LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK XVII THT SKENARIO 1 ADUH, TELINGAKU BAU!
Oleh Kelompok 18: Rizqy Qurrota A. A. (G0011184)
Syarifah Aini K.
(G0011202)
Dea Fiesta J.
Yohanes C. W.
(G0011214)
(G0011062)
Elisabeth Dea R.
(G0011082)
Ega Caesaria P.
(G0011080)
Istna Sofia Aulia
(G0011118)
Dien Adiparadana
(G0011074)
Nur Hidayah
(G0011156)
Iriyanti Maya Sari
(G0011116)
Ratu Siti Khadijah S.
(G0011166)
Tutor: Ratna Kusumawati, dr. , M.Biomed PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang buruh bangunan laki-laki usia 25 tahun, datang ke praktek dokter umum dengan keluhan utama telinga kanan mengeluarkan cairan kuning, kental dan berbau busuk. Pasien juga mengeluh telinga berdenging sehingga pendengaran terganggu, disertai kepala pusing. Pasien sejak remaja sering pilek, disertai hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri terutama jika terpapar debu. Satu tahun yang lalu, telinga kanan keluar cairan encer dan jernih yang sebelumnya didahului demam dan pilek. Pada pemeriksaan otoskopi telinga kanan didapatkan: perforasi subtotal dengan sekret mukopurulen dan granuloma. Rinoskopi anterior terdapat : discharge seromukous, konka hipertrofi, livide. Pemeriksaan pharing didapatkan
:
mukosa
hiperemi.
Selanjutnya,
dokter
merencanakan
pemeriksaan penunjang. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana patologi dan patofisiologi keluhan yang di alami oleh pasien? 2. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan penunjang dari pasien? 3. Apa sajakah diagnosis banding pada kasus skenario di atas? 4. Apa saja penatalaksanaan yang dilakukan dalam kasus ini? C. Tujuan 1. Menjelaskan patologi dan patofisiologi keluhan yang di alami oleh pasien. 2. Menjelaskan interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan penunjang dari pasien. 3. Menjelaskan diagnosis banding pada kasus skenario di atas. 4. Menjelaskan penatalaksanaan yang dilakukan dalam kasus ini.
D. Hipotesis Berdasarkan skenario di atas, kemungkinan pasien tersebut menderita rhinitis alergika yang berkomplikasi menjadi otitis media kronik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi Sistema Auditiva dan Equilibrium Organon Auditus berdasarkan struktur anatomisnya dibedakan menjadi 3 bagian : 1. Auris Externa (Telinga Luar) : a. Auricula (Pinna/daun telinga) b. Meatus acusticus externus 2. Auris Media (Telinga Tengah) : a. Membrana Tympanica b. Cavitas tympanica/cavum tympani c. Ossicula auditiva d. Tuba auditiva Eustachii (Tuba pharyngotympanica) 3. Auris Interna (Telinga Dalam) a. Labyrinthus osseus vestibulum, canalis semicircularis, cochlea b. Labyrinthus membranaceus Labyrinthus vestibularis, labyrinthus cochlearis
Auris Externa Auris Externa adalah bagian dari telinga yang terdapat di sebelah luar dari membrana tympanica. Auris externa terdiri dari 1. Auricula (Pinna/daun telinga)
Dibentuk oleh cartilago fibroelastis yang dilapisi oleh kulit, kecuali bagian
inferior, yaitu lobulus yang tersusun dari jaringan fibroareolar dan adiposa. Cartilago auriculae dilekatkan pada os temporale oleh ligamenta auriculae yang terdiri atas a. Ligamentum auriculae anterius b. Ligamentum auriculae posterius c. Ligamentum auriculae superius
Musculi yang terdapat pada auriculae terdiri dari a. Musculi extrinsik
Musculus auricularis anterior, musculus auricularis posterior, et musculus auricularis superior b. Musculi Intrinsic
Musculus helicis major, m. Helicis minor, m. Tragicus, m. Antitragicus, m. Obliquus auriculae, et m. Transversus auriculae. Fungsi Auriculae : 1. Menangkap. Mengumpulkan, dan meneruskan gelombang bunyu ke
meatus acusticus externus 2. Melindungi porus acusticus externus. 2. Meatus Acusticus Externus (MAE)
Meatus acusticus externus (MAE) adalah saluran pendek berkelok seperti huruf S yang menghubungkan auricula dengan membrana tympanica. Tepat
di
depan
meatus
acusticus
esternus
terdapat
articulatio
temporomandibularis. Dewasa Panjang +/- 1 inchi (2,5-3 cm). Diameter 1 cm. Dapat diluruskan untuk memasukan otoskop dengan cara menarik auricula ke arah superoposterior. Anak-anak auricula ditarik lurus
ke
posterior atau ke arah
inferoposterior. Bagian meatus yang paling sempit adalah kira-kira 5 mm dari membrana tympanica. Rangka dari meatus acusticus externus, terdiri dari : a. Pars cartilaginea
: terletak 1/3 lateral MAE; tersusun dari cartilago
elastis yang merupakan lanjutan dari cartilago auriculae; dilapisi kulit, dilengkapi glandula sebacea et glandula ceruminosa (ceruminata) Glandula ceruminosa ini menghasilkan serumen (sekret lilin berwarna coklat kekuningan), yang berfungsi :
1. Memperlambat pertumbuhan mikroorganisme 2. Mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi 3. Menjerat benda asing yang masuk telinga 4. Menolak serangga b. Pars ossea :terletak 2/3 medal MAE; terdiri atas jaringan tulang yang dibentuk oleh lempeng tympani; dilapisi kulit tipis yang merupakan lanjutan dari lapisan external dari membrana tympanica. Auris Media Auris media adalah ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis temporalis yang dilapisi oleh membrana mukosa. Dipisahkan dengan auris externa oleh memrana tympanica. a. Membrana Tympanica Membrana tympanica adalah membrana fibrosa tipis berbentuk bulat/ oval dengan diameter +/- 1 cm yang berwarna kelabu mutiara. Membran ini terletak
miring
dengan
menghadap
ke
arah
anterocaudolateral.
Permukaannya konkaf ke lateral. Pada dasar cekungannya terdapat lekukan kecil, yaitu umbi, yang terbentuk oleh ujung amnubrium mallei yang melekat pada membrana tympanica. Membrana tympanica dibagi menjadi 2 bagian: 1. Pars Flaccida 2. Pars tensa/membrana propria Membrana tympanica dibagi menjadi 4 kuadran : -
Kuadran superior anterior Relatif sempit
-
Kuadran inferior anterior Terdapat cone of light (daerah pantulan jika cahaya diarahkan langsung pada membrana tympanica) yang berbentuk segitiga di depan umbo.
-
Kuadran superior posterior Terdapat bayangan crus longum incudis
-
Kuadran inferior posterior Sering
dilakukan
parasinthesa/miringotomi
exsudat/pus pada peradangan cavum tympani. b. Cavum Tympani (cavitas tympanica) Dibatasi oleh 6 sisi
untuk
explorasi
- Superior ( Paries Tegmentalis) - Inferior ( Paries Jugularis ) - Lateral ( Paries membranaceus) - Anterior ( paries caroticus) - Medial ( paries labyrinthicus) - Posterior ( paries mastoideus) c. Ossicula Auditiva Terletak di cavum tympani dan recessus epitympanicus, membentuk rangkaian tulang ( malleus, incus, stapes ) yang disertai musculi ossiculorum auditivum dari membrana tympanica sampai venestra vestibuli d. Tuba Audituva Eustachii Merupakan saluran kecil yang menghubungkan auris media dengan nasopharynx. Saluran unu terbagi menjadi 2: pars ossea (1/3 bagian yang dekat auris media) dan pars cartilahines (2/3 bagian sisanya) Fungsi : 1. Menjaga keseimbangan tekanan cavum tympani dengan tekanan udara luar 2. Menjaga kebebasan gerak membrana tympanica 3. Proteksi Auria media dari suara keras dan sekres 4. Drainase dr Auria media ke nasopharyn dengan bantuan mucosiliary sistem tuba auditiva dan membran mukosa Auria media Auris Interna Auris interna terdiri dari rangkaian cavitas tulang (labyrinthus osseus) dan ductus et saccus membranaceus (labyrinthus membranaceus) yang terletak didalamnya. Semua struktur tersebut terletak di dalam pars petrosa ossis temporalis di antara auris media (bagian lateral) dan meatus acusticus internus (bagian medial). Fungsi : Auris interna berfungsi meneruskan impuls yang berkaitan dengan pendengaran dan keseimbangan ke SSP. Terdiri dari 2 bagian, yaitu : -
Organon pendengaran ductus cochlearis Organon keseimbangan utriculus, sacculus, et ductus semicircularis
B. Histologi 1. Auris eksterna a. Daun Telinga
cartilago elastis : tidak didapat di lobulus
Jaringan pengikat
Kulit : o Kulit tipis o Lanugo, gld. sebacea o di bagian depan tidak ada sub cutis
b. Meatus Acusticus Eksternus Merupakan saluran berbentuk S terbentang dari telinga luar sampai membrana tympani Struktur Histologis :
Cartilago elastis ( pars cartilaginea),
Tulang temporale ( pars ossea)
Kulit :
o Tanpa sub cutis dan papila dermis o Lanugo keras o Gld. Sebacea, pada dinding superior o gld. Ceruminosa : •
Modifikasi dr. Gld sudorifera
•
Tubulus berkelok, apocrin
•
Menghasilkan cerumen
c. Membran Tympani Membran tipis semi transparant batas antara auris externa dengan auris media Miring 55 derajat Kerangka : fibro cartilagineus terdapat pd sulcus tympanicus Terbagi menjadi pars tensa dan pars flaccida Struktur Histologis :
Epidermis tipis di permukaan luar
Epithel quboid simplek pada Permukaan dalam.
Substantia propria :
serbut colagen, serabut elastis, fibroblast
Pars Tensa :
Stratum radiale : lapisan luar, serabut berjalan radier
Stratum cerculare : lapisan dalam, serabut berjalan cerculair
Pars flaccida (Membrana Shrapnell ) tidak mengandung serabut terdapat pada bagian atas membrana tympani
Anyaman anyaman serabut elastis didapat pada central dan tepi membrana tympani
2. Auris Media
Merupakan rongga yang tidak teratur pada os temporale
Batas lateral : membrana tympani
Kebelakang berhubungan dengan cellulae Mastoideus pada processus mastoideus
Berhubungan dengan nasopharynx melalui Tuba Auditiva Eusthachius
Terdapat os maleus, os incus dan os stapes
Struktur Histologi
Membrana mucosa : melapisi antrum tympani, cellulae mastoidea, membrana tympani
Epithel squameus simplek
Cuboid/columnair bersilia terdapat pada muara tuba auditiva dan pada Sudut membrana timphani
Lamina propria tipis melekat pada Periosteum
Ossa auditiva : o Malleus : melekat pada Membrana tympani o Incus o Stapes melekat pada Fenestra ovalis
Otot lurik : o m. Stapedius o M. Tensor tympani
a. Tuba Auditiva
Canal
yang
gepeng
yang
menghubungkan
auris
media
dengan
nasopharynx
Mengatur keseimbangan tekanan udara antara auris media dengan udara luar
Struktur histologis
Dinding : tulang, cartilago, membrana fibrosa
cartilago, berbentuk kaitan yang menutup bagian posterior superior, sedang bagian yang lain ditutup membrana fibrosa
Mucosa : o epithel
columnair
simplek
bercilia,
epithel
pseudo
compleks columnair bercilia, sel goblet, o Lamina propria tipis melekat pada Periosteum glandula campuran berbentuk tubulo alveolair, 3. Auris Interna
Terdapat pada Pars petrosa ossis temporalis
Dinding luar : lempengan tulang, fenestra ovalis, fenestra rotundum
Ruangan / canalis : Vestibulum, canalis semicercularis dan cochlea
Ruangan/canalis : labyrinthus membranaceus, labyrinthus osseus
Isi : endolymphe dan perilymphe
a. Labyrhintus Osseus
Vestibulum,
canalis semicercularis o 3 buah saling tegak lurus o Dimulai dari ampula ossea o Superior dan posterior muara pada Crus commune
Cochlea o Bentuk conus o Axis dikelilingi canalis spiralis
b. Labyrinthus Membranaseus
Labyrinthus membranaceus
berbentuk ampula , canalis dan, saccus
(utriculus , sacculus) yang saling berhubungan
Sacculus dihubungkan dengan cochlea oleh d. Reuniens Hensen dengan utriculus oleh d. Utriculo saccularis dan dengan duramater dengan d. Endo lymphaticus
Dindingnya tersusun oleh lamina propria jaringan pengikat fibreus dan dilapisi epihel squameus simpleks
Labyrinthus melayang pada perilymphe, dan digantung oleh trabeculae yang berjalan dari periosteum ke dinding membranaceus.
neuroepithel modifikasi epithel yang membentuk area sensoric :
macula utriculi,
macula sacculi,
crista ampularis
organon cortii
c. Sacculus & Utriculus Struktur histologis:
Dilapisi oleh jaringan ikat tipis membentuk trabecuale yang berhubungan dengan periosteum
Epithel mesenchymal (squameus simpleks)
Beberapa tempat membentuk macula
sel epithel
nya 2 macam
sel
sustentaculair dan sel rambut. Dan jaringan ikat menebal.
Sel sustentaculair : columnair tinggi, melekat padamembrana basalis , inti oval dibasal, cytoplasma bergranula, microvilli, tertutup oleh cuticula
Sel rambut :
Merupakan reseptor rangsangan keseimbangan tubuh
Bentuk botol, inti besar oval terdapat dibasal
Permukaannya ditutup oleh cuticula,
Stereo cilia, dengan basal body,
Bendel stereo cilia ini membentuk rambut
Membrana otolith, tersusun oleh gelatin dan glicoprotein, diatasnya didapat kristal-kristal calcium (otolith), ditembus oleh rambut sel rambut .
d. Canalis Semisircularis
Strukturnya sama dengan bagian lain
Crista ampularis ,
tonjolan transversal sumbu panjang, terdapat pd ampula
Tonjolan ini terdiri dari tunica propria, banyak serabut saraf dan pembuluh darah
Dilapisi neuro epithel,
Cupula ampularis masa berbentuk trianguler, panjang, tersusun oleh gelatin dan glicoprotein dipisahkan dengan ruang sempit dengan sel epithel
Ditembus sel rambut
Serabut saraf nonmyelin membentuk anyaman seperti keranjang disekitar sel rambut.
e. Cochlea
diverticulum dari sacculus , berdinding tulang
berperan sebagi receptor suara
Berbentuk saluran / canal berjalan spiral, berbentuk kerucut
Modiolus : merupakan axis dari cochlea tersususn oleh tulang spongiosa dan berbentuk conus
Serabut saraf dan vasa darah berasal dri sel bipolair masuk melalui basis modiolus (meatus acusticus internus)
Canalis spiralis osseus, cekungan pada dinding modiolus,
Lamina spiralis tonjolan pada tepi dari canalis spiralis osseus
Ligamnetum spirale berasal dari periosteum terdapat berhadapan dengan Lamina spiralis
Membrana basilaris ( lamina spiralis membranaceus ) membentang antara ligamentum spiralis dan lamina spiralis
Membrana vestibularis ( membrana reissneri) terbentang dari lamina spiralis sampai diatas ligamentum spirale, non vasculair.
Membrana basilaris dan membrana vestibularis membagi ruang canalis cochlearis menjadi 3 ruang ialah :
Skala vestibuli : mulai dari fenestra ovalis sampai helicotrema
Skala media ( ductus Cochlearis),
Skala tympani : mulai dari fenestra rotunda sampai pada helicotrema.
f. Ductus Cochlea Ductus Cochlearis :
Merupakan tubulus membranaceus yang sempit . Ujungnya buntu disebut coecum vestibularis dan coecum copulare
Batas :
Atas
: membrana reissner, jaringan pengikat tipis, epithel
squameus simpleks
Samping : stria vasculosa, tersusun oleh sel yang banyak mitochondria dan sel yang dinding basalnya banyak lipatan
Bawah : lamina spiralis ossea, lamina spiralis membranacea, epithel yang termodifikasi
g. Organon cortii :
Merupakan modifikasi dari epithel yang melekat pada membrana basilaris
Membrana basilaris ,
tersusun serabut halus yang tidak bercabang.
C. Fisiologi Pendengaran Fungsi utama dari telinga luar dan tengah adalah menyalurkan energi suara dari luar ke telinga dalam. Fungsi ini dimulai dengan peran aurikula sebagai penangkap getaran dari luar yang diteruskan ke meatus akustikus eksternus. Dikarenakan bentuk dan ukurannya, meatus akustikus eksternus mampu menambah intensitas bunyi pada gelombang 2-4 KHz hingga 10-15 dB. Getaran yang ditangkap diteruskan ke membran timpani dan menyebabkan membran timpani bergetar kemudian menyebabkan maleus bergetar. Maleus berartikulasi dengan inkus dan inkus berartikulasi dengan stapes. Artikulasi antara inkus dan stapes menyebabkan stapes terdorong ke depan dan ke belakang setiap membran timpani dan maleus bergetar, sehingga menyebabkan gerakan ke luar dan ke dalam pada oval window dan menggetarkan cairan endolifatik pada duktus koklearis.
Perpindahan tekanan suara dari medium gas ke medium cair menyebabkan hilangnya energi dalam jumlah besar. Jumlah energi yang hilang mencapai 99.9% atau sekitar 30 dB dan hanya 0.1% yang ditransmisikan. Untuk mengatasi kehilangan itu telinga tengah memiliki fungsi yang mengubah energi suara yang ditransmisikan dari lingkungan luar telinga, dimana gas sebagai medium, ke telinga dalam yang mengandung cairan. Fungsi tersebut adalah: 1)
The Lever System Karena manubrium pada maleus lebih panjang daripada lengan panjang inkus, telinga memperoleh keuntungan secara mekanik yaitu dapat menutupi 2 hingga 3 dB dari total energi suara yang hilang akibat perpindahan medium sebesar 30 dB.
2)
Tympanic Membrane-Footplate Ratio Fungsi ini didasari oleh perbedaan luas permukaan dari membran timpani dengan footplate dari stapes. Luas permukaan dari membran timpani adalah 55 mm2 dan luas permukaan footplate dari stapes adalah 3,2 mm2 . Rasio aktual keduanya adalah 21:1 namun rasio efektif adalah 14:1, hal ini disebabkan tidak semua permukaan membran timpani yang bergetar. Rasio efektif tersebut dapat mengatasi kehilangan energi suara sebesar 23 dB. Dari kedua mekanisme tersebut, telinga tengah dapat menutupi 25-27 dB
dari total 30 dB energi suara yang dilang. Sisa 3-5 dB hilang selamanya. Mekanisme ini dinamakan “impedance-matching mechanism”. Selain itu, telinga tengah juga memiliki mekanisme protektif yaitu dengan kontraksi otot stapedius dan otot tensor timpani. Kedua otot ini bereaksi secara refleks ketika telinga menangkap suara keras dengan masa laten 40-80 milidetik. Otot stapedius berfungsi menahan gerakan berlebih dari stapes, dan otot tensor tympani berfungsi menahan gerakan manubrium dari maleus. Kedua kontraksi otot ini menyebabkan kekakuan pada tulang-tulang pendengaran sehingga dapat mengurangi intensitas suara keras (diatas 100 dB) yang didengar dalam waktu lama hingga 100 dB. Namun pada suara keras yang
tiba-tiba kedua otot ini tidak dapat menjalani fungsinya karena masa laten yang lambat, sehingga intensitas suara keras tersebut tidak dapat dikurangi dan dapat menyebabkan acoustic trauma. Selanjutnya, getaran yang disampaikan dari stapes ke tingkap oval menyebabkan cairan endolimfatik di sepanjang duktus koklearis bergetar. Getaran itu menimbulkan getaran pada membran basilar. Membran basilar mengandung basilar fiber yang keluar dari modiolus dan bebas pada ujungnya, sehingga membran ini dapat bergetar. Panjang dan diameter basilar fiber bervariasi. Di dekat tingkap bundar, panjang basilar fiber adalah 0,05 mm dan semakin mendekati apex panjangnya bertambah hingga 0,4 mm. Sebaliknya, diameter basilar fiber mengecil dari basis ke apex. Akibat dari variasi ini, membran basilar pada basis bergetar pada frekuensi tinggi dan pada apex cenderung bergetar pada frekuensi rendah. Organ Corti, yang terletak pada permukaan membran basilar, mencetuskan impuls sebagai respon terhadap getaran pada membran basilar. Organ Corti memiliki dua tipe sel rambut, sel rambut luar dan dalam, dimana sel rambut luar lebih banyak daripada sel rambut dalam. Namun, hampir 90% serat-serat saraf dirangsang oleh sel rambut dalam (Guyton, 2006). Sel-sel rambut memiliki stereosilia. Sterosilia tertanam dalam membran tektorial yang memiliki struktur seperti gelatin dan ukurannya semakin panjang pada sisi yang menjauhi modiolus. Setiap stereosilia berikatan dengan stereosilia disampingnya yang lebih panjang oleh filamen-filamen tipis. Pada saat terjadi pembengkokan stereosilia ke arah stereosilia yang lebih panjang, maka stereosilia yang lebih pendek akan tertarik dan membuka 200 sampai 300 saluran penghantar kation dan menimbulkan gerakan cepat dari ion kalium yang bermuatan positif untuk memasuki stereosilia dan menyebabkan hiperpolarisasi. Jika yang terjadi sebaliknya makan akan menyebabkan depolarisasi dari sel-sel rambut. Secara umum, jika membran basilar berbelok ke arah scala vestibuli akan menyebabkan sel-sel rambut untuk berdepolarisasi, dan jika membran basilar berbelok ke arah skala timpani akan menyebabkan sel-sel rambut mengalami hiperpolarisasi. Perubahan potensial sel-sel rambut ini akan mengeksitasi serabut-serabut saraf yang bersinaps pada dasar sel-sel rambut dan menghantarkannya ke sepanjang
saraf-saraf pendengaran (Guyton, 2006). Keseimbangan Cerebellum (otak kecil) mempunyai banyak sumber informasi yang berfungsi untuk mengatur keseimbangan dan orientasi gerakan tubuh melalui apparatus vestibular, sistem visual, dan sistem propioseptif. Apabila hanya salah satu dari sistem tersebut mengalami gangguan fungsi, tubuh masih bisa mempertahankan keseimbangannya, tetapi bila ada dua sistem atau ketiga sistem mengalami gangguan fungsi, gangguan keseimbangan tubuh akan timbul. Penderita dapat memberikan gejala unsteady gait, ketidakseimbangan subyektif, dan vertigo. Vertigo sering diartikan sebagai keluhan pusing pada pasien dengan gangguan keseimbangan (Mumenthaler et al, 2004). Informasi dari sitem vestibular, sistem visual, dan sistem propioseptif dikumpulkan di sistem saraf pusat lalu diinterpretasikan sebagai respon motorik berupa tonus otot dan posisi tubuh (Mumenthaler et al, 2004). Tingkat subyektivitas vertigo dapat menunjukkan kemungkinana adanya gangguan sistem vestibular. Sensasi seperti perasaan terangkat atau naik komidi putar akan memperkuat kemungkinan adanya lesi vestibular. Durasi lamanya vertigo menunjukkan kemungkinan penyebab dari vertigonya. Durasi beberapa detik menunjukkan adanya semua kemungkinan posisi yang dapat menyebabkan vertigo, durasi menit dapat disebabkan oleh TIA vertebrobasilar atau migrain, durasi jam dapat disebabkan oleh sindrom Meniere’s, dan durasi hari kemungkinan disebabkan oleh vestibulopati seperti neuritis vestibular atau labyrinthine infarction. Vertigo yang bersifat persisten jarang berasal dari gangguan pada daerah vestibular (Mumenthaler et al, 2004). Penyakit yang dapat menyebabkan vertigo prominen adalah Acute Vestibular Dysfunction. Istilah yang sering dipakai untuk mengartikan penyakit ini adalah
neuritis
vestibular,
vestibulopati
akut,
dan
labirinthitis
atau
cochleolabirinthitis (ketika fungsi pendengaran juga terganggu). Gejala klinis yang muncul dipicu oleh gangguan vestibular akut, unilateral, yang berasal dari sistem vaskular, infeksi, atau neoplasma. Gejala yang terjadi anatara lain adalah vertigo rotasional akut, perasaan akan jatuh ke arah telinga yang sakit, dan gejala
vegetatif (nausea, vomitting, diaforesis). Pergerakan kepala dapat memperberat keluhan penderita, dan kemungkinan terburuk adalah penderita tidak dapat bangun dari tempat tidur untuk sementara. Beberapa kasus pada Acute Vestibular Dysfunction adalah : 1. Otitis media Gejala khas pada otitis media adalah adanya tuli konduksi, kemungkinan penyebaran sampai processus mastoideus (mastioiditis), dan akhirnya menyebabkan vestibular dysfunction. 2. Otitis maligna Infeksi yang terjadi pada otitis maligna menyebar sampai spatium subarachnoidea dan dapat menyebabkan gangguan pada nervus kranial yag lainnya. 3. Sindroma Cogan Pada sindrom ini, terdapat kombinasi dari keratitis interstitial dengan timbulnya tuli mendadak dan munculnya vestibular dysfunction. Ketika keratitis merebak, gangguan auditori dan vestibular muncul. Kelianan ini biasanya menyerang kedua sisi labyrinthus disertai aortitis (Mumenthaler et al, 2004). D. Otitis Media Akut (OMA) Definisi & Klasifikasi Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media adhesiva (Djaafar, 2007). Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga
dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner, 2007). Etiologi 1. Bakteri Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%) (Kerschner, 2007). 2. Virus Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003). Gejala Klinis Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadangkadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran
timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar, 2007). Stadium OMA 1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udaEustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007). 2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007). 3. Stadium Supurasi Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis venavena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot. Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007). 4. Stadium Perforasi Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak. Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
5. Stadium Resolusi Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah. Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul. Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007). E. Otitis Media Supuratif Kronik Definisi Otitis media supuratif kronis (OMSK) dahulu disebut otitis media perforata (OMP) atau dalam sebutan sehari-hari congek. Yang disebut otitis media supuratif kronis ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah ((Djaafar, 2007). Perjalanan penyakit Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi otitis media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses infeksi kurang dari 2 bulan, disebut otitis media supuratif subakut. Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau higiene buruk (Djaafar, 2007). Letak perforasi
1.
Perforasi sentral Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan posterosuperior, kadang-kadang sub total.
2.
Perforasi marginal Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari anulus fibrosus.Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi total.Perforasi pada pinggir postero-superior berhubungan dengan kolesteatom.
3.
Perforasi atik Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma. Jenis OMSK OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu (1) OMSK tipe aman (tipe
mukosa = tipe benigna) dan (2) OMSK tipe bahaya (tipe tulang = tipe maligna). Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dikenal juga OMSK aktif dan OMSK tenang. OMSK aktif ialah OMSK dengan sekret keluar dari kavum timpani secara aktif, sedangkan OMSK tenang ialah yang keadaan kavum timpaninya terlihat basah atau kering (Djaafar, 2007). Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe aman jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe aman tidak terdapat kolesteatoma. Yang dimaksud dengan OMSK tipe maligna ialah OMSK yang disertai dengan kolesteatoma. OMSK ini juga dikenal dengan OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe tulang. Perforasi pada tipe bahaya letaknya marginal atau di atik, kadang-kadang terdapat juga kolesteatoma pada OMSK dengan perforasi subtotal (Djaafar, 2007). F. Kolesteatoma Definisi Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma
bertambah besar (Djaafar, 2007). Patogenesis Banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli tentang patogenesis kolesteatoma, antara lain adalah : teori invaginasi, teori migrasi, teori metaplasi dan teori implantasi (Djafaar, 2007). Sebagaimana kita ketahui bahwa seluruh epitel kulit (keratinizing stratified squamous epithelium) pada tubuh kita berada pada lokasi yang terbuka/terpapar ke dunia luar. Epitel kulit di liang telinga merupakan suatu daerah Cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen padat di liang telinga dalam waktu yang lama maka dari epitel kulit yang berada medial dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma (Djaafar, 2007).
BAB III PEMBAHASAN Pada skenario diketahui bahwa pasien seorang laki-laki usia 25 tahun yang bekerja sebagai buruh bangunan. Prevalensi jenis kelamin laki-laki dan perempuan terkait dengan penyakit telinga hampir sama, tidak terdapat perbedaan yang terlalu signifikan. Sedangkan prevalensi usia terkait dengan keluhan penyakit telinga lebih sering pada bayi dan anak-anak dikarenakan pada bayi dan anak-anak memiliki struktur anatomis tuba eustachius lebih pendek, lebih lebar, dan lebih horizontal, disamping itu status imunologi pada bayi dan anak-anak masih rendah. Keluhan penyakit telinga terkait dengan pekerjaan pasien sebagai
buruh bangunan mungkin akan lebih sering terjadi dikarenakan pekerjaan sebagai buruh bangunan membuat pasien akan sering terpapar oleh suara bising yang lama kelamaan dapat menganggu pendengaran. Pasien datang dengan keluhan utama telinga kanan mengeluarkan cairan kuning, kental, dan berbau. Cairan yang keluar dari liang telinga disebut otore. Ketika didapatkan adanya cairan pada telinga, pertama sekali perlu dilakukan evaluasi terhadap warna, konsistensi serta bau cairan tersebut. Kemungkinan besar pasien di skenario mengalami infeksi bakteri pada telinga kanannya karena cairan yang keluar berwarna kuning, kental, dan berbau. Pasien juga mengeluh telinga berdenging sehingga pendengaran terganggu, disertai kepala pusing. Telinga berdenging menandakan pasien mengalami tinnitus. Tinitus adalah salah satu bentuk gangguan pendengaran berupa sensasi suara tanpa adanya rangsangan dari luar, dapat berupa sinyal mekanoakustik maupun listrik. Keluhan ini dapat berupa bunyi berdenging, menderu, mendesis, atau berbagai macam bunyi yang lain. Pada tinnitus terjadi aktivitas elektrik pada area auditorius yang menimbulkan perasaan adanya bunyi, namun impuls yang ada bukan berasal dari bunyi eksternal yang ditransformasikan, melainkan berasal dari sumber impuls abnormal di dalam tubuh pasien sendiri. Tinnitus pada pasien kemungkinan besar disebabkan karena suara bising terkait dengan pekerjaan pasien sebagai buruh bangunan. Paparan suara bising yang terus menerus dapat menyebabkan kerusakan stereosilia pada organon Corti. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan mekanisme penyaluran impuls listrik sehingga fungsi pendengaran dapat terganggu. Kepala pusing yang dialami pasien kemungkinan terkait dengan gangguan keseimbangan akibat adanya gangguan pada sistem vestibular pasien. Sistem vestibular (pengaturan keseimbangan) dan sistem cochlear (pengaturan pendengaran) terletak berdekatan sehingga apabila sistem cochlear mengalami gangguan, misal terkena infeksi, dapat menyebar ke sistem vestibular sehingga fungsinya juga terganggu. Saat remaja pasien sering mengalami pilek disertai hidung tersumbat terutama jika terpapar debu, menandakan bahwa pasien memang mempunyai riwayat rinitis alergika, yang faktor pencetusnya adalah debu. Apabila kita hubungkan, alergi menahun yang diderita oleh pasien menyebabkan terjadinya
oklusio tuba sehingga ventilasi tuba pun ikut terganggu. Tekanan pada telinga dalam pun menjadi negatif sehingga membran timpani menjadi retraksi. Di sisi lain, fungsi tuba lainnya, yaitu proteksi, akan mulai bekerja dengan menghasilkan mukus yang dihasilkan oleh epitel sekitar tuba yaitu epitel kolumner simpleks dengan sel goblet. Dengan diproduksinya mukus terus menerus, seharusnya mukus bisa dialirkan ke nasofaring oleh mukosilia yang ada pada tuba namun adanya obstruksi tuba membuat mukus yang dihasilkan tetap terakumulasi dan tidak dapat dibuang. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi mukus pada telinga dalam. Mukus yang terus tertimbun ini lama-kelamaan akan semakin menekan membran timpani. Apalagi jika rinitis alergica yang diderita pasien sering kambuh. Ketika membran timpani tidak dapat menahan cairan dari dalam, membran timpani akan mengalami perforasi sehingga mukus tadi akan keluar. Karena pada awalnya tidak ada patogen dari luar, mukus yang keluar masih jernih dan tidak berbau. Namun ketika terjadi perforasi yang tidak ditangani dengan baik, membran timpani akan lebih susah menutup sehingga bakteri ataupun patogen menjadi mudah masuk ke telinga dan sampai pada telinga dalam. Karena dalam 1 tahun kemudian pasien masih sering mengalami alergi, mukus yang keluar akan terpapar oleh bakteri sehingga membuat cairan yang keluar dari telinga akan berwarna kuning (karena bercampur pus) dan berbau. Pada pemeriksaan otoskopi didapatkan perforasi subtotal dengan sekret mukopurulen dan granuloma. Letak perforasi berarti di sentral dan seluruh tepi perforasi masih mengandung sisa membran timpani. Sekret mukopurulen berarti sekret tersebut mengandung mukus dan nanah yang menandakan adanya infeksi bakteri. Granuloma juga menandakan adanya infeksi. Ada beberapa infeksi tidak dapat dihancurkan oleh sistem imun sehingga tubuh berusaha mengucilkan parasit dengan membentuk kapsul yang terdiri atas sel-sel inflamasi. Reaksi tersebut merupakan respons selular terhadap pengelupasan antigen kronik setempat. Makrofag yang dikerahkan, melepaskan faktor fibrogenik dan merangsang pembentukan jaringan granuloma dan fibrotik. Hal tersebut terjadi atas pengaruh sel Th1 dan defisiensi sel T akan mengurangi kemampuan tubuh untuk membentuk granuloma dan kapsul. Pada rinoskopi anterior terdapat discharge seromukous, konka hipertrofi,
dan livide. Discharge seromukous menandakan bahwa discharge berasal dari sekresi kelejar yang terdapat pada Tuba Auditiva Eustachii. Konka hipertrofi diakibatkan karena proses inflamasi. Untuk membedakan antara hipertrofi konka akibat infeksi dengan polip hidung, kapas yang sudah dicelup adrenalin cair dimasukkan melalui nares anterior, lalu tunggu sampai sekitar 3 menit. Hipertrofi konka akibat infeksi akan mengecil, sementara polip hidung tidak akan mengecil. Livide menandakan adanya perdarahan di konka. Livide dapat berwarna kemerahan hngga biru. Warna yang kemerahan dapat menandakan adanya perdarahan yang masih baru dan warna biru dapat menandakan adanya perdarahan yang sudah lama. Pada pemeriksaan pharing didapatkan mukosa hiperemi. Mukosa pharing yang hiperemi diakibatkan karena proses inflamasi. Dari keluhan dan gejala yang dialami pasien, serta hasil pemeriksaan otoskopi, rinoskopi, dan pemeriksaan pharing, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan penyakit yang dialami pasien yaitu otitis media supuratif kronik.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Pasien kemungkinan menderita rhinitis alergika yang berkomplikasi menjadi otitis media kronik. B. Saran 1.
Penatalaksanaan yang diberikan hendaknya mencakup penyebab utama dan komplikasi.
2.
Dokter selain memberikan terapi pada pasien juga harus memberikan nasehat agar pasien sebisa mungkin menghindari alergen yang bisa menyebabkan kekambuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Buchman, C.A., Levine, J.D., Balkany, T.J., 2003. Infection of the Ear. In: Lee, K.J., ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 462-511. Bashiruddin, J., Sosialisman. 2007. Tinitus. Dalam: Soepardi, E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi, E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 64-86. Guyton AC, JE H. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia: Elsevier Inc.; 2006 Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646. Mumenthaler, Mark; et al. 2004. Neurology. Thieme Clinical Sciences.