meter lebihnya adalah ratarata jarak permukaan tertinggi dengan permukaan terendahair laut. Panjang pantai yang dilindungi oleh karang pada wilayah penelitian diperkirakan mencapai 338.371 meter sehingga nilai yang terbentuk adalah Rp. 372.208.100.000atau sebesar Rp. 18.742.929/ ha. Terumbu karang juga merupakan tempat yang sangat produktif dimana menurut hasil penelitian Dahuri (2003) melaporkan bahwa potensi lestari ikan karang konsumsi ditinjau dari Sembilan WPP, tercatat sekitar 1.452.500 ton/tahun. Sehingga dengan total area 50.000 Km2,maka MSY (Maximum Sustainable Yield) ikan karang di Indonesia terdapat sekitar 29,05
115
ton/km2/tahun atau setara dengan 290 kg per hektar per tahun. Atas dasar tersebut, nilai eksisting terumbu karang sebagai fungsi penyedia sumberdaya ikan dengan asumsi harga ratarata tertimbang ikan sebesar Rp. 25.310 dapat dihitung yaitu sebesar Rp. 400.024.550.000/tahun atau Rp. 7.339.900/ha/tahun. Berdasarkan hasil analisis GIS diketahui bahwa sebaran karang hidup di TWP Kapoposang berada di sekita pulau-pulau utama di wilayah ini. Sebaran karang hidup pada kawasan ini dapat dibilang sangat kecil tidak mencapai 10% dari total ekosistem terumbu karang yang ada. Pada gambar berikut dapat dilihat peta sebaran berbagai jenis karang ada ekosistem terumbu karang di TWP Kapoposang.
Gambar 71.
4.3.1.2.
Peta Sebaran Karang di TWP Kapoposang, 2016.
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Natuna
a. Terumbu Karang Terumbu karang berfungsi sebagai proteksi lingkungan pesisir khususnya dari ancaman erosi akibat gelombang yang besar. Untuk mendapatkan nilai ekonomi dari fungsi ini didekati dengan biaya pengganti sebesar sepertiga dari biaya pembangunan pemecah gelombang. Berdasarkan hasil workshop diketahui bahwa standar biaya yang digunakan untuk setiap meter kubiknya berkisar antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 600.000 sehingga diambil nilai tengah
116
sebesar Rp. 550.000 per meter kubik. Kemudian setiap satu meter panjang pemecah gelombang memiliki dimensi sebesar 6 meter kubik dengan asumsi lebar 1 meter dan ketinggian 6 meter. Tinggi 6 meter dibuat dengan catatan pondasi sebesar 3 meter dan 3 meter lebihnya adalah ratarata jarak permukaan tertinggi dengan permukaan terendahair laut. Panjang pantai yang dilindungi oleh karang pada wilayah Bunguran Barat diperkirakan mencapai 135.572 meter sehingga nilai yang terbentuk adalah Rp. 74.564.600.000 atau sebesar Rp. 26.942.501.114/ ha. Jika dibandingkan dengan fungsi di lokasi pembanding yaitu terumbu karang yang ada di Kecamatan Bunguran Timur dengan panjang 89.098 meter akan memiliki nilai sebagai penahan gelombang sebesar Rp. 49.003.900.000 atau dengan kata lain jika besaran perhektar Rp. 12.720.977.544. Terumbu karang juga merupakan tempat yang sangat produktif dimana menurut hasil penelitian Dahuri (2003) melaporkan bahwa potensi lestari ikan karang konsumsi ditinjau dari Sembilan WPP, tercatat sekitar 1.452.500 ton/tahun. Sehingga dengan total area 50.000 Km2,maka MSY (Maximum Sustainable Yield) ikan karang di Indonesia terdapat sekitar 29,05 ton/km2/tahun atau setara dengan 290 kg per hektar per tahun. Atas dasar tersebut, nilai eksisting terumbu karang sebagai fungsi penyedia sumberdaya ikan dengan asumsi harga ratarata tertimbang ikan sebesar Rp. 25.000 dapat dihitung yaitu sebesar Rp. 355.151.151.051/tahun atau Rp.7.250.000 /ha/tahun. Jika dibandingkan dengan lokasi pembanding yaitu Kecamatan Bunguran Timur sebagai tempat hidup ikan atau penyedia ikan dengan luasan terumbu karang 23.129,05 ha akan memiliki nilai sebesar Rp. 167.685.613.086/tahun atau Rp. 3.423.108/ha/tahun. Fungsi lainnya yang tidak kalah penting adalah sebagai regulasi perubahan iklim. Menurut Constanza et.al (1997:260) yang dimaksud dengan regulasi perubahan iklim adalah fungsi dari terumbu karang sebagai ekosistem memiliki regulasi terkait dengan suhu global, pengendapan serta proses cuaca global dengan menggunakan media biologi untuk skala lokal. Sebagai contoh adalah regulasi erkait dengan efek rumah kaca, produksi DMS/Dimethylsulfide yang mempengaruhi formasi awan. Terumbu karang merupakan ekosistem yang unik yang terdiri dari komponen biologi dan geologi. Konstruksi terumbu karang berasal dari endapan kalsium karbonat yang bersimbiosis mutualisame dengan algae bersel tunggal yang disebut zooxanthellae. Simbiosis yang dimaksud adalah hasil dari fotosintesis yang dilakukan oleh alga memperoleh oksigen dan energi. Energi tersebut jika diperairan yang pH normal akan membentuk kalsium karbonat yang hasilnya akan digunakan untuk pertumbuhan polip karang. Polip karang sebagai tempat hidup yang cocok untuk alga juga memperoleh bahan baku untuk fotosintesis dari metabolisme polip karang. Terumbu karang yang disebut sebagai hutan hujan di lautan menurut penelitian dari Raina et.al (2013:abstrak), secara global terumbu karang
117
menghasilkan DMSP/dimethylsulphoniopropionate. DMSP membantu dalam proses kondensasi air laut menjadi awan. Seperti yang kita ketahui bahwa produksi awan sangat penting dalam regulasi perubahan iklim karena awan mampu memantulkan kembali pancaran sinar matahari yang turun kebumi kembali lagi ke ruang angkasa dan menjaga suhu tetap rendah. Menurut Constanza et.al (2007), terumbu karang sebagai regulasi perubahan iklim memberikan nilai sebesar 1188US$/ha/tahun . berdasarkan hal tersebut nilai ekologi terumbu karang sebagai regulasi
perubahan
iklim
di
Kecamatan
Bunguran
Barat
adalah
sebesar
Rp.
698.349.628.880/tahun dengan luas terumbu karang 48.986,37 ha. Sedangkan untuk Kecamatan Bunguran Timur nilai terumbu karang sebagai regulasi perubahan iklim memiliki nilai sebesar Rp. 329.727.737.952/tahun dengan luasan sebesar 23.129,05 ha
b. Mangrove Ekosistem secara tidak langsung memberi manfaat kepada manusia melalui fungsi ekologi yang melekat padanya. Salah satu manfaat tidak langsung ekosistem mangrove adalah sebagai penyimpan karbon. Karbon secara massif tersimpan pada bawah permukaan tanah di sekitar ekosistem mangrove. Selain itu, karbon juga tersimpan pada batang dan daun pohon, akar, dan kayu mati yang ada disekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata karbon yang tersimpan adalah sebesar 373 Mg C per Ha. Nilai ini lebih kecil bila dibandingkan dengan penelitian Donatoa et.al (2012) yang menunjukkan rata-rata karbon yang tersimpan untuk mangrove laut adalah 990 Mg C per ha. Sementara itu luasan mangrove di sekitar Natuna berdasarkan analisis citra landsat 8 diketahui luasan mangrove mencapai 962,87 Ha. Simpanan karbon untuk Natuna jika dinilaikan dengan nilai moneter sebesar 16,5 US$ per metrik ton C sehingga menghasilkan nilai sebesar Rp. 71.111.728.045/ tahun. Secara fisik mangrove juga memiliki fungsi sebagai peredam gelombang. Penghitungan nilai manfaat ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode biaya pengganti. Sebagai dasar ukuran digunakan standar pembangunan break water oleh Kementerian Pekerjaan Umum dimana kisaran harga per meter kubik berkisar antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 600.000. Panjang mangrove yang berfungsi sebagai green belt ini diketahui sebesar 85.206 meter. Atas dasar tersebut dapat dihitung kebutuhan pembangunan penahan gelombang sebagai nilai pengganti dengan mengalikan panjang dan dimensi yang dibutuhkan per tiap meter panjang. Berdasarkan pendapat ahli diketahui bahwa dimensi yang dibutuhkan adalah 6 meter dengan asumsi 3 meter sebagai pondasi dan 3 meter lainnya sebagai rentang pasang surut perairan. Dengan nilai manfaat mangrove sebagai fungsi ini adalah Rp. 529.577.957/tahun.
118
4.3.1.3.
Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra
a. Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem khas perairan tropis. Menurut Jean-Pierre Gattuso (2011), terumbu karang merupakan struktur dasar lautan yang terdiri dari deposit kalsium karbonat (CaCO3) yang dapat dihasilkan oleh hewan karang bekerjasama dengan alga penghasil kapur. Secara ekologis berdasarkan Rencana Pengelolaan TWP Gili Indah, luas potensi terumbu karang yang terdapat di Taman Wisata Perairan Gili Matra (Gili Meno, Gili Trawangan dan Gili Air) adalah 448,7634 Ha, dengan rincian; 192,9621 Ha di Gili Trawangan, 118,9508 Ha di Gili Meno dan 136,8505 Ha di Gili Air (BKSDA Prov NTB). Gili Matra memiliki kawasan perairan yang khas yaitu zona windward dan zona leeward. Zona windward adalah daerah yang menghadap arah datangnya angin, dimana zona ini diawali dengan reef slope yang menghadap ke arah laut lepas dan terdapat kehidupan terumbu karang sampai kedalaman sekitar 50 meter. Sementara itu zona leeward merupakan sisi yang membelakangi arah datangnya angin dengan hamparan terumbu yang lebih sempit daripada zona windward. Menurut data sebaran terumbu karang tahun 2014 terdapat 109 jenis karang batu yang merupakan anggota dari 44 marga dan 14 famili. Jenis terumbu karang di perairan Gili Matra adalah dari jenis karang lunak yaitu Heliophora sp dan Labophyelia sp, karang keras yaitu Anacropora matthai, Seriatopora hystrix (Sasanti, 2014), Millephora sp, Anthipathes sp dan Monthipora sp (KP3K, 2015), dan karang meja Acropora hyacinthus dan Acropora clathrata (Sasanti, 2014). Jumlah spesies tertinggi terdapat di Gili Air sebanyak 49 jenis karang batu dan Gili Meno sebanyak 38 jenis karang. Sementara itu menurut Muhlis 2011 hasil pengamatan pada zona windward ditemukan 13 jenis karang dan 251 bentuk pertumbuhan karang yang disajikan pada Tabel 18 berikut ini. Tabel 18. Jenis dan Bentuk Pertumbuhan Karang Pada Zona Windward No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Bentuk Pertumbuhan Foliose Massive Branching Branching Ebcrusting Digitate Submassive Mushroom Tabulaie Encrusting Submassive
Kode CF CM CB ACB CE ACD CS CMR ACT ACE ACS
Jumlah Bentuk Pertumbuhan 65 64 44 25 11 9 9 6 5 5 4
Persentase Bentuk Pertumbuhan 25.90 25.50 17,53 9,96 4,38 3,59 3,59 2,39 1,99 1,99 1,59
119
No 12 13
Bentuk Pertumbuhan Millepora Heliopora
Kode CME CHL
Total
Jumlah Bentuk Pertumbuhan 3 1 251
Persentase Bentuk Pertumbuhan 1,20 0,40
Sumber : Muhlis, 2011
Sementara itu pada zona leeward terdapat 10 jenis karang dengan 276 pertumbuhan karang yang disajikan pada Tabel 19 berikut ini. Tabel 19. Jenis dan Bentuk Pertumbuhan Karang Pada Zona Leeward No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Bentuk Pertumbuhan Massive Foliose Branching Branching Ebcrusting Mushroom Digitate Submassive Encrusting Tabulaie Heliopora
Kode CM CF ACB CB CE CMR ACD CS ACE ACT CHL
Total
Jumlah Bentuk Pertumbuhan 101 51 41 31 17 14 12 4 3 1 1 276
Persentase Bentuk Pertumbuhan 36,59 18,48 14,86 11,23 6,16 5,07 4,35 1,45 1,09 0,36 0,36
Sumber : Muhlis, 2011
Gamez dan Yap (1988) memberikan kriteria kondisi karang berdasarkan besarnya persentase tutupan karang batu yang disajikan pada tabel di bawah ini. Tabel 20. Kriteria Kondisi Terumbu Karang Berdasarkan Persentase Tutupan Persentase Tutupan 0,0–24,9%, 25,0–49,9%, 50–74,9% 75–100%.
Kriteria Kondisi Terumbu Karang Buruk Sedang Baik Sangat Baik
Berdasarkan tabel di atas, kondisi sebaran terumbu karang di Gili Matra pada tahun 2014 berada pada kondisi buruk dengan rata-rata presentasi sebaran karang hidup secara keseluruhan sebesar 24.48% (Sasanti, 2014). Presentase tutupan karang keras di Gili Meno yaitu 46.33%, Gili Trawangan sebesar 40.53% dan Gili Air sebesar 7.73% didominasi oleh campuran pecahan karang dan pasir sebesar 75.87%. Sebaran terumbu karang di Gili Matra yang berada dalam kondisi baik sebesar 8.016,21 Ha, kondisi sedang 8.338,59 Ha dan kondisi buruk sebesar 13.218,70 Ha (Dinas KKP Kabupaten Lombok Utara, 2015). Peta sebaran tutupan terumbu karang disajikan pada Gambar 72.
120
Gambar 72.
Peta persentase tutupan karang hidup di wilayah Gili Matra Sumber: Sasanti, 2014
Jasa ekologi terumbu karang dapat diartikan sebagai manfaat keberadaan terumbu karang yang mendukung hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya. Jasa ekologi terumbu karang di wilayah Gili Matra adalah sebagai berikut: 1. Terumbu karang berfungsi sebagai tempat habitat hidup dan sumber makanan bagi berbagai spesies makhluk hidup di laut. Karena wilayah terumbu karang merupakan sumber makanan, tempat berlindung dan berkembang biak terutama untuk spesies ikan karang. 2. Terumbu karang merupakan sumber keanekaragaman hayati yang tinggi. Tingginya keanekaragaman hayati di dalamnya menjadikan terumbu karang sebagai sumber keanekaragaman genetik dan spesies dengan ketahanan hidup yang lebih tinggi. 3. Terumbu karang bermanfaat sebagai pelindung bagi ekosistem lain di sekitarnya misalnya sebagai pelindung ekosistem mangrove, selain itu juga melindungi wilayah pantai dan pesisir dari gelombang yang besar. Terumbu karang dapat berfungsi sebagai penghalang (barrier) bagi pesisir dari ombak atau gelombang besar dimana terumbu sebagai barrier dapat menahan serta memperkecil energi gelombang dari laut lepas yang masuk ke wilayah pesisir. Reduksi energi tersebut dapat mengurangi dampak abrasi dan kerusakan lain yang terjadi di kawasan pesisir.
121
4. Terumbu karang dapat mengurangi dampak pemanasan global (global warming) melalui proses kimia yang terjadi antara terumbu karang dan zooxanthellae dimana proses yang terjadi adalah proses perubahan gas CO2 menjadi zat kapur yang merupakan bahan pembentuk terumbu. b. Lamun Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu beradaptasi diperairan dengan salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, serta akar sejati. Sebagai sebuah ekosistem, padang lamun merupakan habitat bagi beberapa organisme laut. Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun (Seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang.Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah padang lamun. Secara ekologis luas potensi padang lamun yang terdapat di TWP Gili Matra adalah 89,21 ha, dengan rincian 21,30 ha di Gili Trawangan, 17,28 ha di Gili Meno, dan 50,63 ha di Gili Ayer. Secara keseluruhan terdapat 8 (delapan) spesies lamun yang dapat ditemukan di kawasan TWP Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan, yakni Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halodule pinifolia, Halophila spinulosa, Halodule uninervis, Halophilaovalis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia hemprichii. Dimana spesies yang mendominasi di seluruh wilayah Gili Matra adalah Thalassia hemprichii dan Cymodecea rotundata. Substrat komunitas lamun di kawasan Gili Matra terdiri dari campuran pasir dan kerikil atau pecahan karang (rubble). Penutupan lamun di wilayah Gili Trawangan memiliki nilai yang cukup tinggi yaitu sekitar 55 – 73.33%. Sementara penutupan lamun di wilayah Gili Air juga memiliki penutupan lamun yang cukup tinggi yaitu 63.57% dimana pada wilayah ini jumlah wisatawan dan masyarakat lebih sedikit dibandingkan dengan dua lokasi lain sehingga ekosistem lamun dapat terjaga . Selain itu posisi Gili Air cukup terlindung dari arus pasang surut yang kuat. Penutupan lamun di wilayah Gili Meno memiliki nilai yang terendah dari kedua lokasi lainnya yaitu 50% karena lokasinya memiliki arus pasang surut yang cukup kuat (Sasanti, 2012). Sebaran ekosistem padang lamun di TWP Gili Matra yang berada pada kondisi baik seluas 5.704,83 Ha, berada pada kondisi sedang seluas 683,73 Ha dan kondisi buruk seluas 1.089,23 Ha (Dinas KKP Kabupaten Lombok Utara, 2015).
122
Terdapatnya keberagaman kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap ekosistem padang lamun yang ada, baik dari kondisi substrat, genangan, gangguan, maupun suhu perairan (BKKPN 2011). Peta penutupan sebaran lamun dapat dilihat dari Gambar 73.
Gambar 73.
Peta persentase tutupan lamun di wilayah Gili Matra Sumber: Sasanti, 2014
Jasa ekologi ekosistem lamun di wilayah Gili Matra diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Lamun memiliki jasa ekologis sebagai produsen primer dimana lamun memiliki nilai produktivitas primer yang tinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya (Thayer, et al, 1975) dan berperan sebagai produsen detritus dan zat hara yang sangat penting bagi kehidupan biota laut lainnya. 2. Lamun memiliki jasa ekologis sebagai tempat hidup atau habitat bagi biota laut lainnya. Dimana lamun dapat menjadi tempat berlindung dan tempat menempel bagi beberapa spesies hewan dan alga. Padang lamun juga berfungsi sebagai nursery ground, tempat berlindung, sumber makanan berbagai ikan karang dan ikan herbivora (Kikuchi dan Peres, 1977), sumber oksigen, tempat bertumbuh dan memijah terutama bagi biota laut yang melewati masa dewasanya di padang lamun. 3. Lamun memiliki jasa ekologis sebagai penangkap sedimen dimana daun lamun yang lebat akan memperlambat gerakan air yang didorong oleh arus dan gelombang sehingga
123
perairan di sekitarnya akan menjadi lebih tenang. Sistem rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen sehingga dapat menstabilkan dan menguatkan dasar permukaan serta menstabilkan substrat yang lunak. Oleh karena itu padang lamun juga berfungsi sebagai pencegah erosi. 4. Lamun memiliki jasa ekologis sebagai pendaur zat hara dimana lamun memegang peranan penting dalam mendaur ulang berbagai zat hara dan elemen langka yang terdapat di laut terutama zat hara yang dibutuhkan oleh alga epifit. 5. Lamun memiliki jasa ekologis untuk memfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan. c. Vegetasi Pantai Dan Biota Lain Mangrove Mangrove adalah salah satu jenis vegetasi yang banyak ditemukan pada kawasan muara dan wilayah pesisir dengan struktur tanah rawa dan atau padat. Mangrove menjadi salah satu solusi yang sangat penting untuk mengatasi berbagai jenis masalah lingkungan terutama untuk mengatasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh rusaknya habitat untuk hewan. Pada kawasan TWP Gili Matra terdapat 8 jenis pohon mangrove yang tergolong dalam 8 famili yaitu jenis-jenis Bruguiera cylindrica, Sonneratia alba, Excoecaria agallocha, Pemphis acidula, Avicennia alba, Avicennia marina, Rhizopora stylosa dan Lumnitzera racemosa. Spesies Avicennia marina mendominasi di Gili Meno dengan substrat berpasir. Persentase tutupan mangrove secara keseluruhan di wilayah Gili Matra berkisar antara 49.02% hingga 70.49% yang terletak di kawasan Gili Trawangan. Berdasarkan klasifikasi standar kualitas degradasi hutan mangrove melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004 , hutan mangrove di Pulau Gili Meno berada dalam kategori cukup baik. Danau air asin yang terdapat di Pulau Gili Meno dimanfaatkan sebagai objek wisata dan telah dikapling atau dipagar oleh pihak swasta. Terdapat indikasi kerusakan akan semakin meningkat dengan tingginya tingkat penebangan mangrove di kawasan tersebut. Peta persentase tutupan ekosistem mangrove diperlihatkan pada Gambar 3. Sebaran ekosistem mangrove di kawasan Gili Matra yang berada pada kondisi baik seluas 15.030,09 Ha, sementara itu yang berada pada kondisi rusak seluas 610,28 Ha dan yang berada pada kondisi alih fungsi seluas 1.233,99 Ha (Dinas KKP Kabupaten Lombok Utara, 2015).
124
Gambar 74.
Peta Sebaran Tutupan Ekosistem Mangrove di Gili Matra (Sumber: Sasanti, 2012)
Jasa ekologis dari ekosistem hutan mangrove di kawasan TWP Gili Matra adalah sebagai berikut: 1. Hutan mangrove sering menjadi habitat jenis-jenis satwa liar dan langka. Berbagai spesies burung hidup di ekosistem hutan mangrove ini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan mangrove merupakan tempat habitat ribuan burung pantai, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus semupalmatus). Selain itu banyak juga satwa lain yang biasanya terdapat di hutan mangrove seperti kera ekor panjang, kera muka putih, dan satwa-satwa air laut seperti udang, kepiting, moluska, termasuk beberapa jenis reptil. 2. Hutan mangrove dapat mencegah bencana alam, karena salah satu fungsi utama hutan mangrove adalah untuk melindungi garis pantai dari abrasi dan meredam gelombang besar termasuk bencana alam gelombang besar seperti tsunami. Selain itu vegetasi pada hutan mangrove dapat melindungi tanaman pertanian lahan basah dan lahan kering atau vegetasi alami lain dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi. 3. Sifat fisik tanaman yang terdapat pada hutan mangrove membantu proses pengendapan lumpur dimana hal ini berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air
125
yang seringkali terikat pada partikel lumpur itu sendiri. Dengan hutan mangrove, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur akibat erosi tanah dan abrasi pantai. 4. Sifat fisik hutan mangrove salah satunya adalah cenderung memperlambat aliran jenisjenis air karena kerapatan setiap pohon dan akarnya, sehingga membut banyak lumpur mengendap. Pengendapan lumpur ini tentu saja sangat bermanfaat bagi hutan mangrove karena banyak lumpur yang terbawa dari areal persawahan sehingga banyak yang lumpur mengandung unsur hara yang dapat dimanfaatkan oleh semua spesies tanaman di hutan mangrove. 5. Beberapa spesies tanaman di dalam hutan mangrove dapat membantu proses penambatan zat toksik atau berbahaya yang dibawa dari wilayah daratan secara aktif. 6. Hutan mangrove memiliki jasa ekologis sebagai sumber plasma nutfah yang merupakan salah satu kekayaan alam berharga dari kehidupan sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untuk memelihara populasi kehidupan liar itu sendiri di masa depan sebagai pendukung kemajuan teknologi ilmu pengetahuan dan untuk mendukung pembangunan suatu daerah. 7. Evapotranspirasi hutan mangrove mampu menjaga kelembaban dan curah hujan di kawasan TWP Gili Matra, sehingga iklim makro di sekitar daerah dengan hutan mangrove akan terjaga yang mana bergantung terhadap beberapa faktor seperti suhu, kelembaban, angin, dan cahaya matahari. 8. Salah satu peran dan sekaligus manfaat ekosistem hutan mangrove adalah adanya sistem perakaran mangrove yang sangat kompleks dan rapat, selain itu lebatnya akar tumbuhan di hutan mangrove dapat memerangkap sisa-sisa bahan organik dan endapan yang terbawa air laut dari bagian daratan. Proses ini menyebabkan terjaganya kebersihan air laut dan dengan demikian memelihara kehidupan rumput laut maupun terumbu karang. Karena proses inilah maka mangrove seringkali menumbuhkan perkembangan garis pantai dari waktu ke waktu. Akar pepohonan di hutan mangrove juga menjaga pinggiran pantai dari bahaya erosi tanah dan abrasi pantai. 9. Hutan mangrove memproduksi nutrisi yang dapat menyuburkan perairan laut, baik anorganik maupun nutrisi organik. Dengan rata-rata produksi primer hutan mangrove yang tinggi, hutan mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi ikan, kerang, dan hewan air payau lainnya. Hutan mangrove menjadi tempat perkembangbiakan dan pembesaran bagi beberapa jenis hewan seperti udang, kepiting, dan ikan air payau.
126
Ikan karang Potensi ikan karang yang berada di kawasan TWP Gili Matra cukup tinggi dimana biomassa ikan karang berkisar antara 541.85 kg/ha hingga 818.43 kg/ha {WCS, 2013). Dari sensus visual yang dilakukan Sasanti, 2012 ikan karang yang teridentifikasi sebanyak 84 spesies dan 16 suku. Jenis ikan target yang potensial mendominasi komunitas ikan karang di TWP Gili Matra adalah Myripristis kuntee, Acanthaurus leucocheilus, Ctenochaetus striatus, Naso branchycentron, Mulloidichthys flavolineatus, Neonipon samara, Naso lituratus, Lutjanus kasmira, Balistapus undulates, Lethrinus nuburotus dan Platakpinatus. Sementara itu komposisi suku ikan karang yang mendominasi kelompoknya dalam 10 besar menurut jumlah spesiesnya adalah Butana (Acanthuridae), Kakatua (Scaridae), Kakap (Lutjanidae), Bijinangka (Mulidae), Kerapu (Serranidae), Baronang (Siganidae), Lencam (Lethrinidae), Brajanata (Holocecntridae), Kurisi pasir (Scolopsidae), dan Ekor kuning (Caesionidae). Grafik komposisi suku ikan karang dapat dilihat dari Gambar 75.
Gambar 75.
Komposisi suku ikan karang di Gili Matra (Sumber : Sasanti, 2012)
Potensi perikanan karang yang tinggi di Pulau Lombok, namun disisi lain terdapat ancaman terhadap degradasi ekosistem terumbu karang. karena hal ini terlihat jelas dari kerusakan habitat terumbu karang yang cukup besar, meninggalkan hamparan padang pecahan karang yang luas di hampir 40% luasan terumbu karangnya. Kondisi ini merata hampir di semua kabupaten di Pulau Lombok. di karenakan diduga adanya praktek penangkapan ikan dengan bom dan racun. Secara umum potensi ikan karang yang tinggi dijumpai di Pulau Gili Trawangan yakni berkisar antara 52 – 81 kg per 350 m2. Sebaliknya potensi terendah dijumpai di kawasan Pulau Gili 127
Air dimana rata-rata stok ikan target 39.4 kg per 350 m2. Ketersediaan stok ini setara dengan 1.126 kg per ha atau setara dengan 1.1 ton per ha (Sasanti, 212). Penyumbang biomassa terbesar berasal dari kelompok ikan Butana, Kakatua, Brajanata, Kakap, Bijinangka, Keper, Baronang, Kurisi pasir, Lencam dan ekor kuning. Kelompok ekonomis tinggi termasuk kakap, baronang, lencam, ekor kuning, kerapu, kembung, bibir tebal dan kuwe. Ditinjau dari segi jasa ekologisnya, ikan karang memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Ikan memiliki jasa ekologis sebagai ikan yang dapat dikonsumsi. Dimana ikan merupakan sumber protein hewani yang sangat penting bagi kesehatan manusia. Protein hewani ini mengandung asam amino esensial yang penting bagi manusia. Demikian juga kandungan lemak ikan baik bagi kesehatan. Daging ikan mengandung lemak yang relatif rendah dibandingkan daging ayam dan sapi, serta kandungan kalsiumnya relatif tinggi. 2. Berbagai spesies ikan karang memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai ikan hias. Keindahan warna, dan perilakunya menjadikan satwa ini banyak digemari untuk dipelihara baik di aquarium maupun di kolam-kolam. 3. Ikan karang dapat digunakan sebagai ikan indikator yaitu digunakan sebagai indikator kondisi kesehatan terumbu karang di suatu perairan 4. Ikan karang jenis mayor family berperan dalam rantai makanan misalnya seperti Famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae, Caesionidae, Siganidae, Muliidae, Apogonida. 4.3.2. Nilai Jasa Ekonomi Sumberdaya Ekosistem Pesisir 4.3.2.1. a.
Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang
Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang dalam penelitian ini dibatasi pada aktivitas
penangkapan ikan. Meskipun pada kenyataanya ada aktivitas budidaya ikan dengan metode keramba jaring tancap, namun budidaya ikan yang dilakukan adalah pembesaran dan bibit yang dibudidayakan merupakan hasil tangkapan (ikan hidup) dari nelayan. Penghitungan dilakukan hanya pada kegiatan penangkapan dengan alasan untuk menghindari adanya “double counting” penilaian terhadap sumberdaya ikan. Nelayan di wilayah TWP Kapoposang pada umumnya menggunakan berbagai jenis alat tangkap, seperti jaring, pukat dan pancing. Tetapi seperti pada umumnya nelayan yang beroperasi di sekitar pulau-pulau di Kecamatan Liukang Tuppabiring lainnya, sekarang mereka lebih banyak menggunakan alat tangkap pancing. Pancing ini disebut kedo-kedo karena dioperasikan dengan cara menggerak-gerakan alat pancing tersebut. Hasil tangkapan utama nelayan adalah ikan sunu (kerapu) dan ikan cakalang yang banyak terdapat di perairan sekitar Pulau Kapoposang dan Pulau Pandangan, namun karena tingkat harga ikan sunu cukup baik, maka
128
aktifitas nelayan lebih difokuskan pada usaha penangkapan ikan sunu. Ikan sunu hidup bernilai jual antara Rp 100.000,- dan Rp 500.000,- per kg. Tingginya harga jual ikan jenis ini karena ikan ini merupakan komoditas ekspor, khususnya ke Hongkong. Pada Tabel 21 dapat dilihat jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan di kawasan TWP Kapoposang. Tabel 21. Jenis Ikan Hasil Tangkapan dan Alat Tangkap yang digunakan Oleh Nelayan di Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang, 2016. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Ikan Kerapu (Sunu) Baronang Kakap Lobster Gurita Cakalang Tongkol Ikan Terbang Ikan Teri Cumi-cumi
Sumber : Data Primer Diolah, 2016.
Jenis Alat Tangkap Pancing Sunu Pukat Baronang Jaring Ikan Kakap / Pancing Bubu Kedo-kedo / sero / tombak Purse seine / Pancing Purse Seine Jaring Ikan Terbang Pukat Mairo Jaring Cumi-Cumi
Dalam menghitung nilai ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya ikan pada ekosistem terumbu karang yaitu dengan menggunakan pendekatan fungsi linear. Fungsi linear mengasumsikan terjadinya hubungan yang tetap antara variabel yang diduga dengan variabel penduga. Pada kasus penghitungan nilai ekonomi terumbu karang, variabel yang perlu diduga adalah kuantitas yang di proxy dengan jumlah produksi hasil tangkapan nelayan. Faktor penduga yang digunakan adalah harga, umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, jumlah alat tangkap yang digunakan, ukuran kapal, pengalaman usaha dan pendapatan. Pemilihan faktor penduga didasarkan atas dasar alasan motivasi seseorang untuk melakukan ekstraksi sumberdaya. Nilai produksi ikan diperoleh dari keseluruhan jenis ikan total hasil tangkapan nelayan selama satu tahun. Berdasarkan hasil penelitian diketahui ada 10 jenis ikan dominan hasil tangkapan yaitu ikan kerapu, baronang, kakap, lobster, gurita, cakalang, tongkol, ikan terbang, teri dan cumicumi. Dalam analisis yang dilakukan ada 10 variabel yang akan diuji yang terdiri satu variabel dependen (Y) dan 9 variabel independen (Xn). Pada Tabel 22 dapat dilihat nilai rata-rata masingmasing variabel yang diuji dalam analisis ini. Tabel 22. Nilai Rata-Rata Variabel dalam Fungsi Produksi pada Kawasan Konservasi TWP Kapoposang, 2016. Variabel Y X1 X2 X3 X4
Keterangan Rata-Rata Produksi (Kg/tahun) Rata-rata Harga (Rp/Kg) Rata-rata Pendapatan (Rp/tahun) Rata-rata Lama Pendidikan (Tahun) Rata-rata Umur (tahun)
Nilai Rata-rata 1.314 54.945 40.446.107 5,9 36,2
Standar Deviasi 563 14.719 23.327.767 1,2 12 129
Variabel Keterangan X5 Rata-rata Jumlah Anggota Keluarga (Jiwa) X6 Rata-rata Ukuran Armada (GT) X7 Rata-rata jumlah trip (Trip/Tahun) X8 Rata-rata Jumlah Alat Tangkap (Unit) X9 Rata-rata Pengalaman usaha (Tahun) Keterangan : N = 53
Nilai Rata-rata 4,7 1,5 240,5 2 17,4
Standar Deviasi 2,5 1 72,9 1 8,5
Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui rata-rata produksi tahunan nelayan yang beroperasi di sekitar terumbu karang adalah 1.314 Kg/Tahun. Rata-rata trip pertahun adalah 240 trip sehingga dapat diketahui produksi rata-rata per trip adalah 5,47 Kg. Nelayan yang ada di kawasan TWP Kapoposang pada umumnya melakukan penangkapan hampir setiap hari kecuali pada hari jumat. Pada umumnya nelayan pada hari jumat tidak melaut namun sebagian ada yang melaut selepas melaksanakan ibadah shalat jumat. Nelayan karang bersifat one day fishing. Lamanya waktu penangkapan berkisar antara 4 sampai dengan 8 jam per trip. Harga rata-rata yang diterima oleh nelayan adalah Rp. 54.945/Kg. Kondisi ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pada ekosistem terumbu karang memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Beberapa jenis ikan yang memiliki nilai tinggi diantaranya adalah kerapu khususnya jenis sunu merah. Harga ikan akan semakin tinggi jika dijual dalam keadaan hidup. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa untuk harga ikan kerapu hidup dapat mencapai Rp.500.000,-/Kg. Berdasarkan penghitungan secara langsung diketahui bahwa rata-rata pendapatan nelayan adalah Rp. 40.446.107/ tahun atau Rp 3.370.509,-/ bulan. Nilai tersebut cukup tinggi meski harus diimbangi dengan biaya hidup yang relatif lebih tinggi pula karena kondisi letak geografis tempat tinggal mereka yang jauh dari pusat perekonomian. Pendekatan yang digunakan untuk menghitung nilai manfaat secara langsung adalah dengan pendekatan surplus konsumen. Surplus konsumen menghtiung total luasan ruang yang terbentuk dibawah kurva permintaan. Nilai surplus konsumen ini menunjukkan selisih antara kemampuan membayar konsumen dengan nilai yang seharusnya dibayarkan terhadap sumberdaya tersebut. Rata-rata usia responden diketahui 36 tahun dan telah melakukan usaha penangkapan selama 17 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap di Kawasan TWP Kapoposang memang didominasi oleh kelompok usia produktif khususnya pada rentang usia 21-36 tahun. Umur merupakan karakteristik responden yang melekat secara intrinsik. Faktor umur menentukan prestasi kerja, karena manusia memiliki batas kemampuan untuk bekerja. Semakin meningkat umur seseorang semakin besar penawaran tenaga kerjanya. Selama masih dalam usia produktif, semakin tinggi umur seseorang, semakin besar tanggung jawabnya yang ditanggung, meskipun pada titik tertentu penawaran akan menurun seiring dengan usia
130
yang makin bertambah pula (Payaman dalam Pujiyono et.al. 2013). Hal ini merupakan potensi sumberdaya manusia yang mendorong terjadinya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya. Berdasarkan hasil analisis regresi terhadap aktivitas penangkapan ikan pada ekosistem terumbu karang pada Kawasan TWP Kapoposang, maka diperoleh fungsi permintaan sebagai berikut : Ln Q = 5,5 - 0,85 X1 + 0,53 X2 – 0,003 X3 + 0,001 X4 – 0,067 X5 + 0,19 X6 + 0,28 X7 – 0,14 X8 + 0,04 X9
Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa fungsi permintaan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan karang di Kawasan TWP Kapoposang berbanding terbalik dengan harga (X1), lama pendidikan (X3), jumlah anggota keluarga (X5) dan jumlah alat tangkap (X8). Untuk variabel pendapatan (X2), ukuran armada (X6), jumlah trip (X7) dan pengalaman usaha (X9) berbanding lurus dengan fungsi permintaan. Dari fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya ikan dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) setiap nelayan di Kawasan TWP Kapoposang diketahui yaitu sebesar Rp. 3.63.697.778,- per tahun , sedangkan untuk nilai yang dibayarkan konsumen (PQ) atau harga batas konsumen adalah Rp. 43.619,- per Kg. Maka dengan demikian dapat diketahui nilai Consumer Surplus (CS) adalah sebesar Rp.3.577.378.956,- per pelaku usaha perikanan. Pada Gambar 76 berikut dapat dilihat kurva surplus konsumen terhadap permintaan ikan di Kawasan TWP Kapoposang
Gambar 76.
Kurva Surplus Konsumen Aktifitas Penangkapan Ikan Karang di Kawasan TWP Kapoposang.
131
Luas kawasan terumbu karang yang ada di TWP Kapoposang diketahui seluas 1.156 Ha (Haslindah, 2012) dengan jumlah total populasi nelayan pada kawasan tersebut sebanyak 549 orang. Berdasarkan data tersebut maka diketahui total nilai manfaat langsung sumberdaya ikan karang di Kawasan TWP Kapoposang yaitu sebesar Rp. 1.698.945.542/Ha/Tahun. Pada Gambar berikut dapat dilihat kurva fungsi permintaan Effect On Production (EOP) aktifitas penangkapan ikan di Kawasan TWP Kapoposang.
Gambar 77.
Kurva Fungsi Permintaan Effect On Production (EOP) Aktifitas Penangkapan Ikan Karang di Kawasan TWP Kapoposang.
b. Nilai Ekonomi Wisata TWP Kapoposang. Hubungan antara tingkat kunjungan per 1000 penduduk per tahun dengan total biaya perjalanan setiap zona merupakan fungsi permintaan terhadap TWP Kapoposang. Oleh karena itu, perlu dihitung persamaan garis regresi antara dua variabel tersebut. Dengan menggunakan eviews 4.0 persamaan garis regresi dapat dicari dan akan diperoleh persamaan sebagai berikut: V = 1.382 – 0,00029 TC Keterangan : V = Tingkat kunjungan / 1000 / Tahun TC = biaya total perjalanan ke TWP Kapoposang Model persamaan linier juga dapat dicari dengan melakukan perhitungan manual dengan mengacu pada data di Tabel 23 berikut ini :
132
Tabel 23.Perhitungan Regresi antara Tingkat Kunjungan per 1000 Penduduk Masing-masing Zona dengan Biaya Total
48.882
Biaya Perjalanan (X) 300.000
Tingkat kunjungan/1000 (Y) 1.000
Total biaya perjalanan (XY 300.000.000
90.000.000.000
Zona 2
11.564
500.000
2.000
1.000.000.000
250.000.000.000
Jumlah
60.446
800.000
3.000
1.300.000.000
340.000.000.000
Rata-Rata
30.223
400.000
1.500
650.000.000
170.000.000.000
No
Zona
Jumlah Penduduk
1
Zona 1
2
X2
Sumber : Data Primer diolah, 2016. Berdasarkan persamaan regresi linear antara tingkat kunjungan per 1000 penduduk per tahun dengan biaya total perjalanan setiap zona, maka dapat diketahui tingkat permintaan pengunjung terhadap TWP Kapoposang dengan berbagai simulasi alternatif harga karcis masuk. Adanya penetapan harga karcis masuk yang baru akan mempengaruhi tingkat kunjungan per 1000 per tahun dari setiap zona. Kenaikan positif tarif akan diikuti dengan penurunan jumlah kunjungan. Cara untuk mendapatkan tingkat kunjungan per 1000 penduduk per tahun dengan berbagai kemungkinan tarif pada masing-masing zona adalah dengan menambahkan tarif baru ke dalam biaya total perjalanan dari setiap zona kemudian dimasukan ke dalam persamaan regresi linear dan hasilnya dikalikan dengan jumlah penduduk di setiap zona yang kemudian dibagi dengan seribu. Penambahan tarif baru tersebut terus dilakukan hingga pengunjung tidak mau membayar atau tidak ada lagi kunjungan. Tabel 24. Perhitungan Nilai Surplus Pengunjung TWP Kapoposang, 2016. Bagian* Nilai Surplus (Rp) -48.628 1 -48.628 2 -97.256 3 -48.628 4 -194.512 5 -48.628 6 -291.768 7 -48.628 8 -389.024 9 -48.628 10 -486.280 11 86.180 12 7.701.216 13 6.036.788 Jumlah Keterangan : * = simulasi tarif masuk ( 0 – Rp. 4.294.000) Sumber : Data Primer diolah, 2016.
133
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 24, diperoleh total nilai surplus konsumen sebesar Rp 6.036.788,-. Nilai ini juga mencerminkan total nilai guna TWP Kapoposang pada tarif karcis masuk sama dengan nol. Pada saat ini tidak karcis masuk bagi pengunjung TWP Kapoposang. Total nilai kesediaan membayar (U) yang dibayarkan oleh pengunjung dengan tingkat kunjungan per 1000 penduduk sebanyak 3.000 maka diperoleh nilai sebesar Rp.2.012,-/ pengunjung/thn.
TWP Kapoposang dikenal dengan ekostem terumbu karang. Dimana luas
terumbu karang pada kawasan ini adalah seluas 1.156 Ha. Maka diketahui nilai ekonomi total manfaat wisata per Ha untuk di kawasan TWP Kapoposang dengan jumlah total pengunjung per 1000 penduduk pada kedua zona adalah sebanyak 89.571 orang adalah Rp. 467.753.989,-/Ha.
4.3.2.2.
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Natuna
Nilai jasa ekonomi sumberdaya ekosistem pesisir di KKLD Natuna diperoleh dari pemanfaataan yang terdiri dari penangkapan ikan, budidaya keramba jaring apung, budidaya rumput laut, dan penangkapan kepiting bakau. Dalam paragraph selanjutnya akan memuat nilainilai jasa, ekonomi sumberdaya ekosistem pesisir KKLD Natuna berdasarkan pola pemanfaatan yang ada.
a. Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Perikanan Tangkap Sumberdaya ikan dalam pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat cukup beragam. Namun salah satu ikan yang cukup menonjol dari sisi produksi adalah Ikan Kuwe. Hal ini terekam dari rata-rata hasil tangkapan responden dalam setahun yang secara persentase mencapai 17,5%. Beberapa jenis ikan lainya yang juga cukup banyak dimanfaatkan adalah kakap, lencam, kakaktua, biji nangka dan kerapu. Beragamnya jenis ikan hasil tangkapan menunjukkan supply ikan dari ekosistem masih cukup baik.
134
Gambar 78.
Persentase Hasil Tangkapan Berdasarkan Jenis Ikan
Besarnya produksi tidak selamanya linear dengan nilai produksi nila dibandingkan antar komoditas. Kerapu misalnya yang secara produksi tidak terlalu besar ternyata secara nilai merupakan yang paling tinggi yang mencapai Rp. 113.784.802 per tahun. Sebaliknya ikan kuwe yang besar secara produksi ternyata secara nilai produksi hanya menempati urutan ke empat dengan nilai Rp. 27.290.159 per tahun. Hal ini dipengaruhi oleh harga komoditas dimana kerapu sangat tinggi akibat permintaan pasar luar negeri yang tinggi. Pendekatan yang digunakan dalam menghitung nilai ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya ikan pada ekosistem terumbu karang adalah analisis Effect on Production (EoP),yaitu dengan menilai besaran produktivitas ekosistem terumbu karang akan sumberdaya ikan. Faktor penduga yang digunakan adalah harga, umur, pendidikan, dan jumlah keluarga. Pemilihan faktor penduga didasarkan atas dasar alasan motivasi seseorang untuk melakukan ekstraksi sumberdaya.
135
Gambar 79.
Nilai Produksi Hasil Tangkapan Ikan Berdasarkan Jenisnya.
Tabel 25. Nilai Rata-Rata dan Standar Deviasi dari Variabel Penangkapan Ikan pada Ekosistem Terumbu Karang di Natuna Variabel
Keterangan
Nilai Rata-rata
Q
Rata-Rata Produksi (Kg/tahun)
3.666
P
Rata-rata Harga (Rp/Kg)
52.869
Inc
Rata-rata tingkat Pendapatan (Rp/tahun)
93.672.319
Edu
Rata-rata Pendidikan (Tahun)
6
A
Rata-rata Umur (tahun)
40
KK
Rata-rata Jumlah Keluarga (Jiwa)
4
Trip
Rata-rata trip (kali per tahun)
174
Sumber : Data Primer Diolah (2016) Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui rata-rata produksi tahunan nelayan yang beroperasi di sekitar terumbu karang adalah 3.666 Kg/Tahun. Rata-rata trip pertahun adalah 174 trip sehingga dapat diketahui produksi rata-rata per trip adalah 21 Kg.
Nelayan rata-rata
merupakan nelayan harian dimana 1 trip hanya 1 hari. Harga rata-rata yang diterima oleh nelayan adalah Rp. 52.869. Harga tersebut cukup tinggi bila dibandingkan dengan dilokasi lain misalnya harga ikan di Wakatobi yang rata-rata Rp. 30.950 (PPSEKP, 2015). Kondisi ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pada ekosistem terumbu karang memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Berdasarkan penghitungan diketahui bahwa rata-rata pendapatan nelayan adalah Rp. 93 juta rupiah pertahun atau mendekati 8 juta rupiah perbulan. Nilai tersebut cukup tinggi meski harus diimbangi dengan biaya hidup yang relatif lebih tinggi pula. Rata-rata usia responden
136
diketahui 40 tahun. Berdasarkan hasil analisis EOP terhadap aktivitas perikanan tangkap, maka diperoleh fungsi permintaan sebagai berikut:
Keterangan: Q = Produksi (Kg/tahun) Ln P = Harga (Rp/kg) Ln Inc = Tingkat pendapatan (Rp/tahun) Ln Edu = Tingkat pendidikan (tahun) Ln A = Umur responden (tahun) Ln KK = Jumlah anggota keluarga (orang) Ln Trip = Jumlah trip dalam satu tahun (kali) Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa nilai adjusted R-Sq sebesar 0,86. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel bebas yang digunakan mampu menjelaskan keragaman variabel tidak bebas yaitu produksi dari kegiatan penangkapan ikan dalam satu tahun secara meyakinkan. Dari fungsi fungsi EoP tersebut, maka dapat dikatakan bahwa produksi dari kegiatan perikanan tangkap berbanding positif terhadap tingkat pendapatan, pendidikan, jumlah anggota keluarga dan jumlah trip per tahun. Kondisi ini sesuai dengan harapan karna secara teori semakin tingginya pendidikan maka semakin terbuka pula nelayan dalam menerima keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan penangkapan ikan. Pun demikian dengan jumlah anggota keluarga yang memberikan motivasi lebih didalam memenuhi kebutuhan keluarganya yang seiring pula dengan jumlah trip yang dilakukan. Berdasarkan fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya dari nelayan ekosistem terumbu karang dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai ekonomi yang dihasilkan dengan menghitung surplus konsumen adalah Rp. 2.731.956.880/ orang/ tahun sehingga diketahui nilai ekonomi berdasarkan populasi Rp. 3.567.935.685.716 /tahun. Pada Gambar berikut dapat dilihat fungsi permintaan Effect On Production (EOP) aktifitas dari nelayan pada ekosistem terumbu karang.
137
Gambar 80.
Grafik Fungsi Permintaan Penangkapan Ikan pada Ekosistem Terumbu Karang di Natuna
Budidaya Ikan Sistem budidaya KJA yang ada di Natuna adalah karamba jaring apung dan tancap. Ratarata umur pembudidaya KJA yang menjadi responden adalah 38 tahun, dengan rata-rata lama pendidikan 8 tahun (SLTP) rata-rata jumlah anggota rumah tangga 4 (empat) orang. Dalam setahun pendapatan rata-rata rumah tangga adalah lebih dari Rp. 40.000.000.
Rata-rata
pengalaman usaha responden adalah 7 (tujuh) tahun, dengan luas lahan rata-rata budidaya dan jumlah karamba adalah 227 m2 dan 13 unit. Jenis komoditas yang dipelihara adalah kerapu macan, kerapu bebek, kerapu sunu, kerapu lodi dan napoleon. Waktu pemeliharaan dari masingmasing komoditas tersebut berbeda-beda. Rata-rata lama waktu pemeliharaan untuk kerapu macan dan kerapu sunu masing-masing selama 18 bulan, kerapu bebek 22 bulan, dan napoleon selama 47 bulan. Biaya investasi yang diperlukan adalah bambu dengan harta rata-rata Rp. 37.000 per unit, harga rata-rata tali Rp. 217.500 per gulung, harga rata-rata perahu Rp. 17.000.000 per unit, dan biaya rata-rata pembuatan rumah jaga Rp. 63.000.000 per unit. Rata-rata padat tebar benih untuk masing-masing komoditas adalah sebagai berikut. Benih kerapu macan sebanyak 574 ekor, kerapu bebek 192 ekor, kerapu sunu 562 ekor dan ikan napoleon 763 ekor. Rata-rata harga benih untuk kerapu macan Rp. 20.500, kerapu bebek Rp. 32.000, kerapu sunu Rp. 21.000 dan napoleon Rp. 85.000. Harga jual untuk kerapu macan sebesar Rp. 130.000/kg, kerapu bebek Rp. 400.000- Rp. 700.000 per kg, kerapu sunu Rp. Rp. 170.000-Rp.250.000 per kg dan napoleon Rp. 900.000-RP. 950.000 per kg.
138
Berdasarkan wawancara terhadap 12 orang responden pembudidaya keramba jaring apung diketahui bahwa rata-rata penerimaan per tahun sebesar Rp. 213.786.000. dikeluarkan dalam setahun rata-rata sebesar Rp. 79.643.583. diperoleh dalam setahun setelah dipotong dengan biaya
Biaya yang
Rata-rata penerimaan yang
adalah sebesar Rp. 134.142.417.
Berdasarkan hasil analisis data, nilai ekonomi dari budidaya karamba jaring apung adalah sebesar Rp. 98.591.085.470 per tahun dan nilai produktivita memiliki umurasnya sebesar Rp. 127.050.367,87/orang/tahun, dengan luas perairan 776 Ha.
Budidaya Rumput Laut Pemanfaat ekosistem untuk budidaya rumput laut rata-rata berumur 43 tahun dan didominasi oleh pendidikan SLTP dengan jumlah anggota keluarga sebanyak 6 orang. Rata-rata pengalaman usaha untuk budidaya rumput laut adalah 1 (satu) tahun, hal ini dikarenakan adopsi untuk budidaya rumput laut di Natuna baru dilakukan pada tahun 2015. Sistem budidaya rumput laut di Natuna adalah sistem longline dan tancap, dengan rata-rata panjangan bentang berkisar antara 100-120 meter, jarak antar tali bentang sekitar 0,25-0,5 meter. Masa pemeliharaan dalam satu siklus selama 30-40 hari. Jumlah panen dalam setahun sebanyak 6-7 kali. Harga bibit berkisar antara Rp. 2.500-Rp. 5.000 per kg. Jenis rumput laut yang digunakan untuk usaha budidaya adalah rumput laut cottoni. Berdasarkan wawancara terhadap 8 orang responden pembudidaya rumput laut diketahui bahwa rata-rata penerimaan yang diperoleh dalam satu tahun sebesar Rp. 21.214.286. Biaya yang dikeluarkan dalam setahun rata-rata sebesar Rp. 8.295.420. Rata-rata penerimaan yang diperoleh dalam setahun setelah dipotong biaya adalah sebesar Rp. 12.918.866. Dari hasil analiais, nilai ekonomi dari budidaya rumput laut adalah sebesar RP. 15.980.022.090 per tahun dan nilai produktivitasnya sebesar Rp. 8.157.234,35/orang/tahun dengan luasan perairan 1.959 Ha.
b. Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove Penangkapan Kepiting Keberadaan ekosistem mangrove yang ada di Natuna dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk kegiatan penangkapan kepiting dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana yaitu dengan menggunakan bubu. Dari hasil analisis diketahui bahwa umur responden pencari kepiting untuk pemanfaat ekosistem mangrove rata-rata 43 tahun dengan tingkat pendidikan SLTP dan jumlah anggota keluarga sebanyak 4 orang.
Dalam kegiatan usaha penangkapan
kepiting, rata-rata jumlah trip operasi dalam satu bulan adalah 15 hari dengan jumlah rpoduksi rata-rata per trip 20,5 kg. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kepiting adalah bubu.
139
Berdasarkan wawancara terhadap 4 (empat) orang responden pencari kepiting pada ekosistem mangrove diketahui bahwa rata-rata produksi dalam satu tahun sebanyak 2.520 ekor. Dalam setahun biaya yang dikeluarkan rata-rata sebesar Rp. 37.075.000 dan penerimaan yang diperoleh per tahun adalah Rp. 40.824.000, sehingga keuntungan yang diperoleh dalam setahun sebesar Rp. 3.749.000. Berdasarkan hasil analisis, nilai ekonomi dari pemanfaat kepiting pada ekosistem mangrove adalah sebesar Rp. 317.085.732 per tahun dan nilai produktivitas sebesar Rp. 3.550.792,07/orang/tahun, dengan luas areal 89,30 Ha.
4.3.2.3.
Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra
a. Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang dalam penelitian ini dibatasi pada aktivitas penangkapan ikan.Nelayan di Kawasan Gili Matra pada umumnya menggunakan berbagai jenis alat tangkap, seperti jaring, pancing dan bubu. Lokasi penangkapan berada di sekitar tiga gili (Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan). Lokasi sentra nelayan pada kawasan konservasi Gili Matra yaitu berada di Pulau Gili Air. Penghitungan nilai ekonomi manfaat sumberdaya ikan pada ekosistem terumbu karang dengan menggunakan pendekatan fungsi linear. Fungsi linear mengasumsikan terjadinya hubungan yang tetap antara variabel yang diduga dengan variabel penduga. Pada kasus penghitungan nilai ekonomi terumbu karang, variabel yang perlu diduga adalah kuantitas yang di proxy dengan jumlah produksi hasil tangkapan nelayan. Faktor penduga yang digunakan adalah harga, umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, jumlah alat tangkap yang digunakan, ukuran kapal, pengalaman usaha dan pendapatan. Pemilihan faktor penduga didasarkan atas dasar alasan motivasi seseorang untuk melakukan ekstraksi sumberdaya. Nilai produksi ikan diperoleh dari keseluruhan jenis ikan total hasil tangkapan nelayan selama satu tahun. Berdasarkan hasil penelitian diketahui ada 10 jenis ikan dominan hasil tangkapan yaitu ikan kerapu, kakap, ikan baronang, kakap, kakatua, ikan sulir, ikan tongkol dan ikan terbang. Dalam analisis yang dilakukan ada 10 variabel yang akan diuji yang terdiri satu variabel dependen (Y) dan 9 variabel independen (Xn). Pada Tabel 26 dapat dilihat nilai rata-rata masing-masing variabel yang diuji dalam analisis ini.
Tabel 26. Nilai Rata-Rata Variabel dalam Fungsi Produksi di Kawasan Konservasi Gili Matra, 2016. Variabel
Keterangan
Nilai Rata-rata
Standar Deviasi 140
Y Rata-Rata Produksi (Kg/tahun) X1 Rata-rata Harga (Rp/Kg) X2 Rata-rata Pendapatan (Rp/tahun) X3 Rata-rata Lama Pendidikan (Tahun) X4 Rata-rata Umur (tahun) X5 Rata-rata Jumlah Anggota Keluarga (Jiwa) X6 Rata-rata Ukuran Armada (GT) X7 Rata-rata jumlah trip (Trip/Tahun) X8 Rata-rata Jumlah Alat Tangkap (Unit) X9 Rata-rata Pengalaman usaha (Tahun) Keterangan : N = 31 Sumber : Data Primer diolah, 2016.
717 89.921 27.195.097 6 43 4 2 261 5 23
331 68.119 17.519.911 4 12 1 1 65 3 13
Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui rata-rata produksi tahunan nelayan yang beroperasi di sekitar terumbu karang adalah 717 Kg/Tahun. Rata-rata trip pertahun adalah 261 trip sehingga dapat diketahui produksi rata-rata per trip adalah 2,75 Kg. Nelayan yang ada di kawasan Konservasi Gili Matra pada umumnya melakukan penangkapan hampir setiap hari kecuali pada hari jumat. Nelayan karang bersifat one day fishing. Lamanya waktu penangkapan berkisar antara 4 sampai dengan 8 jam per trip. Harga rata-rata yang diterima oleh nelayan adalah Rp. 89.921/Kg. Kondisi ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan (jenis ikan) pada ekosistem terumbu karang memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Untuk nilai rata-rata utuk ikan jenis pelagis hanya berkisar Rp.20.000/kg.
Beberapa jenis ikan yang memiliki nilai tinggi
diantaranya adalah kerapu khususnya jenis sunu merah. Untuk menghitung nilai manfaat secara langsung adalah dengan pendekatan surplus konsumen. Surplus konsumen menghtiung total luasan ruang yang terbentuk dibawah kurva permintaan. Nilai surplus konsumen ini menunjukkan selisih antara kemampuan membayar konsumen dengan nilai yang seharusnya dibayarkan terhadap sumberdaya tersebut. Rata-rata usia responden diketahui 43 tahun dan rata-rata lama pengalaman usaha adalah 23 tahun. Ini menunjukkan bahwa pilihan menjadi nelayan telah dilakukan sejak muda. Ketergantungan terhadap sumber daya ikan bagi masyarakat di sekitar kawasan konservasi sangat tinggi dan telah berlangsung lama. Faktor umur menentukan prestasi kerja, karena manusia memiliki batas kemampuan untuk bekerja. Semakin meningkat umur seseorang semakin besar penawaran tenaga kerjanya. Selama masih dalam usia produktif, semakin tinggi umur seseorang, semakin besar tanggung jawabnya yang ditanggung, meskipun pada titik tertentu penawaran akan menurun seiring dengan usia yang makin bertambah pula (Payaman dalam Pujiyono et.al. 2013). Berdasarkan hasil analisis regresi terhadap aktivitas penangkapan ikan pada ekosistem terumbu karang pada Kawasan Konservasi Gili Matra, maka diperoleh fungsi permintaan sebagai berikut :
141
Ln Q = 5,92 - 0,95 X1 + 0,51 X2 + 0,071 X3 + 0,295 X4 + 0,065 X5 + 0,010 X6 + 0,23 X7 + 0,011 X8 + 0,002 X9 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui semua variabel yang diujikan berbanding lurus dengan fungsi permintaan. Hal ini diketahui dari semua nilai positif pada koefisiennya. Dari fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya ikan dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) setiap nelayan di Kawasan Konservasi Gili Matra diketahui yaitu sebesar Rp. 1.926.525.757,- per tahun , sedangkan untuk nilai yang dibayarkan konsumen (PQ) atau harga batas konsumen adalah Rp. 67.323,- per Kg. Maka dengan demikian dapat diketahui nilai Consumer Surplus (CS) adalah sebesar Rp.1.878.261.257,- per pelaku usaha perikanan. Pada Gambar berikut dapat dilihat kurva surplus konsumen terhadap permintaan ikan di Kawasan Konservasi Gili Matra.
Gambar 81.
Kurva Surplus Konsumen Aktifitas Penangkapan Ikan Karang di Kawasan Konservasi Gili Matra.
Luas kawasan terumbu karang yang ada di Kawasan Konservasi Gili Matra diketahui seluas 3.629 Ha (BKKPN Kupang, 2014) dengan jumlah total populasi nelayan pada kawasan tersebut sebanyak 292 orang. Berdasarkan data tersebut maka diketahui total nilai manfaat langsung sumberdaya
ikan
karang
di
Kawasan
Konservasi
Gili
Matra
yaitu
sebesar
Rp.
151.130.418/Ha/Tahun. Pada Gambar berikut dapat dilihat kurva fungsi permintaan Effect On Production (EOP) aktifitas penangkapan ikan di Kawasan Konservasi Gili Matra.
142
Gambar 82.
Kurva Fungsi Permintaan Effect On Production (EOP) Aktifitas Penangkapan Ikan Karang di Kawasan Konservasi Gili Matra
b. Nilai Ekonomi Wisata TWP Gili Matra Nilai ekonomi ekosistem Gili matra yang terdiri dari mangrove, terumbu karang dan biota lainnya mempunyai nilai manfaat langsung sebagai salah satu daya tarik wisata bagi wisatawan baik mancanegara maupun domestik. Penilaian manfaat ekonomi wisata didekati dengan menggunakan teknik Travel Cost Method (TCM). Hasil regresi linear berganda antara jumlah kunjungan dengan peubah biaya. menunjukkan fungsi permintaan sebagai berikut: f(Q) = -4E+14x+3E+14 Dari fungsi di atas dapat diperoleh kurva permintaan terhadap ikan tersebut adalah sebagai berikut:
Gambar 83.
Fungsi Permintaan Wisata di Kawasan TWP Gili Matra 143
Nilai ekonomi kawasan TWP Gili Matra berdasarkan fungsinya sebagai penyedia jasa wisata dapat dihitung dengan cara mencari besaran surplus konsumen sebesar Rp 8.592.614 per orang. Berdasarkan analisis kesesuaian dan daya dukung, luas pantai yang sesuai untuk kegiatan wisata pantai di TWP Gili Matra sebesar 2,6 ha. Daya dukung kawasan untuk wisata pantai sebanyak 75 orang. Dengan demikian, dapat dihitung nilai ekonomi kawasan sebagai penyedia wisata pantai sebesar Rp 1.102.165.479 per tahun.
Gambar 84.
Kurva Surplus Konsumen Aktifitas Wisatawan di Kawasan Gili Matra.
4.3.3. Nilai Jasa Sosial Budaya Sumberdaya Ekosistem Pesisir Nilai Jasa Sosial Budaya Sumberdaya Ekosistem Pesisir dalam penelitian ini, secara teknis, merupakan nilai partisipasi masyarakat setempat untuk kegiatan rehabilitasi (konservasi) dan wisata bahari. Nilai partisipasi ini penting sebagai indikator pengetahuan, kesediaan melestarikan, kerelaan berkorban masyarakat setempat terkait kegiatan rehabilitasi (konservasi) dan wisata bahari. Dalam analisis ini digunakan pendekatan model Contingent Valuation Method. Analisa ini mengambarkan tingkat partisipatif kerelaan mengorbankan waktu (hari) dan besaran nilai untuk tidak melaut dalam setahun, serta kerelaan membayar iuran untuk kegiatan rehabilitasi (konservasi) dan wisata bahari di tempat masing-masing.
144
4.3.3.1. Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang Nilai Willingness to pay (WTP) atau nilai partisipasi tiap anggota masyarakat untuk keberadaan dan kelestarian sumberdaya yaitu sebesar rata-rata Rp. 374.418 /tahun. Nilai ini mengambarkan bahwa kesediaan berpartisipasi masyarakat dalam kawasan rehabilitasi dan wisata bahari. Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya bentuk partisipasi yang dinilaikan (preferensi) dalam angka tersebut mencakup penilaian terhadap keindahan, nilai spiritual dan budaya, keanekaragaman, arti penting sumberdaya. Adapun bentuk kesediaannya berupa kesediaan ikut melestarikan sumberdaya, berkorban tenaga serta ikut iuran untuk kegiatan menjaga keberadaan dan kelestarian sumberdaya di TWP Kapoposang. Adapun nilai jasa sosial budaya sumberdaya ekosistem pesisir di TWP Kapoposang sebesar Rp. 1.196.722.217 /tahun. Faktor yang berpengaruh terhadap kesediaan masyarakat membayar untuk keberlangsungan eksositem di TWP Kapoposang adalah tingkat pendapatan, umur, pendidikan, dan jumlah anggota keluarga. 4.3.3.2. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Natuna Nilai Willingness to Pay (WTP) atau nilai partisipasi tiap anggota masyarakat untuk keberadaan dan kelestarian sumberdaya yaitu sebesar rata-rata Rp. 173.535 /tahun. Nilai ini mengambarkan bahwa kesediaan berpartisipasi masyarakat dalam kawasan rehabilitasi dan wisata bahari. Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya bentuk partisipasi yang dinilaikan (preferensi) dalam angka tersebut mencakup penilaian terhadap keindahan, nilai spiritual dan budaya, keanekaragaman, arti penting sumberdaya. Adapun bentuk kesediaannya berupa kesediaan ikut melestarikan sumberdaya, berkorban tenaga serta ikut iuran untuk kegiatan menjaga keberadaan dan kelestarian sumberdaya di KKLD Natuna Adapun nilai jasa sosial budaya sumberdaya ekosistem pesisir di KKLD Natuna sebesar Rp. 1.945.437.508 /tahun. Faktor yang berpengaruh terhadap kesediaan masyarakat membayar untuk keberlangsungan eksositem di TWP Kapoposang adalah tingkat pendapatan, umur, pendidikan, dan jumlah anggota keluarga. 4.3.3.3. Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra Nilai Willingness to Pay (WTP)
atau nilai partisipasi tiap anggota masyarakat untuk
keberadaan dan kelestarian sumberdaya yaitu sebesar rata-rata Rp. 104.730 /tahun. Nilai ini mengambarkan bahwa kesediaan berpartisipasi masyarakat dalam kawasan rehabilitasi dan wisata bahari. Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya bentuk partisipasi yang dinilaikan (preferensi) dalam angka tersebut mencakup penilaian terhadap keindahan, nilai spiritual dan budaya, keanekaragaman, arti penting sumberdaya. Adapun bentuk kesediaannya berupa 145
kesediaan ikut melestarikan sumberdaya, berkorban tenaga serta ikut iuran untuk kegiatan menjaga keberadaan dan kelestarian sumberdaya di TWP Gili Matra. Adapun nilai jasa sosial budaya sumberdaya ekosistem pesisir di TWP Gili Matra sebesar Rp. 4.460.856.979 /tahun. Faktor yang berpengaruh terhadap kesediaan masyarakat membayar untuk keberlangsungan eksositem di TWP Gili Matra adalah tingkat pendapatan, umur, pendidikan, dan jumlah anggota keluarga.
4.4.
Analisis Komparasi Kawasan Konservasi dan Kawasan Non Konservasi
4.4.1. Nilai Jasa Sumberdaya Ekosistem Kawasan Pesisir Non Konservasi Disekitar TWP Kapoposang Nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang pada kawasan non konservasi dalam penelitian ini dibatasi pada aktivitas penangkapan ikan. Nelayan di pada Kawasan Non Konservasi memiliki kesamaan karakteristik dengan nelayan di wilayah TWP Kapoposang. Karakteristik tersebut yaitu operasi penangkapan yang bersifat one day fishing, penggunaan alat yang bersifat multy gears dan target utama jenis tangkapan yaitu ikan demersal (ikan karang). Untuk nelayan di kedua kawasan yang berbeda dengan target tangkapan ikan karang menggunakan armada yang kecil atau kurang dari 5 GT. Untuk di di perairan Kawasan Non Konservasi masih banyak nelayan yang menggunakan alat tangkap yang tidak ramah seperti potasium dan bom.
Ikan hasil
tangkapan di kawasan non konservasi pada umumnya sama jenisnya dengan ikan yang tertangkap oleh nelayan di kawasan konservasi.. Hasil tangkapan utama nelayan adalah ikan sunu (kerapu) dan ikan cakalang yang banyak terdapat di perairan sekitar Pulau Kapoposang dan Pulau Pandangan, namun karena tingkat harga ikan sunu cukup baik, maka aktifitas nelayan lebih difokuskan pada usaha penangkapan ikan sunu. Dalam menghitung nilai ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya ikan pada ekosistem terumbu karang yaitu dengan menggunakan pendekatan fungsi linear. Fungsi linier ini digunakan untuk menggambarkan pengaruh faktor penduga terhadap produksi hasil tangkapan nelayan. . Pemilihan faktor penduga didasarkan atas dasar alasan motivasi seseorang untuk melakukan ekstraksi sumberdaya.
Nilai produksi ikan diperoleh dari keseluruhan jenis ikan total hasil
tangkapan nelayan selama satu tahun. Dalam analisis yang dilakukan ada 10 variabel yang akan diuji yang terdiri satu variabel dependen (Y) dan 9 variabel independen (Xn). Pada Tabel 27 dapat dilihat nilai rata-rata masing-masing variabel yang diuji dalam analisis ini.
146
Tabel 27. Nilai Rata-Rata Variabel dalam Fungsi Produksi pada Kawasan Non Konservasi, 2016. Variabel
Keterangan
Nilai Rata-rata
Standar Deviasi
Y
Rata-Rata Produksi (Kg/tahun)
2.460
927
X1
Rata-rata Harga (Rp/Kg)
64.297
20.745
X2
Rata-rata Pendapatan (Rp/tahun)
120.733.803
66.427.196
X3
Rata-rata Lama Pendidikan (Tahun)
5,55
2,21
X4
Rata-rata Umur (tahun)
39
11
X5
Rata-rata Jumlah Anggota Keluarga (Jiwa)
5
2
X6
Rata-rata Ukuran Armada (GT)
1,72
0,88
X7
Rata-rata jumlah trip (Trip/Tahun)
240
42
X8
Rata-rata Jumlah Alat Tangkap (Unit)
5
4
X9
Rata-rata Pengalaman usaha (Tahun)
16
11
Keterangan : N = 38
Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui rata-rata produksi tahunan nelayan adalah 2.460 Kg/Tahun. Rata-rata trip pertahun adalah 240 trip sehingga dapat diketahui produksi ratarata per trip adalah 10,25 Kg. Nelayan yang ada di kawasan non konservasi di sekitar TWP Kapoposang pada umumnya melakukan penangkapan hampir setiap hari kecuali pada hari jumat. Pada umumnya nelayan pada hari jumat tidak melaut namun sebagian ada yang melaut selepas melaksanakan ibadah shalat jumat. Nelayan karang bersifat one day fishing. Lamanya waktu penangkapan berkisar antara 4 sampai dengan 8 jam per trip. Harga rata-rata yang diterima oleh nelayan adalah Rp. 64.297,-/Kg. Berdasarkan penghitungan secara langsung diketahui bahwa rata-rata pendapatan nelayan adalah Rp. 120.733.803,-/ tahun atau Rp 10.061.150,-/ bulan. Nilai tersebut cukup tinggi diatas rata-rata upah minimum regional Kabupaten Pangkep meski harus diimbangi dengan biaya hidup yang relatif lebih tinggi pula karena kondisi letak geografis tempat tinggal mereka yang jauh dari pusat perekonomian. Pendekatan yang digunakan untuk menghitung nilai manfaat secara langsung adalah dengan pendekatan surplus konsumen. Surplus konsumen menghtiung total luasan ruang yang terbentuk dibawah kurva permintaan. Nilai surplus konsumen ini menunjukkan selisih antara kemampuan membayar konsumen dengan nilai yang seharusnya dibayarkan terhadap sumberdaya tersebut. Rata-rata usia responden diketahui 39 tahun dan telah melakukan usaha penangkapan selama 11 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap di Kawasan non konservasi sekitar Kawasan TWP Kapoposang memang didominasi oleh kelompok usia produktif khususnya pada rentang usia 20 - 40 tahun. Umur merupakan karakteristik
147
responden yang melekat secara intrinsik. Faktor umur menentukan prestasi kerja, karena manusia memiliki batas kemampuan untuk bekerja. Berdasarkan hasil analisis regresi terhadap aktivitas penangkapan ikan pada ekosistem terumbu karang pada Kawasan TWP Kapoposang, maka diperoleh fungsi permintaan sebagai berikut : Ln Q = 6,47 – 1,05 X1 + 0,63 X2 – 0,0007 X3 + 0,0124 X4 – 0,005 X5 + 0,040 X6 + 0,214 X7 – 0,018 X8 - 0,009 X9 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa fungsi permintaan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan karang di Kawasan TWP KApoposang berbanding terbalik dengan harga (X1), lama pendidikan (X3), jumlah anggota keluarga (X5), jumlah alat tangkap (X8) dan pengalaman usaha (X9). Untuk variabel pendapatan (X2), ukuran armada (X6) dan jumlah trip (X7), berbanding lurus dengan fungsi permintaan. Dari fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya ikan dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) setiap nelayan di Kawasan Non Konservasi di sekitar Kawasan TWP Kapoposang diketahui yaitu sebesar Rp. 1.029.174.393,- per tahun , sedangkan untuk nilai yang dibayarkan konsumen (PQ) atau harga batas konsumen adalah Rp. 58.364,- per Kg. Dengan demikian dapat diketahui nilai Consumer Surplus (CS) adalah sebesar Rp. 886.572.725,- per pelaku usaha perikanan. Pada Gambar berikut dapat dilihat kurva surplus konsumen terhadap permintaan ikan di
Kawasan Non Konservasi di sekitar Kawasan TWP
Kapoposang.
Gambar 85.
Kurva Surplus Konsumen Aktifitas Penangkapan Ikan Karang di Kawasan Non Konservasi di sekitar Kawasan TWP Kapoposang
148
Luas kawasan terumbu karang yang ada di Kawasan non Konservasi sekitar TWP Kapoposang diketahui seluas 5.000 Ha, dengan jumlah total populasi nelayan pada kawasan tersebut sebanyak 1.140 orang. Berdasarkan data tersebut maka diketahui total nilai manfaat langsung sumberdaya ikan karang di di Kawasan non Konservasi sekitar TWP Kapoposang yaitu sebesar Rp. 201.910.581 /Ha/Tahun. Pada Gambar berikut dapat dilihat kurva fungsi permintaan Effect On Production (EOP) aktifitas penangkapan
Gambar 86.
Kurva Fungsi Permintaan Effect On Production (EOP) Aktifitas Penangkapan Ikan Karang di Kawasan non Konservasi sekitarTWP Kapoposang.
4.4.2. Nilai Jasa Sumberdaya Ekosistem Kawasan Pesisir Non Konservasi Disekitar TWP Gili Matra a. Terumbu Karang Nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang pada kawasan non konservasi dilakukan di wilayah Kabupaten Lombok Barat, Kecamatan Sekotong. Dalam penelitian ini dibatasi pada aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan yang memiliki kemiripan karakteristik dengan nelayan yang ada di dalam Kawasan Konservasi Gili Matra. Karakteristik tersebut antara lain penangkapan yang bersifat one day fishing, penggunaan alat tangkap yang bersifat multy gears dan ukuran armada kurang dari 5 GT. Alat tangkap yang digunakan untuk nelayan di wilayah Gili Gede hampir sama dengan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kawasan Konservasi Gili Matra. Alat tangkap tersebut antara lain adalah jaring, pancing dan bubu. Perbedaan yang mencolok antara nelayan di Gili Gede dengan nelayan di Kawasan Konservasi Gili Matra yaitu berada pada jenis ikan yang tertangkap. Untuk nelayan di Gili Gede lebih banyak menangkap jenis ikan pelagis kecil dibandingkan jenis ikan karang (demersal). Jenis ikan pelagis kecil yang tertangkap antara lain seperti ikan teri, ikan kembung, ikan layang, ikan terbang dan ikan tongkol. 149
Penghitungan nilai ekonomi manfaat sumberdaya ikan pada ekosistem terumbu karang dengan menggunakan pendekatan fungsi linear. Nilai produksi ikan diperoleh dari keseluruhan jenis ikan total hasil tangkapan nelayan selama satu tahun. Berdasarkan hasil penelitian diketahui jenis ikan dominan hasil tangkapan yaitu ikan teri, ikan kembung, ikan layang, ikan terbang dan ikan tongkol.
Dalam analisis yang dilakukan ada 10 variabel yang akan diuji yang terdiri satu
variabel dependen (Y) dan 9 variabel independen (Xn). Pada Tabel 28 dapat dilihat nilai rata-rata masing-masing variabel yang diuji dalam analisis ini. Tabel 28. Nilai Rata-Rata Variabel dalam Fungsi Produksi di Kawasan Non Konservasi Gili Gede, 2016. Variabel Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9
Keterangan Rata-Rata Produksi (Kg/tahun) Rata-rata Harga (Rp/Kg) Rata-rata Pendapatan (Rp/tahun) Rata-rata Lama Pendidikan (Tahun) Rata-rata Umur (tahun) Rata-rata Jumlah Anggota Keluarga (Jiwa) Rata-rata Ukuran Armada (GT) Rata-rata jumlah trip (Trip/Tahun) Rata-rata Jumlah Alat Tangkap (Unit) Rata-rata Pengalaman usaha (Tahun)
Keterangan : N = 37 Sumber : Data Primer diolah, 2016.
Nilai Rata-rata 1.929 77.039 101.157.319 6 36 4 2 285 5 21
Standar Deviasi 1.807 29.681 96.382.493 4 9 1 1 107 3 10
Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui rata-rata produksi tahunan nelayan yang beroperasi di sekitar terumbu karang adalah 1.929 Kg/Tahun. Rata-rata trip pertahun adalah 261 trip sehingga dapat diketahui produksi rata-rata per trip adalah 6,8 Kg. Nelayan yang ada di kawasan Konservasi Gili Matra pada umumnya melakukan penangkapan hampir setiap hari kecuali pada hari jumat. Nelayan karang bersifat one day fishing. Lamanya waktu penangkapan berkisar antara 4 sampai dengan 8 jam per trip. Harga rata-rata yang diterima oleh nelayan adalah Rp. 89.921/Kg. Kondisi ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan (jenis ikan) pada ekosistem terumbu karang memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Untuk nilai rata-rata utuk ikan jenis pelagis hanya berkisar Rp.20.000/kg.
Beberapa jenis ikan yang memiliki nilai tinggi
diantaranya adalah kerapu khususnya jenis sunu merah. Untuk menghitung nilai manfaat secara langsung adalah dengan pendekatan surplus konsumen. Surplus konsumen menghtiung total luasan ruang yang terbentuk dibawah kurva permintaan. Nilai surplus konsumen ini menunjukkan selisih antara kemampuan membayar konsumen dengan nilai yang seharusnya dibayarkan terhadap sumberdaya tersebut. Rata-rata usia responden diketahui 36 tahun dan rata-rata lama pengalaman usaha adalah 21 tahun. Hal ini
150
menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah memilih matapencaharian sebagai nelayan sejak muda, atau sekitar umur 15 tahun. Jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan maka diketahui bahwa nelayan pada umumnya memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar, selepas lulus SD tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan memilih menjadi nelayan. Ketergantungan rumah tangga masyarakat pesisir terhadap sumber daya ikan di sekitar kawasan non konservasi sangat tinggi dan telah berlangsung lama. Berdasarkan hasil analisis regresi terhadap aktivitas penangkapan ikan pada ekosistem terumbu karang pada Kawasan Konservasi Gili Matra, maka diperoleh fungsi permintaan sebagai berikut : Ln Q = 6,23 -1,01 X1 + 0,58 X2 - 0,011 X3 - 0,34 X4 + 0,29 X5 + 0,11 X6 + 0,51 X7 - 0,071 X8 0,041 X9 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui semua variabel yang diujikan berbanding lurus dengan fungsi permintaan. Hal ini diketahui dari semua nilai positif pada koefisiennya. Dari fungsi tersebut kemudian dilakukan estimasi terhadap nilai ekonomi sumberdaya ikan dengan menghitung besarnya nilai surplus bagi konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) setiap nelayan di Kawasan Konservasi Gili Matra diketahui yaitu sebesar Rp. 4.606.493.692,- per tahun , sedangkan untuk nilai yang dibayarkan konsumen (PQ) atau harga batas konsumen adalah Rp. 51.545,- per Kg. Maka dengan demikian dapat diketahui nilai Consumer Surplus (CS) adalah sebesar Rp. 4.507.042.495,- per pelaku usaha perikanan. Pada Gambar berikut dapat dilihat kurva surplus konsumen terhadap permintaan ikan di Kawasan Non Konservasi Gili Gede. b. Nilai Ekonomi Wisata Gili Gede ( Kawasan Non Konservasi) Nilai ekonomi wisata Gili Gede dianalisis dengan menggunakan pendekatan travel cost method atau metode biaya perjalanan. Pemanfaatan langsung sumberdaya di Gili Gede diketahui melalui surplus konsumen atau wisatawan yang dibangun dari frekuensi kunjungan dalam satu tahun dan biaya perjalanan. Dari hasil analisis (menggunakan regresi) dilakukan estimasi nilai ekonomi wisata Gili Gede dengan menghitung besarnya nilai surplus konsumen (CS). Nilai total kesediaan membayar (U) sebesar Rp. 5.640.662,-/thn/wisatawan. Untuk mencari nilai ekonomi total berdasarkan fungsi tersebut, maka digunakan beberapa data diantaranya jumlah pengunjung wisata tahun 2016 (perikiraan) sebanyak 100.000 orang. Selain itu digunakan juga nilai b0 dan b1 sebesar 3,68 dan -0,24. Berdasarkan nilai – nilai tersebut, maka didapatkan estimasi nilai surplus bagi konsumen (CS) sebesar Rp. 3.787.779,-/tahun. Nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang di Gili Gede sebesar Rp. &5.755.970,-/Ha/ tahun dan luasan terumbu karang seluas mencapai 5.000 Ha.
151
Gambar 87.
Kurva Surplus Konsumen Aktifitas Penangkapan Ikan Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Gede.
Luas kawasan perairan terumbu karang yang ada di Kawasan Non Konservasi Gili Gede diketahui seluas 20.000 Ha, dengan jumlah total populasi nelayan pada kawasan tersebut sebanyak 691 orang. Berdasarkan data tersebut maka diketahui total nilai manfaat langsung sumberdaya ikan di Kawasan Non Konservasi Gili Gede yaitu sebesar Rp. 135.436.627 Ha/Tahun. Pada Gambar berikut dapat dilihat kurva fungsi permintaan Effect On Production (EOP) aktifitas penangkapan ikan di Kawasan Non Konservasi Gili Gede.
Gambar 88.
Kurva Fungsi Permintaan Effect On Production (EOP) Aktifitas Penangkapan Ikan di Kawasan Non Konservasi Gili Gede.
152
4.4.3. Nilai Jasa Sumberdaya Ekosistem Kawasan Pesisir Non Konservasi Disekitar KKLD Natuna a. Terumbu Karang Nilai ekonomi dari fungsi ini didekati dengan biaya pengganti sebesar sepertiga dari biaya pembangunan pemecah gelombang. Berdasarkan hasil workshop diketahui bahwa standar biaya yang digunakan untuk setiap meter kubiknya berkisar antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 600.000 sehingga diambil nilai tengah sebesar Rp. 550.000 per meter kubik. Kemudian setiap satu meter panjang pemecah gelombang memiliki dimensi sebesar 6 meter kubik dengan asumsi lebar 1 meter dan ketinggian 6 meter. Tinggi 6 meter dibuat dengan catatan pondasi sebesar 3 meter dan 3 meter lebihnya adalah rata-rata jarak permukaan tertinggi dengan permukaan terendahair laut. Panjang pantai yang dilindungi oleh karang pada wilayah Bunguran Barat diperkirakan mencapai 135.572 meter sehingga nilai yang terbentuk adalah Rp. 74.564.600.000 atau sebesar Rp. 26.942.501.114/ ha. Jika dibandingkan dengan fungsi di lokasi pembanding yaitu terumbu karang yang ada di Kecamatan Bunguran Timur dengan panjang 89.098 meter akan memiliki nilai sebagai penahan gelombang sebesar Rp. 49.003.900.000 atau dengan kata lain jika besaran perhektar Rp. 12.720.977.544. Terumbu karang juga merupakan tempat yang sangat produktif dimana menurut hasil penelitian Dahuri (2003) melaporkan bahwa potensi lestari ikan karang konsumsi ditinjau dari Sembilan WPP, tercatat sekitar 1.452.500 ton/tahun. Sehingga dengan total area 50.000 Km2,maka MSY (Maximum Sustainable Yield) ikan karang di Indonesia terdapat sekitar 29,05 ton/km2/tahun atau setara dengan 290 kg per hektar per tahun. Atas dasar tersebut, nilai eksisting terumbu karang sebagai fungsi penyedia sumberdaya ikan dengan asumsi harga ratarata tertimbang ikan sebesar Rp. 25.000 dapat dihitung yaitu sebesar Rp. 355.151.151.051/tahun atau Rp.7.250.000 /ha/tahun. Jika dibandingkan dengan lokasi pembanding yaitu Kecamatan Bunguran Timur sebagai tempat hidup ikan atau penyedia ikan dengan luasan terumbu karang 23.129,05 ha akan memiliki nilai sebesar Rp. 167.685.613.086/tahun atau Rp. 3.423.108/ha/tahun. Fungsi lainnya yang tidak kalah penting adalah sebagai regulasi perubahan iklim. Menurut Constanza et.al (1997:260) yang dimaksud dengan regulasi perubahan iklim adalah fungsi dari terumbu karang sebagai ekosistem memiliki regulasi terkait dengan suhu global, pengendapan serta proses cuaca global dengan menggunakan media biologi untuk skala lokal. Sebagai contoh adalah regulasi erkait dengan efek rumah kaca, produksi DMS/Dimethylsulfide yang mempengaruhi formasi awan. Terumbu karang merupakan ekosistem yang unik yang terdiri dari komponen biologi dan geologi. Konstruksi terumbu karang berasal dari endapan kalsium karbonat yang bersimbiosis mutualisame dengan algae bersel tunggal yang disebut zooxanthellae.
153
Simbiosis yang dimaksud adalah hasil dari fotosintesis yang dilakukan oleh alga memperoleh oksigen dan energi. Energi tersebut jika diperairan yang pH normal akan membentuk kalsium karbonat yang hasilnya akan digunakan untuk pertumbuhan polip karang. Polip karang sebagai tempat hidup yang cocok untuk alga juga memperoleh bahan baku untuk fotosintesis dari metabolisme polip karang. Terumbu karang yang disebut sebagai hutan hujan di lautan menurut penelitian dari Raina et.al (2013:abstrak), secara global terumbu karang menghasilkan DMSP/dimethylsulphoniopropionate. DMSP membantu dalam proses kondensasi air laut menjadi awan. Seperti yang kita ketahui bahwa produksi awan sangat penting dalam regulasi perubahan iklim karena awan mampu memantulkan kembali pancaran sinar matahari yang turun kebumi kembali lagi ke ruang angkasa dan menjaga suhu tetap rendah. Menurut Constanza et.al (2007), terumbu karang sebagai regulasi perubahan iklim memberikan nilai sebesar 1188US$/ha/tahun . berdasarkan hal tersebut nilai ekologi terumbu karang sebagai regulasi
perubahan
iklim
di
Kecamatan
Bunguran
Barat
adalah
sebesar
Rp.
698.349.628.880/tahun dengan luas terumbu karang 48.986,37 ha. Sedangkan untuk Kecamatan Bunguran Timur nilai terumbu karang sebagai regulasi perubahan iklim memiliki nilai sebesar Rp. 329.727.737.952/tahun dengan luasan sebesar 23.129,05 ha
b. Mangrove Ekosistem secara tidak langsung memberi manfaat kepada manusia melalui fungsi ekologi yang melekat padanya. Salah satu manfaat tidak langsung ekosistem mangrove adalah sebagai penyimpan karbon. Karbon secara massif tersimpan pada bawah permukaan tanah di sekitar ekosistem mangrove. Selain itu, karbon juga tersimpan pada batang dan daun pohon, akar, dan kayu mati yang ada disekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata karbon yang tersimpan adalah sebesar 373 Mg C per Ha. Nilai ini lebih kecil bila dibandingkan dengan penelitian Donatoa et.al (2012) yang menunjukkan rata-rata karbon yang tersimpan untuk mangrove laut adalah 990 Mg C per ha. Sementara itu luasan mangrove di sekitar Natuna berdasarkan analisis citra landsat 8 diketahui luasan mangrove mencapai 962,87 Ha. Simpanan karbon untuk Natuna jika dinilaikan dengan nilai moneter sebesar 16,5 US$ per metrik ton C sehingga menghasilkan nilai sebesar Rp. 71.111.728.045/ tahun. Secara fisik mangrove juga memiliki fungsi sebagai peredam gelombang. Penghitungan nilai manfaat ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode biaya pengganti. Sebagai dasar ukuran digunakan standar pembangunan break water oleh Kementerian Pekerjaan Umum dimana kisaran harga per meter kubik berkisar antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 600.000. Panjang mangrove yang berfungsi sebagai green belt ini diketahui sebesar 85.206 meter. Atas dasar
154
tersebut dapat dihitung kebutuhan pembangunan penahan gelombang sebagai nilai pengganti dengan mengalikan panjang dan dimensi yang dibutuhkan per tiap meter panjang. Berdasarkan pendapat ahli diketahui bahwa dimensi yang dibutuhkan adalah 6 meter dengan asumsi 3 meter sebagai pondasi dan 3 meter lainnya sebagai rentang pasang surut perairan. Dengan nilai manfaat mangrove sebagai fungsi ini adalah Rp. 529.577.957/tahun. secara umum, nilai tersebut dirangkum pada tabel dibawah, Tabel 1x adalah nilai Jasa Ekosistem Sumberdaya Pesisir di Kawasan konservasi, sedangkan tabel 2x adalah nilai nilai Jasa Ekosistem Sumberdaya Pesisir di Kawasan non-konservasi. Tabel 29. Nilai Jasa Ekosistem Sumberdaya Pesisir di Kawasan konservasi Nilai Ekonomi Nilai Jasa Ekonomi Pemanfaatan Ekonomis - Penangkapan Ikan - Budidaya Rumput Laut - Budidaya Keramba - Pariwisata
TWP Kapoposang
KKLD Natuna
TWP Gili Matra
2,348,945,542.00 1,698,945,542.00 650,000,000.00
114,093,522,272.58 1,519,917,474.08 13,982,519,328.72 98,591,085,469.78 -
1,253,295,897.00 151,130,418.00 1,102,165,479.00
Nilai Jasa Ekologi - Pengendali Biologi - Regulasi Perubahan Iklim - Pemecah Gelombang Nilai Jasa Sosial Budaya Nilai Partisipasi Sosial Budaya
162,735,869,635.47 923,973,931.96 156,285,453,651.76 5,526,442,051.75 1,196,722,217.00 1,196,722,217.00
135,473,379,470.07 22,883,977,573.40 100,419,144,456.30 12,170,257,440.37 1,921,553,055.00 1,921,553,055.00
5,169,421,361.26 44,852,082.05 4,943,711,946.18 180,857,333.03 4,460,856,979.33 4,460,856,979.33
Total Nilai Ekonomi Jasa Ekosistem SD Pesisir
166,281,537,394.47
251,488,454,797.65
10,883,574,237.59
155
Tabel 30. Nilai Jasa Ekosistem Sumberdaya Pesisir di Kawasan konservasi Nilai Ekonomi
Lumu-Lumu, Langkai, Lajukang
Bunguran Timur Laut
Gili Gede
Nilai Jasa Ekonomi Pemanfaatan Ekonomis
201,910,581.00
500,302,212.00
589,275,949.00
- Penangkapan Ikan
201,910,581.00
500,302,212.00
135,436,627.00
- Budidaya Rumput Laut
-
-
-
- Budidaya Keramba
-
-
-
- Pariwisata
-
-
453,839,322.00
3,781,824,275.06
137,968,292,820.21
2,240,520,248.99
21,400,784.09
21,408,946,125.09
21,043,062.59
3,632,018,786.40
104,814,097,944.55
2,140,541,550.83
- Pemecah Gelombang
128,404,704.57
11,745,248,750.56
78,935,635.56
Nilai Jasa Sosial Budaya
173,126,882.37
-
1,312,491,506.82
Nilai Partisipasi Sosial Budaya
173,126,882.37
-
1,312,491,506.82
4,156,861,738.43
138,468,595,032.21
4,142,287,704.81
Nilai Jasa Ekologi - Pengendali Biologi - Regulasi Perubahan Iklim
Total Nilai Ekonomi Jasa Ekosistem SD Pesisir
156
V.
IMPLIKASI KEBIJAKAN DARI PENELITIAN VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA DI KAWASAN REHABILITASI DAN WISATA BAHARI
Nilai Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Lautan Implikasi kegiatan riset ini menunjukkan kesesuaian pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang menggangu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Kemudian penjelasan pasal 9 ayat (1) tersebut diatas alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang menggangu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan termasuk diatarannya jaring trawl atau pukat harimau, dan/atau kompresor. Saat survei lapangan, diketahui bahwa masih banyak aktifitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Penggunaan bom dan bius masih diakui oleh responden, sebagai metode penangkapan yang masih banyak digunakan oleh masyarakat setempat. Bebepada alasan yang mendukung kebijakan ini antara lain:
Nilai Jasa ekosistem/ekologi akan turun seiring dengan rusaknya lingkungan.
Patut diduga , tidak optimalnya nilai jasa ekonomi di masa mendatang
Menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dan kepedulian terhadap sumberdaya yang tercermin dari nilai jasa sosial budaya sumberdaya pesisir.
Pengembangan Kawasan Konservasi Terkait pengembangan kawasan konservasi di wilayah perairan laut merupakan amanat dari UU 31 Tahun 2004 yang diubah menjadi UU 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. UU 45/2009 Pasal 7 menyebutkan bahwa dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan kawasan konservasi perairan. Sementara UU 27/2007 Pasal 28 (2) menegaskan bahwa untuk kepentingan konservasi, sebagian wilayah pesisir dan pulau pulau kecil dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Dengan amanat ini, tanggungjawab menjaga kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan adalah titik krusial yang perlu dicari titik optimumnya sehingga keseimbangan pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya menjadi dapat tercapai. Penelitian ini memberi perbandingan antara nilai ekonomi kawasan konservasi dan non konservasi, Rp 157
734.176.147.186,80 berbanding Rp 146.767.744.475,45 atau 5:1. Sehingga cukup logis jika kebijakan pengembangan kawasan konservasi di wilayah perairan laut dioptimalkan. Penegakan Hukum Masih maraknya aktifitas penangkapan tidak ramah lingkungan di kawasan rehabilitasi dan wisata bahari mengisyaratkan perlunya penegakan hukum. Dalam upaya penegakan hukum, Pengawas Perikanan senantiasa berlandaskan pada aturan perundangan yang secara tegas mengatur kegiatan apa saja yang dianggap sebagai pelanggaran. Kewenangan Pengawas Perikanan tercantum pada UU 45/2009 Pasal 73 ayat 2 yang menyebutkan bahwa selain penyidik TNI AL, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan. Pengawas perikanan bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang meliputi 10 bidang, yaitu kegiatan penangkapan ikan, pembudidayaan ikan & perbenihan, pengolahan & distribusi keluar masuk ikan, mutu hasil perikanan, distribusi keluar masuk obat ikan, konservasi, pencemaran akibat perbuatan manusia, plasma nutfah, penelitian dan pengembangan perikanan, dan ikan hasil rekayasa genetik. Hasil survei lapangan khususnya di TWP Kapoposang pengawas perikanan harus bekerja keras untuk mengawasi sumberdaya perikanan. Tentunya ini menjadi beban pembiayaan pengelolaan kawasan konservasi. dengan meningkatkan nilai ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya. Efisiensi kegiatan pengawasan dapat ditekan. Namun adengan mempertimbangkan keseimbangan pemanfaatan dan kelestarian. Terpenting dari nilai ekonomi sumberdaya ini adalah komposisi nilai jasa ekologi jasa ekonomi dan jasa sosial budaya tergantung dari pola pemanfaatan, jenis pemanfaatan dan luas biofisik kawasan sehingga sangat sulit membuat kebijakan terkait pembiayaan general. Sehingga pengalaman unit pengelola kawasan perlu menjadi bagian penting dalam kebijakan pengelolaan terkait perencanaan dan penganggaran.
158
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1.
Kesimpulan Tipologi sumberdaya dilokasi penelitian adalah ekosistem pesisir, secara umum tiga
ekosistem utama di kawasan pesisir, yaitu ekosistem mangrove, Ekosistem Lamun dan ekosistem terumbu karang. Karakteristik pemanfaatan sumberdaya di lokasi penelitian, umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat setempat adalah ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang. adapun ekosistem lamun tidak dimanfaatkan, sehingga dalam penelitian ini nilai ekonomi ekosistem lamun tidak dihitung. Karakteristik jasa sumberdaya dikelompokkan menjadi jasa ekosistem/ekologi, jasa ekonomi dan jasa sosial budaya, hal ini mengacu pada pendapat de Groot, et,al (2002). Jasa ekologi/ekosistem mempertimbangkan pendapat dari costanza, 2014. Adapun fungsi ekosistem sebagai: erosion control, Nutrient Cycling, Biological Control, Habitat Refugia, Raw Material, Climate Regulation dan Break Water. Sedangkan nilai ekonomi didekati dari pemanfaatan penangkapan ikan, budidaya, kepiting, pariwisata dan pemanfaatan lainnya untuk kegiatan ekonomi. Adapun nilai sosial budaya didekati dengan pendekatan partisipasi masyarakat untuk kegiatan melestarikan sumberdaya alam. peribangan sosia budaya ini didekati dengan memperhatikan kesediaan melestarikan sumberdaya, lama berkorban tenaga untuk kegiatan pelestarian atau dalam bentuk kerelaan menyumbangkan iuran dalam upaya pelestarian sumberdaya. Kerelaan berkorban waktu serta kesediaan membayar iuran merupakan variabel yang diukur untuk menemukan jasa sosial budaya sumberdaya ekosistem pesisir. Nilai jasa ekonomi sumberdaya pesisir kawasan rehabilitasi dan wisata bahari lebih tinggi dibanding nilai ekonomi total kawasan yang tidak direhabilitasi.
jasa ekonomi sumberdaya pesisir di kawasan rehabilitasi TWP kapoposang sebesar Rp 2.348.945.542 /tahun, sedang di kawasan non rehabilitasi diluar kawasan rehabilitasi sebesar Rp 201.910.581 / tahun,
jasa ekonomi sumberdaya pesisir di kawasan rehabilitasi KKLD Natuna sebesar
Rp
114.093.522.273 /tahun sedang di kawasan non rehabilitasi diluar kawasan rehabilitasi sebesar Rp 201.910.581 / tahun,
jasa ekonomi sumberdaya pesisir di kawasan rehabilitasi TWP Gili Matra sebesar Rp 1.253.295.897 / tahun sedang di kawasan non rehabilitasi diluar kawasan rehabilitasi sebesar Rp 589.275.949 / tahun,
159
Nilai jasa ekologi/ekosistem sumberdaya pesisir kawasan rehabilitasi dan wisata bahari lebih tinggi dibanding nilai ekologi/ekosistem total kawasan yang tidak direhabilitasi.
jasa ekologi/ekosistem sumberdaya pesisir di kawasan rehabilitasi TWP Kapoposang sebesar Rp 50.992.748.801.274,80 /tahun, sedang di kawasan non rehabilitasi diluar kawasan rehabilitasi sebesar Rp 679.037.929.527,50 / tahun,
jasa ekologi/ekosistem sumberdaya pesisir di kawasan rehabilitasi KKLD Natuna sebesar Rp 55.545.143.652.983,50 /tahun sedang di kawasan non rehabilitasi diluar kawasan rehabilitasi sebesar Rp 23.949.481.276.383,60 / tahun,
jasa ekologi/ekosistem sumberdaya pesisir di kawasan rehabilitasi TWP Gili Matra sebesar Rp 3.049.009.036.733,04 / tahun sedang di kawasan non rehabilitasi diluar kawasan rehabilitasi sebesar Rp 401.838.159.894,84 / tahun, Nilai jasa sosial budaya sumberdaya pesisir kawasan rehabilitasi dan wisata bahari lebih
tinggi dibanding nilai sosial budaya total kawasan yang tidak direhabilitasi.
jasa sosial budaya sumberdaya pesisir di kawasan rehabilitasi TWP Kapoposang sebesar Rp 50.992.748.801.274,80 /tahun, sedang di kawasan non rehabilitasi diluar kawasan rehabilitasi sebesar Rp 679.037.929.527,50 / tahun,
jasa sosial budaya sumberdaya pesisir di kawasan rehabilitasi KKLD Natuna sebesar Rp 55.545.143.652.983,50 /tahun sedang di kawasan non rehabilitasi diluar kawasan rehabilitasi sebesar Rp 23.949.481.276.383,60 / tahun,
jasa sosial budaya sumberdaya pesisir di kawasan rehabilitasi TWP Gili Matra sebesar Rp 3.049.009.036.733,04 / tahun sedang di kawasan non rehabilitasi diluar kawasan rehabilitasi sebesar Rp 401.838.159.894,84 / tahun,
5.2.
Rekomendasi
Rekomendasi Kebijakan yang diusulkan berdasarkan hasil kegiatan penelitian ini adalah: 1. Upaya rehabilitasi dan pembangunan wisata bahari di kawasan-kawasan konservasi pesisir memberi manfaat ekologi/ekosistem, ekonomi dan sosial budaya, sehingga kegiatan ini perlu dioptimalkan untuk memberi output yang lebih efisien. 2. Tiap kawasan konservasi dan rehabilitasi memiliki komposisi nilai jasa sumberdaya yang berbeda. Komposisi ini mencerminkan permasalahan yang dihadapi ini meProporsi pembiayaan kawasan konservasi dapat mengikuti proporsi jasa sumberdaya, dalam hal ini pembiayaan yang terkait :
160
pembangunan ekologi/ekosistem, seperti transplantasi karang, penanaman mangrove, transplantasi lamun, pengawasan kawasan, monitoring ekosistem, restocking dan lain sebagainya dapat berkisar 73.04% - 98.74% dari total pembiayaan
pembangunan ekonomi, seperti peningkatan ekonomi alternatif, teknik pengolahan pasca panen, pembangunan wisata bahari dan lain sebagainya dapat berkisar 0.83% 26% dari total pembiayaan
pembangunan sosial budaya, seperti peningkatan partisipasi masyarakat, pendidikan sadar lingkungan, pendampingan keagamaan, pendampingan pembangunan jasa wisata, dan lain sebagianya dapat berkisar 0.42% - 19.64% dari total pembiayaan.
3. Kawasan konservasi dan rehabilitasi di lokasi penelitian merupakan fishing ground bagi masyarakat kawasan non konservasi. Dengan upaya konservasi maupun rehabilitasi yang telah dilakukan selama ini, telah menjadikan kawasan konservasi dan rehabilitasi menjadi lokasi penangkapan favorit. Sayangnya pola penangkapan ikan masih banyak yang destruktif. Penggunaan bom, bius maupun muroami telah merusak kawasan lain. Sehingga perlu mengkonservasi lebih banyak wilayah dengan tidak membolehkan penggunaan alat penangkap ikan yang merusak. 4. Pembangunan wisata perlu dilakukan untuk menambah manfaat ekonomi kawasan tanpa sumberdaya terdegradasi. Daya dukung lingkungan dan kapasitas lingkungan perlu dilakukan untuk menjaga tingkat optimal penggunaan lahan, jumlah wisatawan, jenis kegiatan wisata.
161
DAFTAR PUSTAKA Adrianto, L. 2006. Sinopsis Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. PKSPL-IPB. Bogor Adrianto, L. 2006. Sinopsis Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. PKSPL-IPB. Bogor Allen, G.R. and Steene, R., 1996. Indo-Pacifik Coral Reef Field. Singapore Tropical Reef Research. Amira S. 2008. Pendugaan biomassa jenis Rhizophora apiculata Bl. Di hutan mangrove Batu Ampar Kabupaten Kubu raya, Kalimantan Barat. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB Bogor Arief, A., 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Azkab, M.H. 1988. Pertumbuhan dan Produksi Lamun, Enhalus acoroides di Rataan Terumbu di Pari Pulau Seribu. P3O-LIPI, Teluk Jakarta: Biologi, Budidaya, Osenografi, Geologi dan Perairan. Balai Penelitian Biologi Laut, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta: 11-6. Azkab, M.H., 2006. Ada Apa dengan Lamun. Oseana 31 (3): 45 -55 Baliao D dan Tookwinas S, 2002. Manajemen Budidaya Udang yang Baik dan Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Petunjuk Pelaksanaan Penyuluhan Akuakultur No.35. Southeast Asian Fisheries Development Center dan Association Of Southeast Asian Nations. Philippnine Baliao D dan Tookwinas S, 2002. Manajemen Budidaya Udang yang Baik dan Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Petunjuk Pelaksanaan Penyuluhan Akuakultur No.35. Southeast Asian Fisheries Development Center dan Association Of Southeast Asian Nations. Philippnine Bawole, R. 1998. Distribusi Spasial Ikan Chaetodontidae dan peranannya sebagai indikator kondisi terumbu karang di perairan teluk Ambon. Tesis Program pascasarjana IPB. Bogor. Bell, J. D. and R. Galzin, 1984. Influence of live coral cover on coral reef fish community. Mar.Ecol. Prog. Ser., 15; 265 - 274. Bengen, D.G., 2002. Pedoman Teknis Pengenalan dan pengelolaan Ekosistem Mangrove.PKSPLIPB. Bogor Bengen, DG. 2003. Teknik Pedoman Teknis Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. PKSPL. Bogor Bengen DG.2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor Bengen, D.G., 2009. Perspektif Lamun dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. dalam Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. Jakarta Bengen, D.G., 2009a. Struktur dan Dinamika Lamun. Kuliah Dinamika dan Proses-Proses Ekosistem Laut ITK 712. Bogor BRKP-DKP dan P3O-LIPI. Laporan Akhir Pengkajian stok ikan di Perairan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI. Jakarta. Claridge, D. dan Burnett, J. 1993. Mangrove in Focus. Wet paper Marine Education, Ashmore. Costanza.R; R. D’Arge; R. D. Groot; S. Farber; M. Grasso; B. Hannon; K. Limburg; S. Naeem; R. V. O’Neil; J. Pauelo; R.G. Raskin; P. Sutton; M. V.D. Belt. 1999. The Value of The World’s Ecosystem Services and Natural Capital. Nature 1997 Volume 387 pp 253-260 Dahuri R, Rais J, Ginting S.P, Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (cetakan kedua revisi). PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
162
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia. Jakarta Dahuri, R., 2008. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: LISPI. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting. M.J. Sitepu. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan ke 4. Penerbit Pradnya Paramita.Jakarta. De la Moriniere, E.C; B.J.A. Pollux; I. Nagelkerken dan G. Vander Velde., 2002.Post-settlement Life Cycle Migration Patterns and Habitat Preference of Coral Reef Fish that use Seagrass and Mangrove Habitats as Nurseries. Estuarine, Coastal and Shelf Scince (2002) 55, 309-321. www.elsevier.com [25 November 2009] Dharmawan, I Wayan .S dan C.H Siregar. 2008. Karbon Tanah dan Pendugaan Karbon Tegakan Avicennia marina (Forsk) Vierh. Di Ciasem, Purwakarta. Jurnal Penelitian Hutan dan KOnservasi Alam. Vol. V No.4: 317-328. Donato, D.C., J.B. Kauffman, D. Murdiyarso, S. Kurnianto, M. Stidham & M. Kanninen. 2011. Mangroves Among The Most Carbon-Rich Forests in The Tropics. Nature Geoscience. DOI:10.1038/NGEO1123 Duarte CM, Middleburg JJ dan Caraco C. 2005. Major Role of Marine Vegetation on the Oceanic Carbon Cycle. Biogeoscience 2: 1-8 www.biogeosciences.net [18 Oktober 2009] English, SC., Wilkinson and V. Baker, 1994. Survey Manual of Tropical Marine Resources. Australia Institute Marine Science. Townsville – Australia. Fauzi A dan S. Anna. 2005. Studi Valuasi Ekonomi Perencanaan Kawasan Konservasi Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Jakarta : USAID, DKP, dan Mitra Pesisir. Fauzi. 2003. Persepsi Terhadap Nilai Ekonomi Sumberdaya. USAID-Indonesia Coastal Resource Management Project Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003 Fourqurean, J.W., B. Johnson., J.B. Kauffman., H. Kennedy., I. Emmer., J. Howard., E. Pidgeon., O. Serrano. 2014. Conceptualizing the project and Developing a Field Measurement Plan. Dalam Howard, J., S. Hoyt., K Isensee., E. Pidgeon., M. Telszewski (eds). Coastal Blue Carbon: Methods for Assessing Carbon Stock and Emissions factor in Mangrove, Tidal Salt Marsh and Seagrass Meadow. The Blue Carbon Initiative. 25 - 38 Fourqurean, J.W., C. M. Duarte, H. Kennedy, N.Marbà, M. Holmer, M. A. Mateo, E. T. Apostolaki, G. A. Kendrick, D. Krause-Jensen, K. J. McGlathery & O. Serrano. 2012. Seagrass Ecosystems As A Globally Significant Carbon Stock. Nature Geoscience. DOI:10.1038/NGEO1477. Fromard F, Puig H, Mougin E, Marty G, Betoulle JL, Cadamuro L. 1998. Structure, above-ground biomass and dynamics of mangrove ecosystems: new data from French Guiana. Oecologia !!%:39-53. Springer-Verlag Giri C, Ochieng E, Tieszen LL, Zhu Z, Singh A, Loveland T, Masek J, Duke N. 2011. Status and distribution of mangrove forest of the world using earth observations satellite data. Global Ecol Biogeogr 20:154-159. doi:10.1111/j.1466-8238.2010.00584.x GoBlue Indonesia, 2009. Mengenal Komunitas Ikan Karang. http://www.goblue.or.id /mengenalkomunitas-ikan-karang-1. diakses 4 Oktober 2011. Gomez, E.D. and H.T. Yap, 1988. Monitoring reef condition In : R.A. Kenchington & B.E.T. Hudson (eds). Coral Reef Management handbook, UNESCO Jakarta : 187-195. Grigalunas, T.A and R. Congar, 1995. Environmental economics for Integrated Coastal Area Management: Valuluation Methods and Policy Instruments. UNEP Regional Seas Reports and Studies No. 164. UNEP. 163
Hairiah, K. dan Rahayu, S. 2007. Pengukuran ‘Karbon Tersimpan’ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World AgroforestryCentre. ICRAF, SEA Regional Office,University of Brawijaya, Indonesia. Hairiah, K. S.M, Sitompul., M.V. Noordwijk dan Cheryl.P. 2001. Metthods for Sampling Carbon Carbon Stocks Above and Below Ground. International Center for Research in Agroforestry Hamzah. 2005. Analisis Penilaian Manfaat Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Perairan Pulau Kapoposang, Sarappo Keke, dan Saugi Makassar. Tesis pada PPs UNHAS, Makassar. Handoko, Yusuf M., Wulandari, SY., 2013. Sebaran Nitrat Dan Fosfat Dalam Kaitannya dengan Kelimpahan Fitoplankton di Kepulauan Karimunjawa. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Buletin Oseanografi Marina April 2013. vol. 2 48 – 53. Harahap, N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu. Yogyakarta. Haslindah. 2012. Valuasi Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang di Taman Wisata Perairan Kapoposang Kabupaten Pangkep. Thesis. Tidak dipublikasikan. Universitas Hasanudin. Makassar. Hasmin. 2006. Penilaian Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Pulau Kapoposang, Sarappo Keke, dan Saugi Kabupaten Pangkep.Tesis Program Studi Ekonomi Sumberdaya Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar. Hill, J. And C. Wilkinson, 2004. Methods for Ecological Monitoring of Coral Reefs. A Resources for Managers. Australian Institute of Marine Science, Townville, 117 pp. http://americas.iweb.bsu.edu/americas/Americas_vds10/neighborhood/information.html http://www.waikato.ac.nz/fass/about/staff/maximus/tidal-graphics Iham. 2009. Kajian Dampak Kawasan Konservasi Laut Dareh Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang (Studi Kasus Pulau Natuna, Kabupaten Natuna, Provinsi KEpulauan Riau). Sekolah Pascasarjana. Insttitut Pertanian Bogor. Bogor. Jensen, 1996. Introductry Digital Image Processing- a Remote Sensing Perspective. London. Prentice Hall. Kartawinata, K., S. Adisoemarmo., S. Soemodihardjo., IGM Tantar. 1979. Status Pengetahuan Hutan Bakau di Indonesia. Dalam S. Soemodihardjo et.al (eds). Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta.12-22 Kauffman, J. Boone and Daniel C.Donato. 2012). Protocols for The Measurement, Monitoring and Reporting of Structure, Biomass and Carbon Stocks in Mangrove Forest. CIFOR Kay, R and Alder, J.1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon. London Kiswara, W., 2009. Perspektif Lamun dalam Produktivitas Hayati Pesisir.dalam Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. Jakarta Koike, I., H. Ogawa, T. Nagata, R. Fukuda & H. Fukuda. 2001. Silicate to Nitrate Ratio of the Upper Sub-Arctic Pacific and the Bering Sea Basin in Summer: Its Implication for Phytoplankton Dynamics. Journal of Oceanography, 57: pp. 253 – 260. Komiyama A, Poungparn S dan Kato S. 2005. Coomon allometric equation for estimating the tree weight of mangroves. Journal of Tropical Ecology. 21: 471-477. Doi. 10.1017/S0266467405002476. Cambridge University Press Kordi, GH., 2010. Ekosistem Terumbu Karang : Potensi, Fungsi dan Pengelolaan. Rineka Cipta. Jakarta.
164
Kuriandewa, T.E., 2009. Tinjauan tentang Lamun Indonesia.dalam Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. Jakarta Kusmana C. 1997. An Estimation of Above and Below Ground Tree Biomass of A Mangrove Forest in East Kalimantan, Indonesia.Bogor Agricultural University. Bogor. VolII no 1. 24 hal Kusuma, D I. 2005. Economic Valuation Of Natural Resource Management: A Case Study Of The Benuaq Dayak Tribe In Kalimantan, Indonesia (Dissertation). Bogor Institut of Agriculture. Bogor Kusuma, D I. 2005. Economic Valuation Of Natural Resource Management: A Case Study Of The Benuaq Dayak Tribe In Kalimantan, Indonesia (Dissertation). Bogor Institut of Agriculture. Bogor Kusumastanto, 2002. Reposisi “Ocean Policy” dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah (Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Perikanan dan Kelatan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor Kusumastanto, 2002. Reposisi “Ocean Policy” dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah (Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Perikanan dan Kelatan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor LPP Mangrove. 2008. Ekosistem Mangrove di Indonesia. (Online). Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia Available at: http :// www.imred.org/?q= content/ekosistem-mangrove-di-indonesia. Verified : 28 Januari 2009. LPP Mangrove. 2008. Ekosistem Mangrove di Indonesia. (Online). Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia Available at: http ://www.imred.org/?q =content/ekosistem-mangrove-di-indonesia. Verified : 28 Januari 2009. MacDicken KG. 1997. A Guide to Monitoring Carbon Storage in Forestry and Agroforestry Projects. Winrock International Institute for Agriculture Development. USA. Macnae, W., 1968. A General Account of the Fauna of the Mangrove Swamps of Inhaca Island, Mozambique. J. Ecol. 50: 93 -128. Mahmudin. 2002. Perubahan Bentuk Rumah dan Tata Lingkungan Pemukiman Nelayan Desa Ujung Alang Segara Anakan di Cilacap (tesis). Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro. Semarang Millero, F.J & Sohn, M.L.1992.Chemical Oceanography. CRC Press, New York. Murdiyanto, B. 2003. Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta. COFISH Project. 78 halaman. Nilwan, dkk. 2003. Spesifikasi Teknis Penyusunan Neraca Dan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Pesisir Dan Lautan. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut Baksurtanal. Bogor Nontji, 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia. Jakarta Nybakken, J.W. 1982. Marine Biology : An Ecological Approach. Penerjemah : M. Eidman dkk. 1988. Gramedia. Jakarta. Nybakken, JW., Bertness, MD., 2003. Marine Biology and Ecological Approach. Sixth Edition. Brown University. Odum, E.P, 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Pujiyono, Arif. 2013. Diponegoro Journal of Economics. Volume 2 Nomor 3. Pengaruh Umur, Jumlah Tanggungan Keluarga, Luas Lahan, Pendidikan, Jarak Tempat Tinggal Pekerja Ke Tempat Kerja, dan Keuntungan Terhadap Curahan Waktu Kerja Wanita Tani Sektor
165
Pertanian di Desa Tajuk, Kec. Getasan, Kab. Semarang.. Jurusan IESP Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Putrantomo, F. 2010. Aplikasi Contingent Choice Modelling (CCM) dalam Valuasi Ekonomi Terumbu Karang Taman Nasional Karimunjaya. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Raina, J.B; D. M. Tapiolas ; S. Foret; A. Lutz; D. Abrego;J.Ceh; F.O. Senece; P.L.Clode; D.G.Bourne; B. L . Willis; E. A.Motti. 2013. DMSP Biosynthesis by An Animal and Its Role in Coral Thermal Stress Response. Nature Volume 501 pp 677-680 (abstract). Reid, C., Marshall, J., Logan, D., and Kleine, D., 2011. Terumbu Karang dan Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia. Jakarta. Romimohtarto, K dan Juwana, S. 2009. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut edisi 4. Djambatan. Jakarta Romimohtarto, K., Juwana, S., 2007. Biologi Laut. Djambatan. Jakarta. Sadarun, B., Lestari, RIP., Afandy, YA., Nuriadi, L., Zulhiman, E., 2008. Petunjuk Sanusi, H. 2006. Kimia Laut, Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perkanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 188 hal Sifleet S, Pendleton L, Murray BC. 2011. State of the science on coastal blue carbon A summary for policy makers. Durham, North Carolina(US). Nicholas Institut for environmental policy solutions. Duke University. Simanjuntak, M. 2009. Hubungan faktor lingkungan kimia, fisika terhadap distribusi plankton di perairan Belitung Timur, Bangka Belitung. Jurnal Perikanan XI (1):31-45. ISSN: 0853-6384 Sorokin Y.I. 1993. Coral Reef Ecology. New York : Springer-Verlag Stoddart, D.R., 1969. Echology and Morphology of Recent of coral reefs. Biolrev. 44:433 -498. Suharti, S.R., 2011. Ekologi Ikan Karang. Diakses pada hari selasa tanggal 4 Oktober 2011. Supriadi. R.F, Kaswadji., D.G, Bengen., M, Hutomo. 2012. Produktivitas Komunitas Lamun di Pulau BarrangLompo, Makassar. Jurnal Akuatika Vol III No 2. 159 – 168. ISSN 0853-2523 Supriharyono, 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang, PT. Djambatan. Jakarta. Susana T. 2005. Kualitas Zat Hara Perairan Teluk Lada Banten. Jurnal Oseanologi dan Limnologi Indonesia. No. 37 P2O-LIPI. Jakarta Hal:59–67. Sutikno dan Maryunani. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam. Badan Penerbit Universitas Brawijaya. Malang Sutikno dan Maryunani. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam. Badan Penerbit Universitas Brawijaya. Malang Talan, MA. 2008. Persamaan penduga biomassa pohon jenis Nyirih (Xilocarpus granatum Koenig. 1784) dalam tegakan mangrove hutan alam di Batu Ampar, Kalimantan Barat. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB Bogor Thayer, G.W., S.M. Adams and M.W. La Croix 1975. Structural and fluctuation aspects of a recently established Zostera marina community Estuarine Tsunogai, S. & Y. Watanabe. 1983. Role of dissolved silicate in the occurrence of a phytoplankton bloom. Journal of the Oceanographical Society of Japan, 39: pp. 231-239. Ulumuddin, Y.I dan W. Kiswara. 2010. Mangrove dan Lamun dalam Siklus Karbon. Oseana. Vol 35 No. 2: 39-46 WWF, 1994. The Economic Value of Reefs. Conservation Indonesia, 10 (1) 166
Yaping, D. 1999. The Value of Improved Water Quality for Recreation in East Lake, Wuhan China. EEPSEA, Singapore. Yoeti, Oka A. 1985. Pengantar Ilmu Pariwisata. Penerbit Aksara. Bandung
167
LAMPIRAN
168
Lampiran 1.
Peta Sebaran Karang di Kawasan Non Konservasi Kapoposang, 2016
169
Lampiran 2.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Kapoposang sebagai Penyedia Raw Material, 2016
170
Lampiran 3.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi apoposang sebagai Biology Controll, 2016.
171
Lampiran 4.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem di Kawasan Non Konservasi Kapoposang sebagai Breakwater, 2016.
172
Lampiran 5.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem di Kawasan Non Konservasi Kapoposang sebagai Climate Regulation, 2016
173
Lampiran 6.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi sebagai Erosion Controll, 2016
174
Lampiran 7.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi sebagai Nutrient Cycling, 2016
175
Lampiran 8.
Peta Sebaran Karang di Kawasan Non Konservasi Natuna, 2016.
176
Lampiran 9.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Natuna sebagai Biology Controll, 2016
177
Lampiran 10.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Natuna sebagai Breakwater, 2016
178
Lampiran 11.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Natuna sebagai Climate Regulation, 2016
179
Lampiran 12.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Natuna sebagai Erosion Controll , 2016
180
Lampiran 13.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Natuna sebagai Nutrient Cycling , 2016
181
Lampiran 14.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Natuna sebagai Raw Material , 2016
182
Lampiran 15.
Peta Sebaran Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra, 2016
183
Lampiran 16.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi di Gili Matra sebagai Biology Control, 2016
184
Lampiran 17.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Breaw Water Control, 2016
185
Lampiran 18.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Climate Regulation, 2016
186
Lampiran 19.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Erosion Control, 2016
187
Lampiran 20.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Nutrient Cycling, 2016.
188
Lampiran 21.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai penyedia Raw Material, 2016
189
Lampiran 22.
Peta Sebaran Ekosistem Mangrove di Kawasan Non Konservasi Gili Matra, 2016
190
Lampiran 23.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Biological Control, 2016.
191
Lampiran 24.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Break Water, 2016.
192
Lampiran 25.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Cliimate Regulation, 2016.
193
Lampiran 26.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Erosion Control, 2016
194
Lampiran 27.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai Nutrient Cycling, 2016
195
Lampiran 28.
Peta Sebaran Nilai Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Non Konservasi Gili Matra sebagai penyedia Raw Material, 2016
196