LAPORAN TUTORIAL BLOK PEDIATRI SKENARIO 1 “ Bayiku..”
Kelompok A1 Amirul Zakiya B.
(G0011019)
Andyka Prima Pratama
(G0011023)
Dewi Nur Khotimah
(G0011071)
Derajat Fauzan N.
(G0011065)
Lina Kristanti W.
(G0011127)
Martha Oktavia Dewi
(G0011133)
Nadya K. Amira
(G0011145)
Naili N.S.N
(G0011147)
R.A. Sitha Anisa P
(G0011161)
Rizqa febriliany P
(G0011183)
Yoga Mulia Pratama
(G0011213)
Tutor : Ismiranti Andarini, dr, Sp. A, M. Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2013
BAB I PENDAHULUAN
SKENARIO I
Bayiku..
Seorang ibu GPA berusia 25 tahun dengan usia kehamilan 38 minggu melahirkan seorang bayi laki-laki dengan berat 3 kg, panjang 49 cm secara spontan, warna ketuban keruh, tidak ada mekoneum. Saat bayi lahir didapatkan bayi tidak bernafas, tonus otot kurang baik. Setelah dilakukan resusitasi sampai dengan pemberian ventilasi tekanan positif didapatkan bayi bernafas spontan, tidak ada retraksi, denyut jantung 100x/ menit. Skor Apgar 5-7-10. Dari anamnesis riwayat kehamilan didapatkan ANC tidak teratur, ketuban pecah 24 jam, riwayat demam sebelum melahirkan. Catatan kesehatan ibu menunjukkan bahwa tanda vital ibu normal, pemeriksaan TORCH negatif, HbsAg negatif, gula darah normal. Selanjutnya bayi dan ibunya dibawa ke ruang perawatan untuk dirawat gabung dan diberikan ASI oleh ibu.
BAB II DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
1. Langkah I : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut: a. Mekoneum: Mekoneum merupakan sisa dari air ketuban yang diresorpsi kembali. Isinya terdapat rambut janin, rambut lanugo, sisa sel yang dilepaskan dari kulit dan paru serta verniks kaseosa. Sisa debris yang terdapat dalam air ketuban akan menjadi mekoneum atau kotoran janin. Warna kehijauan mekoneum berasal dari metabolusme hemoglobin darah janin yang diubah menjadi biliverdin dan sebagian dikeluarkan melalui gastrointestinal . Pengeluaran mekoneum saat inpartu pada presentasi kepala menunjukkan telah terjadi asfiksia intrauteri. Asfiksia dapat meningkatkan rangsangan
nervus vagus
yang menyebabkan usus dan kolon berperistaltik, sementara itu sfingter ani terbuka sehingga mekoneum mewarnai air ketuban menjadi hijau (Manuaba et al., 2003) b. Apgar Score: adalah skor untuk menilai kondissi kesehatan bayi terutama untuk menilai apakah bayi mengalami asfiksia atau tidak. Meliputi penilaian kulit, pernapasan, frekuensi jantung, tonus otot, dan respon refleks. Skor Apgar 1 Menit
0-4
Depresi
berat,
resusitasi segera
5-7
Depresi sistem saraf
8-10
Normal
5 Menit perlu
Beresiko tinggi terjadi disfungsi 0-7
pada sistem saraf pusat dan organ lain
8-10
Normal
c. ANC: pemeriksaan Antenatal Care (ANC) adalah pemeriksaan kehamilan untuk mengoptimalkan kesehatan mental dan fisik ibu hamil, hingga mampu menghadapi persalinan, kala nifas, persiapan pemberiaan ASI dan kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar (Manuaba, 2008). d. Ketuban: merupakan selaput yang berisi cairan amnion dan chorion dengan komposisi 98% air dan sisanya bahan organik maupun anorganik. Volume ketuban biasanya 1- 1,5 liter. e. TORCH: (Toksoplasma, Rubella, Citomegalovirus, dan Herpes Simpleks) Merupakan berbagai macam infeksi yang sering member dampak buruk pada bayi ketika diderita oleh ibu saat kehamilan, terutama pada trimester I f. Resusitasi: suatu prosedur yang diaplikasikan untuk neonatus yang gagal bernapas secara spontan (Prawirohardjo, 2010). Resusitasi merupakan tindakan yang cepat diperlukan pada bayi yang tidak bernapas dalam waktu 30 detik setelah lahir, atau yang menunjukkan pernapasan yang lemah atau gasping (Meadow dan Newell, 2005). Untuk memulai resusitasi tidak perlu menunggu untuk menentukan nilai Apgar satu menit karena semakin lambat memulai, semakin sulit melakukan resusitasi dan tindakan resusitasi ini harus dilakukan oleh tenaga yang terlatih dan semua peralatan harus tersedia dan dalam keadaan yang berfungsi dengan baik (Prawirohardjo, 2010). Resusitasi dilakukan pada bayi yang tidak bernapas dalam 30 detik setelah lahir atau menunjukkan tanda-tanda indikasi resusitasi seperti bayi lahir prematur. Tindakan resusitasi tidak harus langsung diberikan ke incubator, pertama harus dilakukan pemberian rangsangan dengan cara mngusap menggunakan handuk lembut ditambah rangsangan seperlunya. Kemudian jika tidak merespon baru diberikan ventilasi tekanan intemitten menggunakan masker atau selang endotrakeal. g. Tonus Otot: Tonus (otot) adalah kontraksi otot yang selalu dipertahankan keberadaannya oleh otot itu sendiri.
h. HBsAg: Hepatitis B surface antigen adalah antigen permukaan yang terdeteksi di serum sebelum tes fungsi hati menjadi abnormal dan sebelum adanya perkembangan klinis terkait hepatitis (Larke, 1979). i. ASI: Air Susu Ibu. Makanan terbaik yang dapat diberikan oleh seorang ibu pada anak yang baru dilahirkannya. Komposisinya berubah sesuai dengan kebutuhan bayi pada setiap saat, yaitu kolostrum pada hari pertama sampai 4-7 hari, dilanjutkan dengan ASI peralihan sampai 3-4 minggu, selanjutnya ASI matur. ASI yang keluar pada permulaan menyusu (foremilk = susu awal) berbeda dengan ASI yang keluar pada akhir penyusuan (hindmilk = susu akhir). ASI mengandung zat pelindung yang dapat melindungi bayi dari berbagai infeksi. Produksi ASI dipengaruhi oleh hormon prolaktin dan pengeluaran ASI dipengaruhi oleh hormon oksitosin. Pemberian ASI juga mempunyai pengaruh emosional yang luar biasa yang mempengaruhi hubungan batin ibu dan anak dan perkembangan jiwa anak. Selain itu, juga ada hubungan antara pemberian ASI (menyusui) dengan penjarangan kehamilan (Sarwono, 2010). j. Ventilasi tek. Positif: Ventilasi adalah bagian dari tindakan resusitasi untuk memasukkan sejumlah udara ke dalam paru dengan tekanan positif yang memadai untuk membuka alveoli paru agar bayi bias benapas spontan dan teratur.
2. Langkah II : Menentukan/mendefinisikan permasalahan Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut: a. Bagaimana kondisi bayi lahir normal? b. Bagaimana fisiologi saat persalinan
& bagaimana ketuban pecah
secara normal? c. Bagaimana embriologi fetus? d. Bagaimana fisiologi dan perubahan dari lingkungan ekstrauterine ke intrauterine? e. Apakah penyebab demam sebelum melahirkan?
f. Bagaimanakah pemeriksaan pada bayi baru lahir? g. Apa saja tindakan yang diperlukan selain resusitasi? h. Apa diagnosis dan terapi BBLR? i. Bagaimana perawatan bayi setelah lahir (Post Natal Care) ? j. Apa saja dampak bayi akibat kehamilan dan kelahiran abnormal? k. Apa saja syarat dan tujuan rawat gabung? l. Apa saja diagnosis dan komplikasi penyakit pada kasus bayi baru lahir? m. Apakah hubungan ANC tidak teratur dengan kasus?
3. Langkah III : Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan sementara mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah 2)
a. Kondisi bayi lahir normal Bayi baru lahir normal memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Berat badan 2500 – 4000 gram
Panjang badan 48 – 52 cm
Lingkar kepala 33 – 35 cm
Lingkar dada 30 – 38 cm Biasanya bayi baru lahir memiliki frekuensi jantung 120 – 160
kali/menit dan pernafasan ± 60 - 40 kali/menit. Jantung dan paru-paru perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya kelainan yang biasanya dapat terlihat melalui warna kulit bayi dan keadaannya secara umum.
Refleks Primitif a. Menggenggam-tangan dan kaki-sejak lahir hingga usia 4 bulan b. Moro-refleks kejut-sejak lahir hingga usia 4 bulan Angkat bayi dengan menyangga kepala, dan biarkan kepala terjatuh beberapa sentimeter. Bayi akan tampak terkejut, melemparkan tangan ke luar dan kemudian meletakkannya kembali di badannya. c. Asymmetric tonic neck reflex (ATNR)-sejak lahir hingga usia 7 bulan Saat menggelengkan kepala ke salah satu sisi, tangan dan kaki ipsilateralnya akan bergerak ke luar. d. Refleks menghisap (rooting)-sejak lahir Saat menyentuh sekitar wajah bayi, ia akan berputar, membuka mulutnya seolah-olah akan menghisap jari. Adanya refleks Moro dan ANTR yang persisten adalah abnormal, dan dapat menjadi indikasi adanya palsi serebral.
4. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah 3 Pada kasus ini, kemungkinan bayi mengalami masalah pernafasan yang diakibatkan infeksi pada ibu sebelum persalinan dan ANC yang tidak teratur. Namun dengan penanganan berupa resusitasi dan ventilasi bayi dapat bernafas dengan normal lagi.
5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran a. Bagaimana fisiologi saat persalinan & bagaimana ketuban pecah secara normal? b. Bagaimana embriologi fetus? c. Bagaimana fisiologi dan perubahan dari lingkungan ekstrauterine ke intrauterine? d. Apakah penyebab demam sebelum melahirkan? e. Bagaimanakah pemeriksaan pada bayi baru lahir? f. Apa saja tindakan yang diperlukan selain resusitasi? g. Apa diagnosis dan terapi BBLR? h. Bagaimana perawatan bayi setelah lahir (Post Natal Care) ? i. Apa saja dampak bayi akibat kehamilan dan kelahiran abnormal? j. Apa saja syarat dan tujuan rawat gabung?
k. Apa saja diagnosis dan komplikasi penyakit pada kasus bayi baru lahir? l. Apakah hubungan ANC tidak teratur dengan kasus?
6. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru
7. Langkah VII: Melaporkan, membahas dan menata kembali informasi baru yang diperoleh
a. Fisiologi saat persalinan & bagaimana ketuban pecah normal Fisiologi saat persalinan Kehamilan normal dengan umur kehamilan 37–42 minggu, dikenal sebagai hamil cukup bulan. Pada hamil cukup bulan, proses persalinan yang terjadi diawali dengan kontraksi otot uterus yang berulang kemudian diikuti dengan penipisan serviks dan keluar cairan lalu diikuti dengan fase dilatasi sebagai persiapan persalinan. Pada fase kritis awal proses persalinan seringkali terjadi selaput ketuban mengalami perobekan (rupture) terlebih dahulu sebelum adanya tanda persalinan (before start of labor), keseluruhan proses ini dikenal sebagai ketuban pecah dini atau premature rupture of the membrane (PROM). Pada kehamilan cukup bulan, kejadian PROM berkisar 10%. Pada kehamilan kurang bulan (preterm), yaitu dibawah 37 minggu, dikenal sebagai Preterm with premature rupture of the membrane (PPROM). Kejadian PPROM dilaporkan 20% di antara kehamilan preterm. Penyebab kasus ketuban pecah dini, PPROM atau PROM hingga kini masih belum jelas (Prabantoro, et. al., 2011). Ketuban Pecah Secara Normal Pecah ketuban secara spontan paling sering terjadi sewaktu-waktu pada persalinan aktif. Pecah ketuban secara khas tampak jelas sebagai semburan cairan yang normalnya jernih atau sedikit keruh, hampir tidak berwarna dengan jumlah bervariasi. (Keman, 2009)
Mekanisme Ketuban Pecah Dini Ketuban pecah saat persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh (Prabantoro, et. al., 2011; Prawirohardjo, 2005). Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada selaput ketuban. Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah.
Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase
(MMP) yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis. Sebanyak 90% kehamilan aterm terjadi 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan 28 – 34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu. Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina (Prawirohardjo, 2005). Faktor resiko dan komplikasi Faktor resiko untuk terjadinya ketuban pecah dini adalah: - Berkurangnya asam askorbik sebagai komponen kolagen - Kekuramgan tembaga dan asam askorbik yang berakibat pertumbuhan struktur abnormal karena antara lain merokok (Prawirohardjo, 2005). Komplikasi Komplikasi pada janin akibat kasus ketuban pecah dini tergantung usia kehamilan dan kejadian selama proses persalinan. Komplikasi ketuban pecah dini dapat mengakibatkan infeksi perinatal, kompresi tali pusat, solusio plasenta, serta adanya sindrom distress pada napas bayi baru
lahir. Akibat lain yang terjadi adalah enterocolitis necrotizing,perdarahan intraventrikular, sepsis neonatorum terjadi pada 2–20% dari kasus ketuban pecah dini, serta dapat terjadi kematian sekitar 5% kasus, sedangkan komplikasi jangka panjang dapat memberikan kecacatan (Prabantoro, et. al., 2011)
b. Embriologi dan perkembangan fetus Tahap Cleavage Pada perkembangan zigot, tahapan 2 sel dicapai 30 jam setelah fertilisasi, tahap 4 sel dicapai selama 40 jam, tahap 12—16 sel akan dicapai selama 3 hari, dan tahap morula akan dicapai selama 4 hari. Selama periode tersebut, blastomer masih dikelilingi oleh zona pelusida yang akan hilang di akhir hari keempat. Pembentukan Blastosit Saat morula memasuki rahim, cairan mulai berpenetrasi melalui zona pelusida ke ruang interseluler. Perlahan-lahan,, ruang interseluler menjadi jelas dan akhirnya terbentuk suatu ruang tunggal yang disebut blastocele. Pada saat itu, embrio disebut blastosit. Sel-sel di bagian dalam disebut embrioblas yang menempati satu kutub, sedangkan yang berada di luar disebut trofoblas, melapisi secara merata dan membentuk dinding epithelial dari blastosit. Pada manusia, sel-sel trofoblas yang menutupi kutub embrioblas akan berpenetrasi ke sel-sel epithelial mukosa uteri pada hari ke-enam. Setelah satu minggu, zigot sudah melalui tahap morula dan blastula serta mulai implantasi di mukosa uteri. Hari ke-8 Pada hari ke-8, trofoblas berdiferensiasi menjadi dua lapisan. Lappisan dalam mengandung sel-sel sitotrofoblas dan bagian luar sinsitiotrofoblas. Mitosis hanya terjadi pada bagian sitotrofoblas yang kemudian sel-sel yang telah membelah berpindah dan mendorong sel-sel di sinsitiotrofoblas.
Sel-sel di embrioblas juga berdiferensiasi menjadi dua lapisan. Lapisan hipoblas dan epiblas. Lapisan hipoblas berisi sel-sel kuboid yang dekat dengan bastocele sedangkan epiblas mengandung sel-sel kolumner yang dekat ruang amnion. Kedua lapisan tersebut kemudian membentuk disk yang rata bersamaan dengan munculnya ruang kecil di epiblas. Ruangan tersebut kemudian akan membesar membentuk ruang amnion. Sel-sel epiblas yang dekat sitotrofoblas akan bernama amnioblas yang bersama dengan epiblas menjadi batas ruang amnion. Hari ke-9 Blastosit akan semakin dalam menempel di endometrium dan terbentuk Heuser’s membrane/exocoelomic yang melapisi lapisan dalam sitotrofoblas. Membrane Heuser akan melapisi ruang exocoelomic atau disebut juga dengan yolk sac. Hari 11—12 Mulai terbentuk sirkulasi utero-plasental dari sinusoid. Sinusoid merupakan kapiler yang melebar karena sel sinsitiotrofoblas menembus lebih dalam ke stroma dan perlahan-lahan menembus endotel kapiler ibu. Hari ke-13 Terbentuk vili primer yang merupakan tonjolan sitotroblas ke sinsitiotroblas karena terus membelah. Minggu ke 3-8 Mulainya proses gastrulasi atau pembentukan tiga lapis germ layer yaitu ectoderm, mesoderm, dan endoderm. 3 bulan—lahir Merupakan fetal period dimana terjadi proses kematangan organorgan fetus (Sadler, 2012).
c. Fisiologi dan perubahan dari lingkungan ekstrauterine ke intrauterine .
Perubahan mendadak dari kehidupan intrauterine ke ekstrauterin
memerlukan penyesuaian sirkulasi neonatus berupa :
• pengalihan aliran darah dari paru, • penutupan ductus arteriosus Bottali dan foramen ovale serta • obliterasi ductus venosus Arantii dan vasa umbilikalis.
Sirkulasi bayi terdiri dari 3 fase : 1. Fase intrauterin dimana janin sangat tergantung pada plasenta 2. Fase transisi yang dimulai segera setelah lahir dan tangisan pertama 3. Fase dewasa yang umumnya berlangsung secara lengkap pada bulan pertama kehidupan Fase intrauterin Vena umbilikalis membawa darah yang teroksigenasi dari plasenta menuju janin. Lebih dari 50% cardiac out-put berjalan menuju plasenta melewati arteri umbilikalis. Cardiac out-put terus meningkat sampai aterm dengan
nilai
200
ml/menit.
Frekuensi
detak
jantung
untuk
mempertahankan cardiac output tersebut 110 – 150 kali per menit. Tekanan darah fetus terus meningkat sampai aterm, pada kehamilan 35 minggu tekanan sistolik 75 mmHg dan tekanan diastolik 55 mmHg Sel darah merah, kadar hemoglobin dan ―packed cell volume‖ terus meningkat selama kehamilan. Sebagian besar eritrosit mengandung HbF. Pada kehamilan 15 minggu semua sel darah merah mengandung HbF. Ada kehamilan 36 minggu, terdapat 70% HbF dan 30% Hb A. HbF memiliki kemampuan mengikat oksogen lebih besar dibanding HbA.HbF lebih resisten terhadap hemolisis namun lebih rentan terhadap trauma. Fase transisi Saat persalinan, terjadi dua kejadian yang merubah hemodinamika janin 1.
Ligasi tali pusat yang menyebabkan kenaikan tekanan arterial
2.
Kenaikan kadar CO2 dan penurunan PO2 yang menyebabkan awal
pernafasan janin . Setelah beberapa tarikan
nafas, tekanan intrathoracal neonatus
masi rendah (-40 sampai – 50 mmHg) ; setelah jalan nafas mengembang, tekanan meningkat kearah nilai dewasa yaitu -7 sampai -8 mmHg. Tahanan vaskular dalam paru yang semula tinggi terus menurun sampai
75- 80%. Tekanan dalam arteri pulmonalis menurun sampai 50% saat tekanan atrium kiri meningkat dua kali lipat. Sirkulasi neonatus menjadi sempurna setelah penutupan ductus arteriousus dan foramen ovale berlangsung, namun proses penyesuaian terus berlangsung sampai 1 – 2 bulan kemudian. Fase Ekstrauterin Ductus arteriousus umumnya mengalami obliterasi pada awal periode post natal sebagai reflek adanya kenaikan oksigen dan prostaglandin. Bila ductus tetap terbuka, akan terdengar bising crescendo yang berkurang saat diastolik (―machinery murmur‖) yang terdengar diatas celah intercosta ke II kiri. Obliterase foramen ovale biasanya berlangsung dalam 6 – 8 minggu.Foramen ovale tetap ada pada beberapa individu tanpa menimbulkan gejala.Obliterasi ductus venosus dari hepar ke vena cava menyisakan ligamentum venosum.Sisa penutupan vena umbilikalis menjadi ligamentum teres hepatis. Hemodinamika orang dewasa normal berbeda dengan janin dalam hal : 1. Darah vena dan arteri tidak bercampur dalam atrium 2. Vena cava hanya membawa darah yang terdeoksigenasi menuju atrium kanan, dan
selanjutnya menuju ventrikel kanan dan kemudian
memompakan darah kedalam arteri
pulmonalis dan kapiler paru. 3. Aorta hanya membawa darah yang teroksigenasi dari jantung kiri melalui vena
pulmonalis untuk selanjutnya di distribusikan keseluruh tubuh janin. (Widjanarko, 2002)
Regulasi Suhu Regulasi suhu pada bayi baru lahir salah satunya melalui
mekanisme termogenensis tanpa menggigil (non shivering thermogenesis). Perbedaan suhuh yang cukup jauh antara lingkungan intrauterine dan ekstrauterin membuat bayi baru lahir harus memiliki mekanisme sendiri yang bisa menghindarkan dari hipotermi. Mekanisme termogenensis tanpa menggigil ini memanfaatkan keberadaan lemak coklat/brown fat di tubuh bayi. Lemak coklat menyusun 6% berat badan bayi dan sebagian besar
berada pada region interscapula, mediastinum, aksila, dekat pembuluh darah leher, dan lemak perinefrik. Lemak coklat memiliki vaskularisasi yang tinggi dan diinervasi oleh system simpatis. Lemak coklat ini memiliki banyak mitokondria sehingga dapat membuat energy dan panas lebih banyak dalam waktu cepat. Saat adanya penurunan suhu lingkungan sekitar bayi. System simpatis akan terangsang sehingga terjadi produksi norepinefrin. Norepinefrin kemudian akan berikatan dengan reseptor β3 yang akan mengaktivasi protein kinase dan adenililsiksase. Protein kinase dan adenililsiklase kemudian akan menstimulasi lipase yang merupakan katalisator proses perubahan trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Proses fosforilasi oksidatif di mitokondrian akan mem-break down asam lemak bebas untuk menghasilkan energy dan panas bagi tubuh bayi (Sharma et al., 2010).
d. Penyebab demam sebelum melahirkan Kemungkinan ibu mengalami infeksi ringan sebelum persalinan. Namun bakteri/virus yang menginfeksi belum dapat diidentifikasi.
e. Pemeriksaan pada bayi baru lahir Asuhan bayi baru lahir Berikut adalah beberapa tindakan yang dilakukan setelah bayi lahir menurut Kemenkes (2010): 1.
Penilaian awal untuk memutuskan dilakukan atau tidaknya
tindakan resusitasi pada bayi. 2.
Pemotongan tali pusat
3.
Mencegah kehilangan panas, dengan menunda mandi selama enam
jam, dilakukannya kontak kulit bayi dengan ibu, dan menyelimuti kepaladan tubuh bayi. 4.
Inisiasi Menyusui Dini (IMD): setelah bayi dikeringkan, bayi
diletakkan di daerah dada ibu, kulit bayi kontak dengan kulit ibu, dan
mata bayi setinggi putting ibu. Ibu dapat merangsang bayi dengan sentuhan agar bayi dapat menemukan putting ibu dan reflek menghisap. Hal ini dilakukan selama satu jam. Apabila bayi belum menghisap, dapatditunggu 30 menit sampai 1 jam selanjutnya. 5.
Memberi identitas dan menimbang bayi
6.
Melakukan pencegahan penyakit, dengan cara:
- Suntik vitamin K1 (Phytomenadione) 1mg secara intramuscular pada paha kiri untuk mencegah perdarahan pada bayi - Memberikan salep atau tetes mata (Oxytetrasiklin 1%) untuk mencegah infeksi mata - Imunisasi Hepatitis B pada paha kanan, dilakukan 1-2 jam setelah suntik vitamin K 7.
Melakukan pemeriksaan pada bayi baru lahir, dengan tujuan untuk
mengetahui kelainan bayi sedini mungkin. 8.
Melakukan rawat gabung selama 24 jam dan memberikan asi
eksklusif 9.
Memantau kunjungan neonatal, minimal dilakukan tiga kali.
Kunjungan Neonatal I
6-48 jam setelahlahir
II
hari ke-3 s.d. ke-7
III hari ke-8 s.d. ke-28 Pemeriksaan fisis yang dilakukan: 1. Lihat postur, tonus dan aktivitas - Posisi tungkai dan lengan fleksi. - Bayi sehat akan bergerak aktif. 2. Lihat kulit - Wajah, bibir dan selaput lendir, dada harus berwarna merah muda, tanpa adanya kemerahan atau bisul. 3. Hitung pernapasan dan lihat tarikan dinding dada bawah ketika bayi sedang tidak menangis. - Frekuensi napas normal 40-60 kali per menit.
- Tidak ada tarikan dinding dada bawah yang dalam 4. Hitung denyut jantung dengan meletakkan stetoskop di dada kiri setinggi apeks kordis. - Frekwensi denyut jantung normal 120-160 kali per menit. 5. Lakukan pengukuran suhu ketiak dengan termometer. - Suhu normal adalah 36,5 - 37,5º C 6. Lihat dan raba bagian kepala - Bentuk kepala terkadang asimetris karena penyesuaian pada saat proses persalinan, umumnya hilang dalam 48 jam. - Ubun-ubun besar rata atau tidak membonjol, dapat sedikit membonjol saat bayi menangis. 7. Lihat mata - Tidak ada kotoran/sekret 8. Lihat bagian dalam mulut. - Masukkan satu jari yang menggunakan sarung tangan ke dalam mulut, raba langit-langit. - Bibir, gusi, langit-langit utuh dan tidak ada bagian yang terbelah. - Nilai kekuatan isap bayi. Bayi akan mengisap kuat jari pemeriksa. 9. Lihat dan raba perut. 10. Lihat tali pusat - Perut bayi datar, teraba lemas. - Tidak ada perdarahan, pembengkakan, nanah, bau yang tidak enak pada tali pusat.atau kemerahan sekitar tali pusat 11. Lihat punggung dan raba tulang belakang. - Kulit terlihat utuh, tidak terdapat lubang dan benjolan pada tulang belakang 12. Lihat lubang anus. - Hindari memasukkan alat atau jari dalam memeriksa anus - Tanyakan pada ibu apakah bayi sudah buang air besar - Terlihat lubang anus dan periksa apakah mekonium sudah keluar. - Biasanya mekonium keluar dalam 24 jam setelah lahir.
13. Lihat dan raba alat kelamin luar. - Tanyakan pada ibu apakah bayi sudah buang air kecil - Bayi perempuan kadang terlihat cairan vagina berwarna putih atau kemerahan. - Bayi laki-laki terdapat lubang uretra pada ujung penis. Teraba testis di skrotum. - Pastikan bayi sudah buang air kecil dalam 24 jam setelah lahir. 14. Timbang bayi. - Timbang bayi dengan menggunakan selimut, hasil dikurangi selimut - Berat lahir 2,5-4 kg. - Dalam minggu pertama, berat bayi mungkin turun dahulu baru kemudian naik kembali. 15. Mengukur panjang dan lingkar kepala bayi - Panjang lahir normal 48-52 cm. - Lingkar kepala normal 33-37 cm. Menilai cara menyusui, minta ibu untuk menyusui bayinya - Kepala dan badan dalam garis lurus; wajah bayi menghadap payudara; ibu mendekatkan bayi ke tubuhnya - Bibir bawah melengkung keluar, sebagian besar areola berada di dalam mulut bayi - Menghisap dalam dan pelan kadang disertai berhenti sesaat. (Dirjen Bina Pelayanan Medik, 2010)
f. Tindakan yang diperlukan selain resusitasi Saat bayi lahir, dilakukan penilaian sebagai berikut: 1.
Apakah kehmilan cukup bulan?
2.
Apakah air ketuban jernih dan tidak terkontaminasi mekonium?
3.
Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis?
4.
Apakah tonus otot baik?
Bila semua pertanyaan di atas dijawab dengan ―ya‖, dilakukan perawatan rutin seperti memberikan kehangatan, membersihkan atau membuka jalan
napas, mengeringkan, dan menilai warna. Bila salah satu pertanyaan dijawab ―tidak‖, maka dilakukan langkah awal resusitasi. a)
Langkah awal resusitasi
Tempatkan bayi di bawah pemanas radian Letakkan bayi terlentang pada posisi setengah tengadah untuk membuka jalan napas. Sebuah gulungan handuk diletakkan di bawah bahu untuk membantu mencegah fleksi leher dan penyumbatan jalan napas Bersihkan jalan napas atas dengan mengisap mulut terlebih dahulu kemudian hidung, dengan menggunakan bulb syringe, alat pengisap lendir, atau kateter pengisap Pengisapan yang kontinyu dibatasi 3-5 detik pada satu pengisapan Bila terdapat mekonium dan bayi tidak bugar, lakukan pengisapan dari trakea Keringkan, stimulasi, ganti kain yang basah dengan kain yang kering, dan reposisi kepala Tindakan yang dilakukan tidak boleh lebih dari 30 detik Menilai pernapasan Jika bayi mulai bernapas secara teratur dan memadai, periksa denyut jantung. Jika denyut jantung >100 kali/menit dan bayi tidak mengalami sianosis, hentikan resusitasi. Akan tetapi jika sianosis ditemui, berikan oksigen aliran bebas b)
Ventilasi Tekanan Positif
Jika tidak terdapat pernapasan atau bayi megap-megap, ventilasi tekanan positif (VTP) diawali dengan menggunakan balon resusitasi dan sungkup, dengan frekuensi 40-60 kali/menit Jika denyut jantung <100 kali/menit, bahkan dengan pernapasan memadai, VTP harus dimulai pada kecepatan 40-60/menit Intubasi endotrakea diperlukan jika bayi tidak berespon terhadap VTP dengan balon dan sungkup
c)
Kompresi Dada
Jika denyut jantung masih <60 kali/menit setealah 30 detik VTP yang memadai, kompresi dada harus dimulai Kompresi dilakukan pada sternum di proksimal dari prosesus sifoideus. Kedua ibu jari petugas yang meresusitasi digunakan untuk menekan sternum, sementara jari lain mengelilingi dada Kompresi dada diselingi ventilasi secara sinkron terkoordinasi dengan rasio 3:1. Setelah 30 detik, evaluasi respon. Jika denyut jantung >60 kali/menit, kompresi dada dapt dihentikan dan VTP dilanjutkan hingga denyut jantung mencapai 100 kali/menit dan bayi bernapas efektif d)
Pemberian Obat
Epinefrin harus diberikan jika denyut jantung tetap <60 kali/menit setelah 30 detik VTP dan 30 detik lagi VTP dan kompresi dada. Dosis epinefrin adalah 0,1-0,3 ml/kgBB secara intravena melalui vena umbilikal e)
Obat Lain Tambahan
Cairan penambah volume darah diindikasikan untuk pasien yang telah diketahui dan dicurigai mengalami kehilangan darah, dan berespon buruk terhadap tindakan resusitasi lain. NaCl 0,9% atau Ringer laktat dapat diberikan dalam bentuk bolus 10 ml/kg selama 5-10 menit. Jika kehilangan darah akut cukup untuk menimbulkan syok, maka pemberian darah O negatif dapat dibenarkan Natrium bikarbonat direkomendasikan untuk bayi dengan resusitasi memanjang yang tidak berespon terhadap tindakan resusitasi lain. Nalokson hidroklorida diindikasikan pada bayi dengan keaddan depresi pernapasan memanjang pada bayi dan ibu yang mendapatkan anestesi narkotik dalam waktu 4 jam sebelum persalinan, tetapi frekuensi denyut jantung dan warna bayi normal Keteterisasi pembuluh umbilikus direkomendasikan jika akses vaskular diperlukan (Riswantoro, 2009)
g. Diagnosis dan terapi BBLR Berat Badan Lahi rRendah (BBLR) adalah bayi dengan berat badan saat kelahiran kurang dari 2500 gram. Ada dua macam BBLR: 1.
Prematuritas murni Adalah bayi dengan usia kehamilan < 37 minggu dengan berat
badan sesuai kehamilan. Klinis yang ditemukan sesuai dengan usia kehamilannya di mana pertumbuhan dan perkembangan organ-organnya belum cukup sempurna. Klinis dapat berupa ukuran kepala lebih besar dari badan, kulit tipis, lanugo banyak, lemak subkutan sedikit, genitalia belum matur, pembuluh darah kulit terlihat, peristaltic terlihat, dll. 2.
Dismaturitas atau Kecil MasaKehamilan (KMK) Bayi kecil untuk masa kehamilan adalah bayi dengan berat lahir
di bawah persentil 3 untuk jenis kelamin dan masa kehamilan. Bayi dengan berat badan lebih kecil dari berat badan seharusnya, biasanya ditemukan retardasi pertumbuhan. Klinis yang ditemukan sesuai dengan gejala premature murni ditambah dengan keadaan wasting. Tata laksana dapat berupa: - Pemberian makan lebih awal atau early feeding untuk mencegah hipoglikemia - Pemeriksaan kadar glukosa setiap 8-12 jam - Mengawasi frekuensi napas dalam 24 jam untuk mengetahui apabila terdapat sindrom aspirasi meconium atau gangguan napas idiopatik - Menjaga temperature karena bayi dismatur mudah mengalami hipotermi
h. Perawatan bayi setelah lahir (Post Natal Care) Periode puerperium terjadi selama 6 minggu setelah melahirkan, selama itu berbagai perubahan yang terjadi selama kehamilan akan kembali lagi seperti awal sebelum masa kehamilan. Masalah-masalah yang terjadi dalam masa puerperium adalah: 1. Perineum terluka dan pemulihannya mungkin akan terasa sakit sehingga membutuhkan analgesik.
2. Mikturisi atau retensi urin dapat terjadi. 3. Masalah bowel seperti konstipasi dan hemorrhoid. 4. Mastitis 5. Sakit punggung 6. Masalah psikologi Masalah-masalah yang serius juga dapat terjadi pada ibu seperti psikosis postnatal, haemorrhage postpartum, postnatal anemia, pireksia puerperal, dan tromboembolism. Selama postnatal care ibu harus diberikan informasi yang bisa membuat mereka meningkatakan kesehatan bayinya dan memiliki kemampuan untuk mengenali dan mengatasi masalah-masalah yang timbul. Saat pertemuan pertama postnatal care, ibu harus diberi nasihat tentang tanda dan gejala serta respon yang harus dilakukan apabila terdapat kondisi yang mengancam jiwa. Pelayanan postnatal care juga harus memotivasi ibu untuk memberikan ASI. Di tiap pertemuan postnatal care, ibu harus ditanya mengenai kondisi emosionalnya dan bagaimana dukungan keluarga serta social untuk mengatasi masalah sehari-hari. Kegiatan ibu yang dapat dilakukan dalam masa puerperium meliputi berjalan sesegera mungkin setelah melahirkan. Ibu mungkin harus tetap di tempat tidur setelah 24 jam pasca melahirkan untuk perbaikan perineal. Ibu juga harus memulai memberikan ASI pada bayi dan belajar untuk menyayangi bayinya. Kontraksi uteri setelah melahirkan akan berlanjut dan beberapa ibu mengalami kesakitan, terutama saat memberikan ASI dan mungkiin membutuhkan analgesik. Pemberian kontrasepsi juga dapat dilakukan di postnatal care setelah mencapai kurun waktu yang cukup.
i. Dampak bayi akibat kehamilan dan kelahiran abnormal Persalinan abnormal adalah persalinan pervaginam dengan bantuan alat-alatmaupun melalui dinding perut dengan operasi caesarea (Mochtar R, 1998). Alat-alat bantu yang dipergunakan untuk persalinan antara lain
ekstraktor vacuum, versi, ekstraksi, dekapitasi, embriotomi, dll. Jika dipaksa secara mekanik atau dengan bantuan alat maka dapat menyebabkan injuri atau cedera selama proses persalinan yang dapat dikategorikan sebagai trauma kelahiran. Faktor risiko untuk trauma pada kelahiran antara lain (Levine MG, Holroyde J, Woods JR, et al., 1984), : - Berat badan infant lebih dari 4500 gr - Alat bantu persalinan, khususnya forsep atau vacuum - Kelahiran dengan sungsang - Daya pengarikan yang berlebih selama persalinan Trauma kelahiran dapat berupa(Laroia N, Rosenkrantz T, Clark DA, Itani O, Windle ML, 2012) : - Cedera pada jaringan lunak - Cedera pada pleksus brakial - Cedera pada nervus cranialis - Cedera pada nervus laringeal - Cedera pada medula spinalis - Cedera pada tulang - Cedera pada intra-abdominal Cedera pada Jaringan Lunak
a.
Sefalhematoma/ Perdarahan Subdural Merupakan ruptur pembuluh darah antara tengkorak dengan
periosteum
yang
menyebabkan
terkumpulnya
darah
di
lapisan
subperiosteal. Perdarahan ini dapat ditemui pada tulang oksipital. Perdarahan yang berlebih dapat menyebabkan anemia dan hipotensi. Faktor predisposisi terjadinya sefalhematoma adalah hiperbilirubinemia. Sefalhematoma mungkin
bisa menjadi
fokus
dari infeksi
yang
menyebabkan meningitis atau osteomielitis(Laroia N, Rosenkrantz T, Clark DA, Itani O, Windle ML, 2012). b.
Subgaleal hematoma Perdarahan pada ruang antara tulang tengkorak periosteum dan
aponeurosis scalp galea. Sembilan puluh persen kasus merupakan akibat dari vacuum yang diterapkan pada kepala saat persalinan. Subgaleal hematoma memiliki frekuensi tinggi terjadinya trauma kepala (40%), seperti perdarahan intrakranial atau fraktur pada sutura (Chadwick LM, Pemberton PJ, Kurinczuk JJ, 1996). c.
Caput succedaneum Caput
succedaneum
adalah
kumpulan
cairan
serosanguin,
subkutaneus, dan ekstraperiosteal berbatas tidak tegas, yang disebabkan oleh tekanan dari bagian presentasi terhadap dilatasi serviks. Caput succedaneum meluas melewati garis tengah dan melewati garis sutura dan berhubungan dengan bentuk kepala. Caput succedaneum biasanya tidak menyebabkan komplikasi dan sembuh setelah beberapa hari. Manajemen yang perlu dilakukan meliputi observasi (Laroia N, Rosenkrantz T, Clark DA, Itani O, Windle ML, 2012). Cedera pada Pleksus Brakial Biasa terjadi pada bayi yang besar, biasanya dengan distosia bahu atau kelahiran dengan sungsang. Trauma yang berhubungan dengan cedera pada pleksus brakial adalah : -
Fraktur klavikula (10%)
-
Fraktur humerus (10%)
-
Subluksasi dari medula spinalis servikal (5%)
-
Cedera pada medula spinalis servikal (5-10%)
-
Facial palsy atau paralisis wajah (10-20%) Manajemen
yang
bisa
dilakukan
terdiri
dari
pencegahan
kontraktur. Immobilisasi anggota tubuh secara pelan pada perut selama minggu pertama dan memulai rentang pasif dari gerakan latihan sendi pada anggota tubuh. Gunakan juga bidai pada pergelangan tangan. Hasil terbaik dari manajemen secara bedah dapat muncul pada tahun pertama kelahiran (Haerle M and Gilbert A, 2004). Prosedur paliatif melibatkan transfer tendon telah dilakukan. Hasil dari studi oleh Ruchelsman, et al. dari 21 anak yang menderita cedera pleksus brakial pada kelahiran diindikasikan bahwa pasien yang tidak memiliki ekstensi pergelangan tangan secara aktif setelah trauma dapat berhasil diobati dengan transfer tendon tetapi hasil bedah cenderung lebih buruk daripada pasien dengan global palsy atau paralisis keseluruhan (Ruchelsman DE, Ramos LE, Price AE, Grossman LA, Valencia H, Grossman JA, 2011). Cedera pada Nervus Kranialis Cedera pada nervus kranialis dan medula spinalis merupakan hasil dari hiperekstensim, traksi, dan peregangan yang berlebih dengan rotasi yang dilakukan secara terus menerus. Cabang unilateral dari nervus fasialis dan nervus vagus, dalam bentuk nervus laringeal, biasanya terjadi dengan melibatkan cedera nervus kranialis dan memberikan hasil pada paralisis permanen atau sementara. Gejala yang dapat ditemui adalah ketidaksimetrisan wajah ketika menangis. Mulut tertarik ke bagian yang normal, pergerakan dahi dan kelopak mata tidak terpengaruh. Bagian yang mengalami paralisis timbul dengan penampilan yang bengkak, lipatan nasolabia tidak ditemukan, dan ujung dari mulut terasa berat (Laroia N, Rosenkrantz T, Clark DA, Itani O, Windle ML, 2012). Cedera pada Nervus Laringeal
Terganggunya fungsi nervus laringeal mempengaruhi proses menelan dan bernafas. Cedera pada nervus laringeal disebabkan oleh posisi intrauterin di mana kepala diputar dan tertekuk lateral. Penampilan dari bayi dengan teriakan parau dan pernafasan stidor disebabkan oleh kelumpuhan nervus laringeal unilateral. Keluhan pada proses menelan mungkin akan terlihat jika cabang superior terlibat. Kelumpuhan bilateral dapat disebabkan oleh trauma pada kedua nervus laringeal, atau biasanya disebabkan oleh cedera sistem pusat sarat, seperti hipoksia atau perdarahan, yang melibatkan batang otak. Pasien dengan paralisis bilateral biasanya ditemukan gangguan pernafasan berat atau asfiksi (Laroia N, Rosenkrantz T, Clark DA, Itani O, Windle ML, 2012). Cedera pada Medula Spinalis Cedera pada medula spinalis terjadi akibat traksi yang berlebih atau rotasi. Traksi berperan penting dalam kelahiran dengan sungsang (pada kasus yang minoritas), dan torsi lebih berperan pada kelahiran vertex. Gejala klinis adalah kematian neonatal secara luas dengan kegagalan bernafas, khususnya pada kasus yang melibatkan medula spinalis servikal bagian atas atau bagian bawah batang otak. Kegagalan pernafasan yang parah mungkin dihilangkan dengan ventilasi mekanis dan menyebabkan permasalahan etik. Bayi dapat bertahan secara lemah dan hipotoni. Kebanyakan bayi mengalami spastis yang mungkin disalah artikan sebagai paralisis serebral (Laroia N, Rosenkrantz T, Clark DA, Itani O, Windle ML, 2012). Cedera pada Tulang Fraktur pada tulang biasa ditemukan pada kelahiran dengan sungsang, distopia bahu atau keduanya pada bayi dengan berat berlebih. Fraktur yang biasa terjadi adalah fraktur pada klavikula, tulang panjang (tulang tangan atau kaki), dan dislokasi atau perpindahan epifisis (Laroia N, Rosenkrantz T, Clark DA, Itani O, Windle ML, 2012). Cedera pada Intra Abdominal
Cedera pada intra abdominal biasanya jarang terjadi dan terkadang ditemukan sebagai penyebabkan kematian pada bayi baru lahir. Perdarah merupakan komplikasi serius yang paling banyak ditemukan dan hepar merupakan organ internal yang paling mengalami kerusakan. Tanda dari adanya perdarahan intra abdominal adalah perdarahan mungkin fulminan atau berbagaya, tetapi pasien akhirnya mengalami sirkulasi yang kolaps. Perdarah intra abdominal harus dipertimbangkan pada setiap bayi yang mengalami syok, pucat, anemia, dan distensi abdomen. Kulit perut atasnya mungkin berwatna kebiru-biruan. Hasil radiografi tidak dapat digunakan sebagai diagnosis tapi bisa menyarankan cara untuk membebaskan cairan peritoneal. Parasentesis merupakan prosedur pilihan yang harus dilakukan (Laroia N, Rosenkrantz T, Clark DA, Itani O, Windle ML, 2012).
j. Syarat dan Tujuan Rawat gabung Rawat gabung adalah salah satu cara perawatan dimana ibu dan bayi yang baru dilahirkan tidak dipisahkan, melainkan ditempatkan bersama dalam sebuah ruang selama 24 jam. Kontak dini antara ibu dan bayi yang telah dibina sejak dari kamar bersalin seharusnya tetap dipertahankan dengan merawat bayi bersama ibunya Syarat : 1. Usia kehamilan > 34 minggu dan berat lahir > 1800 gram 2. Nilai APGAR pada lima menit >= 7 3. Tidak ada kelainan kongenital yang memerlukan perawatan khusus 4. Tidak ada trauma lahir 5. Ibu dalam keadaan sehat (Prawirohardjo, 2009)
k. Diagnosis dan Komplikasi penyakit pada kasus bayi baru lahir 1. Respiratory distresss syndrome (RDS) Tidak adanya/kurangnya produksi sulfaktan pada paru sehingga alveoli tidak dapat mengembang. RDS akan mengalami resolusi setelah 3-7
hari seiring dengan mulai diproduksinya sulfaktan. Cara utama dari pnatalaksanaannya dalah dengan mengendalikan ventilasi udara. 2. Brochopulmonary dysplasia (BPD) BPD disebabkan karena pemberian konsentrasi oksigen yang tinggi dan tekanan udara positif yang tinggi. Dapat digunakan terapi steroid untuk bayi dengan kondisi seperti ini. 3. Gangguan keseimbangan ciran dan elektrolit Fungsi ginjal dari bayi masih relative buruk sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit belum diatur secara baik. 4. Patent Ductus Arteriosus (PDA) Gagal menutupnya duktus arteriosus. Hal ini sering terjadi pada bayi preterm. 5. Pendarahan intraventrikel Pada dinding ventrikel lateral bayi preterm terdapat pembuluhpembuluh darah kapiler yang rentan di mana mudah terjadi perdarahan selama hipoksia atau RDS. 6. Anemia Anemia terjadi karena konsentrasi hemoglobin menurun dari kadar tinggi yang sebelumnya sesuai untuk kehidupan janin. 7. Enterokolitis nekrotikans (EKN) Terjadi imaturitas, infeksi dan/atau iskemia usus pada patogenensis penyakit ini. 8. Hipotermia Hipotermia sering terjadi pada bayi preterm. Hipotermia akan meningkatkan konsumsi oksigen untuk memproduksi energy sumber panas. Keadaan hipotermia dapat ditatalaksanai dengan incubator dan penghangat. 9. Hipoglikemia Hipoglikemia dapat terjadi karena hilangnya suplai glukosa dari plasenta setelah tali pusar dipotong. 10. Ikterus
Ikterus ada yang fisiologis dan patologis. Ikterus fisiologi terjadi karena belum optimalnya fungsi hati pada janin, sedangkan ikterus patologis dapat disebabkan karena anemia hemolitik. 11. Infeksi Infeksi dapat terjadi saat masa janin atau masa intrapartum. Infeksi janin terjadi karena pathogen dapat melewati air ketuban sedangkan infeksi masa intrapartum terjadi setelah ketuban pecah sehingga pathogen yang sebelumnya tidak dapat melewati air ketuban dapat menginfeksi janin melalui kontak langsung.
l. Hubungan ANC tidak teratur dengan kasus Asuhan antenatal (antenatal care/ANC) adalah upaya preventif program pelayanan kesehatan obstetrik untuk optimalisasi luaran maternal dan neonatal
melalui
serangkaian
kegiatan
pemantauan
rutin
selama
kehamilan. Ada 6 alasan penting untuk mendapatkan asuhan antenatal, yaitu: 1. Membangun rasa saling percaya antara klien dan petugas kesehatan 2. Mengupayakan terwujudnya kondisi terbaik bagi ibu dan bayi yang dikandungnya 3. Memperoleh informasi dasar tentang kesehatan ibu dan kehamilannya 4. Mengidentifikasi dan menata laksana kehamilan resiko tinggi 5. Memberikan pendidikan kesehatan yang diperlukan dalam menjaga kualitas kehamilan dan merawat bayi 6. Menghindarkan gangguan kesehatan selama kehamilan yang akan membahayakan keselamatan ibu hamil dan bayi yang dikandungnya Pada ANC akan dipantau mengenai riwayat kesehatan, baik secara umum maupun riwayat obstetrik, dan akan diperiksa keadaan umum seperti tanda vital, jantung, paru, payudara hingga otot, rangka, dan syaraf. Selain yang diatas, dengan menggunakan tehnik pemeriksaan Leopold, maka akan dapat terus dipantau perkambangan bayi selama dalam rahim.
Dalam skenario, pasien tidak melakukan ANC secara teratur sehingga pada saat akan melahirkan, pasien menderita demam yang belum diatasi hingga kelahiran karena luput dari pantauan ANC. Dan dari demam itu pulalah yang menjadi faktor resiko terjadinya Ketuban Pecah Dini pada pasien. (Andriaansz, 2009)
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan a. Perlunya pemeriksaan penunjang baik untuk si ibu sendiri maupun bayi setelah lahir. b. Perlunya edukasi bagi itu tentang peran penting dari ASI dan rawat gabung. Saran Pada kasus ini, langkah yang dilakukan dokter sudah tepat yaitu memberikan resusitasi dan ventilasi. Untuk materi skenario kurang begitu menjelaskan dengan pasti mengenai diagnosis kerja dari pasien tersebut sehingga sedikit membingungkan mahasiswa. Semoga kedepan bisa lebih baik lagi. Semua anggota kelompok sudah berpartisipasi aktif dalam diskusi tutorial kali ini, diharapkan keaktifan ini tetap dipertahankan dan ditingkatkan pada diskusi-diskusi tutorial selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Andriaansz George. 2009. Asuhan Antenatal. Dalam: Saifudin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp:278-81 Alfonso EC, Galor A, Miller D. 2011. Fungal keratitis. In: Krachmer JH, Mannis MJ, Holland EJ, (eds). Cornea. 3rd Ed. San Francisco: Mosby. 1:1009-1022. Bambang Widjanarko, SpoG. 2002. FISIOLOGI JANIN. Fakultas Kedokteran dan Kesehatan UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA Bickley, Lynn S. 2009. Bates: Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. Jakarta: EGC Chadwick LM, Pemberton PJ, Kurinczuk JJ. 1996. Neonatal subgaleal haematoma: associated risk factors, complications and outcome. J Paediatr Child Health. 32(3):228-32. Dirjen Bina Pelayanan Medik. 2010. Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI Haerle M, Gilbert A. 2004. Management of complete obstetric brachial plexus lesions. J Pediatr Orthop. 24(2):194-200. Keman Kusnarman. 2009. Fisiologi dan Mekanisme Persalinan Normal. Dalam: Saifudin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, p:306
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Panduan pelayanan kesehatan bayi baru lahir berbasis perlindungan anak. Direktorat Kesehatan Anak Khusus. Laroia N, Rosenkrantz T,Clark DA, Itani O, Windle ML. 2012. Birth Trauma. http://emedicine.medscape.com/article/980112-overview#aw2aab6b5 Diakses pada tanggal 2 Maret 2014. Larke RPB. 1979. The HBsAg-Positive Patients Implications and a Guide to Management. Can. Fam. Physician. 25:317—319. Levine MG, Holroyde J, Woods JR Jr, et al. 1984. Birth trauma: incidence and predisposing factors. Obstet Gynecol.63(6):792-5. Manuaba, I.B.G., I.A. Chandranita Manuaba, dan I.B.G. Fajar Manuaba. 2008. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Meadow SR, Newell SJ. 2005. Lecture notes: Pediatrika. Edisi ketujuh. Jakarta: Erlangga. Mochtar R. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I Obstetri Fisiologi dan Patologi. Edisi 2. Jakarta: EGC. Prabantoro BTR, Prabowo P, Mertaniasih NM, Rantam FA. 2011. Peran Endonuclease-G sebagai Biomarker Penentu Apoptosis Sel Amnion pada Kehamilan dengan Ketuban Pecah Dini. JBP Vol. 13, No. 1, Januari 2011: 27–37. Prawirohardjo S. 2010. Ilmu kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Sadler TW. Langman’s Medical Embryology-12th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Sharma A, Ford S, Calvert J. 2010. Adaptation for Life: a Review of Neonatal Physiology. AnaesthIntens Care Med. 12:85-90. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1985. Buku kuliah 3: ilmu kesehatan anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Rohsiswanto R, Dharmasetiawani N. 2009. Resusitasi Neonatus. Dalam: Saifudin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp:348-51 Ruchelsman DE, Ramos LE, Price AE, Grossman LA, Valencia H, Grossman JA. 2011. Outcome after tendon transfers to restore wrist extension in children with brachial plexus birth injuries. J Pediatr Orthop. 31(4):455-7.